tugas PD3I.doc
-
Upload
erinne-defriani -
Category
Documents
-
view
149 -
download
7
Transcript of tugas PD3I.doc
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep paradigma sehat di dalam pembangunan kesehatan adalah
pembangunan kesehatan yang lebih memprioritaskan upaya promotif dan
preventif dibandingkan kuratif dan rehabilitatif. Program imunisasi
merupakan salah satu upaya preventif yang telah terbukti sangat efektif
menurunkan angka kesakitan dan kematian serta kecacatan pada bayi dan
balita.
Saat ini, kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebagai salah satu bentuk nyata
komitmen pemerintah untuk mencapai Millenium Development Goals
(MDGs). Tujuan utama kegiatan imunisasi adalah menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi (PD3I). PD3I adalah penyakit-penyakit menular yang sangat
potensial untuk menimbulkan wabah dan kematian terutama balita seperti
Hepatitis B, TB (Tuberkulosis), DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), Polio, dan
Campak. Menurut data terakhir WHO, kematian balita sebesar 1,4 juta jiwa
per tahun akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I),
misalnya tetanus 198.000 (14%), dan campak 540.000 (38%). Penyakit
tuberculosis, difteri, pertusis, tetanus, poliomyelitis, dan campak
mengakibatkan kematian sekitar 4 juta anak terutama di Negara berkembang.
Tanpa imunisasi sekitar 3 dari 100 anak akan meninggal dunia karena
penyakit campak, dan 2 dari 100 anak akan meninggal dunia karena batuk
reja serta 1 dari 100 anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dari setiap
200.000 anak, 1 anak akan menderita penyakit polio.
Berdasarkan laporan WHO, 87 negara dari 193 anggotanya memiliki
angka kejadian hepatitis B kronis yang tinggi (≥ 8 %). Pada 2006, 50 % dari
135 juta bayi baru lahir di dunia berisiko terinfeksi hepatitis B sehingga
berpotensi menjadi hepatitis kronis B yang dapat berakibat kanker hati.
1
Di Amerika Serikat, penyebaran virus polio liar berhenti sekitar 1979,
sementara di Eropa virus tersebut sudah hilang sejak 1991.
Pada tahun 2000 di seluruh dunia dilaporkan 30.000 kasus Difteri dan
3.000 orang (10 %) diantaranya meninggal karena Difteri. Sedangkan untuk
kasus pertusis diperkirakan 39 juta kasus terjadi dan 297.000 kasus
berdampak pada kematian di dunia.
Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sekitar 30.000 - 40.000 anak di
Indonesia setiap tahun meninggal karena serangan campak, ini berarti setiap
dua puluh menit seorang anak Indonesia meninggal karena campak. Virus
hepatitis B ditemukan pada 2,1 - 0,7 % ibu hamil. Penularan hepatitis B pada
bayi baru lahir saat persalinan dari ibu pengidap penyakit hepatitis B berisiko
tinggi (sampai dengan 90 %) selanjutnya bayi akan menjadi hepatitis B kronis
dan dapat menderita kanker hati kelak. Vaksinasi polio dilakukan sejak 1980,
sehingga sepanjang kurun waktu 1995 sampai 2005 tidak ditemukan kasus
poliomyelitis. Namun, sejak Maret 2005, ditemukan penderita di Desa
Girijaya, kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat,
mengakibatkan 307 anak cacat seumur hidup. Dengan adanya vaksinasi polio
rutin dan vaksin tambahan di seluruh Indonesia melalui Pekan Imunisasi
Nasional, penyebaran virus dapat dihentikan sehingga sejak 2006 sampai
sekarang tidak ditemukan lagi kasus polio baru. Angka kejadian TB masih
tinggi, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Cina.
Diperkirakan penderita tuberculosis tahun 2006 sekitar 234 orang per 100.000
penduduk. Sedangkan menurut WHO, 175.000 orang di Indonesia setiap
tahun meninggal dunia karena tuberculosis dan terdapat 450.000 kasus baru
setiap tahun. Menurut laporan di beberapa Rumah Sakit di Indonesia,
kematian penderita Difteri berkisar 32,5 % - 37,14 %.
Indikator keberhasilan pelaksanaan imunisasi diukur dengan pencapaian
Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan, yaitu minimal 80% bayi
di desa/ kelurahan telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Persentase
pencapaian UCI di tingkat desa/kelurahan di Indonesia dari tahun 2004
sampai tahun 2008 cenderung mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004 (69,43
2
%), 2005 (76,23 %), 2006 (73,26 %), 2007 (71,18 %), dan 2008 (74,02 %)
(Depkes, 2008).
Kementerian Kesehatan menargetkan pada tahun 2014 seluruh
desa/kelurahan mencapai 100% UCI atau 90% dari seluruh bayi di
desa/kelurahan tersebut memperoleh imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari
BCG, Hepatitis B, DPT-HB, Polio dan campak. Guna mecapai target 100%
UCI desa/kelurahan pada tahun 2014 perlu dilakukan berbagai upaya
percepatan melalui Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional untuk mencapai
UCI (GAIN UCI) seperti yang telah ditetapkan dalam Keputusan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomer :
482/MENKES/SK/IV/2010 tentang Gerakan Akselarasi Imunisasi Nasional
Universal Child Immunization 2010-2014 (GAIN UCI 2010-2014). GAIN
UCI merupakan upaya terpadu berbagai sektor terkait dari tingkat Pusat
sampai Daerah untuk mengatasi hambatan serta memberikan dukungan untuk
keberhasilan pencapaian UCI desa/kelurahan.
Berdasarkan angka kematian balita akibat PD3I yang ada, maka masih
sangat diperlukan upaya-upaya dari instasi kesehatan untuk meningkatkan
program imunisasi demi terwujudnya eradikasi penyakit terkait PD3I,
mengingat masih banyak desa yang merupakan kantong rentan terhadap
penyakit khususnya kawasan terisolir. Keberhasilan pelaksanaan program
imunisasi sangat membutuhkan dukungan dan partisipasi dari semua elemen
masyarakat dan tak lepas dari peran petugas pelayanan kesehataan setempat.
Penting bagi mahasiswa FK UNS sebagai calon tenaga medis untuk
mempelajari dasar-dasar imunisasi di tempat pelayanan kesehatan sebagai
bekal nantinya saat terjun di tengah-tengah masyarakat.
3
B. Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan dari serangkaian kegiatan field lab topik imunisasi yang telah
dilakukan mahasiswa adalah agar mahasiswa mampu melakukan tindakan
imunisasi
2. Tujuan khusus
a. Mampu menjelaskan tentang dasar-dasar imunisasi dan imunisasi
dasar di Indonesia.
b. Mampu melakukan manajemen program dan prosedur imunisasi
dasar bayi dan balita, anak sekolah, ibu hamil, dan calon pengantin
wanita di Puskesmas mulai dari perencanaan, cold chain vaksin,
pelaksanaan (termasuk penanganan Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi/KIPI), pelaporan, dan evaluasi keberhasilan program
imunisasi .
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Imunisasi
Imunisasi atau pemberian vaksin telah lama digunakan untuk mencegah
penyakit ( Humas Kliping UI, 2006). Menurut hikayat Raja Pontus, dia
melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik,
dan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies. Pembuatan vaksin
sendiri baru dimulai tahun 1877 oleh Pasteur menggunakan kuman hidup
yang dilemahkan yaitu untuk vaksinasi cowpox dan smallpox; pada tahun
1881 mulai dibuat vaksin anthrax dan tahun 1885 dimulai pembuatan vaksin
rabies (Parish, 1965).
Lain halnya di Indonesia, sejarah imunisasi dimulai pada tahun 1956
dengan imunisasi cacar; dengan selang waktu yang cukup jauh yaitu pada
tahun 1973 mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberkulosis, disusul
imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil pada tahun 1974; imunisasi DPT
(difteri, pertusis, tetanus) pada bayi mulai diadakan pada tahun 1976. Pada
tahun 1977 WHO mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global
dengan EPI (Expanded Program on Immunization) dan pada tahun 1981
mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak mulai
diberikan, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan (Subdit
Imunisasi, 2004).
Imunisasi pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk
menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan
sakit atau sakit ringan (Matondang & Siregar, 2005).
Kekebalan seseorang terhadap penyakit infeksi terbentuk akibat respons
tubuhnya terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Sistem kekbalan kita
mengenal mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit yang
5
disebut antigen. Terdapat dua jalur pertahanan dalam tubuh manusia yaitu
adalah imunitas lahiriah (imunitas non spesifik) dan imunitas yang didapat
setelah lahir (imunitas spesifik). (Satgas Imunisasi PP IDAI, 2011)
Respons imun spesifik dibagi dua yaitu respons antibodi dan respons imun
seluler. Respons antibodi disebut juga respons humoral yang bereaksi secara
spesifik terhadap antigen yang bebas di sirkulasi dan jaringan, seperti kuman
difteri, tetanus, pneumokok, H. influenzae dan kuman pertusis. Jika limfosit
yang pertama kali dirangsang oleh mikroorganisme patogen yang masuk ke
dalam sel tubuh, maka mikroorganisme akan dikenali oleh sel T yang akan
memperbanyak diri dan menghancurkan mikroorganisme tersebut. Selain itu
sebagai sel T akan berubah menjadi sel memori yang akan dengan cepat
bertambah banyak jika organism yang sama datang lagi. (Satgas Imunisasi PP
IDAI, 2011)
Selain itu, tubuh juga membentuk sel B memori yang perannya sangat
penting dalam pertahanan tubuh. Sel B memori akan bersirkulasi dalam darah
dan kelenjar getah bening selama ini bertahun-tahun dan siap melawan
antigen yang sama di kemudian hari. Respons imun seluler akan mengenal
antigen yang berada di dalam sel dan menghancurkannya. (Satgas Imunisasi
PP IDAI, 2011)
B. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
1. Difteri
Penyakit yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphteriae dengan
gejala panas lebih kurang 38oC disertai adanya pseudo membran (selaput
tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak
mudah lepas dan mudah berdarah. Dapat disertai nyeri menelan, leher
membengkak seperti leher sapi (bull neck) dan sesak nafas disertai bunyi
(stridor) dan pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat
kuman difteri.
2. Pertusis
6
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bardetella pertusis dengan gejala
batuk beruntun dan pada akhir batuk menarik nafas panjang terdengar
suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah. Serangan batuk
lebih sering pada malam hari. Akibat batuk yang berat dapat terjadi
pedarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan di sekitar
mata (oedema periorbital). Lamanya batuk bisa mencapai 1-3 bulan dan
penyakit ini sering disebut penyakit 100 hari. Pemeriksaan lab pada apusan
lendir tenggorokan dapat ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis).
3. Tetanus
Penyakit disebabkan oleh Clostridium tetani dengan terdiri dari
tetanus neonatorum dan tetanus. Tetanus neonatorum adalah bayi lahir
hidup normal dan dapat menangis dan menetek selama 2 hari kemudian
timbul gejala sulit menetek disertai kejang rangsang pada umur 3-28 hari.
Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus
sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan
opistotonus (badan melengkung) pada umur di atas 1 bulan.
4. Tuberkulosis
Penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosa menyebar
melalui pernapasan lewat bersin atau batuk, gejala awal adalah lemah
badan, penurunan berat badan, demam dan keluar keringat pada malam
hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada dan dapat
terjadi batuk darah.
5. Campak
Penyakit yang disebabkan oleh virus measles, disebarkan melalui
droplet bersin atau batuk dari penderita, gejala awal penyakit adalah
demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, conjunctivitis (mata merah),
selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke
tubuh, tangan serta kaki.
6. Poliomielitis
Penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga
virus yang berhubungan, yaitu virus polio type 1, 2, atau 3. Secara klinis
7
penyakit polio adalah anak di bawah umur 15 tahun yang menderita
lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis/AFP). Penyebaran penyakit
adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan
dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada
minggu pertama sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan
terinfeksi dan tidak segera ditangani.
7. Hepatitis B
Penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati.
Penyebaran penyakit terutama melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu
ke bayi selama proses persalinan, melalui hubungan seksual. Infeksi pada
anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah lemah,
gangguan perut dan gejala lain seperti flu, urine menjadi kuning, kotoran
menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula mata ataupun kulit.
Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatis,
kanker hati dan menimbulkan kematian.
8. Meningitis Meningokokus
Penyakit akut radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri
Neisseria meningitidis. Meningitis penyebab kematian dan kesakitan
diseluruh dunia, CFR melebihi 50%, tetapi dengan diagnosis dini, terapi
modern dan suportif CFR menjadi 5 - 15%. Pencegahan dapat dilakukan
dengan imunisasi dan kemoprofilkasis untuk orang-orang yang kontak
dengan meningitis dan karier (muchlastriningsih, 2005). Pemerintah sejak
tahun 1977 telah mengembangkan program imunisasi untuk menangani
PD3I diatas sesuai jadwal dan vaksin yang khusus (Kemenkes, 2004).
C. Indikasi, Kontraindikasi, dan Efek Samping
1. Hepatitis B
Indikasi: Hepatitis B
Kontraindikasi: anak yang sakit berat
Efek samping: selama 10 tahun belum dilaporkan ada efek samping yang
berarti
8
2. BCG
Indikasi: tuberculosis
Kontraindikasi: tidak ada larangan, kecuali pada anak yang berpenyakit
TBC atau uji mantoux positif dan adanya penyait kulit menahun
Efek samping: jarang dijumpai, bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah
bening setempat yang terbatas dan biasanya sembuh sendiri walaupun
lambat.
3. DPT
Indikasi: Difteri, pertusis, tetanus
Kotraindikasi: anak yang sakit parah, anak yang menderita penyakit
kejang, demam kompleks, anak yang menderita batuk rejan, anak yang
menderita penyakit gangguan kekebalan.
Efek samping: gejala-gejala yang bersifat sementara seperti lemas,
demam, kemerahan pada tempat suntikan. Kadang-kadang terdapat efek
samping yang lebih berat seperti demam tinggi atau kejang, yang biasanya
disebabkan unsur pertusisnya.
4. Poliomielitis
Indikasi: poliomielitis
Kontraindikasi: diare berat, sakit parah, gangguan kekebalan.
Efek samping: hampir tidak ada, bila ada berupa kelumpuhan anggota
gerak, seperti polio sebenarnya.
5. Campak
Indikasi : Campak
Kontraindikasi : sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan, kurang gizi
dalam derajat berat, gangguan kekebalan, penyakit keganasan. Dihindari
pula pemberian pada ibu hamil.
Efek Samping : Sangat jarang, mungkin dapat terjadi kejang dan tidak
berbahaya pada hari ke-10-12 setelah penyuntikan. Dapat terjadi radang
otak 30 hari setelah penyuntikan tapi angka kejadiannya sangat rendah.
9
C. Jadwal Imunisasi dan Vaksinasi
Vaksin hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, karena vaksinasi
HepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan
rantai penularan dari ibu kepada bayinya segera setelah lahir. Jadi imunisasi
HepB-1 diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, mengingat sedikitnya
3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan resiko penularan kepada
bayi sebesar 45%.
Sumber: Satgas IDAI
Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan setelah imunisasi HepB-1
yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 6
bulan. (Satgas Imunisasi PP IDAI, 2011)
Vaksinasi BCG optimal diberikan pada umur 2 sampai 3 bulan. Bila vaksin
BCG akan diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin.
Bila uji tuberkulin pra-BCG tidak dimungkinkan, BCG dapat diberikan,
namun harus diobservasi dalam 7 hari. Bila ada reaksi lokal cepat di tempat
suntikan (accelerated local reaction), perlu dievaluasi lebih lanjut (diagnostik
TB). Vaksinasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
Imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan ( DTP tidak
boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan jarak 4-8 minggu. Dapat
10
diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan Hepatitis B atau
Hib. DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan
DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP selanjutnya diberikan satu tahun
setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat mausk
sekolah dasar umur 5 tahun.
Vaksin polio diberikan 5 kali sejak bayi lahir. Polio-0 diberikan saat bayi
meninggalkan rumah sakit /rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain
karena virus polio vaksin dapat dikeluarkan melalui tinja. Untuk imunisasi
polio dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan, interval
antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. Vaksinasi polio ulangan
diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4 dan imunisasi selanjutnya
dilakukan saat masuk sekolah (5-6 tahun).
Vaksin campak disuntikkan pada umur 9 bulan. Dari hasil studi Badan
Penelitian dan pengembangan dan Dirjen PPM&PL Kementrian Kesehatan di
4 provinsi, 18,6-32,6% anak sekolah mempunyai kadar campak di bawah
batas perlindungan, sehingga dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah.
Karena itu selain vaksinasi umur 9 bulan, vaknisasi campak dapat diberikan
pada kesempatan kedua pada mur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6.
Vaksin Hib (Haemophillus influenza tipe b) disuntikkan pada umur 2, 4
dan 6 bulan, dapat diberikan dalam bentuk kombinasi, yang bertujuan untuk
mempersingkat jadwal vaksinasi, mengurangi jumlah suntikkan dan
mengurangi kunjungan. Vaksin Hib perlu diulang pada umur 15 bulan.
Vaksin pneumokokus dapat diberikan pada umur 2, 4, 6, 12-15 bulan. Pada
umur 7-12 bulan, diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur > 1
tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada umur
> 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di
atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Vaksin influenza berisi dua virus influenza subtipa A dan subtype B.Vaksin
influenza untuk mencegah flu berat yang disebabkan oleh virus influenza.
11
Vaksin influenza disuntikkan pada anak umur 6-23 bulan, setiap tahun. Untuk
vaksinasi primer anak diberikan pada umur 6 bulan - <9 tahun.diberikan 2
kali dengan interval minimal 4 minggu.
Vaksin MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan jika anak belum
mendapat vaksinasi campak pada umur 9 bulan. Selanjutnya vaksinasi
ulangan diberikan pada umur 5-7 tahun.
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14
minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya
vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan
tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen : dosis ke-1
diberikan umur 6-12 minggu, interval dosis ke-2, dan ke-3 4-10 minggu,
dosis ke-3 diberikan pada umur < 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur
sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur > 12 tahun, perlu 2
dosis dengan interval minimal 4 minggu.
D. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) dan Penanganannya
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau adverse events following
immunization adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam
masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan
KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella),
atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien
imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi
virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien
imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi
simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek
12
langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek
farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi
idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.
Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi
karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan
seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi
alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong,
influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin,
merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.
Menurut Departemen Kesehatan (2005), KIPI adalah semua kejadian
sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi,
yang diduga ada hubungannya dengan pemberian imunisasi. Menurut
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), KIPI dibagi menjadi 3 (tiga)kategori,
yaitu:
1. Related programme atau hal – hal berkaitan dengan kegiatan imunisasi,
misalnya timbul bengkak bahkan abses pada bekas suntikan vaksin.
Biasanya karena jarum tidak steril. Contoh lain adalah kelenjar limfe
misalnya di daerah ketiak, atau lipat paha membengkak dan terasa sedikit
nyeri. Ini akibat aktivitas sistem kekebalan tubuh yang menerima vaksin
tersebut.
2. Reaction related to properties of vaccine atau reaksi terhadap sifat – sifat
yang dimiliki oleh vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja reaksi
terhadap bahan campuran vaksin. Reaksi ini biasanya berupa
pembengkakan, kemerahan, demam (misalnya terhadap vaksin campak,
biasanya akan normal kembali dalam satu hari).
3. Coincidental atau koinsidensi. Koinsidensi adalah dua kejadian secara
bersama tanpa adanya hubungan satu sama lain. Ketika anak menerima
imunisasi, sebenarnya dia sudah dalam keadaan masa perjalanan penyakit
yang sama atau penyakit lain (masa tunas) yang tidak ada hubungannya
dengan vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja, anak sedang dalam
13
perjalanan mau sakit batuk pilek atau diare bahkan seringkali penyakit
akut yang lebih serius disertai demam.
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi
karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta
penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi,
atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah
laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM)
USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja.
Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan
prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian
besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu
unutk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:
1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. derajat sakit resipien
4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,
kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur
Ada 5 (lima) kelompok faktor etologi yang dapat menyebabkan KIPI
menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:
Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat
terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
1. Dosis antigen (terlalu banyak)
14
2. Lokasi dan cara menyuntik
3. Sterilisasi semprit dan jarum suntik
4. Jarum bekas pakai
5. Tindakan aseptik dan antiseptik
6. Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
7. Penyimpanan vaksin
8. Pemakaian sisa vaksin
9. Jenis dan jumlah pelarut vaksin
10. Tidak memperhatikan petunjuk produsen
11. Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat
suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut,
pusing, mual, sampai sinkope.
Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan
secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala
klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian.
Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam
petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi
khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik
lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini
harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
15
Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi
secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini
ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada
kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak
mendapatkan imunisasi.
Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan
kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam
kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn
kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab
KIPI.
Gejala Klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Reaksi KIPI Gejala KIPI
Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis,
BCG-itis
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang
16
Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5°C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus (3jam)
Sindrom syok septik
Sumber: RT Chen, 1999
Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek
samping, maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu
diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi
cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada
umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan
observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala
klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu
timbulnya gejala klinis.
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul
KIPI
Toksoid Tetanus
(DPT, DT, TT)
Syok anafilaksis
Neuritis brakhial
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
4 jam
2-18 hari
tidak
tercatat
17
Pertusis whole cell
(DPwT)
Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
4 jam
72 jam
tidak
tercatat
Campak Syok anafilaksis
Ensefalopati
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
4 jam
5-15 hari
tidak
tercatat
Trombositopenia
Klinis campak pada resipien
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
7-30 hari
6 bulan
tidak
tercatat
Polio hidup
(OPV)
Polio paralisis
Polio paralisis pada resipien
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
30 hari
6 bulan
Hepatitis B Syok anafilaksis
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
4 jam
tidak
tercatat
BCG BCG-itis 4-6 minggu
Sumber: RT Chen, 1999
Angka Kejadian KIPI
18
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis.
Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis
DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1
juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak
mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif
juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah
imunisasi.
Imunisasi Pada Kelompok Resiko
Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan
apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan
kelompok resiko adalah:
Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu
Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP
KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk
penanganan segera
Bayi berat lahir rendah
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi
cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan
adalah:
Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar pada bayi
cukup bulan
Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan
diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan
imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila
ibu mengandung HbsAg
Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang
diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak
menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja
19
Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar
atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid
jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien
imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia.
Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil
dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada
anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat
badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari.
Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid
dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk
menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.
Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi
Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu
sehat kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu
terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta
perhatian khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap
pelaksana vaksinasi.
Komite Petugas Pelaksana KIPI
WHO sangat serius menanggapi isu KIPI, maka para ahli di setiap
regional yang dikoordinir oleh kantor pusat WHO selalu mengadakan
pertemuan dan pembahasan tentang KIPI. Indonesia merupakan salah satu
negara yang tergabung dalam South East Asia Regional Officer (SEARO),
dimana SEARO terhadap masalah KIPI.
Di Indonesia, ada komite khusus yang berkaitan dengan KIPI, yaitu
Komnas PP KIPI. Komnas PP KIPI adalah Komite Nasional Pengkajian dan
20
Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang sifatnya independen
dalam mana anggotanya terdiri dari para dokter senior yang memiliki
keahlian dalam bidang kesehatan anak dan imunisasi, serta pakar dalam
bidang mikrobiologi khususnya virology (ahli virus).
Di samping itu, anggota lain meliputi para ahli di bidang vaksin atau
vaksionologi, ahli bidang obat – obatan dan khasiatnya atau farmakologi,
ahli kesehatan masyarakat dan epidemologi, ahli hukum kedokteran dan
forensik, pakar hukum, anggota profesi IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia), POGI (ahli kebidanan dan penyakit kandungan), PAPDI (ahli
penyakit dalam), ISFI (Ikatan profesi bidang farmasi), Balitbangkes
(Penelitian dan Pengembangan Depkes) serta Ditjen P2MPL
(Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan). Tugas dari
Komite Nasional Independen ini adalah melakukan analisis setiap informasi
dan menelaah kasus – kasus KIPI atau dugaan KIPI serta meninjau
keseluruhan pola dari laporan, pelacakan dan membuat analisa hubungan
sebab akibat KIPI pada kasus yang belum dan sudah disimpulkan oleh
Komite daerah KIPI.
Di Indonesia setiap ditemukan kasus dugaan KIPI harus dicatat. Untuk
itu, ada formulir pemantauan KIPI. Para dokter ataupun bidan yang
memberikan imunisasi harus memahami hal ini. Pengisian formulir adalah
tugas petugas kesehatan. Tentu saja penanggulangan KIPI itu sendiri yang
harus diutamakan. Formulir isian dikirim ke tingkat provinsi dan tingkat
pusat untuk dievaluasi. Bila perlu akan dikirim sebuah tim untuk melakukan
penyelidikan. Setiap provinsi memilikik Komite daerah (Komda) Petugas
Pelaksana KIPI (Komda PP KIPI) yang dilengkapi dengan komite ahli.
Sedangkan di tingkat pusat Komite Nasional Petugas Pelaksana KIPI
(Komnas PP KIPI) diketuai oleh seorang professor spesialis anak dan dokter
– dokter ahli dalam bidangnya untuk menentukan apakah kejadian ikutan
tersebut disebabkan oleh imunisasi, koinsidens atau karena hubungan
dengan vaksin. (BUMN, 2010)
21
BAB III
KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN
Kelompok A7 mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan field lab di
Puskesmas Wonogiri I yang terletak di desa Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,
Kabupaten Wonogiri. Kegiatan field lab keterampilan imunisasi dilaksanakan
dalam 3 kali pertemuan.
1.A. Pertemuan I Selasa , 10 April 2012
Kegiatan yang kami lakukan pada minggu pertama field lab di
Puskesmas Wonogiri I adalah mendapat bimbingan dari dr. Pitut Kristiyanta
Nugraha, MM selaku kepala Puskesmas Wonogiri I. Kami mendapat
pengarahan tentang keterampilan imunisasi. Setelah dijelaskan tentang
materi imunisasi, kami dijelaskan oleh Bapak Tari Hutomo, AMG selaku
ketua Pokja Gizi tentang 7 pokja, asupan gizi yang baik diberikan pada bayi
dan balita, dan penanganan-penanganan dalam masalah gizi pada bayi dan
balita. Kami mendapat pengarahan dari Ibu Marmi tentang pengenalan alat
imunisasi, vaksin-vaksin yang digunakan untuk imunisasi, cara
penyimpanan vaksin yang benar, dan perhitungan sasaran dan target
cakupan. Kami mendapat pengarahan dari instruktur lapangan Ibu Idayu K.
E, SKM selaku ketua Pokja Promosi Kesehatan dan instruktur lapangan,
beliau menjelaskan tentang kegiatan yang akan dilakukan pada pertemuan
ke 2 dan ke 3, pembagian kelompok kecil, dan pengarahan tentang sistem
pembuatan laporan field lab.
Kelompok kami terdiri dari 11 mahasiswa yang dibagi menjadi 3
kelompok yang ditentukan dengan cara diundi namanya secara acak untuk
pelaksanaan observasi pada pertemuan kedua. Berikut ialah rincian
pembagian kelompok kecil:
22
1. Kelompok 1 : Rifqi Hadyan, Fitri Febrianti Ramadhan,
Egtheastraqita Chitivema, R.A. Sitha Anisa
2. Kelompok 2 : Riyan Angga Putra, Ery Radiyanti, Rachmania
Budiati, Ida Bagus Ananta
3. Kelompok 3 : Arga Scorpianus, Siti Nurhidayah, Dhia
Ramadhani
Tiap kelompok tersebut melakukan kegiatan observasi imunisasi
terhadap 20 bayi .
1.B. Pertemuan II Selasa, 1 Mei 2012
Pertemuan kedua, setiap kelompok kecil melakukan pengamatan
terhadap pelaksanaan imunisasi di Puskesmas Wonogiri 1.
1. Kelompok 1
Kelompok 1 beranggotakan Rifqi Hadyan, Fitri Febrianty,
Egtheastraqita C, dan R.A. Sitha Anisa. Kami adalah kelompok
pertama yang melakukan pengamatan proses imunisasi terhadap 20
bayi pertama. Setelah itu kami melakukan pengamatan terhadap
pendataan dan penimbangan. Selanjutnya, kami mendokumentasi
proses imunisasi dan keadaan di puskesmas. Dalam hal pelaksanaan
kami menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan dasar teori,
seperti:
Bayi bernama Armeta berumur 9 bulan dengan berat badan 8.4 kg
diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya
imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4
diberikan pada umur 4 bulan.
Bayi bernama Arya berumur 9 bulan dengan berat badan 6.5 kg
diimunisasi campak. Kondisi Arya pada saat imunisai sedang demam
namun tetap diimunisasi.
Bayi bernama Arfo tidak jadi diimunisasi DPT/HB 1 dan Polio 2
karena belum tepat 2 bulan sehingga disarankan untuk datang
imunisasi pada tanggal 15 Mei 2012.
23
Bayi bernama Mifta berumur 9 bulan dengan berat badan 7.9 kg
diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya
imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4
diberikan pada umur 4 bulan.
2. Kelompok 2
Kelompok 2 beranggotakan Riyan Angga Putra, Ery Radiyanti,
Rachmania Budiati, Ida Bagus Ananta. Kami mengamati pendataan
dan penimbangan bayi. Setelah itu kami mengamati proses imunisasi
terhadap 20 bayi. Selanjutnya, kami mendokumentasi proses
imunisasi dan keadaan di puskesmas. Dalam hal pelaksanaan kami
menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan dasar teori,
seperti:
Bayi bernama Sofia berumur 3.5 bulan dengan berat badan 5.5 kg
diimunisasi DPT/HB 2 dan Polio 2, seharusnya Sofia diberikan
DPT/HB 2 dan Polio 3.
Bayi bernama Satrio berumur 9 bulan dengan berat badan 9.8 kg
diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya
imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4
diberikan pada umur 4 bulan.
Bayi bernama Fasha berumur 9 bulan dengan berat badan 7.1 kg
diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya
imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4
diberikan pada umur 4 bulan.
3. Kelompok 3
Kelompok 3 beranggotakan Arga Scorpianus, Siti Nurhidayah,
Dhia Ramadhani. Kami medokumentasikan keadaan di puskesmas.
Setelah kami melakukan pengamatan terhadap pendataan dan
penimbangan bayi. Selanjutnya, kami melakukan pengamatan proses
imunisasi. Dalam hal pelaksanaan kami menemukan beberapa hal
yang tidak sesuai dengan dasar teori, seperti:
24
Bayi bernama Vransiska berumur 1 bulan dengan berat badan 2.9
kg menurut indeks BB/U termasuk status gizi kurang, tetapi tetap
diberikan imunisasi BCG dan Polio 1.
Bayi bernama Fandi berumur 9.5 bulan dengan berat badan 7.1 kg
diimunisasi Campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya
imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4
diberikan pada umur 4 bulan.
1.C. Pertemuan III Selasa, 15 Mei 2012
Pertemuan ketiga direncanakan untuk kegiatan seminar (presentasi
hasil) kegiatan field lab Keterampilan Imunisasi di ruang aula Puskesmas
Wonogiri I. Seminar ini akan dihadiri oleh kepala Puskesmas (dr. Pitut
Kristianta Nugraha, MM) dan tujuh Pokja yaitu Pokja Admin (Suseno, HS),
Pokja Yanmen (dr. Indri S), Pokja Kesga (Aslihatut T, AM.Keb), Pokja Gizi
(Tari Hutomo, AMG), Pokja P2 (H. Marsudi, S.Kep), Pokja Kesling
(Bambang H, Am.KL), Pokja Promkes (Idayu KE, SKM), Bendahara (Dwi
Rahmanti, SKM) dan Dokter Poli KIA (Tri Rahayu Sutanti, dr.).
25
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Perencanaan Imunisasi di Puskesmas Wonogiri 1
1. Menghitung Jumlah Sasaran
Jumlah sasaran ini diperoleh dari Data Sasaran Program Kesga, Perbaikan
Gizi, dan Imunisasi Tahun 2012 UPT Puskesmas Wonogiri 1 Kecamatan
Wonogiri Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah. Jumlah sasaran bayi usia 0-
11 bulan adalah 655 bayi.
2. Menentukan Target Cakupan
Berikut adalah penentuan target cakupan menurut WHO
BCG : 95%
Campak : 90%
DPT/HB 1 : 95%
DPT/HB 2 : 93%
DPT/HB 3 : 90%
Polio 1 : 95%
Polio 2 : 93%
Polio 3 : 92%
Polio 4 : 95%
HB(0) (0-7hari) : 80%
26
3. Menghitung Indeks Pemakaian (IP) Vaksin
Berikut adalah IP vaksin nasional
BCG : 3,5
DPT : 3,5
Campak : 3,6
Polio : 6
DT : 8
TT : 6
HB(0) : 1
4. Menghitung Pemakaian atau Kebutuhan Vaksin
Vaksin yang diperlukan (ampul/vial) = [Jumlah Sasaran X Target
(%)] / IP Vaksin
Vaksin BCG = (655 X 95%) / 3,5 = 104
Vaksin DPT/HB 1 = (655 X 95%) / 3,5 = 104
Vaksin DPT/HB 2 = (655 X 93%) / 3,5 = 175
Vaksin DPT/HB 3 = (655 X 90%) / 3,5 = 169
Campak = (655 X 90%) / 3,6 = 164
Polio 1 = (655 X 95%) / 6 = 104
Polio 2 = (655 X 93%) / 6 = 102
27
Polio 3 = (655 X 92%) / 6 = 101
Polio 4 = (655 X 90%) / 6 = 99
HB(0) = (655 X 80%) / 1 = 524
5. Menghitung Kebutuhan Alat Suntik dan Safety Box
1) Alat Suntik 0.05 ml untuk imunisasi BCG
Kebutuhan = Sasaran X Target Cakupan BCG = 655 X 95% = 622
2) Alat Suntik 0.5 ml untuk imunisasi DPT, Campak, Hepatitis B
Kebutuhan Alat suntik = Sasaran X Target Cakupan (DPT/HB 1,
DPT/HB 2, DPT/HB 3, Campak, Hepatitis B)
DPT/HB 1 = 655 X 95% = 622
DPT/HB 2 = 655 X 93% = 609
DPT/HB 3 = 655 X 90% = 590
Campak = 655 X 90% = 590
Hepatitis B (0) = 655 X 80% = 524
3) Alat Suntik 5 ml (oplos)
Kebutuhan alat suntik untuk oplos= Jumlah vaksin yang dibutuhkan
= Jumlah Vaksin BCG + Campak
= 178 + 163
= 341
4) Safety Box (SB)
28
SB 5 liter menampung 100 alat suntik. Sehingga Kebutuhan safety box
5 liter adalah jumlah total alat suntik BCG, DPT, HB, campak dan alat
suntik untuk oplos dibagi 100.
SB 5 liter = BCG + DPT/HB 1 + DPT/HB 2 + DPT/HB 3 + Campak
+ HB (0) + alat suntik oplos = (622 + 622 + 609 + 590 + 590 + 524 +
341) = 3898/100 = 38,98 ≈ 39 buah
Tabel: Daftar Identitas Bayi beserta Jadwal Imunisasinya Tanggal 1 Mei 2012
No Nama Bayi Nama Orang
Tua
Alamat Umur
(bulan)
Berat
Badan
Jenis
Imunisasi
yang
Diberikan
1 M. Wildan Aprilia Dwi Pokok 3 5.6 DPT/HB 2,
Polio 3
2 Rahmad
W.
Suyoto Bulusulur 4 7.6 DPT/HB 3,
Polio 4
3 Armeta D.
A.
Didik S. Semin W 9 8.4 Polio 4,
Campak
4 Satria Ardi Jati Bedug Triyanto 2 5.5 DPT/HB 1,
Polio 2
5 Fina Davit Sumberejo 10 7 Campak
6 Joevita Suparjo Lemah Ireng 3,7 5.2 DPT/HB 2,
Polio 3
7 Arya Marsikin Sumberejo 9 6.5 Campak
8 Nabila
Jihan
Kusmanto Pokok 2,5 4.5 DPT/HB 1,
Polio 2
29
9 Arfo Setyo Kurang
2 bulan
DPT/HB 2 ,
Polio
10 Narendra Joko P. Geneng 5.2 - DPT/HB 1,
Polio 2
11 Alya
Deyvi
Panji Semin W 4.5 4.9 DPT/HB 3,
Polio 4
12 M. Saka Sumadi Jati Bedug 4 7.1 DPT/HB 3,
Polio 4
13 Nikita Ribut Geneng 2 4.5 DPT/HB 1,
Polio 2
14 Devi Supriyadi Bulusulur 4.13 5.6 DPT/HB 3,
Polio 4
15 Mifta Tuqi Tri H. Geneng 9 7.9 Polio 4,
Campak
16 Naumi Beni Pokok 2 4.5 DPT/HB 1,
Polio 2
17 Qiana Zea Sangga Pokok 19 hari 3 BCG, Polio 1
18 Fathin
Putri
Suranto Pokok 21 hari 3 BCG, Polio 1
19 Zivara Suranto Groglon 19 hari 4.2 BCG, Polio 1
20 Kurniawan Siswanto Ringinharjo 9 7.8 Campak
21 Sofia Putri
Utami
Heri Cubluk 3.5 5.5 DPT/HB 2,
Polio 2
22 Anugrah Sutarmo Bonaran 2.8 5.5 DPT/HB 1,
30
Polio 2
23 Ananda
gagah
Suroso Jati Bedug 5 6.8 DPT/HB 3,
Polio 4
24 Abimanyu Jumadi Bulusari 2 4.5 DPT/HB 1,
Polio 2
25 Yanuar Santana Bulusari 4 6.4 DPT/HB 2,
Polio 3
26 Qunarsih Marsono Geneng 2.5 4.8 DPT/HB 1,
Polio 2
27 Azhaka Tarmin Malangsari 3 5.9 DPT/HB 2,
Polio 3
28 Nia Aulia Barono Sukorejo 4 5.7 DPT/HB 3,
Polio 4
29 Navis Sugeng P. Norogo 23 hari 3.3 BCG, Polio 1
30 Kemala Ratno Lemah Ireng 9 6.4 Campak
31 Defa Slamet Lemah Ireng 3 5.5 DPT/HB 2,
Polio 3
32 Khanza Wahyu Mloko Weta 9 8.6 Campak
33 Hanif Wardoyo Geneng 2 5.7 DPT/HB 1,
Polio 2
34 Satrio Sunarto Jatirejo 9.2 9.8 Polio 4,
Campak
35 Iqbal Domo Bulusari 1 3.6 BCG, Polio 1
36 Zaki Nabil Sandi Pokok 29 hari 3.7 BCG, Polio 1
31
37 Iyustisia Tukini Manjung W 23 hari 3.7 BCG, Polio 1
38 Hanif Purwanto Brubuh 4 6.8 DPT/HB 3,
Polio 4
39 Fasha Edi Suyitno Jati Bedug 9 7.1 Polio 4,
Campak
40 Daril Erik Kedungringin 2.5 5.8 DPT/HB 1,
Polio 2
41 Asifa Eri Nurjianto Lemah Ireng 4.5 5.5 DPT/HB 3,
Polio 4
42 Vransisca Petrus Kedungsono 1 2.9 BCG, Polio 1
43 Mahardika Tri
Mahardiyant
o
Trines 1 4.5 BCG, Polio 1
44 Eka
Yuliana
Sriyono Kedungsono 9.5 6.4 Campak
45 Dwi
Suyanto
Sulardi Kedungsono 4 5.5 DPT/HB 3,
Polio 4
46 Hasan Slamet
Suradi
Pokok 3 7.5 DPT/HB 2,
Polio 3
47 Fara Umarwanto Wonosari 11 7.7 Campak
48 Reihan Tri Setyo N Samin W. 20 hari 3.9 BCG, Polio 1
49 Syarif G. Parta Wiro 9.5 9.2 Campak
32
Warurejo
50 Nadalia Edi Wonosari 4 6.5 DPT/HB 3,
Polio 4
51 Valintina Alex Bewresan 2.5 5.5 DPT/HB 1,
Polio 2
52 Vlavio Darmoade Geneng 4 6.9 DPT/HB 3,
Polio 4
53 Febriana Endra Jati Bedug 3 4.3 DPT/HB 1,
Polio 2
54 Bagus Supadi Bulusari 4 6.3 DPT/HB 3,
Polio 4
55 Panca Edi Kerjo Lor 9 9 Campak
56 Alivia Agung Kebonarum 10.5 7 Campak
57 Bella
Edqina
Beni Bulusari 2 4.7 DPT/HB 1,
Polio 2
58 Adiyasta Suratno Jatirejo 3 5.5 DPT/HB 2,
Polio 3
59 Fandy Nur Sihmiadi Pokok 9.5 7.1 Polio 4,
Campak
60 Anugrah Andri
Wibowo
Sanggrahan 2.5 5.1 DPT/HB 1,
Polio 2
61 Anaya Joko Tiyono Bulusari 2 3.8 DPT/HB 1,
Polio 2
62 Safira Eka Bulusulur 4 5 DPT/HB 3,
33
Hermawan Polio 4
63 Alsa Dedi
Kristianto
Ngerca 2 4.6 DPT/HB 1,
Polio 2
64 Salfa Agus Pengkol 29 2.2 BCG, Polio 1
65 Aufa Jausa Suratman Pelem 5.5 7 DPT/HB 3,
Polio 4
Sumber: Bagian Imunisasi Puskesmas Wonogiri 1, Wonogiri
B. Pembahasan
34
Sebagian besar bayi telah mendapatkan imunisasi sesuai jadwal dan
sejalan dengan teori yang ada. Namun ada beberapa permasalahan pada
beberapa bayi, diantaranya:
1. Nama bayi : Armeta D. A.
Nama orang tua : Didik S.
Alamat : Semin W
Umur : 9 bulan
Berat Badan : 8.4 kg
Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak
2. Nama bayi : Arya
Nama orang tua : Marsikin
Alamat : Sumberejo
Umur : 9 bulan
Berat Badan : 6.5 kg
Jenis Imunisasi : Campak
3. Nama bayi : Arfo Setyo
Nama orang tua : -
Alamat : -
Umur : -
Berat Badan : -
35
Jenis Imunisasi : -
4. Nama bayi : Mifta
Nama orang tua : Tuqi Tri H.
Alamat : Geneng
Umur : 9 bulan
Berat Badan : 7.9 kg
Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak
5. Nama bayi : Sofia Putri Utami
Nama orang tua : Heri
Alamat : Cubluk
Umur : 3.5 bulan
Berat Badan : 5.5 kg
Jenis Imunisasi : DPT/HB2, Polio 2
6. Nama bayi : Satrio
Nama orang tua : Sunarto
Alamat : Jatirejo
Umur : 9.2 bulan
Berat Badan : 9.8 kg
36
Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak
7. Nama bayi : Fasha
Nama orang tua : Edi Suyitno
Alamat : Jati Bedug
Umur : 9 bulan
Berat Badan : 7.1 kg
Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak
8. Nama bayi : Vransisca
Nama orang tua : Petrus
Alamat : Kedungsono
Umur : 1 bulan
Berat Badan : 2.9 kg
Jenis Imunisasi : BCG, Polio 1
9. Nama bayi : Fandy Nur
Nama orang tua : Sihmiadi
Alamat : Pokok
Umur : 9.5 bulan
37
Berat Badan : 7.1 kg
Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak
Seperti yang kita ketahui imunisasi mempunyai jadwalnya masing-masing.
Tetapi ada beberapa permasalahan yang kita dapatkan pada beberapa bayi
yang disebuttkan di atas.
1. Pergeseran jadwal imunisasi
1) Bayi bernama Fandy Nur, Fasha, Satrio, Mifta, Armeta
mendapatkan imunisasi Polio 4 dan Campak secara bersamaan.
Imunisasi Polio 4 seharusnya diberikan pada umur 4 bulan dan
Campak diberikan tersendiri pada umur 9 bulan.
2) Bayi bernama Sofia Putri medapatkan imunisasi DPT/HB1 dan Polio
2 di umur yang lebih dari 2 bulan. Imunisasi DPT/HB1 dan Polio 2
seharusnya dapat diberikan pada umur 2 bulan sesuai dengan jadwal
imunisasi.
38
Pergeseran jadwal imunisasi ini bisa terjadi karena beberapa alasan
salah satunya ketidakdisiplinan orang tua dalam membawa anaknya ke
puskesmas untuk mendapatkan imunisasi. Tetapi pada kenyataannya
beberapa imunisasi masih dapat diberikan kepada bayi sampai umur
11-12 bulan (BCG dapat diberian sampai umur 11 bulan dan polio,
campak, DPT dapat diberikan sampai umur 12 bulan). Walaupun
pemberiannya harus lengkap sesuai dengan imunisasi dasar yang
diberikan termasuk dosis yang tepat.
2. Sakit
Bayi bernama Arya berumur 9 bulan datang ke puskesmas untuk
mendapatkan imunisasi campak tetapi karena demam maka dilakukan
penundaan imunisasi sampai Arya benar-benar sehat. Sebenarnya demam
atau panas bukan merupakan kontra indikasi dari pemberian imunisasi
tetapi untuk menghindari tingkat keparahan dari kejadian pasca imunisasi
seperti vaksin DPT yang mempunyai efek samping menimbulkan panas
selain itu untuk menghindari prasangka buruk dari masyarakat kepada
petugas puskesmas akan demam yang terjadi imunisasi tersebut.
3. Kurang umur
Bayi bernama Arfo umur kurang dari 2 bulan datang ke puskesmas untuk
mendapatkan imunisasi DPT/HB 1 dan polio 2, tetapi imunisasi ini tidak
dapat diberikan karena kurang umur. Hal ini dapat terjadi karena
ketidaktahuan orang tua akan jadwal imunisasi yang tepat.
4. Kurang gizi
Bayi bernama Vransiska umur 1 bulan dengan berat badan 2.9 kg di
berikan imunisasi BCG dan Polio 1. Sebenarnya bayi kurang gizi bukan
merupakan kontra indikasi oleh karena itu Vransiska tetap diberikan
imunisasi. Pihak puskesmas seharusnya memberikan edukasi kepada orang
39
tua tentang bagaimana pemberian makanan seimbang dan bergizi kepada
anak tersebut.
Timbangan yang digunakan dalam penimbangan berat badan bayi sebelum
imunisasi kurang layak digunakan terutama pada kalibrasi timbangan
sehingga hasil penimbangan merupakan hasil yang kurang akurat dan hal ini
akan berdampak pada penentuan status gizi bayi yang bersangkutan.
Sehingga diperlukan penyediaan timbangan yang layak pakai dan tidak
mengacaukan hasil penimbangan dan penentuan status gizi bayi.
Bayi yang ditimbang berat badannya sebaiknya menggunakan pakaian
seminimal mungkin agar hasil penimbangan yang didapatkan benar-benar
merupakan hasil yang akurat. Namun pada kenyataan di lapangan, banyak
bayi memakai pakaian yang berlebihan termasuk topi dan sepatu. Hal ini akan
dapat menjadi faktor perancu hasil penimbangan berat badan bayi dan
penentuan status gizinya. Sehingga hendaknya petugas puskesmas
memberikan pengertian kepada orang tua tentang perlunya penggunaan
pakaian seminimal mungkin pada anaknya sebelum ditimbang.
Air yang digunakan untuk sterilisasi pada daerah yang akan disuntik tidak
dijaga suhunya mulai dari awal pelaksanaan imunisasi yaitu pukul 7.30 WIB
hingga pelaksanaan imunisasi berakhir pukul 10.10 WIB. Air berfungsi untuk
mengilangkan hampir 98% bakteri yang berada di sekitar lokasi injeksi. Tidak
digunakannya alkohol untuk sterilisasi dikarenakan sifat alkohol yang bisa
merusak vaksin. Selain itu, menurut hasil studi yang dipresentasikan oleh Dr.
Matthew Oughton, salah seorang peneliti dari tim Dr. Libman pada kongres
47th Interscience on Antimicrobial Agents and Chemotherapy (ICCAC 2007),
September 2007 di Chicago mengatakan bahwa pencucian dengan air
menghilangkan lebih dari 98% bakteri, pencucian dengan larutan alkohol
hampir tidak menghilangkan sedikitpun, dan protokol dengan handuk
desinfektan menghilangkan sekitar 95% bakteri, Dr. Oughton menjelaskan
bahwa mereka mengira alkohol dapat menghilangkan bakteri ‘hidup’ tapi
40
tidak sporanya. Dari hasil studi yang dilakukan, air hangat lebih efektif
digunakan sebagai pembersih bakteri jika dibandingkan dengan air biasa.
Beberapa orang tua tidak membawa buku KIA (Kesehatan Ibu Anak)
dengan berbagai alasan mulai dari lupa sampai dengan hilang, akibatnya
terjadi hambatan dalam pemantauan jadwal imunisasi sehingga petugas
puskesmas kesulitan menentukan jenis vaksin. Penentuan jenis vaksin yang
akan diberikan hanya mengandalkan keterangan dan pernyataan dari ibu
tentang vaksin apa saja yang sudah diberikan sebelumnya. Sebaiknya,
dibutuhkan persetujuan dari ibu mengenai kesanggupan pemberian imunisasi
dan kebenaran informasi yang disampaikan guna menghindarkan dari
kejadian yang tidak diinginkan pasca imunisasi dan hendaknya petugas
puskesmas selalu mengingatkan untuk selalu membawa buku KIA setiap kali
imunisasi dan memberikan pengertian kepada orang tua tentang pentingnya
informasi yang terdapat pada buku KIA tersebut dalam menunjang
pelaksanaan imunisasi dan pemantauan status gizi anak.
Penyuntikan BCG dilakukan dua kali pada tempat yang sama tanpa
sterilisasi ulang disebabkan injeksi pertama terlepas karena bayi menangis
dan banyak bergerak. Kejadian ini memungkinkan adanya infeksi kuman
yang terikut dalam jarum. Sehingga, dianjurkan untuk melakukan imunisasi
ulang dengan spuit dan vaksin yang baru, serta dilakukan sterilisasi ulang.
Sesekali didapati cairan vaksin masih tertinggal dalam alat suntik. Ini
berarti dosis vaksin yang diberikan kurang yang dapat mengakibatkan tidak
optimalnya proses perangsangan pembentukan antibodi, sehingga akan
menimbulkan imunitas yang kurang. Sebaiknya petugas imunisasi benar-
benar cermat dalam pemberian dosis vaksin yang bersangkutan termasuk
keluarnya vaksin akibat pembuangan gelembung vaksin dan hendaknya
memasukkan vaksin dengan melebihkannya sedikit dari dosis yang ditetapkan
agar dosis vaksin tersebut tepat diberikan.
41
Vaksin beku kering (BCG dan campak) sebelum digunakan hendaknya
dioplos atau dilarutkan terlebih dahulu. Terdapat beberapa prosedur pelarutan
vaksin beku kering. Salah satu diantaranya adalah dengan melilitkan plastik
pada leher ampul vaksin maupun pelarut yang akan dipatahkan lehernya
untuk mencegah kontaminasi dari masuknya udara secara mendadak ke dalam
ampul waktu dipatahkan dan agar vaksin tidak berhamburan keluar. Namun
pada kenyataan di lapangan, pematahan ampul dilakukan tanpa melilitkannya
dengan plastik namun dengan menggunakan baju petugas imunisasi yang
dapat menyebabkan timbulnya kontaminasi baik pada vaksin maupun pelarut.
Sebaiknya petugas imunisasi mematuhi dan melaksanakan prosedur
pematahan leher ampul agar imunisasi yang diberikan tersebut benar-benar
optimal.
Agar sterilisasi tetap terjaga, dapat ditunjang melalui penggunaan
handscone oleh petugas imunisasi pada pemberian imunisasi.
Selain itu juga diperlukan asisten tambahan guna membantu kelancaran
pemberian imunisasi dan pemberian sosialisasi kepada orang tua tentang
imunisasi yang bersangkutan dan efek samping yang mungkin timbul akibat
imunisasi tersebut.
Pencampuran antara pelarut dan vaksin beku kering tidak boleh dilakukan
dengan mengocok namun dilakukan dengan menghisap vaksin dan pelarut
pelan-pelan dan meyuntikan kembali ke dalam ampul atau vial beberapa kali
sampai vaksin tercampur. Namun, pada kenyataannya pencampuran pelarut
dan vaksin dilakukan dengan cara mengocok. Pengocokan dapat
menyebabkan vaksin berbuih dan penuh dengan udara,walaupun buih atau
gelembung udara tersebut dapat dihilangkan dengan pengeluaran melalui
spuit tetapi hal tersebut dapat mengurangi dosis vaksin yang seharusnya
diberikan.
42
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Imunisasi atau pemberian vaksin telah lama digunakan untuk
mencegah penyakit. Imunisasi pada dasarnya merupakan suatu upaya
untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit
tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan.
2. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) antara lain
difteri, pertusis, tetanus, tuberkolusis, poliomielitis, hepatitis B, serta
meningitis meningokokus. Pemerintah sejak tahun 1977 telah
mengembangkan program imunisasi untuk menangani PD3I diatas sesuai
jadwal dan vaksin yang khusus.
3. Pada pelaksanaan imunisasi di puskesmas wonogiri 1 ditemukan
beberapa permasalahan dari pihak peneriama pelayanan imunisasi seperti
pergeseran jadwal imunisasi karena ketidakdisiplinan beberapa orang tua,
bayi yang sakit, kurang umur serta kurang gizi. Selain itu, masih
ditemukan kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya KIA yang
dibuktikan dengan adanya beberapa orang tua yang tidak membawa
ataupun kehilangan KIA.
4. Selain permasalahan di atas, terdapat juga permasalahan dari segi
prosedural pelaksanaan imunisasi seperti penggunaan alat yang kurang
layak, dibutkurangnya sterilitas pelaksanaan imunisasi serta kurangnya
tenaga pelayanan imunisasi.
5. Secara umum pelaksanaan imunisasi di puskesmas wonogiri 1
sudah berjalan baik, tingkat kesadaran masyarakat akan imunisasi pun
tinggi.
43
B. Saran
1. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya kedisiplinan
dalam imunisasi,serta menjaga inventaris imunisasi seperti KIA sebagai
bukti dari pelaksanaan imunisasi.
2. Dibutuhkannya pengetahuan tentang prosedur pelaksanaan imunisasi agar
orang tua dapat ikut mendukung petugas dalam melakukan imunisasi
sehingga imunisasi dapat dilaksanakan dengan optimal.
3. Perlunya peningkatan kualitas alat yang digunakan dalam pelayanan
imunisasi agar hasil yang diperoleh akurat dan optimal.
4. Sebaiknya petugas puskesmas selalu diberikan pelatihan secara rutin guna
terus meningkatkan kinerja dan pelayanan puskesmas dalam melaksanakan
prosedur pelaksanaan imunisasi yang benar.
5. Perlunya tambahan petugas imunisasi untuk membantu pelaksanaan
imunisasi serta memberikan sosialisasi kepada orang tua yang bayinya
telah mendapat imunisasi mengenai imunisasi itu sendiri serta KIPI untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
44
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Melawan Kuman dengan Sabun dan Air Hangat. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/160_19Melawankuman.pdf/16
0_19Melawankuman.pdf
Anonim. Mitos Cuci Tangan Air Hangat. Available from:
http://www.femaleradio.com/index.php?
view=article&catid=49%3Ahealth&id=461%3Amitos-cuci-tangan-
airhangat&optio n=com_content
Anonim. Vaksin dan vaksinasi. Available from: http://directory.umm.ac.id/Data
%20 Elmu/pdf/minggu_3_Vaksin_dan_Vaksinasi.pdf
Anonim. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Available from:
http://www.bumn.go.id/biofarma/galeri/kejadian-ikutan-pasca-
imunisasi-kipi/. Diakses pada 16 Maret 2012.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman Penyelenggaraan
Imunisasi. Available from:
http://dinkes-sulsel.go.id/new/images/pdf/Peraturan/kmk%20pedo
man%20penyelenggaraan%20imunisasi%201059-2004.pdf
Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008.
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan
%20Indonesia%202008.pdf. Diakses 3 Mei 2012.
Depkes RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
482/MENKES/SK/IV/2010 tentang Gerakan Akselarasi Imunisasi
Nasional Universal Child Immunization 2010 - 2014 (GAIN UCI
2010 - 2014). Jakarta : Depkes RI
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21582/4/Chapter%20II.pdf
45
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28056/4/Chapter%20II.pdf
http://idai.or.id/upload/jadwal_imunisasi_2011.pdf
Humas Kliping UI. 2006.Imunisasi Tambahan, Penting tetapi belum Diwajibkan.
Jakarta: UI Matondang CS, Siregar SP. 2005. Profil kesehatan
Indonesia 2003. Jakarta; Departemen Kesehatan RI.
Muchlastriningsih, Enny. 2005. Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi di Indonesia. Jakarta: CDK.
Parish HJ. A. 1965. History of Immunization. Edinburg, London: E&S
Livingstone Ltd. Satgas Imunisasi PP IDAI. 2011. Panduan
Imunisasi Anak. Jakarta: Balai Penerbitan Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
Subdit Imunisasi, 2004. Program Imunisasi di Indonesia. Jakarta : Dit. Epim -
Kesma. Dit Jen PPM-PL
46