UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng :...

118
UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM NOVEL NGAYAU KARYA MASRI SAREB PUTRA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia Oleh Maria Fransiska NIM: 144114016 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA Juni 2018 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Transcript of UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng :...

Page 1: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM NOVEL NGAYAU

KARYA MASRI SAREB PUTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Maria Fransiska

NIM: 144114016

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

Juni 2018

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

i

UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM NOVEL NGAYAU

KARYA MASRI SAREB PUTRA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Maria Fransiska

NIM: 144114016

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

Juni 2018

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

iv

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

v

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

vi

PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk

Bapak Antonius Pendi

Ibu Sesilia

Abang Trudis Joni

Kakek Silvanus Lorensius Anyim (Alm), Tumenggung Panco Benuo

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

vii

MOTO

Jika Anda menyerah satu kali, itu akan menjadi sebuah kebiasaan. Jangan

pernah menyerah! (Michael Jordan)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan terima kasih kepada Tuhan atas berkat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Unsur Budaya Dayak dan Tionghoa dalam Novel Ngayau karya Masri Sareb

Putra” ini dengan lancar.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa pihak-pihak

yang telah membantu, membimbing, dan mengarahkan penulis dalam proses

penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima

kasih kepada beberapa pihak.

Pertama, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yoseph Yapi

Taum, M.Hum sebagai pembimbing I dan S. E Peni Adji, S.S., M.Hum sebagai

pembimbing II yang telah membantu dalam penulis skripsi ini. Dorongan dan

semangat yang disampaikan sangat memotivasi agar skripsi ini dapat selesai tepat

waktu.

Kedua, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu dosen Sastra

Indonesia, Universitas Sanata Dharma (USD), terutama kepada Prof. Dr.

Praptomo Baryadi, M. Hum yang menjadi Dosen Pembimbing Akademik

Angkatan 2014. Terima kasih atas waktu dan tenaga yeng telah diberikan kepada

penulis. Nasihat dan dukungan yang selalu mendorong penulis supaya bekerja

keras. Terima kasih juga kepada Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A. selaku

Wakil Program Studi Sastra Indonesia USD, Drs. B. Rahmanto, M.Hum., dan

Maria Magdalena Sinta Wardani, S.S., M.A., yang telah bersedia membagi

ilmunya selama saya menjalani studi di Program Studi Sastra Indonesia; juga

kepada Staf Sekretariat Fakultas Sastra khususnya Program Studi Sastra Indonesia

atas pelayanan yang baik selama ini.

Ketiga, ucapan terima kasih untuk kedua orang tua, Bapak Antonius Pendi

dan Ibu Sesilia yang selalu memberi dukungan dalam segi finansial maupun

psikologis. Terima kasih juga kepada Kakek Silvanus Lorensius Anyim (alm),

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

ix

Tumenggung Panco Benuo yang semasa hidupnya selalu memotivasi dan selalu

mengingatkan kepada anak dan cucunya agar menjaga adat istiadat suku Dayak di

mana pun berada.

Keempat, kepada seluruh rekan-rekan Program Studi Sastra Indonesia

Angkatan 2014. Terima kasih atas bantuan dan kerja sama selama kita menjadi

mahasiswa di USD.

Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

memberikan dukungan, sumbangan, dan bantuan dalam bentuk apapun kepada

penulis. Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam

penelitian ini dan masih jauh dari kata sempurna. Penulis berharap skripsi ini

dapat memberikan manfaat, khususnya bagi perkembangan ilmu Sastra Indonesia.

Yogyakarta, 19 Juni 2018

Penulis

Maria Fransiska

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

x

ABSTRAK

Fransiska, Maria. 2018. Unsur Budaya Dayak dan Tionghoa dalam Novel

Ngayau Karya Masri Sareb Putra. Skripsi. Yogyakarta: Sastra

Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini menganalisis unsur Budaya Dayak dan Tionghoa dalam

Novel Ngayau karya Masri Sareb Putra”. Penelitian ini bertujuan untuk (1)

mendeskripsikan struktur pembangun cerita yang mencakup tentang tokoh,

penokohan, dan latar dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra dan (2)

mendeskripsikan unsur budaya Dayak dan Tionghoa yang terdapat dalam novel

Ngayau karya Masri Sareb Putra.

Dalam menganalisis struktur pembangun cerita, menggunakan kajian

struktural. Analisis unsur budaya menggunakan teori unsur kebudayaan menurut

Koentjaraningrat. Penelitian ini menggunakan paradigma M.H Abrams yaitu

pendekatan objektif dan pendekatan mimetik. Dalam penelitian ini, metode

pengumpulan data yang dipakai adalah metode studi pustaka, metode analisis data

menggunakan metode analisis konten/isi, dan metode penyajian analisis data

menggunakan metode deskriptif kualitatif.

Hasil analisis struktur pembangun cerita novel Ngayau karya Masri Sareb

Putra. Tokoh utama adalah Lansau dan Siat Mei. Sedangkan, tokoh tambahan

terdiri dari A pa Mei, A kong Mei, Ahong, Sinfu, Sin Sang, Kek Longa, Domia,

dan Domamakng Bunso. Dalam menganalisis latar, peneliti membagi unsur latar

menjadi tiga bagian yaitu, latar tempat, latar waktu, dan latar sosial budaya. Latar

waktu yang dominan adalah tahun 1967 saat Peristiwa Mangkok Merah dan

tahun 1999 saat kerusuhan antaretnis pendatang di Kalimantan Barat. Latar tempat

yang paling dominan adalah negeri Poromuan. Latar sosial budaya yang meliputi

cara hidup, makanan, dan bahasa. Dalam penelitian ini ditemukan enam unsur-

unsur budaya Dayak yaitu: (1) Bahasa yang digunakan yaitu bahasa Dayak

Kanayatn dan Bahasa Dayak Djongkang (Djo). (2) Sistem pengetahuan yang

meliputi membaca musim, pengetahuan pengetahuan alam flora, dan sistem

pengetahuan adat-istiadat. (3) Sistem peralatan dan teknologi yang meliputi

senjata, tempat berlindung, perumahan, alat produksi, dan makanan. (4) Sistem

mata pencaharian hidup yang meliputi berburu, berladang, dan kerja tambang. (5)

Sistem religi yang meliputi kepercayaan animisme dan dinamisme, dan (6)

kesenian yang meliputi benda lama yang masih digunakan, kesusteraan berupa

mantra-mantra, cerita rakyat dan lagu daerah. Sedangkan, unsur-unsur budaya

Tionghoa terdapat empat unsur yaitu: (1) Bahasa yang meliputi bahasa Tio Ciu,

dialek hakka. (2) Sistem pengetahuan ruang dan waktu yaitu menentukan tanggal

perayaan Ceng Beng. (3) Sistem peralatan dan teknologi yang meliputi makanan

khas Tionghoa yaitu Kwee Cap. (4) Sistem mata pencaharian hidup etnis

Tionghoa yang meliputi berkebun, pasar terapung, berdagang, dan kerja tambang,

dan (4) Sistem religi Tionghoa yaitu konfusianisme.

Kata Kunci : Unsur, Budaya, Dayak, Tionghoa, Ngayau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xi

ABSTRACT

Fransiska, Maria. 2018. Cultural Elements Dayak and Tionghoa in Novel

Ngayau written by Masri Sareb Putra. An Undergraduate Thesis.

Yogyakarta: Indonesian Literature Study Program, Department of

Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This study is based on the elements of Dayak Culture and Tionghoa in

Ngayau written by Masri Sareb Putra. This study aims to (1) describing the

structure constructing the story including characters, characterizations, and setting

in Ngayau written by Masri Sareb Putra, and (2) describing the Dayak and

Tionghoa’s Cultural elements in Ngayau written by Masri Sareb Putra.

In analyzing the structure constructing the story, structural study was

used. Analysis of cultural elements using the theory of cultural elements based on

Koentjaraningrat. The paradigm of this study is based on M.H Abrams, which is

objective and mimetic approach. In this study, the research applied data collection

method as literature study method, data analysis method using content analysis

method/content, and method of data analysis using qualitative description method.

The result of structure constructing analysis the story analysis in Ngayau

by written by Masri Sareb Putra. The main characters are Lansau and Siat Mei.

While, the additional characters were A pa Mei, A kong Mei, Ahong, Sinfu, Sin

Sang, Kek Longa, Domia, and Domamakng Bunso. In analyzing the background,

the writer classified the elements of setting into three parts, which were setting of

time, setting of place, and socio-cultural setting. The setting of time dominant

was in 1967 during the RedBowl Flood and in 1999 during interracial inter-ethnic

riots in West Kalimantan. The setting of place dominant is Poromuan country.

Socio-cultural background that includes way of life, food, and language. In this

study found six elements of Dayak culture are: (1) The language used is Dayak

Kanayatn and Dayak Djongkang (Djo). (2) A system of knowledge which

includes season reading, knowledge of natural flora knowledge, and knowledge

systems of customs. (3) Equipment and technology systems including weapons,

shelter, housing, production equipment, and food. (4) Livelihood systems that

include hunting, farming, and mine work. (5) Religious systems that include

animism and dynamism, and (6) art that includes old objects still used, literature

of mantras, folklore and regional songs. Meanwhile, the elements of Tionghoa

culture there are four elements: (1) Languages that include the language Tio Ciu,

hakka dialect. (2) The system of knowledge of space and time is to determine the

date of celebration of Ceng Beng. (3) Equipment and technology system that

includes typical Tionghoa food that is Kwee Cap. (4) The livelihood system of

Tionghoa life that includes gardening, floating market, trading, and mining work,

and (4) Tionghoa religious system is Confucianism.

Keywords: Cultural Elements, Dayak, Tionghoa, Ngayau

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xii

DAFTAR ISTILAH

Abuh : Perapian tempat memasak

A kong : Kakek

A me : Ibu

A moi : Sapaan anak perempuan

A pa : Bapak

Atok : Takdir

Babae : Manusia yang sudah bosan hidup di bumi.

Baju : orang yang mempunyai ilmu atau kekebalan untuk melindungi

diri

Belantik : perangkap

Bikas : Busur yang terlepas

Bolopas : Melahirkan bayi

Bopacu : memberikan bekal atau nasihat kepada kedua mempelai

Boraupm : Berkumpul dan melakukan musyawarah saat akan me-ngayau dan

mendirikan betang

Bubu : Perangkap ikan terbuat dari bambu

Chang Fu : Istri

Ceng Beng : Sembahyang kubur

Hampatokng : Patung kayu

Jubata : Tuhan

Ka kon : Mertua laki-laki

Kasikng : Berupa duri, pecahan bambu, kayu, atau benda apa saja yang bisa

melukai dan tertinggal di badan seseorang.

Kolayak : Tikar terbuat dari anyaman rotan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xiii

Ku chong : Paman

Lawakng : Pintu

Lo pho : Istri

Lo thai sim : Abang ipar

Lotos : Pelita

Moici : Anak perempuan

Ngabas Poya : Melihat atau mengamati lahan atau tanah yang akan

menjadi area perladangan

Ngadoh : Membantu persalinan seorang ibu yang melahirkan

Ngayau : Tradisi memenggal kepala

Ngansu : Sumpit

Ngimpak : Senjata laras

Nugal : Menanam padi

Pantak : Patung dari kayu

Polopas : Tradisi menyentuh makanan dengan ujung jari

Pongamik : Bentuknya seperti ransel, terbuat dari anyaman rotan dan

kulit kayu. Talinya dari kulit kayu yang kuat.

Pongaretn : pemakaman umum yang sudah tidak terpakai lagi.

Puaka : Sesuatu, benda, atau peninggalan berharga milik bersama

yang harus senantiasa dijaga dan dipelihara.

Saor : jaring kecil

Tajau : wadah untuk menyimpan pati tuak.

Tajor : Mata kail

Tariu : Upacara memanggil ruh leluhur

Tepekong : Kuil

Thaiko : abang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xiv

Tikak : Semacam tas pinggang yang terbuat dari kulit kayu,

tempat menyimpan alat-alat perlengkapan berburu.

Tonok : Bambu muda

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .........................................................Error! Bookmark not defined.

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............Error! Bookmark not defined.

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .......................Error! Bookmark not defined.

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..........................Error! Bookmark not defined.

LEMBAR PENYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ................ Error!

Bookmark not defined.

HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................... Error! Bookmark not defined.i

MOTO .................................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ................................................................................................... viii

ABSTRAK ........................................................................................................................ x

ABSTRACT ........................................................................................................................ xi

DAFTAR ISTILAH ........................................................................................................ xii

DAFTAR ISI .................................................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 5

1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 6

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................ 6

1.4.1 Manfaat Teoritis ........................................................................ 6

1.4.2 Manfaat Praktis ......................................................................... 6

1.5 Tinjauan Pustaka .............................................................................. 6

1.6 Kerangka Teori ................................................................................. 7

1.6.1 Pendekatan Objektif dan Kajian Struktural .............................. 9

1.6.1.1 Tokoh ................................................................................... 10

1.6.1.2 Tokoh Berdasarkan Peranan ................................................ 10

(1) Tokoh Utama .............................................................................. 10

(2) Tokoh Tambahan ....................................................................... 11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xvi

1.6.1.3 Penokohan ............................................................................ 11

1.6.1.4 Latar ..................................................................................... 11

(1) Latar Tempat .............................................................................. 12

(2) Latar Waktu ................................................................................ 13

(3) Latar Sosial-Budaya ................................................................... 13

1.6.2 Pendekatan Mimetik ............................................................... 14

1.6.3 Sosiologi Sastra ....................................................................... 14

1.6.4 Teori Unsur-Unsur Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat .. 16

1.6.4.1 Bahasa .................................................................................. 17

1.6.4.2 Sistem Pengetahuan ............................................................. 18

1.6.4.3 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan ............................... 19

1.6.4.4 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi ............................... 20

1.6.4.5 Sistem Mata Pencaharian Hidup .......................................... 20

1.6.4.6 Sistem Religi ........................................................................ 20

1.6.4.7 Kesenian ............................................................................... 21

1.7 Metode Penelitian ........................................................................... 21

1.7.1 Jenis Penelitian ....................................................................... 22

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 23

1.7.3 Teknik Analisis Data .............................................................. 23

1.7.4 Teknik Penyajian Analisis Data .............................................. 24

1.8 Sistematika Penyajian ..................................................................... 25

BAB II STRUKTUR CERITA DALAM NOVEL NGAYAU KARYA

MASRI SAREB PUTRA

2.1 Pengantar ........................................................................................ 26

2.2 Tokoh dan Penokohan .................................................................... 26

2.2.1 Tokoh Utama .......................................................................... 27

2.2.1.1 Lansau .................................................................................. 27

2.2.1.2 Siat Mei ................................................................................ 30

2.2.2 Tokoh Tambahan .................................................................... 32

2.2.2.1 A pa Mei ............................................................................... 33

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xvii

2.2.2.3 Ben Teng .............................................................................. 34

2.2.2.5 A kong Mei ........................................................................... 35

2.2.2.4 Ahong ................................................................................... 35

2.2.2.6 Sinfu ..................................................................................... 37

2.2.2.7 Sin Sang ............................................................................... 38

2.2.2.8 Kek Longa ............................................................................ 39

2.2.2.9 Domia ................................................................................... 40

2.2.2.10 Domamakng Bunso ............................................................ 41

2.3 Latar ................................................................................................ 42

2.3.1 Latar Waktu ............................................................................ 42

2.3.1.1 Tahun 1967 .......................................................................... 43

2.3.1.2 Tahun 1999 .......................................................................... 44

2.3.2 Latar Tempat ........................................................................... 45

(1) Negeri Poromuan ....................................................................... 45

(2) Rumah Mei ................................................................................. 46

(3) Hutan .......................................................................................... 47

2.3.3 Latar Sosial-Budaya ................................................................ 47

2.4 Rangkuman ..................................................................................... 49

BAB III UNSUR-UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM

NOVEL NGAYAU KARYA MASRI SAREB PUTRA

3.1 Pengantar ........................................................................................ 51

3.2 Unsur-Unsur Budaya Dayak dalam novel Ngayau Karya Masri

Sareb Putra..................................................................................... 51

3.2.1 Bahasa ..................................................................................... 52

3.2.2 Sistem Pengetahuan ...................................................................... 58

3.2.2.1 Membaca Musim ....................................................................... 58

3.2.2.2 Sistem Pengetahuan Alam Flora ............................................. 59

(1) Daun Sabang Merah ......................................................................... 59

3.2.2.3 Sistem Pengetahuan Adat-istiadat ........................................... 60

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xviii

3.2.3 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi ..................................... 62

3.2.3.1 Senjata ......................................................................................... 62

3.2.3.2 Tempat Berlindung .................................................................... 63

3.2.3.3 Perumahan .................................................................................. 64

3.2.3.4 Alat Produksi ............................................................................. 65

3.2.3.5 Makanan ..................................................................................... 66

3.2.4. Sistem Mata Pencaharian Hidup ............................................... 67

(1) Berburu .............................................................................................. 67

(2) Berladang .......................................................................................... 67

(3) Kerja Tambang ................................................................................. 70

3.2.5 Sistem Religi ................................................................................. 70

3.2.6 Kesenian ......................................................................................... 71

3.2.6.1 Benda-benda Lama yang Masih Digunakan .......................... 72

3.2.6.2 Kesusasteraan............................................................................ 72

(1) Mantra saat Tariu ............................................................................. 72

(2) Mantra Nosu Minu (Menyerukan semangat/jiwa) ........................ 73

(3) Mantra Sokutuk Sokutokng .............................................................. 74

3.2.6.3 Cerita Rakyat ............................................................................. 74

3.2.6.4 Kisah Asal Usul Padi versi suku Dayak ................................. 75

3.2.6.5 Seni Musik .................................................................................. 76

3.2.6.6 Seni Rupa ................................................................................... 77

3.3 Unsur-unsur Budaya Tionghoa dalam novel Ngayau karya Masri

Sareb Putra ....................................................................................... 78

3.3.1 Bahasa ..................................................................................... 78

3.3.1.1 Sapaan Kekerabatan ............................................................. 79

(1) A kong ......................................................................................... 80

(2) Lo Pho ........................................................................................ 80

(3) A moi .......................................................................................... 80

(4) Moi Ci ......................................................................................... 80

(5) Ka Kon ....................................................................................... 80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

xix

(6) Ku Chong ................................................................................... 81

(7) Thaiko ......................................................................................... 81

(8) Chang Fu .................................................................................... 81

(9) Lo Thai Sim ................................................................................ 81

3.3.1.2 Istilah ................................................................................... 82

3.3.2 Sistem Pengetahuan ............................................................... 82

3.3.3 Sistem Peralatan dan Teknologi ............................................. 83

3.3.4 Sistem Mata Pencaharian Hidup ............................................. 84

(1) Berkebun .................................................................................... 84

(2) Pasar Terapung ........................................................................... 85

(3) Berdagang .................................................................................. 85

(4) Kerja Tambang ........................................................................... 86

3.3.5 Sistem Religi ........................................................................... 87

3.4 Rangkuman ............................................................................................. 87

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ..................................................................................... 89

4.2 Saran ............................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 95

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra sebagai produk budaya, merupakan institusi sosial. Sebagai

institusi sosial, karya sastra memiliki peran dan fungsi dalam rangka sosialisasi

nilai-nilai pendidikan, kritik sosial, dan penilaian terhadap kenyataan

masyarakatnya (Suhariyadi, 2014: 69). Selain berhubungan dengan masyarakat,

karya sastra juga dapat bersumber dari peristiwa sejarah. Peristiwa sejarah juga

motivasi seorang pengarang untuk menciptakan karya sastra. Menurut

Kuntowijoyo (2006: 171), objek karya sastra adalah realitas, apa pun dimaksud

dengan realitas oleh pengarang.

Sebagai gambaran tentang bagaimana kehidupan dalam bermasyarakat,

karya sastra juga dapat dikaji secara mendalam untuk menemukan apa yang

terjadi dalam masyarakat dan selanjutnya dituangkan dalam karya sastra. Jika

membaca cerita fiksi, kita akan bertemu dengan sejumlah tokoh, tempat, waktu,

dan latar belakang sosial budaya di mana cerita itu terjadi, dan lain-lain.

Kesemuanya tampak berjalan serempak dan saling mendukung. Misalnya,

bagaimana tokoh saling berhubungan, berbagai peristiwa saling terkait walaupun

pencitraannya berjauhan, bagaimana latar sosial budaya memfasilitasi dan

membentuk karakter tokoh dan lain-lain. Hal itu semuanya dapat berjalan dengan

baik, cerita dapat dipahami dengan baik, karena ada benang merah yang mengatur

dan menghubungkan semua elemen, yaitu struktur (Nurgiyantoro, 2015: 59).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

2

Aspek pendukung karya sastra adalah unsur yang membangun karya sastra

dari luar yang terkandung di dalamnya. Salah satu di antara unsur tersebut yaitu

kondisi masyarakat dari segi ekonomi, sosial, budaya, dan politik pada saat karya

sastra diciptakan. Koentjaraningrat (1990: 203) membagi unsur-unsur kebudayaan

menjadi tujuh unsur, yaitu (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi

sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian

hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian. Setiap kebudayaan mempunyai unsur

universal misalnya struktur sosial, sistem politik, ekonomi, teknologi, agama,

bahasa, dan sistem komunikasi. Semua unsur dan sistem kebudayaan tersebut

dapat kita temukan dalam kehidupan bermasyarakat, seperti halnya dalam

masyarakat Dayak dan Tionghoa yang juga mengenal beberapa unsur budaya dan

adat istiadat.

Menurut Coomans (1987: 71), nenek moyang penduduk Kukar berasal

dari dataran Asia yang kini disebut dengan propinsi Yunan, China Selatan. Para

nenek moyang ini merupakan kelompok-kelompok kecil pengembara yang

berhasil sampai di Pulau Kalimantan. Namun, masing-masing menempuh rute dan

waktu yang berbeda. Suku Dayak ini dibedakan menjadi dua wilayah, pertama

wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Sedangkan wilayah kedua

adalah Kalimantan Barat, Utara, dan Timur. Pembedaan ini dapat dilihat dari suku

Dayak yang mendiami Kalimantan bagian Utara, yang memiliki budaya dan

sistem imigrasi yang beda dengan mereka yang mendiami Kalimantan bagian

Selatan dan Tengah, imigrasi diperkirakan terjadi pada abad ke-13.

Nenek moyang Lansau juga datang lewat jalur yang sama, berabad-abad sebelumnya. Beda masa migrasi, menyebabkan yang satu dianggap asli,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

3

sedangkan yang lainnya dicap sebagai “pendatang” di bumi Borneo yang sama, dari asal yang sama (Putra, 2014: 105).

Golongan Cina yang sudah beradaptasi dengan alam dan budaya di

Kalimantan yaitu golongan ketiga. Mereka sudah tidak tahu asal-usul nenek

moyang. Keluarga Mei dan Thaiko adalah golongan ketiga ini. Migrasi nenek

moyang Lansau dan Mei hanya selang beberapa abad. Akan tetapi, mengapa yang

satu disebut Dayak? Sedangkan yang satunya Tionghoa, bahkan kerap didengar

dengan sebutan Cina yang merupakan sebuah negara. (Putra, 2014: 116).

Ngayau adalah sebuah novel berdasar sejarah karya Masri Sareb Putra.

Novel ini diterbitkan pertama kali pada Maret 2014 oleh Entertainment Essence

Center. Melalui novel tersebut, Masri Sareb Putra menggambarkan bahwa pada

tahun 1967 terjadi sebuah peristiwa besar yang mengakibatkan perang antara

Dayak dan Tionghoa.

Ngayau bercerita tentang seorang pemuda Dayak bernama Lansau dan

gadis keturunan Tionghoa Siat Mei, yang gagal menikah. Pernikahan mereka

dibatalkan oleh A pa Mei dengan alasan bahwa Siat Mei dan Lansau berbeda.

Akan tetapi, Mei tidak mengerti dengan perbedaan yang dimaksud oleh A pa nya.

Ciri-ciri fisik mereka hampir sama. Soal bahasa, mereka sama-sama bisa

menuturkan bahasa Dayak, dialek Khek, dan bahasa Indonesia. Makanan dan

kebiasaan juga sama. Pada saat itu, Ben Teng mendapatkan kabar akan terjadinya

balas dendam karena seorang panglima Dayak ditemukan terbunuh mengenaskan

di sebuah hutan. Beredar kabar bahwa pelakunya warga Tionghoa. Maka balas

dendam menunggu waktu. Kisah Ben Teng tersebut pun didengar oleh A pa Mei.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

4

Itulah alasan mengapa ia membatalkan pernikahan anak gadisnya dengan Lansau.

Saat tariu, ruh Panglima Burung merasuk ke dalam tubuh Lansau. Lansau

membawa terbang Mei dan ayahnya untuk menghindari amuk massa yang

dirasuki ruh-ruh leluhur. Mereka pun masuk di ruang penyekapan. Lansau pun

mengisahkan yang sebenarnya terjadi. Massa Dayak diprovokasi untuk menghalau

etnis Tionghoa di pedalaman. Lansau terpaksa menyelamatkan Mei dan

keluarganya seperti penculikan. A pa Mei yang mendengar isu orang Dayak akan

mengusir orang Tionghoa menjadi mafhum. Tujuannya membatalkan perkawinan

putrinya dengan Lansau didasarkan pertimbangan. Ada pihak yang khawatir jika

kedua suku bangsa bersatu maka akan menguasai pulau Borneo.

Karya ini diangkat sebagai objek material penelitian karena dua alasan.

Alasan pertama karena masalah sejarah dari dua etnis, Dayak dan Tionghoa yang

terkandung di dalamnya. Dalam Ngayau, dipaparkan tentang asal nenek moyang

suku Dayak dan Tionghoa yang sama-sama berasal dari daratan Yunan. Di

Singkawang, pendaratan pertama dari Cina secara besar-besaran pada abad ke-13.

Nenek moyang suku Dayak juga melewati jalur yang sama, berabad-abad

sebelumnya. Hanya beda masa migrasi, itulah yang menyebabkan yang satu dicap

pribumi, dan yang lainnya dicap sebagai pendatang.

Alasan kedua, karena suku Dayak Kalimantan yang tetap menjaga

kebudayaan dan tetap menjalankannya di zaman yang sudah modern. Begitu jelas

digambarkan oleh pengarang yang merupakan bagian dari masyarakat Dayak.

Contohnya, seperti perayaan Nosu Minu Podi, yaitu merupakan suatu upacara

sebagai ungkapan rasa syukur kepada Jubata (Tuhan) saat masa panen padi telah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

5

selesai. Tujuannya adalah sebagai penghormatan kepada roh padi dan memohon

restu untuk keberhasilan di tahun berikutnya.

Novel Ngayau terdiri atas 21 sub bab. Akan tetapi, ceritanya ada yang

terputus. Demikianlah kata “Headhunter” berevolusi dari masa ke masa. Pada

zaman dahulu, dalam setting novel ini, berarti mencari kepala musuh; kemudian

berevolusi ke dunia olahraga menjadi mengumpulkan piala sebagai tanda

kemenangan, dan kini berarti mencari pekerja (karyawan) yang andal. Intinya

sama memburu, mengumpulkan, dan hasilnya adalah tanda kekuatan (Putra, 2014:

188).

Dalam penelitian ini, peneliti akan membahas dua hal, yaitu struktur novel

Ngayau, serta unsur-unsur kebudayaan dalam novel Ngayau. Struktur novel

Ngayau yang akan dibahas mencakup tokoh, penokohan, dan latar dengan

pendekatan struktural. Kemudian, dilanjutkan dengan teori unsur-unsur

kebudayaan Koentjaraningrat.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1.2.1 Bagaimana struktur cerita dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra?

1.2.2 Bagaimana unsur-unsur kebudayaan Dayak dan Tionghoa dalam novel

Ngayau karya Masri Sareb Putra?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Mendeskripsikan struktur cerita dalam novel Ngayau karya Masri Sareb

Putra. Hal ini akan dibahas dalam Bab II.

1.3.2 Mendeskripsikan unsur-unsur kebudayaan Dayak dan Tionghoa dalam

novel Ngayau karya Masri Sareb Putra. Hal ini akan dibahas dalam Bab

III.

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi

pengembangan ilmu sastra Indonesia dan teori sastra, khususnya teori sosiologi

sastra.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan apresiasi sastra Indonesia,

khususnya novel berdasar sejarah Ngayau. Penelitian ini juga dapat menjadi

referensi studi sejarah suku Dayak dan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. Selain

itu, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian

selanjutnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Peneliti menemukan jurnal yang membahas tentang budaya Ngayau dan

jurnal tentang Peristiwa Mangkok Merah pada tahun 1967 di Kalimantan Barat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

7

Masri Sareb Putra merupakan penulis dari novel Ngayau. Dalam artikelnya

yang berjudul “Makna di Balik Teks Dayak Sebagai Etnis Headhunter” pada

tahun 2012 . Dalam pembahasannya, Masri membongkar mitos dengan mencari

hakikat dari sebuah teks atau realitas, dengan mengacu pada sejarah dan tradisi

pada waktu teks itu ditulis. Kemudian, mencari hakikat makna dari teks yang

ditulis para pelancong dan antropolog asing dari abad 18 hingga masa

kemerdekaan.

Dalam tulisannya yang berjudul “Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan

Barat pada tahun 1967”, Superman membahas bagaimana keterlibatan segelintir

masyarakat Cina dalam gerakan politik pada tahun 1963 di Kalimantan Barat yang

terhimpun dalam organisasi PGRS-Paraku yang pada awalnya merupakan gerakan

oposisi untuk melancarkan “Ganyang Malaysia”.

1.6 Kerangka Teori

Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian karya sastra menurut

M.H Abrams.

Dalam empat klasifikasi yang dilakukan oleh Abrams adalah realitas,

pencipta, karya, dan pembaca (1997: 17). Mengenai kritik sastra, Abrams

menjelaskan bahwa kritik sastra memiliki bentuk, metode, orientasi atau dasar

pendekatan kepada karya sastra.

Menurut Taum (2017), dalam reposisi paradigma M.H Abrams, terdapat

enam pendekatan dalam kritik sastra. Abrams memberikan peluang bagi kritik

sastra untuk menggulati aspek-aspek di luar teks, meskipun hal ini dipandang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

8

sebagai konteks pemahaman tekstual. Terdapat enam pendekatan kritik sastra

Abrams menurut Taum. Pendekatan objektif adalah pendekatan yang

menitikberatkan pada karya sastra itu sendiri. Pendekatan mimetik adalah

pendekatan yang menitikberatkan semesta. Pendekatan pragmatik adalah

pendekatan yang menitikberatkan pembaca. Pendekatan ekspresif adalah

pendekatan yang menitikberatkan penulis. Pendekatan eklektik adalah pendekatan

yang menggabungkan secara selektif beberapa pendekatan mimetik. Terakhir,

pendekatan diskursif adalah pendekatan yang menitikberatkan pada wacana sastra

sebagai sebuah praktik diskursif (Taum, 2017).

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua pendekatan yang

dikemukakan oleh Abrams, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan mimetik

sastra. Kedua pendekatan ini dipilih karena penelitian ini menitikberatkan pada

karya sastra itu sendiri dan unsur-unsur budaya yang terdapat dalam novel Ngayau

karya Masri Sareb Putra.

Dalam penelitian novel Ngayau, unsur intrinsik yang akan dibahas adalah

tokoh, penokohan, dan latar. Peneliti menganalisis kedua unsur tersebut karena

menunjukkan unsur-unsur kebudayaan Dayak dan Tionghoa. Keseluruhan

tersebut membangun novel Ngayau menjadi karya sastra yang menggambarkan

kehidupan nyata. Dalam penelitian ini juga digunakan teori sosiologi sastra, guna

untuk menganalisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian untuk

memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang ada di luar sastra (Damono, 1979:

2-3).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

9

1.6.1 Pendekatan Objektif dan Kajian Struktural

Pendekatan objektif adalah pendekatan yang menitikberatkan pada karya

sastra itu sendiri (Taum, 1997: 17). Pendekatan ini memfokuskan bagaimana isi

dan pembangun dari sebuah karya sastra itu sendiri. Pendekatan objektif dalam

penelitian ini guna menganalisis struktur pembangun cerita yang mencakup tokoh,

penokohan, dan latar yang terdapat dalam novel Ngayau. Hudayat dalam

Suhariyadi (2014: 60), mengemukakan bahwa pendekatan objektif memusatkan

perhatian semata-mata pada unsur-unsur karya sastra. Pendekatan ini mengarah

pada analisis intrinsik.

Dalam menganalisis struktur pembangun karya sastra, penulis

menggunakan teori struktural. Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai

susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi

komponennya secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Analisis

struktural karya sastra dalam hal ini fiksi, dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi, mengkaji, mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur

fiksi yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2002: 36-37).

Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni

membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra

dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom

dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang, dan segala hal

yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural mencoba

menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

10

kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw,

1984: 135)

Peneliti memilih unsur tokoh, penokohan, dan latar karena unsur-unsur

tersebut merupakan unsur yang paling berpengaruh dalam jalannya cerita. Unsur

tokoh dan penokohan mampu menjelaskan dari segi fisik, perwatakan, dan kondisi

sosial para tokoh dan mampu menjelaskan peran tokoh. Sedangkan, latar

dianalisis untuk mengetahui konteks, waktu, dan sosial-budaya dalam novel

Ngayau.

1.6.1.1 Tokoh

Tokoh adalah orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau

drama, oleh pembaca ditafsirkan kualitas moral dan kecenderungan tertentu

seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Tokoh menjadi unsur penggerak alur cerita.

1.6.1.2 Tokoh Berdasarkan Peranan

Aminuddin (2004: 79-80) menggolongkan tokoh berdasarkan peranan dan

keseringan pemunculannya, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan.

(1) Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu

cerita (Amminuddin, 2004: 79). Menurut Nurgiyantoro (2015: 268) dilihat dari

segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh tersebut tidak sama. Ada tokoh

tergolong penting dan ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi

sebagian besar cerita.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

11

(2) Tokoh Tambahan

Menurut Aminuddin (2004: 79-80), tokoh yang memiliki peranan yang

tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung

pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Pemunculan tokoh-

tokoh tambahan dalam keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan

kehadirannya hanya jika ada keterkaitannya dengan tokoh utama, baik secara

langsung mau pun tidak langsung (Nurgiyantoro, 2007: 177).

1.6.1.3 Penokohan

Penokohan adalah unsur penting dalam cerita fiksi. penokohan adalah

pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah

cerita. Unsur penokohan menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan

tokoh dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 2015: 248).

1.6.1.4 Latar

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada

pengertian tempat, hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1999: 284). Stanton

dalam Nurgiyantoro (2015: 302), mengelompokkan latar bersama tokoh dan plot,

ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat

diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca sebuah fiksi. Atau, ketiga

hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita

adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

12

pijakan, di mana, kapan, dan pada kondisi sosial-budaya masyarakat yang

bagaimana.

Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,

waktu, dan sosial-budaya.

(1) Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa

tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin nama lokasi

tertentu tanpa nama jelas. Latar tempat yang tanpa nama jelas biasanya hanya

berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa,

sungai, jalan, hutan, kota kecamatan, dan sebagainya. Pelukisan tempat tertentu

dengan sifat khasnya secara rinci biasanya menjadi sifat kedaerahan, berupa

pengangkatan suasana daerah, atau warna lokal (local color).

Pengangkatan suasana kedaerahan, sesuatu yang mencerminkan unsur

local color, akan menyebabkan latar tempat menjadi unsur yang dominan dalam

karya yang bersangkutan. Namun, perlu dipertegas bahwa sifat ketipikalan daerah

tidak hanya ditentukan oleh rincinya deskripsi lokasi, melainkan terlebih harus

didukung oleh sifat kehidupan sosial-budaya masyarakat penghuninya

(Nurgiyantoro, 2015: 314-315).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

13

(2) Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra fiksi. Masalah “kapan”

tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya

atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Masalah waktu dalam karya naratif,

Gennete dalam Nurgiyantoro (2015: 318), dapat bermakna ganda: di satu pihak

menunjuk pada waktu penceritaan, waktu penulisan cerita, dan di pihak lain

menunjuk pada waktu dan urutan waktu yang terjadi dan dikisahkan dalam cerita.

Pengangkatan unsur sejarah ke dalam cerita fiksi akan menyebabkan

waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat

fungsional sehingga tidak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa

mempengaruhi perkembangan cerita lain (Nurgiyantoro, 2015: 321).

(3) Latar Sosial-Budaya

Latar sosial budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan

perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya

fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam

lingkup yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,

tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain

yang tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya. Di samping itu,

latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang

bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 2015: 322).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

14

Ketika mengangkat latar tempat tertentu ke dalam cerita fiksi pengarang

perlu menguasai medan, keadaan itu juga terlebih berlaku untuk latar sosial-

budaya. Pengertian penguasaan medan lebih menunjuk pada penguasaan latar.

Jadi, ia mencakup unsur tempat, waktu, dan sosial-budaya sekaligus. Di antara

ketiganya tampaknya unsur sosial-budaya memiliki peranan yang cukup

menonjol. Latar sosial-budaya berperan menentukan apakah sebuah latar.

Khususnya latar tempat, menjadi khas, tipikal, dan fungsional, atau sebaliknya

bersifat netral. Dengan kata lain, untuk menjadi tipikal dan lebih fungsional,

deskripsi latar tempat harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial-budaya,

tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan

(Nurgiyantoro, 2015: 322-323).

1.6.2 Pendekatan Mimetik

Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mengutamakan aspek

semesta (Taum, 1997: 17). Pendekatan mimetik dalam penelitian ini guna

menjelaskan tentang teori sosiologi sastra dan teori unsur-unsur kebudayaan

menurut Koentjaraningrat dalam menganalisis novel Ngayau dalam penelitian ini.

Dengan pendekatan mimetik, dapat ditemukan adanya unsur-unsur kebudayaan

Dayak dan Tionghoa dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra.

1.6.3 Sosiologi Sastra

Pendekatan sosiologi sastra yang banyak dilakukan saat ini menaruh

perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sosial. Landasannya adalah

gagasan bahwa karya sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

15

beranggapan bahwa karya sastra merupakan cermin langsung dari pelbagai segi

struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam

hal ini tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh

khayali dan situasi-situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang

merupakan asal-usulnya. Tema dan gaya hidup yang ada dalam karya sastra yang

bersifat pribadi itu, harus diubah menjadi hal-hal yang sosial sifatnya (Saraswati,

2003: 4).

. Pendekatan sosiologi sastra dalam penelitian sastra bertolak dari pandangan

bahwa sastra merupakan pencerminan kehidupan masyarakat (Semi, 1989: 46).

Pendekatan sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan ini oleh

beberapa ahli sosiologi sastra. Istilah itu pada dasarnya tidak berbeda

pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis, atau pendekatan

sosiokultural terhadap sastra (Damono, 1979: 2). Manusia dalam kehidupannya,

tidak akan terlepas dari kebudayaan karena manusia adalah pencipta sekaligus

pengguna dari kebudayaan itu sendiri. Manusia hidup karena adanya kebudayaan

dan budaya tersebut akan terus hidup dan berkembang manakala manusia mau

melestarikan kebudayaan. Dengan demikian, manusia dan kebudayaan tidak dapat

dipisahkan satu sama lain, karena dalam kehidupannya tidak mungkin jika tidak

berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan (Soemardjan, 1964: 155).

Ritzer (dalam Faruk, 1994: 2) menganggap sosiologi sastra sebagai sesuatu

ilmu pengetahuan yang multiparadigma. Maksudnya, di dalam ilmu tersebut

dijumpai beberapa paradigma yang saling bersaing satu sama lain dalam usaha

merebut hegemoni dalam lapangan sosiologi sastra secara keseluruhan. Ada tiga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

16

paradigma yang Ritzer temukan ialah paradigma fakta-fakta sosial, paradigma

definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

1.6.4 Teori Unsur-Unsur Kebudayaan Menurut Koentjaraningrat

Menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan gagasan,

tindakan, dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan

milik dari manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009: 153). Hal tersebut

berarti bahwa hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan karena hanya

sedikit kegiatan manusia yang tanpa belajar, Hal itu disebut tindakan naluri,

refleks, dan sebagainya. Kemampuan manusia dapat mengembangkan konsep-

konsep yang ada dalam kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan dari

kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata kelakukan yang

didapatkannya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan

masyarakat (Koentjaraningrat, 1974: 79). Kebudayaan merupakan hasil buah

pikiran manusia atas apa yang didapatnya dari apa yang manusia ketahui, apa

yang dirasakan dan apa yang didapatkan dari alam semesta. Manusia selalu

bertindak atau berbuat berdasarkan pola pikirannya atas apa yang diketahui dan

dirasakan.

Ada juga nilai budaya yang terkandung dalam kebudayaan. Nilai budaya

adalah tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Nilai

budaya berfungsi juga sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi

sebagai konsep, suatu budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup

yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

17

Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret, maka nilai-

nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam

jiwa para individu yang menjadi warga dan kebudayaan yang bersangkutan

(Koentjaranigrat, 2009: 153).

Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat 1996: 80), juga mengungkapkan

adanya unsur-unsur yang meliputi suatu kebudayaan. Unsur-unsur tersebut saling

berkaitan satu dengan yang lainnya dalam sistem kehidupan manusia. Ketika

hendak menganalisis membagi keseluruhan itu ke dalam unsur-unsur besar yang

disebut unsur kebudayaan universal atau cultural universals yang berarti pasti

dimiliki oleh setiap masyarakat yang ada di muka bumi ini. Tujuh unsur-unsur

kebudayaan itu adalah: (1) Bahasa, (2) Sistem Pengetahuan, (3) Organisasi Sosial

dan Kemasyarakatan, (4) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, (5) Sistem Mata

Pencaharian Hidup, (6) Sistem Religi, (7) Kesenian.

1.6.4.1 Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia

untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun

gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau

kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat

menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan

sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Fungsi

bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan

alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan, fungsi bahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

18

secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari,

mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk

mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi (Koentjaraningrat, 2002).

1.6.4.2 Sistem Pengetahuan

Menurut Koentjaraningrat (1977: 273), sistem pengetahuan memiliki tujuh

objek. Pertama, alam sekitar manusia, contohnya pengetahuan tentang musim-

musim. Kedua, alam flora, terutama untuk masyarakat yang hidup dari bercocok

tanam dan bertani. Ketiga, alam fauna, terutama bagi masyarakat yang hidup dari

berburu. Keempat, bahan-bahan mentah yang dapat memudahkan manusia untuk

mempergunakan alat-alat hidupnya. Kelima, tubuh manusia, yaitu ilmu untuk

menyembuhkan penyakit secara tradisional. Keenam, sifat-sifat dan kelakuan

manusia, yaitu pengetahuan tentang sopan-santun, adat-istiadat, sistem norma-

norma, serta hukum adat. Ketujuh, ruang dan waktu, yaitu ilmu untuk

menghitung, mengukur, menimbang, atau menentukan tanggal.

Spradley (dalam Kalangie, 1994) menyebutkan, bahwa pengetahuan

budaya itu bukanlah sesuatu yang bisa kelihatan secara nyata, melainkan

tersembunyi dari pandangan, namun memainkan peranan yang sangat penting

bagi manusia dalam menentukan perilakunya. Pengetahuan budaya yang

diformulasikan dengan beragam ungkapan tradisional itu sekaligus juga

merupakan gambaran dari nilai-nilai budaya yang mereka hayati.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

19

Nilai budaya sebagaimana dikemukan oleh Koentjaraningrat (2002) adalah

konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu

masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam

hidup. Suatu sistem nilai budaya, yang sifatnya abstrak, biasanya berfungsi

sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

1.6.4.3 Organisasi Sosial dan Kemasyarakatan

Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi; kekerabatan,

organisasi politik, norma atau hukum, perkawinan, kenegaraan, kesatuan hidup,

dan perkumpulan. Sistem organisasi adalah bagian kebudayaan yang berisikan

semua yang telah dipelajari yang memungkinkan bagi manusia

mengkoordinasikan perilakunya secara efektif dengan tindakan-tindakan orang

lain (Syani, 1995). Yang termasuk organisasi sosial adalah sistem kekerabatan,

sistem komunitas, sistem pelapisan sosial, sistem pimpinan, sistem politik

(Koentjaraningrat, 1980: 207).

Kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial.

Kekerabatan suatu masyarakat dapat digunakan untuk menggambarkan struktur

sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial

yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan

perkawinan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

20

1.6.4.4 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Sistem peralatan hidup dan teknologi meliputi, alat-alat produksi, senjata,

wadah, makanan, dan jamu-jamuan, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan

perumahan, serta alat-alat transportasi (Koentjaraningrat, 1990: 343).

1.6.4.5 Sistem Mata Pencaharian Hidup

Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebagai

homo economicus yang menjadikan kehidupan manusia terus meningkat. Dalam

tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan. Akan

tetapi, dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat. Setelah

bercocok tanam, kemudian beternak yang terus meningkat (rising demand) yang

kadang-kadang serakah. Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi

meliputi jenis pekerjaan dan penghasilan (Koentjaraningrat, 2002).

Sistem mata pencaharian hidup tradisional meliputi berburu dan meramu,

beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan bercocok tanam

menetap dengan irigasi (Koentjaraningrat, 1980: 358).

1.6.4.6 Sistem Religi

Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup, komunikasi

keagamaan, dan upacara keagamaan. Definisi kepercayaan mengacu kepada

pendapat Fishbein dan Azjen (dalam Soekanto, 2007) yang menyebut pengertian

kepercayaan atau keyakinan dengan kata “belief”, yang memiliki pengertian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

21

sebagai inti dari setiap perilaku manusia. Aspek kepercayaan tersebut merupakan

acuan bagi seseorang untuk menentukan persepsi pribadi maupun pengalaman

sosial.

1.6.4.7 Kesenian

Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari

ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun

telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan

berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian

yang kompleks. Kesenian yang meliputi; seni patung/pahat, seni rupa, seni gerak,

lukis, gambar, rias, vokal, musik/seni suara, bangunan, kesusastraan ,dan drama

(Koentjaraningrat, 2002). Sehingga dapat diperoleh pengertian mengenai

kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan

meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia sehingga

dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan bersifat abstrak.

1.7 Metode Penelitian

Metode berasal dari kata methodos, bahasa Latin, yang berasal dari akar

kata meta dan hodos. Meta berarti menuju, melalui, mengikuti, sesudah,

sedangkan hodos berarti jalan, cara, arah (Ratna, 2006: 34). Penelitian adalah

usaha untuk memperoleh fakta atau prinsip dengan cara mengumpulkan dan

menganalisis data (informasi) yang dilaksanakan dengan teliti, jelas, sistematik,

dan dapat dipertanggungjawabkan (Wasito, 1992:6).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

22

Pada bagian ini akan dipaparkan jenis penelitian, teknik pengumpulan

data, teknik analisis data, dan teknik penyajian analisis data. Berikut akan

dipaparkan ketiga bagian tersebut.

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat analisis kualitatif

yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan lain-lain

secara holistik dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata, bahasa pada suatu

konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah

(Moeloeng, 2007:6). Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu penelitian

yang menggunakan kata-kata sebagai bahasa kajiannya dengan mendekripsikan

hasil analisis yang telah berhasil dilakukan dan dimulai dari dasar.

Penelitian ini menggunakan paradigma M.H Abrams menurut Taum.

Menurut Abrams, kritik sastra adalah studi yang berhubungan dengan

pendefinisian, penggolongan, penguraian (analisis), dan penilaian (evaluasi)

(Pradopo, 2002: 18).

Pendekatan kritik sastra menurut Abrams dibedakan menjadi enam yaitu:

pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif, pendekatan

objektif, pendekatan eklektik, dan pendekatan diskursif. Dalam penelitian ini,

peneliti hanya memfokuskan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu:

pendekatan objektif dan pendekatan mimetik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

23

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka dan

teknik simak dan teknik catat. Metode studi pustaka digunakan untuk

mendapatkan data yang ada, yaitu sebuah novel berjudul Ngayau, buku-buku

referensi, dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan objek tersebut. Sedangkan,

teknik simak digunakan untuk menyimak teks sastra yang telah dipilih sebagai

bahan penelitian. Teknik catat digunakan untuk mencatat hal-hal yang dianggap

sesuai dan mendukung penulis dalam memecahkan rumusan masalah. Teknik

catat merupakan lanjut dari teknik simak (Sudaryanto, 1993: 135).

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah

Judul buku : Ngayau

Pengarang : Masri Sareb Putra

Tahun Terbit : 2014 (Cetakan Kedua)

Penerbit : Entertainment Essence Center

Halaman : 373 halaman

1.7.3 Teknik Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

analisis isi/konten (content analisys). Metode ini mengungkapkan karya sastra

sebagai bentuk komunikasi antar pembaca dan pengarang. Menurut Arikunto

(2006: 231), analisis konten yaitu mengungkap makna simbolik yang tersamar

dalam karya sasrta. Pada metode ini, peneliti sebagai pembaca mampu memahami

hal-hal yang disampaikan oleh pengarang sebagai objek penelitian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

24

Data pada penelitian karya sastra berupa struktur pembangun cerita yang

dianalisis menggunakan teori kajian struktural. Dalam penelitian ini, penulis akan

mengkaji dua struktur pembangun cerita, yaitu: tokoh penokohan, dan latar.

Dalam membahas unsur-unsur budaya, peneliti akan menggunakan teori unsur-

unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat yang ada di dalam objek material.

1.7.4 Teknik Penyajian Analisis Data

Metode penyajian analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah

metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif adalah metode yang hasil

analisis datanya berupa pemaknaan karya sastra yang disajikan secara deskriptif.

Metode kualitatif memanfaatkan cara penafsiran dengan menyajikannya dalam

bentuk deskripsi. Metode ini memberikan perhatian terhadap data ilmiah, data

dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Metode deskriptif adalah

prosedur pematahan/pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan

atau melukiskan keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan faktor-

faktor yang tampak sebagaimana adanya. Melalui metode ini, peneliti

menggambarkan fakta-fakta yang terkumpul harus diolah atau ditafsirkan (Ratna,

2004: 4647). Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan secara

deskriptif dengan hasil analisis berupa data kualitatif.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

25

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini disajikan dalam empat bab. Keempat bab tersebut antara satu

dengan yang lainnya saling berkaitan. Pembagian tiap bab tersebut adalah sebagai

berikut:

Bab I merupakan bab yang berisi pendahuluan yang mencakup latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian,

landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.

Bab II merupakan bab yang berisi analisis struktur cerita dalam novel

Ngayau, meliputi tokoh dan penokohan, serta latar.

Bab III merupakan bab yang berisi analisis unsur-unsur budaya Dayak dan

Tionghoa yang tergambar dalam novel Ngayau.

Bab IV merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

26

BAB II

STRUKTUR CERITA DALAM NOVEL NGAYAU KARYA

MASRI SAREB PUTRA

2.1 Pengantar

Dalam Bab II akan dipaparkan mengenai struktur cerita yang terdiri dari

tokoh, penokohan, dan latar. Analisis struktural merupakan kajian untuk

mendeskripsikan unsur pembangun yang ada dalam karya sastra dan

menggambarkan hubungan antarunsur tersebut untuk memperoleh kesatuan

makna. Unsur tokoh, penokohan, serta latar saling terkait dan dipilih sebagai

unsur yang perlu dikaji dalam penelitian ini karena unsur-unsur tersebut

selanjutnya nantinya akan dikaitkan dengan analisis unsur-unsur budaya Dayak

dan Tionghoa yang akan dibahas dalam bab III.

Berikut akan dipaparkan hasil analisis kedua unsur pembentuk karya sastra

tersebut dalam novel Ngayau sebagai objek material penelitian ini.

2.2 Tokoh dan Penokohan

Dalam penelitian ini, hanya sebagian dari para tokoh yang akan dianalisis.

Tokoh-tokoh tersebut dipilih karena kaitannya dengan unsur-unsur budaya Dayak

dan Tionghoa. Dalam novel Ngayau terdapat sejumlah tokoh yang memiliki

pengaruh besar terhadap terjadinya sebuah peristiwa sehingga membentuk cerita

yang berkesinambungan. Berikut beberapa tokoh yang akan dianalisis: Lansau,

Siat Mei, A pa Mei, Ben Teng, A kong Mei, Ahong, Sinfu, Sin Sang, Kek Longa,

Domia, dan Domamakng Bunso. Sepuluh tokoh tersebut akan dianalisis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

27

berdasarkan peran dan pentingnya seorang tokoh dalam cerita fiksi secara

keseluruhan yang akan dibagi menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan.

2.2.1 Tokoh Utama

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam karya

sastra. Dalam novel Ngayau, tokoh utama terdiri dari dua orang, yaitu Lansau dan

Siat Mei. Peran tokoh utama adalah penentu perkembangan jalannya cerita secara

keseluruhan. Mereka dikategorikan sebagai tokoh utama karena sering muncul

dalam cerita.

2.2.1.1 Lansau

Lansau merupakan salah satu tokoh utama dalam novel Ngayau. Hal

tersebut didasari kemunculannya yang cukup banyak dalam penceritaan.

Lansau adalah suami dari Siat Mei yang merupakan seorang pemuda

Dayak. Dalam Ngayau, pengarang tidak menyebutkan Lansau dari sub suku

Dayak mana pun. “Itu tentang masa lalu,” sembari menepuk bahu lelaki itu.

“Kamu ini chang fu aku!” (Putra, 2014: 153). Pernikahan mereka pernah

dibatalkan oleh a pa Mei saat terjadinya perang Dayak kontra Tionghoa karena

provokasi. Berikut ini adalah kutipannya.

Kisah Ben Teng dicerna a pa Mei dengan saksama. Itu yang membuat a pa

Mei tiba-tiba membatalkan perkawinan anak gadisnya dengan Lansau (Putra,

2014: 63).

Dalam situasi tegang saat tariu, di mana ruh leluhur mencari tubuh yang bisa

dirasuki, saat itu Lansau menyelamatkan Mei dan a pa-nya. Lansau pandai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

28

melucu dan mencairkan suasana. Ia memegang perut yang kena tonjok a pa Mei.

Mei berusaha membantu Lansau untuk bangkit berdiri. Ketika berdiri, Lansau

seperti tidak terkena sepukul pun. Melihat Mei dan a pa-nya seperti tak percaya.

Lansau berusaha mencairkan suasana. “Untung panglima burungku tidak apa-apa”

katanya (Putra, 2014: 80).

Secara fisik, tidak digambarkan bagaimana kondisi fisik Lansau. Akan

tetapi, pengarang menjelaskan bahwa ciri fisik orang Dayak dan Tionghoa hampir

sama. Ciri fisik keduanya yang notabene bermata sipit, kulit berwarna kuning

langsat, dan rambut lurus berwarna hitam. Ciri-ciri fisik, mereka hampir sama.

Soal bahasa, mereka sama-sama bisa menuturkan bahasa Dayak, dialek Khek, dan

bahasa Indonesia. Makanan dan kebiasaan juga sama. (Putra, 2014: 48).

“Lansau, kamulah titisanku dalam perang ini” kata Panglima Burung, seraya

menghentikan pengejaran dua sasaran tak bertanda itu setelah merasuk tubuh

Lansau.” (Putra, 2014: 75).

Dari kutipan tersebut, Lansau adalah titisan Panglima Burung karena saat

tariu, Panglima Burung memilih masuk ke tubuh Lansau.

Lansau membawa lari Mei dan a pa-nya secepat cahaya. Panglima Burung

yang dipanggil lewat tariu memilih masuk raga pemuda itu (Putra, 2014: 75).

Dalam Ngayau, Panglima Burung adalah sebuah gelar. Orang Dayak dalam

kesehariannya, tidak dapat lepas dari burung sebagai pemberi tanda. Memiliki

kekuatan magis, dan bertugas memata-matai kekuatan musuh, dan meluncur

secepat cahaya ke medan laga (Putra, 2014: 25). Saat tariu, Lansau yang

merupakan pemimpin manusia kepala merah membawa lari Mei dan A pa-nya ke

sebuah ruangan penyekapan. Di sana, Lansau pun mengisahkan apa yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

29

sebenarnya terjadi. Massa Dayak diprovokasi untuk menghalau etnis Tionghoa di

pedalaman tanpa kecuali (Putra, 2014: 77). Lansau berusaha menyelamatkan Mei

beserta keluarganya dan terpaksa melakukannya seperti penculikan. Akhirnya,

Lansau menitipkan Mei dan a pa-nya di truk menuju kota (Putra, 2014: 86). Di

samping itu juga, Lansau berusaha mencari ibu Mei. Lansau merasa bertanggung

jawab untuk menemukan ibu Mei dalam keadaan hidup atau mati. Haru biru pun

menyelimuti saat mereka akan berpisah. Suasana tersebut terdapat dalam kutipan

berikut.

Tak terasa, sebutir air jatuh dari pelupuk matanya. Hanya setitik. Sebab

pantang bagi lelaki, apalagi ksatria untuk menangis! Anehnya, panglima

perang seperti Lansau pun bisa terharu (Putra, 2014: 86).

Saat tariu dan masih dirasuki ruh leluhur, Lansau membawa a pa Mei

mengungsi ke Singkawang (Putra, 2014: 101). A pa Mei ditinggalkan di sebuah

rumah adat yang terbuat dari bahan kayu besi bersama orang yang Lansau panggil

Pak Miguk. Belum sempat mencerna situasi, Lansau pamit kepada a pa Mei untuk

pergi berperang, yang dianggap Lansau sebagai tugasnya menyelamatkan

khalayak ramai.

Dalam novel Ngayau, tokoh Lansau adalah sahabat Ahong, pemimpin

pasukan seribu kuil yang merupakan abang dari Siat Mei. Ahong menyapa Lansau

dengan sebutan “thai sim”. Saat itu, Lansau hanya sebatas suka kepada Mei.

Persahabatan antara Lansau dan Ahong terdapat dalam kutipan percakapan

berikut.

Namun, raut muka kesedihan serta merta berubah menjadi keterkejutan. “Lo

thai sim! Kata thaiko. “Lansau, ka. . . kamu? Apa saya tak salah melihat?

“Tidak salah penglihatanmu, akulai ini!” kata Lansau. “Dan kau, ako Ahong,

kenapa di sini?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

30

Kedua sahabat itu berpelukan. Lansau dan Ahong. Ahong adalah nama asli

pemimpin pasukan seribu kuil. Oleh Mei, abang kandungnya, ia dipanggil

“thaiko”. Sementara Lansau sudah biasa menyapa sahabatnya dengan sebutan

kelakar “thai sim”, meski antara Lansau dan Mei baru sebatas suka sama suka

waktu Lansau meninggalkan kampung seberang sungai untuk sekolah ke kota

tiga tahun lalu. . . . (Putra, 2014: 130).

Dari pernikahannya dengan Siat Mei, Lansau dikaruniai seorang anak

perempuan yang tidak disebutkan namanya oleh pengarang. Saat itu, Lansau, Mei

beserta anaknya berziarah ke pemakaman a pa Mei. Hal tersebut dapat dilihat

dalam kutipan berikut.

“Kasih hormat, itu akong!” kata Mei pada seorang gadis, seusia seperti

dirinya juga ketika dulu dievakuasi, sembari memberi padanya hio yang

menyala (Putra, 2014: 149).

2.2.1.2 Siat Mei

Siat Mei merupakan salah satu tokoh utama selain Lansau. Kehadirannya

cukup dominan dalam cerita dalam novel Ngayau. Peristiwa perang yang

dialaminya bersama a me, a pa-nya, dan suaminya, Lansau yang menjadi patokan

penceritaan.

Siat Mei adalah seorang gadis Tionghoa yang sejak kecil sudah tinggal

dalam lingkungan orang Dayak. Ia dipanggil Moici (sapaan anak perempuan

dalam bahasa Hakka) oleh ayahnya. Mei merupakan anak seorang pedangang

kelontong. Ia merupakan istri Lansau yang merupakan seorang pemuda Dayak.

Pernikahan mereka pernah dibatalkan oleh a pa Mei. Siat Mei sudah berteman

dengan Lansau sedari SD hingga SMP.

Penokohan Siat Mei dapat dilihat dalam beberapa kutipan berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

31

“Tiba-tiba Siat Mei merasa pusing. Dunianya serasa berhenti berputar.

Pemandangan jadi gelap. Ia tidak mengerti mengapa upacara perkawinannya

dengan Lansau harus dibatalkan. Kami kan sejak es de selalu berteman, a

pa.” kata Siat Mei, tidak mengerti. Ia masih tidak percaya yang dikatakan a

pa-nya. “Kenapa hubungan kami harus diputus?” (Putra, 2014: 47-48).

Dari segi fisik, kebiasaan, dan bahasa Siat Mei sama sekali tidak merasa

berbeda dengan Lansau karena sejak kecil Mei sudah tinggal dalam lingkungan

orang Dayak .

“Heran saja Siat Mei mendengar kata-kata a pa-nya. sama sekali ia tidak

merasa berbeda sedikitpun dengan Lansau, kecuali jenis kelamin. Ciri-ciri

fisik mereka hampir sama. Soal bahasa, mereka sama-sama bisa menuturkan

bahasa Dayak, dialek Khek, dan bahasa Indonesia. Makanan dan kebiasaan

juga sama.” (Putra, 2014: 48).

Siat Mei digelari Dara Juanti karena kecantikannya. Dara berarti dara atau

putri, jika pria maka bujang atau abang. Sedangkan Juanti berarti: mahkluk air

yang sangat jelita, atau indah sekali seperti anggrek.

Lansau perlahan membelai rambut Mei yang panjang terurai disisir angin

pantai Pasir Panjang. lalu menatap wajah wanita itu: masih seperti dulu.

Molek jelita sehingga digelari Dara Juanti” (Putra, 2014: 153)

Dalam masyarakat Kalimantan Barat, Dara Juanti merupakan cerita rakyat,

khususnya Kabupaten Sintang. Putri Dara Juanti yang terkenal dalam sejarah

kerajaan Sintang yang membawa perhubungan dengan tanah jawa. Dalam

sejarahnya, Dara Juanti berlayar ke ranah Jawa untuk membebaskan saudaranya

Demong Nutup (di Jawa dikenal dengan nama Adipati Sumintang) yang ditawan

oleh salah satu kerajaan di Jawa. Di pelabuhan Tuban, Dara Juanti dihadang oleh

prajurit kerajaan dan merupakan pertemuan pertama dengan seorang patih dari

Majapahit yaitu Patih Loh Gender. Dari pertemuan itu, keduanya semakin dekat.

Akhirnya Patih Loh Gender pergi ke Sintang untuk melamar Dara Juanti. Namun,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

32

Patih Loh Gender harus kembali ke Tanah Jawa karena harus memenuhi

persyaratan yang diminta Dara Juanti. Persyaratan tersebut di antaranya, keris

elok tujuh berkepala naga, empat puluh kepala, dan empat puluh dayang-dayang.

Pinangan sudah terpenuhi, selain itu Patih Loh Gender menyerahkan barang

pinangan lainnya seperti seperangkat alat musik, patung burung garuda terbuat

dari emas, dan sebongkah tanah majapahit. Pinangan berhasil, pernikahan pun

diselenggarakan.

Dalam catatan sejarah, pernikahan Putri Dara Juanti dengan Patih Loh Gender

diperkirakan pada tahun 1401 M, karena pada saat pernikahan usia Dara Juanti

berusia 27 tahun. Sedangkan Patih Loh Gender diperkirakan di atas 50 tahun.

Sebelumnya, Patih Loh Gender sudah memiliki istri dan memiliki tiga orang anak.

Dari pernikahannya dengan Lansau, Mei dikaruniai seorang anak perempuan

yang tidak disebutkan namanya oleh pengarang. Saat itu, Lansau, Mei beserta

anaknya berziarah ke pemakaman a pa Mei. Hal tersebut dapat dilihat dalam

kutipan berikut.

“Kasih hormat, itu akong!” kata Mei pada seorang gadis, seusia seperti

dirinya juga ketika dulu dievakuasi, sembari memberi padanya hio yang

menyala (Putra, 2014: 149).

2.2.2 Tokoh Tambahan

Tokoh-tokoh lain yang ada dalam novel Ngayau adalah a pa Mei, Ben

Teng, A kong Mei, Ahong, Sinfu, Sin Sang, Kek Longa, Domia, dan Domamakng

Bunso. Tokoh tambahan dalam novel ini kehadirannya diperlukan untuk

mendukung tokoh utama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

33

2.2.2.1 A pa Mei

A pa Mei adalah ayah dari Siat Mei. Dalam novel Ngayau, pengarang

tidak menyebutkan siapa nama dari ayah Mei. Pengarang hanya menyebutkan

sapaan a pa. A pa adalah panggilan untuk ayah dalam bahasa Tionghoa, dialek

Hakka. Dari segi fisik, ayah Mei digambarkan dengan jelas sebagai seorang pria

keturunan Tionghoa yang berkulit kuning, berambut lurus hitam, gemuk, dan

bermata sipit.

“Batalkan segera! Kata seorang pria setengah baya, berkulit kuning rambut

lurus hitam, agak gendut, dan bermata sipit.” (Putra, 2014: 46).

Beberapa orang keturunan Tionghoa kesulitan melafalkan bunyi R, demikian

juga dengan a pa Mei. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Kita olang pendatang, halus pandai-pandai. Harus pandai belgaul. Kalau

jodo, kawin pun tadak masalah,” thaiko masih ingat kata-kata a pa-nya yang

tak lain juga adalah a pa Mei (Putra, 2014: 120).

Dari perwatakannya, Ayah Mei sangat menyayangi anak perempuan semata

wayangnya, Siat Mei yang terpaksa ia batalkan perkawinannya dengan Lansau

sehari menjelang acara.

“Mungkin, saat ini menyakitkan. Namun, suatu hari, kamu akan mengerti.

Maafkan a pa, kata pria itu. “Moici, a pa sayang kamu!” katanya sembari

memeluk, kemudian mencium anak gadisnya.” (Putra, 2014: 48).

Ayah Mei adalah seorang yang suka membaca dan jago silat sejak remaja.

Akan tetapi, dia mudah terhasut, mudah percaya dengan berita yang belum tentu

kebenarannya. Dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

34

Adakah sebuah ungkapan ntuk menggambarkan rasa takut dan ingin tahu,

campur baur jadi satu seperti saat ini dialami a pa Mei? Meski hanya

pedagang kelontong di desa, a pa Mei sebenarnya suka baca. Bacaan apa saja,

terutama membaca literatur-literatur ilmu sosial dan kebudayaan (Putra, 2014:

68).

A pa Mei sudah mencium gelagat adu domba sejak kabar ia terima dari

tauke-nya di Sanggau. “Kita olang selalu jadi kolban,” kata Ben Teng, sang

tauke. “Kelja susah payah, sudah makmul, e. . . . tahu-tahu diusil pelgi!

(Putra, 2014: 59).

Lansau yang tidak menduga, roboh seketika oleh pukulan aneh a pa Mei yang

sejak remaja sudah ikut bela diri. Dari mana lelaki gemuk, berkulit kuning,

bermata sipit itu mendapat jurus demikian aneh? Lansau tak mengerti (Putra,

2014: 72).

Dari segi sosial, Ayah Mei adalah seorang pedagang kelontong.

Kelontongnya dibakar massa saat tariu terjadi. Hal ini terlihat dalam kutipan

berikut..

“Inikah yang menyebabkan pedagang kelontong itu membatalkan perkawinan

anak gadisnya yang tinggal menghitung jam?” (Putra, 2014: 52).

Dan bunyi itu semakin dekat dengan bantaran sungai tempat tinggal Mei,

sekaligus toko kelontong milik keluarganya,” (Putra, 2014: 68).

A pa Mei adalah seorang ayah yang lemah lembut. Terlihat saat Ahong

mengingat kembali apa yang telah a pa-nya sampaikan kepadanya.

“Kita olang pendatang, halus pandai-pandai. Harus pandai belgaul. Kalau

jodo, kawin pun tadak masalah,” thaiko masih ingat kata-kata a pa-nya yang

tak lain juga adalah a pa Mei. Sayang sekali! Thaiko tidak mendengar bahwa

kata-kata yang sama disangkal sendiri oleh sang ayah. A pa mereka yang

lemah lembut, suatu malam tidak seperti biasanya. A pa memanggil Mei. Dan

dengan nada tinggi membentak anak gadisnya (Putra, 2014: 120).

2.2.2.3 Ben Teng

Ben Teng adalah teman a pa Mei yang merupakan orang kaya di Sanggau.

Ben Teng lahir dan dibesarkan di Borneo. Ia digambarkan sebagai orang yang

senang bersosialisasi dan memiliki banyak relasi saat isu perang akan dimulai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

35

Wajib baginya untuk tidak membatasi komunikasi dan relasi. Dalam hal ini, Ben

Teng memanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan. Sama seperti Siat Mei, Ben

Teng sama sekali tidak merasa berbeda dengan orang Dayak. Ben Teng adalah

penyuplai logistik saat PGRS/Paraku di wilayah perbatasan. Dari cara

berbicaranya, Ben Teng masih kental menggunakan dialek Hakka.

Ben Teng adalah tauke besar di Sanggau. Kekayaan yang dimilikinya tak

terhingga. Mungkin cukup untuk tujuh keturunan. Hampir semua pedagang

dari mulai pesisir hingga pedalaman dikuasainya. Ben Teng dan a pa Mei

lahir dan dibesarkan di bumi Borneo. “Kita melasa olang Cin dali seblang!”

kata Ben Teng suatu pagi, ketika bersama a pa Mei sedang kongkow-

kongkow. “Kita olang Cin wajib mengangkat delajar olang Dayak. Sebab

meleka sama sepelti kita, kita juga dali negeli yang sama! (Putra, 2014: 61).

Ben Teng juga melakukan kontak sosial ekonomi dengan rakyat dan tokoh

gerakan Kalimantan Utara. Ben Teng punya banyak informasi mengenai

kedua belah pihak. Dan selalu bisa memanfaatkan informasi untuk meraih

keuntungan (Putra, 2014: 61).

2.2.2.5 A kong Mei

A kong Mei adalah kakek dari Siat Mei. Ia senang mengoleksi buku-buku

yang dibelinya di pasar loak. Karena hobinya mengoleksi buku tersebut, A kong

merupakan pemilik kios penyewaan komik yang memiliki banyak peminat.

Akong Mei adalah agen cerita silat. Ia membuka kios penyewaan komik yang

laris luar biasa. Sembari mendatangkan serial cerita silat, si akong juga

mengoleksi buku-buku yang ia beli di pasar loak.” (Putra, 2014: 69).

2.2.2.4 Ahong

Ahong adalah abang dari Siat Mei. Ahong adalah pemimpin pasukan seribu

kuil dan bersahabat dengan Lansau, yang merupakan titisan Panglima Burung.

Mei memanggilnya dengan sapaan Thaiko, yang berarti abang. Sementara, Lansau

menyapanya thai sim, yang berarti abang ipar. Secara fisik, Lansau dan Ahong

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

36

disebut seperti pinang dibelah dua karena secara fisik mereka tidak jauh berbeda,

karena secara umum fisik orang Tionghoa dan orang Dayak berkulit kuning dan

bermata sipit.

Demikian juga Ahong yang sekilas bak pinang dibelah dua dengan Lansau.

Dalam situasi normal, tidak ada yang menyangka dia pemimpin kelompok

pendekar seribu kuil (Putra, 2014: 69).

Oleh Mei, abang kandungnya, ia dipanggil “thaiko”. Sementara, Lansau

sudah biasa menyapa sahabatnya dengan sebutan kelakar “thai sim”. Meski

antara Lansau dan Mei baru sebatas suka sama suka saat Lansau

meninggalkan kampung seberang sungai untuk sekolah ke kota tiga tahun

lalu. . . (Putra, 2014: 130).

Selama tiga tahun Ahong dikirim oleh orang tuanya melanjutkan studi di

sekolah khusus untuk anak-anak Tionghoa di Kota Singkawang. Di luar sekolah,

Ahong juga mengikuti kegiatan ekstra. Hal tersebut dilakukannya demi

memajukan kaumnya yang dianggap sebagai pendatang dan selalu dimarjinalkan

dalam berbagai bidang. Tak hanya itu, Ahong pun tergelitik dan merasa terpanggil

membela kebenaran dan menegakkan keadilan. Beberapa hal lain yang

dipelajarinya yaitu belajar silat, belajar ilmu-ilmu profan, serta belajar bahasa dan

aksara Cina (Putra, 2014: 114). Dengan inisiatifnya sendiri, Ahong memimpin

perang gerilya yang diberi nama “pasukan seribu kuil. Tujuannya, membela dan

mempertahankan diri. Agar kaum Tionghoa yang sudah berabad-abad menetap di

Indonesia, terutama di bumi Borneo, tidak selamanya dianggap pendatang.

Ahong mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah atas di

Singkawang. Tentu ada maksud dan tujuan tertentu mengapa Ahong tetap

melanjutkan sekolah. Hal ini tentu berkaitan dengan identitasnya yang merupakan

bagian dari etnis Tionghoa yang dianggap pendatang di Bumi Borneo. Selain itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

37

juga, tujuannya untuk membela diri serta menegakkan keadilan. Karena sudah

belajar dan mengamalkan ilmu bela diri dan ilmu profan, thaiko akhirnya menjadi

pemimpin pasukan seribu kuil saat perang gerilya.

2.2.2.6 Sinfu

Sinfu merupakan seorang pastor tentara dan menjadi sukarelawan saat

perang. Pengarang tidak menyebutkan siapa nama sebenarnya dan tidak

mendeskripsikan bagaimana ciri-ciri Sinfu secara fisik. Sinfu bertemu Lansau dan

Ahong saat memapah para korban perang. Oleh penduduk setempat, ia disapa

menggunakan panggilan Tuan Serani. Dalam novel Ngayau, Sinfu digambarkan

sebagai tokoh tambahan yang mengetahui seluk-beluk terjadinya provokasi, dan

siapa saja pihak yang berkepentingan dibalik perang yang terjadi antara suku

Dayak dan Tionghoa. Sinfu yang menjelaskan kepada Lansau dan Ahong

mengapa provokasi dapat terjadi dan berhasil. Dapat dilihat dalam kutipan

berikut.

Dua panglima sembari memapah para korban, bertemu sukarelawan. Ia

adalah pastor tentara yang dipanggil sinfu atau “tuan serani” (Putra, 2014:

137-138).

Bukan hanya demontrasi untuk mengusir warga etnis Tionghoa, tetapi juga

pembunuhan,” jelas sukarelawan yang juga pastor tentara (Putra, 2014: 139).

Sinfu menjelaskan misteri perang gaib. “Ini operasi tingkat tinggi.

Pembersihan, sekaligus pengusiran warga Tionghoa dari pedalaman,” Katanya

(Putra, 2014: 138). Lansau dan Ahong terkesima mendengar uraian sinfu. Etnis

Dayak dihasut, dibakar emosinya. Dalam sebuah grand design itu tentara telah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

38

menyamar, memasuki perkampungan Dayak. Operasi intel dilakukan untuk

menghasut etnis Dayak agar memusuhi etnis Tionghoa.

Menurut analisis dan data intel, 90 persen etnis Tionghoa di Kalimantan Barat

distempel sebagai komunis. Maka, tentara yang menyamar, masuk ke kampung

dayak dan mendekati tokoh masyarakat setempat. Dalam sebuah silent operation,

tentara membunuh beberapa tokoh Dayak, tidak di kampung mereka. untuk

memancing kemarahan warga Dayak, disebarluaskan isu dan propaganda bahwa

tokoh Dayak dibunuh PGRS/Paraku. Sinfu juga menjelaskan bahwa perang antara

bangsa Lansau dan Ahong ini adalah “rekayasa luar biasa” (Putra, 2014: 139).

2.2.2.7 Sin Sang

Dalam bahasa Hakka, “sin sang” bukan saja untuk menyebut tuan, bapak,

dan guru: melainkan juga untuk orang yang terampil dan cakap di bidangnya. Sin

sang adalah guru silat Ahong yang memiliki ilmu-ilmu profan. Pengarang tidak

menyebutkan nama dan bagaimana kondisi fisiknya. Sin sang digambarkan

sebagai tokoh yang rendah hati dan penolong. Ia lah yang telah membantu anak

dan wanita saat di truk sebagai pengungsian saat kerusuhan.

Si penolong tepat waktu itu lalu membantu para pengungsi di truk itu turun.

Sin sang adalah guru thaiko. Selain sakti mandraguna, sang guru juga mahir

dalam ilmu persilatan, selain kaya akan ilmu-ilmu profan. Rendah hati, tidak

suka kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Ilmu yang dimilikinya murni

digunakan untuk kebaikan dan menolong kaum lemah dan tertindas (Putra,

2014: 128).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

39

2.2.2.8 Kek Longa

Dalam novel Ngayau, “Kek Longa” atau Babae Longa merupakan

manusia yang sudah bosan hidup di bumi yang disebut babae. Kek Longa

merupakan ayah Domia. Ia diberi gelar “Kek Longa” karena tubuhnya tinggi dan

kekar. Pengarang menyebutkan bahwa Kek Longa merupakan seorang yang sakti.

Akan tetapi, karena faktor usia, Kek Longa sudah tidak mampu. Saat tariu, Babae

Longa lah yang masuk ke raga Lansau. Pengarang menjelaskan bahwa orang baik

dan orang sakti tidak dapat mati. Jika sudah bosan hidup di dunia, maka akan

berubah menjadi babae yang ruhnya dapat merasuk ke dalam benda atau makhluk

tertentu. Dalam situasi apa pun, babae pun siap melindungi. Penggambaran

tentang Kek Longa dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut.

Sementara ayahanda, Kek Longa makin tua. meski sakti mandraguna,

kecepatan dan kekuatan Kek Longa sudah tidak sanggup mengimbangi

Lawan di medan laga. Maka yang memimpin dan menjadi macatn di

kampung itu jatuh ke tangan Domamakng Bunso (Putra, 2014: 169).

Babae haruslah dipelihara, meski sudah tidak berwujud manusia. Babae

yang dipelihara menjadi puaka bersama, suatu waktu siap melindungi

anak, cucu, dan buyut kapan pun dan di mana pun diperlukan (Putra, 2014:

184).

Kek Longa digambarkan sebagai seorang suami yang setia. Dengan

pengetahuan musim yang dimilikinya, ia pergi berburu saat binatang keluar hutan

saat musim kemarau untuk mencari makan dan minum. Saat itu juga, Kek Longa

gelisah karena tidak berhasil menangkap buruan untuk istrinya yang sedang hamil

tua. Istrinya tersebut mengidam binatang buruan.

Kek Longa makin diliputi rasa gelisah karena istrinya di rumah sedang

hamil tua. Hasil buruannya ditunggu-tunggu, sebab sang istri mengidam

binatang buruan. Si pemburu akhirnya tidak kuat menahan rasa lelah. Ia

merebahkan diri di bawah sebatang pohon beringin yang rindang (Putra,

2014: `85).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

40

Kala merasa bosan hidup, Kek Longa meminta warga menjalankan

wasiatnya agar mengantarnya ke sebuah tempat. Wasiat tersebut menjadikannya

berubah menjadi seekor burung yang menjadi simbol dalam suku Dayak

Kalimantan. Wasiat Kek Longa tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

“Balut badanku dengan tikar!” katanya. “Lalu antar saya ke sebuah pulau

di ujung kampung. Pada hari keempat, jenguk tempat di mana saya semula

diletakkan.”

Warga menuruti wasiat Kek Longa. Mereka melakukan seperti yang

diminta: mengantar jasad manusia yang tak dapat mati itu ke sebuah pulau.

Pada hari keempat, jenguk tempat itu. Mereka tidak menemukan tikar

beserta isinya. Namun, warga melihat nun di dahan pohon ketapang yang

menjulang, ada seekor burung. Mereka menamainya “burung Enggang”.

Kek Longa bertransformasi jadi babae. Ruhnya dan kesaktiannya sewaktu-

waktu dapat dipanggil. Nama Kek Longa selalu muncul dalam buah-buah

mantra dan rapalan tariu (Putra, 2014: 174).

2.2.2.9 Domia

Dalam novel Ngayau, ciri fisik Domia digambarkan dengan jelas oleh

pengarang. Penggambaran ciri fisik Domi terdapat dalam kutipan berikut.

Oleh karena cantik dan menyukakan semua orang, bayi perempuan itu

dinamakan “Domia”.

“Kulitnya bersih. Hidungnya mancung. Alisnya tebal. Bulu matanya

lentik,” seru para wanita.

Karena amat cantuk, bayi perempuan itu dinamakan Domia. Dalam bahasa

Dayak, Domia berarti Dewi. Seperti ramalan banyak orang, Domia

tumbuh menjadi gadis jelita (Putra, 2014: 168-169).

Domia merupakan anak dari Kek Longa. Saat gawai notokng, Domia

menari dan bernyanyi. Ia menyambut tunangannya pulang berperang. Saat itu juga

Domia menyuguhkan tuak buatannya kepada Domamakng Bunso.

“Ini tuak dibuat dari tanganmu sendiri,” kata Domia pad tunangannya,

“Minunlah!” Domia menyuguhkan tuak itu. Tercetak di wajahnya rasa

bangga (Putra, 2014: 172).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

41

Sebelumnya, Raja Kerajaan Tayan ingin menjadikan Domia sebagai istri

yang ke-7. Akan tetapi, karena atok Domia, ia tetap berjodoh dengan Domamakng

Bunso. Raja rela melepas Domia untuk menikah dengan Domamakng Bunso.

Akan tetapi, Raja memberinya syarat. Jika nanti Domia melahirkan anak laki-laki,

Raja ingin memiliki anak tersebut. Domia pun melahirkan anak kembar diberi

nama Begumban Berderai Darat dan Bejamban Perangai Laut.

2.2.2.10 Domamakng Bunso

Domamakng Bunso merupakan suami dari Domia dan seorang ayah dari

anak kembar yang bernama Bagumban Berderai Darat dan Bejamban Perangai

Laut. Bagumban Berderai Darat diartikan sebagai Darat. Bejamban Perangai Laut

Sedangkan diartikan sebagai Laut. Nama tersebut diberi oleh D Domamakng

Bunso dengan penuh arti dan harapan. Melalui kedua nama anak kembar tersebut,

pengarang menggambarkan bahwa darat dan laut tidak dapat dipisahkan dan

harapannya agar semua suku bangsa tetap bersatu, meskipun memiliki perbedaan.

Penggambaran mengenai nama tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Supaya adil, namanya Bagumban Berderai Darat. Sedangkan yang satunya

lagi Bejamban Perangai Laut. Sebab hakikatnya darat dan laut tidak adalah

satu, tak terpisah satu sama lain. Laut ada karena darat. Sebaliknya, darat

ada karena laut. Simbol bahwa kita, meski dari suku berbeda, tetap satu

sampai kapan pun jua dan selalu rukun di bumi khatulistiwa,” terang

Domamakng Bunso (Putra, 2014: 223).

Dalam novel Ngayau, Domamakng Bunso digambarkan oleh tokoh Raja

sebagai seorang yang sakti. Dari segi fisik, pengarang menggambarkan bahwa

Domamakng Bunso merupakan seorang yang gagah. Tinggi badannya di atas

rata-rata serta kaki dan lengannya yang berotot. Akan tetapi, karena sifat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

42

bawaannya yang lembut dalam berkata-kata. dinilai tidak sedikitpun seperti

seorang ksatria. Penggambaran tersebut terdapat dalam kutipan-kutipan berikut.

Sementara kepada Domia, Raja bersabda, “Kamu beruntung mendapat

suami. Selain sakti mandraguna, juga sangat mencintaimu.” (Putra, 2014:

219).

Ditilik dari perawakan, Domamakng Bunso memang sosok yang gagah

perkasa. Postur tubuhnya melebihi rata-rata. Kaki dan lengannya berotot,

lagi pula bidang dadanya. Namun, dilihat dari perangainya yang lembut

serta tutur katanya yang halus, sama sekali Domamakng Bunso tidak

mengesankan seorang ksatria (Putra, 2014: 197).

2.3 Latar

Dalam novel Ngayau dianalisis juga mengenai latar. Latar merupakan

salah satu unsur sebagai pendukung dalam suatu penceritaan. Latar yang akan

dianalisis pada bagian ini meliputi latar waktu, latar tempat, dan latar sosial-

budaya. Berikut analisis latar dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra.

2.3.1 Latar Waktu

Terdapat beberapa latar waktu yang dominan dan berkaitan dengan

peristiwa sejarah dan sekaligus melatari peristiwa sejarah dalam novel Ngayau,

yaitu pada saat Peristiwa Mangkok Merah yang terjadi pada tahun 1967. Perang

yang melibatkan etnis Tionghoa melawan suku Dayak di Kalimantan Barat karena

provokasi. Latar waktu juga terjadi pada tahun 1999 saat kerusuhan antar etnis di

Kabupaten Sambas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

43

2.3.1.1 Tahun 1967

Peristiwa Mangkuk Merah 1967 adalah peristiwa yang melatari novel

Ngayau. Peristiwa penyerangan yang disertai pembunuhan dan pengusiran yang

dilakukan oleh suku Dayak terhadap permukiman warga etnis Tionghoa di

pedalaman Kalimantan Barat pada akhir tahun 1967. Peristiwa yang terjadi antara

bulan September hingga Desember 1967 ini menjadi salah satu tragedi

kemanusiaan dalam sejarah Indonesia. Mangkuk Merah sendiri merupakan istilah

ritual dan adat suku Dayak sebagai sarana konsolidasi dan mobilisasi pasukan

lintas subsuku yang efektif dan efesien dan simbol dimulainya perang.

Peristiwa Mangkuk Merah 1967 yang sangat kental dengan nuansa politik

ini dipicu oleh serangkaian rekayasa pembunuhan sejumlah tokoh Dayak dan

Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuduh pelakunya adalah PGRS/Paraku dan

etnis Tionghoa merupakan penyokong mereka. Peristiwa ini mengakibatkan

setidaknya 3.000 korban tewas terbunuh di pedalaman dan sekitar 4.000-5.000

korban tewas di pengungsian di Pontianak dan Singkawang karena gizi buruk,

minimnya fasilitas sanitasi, kesehatan, dan keterbatasan pasokan pangan

(Darmayana, 2013).

Sebelum pekik perang dilancarkan pada 17 Oktober 1967, di antara warga

Dayak sepakat tidak melakukan penyerangan atau kau Tionghoa sebagai

manusia, melainkan ditujukan hanya kepada harta benda milik mereka saja

(Putra, 2014: 141)

Dalam kutipan di atas, pengarang menggambarkan bahwa latar waktu saat

Perang Mangkok Merah terjadi pada tanggal 17 Oktober 1967.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

44

2.3.1.2 Tahun 1999

Tahun 1999 juga melatari cerita dalam novel Ngayau. Meskipun tidak

tergambarkan secara rinci tanggal dan bulan terjadinya suatu peristiwa pada tahun

1999. Latar waktu pada tahun 1999 terdapat dalam kutipan-kutipan berikut.

Sambas bukan hanya dihuni tiga suku: Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Juga

datang mengadu untung etnis dari sebuah pulau kecil dekat pusat kerajaan

Majapahit ke wilayah pantai utara Kalimantan Barat ini.

Keturunan Laut (Melayu) diganggu ruh Puyang Gana yang terevolusi ke

etnis pendatang. Tak terhindarkan lagi terjadi bentrok fisik antara Melayu

dan etnis pendatang (Putra, 2014: 308).

Tahun 1999 terjadi kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan

sekitarnya. Sebelumnya, kerusuhan sudah pernah terjadi di Sambas dan sudah

berlangsung sekitar tujuh kali sejak tahun 1970. Namun, pada 1999 merupakan

yang terbesar dari akumulasi kejengkelan dari Melayu dan suku Dayak terhadap

ulah pendatang dari Madura. Akan tetapi, ketika ada warga Dayak yang menjadi

korban provokasi, panglima-panglimanya tak tinggal diam. “Mangkok Merah”

pun diedarkan. Tariu kembali diserukan (Putra, 2014: 309).

Awal peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga

Madura yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku Melayu.

Peristiwa berkembang dengan terjadinya kerusuhan, pembakaran, pengrusakan,

perkelahian, penganiayaan, dan pembunuhan antara warga suku Melayu dan

warga suku Dayak menghadapi warga suku Madura yang meluas sampai ke

daerah sekitarnya. Telah terjadi pengungsian warga suku Madura secara besar-

besaran. Kemudian, isu ini dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu untuk

kepentingannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

45

Akibat dari pertikaian tersebut, orang-orang keturunan Madura yang sudah

bermukim di Sambas sejak awal 1900-an ikut menanggung dosa perusuh. Korban

akibat kerusuhan Sambas terdiri dari 1.189 tewas, 168 orang luka berat, 34 orang

luka ringan, 3.833 orang rumahnya dibakar dan dirusak, 12 mobil, dan 9 motor

dibakar dan dirusak, 8 masjid/madrasah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823

warga Madura mengungsi (Wikipedia, Kerusuhan Sambas).

2.3.2 Latar Tempat

Banyak tempat yang melatari peristiwa yang terjadi di dalam novel

Ngayau. Akan tetapi, hanya beberapa tempat yang dipilih dan dianalisis. Beberapa

tempat tersebut dianalisis untuk menggambarkan unsur budaya. Beberapa tempat

tersebut adalah: (1) Negeri Poromuan, (2) Rumah Mei, dan (3) Hutan.

(1) Negeri Poromuan

Negeri Poromuan adalah salah satu tempat yang terkenal kesaktiannya.

Poromuan dikenal karena penduduk laki-lakinya yang mahir dalam hal perang. Di

tempat ini, Panglima Burung mengintai tempat perkemahan musuh untuk

memantau target yang akan di-kayau. Di sana, satu kemah terdiri atas tujuh laki-

laki dewasa yang selalu siap untuk berperang. Akan tetapi, pengintaian tersebut

sudah dirasakan oleh kepala pasukan pengayau yang peka terhadap tanda dan

peristiwa alam. Poromuan digambarkan sebagai kampung yang sama dengan

kampung Dayak yang lainnya. Memiliki kekuatan magis yang terdapat dalam

benda, pohon, dan patung-patung. Perhatikan kutipan berikut.

Poromuan sama seperti kampung-kampung Dayak yang lain. Artefak, bentuk, dan gaya perkampungan yang sama. Sama-sama yakin bahwa alam raya punya kekuatan magis. Kekuatan magis juga terdapat dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

46

setiap benda, termasuk pohon dan patung-patung. Maka, setiap akan masuk kampung, selalu ada tanda. Ada gerbang, pagar, tangga naik/turun, dan ada pantak (Putra, 2014: 181).

Sekarang, Poromuan dikenal sebagai daerah Ributn, satu kabupaten

dengan Jangkang, yakni Kabupaten Sanggau. Dibatasi oleh dua kecamatan (Putra,

2014: 27). Poromuan juga dijuliki negeri seribu tengkorak karena Poromuan

punya ksatria-ksatria tangguh yang tidak mudah ditundukkan dalam pengayauan

biasanya mereka keluar sebagai pemenang. Mereka menyimpan tengkorak musuh

sedemikian rupa dan dipajang, mungkin fungsinya mirip dengan piala di dunia

sport dan olahraga sebagai tanda bukti kemenangan, sekaligus kekuatan (Putra,

2014: 203).

(2) Rumah Mei

Dari celah-celah dinding kulit kayu, Mei mengintip asal suara yang

memekkan itu. kakinya bergetar ketakutan. Bulu kuduknya berdiri.

Mei melihat kerumunan massa berikatkan kepala dengan daun sabang

merah, muka dicat hitam, dan hanya biji mata yang dibiarkan tetap asli

(Putra, 2014: 53)

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa rumah Mei yang juga merupakan

toko kelontong melatari cerita. Saat tariu, Mei hanya berani mengintip suara dari

celah dinding rumahnya. Mei takut keluar karena saat itu, para pengayau yang

sudah dirasuki kekuatan magis hanya mencari orang Tionghoa saja untuk

ditangkap. Sedangkan, orang Dayak dibiarkan saja. Pengarang juga

menggambarkan bahwa rumah Lansau tidak jauh dari rumah Mei. Hanya

dipisahkan oleh aliran sungai. Penggambaran rumah Lansau jelas digambarkan

oleh pengarang dalam kutipan berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

47

Berseberangan dengan rumah tinggal Mei yang dipisah oleh sealir sungai,

agak sedikit naik, adalah rumah Lansau. Modelnya masih tradisional,

berbentuk panggung, disangga tiang setinggi dua meter dari tanah. Dari

celah jendela dan tempat ketinggian, dari rumah adat itu, dapat dipantau

keadaan di bawah dan di sekitarnya.

Baik Lansau maupun Mei tidak pernah tahu bahwa pemisahan tempat

tinggal itu dilakukan kompeni agar mudah memilah dan mengawasi gerak-

gerik penduduk (Putra, 2014: 56).

(3) Hutan

Hutan merupakan tempat di mana Kek Longa berburu. Saat itu, musim

kemarau, waktu yang dinantikan untuk menunggu binatang keluar hutan mencari

makan dan minum untuk bertahan hidup. Saat itu juga, Kek Longa berburu untuk

istrinya yang sedang hamil dan mengidam binatang buruan. Segala peralatan

berburu telah disiapkannya, seperti sumpit yang disebut ngansu, dan senjata laras

panjang yang disebut nganapm. Latar tempat di hutan terdapat dalam kutipan

berikut.

Kek Longa semakin ke dalam masuk hutan. Namun, sampai hari di

ambang sore, ia tak menangkap hewan seekor pun. jelang matahari

tenggelam, Kek Longa merasa lelah. Hatinya dirundung rasa was-was,

sebab seharian berburu, tak seekor pun binatang berhasil ditangkapnya.

Kek Longa makin diliputi rasa gelisah karena di istrinya di rumah sedang

hamil tua. Hasil buruannya ditunggu-tunggu, sebab sang istri mengidam

binatang buruan (Putra, 2014: 157).

2.3.3 Latar Sosial-Budaya

Latar sosial budaya mencakup penggambaran keadaan masyarakat,

kelompok sosial, dan sikapnya, bagaimana adat dan kebiasaan sehari-hari, cara

hidup, bahasa, dan beberapa hal lain yang melatari peristiwa. Terdapat latar sosial

dalam novel Ngayau yang meliputi cara hidup, makanan, dan bahasa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

48

Dalam novel Ngayau, cara hidup adalah mengenai bagaimana suku Dayak

menjalankan kehidupan bersama-sama dalam sebuah betang, baik antarsubsuku

Dayak maupun dengan suku lain.

Sering disebut “rumah panjang”, atau “rumah adat” karena bentuknya

memang panjang mencapai lebih dari 100 meter. Tiap-tiap keluarga

disekat-sekat dan dapat dikenali dari lawakng (pintu) yang setiap pintunya

memiliki anak tangga masing-masing (Putra, 2014: 23-24)

Dari kutipan di atas, diketahui bahwa kehidupan masyarakat suku Dayak

berbentuk komunal. Satu desanya terdiri dari satu rumah betang dan yang tinggal

di dalam satu betang tersebut merupakan satu keluarga. Kalau pun terdapat

keluarga baru di lawakng maka keluarga tersebut dapat menyambung bilik-bilik

yang sudah ada, atau membuat sekat di balai-balai yang sejak awal dirancang

cukup luas.

Dalam novel Ngayau juga terdapat penggambaran latar sosial berupa

makanan khas Tionghoa yaitu kwee cap. Kwee cap adalah makanan khas dari

etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. Namun juga disukai oleh etnis lain, terutama

Dayak. Terbuat dari tepung, berwarna putih sebesar jari, dengan bumbu dan aneka

bahan khas Tionghoa. Dari bahannya, kwee cap adalah potongan kwetiau atau mie

lebar yang terbuat dari tepung beras. Lalu disiram dengan kuah dari kaldu tulang

babi dan minyak babi. Penggambaran latar sosial berupa makanan, terdapat dalam

kutipan kalimat yang diucapkan oleh Ben Teng sambil menikmati semangkok

kwee cap.

“Kita olang kejepit” kata Ben Teng, sembari menyantap Kwee Cap. Itu

adalah sendok yang terakhir (Putra, 2014: 62).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

49

Dalam novel Ngayau, penggunaan kosa kata bahasa daerah digambarkan

oleh pengarang. Pemilihan kosa kata membuat latar sosial budaya cukup kental.

Bahasa dan dialek yang digunakan para tokoh dapat diketahui darimana dan dari

etnis apa tokoh berasal. Dari segi bahasa, para tokoh dalam novel Ngayau dapat

menunjukkan bahwa mereka berasal dari suku Dayak atau dari etnis Tionghoa.

Hal ini ditandai dengan digunakannya kosa kata-kosa kata dari sub suku Dayak

Kanayatn, sub suku Dayak Djongkang, dan etnis Tionghoa.

2.4 Rangkuman

Demikianlah analisis pendekatan objektif dalam novel Ngayau karya

Masri Sareb Putra. Melalui hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa novel

tersebut memiliki dua tokoh utama yaitu Lansau dan Siat Mei. Dalam Ngayau

juga terdapat sepuluh tokoh tambahan yang berperan sebagai pelengkap cerita

yaitu (1) Siat Mei, (2) A pa Mei, (3) Ben Teng, (4) A kong Mei, (5) Ahong, (6)

Sinfu, (7) Sin sang, (8) Kek Longa, (9) Domia, dan (10) Domamakng Bunso.

Tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh tambahan yang hadir di sekitar kedua

tokoh utama.

Dari analisis latar, juga dapat disimpulkan bahwa latar tempat yang

menunjukkan unsur budaya dalam novel Ngayau yaitu (1) Negeri Poromuan, (2)

Rumah Mei, dan (3) Hutan. Latar waktu yang melatari cerita yaitu pada tahun

1967 saat perang antara suku Dayak dan etnis Tionghoa karena provokasi.

Kemudian, tahun 1999 di Sambas saat terjadi kerusuhan antar etnis pendatang,

yaitu Melayu dan Madura. Latar sosial budaya dalam novel Ngayau yang meliputi

cara hidup, makanan, dan bahasa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

50

Dalam pembahasan bab II mengenai pendekatan objektif, terlihat bahwa

unsur-unsur budaya Dayak dan Tionghoa tergambar dalam analisis struktural,

yaitu: tokoh, penokohan, dan latar. Analisis struktur cerita dalam Ngayau

dilakukan terlebih dahulu untuk memahami dan memberi gambaran mengenai

tokoh, penokohan, dan latar. Unsur-unsur budaya akan diklasifikasikan oleh

peneliti ke dalam tujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat. Hal tersebut

akan dibahas secara mendalam pada bab selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

51

BAB III

UNSUR-UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM NOVEL

NGAYAU KARYA MASRI SAREB PUTRA

3.1 Pengantar

Pada bab III ini, akan dijabarkan lebih lanjut mengenai unsur budaya

Dayak dan Tionghoa yang terdapat dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra.

Melalui analisis struktural yang meliputi tokoh, penokohan, dan latar yang telah

dibahas dalam bab II, dapat diketahui bahwa novel Ngayau terdapat unsur-unsur

budaya Dayak dan Tionghoa. Menurut Koentjaraningrat (1980: 180), kebudayaan

adalah keseluruhan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka

kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.

Kebudayaan memiliki tujuh unsur, unsur-unsur kebudayaan itu adalah: (1)

Bahasa, (2) Sistem Pengetahuan, (3) Organisasi Sosial, (4) Sistem Peralatan

Hidup dan Teknologi, (5) Sistem Mata Pencaharian Hidup, (6) Sistem Religi, dan

(7) Kesenian.

Berikut diuraikan pembahasan terkait hasil penelitian dalam novel Ngayau

karya Masri Sareb Putra yaitu mengenai unsur-unsur kebudayaan Dayak dan

Tionghoa.

3.2 Unsur-Unsur Budaya Dayak dalam novel Ngayau Karya Masri Sareb

Putra

Dalam novel Ngayau, ditemukan enam unsur-unsur kebudayaan Dayak

yang meliputi: (1) Bahasa, (2) Sistem Pengetahuan, (3) Sistem Peralatan Hidup

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

52

dan Teknologi, (4) Sistem Mata Pencaharian Hidup, (5) Sistem Religi, dan (6)

Kesenian.

3.2.1 Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujuduan budaya yang digunakan manusia

untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan,maupun

gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau

kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain (Koentjaraningrat, 2002).

Sebagai orang Dayak, Masri Sareb Putra menggunakan beberapa bahasa

Dayak dari beberapa sub suku yang ada di Kalimantan Barat. Beberapa bahasa

sub suku Dayak yang digunakan yaitu bahasa Dayak Kanayatn dan Bahasa Dayak

Djongkang. Selain itu, pengarang juga menggunakan bahasa Tionghoa, dialek

Hakka, dan Dialek Tio Ciu. Bahasa dalam novel Ngayau berupa bahasa bahasa

verbal dan bahasa non verbal. Bahasa verbal meliputi bahasa lisan dan tulisan

yang digunakan untuk berkomunikasi yaitu penggunaan bahasa Dayak Kanayatn

dan Bahasa Dayak Djongkang (Djo). Bahasa nonverbal meliputi tanda dan

simbol, yaitu tanda dari suara gong, tanda dari suara burung , dan penggunaan

sandi.

Dalam novel Ngayau, terdapat penggunaan bahasa Dayak Kanayatn.

Bahasa Dayak Kanayatn adalah sebuah bahasa yang dituturkan di wilayah

Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Bahasa Dayak Kanayatn mempunyai

beberapa dialek, antara lain Ambawang, Kendayan, Ahe, dan Selako. Dalam

bahasa Dayak Kanayatn memakai dialek bahasa ahe/nana’ serta damea/jare.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

53

“Pariksa samua!” kata seseorang. Ia merasa heran! Logat yang digunakan adalah “Ahe”, khas suku Dayak Kanayatn; tapi nada dan tekanannya persis seseorang yang tadi turun dari pohon kelapa. “Barek kamudak nian bajalatn!” kata suara mirip seseorang yang beberapa jam yang lalu tadi turun dari pohon kelapa.

Dalam bahasa Kanayatn, pariksa samua berarti periksa semua!. Barek

kamudak nian bajalatn adalah Dialek Kanayatn yang berarti: suruh mereka jalan!

Dalam novel Ngayau, terdapat kosa kata Jubata. Jubata adalah sebutan

Tuhan orang Dayak Kanayatn. Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat

kepada nenek moyang orang Dayak yang berlokasi di Bukit Bawakng. Di mana

sekarang lokasi tersebut sudah masuk ke wilayah Kabupaten Bengkayang. Kata

Jubata ditemui dalam kutipan berikut.

Ada yang memanggil-manggil nama ayah dan suaminya. Dan tidak sedikit

yang menyerukan nama Jubata (Putra, 2014: 88).

Selain kosakata Jubata, juga terdapat Tariu adalah upacara memanggil roh

para leluhur yang dilakukan oleh seorang Panglima Suku Dayak untuk

mengetahui kapan saat yang tepat untuk memulai perang. Kosakata tariu

ditemukan dalam kutipan berikut.

“Mangkok merah” dan tariu satu paket dalam perang gaib itu. Oleh

karena itu, supaya tidak terjadi pertumpahan darah, lebih baik mencegah

sebelum keputusan dijatuhkan. Sebab, mengedarkan “mangkok merah”

tanpa alasan yang sesuai, akan menuai sanksi hukum adat” (Putra, 2014:

136-137).

Dalam novel Ngayau juga terdapat penggunaan Bahasa Dayak. Djongkang

Bahasa Dayak Djongkang adalah sebuah bahasa yang dituturkan oleh orang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

54

Dayak sub suku Jangkang yang terdapat di wilayah Jangkang, Kabupaten

Sanggau, Kalimantan Barat. Bahasa Djongkang mempunyai dua dialek yaitu

dialek Jangkang Sejati dan dialek Pompakng. Berikut ini dikemukakan temuan

kutipan bahasa Dayak Djongkang. Bepacu adalah bagian dari acara perkawinan

dalam budaya Dayak, yaitu memberikan bekal, nasihat, serta petuah kepada kedua

mempelai bagaimana seharusnya menjalani kehidupan baru dalam berumah

tangga. Kata bepacu ditemukan dalam kutipan berikut.

Tuak ini yang nanti dibuka dan dibagi-bagi pada puncak pesta perkawinan,

yakni setelah acara bepacu.

“Membatalkan perkawinan yang tinggal menunggu jam?” Siat Mei

berusaha meluluhkan hati a pa-nya. (Putra, 2014: 50)

Dalam bahasa Dayak Djo berarti pemakaman umum tua yang sudah tidak

terpakai lagi.

Senantiasa meletakkan apa saja, makanan dan minuman, termasuk barang

berharga, pada pongaretn yang dianggap rumah tinggal para leluhur. (Putra,

2014: 155).

Selain penggunaan beberapa kosa kata, pengarang juga menggambarkan

bahasa Dayak Djongkang dalam percakapan sebagai berikut.

“Ah. . . mak mok nyen, tulah boh oh omo macatn!” (Jika nekad juga ngayau,

kamu akan tulah, macat)”

“Mae lokng koh tulah. Koto maeh eh!” (Mana saya mau tulah. Rasakan

seranganku!)

Macatn Gaikng makin kesetanan.

“Kih sani neh onya dek mora boranak seh?” (Mana ibu-ibu yang baru saja

melahirkan?” (Putra, 2014: 183).

Dalam novel Ngayau, terdapat juga penggunaan kata ngabas poya.

Pengarang menggambarkan bahwa manusia Dayak tidak dapat terlepas dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

55

hutan. Dilihat dari asal-usulnya katanya, ngabas poya berarti melihat atau

mengamati lahan atau tanah yang akan menjadi areal perladangan (Putra, 2014:

235). Penggunaan kosa kata ngabas poya ditemukan dalam kutipan berikut.

Diawali dengan ngabas poya yang akan dihitung menurut tarikh Masehi

jatuh pada akhir bulan Mei.

Menebas atau membersihkan lahan dilakukan pada bulan Juni. (Putra, 2014:

236).

Dalam novel Ngayau, terdapat penggunaan tanda. Seperti yang diketahui,

manusia Dayak tidak dapat lepas dari simbol. Boleh dikatakan, hampir tidak ada

hari orang Dayak tanpa simbol. Tak pelak lagi, orang Dayak adalah “homo

symbolicum”. (Putra, 2014: 182).

Terdapat tanda dari suara Gong, Masyarakat Dayak masih menggunakan

gong sebagai bentuk komunikasi non-verbal. Penggunaan gong sebagai alat

pemberitahuan dan informasi berkomunikasi kepada masyarakat yang digunakan

dengan cara dipukul, cara pemberitahuan tentang suatu kejadian tertentu

berbeda-beda cara pemukulannya seperti pada acara perkawinan maupun

upacara kematian. Dalam upacara perkawinan Dayak Ngaju yang berisi tindakan

simbolik dengan nilai dan norma. Hal ini sesuai dengan pesan yang disampaikan

yaitu tentang bentuk nilai-nilai budaya Dayak Ngaju dengan maksud agar kedua

pengantin dapat memahami dan menerapkannya dalam kehidupan rumah tangga

mereka kelak.

Pada masyarakat Dayak Pesaguan, gong tidak sekadar alat musik atau

simbol dalam upacara seremonial. Gong juga untuk membayar hukuman

mengganti suara orang yang meninggal karena pembunuhan (Sukanda, 2012).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

56

Dalam novel Ngayau, bunyi gong pada malam itu, bertujuan memanggil warga

untuk bermusyawarah dan menyusun strategi untuk menghadapi pasukan

pengayau dari negeri Poromuan.

Dari gendang cepat lambatnya, serta caranya memukul, warga mafhum

makna bunyi gong. Ada bunyi gong yang minta pertolongan atau tanda

kritis. Ada bunyi gong ketika pesta pora. Ada bunyi gong yang menandakan

ada warga yang meninggal. Dan ada bunyi gong yang memanggil agar

warga datang ke pertemuan untuk musyawarah (Putra, 2014: 34).

Dalam Ngayau juga terdapat tanda dari suara burung. Pengarang

menggambarkan bahwa orang Dayak sangat percaya dan mahir dalam membaca

tanda-tanda burung. Jika di kanan jalan hendak pergi ngayau, maka akan

menang. Jika suara burung dari arah sebelah kiri, sebaliknya ngayau dibatalkan,

menunggu hari baik tiba. Setidaknya, di kalangan ibanik percaya dan

menganggap keramat burung-burung ini: Tujuh macam burung yang sangat

penting dalam kehidupan Ibanik, yaitu: Ketupung, Beragai, Bejampung,

Pangkas, Embuas, Papau, dan Nendak. Saat hendak bercocok tanam atau

berhuma, ngayau, berburu, atau pergi ke hutan harus mendengar petunjuk suara

burung (Putra, 2015:13).

Demikianlah pada hari yang ditetapkan.

Ketika pagi tiba. Bunyi burung terdengar datang dari sebelah kanan jalan

pergi ngayau, berangkatlah para pengayau ke negeri musuh dipimpin

panglimanya, Domamakng Bunso. (Putra, 2014: 170).

Burung Bogurak, bentuknya sebesar murai batu, berwarna hitam, bersuara

nyaring lantang. Jika di hutan, sering suaranya menakutkan karena memiliki

kekuatan magis. Orang Dayak tertentu menganggapnya burung keramat dan

hewan jadi-jadian. Dayak Djongkang percaya bahwa burung bogurak adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

57

manifestasi dari hantu somatianak, yaitu ruh orang yang meninggal karena

bersalin (Putra, 2014: 198).

Domamakng Bunso lalu mengambil sehelai daun yang diselip di telinganya.

Daun sabang merah. Dilemparnya ke arah suara orang nyorao tadi. Itu

adalah suara burung bogurak yang jika orang takut mendengarnya, dapat

berubah jadi hantu somantianak yang sangat menakutkan. (Putra, 2014:

198).

Terdapat juga tanda dari bambu. Suku Dayak menggunakan bambu untuk

beberapa keperluan. Salah satunya mengadakan ritual. Ada banyak hal yang

digunakan sebagai simbol yang memiliki makna tersendiri dan tak jarang

dianggap sebagai suatu tanda kehadiran penguasa alam atas.

Kerap ada pula tanda dari bambu muda yang diikatkan dengan janur kelapa

sebagai tanda ada orang sakit, berkabung, atau ada wanita yang baru saja

melahirkan. (Putra, 2014: 181).

Dalam novel Ngayau juga terdapat penggunaan sandi. Manfaat

penggunaan sandi saat tariu, manusia-manusia kepala merah hanya dapat

mengenal sasaran dan bukan sasaran. Sandi para pengayau dalam Ngayau saat

tariu berlangsung, yaitu 2-B, singkatan dari Bakar dan Bunuh .

Herman Josef van Hulten, saksi sejarah, mencatat demikian:

Perang itu tidak akan ditujukan kepada kaum Cina sebagai manusia,

melainkan ditujukan kepada semua milik mereka. Ini terbukti dari

perampokan atas harta benda dan milik mereka, toko, dan tanah. Mereka

harus memegang teguh disiplin yang diperintahkan dan harus bisa

menghindari dua hal yang didahului dengn huruf “b”, yakni: bakar dan

bunuh. Dua ketentuan itu saya dengar sendiri dari seorang panglima

(pimpinan dalam pertempuran) yang disampaikan dengan penuh

keyakinan kepada rekan-rekan seperjuangannya…. Peristiwa itu terjadi di

rumh seorang guru Toho, 18 km dari Menjalin, Hulten dalam Putra (2014:

141).

Pada akhirnya, warga Dayak benar-benar dipakai tangannya menghalau

etnis Tionghoa dari pedalaman ke kota. Pada akhirnya, warga Dayak yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

58

terpancing melanggar kesepakatan untuk tidak melakukan 2-B. Namun, lewat

pembacaan mantra dan tariu, manusia-manusia kepala merah hanya mengenal

sasaran dan bukan (Putra, 2014: 144).

3.2.2 Sistem Pengetahuan

Dalam Ngayau, terdapat tiga sistem pengetahuan yang dimiliki oleh

masyarakat Dayak yaitu: (1) pengetahuan tentang musim, (2) pengetahuan tentang

flora, (3) pengetahun tentang fauna, dan (4) adat istiadat.

3.2.2.1 Membaca Musim

Suatu hari, di bulan yang panas. Kemarau hampir mengeringkan sungai.

Saat yang tepat untuk berburu sebab binatang-binatang keluar hutan semua

untuk mencari makan dan minum. (Putra, 2014: 157).

Dari kutipan tersebut, orang Dayak memiliki pengetahuan tentang alam.

Mereka akan berburu pada musim kemarau. Seperti yang dilakukan Kek Longa. Ia

berburu untuk istrinya yang sedang hamil dan mengidam binatang buruan.

Biasanya, berburu dilakukan saat musim panen dan jika akan melaksanakan

tradisi atau pesta. Mereka tidak akan berburu jika persediaan makanan masih

banyak. Ada pun binatang buruan bisa berupa babi hutan, kijang, rusa, kancil,

ular, mau pun hewan lainnya yang biasa dikonsumsi masyarakat. Salah satu

bentuk kearifan lokal sub-sub suku Dayak di Kalimantan adalah bagaimana

mereka memprediksi datangnya musim kemarau.

Kebutuhan masyarakat Dayak akan padi di ladang telah menghasilkan

sistem pengetahuan yang dapat memahami gejala alam yang berpengaruh

terhadap sistem perladangan. Menurut Mudiyono (1995), pengetahuan tentang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

59

gejala alam yang berkaitan dengan perladangan orang Dayak di Kalimantan

adalah pengetahuan tentang bintang tujuh. Jika bintang tujuh sudah timbul pada

malam hari, udara akan menjadi dingin. Itulah pertanda bahwa sudah tiba

waktunya untuk membuka ladang. Jika bintang tujuh berada di timur, sedangkan

bintang satu lebih rendah dari bintang tujuh, hal itu menandakan bahwa orang

Dayak sudah bisa menanam padi. Akan tetapi, bila di langit tampak garis seperti

tembok dan awan yang menyerupai garis seperti sisik ikan, maka orang

mengerahui bahwa musim kemarau telah tiba. Sebaliknya, jika langit terlihat

memerah pada pagi hari dan awan menggumpal seperti gunung, itu adalah

pertanda bahwa musim hujan telah tiba. Gejala datangnya musim hujan dapat pula

diketahui apabila pohon buah-buah banyak yang berbunga.

3.2.2.2 Sistem Pengetahuan Alam Flora

(1) Daun Sabang Merah

Daun berwana hijau, kemerahan, lonjong, biasa dipakai dalam upacara-upacara

suku Dayak (Putra, 2014: 229).

Lansau tahu kebiasaan itu. maka selain mengikat kedua tangan Mei dan

ayahnya dengan sesobek kain, juga membungkam mulut mereka, pada daun

telinga kedua warga Tionghoa itu diselipnya sehelai daun: sabang merah.

(Putra, 2014: 65).

Dalam novel Ngayau, daun sabang merah adalah pertanda bagi makhluk

gaib bahwa yang bersangkutan bukan sasaran saat terjadinya perang. Tentu saja,

sebelum diselip pada daun telinga, dibacakan mantra terlebih dahulu, semacam

kata kunci, agar yang bersangkutan terbaca bukan musuh yang harus dienyahkan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

60

Sabang merah sebagai tanda pengenal. Di antara pertanyaan yang

berkecamuk itu, a pa Mei merasa pada daun telinganya terselip sehelai daun:

sabang merah.

“Mungkin ini tanda pengenal itu!” batinnya. Pantas saja manusia kepala

merah tidak pernah salah sasaran!

A pa Mei merasa ini sebuah perang yang fair, sekaligus gaib. Ia ingat,

sehelai daun sabang merah tadi diselipkan oleh Lansau setelah membaca

rapalan, seperti sebuah mantra. (Putra, 2014: 93).

Dalam kehidupan sehari-hari, daun sabang merah biasanya digunakan

sebagai tanaman hias yang ditanam di pekarangan rumah. Selain itu juga, tanaman

ini ditanam di sekitar rumah bertujuan agar ketika dibutuhkan dapat langsung

diambil dan diolah. Daun sabang merah juga memiliki beberapa khasiat untuk

menyembuhkan berbagai penyakit yang ada di tubuh. Beberapa khasiat tanaman

andong yaitu untuk menghentikan pendarahan, diare, dapat menyembuhkan

gigitan hewan berbisa, dan dapat menyembuhkan wasir.

3.2.2.3 Sistem Pengetahuan Adat-istiadat

Dalam novel Ngayau, hukum adat diciptakan berbedasarkan pengalaman

dari Bagumban Berderai Darat. Suatu hari, para peladang melihat tamu asing yaitu

Bagumban Berderai Darat (selanjutnya disingkat BDD) yang berjalan tetapi tidak

membawa api. Setelah ditawari sampai tiga kali, ia pun menginap di salah satu

rumah warga. Di sana, BDD sudah dihidangkan makanan oleh tuan rumah. Hal

tersebut terlihat dalam kutipan berikut.

Jelang malam, setiap rumah Dayak yang tempat tamu menginap, sesuai

adat, harus memberi makan kepada tamu tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

61

Jika tidak diberi makan, dan tamu asing sampai kelaparan, maka si empunya

rumah akan dikenakan adat.

Dakwaan kena hukum adat adalah menelantarkan tamu, sebab tamu

dipercaya mendatangkan berkah. Bagi orang Dayak, tamu sepertinya halnya

rezeki yang datang nomplok, jangankan ditolak, diminta iya (2014: 246).

Kutipan tersebut menggambarkan bahwa betapa orang Dayak menghormati

tamu asing yang datang dan dianggap sebagai rezeki yang diberikan oleh Tuhan.

Adat orang Dayak, terutama Dayak Djongkang, jika belum hendak makan atau

minum, maka cukup menyentuh dengan ujung jari saja, sambil mengucap

“polopas” (nyicipi) atau tabek asakng yang berarti menahan nafsu (Putra, 2014:

245). Jika tidak menyentuh, maka dipercaya dapat terkena marabahaya, seperti

kecelakaan, luka, dan sebagainya.

Hukum adat ini masih berlaku, terutama di Kecamatan Jangkang, tertuang

dalam hukum Adat Bab 6, pasal 2, ayat 4 tentang “Tidak memberi

makan/minum pada tamu yang diundang atau menginap (Putra, 2014: 245

Pengarang mengambarkan bahwa tidak sempat mencicipi masakan tersebut

dan memilih mandi terlebih dahulu. Ia pun tidak melakukan polopas. Di

pemandian, BDD merasa ada yang mengganggunya, sebuah tangan menariknya

ke suatu tempat. Ia tersadar saat sudah berada di puncak pohon ketapang.

Ternyata, yang menculiknya adalah ratu hutan, sejenis kera yang disebut mayas.

Mayas adalah salah satu spesies cerdas yang juga jarang kontak dengan manusia

secara langsung (Putra, 2014: 24). Sudah lama mayas tersebut menginginkan

pasangan. Ia pun mulai mencintai BDD dan ingin menjadi pasangannya. BDD

memilih berpura-pura tunduk pada kemauan si ratu mayas daripada celaka. Ia pun

ingin lepas dari penjara ratu mayas dengan cara bekerja dan memanjakan si ratu.

Dapat dilihat dalam kutipan berikut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

62

Sedikit demi sedikit dilobanginya bagian bawah bambu itu. agar air

sehabis diciduk dan bambu terisi penuh, begitu tiba di istana pucuk

ketapang, menjadi habis dan kosonglah air dalam wadah bambu itu. Maka

ratu mayas akan kembali lagi ke sungai untuk menimba air. Saat itu

kesempatan untuk meloloskan diri nanti (Putra, 2014: 251).

Saat ratu mayas menimba air, BDD turun ke tanah dengan seutas tali. Ia

pergi dari markas ratu mayas. Agar tidak ketahuan, BDD membuat jejak kakinya

di empat penjuru mata angin. BDD pun berhasil lolos. Berdasarkan

pengalamannya saat di tawan oleh ratu mayas, ia menyusun peraturan hukum adat

istiadat yang intinya: seseorang tidak boleh secara paksa dikawinkan dengan

pihak lain jika dari dalam dirinya tidak timbul rasa suka dan rasa cinta (Putra,

2014: 254). Dalam hukum adat dikerajaan BDD, ia mengharamkan satu gender

lebih dihormati dari gender lainnya. Keduanya harus saling melengkapi.

3.2.3 Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Sistem peralatan hidup dan teknologi meliputi alat-alat produksi, senjata,

wadah, makanan, dan jamu-jamuan, pakaian, dan perhiasan, tempat berlindung,

dan perumahan, serta alat-alat transportasi (Koentjaraningrat, 2014: 22). Dalam

novel Ngayau, ditemukan unsur-unsur kebudayaan berupa sistem peralatan dan

teknologi Dayak yang meliputi senjata, tempat berlindung, perumahan, alat

produksi, dan makanan.

3.2.3.1 Senjata

Dalam novel Ngayau, terdapat beberapa senjata yang digunakan oleh Kek

Longa yaitu berupa alat-alat yang biasa digunakan untuk berburu yaitu sumpit,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

63

tombak, tikak, pongamik, parang, bikas, dan belantik. Penggunaan senjata tersebut

ditemukan dalam kutipan-kutipan berikut.

Sebelum merebahkan diri, Kek Longa melepas semua senjata dan alat-alat

berburu, seperti: sumpit, tombak, tikak, pongamik, dan parang yang

disarungkan di pinggang (Putra, 2014: 158).

Rintangan yang keenam ialah belantik. Busur dari bambu sebesar ibu jari

orang dewasa itu siap menembusi paha jika terlepas. Untung Domamakng

Bunso segera mencegahnya bikas dan mengambilnya (Putra, 2014: 203).

3.2.3.2 Tempat Berlindung

Polaman merupakan pondok semipermanen, tempat menginap, disertai

bekal secukupnya (Putra, 2014: 196). Polaman terletak agak jauh dari

permukiman warga. Biasanya polaman didirikan di pinggir kebun atau ladang dan

digunakan pada saat musim me-nugal atau menanam padi. Pemilik ladang

bermalam di polaman karena ingin menyiapkan segala peralatan menanam padi,

benih-benih padi yang akan ditaburkan, makanan, minuman, dan segala keperluan

yang berkaitan dengan kegiatan menanam padi. Dalam novel Ngayau, yang

menggunakan polaman adalah Domamakng Bunso. Ia menginap di sana untuk

beristirahat karena sedang mengolah rimba untuk dijadikan ladang. Tempat

berlindung berupa polaman terdapat dalam kutipan berikut.

Dengan santun, Boraket menjelaskan adik bungsunya sedang tidak di

rumah, ada di polaman karena sedang membuka hutan rimba untuk ladang

baru.

Setelah mendapat petunjuk di mana polaman itu maka prajurit utusan pergi

menemui Domamakng Bunso. Setelah sampai di polaman bernama Tinyan,

prajurit pasukan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan mereka

(Putra, 2014: 196).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

64

3.2.3.3 Perumahan

Betang merupakan perumahan yang berupa rumah adat suku Dayak

Kalimantan. Betang biasanya ditemuakan di daerah hulu sungai yang menjadi

pemukiman suku Dayak. Betang didirikan tidak hanya sebagai tempat tinggal.

Namun, rumah betang memiliki makna dan simbol. Rumah betang berbentuk

panggung dan panjang. Berbentuk sedemikian rupa, betang memiliki fungsi

tertentu. Bentuk rumah betang yang berbentuk memiliki beberapa fungsi, yaitu:

(1) untuk menghindari banjir karena banyak rumah betang yang dibangun

dipinggir sungai, (2) untuk melindungi penghuninya dari binatang buas, (3) untuk

melindungi penghuninya dari musuh (Get Borneo, 2015). Dalam novel Ngayau,

betang digambarkan sebagai sebuah tempat tinggal komunal. Kampung Jangkang

berencana mendirikan betang. Mendirikan betang pun tidak sembarangan, Macatn

Gaikng yang merupakan petinggi kampung ingin mengadakan boraupm dan

mencari waktu yang tepat. Pada saat boraupm tersebut, Macatn Gaikng juga ingin

menyampaikan hal lain yang berkaitan dengan budaya Dayak kepada warga. Hal

tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Kesempatan itu akan dimanfaatkan dengan baik oleh petinggi kampung.

Bukan hanya sebatas menyusun taktik dan strategi perang, melainkan juga

ajang menjelaskan adat istiadat dan tradisi, memberikan motivasi,

sekaligus menggelorakan semangat perang kepada seluruh warga (Putra,

2014: 35).

Pada suku Dayak tertentu, pembuatan rumah betang harus memenuhi

beberapa persyaratan. Hulunya harus searah dengan matahari terbenam. Hal ini

dianggap sebagai simbol dari kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari

matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam. Semua suku

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

65

Dayak, terkecuali suku Dayak Punan yang hdiup mengembara, pada mulanya

berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah betang, yang lazim

disebut Lou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante (Wikipedia, Rumah Betang). Dalam

novel Ngayau, ciri-cir, fungsi, dan hal-hal betang dijelaskan secara rinci oleh

pengarang dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Lazimnya, betang terdiri atas 50-100 lawakng. Tiap berang merupakan

sebuah kampung atau desa yang dikepalai seorang kepala atau pemimpin.

Setiap lawakng memiliki satu tangga yang fungsinya untuk naik dan turun.

Tinggi tangga disesuaikan dengan tinggi betang, antara 3-4 meter dari

permukaan tanah. Posisi tangga dapat dibalik untuk menghindari

masuknya orang yang berniat buruk atau binatang buas, selain berfungsi

untuk melindungi dari ancaman banjir atau genangan air.

Tiap lawakng memiliki balai-balai di muka dan dapur di belakang. Jika

ada tamu yang hendak menginap maka segala sesuatunya, mulai dari

akomodasi sampai keamanan, menjadi tanggung jawab keluarga tempat

tamu menginap. Jika terdapat keluarga baru di lawakng maka keluarga

tersebut dapat menyambung bilik-bilik yang sudah ada, atau membuat

sekat di balai-balai yang sejak awal dirancang cukup luas pada suku Dayak

tertentu, bahkan terdapat pintu darurat yang menhubungkan satu lawakng

dengan lawakng yang lain agar mudah berkomunikasi, atau memusatkan

kekuatan, apabila sewaktu-waktu ada bahaya mengancam.

Di belakang betang terdapat lumbung-lumbung padi. Lumbung padi juga

tinggi tiang-tiangnya. Banyak upacara suku Dayak diadakan di lumbung.

Orang Dayak yakin bahwa padi mempunyai semangat atau nyawa. Oleh

sebab itu, tempat penyimpanan padi haruslah ditata dan dipelihara

sedemikian rupa (Putra, 2014: 38).

3.2.3.4 Alat Produksi

Alat produksi adalah alat untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Mulai dari

alat sederhana seperti batu untuk menumbuk terigu, sampai yang agak kompleks

seperti alat untuk menenun kain (Koentjaraningrat, 1990: 345). Dengan kata lain,

alat produksi adalah benda yang dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Alat

produksi yang terdapat dalam novel Ngayau adalah bambu yang merupakan alat

untuk memasak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

66

Orang Dayak ke hutan untuk berburu, bekerja, atau ngayau biasanya tidak

membawa alat-alat memasak, kecuali api, garam, dan nasi. Mereka

menggunakan ruas-ruas bambu sebagai alat-alat memasak, setelah dipotong-

potong, dibersihkan, lalu dipanggang dengan nyala atau bara api sampai

matang. Muncul aroma khas, sangat harum dari bambu itu (Putra, 2014: 27).

Manusia Dayak ternyata tak kehabisan akal, selalu kreatif di hutan sekalipun,

sehingga bisa survive. Masakan dalam buluh bambu muda disebut pansoh

(Putra, 2014: 27).

3.2.3.5 Makanan

Dalam novel Ngayau, jelas digambarkan bahwa tuak merupakan minuman

tradisional suku Dayak. Biasanya tuak digunakan untuk menjamu tamu dan

minuman wajib saat prosesi perkawinan adat suku Dayak. Dalam Ngayau, cara

pembuatan tuak dijelaskan secara rinci oleh pengarang. Mulai dari apa saja bahan

yang akan digunakan hingga alat apa saja yang akan digunakan untuk membuat

dan menyimpan tuak.

Persiapan upacara perkawinan sudah dilakukan. Yakni upacara adat lengkap.

Untuk itu, ibu Siat Mei dan ibu Lansau sudah dari enam bulan lalu memasak

ketan di rumah masing-masing secara bergantian.

Beras ketan hitan dan putih dimasak dalam periuk yang berbeda. Lalu diambil

dengan sendok terbuat dari kayu, kemudian dihampar di sebuah tikar khusus

terbuat dari anyaman rotan yang disebut “kolayak”, dan setelah dingin nasi

ketan itu ditabur ragi (Putra, 2014: 48-49).

Sama seperti beberapa suku lainnya, suku Dayak juga memiliki minuman

tradisional yaitu tuak. Tuak adalah minuman hasil fermentasi dari beras ketan.

Minuman ini mengandung alkohol. Dalam suku Dayak, tuak menjadi simbol

kebersamaan, diartikan untuk mempererat persaudaraan. Biasanya, tuak selalu

disediakan saat upacara adat perkawinan. Seperti minuman alkohol pada

umumnya, tuak dapat menyebabkan mabuk jika diminum berlebihan. Akan tetapi,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

67

bagi orang Dayak, sedikit meminum tuak biasa mengurangi lelah, mengobati sakit

maag, dan mengobati malaria.

3.2.4. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Suku Dayak memiliki mata pencaharian yang menjadi pokok penghidupan

masyarakat. Sumber daya alam Kalimantan diberdayakan untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Dalam Ngayau, ditemukan dua macam sistem mata

pencaharian hidup suku Dayak yaitu berburu, kerja tambang, dan berladang.

(1) Berburu

Suatu hari, di bulan yang panas. Kemarau hampir mengeringkan sungai.

Saat yang tepat untuk berburu sebab binatang-binatang keluar hutan semua

untuk mencari makan dan minum .

Pergilah berburu ke hutan seorang pria gagah perkasa. Lelaki yang berburu itu

digelari “Kek Longa” oleh karena tubuhnya tinggi, lagi kekar. Dalam bahasa

Dayak, jika berburu menggunakan sumpit disebut ngansu, sedangkan

menggunakan senjata laras disebut ngimpak atau nganap (Putra, 2014: 157).

(2) Berladang

Semacam land clearing, kegiatan membersihkan lahan, atau tanaman yang

halus dan kecil-kecil dibersihkan menggunakan alat parang, sedangkan yang lebih

besar dari kepala menggunakan beliung. (Putra, 2014: 236). Dalam novel Ngayau,

pengarang secara rinci menjelaskan mengenai siklus masa perladangan dalam

suku Dayak, apa saja yang ditanam, dan tahap-tahap apa saja yang dilakukan.

Sistem perladangan dapat dilihat dalam kutipan-kutipan berikut.

Menjadi kebiasaan sejak saat itu, umur seorang anak dihitung dari berapa

kali berladang/berhuma. Siklus masa perladangan adalah sekali setahun.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

68

Diawali dengan ngabas poya yang jika dihitung menurut tarikh Masehi jatuh

pada akhir bulan Mei. Menebas atau membersihkan lahan dilakukan pada

bulan Juni.

Dibiarkan selama dua bulan menunggu kemarau yang mengeringkan semua

tebangan di lahan baru, lahan dibakar pada awal bulan Agustus bersamaan

waktunya dengan puncak musim kemarau.

Batas ladang dibuat sedemikian rupa, sehingga nanti jika lahan dibakar api

tidak memakan dan membumihanguskan lahan orang lain. Jika sampai

terjadi kebakaran maka si empunya asal mula api atau si empunya lahan

harus membayar adat kepada orang yang lahannya kena bakar.

Hukum adat ini untuk mencegah jangan sampai api membumihanguskan

semua flora dan fauna di suatu lahan yang akan mengakibatkan

terganggunya keseimbangan ekosistem.

Setelah lahan dibakar, antara 1-2 minggu di akhir Agustus dan jelang

September, biasanya musim hujan. Hujan yang mulai turun pada bulan yang

berujung “ber” akan membasahi lahan yang sudah dibakar. Lalu secara

alamiah membentuknya menjadi tanah bakar, atau meninggalkan sisa

pembakaran yang menyuburkan tanaman. Biasanya, waktu yang pas mulai

menanam (menugal) adalah pada minggu akhir bulan Agustus.

Padi serta tanaman ladang sudah mulai tumbuh subur setelah sebulan lebih

ditanami. Namun, bersamaan dengan itu, tumbuh juga rumput-rumput.

Masa merumput adalh Desember-Januari. Lalu, padi dan jagung berbuah

dan panen bulan Februari.

Seminggu sebelum panen, ketika padi-padi di ladang sedang menguning,

ketika itulah masa ngayau. Kepala-kepala hasil kayauan akan ditarikan pada

gawai “notokng”, bersamaan dengan puncak gawai yang jatuh pada akhir

April atau awal Mei. (Putra, 2014: 238)

Yang ditanam di ladang adalah tanaman palawija.

Areal bekas huma itu disebut juga jamih yang setelah tanaman utaama padi

dan jagung masih ada tanaman setelahnya, seperti: ubi kayu, keladi, jahe,

terong, bawang dayak, tebu, tebu telor, dan sebagainya. Tanaman-tanaman

itu dibudidayakan di bekas ladang sehabis panen padi.

Setelah sebuah lahan purnatanam dan mati maa lahan itu diganti tanaman

liar. Orang Dayak menamakannya “bawas”. Lahan yang sama baru boleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

69

dibuka kembali pada siklus 15 tahun kemudian setelah humus mulai tersedia

dan ekosistem di sekitarnya sudah seimbang kembali.

. . . . semua ladang penduduk wilayah kerajaan Bagumban Berderai Darat

tumbuh subur.

Penduduk menamakan panen itu “mengetam” . di masa lalu, dan kini pun masih

di pedalaman, memanen padi bukan menggunakan alat potong padi (ani ani) yang

memotong tangkai padi satu demi satu, melainkan menggunakan dua genggam

tangan (Putra, 2014: 238).

Setelah tiba waktunya panen orang Dayak memetik padi di ladang secara

alami, menggunakan tangan. Setangkai padi, segenggam tangan.

Mereka sangat terampil. Wadah yang lebih kecil dinamakan “torokot”,

diikat dipinggang setelah penuh dengan padi, dimuat dalam keranjang

bernama “toranyankng” (Putra, 2014: 239).

Tahap selanjutnya yaitu padi di letakkan di sebuah tempat penyimpanan.

Agar padat berisi, padi didorong masuk setiap keranjang dengan ujung

sebatang kayu tumpul agar tidak menyisakan rongga sedikit pun.

. . .

Pada tahun pertama pemerintahan Bagumban Berderai Darat, seluruh

wilayah kerajaan semua panen berhasil.

. . .

Padi dalam keranjang lalu dimasukkan ke dalam lumbung, yaitu tempat

penyimpanan padi atau dalam bahasa Dayak Djangkang yang disebut “jurokng”.

Tingginya dari permukaan tanah 2-3 meter, tiang-tiang penyangganya bulat, di

tiap tiang dibuatkan lingkaran dari kayu untuk mencegah tikus atau binatang

lainnya masuk. Disediakan anak tangga untuk masuk lumbung yang dapat

dipindah ke suatu tempat setelah digunakan (Putra, 2014: 240).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

70

Padi hasil panen pada tahun sebelumnya dinamakan “podi toyatn”, atau padi

lama. Padi yang diolah menjadi beras, dan kemudian dikonsumsi sehari-hari

menjadi nasi, haruslah dari tumpukan atau persediaan padi yang

sebelumnya.

Ukuran kaya pada waktu itu adalah jika sebuah keluarga punya persediaan padi

tahun-tahun sebelumnya. Jadi, mirip dengan simpanan deposito pada masa kini.

(Putra, 2014: 240).

(3) Kerja Tambang

Dalam novel Ngayau, digambarkan oleh pengarang bahwa kerja tambang

merupakan salah satu mata pencaharian suku Dayak. Saat itu, banyak petambang

dari etnis Tionghoa sukses dan memiliki jaringan yang luas. Hal tersebut memicu

kompeni untuk memprovokasi. Kompeni takut jika suku Dayak dan etnis

Tionghoa menjadi penguasa di Borneo. Hal itulah yang menyebabkan perang

antara Dayak dan Tionghoa. Penggambaran kerja tambang terdapat dalam kutipan

berikut.

Di sebuah ladang tambang daerah Lara yang kemudian hari menjadi

wilayah Kabupaten Sambas. Kompeni melihat ancaman. Para pekerja

tambang imigran dari negeri Cina sukses dan berhasil menjalin relasi lebih

luas sampai ke luar wilayah nusantara ketika itu. Petambang Dayak dan

petambang imigran Cina sengaja dibentur-benturkan, sehingga terjadi

perang Dayak vs imigran Cina, wilayah yang sama dengan “Tragedi

Sambas” pada 1999 (Putra, 2014: 119)

3.2.5 Sistem Religi

Sistem religi meliputi kepercayaan, nilai, pandangan hidup, komunikasi

keagamaan, dan upacara keagamaan. Dalam novel Ngayau, suku Dayak mengenal

kepercayaan animisme dan dinamisme.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

71

Seperti layaknya burung, Lansau membawa terbang Mei dan ayahnya. Lari

menghindar amuk massa yang juga dirasuki ruh-ruh leluhur. Ruh-ruh yang

dipanggil lewat tariu, merasuk ke dalam tubuh seperti manusia. Tapi

ukuran tubuh itu tanggung, seperti anak akil balig namun jumlahnya

sangat banyak. Kepala mereka semua berikatkan kain merah (Putra, 2014:

74)

Poromuan sama seperti kampung-kampung Dayak yang lain. Artefak,

bentuk, dan gaya perkampungan sama. Sama-sama yakin bahwa alam raya

punya kekuatan magis. Kekuatan magis juga terdapat dalam setiap benda,

termasuk pohon dan patung-patung. Maka setiap akan masuk kampung,

selalu ada tanda. Ada gerbang, pagar, tangga naik/turun, dan ada pantak

(Putra, 2014: 181).

Dari kutipan-kutipan di atas, tergambar bahwa masyarakat Dayak masih

menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Jelas digambarkan oleh

pengarang melalui tariu, yang dilakukan saat akan memulai perang dan meminta

agar ruh leluhur membantu suku Dayak dalam peperangan. Sistem kepercayaan

suku Dayak juga tetap percaya bahwa benda-benda memiliki nyawa dan memiliki

kekuatan magis. Contohnya suku Dayak menggunakan patung kayu atau disebut

hampatokng untuk kegiatan tolak bala. (Putra, 2014: 181). Pantak-pantak atau

patung dimaksudkan untuk menjaga kampung dari marabahaya. Akan tetapi, kini

ketika etnis Dayak adalah Katolik/Kristen, patung-patung pun digantikan salib

dengan tujuan yang sama.

3.2.6 Kesenian

Dalam novel Ngayau, terdapat beberapa perwujudan kesenian yang

meliputi seni rupa berupa benda lama yang masih digunakan, kesusasteraan

berupa mantra dan cerita rakyat, serta seni musik .

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

72

3.2.6.1 Benda-benda Lama yang Masih Digunakan

Dalam novel Ngayau, salah satu benda lama yang masih digunakan adalah

tajao yang merupakan tempayan berukuran besar, digunakan untuk menyimpan

benda-benda keramat. Biasa juga digunakan untuk menyimpan beras dan tuak.

Penggunaan tajao terdapat dalam kutipan berikut

“Mudah!” jawab Macatn Gaikng. “Dekat tajao” selalu tersimpan tengkorak

dan tulang musuh. Nah, kalian ambil salah satu tulang itu!” (Putra, 2014:

185).

3.2.6.2 Kesusasteraan

Dalam novel Ngayau, ditemukan beberapa mantra yang merupakan bagian

dari kesusasteraan, yaitu mantra saat tariu, mantra nosu minu, dan mantra sokutuk

sokutokng.

(1) Mantra saat Tariu

Tariu telah memprogram otak massa yang tadinya santun, tiba-tiba beringas.

Mantra seperti sebuah password yang membuat ruh-ruh leluhur merasuk ke dalam

tubuh massa manusia yang jumlahnya luar biasa banyak, entah dari mana, seperti

kerumunan semut merah.

“Babae Longa, Babae Ana, Babae bala nya muntuh mula. O bala macatn

sakti mandraguna! Lokei monik koto nulokng ome boporakng lawan musuh!

O Ponompa, o Jubata, kapikng soru ome! Tariuuuu. . . .!!” (Putra, 2014:

68).

Yang berarti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

73

“Babae Longa, Babae Ana, babae para leluhur. Hai macatn sakti mandraguna!

Bergegaslah datang menolong kami berperang melawan musuh. Hai Yang Maha

Kuasa, dengan seruan dan permintaan kami! Tariuuuu!”

(2) Mantra Nosu Minu (Menyerukan semangat/jiwa)

Dalam novel Ngayau, mantra Nosu Minu digunakan untuk menyerukan

semangat atau jiwa seseorang. Orang Dayak percaya bahwa jiwa atau semangat

orang sedang menderita suatu penyakit perlu dibacakan mantra nosu minu

supaya dapat kuat kembali. Hal ini dilakukan oleh Domia untuk kesembuhan

Bejamban Perangai Laut. Domia pun menggendong anaknya itu. Ia

membawanya ke kaki rumah pohon. Hanya sebagai syarat, sekaligus penguat

semangat, tabib wanita itu membaca mantra yang berikut ini. Berikut merupakan

bunyi mantra Nosu Minu.

Tomona kek okapm ponompa, potara

Tomona ari panca ina balai potara

Panca agong balai domokng

Pucok kayu langae buru

Pucok ongkah langae didah

Okapm basal eh mobak ponuru somak

Okapm basal eh manu ponuru oju

Minte monik bokah, monik sagala

Minte monik pongki, monik jowi

Manu: onak ucok KEEEEE, okapm!

Artinya:

Turun, ya (kek – sebutan hormat) Tuhan,

Pencipta, sang penjadi

Turun dari panca ini, tempat kediaman-Mu yang mahatinggi

Panca agung tempat semayam para malaikat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

74

Pucuk kayu, pucuk bambu (simbol ketinggian)

Pucuk tali, pucuk buru (buru: salah satu jenis bambu)

Namanu diseur, di pagi yang dini

Engkau didatangi, di malam yang larut

Kami mohon datanglah segra

Datanglah, hadirkan wajahmu

Temui: anak cucu, ya JUNJUNGAN kami,

Yang mahatinggi (Putra, 2014: 225-226).

(3) Mantra Sokutuk Sokutokng

Dalam novel Ngayau, mantra sokutuk sokutokng digunakan untuk

penangkal ramuan sirep, agar tidak terkena sihir yang dapat menyebabkan

seseorang tertidur. Siapa pun yang terkena mantra tersebut akan tertidur pulas.

Untuk menghindari hal tersebut, para awak kapal kerajaan Sintang pura-pura

tertidur dan sebelumnya sudah mengoles minyak sokutuk sokutokng di kening.

Bunyi mantranya terdapat dalam kutipan berikut.

Minyak sokutuk sokutokng, nasi dimakan dalapm periuk. Tik mada dioles

sokutuk sokutokng, kolak tiduk somalapm suntuk. Artinya: Minyak sokutuk

sokutokng, nasi dimakan dalam periuk. Jika tidak dioles sokutuk sokutokng,

maka akan tidur semalam suntuk (Putra, 2014: 322).

3.2.6.3 Cerita Rakyat

Dalam novel Ngayau, pengarang menyinggung sedikit tentang kisah Dara

Juanti. Juanti adalah cerita rakyat dari Kabupaten Sintang. Cerita rakyat ini adalah

tentang seorang gadis Dayak yang ditinggal oleh saudara laki-lakinya bernama

Demong Nutup atau Jubair II. Saudaranya tersebut merantau ke Pulau Jawa. Inilah

yang menyebabkan Dara Juanti yang memimpin kerajaan Sintang. Dara Juanti

pun ingin pergi berlayar ke Pulau Jawa untuk bertemu Jubair. Berita tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

75

didengar oleh Jubair. Di pelabuhan Tuban, Dara Juanti dihadang oleh prajurit

kerajaan dan merupakan pertemuan pertama dengan seorang patih dari Majapahit

yaitu Patih Loh Gender. Dari pertemuan itu, keduanya semakin dekat. Akhirnya

Patih Loh Gender pergi ke Sintang untuk melamar Dara Juanti. Namun, Patih Loh

Gender harus kembali ke Tanah Jawa karena harus memenuhi persyaratan yang

diminta Dara Juanti. Persyaratan tersebut di antaranya, keris elok tujuh berkepala

naga, empat puluh kepala, dan empat puluh dayang-dayang. Pinangan sudah

terpenuhi, selain itu Patih Loh Gender menyerahkan barang pinangan lainnya

seperti seperangkat alat musik, patung burung garuda terbuat dari emas, dan

sebongkah tanah majapahit. Pinangan berhasil, pernikahan pun diselenggarakan.

Lansau perlahan membelai rambut Mei yang panjang terurai disisir angin

pantai Pasir Panjang. Lalu menatap wajah wanita itu: masih seperti dulu.

Molek jelita, sehingga digelari “Dara Juanti”. (Putra, 2014: 153).

3.2.6.4 Kisah Asal Usul Padi versi suku Dayak

Dalam suku Dayak, terdapat beberapa versi kisah asal usul padi. Salah

satunya dalam novel Ngayau, terdapat sebuah kisah dari mana padi berasal yaitu

dari sepasang suami istri yaitu Sabung Mangulur dan Sabang Menjulur. Kisah

ini berkaitan dengan banyaknya upacara suku Dayak diadakan di lumbung.

Orang Dayak yakin bahwa padi mempunyai semangat atau nyawa. Oleh sebab

itu, agar nyawa padi tidak lari atau hilang, tempat penyimpanan padi haruslah

ditata dan dipelihara sedemikian rupa. Area penyimpanan padi dijaga tengkorak-

tengkorak para sakti mandraguna agar nyawa padi tidak lari dan tetap terpelihara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

76

sesuai petunjuk Sabung Mangulur dan Sabang Menjulur (Putra, 2014: 38). Kisah

asal usul padi terdapat dalam kutipan berikut.

Alkisah, benih padi dipercaya datang dari sepasang suami istri bernama

Saking mencintai anak-anaknya, suatu hari, mereka memberikan wasiat.

Sepasang suami istri ini masuk ke dalam lumbung lalu anak-anak menutup

dan mengunci lumbung itu dengan rapat. Setelah genap tujuh hari setelah

Sabung Mangulur dan Sabang Menjulur masuk ke dalam lumbung maka

anak-anak mereka datang menjenguk. Ketika membuka lumbung, mereka

melihat aneka benih bertumpukan di dalamnya. Berbagai macam bibit sayur

mayur dan palawija tergeletak di situ. Namun, yang terpenting dari

semuanya adalah yang terletak di gundukan paling tengah, yakni bulir-bulir

padi. Antara sedih dan girang, keenam saudara itu menyaksikan semua yang

telah terjadi. Sedih karena tidak lagi menemukan orang tua yang sangat

mereka cintai dan mencintai mereka. Girang karena sebagai silih kedua

orang tua yang telah tiada, mereka menemukan dalam lumbung bermacam-

macam benih, terutama padi, untuk mereka tanam pada masanya nanti akan

memberikan kehidupan dan penghidupan. (Putra, 2014: 38).

3.2.6.5 Seni Musik

Dalam novel Ngayau, terdapat kutipan yang mengingat suatu peristiwa

bagaimana lagu berjudul Pancong Buluh Mundak diciptakan, terdapat dalam

kutipan berikut.

Diliputi rasa haru serta tatap penuh cinta, Domamakng Bunso menerima

pemberian Domia. Ia menerima tuak dari tangan kekasihnya. Lalu

meminumnya.

“Cop, cop, cop, pong!”

Isap demi isap, teguk demi teguk dihirupnya. Tuak yang diisi dalam buluh

bambu itu pun tinggal separuh. Kini giliran Domamakng Bunso nyunsokng

tuak itu ke mulut tunangannya.

“Sekarang giliranmu!” kata Domamakng Bunso seraya meraih bahu

Domia.

Domia menunduk. Lalu menjulurkan mulut. Mendadak kelebat mandau

memutus buluh bambu berisi tuak itu.

“Tega ayahnda berlaku seperti ini!” kata Domamakng Bunso. Heran

campur marah ia menatap Kek Longa.

“Maafkan ayahnda,” jawab Kek Longa, sembari menunjuk ke bawah, ke

arah potongan bambu muda.

“Lihat!” kata Kek Longa, sembari menunjuk ke arah potongan bambu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

77

Seekor kala putih putus dua bagian oleh mandau.

“Jika tidak saya pancung buluh berisi tuak itu,” lanjut Kek Longa, “kala

putih ini akan menggigit leher tunanganmu, dan tunanganmu akan mati!”

Domamakng Bunso dan Domia berpelukan. Hadirin yang menyaksikan

kejadian itu, terpana. Kagum kan kepandaian dan kedigdayaan Kek Longa.

Dalam novel Ngayau terdapat seni musik yaitu lagu rakyat (kondan)

Dayak Kualan berjudul Pancong Buluh Mundak. Bagian ulangan lagunya

berbunyi “Pancong buluh mudak, Ogot mosi ogot toga) artinya langsung putus

sekali tebas, belum habis belum selesai. Dari liriknya, lagu ini sering dikaitkan

dengan gurauan bagi peminum tuak mau pun arak dalam suku Dayak. Jika

minuman belum habis, maka acara minum pun belum selesai. Berikut adalah

cuplikan lirik dari lagu Pancong Buluh Mundak.

Mulailah mulai membuka pantun

Pancong buluh mundak

Ogotn mosi ogot toga

Pantun dibuka ongan suara

Pancong buluh mundak

Ogotn mosi ogot togo.

3.2.6.6 Seni Rupa

Dalam novel Ngayau, terdapat seni repa berupa pantak. Pantak biasanya

terdapat di gerbang saat memasuki perkampungan Dayak. Patung kayu atau

hampatokng digunakan untuk tolak bala. Pantak-pantak dimaksudkan untuk

menjaga kampung dari marabahaya. Kini, ketika 90% etnis Dayak adalah katolik

dan Kristen, pantak-pantak pun digantikan dengan salib dengan tujuan yang sama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

78

(Putra, 2014: 181). Masyarakat Dayak tempo dulu memiliki kebiasaan dan tradisi

untuk mengenang tokoh yang sudah meninggal dengan membuat pantak. Pantak

adalah sejenis patung kayu yang wajahnya simbolik menyerupai dengan tokoh

masyarakat. Pantak aslinya terbuat dari kayu. Kayu yang akan dibuat pantak pun

tidak sembarangan. Dalam arti, saat merencanakan, memilih kayu, membuat,

hingga selesai proses itu menggunakan upacara adat Djuweng (dalam Wuryani,

2015). Gambaran pantak dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Poromuan sama seperti kampung-kampung Dayak yang lain. Artefak,

bentuk, dan gaya perkampungan sama. Sama-sama yakin bahwa alam raya

punya kekuatan magis. Kekuatan magis juga terdapat dalam setiap benda,

termasuk pohon dan patung-patung.

Maka setiap akan masuk kampung, selalu ada tanda. Ada gerbang, pagar,

tangga naik turun, dan ada pantak. (Putra, 2014: 181).

3.3 Unsur-unsur Budaya Tionghoa dalam novel Ngayau karya Masri

Sareb Putra

Menurut Koentjaraningrat (1980: 180), kebudayaan adalah keseluruhan

gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat

yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dalam novel Ngayau,

ditemukan empat unsur-unsur budaya Tionghoa yang meliputi: (1) Bahasa, (2)

Sistem pengetahuan, (3) Sistem peralatan dan Teknologi, dan (4) Sistem Religi.

3.3.1 Bahasa

Bahasa Hakka yang dituturkan di Provinsi Kalimantan Barat. Bahasa

Hakka yang dituturkan di Kalimantan Barat terdiri dari beberapa varian menurut

asal kelompoknya dari Tiongkok. Hakka di Kalimantan Barat merupakan bahasa

pergaulan, komunikasi warga Tionghoa di daerah tersebut. Di Singkawang,

sebanyak 62% warganya berbicara dalam bahasa Hakka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

79

Seperti yang dikatakan Mary Somers, “orang Tionghoa di Kalimantan Barat

bukan “penyinggah” atau orang-orang yang hanya tinggal untuk sementara,

karena orang Tionghoa di Kalimantan Barat mempertahankan kebudayaan asli

Tionghoa mereka”. Selain itu, mereka juga masih tetap menggunakan bahasa

Tionghoa secara turun-temurun. Hal ini lah yang membuat keluarga Siat Mei

berbeda dengan etnis Tionghoa lainnya dalam segi penggunaan bahasa sehari-

hari.

Tabel 1

Daftar Bahasa Tionghoa

No Bahasa Tionghoa Tema

1 A kong Sapaan Kekerabatan

2 Lo pho

3 A moi

4 Moi ci

5 Ka Kon

6 Ku Chong

7 Thai Ko

8 Chang Fu

9 Lo Thai Sim

10 Cheu Fung Theu Istilah

11 Ceng Beng

3.3.1.1 Sapaan Kekerabatan

Beberapa sapaan khas Tionghoa yang digunakan pengarang untuk

menandakan bahwa tokoh merupakan keturunan etnis Tionghoa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

80

(1) A kong

Dalam dialek Hakka berarti kakek.

Akong Mei adalah agen cerita silat. Ia membuka kios penyewaan komik

yang laris luar biasa. Sembari mendatangkan serial cerita siat, si akong juga

mengoleksi buku-buku yang dibeli murah di pasar loak. (Putra, 2014: 69).

(2) Lo Pho

Dalam dialek Hakka berarti istri.

A pa Mei juga tiba-tiba teringat lo pho-nya.

“Mei, a me-mu! Di mana dia? Maafkan a pa yang tak berguna ini! kata

lelaki gemuk, berkulit kuning, bermata sipit itu. baru menyadari ada yang

kurang. (Putra, 2014: 78).

(3) A moi

Amoi adalah sapaan atau panggilan kesayangan seorang anak gadis etnis

Tionghoa di Kalimantan Barat. dalam hal ini, maksudnya adalah Mei.

Ia melihat sorot mata a pa-nya dan yakin tak ada segaris benci pun pada

tatap a pa-nya. sebaliknya, “A moi” sungguh mencintai pemuda itu!” pikir a

pa Mei. (Putra, 2014: 81).

(4) Moi Ci

Dalam dialek Hakka berarti anak perempuan.

“A pa kenapa? Tanya Mei. “Ini moi ci!”

“Kau bukan anak gadisku! Kau Domia! Kata ayah Mei. (Putra, 2014: 83).

(5) Ka Kon

Panggilan kesayangan mertua laki-laki dalam dialek Hakka.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

81

“Ya, ini saya ka kon!” sahut Lansau dengan nada santun. (Putra, 2014: 10

(6) Ku Chong

Dalam dialek Hakka, Ku Chong berarti paman.

“Ku Chong pasti lelah dan haus. Minumlah ini!” kata Pak Miguk menawar

dengan santun. “Saya penjaga rumah ini. Di sini ku chong pasti aman!”

(Putra, 2014: 102).

(7) Thaiko

Dalam dialek Hakka berarti abang.

“Thaiko!” seru Mei.

Mei seperti melihat kelebar seseorang. Namun, orang yang dipanggil

Thaiko,yang tiba-tiba muncul dari balik pohon kelapa, menghentikan truk

yang tengah berjalan. Melihat gelagat dan carana, Mei mafhum itu thaiko. Ia

hafal. “Tak salah lagi! Pendekar muda itu adalah abangnya. (Putra, 2014:

105).

(8) Chang Fu

Dalam bahasa Hakka berarti suami.

“Sudahlah,” katanya lembut. “Itu tentang masa lalu,” sembari menepuk

bahu lelaki itu. “Kamu chang fu aku!” (Putra, 2014: 153).

(9) Lo Thai Sim

Dalam bahasa Hakka berarti: abang ipar.

Namun, raut muka kesedihan serta merta berubah jadi keterkejutan.

“Lo thai sim! Kata thaiko. Lansau, ka. . .kamu? apa saya tak salah melihat?

(Putra, 2014: 130).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

82

3.3.1.2 Istilah

Dalam novel Ngayau, terdapat penggunaan istilah menggunakan bahasa

Tionghoa, yaitu Cheu Fung Theu yang berarti manusia kepala merah.

Penggunaan istilah tersebut terdapat dalam kutipan berikut.

Siapa saja yang melihat kepala merah akan lari terbirit-birit, sehingga dialek

Hakka setempat menyebutnya sebagai “Cheu fung theu,” atau lari terbirit-

birit karena amukan kepala merah. (Putra, 2014: 74).

“Kita tidak melasa olang Cin dali Seblang!” kata Ben Teng suatu pagi,

ketika bersama a pa Mei sedang kongkow-kongkow. “Kita olang Cin wajib

mengangkat delajat olang Dayak. Sebab meleka sama sepelti kita, hanya

miglasi lebih dulu. Nenek moyang olang Dayak dali Yunan, kita juga dali

negeli sama!”

Ayah Mei manggut-manggut.

“Cili-cili fisik dan makanan kita dengan olang Dayak juga sama! Kata Ben

Teng. “Leluhul kita dali Guang Dong.” (Putra, 2014: 60).

Dari catatan pembentukan “Kongsi Cina”, Kongsi Lan Fong di Mandor

didirikan oleh Lo Fong Fak yang berasal dari suku Hakka (Khek) yang bersama

rombongan datang dari provinsi Guang Dhong. Setelah mendarat di Pantai Laut

Cina Selatan, mereka menuju Mandor dan tiba pada 1772.

3.3.2 Sistem Pengetahuan

Dalam novel Ngayau, terdapat sistem pengetahuan etnis Tionghoa yang

ketujuh yaitu ruang dan waktu, yaitu ilmu untuk menghitung, mengukur,

menimbang, atau menentukan tanggal. Setiap tahunnya, tokoh Lansau selalu

menemani istrinya pergi ke pemakaman a pa Mei pada bulan Maret-April untuk

melaksanakan ceng beng.

Tiap tahun, antara bulan Maret-April ada ceng beng, dan Lansau selalu setia

menemani istrinya (Putra, 2018: 149).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

83

Ceng beng merupakan ritual tahunan etnis Tionghoa untuk bersembahyang

berziarah ke pemakaman sesuai dengan ajaran Khonghucu. Festival tradisional ini

jatuh pada hari ke 104 setelah titik balik Matahari pada musim dingin (atau hari

ke-15 dari hari persamaan panjang siang dan malam pada musim semi), pada

umumnya jatuh pada tanggal 5 April, dan setiap tahun kabisat, Qing Ming jatuh

pada tanggal 4 April. Secara astronomi, ini juga merupakan terminologi matahari,

yang dinamai Qingming. Nama yang menandakan waktu untuk orang pergi keluar

dan menikmati hijaunya musim semi, dan juga ditujukan kepada orang-orang

untuk berangkat ke kuburan.

Ceng beng masih dianut oleh Siat Mei sebagai bagian dari etnis Tionghoa.

Mei mengunjungi pemakaman ayahnya. Sebenarnya, tidak ada aturan yang

menyebutkan bahwa orang Tionghoa yang merayakan Ceng Beng harus beragama

Buddha atau Kong Hu Cu. Siapa pun boleh saja melakukan sembahyang kubur

karen tujuannya adalah untuk menghormati jasa-jasa orangtua atau leluhur. Selain

itu, saat Ceng Beng juga sebagai momen untuk berkumpul kembali bersama

keluarga dan sanak saudara yang jauh.

3.3.3 Sistem Peralatan dan Teknologi

Sistem peralatan dan teknologi meliputi, alat-alat produksi, senjata, wadah,

makanan, dan jamu-jamuan, pakaian, dan perhiasan, tempat berlindung, dan

perumahan, serta alat-alat transportasi (Koentjaraningrat, 1990: 343). Dalam novel

Ngayau, terdapat satu unsur dari sistem peralatan dan teknologi yaitu makanan

khas Tionghoa, yaitu Kwee Cap. Kwee Cap adalah Makanan khas Tionghoa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

84

Kalimantan Barat, namun juga disukai etnis lain, terutama Dayak. Terbuat dari

tepung, berwarna putih sebesar jari, dengan bumbu, dan aneka bahan khas

Tionghoa. Kwee cap adalah potongan kwetiau atau mie lebar yang terbuat dari

tepung beras. Lalu disiram dengan kuah dari kaldu tulang babi dan minyak babi.

Makanan khas Tionghoa berupa kwee cap terdapat dalam kutipan berikut.

“Kita olang kejepit” kata Ben Teng, sembari menyantap Kwee Cap. Itu

adalah sendok yang terakhir (Putra, 2014: 62).

3.3.4 Sistem Mata Pencaharian Hidup

Dalam novel Ngayau, digambarkan bahwa sistem mata pencaharian etnis

Tionghoa yaitu berkebun dan berdagang.

(1) Berkebun

Dalam novel Ngayau, saat perang usai warga Tionghoa diungsikan ke

beberapa tempat di Kalimantan Barat, yaitu Gudang Tama, Kaliasin, Lirang, dan

Kopisan. Sistem mata pencaharian terlihat dari penokohan a pa Mei. A pa Mei

adalah salah satu pengungsi dan menjadi penggangguran sebagai akibat dari

peristiwa Mangkok Merah. Ia mencoba memulai hidup dari berkebun. Sistem

mata pencaharian Tionghoa berkebun terdapat dalam kutipan berikut.

A pa Mei diungsikan di Lirang. Mulai meniti hidup dari bawah lagi, mula-

mula membangun gubuk di sebuah lahan tepi sawah. Sedikit demi sedikit

menanam sayur mayur. Lalu berkebun jeruk. Sementara a me Mei tidak

tahu ke mana rimbanya? (Putra, 2014: 145).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

85

(2) Pasar Terapung

Ketika Mei dan a pa-nya diculik Lansau, a me sedang ke pasar terapung.

Sore-sore penangkap ikan dan para petani baru tiba dengan aneka jualan yang

masih segar. Mereka berjualan di pasar terapung, di dalam perahu-perahu yang

berbaris tertambat. Pasar terapung dalam novel Ngayau terdapat dalam kutipan

berikut.

Perhatian Lansau tertuju pada Mei dan ayahnya yang tengah melayani

pembeli toko kelontong ketika itu. (Putra, 2014: 78).

(3) Berdagang

Mata pencaharian etnis Tionghoa bervariasi. Ada yang bertani, peternak,

bahkan tenaga pengajar. Akan tetapi, kebanyakan warga dari etnis Tionghoa

adalah pedagang, seperti Ayah Mei yang merupakan seorang pedagang kelontong.

Hal ini terlihat dalam kutipan berikut. Kelontongnya dibakar massa saat tariu

terjadi.

“Inikah yang menyebabkan pedagang kelontong itu membatalkan perkawinan

anak gadisnya yang tinggal menghitung jam?” (Putra, 2014: 52).

Dan bunyi itu semakin dekat dengan bantaran sungai tempat tinggal Mei,

sekaligus toko kelontong milik keluarganya,” (Putra, 2014: 68).

Etnis Tionghoa memang punya kemampuan unik dalam bidang ekonomi.

Terdapat beberapa mitos dalam hal tersebut. Tersohornya kesuksesan orang besar

yang datang dari etnis Tionghoa tidak dapat dilepaskan dari paham yang mereka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

86

anut. Konghucu atau lebih dikenal dengan confucianism adalah sistem norma dan

filosofi yang dianut oleh kebanyakan etnis Tionghoa (Rengganis, 2014)..

Dalam sistem kepercayaan ini, diatur hierarki hubungan antar individu yang

biasa disebut Wu-Lun. Hal tersebutlah yang dianut oleh Ben Teng bahwa dalam

hal hubungan sosial tidak boleh memilah dan membatasi komunikasi dan relasi

hanya dengan satu suku atau satu golongan saja. Sebisa mungkin berelasi dengan

siapa pun. Dalam dunia dagang, semakin banyak relasi, semakin baik (Putra,

2014: 60-61).

(4) Kerja Tambang

Dalam novel Ngayau, digambarkan oleh pengarang bahwa kerja tambang

merupakan salah satu mata pencaharian etnis Tionghoa. Saat itu, banyak

petambang dari etnis Tionghoa sukses dan memiliki jaringan yang luas. Hal

tersebut memicu kompeni untuk memprovokasi. Kompeni takut jika suku Dayak

dan etnis Tionghoa menjadi penguasa di Borneo. Hal itulah yang menyebabkan

perang antara Dayak dan Tionghoa. Penggambaran kerja tambang terdapat dalam

kutipan berikut.

Di sebuah ladang tambang daerah Lara yang kemudian hari menjadi

wilayah Kabupaten Sambas. Kompeni melihat ancaman. Para pekerja

tambang imigran dari negeri Cina sukses dan berhasil menjalin relasi lebih

luas sampai ke luar wilayah nusantara ketika itu. Petambang Dayak dan

petambang imigran Cina sengaja dibentur-benturkan, sehingga terjadi

perang Dayak vs imigran Cina, wilayah yang sama dengan “Tragedi

Sambas” pada 1999 (Putra, 2014: 119)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

87

3.3.5 Sistem Religi

Dalam novel Ngayau, tokoh Siat Mei merayakan ceng beng pada bulan

Maret-April setiap tahunnya untuk menghormati dan a pa dan a me serta

leluhurnya. Penghormatan leluhur yang dilakukan oleh Siat Mei adalah

kepercayaan tradisional dalam etnis Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran

Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur

(Wikipedia, Kepercayaan Tradisional Tionghoa). Ceng Beng dimengerti semua

oleh berbagai etnis Tionghoa Kalimantan Barat sebagai sembahyang kubur.

Pelaksaan ceng beng yang dilakukan oleh Siat Mei terdapat dalam kutipan

berikut.

Tempat kenangan ini, sekarang adalah pemakaman keluarga Tionghoa. Tiap

tahun, antara bulan Maret-April ada ceng beng, dan Lansau selalu setia

menemani istrinya. mungkin dengan cara begini, ia merasa sebagai silih atas

dosa masa lalu.

. . . .

Anak gadis itu mengangkat hio ke atas, lalu meletakannya ke bawah lagi.

Ibunya membantu menancapkan batang hio itu di tempat yang semestinya.

(Putra, 2014: 149).

3.4 Rangkuman

Dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra, peneliti menemukan enam

unsur-unsur budaya Dayak yaitu: (1) bahasa yang digunakan yaitu bahasa Dayak

Kanayatn dan Bahasa Dayak Djongkang (Djo). (2) Sistem pengetahuan yang

meliputi sistem pengetahuan musim, sistem pengetahuan flora, dan sistem

pengetahuan adat-istiadat. (3) Sistem peralatan hidup dan teknologi meliputi

senjata, tempat berlindung, perumahan, alat produksi, dan makanan. (4) Sistem

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

88

mata pencaharian hidup yang meliputi berburu dan berladang. (5) Sistem religi

yang meliputi kepercayaan animisme dan dinamisme, dan (6) kesenian meliputi

benda lama yang masih digunakan, kesustraan berupa mantra-mantra, cerita

rakyat, dan seni musik. Sedangkan, unsur-unsur budaya Tionghoa terdapat empat

unsur yaitu: (1) bahasa yang digunakan meliputi bahasa Tio Ciu, dialek hakka. (2)

Sistem peralatan dan teknologi yang meliputi makanan khas Tionghoa di

Kalimantan Barat yaitu kwee cap. (3) Sistem mata pencaharian etnis Tionghoa

yang meliputi berkebun dan ada pasar terapung, berdagang, dan kerja tambang.

(4) Sistem religi Tionghoa yang meliputi konfusianisme.

Di bumi Borneo, imigran asal negeri Cina ibarat ikan bertemu air. Klop!

Dari isi budaya dan bahasa, tidak ada masalah dengan saudara tuanya yang

migrasi lebih awal. Mereka pun tidak merasa berbeda. Satu sama lain bertutur

dengan dua bahasa yang berbeda. Penduduk asli fasih bertutur dialek Khek

(Hakka) dan Tio Ciu. Sebaliknya. Etnis Tionghoa di Bumi Borneo pun sangat

fasih berbahasa Dayak. Sampai-sampai dalam kehidupan dan berkomunikasi

sehari-hari, tidak dapat dibedakan lagi, mana Dayak dan Tionghoa. Akan tetapi,

tetap saja ada semacam luka batin yang terbawa sejak lama, turun-temurun. Orang

bilang, waktu akan menyembuhkan luka. Nyatanya, tidak! Bukan kali ini saja

orang Dayak dibentur dengan orang Tionghoa (Putra, 2014: 118).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

89

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penelitian ini menggunakan objek material novel Ngayau karya Masri

Sareb Putra. Rumusan masalah yang terdapat pada penelitian ini yaitu: (1)

Bagaimana unsur pembangun novel yang mencakup tokoh, penokohan, dan latar

dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra? Dan (2) Apa saja unsur-unsur

kebudayaan Dayak dan Tionghoa dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra?

Dalam menganalisis unsur-unsur kebudayaan, peneliti menggunakan teori unsur-

unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat.

Pada bab II, peneliti memaparkan hasil analisis struktur pembangun novel

yang terdiri dari tokoh, penokohan, dan latar. Penulis memilih unsur-unsur

tersebut karena struktur tersebutlah yang paling dominan dalam cerita dan dapat

menggambarkan unsur-unsur kebudayaan yang terdapat dalam novel Ngayau.

Dalam novel Ngayau karya Masri Sareb Putra terdapat dua tokoh utama yaitu

Lansau dan Siat Mei. Sedangkan terdapat tokoh tambahan yaitu (1) A pa Mei, (2)

Ben Teng, (3) A kong Mei, (4) Ahong, (5) Sinfu, (6) Sin Sang, (7) Kek Longa, (8)

Domia, dan (9) Domamakng Bunso. Tokoh-tokoh tersebut hadir di sekitar tokoh

utama.

Lansau yang merupakan tokoh utama adalah seorang pemuda Dayak, ia

menjadi pemimpin manusia kepala merah saat tariu dan sekaligus menjadi

penggerak dalam cerita novel Ngayau. Siat Mei yang merupakan gadis Tionghoa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

90

dan diperistri oleh Lansau juga termasuk tokoh utama karena kehadirannya cukup

dominan saat peristiwa perang yang dialaminya bersama Lansau. A pa Mei yang

merupakan ayah dari Siat Mei sebagai seorang pria keturunan Tionghoa yang

berdagang kelontong. Ben Teng adalah teman a pa Mei yang dibesarkan dan

dilahirkan di Borneo. Ahong adalah abang dari Siat Mei, sahabat Lansau yang

merupakan pemimpin pasukan seribu kuil. Sinfu yang merupakan pastor tentara

dan menjadi sukarelawan saat perang. Sin sang merupakan guru silat Ahong yang

memiliki ilmu-ilmu profan. Kek Longa, ayah dari Domia yang menjadi babae.

Domia adalah anak Kek Longa yang merupakan ibu dari bayi kembar bernama

Bagumban Perangai Darat dan Bejamban Perangai Laut. Domamakng Bunso,

suami Domia dan merupakan seorang yang gagah dan berjiwa ksatria.

Dalam menganalisis latar, hanya beberapa latar yang dipilih karena

berkaitan dengan unsur-unsur budaya. Peneliti membagi unsur latar menjadi tiga

bagian yaitu: latar tempat, latar waktu, dan latar sosial budaya. Latar tempat yang

meliputi negeri Poromuan, Rumah Mei, dan Hutan. Latar waktu dominan adalah

tahun 1967 saat perang akibat provokasi antara suku Dayak dan etnis Tionghoa,

dan pada tahun 1999 saat terjadi kerusuhan antar etnis di Sambas, dan latar sosial-

budaya yang meliputi cara hidup suku Dayak yang hidup secara berkomunal di

rumah betang, penggambaran makanan khas Tionghoa di Kalimantan Barat, kwee

cap, dan penggunaan bahasa yang dapat mengindikasikan dari mana seseorang

berasal.

Pada bab III, peneliti memaparkan hasil analisis unsur-unsur kebudayaan

Dayak dan Tionghoa yang terdapat dalam novel Ngayau. Pada penelitian ini,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

91

peneliti menemukan enam unsur-unsur budaya Dayak yaitu: (1) Penggunaan

kosakata bahasa Dayak Kanayatn yaitu jubata dan tariu dan penggunaan bahasa

Dayak Djongkang (Djo) yaitu bepacu, pongaretn dan ngabas poya, sebagai sarana

komunikasi, digunakan beberapa tanda karena orang Dayak tidak bisa terlepas

dari tanda yaitu tanda dari suara gong sebagai bentuk komunikasi non-verbal,

tanda dari suara burung sebagai petunjuk saat hendak pergi me-ngayau, tanda dari

bambu untuk keperluan ritual, dan penggunaan sandi saat tariu yaitu 2-B yang

berarti bunuh dan bakar. (2) Sistem pengetahuan yang meliputi membaca musim

sebagai pedoman berburu saat musim kemarau , sistem pengetahuan flora yaitu

daun sabang merah yang digunakan sebagai tanda pengenal saat tariu, dan sistem

pengetahuan adat yang meliputi asal-usul terciptanya hukum adat. (3) Unsur

sistem peralatan dan teknologi yang meliputi senjata untuk berburu yaitu sumpit,

tombak, bikas, belantik, polaman sebagai tempat berlindung saat musim menanam

padi tiba, perumahan suku Dayak berupa rumah adat betang yang terdapat di hulu

sungai, bambu sebagai alat memasak, dan makanan. (4) Sistem mata pencaharian

hidup yang meliputi berburu saat musim kemarau, berladang pada bulan Agustus

saat puncaknya musim kemarau, dan kerja tambang di daerah Lara bersama etnis

Tionhoa. (5) Sistem religi yang meliputi animisme, memanggil ruh leluhur saat

tariu agar membantu suku Dayak perang dan dinamisme, suku Dayak percaya

bahwa pantak yang merupakan patung sebagai benda bernyawa. (6) Kesenian

meliputi benda lama yang masih digunakan yaitu tajao untuk menyimpan tuak,

kesustraan berupa mantra-mantra yaitu mantra saat tariu untuk memanggil ruh

leluhur, mantra nosu minu untuk menyerukan semangat seorang yang sedang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

92

menderita suatu penyakit, mantra sokutuk sokutokng untuk penangkal ramuan

sirep agar seseorang yang terkena sihir tidak tertidur, dan cerita rakyat Dara Juanti

dan kisah asal usul padi versi Dayak yaitu dari sepasang suami istri bernama

Sabang Mangulur dan Sabang Menjulur, dan Seni musik yang berupa penggalan

lagu Pancong Buluh Mundak. Sedangkan, unsur-unsur budaya Tionghoa terdapat

empat unsur yaitu: Dalam beberapa bahasa meliputi bahasa Tio Ciu, dialek hakka,

terdapat penggunaan sapaan kekerabatan, dan penggunaan istilah Cheu Fung Theu

yang berarti Manusia Kepala Merah. (2) Sistem pengetahuan yang ketujuh, yaitu

ruang dan waktu. Mampu menentukan tanggal pelaksaan ceng beng. (3) Sistem

peralatan dan teknologi meliputi makanan khas etnis Tionghoa di Kalimantan

Barat yaitu kwee cap. (3) Sistem mata pencaharian etnis Tionghoa meliputi

berkebun, pasar terapung, berdagang, dan kerja tambang. (4) Sistem kepercayaan

Tionghoa yang meliputi konfusianisme.

Etnis Dayak dan Tionghoa sudah hidup bersama sejak puluhan abad.

Sudah berasimilasi dan berakulturasi. Tampak dalam adanya beberapa persamaan

dalam analisis unsur-unsur budaya Dayak dan Tionghoa yang terdapat dalam

novel Ngayau, yaitu sistem mata pencaharian hidup, Dayak dan Tionghoa bermata

pencaharian dalam bidang yang sama yaitu pertanian, suku Dayak berladang dan

etnis Tionghoa berkebun. Selain itu, terdapat juga persamaan bahwa suku Dayak

dan Tionghoa sama-sama bermata pencaharian sebagai petambang. Selain itu,

dalam penokohan Lansau dan Ahong, pengarang menggambarkan bahwa suku

Dayak dan etnis Tionghoa sama-sama bisa menggunakan bahasa Hakka. Ciri fisik

juga tidak jauh berbeda, sama-sama berkulit kuning dan berambut hitam lurus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

93

Saat provokasi, etnis Dayak pun dihasut, agar etnis Dayak memusuhi etnis

Tionghoa. Karena banyak memiliki kesamaan, Dayak dan Tionghoa tidak mudah

diprovokasi. Sebelumnya, provokasi antara kedua etnis tersebut tidak mempan.

Dayak dan Tionghoa tetap hidup rukun dan damai. Dalam rekayasa tersebut,

tentara menyamar dan mulai memasuki kampung-kampung Dayak. Saat etnis

Dayak berhasil diprovokasi, maka perang pun terjadi. Menurut analisis dan data

intel, 90 persen etnis Tionghoa di Kalimantan Barat distempel sebagai komunis.

Maka tentara yang menyamar, masuk ke kampung-kampung Dayak dan

mendekati tokoh-tokoh masyarakat setempat. Dalam sebuah silent operation,

tentara membunuh beberapa tokoh Dayak, tidak di kampung mereka. Untuk

memancing kemarahan warga Dayak, disebarluaskan isu dan propaganda bahwa

tokoh Dayak dibunuh PGRS/Paraku (Putra, 2014: 139).

Kerusuhan sosial 1967 di Kalimantan Barat yang dipermukaan melibatkan

Dayak vis a vis Tionghoa ini, berlangsung selama sekitar tiga bulan (Putra, 2014:

145). Dua etnis satu asal tersebut saling bunuh, seperti tidak pernah kenal

sebelumnya. Dalam kerusuhan tersebut, Tionghoa adalah korban. Akan tetapi, di

sisi lain orang Dayak juga merasa menjadi korban. Perang antar kedua etnis

tersebut. Akhirnya, dalam perang tersebut tidak ada yang menang dan tidak ada

yang kalah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

94

4.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti memberikan saran. Bagi peneliti

selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan salah satu bahan acuan dalam melaksanakan

penelitian selanjutnya. Peneliti selanjutnya juga dapat mengkaji novel ini dari teori dan

pendekatan yang berbeda yaitu dengan teori Antropologi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

95

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1999. A Glosary of Literary Terms. Seventh Edition.

Massachusetts: Heinle&Heinle, Thompson Learning Inc.

Aminuddin, 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru

Algensindo.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Edisi

Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Atar, Semi. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Bock, C. 1882. The Head Hunters of Borneo; a narrative of travel up the

Mahakam and down the Barito; also, Journeyings in Sumatra. London:

Sampson Low, Marston, Searle & Rivington.

Coomans, Mikhael. 1987. Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan.

Jakarta: Gramedia.

Damono, Sapardi J. 1979. Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

, Sapardi Djoko. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Darmayana, Hiski. 2013. "Peristiwa Mangkok Merah, Ketika Imperialisme

'Mengawini' Rasialisme". http://www.berdikarionline.com/peristiwa-

mangkok-merah-ketika-imperialisme-mengawini-rasialisme/, diakses

19/07/2018 pukul 00.30.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra (Cetakan 1). Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Kalangie, N.S. 1994. Kebudayaan dan Kesehatan. Pengembangan Pelayanan

Kesehatan Primer Melalui Pendekatan Sosial-Budaya. Jakarta: Kesaint

Blank.

Krisna, Pramesti. 2016. Burung Enggang, Burung Khas Kalimantan.

https://undas.co/2016/01/burung-enggang-burung-khas-kalimantan/

diakses pada 21/07/2018 pukul 23: 32.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

96

Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (Cetakan 1).

Jakarta: Gramedia.

. 1980. Pengantar Ilmu Antropologi (cetakan ke-2). Jakarta:

Aksara Baru.

. 1990. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:

Djambatan.

. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi Jilid I. Jakarta: Grasindo.

. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi II. Jakarta. Rineka Cipta.

. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Lontaan, J. U. 1975. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat.

Pontianak: Pemda Tingkat I Kalimantan Barat.

Moleong, Lexy. J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya Offset.

Mudiyono. 1995. Kearifan Tradisional Masyarakat Dayak Dalam Pemeliharaan

Lingkungan Hidup di Daerah Kalimantan Barat. Pontianak: Fisip

Untan.

Nurgiyantoro, B. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

. 2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Pradopo, Rachmat D. 2002. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritis, dan

Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Putra, M.S. 2014. Ngayau. Tangerang: Entertainment Essence Center.

. 2012. Makna di Balik Teks Dayak Sebagai Etnis Headhunter.

Gading Serpong: Universitas Multimedia Nusantara.

. 2015. Keling Kumang. Banten: Entertainment Essence Center.

Ratna, Nyoman Kutha.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rengganis, Nendra. 2014. Rahasia Kenapa Orang Tionghoa Bisa Jadi Super Kaya.

https://www.hipwee.com/sukses/rahasia-kenapa-orang-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

97

tionghoa-bisa-lebih-kaya-dibanding-kamu/ diakses pada

21/07/2018 pukul 00:21.

. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Dari

Strukturalisme Hingga Poststrukturalisma Perspektif Wacana Naratif

(Cetakan Ke-2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra: Sebuah Pemahaman Awal. Malang:

Bayu Media dan UMM.

Satoto, Soediro. 1993. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada.

Soemardjan, Selo. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistik). Yogyakarta: Duta

Wacana University Press.

Suhariyadi. 2014. Pengantar Ilmu Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang.

Sukanda, Al Yan. 2012. Gong Dalam Budaya Dayak Pesaguan.

http://kampungtumbangtiti.blogspot.com/ Ketapang: Yayasan Warisan

Ketapang diakses pada 21/07/2018 pukul 23:42.

Superman. 2017. Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat Pada Tahun

1967. Pontianak: IKIP-PGRI Pontianak.

Supriyadi, Yohanes. 2008. Cina dalam Dayak. Potret Inkulturasinya di Kalangan

Dayak Mempawah-Kalimantan Barat.

http://yohanessupriyadi.blogspot.com/2008/08/cina-dalam-dayak-

potret-inkulturasinya.html diunduh 18/07/2018 pukul 13:09.

Syani, Abdul. 1995. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Pustaka Jaya. Bandar

Lampung: Universitas Lampung.

Taum, Y. Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: UNSUR BUDAYA DAYAK DAN TIONGHOA DALAM ...repository.usd.ac.id/31726/2/144114016_full.pdfHampatokng : Patung kayu Jubata : Tuhan Ka kon : Mertua laki-laki Kasikng: Berupa duri, pecahan

98

. Y. Yapi. 2017. “Kritik Sastra yang Memotivasi dan Menginspirasi”.

Disampaikan dalam Seminar Nasional Kritik Sastra yang

diselenggarakan oleh KEMENDIKBUD dan Dewan Kesenian Jakarta,

di Jakarta tanggal 15-16 Agustus 2017.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia

Pustaka Jaya.

. 1998. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.

Waluyo, H. J. 2002. Apresiasi Puisi. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Wasito, Hermawan. 1992. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Wikipedia.“Kerusuhan Sambas”.https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Sambas

diakses pada21/07/2018 pukul 00.21

Wuryani, Emmy. 2015. Makna Pantak Bagi Suku Dayak Kanayatn, Desa Bagak

Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Salatiga:

Universitas Kristen Satya Wacana.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI