UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH...

90
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH NON-SEMINAR (TUGAS KULIAH) PEMAKNAAN KONSUMERISME PEREMPUAN DALAM IKLAN KARTU KREDIT (Tugas akhir semester mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi II oleh Dra. Ken Reciana Sanjoto, MA) Diajukan Oleh: David Tinambunan 0906561490 Deasy Agnes Ariweny 0906524450 Melin Panjaitan 0906524646 Nurul Utami 0906492070 Departemen Ilmu Komunikasi Program Sarjana Reguler Disusun untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat dalam Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Depok 2013 Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH...

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

UNIVERSITAS INDONESIA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

MAKALAH NON-SEMINAR

(TUGAS KULIAH)

PEMAKNAAN KONSUMERISME PEREMPUAN

DALAM IKLAN KARTU KREDIT (Tugas akhir semester mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi II

oleh Dra. Ken Reciana Sanjoto, MA)

Diajukan Oleh:

David Tinambunan

0906561490

Deasy Agnes Ariweny

0906524450

Melin Panjaitan

0906524646

Nurul Utami

0906492070

Departemen Ilmu Komunikasi

Program Sarjana Reguler

Disusun untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat

dalam Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi

Depok

2013

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

ii

HALAMAN PENGESAHAN

Proposal ini diajukan oleh :

Nama : David Tinambunan/Deasy Agnes Ariweny/

Melin Panjaitan/Nurul Utami

NPM : 090656190/0906524450/0906524646/090492070

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Makalah Non-Seminar : Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan Kartu

Kredit

Diajukan sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar

Sarjana Komunikasi pada Program S1 Reguler Departemen Ilmu Komunikasi,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH

Dra. Ken Reciana Sanjoto, MA

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 30 Januari 2013

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

iii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, kami yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : David Tinambunan/Deasy Agnes Ariweny/Melin Panjaitan/Nurul Utami

NPM : 090656190/0906524450/0906524646/090492070

Departemen : Ilmu Komunikasi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jenis Karya : Makalah Non-Seminar

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas

Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas

karya kami yang berjudul:

Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan Kartu Kredit

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini

Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam

bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas kami ini selama

tetap mencantumkan nama kami sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 30 Januari 2013

Yang menyatakan

(David Tinambunan) (Deasy Agnes Ariweny) (Melin Panjaitan) (Nurul Utami)

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

iv

Universitas Indonesia

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Departemen Ilmu Komunikasi

Program Sarjana Reguler

David Tinambunan

0906561490

Deasy Agnes Ariweny

0906524450

Melin Panjaitan

0906524646

Nurul Utami

0906492070

ABSTRAK

Pemaknaan Konsumerisme Perempuan

dalam Iklan Kartu Kredit

Makalah ini membahas pemaknaan konsumerisme perempuan dalam iklan kartu kredit pada

mahasiswi reguler FISIP UI. Permasalahan penelitian diteliti dengan studi resepsi. Secara garis

besar, studi resepsi ini membahas tentang tiga pola pemaknaan audiens terhadap media, yakni

dominant-hegemonic reading, negotiated reading, dan oppositional reading dalam hubungannya

dengan perilaku konsumtif dalam kehidupan sehari-hari. Adapun media dalam penelitian ini adalah

iklan yang memuat paparan konsumerisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

dengan wawancara mendalam sebagai teknik pengumpulan datanya. Pemilihan informan dalam

penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Data yang diperoleh kemudian dikodekan

secara open coding, axial coding, dan selective coding. Asumsi teoritis dalam penelitian

menunjukkan bagaimana informan perempuan secara aktif memaknai konsumerisme dalam media

massa dan kehidupan sosial. Kesimpulannya, informan memaknai iklan kartu kredit secara

oppositional reading sehingga informan tidak mengkonfirmasi stereotipe perempuan sebagai

‘penghabis uang keluarga’, dan memaknai fungsi kartu kredit berdasarkan nilai gunanya.

Kata kunci: Studi resepsi, konsumerisme, iklan kartu kredit

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

v

University of Indonesia

Faculty of Social and Political Sciences

Department of Communication

Regular Program

David Tinambunan

0906561490

Deasy Agnes Ariweny

0906524450

Melin Panjaitan

0906524646

Nurul Utami

0906492070

ABSTRACT

The Meaning of Women Consumerism

in Credit Card Ads

This paper discusses the meaning of women consumerism in credit card commercial ads toward

FISIP UI regular student. Research problems are researched by the reception study. Broadly

speaking, the reception study discusses three patterns of audience interpreting media, such as

dominant-hegemonic reading, negotiated reading, and oppositional reading in relation to

consumer’s behavior in their daily life. Media in this study is ads that include exposure to

consumerism. This paper uses the qualitative approach with in-depth interview as collection data

technique. Selection of informants uses purposive sampling technique. The obtained data are then

encoded with open coding, axial coding, and selective coding. Theoretical assumptions in the paper

show how informant actively interprets consumerism in mass media and social life. In conclusion,

informant interprets the credit card commercial ads with oppositional reading, so that informant

does not confirm the stereotype of women as a spender of family money, and interprets the

functions of credit card based on its use value.

Keywords: Study receptions, consumerism, credit card commercial ads

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, sedalam-

dalamnya penulis panjatkan karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan makalah. Makalah “Pemaknaan Konsumerisme Perempuan

dalam Iklan Kartu Kredit” ini disusun sebagai tugas akhir semester mata kuliah Metode

Penelitian Komunikasi II, Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Indonesia. Makalah ini kemudian penulis sempurnakan sebagai

working paper agar dapat memenuhi syarat kelulusan dari Program Reguler Departemen

Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.

Penulis ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

proses pengerjaan hingga penyelesaian makalah ini, terutama Dra. Ken Reciana Sanjoto,

MA selaku dosen mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi II yang telah membimbing

dan mengarahkan kami dalam seluruh rangkaian proses pengerjaan makalah ini.

Semoga makalah ini bisa memberikan manfaat akademis dan praktis bagi berbagai

pihak serta menjadi inspirasi bagi setiap mahasiswa yang akan mengembangkan penelitian

terkait dengan tema penelitian makalah ini.

Depok, 30 Januari 2013

David Tinambunan, Deasy Agnes Ariweny,

Melin Panjaitan, Nurul Utami

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..........................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. .........ii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................................................................iii

ABSTRAK.........................................................................................................................iv

ABSTRACT........................................................................................................................v

KATA PENGANTAR.......................................................................................................vi

DAFTAR ISI.....................................................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

I.1 Latar Belakang.................................................................................................1

I.2 Permasalahan....................................................................................................4

I.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................5

I.4 Signifikansi Penelitian......................................................................................5

1.4.1 Signifikansi Akademis.................................................................................. 5

1.4.2 Signifikansi Praktis.......................................................................................5

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN.................................................................................6

II.1 Konsumerisme dalam Iklan Media Massa....................................................6

II.2 Nilai Guna Menjadi Nilai Tukar....................................................................8

II.3 Streotipe Perempuan.....................................................................................10

II.4 Studi Resepsi.................................................................................................12

II. 5 Asumsi Teoritis............................................................................................14

BAB III METODOLOGI................................................................................................15

III.1 Paradigma Penelitian..................................................................................15

III.2 Pendekatan Penelitian.................................................................................15

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

viii

III.3 Metode Penelitian........................................................................................17

III.4 Teknik Pengumpulan Informan................................................................17

III.5 Teknik pengumpulan Data.........................................................................18

III.6 Lokasi Penelitian.........................................................................................19

III.7 Keterbatasan Penelitian..............................................................................20

III.8 Kerangka Konseptual.................................................................................20

BAB IV ANALISIS DAN INTERPRETASI.................................................................22

IV. 1 Analisis........................................................................................................22

IV.1.1 Latar Belakang Informan.......................................................................23

IV.1.2 Pola Penggunaan Kartu Kredit..............................................................23

IV.1.3 Aturan Terkait kartu Kredit..................................................................24

IV.1.4 Cara Pandang Informan.........................................................................25

IV.2 Interpretasi..................................................................................................27

BAB 5 KESIMPULAN....................................................................................................35

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................36

LAMPIRAN......................................................................................................................37

1. Pedoman Wawancara......................................................................................37

2. Transkrip Wawancara....................................................................................40

3. Open Coding.....................................................................................................54

4. Axial Coding.....................................................................................................80

5. Selective Coding...............................................................................................81

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam satu dekade belakangan ini, muncul tren baru dalam dunia periklanan

Indonesia, yaitu iklan yang mengukuhkan konsumerisme. Tidak hanya mendorong audiens

untuk bergabung dengan layanan yang diiklankan, iklan yang mengukuhkan

konsumerisme ini juga mendorong audiens untuk membeli produk dari iklan-iklan lainnya.

Iklan yang mengukuhkan konsumerisme ini tidak lain adalah iklan kartu kredit. Awalnya

memang tidak terlalu diperhitungkan, tetapi ketika BNI (Bank Negara Indonesia) sukses

dengan iklannya hingga mampu mengeluarkan dua juta kartu kredit pada tahun 2011 dan

meningkatkan nilai transaksi kartu kredit sebesar 40 persen (Indonesia Finance Today, 25

Januari 2012), sejumlah penyedia layanan kartu kredit pun berlomba-lomba menyajikan

iklan yang serupa di media massa komersial tanah air.

Jika diamati, memang benar iklan layanan demikian dapat memberi pemahaman

terhadap audiens tentang kemudahan bertransaksi ekonomi. Sepintas terlihat sinergi yang

sangat ideal antara iklan kartu kredit yang mengedepankan kemudahan bertransaksi

ekonomi dengan kebutuhan audiens akan layanan yang bisa mengamini setiap kebutuhan

yang terkendala masalah finansial, sehingga membuat kehidupan ekonomi audiens

berlangsung optimal. Namun, yang juga mulai dikhawatirkan adalah gagasan

konsumerisme yang secara implisit dikemas dalam iklan kartu kredit tersebut.

Dengan munculnya gejala semacam ini, tidak bisa dipungkiri, nilai guna yang

ditampilkan dalam iklan kartu kredit tersebut berubah menjadi nilai tukar. Terdapat potensi

ekonomi yang lebih besar di balik iklan kartu kredit tersebut. Nilai guna kartu kredit

akhirnya semata-mata ditonjolkan untuk mengeksplotasi potensi ekonomi yang lebih besar.

Orientasi ini menjadikan tujuan utama iklan kartu kredit bergeser pada potensi-potensi

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

2

bisnis lainnya, yaitu bagaimana menjaring produk-produk lainnya melalui kartu kredit

tersebut sehingga dapat mencetak profit sebanyak-banyaknya.

Masalah mulai muncul tatkala perubahan nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar

mengandung sejumlah konsekuensi. Nilai tukar kartu kredit berhubungan dengan simbol

status gaya hidup dan refleksi bonafiditas dalam masyarakat. Kartu kredit menjadi suatu

identitas yang dapat dibanggakan seseorang karena persyaratan untuk menjadi pemilik

kartu kredit cukup selektif. Dengan demikian, kepemilikan kartu kredit dikonstruksi

melalui proses simbolisasi tersebut oleh media massa dan secara sosial.

Dalam tesisnya, Cole (1992) menjelaskan tentang bentuk perubahan sosial dalam

masyarakat modern, yaitu cashless society. Cashless society pada hakikatnya merupakan

salah satu ciri masyarakat modern dimana orang kurang mengandalkan transaksi secara

tunai. Makin banyak orang melakukan pembelian secara kredit untuk barang/jasa yang

tidak dapat dibelinya secara tunai. Di kalangan pedagang barang/jasa, sistem penjualan

secara kredit juga semakin berkembang terutama dalam upaya merebut pangsa pasar di

tengah kompetisi yang semakin sengit. Sebagai implikasinya, kartu kredit kini menjadi

bagian dari gaya hidup masyarakat di kota-kota besar.

Kehidupan di kota besar seperti Jakarta yang penuh kesibukan membuat orang

cenderung menginginkan yang serba cepat, mudah, dan praktis termasuk untuk kegiatan

yang bersifat konsumtif. Oleh penerbit kartu kredit, fenomena ini dijadikan acuan untuk

menawarkan kepraktisan dan keamanan dalam berbelanja. Adanya kartu kredit ini, bagi

sebagian masyarakat, mendukung gaya hidup yang dianutnya sehingga mereka

memanfaatkan kartu kredit pada semua transaksi pembelian barang/jasa.

Kartu kredit yang dikenal juga sebagai uang plastik kerap dijadikan sebagai alat

pembayaran utama mereka. Transaksi dengan menggunakan kartu kredit memberikan

kemudahan kepada masyarakat baik untuk pembelian barang/jasa maupun untuk penarikan

uang tunai bagi mereka yang enggan membawa uang tunai, tak pelak lagi kartu kredit

menjadi pilihan. Penggunaan uang plastik semacam ini dalam beberapa tahun belakangan

menjadi tren pada sebagian masyarakat di Indonesia.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

3

Buktinya menurut data Bank Indonesia, pertumbuhan nominal transaksi kartu

kredit industri perbankan sepanjang 2011 meningkat 11,88% menjadi Rp 182,60 triliun

dibanding 2010 yang tercatat Rp 163,20 triliun. Adapun volume transaksi kartu kredit pada

2011 naik 5,18% menjadi 209,35 juta transaksi dari 199,03 juta transaksi di 2010.

Peningkatan nilai transaksi kartu kredit didorong oleh transaksi belanja. Nilai nominal

transaksi belanja sepanjang 2011 meningkat 12,27% menjadi Rp 178,16 triliun dibanding

2010 yang tercatat Rp 158,69 triliun. Dari sisi volume, transaksi belanja meningkat 5,46%

menjadi 205,30 juta transaksi dari 194,68 juta transaksi.

Tabel 1.1 Transaksi Kartu Kredit Nasional

Untuk transaksi tunai, dari sisi nominal mengalami penurunan sebesar 1,77%

menjadi Rp 4,44 triliun dari Rp 4,52 triliun pada 2010. Dari sisi volume, transaksi ambil

tunai juga menurun 7,17% menjadi 4,05 juta transaksi pada 2011 dari 4,36 juta transaksi

pada 2010. Salah satu pendorong penurunan transaksi tunai dan di sisi lain peningkatan

transaksi kartu kredit adalah masyarakat mulai terbiasa mengganti alat bayarnya dari tunai

menjadi kartu sehingga semakin meningkatkan volume transaksi kartu kredit.

Mengapa masalah ini menjadi krusial? Iklan media masssa bagaimanapun adalah

sebuah industri budaya yang mengusung wacana budaya tertentu. Ketika media massa

berupaya untuk menghadirkan nilai guna dari kartu kredit dalam iklan media massa, perlu

dipertanyakan, adakah memang itu berlandaskan pada tujuan yang semata-mata demi nilai

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

4

guna kartu kredit itu sendiri? Sebagai industri budaya, media massa sejak lama dicurigai

sebagai agen budaya yang mengusung kepentingan pasar. Setiap iklan media massa,

apapun idealisme yang dicitrakannya pada khalayak, tak lebih dari perpanjangan budaya

pasar dengan logika kapitalisme yang bergerak di belakangnya.

I.2. Permasalahan

Sebagai pemegang ranah domestik, perempuan menjadi sebuah objek dari

kapitalisme. Melalui iklan kartu kredit khususnya, perempuan tidak lagi membeli barang

karena mereka benar-benar membutuhkannya. Mereka membeli barang tersebut hanya

demi kepuasan yang semu. Mereka hanya mempertukarkan simbol demi mengkonsumsi

sebuah citra yang sama sekali bukan merupakan pemuas kebutuhannya yang hakiki.

Dominannya pengguna kartu kredit perempuan justru mengkonfirmasi lemahnya posisi

mereka dalam menangguhkan stereotipe negatif sebagai ‘penghabis uang keluarga’.

Dengan adanya kartu kredit, perempuan cenderung menjadi lebih konsumtif

daripada mereka yang sebelumnya tidak menggunakan kartu kredit. Bayangkan saja

apabila mereka akan melakukan pembayaran, mereka hanya perlu menggesekkan kartu

kreditnya, meskipun mereka tidak memiliki uang tunai pada saat itu. Pengguna akan

merasa tenang–tenang saja saat menggesekkan kartu kredit, padahal mereka tidak tahu

keadaan sebenarnya. Karena saat mereka menggesekkan kartu kreditnya, hutang keluarga

mereka akan bertambah. Hal ini baru mereka sadari saat surat tagihan datang dan jumlah

yang harus mereka bayar biasanya lebih besar daripada batasan kredit.

Dalam penelitian ini, iklan kartu kredit dipersepsikan sebagai pendorong

konsumerisme perempuan. Karena kebanyakan iklan tersebut menggunakan pemeran

perempuan, dan lewat aneka promo dan potongan harga iklan tersebut mengkonstruksi hal-

hal yang harus dimiliki oleh perempuan. Dikaitkan dengan pemikiran Baudrillard, terjadi

proses pengubahan nilai guna kartu kredit ditransformasikan menjadi nilai tukar. Selain itu,

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

5

penelitian ini juga menggunakan studi resepsi untuk mengetahui pemaknaan responden

sebagai audiens perempuan terhadap iklan kartu kredit.

Rencana penelitian ini bertolak dari banyaknya iklan kartu kredit yang meramaikan

media massa tanah air. Maka ketika iklan kartu kredit tayang secara intensif, muncul tanda

tanya besar yang menjadi pokok permasalahan penelitian ini:

1. Bagaimana pemaknaan perempuan yang shopaholic dalam iklan kartu kredit?

2. Bagaimana pemaknaan stereotip perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’?

3. Bagaimana pemaknaan pergeseran nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah melihat pemaknaan perempuan yang shopaholic

dalam iklan kartu kredit, stereotip perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’, dan

pergeseran nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar.

I.4. Signifikansi Penelitian

I.4.1. Signifikansi Akademis

1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kajian studi ilmu

komunikasi sehingga dapat digunakan dalam penelitian selanjutnya.

2. Dapat menambah pemahaman mengenai konsep Konsumerisme dalam

Iklan Media Massa, Nilai Guna Menjadi Nilai Tukar, Stereotipe

Perempuan, dan Studi Resepsi.

I.4.2. Signifikansi Praktis

1. Dapat menjadi bahan masukan bagi perempuan di Indonesia dalam

menggunakan kartu kredit secara lebih bijaksana.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

6

BAB II

KERANGKA PEMIKIRAN

II.1. Konsumerisme dalam Iklan Media Massa

Sistem komunikasi mempunyai peranan penting dalam masyarakat konsumen

karena sistem tersebut merupakan perangkat vital dalam konstruksi realitas simbolis.

Sistem komunikasi berperan sangat signifikan untuk mentransfer dan menyebarkan nilai

simbolis (symbolic value) pada masyarakat. Sistem komunikasi pun berkembang semakin

canggih dengan dukungan teknologi komunikasi dan informasi. Inovasi teknologi

membuat produksi image dan komodifikasi nilai simbolis dari suatu objek menjadi

semakin mudah dan cepat. Inovasi ini pula secara perlahan berperan dalam menentukan

dan mempercepat jalannya budaya konsumtif dalam masyarakat kita.

Konsumerisme dapat diartikan sebagai cara individu atau masyarakat

menggunakan suatu barang hasil produksi secara berlebihan dan terkadang bukan lagi

suatu kebutuhan, melainkan hanya suatu keinginan, yang dilakukan secara sadar dan terus-

menerus. Dalam budaya konsumerisme, iklan televisi dan media lainnya merupakan faktor

yang sangat dominan. Melalui iklan, masyarakat terus didorong untuk mengkonsumsi,

sehingga menjadi suatu gaya hidup. Iklan digunakan untuk melihat kekurangan yang ada

pada konsumen, kemudian produsen menawarkan produk yang dihasilkannya sebagai

solusi dari penyempurnaan kekurangan yang telah ditimbulkan.

Menurut Jane Kenway dalam Norris, isi media massa semakin mendukung budaya

konsumerisme. Surat kabar atau televisi sekarang ini banyak membuat suatu bagian atau

program yang khusus dirancang untuk channel komersial. Kita semakin mudah

menemukan liputan khusus tentang barang konsumsi, tempat belanja, saran atau tips

belanja dan berbagai cerita mengesankan tentang pengalaman berbelanja. Istilah populer

untuk bentuk liputan semacam itu disebut jurnalisme komersial.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

7

Jurnalisme komersial menjadi tren saat ini. Bahkan dalam perkembangannya,

bentuk liputan dan tayangan komersil implisit dalam acara-acara atau tulisan lain. Bentuk-

bentuk semacam ini mempersuasi sub-conscious dari penonton atau pembacanya.

Selain isi media massa, perkembangan yang pesat juga terjadi pada bidang

pemasaran dan periklanan produk konsumsi, dimana budget belanja iklan dan penciptaan

merk pada perusahaan juga semakin bertambah besar. Biaya promosi justru seringkali lebih

besar dari biaya produksi dari komoditas itu sendiri. Karena bagaimanapun iklan masih

dianggap dan terbukti menjadi metode promosi yang paling ampuh.

Periklanan menjadi semakin canggih dan persuasif belakangan ini. Jika kita

mengamati bentuk iklan saat ini, kita akan melihat visualisasi iklan terkadang jauh lebih

baik dari realitasnya, atau disebut juga hiper-realitas. Williamson (1978) dalam studinya

tentang periklanan menerapkan konsep ideologi, sebagaimana yang didefinisikan

Althusser, yang dipahami sebagai “imaginary relationship of individual to their real

condition of existence”. Menurutnya, ideologi dalam periklanan menyempurnakan makna

dan gagasan dari pengalaman, seperti kecantikan, kesuksesan, kebahagiaan, ilmu

pengetahuan, terhadap produk komersial yang ditujukan untuk konsumen.

Iklan menjadi sebuah jalan untuk menciptakan kondisi budaya atau sosial yang

ideal dan menjadikan seseorang menjadi seperti yang diinginkan. Diri kita dibentuk ulang

atau diubah oleh periklanan yang berujung pada terbentuknya suatu perasaan imajiner

tentang kenyataan. Iklan menciptakan simulasi untuk menanamkan simbol-simbol dari

objek dalam masyarakat. Pada awalnya, barang-barang ditampilkan berdasarkan kualitas

material dan fungsinya. Kemudian, secara bertahap, iklan akan menciptakan ’cara’ untuk

membuat asosiasi dari tanda yang berasal dari objek dengan suatu gaya hidup atau dengan

kehidupan sosial masyarakat. Sehingga yang ditekankan dalam iklan adalah asosiasi objek

dengan sesuatu yang diinginkan atau hasrat dari masyarakat.

Iklan mampu menciptakan mimpi dan ilusi karena memunculkan gambar yang

dimanipulasi. Hal tersebut digunakan pengiklan untuk menciptakan realitas fantasi karena

apa yang tampak di dunia nyata tidak lagi dianggap cukup efektif untuk memperoleh apa

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

8

yang diinginkan masyarakat. Hasilnya, kita banyak melihat dalam iklan: anak yang tumbuh

berukuran raksasa dalam waktu sekejap, produk yang bisa terbang, tampilan tubuh yang

lebih ramping, kulit yang lebih putih, dan sebagainya.

II.2. Nilai Guna Menjadi Nilai Tukar

Menurut Baudrillard, ketika kita mengonsumsi sebuah objek maka sebenarnya kita

sedang memakai simbol dalam proses membatasi diri kita terhadap perilaku maupun dalam

interaksi sosial. Dan objek menghasilkan ‘person’ maksudnya adalah dengan

mengonsumsi sebuah objek maka setiap konsumen akan mencari tempatnya dalam tatanan

sosial dan membentuk stratifikasi sosial dan menjaga posisi tersebut secara kontinu.

Dengan kata lain, setiap orang dilihat berdasarkan apa yang dia konsumsi. Dan disinilah

permulaan titik penyimpangan dari logika Marx dalam pemikiran Baudrillard. Dengan

logika empat objeknya, Baudrillard mulai menjauh dari pemikiran Marx tentang nilai

sebuah objek. Logika empat objek itu adalah:

1. Nilai fungsional, yaitu tentang tujuan instrumental dalam hal penggunaan sebuah objek

(dalam bahasa Marx adalah “nilai guna” objek atau komoditas).

2. Nilai tukar, yaitu nilai ekonomis dari sebuah objek konsumsi.

3. Nilai tukar simbolis, yaitu nilai yang telah dibangun bersama dalam masyarakat untuk

sebuah objek konsumsi dibandingkan dengan objek lain.

4. Pertukaran nilai simbol objek merupakan pertukaran dalam perbandingan dengan

objek-objek lain dalam suatu sistem objek.

Dengan logika tersebut, kita sebenarnya sudah tidak lagi hanya mengonsumsi

objek, tetapi lebih ke arah mengonsumsi simbol. Konsumsi sendiri menurut Baudrillard

merupakan tindakan sistematis dalam memanipulasi simbol, dan untuk menjadi objek

konsumsi, objek harus mengandung atau bahkan menjadi simbol. Dalam mengonsumsi

objek, otomatis kita juga mengonsumsi simbol yang sama, dan secara tidak sadar kita mirip

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

9

atau bahkan seragam dengan banyak orang yang berlomba-lomba mengonsumsi simbol

serupa. Inilah yang dimaksud dengan kode mengontrol apa yang kita konsumsi.

Baudrillard menegaskan bahwa dalam dunia yang dikontrol oleh kode, konsumsi

berhenti ketika apa yang kita sebut sebagai ‘kebutuhan’ terpuaskan. Baudrillard kemudian

mendekonstruksikan dikotomi subyek-obyek dan lebih umum, pengertian tentang

‘kebutuhan’. Kita tidak perlu membeli apa yang kita butuhkan, tetapi apa yang dikatakan

kode pada kita seharusnya kita beli. Oleh karena itu, ‘kebutuhan’ sendiri pun ditentukan

oleh kode. Dan realitas yang dijalankan menjadi semu.

Pada pembahasan mengenai masyarakat konsumsi, Baudrillard mengawalinya

dengan kritik atas apa yang terjadi di masyarakat, yakni kelimpahruahan objek. Semua

aktivitas manusia pada tingkat ini tidak lagi didasarkan pada hakikat kemanusiaan atau

alam, tetapi lebih melihat semuanya sebagai objek. Inilah yang dimaksud dengan liturgi

tentang objek dimana semua manusia melakukan ritual yang sama. Mereka melakukan

standarisasi dirinya dalam kehidupan sosial lewat objek-objek yang berafilisasi dengan

dirinya. Tidak hanya itu, lingkungan yang menaungi mereka pun tidak lebih dari objek

yang didominasi oleh hukum nilai tukar (exchange value).

Di mana-mana dapat ditemukan objek yang semuanya diukur dengan nilai tukar

dan tentu saja masing-masing objek dapat ditukar dengan uang, sebuah alat tukar yang

merajai dunia. Dengan kata lain, mereka yang menguasai alat tukar akan mendominasi

dunia ini. Kelimpahruahan yang ada sesungguhnya merupakan konsekuensi logis dari

logika objek yang telah menguasai manusia. Kelimpahruahan ini terwujud dalam pasar

modern, seperti mall dan pusat perbelanjaan, dimana manusia tidak lagi menyadari bahwa

ia sedang melakukan aktivitas konsumsi.

Mereka terbius oleh iklan yang mengasosiasikan diri sebagai bagian dari kebutuhan

manusia, padahal tidak demikian. Mereka terhipnotis dengan kenyamanan dan kemudahan

berbelanja sehingga mereka tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka tengah

melakukan ritual konsumsi. Ritual konsumsi yang dimaksud adalah kondisi dimana

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

10

manusia bergerak untuk memenuhi hasrat yang sesungguhnya diciptakan sedemikian rupa

oleh sebuah kekuatan yang hegemonik dan dominan yang sulit ditolak.

Bagi Baudrillard, mall adalah sintesis dari kelimpahruahan dan kalkulasi yang

memungkinkan sintesis semua kegiatan konsumen yang membuat ‘eksplorasi yang malas’,

dimana mall membiarkan pembeli dengan mudah memperoleh apa yang dapat dikonsumsi.

Menurutnya, mall lebih cocok dengan konsumsi modern, dimana orang-orang diarahkan

tidak lagi untuk berbelanja kebutuhan yang diperlukan, melainkan juga sebagai pertukaran

simbol melalui konsumsi simbol di dalam interaksi sosial.

Baudrillard juga menambahkan betapa pentingnya kartu kredit bagi mall dan

masyarakat konsumsi. Karena dengan kartu kredit dapat memudahkan konsumen untuk

tetap mengonsumsi objek-objek yang berlimpahruah tersebut.

II.3. Stereotipe Perempuan

Budaya berkembang sejak dulu hingga kini dalam masyarakat kita, yang sebagian

besar menganut sistem patriarkal, masih menempatkan perempuan pada posisi yang tidak

menguntungkan. Perempuan digambarkan sebagai objek kekerasan, eksploitasi seksual,

pendukung konsumerisme, atau stereotipe negatif lainnya. Stereotipe perempuan seringkali

digambarkan dengan rumusan 5P, yakni harus selalu tampil memikat (pigura), pengurus

utama pekerjaan rumah tangga (pilar), menjadi objek pemuas laki-laki (peraduan), identik

dengan dunia dapur (pinggan), dan selalu khawatir tidak diterima oleh lingkungan

(pergaulan). Jarang terdapat wacana yang menggambarkan perempuan sebagai subjek yang

aktif secara ekonomi, sosial, atau politik.

Salah satu elemen dari 5P yang kemudian menjadi stereotipe negatif perempuan

hingga saat ini, menyatakan bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga yang bertugas

mengurus persoalan rumah tangga sangat dominan dalam masyarakat. Stereotipe ini

membawa persepsi bahwa kosa kata berbelanja, mencuci, menata dan merapikan,

memasak, dan sebagainya adatah kosa kata stereotipis perempuan. Memang secara kultural

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

11

seorang ibu (perempuan) sosok yang bertangung jawab atas tersedianya berbagai

kebutuhan rumah tangga. Karena itulah, mereka menjalankan fungsi konsumsi dalam

rumah tangga. Dengan demikian, perempuan menjadi sering berbelanja untuk mencukupi

berbagai kebutuhan rumah tangga. Hal inilah yang kemudian menjadikan perempuan

sering dipersepsikan masyarakat sebagai sosok yang suka berbelanja.

Perempuan sebagai makhluk yang paling konsumtif dibanding laki-laki,

dikonstruksi-kan secara kultural. Perempuan merupakan aktor dalam rumah tangga yang

bertanggung jawab atas supply berbagai kebutuhan rumah tangga. Dengan demikian,

mereka sudah terkonstruksi sebagai sosok yang suka berbelanja. Karena keadaan semacam

itu berlangsung secara terus-menerus, secara tidak disadari terbentuklah stereotipe

perempuan sebagai sosok paling konsumtif (Julia Suryakusuma, 1981).

Wanita menjadi potensi pemasaran yang luar biasa. Dalam kehidupan sehari-hari

wanita menjadi manajer pembelian untuk bermacam-macam barang dan jasa. Dengan

semakin majunya pendidikan wanita, produk-produk yang di masa lalu hanya layak

ditargetkan untuk laki-laki, sekarang pun berpotensi besar ditargetkan kepada kaum

wanita. Wanita bukan hanya memerlukan informasi tentang barang konsumsi sehari-hari,

perabotan rumah tangga, dan kecantikan, melainkan juga produk-produk otomotif,

program pendidikan, real estate, transportasi, dan pariwisata. (Rhenald Kasali, 2000).

Hampir semua produk, telah menggunakan perempuan sebagai objek untuk

membeli produk mereka. Terlihat dengan jelas, perempuan menjadi objek komoditas yang

efektif untuk menjual produk. Lebih jauh, hal ini menyinggung sensitifitas gender yang

menyebut perempuan sebagai simbol konsumerisme. Timbul stigma dalam masyarakat

bahwa perempuan identik dengan hasrat beli yang lebih tinggi dibanding laki-laki.

Bahkan menurut survei di Inggris, setiap enam puluh detik seorang wanita

memikirkan tentang produk fashion. Penelitian tersebut secara tidak langsung semakin

menguatkan stereotipe perempuan sebagai sosok yang konsumtif. Dan atas dasar tersebut,

kaum kapitalis memiliki alasan yang semakin kuat untuk memanfaatkan sosok perempuan

dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

12

Menurut survei majalah SWA pada tahun 2000, perempuan lah yang memegang

kendali untuk memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan keluarga

dan rumah. Bagi pemasar, perempuan memiliki peran ganda. Di satu sisi, mereka adalah

pasar primer yang membelanjakan uang mereka untuk kebutuhan pribadi. Di sisi lain,

mereka juga pengambil keputusan konsumsi keluarga. Lebih-lebih, sebagian besar dari

mereka adalah ‘kasir’ keluarga yang menentukan untuk apa saja uang akan dibelanjakan.

Jadi perempuan terlihat konsumtif bukan hanya karena membeli kebutuhan pribadinya,

namun juga untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

II.4. Studi Resepsi

Studi Resepsi diawali kajian yang dilakukan oleh David Morley yang dalam

perkembangannya kemudian mengubah fokus dari ideologi politik ke pertanyaan

bagaimana perempuan menggunakan media. Para pakar ini melihat bagaimana audiens

perempuan menanggapi dan melakukan resistensi terhadap konten media. Teori ini

mencoba menjelaskan bagaimana khalayak mengkonstruksikan makna dari konten media

yang biasa disebut sebagai teks. Pendekatan ini berasumsi bahwa makna media adalah

sesuatu yang tidak kaku. Teks media hanya memiliki makna ketika terjadi momen resepsi,

yaitu ketika media dibawa, dilihat atau didengarkan, dan makna dari teks media itu sendiri

tidak tetap, mereka dikonstruksikan oleh audiens. Konstruksi makna itu terjadi melalui

interpretasi terhadap teks media (Crotoeau & Hoynes, 2000). Analisis resepsi berpendapat

bahwa makna terbentuk dari interaksi antara teks dengan audiens media. Teks media dalam

konteks ini mencakup film, televisi, dan media cetak.

Khalayak dilihat sebagai produser makna dan bukan hanya sebagai pengkonsumsi

konten media. Mereka men-decode atau memberikan makna pada teks media dengan cara

menghubungkannya dengan lingkungan sosial dan budaya mereka, dan dengan cara

bagaimana mereka memberikan makna pada keadaan lingkungan mereka. Oleh karena itu,

faktor kontekstual audiens menjadi hal yang penting karena proses resepsi dan produksi

makna tidak dapat dipisahkan dari konteks dimana pemaknaan itu terjadi.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

13

Pada studi resepsi, beberapa faktor kontekstual mempengaruhi cara pemaknaan

audiensnya seperti identitas atau latar belakang audiens, seperti gender, ras, tingkat

pendidikan, umur, pekerjaan, situasi dimana khalayak membaca teks tersebut, dan asumsi-

asumsi yang telah dimiliki oleh khalayak sebelum membaca teks. Latar belakang ini secara

langsung turut membangun kehidupan individu audiens dan pengalamannya bersama

media. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang audiens

dengan bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media.

Penelitian dalam analisis resepsi kebanyakan menggunakan model encoding-

decoding yang dikemukan oleh Stuart Hall pada tahun 1973. Objek dari model ini adalah

makna dan pesan dalam bentuk tanda yang diproses melalui pengoperasian kode dalam

rantai wacana. Dua dasar dari pendekatan encoding-decoding (McQuail & Windhal, 1996)

adalah (1) komunikator memilih untuk meng-encode pesan untuk tujuan tertentu serta

memanipulasi bahasa dan media guna mencapai tujuan tersebut; (2) penerima tidak

diharuskan menerima atau men-decode pesan sebagaimana yang dikirimkan namun dapat

melawan pengaruh ideologis dengan menerapkan cara pemaknaan yang berlainan atau

berlawanan sesuai dengan pengalaman dari sudut pandang mereka.

Decoding adalah proses audiens menggunakan pengetahuan mereka secara implisit

tentang teks dan nilai-nilai budaya guna menginterpretasikan teks media. Decoding

berkaitan dengan kapasitas subjektif untuk menghubungkan tanda tersebut dengan tanda

lainnya. Model ini memberikan fokus pada hubungan antara pesan media yang di-encode

oleh produser dan cara pesan tersebut diinterpretasikan atau di-decode oleh khalayak.

Berdasarkan model ini, audiens akan men-decode pesan suatu teks dengan menggunakan

pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang mereka miliki serta mengaitkannya dengan

keadaan lingkungan secara menyeluruh.

Karena encoding akan memiliki efek membangun batasan interpretasi maka

menurut Hall akan ada tiga bentuk pembacaan antara penulis teks dan pembaca, serta

bagaimana pesan itu dibaca di antara keduanya (Durham & Kellner, 2002):

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

14

1. Dominant-Hegemonic Reading, yaitu pembacaan pesan yang lebih mendekati

makna sebenarnya seperti yang ditawarkan oleh media. Pembaca dominan atas

teks, secara hipotesis akan terjadi jika baik pembuat ataupun pembaca teks memiliki

ideologi yang sama sehingga menyebabkan tidak adanya perbedaan pandangan

antara pembuat maupun pembaca. Nilai yang dibawa oleh pembuat teks bukan

hanya disetujui oleh pembaca, lebih jauh dinikmati dan dikonsumsi oleh pembaca

teks. Pada posisi ini, tidak ada perlawanan dari pembaca karena mereka memaknai

teks sesuai dengan yang ditawarkan pembuat.

2. Negotiated Reading, yaitu pembaca pesan mengerti makna yang diinginkan

produsen tetapi mereka membuat adaptasi dan aturan sesuai dengan konteks

dimana mereka berada. Pembacaan ini terjadi ketika ideologi pembacalah yang

lebih berperan dalam menafsirkan dan menegosiasikan teks.

3. Oppositional Reading, yaitu pembaca pesan mengerti makna yang diinginkan oleh

produsen, tetapi mereka menolak makna tersebut serta memaknai dengan cara

sebaliknya. Pada posisi ini, ideologi pembaca berlawanan dengan pembuat teks.

Pembaca oposisi umumnya ditandai dengan rasa ketidaksukaan dan

ketidakcocokkan terhadap teks wacana yang dikonsumsi.

II.5. Asumsi Teoritis

Dalam penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa pemaknaan konsumerisme

perempuan dalam kartu kredit dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Tidak hanya iklan

kartu kredit pada media massa itu sendiri, tetapi juga faktor-faktor seperti masyarakat,

keluarga, pergaulan, tingkat status ekonomi-sosial, dan pengalaman pribadi informan.

Melalui penelitian ini akan diketahui bagaimana informan perempuan secara aktif

memaknai konsumerisme dalam media massa dan kehidupan sosial.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

15

BAB III

METODOLOGI

III.1. Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma kritis; kaum perempuan dalam pemikiran

Marxis digambarkan sebagai kelompok yang tersubordinasi sehingga banyak konsep atau

pandangan umum yang didefenisikasn dari kacamata laki-laki. Di sini kaum feminis selalu

berusaha membongkar banyak hal yang selama ini dianggap normal, tetapi sesungguhnya

merupakan hasil konstruksi pihak yang dominan.

Menurut Littlejohn (1999), teori kritis yang didasarkan pada pemikiran Marx, pada

dasarnya memfokuskan pada isu-isu tentang ketidakadilan dan penindasan, dan menaruh

perhatian pada konflik kepentingan dalam masyarakat dan cara-cara komunikasi yang

mengukuhkan dominasi yang satu terhadap lainnya. Dengan demikian, maka penelitian

yang dilakukan berdasarkan teori kritis ini dalam usaha:

Memahami pengalaman kehidupan informan dalam konteks sosialnya yang

dilakukan dengan meminjam pendekatan interpretasi.

Menemukan ketidakbenaran dalam suatu konstruksi sosial kemasyarakatan yang

biasanya terdapat dalam kehidupan sehari-hari, yang dilakukan dengan meminjam

gagasan dari pendekatan strukturalisme.

Secara sadar berusaha menyatukan teori dan tindakan.

III.2. Pendekatan Penelitian

Sesuai dengan paradigma, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hal

ini dilakukan karena dengan pendekatan kualitatif dimungkinkan untuk mendapatkan

pemahaman secara utuh dan menyeluruh mengenai gejala, kenyataan, ataupun tingkah laku

sosial dan budaya yang akan ditemukan dalam penelitian itu sendiri.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

16

Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh informan penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan

lain-lain, dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

tidak dimanipulasi, dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Dalam hal ini,

penelitian kualitatif dimanfaatkan antara lain untuk keperluan:

Memahami isu-isu rinci tentang situasi dan kenyataan yang dihadapi seseorang.

Memahami isu-isu sensitif.

Meneliti hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang informan penelitian,

Dimanfaatkan untuk peneliti yang berminat untuk menelaah suatu latar belakang,

misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap, dan persepsi.

Metode ini membuat peneliti memahami realitas yang diteliti, bukan mencari

kebenaran; fokus pada proses, bukan pada hasil penelitian. Pemahaman pun harus dari

sudut pandang informan penelitian, bukan dari sudut pandang peneliti.

Berdasarkan uraian mengenai pendekatan penelitian kualitatif, penelitian ini dapat

dikatakan sebagai penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan penelitian ini ditujukan untuk

menggali pemahaman mengenai situasi dan kenyataan yang dialami. Situasi dan kenyataan

tersebut merupakan sebuah pengalaman dari informan mengenai kartu kredit dan juga

pemaknaannya terhadap kartu kredit dari iklan media massa dan sosial.

Terkait dengan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa usaha yang dilakukan

peneliti ditujukan untuk menggali isu-isu sensitif. Hal ini disebabkan data yang diperoleh

adalah data berupa informasi dari informan, bukanlah berdasarkan kuesioner tertutup. Oleh

sebab itu, informan dapat secara bebas memberikan keterangan seputar masalah yang

hendak diperoleh peneliti. Dengan kata lain, isu-isu sensitif seputar pengalaman informan

mengenai kartu kredit dapat digali lebih dalam oleh peneliti.

Selain itu, peneliti juga mengkaji lebih dalam mengenai latar belakang informan

penelitian. Hal ini dilakukan agar mengetahui bagaimana aktivitas keseharian, lingkungan,

orang tua, hingga pada permasalahan pribadi yang dimiliki oleh informan serta nilai-nilai

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

17

yang dianut oleh informan. Dengan kata lain, informasi atau keterangan inilah yang juga

hendak dikembangkan dalam penelitian ini.

III.3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan perspektif feminis karena penelitian ini berusaha

mengangkat pengalaman dan pengetahuan perempuan dalam kehidupannya

bermasyarakat, yang mencakup pula hubungan gender di dalamnya. Adapun ciri lain dari

penelitian berperspektif feminis adalah bukan penelitian tentang perempuan, tetapi

penelitian untuk perempuan, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberdayakan

perempuan atas konstruksi media massa tentang image shopaholic perempuan dan

kesenjangan yang diakibatkan oleh sistem patriarkal.

Dalam penelitian ini, kaum perempuan tidak lagi hanya dijadikan objek penelitian,

tetapi mereka juga harus mampu menjadikan dirinya sendiri sebagai informan penelitian

yang mampu meneliti dirinya, dalam arti mampu mengartikulasikan permasalahannya serta

mampu mencari jalan keluarnya sendiri sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Dengan

demikian, mereka mampu mengetahui potensi yang mereka miliki untuk mengubah

perpektif yang dimilikinya menjadi lebih baik.

Ketika melakukan wawancara mendalam, peneliti mampu menempatkan dirinya

dalam posisi informan yang diteliti secara kritis. Dengan demikian, peneliti mampu

berempati secara kritis kepada kaum perempuan yang sedang diteliti, dengan

mengenyampingkan emosi yang berlebihan sehingga bisa menjaga hasil penelitian secara

objektif, yaitu mampu membedakan antara pernyataan dengan kenyataan yang murni.

III.4. Teknik Pemilihan Informan

Teknik pemilihan informan yang digunakan adalah purposive sampling.

Penggunaan teknik ini maksudnya agar peneliti dapat memilih informan yang dapat

memberikan informasi yang diinginkan dan sesuai dengan tujuan dan masalah penelitian.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

18

Dalam teknik ini, informan yang terpilih adalah orang yang memenuhi persyaratan yang

telah ditetapkan oleh peneliti. Adapun persyaratan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, informan berjenis kelamin perempuan. Alasan dari pemilihan jenis

kelamin perempuan berangkat dari pandangan dan juga kenyataan yang ada, bahwa

perempuan lebih sering dan lebih banyak menjadi objek konstruksi realitas yang dibangun

oleh media massa. Peneliti beranggapan bahwa akan sangat menarik untuk melihat

bagaimana sikap dari perempuan yang menjadi informan dalam penelitian ini.

Kedua, informan berstatus sebagai mahasiswi di UI Depok. Peneliti menganggap

bahwa UI sebagai lembaga perguruan tinggi, memiliki sivitas akademika yang majemuk

secara latar belakang, budaya, maupun status ekonomi selain itu aksesibilitas antara

informan dan peneliti sendiri cukup tinggi. Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah

mahasiswa, karena dalam anggapan peneliti umumnya mahasiswa belum memiliki

pendapatan sendiri dan masih menggantungkan keuangan dari kiriman orang tua. Peneliti

dalam hal ini ingin melihat bagaimana pandangan informan terhadap tagihan kartu kredit

yang umumnya masih ditanggung oleh orang tua.

Ketiga, informan memiliki kartu kredit dan aktif dalam bertransaksi. Peneliti

menganggap bahwa kepemilikan kartu kredit memiliki relevansi mendasar dengan topik

dari penelitian ini. Kepemilikan kartu kredit dan keaktifan bertransaksi diharapkan menjadi

dasar informan dalam memberikan informasi mengenai pola penggunaan dan pandangan

informan mengenai motivasi dalam menggunakan kartu kredit dalam bertransaksi.

Dipadukan dengan pergaulan mereka sehari-hari, kemungkinan munculnya pandangan

‘baru’ dalam diri informan terhadap kartu kredit dan media yang mempromosikannya,

menurut peneliti sangat mungkin akan muncul.

III.5. Teknik Pengumpulan Data

Wawancara mendalam adalah salah satu dari alat pengumpulan data, yang

menggali dengan pertanyaan baik dengan menggunakan panduan wawancara maupun

kuesioner. Instrumen ini digunakan untuk memperoleh jawaban tentang apa saja hal-hal

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

19

yang akan diketahui sehubungan dengan suatu hal, bagaimana yang dirasakan, tentang

pengalaman, apa yang diingat, pilihan sikap, dan hal-hal yang menjadi dasar atau alasan.

Dengan kata lain, alat pengumpulan data dengan wawancara mendalam adalah alat utama

untuk mendapatkan informasi sebanyak dan seakurat mungkin.

Tujuan wawancara mendalam adalah:

Memperoleh data mengenai persepsi manusia.

Mengumpulkan data mengenai perasaan dan motivasi seseorang atau penilaian

terhadap sekelompok orang.

Memperoleh informasi mengenai perilaku pada masa lampau.

Mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya sangat pribadi atau sensitif.

Wawancara dapat dilaksanakan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Apabila peneliti hendak melakukan wawancara secara langsung, peneliti harus berhadapan

langsung dengan pihak yang diwawancarai. Dalam kondisi ini, diharapkan tidak ada

intervensi dari pihak lain yang bersifat mempengaruhi jawaban informan.

Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam. Pengumpulan data bagi

penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara dan dengan menggunakan interview guide.

Teknik ini dipakai dalam penelitian ini guna membantu untuk mendapatkan dan menggali

informasi yang diketahui ataupun dialami oleh informan, bahkan yang tersembunyi dalam

diri informan. Wawancara semi-struktur yang berisikan pokok-pokok daftar pertanyaan ini

memungkinkan peneliti untuk memastikan fokus penelitian tetap terjaga, dan bisa

digunakan dalam waktu yang terbatas, dan lebih sistematis.

III.6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dipilih adalah Depok, dengan latar alamiahnya adalah Mall

Margo City. Pertimbangan pemilihan lokasi ini adalah:

1. Dekat dengan peneliti. Sebagian besar peneliti menetap di Depok, daerah kampus

Universitas Indonesia. Dengan demikian, hal tersebut akan mempermudah jalannya

penelitian karena dekat dengan latar alamiahnya.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

20

2. Dekat dengan ibukota Jakarta sebagai pusat bisnis, pemerintahan, dan kebudayaan.

Asumsinya, masyarakat Depok terterpa pola konsumsi kartu kredit dari masyarakat

Jakarta yang cenderung aktif dengan transaksi kartu kredit.

III.7. Keterbatasan Penelitian

Informan dalam penelitian ini terlalu sedikit karena berjumlah satu orang dan

berasal dari kalangan mahasiswa. Hal ini dengan sendirinya menjadikan pendapat dan hasil

pemaknaan informan dalam penelitian ini nantinya bukanlah merupakan representasi

pemaknaan oleh kaum perempuan pada umumnya karena tidak berasal dari berbagai

lapisan masyarakat. Terlebih lagi, informan hanya melakukan pembacaan oposisional.

III.8. Kerangka Konseptual

Media Massa

Dominant Reading

Negotiated Reading

Oppositional Reading

Individu

Masyarakat

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

21

Konsumerisme yang dikonstruksi oleh media massa memayungi pemaknaan

informan penelitian ini. Dengan tiga bentuk pembacaan menurut studi resepsi, informan

dapat setuju dengan representasi perempuan yang shopaholic dalam iklan media massa;

menegosiasikan eksistensi model perempuan dalam iklan; atau resisten terhadap

konsumerisme yang ditumbuh-suburkan media melalui iklannya yang provokatif.

Pemaknaan tersebut memberikan sumbangsih dalam hal bagaimana informan

menyikapi stereotipe yang berkembang dalam masyarakat. Apabila setuju dengan

konsumerisme dalam iklan, informan mungkin akan setuju dengan stereotipe perempuan

sebagai ‘penghabis uang keluarga’, dan mengimplementasikannya. Sebaliknya, apabila

resisten terhadap konsumerisme dalam iklan, informan juga akan resisten terhadap

stereotipe tersebut dengan menekan pengeluaran yang berlebihan.

Pemaknaan ini akan bermuara pada individualitas informan; bagaimana ia

memaknai kartu kredit, apakah sebagai nilai guna atau nilai tukar. Apabila lebih dominan

ke arah nilai tukar, informan secara tidak langsung mengukuhkan baik stereotipe dalam

masyarakat maupun konsumerisme yang dipupuk oleh media massa. Sebaliknya, apabila

lebih dominan ke arah nilai guna, informan menolak stereotipe negatif tersebut dan resisten

terhadap konsumerisme yang dikonstruksi iklan media massa tersebut.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

22

BAB IV

ANALISIS DAN INTERPRETASI

IV.1. ANALISIS

IV.1.1. Latar Belakang Informan

Informan adalah seorang mahasiswi di Universitas Indonesia (UI), Depok.

Informan sedang menempuh pendidikan S1 di jurusan Ilmu Komunikasi, dengan

program studi komunikasi media. Dalam program studi ini, informan terpapar

paradigma kritis yang kemudian mempengaruhi pola pikirnya dalam memandang

realitas yang dikonstruksi oleh media massa dan menggunakan kartu kredit dengan

sebijaksana mungkin.

Informan yang berusia 21 tahun ini berasal dari keluarga dengan status

sosial ekonomi tengah ke atas. Di Depok, saat ini informan merupakan mahasiswi

rantauan, dan sesekali berkumpul dengan keluarganya yang tinggal di daerah

Bintaro, Jakarta Selatan. Kegiatan sehari-hari informan adalah kuliah, mengikuti

unit kegiatan mahasiswa (UKM) paduan suara Paragita UI, melatih peserta dan

menjadi juri debat bahasa Inggris.

Pemasukan informan berkisar antara 1,5 hingga 2 juta per bulan, yang

diperoleh dari orang tuanya. Selain itu, informan juga memiliki sumber pemasukan

lain yang berasal dari kegiatan melatih dan menjadi juri debat bahasa Inggris,

dengan nominal penghasilan yang bervariasi. Pemasukan itu berkisar antara 1

sampai 3,5 juta per bulan.

Informan hanya memiliki satu buah kartu kredit dengan jenis Master Card

dari Bank Mandiri. Tipe kartu kredit tersebut adalah Titanium dengan pagu kredit

sebesar 30 juta. Kartu kredit tersebut telah informan miliki sejak tahun 2011.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

23

Informan sehari-harinya hanya mendapat paparan iklan kartu kredit dari

media internet seperti email dan bentuk direct marketing lainnya, bukan dari media

televisi. Hal ini berarti tingkat aksesibilitas media informan cukup rendah terhadap

media televisi dengan frekuensi paparan iklan yang lebih tinggi.

IV.1.2. Pola Penggunaan Kartu Kredit

Informan menggunakan kartu kredit dengan alasan keterbatasan uang tunai

yang dimilikinya, dorongan orang tua karena kondisi informan yang jauh dari orang

tua, dan adanya potongan harga dan promosi dalam beberapa transaksi belanja yang

biasa dilakukan informan. Adapun nominal transaksi kartu kredit yang biasanya

dilakukan oleh informan adalah sebesar 2 sampai 3 juta per bulannya. Hal ini berarti

informan hanya menggunakan 8% dari pagu kartu kredit yang dimilikinya.

Transaksi dengan menggunakan kartu kredit dilakukan informan untuk

membeli barang-barang yang berupa kebutuhan, bukan untuk berfoya-foya.

Adapun kebutuhan tersebut adalah untuk berbelanja buku, membayar biaya rumah

sakit, membeli kosmetik, memesan tiket pesawat, dan membantu pembayaran

kebutuhan keluarga. Informan juga mengaku bahwa ia sesekali menggunakan kartu

kredit untuk membeli pakaian dalam jumlah yang besar, yang notabene bukan

merupakan kebutuhan seperti halnya kebutuhan di atas. Meskipun seperti itu,

informan menegaskan bahwa ia tidak hobi berbelanja dan melakukan hal tersebut

karena tuntutan kegiatan yang diikutinya.

Pola penggunaan kartu kredit oleh informan dapat dikatakan cukup

bijaksana, seperti; (1) memiliki prinsip untuk tidak mau ditumpangi pembayaran

kartu kredit oleh teman-temannya, (2) hanya membeli barang yang dipromosikan

melalui iklan media massa apabila benar-benar butuh, (3) bukan untuk transaksi

dengan iming-iming cicilan 0% atau barang-barang mahal, (4) untuk membantu

membayar kebutuhan keluarga, (5) tidak menggunakan kartu kredit di luar daftar

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

24

kebutuhan yang ditanggung oleh orang tua, (6) membatasi frekuensi penggunaan

kartu kredit tergantung pada jumlah tagihan pada bulan sebelumnya, dan (7)

menggunakan kartu kredit saat ada potongan harga.

Informan dan ibunya merupakan pemegang kartu kredit tambahan dari kartu

kredit utama yang dimiliki ayah informan. Hal ini mempengaruhi pola penggunaan

kartu kreditnya yang dibatasi oleh aturan yang ditetapkan oleh ayahnya selaku

pemegang kartu utama. Informan sendiri menilai bahwa jumlah kartu kredit yang

dimilikinya sudah sesuai dengan kebutuhan, seperti kebutuhan ke rumah sakit

secara regular dan membeli buku. Namun demikian, informan merasa bahwa jenis

kartu kredit yang dimilikinya tidak sesuai dengan tingkat kebutuhannya karena

bunga yang tinggi dan pagu kartu kredit yang mencapai 30 juta per bulannya yang

dirasa berlebihan.

IV.1.3. Aturan Terkait Kartu Kredit

Dalam menggunakan kartu kredit, informan mengacu pada aturan yang

ditetapkan oleh orang tua dan dirinya sendiri. Terkait dengan aturan orang tuanya,

ayah informan membuat daftar sejumlah kebutuhan yang ditanggung oleh orang tua

dan yang ditanggung dirinya sendiri. Adapun kebutuhan yang ditanggung oleh

orang tua informan adalah pembelian buku dan pembayaran rumah sakit.

Ayah informan juga memberi peringatan terhadap informan agar

pengeluaran dengan menggunakan kartu kredit tidak melebihi limit, dan membuat

kebijakan bahwa kartu kredit yang dimiliki oleh informan bukan untuk keperluan

dirinya sendiri melainkan juga untuk menanggung kebutuhan keluarga. Apabila

informan menggunakan kartu kredit untuk hal-hal di luar daftar kebutuhan yang

ditanggung, informan harus bertanggung jawab dan membayar biaya transaksi

tersebut terhadap orang tuanya.

Ayah informan merupakan pihak yang melunasi tagihan kartu kredit untuk

daftar kebutuhan informan yang sudah ditetapkan. Meskipun informan bertanggung

jawab untuk melunasi sendiri tagihan kartu kredit atas transaksi yang berada di luar

daftar kebutuhan yang ditanggung, biasanya ayahnya mendahulukan pelunasan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

25

tagihan tersebut. Hal ini terkait dengan status kartu kredit informan sebagai kartu

kredit tambahan, yang merupakan satu kesatuan dari kartu kredit yang dipegang

ayahnya.

Adapun aturan yang dibuat oleh informan sendiri terkait penggunaan kartu

kredit seperti; (1) kalau tidak butuh dan tidak ada potongan harga, jangan gunakan

kartu kredit, (2) peringatan terhadap diri sendiri bahwa ada tagihan yang ditanggung

oleh orang tua dan ada pula tagihan yang harus ditanggung diri sendiri, dan (3)

sengaja meninggalkan kartu kredit jika tidak untuk membeli kebutuhan yang

bersifat urgen.

IV.1.4. Cara Pandang Informan

Dalam wawancara yang peneliti lakukan, informan mengemukakan

pandangannya tentang beberapa hal terkait tema penelitian ini, yaitu pandangan

terhadap promosi kartu kredit melalui iklan media massa, pandangan tentang image

shopaholic dalam iklan, pandangan terkait representasi perempuan dalam iklan,

pandangan terhadap stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’, dan

pandangan tantang pergeseran nilai guna kartu kredit. Pandangan tersebut didasari

oleh paparan teori kritis yang informan terima dari materi perkuliahan yang

berparadigma kritis.

Informan membenarkan promosi dengan bunga 0% dari kartu kredit dalam

iklan media massa untuk barang-barang mahal atau elektronik. Untuk kebutuhan

tersier seperti gadget, informan beranggapan lebih baik membayar secara tunai

daripada menggunakan kartu kredit. Di sisi lain, informan secara kritis

berpandangan bahwa iklan membuat orang tidak sadar bahwa mereka menumpuk

utang berbunga tinggi. Oleh karena itu, informan menyadari dan menghimbau

pemilik kartu kredit untuk memiliki resistensi terhadap iklan, dimana apabila tidak

membutuhkan barang yang dipromosikan iklan kartu kredit, maka tidak perlu

dibeli. Terkait hal ini, informan menilai iklan mendorong para pemilikinya untuk

bergaya hidup konsumtif.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

26

Adapun informan terpapar iklan kartu kredit melalui direct marketing yang

dilakukan oleh pihak bank yang bersangkutan, yakni melalui email, banner, dan

brosur. Utamanya, informan mendapatkan email dari Bank Mandiri tentang

program-program promosinya. Selain itu, informan mengaku juga mendapatkan

surat secara langsung dari Bank Mandiri tentang kupon ataupun potongan harga

yang tengah mereka lakukan.

Informan melihat kesan shopaholic pada perempuan yang menjadi model

dalam iklan kartu kredit bukan merupakan realitas yang sebenarnya dalam dunia

nyata, melainkan realitas semu yang dikonstruksi oleh media massa. Image

shopaholic pada model perempuan dalam iklan media massa tersebut mungkin

relevan dengan orang-orang berpenghasilan tinggi, seperti pengusaha dan anggota

DPR, menurut informan.

Menurut informan, konsumerisme yang melekat pada diri perempuan yang

direpresentasikan dalam iklan kartu kredit bukan merupakan suatu realitas,

sehingga informan tidak mengasosiasikan dirinya seperti perempuan dalam iklan

tersebut. Bagi informan, konsumerisme bukanlah masalah gender. Maksudnya,

laki-laki dan perempuan memang memiliki pola konsumsi yang berbeda, namun

keduanya berpotensi untuk menjadi konsumtif dalam menggunakan kartu kredit.

Selanjutnya, informan tidak setuju dengan stereotipe perempuan sebagai

‘penghabis uang keluarga’. Karena menurut informan laki-laki juga berpotensi

dikenakan stereotipe tersebut. Hal ini terkait dengan persepsi informan bahwa baik

laki-laki maupun perempuan sama-sama menggunakan 50% dari pemasukannya

untuk kegiatan konsumsi. Informan beranggapan bahwa bukan karena laki-laki

tidak sering berbelanja maka tidak bisa dikatakan sebagai ‘penghabis uang

keluarga’, dan bukan pula karena perempuan sering belanja maka mereka serta

merta dikenakan stereotipe tersebut.

Menurut informan, perempuan memang terlihat lebih sering berbelanja

sementara laki-laki hanya sesekali saja berbelanja. Namun, jumlah rupiah yang

dikeluarkan oleh keduanya kurang lebih sama. Frekuensi dan jenis kebutuhan di

antara keduanyalah yang membedakan kecenderungan potensi laki-laki atau

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

27

perempuan dapat dikatakan sebagai ‘penghabis uang keluarga’. Informan kembali

menegaskan bahwa bukan karena seseorang merupakan perempuan maka

pengeluarannya lebih besar, melainkan frekuensi belanjanyalah yang menentukan;

perempuan cenderung lebih banyak dan lebih sering berbelanja tetapi dengan

tingkat harga yang murah.

Informan mengakui bahwa setelah terpapar teori kritis, ia menggunakan

kartu kredit sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk mencicil pembayaran barang agar

tidak terasa berat dan membuat harga barang terkesan lebih murah karena fluktuasi

nilai mata uang. Berbeda dengan pandangan orang kebanyakan sekarang tentang

kartu kredit yang mengalami pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar. Pergeseran

pandangan ini menyebabkan orang-orang tersebut menggunakan kartu kredit untuk

berbelanja sepuasnya dan simbolisasi prestise. Mereka tidak menyadari perilaku

konsumtif yang terus mereka preservasi melalui penggunaan kartu kredit secara

berlebihan tersebut.

Dalam penelitian ini, peneliti juga menanyakan pandangan informan

tentang pola pengelolaan keuangan yang ideal yang dapat mencegah konsumerisme

pengguna kartu kredit. Informan menilai pengelolaan keuangan yang ideal tidak

terkait gender. Baik laki-laki maupun perempuan dapat menjadi pengelola

keuangan yang ideal, begitupun keduanya berpotensi menjadi individu yang boros

dan konsumtif. Kalaupun ada perbedaan di antara keduanya, bukan tergantung soal

gender, melainkan alokasi anggaran pengeluaran untuk kebutuhan dan

konsumsinya.

IV.2. INTERPRETASI

Informan menggunakan kartu kredit untuk membeli barang-barang yang berupa

kebutuhan, bukan untuk hal-hal yang bersifat kurang urgen. Hal ini terlihat dari pernyataan

informan, “Aku dikasih kartu kredit karna cerita awalnya kan aku masuk emergency, asma

ku kambuh. Aku ga punya siapa-siapa di Depok. Akhirnya temen aku yang bantuin bayar

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

28

karna kebetulan akhir bulan ... Nah aku tuh dikasih kartu kredit karna itu. Pokoknya yang

masih berkaitan sama kesehatan dan pendidikan, itu masih kebutuhan. Kesehatan kan

primer, perlu kartu kredit. Tapi kalau misalnya untuk belanja-belanja gitu, ya ga

usahlah, kalo emang ga perlu. Soalnya sangat semenggoda itu pake kartu kredit. Kayak

kita ga ngeluarin duit, kan ga berasa susahnya.”

Selain untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan, informan juga menggunakan

kartu kreditnya untuk kebutuhan tambahan yang tidak bersifat primer, yakni untuk

membeli kosmetik dan pakaian dalam jumlah yang besar. “Kan untuk yang paragita emang

lagi mau lomba kan dan aku masih perlu make up, makanya aku beli gara-gara tau ada

diskon 30 persen waktu itu pake kartu mandiri. Dan yaudah, biasanya aku pake make up

nya yang Pac. Pac itu kan dalam negeri jadi ga semahal yang lain. Dan itu di diskon lagi

30 persen. Jadi emang lebih menguntungkan pake kartu kredit mandiri.”

Dari pernyataan di atas, terlihat bahwa informan menggunakan kartu kredit untuk

membeli kosmetik karena ada potongan harga apabila pembayaran dilakukan dengan

menggunakan kartu kredit Mandiri yang dimilikinya, bukan semata-mata karena informan

hanya ingin bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit.

Begitupun halnya dengan transaksi menggunakan kartu kredit yang dilakukan

informan untuk membeli pakaian. Informan cukup bijak untuk memanfaatkan promo

potongan harga untuk transaksi dengan menggunakan kartu kredit atas pakaian yang

dibelinya meskipun dalam jumlah yang besar. “... Kan aku orang nya jarang membeli

baju gitu kan. Jadi sekali beli, sekali banyak. Soalnya aku ga hobi shopping

sebenernya.”

Informan mengaku sering kali mengoptimalkan penggunaan kartu kredit untuk

berbagai potongan harga yang berlaku di setiap kesempatan, seperti makan di restoran

bersama keluarga dan teman-teman sepergaulan. “Biasanya ada program-program

khususnya, misalnya kayak pizza hut delivery. Kalau misalnya bayar pake cash kan 100%,

tapi kalo pake kartu kredit diskon 15%. Jadi lumayan juga.” Informan kadang tidak

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

29

segan untuk menggenapkan jumlah nominal transaksi agar mendapatkan potongan harga

jika pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit.

Peringatan dari orang tua informan juga melatarbelakangi pola penggunaan kartu

kredit yang cukup ketat oleh informan, sebagaimana pernyataan informan, “... Papa aku

tetap nekanin sih yang namanya pengeluaran itu ditekan, ditekan, ditekan. Kalau

misalnya emang ga butuh, jangan. Dan aku juga ga ikut-ikutan kayak temen-temen gitu,

misalnya kayak gaul kemana gitu. Aku lebih ke apa ya,. sibuk dengan kegiatan aku sendiri.

Kalau misalnya aku butuh, beli. Kalau misalnya enggak, enggak.”

Informan memiliki aturan dalam penggunaan kartu kredit yang didapatkan dari

ayah informan dan dirinya sendiri. “... Papa aku punya list apa aja pengeluaran yang

ditanggung orang tua, apa aja yang tanggungan aku sendiri. Selama pengeluaran itu

masih tanggungan orang tua, aku make kartu kredit. Misalnya beli buku. Kan aku pernah

beli buku di Times. Terus apa lagi ya, rumah sakit. Aku sebenarnya tujuan pake kartu

kredit ini untuk rumah sakit. Soalnya kalo aku ke rumah sakit, tagihan kartu kredit papa

aku, nanti aku kan ada tagihan dari rumah sakit, itu diganti sama perusahaan.”

Terdapat daftar kebutuhan yang menjadi tanggungan orang tua dan kebutuhan yang

ditanggung oleh informan sendiri. Adapun kebutuhan yang menjadi tanggungan orang tua

adalah kebutuhan pendidikan dan biaya kesehatan, dan terkadang untuk membayar

kebutuhan keluarga. Kebutuhan di luar hal-hal tersebut yang menjadi tanggungan informan

adalah seperti untuk membeli baju dan peralatan make up.

“Kalau untuk kebutuhan aku sendiri aku disuruh ganti. Misalnya gini, setiap

bulan kan aku dikirimin tagihan kartu kreditnya. Ee ya terus terhitung pakenya berapa, tek

tek tek tek. Terus kayak udah hitung, aku pengeluarannya segini, oh yaudah aku transferin

ke papa. Aku kan ada rekening papa juga. Jadi ya hasil aku kerja itu, terus juga uang jajan

bulanan aku. Itu juga nantinya dikurangin lagi untuk tagihan kartu kredit.”

Peneliti melihat aturan yang didapatkan oleh informan, baik dari orang tua maupun

yang ditetapkan dari dirinya sendiri, semakin mendorong informan untuk lebih bijak lagi

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

30

dalam menggunakan kartu kredit. Aturan inilah yang kemudian mempengaruhi pola

penggunaan kartu kredit informan. Peneliti beranggapan seandainya tidak terdapat aturan

yang ditetapkan oleh ayah informan, terdapat kemungkinan informan menggunakan kartu

secara berlebihan atau dengan kata lain aturan inilah yang menjadi path way informan

dalam frekuensi dan limit penggunaan kartu kredit.

Aturan-aturan yang ditetapkan informan adalah hanya membeli barang-barang

yang dibutuhkan, adanya peringatan terhadap diri sendiri untuk hanya membeli barang

yang ditanggung orang tua, dan meninggalkan kartu kredit di kosan ketika tidak

dibutuhkan. “Aku ga memperlakukan kartu kredit aku itu layaknya kartu kredit orang-

orang.” Hal ini menunjukkan bahwa informan memiiki tindakan preventif dan cukup ketat

terhadap dirinya sendiri dalam hal penggunaan kartu kredit.

Kebijakan lainnya yang informan tetapkan dalam menggunakan kartu kreditnya

adalah membatasi frekuensi penggunaan kartu kredit tergantung pada jumlah tagihan pada

bulan sebelumnya, kecuali apabila terdapat hal-hal yang bersifat urgen dan

mengharuskannya bertransaksi dengan menggunakan kartu kredit. Hal ini tercermin dari

pernyataan informan, “Karena aku bulan lalu udah banyak pengeluarannya karena aku

beli buku dan segala macam, jadi aku tidak berencana pake kartu kredit untuk beberapa

bulan ke depan, kecuali kalau aku emang ada ke rumah sakit.”

Meski kelompok pertemanan informan sering kali menggunakan kartu kredit ketika

hang-out, informan tidak mengikuti pola penggunaan kartu kredit dalam frekuensi dan

jumlah yang cukup tinggi sebagaimana yang dilakukan oleh teman-temannya. Informan

justru lebih memilih untuk menumpangi transaksi bersama dengan menggunakan kartu

kredit temannya daripada temannya yang menumpang membayar melalui kartu kreditnya.

Informan menerangkan, “Kalau misalnya temen-temen lagi jalan, misalnya mereka “aduh

aku lagi ga bawa cash nih. Aku bayar pake kartu kredit aja ya. Kalian bayar cashnya aja

ke aku”. Dan aku yaudah pake kartu kredit temen, aku bayar ke dia. Tapi kalau misalnya

aku yang nanggung, aku ga mau soalnya tagihannya jadi gede.”

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

31

Status informan dan ibunya sebagai pemilik kartu kredit tambahan dari kartu kredit

utama yang dipegang ayahnya, juga mempengaruhi pola penggunaan kartu kreditnya.

Informan menjelaskan, “... Sebenernya kartu kredit itu kan ada yang utama, ada yang

tambahan gitu. Pemegang kartu kredit utamanya itu papa aku. Cuma papa aku ngasih aku

sama mama aku kartu kredit, mungkin supaya ga timpang aja penggunaannya.”

Pandangan kritis informan terhadap promosi iklan kartu kredit terlihat dari

pernyataan “Kalau yang biasanya cicilan 0 persen itu kan untuk barang yang mahal ya

harganya. Jadi aku ga pernah pake kartu kedit aku untuk bayar yang semahal itu juga ...

Aku pake kartu kreditnya apa ya, bukan karena. Istilahnya karena emang lebih untung

pake kartu kredit gitu. Tapi kalau diperlakukan selayaknya kredit itu kan bisa menumpuk

utangnya ... Menurut aku sih ga tau karna aku udah kena terpaan kritis atau gimana. Cuma

aku tuh emang gini, kalau misalnya aku ga perlu ya aku ga beli.”

Dari pernyataan di atas terlihat bahwa informan menyadari keberadaan propaganda

konsumerisme dalam promosi iklan kartu kredit, namun informan yang sudah terpapar

paradigma kritis ini tidak mengkonfirmasi pesan yang disampaikan dalam iklan tersebut

dalam pola perilaku penggunaan kartu kreditnya di dunia nyata.

Informan sadar bahwa iklan media massa menggambarkan kartu kredit sebagai

solusi atas keterbatasan finansial dari target audiensnya. Namun sebagai pengguna kartu

kredit, informan tahu membedakan mana yang kebutuhan yang benar-benar diperlukan dan

mana yang bukan. Misalnya, untuk barang-barang elektronik dengan cicilan 0%, informan

tidak tertarik untuk membeli dengan menggunakan kartu kredit. Karena, informan

memiliki prinsip, kartu kredit digunakan untuk membeli barang-barang yang memang

diperlukan, bukan untuk membeli yang diimpikan oleh pemiliknya.

Selaras dengan argumen dari Jane Kenway, informan juga memandang bahwa isi

media massa semakin mendukung budaya konsumerisme. “Berdasarkan iklan-iklan yang

tadi, kartu kredit itu sudah menjadi lifestyle. Akhirnya orang make nggak untuk kebutuhan

ideal tadi, tapi lebih ke yang belanja gini-gini. Apalagi kalau kita ke toko baju, ada diskon

untuk yang pake kartu kredit ini ini. Akhirnya mendorong orang untuk belanja.”

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

32

Meskipun iklan kartu kredit di media massa mendorong masyarakat untuk terus

melakukan kegiatan konsumsi dan menjadikannya sebagai gaya hidup, informan dalam

penelitian ini menyadari dan menangkap pesan tersebut, tapi ia tidak serta merta menjadi

individu yang konsumtif terkait penggunaan kartu kredit yang ia miliki.

Selaras dengan studi Williamson tentang ideologi dalam periklanan, informan memandang

image shopaholic dalam iklan bukan sebagai suatu realitas, melainkan penyempurnaan

imajinasi tentang makna dan gagasan dari pengalaman berupa kebahagiaan. Dalam hal ini

adalah pengalaman menggunakan kartu kredit dan rasa puas serta bahagia yang

diekspresikan oleh model dalam iklan kartu kredit saat bertransaksi menggunakan kartu

kredit dan ‘menikmati’ keuntungannya.

Menegaskan hal tersebut, informan menyatakan, “Aku ga melihat itu sebagai

suatu realita. Rasanya enggak kok. Kenyataannya ga kayak gitu. Dan palingan kalo ada

orang yang kayak gitu ya emang orang yang bener kaya.” Iklan hanyalah suatu mimpi dan

ilusi karena memunculkan gambar yang dimanipulasi. Dalam kehidupan nyata, hanya

orang-orang kaya yang mampu bergaya hidup sebagaimana yang dimunculkan dalam

iklan.

“... Aku kan masih menggolongkan diri aku di kelas menengah. Menurut aku

harusnya orang-orang yang belanja gila-gilaan gitu, ya orang-orang yang

penghasilannya bener-bener kaya juga. Pengusaha kek atau anggota DPR kek, atau apa

gitu. Cuma kalau orang-orang kayak aku tidak selayaknya kayak gitu.” Atas pernyataan

tersebut, informan melihat bahwa iklan kartu kredit bukan merupakan realitas yang

sebenarnya dalam dunia nyata, melainkan realitas semu yang dikonstruksi oleh media

massa. Karena target audiens yang sebenarnya adalah kelas atas, bukan kelas tengah ke

bawah.

Informan menyatakan bahwa seseorang layak menjadi seorang shopaholic jika

memiliki pemasukan yang besar, dan secara tidak langsung tersirat bahwa orang dengan

pendapatan kecil bukanlah sasaran penggambaran shopaholic dalam iklan kartu kredit.

Karena dalam kenyataannya, orang-orang yang sanggup membeli barang yang dipaparkan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

33

dalam iklan-iklan kartu kredit tersebut hanyalah orang-orang yang berpenghasilan tinggi.

Ditambah lagi, barang-barang yang atau dipromosikan bukan merupakan barang-barang

dengan harga murah, minimal di atas 5 juta.

Dalam pandangan informan, konsumerisme yang direpresentasikan pada diri

perempuan dalam iklan kartu kredit bukan merupakan suatu realitas, dan bukanlah masalah

gender. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki pola konsumsi yang sama, namun

dengan jenis kebutuhan yang berbeda. Terkait hal ini, menurut informan, keduanya

berpotensi menjadi konsumtif dalam menggunakan kartu kredit.

“Kalau misalnya aku, yang namanya belanja itu kewajaran bagi orang yang

banyak duit. Jadi, kayak terlepas dari dia cewek apa cowok.”

Informan tidak setuju dengan stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang

keluarga.’ Hal ini terkait dengan pendapat informan bahwa baik laki-laki maupun

perempuan sama-sama menggunakan 50% dari pemasukannya untuk kegiatan konsumsi.

Menurut informan, perilaku konsumtif tidak bisa didasarkan pada seberapa sering

seseorang itu berbelanja, namun lebih kepada nominal yang dikeluarkan dan jenis

kebutuhanlah yang membedakan kecenderungan potensi laki-laki atau perempuan dapat

dikatakan sebagai ‘penghabis uang keluarga’. “Kalau aku, lagi-lagi terlepas dengan

gendernya ya. Kalau konsumsi 50 persen, cowok sama cewek sama aja, cuman kan

kebutuhannya beda.”

“Soalnya kalau aku ngeliatnya cewek memang kelihatan banyak belanjanya,

karna dia beli baju, beli apa gitu yang kecil-kecil. Tapi jadi-jadinya gede. Kalo cowok

sebenarnya jadi mahal juga. Kayak mereka itu sukanya otomotif atau gadget. Walaupun

kecil kayak gini, tapi berkali-kali lipat dari belanjaan cewek.” Informan menekankan

bahwa perempuan memang kelihatannya sering berbelanja, namun tidak tetutup

kemungkinan untuk kebutuhan primer. Bahkan, perempuan dalam keluarga juga harus

membelanjakan kebutuhan para lelaki dalam keluarga tersebut. Hal tersebutlah yang

akhirnya membuat perempuan digambarkan secara kultural sebagai sosok yang memiliki

hasrat yang tinggi untuk berbelanja daripada laki-laki.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

34

Informan menjelaskan bahwa ia menggunakan kartu kredit sesuai dengan nilai

gunanya. “Kartu kredit itu aku rasa penggunaan dasarnya adalah untuk beli barang yang

bisa dicicil dan cicilannya nol persen. Itu kan sangat-sangat menguntungkan kalo kayak

gitu kita ga terasa berat.” Berdasarkan logika empat objek dari Baudrillard, informan

menggunakan kartu kredit karena alasan nilai fungsional atau nilai gunanya.

Informan menggunakan kartu kredit bukan karena alasan kebanyakan orang yang

dangkal, bahwa kartu kredit sebagai simbol prestise dan memungkinkan penggunanya

berbelanja sepuasnya. Informan justru memandang kartu kredit secara bijaksana. Untuk

itu, tidak terjadi pergeseran nilai guna kartu kredit menjadi nilai tukar karena informan

melakukan pembacaan oposisional terhadap iklan kartu kredit dalam media massa dan

stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang keluarga’ dalam masyarakat.

Dari pernyataan informan, peneliti menginterpretasikan bahwa kartu kredit pada

dasarnya mendorong pemiliknya melakukan praktik konsumerisme berganda. Hal ini

karena dengan hanya memiliki kartu kredit yang secara gencar dipromosikan oleh berbagai

media massa, baik cetak maupun elektronik, pemilik kartu kredit terus didorong untuk

menjadi individu yang konsumtif dalam menggunakan kartu kreditnya.

Hal ini diperparah dengan penggunaan kartu kredit tersebut secara berlebih-

lebihan, untuk membeli barang-barang yang bukan merupakan kebutuhan, namun karena

terpapar pesan-pesan ilusional dari iklan kartu kredit dan adanya kartu kredit untuk

mewujudkan pesan-pesan ilusional tersebut, maka pemilik kartu kredit terjebak dalam

praktik konsumerisme berganda yang tidak disadarinya.

Menyadari hal tersebut, informan menghimbau para pengguna kartu kredit untuk

juga melakukan pembacaan iklan kartu kredit secara oposisional dan memaknai pesan-

pesan dalam iklan kredit secara kritis. Hal ini dikarenakan iklan kartu kredit pada dasarnya

dapat memicu pola penggunaan kartu kredit secara tidak bijak, berlebih-lebihan, hingga

cenderung membuat seseorang menjadi individu konsumtif.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

35

BAB V

KESIMPULAN

Dari penelitian kami, yang berjudul Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan

Kartu Kredit, maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Penggambaran perempuan yang shopaholic dalam iklan kartu kredit tidak dimaknai

informan sebagai suatu realita. Dengan pembacaan oposisional yang dilakukannya,

informan menyadari bahwa iklan kartu kredit pada dasarnya mendorong audiensnya

untuk mengikuti pesan-pesan promosional dan pengalaman berbelanja yang

ditampilkan oleh model dalam iklan. Oleh karena itu, informan meyakini bahwa iklan

kartu kredit mendorong audiensnya untuk menjadi pengguna kartu kredit yang aktif

dan individu yang konsumtif.

2. Informan tidak mengkonfirmasi stereotipe perempuan sebagai ‘penghabis uang

keluarga’. Terkait dengan penggunaan kartu kredit, informan menilai bahwa baik laki-

laki maupun perempuan dapat dikenakan stereotipe tersebut karena keduanya

berpotensi menjadi ‘penghabis uang keluarga’. Pengenaan stereotipe ini, dalam hemat

informan, tidak didasari pada gender individu, melainkan jenis kebutuhan, nominal

pengeluaran dan pola pengelolaan keuangannya. Secara kultural, karena posisi

perempuan dalam keluarga yang sering kali berperan sebagai pengelola keuangan,

maka ketika ia menjadi pengguna kartu kredit, kecenderungan pengenaan stereotipe

‘penghabis uang keluarga’ itu lebih besar.

3. Informan memaknai fungsi kartu kredit berdasarkan nilai gunanya. Hal ini

dikarenakan informan menggunakan kartu kredit sesuai dengan fungsi dan keuntungan-

keuntungan yang ditawarkan melalui transaksi menggunakan kartu kredit, bukan untuk

simbolisasi prestise dan belanja secara berlebih-lebihan; yang merupakan pergeseran

fungsi kartu kredit menjadi nilai tukar.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

36

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Creswell, John W. 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitaif, dan Mixed.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Durham, Meenakshi Gigi & Douglas M. Kellner. 2002. Media and Cultural Studies

Keyworks. Great Britain: Blackwell Publishers.

Hennink, Monique, Inge Hutter & Ajay Bailey. 2011. Qualitative Research Methods.

California: SAGE Publications Ltd.

Kasali, Rhenald. 1999. Membidik Pasar Indonesia, Targeting dan Positioning. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama.

McQuail, Dennis & Sven Windhal. 1996. Communication Model for The Study of Mass

Communications. Edisi Kedua. Singapore: Longman.

Tesis

Armando, Nina Mutmainnah.2001.Konsumerisme Pada Majalah Remaja. Depok: FISIP

UI.

Website

www.transparencynow.com/advertise.htm (diakses pada 29 Mei 2012, pukul 12.14)

www.indonesiafinancetoday.com/read/26245/Transaksi-Kartu-Kredit-Kuartal-I-Naik-121

(diakses pada 20 Mei 2012, pukul 11.05)

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

37

Lampiran 1. Pedoman Wawancara

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan konsumerisme perempuan

dalam iklan kartu kredit. Kami melakukan penelitian ini dalam rangka mempraktikkan

simulasi penelitian kualitatif dalam mata kuliah Metode Penelitian Komunikasi II di

Universitas Indonesia. Kami tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai fenomena

konsumerisme perempuan, khususnya dalam iklan kartu kredit. Pertanyaan yang akan kami

ajukan terkait tema penelitian ini berhubungan dengan penggunaan kartu kredit oleh

perempuan sebagai bentuk konsumerisme sebagaimana yang dipaparkan dalam iklan

media massa. Apapun informasi yang akan Anda sampaikan hanya akan digunakan untuk

keperluan penelitian ini dan tidak akan disebarluaskan kepada pihak lain. Identitas Anda

juga akan dirahasiakan untuk memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang dapat

mengidentifikasi Anda melalui informasi yang Anda sampaikan. Anda telah setuju untuk

menjadi informan dalam penelitian ini berdasarkan kesepakatan sebelumnya. Apakah ada

pertanyaan sebelum kita memulai wawancara ini?

Background information

Nomor Informan :

Usia : tahun

Pendidikan : di

Pemasukan : Rp (per bulan)

Opening questions

1. Dapatkah Anda ceritakan tentang kartu kredit yang Anda miliki?

Probe: jumlah, bank apa saja, sejak kapan

2. Mengapa Anda lebih memilih transaksi menggunakan kartu kredit dibandingkan debit

atau tunai?

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

38

Probe: praktis, potongan harga, kelebihan lainnya

3. Apakah ada yang memotivasi Anda untuk menggunakan kartu kredit?

Probe: keluarga, teman, pasangan, mengapa

Questions about shopaholic women in the ads

1. Dapatkah Anda ceritakan tentang media yang mempromosikan kartu kredit?

Probe: televisi, brosur, pamflet, internet

2. Bagaimana pandangan Anda mengenai bunga rendah dan potongan harga yang

dipromosikan dalam iklan kartu kredit?

Probe: sesuai dengan kenyataan, berlebihan, pengalaman lainnya

3. Bagaimana pandangan Anda mengenai kesan shopaholic yang identik melekat pada

diri perempuan terkait dengan promosi iklan tersebut?

Probe: pembacaan dominan, negosiasi, oposisional

4. Apakah representasi perempuan dalam iklan tersebut justru mengkonfirmasi dan

menjadi pembenaran bagi Anda untuk menggunakan kartu kredit?

Probe: pembacaan dominan, negosiasi, oposisional

Question about stereotypes of women

1. Berapa nominal transaksi kartu kredit yang Anda lakukan tiap bulannya?

Probe: Rp X untuk kebutuhan primer, sekunder, tersier, wajarkah

2. Siapa pula yang paling bertanggungjawab untuk melunasi kartu kredit Anda?

Probe: orang tua, diri sendiri, pandangan ketika melebihi limit

3. Bagaimana pandangan Anda tentang urgensi kepemilikan kartu kredit?

Probe: mahasiswi perempuan, seluruh anggota keluarga, benar-benar butuh

Questions about use value into exchange value

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

39

1. Bagaimana pandangan Anda tentang kegunaan mendasar dari kartu kredit?

Probe: nilai guna kartu kredit

2. Apakah jumlah kartu kredit yang Anda miliki sesuai dengan kebutuhan Anda? Probe:

tidak ke arah positif, negatif sehingga berencana menambah kartu kredit

3. Apakah Anda menetapkan aturan tersendiri dalam menggunakan kartu kredit?

Probe: batasan nominal transaksi, selang waktu, momen yang paling tepat

Closing Question

1. Bagaimana pola ideal pengelolaan keuangan oleh perempuan?

Probe: pengelolaan keuangan yang baik, tidak perlu kartu kredit

2. Sebagai representasi dari kalangan perempuan pengguna kartu kredit, apa harapan

Anda terkait upaya menangkal paparan konsumerisme media massa ?

Probe: literasi media, bijak menggunakan kartu kredit

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

40

Lampiran 2. Transkrip Wawancara

P: Langsung aja, usia Stella berapa tahun?

I: Umur aku 21 tahun.

P: Stella punya pemasukan perbulan, gak? Atau mungkin gak apa-apa ya kalo bicara

dikit kiriman dari orang tua atau mungkin ditambah lagi penghasilan dari mana-mana

gitu?

I: Kalau dari orang tua itu, aku kira-kira satu sampai dua juta perbulan.

Penghasilan aku misalnya kayak terakhir aku nge-coach itu dapat 1,5 juta.

Minggu sebelumnya pernah lagi aku dapat panggilan ke daerah untuk nge-

coach, itu seminggu dikasih 3,5 juta. Terus, aku misalnya kalo ngeju-ngeju gitu,

satu orang 50 ribu. Terakhir aku ngeju dua hari, 1 juta. Cuma, kayak gitu kan

nggak penghasilan tetap gitu lho.

P: Jadi mungkin kalo bisa kita rata-ratain sebulan mungkin dua jutaan kali ya?

I: He eh, sekitaran segitulah.

P: Naaah Stella bisa gak menceritakan tentang kartu kredit yang Stella miliki?

I: Ee.. Aku cuma punya satu kartu kredit. Dan itu master card dari mandiri. Itu

yang titanium. Aku punya kartu kredit itu sejak tahun lalu.

P: Tahun lalu. Baru tahun kemarin 2011. Sebelumnya udah pernah pake kartu kredit?

I: Debit aja

P: Oh debit aja sebelumnya. Okey okey. Terus kenapa Stella lebih memilih

bertransaksi menggunakan kartu kredit dibandingkan debit ataupun tunai?

I: Karena kalau tunai kan, kalau tunai terbatas dan itu pasti uang aku. Tapi

kalau misalnya kartu kredit kalau misalnya case tertentu aja yang papa nyuruh

ganti. Heh.. terus ini sih biasanya aku lebih milih kartu kredit itu karna... hmm..

ini nih biasanya ada program-program khusunya, gitu.. misalnya kayak apa ya..

misalnya kayak pizza hut delivery. Kalau misalnya bayar pake cash kan 100%

tapi kalo pake kartu kredit bisa diskon 15%.. jadi kan lumayan juga.

P: Oh iya, potongan harga gitu ya? Biasanya paling sering dipake untuk apa aja tuh?

Misalnya kalo ada promosi, atau program-program itu, atau potongan apa aja?

I: Ooh.. kalo misalnya untuk pake programnya itu sendiri sih aku jarang.

Biasanya kalo ada keperluan baru aku pake kartu. Jadi gini, papa aku itu punya

list apa aja pengeluaran yang ditanggung orang tua, apa aja yang tanggungan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

41

aku sendiri. Jadi selama pengeluaran itu masih tanggungan orang tua, aku

make kartu kredit. Misalnya beli buku.. ehm.. kan aku pernah beli buku di

Times gitu kan. Terus apa lagi ya.. rumah sakit. Aku sebenarnya tujuan pake

kartu kredit ini untuk rumah sakit sih. Soalnya kalo aku ke rumah sakit, tagihan

kartu kredit papa aku, nanti aku kan ada tagihan dari rumah sakit, itu diganti

sama perusahaan. Terus apa lagi ya.. ya itu sih, kalau misalnya ada potongan-

potongan itu yang ekstra-ekstra.

P: Oh gitu, tapi utamanya yang kalo memang yang sesuai dengan yang diperuntukkan

untuk pake kartu kartu kredit sesuai list tadi ya.. okey... ngg.. ada gak kira-kira yang

memotivasi Stella untuk menggunakan kartu kredit yang berhubungan dnegan orang

gitu? Entah mungkin keluarga, atau teman pergaulan... gitu-gitu.

I: Enggak sih.. teman aku yang punya kartu kredit itu ga banyak juga.

P: Jadi kalopun pake kartu kredit tuh, motivasinya itu lebih dominan karena yang

disebutkan di jawaban kedua tadi ya?

I: Iya he eh..karena memang itu kebutuhannya atau karena kalau pake kartu

kredit lebih menguntungkan.

P: Nggg gitu.. okey.. kalo misalnya dari, misal kayak suka bergaul dengan kalangan

pergaulan yang agak-agak gimana, agak sering menggunakan kartu kredit yang tidak

masalah sering menggunakan kartu kredit itu gak ada pengaruhnya di diri Stella?

I: Justru kalau misalnya temen-temen lagi jalan kaya gini nih, misalnya mereka

“aduh aku lagi ga bawa cash nih. Aku bayar pake kartu kredit aja ya. Kalian

bayar cashnya aja ke aku”. Kalau misalnya kayak gitu kan tagihan atau bill-nya

kan bisa sampe 700 ribu gitu. Dan aku yaudah jadi aku pake kartu kredit temen,

aku bayar ke dia. Tapi kalau misalnya aku yang nanggung, aku juga ga mau

soalnya tagihannya jadi gede. Gituu...

P: Oh gitu.. oh okey sip sip. Nah, jadi seperti yang udah kita jelaskan tadi di awal tuh,

brief-nya kan kita mau melihat konsumerisme perempuan dalam iklan. Sekarang kita

beranjak tentang... Perempuan dan iklan gitu. Jadi, kira-kira Stella bisa gak

menceritakan media-media yang mempromosikan kartu kredit yang pernah Stella

lihat, kemudian Stella ikuti, misalnya ada promo ini, terus tertarik, trus gitu-gitu..

I: Oh gitu.. iya sih aku biasanya tau dari email yang kaya gitu. Atau tau dari mana

ya..? misalnya kalau lagi jalan cari makan, eh ternyata kalau disini pake kartu

kredit mandiri ada diskon sekian persen gitu. Eeh terus apa ya.. eeh dulu aku

melakukan transaksi karena iklan itu pernah sekali karna kebetulan waktu itu

kau lagi butuh make up. Kan untuk yang paragita kan emang lagi mau lomba

juga kan dan aku juga masih perlu make up makanya aku beli gara2 tau ada

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

42

diskon 30 persen waktu itu pake kartu mandiri. Jadi kan lumayan banget kan..

itu turun harganya lumayan jauh. Dan yaudah, biasanya aku pake make upnya

itu yang itu loh.. make up yang pac. Pac itu kan dalam negeri jadi ga semahal

yang lain gitu kan. Dan itu di diskon lagi 30 persen. Jadi emang lebih

menguntungkan pake kartu kredit mandiri. Jadi kayak gitu sih. Cuma kalau

misalnya iklannya aku ga butuh barangya, aku enggak.

P: Berarti tadi dari email. Mayoritasnya biasanya dari mana?

I: Dari.. Biasanya dari email kan emang yang masuk. Apa, kartu kredit mandiri

lagi punya program ini ini. Terus juga dari.. tau aja, misalnya kalau lagi jalan-

jalan kan ada di bannernya. Kaya gitu. Atau ga dari brosur. Kalo misalnya di

pizza hut di brosur yang dikasih dia nulis tuh kartu kredit bca sama mandiri dia

diskon 15 persen. Terus apa lagi ya.. eee.. sama ini, kita biasanya dikirimin dari

mandirinya juga. Kayak future gitu kan kupon. Kalau belanja segini, diskon

sekian. Itu kadang dikirimin juga.

P: Medianya gitu. Media massanya yang Stella tahu. Aaa.. haaha.. Kalo dari TV agak

kurang ya?

I:. Secara aku ga punya TV jadi aku ga tau juga. Hehe hee.

P: Ah iya-iya... Okey oke.. ngerti-ngerti. Baiklah gak apa-apa...nah selanjutnya aaa...

pendapat Stella tentang bunga-bunga rendah dan potongan harga yang dipromosikan

dalam iklan kartu kredit tuh kayak gimana? Itu kan biasanya seringkan, misalnya

ngeliat di brosur, bunga cicilan nol persen bintangnya lima gitu kan, secara menurut

Stella gimana hal yang seperti itu?

I: Hm.. Kalau yang biasanya cicilan 0 persen itu kan untuk barang yang mahal

ya harganya. Jadi aku ga pernah pake kartu kedit aku untuk bayar yang

semahal itu juga. Aku itu paling mahal gunain kartu kredit itu untuk tiket

pesawat. Dan itu juga apa ya.. contohnya kemaren aku kan eh beli tiket pesawat

pake kartu kredit buat yang kerjaan aku itu yang ke daerah coach debat. Dan

itu kan duitnya diganti. Jadi kaya bisa bayar lagi, bisa bayar kartu kreditnya

langsung. Jadi kayak aku ga memperlakukan kartu kredit aku itu layaknya

kartu kredit orang-orang. Bisanya kan orang ini, uh beli apa beli hp 4 juta yuk

kita cicil aja sampe 12 bulan. Aku ga kaya gitu.. kalau misalnya aku ga punya

uang untuk beli itu ya aku ga beli gitu.. jadi ee sebisa mungkin kayak transaksi

aku bulan ini apa aja nih. Bulan depan itu udah dibayarin. Aku pake kartu

kreditnya apa, bukan karena.. isatilahnya karena emang lebih untung pake

kartu kredit gitu. Tapi kalau diperlakukan selayaknya kredit itu kan bisa

menusuk utangnya.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

43

P: Kalo misalkan Stella lihat iklan-iklan kartu kredit, misalnya ngeliat promo-promo

apapupun itu, menurut Stella itu, berlebihan atau memang sengaja dilebih-lebihkan

atau emang biasa aja sih. Maksud aku Stella mungkin biasa aja dengan itu, toh Stella

emang berkebutuhan untuk itu, atau iklan-iklan itu memang mengakomodasi

kebutuhan yang memang orang-orang butuh gitu.

I: Kalau menurut aku sih ga tau karna aku udah kena terpaan kritis juga.. Cuma

aku tuh emang ini, kalau misalnya aku ga perlu ya aku ga beli.

P: Oohh gitu, jadi cukup bisa melihatlah mana yang betul-betul kebutuhanlah dalam

menggunakan kartu kreditnya. Okey, terus gimana kesan shopacholic yang identik

melekat pada diri perempuan ada terkait dengan iklan kartu kredit. Ngerasa gak sih

kalo di brosur atau pamflet tuh, biasanya tuh bukan biasa sih, seringkali perempuan

lagi memegang kantong belanjaaan seberapa banyak, bunga cicilan 0%, gitu-gitu

segala macam. Menurut Stella gimana selama ini? Atau terterpa gak selama ini?

I: Ee dengan gaya tuntutan glamor diamond stay gitu?

P: Perempuan-perempuan yang ada di kartu kredit gitu.

I: Menurut aku, ya lagi-lagi karna aku udah kena terpaan kritis deh.. aku ga

melihat itu sebagai suatu realita. Rasanya enggak kok.. kenyataannya ga kayak

gitu. Dan palingan kalo ada orang yang kaya gitu ya emang orang yang bener

kaya.. dan aku kan masih menggolongkan diri aku di kelas menengah. Jadi

kalau misalnya, ga tau deh kalo misalnya ada orang yang apa ya... eee

belanjanya gila-gilaan kayak itu. tapi apa ya, menurut aku harusnya orang-

orang yang belanja gila-gilaan gitu ya adalah orang-orang yang penghasilannya

bener-bener kaya juga. Pengusaha kek atau ya.. atau anggota DPR kek. Atau apa

gitu. Ehe (tertawa). Ya Cuma kalau misalnya kayak apa ya.. ya orang asli,

maksudnya kayak orang-orang kayak aku tidak selayaknya kayak gitu.

P: Berarti yang terterpa kritisnya lebih dominan jadi kayak?

I: Kayaknya gitu.

P: Karna anak komed juga kali ya?

I: Kayaknya gitu. Hehe (tertawa).

P: Okey sip sip. Selanjutnya. Aaaaa... menurut Stella nih apakah reperesentasi

perempuan dalam iklan-iklan kartu kredit yang aku gambarin itu justru

mengkonfirmasi dan menjadi pembenaran Stella untuk menggunakan kartu kredit

atau gimana? Maksud aku kayak misalnya ngeliat, ooh gak apa-apa kok ngeliat

perempuan-perempuan yang glamor, sosialita gitu, yang beriklan segala macam. Itu,

kayak Stella mengkonfirmasi oh ya udah gak apa-apa sih memang perempuan itu, ya

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

44

seperti itu memang shopaholic. Senang berbelanja, itu merupakan suatu kewajaran

kalo perempuan berbelanja kalo gitu?

I: He eh.. Tapi dari luar papa aku tetap nekanin sih yang namanya pengeluaran

itu ditekan ditekan ditekan. kalau misalnya emang ga butuh, jangan.. ga usah.

Dan aku juga ga ikut-ikutan kayak temen-temen gitu kan. misalnya kayak gaul

kemana gaul kemana gitu. aku lebih ke.. apa ya.. sibuk dengan kegiatan aku

sendiri. Kalau misalnya aku butuh, beli. Kalau misalnya enggak, enggak. Kalau

misalnya aku yang namanya belanja itu kewajaran bagi orang yang banyak duit

deh. Jadi kayak terlepas dari dia cewek apa cowok. Soalnya kalau, kalau aku

ngeliatnya cewek kan memang iya. kayak banyak, kelihatan banyak belanjanya

karna dia beli baju, beli apa gitu yang kecil-kecil.. tapi ini, jadi-jadinya gede.

Tapi kan kalo cowok sebenarnya jadi mahal juga. Kayak mereka itu sukanya di

otomotif atau gadget which is walaupunmisalnya kecil kayak gini tapi berkali-

kali lipat dari belanjaan cewek. Jadi kalau misalnya, kalu aku ngelihat yang

pengeluaran-pengeluaran kek gitu terlepas dari cowok cewek karna mereka

tentu kebutuhannya berbeda gitu.cuma kalau misanya pengeluarannya sampai

banyak kaya gitu, ya emang orangnya kaya.. terserah deh gitu. Terserah lo mau

pake duit lo gimana . kalau gue sih ga punya duit sebanyak itu, gue mesti hemat.

Gitu..

P: Tapi Stella, udah agak ini ya berarti, karena udah terterpa pandangan kristis kayak

gitu bisa dibilang udah agak resistan. Ah gak juga sih, kalo ngeliat perempuan-

perempuan gak kayak gitu. Kira-kira perempuan itu, kesan-kesan yang didapatkan

mengenai perempuan yang shopaholic di dalam iklan itu kayak gimana? apakah Stella

melihat diri Stella dalam perempuan-perempuan itu sebagai pengguna kartu kredit

itu atau justru ooooh nggak?

I: Enggak, aku nggak ngeliat. Ya kaya yang tadi aku bilang sih.. aku tidak melihat

itu sebagai suatu realita. Seandainya itu suatu realita, itu di dunia yang berbeda

gitu.. ya kalau misalnya aku sendiri tipe orang yang sama sekali tidak

mengasosiasikan diri aku kaya gitu. Jadi kayak sebenarnya aku itu pake kartu

kredit itu gini.. aku jauh dari orang tua dan aku sering ini kan, kayak bolak-

balik rumah sakit gitu kan.. tiap bulan aku pasti ada ke rumah sakit. Dan sekali

ke rumah sakit itu kan 500 ribu gitu. Sementara duit aku sering kadang Cuma

dikasih sejuta. Masa sekali ke rumah sakit aku langsung ga punya duit? Dan

sebelumnya itu ada pernah kejadian, aku ke rumah sakit masuk emergency dan

aku ga punya uang untuk bayar, itu sampe aku minjam sama temen aku.temen

aku datengin aku untuk bayarin. Kaarna sejak kejadian itu, aku diaksih kartu

kredit kalau misalnya ke rrumah sakit. Tapi emang sih ujung-ujungnya

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

45

gunainnya jadi kayak beli buku jadinya disitu. Tapi kalau papa aku untungnya

masih ga masalah kalau untuk buku. Terus juga ee ini sih, sama yang

keuntungan-keuntungan yang tadi. Jadi emang ada sih menggesernya dari

tujuan utama Cuma masih ada justificationnya. Hehee hee.. (tertawa)

P: Ngerti-ngerti... gak apa-apa ya. Biasanya berapa nominal transaksi kartu kredit

yang Stella lakukan di setiap bulannya. Untuk kebutuhan apapun, tersier, primerkah

atau sekunderkah penggunaan kartu kredit itu? Maaf ya kalo agak sensitif nanyain

nominal angkanya...

I: Ga papa kok.. Ehmm.. terakhir sih tagihan aku tiga juta bulan lalu. Karna

emang apa ya, ee.. kan aku orang nya jarang membeli baju gitu kan.. jadi sekali

beli, sekali banyak. soalnya aku ga hobi shopping sebenernya. Sama ini sih,

kebetulan lagi ini.. kan aku kalau di times itu bulan ulang tahun kan dapat

diskon 20% untuk bayar. Jadi aku nahan ga beli-beli buku waktu bulan

kemaren. Pas aku beli kayak langsung satu setengah juta buat beli buku aja.

Yang kayak gitu.. Cuma kalau misalnya kalau standarnya, apa ya standarnya...

biasanya ini sih kadang juga gini, kayak kebutuhan keluarga pake kartu kredit

aku. Jadi misalnya kayak mama aku ngajak pergi kemana, “yok kita gini gini

gini.. gimana nih bayarnya pake kartu kredit Stella aja”. Soalnya kan ditagihan

itu kan keluar nanti ini buat apa, ini buat apa. Jadi kehitung yang kebutuhan

aku berapa. Cuma ya rata-rata kayak dua juta tiga juta gitu sih. Cuma itu udah

termasuk kebutuhan keluarga. Jadi ga cuma aku sendirian make. Kalau aku

pulang ke rumah kan misalnya eee mamaku ngajak pergi. “Kita lagi butuh ini,

gini gini”. Mau beli tangga kek, mau beli apa kek, itu pake kartu kredit aku juga.

Jadi kayak itu semacam kebijakan pengaturan pengeluaran keluarga

itungannya. Jadi tuh bukan bener-bener yang kayak, “ini tuh punya aku’. Itu

enggak.. keluarga aku tuh masih berbagi.

P: Itu dikontrol secara ketat gitu ya sama orang tua? Maksudnya kalo sewaktu-waktu

mau dipake untuk kebutuhan keluargaa, ya seflexibel itu aja atau emang Stella ada ya

dialokasikan gitu untuk kebutuhan keluarga...

I: Ee.. Itu emang udah diatur sama keluraga. Jadi sebenernya itu kan kayak gini,

kartu kredit itu kan ada yang utama, ada yang tambahan gitu kan.. jadi

sebenarnya pemegang kartu kredit utamanya itu papa aku. Cuma papa aku

ngasih aku sama mama aku kartu kredit dan ini, ee mungkin supaya apa ya.. ga

timpang aja penggunaannya. Jadi kayak nggak.. jadi waktu tagihan itu keluar,

yang keluar itu adalah tagihan kartu kredit papa, aku, sama mama, baru ditotal

gitu. Jadi eee.. biar rata, rata angkanya dan bayar tagihannya juga enak kan

bayarnya per kartu kan.. Dan biasanya itu papa yang bayarin. Makanya

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

46

pengeluaran itu kayak dibagi-bagi misalnya.. misalnya kayak mama aku nih

hari ini bilang, “stel, hari sabtu kita gini gini gini ya. Nanti pake kartu kredit

kamu”. Ya oke gitu.. jadi emang untuk keluarga juga. Untuk aku pribadi ya

pengeluarannya ya paling untuk itu tuh, beli buku, kalau aku ada ke rumah

sakit..

P: Oh, trus biasanya yang paling bertanggung jawab untuk melunasi kartu kredit

Stella siapa?

I: Kalau misalnya untuk kebutuhan aku sendiri aku disuruh ganti. Misalnya

gini, ee setiap bulan kan aku dikirimin tagihan kartu kreditnya. Ee ya terus

dihitung Stella pakenya berapa, tek tek tek tek.. terus kayak udah hitung, aku

pengeluarannya segini, oh yaudah aku transferin ke papa. Aku kan ada

rekening papa juga. Jadi ya hasil aku kerja itu, terus juga uang jajan bulanan

aku.. itu juga nantinya dikurangin lagi untuk tagihan kartu kredit. Jadi tetep aja

walaupun apa ya.. walaupun kartu kreditnya kartu kredit apa, dari papa gitu,

kalau misalnya ada tagihan yang aku yang make, aku disuruh ganti. Hehe

(tertawa). Iya papa aku kayak gitu, emang seketat itu sih pengeluarannya.

P: Mungkin pembayarannya maksudnya kayak, berarti,, Stela bertanggung jawab atas

pembayaran kartu kredit Stella sendiri atau dibantu papa atau dibantu mama atau?

I: Jadi tergantung yang list tadi. Kalau misalnya pengeluarannya kayak rumah

sakit gitu, itu ditanggung papa. Tapi kalau misalnya kayak aku makan, aku

pergi kemana, papa aku bakal bilang. kan ada ee ditagihan kartu kredit itu juga

keliatan kan dimana, ee apa aja. apakah itu di toko buku, tempat makan.

Misalnya kayak pizza hut. Apakah pizza hut bintaro atau pizza hut margonda.

Soalnya kalo margonda kan, berarti aku yang pake. Tapi kalo bintaro, berarti

untuk keluarga. Ya kan kayak gitu.. soalnya kan mesan pizza juga kadang pake

kartu kredit aku. Mama aku bilang, “yaudah pake kartu kredit Stella aja”,

soalnya kartu kredit mama aku udah dipake buat keperluan apa untuk

kebutuhan keluarga gitu. Jadi ya bener-bener emang dihitung sih.. sampe

124.500 pun, ya segitulah yang aku transfer ke papa. Terakhir aku bayar itu

1.124.000. jadi kayak papaku ngasih uang, “nih uang bulanan”. satu juta gitu..

“berapa tagihannya?”, “satu juta seratus dua puluh empat ribu”. Cuma kan aku

ada uang dari kerja, dari apa gitu.

P: Oh oke-oke sip. Menurut Stella bagaimana pandangan Stella tentang urgensi

kepemilikan karu kredit gitu. Sebagai mahasiswi perempuan itu bagaimana

pandangan Stella? Kira-kira seurgen itukah kepemilikan kartu kredit bagi Stella

sendiri?

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

47

I: Hmm, sebenernya apa ya.. kayak aku kan dikasih kartu kredit kan karna

cerita awalnya kan gitu kan..aku masuk emergency, asma ku kambuh. Aku ga

punya siapa-siapa di depok. Mama aku ga bisa kesini. Akhirnya temen aku yang

bantuin bayar karna kebetulan akhir bulan. Kalo mahasiswa kan udah habis

tuh duitnya. Nah aku tuh dikasih kartu kredit tuh karna itu. kecuali orang-

orang itu punya masalah seperti aku, kayak sering ke rumah sakit atau

mungkin dia emang hobi beli buku. Pokoknya yang masih berkaitan sama

kesehatan dan pendidikan, kan itu masih kebutuhan. kesehatan kan primer

kan.. eee ya itu., perlu kartu kredit. Tapi kalau misalnya untuk belanja-belanja

gitu, ya ga usahlah. kalo emang ga perlu. soalnya sangat semenggoda itu pake

kartu kredit. Kayak kita ga ngeluarin duit, kan ga berasa ya eee susahnya..

kayak aduh sayang nih pengeluarannya, kayak gitu.. kecuali orangnya emang

bener-bener bisa make itu, aduh jangan deh pake kartu kredit. Kalau aku kan

emang apa ya... orang tua aku itu secerewet itu kalo misalnya ada pengelurang-

pengeluaran yang gimana-gimana. Soalnya aku sampai disuruh ganti sendiri

kan yang satu juta seratus dua puluh empat ribu itu. padahal aku tuh pake duit

sampe segitu karna aku selama tiga minggu ga dikasih uang jajan bulanan

karna waktu itu lagi ada berantem sama orang tua. Jadi orang tua aku itu

caranya kayak gitu. Efektif banget kan? Kalau misalnya ada masalah apa,

akhirnya yaudah potong duitnya. Ya aku ga bisa ngapa-ngapain. Jadi kan emang

harus diselesain masalahnya. Jadi emang bener-bener efektif caranya. Karna

waktu itu aku ga dikasih uang, yaudah aku gunain aja kartu kreditnya. Aku beli

pizza yang gede, terus aku pisahin beberapa bagian. Jadinya bisa untuk makan

beberapa hari gitu. Pas masalahnya udah selesai, tagihannya keluar, kelihatan

waduh ternyata banyak banget makan enaknya.. yaudah tetep bayar sendiri.

Gitu..

P: Iya. Bagaimana pandangan Stella tentang kegunaan mendasar dari kartu kredit?

Sebenarnya tuh, nilai guna sebenar-benarnya dari kartu kredit apa sih menurut

Stella?

I: Kalau menurut aku kartu kredit itu untuk eee.. apa ya.... misalnya gini, dia...

yang pasti itu untuk orang yang udah punya penghasilan ya kalau menurut aku.

Soalnya kan kartu kredit itu aku rasa penggunaan dasarnya adalah kayak

untuk beli hp, yang bisa dicicil dan cicilannya nol persen. Itu kan sangat-

sanbgat menguntungkan kalo kayak gitu kita ga terasa berat. Misalnya beli hp

BB terbaru yang lima setengah juta. kan berat kalo misalnya dalam sekali

waktu langsung ngeluarin duit lima setengah juta. Dan berdasarkan

perhitungan ekonomi, dari nilai... dari nilai internal uang itu sendiri

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

48

sebenarnya memang lebih menguntungkan kalau kita kredit. Jadi ada

perhitungan-perhitungannya.. jadi untuk beberapa kasus memang lebih

menguntungkan kalau kita pake kartu kredit daripada kita ngeluarin duit, plek

langsung pada awalnya. Soalnya kan nilai mata uang itu kan naik turun naik

turun juga kan.. nah, penggunaan kartu kredit yang bijak menurut aku itu ya

kayak gitu. Jadi untuk yang misalnya beli yang lima setengah juta tadi bisa

dibayar sampe 6 kali atau 12 kali, tagihannya tetep dan dia nol persen. Kalau

kayak gitu kan untung.. Cuma, apa ya... berdasarkan yang iklan-iklan tadi, kartu

kredit itu sudah menjadi life style. Akhirnya orang makenya nggak yang untuk

kebutuhan ideal tadi tapi lebih ke yang ayoo kita belanja gini-gini.. apalagi

kalau kita ke toko baju, ada diskon untuk yang pake kartu kredit ini ini.

Akhirnya mendorong orang untuk belanja. Cuma kan ga semua orang

menyadari itu. orang lebih menyadarinya ee kayak gini, eh lagi ada uang,

yaudah deh pake kartu kredit aja, bayarnya ntar-ntar aja. Pas udah ketemu

tagihannya, langsung kaget.

P: Kalo gitu kayak tadi sebenarnya berkartu kredit tuh dibutuhkan, perlu untuk

orang-orang yang benar-benar membutuhkan dan untuk orang yang udah kerja gitu

ya?

I: Kalau mau dikasih ke anak pun, ya kayak aku kan aku jauh dari orang tua aku.

Dan aku yang masuk rumah sakit kemaren, dan aku akan rutin ke rumah sakit

sih sebenarnya.

P: Eee... itu check up rutin atau emang harus ke rumah sakit seperti itu, Stell?

I: Aku ga mau numpuk-numpuk sih kalau sakit. Jadi kalo misalnya ada keluhan,

aku langsung ke rumah sakit dan itu langsung diatasin. Tapi aku juga ga selalu

ke rumah sakit jug asih. Misalnya kayak akupuntur atau yang sekarang pilates

untuk mencegah sakit nanti-nantinya gitu. Kan kuliah ini beban psikologisnya

berat. Kita ga tau apa yang secara fisik terjadi di tubuh kita. Kita push diri kita

untuk kerja. sementara nanti kita udah tua, ternyata kita udah sakit aja..

makanya aku sering ke rumah sakit untuk mengontrol supaya kalu udah tua ga

tau-tau udah sakit apa gitu...

P: Mencegah nanti-nanti ya... oh oke sip-sip. Nah selanjutnya kira-kira maaf aku boleh

tahu gak jumlah kartu kredit Stella cuman satu atau lebih?

I: Yang tadi satu, mandiri yang titanium.

P: Cuma satu. Oh gitu. Eehmmm ... menurut Stella jumlah kartu kredit yang Stella

miliki sesuai gak dengan kebutuhan Stella?

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

49

I: Ehm, kalau jumlahnya satu sih udah sesuai dengan kebutuhan.. tapi jenis

kartunya sih lebih dari yang aku butuhkan.

P: Oh gitu. Lebih dari yang Stella butuhkan. Itu gimana, mungkin bisa diceritakan. Ha

ah...

I: Jadi kan kartu kredit itu kan ada level-levelnya lagi. Misalnya kayak gold,

titanium, apa segala macam. Terus papa aku tuh ngasih yang titanium. Aku ga

butuh yang titanium soalnya aku makenya ga tinggi juga. Soalnya kan semakin

tinggi level kartunya, semakin tinggi pula yang dibayar ke bank. Tapi disitu juga

manfaatnya. Dan kenapa aku juga pake yang titanium soalnya waktu itu aku

lagi mau keluar negeri dan kalau beli tiket keluar negeri pake kartu kredit itu

bisa dapet double point reward gitu..

P: Itu memang limitnya kalo boleh tahu limitnya berapa ya Stel, kartu kredit yang

Stella punya?

I: Kalau pagu kreditnya 30 juta.

P: Ooh oke2.. perbulannya?

I: Aku tuh ga tau itu per hari atau perbulan. Makanya aku bilang yang pakekartu

kredit itu harusnya orang yang udah kerja gitu.. aku tuh ngelihat misalnya kita

mau beli satu set tempat tidur kan bisa sampe 20 juta. Tempat tidurnya,

kasurnya, lemarinya, mejanya, segala macem, bahkan bisa sampe 50 juta.

Makanya pagu kreditnya bisa sampe tinggi gitu ya karena untuk kebutuhan

yang kayak gitu..

P: Sementara Stella sepertinya belum akan membeli seperti-seperti itu? Emang agak

lebih....

I: Iya he eh..

P: Oh gitu. Stella menetapkan sendiri gak aturan dalam menggunakan kartu kredit

gitu lho?

I: Iya.. if you don’t need it, don’t use it. Hehe (tertawa). Sesimpel itu gitu.. soalnya

kalau aku tuh kerasa banget. Pas diakhir bulan keluar tagihannya, aku tuh

disuruh bayar sendiri. Jadi sama aja..

P: Dan itu, seketat itu rulesnya Stella lakukan untuk diri Stella sendiri karena

konsekuensi logisnya itu ya?

I: Soalnya aku ngeliat temen-temen aku, gampang banget pake kartu kredit. Ya

beda-beda juga sih ya keadaannya. Kalau aku kan nanggung sendiri, ga

ditanggung orang tua. Jadi ya emang harus irit.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

50

P: Kira-kira kalo bisa diperinci lagi gak? Misalnya Stella menetapkan gue minggu ini

udah pake nih sekali berarti minggu sebagai konsekuensinya gak boleh dipake. Atau

gimana selang waktunya? Atau momennya, momen apa baru bisa dipake?

I: Misalnya kayak. Karena aku bulan lalu udah banyak pengeluarannya karena

aku beli buku dan segala macam, jadi aku tidak berencana pakek kartu kredit

untuk beberapa bulan ke depan, kecuali kalau aku emang ada ke rumah sakit.

Jadi aku tinggalin kartu kredit aku di rumah. Caranya kayak gitu. Cara

ngatasinnya tinggalin kartu kreditnya, gak usah dibawa-bawa dan juga bahaya

kan kalo misalnya dicopet atau apa. Jadi, hmmm. Tapi hari ini aku bawa. Karena

takutnya kan karena wawancaranya kan kemarin katanya pake kartu kredit,

tapi misalnya kayak hari biasa aku nggak akan bawa.

P: Heeh... apa tuh misalnya?

I: Ho.. Misalnya kayak ya waktu aku ulang tahun kemarin. Kan pada ngajakin

kalian makan, dan itu aku dah tahu ada discount 15 persen pake kartu. Terus

juga kalau misalnya aku pergi ke Times beli buku, bawa, karena itu masih

tanggungan orang tua kan. Itu papaku emang benar bikinin listnya.

P: Berarti seketat itu. Kalo momennya itu kayak apa Stell? Atau kayak tadi tuh mesan

pizza karena ada diskon 15 persen atau memang ada great sale, wow pake kartu

kreditnya gitu atau ada gak kira-kira?

I: Iya, he he . Jadi, papaku sebenarnya yang bukan apa untuk pakek kartu

kreditnya sih. Papaku bilang, eh, ini yang ditanggung orang tua, ini yang nggak,

dan lain-lain gitu. Jadi kayak, kalo misalnya contoh-contoh yang nggak

ditanggung. Tapi untuk yang ditanggung, papaku benar-benar bikin listnya,

kayak apa pakaian, buku, rumah sakit. Rumah sakit sesuai dengan peraturan

perusahaan. Misalnya kan mana yang di-reinburse , mana yang nggak. Kalau

nggak di-reinburse, ya aku disuruh tanggung sendiri. Kayak pilatest kan

sebenarnya itu untuk olahraga bagus ya. Ya, papaku bilang itu kan nggak

ditanggung oleh perusahaan. Jadi kamu sendiri. Ya bagus sih kalo misalnya

investasi untuk kesehatan sendiri. Jadi, ya, makanya, ya mulailah untuk

bertanggung jawab terhadap diri sendiri.

P: Hmmm gitu... Menurut Stella nih gimana pola ideal pengelolaan keuangan oleh

perempuan seharusnya? Jadi kayak gini nih, Stella kan udah mengikuti alurnya gitu

ya. Kayak tadi kan udah dibilang topiknya tentang konsumerisme perempuan melalui

iklan di media massa. Kita udah tahu lah kan gimana perempuan direpresentasikan

dalam iklan, gitu-gitu, agak shopaholic, agak-agak glamor, ngabisin uang keluarga, gitu

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

51

kan apalagi pake kartu kredit. Kalo dari situ tuh, Stella punya pendapat gak nih,

gimana sih seharusnya perempuan mengelola keuangan secara ideal?

I: Kalau aku, lagi-lagi terlepas dengan gendernya ya. Kalau menurut aku, semua

orang tetap aja yang namanya konsumsinya 50 persen, 20 persen untuk

ditabung, 10 persen liburan atau rekreasi, 10 persen untuk investasi, 10 persen

untuk yang apa yang lain-lain gitu. Jadi, kalau aku rencananya kalau misalnya

udah kerja, emang benar-benar dah punya penghasilan, itu yang akan aku

ikutin. Tapi kalau misalnya sekarang kan, papaku benar-benar ngasih aku duit

pas-pasan dengan kebutuhan aku, jadi ya itu belum bisa aku ikutin. Jadi, kalau

misalnya konsumsi 50 persen, apa ya, cowok sama cewek sama aja, cuman kan

kan kebutuhannya beda. Ya aturlah berdasarkan rumus yang tadi itu.

P: Oh gitu.. kalo misalnya kayak, Stella pernah gak eee.... setuju dengan pendapat kalo

orang tuh bilang kalo perempuan itu suka ngabisin uang keluarga gitu lho. Terlepas

dari usaha dia untuk membiayai, gak sih, usaha dia untuk membantu keuangan

keluarga sebagaimana yang dilakukan suaminya. Sama kayak punya penghasilan

sendiri tuh suka ngabisin penghasilan sendiri untuk diri sendiri gitu. Menurut Stella

gimana, apalagi kalo punya kartu kredit gitu?

I: Oh. Kalau menurut aku, itu nggak tergantung gendernya sih. Itu kelihatannya

banyak karena sering, beli baju. Misalnya contoh gini, sepatu berapa sih

harganya, let’s say 200 ribu. Baju berapa sih harganya, let’s say 150 ribu. Jadi

sekali belanja 350. Besok lagi belanja 350. Besok lagi belanja 350. Jadi kalau

misalnya cowok, nggak ada belanja, nggak ada belanja, tabung terus. Tapi

sekali beli laptop 12 juta. Yang kayak gitu kan. Dari situ aku ngelihatnya, it’s not

a matter of whether you are, apa ya. Jadi kayaknya jumlah pengeluaranya itu

bukan karena lo cewek lo lebih banyak pengeluarannya, tapi lebih sering kalau

aku ngelihatnya. Kalau cowok-cowok sekali tapi gedek gitu. Soalnya kan,

misalnya kayak kita lihat acara Boy’s Choice, itu kan, ee, mereka itu yang, apa,

mobil bisa sampai berapa untuk otomotif aja, modif-modif, bisa sampai berapa

yang kayak gitu. Sementara ceweknya karena sering aja, karena kelihatan aja

makanya dimarah-marahin.

P: Pada dasarnya kalo diakumulasikan gak sebegitu beda. Perempuan itu gak

menghabiskan uang keluarga gitu ya?

I: Ehemmm.. iya, jadi nggak jumlahnya, lebih ke itu apa yang dibelinya. Dan

mungkin cowok pun mau lihat kayak apa ya, cewek itu habis-habisin duit

karena pakek nggak penting mungkin. Make up nggak penting. Tapi kan, kalau

cewek kan ngelihat ngapain sih laptop 12 juta. Aku aja dah bahagia dengan

laptop yang cuma 3 juta, gitu kan beda.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

52

P: Hmmm oke2... Aah... sip sip. Jadi menurut Stella kalo misalkan melihat perempuan

itu kira-kira perlu gak sih, signifikan gak sih kebutuhan dia akan kartu kredit

sebenarnya?

I: Ohmm... lagi-lagi kalau jawaban aku terlepas dari gendernya, tergantung

kebutuhan dia apa. Kalau misalnya, misalnya kebutuhan mendasar kayak

kesehatan, terus pendidikan untuk beli buku, itu kan universal ya gitu. Tapi

kalau misalnya dia untuk beli baju, ya sama kayak cowok, penting ya punya

kartu kredit untuk beli hp atau buat beli gadget baru. Soalnya temanku aku

yang cowok, aa, ya , apa ya, aku nggak tahu sih yang lain-lainnya. Jadi, beberapa

temanku, ada satu nih yang pernah cerita tentang aku. Aduh, kartu kredit itu

jangan dipakek banyak-banyak dong, gua lagi banyak tagihan ini, dia beli kayak

gadget gitu. Dam dia harus, apa ya, ngehemat-hemat selama 6 bulan atau 12

bulan sampai tagihannya itu lunas. Sementara, aku nggak pernah punya

tagihan yang segede itu. Dan juga tagihan aku kan masuk ini, tagihan orang tua

juga kan, kayak kebutuhan, maksudnya kebutuhan keluarga tapi kartu kredit

aku yang dipakek.

P: Okey, nah jadi kita milih Stella disini karena kita anggap Stella merepresentasikan

kalangan perempuan pengguna kartu kredit, gitu ya. Nah, menurut, aahh kira-kira

ada gak sih harapan Stella untuk menangkal paparan konsumerisme dari media

massa. Misalnya, katakanlah Stella itu perempuan yang tidak teeer...... kurang kritis

gitu, melihat iklan-iklan seperti itu melihat sosok perempuan dalam media massa

seperti itu, oooh berbelanja ini dengan bunga cicilan nol persen segala macam rentan

terpapar. Kira-kira apa ya yang dapat dilakukan untuk menangkal konsumerisme

dalam media untuk perempuan-perempuan yaang kurang kritis.

I: Oh.. apa ya? Mereka memerlukan exposure terhadap teori kritis. Jadi

sebenarnya tu kayak gini. Aku tu mulai berpikir kayak gini sejak aku mengenal

istilah false consciousness. Gitu, jadi kayak, oh ternyata media itu kayak gitu ya.

Oh, ternyata ini aku ini kesadaran palsu. Sejak itu aku misalnya jadi kayak gini.

Jadi kalau misalnya cewek-cewek yang kayak gitu apa yang mereka butuhkan,

ya mungkin pendidikanlah ya. Pendidikan particulary yang di pemikiran kritis

kayak gini. Karena emang benar-benar, aku baru berpikiran seperti itu sejak

ini kok, sejak mengenal istilah false consciousness itu, hmmm di Metode

Penelitian Sosial yang MPS waktu itu aku sama Mbak Ken. Jadi kan membahas

tentang false consciousness, oh gitu ternyata, sejak itu juga.

P: Kira-kira itu berarti, selain itu ada yang berhubungan dengan ini kali ya.. menurut

Stella perlu perempuan-perempuan itu, perempuan-perempuan yang sejenis itu

maksudnya ya, mengetahui bahwa ada lho seharusnya langkah bijak kita untuk

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

53

menggunakan kartu kredit kayak-kayak gitu. Perlu gak mereka untuk berguru kepada

orang-orang kristis seperti Stella mungkin.. halaahhh..

I: Iya, menurut aku emang butuh banget orang mendapatkan exposure-

exposure yang pemikiran kritis kayak gini. Soalnya, misalnya aku dulu sebelum

ter-enlighten oleh mata kuliah-mata kuliah kita, aku tipe orang yang kayak gitu

kok. Maksudnya kayak pingin belanja gitu. Apa ya, kalau misalnya dimarahin

karena belanja itu, sebel sama orang tua. Kayak pengen hp yang bagus simply

because, itu apa ya, kayak pride di antara society yang kayak gitu. Dulu aku, dulu

aku adalah tipe orang yang kayak gitu. Cuma sejak mendapat, ya itu sejak

memahami konsep false consciousness, aku berubah. Mungkin yang mereka

butuhkan adalah kayak gitu. Paham akan apa ya, oh media itu bohong kok,

media itu emang berusaha mengkonstruksi realitas supaya kamu berpikir

demikian. Nggak ada tu cewek-cewek yang belanja kayak gitu, itu media doang,

itu kayak perlu gitu.

P: Ooookeyyy. Oke oke siplah kalo begitu. Naaahhh alhamdulilah ya Stella, kita sudah

menghabiskan seluruh rangkaian pertanyaan MPK 2. Ini terakhir, Stella mungkin

ingin memberikan kesan atas wawancara yang udah kita lakukan. Mulai dari kita

menghubungi Stella jadi informan kita, aaa ha ah.. Mmmm oke-oke masukan untuk

kelompok kita itu ya..

I: Oh, mungkin apa ya. Kayak aku, aku minta maaf kali ya. Soalnya kayaknya

setelah apa, setelah menyelesaikan wawancaranya, aku merasa kurang

merepresentasilah. (ketawa) iya, soalnya kayak aku, apa ya, I have my own

thinking itu. Jadi kayaknya, mungkin untuk apa ya, hmm mungkin masukan aja,

mungkin untuk penelitian kalian kalau kalian pengen data yang lebih valid lagi,

cari orang yang tipenya yang emang shopaholic kayak gitu kali ya. Mungkin

mereka pemikirannya akan sangat berbeda dengan yang aku. Iya, cuma kayak

perlu aja dunia menyadari ada loh cewek yang nggak kayak gitu untuk

mematahkan stereotipe kayak gitu, iya, kayak gitu.

P: Haah sebetulnya itu sih Stell justru mengkonfirmasi paradigma kritis dalam

penelitian ini.

I: Oh, gitu. Keren keren.

P: Oke, terima kasih banyak Stella atas waktunya. Maaf ya pembatalan janji semalam.

I: Iya, hehe. Nggak, nggak sama sekali nggak masalah kok. Ya ngertilah, kalau

sama lagi penelitian, tahu kendala-kendala yang dihadapin apa. Sama sekali

nggak ada masalah kayak gitu. Cuma ya ini, mungkin untuk memperkaya

datanya aja, coba cari yang lain.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

54

Lampiran 3. Open Coding

Subjek : Mahasiswi Universitas Indonesia yang menggunakan kartu kredit

Informan nomor : 001

Topik : Pemaknaan Konsumerisme Perempuan dalam Iklan Kartu Kredit

Tanggal : 3 Mei 2012

Tempat : Cafe J Co, Margo City

Waktu : 14.00-16.00 WIB

Situasi Wawancara : Informan sedang berada dalam kondisi sehat dan berbahagia. Wawancara dilakukan di Cafe J

Co yang nyaman dan kondusif bagi informan untuk menceritakan hal-hal terkait penggunaan

kartu kredit.

REFLEKSI KODE TRANSKRIP KONSEP

Informan menjawab

pertanyaan dengan

antusias

1.a P: Langsung aja, usia Stella berapa tahun?

I: Umur aku 21 tahun. Latar belakang informan-usia

1.b

P: Stella punya pemasukan perbulan, gak? Atau mungkin

gak apa-apa ya kalo bicara dikit kiriman dari orang tua

atau mungkin ditambah lagi penghasilan dari mana-mana

gitu?

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

55

1.c

I: Kalau dari orang tua itu, aku kira-kira satu sampai

dua juta perbulan. Penghasilan aku misalnya kayak

terakhir aku nge-coach itu dapat 1,5 juta. Minggu

sebelumnya pernah lagi aku dapat panggilan ke

daerah untuk nge-coach, itu seminggu dikasih 3,5

juta. Terus, aku misalnya kalo ngeju-ngeju gitu, satu

orang 50 ribu. Terakhir aku ngeju dua hari, 1 juta.

Cuma, kayak gitu kan nggak penghasilan tetap gitu

lho.

P: Jadi mungkin kalo bisa kita rata-ratain sebulan

mungkin dua jutaan kali ya?

I: He eh, sekitaran segitulah.

Latar belakang informan-

pemasukan dari keluarga

Latar belakang informan-

pemasukan dari diri sendiri

2.a

2.b

2.c

P: Naaah Stella bisa gak menceritakan tentang kartu

kredit yang Stella miliki?

I: Ee.. Aku cuma punya satu kartu kredit. Dan itu

master card dari mandiri. Itu yang titanium. Aku

punya kartu kredit itu sejak tahun lalu.

P: Tahun lalu. Baru tahun kemarin 2011. Sebelumnya

udah pernah pake kartu kredit?

I: Debit aja

Kartu kredit-jumlah

Kartu kredit-jenis

Kartu kredit-waktu

pembukaan

3.a

P: Oh debit aja sebelumnya. Okey okey. Terus kenapa

Stella lebih memilih bertransaksi menggunakan kartu

kredit dibandingkan debit ataupun tunai?

I: Karena kalau tunai kan, kalau tunai terbatas dan itu

pasti uang aku. Tapi kalau misalnya kartu kredit

kalau misalnya case tertentu aja yang papa nyuruh

Alasan menggunakan kartu

kredit-keterbatasan tunai

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

56

3.b

3.c

ganti. Heh.. terus ini sih biasanya aku lebih milih

kartu kredit itu karna... hmm.. ini nih biasanya ada

program-program khususnya, gitu.. misalnya kayak

apa ya.. misalnya kayak pizza hut delivery. Kalau

misalnya bayar pake cash kan 100% tapi kalo pake

kartu kredit bisa diskon 15%.. jadi kan lumayan juga.

Alasan menggunakan kartu

kredit-dorongan orang tua

Alasan menggunakan kartu

kredit-potongan harga

9.a

4.a

4.b

P: Oh iya, potongan harga gitu ya? Biasanya paling sering

dipake untuk apa aja tuh? Misalnya kalo ada promosi,

atau program-program itu, atau potongan apa aja?

I: Ooh.. kalo misalnya untuk pake programnya itu

sendiri sih aku jarang. Biasanya kalo ada keperluan

baru aku pake kartu. Jadi gini, papa aku itu punya list

apa aja pengeluaran yang ditanggung orang tua, apa

aja yang tanggungan aku sendiri. Jadi selama

pengeluaran itu masih tanggungan orang tua, aku

make kartu kredit. Misalnya beli buku.. ehm.. kan aku

pernah beli buku di Times gitu kan. Terus apa lagi ya..

rumah sakit. Aku sebenarnya tujuan pake kartu

kredit ini untuk rumah sakit sih. Soalnya kalo aku ke

rumah sakit, tagihan kartu kredit papa aku, nanti aku

kan ada tagihan dari rumah sakit, itu diganti sama

perusahaan. Terus apa lagi ya.. ya itu sih, kalau

misalnya ada potongan-potongan itu yang ekstra-

ekstra.

Aturan orang tua-

list kebutuhan yang

ditanggung

Pengeluaran-buku

Pengeluaran-rumah sakit

P: Oh gitu, tapi utamanya yang kalo memang yang sesuai

dengan yang diperuntukkan untuk pake kartu kartu

kredit sesuai list tadi ya.. okey... ngg.. ada gak kira-kira

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

57

3.d

yang memotivasi Stella untuk menggunakan kartu kredit

yang berhubungan dnegan orang gitu? Entah mungkin

keluarga, atau teman pergaulan... gitu-gitu.

I: Enggak sih.. teman aku yang punya kartu kredit itu

ga banyak juga.

Alasan menggunakan kartu

kredit-bukan dorongan teman

P: Jadi kalopun pake kartu kredit tuh, motivasinya itu

lebih dominan karena yang disebutkan di jawaban kedua

tadi ya?

I: Iya he eh..karena memang itu kebutuhannya atau

karena kalau pake kartu kredit lebih

menguntungkan.

5.a

5.b

P: Nggg gitu.. okey.. ookey kalo misalnya dari, misal kayak

suka bergaul dengan kalangan pergaulan yang agak-agak

gimana, agak sering menggunakan kartu kredit yang tidak

masalah sering menggunakan kartu kredit itu gak ada

pengaruhnya di diri Stella?

I: Justru kalau misalnya temen-temen lagi jalan kaya

gini nih, misalnya mereka “aduh aku lagi ga bawa

cash nih. Aku bayar pake kartu kredit aja ya. Kalian

bayar cashnya aja ke aku”. Kalau misalnya kayak gitu

kan tagihan atau bill-nya kan bisa sampe 700 ribu

gitu. Dan aku yaudah jadi aku pake kartu kredit

temen, aku bayar ke dia. Tapi kalau misalnya aku

yang nanggung, aku juga ga mau soalnya tagihannya

jadi gede. Gituu...

Pola penggunaan kartu kredit-

tumpang kartu kredit teman

Pola penggunaan kartu kredit-

tidak mau ditumpangi

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

58

6.a

4.c

5.c

P: Oh gitu.. oh okey sip sip. Nah, jadi seperti yang udah kita

jelaskan tadi di awal tuh, brief-nya kan kita mau melihat

konsumerisme perempuan dalam iklan. Nngg... sekarang

kita beranjak tentang mmm... Perempuan dan iklan gitu.

Jadi, kira-kira Stella bisa gak menceritakan media-media

yang mempromosikan kartu kredit yang pernah Stella

lihat, kemudian Stella ikuti, misalnya ada promo ini, terus

tertarik, trus gitu-gitu..

I: Oh gitu.. iya sih aku biasanya tau dari email yang

kaya gitu. Atau tau dari mana ya..? misalnya kalau lagi

jalan cari makan, eh ternyata kalau disini pake kartu

kredit mandiri ada diskon sekian persen gitu. Eeh

terus apa ya.. eeh dulu aku melakukan transaksi

karena iklan itu pernah sekali karna kebetulan

waktu itu kau lagi butuh make up. Kan untuk yang

paragita kan emang lagi mau lomba juga kan dan aku

juga masih perlu make up makanya aku beli gara2 tau

ada diskon 30 persen waktu itu pake kartu mandiri.

Jadi kan lumayan banget kan.. itu turun harganya

lumayan jauh. Dan yaudah, biasanya aku pake make

upnya itu yang itu loh.. make up yang Pac. Pac itu kan

dalam negeri jadi ga semahal yang lain gitu kan. Dan

itu di diskon lagi 30 persen. Jadi emang lebih

menguntungkan pake kartu kredit mandiri. Jadi

kayak gitu sih. Cuma kalau misalnya iklannya aku ga

butuh barangya, aku enggak.

Iklan media-email

Pengeluaran-kosmetik

Pola penggunaan kartu kredit-

beli yang di iklan kalau butuh

P: Berarti tadi dari email. Mayoritasnya biasanya dari

mana?

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

59

6.b

6.c

6.d

I: Dari.. Biasanya dari email kan emang yang masuk.

Apa, kartu kredit mandiri lagi punya program ini ini.

Terus juga dari.. tau aja, misalnya kalau lagi jalan-

jalan kan ada di bannernya. Kaya gitu. Atau ga dari

brosur. Kalo misalnya di pizza hut di brosur yang

dikasih dia nulis tuh kartu kredit bca sama mandiri

dia diskon 15 persen. Terus apa lagi ya.. eee.. sama ini,

kita biasanya dikirimin dari mandirinya juga. Kayak

feature gitu kan kupon. Kalau belanja segini, diskon

sekian. Itu kadang dikirimin juga.

Iklan media-banner

Iklan media-brosur

Iklan media-direct mail

1.d

P: Medianya gitu. Media massanya yang Stella tahu. Aaa..

haaha.. Kalo dari TV agak kurang ya?

I:. Secara aku ga punya TV jadi aku ga tau juga. Hehe

hee.

Latar belakang informan-

aksesibilitas media

7.a

4.d

P: Ah iya-iya... Okey oke.. ngerti-ngerti. Baiklah gak apa-

apa...nah selanjutnya aaa... pendapat Stella tentang

bunga-bunga rendah dan potongan harga yang

dipromosikan dalam iklan kartu kredit tuh kayak gimana?

Itu kan biasanya sering kan, misalnya ngeliat di brosur,

bunga cicilan nol persen bintangnya lima gitu kan, secara

menurut Stella gimana hal yang seperti itu?

I: Hm.. Kalau yang biasanya cicilan 0 persen itu kan

untuk barang yang mahal ya harganya. Jadi aku ga

pernah pake kartu kedit aku untuk bayar yang

semahal itu juga. Aku itu paling mahal gunain kartu

kredit itu untuk tiket pesawat. Dan itu juga apa ya..

contohnya kemaren aku kan eh beli tiket pesawat

pake kartu kredit buat yang kerjaan aku itu yang ke

Pandangan promosi iklan-

0% untuk barang mahal

Pengeluaran-tiket pesawat

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

60

5.d

7.b

7.c

daerah coach debat. Dan itu kan duitnya diganti. Jadi

kayak bisa bayar lagi, bisa bayar kartu kreditnya

langsung. Jadi kayak aku ga memperlakukan kartu

kredit aku itu layaknya kartu kredit orang-orang.

Biasanya kan orang ini, uh beli apa beli hp 4 juta yuk

kita cicil aja sampe 12 bulan. Aku ga kayak gitu.. kalau

misalnya aku ga punya uang untuk beli itu ya aku ga

beli gitu.. jadi ee sebisa mungkin kayak transaksi aku

bulan ini apa aja nih. Bulan depan itu udah dibayarin.

Aku pake kartu kreditnya apa, bukan karena..

istilahnya karena emang lebih untung pake kartu

kredit gitu. Tapi kalau diperlakukan selayaknya

kredit itu kan bisa menusuk utangnya.

Pola penggunaan kartu kredit-

bukan untuk cicilan 0% atau

barang mahal

Pandangan promosi iklan-

tidak cocok untuk gadget freak

Pandangan promosi iklan-

dorongan menumpuk utang

7.d

P: Kalo misalkan Stella lihat iklan-iklan kartu kredit,

misalnya ngeliat promo-promo apapupun itu, menurut

Stella itu, berlebihan atau memang sengaja dilebih-

lebihkan atau emang biasa aja sih. Maksud aku Stella

mungkin biasa aja dengan itu, toh Stella emang

berkebutuhan untuk itu, atau iklan-iklan itu memang

mengakomodasi kebutuhan yang memang orang-orang

butuh gitu.

I: Kalau menurut aku sih ga tau karna aku udah kena

terpaan kritis juga.. Cuma aku tuh emang ini, kalau

misalnya aku ga perlu ya aku ga beli.

Pandangan promosi iklan-

harus lebih kritis

Informan memperjelas

maksud pertanyaan

P: Oohh gitu, jadi cukup bisa melihatlah mana yang betul-

betul kebutuhanlah dalam menggunakan kartu kreditnya.

Okey, nah terus gimana kesan shopacholic yang identik

melekat pada diri perempuan ada terkait dengan iklan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

61

kartu kredit. Ngerasa gak sih kalo di brosur atau pamflet

tuh, biasanya tuh bukan biasa sih, seringkali perempuan

lagi memegang kantong belanjaaan seberapa banyak,

bunga cicilan 0%, gitu-gitu segala macam. Menurut Stella

gimana selama ini? Atau terterpa gak selama ini?

I: Ee dengan gaya tuntutan glamor diamond stay gitu?

8.a

1.e

8.b

P: Perempuan-perempuan yang ada di kartu kredit gitu.

I: Menurut aku, ya lagi-lagi karna aku udah kena

terpaan kritis deh.. aku ga melihat itu sebagai suatu

realita. Rasanya enggak kok.. kenyataannya ga kayak

gitu. Dan palingan kalo ada orang yang kaya gitu ya

emang orang yang bener kaya.. dan aku kan masih

menggolongkan diri aku di kelas menengah. Jadi

kalau misalnya, ga tau deh kalo misalnya ada orang

yang apa ya... eee belanjanya gila-gilaan kayak itu.

tapi apa ya, menurut aku harusnya orang-orang yang

belanja gila-gilaan gitu ya adalah orang-orang yang

penghasilannya bener-bener kaya juga. Pengusaha

kek atau ya.. atau anggota DPR kek. Atau apa gitu. Ehe

(tertawa). Ya Cuma kalau misalnya kayak apa ya.. ya

orang asli, maksudnya kayak orang-orang kayak aku

tidak selayaknya kayak gitu.

Pandangan terhadap

shopaholic- bukan realitas

Latar belakang informan-

kelas ekonomi

Pandangan terhadap

shopaholic-koheren dengan

ekonomi atas

1.f

P: Berarti yang terterpa kritisnya lebih dominan jadi

kayak?

I: Kayaknya gitu.

P: Karna anak komed juga kali ya?

I: Kayaknya gitu. Hehe (tertawa).

Latar belakang informan-

studi

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

62

9.b

3.e

10.a

P: Okey sip sip. Selanjutnya. Aaaaa... menurut Stella nih

apakah reperesentasi perempuan dalam iklan-iklan kartu

kredit yang aku gambarin itu justru mengkonfirmasi dan

menjadi pembenaran Stella untuk menggunakan kartu

kredit atau gimana? Maksud aku kayak misalnya ngeliat,

ooh gak apa-apa kok ngeliat perempuan-perempuan yang

glamor, sosialita gitu, yang beriklan segala macam. Itu,

kayak Stella mengkonfirmasi oh ya udah gak apa-apa sih

memang perempuan itu, ya seperti itu memang

shopaholic. Senang berbelanja, itu merupakan suatu

kewajaran kalo perempuan berbelanja kalo gitu?

I: He eh.. Tapi dari luar papa aku tetap nekanin sih

yang namanya pengeluaran itu ditekan ditekan

ditekan. kalau misalnya emang ga butuh, jangan.. ga

usah. Dan aku juga ga ikut-ikutan kayak temen-temen

gitu kan. misalnya kayak gaul kemana gaul kemana

gitu. aku lebih ke.. apa ya.. sibuk dengan kegiatan aku

sendiri. Kalau misalnya aku butuh, beli. Kalau

misalnya enggak, enggak. Kalau misalnya aku yang

namanya belanja itu kewajaran bagi orang yang

banyak duit deh. Jadi kayak terlepas dari dia cewek

apa cowok. Soalnya kalau, kalau aku ngeliatnya

cewek kan memang iya. kayak banyak, kelihatan

banyak belanjanya karna dia beli baju, beli apa gitu

yang kecil-kecil.. tapi ini, jadi-jadinya gede. Tapi kan

kalo cowok sebenarnya jadi mahal juga. Kayak

mereka itu sukanya di otomotif atau gadget which is

walaupun misalnya kecil kayak gini tapi berkali-kali

lipat dari belanjaan cewek. Jadi kalau misalnya, aku

Aturan orang tua-

menekan pengeluaran

Alasan menggunakan kartu

kredit-bukan untuk gaul

Pandangan representasi

perempuan dalam iklan-

bukan masalah gender

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

63

ngelihat yang pengeluaran-pengeluaran kek gitu

terlepas dari cowok cewek karna mereka tentu

kebutuhannya berbeda gitu. Cuma kalau misalnya

pengeluarannya sampai banyak kaya gitu, ya emang

orangnya kaya.. terserah deh gitu. Terserah lo mau

pake duit lo gimana . kalau gue sih ga punya duit

sebanyak itu, gue mesti hemat. Gitu..

10.b

3.g

P: Tapi Stella, udah agak ini ya berarti, karena udah

terterpa pandangan kristis kayak gitu bisa dibilang udah

agak resistan. Ah gak juga sih, kalo ngeliat perempuan-

perempuan gak kayak gitu. Kira-kira perempuan itu,

kesan-kesan yang didapatkan mengenai perempuan yang

shopaholic di dalam iklan itu kayak gimana? apakah Stella

melihat diri Stella dalam perempuan-perempuan itu

sebagai pengguna kartu kredit itu atau justru ooooh

nggak?

I: Enggak, aku nggak ngeliat. Ya kaya yang tadi aku

bilang sih.. aku tidak melihat itu sebagai suatu realita.

Seandainya itu suatu realita, itu di dunia yang

berbeda gitu.. ya kalau misalnya aku sendiri tipe

orang yang sama sekali tidak mengasosiasikan diri

aku kaya gitu. Jadi kayak sebenarnya aku itu pake

kartu kredit itu gini.. aku jauh dari orang tua dan aku

sering ini kan, kayak bolak-balik rumah sakit gitu

kan.. tiap bulan aku pasti ada ke rumah sakit. Dan

sekali ke rumah sakit itu kan 500 ribu gitu.

Sementara duit aku sering kadang Cuma dikasih

sejuta. Masa sekali ke rumah sakit aku langsung ga

Pandangan representasi

perempuan dalam iklan-

non asosiatif

Alasan menggunakan kartu

kredit-jauh dari orang tua

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

64

punya duit? Dan sebelumnya itu ada pernah kejadian,

aku ke rumah sakit masuk emergency dan aku ga

punya uang untuk bayar, itu sampe aku minjam sama

temen aku.temen aku datengin aku untuk bayarin.

Kaarna sejak kejadian itu, aku dikasih kartu kredit

kalau misalnya ke rumah sakit. Tapi emang sih ujung-

ujungnya gunainnya jadi kayak beli buku jadinya

disitu. Tapi kalau papa aku untungnya masih ga

masalah kalau untuk buku. Terus juga ee ini sih, sama

yang keuntungan-keuntungan yang tadi. Jadi emang

ada sih menggesernya dari tujuan utama. Cuma

masih ada justificationnya. Hehee hee.. (tertawa)

11

4.e

P: Ngerti-ngerti... gak apa-apa ya. Biasanya berapa

nominal transaksi kartu kredit yang Stella lakukan di

setiap bulannya. Untuk kebutuhan apapun, tersier,

primerkah atau sekunderkah penggunaan kartu kredit

itu? Maaf ya kalo agak sensitif nanyain nominal

angkanya...

I: Ga papa kok.. Ehmm.. terakhir sih tagihan aku tiga

juta bulan lalu. Karna emang apa ya, ee.. kan aku

orang nya jarang membeli baju gitu kan.. jadi sekali

beli, sekali banyak. soalnya aku ga hobi shopping

sebenernya. Sama ini sih, kebetulan lagi ini.. kan aku

kalau di times itu bulan ulang tahun kan dapat diskon

20% untuk bayar. Jadi aku nahan ga beli-beli buku

waktu bulan kemaren. Pas aku beli kayak langsung

satu setengah juta buat beli buku aja. Yang kayak

gitu.. Cuma kalau misalnya kalau standarnya, apa ya

Nominal transaksi kartu

kredit-

2-3 juta

Pengeluaran-pakaian

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

65

4.f

9.c

standarnya... biasanya ini sih kadang juga gini, kayak

kebutuhan keluarga pake kartu kredit aku. Jadi

misalnya kayak mama aku ngajak pergi kemana, “yok

kita gini gini gini.. gimana nih bayarnya pake kartu

kredit Stella aja”. Soalnya kan ditagihan itu kan

keluar nanti ini buat apa, ini buat apa. Jadi kehitung

yang kebutuhan aku berapa. Cuma ya rata-rata kayak

dua juta tiga juta gitu sih. Cuma itu udah termasuk

kebutuhan keluarga. Jadi ga cuma aku sendirian

make. Kalau aku pulang ke rumah kan misalnya eee

mamaku ngajak pergi. “Kita lagi butuh ini, gini gini”.

Mau beli tangga kek, mau beli apa kek, itu pake kartu

kredit aku juga. Jadi kayak itu semacam kebijakan

pengaturan pengeluaran keluarga itungannya. Jadi

tuh bukan bener-bener yang kayak, “ini tuh punya

aku’. Itu enggak.. keluarga aku tuh masih berbagi.

Pengeluaran-kebutuhan

keluarga

Aturan orang tua-

berbagi kartu kredit dengan

keluarga

12.a

12.b

P: Itu dikontrol secara ketat gitu ya sama orang tua?

Maksudnya kalo sewaktu-waktu mau dipake untuk

kebutuhan keluarga, ya se-flexibel itu aja atau emang

Stella ada ya dialokasikan gitu untuk kebutuhan

keluarga...

I: Ee.. Itu emang udah diatur sama keluraga. Jadi

sebenernya itu kan kayak gini, kartu kredit itu kan

ada yang utama, ada yang tambahan gitu kan.. jadi

sebenarnya pemegang kartu kredit utamanya itu

papa aku. Cuma papa aku ngasih aku sama mama aku

kartu kredit dan ini, ee mungkin supaya apa ya.. ga

timpang aja penggunaannya. Jadi kayak nggak.. jadi

Pemegang kartu kredit-

utama

Pemegang kartu kredit-

tambahan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

66

5.e

waktu tagihan itu keluar, yang keluar itu adalah

tagihan kartu kredit papa, aku, sama mama, baru

ditotal gitu. Jadi eee.. biar rata, rata angkanya dan

bayar tagihannya juga enak kan bayarnya per kartu

kan.. Dan biasanya itu papa yang bayarin. Makanya

pengeluaran itu kayak dibagi-bagi misalnya..

misalnya kayak mama aku nih hari ini bilang, “stel,

hari sabtu kita gini gini gini ya. Nanti pake kartu

kredit kamu”. Ya oke gitu.. jadi emang untuk keluarga

juga. Untuk aku pribadi ya pengeluarannya ya paling

untuk itu tuh, beli buku, ee kalau aku ada ke rumah

sakit..

Pola penggunaan kartu kredit-

berbagi dengan keluarga

13.a

9.d

13.b

P: Oh, trus biasanya yang paling bertanggung jawab untuk

melunasi kartu kredit Stella siapa?

I: Kalau misalnya untuk kebutuhan aku sendiri aku

disuruh ganti. Misalnya gini, ee setiap bulan kan aku

dikirimin tagihan kartu kreditnya. Ee ya terus

dihitung Stella pakenya berapa, tek tek tek tek.. terus

kayak udah hitung, aku pengeluarannya segini, oh

yaudah aku transferin ke papa. Aku kan ada rekening

papa juga. Jadi ya hasil aku kerja itu, terus juga uang

jajan bulanan aku.. itu juga nantinya dikurangin lagi

untuk tagihan kartu kredit. Jadi tetep aja walaupun

apa ya.. walaupun kartu kreditnya kartu kredit apa,

dari papa gitu, kalau misalnya ada tagihan yang aku

yang make, aku disuruh ganti. Hehe (tertawa). Iya

papa aku kayak gitu, emang seketat itu sih

pengeluarannya.

Bertanggung jawab melunasi-

papa informan

Aturan orang tua-

tagihan diluar list kebutuhan

yang ditanggung harus diganti

Bertanggung jawab melunasi-

informan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

67

9.e

P: Mungkin pembayarannya maksudnya kayak, berarti,,

Stela bertanggung jawab atas pembayaran kartu kredit

Stella sendiri atau dibantu papa atau dibantu mama atau?

I: Jadi tergantung yang list tadi. Kalau misalnya

pengeluarannya kayak rumah sakit gitu, itu

ditanggung papa. Tapi kalau misalnya kayak aku

makan, aku pergi kemana, papa aku bakal bilang. kan

ada ee ditagihan kartu kredit itu juga keliatan kan

dimana, ee apa aja. apakah itu di toko buku, tempat

makan. Misalnya kayak pizza hut. Apakah pizza hut

bintaro atau pizza hut margonda. Soalnya kalo

margonda kan, berarti aku yang pake. Tapi kalo

bintaro, berarti untuk keluarga. Ya kan kayak gitu..

soalnya kan mesan pizza juga kadang pake kartu

kredit aku. Mama aku bilang, “yaudah pake kartu

kredit Stella aja”, soalnya kartu kredit mama aku

udah dipake buat keperluan apa untuk kebutuhan

keluarga gitu. Jadi ya bener-bener emang dihitung

sih.. sampe 124.500 pun, ya segitulah yang aku

transfer ke papa. Terakhir aku bayar itu 1.124.000.

jadi kayak papaku ngasih uang, “nih uang bulanan”.

satu juta gitu.. “berapa tagihannya?”, “satu juta

seratus dua puluh empat ribu”. Cuma kan aku ada

uang dari kerja, dari apa gitu.

Aturan orang tua-

check lokasi pembayaran

dalam tagihan

P: Oh oke-oke sip. Menurut Stella bagaimana pandangan

Stella tentang urgensi kepemilikan karu kredit gitu.

Sebagai mahasiswi perempuan itu bagaimana pandangan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

68

14.a

14.b

5.f

Stella? Kira-kira se-urgen itukah kepemilikan kartu kredit

bagi Stella sendiri?

I: Hmm, sebenernya apa ya.. kayak aku kan dikasih

kartu kredit kan karna cerita awalnya kan gitu

kan..aku masuk emergency, asma ku kambuh. Aku ga

punya siapa-siapa di depok. Mama aku ga bisa kesini.

Akhirnya temen aku yang bantuin bayar karna

kebetulan akhir bulan. Kalo mahasiswa kan udah

habis tuh duitnya. Nah aku tuh dikasih kartu kredit

tuh karna itu. kecuali orang-orang itu punya masalah

seperti aku, kayak sering ke rumah sakit atau

mungkin dia emang hobi beli buku. Pokoknya yang

masih berkaitan sama kesehatan dan pendidikan,

kan itu masih kebutuhan. kesehatan kan primer kan..

eee ya itu., perlu kartu kredit. Tapi kalau misalnya

untuk belanja-belanja gitu, ya ga usahlah. kalo emang

ga perlu. soalnya sangat semenggoda itu pake kartu

kredit. Kayak kita ga ngeluarin duit, kan ga berasa ya

eee susahnya.. kayak aduh sayang nih

pengeluarannya, kayak gitu.. kecuali orangnya

emang bener-bener bisa make itu, aduh jangan deh

pake kartu kredit. Kalau aku kan emang apa ya...

orang tua aku itu secerewet itu kalo misalnya ada

pengeluran-pengeluaran yang gimana-gimana.

Soalnya aku sampai disuruh ganti sendiri kan yang

satu juta seratus dua puluh empat ribu itu. padahal

aku tuh pake duit sampe segitu karna aku selama tiga

minggu ga dikasih uang jajan bulanan karna waktu

itu lagi ada berantem sama orang tua. Jadi orang tua

Urgensi kepemilikan kartu

kredit-kebutuhan kesehatan

dan pendidikan

Urgensi kepemilikan kartu

kredit-jauh dari orang tua dan

keluarga

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

69

aku itu caranya kayak gitu. Efektif banget kan? Kalau

misalnya ada masalah apa, akhirnya yaudah potong

duitnya. Ya aku ga bisa ngapa-ngapain. Jadi kan

emang harus diselesain masalahnya. Jadi emang

bener-bener efektif caranya. Karna waktu itu aku ga

dikasih uang, yaudah aku gunain aja kartu kreditnya.

Aku beli pizza yang gede, terus aku pisahin beberapa

bagian. Jadinya bisa untuk makan beberapa hari gitu.

Pas masalahnya udah selesai, tagihannya keluar,

kelihatan waduh ternyata banyak banget makan

enaknya.. yaudah tetep bayar sendiri. Gitu..

Pola penggunaan kartu kredit-

bertanggung jawab sesuai

aturan list yang ditanggung

orang tua

15.a

15.b

P: Iya. Bagaimana pandangan Stella tentang kegunaan

mendasar dari kartu kredit? Sebenarnya tuh, nilai guna

sebenar-benarnya dari kartu kredit apa sih menurut

Stella?

I: Kalau menurut aku kartu kredit itu untuk eee.. apa

ya.... misalnya gini, dia... yang pasti itu untuk orang

yang udah punya penghasilan ya kalau menurut aku.

Soalnya kan kartu kredit itu aku rasa penggunaan

dasarnya adalah kayak untuk beli hp, yang bisa dicicil

dan cicilannya nol persen. Itu kan sangat-sangat

menguntungkan kalo kayak gitu kita ga terasa berat.

Misalnya beli hp BB terbaru yang lima setengah juta.

kan berat kalo misalnya dalam sekali waktu langsung

ngeluarin duit lima setengah juta. Dan berdasarkan

perhitungan ekonomi, dari nilai... dari nilai internal

uang itu sendiri sebenarnya memang lebih

menguntungkan kalau kita kredit. Jadi ada

Nilai guna kartu kredit-

mencicil pembayaran barang

agar tidak terasa berat

Nilai guna kartu kredit-

harga barang bisa lebih murah

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

70

7.e

16.a

16.b

perhitungan-perhitungannya.. jadi untuk beberapa

kasus memang lebih menguntungkan kalau kita pake

kartu kredit daripada kita ngeluarin duit, plek

langsung pada awalnya. Soalnya kan nilai mata uang

itu kan naik turun naik turun juga kan.. nah,

penggunaan kartu kredit yang bijak menurut aku itu

ya kayak gitu. Jadi untuk yang misalnya beli yang lima

setengah juta tadi bisa dibayar sampe 6 kali atau 12

kali, tagihannya tetep dan dia nol persen. Kalau

kayak gitu kan untung.. Cuma, apa ya... berdasarkan

yang iklan-iklan tadi, kartu kredit itu sudah menjadi

life style. Akhirnya orang makenya nggak yang untuk

kebutuhan ideal tadi tapi lebih ke yang ayoo kita

belanja gini-gini.. apalagi kalau kita ke toko baju, ada

diskon untuk yang pake kartu kredit ini ini. Akhirnya

mendorong orang untuk belanja. Cuma kan ga semua

orang menyadari itu. orang lebih menyadarinya ee

kayak gini, eh lagi ada uang, yaudah deh pake kartu

kredit aja, bayarnya ntar-ntar aja. Pas udah ketemu

tagihannya, kaget.

akibat fluktuasi nilai mata

uang

Pandangan promosi iklan-

kartu kredit jadi lifestyle

Pergeseran nilai guna-

belanja sepuasnya

Pergeseran nilai guna-

simbolisasi

P: Kalo gitu kayak tadi sebenarnya berkartu kredit tuh

dibutuhkan, perlu untuk orang-orang yang benar-benar

membutuhkan dan untuk orang yang udah kerja gitu ya?

I: Kalau mau dikasih ke anak pun, ya kayak aku kan

aku jauh dari orang tua aku. Dan aku yang masuk

rumah sakit kemaren, dan aku akan rutin ke rumah

sakit sih sebenarnya.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

71

17.a

P: Menurut Stella jumlah kartu kredit yang Stella miliki

sesuai gak dengan kebutuhan Stella?

I: Ehm, kalau jumlahnya satu sih udah sesuai dengan

kebutuhan.. tapi jenis kartunya lebih dari yang aku

butuhkan.

Pandangan terhadap kartu

kredit- kuantitas kartu kredit

sesuai kebutuhan

17.b

P: Oh gitu. Lebih dari yang Stella butuhkan. Itu gimana,

mungkin bisa diceritakan. Ha ah...

I: Jadi kan kartu kredit itu kan ada level-levelnya lagi.

Misalnya kayak gold, titanium, apa segala macam.

Terus papa aku tuh ngasih yang titanium. Aku ga

butuh yang titanium soalnya aku makenya ga tinggi

juga. Soalnya kan semakin tinggi level kartunya,

semakin tinggi pula yang dibayar ke bank. Tapi disitu

juga manfaatnya. Dan kenapa aku juga pake yang

titanium soalnya waktu itu aku lagi mau keluar

negeri dan kalau beli tiket keluar negeri pake kartu

kredit itu bisa dapet double point reward gitu..

Pandangan terhadap kartu

kredit- level kartu kredit tidak

sesuai dengan kebutuhan-

titanium level tertinggi-

dapat double point reward-

tapi bunga tinggi

2.d

P: Itu memang limitnya kalo boleh tahu limitnya berapa

ya Stel, kartu kredit yang Stella punya?

I: Kalau pagu kreditnya 30 juta.

Kartu kredit-limit

P: Ooh oke2.. perbulannya?

I: Aku tuh ga tau itu per hari atau perbulan. Makanya

aku bilang yang pake kartu kredit itu harusnya orang

yang udah kerja gitu.. aku tuh ngelihat misalnya kita

mau beli satu set tempat tidur kan bisa sampe 20 juta.

Tempat tidurnya, kasurnya, lemarinya, mejanya,

segala macem, bahkan bisa sampe 50 juta. Makanya

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

72

pagu kreditnya bisa sampe tinggi gitu ya karena

untuk kebutuhan yang kayak gitu..

P: Sementara Stella sepertinya belum akan membeli

seperti-seperti itu? Emang agak lebih....

I: Iya he eh..

18.a

P: Oh gitu. Stella menetapkan sendiri gak aturan dalam

menggunakan kartu kredit gitu lho?

I: Iya.. if you don’t need it, don’t use it. Hehe Sesimpel

itu gitu.. soalnya kalau aku tuh kerasa banget. Pas

diakhir bulan keluar tagihannya, aku tuh disuruh

bayar sendiri. Jadi sama aja..

Aturan diri sendiri-

if you don’t need it, don’t use it

18.b

P: Dan itu, seketat itu rulesnya Stella lakukan untuk diri

Stella sendiri karena konsekuensi logisnya itu ya?

I: Soalnya aku ngeliat temen-temen aku, gampang

banget pake kartu kredit. Ya beda-beda juga sih ya

keadaannya. Kalau aku kan nanggung sendiri, ga

ditanggung orang tua. Jadi ya emang harus irit.

Aturan diri sendiri-

konsekuensi logis harus

menanggung tagihan di luar

list

5.g

P: Kira-kira kalo bisa diperinci lagi gak? Misalnya Stella

menetapkan gue minggu ini udah pake nih sekali berarti

minggu sebagai konsekuensinya gak boleh dipake. Atau

gimana selang waktunya? Atau momennya, momen apa

baru bisa dipake?

I: Misalnya kayak. Karena aku bulan lalu udah banyak

pengeluarannya karena aku beli buku dan segala

macam, jadi aku tidak berencana pakek kartu kredit

untuk beberapa bulan ke depan, kecuali kalau aku

emang ada ke rumah sakit. Jadi aku tinggalin kartu

kredit aku di rumah. Caranya kayak gitu. Cara

Pola penggunaan kartu kredit-

berselang tergantung

banyaknya pemakaian kartu

kredit

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

73

18.c ngatasinnya tinggalin kartu kreditnya, gak usah

dibawa-bawa dan juga bahaya kan kalo misalnya

dicopet atau apa. Jadi, hmmm. Tapi hari ini aku bawa.

Karena takutnya kan karena wawancaranya kan

kemarin katanya pake kartu kredit, tapi misalnya

kayak hari biasa aku nggak akan bawa.

Aturan diri sendiri-

ditinggalkan di rumah

5.h

P: Heeh... apa tuh misalnya?

I: Ho.. Misalnya kayak ya waktu aku ulang tahun

kemarin. Kan pada ngajakin kalian makan, dan itu

aku dah tahu ada discount 15 persen pake kartu.

Terus juga kalau misalnya aku pergi ke Times beli

buku, bawa, karena itu masih tanggungan orang tua

kan. Itu papaku emang benar bikinin listnya.

Pola penggunaan kartu kredit-

saat ada potongan harga

P: Berarti seketat itu. Kalo momennya itu kayak apa Stell?

Atau kayak tadi tuh mesan pizza karena ada diskon 15

persen atau memang ada great sale, wow pake kartu

kreditnya gitu atau ada gak kira-kira?

I: Iya, he he . Jadi, papaku sebenarnya yang bukan apa

untuk pakek kartu kreditnya sih. Papaku bilang, eh,

ini yang ditanggung orang tua, ini yang nggak, dan

lain-lain gitu. Jadi kayak, kalo misalnya contoh-

contoh yang nggak ditanggung. Tapi untuk yang

ditanggung, papaku benar-benar bikin listnya, kayak

apa pakaian, buku, rumah sakit. Rumah sakit sesuai

dengan peraturan perusahaan. Misalnya kan mana

yang di-reimburse, mana yang nggak. Kalau nggak di-

reinburse, ya aku disuruh tanggung sendiri. Kayak

pilatest kan sebenarnya itu untuk olahraga bagus ya.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

74

Ya, papaku bilang itu kan nggak ditanggung oleh

perusahaan. Jadi kamu sendiri. Ya bagus sih kalo

misalnya investasi untuk kesehatan sendiri. Jadi, ya,

makanya, ya mulailah untuk bertanggung jawab

terhadap diri sendiri.

19.a

19.b

P: Hmmm gitu... Menurut Stella nih gimana pola ideal

pengelolaan keuangan oleh perempuan seharusnya? Jadi

kayak gini nih, Stella kan udah mengikuti alurnya gitu ya.

Kayak tadi kan udah dibilang topiknya tentang

konsumerisme perempuan melalui iklan di media massa.

Kita udah tahu lah kan gimana perempuan

direpresentasi-kan dalam iklan, gitu-gitu, agak

shopaholic, agak-agak glamor, ngabisin uang keluarga,

gitu kan apalagi pake kartu kredit. Kalo dari situ tuh,

Stella punya pendapat gak nih, gimana sih seharusnya

perempuan mengelola keuangan secara ideal?

I: Kalau aku, lagi-lagi terlepas dengan gendernya ya.

Kalau menurut aku, semua orang tetap aja yang

namanya konsumsinya 50 persen, 20 persen untuk

ditabung, 10 persen liburan atau rekreasi, 10 persen

untuk investasi, 10 persen untuk yang apa yang lain-

lain gitu. Jadi, kalau aku rencananya kalau misalnya

udah kerja, emang benar-benar dah punya

penghasilan, itu yang akan aku ikutin. Tapi kalau

misalnya sekarang kan, papaku benar-benar ngasih

aku duit pas-pasan dengan kebutuhan aku, jadi ya itu

belum bisa aku ikutin. Jadi, kalau misalnya konsumsi

50 persen, apa ya, cowok sama cewek sama aja,

Pengelolaan keuangan ideal-

bukan terkait gender

Pengelolaan keuangan ideal-

50% konsumsi, 20% ditabung,

10% liburan/rekreasi, 10%

investasi, 10% untuk lain-lain

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

75

cuman kan kan kebutuhannya beda. Ya aturlah

berdasarkan rumus yang tadi itu.

20.a

20.b

P: Oh gitu.. kalo misalnya kayak, Stella pernah gak eee....

setuju dengan pendapat kalo orang tuh bilang kalo

perempuan itu suka ngabisin uang keluarga gitu lho.

Terlepas dari usaha dia untuk membiayai, gak sih, usaha

dia untuk membantu keuangan keluarga sebagaimana

yang dilakukan suaminya. Sama kayak punya penghasilan

sendiri tuh suka ngabisin penghasilan sendiri untuk diri

sendiri gitu. Menurut Stella gimana, apalagi kalo punya

kartu kredit gitu?

I: Oh. Kalau menurut aku, itu nggak tergantung

gendernya sih. Itu kelihatannya banyak karena

sering, beli baju. Misalnya contoh gini, sepatu berapa

sih harganya, let’s say 200 ribu. Baju berapa sih

harganya, let’s say 150 ribu. Jadi sekali belanja 350.

Besok lagi belanja 350. Besok lagi belanja 350. Jadi

kalau misalnya cowok, nggak ada belanja, nggak ada

belanja, tabung terus. Tapi sekali beli laptop 12 juta.

Yang kayak gitu kan. Dari situ aku ngelihatnya, it’s not

a matter of whether you are, apa ya. Jadi kayaknya

jumlah pengeluarannya itu bukan karena lo cewek lo

lebih banyak pengeluarannya, tapi lebih sering kalau

aku ngelihatnya. Kalau cowok-cowok sekali tapi

gedek gitu. Soalnya kan, misalnya kayak kita lihat

acara Boy’s Choice, itu kan, ee, mereka itu yang, apa,

mobil bisa sampai berapa untuk otomotif aja, modif-

modif, bisa sampai berapa yang kayak gitu.

Pandangan terhadap

stereotipe-

it’s not a matter of

whether you are

Pandangan terhadap

stereotipe-

cewek terlihat sering belanja

dengan harga yang murah,

sementara cowok sekali

belanja dengan harga yang

mahal

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

76

Sementara ceweknya karena sering aja, karena

kelihatan aja makanya dimarah-marahin.

20.c

P: Pada dasarnya kalo diakumulasikan gak sebegitu beda.

Perempuan itu gak menghabiskan uang keluarga gitu ya?

I: Ehemmm.. iya, jadi nggak jumlahnya, lebih ke itu

apa yang dibelinya. Dan mungkin cowok pun mau

lihat kayak apa ya, cewek itu habis-habisin duit

karena pakek nggak penting mungkin. Make up nggak

penting. Tapi kan, kalau cewek kan ngelihat ngapain

sih laptop 12 juta. Aku aja dah bahagia dengan laptop

yang cuma 3 juta, gitu kan beda.

Pandangan terhadap

stereotipe-

bandingkan kuantitas dengan

harga barang yang dibeli

21.a

P: Okey, nah jadi kita milih Stella disini karena kita anggap

Stella merepresentasikan kalangan perempuan pengguna

kartu kredit, gitu ya. Nah, menurut, aahh kira-kira ada

gak sih harapan Stella untuk menangkal paparan

konsumerisme dari media massa. Misalnya, katakanlah

Stella itu perempuan yang tidak teeer...... kurang kritis

gitu, melihat iklan-iklan seperti itu melihat sosok

perempuan dalam media massa seperti itu, oooh

berbelanja ini dengan bunga cicilan nol persen segala

macam rentan terpapar. Kira-kira apa ya yang dapat

dilakukan untuk menangkal konsumerisme dalam media

untuk perempuan-perempuan yaang kurang kritis.

I: Oh.. apa ya? Mereka memerlukan exposure

terhadap teori kritis. Jadi sebenarnya tu kayak gini.

Aku tu mulai berpikir kayak gini sejak aku mengenal

istilah false consciousness. Gitu, jadi kayak, oh

ternyata media itu kayak gitu ya. Oh, ternyata ini aku

Harapan informan-

perempuan Indonesia perlu

terpapar teori kritis dan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

77

ini kesadaran palsu. Sejak itu aku misalnya jadi kayak

gini. Jadi kalau misalnya cewek-cewek yang kayak

gitu apa yang mereka butuhkan, ya mungkin

pendidikanlah ya. Pendidikan particulary yang di

pemikiran kritis kayak gini. Karena emang benar-

benar, aku baru berpikiran seperti itu sejak ini kok,

sejak mengenal istilah false consciousness itu, hmmm

di Metode Penelitian Sosial yang MPS waktu itu aku

sama Mbak Ken. Jadi kan membahas tentang false

consciousness, oh gitu ternyata, sejak itu juga.

mengerti masalah false

consciousness

22.a

22.b

P: Kira-kira itu berarti, selain itu ada yang berhubungan

dengan ini kali ya.. menurut Stella perlu perempuan-

perempuan itu, perempuan-perempuan yang sejenis itu

maksudnya ya, mengetahui bahwa ada lho seharusnya

langkah bijak kita untuk menggunakan kartu kredit

kayak-kayak gitu. Perlu gak mereka untuk berguru

kepada orang-orang kristis seperti Stella mungkin..

halaahhh..

I: Iya, menurut aku emang butuh banget orang

mendapatkan exposure-exposure yang pemikiran

kritis kayak gini. Soalnya, misalnya aku dulu sebelum

ter-enlighten oleh mata kuliah-mata kuliah kita, aku

tipe orang yang kayak gitu kok. Maksudnya kayak

pingin belanja gitu. Apa ya, kalau misalnya dimarahin

karena belanja itu, sebel sama orang tua. Kayak

pengen hp yang bagus simply because, itu apa ya,

kayak pride di antara society yang kayak gitu. Dulu

aku, dulu aku adalah tipe orang yang kayak gitu.

Pandangan informan sebelum

terpapar teori kritis-

sebel karena dimarahin

belanja

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

78

Cuma sejak mendapat, ya itu sejak memahami

konsep false consciousness, aku berubah. Mungkin

yang mereka butuhkan adalah kayak gitu. Paham

akan apa ya, oh media itu bohong kok, media itu

emang berusaha mengkonstruksi realitas supaya

kamu berpikir demikian. Nggak ada tu cewek-cewek

yang belanja kayak gitu, itu media doang, itu kayak

perlu gitu.

Pandangan informan sebelum

terpapar teori kritis-

pengen hp bagus karena pride

21.b

P: Ooookeyyy. Oke oke siplah kalo begitu. Naaahhh

alhamdulilah ya Stella, kita sudah menghabiskan seluruh

rangkaian pertanyaan MPK 2. Ini terakhir, Stella mungkin

ingin memberikan kesan atas wawancara yang udah kita

lakukan. Mulai dari kita menghubungi Stella jadi

informan kita, aaa ha ah.. Mmmm oke-oke masukan untuk

kelompok kita itu ya..

I: Oh, mungkin apa ya. Kayak aku, aku minta maaf kali

ya. Soalnya kayaknya setelah apa, setelah

menyelesaikan wawancaranya, aku merasa kurang

merepresentasilah. (ketawa) iya, soalnya kayak aku,

apa ya, I have my own thinking itu. Jadi kayaknya,

mungkin untuk apa ya, hmm mungkin masukan aja,

mungkin untuk penelitian kalian kalau kalian pengen

data yang lebih valid lagi, cari orang yang tipenya

yang emang shopaholic kayak gitu kali ya. Mungkin

mereka pemikirannya akan sangat berbeda dengan

yang aku. Iya, cuma kayak perlu aja dunia menyadari

ada loh cewek yang nggak kayak gitu untuk

mematahkan stereotipe kayak gitu, iya, kayak gitu.

Harapan informan-

mungkin bisa mencari

informan yang benar-benar

shopaholic untuk

membandingkan pengalaman

dan pandangan dari kedua

informan

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

79

P: Haah sebetulnya itu sih Stell justru mengkonfirmasi

paradigma kritis dalam penelitian ini.

I: Oh, gitu. Keren keren.

P: Oke, terima kasih banyak Stella atas waktunya. Maaf ya

pembatalan janji semalam.

I: Iya, hehe. Nggak, nggak sama sekali nggak masalah

kok. Ya ngertilah, kalau sama lagi penelitian, tahu

kendala-kendala yang dihadapin apa. Sama sekali

nggak ada masalah kayak gitu. Cuma ya ini, mungkin

untuk memperkaya datanya aja, coba cari yang lain.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

80

Lampiran 4. Axial Coding

1. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang promosi iklan kartu kredit.

2. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang perempuan yang shopaholic

dalam iklan.

3. Latar belakang pendidikan informan melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang representasi perempuan

dalam iklan.

4. Alasan menggunakan kartu kredit melatarbelakangi pemaknaan oposisional tentang nilai guna kartu kredit.

5. Urgensi kepemilikan kartu kredit membentuk pemaknaan oposisional informan tentang nilai guna kartu kredit.

6. Aturan orang tua melatarbelakangi pengeluaran dan pola penggunaan kartu kredit informan.

7. Aturan diri sendiri melatarbelakangi pandangan terhadap kartu kredit informan.

8. Terjadi pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar dari kartu kredit sebelum informan terpapar teori kritis.

9. Pengelolaan keuangan ideal tidak berkorelasi secara langsung dengan pandangan terhadap stereotipe perempuan

sebagai ‘penghabis uang keluarga’.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

81

Lampiran 5. Selective Coding

Dari hasil penelitian ini, pemaknaan informan tentang konsumerisme perempuan

dalam iklan kartu kredit mengacu pada pembacaan oposisional. Berdasarkan latar belakang

pendidikan informan yang merupakan mahasiswi ilmu komunikasi media Universitas

Indonesia yang telah terpapar teori kritis, informan melihat iklan bukan sebagai suatu

refleksi realitas. Hal ini membentuk pemaknaan informan bahwa iklan media yang

mempromosikan kartu kredit memang ditujukan untuk mendorong audiens berperilaku

konsumtif, sehingga pesan yang disampaikan bukanlah merupakan realitas objektif

sebagaimana yang terjadi di dunia nyata. Informan memaknai iklan media yang

mempromosikan kartu kredit membentuk false consciousness audiens.

Karena pemahaman teori kritis yang diyakininya, informan tidak mengkonfirmasi

imej shopaholic pada representasi perempuan dalam iklan kartu kredit. Informan lagi-lagi

melihat hal tersebut bukan sebagai refleksi realitas, melainkan pesan yang berusaha

disampaikan untuk mempengaruhi audiens agar meningkatkan transaksi dengan

menggunakan kartu kredit hingga memicu perilaku konsumtif. Sejalan dengan teori

Baudrillard tentang hiper-realitas, informan melihat perempuan yang menjadi model

representasi dalam iklan kartu kredit sebagai penyampai pesan yang mengukuhkan kartu

kredit sebagai simbol identitas perempuan modern.

Lebih jauh lagi, informan tidak melihat imej shopaholic dalam iklan kartu kredit

melekat semata-mata pada model perempuan. Adapun imej shopaholic, menurut informan

bisa direpresentasikan oleh model perempuan maupun laki-laki. Hal ini turut membentuk

pemaknaan informan tentang stereotipe perempuan ‘penghabis uang keluarga’.

Menurutnya, baik laki-laki maupun perempuan berpotensi menjadi ‘penghabis uang

keluarga’. Bukan karena laki-laki tidak sering belanja maka mereka terlepas dari stereotipe

ini, sebaliknya bukan juga karena perempuan sering belanja maka mereka bisa dikatakan

sebagai ‘penghabis uang keluarga’. Hal ini kembali lagi tergantung pada level ekonomi,

kebutuhan, dan pola konsumsi individu yang bersangkutan.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK MAKALAH …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351844-MK-David... · Makalah . ini kemudian pe. nulis sempurnakan sebagai

82

Konsepsi Baudrillard mengenai pergeseran nilai guna menjadi nilai tukar tidak

dikonfirmasi oleh informan. Hal ini terlihat dari alasan informan menggunakan kartu kredit

yang notabene adalah untuk kebutuhan primer, seperti penunjang pendidikan dan

kesehatan. Informan menggunakan kartu kredit untuk membeli buku, medical check-up

dan perawatan kesehatan di tiap bulannya. Informan tidak menggunakan kartu kredit untuk

hal-hal yang bersifat simbolik sebagaimana yang dikemukakan oleh Baudrillard, seperti

penanda kelas ekonomi atas ataupun pergaulan kalangan metropolitan. Adapun alasan

utama informan menggunakan kartu kredit bersifat urgen, yakni karena faktor jauhnya

informan dari orang tua yang merupakan penyokong keuangan utama informan.

Paparan teori kritis terhadap pemikiran informan juga mengukuhkan pandangannya

bahwa fungsi utama kartu kredit terletak pada nilai gunanya, bukan nilai tukar. Pandangan

seperti ini juga didorong oleh aturan yang ditetapkan oleh orang tua informan tentang

pengeluaran yang ditanggung oleh orang tua dan pengeluaran yang ditanggung oleh diri

sendiri. Karena informan menyadari konsekuensi logis apabila ia menggunakan kartu

kredit bukan untuk kebutuhan yang bersifat primer dan pelunasannya ditanggung oleh

orang tua, maka ia menggunakan kartu kredit dengan mengacu pada nilai guna kartu kredit

yang sebenarnya, yakni untuk memudahkan transaksi. Karena tidak mampu melunasi

sendiri pembayaran tagihan kartu kredit, informan tidak dengan sesuka hati menggunakan

kartu kredit untuk hal-hal yang bersifat kurang mendesak, sehingga dalam hal ini tidak

terjadi pergeseran fungsi kartu kredit.

Aturan pribadi yang cukup ketat terkait penggunaan kartu kredit oleh informan juga

membuatnya menggunakan kartu kredit berdasarkan nilai guna, serta menghindarkannya

dari potensi untuk berperilaku konsumtif. Apabila tidak urgen dan tentunya tidak ada

potongan harga, informan tidak akan menggunakan kartu kredit. Informan juga mengaku

bahwa ia sering meninggalkan kartu kreditnya di rumah sebagai upaya untuk menghindari

transaksi di luar kebutuhan primer yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pemaknaan konsumerisme ...., David Tinambunan et.al, FISIP UI, 2013