Tutorial
description
Transcript of Tutorial
TUTORIAL
PENURUNAN KESADARAN
Stase Ilmu Bedah
RSUD Cianjur
Pembimbing: dr. H. Asep Tajul M., Sp. B
DISUSUN OLEH
Ayu Witia Ningrum, S. Ked (20077300)
Sidgi, S. Ked (2007730114)
Nur Fadhilla Adhhiya, S. Ked (2008730097)
M. Jordan Sihotang, S. Ked (2008730090)
Rusda, S. Ked (2007730076)
Agnestia Ayu Utami, S. Ked (2008730046)
Siti Mulyati, S. Ked (20087300
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat-Nya kami sebagai penyusun dapat menyelesaikan laporan tutorial “Penurunan
Kesadaran” ini dengan semaksimal mungkin dan dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Penyusun membuat laporan ini sebagai salah satu tugas kelompok dalam masa
Kepaniteraan Klinik stase Bedah di Rumah Sakit Umum Daerah Cianjur. Kami sadar, tiada
gading yang tak retak, di dalam laporan ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu,
kam mohon maaf dan koreksi yang membangun terhadap laporan tugas tutorial ini. Dan
tentunya, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun atas kekurangan tersebut.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada
Dokter Pembimbing, dr. H. Asep Tajul M., Sp. B,. Kami harap laporan tugas tutorial
“Penurunan Kesadaran” ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Cianjur, Oktober 2012
Penyusun
BAB I
SKENARIO
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.A
Umur : 48 tahun
Pekerjaan : IRT
ANAMNESIS
KU : kesadaran menurun sejak 2 hari SMRS
RPS :Os datang dengan keluhan kesadaran menurun sejak 2 hari SMRS tidur dan
mengigau, tidak ada riwayat trauma, os mengeluh demam sejak 1 bulan SMRS,demam
dirasakan terus menerus 3 hari SMRS disertai dengan menggigil, os juga mengeluh BAB
3 kali sehari lembek, jumlahnya sedikit,darah(-),lendir(-), berwarna kuning pucat . BAK
seperti teh tua,jumlahnya biasa ,tidak ada keluhan nyeri saat BAK, os mengatakan jarang
minum air putih. Os juga mengeluh nyeri perut bagian atas sejak 2 bulan SMRS,nyeri
dirasakan menjalar sampai kepunggung,nyeri dirasakan hilang timbul.os mengeluh setiap
kali makan makanan berlemak nyeri timbul.
Os tampak kuning sejak 3 minggu SMRS, matanya tampak kuning, os juga terlihat pucat
dan gatal-gatal pada kulit. Tidak ada riw. trauma
Riwayat Penyakit Dahulu :
Belum pernah mengalami gejala kuning (-)
Riwayat kelainan darah
Riwayat penyakit Maag (+)
Riwayat operasi kutil (+)
Riwayat HT, DM disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada yang memiliki keluhan yang sama
Riwayat kelainan darah (-)
Riwayat penyakit kuning dalam keluarga (-)
Riwayat Pengobatan :
Os sering mengkonsumsi obat maag
Riwayat Makanan :
OS setiap harinya hanya makan nasi dan Garam
Riwayat Alergi :
suhu , makanan , obat, debu disangkal
Riwayat Psikososial
os merupakan ibu rumah tangga yang sehari hari bekerja dirumah, mengkonsumsi
minuman beralkohol (-)
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : GCS 13-14
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah :90/60 mmHg
Nadi : 120x/menit
Pernapasan : 24x/menit
Suhu : 35° C
Kepala : normochepal,rambut tidak rontok
Mata : pupil bulat isokhor, anemis (-), sklera ikterik (+/+).
Status Lokalis
Hidung : deformitas (-), sekret (-)/(-),epistaksis (-)/(-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Dada :
Paru
Inspeksi : simetris dan retraksi (–).
Palpasi : nyeri tekan -/-,vacal fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : destra (sonor) kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler +/+ , ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inpeksi : iktuskordis tidak terlihat
Palpasi : iktuskordis teraba di ICS 5
Auskultasi : bunyi jantung I dan II regular.
Perkusi : Batas kanan jantung di ICS V linea parasternal dextra, Batas kiri jantung di
ICS V linea mid clavicula sinistra
Abdomen :
Inspeksi : perut datar supel,skar (-), caput medussa (-), jejas (-)
Auskultasi : BU dalam batas normal
Palpasi : nyeri tekan epigastrium(-), Murphy sign (+),turgor baik, hepar
teraba 3 jari dibawah arkus koste, dan lien tidak teraba pembesaran, nyeri tekan kanan
atas, Massa (-), Jejas (-)
Perkusi : pekak (+) perut kanan atas, shifting dullness (+)
Tes Asites : shifting dullness (-)
- Ekstremitas Atas :
Akral : Hangat
RCT : 1 detik
- Ekstremitas Bawah :
Akral : Hangat
Edema : (-)
RCT : 1 detik
Nadi kaki : kuat angkat
- Inguinal : Pembesaran kelenjar Inguinal (-)
- Rectal Toucher :
Sfingter ani kontraksi baik, mukosa rectum teraba smooth tidak berbenjol-benjol, tidak teraba adanya massa atau benjolan di jam 1, 3, 6, 9, 12. Pole tidak teraba. Pada handschoon terlihat lendir, tidak ada kotoran.
RESUME
Wanita 48 th IRT datang dengan keluhan Penurunan kesadaran sejak 2 hari SMRS, demam(+) sejak 1
bulan, terus menerus, menggigil, BAB 3 kali lembek, jumlah sedikit, BAK seperti teh tua, pasien jarang
minum air putih. nyeri perut atas,menembus sampai kepunggung,dirasakan hilang timbul. setiap kali
makan perut terasa sakit.
Pada pemeriksaan fisik
KU : tampak sakit berat
GCS : 13-14
TTV àTD 90/60 mmHg
Nadi 120 x/menit
RR 24 x/menit
Suhu 350 C
Ditemukan sklera ikterik, warna kulit ikterik, nyeri tekan diperut kanan atas (+), pembesaran hepar tiga
jari dibawah arcus costae, tumpul, murphy sign(+). Ekstremitas atas dan bawah akral dingin
DIFFERENTIAL DIAGNOSA :
1) Ikterus obstruktif e.c susp choledokolithiasis dengan tanda-tanda kolangitis
2) Hepatitis fulminan
3) Pankreatitis akut
4) Sirosis hepatis
RENCANA PEMERIKSAAN
Laboratorium
Darah rutin ( Leukosit, Hb, Ht, Trombosit)
Bilirubin total, bilirubin direct, bilirubin indirect
SGOT & SGPT
Ureum, kreatinin
Kolesterol, protein, ratio albumin/globulin, GDS
Fosfatase alkali, aminotransminase, gamma glutamil transferase
HBsAg
Urinalisa rutin
feses
Imaging Studies
USG hepatobilier
ERCP (endoskopic retrograd colangiopankreatikografi)
PTC (percutaneus transhepatic cholangiography)
DIAGNOSIS
1. Ikterus obstruktif e.c Susp Choledokolitiasis dengan tanda-tanda Kolangitis
TATALAKSANA
A. Resusuitasi Awal
1. Resusitasi awal pada pasien selama 6 jam setelah diagnosis ditegakkan. Jangan ditunda, dengan menunggu pasien masuk ICU. Tujuan resusitasi awal sepsis akibat hipoperfusi harus mencakup semua hal berikut sebagai salah satu bagian dari protokol pengobatan:
Tekanan venasentral 8 -12 mmHg
Tekanan artrri rata-rata / Mean arterial preassure (MAP) ≥ 65 mmHg
Output urine ≥ 0,5 mL/Kg/1 jam
Vena sentral (vena kava superior) atau saturasi oksigen vena campuran ≥ 70% atau ≥ 65%
2. Selama 6 jam pertama resusitasi sepsis berat atau syok septik, jika Scvo2 atau SV ¯ O2 70% atau 65%, masing-masing tidak dicapai dengan resusitasi cairan dengan vena sentral sebagai targetnya, maka harus diberikan transfusi sel darah merah untuk mencapai hematokrit 30% dan / atau pemberian infus dobutamin ( maksimum 20 g /kg/min).
B. Diagnosis
1. Pemeriksaan kultur darah sebelu terapi antibiotik (untuk identifikasi organisme penyebab) minimal diambil dari 2 tempat, perkutan dan dari lokasi lain di jalur vascular. Kultur dari urin, cairan serebrospinal, luka, secret/dahak, atau cairan tubuh lain yang dapat menjadi sumber infeksi juga harus diperoleh sebelum terapi antibiotik, jika tidak terkait dengan penundaan yang signifikan dalam pemberian antibiotik.
2. Studi pencitraan dilakukan segera untuk mengkonfirmasi potensi sumber infeksi. Tapi pada beberapa pasien mungkin tidak terlalu stabil untuk menjamin prosedur di luar ICU, maka diganti dengan pemeriksaan USG.
C. Terapi Antibiotik
1. Pemberian terapi antibiotik intravena harus diberikan secepatnya ( dalam 1 jam setelah didiagnosa). Hasil kultur darah yang tepat harus sudah diperoleh sebelum pemberian antibiotik, tapi tidak menghambat dalam pemberian antibiotik yang cepat.
2. - Pemberian anti infeksi awal secara empiris, harus memiliki efek terhadap semua patogen (bakteri atau jamur), yang mungkin menjadi sumber sepsis ( riwayat alergi obat, penyakit yang mendasari, sindrom klinis, pola kerentanan pathogen di masyarakat atau di rumah sakit). Antibiotik yang terakhir diminum harus dihindari.
- Peninjauan ulang resimen antimikroba setiap hari, untuk mengoptimalkan aktifitas obat dan mencegah resisten, serta untuk mengurangi toksisitasnya.
3. Durasi pemberian antibiotik 7-10 hari, terutama untuk pasien yang memiliki respon klinis lambat, system imun yang menurun, terutama pada neutropenia.
4. Jika sindrom klinis yang nampak ternyata disebabkan oleh factor non infeksi, maka pemberian antibiotik harus dihentikan segera untuk meminimalkan kemungkina pasien menjadi terinfeksi oleh pathogen yang resisten terhadap anti mikroba atau efek samping obat. Biasanyakultur darah akan negatif dalam 50% kasus sepsis berat atau syok septik. Banyak kasus yang disebabkan oleh bakteri atau jamur. Dengan demikian, keputusan untuk melanjutkan, mempersempit, atau menghentikan terapi antimikroba harus dibuat berdasarkan penilaian dan informasi klinis.
D. Terapi Cairan
1. Resusitasi cairan dengan koloid atau kristaloid. Tidak ada dukungan evidencebased untuk satu jenis cairan di atas yang lain.
2. Target awal resusitasi cairan adalah tekanan vena sentral 8 mmHg (12 mmHg pada pasien ventilasi mekanik). Terapi cairan lebih lanjut sering diperlukan.
E. Vasopressors
1. Sebaiknya tekanan arteri rata-rata (MAP) dipertahankan 65 mmHg. Terapi vasopressor diperlukan untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan perfusi kerita terjadi hipotensi, bahkan ketika hipovolemia masih ada.
2. Norepinefrin atau dopamin sebagai agen vasopressor pilihan pertama untuk memperbaiki hipotensi pada syok septik (diberikan melalui kateter sentral).
3. Sebaiknya dopamin dosis rendah tidak digunakan untuk alasan perlindungan ginjal. Sebuah uji coba besar secara acak dan meta-analisis membandingkan dosis rendah dopamin dengan plasebo tidak menemukan hasil yang berbeda.
4. Pasien yang memerlukan vasopressors harus memiliki kateter arteri, agar pengobatan lebih praktis.
F. Terapi Inotropik
1. Sebaiknya pemasukan dobutamin diberikan terdapat disfungsi jantung, seperti peningkatan tekanan pengisian jantung atau cardiac output rendah.
2. Untuk meningkatkan indeks jantung ke tingkat diatas normal. Dobutamin adalah inotrope firstchoice untuk pasien dengan atau diduga curah jantung rendah. Pasien sepsis yang tetap hipotensi setelah resusitasi cairan mungkin output jantung rendah, normal, atau meningkat. Oleh karena itu,pengobatan dengan kombinasi inotrope / vasopresor, seperti norepinefrin atau dopamin, disarankan jika curah jantung tidak dapat diukur.
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANATOMI
1. Hepar
Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh, beratnya sekitar 1500 gram. Hepar berada di rongga abdomen kanan atas di bawah diafragma dan dilindungi oleh tulang rusuk. Ini adalah cokelat kemerahan dan dikelilingi oleh selubung fibrosa yang dikenal sebagai kapsul Glisson. Hepar ditopang oleh beberapa ligamen. Round ligamentum adalah sisa dari vena umbilikalis yang mengalami obliterasi dan memasuki hilus hepar kiri di tepi depan ligamentum falsiformis. Ligamentum falsiformis memisahkan segmen kiri lateral dan medial kiri sepanjang fisura umbilikus dan jangkar hati ke dinding anterior abdomen. Di antara lobus kaudatus dan segmen lateral kiri terdapat ligamentum venosum fibrosa, yang merupakan obliterasi dari duktus venosus dan ditutupi oleh piringan Arantius.
Ligamen triangular kiri dan kanan mengamankan dua sisi dari hepar ke diafragma. Yang meluas dari ligamen triangular anterior pada hati adalah ligamentum koronaria. Ligamentum koronaria kanan juga memanjang dari permukaan bawah kanan hepar ke peritoneum yang melapisi ginjal kanan, sehingga anchoring hati ke retroperitoneum tepat. Ligamen ini berbentuk bulat, falsiformis, segitiga, dan koroner. Dari tengah dan sebelah kiri fosa kandung empedu, hepar menempel melalui hepatoduodenal dan ligamen gastrohepatika. Ligamentum hepatoduodenal dikenal sebagai porta hepatika dan berisi saluran empedu, arteri hepatika, dan vena portal. Dari sisi kanan dan dalam (dorsal) ke porta hepatika terdapat Foramen Winslow, yang juga dikenal sebagai foramen epiploika.
Duktus Biliaris dan Duktus Hepatikus
Dalam ligamentum hepatoduodenal, saluran empedu terletak di anterior dan kanan. Ini menghubungkan duktus sistikus ke kantong empedu dan menjadi duktus hepatika sebelum terbagi menjadi duktus hepatika kanan dan kiri. Secara umum, duktus hepatika mengikuti pola percabangan arterial di dalam hati. Bifurkasio dari duktus hepatika dekstra anterior biasanya memasuki hati di atas hilus, sedangkan duktus posterior berada di belakang vena porta kanan dan dapat ditemukan pada permukaan prosessus kaudatus sebelum memasuki hepar. Duktus hepatika kiri biasanya memiliki jarak ekstrahepatik yang lebih panjang sebelum memberikan cabang-cabang segmental dibalik vena portal kiri di dasar fissure umbilikus.
3. Kandung Empedu
Kandung empedu adalah kantung berbentuk buah pir, sekitar 7 sampai 10 cm panjang, dengan kapasitas rata-rata 30 sampai 50 mL. Ketika terjadi obstruksi, kantong empedu dapat melebar hingga berkapasitas 300 mL.
Kandung empedu terletak di fosa pada permukaan inferior dari hepar. Kandung empedu dibagi menjadi empat bidang anatomi: fundus, korpus (tubuh), infundibulum, dan leher. Fundus berbentuk bulat, buntu, yang biasanya dapat meluas 1 sampai 2 cm diluar dari batas hepar. Korpus memanjang dari fundus dan meruncing ke leher kandung empeu, berbentuk corong yang berhubungan dengan duktus sistikus. Leher kandung empedu terletak pada bagian dalam dari fosa kandung empedu dan meluas ke bagian bebas dari ligamentum hepatoduodenal
Bagian anterior kandung empedu : a = duktus hepatic kanan; b = duktus hepatic kiri; c = duktus hepatic umum; d = vena portal; e = arteri hepatika; f = arteri gatroduodenal; g = arteri gastrika kiri; h = duktus biliaris umum; i = fundus kandung empedu ; j = body of gallbladder; k = infundibulum; l = duktus sistikus; m = arteri sistikus; n = arteri pancreaticoduodenal superior
4. Duktus Biliaris
Saluran empedu ekstrahepatik terdiri dari duktus hepatika kanan dan kiri, duktus hepatik umum, duktus sistikus, dan duktus biliaris komunis (duktus choledochus). Duktus biliaris umum memasuki bagian kedua dari duodenum melalui sfingter Oddi. Duktus hepatika kiri lebih panjang daripada sisi kanan dan memiliki kecenderungan lebih besar untuk terjadinya dilatasi sebagai konsekuensi dari obstruksi bagian distal. Kedua saluran bergabung untuk membentuk duktus hepatika umum. Duktus hepatika umum memiliki panjang 1 sampai 4 cm dan memiliki diameter sekitar 4 mm. Terletak di depan vena portal dan sebelah kanan dari arteri hepatica.
B. FISIOLOGI
1. Fisiologi Hepar
Hepar adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dan memiliki fungsi yang luar biasa. Terdiri dari banyak fungsi seperti fungsi penyimpanan, fungsi metabolisme, fungsi produksi, dan fungsi sekresi. Salah satu peran penting adalah pengolahan nutrisi yang diserap melalui metabolisme glukosa, lipid, dan protein. Hepar mempertahankan konsentrasi glukosa dalam kisaran normal selama periode panjang dan pendek dengan melakukan beberapa peran penting dalam metabolisme karbohidrat. Dalam keadaan puasa, hepar memastikan kecukupan pasokan glukosa ke saraf pusat sistem. Hepar dapat menghasilkan glukosa dengan memecah glikogen melalui glikogenolisis dan oleh sintesis de novo dari glukosa melalui proses glukoneogenesis dari prekursor non-karbohidrat seperti laktat, asam amino, dan gliserol. Dalam keadaan postprandial, kelebihan glukosa yang beredar dihapus oleh sintesis glikogen atau glikolisis dan lipogenesis. Hepar juga memainkan peran sentral dalam metabolisme lipid melalui pembentukan empedu dan produksi kolesterol dan asam lemak. Terjadinya metabolisme protein di hepar melalui proses deaminasi asam amino yang dihasilkan dalam produksi amonia serta produksi dari berbagai protein. Selain metabolisme, hepar juga bertanggung jawab dalam sintesis protein plasma. Di antaranya protein albumin, faktor pembekuan dan sistem fibrinolitik, dan senyawa dari kaskade. Selanjutnya, detoksifikasi banyak zat misalnya metabolisme obat-obatan terjadi di hepar.
Cairan Empedu
Empedu adalah cairan kompleks yang mengandung zat organik dan anorganik terlarut dalam larutan alkali yang mengalir dari hepar melalui sistem bilier dan masuk ke dalam usus halus. Komponen utama dari empedu adalah air, elektrolit, dan berbagai molekul organik, termasuk pigmen empedu, garam empedu, fosfolipid (lesitin), dan kolesterol.
Kedua peran fundamental empedu adalah untuk membantu pencernaan, penyerapan lipid dan lemak-vitamin yang larut dan menghilangkan produk buangan misalnya bilirubin dan kolesterol, melalui sekresi empedu dan eliminasi dalam feses. Empedu diproduksi oleh sel hepatosit dan disekresi melalui sistem biliaris. Di antara waktu makan, empedu disimpan dalam kantong empedu dan terkonsentrasi melalui penyerapan air dan elektrolit. Setelah masuknya makanan ke dalam duodenum, empedu dilepaskan dari kantong empedu untuk membantu pencernaan. Sekitar 1 L empedu dapat diproduksi oleh hepar manusia sehari-hari. Namun, lebih dari 95% dari garam empedu disekresikan dalam empedu diserap dalam usus dan kemudian dikeluarkan lagi oleh hepar (sirkulasi enterohepatik).
Garam empedu, dalam hubungannya dengan fosfolipid, bertanggung jawab untuk pencernaan dan penyerapan lemak di usus halus. Garam empedu terdiri dari natrium dan garam kalium dari asam empedu yang terkonjugasi oleh asam amino. Asam empedu adalah derivat dari kolesterol yang disintesis di hepatosit. Kolesterol, dicerna dari makanan atau berasal dari sintesis hati, diubah menjadi asam cholic empedu dan asam Chenodeoxycholic. Asam-asam empedu
terkonjugasi oleh glisin atau taurin sebelum disekresikan ke dalam sistem biliaris. Bakteri dalam usus dapat menghapus glisin dan taurin dari garam empedu. Mereka juga dapat mengubah beberapa asam empedu primer menjadi asam empedu sekunder dengan menghapus kelompok hidroksil, memproduksi deoxycholik dari asam kolat, dan lithocholik dari asam Chenodeoxycholik.
Garam empedu disekresikan ke dalam usus secara efisien diserap dan digunakan kembali. Sekitar 90 sampai 95% dari garam empedu diserap dari usus kecil di ileum terminal. The 5 sampai 10% sisanya masuk usus besar dan diubah menjadi garam sekunder asam deoxycholicdan lithocholic asam. Campuran garam empedu primer dan sekunder dan asam empedu diserap gherutama oleh transpor aktif di terminal ileum. Garam-garam empedu diserap diangkut kembali ke hati dalam vena portal dan kembali diekskresikan dalam empedu. Mereka hilang dalam feses adalah digantikan oleh sintesis dalam hati. Proses terus-menerus sekresi garam empedu dalam empedu, perjalanan mereka melalui usus, dankembalinya ke hati disebut sirkulasi enterohepatik
2. Fisiologi Kandung Empedu
a. Absorpsi dan Ekskresi
Dalam keadaan puasa, sekitar 80% dari empedu disekresikan oleh hati disimpan dalam kandung empedu. Penyimpanan ini dibuat mungkin karena kapasitas serap yang luar biasa dari kandung empedu, kandung empedu sebagai mukosa memiliki daya serap terbesar per satuan luas dari setiap struktur dalam tubuh. Cepat menyerap natrium, klorida, dan air melawan gradien konsentrasi yang signifikan, berkonsentrasi empedu sebanyak 10 kali lipat dan menyebabkan perubahan yang nyata dalam komposisi empedu. Absorpsi yang cepat ini adalah satu mekanisme yang mencegah kenaikan tekanan dalam sistem empedu di bawah kondisi normal. Relaksasi bertahap serta pengosongan kandung empedu selama periode puasa juga memainkan peran dalam mempertahankan tekanan intraluminal relatif yang rendah pada kandung empedu.
Sel-sel epitel kantong empedu mengeluarkan setidaknya dua produk penting ke dalam lumen kandung empedu yaitu glikoprotein dan ion hidrogen. Mukosa kelenjar empedu di infundibulum dan leher kandung empedu mensekresikan mukus glikoprotein yang dipercaya untuk melindungi mukosa dari aksi litik dari empedu dan menbantu pasase empedu melalui duktus sistikus. Transpor ion hidrogen oleh epitel kandung empedu menyebabkan penurunan pH pada kandung empedu.
b. Fungsi Motorik
Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik pada sfingter Oddi, yang menciptakan gradien tekanan antara saluran empedu dan kandung empedu. Selama berpuasa, kandung empedu tidak hanya mengisi secara pasif. Kandung empedu berulang kali
mengosongkan volume kecil empedu ke duodenum. Proses ini dimediasi setidaknya sebagian oleh hormon motilin.
Respon terhadap makanan, kandung empedu mengosongkan dirinya oleh koordinasi antara respon motorik kontraksi kandung empedu dan relaksasi sfingter Oddi. Salah satu rangsangan utama untuk mengosongkan kandung empedu adalah hormon cholecystokinin (CCK). CCK dilepaskan secara endogen dari mukosa duodenum terhadap respon makanan. Bila dirangsang dengan makanan, pengosongan kandung empedu 50 sampai 70% dari isinya dalam waktu 30 sampai 40 menit. Selama 60 sampai 90 menit berikutnya, kandung empedu secara bertahap melakukan isi ulang. Hal ini berkorelasi dengan tingkat CCK berkurang. Jalur hormonal dan saraf juga terlibat dalam aksi terkoordinasi dari kandung empedu dan sfingter Oddi.
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah produk katabolisme heme kerusakan normal. Bilirubin terikat pada albumin dalam sirkulasi dan dikirim ke hati. Dalam hepar, itu adalah konjugasi asam glukuronat dalam reaksi dikatalisis oleh enzim transferase glucuronyl, yang membuatnya larut dalam air. Setiap molekul bilirubin bereaksi dengan dua molekul asam diphosphoglucuronic uridin untuk membentuk bilirubin diglucuronide. Glukuronida ini kemudian diekskresikan ke dalam empedu canaliculi. Sejumlah kecil bilirubin glukuronida lolos ke dalam darah dan kemudian diekskresikan dalam urin. Para sebagian bilirubin terkonjugasi diekskresikan dalam usus sebagai limbah, karena mukosa usus yang relatif tidak permeabel terhadap terkonjugasibilirubin. Namun, bilirubin tak terkonjugasi permeabel terhadap dan urobilinogens, serangkaian derivatif bilirubin dibentuk oleh aksi bakteri. Dengan demikian, beberapa bilirubin dan urobilinogens diserap dalam sirkulasi portal, mereka kembali diekskresikan oleh hati atau masukkan sirkulasi dan diekskresikan dalam urin
C. PATOFISIOLOGI
Ikterus (jaundice) adalah hasil dari akumulasi bilirubin yang merupakan produk dari metabolism heme, di dalam jaringan tubuh. Hiperbilirubinemia menunjukkan abnormalitas pada formasi, transpor, metabolism dan ekskresi dari bilirubin. Total dari bilirubin serum normalnya 0,2-1,2 mg/dL.
Tipe Hiperbilirubinemia Lokasi dan Penyebab
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi Peningkatan produksi bilirubin, sebabnya : anemia hemolitik, hematoma, infark pulmonal
Impaired bilirubi uptake and storage, sebabnya : hiperbilirubinemia post-
hepatitis, reaksi obat-obatan, sindrom Gilbert
Hiperbilirubinemia Terkonjugasi Hereditary Cholestatic Syndrome
Gangguan ekskresi dari konjugasi bilirubin, sebabnya : sindrom Rotor
Disfungsi Hepatoseluler
Kerusakan epitel kandung empedu dan hepatosit, sebabnya : hepatitis, sirosis
hepatis
Cholestasis intrahepatik, sebabnya : sirosis biliaris, sepsis, ikterus post-
operatif
Kerusakan hepatoseluler atau cholestasis intrahepatik karena sebab yang tidak jelas, sebabnya : infeksi sphirochetal, cholangitis, limfoma
Obstruksi Biliaris
Choledocholitiasis, atresia biliaris, karsinoma duktus biliaris, cholangitis
akibat sklerosis, kista choledochal
Ikterus mengacu pada warna kekuningan pada kulit, sklera, dan selaput lendir dengan pigmen bilirubin. Hiperbilirubinemia adalah biasanya terdeteksi sebagai ikterus saat kadar dalam darah meningkat di atas 2,5 sampai dengan 3 mg / dL. Ikterus dapat disebabkan oleh berbagai kelainan baik yang jinak maupun yang ganas. Namun, saat terjadi, ikterus dapat menunjukkan kondisi yang serius, dan dengan demikian pengetahuan tentang diagnosis banding dari penyakit yang disebabkan ikterus dan pendekatan sistematis terhadap pasien diperlukan.
Temuan Klinis
1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi
Warna feses dan urin normal, terdapat ikterus ringa dan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi (indirek) tanpa bilirubin pada urin. Splenomegali terdapat pada kelainan hemolitik kecuali pada anemia sel sabit.
2. Hiperbilirubinemia terkonjugasi
a. Sindrom cholestatik herediter atau cholestasis intrahepatik
Pasien mungkin tanpa gejala (asimptomatis), cholestasis sering disertai dengan pruritus, feses warna terang dan ikterus.
b. Penyakit hepatoseluler
Malaise, anoreksia, demam subfebris, nyeri abdomen kuadran kanan atas yang hilang timbul. Urin berwarna gelap, ikterus, dan pada wanita disertai amenorrhea. Pembesaran hepar, spider navi, ascites, gynekomastia.
3. Obstruksi Biliaris
Nyeri abdomen kuadran kanan bawah, ikterus, urin berwarna gelap, feses berwarna terang. Gejala dan tanda dapat hilang timbul jika penyebabnya adalah batu, karsinoma pada ampulla, cholangiocarcinoma. Adanya darah samar pada feses menunjukkan kanker pada ampulla. Adanya hepatomegali dan kandung empedu teraba adalah karakteristiknya. Demam dan menggigil adalah gejala umum pada obstruksi dengan cholangitis.
Pendekatan terhadap pasien dengan ikterus dapat disederhanakan dengan mencari kemungkinan penyebab dari ikterus ke dalam kelompok berdasarkan lokasi metabolisme bilirubin. Seperti disebutkan sebelumnya, bilirubin metabolisme dapat berlangsung dalam tiga tahap: prehepatik, intrahepatik, dan posthepatik. Fase prehepatik mencakup produksi bilirubin dari pemecahan produk heme dan transportasi ke hati. Mayoritas hasil heme dari metabolism eritrosit dan sisanya dari heme yang mengandung senyawa organic lain seperti mioglobin dan sitokrom. Dalam hati, bilirubin larut tak terkonjugasi kemudian terkonjugasi menjadi asam
glukuronat untuk memungkinkan melarut dalam empedu dan diekskresikan. Fase posthepatik bilirubin terdiri dari ekskresi bilirubin larut melalui sistem bilier ke duodenum. Disfungsi dalam salah satu fase ini dapat menyebabkan ikterus.
1. Ikterus Prehepatik
Ikterus akibat peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi terjadi dari metabolisme prehepatik yang rusak dan biasanya timbul dari kondisi yang mengganggu konjugasi bilirubin yang tepat dalam sel hepatosit tersebut. Insufisiensi konjugasi sering terlihat dalam proses yang menghasilkan metabolisme heme yang berlebihan. Selanjutnya, sistem konjugasi ‘kebanjiran’, yang mengakibatkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Penyebab hemolisis misalnya dikarenakan faktor keturunan dan Anemia hemolitik didapat. Anemia hemolitik didapat meliputi gangguan genetik dari membran sel darah merah (sferositosis herediter), defek pada enzim (defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase ), dan defek pada struktur hemoglobin (sel sabit anemia dan thalassemia). Disfungsi prehepatik dari metabolisme bilirubin juga dapat berasal dari kegagalan dalam transportasi bilirubin tak terkonjugasi ke hati oleh albumin dalam kondisi apapun yang menyebabkan hilangnya protein plasma.1
2. Ikterus Intrahepatik
Penyebab ikterus intrahepatik melibatkan mekanisme intraseluler dalam proses konjugasi dan ekskresi empedu dari sel hepatosit. Proses enzimatik dalam sel hepatosit dapat dipengaruhi oleh kondisi apapun yang merusak aliran darah hepatik dan beberapa fungsi dari hepar (misalnya terjadinya iskemik atau hipoksia). Selain itu, ada beberapa kelainan bawaan dari metabolisme enzim yang dapat menghasilkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ataupun hiperbilirubinemia terkonjugasi. Virus, penyalahgunaan alkohol, sepsis, dan gangguan autoimun, kesemuanya dapat mengakibatkan peradangan pada hati dengan gangguan berikutnya bilirubin transportasi di hati. Selain itu, penyakit kuning juga dapat terjadi dariefek sitotoksik dari berbagai obat, termasuk asetaminofen, kontrasepsi oral, dan steroid anabolik.
3. Ikterus Post-Hepatik
Ikterus posthepatik biasanya akibat dari obstruksi intrinsik atau ekstrinsik dari sistem duktus biliaris yang mencegah aliran empedu ke duodenum. Ada spektrum yang luas dari patologi yang mungkin hadir dengan ikterus obstruktif. Obstruksi intrinsik dapat terjadi karena penyakit biliaris, termasuk cholelithiasis, choledocholithiasis, cholangitis, striktur bilier jinak dan ganas, cholangiocarcinoma. Kompresi ekstrinsik pada kandung empedu biasanya karena gangguan pankreas. Pasien dengan pankreatitis, pseudokista, dan keganasan dapat disertai dengan ikterus karena kompresi eksternal dari sistem biliaris.
D. BAKTERIOLOGI
Empedu biasanya steril. Dengan adanya kandung empedu atau batu saluran umum (CBD), bagaimanapun, insiden meningkat bactibilia. Organisme yang paling umum terisolasi dalam empedu adalah Escherichia coli (27%), spesies Klebsiella (16%), spesies Enterococcus (15%), Streptococcus (8%), spesies Enterobacter (7%), dan Pseudomonas aeruginosa (7%) . Organisme yang diisolasi dari kultur darah adalah serupa dengan yang ditemukan dalam empedu. Patogen yang paling umum terisolasi dalam kultur darah adalah E. coli (59%), spesies Klebsiella (16%), Pseudomonas aeruginosa (5%), dan spesies Enterococcus (4%). Selain itu, infeksi polymicrobial umumnya ditemukan pada kultur empedu (30-87%) dan kurang sering di kultur darah (6-16%).
CHOLANGITIS
1. Definisi
Kolangitis akut merupakan superimposa infeksi bakteri yang terjadi pada obstruksi
saluran bilier, terutama yang ditimbulkan oleh batu empedu, namun dapat pula ditimbulkan oleh
neoplasma ataupun striktur.
Pertama kali dikemukakan pada tahun 1877 oleh Charcot, ia mempostulatkan bahwa
penyakit ini berhubungan dengan proses patologi berupa obstruksi bilier dan infeksi bakteri.
Cholangitis merupakan salah satu komplikasi dari batu pada ductus choledochus.
Penyakit ini perlu diwaspadai karena insidensi batu empedu di Asia Tenggara cukup
tinggi, serta kecenderungan penyakit ini untuk terjadi pada pasien berusia lanjut, yang biasanya
memiliki penyakit penyerta yang lain yang dapat memperburuk kondisi dan mempersulit terapi.
Penting bagi dokter umum untuk mengetahui penyakit ini, agar dapat menegakkan
diagnosis secara tepat, melakukan penanganan pertama, memberikan penjelasan yang baik
kepada pasien, dan merujuk secara tepat.
2. Patogenesis
Faktor utama dalam patogenesis dari cholangitis akut adalah obstruksi saluran bilier,
peningkatan tekanan intraluminal, dan infeksi saluran empedu. Saluran bilier yang terkolonisasi
oleh bakteri namun tidak mengalami pada umumnya tidak akan menimbulkan cholangitis. Saat
ini dipercaya bahwa obstruksi saluran bilier menurunkan pertahanan antibakteri dari inang.
Walaupun mekanisme sejatinya masih belum jelas, dipercaya bahwa bakteria memperoleh akses
menuju saluran bilier secara retrograd melalui duodenum atau melalui darah dari vena porta.
Sebagai hasilnya, infeksi akan naik menuju ductus hepaticus, menimbulkan infeksi yang serius.
Peningkatan tekanan bilier akan mendorong infeksi menuju kanalikuli bilier, vena hepatica, dan
saluran limfatik perihepatik, yang akan menimbulkan bacteriemia (25%-40%). Infeksi dapat
bersifat supuratif pada saluran bilier.
Saluran bilier pada keadaan normal bersifat steril. Keberadaan batu pada kandung
empedu (cholecystolithiasis) atau pada ductus choledochus (choledocholithiasis) meningkatkan
insidensi bactibilia. Organisme paling umum yang dapat diisolasi dalam empedu adalah
Escherischia coli (27%), Spesies Klebsiella (16%), Spesies Enterococcus (15%), Spesies
Streptococcus (8%), Spesies Enterobacter (7%), dan spesies Pseudomonas aeruginosa (7%).
Organisme yang ditemukan pada kultur darah sama dengan yang ditemukan dalam empedu.
Patogen tersering yang dapat diisolasi dalam kultur darah adalah E coli (59%), spesies Klebsiella
(16%), Pseudomonas aeruginosa (5%) dan spesies Enterococcus (4%). Sebagai tambahan,
infeksi polimikrobial sering ditemukan pada kultur empedu (30-87%) namun lebih jarang
terdapat pada kultur darah (6-16%).
Saluran empedu hepatik bersifat steril, dan empedu pada saluran empedu tetap steril
karena terdapat aliran empedu yang kontinu dan keberadaan substansi antibakteri seberti
immunoglobulin. Hambatan mekanik terhadap aliran empedu memfasilitasi kontaminasi bakteri.
Kontaminasi bakteri dari saluran bilier saja tidak menimbulkan cholangitis secara klinis;
kombinasi dari kontaminasi bakteri signifikan dan obstruksi bilier diperlukan bagi terbentuknya
cholangitis.
Tekanan bilier normal berkisar antara 7 sampai 14 cm. Pada keadaan bactibilia dan
tekanan bilier yang normal, darah vena hepatica dan nodus limfatikus perihepatik bersifat steril,
namun apabila terdapat obstruksi parsial atau total, tekanan intrabilier akan meningkat sampai
18-29 cm H2O, dan organisme akan muncul secara cepat pada darah dan limfa. Demam dan
menggigil yang timbul pada cholangitis merupakan hasil dari bacteremia sistemik yang
ditimbulkan oleh refluks cholangiovenososus dan cholangiolimfatik.
Penyebab tersering dari obstruksi bilier adalah choledocholithiasis, striktur jinak, striktur
anastomosis bilier-enterik, dan cholangiocarcinoma atau karsinoma periampuler. Sebelum tahun
1980-an batu choledocholithiasis merupakan 80% penyebab kasus cholangitis yang tercatat
3. Insiden
Di Amerika Serikat, Cholangitis cukup jarang terjadi. Biasanya terjadi bersamaan dengan
penyakit lain yang menimbulkan obstruksi bilier dan bactibilia (misal: setelah prosedur ERCP, 1-
3% pasien mengalami cholangitis). Resiko tersebut meningkat apabila cairan pewarna
diinjeksikan secara retrograd.
Insidensi Internasional cholangitis adalah sebagai berikut. Cholangitis pyogenik rekuren,
kadangkala disebut sebagai cholangiohepatitis Oriental, endemik di Asia Tenggara. Kejadian ini
ditandai oleh infeksi saluran bilier berulang, pembentukan batu empedu intrahepatik dan
ekstrahepatik, abses hepar, dan dilatasi dan striktur dari saluran empedu intra dan ekstrahepatik.
Mortalitas dari cholangitis tinggi karena predisposisinya pada penderita dengan penyakit
penyerta yang lain. Pada zaman dahulu, tingkat mortalitasnya mencapai 100%. Dengan
ditemukannya Endoscopic retrograde cholangiography, sphincterotomy terapeutik secara
endoskopik, ekstraksi batu dan stenting bilier, tingkat mortalitas telah menurun sampai kira-kira
5-10%.
Pasien-pasien dengan karakteristik berikut berhubungan dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas yang lebih tinggi:
o Hipotensi
o Gagal ginjal akut
o Abses hepar
o Sirosis
o Inflammatory bowel disease
o Striktur karena malignansi
o Radiologic cholangitis – post percutaneus transhepatic cholangiography
o Jenis kelamin perempuan
o Usia lebih tua dari 50 tahu
o Kegagalan merespon terhadap terapi antibiotik dan konservatif.
Usia lanjut, masalah medis penyerta, dan keterlambatan dekompresi bilier meningkatkan
tingkat kematian operatif yang timbul (17-40%). Tingkat mortalitas dari pembedahan elektif
setelah stabilisasi keadaan pasien lebih rendah secara signifikan (kira-kira 3%). Pada masa lalu,
cholangitis suppurativa diduga meningkatkan morbiditas; namun, studi prospektif tidak
menunjukkan bahwa dugaan tersebut benar.
Cholangitis seringkali terjadi secara sekunder karena batu empedu yang mengobstruksi
ductus choledochus, oleh karena itu memiliki faktor resiko yang sama dengan cholelithiasis.
Prevalensi batu empedu tertinggi terdapat pada orang-orang berkulit terang keturunan Eropa
utara, juga pada populasi Hispanik, Suku-suku asli amerika, dan Indian Pima.
Sebagai tambahan, populasi Asia tertentu dan penduduk negara dimana insidensi parasit
intestinal tinggi juga memiliki resiko yang lebih tinggi. Orang Asia lebih mungkin memiliki batu
primer karena infeksi bilier kronis, parasit, stasis bilier, dan striktur bilier. Cholangitis pyogenik
Rekuren jarang terjadi di Amerika Serikat. Orang kulit hitam dengan penyakit sickle cell anemia
memiliki resiko yang lebih tinggi.
Walaupun batu empedu lebih sering terjadi pada wanita daripada pada pria, rasio pria-
wanita sama pada cholangitis.Pasien berusia lanjut dengan batu empedu asimtomatik lebih
mungkin mengalami komplikasi serius dan cholangitis. Cholangitis pada pasien tua yang datang
dengan sepsis dan perubahan status mental harus selalu dipikirkan, pasien tua lebih rentan
terhadap batu kandung empedu dan batu saluran empedu, dan oleh karena itu, cholangitis. Usia
median presentasi cholangitis adalah antara usia 50-60 tahun
4. Etiologi
Pada negara-negara barat, Choledocholithiasis merupakan penyebab utama cholangitis
akut, diikuti oleh ERCP dan tumor.
Setiap kondisi yang menimbulkan stasis atau obstruksi saluran bilier pada ductus
choledochus, termasuk striktur jinak atau ganas, infeksi parasit, ataupun kompresi ekstrinsik
yang ditimbulkan oleh pancreas, dapat menimbulkan infeksi bakteri dan cholangitis. Obstruksi
parsial memiliki tingkat infeksi yang lebih tinggi daripada infeksi komplit.
Batu saluran empedu merupakan predisposisi bagi cholangitis. Kira-kira 10-15% pasien
dengan cholecystitis memiliki choledocholithiasis, kira-kira 1% pasien pasca cholecystectomy
memiliki choledocholithiasis yang tersisa. Sebagian besar choledocholithiasis bersifat
simtomatik, sementara sebagian dapat bersifat asimtomatik selama bertahun-tahun.
Tumor yang bersifat obstruktif dapat menyebabkan cholangitis. Obstruksi parsial
berhubungan dengan peningkatan tingkat infeksi dibandingkan dengan obstruksi neoplastik total.
Tumor-tumor yang dapat menyebabkan cholangitis adalah:
o Kanker pancreas
o Cholangiocarcinoma
o Kanker ampulla vateri
o Tumor porta hepatis atau metastasis
Penyebab lain yang dapat menimbulkan cholangitis adalah:
o Striktur atau stenosis
o Manipulasi CBD secara endoskopik
o Choledochocele
o Sclerosing cholangitis (dari sklerosis bilier)
o AIDS cholangiopathy
o Infeksi cacing Ascaris lumbricoides.
5. Manifestasi Klinis
Pada tahun 1877, Charcot menjelaskan cholangitis sebagai “triad” yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik berupa: nyeri kuadran kanan atas, demam, dan Jaundice. Pentad Reynolds
menambahkan perubahan status mental dan sepsis pada triad tersebut. Terdapat berbagai
spektrum cholangitis, mulai dari gejala yang ringan sampai sepsis. Apabila terdapat shock septik,
diagnosis cholangitis mungkin dapat tidak terduga. Pikirkan cholangitis pada setiap pasien yang
nampak septik, terutama pada pasien-pasien tua, mengalami jaundice, atau yang mengalami
nyeri abdomen. Riwayat nyeri abdomen atau gejala kolik bilier dapat merupakan petunjuk bagi
penegakkan diagnosis.
Triad Charcot terdiri dari demam, nyeri abdomen kanan atas, dan Jaudice. Dilaporkan
terjadi pada 50%-70% pasien dengan cholangitis. Namun, penelitian yang dilakukan baru-baru
ini mengemukakan bahwa gejala tersebut terjadi pada 15%-20% pasien. Demam terjadi pada
kira-kira 90% kasus. Nyeri abdomen dan jaundice diduga terjadi pada 70% dan 60% pasien.
Pasien datang dengan perubahan status mental pada 10-20% kasus dan hipotensi terjadi pada
30% kasus. Tanda-tanda tersebut , digabungkan dengan triad Charcot, membentuk pentad
Reynolds.
Banyak pasien yang datang dengan ascending cholangitis tidak memiliki gejala-gejala
klasik tersebut. Sebagian besar pasien mengeluhkan nyeri pada abdomen kuadran lateral atas;
namun sebagian pasien (misal: pasien lansia) terlalu sakit untuk melokalisasi sumber infeksi.
Gejala-gejala lain yang dapat terjadi meliputi: Jaundice, demam, menggigil dan kekakuan
(rigors), nyeri abdomen, pruritus, tinja yang acholis atau hypocholis, dan malaise.
Riwayat medis pasien mungkin dapat membantu. Contohnya riwayat dari keadaan-
keadaan berikut dapat meningkatkan resiko cholangitis:
o Batu kandung empedu atau batu saluran empedu
o Pasca cholecystectomy
o Manipulasi endoscopik atau ERCP, cholangiogram
o Riwayat cholangitis sebelumnya
o Riwayat HIV atau AIDS: cholangitis yang berhubungan dengan AIDS memiliki ciri edema
bilier ekstrahepatik, ulserasi, dan obstruksi bilier. Etiologinya masih belum jelas namun dapat
berhubungan dengan cytomegalovirus atau infeksi Cryptosporidium. Penanganannya akan
dijelaskan di bawah, dekompresi biasanya tidak diperlukan.
Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, pasien dengan cholangitis nampak sakit cukup berat dan cukup sering
datang dalam keadaan shock septik tanpa sumber infeksi yang jelas.
Pemeriksaan fisik dapat ditemukan keadaan sebagai berikut:
o Demam (90%) walaupun pasien tua dapat tidak mengalami demam
o Nyeri abdomen kuadran lateral atas (65%)
o Hepatomegali ringan
o Jaundice (60%)
o Perubahan status mental (10-20%)
o Sepsis
o Hipotensi (30%)
o Takikardia
o Peritonitis (jarang terjadi, dan apabila terjadi, harus dicari diagnosis alternatif yang lain)
6. Pemeriksaan Penunjang
Uji Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin: Leukositosis: Pada pasien dengan cholangitis, 79% memiliki sel
darah putih melebihi 10.000/mL, dangan angka rata-rata 13.600. Pasien sepsis dapat leukopenik.
Pemeriksaan elektrolit dengan fungsi ginjal dapat dilakukan. Pemeriksaan kadar kalsium
darah diperlukan untuk memeriksa kemungkinan pancreatitis, yang dapat menimbulkan
hipokalsemia, dicurigai. Tes fungsi liver kemungkinan besar konsisten dengan keadaan
cholestasis, hiperbilirubinemia terdapat pada 88-100% pasien dan peningkatan kadar alkali
fosfatase pada 78% pasien. SGOT dan SGPT biasanya sedikit meningkat.
PTT dan aPTT biasanya tidak meningkat kecuali bila terdapat sepsis yang menimbulkan
Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) atau apabila terdapat sirosis pada pasien tersebut.
Pemeriksaan koagulasi tersebut diperlukan apabila pasien memerlukan intervensi operatif.
Golongan darah, screening darah dan crossmatch biasanya dilakukan apabila pasien memerlukan
cadangan darah untuk operasi.
Kadar C-reactive protein dan LED pada umumnya meningkat. Kultur darah (2 set):
antara 20% dan 30% kultur darah memberikan hasil yang positif, banyak diantaranya
menunjukkan infeksi polimikrobial
Hasil urinalisis biasanya normal
Lipase: keterlibatan ductus choledochus bagian bawah dapat menimbulkan pancreatitis
dan peningkatan kadar lipase. Sepertida dari pasien mengalami sedikit peningkatan pada kadar
lipase. Peningkatan enzim pankreas menunjukkan bahwa batu saluran empedu menimbulkan
cholangitis, dengan ataupun tanpa gallstone pancreatitis (pancreatitis yang disebabkan oleh batu
empedu). Kultur empedu: kultur empedu dilakukan apabila pasien mengalami drainase bilier
oleh interventional radiology atau endoscopy.
Studi Pencitraan
Studi pencitraan penting untuk mengkonfirmasi keberadaan dan penyebab obstruksi bilier
dan untuk menyingkirkan kondisi yang lain. Ultrasonografi dan CT scan merupakan pemeriksaan
yang paling sering dilakukan.
Ultrasonografi sangat baik untuk melihat batu empedu dan cholecystitis. Pemeriksaan ini
sangat sensitif dan spesifik untuk memeriksa kandung empedu dan menilai dilatasi saluran bilier,
namun pemeriksaan ini sering melewatkan batu yang terdapat pada ductus biliaris distal.
Ultrasonografi transabdominal merupakan pemeriksaan awal pilihan. Ultrasonografi
dapat membedakan obstruksi intrahepatik dari obstruksi ekstrahepatik dan memperlihatkan
dilatasi ductus. Pada sebuah penelitian, hanya 13% choledocholithiasis dapat diamati pada USG,
namun dilatasi CBD terdapat pada 64% kasus. Keuntungan USG adalah dapat dilakukan secara
cepat di UGD (dengan USG portabel), kemampuan untuk melihan struktur lain (aorta, pancreas,
liver), kemampuan untuk mengidentifikasi komplikasi (misal perforasi, empyema, abscess) dan
tidak terdapatnya resiko radiasi
Kerugian dari USG adalah hasil pemeriksaan yang bergantung pada kemampuan operator
dan pasien (kadar lemak pasien dll), tidak mampu untuk melihat ductus cysticus, dan penurunan
sensitivitas bagi batu saluran empedu distal. Hasil USG yang normal tidak dapat menyingkirkan
diagnosis cholangitis.
Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) merupakan pemeriksaan yang
bersifat diagnostik dan terapeutik, dan merupakan kriteria standar bagi pencitraan sistem bilier.
ERCP hanya dilakukan bagi pasien yang memerlukan intervensi terapeutik. Pasien dengan
kecurigaan klinis yang tinggi bagi cholangitis sebaiknya segera dilakukan ERCP. ERCP
memiliki tingkat keberhasilan yang besar (98%) dan dianggap lebih aman daripada intervensi
bedah dan percutaneus.
Penggunaan ERCP sebagai alat diagnostik memiliki tingkat komplikasi sebesar 1,38%
dan tingkat mortalitas sebesar 0,21%. Komplikasi utama dari ERCP terapeutik sebesar 5,4% dan
tingkat mortalitasnya sebesar 0,49%. Komplikasinya meliputi pancreatitis, perdarahan, dan
perforasi.
Pemeriksaan CT bersifat tambahan dan dapat menggantikan USG. CT helical atau spiral
dapat meningkatkan pencitraan saluran bilier. CT cholangiography mempergunakan zat kontras
yang diambil oleh hepatosit dan disekresi menuju saluran bilier. Hal ini meningkatkan
kemampuan untuk memvisualisasikan batu radioluscent dan meningkatkan tingkat deteksi dari
patologi bilier lain. Ductuc intrahepatik dan ekstrahepatik dan inflamasi saluran bilier dapat
terlihat pada CT scan. Batu empedu tidak dapat terlihat dengan baik pada CT Scan biasa,
Keuntungan dari CT adalah: Kemampuan untuk melihat proses patologis lain yang
merupakan penyebab ataupun komplikasi dari cholangitis (misal: tumor ampulla, cairan
pericholecystic, abses hepar). Diagnosis diferential juga kadang dapat terlihat (misal:
diverticulitis kolon kanan, nekrosis papilla, sebagian bukti pyelonephritis, iskemia mesenterium,
dan appendix yang ruptur. Deteksi patologi bilier dengan CT cholangiography lewat pendekatan
ERCP.
Kerugian dari CT meliputi kemampuan pencitraan batu empedu yang buruk, reaksi alergi
terhadap kontras, paparan terhadap radiasi, dan kurangnya kemampuan untuk memvisualisasikan
saluran bilier dengan kadar bilirubin serum yang meningkat.
Magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) merupakan studi noninvasif
yang semakin sering dipergunakan untuk diagnosis batu bilier dan patologi bilier lain. MRCP
akurat untuk mendeteksi choledocholithiasis, neoplasma, striktur, dan dilatasi sistem bilier.
Keterbatasan MRCP meliputi ketidakmampuan untuk melakukan tes diagnostik invasif seperti
pengambilan sample empedu, uji sitologis, pengambilan batu, ataupun stenting. Pemeriksaan
MRCP memiliki keterbatasan dalam melihat batu dengan ukuran kecil (<6mm>
Kontraindikasi absolutnya sama dengan MRI tradisional, termasuk keberadaan alat pacu
jantung (pacemaker), klip aneurisma serebral, implan okuler atau cochlear, dan benda asing pada
okuler. Kontraindikasi relatif meliputi terdapatnya prosthesa katup jantung, neurostimulator,
prosthese logam dan implan pada penis. Resiko MRCP pada kehamilan masih belum diketahui.
Pada umumnya, foto polos abdomen tidak banyak membantu pada diagnosis cholangitis
akut. Ileus dapat diamati pada kasus tersebut. Antara 10-30% batu empedu memiliki cincin
kalsium, sebagai akibatnya bersifat radioopak. Foto abdomen dapat menunjukkan udara dalam
saluran bilier setelah manipulasi endoscopik apabila pasien mengalami cholecystitis
emphysematosa, cholangitis, ataupun fistula cholecystic-enteric. Udara dalam dinding kandung
empedu mengindikasikan cholecystitis emphysematosa.
Pemeriksaan lain
Scintigrafi bilier (hepatic 2,6-dimethyliminodiacetic acid [HIDA] dan diisopropyl
iminodiacetic acid [DISIDA]). Scan HIDA dan DISIDA merupakan uji fungsional dari kandung
empedu. Obstruksi CBD menimbulkan nonvisualisasi dari usus kecil. Scan HIDA pada obstruksi
total dari saluran bilier tidak memperlihatkan saluran bilier. Keuntungannya adalah kemampuan
untuk menilai fungsi empedu dan hasilnya dapat positif dapat muncul sebelum pembesaran
ductus dapat dilihap melalui USG.
Kerugiannya adalah apabila terdapat kadar bilirubin yang tinggi (>4,4) dapat menurunkan
sensitifitas pemeriksaan ini. Keadaan baru makan atau tidak makan selama 24 jam juga dapat
mempengaruhi pemeriksaan ini, selain itu pencitraan anatomis bagi struktur-struktur lain selain
saluran bilier tidak memungkinkan. Pemeriksaan ini memerlukan waktu beberapa jam, sehingga
tidak direkomendasikan pada pasien kritis atau pada pasien yang tidak stabil.
7. Tatalaksana
Leukositosis, hiperbilirubinemia, dan peningkatan fosfatase alkali dan transaminase
cukup sering terjadi, dan apabila terjadi, mendukung diagnosis klinis dari cholangitis. USG
berguna apabila pasien belum pernah didiagnosa dengan batu empedu, karena USG dapat
memperlihatkan batu kandung empedu, memperlihatkan ductus yang berdilatasi, dan dapat
menentukan lokasi obstruksi. Tes diagnostik definitif adalah ERCP. Pada kasus dimana ERCP
tidak dapat dilakukan, PTC diindikasikan. ERCP dan PTC akan menunjukkan tingkat obstruksi,
namun penyebabnya tidak dapat ditentukan dengan cara ini. ERCP dan PTC dapat
memungkinkan kultur empedu, memungkinkan pengangkatan batu (apabila ada), dan drainase
saluran empedu dengan kateter drain atau stent.
Pengobatan pertama pada pasien dengan cholangitis meliputi antibiotik intravena dan
resuscitasi cairan. Antibiotik cephalosporin (misal cefazolin, cefoxitin) merupakan obat pilihan
pada kasus-kasus ringan sampai sedang. Apabila kasusnya berat atau memburuk secara
progresif, obat-obatan aminoglikosida ditambah clindamycin ataupun metronidazole sebaiknya
ditambahkan pada regimen pengobatan. Pasien tersebut mungkin memerlukan pemantauan di
ICU dan dukungan vassopressor. Sebagian besar pasien akan merespon terhadap tindakan ini.
Namun, saluran empedu yang mengalami obstruksi harus didrainase sesegera mungkin setelah
pasien stabil. Sekitar 15% pasien tidak akan merespon terhadap terapi antibiotik intravena dan
resusitasi cairan, dan dekompresi bilier darurat mungkin diperlukan. Dekompresi bilier dapat
diakukan melalui endoskopi, melalui rute transhepatic percutaneus, ataupun secara bedah.
Pemilihan prosedur tersebut sebaiknnya berdasarkan pada tingkat dan sigat obstruksi bilier.
Pasien dengan choledocholithiasis atau keganasan periampuler paling baik ditangani
menggunakan pendekatan endoskopik, dengan sphincterotomy dan pengangkatan batu, atau
dengan penempatan stent bilier secara endoskopi. Pada pasien dengan obstruksi yang lebih
proksimal atau terletah pada perihiler, atau penyakitnya disebabkan striktur pada anastomosis
enterik-bilier, atau apabila usaha melalui jalur endoskopi mengalami kegagalan, drainase
transhepatik perkutaneus dipergunakan. Apabila ERCP atau PTC tidak memungkinkan, operasi
darurat dan dekompresi ductus choledochus dengan T tube mungkin diperlukan untuk
menyelamatkan nyawa. Namun perlu diingat bahwa mortalitas pasien yang diobati dengan terapi
bedah lebih tinggi daripada pasien yang berhasil diobati dengan endoskopi. Secara keseluruhan
tingkat kematian pada pasien dengan cholangitis karena batu empedu sebesar 2% dan kematian
pada pasien dengan toxic cholangitis adalah sebesar 5%.
Terapi operasi definitif sebaiknya ditunda sampa cholangitis selesai ditangani dan
diagnosis yang tepat ditegakkan. Pasien dengan stent yang terpasang dan mengalami cholangitis
biasanya memerlukan uji pencitraan berulang dang penggantian stent dengan guidewire.
Intervensi segera (misal: sphincterotomy endoscopik, PTC, atau operasi dekompresi)
diperlukan pada 10% pasien dengan cholangitis akut. 90% sisanya pada akhirnya akan diobati
dengan pembedahan elektif atau sphincterotomy endoskopik setelah terapi antibiotik dan
evaluasi diagnostik yang seksama.
Cholangitis akut berhubungan dengan tingkat mortalitas total sebesar 5%. Saat terdapat
gagal ginjal, gangguan jantung, abses hepar dan keganasan, tingkat mortalitas dan morbiditasnya
jauh lebih tinggi.
Pengobatan Lain
Extracorporeal shock-wave lihotripsy (ESWL) pertama kali dipergunakan untuk
menghancurkan batu ginjal. Teknik ini telah dikembangkan untuk pengobatan batu empedu, baik
pada kandung empedu maupun pada saluran empedu. Pengobatan ini sering dikombinasikan
dengan prosedur endoskopik untuk memudahkan lewatnya batu yang telah terfragmentasi atau
pengobatan oral yang dapat melarutkan fragmen tersebut. Kadang kala, batu dapat dilarutkan
dengan mempergunakan berbagai bahan kimia yang dimasukkan langsung pada slauran bilier,
BAB III
KESIMPULAN
Pasien-pasien dengan gejala nyeri abdomen kuadran kanan atas, jaundice, demam patut
dicurigai menderita Cholangitis, terutama apabila mempunyai riwayat batu empedu. Karena
penyakit ini berhubungan dengan obstruksi saluran bilier.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin, fungsi hati (SGOT
& SGPT), alkali fosfatase, dan bilirubin serum, dan kultur bakteri dari sampel darah. Studi
pencitraan yang dapat membantu adalah USG, ERCP, PTC, CT scan Helical dengan kontras, dan
MRCP.
Penanganan pertama adalah antibiotik intravena dan resusitasi cairan untuk stabilisasi
pasien, kadangkala diperlukan dekompresi darurat pada kasus-kasus berat. Pada pasien yang
dapat distabilisasi dengan antibiotik dan cairan IV, terapi elektif untuk dekompresi dapat
dilakukan kemudian. Terapi dapat dilakukan secara endoskopik, dengan PTC, ataupun dengan
pembedahan.
DAFTAR PUSTAKA
http://emedicine.medscape.com/article/774245-overview
FC Brunicardi, DK Andersen et al., 2007. Schwartz Principle’s of Surgery, 8th Ed. Mc Graww
Hill Companies.
CM Townsend, RD Beauchamp et al., 2004. Sabiston Textbook of Surgery, Biological basis of
modern surgical practice, 17th Ed, Elsevier-Saunders
CT Albanese, JT Anderson et al., 2006. Current surgery diagnosis and treatment. Mc Graww Hill
Companies.