UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah...
Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah...
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK
KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT
PERKOTAAN PADA IBU SMB (89 TAHUN)
DENGAN MASALAH HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL
DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA
KARYA BAKTI CIBUBUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
NINDYAH PANTHOKO RATRI
0806457174
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2013
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK
KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT
PERKOTAAN PADA IBU SMB (89 TAHUN)
DENGAN MASALAH HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL
DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA
KARYA BAKTI CIBUBUR
KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
NINDYAH PANTHOKO RATRI
0806457174
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2013
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan
dengan benar
Nama : Nindyah Panthoko Ratri
NPM : 0806457174
Tanda Tangan :
Tanggal : 9 Juli 2013
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Karya Ilmiah AkhirNers ini diajukan oleh :
Nama : Nindyah Panthoko Ratri
NPM : 0806457174
Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul Karya Ilmiah Akhir Ners : Analisis Praktik Klinik Keperawatan
Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu
SMB (89 tahun) dengan Masalah Hambatan
Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Cibubur
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners
Keperawatan pada Program Profesi Keperawatan, Fakultas Ilmu
Keperawatan, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Ns. Dwi Nurviyandari K.W., S.Kep., MN. ( )
Penguji : Ns. Ibnu Abas, S.Kep. ( )
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 9 Juli 2013
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat
serta hidayahNya untuk menyelesaikan pembuatan karya ilmiah akhir ini yang
berjudul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
pada Ibu SMB (89 tahun) dengan Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di
Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur”. Karya ilmiah ini
dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan.
Karya ilmiah ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu:
1. Dewi Irawaty MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia.
2. Kuntarti S.Kp., M. Biomed selaku Ketua Program Studi Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
3. Riri Maria S.Kp., MANP selaku dosen koordinator mata kuliah Karya
Ilmiah Akhir Ners.
4. Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati S.Kep., MN selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat, dan
terima kasih atas waktunya di sela-sela kegiatan yang padat.
5. Ns Ibnu Abas S.Kep yang telah memberikan waktunya sebagai
pembimbing di lahan praktik dan memberikan informasi terkait masalah
lanjut usia dan pemeriksaan terkait.
6. Bapak dan Mama tercinta, motivator utama dalam hidupku, terima kasih
atas doa, nasihat, dan dukungannya.
7. Kakak-kakakku tersayang yang selama ini telah memberikan motivasi dan
dukungan untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.
8. Teman-teman kelompok Cempaka di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Cibubur yang telah saling memberikan masukan, ide, keceriaan, dan
dukungan selama menjalani peminatan Keperawatan Gerontik
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
vi
9. Teman-teman seperjuangan profesi angkatan 2012 yang telah saling
memberikan motivasi dan dukungan selama menjalani praktik profesi dari
awal hingga akhir.
10. Pihak-pihak lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu.
Karya ilmiah akhir ini tentunya tidak terlepas dari kekurangan karena
keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran untuk menyempurnakan karya ilmiah ini.Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu.
Depok, Juli 2013
Penulis
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Nindyah Panthoko Ratri
NPM : 0806457174
Program Studi : Profesi Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Analisis Praktik Klinik
Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu SMB (89 tahun) dengan
Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna
Werdha Karya Bhakti Cibubur.”
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 9 juli 2013
Yang menyatakan
(Nindyah Panthoko Ratri)
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
viii Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Nindyah Panthoko Ratri
Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul :Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Ibu SMB (89 tahun) dengan
Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur
Jumlah lanjut usia yang meningkat membuat tuntutan untuk tersedianya rumah
perawatan lanjut usia di perkotaan semakin besar. Rumah perawatan lanjut usia
yang tersedia salah satunya yang berada di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
Cibubur yang mengambil konsep dari rumah perawatan yang didalamnya terdapat
standar pelayanan diantaranya dapat memenuhi kebutuhan lanjut usia yang
mengalami hambatan komunikasi verbal. Karya ilmiah ini bertujuan
menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif untuk dapat
berkomunikasi dengan lanjut usia yang mengalami hambatan komunikasi verbal
dengan lip reading. Teknik lip reading dapat dilatih dan dikembangkan serta
efektif untuk meningkatkan komunikasi lanjut usia yang mengalami hambatan
komunikasi verbal, sehingga diharapkan pemberi pelayanan keperawatan dapat
melatih dan menggunakan teknik lip reading ini kepada lanjut usia yang
mengalami hambatan komunikasi verbal.
Kata Kunci: lanjut usia, hambatan komunikasi verbal, lip reading
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
ix Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Nindyah Panthoko Ratri
Study Program : Nursing profession
Title : Analysis of Clinical Nursing Practice of Urban Public
Health at Mrs. SMB (89 years old) with Impaired Verbal
Communication Problem in Wisma Cempaka Sasana Trena
Werdha Karya Bhakti Cibubur
Increasing number of elderly people who make demands for aged care homes
available in the larger urban areas. The one of elderly care homes are available
is Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur which is taking the concept of
home care service, and there is a standard which can meet the needs of the elderly
who experience impaired to verbal communication. This paper aims to describe
a comprehensive nursing care to be able to communicate with the elderly who are
experiencing barriers to verbal communication with lip reading. Lip reading
techniques can be trained and developed to enhance effective communication
and the elderly who experience barriers to verbal communication. This
techniques is expected to nursing care providers using lip reading for the
elderly who experience impaired to verbal communication.
Keywords: elderly, impaired verbal communication, lip reading
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
x Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
KATA PENGANTAR v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii
ABSTRAK viii
DAFTAR ISI x
1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penulisan 6
1.4 Manfaat Penulisan 6
2. TINJAUAN PUSTAKA 8
2.1 Teori Kebutuhan Dasar Manusia 8
2.2 Perubahan Fungsi Pendengaran pada Lanjut Usia 9
2.3 Faktor Resiko Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia 12
2.4 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia 14
2.5 Pelayanan Kesehatan pada Lanjut Usia 18
3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23
3.1 Pengkajian 23
3.2 Analisis Data 29
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan 31
3.4 Implementasi 33
3.5 Evaluasi 37
4. ANALISIS SITUASI 42
4.1 Profil Lahan Praktik 42
4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Hambatan Komunikasi Verbal 45
4.3 Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait 48
4.4 Alternatif Intervensi Lain yang dapat dilakukan 50
5. PENUTUP 52
5.1 Kesimpulan 52
5.2 Saran 54
DAFTAR REFERENSI 56
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses penuaan dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial,
ekonomi, dan terutama kesehatan, karena dengan semakin bertambahnya usia,
fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik karena faktor alamiah maupun
karena penyakit. Fungsi organ tubuh pada lanjut usia (lansia) yang mengalami
penurunan diantaranya adalah penurunan fungsi sensoris. Penurunan fungsi
sensoris yang umum terjadi pada lansia salah satunya yaitu terkait pendengaran
(Stanley & Beare, 2002). Data survey penglihatan dan pendengaran tahun 1994-
1996 di 7 provinsi yang melibatkan 19.375 responden, didapat prevalensi
penurunan pendengaran sebesar 2,6%. Survei ini diambil dari pasien THT di
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara. Secara global, prevalensi dari penurunan
pendengaran bervariasi, diperkirakan terjadi pada 30-45% orang dengan usia di
atas 65 tahun (Soetjipto, 2007). Penurunan pendengaran dapat berdampak pada
kehidupan lansia, diantaranya terbatasnya aktivitas dan komunikasi (Stanley &
Beare, 2002).
Penurunan sensoris berupa gangguan pendengaran dapat berdampak pada
kehidupan lansia dari berbagai aspek, diantaranya dalam hal berhubungan dengan
orang lain, menghindari bahaya, ataupun dalam mendengarkan musik dan suara
(Miller, 2012). Gangguan pendengaran merupakan gangguan sensori yang paling
mendekati terhadap masalah kesehatan mental lansia yaitu berupa ansietas,
depresi, ataupun paranoia (Tyson, 2006). Gangguan pendengaran berhubungan
erat dengan depresi contohnya dalam studi dengan 253 responden diatas usia 70
tahun terdapat hubungan antara gangguan pendengaran dengan depresi (Yueh,
Shapiro, MacLean, Shekelle, 2003). Better Hearing Institute (2011) mendapatkan
survei bahwa 60% dari mereka dengan gangguan pendengaran telah ditampilkan
gejala yang berhubungan dengan depresi. Hampir 20% menunjukkan setidaknya
tigagejala utama depresi. Secara khusus, 52% telah ditampilkan lekas marah
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
2
Universitas Indonesia
meningkat dan frustrasi, 22% mengalami kesulitan tidur atau mengalami
kegelisahan, dan 18% menunjukkan kehilangan minat atau kesenangan dalam
sebagian besar kegiatan.
Gangguan pendengaran diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu tuli konduktif
dan tuli sensorineural (Sherwood, 2011). Kehilangan pendengaran pada lansia
umumnya disebut dengan presbikusis yaitu tuli sensorineural pada lanjut usia
akibat proses penuaan (Sosiloerini, 2011). Miller (2012) menyebutkan faktor
resiko dari gangguan pendengaran diantaranya usia 65 tahun atau lebih, lansia
yang tinggal di perawatan, gangguan kognitif atau penglihatan, suara bising,
penggunaan obat, dan jenis kelamin laki-laki. Penyebab dari presbikusis tidak
diketahui, tetapi berbagai faktor yang telah diteliti ditemukan adanya hubungan
antara presbikusis dengan hipertensi, stress, faktor genetika, dan suara bising
(Stanley & Beare, 2002). Suara bising yang umum terjadi di perkotaan merupakan
salah satu penyebab dari masalah pendengaran (Soetjipto, 2007).
Kawasan perkotaan merupakan tempat dengan tingkat kebisingan yang tinggi
karena merupakan pusat dari kawasan industri dan padat penduduk. Pajanan
bising yang lebih dari 80 desibel (dB) dapat merusak fungsi pendengaran (Miller,
2012). Penelitian yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar (1971) dalam
Soetjipto (2007) mendapatkan hasil bising jalan raya di Jakarta terutama di jalan
MH. Thamrin sebesar 95dB, terlebih lagi pada jam sibuk, padahal dari tahun ke
tahun jumlah penduduk perkotaan meningkat seiring dengan arus urbanisasi,
termasuk diantaranya lansia. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health
Organization) mencatat bahwa jumlah lansia akan lebih banyak berada di
perkotaan. Tahun 2010, jumlah penduduk lansia yang tinggal di perkotaan
diperkirakan sebesar 9,58% dari total jumlah lansia (Hamid, 2007).
Fenomena meningkatnya lansia diperkotaan berdampak kepada peningkatan
pelayanan lansia yang ada di perkotaan dengan dibentuknya Sasana Tresna
Werdha Karya Bhakti yang bertempat di Cibubur. Sasana tresna werdha (STW)
merupakan suatu proyek yang didirikan untuk menampung dan menyantuni para
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
3
Universitas Indonesia
lanjut usia. Sasana tresna werdha terdapat di perkotaan yang umumnya memiliki
kebutuhan yang tinggi akan tempat yang dapat memberikan kemudahan
pelayanan kesehatan, keamanan dan kenyamanan demi meningkatkan
kesejahteraan lansia.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti menyediakan pelayanan kesehatan bagi
penghuninya. Terdapat tempat tersendiri bagi lansia yang sakit, dan terdapat
tenaga kesehatan yang bertugas memeriksa kesehatan lansia. Selain itu, penghuni
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti juga diberikan fasilitas untuk memeriksakan
diri ke rumah sakit sehingga dapat memeriksakan kesehatan secara lengkap bagi
lansia yang memiliki keluhan. Lansia yang berada Sasana Tresna Werdha Karya
Bhakti merupakan lansia berasal dari berbagai tempat, serta memiliki masalah
yang beragam. Salah satunya yaitu terjadinya penurunan pendengaran yang
merupakan salah satu perubahan yang umum terjadi karena penuaan.
Kasus gangguan pendengaran yang terjadi pada lansia STW Karya Bhakti dapat
ditemukan di wisma Cempaka, terdapat 4 dari 19 lansia (21%) yang mengalami
gangguan pendengaran. 1 lansia (5,2%) masih dapat mendengar suara yang keras,
namun sudah tidak mendengar jika lawan bicara berbicara dengan suara yang
pelan dan intonasi yang cepat dan mengeluhkan adanya tinnitus. Sedangkan 3
lansia (15,7%) sering meminta lawan bicara untuk mengulang kata-kata meskipun
diajak berbicara dengan suara yang keras dan jarak yang dekat, salah satunya
yaitu Ibu SMB.
Ibu SMB (89 tahun) memiliki gangguan pendengaran sejak lama, meskipun
residen aktif mengikuti berbagai kegiatan yang ada di panti, tetapi residen lebih
banyak diam dan terlihat jarang berkomunikasi saat mengikuti kegiatan. Residen
meskipun tidak mengungkapkan, tetapi terlihat sulit mendengar percakapan dan
sering kesulitan memahami apa yang dibicarakan orang lain. Gangguan
pendengaran yang dialami oleh residen telah mendapatkan penanganan dengan
pemberian alat bantu dengar, akan tetapi ternyata masih kurang efektif bagi
residen karena keterbatasan alat bantu dengar yang sering rusak sehingga residen
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
4
Universitas Indonesia
tidak menggunakan alat bantu dengar lagi. Lansia di Sasana Tresna Werdha Karya
Bhakti yang mengalami gangguan pendengaran terlihat tidak ada yang
menggunakan alat bantu dengar, dan belum ada penanganan khusus terkait
masalah gangguan pendengaran yang terjadi di Sasana. Gangguan pendengaran
pada lansia, meskipun merupakan hal yang normal terjadi pada lansia karena
penuaan, tetap memerlukan penanganan karena gangguan pendengaran
mempengaruhi kualitas hidup dari lansia (Stanley & Beare, 2002).
Penanganan gangguan pendengaran diawali dengan melakukan pengkajian secara
lengkap kepada lansia terkait adanya kesulitan dalam aktivitas, faktor resiko yang
menimbulkan gangguan pendengaran, obat-obatan yang dikonsumsi, penyakit
yang dialami, dan adanya gangguan komunikasi (Miller, 2012). Intervensi
keperawatan yang dilakukan kepada lansia dengan gangguan pendengaran
dipengaruhi oleh penyebab yang melatarbelakangi. Intervensi yang dapat
dilakukan yaitu mengajarkan kepada lansia untuk menghindari faktor resiko,
menggunakan alat bantu dengar, dan meningkatkan komunikasi efektif (Miller,
2012; Stanley & Beare, 2002).
Dampak dari gangguan pendengaran yaitu mempengaruhi kemampuan seseorang
untuk saling berhubungan dengan orang lain, untuk membentuk hubungan yang
baru, dan menginterpretasikan masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada seseorang dengan
gangguan pendengaran yaitu dengan meningkatkan komunikasi efektif (Miller,
2012; Stanley & Beare 2002). Komunikasi yang efektif meliputi berbicara dengan
intonasi yang tepat, diutamakan berbicara saling berhadapan, menggunakan
kalimat sederhana, dan perlahan. Teknik komunikasi yang digunakan
mengarahkan lansia pada teknik membaca bibir (lip reading). Lip reading
merupakan salah satu program rehabilitasi pada seseorang dengan gangguan
pendengaran (Miller, 2012). Lip reading digunakan oleh orang-orang dengan
gangguan pendengaran yang masih memiliki penglihatan yang cukup baik karena
lip reading mengharuskan seseorang untuk melihat ekspresi wajah dan gerakan
bibir.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Teknik lip reading ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan Ibu SMB
dalam berkomunikasi dan memahami isi dari percakapan yang dilakukan. Perawat
sebagai pemberi asuhan pada lansia berperan dalam memberikan edukasi dan
promosi kesehatan yang mengarahkan lansia kepada perbaikan kualitas hidup.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menerapkan teknik lip reading pada Ibu
SMB dengan hambatan komunikasi verbal di Sasana Tresna Werdha Karya
Bhakti.
1.2 Rumusan Masalah
Kehilangan pendengaran pada lansia umumnya disebut dengan presbikusis yaitu
tuli sensorineural pada lanjut usia akibat proses penuaan. Sasana Tresna Werdha
Karya Bhakti merupakan salah satu tempat tinggal bagi lansia perkotaan. Lansia
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti ditemukan di wisma Cempaka, terdapat 4
dari 19 lansia (21%) yang mengalami gangguan pendengaran. 1 lansia (5,2%)
masih dapat mendengar suara yang keras, namun sudah tidak mendengar jika
lawan bicara berbicara dengan suara yang pelan dan intonasi yang cepat dan
mengeluhkan adanya tinnitus. Sedangkan 3 lansia (15,7%) sering meminta lawan
bicara untuk mengulang kata-kata meskipun diajak berbicara dengan suara yang
keras dan jarak yang dekat. Teknik komunikasi yang digunakan untuk mengatasi
hambatan komunikasi verbal mengarahkan lansia pada teknik membaca bibir (lip
reading) yang merupakan salah satu program rehabilitasi pada seseorang dengan
gangguan pendengaran (Miller, 2012). Perawat sebagai pemberi asuhan pada
lansia berperan dalam memberikan edukasi dan promosi kesehatan yang
mengarahkan lansia kepada perbaikan kualitas hidup. Oleh karena itu, dalam
laporan ini penulis ingin menggambarkan asuhan keperawatan yang dapat
diberikan pada lansia dengan masalah hambatan komunikasi verbal di wisma
Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
6
Universitas Indonesia
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari karya ilmiah ini yaitu menganalisis asuhan keperawatan
kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu SMB (89 tahun) dengan masalah
hambatan komunikasi verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya
Bhakti Cibubur.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari karya ilmiah ini yaitu untuk menggambarkan:
a. Profil pelayanan lansia di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
b. Komunikasi efektif pada lansia dengan menggunakan teknik lip reading pada
Ibu SMB dengan hambatan komunikasi verbal di Wisma Cempaka Sasana
Tresna Werdha Karya Bhakti
c. Hasil pengkajian pada Ibu SMB dengan hambatan komunikasi verbal di
Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
d. Rencana keperawatan pada Ibu SMB dengan hambatan komunikasi verbal di
wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
e. Implementasi keperawatan pada Ibu SMB dengan hambatan komunikasi
verbal di wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
f. Hasil evaluasi dari implementasi pada Ibu SMB dengan hambatan komunikasi
verbal di wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat bagi pelayanan
Hasil karya ilmiah ini dapat digunakan sebagai acuan bagi pelayanan kesehatan
lansia di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti, rumah sakit, ataupun komunitas
untuk meningkatkan mutu pelayanan pada lansia dengan hambatan komunikasi
verbal. Karya ilmiah ini dapat digunakan sebagai acuan melakukan teknik
komunikasi terapeutik kepada lansia dengan hambatan komunikasi verbal di
berbagai bidang asuhan keperawatan.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
7
Universitas Indonesia
1.4.2 Manfaat bagi keilmuan
Karya ilmiah ini berguna sebagai bahan pengajaran dan pengembangan ilmu yang
dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan terkait teknik komunikasi efektif
yang dapat digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan
hambatan komunikasi verbal. Mahasiswa dapat menggunakan teknik komunikasi
ini terhadap lansia dengan hambatan komunikasi verbal .
1.4.3 Manfaat bagi penelitian
Hasil karya ilmiah ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam area keperawatan
gerontik yang berkaitan dengan komunikasi terapeutik pada lansia dengan
hambatan komunikasi verbal dan untuk selanjutnya untuk meningkatkan
keefektifan pemberian asuhan keperawatan kepada lansia dengan hambatan
komunikasi verbal. Selain itu, karya ilmiah ini juga berguna sebagai bahan
referensi dan dapat menjadi ide dalam mengembangkan penelitian selanjutnya
terkait asuhan keperawatan lansia dengan hambatan komunikasi verbal
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
8 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kebutuhan Dasar Manusia
Kebutuhan dasar manusia menentukan tingkat kesehatan pada posisi rentang
sehat-sakit karena didalamnya terdapat hal yang penting untuk bertahan hidup,
yaitu hal-hal seperti makanan, air, keamanan, dan cinta (Potter & Perry, 2005).
Kebutuhan dasar manusia dalam teori keperawatan digambarkan dengan hierarki
kebutuhan maslow. Pada teori kebutuhan maslow, beberapa kebutuhan manusia
tertentu lebih dasar daripada kebutuhan lainnya yang digambarkan dalam lima
tingkatan prioritas.
Potter & Perry (2005) menyebutkan tingkatan yang paling dasar meliputi
kebutuhan fisiologis, seperti udara, air, dan makanan. Tingkatan yang kedua
meliputi kebutuhan keselamatan dan keamanan yang melibatkan keamanan fisik
dan psikologis. Tingkatan yang ketiga yaitu kebutuhan cinta dan rasa memiliki
yang didalamnya terdapat kebutuhan akan rasa persahabatan, hubungan sosial,
dan cinta seksual. Pada tingkatan keempat terdapat kebutuhan rasa berharga dan
harga diri, yaitu melibatkan percaya diri, merasa berguna, penerimaan dan
kepuasan diri. Tingkatan yang paling akhir adalah kebutuhan aktualisasi diri
meliputi pernyataan dari penerimaan yang penuh potensi dan memiliki
kemampuan dalam memecahkan masalah dan mengatasinya dengan cara realistis
yang berhubungan dengan situasi hidup.
Kebutuhan dasar manusia kadang kala ada yang tidak terpenuhi atau hanya
terpenuhi sebagian. Seseorang yang seluruh kebutuhannya dapat terpenuhi
merupakan orang yang sehat dan seseorang kebutuhannya tidak terpenuhi atau
terpenuhi sebagian beresiko untuk sakit, dan atau mungkin tidak sehat pada satu
atau lebih dimensi manusia (Potter & Perry, 2005). Gangguan pendengaran dapat
berkontribusi pada terganggunya semua level dari hierarki kebutuhan maslow
berupa kebutuhan biologi, keselamatan dan keamanan, perasaan memiliki, harga
diri, dan aktualisasi diri (Ebersole, Hess, Touhy, Jett, 2005).
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
9
Universitas Indonesia
Gangguan pendengaran dapat menyebabkan seseorang keluar dari bagian
percakapan tertentu, dan individu dapat berpikir bahwa orang lain
membicarakannya yang menyebabkan seseorang dapat menarik diri dari
lingkungan yang berhubungan dengan depresi (Tyson, 2006). Kebanyakan kasus
dari gangguan pendengaran seringkali menyebabkan berkurangnya harga diri.
Rasa ketidakamanan dan kurangnya percaya diri dapat berkembang karena
ketidakmampuan seseorang berkomunikasi dengan orang lain dan berkurangnya
kewaspadaan diri. Gangguan pendengaran mengubah cara seseorang berpikir
terhadap dirinya dan mempengaruhi kepuasan seseorang dengan hidupnya.
Gangguan pendengaran juga dapat membuat individu mengalami perasaan sedih,
kehilangan, marah dan kelelahan dari mencoba terlalu keras untuk mengerti apa
yang dikatakan oleh orang lain (Tyson, 2006).
Fungsi dari pendengaran terhadap kebutuhan dasar manusia yaitu keselamatan
dan pertahanan hidup, dengan mendeteksi tanda peringatan, membentuk
komunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa dan bicara. Harga diri dan
aktualisasi diri melalui mendengarkan suara lingkungan seperti suara tertawa,
musik, atau pembicaraan (Tyson, 2006). Gangguan pendengaran dapat
mengganggu kelima tingkat kebutuhan, namun yang paling menonjol terdapat di
hierarki kedua yaitu keselamatan dan keamanan karena informasi lingkungan
yang ada diterima dan direspon oleh individu melalui indera pendengaran.
Berkurangnya kemampuan untuk melindungi dari bahaya lingkungan dapat terjadi
pada lansia. Berkurangnya sensasi dan persepsi berkontribusi terhadap kerentanan
lansia untuk mengalami kecelakaan (Ebersole, Hess, Touhy, Jett, 2005). Oleh
karena itu, gangguan pendengaran tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang
dapat dianggap biasa.
2.2 Perubahan Fungsi Pendengaran pada Lanjut Usia
Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara dan gelombang suara
adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan
tinggi karena kompresi molekul yang berselang-seling dengan daerah bertekanan
rendah (Sherwood, 2011). Miller (2012) menyatakan fungsi pendengaran
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
10
Universitas Indonesia
bergantung pada rangkaian proses yang diawali dari tiga bagian dari telinga dan
diakhiri dengan memproses informasi dalam korteks auditori dari otak. Dua
masalah fungsional pendengaran pada populasi lanjut usia adalah
ketidakmampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan untuk
mendeteksi suara dengan nada frekuensi yang tinggi seperti beberapa konsonan
(misalnya f, s, sk, sh, dan l). Perubahan-perubahan ini dapat terjadi pada salah satu
atau kedua telinga (Stanley & Beare, 2002).
Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian luar
dan tengah menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi
cairan, untuk memperkuat energi suara dari udara ke telinga dalam yang berisi
cairan, untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam
berisi dua sistem sensorik yang berbeda yaitu koklea, yang mengandung reseptor-
reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga
suara dapat terdengar, dan apparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi
keseimbangan (Sherwood, 2011). Pada telinga dalam getaran di transmisikan ke
koklea yang nantinya akan mengubah ke impuls saraf dan diberi kode dalam
intensitas dan frekuensi.
Intensitas atau amplitude menggambarkan keras atau lembutnya suara dan dinilai
dalam desibel (dB). Frekuensi dinilai dalam siklus per detik atau Hertz (Hz)
menentukan apakah nada tinggi atau rendah. Intensitas suara dan frekuensi
mungkin dapat diubah jika terdapat faktor resiko. Meskipun dengan ketiadaan dari
faktor resiko, perubahan normal mempengaruhi frekuensi dan menyebabkan
masalah pendengaran (Miller, 2012).
Gangguan pendengaran diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu tuli konduktif
(hantaran) dan tuli sensorineural (saraf) bergantung pada bagian mekanisme
pendengaran yang kurang berfungsi secara adekuat. Sherwood (2011)
menerangkan tuli konduktif terjadi apabila gelombang suara tidak secara adekuat
dihantarkan melalui telinga luar dan telinga tengah untuk menggetarkan cairan di
telinga dalam. Tuli konduktif mungkin disebabkan oleh sumbatan fisik saluran
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
11
Universitas Indonesia
telinga oleh kotoran telinga, rupture gendang telinga, atau infeksi telinga tengah
disertai penimbunan cairan.
Tuli sensorineural terjadi saat gelombang suara disalurkan ke telinga dalam, tetapi
gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang
diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara. Kehilangan struktur normal
mungkin terjadi pada organ corti, pada saraf auditorius, jalur auditorius asendens,
atau pada korteks auditorius (Sherwood, 2011). Perubahan karena penuaan di
telinga dalam diantaranya yaitu karena hilangnya rambut sel, penurunan suplai
darah, penurunan produksi endolymph, menurunnya fleksibilitas dari membrane
basilar, degenerasi spiral sel ganglion, dan hilangnya neuron di nekleus koklear
(Miller, 2012). Perubahan pada telinga dalam ini menghasilkan gangguan
pendengaran degeneratif yang disebut presbikusis.
Stanley & Beare (2002) menyatakan kehilangan pendengaran pada lansia disebut
dengan presbikusis yaitu suatu gangguan pada pendengaran yang berkembang
secara progresif lambat terutama mempengaruhi nada tinggi dan dihubungkan
dengan penuaan. Penurunan pendengaran terutama berupa sensorineural, tetapi
juga dapat berupa komponen konduksi yang berkaitan dengan presbikusis. Miller
(2012) mengklasifikasikan presbikusis berdasarkan sumber struktural spesifik dari
gangguan, yaitu terdiri dari sensori presbikusis, neural presbikusis, dan
presbikusis metabolik.
Miller (2012) menyatakan sensori presbikusis berhubungan dengan perubahan
degeneratif dari sel rambut dan organ Corti serta dikarakteristikkan oleh
penurunan pendengaran yang meningkat tajam pada frekuensi tinggi. Neural
presbikusis disebabkan oleh degenerasi serabut neural dalam koklea dan spiral
ganglion yang dikarakteristikkan dengan berkurangnya kemampuan bicara.
Sedangkan presbikusis metabolik disebabkan oleh perubahan degeneratif pada
striae vaskularis dan akibat dari terhambatnya suplai nutrisi esensial. Pada
awalnya, perubahan ini mengurangi sensititivitas terhadap semua frekuensi suara
yang pada akhirnya turut mengganggu kemampuan bicara. Penyebab dari
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
12
Universitas Indonesia
berbagai perubahan pendengaran ini tidak diketahui secara pasti, namun dari
penelitian terdapat faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya gangguan
pendengaran.
2.3 Faktor Resiko Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia
Adams-Wendling & Pimple (2008) dalam Miller (2012) mengidentifikasi faktor
resiko dari gangguan pendengaran, yaitu dapat terjadi pada usia 65 tahun atau
lebih, residen pada fasilitas keperawatan, gangguan kognitif atau penglihatan,
paparan suara bising, penggunaan obat-obatan ototoksik, jenis kelamin laki-laki.
Stanley & Beare (2002) mengemukakan berdasarkan hasil penelitian yang ada
bahwa faktor resiko yang terkait dengan gangguan pendengaran yaitu nutrisi,
faktor genetika, suara bising, hipertensi, stress emosional, dan arteriosklerosis.
Miller (2012) menyimpulkan empat faktor resiko yang terjadi pada gangguan
pendengaran yaitu gaya hidup dan lingkungan, impaksi serumen, obat-obatan
ototoksik, dan proses penyakit.
Faktor resiko yang paling umum terjadi pada gangguan pendengaran yaitu
paparan suara bising yang dapat terlihat dari pilihan gaya hidup dan faktor
lingkungan. Terdapat batas bising yang dapat dinilai dengan decibel (dB). Desibel
(dB) yaitu ukuran logaritmik intensitas dibandingkan dengan ambang
pendengaran (Sherwood, 2011). Hubungan desibel yang bersifat logaritmik, setiap
10 dB menandakan kepekaan sepuluh kali lipat. Sherwood (2011) menyatakan
suara yang lebih kuat dari 100 dB dapat secara permanen merusak pendengaran,
namun batas dB yang dapat berbahaya bagi pendengaran adalah 80 dB (Miller,
2012).
Faktor resiko selain paparan suara bising yang berpengaruh terhadap gangguan
pendengaran pada lansia yaitu impaksi serumen. Perubahan pada lansia dimana
serumen lebih kering, keras, dan kasar menambah resiko dari impaksi.
Penggunaan dari alat bantu pendengaran juga menambah kemungkinan dari
impaksi serumen yang dapat memperburuk fungsi pendengaran. Impaksi serumen
juga menyebabkan nyeri, infeksi, tinnitus, pusing, batuk yang kronis karena
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
13
Universitas Indonesia
stimulasi dari cabang saraf pusat yang samar (Miller, 2012). Penggunaan obat-
obatan yang memiliki efek ototoksik juga dapat berperan dalam gangguan
pendengaran.
Obat-obatan merupakan faktor yang dapat berkontribusi menyebabkan gangguan
pendengaran dengan merusak koklear dan bagian vestibular saraf auditori (Miller,
2012). Obat-obatan ototoksik atau yang dapat meracuni telinga yaitu
aminoglycoside, aspirin dan jenis lain dari salicylate, cisplatin ,erythromycin,
ibuprofen, imipramine, indometachin, diuretik, quinidine, quinine. Meskipun usia
tidak menambah resiko dari ototoksik, lansia lebih sering menggunakan obat-
obatan ototoksik seperti aspirin dan furosemid. Faktor lain yang berkontribusi
terjadi pada lansia dan menambah resiko dari ototoksik yaitu gagal ginjal,
penggunaan obat ototoksik dalam waktu lama, dan penggunaan dua obat
ototoksik secara bersamaan seperti penggunaan furosemid dan obat-obatan
aminoglycoside. Selain obat-obatan, gangguan pendengaran juga dapat
disebabkan oleh beberapa proses penyakit.
Miller (2012) menyebutkan proses penyakit yang dapat menjadi faktor resiko dari
gangguan pendengaran yaitu otosklerosis, diabetes, syphilis, myxedema,
meningitis, trauma kepala, demam tinggi, dan kondisi lain pada penyakit sistemik,
salah satunya yaitu hipertensi. Santoso & Muyossaroh (2012) menemukan bahwa
seseorang dengan hipertensi memiliki resiko lebih tinggi mengalami gangguan
pendengaran daripada yang tidak memiliki hipertensi. Hal tersebut disebabkan
hipertensi yang dapat menyebabkan spasme pembuluh darah sehingga lumen
pembuluh darah menjadi sempit dan terjadi penurunan perfusi jaringan serta
penurunan kemampuan sel otot untuk beraktivitas yang selanjutnya terjadi
hipoksia jaringan yang menyebabkan kerusakan sel-sel rambut koklea yang
berakibat pada gangguan pendengaran. Faktor resiko yang mempengaruhi
terjadinya perubahan pada lansia memerlukan waktu untuk mulai dirasakan oleh
lansia sebagai hal yang mengganggu. Bahkan, seringkali lansia tidak menyadari
bahwa dirinya mengalami penurunan pendengaran (Stanley & Beare, 2002).
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
14
Universitas Indonesia
2.4 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia
Stanley & Beare (2002) menyatakan penatalaksanaan gangguan pendengaran
lansia dimulai dengan melakukan pengkajian adanya riwayat dari kasus tersebut.
Melalui pengkajian riwayat kasus, perawat dapat mempelajari kapan residen
mulai mempelajari kapan residen mulai memiliki suatu masalah pendengaran.
Miller (2012) mengelompokkan pengkajian berupa wawancara menjadi empat
kelompok yaitu berdasarkan faktor resiko, perhatian dan pengetahuan lansia
terjadinya gangguan pendengaran pada dirinya, dampak psikososial dari
penurunan pendengaran, dan perilaku yang mempengaruhi intervensi promosi
kesehatan seperti menarik diri, marah, frustasi. Selain melalui wawancara,
perawat juga memperhatikan petunjuk lain yang menandakan gangguan
pendengaran.
Petunjuk lain yang penting yaitu seperti meminta orang lain mengulang
pertanyaan, menggerakkan kepala ke sebelah kanan atau kiri sebagai suatu usaha
untuk memahami lebih baik perkataan lawan bicara, menarik diri dari aktivitas
sosial, memberi respons yang tidak sesuai, dan mengeraskan suara televisi atau
radio agar dapat mendengarnya (Stanley & Beare, 2002). Perawat juga
memperhatikan gejala lain yang berhubungan seperti adanya perubahan dalam
persepsi kata, dan respon yang tidak sesuai dengan percakapan. Pengkajian fisik
khusus pada ganguan pendengaran dilakukan menggunakan garpu tala, detak
arloji, dan suara bisikan. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan adanya akumulasi
serumen, nyeri pada telinga, tinnitus, dan vertigo (Miller 2012; Stanley & Beare,
2002; Touhy & Jett, 2010).
Pengkajian gangguan pendengaran umumnya berfokus pada masalah-masalah
yang dapat muncul karena gangguan pendengaran seperti gangguan fungsi dan
peran di sosial, gangguan komunikasi, depresi, resiko jatuh, harga diri rendah,
gangguan keamanan, dan gangguan kognitif. Diagnosa NANDA 2009-2011
menyebutkan bahwa diagnosa yang tepat untuk masalah ini adalah Gangguan
Sensori: Pendengaran, namun saat ini pada NANDA 2012-2014 diagnosa tersebut
dihapuskan, diagnosa yang didalamnya terdapat hal yang berkaitan dengan
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
15
Universitas Indonesia
masalah pendengaran yaitu diagnosa hambatan komunikasi verbal dimana
gangguan pendengaran sebagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya
hambatan komunikasi verbal.
Hambatan komunikasi verbal merupakan berkurangnya kemampuan untuk
menggunakan dan mengerti pembicaraan dalam interaksi (Ebersole & Hess,
1999). NANDA (2012) menyebutkan bahwa pengertian hambatan komunikasi
verbal yaitu tertundanya, berkurangnya, atau tidak adanya kemampuan untuk
menerima, memproses, mentransmisikan, dan menggunakan symbol untuk
berkomunikasi. Konsekuensi dari hambatan komunikasi yaitu mengganggu harga
diri yang menghasilkan isolasi sosial, mengasingkan diri, dan perasaan tidak
berdaya. Terdapat tiga kategori yang termasuk dalam hambatan komunikasi
verbal, yaitu penangkapan/penerimaan, persepsi, dan artikulasi. Penangkapan
dapat terganggu karena ansietas, gangguan pendengaran, dan perubahan level dari
kesadaran. Persepsi terganggu dengan adanya stroke, demensia, dan delirium.
Artikulasi terhalang oleh adanya disartria, gangguan pernapasan, dan hambatan
pada laring (Ebersole & Hess, 1999).
Batasan karakteristik pada hambatan komunikasi verbal yaitu tidak ada kontak
mata, tidak dapat bicara, kesulitan mengekspresikan pikiran secara verbal karena
faktor afasia, difasia, apraksia, dan disleksia, kesulitan menyusun dan kalimat
ataupun kata-kata seperti gangguan afonia, dislalia, disartria. Batasan karakteristik
lainnya yaitu kesulitan memahami atau mempertahankan pola komunikasi yang
biasa, kesulitan mengekspresikan perasaan melalui bahasa tubuh maupun raut
wajah, disorientasi orang, ruang waktu, ketidaktepatan pengucapan, dispnea, pelo,
sulit bicara, gagap, defisit penglihatan total, bicara dengan kesulitan maupun
menolak bicara (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008; NANDA, 2012).
Faktor yang berhubungan diantaranya ketiadaan orang dekat, perubahan konsep
diri, perubahan sistem saraf pusat, defek anatomis berupa celah palatum,
perubahan sistem neuromuscular pada sistem penglihatan dan pendengaran.
Tumor otak, harga diri rendah kronik ataupun situasional, perbedaan budaya,
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
16
Universitas Indonesia
penurunan sirkulasi ke otak, gangguan emosi, kurang informasi, kendala
lingkungan, hambatan fisik seperti intubasi atau trakeostomi, stress, kondisi
psikologis, efek samping obat, dan pelemahan sistem muskuloskeletal (NANDA,
2012).
Penurunan pendengaran dapat berdampak pada kehidupan lansia, diantaranya
terbatasnya aktivitas dan komunikasi (Stanley & Beare, 2002). Gangguan
pendengaran dapat menimbulkan perasaan terisolasi dan membuat lansia menjadi
curiga dan tidak percaya serta muncul paranoia (Touhy & Jett, 2010).
Penatalaksanaan asuhan keperawatan disesuaikan dengan gejala-gejala yang
muncul dan perlu memfokuskan pada intervensi untuk memfasilitasi residen
untuk bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal di dalam masyarakat
(Stanley & Beare, 2002).
Kemampuan berfungsi secara optimal di masyarakat yaitu dengan membuat lansia
berpartisipasi secara aktif di masyarakat. Tindakan yang dapat dilakukan secara
garis besar yaitu kolaborasi menggunakan alat bantu dengar, melakukan
pembersihan akumulasi serumen, dan membentuk komunikasi yang efektif bagi
lansia (Miller, 2012). Rencana asuhan keperawatan bertujuan untuk meningkatkan
komunikasi yaitu dengan berbicara dengan nada yang tidak berteriak, bicara
menghadap ke arah residen, bicara secara perlahan dan jelas, menggunakan
sentuhan untuk menarik perhatian, dan bicara menggunakan kalimat sederhana
(Stanley & Beare, 2002). Teknik komunikasi yang dilakukan tersebut merupakan
teknik komunikasi yang mengarah ke teknik lip reading.
Teknik lip reading adalah melihat bibir seseorang ketika bericara kata yang
normalnya dapat didengar (Ortiz, 2008). Teknik komunikasi dengan lip reading
telah sering digunakan pada seseorang yang memiliki masalah dengan
pendengaran. Teknik lip reading memberi kuasa kepada seseorang dengan
gangguan pendengaran untuk membuat lebih percaya diri dan memenuhi kualitas
hidup dan dikenal sebagai telinga ke tiga (Hearinglink, 2012). Teknik ini
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mendengar apa yang
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
17
Universitas Indonesia
dibicarakan orang lain melalui membaca bibir. Teknik lip reading termasuk dalam
program rehabilitasi pada seseorang yang mengalami gangguan pendengaran
(Miller, 2012). Teknik lip reading merupakan teknik yang dapat diperoleh dan
dapat dikembangkan (Ringham, 2011).
Hearinglink (2012) menyebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu dilakukan
oleh seseorang yang masih memiliki kognitif dan penglihatan yang baik, pada
teknik lip reading yaitu membaca bibir tidak dapat dilakukan di dalam gelap,
tidak semua orang dapat dibaca gerakan bibirnya, beberapa bentuk pengucapan
bibir memiliki bentuk yang mirip. Oleh karena itu, lip reading melibatkan
membaca beberapa bentuk bibir, dapat mendengar suara meskipun sedikit,
mengenali dan menginterpretasikan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan gerak
tubuh. Hasil yang muncul berbeda pada setiap orang, kemajuan dari kemampuan
lip reading berbeda dari setiap orang dan latihan dapat diterapkan disetiap
interaksi untuk meningkatkan kemampuan lip reading (Ringham, 2011).
Ortiz (2008) menyebutkan bahwa untuk mencapai penguasaan yang baik dari
teknik lip reading diperlukan tingkat pendidikan yang memadai karena seseorang
dapat membaca gerakan bibir dengan mengetahui kata-kata yang sudah
dimengerti sebagai suatu konsep dalam perbincangan. Selain itu, bahasa tubuh
juga menjadi faktor pendukung dari berkembangnya kemampuan lip reading.
Kemampuan bicara secara jelas dan memfasilitasi persepsi dengan menghadap
secara langsung ketika bicara, bicara dengan jarak dekat, bersuara dengan jelas
dan tidak berlebihan. Teknik lip reading ini membutuhkan latihan yang mendalam
untuk menguasai secara penuh dan memerlukan instrumen yang tepat untuk
mengatasi hambatan dan ambiguitas.
Cara melakukan teknik lip reading yaitu lip reading dilakukan dengan lingkungan
yang tenang, setelah merasa nyaman, duduk secara berhadapan dan bicara dengan
jelas, suara dan intonasi yang tepat, tidak terlalu kencang juga tidak terlalu keras.
Jika lingkungan gelap, atur cahaya mengarah ke pembicara dan posisikan diri
berjarak 3-6 kaki disesuaikan dengan kemampuan residen dapat melihat
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
18
Universitas Indonesia
pembicara (hearinglink, 2012). Keakuratan dari membaca bibir melibatkan peran
persepsi visual seperti kejelasan dari bentuk pengucapan kata per kata (Franks,
1976).
Teknik lip reading ini dapat diterapkan disetiap interaksi dengan residen. Pandu
residen untuk selalu melihat bibir pembicara dan hindari kondisi lelah pada
residen dan biarkan residen untuk rileks. Dalam berkomunikasi tidak terlepas dari
percaya diri, kontrol, dan kemandirian, dibandingkan dengan sebelum melakukan
lip reading, responden pada penelitian memiliki kontrol dalam memfasilitasi dan
meningkatkan komunikasi, mampu untuk bertindak secara mandiri untuk
memfasilitasi komunikasi, dan lebih proaktif serta percaya diri dalam
berkomunikasi (Ringham, 2011). Hasil dari intervensi keperawatan mengacu
kepada meningkatnya komunikasi, meningkatnya sosial interaksi, meningkatnya
keselamatan dan fungsi peran dan kualitas hidup yang lebih baik (Miller, 2012;
Ringham, 2011).
2.5 Pelayanan Kesehatan Pada Lanjut Usia
Nursing home mengarah kepada intitusi tempat tinggal yang dibuat untuk
seseorang yang membutuhkan bantuan dengan beberapa Activity Daily Living
(ADL) (Miller, 2012). Nursing home memberikan pelayanan kesehatan yang
diawasi oleh perawat teregistrasi atau perawat praktik yang telah berlisensi.
Nursing home memberikan perawatan berupa pelayanan medis dan pelayanan
keperawatan berupa konsultasi medis dan rehabilitasi. Pada nursing home,
penerima pelayanan disebut sebagai residen daripada pasien karena nursing home
menyediakan fasilitas tempat tinggal. Nursing home secara umum dikategorikan
menjadi perawatan jangka pendek (skilled nursing home) dan jangka panjang
(long term care).
Stanley & Beare (2002) menyebutkan bahwa karakteristik dari residen yang
tinggal di perawatan jangka pendek yaitu pada umumnya meninggalkan fasilitas
dalam waktu tiga sampai enam bulan, lebih muda mempunyai lebih banyak
permasalahan fisik, dan diterima dari fasilitas rehabilitasi atau rumah sakit.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Idealnya, residen pada perawatan jangka pendek menerima perawatan yang
diperlukan untuk memperoleh kemandirian dan fungsi yang maksimal dan
kemudian dapat kembali ke komunitas. Pada residen perawatan jangka panjang
karakteristik residennya pada umumnya lebih tua, diterima dari rumah, dan
mempunyai lebih banyak kerusakan fungsional dan kognitif. Residen perawatan
jangka panjang sering tetap tinggal di fasilitas sampai residen meninggal atau
dipindahkan ke suatu fasilitas perawatan akut. Perawatan lansia pada nursing
home umumnya berupa perawatan jangka panjang (Long Term Care).
Long term care mengacu pada rangkaian kesatuan antara pelayanan medis dan
pelayanan sosial yang didesain untuk mendukung kebutuhan seseorang dengan
masalah kesehatan kronis yang berdampak pada kemampuan dalam menunjukkan
kemampuan aktivitas sehari-hari. Tujuan dari perawatan nursing home jangka
panjang lebih kompleks dan lebih sulit untuk dinilai daripada perawatan pada
penyakit akut. Perawatan pada penyakit akut bertujuan untuk mengembalikan
seseorang ke fungsi sebelum sakit, perawatan jangka panjang bertujuan untuk
mencegah kemunduran dan menyesuaikan diri terhadap adanya kemunduran
(McCall, 2000). Miller (2012) menyatakan perubahan pada pelayanan kesehatan
untuk lansia dari tahun ke tahun memiliki pengaruh terhadap perawatan nursing
home jangka pendek dan jangka panjang.
Nursing home merupakan salah satu pilihan bentuk pelayanan kesehatan yang
tersedia, terutama bagi lansia. Nursing home saat ini menyediakan berbagai
bentuk pelayanan terbaru. Miller (2012) menyebutkan terdapat beberapa bentuk
pelayanan nursing home yang tersedia di komunitas yaitu adult day centers,
respite care, parish nursing program, dan health promotion program. Arenson
et.al (2009) menyebutkan untuk pelayanan nursing home di komunitas terdapat
hospice care, home care, dan adult day care.
Adult day centers atau adult day care menyediakan struktur sosial dan aktivitas
rekreasi untuk lansia, dan menyediakan makanan serta beberapa pelayanan seperti
transportasi, manajemen obat, membantu perawatan diri, dan pelayanan lain yang
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
20
Universitas Indonesia
berhubungan dengan pelayanan kesehatan dan terapi (Arenson et.al, 2009; Miller,
2012). Adult day care menyediakan pelayanan bagi seseorang yang memiliki
kelemahan atau membutuhkan bantuan maupun pengawasan sepanjang hari
seperti lansia yang mengalami demensia. Tujuan dari program ini yaitu untuk
mempertahankan atau meningkatkan kemampuan fungsional atau gangguan pada
lansia, menunda dan mencegah kebutuhan perawatan institusional (Arenson et.al,
2009).
Respite care mengacu pada pelayanan yang bertujuan untuk membebastugaskan
pemberi perawatan (caregiver) melepas stress dari tanggung jawab merawat pada
waktu tertentu. Respite service disediakan untuk seseorang yang tinggal di rumah
dan dirawat oleh anggota keluarga (Miller, 2012). Tujuan dari respite service
termasuk meningkatkan kualitas hidup pada pemberi perawatan. Parish nursing
program merupakan pendekatan secara holistik terhadap kesehatan fisik,
emosional, dan spiritual pada jemaat gereja dengan fokus pada aktivitas promosi
kesehatan (Miller, 2012).
Miller (2012) menyatakan Health promotion program dialamatkan kepada lansia
yang sehat dan berfungsi secara penuh, seperti social residence atau senior
centers yang menempatkan lansia berkumpul dalam waktu tertentu untuk
memeriksakan kesehatan dan melakukan aktivitas lain yang meningkatkan
kesehatan. Aktivitas yang diadakan pada program ini seperti pemeriksaan tekanan
darah, kelas berhenti merokok, pemeriksaan kesehatan terkait kanker, penglihatan,
dan pendengaran, imunisasi, dan beberapa bentuk latihan seperti senam.
Hospice care merupakan perawatan paliatif dan program yang memberi dukungan
pada lansia yang mengalami penyakit terminal dengan tujuan menyediakan
kenyamanan (Arenson et.al, 2009). Hospice care dapat meningkatkan kualitas
hidup bagi lansia karena telah memberikan dukungan pada lansia maupun
keluarga. Hospice care membuat lansia menerima penguatan emosi dan spiritual
dan memperkuat dukungan keluarga.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
21
Universitas Indonesia
Nursing home menyediakan kombinasi dari pelayanan perawatan terlatih yang
mirip dengan pelayanan ke pasien di rumah sakit, residen seringkali memilih
tinggal di fasilitas perawatan nursing home selama mengalami penyakit akut
daripada tinggal di rumah sakit (Miller, 2012). Home care didefinisikan sebagai
ketersediaan perlengkapan dan pelayanan bagi pasien di rumah dengan tujuan
memperbaiki dan mempertahankan tingkat kenyamanan fungsi dan kesehatan
lansia dan membutuhkan usaha kolaboratif dari lansia, keluarga, dan professional
(Arenson et.al, 2009).
Perawatan di home care meliputi perawatan dari perawat terlatih, monitoring
kesehatan, pemberian obat, rehabilitasi fisik dan terapi lain, perawatan diri, dan
pemberian transfusi intravena, kemoterapi, dialisis, termasuk pemberian nutrisi
enteral maupun parenteral (Arenson et.al, 2009; Miller, 2012). Terdapat beberapa
persyaratan yang ada pada pelayanan home care, yaitu memastikan kesehatan
residen tidak mengalami kemunduran kecuali secara medis tidak dapat dihindari,
perawatan, pengobatan, dan terapi harus digunakan untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan seoptimal mungkin, dan residen berhak untuk memilih
dan menolak pelayanan yang diberikan (CANHR, 2012)
California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR) (2012) menyebutkan
standar pelayanan yang diberikan di nursing home diantaranya menyediakan
kebutuhan sesuai residen, seperti pemberi pelayanan harus menyesuaikan dengan
kebutuhan residen contohnya apabila residen mengalami hambatan komunikasi
pemberi pelayanan wajib berkomunikasi sesuai dengan kemampuan residen.
Standar pelayanan nursing home lainnya yaitu adanya staf yang memadai,
membuat perencanaan keperawatan yang komprehensif, memperhatikan
kebutuhan cairan dan nutrisi, obat-obatan, pengendalian infeksi, dan menghindari
terjadinya masalah tambahan akibat kelalaian seperti adanya luka dekubitus pada
lansia dengan hambatan mobilisasi. Standar lainnya yaitu mencegah kecelakaan
atau kejadian jatuh, layanan khusus berupa pemberian suntikan atau cairan IV,
perawatan kolostomi, ileostomi, ureterostomi dan perawatan trakeostomi,
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
22
Universitas Indonesia
pengisapan trakea, perawatan pernapasan, perawatan kaki, terapi, perawatan
restoratif serta latihan range of motion.
Standar pelayanan nursing home di dalamnya terdapat perawat yang terampil, staf
dan karyawan yang mendukung untuk dapat memenuhi kebutuhan residen.
CANHR (2012) menyebutkan bahwa setiap residen seharusnya dapat menerima
tindakan keperawatan sebanyak 3,2 jam per hari. Perencanaan keperawatan yang
komprehensif dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan residen secara terperinci
dan dapat di intervensi sesuai kebutuhan. Kebutuhan dasar residen berupa cairan
dan nutrisi merupakan hal yang penting untuk menjadi standar pelayanan, begitu
juga kebutuhan lain yang berguna untuk mencegah adanya komplikasi-komplikasi
akibat kelalaian petugas yang dapat merugikan residen selama berada di nursing
home
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
23 Universitas Indonesia
BAB 3
LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas diri
Ibu SMB berusia 89 tahun merupakan salah satu residen di Sasana Tresna Werdha
Karya Bhakti. Residen datang ke Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti dengan
keinginan sendiri atas persetujuan keluarga. Sebelumnya residen tinggal di Bogor
dan bekerja di salah satu institusi milik pemerintah. Residen terbiasa tinggal
sendiri meskipun pernah tinggal bersama adik dan keponakannya. Residen tidak
pernah berkeluarga namun residen mendapat dukungan dari saudaranya yang
selalu datang berkunjung secara rutin. Residen tidak pernah menikah karena
ditinggal meninggal calon suami waktu berperang. Residen masih mendapat
penghasilan dari pensiunannya oleh karena itu residen memilih untuk tinggal di
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti dengan hasil pensiunannya tersebut karena
merasa lebih aman dan residen tidak ingin merepotkan adik dan keponakan-
keponakannya.
3.1.2 Riwayat kesehatan
Residen mengatakan memiliki gangguan pendengaran sejak lama, dan tidak ingat
kapan pendengarannya mulai terganggu. Residen aktif mengikuti berbagai
kegiatan yang ada di panti, tetapi residen lebih banyak diam dan terlihat kurang
berkomunikasi saat mengikuti kegiatan. Residen lebih banyak diam dan tampak
bingung bila ditengah-tengah kegiatan diajak bicara. Residen terlihat sulit
mendengar dan memahami apa yang dibicarakan orang lain. Selain itu, residen
juga sering meminta lawan bicara mengulang pembicaraan dan memiringkan
kepala untuk mendengar pembicaraan. Residen juga tidak menyadari jika
namanya dipanggil dari belakang. Residen sering merasa kaget jika merasa
seseorang tiba-tiba muncul didepannya dan membuat residen terlihat kesal.
Sebelumnya residen mengatakan telah mendapatkan penanganan dengan
pemberian alat bantu dengar, akan tetapi ternyata masih kurang efektif bagi
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
24
Universitas Indonesia
residen karena keterbatasan alat bantu dengar yang sering rusak dan harganya
mahal sehingga residen tidak menggunakan alat bantu dengar lagi.
Riwayat kesehatan residen diketahui memiliki hipertensi. Hipertensi yang dialami
oleh residen terkontrol dengan baik. Residen merasa tidak memiliki sakit
hipertensi dan merasa bahwa tekanan darahnya selalu normal. Residen rutin
meminum obat yang diberikan dokter setiap hari. Saat ditanyakan, residen
meminum obat nifedipine dan simvastatin satu kali dalam sehari. Residen
meminum obat setiap pagi sehabis makan. Tekanan darah residen terkontrol setiap
hari, berkisar dalam sistol 110-140 mmHg dan diastole 80-90 mmHg. Setelah
minum obat, tekanan darah residen berkisar 110-120/80-90 mmHg, sedangkan
bila belum minum obat tekanan darah menunjukkan 130-140/80-90 mmHg.
Residen merasa bahwa penting untuk menjaga kesehatan, Residen selalu rajin
minum obat rutin, dan mengikuti senam supaya badan selalu sehat. Residen sadar
bahwa dirinya akan kesulitan jika sakit dan sulit melakukan aktivitas.
3.1.3 Kebiasaan Sehari-hari
Pemenuhan kebutuhan sehari seperti makan, minum, ke toilet, mandi, masih
dilakukan sendiri oleh residen. Hasil indeks Katz memberikan nilai 6 yaitu
kemandirian penuh. Untuk makan, residen biasa makan-makanan yang disediakan
oleh panti dan jarang membeli makanan di luar. Residen mengatakan tidak ada
makanan yang menjadi pantangannya. Residen makan tiga kali sehari, waktunya
tidak tentu, tergantung rasa lapar yang dirasakannya. Pola minum residen tidak
mengalami pengawasan, residen minum jika merasa haus dan tidak ingat berapa
kali minum dalam sehari secara pasti, namun residen mengatakan jika minum ± 5
gelas berukuran ± 250cc dalam sehari. Sedangkan untuk pola eliminasi, residen
merasa tidak mengalami masalah, buang air kecil (BAK) 4- 5 kali lancar, tidak
ada nyeri, buang air besar (BAB) juga lancar 1-2 hari satu kali tergantung
makanan yang dimakan. BAB tidak ada keluhan BAB keras. Residen mengatakan
mandi dua kali sehari setiap hari dan tidak tercium bau yang tidak sedap dari
tubuh residen.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
25
Universitas Indonesia
Residen merupakan residen Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti yang aktif dalam
berbagai kegiatan. Kegiatan yang diikuti oleh Residen adalah senam setiap pagi
dari hari senin hingga jumat. Residen selalu menyempatkan mengikuti kegiatan
yang diadakan panti, tetapi setelah kegiatan residen langsung masuk kamar karena
merasa lelah. Pola tidur dan istirahat tidak mengalami gangguan. Residen tidur
malam dari jam 8 hingga subuh. Residen mengatakan dapat tidur dengan mudah
dan kadang-kadang terbangun 1-2 kali di malam hari karena ingin BAK. Setelah
itu, Residen bisa tidur lagi dengan lelap. Residen tidur 6-8 jam di malam hari dan
tidur 2 jam di siang hari. Residen juga sering terlihat tertidur saat mengikuti
kegiatan menonton atau terapi musik.
Residen hanya keluar kamar jika ada kegiatan di luar, dan menyukai kegiatan
menjawab teka-teki silang. Penglihatan residen baik, meskipun pernah menjalani
operasi katarak pada mata sebelah kanan. Residen masih dapat menjawab dengan
teliti pertanyaan-pertanyaan yang ada di teka-teki silang yang ia miliki. Residen
juga mampu untuk mencari keseluruhan kata dari beberapa huruf yang diacak.
Status kognitif residen melalui pengkajian Mini Mental State Examination
(MMSE) mendapatkan nilai 28 yaitu normal dan tidak mengalami gangguan
kognitif. Aktivitas rekreasi yang dilakukan oleh residen selain mengisi teka-teki
silang yaitu membaca buku dan menonton televisi. Selain mengikuti kegiatan
senam dan pertemuan yang ada di panti, residen juga mengikuti kegiatan
pengajian dan sholat berjamaah di musholla setiap waktu sholat magrib. Residen
jarang pergi untuk keluar panti, Residen pergi keluar panti saat diajak berjalan-
jalan oleh keluarganya atau jika ada keperluan.
Keadaan emosi residen stabil. Pengkajian dengan Geriatric Depression Scale
(GDS) Residen bernilai 5 yang mengindikasikan bahwa residen tidak mengalami
depresi. Residen juga kooperatif, namun residen terkadang kurang komunikatif,
residen terlihat agak sulit memulai perbincangan, tetapi residen tetap mau untuk
memulai perbincangan, residen juga terlihat tidak suka jika diajak bicara terlalu
lama karena merasa capek. Residen jarang marah, namun kadang terlihat kesal
jika seseorang muncul tiba-tiba. Residen mudah kaget dan mudah curiga terhadap
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
26
Universitas Indonesia
orang baru. Hubungan sosial residen dengan penghuni lainnya baik. Penghuni lain
tidak pernah keberatan jika membantu residen bila ia tampak kesulitan. Residen
mengatakan tidak ada teman paling dekat di Sasana karena residen menganggap
semuanya teman dekat. Residen juga mengatakan tidak pernah bertengkar dengan
penghuni lain karena merasa bila bertengkar sangat tidak berguna. Residen juga
tampak sering diajak oleh penghuni lain untuk mengikuti kegiatan.
Residen dalam mengikuti kegiatan yang ada di panti lebih sering berjalan dengan
berpegangan pada benda-benda disekitar atau berjalan beriringan bersama dengan
residen lain. Tampak pada saat berjalan, langkah residen agak diseret. Residen
mengatakan pernah mengalami jatuh lebih dari tiga bulan yang lalu, saat itu
residen mengatakan mengalami patah tulang pada lengan kiri dan saat ini sudah
tidak merasakan sakit lagi. Hasil Fall Morse Scale (FMS) menunjukkan nilai 65,
yaitu residen beresiko tinggi jatuh, dan setelah dilakukan Berg Balance Test
(BBT) menunjukkan nilai 37 yaitu residen memiliki resiko jatuh dan perlu
menggunakan alat bantu berjalan seperti tongkat,kruk, atau walker. Namun
residen belum mau menggunakannya. Kamar residen terjaga kebersihannya
pencahayaan baik, lantai kamar mandi rutin dibersihkan oleh petugas Sasana
namun di dalam kamar terpasang karpet yang mudah bergeser serta terdapat
barang-barang yang ditumpuk oleh residen.
3.1.4 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada minggu pertama hingga minggu kedua. Residen
memiliki postur tubuh pendek, dengan punggung yang agak membungkuk, tinggi
badan residen yaitu 145 cm dengan berat badan 47 kg. Kesadaran Residen
compos mentis, dengan tanda-tanda vital pada tanggal 8 Mei 2013 yaitu suhu
36,7oC, nadi 70 kali/menit, pernafasan 18x/menit, dan tekanan darah 140/90
mmHg. Pemeriksaan fisik dimulai dari head to toe, yaitu dimulai dengan keadaan
dan penampilan umum kepala bulat, simetris, tidak terdapat lesi, rambut tipis,
warna rambut putih (beruban), tidak mudah dicabut, kulit kepala dan rambut
bersih, tidak tampak ketombe, tidak ada kutu. Rambut lurus, terdistribusi secara
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
27
Universitas Indonesia
merata pada kulit kepala, tidak ada lesi pada kulit kepala. Pada leher, tidak ada
pembesaran kelenjar getah bening dan vena jugularis.
Keadaan dan penampilan umum struktur mata yaitu alis mata simetris, sejajar,
bersih, mata kiri terlihat lebih sipit dari mata kanan. Keadaan konjungtiva dan
sklera konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis), sklera tidak ikterik, dan
mata sebelah kanan jelas untuk melihat karena sudah pernah dioperasi katarak.
Telinga sejajar mata, warna telinga sama dengan kulit wajah, lesi tidak ada, nyeri
tidak ada, tidak terdapat pengeluaran cairan.
Hasil pemeriksaan menggunakan garputala, residen sudah tidak mendengar suara
getaran garpu tala yang diletakkan di processus mastoideus, namun masih dapat
mendengar suara getaran yang di dekatkan dengan telinga namun dengan
frekuensi yang memendek. Hasil yang berbeda terjadi pada telinga kanan dan kiri.
Telinga kanan sudah tidak mendengar getaran garpu tala dan telinga kiri masih
mendengar dengan frekuensi yang memendek. Residen mengatakan tidak
mendengar getaran yang memanjang disalah satu telinga ketika garpu tala
didekatkan ke dahi. Residen mengatakan membersihkan telinga dalam waktu
tertentu dan hanya membersihkan telinga jika merasa gatal. Tidak dilakukan
pemeriksaan menggunakan otoskop, namun nampak dari luar bahwa telinga
residen bersih. Tidak terdapat pengeluaran cairan pada kedua telinga, dan residen
tidak mengeluhkan munculnya nyeri, ataupun suara berdenging.
Pemeriksaan fisik pada hambatan komunikasi verbal secara fokus pada
pemeriksaan yang mengkaji adanya batasan karakteristik hambatan komunikasi
verbal seperti afasia, difasia, apraksia, dan disleksia, kesulitan menyusun dan
kalimat ataupun kata-kata seperti gangguan afonia, dislalia, disartria. Batasan
karakteristik lainnya yaitu ketidaktepatan pengucapan, dispnea, pelo, sulit bicara,
gagap, defisit penglihatan total, bicara dengan kesulitan maupun menolak bicara
(Doenges, Moorhouse & Murr, 2008; NANDA, 2012). Faktor yang berhubungan
diantaranya perubahan sistem saraf pusat, defek anatomis berupa celah palatum,
perubahan sistem neuromuscular pada sistem penglihatan dan pendengaran.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
28
Universitas Indonesia
Tumor otak, hambatan fisik seperti intubasi atau trakeostomi, stress, kondisi
psikologis, efek samping obat, dan pelemahan sistem muskuloskeletal (NANDA,
2012). Pada residen, data-data mengarah kepada adanya gangguan pendengaran.
Keadaan dan penampilan umum hidung dan mulut tidak ada gangguan, hidung
tampak bersih dan tidak ada pengeluaran cairan. Pada pemeriksaan mulut
didapatkan gigi sudah ada yang tanggal, gigi bersih, lidah bersih, lesi tidak ada,
tidak ada sariawan, mukosa tidak kering, gigi agak kekuningan, dan residen
mengatakan tidak pernah sakit gigi sebelumnya. Tidak ada gangguan mengunyah,
residen masih bisa makan makanan keras, residen mengatakan semakin tua
gusinya semakin tipis dan gigi menjadi mudah tanggal.
Keadaan umum bentuk dada kifosis, warna kulit sama secara menyeluruh,
pergerakan dada simetris, tidak ada lesi, pada saat di palpasi tidak ada benjolan,
taktil fremitus antara toraks posterior dan anterior sama. Hasil auskultasi dada
didapatkan bunyi S1 dan S2 normal tidak ada suara murmur ataupun gallop, suara
nafas vesikuler ada, tidak terdapat ronchi maupun wheezing. Pemeriksaan
abdomen nampak perut residen membuncit, posisi abdomen lebih tinggi daripada
dada pada posisi berbaring, tidak ada kemerahan, scar tidak ada, tidak ada tanda-
tanda infeksi, umbilicus inverted dan bersih, asites tidak ada. Bising usus 3-4
kali/menit, suara perkusi timpani, nyeri tekan ataupun nyeri lepas abdomen tidak
ada, nyeri ketuk pada ginjal kanan dan kiri tidak ada. Abdomen teraba agak
lembek, limfa tidak teraba, ginjal tidak teraba.
Pemeriksaan ekstremitas kulit tidak pucat, warna kulit sama dengan warna tubuh,
dan terdapat deformitas pada telapak kaki. Cara berjalan residen seperti tidak
seimbang dan berpegangan pada benda-benda disekitar. Langkah residen juga
agak diseret dan bangun dari tidur ke duduk, atau duduk ke berdiri dengan
berpegangan pada benda sekitar. Residen sering jalan bergandengan dengan
residen lain. Turgor kulit tidak elastis, kembalinya lambat, capillary refill time
kurang dari 2 detik. Hasil pengkajian kekuatan otot yaitu residen pada otot lengan
kanan dan kiri, dapat melawan gravitasi, bergerak penuh, dan mampu menahan
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
29
Universitas Indonesia
tekanan. Pada otot kaki kanan gerak sendi penuh, mampu melawan gravitasi, dan
mampu menahan tahanan kecuali pada otot pinggul yaitu mampu menahan
tahanan minimal. Pada otot kaki kiri, gerak sendi mampu melawan gravitasi,
mampu menahan tahanan, dan ketika diminta mengangkat kaki dengan posisi
supine hanya mampu menahan sebentar. Informasi penunjang seperti diagnosa
medis dan laboratorium tidak didapatkan.
3.2 Analisis Data
Hasil pengkajian dipaparkan dan dianalisis berdasarkan kebutuhan yang dialami
oleh residen. Hasil pengkajian menunjukkan terdapat dua diagnosa keperawatan
yang dialami oleh residen, yaitu hambatan komunikasi verbal dan resiko jatuh.
Hambatan komunikasi verbal adalah tertundanya, berkurangnya, atau tidak
adanya kemampuan untuk menerima, memproses, mentransmisikan, dan
menggunakan symbol untuk berkomunikasi (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008;
NANDA, 2012). Batasan karakteristik dari hambatan komunikasi verbal menurut
NANDA (2012) yaitu gagap, kesulitan memahami dan mempertahankan pola
komunikasi yang biasa seringkali muncul pada residen. Hal yang berhubungan
dalam diagnosa hambatan komunikasi verbal salah satunya yaitu defek anatomis
seperti gangguan pendengaran yang dialami oleh residen (Doenges, Moorhouse &
Murr, 2008; NANDA, 2012).
Diagnosa keperawatan hambatan komunikasi verbal muncul dari data pendukung
bahwa residen mengeluhkan sulit mendengar lawan bicara dan memahami
pembicaraan. Residen sering meminta lawan bicara mengulang pembicaraan dan
memiringkan kepala untuk mendengar pembicaraan, berbicara dengan tempo
pelan dan agak tergagap, tidak menyadari jika namanya dipanggil dari belakang.
Selain itu, residen juga pernah mendapatkan alat bantu pendengaran, namun tidak
digunakan lagi karena rusak. Residen sudah tidak mendengar suara getaran garpu
tala yang diletakkan di processus mastoideus, namun masih dapat mendengar
suara getaran yang di dekatkan dengan telinga kiri namun dengan frekuensi yang
memendek. Hasil yang terjadi pada telinga kanan tidak mendengar suara sama
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
30
Universitas Indonesia
sekali. Residen juga tidak mendengar getaran yang memanjang di salah satu
telinga ketika garpu tala didekatkan ke dahi.
Diagnosa keperawatan lain yang muncul yaitu resiko jatuh yang merupakan
peningkatan kerentanan yang dapat melukai atau memunculkan cedera fisik
(NANDA, 2012). Faktor resiko yang muncul pada residen sesuai dengan faktor
resiko dari resiko jatuh berdasarkan NANDA (2012) yaitu usia diatas 65 tahun,
memiliki riwayat jatuh, dan tinggal sendiri. Faktor fisiologis yang ada pada
residen dan termasuk dalam NANDA (2012) yaitu kesulitan mendengar,
gangguan keseimbangan, dan memiliki penyakit vascular berupa hipertensi serta
meminum obat antihipertensi.
Diagnosa resiko jatuh muncul dari data pendukung bahwa residen pernah
mengalami kejadian jatuh meskipun di luar jangka waktu tiga bulan, berjalan
dengan agak diseret, dan berpegangan pada benda-benda sekitar jika berjalan.
Berdasarkan hasil Fall Morse Scale (FMS) residen memiliki resiko jatuh tinggi
dan Berg Balance Test (BBT) membutuhkan menggunakan alat bantu jalan
berupa tongkat. Keadaan lingkungan kamar residen tampak bersih, namun jika
lampu dimatikan disiang hari lingkungan kamar tampak gelap. Kamar residen
terjaga kebersihannya, lantai kamar mandi rutin dibersihkan oleh petugas Sasana
namun di dalam kamar terpasang karpet yang mudah bergeser serta terdapat
barang-barang yang ditumpuk oleh residen.
Hasil pengkajian yang muncul pada umumnya mendukung kepada munculnya
diagnosa keperawatan resiko jatuh sebagai diagnosa utama, akan tetapi pada
residen terdapat ketidak kooperatifan dalam pelaksanaan diagnosa resiko jatuh
sehingga diagnosa keperawatan resiko jatuh kurang dapat dilaksanakan secara
maksimal. Penulis mengutamakan intervensi pada hambatan komunikasi verbal
yang dapat dilakukan secara rutin pada residen dan juga beriringan dengan
masalah resiko jatuh karena informasi lingkungan yang ada diterima dan direspon
oleh individu melalui indera pendengaran dan berkurangnya sensasi dan persepsi
berkontribusi terhadap kerentanan lansia untuk mengalami kecelakaan (Ebersole,
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
31
Universitas Indonesia
Hess, Touhy, Jett, 2005). Meskipun begitu, pelaksanaan diagnosa resiko jatuh
tetap dilaksanakan sejalan dengan diagnosa hambatan komunikasi verbal.
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan
3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan Hambatan Komunikasi Verbal
Rencana asuhan keperawatan residen berdasarkan pada diagnosis keperawatan.
Tujuan dari asuhan keperawatan kepada residen disesuaikan dengan masing-
masing diagnosa keperawatan yang muncul. Diagnosa pertama yaitu hambatan
komunikasi verbal. Tujuan dari diagnosa ini berdasarkan Doenges, Moorhouse &
Murr (2008) yaitu meningkatkan kemampuan residen dalam berkomunikasi
ditandai dengan residen dapat mengungkapkan kata-kata yang mengindikasikan
pemahaman dalam kesulitan komunikasi dan merencanakan cara-cara untuk
mengatasi hambatan komunikasi, mempertahankan metode komunikasi yang
mampu mengutarakan perasaan, dan berpartisipasi dalam komunikasi aktif.
Intervensi yang dilakukan menurut Doenges, Moorhouse & Murr (2008) yaitu
berdasarkan tujuan khusus dengan mengetahui faktor penyebab, membantu
residen dalam mempertahankan cara berkomunikasi untuk mengutarakan
kebutuhan, keinginan, ide, maupun bertanya, serta meningkatkan kesejahteraan
dengan promosi kesehatan.
Doenges, Moorhouse & Murr (2008) menyebutkan intervensi terkait hambatan
komunikasi verbal diantaranya mengidentifikasi kondisi fisiologis dan neurologis
yang mempengaruhi gangguan bicara, seperti nafas pendek, palatum, trauma
wajah, stroke, trauma otak, atau gangguan pendengaran. Melihat kembali hasil
pemeriksaan diagnostik jika ada seperti CT scan, Elektroenchepalogram (EEG)
untuk mengetahui penyebab kelainan yang dialami residen, mengetahui sumber-
sumber yang menyebabkan residen mengalami gangguan pendengaran, kesulitan
menerima informasi, dan identifikasi munculnya gangguan emosional ataupun
psikologis dengan melakukan evaluasi status mental serta kognitif. Selain itu,
identifikasi motivasi dan harapan residen untuk meningkatkan komunikasi serta
menentukan kemampuan residen dalam mendengarkan dan berkomunikasi.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
32
Universitas Indonesia
Doenges, Moorhouse & Murr (2008) menyebutkan tujuan khusus kedua yaitu
mempertahankan cara komunikasi dengan memastikan mendapat perhatian dari
residen sebelum melakukan intervensi, meningkatkan hubungan dengan residen
dengan mempertahankan kontak mata, bersalaman, tersenyum, menanyakan
pertanyaan singkat, dan memperlihatkan caring kepada residen. Selain itu,
menyediakan dan motivasi residen untuk menggunakan alat bantu yang dapat
meningkatkan kemampuan komunikasi, seperti alat bantu dengar. Pertahankan
ketenangan, kurangi distraksi dari luar dengan menciptakan lingkungan yang
tenang dengan menutup pintu, mematikan televisi, menunjukkan perilaku yang
sabar, dan berikan waktu bagi residen untuk memahami pembicaraan.
Berkomunikasi dengan menggunakan ekspresi dan bahasa tubuh juga penting
untuk meningkatkan pemahaman dalam menerima informasi. Menahan diri dari
berteriak ketika berbicara dan berbicara perlahan dan jelas, mengeluarkan suara
rendah untuk meningkatkan kemungkinan menjadi salah paham. Bersikap jujur
dan membiarkan residen tahu jika lawan bicara mengalami kesulitan memahami
informasi yang diberikan oleh residen. Ulangi bagian dari pesan apabila mengerti
sehingga residen tidak harus mengulang seluruh pesan dari awal, serta menjadi
pendengar yang aktif. dan bicara dengan singkat dan diulang bila perlu. Anjurkan
residen untuk berkomunikasi dengan membaca gerakan bibir dan bahasa tubuh
lawan bicara (Lip reading).
Tujuan khusus yang ketiga yaitu meningkatkan kesejahteraan dengan promosi
kesehatan yang diberikan pada keluarga atau pemberi perawatan. Jika residen
tinggal bersama keluarga, berikan edukasi tentang kondisi residen dan cara
berkomunikasi yang tepat dengan residen. Pahami kondisi residen dalam
berkomunikasi, dan hindari faktor-faktor resiko yang dapat meningkatkan
terganggunya komunikasi residen, seperti menghindari dan mengatasi faktor
resiko yang dapat meningkatkan gangguan pendengaran seperti suara bising,
stress, penggunaan obat-obatan ototoksik, dan penyakit vascular. Perhatikan dan
kolaborasi tenaga kesehatan apabila muncul gejala yang mengarah kepada
perubahan mental dan perilaku (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008).
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
33
Universitas Indonesia
3.3.2 Rencana Asuhan Keperawatan Resiko Jatuh
Diagnosa selanjutnya adalah resiko jatuh.yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya jatuh pada residen (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008). Tujuan
khusus dari diagnosa keperawatan ini yaitu meningkatnya pengetahuan residen
tentang risiko jatuh, meningkatnya kekuatan otot dan keseimbangan pada residen,
meningkatnya kebersihan dan kerapihan kamar dan meningkatnya kewaspadaan
terhadap resiko jatuh pada residen. Intervensi yang dilakukan meliputi
memberikan penjelasan pada residen tentang resiko jatuh dan kondisi ruangan
yang menyebabkan resiko jatuh. Mengidentifikasi bersama residen lingkungan
yang dapat meningkatkan kemungkinan jatuh, berdiskusi dengan residen
pemilihan alas kaki yang tidak menyebabkan resiko jatuh, melakukan pemilihan
dan edukasi tentang alat bantu berjalan, dan memotivasi untuk melakukan latihan-
latihan yang dapat meningkatan kekuatan otot dan keseimbangan.
Intervensi lain yang dapat dilakukan yaitu dengan memperhatikan keadaan
lingkungan residen. Perawat dapat bekerjasama dengan caregiver/ clening service
dalam memberikan lingkungan yang aman pada kamar residen dan lingkungan
wisma Cempaka (pencahayaan yang cukup pada gang dan kamar mandi, lantai
tidak licin, keset tidak tertekuk dan tersedianya handrail di kamar dan kamar
mandi), bekerjasama dengan residen untuk merapikan kamar dan menganjurkan
residen untuk waspada apabila terdapat tanda peringatan jatuh.
3.4 Implementasi
3.4. 1 Hambatan Komunikasi Verbal
Implementasi asuhan keperawatan kepada residen dilakukan dalam waktu tujuh
minggu. Pertemuan terkait implementasi dengan residen dilakukan seminggu dua
kali, yaitu di jam kosong Residen. Total pertemuan selama tujuh minggu
mendapat sekitar 15 (lima belas) kali interaksi terkait pengkajian dan intervensi
kedua diagnosa tersebut. Hal ini disebabkan residen sering tidak ingin diganggu
jika dirinya lelah setelah mengikuti kegiatan di Sasana dan langsung masuk kamar
dan tidak keluar. Hanya di waktu-waktu tertentu residen memiliki waktu luang
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
34
Universitas Indonesia
yaitu, jika pagi hari tidak ada kegiatan maupun senam, dan sore hari jika residen
tidak terdapat pengajian.
Pelaksanaan diagnosa keperawatan hambatan komunikasi verbal dilakukan
selama 15 kali pertemuan dan intervensi diagnosa lain turut disisipkan diantara
pertemuan tersebut. Kontrak waktu yang ditetapkan setiap kali pertemuan yaitu 30
menit, tetapi pelaksanaan optimal dilakukan dalam waktu 15-20 menit. Pemberian
intervensi dilakukan seoptimal mungkin disesuaikan dengan kondisi residen.
Intervensi keperawatan yang telah diimplementasikan selama 15 kali pertemuan
tersebut yaitu membahas tentang tujuan khusus dari diagnosa hambatan
komunikasi verbal diantaranya mengetahui faktor penyebab, membantu residen
dalam mempertahankan cara berkomunikasi untuk mengutarakan kebutuhan,
keinginan, ide, maupun bertanya, serta meningkatkan kesejahteraan dengan
promosi kesehatan.
Pertemuan pertama hingga ke empat atau dua minggu pertama membahas tentang
evaluasi status mental dan kognitif dengan mengisi Geriatric Depression Scale
(GDS) dan Mini Mental Status Examination (MMSE). Pengkajian melalui
wawancara dan pemeriksaan fisik dilakukan juga dalam empat hingga enam kali
pertemuan pertama. Selain itu, intervensi yang dilakukan terlebih dahulu yaitu
terkait tujuan khusus meningkatnya kemampuan residen dalam bertukar pesan
dengan orang lain, yaitu dengan mengidentifikasi kemampuan residen dalam
berkomunikasi dan hal-hal yang menyebabkan residen kesulitan berkomunikasi
dan mengajarkan teknik komunikasi yang efektif.
Teknik komunikasi yang efektif dilakukan dengan melatih residen untuk berbicara
dengan melihat lawan bicara dan membaca gerakan bibir dari pembicara. Penulis
melakukan teknik-teknik komunikasi secara umum, yaitu bicara dengan intonasi
yang jelas, kata-kata yang tidak terlalu panjang dan rumit, berbicara menghadap
ke arah residen, serta menjadi pendengar yang aktif. Tindakan keperawatan yang
dapat diterapkan secara rutin yaitu meningkatkan komunikasi secara aktif dengan
teknik lip reading. Intervensi dengan cara tersebut diterapkan dimulai dari awal
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
35
Universitas Indonesia
hingga akhir pertemuan. Setiap intervensi dilakukan dengan posisi duduk saling
berhadapan dan dilakukan di depan kamar residen. Kondisi lingkungan tenang,
namun kadang masih terdapat distraksi dari luar karena tempat pertemuan
merupakan tempat yang sering dilalui oleh residen lainnya.
Teknik lip reading dilakukan dengan mengajarkan residen untuk membedakan
bentuk kata dari huruf vokal, konsonan, dan beberapa kata seperti kata “beda”,
“apa”, “makan” dan kata-kata lain yang ada di dalam interaksi dengan residen.
Pada awalnya, residen terlihat bingung terutama pada pertemuan di minggu awal
dan kedua, tetapi akhirnya residen mau mengikuti pengucapan yang dilakukan
oleh penulis. Residen ketika membaca bibir dan mendengarkan penulis tampak
berfikir dan dengan mata menyipit dan terlihat fokus melihat kearah bibir lawan
bicaranya. Apabila penulis bicara terlalu cepat dan sulit dimengerti residen
meminta untuk mengulangi. Jika ada pertanyaan yang tidak mau dijawab oleh
residen maka residen akan tersenyum dan diam atau menggelengkan kepala.
Penulis juga melatih residen dengan menggunakan kata-kata dari isian teka-teki
yang dimiliki oleh residen untuk membantu residen lebih relaks dan paham kata-
kata yang dibacakan oleh penulis berdasarkan pertanyaan yang ada pada pada kuis
di teka-teki silang. Latihan ini diberikan secara bertahap dan ada di setiap
pertemuan dengan residen. Apabila residen tidak merasa lelah maka intervensi
lain, juga diterapkan.
Intervensi mengenai pemberian edukasi terkait tujuan khusus meningkatkan
kesejahteraan melalui promosi kesehatan dilakukan juga dengan meningkatkan
pengetahuan residen tentang gangguan pendengaran, jenis-jenis gangguan
pendengaran, dan penyebab serta faktor resiko gangguan pendengaran dilakukan
secara perlahan di mulai pada pertemuan pertama hingga pertemuan ke sepuluh
yaitu minggu ke pertama hingga minggu kelima. Residen dalam diagnosa ini
hanya berespon dengan mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. Ketika
ditanya, residen hanya tersenyum dan tidak mau mengulang apa yang dijelaskan.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
36
Universitas Indonesia
Intervensi pada pertemuan selanjutnya untuk diagnosa hambatan komunikasi
verbal dilakukan dengan melakukan identifikasi terkait jenis obat-obatan yang
digunakan oleh residen dan berdiskusi terkait cara-cara yang dapat dilakukan
untuk mengatasi gangguan pendengaran. Residen dalam hal ini terlihat seperti
menerima, namun residen tidak menjawab dan hanya tersenyum. Selain itu,
intervensi yang penting yaitu membantu residen mengidentifikasi jenis gangguan
pendengaran yang dialami dan dilakukan dengan melakukan tes dengar dengan
garpu tala. Kolaborasi pemberian alat bantu dengar juga merupakan salah satu
intervensi. Akan tetapi, karena terdapatnya keterbatasan alat, bahan, dan dana,
serta minat dari residen intervensi pemberian alat bantu dengar tidak dilakukan.
3.4.2 Resiko Jatuh
Mulai pada minggu pertama sudah mulai diterapkan intervensi terkait gangguan
jatuh. Terkait resiko jatuh, penulis memberikan intervensi berupa pemberian
motivasi penggunaan tongkat, dan menjelaskan penyebab perlu untuk
menggunakan tongkat dan kegunaan dari penggunaan tongkat. Selain itu, residen
juga di motivasi untuk melakukan modifikasi lingkungan kamar untuk menjaga
agar kamar tetap rapi dan bersih serta menghindari pemakaian karpet yang licin.
Intervensi juga dilakukan dengan memasang tanda dengan plester merah pada
undakan-undakan di lingkungan wisma cempaka sebagai upaya pencegahan jatuh.
Residen diminta untuk mewaspadai tanda-tanda tersebut, dan menjadi lebih
berhati-hati bila melihat tanda tersebut. Respon yang diberikan oleh residen hanya
mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. Residen belum mau
menggunakan tongkat dan mengatakan akan berhati-hati dengan selalu
berpegangan agar tidak jatuh.
Intervensi resiko jatuh juga bertujuan melakukan peningkatan kekuatan otot dan
keseimbangan pada residen. Dalam hal ini, intervensi yang dilakukan yaitu
memfasilitasi dan motivasi residen untuk mengikuti kegiatan senam yang ada di
Sasana. Residen selalu mengikuti kegiatan senam, karena itu, residen sering
menolak jika melakukan intervensi berupa tindakan Balance Exercise (BE) atau
Range Of Motion (ROM). Pemeriksaan Berg Balance Test (BBT) dilakukan pada
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
37
Universitas Indonesia
pertemuan ketiga dan keempat di minggu kedua. Intervensi dengan melakukan
diskusi dengan residen terkait penyebab-penyebab jatuh yang dialami oleh residen
dan cara-cara yang dilakukan oleh residen untuk mencegah kejadian jatuh juga
dilakukan. Kendala yang dialami dalam diagnosa ini yaitu residen yang
berpendirian teguh tidak ingin menggunakan tongkat sehingga tindakan yang
dilakukan hingga akhir pertemuan yaitu memotivasi residen untuk menggunakan
tongkat sebagai alat bantu berjalan. Dalam setiap intervensi yang diberikan
kepada residen selalu memberikan reinforcement positif atas apa yang telah
dilakukan oleh residen.
3.5 Evaluasi
Evaluasi dari tindakan yang telah diimplementasikan kepada residen didapatkan
dari interaksi-interaksi yang telah dilakukan selama tujuh minggu dengan
menggunakan metode analisis SOAP (Subjektif, Objektif, Analisis, Planning).
Pada minggu pertama dan kedua merupakan fase bina hubungan saling percaya
dan dilakukannya pengkajian serta pemeriksaan-pemeriksaan yang berkaitan
sebagai data untuk menegakkan diagnosa. Perlu pendekatan khusus pada residen
karena residen merupakan residen yang aktif namun sering tidak ingin diganggu
bila sedang beristirahat. Apabila mendekati residen dan membuatnya kaget.
residen kadang terlihat kesal dan lebih sering menghindar bila tidak ingin ditemui.
3.5.1 Hambatan Komunikasi Verbal
Hasil evaluasi subjektif residen merasa senang karena telah diajarkan cara
mendengarkan dengan membaca bibir. Residen merasa terbantu untuk memahami
perkataan orang lain meskipun tidak semua kata dapat dibaca oleh residen.
Residen telah menggunakan metode tersebut dan akan banyak berlatih. Residen
masih menemukan kesulitan dengan beberapa huruf konsonan seperti b dengan p,
s dengan x, h dengan k, serta g dengan d dan kesulitan bila lawan bicaranya tidak
memahami dirinya dan berkata dengan mendekatkan mulut ke telinga residen
bukan dengan berhadapan dengannya.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Kesulitan tersebut diatasi residen dengan mensiasati teknik komunikasi dengan
memundurkan tubuhnya dan memberi jarak antara dirinya dan lawan bicara.
Selain itu, residen juga mengatakan ia akan meminta lawan bicaranya untuk
mengulang pertanyaan atau perkataan yang membingungkan bagi residen.
Implementasi ini dilakukan dari awal hingga akhir pertemuan dan residen
merasakan terdapat perbedaan yang berarti, yaitu dirinya bisa lebih mudah tahu
apa yang dibicarakan orang lain, meskipun terkadang masih salah dengar.
Residen mengatakan senang bila dirinya dapat dimengerti bahwa ia memiliki
gangguan pendengaran sehingga ia merasa tidak hanya dirinya yang
menyesuaikan diri tetapi orang-orang disekitar juga mendukungnya.
Hasil observasi yang terlihat pada diagnosa hambatan komunikasi verbal yaitu
residen terlihat mempraktikkan cara berkomunikasi menggunakan teknik
membaca bibir. Residen terlihat serius memperhatikan gerak bibir lawan bicara,
dan lebih cepat merespon apa yang diucapkan oleh orang lain. Selama latihan
teknik lip reading residen kooperatif dan mau mempraktikkan dengan baik.
Residen juga sudah bisa membedakan bentuk huruf vocal. Huruf konsonan masih
perlu diulang-ulang dan mampu membedakan jika digabungkan dengan kata yang
familiar pada minggu-minggu akhir pertemuan tidak perlu mengulang untuk
membacakan beberapa soal teka teki silang, tetapi terkadang masih perlu
pengulangan di soal yang tidak familiar.
Residen juga tampak memperhatikan ekspresi dan membaca bibir orang setiap
berkomunikasi dengan orang lain setelah minggu kedua. Hal itu dilakukan
bertahap oleh residen hingga terakhir pertemuan tampak residen sudah melakukan
teknik komunikasi yang telah diajarkan. Pada pemberian edukasi tentang faktor
resiko yang menyebabkan gangguan pendengaran, residen tidak berespon dengan
menjawab pertanyaan, tetapi hanya memperhatikan, menganggukkan kepala, dan
tersenyum.
Hasil analisis mendapatkan bahwa residen mengalami hambatan komunikasi
verbal karena defisit pendengaran yang disebabkan oleh adanya gangguan
sensorineural. Residen mengalami gangguan pendengaran karena faktor resiko
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
39
Universitas Indonesia
hipertensi yang dialami. Residen telah mampu untuk mempraktikkan teknik
komunikasi dengan baik, terlihat dari residen selalu menatap wajah lawan bicara,
memfokuskan pada bibir lawan bicara, dan mampu lebih cepat memahami
perkataan orang lain dengan melihat bibir daripada dengan mengencangkan suara.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan kepada residen, teknik komunikasi
dengan membaca bibir dapat dipraktikkan oleh residen dan cukup efektif untuk
mengurangi hambatan komunikasi verbal yang dimiliki dan residen menjadi lebih
mudah dan cepat menangkap makna pembicaraan daripada ketika residen
memiringkan kepala dan mendekatkan telinga ke bibir pembicara. Untuk tujuan
khusus ketiga, yaitu peningkatan kesejahteraan melalui promosi kesehatan
terlaksana sebagian yaitu dengan tidak minum obat-obatan yang bersifat
ototoksik, namun residen tidak menjawab pertanyaan berkaitan dengan edukasi
mengenai faktor-faktor resiko yang mempengaruhi gangguan pendengaran.
Rencana tindak lanjut dari diagnosa hambatan komunikasi verbal yaitu dengan
terus melatih kemampuan komunikasi residen, melakukan komunikasi dengan
tepat kepada residen dengan intervensi yang ada. Selain itu, adanya kolaborasi
penggunaan alat bantu dengar jika memungkinkan. Rencana tindak lanjut lainnya
yaitu dengan memperhatikan keaktifan residen dalam mengikuti kegiatan, pantau
kemungkinan adanya perubahan perilaku yang tidak diinginkan mengarah pada
isolasi sosial.
3.5.2 Resiko jatuh
Hasil evaluasi dari resiko jatuh didapatkan data secara subjektif bahwa residen
merasa sudah sangat berhati-hati. Residen tidak mau menggunakan alat bantu
jalan, dirinya pernah mendapatkan tongkat akan tetapi tidak mau
menggunakannya. Residen lebih memilih berjalan dengan menggunakan bantuan
dan berpegangan dengan benda-benda disekitar. Setelah dijelaskan, residen tetap
bersikeras tidak mau menggunakan alat bantu berjalan. Untuk intervensi
modifikasi lingkungan residen merasa sudah nyaman dengan kondisi kamar saat
ini. Kondisi kamar residen cukup rapi dan rajin dibersihkan oleh petugas Cleaning
Service Sasana secara rutin. Tetapi, tetap terdapat karpet yang terpasang di kamar
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
40
Universitas Indonesia
dan beresiko membuat jatuh. Untuk meningkatkan kekuatan otot, residen setiap
pagi mengikuti senam yang ada di panti, oleh karena itu, merasa sudah cukup
dengan latihan fisik setiap hari. Residen merasa lelah apabila melakukan latihan
fisik hingga dua kali dalam sehari.
Evaluasi objektif pada resiko jatuh didapatkan data bahwa residen terlihat kurang
antusias dan kurang kooperatif. Residen sering menolak intervensi yang
berhubungan dengan penggunaan alat bantu jalan dan merasa tidak perlu
menggunakan alat bantu jalan. Residen mengiyakan jika diajak berdiskusi dan
mengatakan paham, akan tetapi tetap tidak mau menggunakan alat bantu jalan.
Residen tidak mau menyebutkan alasan sebenarnya dan hanya dijawab dengan
gerakan kepala tidak mau, dan tersenyum.
Residen melakukan latihan berupa senam setiap hari, didalam senam tersebut juga
terdapat latihan keseimbangan dan meningkatkan kekuatan otot, residen tidak mau
berlatih lagi karena merasa lelah dan sudah cukup dengan senam setiap pagi.
Akan tetapi, jika diajak untuk latihan rentang pergerakan sendi residen mau
melakukan bila didampingi tetapi terlihat tidak pernah melakukan secara mandiri.
Hingga pertemuan terakhir, residen tidak mau menggunakan alat bantu jalan dan
masih mengikuti kegiatan senam secara rutin. Residen masih perlu dimotivasi
dalam melakukan rentang pergerakan sendi secara mandiri.
Evaluasi diagnosa resiko jatuh menunjukkan bahwa resiko jatuh terjadi pada
residen setelah pertemuan terakhir dengan residen, namun tidak menimbulkan
bahaya fisik pada residen. Residen masih menjalankan aktivitas sehari-hari dan
tetap tidak mau menggunakan alat bantu jalan. Resiko jatuh masih tinggi terjadi
pada residen dan belum teratasi. Rencana tindak lanjut dari diagnosa resiko jatuh
yaitu dengan memperhatikan keadaan lingkungan sekitar residen. Hindari
lingkungan yang dapat menyebabkan jatuh, dan fasilitasi residen untuk dapat
mengikuti kegiatan dan sebagai upaya pencegahan jatuh, seperti mengawasi
residen dari kamar hingga tempat kegiatan. Kondisi fisik residen juga harus
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
41
Universitas Indonesia
diperhatikan, seperti adanya kondisi tubuh yang tidak sehat pada saat melakukan
kegiatan dan motivasi untuk menggunakan alat bantu jalan.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
42 Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI
4.1 Profil Lahan Praktik
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984
serta dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan yang
diprakarsai oleh Ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto. Sasana Tresna Werdha Karya
Bhakti merupakan institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan
khusus kepada lanjut usia (lansia) mengadopsi pada sistem pelayanan nursing
home yang di dalamnya menyediakan pelayanan bagi para lansia untuk memenuhi
kebutuhan dasar dan menjaga kualitas hidup (Miller, 2012). Pelayanan yang
diberikan terdiri dari pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, rekreasi, dan
pelayanan harian.
Pelayanan yang diberikan pada Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti mengadopsi
dari sistem pelayanan nursing home yang ada di komunitas dan merupakan
gabungan dari konsep home care, day care, social resident dan hospice care.
Pelayanan kesehatan berupa konsep home care yaitu dengan tersedianya
konsultasi ahli, asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap,
rujukan RS dan kegawatdaruratan serta konsep hospice care yang merawat
residen yang memerlukan perawatan paliatif dan memberi dukungan pada lansia
yang mengalami penyakit terminal dengan tujuan menyediakan kenyamanan
(Arenson et.al, 2009; Miller, 2012). Konsep pelayanan day care yang
menyediakan struktur sosial dan aktivitas rekreasi untuk lansia, dan menyediakan
makanan serta beberapa pelayanan seperti transportasi, manajemen obat,
membantu perawatan diri, dan pelayanan lain yang berhubungan dengan
pelayanan kesehatan dan terapi (Arenson et.al, 2009; Miller, 2012) tersedia di
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti berupa pembinaan mental spiritual sesuai
keyakinan, senam, dan kegiatan bincang-bincang dengan beberapa tokoh atau
instansi.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Social residence atau senior centers dalam health promotion program
menempatkan lansia berkumpul dalam waktu tertentu untuk memeriksakan
kesehatan dan melakukan aktivitas lain yang meningkatkan kesehatan (Miller,
2012). Pelayanan harian lanjut usia (PHLU) tersedia melalui pemeriksaan
kesehatan harian berupa pemeriksaan tanda-tanda vital; pelayanan individu dan
pelayanan kelompok sesuai kebutuhan lansia. Sasana Tresna Werdha Karya
Bhakti merupakan tempat perawatan long term care karena karakteristik
residennya pada umumnya lebih tua, diterima dari rumah, dan sering tetap tinggal
di fasilitas sampai residen meninggal atau dipindahkan ke suatu fasilitas
perawatan akut (Stanley & Beare, 2002).
Persyaratan bagi seseorang yang ingin menetap di Sasana Tresna Werdha Karya
Bhakti yaitu berusia di atas 60 tahun, sehat jasmani maupun rohani, mandiri, ingin
tinggal di STW atas keinginan sendiri, memiliki penanggung jawab keluarga, dan
yang terpenting adalah tidak ada paksaan. Persyaratan yang ada pada pelayanan
nursing home di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti berkesinambungan dengan
California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR) (2012) yang
memastikan kesehatan residen tidak mengalami kemunduran kecuali secara medis
tidak dapat dihindari, perawatan, pengobatan, dan terapi harus digunakan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan seoptimal mungkin, dan residen berhak
untuk memilih dan menolak pelayanan yang diberikan.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti dilengkapi oleh sarana dan prasarana yang
menunjang kenyamanan lansia, antara lain fasilitas hunian, klinik werdha, fasilitas
penunjang kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung layaknya fasilitas
standar pada home care (Arenson et.al, 2009; Miller, 2012). Fasilitas hunian
meliputi wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP, Wisma Bungur kapasitas 25
kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, dan Wisma Dahlia kapasitas 8
kamar. Fasilitas klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas 3
kamar VIP, bangsal rawat inap 15 tempat tidur, dan pelayanan 24 jam. Fasilitas
penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma
Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas lain pendukung bagi kehidupan lansia
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
44
Universitas Indonesia
antara lain dapur, ruang cuci, ruang serba guna, perpustakaan, pendopo, dan
ruang pemeriksaan kesehatan.
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti berlokasi di Cibubur, Jakarta yang
merupakan daerah perkotaan. Meningkatnya usia harapan hidup berdampak
kepada peningkatan jumlah populasi lanjut usia (lansia). Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization) mencatat bahwa jumlah lansia akan lebih
banyak berada di perkotaan. Tahun 2010, jumlah penduduk lansia yang tinggal di
perkotaan diperkirakan sebesar 9,58% dari total jumlah lansia (Hamid, 2007).
Fenomena meningkatnya lansia diperkotaan berdampak kepada usaha
meningkatkan kesejahteraan lansia dengan memberikan berbagai program
terobosan untuk meningkatkan akses lansia pada pelayanan yang bermutu.
Pelayanan yang diberikan oleh Sasana Tresna Werdha merupakan dasar bahwa
Sasana Tresna Werdha adalah sebuah panti werdha yang di dalamnya merupakan
bentuk pelayanan yang menempatkan penerima pelayanan ke dalam suatu
lembaga tertentu (Pratiwi, 2007). California Advocates For Nursing Home
Reform (CANHR) (2012) menyatakan nursing home harus memenuhi standar
pelayanan. Standar pelayanan yang dibuat disesuaikan dengan tujuan didirikannya
panti yaitu untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial yang ditimbulkan
dari meningkatnya jumlah lansia serta masalahnya pergeseran nilai sosial budaya
masyarakat yang cenderung mengakibatkan lansia kurang dihargai, dihormati,
serta tersisih dari lingkungan sosialnya, membantu para lanjut usia untuk
mempertahankan kepribadiannya, memberi jaminan kehidupan secara wajar, baik
jaminan fisik, kesehatan maupun sosial psikologis serta ikut menikmati hasil
pembangunan sehingga tidak merasa mendapat tekanan, hinaan serta merasa
mendapat perhatian dari seluruh masyarakat (Pratiwi, 2007).
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan merupakan panti yang
mengadopsi dari pelayanan nursing home yang menyediakan tempat tinggal dan
fasilitas pelayanan lansia jangka panjang. Standar pelayanan yang diberikan di
nursing home sesuai California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR)
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
45
Universitas Indonesia
(2012) yang sudah tersedia pada Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti diantaranya
yaitu telah menyediakan kebutuhan sesuai residen, adanya staf yang memadai,
memperhatikan kebutuhan cairan dan nutrisi, obat-obatan, pengendalian infeksi,
dan menghindari adanya luka dekubitus pada lansia dengan hambatan mobilisasi.
Standar lainnya yaitu mencegah kecelakaan atau kejadian jatuh, layanan khusus
berupa pemberian suntikan atau cairan IV, terapi, serta latihan range of motion.
Standar pelayanan tersebut terutama telah dilaksanakan di Wisma Wijaya
Kusuma.
4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Hambatan Komunikasi Verbal
Hambatan komunikasi verbal yaitu tertundanya, berkurangnya, atau tidak adanya
kemampuan untuk menerima, memproses, mentransmisikan, dan menggunakan
symbol untuk berkomunikasi atau dengan kata lain yaitu berkurangnya
kemampuan untuk menggunakan dan mengerti pembicaraan dalam interaksi
(Ebersole & Hess, 1999; Doenges, Moorhouse & Murr, 2008; NANDA, 2012).
Pada kasus Ibu SMB (89 tahun) residen Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
RIA Pembangunan menurut NANDA (2012) terjadi penurunan untuk menerima
informasi dalam komunikasi karena faktor yang berhubungan yaitu defek
anatomis berupa gangguan pendengaran dengan batasan karakteristik gagap,
kesulitan memahami dan mempertahankan pola komunikasi yang biasa seringkali
muncul pada residen.
Diagnosa NANDA 2009-2011 menyebutkan bahwa diagnosa yang tepat untuk
masalah residen mengacu pada Gangguan Sensori: Pendengaran, namun saat ini
pada NANDA 2012-2014 diagnosa tersebut dihapuskan, diagnosa yang
didalamnya terdapat hal yang berkaitan dengan masalah pendengaran yaitu
diagnosa hambatan komunikasi verbal dimana gangguan pendengaran sebagai
faktor yang berhubungan dengan terjadinya hambatan komunikasi verbal.
Diagnosa gangguan sensori, sebaiknya tetap ada sehingga tidak terjadi kerancuan
antara kedua diagnosa tersebut. Hambatan komunikasi verbal memiliki
karakteristik khusus seperti gangguan pada bicara, tetapi gangguan sensori tidak.
Selayaknya gangguan sensori tetap ada sehingga tidak muncul kerancuan dalam
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
46
Universitas Indonesia
penentuan diagnosa meskipun asuhan keperawatan pada hambatan komunikasi
verbal dan penatalaksanaan gangguan pendengaran secara umum tampak
berkesinambungan.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada hambatan komunikasi verbal fokus
pada tiga tujuan khusus, yaitu mengetahui faktor penyebab, membantu residen
dalam mempertahankan cara berkomunikasi untuk mengutarakan kebutuhan,
keinginan, ide, maupun bertanya, serta meningkatkan kesejahteraan dengan
promosi kesehatan (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008). Asuhan keperawatan
yang telah dilakukan pada residen telah berdasarkan pada tujuan khusus, akan
tetapi penatalaksanaan asuhan keperawatan disesuaikan dengan gejala-gejala yang
muncul dan perlu memfokuskan pada intervensi untuk memfasilitasi residen
bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal di dalam masyarakat dan
mengatasi faktor yang berhubungan seperti adanya gangguan pendengaran
(Stanley & Beare, 2002).
Fokus asuhan keperawatan pada pengkajian diagnosa hambatan komunikasi
verbal dilakukan dengan melakukan pengkajian terkait gangguan pendengaran.
Pengkajian gangguan pendengaran lansia dimulai dengan melakukan pengkajian
adanya riwayat dari kasus tersebut (Stanley & Beare, 2002). Pada kasus, residen
tidak ingat sejak kapan residen mengalami gangguan pendengaran, akan tetapi
terdapat salah satu faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya gangguan
pendengaran yaitu hipertensi (Miller, 2012). Seseorang dengan hipertensi
memiliki resiko lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran daripada yang
tidak memiliki hipertensi (Santoso & Muyossaroh, 2012). Faktor resiko yang
mempengaruhi terjadinya perubahan pada lansia memerlukan waktu untuk mulai
dirasakan oleh lansia sebagai hal yang mengganggu (Stanley & Beare, 2002). Hal
ini mengakibatkan residen dapat tidak mengetahui sejak kapan dirinya mulai
mengalami gangguan pendengaran dan data sekunder diperlukan untuk
mendapatkan riwayat gangguan pendengaran sehingga dapat diketahui faktor
penyebab dari hambatan komunikasi verbal.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
47
Universitas Indonesia
Hambatan komunikasi verbal mempengaruhi kehidupan lanjut usia dengan
memberikan dampak kepada terganggunya harga diri yang menghasilkan isolasi
sosial, mengasingkan diri, dan perasaan tidak berdaya (Ebersole & Hess, 1999).
Sejalan dengan konsekuensi dari gangguan pendengaran yaitu terganggunya
semua level dari hierarki kebutuhan dasar berupa kebutuhan biologi, keselamatan
dan keamanan, perasaan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri (Ebersole, Hess,
Touhy, Jett, 2005). Oleh karena itu, pengkajian lengkap terkait munculnya
dampak yang dikhawatirkan menjadi salah satu fokus utama dalam pengkajian.
Hal ini dilakukan dengan mengkaji status mental dan observasi perilaku residen
sehari-hari.
Hambatan komunikasi verbal didukung dengan beberapa batasan karakteristik
yang membutuhkan observasi berupa petunjuk lain seperti pada masalah
gangguan pendengaran yaitu dengan meminta orang lain mengulang pertanyaan,
menggerakkan kepala ke sebelah kanan atau kiri sebagai suatu usaha untuk
memahami lebih baik perkataan lawan bicara, atau memberi respons yang tidak
sesuai dan memperhatikan gejala lain yang berhubungan seperti adanya
perubahan dalam persepsi kata, dan respon yang tidak sesuai dengan percakapan
(Stanley & Beare, 2002). Hal tersebut terjadi pada residen dengan munculnya data
meminta orang lain mengulang pertanyaan, menggerakkan kepala ke sebelah
kanan atau kiri sebagai suatu usaha untuk memahami lebih baik perkataan lawan
bicara dan terkadang disertai respon yang tidak sesuai dengan percakapan, seperti
tidak menjawab pertanyaan dan hanya tersenyum.
Penatalaksanaan asuhan keperawatan disesuaikan dengan gejala-gejala yang
muncul dan perlu memfokuskan pada intervensi untuk memfasilitasi residen
untuk bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal di dalam masyarakat
(Stanley & Beare, 2002). Tindakan yang dapat dilakukan secara garis besar pada
hambatan komunikasi verbal sejalan dengan gangguan pendengaran, sehingga
penatalaksanaan melibatkan kolaborasi menggunakan alat bantu dengar, dan
membentuk komunikasi yang efektif bagi lansia (Miller, 2012). Rencana asuhan
keperawatan bertujuan untuk meningkatkan komunikasi yaitu dengan berbicara
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
48
Universitas Indonesia
dengan nada yang tidak berteriak, bicara menghadap ke arah residen, bicara
secara perlahan dan jelas, menggunakan sentuhan untuk menarik perhatian, dan
bicara menggunakan kalimat sederhana (Stanley & Beare, 2002).
Implementasi tindakan dari diagnosa hambatan komunikasi verbal telah dilakukan
penulis berdasarkan konsep yang ada. Penulis berfokus pada faktor yang
berhubungan dengan hambatan komunikasi verbal yaitu gangguan pendengaran.
Pendekatan pada residen dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari salah
pengertian pada residen dan disesuaikan dengan keinginan dan kondisi residen.
Hal ini dikarenakan gangguan pendengaran juga dapat membuat individu
mengalami perasaan sedih, kehilangan, marah dan kelelahan karena mencoba
terlalu keras untuk mengerti apa yang dikatakan oleh orang lain (Tyson, 2006).
4.3 Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait
Teknik komunikasi yang efektif dilakukan dengan melatih Ibu SMB untuk
berbicara dengan melihat lawan bicara dan membaca gerakan bibir dari pembicara
(lip reading). Teknik komunikasi dengan lip reading telah sering digunakan pada
seseorang yang memiliki masalah dengan pendengaran dan merupakan bagian
dari rehabilitasi bagi seseorang dengan gangguan fungsi pendengaran (Miller,
2012). Teknik lip reading memberi kuasa kepada seseorang dengan gangguan
pendengaran untuk membuat lebih percaya diri dan memenuhi kualitas hidup dan
dikenal sebagai telinga ke tiga (Hearing link, 2012). Teknik ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan seseorang dalam mendengar apa yang dibicarakan
orang lain melalui membaca bibir.
Residen sebelum dilatih menggunakan teknik lip reading telah diketahui tingkat
pendidikan dan dilakukan pemeriksaan kognitif dan status mental melalui Mini
Mental State Examination (MMSE) dan Geriatric Depression Scale (GDS) karena
untuk mencapai penguasaan yang baik dari teknik lip reading diperlukan tingkat
pendidikan yang memadai karena seseorang dapat membaca gerakan bibir dengan
mengetahui kata-kata yang sudah dimengerti sebagai suatu konsep dalam
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
49
Universitas Indonesia
perbincangan sehingga memungkinkan dalam meningkatkan penguasaan lip
reading (Ortiz, 2008).
Pelaksanaan teknik lip reading pada residen dilakukan dengan memperhatikan
hal-hal seperti tidak dapat dilakukan di dalam gelap, tidak semua orang dapat
dibaca gerakan bibirnya, dan beberapa bentuk pengucapan bibir memiliki bentuk
yang mirip (Hearing link, 2012). Oleh karena itu, latihan dilakukan dengan berada
di tempat terang di depan kamar residen, dan penulis melakukan dengan
pengucapan yang pelan dan jelas sehingga dapat membantu residen. Lip reading
membutuhkan mendengar suara meskipun sedikit, mengenali dan
menginterpretasikan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan gerak tubuh (Ortiz, 2008;
Ringham, 2011). Ortiz (2008) menemukan bahwa usia, jenis kelamin, jenis dan
tingkat dari gangguan pendengaran tidak mempengaruhi terjadinya kemampuan
untuk meningkatkan lip reading dan pada penguasaan teknik lip reading
sebaiknya digunakan semacam petunjuk dalam berlatih tentang suatu makna
tertentu.
Penulis memberikan petunjuk dengan menggunakan pertanyaan dari teka-teki
silang sebagai alat pendukung dari latihan lip reading sebagai instrumen untuk
mengatasi hambatan dan ambiguitas (Ortiz, 2008). Selain itu, perlu untuk
dilakukan teknik-teknik komunikasi secara umum, yaitu bicara dengan intonasi
yang jelas, kata-kata yang tidak terlalu panjang dan rumit, berbicara menghadap
ke arah pendengar, serta menjadi pendengar yang aktif. Kondisi lingkungan
diharapkan tenang dan tidak terdapat distraksi dari luar.
Teknik lip reading dilakukan dengan mengajarkan residen untuk membedakan
bentuk kata dari huruf vokal, konsonan, dan beberapa kata di dalam interaksi
untuk meningkatkan persepsi visual yang berpengaruh pada keakuratan dalam
membaca bibir (Franks, 1976). Residen ketika membaca bibir dan mendengarkan
penulis tampak berfikir dan dengan mata menyipit terlihat fokus melihat kearah
bibir lawan bicaranya. Residen masih menemukan kesulitan bila lawan bicaranya
mendekatkan mulut ke telinga residen bukan dengan berhadapan dengannya.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
50
Universitas Indonesia
Hasil yang muncul dari latihan kepada residen belum terlihat dengan adanya
perasaan memiliki kontrol dalam memfasilitasi dan meningkatkan komunikasi,
mampu untuk bertindak secara mandiri untuk memfasilitasi komunikasi, dan lebih
proaktif serta percaya diri dalam berkomunikasi (Ringham, 2011) tetapi
berdasarkan pengamatan yang telah dirasakan oleh residen, teknik komunikasi
dengan membaca bibir dapat dipraktikkan oleh residen dan cukup efektif untuk
mengurangi hambatan komunikasi verbal yang dimiliki dan residen menjadi lebih
mudah dan cepat menangkap makna pembicaraan daripada ketika residen
memiringkan kepala dan mendekatkan telinga ke bibir pembicara.
4.4 Alternatif Intervensi Lain yang Dapat Dilakukan
Intervensi pada residen dengan hambatan komunikasi verbal membutuhkan peran
dari pemberi pelayanan, sehingga staf yang ada sebaiknya dilatih untuk
penguasaan teknik komunikasi yang efektif bagi lansia dengan hambatan
komunikasi verbal sehingga pemberian pelayanan dapat berjalan maksimal.
Pemberian edukasi atau latihan penguasaan lipreading juga tidak hanya dapat
dilakukan secara per individu, tetapi juga dapat dilakukan berkelompok pada
kelompok lansia dengan hambatan komunikasi verbal.
Intervensi pada residen dengan hambatan komunikasi tidak hanya dapat dilakukan
dengan meningkatkan komunikasi menggunakan lip reading. Lip reading
membutuhkan seseorang untuk dapat mendengar pembicaraan meskipun sedikit
(Miller, 2012). Oleh karena itu, penggunaan alat bantu dengar pada lansia dengan
gangguan pendengaran merupakan alternatif intervensi yang dapat dilakukan.
Namun, penggunaan alat bantu dengar memerlukan pengawasan dan perawatan
dari perawat dan memerlukan biaya yang cukup besar (Stanley & Beare, 2002).
Penggunaan alat bantu dengar dapat memudahkan komunikasi, mengurangi
perasaan kesepian, dan isolasi sosial, serta mengembalikan perasaan kontrol pada
residen (Stanley & Beare, 2002). Alat bantu dengar merupakan alat dengan energi
baterai yang terdiri dari amplifier, microphone, dan penerima. Alat bantu dengar
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
51
Universitas Indonesia
dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi penggunaan, dan besar bentuk
alat bantu dengar ketika digunakan oleh tubuh (Miller, 2012). Lanjut usia dengan
gangguan pendengaran membutuhkan informasi yang berkaitan dengan cara
penggunaan dan perawatan alat bantu dengar, ataupun mengenai jenis-jenis alat
bantu dengar yang dapat digunakan. Hal yang penting dilakukan adalah
menjelaskan berbagai pilihan dengan jelas dan berpedoman pada kebutuhan
residen yang spesifik sehingga residen dapat membuat suatu keputusan.
Keputusan tersebut dibuat berdasarkan informasi yang telah diberitahukan dan
mempertimbangkan biaya alat bantu dengar sehingga perlu dilakukan penyesuaian
terhadap instrument yang dipilih dan mempelajari bagaimana menggunakannya
sebelum pembelian (Stanley & Beare, 2002).
Intervensi lain terkait masalah hambatan komunikasi verbal yaitu dengan
memberikan sarana seperti adanya bel yang dapat digunakan oleh residen. Bel
tersebut digunakan untuk membuat residen tidak salah mempersepsikan bahwa
terdapat tamu diluar kamar. Residen termasuk seseorang yang sering melakukan
kegiatan berulang dengan membuka pintu dan melihat keadaan di luar. Jika
penggunaan bel lampu ini dapat digunakan maka residen dapat dipermudah
dengan melihat lampu yang menyala di dalam kamar dan tidak melakukan
aktivitas berulang yang tidak perlu serta dapat meminimalkan terjadinya
kesalahan persepsi ataupun resiko jatuh pada residen.
Hambatan komunikasi verbal yang disertai gangguan bicara dapat diintervensi
dengan menggunakan terapi wicara agar seseorang dapat memperoleh kembali
cara bicara yang biasanya (Siguroardottir dan Sighvatsson, 2006). Berthier (2005)
menyebutkan terapi wicara yang dapat dilakukan yaitu senam lidah, latihan
pengucapan penggabungan huruf vokal dan konsonan, latihan pengucapan kata-
kata melalui metode word finders dan everyday objects. Latihan pengucapan
kalimat sederhana melalui metode objects and action dan everyday activities juga
dapat dilakukan. Selain itu, juga terdapat latihan pengucapan kalimat yang lebih
kompleks dengan metode sentence builders dan phrase builder.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
52 Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan institusi yang bergerak di bidang
pelayanan kesejahteraan khusus kepada lanjut usia (lansia) mengadopsi pada
sistem pelayanan nursing home yang di dalamnya menyediakan pelayanan bagi
para lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menjaga kualitas hidup (Miller,
2012). Pelayanan yang diberikan pada Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti
mengadopsi dari sistem pelayanan nursing home yang ada di komunitas dan
merupakan gabungan dari konsep home care, day care, social resident dan
hospice care. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan tempat perawatan
long term care yang di dalamnya terdapat standar pelayanan yang diberikan di
nursing home sesuai California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR)
(2012). Standar pelayanan yang diberikan di nursing home diantaranya
menyediakan kebutuhan sesuai residen, seperti pemberi pelayanan harus
menyesuaikan dengan kebutuhan residen salah satunya apabila residen mengalami
hambatan komunikasi verbal.
Ibu SMB (89 tahun) memiliki keluhan dengan pendengaran dan memiliki
hambatan dalam berkomunikasi. Residen terlihat sulit mendengar dan memahami
apa yang dibicarakan orang lain. Selain itu, residen juga sering meminta lawan
bicara mengulang pembicaraan dan memiringkan kepala untuk mendengar
pembicaraan. Sebelumnya residen mengatakan telah mendapatkan penanganan
dengan pemberian alat bantu dengar, akan tetapi ternyata masih kurang efektif
bagi residen karena keterbatasan alat bantu dengar yang sering rusak dan
harganya mahal sehingga residen tidak menggunakan alat bantu dengar lagi.
Berdasarkan NANDA (2012) pada residen terjadi penurunan untuk menerima
informasi dalam komunikasi karena faktor yang berhubungan yaitu defek
anatomis berupa gangguan pendengaran dengan batasan karakteristik gagap,
kesulitan memahami dan mempertahankan pola komunikasi yang biasa seringkali
muncul pada residen.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
53
Universitas Indonesia
Asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada residen telah berdasarkan pada
tujuan khusus, akan tetapi penatalaksanaan asuhan keperawatan disesuaikan
dengan gejala-gejala yang muncul dan perlu memfokuskan pada intervensi untuk
memfasilitasi residen bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal di
dalam masyarakat dan mengatasi faktor yang berhubungan seperti adanya
gangguan pendengaran (Stanley & Beare, 2002). Asuhan keperawatan yang
diberikan pada hambatan komunikasi verbal fokus pada tiga tujuan khusus, yaitu
mengetahui faktor penyebab, membantu residen dalam mempertahankan cara
berkomunikasi untuk mengutarakan kebutuhan, keinginan, ide, maupun bertanya,
serta meningkatkan kesejahteraan dengan promosi kesehatan (Doenges,
Moorhouse & Murr, 2008).
Intervensi yang diberikan yaitu melatih residen berkomunikasi dengan
menggunakan teknik lip reading. Teknik lip reading dilakukan dengan
mengajarkan residen untuk membedakan bentuk kata dari huruf vokal, konsonan,
dan beberapa kata di dalam interaksi untuk meningkatkan persepsi visual yang
berpengaruh pada keakuratan dalam membaca bibir (Franks, 1976). Penulis
memberikan petunjuk dengan menggunakan pertanyaan dari teka-teki silang
sebagai alat pendukung dari latihan lip reading sebagai instrumen untuk
mengatasi hambatan dan ambiguitas (Ortiz, 2008). Selain itu, dilakukan teknik-
teknik komunikasi secara umum, yaitu bicara dengan intonasi yang jelas, kata-
kata yang tidak terlalu panjang dan rumit, berbicara menghadap ke arah
pendengar, serta menjadi pendengar yang aktif. Kondisi lingkungan diharapkan
tenang dan tidak terdapat distraksi dari luar.
Hasil yang muncul dari latihan kepada residen belum terlihat dengan adanya
perasaan memiliki kontrol dalam memfasilitasi dan meningkatkan komunikasi,
mampu untuk bertindak secara mandiri untuk memfasilitasi komunikasi, dan lebih
proaktif serta percaya diri dalam berkomunikasi (Ringham, 2011) tetapi
berdasarkan pengamatan yang telah dirasakan oleh residen, teknik komunikasi
dengan membaca bibir dapat dipraktikkan oleh residen dan cukup efektif untuk
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
54
Universitas Indonesia
mengurangi hambatan komunikasi verbal yang dimiliki dan residen menjadi lebih
mudah dan cepat menangkap makna pembicaraan daripada ketika residen
memiringkan kepala dan mendekatkan telinga ke bibir pembicara.
5.2 Saran
Komunikasi efektif merupakan bagian terpenting dari intervensi keperawatan,
namun seringkali pelaksanaannya diabaikan. Untuk menjalankan teknik
komunikasi yang efektif, mahasiswa atau perawat perlu memahami tentang teknik
komunikasi efektif dalam pemberian intervensi terutama kepada lanjut usia yang
secara fisiologis memiliki penurunan, seperti adanya gangguan pendengaran.
Mahasiswa atau perawat hendaknya memahami kondisi yang dialami oleh lanjut
usia, menghormati dan menghargai keputusan dan keinginan lansia sehingga
komunikasi dapat berjalan dengan baik, terdapat peningkatan hubungan terapeutik
dengan lansia, serta tercapainya tujuan yang diinginkan.
Interaksi terhadap lansia dengan hambatan komunikasi verbal membutuhkan
ketelatenan, kesabaran, dan ketelitian untuk mengetahui sifat-sifat khas dari lanjut
usia oleh mahasiswa atau perawat demi meningkatkan interaksi. Mahasiswa atau
perawat dalam melakukan interaksi juga harus memperhatikan kondisi individu
serta kondisi lingkungan yang ada. Lanjut usia memiliki kepribadian yang unik,
sehingga tidak dapat dinilai berdasarkan apa yang terlihat dari luar. Mahasiswa
atau perawat dalam meningkatkan komunikasi efektif harus rutin melakukan
observasi perilaku yang ditunjukkan oleh lansia dan mengetahui situasi serta
waktu yang tepat bagi lansia untuk dapat berinteraksi.
Komunikasi efektif dalam pemberian asuhan keperawatan merupakan sarana
untuk menyampaikan informasi kepada lansia sehingga lansia dapat mengambil
keputusan yang tepat dalam intervensi selanjutnya. Komunikasi efektif yang
dilakukan hendaknya bersifat dua arah dan pesan yang disampaikan dapat
diterima oleh pemberi informasi maupun penerima informasi. Penerima informasi
dalam hal ini lansia, seringkali dapat menerima pesan yang salah karena
munculnya ketidakcocokan pada penyampaian secara verbal dan non-verbal.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
55
Universitas Indonesia
Meskipun begitu, mahasiswa atau perawat hendaknya dapat memberikan
pengertian, mengarahkan, serta menyadarkan lansia tanpa membuat lansia merasa
tersinggung atau memberikan dampak yang tidak diinginkan seperti kerusakan
interaksi.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
56 Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Arenson et.al. (2009). Reichel’s care of elderly: Clinical aspect of aging.
Cambridge University Press: Cambridge
Berthier, M. L. (2005). Post stroke aphasia: epidemiology, pathophysiology, and
treatment. Drugs and Aging, 22 (2): 163– 82
California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR). (2012). Nursing
home standarts. http://www.canhr.org/index.html
Doenges, Moorhouse & Murr. (2008). Nursing diagnosis manual: planning,
individualizing, and documenting client care. F.A Davis Company:
Philadelphia.
Ebersole, Hess, Touhy, & Jett. (2005). Gerontological nursing & healthy aging;
second edition. Elseiver Mosby: St. Louis.
Ebersole & Hess. (1999). Gerontological Nursing. Elseiver Mosby: St. Louis
Franks, Richard J. (1976). The relationship of non linguistic visual perception to
lipreading skill. Journal the ARA Vol 11. No 1.
Hearinglink. (2012). Lip reading. http://www.hearinglink.org/lipreading
McCall, Nelda. (2000). Long term care:definition, demand, cost, and financing.
Miller, Carol A. 2012. Nursing for wellness in older adult Ed 6th
.Lippincott:
Williams & Wilkins
NANDA (2012-2014). Panduan Diagnosa keperawatan NANDA 2012-2014
Definisi dan Klasifikasi. Philadhelpia.
Ortiz, Rodriguez R. (2008). Lipreading in the prelingually deaf: what makes a
skilled speechreader? . The Spanish journal of psychology. Vol 11. No , 488-
502
Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Fundamentals nursing: concepts, process, and
practice. 6th Ed. St. Louis: Mosby Year Book.
Pratiwi, H. E. (2007). Faktor-faktor penyebab lanjut usia tinggal di panti werdha
atas keinginan sendiri. Fakultas Psikologi Universitas Soegijapranata:
Semarang
Ringham, Laura. 2011. Why it’s time to recognise the value of lipreading and
managing hearing loss support. www.actiononhearingloss.org.uk
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
57
Universitas Indonesia
Siguröardóttir, G. Z., & Sighvatsson, B. M. (2006). Operant conditioning and
errorless learning procedures in the treatment of chronic aphasia. International
Journal of Psychology, 41 (6), 527–540 Teasell, R., Doherty D.,
Sherwood, Lauralee. (2011). Human physiology: From cells to systems (Terj.
Brahm U. Pendit). Jakarta : EGC
Stanley, Mickey & Beare, Patricia G. (2002). Buku Ajar keperawatan Gerontik
(Penerjemah: Nety Juniarsih dan Sari Kurnianingsih). Jakarta: EGC
Soesilorini, Melinda. (2011). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
presbikusis di RSUP Kariadi Semarang. Fakultas kedokteran Universitas
Diponegoro: Semarang.
Soetjipto, Damayanti. (2001). Presbikusis. 7 Januari 2007.
http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=16
Touhy & Jett. (2010). Gerontological nursing & healthy aging. Elseiver Mosby:
St. Louis.
Tyson, Shirley R. (2006). Gerontological nursing care. Lippincott: Williams &
Wilkins
Yueh, B., Shapiro, N., MacLean, C.H., & Shekelle, P. (2003). Screening and
management of adult hearing loss in primary care: Scientific review. JAMA:
Vol 289. No.15
Better Hearing Institute (2011). Untreated hearing loss linked to depression,
social isolation in seniors.
http://www.audiology.org/resources/documentlibrary/Pages/UntreatedHearing
Loss.aspx Audiology Today, Vol. 11:4
Hamid, Almisar. (2007). Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah
kesejahteraannya. Departemen kementerian sosial Republik Indonesia.
http://www.kemsos.go.id/
Santoso, S., & Muyossaroh. (2012). Kurang pendengaran sensori neural pada
lansia dengan dan tanpa hipertensi. Medica Hospitalia, vol 1 no 1.
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013
Universitas Indonesia
BIODATA PENULIS
1. Nama Lengkap : Nindyah Panthoko Ratri
2. Agama : Islam
3. Tempat/ Tgl Lahir : Jakarta, 05 Mei 1990
4. Suku : Jawa
5. Alamat : Jalan Juragan Sinda 1, Kukusan Depok 16425
6. No Hp : 08568648903
7. Email : [email protected]
8. Riwayat Pendidikan :
a. SDN 05 Petang Jakarta (1995-2001)
b. SMPN 211 Jakarta (2001-2004)
c. SMAN 109 Jakarta (2004-2007)
d. Fakultas Ilmu Keperawatan (2008-2012)
e. Fakultas Ilmu Keperawatan (2012-2013)
Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013