Tutorial SD

79
PENDAHULUAN Kromosom adalah merupakan serat-serat khusus yang terdapat didalam setiap sel didalam badan manusia dimana terdapat bahan-bagan genetik yang menentukan sifat-sifat seseorang.Selain itu down syndrom disebabkan oleh hasil daripada penyimpangan kromosom semasa konsepsi. Ciri utama daripada bentuk ini adalah dari segi struktur muka dan satu atau ketidakmampuan fisik dan juga waktu hidup yang singkat. Bayi normal dilahirkan dengan jumlah 46 kromosom (23 pasang) yaitu hanya sepasang kromosom 21 (2 kromosom 21). Sedangkan bayi down syndrom terjadi kelebihan kromosom 21 dimana 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kesemua kromosom ialah 47 kromosom. Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom (Cuncha, 1992). Down syndrome dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris bernama Langdon Down, yang pertama kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866. Pada tahun 1959 seorang ahli genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya, mengidentifikasi basis genetiknya. Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami down syndrome hampir selalu memiliki 47 kromosom, bukan 46. Ketika terjadi pematangan

Transcript of Tutorial SD

PENDAHULUAN

Kromosom adalah merupakan serat-serat khusus yang terdapat didalam setiap

sel didalam badan manusia dimana terdapat bahan-bagan genetik yang menentukan

sifat-sifat seseorang.Selain itu down syndrom disebabkan oleh hasil daripada

penyimpangan kromosom semasa konsepsi.  Ciri utama daripada bentuk ini adalah

dari segi struktur muka dan satu atau ketidakmampuan fisik dan juga waktu hidup

yang singkat.  Bayi normal dilahirkan dengan jumlah 46 kromosom (23 pasang) yaitu

hanya sepasang kromosom 21 (2 kromosom 21). Sedangkan bayi down syndrom

terjadi kelebihan kromosom 21 dimana 3 kromosom 21 menjadikan jumlah kesemua

kromosom ialah 47 kromosom.

Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik

dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan

kromosom (Cuncha, 1992). Down syndrome dinamai sesuai nama dokter

berkebangsaan Inggris bernama Langdon Down, yang pertama kali menemukan

tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866. Pada tahun 1959 seorang ahli genetika

Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya, mengidentifikasi basis genetiknya.

Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah

dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami down syndrome

hampir selalu memiliki 47 kromosom, bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, 2

kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil gagal membelah

diri. Jika telur bertemu dengan sperma, akan terdapat kromosom 21—yang istilah

teknisnya adalah trisomi 21.

Masalah ini penting, karena seringkali terjadi di berbagai belahan dunia,

sebagaimana menurut catatan Indonesia Center for Biodiversity dan Biotechnology

(ICBB) Bogor, di Indonesia terdapat lebih dari 300 ribu anak pengidap down

syndrome. Sedangkan angka kejadian penderita down syndrome di seluruh dunia

diperkirakan mencapai 8 juta jiwa (Aryanto, 2008). Angka kejadian kelainan down

syndrome mencapai 1 dalam 1000 kelahiran. Di Amerika Serikat, setiap tahun lahir

3000 sampai 5000 anak dengan kelainan ini. Sedangkan di Indonesia prevalensinya

lebih dari 300 ribu jiwa (Sobbrie, 2008). Dalam beberapa kasus, terlihat bahwa umur

wanita terbukti berpengaruh besar terhadap munculnya down syndrome pada bayi

yang dilahirkannya. Kemungkinan wanita berumur 30 tahun melahirkan bayi dengan

down syndrome adalah 1:1000. Sedangkan jika usia kelahiran adalah 35 tahun,

kemungkinannya adalah 1:400. Hal ini menunjukkan angka kemungkinan munculnya

down syndrome makin tinggi sesuai usia ibu saat melahirkan (Elsa, 2003).

Suatu skrining bertujuan mendeteksi risiko untuk mendapat penyakit pada

populasi yang asimptomatik. Skrining kelainan kongenital dan genetik menjadi

semakin penting dan kompleks sejak diperkenalkannya amniosentesis pada tahun

1969. Sejumlah faktor harus dipertimbangkan apabila akan melakukan program

skrining kelainan genetik, di antaranya prevalensi penyakit pada populasi yang

bersangkutan, beratnya penyakit, sensitivitas dan spesifisitas, dan biaya/kerugian.1

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Down Syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan

fisik dan mental pada anak yang disebabkan adanya abnormalitas perkembangan

kromosom (Cuncha, 1992).

Menurut JW. Chaplin (1995), down syndrome adalah satu kerusakan atau

cacat fisik bawaan yang disertai keterbelakangan mental, lidahnya tebal, dan

retak-retak atau terbelah, wajahnya datar ceper, dan matanya miring. Sedangkan

menurut Kartini dan Gulo (1987), down syndrome adalah suatu bentuk

keterbelakangan mental, disebabkan oleh satu kromosom tembahan. IQ anak

down syndrome biasanya dibawah 50, sifat-sifat atau ciri-ciri fisiknya adalah

berbeda, ciri-ciri jasmaniahnya sangat mencolok, salah satunya yang paling

sering diamati adalah matanya yang serong ke atas.

Sindroma Down, yang juga dikenal dengan sebutan Trisomi 21 adalah

kelainan kromosom yang bukan merupakan suatu penyakit tetapi merupakan

suatu kelainan genetik yang dapat terjadi pada pria maupun wanita. Trisomi 21

biasanya disebut sindroma down karena pertama diidentifikasi pada tahun 1966

sebagai sebuah kondisi yang spesifik oleh John Langdon Down, seorang dokter

di Inggris.3,15,16

10

Sebelumnya kelainan genetika ini disebut sebagai “Mongolism”, karena

adanya lipatan pada kelopak mata penderita, yaitu lipatan epicanthal, yang

memberi kesan seperti ras Mongoloid. Namun, untuk menghindari penghinaan

ras tertentu, maka nama yang sering digunakan adalah sindroma Down.3

Sedangkan, dari segi sitologi, down syndrome dapat dibedakan menjadi 2 tipe,

yaitu:

Syndroma Down Triplo-21 atau Trisomi 21, sehingga penderita memiliki

47 kromosom. Penderita laki-laki= 47,xy,+21, sedangkan perempuan=

47,xx,+21. Kira-kira 92,5% dari semua kasus syndrome down tergolong

dalam tipe ini.

Syndrome Down Translokasi, yaitu peristiwa terjadinya perubahan

struktur kromosom, disebabkan karena suatu potongan kromosom

bersambungan dengan potongan kromosom lainnya yang bukan

homolog-nya (Suryo, 2001).

11

2.2. EPIDEMIOLOGI

Menurut penelitian, down syndrome menimpa satu di antara 700

kelahiran hidup atau 1 diantara 800 - 1000 kelahiran bayi. Diperkirakan saat ini

terdapat empat juta penderita down syndrome di seluruh dunia, dan 300 ribu

kasusnya terjadi di Indonesia. Analisis baru menunjukkan bahwa dewasa ini

lebih banyak bayi dilahirkan dengan down syndrome dibanding 15 tahun lalu. 

Kejadian sindroma Down diperkirakan satu per 800 sampai satu per 1000

kelahiran. Pada tahun 2006, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit

memperkirakan tingkat kejadiannya sebagai satu per 733 kelahiran hidup di

Amerika Serikat (5429 kasus baru per tahun). Sekitar 95% dari kasus ini adalah

trisomi 21. Sindroma Down terjadi pada semua kelompok etnis dan di antara

semua golongan tingkat ekonomi.

Karena merupakan suatu kelainan yang tersering yang tidak letal pada

suatu kondisi trisomi, maka skrining genetik dan protokol testing menjadi fokus

dibidang obstetri. Kelainan mayor yang sering berhubungan adalah kelainan

jantung 30-40%, atresia gastrointestinal, leukimia dan penyakit tiroid. IQ

berkisar 25-50. Diperkirakan 20% anak dengan sindroma Down dilahirkan oleh

ibu yang berumur diatas 35 tahun. Pada usia ibu 20 sampai 24 tahun,

probabilitasnya adalah satu diantara 1.562 kelahiran, pada usia 35 sampai 39

tahun probabilitasnya adalah satu di antara 214 kelahiran, dan di atas usia 45

tahun probabilitasnya adalah satu di antara 19 kelahiran. Meskipun kemungkin

risiko meningkat seiring dengan meningkatnya usia ibu, 80% anak dengan

sindroma Down dilahirkan pada wanita di bawah usia 35 yang mencerminkan

ibu padamasa kesuburan juga berisiko memiliki anak seindroma Down. Selain

dipengaruhi oleh usia ibu, sindrom Down juga bisa di pengaruhi oleh umur ayah.

Data terakhir juga menunjukan bahwa usia ayah, khususnya di atas 42 tahun,

juga mempengaruhi meningkatnys risiko terjadinya sindroma Down. Penelitian

saat ini menunjukkan bahwa sindroma Down terjadi karena peristiwa acak

selama pembentukan sel kelamin pada kehamilan. Belum ada bukti bahwa itu

terjadi karena perilaku orang tua (selain usia) atau faktor lingkungan.

Insidensnya pada Wanita yang hamil diatas usia 35 th meningkat dengan cepat

12

menjadi 1 diantara 250 kelahiran bayi. Diatas 40 tahun semakin meningkat lagi,

1 diantara 69 kelahiran bayi.

Angka kejadian DS dikaitkan dengan usia ibu saat kehamilan:

15-29 tahun – 1 kasus dalam 1500 kelahiran hidup

30-34 tahun – 1  kasus dalam 800 kelahiran hidup

35-39 tahun – 1  kasus dalam 270 kelahiran hidup

40-44 tahun – 1 kasus dalam100 kelahiran hidup

Lebih 45 tahun – 1 kasus dalam 50 kelahiran hidup

Sindroma Down (SD) adalah kelainan genetik yang biasa terjadi. Frekuensi

terjadinya penderita sindroma Down di Indonesia adalah 1 dalam 600 kelahiran

hidup.3 Di seluruh dunia, prevalensi keseluruhan adalah 10 SD per 10.000 kelahiran

hidup, meskipun dalam tahun terakhir angka ini telah meningkat. Untuk sebagian

besar, prevalensi SD tergantung pada beberapa variabel sosial-budaya. Di Negara -

negara di mana aborsi ilegal seperti Irlandia dan Uni Emirat Arab, prevalensinya

lebih tinggi. Sebaliknya, di Prancis, prevalensi SD rendah, dan ini mungkin karena

tingginya persentase penghentian kehamilan SD. Di Belanda, ukuran yang paling

terbaru dari prevalensi SD adalah 16 per 10.000 kelahiran hidup. Di Inggris,

prevalensi kehamilan SD telah meningkat secara signifikan, namun belum ada

perubahan secara keseluruhan prevalensi kelahiran hidup dari SD.14 Angka kejadian

sindroma Down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilan. Semakin meningkat usia

ibu saat kehamilan, semakin besar resiko melahirkan anak dengan sindroma Down.17

13

Gambar 1: Peningkatan angka kejadian sindroma down berkaitan dengan usia ibu

saat kehamilan. Sumber : Stewart KB. Trisomi 21-sindroma Down. The australasian

genetiks resource book; 2007: 28. [internet]. Available from URL:

www.genetiks.edu.au

Tabel 1. Angka kejadian sindroma down berkaitan dengan usia ibu saat kehamilanSumber : Stewart KB. Trisomi 21-sindroma Down. The australasian genetiks

resource book; 2007: 28. [internet]. Available from URL: www.genetiks.edu.au

14

2.3. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko ibu hamil untuk terjadi sindrom down yaitu :

a. ibu yang berusia diatas 35 tahun. Hal ini terjadi karena diperkirakan

terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan “non-

disjunction” pada kromosom yaitu terjadi translokasi kromosom 21 dan

15. Hal ini dapat mempengaruhi pada proses menua. Bagi ibu-ibu yang

berumur 35 tahun keatas, semasa mengandung mempunyai risiko yang

lebih tinggi untuk melahirkan anak Down Syndrom. 95 penderita down

syndrom disebabkan oleh kelebihan kromosom 21. Keadaan ini

disebabkan oleh “non-dysjunction” kromosom yang terlibat yaitu

kromosom 21 dimana semasa proses pembahagian sel secara mitosis

pemisahan kromosom 21 tidak berlaku dengan sempurna.

b. Di kalangan 5 % lagi, anak-anak down syndrom disebabkan oleh

mekanisme yang dinamakan “Translocation“. Keadaan ini biasanya

berlaku oleh pemindahan bahan genetik dari kromosom 14 kepada

kromosom 21. Bilangan kromosomnya normal iaitu 23 pasang atau

jumlah kesemuanya 46 kromosom. Mekanisme ini biasanya berlaku pada

ibu-ibu di peringkat umur yang lebih muda.Sebahagian kecil down

syndrom disebabkan oleh mekanisma yang dinamakan “mosaic”

Risiko untuk mendapatkan abnormalitas kromosom meningkat dengan

meningkatnya umur ibu (grafik 1). Selain itu, janin dengan abnormalitas

kromosom lebih sering mati intrauterin dibanding dengan janin normal, risiko

untuk itu menurun dengan meningkatnya umur kehamilan (grafik 2).

Grafik 1. Hubungan umur ibu dengan risiko abnormalitas kromosom

15

Grafik 2. Hubungan umur kehamilan dengan risiko abnormalitaskromosom. Setiap garis menunjukkan risiko relative

Berdasarkan kedua grafik di atas, dapat ditarik kesimpulan untuk hubungan

risiko abnormalitas kromosom dengan usia ibu dan gestasi adalah2:

Risiko untuk trisomi meningkat menurut umur ibu

Risiko untuk Sindroma Turner and triploidi tidak berubah dengan

meningkatnya umur ibu.

Semakin dini usia gestasi, semakin besar risiko mendapatkan abnormalitas

kromosom.

Angka kematian janin pada trisomi 21 antara umur kehamilan 12 minggu (

pada saat skrining NT dilakukan ) dan umur kehamilan 40 minggu sekitar

30% dan antara 16 minggu ( pada saat dilakukan skrining trimester ke dua

serum biokimiawi ) dengan 40 minggu, sekitar 20%.

Pada trisomi 18, 13 dan sindroma Turner, angka kematian janin pada umur

kehamilan 12-40 minggu berkisar 80%

2.4. ETIOLOGI

Penyebab langsung terjadinya sindroma Down adalah adanya kelebihan

kromosom 21. Penyebab tidak langsung adanya kelebihan kromosom belum

dapat diidentifikasi. Namun, sindroma Down tidak diakibatkan oleh aktivitas ibu

selama hamil.15

16

Trisomi 21 dapat terjadi dalam satu dari tiga bentuk:

a. Kegagalan berpisah pada meiosis. Sebuah kesalahan terjadi pada pemisahan

sepasang kromosom 21 selama pembelahan sel pada proses pembentukan

sperma atau sel telur. Seorang anak dengan sindroma Down mempunyai 47

kromosom yang berbeda pada setiap sel (bandingankan dengan keadaan

biasa dimana terdapat 46 kromosom). Ini adalah tipe yang paling sering.

Terhitung rata-rata 95% terjadi sindroma Down.

b. Translokasi. Sekitar 3 % terjadi sindroma Down. Hal ini terjadi jika salah

satu kromosom 21 yang berlebih menempel (translokasi) pada kromosom

lain. Kromosom lain itu kemungkinan adalah kromosom 13, 14, 15, atau 22.

Dengan terjadinya translokasi, terdapat 46 kromosom dalam setiap sel

ditambah kelebihan kromosom 21 yang menempel pada kromosom lain.

c. Mosaik. Sekitar 2 % terjadi sindroma Down. Mosaik sindroma down (46,

XX/47, XX, 21) terjadi ketika beberapa sel dalam tubuh normal dan sel-sel

lain trisomi 21.15

Penyebab terjadinya sindrom down yaitu :

1. Penyebab Biologis

Down syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23

kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-

pasangan hingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita down syndrome,

kromosom nomor 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga totalnya

menjadi 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan

kegoncangan pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan

down syndrome.

2. Ibu hamil lebih dari 40 tahun

Hingga saat ini, diketahui adanya hubungan antara usia sang ibu ketika

mengandung dengan kondisi bayi. Yaitu semakin tua usia ibu, maka semakin

tinggi pula risiko melahirkan anak dengan down syndrome.

17

3. Kurang zat iodium

Down syndrome juga disebabkan oleh kurangnya zat-zat tertentu yang

menunjang perkembangan sel syaraf pada saat bayi masih di dalam

kandungan, seperti kurangnya zat iodium. Menurut data badan UNICEF,

Indonesia diperkirakan kehilangan 140 juta poin Intelligence Quotient (IQ)

setiap tahun akibat kekurangan iodium. Faktor yang sama juga telah

mengakibatkan 10 hingga 20 kasus keterbelakangan mental setiap tahunnya

(Aryanto, dalam Koran Tempo Online).

4. Infeksi virus atau keadaan yang mempengaruhi susteim daya tahan tubuh

selama ibu hamil.

2.5. PATOFISIOLOGI

Sindroma Down (SD) dikenal sebagai suatu kelainan genetik yang disebabkan

adanya tiga kromosom 21.1 Berdasarkan pemeriksaan sitogenetik, umumnya sindroma

Down dibedakan atas tiga tipe, yaitu SD trisomi bebas, SD translokasi, dan SD mosaic.

Sindroma Down trisomi bebas merupakan tipe yang paling banyak dijumpai. Berikut ini

akan diuraikan lebih lanjut ketiga tipe sindroma Down tersebut.18

Kromosom adalah struktur seperti benang yang terdiri dari DNA dan protein lain.

Kromosom-kromosom itu ada di setiap sel tubuh dan membawa informasi genetik yang

diperlukan oleh sel untuk berkembang. Gen adalah unit informasi yang dikodekan dalam

DNA. Sel manusia normal memiliki 46 kromosom yang dapat disusun dalam 23 pasang.

Dari 23 pasang, 22 sama untuk pria maupun wanita yang disebut dengan autosom.

Pasangan kromosom ke-23 adalah kromosom kelamin (X dan Y). Setiap anggota dari

sepasang kromosom membawa informasi yang sama, yang berarti bahwa gen yang sama

berada di daerah yang sama pada kromosom. Namun, variasi gen (alel) mungkin terjadi.

Contoh: informasi genetik untuk warna mata disebut gen, dan variasi untuk biru, hijau,

dan lain-lain disebut alel.19

Ada dua cara pembelahan sel manusia. Yang pertama adalah pembelahan sel

biasa (mitosis). Dengan cara ini, satu sel membelah menjadi dua sel yang memiliki

jumlah dan tipe kromosom yang sama persis dengan kromosom sel induk. Yang kedua

adalah pembelahan sel yang terjadi dalam ovarium dan testis (meiosis) dan terdiri dari

satu sel yang membelah menjadi dua, dengan jumlah kromosom setengah dari jumlah

18

kromosom sel induk. Jadi, normalnya sel telur dan sel sperma hanya memiliki 23

kromosom bukan 46.19

Ada banyak kesalahan yang dapat terjadi selama proses pembelahan sel. Pada

meiosis, beberapa pasang kromosom membelah diri dan berpisah ke tempat yang

berbeda, peristiwa ini disebut disjungsi. Namun, kadang-kadang salah satu pasang tidak

membelah, dan seluruhnya pergi ke satu daerah. Ini berarti bahwa dalam sel-sel yang

dihasilkan, seseorang akan memiliki 24 kromosom dan yang lain akan memiliki 22

kromosom.19 Peristiwa kecelakaan ini disebut dengan nondisjunction dan dapat terjadi

pada meiosis I atau II (lebih sering terjadi pada meiosis I).20 Jika sperma atau sel telur

dengan jumlah kromosom yang abnormal menyatu dengan pasangan normal, sel telur

yang dibuahi akan memiliki jumlah kromosom yang abnormal. Pada sindroma Down,

95% dari semua kasus disebabkan oleh peristiwa ini, satu sel mempunyai dua kromosom

21, bukan satu sehingga sel telur yang dibuahi akan memiliki tiga kromosom 21. Oleh

karena itu sering disebut dengan nama ilmiah, trisomi 21. Penelitian terbaru telah

menunjukkan bahwa dalam kasus ini, sekitar 90% dari sel-sel yang abnormal adalah sel

telur. Penyebab kesalahan nondisjunction tidak diketahui, tetapi pastinya memiliki kaitan

dengan usia ibu. Penelitian saat ini bertujuan untuk mencoba menentukan penyebab dan

waktu terjadinya peristiwa nondisjunction.19

Gambar 2 : Proses meiosis (a) Proses meiosis normal, (b) Terjadi kesalahan pada meiosis I,

(c) Terjadi kesalahan pada meiosis II. Sumber : Girirajan S. Parental-age effects in sindroma

Down. USA: Journal of Genetiks 2009 Apr;88(1):1-7.

19

3 – 4 % dari semua kasus trisomi 21 adalah karena Translokasi Robersonian.

Dalam kasus ini, dua pembelahan terjadi di kromosom yang terpisah, biasanya pada

kromosom 14 dan 21. Ada penataan ulang materi genetik sehingga beberapa dari

kromosom 14 digantikan oleh kromosom 21 tambahan (ekstra). Jadi pada saat jumlah

kromosom normal, terjadi triplikasi dari kromosom 21. Beberapa anak mungkin

hanya terjadi triplikasi pada kromosom 21 bukan pada keseluruhan kromosom, yang

biasa disebut dengan trisomi 21 parsial. Translokasi yang hasilkan dari trisomi 21

mungkin dapat diwariskan, jadi penting untuk memriksa kromosom orang tua dalam

kasus ini untuk melihat apakah anak mungkin memiliki sifat pembawa (carrier).19

Sisa kasus trisomi 21 adalah karena kejadian mosaik. Orang-orang ini memiliki

campuran garis sel, beberapa diantaranya memiliki sejumlah kromosom normal dan

lainnya memiliki trisomi 21. Dalam mosaik sel, campuran ini terlihat berbeda dari

jenis yang sama. Dalam mosaik jaringan, satu set sel , seperti semua sel darah

mungkin memiliki kromosom normal dan juga tipe yang lain, seperti semua sel-sel

kulit, mungkin memiliki trisomi 21.19

Kromosom adalah pemegang gen, dimana sejumlah kecil DNA diarahkan dalam

hal produksi beragam materi yang dibutuhkan oleh tubuh. Pengarahan oleh gen ini

disebut ekspresi gen. Pada trisomi 21, kehadiran sebuah gen tambahan menyebabkan

overekspresi dari gen yang terlibat, sehingga meningkatkan produksi produk tertentu.

Untuk sebagaian besar gen, overekspresi memiliki pengaruh yang kecil karena adanya

mekanisme tubuh yang mengatur gen dan produknya. Akan tetapi, gen yang

menyebabkan sindroma Down tampaknya merupakan suatu pengecualian.19

Gen-gen apa saja yang terlibat? Itu menjadi pertanyaan peneliti-peneliti sejak

ketiga kromosom 21 ditemukan. Dari penelitian bertahun-tahun, satu teori yang

terkenal menyebutkan bahwa hanya sedikit bagian dari kromosom 21 yang

sebenarnya benar-benar perlu ditriplikasi untuk membuat efek pada sindroma Down,

yang disebut sebagai Down’s Syndrome Critical Region. Namun, region ini bukan

merupakan satu daerah yang kecil, tetapi beberapa daerah yang kemungkinan besar

tidak selalu berdampingan. Kromosom 21 mungkin benar-benar memegang 200-250

gen (menjadi kromosom yang terkecil dalam hal jumlah gen), tetapi diperkirakan

bahwa hanya beberapa persen saja yang mengakibatkan ciri-ciri pada sindroma

Down. 19

Adanya Down’s Syndrome Critical Region (DSCR), sebuah segmen kecil pada

kromosom 21 yang mengandung gen-gen yang bertanggung jawab pada ciri-ciri

20

utama sindroma Down, telah mendominasi penelitian sindroma Down pada tiga

decade terakhir. Gen-gen yang terdapat pada daerah 5,4 Mb ini dikelompokkan

menjadi DSCR1 dan DSCR2.21

Menurut Davies ae al. (2007) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008),

DSCR1, yang sekarang diberi nama RCAN1 (Regulator of Calcineurin 1) di

overekspresikan dalam otak fetus sindroma Down dan berinteraksi secara fisik dan

fungsional dengan kalsineurin A, sebuah katalitik sub unit dari kalsium / calmodulin-

dependent protein phosphatase. Menurut Fuentes et al. (1995) dalam Sommer dan

Henrique-Silva (2008), RCAN1 yang banyak diekspresikan di otak dan jantung

menunjukkan overekspresi itu berhubungan pada patogenesis sindroma Down,

terutama retardasi mental dan / atau kelainan jantung. Sedangkan menurut Vidal-

Taboada et al. (2000) dalam Sommer dan Henrique-Silva (2008), DSCR2 lebih

banyak diekspresikan pada semua jaringan dan sel yang berproliferasi, seperti

jaringan fetus, testis, dan sel kanker.21

Gen yang mungkin terlibat dalam terjadinya sindroma Down meliputi : 18

a. Superoxide Dismustase (SOD1) – overekspresi yang menyebabkan penuaan dini dan

menurunnya fungsi sitem imun. Gen ini berperan dalam demensia tipe Alzheimer.

b. COL6A1 – overekspresi yang menyebabkan cacat jantung.

c. ETS2 – overekspresi yang menyebabkan kelainan tulang (abnormalitas skeletal).

d. CAF1A – overekspresi yang dapat merusak sintesis DNA.

e. Cystathione Beta Synthase (CBS) – overekspresi yang menyebabkan gangguan

metabolisme dan perbaikan DNA.

f. DYRK – overekspresi yang menyebabkan retardasi mental.

g. CRYA1 – overekspresi yang menyebabkan katarak.

h. GART – overekspresi yang menyebabkan gangguan sintesis dan perbaikan DNA.

i. IFNAR – gen yang mengekspresikan interferon, overekspresi yang dapat

mengganggu sistem kekebalan tubuh dan sistem organ lainnya.

Gen lainnya yang mungkin juga terlibat, diantaranya APP, GLUR5, S100B,

TAM, PFKL, dan beberapa gen lainnya. Sekali lagi, penting untuk diketahui bahwa

belum ada gen yang sepenuhnya terkait dengan setiap karakteristik yang berhubungan

dengan sindroma Down.19

21

2.6. KLASIFIKASI

Karakteristik sindroma Down terbagi atas 2, yaitu:

a. Karakteristik Fisik15

1) Penurunan laju pertumbuhan dan perkembangan fisik. Kebanyakan orang

dengan sindroma down tidak mencapai tinggi dewasa rata-rata

2) Mempunyai bentuk kepala atipikal. Kepala mungkin lebih kecil dari rata-rata

(Microcephaly), dengan daerah datar di bagian belakang (tengkuk)

3) Mata yang miring ke atas, menuju tepi wajah (upslanting palpebral fisura) dan

kelebihan lipatan kulit di atas sudut dalam mata (Lipatan Epicanthal)

4) Bintik-bintik putih (Brushfield) di bagian berwarna dari mata

5) Telinga kecil atau berlipat, hidung datar, dan mulut kecil dengan tonus otot

mulut yang rendah dan lidah yang menonjol

6) Tangan pendek dan lebar dengan jari pendek dan sebuah garis selebar telapak

tangan (single palmar crease).

7) Penurunan tonus otot.

b. Karakteristik Perkembangan15

1) Keterlambatan perkembangan kognitif, biasanya dengan retardasi mental

kategori ringan hingga sedang. Pada individu tertentu, dengan genotip mosaik

mungkin memiliki IQ di kisaran rata-rata.

2) Keterlambatan berbicara dan berbahasa

3) Keterlambatan perkembangan keterampilan sosial.

4) Keterlambatan keterampilan motorik

5) Kemungkinan adanya gangguan perkembangan lain, kesehatan mental atau

kondisi perilaku.

2.7. MANIFESTASI KLINIS

22

Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak

tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Penderita dengan

tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol

berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian

anteroposterior kepala mendatar.

Karakteristik dari sindroma tersebut ada yang berubah dengan bertambahnya

umur anak, misalnya lekukan epikantus atau jaringan tebal di sekitar leher akan

berkurang dengan bertambahnya umur anak. Berdasarkan atas ditemukannya

karakteristik dengan frekuensi yang tinggi pada sindroma Down, maka gejala–gejala

tersebut dianggap sebagai “cardinal sign” dan petunjuk diagnostik dalam

mengidentifikasi sindroma Down secara klinis.

Sifat pada kepala, muka dan leher pada anak dengan sindrom down mempunyai

paras muka yang hampir sama seperti muka orang Mongol. Pada bagian wajah biasanya

tampak sela hidung yang datar. Pangkal hidungnya kemek. Jarak diantara 2 mata jauh

dan berlebihan kulit di sudut dalam. Ukuran mulut adalah kecil dan ukuran lidah yang

besar menyebabkan lidah selalu terjulur. Mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol

keluar (macroglossia).  Pertumbuhan gigi lambat dan tidak teratur. Paras telinga adalah

lebih rendah. Kepala biasanya lebih kecil dan agak lebar dari bahagian depan ke

belakang. Lehernya agak pendek. Penderita syndrome down biasanya mempunyai tubuh

pendek dan puntung, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah

membulat, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan datar, kedua lubang

hidung terpisah lebar, jarak lebar antar kedua mata, kelopak mata mempunyai lipatan

epikantus, sehingga mirip dengan orang oriental, iris mata kadang-kadang berbintik,

yang disebut bintik “Brushfield”.

Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan

(epicanthal folds) (80%), white Brushfield spots di sekililing lingkaran di sekitar iris

23

mata (60%), medial epicanthal folds, keratoconus, strabismus, katarak (2%), dan retinal

detachment. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea

Manifestasi mulut yaitu gangguan mengunyah menelan dan bicara.  scrotal

tongue, rahang atas kecil (hypoplasia maxilla), keterlambatan pertumbuha gigi, 

hypodontia, juvenile periodontitis, dan kadang timbul bibir sumbing. Manifestasi lain

yaitu hypogenitalism (penis, scrotum, dan testis kecil), hypospadia, cryptorchism, dan

keterlambatan perkembangan pubertas. Manifestasi kulit yaitu kulit lembut, kering  dan

tipis, keriuput (dermatoglyphics). Xerosis (70%), atopic dermatitis (50%), palmoplantar

hyperkeratosis (40-75%), dan seborrheic dermatitis (31%), Premature wrinkling of the

skin, cutis marmorata, and acrocyanosis, Bacteria infections, fungal infections (tinea),

and ectoparasitism (scabies), Elastosis perforans serpiginosa, Syringomas, Alopecia

areata (6-8.9%), Vitiligo, Angular cheilitis.

Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas

jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki

melebar. Tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan kerap kali memiliki

garis tangan yang khas abnormal, yaitu hanya mempunyai sebuah garis mendatar saja.

Ibu jari kaki dan jari kedua adakalanya tidak rapat.Mata, hidung, dan mulut biasanya

tampak kotor serta gigi rusak. Hal ini disebabkan karena ia tidak sadar untuk menjaga

kebersihan dirinya sendiri (Suryo, 2001).

Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan

pada sistem organ yang lain. Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart

disease. kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan

cepat. Masalah jantung yang paling kerap berlaku ialah jantung berlubang seperti

Ventricular Septal Defect (VSD) yaitu jantung berlubang diantara bilik jantung kiri dan

kanan atau Atrial Septal Defect (ASD) yaitu jantung berlubang diantara atria kiri dan

24

kanan. Masalah lain adalah termasuk salur ateriosis yang berkekalan (Patent Ductus

Ateriosis / PDA). Bagi kanak-kanak down syndrom boleh mengalami masalah jantung

berlubang jenis kebiruan (cynotic spell) dan susah bernafas.

Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus

(esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia). Saluran esofagus yang tidak

terbuka (atresia) ataupun tiada saluran sama sekali di bahagian tertentu esofagus. Saluran

usus rectum atau bagian usus yang paling akhir (dubur) yang tidak terbuka langsung atau

penyempitan yang dinamakan “Hirshprung Disease”. Keadaan ini disebabkan sistem

saraf yang tidak normal di bagian rektum. Biasanya bayi akan mengalami masalah pada

hari kedua dan seterusnya selepas kelahiran di mana perut membuncit dan susah untuk

buang air besar. Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut

biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan

pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-

bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan

sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati

memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak

dengan sindrom down lebih tinggi.

Sifat pada tangan dan lengan : Sifat-sifat yang jelas pada tangan adalah mereka

mempunyai jari-jari yang pendek dan jari kelingking membengkok ke dalam. Tapak

tangan mereka biasanya hanya terdapat satu garisan urat dinamakan “simian crease”,

kaki agak pendek dan jarak di antara ibu jari kaki dan jari kaki kedua agak jauh terpisah

dan tapak kaki, otot yang lemah menyebabkan mereka menjadi lembik dan menghadapi

masalah lewat dalam perkembangan motor kasar.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan anak-anak down syndrom mungkin mengalami

masalah kelainan organ-organ dalam terutama sekali jantung dan usus.

Down syndrom mungkin mengalami masalah Hipotiroidism yaitu kurang hormon

tairoid. Masalah ini berlaku di kalangan 10 % kanak-kanak down syndrom.

Down syndrom mempunyai ketidakstabilan di tulang-tulang kecil di bagian leher

yang menyebabkan berlakunya penyakit lumpuh (atlantoaxial instability) dimana

ini berlaku di kalangan 10 % kanak-kanak down syndrom.

Sebagian kecil mereka mempunyai risiko untuk mengalami kanker sel darah putih

yaitu leukimia.

25

Pada otak penderita sindrom Down, ditemukan peningkatan rasio APP (amyloid

precursor protein) seperti pada penderita Alzheimer.

2.8. PROSEDUR

DIAGNOS.

a. Sebelum

lahir

Sindrom

Down banyak di

temukan pada

usia ibu lebih dari

35 tahun, makin

tua usia ibu makin besar kemungkinan mememperoleh anak dengan sindrom Down.

Jika seluruh wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun di lakukan pemeriksaan

amniosentesis, sekitar 30 % kehamilan dengan trisomi 21 dapat di deteksi Alfa feto

protein ( AFP ), estriol tidak terkonjugasi dan human chorionic gonadotropin ( hCG )

merupakan pertanda serum umum yang di gunakan untuk screening sindrome Down.

26

Kombinasi pemeriksaan ini di kenal sebagai tripel test atau tripel screen. Konsultasi

dengan ahli genetic medic atau penasehat genetic harus di lakukan bila terdapat

riwayat kehamilan yang bermasalah akibat abnormalitas kromosom atau salah satu

orang tua di ketahui karier balanced translocation.

Jika hasil uji diagnostic menunjukan trisomi 21,orang tua harus di bekali inforasi terkini

dan akurat mengenai sindrom Down dan di damping saat memetuskan suatu tindakan.

b. Saat Lahir

Diagnosis sindrom   Down di tegakan berdasarkan adanya kumpulan gambaran fisik dan

di pastikan dengan kariotip genetik. Ekspesi fisis sindrom ini sangat bervariasi sehingga

tidak semua bayi dengan Trisomi 21 memiliki seluruh gambaran wajah khas sindrom

Down, hipotoni merupakan karakteristik khas yang pertama kali di temukan pada

sindrom Down, yang harus meningkatkan kecurigaan dan mendorong penilaian lebih

lanjut. Gambaran fisik sindrom Down lainnya terdapat pada table 2

INDIKASI DIAGNOSIS PRENATAL

Alasan utama untuk melakukan diagnosis prenatal adalah faktor usia maternal (>35

tahun), abnormalitas maternal serum alfa fetoprotein (MSAFP) dan hasil skrining test

lain yang positif.

Indikasi untuk diagnosis prenatal adalah sebagai berikut :1-3

27

1. Usia maternal 35 tahun atau lebih

2. Riwayat keluarga dengan anomali kromosom

3. Orang tua dengan karier translokasi

4. Abnormalitas MSAFP atau multiple markers screen

5. Riwayat keluarga dengan neural tube defect (NTD)

6. Kelainan gen tunggal – riwayat keluarga atau karier yang didapat dari skrining

populasi.

7. Malformasi kongenital yang didiagnosis dengan USG

8. Kecemasan.

Wanita yang berusia lebih dari 35 tahun perlu ditawarkan untuk menjalani

pemeriksaan diagnosis prenatal karena pada usia 35 tahun insidens trisomi mulai

meningkat dengan cepat. Hal ini berhubungan dengan non-disjunction pada miosis. Pada

usia 35 tahun kemungkinan untuk mendapat bayi lahir hidup dengan kelainan kromosom

adalah 1:192, sehingga ada beberapa ahli yang menawarkan diagnosis prenatal pada usia

33 tahun namun hal ini belum menjadi konsensus.1, 2

Selama 20 tahun terakhir, teknologi baru telah meningkatkan metode deteksi

kelainan janin, termasuk sindrom Down. Dalam deteksi sindrom Down dapart dilakukan

deteksi dini sejak dalam kehamilan. Dapat dilakukan tes skrening dan tes

diagnostik.Dalam tes diagnostik, hasil positif berarti kemungkinan besar pasien

menderita penyakit atau kondisi yang memprihatinkan.skrining, tujuannya adalah untuk

memperkirakan risiko pasien yang memiliki penyakit atau kondisi. Tes diagnostik

cenderung lebih mahal dan memerlukan prosedur yang rumit; tes skrining cepat dan

mudah dilakukan. Namun, tes skrining memiliki lebih banyak peluang untuk salah: ada

“false-positif”  (test menyatakan kondisi pasien ketika pasien benar-benar tidak) dan

“false-negatif” (pasien memiliki kondisi tapi tes menyatakan dia / dia tidak).

Diagnosis prenatal meliputi evaluasi terhadap tiga kategori pasien berupa yaitu :1

1. Janin dengan risiko tinggi untuk kelainan genetik dan kongenital

2. Mereka dengan risiko yang tidak diketahui untuk kelainan kongenital umum.

3. Janin yang pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan mempunyai kelainan struktur

dan perkembangan

Kualitas USG mempengaruhi kemampuannya untuk diagnostik prenatal dalam

mendeteksi kelainan-kelainan kongenital yang secara klinis sudah jelas tampak, dan juga

28

peningkatan kemampuannya mendeteksi kelainan kongenital yang masih belum tampak

jelas secara klinik, selain itu dapat membantu atau sebagai pembimbing yang sangat

akurat untuk berbagai prosedur seperti : pemeriksaan amniosintesis, pemeriksaan villi

khorialis, pemeriksaan darah janin dan pemeriksaan biopsi Janin.

Maternal Serum Screening

Darah ibu diperiksa kombinasi dari berbagai marker: alpha-fetoprotein (AFP),

unconjugated estriol (uE3), dan human chorionic gonadotropin (hCG) membuat tes

standar, yang dikenal bersama sebagai “tripel tes.”Tes ini merupakan independen

pengukuran, dan ketika dibawa bersama-sama dengan usia ibu (dibahas di bawah), dapat

menghitung risiko memiliki bayi dengan sindrom Down. Selama 15 tahun terakhir, ini

dilakukan dalam kehamilan 15 sampai minggu ke-18.

Baru-baru ini, tanda lain yang disebut Papp-A ternyata bisa berguna bahkan lebih awal.

Alpha-fetoprotein dibuat di bagian rahim yang disebut yolk sac dan di hati janin,

dan sejumlah AFP masuk ke dalam darah ibu. Pada sindrom Down, AFP menurun

dalam darah ibu, mungkin karena yolk sac dan janin lebih kecil dari biasanya.

Estriol adalah hormon yang dihasilkan oleh plasenta, menggunakan bahan yang

dibuat oleh hati janin dan kelenjar adrenal. estriol berkurang dalam sindrom Down

kehamilan.

Human chorionic gonadotropin hormon yang dihasilkan oleh plasenta, dan

digunakan untuk menguji adanya kehamilan. bagian yang lebih kecil tertentu dari

hormon, yang disebut subunit beta, adalah sindrom Down meningkat pada

kehamilan.

Inhibin A adalah protein yang disekresi oleh ovarium, dan dirancang untuk

menghambat produksi hormon FSH oleh kelenjar hipofisis. Tingkat inhibin A

meningkat dalam darah ibu dari janin dengan Down syndrome.

PAPP-A , yang dihasilkan oleh selubung telur yang baru dibuahi. Pada trimester

pertama, rendahnya tingkat protein ini terlihat dalam sindrom Down kehamilan.

Pertimbangan yang sangat penting dalam tes skrining adalah usia janin (usia kehamilan).

Analisis yang benar komponen yang berbeda tergantung pada usia kehamilan

mengetahui dengan tepat.

Ultrasound Screening (USG Screening)

29

Kegunaan utama USG (juga disebut sonografi) adalah untuk mengkonfirmasi

usia kehamilan janin (dengan cara yang lebih akurat daripada yang berasal dari ibu

siklus haid terakhir). Manfaat lain dari USG juga dapat mengambil masalah-masalah

alam medis serius, seperti penyumbatan usus kecil atau cacat jantung. Mengetahui

ada cacat ini sedini mungkin akan bermanfaat bagi perawatan anak setelah lahir.

Pengukuran Nuchal fold juga sangat direkomendasikan.

Ada beberapa item lain yang dapat ditemukan selama pemeriksaan USG

bahwa beberapa peneliti telah merasa bahwa mungkin memiliki hubungan yang

bermakna dengan sindrom Down. Temuan ini dapat dilihat dalam janin normal,

tetapi beberapa dokter kandungan percaya bahwa kehadiran mereka meningkatkan

risiko janin mengalami sindrom Down atau abnormalitas kromosom lain. echogenic

pada usus, echogenic intracardiac fokus, dan dilitation ginjal (pyelctasis). Marker ini

sebagai tanda sindrom Down masih kontroversial, dan orang tua harus diingat bahwa

setiap penanda dapat juga ditemukan dalam persentase kecil janin normal. Penanda

yang lebih spesifik yang sedang diselidiki adalah pengukuran dari hidung janin;

janin dengan Down syndrome tampaknya memiliki hidung lebih kecil USG dari

janin tanpa kelainan kromosom. masih belum ada teknik standar untuk mengukur

tulang hidung dan dianggap benar-benar dalam penelitian saat ini.

Penting untuk diingat bahwa meskipun kombinasi terbaik dari temuan USG

dan variabel lain hanya prediksi dan tidak diagnostik. Untuk benar diagnosis,

kromosom janin harus diperiksa.

Amniosentesis

Prosedur ini digunakan untuk mengambil cairan ketuban, cairan yang ada di

rahim.Ini dilakukan di tempat praktek dokter atau di rumah sakit.Sebuah jarum

dimasukkan melalui dinding perut ibu ke dalam rahim, menggunakan USG untuk

memandu jarum.Sekitar satu cairan diambil untuk pengujian.Cairan ini mengandung

sel-sel janin yang dapat diperiksa untuk tes kromosom. Dibutuhkan sekitar 2 minggu

untuk menentukan apakah janin sindrom Down atau tidak.

Amniocentesis biasanya dilakukan antara 14 dan 18 minggu kehamilan;

beberapa dokter mungkin melakukannya pada awal minggu ke-13.Efek samping

kepada ibu termasuk kejang, perdarahan, infeksi dan bocornya cairan ketuban

setelah itu. Ada sedikit peningkatan risiko keguguran: tingkat normal saat ini

keguguran kehamilan adalah 2 sampai 3%, dan amniosentesis meningkatkan risiko

30

oleh tambahan 1 / 2 sampai 1%. Amniosentesis tidak dianjurkan sebelum minggu

ke-14 kehamilan karena risiko komplikasi lebih tinggi dan kehilangan kehamilan.

Rekomendasi saat ini  wanita dengan risiko memiliki anak dengan sindrom

Down dari 1 dalam 250 atau lebih besar harus ditawarkan amniosentesis. Ada

kontroversi mengenai apakah akan menggunakan risiko pada saat penyaringan atau

perkiraan resiko pada saat kelahiran. (Risiko pada saat skrining lebih tinggi karena

banyak janin dengan Down syndrome membatalkan secara spontan sekitar waktu

penyaringan atau sesudahnya.

Chorionic Villus Sampling (CVS) Chorionic Villus Sampling (CVS)

Dalam prosedur ini, bukan cairan ketuban yang diambil, jumlah kecil jaringan

diambil dari plasenta muda (juga disebut lapisan chorionic). Sel-sel ini berisi

kromosom janin yang dapat diuji untuk sindrom Down. Sel dapat dikumpulkan

dengan cara yang sama seperti amniosentesis, tetapi metode lain untuk memasukkan

sebuah tabung ke dalam rahim melalui vagina.

CVS biasanya dilakukan antara 10 dan 12 minggu pertama kehamilan. Efek

samping kepada ibu adalah sama dengan amniosentesis (di atas). Risiko keguguran

setelah CVS sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan amniosentesis, meningkatkan

risiko keguguran normal 3 sampai 5%.Penelitian telah menunjukkan bahwa dokter

lebih berpengalaman melakukan CVS, semakin sedikit tingkat keguguran.

31

SKRINING TRIMESTER PERTAMA

a. BIOKIMIAWI

Petanda biokimia untuk skrining trimester pertama telah banyak diteliti, tetapi

tampaknya kebanyakan dari petanda tersebut hanya sering dipakai pada trimester

kedua, dan hanya -hCG dan pregnancy associated plasma protein A (PAPP-A)

yang sering dipakai untuk trimester I. Berbeda dengan pemeriksaan trimester II,

kadar total hCG tidak mempunyai nilai untuk skrining trimester I. Pada kehamilan

dengan trisomi 21 kadar -hCG meningkat dan kadar PPAP-A menurun dibanding

dengan kehamilan normal. Setelah kehamilan 13 minggu kadar PPA-P tidak dipakai

lagi sebagai petanda skrining. Program skrining trimester I dengan menggabungkan

umur ibu, -hCG dan PPAP-A dilaporkan mampu mendeteksi trisomi 21 sekitar

60-68% , dengan risiko cut off level 1 : 250, untuk angka positif palsu sekitar 5%.3, 4

Petanda Median MoM-hCG 1,83

PAPP-A 0,38Tabel 1. Petanda biokimia trimester pertama :median MoM pada kehamilan dengan

trisomi 21

32

b. ULTRASONOGRAFI

Pada trisomi 18 dan 13 pola peningkatan NT serupa dengan rata-rata pada trisomi

21. NT pada kelainan ini sekitar 2,5 mm di atas median normal untuk CRL. Pada

sindroma Turner, median NT kurang lebih 8 mm di atas median norma.2

Selain itu, pada trisomi 18 terjadi restriksi pertumbuhan janin lebih dini,

kecenderungan untuk bradikardiadan eksomfalos pada 30% kasus, tulang hidung

negatif pada 55% dan arteri umbilikalis tunggal pada 75% kasus. Pada trisomi 13,

terjadi takikardia pada 70% kasus dan IUGR dini, megakistik, holoprosensefali atau

eksomfalos pada 40% kasus. Pada sindroma Turner, terjadi takikardia pada 50%

kasus dan IUGR dini. Pada triploidi terjadi IUGR asimetris yang dini, bradikardia

pada 30% kasus, holoprosensefali, perubahan molar pada plasenta sekitar 30%.2

a. Nuchal Translucency

Perkembangan terakhir untuk skrining trisomi 21 adalah dengan

kombinasi pemeriksaan NT pada trimester I dengan marker biokimia, beberapa

penelitian telah melaporkan kombinasi NT dengan -hCG, PAPP-A dan umur

ibu mempunyai sensitifitas 80-89% untuk deteksi trisomi 21. Pemeriksaan

dengan kombinasi ini secara substansial lebih sensitif bila dilakukan pada

trimester pertama, berdasarkan kalkulasi bahwa pemeriksaan trimester I

didapatkan sensitifitasnya 8,3% lebih tinggi dari pemeriksaan pada trimester

kedua. 3, 5, 6

Nicolaides KH dkk dalam penelitiannya mengemukakan skrining

kelainan kromosom trisomi 21 pada kehamilan 12 minggu hanya dengan

petanda umur ibu saja sensitifitasnya 30%, bila dengan petanda umur ibu dan

petanda serum biokimia pada trimester II sensitivitasnya 60-70%, bila dengan

petanda umur ibu, dengan NT trimester I sensivisitasnya 75% dan bila

kombinasi petanda umur ibu, NT pada trimester I, serum biokimia - hCG dan

plasma protein A (PAPP-A) pada usia kehamilan 11-14 minggu hasilnya akan

mencapai 90%. Dengan kemajuan teknologi dalam pemeriksaan biokimia

memungkinkan untuk mendapatkan hasilnya dalam 30 menit sehingga

pemeriksaan USG dapat digabungkan dengan pemeriksaan biokimia yang cepat.

Konsep baru ini disebut dengan One Stop Clinic for Assesment of Risk

(OSCAR). Kaissenberg CS dkk dalam penelitian multisenter di Jerman

dengan prinsip yang sama seperti metode OSCAR, mengemukakan hasil

skrining kelainan kromosom untuk trisomi 21 kehamilan pada kehamilan 11-14

33

minggu dengan pengukuran umur ibu, NT trimester I dan biokimia serum darah

-hCG dan PPAP-A , akan mendapatkan sensitifitas sekitar 86-90%.5, 7

Nuchal Translucency (NT) merupakan diskripsi gambaran USG dari

cairan yang mengisi rongga antara kulit janin dengan jaringan lunak diatas spina

servikalis, gambaran ini dapat diukur pada kehamilan 10-14 minggu, tetapi saat

yang paling optimal adalah antara kehamilan 11-13 minggu. Untuk melakukan

pemeriksaan NT menurut Snijders dkk (1998) ada beberapa syarat yang harus

dipenuhi sebagai berikut2, 3 :

Ukuran CRL antara 38 – 84 mm

Potongan sagital janin harus jelas

Gambaran janin menempati > 75 % dari image, pada posisi netral

USG mempunyai kaliper dengan kemampuan jarak ukuran 0,1 mm

Ketebalan maksimum subcutaneus translusensi antara kulit dan jaringan

lunak diatas spina servikalis cukup jelas

Dapat dibedakan antara kulit janin dengan selaput amnion

Gambar 1. Pengukuran fetal NT

34

Beberapa penelitian telah mengemukakan hubungan antara NT dengan anomali kromosom,

dalam kehamilan normal trimester I ketebalan NT meningkat sesuai dengan kehamilannya.

Persentil ke 95 ketebalan median NT normal adalah 0,8 mm sampai dengan kehamilan 10-14

minggu. Penelitian multisenter dengan polulasi besar menunjukkan pengkuran NT dengan

kombinasi beberapa petanda bersama usia ibu dapat mendeteksi kelompok risiko tinggi

trisomi 21 sebesar 77% dengan angka positif palsu 5%. Beberapa masalah dalam mengukur

NT untuk skrining trisomi 21 adalah kesulitan mengukur pada keadaan posisi janin yang

tidak tepat dan masalah kegemukan pada ibu, sehingga pengukuran memerlukan waktu yang

lama dan pengulangan pemeriksaan.2, 3

Tabel 2. Perbandingan angka deteksi (detection rate), untuk angka positifpalsu 5%, pada berbagai metode skrining trisomi 21.

b. Tulang Hidung (Nasal Bone)

Sejumlah penelitian terakhir mengukur tulang hidung (nasal bone) sebagai

metode skrining trisomi 21 pada akhir kehamilan trimester pertama. Cicero dkk

melakukan USG pada 1092 janin usia 11-14 minggu mendapatkan 99,5% janin

dengan kromosom normal mempunyai tulang hidung yang panjangnya sesuai

dengan pertambahan CRL (crown rump length) sedang duapertiga janin dengan

trisomi 21 dan 18 tidak didapatkan gambaran tulang hidung, hal ini karena

keterlambatan osifikasi, namun pada 25 dari 79 janin trisomi mempunyai nasal

bone dan panjangnya sesuai dengan CRL serta tidak berbeda secara bermakna

35

dengan janin yang normal. Sementara penelitian terakhir untuk mendeteksi

trisomi 21 pada 60-70% janin dengan tulang hidung negatif, sehingga membuka

kemungkinan menggunakan teknik ini untuk skrining trisomi 21.2

SKRINING TRIMESTER KEDUA

a. BIOKIMIAWI

Alfa fetoprotein (AFP) merupakan petanda serum pertama yang dipakai untuk

program skrining trisomi 21. Skrining biokimia AFP secara tradisi dilakukan pada

kehamilan antara 15 – 21 minggu, dimana saat ini serum maternal AFP telah meningkat

disebabkan adanya transport transplasenta dan transamnion dari janin ke sirkulasi

maternal. Kehamilan dengan trisomi 21 kadar MSAFP menurun dibanding dengan

kehamilan normal, dan bila petanda MSAFP dikombinasi dengan umur ibu mampu

mendeteksi sekitar 40% trisomi 21.3, 6, 8

Dalam program skrining kadar petanda ditetapkan berdasarkan nilai MoM dan

usia kehamilan, penggunaan nilai MoM sendiri tergantung dari hasil interprestasi

laboratorium dan fasilitas yang digunakan untuk menentukan variabel yang dapat

mempengaruhi kadar petanda.3, 6

PETANDA MoM Trisomi 21MSAFP 0,75

HCG 2,06-hCG 2,20Estriol 0,72

Inhibin A 1,92Tabel 3. Petanda serum trimester II, nilai MoM kehamilan dengan trisomi 21

Petanda biokimiawi serum yang digunakan untuk skrining trisomi 21 trimester

II cukup banyak, antara lain -hCG, Estriol (E3), dan inhibin A. Program skrining saat

ini yang sering dilakukan adalah kombinasi umur ibu dengan beberapa petanda, seperti

Double Test yang merupakan kombinasi usia, AFP dan hCG yang mempunyai

kemampuan deteksi sekitar 60% dan false positif 5%. Triple Test yang merupakan

kombinasi usia, AFP, hCG dan E3 mempunyai kemampuan deteksi sekitar 70%, dan bila

skrining double test atau triple test digabungkan dengan test Inhibin A akan

meningkatkan kemampuan masing-masing sebesar 5% sampai 10%.3

36

PROGRAM SKRINING SENSITIFITAS OAPR

Umur ibu > 35 th 30 % 1 : 130

Usia + AFP 37 % 1 : 105

Usia + AFP + hCG * 59 % 1 : 65

Usia + AFP + hCG + E3 ** 68 % 1 : 55

Usia + AFP + hCG + E3 +

Inhibin A ***

76 % 1 : 55

Tabel 4. Kemampuan skrining dengan berbagai kombinasi petanda pada trimester II

untuk angka positif palsu 5%MoM

OAPR = odds of pregnancy being affected if screening test positif

* Double test, ** Triple test, *** Quadriple test.

b. ULTRASONOGRAFI

Hubungan kelainan struktural dan anomali kromosom telah diketahui, kurang

lebih sepertiga janin dengan trisomi 21 mempunyai kelainan struktural mayor. Defek

kongenital jantung merupakan kelainan yang paling sering dengan insidensi sekitar 45%.

Defek kanalis atrioventrikular dan ventrikular septal defek adalah bentuk anomali yang

paling sering ditemukan. 3, 6

Tabel dibawah ini menunjukkan beberapa soft marker yang telah diidentifikasi

secara USG pada janin trisomi 21. Soft petanda adalah gambaran USG minor beberapa

diantaranya bersifat sementara. Ketebalan nuchal fold merupakan salah satu pemeriksaan

soft marker yang paling sensitif dan spesifik sebagai petanda pemeriksaan dengan USG

pada trimester kedua, ukuran > 6 mm dapat mengidentifikasi sekitar 40% kasus trisomi

21 pada populasi risiko tinggi. Risiko aneuploidi akan meningkat dengan semakin

banyaknya anomali janin yang terdeteksi. Pada wanita yang dengan pemeriksaan

biokimia tergolong risiko tinggi untuk mendapat bayi trisomi 21 diperkirakan risiko ini

akan meningkat sekitar 5 kali lebih besar bila dijumpai kelainan secara USG, tetapi

pemeriksaan USG yang normal tidak dapat menyingkirkan kelainan kromosom, karena

hanya 50% janin dengan trisomi 21 yang dijumpai kelainan dengan pemeriksaan USG.3

Kombinasi pemeriksaan petanda yang terbaik adalah ketebalan nuchal fold,

humerus pendek dan pyelectasis renal yang bila ditemukan bersamaan mempunyai

sensitifitas 87% dengan angka positif palsu 6,7% untuk identifikasi trisomi 21.

Keuntungan memakai petanda ini karena relatif lebih mudah dibanding dengan

37

pemeriksaan dengan petanda kelainan jantung yang membutuhkan waktu lama dan

tingkat pengalaman yang tinggi seorang sonografer. 3

STRUKTURAL SOFT MARKERKistik higroma Ketebalan NTAtrioventrikular septal defek Pyelectasis renalVentrikular septal defek Pemendekan humerusAtresia duodenal Pemendekan femurVentrikulo megali Echogenik bowelEksomfalos Echogenik intracardiac focusHidrotoraks Hipoplasia falank tengah jari kelima

Sandal gapTabel 5. Soft marker trisomi 21 yang ditemukan pada pemeriksaan USG

Tabel 6. Defek kromosomal janin dan abnormalitas pada trimester ke-2

38

SKRINING NEURAL TUBE DEFECTS (NTDs)

39

Sebelum akhir tahun 1970an belum diketahui cara untuk mendeteksi kehamilan

dengan kelainan NTD sampai kemudian ditemukan bahwa alfa fetoprotein dalam cairan

amnion dan serum ibu merupakan petanda bagi kehamilan dengan janin sindrom down.6

Alfa fetoprotein adalah glikoprotein yang diproduksi oleh yolk sac, beredar dalam

sirkulasi janin dan keluar melalui urin ke dalam cairan amnion. Walaupun fungsinya belum

diketahui tetapi alfa fetoprotein (AFP) merupakan protein serum yang terutama dalam tubuh

janin. Kadarnya dalam serum dan cairan amnion meningkat sampai usia kehamilan 13

minggu kemudian akan menurun dengan cepat. AFP masuk dalam sirkulasi ibu melalui difusi

melewati membran plasenta dan mungkin ditranspor melalui sirkulasi plasenta. Brock dan

Sutcliffe (1972) menemukan peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion dan serum ibu

pada kehamilan dengan janin anencephali. Penelitian prospektif yang pertama mengenai

hubungan kadar AFP dalam serum ibu dengan kejadian NTD dilakukan di Inggris, kemudian

dipakai secara luas di Amerika Serikat dan daratan Eropah.4, 6, 8

Pemeriksaan AFP dalam serum ibu biasanya dilakukan pada usia kehamilan 15-22

minggu, namun sensitivitas yang terbesar pada usia 16-18 minggu. Hasilnya dipengaruhi oleh

usia ibu, berat badan, ras, status diabetes dan jumlah janin. Kadarnya diukur dalam ng/mL

dan dilaporkan sebagai multiple of median (MOM) dari populasi normal. Peningkatan AFP

lebih besar dari atau sama dengan 2.0 sampai 2.5 MOM merupakan indikasi meningkatnya

risiko NTD dan anomali struktur yang lain dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.4, 6, 8

Bila dengan pemeriksaan USG ditemukan usia kehamilan yang tidak sesuai maka

pemeriksaan AFP diulang. Bila kadar AFP antara 2.5-3.5 MOM maka sebaiknya diulang,

karena daerah antara 2.5 – 3.5 MOM tumpang tindih antara kadar normal dan yang terkena

NTD (lihat gambar 1). Bila kadar AFP > 3.5 MOM tidak perlu diulang lagi karena jelas

menandakan ada risiko kelainan pada janin.4, 6

40

Gambar.1 Kadar AFP dalam serum ibu pada kehamilan tunggal 16 –18 minggu. 6

The American College of Obstetrician and Gynecologists pada tahun 1996

merekomendasikan semua wanita hamil untuk menjalani skrining maternal serum AFP

(MSAFP). Dengan cut off point 2.0 – 2.5 MOM kebanyakan laboratorium melaporkan hasil

skrining positif berkisar 3-5 persen, dengan sensitivitas 90% dan nilai prediksi positif 2 – 6%.

Oleh karena hanya 1 dari 16 – 33 wanita dengan peningkatan AFP yang mempunyai janin

dengan kelainan, maka harus diberikan konseling yang jelas pada ibu mengenai tingginya

angka positif palsu, risiko amniosintesis dan tujuan program skrining.6

Pemeriksaan USG dapat mendeteksi kelainan NTD dengan baik. Dalam telaah

terhadap 234 janin spina bifida dari 9 penelitian, Watson dkk (1991) melaporkan

bahwa 99% kasus mempunyai paling sedikit satu dari lima gambaran spesifik anomali

kranial yang terdeteksi dengan pemeriksaan USG. Gambaran tersebut meliputi :

lemon sign, ventriculomegaly, obliterasi cisterna magna, diameter biparietal yang

kecil dan cerebelum yang elongasi (banana sign).6, 9

Kadar AFP dalam cairan amnion diperiksa bila hasil pemeriksaan USG

terhadap ibu dengan peningkatan MSAFP tidak ditemukan adanya kelainan. Bila

kadar AFP dalam cairan amnion meningkat dilakukan pemeriksaan

acetylcholinesterase dalam cairan amnion. Bila acetylcholinesterase meningkat

menandakan adanya paparan terhadap jaringan neural atau ada defek terbuka yang

lain pada janin. Bila kadar AFP cairan amnion meningkat tanpa peningkatan

acetylcholinesterase berarti mungkin ada penyebab lain atau mungkin karena

kontaminasi dari darah janin.6, 8

Dengan resolusi USG yang semakin baik maka hampir semua kelainan NTD

dapat terdiagnosis dengan pemeriksaan USG sehingga amniosintesis untuk karyotype

maupun untuk pemeriksaan AFP sudah menjadi hal yang kontroversial. Pemeriksaan

karyotype hanya dilakukan bila kadar AFP dalam cairan amnion dan serum ibu

meningkat tanpa ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan USG. Bila kadar AFP

41

dalam cairan amnion abnormal maka kemungkinan untuk adanya kelainan kromosom

pada janin meningkat lima kali lipat.6

Peningkatan kadar AFP dalam cairan amnion juga dapat ditemukan pada

anomali yang disebabkan oleh multifaktorial seperti omphalocele, gastochisis, cystic

hygroma. Pada keadaan ini acetylcholinesterase dapat meningkat atau tetap, sedang

pada kelainan gen tunggal (mendelian) seperti nefrosis kongenital, AFP akan

meningkat sedang acetylcholinesterase tidak.6, 8

DIAGNOSIS PRENATAL INVASIFDengan makin meluasnya indikasi untuk melakukan diagnosis prenatal maka metode

yang tersedia untuk mendeteksi kelainan-kelainan genetik juga meningkat dengan cepat.

Selain amniosintesis, metode diagnostik invasif yang lain meliputi pemeriksaan villi korialis

(CVS), pemeriksaan darah janin (FBS) dan biopsi janin untuk indikasi yang spesifik. Sampel

yang diperoleh dengan metode ini digunakan untuk analisis sitogenetik (karyotipe dan FISH),

diagnosis DNA molekuker (deteksi mutasi langsung, lingkage analysis) dan atau evalusi

biokimia, tergantung pada apa yang diinginkan. Tiap prosedur invasif ini mempunyai

keuntungan dan kerugian yang perlu dipertimbangkan saat menawarkan pemeriksaan

diagnosis prenatal.9,10

AMNIOSINTESIS MIDTRIMESTER

Amniosintesis adalah tindakan mengeluarkan cairan amnion yang mengandung

sel-sel janin dan unsur biokimia dari rongga amnion. Pertama kali dilakukan pada tahun

1880 untuk dekompresi polihidramnion. Pada tahun 1950 amniosintesis menjadi alat

diagnostik ketika mulai dilakukan pengukuran kadar bilirubin dalam cairan amnion untuk

memantau isoimunisasi rhesus. Amniosintesis untuk deteksi kelainan kromosom prenatal

pertama kali dilaporkan pada tahun 1967. Sejak itu amniosintesis diterima secara luas

menjadi metode untuk diagnosis prenatal untuk kelainan kromosom, penyakit-penyakit

yang diturunkan, dan beberapa infeksi kongenital. 10,13

Indikasi utama untuk tindakan amniosintesis adalah pemeriksaan karyotype janin.

Sel sel dalam cairan amnion berasal dari kulit janin yang mengalami deskuamasi dan

dikeluarkan dari saluran gastrointestinal, urogenital, saluran pernafasan dan amnion. Sel-

sel ini dipersiapkan untuk analisis pada tahap metafase maupun untuk pemeriksaan FISH.

42

Namun laboratorium lebih senang bila mendapat sampel dari darah atau villi korialis

karena banyak mengandung DNA yang diperlukan untuk kultur.13

Dahulu cairan amnion juga dipakai untuk pemeriksaan kadar enzym untuk

menentukan adanya gangguan metabolisme dan analisis metabolit untuk mendeteksi

penyakit kistik fibrosis, namun saat ini telah digantikan dengan pemeriksaan yang lebih

akurat yaitu dengan pemeriksaan mutasi DNA yang bertanggung jawab tehadap kondisi

ini.13

Amniosintesis midtrimester untuk pemeriksaan genetik umumnya dilakukan

pada usia kehamilan antara 15-18 minggu. Pada saat itu jumlah air ketuban sudah

memadai (sekitar 150 ml) dan perbandingan antara sel yang viable dan non viable

mencapai rasio terbesar. 10,13

Sebelum amniosintesis terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan USG untuk

menentukan jumlah janin, konfirmasi usia kehamilan, memastikan viabilitas janin, deteksi

anomali pada janin dan menentukan lokasi plasenta dan insersi tali pusat serta

memperkirakan jumlah air ketuban. Dilakukan tindakan antisepsis pada kulit perut ibu dan

operator memakai sarung tangan steril. Dengan tuntunan USG, tusukkan jarum ukuran 20-

22 pada kantong amnion yang tidak berisi bagian kecil janin atau tali pusat. Sebaiknya

dilakukan pada daerah fundus untuk mengurangi risiko robekan selaput ketuban, dan

sedapat mungkin menghindari daerah plasenta. Bila terpaksa harus melakukan tusukan

pada daerah plasenta sebaiknya dibantu dengan color doppler untuk mengidentifikasi

pembuluh darah dan lakukan tusukan pada daerah yang paling tipis jauh dari tepi plasenta.

Prosedur ini biasanya tidak memerlukan anestesi lokal. 10,13

Dapat dilakukan dengan teknik “free hand” dimana tangan operator yang satu

memegang tranduser dan tangan lainnya memegang jarum, atau dapat dipasang pengantar

jarum pada tranduser. Cara ini mempunyai keuntungan karena dapat menghindari gerakan

jarum ke arah lateral yang dapat meningkatkan ukuran tusukan jarum. Cairan amnion yang

pertama diaspirasi dibuang sebanyak 1-2 ml untuk menghindari kontaminasi dengan sel-

sel maternal. Dilakukan aspirasi cairan amnion sebanyak 15 ml ke dalam tabung untuk

analisa sitogenetika. 10,13

Bila pada kesempatan pertama gagal untuk mengaspirasi cairan maka dapat

dilakukan pada lokasi lain setelah terlbih dahulu menilai kembali keadaan janin dan letak

plasenta. Tenting pada selaput ketuban atau kontraksi uterus sering menjadi penyebab

kegagalan. Bila tindakan kedua gagal maka tunda tindakan amniosintesis untuk beberapa

hari kemudian, jangan melakukan dua kali tindakan pada satu kesempatan yang sama.10,13

43

Walaupun dengan pengalaman selama kurang lebih tiga dekade dengan

amniosintesis midtrimester namun masih sulit untuk menentukan risiko prosedur ini yang

berhubungan dengan abortus. Pada penelitian prospektif, multisenter yang luas

diperkirakan risiko abortus berkisar 0,5 – 1%.

Selain abortus risiko lain pada janin dan ibu juga perlu untuk dipertimbangkan.

Sudah ada laporan mengenai terjadinya scar pada tubuh janin akibat tusukan jarum namun

jarang terjadi. Amniosintesis yang dilakukan dengan tuntunan USG dapat mengurangi

risiko tersebut dan juga risiko perlukaan yang lain. Komplikasi lain dari amniosintesis

midtrimester meliputi korioamnionitis, robekan selaput ketuban dan perdarahan

pervaginam. Insidens korioamnionitis < 1 per 1000 prosedur, robekan selaput ketuban

terjadi pada 1-2% penderita, namun biasanya sembuh sendiri dan terjadi reakumulasi

cairan dan pada umumnya luaran kehamilan normal. Insiden perdarahan pervaginam juga

sekitar 1% dan berhubungan dengan ukuran jarum yang dipakai.6,13

Sudah pernah dilaporkan kasus sensitasi pada wanita dengan rhesus negatif

setelah amniosintesis, risikonya sekitar 1%. Risiko ini dapat dikurangi dengan

menghindari pendekatan transplasenta, memakai jarum berukuran kecil dan pemberian

anti-D immunoglobulin intramuskuler sesudah tindakan amniosintesis terhadap pasien

Rh-negatif yang belum tersensitasi.13

AMNIOSITESIS DINIAmniosintesis dini adalah amniosintesis yang dilakukan pada usia kehamilan

sebelum 15 minggu (11-14 minggu). Kesulitan teknisnya lebih besar karena jumlah air

ketuban belum banyak dan fusi antara amnion dan korion belum sempurna sehinngga

sering menyebabkan tenting pada selaput ketuban. Selain itu targetnya lebih kecil, uterus

belum berbatasan dengan dinding perut sehingga meningkatkan kemungkinan perlukaan

pada usus atau masuknya kuman dari usus ke uterus.6,7

Tindakan amniosintesis dini dilakukan dengan maksud untuk melakukan

diagnosis prenatal yang lebih dini dan menjadi tindakan alternatif untuk pemeriksaan villi

korialis yang tekniknya relatif lebih sulit dan mempunyai lebih banyak komplikasi.

Dengan tuntunan USG dilakukan pengambilan cairan amnion sebanyak 10-12 ml.

Walaupun jumlah sel yang terambil lebih sedikit namun persentasi sel yang viable lebih

besar dibanding dengan pada usia kehamilan yang lebih lanjut. Keberhasilan kultur pada

kehamilan 12-14 minggu lebih dari 95% dengan waktu panen rata-rata 12 hari (1-2 lebih

44

lama ) daripada kehamilan 16 minggu. Dibanding dengan CVS, amniosintesis dini

mempunyai frekuensi kontaminasi sel maternal dan mosaicsm yang lebih rendah.13

Beberapa penelitian melaporkan peningkatan risiko abortus pada tindakan

amniosintesis dini dibanding dengan amniosintesis midtrimester dan CVS, namun Johnson

dkk tidak menemukan adanya perbedaan kejadian abortus antara kelompok amniosintesis

dini dan midtrimester. Penelitian lain di Kanada menemukan perbedaan yang bermakna

pada kejadian abortus (7,6% vs 5,9%), robekan selaput ketuban (3,5% vs 1,7%) dan

deformitas tulang, khususnya talipes equinovarus (1,4% vs 0,4%) antara kelompok

amniosintesis dini dan midtrimester, sehingga peneliti ini menganjurkan untuk tidak

melakukan amniosisntesis dini kecuali tidak ada alternatif lain.10,13

PEMERIKSAAN VILLI KORIALIS

Diagnosis prenatal yang dikerjakan pada trimester kedua mempunyai beberapa

kekurangan antara lain, diagnosis baru dapat diketahui pada usia kehamilan yang lebih

lanjut sehingga risiko untuk terminasi kehamilan lebih besar dan terminasi pada saat janin

sudah mulai bergerak menimbulkan beban emosional yang berat bagi pasien, sehingga

diusahakan untuk melakukan diagnosis prenatal pada trimester pertama.

Teknik pemeriksaan villi korialis pertama kali diperkenalkan di Cina pada tahun

1975 yang bertujuan untuk menentukan jenins kelamin janin dengan cara memasukkan

kateter halus ke dalam uterus dengan hanya dituntun perasaan taktil. Bila terasa ada

hambatan, kemudian pengisap dipasang dan dilakukan aspirasi potongan villi.7

Pemeriksaan villi korialis biasanya dilakukan pada usia kehamilan antara 10-12

minggu, untuk pemeriksaan sitogenetik, molekuler (analisis DNA) dan atau metode

biokimia yang dapat diaplikasikan pada jaringan villii. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi

anomali kromosom, defek gen spesifik dan aktivitas enzym yang abnormal dalam

kehamilan terutama pada penyakit turunan.6,7

Jaringan villi dapat diambil dengan teknik transervikal maupun transabdominal.

Sebelum tindakan, dilakukan pemeriksaan USG untuk konfirmasi denyut jantung janin

dan letak plasenta. Tentukan posisi uterus dan serviks, bila uterus anteversi maka

tambahan pengisian kandung kemih dapat membantu untuk meluruskan posisi uterus,

namun hindari pengisian kandung kemih yang berlebihan karena dapat mendorong uterus

keluar dari rongga pelvis sehingga memperpanjang jarak untuk mencapai tempat

pengambilan sampel yang dapat mengurangi kelenturan yang diperlukan untuk manipulasi

kateter.9,10

45

Pasien dibaringkan dalam posisis litotomi, antisepsis vulva dan vagina kemudian

masukkan spekulum dan lakukan hal yang sama pada serviks. Ujung distal kateter (3-5

cm) sedikit ditekuk untuk membentuk lengkungan dan kateter dimasukkan kedalam uterus

dengan tuntunan USG sampai terasa tahanan menghilang pada endoserviks. Operator

menunggu sampai sonographer menvisualisasi ujung kateter, kemudian kateter

dimasukkan sejajar dengan selaput korion ke tepi distal plasenta. Keluarkan stylet dan

pasang tabung pengisap 20 ml yang mengandung medium nutrien. Jaringan villi yang

terisap ke dalam tabung dapat dilihat dengan mata telanjang sebagai struktur putih yang

terapung dalam media. Kadang kala diperlukan pemeriksaan mikroskop untuk

mengkonfirmasi jaringan villi. Sering jaringan desidua ibu ikut terambil namun mudah

dikenali sebagai stuktur yang amorf (tak berbentuk). Bila tidak berhasil mendapat jaringan

villi yang cukup maka dapat dilakukan insersi kedua.9,10

Teknik transabdominal pertama kali diperkenalkan oleh Smid –Jensen dan

Hahnemann dari Denmark. Dengan tuntunan USG masukkan jarum spinal ukuran 19 atau

20 ke dalam sumbu panjang plasenta. Setelah stylet dikeluarkan, aspirasi villi ke dalam

tabung 20 ml yang berisi media kultur jaringan. Berhubung karena jarum yang dipakai

lebih kecil dari kateter servikal maka perlu dilakukan tiga sampai empat kali gerakan maju

mundur pada ujung jarum terhadap jaringan plasenta agar jaringan villi dapat terambil.

Berbeda dengan teknik transervikal yang dilakukan sebelum usia kehamilan 14 minggu,

teknik ini dapat dilakukan sepanjang kehamilan sehingga dapat menjadi alternatif untuk

amniosintesis dan pemeriksaan darah janin.9,10

Komplikasi yang dapat terjadi pada pemeriksaan villi korialis adalah abortus dan

yang ditakuti akhi-akhir ini adalah hubungan antara tindakan ini dengan kejadian reduksi

anggota gerak. CVS yang dilakukan pada kehamilan < 9 minggu mempunyai risiko untuk

reduksi anggota gerak 10-20 kali lebih besar dibandingkan dengan CVS yang dilakukan

setelah usia > 11 minggu.9

Kontaminasi jaringan desidua ibu pada sampel yang dikultur dapat memberikan

hasil negatif palsu, dan hal ini sering terjadi bila hanya sedikit sampel yang terambil,

namun di senter yang telah berpengalaman kejadian ini tidak ditemukan lagi.12

46

PEMERIKSAAN DARAH JANIN

Pada tahun 1983, Daffos dkk memperkenalkan metode pengambilan darah janin

dengan tuntunan USG menggunakan jarum spinal ukuran 20-22 melalui perut ibu ke

dalam tali pusat. Teknik ini disebut juga kordosentesis, PUBS (percutaneous umbilical

blood sampling), fetal blood sampling atau furnipuncture. Kordosintesis adalah istilah

yang sering digunakan.11

Indikasi pemeriksaan ini dapat dibagi atas indikasi diagnostik dan terapeutik.

Umumnya, pemeriksaan darah janin diindikasikan bila keuntungannya lebih banyak dari

kerugiannya. Sebelumnya pemeriksaan darah janin dilakukan untuk karyotype cepat

namun dengan teknik sitogenetik yang baru memakai metode FISH sampel dari villi

korialis dan amniosit juga dapat diperiksa dengan cepat. Indikasi lain untuk pemeriksaan

ini adalah bila ditemukan mosaik atau kegagalan kultur pada amniosintesis dan biopsi

plasenta. Pemeriksaan darah janin juga dilakukan pada wanita yang datang terlambat

(usia kehamilan lanjut) pada kunjungan antenatal dan menginginkan pemeriksaan

karyotype atau untuk diagnosis prenatal retardasi mental fragile-X.10,11

Indikasi diagnostik yang lain adalah pemeriksaan hemoglobinopathi,

koagulaopathi, penyakit granulomatous kronik dan beberapa kelainan metabolisme serta

penentuan anemia dan trombositopenia pada janin. Untuk indikasi terapeutik adalah :

terapi anemia pada janin melalui transfusi darah dan pemberian obat antiaritmia pada

janin dengan hidrops.11

Dengan tuntunan USG tusukkan jarum melalui dinding perut ibu dan arahkan ke

tempat insersi tali pusat di plasenta, tusukan pada bagian tali pusat yang melayang lebih

sulit dilakukan. Bila menggunakan pengantar jarum pada tranduser USG maka ukuran

jarumnya lebih kecil (22-26) sedang bila menggunakan teknik free hand jarum yang

dipakai berukuran 20-22. Bila ujung jarum telah mencapai tali pusat, pasang tabung

pengisap dan isap darah kurang lebih 5 ml. Penting untuk menentukan apakah sampel

darah ini berasal dari janin atau terkontaminasi darah ibu, walaupun dengan teknik yang

baik hal ini jarang terjadi namun lebih bijaksana bila dilakukan pemeriksaan

laboratorium untuk memastikannya. Sel darah janin akan tampak lebih besar dengan

MCV yang lebih besar. Pengambilan sampel darah janin juga dapat dilakukan pada vena

intrahepatik maupun jantung janin.10,11

Komplikasi yang dapat terjadi pada janin pasca kordosintesis adalah :

terjadinya hematoma atau perdarahan pada tempat tusukan jarum, bradikardi, infeksi.

47

Kemungkinan untuk terjadinya kematian janin berkisar 1% untuk itu perlu dilakukan

pemantauan denyut jantung janin dengan kardiotokografi selama paling sedikit 30 menit.

Pada ibu komplikasi yang dapat terjadi adalah isoimunisasi rhesus, sehingga harus

diberikan anti-D immunoglobulin pada ibu dengan rhesus negatif.11

BIOPSI JANINIndikasi pemeriksaan jaringan janin sampai saat ini masih terus berkembang.

Teknik yang invasif ini digunakan hanya untuk kelainan dengan morbiditas tinggi,

dimana diagnosis dengan pemeriksaan amniosintesis, villi khorialis atau darah janin

tidak memuaskan. Jaringan yang diambil dari janin untuk prenatal diagnosis antara lain :

kulit, otot, liver, ginjal dan otak. 9,10

Indikasi yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan jaringan janin adalah untuk

diagnosis genodermatosis, yang merupakan penyakit berat turunan pada kulit dengan

angka morbiditas dan mortalitas tinggi.

Pada awalnya biopsi janin dilakukan dengan fetoskopi, tetapi saat ini telah diganti

dengan memakai USG. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 17-20 minggu dengan

memakai forsep biopsi yang dimasukkan melalui jarum angiocath no 14. Biopsi jaringan

janin untuk diagnosis genodermatosis hanya dapat dilakukan dengan biopsi kulit, hasil

biopsi ini dapat diperiksa dengan teknik morfologi, immunohistokimia, dan biokimia.9,10

Biopsi jaringan otot janin, jarang dilakukan tetapi pernah dilakukan untuk diagnosis

prenatal mucular dystrophy yang disebabkan mutasi gen pada kromosom X, gen untuk

distrofin. Sejak karakteristik gen distrofin diketahui diagnosis prenatal untuk janin yang

berisiko dapat dilakukan dengan metode molekuler (polymerase chain reaction) yang

diambil dari ekstrak DNA dari cairan ketuban atau vili korialis.9

Seperti halnya biopsi otot, maka biopsi hati juga hanya dilakukan pada penyakit yang

diturunkan yang tidak dapat didiagnosis dengan pemeriksaan amniosit atau villi korialis.

Sejumlah kecil penyakit gangguan metabolisme termasuk dalam kategori ini dan dapat

didiagnosis dengan pemeriksaan enzym yang diproduksi di hati, seperti ornitrin

transcarbamilase (OTC) deficiency, carbamoyl phospstase synthetase (CPS) deficiency,

glucosa 6 phospatase deficiency (G6PD).9

48

DIAGNOSIS PRENATAL NONINVASIF

DIAGNOSIS PRAIMPLANTASI

Perkembangan polymerase chain reaction (PCR) telah membawa revolusi dalam

molekuler genetik, teknik ini dapat menggandakan / mengkopi jutaan target segmen

DNA. Dimasa mendatang teknik ini bila dikombinasi dengan teknik fertilisasi invitro

akan membantu diagnosis prenatal terhadap pasangan dengan risiko penyakit keturunan,

dimana dengan pemeriksaan amniosintesis atau villi korialis saja masih sulit untuk

menetapkan keputusan diteruskan atau tidaknya suatu kehamilannya. Kebanyakan wanita

hamil akan mengharapkan janinnya tumbuh lengkap dan tidak mempunyai karier, tetapi

untuk itu memerlukan beberapa teknologi yang dapat melakukan skrining terhadap

embrio sebelum terjadinya implantasi.9

Teknologi untuk diagnosis genetik preimplantasi ini dimungkinkan karena adanya

perkembangan didalam fertilisasi invitro, sebelum dilakukan transfer embryo kedalam

kandungan sebagian sel zygot dibiopsi untuk analisa kromosom atau DNA. Sel-sel

embrio ini dapat berasal dari polar body, blastomere atau trophectoderm, dengan

demikian hanya embrio dengan material genetik yang diprediksi tidak terdapat kelainan

akan dilakukan implantasi. 6,9

Setiap metode ini mempunyei keuntungan dan kerugian tergantung derajat

kesulitan dan kejadian kelainan tersebut dalam kehamilan. Kesalahan dalam diagnosis

akan membahayakan terutama karena hanya satu sel yang dianalisa. Biopsi seperempat

dari embrio pada hari ke 3 setelah fertilisasi (sekitar stadium 12 sel) merupakan teknik

diagnosis praimplantasi yang paling memungkinkan untuk dilakukan.9

SEL JANIN DALAM SIRKULASI MATERNAL

Sejak tahun 1950 berbagai jenis sel janin telah ditemukan dalam dalam sirkulasi

maternal. Dengan teknologi PCR, sekarang telah diketahui bahwa hampir semua wanita

mempunyai sedikit sel –sel janin dalam aliran darahnya. Bila sel-sel janin ini dapat

dianalisa untuk diagnosis prenatal maka prosedur yang invasif sudah tidak diperlukan

lagi. 6

49

Untuk mengidentifikasi sel-sel janin, telah dikembangkan antibodi monoclonal

terhadap berbagai antigen sel janin meliputi antibodi terhadap trofoblas, antigen

permukaan sel eritrosit janin dan antigen HLA paternal.9

Teknik analisa genetik yang juga dipakai untuk isolasi sel janin dari maternal

sirkulasi adalah PCR dan insitu hibridisasi. Terhadap sel-sel janin yang diisolasi telah

dilakukan pemeriksaan untuk penyakit autosom resesif seperti -thalasemia. Juga telah

dilakukan karyotype sel janin dengan teknik FISH. Bianchii dkk (1997) melaporkan

bahwa pada janin dengan aneuploidy ditemukan peningkatan jumlah sel-sel janin dalam

sirkulasi maternal sebesar 6 kali. Penelitian multisenter yang disponsori oleh National

Institutes of Health diharapkan dapat menyempurnakan teknik untuk aplikasi yang lebih

luas.6,9

2.9. PENATALAKSANAAN

Penanganan anak Sindroma Down didasarkan pada penanganan dasar untuk anak dengan

retardasi mental yang meliputi edukasi, psikoterapi, dan farmakoterapi serta menangani

kondisi medisnya dengan penyuluhan pada orang tua pasien.

a. Edukasi

Penyediaan pendidikan khusus bagi anak yang mengalami retardasi mental yang

meliputi remediasi, tutoring, dan pelatihan kemampuan sosial.13 Anak dengan

sindroma Down juga mampu memberikan partisipasi yang baik dalam belajar

melalui program intervensi dini, Taman kanak-kanak dan melalui pendidikan khusus

yang positif akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara menyeluruh.

Latihan khusus yang diberikan meliputi aktivitas motorik kasar dan halus serta

petunjuk agar anak mampu berbahasa. Demikian pula dengan mengajari anak untuk

dapat menolong dirinya sendiri seperti belajar makan, belajar buang air besar/kecil,

mandi, berpakaian, akan memberi kesempatan anak untuk belajar mandiri. Taman

bermain/taman kanak–kanak juga mempunyai peran yang penting pada awal

kehidupan anak. Anak akan memperoleh manfaat berupa peningkatan keterampilan

motorik kasar dan halus melalui bermain dengan temannya. Dapat berinteraksi sosial

dengan temannya. Dengan memberikan kesempatan bergaul dengan lingkungan di

luar rumah maka kemungkinan anak dapat berpartisipasi dalam dunia yang lebih

luas. Di samping tindakan diatas program pendidikan khusus juga dapat membantu

anak melihat dunia sebagi suatu tempat yang menarik untuk mengembangkan diri

dan bekerja. Pengalaman yang diperoleh di sekolah akan membantu untuk

50

memperoleh perasaan tentang identitas personal, harga diri, dan kesenangan. Selama

dalam pendidikan anak diajari untuk biasa bekerja dengan baik dan menjalin

hubungan yang baik dengan teman-temannya. Sehingga anak akan mengerti mana

yang salah dan mana yang benar, serta bagaimana harus bergaul dengan masyarakat.

b. Penatalaksanaan masalah klinis

Anak dengan kelainan ini memerlukan perhatian dan penanganan medis yang sama

dengan anak yang normal. Mereka memerlukan pemeliharaan kesehatan, imunisasi,

kedaruratan medis, serta dukungan dan bimbingan dari keluarga, tetapi terdapat

beberapa keadaan di mana anak dengan sindroma Down memerlukan perhatian

khusus antara lain:

a. Pemeriksaan mata dan telinga serta pendeteksian fungsi tiroid pada bayi baru

lahir dan rutin pada anak sindroma Down

b. Penyakit jantung bawaan, intervensi dini dengan pemeriksaan kardiologi pada

bayi baru lahir

c. Status Nutrisi, perlu perhatian meliputi kesulitan menyusu pada bayi sindroma

Down dan pencegahan obesitas pada usia anak dan remaja

d. Kelainan tulang

e. Pendidikan, sebagai intervensi dini terhadap kelainan perkembangan terutama

menyangkut kemampuan kognitif dan perkembangan sosial

f. Monitoring pertumbuhan dan perkembangan dengan kurva spesial untuk

sindroma Down dan disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan anak

sindroma Down

g. Perawatan mulut dan gigi

h. Atlanto-axial instability screening pada usia tiga tahun

i. Konseling genetik.

c. Penyuluhan pada orang tua

Begitu sindroma Down ditegakan, dokter harus mampu menyampaikan hal ini

secara bijaksana dan jujur. Penjelasan pertama sangat menentukan adaptasi dan

sikap orang tua selanjutnya. Orang tua harus diberitahu bahwa fungsi motorik,

perkembangan mental, dan bahasa biasanya terlambat pada sindroma Down.

Demikian pula kalau ada hasil analisa kromosom, harus dijelaskan dengan bahasa

yang sederhana. Informasi juga menyangkut tentang risiko terhadap kehamilan

51

berikutnya. Hal yang penting lainnya adalah menekankan bahwa bukan ibu atau pun

ayah yang dapat dipersalahkan tentang kasus ini. Apabila diperlukan, juga penting

untuk mempertemukan sesama orang tua dengan anak sindroma Down agar dapat

saling berbagi sehingga nantinya hasil yang diharapkan adalah ketegaran orang tua

itu sendiri.

d. Psikoterapi

Terapi perilaku dilakukan untuk membentuk dan meningkatkan kemampuan

perilaku sosial serta mengontrol dan meminimalkan perilaku agresif dan destruktif.

Terapi kognitif, seperti menanamkan nilai yang benar dan latihan relaksasi dengan

mengikuti instruksi, direkomendasikan untuk anak yang mampu mengikuti instruksi.

Terapi psikodinamik digunakan untuk mengurangi konflik tentang pencapaian yang

diharapkan yang dapat mengakibatkan kecemasan, kemarahan dan depresi.

e. Farmakoterapi

Penderita sindroma Down yang disertai gejala ADHD atau depresi dapat diberikan

stimulan atau antidepresan. Agitasi, agresi, dan tantrum merespon baik terhadap

pemberian antipsikotik. Antipsikotik atipikal seperti risperidone (Risperidal) dan

olazapine (Zyprexal) lebih dipilih karena memiliki kecenderungan lebih kecil dalam

mengakibatkan gejala ekstrapiramidal dan diskinesia. Litium (Eskalith) berguna

dalam mengontrol sifat agresif atau menyakiti diri sendiri. Carbamazepin (Tegretol),

valproate (Depakene), dan propanolol (Inderal) juga dapat digunakan untuk perilaku

agresif dan tantrum. Pemberian antibiotik yang adekuat sangat diperlukan pada

pasien Sindroma Down dengan infeksi karena terbukti mampu mencegah mortalitas.

2.10. PENCEGAHAN

Upaya pencegahan cacat bawaan dapat dibedakan atas pencegahan primer dan

pencegahan sekunder. Pencegahan primer ditujukan pada upaya pencegahan

terjadinya kehamilan dengan cacat bawaan, kegiatan utamanya adalah penyaringan

atau deteksi dini golongan yang mempunyai risiko untuk mendapat keturunan dengan

cacat bawaan, yang meliputi kegiatan skrining, konseling prakonsepsi / pranikah dan

tindakan supportifnya berupa keluarga berencana, adopsi atau inseminasi donor.2, 3

Pencegahan sekunder ditujukan pada upaya pencegahan kelahiran bayi dengan cacat

bawaan dengan melakukan kegiatan pranatal antara lain: skrining genetika dalam

52

kehamilan, konseling prenatal, diagnosis prenatal dan tindakan suportif lainnya

berupa terminasi kehamilan, terapi gen maupun terapi janin in utero.2, 3

Konseling Genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai akan

sangat membantu mengurangi angka kejadian Sindrom Down.

Dengan Biologi Molekuler, misalnya dengan “ gene targeting “ atau yang

dikenal juga sebagai “ homologous recombination “ sebuah gen dapat

dinonaktifkan.

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui

amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan.

Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down

atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau

perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan

sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS

merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh

kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak

diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia

ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa

dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan

CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12

minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16

minggu.

2.11. PROGNOSIS

Survival rate penderita sindroma Down umumnya hingga usia 30-40 tahun. Selain

perkembangan fisik dan mental terganggu, juga ditemukan berbagai kelainan fisik.

Kemampuan berpikir penderita dapat digolongkan idiot dan biasanya ditemukan kelainan

jantung bawaan, seperti defek septum ventrikel yang memperburuk prognosis.15 Sebesar

44% penderita sindroma Down hidup sampai 60 tahun dan hanya 14% hidup sampai 68

tahun. Meningkatnya risiko terkena leukemia pada sindroma Down adalah 15 kali dari

populasi normal. Penyakit Alzheimer yang lebih dini akan menurunkan harapan hidup

setelah umur 44 tahun.

Beberapa penderita sindroma Down mengalami hal-hal berikut ::

a. Gangguan pendengaran akibat infeksi telinga berulang dan otitis serosa.

53

b. Gangguan penglihatan karena adanya perubahan pada lensa dan kornea.

c. Pada usia 30 tahun menderita dementia (berupa hilang ingatan, penurunan

kecerdasan dan kepribadian).

d. Gangguan tiroid.

Bisa terjadi kematian dini pada penderita sindroma Down meskipun banyak juga

penderita yang berumur panjang. Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung

bawaan. Tingginya angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini yang

mengakibatkan 80% kematian. Anak-anak dengan sindroma Down memiliki risiko tinggi

untuk menderita kelainan jantung dan leukemia. Jika terdapat kedua penyakit tersebut

maka angka harapan hidupnya berkurang dan jika kedua penyakit tersebut tidak

ditemukan maka anak bisa bertahan sampai dewasa

DAFTAR PUSTAKA

54

1. Enkin M, Keirse MJNC, Neilson J, Crowther C, Duley L, Hodnett E, et al. Screening for

congenital anomalies. Available at: URL: www.maternitywise.org/prof/. Accessed April

1st, 2005.

2. Nicolaides K, Snijders R. First trimester diagnosis of chromosomal defects. In:

Nicolaides K, editor. The 11–13+6 weeks scan. London: Fetal Medicine Foundation;

2004. p. 7-42.

3. Cameron A, Macara A, Brennand J, Milton P. Screening for chromosomal abnormalities.

In: Fetal medicine for the MRCOG and beyond. London: RCOG press; 2002. p. 1-12.

4. Rodeck C, Pandya P. Prenatal diagnosis of fetal abnormalities. In: Chamberlain G, Steer

P, Breat G, Chang A, Johnson M, Neilson J, editors. Turnbull's obstetrics. 3rd ed.

London: Churchill Livingstone; 2001. p. 169-96.

5. Nicolaides K, Bindra R, Cicero S. One-stop clinic for assesment of risk of chromosomal

defects at 12 weeks of gestation. The Journal of Maternal -Fetal and Neonatal Medicine

2002 2002;12:9-18.

6. Cunningham F, MacDonald P, Gant N, Leveno K, Gilstrap L, Hankins G. Prenatal

diagnosis and therapy. In: Williams Obstetrics. 21st ed. New York: McGraw Hill; 2001.

p. 973-1003.

7. Kaissenber C, Wiens A, Biellicki M, et al. Screening for trisomy 21 by maternal age,

fetal nuchal translucency and maternal serum biochemistry at 11-14 weeks; a German

multicenter study. The Journal of Maternal -Fetal and Neonatal Medicine 2002

2002;12:89-94.

8. Yankowitz, Williamsom R. Abnormalities of alpha-fetoprotein and other biochemical

tests. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy

management option. 2nd ed. New York: WB Saunders; 2000. p. 153-70.

9. Rossiter J, Blakemore K. Fetal genetic disorders. In: Winn H, Hobbins J, editors. Clinical

maternal-fetal medicine. 1st ed. New York: Parthenon Publishing Group; 2000. p. 783-

98.

10. Jenkins T, Wapner R. Prenatal diagnosis of congenital disorders. In: Creasy R, Resnik R,

Iams J, editors. Maternal fetal medicine. 5 th ed. Philadelphia: WB. Saunders; 2004. p.

235-73.

11. Soothill P. Fetal blood sampling before labor. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B,

editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders;

2000. p. 225-33.

55

12. Holzgreve W, Miny P. Chorionic villus sampling and placental biopsy. In: James D,

Steer P, Weiner C, Gonik B, editors. High risk pregnancy management option. 2 nd ed.

New York: W.B Saunders; 2000. p. 207-13.

13. Overton T, Fisk N. Amniocentesis. In: James D, Steer P, Weiner C, Gonik B, editors.

High risk pregnancy management option. 2 nd ed. New York: W.B Saunders; 2000. p.

215-23.

14. Sadock, Benjamin J., Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis.

Ed. 2. Jakarta: EGC, 2010:563.

15. Fatusi, Buckley, Sue. 2005. Specificity in Down syndrome. The Down Syndrome

Educational Trust. p81-86.

16. Riyanto, Buckley, S. and Bird, G. (2001). Memory Development for Individuals with

Down Syndrome. The Down Syndrome Educational Trust, p112.120.

17. N Heyn, Sietske. 2011. Down Syndrome.http://www.medicinenet.com

18. Sherman SL, Allen EG, Bean LH, Freeman SB. Epidemiology of Down Syndrome.

Mental Retardation And Developmental Disabilities Research Reviews. 2007; 13: 221 –

227.

19. Wiseman, F. K., Alford, K. A., Tybulewicz, V. L. J., Fisher, E. M. C. 2009. Down

Syndrome-Recent Progress and Future Prospects. Human Molecular Genetics.

18(1):R75–R83.

20. Shin, M., Besser, Lilah M., Kucik, James E., Lu, C., Siffel, C., Correa, A. et al. 2009.

Prevalence of Down Syndrome Among Children and Adolescents in 10 Regions of the

United States. Official Journal of the American Academic of Pediatrics. 124:1565-1571.

21. Soetjiningsih. 1995. Tumbung Kembang Anak. Jakarta: EGC. Tarek,M. 2005. The Baby

with Down Syndrome. ASJOG. 2: 362-5.

22. Chen Harold. Genetics of Down Syndrome. http://emedicine.medscape.com/

article/943216. [Akses : 21 Maret 2011].

23. Weijerman, Michel E. De Winter, J. Peter. 2010. The care of children with Down

syndrome. Eur J Pediatr. 169:1445–1452.

24. V. Madan, J. Williams and J. T. Lear. 2006. Dermatological manifestations of Down’s

syndrome. Blackwell Publishing Ltd. 31, 623–629.

25. Kaplan, Harold I., Sadock, Benjamin J., Grebb, Jack A. Retardasi Mental. Sinopsis

Psikiatri Jilid 2. Jakarta. 1997. 35:673-696.

26. Anonim. 2006. Sindroma Down.http://www.medicastore.com/sindroma down. [Akses : 6

Juni 2011].

56

27. Anonim. 2007. Down Sydrome survival Rate Increasing; Racial Disparitas Exist In a

Large Metropolitan Area. http//www.cdc. gove/od/oc/media/pressrel. [Akses : 6 Juni

2011].

57