UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM …digilib.unila.ac.id/55005/3/SKRIPSI TANPA BAB...
Transcript of UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM …digilib.unila.ac.id/55005/3/SKRIPSI TANPA BAB...
-
UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR (ILLEGAL LOGGING)
DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG.
Skripsi
Oleh
MASAGUS ZUNAIDI TRISNA PUTRA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
http://www.kvisoft.com/pdf-merger/ -
ABSTRAK
UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR (ILLEGAL LOGGING)
DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG
Oleh
MASAGUS ZUNAIDI TRISNA PUTRA
Tindak Pidana Illegal Logging diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan. Kepolisian dalam melaksanakan tugasnya untuk
menjaga keamanan, kenyamanan dan ketentraman masyarakat, menempuh
berbagai upaya dalam menanggulangi tindak pidana Pembalakan Liar (illegal
logging) tersebut. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah :
(1).Bagaimanakah upaya Reserse Kriminal Khusus dalam penanggulangan Tindak
Pidana Pembalakan Liar (Illegal Logging) di Wilayah Hukum Polda Lampung ?
(2).Apakah faktor Penghambat bagi Reserse Kriminal Khusus dalam
penanggulangan Tindak Pidana Pembalakan Liar (Illegal Logging) di Wilayah
Hukum Polda Lampung ?
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
secara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris. Narasumber dalam
penelitian ini berasal dari pihak Kepolisian khususnya bagian Direktorat Reserse
Kriminal Khusus Polda Lampung, dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka
dan studi lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat di simpulkan bahwa :
(1) Upaya yang dapat dilakukan oleh pihak kepolisian khususnya bagian
Direktorat Reserse Kriminal Khusus dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Pembalakan Liar (illegal logging) di Wilayah Hukum Polda Lampung adalah
dengan menggunakan beberapa upaya yaitu : Upaya Preventif (pencegahan), dan
upaya Represif (tindakan). Upaya-upaya tersebut dilakukan berkenaan dengan
upaya penal dan non-penal. (2) faktor-faktor yang menghambat upaya kepolisian
khususnya bagian Direktorat Reserse Kriminal Khusus dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging) di Wilayah Hukum Polda
Lampung adalah : a). faktor penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih
kurangnya personil penyidik yang khusus melakukan penyidikan terhadap tindak
-
Masagus Zunaidi Trisna Putra
pidana pembalakan liar (illegal logging), serta tidak seimbangnya jumlah personil
dengan luas lahan hutan yang harus diawasi. b). faktor sarana dan prasarana yang
kurang memadai merupakan salah satu faktor penghambat kepolisian dalam upaya
penanggulangan suatu kejahatan. c). faktor masyarakat yaitu masih kurangnya
kesadaran hukum bagi masyarakat akan pemahaman mengenai aturan-aturan yang
mengatur tentang kehutanan, serta belum optimalnya peran serta masyarakat
dalam upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelaku pembalakan liar
menjadi salah satu faktor penghambat dalam upaya penanggulangan kejahatan ini.
Kata Kunci : Upaya Reserse Kriminal Khusus, Penanggulangan, Pembalakan liar
(illegal logging).
-
UPAYA RESERSE KRIMINAL KHUSUS DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR (ILLEGAL LOGGING)
DI WILAYAH HUKUM POLDA LAMPUNG.
Oleh
MASAGUS ZUNAIDI TRISNA PUTRA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA HUKUM
Pada
BAGIAN HUKUM PIDANA
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 10 Januari 1995.
Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara buah hati dari
pasangan Bapak Masagus Komar dan Ibu Murtanti.
Penulis menempuh jenjang pendidikan pertama kali pada taman kanak-kanak (TK
Riana Al-Amin) pada tahun 1999, lalu melanjutkan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1
Sawah Lama dan diselesaikan pada tahun 2006, Lalu melanjutkan Sekolah Menengah
Pertama (SMP) Negeri 4 Bandar Lampung, diselesaikan pada tahun 2009, dan
melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bandar Lampung, diselesaikan
pada tahun 2012.
Pada tahun 2012 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung melalui jalur Undangan dan Mengambil minat bagian Hukum Pidana.
Selain itu, Pada Tahun 2015 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa
Bandar Anom Kecamatan Rawajitu Utara Kabupaten Mesuji.
-
MOTTO
Hidup itu indah, jadi teruslah bersyukur maka engkau akan
mengetahui arti kebahagiaan.
Tidak ada kata terlambat dalam hidup ini, segeralah bangkit
untuk memperbaikinya dan berusahalah untuk menjadi yang
lebih baik.
(Masagus Zunaidi Trisna Putra)
Bercita-citalah Setinggi Langit karena jika kamu terjatuh
kamu akan terjatuh
di antara bintang-bintang.
(Ir. Soekarno)
-
PERSEMBAHAN
Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati
kupersembahkan skripsiku ini kepada:
Bapakku Masagus Komar dan Ibuku Murtanti
Yang selama ini telah banyak berkorban, selalu berdoa dan menantikan
keberhasilanku
Kepada Kakak-kakakku Masagus Zulkarnain Prima Putra. SE dan
Masagus Zailani Dwi Putra, S.TK
Yang selalu memberikan semangat, dukungan, doa, dan motivasi untuk
keberhasilanku
Almamater tercinta Universitas Lampung
Tempatku memperoleh ilmu dan merancang mimpi yang menjadi sebagian
jejak langkahku untuk menuju kesuksesan
-
SANWACANA
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Upaya Reserse Kriminal Khusus
Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging). Sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas bantuan
dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh keluarga dan sahabatnya.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof Dr. Maroni, S.H., M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
2. Bapak Eko Rahardjo, S,H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum.
3. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum.
4. Ibu Firganefi, S.H., M.H selaku Pembimbing I atas kesabaran dan kesediaan
meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap
pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
5. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang telah bersedia
untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya,
memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
-
6. Bapak Prof Dr. Sunarto, S.H., M.H selaku Pembahas I yang telah memberikan
kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.
7. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H selaku Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.
8. Ibu Yenni Agustin MR, S.H., M.H sebagai Pembimbing Akademik yang telah
membantu untuk membimbing dan mengarahkan penulis selama menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.
9. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta
segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi.
10. Bapak Bripka Nanang Tranggono selaku penyidik Polda Lampung yang telah
membantu memberikan data untuk penulisan hasil skripsi ini.
11. Bapak Bripka Wilson Buana selaku penyidik Polda Lampung yang telah
membantu memberikan data untuk penulisan hasil skripsi ini.
12. Ibu dr.Erna Dewi SH, MH selaku Akademisi Fakultas Hukum yang telah
membantu memberikan masukan dan saran untuk penulisan hasil skripsi ini.
13. Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Masagus Komar yang penulis banggakan dan Ibu Murtanti tercinta yang telah
banyak memberikan dukungan, motivasi dan pengorbanan baik secara moril
maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dengan baik.
Terimakasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan,
membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam
kebahagiaan.
14. Kakak-kakakku tercinta Masagus Zulkarnain Prima Putra, SE, dan Masagus
Zailani Dwiputra S.TK. atas semua dukungan, motivasi, doa, dan
semangatnya yang diberikan untuk adikmu.
15. Sahabat-Sahabat terbaikku yang dari awal perkuliahan sudah memberikan
semangat, dukungan dalam perkuliahan dan kerjasama dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
-
16. Teman-teman KKN Desa Bandar Anom kecamatan Rawajitu Utara
Kabupaten Mesuji, terimakasih telah memberikan pengalaman yang baru,
kebersamaan, dan kenangan selama 60 harinya.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua doa, motivasi,
bantuan dan dukungannya.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan
kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam
penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis
dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.
Bandar Lampung, Desember 2018
Penulis,
Masagus Zunaidi Trisna Putra
-
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ................................................................... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................................... 6
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ................................................................... 7
E. Sistematika Penulisan .................................................................................... 11
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepolisian Republik Indonesia ...................................................................... 13
B. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana.................................................... 21
C. Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging) ......................................... 23
D. Penyelidikan dan Penyidikan Tidak Pidana Pembalakan Liar
(illegal logging)............................................................................................... 27
E. Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Tindak Pidana Pembalakan Liar
(illegal logging) .............................................................................................. 36
F. Teori Upaya dan Faktor Penghambat ............................................................. 41
III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah ....................................................................................... 48
B. Sumber dan Jenis Data ................................................................................... 48
C. Penentuan Narasumber .................................................................................. 50
D. Pengumpulan Data ......................................................................................... 51
E. Analisis Data .................................................................................................. 52
-
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Upaya Reserse Kriminal Khusus dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging) di Wilayah Hukum
Polda Lampung ............................................................................................... 53
B. Faktor Penghambat bagi Reserse Kriminal Khusus dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Pembalakan Liar (illeggal logging)
di Wilayah Hukum Polda Lampung ................................................................ 67
V PENUTUP
A. Simpulan ......................................................................................................... 77
B. Saran................................................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA
-
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hutan sebagai sumber kekayaan alam milik bangsa Indonesia merupakan salah
satu modal dasar bagi pembangunan nasional yang dipergunakan untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat yang telah dijelaskan dalam pasal 33 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan
tumbuhan lainnya. Hutan merupakan sistem penggunaan lahan yang tertutup dan
tidak ada campur tangan manusia, masuknya kepentingan manusia secara terbatas
seperti pengambilan hasil hutan untuk subsistem tidak mengganggu hutan dan
fungsi hutan. Tekanan penduduk dan tekanan ekonomi yang semakin besar,
mengakibatkan pengambilan hasil hutan semakin intensif (penebangan kayu).
Penebangan hutan juga dilakukan untuk kepentingan yang lain, misalnya untuk
mengubah menjadi ladang pertanian atau perkebunan. Akibat dari gangguan-
gangguan hutan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan fungsi hutan.
1 Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembanguna Bidang Kehutanan, Jakarta utara: PT
Rajagrafindo.1995, hlm 119.
-
2
Perubahan-perubahan tersebut lebih menekankan kearah fungsi ekonomi dengan
mengabaikan fungsi sosial atau fungsi ekologis.2
Dalam memanfaatkan hutan yang merupakan sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, diperlukan sistem pengelolaan hutan yang bijaksana. Salah satunya
ialah dengan menerapkan prinsip kelestarian.3Untuk mencapai tujuan tersebut,
maka pemahaman tentang hutan sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan
serta dipahami oleh semua insan yang memanfaatkan hutan demi kehidupannya
melalui penguasaan ilmu dan seni serta teknologi hutan dan kehutanan.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang selanjutnya disebut UU Kehutanan, dalam Pasal 1 ayat (2)
menjelaskan bahwa, yang dimaksud hutan adalah Suatu ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
Undang-undang Kehutanan mengamanahkan dalam konsideran butir 1 bahwa
Hutan wajib disyukuri, diurus, dimanfaatkan secara optimal serta dijaga
kelestariannya untuk kemakmuran rakyat bagi generasi sekarang maupun
mendatang. Dengan demikian, fungsi-fungsi hutan tersebut pada hakikatnya
merupakan modal alam (natural capital) yang harus ditransformasikan menjadi
modal nyata (real capital) bangsa Indonesia yang bertujuan antara lain untuk :
2 http://angsanatirta.blogspot.co.id/2012/06/makalah-plh-hutan.html
3 http://imankuncoro.wordpress.com/2008/08/31/diktat-pengantar-ilmu-kehutanan/ di akses pada
hari rabu tanggal 13 Februari 2013 pukul 13.35 wita.
-
3
melestarikan lingkungan hidup, meningkatkan nilai tambah pendapatan,
mendorong ekspor non migas dan gas bumi, menyediakan lapangan pekerjaan dan
mendorong pembangunan sektor-sektor usaha non kehutanan.
Undang-Undang Kehutanan juga menjelaskan bahwa, fungsi pokok hutan terdiri
dari tiga yaitu, fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi yang perlu
dijaga keberlangsungannya untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan
berkelanjutan. Oleh karena itu pengawasan terhadap hutan sangat penting melihat
dari fungsi tersebut.4
Pengertian penebangan liar (illegal logging) dalam Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak disebutkan
secara jelas, begitupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain. Namun
secara terminologi dalam Kamus Kehutanan definisi illegal logging dijelaskan
secara terpisah.5 Illegal artinya suatu tindakan yang dilakukan subjek hukum di
luar ketentuan yang bersifat melawan hukum dan atau bertentangan dengan
hukum perundang-undangan kehutanan, sedangkan Logging adalah kegiatan
pembalakan pohon dalam rangka pemungutan hasil hutan. Sukardi juga
berpendapat bahwa, Illegal logging secara harfiah yaitu menebang kayu kemudian
membawa ke tempat gergajian yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah
menurut hukum.6
4 Wikipedia Bahasa Indonesia. Pembalakan Liar. http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama di
akses pada hari rabu tanggal 13 Februari 2013 pukul 14.35 wita. 5 Alam setia Zein. Kamus Kahutanan. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 2003. Hal. 75 dan 102.
6 Supriadi.Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta. Sinar grafika. 2010,
Hal. 298.
-
4
Tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) di indonesia telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Untuk
memaksimalkan penegakan peraturan hukum, pihak kepolisian turut serta untuk
menegakkan peraturan hukum tersebut dengan membuat Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah. Ditreskrimsus
berdasarkan peraturan kepala kepolisian tersebut merupakan salah satu unsur
pelaksana tugas pokok kepolisin yang mempunyai tugas dalam menegakan hukum
terhadap tindak pidana khusus dan tertentu di wilayah hukum kepolisian daerah,
termasuk di dalamnya adalah tindak pidana pembalakan liar (illegal logging).
Tindak pidana pembalakan liar (Illegal logging) di Lampung telah banyak terjadi,
kejahatan ini dinilai sangat meresahkan dan sangat membuat ketakutan bagi
masyarakat, Seperti dalam beberapa kasus pembalakan liar yang terjadi di
Provinsi Lampung sebagai berikut :
Kepolisian Resort (Polres) Lampung Selatan, akhirnya menetapkan
tersangka dalam kasus pembalakan liar di kawasan register 17 Katibung
Lampung Selatan.7 Dalam kasus pembalakan liar tersebut, aparat
Kepolisian mengamankan puluhan potong kayu jati yang dimuat dalam
tiga truk yang ditaksir bernilai ratusan juta rupiah. Kasat Reskrim Polres
Lamsel, AKP. Rizal Efendi mengatakan, setelah melakukan gelar perkara
pada Selasa (8/3/2016) kemarin, telah ditetapkan dua tersangka dalam
kasus tersebut. "Setelah dilakukan gelar perkara, kami tetapkan dua
tersangka dalam kasus ini, yaitu semuanya berinisial IS. Yang satu sopir
truk pembawa gelondongan kayu jati hasil curian dan yang satunya diduga
orang yang mengkoordinir pencurian ini." kata AKP. Rizal Efendi kepada
sorotlampung.com, kemarin.8
Keduanya, sambung AKP. Rizal Efendi, dijerat dengan UU No 41 Tahun
1999, tentang pemberantasan pembalakan liar hutan di Indonesia dengan
ancaman hukuman maksimal 8 Tahun penjara. Saat ini, Satreskrim Polres
7.http://sorotlampung.com/polisi-tetapkan-tersangka-dalam-kasus-pembalakan-liar-di-register-
17.html 8 http://sorotlampung.com/polda-lampung-komitmen-tindak-tegas-pembalakan-liar.html
-
5
Lampung Selatan sedang melajukan pengejaran untuk dilakukan
penangkapan kedua tersangka yang diduga bersalah dalam kasus
pembalakan liar di register 17 Katibung ini.9 "Kami akan terus lakukan
pengembangan dalam kasus ini, masalahnya dalam penyitaan barang bukti
terdapat surat jalan dari dinas kehutanan setempat."bebernya saat ditemui
di Mapolres Lampung Selatan.
Belum maksimalnya upaya penanggulangan tindak pidana pembalakan liar
(illegal logging) di provinsi Lampung seperti yang tergambar pada beberapa kasus
tersebut, maka akan membawa dampak negatif yang semakin besar terhadap
masyarakat, hal ini selain dapat menimbulkan keresahan dalam masyarakat juga
memungkinkan para pelaku tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) untuk
melakukan kejahatannya dengan leluasa, sehingga dapat memancing pelaku
kejahatan yang lain untuk melakukan tindak pidana ini.
Berdasarkan kasus diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul skripsi
Upaya Reserse Kriminal Khusus Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Pembalakan Liar (Illegal Logging) Di Wilayah Hukum Polda Lampung.
B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah upaya Reserse Kriminal Khusus dalam penanggulangan
tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) di wilayah hukum Polda
Lampung ?
2. Apakah faktor penghambat bagi Reserse Kriminal Khusus dalam
penanggulangan tindak pidana pembalakan liar (illeggal logging) di
wilayah hukum Polda Lampung ?
9 http://gerbangsumatranews.com/kayu-sitaan-raib-register-17-menjadi-kebun-jagung/
-
6
2. Ruang Lingkup
Berdasarkan permasalahan di atas, agar tidak terlalu luas dan tidak terjadi
kerancuan dalam pembahasan permasalahan, maka ruang lingkup penulisan
skripsi ini dibatasi pada Upaya Reserse Kriminal Khusus dalam penanggulangan
tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) di wilayah hukum Polda
Lampung. Mengenai tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) dalam
penelitian ini adalah merupakan suatau bentuk tindak pidana kehutanan yang telah
diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui upaya Reserse Kriminal Khusus dalam penanggulangan
tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) di wilayah hukum Polda
Lampung.
b. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam penanggulangan tindak pidana
pembalakan liar (illeggal logging) yang dilakukan oleh Reserse Kriminal
Khusus di wilayah hukum Polda Lampung.
2. Kegunaan Penelitian.
a) Kegunaan Teoritis.
Penelitian ini secara teoritis memiliki kegunaan yaitu sebagai upaya untuk
memperdalam dan pengembangan wawasan keilmuan penelitian di bidang
hukum pidana terutama mengenai penanggulangan tindak pidana
pembalakan liar (illeggal logging) yang dilakukan oleh reserse kriminal
-
7
khusus polda lampung di wilayah hukum polda lampung, serta berguna
sebagai pengembangan bahan bacaan mengenai upaya reserse kriminal
khusus polda lampung dalam penanggulangan tindak pidana pembalakan
liar (illeggal logging) dan mengenai faktor-faktor penghambat dalam
penanggulangan tindak pidana pembalakan liar (illeggal logging) yang
dilakukan oleh Reserse Kriminal Khusus di wilayah hukum Polda
Lampung.
b) Kegunaan Praktis.
Penelitian ini dari segi praktis memiliki kegunaan sebagai upaya
peningkatan kemampuan meneliti penulis, serta sebagai sumbangan
pemikiran mengenai penanggulangan tindak pidana pembalakan liar
(illeggal logging) yang sesuai fakta di lapangan (wilayah hukum polda
lampung).
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh
peneliti.10
Kerangka teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai
berikut:
10
Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Bumi
Aksara, 1983, hlm.25
-
8
A. Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan.
Upaya adalah usaha untuk melakukan sesuatu setelah adanya peristiwa.11
Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan
hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Kebijakan
atas penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian dari integral
dari upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat.12
Upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana pada hakekatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Upaya kepolisian dalam
menanggulangi tindak pidana dikenal dengan berbagai istilah, seperti penal
policy, dan criminal policy, oleh karena itu upaya reserse kriminal khusus polda
lampung dalam melakukan penanggulangan tindak pidana pembalakan liar
(illegal logging) dilakukan dengan menggunakan:
1) Menggunakan upaya penal (hukum pidana).
2) Menggunakan upaya non penal.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penal menitikberatkan pada sifat
represif (penumpasan atau pemberantasan) setelah suatu tindak pidana terjadi.13
Sedangkan kebijakan non penal menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan,
penangkalan, atau pengendalian) sebelum suatu tindak pidana terjadi. Selain itu
11
Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.120. 12
Badar Nawawi Arief, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, PT.Citra Aditya Bakti, Semarang, 1997, hlm.48. 13
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002,hlm. 68.
-
9
dalam upaya untuk menanggulangi suatu kejahatan terdapat juga dua cara yaitu,
secara preventif dan secara represif, Berikut ini diuraikan pula masing-masing
upaya tersebut:
1. Tindakan Preventif.
Tindakan preventif adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau
menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom Samsudin,
dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah kejahatan
lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab bukan saja
diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan mendapat hasil
yang memuaskan atau mencapai tujuan.
2. Tindakan Represif
Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak
hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan respresif lebih
dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana, yaitu antara lain
dengan memberikan hukum (pidana) yang setimpal atas perbuatannya. Tindakan
ini meliputi cara aparat penegak hukum dalam melakukan penyidikan, penyidikan
lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan, eksekusi dan seterusnya
sampai pembinaan narapidana.
B. Teori Faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa ada beberapa faktor penghambat dalam
penegakkan hukum, yaitu:
a) Faktor Perundang-undangan,
b) Faktor penegak hukum
c) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum
-
10
d) Faktor masyarakat
e) Faktor kebudayaan.14
2. Kerangka Konseptual.
Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin atau yang akan diteliti.15
a) Upaya adalah usaha untuk melakukan sesuatu setelah peristiwa ada.16
b) Direktorat Reserse Kriminal Khusus ( Ditreskrimsus), Berdasarkan Pasal
139 peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat
Kepolisian Daerah, Ditreskrimsus adalah unsur pelaksana tugas pokok
yang berada di bawah kapolda yang bertugas menyelenggarakan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus, koordinasi,
pengawasan operasional, dan administrasi penyidikan PPNS sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
c) Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal
maupum yang lebih menitik beratkan pada sifat repressive
(penindakan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur non penal lebih menitik beratkan sifat preventif
(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum terjadi kejahatan17
14
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press,
Jakarta, 1983,hlm. 47. 15
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, Rajawali Pers, 1986. hlm. 132. 16
Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa,1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.120. 17
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, CitraAditya Bakti, Jakarta,
1996, hlm. 13
-
11
d) Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai dengan ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.18
e) Pembalakan Liar (illegal logging) dalam Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak disebutkan
secara jelas, begitupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain.
Namun secara terminologi dalam Kamus Kehutanan definisi illegal
logging dijelaskan secara terpisah.19
Illegal artinya suatu tindakan yang
dilakukan subjek hukum di luar ketentuan yang bersifat melawan hukum
dan atau bertentangan dengan hukum perundang-undangan kehutanan,
Logging adalah kegiatan pembalakan pohon dalam rangka pemungutan
hasil hutan. Sementara itu, menurut Sukardi, bahwa Illegal logging secara
harfiah yaitu menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian
yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.20
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini menggunakan sistematika penulisan yang sistematis untuk
membahas permasalahan yang telah di tetapkan. Untuk mengetahui keseluruhan
isi dari penulisan skripsi ini, maka dibuat suatu susunan sistematiaka secara garis
besar sebagai berikut :
18
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2009, hlm.69 19
Alam setia Zein. Kamus Kahutanan. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 2003, Hal. 75 dan 102. 20
Supriadi. Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta. Sinar grafika.2010.
hal. 298.
-
12
I. PENDAHULUAN
Bab pendahuluan menguraikan tentang latar belakang, permasalahan, dan ruang
lingkup. Selain itu di dalam bab ini memuat tujuan , keguanaan penelitian,
kerangka teoritis, dan kerangka konseptual serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian
umum dari Upaya Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Pembalakan liar (illegal logging) di Wilayah
Hukum Polda Lampung.
III. METODE PENELITIAN
Dalam bab ini penulis menjabarkan tentang pendekatan masalah, sumber, jenis
data, prosedur pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan penjelasan dan pembahasan mengenai permasalahan yang ada
yaitu tentang Upaya Reserse Kriminal Khusus Polda Lampung Dalam
Penanggulangan Tindak Pidana Pembalakan liar (illegal logging) di wilayah
hukum polda lampung, serta apakah yang menjadi faktor penghambat dalam
penanggulangan tindak pidana Pembalakan liar (illegal logging) yang di lakukan
oleh reserse kriminal khusus polda lampung.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan yang berisikan kesimpulan dan
saran-saran dari penulis.
-
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepolisian Republik Indonesia
1. Pengertian Kepolisian.
Pengertian kepolisian menurut Pasal 5 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia adalah : Kepolisian Nasional yang merupakan alat
negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negara .
Polisi merupakan alat penegak hukum yang dapat memberikan perlindungan,
pengayoman, serta mencegah timbulnya kejahatan dalam kehidupan masyarakat.
hal ini sesuai dengan pendapat Rahardi mengatakan bahwa Kepolisian sebagai
salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat.21
Istilah polisi adalah sebagai organ atau lembaga
pemerintahan yang ada dalam negara, Sedangkan istilah kepolisian adalah sebagai
organ dan sebagi fungsi. Sebagi organ yaitu suatu lembaga pemerintahan yang
terorganisasi dan terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi,
yakni tugas dan wewenang serta tanggung jawab lembaga atas kuasa undang-
undang untuk menyelenggarakan fungsinya, antara lain pemeliharaan keamanan,
ketertiban masyarakat, penegak hukum pelindung, pengayom, pelayananan
masyarakat.
21
Sadjijono, Memahami Hukum Kepolisian, PT Laksbang Presindo: Yogyakarta, 2010, hlm. 56.
-
14
2. Tugas, wewenang, dan Fungsi Kepolisian.
a. Tugas Kepolisian.
Kepolisian Negara Republik Indonesia telah mempunyai seperangkat aturan
mengenai tugas dan wewenang yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas dan
wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia diatur dalam Pasal 13 sampai
dengan Pasal 19 Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia sebagai berikut :
1. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakan hukum, dan
c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana di maksud dalam Pasal
13 Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan,dan patroli
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan,
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban , dan kelancaran lalu lintas di jalan,
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hukum dan peraturan perundang undangan
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum
-
15
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-
undangan lainnya
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum
di tangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagai mana dimaksud dalam Ayat (1)
huruf f diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dari tugas-tugas kepolisian tersebut, dapat dikemukakan bahwa pada dasarnya
tugas kepolisian yaitu terdiri atas tugas untuk memelihara keamanan, ketertiban,
menjamin dan memelihara keselamatan negara, orang, benda, dan masyarakat
serta mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan-
peraturan negara. Tugas ini dikategorikan sebagai tugas preventif dan tugas
represif.
-
16
b. Wewenang Kepolisian.
Dalam hal melaksanakan tugas dan fungsinya, Kepolisian diberi wewenang oleh
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Inonesia yaitu pada pasal 15 dan 16 yang menyebutkan bahwa :
Menurut pasal 15 ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang
untuk:
1) Menerima laporan dan/atau pengaduan.
2) Membantu menyelesaikan perselisihanwarga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum.
3) Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.
4) Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa.
5) Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administratife kepolisian.
6) Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan.
7) Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.
8) Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9) Mencari keterangan dan barang bukti.
10) Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional.
11) Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat.
12) Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat.
13) Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
-
17
Menurut pasal 15 ayat (2), Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan
peraturan perundang-undangan berwenang untuk :
1) Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya (Tata cara pelaksanaan diatur dengan Peraturan
Pemerintah).
2) Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor.
3) Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor (Tata cara
pelaksanaan diatur dengan Peraturan Pemerintah).
4) Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik.
5) Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak,
dan senjata tajam.
6) Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan
usaha di bidang jasa pengamanan.
7) Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus
dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian.
8) Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional.
9) Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang
berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait.
10) Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional.
11) Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas
Kepolisian.
Menurut pasal 16 ayat (1), Dalam rangka menyelenggarakan tugas bidang proses
pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :
1) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
2) Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan.
3) Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan.
-
18
4) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri.
5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi.
7) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
8) Mengadakan penghentian penyidikan.
9) Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
10) Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
melakukan tindak pidana.
11) Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai
negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
12) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
c. Fungsi Kepolisian.
Dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Menyatakan bahwa Fungsi kepolisian adalah salah satu
fungsi Pemerintahan Negara di bidang pemelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan
masyarakat.
Sedangkan dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menyatakan bahwa :
(1) Pengemban fungsi Kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang dibantu oleh :
-
19
a) kepolisian khusus,
b) pegawai negri sipil dan/atau
c) bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
(2) Pengemban fungsi Kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,b,
dan c, melaksanakan fungsi Kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang menjadi dasar hukum masing-masing.
3. Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus).
Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Inddonesia Nomor 22
Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian
Daerah, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) merupakan salah
satu unsur pelaksana tugas pokok yang berada dibawah Kapolda.
Ditreskrimsus bertugas menyelenggarakan penyelidikan dan penyidikan terhadap
tindak pidana khusus, koordinasi, pengawasan operasional, dan administrasi
penyidikan PPNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Ditreskrimsus menyelenggarakan fungsi yaitu:
1. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus, antara lain tindak
pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah hukum
Polda;
2. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mempelajari dan
mengkaji efektivitas pelaksanaan tugas Ditreskrimsus;
3. Pembinaan teknis, koordinasi, dan pengawasan operasional, serta
administrasi penyidikan oleh PPNS;
4. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana khusus di lingkungan
Polda; dan
5. Pengumpulan dan pengolahan data serta menyajikan informasi dan
dokumentasi program kegiatan Ditreskrimsus.
Ditreskrimsus dipimpin oleh Dirreskrimsus yang bertanggung jawab kepada
Kapolda, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di bawah kendali Wakapolda.
-
20
Dirreskrimsus dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Wadirreskrimsus yang
bertanggung jawab kepada Dirreskrimsus.
Ditreskrmsus polda lampung terdiri dari 4 (empat) subdit yang mempunyai
kewenangan untuk menangani tindak pidana khusus atau tertentu sesuai dengan
apa yang telah ditentukan pada masing-masing subdit. Adapun keempat subdit
tersebut adalah :
1. Subdit I, yaitu mengenai tindak pidana industri, perdagangan, pangan,
perfilman, asuransi dan investasi.
2. Subdit II, yaitu menangani tindak pidana perbankan, uang palsu, pencucian
uang, dan kejahatan di dunia maya (Cybercrime)
3. Subdit III, yaitu menangani tindak pidana korupsi
4. Subdit IV, yaitu menangani tindak pidana Lingkungan hidup, illegal
logging, illegal fishing, illegal minning, listrik, migas, peternakan,
kesehatan, tenaga kerja, pencegahan pemberantasan perusakan hutan, dan
konservasi sumber daya alam.
Dalam hal penegakan hukum terhadap tindak pidana Pembalakan Liar (illegal
logging) di wilayah hukum Polda Lampung, yang berwenang dalam menangani
tindak pidana tersebut yaitu Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Lampung.
Tugas Pokok Subdit IV Tipidter Ditreskrimsus Polda Lampung yaitu :
1. Kasubdit IV Tipidter adalah unsur pembantu DitReskrimsus Polda
Lampung yang berada di bawah DirReskrimsus Polda Lampung.
2. Kasubdit IV Tipidter bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana khusus yang terjadi di wilayah hukum Polda Lampung.
3. Kasubdit IV Tipidter bertanggung jawab kepada DirReskrimsus dan dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari berada di bawah kendali Wadir Reskrimsus.
-
21
Dalam melaksanakan tugasnya, Kasubdit IV Tipidter menyelenggarakan fungsi
menangani Tindak Pidana antara lain :
1. Lingkungan hidup.
2. Pertambangan (illegal minning).
3. Kehutanan (illegal logging).
4. Pencegahan pemberantasan perusakan hutan.
5. Minyak dan gas bumi.
6. Kesehatan.
7. Praktek kedokteran.
8. Ketenaga listrikan.
9. Tenaga kerja.
10. Perkebunan.
11. Panas bumi.
12. Energi.
13. Konservasi sumber daya alam.
14. Karantina hewan, ikan, dan tumbuhan.
B. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana.
Pengertian Tindak Pidana menurut istilah adalah terjemahan paling umum untuk
istilah "strafbaar feit" dalam bahasa Belanda walaupun secara resmi tidak ada
terjemahan resmi strafbaar feit. Pengertian Tindak Pidana menurut Simons ialah
suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang
hukum pidana, bertentangan dengan hukum pidana dan dilakukan dengan
kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Kejahatan atau
perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau
perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang
-
22
terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahtan dalam arti
kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma hidup di
masyarakat secara konkrit.22
Menurut Pompe, Pengertian Tindak Pidana adalah Suatu pelanggaran norma
(gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun dengan tidak
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman
terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan hukum.23
Menurut Simons, Pengertian Tindak Pidana merupakan tindakan melanggar
hukum pidana yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-
undang hukum pidana telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat
dihukum.24
Dalam merumuskan pengertian Tindak Pidana, Simons memberikan unsur-unsur
tindak pidana sebagai berikut :25
1. Perbuatan manusia
2. Diancam dengan pidana
3. Melawan hukum
4. Dilakukan dengan kesalahan
5. Orang yang mampu bertanggung jawab
22 Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar Lampung : universitas Lampung, 2011, hlm. 69. 23
Tri Andrisman, Ibid, hlm.70. 24
Tri Andrisman, Ibid 25
Tri Andrisman, Op. Cit, hlm. 72.
-
23
Moeljatno juga merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :26
1. Perbuatan (manusia)
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
3. Bersifat melawan hukum
C. Tindak Pidana Pembalakan Liar (illegal logging).
Pengertian illegal logging dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak disebutkan secara jelas, begitupun dalam
peraturan perundang-undangan yang lain. Namun secara terminologi dalam
Kamus Kehutanan definisi illegal logging dijelaskan secara terpisah.27
Illegal
artinya suatu tindakan yang dilakukan subjek hukum di luar ketentuan yang
bersifat melawan hukum dan/atau bertentangan dengan hukum perundang-
undangan kehutanan, sedangkan Logging adalah kegiatan pembalakan pohon
dalam rangka pemungutan hasil hutan.
Sementara itu, menurut Sukardi bahwa Illegal logging secara harfiah yaitu
menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan
dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.28
Sedangkan menurut Prasetyo,
mengungkapkan ada 7 dimensi dari kegiatan illegal logging yaitu:29
1) Perizinan, apabila ada kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada
izinnya atau izin yang telah kadaluarsa;
2) Praktik, apabila pada praktiknya tidak menerapkan praktik logging yang
sesuai peraturan;
26
Tri Andrisman, Ibid, hlm. 72 27
Alam setia Zein. Kamus Kahutanan. Jakarta. PT. Rineka Cipta. 2003. Hal. 75 dan 102. 28
Supriadi.Hukum Kehutanan & Hukum Perkebunan di Indonesia. Jakarta. Sinar grafika. 2010.
Hal. 298. 29
Risa Suarga. Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktek Premanisme Global.
Tangerang, Wana Aksara. 2005. Hal 7.
-
24
3) Lokasi, apabila dilakukan di luar lokasi izin, menebang dikawasan
konservasi/lindung, atau usul lokasi tidak dapat ditunjukkan;
4) Produk kayu apabila kayunya sembaran jenis (dilindungi), tidak ada batas
diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal
perusahaan;
5) Dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu;
6) Melakukan perbuatan melanggar hukum bidang kehutanan, dan;
7) Penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri
fisik kayu atau kayu diselundupkan.
Namun esensi dari illegal logging adalah perusakan hutan yang akan berdampak
pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Oleh
karena kegiatan itu tidak melalui proses perencanaan secara komperhensif, maka
illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak
pada perusakan lingkungan.30
Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 14
yaitu bahwa: Perusakan lingkungan hidup adalah suatu tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan.
Pada dasarnya kejahatan illegal logging, secara umum kaitannya dengan unsur-
unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu :
30
IGM. Nurdjana dkk.. Korupsi dan Illegal Logging dalam Desentralisasi Indonesia. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar. 2005. Hal 15.
-
25
1) Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan Pasal 412 KUHP).
Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan illegal logging
berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem
pengeloalaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan
pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi
hutan. Illegal logging pada hakekatnya merupakan kegiatan yang
menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak memiliki izin secara
resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari ketentuan yang
ada dalam perizinan itu seperti over atau penebangan diluar areal konsesi
yang dimiliki.
2) Pencurian (Pasal 362 KUHP).
Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan dari
kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa kayu
tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang mangatur
tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu,
sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu berarti kegiatan
yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam areal hutan yang
bukan menjadi haknya menurut hukum.
3) Penyelundupan.
Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam KUHP yang
merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun belum mengatur
tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan penyelundupan sering hanya
dipersamakan dengan delik pencurian oleh karena memiliki persamaan
unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik orang lain. Berdasarkan
pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan kayu (peredaran kayu
secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan illegal logging dan
merupakan perbuatan yang dapat dipidana.
Namun, Pasal 50 ayat (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun 1999, yang
mengatur tentang membeli, menjual dan atau mengangkut hasil hutan yang
dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai suatu perbuatan
penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak jelas mengatur
-
26
siapa pelaku kejahatan tersebut, apakah pengangkut, sopir, nahkoda kapal,
atau pemilik kayu. agar tidak menimbulkan kontra interpretasi maka
unsur-unsur tentang penyelundupan ini perlu diatur tersendiri dalam
perundang-undangan tentang ketentuan pidana kehutanan.
4) Pemalsuan (Pasal 261-276 KUHP).
Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan Pasal 263
KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau membuat
surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya. Surat dalam
hal ini adalah yang dapat menerbitkan suatu hal, suatu perjanjian,
pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu keterangan
perbuatan atau peristiwa.
Ancaman pidana terhadap pemalsuan surat menurut Pasal 263 KUHP ini
adalah penjara paling lama 6 Tahun, dan Pasal 264 paling lama 8 Tahun.
Dalam praktik-praktik kejahatan illegal logging, salah satu modus
operandi yang sering digunakan oleh pelaku dalam melakukan
kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu, dan
keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur secara
tegas dalam Undang-undang kehutanan.
5) Penggelapan (Pasal 372 377KUHP).
Kejahatan illegal logging antara lain seperti over cutting yaitu penebangan
di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi target kota
yang ada (over capasity), dan melakukan penebangan sistem terbang habis
sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih, mencantumkan
data jumlah kayu dalam SKSHH yang lebih kecil dari jumlah yang
sebenarnya.
6) Penadahan (Pasal 480 KUHP).
Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan lain
dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan jahat.
Penadahan dalam bahasa asingnya heling (Penjelasan Pasal 480 KUHP).
Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo, bahwa perbuatan itu dibagi
menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang diketahui atau
-
27
patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar atau
menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil
kejahatan. Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama 4
Tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).
D. Penyelidikan dan Penyidikan Tidak Pidana Pembalakan Liar (illegal
logging).
1. Penyelidikan
Penyelidikan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur undang-
undang ini. Sedangkan penyelidik berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 kitab
undang-undang Hukum Acara Pidana adalah pejabat Polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penyelidikan.
2. Penyidikan.
A. Pengertian
Menurut De Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan pemulaan oleh
pejabat-pejabat yang untuk itu di tunjuk oleh undang-undang segera setelah
mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada
terjadi suatu pelanggaran hukum.31
Penyidikan berdasarkan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 1 angka 2 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang di atur dalam
undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna
31
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (suatu tinjauan khusus terhadap suatu dakwaan,Eksepsi,
dan putusan peradilan), Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2002,hlm, 19.
-
28
menemukan tersangkanya. Sedangkan penyidik diatur dalam Pasal 1 angka 1
Kitab Undang-Udang Hukum Acara Pidana yang menjelaskan bahwa penyidik
adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan. Kemudian penyidikan terhadap tindak pidana pembalakan liar (illegal
logging), juga diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, yaitu :
1) Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjelaskan bahwa Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana.
2) Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjelaskan bahwaPejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), berwenang untuk:
a) melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang
berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;
b) melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan;
c) memeriksa tanda pengenal seseorang yang berada dalam kawasan
hutan atau wilayah hukumnya;
d) melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana
yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e) meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan
hutan, dan hasil hutan;
-
29
f) menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana;
g) membuat dan menanda-tangani berita acara;
h) menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang
adanya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan
hasil hutan.
3) Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjelaskan bahwa Pejabat penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
B. Aturan Hukum Penyidikan Tindak Pidana kehutanan.
Polri selaku alat negara penegak hukum sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf g
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bertugas melaksanakan penyidikan perkara
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hukum dan
perundang-undangan yang menjadi porsi tugas Polri untuk ditegakkan adalah
semua hukum pidana baik yang tercantum dalam KUHP maupun di luar KUHP
termasuk peraturan daerah. Upaya penegakan hukum melalui suatu proses
penyidikan perkara tersebut pada hakekatnya adalah merupakan suatu tindakan
yang bersifat pembatasan, pengekangan hak-hak asasi seseorang dalam rangka
usaha untuk memulihkan terganggungnya keseimbangan antara kepentingan
umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Didalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa ada dua pejabat yang
berkedudukan sebagai Penyidik tindak pidana kehutanan, yaitu Penyidik Polri dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Penyidik Polri memiliki kewenangan
-
30
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP sedangkan untuk
PPNS kewenangannya sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing, untuk PPNS kehutanan kewenangannya diatur dalam
Pasal 77 Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 39
Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Dan
Ekosistemnya (KSDA). Tugas penyidik polri dalam melaksanakan penyidikan
tindak pidana kehutanan sesuai peraturan Kapolri No. 20 tahun 2010 tentang
Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan bagi PPNS meliputi :
1. Tugas penyidik polri sebagai Koordinator:
a) Menerima Laporan dan pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan
(SPDP) oleh PPNS serta meneruskannya ke Penuntut Umum.
b) Mengikuti perkembangan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh
PPNS.
c) Memberikan dukungan secara aktif kepada PPNS.
d) Memberikan Juknis penyidikan kepada PPNS.
e) Menerima pemberitahuan tentang penghentian penyidikan (SP3) oleh
PPNS untuk diteruskan kepada Penuntut Umum.
f) Memberikan bantuan penyidikan berupa bantuan teknis sari fungsi
forensik, identifikasi dan Psikologi Polri.
g) Menerima penetapan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh PPNS
dan meneruskan kepada Penuntut Umum .
2. Tugas penyidik polri sebagai Pengawas:
a) Mengikuti perkembangan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh
PPNS;
b) Menghadiri dan memberikan petunjuk dalam gelar perkara yang
dilaksanakan PPNS;
c) Meminta laporan kemajuan penyidikan;
-
31
d) Mempelajari berkas perkara hasil penyidikan PPNS dan meneruskannya
kepada Penuntut Umum apabila telah memenuhi persyaratan formil dan
materiil;
e) Mengembalikan berkas perkara kepada PPNS disertai petunjuk untuk
disempurnakan, apabila belum memenuhi persyaratan;
f) Memberikan petunjuk dalam penghentian penyidikan
g) Melaksanakan supervise.
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 angka 4
KUHAP). Menurut Pasal 4 KUHAP penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara
Republik Indonesia, dari ketentuan ini maka dapat diartikan bahwa:
a) Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia, dari
pangkat terendah sampai pangkat tertinggi;
b) Tidak ada pejabat lain yang berkedudukan sebagai penyelidik dan
berwenang melakukan penyelidikan.
Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, dalam ketentuan Pasal 51
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, pejabat kehutanan tertentu diberi
wewenang kepolisian khusus yang kewenangannya mirip dengan kewenangan
penyelidik polri.Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa pejabat kehutanan tertentu yang
diberi wewenang kepolisian khusus meliputi :
a) Pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional polisi
kehutanan;
b) Pegawai perusahaan umum kehutanan Indonesia (perum perhutani) yang
diangkat sebagai polisi kehutanan;
-
32
c) Pejabat struktural instansi kehutanan pusat maupun daerah yang sesuai
dengan tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan tanggung jawab
dibidang perlindungan hutan.
Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus tersebut di atas dalam ketentuan
Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 diberi wewenang untuk:
a) Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
b) Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan
hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c) Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d) Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
e) Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk
diserahkan kepada yang berwenang; dan
f) Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
Pada Pasal 36 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 menyebutkan
bahwa atas perintah pimpinan polisi kehutanan berwenang untuk melakukan
penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka.
Dengan demikian
walaupun undang-undang kehutanan dan peraturan pelaksananya tidak secara
inplisit memberi wewenang kepada pejabat kehutanan tertentu untuk dapat
menjadi penyelidik dan melakukan tugas-tugas penyelidikan sebagaimana
penyelidik Polri, kewenangan tersebut melekat pada tugas dan kewenangan polisi
kehutanan, yang membedakannya yaitu :
-
33
a) Kewenangan tugas polisi kehutanan terbatas hanya pada tindak pidana
dibidang kehutanan saja, sedangkan penyelidik polri untuk semua tindak
pidana ;
b) Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk menyuruh berhenti
seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal
diri sebagaimana penyelidik polri, sehingga untuk tugas tersebut
diperlukan koordinasi dengan Penyidik Polri ;
c) Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab sebagaimana penyelidik
polri, sehingga Polisi kehutanan bertindak perlu koordinasi dengan
Penyidik Polri, kecuali dalam hal tertangkap tangan ;
d) Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan
dan penggeledahan sebagaimana penyelidik polri atas perintah penyidik,
sehingga dalam hal melakukan penyitaan dan penggeledahan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) perlu koordinasi dengan Penyidik Polri ;
e) Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan membawa dan
menghadapkan seseorang kepada penyidik sebagaimana penyelidik polri
yang atas perintah penyidik dapat membawa dan menghadapkan seseorang
kepada penyidik.
Konsep fungsi kepolisiaan Republik Indonesia dalam tindak pidana kehutanan
diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara
Republik Indonesia. Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 menyatakan
bahwa kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan
dan pelayanan kepada masyarakat. Selain memiliki fungsi dalam pemerintah
negara, Polri juga memiliki peran dalam rangka menciptakan keamanan dan
ketertiban. Peran Polri di atur dalam Pasal 5 menyatakan:
-
34
a) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memilihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
b) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana
dimaksud dalam Ayat (1).
Untuk menjalankan fungsi dalam sistem pemerintah Negara RI, maka Polri
mempunyai tugas pokok yaitu menegakkan hukum, memilihara keamanan dan
ketertiban masyarakat dan memberikan perlindungan serta pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan yang di berikan kepada Polri dan
keterkaitan dengan penegakan hukum pidana. Adapun yang berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang Kehutanan adalah :
a) Penyidik Polri, diatur didalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a KUHAP. Polri
berwenang melakukan penyidikan tindak pidana, kecuali tindak pidana
yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia (Undang-
Undang No. 5 Tahun 1983 Pasal 14 Ayat (1) dan tindak pidana mengenai
perikanan tersebut dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 yang terjadi
di wilayah perairan indonesia.
b) Penyidik Pegawai Negeri Sipil berwenang melakukan penyidikan tindak
pidana Kehutanan sesuai dengan wewenang khusus yang di berikan oleh
undang-undang yang menjadi dasar pembentukannya. Dengan demikian
PPNS Departemen Kehutanan yang ada di lingkungan Kementerian
Kehutanan hanya berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana Kehutanan yang diatur dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999,
tentang Kehutanan.
c) Penyidik Perwira Angkatan Laut (AL) berwenang melakukan penyidikan
tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 yang
terjadi di ZEE Pengelolaan barang Indonesia dan tindak pidana perikanan
-
35
dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 yang terjadi di wilayah perairan
Indonesia.
Dengan memberikan sanksi Pidana kepada pelaku kejahatan Penebangan Liar
(illegal logging), merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam
rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari
pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum
di bidang kehutanan (termasuk melakukan penebangan liar) ini bermaksud agar
dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan di bidang kehutanan. Efek
jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak
pidana kehutanan, tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam
bidang kehutanan menjadi enggan dan harus berpikir berkali-kali untuk
melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat.
Ketentuan pidana yang dimuat dalam Pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang No.
41 Tahun 1999 mengandung unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum bagi
polri dalam menjalankan fungsinya untuk penegakan hukum pidana terhadap
kejahatan penebangan liar (illegal logging), yaitu:
a) Merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan;
b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan;
c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan
undang-undang;
d) Menebang pohon tanpa izin;
e) Menerima, membeli atau menjual hasil hutan yang diketahui atau patut
diduga sebagai hasil hutan illegal;
f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan
Sah Hasil Hutan,
g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain di dalam kawasan hutan tanpa
izin.
-
36
E. Alat Bukti dan Barang Bukti dalam Tindak Pidana Pembalakan Liar
(illegal logging)
Pembuktin terhadap tindak pidana pembalakan liar (illegal logging) dilakukan
dengan melihat tata cara pembuktian baik itu yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dan juga yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan
Hutan. Sistem pembuktian yang dianut oleh hukum acara pidana indonesia diatur
dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur
bahwa : hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah iya memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Dari Pasal tersebut mengatakan bahwa putusan hakim harus di dasarkan pada dua
syarat, yaitu:
a) Minimum dua alat bukti, dan
b) Dari alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana.
Berdasarkan hal tersebut, proses penyidikan tindak pidana Pembalakan liar harus
memperoleh alat bukti yang cukup agar tindak pidana yang terjadi tersebut dapat
dibuktikan di persidangan dan pelakunya di hukum berdasarkan dengan hukuman
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
37
1. Alat Bukti Dalam Tindak PidanaPembalakan Liar (illegal logging).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pembuktian tindak pidana
pembalakan liar dapat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun1999 tentang
Kehutanan. Macam-macam alat bukti tersebut diatur dalam Pasal 184 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu sebagai berikut : Keterangan
saksi, Keterangan ahli, alat bukti surat, alat bukti Petunjuk, dan Keterangan
terdakwa.
a) Keterangan saksi.
Saksi berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, yang ia lihat sendiri dan yang ia alami
sendiri.sedangkan yang dimaksut dengan keterangan saksi dalam Pasal 1
angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu
peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
b) Keterangan ahli.
Keterangan ahli dalam ketentuan Pasal 1 angka 28 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana adalah keterangan yang diberikan seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang dapat diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Sedangkan yang
dimaksut dengan keterangan ahli dalam Pasal 186 Kitab Undang-Undang
-
38
Hukum Acara Pidana ialah apa yang seorang ahli nyatakan dalam
persidangan. Peran seorang ahli dalam pengungkapan tindak pidana
pembalakan liar merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar lagi, mengingat
metode dan cara-cara yang dilakukan memiliki karakter yang berbeda dengan
tindak pidana biasa. Kedudukan seorang ahli dalam menerangkan atau
menjelaskan alat bukti, dalam hal ini akan sangat penting dalam memberikan
keyakinan pada hakim dalam memutus suatu perkara.32
c) Alat bukti surat.
Surat sebagaimana tersebut dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,dilihat atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu.
2. Surat yang dibuat meneurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana
yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian
suatu keadaan
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahlian mengenai suatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanaya
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.
32
Ibid, hlm.466.
-
39
d) Alat bukti petunjuk.
Petunjuk berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 188 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah perbuatan, kejadian, atau
keadaaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang
lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
e) Alat bukti keterangan terdakwa.
Keterangan terdakwa dalam Pasal189 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan
yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2. Barang bukti .
Barang bukti atau corpus delicti adalah barang mengenai mana delik dilakukan
(objek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan, yaitu alat yang dipakai
untuk melakukan delik, termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik, barang
yang memiliki hubungan langsung dengan tindak pidana.33
Barang bukti dengan alat bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan
rangkaian yang tidak terpiahkan. Dalam persidangan setelah semua alat bukti
diperiksa, selanjutnya dilanjutkan dengan pemeriksaan barang bukti. Selain itu
juga akan berperan dalam memberikan keyakinan pada hakim dalam memutus
suatu perkara.34
Dalam Pasal 44 Undang-undang No. 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, menjelaskan bahwa barang
bukti dalam tindak pidana pembalakan liar dapat berupa :
33
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia, 1986, hlm. 100. 34
Edmon Makarim, Op.Cit, hlm.479.
-
40
(1) Barang bukti kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil dari penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah yang berasal dari hutan konservasi
dimusnahkan, kecuali untuk kepentingan pembuktian perkara dan penelitian.
(2) Barang bukti kayu temuan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan
konservasi dimanfaatkan untuk kepentingan publik atau kepentingan sosial.
(3) Barang bukti kayu sitaan hasil pembalakan liar yang berasal dari luar hutan
konservasi dapat dilelang karena dapat cepat rusak atau biaya
penyimpanannya terlalu tinggi yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Hasil lelang kayu sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disimpan di
bank pemerintah sebagai barang bukti perkara di pengadilan.
(5) Peruntukan barang bukti perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dilaksanakan sesuai dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Dalam hal penyitaan barang bukti, menurut pasal 1 butir 16 KUHAP, Penyitaan
adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan
di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak
berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan. Sedangkan tujuan dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian,
terutama ditujukan sebagai barang bukti dimuka sidang pengadilan.
-
41
F. Teori Upaya dan Faktor Penghambat.
a. Teori Upaya Penanggulangan Kejahatan.
Upaya adalah usaha untuk melakukan sesuatu setelah adanya peristiwa.35
Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum
pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik/kebijakan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum. Kebijakan atas
penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian dari integral dari
upaya perlindungan masyarakat dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.36
Upaya kepolisian dalam menanggulangi tindak pidana pada hakekatnya juga
merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Upaya kepolisian dalam
menanggulangi tindak pidana dikenal dengan berbagai istilah, seperti penal
policy, dan criminal policy. Yang merupakan salah satu usaha untuk
menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana yang rasional yaitu
memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan
terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku
kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat di
integrasikan satu dengan yang lainnya.
Upaya kepolisian merupakan bagian integral dari kebijakan sosial (social policy).
Kebijakan sosial dapat diartikan sebagai usaha yang rasional untuk mencapai
35
Tim penyusun kamus pusat pembinaan dan pengembangan bahasa,1990, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm.120. 36
Badar Nawawi Arief, Masalah penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, PT.Citra Aditya Bakti, Semarang, 1997, hlm.48.
-
42
kesejahteraan masyarakat (social welfare policy) dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat (social defence policy). Jadi secara singkat dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal ialah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.
Penegakan hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum
pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerjanya dan terwujudnya secara
kongkrit. oleh karena itu upaya reserse kriminal khusus polda lampung dalam
melakukan penanggulangan tindak pidana pembalakan liar (illegal logging)
dilakukan dengan menggunakan:
1) Menggunakan upaya penal (hukum pidana).
2) Menggunakan upaya non penal.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penal menitikberatkan pada sifat
represif (penumpasan atau pemberantasan) setelah suatu tindak pidana terjadi.
Masalah dalam kebijakan criminal dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana) adalah masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan
tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan si
pelanggar.37
Kebijakan non penal menitikberatkan pada sifat preventif
(pencegahan, penangkalan, atau pengendalian) sebelum suatu tindak pidana
terjadi. Didalam upaya untuk menanggulangi suatu kejahatan terdapat dua cara
yaitu, secara preventif (mencegah sebelum terjadinya kejahatan) dan secara
represif (suatu tindakan sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula
masing-masing upaya tersebut:
37
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti,2002. hlm. 68.
-
43
1. Tindakan Preventif.
Tindakan preventif adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau
menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom Samsudin
M, dalam kaitannya untuk melakukan tindakan preventif adalah mencegah
kejahatan lebih baik daripada mendidik penjahat menjadi baik kembali, sebab
bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih mudah dan akan
mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.
Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang terpenting
adalah :
1) Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan preventif dalam
arti sempit;
2) Preventif kejahatan dalam arti sempit meliputi :
a) Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat
memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu
berbuat jahat.
b) Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan kejahatan
dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai penyebab
timbulnya kejahatan, Misalnya memperbaiki ekonmi (pengangguran,
kelaparan, mempertinggi peradapan, dan lain-lain);
3) Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap kejahatan
dengan berusaha menciptakan;
a) Sistem organisasi dan perlengkapan kepolisian yang baik.
b) Sistem peradilan yang objektif.
c) Hukum (perundang-undangan) yang baik.
4) Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patroli yang teratur;
5) Pervensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usaha prevensi
kejahatan pada umumnya.38
38
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT.Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981,
hlm. 15.
-
44
2. Tindakan Represif
Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak
hukum sesudah terjadinya tindakan pidana. Tindakan respresif lebih
dititikberatkan terhadap orang yang mel