Ujian Hukum Lingkungan

15
UJIAN HUKUM LINGKUNGAN ANALISIS LINGKUNGAN STUDI KASUS PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MANGAN (PT. RAKHSA INTERNATIONAL MINING) DI DESA LANTE, NUSA TENGGARA TIMUR DITUNTUT WARGA OLEH HALVINA GRASELA SAIYA 11/326433/PMU/07312 DOSEN PENGAMPU: Dr. Harry Supriyono, S.H., M.Si SEKOLAH PASCASARJANA MAGISTER PENGELOLAAN LINGKUNGAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013

description

analisis salah satu kasus lingkungan di Indonesia

Transcript of Ujian Hukum Lingkungan

Page 1: Ujian Hukum Lingkungan

UJIAN HUKUM LINGKUNGAN

ANALISIS LINGKUNGAN

STUDI KASUS

PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MANGAN

(PT. RAKHSA INTERNATIONAL MINING)

DI DESA LANTE, NUSA TENGGARA TIMUR DITUNTUT WARGA

OLEH

HALVINA GRASELA SAIYA

11/326433/PMU/07312

DOSEN PENGAMPU: Dr. Harry Supriyono, S.H., M.Si

SEKOLAH PASCASARJANA MAGISTER PENGELOLAAN LINGKUNGAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2013

Page 2: Ujian Hukum Lingkungan

ANALISIS LINGKUNGAN

STUDI KASUS

PERUSAHAAN PERTAMBANGAN MANGAN (PT. RAKHSA INTERNATIONAL MINING)

DI DESA LANTE, NUSA TENGGARA TIMUR DITUNTUT WARGA

LATAR BELAKANG KASUS

Warga Lante menuntut perusahaan pertambangan yang beroperasi di desa mereka segera

berhenti beroperasi. Adapun beberapa hal yang melatarbelakangi tuntutan warga ini adalah:

1. Ternak sapi warga yang minum air pada sumber air yang teraliri limbah tambang menjadi mati

dan sumber air banyak yang hancur. Sehingga warga harus mencari sumber air yang tentunya

jaraknya lebih jauh yakni berkilo-kilo meter dari jarak sumber air yang telah tercemar tersebut.

2. Menurut salah seorang warga: PT Raksha International Mining (RIM) beroperasi sejak

September 2012, dan sejak saat itu dua sumber mata air yang penting untuk pertanian hancur.

3. Warga menyampaikan keberatan secara lisan ke perusahaan, tetapi tidak diperhatikan. Warga

juga menyampaikan keberatan secara tertulis, tetapi tidak ada tanggapan.

4. Menurut salah satu anggota DPRD: persoalan tambang memecah belah warga karena pro-

kontra soal tambang.

5. Saat ini tambang di NTT dianggap sebagai sumber pemiskinan masyarakat. Hal ini dikarenakan

sebagian besar tambang dilakukan di dataran tinggi tempat sumber air dan di kawasan pesisir

tempat sumber penghidupan banyak orang terutama nelayan.

6. Permintaan ganti rugi dari warga desa belum ditanggapi oleh pihak PT. RIM. Padahal sebenarnya

permintaan ganti rugi dari warga ini tidak

sebanding dengan keuntungan yang

diperoleh PT RIM karena mereka telah

mengangkut batu mangan dari tempat itu

sebanyak 40 truk atau sekitar 7.000 ton bat

mangan ke Pelabuhan di Kedindi, Reo.

Keuntungan dari 7.000 ton sekitar Rp 100

miliar.

Page 3: Ujian Hukum Lingkungan

7. Rencana moratorium yang dikemukakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

(ESDM) yang menyatakan bahwa pertambangan di NTT akan dihentikan sementara, hanya

sebatas janji dan belum dilakukan.

8. Salah satu tokoh pemuda dan masyarakat mengemukakan bahwa: pertambangan di NTT

berlawanan/bertentangan dengan kebijakan nasional dalam Master plan Percepatan dan

Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025 (MP3E), yang menetapkan Koridor Bali-

Nusa Tenggara (Bali, NTB, NTT) sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan

nasional, dengan kegiatan utamanya adalah pariwisata, peternakan, dan perikanan. Di banyak

tempat, lahan untuk pertanian dan peternakan telah dikonversi secara besar-besaran menjadi

lahan tambang. Di tempat lain, lokasi pertambangan di garis pantai bakal

menghancurkan/mencemari laut dan kawasan pariwisata bahari. Bahkan industri pertambangan

ini telah membawa korban jiwa (46 orang tertimbun tambang mangan), meresahkan

masyarakat dan menyulut gelombang aksi protes yang bermuara pada konflik, baik horizontal

maupun vertikal sampai pada kriminalisasi masyarakat lingkar tambang.

Tabel. Kronologis konflik warga Lante dengan PT Raksha International Mining

Tanggal Peristiwa

3 Desember 2012

warga menghentikan aktivitas dan mengusir perusahaan

serta meminta ganti rugi. Sebagai jaminannya warga

menahan alat berat perusahaan di lokasi.

5 Desember 2012

ada pertemuan warga dengan perusahaan. Hasilnya,

warga berikan jumlah kerugian kepada perusahaan, dan

perusahaan menyatakan kesanggupan untuk

mengurusnya.

6 Desember 2012 dibuat kesepakatan untuk verifikasi di lapangan. Namun

perusahaan tidak datang.

17 Desember 2012

perusahaan minta bantuan anggota polsek Reo untuk

kawal keluarnya alat-alat, tetapi warga tidak mengizikan.

Kapolres Manggarai datang ke lokasi, tapi tidak berdialog

dengan warga.

20 Desember 2012 Alat-alat berat telah dikeluarkan secara paksa oleh polisi.

Beberapa warga yang melakukan aksi tidur dijalan

Page 4: Ujian Hukum Lingkungan

dipindahkan secara paksa oleh polisi. Sekitar 10 orang

warga Lante telah dibawa paksa oleh polisi dengan mobil

dalmas menuju Ruteng. Pihak kepolisian tidak

menggubris permintaan masyarakat untuk berdialog

dengan pihak perusahaan.

ANALISIS HUKUM

Berdasarkan latar belakang kasus yang dialami warga desa Lante terhadap kondisi

pertambangan yang merugikan warga, maka dapat dilakukan analisis hukum sebagai berikut:

(1) Strategi Penaatan

Menurut G.A. Biezeveld (1995): penerapan kekuasaan pemerintah hukum untuk

memastikan kepatuhan terhadap peraturan lingkungan dengan cara: a) pengawasan

administrasi, b) langkah-langkah administratif atau sanksi, c) pendugaan penyidikan dalam kasus

pelanggaran, d) tindakan pidana atau sanksi, e) tindakan sipil.

Menurut H.C. Kelman, ketaatan hukum menjadi 3 jenis, yaitu yang bersifat: 1)

compliance, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena ia takut terkena

sanksi; 2) identification, yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan hanya karena takut

hubungan baiknya dengan seseorang menjadi rusak; dan 3) Internalization, yaitu jika seseorang

taat terhadap suatu aturan benar-benar karena ia merasa aturan-aturan itu sesuai dengan nilai-

nilai intrinsik yang dianutnya.

Sistem Amerika (anglo saxon): sebelum dilakukan penegakan hukum didahului dengan

diadakannya persuasi, supervisi, negosiasi agar peraturan hukum atau syarat-syarat izin ditaati

(compliance).

Sistem Belanda (continental): penegakan hukum adalah meliputi kegiatan pengawasan

dan penerapan instrumen administrasi, perdata dan pidana untuk memaksakan pemenuhan

atau ketaatan (compliance) atas persyaratan dan kewajiban izin serta peraturan yang berlaku

umum.

Terdapat dua teori perilaku penaatan hukum, yaitu teori rasional dan teori normatif:

Page 5: Ujian Hukum Lingkungan

- Teori rasional: mengusulkan agar masyarakat yang diatur mengikuti logika konsekuensi.

Teori ini menuntut penegakan hukum berdasakan pencegahan yang efektif melalui

pengawasan, respon yang cepat dan tepat serta sanksi yang memadai.

- Teori normatif: mengusulkan agar masyarakat yang diatur itu mengikuti logika kepatutan

dan lebih bertindak dengan kejujuran. Teori ini menuntut untuk peningkatan penaatan yang

lebih dalam, wujud bantuan, insentif dan aktivitas lain.

Strategi penaatan terbagi menjadi:

- Behaviour Approach (pendekatan melalui tingkah laku)

- Economic Approach (pendekatan melalui ekonomi)

- Deterrent Approach (pendekatan melalui cara-cara pencegahan)

- Public Pressure Approach (pendekatan melalui tekanan publik)

(2) Penyelesaian Ganti Kerugian, mediasi atau pengadilan

Hal-hal tentang penyelesaian ganti rugi, mediasi atau pengadilan dapat dilihat pada beberpa UU

(Undang-undang) dan PP (Peraturan pemerintah) yang mengatur tentang hal-hal tersebut,

diantaranya:

UU no 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, khususnya

pada BAB VIII yang membahas tentang Hubungan Kuasa Pertambangan Dengan Hak-Hak Tanah.

Pasal 25: (1) Pemegang kuasa pertambangan diwajibkan mengganti kerugian akibat dari

usahanya pada segala sesuatu yang berada di atas tanah kepada yang berhak atas tanah di

dalam lingkungan daerah kuasa pertambangan maupun di luarnya, dengan tidak memandang

apakah perbuatan itu dilakukan dengan atau tidak dengan sengaja, maupun yang dapat atau

tidak dapat diketahui terlebih dahulu. (2) Kerugian yang disebabkan oleh usaha-usaha dari dua

pemegang kuasa pertambangan atau lebih, dibebankan kepada mereka bersama.

Pasal 26: Apabila telah didapat izin pertambangan atas sesuatu daerah, atau wilayah menurut

hukum yang berlaku, maka kepada mereka yang berhak atas tanah diwajibkan memperbolehkan

pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang bersangkutan atas dasar mufakat

kepadanya: a. sebelum pekerjaan dimulai, dengan diperlihatkannya surat kuasa pertambangan

atau salinannya yang sah, diberitahukan tentang maksud dan tempat pekerjaan-pekerjaan itu

akan dilakukan; b. diberi ganti kerugian atau jaminan ganti kerugian itu terlebih dahulu.

Page 6: Ujian Hukum Lingkungan

Pasal 27: (1) Apakah telah ada hak tanah atas sebidang tanah yang bersangkutan dengan

wilayah kuasa pertambangan, maka kepada yang berhak diberikan ganti rugi yang jumlahnya

ditentukan bersama antara pemegang kuasa pertambangan dan yang mempunyai hak atas

tanah tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat, untuk pengantian sekali atau selama hak

itu tidak dapat dipergunakan. (2) Jika yang bersangkutan tidak dapat mencapai kata mufakat

tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, maka penentuannya

diserahkan kepada Menteri. (3) Jika yang bersangkutan tidak dapat menerima penentuan

Menteri tentang ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, maka penentuannya

diserahkan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi daerah/wilayah yang

bersangkutan. (4) Ganti rugi yang dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) pasal ini beserta segala

biaya yang berhubungan dengan itu dibebankan kepada pemegang kuasa pertambangan yang

bersangkutan. (5) Apabila telah diberikan kuasa pertambangan pada sebidang tanah yang

diatasnya tidak terdapat hak tanah, maka atas sebidang tanah tersebut atau bagian-bagiannya

tidak dapat diberi hak tanah kecuali dengan persetujuan Menteri.

UU no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pada Pasal 145: (1)

Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:

a. memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan

pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. mengajukan

gugatan kepada pengadjlan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang

menyalahi ketentuan. (2) Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangn.

PP no 24 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun

2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara pada Pasal

112B: Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. pernyataan

kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;…

Untuk bidang pertambangan, saat ini peraturan yang berlaku adalah PP no 24 tahun

2012. Maka dengan mengacu pada pernyataannya pada pasal 112B ayat (3) bahwa: … mematuhi

ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup’, maka inipun mensyaratkan setiap aktifitas bidang pertambangan untuk kembali

mengacu pada UUPPLH no 32/2009 yang mengandung sejumlah peraturan dan sanksi yang jelas

Page 7: Ujian Hukum Lingkungan

terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk penyelesaian ganti rugi,

mediasi atau pengadilan yang dapat dilihat pada UUPPLH Pasal 70 – 92 (lampiran).

(3) Strict Liability atau Liability Based on Fault

Strict Liability, menurut pasal 8 UUPPLH menyatakan bahwa: Tindakannya, usahanya,

dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau

yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas

kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

(4) Class action dan legal standing LSM

Class action atau gugatan perwakilan, menurut pasal 91 UUPPLH: 1) Masyarakat berhak

mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan: (a) Dilakukan oleh kelompok kecil masyarakat,

(b) Ada kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan yang ditimbulkan karena

pencemaran atau perusakan lingkungan hidup; 2) Masyarakat berhak melaporkan ke penegak

hukum; dan 3) Instansi pemerintah yang bertanggung jawab adadi bidang lingkungan dapat

bertindak untuk kepentingan masyarakat, bila dampak pencemaran mempengaruhi

perikehidupan pokok masyarakat.

Class Action (Gugatan Perwakilan Kelompok) adalah suatu tata cara pengajuan gugatan,

dalam nama satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau

diri‐sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki

kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

Perwakilan kelompok dapat dibagi dalam :

1. Wakil kelompok yaitu satu orang atau lebih yang menderita kerugian yang mengajukan

gugatan dan sekaligus mewakili kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya.

2. Anggota kelompok yaitu sekelompok orang dalam jumlah banyak yang menderita kerugian

yang kepentingannya diwakili oleh wakil kelompok di pengadilan

3. Sub kelompok yaitu pengelompokan anggota kelompok ke dalam kelompok yang lebih kecil

dalam satu gugatan berdasarkan perbedaan tingkat penderitaan dan / atau jenis kerugian.

Manfaat Class action : (1) lebih ekonomis yakni mencegah pengulangan gugatan serupa

secara individual; (2) akses pada keadilan yakni apabila gugatan diajukan secara individual akan

Page 8: Ujian Hukum Lingkungan

menyebabkan beban bagi calon penggugat; (3) perubahan sikap perilaku pelanggaran yakni ada

efek penjara bagi pencemar atau perusak lingkungan; (4) putusan konsisten yakni putusan yang

bertentangan satu sama lain atau tidak konsisten mengenai tuntutan sejenis dapat dihindarkan.

Sedangkan, Legal standing LSM atau organisasi lingkungan, menurut pasal 92 UUPPLH

menyatakan bahwa: 1) Berhak mengajukan gugatan demi perlindungan dan pelestarian fungsi

lingkungan; 2) gugatan yang diajukan ditujukan untuk melakukan tindakan tertentu dan tidak

berupa tuntutan membayar ganti kerugian; 3) kecuali tuntutan membayar untuk

biaya/pengeluaran ril yang telah dikeluarkan oleh organisasi lingkungan yang bersangkutan; dan

4) LSM harus memenuhi syarat sebagai penggugat: (a) berbentuk badan hukum, (b) menegaskan

di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian

fungsi lingkungan, (c) telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai anggaran dasar paling singkat

selama dua tahun.

Standing dapat diartikan secara luas yaitu akses orang perorangan, kelompok/organisasi

di pengadilan sebagai Pihak Penggugat. Adapun pengertian Standing kelompok masyarakat yang

bertindak untuk mewakili kepentingan umum (publik) dan kepentingan lingkungan. Hak gugat

organisasi lingkungan merupakan salah satu bagian dari hukum standing (standing law) yang

berkembang banyak dibelahan dunia dan pada dasanya dapat dipilah menjadi :

a. Hak Gugat Warga Negara (Citizen Suit);

Bahwa warga negara tidak perlu membuktikan dirinya atau mereka memiliki

kepentingan hukum atau pihak yang mengalami kerugian riil. Citizen suit ini banyak

diatur dalam peraturan perundangan lingkungan di : (1) Amerika Serikat ; Clean Air Act

(pasal 304), Clean Water Act (pasal 505), Comprehensive Environmental Response,

Resource Conservation and Recovery Act (RCRA pasal 310) yang menjamin secara

hukum bahwa setiap orang dapat meminta pemerintah di pengadilan untuk

menjalankan kewajiban yang diwajibkan oleh undang‐undang. Bahkan setiap orang juga

dapat bertindak sebagai penuntut umum untuk mengajukan tuntutan pidana lingkungan

dalam bentuk pidana denda dalam hal penuntut umum negara (public prosecutor) tidak

menjalankan tugasnya, (2) India ; Pengertian standing dikategorikan dalam 3 bentuk

yaitu : (1) Private/citizen prosecution (pasal 19 Environmental Protection Act); (2) Citizen

standing (Hak gugat warga negara mengatasnamakan dirinya sebagai pembayar pajak

atau warga negara yang haknya dijamin dalam konstitusi untuk mempersoalkan

pelanggaran konstitusi atau peraturan perundangan); (3) Representative standing (Hak

Page 9: Ujian Hukum Lingkungan

gugat warga negara atau kelompok warga negara mengatasnamakan the powerless

untuk memperjuangkan hak konstitusi dan hak‐hak hukum lainnya dari orang‐orang

yang diatasnamakannya)

b. Hak Gugat LSM/Organisasi Lingkungan ;

Kecakapan LSM tampil dimuka pengadilan didasarkan pada suatu asumsi bahwa

LSM sebagai wali (gurdian) dari lingkungan. Pendapat ini berangkat dari teori yang

dikemukan oleh Profesor Cristoper Stone, dimana dalam artikelnya yang dikenal luas di

Amerika Utara yang berjudul Sholud Tress Have Standing. Dalam teori ini memberikan

hak hukum (legal right) kepada objek‐objek alam (natural objects) dan menurut Stone

hutan, laut, atau sungai sebagai objek alam layak memiliki hak hukum dan adalah tidak

bijaksana jika dianggap sebaliknya hanya karena sifatnya yang inanimatif(tidak dapat

berbicara). Dalam dunia hukum sendiri sudah sejak lama mengakui hak hukum obyek

inanimatif, seperti pada perseorangan, negara dan anak dibawah umur. Untuk

penasehat hukum, kuasa atau walinya bertindak mewakili kepentingan hukum mereka.

Urgensi Standing bahwa diterimanya pengembangan teori dan penerapan standing ini

setidak‐tidaknya didasarkan pada dua :

1. Faktor Kepentingan Masyarakat Luas;

Beberapa kasus seperti kasus perlindungan konsumen dan pelestarian daya dukung lingkungan

adalah kasus‐kasus publik yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, dengan kasus ini akhirnya

mendorong lahirnya dan tumbuhnya organisasi – organisasi advokasi seperti Sierra Club Defense Fund

(USA), Pollution Probe (Kananda), Environmental defenders Office (Australia), YLBHI, YLKI, Walhi

(Indonesia). Bahwa selain untuk kepentingan masyarakat organisasi ini efektif dalam mendorong

pembaruan kebijak dan merubah sikap serta perilaku birokrasi dan kalangan penguasa melalui

tekanan‐tekanan (pressures) yang dilakukan .Salah satu tekanan yang dapat dilakukan dalam kerangka

negara hukum (rule of law) adalah melalui gugatan di Pengadilan.

2. Faktor Penguasaan Sumber Daya Alam oleh Negara ;

Berkenaan dengan kasus‐kasus sumber daya alam, objek sumber daya alam (sungai, hutan dan

mineral atau tambang) biasanya secara konstitusional dikuasai oleh negara. Penguasaan oleh negara

mengandung koensekuensi bahwa sifat keberlanjutan sumber daya alam lebih banyak ditentukan dan

bergantung pada konsekuensi, aktifisme, dan keberanian pemerintah sebagai aparatur negara, tetapi

dalam prakteknya sering kali mengabaikan kewajibannya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya

alam dengan tidak menerapkan perijinan atau menjalankan atau menjalankan fungsi pengawasan.

Page 10: Ujian Hukum Lingkungan

Di Indonesia pada saat itu ada beberapa kasus legal standing LSM dalam gugatan perdata di

pengadilan, gugatan ini menarik pada saat dilakukan karena hukum positif yang berlaku (tertulis) belum

mengatur mengenai gugatan standing. Adapun kasus‐kasus tersebut seperti :

1. Walhi vs Inti Indorayon Utama;

Dasar yang diberikan dalam pertimbangan hukum bersifat pokok yang menjadi dasar

pemberian standing adalah : (1) Hak atas setiap orang lingkungan yang baik dan sehat, yaitu

terpeliharanya lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem yang baik dan sehat,

merupakan tanggungjawab yang menuntut peran serta setiap anggota masyarakat; (2) Hak dan

kewajiban setiap orang berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, yaitu bahwa setiap

orang mempunyai kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan; (3) Hak‐hak

subjektif melahirkan hak untuk menuntut secara hukum agar hak‐hak tersebut dihormati, yaitu

bahwa hak subjektif memberikan hak kepada pemiliknya untuk menuntut melalui prosudur

hukum termasuk melalui pengadilan.

2. Walhi vs Kejaksaan Negari Mojokerto;

Jika kita melihat dari kasus ini dimana pertimbangannya yaitu : (1) Adanya keterkaitan

pihak ketiga yang berwenang ; (2) LSM sebagai penunjang pengelolaan lingkungan hidup dan hal

ini merujuk pada putusan majelis hakim dalam kasus Walhi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ;

3. Walhi vs Presiden RI;

Dalam menetapkan hak standing LSM dalam kasus ini, Majelis hakim menetapkan

kriteria sebagai berikut: (1) bahwa tujuan organisasi tersebut adalah benar‐benar melindungi

lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam, dimana tujuan tersebut harus tercantum dan

dapat dilihat dalam anggaran dasar organisasi yang bersangkutan; (2) bahwa organisasi yang

bersangkutan haruslah berbentuk badan hukum ataupun yayasan; (3) bahwa organisasi tersebut

haruslah secara berkesinambungan menunjukan adanya kepedulian terhadap lingkungan hidup

yang nyata di masyarakat; (4) bahwa orang tersebut harus cukup representatif;

(5) ORES (One Roof and Enforcement System) dalam penegakan hukum pidana lingkungan

One Roof and Enforcement System (ORES) merupakan sebuah sistem penegakan hukum satu

atap yang mulai terdengar saat Undang-undang R.I tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 mulai diundangkan. Sebelumnya dikenal Integrated

Criminal Justice System atau Penegakan Hukum Pidana Terpadu. Kata “Terpadu” merupakan

penegasan dilakukannya kinerja yang berjalan secara berkesinambungan, saling mempengaruhi,

Page 11: Ujian Hukum Lingkungan

adanya sinkronisasi gerak aparatur penegak hukum dalam mewujudkan sebuah proses peradilan

dan terutama juga saling mengawasi. Sistem ini juga merupakan jawaban kritik atas terkotak-

kotaknya fungsi tugas penegak hukum kita sebagai akibat implementasi prinsip differensiensi

fungsional di lapangan yang kaku, dan menimbulkan celah tidak berfungsinya sistem check and

balanced.

ORES merupakan konsep mempersatukan unsur penegak hukum ke dalam jalinan kerjasama

yang baik. Penyidik mengawasi Jaksa, Jaksa mengawasi Penyidik, dan keduanya bersama-sama

mempunyai satu tujuan, yakni menggolkan kasus lingkungan ke dalam gawang pengadilan.

Kerjasama semacam ini walaupun tidak secara jelas disebut dalam UULH yang lalu No. 23 Tahun

1999. Dikenal juga istilah Triangle Integrated Environmental Criminal Justice System yang

merupakan model spesifik sistem segitiga terpadu antara Polisi, Jaksa dan Saksi Ahli untuk saling

berkoordinasi dari tahap penyidikan hingga penuntutan. Namun sayang dalam pelaksanaannya,

penerapan prinsip differensiensi fungsional tanpa diimbangi prinsip koordinasi dan saling

mengawasi, tampaknya sering disalahgunakan, sehingga para penegak hukum yang disebut

sebagai segitiga terpadu itu tampak bekerja sendiri-sendiri yang pada akhirnya di persidangan

dapat dengan mudah dipatahkan pembuktiannya oleh saksi ahli lawan atau pihak penasehat

hukum terdakwa. Kurangnya keahlian, pemahaman dan multi disiplin ilmu yang terlalu banyak

dalam kasus-kasus lingkungan hidup juga membuat para penegak hukum yang tidak memiliki

keteguhan, kesabaran dan pemahaman yang cukup dalam penanganan perkara Lingkungan

Hidup masih harus meraba untuk menangani perkara yang memang memiliki banyak sifat

khusus dan rumit ini.

Kasus Lingkungan tidak pernah menjadi primadona di kalangan penegakan hukum. Kasus ini

jarang sekali dimenangkan masyarakat atau elemen organisasi lingkungan dan juga susah untuk

menuntutnya. Ada beberapa hal yang menjadi biang kurangnya perhatian terhadap kasus

Lingkungan Hidup, yakni:

1. Kasus Lingkungan memerlukan pemahaman multi disiplin ilmu, bukan hanya ilmu hukum

namun berkembang ke ilmu-ilmu lain khususnya ilmu pasti dan teknologi, sehingga para

penegak hukum yang malas belajar, malas bekerja terlalu rumit sementara segudang kasus

lain juga menunggu untuk diselesaikan bekerja dengan setengah hati

2. Kasus Lingkungan termasuk dalam penyelesaian perkara berbiaya tinggi sehubungan dengan

keterlibatan saksi ahli dan laboratorium yang sangat tidak murah, sedangkan anggaran

Page 12: Ujian Hukum Lingkungan

operasional penanganan perkara cukup terbatas, sedangkan jika diajukan oleh masyarakat,

jelas masyarakat akan sulit memperoleh saksi ahli atau berhubungan dengan pengumpulan

bukti-bukti ilmiah kecuali diwakili oleh elemen organisasi Lingkungan yang cukup bonafit.

3. Kasus Lingkungan pada intinya adalah masyarakat korban kerusakan/pencemaran versus

Kekuasaan yang besar sehingga apabila penegakan hukum lingkungan tidak dijalankan oleh

para penegak hukum yang mempunyai dedikasi dan komitmen terhadap penegakan hukum

lingkungan akan sulit bersikap adil dan arif.

4. Ketentuan perundang-undangan lingkungan terlalu tersebar serta bersifat sektoral, sehingga

menangani kasus lingkungan berarti harus mencari rujukan peraturan-peraturan pelaksana

lain dari tingkat PP sampai Keputusan. Hal ini tidak bisa dihindari karena lingkungan terdiri

dari 4 elemen alam yang kesemuanya harus diatur sedemikian rupa agar tercipta

pengelolaan yang baik, apalagi ketika Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

melakukan pengendalian lingkungan hidup di dalam UU Pemerintahan Daerah melalui

Peraturan daerah (Perda) untuk mengendalikan keadaan lingkungan di provinsinya.

Sementara kasus-kasus lingkungan tidak menjadi primadona, kerusakan dan pencemaran

lingkungan terus terjadi dengan lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum yang

nyata. Kasus Lapindo dan Teluk Buyat merupakan contoh kegagalan penegakan hukum

lingkungan. Sebaliknya Kasus Mandalawangi merupakan contoh keberhasilan penegakan hukum

lingkungan dan sayangnya jauh lebih sedikit dibanding kegagalannya. Kedua contoh kasus di

atas, harus dipahami sebagai suatu perbedaan nyata, dimana penegakan hukum lingkungan

tentunya harus mengambil pelajaran dari keduanya. Ke depan diharapkan penegakan hukum

lingkungan akan lebih melibatkan: (1) Hakim, Jaksa, Polisi/PPNS yang telah dilatih khusus dan

berkecimpung aktif dalam hukum lingkungan. Sertifikasi keahlian masing-masing penegak

hukum ini sangat diperlukan; (2) Peningkatan kemampuan sumber daya teknis penegakan

hukum lingkungan harus konstan dan frekuentif; (3) ORES dapat lebih efektif; (4) Triangle Justice

System terus dibina; (5) Mahkamah Agung, Kejaksaan R.I, dan Kepolisian R.I harus memiliki

hubungan yang kuat dengan laboratorium pemerintah berlisensi untuk penangangan kasus-

kasus lingkungan serta menjalin hubungan dengan para ahli lingkungan yang disertifikasi untuk

menjadi saksi ahli Kejaksaan.

Page 13: Ujian Hukum Lingkungan

SARAN TINDAK LANJUT

Berdasarkan analisis hukum yang telah dilakukan maka saran yang dapat diberikan untuk kasus

penuntututan warga Lante terhadap perusahaan tambang PT. RIM adalah:

1. Warga, LSM dan pemerintah desa bahkan daerah harus Lebih mengefektifkan lagi usaha Strict

Liability atau Liability based on fault. Hal ini dikerenakan limbah PT. RIM terindikasi

menghasilkan limbah B3, dan tentunya tindakan ini harus disertai dengan pembuktian

laboratorium. Dimana uji laboratorium harus dilakukan pad di laboratorium yang ditetapkan dan

sedapat mungkin yang terakreditasi, kemudian pengujian harus mengikuti metode uji standar

yang ditetapkan serta laporannya yang bersifat kuantitatif harus diterjemahkan ke dalam bahasa

yang dapat dimengerti untuk kepentingan peradilan.

2. Warga memerlukan pendampingan khusus dari organisasi-organisasi lingkungan hidup lainnya

bahkan lembaga bantuan hukum agar terus melangkah sesuai dengan peraturan UUPPLH no

32/2009 yakni dimulai dengan penyelesaiann ganti rugi, mediasi bahkan jika harus mengajukan

perkara ke pengadilan, hal tersebut pun harus dilakukan.

3. Usaha masyarakat perlu tetap dibantu dengan Class action dan legal standing dari LSM, karena

hal ini akan semakin menjadi tekanan bagi pemerintah bahkan PT. RIM sendiri agar tidak

menganggap remeh masalah ini dan segera menyelesaikannya dengan warga.

4. Penyelesaian kasus ini dan kasus-kasus lingkungan lainnya perlu diberdayakan dengan sistim

One Roof and Enforcement System (ORES), agar dalam penanganannya tidak terkotak-kotak

sehingga arah hukumnya jelas dan tidak membingungkan masyarakat.

Page 14: Ujian Hukum Lingkungan

REFERENSI

Supriyono, H, 2012, Ringkasan Bahan Ajar Hukum Lingkungan, Fakultas Hukum – UGM.

Warga Desa Lante Minta Ganti Rugi kepada PT RIM . http://www.suarapembaruan.com/

nasional/warga-desa-lante-minta-ganti-rugi-kepada-pt-rim/28283. Diakses 11 Januari 2013.

Tambang NTT: Warga Lante Tuntut Perusahaan Hengkang. http://omahkendeng.org/2013-

01/931/tambang-ntt-warga-lante-tuntut-perusahaan-hengkang/. Diakses 11 Januari 2013.

JPIC OFM: Polres Manggarai Jangan Berpihak pada Perusahaan Tambang.

http://www.theindonesianway.com/jpic-ofm-polres-manggarai-jangan-berpihak-pada-perusahaan-

tambang/. Diakses 11 Januari 2013.

Mustikasari, E. Jangan Kesampingkan Masalah Lingkungan Hidup.

http://www.kejaksaan.go.id/kabar_insan_adhyaksa.php. Diakses 11 Januari 2013.

Roeboek, et al, Arbitration, Volume 74 No 1, Sweet and Maxwell Ltd.

Sulistyono, 2007, Legal Standing, Kursus HAM.

UU no 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.

UU no 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

UU no 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

PP no 24 tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang

Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara.

Page 15: Ujian Hukum Lingkungan

L A M P I R A N

UUPPLH NO 32 TAHUN 2009

PASAL 70 – 123