UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

123
UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS ERUPSI GUNUNG MERAPI Tahun 2010 DARI LATAR BELAKANG BUDAYA JAWA BERUSIA DEWASA MADYA AWAL (Resilience Among 2010 Merapi Eruption Survivors from Javanese Cultural Background In Early Middle Adulthood) SKRIPSI ALVINA VIVIEN SETIABRATA 0806462413 FAKULTAS PSIKOLOGI PROGRAM STUDI SARJANA REGULER DEPOK JULI 2012

Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

UNIVERSITAS INDONESIA

RESILIENSI PADA PENYINTAS ERUPSI GUNUNG MERAPI

Tahun 2010 DARI LATAR BELAKANG BUDAYA JAWA BERUSIA

DEWASA MADYA AWAL

(Resilience Among 2010 Merapi Eruption Survivors from Javanese

Cultural Background In Early Middle Adulthood)

SKRIPSI

ALVINA VIVIEN SETIABRATA

0806462413

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA REGULER

DEPOK

JULI 2012

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

i

UNIVERSITAS INDONESIA

RESILIENSI PADA PENYINTAS ERUPSI GUNUNG MERAPI

TAHUN 2010 DARI LATAR BELAKANG BUDAYA JAWA

BERUSIA DEWASA MADYA AWAL

(Resilience Among 2010 Merapi Eruption Survivors from Javanese

Cultural Background in Early Middle Adulthood)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

ALVINA VIVIEN SETIABRATA

0806462413

FAKULTAS PSIKOLOGI

PROGRAM STUDI SARJANA REGULER

DEPOK

JULI 2012

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

ii

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

iii

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

iv

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat

yang diberikan sehingga saya diberi kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulisan

skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Psikologi di

Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, dari awal perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, sangat

sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya ingin

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan serta doa kepada saya hingga saya

dapat menuntaskan perkuliahan ini. Kepada Papa tercinta yang memberikan buku-buku

bacaan sebagai acuan untuk melengkapi skripsi ini.

2. Dra. Julia Suleeman, M.A., M.A., Ph.D. sebagai pembimbing skripsi saya yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing saya dan teman-teman di payung penelitian

Resiliensi sehingga skripsi ini bisa terselesaikan.

3. Dra. Ike Anggraika sebagai pembimbing akademis saya yang memberikan arahan dan

dukungan kepada saya selama perkuliahan di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

4. Teman-teman peer “Ayam” (Acin, Acen, Ale, Apua, Aken, Uto) yang selalu memberikan

semangat, saling memberi masukan satu sama lain, serta berbagi suka maupun duka.

5. Teman-teman payung (Apua, Risca, Hao, Dina, Elsha) yang saling membantu satu sama

lain sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan lancar.

6. Warga dan pimpinan desa Krinjing yang merupakan partisipan penelitian, yang membantu

dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Kedua anjing cantikku (Mollie dan Caramel) yang selalu setia menemani dan

menggangguku mengerjakan skripsi serta memberikan keceriaan di rumah.

8. Pacarku tersayang, Michael Jusuf, yang telah menemaniku dalam suka dan duka serta

membuat hidupku bermakna.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

v

Skripsi ini dibuat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampun saya, tapi tidak

menutup kemungkinan jika terdapat kekurangan di dalamnya. Jika ada hal-hal yang ingin

ditanyakan atau didiskusikan lebih lanjut, bisa menghubungi [email protected].

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih dan berharap Tuhan berkenan membalas segala

kebaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Depok, 5 Juli 2012

Alvina Vivien Setiabrata

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

vi

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah

ini:

Nama : Alvina Vivien Setiabrata

NPM : 0806462413

Program Studi : Reguler

Fakultas : Psikologi

Jenis Karya : Skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

“Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010 Dari Latar Belakang

Budaya Jawa Berusia Dewasa Madya Awal”

beserta perangkat (jika ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini,

Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkan bentuk,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, serta mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagia penulis atau pencipta dan juga sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 5 Juli 2012

Yang menyatakan

(Alvina Vivien Setiabrata)

NPM : 0806462413

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

vii

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Alvina Vivien Setiabrata

Program Studi : Psikologi

Judul : Resiliensi Pada Penyintas Erupsi Gunung Merapi Tahun 2010

Dari Latar Belakang Budaya Jawa Berusia Dewasa Madya

Awal.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi penyintas erupsi

Merapi serta mengkaji nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa apa saja yang

terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi tersebut. Pengertian

resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild

(2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential

aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC

10 (Connor & Davidson, 2003) dan kajian budaya Jawa diperoleh dari wawancara

mendalam. Penelitian ini dilakukan di desa Krinjing yang merupakan salah satu desa

yang terdekat dari puncak Gunung Merapi. Partisipan penelitian terdiri dari 50 orang

yang berusia 21-60 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah 4 orang yang

berusia 41-50 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan

berusia 21-60 tahun mendapatkan skor resiliensi sedang dengan variasi skor yang

beragam dari rendah sampai tinggi. Adapun budaya Jawa yang terkait dengan

kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi adalah keadaan slamet, ritus slametan,

hormat, gotong royong, sikap rela, nrima, sabar, serta kepercayaan terhadap alam

gaib atau kuasa di luar kekuatan manusia. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti

penelitian ini, termasuk mengatasi keterbatasan penelitian, disertakan.

Kata Kunci:

Resiliensi, Budaya Jawa, Erupsi Merapi

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

viii

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Alvina Vivien Setiabrata

Program of Study : Psychology

Title : Resilience Among 2010 Merapi Eruption Survivors from

Javanese Cultural Background in Early Middle Adulthood

This study was conducted to gain picture of resilience among Merapi eruption

survivors, and to assess Javanese values, norms, and/or cultural practices associated

with the resiliency ability among the survivors. The concept of resiliency refers to the

five characeristic of resiliency from Wagnild (2010), and they are meaningfulness,

perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of

resilience was obtained using the CD-RISC 10 (Connor & Daidson, 2003) while the

Javanese cultural studies were obtained through interviews. Data were collected in

Krinjing village which is one of the nearest villages from the top of Mount Merapi.

Altogether 50 participants of 21-60 years old took the questionnaire and four people

of 41-50 years old were interviewed. The results indicate that most participants get a

middle score of resilience. The Javanese cultural aspects associated with resiliency

ability among eruption survivors are slamet, slametan, respect, gotong royong, rela,

nrima, sabar, and belief in supernatural being. Recommendations for further reserch

are included.

Keyword:

Resiliency, Javanese Culture, Merapi Eruption

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

ix

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii

UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................................iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS

AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ..................................................vi

ABSTRAK ............................................................................................................. vii

ABSTRACT ......................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ix

DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................... 5

1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5

1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 5

1.5 Sistematika penulisan .................................................................................... 5

BAB 2 LANDASAN TEORI

2.1. Resiliensi....................................................................................................... 7

2.1.1. Definisi Resiliensi .............................................................................. 7

2.1.2. Karakteristik Resiliensi ...................................................................... 9

2.1.3. Faktor yang mempengaruhi resiliensi ............................................... 11

2.2. Dewasa Madya ........................................................................................... 13

2.3. Budaya Jawa .............................................................................................. 15

2.3.1. Definisi Budaya dan Budaya Jawa… ....…………………….………..15

2.3.2. Karakteristik Budaya Jawa…..………………………… ... ………….16

2.3.3. Kaidah dasar kehidupan masyarakat jawa ………………… .... ……..18

2.4. Bencana ……………………….………..…………………….……… ....... ..21

2.4.1. Bencana di Jawa ……………………….………..……… ..... ……….21

2.4.2. Manusia yang Hidup dalam Bencana ........................................... ….21

2.5. Resiliensi dan Budaya Jawa pada Masyarakat Jawa Usia Dewasa Madya

yang Mengalami Bencana ........................................................................... 23

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1. Masalah Penelitian ….. ................................................................................ 26

3.2. Tipe dan desain penelitian …. ..................................................................... 26

3.3. Partisipan Penelitian ….. ............................................................................ 27

3.3.1. Karakteristik Partisipan Penelitian … .............................................. ..27

3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel …........................................................ .28

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

x

Universitas Indonesia

3.3.3. Jumlah Partisipan … ........................................................................ .28

3.4. Instrumen Penelitian…. .............................................................................. 28

3.4.1. Alat Ukur Resiliensi… ..................................................................... .29

3.4.1.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Ukur Resiliensi ...................... 30

3.4.2. Pedoman Wawancara …. ................................................................. .30

3.4.3. Keterkaitan Antara CD-RISC 10 dan Pedoman Wawancara .............. 31

3.5. Prosedur Penelitian … ................................................................................. 32

3.5.1. Tahap Persiapan ….. ......................................................................... 32

3.5.2. Tahap Pelaksanaan ...................................................................... ….33

3.6. Tahap Pengolahan dan Analisis Data … ..................................................... .34

3.6.1. Prosedur Analisis Data Kuantitatif …. .............................................. .34

3.6.2. Prosedur Analisis Data Kualitatif … ................................................. .35

BAB 4 ANALISIS HASIL

4.1. Gambaran Pelaksanaan Penelitian … ........................................................... 36

4.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas alat ukur CD RISC 10 .......................... 38

4.3. Gambaran Umum Data Demografis Partisipan …. ....................................... 38

4.4. Gambaran Resiliensi Partisipan …. ............................................................. 41

4.4.1. Gambaran Resiliensi Seluruh Partisipan ...................................... ….41

4.4.2. Gambaran Resiliensi Partisipan Usia Dewasa Madya (usia 41-50

tahun) ..................... ......................................................................... 43

4.5. Analisis Partisipan … ........ ........................................................................ .44

4.5.1. Partisipan I (Pak Y) … ..................................................................... 44

4.5.1.1. Gambaran Umum Partisipan … ............................................ 44

4.5.1.2. Gambaran Bencana … .......................................................... 44

4.5.1.3. Gambaran Resiliensi … ........................................................ 45

4.5.1.4. Budaya Jawa dan Resiliensi … ............................................ .48

4.5.2. Partisipan II (Ibu Y) …..................................................................... .50

4.5.2.1. Gambaran Umum Partisipan … ........................................... .50

4.5.2.2. Gambaran bencana … .......................................................... 50

4.5.2.3. Gambran resiliensi ............................................................... 52

4.5.2.4. Gambaran Budaya Jawa .................................................. …54

4.5.3. Partisipan III (Pak D) … ................................................................... 57

4.5.3.1. Gambaran Umum Partisipan ............................................ …57

4.5.3.2. Gambaran Situasi Bencana .............................................. …57

4.5.3.3. Gambaran Resiliensi … ........................................................ 58

4.5.3.4. Gambaran Budaya Jawa ….................................................. 59

4.5.4. Partisipan IV (Pak S) … ................................................................. ..65

4.5.4.1. Gambaran Umum Partisipan …. .......................................... .65

4.5.4.2. Gambaran Situasi Bencana … ............................................ ..65

4.5.4.3. Gambaran Resiliensi ....................................................... ….66

4.5.4.4. Gambaran Budaya Jawa … ................................................. .68

4.6. Analisis Inter Kasus … ...... ........................................................................ .70

4.6.1. Gambaran situasi bencana … ........................................................... .70

4.6.2. Gambaran Resiliensi … ..................................................................... 72

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

xi

Universitas Indonesia

4.6.3. Gambaran Budaya Jawa … .............................................................. .74

4.7. Rangkuman Hasil Penelitian ........................................................................ 80

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, SARAN

5.1. Kesimpulan … ........................................................................................... .83

5.2. Diskusi ….. ................................................................................................. 83

5.3. Saran ..................................................................................................... ….87

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ …89

LAMPIRAN … ........................................................................................................ 1

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

xii

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Contoh item CD-RISC 10 ........................................................................ 29

Tabel 3.2. Tabel kisi-kisi pedoman wawancara ........................................................ 30

Table 4.1. Prosedur Pengambilan Data .................................................................... 37

Tabel 4.2. Data demografis partisipan ...................................................................... 39

Tabel 4.3. Deskriptif statistik resiliensi seluruh partisipan ........................................ 41

Tabel 4.4. Kategori tingkat resiliensi seluruh partisipan .......................................... 41

Tabel 4.5. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin ..................................... 42

Tabel 4.6. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Rentang Usia ...................................... 42

Tabel 4.7. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Pendidikan ......................................... 42

Tabel 4.8. Gambaran resiliensi partisipan usia dewasa madya .................................. 43

Tabel 4.9. Kategori tingkat resiliensi seluruh partisipan ........................................... 43

Tabel 4.10. Ringkasan hasil wawancara ................................................................... 77

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

xiii

Universitas Indonesia

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A (Hasil Uji Coba Alat Ukur) ................................................................ 1

A.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ..................................................................... 1

A.1.1. Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur CD-RISC 10 ......................................... 1

A.1.2. Hasil Uji Validitas Alat Ukur CD-RISC 10 ............................................. 1

Lampiran B (Hasil Utama Penelitian) .................................................................... 2

B.1. Gambaran Resiliensi Partisipan .......................................................................... 2

B.1.1. Gambaran Resiliensi Seluruh Partisipan ................................................... 2

B.1.2. Gambaran Resiliensi Partisipan Usia 41-50 Tahun.................................... 3

Lampiran C (Hasil Tambahan Penelitian) ............................................................. 4

C.1. Hasil Uji Signifikansi Faktor Demografis Seluruh Partisipan .............................. 4

C.1.1. Hasil Uji Signifikansi Pendidikan ............................................................. 4

C.1.2. Hasil Uji Signifikansi Jenis Kelamin ........................................................ 4

C.1.3. Hasil Uji Signifikansi Usia ....................................................................... 5

LAMPIRAN D (Kuesioner Resiliensi) .................................................................... 6

LAMPIRAN E (Pedoman Wawancara) .................................................................. 9

LAMPIRAN F (Transkrip Wawancara)............................................................... 12

F.1. Partisipan 1 (Pak Y) .......................................................................................... 12

F.2. Partisipan 2 (Ibu Y) .......................................................................................... 13

F.3. Partisipan 3 (Pak D) ........................................................................................ 14

F.4. Partisipan 4 (Pak S) .......................................................................................... 15

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

1

Universitas Indonesia

Bab 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Secara geografis, letak Indonesia cukup unik karena berada di jalur Pacific

Ring of Fire dan Alpide Belt, serta berada di antara tiga lempeng benua Indoaustralia,

Eurasia, dan Pasifik yang membuatnya menjadi negara dengan jumlah gunung berapi

yang banyak dan rawan bencana alam, seperti tsunami dan gempa bumi (Arif &

Hidayat, 2011; Israel, 2010).

Di Indonesia sendiri, daerah yang paling rawan terhadap bencana adalah

Pulau Jawa. Hal ini dinyatakan oleh Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB

(Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Sutopi Purwo Nugroho

(Taufiqqurahman, 2012). Nugroho menyatakan hal ini disebabkan karena hampir

13 jenis bencana yang ada di Indonesia semuanya berada di Pulau Jawa. Selain itu,

potensi penduduk yang paling banyak terkena bencana juga berada di Pulau Jawa

karena dari total penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta jiwa, 58% nya terdapat di

Pulau Jawa.

Salah satu bencana berskala besar yang cukup sering terjadi di Pulau Jawa

adalah erupsi Gunung Merapi. Setiap kurang lebih lima tahun sekali, erupsi Merapi

akan terjadi, yang juga berarti menimbulkan bencana bagi warga yang tinggal di

sekitarnya. Pada bulan Desember tahun 2010, erupsi Merapi terjadi lagi dan tercatat

sebagai erupsi besar, bahkan lebih besar dari erupsi pada tahun 1872 (Joewono,

2010). Pada erupsi 2010 itu, BNPB mencatat bahwa korban yang dinyatakan tewas

mencapai 141 jiwa. Sedangkan korban luka yang dilarikan ke rumah sakit mencapai

453 jiwa, dan korban pengungsian mencapai 279.702 jiwa (Mahgriefie, 2010). Belum

termasuk di antaranya kerugian fisik, seperti bangunan tempat tinggal, sawah, dan

ternak.

Meskipun memiliki potensi bahaya yang cukup besar, namun jumlah

masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Merapi tidaklah sedikit. Alasan banyaknya

penduduk yang tinggal di sekitar Merapi, misalnya, adalah karena tingginya tingkat

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

2

Universitas Indonesia

kesuburan tanah. Tanah di sekitar gunung berapi merupakan tanah vulkanik yang

terbentuk dari lapukan materi dan letusan gunung berapi yang subur dan mengandung

unsur hara yang tinggi (Sudaryo & Sutjipto, 2009).

Alasan lainnya bisa dilihat dari sisi kepercayaan masyarakat setempat. Merapi

juga memiliki peranan penting terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat.

Masyarakat Jawa melihat adanya garis spiritual yang menghubungkan letak Gunung

Merapi dan Pantai Selatan, dengan Keraton Yogyakarta yang berada di tengah

keduanya (Lavigne, et.al 2008). Secara geografis, ketiganya memang terletak pada

satu garis lurus. Pantai Selatan ini merupakan bagian dari samudra Hindia yang

terletak di sebelah selatan Pulau Jawa dan dikenal sebagai rumah bagi Ratu Kidul,

atau Nyi Roro Kidul. Lavigne, et.al (2008) juga menyatakan bahwa Pantai Selatan

dipercaya dapat mempengaruhi kegiatan Merapi, dan begitu juga sebaliknya. Dengan

adanya kepercayaan-kepercayaan semacam ini, masyarakat yang tinggal di sekitar

lereng Merapi mempunyai alasan untuk tetap tinggal disana, meskipun Gunung

Merapi cukup sering meletus.

Bahwa mereka bertahan untuk tepat tinggal disana, dapat dilihat pada kasus

erupsi tahun 2010 lalu. Pada saat itu banyak warga di sekitar lereng Merapi yang

menolak untuk mengungsi, atau sekalipun mengungsi, mereka bersikeras kembali ke

desanya. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya korban jiwa pada erupsi

itu. Sebagai contoh, warga desa Kinarhejo menolak untuk mengungsi karena adanya

seorang Juru Kunci, Mbah Marijan, yang dipercaya dapat berkomunikasi dengan roh

nenek moyang untuk mengontrol letusan Merapi. Keberadaan Mbah Marijan inilah

yang membuat warga merasa aman dan menolak untuk mengungsi, sekalipun telah

diperintahkan oleh pemerintah setempat (Lavigne, et.al, 2008). Dari sini dapat dilihat

kuatnya pengaruh budaya dan kepercayaan terhadap keinginan warga untuk tetap

tinggal, yang pada akhirnya akan membuat erupsi Merapi sebagai bencana yang

menimbulkan kerugian kepada mereka, bahkan mencakup kerugian nyawa.

Hal ini membuat warga setempat harus dibekali dengan kemampuan untuk

mengantisipasi kerugian tersebut serta kemampuan untuk bangkit kembali bagi

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

3

Universitas Indonesia

mereka yang terkena bencana. Kemampuan untuk bangkit kembali ini disebut

resiliensi.

Dalam ilmu psikologi, resiliensi dipahami sebagai kemampuan untuk

beradaptasi dan bangkit kembali dari keadaan yang menekan dengan menggunakan

cara-cara yang tidak merugikan diri sendiri (Siebert, 2005).

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penelitian mengenai resiliensi,

termasuk resiliensi pada orang yang mengalami bencana. Misalnya, penelitian yang

dipresentasikan pada International Conference on Psychology of Resilience yang

diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia pada tahun 2011 lalu.

Dalam seminar ini, kebanyakan hasil penelitian yang dipresentasikan terkait dengan

dunia pendidikan, kehidupan keluarga, ataupun anak berkebutuhan khusus,

sedangkan yang terkait dengan bencana, misalnya fokus pada coping style (korban

tsunami di aceh), dukungan sosial, dan gratitude (korban erupsi Merapi).

Penelitian terkait dengan bencana itu sendiri pun sudah banyak dilakukan.

Misalnya, terkait dengan erupsi Merapi, beberapa penelitian dari Universitas terdekat,

yaitu Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, sudah banyak dilakukan. Ketua

Pusat Studi Bencana Alam UGM menyatakan bahwa penelitian-penelitian tersebut

mencakup enam bidang, yaitu bahaya Merapi, tanggap darurat, menghidupkan

kembali masyarakat sekitar Puncak Merapi, tata ruang kawasan Merapi, dan

persiapan untuk menghadapi erupsi selanjutnya (Sarwindaningrum & Latief, 2010).

Namun dari banyaknya penelitian yang membahas resiliensi dan bencana,

peneliti belum menemukan penelitian yang mengkaji aspek budaya dan resiliensi.

Padahal, budaya memiliki pengaruh yang kuat atas perilaku warga, seperti telah

dijelaskan di atas. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa faktor budaya

merupakan unsur penting yang dapat mempengaruhi kemampuan resiliensi

(Mandleco & Craig Perry, 2000; Herrman, Stewart, Granados, Berger, Jackson, dan

Yuen, 2011; Lavigne, et.al, 2008; Masten & Obradovic, 2006).

Hal ini sangat disayangkan mengingat Indonesia merupakan negara yang

memiliki keanekaragaman budaya sekaligus merupakan negara yang rawan bencana.

Artinya, warga Indonesia butuh kemampuan resiliensi untuk membantunya mengatasi

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

4

Universitas Indonesia

dampak bencana tersebut. Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa kemampuan

resiliensi terkait dengan budaya, maka penting untuk mengkaji faktor budaya apa saja

yang berpengaruh terhadap kemampuan resiliensi masyarakat yang mengalami

bencana.

Melihat pentingnya kemampuan resiliensi pada warga Indonesia yang sering

terkena dampak bencana, maka perlu diadakan penelitian mengenai hal tersebut.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian yang mengkaji kemampuan

resiliensi dari segi budaya belum ditemukan, maka penelitian ini akan mengisi

kekosongan itu dengan meneliti faktor budaya apa saja yang berperan terhdap

kemampuan resiliensi masyarakat yang terkena bencana. Penelitian ini akan fokus

pada penyintas bencana yang tinggal di lereng Gunung Merapi.

Pada intinya, penelitian ini ingin mencari tahu, mengapa masyarakat yang

tinggal di sekitar lereng Merapi dapat tetap bertahan untuk tinggal disana walaupun

sering terkena dampak bencana erupsi Merapi. Dari segi budaya, jawaban atas

pertanyaan ini diharapkan dapat terjawab.

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung yang dilakukan

terhadap masyarakat Jawa penyintas erupsi Merapi tahun 2010 yang berusia 21-60

tahun. Penelitian serupa dilakukan terhadap penyintas tsunami Aceh yang berusia 21-

40 tahun. Rentang usia dari 21-40 tahun untuk partisipan Aceh dan 21-60 tahun untuk

partisipan Jawa sengaja dipilih agar dapat dibuat perbandingan kualitas resiliensi

antara generasi yang lebih muda dengan generasi yag lebih tua, karena ada indikasi

bahwa perbedaan usia dan pengalaman akan turut mempengaruhi kemampuan

resiliensi individu (Danieli, 1996 dalam Lestari, 2007).

Khusus untuk penelitian dalam skripsi ini, penelitian akan lebih fokus pada

masyarakat Jawa berusia 41-50 tahun, sedangkan laporan mengenai masyarakat Jawa

pada kelompok usia lainnya dan pada masyarakat Aceh penyintas tsunami akan

dilaporkan oleh rekan peneliti lain. Alat pengumpul data untuk penelitian ini adalah

skala sikap untuk memperoleh data kuantitatif dan wawancara untuk memperoleh

data kualitatif.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

5

Universitas Indonesia

1.2. Rumusan masalah

1. Bagaimana gambaran resiliensi masyarakat Jawa yang tinggal di sekitar

Gunung Merapi dan merupakan penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010?

2. Apa saja nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa yang terkait dengan

kemampuan resiliensi masyarakat Jawa berusia 41-50 tahun yang merupakan

penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010?

1.3. Tujuan penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka

tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran resiliensi masyarakat

Jawa yang tinggal di sekitar Gunung Merapi dan merupakan penyintas erupsi Gunung

Merapi tahun 2010 serta mengetahui nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa apa

saja yang terkait dengan kemampuan resiliensi masyarakat Jawa berusia 41-50 tahun

yang merupakan penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010.

1.4. Manfaat penelitian

Dari hasil penelitian ini, dapat ditemukan faktor budaya apa saja yang

berperan dan/atau menghambat resiliensi masyarakat di Indonesia sehingga dapat

ditetapkan intervensi yang sesuai untuk membantu pemulihan penyintas bencana di

Indonesia.

1.5 Sistematika Penulisan

Laporan penelitian ini terdiri dari lima bab yang masing-masing terbagi kedalam

beberapa sub bab dan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Bab 2 merupakan landasan teoritis. Pada bab ini akan dijelaskan teori mengenai

resiliensi, dewasa madya, budaya Jawa, dan bencana.

Bab 3 merupakan metode penelitian. Bab ini terdiri dari masalah penelitian,, tipe dan

desain penelitian, karakteristik partisipan, instrumen, prosedur pelaksanaan penelitian, dan

metode pengolahan data.

Bab 4 merupakan hasil analisis data yang menjelaskan hasil hasil analisis atau

temuan penelitian.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

6

Universitas Indonesia

Bab 5 merupakan bagian kesimpulan dan diskusi dari hasil penelitian ini,

saran teoritis untuk mengembangkan penelitian selanjutnya, serta saran praktis yang

dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan hasil penelitian.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

7

Universitas Indonesia

Bab II

Tinjauan pustaka

Dalam bab ini akan dilakukan tinjauan pustaka terhadap variabel penelitian

dalam konteksnya yaitu resiliensi, dewasa madya, budaya Jawa, dan bencana.

2.1. RESILIENSI

2.1.1. Definisi resiliensi

Pada dasarnya, resiliensi berarti adaptasi positif dalam keadaan yang sulit

(Herrman, et.al, 2011). Kata “resilien” itu sendiri berasal dari bahasa latin, resilire,

yang berarti “bangkit kembali” (Siebert, 2005). Artinya, secara umum resiliensi dapat

dipahami sebagai kemampuan untuk bangkit kembali dari tekanan atau keadaan yang

menyulitkan.

Resiliensi telah dipelajari oleh berbagai peneliti dari berbagai disiplin ilmu

yang berbeda, seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, bahkan biologi (Herrman, et.al,

2011). Mereka juga menjelaskan bahwa pada awalnya, pelopor penelitian resiliensi

memfokuskan pada kesulitan yang terjadi di masa kecil, maupun karakteristik

personal dari setiap individu. Namun penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan

pada kontirbusi sistem (keluarga, layanan masyarakat, kelompok, dan komunitas) dan

resiliensi dinyatakan merupakan pengaruh dari berbagai faktor – budaya, komunitas,

keluarga, dan individu.

Meskipun memiliki konsep dasar yang sama, tetapi hal ini membuat resiliensi

dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang (Herrman, et.al, 2011). Sebagai

contoh, resiliensi dapat didefinisikan sebagai berikut: “an outcome following a highly

stressful event…” (Mancini & Bonanno, 2009 hal.1807); “a dynamic process of

positive adaptation in the context of significant adversity” (Luthar & Cicchetti, 2000,

hal. 858), “a multi-dimensional characteristic that varies with context, time, age,

gender, and cultural origin, as well as within an individual subject to different life

circumstances”(Connor & Davidson, 2003, hal. 10), dan lain-lain.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

8

Universitas Indonesia

Dari banyaknya definisi-definisi ini, peneliti menetapkan beberapa definisi

yang akan dipakai sebagai rujukan dalam penelitian ini.

Menurut Wagnild (2010), resiliensi dapat didefinisikan sebagai berikut:

“Everyone stumbles and falls from time to time, but each of us has the capability to

get back up and carry on. We call this ability to get up and get going resilience” (hal.

1). Definisi dari Mancini dan Bonanno (2009) memberikan gambaran yang lebih

lengkap: “resilience is an outcome following a highly stressful event and then

document the factors that appear to promote or detract from that outcome”(hal

1807).

Mancini dan Bonanno menjelaskan bahwa konsep resiliensi tidak berarti

bahwa individu yang resilien tidak mengalami kemarahan atau kesedihan atas

kejadian buruk yang menimpanya, tapi lebih kepada individu tersebut dapat tetap

berfungsi dengan normal .

Bahwa orang yang mengalami kejadian yang menekan tetap merasakan

kesedihan sudah diketahui pada penelitian Bonanno, et.al (2002). Kesimpulan ini

diperoleh dari hasil penelitian yang memperlihatkan bahwa 75% dari individu yang

menunjukkan ciri-ciri resilien sempat mengalami kesedihan yang hebat pada

beberapa bulan pertama setelah kejadian (Bonanno, et.al, 2002). Kunci utama yang

membedakan kelompok individu yang resilien dengan kelompok lainnya adalah

mereka mampu mengatur kesedihannya dengan cara yang tepat tanpa mengganggu

kemampuannya untuk berfungsi secara normal.

Definisi yang agak berbeda disampaikan oleh Siebert (2005) karena ia

menekankan pada kemampuan bangkit kembali ketimbang emosi yang dirasakan

individu. Berikut definisi yang diajukan Siebert:

“resiliency means being able to bounce back from live developments

that feel totally overwhelming at first. ‘resilience’, ‘resilient’,

‘resiliency’ refer to the ability to cope well with high levels of ongoing

disruptive change, sustain good health and energy when under

constant pressure, bounce back easily from setbacks, overcome

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

9

Universitas Indonesia

adversities, change to a new way of working and living when an old

way is no longer possible, and do all this without acting in

dysfunctional or harmful ways.”

(Siebert, 2005, hal. 5)

Dari definisi diatas dapat dilihat bahwa Siebert memandang resiliensi bukan

hanya sebagai kemampuan untuk bangkit kembali (bounce back) dari keadaan yang

menyulitkan, tapi juga melakukan coping dengan mengubah cara berpikir dan

bertindak, tetap mempertahankan kesehatan fisik dan semuanya itu dilakukan dengan

cara yang tidak merusak.

Dari berbagai definisi di atas, peneliti merangkum atau menyimpulkan bahwa

resiliensi adalah kemampuan untuk beradaptasi dan bangkit kembali dari keadaan

yang menekan dengan menggunakan cara yang sehat.

2.1.2. Karakteristik Resiliensi

Dalam penelitian ini, karakteristik resiliensi merujuk kepada Wagnild (2010).

Hal ini disebabkan karena dari banyaknya definisi atau penjelasan mengenai

resiliensi, Wagnild lah yang menjelaskan mengenai karakteristik ini secara lengkap.

Meaningfulness

Meaningfulness mengacu pada kesadaran bahwa hidup memiliki makna dan

tujuan di mana diperlukan usaha untuk mencapai tujuan itu. Karakteristik ini

merupakan karakteristik yang paling penting dari resiliensi dan menjadi dasar bagi

empat karakteristik lainnya. Hidup tanpa tujuan akan membuat orang yang menjalani

hidup itu merasa sia-sia. Sebaliknya, hal ini menyediakan dorongan untuk terus

hidup. Ketika berhadapan dengan masalah, tujuan inilah yang akan mendorong

seseorang untuk terus maju.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

10

Universitas Indonesia

Perseverance

Karakteristik ini mengacu pada kemauan untuk terus berjuang hingga akhir.

Kegagalan, penolakan, dan situasi sulit yang terus menerus dapat menjadi penghalang

individu untuk maju dan mencapai tujuan. Individu yang resilien dapat menembus

penghalang ini dan cederung menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Ketika mereka

mengatakan akan melakukan sesuatu, meskipun sulit dan banyak halangan, mereka

akan benar-benar melakukannya.

Kemampuan untuk menentukan tujuan yang realistis dan kedisiplinan diri adalah cara

untuk menigkatkan dan membentuk perseverance.

Equanimity

Equanimity berarti keseimbangan dan harmoni. Artinya, karakteristik ini

mengacu pada keseimbangan dalam memandang kesulitan yang terjadi. Dengan kata

lain, ketika terjadi kesulitan, individu yang resilien tidak fokus pada hal yang buruk

saja, tetapi mencoba melihat sisi positif dari kesulitan tersebut. Mereka memiliki

padangan yang seimbang atas hidupnya dan menghindari respon ekstrim atas segala

hal yang terjadi.

Individu yang resilien menyadari bahwa hidup tidak selalu baik, tidak juga

selalu buruk. Mereka mengetahui hal ini dan terbuka pada segala kemungkinan.

Inilah salah satu alasan individu yang resilien dikatakan optimis, karena meskipun

mereka berada dalam situasi yang sulit, mereka akan melihat dengan cara lain

sehingga menemukan peluang untuk maju. Equanimity juga mengandung

karakteristik humor. Artinya, individu yang resilien dapat menertawakan diri sendiri

atas hal buruk yang menimpanya dan tidak terpaku untuk mengasihani diri.

Self-reliance

Self-reliance adalah kepercayaan terhadap diri sendiri, dengan pemahaman

yang jelas mengenai kemampuan dan keterbatasan diri. Setiap individu pernah

mengalami keberhasilan maupun kegagalan. Individu yang resilien tidak melewatkan

pengalaman tersebut begitu saja, tetapi menjadikannya pelajaran untuk lebih

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

11

Universitas Indonesia

mengenal kemampuan dan keterbatasan dirinya. Seiring bertambahnya pengalaman

dan pelajaran yang didapat, maka semakin tinggi pula kepercayaan terhadap

kemampuan diri sendiri.

Existential aloneness

Existential aloneness adalah kesadaran bahwa seseorang dapat hidup dengan

menggantungkan diri pada dirinya sendiri. Karakteristik ini membuat seseorang dapat

menjalankan berbagai keadaan dalam hidupnya secara individual, tanpa bantuan atau

ketergantungan dari orang lain. Individu dengan karakteristik ini juga menyadari

bahwa hidup setiap orang adalah unik, sehingga ia mampu menghargai keberadaan

dirinya dan tidak harus ikut-ikutan (konformitas) dengan lingkungan. Artinya, ia

dapat menghargai keberadaan dirinya dan merasa nyaman dengan hal itu meskipun ia

berbeda dengan lingkungannya. Misalnya, individu dengan karakteristik ini berani

untuk mengungkapkan pendapat yang berbeda dengan lingkungan sekitarnya.

Setelah membahas mengenai karakteristik resiliensi, berikut ini akan dibahas

mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi.

2.1.3. Faktor yang mempengaruhi resiliensi

Pada umumnya, resiliensi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor risiko dan

faktor protektif. Kedua faktor ini merupakan suatu interaksi dinamis yang pada

akhirnya akan membentuk resiliensi.

1. Faktor risiko

Faktor risiko dilihat sebagai stressor yang dihadapi individu dimana pada

saat tertentu, stressor itu dapat mendorong terjadinya keadaan atau hasil yang

merugikan (Estanol, 2009). Faktor risiko belum tentu selalu menghasilkan hasil

yang merugikan, tetapi hanya membuka kemungkinan bahwa individu yang

terpapar dengan faktor tersebut lebih mungkin menunjukkan gejala psikopatologis

atau gangguan lainnya.

Faktor risiko dapat berasal dari lingkungan maupun individual, seperti

tekanan hidup sehari-hari, pengalaman traumatis, atau stress kumulatif dari

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

12

Universitas Indonesia

individu maupun lingkungan tertentu (Tusaie & Dyer, 2004). Beberapa contoh

faktor risiko misalnya: pola asuh masa kecil yang buruk, hubungan yang buruk

dengan sesama, kejadian hidup yang buruk, peperangan, dan bencana alam

(Herrman, et.al, 2011)

2. Faktor protektif

Tusaie dan Dyer (2004) mendefinisikan faktor protektif sebagai faktor-

faktor yang melindungi individu dari efek yang ditimbulkan oleh faktor risiko.

Lebih lengkapnya, Luthar, Ciccheti, dan Becker (2000) mendefinisikan faktor

protektif sebagai hal-hal yang mengizinkan individu yang telah mengalami stress

dalam tingkat yang tinggi untuk mempertahankan atau meningkatkan

keberfungsiannya ketimbang menunjukkan gejala psikopatologis atau gangguan

lainnya. Beberapa contoh faktor protektif misalnya: pola asuh, kualitas personal,

hubungan dengan sesama, status sosial ekonomi yang baik, serta budaya yang

spiritualitas (Herrman, et.al, 2011)

Menanggapi faktor risiko dan faktor protektif ini, Herrmann, et.al (2011)

mengemukakan bahwa kedua faktor tersebut merupakan suatu interaksi dinamis

antara faktor personal, faktor biologis, dan faktor lingkungan.

Faktor personal terdiri dari beragam sifat dan karakteristik yang ada pada

seorang individu. Karakteristik kepribadian, locus of control internal, self-efficacy,

self-esteem, penilaian kognitif (interpretasi atas suatu kejadian), dan optimisme

berkontribusi secara nyata terhadap resiliensi. Fungsi intelektual, fleksibilitas

kognitif, kedekatan sosial, konsep diri positif, spiritualitas, active coping, ketahanan,

optimisme, harapan, banyaknya akal, dan penyesuaian berhubungan dengan

resiliensi.

Dari segi faktor biologis, beberapa penelitian menunjukkan bahwa lingkungan

masa kecil yang kasar dapat mempengaruhi struktur otak, fungsi dan sistem

neurobiologis. Perubahan fisik di otak ini dapat meningkatkan kerapuhan terhadap

psikopatologis di masa mendatang. Selain itu, hal ini juga dapat mempengaruhi

kapasitas emosi negatif, yang kemudian akan mempengaruhi resiliensi seseorang.

Penelitian lainnya juga menunjukkan bukti kuat bahwa pengasuh yang sensitif dan

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

13

Universitas Indonesia

suportif pada masa kanak-kanak dapat meningkatkan resiliensi dan megurangi

efek buruk dari lingkungan yang kurang baik. Sedangkan anak-anak dan remaja yang

terpapar dengan lingkungan yang menekan menunjukkan peningkatan kerapuhan

mood dan kecemasan.

Dari segi faktor lingkungan, Herrman, et.al (2011) menyatakan bahwa dalam

tingkat microenviromental, hubungan yang baik dengan orang tua, stabilitas dalam

keluarga, pola asuh yang baik, dan tidak adanya gejala depresi atau penggunaan obat

terlarang dari pihak pengasuh berhubungan dengan sedikitnya masalah perilaku dan

kesejahteraan psikologis baik. Sedangkan dukungan sosial (termasuk hubungan

dengan keluarga dan sahabat) berhubungan erat dengan resiliensi. Dalam tingkat

macroenviromental, faktor komunitas, faktor budaya, spiritualitas dan agama, serta

sedikitnya paparan terhadap kekerasan berkontribusi terhadap resiliensi.

Mengetahui hubungan sebab akibat antara faktor protektif dan faktor risiko

terhadap resiliensi memang belum terlalu jelas, namun Tusaie dan Dyer (2004)

meyakini bahwa ketika jumlah maupun intensitas faktor risiko lebih tinggi dibanding

jumlah faktor protektif, individu yang pernah menunjukkan resiliensi di masa lalu

sekalipun akan kewalahan dan mungkin menunjukkan gejala fisik, psikososial, atau

perilaku negatif.

Setelah membahas mengenai resiliensi, pada subab di bawah ini akan dibahas

mengenai dewasa madya.

2.2. DEWASA MADYA

Papalia, Olds, dan Feldman (2009) menyebutkan bahwa usia dewasa madya

berkisar antara 40-65 tahun. Sedangkan Mappiare (1983) menyebutkan rentang usia

ini berkisar antara 40-60 tahun. Namun batasan usia ini tidak terlalu kaku dan belum

ada kesepakatan yang pasti antara batasan usia tersebut.

Menurut tahap perkembangan psikososial Erikson, individu pada usia ini

berada pada tahap generativity vs stagnation. Generativity mengacu pada kepedulian

untuk membuktikan, mengarahkan, dan memberikan pengaruh pada generasi

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

14

Universitas Indonesia

dibawahnya. Jika tidak mengalami hal tersebut, maka mereka akan mengalami

stagnation, yaitu suatu kondisi atau perasaan tidak aktif dan tidak hidup.

Generativity, menurut Erikson (Papalia, et.al, 2009), adalah kepedulian

individu dewasa yang telah matang untuk memandu generasi di bawahnya, serta

menghidupkan dirinya terus menerus melalui pengaruhnya terhadap orang yang

mengikutinya. Sifat dari periode ini adalah kepedulian: “a widening commitment to

take care of the persons, the products, and the ideas one has learned to care for

(Erikson, 1985, h.67 dalam Papalia, et.al, 2009).

Menurut McAdams (2001 dalam Papalia, et.al, 2009), generativity timbul dari

keinginan internal untuk tetap hidup, atau kebutuhan untuk dibutuhkan,

dikombinasikan dengan tuntutan eksternal untuk menghasilkan sesuatu bagi generasi

selanjutnya. Papalia, et.al (2009) juga memaparkan bahwa generativity dapat

diekspresikan bukan hanya melalui pengasuhan kepada anak atau cucu, tapi juga

melalui pengajaran kepada siapapun, produktivitas atau kreativitas, dan self-

generation atau pengembangan diri. Hal ini dapat diperluas ke segala bidang

kehidupan, seperti pekerjaan, agama, hobi, dan lain-lain.

Lesmana (2005) menambahkan bahwa generativitas adalah proses pencarian

jawaban pada dewasa madya terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti “apa arti

kehidupan buat saya?”, “apa yang telah saya sumbangkan pada dunia?” Oleh karena

itu, individu yang generative akan memperhatikan kebutuhan dan berusaha

meninggalkan hal berharga untuk generasi selanjutnya (Grossbaum & Bates, 2002).

Individu akan mengarahkan, mengasuh, membimbing, dan membangun individu

yang lebih muda ke arah yang bermanfaat bagi kehidupan (Snatrock, 2002). Hal ini

juga dapat ditunjukan dari kerelaan individu untuk menjadi relawan atau voluntir.

Di sisi lain, individu yang mengalami stagnation tidak mampu untuk

menerima apa yang telah terjadi di masa lalu dan hanya fokus pada dirinya saja

(Grossbaum & Bates, 2002).

Tahap usia ini sering disebut sebagai sandwich generations karena keadaan

individu yang mengharuskan mereka merawat orang tua yang telah lanjut usia

bersamaan dengan membesarkan anak. Kebanyakan individu dewasa madya memiliki

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

15

Universitas Indonesia

hubungan yang dekat dengan orang tua mereka dimana mereka masih bertemu dalam

frekuensi tertentu dan saling memberikan bantuan (Papalia, et.al, 2011), sedangkan

tugas membesarkan anaknya nantinya akan berhubungan dengan tugas perkembangan

generativity yang harus dipenuhi pada tahap usia ini.

Kesibukan akan pekerjaan dan keluarga pada individu dewasa madya

biasanya lebih tinggi sehingga mereka memiliki sedikit waktu dan energi untuk

dihabiskan bersama teman atau saudara dibandingkan dengan usia dewasa muda

(Papalia, et.al, 2009).

Pada tahap usia ini, kecemasan individu terhadap kesehatannya mulai muncul

(Dacey & Travers, 2002). Hal ini disebabkan karena terjadinya penurunan kondisi

fisik, seperti terkena penyakit atau perubahan kondisi fisik lainnya yang belum

muncul pada usia sebelumnya. Keuangan juga merupakan hal yang diperhatikan pada

tahap usia ini, misalnya karena mereka perlu menyiapkan dana untuk masa pensiun

kelak (Dacey & Travers, (2002), atau pengeluaran keluarga menjadi lebih besar

karena anak-anak mereka mulai memasuki pendidikan yang lebih tinggi sehingga

membutuhkan lebih banyak uang dibanding sebelumnya.

Selain kesehatan dan keuangan, hubungan dengan individu lain juga

merupakan hal yang sangat penting. Sekitar 9 dari 10 individu yang berada pada

tahap ini mengatakan bahwa hubungan yang baik dengan pasangan, teman, ataupun

keluarga, merupakan hal yang penting untuk kualitas kehidupan mereka (Papalia,

et.al, 2009).

Papalia, et.al (2009) menyatakan bahwa pada usia ini, orang cenderung

mengalami tingkat stress yang lebih sering dan tinggi, serta stressor yang lebih

beragam dibanding pada usia dewasa awal maupun dewasa akhir. Meskipun

demikian, mereka lebih mampu dalam mengubah keadaan yang menekan dan lebih

bisa untuk menerima keadaan yang tidak dapat diubah (Papalia,et.al, 2009).

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

16

Universitas Indonesia

2.3. Budaya Jawa

2.3.1. Definisi Budaya dan Budaya Jawa

Kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta “buddhayah,” yaitu bentuk jamak

dari buddhi yang berarti budi atau akal (Widaghdo, 2008). Kebudayaan adalah

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi

kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan

masyarakat (Widaghdo, 2008). Untuk lebih jelasnya, Widaghdo merinci kebudayaan

sebagai berikut: kebudayaan adalah sesuatu yang dilakukan dan dihasilkan manusia

(material dan non-material); kebudayaan tidak diwariskan secara generatif (biologis)

melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara belajar; kebudayaan diperoleh

manusia sebagai anggota masyarakat; kebudayaan adalah kebudayaan manusia dan

hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan.

Sedangkan kebudayaan Jawa didefinisikan sebagai kebudayaan yang dianut

masyarakat Jawa yang hidup di daerah Jawa Tengah bagian selatan dengan sentranya

pada keraton Yogyakarta (Hariyono, 1993).

Suseno (1991) menjelaskan bahwa salah satu hal yang dapat menjadi ciri khas

budaya Jawa adalah kemampuannya yang luar biasa untuk membiarkan diri

dipengaruhi kebudayan-kebudayaan yang datang dari luar dan tetap mempertahankan

keasliannya. Hal ini dapat dipahami melalui penjelasan Subandrijo (2000) yang

menyatakan bahwa orang Jawa pada dasarnya bersifat agamis sehingga dengan

mudah menerima kedatangan agama-agama lain, namun mereka tidak mendalaminya

secara konseptual dan esensial. Oleh sebab itu, pengaruh agama dan kebudayaan

pendatang tidak melenyapkan dasar-dasar kepercayaan dan budaya Jawa.

Kebudayaan Jawa justru menemukan diri dan mengembangkan kekhasannya

dalam pencernaan masuknya budaya dari luar. Hinduisme, Budhisme, maupun agama

Islam dirangkul dan disesuaikan dengan budaya Jawa, yang juga semakin membantu

budaya Jawa menemukan identitasnya.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

17

Universitas Indonesia

2.3.2. Karakteristik Budaya Jawa

Suseno (1991) menyatakan bahwa orang Jawa percaya, melalui masyarakat

manusia berhubungan dengan alam dan dari lingkungan sosial manusia belajar bahwa

alam bisa mengancam, namun bisa juga memberikan berkat dan ketenangan, dengan

kata lain masyarakat Jawa belajar bahwa seluruh eksistensinya tergantung dari alam.

Hubungan dengan alam membantu mereka meletakan dasar-dasar masyarakat dan

kebudayaanmya. Dari alam, masyarakat Jawa mengalami betapa tergantungnya

mereka dengan kekuasaan adiduniawi yang tidak dapat diperhitungkan, yang disebut

alam gaib (Suseno, 1991). Geertz (1960) menambahkan bahwa kepercayaan orang

Jawa terhadap makhluk-makhluk halus, baik yang bersifat merugikan maupun

menolong, memberikan satu rangkaian jawaban yang sudah tersedia atas pertanyaan-

pertanyaan yang timbul dari berbagai pengalaman yang seperti teka-teki atau

rangkaian kejadian yang ganjil dan nampaknya tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu,

kesejahteraan bagi orang Jawa tergantung dari berhasilnya penyesuaian diri terhadap

kekuatan gaib tersebut. Ketika telah berhasil menyesuaikan diri, mereka akan merasa

slamet, yaitu ketentraman batin yang tenang. Keadaan slamet ini juga menjadi

kriteria utama keberhasilan menurut orang Jawa. (Suseno, 1991).

Subandriyo (2000) menjelaskan bahwa keadaan slamet memiliki dua arti.

Yang pertama adalah slamet dengan arti kesejahteraan hidup. Berdasarkan arti ini,

keadaan slamet ditemukan dalam doa nyuwun kawilujengan (mohon keselamatan)

untuk mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Pada jemaat masa kini,

nyuwun kawilujengan berorientasi kepada Tuhan sedangkan pada kepercayaan asli

Jawa, berorientasi kepada kuasa-kuasa di luar dirinya. Yang kedua adalah slamet

dengan arti terlepas dari segala kesulitan atau terhindar dari bencana. Orang Jawa

percaya bahwa orang tua, termasuk di dalamnya ayah-ibu, orang yang dituakan,

orang sakti, dan orang yang dihormati, memiliki daya berkat untuk mendatangkan

keselamatan. Seseorang yang tidak menghormati orang tua akan kuwalat, atau

terkena malapetaka. Dengan dibekali keselamatan, orang Jawa akan merasa tenang

karena merasa daya pelindung yang menghindarkannya dari bencana.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

18

Universitas Indonesia

Untuk mencapai keadaan ini, orang Jawa juga erat kaitannya dengan slametan

(Mulder, 2001; Subandriyo, 2000). Subandriyo (2000) menjelaskan slametan sebagai

suatu tindakan (yang diwujudkan dalam bentuk kendhuren dan sesaji) untuk

mencapai keselamatan, yang berarti tidak ada gangguan dalam hidup ini dan terhindar

dari malapetaka (hal 102). Mulder (2001) menekankan bahwa kegiatan ini tidak

bertujuan untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik, tetapi lebih ditujukan untuk

memelihara tatanan dan mencegah datangnya bala.

Dalam kaitannya dengan keadaan slamet, munculah sikap hidup pada orang

Jawa untuk mewujudkan keadaan tersebut, yaitu rela, nrima, dan sabar. (Suseno,

1991; Subandrijo, 2000)

Rela dan nrima merupakan dua pengertian yang hampir sama dan keduanya

tidak dapat dipisahkan. Rela berarti melepaskan apa yang menjadi haknya, tanpa

kekecewaan dan sakit hati (Subandriyo, 2000. Hal 102). Dengan sikap ini, manusia

akan terbebas dari duka nestapa karena segala penderitaan yang dialami akan diterima

dengan lapang dada. Nrima berarti merasa puas (Subandriyo, 2000) menerima

keadaan tanpa protes dan pemberontakan. (Suseno, 1991). Sikap ini bukan berarti

menelan apa adanya secara apatis, tapi lebih kepada cara menyikapi keadaan kecewa

atau sulit dengan sikap rasional dan tidak membiarkan diri hancur ketika menghadapi

situasi yang tidak dapat dielakan. Dengan sikap nrima, kebahagiaan seseorang tidak

lagi dilihat berdasarkan kekayaan material tetapi lebih kepada suatu penghayatan

yang lebih mendalam. Sikap ini memberikan daya tahan atau berperan sebagai perisai

untuk menghadapi situasi yang sulit (Suseno, 1991; Subandriyo, 2000). Sabar

memiliki arti yang berasal dari kedua sikap diatas. Kemampuan untuk rela dan nrima

dalam menghadapi situasi apapun akan menimbulkan kesabaran .

2.3.3. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa

Berdasarkan anggapan Geertz (1961), Suseno (1991) menyebutkan ada dua

kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa, yaitu prinsip

kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan menekankan bahwa dalam setiap

situasi, setiap manusia harus berperilaku sedemikian rupa agar tidak menimbulkan

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

19

Universitas Indonesia

konflik, sedangkan prinsip hormat menekankan agar dalam berbicara dan membawa

diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan

kedudukannya.

1. Prinsip kerukunan

Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam

keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti berada

dalam keadaan selaras, tenang, bersatu dalam maksud saling membantu, berusaha

menghindari pecahnya konflik atau menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam

masyarakat. Hal yang perlu diperhatikan dari tuntutan kerukunan adalah bahwa rukun

bukan berarti penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak

mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa,

ketenangan dan keselarasan sosial akan terdapat dengan sendirinya selama tidak

diganggu.

Perilaku dan tindakan dalam kerukunan menuntut agar individu bersedia

untuk menomorduakan, bahkan kalau perlu, melepaskan kepentingan pribadi demi

kesepakatan bersama. Mengusahakan keuntungan pribadi, maju sendiri, atau

berinisiatif tanpa mengikutsertakan kelompok dinilai kurang baik. Inisiatif dilihat

dapat mengubah apa yang sudah tertanam dan diintegrasikan secara sosial, oleh

karena itu dapat menimbulkan konflik. Itulah sebabnya budaya Jawa erat kaitannya

dengan musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan dengan saling

berkonsultasi dan berdiskusi serta menghargai pendapat orang lain, dalam

menyelesaikan masalah.

Praktek gotong royong pun mewujudkan kerukunan. Dengan gotong royong,

diharapkan tercapai dua macam pekerjaan, yaitu saling membantu dan melakukan

pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa. Saling membantu lebih

dimaksudkan pada kepentingan individu, seperti membangun rumah, membantu

persiapan pesta, dan lain-lain. Sedangkan kepentingan seluruh desa misalnya

pelebaran jalan, perbaikan irigasi, pembangunan seolah, ronda malam, dan

sebagainya.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

20

Universitas Indonesia

2. Prinsip hormat

Prinsip hormat mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan

membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai

dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 1991). Pandangan itu berdasarkan cita-

cita tentang suatu masyarakat yang baik, dimana setiap orang mengenal tempat dan

tugasnya dan dengan demikian ikut menjaga agar seluruh masyarakat merupakan

suatu kesatuan yang selaras. Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi

hormat dan mereka yang berada dalam kedudukan yang lebih tinggi tersebut harus

menunjukkan sikap kebapakan atau keibuan dengan rasa tanggung Jawab.

Bentuk dari prinsip hormat yang ditunjukan dalam hidup sehari-hari misalnya

terdapat panggilan atau sapaan untuk menyebut orang yang lebih senior maupun lebih

junior, baik dalam segi usia maupun jabatan atau pangkat sosial. Misalnya: orang

yang sudah tua bisa disebut Mbah (kakek/ nenek), laki-laki yang sama umurnya atau

sedikit lebih tua bisa dipanggil kang atau kak, wanita yang sama umurnya dipanggil

mbakyu, dan orang yang lebih muda dapat dipanggil dhik.

Selain menggunakan panggilan atau sapaan seperti di atas, bahasa Jawa juga

terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika, yaitu

bahasa Jawa krama dan bahasa Jawa ngoko. Bahasa Jawa krama mengungkapkan

sikap hormat dan biasa digunakan untuk berkomunikasi dengan orang yang tingkat

sosialnya lebih tinggi, sedangkan bahasa Jawa ngoko mengungkapkan keakraban dan

biasa digunakan untuk percakapan sehari-hari antara orang yang tingkat sosialnya

sederajat.

Sikap hormat dalam masyarakat Jawa misalnya dapat dilihat dari struktur

hirarkis, dimana ada anggapan bahwa tindakan manusia sebaiknya berorientasi

kepada kelakuan pemimpin. Kelakuan atasan dianggap benar dan dengan demikian

menjadi standar moral yang akan ditiru bawahan. Falsafah hidup seperti ini dapat

dilihat pada golongan pegawai dan pejabat, militer, dan orang Jawa golongan

menengah terdidik. Keadaan di desa berbeda (Jay, 1969 dalam Suseno, 1991). Di

desa, lurah memang menduduki posisi paling tinggi, tapi bukan berarti berada pada

posisi otoriter. Keputusan yang menyangkut seluruh desa harus diputuskan melalui

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

21

Universitas Indonesia

persetujuan orang-orang desa. Segala aturan tatakrama tetap dijalankan, namun bukan

berarti keputusan pribadi dari orang yang dihormati tersebut akan diterima. Yang

perlu diperhatikan dari sikap hormat adalah bahwa bukan sikap itu sendiri yang

diharapkan, tetapi agar seseorang dapat menunjukkannya. Yang bertentangan dengan

prinsip ini bukanlah ketidaktaatan, tetapi mengenai perilaku yang kurang rasa hormat.

2.4. Bencana

2.4.1. Bencana di Jawa

Dalam 10 tahun terakhir, lebih dari 50 persen bencana alam di Indonesia

terjadi di Pulau Jawa (Santosa, 2012). Santosa juga mengatakan bahwa Humas Badan

Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan,

“pada tahun 2011, dari 2.066 kejadian bencana, sekitar 827 bencana (40 persen)

terjadi di Jawa. Diproyeksikan tren bencana dan dampaknya di masa mendatang

makin besar.”

Salah satu bencana yang cukup sering terjadi di pulau Jawa adalah erupsi

Merapi. Gunung ini merupakan salah satu gunung berapi teraktif di Indonesia yang

hingga saat ini masih berpotensi mengeluarkan letusan. Kepala Pusat Vulkanologi

dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Surono, menyatakan bahwa erupsi Merapi

pada tahun 2010 lebih besar dibanding letusan Merapi yang pernah tercatat dalam

sejarah, yaitu pada 1872. Letusan kali ini menyebabkan 32 desa dengan penduduk

lebih dari 70.0000 jiwa direkomendasikan untuk mengungsi karena berada dalam

Zona berbahaya dan tidak sedikit memakan korban jiwa. Ia menyatakan bahwa

letusan ekplosif jarak luncur awan panas mencapai radius sekitar 10 km dengan

ketinggian awan panas yang mencapai lebih dari 10 km (Priyambodo, 2010)

2.4.2. Manusia yang Hidup dalam Bencana

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sekitar lereng Merapi tahun 2006

lalu, Lavigne, et.al (2008) menemukan tiga faktor yang mempengaruhi perilaku

masyarakat yang tinggal di sekitar gunung Merapi, yaitu persepsi risiko, budaya, dan

kondisi sosial ekonomi.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

22

Universitas Indonesia

Dari segi persepsi risiko kebanyakan warga telah menyadari adanya bahaya

dari erupsi Merapi tapi hanya sedikit yang menyadari bahwa bahaya tersebut berisiko

untuk diri mereka sendiri. Kesalahan persepsi ini disebabkan karena dua hal, yaitu

terbatasnya pengetahuan masyarakat tentang Merapi, serta pengertian yang salah

untuk menyikapi Merapi. Terbatasnya pengetahuan tentang Merapi disebabkan

karena kurang jelasnya informasi yang disosialisasikan serta pengalaman pribadi para

warga yng belum pernah berhadapan langsung dengan bahaya erupsi tersebut

sehingga mereka beranggapan bahwa erupsi kali ini juga tidak berbahaya seperti

biasanya.

Dari segi budaya, Lavigne, et.al (2008) melihat adanya keterkaitan yang kuat

antara mayarakat Jawa dengan lingkungan Merapi. Tanah yang mereka tinggal sudah

merupakan rumah yang diwariskan secara turun temurun, sehingga mereka merasa

adanya ikatan yang kuat dengan tanah itu (Lavigne, 2008; Koentjaraningrat, 198).

Schlehe (1996, dalam Lavigne, 2008) menyatakan bahwa beberapa warga yang

tinggal di sekitar lereng Merapi lebih percaya pada kepercayaan Jawa tradisional

ketimbang ilmu pengetahuan. Misalnya, kepercayan bahwa pantai selatan yang

merupakan tempat kediaman Ratu Kidul berpengaruh terhadap aktivitas Merapi, atau

adanya kepercayaan akan rasa aman dan terlindungi jika berada dekat juru kunci yang

sering berkomunikasi dengan roh nenek moyang di Merapi. (Lavigne, et.al 2008).

Kondisi sosial dan ekonomi juga berpengaruh terhadap perilaku warga yang

tinggal di sekitar lereng Merapi. Keputusan warga untuk mau dievakuasi atau sering

kembali ke desa masing-masing ketika terjadi bencana biasanya merupakan

keputusan bersama, dimana peran seorang kepala dusun lebih besar dibanding peran

pemerintah. Penelitian De Coster, (2002 dalam Lavigne et.al, 2011) menunjukkan

bahwa ketika akan dievakuasi, banyak 37% warga meminta saran kepala dusun, 35%

bertanya pada teman, dan hanya 25 % yang langsung mengikuti pemerintah. Selain

itu, tidak sedikit juga masyarakat disana yang memiliki mata pencaharian dari

Merapi, misalnya penambang pasir. Mereka cenderung melihat Merapi sebagai

sumber penghasilan sehingga memilih untuk tinggal disana.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

23

Universitas Indonesia

2.5. Resiliensi dan Budaya Jawa pada Masyarakat Jawa Usia Dewasa Madya

yang Mengalami Bencana

Pada usia dewasa madya, individu akan lebih tahan terhadap tekanan

dibanding pada usia sebelum atau setelahnya (Papalia, et.al, 2009; Danieli, 1996

dalam Lestari, 2007). Dari sini, peneliti mengasumsikan bahwa warga usia dewasa

yang tinggal di sekitar lereng Merapi pun mempunyai ketahanan atau resiliensi yang

lebih tinggi dibanding kelompok usia lainnya. Asumsi ini juga didukung dari

kenyataan bahwa terdapat banyak warga yang tinggal disana meskipun sering terjadi

erupsi.

Ketahanan ini juga bisa disebabkan karena adanya pengaruh budaya Jawa

yang membantu masyarakat Jawa untuk bangkit kembali dari kesulitan yang dialami,

misalnya dengan sikap nrima, maka seorang individu tidak akan terlarut dalam

kesulitan yang ia alami, tetapi mengusahakan cara-cara terntentu agar kesulitan yang

dialami menjadi dapat diterima. Contoh lainnya adalah ritus slametan. Dengan

melaksanakan ritus ini, orang Jawa akan merasa aman sehingga ketika erupsi Merapi

akan terjadi, ritus ini dapat membantu mereka untuk tetap tenang dan merasa

terhindar dari bencana.

Pada tahap usia ini, individu juga memiliki kepedulian atau keinginan

untuk memberikan pengaruh pada generasi di bawahnya, yang biasanya disampaikan

dengan cara mengajari generasi di bawahnya tersebut. Oleh sebab itu, individu pada

usia ini akan mengajarkan berbagai hal, termasuk nilai-nilai budaya Jawa, pada anak-

anak mereka. Pengajaran ini dilihat sebagai suatu tindakan yang dapat

mempertahankan keadaan yang baik karena nilai-nilai budaya semacam ini, seperti

yang telah dijelaskan di atas, dapat memberikan ketenangan yang pada akhirnya akan

berpengaruh terhadap resiliensi.

Terkait dengan kecemasan terhadap masalah kesehatan yang biasa muncul

pada usia dewasa madya (Papalia, et.al, 2009), peneliti melihat bahwa faktor ini

mungkin tidak berpengaruh terhadap resiliensi warga yang terkena bencana erupsi

Merapi karena mereka bertempat tinggal di desa, dimana lingkungan fisik di desa

lebih sehat dibanding di daerah perkotaan, dan kebanyakan warga disini

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

24

Universitas Indonesia

mengandalkan kekuatan fisik sebagai mata pencaharian sehingga kesehatan mereka

akan lebih baik ketimbang apa yang dinyatakan oleh Papalia, et.al (2009).

Untuk menunjuang asumsi bahwa budaya Jawa terkait dengan resiliensi,

peneliti menemukan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa budaya

memberikan kontribusi terhadap kemampuan resiliensi. Budaya yang dimaksud disini

juga menyangkut kepercayaan yang sekaligus membawa makna bagi kehidupan

mereka. Sebuah penelitian kualitatif terhadap penyintas bencana tsunami dan Katrina

yang berusia dewasa, yaitu 18-64 tahun menunjukkan bahwa hampir seluruh

penyintas menyatakan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan merupakan sumber yang

paling kuat dalam membantu mereka mengatasi kesedihan yang menimpa (Fernando

& Herbert, 2011).

Dalam kebudayaan Jawa sendiri, terdapat dua pemimpin budaya dalam agama

Jawa tradisional (kejawen), yaitu Sultan Yogyakarta dan Juru Kunci. Juru Kunci

adalah pemegang kunci gunung berapi yang juga berkomunikasi dengan roh yang

menjaga gunung tersebut. Di gunung Merapi, Juru kunci yang dipercaya adalah Mbah

Marijan. Pada letusan Merapi tahun 2006, Mbah Marijan menolak untuk dievakuasi

dan terus berkomunikasi dengan roh nenek moyang (pepundhen) untuk membatasi

kehancuran yang disebabkan gunung Merapi. Keberadaanya di desa Kinarhejo

membuat warga yang tinggal di dekatnya merasa aman dan terlindungi (Lavigne, et.al

2008).

Penjelasan yang berbeda tentang warga yang bertahan tinggal di tempatnya

dipaparkan oleh Suseno (1991). Suseno menyatakan bahwa masyarakat Jawa percaya

bahwa hidup mereka sangat tergantung oleh tempat mereka berada. Menempati

tempat yang salah berarti membuat mereka bertabrakan dengan kekuatan-kekuatan

angker yang pada akhirnya dapat membahayakan dan mengganggu keselarasan

masyarakat. Dalam pandangan masyarakat Jawa, setiap individu berkepentingan

menempati tempatnya yang tepat. Untuk mengetahui tepat atau tidaknya tempat

mereka berada, orang Jawa mengenal dua tanda yang tak bisa salah, yaitu tanda yang

bersifat sosial dan tanda yang bersifat psikologis.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

25

Universitas Indonesia

Pada tanda yang bersifat sosial, tanda yang paling jelas terlihat adalah

keberadaan individu pada tempat kosmisnya tersebut menciptakan keselarasan sosial.

Kekacauan dalam masyarakat selalu juga berarti suatu gangguan keselarasan kosmis,

dan ganggauan ini dapat mengancam masyarakat. Apabila masyarakat tenang,

tenteram dan harmonis, itulah tanda bahwa keselarasan kosmis tidak terganggu. Pada

tanda yang bersifat psikologis, ketenangan batin atau kebebasan dari ketegangan

emosional adalah tanda bahwa semuanya beres. Ketenteraman masyarakat dan

ketenangan hati merupakan apa yang dicari orang Jawa sebagai keadaan selamat.

Selain itu, orang Jawa juga meyakini bahwa tanah yang mereka tinggali

telah menjadi tempat tinggal mereka secara turun temurun. Mereka memiliki

keterkaitan yang kuat dengan tempat tinggal mereka, oleh sebab itu mereka wajib

menjaga tanah yang juga merupakan tanah nenek moyang (Koentjaraningrat, 1984).

Suatu desa yang menjadi tempat tinggal orang Jawa sudah diwariskan secara turun

temurun, dengan kata lain, tanah yang mereka tinggali juga merupakan tanah nenek

moyang. Karena hal inilah orang Jawa seringkali tidak mau dievakuasi ketika terjadi

bencana, atau segera kembali ke rumah mereka setelah berhasil dievakuasi (Lavigne,

et.al, 2008).

Untuk memastikan bagaimana sesungguhya kualitas resiliensi pada penyintas

erupsi Gunung Merapi dan apa saja nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa yang

terkait dengan kualitas resiliensi tersebut, maka penelitian ini penting untuk

dilakukan.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

26

Universitas Indonesia

BAB 3

METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan diuraikan mengenai masalah penelitian, variabel-variabel

yang akan diteliti, serta definisi konseptual dan operasional dari masing-masing

variabel. Selain itu, bab ini juga akan menjelaskan tentang metode, partisipan

penelitian, metode pengumpulan data, instrumen, prosedur penelitian dan metode

analisis.

3.1. Masalah Penelitian

1. Bagaimana gambaran resiliensi masyarakat Jawa yang tinggal di sekitar

Gunung Merapi dan merupakan penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010?

2. Apa saja nilai, norma, dan/atau praktek budaya Jawa yang terkait dengan

kemampuan resiliensi masyarakat Jawa berusia 41-50 tahun yang merupakan

penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010?

3.2. Tipe dan desain penelitian

Berdasarkan perspektif aplikasi, penelitian ini tergolong dalam applied

research karena teknik penelitian, prosedur, dan metode dalam penelitian ini dapat

diaplikasikan pada berbagai aspek situasi, isu, masalah atau fenomena sehingga hasil

penelitian dapat digunakan untuk hal lain (Kumar, 2005).

Berdasarkan perspektif tipe pencarian informasi, penelitian ini digolongkan

sebagai penelitian kuantitatif dan kualitatif. Disebut penelitian kuantitatif karena akan

dilakukan perhitungan statistik untuk mengolah data skala sikap dari partisipan

berusia 21-60 tahun, dan disebut penelitian kualitatif karena akan dilakukan

wawancara mendalam pada partisiapn usia 41-50 tahun untuk mendapatkan informasi

yang lebih mendalam tentang gejala penelitian.

Berdasarkan tujuan, penelitian ini tergolong kedalam penelitian deskriptif

karena penelitian ini mencoba menggambarkan budaya Jawa yang terkait dengan

resiliensi penyintas erupsi Merapi. Kumar (2005) menjelaskan bahwa penelitian

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

27

Universitas Indonesia

deskriptif mencoba menggambarkan situasi, masalah, fenomena, servis atau program

secara sistematis, atau menyediakan informasi mengenai fenomena tertentu.

3.3 Partisipan Penelitian

3.3.1 Karakteristik Partisipan Penelitian

Karakteristik Partisipan Penelitian yang mendasari pemilihan sampel dapat dijelaskan

berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Orang Jawa. Orang Jawa yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah orang keturunan Jawa yang dibesarkan

dengan pola hidup kebudayaan Jawa. Dengan adanya kriteria ini, diasumsikan

bahwa budaya Jawa yang diturunkan dari orang tua masih kental sehingga

kajian terhadap nilai dan/atau norma, serta praktek kebudayaan Jawa dapat

digali dengan mendalam.

2. Tinggal di daerah yang rawan

bencana erupsi Merapi

Karakteristik ini dipilih karena warga yang tinggal disini biasanya terkena

dampak dari erupsi Merapi namun mereka tetap memilih untuk tinggal di

sana. Alasan mereka untuk memilih tetap tinggal dapat menjadi data yang

baik untuk menJawab masalah penelitian ini.

3. Rentang usia seluruh partisipan

untuk mendapatkan gambaran resiliensi dengan metode kuantitatif adalah 21-

60 tahun. Sedangkan untuk wawancara, usia partisipan dispesifikan menjadi

41-50 tahun, yaitu pada tahap dewasa madya awal. Peneliti memilih partisipan

dewasa madya karena pada usia ini partisipan sudah sering mengalami erupsi

Merapi, sehingga dapat terlihat faktor-faktor apa saja yag membuatnya tetap

bertahan tinggal disana. Klasifikasi usia dibagi menjadi dewasa madya awal

saja karena rentang usia dewasa madya (40-60 tahun) terlalu lebar, dimana

karakteristik pada fase awal sangat mungkin berubah ketika mencapai fase

akhir (Staudinger & Buck, 2001 dalam Hooyman & Kramer,2008).

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

28

Universitas Indonesia

3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini termasuk

dalam kategori accidental sampling karena sampel dipilih berdasarkan tersedianya

individu dan kemauan untuk mengikuti penelitian (Kumar, 2005). Teknik sampling

ini masuk dalam kategori non-random/non-probability sampling karena tidak semua

orang dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi partisipan

(Kumar, 2005). Teknik ini memberikan kemudahan bagi peneliti dalam mencari

sampel, baik dalam segi biaya maupun pencarian partisipan (parsimoni).

3.3.3. Jumlah Partisipan

Karena penelitian ini adalah penelitian payung, maka jumlah seluruh

partisipan dalam penelitian payung ini adalah 50 orang berusia 21-60 tahun yang

dibagi menjadi empat golongan berdasarkan rentang usia, 21-30 tahun, 31-40 tahun,

41-50 tahun, dan 51-60 tahun, yang masing-masing terdiri dari kurang lebih 12 orang.

Seluruh partisipan ini akan diukur tingkat resiliensinya secara kuantitatif untuk

mendapatkan gambaran umum tingkat resiliensi warga Desa Krinjng.

Sedangkan untuk menggali resiliensi yang terkait dengan budaya Jawa akan

dilakukan dengan metode wawancara, dan akan fokus pada partisipan usia 41-50

tahun. Dari 12 partisipan kuantitatif pada usia ini, peneliti memilih tiga orang secara

acak untuk diwawancara. Tiga orang ini dianggap cukup untuk mendapatkan

informasi yang lebih mendalam untuk menJawab masalah penelitian.

3.4. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu

skala sikap resiliensi dan pedoman wawancara. Skala sikap resiliensi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah CD-RISC 10 dan bertujuan untuk mendapat gambaran

resiliensi, sedangkan wawancara bertujuan untuk menggali keterkaitan antara

resiliensi dan budaya Jawa pada masyarakat Jawa terkena erupsi Merapi.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

29

Universitas Indonesia

3.4.1. Alat Ukur Resiliensi

Alat ukur resiliensi yang digunakan dalam peneitian ini adalah CD-RISC 10,

yang dikonstruk oleh Connor-Davidson dan disesuaikan menjadi 10 item oleh Sills

dan Stein (2007). CD-RISC 10 merupakan skala sikap untuk mengukur tingkat

resiliensi yang terdiri dari 10 item dengan alternatif 5 pilihan jawaban. Pilihan

jawaban terentang dari 1 (tidak pernah) hingga 5 (hampir selalu). Dengan kata lain,

alat ukur ini memiliki skor minimum sebesar 10 dan skor maksimum sebesar 50.

Tim payung peneliti memilih CD-RISC 10 karena alat ukur ini sudah teruji

dan banyak digunakan di berbagai negara, seperti di Cina (Wu, et.al, 2010), Uganda

(Klasen, Daniels, Oettingen, Post, Hoyer, Adam, 2010), Amerika (Stein, Sills,

Gelernter, 2009; Wingo, Wren, Pelletier, Gutman, Bradley, Ressler, 2010) dengan

partisipan dari latar belakang demografis yang berbeda-beda. Selain itu, CD-RISC 10

juga sudah digunakan oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universias Indonesia

untuk melihat tingkat resiliensi pada penyintas bencana di Indonesia. Berikut adalah

contoh item CD-RISC 10 yang digunakan dalam penelitian ini.

Tabel 3.1. Contoh item CD-RISC 10

1 Saya mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi

1 Tidak pernah sama

sekali

2 Hampir

tidak pernah

3 Sesekali

4 Sering

5 Hampir selalu

Meskipun sudah banyak digunakan, namun peneliti tidak memperoleh hasil

uji validitas dan reliabilitas dari alat ukur ini, sehingga peneliti memutuskan untuk

melakukan pengujian tersebut.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

30

Universitas Indonesia

3.4.1.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Ukur Resiliensi

Meskipun CD-RISC 10 sudah pernah dipakai untuk mengukur resiliensi pada

penyintas bencana di Indonesia, misalnya oleh Pusat Krisis Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia, namun belum ada pengujian validitas dan reliabilitas akan alat

ukur tersebut, sehingga peneliti melakukan pengujian ini. Untuk melakukan uji

validitas dan reliabilitas alat ukur, tim payung menggunakan metode uji coba

terpakai, yaitu pengujian yang dilakukan bersamaan dengan pengambilan data.

Metode ini dilakukan karena keterbatasan waktu dan dana peneliti.

3.4.2.Pedoman Wawancara

Untuk menggali faktor budaya, metode wawancara mendalam merupakan

instrumen yang tepat untuk digunakan dalam menggali informasi dari subyek

(Poerwandari, 2001). Untuk memudahkan jalannya wawancara, peneliti

menggunakan pedoman terstandar dan terbuka. Pedoman ini ditulis secara rinci,

lengkap dengan set pertanyaan dan penjabarannya dalam kalimat, dan bertujuan agar

tim payung dapat mengajukan pertanyaan dengan cara yang sama pada responden

yang berbeda (Poerwandari, 2001). Adapun pedoman wawancara untuk menggali

resiliensi dibuat berdasarkan lima karakteristik resiliensi menurut Wagnild (2010) dan

merupakan pedoman yang dipakai oleh semua anggota tim payung untuk

mewawancara partisipan. Karakteristik dari Wagnild dijadikan sebagai pedoman

karena hanya Wagnild lah yang menjabarkan karakteristik resiliensi secara lengkap.

Berikut adalah tabel kisi-kisi pedoman wawacara yang digunakan dalam penelitian.

Tabel 3.2. Tabel kisi-kisi pedoman wawancara

KOMPONEN PERTANYAAN

Pengalaman menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi 2010

Kerugian akibat bencana

Perasaan ketika tau akan ada bencana

Persiapan yang dilakukan

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

31

Universitas Indonesia

Mengapa mengungsi atau tidak mengungsi

Apa yang dilakukan ketika berhadapan dengan kesulitan

Apa yang dimaknai ketika hal buruk terjadi? Sebutkan hal buruknya dan cara copingnya.

Gambaran

Resiliensi

Meaningfulness

Hal yang paling penting

Usaha untuk mencapai tujuan itu

Rencana atau langkah yang dilakukan

Motto atau semboyan hidup

Preseverance

Kesulitan yang dialami dalam mencapai tujuan

Kesulitan terkait tempat tinggal

Yang dilakukan untuk atasi kesulitan

Kemudahan yang dialami dalam mencapai tujuan

Reaksi ketika melihat orang gagal

Reaksi ketika melihat orang sukses

Equanimity

Perasaan ketika bencana

Berapa lama sembuh dari perasaan itu

Menjalani hidup setelah bencana

Yakin keinginan bisa tercapai?

Self-reliance

Bagaimana penilaian orang lain terhadap Anda

Apakah Anda setuju?

Existential aloneness

Berani mengungkapkan pendapat berbeda?

Nyaman dengan diri sendiri?

Ingin pindah dari desa krinjing?

Warga sekitar ingin pindah dari desa krinjing?

BUDAYA dan BENCANA

Kapan mengungsi

Mengapa mengungsi

Yang paling berkesan di pengungsian

Pesan keluarga mengenai Merapi

Perubahan setelah erupsi

Bagaimana mengatasi perubahan itu

Peran agama dalam membantu penyesuaian diri

3.4.3.Keterkaitan Antara CD-RISC 10 dan Pedoman Wawancara

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

32

Universitas Indonesia

CD-RISC awalnya dikonstruk oleh Connor dan Davidson pada tahun 2003,

lalu kemudian dimodifikasi oleh Sills dan Stein menjadi 10 item pada tahun 2007 dan

dikenal dengan nama CD-RISC 10 (Sills & Stein, 2007). Modifikasi ini dilakukan

karena menurut uji statistika yang dilakukan oleh Sills dan Stein, konstruk yang ingin

diukur sudah dapat tergambar cukup dengan 10 item ini. Mereka menyatakan bahwa

item-item yang menyusun CD-RISC 10 merefleksikan kemampuan untuk mentolerir

pengalaman-pengalaman seperti perubahan hidup, masalah personal, kegagalan,

tekanan, dan perasaan menyedihkan. Pengukuran dengan CD-RISC 10 membedakan

individu yang tetap berfungsi dengan baik setelah mengalami kesulitan dengan

individu yang kurang dapat mempertahankan fungsiannya dengan baik. Hal yang

penting untuk diingat adalah bahwa hasil dari pengukuran ini masih dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, misalnya faktor personal seperti gejala depresi.

Adapun item-item dalam CD-RISC 10 mencakup hal-hal seperti berikut:

dapat beradaptasi terhadap perubahan, dapat menghadapi kejadian apapun, mencoba

melihat sisi lucu dari suatu masalah, cenderung bangkit kembali setelah mengalami

kejadian buruk, dapat tetap fokus di bawah tekanan, dan lain-lain. Pada intinya, item-

item ini mengukur ketahanan dan kegigihan untuk tetap bertahan meskipun

berhadapan dengan kondisi yang sulit (Sills & Stein, 2007).

Dengan kata lain, hal yang ingin diukur oleh CD-RISC 10 dan pedoman

wawancara yang mengacu pada Wagnild (2010), terutama pada karakteristik

perseverance dan equanimity, adalah sesuatu yang sama. Hal yang berbeda adalah

bahwa dalam CD-RISC 10 belum ditemukan hal yang mengukur meaningfulness,

self-reliance, dan existensial aloneness.

Oleh sebab itu, untuk melengkapi pengukuran kuantitaif dengan CD-RISC 10

ini, peneliti juga menggunakan metode wawancara mendalam yang merujuk pada

Wagnild (2010) untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap dan mendalam

mengenai konsep resiliensi, dan lebih jauh lagi budaya Jawa yang terkait dengannya.

3.5. Prosedur Penelitian

3.5.1. Tahap Persiapan

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

33

Universitas Indonesia

Persiapan yang dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

a. Menentukan alat ukur untuk mendapat gambaran resiliensi pada partisipan

Alat ukur resiliensi yang digunakan adalah CD-RISC 10 yang didapat dari

Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI. Penyusunan pedoman wawancara dibuat

berdasarkan studi literatur yang sudah didapat. Pembuatan pedoman wawancara ini

bertujuan untuk memudahkan peneliti untuk menggali informasi yang penting saat

wawancara dilakukan.

b. Menyusun pedoman wawancara

Untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada partisipan wawancara, tim

payung peneliti membuat pedoman wawancara berdasarkan lima karaktersitik

resiliensi dari Wagnild (2010). Sedangkan untuk menggali budaya Jawa, peneliti

menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hal tersebut.

c. Berlatih melakukan wawancara mendalam

Setelah menentukan kedua instrumen yang akan digunakan, peneliti

melakukan latihan wawancara di bawah bimbingan Pembimbing Skripsi

dengan cara mempraktekannya di hadapan anggota tim payung lainnya.

Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kefasihan anggota tim payung

dalam mewawancara partisipan.

3.5.2. Tahap Pelaksanaan

a. Menentukan lokasi pengambilan data

Lokasi yang ditetapkan untuk mengambil data adalah salah satu desa yang

terletak Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Merapi. Lokasi ini

ditentukan karena warga yang tinggal di sekitar sini tetap bertahan untuk

tinggal meskipun erupsi Gunung Merapi sering terjadi dan membuat

mereka terancam bahaya.

b. Memohon izin dan berkenalan dengan kepala desa

Sesampainya di desa Krinjing, tepatnya di rumah kepala desa, tim peneliti

akan berkenalan dan memohon izin kepada kepala desa, sekaligus

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

34

Universitas Indonesia

meminta rujukan mengenai siapa saja yang kira-kira dapat diwawancara.

Pada hari ini, peneliti belum melakukan pengambilan data.

c. Mencari partisipan

Pada hari kedua dan ketiga, pengambilan data penelitian akan dimulai

pada pagi hari. Partisipan kuantitatif akan didapat dengan metode

accidental, yaitu peneliti berkeliling desa mencari warga yang bersedia

untuk mengisi skala sikap. Sedangkan penentuan partisipan kualitatif

berusia 41-50 akan dilakukan dengan pendekatan purposif. Pengambilan

data direncanakan berlangsung selama dua hari, yaitu pada tanggal 2 dan 3

Mei, namun jangka waktu ini masih bisa berubah tergantung dengan

kelengkapan data yang telah didapat.

3.6. Tahap Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1. Prosedur Analisis Data Kuantitatif

Pengolahan data statistik dilakukan menggunakan program SPSS, tepatnya

menggunakan metode sebagai berikut:

a. Statistik Deskriptif: digunakan untuk

mengetahui tendensi sentral (mean, median, dan modus), frekuensi, standar

deviasi (SD), nilai minimum dan maksimum dari skor resiliensi. Teknik ini

digunakan untuk mengetahui gambaran resiliensi partisipan. Skor yang didapat

dari gambaran resiliensi akan dibuat norma berdasarkan z-score atau standar

deviasi dan nilai mean yang diketahui. Pembagiannya dibuat menjadi tiga

kategori yaitu “rendah” untuk nilai yang berada di bawah -1 SD dari mean,

“sedang” untuk nilai yang berada di antara -1 SD dan +1 SD dari mean, dan

“tinggi” untuk nilai yang berada di atas +1 SD dari mean.

b. One-Way Analysis of Variance (ANOVA): digunakan untuk mengetahui

signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok atau lebih sebagai satu

variabel terhadap variabel yang lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui

signifikansi perbedaan mean usia dan latar belakang pendidikan terhadap

resiliensi.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

35

Universitas Indonesia

3.6.2. Prosedur Analisis Data Kualitatif

Setelah mendapatkan informasi (data) yang diperlukan melalui wawancara dan

observasi, mengacu pada Poerwandari (2011), rencana analisis data yang akan

dilakukan peneliti adalah sebagai berikut:

1. Membuat transkrip dari setiap wawancara yang dilakukan.

2. Melakukan penggolongan dari transkrip berdasarkan pertanyaan besar yang

telah dibuat. Pada tahap ini dilakukan analisis tematik, yaitu proses

mengkode informasi yang menghasilkan tema, model tema atau indikator

yang kompleks, atau kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema tersebut

(Poerwandari, 2011). Analisis tematik dimulai dengan membaca transkrip

yang sudah dibuat untuk mengidentifikasi tema-tema dan mendapat

pemahaman tentang kasus. Selanjutnya peneliti menuliskan padatan faktual,

tema dan kategori.

3. Menganalisis penggolongan transkrip berdasarkan tema. Tahap ini dimulai

dengan menganalisis setiap partisipan (intra kasus) kemudian diikuti dengan

membandingkan persamaan dan perbedaan dari hasil wawancara seluruh

partisipan (inter kasus)

4. Menuliskan hasil penelitian dalam bentuk narasi deskriptif.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

36

Universitas Indonesia

BAB 4

ANALISIS HASIL

Pada bab ini, peneliti akan membahas mengenai analisis hasil penelitian yang

dilakukan melalui perhitungan statistic dan anlisis kualitatif.

4.1. Gambaran Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilakukan pada hari selasa, tanggal 1 Mei 2012 sampai dengan hari

jumat, tanggal 6 Mei 2012 di Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten

Magelang, Jawa Tengah. Data hasil penelitian diperoleh melalui dua cara, yaitu

penyebaran skala sikap resiliensi kepada 50 warga yang pernah mengalami bencana

dan wawancara mendalam pada empat orang warga. 50 partisipan didapat dengan

metode accidental. Keempat partisipan wawancara sudah termasuk kedalam 50

partisipan kuantitatif. Penyebaran skala sikap dilakukan oleh empat orang anggota

yang tergabung dalam penelitian payung dan didampingi oleh dua orang pendamping

penelitian. Sedangkan wawancara mendalam dilakukan secara individual oleh

masing-masing anggota.

Pada hari pertama, tim peneliti belum melakukan pengambilan data, tetapi

hanya melakukan sosialisasi dengan Kepala Desa, sekaligus memberikan surat izin

penelitian dari Fakultas Psikologi UI. Pada tahap sosialisasi, tim peneliti juga

mendapat rujukan partisipan wawancara yang sesuai dengan kriteria penelitian dari

Kepala Desa. Pada hari kedua, pengambilan data dimulai pukul 9 pagi, sesuai dengan

saran epala Desa, dengan menyebarkan skala sikap di balai desa. Penyebaran skala

sikap juga disertai dengan penyerahan surat izin kepada Sekertaris Desa dan

pencarian partisipan wawancara.

Setelah menemukan partisipan yang sesuai dengan kriteria, peneliti membuat

janji wawancara dengan partisipan. Wawancara dilakukan sebanyak empat kali

terhadap 4 orang partisipan. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 4.1. Pada awalnya

peneliti hanya berniat mewawancara tiga partisipan saja, tetapi setelah selesai

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

37

Universitas Indonesia

mewawancara ketiga partisipan, tanpa disengaja peneliti bertemu dengan seorang

warga, Ibu Y, yang sesuai dengan kriteria dan tidak mengungsi ketika erupsi tahun

2010. Peneliti berasumsi bahwa alasan Ibu Y tidak mengungsi dapat dijadikan data

yang mendukung hasil penelitian, sehingga peneliti memutuskan untuk mewawancara

Ibu Y.

Pada hari kedua, salah seorang anggota tim peneliti mewawancara warga yang

bekerja sebagai pengajar PAUD di desa Krinjing. Setelah wawncara selesai, ia

mengajak tim peneliti untuk datang ke PAUD yang diadakan sore hari itu sehingga

peneliti menyempatkan diri untuk datang dan bermain dengan anak-anak desa

Krinjing. Selain waktu yang digunakan untuk wawancara dan bermain dengan anak-

anak, waktu lainnya kebanyakan dihabiskan untuk berkeliling desa menyebarkan

skala sikap.

Table 4.1. Prosedur Pengambilan Data

Hari Kegiatan Tempat waktu

1 Berangkat bandara Soekarna-Hatta

Beramah-tamah dengan kepala desa

Bandara Soekarno-Hatta

Rumah kepala desa

Pk. 11.05

Pk. 16.30

2 Menyebarkan skala sikap

Bermain dengan anak-anak di PAUD

Wawancara Bapak Y

Desa Krinjing

PAUD (Rumah warga)

Rumah Pak Y

Pk 09.00- selesai

Pk. 16.00-17.00

Pk. 19.00-20.00

3 Menyebarkan skala sikap

Wawancara Bapak D

Wawancara Bapak S

Desa Krinjing

Rumah Pak D

Rumah Pak S

Pk. 09.00-selesai

Pk. 13.00-14.35

Pk 16.30-18.47

4 Wawancara Ibu Y Rumah Ibu Y Pk 16.30-17.00

5 Berpamitan Rumah kepala desa 09.00

Secara umum, pengambilan data dalam penelitian ini berjalan dengan cukup

baik, hanya saja terdapat sedikit kesulitan karena peneliti tidak bisa berbahasa Jawa

sedangkan beberapa partisipan lebih fasih menggunakan bahasa Jawa ketimbang

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

38

Universitas Indonesia

bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan peneliti harus menjelaskan setiap kata dalam

skala sikap yang kurang dimengerti oleh partisipan sehingga waktu pengambilan data

kuantitatif jadi relatif lebih lama dibandingkan waktu yang telah diperkirakan.

4.2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas alat ukur CD RISC 10

Pengujian reliabilitas alat ukur dilakukan dengan menggunakan teknik

Internal Consistency Coefficients dengan melihat koefisien alpha. Reliabilitas yang

didapat dinilai dari besaran koefisien alpha. Dari hasil perhitungan, CD-RISC 10

memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0.874. Menurut Anastasi dan Urbina (1997),

sebuah alat tes digolongkan memiliki reliabilitas yang baik jika memiliki nilai

koefisiensi sebesar 0.7 – 0.8 untuk penelitian. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa

alat ukur ini memiliki inter-item consistency yang tinggi. Artinya, sebanyak 87.4%

dari varians obtained score merupakan varians dari true score, sementara 12.6%

varians merupakan eror yang berasal dari content heterogenity dan content sampling

Uji validitas dilakukan dengan menggunakan teknik internal consistency.

Pada dasarnya, internal consistency mengukur derajat homogenitas suatu tes dan

relevansinya dengan validitas konstruk. Dari sini juga akan dilihat korelasi skor pada

setiap item dengan skor total (item-total correlation) CD-RISC 10. Menurut

Cronbach (1990), batasan minimal item-total correlation dari sebesar 0.2, artinya,

skor yang lebih besar dari 0.2 dinyatakan valid. Berdasarkan analisis nilai indeks item

total crelation, diketahui bahwa seluruh item (10 item) dalam CD-RISC 10 memiliki

nilai rit lebih dari 0,2 yang berarti item-itemm tersebut homogen dan memiliki

relevansi dengan validitas konstruk.

4.3. Gambaran Umum Data Demografis Partisipan

Data demografis partisipan diperoleh dari data diri partisipan yang berada

pada halaman awal skala sikap. Data diri ini terdiri atas jenis kelamin, usia, status

pernikahan, jumlah anak, pekerjaan sebelum erupsi, pekerjaan setelah erupsi,

pendidikan terakhir, tempat tinggal saat ini, telah tinggal di tempat tersebut selama

berapa tahun, agama, dan jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama. Hasil

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

39

Universitas Indonesia

perhitungan distribusi frekuensi dari gambaran demografis tersebut dapat dilihat

dalam tabel 4.2.

Tabel 4.2. Data demografis partisipan

Data Partisipan Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin

Laki-laki 20 40%

Perempuan 30 60%

Usia

21-30 tahun 17 34%

31-40 tahun 18 36%

41-50 tahun 11 22%

51-60 tahun 4 8%

Status Pernikahan

Menikah 49 98%

Belum Menikah 1 2%

Jumlah Anak

0 4 8%

1 17 34%

2 20 40%

3 7 14%

4 2 4%

Pekerjaan Sebelum Erupsi

Petani 38 76%

Penambang Pasir 1 2%

Peternak 1 2%

Perangkat Desa 5 10%

Pengurus Kelompok Tani 1 2%

Ibu Rumah Tangga 4 8%

Wiraswasta 3 6%

Guru 2 4%

Pegawai Swasta 3 6%

Mahasiswa 1 2%

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

40

Universitas Indonesia

Pekerjaan Setelah Erupsi

Petani 39 78%

Peternak 1 2%

Perangkat Desa 7 14%

Pengurus Kelompok Tani 1 2%

Ibu Rumah Tangga 4 8%

Wiraswasta 3 6%

Guru 3 6%

Penyalur KB gratis 1 2%

Pendidikan Terakhir

Tidak Tamat SD 4 8%

SD 13 26%

SMP 17 34%

SMA 14 28%

Perguruan Tinggi 2 4%

Tempat Tinggal

Rumah sendiri 48 96%

Rumah saudara 1 2%

Rumah teman 1 2%

Agama

Islam 33 66%

Katholik 17 34%

Lama Tinggal di Merapi

1-10 5 10%

11-20 8 16%

21-30 14 28%

31-40 16 32%

41-50 4 8%

51-60 3 6%

Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar

partisipan penelitian adalah perempuan, yaitu sebesar 30 orang (60%). Untuk usia,

peneliti membaginya dalam empat rentang usia, yaitu 21-30 tahun sebanyak 17 orang

(34%), 31-40 tahun sebanyak 18 orang (36%), 41-50 tahun sebanyak 11 orang (22%),

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

41

Universitas Indonesia

dan 51-60 tahun sebanyak 4 orang (8%). Terkait dengan pekerjaan, sebagian besar

partisipan bekerja sebagai petani, yaitu sebanyak 39 orang (78%). Erupsi Merapi

tahun 2010 tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada pekerjaan warga.

Berdasarkan data, diketahui juga bahwa kebanyakan warga menempuh pendidikan

hingga SD (13 orang, 26%), SMP (17 orang, 34%), atau SMA (13 orang, 26%). Dari

tabel di atas juga dapat dilihat bahwa kebanyakan partisipan beragama islam, yaitu

sebanyak 33 orang (66%) dan sisanya beragama kristen, yaitu sebanyak 17 orang

(34%).

4.4. Gambaran Resiliensi Partisipan

4.4.1. Gambaran Resiliensi Seluruh Partisipan

Gambaran resiliensi seluruh partisipan diperoleh dengan cara melihat nilai

mean, nilai minimum, dan nilai maksimum pada partisipan yang mengisi alat ukur

CD RISC 10.

Tabel 4.3. Deskriptif statistik resiliensi seluruh partisipan

n M Nilai Minimum Nilai Maksimum SD

50 36.46 10 48 7.592

Dari tabel 4.3. dapat diilihat nilai tengah (mean) skor resiliensi partisipan

adalah sebesar 36.46 (SD = 7.592) dengan nilai minimum sebesar 10 dan nilai

maksimum sebesar 48. Gambaran resiliensi ini akan dibagi menjadi tiga kategori,

yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi dilakukan didasarkan pada

nilai mean dan standar deviasi yang dihitung berdasarkan pada rata-rata dan standar

deviasi dari partisipan penelitian yang diketahui berdasarkan norma atau z-score.

Tabel 4.4. Kategori tingkat resiliensi seluruh partisipan

Tingkat skor Frekuensi Persentase

Rendah < 29 5 10%

Sedang 29-43 39 78%

Tinggi 44 6 12%

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

42

Universitas Indonesia

Berdasarkan data pada tabel 4.4, dapat dilihat bahwa kebanyakan partisipan

memiliki skor resiliensi sedang, yaitu sebanyak 39 orang (78%), dengan variasi skor

dari 10 sampai 48.

Tabel 4.5. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin n Persentase Mean Signifikansi

Laki-laki 20 40% 35.10

.306

Perempuan 30 60% 37.37

Berdasarkan tabel 4.5, signifikansi yang didapat adalah 0.306 ( p > 0.05) yang

artinya jenis kelamin tidak signifikan mempengaruhi skor resiliensi.

Tabel 4.6. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Rentang Usia

Rentang Usia n Persentase Mean F df Signifikansi

21-30 tahun 17 32% 38.82

2.185 49 .103

31-40 tahun 18 68% 36.00

41-50 tahun 11 22% 36.45

51-60 tahun 4 8% 28.50

Berdasarkan tabel 4.6, signifikansi yang didapat adalah 0.103 (p > 0.05) yang

artinya rentang usia tidak signifikan mempengaruhi skor resiliensi.

Tabel 4.7. Gambaran Resiliensi Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan terakhir n Persentase Mean F df Signifikansi

Tidak tamat SD 4 8% 31.00

1.997 49 0.111

Tamat SD 13 26% 33.31

Tamat SMP 17 32% 39.65

Tamat SMA 14 28% 37.00

Sarjana 2 4% 36.46

Berdasarkan tabel 4.7, signifikansi yang didapat adalah 0.111 ( p > 0.05) yang

artinya tingkat pendidikan tidak signifikan mempengaruhi skor resiliensi.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

43

Universitas Indonesia

4.4.2. Gambaran Resiliensi Partisipan Usia Dewasa Madya (usia 41-50 tahun)

Hasil resiliensi partisipan usia dewasa madya didapat dalam bentuk mean sebesar

36.45 (SD =9.658 ) dengan nilai minimum sebesar 16 dan nilai maksimum sebesar

48. Untuk lebih lengkapnya, lihat tabel 4.8.

Tabel 4.8. Gambaran resiliensi partisipan usia dewasa madya

N M Nilai Minimum Nilai Maksimum SD

11 36.45 16 48 9.658

Dari tabel 4.8 dapat diilihat nilai tengah (mean) skor resiliensi partisipan usia

41-50 tahun adalah sebesar 36.45 (SD = 9.658) dengan nilai minimum sebesar 16 dan

nilai maksimum sebesar 48. Gambaran resiliensi ini akan dibagi menjadi tiga

kategori, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Pembuatan kategorisasi dilakukan

didasarkan pada nilai mean dan standar deviasi yang diketahui atau norma

berdasarkan z-score.

Tabel 4.9. Kategori tingkat resiliensi seluruh partisipan

Tingkat skor Frekuensi Persentase

Rendah < 29 2 18%

Sedang 29-44 7 64%

Tinggi 44 2 18%

Berdasarkan data pada tabel 4.9, dapat dilihat bahwa kebanyakan partisipan

usia dewasa madya memiliki skor resiliensi sedang, yaitu sebanyak 7 orang (64%),

dengan variasi skor dari 16 sampai 46.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

44

Universitas Indonesia

4.5. Analisis Partisipan

4.5.1. Partisipan I (Pak Y)

4.5.1.1. Gambaran Umum Partisipan

Bapak Y adalah warga desa Krinjing yang tinggal desa tersebut sejak tahun

1993. Ia pindah ke desa ini ketika menikah dengan istrinya yang adalah warga asli

desa Krinjing. Sebagai pria berusia 43 tahun dengan latar belakang pendidikan

Sekolah Pendidikan Guru, Pak Y saat ini menjabat sebagai sekertaris desa. Ia tinggal

berempat dengan istri dan kedua anaknya di rumah miliknya. Bapak Y adalah warga

desa Krinjing yang beragama Islam. Berdasarkan pengukuran resiliensi dengan alat

ukur CD-RISC 10, Pak Y memperoleh skor sebesar 39 yang artinya berada dalam

tingkat sedang.

4.5.1.2. Gambaran Bencana

Selama tinggal di desa Krinjing, Pak Y sudah mengalami erupsi Merapi

sebanyak kurang lebih lima kali. Setiap erupsi akan terjadi, pemerintah yang

mendapat informasi dari badan vulkanologi akan memberitahu kepada kepala desa

Krinjing. Informasi yang diberikan termasuk anjuran untuk mengungsikan warga

apabila erupsi dirasa berbahaya. Pada erupsi Merapi tahun 2010, warga desa Krinjing

dianjurkan untuk mengungsi karena besarnya erupsi yang terjadi. Pengungsian ini

dilakukan sebanyak dua kali karena lokasi pengungsian pertama yang semula dikira

aman ternyata menjadi berbahaya karena erupsi Merapi yang semakin besar.

Ketika mendengar bahwa akan terjadi erupsi Merapi, Pak Yanto menyatakan

bahwa ia merasa biasa saja karena ia sudah biasa mengalaminya. Rasa takut memang

tetap ada, meskipun tidak signifikan. Menurutnya, yang terpenting ketika berhadapan

dengan bencana adalah tetap tenang, mengikuti aturan pemerintah, dan berdoa minta

keselamatan pada Tuhan. Ketika pemerintah mengabarkan bahwa rakyat desa

Krinjing harus diungsikan, Pak Y segera mengevakuasi keluarganya terlebih dahulu,

baru kemudian mengurus proses evakuasi warga. Proses evakuasi dimulai dari

melengkapi database untuk menentukan siapa saja yang akan diungsikan terlebih

dahulu (wanita, anak-anak, dan orang tua). Menurut Pak Y, dari 2091 jiwa di desa

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

45

Universitas Indonesia

Krinjing, terdapat 41 jiwa yang tidak mengungsi. Sekalipun mereka enggan untuk

mengungsi, tidak ada yang secara langsung mengatakan menolak untuk mengungsi.

Hal ini mungkin disebabkan karena mereka tidak berani untuk secara langsung

mengatakannya.

Pak Y menyatakan bahwa alasan warga yang tidak mengungsi adalah karena

mereka sudah tua dan sulit untuk melakukan perjalanan jauh. Beberapa kerabat

mereka yang tadinya berniat mengungsi pun tidak tega meninggalkan mereka dan

akhirnya ikut menemani.

Pasca erupsi Merapi, kerugian yang diderita Pak Y mencakup kerusakan

rumah ringan, seperti: atap yang pecah dan talang air tersumbat abu, kerusakan

tanaman, dan terhambatnya perkembangan ternak. Namun semua kerusakan ini dirasa

tidak signifikan. Artinya, secara umum Pak Y tidak merasa adanya kesulitan yang

terjadi terkait dengan erupsi Merapi tahun 2010.

4.5.1.3. Gambaran Resiliensi

Meaningfulness

Menurut Pak Y, hal yang paling penting dalam hidup ini adalah rasa syukur

kepada Tuhan dalam segala kondisi dan menjalani hidup dengan penuh kedamaian.

“mensyukuri atas apa nikmat yang diberikan, ketika kita kurang sehat

maupun ketika diberi kesehatan. Itu, intinya kalau saya seperti itu.

Yang lebih utama adalah syukur.”

(halaman 20, baris 29)

“damai lah, enak sekali itu. Orang tidak makan kalau hatinya damai,

nyaman lah itu pokoknya.”

(halaman 19, baris 45)

Cara yang dilakukan untuk mewujudkan impian ini adalah dengan tidak

mudah menilai atau menghakimi orang lain agar tidak mudah juga terjadi keributan.

“Jangan suka mencoreng dahi orang lain sebelum melihat dari

pribadinya sendiri. jadi bagaimana kita hidup di dunia ini, agama

apapun, bisa hidup rukun. Itu damai sekali menurut saya.”

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

46

Universitas Indonesia

(halaman 19, baris 39)

Dari sini dapat dilihat bahwa karakteristik meaningfulness sudah ada pada Pak

Y karena ia mempunyai tujuan dalam hidupnya, yaitu hidup dengan damai dan penuh

rasa syukur.

Perseverance

Pak Y menyatakan bahwa ia sudah merasa desa Krinjing sebagai tanah airnya dan

merasa nyaman tinggal disana. Apabila ada perintah untuk direlokasi, ia akan

menolaknya. Rasa cinta serta keinginan untuk tinggal di desa Krinjing tetap ada

dalam dirinya meskipun erupsi Merapi yang sering terjadi biasanya menimbulkan

masalah atau kerugian. Kerugian yang terjadi mencakup rusaknya harta material Pak

Y, seperti ladang, terhambatnya perkembangan ternak, kerusakan rumah, dan

sebagainya. Selain itu, karakteristik ini terlihat dari usaha Pak Y untuk mencapai hal

yang paling penting dalam hidupnya., yaitu ketentraman, atau kedamaian. Dengan

tetap bertahan pada tujuannya semula, meskipun dihadang kesulitan, Pak Y

menunjukkan bahwa karakteristik perseverance sudah muncul.

Equanimity

Pak Y sudah merasa nyaman tinggal di desa Krinjing meskipun erupsi Merapi

terjadi secara berkala dan menimbulkan bahaya bagi warga yang tinggal di

sekitarnya. Hal ini disebabkan salah satunya karena ia dapat melihat bahaya terebut

dari sudut pandang berbeda, sehingga bahaya itu tidak lagi dipersepsikan sebagai

sesuatu yang hanya bersifat merugikan.

“Merapi bisa membahayakan, bisa juga menjadi sahabat. Nah kalo

kita menjaga sebagai sahabat, kan bisa juga”

(Halaman 24, baris 15)

Pak Y juga melihat bahwa meskipun pasca erupsi tanah menjadi kurang

subur, lama kelamaan akan kembali subur seperti semula. Pak Y juga percaya bahwa

hidup selalu berubah, ada kalanya senang ada kalanya susah. Kepercayaan ini

membuat Pak Y tidak terlarut dalam kesedihan maupun kesenangan sehingga dapat

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

47

Universitas Indonesia

mencari solusi yang tepat dari setiap masalah, dan lebih jauh lagi, membuatnya

mensyukuri segala hal.

Hal ini menunjukkan bahwa karaktgeristik equanimity sudah ada pada Pak Y

karena ia tidak fokus pada satu sisi saja dari suatu masalah, tapi dapat memandangnya

dari sudut pandang berbeda.

Self-reliance

Pak Y menyatakan bahwa ketika berhadapan dengan kesulitan, ia akan

berusaha menyelesaikan hal itu sendiri. Ketika membutuhkan bantuan dari pihak luar,

ia akan banyak-banyak berkonsultasi dengan keluarga. Namun apabila masalah yang

ia alami sudah cukup rumit, ia akan mencari bantuan dari orang yang memang

berpengalaman di bidang tersebut, misalnya psikolog. Dari sini dapat dilihat bahwa

Pak Y sudah mengetahui keterbatasan dirinya dan kapan harus meminta bantuan

kepada orang lain. Ia pun tahu cara yang sesuai untuk mengatasi masalahnya yaitu

dengan mencari seseorang yang ahli dalam masalah yang ia alami. Pengalaman

bergaul dengan salah seorang rekan psikolog pun tidak ia sia-siakan begitu saja. Dari

rekannya ini, ia belajar bahwa salah satu cara untuk mengatasi masalah yang terjadi

adalah dengan memulainya dari dalam diri sendiri. Dari sini dapat dilihat bahwa Pak

Y sudah menunjukkan adanya karakteristik self-reliance karena ia sudah mengetahui

keterbatasan diri dan tahu cara mengatasinya.

Existential aloneness

Pak Y menyatakan bahwa ia berani untuk mengemukakan pendapat di depan

umum. Tugasnya sebagai salah satu aparat desa memang mengharusknannya untuk

berani seperti itu. ketika ada pendapat yang kurang ia setujui, ia akan mengatakannya.

Hal ini juga bukan berarti ia memaksakan pendapatnya tersebut, ia tetap lebih

mengutamakan keputusan berdasarkan musyawarah. Yang penting adalah ia sudah

mengemukakan pendapatnya.

“saya berani kalau saya mengatakan pribadi saya seperti ini….

Silahkan anda tangkap apa yang saya sampaikan. Tapi kalau memang

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

48

Universitas Indonesia

apa yang saya sampaikan itu anda-anda tidak menerima saya tidak

akan marah. Jadi saya tidak dalam posisi otoriter… Kalau di posisi

pemerintahan tu kan mba, lebih posisi untuk memberikan masukan

kepada temen-temen…. Untuk mencapai tujuan akhir, saya mengikuti

apa yang menjadi hasil musyawarah bersama.”

(halaman 23, baris 43)

Dari sini dapat terlihat bahwa karakteristik existential aloneness sudah ada

pada Pak Y karena ia berani berbeda dari orang lain dan tidak harus ikut-ikutan.

4.5.1.4. Budaya Jawa dan Resiliensi

Menurut Pak Y, pada zaman sekarang, gap antara anak muda dan orang tua

sudah agak lebar, sehingga sudah tidak terlalu banyak lagi pesan mengenai

kebudayaan Jawa yang disampaikan kepada anak cucu. Namun beberapa hal yang

masih melekat pada masyarakat Jawa, khususnya di desa Krinjing, untuk menyikapi

Merapi mencakup beberapa hal, antara lain: warga desa krinjing menyebut gunung

Merapi dengan panggilan Mbah-ne (artinya: nenek atau kakek) sebagai bentuk

penghormatan. Mereka juga percaya bahwa kerugian yang ditimbulkan Merapi

merupakan rejeki yang diminta oleh sosok Mbah-ne. Dengan cara pandang ini, maka

bagian rezeki yang diminta oleh sosok yang dihormati bukanlah sebuah bencana atau

kerugian. Hal ini membantu warga untuk menyikapi bencana dengan cara yang lebih

baik. Selain itu, warga dilarang untuk menunjukkan jari ke arah gunung Merapi,

ataupun membuat kegaduhan dengan cara apapun. Hal semacam ini dianggap

memanggil bencana yang sedang dikeluarkan Merapi (lahar, awan panas, Dan

sebagainya).

“Gunung Merapi itu mau meletus tidak boleh memukul kentongan,

atau bunyikan sirine, itu nda boleh. kalo orang sini nda boleh. Itu

sejak dulu sampe sekarang masih. Tidak boleh memukul kentongan,

ato sirine, ato pake loud speaker itu nda boleh. Kemudian juga tidak

boleh.. menunjukkan jari ke arah gunung. Itu juga nda boleh, itu

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

49

Universitas Indonesia

semacam ya memang semacam pengalaman budaya yang dari nenek

moyang sampe sekarang,dua hal itu masih selalu dijaga.”

(halaman 19, baris 2)

Selain kebiasaan-kebiasaan seperti ini, warga juga punya kebiasaan untuk

melakukan ritual slametan atau kenduri. Ritual ini sering dilakukan untuk bermacam-

macam kejadian, misalnya panen perdana.

“Disini kan sering ada semacam slametan, kenduri.”

(halaman 18, baris 37)

Pak Y juga menyatakan bahwa warga desa krinjing percaya pada pesan mistis

yang disampaikan melalui mimpi kepada orang-orang tertentu mengenai kondisi

Merapi maupun cara menyikapi bencana yang akan terjadi. Misalnya: dalam mimpi

tersebut akan diberitahu apakah letusan Merapi kali itu berbahaya atau tidak, apakah

warga perlu mengungsi atau tidak.

“Bagi orang tua ya, jadi bagian rejeki ini baru diminta oleh… Mbah-

ne. walopun tidak secara kasat mata seperti itu, ini sebagian rejeki

baru diminta Mbah-ne. jadi ya, sebagaian rejeki.. anda, sebagian

terkurangi, gitu. Seperti itu misalnya, panen.”

(halaman 18, baris 33)

Terkait dengan kebiasaan yang banyak dilakukan di desa Krinjing, Pak Y

mengatakan adanya budaya gotong royong yang artinya saling membantu antara

warga. Budaya semacam ini dilihat sebagai nilai budaya yang membantu masyarakat

mengatasi kesulitan. Pak Y juga menyatakan bahwa sifat maternalistik warga desa

masih tinggi, sehingga pendapat mereka biasanya masih dipengaruhi oleh para

pemimpinnya. Apa yang dikatakan pemimpinnya biasanya juga disetujui oleh warga.

“tergantung yang di depan seperti apa…. saya kalo dipindah, ya saya

ngomong gitu, saya ya ngga mau. Yang lain ya ngikut ya mba. Kan

apa ya, kan tingkat ketaatan masyarakat lebih.. kan sifat

maternalistiknya itu kan masih tinggi tu mba.”

(halaman 24,baris 31 dan 39)

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

50

Universitas Indonesia

4.5.2. Partisipan II (Ibu Y)

4.5.2.1. Gambaran Umum Partisipan

Saat ini, Ibu Y berusia 42 tahun dan tinggal berdua dengan suaminya di rumah

miliknya. Pernikahan mereka baru berjalan 2 tahun dan belum memiliki anak.

Berbeda dengan suaminya yang baru datang ke desa krinjing tahun 2010, Ibu Y sudah

tinggal disana sejak ia lahir. Desa Krinjing sudah menjadi rumahnya secara turun

temurun, sejak zaman nenek moyangnya. Sebagai warga yang menempuh pendidikan

hingga SMP, saat ini Ibu Y bekerja sebagai petani. Ia mempunyai ladang, tetapi tidak

memiliki ternak. Kegiatan Ibu Y sehari-hari adalah bertani dan bersosialisasi dengan

para tetangganya. Pada pagi dan siang hari ia pergi ke ladang dan pada sore hari ia

mengobrol dengan dengan para tetangga yang juga adalah perempuan seusianya.

Berdasarkan pengukuran resiliensi dengan alat ukur CD-RISC 10, Ibu Y memperoleh

skor sebesar 40 yang artinya berada dalam tingkat sedang.

4.5.2.2. Gambaran bencana

Sebelum erupsi Merapi terjadi, pemerintah sudah mengetahui hal ini dan

warga desa Krinjig disuruh untuk mengungsi. Menanggapi perintah ini, Ibu Y

memilih untuk tetap tinggal di rumahnya. Sementara warga sibuk mempersiapkan diri

untuk mnegungsi, Ibu Y malah mengurung diri di dalam rumahnya sambil menonton

televise.

Ada beberapa alasan yang membuat Ibu Y menolak untuk mengungsi. yang

pertama, meskipun Ibu Y merasa takut, tetapi rasa takut itu tidak dirasa signifikan

karena ia sudah terbiasa mengalaminya dan biasanya tidak terjadi apa-apa. Ia

beranggapan, kalau memang erupsi kali itu berbahaya bagi keselamatannya, ia akan

menerimanya dengan pasrah. Selain itu, ia juga tidak suka suasana di pengungsian

karena ia merasa tidak bisa bebas.

“.. takut ya iya, tapi ya tetap nganu itu loh, tetap.. ngumpet itu loh

mba. Takut tapi tetap.. apa ya. Hehe.. takut ya takut cuma itu, tapi yo

nda seberapa.”

(halaman 27, baris 38)

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

51

Universitas Indonesia

“yoo perasaan yo takut yo tapi mengingat yang dulu itu nda apa-

apa…Kalo memang saya mau matinya itu kena letusan Merapi ya

ngga apa-apa…”

(halaman 31, baris 29 dan 31)

“waah kedaan di pengungsian itu seperti itu, kan saya tu mbayangan

itu sudah, gimana itu loh, ngga suka itu loh. Ya cuma duduk. Jenuh,

jenuh itu loh… ga ada kegiatan gitu loh mba, ngga bisa bebas”

(halaman 26, baris 41)

Ibu Y juga menceritakan bahwa neneknya adalah orang yang bisa mendapat

mimpi atau wangsit. Mimpi tersebut memberitahu mengenai keadaan Merapi, apakah

berbahay atau tidak bagi warga. Ketika neneknya masih hidup, nenek Ibu Y adalah

seorang kepala desa. Ia melarang warganya untuk mengungsi meskipun pemerintah

sudah mengharuskan warga untuk mengungsi. Ibu Y memang tidak menyatakan

secara langsung bahwa faktor ini berpengaruh terhadap keinginannya untuk tetap

tinggal di rumah, tetapi peneliti melihat adanya keterkaitan. Analisis yang lebih

mendalam akan dijelaskan pada subab berikutnya.

Saat mengetahui akan terjadi bencana, Ibu Y tidak melakukan persiapan apa-

apa. Karena desa sudah hampir kosong dan ladang tertutup abu, makanan untuk

menunjang kehidupan sehari-hari hanya seadanya saja. Untungnya, beberapa hari

kemudian datang bantuan dari relawan berupa makanan, pakaian, dan sebagainya.

“…yoo alhamdulilah itu ada makanan yo seadanya tapi kan habis

meletus itu berapa hari, itu ada.. logistik itu yo relawan-relawan itu

kesini ada logistik. Makanan yo sarimi, yo nasi bungkus, sembarang

apa itu ada yo alhamdulilah, tiap hari itu hampir ada.”

(halaman 26, baris 10)

Selama erupsi berlangsung, kegiatan yang biasanya dilakukan Ibu Y tidak

bisa ia lakukan lagi karena ladang sudah tertutup abu dan tidak ada tetangga yang

bisa diajak mengobrol. Listrik pun padam, sehingga Ibu Y tidak bisa menonton TV.

Maka Ibu Y hanya mengisi hari-harinya dengan duduk diam saja di dalam rumahnya.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

52

Universitas Indonesia

“yaa cuman di rumah gini. Duduk-duduk ini kan kalo jam segini kan..

apa orang-orang ngungsi kan ya cuma di rumah ya kan di luar kan ga

ada orang, sepi…”

(halaman 26, baris 30)

Menanggapi suasana yang sepi itu, Ibu Y sempat merasa sedih dan kesepian.

Di lain pihak, Ibu Y juga merasa senang karena setiap hari mendapat bantuan dari

relawan untuk menunjang kebutuhan hidupnya sehari-hari.

“suasananya sepiii sepi. Yo e.. gimana yo, sedi yo pokoke.. sedih.

Opo.. perasaan itu kok hidup kok seperti ini. Hehe. Hidup di gunung

kok sepi. Semua orang, tetangga pada ngungsi. Tapi yo nganu opo..

sedih sedih seneng itu loh mba. Sedih tapi senengnya itu kan setiap

hari mau makan udah ada yang ngasih kan ya, sementara gitu lah.”

(halaman 26, baris 21)

Pasca erupsi, desa Krinjing mengalami kerusakan karena tertutup abu,

termasuk rumah Ibu Y. meskipun begitu, Ibu Y tidak merasakan adanya perubahan

kegiatan sebelum dan setelah erupsi tersebut. Ia memang membersihkan ladang dan

rumahnya, tetapi kegiatan lainnya tetap sama. Ia tetap bekerja sebagai petani dan

setiap sore mengobrol dengan para tetangganya.

4.5.2.3. Gambran resiliensi

Meaningfulness

Cita-cita Ibu Y adalah hidup tentram dan segala keinginan dapat tercapai,

serta ibadah yang kuat kepada Tuhan. Keinginan secara spesifik belum ada, yang

jelas, ia berharap agar apapun yang diinginkan dapat tercapai dan ia memiliki

kehidupan yang tentram. Sebagai petani, cara mewujudkan apa yang ia inginkan

adalah bekerja agar hasil pertaniannya baik.

“yang penting aktivitas yoo kalau orang hidup disini bertani kan yoo

bagaimana caranya bertani supaya bisa menghasilkan hasil yang

bagus, nanti bisa apa yang dicita-citakan gitu berhasil.”

(halaman 30, baris 30)

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

53

Universitas Indonesia

Dari jawaban di atas, dapat dilihat bahwa karakteristik Meaningfulness sudah

muncul pada Ibu Y karena Ibu Y sudah mempunyai arti atau tujuan dalam hidupnya.

Preseverance

Seperti yang telah diungkapkan di atas, tujuan utama dalam hidup Ibu Y

adalah hidup tentram, yang juga bisa dicapai melalui hasil panen yang baik.

Kesulitan-kesulitan yang dialami Ibu Y antara lain masalah dalam pertaniannya,

misalnya penyakit pada tanaman. Meskipun mengalami kesulitan seperti itu, Ibu Y

tetap berpendapat bahwa ia harus bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil panen

yang juga baik.

“Apa yang dicita-citakan berhasil itu kan asal usul ne bekerja. Cuma

itu toh mba. Gimana caranya hasil taninya itu bagus”

(halaman 30, baris 32)

Ketika melihat orang lain sukses, Ibu Y mencoba mencari tahu bagaimana

caranya agar bisa sukses dan ingin mengikuti cara tersebut agar ia juga bisa mencapai

kesuksesan serupa.

“kalo lihat orang yang sukses yoo gimana, usahanya supaya bisa

sukses…umpamanya seperti orang disini, itu gimana caranya sukses

kalo bertani nanam itu, ah saya ta ikut. Gimana caranya itu ta, biar

sukses seperti itu caranya gimana. “

(halaman 31, baris 20)

Meskipun sudah menunjukkan adanya keinginan kuat untuk mencapai apa

yang ia harapkan, namun Ibu Y tidak mempunyai cara-cara yang spesifik untuk

mengatasi masalah tersebut. Ibu Y tidak berusaha mengatasi kekurangannya dalam

mengatasi tanaman yang sakit. Jadi, dapat dilihat bahwa Ibu Y berjuang mencapai

tujuannya utamanya, yaitu hidup tentram, dengan bekerja keras, meskipun ia tidak

mempunyai cara yang spesifik untuk terus menigkatkan kualitas dirinya. Dari sini

dapat dilihat bahwa karakteristik perseverance sudah muncul meskipun tidak terlalu

kuat.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

54

Universitas Indonesia

Equanimity

Ketika berhadapan dengan rasa takut yang tidak bisa dielakan, Ibu Y

menyikapinya dengan berserah kepada Yang Kuasa. Ia memang berdoa memohon

keselamatan, namun apabila ia memang harus tertimpa bencana, ia menerimanya

dengan rela. Hal ini terlihat dari ketakutannya ketika berada di rumah selama erupsi

Merapi tahun 2010. Ibu Y juga menyikapinya dengan melihat bahaya itu dari segi

lain, dimana biasanya bahaya semacam itu tidak memberikan dampak yang

signifikan.

Pandangan seperti ini menguatkan Ibu Y untuk tetap pada tujuannya yang

semula, yaitu tetap tinggal di rumahnya selama erupsi. Dengan demikian, dapat

dilihat bahwa karakteristik equanimity sudah ada pada Ibu Y karena Ibu Y tidak

hanya fokus pada kesulitan yang ia alami.

Self-reliance

Karakteristik ini belum tergali dari hasil wawancara dengan Ibu Y. Ketika ditanyakan

pertanyaan yang untuk menggali karakteristik ini, Ibu Y tidak bisa menjawab karena

tidak tahu dan tidak memikirkan hal semacam itu.

Existential aloneness

Ketika pemerintah memberitahu bahwa warga harus segera diungsikan, desa

Krinjing menjadi sepi ditinggal penghuninya. Menghadapi hal ini, Ibu Y tetap yakin

pada pendiriannya untuk tinggal di desa Krinjing. Meskipun berbeda dari kebanyakan

orang, bahkan membahayakan nyawanya, Ibu Y tidak terpengaruh dengan orang

banyak tersebut dan tetap tidak meninggalkan desanya. Dari sini dapat dilihat jelas

bahwakarakteristik existential aloneness sudah ada pada Ibu Y.

4.5.2.4. Gambaran Budaya Jawa

Ketika ditanya mengenai pesan-pesan yang diturunkan keluarga mengenai

cara menyikapi Merapi, Ibu Y menceritakan pendapat neneknya. Ketika itu, neneknya

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

55

Universitas Indonesia

menjabat sebagai kepala desa dan melarang warganya untuk mengungsi saat terjadi

erupsi Merapi.

“Mbah saya sini kan dulu itu kan kepala desa sini. Itu kan dulu-

dulunya Mbah saya itu kalo Merapi itu mau meletus, anu, ga boleh

kalo dari.. dari atas itu nyuruh sini harus ngungsi, itu nenek saya ga

boleh. Pokoke, pokoknya semua masyarakat ngumpul disini. Semua..

itu ngumpul disini semua. Berarti itu, waktu nenek saya itu

alhamdulilah aman itu, ga ada apa-apa. Berarti, pokoke.. nenek saya

itu menyarankan gitu, pokokne nganu kalo ada ada, kalo Merapi itu

meletus jangan sampe, jangan mau kalo disuruh ngungsi itu jangan

mau, gitu. Merapi itu memang, Merapi itu apa.. Merapi itu memang

seperti itu kegiatannya, kerjaannya seperti itu.”

(halaman 27, baris 8)

Ibu Y tidak mengetahui alasan neneknya melarang pengungsian warga, yang

ia tahu bahwa neneknya memiliki kemampuan batin yang melebihi orang-orang pada

umumnya. Kelebihan itu membuat neneknya dapat menjaga keamanan desa.

“Y: kalo dulu nenek saya kan dulu, kalo orang kuno toh mba, kalo

orang kuno istilahnya itu kan punya.. opo ya, kelebihan gitu kan.

Kan… opo ya istilahnya itu kan… punya.. nganu apa.. punya

kelebihan batin yang bener-bener lebih.

A: seperti dapat wangsit?

Y: e’em gitu. Kalo memang Merapi itu seperti itu, ngga bisa nganu itu

loh, masyarakat itu loh, masyarakat itu tetep aman. “

(halaman 27, baris 17)

Ibu Y memang tidak mengatakan secara langsung bahwa larangan neneknya

menjadi salah satu faktor yang menyebabkan ia tidak mau mengungsi, tapi peneliti

melihat bahwa faktor ini berkaitan. Mengacu pada Koentjaraningrat (1985) dan

Suseno (1991) yang menyatakan bahwa tempat tinggal merupakan tanah yang perlu

dijaga sebagai warisan nenek moyang, peneliti melihat bahwa alasan ini serupa

dengan keadaan Ibu Y.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

56

Universitas Indonesia

Sejak dulu Ibu Y sudah ditanamkan untuk tidak meninggalkan desa Krinjing.

Hal ini tentunya berpengaruh terhadap pikirannya saat ini. Selain itu, desa yang ia

tinggali sekarang merupakan tanah warisan nenek moyangnya, maka ia bertanggung

Jawab untuk menjaganya.

Meskipun Ibu Y tahu bahayanya tetap tinggal di desa Krinjing selama erupsi

terjadi, ia tetap bersikeras untuk tinggal. Selain karena alasan dari faktor budaya yang

ditinggalkan neneknya, Ibu Y juga menyikapi bahaya itu dengan cara pasrah.

“yoo perasaan yo takut yo tapi mengingat yang dulu itu nda apa-apa.

Saya harus tetap di rumah. Pikiran saya kan seperti itu. hidup mati

nganu apa.. pasrah sama yang kuasa. Kan tetep saya gitu. Kalo

memang saya mau matinya itu kena letusan Merapi ya ngga apa-

apa.Tapi kalo memang masih hidup yo alhamdulilah. Yo memang saya

doanya saya itu tetep saya minta hidup panjang umur yang manfaat”

(halaman 31, baris 29)

Selain itu, Ibu Y mengatakan bahwa terdapat suatu upacara khusus untuk

menyikapi Merapi yang disebut dengan istilah slametan. Selametan ini bertujuan

untuk melindungi warga desa agar terhindar dari letusan Merapi.

“misalnya itu ya, sering itu memang slametan, pakai nganu itu… Nasi

dibuat gunungan itu dihiasi sayuran... Ee kalo.. Merapi itu meletus,

biar masyarakat disini itu kan selamat”

(hal. 28 baris 38; hal. 29 baris 3)

Selain itu, ada orang-orang tertentu yang dapat melihat bahwa lahar dingin

yang keluar dari puncak Merapi bukan semata-mata lahar dingin, tetapi ada sesuatu

yang ikut turun bersamanya, misalnya arak-arakan kesenian, tentara, dan sebagainya.

Hal semacam ini hanya bisa dilhat orang yang memiliki kemampuan khusus seperti

neneknya.

“ada orang-orang, ada yang denger nganu itu, ada.. ee apa, suara itu,

apa.. jantilan. Nganu apa itulah, kesenian-kesenian itu, ada yang tau

arak-arakan itu.. tapi ya kalo saya ini, taunya opo, lahar dingin itu ya

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

57

Universitas Indonesia

air biasa ya itu loh. Tapi kan kalo orang-orang yang.. punya

kelebihan batin itu tau. Tau kalo itu arak-arakan, tentara, atau apa.”

(hal. 29 baris 29)

4.5.3. Partisipan III (Pak D)

4.5.3.1. Gambaran Umum Partisipan

Pak D adalah warga asli desa Krinjing berusia 41 tahun yang sudah tinggal di

desa itu sejak ia lahir. Ia tinggal di rumah miliknya bersama dengan istri, ibu, dan dua

orang anaknya. Rumah yang ditinggali Pak D terbuat dari dinding batu kali dan lantai

semen. Sebagai seorang katolik, Pak D menempelkan salib di bagian atas dinging

ruang tamu. Pak D juga mempunyai kebiasaan untuk meminta tamu yang datang ke

rumahnya untuk mengisi buku tamu.

Kegiatan yang dilakukannya sehari-hari adalah bertani. Selain itu, karena

menjabat sebagai kepala desa, Pak D juga disibukan dengan berbagai kegiatan yang

berkaitan dengan warga, misalnya dengan datang ke balai desa utuk bertemu dengan

aparat desa lainnya guna membicarakan keadaan desa saat itu. Pak D menempuh

pendudukan hingga di bangku SMP. Berdasarkan pengukuran resiliensi dengan alat

ukur CD-RISC 10, Pak D memperoleh skor sebesar 44 yang artinya berada dalam

tingkat sedang.

4.5.3.2. Gambaran Situasi Bencana

Sebagai warga asli Krinjing, Pak D menyatakan bahwa Gunung Merapi

memang sering meletus, namun letusan yang cukup besar dan mengharuskan warga

mengungsi baru terjadi sekitar 3 kali, salah satunya adalah pada tahun 2010, dimana

letusan itu dikatakan sebagai letusan yang sangat besar. Letusan itu telah

mengharuskan ribuan warga untuk mengungsi, termasuk warga desa Krinjing. Ketika

proses pengungsian dimulai, beberapa desa lainnya telah hancur, namun di desa

Krinjing belum ada tanda-tanda kehancuran, hanya sebatas hujan kerikil. Setelah

warga berada di pengungsian, barulah gunung Merapi meletus dengan lebih besar.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

58

Universitas Indonesia

Pak D sendiri merasak takut ketika mengetahui akan terjadi bencana dan

bahwa warga harus dievakuasi. Ketakutan yang dirasakan terkait dengan proses

pengungsian warganya, ia takut kalau proses pengungsian tidak berjalan dengan

lancar, terlebih lagi, ia bingung memikirkan cara yang tepat untuk mengurus

warganya sudah tua dan rentan karena sebagai kepala dusun, ia bertanggung Jawab

atas keselamatan semua warga di dusunnya, yaitu dusun dadapan. Pak D menyatakan

bahwa kebanyakan warga di dusunnya yang sudah tua harus benar-benar mendapat

perhatian karena mereka tidak sanggup mengurus dirinya sendiri. Setelah selesai

mengungsikan warganya, Pak D akhirnya juga ikut tinggal di pegungsian.

Selama berada di pengungsian, Pak D bukan hanya sibuk mengurus

warganya, tetapi juga harus kembali ke desa Krinjing setiap pagi untuk memberi

makan ternak. Hal ini dilakukannya bersama dengan beberapa warga lainnya yang

juga memiliki ternak. Setiap harinya, warga diangkut dengan mobil dari pengungsian

menuju rumah masing-masing, setelah selesai memberi makan ternak, biasanya

sekitar 2 jam, warga kembali ke pengungsian dengan menggunakan mobil yang sama.

Ketika itu, suasana di desa Krinjing sudah berubah. Desa itu sudah tertutup abu,

beberapa pohon sudah tumbang, dan terlihat berbeda dengan keadaan sebelumnya.

Setelah warga diizinkan kembali ke desa Krinjing, kegiatan yang dilakukan Pa

Danar tidak berbeda dengan biasanya. Ia tetap bekerja sebagai petani dan kepala

dusun. Yang dirasa berubah adalah berkurangnya kesuburan tanah karena tertutup

abu. Pak D membersihkannya dan setelah satu tahun, keadaan telah kembali normal.

Selain lahan, Pak D juga kehilangan ternak satu-satunya, serta rumahnya menjadi

kotor karena tertutup abu. meskipun sudah diberi makan setiap hari, namun makanan

yang diberikan kurang memadai karena kotor tertutup abu dan rumput sudah tidak

ada yang segar lagi.

4.5.3.3. Gambaran Resiliensi

Meaningfulness

Menurut Pak D, hal yang paling penting dalam hidup adalah keselamatan,

memiliki banyak saudara (sahabat), dan dekat dengan Tuhan. Selain itu, Pak D juga

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

59

Universitas Indonesia

berharap agar keadaan ekonominya membaik. Meskipun menjabat sebagai aparat

dusun, ia lebih mengharapkan mendapat kekayaan dari hasil pertaniannya. Kekayaan

yang diharapkan ini bukan berarti kaya raya, tetapi hidup berkecukupan dan tidak

kesulitan lagi untuk mebiayai pendidikan anaknya. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini,

Pak D berusaha untuk selalu membantu sesamanya, hal ini dinilai dapat menambah

erat persaudaraan dengan teman-temannya. Untuk memperoleh kekayaaan, Pak D

berusah dengan kerja keras dan doa. Cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut juga

didukung dengan motto hidupnya, yaitu “tidak mudah meyerah.” Dari sini dapat

dilihat bahwa karakteristik meaningfulness yang menjelaskan mengenai makna dan

tujuan hidup sudah ada pada diri Pak D.

Perseverance

Selaku kepala desa, Pak D menceritakan bahwa ia seringkali menjadi

tontonan atau contoh bagi warganya, padahal ia juga seringkali merasa kesulitan

untuk mengatasi masalahnya sendiri.

“…banyak kali ditonton orang banyak, digunakan orang banyak. Tapi

ada kalanya pa danar bertemu dengan kesulitan pribadi aja kadang..

terlalu susah…”

(hal. 44 baris 3)

Selama di pengungsian pun, Pak D disibukan dengan berbagai kegiatan.

Setiap pagi ia pulang ke rumahnya untuk memberi makan ternak, yang pada akhirnya

tetap saja mati. Ia pun mengalami kesulitan karena warganya yang sulit diurus.

Warga dusun dadapan tidak suka bermain dan melakukan aktivitas di luar, mereka

hanya duduk diam saja di dalam pengungsian. Hal ini membuat Pak D bingung

apakah warganya sehat atau tidak. Mereka juga tidak berusaha mengambil makanan

kalau tidak disuguhkan di depan mereka. Selain itu ada juga warganya yang masuk

rumah sakit dan ia harus menungguinya di rumah sakit. Kesibukan ini membuat Pa D

terkadang tidak sempat makan.

Meskipun berhadapan dengan kesulitan dan kesibukan semacam ini, Pak D

tetap bersabar dan menuntaskan tugasnya sebagai kepala dusun sekaligus sebagai

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

60

Universitas Indonesia

petani dan kepala rumah tangga yang baik. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan

hidupnya, yaitu keadaan selamat dan tentram. Ia mengatasi kesulitan-kesulitan yang

ia alami dengan meminta bantuan. Untuk mengurus warga selama di pengungsian, ia

dibantu oleh beberapa rekannya. Ia juga akan berkonsultasi dengan keluarga dan

menerima apa yang sudah terjadi dengan lapang dada.

“cara mengatasi kesulitan ya kita setiap hari banyak.. konsultasi

dengan keluarga. Bagaimana kita menghadapi seperti ini, menerima

dengan lapang dada, dan penuh kesabaran.”

(hal. 44 baris 17)

Apabila kesulitan yang ia alami sulit untuk dibantu pihak luar, ia

mengalihkannya dengan hal lain. Misalnya, ketika sedang merasa bingung atau sulit,

ia pergi bekerja ke ladang. Setelah pulang, keadaan emosionalnya sudah lebih tenang

sehingga akhirnya ia dapat menyelesaikan masalah tersebut.

“Yang penting kalo ada kesulitan itu… kita belum bisa menyelesaikan.

Tapi setelah lewat.. ke ladang, menyelesaikan aktivitas yang lain,

pulang udah, udah merasa terbuka lagi, lebih santai. Selesaikan

dengan sedikit demi sedikit, agar kesulitan nanti bisa.. terselesaikan.

Bisa terselesaikan tapi ngga, ngga menjadi beban, ngga jadi masalah

hati.”

(hal. 44 baris 6)

Meskipun menceritakan banyak kesulitan dan kesibukan seperti ini, Pak D

sama sekali tidak mengeluh dan tetap mengharuskan dirinya untuk hidup selamat dan

tentram dengan menjadi kepala dusun, kepala rumah tangga, serta petani yang baik.

Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik perseverance sudah muncul pada Pak D

karena ia terus berjuang hingga akhir dan tidak dihentikan oleh berbagai kesulitan.

Equanimity

Ketika berhadapan dengan kesulitan, Pak D akan menerimanya dengan lapang

dada. Ia menyikapinya dengan membandingkan kesulitan tersebut dengan kesulitan

orang lain, sehingga ia dapat mensyukuri bahwa kesulitan yang ia alami tidak

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

61

Universitas Indonesia

seberapa dibanding kesulitan orang lain. Dengan begitu, Pak D tidak mengasihani

dirinya, tetapi malah bersyukur dan termotivasi untuk maju.

“kita harus terhibur dengan keadaan teman yang lain. Kadang kita

melihat teman ee.. apa ya.. melihat keprihatinan teman lain… kadang

juga menjadi hiburan kita. Jadi kita bisa.. kita tidak mencari apa ya..

ee jalan keluar untuk kadang melihat teman saja kita kadang sudah

menemukan jalan keluar lain.”

(hal. 44 baris 24)

“yang bapak rasakan kalo temen kita ada yang sawahnya hancur

total, masih bangga, masih bisa bekerja, masih mencari yang lain. kok

saya yang masih bisa kita olah lagi.. jadi kita harus berusaha,

bagaimana kita mencari solusi lain”

(hal. 44 baris 32)

Dari sini dapat dilihat bahwa karakteristik equanimity sudah ada pada Pak D

karena ia tidak fokus pada kemalangan yang menimpanya tetapi ia melihat dari sudut

pandang lain sehingga bisa mengatasinya tanpa beban.

Self-reliance

Menurut Pak D, orang-orang menilainya sebagai orang yang penyabar dan

lebih suka mementingkan kepentingan orang lain dibanding kepentingannya sendiri.

“yaa ada orang yang bilang, pa danar itu terlalu sabar menghadapi

segala hal. Tapi juga pa danar itu juga kuat menghadapi banyak hal.”

(hal. 46 baris 1)

Pak D secara pribadi menyetujuinya dan memang merasa seperti itu.

Berdasarkan keseluruhan hasil wawancara, peneliti juga melihat bahwa Pak D

melalui berbagai kesulitan dalam hidupnya dengan penuh kesabaran. Sebagai kepala

dusun, ia juga telah menunjukkan dengan berbagai kegiatan bahwa ia lebih

mendahulukan kepentingan warga. Contohnya dapat dilihat pada dua karakteristik di

atas. Pak D juga menyatakan bahwa dengan mengurus warga selama di pengungsian,

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

62

Universitas Indonesia

sifatnya berubah menjadi lebih baik. Ia jadi sadar bahwa ia berguna bagi orang

banyak.

“Kita bisa berubah sifat ya. Karena bagaimana kita bisa mengurusi

orang lain. bukan wargaku sendiri ya, tapi bisa melihat ada orang

orang tu membutuhkan tenaga saya, pikiran saya”

(hal. 37 baris 30)

Artinya, ia tidak melewatkan begitu saja pengalaman yang terjadi dalam

hidupnya, tetapi menjadikannya sebagai bekal untuk menjadikan diri semakin

berharga dan semakin baik. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa karakteristik self-

reliance sudah ada pada Pak D karena ia sudah mengenal dirinya dengan baik dan

menjadikan pengalaman dalam hidupnya sebagai bekal untuk menjadikannya

semakin baik.

Existential aloneness

Pak D mengatakan bahwa ia berani untuk mengungkapkan pendapat di depan

umum meskipun pendapat itu berbeda dengan orang lain. Pekerjaannya sebagai

kepala dusun mengharuskannya mempunyai kemampuan semacam ini. Seringkali,

saat melakukan musyawarah dengan warga dusunnya, Pak D mengemukakan

pendapat yang berbeda dengan kebanyakan warganya. Ia berani karena ia mempunyai

alasan yang masuk akal dan bertujuan untuk kepentingan bersama. Misalnya, ketika

warga mengusulkan untuk membangun aula yang besar, Pak D menolaknya karena

keterbatasan biaya. Biaya yang dibutuhkan memang sudah ada, tapi berupa pinjaman.

Pak D menyatakan bahwa lebih baik membangun aula yang lebih kecil dengan uang

warga sendiri ketimbang aula besar dengan menggunakan uang pinjaman karena pada

akhirnya akan memberatkan warga sendiri.

Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik existential aloneness sudah ada

pada Pak D karena Pak D berani untuk tampil berbeda dengan rang di sekitarnya.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

63

Universitas Indonesia

4.5.3.4. Gambaran Budaya Jawa

Menanggapi pertanyaan mengeani pengaruh budaya Jawa yang diwariskan

secara turun temurun, Pak D menyebutkan beberapa hal. Yang pertama, warga

percaya bahwa letusan Merapi dapat dilihat sebagai anugrah karena Merapi bukan

hanya sekedar gunung biasa, namun disana terdapat kota yang kaya dengan segala

kebutuhan manusia yang melimpah. Selain kekayaan material, disana juga terdapat

beragam kesenian, seperti ketoprak, wayang, dan sebagainya. Semuanya ini diketahui

dari “mimpi” atau wangsit yang didapat oleh oran-orang tertentu.

“kalo Merapi itu meletus, ya memang dikatakan itu bencana. Tapi di

satu sisi kalo Merapi meletus itu memang anugerah… Mbah Merapi

tu kan.. banyak leluhur yang lihat.. sering-sering dimimpi… Jadi

disana itu banyak orang. Orangnya ya kaya- kaya. Lembu, sapi ya itu

banyak. Kerbau ya banyak. Pokoknya apa yang di.. dirawat manusia

seperti kambing, ada anjing, ada ayam,ada.. semua kebutuhan yang

dibutuhkan manusia itu ada disana… Itu waktu Merapi meletus itu

kan ada yang lihat ketoprak. Ada wayang kulit. Ada wayang orang.”

(hal. 37 baris 39; hal. 38 baris 44; baris 1; baris 8; baris 15)

Selain itu, warga memiliki kepercayaan bahwa dengan melakukan hal tertentu,

mereka dapat memanggil atau menolak bahaya yang dikeluarkan Merapi. Warga

dibiasakan untuk membuat oncor (obor) ketika Merapi akan meletus. Oncor dianggap

sebagai penolak bahaya dari letusan Merapi. Selain membuat oncor, warga dilarang

untuk membuat kegaduhan dengan berteriak-teriak, memukul kentongan, maupun

menunjuk jari ke arah Merapi. Hal ini dianggap memanggil bahaya yang dikeluarkan

Merapi.

“Warga itu, kalo Merapi mau meletus itu kadang cuman dikasi saran

buat oncor. Oncor itu penolak.. Jadi kalo ee disini ada oncor,

Merapi meletus kan udah.. sini kan udah ada temen. Ga berani lewat.

Cari yang lain... Dengan syarat, kalo Merapi mau meletus itu,

warganya ngga boleh berteriak-teriak. Ga boleh ngacung-ngacung

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

64

Universitas Indonesia

jari... nda boleh ngetuk kentongan... Ngga boleh mengeraskan suara

pake pengeras. Ngga boleh. Karena dikatakan memanggil. Kentongan

itu dikatakan ada teman yang manggil.”

(hal. 40 baris 21; baris 33)

Kepercayaan-kepercayaan semacam ini masih sangat melekat pada warga

desa Krinjing dan masih dilakukan setiap kali Merapi akan meletus. Pa Danar sendiri

mempercayainya dan menyatakan bahwa hal itu benar-benar berpengaruh.

“Ya tapi memang bentul kok. Jadi itu meletus, udah mau

mengarah kesini, udah ada api-api itu. uda ada oncor kan, di

langsung pindah”

(hal. 40 baris 29)

Selain dengan melakukan kegiatan-kegiatan seperti di atas, Pak D mempunyai

bekal dari dalam diri untuk menyikapi bahaya Merapi tersebut. Sebagai orang Jawa,

Pak D tidak hanya melihat Merapi sebagai gunung yang berbahaya, ia tidak

menjadikannya sebagai musuh, tetapi melihatnya sebagai “sahabat.” Ia melihat bahwa

tanah di sekitar Merapi itu subur. Dengan melihat dari sudut pandang ini, Pak D dapat

menjadikan Merapi sebagai sahabat

Pandangan seperti ini juga didukung dari segi agama, Pak D juga percaya

bahwa doa kepada yang Kuasa akan menghindarkannya dari bencana. Sekitar tahun

2000, desa Krinjing pernah terancam bahaya letusan Merapi. Seorang Pastor

mengajak warganya berdoa bersama di tengah desa untuk memohon perlindungan.

Doa tidak hanya terbatas untuk yang beragama katolik, tetapi seluruh warga diajak

untuk berdoa. Akhirnya, desa Krinjing selamat dari bahaya. Dari kejadian ini, pastor

juga mengajarkan bahwa Merapi tidak seharusnya ditakuti, tetapi disyukuri. Warga

harus menyayangi dan jangan merusak alam di sekitar Merapi. Ketika ada orang yang

berniat mengeruk kekayaan pribadi dari alam Merapi (melakukan penambangan

besar), Merapi akan merasa kesakitan dan marah. Kemarahannya dikeluarkan dalam

bentuk letusan.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

65

Universitas Indonesia

4.5.4. Partisipan IV (Pak S)

4.5.4.1. Gambaran Umum Partisipan

Pada mulanya, peneliti berencana untuk mewawancara Ibu S (istri Pak S).

Wawancara telah berlangsung selama kurang lebih 30 menit hingga akhirnya Pak S

datang dan membantu Ibu S yang terlihat kesulitan menJawab beberapa pertanyaan.

Karena data yang diperoleh dari Ibu S kurang memuaskan, akhirnya peneliti

memutuskan untuk mengganti partisipan menjadi Pak S.

.Pak S adalah warga desa Krinjing yang berusia 42 tahun dan tinggal berlima

dengan istri dan ketiga anaknya di rumah miliknya. Ia sudah tinggal di desa itu sejak

lahir. Saat ini, selain bekerja sebagai petani dan peternak dengan 1 ekor ternak, ia

juga menjabat sebagai kepala dusun di dusun tempat tinggalnya, yaitu dusun Kepil.

Pak S menempuh pendidikan hingga bangku SMA dan beragam islam. Berdasarkan

pengukuran resiliensi dengan menggukana CD-RISC 10, Pak S memperoleh skor

sebesar 38 yang artinya berada dalam tinkat sedang.

4.5.4.2. Gambaran Situasi Bencana

Ketika mengetahui akan terjadi erupsi Merapi, Pak S merasa takut. Yang

paling ia takuti adalah awan panas yang dapat membunuh apapun yang dilewatinya.

Persiapan yang dilakukan untuk menanggapi hal ini adalah mempersiapkan

pengungsian untuk warga dan untuk keluarganya sendiri. Pak S mulai tinggal di

pengungsian ketika telah selesai mengurus pengungsian warga.

Pak S merasa bahwa pengungsian pada tahun 2010 dapat menambah rasa

persaudaraan, bukan hanya dengan warga dusun kepil, tapi juga warga lainnya yang

sama-sama tinggal di pengungsian. Pak S juga merasa terkesan dengan tanggapan

pemerintah di daerah pengungsian. Ia merasa diperlakukan sama dan tidak ada

diskriminasi atau pembeda-bedaan.

Selama berada di pengungsian, setiap harinya Pak S kembali ke rumah untuk

memberi makan ternak. Ketika itu, suasana di desa sudah berubah. Pohon sudah

tumbang, ladang dan rumah juga sudah tertutup abu. Pak S menyatakan bahwa ia dan

warga lainnya merasa takut bahkan untuk masuk ke rumahnya sendiri.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

66

Universitas Indonesia

Setelah keadaan dinyatakan aman dan warga sudah kembali ke desa Krinjing,

lahar dingin mulai turun melewati sungai yang membatasi dusun kepil dengan dusun

lainnya. Turunnya lahar dingin memang tidak membahayakan warga secara langsung,

tetapi mengikis permukaan sungai dan merusak jembatan aspal yang merupakan jalan

penghubung satu-satunya antara dusun kepil dengan dusun lainnya. Hal ini

menyebabkan warga dusun Kepil terisolasi selama beberapa saat. Akhirnya warga

bergotong royong untuk membangun jembatan itu kembali, bedanya, jembatan

pengganti yang dibangun adalah jembatan bambu, bukan jembatan aspal.

4.5.4.3. Gambaran Resiliensi

Meaningfulness

Menurut Pak S, hal yang terpenting dalam hidupnya adalah ketentraman yang

juga disokong dengan keadaan ekonomi yang lebih baik agar bisa menyekolahkan

anak dengan lancar. Ia tidak berharap memiliki kekayaan yang berlimpah, tapi hanya

sebatas cukup atau tidak kesulitan. Hal ini juga menjadi tujuan dalam hidupnya. Cara

untuk mencapainya adalah dengan menciptakan keharmonisan dalam kelurga terlebih

dahulu, maka semuanya akan menjadi lebih mudah. Pak S menyatakan bahwa

kericuhan dalam keluarga akan menjadi hambatan untuk mencapai tujuan. Peneliti

melihat bahwa Pak S mempunyai tujuan dalam hidupnya, yang artinya karakteristik

ini sudah muncul.

Perseverance

Kesulitan yang dialami Pak S untuk mencapai tujuan hidupnya adalah karena

masalah ekonomi dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah terkait

dengan ladangnya. Selain itu, pasca erupsi Merapi, Pak S juga mengalami kesulitan

karena ladangnya rusak tertutup abu. Meskipun berhadapan dengan kesulitan

semacam ini, Pak S mempunyai prinsip bahwa ia harus terus bekerja sebaik-baiknya.

“…saya bekerja tidak pandang menyerah mba. Apa yang sudah jadi

pengalaman saya bertani ya harus melanjutkan bertani lagi. Kalo ada

apa-apa, Merapi itu lagi, ya tinggal menjauh itu ya. Pekerjaan tidak

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

67

Universitas Indonesia

pandang menyerah itu. semampu saya. Pekerjaan saya bertani,

kemampuan saya bertani, ya saya melakukan itu sebaik mungkin.”

(hal. 65 baris 21)

Namun prinsip untuk bekerja sebaik-baiknya ini tidak disokong dengan usaha

tertentu agar ia dapat meningkatkan pengetahuannya dan menjadi petani yang

semakin maju. Dari pernyataan Pak S di atas, karakteristik perseverance sudah

muncul, meskipun belum terlalu kuat, karena ia mau berusaha sebaik-baiknya demi

mewujudkan hidup tentram.

Equanimity

Ketika berhadapan dengan bencana erupsi Merapi, Pak S mengalami beberapa

kerugian, misalnya ladangnya menjadi rusak dan ia harus merehabilitasinya. Sebagai

warga asli Krinjing, bencana semacam ini tentunya sudah dialami berkali-kali oleh

Pak S. Meskipun demikian, Pak S tidak merasa dirugikan karena ia melihat hidup

seperti ini masih lebih baik ketimbang harus memulai kehidupan dari awal di tempat

baru yang tidak terpapar bahaya Merapi. Ia berpendapat bahwa ketika erupsi terjadi,

warga tinggal menjauhinya dan kembali lagi ketika keadaan sudah aman. Pak S

menyatakan bahwa Merapi memang dapat dikatakan sebagai bencana, tetapi tidak

bisa dipungkiri juga bahwa kehidupan warga Krinjing memang berdampingan dengan

bencana. Hal yang terpenting adalah bagaimana menyikapinya agar bencana itu tidak

terlihat menyulitkan.

“Hidup warga disini, hidup..hidup berdampingan dengan bencana.

Daridulu sampai sekarang hidupnya berdampingan dengan bencana.

Tapi bagaimana menyikapi bencana itu”

(hal.63 baris 26)

Dari pernyataan ini dapat dilihat bahwa karakteristik equanimity sudah

muncul karena Pak S tidak hanya fokus pada kesulitan yang ia alami, tetapi mencoba

melihat sisi positif dari kesulitan itu.

Self-reliance

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

68

Universitas Indonesia

Pak S sudah mengetahui keterbatasan dalam dirinya. Ia menyadari bahwa

kemampuan dan pengetahuannya untuk mengatasi masalah di bidang pertanian masih

kurang. Namun ia tidak punya cara-cara khusus untuk mengatasinya dan tidak

menunjukkan adanya usaha untuk belajar dari pengalaman bertaninya. Meskipun

demikian, ia tetap yakin bahwa ketika ia bekerja dengan sungguh-sungguh, maka

hasil yang baik akan datang. Dari sini, peneliti melihat bahwa karakteristik self-

reliance sudah muncul pada Pak S, meskipun belum terlalu kuat.

Existential aloneness

Pak S menyatakan bahwa ia adalah orang yang berani mengumukakan

pendapat di depan umum, meskipun pendapat itu bertentangan dengan orang lain. Ia

memberikan contoh ketika melakukan rapat atau musyawarah dengan warga

dusunnya, dimana ia berani menentang keinginan warganya karena keinginan itu

dirasa akan merugikan pihak lainnya. Pak S tidak merasa takut atau malu untuk

mengeluarkan pendapat yang berbeda ini selama ia tahu jelas bahwa alasan ini

bertujuan untuk kepentingan bersama. Dari sini, peneliti melihat bahwa karakteristik

existential aloneness sudah muncul pada Pak S karena ia percaya pada pendapatnya

sendiri dan tidak terpengaruh pada pendapat orang-orang pada umumnya.

4.5.4.4. Gambaran Budaya Jawa

Terkait dengan budaya Jawa, warga desa Krinjing punya beberapa

kepercayaan dan pantangan untuk menyikapi bencana dari Merapi. Mereka percaya

bahwa mereka tidak boleh mengeluarkan suara keras-keras menggunakan sirine atau

pengeras suara, ataupun berteriak-teriak. Mereka juga pantang mengetuk kentongan,

menepuk tangan keras-keras, maupun menunjuk ke arah Merapi dengan jari atau

senter. Hal ini dianggap dapat memanggil bahaya tersebut.

“Kalau Merapi itu sudah bergerak, itu orang Jawa dibilang tidak

boleh, ngga boleh dilewatkan lewat pengeras atau sirine atau

kentongan… ga boleh nganu ngetok kentongan ga boleh,

membunyikan suara yang keras itu ngga boleh, pakai speaker di

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

69

Universitas Indonesia

masjid itu juga ga boleh…. Kalau itu dikentongi, walaupun, katanya,

yang sudah tau sudah pernah terjadi itu, wedhus gembel sudah mau

lewat tapi ini ngetok kentongan, itu akan kembali. Jatuhnya kan disini,

tidak jadi kesana. Itu sudah pernah terjadi tu mba, bener-bener

terjadi…. tidak boleh keplok-keplok, tepuk tangan tidak boleh. Bilang..

apa.. pakai jari (sambil menunjukkan jarinya) gitu gitu, itu tidak

boleh, apalagi pakai batere senteri apinya itu tidak boleh. Nanti ada

seperti.. apa.. seperti pecut yang.. kilat, nah kilat itu.”

(hal. 57 baris 30; hal. 58 baris 23)

Selain pantangan, warga juga sering mengadakan ritual atau upacara tertentu

untuk menangkal bahaya dari Merapi, misalnya dengan slametan. Ritual yang

dilakukan berbeda-beda, tergantung dari “mimpi” atau wangsit yang diterima.

Wangsit ini disampaikan melalui mimpi kepada orang-orang tertentu dan orang yang

mendapat wangsit tersebut harus memberitahukannya kepada orang-orang di

sekitarnya agar semua dapat selamat.

“menerima wangsit itu loh mba, itu harus selamatan minta apa, minta

apa itu loh mba.”

(hal. 59 baris 14)

“Ada orang yang, kadang-kadang ada orang tua yang bilang.. mimpi

itu loh mba. Mimpi dan bisik dari yang kuasa, katanya Merapi itu

akan bekerja…. Iya, jadi kenyataan… yang menerima wangsit itu loh

mba, itu harus selamatan minta apa, minta apa itu loh mba. Katanya

kan kalo permintaan itu lewat mimpi itu yo mba, itu bisa diwujudi,

dilaksanakan, minta apa itu harus dilaksanakan. Kalo minta yang..

biasa-biasa itu… tapi tidak sama ama yang kemarin ya. Besok-besok

itu ga sama. Mintanya apa, lewat mimpi itu, nanti dilaksanakan….

kalo katanya orang Jawa itu, harus ada tumbal. Tumblanya itu pakai..

opo.. daun kelapa, yang daun kelapa masih muda itu loh… Kalo sudah

memasang ini, tidak.. tidak apa.. kena. Kalo abunya tetap kena, tapi..

kebanyakan selamat, gitu.”

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

70

Universitas Indonesia

(hal. 58 baris 11; hal. 50 baris 14; baris 18; baris 30)

Kepercayaan warga semacam ini disebabkan karena apa yang keluar dari

Merapi dianggap tidak hanya benda mati, tetapi ada yang menemani atau menguasai.

Hal ini dilihat dari, misalnya,terdapat iring-iringan pengantin bersamaam dengan

turunnya lahar dingin. Hal-hal yang dilarang atau harus dilakukan tadi dianggap

berkomunikasi dengan sosok yang menemani Merapi tersebut. Pak S secara pribadi

mempercayai dan melakukan kebiasaan ini. Ia menyatakan bahwa dengan

menjalankan hal-hal tersebut, ia jadi terhindar dari bahaya.

Selain kepercayaan yang terkait dengan Merapi, Pak S juga menjelaskan

bahwa kebiasaan gotong royong masih dijalankan di desa Krinjing. Misalnya, ketika

terjadi kerusakan akibat erupsi Merapi, warga bergotong royong untuk memperbaiki

kerusakan tersebut. Pak S sendiri sering terlibat dalam kegiatan ini. Ketika

diwawancara, Pak S baru kembali dari kegiatan gotong royong membangung jalan.

Budaya semacam ini membuat warga tidak perlu mengatasi kesulitan yang

mereka alami sendiri. Dari sini peneliti melihat bahwa budaya-budaya semacam ini

dapat menjadi protective factor karena meskipun terdapat situasi yang menyulitkan,

warga tidak mengatasinya sendirian, tetapi dibantu oleh warga lainnya. Warga juga

punya kebiasaan untuk melakukan hal-hal terntentu yang dipercaya ampuh untuk

menangkal bahaya dari Merapi.

4.6.Analisis Inter Kasus

4.6.1. Gambaran situasi bencana

Hasil wawancara terhadap keempat partisipan menunjukkan bahwa erupsi

Merapi merupakan hal yang sudah sering dialami warga desa Krinjing. Erupsi ini

terjadi sekitar 5-10 tahun sekali dengan skala letusan yang berbeda-beda. Erupsi yang

paling besar yang dirasakan partisipan adalah erupsi pada tahun 2010. Erupsi ini

membuat warga harus mengungsi sampai dua kali dengan jarak sejauh 20 km dari

desa Krinjing.

Pasca erupsi, desa krinjing mengalami perubahan suasana yang cukup besar.

Perubahan ini disebabkan karena tebalnya abu yang menutupi desa Krinjing.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

71

Universitas Indonesia

Meskipun tidak memakan korban jiwa, semua warga yang memiiki ladang

mengalami kerugian karena rusaknya ladang mereka. Mereka juga harus

mengeluarkan tenaga ekstra untuk membersihkan rumah dan ladang yang kotor

tertutup abu dan membetulkan kerusakan di rumah. Terkait dengan ternak, Pak D

kehilangan satu-satunya ternak miliknya, Pak Y dan Pak S merasa bahwa

perkembangan ternak mereka jadi terhambat karena tidak mendapat makanan yang

cukup, sedangkan Ibu Y memang tidak memiliki ternak.

Perasaan keempat partisipan ketika mengetahui akan terjadi bencana adalah

takut, meskipun dengan alasan yang berbeda-beda. Bapak Y dan Ibu Y merasa takut

dalam tingkat yang rendah karena sudah terbiasa mengalaminya dan biasanya tidak

terjadi hal yang mengerikan. Di lain pihak, Pak D merasa takut bahwa proses

pengungsian yang akan dipimpinnya tidak berjalan dengan lancar. Pak S merasa takut

terhadap awan panas mengingat panasnya yang dapat membunuh apapun yang

dilewati.

Persiapan yang dilakukan partisipan rata-rata sama, mengingat tiga

diantaranya menjabat sebagai aparat desa (Pak Y, Pak S, Pak D), yaitu melakukan

hal-hal yang berkaitan dengan proses pengungsian warga. Sedangkan Ibu Y selaku

warga yang tidak mengungsi menyatakan bahwa ia tidak melakukan persiapan apa-

apa.

Kegiatan yang dilakukan partisipan sehari-hari selama di pengungsian adalah

mengurus warga sekaligus bersosialisasi dengan mereka. Setiap paginya, Pak S dan

Pak D kembali ke desa Krinjing untuk memberi makan ternak. Kegiatan ini dilakukan

oleh kebanyakan warga yang memiliki ternak, kecuali mereka yang tidak punya uang

untuk biaya transportasi. Karena rumput di desa Krinjing sudah tertutup abu,

akhirnya warga Krinjing memberikan batang pisang sebagai pengganti. Hal ini

menyebabkan pertumbuhan ternak terhambat, atau bahkan mati.

Selama berada di pengungsian, Pak Y, Pak S, dan Pak D menyatakan bahwa

hal yang paling berkesan adalah bertambahnya rasa persaudaraan antar sesama warga

karena hampir semua kegiatan dilakukan bersama. Untuk makanan, warga juga

mendapat bantuan dalam jumlah yang sangat mencukupi. Sedangkan Ibu Y yang

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

72

Universitas Indonesia

tinggal di rumah merasa sepi dan sedih, meskipun di satu sisi ia juga senang karena

adanya bantuan makanan dari para relawan. Dari sini dapat dilihat bahwa jumlah

relawan dan bantuan bagi korban bencana sudah mencukupi.

4.6.2. Gambaran Resiliensi

Meaningfulness

Dari hasil wawancara, keempat partisipan menunjukkan sudah adanya makna

dalam hidup mereka. Keempatnya memiliki tujuan hidup utama yang sama, yaitu

keselamatan dan ketentraman atau kedamaian dalam hidup. Salah satu bentuk

ketentraman itu, menurut Bu Y, Pak D, dan Pak S, dapat dicapai melalui keberhasilan

pertanian. Pak D dan Pak S memberi contoh bahwa dengan keberhasilan pertanian,

mereka dapat membiayai sekolah anaknya dengan mudah. Hal semacam ini dapat

membantu terwujudnya ketentraman dalam hidup mereka. Terkait dengan faktor

ekonomi, Pak Y tidak mengatakan hal seperti yang diungkapkan ketiga partisipan

lainnya. Peneliti melihat hal ini disebabkan karena keadaan ekonomi Pak Y yang

sudah cukup baik. Terlihat dari rumah Pak Y yang cukup bagus ketimbang rumah

warga pada umumnya, terutama ketiga partisipan yang diwawancara. Untuk itu, hal

yang ia lakukan untuk mencapai keadaan selamat adalah dengan tidak mudah

menghakimi orang lain, sehingga tidak mudah terjadi pertengkaran dan dapat hidup

dengan damai.

Selain itu, tiga dari empat partisipan, yaitu Pak Y, Ibu Y dan Pak D

menyatakan bahwa kedekatan dengan Tuhan juga merupakan tujuan atau hal yang

paling penting dalam hidup mereka. Karena adanya makna hidup ini, peneliti melihat

bahwa karakteristik meaningfulness sudah muncul.

Perseverance

Hasil wawancara menunjukkan bahwa keempat partisipan menunjukkan

munculnya karakteristik ini. Meskipun berhadapan dengan kesulitan, namun mereka

tetap gigih dan berjuang mengatasi kesulitan tersebut agar mencapai tujuan yang

diharapkan, yaitu hidup selamat dan tentram. Karakteristik ini juga terlihat jelas dari

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

73

Universitas Indonesia

keinginan warga untuk tetap tinggal di desa Krinjing. Meskipun erupsi sering terjadi

dan ada wacana dari pemerintah untuk relokasi, warga tetap berpegang teguh pada

pendirian semula, yaitu tinggal di desa Krinjing.

Equanimity

Untuk menyikapi berbagai kesulitan yang terjadi dalam hidup, keempat

partisipan dapat melihat kesulitan itu dari sudut pandang yang berbeda. Karakteristik

ini merupakan karakteristik yang peling jelas dimunculkan pada keempat partisipan.

Mereka tidak fokus pada masalah yang dialami, tetapi memandangnya dengan cara

yang berbeda sehingga kesulitan itu tidak lagi sesulit yang kelihatannya. Pak Y dapat

menyikapi Merapi yang berbahaya dengan memandangnya sebagai sahabat karena

suburnya lahan di sekitar Merapi. Ibu Y dapat mengatasi rasa takutnya atas bahaya

dari Merapi dengan berdoa dan berserah pada Yang Kuasa. Pak D dapat mensyukuri

kesulitan yang ia alami karena kesulitan tersebut tidak seberapa jika dibandingan

dengan kesulitan orang lain. Pak S melihat kerugian akibat bencana Merapi lebih baik

ketimbang ia harus pindah ke lokasi yang baru. Dengan memiliki cara pandang yang

seperti ini, mereka dapat menembus kesulitan tersebut dan terus maju menuju apa

yang mereka harapkan. Keempat partisipan sudah menunjukkan munculnya

karakteristik equanimity.

Self-reliance

Dari hasil wawancara dapat dilihat bahwa tiga partisipan telah menunjukkan

adanya pengetahuan mengenai kemampuan diri sendiri. Mereka menyadari

kekurangan mereka dan tahu kapan harus mencari bantuan dari pihak luar. Pak Y dan

Pak D juga menunjukkan adanya pembelajaran dari pengalam hidup mereka. Mereka

tidak hanya melewatkan begitu saja, tetapi menjadikannya sebagai bekal untuk

menjadi semakin baik. Sedangkan Pak S belum menunjukkan adanya sikap untuk

belajar dari pengalaman hidup mereka, meskipun sudah mengetahui keterbatasan diri.

Di lain pihak, karakteristik ini belum tergali pada Ibu Y.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

74

Universitas Indonesia

Existential aloneness

Peneliti melihat bahwa keempat partisipan sudah menunjukkan adanya

karaktristik existential alonenss. Pak Y, Pak S, dan Pak D secara langsung

menyatakan bahwa mereka berani mengemukakan pendapat yang berbeda di muka

umum meskipun pendapat itu bertentangan dengan pendapat orang lain. Sedangkan

Ibu Y tidak menyatakannya secara langsung, namun hal ini terlihat dari keinginannya

untuk tetap tinggal di desa sementara warga lainnya pindah ke pengungsian. Ibu Yuli

menunjukkan bahwa dirinya berbeda dengan orang lain.

Pak S memberikan contoh ketika di desanya sedang terjadi musyawarah

mengenai setuju tidaknya jalan desa dilewati kendaraan besar untuk membangun

jembatan. Kebanyakan warga mendukung pendapat ini, namun Pak S berani

menolaknya karena jalan yang dilewati kendaraan tersebut akan rusak dan malah

membahayakan warga, terutama ketika warga melewatinya dengan sepeda motor. Pak

D juga memberi contoh ketika warga dusunnya ingin membangun sebuah aula yang

besar. Pak D menolaknya karena aula yang besar membutuhkan biaya yang juga

besar, meskipun dana tersedia dari pinjaman, tapi Pak D merasa lebih baik

membangun aula kecil menggunakan uang warga sendiri. Pak S pun menyatakan hal

yang sama. Ia sama sekali tidak takut atau malu untuk mengemukakan pendapat yang

berbeda, meskipun juga ia tidak akan marah apabila pendapatnya tidak diterima.

4.6.3. Gambaran Budaya Jawa

Dari hasil wawancara terhadap empat orang partisipan, peneliti melihat bahwa

hal yang paling mendasari kehidupan mereka adalah kehidupan yang tentram,

selamat, dan damai. Tujuan ini membuat mereka dapat menyikapi berbagai masalah

dengan cara yang baik. Hal ini diwujudkan melalui beberapa cara yang akan

dijabarkan di bawah ini.

Para partisipan menjelaskan bahwa di desa mereka masih sering diadakan

kegiatan gotong royong. Hal ini dilakukan baik untuk membantu kepentingan pribadi

warga, maupun yang bertujuan untuk kepentingan seluruh desa. Kegiatan gotong

royong ini misalnya dilakukan pasca erupsi Merapi untuk memperbaiki berbagai

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

75

Universitas Indonesia

kerusakan, dimana kegiatan ini dirasa sangat membantu ketika mereka berada dalam

kesulitan.

Terkait dengan Gunung Merapi, warga desa krinjing mempunyai beberapa

pantangan dan ritual tertentu untuk menyikapinya. Kebiasaan semacam ini

diwariskan secara turun temurun dan masih dilakukan hingga saat ini. Dengan

melakukan hal-hal ini, warga percaya bahwa mereka akan terhindar dari bencana.

Ritual yang biasa dilakukan dikenal dengan istilah slametan. Ritual ini diadakan

sebagai doa memohon keselamatan agar warga terhindar dari bencana. Sedangkan

mengenai pantangan, keempat partisipan menyatakan bahwa ketika terjadi letusan

Merapi, warga dilarang untuk mengeluarkan suara keras-keras, baik berteriak,

menggunakan pengeras suara, memukul kentongan, ataupun bertepuk tangan. Warga

juga tidak boleh menunjuk ke arah Merapi maupun menyorot Merapi dengan senter.

Hal-hal semacam ini dianggap dapat memanggil bahaya yang dikeluarkan Merapi.

Selain itu, warga dibiasakan untuk membuat oncor (obor) di sepanjang jalan desa

untuk menangkal api dari Merapi. Warga percaya bahwa api dari Merapi tidak akan

mendatangi daerah yang sudah dipasang obor karena Merapi merasa sudah ada teman

(api) yang berada disana sehingga ia tidak perlu lagi datang.

Dari hasil wawancara juga diketahui bahwa warga menyebut Merapi dengan

sebutan Mbah-ne (arti: kakek atau nenek) sebagai bentuk penghormatan. Mengacu

pada Suseno (1991) yang menyatakan mengenai adanya prinsip hormat dalam budaya

Jawa, sebutan Mbah-ne merupakan salah satu bentuk perwujudan prinsip hormat ini.

Ketika mengalami kerugian akibat letusan Merapi, warga melihatnya sebagai rezeki

yang diminta oleh Mbah-ne ketimbang sebuah malapetaka. Mereka juga cenderung

melihat letusan Merapi sebagai anugerah karena mereka percaya bahwa disana

terdapat kota yang penuh dengan kekayaan. Cara pandang seperti ini membuat warga

dapat memandang kerugian akibat erupsi Merapi dari sudut pandang yang lebih baik,

sehingga akhirnya kerugian tersebut tidaklah menjadi suatu kemalangan.

Cara pandang seperti ini juga dilihat dari sikap yang melekat pada masyarakat

Jawa, yaitu rela, nrima, dan sabar. Dengan sikap rela untuk memberikan bagian

rezeki kepada Merapi, warga pun dapat nrima keadaan tersebut dengan lapang dada.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

76

Universitas Indonesia

Sikap rela dan nrima ini pada akhirnya akan mendatangkan rasa sabar untuk

menghadapi segala sesuatu dan menyadari bahwa segala sesuatu akan menjadi baik

pada waktunya. Hal ini terlihat dari kesabaran warga desa Krinjing untuk menunggu

pulihnya keadaan desa mereka setelah erupsi terjadi. Meskipun dapat memakan

waktu hampir satu tahun untuk memperbaiki segala kerusakan yang ada, warga

memiliki kesabaran untuk menunggu tibanya saat itu.

Yang perlu diperhatikan disini, sikap nrima pada orang Jawa, termasuk

partisipan penelitian, bukan berarti menelan apa adanya suatu keadaan secara pasrah,

tetapi lebih kepada bagaimana cara menyikapi keadaan tersebut dengan tidak

membiarkan diri hancur. Warga desa Krinjing membuktikannya dengan tidak

menerima secara pasrah begitu saja, tetapi dengan menciptakan kepercayaan dan

kebiasaan tertentu agar kesulitan yang dialami tidak lagi terlihat menyulitkan seperti

pada awalnya. Kepercayaan-kepercayaan pada warga desa Krinjing terlihat seperti di

bawah ini.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa warga desa Krinjing percaya bahwa di

Merapi terdapat kehidupan yang tidak kasat mata. Hal ini terlihat dari: orang-orang

tertentu yang melihat iring-iringan pengantin turun dari puncak Merapi, melihat

sebuah kota yang kaya di Merapi, merasa jiwanya dipanggil ke Merapi sementara

raganya tetap di desa Krinjing, dan lain-lain. Mereka juga percaya bahwa melalui

mimpi yang disampaikan kepada orang-orang tertentu, roh yang mendiami Merapi

sedang berkomunikasi dengan mereka. Karena itu, apa yang diperintahkan melalui

mimpi ini biasanya ditaati atau dilakukan. Kepercayaan-kepercayaan seperti ini

membantu mereka memperoleh ketenangan dan mendapat jawaban atas apa yang

tidak bisa mereka kontrol.

Untuk mengurangi dampak bahaya dari erupsi Merapi yang sering terjadi,

warga juga sering mengadakan ritual atau upacara khusus. Hal yang paling sering

dilakukan adalah ritus slametan, dimana warga menyediakan nasi tumpeng yang

dihiasi sayur-sayuran. Nasi ini kemudian didoakan lalu dimakan bersama. Selain itu,

biasanya terdapat ritual tertentu yang harus dilakukan berdasarkan mimpi yang

didapat orang-orang tertentu, misalnya memasang janur kuning di depan pintu rumah.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

77

Universitas Indonesia

Ritual semacam ini berfungsi sebagai doa untuk memohon keselamatan agar warga

terhindar dari bencana erupsi Merapi, yang pada akhirnya akan memberikan

ketenangan dalam batin mereka karena merasa selamat.

Kepercayaan akan adanya sosok yang mendiami Merapi serta diadakannya

ritual-ritual seperti slametan menunjukkan bahwa pendapat yang diungkapkan

Suseno (1991) dan Geertz (1960) mengenai orang Jawa yang tergantung dengan alam

gaib memang benar adanya. Warga desa Krinjing tahu bahwa letusan gunung Merapi

tidak mungkin dihilangkan atau dikontrol dengan usaha manusia, oleh sebab itu

mereka menggantungkan diri kepada kuasa yang berada di luar diri mereka, yang

juga berkomunikasi kepada mereka melalui mimpi atau wangsit.

Peneliti melihat bahwa cara-cara menyikapi Merapi seperti ini memiliki

kontribusi terhadap kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi. Ketimbang

melihat Merapi sebagai Gunung berapi yang berbahaya, masyarkat Jawa

menyikapinya dengan cara pandang yang berbeda sehingga mereka dapat tetap

bertahan dan bangkit kembali setelah mengalami dampak bencana erupsi Merapi.

Tabel 4.10. Ringkasan hasil wawancara

Pak Y Ibu Y Pak D Pak S Budaya Jawa

Meaning

fulness

Tujuan:

hidup damai

dan penuh

rasa syukur

Tujuan:

hidup

tentram dan

segala tujuan

dapat

tercapai

(misalnya

dengan

hidup

berkecukupa

n karena

hasil panen

baik), serta

ibadah yang

kuat kepada

Tuhan.

Hal

terpenting:

keselamatan

, banyak

saudara

(sahabat),

dan dekat

dengan

Tuhan

Hal

terpenting:

ketentraman

yang juga

disokong

dengan

keadaan

ekonomi

yang tidak

kurang.

Budaya Jawa

yang

menekankan

pada keadaan

slamet

menjadi

landasan bagi

keempat

partisipan

untuk

menentukan

tujuan atau

hal yang

paling

penting

dalam hidup

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

78

Universitas Indonesia

mereka.

Persever

ance

Meski

Merapi

sering

meletus,

Pak Y tetap

bertahan

pada

tujuannya,

yaitu tinggal

di desa

Krinjing

Bekerja

keras sebaik-

baiknya agar

hasil panen

baik dan

dapat hidup

tentram.

Mengatasi

kesulitan

dan

kesibukan

yang ia

alami

dengan

berbagai

cara agar

dapat

mencapai

tujuannya

semula,

yaitu hidup

damai dan

tentram.

Meskipun

berhadapan

dengan

kesulitan,

Pak S tetap

mempunyai

semangat

untuk

bekerja

sebaik-

baiknya

agar tujuan

atau hal

terpenting

dalam

hidupnya

bisa

tercapai.

Budaya

gotong

royong

membantu

partisipan

untuk

merehabilitas

i desa agar

kembali rapi

dan dapat

hidup

tentram.

Para partisipan juga merasa terbantu dengan adanya

gotong royong untuk mengatasi masalah sehingga dapat

terus maju mencapai apa yang diharapkan.

Equanim

ity

Melihat

Merapi

bukan

sebagai

bencana,

tetapi

sebagai

sahabat.

Kerugian

pasca erupsi

bukanlah

masalah

karena

lama-

kelamaan

akan pulih

kembali

Tidak fokus

pada

ketkutan

yang

dialami,

tetapi

berserah

kepada

Tuhan.

Apabila

Tuhan mau

mengambil

nyawanya

pun tidak

apa-apa.

Tidak fokus

pada

kesulitan

yang

dialami,

tetapi malah

bersyukur

karena

kesulitan itu

ternyata

masih lebih

ringan

dibanding

kesulitan

orang lain.

Menyadari

bahwa

hidup di

desa

Krinjing

memang

tidak

mungkin

lepas dari

bencana,

tetapi yang

penting

adalah

bagaimana

menyikapin

ya. Hidup

seperti itu

masih bisa

disyukuri

karena

hanya perlu

memperbaik

Sikap rela,

nrimo, dan

sabar pada

orang Jawa

sangat

mendukung

munculnya

karakteristik

ini karena

membuat

orang Jawa

menerima

keadaan yang

sulit.

Kepercayaan

terhadap

alam gaib

(kuasa di luar

manusia)

juga

mendukung

terbentuknya

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

79

Universitas Indonesia

i kerusakan,

bukan

memulai

dari awal.

karakteristik

ini. Adanya

penghormata

n kepada

Merapi juga

membuat

warga

merelakan

kerugian

erupsi

sebagai

bagian yang

diminta

Merapi.

Self

reliance

Tahu

kekuatan

dan

kelemahan

diri untuk

menghadapi

masalah.

Ketika

sudah tidak

mampu, Pak

Y akan

mencari

bantuan dari

orang yang

lebih

memahami

bidang

masalahnya.

Pak Y juga

belajar dari

pengalaman

nya bergaul

dengan

rekan

psikolog,

dan bukan

hanya

melewatkan

pengalaman

itu begitu

Karakteristik

ini tidak

tergali dari

wawancara

karena Ibu Y

merasa

kesulitan

atau tidak tau

jawaban

untuk

menjawab

pertanyaan

untuk

menggali

karakteristik

ini.

Pak D sudah

mengenal

dirinya

dengan baik.

Ia tahu kalau

ia adalah

orang yang

sabar. Ia

juga belajar

dari

pengalaman

hidupnya

dan menjadi

semakin

baik

berdasarkan

pengalaman

itu.

Menyadari

kekurangan

nya dalam

pengetahuan

bertani.

Tapi tidak

ada usaha

untuk

meningkatk

an

pengetahuan

nya.

Meskipun

demikian,

Pak S tetap

yakin kalau

ia bekerja

sunguh-

sungguh

maka hasil

yang baik

akan datang.

-

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

80

Universitas Indonesia

saja.

Existensi

al

alonenes

s

Berani

mengeluark

an pendapat

berbeda.

Tidak

diikuti tidak

masalah,

yang

penting Pak

Y

mengemuka

kannya.

Pekerjaanny

a sebagai

kepala desa

memng

menuntutny

a seperti ini.

Berani

berbeda

dengan

orang lain.

Ibu Y tidak

mengungsi

sementara

warga

lainnya

pindah ke

pengungsian.

Berani

berbeda

dengan

banyak

orang,

asalkan

pendapatnya

tersebut

demi

kepentingan

bersama.

Pekerjaannya

sebagai

aparat desa

memang

mengharuska

nnya berani

berpendapat

berbeda,

apalagi

ketika warga

dusunnya

mempunyai

keinginan

yang kurang

sesuai.

Berani

mengungap

kan

pendapat

berbeda asal

ia tahu

bahwa

pendapatnya

benar dan

dapat

dipertanggu

ngJawabkan

.

-

4.7. Rangkuman Hasil Penelitian

Siebert (2005) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit

kembali dari keadaan yang semula menekan dengan cara melakukan adaptasi atau

penyesuaian diri ketika cara yang lama sudah tidak memungkinkan, dan semuanya ini

dilakukan tanpa menyakiti diri sendiri. Mengacu pada definisi ini, hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat beberapa nilai, norma, atau praktek budaya Jawa yang

terkait dengan kemampuan resiliensi pada penyintas erupsi Merapi. Berikut akan

dijabarkan secara lebih lengkap mengenai kesimpulan hasil penelitian.

Dari segi resiliensi, hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat partisipan

sudah memunculkan hampir semua dari lima karakteristik resiliensi yang

diungkapkan Wagnild (2010).

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

81

Universitas Indonesia

Meaningfulness

Dari hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa keempat partisipan sudah

memiliki makna atau tujuan hidup. Keempat partisipan menyatakan bahwa hal yang

paling penting dalam hidup mereka adalah keadaan selamat, tentram, dan damai.

Keadaan yang sulit tidak membuat mereka merasa putus asa karena adanya tujuan

untuk mencapai keadaan ini.

Perseverance

Terkait dengan kesulitan yang dialami, keempat partisipan sudah

menunjukkan bahwa mereka memiliki semangat untuk mengatasi kesulitan agar dapat

mencapai tujuan utama dalam hidup, yaitu keadaan hidup yang tentram dan selamat.

Meskipun dua dari empat partisipan tidak menunjukkan cara atau langkah spesifik

untuk mengatasi masalah mereka, namun setidaknya mereka tetap mempunyai

semangat untuk melakukan apa yang mereka bisa lakukan dengan sebaik-baiknya.

Equanimity

Keempat partisipan sudah menunjukkan bahwa mereka memiliki sudut

pandang yang luas dan tidak terpaku pada satu sisi saja. Ketimbang fokus pada

kesulitan yang muncul, mereka melihatnya dari sudut pandang lain sehingga

kesulitan itu dapat dilihat sebagai sesuatu yang tidak menyulitkan. Dua partisipan

malah menyikapi kesulitan yang muncul sebagai suatu hal yang baik.

Self-reliance

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tiga partisipan sudah menunjukkan

munculnya karakteristik ini, meskipun satu diantaranya belum menunjukkan bukti

yang terlalu kuat. Sedangkan dari satu partisipan lainnya, karakteristik ini kurang

tergali.

Existential aloneness

Keempat partisipan menunjukkan adanya keberanian untuk tampil berbeda

dengan orang lain. Meskipun kebanyakan orang berpendapat berbeda, mereka tetap

berani untuk mengambil tindakan sesuai dengan apa yang mereka rasa benar.

Terkait dengan nilai, norma, dan/atau praktek budaya yang diwariskan secara

turun temurun, hasil penelitian menunjukkan adanya faktor budaya yang terkait

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

82

Universitas Indonesia

dengan kemampuan resiliensi penyintas erupsi Merapi. Hal ini mencakup sebagai

berikut: keadaan slamet, ritus slametan, hormat, gotong royong, sikap rela, nrima,

sabar, serta kepercayaan terhadap alam gaib atau kuasa di luar kekuatan manusia.

Dengan adanya tujuan atau harapan akan suatu keadaan slamet, partisipan akan

melakukan segala cara untuk mencapai keadaan ini. Kesulitan yang mereka hadapi

akan dilihat dari cara yang berbeda sehingga dapat mempertahankan mereka pada

keadaan slamet tersebut.

Bentuk penghormatan yang diberikan kepada Gunung Merapi membuat

partisipan dapat mengikhlaskan kerugian akibat erupsi sebagai bagian yang diminta

oleh sosok terhormat itu. Selain itu, sikap rela, nrima, dan sabar terlihat jelas dari

hasil penelitian. Segala kesulitan diterima dengan lapang dada. Sikap ini membantu

partisipan untuk tetap berada pada keadaan slamet sekalipun berhadapan dengan

masalah. Sikap ini juga membuat mereka melihat suatu masalah dari sudut pandang

yang positif sehingga hal itu tidak lagi terasa menyulitkan. Kebiasaan gotong royong

pun menjadi pendorong untuk mengatasi kesulitan karena dengan adanya bantuan,

masalah yang timbul jadi terasa lebih ringan.

Ketika berhadapan dengan kesulitan yang tidak lagi bisa dikontrol, warga desa

Krinjing akan menciptakan keadaan slamet dengan melaksanakan ritual-ritual atau

upacara-upacara kepercayaan, misalnya dengan melaksanakan slametan dalam

bentuk makan dan doa bersama sambil pada akhirnya berserah kepada kuasa di luar

kekuatan manusia. Hal ini terlihat dari banyaknya kepercayaan terhadap roh yang

mendiami Gunung Merapi. Dengan menghormati dan mentaati apa yang diinginkan

oleh roh tersebut, warga akan merasa aman dan terhindar dari bencana.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

83

Universitas Indonesia

BAB 5

KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

Pada bab ini akan diuraikan kesimpulan penelitian yang berisikan jawaban

dari masalah penelitian berdasarkan analisis data yang telah dilakukan. Peneliti juga

mengemukakan diskusi hasil penelitian, serta saran untuk penelitian selanjutnya.

5.1. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan resiliensi seluruh partisipan

yang merupakan warga desa Krinjing berusia 21-60 tahun adalah sedang dengan

variasi skor beragam dari rendah sampai tinggi. Sedangkan berdasarkan hasil

wawancara pada partisipan usia 41-50 tahun, kelima karakteristik resiliensi sudah

muncul, yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan

existential aloneness. Dari hasil wawancara juga ditemukan beberapa nilai, norma

dan/atau praktek budaya yang terkait dengan kemampuan resiliensi, yaitu keadaan

slamet, ritus slametan, hormat, gotong royong, sikap rela, nrima, sabar, serta

kepercayaan terhadap alam gaib atau kuasa di luar kekuatan manusia.

5.2. Diskusi

Penelitian ini mengkaji tentang resiliensi dan faktor budaya Jawa yang terkait

dengan resiliensi itu. Dari hasil penelitian, dapat diketahui bahwa seluruh partisipan

memiliki karakteristik budaya yang kurang lebih sama, yaitu sama-sama tinggal di

desa Krinjing, sama-sama orang Jawa, dan sama-sama pernah terkena erupsi Merapi,

namun tetap terdapat perbedaan skor resiliensi. Jika dilihat dari karakteristik usia,

baik hasil perhitungan terhadap seluruh partisipan maupun kelompok partisipan usia

dewasa madya awal, 41-50 tahun, semuanya menunjukkan variasi skor yang

beragam. Perbedaan ini dapat dijelaskan dengan hasil penelitian Herrman, et.al

(2011) yang menyatakan bahwa resiliensi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor

saja, tetapi merupakan suatu interaksi dinamis antara faktor personal (kepribadian,

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

84

Universitas Indonesia

usia, dan lain-lain), biologis, dan lingkungan (budaya, dan lain-lain). Oleh karena itu,

walaupun warga desa Krinjing memiliki karkteristik yang hampir sama pada faktor

lingkungan, namun perbedaan pada faktor personal dan biologis membuat mereka

memiliki skor resiliensi yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Bahwa banyaknya faktor yang mempengaruhi resiliensi mungkin menjadi

penyebab tidak ditemukannya perbedaan kemampuan resiliensi berdasarkan usia dan

jenis kelamin, walaupun Bonanno (2004) dan Bonanno, Galea, Bucciarelli, dan

Vlahov, (2007) menemukan bahwa faktor demografis, yaitu usia dan gender, dapat

mempengaruhi kemampuan resiliensi seseorang.

Dalam penelitian ini, pedoman wawancara yang digunakan untuk menggali

resiliensi merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010). Berdasarkan

lima karakteristik ini, diketahui bahwa karakteristik yang paling jelas terlihat dari

hasil penelitian ini adalah meaningfulness dan equanimity. Tujuan hidup orang Jawa

mengenai hidup damai menjadi faktor utama yang membuat partisipan memiliki

makna atau tujuan dalam hidup mereka, yaitu hidup selamat. Peneliti juga melihat

bahwa masyarakat desa Krinjing tidak terpaku pada kesulitan yang dialami dan fokus

pada tujuan menjalankan hidup selamat. Mereka memiliki cara coping yang terlihat

dari cara mereka menyikapi bencana yang dialami, dimana mereka melihatnya tidak

hanya sebagai bencana, tetapi mencari sudut pandang yang positif dari bencana itu.

Dari kelima karakteristik ini, terdapat satu karakteristik resiliensi yang kurang

tergali pada salah seorang partisipan, yaitu karakteristik self-reliance. Peneliti melihat

bahwa hal ini disebabkan karena minimnya tingkat pendidikan dan variasi pekerjaan

pada kebanyakan warga desa Krinjing. Hal ini bisa dijelaskan dengan prinsip

procedural dan declarative learning. Procedural learning merupakan pembelajaran

akan “knowledge about relationship among features of the environment and mediates

the learning of behavioral and cognitive skills that are performed automatically,

without the requirement of conscious control” (Domjan, 2010 hal. 380). Artinya,

memori yang terbentuk melalui procedural learning tidak membutuhkan adanya

kesadaran, sebaliknya, memori dari declarative learning lebih mudah dicapai dengan

adanya kesadaran. Penjelasan ini menunjukkan bahwa partisipan yang sulit menjawab

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

85

Universitas Indonesia

disebabkan karena mereka tidak menyadari apa yang sebenarnya mungkin dapat

mereka lakukan

Hasil penelitian dengan metode wawancara juga menunjukkan bahwa budaya

terkait dengan resiliensi sejalan dengan temuan Herrman, et.al (2011) yang

menyatakan bahwa dalam tingkat macroenviromental, faktor budaya merupakan

salah satu faktor yang berkontribusi terhadap resiliensi. Peneliti menemukan bahwa

keempat partisipan dapat mengatasi kesulitan akibat bencana Merapi karena mereka

tidak fokus pada bencana tetapi melihat keuntunganya.prinsip hidup inilah yang

diwariskan secara turun-temurun. Hal semacam ini diwariskan secara turun temurun

pada masyarakat desa Krinjing.

Dalam penelitian ini, budaya Jawa yang ditemukan terkait dengan

kemampuan resiliensi terdiri dari: keadaan slamet, ritus slametan, hormat, gotong

royong, sikap rela, nrima, sabar, serta kepercayaan terhadap alam gaib atau kuasa di

luar kekuatan manusia. Budaya-budaya semacam ini memang muncul pada partisipan

usia dewasa madya, namun tidak banyak muncul pada partisipan yang berusia lebih

muda, seperti penelitian yang dilakukan anggota tim payung lainnya. Hal ini bisa saja

disebabkan karena terdapat gap antara generasi muda dan generasi tua, dimana

kehidupan generasi muda seringkali tidak terlalu melekat dengan budaya. Penjelasan

semacam ini juga dinyatakan oleh salah seorang partisipan yang menjabat sebagai

sekretaris desa.

Selain itu, banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa religi

mempengaruhi kepercayaan dan kebiasaan seseorang dalam mengatasi suatu

kemalangan (Fernando & Herbert, 2011). Hasil penelitian di desa Krinjing sejalan

dengan temuan-temuan ini. Partisipan penelitian menunjukkan bahwa dengan berdoa

dan berserah kepada Tuhan, mereka akan terbantu untuk merasa tenang dalam

menerima situasi yang buruk.

Selain budaya dan religi, peneliti juga melihat alasan lainnya yang membuat

masyarakat ingin tetap tinggal di desanya atau ketika mengungsi pun sering kali

kembali ke desanya, yaitu karena faktor ekonomi. Ternak merupakan salah satu harta

berharga bagi warga desa. Dari jawaban partisipan penelitian, dapat diketahui bahwa

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

86

Universitas Indonesia

ketika berada di pengungsian, setiap harinya warga pulang ke desa untuk memberi

makan ternak mereka. Padahal bisa saja erupsi Merapi menghancurkan desa mereka

ketika mereka sedang memberi makan ternak. Namun warga tidak punya pilihan lain

ketika terancam kehilangan harta berharganya.

Mengenai keterkaitan antara budaya Jawa dengan resiliensi penyintas Merapi,

budaya Jawa memang berperan sebagai faktor protektif. Banyak nilai, norma, atau

praktek budaya Jawa yang membantu partisipan mengatasi kesulitan terkait dengan

seringnya kejadian erupsi Merapi. Tetapi budaya Jawa disini, misalnya sikap nrima

hanya berperan untuk mempertahankan keselarasan yang sudah ada dan bagaimana

menyikapinya untuk kembali kepada keadaan itu. Di sisi lain, sikap ini justru malah

berperan sebagai penghambat untuk memajukan ekonomi dan pembangunan

(Koentjaraningrat, 1971). Namun terkait dengan resiliensi itu sendiri, belum nampak

nilai, norma, atau praktek budaya Jawa yang berperan sebagai faktor risiko dalam

penelitian ini. Mungkin hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, untuk menggali

suatu konsep yang abstrak seperti resiliensi, akan lebih tepat apabila pengambilan

data dilakukan lebih dari satu kali, atau bahkan dengan metode observasi partisipatif,

sehingga gejala penelitian dapat tergali lebih dalam lagi. Kedua, karena resiliensi

merupakan suatu kemampuan yang terbentuk dari proses yang panjang (Herrman,

et.al, 2011) sehingga akan lebih baik apabila pengambilan data dilakukan beberapa

kali dalam waktu yang panjang (longitudinal) agar perkembangan resiliensi, termasuk

faktor risiko/protektifnya, dapat diikuti dengan jelas. Ini menjadi modal yang dapat

dipakai untuk menyusun program intervensi yang tepat untuk memmbantu mereka

yang terkena bencana.

Dalam penelitian ini, terdapat dua instrumen yang digunakan untuk

memperoleh hasil penelitian, yaitu CD-RISC 10 dan pedoman wawancara yang

merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010). Meskipun kedua

instrumen ini mengacu pada dasar yang berbeda, namun keduanya sama-sama

mengukur konstruk yang sama.

Kekurangan yang terkait dengan instrumen ini adalah karena perbedaan

penggunaan bahasa sehari-hari antara peneliti dengan partisipan. Dalam CD-RISC 10,

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

87

Universitas Indonesia

bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia yang baku, sedangkan kebanyakan

partisipan yang mengisi skala sikap lebih sering menggunakan bahasa Jawa dalam

kehidupan sehari-hari sehingga beberapa istilah dalam skala sikap sulit dipahami

oleh partisipan. Oleh sebab itu, akan lebih baik apabila alat ukur yang digunakan

dapat diadaptasi sesuai dengan karakteristik partisipan, atau peneliti yang melakukan

wawancara bisa berbahasa Jawa.

5.3. Saran

Pada bagian ini, peneliti memberikan beberapa saran yang dapat digunakan

untuk penelitian selanjutnya. Saran yang diajukan mencakup hal-hal seperti di bawah

ini:

Bahasa pengantar dalam instrumen penelitian ini adalah bahasa Indonesia,

sementara beberapa partisipan sudah tidak terlalu fasih berbahasa Indonesia, sehingga

akan lebih baik apabila peneliti bisa berbahasa Jawa dan bahasa dalam instrumen

penelitian dapat diadaptasi sesuai dengan karakteristik partisipan.

Selain itu, partisipan dalam penelitian ini hanya terdiri warga desa Krinjing

saja. Akan lebih baik apabila partisipan penelitian diambil dari berbagai desa di

sekitar Merapi untuk mendapat gambaran yang lebih lengkp tentang resiliensi dan

aspek budaya yang terjait dengan resiliensi tersebut.

Dalam melakukan penelitian tentang resiliensi sebagai suatu kemampuan

yang terbentuk dari proses yang panjang, akan lebih baik apabila menggunakan

penelitian longitudinal agar perkembangan dari resiliensi dapat tergambar secara

jelas. Sedangkan untuk menggali budaya Jawa, akan lebih baik apabila alat ukur

yang digunakan memang mencakup budaya tersebut.

Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa budaya Jawa terkait

dengan kemampuan resiliensi masyarakat yang terkena bencana, dan lebih jauh lagi,

dapat membantu mereka untuk bertahan dalam kondisi yang sulit. Oleh sebab itu,

penting untuk melestarikan nilai budaya tersebut agar dapat membantu mereka

mengatasi kerugian akibat bencana yang terjadi.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

88

Universitas Indonesia

Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa ketika berada di pengungsian,

banyak warga yang setiap harinya harus kembali ke rumah masing-masing untuk

memberi makan ternak. Akan lebih baik apabila pemerintah menyediakan sarana

untuk mengungsikan atau mengamankan ternak agar warga tidak mendatangi daerah

yang dinyatakan berbahaya dan tidak kehilangan harta yang berharga itu.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

89

Universitas Indonesia

Tinjauan Pustaka

Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological Testing 7th

ed. New Jersey:

Prentice Hall

Arif, A. & Hidayat, F. (2011). Hidup-mati di negeri cincin api. Artikel. Diakses pada

tanggal 16 juni 2012 pukul 14.30 dari

http://travel.kompas.com/read/2011/09/14/1059492/Hidup-

Mati.di.Negeri.Cincin.Api

Bonanno, G. A. (2004). Loss, trauma, and human resilience: Have we underestimated

the human capacity to thrive after extremely aversive events? American

Psychologist, 59, 20 –28.

Bonanno, G. A., Galea, S., Bucciarelli, A., & Vlahov, D.(2007) What predicts

psychological resilience after disaster? The role of demographics, resources,

and life stress. Journal of consulting clinical psychology, 75 (5): 671-682.

Bonanno, G. A., Wortman, C. B., Lehman, D. R., Tweed, R. G., Haring, M.,

Sonnega, J., . . . Nesse, R. M. (2002). Resilience to loss and chronic grief: A

prospective study from preloss to 18-months postloss. Journal of Personality

and Social Psychology, 83, 1150–1164.

Connor, K.M., & Davidson, J.R.T. (2003). Development of a new resilience scale the

connor-davidson resiliensi scale (CD-RISC). Depression and anxiety, 18 (2):

76-82.

Cronbach, L. (1990). Essentials of psychological testing. New York: Harper &Row.

Dacey, J.S., & Trafers, J.F. (2002). Human development across the life span 5th ed.

New York: McGraw-Hill.

Domjan, M. (2010). The principle of learning and behavior 6th

ed. Canada:

Wadsworth.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

90

Universitas Indonesia

Estanol, E. (2009). Exploring the relationship between risk and resilience factors for

eating disordes in ballet dancers. Disertasi, tidak diterbitkan. Utah: Faculty of

Psychology University of Utah.

Fernando, D.M., & Herbert, B.B. (2011). Resiliency and recovery: Lessons from the

asian tsunami and hurricane Katrina. Journal of multicultural counseling and

development, 39.

Geertz, C. (1960). Abangan, santri, dan priyayi dalam masyarakat Jawa. Jakarta:

Pustaka jaya.

Grossbaum, M.F., & Bates, G.W. (2002) Correlates of psychological well-being at

midlife: The role of generativity, agency and communion, and narrative

themes. International Journal of Behavioral Development, 26 (2), 120-127.

Hariyono, P. (1993). Kultur Cina dan Jawa: pemahaman menuju asimilasi kultural.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Herrman, H., Stewart, D. E., Granados, N. D., Berger, E.L., Jackson, B., & Yuen, T.

(2011). What is resilience. Can J Psychiatry, 56(5), 258-265.

Hooyman, N.R., & Kramer, B. J. (2008). Living through loss: intervention across

lifespan. New York: Columbia University Press.

Israel, B. (2010). Indonesia’s explosive geology explained. Artikel. Diakes pada

tanggal 16 Juni 2012 pada pukul 14.40 dari http://www.livescience.com/8823-

indonesia-explosive-geology-explained.html

Klasen, F, Daniels, J., Oettingen, G., Post, M., Hoyer, C., & Adam, H. (2010).

Posttraumatic resilience in former ugandan child soldiers. Journal

compilation, 81 (4), 1096–1113.

Koentjaraningrat (1971). Rintangan-rintangan mental dalam pembangunan ekonomi

Indonesia. Jakarta: Bharatara.

Koentjaraningrat (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.

Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step By Step Guide for Beginners.

London: SAGE Publications.

Lavigne, M., Coster, B.D., Juvin, N., Flohic, F., Gailard, J.C., Texier, P., Morin, J., &

Sartohadi, J. (2008). People’s behavior in the face of volcanic hazards:

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

91

Universitas Indonesia

perspectives from Javanese communities, Indonesia. Journal of volcanology

and geothermal research, 172, 273-287.

Lesmana, J.M. (2005). Dasar-dasar konseling. Jakarta: UI-Press.

Lestari, K. (2007). Hubungan antara bentuk-bentuk dukungan sosial dengan tingkat

resiliensi penyintas gempa di desa canan, kecamatan wedi, kabupaten klaten.

Skripsi. Semarang: Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro.

Luthar, S.S., & Cicchetti, D. (2000). The construct of resilience: implications for

intervention and social policy. Journal of developmental psychopathology, 12:

857-885.

Luthar, S.S., Cicchetti, D., & Becker, B. (2000). The construct of resilience : a critical

evaluation and guidelines for future work. Child developmental, 71 (3), 543-

562.

Mahgriefie, L.P. (2010). Berikut data korban tewas dan pengungsi Merapi. Artikel.

Diunduh pada tanggal 5 juni 2010, pukul 17.40 dari

http://news.okezone.com/read/2010/11/08/340/390853/redirect.

Mancini, A.D., & Bonanno, G.A. (2009). Predictors and parameters to loss: Toward

an individual differences model. Journal of personality, 77(6), 1805-1831.

Mandleco, B. L., & Craig, P. J. (2000). An organizational framework for

conceptualizing resilience in children. Journal of child and adolescent

psychiatric nursing. 13 (3), 99-111.

Mappiare, A. (1983). Psikologi Orang Dewasa. Surabaya : Usaha Nasional.

Masten, A. S., & Obradovic, J. (2006). Competence and resilience in development.

Annals new York academy of science, 1094, 13-27.

Mulder, N. (2001). Mistisme Jawa: ideology di Indonesia. Yogyakarta: PT lkis

printing cemerlang.

Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development 11th

ed.

New York: W.H. Freeman & company.

Priyambodo, R.H. (2010). Pvmbg: Erupsi Merapi 2010 terburuk sejak 1870. Artikel.

Diakses pada tanggal 24 mei 2012 dari

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

92

Universitas Indonesia

http://www.antaranews.com/berita/1288875401/pvmbg-erupsi-Merapi-2010-

terburuk-sejak-1870

Poerwandari, K. (2001). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.

Depok: LPSP3.

Poerwandari, K. (2011). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.

Depok: LPSP3.

Santosa, I. (2012). Lebih dari 50% bencana alam terjadi di Jawa.. Artikel. Diakses pada tanggal

24 mei 2012, dari

http://regional.kompas.com/read/2012/03/04/23180731/Lebih.Dari.50.Persen.

Bencana.Alam.Terjadi.di.Jawa.

Santrock. (2002). A topical approach to life span development. New York: McGraw-

Hill, Inc.

Sarwindaningrum, I, & Latief (2012). Erupsi Merapi ungkap pengetahuan baru. Artikel.

Diakses pada tanggal 5 juni 2012, pukul 17.30 dari

http://sains.kompas.com/read/2010/12/22/18352844/Erupsi.Merapi.Ungkap.P

engetahuan.Baru-3

Siebert, A. (2005). The resiliency advantage: master change, thrive under pressure,

and bounce bak from setbacks. San Francisco: Berret-Koehler Publisher, Inc.

Sills, L.C., & Stein, M.B. (2007). Psychometric analysis and refinement of the

connor–davidson resilience scale (CD-RISC): validation of a 10-item measure

of resilience. Journal of Traumatic Stress, 20 (6), 1019–1028.

Stein, M.B., Sills, L.C., & Gelernter, J. (2009). Genetic Variation in 5HTTLPR is

Associated with Emotional Resilience. Am J Med Genet B Neuropsychiatr

Genet. 150B(7), 900–906.

Subandrijo, B. (2000). Keselamatan bagi orang Jawa. Jakarta: PT BPK Gunung

Mulia.

Sudaryo, S. (2009). Identifikasi dan penentuan logam pada tanah vulkanik di daerah

cangkringan kabupaten sleman dengan metode analisis aktivasi neutron cepat.

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional V SDM Teknologi Nuklir

Yogyakarta 2009.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

93

Universitas Indonesia

Suseno, F. M. (1991). Etika Jawa: Sebuah analisa falsafi tentang kebijaksanaan hidup

Jawa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka utama.

Taufiqqurahman, M (2012). Pulau Jawa Paling Rawan Bencana Alam. Artikel.

Diakses pada tanggal 5 Juni 2012, pukul 17.30 dari

http://news.detik.com/read/2012/06/05/110415/1932987/10/pulau-Jawa-

paling-rawan-bencana-alam?9922032

Tusaie, K. & Dyer, J. (2004). Resilience: a historical review of the construct. Holistic

Nursing Practice, 18(1), 3-8.

Wagnild, G.M. (2010). Discovering your resilience core. Diakses dari

http://www.resiliencescale.com/papers/pdfs/Discovering_Your_Resilience_C

ore.pdf pada tanggal 4 mei 2012, pukul 16.51.

Widaghdo, D. (2008) Ilmu budaya dasar ed.10. Jakarta: Bumi aksara.

Wingo, A.P., Wren, G., Pelletier, T., Gutman, A.R., Bradley, B., Ressler, K.J. (2010).

Moderating effects of resilience on depression in individuals with a history of

childhood abuse or trauma exposure. Journal of affective disorder.

Wu, M.S., Yan, X., Zhou, C., Chen, Y., Li, J., Zhu, Z., Shen, X., & Han, B. (2010).

General belief in a just world and resilience: evidence from a collectivistic

culture. European journal of personality.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

1

Universitas Indonesia

Lampiran A

Hasil Uji Coba Alat Ukur

A.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

A.1.1. Hasil Uji Reliabilitas Alat Ukur CD-RISC 10

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

Cronbach's

Alpha Based

on

Standardized

Items

N of

Items

,874 ,876 10

A.1.2. Hasil Uji Validitas Alat Ukur CD-RISC 10

Item-Total Statistics

Scale Mean

if Item

Deleted

Scale

Variance if

Item

Deleted

Corrected

Item-Total

Correlation

Squared

Multiple

Correlation

Cronbach's

Alpha if

Item

Deleted

Item1 32,46 50,294 ,454 ,535 ,872

Item2 32,72 48,369 ,590 ,590 ,863

Item3 33,22 51,563 ,294 ,374 ,885

Item4 33,28 47,757 ,496 ,713 ,871

Item5 32,44 46,537 ,676 ,651 ,856

Item6 32,66 48,311 ,607 ,583 ,862

Item7 33,02 45,244 ,668 ,571 ,856

Item8 32,76 44,390 ,781 ,803 ,847

Item9 32,86 45,143 ,677 ,647 ,856

Item1

0 32,72 45,798 ,759 ,727 ,850

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

2

Universitas Indonesia

Lampiran B

Hasil Utama Penelitian

B.1. Gambaran Resiliensi Partisipan

B.1.1. Gambaran Resiliensi Seluruh Partisipan

Statistics

skortotal

N Valid 50

Missing 0

Mean 36.46

Std. Deviation 7.592

Minimum 10

Maximum 48

skortotal

Frequency Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid 10 1 2.0 2.0 2.0

16 1 2.0 2.0 4.0

21 1 2.0 2.0 6.0

22 1 2.0 2.0 8.0

26 1 2.0 2.0 10.0

29 2 4.0 4.0 14.0

31 1 2.0 2.0 16.0

32 2 4.0 4.0 20.0

33 2 4.0 4.0 24.0

34 2 4.0 4.0 28.0

35 2 4.0 4.0 32.0

36 2 4.0 4.0 36.0

37 8 16.0 16.0 52.0

38 4 8.0 8.0 60.0

39 5 10.0 10.0 70.0

40 3 6.0 6.0 76.0

41 1 2.0 2.0 78.0

43 1 2.0 2.0 80.0

44 4 8.0 8.0 88.0

45 3 6.0 6.0 94.0

46 1 2.0 2.0 96.0

47 1 2.0 2.0 98.0

48 1 2.0 2.0 100.0

Total 50 100.0 100.0

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

3

Universitas Indonesia

B.1.2. Gambaran Resiliensi Partisipan Usia 41-50 Tahun

Statistics

skortotal

N Valid 11

Missing 0

Mean 36.45

Std. Deviation 9.658

Minimum 16

Maximum 48

skortotal

Frequency Percent

Valid

Percent

Cumulative

Percent

Valid 16 1 9.1 9.1 9.1

22 1 9.1 9.1 18.2

35 1 9.1 9.1 27.3

36 1 9.1 9.1 36.4

37 1 9.1 9.1 45.5

38 1 9.1 9.1 54.5

39 1 9.1 9.1 63.6

40 1 9.1 9.1 72.7

44 1 9.1 9.1 81.8

46 1 9.1 9.1 90.9

48 1 9.1 9.1 100.0

Total 11 100.0 100.0

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

4

Universitas Indonesia

Lampiran C

Hasil Tambahan Penelitian

C.1. Hasil Uji Signifikansi Faktor Demografis Seluruh Partisipan

C.1.1. Hasil Uji Signifikansi Pendidikan

Descriptives

Total

4 31,00 10,424 5,212 14,41 47,59 16 39

13 33,31 8,920 2,474 27,92 38,70 10 46

17 39,65 6,304 1,529 36,41 42,89 22 48

14 37,00 6,089 1,627 33,48 40,52 21 45

2 37,00 ,000 ,000 37,00 37,00 37 37

50 36,46 7,592 1,074 34,30 38,62 10 48

Tdk Tmt

SD

SMP

SMA

Sarjana

Total

N Mean Std. Deviation Std. Error Low er Bound Upper Bound

95% Confidence Interval forMean

Minimum Maximum

ANOVA

skortotal

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups 425.768 4 106.442 1.997 .111

Within Groups 2398.652 45 53.303

Total 2824.420 49

C.1.2. Hasil Uji Signifikansi Jenis Kelamin

Group Statistics

20 35,10 9,464 2,116

30 37,37 6,049 1,104

JeniskelaminLaki-laki

Perempuan

TotalN Mean Std. Deviation

Std. ErrorMean

ANOVA

skortotal

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups 61.653 1 61.653 1.071 .306

Within Groups 2762.767 48 57.558

Total 2824.420 49

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

5

Universitas Indonesia

C.1.3. Hasil Uji Signifikansi Usia

Descriptives

skortotal

N Mean

Std.

Deviation

Std.

Error

95% Confidence

Interval for Mean

Minim

um

Maxim

um

Lower

Bound

Upper

Bound

2 17 38.82 5.457 1.324 36.02 41.63 26 47

3 18 36.00 4.215 .993 33.90 38.10 29 44

4 11 36.45 9.658 2.912 29.97 42.94 16 48

5 4 28.50 15.927 7.963 3.16 53.84 10 45

Tot

al 50 36.46 7.592 1.074 34.30 38.62 10 48

ANOVA

skortotal

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Between

Groups 352.222 3 117.407 2.185 .103

Within Groups 2472.198 46 53.743

Total 2824.420 49

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

6

Universitas Indonesia

LAMPIRAN D

(Skala Sikap Resiliensi)

Assalamu’alaikum wr.wb,

Selamat Pagi/Siang/Sore/Malam

Kami adalah mahasiswa semester akhir Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang sedang

mengadakan survei mengenai kajian budaya masyarakat Jawa yang dilakukan dalam rangka

penyelesaian skripsi.

Kami mohon kesediaan Bapak/Ibu untuk ikut serta dalam survei ini.

Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam survey ini adalah sukarela. Jika Bapak/Ibu bersedia, silakan

memberikan jawaban apa adanya berdasarkan apa yang Bapak/Ibu alami atau rasakan. Jawaban

Bapak/Ibu tidak akan dinilai benar atau salah.

Kami tidak akan meminta dan mencantumkan nama Bapak/Ibu. Kami akan menjaga kerahasiaan

informasi yang Bapak/Ibu berikan. Informasi yanag Bapak/Ibu berikan hanya akan digunakan untuk

kepentingan survey ini saja.

Terimakasih atas perhatian dan keikutsertaan Bapak/bu.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

7

Universitas Indonesia

Apakah Bapak/Ibu setuju untuk berpartisipasi dalam survei ini:

Ya Tidak

Tandatangan/Paraf: _______________________

Tanggal: ___________________

DATA RESPONDEN

1. Jenis kelamin:

Laki-laki Perempuan

2. Usia: _________ tahun

3. Status:

Belum menikah

Menikah, memiliki _________ anak

Pernah menikah, memiliki _______ anak

4a. Pekerjaan sebelum bencana:_______________________________

4b. Pekerjaan setelah bencana: ________________________________

5. Pendidikan terakhir:

Tidak Tamat SD/sederajat

SD/sederajat

SMP/sederajat

SMA/sederajat

Diploma

Sarjana

Lainnya, sebutkan ____________________________

6. Tempat tinggal saat ini (jawab salah satu):

Pengungsian

Rumah sendiri

Rumah saudara

Rumah teman

Lainnya, sebutkan _____________________________

7. Lama tinggal di desa/ dusun yang sekarang: ___________ tahun

8. Jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : ______ orang

9. Agama/kepercayaan: ___________________

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

8

Universitas Indonesia

Pada bagian ini Bapak/Ibu/Sdr diminta memberikan jawaban tentang keadaan yang biasanya dari Bapak /Ibu/Sdr.

Silahkan memberikan jawaban apa adanya berdasarkan apa yang Bapak/Ibu/Sdr alami atau rasakan. Jawaban

Bapak/Ibu/Sdr tidak dinilai benar atau salah.

1

Saya mampu beradaptasi

terhadap perubahan yang

terjadi

1

Tidak

pernah

sama

sekali

2

Hampir

tidak

pernah

3

Sesekali

4

Sering

5

Hampir

selalu

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

9

Universitas Indonesia

LAMPIRAN E

(Pedoman Wawancara)

DATA DEMOGRAFI

Jenis Kelamin :

Usia :

Status (berkeluarga/tidak) :

Pekerjaan sekarang :

Pekerjaan sebelumnya :

Pendidikan terakhir :

Domisili saat ini :

Lama tinggal di daerah bencana :

Jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) :

Agama/kepercayaan :

PERUBAHAN YANG TERJADI SETELAH BENCANA

Kerugian akibat bencana:

Tempat tinggal

Harta benda (sawah, kebun, binatang ternak, perahu, tambak, toko, kendaraan, surat tanah,

sertifikat, ijazah)

Anggota keluarga dll (korban jiwa, korban luka-luka, korban keimanan)

Merapi:

Perasaan ketika mengetahui akan ada bencana

Persiapan yang dilakukan

Mengapa tidak mengungsi

Apa yang Bapak/Ibu/Sdr lakukan ketika berhadapan dengan kesulitan hidup? Apa terjadi

perubahan antara dulu dan sekarang (pasca bencana)?

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

10

Universitas Indonesia

Apa yang dimaknai oleh Bapak/Ibu/Sdr, keluarga, dan komunitas Bapak/Ibu/Sdr ketika hal yang

buruk terjadi? Sebutin hal buruknya? Bagaimana cara copingnya?

Karakteristik resiliensi (Wagnild, 2010)

1. Meaningfulness hidup meliliki tujuan

Apa yang menurut Bapak/Ibu/Sdr paling penting dalam hidup?

Apa saja yang Bapak/Ibu/Sdr sudah lakukan untuk mencapai tujuan tersebut?

Apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki perencanaan langkah-langkah untuk mencapai tujuan

tersebut? Apa saja?

Apa motto atau semboyan hidup Bapak/Ibu/Sdr?

2. Perseverance keinginan untuk maju terus ketika menghadapi kesulitan

Dalam perjalanan mencapai tujuan tersebut, apakah Bapak/Ibu/Sdr menghadapi kesulitan?

Apakah ada kesulitan yang Bapak/Ibu/Sdr hadapi terkait dengan tempat Bapak/Ibu/Sdr

tinggal? Seperti bencana yang pernah Bapak/Ibu/Sdr hadapi (tsunami atau gunung meletus?)

Apa yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan tersebut?

Sebaliknya, apakah Bapak/Ibu/Sdr merasa menghadapi kemudahan dalam mencapai tujuan

tersebut?

Bagaimana reaksi Bapak/Ibu/Sdr ketika melihat orang lain gagal dalam mancapai tujuannya?

Bagaimana reaksi Bapak/Ibu/Sdr ketika melihat orang lain sukses dalam menghadapi

tujuannya?

3. Equanimity sudut pBapak/Ibu/Sdrng yang luas

Apa yang Bapak/Ibu/Sdr rasakan ketika bencana itu terjadi?

Jika Bapak/Ibu/Sdr sedih, berapa lama waktu yang Bapak/Ibu/Sdr butuhkan untuk sembuh dari

kesedihan tersebut?

Bagaimana Bapak/Ibu/Sdr menjalani hari-hari setelah bencana?

Apakah Bapak/Ibu/Sdr yakin yang Bapak/Ibu/Sdr inginkan bisa tercapai?

4. Self-reliance kepercayaan pada diri sendiri

Menurut Bapak/Ibu/Sdr, bagaimana penilaian orang lain terhadap Bapak/Ibu?Sdr?

Setujukah Bapak/Sdr dengan hasil penilaian orang lain itu?

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

11

Universitas Indonesia

5. Existential Aloneness keunikan diri sendiri, berani berbeda

Apakah Bapak/Ibu/Sdr berani mengungkapkan hal yang menurut Bapak/Ibu/Sdr baik

walaupun hal tersebut bertentangan dengan pendapat kebanyakan orang?

Apakah Bapak/Ibu/Sdr merasa nyaman dengan diri Bapak/Ibu/Sdr? (Terkait dengan bencana

yang dialami)

Pada saat terjadi bencana, apakah Bapak/Ibu/Sdr memiliki keinginan untuk pindah dari tempat

tinggal Bapak/Ibu/Sdr? Mengapa?

Bagaimana dengan lingkungan sekitar Bapak/Ibu/Sdr, seperti keluarga atau tetangga? (apakah

ingin pindah atau tidak)

BUDAYA

Saat terjadi bencana Merapi/tsunami, kapan Bapak/Ibu/Sdr memilih untuk mengungsi?

Apa yang menyebabkan memilih untuk mengungsi? Siapa yang menyarankan mengungsi?

Ceritakan pengalaman Bapak/Ibu/Sdr di tempat pengungsian, apa yang paling berkesan?

MERAPI: Apa perubahan yang dialami setelah sekian lama berlalu sejak letusan Merapi

terakhir? Bagaimana Bapak/Ibu/Sdr mengatasi perubahan dalam level individu dan perubahan

yang melibatkan seluruh orang dalam masyarakat?

Apa saja peran organisasi keagamaan dalam hidup Bapak/Ibu/Sdr? Apakah menolong untuk

penyesuaian diri?

Bagaimana seharusnya orang Aceh menyikapi hal ini? (Filsafat hidup orang Jawa atau Aceh)

Apa pesan keluarga tentang hidup? (Filsafat keluarga, yang diturunkan oleh keluarga.

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

12

Universitas Indonesia

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

12

Universitas Indonesia

Lampiran F 1

(Transkrip Wawancara) 2

3

F.1. Partisipan 1 (Pak Y) 4

Jenis kelamin: laki-laki 5

Usia : 43 tahun 6

Status: berkeluarga 7

Pekerjaan sekarang: sekertaris desa 8

Pekerjaan sebelumnya: sekertaris desa 9

Pendidikan terakhir : S1 10

Domisili saat ini : desa krinjing, dusun krajan 11

Lama tinggal di daerah bencana : 19 tahun 12

Jumlah anggoota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : 4 13

Agama : islam 14

15

Y: maap ya saya sambil merokok. 16

A: ya ya ga apa-apa pak. Emm.. bapa tinggal disini uda dari lahir pa? 17

Y: ya. Saya tinggal disini sudah sejak taun 1993. Yang asli sini istri. Saya aslinya deket kecamatan 18

bogota. Ibukota…….. 19

A: sejak bapa tinggal itu uda berapa kali letus ya Merapi? 20

Y: taun 94, 90.. kalo ga salah ya mba ya, taun 96 waktu itu, kemudian dua ribu… 2010 kemaren. 21

A: sama 2006 kali ya pa. 22

Y: iya. 2010 kemaren. Eee.. kalo ga tiga kali empat kali. 23

A: ooh.. 24

Y: saya ngalami langsung. langsung seperti itu. 25

A: waktu itu ada pemberitahuannya ga pa? jadi sebelum Merapi meletus diberitau. 26

Y: o iya pasti mba, pasti. Kalo.. bencana alam gunung berapi itu biasanya perkembangan aktivitasnya 27

bisa diikuti. Kalau sering ada gempa, ada tsunami gitu kan sulit untuk dideteksi. Tapi kalo 28

perkembangan letusan gunung, khususnya untuk kita karena kita ya gunung Merapi ya kita pasti tau. 29

Karena apa? Gunung Merapi atau gunung api itu kan ada empat empat empat tingkatan dari yang api 30

normal, kemudian ke tingkat waspada , siaga, kemudian kea was itu kan semua bisa diikuti dan kita ya 31

dapat informasi dari pemda, yang dapat informasi daari BPPTK tadi, dari dinas vulkanologi. 32

A: em.. berarti Bapa dengernya dari pemda? 33

Y: ya. walopun kita deket dengan pos pengamatan gunung Merapi ya kebetulan masyarakat sini juga 34

sebagai pengawas disana tidak.. kalo penduduk desa ya dikasi tau, tapi tidak secara formil. Sebetulnya 35

alur perintahnya, alur alur alur…. 36

A: informasi 37

Y: alur informasinya tetep seperti itu. Dari pihak BPPTK ke bupati dulu, dari bupati ke camat, baru ke 38

kepala desa. Seperti itu alurnya. 39

A: nah terus waktu denger Merapi mau meletus, Bapa sendiri rasanya gimana tu pa? 40

Y: saya sebage pribadi apa saya sebage aparat desa? 41

A: bapa sebagai pribadi dulu. 42

Y: ho iya.. saya menyikapi biasa saja dalam artian biasa saja karena apa? Kita sudah terbiasa 43

mengalami alam Merapi seperti ini. Katakanlah Merapi itu bukan musuh mba, tapi temen. Bagaimana 44

kita menyikapi yang ada. Yang bahaya menjadi tidak biasa. Yang pertama artinya kita tetep tenang, 45

46

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

13

Universitas Indonesia

F.2. Partisipan 2 (Ibu Y) 1

Waktu wawancara: kamis, 3 mei 2012, pk 17.25-17.55 2

Lokasi wawancara: di rumah partisipan 3

Jenis kelamin: perempuan 4

Usia : 42 tahun 5

Status: berkeluarga 6

Pekerjaan sekarang: petani 7

Pekerjaan sebelumnya: petan 8

Pendidikan terakhir : SMP 9

Domisili saat ini : desa krinjing, dusun krajan 10

Lama tinggal di daerah bencana : 42 tahun 11

Jumlah anggoota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : 2 12

Agama : islam 13

14

A: ee ibu, kalo boleh tau ibu lahir disini? 15

Y: ya. Uda dari lahir. Asli sini. 16

A: ooh berarti dari ibu lahir uda sering meletus ya Merapinya? 17

Y: ya udah. 18

(Bapak Toni datang kemudian ikut duduk di kursi) 19

A: bapak, kenalin dulu. Vina. (sambil tersenyum dan menjabat tangan Pak Toni) Ini pa, saya lagi 20

ngobrol sama ibu, tanya-tanya tentang bencana Merapi disini. Untuk tugas penelitian, pak. 21

T: iya. He’eh. 22

A: iyah. Ibu waktu itu, kalau boleh tau, kenapa ibu ga mau mengungsi ya bu ya? 23

Y: ya.. alasan saya kan.. itu loh, yang udah-udah kan.. Merapi meletus itu ga apa-apa. Kan saya.. tetap 24

mau di rumah, ga mau ngungsi. Alasannya itu kan ya udah-udah kan ga pa-pa. Merapi itu kan 25

meletusnya Cuma itu, meletus, biasa. Apa.. gunungnya itu aktif gitu loh, masi aktif. 26

T: jadi ya.. 27

Y: ck (Ibu Y memalingkan wajah ketika Bapak T ikut menJawab) 28

T: jadi ya memang sudah sering meletus itu namanya yang dulu-dulu yang udah dialami Merapi 29

meletus itu istilah biasa, memang sini berbahaya, cuman yang paling berbahaya itu yang taun 2010. 30

A: ehm.. kalau boleh tau waktu itu Bapak ikut megungsi atau.. 31

T: ngga. Di rumah. 32

A: ooh ngga juga. Bapak tinggalnya deket rumah ibu sini? 33

T: he’eh disini. 34

A: Bapak juga kenapa ga mau mengungsi pa? ga takut? Kan waktu itu letusannya besar tuh? 35

T: ya, memang besar. Cuma waktu mengungsi di kampung saya dulu. Cuma.. satu kali. 36

A: ooh ya ya. Kalo ibu, ibu waktu itu ga takut bu? 37

Y: yaa.. takut ya iya, tapi ya tetap nganu itu loh, tetap.. ngumpet itu loh mba. Takut tapi tetap.. apa ya. 38

Hehe.. takut ya takut cuma itu, tapi yo nda seberapa. 39

A: eem ibu berani bu, hebat., hehe 40

Y: hehe 41

A: emang pas tau disuruh mengungsi itu, warga mengungsi, kan ibu ga mau mengungsi ya bu 42

Y: ya saya kan. Warga kan disuruh megungsi ya saya ka.. ga keluar. Saya tu di rumah, Cuma tetangga 43

itu kan pergi itu kan malem. Saya kan malah otomatis malah nonton TV itu pas kejadian di sleman itu 44

F.3. Partisipan 3 (Pak D) 45

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

14

Universitas Indonesia

Waktu wawancara: rabu, 2 april 2010, pk 13.30-15.05. 1

Lokasi wawancara: di rumah partisipan 2

Jenis kelamin: laki-laki 3

Usia : 41 tahun 4

Status: berkeluarga 5

Pekerjaan sekarang: petani dan kepala dusun 6

Pekerjaan sebelumnya: petani dan kepala dusun 7

Pendidikan terakhir : SMP 8

Domisili saat ini : desa krinjing, dusun dadapan 9

Lama tinggal di daerah bencana : 41 tahun 10

Jumlah anggoota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : 5 11

Agama : katolik 12

13

14

A: langsung kita mulai aja ya pa. 15

D: iya. 16

A: dulu Bapak, tinggal di desa krinjing ini uda dari kapan pa? 17

D: sejak lahir 18

A: eem. Dari sejak Bapa lahir itu Merapi uda berapakali letus ya pa? 19

D: kalo.. pa Danar udah sejak lahir ya.. kurang lebih … 10 kali. 20

A: eem udah sering ya. Itu selalu mengungsi apa ngga? 21

D: ngga. Karena mengungsi nya baru setelah pa danar tau itu baru 3 kali ini. Itu waktu dulu-dulu itu 22

Merapi mau meletus, ngga seperti kemarin mba. kemarin ini kan besar sekali, terlalu dahsyat. Yang 23

taun 2006 ya itu ngungsi tapi ya ga sebesar taun 2010 kemarin. Ngungsi itu ya taun 2006, terus waktu 24

itu aa.. 9…, 2000. Taun 200 itu ngga ngga ngungsi, Cuma disini aja. 25

A: emm. Nah waktu yang disuruh mengungsi itu Bapak sekeluarga mengungsi ya pa? 26

D: mengungsi. 27

A: begitu disuruh mengungsi itu langsung mengungsi apa nunggu dulu? 28

D: nunggu. Aa sebulan.. 3 bulan sebelumnya kan pegawai vulkanologi sudah ada rambu-rambu. Ga 29

tau kapan meletusnya, tapi uda ada tanda-tanda perubahan. Dia sosialisasi ke pos-pos terdekat, terus 30

sosialisasi ehm ehm ke wilayah terdekat, contohyna KRB3 sini. Banyak ya, yang masuk wilayah 31

KRB3 disosialisasi bahwa Merapi sudah memunculkan kegiatan yang seperti ini. Terus ee.. 32

ngungsinya waktu kemaren itu yang.. yang.. apa itu, dari vulkanologi yang sosialisasi, terus dari Pa 33

camat terus ke Pa lurah, terus sosialisasi ke semua masyarakat. Kalau wlayah dekat Merapi kan, 34

sekitar Merapi, udah hal biasa. Meletus ya biasa. Lihat saja nanti seperti apa. 1 minggu sebelumnya 35

saja tu, tanggl 26, 1 minggu sebelumnya sudah dijaga dengan polisi. Sebagai perangkat desa aja sudah 36

ee aktif di balai desa dari pagi sampai malam, sudah ada yang digilir. Pa danar saja dari jam 7 pagi 37

sampai jam 6 sore itu kemaren. Banyak polisi juga yang disitu. Ngga sempat makan juga. Sudah buat 38

sarimi juga tapi ga sempat makan, lihat kondisi warganya seperti apa. Dari pulang dari balai desa, 39

baru aja tu duduk disini. Ini kan ada meja, ada telepon rumah ya. Baru aja Pa danar belum ganti baju 40

perangkat kemaren. Pa carik uda datang lagi. “pa danar, gimana pa? tolong warganya yang lansia 41

sama anak-anak balita dan ibu hamil disiapkan , diberangkatkan.” “apa betul pa?” “ya betul. Karena 42

Merapinya sudah ada letusan.” Ya itu kan pas mbah marijan itu meninggal tu. Tapi keadaan disini 43

F.4. Partisipan 4 (Pak S) 44

Waktu wawancara: kamis, 3 mei 2012, pk 16.20-17.40. 45

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA RESILIENSI PADA PENYINTAS …

15

Universitas Indonesia

Lokasi wawancara: di rumah partisipan 1

Jenis kelamin: laki-laki 2

Usia : 49 tahun 3

Status: berkeluarga 4

Pekerjaan sekarang: petani da kepala dusun 5

Pekerjaan sebelumnya: petani dan kepala dusun 6

Pendidikan terakhir : SMA 7

Domisili saat ini : desa krinjing, dusun kepil 8

Lama tinggal di daerah bencana : 49 tahun 9

Jumlah anggoota keluarga yang tinggal bersama (termasuk responden) : 5 10

Agama : islam 11

Catatan: tadinya peneliti ingin mewawncara Ibu Sugi, sudah berlangsung kurang leih 30 menit, tapi 12

Ibu sugi agak sulit untuk digali. Kebetulan di tengah wawancara Bapak Sugi ikut menJawab 13

pertanyaan, sehingga peneliti memutuskan untuk berpindah subjek. 14

15

A: bu, ee.. saya mau tanya, Ibu tinggal disini udah dari lahir ya? Apa gimana? 16

N: saya.. tinggal disini sejak taun 19.. 90. 17

A: 1990? 18

N: iya. 19

A: oh waktu itu pindah kesininya kenapa bu? 20

N: ikut suami. 21

A: Bapak emang asli orang sini? 22

N: asli orang sini. 23

A: dari yang Ibu tinggal itu udah berapa kali meletus ya Merapinya? 24

N: sudah 4 kali. 25

A: emm.. itu selalu ngungsi? 26

N: ngga. Ngungsi 2 kali. 27

A: emm.. 2010 itu ya bu yang katanya parah? 28

N: iya, 2006 masi di banyubonyo. Bale desa banyubono. Terus yang kedua di gondowangi. Bale desa 29

gondowangi. 30

A: bu, ee.. pas tau bakal ada bencana Merapi, ibu perasaannya gimana? 31

N: biasa saja, mba. Wong waktu itu, itu apa.. disini mengadakan syukuran deso, lagi mengadakan 32

syukuran deso, malamnya mau kendurinan, jadi ga jadi. Terus meletus, terus semuanya lari. 33

A: ooh jadi pas meletus itu lagi mau kendurian terus ga jadi karena megungis semua gitu ya? 34

N: ya 35

A: ibu ga ada perasaan apaa gitu? Perasaan ibu sendiri. 36

N: ngga pa pa. 37

A: ngga ya? Ngga pa pa. emm.. ketika tau mau ada bencana itu, ibu melakukan persiapan-persiapan ga 38

bu? 39

N: e iya. 40

A: ngapain aja bu waktu itu? 41

N: ya.. bawa surat-surat yang penting. Dibawa. Yaa pakaean secukupnya. Itu aja. 42

43

Resiliensi pada..., Alvina Vivien Setiabrata, FPSIKO UI, 2012