Uji Bioekivalensi Obat

29
UJI BIOAVAIBILITAS DAN BIOEKUIVALENSI OBAT I. TUJUAN Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk: 1. Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji 2. Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu produk obat II. PRINSIP 1. Bioavaibilitas Relatif Yaitu ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui. a. Data Darah : Bioavaibilitas Relatif (F REL ) = [ AUC ] UJI [ AUC ] STD x Dosis STD Dosis UJI x 100 % b. Data Urin : Bioavaibilitas Relatif (F REL ) = [ Q ] UJI [ Qur ] STD x Dosis STD Dosis UJI x 100 % 2. Bioavaibbilitas Absolut Perbandingan AUC suatu produk yang diuji setelah pemberian oral dan intravena. Bioavaibilitas Absolut (F ABS ) = [ AUC ] UJI [ AUC ] IV x Dosis IV Dosis UJI x 100 %

description

BE

Transcript of Uji Bioekivalensi Obat

UJI BIOAVAIBILITAS DAN BIOEKUIVALENSI OBAT

I. TUJUANSetelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu untuk:1. Menentukan status bioekivalensi dari suatu produk obat yang diuji2. Merancang penelitian uji bioavailabilitas dan bioekivalensi suatu produk obat

II. PRINSIP1. Bioavaibilitas RelatifYaitu ketersediaan dalam sistemik suatu produk obat dibandingkan terhadap suatu standar yang diketahui.a. Data Darah :

Bioavaibilitas Relatif (FREL) = b. Data Urin:

Bioavaibilitas Relatif (FREL) = 2. Bioavaibbilitas AbsolutPerbandingan AUC suatu produk yang diuji setelah pemberian oral dan intravena.

Bioavaibilitas Absolut (FABS) =

III. TEORI DASAR Uji Bioekivalensi (BE) merupakan data ekivalensi untuk melihat kesetaraan sifat dan kerja obat didalam tubuh suatu obat copy dibandingkan dengan obat innovator sebagai pembanding. Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai bioekivalensi farmaseutik dan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efek dalam efikasi maupun keamanan akan sama. Bioavailabilitas (BA) adalah persentase dan kecepatan zat aktif dalam produk obat yang mencapai atau tersedia dalam sirkulasi sistemik dalam bentuk utuh / aktif, setelah pemberian obat diukur dari kadarnya dalam darah terhadap waktu atau dari ekskresinya dalam urin. (BPOM, 2004., BPOM, 2006). Uji bioavailabilitas dan bioekivalensi (BABE) mensyaratkan pelaksanaan sesuai dengan pedoman praktek laboratorium yang benar (Good Laboratory Practice) dan pedoman cara uji klinik yang baik (Good Clinical Practice). Setiap laboratorium pengujian, untuk menyusun proposal uji BABE diharuskan melakukan penelitian dan kajian pustaka, karena dalam pedoman uji bioekivalensi tidak menentukan produk yang harus diuji maupun inovator ataukomparatornya demikian pula dengan metode yang digunakan. (BPOM, 2004., BPOM, 2006).Bioavailabilitas suatu obat mempengaruhi daya terapetik, aktivitas klinik, dan aktivitas toksik obat, maka biofarmasetika menjadi sangat penting. Biofarmasetika bertujuan mengatur pelepasan obat sedemikian rupa ke sirkulasi sistemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada kondisi klinik tertentu (Shargel dan Andrew, 2005).Bioavailabilitas terbagi menjadi dua, yaitu :1.Bioavailabilitas absolut: bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bioavailabilitas zat aktif tersebut dengan pemberian intra vena

2.Bioavailabilitas relatif: bioavailabilitas zat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik dari suatu sediaan obat dibandingkan dengan bentuk sediaan lain selain intra vena. Bioavailabilitas suatu produk obat dibandingkan dengan produk standarFaktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif (Shargel dan Andrew, 2005):1. DisintegrasiSebelum absorpsi terjadi, suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel-partikel kecil dan melepaskan obat.2. PelarutanPelarutan merupakan proses di mana suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Laju pelarutan obat-obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh atau terdisintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi sistemik obat. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh dikenal sebagai stagnant layer, berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke daerah konsentrasi obat yang rendah. Laju pelarutan adalah jumlah obat yang terlarut per satuan luas per waktu (misal g/cm2.menit). Laju pelarutan dipengaruhi pula oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, pelarut, suhu media dan kecepatan pengadukan3. Sifat Fisikokimia ObatSifat fisika dan kimia partikel-partikel obat padat mempunyai pengaruh yang besar pada kinetika pelarutan. Sifat-sifat ini terdiri atas: luas permukaan, bentuk geometrik partikel, derajat kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat yang polimorf.4. Faktor Formulasi Yang Mempengaruhi Uji Pelarutan ObatBerbagai bahan tambahan dalam produk obat juga mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mengubah media tempat obat melarut atau bereaksi dengan obat itu sendiri.Misalnya, magnesium stearat (bahan pelincir tablet) dapat menolak air, dan bila digunakan dalam jumlah besar dapat menurunkan pelarutan. Natrium bikarbonat dapat mengubah pH media. Untuk obat asam seperti aspirin dengan media alkali akan menyebabkan obat tersebut melarut cepat. Serta, bahan tambahan yang berinteraksi dengan obat dapat membentuk kompleks yang larut atau tidak larut dalam air, contoh tetrasiklina dan kalsium karbonat membentuk kalsium tetrasiklina yang tidak larut air.Untuk mengetahui perbandingan kualitas obat sediaan generik dengan sediaan paten perlu diketahui bioekuivalensi antara dua sediaan tersebut. Masing-masing sediaan diukur bioavailabilitasnya. Perbandingan bioavailabilitas ini disebut bioekivalansi obat. Dasar untuk menentukan bioavailabilitas suatu obat terlebih dahulu harus diketahui profil disolusinya. Disolusi tablet ialah jumlah atau persen zat aktif dari sediaan padat yang larut pada waktu tertentu dalam kondisi baku. Kondisi yang dimaksud misalnya, dalam suhu, kecepatan, pengadukan, dan komposisi media tertentu. Uji disolusi merupakan suatu metode fisika kimia yang penting sebagai parameter dalam pengembangan produk dan pengendalian mutu sediaan obat yang didasarkan pada pengukuran kecepatan pelepasan dan melarut zat aktif dari sediaannya. Uji disolusi digunakan untuk uji bioavailabilitas secara in vitro, karena hasil uji disolusi berkorelasi dengan ketersediaan hayati obat dalam tubuh ( Stoklosa, 1991).

Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi farmaseutik atau merupakan alternatif farmaseutik dan pada pemberian dengan dosis molar yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas yang sebanding sehingga efeknya akan sama, dalam hal efikasi maupun keamanan (BPOM RI, 2004).

IV. ALAT DAN BAHAN1. Alata. Komputerb. Perangkat Lunak Microsoft Excel1. 2. Bahana. Soal Tugas Praktikum Uji Bioekivalensi Diktat Penuntun Praktikum Biofarmasetik-Farmasetik, Volume 2. Laboratorium Farmakokinetik Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran 2013

V.DATA PENGAMATAN

BA absolut (F) suatu sediaan obat berupa suspense oral konsentrasi zat aktif 50 mg/ml. apabila dibandingkan dgn i.v konsentrasi zat aktif 100 mg/ml dmn dosis yg diberikan u/ suspense oral adalah 2 sendok teh sedangkan dosis i.v 2ml. data kadar obat sbb:

t (jam)kadar (g/ml)

suspensi orali.v

0,52,755,31

16,244,62

1,58,54,02

29,813,5

37,432,65

45,62,01

63,191,16

81,910,66

Maka BA absolutnya adalah sebagai berikut

T(jam)Kadar (ug/ml)AUC OralAUC IVLn IVLn Oral

suspensi oralIV

006.1361652810.68752.8615411.8142#NUM!

0.52.755.312.24752.48251.6695918351.0116009

16.244.623.6852.161.5303947051.8309802

1.58.54.024.57751.881.3912819032.1400662

29.813.58.623.0751.2527629682.2834023

37.432.656.5152.330.974559642.0055259

45.62.018.793.170.6981347221.7227666

63.191.165.11.820.1484200051.1600209

81.910.667.1030122722.37069-0.415515440.6471032

Total47.3255122722.14973

Ln OralKadar tak hingga OralBA Absolut

Kadar IV

#NUM!6.1361657.10301227285.46471707

1.0116009Kadar tak hingga vena

1.83098022.370689655

2.1400662

2.2834023

2.0055259

1.7227666

1.1600209

0.6471032

Gambar 1. Grafik intravena obat

Gambar 2. Grafik oral obat

Status BE dari ketiga sediaan kapsul uji (A,B,C) terhadap sediaan standar

SukarelawanAUC

Kapsul AKapsul BKapsul CKapsul std

114.119.19.615.8

220.22010.619

31917.514.619.3

413.220.313.118.4

513.517.310.417.2

617.917.48.316.5

712.417.214.517.9

815.816.911.417.5

1. Kapsul Asukarelawan AUCF=(AUC A/ AUC STD)*100

kapsul Akapsul STD

114.115.889.24050633

220.219106.3157895

31919.398.44559585

413.218.471.73913043

513.517.278.48837209

617.916.5108.4848485

712.417.969.27374302

815.817.590.28571429

Rata- rata 89.0342125

Standar deviasi14.9665048

Standar deviasi rataan5.291458517

t (dk=7)1.895

CLI (+)99.06152639

CLI (-)79.00689861

2. Kapsul BSukarelawanAUCF

Kapsul BKapsul standar

119.115.81.208860759

220191.052631579

317.519.30.906735751

420.318.41.10326087

517.317.21.005813953

617.416.51.054545455

717.217.90.960893855

816.917.50.965714286

Rata-rata F1.032307063

Standar devasi F0.094956957

T1.895

Cli (+)121.2250497

Cli (-)85.23636298

3. Kapsul CSukarelawan AUCF

Kapsul CKapsul Standar

19.615.80.607594937

210.6190.557894737

314.619.30.756476684

413.118.40.711956522

510.417.20.604651163

68.316.50.503030303

714.517.90.810055866

811.417.50.651428571

rata - rata0.650386098

Standar Deviasi0.103325285

T1.895

Cli +84.61875121

Cli-45.45846835

VI.PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan studi uji bioavaibilitas dan bioekivalesi. Pengujian ini dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa suatu obat yang akan beredar di pasar telah melewati serangkaian pengujian antara lain untuk membuktikan bahwa obat tersebut memiliki khasiat seperti tang di harapkan, aman digunakan dan tidak menimbulkan efek negative yang tidak diinginkan dengan proses produksi yang telah distandardisasi. biasanya uji bioekivalensi ini dilakukan untuk pad obat generik agar dapat dipastikan apabila obat tersebut beredar di masyarakat memenuhi syarat bioekivalen. artinya, ketika seseorang mengonsumsi suatu obat, baik yang berupa produk orisinil maupun generiknya, maka pasien akan mendapat efek yang sama.Studi bioekivalensi obat ini penting dilakukan karena pada kenyataannya, obat tidak hanya terdiri dari zat berkhasiat saja, melainkan ditambahkan dengan bahan-bahan lain, selain itu adnya perbedaan dalam proses pembuatan juga akan mempengaruhi suatu obat sehingga pengujian ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah obat yang di buat memiliki khasiat yang sama dengan obat standarnya.Namun, uji bioekivalensi ini belum menjadi syarat utama suatu produk obat terutama di Indonesia. Alasan utamanya adalah biaya yang di butuhkan oleh produsen obat untuk melakukan pengujian ini cukup besar. Pengujian bioekivalensi obat ini melibatkan manusia sebagai objek percobaan. Singkatnya, pengujian ini dilakukan dengan cara objek percobaan yaitu manusia diberikan obat uji dan obat standar dalam waktu yang tidak bersamaan. Kemudian sampel darahnya di ambil dan di ukur. Selanjutnya, hasil pengukuran dari kedua sampel yaitu obat uji dan obat standanya di bandingkan. Apabila hasilnya sama maka obat uji tersebut dapat dinyatakan bioekivalen dengan obat orisinilnya dan tentunya akan memberikan efek yang sama saat digunakan. Sedangkan bioavaibiltas itu sendiri merupakan suatu istilah yang menyatakan jumlah/proporsi (exetent) obat yang diabsorpsi dan kecepatan (rate) yang diabsorpsi itu terjadi.Extentbiasanya dinyatakan dalam F. Hal ini biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu.Pada pengujian pertama dilakukan perhitungan BA absolut (F) suatu sediaan obat berupa suspense oral konsentrasi zat aktif 50 mg/mL, apabila dibandingkan dgn i.v konsentrasi zat aktif 100 mg/mL dmn dosis yg diberikan untuk suspense oral adalah 2 sendok teh sedangkan dosis i.v 2mL dengan data sebagai berikut

t (jam)kadar (g/ml)

suspensi orali.v

0,52,755,31

16,244,62

1,58,54,02

29,813,5

37,432,65

45,62,01

63,191,16

81,910,66

Pertama tama dilakukan perhitungan AUC sediaan suspense oral dan intravena. Selanjutnya dilakukan perhitungan ln nya dan di cari nilai eksponennya maka didapatkan kadar intravena nya yaitu sebesar 6.136165, kemudian didapatkan pula kadar tak hingga oral dengan t saat 8 jam yang digunakan dalam perhitungan di dapatkan 7.103012272, sedangkan kadar tak hingga intra vena nya adalah 2.370689655 yang dapat di gambarkan pada kurva sebagai berikut

Dari data yang telah di peroleh dapat diketahui bioavaibilitas absolut obat dengan melakukan perhitungan :BA = x x 100

Dan di dapatkan BA obat yang diujikan adalah 85.46471707, hasil ini masih cukup baik karena ketersediannya dalam darah masih tinggi yaitu sekitar 85%.Pengujian selanjutnya dilakukan uji bioekivalensi terhadap 3 kapsul uji yang di bandingkan dengan standarnya, uji ini untuk memastikan obat yang di ujikan memiliki efek yang sama dengan obat standarnya. Pengujian ini dilakukan terhadap 8 orang sukarelawan yang di berikan obat uji dan obat standar pada waktu yang tidak bersamaan kemudian di ambil sampel nya dan di ukur kadarnya. Analisis dilakukan dengan perhitungan AUC obat uji dan obat standar dari setiap sukarelawan, kemudian di hitung nilai F nya, F menyatakan nilai kadar obat yang diabsorpsi. F=(AUC A/ AUC STD)*100

maka didapatkan nilai F rata-ratanya untuk kapsul A adalah sebesar 89.0342125. Kemudian masih dengan menggunakan Microsoft excel di hitung pula nilai standar deviasi rataannya untuk mendapatkan kriteria BE dan nilainya adalah 5.291458517, dan nilai t berdasarkan tabel yaitu 1.895 maka dapat dilakukan perhitungan kriteria BE yang dinyatakan dengan rumus :

Cli = F Std . t

Kriteria BE yang baik suatu obat harus memiliki nilai BE 80 125 %. Untuk kapsul A sendiri nilai Cli(+) nya adalah 99.06152639 dan nilai Cli(-) nya adalah 79.00689861. Maka dapat disimpulan kapsul A ini tidak memenuhi kriteria BE yang baik karena nilai Cli(-) nya kurang dari 80%.Untuk kapsul B yang diujikan, di dapatkan nilai Cli(+) nya adalah 121.2250497 dan nilai Cli(-) nya adalah 85.23636298. Maka dapat disimpulkan kapsul B ini tmemenuhi kriteria BE yang baik karena nilai Cli(+) dan Cli(-) nya berada dalam rentang 80 125 %. Selanjutnya kapsul yang terakhir yaitu kapsul C, di dapatkan nilai Cli(+) nya adalah 84.61875121, dan nilai Cli(-) nya adalah 45.45846835, maka dapat disimpulkan juga bahwa kapsul C ini tidak memenuhi kriteria BE yang baik karena nilai Cli(-) nya kurang dari 80%.

VII.Kesimpulan1. Uji bioekuivalensi dapat dilakukan dengan membandingkan obat yang akan di uji dengan obat standarnya. Kriteria obat yang memiliki BE yang baik adalah dengan nilai 80-125%. Dari pengujian yang dilakukan obat yang memenuhi kriteria BE yang baik adalah kapsul B.2. Uji bioavaibilitas dan bioekuivalensi dapat dirancang untuk memastikan suatu obat memiliki kualitas yang baik dan memiliki efek yang sama sesuai dengan obat standarnya bila diberikan pada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2004), Pedoman Uji Bioekivalensi. cetakan I, Badan pengawas obat dan makan RI. Jl. Percetakan Negara No. 23. Jakarta.

Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM) (2006). Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta

Shargel, L. dan B.C. Andrew. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya: Airlangga University Press.

Stoklosa MJ, Ansel HC, 1991. Pharmaceutical Calcutations 9th. London: Lea & Febiger. Pages 74-89.

LAMPIRAN

1. Sebutkan dan jelaskan secara lengkap faktor-faktor yg mempengaruhi BA suatu obat/ produk obat! Faktor fisiologis tubuh, seperti struktur saluran cerna, mekanisme absorpsi obat, luas permukaan tempat absorpsi, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan usus, metabolisme Faktor fisikokimia obat, seperti konstanta disosiasi dan kelarutan dalam lemak, kelarutan, ukuran partikel Formulasi, seperti penggunaan eksipien

Jawab : Bioavailibilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik. Sirkulasi sistemik sangat mempengaruhi efek terapetik dari obat, aktivitas toksik obat dan aktivitas klinisnya. Hal ini biasanya diukur dari perkembangan kadar obat (zat aktif) atau metabolit aktifnya dalam darah dan eksresinya dalam urin terhadap waktu. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi bioavalibilitas obat dalam tubuh di antaranya: Faktor Fisikokimia

a. Ukuran Partikel Kecepatan disolusi obat berbanding lurus dengan luas permukaan yang kontak dengan cairan. Semakin kecil partikel, semakin luas permukaan obat, semakin mudah larut. Dengan memperkecil ukuran partikel, dosis obat yang diberikan dapat diperkecil pula, sehingga signifikan dari segi ekonomis. Terdapat hubungan linier antara kecepatan absorpsi obat dengan logaritma luas permukaan. Sebagai contoh, pemberian 500 mg griseofulvin bentuk mikro memberikan kadar plasma yang sama dengan 1 g griseofulvin bentuk serbuk.

b. Kelarutan Pengaruh daya larut obat bergantung pada sifat kimia (atau modifikasi kimiawi obat) dan sifat fisika (atau modifikasi fisik obat). Modifikasi Kimiawi Obat diantaranya dengan :

i. Pembentukan Garam

Obat yang terionisasi lebih mudah dalam air dari[pada bentuk tidak terionisasi. Pembentukan garam ini terutama penting dalam hal zat aktif berada dalam saluran cerna, kelarutan modifikasi sewaktu transit di dalam saluran cerna, karena perbedaan pH lambung dan usus. Peningkatan kecepatan pelarutan obat dalam bentuk garam berlaku untuk obat-obat berikut penicilline, barbiturate, tolbutamide, tetracycline, acetosal, dextromethorphane, asam salisilat, phenytoine, quinidine, vitamin-vitamin larut aie, sulfa, quinine

ii. Pembentukan Ester

Daya larut dan kecepatan melarut obat dapat dimodifikasi dengan membentuk ester. Secara umum, pembentukan ester memperlambat kelarutan obat. Beberapa keuntungan bentuk ester, antara lain :

1. Menghindarkan degradasi obat di lambung ester dari erythromycin (misalnya erythromycine succinat) memungkinkan obat tidak rusak pada suasana asam di lambung. Ini merupakan semacam pro-drug, dalam suasana lebih basa di usus, terjadi hidrolisis erythromycine ethylsuccinat.2. Memperlama masa kerja obat misalnya esterifikasi dari hormon steroid.3. Menutupi rasa obat yang tidak enak. Contohnya adalah ester dari kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat dan Kloramfenikol stearat dihidrolisis di usus halus untuk melepaskan kloramfenikol.

iii. Modifikasi Bentuk Fisik Obat

1. Bentuk Kristal atau Amorf

Bentuk amorf tidak mempunyai struktur tertentu, terdapat ketidakteraturan dalam tiga dimensinya. Secara umum, amorf lebih mudah larut daripada bentuk kristalnya. Misalnya Novobiocin, kelarutan bentuk amorf 10 x dari bentuk Kristal.

2. Pengaruh Polimorfisme

Fenomena polimorfisme terjadi jika suatu zat menghablur dalam berbagai bentuk Kristal yang berbeda, akibat suhu, teakanan, dan kondisi penyimpanan. Polimorfisme terjadi antara lain pada steroid, sulanilamida, barbiturat, kloramfenikol. Kloramfenikol palmitat terdapat dalam bentuk polimorf A, B, C, dan amorf. Tetapi hanya bentuk polimorf B dan bentuk amorf yang dapat dihidrolisis oleh usus.

3. Bentuk Solven dan Hidrat

Sewaktu pembentukan Kristal, cairan-pelarut dapat membentuk ikatan stabil dengan obat, disebut solvat. Jika pelarutnya dalah air, ikatan ini disebut hidrat. Bentuk hidrat memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan bentuk anhidrat, terutama kecepatan disolusi. Ampisilina anhidrat lebih mudah larut daripada Ampisilian trihidrat.

c. pKa dan Derajat IonisasiObat berupa larutan dalam air dapat diklasifikasi menjadi 3 kategori, yaitu:Elektrolit kuat ; seluruhnya berupa ion (contoh : Na, K, Cl)Non elektrolit ; tidak terdisosiasi (contoh : gula, steroid)Elektrolit lemah ; campuran bentuk ion & molekulKonsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan pH lingkungan. Kebanyakan obat dalam bentuk asam lemah atau basa lemah, yang terabsorpsi secara difusi aktif, sehingga hanya bentuk molekul (tidak terionisasi) yang terabsorpsi. Akibatnya perbandingan ion/molekul sangat menentukan absorpsi. Konsentrasi ion dari obat berupa asam lemah (misal asetosal) meningkat dengan peningkatan pH media air. Sebaliknya Konsentrasi molekul dari obat berupa asam lemah (misal alkaloid)meningkat dengan apeningkatan pH media air. Sehingga asam lemah lebih banyak diabsorpsi pada suasana asam (di lambung, pH 1-3), sedangkan basa lemah lebih banyak diabsorpsi di usus (pH 6-8).

d. Koefisien Partisi Lemak-AirKoefisien partisi menunjukkan rasio konsentrasi obat dalam 2 cairan yang tidak bercampur. Koefisien partisi merupakan indeks dari solubilitas komparatif suatu zat dalam 2 solven. Koefisien partisi lemak-air digunakan sebgai indikator penumpukan obat di dalam lemak tubuh.Normal lemak dalam tubuh adalah 10-25%, pada keadaan obesitas dapat menjadi 50% atau lebih. Pada penderita obesitas, obat dengan daya larut lemak tinggi akan menumpuk pada lemak-tubuh dalam jumlah besardan menjadi depo di mana obat dilepaskan secara perlahan. Pada pemberian barbiturate, pelepasan obat diperlama dari depo, menyebabkan kondisi hang-over.

- Faktor Formulasi Faktor-faktor manufaktur (pembuatan obat) dapat mengurangi bioavailabilitas obat, diantaranya :

1. Peningkatan kompresi (tekanan) pada waktu pembuatan meningkatkan kekerasan tablet. Hal ini menyebabkan waktu disolusi dan disintegrasi menjadi lebih lama.

2. Penambahan jumlah bahan pengikat pada formula tablet atau granul akan meningkatkan kekerasan tablet, mengakibatkan perpanjangan waktu disintegrasi dan disolusi.

3. Peningkatan jumlah pelincir (lubricant) pada formula tablet akan mengurangi sifat hidrofilik tablet sehingga sulit terbasahi (wetted). Hal ini memperpanjang waktu disintegrasi dan disolusi.

4. Granul yang keras dengan waktu kompresi yang cepat serta kekuatan yang tinggi akan menyebbakan peningkatan suhu kompresi, sehingga obat yang berbentuk kristal mikro akan membentuk agregat yang lebih besar.

a. Eksipien Obat Obat jarang diberikan tunggal dalam bahan aktif. Biasanya dibuat dalam bentuk sediaan tertentu yang membutuhkan bahan-bahan tambahan (excipients). Obat harus dilepaskan (liberated) dari bentuk bentuk sediaannya sebelum mengalami disolusi, sehingga excipients dapat mengakibatkan perubahan disolusi dan absorpsi obat.

Faktor Fisilogis Tubuh

Faktor fisiologis tubuh, seperti struktur saluran cerna, mekanisme absorpsi obat, luas permukaan tempat absorpsi, kecepatan pengosongan lambung, pergerakan usus, metabolisme juga sangat berpengaruh terhadap bioavaibiltas suatu obat. Mulai dari luas permukaan yang berkaitan dengan ukuran partikel dimana smakin kecil ukuran partikelnya maka akan semakin besar luas permukaanya maka semakin cepat pula proses absorpsinya, kemudian kecepatan pengosongan lambung artinya semakin cepat lambung seseorang kosong maka semakin cepat obat yang masuk ke dalam tubuh akan di absorsbsi. Selain itu metabolisme juga berpengaruh terhadup BA, seseorang yang memiliki metabolism yang tinggi dan cepat, maka akan sangat berpengaruh pada obat yang di minum, karena metabolismenya yang tinggi obat akan segera di metabolism sebelum sempat di absorpsi, untuk mengantisipasinya dapat dilakukan dengan penambahan dosis.