Tutorial

15
6. Bagaimana epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi difteri? 1. Definisi Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.6 Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.5 Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.(Kadun,2006) 2. Penyebab Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena mempunyai

Transcript of Tutorial

Page 1: Tutorial

6. Bagaimana epidemiologi, etiologi, cara penularan, dan patofisiologi difteri?

1. DefinisiDifteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema di leher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi jalan napas.6 Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi ) merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan jantung kongestif yang progresif,timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.5 Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.(Kadun,2006)2. Penyebab Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae. Berbentuk batang gram positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive, tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Exotoxin yang diproduksi oleh bakteri merupakan suatu protein yang tidak tahan terhadap panas dan cahaya. Bakteri dapat memproduksi toksin bila terinfeksi oleh bakteriofag yang mengandung toksigen.Toxin difteri ini, karena mempunyai efek patoligik meyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium diphtheriae ini yaitu : type mitis, type intermedius dan type gravis.Corynebacterium diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang virulen.Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.1,2,5 Organisme ini terlokalisasi di tenggorokan yang meradang bila bakteri ini tumbuh dan mengeluarkan eksotoksin yang ampuh. Sel jaringan mati, bersama dengan leukosit, eritosit, dan bakteri membentuk eksudat berwarna kelabu suram yang disebut pseudomembran pada faring. Di dalam pseudomembran, bakteri berkembang serta menghasilkan racun. Jika pseudomembran ini meluas sampai ke trakea, maka saluran nafas akan tersumbat dan si penderita akan kesulitan bernafas. Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.3. Cara Penularan

Page 2: Tutorial

Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. 3 Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah disitu membaran putih keabu-abuan(psedomembrane). Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditisct toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otot-otot pernafasan. Toksini ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang seriing pada bronkopneumoni.

7. Bagaimana riwayat alamiah penyebaran penyakit?Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai penjamu

yang rentan (suseptibel) oleh agen kausal. Paparan (exposure) adalah kontak atau kedekatan (proximity) dengan sumber agen penyakit. Konsep paparan berlaku untuk penyakit infeksi maupun non-infeksi. Contoh, paparan virus hepatitis B (HBV) dapat menginduksi terjadinya hepatitis B, paparan stres terus-menerus dapat menginduksi terjadinya neurosis, paparan radiasi menginduksi terjadinya mutasi DNA dan menyebabkan kanker, dan sebagainya. Arti “induksi” itu sendiri merupakan aksi yang mempengaruhi terjadinya tahap awal suatu hasil, dalam hal ini mempengaruhi awal terjadinya proses patologis. Jika terdapat tempat penempelan (attachment) dan jalan masuk sel (cell entry) yang tepat maka paparan agen infeksi dapat menyebabkan invasi agen infeksi dan terjadi infeksi. Agen infeksi melakukan multiplikasi yang mendorong terjadinya proses perubahan patologis, tanpa penjamu menyadarinya.

Periode waktu sejak infeksi hingga terdeteksinya infeksi melalui tes laboratorium/ skrining disebut “window period”. Dalam “window period” individu telah terinfeksi, sehingga dapat menularkan penyakit, meskipun infeksi tersebut belum terdeteksi oleh tes laboratorium. Implikasinya, tes laboratorium hendaknya tidak dilakukan selama “window period”, sebab infeksi tidak akan terdeteksi. Contoh, antibodi HIV (human immuno-deficiency virus) hanya akan muncul 3 minggu hingga 6 bulan setelah infeksi. Jika tes HIV dilakukan dalam “window period”, maka

Page 3: Tutorial

sebagian besar orang tidak akan menunjukkan hasil positif, sebab dalam tubuhnya belum diproduksi antibodi. Karena itu tes HIV hendaknya ditunda hingga paling sedikit 12 minggu (3 bulan) sejak waktu perkiraan paparan. Jika seorang telah terpapar oleh virus tetapi hasil tes negatif, maka perlu dipertimbangkan tes ulang 6 bulan kemudian.Selanjutnya berlangsung proses promosi pada tahap preklinis, yaitu keadaan patologis yang ireversibel dan asimtomatis ditingkatkan derajatnya menjadi keadaan dengan manifestasi klinis (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Melalui proses promosi agen kausal akan meningkatkan aktivitasnya, masuk dalam formasi tubuh, menyebabkan transformasi sel atau disfungsi sel, sehingga penyakit menunjukkan tanda dan gejala klinis. Dewasa ini telah dikembangkan sejumlah tes skrining atau tes laboratorium untuk mendeteksi keberadaan tahap preklinis penyakit (US Preventive Services Task Force, 2002; Barratt et al., 2002; Champion dan Rawl, 2005). Waktu sejak penyakit terdeteksi oleh skrining hingga timbul manifestasi klinik, disebut “sojourn time”, atau detectable preclinical period (Brookmeyer, 1990; Last, 2001; Barratt et al., 2002). Makin panjang sojourn time, makin berguna melakukan skrining, sebab makin panjang tenggang waktu untuk melakukan pengobatan dini (prompt treatment) agar proses patologis tidak termanifestasi klinis. Kofaktor yang mempercepat progresi menuju penyakit secara klinis pada sojourn time (detectable preclinical period) disebut akselerator atau progresor (Achenbach et al., 2005). \Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen kausal hingga timbulnya manifestasi klinis disebut masa inkubasi (penyakit infeksi) atau masa laten (penyakit kronis). Pada fase ini penyakit belum menampakkan tanda dan gejala klinis, disebut penyakit subklinis (asimtomatis). Masa inkubasi bisa berlangsung dalam hitungan detik pada reaksi toksik atau hipersentivitas. Contoh, gejala kolera timbul beberapa jam hingga 2-3 hari sejak paparan dengan Vibrio cholera yang toksigenik. Pada penyakit kronis masa inkubasi (masa laten) bisa berlangsung sampai beberapa dekade. Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa inkubasi), yakni faktor yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit secara klinis, disebut faktor risiko. Sebaliknya, faktor yang menurunkan risiko terjadinya penyakit secara klinis disebut faktor protektif.

Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit klinis. Pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan gejala (symptom) penyakit secara klinis, dan penjamu yang mengalami manifestasi klinis disebut kasus klinis. Gejala klinis paling awal disebut gejala prodromal. Selama tahap klinis, manifestasi klinis akan diekspresikan hingga terjadi hasil akhir/ resolusi penyakit, baik sembuh, remisi, perubahan beratnya penyakit, komplikasi, rekurens, relaps, sekuelae, disfungsi sisa, cacat, atau kematian. Periode waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir penyakit disebut durasi penyakit.

Kovariat yang mempengaruhi progresi ke arah hasil akhir penyakit, disebut faktor prognostik (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002). Penyakit penyerta yang mempengaruhi fungsi individu, akibat penyakit, kelangsungan hidup, alias prognosis penyakit, disebut ko-morbiditas (Mulholland, 2005). Contoh, TB dapat menjadi ko-

Page 4: Tutorial

morbiditas HIV/AIDS yang meningkatkan risiko kematian karena AIDS pada wanita dengan HIV/AIDS (Lopez-Gatell et al., 2007).

8. Bagaimana upaya deteksi dini terhadap KLB?

Deteksi Dini KLB Deteksi dini KLB merupakan kewaspadaan terhadap timbulnya KLBdengan mengidentifikasi kasus berpotensi KLB, pemantauan wilayah setempat terhadap penyakit-penyakit berpotensi KLB dan penyelidikan dugaan KLB1. Identifikasi Kasus Berpotensi KLB Setiap kasus berpotensi KLB yang datang ke

Unit PelayananKesehatan, diwawancarai kemungkinan adanya penderita lain disekitar tempat tinggal, lingkungan sekolah, lingkunganperusahaan atau asrama yang kemudian dapat disimpulkandugaan adanya KLB. Adanya dugaan KLB pada suatu lokasitertentu diikuti dengan penyelidikan.

2. Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB Setiap Unit Pelayanan Kesehatan merekam data epidemiologipenderita penyakit berpotensi KLB menurut desa atau kelurahan. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan menyusun tabel dan grafikpemantauan wilayah setempat KLB sebagaimana lampiran 3grafik PWS-KLB. Setiap Unit Pelayanan Kesehatan melakukan analisis terusmenerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit yangberpotensi KLB di daerahnya untuk mengetahui secara diniadanya KLB. Adanya dugaan peningkatan penyakit dan faktor resiko yangberpotensi KLB diikuti dengan penyelidikan.

3. Penyelidikan Dugaan KLB Penyelidikan dugaan KLB dilakukan dengan cara : (a). Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatanmenanyakan setiap pengunjung Unit Pelayanan Kesehatantentang kemungkinan adanya peningkatan sejumlahpenderita penyakit yang diduga KLB pada lokasi tertentu. (b). Di Unit Pelayanan Kesehatan, petugas kesehatan menelitiregister rawat inap dan rawat jalan terhadap kemungkinanadanya peningkatan kasus yang dicurigai pada lokasitertentu berdasarkan alamat penderita, umur dan jeniskelamin atau karakteristik lain. (c). Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa, kepala asrama dan setiap orang yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya peningkatan penderita penyakityang diduga KLB. (d). Membuka pos pelayanan di lokasi yang diduga terjadi KLBdan menganalisis data penderita berobat untuk mengetahuikemungkinan adanya peningkatan penyakit yang dicurigai. (e). Mengunjungi rumah-rumah penderita yang dicurigai ataukunjungan dari rumah ke rumah terhadap semua penduduktergantung pilihan tim penyelidikan

9. Apa yang disebut dengan pandemik, endemik, serta wabah?Pandemik : Pandemic adalah terjadinya suatu masalah kesehatan dengan frekuensi yang meningkat tinggi dalam waktu singkat dan mencakup suatu wilayah yang sangat luas. Menurut WHO, dikatakan sebagai suatu pandemic jika memenuhi ketiga syarat berikut:

Page 5: Tutorial

1)Timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal yang baru pada populasi bersangkutan2)Agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit serius3)Agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan pada manusiaSuatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai pandemi hanya karena menewaskan banyak orang. Sebagai contoh, kelas penyakit yang dikenal sebagai kanker menimbulkan angka kematian yang tinggi namun tidak digolongkan sebagai pandemi karena tidak ditularkan.Endemik : Endemic adalah terjadinya suatu masalah kesehatan yang umumnya dikarenakan penyakit, dengan frekuensi yang tetap pada suatu wilayah tertentu dalam waktu yang lama.Suatu infeksi penyakit dikatakan sebagai endemik bila setiap orang yang terinfeksi penyakit tersebut menularkannya kepada tepat satu orang lain (secara rata-rata). Bila infeksi tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang terinfeksi tidak bertambah secara eksponensial, suatu infeksi dikatakan berada dalam keadaan tunak endemik (endemic steady state). Suatu infeksi yang dimulai sebagai suatu epidemi pada akhirnya akan lenyap atau mencapai keadaan tunak endemik, bergantung pada sejumlah faktor, termasuk virulensi dan cara penularan penyakit bersangkutan.Dalam bahasa percakapan, penyakit endemik sering diartikan sebagai suatu penyakit yang ditemukan pada daerah tertentu. Sebagai contoh, AIDS sering dikatakan "endemik" di Afrika walaupun kasus AIDS di Afrika masih terus meningkat (sehingga tidak dalam keadaan tunak endemik). Lebih tepat untuk menyebut kasus AIDS di Afrika sebagai suatu epidemi.Wabah : kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan mala petaka

10. Bagaimana langkah investigasi KLB?

1. Identifikasi outbreakOutbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak daripada ekspektasi normaldi di suatu area atau pada suatu kelompok tertentu, selama suatu periode waktu tertentu. Informasitentang potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien(kasus indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentangpotensi outbreak bisa juga berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis data surveilans, laporankematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan televisi).Hakikatnya outbreak merupakan deviasi (penyimpangan) dari keadaan rata-rata insidensiyang konstan dan melebihi ekspektasi normal Karena itu outbreak ditentukan dengan caramembandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata jumlah kasus dan variasinya di masa lalu(minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar deviasi yang masih berada dalam “ekspektasi normal” bersifatarbitrer, tergantung dari tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi kesehatan masyarakat dimasa yang lalu. Sebagai ancar-ancar

Page 6: Tutorial

kuantitatif, pembuat kebijakan dapat menggunakan mean+3SDsebagai batas untuk menentukan keadaan outbreak. Batas mean+/- 3SD lazim digunakan dalambiostatistik untuk menentukan observasi ekstrim yang disebut “outlier” (Duffy dan Jacobsen, 2001),jadi suatu kondisi yang sesuai dengan definisi epidemi/ outbreak. Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya outbreak: (1) Catatan surveilans dinaskesehatan; (2) Catatan morbiditas dan mortalitas di rumah sakit; (3) Catatan morbiditas danmortalitas di puskesmas; (4) Catatan praktik dokter, bidan, perawat; (5) Catatan morbiditas upayakesehatan sekolah (UKS).

2. Investigasi kasusDEFINISI KASUS Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah didiagnosisdengan benar (valid). Peneliti outbreak mendefinisikan kasus dengan menggunakan seperangkatkriteria sebagai berikut: (1) Kriteria klinis (gejala, tanda, onset); (2) Kriteria epidemiologis (karakteris-tik orang yang terkena, tempat dan waktu terjadinya outbreak); (3) Kriteria laboratorium (hasilkultur dan waktu pemeriksaan) (Bres, 1986). Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya seragam. Definisi kasus yang bakudan seragam penting untuk memastikan bahwa setiap kasus didiagnosis dengan cara yang sama,konsisten, tidak tergantung pada siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di mana dan kapankasus tersebut terjadi. Definisi kasus yang baku memungkinkan dilakukannya perbandingan jumlahkasus penyakit yang terjadi di suatu waktu atau tempat dengan jumlah kasus yang terjadi di waktuatau tempat lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi kasus baku dapat dibandingkan jumlah kasusDemam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi pada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasuspada Februari 2010 di kota itu. Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang terjadipada Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di Jakarta. Dengan definisikasus standar, maka jika ditemukan perbedaan jumlah kasus maka merupakan perbedaan yangsesungguhnya, bukan karena perbedaan dalam mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan definisikasus seperti yang direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan pertukaran informasitentang kejadian penyakit-penyakit secara internasional.Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga mengalami penyakit akandimasukkan dalam salah satu klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasusdapat diklasifikasikan menjadi: (1) kasus suspek (suspected case, syndromic case), (2) kasus mungkin(probable case, presumptive case), dan (3) kasus pasti (confirmed case, definite case)

3. Investigasi kausa WAWANCARA DENGAN KASUS Intinya, tujuan wawancara dengan kasus dan nara sumber terkaitkasus adalah untuk menemukan kausa outbreak. Dengan menggunakan kuesioner dan formulirbaku, peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan wawancara dan doku-mentasi untuk memperoleh informasi berikut: (1) Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jikaada); (2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan); (3) Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa; (4)Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi

Page 7: Tutorial

kasus, catat tanggal onset gejalauntuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6) Pelapor(berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil investigasi). Pemeriksaan klinisulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar(misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium).Informasi tentang masing-masing kasus yang diwawancara/ ditemui dimasukkan dalam“tabel outbreak” (=line listing). Dalam tabel outbreak, variabel-variabel tentang informasi kasusdiletakkan pada kolom, sedang urutan kasus diletakkan pada baris. Ikhtisar informasi tentang kasusyang dicatat dalam tabel outbreak berguna untuk merumuskan teori/ hipotesis tentang sumber,kausa, dan cara penyebaran penyakit.

4. Melakukan pencegahan dan pengendalian Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk mata tentang kausa, sumber, dancara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya segera dilakukan, tidak perlu melakukan studianalitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin cepat respons pengendalian, makin besar peluangkeberhasilan pengendalian. Makin lambat repons pengendalian, makin sulit upaya pengendalian,makin kecil peluang keberhasilan pengendalian, makin sedikit kasus baru yang bisa dicegah.Prinsip intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut: (1) Mengeliminasi sumberpatogen; (2) Memblokade proses transmisi; (3) Mengeliminasi kerentanan (Greenberg et al., 2005;Aragon et al., 2007). Sedang eliminasi sumber patogen mencakup: (1) Eliminasi atau inaktivasi pato-gen; (2) Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction); (3) Pengurangan kontakantara penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan seba-gainya); (4) Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan, memasak dagingdengan benar, dan sebagainya); (5) Pengobatan kasus.Blokade proses transmisi mencakup: (1) Penggunaan peralatan pelindung perseorangan(masker, kacamata, jas, sarung tangan, respirator); (2) Disinfeksi/ sinar ultraviolet; (3) Pertukaranudara/ dilusi; (4) Penggunaan filter efektif untuk menyaring partikulat udara; (5) Pengendalianvektor (penyemprotan insektisida nyamuk Anopheles, pengasapan nyamuk Aedes aegypti,penggunaan kelambu berinsektisida, larvasida, dan sebagainya).Eliminasi kerentanan penjamu (host susceptibility) mencakup: (1) Vaksinasi; (2) Pengobatan(profilaksis, presumtif); (3) Isolasi orang-orang atau komunitas tak terpapar (“reverse isolation”); (4)Penjagaan jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).

5. Melakukan studi analitik (jika perlu) Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada teka-teki menyangkut sejumlahkandidat agen penyebab. Fakta yang diperoleh dari investigasi kasus dan investigasi kausa kadangbelum memadai untuk mengungkapkan sumber dan kausa outbreak. Jika situasi itu yang terjadi,maka peneliti perlu melakukan studi analitik yang lebih formal. Desain yang digunakan lazimnyaadalah studi kasus kontrol atau studi kohor retrospektif. Seperti desain studi epidemiologi analitiklainnya, studi analitik untuk investigasi outbreak mencakup: (1) pertanyaan penelitian; (2) signi-fikansi penelitian; (3) desain studi;

Page 8: Tutorial

(4) subjek; (5) variabel-variabel; (6) pendekatan analisis data; (7)interpretasi dan kesimpulan.Contoh, 75 orang menghadiri sebuah acara kenduri di sebuah desa. Terdapat 5 jenismakanan dihidangkan. Esok harinya mulai berjatuhan sejumlah kasus penyakit, sehingga disimpul-kan terjadi outbreak karena makanan terkontaminasi (foodborne disease). Makanan mana dari ke 4jenis tersebut yang mengandung agen kausal dan merupakan penyebab outbreak? Karena sebagianbesar kasus telah terjadi, maka peneliti melakukan studi kohor retrospektif untuk menjawab perta-nyaan tersebut. Data yang dikumpulkan disajikan dalam

6. Mengkomunikasikan temuan Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada berbagai pihak pemangkukepentingan kesehatan masyarakat. Dengan tingkat rincian yang bervariasi, pihak-pihak yang perludiberitahu tentang hasil penyelidikan outbreak mencakup pejabat kesehatan masyarakat setempat,pejabat pembuat kebijakan dan pengambil keputusan kesehatan, petugas fasilitas pelayanankesehatan, pemberi informasi peningkatan kasus, keluarga kasus, tokoh masyarakat, dan media.Penyajian hasil investigasi dilakukan secara lisan maupun tertulis (laporan awal dan laporan akhir).Pejabat dinas kesehatan yang berwewenang hendaknya hadir pada penyajian hasil investigasioutbreak. Temuan-temuan disampaikan dengan bahasa yang jelas, objektif dan ilmiah, dengankesimpulan dan rekomendasi yang dapat dipertanggungjawabkan.Peneliti outbreak memberikan laporan tertulis dengan format yang lazim, terdiri dari: (1)introduksi, (2) latar belakang, (3) metode, (4) hasil-hasil, (5) pembahasan, (6) kesimpulan, dan (7)rekomendasi. Laporan tersebut mencakup langkah pencegahan dan pengendalian, catatan kinerjasistem kesehatan, dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang berguna jika terjadisituasi serupa di masa mendatang

7. Mengevaluasi dan meneruskan surveilans Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan peneliti outbreak perlumelakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi berbagai kelemahan program maupun defisiensiinfrastruktur dalam sistem kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya perubahan-perubahan yang lebih mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem kesehatan, termasuksurveilans itu sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan identifikasi populasi-populasi yangterabaikan atau terpinggirkan, kegagalan strategi intervensi, mutasi agen infeksi, ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kelaziman dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap kejadianoutbreak memberi kesempatan kepada penyelidik untuk mempelajari kekurangan-kekurangandalam investigasi outbreak yang telah dilakukan, dan kelemahan-kelemahan dalam sistemkesehatan, untuk diperbaiki secara sistematis di masa mendatang, sehingga dapat mencegahterulangnya outbreak.

Page 9: Tutorial

Widoyono.2005.Penyakit Tropis Epidemiologi Penularan dan Pemberantasannya.Erlanggga: Jakarta.

Iskandar,Nurbaiti,dkk.editor;Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2000.Hal 177-178.

Bustan, M.N.2006. Pengantar Epidemiologi, Edisi Revisi. Rineka Cipta: Jakarta.

Nasri, Noor,1997. Dasar Epidemiologi. Rineka Cipta: Jakarta

K.J.Rothman, Modern Epidemiology.Boston: Little, Brown (1982)

D.G. Kleinbaum, L.L. Kupper and H. Morgenstern, Epidemiologic Research: Principleand Quantitative Methods. New York: Van Nostrand Reinhold (2002)

Achenbach TM, Ruffle TM. The child behavior checklist and relatedforms for assessing behavioral/emotional problems andcompetencies. Pediatr Rev. 2000;21:265-71

Duffy ME, Jacobsen BS (2001). Univariate descriptive statistics. In: Barbara Hazard Munro (ed.):Statistical methods for health care research. Philadelphia, PA: Lippincott

DepKes (2004). Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479/MenKes/SK/X/2003, tentang pedomanpenyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi penyakit menular dan penyakit tidak menularterpadu. Jakarta: DepKes RI.