UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah...

68
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU SMB (89 TAHUN) DENGAN MASALAH HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA KARYA BAKTI CIBUBUR KARYA ILMIAH AKHIR NERS NINDYAH PANTHOKO RATRI 0806457174 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN DEPOK JULI 2013 Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Transcript of UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah...

Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK

KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT

PERKOTAAN PADA IBU SMB (89 TAHUN)

DENGAN MASALAH HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL

DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA

KARYA BAKTI CIBUBUR

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

NINDYAH PANTHOKO RATRI

0806457174

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN

DEPOK

JULI 2013

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

uiperpustakaan
Sticky Note
Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

ii

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK

KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT

PERKOTAAN PADA IBU SMB (89 TAHUN)

DENGAN MASALAH HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL

DI WISMA CEMPAKA SASANA TRESNA WERDHA

KARYA BAKTI CIBUBUR

KARYA ILMIAH AKHIR NERS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

NINDYAH PANTHOKO RATRI

0806457174

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN

DEPOK

JULI 2013

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya ilmiah akhir ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan

dengan benar

Nama : Nindyah Panthoko Ratri

NPM : 0806457174

Tanda Tangan :

Tanggal : 9 Juli 2013

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Karya Ilmiah AkhirNers ini diajukan oleh :

Nama : Nindyah Panthoko Ratri

NPM : 0806457174

Program Studi : Profesi Keperawatan

Judul Karya Ilmiah Akhir Ners : Analisis Praktik Klinik Keperawatan

Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu

SMB (89 tahun) dengan Masalah Hambatan

Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

Cibubur

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners

Keperawatan pada Program Profesi Keperawatan, Fakultas Ilmu

Keperawatan, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ns. Dwi Nurviyandari K.W., S.Kep., MN. ( )

Penguji : Ns. Ibnu Abas, S.Kep. ( )

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 9 Juli 2013

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

v

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi rahmat

serta hidayahNya untuk menyelesaikan pembuatan karya ilmiah akhir ini yang

berjudul “Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan

pada Ibu SMB (89 tahun) dengan Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di

Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur”. Karya ilmiah ini

dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners Keperawatan.

Karya ilmiah ini tidaklah dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak.

Untuk itu, peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

semua pihak yang telah membantu:

1. Dewi Irawaty MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia.

2. Kuntarti S.Kp., M. Biomed selaku Ketua Program Studi Fakultas Ilmu

Keperawatan Universitas Indonesia.

3. Riri Maria S.Kp., MANP selaku dosen koordinator mata kuliah Karya

Ilmiah Akhir Ners.

4. Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati S.Kep., MN selaku dosen

pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, nasihat, dan

terima kasih atas waktunya di sela-sela kegiatan yang padat.

5. Ns Ibnu Abas S.Kep yang telah memberikan waktunya sebagai

pembimbing di lahan praktik dan memberikan informasi terkait masalah

lanjut usia dan pemeriksaan terkait.

6. Bapak dan Mama tercinta, motivator utama dalam hidupku, terima kasih

atas doa, nasihat, dan dukungannya.

7. Kakak-kakakku tersayang yang selama ini telah memberikan motivasi dan

dukungan untuk menyelesaikan karya ilmiah akhir ini.

8. Teman-teman kelompok Cempaka di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

Cibubur yang telah saling memberikan masukan, ide, keceriaan, dan

dukungan selama menjalani peminatan Keperawatan Gerontik

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

vi

9. Teman-teman seperjuangan profesi angkatan 2012 yang telah saling

memberikan motivasi dan dukungan selama menjalani praktik profesi dari

awal hingga akhir.

10. Pihak-pihak lain yang tidak mungkin penulis sebutkan satu per satu.

Karya ilmiah akhir ini tentunya tidak terlepas dari kekurangan karena

keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan

masukan dan saran untuk menyempurnakan karya ilmiah ini.Semoga karya

ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu.

Depok, Juli 2013

Penulis

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Nindyah Panthoko Ratri

NPM : 0806457174

Program Studi : Profesi Keperawatan

Fakultas : Ilmu Keperawatan

Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-Exclusive Royalty

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul “Analisis Praktik Klinik

Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan pada Ibu SMB (89 tahun) dengan

Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna

Werdha Karya Bhakti Cibubur.”

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti

Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 9 juli 2013

Yang menyatakan

(Nindyah Panthoko Ratri)

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

viii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Nindyah Panthoko Ratri

Program Studi : Profesi Keperawatan

Judul :Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan

Masyarakat Perkotaan pada Ibu SMB (89 tahun) dengan

Masalah Hambatan Komunikasi Verbal di Wisma Cempaka

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur

Jumlah lanjut usia yang meningkat membuat tuntutan untuk tersedianya rumah

perawatan lanjut usia di perkotaan semakin besar. Rumah perawatan lanjut usia

yang tersedia salah satunya yang berada di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

Cibubur yang mengambil konsep dari rumah perawatan yang didalamnya terdapat

standar pelayanan diantaranya dapat memenuhi kebutuhan lanjut usia yang

mengalami hambatan komunikasi verbal. Karya ilmiah ini bertujuan

menggambarkan asuhan keperawatan secara komprehensif untuk dapat

berkomunikasi dengan lanjut usia yang mengalami hambatan komunikasi verbal

dengan lip reading. Teknik lip reading dapat dilatih dan dikembangkan serta

efektif untuk meningkatkan komunikasi lanjut usia yang mengalami hambatan

komunikasi verbal, sehingga diharapkan pemberi pelayanan keperawatan dapat

melatih dan menggunakan teknik lip reading ini kepada lanjut usia yang

mengalami hambatan komunikasi verbal.

Kata Kunci: lanjut usia, hambatan komunikasi verbal, lip reading

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

ix Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Nindyah Panthoko Ratri

Study Program : Nursing profession

Title : Analysis of Clinical Nursing Practice of Urban Public

Health at Mrs. SMB (89 years old) with Impaired Verbal

Communication Problem in Wisma Cempaka Sasana Trena

Werdha Karya Bhakti Cibubur

Increasing number of elderly people who make demands for aged care homes

available in the larger urban areas. The one of elderly care homes are available

is Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti Cibubur which is taking the concept of

home care service, and there is a standard which can meet the needs of the elderly

who experience impaired to verbal communication. This paper aims to describe

a comprehensive nursing care to be able to communicate with the elderly who are

experiencing barriers to verbal communication with lip reading. Lip reading

techniques can be trained and developed to enhance effective communication

and the elderly who experience barriers to verbal communication. This

techniques is expected to nursing care providers using lip reading for the

elderly who experience impaired to verbal communication.

Keywords: elderly, impaired verbal communication, lip reading

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

x Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS iii

HALAMAN PENGESAHAN iv

KATA PENGANTAR v

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI vii

ABSTRAK viii

DAFTAR ISI x

1. PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Rumusan Masalah 5

1.3 Tujuan Penulisan 6

1.4 Manfaat Penulisan 6

2. TINJAUAN PUSTAKA 8

2.1 Teori Kebutuhan Dasar Manusia 8

2.2 Perubahan Fungsi Pendengaran pada Lanjut Usia 9

2.3 Faktor Resiko Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia 12

2.4 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia 14

2.5 Pelayanan Kesehatan pada Lanjut Usia 18

3. LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23

3.1 Pengkajian 23

3.2 Analisis Data 29

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan 31

3.4 Implementasi 33

3.5 Evaluasi 37

4. ANALISIS SITUASI 42

4.1 Profil Lahan Praktik 42

4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Hambatan Komunikasi Verbal 45

4.3 Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait 48

4.4 Alternatif Intervensi Lain yang dapat dilakukan 50

5. PENUTUP 52

5.1 Kesimpulan 52

5.2 Saran 54

DAFTAR REFERENSI 56

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses penuaan dapat berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial,

ekonomi, dan terutama kesehatan, karena dengan semakin bertambahnya usia,

fungsi organ tubuh akan semakin menurun baik karena faktor alamiah maupun

karena penyakit. Fungsi organ tubuh pada lanjut usia (lansia) yang mengalami

penurunan diantaranya adalah penurunan fungsi sensoris. Penurunan fungsi

sensoris yang umum terjadi pada lansia salah satunya yaitu terkait pendengaran

(Stanley & Beare, 2002). Data survey penglihatan dan pendengaran tahun 1994-

1996 di 7 provinsi yang melibatkan 19.375 responden, didapat prevalensi

penurunan pendengaran sebesar 2,6%. Survei ini diambil dari pasien THT di

Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi

Selatan dan Sulawesi Utara. Secara global, prevalensi dari penurunan

pendengaran bervariasi, diperkirakan terjadi pada 30-45% orang dengan usia di

atas 65 tahun (Soetjipto, 2007). Penurunan pendengaran dapat berdampak pada

kehidupan lansia, diantaranya terbatasnya aktivitas dan komunikasi (Stanley &

Beare, 2002).

Penurunan sensoris berupa gangguan pendengaran dapat berdampak pada

kehidupan lansia dari berbagai aspek, diantaranya dalam hal berhubungan dengan

orang lain, menghindari bahaya, ataupun dalam mendengarkan musik dan suara

(Miller, 2012). Gangguan pendengaran merupakan gangguan sensori yang paling

mendekati terhadap masalah kesehatan mental lansia yaitu berupa ansietas,

depresi, ataupun paranoia (Tyson, 2006). Gangguan pendengaran berhubungan

erat dengan depresi contohnya dalam studi dengan 253 responden diatas usia 70

tahun terdapat hubungan antara gangguan pendengaran dengan depresi (Yueh,

Shapiro, MacLean, Shekelle, 2003). Better Hearing Institute (2011) mendapatkan

survei bahwa 60% dari mereka dengan gangguan pendengaran telah ditampilkan

gejala yang berhubungan dengan depresi. Hampir 20% menunjukkan setidaknya

tigagejala utama depresi. Secara khusus, 52% telah ditampilkan lekas marah

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

2

Universitas Indonesia

meningkat dan frustrasi, 22% mengalami kesulitan tidur atau mengalami

kegelisahan, dan 18% menunjukkan kehilangan minat atau kesenangan dalam

sebagian besar kegiatan.

Gangguan pendengaran diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu tuli konduktif

dan tuli sensorineural (Sherwood, 2011). Kehilangan pendengaran pada lansia

umumnya disebut dengan presbikusis yaitu tuli sensorineural pada lanjut usia

akibat proses penuaan (Sosiloerini, 2011). Miller (2012) menyebutkan faktor

resiko dari gangguan pendengaran diantaranya usia 65 tahun atau lebih, lansia

yang tinggal di perawatan, gangguan kognitif atau penglihatan, suara bising,

penggunaan obat, dan jenis kelamin laki-laki. Penyebab dari presbikusis tidak

diketahui, tetapi berbagai faktor yang telah diteliti ditemukan adanya hubungan

antara presbikusis dengan hipertensi, stress, faktor genetika, dan suara bising

(Stanley & Beare, 2002). Suara bising yang umum terjadi di perkotaan merupakan

salah satu penyebab dari masalah pendengaran (Soetjipto, 2007).

Kawasan perkotaan merupakan tempat dengan tingkat kebisingan yang tinggi

karena merupakan pusat dari kawasan industri dan padat penduduk. Pajanan

bising yang lebih dari 80 desibel (dB) dapat merusak fungsi pendengaran (Miller,

2012). Penelitian yang dilakukan oleh Hendarmin dan Hadjar (1971) dalam

Soetjipto (2007) mendapatkan hasil bising jalan raya di Jakarta terutama di jalan

MH. Thamrin sebesar 95dB, terlebih lagi pada jam sibuk, padahal dari tahun ke

tahun jumlah penduduk perkotaan meningkat seiring dengan arus urbanisasi,

termasuk diantaranya lansia. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health

Organization) mencatat bahwa jumlah lansia akan lebih banyak berada di

perkotaan. Tahun 2010, jumlah penduduk lansia yang tinggal di perkotaan

diperkirakan sebesar 9,58% dari total jumlah lansia (Hamid, 2007).

Fenomena meningkatnya lansia diperkotaan berdampak kepada peningkatan

pelayanan lansia yang ada di perkotaan dengan dibentuknya Sasana Tresna

Werdha Karya Bhakti yang bertempat di Cibubur. Sasana tresna werdha (STW)

merupakan suatu proyek yang didirikan untuk menampung dan menyantuni para

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

3

Universitas Indonesia

lanjut usia. Sasana tresna werdha terdapat di perkotaan yang umumnya memiliki

kebutuhan yang tinggi akan tempat yang dapat memberikan kemudahan

pelayanan kesehatan, keamanan dan kenyamanan demi meningkatkan

kesejahteraan lansia.

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti menyediakan pelayanan kesehatan bagi

penghuninya. Terdapat tempat tersendiri bagi lansia yang sakit, dan terdapat

tenaga kesehatan yang bertugas memeriksa kesehatan lansia. Selain itu, penghuni

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti juga diberikan fasilitas untuk memeriksakan

diri ke rumah sakit sehingga dapat memeriksakan kesehatan secara lengkap bagi

lansia yang memiliki keluhan. Lansia yang berada Sasana Tresna Werdha Karya

Bhakti merupakan lansia berasal dari berbagai tempat, serta memiliki masalah

yang beragam. Salah satunya yaitu terjadinya penurunan pendengaran yang

merupakan salah satu perubahan yang umum terjadi karena penuaan.

Kasus gangguan pendengaran yang terjadi pada lansia STW Karya Bhakti dapat

ditemukan di wisma Cempaka, terdapat 4 dari 19 lansia (21%) yang mengalami

gangguan pendengaran. 1 lansia (5,2%) masih dapat mendengar suara yang keras,

namun sudah tidak mendengar jika lawan bicara berbicara dengan suara yang

pelan dan intonasi yang cepat dan mengeluhkan adanya tinnitus. Sedangkan 3

lansia (15,7%) sering meminta lawan bicara untuk mengulang kata-kata meskipun

diajak berbicara dengan suara yang keras dan jarak yang dekat, salah satunya

yaitu Ibu SMB.

Ibu SMB (89 tahun) memiliki gangguan pendengaran sejak lama, meskipun

residen aktif mengikuti berbagai kegiatan yang ada di panti, tetapi residen lebih

banyak diam dan terlihat jarang berkomunikasi saat mengikuti kegiatan. Residen

meskipun tidak mengungkapkan, tetapi terlihat sulit mendengar percakapan dan

sering kesulitan memahami apa yang dibicarakan orang lain. Gangguan

pendengaran yang dialami oleh residen telah mendapatkan penanganan dengan

pemberian alat bantu dengar, akan tetapi ternyata masih kurang efektif bagi

residen karena keterbatasan alat bantu dengar yang sering rusak sehingga residen

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

4

Universitas Indonesia

tidak menggunakan alat bantu dengar lagi. Lansia di Sasana Tresna Werdha Karya

Bhakti yang mengalami gangguan pendengaran terlihat tidak ada yang

menggunakan alat bantu dengar, dan belum ada penanganan khusus terkait

masalah gangguan pendengaran yang terjadi di Sasana. Gangguan pendengaran

pada lansia, meskipun merupakan hal yang normal terjadi pada lansia karena

penuaan, tetap memerlukan penanganan karena gangguan pendengaran

mempengaruhi kualitas hidup dari lansia (Stanley & Beare, 2002).

Penanganan gangguan pendengaran diawali dengan melakukan pengkajian secara

lengkap kepada lansia terkait adanya kesulitan dalam aktivitas, faktor resiko yang

menimbulkan gangguan pendengaran, obat-obatan yang dikonsumsi, penyakit

yang dialami, dan adanya gangguan komunikasi (Miller, 2012). Intervensi

keperawatan yang dilakukan kepada lansia dengan gangguan pendengaran

dipengaruhi oleh penyebab yang melatarbelakangi. Intervensi yang dapat

dilakukan yaitu mengajarkan kepada lansia untuk menghindari faktor resiko,

menggunakan alat bantu dengar, dan meningkatkan komunikasi efektif (Miller,

2012; Stanley & Beare, 2002).

Dampak dari gangguan pendengaran yaitu mempengaruhi kemampuan seseorang

untuk saling berhubungan dengan orang lain, untuk membentuk hubungan yang

baru, dan menginterpretasikan masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan

sehari-hari. Intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada seseorang dengan

gangguan pendengaran yaitu dengan meningkatkan komunikasi efektif (Miller,

2012; Stanley & Beare 2002). Komunikasi yang efektif meliputi berbicara dengan

intonasi yang tepat, diutamakan berbicara saling berhadapan, menggunakan

kalimat sederhana, dan perlahan. Teknik komunikasi yang digunakan

mengarahkan lansia pada teknik membaca bibir (lip reading). Lip reading

merupakan salah satu program rehabilitasi pada seseorang dengan gangguan

pendengaran (Miller, 2012). Lip reading digunakan oleh orang-orang dengan

gangguan pendengaran yang masih memiliki penglihatan yang cukup baik karena

lip reading mengharuskan seseorang untuk melihat ekspresi wajah dan gerakan

bibir.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

5

Universitas Indonesia

Teknik lip reading ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan Ibu SMB

dalam berkomunikasi dan memahami isi dari percakapan yang dilakukan. Perawat

sebagai pemberi asuhan pada lansia berperan dalam memberikan edukasi dan

promosi kesehatan yang mengarahkan lansia kepada perbaikan kualitas hidup.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk menerapkan teknik lip reading pada Ibu

SMB dengan hambatan komunikasi verbal di Sasana Tresna Werdha Karya

Bhakti.

1.2 Rumusan Masalah

Kehilangan pendengaran pada lansia umumnya disebut dengan presbikusis yaitu

tuli sensorineural pada lanjut usia akibat proses penuaan. Sasana Tresna Werdha

Karya Bhakti merupakan salah satu tempat tinggal bagi lansia perkotaan. Lansia

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti ditemukan di wisma Cempaka, terdapat 4

dari 19 lansia (21%) yang mengalami gangguan pendengaran. 1 lansia (5,2%)

masih dapat mendengar suara yang keras, namun sudah tidak mendengar jika

lawan bicara berbicara dengan suara yang pelan dan intonasi yang cepat dan

mengeluhkan adanya tinnitus. Sedangkan 3 lansia (15,7%) sering meminta lawan

bicara untuk mengulang kata-kata meskipun diajak berbicara dengan suara yang

keras dan jarak yang dekat. Teknik komunikasi yang digunakan untuk mengatasi

hambatan komunikasi verbal mengarahkan lansia pada teknik membaca bibir (lip

reading) yang merupakan salah satu program rehabilitasi pada seseorang dengan

gangguan pendengaran (Miller, 2012). Perawat sebagai pemberi asuhan pada

lansia berperan dalam memberikan edukasi dan promosi kesehatan yang

mengarahkan lansia kepada perbaikan kualitas hidup. Oleh karena itu, dalam

laporan ini penulis ingin menggambarkan asuhan keperawatan yang dapat

diberikan pada lansia dengan masalah hambatan komunikasi verbal di wisma

Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

6

Universitas Indonesia

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari karya ilmiah ini yaitu menganalisis asuhan keperawatan

kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu SMB (89 tahun) dengan masalah

hambatan komunikasi verbal di Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya

Bhakti Cibubur.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari karya ilmiah ini yaitu untuk menggambarkan:

a. Profil pelayanan lansia di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

b. Komunikasi efektif pada lansia dengan menggunakan teknik lip reading pada

Ibu SMB dengan hambatan komunikasi verbal di Wisma Cempaka Sasana

Tresna Werdha Karya Bhakti

c. Hasil pengkajian pada Ibu SMB dengan hambatan komunikasi verbal di

Wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

d. Rencana keperawatan pada Ibu SMB dengan hambatan komunikasi verbal di

wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

e. Implementasi keperawatan pada Ibu SMB dengan hambatan komunikasi

verbal di wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

f. Hasil evaluasi dari implementasi pada Ibu SMB dengan hambatan komunikasi

verbal di wisma Cempaka Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Manfaat bagi pelayanan

Hasil karya ilmiah ini dapat digunakan sebagai acuan bagi pelayanan kesehatan

lansia di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti, rumah sakit, ataupun komunitas

untuk meningkatkan mutu pelayanan pada lansia dengan hambatan komunikasi

verbal. Karya ilmiah ini dapat digunakan sebagai acuan melakukan teknik

komunikasi terapeutik kepada lansia dengan hambatan komunikasi verbal di

berbagai bidang asuhan keperawatan.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

7

Universitas Indonesia

1.4.2 Manfaat bagi keilmuan

Karya ilmiah ini berguna sebagai bahan pengajaran dan pengembangan ilmu yang

dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan terkait teknik komunikasi efektif

yang dapat digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan pada lansia dengan

hambatan komunikasi verbal. Mahasiswa dapat menggunakan teknik komunikasi

ini terhadap lansia dengan hambatan komunikasi verbal .

1.4.3 Manfaat bagi penelitian

Hasil karya ilmiah ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam area keperawatan

gerontik yang berkaitan dengan komunikasi terapeutik pada lansia dengan

hambatan komunikasi verbal dan untuk selanjutnya untuk meningkatkan

keefektifan pemberian asuhan keperawatan kepada lansia dengan hambatan

komunikasi verbal. Selain itu, karya ilmiah ini juga berguna sebagai bahan

referensi dan dapat menjadi ide dalam mengembangkan penelitian selanjutnya

terkait asuhan keperawatan lansia dengan hambatan komunikasi verbal

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

8 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kebutuhan Dasar Manusia

Kebutuhan dasar manusia menentukan tingkat kesehatan pada posisi rentang

sehat-sakit karena didalamnya terdapat hal yang penting untuk bertahan hidup,

yaitu hal-hal seperti makanan, air, keamanan, dan cinta (Potter & Perry, 2005).

Kebutuhan dasar manusia dalam teori keperawatan digambarkan dengan hierarki

kebutuhan maslow. Pada teori kebutuhan maslow, beberapa kebutuhan manusia

tertentu lebih dasar daripada kebutuhan lainnya yang digambarkan dalam lima

tingkatan prioritas.

Potter & Perry (2005) menyebutkan tingkatan yang paling dasar meliputi

kebutuhan fisiologis, seperti udara, air, dan makanan. Tingkatan yang kedua

meliputi kebutuhan keselamatan dan keamanan yang melibatkan keamanan fisik

dan psikologis. Tingkatan yang ketiga yaitu kebutuhan cinta dan rasa memiliki

yang didalamnya terdapat kebutuhan akan rasa persahabatan, hubungan sosial,

dan cinta seksual. Pada tingkatan keempat terdapat kebutuhan rasa berharga dan

harga diri, yaitu melibatkan percaya diri, merasa berguna, penerimaan dan

kepuasan diri. Tingkatan yang paling akhir adalah kebutuhan aktualisasi diri

meliputi pernyataan dari penerimaan yang penuh potensi dan memiliki

kemampuan dalam memecahkan masalah dan mengatasinya dengan cara realistis

yang berhubungan dengan situasi hidup.

Kebutuhan dasar manusia kadang kala ada yang tidak terpenuhi atau hanya

terpenuhi sebagian. Seseorang yang seluruh kebutuhannya dapat terpenuhi

merupakan orang yang sehat dan seseorang kebutuhannya tidak terpenuhi atau

terpenuhi sebagian beresiko untuk sakit, dan atau mungkin tidak sehat pada satu

atau lebih dimensi manusia (Potter & Perry, 2005). Gangguan pendengaran dapat

berkontribusi pada terganggunya semua level dari hierarki kebutuhan maslow

berupa kebutuhan biologi, keselamatan dan keamanan, perasaan memiliki, harga

diri, dan aktualisasi diri (Ebersole, Hess, Touhy, Jett, 2005).

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

9

Universitas Indonesia

Gangguan pendengaran dapat menyebabkan seseorang keluar dari bagian

percakapan tertentu, dan individu dapat berpikir bahwa orang lain

membicarakannya yang menyebabkan seseorang dapat menarik diri dari

lingkungan yang berhubungan dengan depresi (Tyson, 2006). Kebanyakan kasus

dari gangguan pendengaran seringkali menyebabkan berkurangnya harga diri.

Rasa ketidakamanan dan kurangnya percaya diri dapat berkembang karena

ketidakmampuan seseorang berkomunikasi dengan orang lain dan berkurangnya

kewaspadaan diri. Gangguan pendengaran mengubah cara seseorang berpikir

terhadap dirinya dan mempengaruhi kepuasan seseorang dengan hidupnya.

Gangguan pendengaran juga dapat membuat individu mengalami perasaan sedih,

kehilangan, marah dan kelelahan dari mencoba terlalu keras untuk mengerti apa

yang dikatakan oleh orang lain (Tyson, 2006).

Fungsi dari pendengaran terhadap kebutuhan dasar manusia yaitu keselamatan

dan pertahanan hidup, dengan mendeteksi tanda peringatan, membentuk

komunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa dan bicara. Harga diri dan

aktualisasi diri melalui mendengarkan suara lingkungan seperti suara tertawa,

musik, atau pembicaraan (Tyson, 2006). Gangguan pendengaran dapat

mengganggu kelima tingkat kebutuhan, namun yang paling menonjol terdapat di

hierarki kedua yaitu keselamatan dan keamanan karena informasi lingkungan

yang ada diterima dan direspon oleh individu melalui indera pendengaran.

Berkurangnya kemampuan untuk melindungi dari bahaya lingkungan dapat terjadi

pada lansia. Berkurangnya sensasi dan persepsi berkontribusi terhadap kerentanan

lansia untuk mengalami kecelakaan (Ebersole, Hess, Touhy, Jett, 2005). Oleh

karena itu, gangguan pendengaran tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang

dapat dianggap biasa.

2.2 Perubahan Fungsi Pendengaran pada Lanjut Usia

Pendengaran adalah persepsi saraf mengenai energi suara dan gelombang suara

adalah getaran udara yang merambat dan terdiri dari daerah-daerah bertekanan

tinggi karena kompresi molekul yang berselang-seling dengan daerah bertekanan

rendah (Sherwood, 2011). Miller (2012) menyatakan fungsi pendengaran

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

10

Universitas Indonesia

bergantung pada rangkaian proses yang diawali dari tiga bagian dari telinga dan

diakhiri dengan memproses informasi dalam korteks auditori dari otak. Dua

masalah fungsional pendengaran pada populasi lanjut usia adalah

ketidakmampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan untuk

mendeteksi suara dengan nada frekuensi yang tinggi seperti beberapa konsonan

(misalnya f, s, sk, sh, dan l). Perubahan-perubahan ini dapat terjadi pada salah satu

atau kedua telinga (Stanley & Beare, 2002).

Telinga terdiri dari tiga bagian, yaitu telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian luar

dan tengah menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi

cairan, untuk memperkuat energi suara dari udara ke telinga dalam yang berisi

cairan, untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam

berisi dua sistem sensorik yang berbeda yaitu koklea, yang mengandung reseptor-

reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga

suara dapat terdengar, dan apparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi

keseimbangan (Sherwood, 2011). Pada telinga dalam getaran di transmisikan ke

koklea yang nantinya akan mengubah ke impuls saraf dan diberi kode dalam

intensitas dan frekuensi.

Intensitas atau amplitude menggambarkan keras atau lembutnya suara dan dinilai

dalam desibel (dB). Frekuensi dinilai dalam siklus per detik atau Hertz (Hz)

menentukan apakah nada tinggi atau rendah. Intensitas suara dan frekuensi

mungkin dapat diubah jika terdapat faktor resiko. Meskipun dengan ketiadaan dari

faktor resiko, perubahan normal mempengaruhi frekuensi dan menyebabkan

masalah pendengaran (Miller, 2012).

Gangguan pendengaran diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu tuli konduktif

(hantaran) dan tuli sensorineural (saraf) bergantung pada bagian mekanisme

pendengaran yang kurang berfungsi secara adekuat. Sherwood (2011)

menerangkan tuli konduktif terjadi apabila gelombang suara tidak secara adekuat

dihantarkan melalui telinga luar dan telinga tengah untuk menggetarkan cairan di

telinga dalam. Tuli konduktif mungkin disebabkan oleh sumbatan fisik saluran

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

11

Universitas Indonesia

telinga oleh kotoran telinga, rupture gendang telinga, atau infeksi telinga tengah

disertai penimbunan cairan.

Tuli sensorineural terjadi saat gelombang suara disalurkan ke telinga dalam, tetapi

gelombang tersebut tidak diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang

diinterpretasikan oleh otak sebagai sensasi suara. Kehilangan struktur normal

mungkin terjadi pada organ corti, pada saraf auditorius, jalur auditorius asendens,

atau pada korteks auditorius (Sherwood, 2011). Perubahan karena penuaan di

telinga dalam diantaranya yaitu karena hilangnya rambut sel, penurunan suplai

darah, penurunan produksi endolymph, menurunnya fleksibilitas dari membrane

basilar, degenerasi spiral sel ganglion, dan hilangnya neuron di nekleus koklear

(Miller, 2012). Perubahan pada telinga dalam ini menghasilkan gangguan

pendengaran degeneratif yang disebut presbikusis.

Stanley & Beare (2002) menyatakan kehilangan pendengaran pada lansia disebut

dengan presbikusis yaitu suatu gangguan pada pendengaran yang berkembang

secara progresif lambat terutama mempengaruhi nada tinggi dan dihubungkan

dengan penuaan. Penurunan pendengaran terutama berupa sensorineural, tetapi

juga dapat berupa komponen konduksi yang berkaitan dengan presbikusis. Miller

(2012) mengklasifikasikan presbikusis berdasarkan sumber struktural spesifik dari

gangguan, yaitu terdiri dari sensori presbikusis, neural presbikusis, dan

presbikusis metabolik.

Miller (2012) menyatakan sensori presbikusis berhubungan dengan perubahan

degeneratif dari sel rambut dan organ Corti serta dikarakteristikkan oleh

penurunan pendengaran yang meningkat tajam pada frekuensi tinggi. Neural

presbikusis disebabkan oleh degenerasi serabut neural dalam koklea dan spiral

ganglion yang dikarakteristikkan dengan berkurangnya kemampuan bicara.

Sedangkan presbikusis metabolik disebabkan oleh perubahan degeneratif pada

striae vaskularis dan akibat dari terhambatnya suplai nutrisi esensial. Pada

awalnya, perubahan ini mengurangi sensititivitas terhadap semua frekuensi suara

yang pada akhirnya turut mengganggu kemampuan bicara. Penyebab dari

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

12

Universitas Indonesia

berbagai perubahan pendengaran ini tidak diketahui secara pasti, namun dari

penelitian terdapat faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya gangguan

pendengaran.

2.3 Faktor Resiko Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia

Adams-Wendling & Pimple (2008) dalam Miller (2012) mengidentifikasi faktor

resiko dari gangguan pendengaran, yaitu dapat terjadi pada usia 65 tahun atau

lebih, residen pada fasilitas keperawatan, gangguan kognitif atau penglihatan,

paparan suara bising, penggunaan obat-obatan ototoksik, jenis kelamin laki-laki.

Stanley & Beare (2002) mengemukakan berdasarkan hasil penelitian yang ada

bahwa faktor resiko yang terkait dengan gangguan pendengaran yaitu nutrisi,

faktor genetika, suara bising, hipertensi, stress emosional, dan arteriosklerosis.

Miller (2012) menyimpulkan empat faktor resiko yang terjadi pada gangguan

pendengaran yaitu gaya hidup dan lingkungan, impaksi serumen, obat-obatan

ototoksik, dan proses penyakit.

Faktor resiko yang paling umum terjadi pada gangguan pendengaran yaitu

paparan suara bising yang dapat terlihat dari pilihan gaya hidup dan faktor

lingkungan. Terdapat batas bising yang dapat dinilai dengan decibel (dB). Desibel

(dB) yaitu ukuran logaritmik intensitas dibandingkan dengan ambang

pendengaran (Sherwood, 2011). Hubungan desibel yang bersifat logaritmik, setiap

10 dB menandakan kepekaan sepuluh kali lipat. Sherwood (2011) menyatakan

suara yang lebih kuat dari 100 dB dapat secara permanen merusak pendengaran,

namun batas dB yang dapat berbahaya bagi pendengaran adalah 80 dB (Miller,

2012).

Faktor resiko selain paparan suara bising yang berpengaruh terhadap gangguan

pendengaran pada lansia yaitu impaksi serumen. Perubahan pada lansia dimana

serumen lebih kering, keras, dan kasar menambah resiko dari impaksi.

Penggunaan dari alat bantu pendengaran juga menambah kemungkinan dari

impaksi serumen yang dapat memperburuk fungsi pendengaran. Impaksi serumen

juga menyebabkan nyeri, infeksi, tinnitus, pusing, batuk yang kronis karena

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

13

Universitas Indonesia

stimulasi dari cabang saraf pusat yang samar (Miller, 2012). Penggunaan obat-

obatan yang memiliki efek ototoksik juga dapat berperan dalam gangguan

pendengaran.

Obat-obatan merupakan faktor yang dapat berkontribusi menyebabkan gangguan

pendengaran dengan merusak koklear dan bagian vestibular saraf auditori (Miller,

2012). Obat-obatan ototoksik atau yang dapat meracuni telinga yaitu

aminoglycoside, aspirin dan jenis lain dari salicylate, cisplatin ,erythromycin,

ibuprofen, imipramine, indometachin, diuretik, quinidine, quinine. Meskipun usia

tidak menambah resiko dari ototoksik, lansia lebih sering menggunakan obat-

obatan ototoksik seperti aspirin dan furosemid. Faktor lain yang berkontribusi

terjadi pada lansia dan menambah resiko dari ototoksik yaitu gagal ginjal,

penggunaan obat ototoksik dalam waktu lama, dan penggunaan dua obat

ototoksik secara bersamaan seperti penggunaan furosemid dan obat-obatan

aminoglycoside. Selain obat-obatan, gangguan pendengaran juga dapat

disebabkan oleh beberapa proses penyakit.

Miller (2012) menyebutkan proses penyakit yang dapat menjadi faktor resiko dari

gangguan pendengaran yaitu otosklerosis, diabetes, syphilis, myxedema,

meningitis, trauma kepala, demam tinggi, dan kondisi lain pada penyakit sistemik,

salah satunya yaitu hipertensi. Santoso & Muyossaroh (2012) menemukan bahwa

seseorang dengan hipertensi memiliki resiko lebih tinggi mengalami gangguan

pendengaran daripada yang tidak memiliki hipertensi. Hal tersebut disebabkan

hipertensi yang dapat menyebabkan spasme pembuluh darah sehingga lumen

pembuluh darah menjadi sempit dan terjadi penurunan perfusi jaringan serta

penurunan kemampuan sel otot untuk beraktivitas yang selanjutnya terjadi

hipoksia jaringan yang menyebabkan kerusakan sel-sel rambut koklea yang

berakibat pada gangguan pendengaran. Faktor resiko yang mempengaruhi

terjadinya perubahan pada lansia memerlukan waktu untuk mulai dirasakan oleh

lansia sebagai hal yang mengganggu. Bahkan, seringkali lansia tidak menyadari

bahwa dirinya mengalami penurunan pendengaran (Stanley & Beare, 2002).

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

14

Universitas Indonesia

2.4 Penatalaksanaan Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia

Stanley & Beare (2002) menyatakan penatalaksanaan gangguan pendengaran

lansia dimulai dengan melakukan pengkajian adanya riwayat dari kasus tersebut.

Melalui pengkajian riwayat kasus, perawat dapat mempelajari kapan residen

mulai mempelajari kapan residen mulai memiliki suatu masalah pendengaran.

Miller (2012) mengelompokkan pengkajian berupa wawancara menjadi empat

kelompok yaitu berdasarkan faktor resiko, perhatian dan pengetahuan lansia

terjadinya gangguan pendengaran pada dirinya, dampak psikososial dari

penurunan pendengaran, dan perilaku yang mempengaruhi intervensi promosi

kesehatan seperti menarik diri, marah, frustasi. Selain melalui wawancara,

perawat juga memperhatikan petunjuk lain yang menandakan gangguan

pendengaran.

Petunjuk lain yang penting yaitu seperti meminta orang lain mengulang

pertanyaan, menggerakkan kepala ke sebelah kanan atau kiri sebagai suatu usaha

untuk memahami lebih baik perkataan lawan bicara, menarik diri dari aktivitas

sosial, memberi respons yang tidak sesuai, dan mengeraskan suara televisi atau

radio agar dapat mendengarnya (Stanley & Beare, 2002). Perawat juga

memperhatikan gejala lain yang berhubungan seperti adanya perubahan dalam

persepsi kata, dan respon yang tidak sesuai dengan percakapan. Pengkajian fisik

khusus pada ganguan pendengaran dilakukan menggunakan garpu tala, detak

arloji, dan suara bisikan. Selain itu, juga dilakukan pemeriksaan adanya akumulasi

serumen, nyeri pada telinga, tinnitus, dan vertigo (Miller 2012; Stanley & Beare,

2002; Touhy & Jett, 2010).

Pengkajian gangguan pendengaran umumnya berfokus pada masalah-masalah

yang dapat muncul karena gangguan pendengaran seperti gangguan fungsi dan

peran di sosial, gangguan komunikasi, depresi, resiko jatuh, harga diri rendah,

gangguan keamanan, dan gangguan kognitif. Diagnosa NANDA 2009-2011

menyebutkan bahwa diagnosa yang tepat untuk masalah ini adalah Gangguan

Sensori: Pendengaran, namun saat ini pada NANDA 2012-2014 diagnosa tersebut

dihapuskan, diagnosa yang didalamnya terdapat hal yang berkaitan dengan

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

15

Universitas Indonesia

masalah pendengaran yaitu diagnosa hambatan komunikasi verbal dimana

gangguan pendengaran sebagai faktor yang berhubungan dengan terjadinya

hambatan komunikasi verbal.

Hambatan komunikasi verbal merupakan berkurangnya kemampuan untuk

menggunakan dan mengerti pembicaraan dalam interaksi (Ebersole & Hess,

1999). NANDA (2012) menyebutkan bahwa pengertian hambatan komunikasi

verbal yaitu tertundanya, berkurangnya, atau tidak adanya kemampuan untuk

menerima, memproses, mentransmisikan, dan menggunakan symbol untuk

berkomunikasi. Konsekuensi dari hambatan komunikasi yaitu mengganggu harga

diri yang menghasilkan isolasi sosial, mengasingkan diri, dan perasaan tidak

berdaya. Terdapat tiga kategori yang termasuk dalam hambatan komunikasi

verbal, yaitu penangkapan/penerimaan, persepsi, dan artikulasi. Penangkapan

dapat terganggu karena ansietas, gangguan pendengaran, dan perubahan level dari

kesadaran. Persepsi terganggu dengan adanya stroke, demensia, dan delirium.

Artikulasi terhalang oleh adanya disartria, gangguan pernapasan, dan hambatan

pada laring (Ebersole & Hess, 1999).

Batasan karakteristik pada hambatan komunikasi verbal yaitu tidak ada kontak

mata, tidak dapat bicara, kesulitan mengekspresikan pikiran secara verbal karena

faktor afasia, difasia, apraksia, dan disleksia, kesulitan menyusun dan kalimat

ataupun kata-kata seperti gangguan afonia, dislalia, disartria. Batasan karakteristik

lainnya yaitu kesulitan memahami atau mempertahankan pola komunikasi yang

biasa, kesulitan mengekspresikan perasaan melalui bahasa tubuh maupun raut

wajah, disorientasi orang, ruang waktu, ketidaktepatan pengucapan, dispnea, pelo,

sulit bicara, gagap, defisit penglihatan total, bicara dengan kesulitan maupun

menolak bicara (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008; NANDA, 2012).

Faktor yang berhubungan diantaranya ketiadaan orang dekat, perubahan konsep

diri, perubahan sistem saraf pusat, defek anatomis berupa celah palatum,

perubahan sistem neuromuscular pada sistem penglihatan dan pendengaran.

Tumor otak, harga diri rendah kronik ataupun situasional, perbedaan budaya,

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

16

Universitas Indonesia

penurunan sirkulasi ke otak, gangguan emosi, kurang informasi, kendala

lingkungan, hambatan fisik seperti intubasi atau trakeostomi, stress, kondisi

psikologis, efek samping obat, dan pelemahan sistem muskuloskeletal (NANDA,

2012).

Penurunan pendengaran dapat berdampak pada kehidupan lansia, diantaranya

terbatasnya aktivitas dan komunikasi (Stanley & Beare, 2002). Gangguan

pendengaran dapat menimbulkan perasaan terisolasi dan membuat lansia menjadi

curiga dan tidak percaya serta muncul paranoia (Touhy & Jett, 2010).

Penatalaksanaan asuhan keperawatan disesuaikan dengan gejala-gejala yang

muncul dan perlu memfokuskan pada intervensi untuk memfasilitasi residen

untuk bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal di dalam masyarakat

(Stanley & Beare, 2002).

Kemampuan berfungsi secara optimal di masyarakat yaitu dengan membuat lansia

berpartisipasi secara aktif di masyarakat. Tindakan yang dapat dilakukan secara

garis besar yaitu kolaborasi menggunakan alat bantu dengar, melakukan

pembersihan akumulasi serumen, dan membentuk komunikasi yang efektif bagi

lansia (Miller, 2012). Rencana asuhan keperawatan bertujuan untuk meningkatkan

komunikasi yaitu dengan berbicara dengan nada yang tidak berteriak, bicara

menghadap ke arah residen, bicara secara perlahan dan jelas, menggunakan

sentuhan untuk menarik perhatian, dan bicara menggunakan kalimat sederhana

(Stanley & Beare, 2002). Teknik komunikasi yang dilakukan tersebut merupakan

teknik komunikasi yang mengarah ke teknik lip reading.

Teknik lip reading adalah melihat bibir seseorang ketika bericara kata yang

normalnya dapat didengar (Ortiz, 2008). Teknik komunikasi dengan lip reading

telah sering digunakan pada seseorang yang memiliki masalah dengan

pendengaran. Teknik lip reading memberi kuasa kepada seseorang dengan

gangguan pendengaran untuk membuat lebih percaya diri dan memenuhi kualitas

hidup dan dikenal sebagai telinga ke tiga (Hearinglink, 2012). Teknik ini

bertujuan untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam mendengar apa yang

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

17

Universitas Indonesia

dibicarakan orang lain melalui membaca bibir. Teknik lip reading termasuk dalam

program rehabilitasi pada seseorang yang mengalami gangguan pendengaran

(Miller, 2012). Teknik lip reading merupakan teknik yang dapat diperoleh dan

dapat dikembangkan (Ringham, 2011).

Hearinglink (2012) menyebutkan hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu dilakukan

oleh seseorang yang masih memiliki kognitif dan penglihatan yang baik, pada

teknik lip reading yaitu membaca bibir tidak dapat dilakukan di dalam gelap,

tidak semua orang dapat dibaca gerakan bibirnya, beberapa bentuk pengucapan

bibir memiliki bentuk yang mirip. Oleh karena itu, lip reading melibatkan

membaca beberapa bentuk bibir, dapat mendengar suara meskipun sedikit,

mengenali dan menginterpretasikan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan gerak

tubuh. Hasil yang muncul berbeda pada setiap orang, kemajuan dari kemampuan

lip reading berbeda dari setiap orang dan latihan dapat diterapkan disetiap

interaksi untuk meningkatkan kemampuan lip reading (Ringham, 2011).

Ortiz (2008) menyebutkan bahwa untuk mencapai penguasaan yang baik dari

teknik lip reading diperlukan tingkat pendidikan yang memadai karena seseorang

dapat membaca gerakan bibir dengan mengetahui kata-kata yang sudah

dimengerti sebagai suatu konsep dalam perbincangan. Selain itu, bahasa tubuh

juga menjadi faktor pendukung dari berkembangnya kemampuan lip reading.

Kemampuan bicara secara jelas dan memfasilitasi persepsi dengan menghadap

secara langsung ketika bicara, bicara dengan jarak dekat, bersuara dengan jelas

dan tidak berlebihan. Teknik lip reading ini membutuhkan latihan yang mendalam

untuk menguasai secara penuh dan memerlukan instrumen yang tepat untuk

mengatasi hambatan dan ambiguitas.

Cara melakukan teknik lip reading yaitu lip reading dilakukan dengan lingkungan

yang tenang, setelah merasa nyaman, duduk secara berhadapan dan bicara dengan

jelas, suara dan intonasi yang tepat, tidak terlalu kencang juga tidak terlalu keras.

Jika lingkungan gelap, atur cahaya mengarah ke pembicara dan posisikan diri

berjarak 3-6 kaki disesuaikan dengan kemampuan residen dapat melihat

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

18

Universitas Indonesia

pembicara (hearinglink, 2012). Keakuratan dari membaca bibir melibatkan peran

persepsi visual seperti kejelasan dari bentuk pengucapan kata per kata (Franks,

1976).

Teknik lip reading ini dapat diterapkan disetiap interaksi dengan residen. Pandu

residen untuk selalu melihat bibir pembicara dan hindari kondisi lelah pada

residen dan biarkan residen untuk rileks. Dalam berkomunikasi tidak terlepas dari

percaya diri, kontrol, dan kemandirian, dibandingkan dengan sebelum melakukan

lip reading, responden pada penelitian memiliki kontrol dalam memfasilitasi dan

meningkatkan komunikasi, mampu untuk bertindak secara mandiri untuk

memfasilitasi komunikasi, dan lebih proaktif serta percaya diri dalam

berkomunikasi (Ringham, 2011). Hasil dari intervensi keperawatan mengacu

kepada meningkatnya komunikasi, meningkatnya sosial interaksi, meningkatnya

keselamatan dan fungsi peran dan kualitas hidup yang lebih baik (Miller, 2012;

Ringham, 2011).

2.5 Pelayanan Kesehatan Pada Lanjut Usia

Nursing home mengarah kepada intitusi tempat tinggal yang dibuat untuk

seseorang yang membutuhkan bantuan dengan beberapa Activity Daily Living

(ADL) (Miller, 2012). Nursing home memberikan pelayanan kesehatan yang

diawasi oleh perawat teregistrasi atau perawat praktik yang telah berlisensi.

Nursing home memberikan perawatan berupa pelayanan medis dan pelayanan

keperawatan berupa konsultasi medis dan rehabilitasi. Pada nursing home,

penerima pelayanan disebut sebagai residen daripada pasien karena nursing home

menyediakan fasilitas tempat tinggal. Nursing home secara umum dikategorikan

menjadi perawatan jangka pendek (skilled nursing home) dan jangka panjang

(long term care).

Stanley & Beare (2002) menyebutkan bahwa karakteristik dari residen yang

tinggal di perawatan jangka pendek yaitu pada umumnya meninggalkan fasilitas

dalam waktu tiga sampai enam bulan, lebih muda mempunyai lebih banyak

permasalahan fisik, dan diterima dari fasilitas rehabilitasi atau rumah sakit.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

19

Universitas Indonesia

Idealnya, residen pada perawatan jangka pendek menerima perawatan yang

diperlukan untuk memperoleh kemandirian dan fungsi yang maksimal dan

kemudian dapat kembali ke komunitas. Pada residen perawatan jangka panjang

karakteristik residennya pada umumnya lebih tua, diterima dari rumah, dan

mempunyai lebih banyak kerusakan fungsional dan kognitif. Residen perawatan

jangka panjang sering tetap tinggal di fasilitas sampai residen meninggal atau

dipindahkan ke suatu fasilitas perawatan akut. Perawatan lansia pada nursing

home umumnya berupa perawatan jangka panjang (Long Term Care).

Long term care mengacu pada rangkaian kesatuan antara pelayanan medis dan

pelayanan sosial yang didesain untuk mendukung kebutuhan seseorang dengan

masalah kesehatan kronis yang berdampak pada kemampuan dalam menunjukkan

kemampuan aktivitas sehari-hari. Tujuan dari perawatan nursing home jangka

panjang lebih kompleks dan lebih sulit untuk dinilai daripada perawatan pada

penyakit akut. Perawatan pada penyakit akut bertujuan untuk mengembalikan

seseorang ke fungsi sebelum sakit, perawatan jangka panjang bertujuan untuk

mencegah kemunduran dan menyesuaikan diri terhadap adanya kemunduran

(McCall, 2000). Miller (2012) menyatakan perubahan pada pelayanan kesehatan

untuk lansia dari tahun ke tahun memiliki pengaruh terhadap perawatan nursing

home jangka pendek dan jangka panjang.

Nursing home merupakan salah satu pilihan bentuk pelayanan kesehatan yang

tersedia, terutama bagi lansia. Nursing home saat ini menyediakan berbagai

bentuk pelayanan terbaru. Miller (2012) menyebutkan terdapat beberapa bentuk

pelayanan nursing home yang tersedia di komunitas yaitu adult day centers,

respite care, parish nursing program, dan health promotion program. Arenson

et.al (2009) menyebutkan untuk pelayanan nursing home di komunitas terdapat

hospice care, home care, dan adult day care.

Adult day centers atau adult day care menyediakan struktur sosial dan aktivitas

rekreasi untuk lansia, dan menyediakan makanan serta beberapa pelayanan seperti

transportasi, manajemen obat, membantu perawatan diri, dan pelayanan lain yang

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

20

Universitas Indonesia

berhubungan dengan pelayanan kesehatan dan terapi (Arenson et.al, 2009; Miller,

2012). Adult day care menyediakan pelayanan bagi seseorang yang memiliki

kelemahan atau membutuhkan bantuan maupun pengawasan sepanjang hari

seperti lansia yang mengalami demensia. Tujuan dari program ini yaitu untuk

mempertahankan atau meningkatkan kemampuan fungsional atau gangguan pada

lansia, menunda dan mencegah kebutuhan perawatan institusional (Arenson et.al,

2009).

Respite care mengacu pada pelayanan yang bertujuan untuk membebastugaskan

pemberi perawatan (caregiver) melepas stress dari tanggung jawab merawat pada

waktu tertentu. Respite service disediakan untuk seseorang yang tinggal di rumah

dan dirawat oleh anggota keluarga (Miller, 2012). Tujuan dari respite service

termasuk meningkatkan kualitas hidup pada pemberi perawatan. Parish nursing

program merupakan pendekatan secara holistik terhadap kesehatan fisik,

emosional, dan spiritual pada jemaat gereja dengan fokus pada aktivitas promosi

kesehatan (Miller, 2012).

Miller (2012) menyatakan Health promotion program dialamatkan kepada lansia

yang sehat dan berfungsi secara penuh, seperti social residence atau senior

centers yang menempatkan lansia berkumpul dalam waktu tertentu untuk

memeriksakan kesehatan dan melakukan aktivitas lain yang meningkatkan

kesehatan. Aktivitas yang diadakan pada program ini seperti pemeriksaan tekanan

darah, kelas berhenti merokok, pemeriksaan kesehatan terkait kanker, penglihatan,

dan pendengaran, imunisasi, dan beberapa bentuk latihan seperti senam.

Hospice care merupakan perawatan paliatif dan program yang memberi dukungan

pada lansia yang mengalami penyakit terminal dengan tujuan menyediakan

kenyamanan (Arenson et.al, 2009). Hospice care dapat meningkatkan kualitas

hidup bagi lansia karena telah memberikan dukungan pada lansia maupun

keluarga. Hospice care membuat lansia menerima penguatan emosi dan spiritual

dan memperkuat dukungan keluarga.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

21

Universitas Indonesia

Nursing home menyediakan kombinasi dari pelayanan perawatan terlatih yang

mirip dengan pelayanan ke pasien di rumah sakit, residen seringkali memilih

tinggal di fasilitas perawatan nursing home selama mengalami penyakit akut

daripada tinggal di rumah sakit (Miller, 2012). Home care didefinisikan sebagai

ketersediaan perlengkapan dan pelayanan bagi pasien di rumah dengan tujuan

memperbaiki dan mempertahankan tingkat kenyamanan fungsi dan kesehatan

lansia dan membutuhkan usaha kolaboratif dari lansia, keluarga, dan professional

(Arenson et.al, 2009).

Perawatan di home care meliputi perawatan dari perawat terlatih, monitoring

kesehatan, pemberian obat, rehabilitasi fisik dan terapi lain, perawatan diri, dan

pemberian transfusi intravena, kemoterapi, dialisis, termasuk pemberian nutrisi

enteral maupun parenteral (Arenson et.al, 2009; Miller, 2012). Terdapat beberapa

persyaratan yang ada pada pelayanan home care, yaitu memastikan kesehatan

residen tidak mengalami kemunduran kecuali secara medis tidak dapat dihindari,

perawatan, pengobatan, dan terapi harus digunakan untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan seoptimal mungkin, dan residen berhak untuk memilih

dan menolak pelayanan yang diberikan (CANHR, 2012)

California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR) (2012) menyebutkan

standar pelayanan yang diberikan di nursing home diantaranya menyediakan

kebutuhan sesuai residen, seperti pemberi pelayanan harus menyesuaikan dengan

kebutuhan residen contohnya apabila residen mengalami hambatan komunikasi

pemberi pelayanan wajib berkomunikasi sesuai dengan kemampuan residen.

Standar pelayanan nursing home lainnya yaitu adanya staf yang memadai,

membuat perencanaan keperawatan yang komprehensif, memperhatikan

kebutuhan cairan dan nutrisi, obat-obatan, pengendalian infeksi, dan menghindari

terjadinya masalah tambahan akibat kelalaian seperti adanya luka dekubitus pada

lansia dengan hambatan mobilisasi. Standar lainnya yaitu mencegah kecelakaan

atau kejadian jatuh, layanan khusus berupa pemberian suntikan atau cairan IV,

perawatan kolostomi, ileostomi, ureterostomi dan perawatan trakeostomi,

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

22

Universitas Indonesia

pengisapan trakea, perawatan pernapasan, perawatan kaki, terapi, perawatan

restoratif serta latihan range of motion.

Standar pelayanan nursing home di dalamnya terdapat perawat yang terampil, staf

dan karyawan yang mendukung untuk dapat memenuhi kebutuhan residen.

CANHR (2012) menyebutkan bahwa setiap residen seharusnya dapat menerima

tindakan keperawatan sebanyak 3,2 jam per hari. Perencanaan keperawatan yang

komprehensif dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan residen secara terperinci

dan dapat di intervensi sesuai kebutuhan. Kebutuhan dasar residen berupa cairan

dan nutrisi merupakan hal yang penting untuk menjadi standar pelayanan, begitu

juga kebutuhan lain yang berguna untuk mencegah adanya komplikasi-komplikasi

akibat kelalaian petugas yang dapat merugikan residen selama berada di nursing

home

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

23 Universitas Indonesia

BAB 3

LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas diri

Ibu SMB berusia 89 tahun merupakan salah satu residen di Sasana Tresna Werdha

Karya Bhakti. Residen datang ke Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti dengan

keinginan sendiri atas persetujuan keluarga. Sebelumnya residen tinggal di Bogor

dan bekerja di salah satu institusi milik pemerintah. Residen terbiasa tinggal

sendiri meskipun pernah tinggal bersama adik dan keponakannya. Residen tidak

pernah berkeluarga namun residen mendapat dukungan dari saudaranya yang

selalu datang berkunjung secara rutin. Residen tidak pernah menikah karena

ditinggal meninggal calon suami waktu berperang. Residen masih mendapat

penghasilan dari pensiunannya oleh karena itu residen memilih untuk tinggal di

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti dengan hasil pensiunannya tersebut karena

merasa lebih aman dan residen tidak ingin merepotkan adik dan keponakan-

keponakannya.

3.1.2 Riwayat kesehatan

Residen mengatakan memiliki gangguan pendengaran sejak lama, dan tidak ingat

kapan pendengarannya mulai terganggu. Residen aktif mengikuti berbagai

kegiatan yang ada di panti, tetapi residen lebih banyak diam dan terlihat kurang

berkomunikasi saat mengikuti kegiatan. Residen lebih banyak diam dan tampak

bingung bila ditengah-tengah kegiatan diajak bicara. Residen terlihat sulit

mendengar dan memahami apa yang dibicarakan orang lain. Selain itu, residen

juga sering meminta lawan bicara mengulang pembicaraan dan memiringkan

kepala untuk mendengar pembicaraan. Residen juga tidak menyadari jika

namanya dipanggil dari belakang. Residen sering merasa kaget jika merasa

seseorang tiba-tiba muncul didepannya dan membuat residen terlihat kesal.

Sebelumnya residen mengatakan telah mendapatkan penanganan dengan

pemberian alat bantu dengar, akan tetapi ternyata masih kurang efektif bagi

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

24

Universitas Indonesia

residen karena keterbatasan alat bantu dengar yang sering rusak dan harganya

mahal sehingga residen tidak menggunakan alat bantu dengar lagi.

Riwayat kesehatan residen diketahui memiliki hipertensi. Hipertensi yang dialami

oleh residen terkontrol dengan baik. Residen merasa tidak memiliki sakit

hipertensi dan merasa bahwa tekanan darahnya selalu normal. Residen rutin

meminum obat yang diberikan dokter setiap hari. Saat ditanyakan, residen

meminum obat nifedipine dan simvastatin satu kali dalam sehari. Residen

meminum obat setiap pagi sehabis makan. Tekanan darah residen terkontrol setiap

hari, berkisar dalam sistol 110-140 mmHg dan diastole 80-90 mmHg. Setelah

minum obat, tekanan darah residen berkisar 110-120/80-90 mmHg, sedangkan

bila belum minum obat tekanan darah menunjukkan 130-140/80-90 mmHg.

Residen merasa bahwa penting untuk menjaga kesehatan, Residen selalu rajin

minum obat rutin, dan mengikuti senam supaya badan selalu sehat. Residen sadar

bahwa dirinya akan kesulitan jika sakit dan sulit melakukan aktivitas.

3.1.3 Kebiasaan Sehari-hari

Pemenuhan kebutuhan sehari seperti makan, minum, ke toilet, mandi, masih

dilakukan sendiri oleh residen. Hasil indeks Katz memberikan nilai 6 yaitu

kemandirian penuh. Untuk makan, residen biasa makan-makanan yang disediakan

oleh panti dan jarang membeli makanan di luar. Residen mengatakan tidak ada

makanan yang menjadi pantangannya. Residen makan tiga kali sehari, waktunya

tidak tentu, tergantung rasa lapar yang dirasakannya. Pola minum residen tidak

mengalami pengawasan, residen minum jika merasa haus dan tidak ingat berapa

kali minum dalam sehari secara pasti, namun residen mengatakan jika minum ± 5

gelas berukuran ± 250cc dalam sehari. Sedangkan untuk pola eliminasi, residen

merasa tidak mengalami masalah, buang air kecil (BAK) 4- 5 kali lancar, tidak

ada nyeri, buang air besar (BAB) juga lancar 1-2 hari satu kali tergantung

makanan yang dimakan. BAB tidak ada keluhan BAB keras. Residen mengatakan

mandi dua kali sehari setiap hari dan tidak tercium bau yang tidak sedap dari

tubuh residen.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

25

Universitas Indonesia

Residen merupakan residen Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti yang aktif dalam

berbagai kegiatan. Kegiatan yang diikuti oleh Residen adalah senam setiap pagi

dari hari senin hingga jumat. Residen selalu menyempatkan mengikuti kegiatan

yang diadakan panti, tetapi setelah kegiatan residen langsung masuk kamar karena

merasa lelah. Pola tidur dan istirahat tidak mengalami gangguan. Residen tidur

malam dari jam 8 hingga subuh. Residen mengatakan dapat tidur dengan mudah

dan kadang-kadang terbangun 1-2 kali di malam hari karena ingin BAK. Setelah

itu, Residen bisa tidur lagi dengan lelap. Residen tidur 6-8 jam di malam hari dan

tidur 2 jam di siang hari. Residen juga sering terlihat tertidur saat mengikuti

kegiatan menonton atau terapi musik.

Residen hanya keluar kamar jika ada kegiatan di luar, dan menyukai kegiatan

menjawab teka-teki silang. Penglihatan residen baik, meskipun pernah menjalani

operasi katarak pada mata sebelah kanan. Residen masih dapat menjawab dengan

teliti pertanyaan-pertanyaan yang ada di teka-teki silang yang ia miliki. Residen

juga mampu untuk mencari keseluruhan kata dari beberapa huruf yang diacak.

Status kognitif residen melalui pengkajian Mini Mental State Examination

(MMSE) mendapatkan nilai 28 yaitu normal dan tidak mengalami gangguan

kognitif. Aktivitas rekreasi yang dilakukan oleh residen selain mengisi teka-teki

silang yaitu membaca buku dan menonton televisi. Selain mengikuti kegiatan

senam dan pertemuan yang ada di panti, residen juga mengikuti kegiatan

pengajian dan sholat berjamaah di musholla setiap waktu sholat magrib. Residen

jarang pergi untuk keluar panti, Residen pergi keluar panti saat diajak berjalan-

jalan oleh keluarganya atau jika ada keperluan.

Keadaan emosi residen stabil. Pengkajian dengan Geriatric Depression Scale

(GDS) Residen bernilai 5 yang mengindikasikan bahwa residen tidak mengalami

depresi. Residen juga kooperatif, namun residen terkadang kurang komunikatif,

residen terlihat agak sulit memulai perbincangan, tetapi residen tetap mau untuk

memulai perbincangan, residen juga terlihat tidak suka jika diajak bicara terlalu

lama karena merasa capek. Residen jarang marah, namun kadang terlihat kesal

jika seseorang muncul tiba-tiba. Residen mudah kaget dan mudah curiga terhadap

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

26

Universitas Indonesia

orang baru. Hubungan sosial residen dengan penghuni lainnya baik. Penghuni lain

tidak pernah keberatan jika membantu residen bila ia tampak kesulitan. Residen

mengatakan tidak ada teman paling dekat di Sasana karena residen menganggap

semuanya teman dekat. Residen juga mengatakan tidak pernah bertengkar dengan

penghuni lain karena merasa bila bertengkar sangat tidak berguna. Residen juga

tampak sering diajak oleh penghuni lain untuk mengikuti kegiatan.

Residen dalam mengikuti kegiatan yang ada di panti lebih sering berjalan dengan

berpegangan pada benda-benda disekitar atau berjalan beriringan bersama dengan

residen lain. Tampak pada saat berjalan, langkah residen agak diseret. Residen

mengatakan pernah mengalami jatuh lebih dari tiga bulan yang lalu, saat itu

residen mengatakan mengalami patah tulang pada lengan kiri dan saat ini sudah

tidak merasakan sakit lagi. Hasil Fall Morse Scale (FMS) menunjukkan nilai 65,

yaitu residen beresiko tinggi jatuh, dan setelah dilakukan Berg Balance Test

(BBT) menunjukkan nilai 37 yaitu residen memiliki resiko jatuh dan perlu

menggunakan alat bantu berjalan seperti tongkat,kruk, atau walker. Namun

residen belum mau menggunakannya. Kamar residen terjaga kebersihannya

pencahayaan baik, lantai kamar mandi rutin dibersihkan oleh petugas Sasana

namun di dalam kamar terpasang karpet yang mudah bergeser serta terdapat

barang-barang yang ditumpuk oleh residen.

3.1.4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pada minggu pertama hingga minggu kedua. Residen

memiliki postur tubuh pendek, dengan punggung yang agak membungkuk, tinggi

badan residen yaitu 145 cm dengan berat badan 47 kg. Kesadaran Residen

compos mentis, dengan tanda-tanda vital pada tanggal 8 Mei 2013 yaitu suhu

36,7oC, nadi 70 kali/menit, pernafasan 18x/menit, dan tekanan darah 140/90

mmHg. Pemeriksaan fisik dimulai dari head to toe, yaitu dimulai dengan keadaan

dan penampilan umum kepala bulat, simetris, tidak terdapat lesi, rambut tipis,

warna rambut putih (beruban), tidak mudah dicabut, kulit kepala dan rambut

bersih, tidak tampak ketombe, tidak ada kutu. Rambut lurus, terdistribusi secara

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

27

Universitas Indonesia

merata pada kulit kepala, tidak ada lesi pada kulit kepala. Pada leher, tidak ada

pembesaran kelenjar getah bening dan vena jugularis.

Keadaan dan penampilan umum struktur mata yaitu alis mata simetris, sejajar,

bersih, mata kiri terlihat lebih sipit dari mata kanan. Keadaan konjungtiva dan

sklera konjungtiva berwarna merah muda (tidak anemis), sklera tidak ikterik, dan

mata sebelah kanan jelas untuk melihat karena sudah pernah dioperasi katarak.

Telinga sejajar mata, warna telinga sama dengan kulit wajah, lesi tidak ada, nyeri

tidak ada, tidak terdapat pengeluaran cairan.

Hasil pemeriksaan menggunakan garputala, residen sudah tidak mendengar suara

getaran garpu tala yang diletakkan di processus mastoideus, namun masih dapat

mendengar suara getaran yang di dekatkan dengan telinga namun dengan

frekuensi yang memendek. Hasil yang berbeda terjadi pada telinga kanan dan kiri.

Telinga kanan sudah tidak mendengar getaran garpu tala dan telinga kiri masih

mendengar dengan frekuensi yang memendek. Residen mengatakan tidak

mendengar getaran yang memanjang disalah satu telinga ketika garpu tala

didekatkan ke dahi. Residen mengatakan membersihkan telinga dalam waktu

tertentu dan hanya membersihkan telinga jika merasa gatal. Tidak dilakukan

pemeriksaan menggunakan otoskop, namun nampak dari luar bahwa telinga

residen bersih. Tidak terdapat pengeluaran cairan pada kedua telinga, dan residen

tidak mengeluhkan munculnya nyeri, ataupun suara berdenging.

Pemeriksaan fisik pada hambatan komunikasi verbal secara fokus pada

pemeriksaan yang mengkaji adanya batasan karakteristik hambatan komunikasi

verbal seperti afasia, difasia, apraksia, dan disleksia, kesulitan menyusun dan

kalimat ataupun kata-kata seperti gangguan afonia, dislalia, disartria. Batasan

karakteristik lainnya yaitu ketidaktepatan pengucapan, dispnea, pelo, sulit bicara,

gagap, defisit penglihatan total, bicara dengan kesulitan maupun menolak bicara

(Doenges, Moorhouse & Murr, 2008; NANDA, 2012). Faktor yang berhubungan

diantaranya perubahan sistem saraf pusat, defek anatomis berupa celah palatum,

perubahan sistem neuromuscular pada sistem penglihatan dan pendengaran.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

28

Universitas Indonesia

Tumor otak, hambatan fisik seperti intubasi atau trakeostomi, stress, kondisi

psikologis, efek samping obat, dan pelemahan sistem muskuloskeletal (NANDA,

2012). Pada residen, data-data mengarah kepada adanya gangguan pendengaran.

Keadaan dan penampilan umum hidung dan mulut tidak ada gangguan, hidung

tampak bersih dan tidak ada pengeluaran cairan. Pada pemeriksaan mulut

didapatkan gigi sudah ada yang tanggal, gigi bersih, lidah bersih, lesi tidak ada,

tidak ada sariawan, mukosa tidak kering, gigi agak kekuningan, dan residen

mengatakan tidak pernah sakit gigi sebelumnya. Tidak ada gangguan mengunyah,

residen masih bisa makan makanan keras, residen mengatakan semakin tua

gusinya semakin tipis dan gigi menjadi mudah tanggal.

Keadaan umum bentuk dada kifosis, warna kulit sama secara menyeluruh,

pergerakan dada simetris, tidak ada lesi, pada saat di palpasi tidak ada benjolan,

taktil fremitus antara toraks posterior dan anterior sama. Hasil auskultasi dada

didapatkan bunyi S1 dan S2 normal tidak ada suara murmur ataupun gallop, suara

nafas vesikuler ada, tidak terdapat ronchi maupun wheezing. Pemeriksaan

abdomen nampak perut residen membuncit, posisi abdomen lebih tinggi daripada

dada pada posisi berbaring, tidak ada kemerahan, scar tidak ada, tidak ada tanda-

tanda infeksi, umbilicus inverted dan bersih, asites tidak ada. Bising usus 3-4

kali/menit, suara perkusi timpani, nyeri tekan ataupun nyeri lepas abdomen tidak

ada, nyeri ketuk pada ginjal kanan dan kiri tidak ada. Abdomen teraba agak

lembek, limfa tidak teraba, ginjal tidak teraba.

Pemeriksaan ekstremitas kulit tidak pucat, warna kulit sama dengan warna tubuh,

dan terdapat deformitas pada telapak kaki. Cara berjalan residen seperti tidak

seimbang dan berpegangan pada benda-benda disekitar. Langkah residen juga

agak diseret dan bangun dari tidur ke duduk, atau duduk ke berdiri dengan

berpegangan pada benda sekitar. Residen sering jalan bergandengan dengan

residen lain. Turgor kulit tidak elastis, kembalinya lambat, capillary refill time

kurang dari 2 detik. Hasil pengkajian kekuatan otot yaitu residen pada otot lengan

kanan dan kiri, dapat melawan gravitasi, bergerak penuh, dan mampu menahan

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

29

Universitas Indonesia

tekanan. Pada otot kaki kanan gerak sendi penuh, mampu melawan gravitasi, dan

mampu menahan tahanan kecuali pada otot pinggul yaitu mampu menahan

tahanan minimal. Pada otot kaki kiri, gerak sendi mampu melawan gravitasi,

mampu menahan tahanan, dan ketika diminta mengangkat kaki dengan posisi

supine hanya mampu menahan sebentar. Informasi penunjang seperti diagnosa

medis dan laboratorium tidak didapatkan.

3.2 Analisis Data

Hasil pengkajian dipaparkan dan dianalisis berdasarkan kebutuhan yang dialami

oleh residen. Hasil pengkajian menunjukkan terdapat dua diagnosa keperawatan

yang dialami oleh residen, yaitu hambatan komunikasi verbal dan resiko jatuh.

Hambatan komunikasi verbal adalah tertundanya, berkurangnya, atau tidak

adanya kemampuan untuk menerima, memproses, mentransmisikan, dan

menggunakan symbol untuk berkomunikasi (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008;

NANDA, 2012). Batasan karakteristik dari hambatan komunikasi verbal menurut

NANDA (2012) yaitu gagap, kesulitan memahami dan mempertahankan pola

komunikasi yang biasa seringkali muncul pada residen. Hal yang berhubungan

dalam diagnosa hambatan komunikasi verbal salah satunya yaitu defek anatomis

seperti gangguan pendengaran yang dialami oleh residen (Doenges, Moorhouse &

Murr, 2008; NANDA, 2012).

Diagnosa keperawatan hambatan komunikasi verbal muncul dari data pendukung

bahwa residen mengeluhkan sulit mendengar lawan bicara dan memahami

pembicaraan. Residen sering meminta lawan bicara mengulang pembicaraan dan

memiringkan kepala untuk mendengar pembicaraan, berbicara dengan tempo

pelan dan agak tergagap, tidak menyadari jika namanya dipanggil dari belakang.

Selain itu, residen juga pernah mendapatkan alat bantu pendengaran, namun tidak

digunakan lagi karena rusak. Residen sudah tidak mendengar suara getaran garpu

tala yang diletakkan di processus mastoideus, namun masih dapat mendengar

suara getaran yang di dekatkan dengan telinga kiri namun dengan frekuensi yang

memendek. Hasil yang terjadi pada telinga kanan tidak mendengar suara sama

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

30

Universitas Indonesia

sekali. Residen juga tidak mendengar getaran yang memanjang di salah satu

telinga ketika garpu tala didekatkan ke dahi.

Diagnosa keperawatan lain yang muncul yaitu resiko jatuh yang merupakan

peningkatan kerentanan yang dapat melukai atau memunculkan cedera fisik

(NANDA, 2012). Faktor resiko yang muncul pada residen sesuai dengan faktor

resiko dari resiko jatuh berdasarkan NANDA (2012) yaitu usia diatas 65 tahun,

memiliki riwayat jatuh, dan tinggal sendiri. Faktor fisiologis yang ada pada

residen dan termasuk dalam NANDA (2012) yaitu kesulitan mendengar,

gangguan keseimbangan, dan memiliki penyakit vascular berupa hipertensi serta

meminum obat antihipertensi.

Diagnosa resiko jatuh muncul dari data pendukung bahwa residen pernah

mengalami kejadian jatuh meskipun di luar jangka waktu tiga bulan, berjalan

dengan agak diseret, dan berpegangan pada benda-benda sekitar jika berjalan.

Berdasarkan hasil Fall Morse Scale (FMS) residen memiliki resiko jatuh tinggi

dan Berg Balance Test (BBT) membutuhkan menggunakan alat bantu jalan

berupa tongkat. Keadaan lingkungan kamar residen tampak bersih, namun jika

lampu dimatikan disiang hari lingkungan kamar tampak gelap. Kamar residen

terjaga kebersihannya, lantai kamar mandi rutin dibersihkan oleh petugas Sasana

namun di dalam kamar terpasang karpet yang mudah bergeser serta terdapat

barang-barang yang ditumpuk oleh residen.

Hasil pengkajian yang muncul pada umumnya mendukung kepada munculnya

diagnosa keperawatan resiko jatuh sebagai diagnosa utama, akan tetapi pada

residen terdapat ketidak kooperatifan dalam pelaksanaan diagnosa resiko jatuh

sehingga diagnosa keperawatan resiko jatuh kurang dapat dilaksanakan secara

maksimal. Penulis mengutamakan intervensi pada hambatan komunikasi verbal

yang dapat dilakukan secara rutin pada residen dan juga beriringan dengan

masalah resiko jatuh karena informasi lingkungan yang ada diterima dan direspon

oleh individu melalui indera pendengaran dan berkurangnya sensasi dan persepsi

berkontribusi terhadap kerentanan lansia untuk mengalami kecelakaan (Ebersole,

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

31

Universitas Indonesia

Hess, Touhy, Jett, 2005). Meskipun begitu, pelaksanaan diagnosa resiko jatuh

tetap dilaksanakan sejalan dengan diagnosa hambatan komunikasi verbal.

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan

3.3.1 Rencana Asuhan Keperawatan Hambatan Komunikasi Verbal

Rencana asuhan keperawatan residen berdasarkan pada diagnosis keperawatan.

Tujuan dari asuhan keperawatan kepada residen disesuaikan dengan masing-

masing diagnosa keperawatan yang muncul. Diagnosa pertama yaitu hambatan

komunikasi verbal. Tujuan dari diagnosa ini berdasarkan Doenges, Moorhouse &

Murr (2008) yaitu meningkatkan kemampuan residen dalam berkomunikasi

ditandai dengan residen dapat mengungkapkan kata-kata yang mengindikasikan

pemahaman dalam kesulitan komunikasi dan merencanakan cara-cara untuk

mengatasi hambatan komunikasi, mempertahankan metode komunikasi yang

mampu mengutarakan perasaan, dan berpartisipasi dalam komunikasi aktif.

Intervensi yang dilakukan menurut Doenges, Moorhouse & Murr (2008) yaitu

berdasarkan tujuan khusus dengan mengetahui faktor penyebab, membantu

residen dalam mempertahankan cara berkomunikasi untuk mengutarakan

kebutuhan, keinginan, ide, maupun bertanya, serta meningkatkan kesejahteraan

dengan promosi kesehatan.

Doenges, Moorhouse & Murr (2008) menyebutkan intervensi terkait hambatan

komunikasi verbal diantaranya mengidentifikasi kondisi fisiologis dan neurologis

yang mempengaruhi gangguan bicara, seperti nafas pendek, palatum, trauma

wajah, stroke, trauma otak, atau gangguan pendengaran. Melihat kembali hasil

pemeriksaan diagnostik jika ada seperti CT scan, Elektroenchepalogram (EEG)

untuk mengetahui penyebab kelainan yang dialami residen, mengetahui sumber-

sumber yang menyebabkan residen mengalami gangguan pendengaran, kesulitan

menerima informasi, dan identifikasi munculnya gangguan emosional ataupun

psikologis dengan melakukan evaluasi status mental serta kognitif. Selain itu,

identifikasi motivasi dan harapan residen untuk meningkatkan komunikasi serta

menentukan kemampuan residen dalam mendengarkan dan berkomunikasi.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

32

Universitas Indonesia

Doenges, Moorhouse & Murr (2008) menyebutkan tujuan khusus kedua yaitu

mempertahankan cara komunikasi dengan memastikan mendapat perhatian dari

residen sebelum melakukan intervensi, meningkatkan hubungan dengan residen

dengan mempertahankan kontak mata, bersalaman, tersenyum, menanyakan

pertanyaan singkat, dan memperlihatkan caring kepada residen. Selain itu,

menyediakan dan motivasi residen untuk menggunakan alat bantu yang dapat

meningkatkan kemampuan komunikasi, seperti alat bantu dengar. Pertahankan

ketenangan, kurangi distraksi dari luar dengan menciptakan lingkungan yang

tenang dengan menutup pintu, mematikan televisi, menunjukkan perilaku yang

sabar, dan berikan waktu bagi residen untuk memahami pembicaraan.

Berkomunikasi dengan menggunakan ekspresi dan bahasa tubuh juga penting

untuk meningkatkan pemahaman dalam menerima informasi. Menahan diri dari

berteriak ketika berbicara dan berbicara perlahan dan jelas, mengeluarkan suara

rendah untuk meningkatkan kemungkinan menjadi salah paham. Bersikap jujur

dan membiarkan residen tahu jika lawan bicara mengalami kesulitan memahami

informasi yang diberikan oleh residen. Ulangi bagian dari pesan apabila mengerti

sehingga residen tidak harus mengulang seluruh pesan dari awal, serta menjadi

pendengar yang aktif. dan bicara dengan singkat dan diulang bila perlu. Anjurkan

residen untuk berkomunikasi dengan membaca gerakan bibir dan bahasa tubuh

lawan bicara (Lip reading).

Tujuan khusus yang ketiga yaitu meningkatkan kesejahteraan dengan promosi

kesehatan yang diberikan pada keluarga atau pemberi perawatan. Jika residen

tinggal bersama keluarga, berikan edukasi tentang kondisi residen dan cara

berkomunikasi yang tepat dengan residen. Pahami kondisi residen dalam

berkomunikasi, dan hindari faktor-faktor resiko yang dapat meningkatkan

terganggunya komunikasi residen, seperti menghindari dan mengatasi faktor

resiko yang dapat meningkatkan gangguan pendengaran seperti suara bising,

stress, penggunaan obat-obatan ototoksik, dan penyakit vascular. Perhatikan dan

kolaborasi tenaga kesehatan apabila muncul gejala yang mengarah kepada

perubahan mental dan perilaku (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008).

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

33

Universitas Indonesia

3.3.2 Rencana Asuhan Keperawatan Resiko Jatuh

Diagnosa selanjutnya adalah resiko jatuh.yang bertujuan untuk mencegah

terjadinya jatuh pada residen (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008). Tujuan

khusus dari diagnosa keperawatan ini yaitu meningkatnya pengetahuan residen

tentang risiko jatuh, meningkatnya kekuatan otot dan keseimbangan pada residen,

meningkatnya kebersihan dan kerapihan kamar dan meningkatnya kewaspadaan

terhadap resiko jatuh pada residen. Intervensi yang dilakukan meliputi

memberikan penjelasan pada residen tentang resiko jatuh dan kondisi ruangan

yang menyebabkan resiko jatuh. Mengidentifikasi bersama residen lingkungan

yang dapat meningkatkan kemungkinan jatuh, berdiskusi dengan residen

pemilihan alas kaki yang tidak menyebabkan resiko jatuh, melakukan pemilihan

dan edukasi tentang alat bantu berjalan, dan memotivasi untuk melakukan latihan-

latihan yang dapat meningkatan kekuatan otot dan keseimbangan.

Intervensi lain yang dapat dilakukan yaitu dengan memperhatikan keadaan

lingkungan residen. Perawat dapat bekerjasama dengan caregiver/ clening service

dalam memberikan lingkungan yang aman pada kamar residen dan lingkungan

wisma Cempaka (pencahayaan yang cukup pada gang dan kamar mandi, lantai

tidak licin, keset tidak tertekuk dan tersedianya handrail di kamar dan kamar

mandi), bekerjasama dengan residen untuk merapikan kamar dan menganjurkan

residen untuk waspada apabila terdapat tanda peringatan jatuh.

3.4 Implementasi

3.4. 1 Hambatan Komunikasi Verbal

Implementasi asuhan keperawatan kepada residen dilakukan dalam waktu tujuh

minggu. Pertemuan terkait implementasi dengan residen dilakukan seminggu dua

kali, yaitu di jam kosong Residen. Total pertemuan selama tujuh minggu

mendapat sekitar 15 (lima belas) kali interaksi terkait pengkajian dan intervensi

kedua diagnosa tersebut. Hal ini disebabkan residen sering tidak ingin diganggu

jika dirinya lelah setelah mengikuti kegiatan di Sasana dan langsung masuk kamar

dan tidak keluar. Hanya di waktu-waktu tertentu residen memiliki waktu luang

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

34

Universitas Indonesia

yaitu, jika pagi hari tidak ada kegiatan maupun senam, dan sore hari jika residen

tidak terdapat pengajian.

Pelaksanaan diagnosa keperawatan hambatan komunikasi verbal dilakukan

selama 15 kali pertemuan dan intervensi diagnosa lain turut disisipkan diantara

pertemuan tersebut. Kontrak waktu yang ditetapkan setiap kali pertemuan yaitu 30

menit, tetapi pelaksanaan optimal dilakukan dalam waktu 15-20 menit. Pemberian

intervensi dilakukan seoptimal mungkin disesuaikan dengan kondisi residen.

Intervensi keperawatan yang telah diimplementasikan selama 15 kali pertemuan

tersebut yaitu membahas tentang tujuan khusus dari diagnosa hambatan

komunikasi verbal diantaranya mengetahui faktor penyebab, membantu residen

dalam mempertahankan cara berkomunikasi untuk mengutarakan kebutuhan,

keinginan, ide, maupun bertanya, serta meningkatkan kesejahteraan dengan

promosi kesehatan.

Pertemuan pertama hingga ke empat atau dua minggu pertama membahas tentang

evaluasi status mental dan kognitif dengan mengisi Geriatric Depression Scale

(GDS) dan Mini Mental Status Examination (MMSE). Pengkajian melalui

wawancara dan pemeriksaan fisik dilakukan juga dalam empat hingga enam kali

pertemuan pertama. Selain itu, intervensi yang dilakukan terlebih dahulu yaitu

terkait tujuan khusus meningkatnya kemampuan residen dalam bertukar pesan

dengan orang lain, yaitu dengan mengidentifikasi kemampuan residen dalam

berkomunikasi dan hal-hal yang menyebabkan residen kesulitan berkomunikasi

dan mengajarkan teknik komunikasi yang efektif.

Teknik komunikasi yang efektif dilakukan dengan melatih residen untuk berbicara

dengan melihat lawan bicara dan membaca gerakan bibir dari pembicara. Penulis

melakukan teknik-teknik komunikasi secara umum, yaitu bicara dengan intonasi

yang jelas, kata-kata yang tidak terlalu panjang dan rumit, berbicara menghadap

ke arah residen, serta menjadi pendengar yang aktif. Tindakan keperawatan yang

dapat diterapkan secara rutin yaitu meningkatkan komunikasi secara aktif dengan

teknik lip reading. Intervensi dengan cara tersebut diterapkan dimulai dari awal

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

35

Universitas Indonesia

hingga akhir pertemuan. Setiap intervensi dilakukan dengan posisi duduk saling

berhadapan dan dilakukan di depan kamar residen. Kondisi lingkungan tenang,

namun kadang masih terdapat distraksi dari luar karena tempat pertemuan

merupakan tempat yang sering dilalui oleh residen lainnya.

Teknik lip reading dilakukan dengan mengajarkan residen untuk membedakan

bentuk kata dari huruf vokal, konsonan, dan beberapa kata seperti kata “beda”,

“apa”, “makan” dan kata-kata lain yang ada di dalam interaksi dengan residen.

Pada awalnya, residen terlihat bingung terutama pada pertemuan di minggu awal

dan kedua, tetapi akhirnya residen mau mengikuti pengucapan yang dilakukan

oleh penulis. Residen ketika membaca bibir dan mendengarkan penulis tampak

berfikir dan dengan mata menyipit dan terlihat fokus melihat kearah bibir lawan

bicaranya. Apabila penulis bicara terlalu cepat dan sulit dimengerti residen

meminta untuk mengulangi. Jika ada pertanyaan yang tidak mau dijawab oleh

residen maka residen akan tersenyum dan diam atau menggelengkan kepala.

Penulis juga melatih residen dengan menggunakan kata-kata dari isian teka-teki

yang dimiliki oleh residen untuk membantu residen lebih relaks dan paham kata-

kata yang dibacakan oleh penulis berdasarkan pertanyaan yang ada pada pada kuis

di teka-teki silang. Latihan ini diberikan secara bertahap dan ada di setiap

pertemuan dengan residen. Apabila residen tidak merasa lelah maka intervensi

lain, juga diterapkan.

Intervensi mengenai pemberian edukasi terkait tujuan khusus meningkatkan

kesejahteraan melalui promosi kesehatan dilakukan juga dengan meningkatkan

pengetahuan residen tentang gangguan pendengaran, jenis-jenis gangguan

pendengaran, dan penyebab serta faktor resiko gangguan pendengaran dilakukan

secara perlahan di mulai pada pertemuan pertama hingga pertemuan ke sepuluh

yaitu minggu ke pertama hingga minggu kelima. Residen dalam diagnosa ini

hanya berespon dengan mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. Ketika

ditanya, residen hanya tersenyum dan tidak mau mengulang apa yang dijelaskan.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

36

Universitas Indonesia

Intervensi pada pertemuan selanjutnya untuk diagnosa hambatan komunikasi

verbal dilakukan dengan melakukan identifikasi terkait jenis obat-obatan yang

digunakan oleh residen dan berdiskusi terkait cara-cara yang dapat dilakukan

untuk mengatasi gangguan pendengaran. Residen dalam hal ini terlihat seperti

menerima, namun residen tidak menjawab dan hanya tersenyum. Selain itu,

intervensi yang penting yaitu membantu residen mengidentifikasi jenis gangguan

pendengaran yang dialami dan dilakukan dengan melakukan tes dengar dengan

garpu tala. Kolaborasi pemberian alat bantu dengar juga merupakan salah satu

intervensi. Akan tetapi, karena terdapatnya keterbatasan alat, bahan, dan dana,

serta minat dari residen intervensi pemberian alat bantu dengar tidak dilakukan.

3.4.2 Resiko Jatuh

Mulai pada minggu pertama sudah mulai diterapkan intervensi terkait gangguan

jatuh. Terkait resiko jatuh, penulis memberikan intervensi berupa pemberian

motivasi penggunaan tongkat, dan menjelaskan penyebab perlu untuk

menggunakan tongkat dan kegunaan dari penggunaan tongkat. Selain itu, residen

juga di motivasi untuk melakukan modifikasi lingkungan kamar untuk menjaga

agar kamar tetap rapi dan bersih serta menghindari pemakaian karpet yang licin.

Intervensi juga dilakukan dengan memasang tanda dengan plester merah pada

undakan-undakan di lingkungan wisma cempaka sebagai upaya pencegahan jatuh.

Residen diminta untuk mewaspadai tanda-tanda tersebut, dan menjadi lebih

berhati-hati bila melihat tanda tersebut. Respon yang diberikan oleh residen hanya

mengangguk-anggukkan kepala dan tersenyum. Residen belum mau

menggunakan tongkat dan mengatakan akan berhati-hati dengan selalu

berpegangan agar tidak jatuh.

Intervensi resiko jatuh juga bertujuan melakukan peningkatan kekuatan otot dan

keseimbangan pada residen. Dalam hal ini, intervensi yang dilakukan yaitu

memfasilitasi dan motivasi residen untuk mengikuti kegiatan senam yang ada di

Sasana. Residen selalu mengikuti kegiatan senam, karena itu, residen sering

menolak jika melakukan intervensi berupa tindakan Balance Exercise (BE) atau

Range Of Motion (ROM). Pemeriksaan Berg Balance Test (BBT) dilakukan pada

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

37

Universitas Indonesia

pertemuan ketiga dan keempat di minggu kedua. Intervensi dengan melakukan

diskusi dengan residen terkait penyebab-penyebab jatuh yang dialami oleh residen

dan cara-cara yang dilakukan oleh residen untuk mencegah kejadian jatuh juga

dilakukan. Kendala yang dialami dalam diagnosa ini yaitu residen yang

berpendirian teguh tidak ingin menggunakan tongkat sehingga tindakan yang

dilakukan hingga akhir pertemuan yaitu memotivasi residen untuk menggunakan

tongkat sebagai alat bantu berjalan. Dalam setiap intervensi yang diberikan

kepada residen selalu memberikan reinforcement positif atas apa yang telah

dilakukan oleh residen.

3.5 Evaluasi

Evaluasi dari tindakan yang telah diimplementasikan kepada residen didapatkan

dari interaksi-interaksi yang telah dilakukan selama tujuh minggu dengan

menggunakan metode analisis SOAP (Subjektif, Objektif, Analisis, Planning).

Pada minggu pertama dan kedua merupakan fase bina hubungan saling percaya

dan dilakukannya pengkajian serta pemeriksaan-pemeriksaan yang berkaitan

sebagai data untuk menegakkan diagnosa. Perlu pendekatan khusus pada residen

karena residen merupakan residen yang aktif namun sering tidak ingin diganggu

bila sedang beristirahat. Apabila mendekati residen dan membuatnya kaget.

residen kadang terlihat kesal dan lebih sering menghindar bila tidak ingin ditemui.

3.5.1 Hambatan Komunikasi Verbal

Hasil evaluasi subjektif residen merasa senang karena telah diajarkan cara

mendengarkan dengan membaca bibir. Residen merasa terbantu untuk memahami

perkataan orang lain meskipun tidak semua kata dapat dibaca oleh residen.

Residen telah menggunakan metode tersebut dan akan banyak berlatih. Residen

masih menemukan kesulitan dengan beberapa huruf konsonan seperti b dengan p,

s dengan x, h dengan k, serta g dengan d dan kesulitan bila lawan bicaranya tidak

memahami dirinya dan berkata dengan mendekatkan mulut ke telinga residen

bukan dengan berhadapan dengannya.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

38

Universitas Indonesia

Kesulitan tersebut diatasi residen dengan mensiasati teknik komunikasi dengan

memundurkan tubuhnya dan memberi jarak antara dirinya dan lawan bicara.

Selain itu, residen juga mengatakan ia akan meminta lawan bicaranya untuk

mengulang pertanyaan atau perkataan yang membingungkan bagi residen.

Implementasi ini dilakukan dari awal hingga akhir pertemuan dan residen

merasakan terdapat perbedaan yang berarti, yaitu dirinya bisa lebih mudah tahu

apa yang dibicarakan orang lain, meskipun terkadang masih salah dengar.

Residen mengatakan senang bila dirinya dapat dimengerti bahwa ia memiliki

gangguan pendengaran sehingga ia merasa tidak hanya dirinya yang

menyesuaikan diri tetapi orang-orang disekitar juga mendukungnya.

Hasil observasi yang terlihat pada diagnosa hambatan komunikasi verbal yaitu

residen terlihat mempraktikkan cara berkomunikasi menggunakan teknik

membaca bibir. Residen terlihat serius memperhatikan gerak bibir lawan bicara,

dan lebih cepat merespon apa yang diucapkan oleh orang lain. Selama latihan

teknik lip reading residen kooperatif dan mau mempraktikkan dengan baik.

Residen juga sudah bisa membedakan bentuk huruf vocal. Huruf konsonan masih

perlu diulang-ulang dan mampu membedakan jika digabungkan dengan kata yang

familiar pada minggu-minggu akhir pertemuan tidak perlu mengulang untuk

membacakan beberapa soal teka teki silang, tetapi terkadang masih perlu

pengulangan di soal yang tidak familiar.

Residen juga tampak memperhatikan ekspresi dan membaca bibir orang setiap

berkomunikasi dengan orang lain setelah minggu kedua. Hal itu dilakukan

bertahap oleh residen hingga terakhir pertemuan tampak residen sudah melakukan

teknik komunikasi yang telah diajarkan. Pada pemberian edukasi tentang faktor

resiko yang menyebabkan gangguan pendengaran, residen tidak berespon dengan

menjawab pertanyaan, tetapi hanya memperhatikan, menganggukkan kepala, dan

tersenyum.

Hasil analisis mendapatkan bahwa residen mengalami hambatan komunikasi

verbal karena defisit pendengaran yang disebabkan oleh adanya gangguan

sensorineural. Residen mengalami gangguan pendengaran karena faktor resiko

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

39

Universitas Indonesia

hipertensi yang dialami. Residen telah mampu untuk mempraktikkan teknik

komunikasi dengan baik, terlihat dari residen selalu menatap wajah lawan bicara,

memfokuskan pada bibir lawan bicara, dan mampu lebih cepat memahami

perkataan orang lain dengan melihat bibir daripada dengan mengencangkan suara.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan kepada residen, teknik komunikasi

dengan membaca bibir dapat dipraktikkan oleh residen dan cukup efektif untuk

mengurangi hambatan komunikasi verbal yang dimiliki dan residen menjadi lebih

mudah dan cepat menangkap makna pembicaraan daripada ketika residen

memiringkan kepala dan mendekatkan telinga ke bibir pembicara. Untuk tujuan

khusus ketiga, yaitu peningkatan kesejahteraan melalui promosi kesehatan

terlaksana sebagian yaitu dengan tidak minum obat-obatan yang bersifat

ototoksik, namun residen tidak menjawab pertanyaan berkaitan dengan edukasi

mengenai faktor-faktor resiko yang mempengaruhi gangguan pendengaran.

Rencana tindak lanjut dari diagnosa hambatan komunikasi verbal yaitu dengan

terus melatih kemampuan komunikasi residen, melakukan komunikasi dengan

tepat kepada residen dengan intervensi yang ada. Selain itu, adanya kolaborasi

penggunaan alat bantu dengar jika memungkinkan. Rencana tindak lanjut lainnya

yaitu dengan memperhatikan keaktifan residen dalam mengikuti kegiatan, pantau

kemungkinan adanya perubahan perilaku yang tidak diinginkan mengarah pada

isolasi sosial.

3.5.2 Resiko jatuh

Hasil evaluasi dari resiko jatuh didapatkan data secara subjektif bahwa residen

merasa sudah sangat berhati-hati. Residen tidak mau menggunakan alat bantu

jalan, dirinya pernah mendapatkan tongkat akan tetapi tidak mau

menggunakannya. Residen lebih memilih berjalan dengan menggunakan bantuan

dan berpegangan dengan benda-benda disekitar. Setelah dijelaskan, residen tetap

bersikeras tidak mau menggunakan alat bantu berjalan. Untuk intervensi

modifikasi lingkungan residen merasa sudah nyaman dengan kondisi kamar saat

ini. Kondisi kamar residen cukup rapi dan rajin dibersihkan oleh petugas Cleaning

Service Sasana secara rutin. Tetapi, tetap terdapat karpet yang terpasang di kamar

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

40

Universitas Indonesia

dan beresiko membuat jatuh. Untuk meningkatkan kekuatan otot, residen setiap

pagi mengikuti senam yang ada di panti, oleh karena itu, merasa sudah cukup

dengan latihan fisik setiap hari. Residen merasa lelah apabila melakukan latihan

fisik hingga dua kali dalam sehari.

Evaluasi objektif pada resiko jatuh didapatkan data bahwa residen terlihat kurang

antusias dan kurang kooperatif. Residen sering menolak intervensi yang

berhubungan dengan penggunaan alat bantu jalan dan merasa tidak perlu

menggunakan alat bantu jalan. Residen mengiyakan jika diajak berdiskusi dan

mengatakan paham, akan tetapi tetap tidak mau menggunakan alat bantu jalan.

Residen tidak mau menyebutkan alasan sebenarnya dan hanya dijawab dengan

gerakan kepala tidak mau, dan tersenyum.

Residen melakukan latihan berupa senam setiap hari, didalam senam tersebut juga

terdapat latihan keseimbangan dan meningkatkan kekuatan otot, residen tidak mau

berlatih lagi karena merasa lelah dan sudah cukup dengan senam setiap pagi.

Akan tetapi, jika diajak untuk latihan rentang pergerakan sendi residen mau

melakukan bila didampingi tetapi terlihat tidak pernah melakukan secara mandiri.

Hingga pertemuan terakhir, residen tidak mau menggunakan alat bantu jalan dan

masih mengikuti kegiatan senam secara rutin. Residen masih perlu dimotivasi

dalam melakukan rentang pergerakan sendi secara mandiri.

Evaluasi diagnosa resiko jatuh menunjukkan bahwa resiko jatuh terjadi pada

residen setelah pertemuan terakhir dengan residen, namun tidak menimbulkan

bahaya fisik pada residen. Residen masih menjalankan aktivitas sehari-hari dan

tetap tidak mau menggunakan alat bantu jalan. Resiko jatuh masih tinggi terjadi

pada residen dan belum teratasi. Rencana tindak lanjut dari diagnosa resiko jatuh

yaitu dengan memperhatikan keadaan lingkungan sekitar residen. Hindari

lingkungan yang dapat menyebabkan jatuh, dan fasilitasi residen untuk dapat

mengikuti kegiatan dan sebagai upaya pencegahan jatuh, seperti mengawasi

residen dari kamar hingga tempat kegiatan. Kondisi fisik residen juga harus

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

41

Universitas Indonesia

diperhatikan, seperti adanya kondisi tubuh yang tidak sehat pada saat melakukan

kegiatan dan motivasi untuk menggunakan alat bantu jalan.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

42 Universitas Indonesia

BAB 4

ANALISIS SITUASI

4.1 Profil Lahan Praktik

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti diresmikan pada tanggal 14 Maret 1984

serta dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Karya Bhakti RIA Pembangunan yang

diprakarsai oleh Ibu Hj. Siti Hartinah Soeharto. Sasana Tresna Werdha Karya

Bhakti merupakan institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesejahteraan

khusus kepada lanjut usia (lansia) mengadopsi pada sistem pelayanan nursing

home yang di dalamnya menyediakan pelayanan bagi para lansia untuk memenuhi

kebutuhan dasar dan menjaga kualitas hidup (Miller, 2012). Pelayanan yang

diberikan terdiri dari pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, rekreasi, dan

pelayanan harian.

Pelayanan yang diberikan pada Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti mengadopsi

dari sistem pelayanan nursing home yang ada di komunitas dan merupakan

gabungan dari konsep home care, day care, social resident dan hospice care.

Pelayanan kesehatan berupa konsep home care yaitu dengan tersedianya

konsultasi ahli, asuhan keperawatan, fisioterapi, farmasi, rawat jalan, rawat inap,

rujukan RS dan kegawatdaruratan serta konsep hospice care yang merawat

residen yang memerlukan perawatan paliatif dan memberi dukungan pada lansia

yang mengalami penyakit terminal dengan tujuan menyediakan kenyamanan

(Arenson et.al, 2009; Miller, 2012). Konsep pelayanan day care yang

menyediakan struktur sosial dan aktivitas rekreasi untuk lansia, dan menyediakan

makanan serta beberapa pelayanan seperti transportasi, manajemen obat,

membantu perawatan diri, dan pelayanan lain yang berhubungan dengan

pelayanan kesehatan dan terapi (Arenson et.al, 2009; Miller, 2012) tersedia di

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti berupa pembinaan mental spiritual sesuai

keyakinan, senam, dan kegiatan bincang-bincang dengan beberapa tokoh atau

instansi.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

43

Universitas Indonesia

Social residence atau senior centers dalam health promotion program

menempatkan lansia berkumpul dalam waktu tertentu untuk memeriksakan

kesehatan dan melakukan aktivitas lain yang meningkatkan kesehatan (Miller,

2012). Pelayanan harian lanjut usia (PHLU) tersedia melalui pemeriksaan

kesehatan harian berupa pemeriksaan tanda-tanda vital; pelayanan individu dan

pelayanan kelompok sesuai kebutuhan lansia. Sasana Tresna Werdha Karya

Bhakti merupakan tempat perawatan long term care karena karakteristik

residennya pada umumnya lebih tua, diterima dari rumah, dan sering tetap tinggal

di fasilitas sampai residen meninggal atau dipindahkan ke suatu fasilitas

perawatan akut (Stanley & Beare, 2002).

Persyaratan bagi seseorang yang ingin menetap di Sasana Tresna Werdha Karya

Bhakti yaitu berusia di atas 60 tahun, sehat jasmani maupun rohani, mandiri, ingin

tinggal di STW atas keinginan sendiri, memiliki penanggung jawab keluarga, dan

yang terpenting adalah tidak ada paksaan. Persyaratan yang ada pada pelayanan

nursing home di Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti berkesinambungan dengan

California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR) (2012) yang

memastikan kesehatan residen tidak mengalami kemunduran kecuali secara medis

tidak dapat dihindari, perawatan, pengobatan, dan terapi harus digunakan untuk

memelihara dan meningkatkan kesehatan seoptimal mungkin, dan residen berhak

untuk memilih dan menolak pelayanan yang diberikan.

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti dilengkapi oleh sarana dan prasarana yang

menunjang kenyamanan lansia, antara lain fasilitas hunian, klinik werdha, fasilitas

penunjang kesehatan lansia, dan fasilitas lain yang mendukung layaknya fasilitas

standar pada home care (Arenson et.al, 2009; Miller, 2012). Fasilitas hunian

meliputi wisma Aster kapasitas 18 kamar VIP, Wisma Bungur kapasitas 25

kamar, Wisma Cempaka kapasitas 26 kamar, dan Wisma Dahlia kapasitas 8

kamar. Fasilitas klinik werdha antara lain Wisma Wijaya Kusuma kapasitas 3

kamar VIP, bangsal rawat inap 15 tempat tidur, dan pelayanan 24 jam. Fasilitas

penunjang pelayanan lansia antara lain Wisma Soka, Wisma Mawar, Wisma

Kamboja, dan Wisma Kenanga. Fasilitas lain pendukung bagi kehidupan lansia

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

44

Universitas Indonesia

antara lain dapur, ruang cuci, ruang serba guna, perpustakaan, pendopo, dan

ruang pemeriksaan kesehatan.

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti berlokasi di Cibubur, Jakarta yang

merupakan daerah perkotaan. Meningkatnya usia harapan hidup berdampak

kepada peningkatan jumlah populasi lanjut usia (lansia). Organisasi Kesehatan

Dunia (World Health Organization) mencatat bahwa jumlah lansia akan lebih

banyak berada di perkotaan. Tahun 2010, jumlah penduduk lansia yang tinggal di

perkotaan diperkirakan sebesar 9,58% dari total jumlah lansia (Hamid, 2007).

Fenomena meningkatnya lansia diperkotaan berdampak kepada usaha

meningkatkan kesejahteraan lansia dengan memberikan berbagai program

terobosan untuk meningkatkan akses lansia pada pelayanan yang bermutu.

Pelayanan yang diberikan oleh Sasana Tresna Werdha merupakan dasar bahwa

Sasana Tresna Werdha adalah sebuah panti werdha yang di dalamnya merupakan

bentuk pelayanan yang menempatkan penerima pelayanan ke dalam suatu

lembaga tertentu (Pratiwi, 2007). California Advocates For Nursing Home

Reform (CANHR) (2012) menyatakan nursing home harus memenuhi standar

pelayanan. Standar pelayanan yang dibuat disesuaikan dengan tujuan didirikannya

panti yaitu untuk mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial yang ditimbulkan

dari meningkatnya jumlah lansia serta masalahnya pergeseran nilai sosial budaya

masyarakat yang cenderung mengakibatkan lansia kurang dihargai, dihormati,

serta tersisih dari lingkungan sosialnya, membantu para lanjut usia untuk

mempertahankan kepribadiannya, memberi jaminan kehidupan secara wajar, baik

jaminan fisik, kesehatan maupun sosial psikologis serta ikut menikmati hasil

pembangunan sehingga tidak merasa mendapat tekanan, hinaan serta merasa

mendapat perhatian dari seluruh masyarakat (Pratiwi, 2007).

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti RIA Pembangunan merupakan panti yang

mengadopsi dari pelayanan nursing home yang menyediakan tempat tinggal dan

fasilitas pelayanan lansia jangka panjang. Standar pelayanan yang diberikan di

nursing home sesuai California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR)

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

45

Universitas Indonesia

(2012) yang sudah tersedia pada Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti diantaranya

yaitu telah menyediakan kebutuhan sesuai residen, adanya staf yang memadai,

memperhatikan kebutuhan cairan dan nutrisi, obat-obatan, pengendalian infeksi,

dan menghindari adanya luka dekubitus pada lansia dengan hambatan mobilisasi.

Standar lainnya yaitu mencegah kecelakaan atau kejadian jatuh, layanan khusus

berupa pemberian suntikan atau cairan IV, terapi, serta latihan range of motion.

Standar pelayanan tersebut terutama telah dilaksanakan di Wisma Wijaya

Kusuma.

4.2 Analisis Asuhan Keperawatan Hambatan Komunikasi Verbal

Hambatan komunikasi verbal yaitu tertundanya, berkurangnya, atau tidak adanya

kemampuan untuk menerima, memproses, mentransmisikan, dan menggunakan

symbol untuk berkomunikasi atau dengan kata lain yaitu berkurangnya

kemampuan untuk menggunakan dan mengerti pembicaraan dalam interaksi

(Ebersole & Hess, 1999; Doenges, Moorhouse & Murr, 2008; NANDA, 2012).

Pada kasus Ibu SMB (89 tahun) residen Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

RIA Pembangunan menurut NANDA (2012) terjadi penurunan untuk menerima

informasi dalam komunikasi karena faktor yang berhubungan yaitu defek

anatomis berupa gangguan pendengaran dengan batasan karakteristik gagap,

kesulitan memahami dan mempertahankan pola komunikasi yang biasa seringkali

muncul pada residen.

Diagnosa NANDA 2009-2011 menyebutkan bahwa diagnosa yang tepat untuk

masalah residen mengacu pada Gangguan Sensori: Pendengaran, namun saat ini

pada NANDA 2012-2014 diagnosa tersebut dihapuskan, diagnosa yang

didalamnya terdapat hal yang berkaitan dengan masalah pendengaran yaitu

diagnosa hambatan komunikasi verbal dimana gangguan pendengaran sebagai

faktor yang berhubungan dengan terjadinya hambatan komunikasi verbal.

Diagnosa gangguan sensori, sebaiknya tetap ada sehingga tidak terjadi kerancuan

antara kedua diagnosa tersebut. Hambatan komunikasi verbal memiliki

karakteristik khusus seperti gangguan pada bicara, tetapi gangguan sensori tidak.

Selayaknya gangguan sensori tetap ada sehingga tidak muncul kerancuan dalam

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

46

Universitas Indonesia

penentuan diagnosa meskipun asuhan keperawatan pada hambatan komunikasi

verbal dan penatalaksanaan gangguan pendengaran secara umum tampak

berkesinambungan.

Asuhan keperawatan yang diberikan pada hambatan komunikasi verbal fokus

pada tiga tujuan khusus, yaitu mengetahui faktor penyebab, membantu residen

dalam mempertahankan cara berkomunikasi untuk mengutarakan kebutuhan,

keinginan, ide, maupun bertanya, serta meningkatkan kesejahteraan dengan

promosi kesehatan (Doenges, Moorhouse & Murr, 2008). Asuhan keperawatan

yang telah dilakukan pada residen telah berdasarkan pada tujuan khusus, akan

tetapi penatalaksanaan asuhan keperawatan disesuaikan dengan gejala-gejala yang

muncul dan perlu memfokuskan pada intervensi untuk memfasilitasi residen

bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal di dalam masyarakat dan

mengatasi faktor yang berhubungan seperti adanya gangguan pendengaran

(Stanley & Beare, 2002).

Fokus asuhan keperawatan pada pengkajian diagnosa hambatan komunikasi

verbal dilakukan dengan melakukan pengkajian terkait gangguan pendengaran.

Pengkajian gangguan pendengaran lansia dimulai dengan melakukan pengkajian

adanya riwayat dari kasus tersebut (Stanley & Beare, 2002). Pada kasus, residen

tidak ingat sejak kapan residen mengalami gangguan pendengaran, akan tetapi

terdapat salah satu faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya gangguan

pendengaran yaitu hipertensi (Miller, 2012). Seseorang dengan hipertensi

memiliki resiko lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran daripada yang

tidak memiliki hipertensi (Santoso & Muyossaroh, 2012). Faktor resiko yang

mempengaruhi terjadinya perubahan pada lansia memerlukan waktu untuk mulai

dirasakan oleh lansia sebagai hal yang mengganggu (Stanley & Beare, 2002). Hal

ini mengakibatkan residen dapat tidak mengetahui sejak kapan dirinya mulai

mengalami gangguan pendengaran dan data sekunder diperlukan untuk

mendapatkan riwayat gangguan pendengaran sehingga dapat diketahui faktor

penyebab dari hambatan komunikasi verbal.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

47

Universitas Indonesia

Hambatan komunikasi verbal mempengaruhi kehidupan lanjut usia dengan

memberikan dampak kepada terganggunya harga diri yang menghasilkan isolasi

sosial, mengasingkan diri, dan perasaan tidak berdaya (Ebersole & Hess, 1999).

Sejalan dengan konsekuensi dari gangguan pendengaran yaitu terganggunya

semua level dari hierarki kebutuhan dasar berupa kebutuhan biologi, keselamatan

dan keamanan, perasaan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri (Ebersole, Hess,

Touhy, Jett, 2005). Oleh karena itu, pengkajian lengkap terkait munculnya

dampak yang dikhawatirkan menjadi salah satu fokus utama dalam pengkajian.

Hal ini dilakukan dengan mengkaji status mental dan observasi perilaku residen

sehari-hari.

Hambatan komunikasi verbal didukung dengan beberapa batasan karakteristik

yang membutuhkan observasi berupa petunjuk lain seperti pada masalah

gangguan pendengaran yaitu dengan meminta orang lain mengulang pertanyaan,

menggerakkan kepala ke sebelah kanan atau kiri sebagai suatu usaha untuk

memahami lebih baik perkataan lawan bicara, atau memberi respons yang tidak

sesuai dan memperhatikan gejala lain yang berhubungan seperti adanya

perubahan dalam persepsi kata, dan respon yang tidak sesuai dengan percakapan

(Stanley & Beare, 2002). Hal tersebut terjadi pada residen dengan munculnya data

meminta orang lain mengulang pertanyaan, menggerakkan kepala ke sebelah

kanan atau kiri sebagai suatu usaha untuk memahami lebih baik perkataan lawan

bicara dan terkadang disertai respon yang tidak sesuai dengan percakapan, seperti

tidak menjawab pertanyaan dan hanya tersenyum.

Penatalaksanaan asuhan keperawatan disesuaikan dengan gejala-gejala yang

muncul dan perlu memfokuskan pada intervensi untuk memfasilitasi residen

untuk bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal di dalam masyarakat

(Stanley & Beare, 2002). Tindakan yang dapat dilakukan secara garis besar pada

hambatan komunikasi verbal sejalan dengan gangguan pendengaran, sehingga

penatalaksanaan melibatkan kolaborasi menggunakan alat bantu dengar, dan

membentuk komunikasi yang efektif bagi lansia (Miller, 2012). Rencana asuhan

keperawatan bertujuan untuk meningkatkan komunikasi yaitu dengan berbicara

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

48

Universitas Indonesia

dengan nada yang tidak berteriak, bicara menghadap ke arah residen, bicara

secara perlahan dan jelas, menggunakan sentuhan untuk menarik perhatian, dan

bicara menggunakan kalimat sederhana (Stanley & Beare, 2002).

Implementasi tindakan dari diagnosa hambatan komunikasi verbal telah dilakukan

penulis berdasarkan konsep yang ada. Penulis berfokus pada faktor yang

berhubungan dengan hambatan komunikasi verbal yaitu gangguan pendengaran.

Pendekatan pada residen dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari salah

pengertian pada residen dan disesuaikan dengan keinginan dan kondisi residen.

Hal ini dikarenakan gangguan pendengaran juga dapat membuat individu

mengalami perasaan sedih, kehilangan, marah dan kelelahan karena mencoba

terlalu keras untuk mengerti apa yang dikatakan oleh orang lain (Tyson, 2006).

4.3 Analisis Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait

Teknik komunikasi yang efektif dilakukan dengan melatih Ibu SMB untuk

berbicara dengan melihat lawan bicara dan membaca gerakan bibir dari pembicara

(lip reading). Teknik komunikasi dengan lip reading telah sering digunakan pada

seseorang yang memiliki masalah dengan pendengaran dan merupakan bagian

dari rehabilitasi bagi seseorang dengan gangguan fungsi pendengaran (Miller,

2012). Teknik lip reading memberi kuasa kepada seseorang dengan gangguan

pendengaran untuk membuat lebih percaya diri dan memenuhi kualitas hidup dan

dikenal sebagai telinga ke tiga (Hearing link, 2012). Teknik ini bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan seseorang dalam mendengar apa yang dibicarakan

orang lain melalui membaca bibir.

Residen sebelum dilatih menggunakan teknik lip reading telah diketahui tingkat

pendidikan dan dilakukan pemeriksaan kognitif dan status mental melalui Mini

Mental State Examination (MMSE) dan Geriatric Depression Scale (GDS) karena

untuk mencapai penguasaan yang baik dari teknik lip reading diperlukan tingkat

pendidikan yang memadai karena seseorang dapat membaca gerakan bibir dengan

mengetahui kata-kata yang sudah dimengerti sebagai suatu konsep dalam

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

49

Universitas Indonesia

perbincangan sehingga memungkinkan dalam meningkatkan penguasaan lip

reading (Ortiz, 2008).

Pelaksanaan teknik lip reading pada residen dilakukan dengan memperhatikan

hal-hal seperti tidak dapat dilakukan di dalam gelap, tidak semua orang dapat

dibaca gerakan bibirnya, dan beberapa bentuk pengucapan bibir memiliki bentuk

yang mirip (Hearing link, 2012). Oleh karena itu, latihan dilakukan dengan berada

di tempat terang di depan kamar residen, dan penulis melakukan dengan

pengucapan yang pelan dan jelas sehingga dapat membantu residen. Lip reading

membutuhkan mendengar suara meskipun sedikit, mengenali dan

menginterpretasikan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan gerak tubuh (Ortiz, 2008;

Ringham, 2011). Ortiz (2008) menemukan bahwa usia, jenis kelamin, jenis dan

tingkat dari gangguan pendengaran tidak mempengaruhi terjadinya kemampuan

untuk meningkatkan lip reading dan pada penguasaan teknik lip reading

sebaiknya digunakan semacam petunjuk dalam berlatih tentang suatu makna

tertentu.

Penulis memberikan petunjuk dengan menggunakan pertanyaan dari teka-teki

silang sebagai alat pendukung dari latihan lip reading sebagai instrumen untuk

mengatasi hambatan dan ambiguitas (Ortiz, 2008). Selain itu, perlu untuk

dilakukan teknik-teknik komunikasi secara umum, yaitu bicara dengan intonasi

yang jelas, kata-kata yang tidak terlalu panjang dan rumit, berbicara menghadap

ke arah pendengar, serta menjadi pendengar yang aktif. Kondisi lingkungan

diharapkan tenang dan tidak terdapat distraksi dari luar.

Teknik lip reading dilakukan dengan mengajarkan residen untuk membedakan

bentuk kata dari huruf vokal, konsonan, dan beberapa kata di dalam interaksi

untuk meningkatkan persepsi visual yang berpengaruh pada keakuratan dalam

membaca bibir (Franks, 1976). Residen ketika membaca bibir dan mendengarkan

penulis tampak berfikir dan dengan mata menyipit terlihat fokus melihat kearah

bibir lawan bicaranya. Residen masih menemukan kesulitan bila lawan bicaranya

mendekatkan mulut ke telinga residen bukan dengan berhadapan dengannya.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

50

Universitas Indonesia

Hasil yang muncul dari latihan kepada residen belum terlihat dengan adanya

perasaan memiliki kontrol dalam memfasilitasi dan meningkatkan komunikasi,

mampu untuk bertindak secara mandiri untuk memfasilitasi komunikasi, dan lebih

proaktif serta percaya diri dalam berkomunikasi (Ringham, 2011) tetapi

berdasarkan pengamatan yang telah dirasakan oleh residen, teknik komunikasi

dengan membaca bibir dapat dipraktikkan oleh residen dan cukup efektif untuk

mengurangi hambatan komunikasi verbal yang dimiliki dan residen menjadi lebih

mudah dan cepat menangkap makna pembicaraan daripada ketika residen

memiringkan kepala dan mendekatkan telinga ke bibir pembicara.

4.4 Alternatif Intervensi Lain yang Dapat Dilakukan

Intervensi pada residen dengan hambatan komunikasi verbal membutuhkan peran

dari pemberi pelayanan, sehingga staf yang ada sebaiknya dilatih untuk

penguasaan teknik komunikasi yang efektif bagi lansia dengan hambatan

komunikasi verbal sehingga pemberian pelayanan dapat berjalan maksimal.

Pemberian edukasi atau latihan penguasaan lipreading juga tidak hanya dapat

dilakukan secara per individu, tetapi juga dapat dilakukan berkelompok pada

kelompok lansia dengan hambatan komunikasi verbal.

Intervensi pada residen dengan hambatan komunikasi tidak hanya dapat dilakukan

dengan meningkatkan komunikasi menggunakan lip reading. Lip reading

membutuhkan seseorang untuk dapat mendengar pembicaraan meskipun sedikit

(Miller, 2012). Oleh karena itu, penggunaan alat bantu dengar pada lansia dengan

gangguan pendengaran merupakan alternatif intervensi yang dapat dilakukan.

Namun, penggunaan alat bantu dengar memerlukan pengawasan dan perawatan

dari perawat dan memerlukan biaya yang cukup besar (Stanley & Beare, 2002).

Penggunaan alat bantu dengar dapat memudahkan komunikasi, mengurangi

perasaan kesepian, dan isolasi sosial, serta mengembalikan perasaan kontrol pada

residen (Stanley & Beare, 2002). Alat bantu dengar merupakan alat dengan energi

baterai yang terdiri dari amplifier, microphone, dan penerima. Alat bantu dengar

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

51

Universitas Indonesia

dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi penggunaan, dan besar bentuk

alat bantu dengar ketika digunakan oleh tubuh (Miller, 2012). Lanjut usia dengan

gangguan pendengaran membutuhkan informasi yang berkaitan dengan cara

penggunaan dan perawatan alat bantu dengar, ataupun mengenai jenis-jenis alat

bantu dengar yang dapat digunakan. Hal yang penting dilakukan adalah

menjelaskan berbagai pilihan dengan jelas dan berpedoman pada kebutuhan

residen yang spesifik sehingga residen dapat membuat suatu keputusan.

Keputusan tersebut dibuat berdasarkan informasi yang telah diberitahukan dan

mempertimbangkan biaya alat bantu dengar sehingga perlu dilakukan penyesuaian

terhadap instrument yang dipilih dan mempelajari bagaimana menggunakannya

sebelum pembelian (Stanley & Beare, 2002).

Intervensi lain terkait masalah hambatan komunikasi verbal yaitu dengan

memberikan sarana seperti adanya bel yang dapat digunakan oleh residen. Bel

tersebut digunakan untuk membuat residen tidak salah mempersepsikan bahwa

terdapat tamu diluar kamar. Residen termasuk seseorang yang sering melakukan

kegiatan berulang dengan membuka pintu dan melihat keadaan di luar. Jika

penggunaan bel lampu ini dapat digunakan maka residen dapat dipermudah

dengan melihat lampu yang menyala di dalam kamar dan tidak melakukan

aktivitas berulang yang tidak perlu serta dapat meminimalkan terjadinya

kesalahan persepsi ataupun resiko jatuh pada residen.

Hambatan komunikasi verbal yang disertai gangguan bicara dapat diintervensi

dengan menggunakan terapi wicara agar seseorang dapat memperoleh kembali

cara bicara yang biasanya (Siguroardottir dan Sighvatsson, 2006). Berthier (2005)

menyebutkan terapi wicara yang dapat dilakukan yaitu senam lidah, latihan

pengucapan penggabungan huruf vokal dan konsonan, latihan pengucapan kata-

kata melalui metode word finders dan everyday objects. Latihan pengucapan

kalimat sederhana melalui metode objects and action dan everyday activities juga

dapat dilakukan. Selain itu, juga terdapat latihan pengucapan kalimat yang lebih

kompleks dengan metode sentence builders dan phrase builder.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

52 Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan institusi yang bergerak di bidang

pelayanan kesejahteraan khusus kepada lanjut usia (lansia) mengadopsi pada

sistem pelayanan nursing home yang di dalamnya menyediakan pelayanan bagi

para lansia untuk memenuhi kebutuhan dasar dan menjaga kualitas hidup (Miller,

2012). Pelayanan yang diberikan pada Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti

mengadopsi dari sistem pelayanan nursing home yang ada di komunitas dan

merupakan gabungan dari konsep home care, day care, social resident dan

hospice care. Sasana Tresna Werdha Karya Bhakti merupakan tempat perawatan

long term care yang di dalamnya terdapat standar pelayanan yang diberikan di

nursing home sesuai California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR)

(2012). Standar pelayanan yang diberikan di nursing home diantaranya

menyediakan kebutuhan sesuai residen, seperti pemberi pelayanan harus

menyesuaikan dengan kebutuhan residen salah satunya apabila residen mengalami

hambatan komunikasi verbal.

Ibu SMB (89 tahun) memiliki keluhan dengan pendengaran dan memiliki

hambatan dalam berkomunikasi. Residen terlihat sulit mendengar dan memahami

apa yang dibicarakan orang lain. Selain itu, residen juga sering meminta lawan

bicara mengulang pembicaraan dan memiringkan kepala untuk mendengar

pembicaraan. Sebelumnya residen mengatakan telah mendapatkan penanganan

dengan pemberian alat bantu dengar, akan tetapi ternyata masih kurang efektif

bagi residen karena keterbatasan alat bantu dengar yang sering rusak dan

harganya mahal sehingga residen tidak menggunakan alat bantu dengar lagi.

Berdasarkan NANDA (2012) pada residen terjadi penurunan untuk menerima

informasi dalam komunikasi karena faktor yang berhubungan yaitu defek

anatomis berupa gangguan pendengaran dengan batasan karakteristik gagap,

kesulitan memahami dan mempertahankan pola komunikasi yang biasa seringkali

muncul pada residen.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

53

Universitas Indonesia

Asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada residen telah berdasarkan pada

tujuan khusus, akan tetapi penatalaksanaan asuhan keperawatan disesuaikan

dengan gejala-gejala yang muncul dan perlu memfokuskan pada intervensi untuk

memfasilitasi residen bergerak ke arah kemampuan berfungsi secara optimal di

dalam masyarakat dan mengatasi faktor yang berhubungan seperti adanya

gangguan pendengaran (Stanley & Beare, 2002). Asuhan keperawatan yang

diberikan pada hambatan komunikasi verbal fokus pada tiga tujuan khusus, yaitu

mengetahui faktor penyebab, membantu residen dalam mempertahankan cara

berkomunikasi untuk mengutarakan kebutuhan, keinginan, ide, maupun bertanya,

serta meningkatkan kesejahteraan dengan promosi kesehatan (Doenges,

Moorhouse & Murr, 2008).

Intervensi yang diberikan yaitu melatih residen berkomunikasi dengan

menggunakan teknik lip reading. Teknik lip reading dilakukan dengan

mengajarkan residen untuk membedakan bentuk kata dari huruf vokal, konsonan,

dan beberapa kata di dalam interaksi untuk meningkatkan persepsi visual yang

berpengaruh pada keakuratan dalam membaca bibir (Franks, 1976). Penulis

memberikan petunjuk dengan menggunakan pertanyaan dari teka-teki silang

sebagai alat pendukung dari latihan lip reading sebagai instrumen untuk

mengatasi hambatan dan ambiguitas (Ortiz, 2008). Selain itu, dilakukan teknik-

teknik komunikasi secara umum, yaitu bicara dengan intonasi yang jelas, kata-

kata yang tidak terlalu panjang dan rumit, berbicara menghadap ke arah

pendengar, serta menjadi pendengar yang aktif. Kondisi lingkungan diharapkan

tenang dan tidak terdapat distraksi dari luar.

Hasil yang muncul dari latihan kepada residen belum terlihat dengan adanya

perasaan memiliki kontrol dalam memfasilitasi dan meningkatkan komunikasi,

mampu untuk bertindak secara mandiri untuk memfasilitasi komunikasi, dan lebih

proaktif serta percaya diri dalam berkomunikasi (Ringham, 2011) tetapi

berdasarkan pengamatan yang telah dirasakan oleh residen, teknik komunikasi

dengan membaca bibir dapat dipraktikkan oleh residen dan cukup efektif untuk

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

54

Universitas Indonesia

mengurangi hambatan komunikasi verbal yang dimiliki dan residen menjadi lebih

mudah dan cepat menangkap makna pembicaraan daripada ketika residen

memiringkan kepala dan mendekatkan telinga ke bibir pembicara.

5.2 Saran

Komunikasi efektif merupakan bagian terpenting dari intervensi keperawatan,

namun seringkali pelaksanaannya diabaikan. Untuk menjalankan teknik

komunikasi yang efektif, mahasiswa atau perawat perlu memahami tentang teknik

komunikasi efektif dalam pemberian intervensi terutama kepada lanjut usia yang

secara fisiologis memiliki penurunan, seperti adanya gangguan pendengaran.

Mahasiswa atau perawat hendaknya memahami kondisi yang dialami oleh lanjut

usia, menghormati dan menghargai keputusan dan keinginan lansia sehingga

komunikasi dapat berjalan dengan baik, terdapat peningkatan hubungan terapeutik

dengan lansia, serta tercapainya tujuan yang diinginkan.

Interaksi terhadap lansia dengan hambatan komunikasi verbal membutuhkan

ketelatenan, kesabaran, dan ketelitian untuk mengetahui sifat-sifat khas dari lanjut

usia oleh mahasiswa atau perawat demi meningkatkan interaksi. Mahasiswa atau

perawat dalam melakukan interaksi juga harus memperhatikan kondisi individu

serta kondisi lingkungan yang ada. Lanjut usia memiliki kepribadian yang unik,

sehingga tidak dapat dinilai berdasarkan apa yang terlihat dari luar. Mahasiswa

atau perawat dalam meningkatkan komunikasi efektif harus rutin melakukan

observasi perilaku yang ditunjukkan oleh lansia dan mengetahui situasi serta

waktu yang tepat bagi lansia untuk dapat berinteraksi.

Komunikasi efektif dalam pemberian asuhan keperawatan merupakan sarana

untuk menyampaikan informasi kepada lansia sehingga lansia dapat mengambil

keputusan yang tepat dalam intervensi selanjutnya. Komunikasi efektif yang

dilakukan hendaknya bersifat dua arah dan pesan yang disampaikan dapat

diterima oleh pemberi informasi maupun penerima informasi. Penerima informasi

dalam hal ini lansia, seringkali dapat menerima pesan yang salah karena

munculnya ketidakcocokan pada penyampaian secara verbal dan non-verbal.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

55

Universitas Indonesia

Meskipun begitu, mahasiswa atau perawat hendaknya dapat memberikan

pengertian, mengarahkan, serta menyadarkan lansia tanpa membuat lansia merasa

tersinggung atau memberikan dampak yang tidak diinginkan seperti kerusakan

interaksi.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

56 Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Arenson et.al. (2009). Reichel’s care of elderly: Clinical aspect of aging.

Cambridge University Press: Cambridge

Berthier, M. L. (2005). Post stroke aphasia: epidemiology, pathophysiology, and

treatment. Drugs and Aging, 22 (2): 163– 82

California Advocates For Nursing Home Reform (CANHR). (2012). Nursing

home standarts. http://www.canhr.org/index.html

Doenges, Moorhouse & Murr. (2008). Nursing diagnosis manual: planning,

individualizing, and documenting client care. F.A Davis Company:

Philadelphia.

Ebersole, Hess, Touhy, & Jett. (2005). Gerontological nursing & healthy aging;

second edition. Elseiver Mosby: St. Louis.

Ebersole & Hess. (1999). Gerontological Nursing. Elseiver Mosby: St. Louis

Franks, Richard J. (1976). The relationship of non linguistic visual perception to

lipreading skill. Journal the ARA Vol 11. No 1.

Hearinglink. (2012). Lip reading. http://www.hearinglink.org/lipreading

McCall, Nelda. (2000). Long term care:definition, demand, cost, and financing.

Miller, Carol A. 2012. Nursing for wellness in older adult Ed 6th

.Lippincott:

Williams & Wilkins

NANDA (2012-2014). Panduan Diagnosa keperawatan NANDA 2012-2014

Definisi dan Klasifikasi. Philadhelpia.

Ortiz, Rodriguez R. (2008). Lipreading in the prelingually deaf: what makes a

skilled speechreader? . The Spanish journal of psychology. Vol 11. No , 488-

502

Potter, P.A. & Perry, A.G. (2005). Fundamentals nursing: concepts, process, and

practice. 6th Ed. St. Louis: Mosby Year Book.

Pratiwi, H. E. (2007). Faktor-faktor penyebab lanjut usia tinggal di panti werdha

atas keinginan sendiri. Fakultas Psikologi Universitas Soegijapranata:

Semarang

Ringham, Laura. 2011. Why it’s time to recognise the value of lipreading and

managing hearing loss support. www.actiononhearingloss.org.uk

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

57

Universitas Indonesia

Siguröardóttir, G. Z., & Sighvatsson, B. M. (2006). Operant conditioning and

errorless learning procedures in the treatment of chronic aphasia. International

Journal of Psychology, 41 (6), 527–540 Teasell, R., Doherty D.,

Sherwood, Lauralee. (2011). Human physiology: From cells to systems (Terj.

Brahm U. Pendit). Jakarta : EGC

Stanley, Mickey & Beare, Patricia G. (2002). Buku Ajar keperawatan Gerontik

(Penerjemah: Nety Juniarsih dan Sari Kurnianingsih). Jakarta: EGC

Soesilorini, Melinda. (2011). Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap

presbikusis di RSUP Kariadi Semarang. Fakultas kedokteran Universitas

Diponegoro: Semarang.

Soetjipto, Damayanti. (2001). Presbikusis. 7 Januari 2007.

http://ketulian.com/v1/web/index.php?to=article&id=16

Touhy & Jett. (2010). Gerontological nursing & healthy aging. Elseiver Mosby:

St. Louis.

Tyson, Shirley R. (2006). Gerontological nursing care. Lippincott: Williams &

Wilkins

Yueh, B., Shapiro, N., MacLean, C.H., & Shekelle, P. (2003). Screening and

management of adult hearing loss in primary care: Scientific review. JAMA:

Vol 289. No.15

Better Hearing Institute (2011). Untreated hearing loss linked to depression,

social isolation in seniors.

http://www.audiology.org/resources/documentlibrary/Pages/UntreatedHearing

Loss.aspx Audiology Today, Vol. 11:4

Hamid, Almisar. (2007). Penduduk lanjut usia di Indonesia dan masalah

kesejahteraannya. Departemen kementerian sosial Republik Indonesia.

http://www.kemsos.go.id/

Santoso, S., & Muyossaroh. (2012). Kurang pendengaran sensori neural pada

lansia dengan dan tanpa hipertensi. Medica Hospitalia, vol 1 no 1.

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK …lib.ui.ac.id/file?file=digital/20351597-PR-Nindyah Panthoko.pdf · LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA 23 3.1 Pengkajian 23 3.2 Analisis

Universitas Indonesia

BIODATA PENULIS

1. Nama Lengkap : Nindyah Panthoko Ratri

2. Agama : Islam

3. Tempat/ Tgl Lahir : Jakarta, 05 Mei 1990

4. Suku : Jawa

5. Alamat : Jalan Juragan Sinda 1, Kukusan Depok 16425

6. No Hp : 08568648903

7. Email : [email protected]

8. Riwayat Pendidikan :

a. SDN 05 Petang Jakarta (1995-2001)

b. SMPN 211 Jakarta (2001-2004)

c. SMAN 109 Jakarta (2004-2007)

d. Fakultas Ilmu Keperawatan (2008-2012)

e. Fakultas Ilmu Keperawatan (2012-2013)

Analisis praktik ..., Nindyah Panthoko, FIK UI, 2013