Tugas Perbankan

7
Nama : Aulia Layinna Khoirunisa Mata Kuliah: Hukum Perbankan NPM : 1406509870 TUGAS HUKUM PERBANKAN I. Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tenntang Perbankan (UU 10/1998) Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam Pasal 1765 Kitab Undang-unadng Hukum Perdata (KUHPer) juga disebutkan bahwa dalam peminjaman uang dapat diperbolehkan untuk pemperjanjikan bunya namun menurut Pasal 1767 KUHPer, besarnya bunga yang diperjanjikan harus ditetapkan secara tertulis. Sedangkan Pasal 1 angka 25 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU 21/2008) yang dimaksud dengan Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk

Transcript of Tugas Perbankan

Nama:Aulia Layinna Khoirunisa

Mata Kuliah: Hukum Perbankan

NPM:1406509870

TUGAS HUKUM PERBANKAN

I. Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tenntang Perbankan (UU 10/1998) Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dalam Pasal 1765 Kitab Undang-unadng Hukum Perdata (KUHPer) juga disebutkan bahwa dalam peminjaman uang dapat diperbolehkan untuk pemperjanjikan bunya namun menurut Pasal 1767 KUHPer, besarnya bunga yang diperjanjikan harus ditetapkan secara tertulis.

Sedangkan Pasal 1 angka 25 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU 21/2008) yang dimaksud dengan Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a. Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna;

d. Transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan

e. Transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa.

Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, atau bagi hasil.Dalam pembiayaan terdapat akad mudharabah yang berarti akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank Syariah) yang meneyediakan seluruh modal dan pihak kedia (amil, mudharib, atau Nasabah), yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh bank syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian.

Penjelasan Pasal 19 ayat (1) (UU 10/1998) yang dimaksud dengan akad musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.

Yang dimaksud dengan akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Oleh karena itu dapat dilihat bahwa pada praktik kredit hanyalah praktik pinjam meminjam uang yang didasarkan hanyalah pada perjanjian untuk meminjamkan uang yang biasanya dikenakan bunga yang sudah diperjanjikan sejak awal. Sedangkan pada pembiayaan ada unsur kerja sama dan saling tolong menolong. Adapun apabila pada saat pengembalian uang tersebut dilebihkan, hal tersebut tidak diperjanjikan sebelumnya dan didasarkan pada keuntungan yang didapat oleh si peminjam. Sedangkan apabila terdapat kerugian, maka hal tersebut akan diderita oleh bank.

Adapun sebuah perjanjian kredit dapat dilaksanakan antara bank dengan nasabahnya hanya cukup dengan kesepakatan. Hal ini didasari oleh dasar hukum perjanjian yang tercantum pada pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa Persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Hal ini dapat saja terjadi asalkan etlah memenuhi syarat sahnya perjanjian sesuai dengan pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:1. Kesepakatan para pihak

2. Para pihak cakap untuk membuat perjanjian

3. Ada hal tertentu yang diperjanjikan

4. Didasarkan pada sebab yang halal.

Jadi memang tidak disebutkan bahwa di dalam perjanjian kredit harus dicantumkan dalam perjanjian tertulis.Perjanjian kredit mempunyai 2 bentuk:

1. Perjanjian Akta Bawah Tangan (Pasal 1874 KUHPerdata). Akta bahwa tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian apabila tanda tangan yang ada dalam akta tersebut diakui oleh yang menandatanganinya. Supaya akta bawah tangan tidak mudah dibantah maka diperlukan legalisasi oleh Notaris yang berakibat akta bawah tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta otentik;2. Perjanjian Akta Otentik (Pasal 1868 KUHPerdata). Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna yang artinya akta otentik dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tanda tangan dari para pihak.Namun, pada prinsipnya sebuah bank harus mengenal nasabahnya agar ia adapat memastikan kelancaran usahanya dengan prinsip 5 Cs of Credit, yaitu: Character (watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Condition of Economic (suasana perkembangan ekonomi), Collateral (jamian). Sebuah bank harus dapat memastkan siapa yang akan menjadi nasabahnya dengan menggunakan prinsip-prinsip tersebut agar timbul keprcayaan antar bank dengan nasasbahnya.II. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Prekreditan Bank bagi Bank Umum:

Pasal 1 Bank umum wajib memilki kebijaksanaan perkreditan bank secara tertulis yang memuat semua aspek yang ditetapkan dalam pedoman penyusunan kebijaksanaan perkreditan bank yang wajib disetujui oleh dewan komisaris bank.

Pasal 2 hal-hal pokok yang perlu dimuat adalah sebagai berikut:

1. Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;

2. Organisasi dan manajemen prekreditan;

3. Kebijaksanaan persetujuan kredit;

4. Dokumentasi dan administrasi kredit

5. Pengawasan kredit;

6. Penyelesaian kredit bermasalah

Hal ini diperlukan agar menjaga usaha perbankan agar tetap berjalan sebagaimana mestinya secara lancar dapat menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian menyalurkannya kembali ke masyarakat dengan tetap mendapatkan keuntungan yang menjaga kesehatan dan menunjang kehidupan bank tersebut.

III. Hubungan perjanjian kredit antara nasabah dengan bank dimulai pada saat nasabah menandatangani aplikasi kredit dan disetujui oleh bank. Pada saat aplikasi nasabah disetujui oleh bank, maka semua perpsetujuan mengenai hak, kewajiban serta syarat yang terdapat dalam aplikasi kredit tersebut secara sah telah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata).

Namun, sebelum perjanjian tersebut disepakati, bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan harus dapat dikembalikan. Oleh karena itu, sebuah bank sebelum memberikan kredit kepada nasabahnya harus mengenal terlebih dahulu nasabahnya dengan mengenal 5 Cs of Credit yang telah diterangkan sebelumnya. Pihak bank perlu menyeleksi dengan ketat terhadap caloin nasabahnya. Hal ini untuk meminimalisir resiko terjadinya kredit macet dari pemberian kredit.

Selain itu, kembali lagi bahwa setiap bank perlu memiliki kebijaksanaan perkreditan banksecara tertulis yang memuat semua aspek yang diterapkan dalam penyaluran kredit kepada masyarakat.

IV. Pada prinsipnya, menurut Pasal 1131 KUHPerdata segala harta kekayaan debitur akan menjadi jaminan bagi perutangannya. Semua kreditur mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditur-kreditur lain.

Sedangkan Pasal 1 angka 23 UU 10/1998 menjelaskan bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariahTanah yang kepemilikannya didasarkan pada hokum adat yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.Sehingga agunan merupakan jaminan tambahan yang diberikan nasabah kepada bank apabila ia ingin melakukan perjanjian kredit atau pembiayaan untuk menjamin pengembalian uang yang ia pinjam. Namun, pada dasarnya, seluruh harta peminjam merupakan jaminan bagi pengembalian utangnya, tetapi dengan adanya agunan maka akan memberikan kepastian akan jaminan tersebut dan juga harta mana yang dapat langsung dieksekusi apabila ia wanprestasi.

V. Pada dasarnya perjanjian kredit terdapat perjanjian yang memiliki agunan dan yang tidak memiliki agunan. Untuk kredit tanpa agunan, karena pihak bank tidak menentukan dari awal apa yang mejadi aguannya, maka berdasarkan Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata seluruh harta kekayaan debitur menjadi jaminan terhadap utang yang harus dibayarakn oleh debitur, sehingga bank sebagai kreditur berdasarkan pasal-pasal tersebut dapat melakukan eksekusi apabila dbitur wanprestasi. Dasar bagi bank penerbit untuk melakukan bila terjadi eksekusi tentunya adalah perjanjian yang dibuat di awal, yaitu pada saat permohonan aplikasi kredit yang nasabah ajukan disetujui oleh pihak bank penerbit.Agunan (collateral) merupakan factor pertimbangan yang paling menentukan untuk dapat dikabulkannya permohonan kredit dari calon debitur. Bank harus melakukan penyeleksian yang ketat kepada calon nasabahnya untuk meminimalisir resiko terjadinya kredit macet dari pemberian kredit tanpa agunan. Lahirnya perjanjian kredit memberi konsekuensi kepada kreditur mengenai kepastian hukum bagi kreditur apabila debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya kepada bank.Sedangkan perlindungan hukum untuk nasabah bank tidak dapat terpisah dari Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) karena UU 8/1999 pada dasarnya dijadikan peraturan untuk melindungi konsumen secara umum termasuk nasabah karena UU 10/1998 pun tidak memberikan perlindungan kepada nasabahnya namum hanya bersifat memberitahukan kepada nasabah semata tidak memberikan akibat kepada perbankan itu sendiri sehingga dirasakan kurang memberikan perlindungan kepada nasabahnya.