tugas PIDANA LINGKUNGAN
-
Upload
real-kemal -
Category
Documents
-
view
80 -
download
0
Transcript of tugas PIDANA LINGKUNGAN
ANALISA PUTUSAN NO. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST PERKARA GUGATAN CLASS ACTION BANJIR DI JAKARTA
I. Pendahuluan
Pada tahun 1996 terjadi banjir besar yang menimpa Jakarta. Pada saat
itu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) memperkirakan bahwa banjir besar
akan terjadi pada awal tahun 2002. Perkiraan inilah yang kemudian terbukti pada
akhir Januari sampai dengan awal Februari 2002. Banjir ini telah mengakibatkan
kerugian bagi warga Jakarta. Tidak hanya kerugian materiil dan immateriil,
beberapa korban banjir pun harus kehilangan sanak saudaranya akibat terbawa
arus banjir yang cukup deras, terkena sengatan arus listrik ataupun terkena
serangan penyakit.
Besarnya kerugian yang dialami oleh sebagaian besar warga Jakarta
akibat banjir tersebut, serta lambatnya penanganan pemerintah daerah maupun
pemerintah pusat dalam mengantisipasi dan menanggulangi banjir tersebut,
menjadi latar belakang pengajuan gugatan perwakilan kelas (class action) oleh
para korban banjir di Jakarta. Para Penggugat yang terdiri dari 15 orang wakil
kelas, yang memberikan kuasa khusus tertanggal 4 Maret 2002 kepada Tim
Advokasi Banjir Jakarta, berkantor di Jalan Diponegoro No. 74 Jakarta
mengajukan surat gugatan tertanggal 13 Maret 2002 kepada Kepaniteraan
Jakarta Pusat. Para Penggugat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum
(untuk selanjutnya disebut PMH) kepada Negara Republik Indonesia Cq.
Presiden Republik Indonesia sebagai Tergugat I, Negara Republik Indonesia Cq.
Presiden Republik Indonesia Cq. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Tergugat II serta , Negara Republik
Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq. Gubernur Kepala Daerah
Tingkat I Propinsi Jawa Barat sebagai Turut Tergugat.
Dalam gugatannya, Para Penggugat sebagai wakil kelas mendalilkan
bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang mengalami kerugian
(korban) akibat banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya pada akhir Januari
sampai dengan awal Februari 2002. Berdasarkan hal tersebut, maka kedudukan
dan keberpihakan para wakil kelas tidak diragukan lagi, sehingga patut dan
pantas untuk mewakili masyarakat luas khususnya masyarakat dan warga DKI
Jakarta mengajukan gugatan ini.
Selain dalil tersebut di atas, untuk menguatkan kedudukannya sebagai
pihak yang dapat mengajukan gugatan ini, para Penggugat menunjukkan
peraturan perundang-undangan sebagai dasarnya antara lain: UU Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, UUNo. 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
serta UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Gugatan dengan No. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST ini merupakan gugatan
perbuatan melawan hukum, hal mana disebutkan oleh para wakil kelas bahwa
Tergugat I dan II serta Turut Tergugat telah melanggar Pasal 1365 dan Pasal
1366 jo. Pasal 1367 KUHPerdata.
Adapun PMH yang dilakukan oleh Tergugat I, II dan Turut Tergugat
meliputi hal-hal sebagai berikut:
(1) Bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melanggar ketentuan Pasal 28 (f)
Perubahan Kedua UUD 1945 yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak
untuk berkomunikasi dan meperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi
dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan
segala jenis saluran yang ada”, dimana Tergugat I dan Tergugat II telah
menutup akses bagi masyarakat dan wakil kelas untuk mendapatkan
informasi. Tergugat II juga telah melanggar Pasal 43 (e) UU No.22 tahun
1999 tentang Penerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Kepala Daerah
mempunyai kewajiban meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat jo. Pasal
9,10,11, dan 12 UU No. 34 tahun 1999 tentang Pemerintahan Propinsi
Daerah Khusus Ibukota Republik Indonesia Jakarta yaitu hal kewenangan
pemerintahan dari Tergugat II dan jajarannya dalam memberikan pelayanan
masyarakat yang meliputi penyelenggaraan jasa perkotaan, sarana,
prasarana dan fasilitas pelayanan masyarakat.
(2) Bahwa Tergugat II telah melanggar kewajiban hukumnya sendiri yaitu SK
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi DKI Jakarta No. 222 tahun 1998
tentangProsedur Tetap (Protap) Penanggulangan Bencana di Wilayah DKI
Jakarta, khususnya pada bagian lampiran tentang:
a. Tujuan: “ ... agar setiap bencana dapat ditanggung secara cepat , berdaya
guna dan berhasil guna”. Bahwa karena Tergugat II tidak melaksanakan
Protap yang dimaksud maka tujuannya menjadi tidak tercapai, dan banyak
korban nyawa dan harta benda tidak dapat diminimalisir.
b. Bab III bagian 3.1 Prosedur Kerja Sebelum Bencana, yaitu Tergugat II tidak
melaksanakan prosedur 3.1.1. angka (3) yaitu “...menyampaikan informasi
kepada masyarakat di daerah rawan bencana dan sekitarnya untuk
melaksanakan kesiapsiagaan menghadapi bencana” jo. 3.1.2. angka (6)
jo. 3.1.3. angka (6) yaitu : “menyiapkan sarana dan prasarana
penanggulangan bencana”.
c. Bagian 3.2. prosedur Kerja Saat Bencana yaitu tergugat II tidak
melaksanakan prosedur 3.2.1. angka (6), (7), dan (8) yaitu
“...menggerakan peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan
bencana, ...menyiapkan tempat penampungan bantuan, ...menerima dan
menyalurkan bantuan serta mempertanggungjawabkan” jo. 3.2.2. angka
(5) dan (6) jo. 3.2.3. angka (4), (5), (8) jo. 3.2.4. angka (2), (5), dan (6)
tentang hal yang sama.
d. Bagian 3.3. Prosedur Kerja Setelah Bencana, yaitu Tergugat II tidak
melaksanakan prosedur 3.3.1. angka (2) dan (3) yaitu
“...menyelenggarakan peran serta masyarakat untuk melakukan
rehabilitasi,...menyelenggarakan penyukuhan kepada korban bencana” jo.
3.3.2. angka (3) tentang hal yang sama.
e. Bagian 3.5. tentang Prosedur Penerimaan Bantuan dan 3.6 Prosedur
Penyaluran Bantuan hal mana telah terjadi banyak penyimpangan dalam
praktek.
(3) Bahwa Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat telah melakukan PMH
dengan melanggar Prinsip-prinsip Azas Pemerintahan yang Baik (Good
Governance). Setiap kebijakan Eksekutif harus bersifat terbuka (open
principle) dan transparan, dalam arti masyarakat yang menjadi objek
kebijakan tersebut harus mengetahui dan ikut memberikan kontribusi sebagai
bahan pertimbangan dari kebijakan tersebut.
(4) Bahwa Tindakan Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat bertentangan
dengan prinsip-prinsip kepatutan dan kesopanan yang ada di masyarakat, hal
manaTergugat I dan II secara lalai telah mengabaikan keselamatan warganya
denga tidak melakukan secara maksimal upaya peringatan dini dan
melakukan penanggulangan bencana dengan cepat dan tepat sasaran.
(5) Bahwa Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat melakukan PMH dengan
tidak melakukan Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 1999 yang
menyatakan “...Perencanaan Nasional dan Pengendalian Pembangunan
Nasional Secara Makro...pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan
sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan
standarisasi nasional”.
Pada bagian posita gugatan, Para Penggugat juga memasukkan perincian
kerugian materiil yang dialami oleh mereka beserta perhitungan ganti rugi atas
kerugian immateriil. Selain perincian kerugian yang bersifat individual, Para
Penggugat juga memasukkan perhitungan kerugian yang bersifat komunal, yang
meliputi ganti rugi atas adanya kerusakan fasilitas publik yang diebabkan oleh
banjir.
Pemeriksaan perkara gugatan perwakilan kelompok korban banjir di
Jakarta berlangsung selama kurang lebih sembilan bulan, hingga akhirnya pada
tanggal 21 Nopember 2002 pemeriksaan sidang ditutup dengan pembacaan
putusan oleh majelis hakim. Dalam putusannya setebal 164 halaman majelis
hakim akhirnya memutuskan hal-hal sebagai berikut: menolak eksepsi pihak
Tergugat I, Tergugat II dan Turut Tergugat untuk seluruhnya; menolak gugatan
proovisi untuk seluruhnya; menolak gugatan pihak Para Penggugat seluruhnya.
II. ANALISA
Analisa ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST. Adapun yang akan menjadi pokok bahasan
dalam analisa ini meliputi:
1. Hal yang berkaitan dengan eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Turut
Tergugat yang belum diputuskan dalam Putusan Sela;
2. Hal yang berkaitan dengan pembuktian adanya PMH.
Hal yang berkaitan dengan eksepsi Tergugat I, Tergugat II dan Turut
Tergugat
1. Eksepsi bahwa gugatan Para Penggugat tidak memenuhi syarat-syarat
hukum bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action)
Menurut Tergugat I gugatan class action telah diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) RI No.1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan
Perwakilan Kelompok. Dalam bagian “Menimbang” huruf e, PERMA tersebut
menyebutkan: “Bahwa telah ada berbagai undang-undang yang mengatur dasar-
dasar gugatan perwakilan kelompok dan gugatan yang mempergunakan dasar
gugatan perwakilan kelompok, seperti Undang-undang Nomor23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, tetapi belum ada ketentuan yang mengatur acara
memeriksa, mengadili dan memutus gugatan yang diajukan”. Berdasarkan hal
tersebut, Tergugat I menyatakan bahwa gugatan class action atau gugatan
perwakilan kelompok hanya dapat diajukan dalam hal Undang-undang yang
berlaku memperkenankan diajukannya gugatan semacam itu.
Eksepsi Tergugat I yang menyatakan bahwa gugatan perwakilan
kelompok (class action ) hanya dapat diperkenankan berdasarkan undang-
undang tertentu saja, menurut pendapat kami tidak tepat. Bagian “Menimbang”
huruf e PERMA NO. 1 tahun 2002 dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa
ada peraturan perundangan-undangan yang memperkenankan mekanisme
gugatan perwakilan kelompok, namun hukum acaranya masih belum diatur,
sehingga akhirnya MA mengeluarkan PERMA tersebut sampai adanya ketentuan
perundang-undangan untuk itu.
Berdasarkan dasar-dasar tersebut, putusan hakim yang menyatakan
bahwa eksepsi ini tidak mempunyai dasar hukum serta patut untuk ditolak adalah
tepat.
2. Eksepsi bahwa surat kuasa cacat yuridis
Memperhatikan eksepsi Tergugat II yang menyatakan bahwa seharusnya
surat kuasa tersebut dibuat dalam 15 surat kuasa dari pemberi kuasa dengan
bea materai untuk masing-masing surat kuasa, agaknya terlalu berlebihan. Hal
ini disadari pula oleh majelis hakim yang menyatakan bahwa surat kuasa Para
Penggugat telah sesuai dengan ketentutan yang ada. Hakim berpendapat bahwa
lampiran surat kuasa tertanggal 4 Maret 2002 adalah bagian yang tidak
terpisahkan dengan lembaran pertama yang memuat nama pemberi kuasa
Nuraeni, dkk (terlampir) dan karenanya hal tersebut tidak mengurangi nilai
kedudukan para pemberi kuasa.
Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, putusan hakim yang
menyatakan bahwa surat kuasa Para Penggugat tidak cacat yuridis dan menolak
eksepsi Tergugat II sudah tepat.
3. Eksepsi bahwa istilah wakil kelas untuk menggantikan sebutan
Penggugat
Menurut Tergugat, Peraturan Perundang-undangan Hukum Acara Perdata
yang berlaku di Indonesia hanya mengatur istilah “PENGGUGAT” dan
“TERGUGAT” sebagai pihak berperkara dalam suatu yurisdiksi kontentiosa di
pengadilan (vide Pasal 118 HIR/RIB) dan sampai saat ini belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur hukum formal (hukum acara) yang
mengenal istilah “PENGGUGAT”. Oleh karena itu, gugatan perwakilan yang
diajukan oleh bukan “PENGGUGAT” melainkan hanya menyebutkan “WAKIL
KELAS” saja menyebabkan tidak jelasnya siapa “PENGGUGAT” dalam perkara
a-quo dan pelanggaran atas formalitas beracara sehingga gugatan perwakilan a-
quo harus dinyatakan tidak dapat diterima
4. Eksepsi bahwa gugatan Para Penggugat salah alamat (error in subjecto)
Dalam praktek Hukum Acara Perdata, pihak yang digugat dapat berupa
pribadi kodrati ataupun pribadi hukum, seperti badan hukum. Jika yang digugat
adalah badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT), maka yang harus
bertindak untuk dan atas nama PT tersebut adalah Direktur PT tersebut.
Sementara itu, dalam hal yang digugat adalah negara, maka yang digugat
adalah Pemerintah Republik Indonesia, mewakili Negara Republik Indonesia.
Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Presiden Republik
Indonesia, sebagai alat negara yang memimpin jalannya pemerintahan.
Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemeritahan Daerah,
maka tugas Presiden di daerah telah dilimpahkan kewenangannya kepada
Pemerintah Daerah dengan Kepala Daerah Tingkat I sebagai pimpinan
pemerintahan di daerah propinsi. Berdasarkan hal tersebut, menurut Kami
adalah tepat Para Penggugat mengajukan gugatan kepada Negara Republik
Indonesia Cq. Presiden Republik Indonesia Cq. Kepala Daerah Tingkat I Propinsi
Jawa Barat. Penunjukkan Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat
dimaksudkan untuk mewakili pemerintah daerah, yang mana ia bertindak untuk
dan atas nama pemerintah daerah.
Berdasarkan hal ini, putusan hakim yang menolak eksepsi ini karena
dinilai tidak berdasar adalah tepat.
5. Eksepsi bahwa materi gugatan bertentangan satu sama lain
Dalam hal ini Penggugat telah melakukan kekeliruan. Jika kemudian
dalam petitum gugatan, ia memohonkan hal yang sama kepada hakim untuk
menghukum baik Tergugat I, Tergugat II maupun Turut Tergugat, lalu apa
urgensinya pembedaan istilah antara Tergugat dan Turut Tergugat. Jika dalam
petitum dimintakan adanya pernyataan bahwa Turut Tergugat melakukan PMH
dan karenanya harus membayar ganti rugi secara tanggung renteng dengan
Tergugat lain, maka Para Penggugat harus membuktikan adanya PMH yang
dilakukan oleh Turut Tergugat. Hal ini tidak membedakan kedudukan Tergugat
dan Turut Tergugat jika dikaitkan dengan kewajiban untuk membuktikan adanya
PMH. Hakim sendiri tidak membahas adanya pembedaan antara Tergugat dan
Turut Tergugat, melainkan hanya menyatakan bahwa mengenai perbuatan
hukum Turut Tergugat telah masuk kepada materi perkara yang memerlukan
proses pembuktian. Selanjutnya, dalam hal petitum akan dikabulkan atau tidak
akan berpedoman pada proses pembuktian dan peraturan perundang-undangan
yang ada.
Hal yang berkaitan dengan pembuktian adanya PMH
Gugatan ini didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti
kerugian tersebut.” Untuk dapat dikatakan sebagai PMH berdasar Pasal 1365
KUHPerdata, sutau perbuatan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya unsur melawan hukum
Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum jika memenuhi unsur-unsur
berikut :
a. Bertentangan dengan hak orang lain,
b. Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri;
c. Bertentangan dengan kesusilan;
d. Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan
masyarakat mengenai orang lain atau benda.
2. Adanya unsur kesalahan
Persyaratan adanya unsur kesalahan dalam Pasal 1365 KUHPerdata
pada dasarnya dimaksudkan oleh pembuat undang-undang untuk menekankan
bahwa si pelaku PMH hanyalah bertanggungjawab atas kerugian yang
ditimbulkan, bila dari kerugian tersebut dapat dipersalahkan kepadanya. Syarat
ini harus diartikan sebagai syarat dalam arti subjektif, hal mana akan dilihat
apakah suatu PMH dapat dipersalahkan kepada pelaku.
3. Adanya kerugian
Kerugian dalam Pasal 1365 KUHPerdata harus dikaitkan dengan PMH
yang dilakukan. Artinya, kerugian yang timbul adalah kerugian yang disebabkan
oleh PMH tersebut. Kerugian ini tidak hanya kerugian materiil saja, melainkan
juga kerugian moral atau idiil seperti ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan
kesenangan hidup.
Dalam perkara ini, Para Penggugat telah mengalami kerugian baik materiil
seperti harta benda, immateriil maupun kehilangan korban jiwa akibat banjir
besar yang melanda Jakarta pada Januari-Februari 2002. Para Penggugat telah
memperinci perkiraan besarnya ganti kerugian yang harus diganti oleh Tergugat
I, Tergugat II dan Turut Tergugat.
Kerugian yang dikemukakan oleh Para Penggugat ini meliputi kerugian
materiil individu yang diperkirakan sebesar Rp. 133.985.000,-, kerugian inmateriil
individu masing-masing Rp. 100.000.000,- dan kerugian komunal Rp.
1.200.000.000,- untuk memperbaiki sarana publik yang rusak akibat terjadinya
banjir sebagaimana dijabarkan dalam gugatannya.
4. Adanya hubungan kausal (sebab akibat)
Dalam hukum perdata, persoalan kausalitas bertitik tolak pada persoalan
apakah terdapat hubungan kausal antara PMH yang dilakukan dan kerugian.
Untuk menentukan adanya hubungan kausal ini digunakan pembatasan dengan
adequate theory yang mengajarkan bahwa si pelaku dipertanggungjawabkan
atas kerugian yang adalah merupakan akibat dari perbuatan melawan hukum
yang secara layak dapat diperkirakan akan timbul.
Penerapan adequate theory ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1365
KUHPerdata yang mengharuskan adanya hubungan kausal antara perbuatan
melawan hukumnya dengan kerugian yang timbul karena perbuatan melawan
hukum tersebut. Berdasarkan teori ini, dari sekian banyak faktor yang sama-
sama menimbulkan akibat, maka yang dianggap relevan hanyalah faktor-faktor
yang menurut pengalaman merupakan faktor yang memiliki ciri-ciri untuk
menimbulkan akibat tertentu.
III. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, ternyata bahwa yang memenuhi keseluruhan unsur-
unsur PMH sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah
pihak Tergugat II, Turut Tergugat beserta walikota di wilayah DKI Jakarta serta
walikota dan bupati di kawasan Bopuncur.
Dengan berlakunya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,
titik pusat pelaksanaan pemerintahan daerah kini berada pada tingkat
pemerintah daerah dan kota. Undang-undang ini telah memberikan pemerintah
daerah kota dan kabupaten kewenangan pemerintahan yang cukup luas dengan
pengecualian beberapa kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan
Pasal 9. Hal mana kurang digali oleh Para Penggugat dalam menyusun
gugatannya, sehingga gugatan hanya ditujukan pada Gubernur Kepala Daerah
Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat saja.
DAFTAR PUSTAKA
UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
UU Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
TUGAS
ANALISA PUTUSAN NO. 83/PDT.G/2002/PN.JKT.PST PERKARA GUGATAN CLASS ACTION BANJIR DI JAKARTA
TRICIPTA APRIAL D.M07.01.111.00083
HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
ILMU HUKUMFAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRUNOJOYO2011