Tugas Prescil CML Aini

18
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Leukemia granulositik kronik atau Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan kelainan myeloproliferative yang ditandai dengan peningkatan proliferasi dari seri sel granulosit tanpa disertai gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat ditemukan berbagai tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit (Druker et al, 2001). Myelogenous leukemia kronis (CML), dikenal juga dengan nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu jenis kanker dari leukosit. CML adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sumsum tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah. CML merupakan gangguan stem sel sumsum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia (Sawyers, 2009). B. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENSI C. ETIOLOGI 1. Faktor Instrinsik a. Keturunan dan Kelainan Kromosom

description

CML

Transcript of Tugas Prescil CML Aini

BAB III. TINJAUAN PUSTAKAA. DEFINISILeukemia granulositik kronik atau Chronic Myelogenous Leukemia (CML) merupakan kelainan myeloproliferative yang ditandai dengan peningkatan proliferasi dari seri sel granulosit tanpa disertai gangguan diferensiasi, sehingga pada apusan darah tepi dapat ditemukan berbagai tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari promielosit (bahkan mieloblas), meta mielosit, mielosit, sampai granulosit (Druker et al, 2001).Myelogenous leukemia kronis (CML), dikenal juga dengan nama leukemia myeloid kronik (chronic myeloid leukemia) merupakan suatu jenis kanker dari leukosit. CML adalah bentuk leukemia yang ditandai dengan peningkatan dan pertumbuhan yang tak terkendali dari sel myeloid pada sumsum tulang, dan akumulasi dari sel-sel ini di sirkulasi darah. CML merupakan gangguan stem sel sumsum tulang klonal, dimana ditemukan proliferasi dari granulosit matang (neutrofil, eosinofil, dan basofil) dan prekursornya. Keadaan ini merupakan jenis penyakit myeloproliferatif dengan translokasi kromosom yang disebut dengan kromosom Philadelphia (Sawyers, 2009).B. EPIDEMIOLOGI DAN INSIDENSIC. ETIOLOGI1. Faktor Instrinsika. Keturunan dan Kelainan KromosomLeukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot) (Ibrahim et al, 2011).Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner.b. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum TulangSistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia (Ibrahim et al, 2011).2. Faktor Ekstrinsika. Faktor RadiasiAdanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10% penderita leukemia memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Ibrahim et al, 2011).b. Bahan Kimia dan Obat-obatanBahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA. Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif (Ibrahim et al, 2011).c. Infeksi VirusVirus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik (Ibrahim et al, 2011).Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang (Ibrahim et al, 2011).D. FAKTOR RISIKOE. PATOGENESISPada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu reciprocal translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan kromosom 22 abnormal yang disebabkan oleh translokasi sebagian materi genetik pada bagian lengan panjang (q) kromosom 22 ke kromosom 9, dan translokasi resiprokal bagian kromosom 9, termasuk onkogen ABL, ke region klaster breakpoint (breakpoint cluster region, BCR) yang merupakan titik pemisahan tempat putusnya kromosom yang secara spesifik terdapat pada kromosom 22. Sebagai akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9 mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL adalah antara ekson 1 dan 2. Titik putus BCR adalah salah satu di antara dua titik di region kelompok titik putus utama (M-BCR) pada CML atau pada beberapa kasus ALL Ph+. Gen fusi (gen yang bersatu) ini akan mentranskripsikan chimeric RNA sehingga terbentuk chimeric protein (protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I Made, 2006; Atul & Victor, 2005; Victor et al., 2005).F. MANIFESTASI KLINISG. PENEGAKAN DIAGNOSIS1. AnamnesisManifestasi klinis leukemia myelogenous kronis (CML) sering ditemukan secara kebetulan dalam fase kronis, ketika didapatkan hitung leukosit meningkat pada pemeriksaan darah rutin atau adanya splenomegali pada pemeriksaan fisik umum. Gejala nonspesifik meliputi kelelahan dan penurunan berat badan dapat terjadi lama setelah timbulnya penyakit. Kehilangan energi dan penurunan toleransi latihan dapat terjadi selama fase kronis setelah beberapa bulan.Pasien sering memiliki gejala yang berkaitan dengan pembesaran limpa, hati, atau keduanya. Limpa besar dapat mengganggu pada lambung dan menyebabkan cepat kenyang sehingga asupan makanan berkurang. Nyeri perut kuadran kiri atas digambarkan sebagai nyeri dengan kualitas mencengkeram mungkin terjadi akibat infark limpa. Limpa yang membesar juga dapat dikaitkan dengan keadaan hipermetabolik, demam, penurunan berat badan, dan kelelahan kronis. Hati yang membesar dapat menyebabkan penurunan berat badan pasien. Beberapa pasien dengan CML memiliki demam ringan dan berkeringat berlebihan terkait dengan hipermetabolisme.Pada beberapa pasien yang ada dalam fase akselerasi, atau fase akut dari penyakit (melewatkan fase kronis), perdarahan, petechiae, ekimosis dan mungkin merupakan gejala menonjol. Dalam situasi ini, demam biasanya berhubungan dengan infeksi. Nyeri tulang dan demam, serta peningkatan fibrosis sumsum tulang, merupakan pertanda dari fase blast.2. Pemeriksaan FisikSplenomegali adalah penemuan fisik yang paling umum pada pasien dengan leukemia myelogenous kronis (CML). Dalam lebih dari 50% pasien dengan CML, limpa berukuran lebih dari 5 cm di bawah batas kosta kiri pada saat penemuan. Ukuran limpa berkorelasi dengan hitungan granulocyte darah perifer, dengan limpa terbesar yang diamati pada pasien dengan jumlah leukosit yang tinggi. Sebuah limpa sangat besar biasanya pertanda transformasi menjadi bentuk krisis blast akut dari penyakit.Hepatomegali juga terjadi, meskipun kurang umum daripada splenomegali. Hepatomegali biasanya bagian dari hematopoiesis extramedullary terjadi di limpa. Temuan fisik leukostasis dan hiperviskositas dapat terjadi pada beberapa pasien, dengan ketinggian luar biasa leukosit mereka penting, lebih dari 300,000-600,000 sel/uL. Setelah funduscopy, retina dapat menunjukkan papilledema, obstruksi vena, dan perdarahan.Krisis blast ditandai oleh peningkatan dalam sumsum tulang atau ledakan jumlah darah perifer atau oleh perkembangan leukemia infiltrat jaringan lunak atau kulit. Gejala khas adalah karena trombositopenia, anemia, basophilia, limpa cepat memperbesar, dan kegagalan obat yang biasa untuk mengontrol leukositosis dan splenomegali.3. Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan untuk leukemia myelogenous kronis (CML) terdiri dari jumlah darah lengkap dengan hitung diferensial, apusan darah tepi, dan analisis sumsum tulang. Meskipun khas hepatomegali dan splenomegali dapat dicitrakan dengan menggunakan scan hati/limpa, kelainan ini sering begitu jelas secara klinis sehingga pencitraan radiologis tidak diperlukan. Diagnosis CML didasarkan pada temuan histopatologi dalam darah perifer dan Philadelphia (Ph) kromosom dalam sel sumsum tulang.Kelainan laboratorium lainnya termasuk hiperurisemia, yang merupakan refleksi dari peningkatan selularitas sumsum tulang, dan peningkatan nyata serum vitamin B-12-binding protein (TC-I). Yang terakhir ini disintesis oleh granulosit dan mencerminkan tingkat leukositosis.Tabel 3.1 Klasifikasi CML Berdasarkan WHOFase CMLDefinisi WHO

Fase Kronik StabilJumlah sel blast darah perifer kurang dari 10% pada darah dan sumsum

tulang

Fase AkselerasiJumlah sel blasts 10-19% dari jumlah leukosit pada sel sumsum tulang nucleated dan atau perifer; trombositopenia persisten (< 100 109/L) tidak terkait dengan terapi atau trombositosis persisten (> 1000 109/L) tidak responsive terhadap terapi; peningkatan jumlah leukosit dan ukuran limpatidak responsive terhadap terapi; bukti sitogenetik adanya clonal evolution

Krisis BlastJumlah sel blast perifer 20% dari leukosit darah tepi atau sel sumsum tulang nucleated; proliferasi blast ekstrameduler; dan focus atau klusterbesar blast pada biopsy sumsum tulang

a. Hapusan Darah TepiPada CML, peningkatan granulosit matang dan jumlah limfosit normal (persentase rendah karena dilusi dalam hitungan diferensial) menghasilkan jumlah leukosit total 20,000-60,000 sel/uL. Kenaikan ringan pada basofil dan eosinofil terjadi dan menjadi lebih menonjol selama masa transisi ke leukemia akut (Volpe, 2009).Proses apoptosis neutrofil matang/granulosit mengalami penurunan (kematian sel terprogram), mengakibatkan akumulasi sel berumur panjang dengan enzim yang rendah atau tidak ada, seperti alkalin fosfatase (ALP). Akibatnya, pada pengecatan alkali fosfatase leukosit sangat rendah bahkan tidak ada pada sebagian besar sel, menghasilkan skor rendah (Volpe, 2009).Darah perifer pada pasien dengan CML menunjukkan gambaran darah khas leukoeritroblastik, dengan sirkulasi sel dewasa dari sumsum tulang (Gambar 3.1).

Gambar 3.1 Hapusan Darah Tepi Pasien CML. fillm blood pada perbesaran 400x menunjukkan leukositosis dengan kehadiran sel-sel prekursor dari garis keturunan myeloid. Selain itu, basophilia, eosinofilia, dan trombositosis dapat dilihat. Courtesy of U. Woermann, MD, Divisi Media Instruksional, Lembaga Pendidikan Kedokteran, Universitas Bern, Swiss.

Fase transisi atau akselerasi CML ditandai dengan penurunan respon terhadap terapi obat myelosuppressive, munculnya sel-sel blast perifer ( 15%), promyelocytes ( 30%), basofil ( 20%), dan penurunan trombosit jumlah sampai kurang dari 100.000 sel/uL. Promyelocytes dan basofil ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Transisi. Film Blood pada perbesaran 1000X menunjukkan promyelocyte, eosinofil, dan basofil 3. Courtesy of U. Woermann, MD, Divisi Media Instruksional, Lembaga Pendidikan Kedokteran, Universitas Bern, Swiss.

Gambar 3.3 Hapusan Darah Tepi Pasien CML Fase Blast Film Blood pada perbesaran 1000X menunjukkan garis keturunan granulocytic keseluruhan, termasuk eosinofil dan basofil a. Courtesy of U. Woermann, MD, Divisi Media Instruksional, Lembaga Pendidikan Kedokteran, Universitas Bern, Swiss.

Tanda-tanda transformasi atau fase akselerasi pada pasien dengan CML adalah penurunan respon terhadap obat-obatan myelosupresi atau interferon, meningkatnya sel blast dalam darah tepi dengan basophilia dan trombositopenia tidak berhubungan dengan terapi, kelainan sitogenetika baru, dan meningkatnya splenomegali dan myelofibrosis. Di sekitar dua pertiga kasus, sel blast yang ditemukan adalah myeloid. Namun, pada sepertiga kasus sisanya, sel blast yang ditemukan memperlihatkan fenotipe limfoid, bukti lebih lanjut dari sifat sel induk penyakit asli. Kelainan kromosom tambahan biasanya ditemukan pada saat fase blast krisis, termasuk tambahan Ph translokasi kromosom atau lainnya (Volpe, 2009).Sel myeloid awal seperti myeloblasts, mielosit, metamyelocytes, dan berinti sel darah merah yang biasa hadir dalam hapusan darah, meniru temuan di sumsum tulang. Kehadiran sel-sel progenitor yang berbeda midstage membedakan CML dari leukemia myelogenous akut, di mana leukemic gap (maturation arrest) atau hiatus ada dan menunjukkan adanya sel-sel ini (Volpe, 2009).Anemia ringan sampai anemia sedang sangat umum pada saat diagnosis dan biasanya normokromik normositik dan. Jumlah trombosit pada diagnosis bisa rendah, normal, atau bahkan meningkat pada beberapa pasien (> 1 juta pada beberapa) (Volpe, 2009).b. Analisis Sumsum TulangSumsum tulang bersifat hypercellular, dengan perluasan lini sel myeloid (misalnya, neutrofil, eosinofil, basofil) dan sel progenitornya. Megakaryocytes (lihat gambar di bawah) yang menonjol dan dapat ditingkatkan. Fibrosis ringan sering terlihat pada pengecatan reticulin (Volpe, 2009).

Gambar 3.4 Hapusan Sumsum Tulang Pasien CML. Sumsum tulang Film pada perbesaran 400x menunjukkan dominasi jelas granulopoiesis. Jumlah eosinofil dan megakaryocytes meningkat. Courtesy of U. Woermann, MD, Divisi Media Instruksional, Lembaga Pendidikan Kedokteran, Universitas Bern, Swiss.

Pemeriksaan sitogenetik pada sel sumsum tulang, dan darah bahkan perifer, harus mengungkapkan kromosom khas Ph1, yang merupakan translokasi resiprokal antara kromosom dari bahan kromosom 9 dan 22 (lihat gambar di bawah). Ini adalah ciri khas CML, ditemukan di hampir semua pasien dengan penyakit dan terdapat sepanjang perjalanan klinis seluruh CML.

Gambar 3.5 Philadelphia kromosom. Kromosom Philadelphia, yang merupakan kelainan karyotypic diagnostik untuk leukemia myelogenous kronis, akan ditampilkan dalam gambar ini dari kromosom banded 9 dan 22. Yang ditampilkan adalah hasil dari translokasi resiprokal 22q ke lengan bawah 9 dan 9q (c-ABL pada wilayah klaster breakpoint tertentu [bcr] kromosom 22 ditandai dengan panah). Courtesy of Peter C. Nowell, MD, Departemen Laboratorium Patologi dan Klinik dari University of Pennsylvania School of Medicine.

BCR chimeric / ABL messenger RNA (mRNA) yang menjadi ciri khas CML dapat dideteksi oleh polymerase chain reaction (PCR). Ini adalah tes sensitif yang hanya memerlukan beberapa sel dan berguna dalam memantau penyakit sisa minimal (MRD) untuk menentukan efektivitas terapi. BCR-ABL transkrip mRNA juga dapat diukur dalam darah perifer (Volpe, 2009).Analisis karyotypic sel sumsum tulang memerlukan keberadaan sel yang membelah tanpa kehilangan viabilitas karena bahan mensyaratkan bahwa sel masuk ke mitosis untuk mendapatkan kromosom individu untuk identifikasi setelah banding. Proses pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang memerlukan keahlian analis (Volpe, 2009).Teknik baru fluoresensi hibridisasi in situ (IKAN) menggunakan probe yang berlabel hibridisasi baik kromosom metafase atau inti interfase, dan probe hibridisasi terdeteksi dengan fluorochromes. Teknik ini merupakan cara yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi kelainan struktural numerik dan berulang. (Lihat gambar di bawah).

Gambar 3.6 Fluoresensi hibridisasi in situ menggunakan unik-urutan, DNA probe ganda fusi untuk bcr (22q11.2) dengan warna merah dan c-ABL (9q34) gen daerah di hijau. Para bcr normal / ABL fusi hadir di Philadelphia kromosom-positif sel-sel dalam kuning (kanan panel) dibandingkan dengan kontrol (panel kiri). Courtesy of Emmanuel C. Besa, MD.

Dua bentuk mutasi BCR / ABL telah diidentifikasi. Ini bervariasi sesuai dengan lokasi dari daerah mereka bergabung pada domain bcr 3. Sekitar 70% pasien yang memiliki 5 breakpoint DNA memiliki pesan RNA b2a2, dan 30% pasien memiliki 3 breakpoint DNA dan pesan RNA b3a2. Yang terakhir ini dikaitkan dengan fase kronis lebih pendek, kelangsungan hidup lebih pendek, dan trombositosis (Volpe, 2009).CML harus dibedakan dari Ph1-negatif dengan hasil PCR negatif untuk BCR / ABL mRNA. Penyakit ini termasuk gangguan myeloproliferative lain dan leukemia myelomonocytic kronis, yang sekarang diklasifikasikan dengan sindrom myelodysplastic. Kelainan kromosom tambahan, seperti kromosom Ph1-positif tambahan atau ganda atau trisomi 8, 9, 19, atau 21, 17 isochromosome, atau penghapusan kromosom Y, telah digambarkan sebagai pasien memasuki sebuah bentuk transisi atau fase percepatan krisis blast (Volpe, 2009).Pasien dengan kondisi selain CML, seperti yang baru didiagnosis leukemia limfositik akut (ALL) atau leukemia nonlymphocytic, mungkin juga mempunyai kromosom Ph1. Beberapa menganggap pasien ini ada dalam fase blastic CML tanpa fase kronis. Kromosom ini jarang ditemukan pada pasien dengan gangguan myeloproliferative lain, seperti polisitemia vera atau thrombocythemia esensial, tetapi ini mungkin kondisi misdiagnosis leukemia myelogenous kronis (CML). Hal ini jarang diamati dalam sindrom myelodysplastic (Volpe, 2009).H. PENATALAKSANAANI. KOMPLIKASI1. Masalah metabolicMasalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol.2. HiperleukositosisPeningkatan ekstrim dari leukosit pada CML dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan sengan leukosit lain, juga meningkatkan viskositas tersebut.Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit.3. PriapismNyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat, radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari intravena).4. Leukemia MeningealLeukemia meningeal pada CML fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan.5. MyelofibrosisCML sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen (Kantarjian, 2004).

6. PROGNOSIS

DAFTAR PUSTAKASawyers CL. Chronic myeloid leukemia. N Engl J Med. Apr 29 2009;340(17):1330-40Druker BJ, Sawyers CL, Kantarjian H, et al. Activity of a specific inhibitor of the BCR- ABL tyrosine kinase in the blast crisis of chronic myeloid leukemia and acute lymphoblastic leukemia with the Philadelphia chromosome. N Engl J Med. Apr 5 2001;344(14):1038-42Ibrahim AR, Eliasson L, Apperley JF, Milojkovic D, Bua M, Szydlo R, et al. Poor adherence is the main reason for loss of CCyR and imatinib failure for chronic myeloid leukemia patients on long-term therapy. Blood. Apr 7 2011;117(14):3733-6Volpe G, Panuzzo C, Ulisciani S, Cilloni D. Imatinib resistance in CML. Cancer Lett. Feb 8 2009;274(1):1-9Kantarjian HM, Talpaz M. Chronic myelogenous leukemia. Hematol Oncol Clin N Am. Jun 2004;18(3):XV-XVI