UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM …digilib.unila.ac.id/55005/3/SKRIPSI TANPA BAB...

72
UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR (ILLEGAL LOGGING) DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG. Skripsi Oleh MASAGUS ZUNAIDI TRISNA PUTRA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2018

Transcript of UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM …digilib.unila.ac.id/55005/3/SKRIPSI TANPA BAB...

  • UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM PENANGGULANGAN

    TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR (ILLEGAL LOGGING)

    DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG.

    Skripsi

    Oleh

    MASAGUS ZUNAIDI TRISNA PUTRA

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2018

    http://www.kvisoft.com/pdf-merger/
  • ABSTRAK

    UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM PENANGGULANGAN

    TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR (ILLEGAL LOGGING)

    DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG

    Oleh

    MASAGUS ZUNAIDI TRISNA PUTRA

    Tindak Pidana Illegal Logging diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun

    1999 tentang Kehutanan. Kepolisian dalam melaksanakan tugasnya untuk

    menjaga keamanan, kenyamanan dan ketentraman masyarakat, menempuh

    berbagai upaya dalam menanggulangi tindak pidana Pembalakan Liar (illegal

    logging) tersebut. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah :

    (1).Bagaimanakah upaya Reserse Kriminal Khusus dalam penanggulangan Tindak

    Pidana Pembalakan Liar (Illegal Logging) di Wilayah Hukum Polda Lampung ?

    (2).Apakah faktor Penghambat bagi Reserse Kriminal Khusus dalam

    penanggulangan Tindak Pidana Pembalakan Liar (Illegal Logging) di Wilayah

    Hukum Polda Lampung ?

    Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

    secara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris. Narasumber dalam

    penelitian ini berasal dari pihak Kepolisian khususnya bagian Direktorat Reserse

    Kriminal Khusus Polda Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas

    Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka

    dan studi lapangan.

    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat di simpulkan bahwa :

    (1) Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian khususnya bagian

    Direktorat Reserse Kriminal Khusus dalam Penanggulangan Tindak Pidana

    Pembalakan Liar (illegal logging) di Wilayah Hukum Polda Lampung adalah

    dengan menggunakan beberapa upaya yaitu : Upaya Preventif (pencegahan), dan

    upaya Represif (tindakan). Upaya-upaya tersebut dilakukan berkenaan dengan

    upaya penal dan non-penal. (2) faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian

    khususnya bagian Direktorat Reserse Kriminal Khusus dalam Penanggulangan

    Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging) di Wilayah Hukum Polda

    Lampung adalah : a). faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih

    kurangnya personil penyidik yang khusus melakukan penyidikan terhadap tindak

  • Masagus Zunaidi Trisna Putra

    pidana pembalakan liar (illegal logging), serta tidak seimbangnya jumlah personil

    dengan luas lahan hutan yang harus diawasi. b). faktor sarana dan prasarana yang

    kurang memadai merupakan salah satu faktor penghambat kepolisian dalam upaya

    penanggulangan suatu kejahatan. c). faktor masyarakat yaitu masih kurangnya

    kesadaran hukum bagi masyarakat akan pemahaman mengenai aturan-aturan yang

    mengatur tentang kehutanan, serta belum optimalnya peran serta masyarakat

    dalam upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelaku pembalakan liar

    menjadi salah satu faktor penghambat dalam upaya penanggulangan kejahatan ini.

    Kata Kunci : Upaya Reserse Kriminal Khusus, Penanggulangan, Pembalakan liar

    (illegal logging).

  • UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM PENANGGULANGAN

    TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR (ILLEGAL LOGGING)

    DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG.

    Oleh

    MASAGUS ZUNAIDI TRISNA PUTRA

    Skripsi

    Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar

    SARJANA HUKUM

    Pada

    BAGIAN HUKUM PIDANA

    Fakultas Hukum Universitas Lampung

    FAKULTAS HUKUM

    UNIVERSITAS LAMPUNG

    BANDAR LAMPUNG

    2018

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 10 Januari 1995.

    Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara buah hati dari

    pasangan Bapak Masagus Komar dan Ibu Murtanti.

    Penulis menempuh jenjang pendidikan pertama kali pada taman kanak-kanak (TK

    Riana Al-Amin) pada tahun 1999, lalu melanjutkan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1

    Sawah Lama dan diselesaikan pada tahun 2006, Lalu melanjutkan Sekolah Menengah

    Pertama (SMP) Negeri 4 Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 2009, dan

    melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bandar Lampung, diselesaikan

    pada tahun 2012.

    Pada tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

    Lampung melalui jalur Undangan dan Mengambil minat bagian Hukum Pidana.

    Selain itu, Pada Tahun 2015 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa

    Bandar Anom Kecamatan Rawajitu Utara Kabupaten Mesuji.

  • MOTTO

    Hidup itu indah, jadi teruslah bersyukur maka engkau akan

    mengetahui arti kebahagiaan.

    Tidak ada kata terlambat dalam hidup ini, segeralah bangkit

    untuk memperbaikinya dan berusahalah untuk menjadi yang

    lebih baik.

    (Masagus Zunaidi Trisna Putra)

    Bercita-citalah Setinggi Langit karena jika kamu terjatuh

    kamu akan terjatuh

    di antara bintang-bintang.

    (Ir. Soekarno)

  • PERSEMBAHAN

    Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati

    kupersembahkan skripsiku ini kepada:

    Bapakku Masagus Komar dan Ibuku Murtanti

    Yang selama ini telah banyak berkorban, selalu berdoa dan menantikan

    keberhasilanku

    Kepada Kakak-kakakku Masagus Zulkarnain Prima Putra. SE dan

    Masagus Zailani Dwi Putra, S.TK

    Yang selalu memberikan semangat, dukungan, doa, dan motivasi untuk

    keberhasilanku

    Almamater tercinta Universitas Lampung

    Tempatku memperoleh ilmu dan merancang mimpi yang menjadi sebagian

    jejak langkahku untuk menuju kesuksesan

  • SANWACANA

    Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah

    SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Upaya Reserse Kriminal Khusus

    Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging). Sebagai

    salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum

    Universitas Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan

    dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada

    baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.

    Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari

    berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Bapak Prof Dr. Maroni, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

    Lampung.

    2. Bapak Eko Rahardjo, S,H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas

    Hukum.

    3. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana

    Fakultas Hukum.

    4. Ibu Firganefi, S.H., M.H selaku Pembimbing I atas kesabaran dan kesediaan

    meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap

    pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses

    penyelesaian skripsi ini.

    5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang telah bersedia

    untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya,

    memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi

    ini.

  • 6. Bapak Prof Dr. Sunarto, S.H., M.H selaku Pembahas I yang telah memberikan

    kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

    7. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H selaku Pembahas II yang telah

    memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

    8. Ibu Yenni Agustin MR, S.H., M.H sebagai Pembimbing Akademik yang telah

    membantu untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama menempuh

    pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

    9. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang

    penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta

    segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi.

    10. Bapak Bripka Nanang Tranggono selaku penyidik Polda Lampung yang telah

    membantu memberikan data untuk penulisan hasil skripsi ini.

    11. Bapak Bripka Wilson Buana selaku penyidik Polda Lampung yang telah

    membantu memberikan data untuk penulisan hasil skripsi ini.

    12. Ibu dr.Erna Dewi SH, MH selaku Akademisi Fakultas Hukum yang telah

    membantu memberikan masukan dan saran untuk penulisan hasil skripsi ini.

    13. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak

    Masagus Komar yang penulis banggakan dan Ibu Murtanti tercinta yang telah

    banyak memberikan dukungan, motivasi dan pengorbanan baik secara moril

    maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.

    Terimakasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan,

    membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam

    kebahagiaan.

    14. Kakak-kakakku tercinta Masagus Zulkarnain Prima Putra, SE, dan Masagus

    Zailani Dwiputra S.TK. atas semua dukungan, motivasi, doa, dan

    semangatnya yang diberikan untuk adikmu.

    15. Sahabat-Sahabat terbaikku yang dari awal perkuliahan sudah memberikan

    semangat, dukungan dalam perkuliahan dan kerjasama dalam menyelesaikan

    penulisan skripsi ini.

  • 16. Teman-teman KKN Desa Bandar Anom kecamatan Rawajitu Utara

    Kabupaten Mesuji, terimakasih telah memberikan pengalaman yang baru,

    kebersamaan, dan kenangan selama 60 harinya.

    17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu

    dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua doa, motivasi,

    bantuan dan dukungannya.

    Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan

    kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam

    penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan

    semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis

    dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

    Bandar Lampung, Desember 2018

    Penulis,

    Masagus Zunaidi Trisna Putra

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1

    B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ................................................................... 5

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................................... 6

    D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ................................................................... 7

    E. Sistematika Penulisan .................................................................................... 11

    II TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kepolisian Republik Indonesia ...................................................................... 13

    B. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana.................................................... 21

    C. Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging) ......................................... 23

    D. Penyelidikan dan Penyidikan Tidak Pidana Pembalakan Liar

    (illegal logging)............................................................................................... 27

    E. Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Tindak Pidana Pembalakan Liar

    (illegal logging) .............................................................................................. 36

    F. Teori Upaya dan Faktor Penghambat ............................................................. 41

    III METODE PENELITIAN

    A. Pendekatan Masalah ....................................................................................... 48

    B. Sumber dan Jenis Data ................................................................................... 48

    C. Penentuan Narasumber .................................................................................. 50

    D. Pengumpulan Data ......................................................................................... 51

    E. Analisis Data .................................................................................................. 52

  • IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    A. Upaya Reserse Kriminal Khusus dalam Penanggulangan

    Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging) di Wilayah Hukum

    Polda Lampung ............................................................................................... 53

    B. Faktor Penghambat bagi Reserse Kriminal Khusus dalam

    Penanggulangan Tindak Pidana Pembalakan Liar (illeggal logging)

    di Wilayah Hukum Polda Lampung ................................................................ 67

    V PENUTUP

    A. Simpulan ......................................................................................................... 77

    B. Saran................................................................................................................ 79

    DAFTAR PUSTAKA

  • I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Hutan sebagai sumber kekayaan alam milik bangsa Indonesia merupakan salah

    satu modal dasar bagi pembangunan nasional yang dipergunakan untuk

    meningkatkan kemakmuran rakyat yang telah dijelaskan dalam pasal 33 ayat (3)

    Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan

    alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

    sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1

    Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan

    tumbuhan lainnya. Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang tertutup dan

    tidak ada campur tangan manusia, masuknya kepentingan manusia secara terbatas

    seperti pengambilan hasil hutan untuk subsistem tidak mengganggu hutan dan

    fungsi hutan. Tekanan penduduk dan tekanan ekonomi yang semakin besar,

    mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif (penebangan kayu).

    Penebangan hutan juga dilakukan untuk kepentingan yang lain, misalnya untuk

    mengubah menjadi ladang pertanian atau perkebunan. Akibat dari gangguan-

    gangguan hutan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan fungsi hutan.

    1 Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembanguna Bidang Kehutanan, Jakarta utara: PT

    Rajagrafindo.1995, hlm 119.

  • 2

    Perubahan-perubahan tersebut lebih menekankan kearah fungsi ekonomi dengan

    mengabaikan fungsi sosial atau fungsi ekologis.2

    Dalam memanfaatkan hutan yang merupakan sumber daya alam yang dapat

    diperbaharui, diperlukan sistem pengelolaan hutan yang bijaksana. Salah satunya

    ialah dengan menerapkan prinsip kelestarian.3Untuk mencapai tujuan tersebut,

    maka pemahaman tentang hutan sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan

    serta dipahami oleh semua insan yang memanfaatkan hutan demi kehidupannya

    melalui penguasaan ilmu dan seni serta teknologi hutan dan kehutanan.

    Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan yang selanjutnya disebut UU Kehutanan, dalam Pasal 1 ayat (2)

    menjelaskan bahwa, yang dimaksud hutan adalah Suatu ekosistem berupa

    hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan

    dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

    dipisahkan.

    Undang-undang Kehutanan mengamanahkan dalam konsideran butir 1 bahwa

    Hutan wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan secara optimal serta dijaga

    kelestariannya untuk kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun

    mendatang. Dengan demikian, fungsi-fungsi hutan tersebut pada hakikatnya

    merupakan modal alam (natural capital) yang harus ditransformasikan menjadi

    modal nyata (real capital) bangsa Indonesia yang bertujuan antara lain untuk :

    2 http://angsanatirta.blogspot.co.id/2012/06/makalah-plh-hutan.html

    3 http://imankuncoro.wordpress.com/2008/08/31/diktat-pengantar-ilmu-kehutanan/ di akses pada

    hari rabu tanggal 13 Februari 2013 pukul 13.35 wita.

  • 3

    melestarikan lingkungan hidup, meningkatkan nilai tambah pendapatan,

    mendorong ekspor non migas dan gas bumi, menyediakan lapangan pekerjaan dan

    mendorong pembangunan sektor-sektor usaha non kehutanan.

    Undang-Undang Kehutanan juga menjelaskan bahwa, fungsi pokok hutan terdiri

    dari tiga yaitu, fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi yang perlu

    dijaga keberlangsungannya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan

    berkelanjutan. Oleh karena itu pengawasan terhadap hutan sangat penting melihat

    dari fungsi tersebut.4

    Pengertian penebangan liar (illegal logging) dalam Undang-Undang Negara

    Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak disebutkan

    secara jelas, begitupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Namun

    secara terminologi dalam Kamus Kehutanan definisi illegal logging dijelaskan

    secara terpisah.5 Illegal artinya suatu tindakan yang dilakukan subjek hukum di

    luar ketentuan yang bersifat melawan hukum dan atau bertentangan dengan

    hukum perundang-undangan kehutanan, sedangkan Logging adalah kegiatan

    pembalakan pohon dalam rangka pemungutan hasil hutan. Sukardi juga

    berpendapat bahwa, Illegal logging secara harfiah yaitu menebang kayu kemudian

    membawa ke tempat gergajian yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah

    menurut hukum.6

    4 Wikipedia Bahasa Indonesia. Pembalakan Liar. http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama di

    akses pada hari rabu tanggal 13 Februari 2013 pukul 14.35 wita. 5 Alam setia Zein. Kamus Kahutanan. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 2003. Hal. 75 dan 102.

    6 Supriadi.Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta. Sinar grafika. 2010,

    Hal. 298.

  • 4

    Tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) di indonesia telah diatur dalam

    Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Untuk

    memaksimalkan penegakan peraturan hukum, pihak kepolisian turut serta untuk

    menegakkan peraturan hukum tersebut dengan membuat Peraturan Kepala

    Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan

    Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah. Ditreskrimsus

    berdasarkan peraturan kepala kepolisian tersebut merupakan salah satu unsur

    pelaksana tugas pokok kepolisin yang mempunyai tugas dalam menegakan hukum

    terhadap tindak pidana khusus dan tertentu di wilayah hukum kepolisian daerah,

    termasuk di dalamnya adalah tindak pidana pembalakan liar (illegal logging).

    Tindak pidana pembalakan liar (Illegal logging) di Lampung telah banyak terjadi,

    kejahatan ini dinilai sangat meresahkan dan sangat membuat ketakutan bagi

    masyarakat, Seperti dalam beberapa kasus pembalakan liar yang terjadi di

    Provinsi Lampung sebagai berikut :

    Kepolisian Resort (Polres) Lampung Selatan, akhirnya menetapkan

    tersangka dalam kasus pembalakan liar di kawasan register 17 Katibung

    Lampung Selatan.7 Dalam kasus pembalakan liar tersebut, aparat

    Kepolisian mengamankan puluhan potong kayu jati yang dimuat dalam

    tiga truk yang ditaksir bernilai ratusan juta rupiah. Kasat Reskrim Polres

    Lamsel, AKP. Rizal Efendi mengatakan, setelah melakukan gelar perkara

    pada Selasa (8/3/2016) kemarin, telah ditetapkan dua tersangka dalam

    kasus tersebut. "Setelah dilakukan gelar perkara, kami tetapkan dua

    tersangka dalam kasus ini, yaitu semuanya berinisial IS. Yang satu sopir

    truk pembawa gelondongan kayu jati hasil curian dan yang satunya diduga

    orang yang mengkoordinir pencurian ini." kata AKP. Rizal Efendi kepada

    sorotlampung.com, kemarin.8

    Keduanya, sambung AKP. Rizal Efendi, dijerat dengan UU No 41 Tahun

    1999, tentang pemberantasan pembalakan liar hutan di Indonesia dengan

    ancaman hukuman maksimal 8 Tahun penjara. Saat ini, Satreskrim Polres

    7.http://sorotlampung.com/polisi-tetapkan-tersangka-dalam-kasus-pembalakan-liar-di-register-

    17.html 8 http://sorotlampung.com/polda-lampung-komitmen-tindak-tegas-pembalakan-liar.html

  • 5

    Lampung Selatan sedang melajukan pengejaran untuk dilakukan

    penangkapan kedua tersangka yang diduga bersalah dalam kasus

    pembalakan liar di register 17 Katibung ini.9 "Kami akan terus lakukan

    pengembangan dalam kasus ini, masalahnya dalam penyitaan barang bukti

    terdapat surat jalan dari dinas kehutanan setempat."bebernya saat ditemui

    di Mapolres Lampung Selatan.

    Belum maksimalnya upaya penanggulangan tindak pidana pembalakan liar

    (illegal logging) di provinsi Lampung seperti yang tergambar pada beberapa kasus

    tersebut, maka akan membawa dampak negatif yang semakin besar terhadap

    masyarakat, hal ini selain dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat juga

    memungkinkan para pelaku tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) untuk

    melakukan kejahatannya dengan leluasa, sehingga dapat memancing pelaku

    kejahatan yang lain untuk melakukan tindak pidana ini.

    Berdasarkan kasus diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi

    Upaya Reserse Kriminal Khusus Dalam Penanggulangan Tindak Pidana

    Pembalakan Liar (Illegal Logging) Di Wilayah Hukum Polda Lampung.

    B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup

    1. Permasalahan

    Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

    1. Bagaimanakah upaya Reserse Kriminal Khusus dalam penanggulangan

    tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) di wilayah hukum Polda

    Lampung ?

    2. Apakah faktor penghambat bagi Reserse Kriminal Khusus dalam

    penanggulangan tindak pidana pembalakan liar (illeggal logging) di

    wilayah hukum Polda Lampung ?

    9 http://gerbangsumatranews.com/kayu-sitaan-raib-register-17-menjadi-kebun-jagung/

  • 6

    2. Ruang Lingkup

    Berdasarkan permasalahan di atas, agar tidak terlalu luas dan tidak terjadi

    kerancuan dalam pembahasan permasalahan, maka ruang lingkup penulisan

    skripsi ini dibatasi pada Upaya Reserse Kriminal Khusus dalam penanggulangan

    tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) di wilayah hukum Polda

    Lampung. Mengenai tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) dalam

    penelitian ini adalah merupakan suatau bentuk tindak pidana kehutanan yang telah

    diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan.

    C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian ini adalah :

    a. Untuk mengetahui upaya Reserse Kriminal Khusus dalam penanggulangan

    tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) di wilayah hukum Polda

    Lampung.

    b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penanggulangan tindak pidana

    pembalakan liar (illeggal logging) yang dilakukan oleh Reserse Kriminal

    Khusus di wilayah hukum Polda Lampung.

    2. Kegunaan Penelitian.

    a) Kegunaan Teoritis.

    Penelitian ini secara teoritis memiliki kegunaan yaitu sebagai upaya untuk

    memperdalam dan pengembangan wawasan keilmuan penelitian di bidang

    hukum pidana terutama mengenai penanggulangan tindak pidana

    pembalakan liar (illeggal logging) yang dilakukan oleh reserse kriminal

  • 7

    khusus polda lampung di wilayah hukum polda lampung, serta berguna

    sebagai pengembangan bahan bacaan mengenai upaya reserse kriminal

    khusus polda lampung dalam penanggulangan tindak pidana pembalakan

    liar (illeggal logging) dan mengenai faktor-faktor penghambat dalam

    penanggulangan tindak pidana pembalakan liar (illeggal logging) yang

    dilakukan oleh Reserse Kriminal Khusus di wilayah hukum Polda

    Lampung.

    b) Kegunaan Praktis.

    Penelitian ini dari segi praktis memiliki kegunaan sebagai upaya

    peningkatan kemampuan meneliti penulis, serta sebagai sumbangan

    pemikiran mengenai penanggulangan tindak pidana pembalakan liar

    (illeggal logging) yang sesuai fakta di lapangan (wilayah hukum polda

    lampung).

    D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

    1. Kerangka Teoritis

    Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

    pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

    identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh

    peneliti.10

    Kerangka teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai

    berikut:

    10

    Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Bumi

    Aksara, 1983, hlm.25

  • 8

    A. Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan.

    Upaya adalah usaha untuk melakukan sesuatu setelah adanya peristiwa.11

    Usaha

    penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga

    merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

    pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan

    hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Kebijakan

    atas penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian dari integral

    dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan

    masyarakat.12

    Upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana pada hakekatnya juga

    merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Upaya kepolisian dalam

    menanggulangi tindak pidana dikenal dengan berbagai istilah, seperti penal

    policy, dan criminal policy, oleh karena itu upaya reserse kriminal khusus polda

    lampung dalam melakukan penanggulangan tindak pidana pembalakan liar

    (illegal logging) dilakukan dengan menggunakan:

    1) Menggunakan upaya penal (hukum pidana).

    2) Menggunakan upaya non penal.

    Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penal menitikberatkan pada sifat

    represif (penumpasan atau pemberantasan) setelah suatu tindak pidana terjadi.13

    Sedangkan kebijakan non penal menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan,

    penangkalan, atau pengendalian) sebelum suatu tindak pidana terjadi. Selain itu

    11

    Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa

    Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.120. 12

    Badar Nawawi Arief, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

    Penanggulangan Kejahatan, PT.Citra Aditya Bakti, Semarang, 1997, hlm.48. 13

    Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002,hlm. 68.

  • 9

    dalam upaya untuk menanggulangi suatu kejahatan terdapat juga dua cara yaitu,

    secara preventif dan secara represif, Berikut ini diuraikan pula masing-masing

    upaya tersebut:

    1. Tindakan Preventif.

    Tindakan preventif adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau

    menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom Samsudin,

    dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan

    lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja

    diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil

    yang memuaskan atau mencapai tujuan.

    2. Tindakan Represif

    Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak

    hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan respresif lebih

    dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, yaitu antara lain

    dengan memberikan hukum (pidana) yang setimpal atas perbuatannya. Tindakan

    ini meliputi cara aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan

    lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi dan seterusnya

    sampai pembinaan narapidana.

    B. Teori Faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum.

    Soerjono Soekanto menyatakan bahwa ada beberapa faktor penghambat dalam

    penegakkan hukum, yaitu:

    a) Faktor Perundang-undangan,

    b) Faktor penegak hukum

    c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum

  • 10

    d) Faktor masyarakat

    e) Faktor kebudayaan.14

    2. Kerangka Konseptual.

    Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara

    konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan

    istilah yang ingin atau yang akan diteliti.15

    a) Upaya adalah usaha untuk melakukan sesuatu setelah peristiwa ada.16

    b) Direktorat Reserse Kriminal Khusus ( Ditreskrimsus), Berdasarkan Pasal

    139 peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22

    Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat

    Kepolisian Daerah, Ditreskrimsus adalah unsur pelaksana tugas pokok

    yang berada di bawah kapolda yang bertugas menyelenggarakan

    penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus, koordinasi,

    pengawasan operasional, dan administrasi penyidikan PPNS sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan.

    c) Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal

    maupum yang lebih menitik beratkan pada sifat repressive

    (penindakan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,

    sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan sifat preventif

    (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum terjadi kejahatan17

    14

    Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press,

    Jakarta, 1983,hlm. 47. 15

    Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Rajawali Pers, 1986. hlm. 132. 16

    Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa,1990, Kamus Besar Bahasa

    Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.120. 17

    Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, CitraAditya Bakti, Jakarta,

    1996, hlm. 13

  • 11

    d) Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

    hukum, larangan mana disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa

    pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.18

    e) Pembalakan Liar (illegal logging) dalam Undang-undang Republik

    Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak disebutkan

    secara jelas, begitupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain.

    Namun secara terminologi dalam Kamus Kehutanan definisi illegal

    logging dijelaskan secara terpisah.19

    Illegal artinya suatu tindakan yang

    dilakukan subjek hukum di luar ketentuan yang bersifat melawan hukum

    dan atau bertentangan dengan hukum perundang-undangan kehutanan,

    Logging adalah kegiatan pembalakan pohon dalam rangka pemungutan

    hasil hutan. Sementara itu, menurut Sukardi, bahwa Illegal logging secara

    harfiah yaitu menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian

    yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.20

    E. Sistematika Penulisan

    Penelitian ini menggunakan sistematika penulisan yang sistematis untuk

    membahas permasalahan yang telah di tetapkan. Untuk mengetahui keseluruhan

    isi dari penulisan skripsi ini, maka dibuat suatu susunan sistematiaka secara garis

    besar sebagai berikut :

    18

    Tri Andrisman, Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2009, hlm.69 19

    Alam setia Zein. Kamus Kahutanan. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 2003, Hal. 75 dan 102. 20

    Supriadi. Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta. Sinar grafika.2010.

    hal. 298.

  • 12

    I. PENDAHULUAN

    Bab pendahuluan menguraikan tentang latar belakang, permasalahan, dan ruang

    lingkup. Selain itu di dalam bab ini memuat tujuan , keguanaan penelitian,

    kerangka teoritis, dan kerangka konseptual serta sistematika penulisan.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian

    umum dari Upaya Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung Dalam

    Menanggulangi Tindak Pidana Pembalakan liar (illegal logging) di Wilayah

    Hukum Polda Lampung.

    III. METODE PENELITIAN

    Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang pendekatan masalah, sumber, jenis

    data, prosedur pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data.

    IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Bab ini merupakan penjelasan dan pembahasan mengenai permasalahan yang ada

    yaitu tentang Upaya Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung Dalam

    Penanggulangan Tindak Pidana Pembalakan liar (illegal logging) di wilayah

    hukum polda lampung, serta apakah yang menjadi faktor penghambat dalam

    penanggulangan tindak pidana Pembalakan liar (illegal logging) yang di lakukan

    oleh reserse kriminal khusus polda lampung.

    V. PENUTUP

    Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan yang berisikan kesimpulan dan

    saran-saran dari penulis.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Kepolisian Republik Indonesia

    1. Pengertian Kepolisian.

    Pengertian kepolisian menurut Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

    Negara Republik Indonesia adalah : Kepolisian Nasional yang merupakan alat

    negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

    menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

    kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negara .

    Polisi merupakan alat penegak hukum yang dapat memberikan perlindungan,

    pengayoman, serta mencegah timbulnya kejahatan dalam kehidupan masyarakat.

    hal ini sesuai dengan pendapat Rahardi mengatakan bahwa Kepolisian sebagai

    salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan

    ketertiban masyarakat.21

    Istilah polisi adalah sebagai organ atau lembaga

    pemerintahan yang ada dalam negara, Sedangkan istilah kepolisian adalah sebagai

    organ dan sebagi fungsi. Sebagi organ yaitu suatu lembaga pemerintahan yang

    terorganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi,

    yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab lembaga atas kuasa undang-

    undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain pemeliharaan keamanan,

    ketertiban masyarakat, penegak hukum pelindung, pengayom, pelayananan

    masyarakat.

    21

    Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, PT Laksbang Presindo: Yogyakarta, 2010, hlm. 56.

  • 14

    2. Tugas, wewenang, dan Fungsi Kepolisian.

    a. Tugas Kepolisian.

    Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mempunyai seperangkat aturan

    mengenai tugas dan wewenang yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang

    Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas dan

    wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 sampai

    dengan Pasal 19 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

    Republik Indonesia sebagai berikut :

    1. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

    Republik Indonesia.

    Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :

    a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

    b. Menegakan hukum, dan

    c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

    masyarakat.

    2. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

    Republik Indonesia.

    (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana di maksud dalam Pasal

    13 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

    a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan,dan patroli

    terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan,

    b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,

    ketertiban , dan kelancaran lalu lintas di jalan,

    c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,

    kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat

    terhadap hukum dan peraturan perundang undangan

    d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional

    e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum

  • 15

    f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap

    kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk

    pengamanan swakarsa

    g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak

    pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-

    undangan lainnya

    h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,

    laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan

    tugas kepolisian

    i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan

    lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana

    termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung

    tinggi hak asasi manusia

    j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum

    di tangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang

    k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan

    kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta

    l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-

    undangan.

    (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam Ayat (1)

    huruf f diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

    Dari tugas-tugas kepolisian tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya

    tugas kepolisian yaitu terdiri atas tugas untuk memelihara keamanan, ketertiban,

    menjamin dan memelihara keselamatan negara, orang, benda, dan masyarakat

    serta mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan-

    peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai tugas preventif dan tugas

    represif.

  • 16

    b. Wewenang Kepolisian.

    Dalam hal melaksanakan tugas dan fungsinya, Kepolisian diberi wewenang oleh

    Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

    Inonesia yaitu pada pasal 15 dan 16 yang menyebutkan bahwa :

    Menurut pasal 15 ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang

    untuk:

    1) Menerima laporan dan/atau pengaduan.

    2) Membantu menyelesaikan perselisihanwarga masyarakat yang dapat

    mengganggu ketertiban umum.

    3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.

    4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam

    persatuan dan kesatuan bangsa.

    5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan

    administratife kepolisian.

    6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan

    kepolisian dalam rangka pencegahan.

    7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.

    8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;

    9) Mencari keterangan dan barang bukti.

    10) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.

    11) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan

    dalam rangka pelayanan masyarakat.

    12) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan

    putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.

    13) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.

  • 17

    Menurut pasal 15 ayat (2), Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan berwenang untuk :

    1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan

    masyarakat lainnya (Tata cara pelaksanaan diatur dengan Peraturan

    Pemerintah).

    2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor.

    3) Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor (Tata cara

    pelaksanaan diatur dengan Peraturan Pemerintah).

    4) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik.

    5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,

    dan senjata tajam.

    6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan

    usaha di bidang jasa pengamanan.

    7) Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus

    dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian.

    8) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan

    memberantas kejahatan internasional.

    9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang

    berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait.

    10) Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian

    internasional.

    11) Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas

    Kepolisian.

    Menurut pasal 16 ayat (1), Dalam rangka menyelenggarakan tugas bidang proses

    pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

    1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.

    2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

    perkara untuk kepentingan penyidikan.

    3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

    penyidikan.

  • 18

    4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa

    tanda pengenal diri.

    5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.

    6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

    saksi.

    7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

    pemeriksaan perkara.

    8) Mengadakan penghentian penyidikan.

    9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.

    10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

    berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau

    mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka

    melakukan tindak pidana.

    11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

    negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil

    untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

    12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

    c. Fungsi Kepolisian.

    Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

    Republik Indonesia, Menyatakan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu

    fungsi Pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban

    masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan

    masyarakat.

    Sedangkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

    Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menyatakan bahwa :

    (1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia

    yang dibantu oleh :

  • 19

    a) kepolisian khusus,

    b) pegawai negri sipil dan/atau

    c) bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

    (2) Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b,

    dan c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-

    undangan yang menjadi dasar hukum masing-masing.

    3. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus).

    Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Inddonesia Nomor 22

    Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian

    Daerah, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) merupakan salah

    satu unsur pelaksana tugas pokok yang berada dibawah Kapolda.

    Ditreskrimsus bertugas menyelenggarakan penyelidikan dan penyidikan terhadap

    tindak pidana khusus, koordinasi, pengawasan operasional, dan administrasi

    penyidikan PPNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Dalam pelaksanaan tugasnya, Ditreskrimsus menyelenggarakan fungsi yaitu:

    1. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus, antara lain tindak

    pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum

    Polda;

    2. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mempelajari dan

    mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas Ditreskrimsus;

    3. Pembinaan teknis, koordinasi, dan pengawasan operasional, serta

    administrasi penyidikan oleh PPNS;

    4. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana khusus di lingkungan

    Polda; dan

    5. Pengumpulan dan pengolahan data serta menyajikan informasi dan

    dokumentasi program kegiatan Ditreskrimsus.

    Ditreskrimsus dipimpin oleh Dirreskrimsus yang bertanggung jawab kepada

    Kapolda, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolda.

  • 20

    Dirreskrimsus dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Wadirreskrimsus yang

    bertanggung jawab kepada Dirreskrimsus.

    Ditreskrmsus polda lampung terdiri dari 4 (empat) subdit yang mempunyai

    kewenangan untuk menangani tindak pidana khusus atau tertentu sesuai dengan

    apa yang telah ditentukan pada masing-masing subdit. Adapun keempat subdit

    tersebut adalah :

    1. Subdit I, yaitu mengenai tindak pidana industri, perdagangan, pangan,

    perfilman, asuransi dan investasi.

    2. Subdit II, yaitu menangani tindak pidana perbankan, uang palsu, pencucian

    uang, dan kejahatan di dunia maya (Cybercrime)

    3. Subdit III, yaitu menangani tindak pidana korupsi

    4. Subdit IV, yaitu menangani tindak pidana Lingkungan hidup, illegal

    logging, illegal fishing, illegal minning, listrik, migas, peternakan,

    kesehatan, tenaga kerja, pencegahan pemberantasan perusakan hutan, dan

    konservasi sumber daya alam.

    Dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana Pembalakan Liar (illegal

    logging) di wilayah hukum Polda Lampung, yang berwenang dalam menangani

    tindak pidana tersebut yaitu Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Lampung.

    Tugas Pokok Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Lampung yaitu :

    1. Kasubdit IV Tipidter adalah unsur pembantu DitReskrimsus Polda

    Lampung yang berada di bawah DirReskrimsus Polda Lampung.

    2. Kasubdit IV Tipidter bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan

    tindak pidana khusus yang terjadi di wilayah hukum Polda Lampung.

    3. Kasubdit IV Tipidter bertanggung jawab kepada DirReskrimsus dan dalam

    pelaksanaan tugas sehari-hari berada di bawah kendali Wadir Reskrimsus.

  • 21

    Dalam melaksanakan tugasnya, Kasubdit IV Tipidter menyelenggarakan fungsi

    menangani Tindak Pidana antara lain :

    1. Lingkungan hidup.

    2. Pertambangan (illegal minning).

    3. Kehutanan (illegal logging).

    4. Pencegahan pemberantasan perusakan hutan.

    5. Minyak dan gas bumi.

    6. Kesehatan.

    7. Praktek kedokteran.

    8. Ketenaga listrikan.

    9. Tenaga kerja.

    10. Perkebunan.

    11. Panas bumi.

    12. Energi.

    13. Konservasi sumber daya alam.

    14. Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.

    B. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana.

    Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum untuk

    istilah "strafbaar feit" dalam bahasa Belanda walaupun secara resmi tidak ada

    terjemahan resmi strafbaar feit. Pengertian Tindak Pidana menurut Simons ialah

    suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang

    hukum pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan

    kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

    Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Kejahatan atau

    perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau

    perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang

  • 22

    terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahtan dalam arti

    kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma hidup di

    masyarakat secara konkrit.22

    Menurut Pompe, Pengertian Tindak Pidana adalah Suatu pelanggaran norma

    (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak

    sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman

    terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan

    terjaminnya kepentingan hukum.23

    Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar

    hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh

    seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-

    undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

    dihukum.24

    Dalam merumuskan pengertian Tindak Pidana, Simons memberikan unsur-unsur

    tindak pidana sebagai berikut :25

    1. Perbuatan manusia

    2. Diancam dengan pidana

    3. Melawan hukum

    4. Dilakukan dengan kesalahan

    5. Orang yang mampu bertanggung jawab

    22 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung : universitas Lampung, 2011, hlm. 69. 23

    Tri Andrisman, Ibid, hlm.70. 24

    Tri Andrisman, Ibid 25

    Tri Andrisman, Op. Cit, hlm. 72.

  • 23

    Moeljatno juga merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :26

    1. Perbuatan (manusia)

    2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang

    3. Bersifat melawan hukum

    C. Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging).

    Pengertian illegal logging dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41

    Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak disebutkan secara jelas, begitupun dalam

    peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara terminologi dalam

    Kamus Kehutanan definisi illegal logging dijelaskan secara terpisah.27

    Illegal

    artinya suatu tindakan yang dilakukan subjek hukum di luar ketentuan yang

    bersifat melawan hukum dan/atau bertentangan dengan hukum perundang-

    undangan kehutanan, sedangkan Logging adalah kegiatan pembalakan pohon

    dalam rangka pemungutan hasil hutan.

    Sementara itu, menurut Sukardi bahwa Illegal logging secara harfiah yaitu

    menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan

    dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.28

    Sedangkan menurut Prasetyo,

    mengungkapkan ada 7 dimensi dari kegiatan illegal logging yaitu:29

    1) Perizinan, apabila ada kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada

    izinnya atau izin yang telah kadaluarsa;

    2) Praktik, apabila pada praktiknya tidak menerapkan praktik logging yang

    sesuai peraturan;

    26

    Tri Andrisman, Ibid, hlm. 72 27

    Alam setia Zein. Kamus Kahutanan. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 2003. Hal. 75 dan 102. 28

    Supriadi.Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta. Sinar grafika. 2010.

    Hal. 298. 29

    Risa Suarga. Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktek Premanisme Global.

    Tangerang, Wana Aksara. 2005. Hal 7.

  • 24

    3) Lokasi, apabila dilakukan di luar lokasi izin, menebang dikawasan

    konservasi/lindung, atau usul lokasi tidak dapat ditunjukkan;

    4) Produk kayu apabila kayunya sembaran jenis (dilindungi), tidak ada batas

    diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal

    perusahaan;

    5) Dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu;

    6) Melakukan perbuatan melanggar hukum bidang kehutanan, dan;

    7) Penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri

    fisik kayu atau kayu diselundupkan.

    Namun esensi dari illegal logging adalah perusakan hutan yang akan berdampak

    pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Oleh

    karena kegiatan itu tidak melalui proses perencanaan secara komperhensif, maka

    illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak

    pada perusakan lingkungan.30

    Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam UU

    No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 14

    yaitu bahwa: Perusakan lingkungan hidup adalah suatu tindakan yang

    menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik atau hayatinya yang

    mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang

    pembangunan berkelanjutan.

    Pada dasarnya kejahatan illegal logging, secara umum kaitannya dengan unsur-

    unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan ke dalam

    beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu :

    30

    IGM. Nurdjana dkk.. Korupsi dan Illegal Logging dalam Desentralisasi Indonesia. Yogyakarta.

    Pustaka Pelajar. 2005. Hal 15.

  • 25

    1) Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP).

    Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging

    berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem

    pengeloalaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan

    pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi

    hutan. Illegal logging pada hakekatnya merupakan kegiatan yang

    menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak memiliki izin secara

    resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang

    ada dalam perizinan itu seperti over atau penebangan diluar areal konsesi

    yang dimiliki.

    2) Pencurian (Pasal 362 KUHP).

    Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari

    kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu

    tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang mangatur

    tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu,

    sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan

    yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang

    bukan menjadi haknya menurut hukum.

    3) Penyelundupan.

    Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara

    khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam KUHP yang

    merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur

    tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan penyelundupan sering hanya

    dipersamakan dengan delik pencurian oleh karena memiliki persamaan

    unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan

    pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan kayu (peredaran kayu

    secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan illegal logging dan

    merupakan perbuatan yang dapat dipidana.

    Namun, Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999, yang

    mengatur tentang membeli, menjual dan atau mengangkut hasil hutan yang

    dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai suatu perbuatan

    penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak jelas mengatur

  • 26

    siapa pelaku kejahatan tersebut, apakah pengangkut, sopir, nahkoda kapal,

    atau pemilik kayu. agar tidak menimbulkan kontra interpretasi maka

    unsur-unsur tentang penyelundupan ini perlu diatur tersendiri dalam

    perundang-undangan tentang ketentuan pidana kehutanan.

    4) Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP).

    Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263

    KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat

    surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam

    hal ini adalah yang dapat menerbitkan suatu hal, suatu perjanjian,

    pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu keterangan

    perbuatan atau peristiwa.

    Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini

    adalah penjara paling lama 6 Tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun.

    Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus

    operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalam melakukan

    kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

    (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan

    keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara

    tegas dalam Undang-undang kehutanan.

    5) Penggelapan (Pasal 372 377KUHP).

    Kejahatan illegal logging antara lain seperti over cutting yaitu penebangan

    di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kota

    yang ada (over capasity), dan melakukan penebangan sistem terbang habis

    sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, mencantumkan

    data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang

    sebenarnya.

    6) Penadahan (Pasal 480 KUHP).

    Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain

    dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat.

    Penadahan dalam bahasa asingnya heling (Penjelasan Pasal 480 KUHP).

    Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo, bahwa perbuatan itu dibagi

    menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang diketahui atau

  • 27

    patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau

    menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil

    kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama 4

    Tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

    D. Penyelidikan dan Penyidikan Tidak Pidana Pembalakan Liar (illegal

    logging).

    1. Penyelidikan

    Penyelidikan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

    menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai tindak pidana guna menentukan

    dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur undang-

    undang ini. Sedangkan penyelidik berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 kitab

    undang-undang Hukum Acara Pidana adalah pejabat Polisi Negara Republik

    Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

    penyelidikan.

    2. Penyidikan.

    A. Pengertian

    Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan pemulaan oleh

    pejabat-pejabat yang untuk itu di tunjuk oleh undang-undang segera setelah

    mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada

    terjadi suatu pelanggaran hukum.31

    Penyidikan berdasarkan ketentuan yang diatur

    dalam Pasal 1 angka 2 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah

    serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam

    undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna

    31

    Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (suatu tinjauan khusus terhadap suatu dakwaan,Eksepsi,

    dan putusan peradilan), Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2002,hlm, 19.

  • 28

    menemukan tersangkanya. Sedangkan penyidik diatur dalam Pasal 1 angka 1

    Kitab Undang-Udang Hukum Acara Pidana yang menjelaskan bahwa penyidik

    adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil

    tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

    penyidikan. Kemudian penyidikan terhadap tindak pidana pembalakan liar (illegal

    logging), juga diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

    tentang Kehutanan, yaitu :

    1) Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    menjelaskan bahwa Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik

    Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan

    tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus

    sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum

    Acara Pidana.

    2) Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    menjelaskan bahwaPejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1), berwenang untuk:

    a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang

    berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

    hutan, dan hasil hutan;

    b) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan

    tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil

    hutan;

    c) memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan

    hutan atau wilayah hukumnya;

    d) melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana

    yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan

    ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

    e) meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum

    sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan

    hutan, dan hasil hutan;

  • 29

    f) menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik

    Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang

    Hukum Acara Pidana;

    g) membuat dan menanda-tangani berita acara;

    h) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang

    adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan

    hasil hutan.

    3) Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    menjelaskan bahwa Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan

    menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab

    Undang-undang Hukum Acara Pidana.

    B. Aturan Hukum Penyidikan Tindak Pidana kehutanan.

    Polri selaku alat negara penegak hukum sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bertugas melaksanakan penyidikan perkara

    berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hukum dan

    perundang-undangan yang menjadi porsi tugas Polri untuk ditegakkan adalah

    semua hukum pidana baik yang tercantum dalam KUHP maupun di luar KUHP

    termasuk peraturan daerah. Upaya penegakan hukum melalui suatu proses

    penyidikan perkara tersebut pada hakekatnya adalah merupakan suatu tindakan

    yang bersifat pembatasan, pengekangan hak-hak asasi seseorang dalam rangka

    usaha untuk memulihkan terganggungnya keseimbangan antara kepentingan

    umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat.

    Didalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa ada dua pejabat yang

    berkedudukan sebagai Penyidik tindak pidana kehutanan, yaitu Penyidik Polri dan

    Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Penyidik Polri memiliki kewenangan

  • 30

    sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP sedangkan untuk

    PPNS kewenangannya sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar

    hukumnya masing-masing, untuk PPNS kehutanan kewenangannya diatur dalam

    Pasal 77 Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 39

    Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dan

    Ekosistemnya (KSDA). Tugas penyidik polri dalam melaksanakan penyidikan

    tindak pidana kehutanan sesuai peraturan Kapolri No. 20 tahun 2010 tentang

    Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan bagi PPNS meliputi :

    1. Tugas penyidik polri sebagai Koordinator:

    a) Menerima Laporan dan pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan

    (SPDP) oleh PPNS serta meneruskannya ke Penuntut Umum.

    b) Mengikuti perkembangan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh

    PPNS.

    c) Memberikan dukungan secara aktif kepada PPNS.

    d) Memberikan Juknis penyidikan kepada PPNS.

    e) Menerima pemberitahuan tentang penghentian penyidikan (SP3) oleh

    PPNS untuk diteruskan kepada Penuntut Umum.

    f) Memberikan bantuan penyidikan berupa bantuan teknis sari fungsi

    forensik, identifikasi dan Psikologi Polri.

    g) Menerima penetapan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh PPNS

    dan meneruskan kepada Penuntut Umum .

    2. Tugas penyidik polri sebagai Pengawas:

    a) Mengikuti perkembangan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh

    PPNS;

    b) Menghadiri dan memberikan petunjuk dalam gelar perkara yang

    dilaksanakan PPNS;

    c) Meminta laporan kemajuan penyidikan;

  • 31

    d) Mempelajari berkas perkara hasil penyidikan PPNS dan meneruskannya

    kepada Penuntut Umum apabila telah memenuhi persyaratan formil dan

    materiil;

    e) Mengembalikan berkas perkara kepada PPNS disertai petunjuk untuk

    disempurnakan, apabila belum memenuhi persyaratan;

    f) Memberikan petunjuk dalam penghentian penyidikan

    g) Melaksanakan supervise.

    Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang

    oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 angka 4

    KUHAP). Menurut Pasal 4 KUHAP penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara

    Republik Indonesia, dari ketentuan ini maka dapat diartikan bahwa:

    a) Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia, dari

    pangkat terendah sampai pangkat tertinggi;

    b) Tidak ada pejabat lain yang berkedudukan sebagai penyelidik dan

    berwenang melakukan penyelidikan.

    Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, dalam ketentuan Pasal 51

    Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, pejabat kehutanan tertentu diberi

    wewenang kepolisian khusus yang kewenangannya mirip dengan kewenangan

    penyelidik polri.Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004

    tentang Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa pejabat kehutanan tertentu yang

    diberi wewenang kepolisian khusus meliputi :

    a) Pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional polisi

    kehutanan;

    b) Pegawai perusahaan umum kehutanan Indonesia (perum perhutani) yang

    diangkat sebagai polisi kehutanan;

  • 32

    c) Pejabat struktural instansi kehutanan pusat maupun daerah yang sesuai

    dengan tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan tanggung jawab

    dibidang perlindungan hutan.

    Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus tersebut di atas dalam ketentuan

    Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 diberi wewenang untuk:

    a) Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah

    hukumnya;

    b) Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan

    hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;

    c) Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut

    hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;

    d) Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang

    menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;

    e) Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk

    diserahkan kepada yang berwenang; dan

    f) Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak

    pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.

    Pada Pasal 36 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 menyebutkan

    bahwa atas perintah pimpinan polisi kehutanan berwenang untuk melakukan

    penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka.

    Dengan demikian

    walaupun undang-undang kehutanan dan peraturan pelaksananya tidak secara

    inplisit memberi wewenang kepada pejabat kehutanan tertentu untuk dapat

    menjadi penyelidik dan melakukan tugas-tugas penyelidikan sebagaimana

    penyelidik Polri, kewenangan tersebut melekat pada tugas dan kewenangan polisi

    kehutanan, yang membedakannya yaitu :

  • 33

    a) Kewenangan tugas polisi kehutanan terbatas hanya pada tindak pidana

    dibidang kehutanan saja, sedangkan penyelidik polri untuk semua tindak

    pidana ;

    b) Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk menyuruh berhenti

    seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal

    diri sebagaimana penyelidik polri, sehingga untuk tugas tersebut

    diperlukan koordinasi dengan Penyidik Polri ;

    c) Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk mengadakan tindakan

    lain menurut hukum yang bertanggung jawab sebagaimana penyelidik

    polri, sehingga Polisi kehutanan bertindak perlu koordinasi dengan

    Penyidik Polri, kecuali dalam hal tertangkap tangan ;

    d) Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan

    dan penggeledahan sebagaimana penyelidik polri atas perintah penyidik,

    sehingga dalam hal melakukan penyitaan dan penggeledahan Penyidik

    Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perlu koordinasi dengan Penyidik Polri ;

    e) Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan membawa dan

    menghadapkan seseorang kepada penyidik sebagaimana penyelidik polri

    yang atas perintah penyidik dapat membawa dan menghadapkan seseorang

    kepada penyidik.

    Konsep fungsi kepolisiaan Republik Indonesia dalam tindak pidana kehutanan

    diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara

    Republik Indonesia. Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 menyatakan

    bahwa kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang

    pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan

    dan pelayanan kepada masyarakat. Selain memiliki fungsi dalam pemerintah

    negara, Polri juga memiliki peran dalam rangka menciptakan keamanan dan

    ketertiban. Peran Polri di atur dalam Pasal 5 menyatakan:

  • 34

    a) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang

    berperan dalam memilihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

    menegakkan hukum, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

    dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

    b) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang

    merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana

    dimaksud dalam Ayat (1).

    Untuk menjalankan fungsi dalam sistem pemerintah Negara RI, maka Polri

    mempunyai tugas pokok yaitu menegakkan hukum, memilihara keamanan dan

    ketertiban masyarakat dan memberikan perlindungan serta pengayoman dan

    pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan yang di berikan kepada Polri dan

    keterkaitan dengan penegakan hukum pidana. Adapun yang berwenang

    melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Kehutanan adalah :

    a) Penyidik Polri, diatur didalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a KUHAP. Polri

    berwenang melakukan penyidikan tindak pidana, kecuali tindak pidana

    yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia (Undang-

    Undang No. 5 Tahun 1983 Pasal 14 Ayat (1) dan tindak pidana mengenai

    perikanan tersebut dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 yang terjadi

    di wilayah perairan indonesia.

    b) Penyidik Pegawai Negeri Sipil berwenang melakukan penyidikan tindak

    pidana Kehutanan sesuai dengan wewenang khusus yang di berikan oleh

    undang-undang yang menjadi dasar pembentukannya. Dengan demikian

    PPNS Departemen Kehutanan yang ada di lingkungan Kementerian

    Kehutanan hanya berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak

    pidana Kehutanan yang diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999,

    tentang Kehutanan.

    c) Penyidik Perwira Angkatan Laut (AL) berwenang melakukan penyidikan

    tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 yang

    terjadi di ZEE Pengelolaan barang Indonesia dan tindak pidana perikanan

  • 35

    dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 yang terjadi di wilayah perairan

    Indonesia.

    Dengan memberikan sanksi Pidana kepada pelaku kejahatan Penebangan Liar

    (illegal logging), merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam

    rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari

    pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum

    di bidang kehutanan (termasuk melakukan penebangan liar) ini bermaksud agar

    dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan di bidang kehutanan. Efek

    jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak

    pidana kehutanan, tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam

    bidang kehutanan menjadi enggan dan harus berpikir berkali-kali untuk

    melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat.

    Ketentuan pidana yang dimuat dalam Pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang No.

    41 Tahun 1999 mengandung unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum bagi

    polri dalam menjalankan fungsinya untuk penegakan hukum pidana terhadap

    kejahatan penebangan liar (illegal logging), yaitu:

    a) Merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan;

    b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan;

    c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan

    undang-undang;

    d) Menebang pohon tanpa izin;

    e) Menerima, membeli atau menjual hasil hutan yang diketahui atau patut

    diduga sebagai hasil hutan illegal;

    f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan

    Sah Hasil Hutan,

    g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain di dalam kawasan hutan tanpa

    izin.

  • 36

    E. Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Tindak Pidana Pembalakan Liar

    (illegal logging)

    Pembuktin terhadap tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) dilakukan

    dengan melihat tata cara pembuktian baik itu yang diatur dalam Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana dan juga yang diatur dalam Undang-Undang

    Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan

    Hutan. Sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana indonesia diatur

    dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur

    bahwa : hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

    dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah iya memperoleh keyakinan

    bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

    bersalah melakukannya.

    Dari Pasal tersebut mengatakan bahwa putusan hakim harus di dasarkan pada dua

    syarat, yaitu:

    a) Minimum dua alat bukti, dan

    b) Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa

    bersalah melakukan tindak pidana.

    Berdasarkan hal tersebut, proses penyidikan tindak pidana Pembalakan liar harus

    memperoleh alat bukti yang cukup agar tindak pidana yang terjadi tersebut dapat

    dibuktikan di persidangan dan pelakunya di hukum berdasarkan dengan hukuman

    yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  • 37

    1. Alat Bukti Dalam Tindak PidanaPembalakan Liar (illegal logging).

    Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pembuktian tindak pidana

    pembalakan liar dapat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-

    Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun1999 tentang

    Kehutanan. Macam-macam alat bukti tersebut diatur dalam Pasal 184 ayat (1)

    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu sebagai berikut : Keterangan

    saksi, Keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti Petunjuk, dan Keterangan

    terdakwa.

    a) Keterangan saksi.

    Saksi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum

    Acara Pidana adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna

    kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara

    pidana yang ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan yang ia alami

    sendiri.sedangkan yang dimaksut dengan keterangan saksi dalam Pasal 1

    angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah salah satu alat

    bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu

    peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri

    dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

    b) Keterangan ahli.

    Keterangan ahli dalam ketentuan Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana adalah keterangan yang diberikan seseorang yang

    memiliki keahlian khusus tentang hal yang dapat diperlukan untuk membuat

    terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan yang

    dimaksut dengan keterangan ahli dalam Pasal 186 Kitab Undang-Undang

  • 38

    Hukum Acara Pidana ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam

    persidangan. Peran seorang ahli dalam pengungkapan tindak pidana

    pembalakan liar merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi, mengingat

    metode dan cara-cara yang dilakukan memiliki karakter yang berbeda dengan

    tindak pidana biasa. Kedudukan seorang ahli dalam menerangkan atau

    menjelaskan alat bukti, dalam hal ini akan sangat penting dalam memberikan

    keyakinan pada hakim dalam memutus suatu perkara.32

    c) Alat bukti surat.

    Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas

    sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :

    1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

    umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat

    keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,dilihat atau yang

    dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang

    keterangannya itu.

    2. Surat yang dibuat meneurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau

    surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana

    yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian

    suatu keadaan

    3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

    keahlian mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara

    resmi dari padanaya

    4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

    alat pembuktian yang lain.

    32

    Ibid, hlm.466.

  • 39

    d) Alat bukti petunjuk.

    Petunjuk berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1) Kitab

    Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah perbuatan, kejadian, atau

    keadaaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang

    lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendri, menandakan bahwa telah

    terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

    e) Alat bukti keterangan terdakwa.

    Keterangan terdakwa dalam Pasal189 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

    Acara Pidana ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan

    yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

    2. Barang bukti .

    Barang bukti atau corpus delicti adalah barang mengenai mana delik dilakukan

    (objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai

    untuk melakukan delik, termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, barang

    yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana.33

    Barang bukti dengan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan

    rangkaian yang tidak terpiahkan. Dalam persidangan setelah semua alat bukti

    diperiksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Selain itu

    juga akan berperan dalam memberikan keyakinan pada hakim dalam memutus

    suatu perkara.34

    Dalam Pasal 44 Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang

    Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, menjelaskan bahwa barang

    bukti dalam tindak pidana pembalakan liar dapat berupa :

    33

    Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia, 1986, hlm. 100. 34

    Edmon Makarim, Op.Cit, hlm.479.

  • 40

    (1) Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan

    kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi

    dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian.

    (2) Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan

    konservasi dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial.

    (3) Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan

    konservasi dapat dilelang karena dapat cepat rusak atau biaya

    penyimpanannya terlalu tinggi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan.

    (4) Hasil lelang kayu sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disimpan di

    bank pemerintah sebagai barang bukti perkara di pengadilan.

    (5) Peruntukan barang bukti perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

    dilaksanakan sesuai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan

    hukum tetap.

    Dalam hal penyitaan barang bukti, menurut pasal 1 butir 16 KUHAP, Penyitaan

    adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan

    di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak

    berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan

    peradilan. Sedangkan tujuan dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian,

    terutama ditujukan sebagai barang bukti dimuka sidang pengadilan.

  • 41

    F. Teori Upaya dan Faktor Penghambat.

    a. Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan.

    Upaya adalah usaha untuk melakukan sesuatu setelah adanya peristiwa.35

    Usaha

    penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga

    merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum

    pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik/kebijakan hukum

    pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Kebijakan atas

    penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian dari integral dari

    upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.36

    Upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana pada hakekatnya juga

    merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Upaya kepolisian dalam

    menanggulangi tindak pidana dikenal dengan berbagai istilah, seperti penal

    policy, dan criminal policy. Yang merupakan salah satu usaha untuk

    menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional yaitu

    memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan

    terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku

    kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat di

    integrasikan satu dengan yang lainnya.

    Upaya kepolisian merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy).

    Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai

    35

    Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa,1990, Kamus Besar Bahasa

    Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.120. 36

    Badar Nawawi Arief, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam

    Penanggulangan Kejahatan, PT.Citra Aditya Bakti, Semarang, 1997, hlm.48.

  • 42

    kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup

    perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat

    dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah

    perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.

    Penegakan hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum

    pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerjanya dan terwujudnya secara

    kongkrit. oleh karena itu upaya reserse kriminal khusus polda lampung dalam

    melakukan penanggulangan tindak pidana pembalakan liar (illegal logging)

    dilakukan dengan menggunakan:

    1) Menggunakan upaya penal (hukum pidana).

    2) Menggunakan upaya non penal.

    Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penal menitikberatkan pada sifat

    represif (penumpasan atau pemberantasan) setelah suatu tindak pidana terjadi.

    Masalah dalam kebijakan criminal dengan menggunakan sarana penal (hukum

    pidana) adalah masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan

    tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan si

    pelanggar.37

    Kebijakan non penal menitikberatkan pada sifat preventif

    (pencegahan, penangkalan, atau pengendalian) sebelum suatu tindak pidana

    terjadi. Didalam upaya untuk menanggulangi suatu kejahatan terdapat dua cara

    yaitu, secara preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan) dan secara

    represif (suatu tindakan sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula

    masing-masing upaya tersebut:

    37

    Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,2002. hlm. 68.

  • 43

    1. Tindakan Preventif.

    Tindakan preventif adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau

    menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom Samsudin

    M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah

    kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab

    bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan

    mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.

    Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting

    adalah :

    1) Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan preventif dalam

    arti sempit;

    2) Preventif kejahatan dalam arti sempit meliputi :

    a) Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat

    memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu

    berbuat jahat.

    b) Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan

    dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab

    timbulnya kejahatan, Misalnya memperbaiki ekonmi (pengangguran,

    kelaparan, mempertinggi peradapan, dan lain-lain);

    3) Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan

    dengan berusaha menciptakan;

    a) Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik.

    b) Sistem peradilan yang objektif.

    c) Hukum (perundang-undangan) yang baik.

    4) Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patroli yang teratur;

    5) Pervensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usaha prevensi

    kejahatan pada umumnya.38

    38

    Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT.Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981,

    hlm. 15.

  • 44

    2. Tindakan Represif

    Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak

    hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan respresif lebih

    dititikberatkan terhadap orang yang mel