tugas PD3I.doc

68
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsep paradigma sehat di dalam pembangunan kesehatan adalah pembangunan kesehatan yang lebih memprioritaskan upaya promotif dan preventif dibandingkan kuratif dan rehabilitatif. Program imunisasi merupakan salah satu upaya preventif yang telah terbukti sangat efektif menurunkan angka kesakitan dan kematian serta kecacatan pada bayi dan balita. Saat ini, kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebagai salah satu bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Tujuan utama kegiatan imunisasi adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). PD3I adalah penyakit-penyakit menular yang sangat potensial untuk menimbulkan wabah dan kematian terutama balita seperti Hepatitis B, TB (Tuberkulosis), DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), Polio, dan Campak. Menurut data terakhir WHO, kematian balita sebesar 1,4 juta jiwa per tahun akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi 1

Transcript of tugas PD3I.doc

Page 1: tugas PD3I.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep paradigma sehat di dalam pembangunan kesehatan adalah

pembangunan kesehatan yang lebih memprioritaskan upaya promotif dan

preventif dibandingkan kuratif dan rehabilitatif. Program imunisasi

merupakan salah satu upaya preventif yang telah terbukti sangat efektif

menurunkan angka kesakitan dan kematian serta kecacatan pada bayi dan

balita.

Saat ini, kegiatan imunisasi merupakan salah satu kegiatan prioritas

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, sebagai salah satu bentuk nyata

komitmen pemerintah untuk mencapai Millenium Development Goals

(MDGs). Tujuan utama kegiatan imunisasi adalah menurunkan angka

kesakitan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan

Imunisasi (PD3I). PD3I adalah penyakit-penyakit menular yang sangat

potensial untuk menimbulkan wabah dan kematian terutama balita seperti

Hepatitis B, TB (Tuberkulosis), DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus), Polio, dan

Campak. Menurut data terakhir WHO, kematian balita sebesar 1,4 juta jiwa

per tahun akibat Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I),

misalnya tetanus 198.000 (14%), dan campak 540.000 (38%). Penyakit

tuberculosis, difteri, pertusis, tetanus, poliomyelitis, dan campak

mengakibatkan kematian sekitar 4 juta anak terutama di Negara berkembang.

Tanpa imunisasi sekitar 3 dari 100 anak akan meninggal dunia karena

penyakit campak, dan 2 dari 100 anak akan meninggal dunia karena batuk

reja serta 1 dari 100 anak akan meninggal karena penyakit tetanus. Dari setiap

200.000 anak, 1 anak akan menderita penyakit polio.

Berdasarkan laporan WHO, 87 negara dari 193 anggotanya memiliki

angka kejadian hepatitis B kronis yang tinggi (≥ 8 %). Pada 2006, 50 % dari

135 juta bayi baru lahir di dunia berisiko terinfeksi hepatitis B sehingga

berpotensi menjadi hepatitis kronis B yang dapat berakibat kanker hati.

1

Page 2: tugas PD3I.doc

Di Amerika Serikat, penyebaran virus polio liar berhenti sekitar 1979,

sementara di Eropa virus tersebut sudah hilang sejak 1991.

Pada tahun 2000 di seluruh dunia dilaporkan 30.000 kasus Difteri dan

3.000 orang (10 %) diantaranya meninggal karena Difteri. Sedangkan untuk

kasus pertusis diperkirakan 39 juta kasus terjadi dan 297.000 kasus

berdampak pada kematian di dunia.

Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sekitar 30.000 - 40.000 anak di

Indonesia setiap tahun meninggal karena serangan campak, ini berarti setiap

dua puluh menit seorang anak Indonesia meninggal karena campak. Virus

hepatitis B ditemukan pada 2,1 - 0,7 % ibu hamil. Penularan hepatitis B pada

bayi baru lahir saat persalinan dari ibu pengidap penyakit hepatitis B berisiko

tinggi (sampai dengan 90 %) selanjutnya bayi akan menjadi hepatitis B kronis

dan dapat menderita kanker hati kelak. Vaksinasi polio dilakukan sejak 1980,

sehingga sepanjang kurun waktu 1995 sampai 2005 tidak ditemukan kasus

poliomyelitis. Namun, sejak Maret 2005, ditemukan penderita di Desa

Girijaya, kecamatan Cidahu, kabupaten Sukabumi, Jawa Barat,

mengakibatkan 307 anak cacat seumur hidup. Dengan adanya vaksinasi polio

rutin dan vaksin tambahan di seluruh Indonesia melalui Pekan Imunisasi

Nasional, penyebaran virus dapat dihentikan sehingga sejak 2006 sampai

sekarang tidak ditemukan lagi kasus polio baru. Angka kejadian TB masih

tinggi, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan Cina.

Diperkirakan penderita tuberculosis tahun 2006 sekitar 234 orang per 100.000

penduduk. Sedangkan menurut WHO, 175.000 orang di Indonesia setiap

tahun meninggal dunia karena tuberculosis dan terdapat 450.000 kasus baru

setiap tahun. Menurut laporan di beberapa Rumah Sakit di Indonesia,

kematian penderita Difteri berkisar 32,5 % - 37,14 %.

Indikator keberhasilan pelaksanaan imunisasi diukur dengan pencapaian

Universal Child Immunization (UCI) desa/kelurahan, yaitu minimal 80% bayi

di desa/ kelurahan telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Persentase

pencapaian UCI di tingkat desa/kelurahan di Indonesia dari tahun 2004

sampai tahun 2008 cenderung mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004 (69,43

2

Page 3: tugas PD3I.doc

%), 2005 (76,23 %), 2006 (73,26 %), 2007 (71,18 %), dan 2008 (74,02 %)

(Depkes, 2008).

Kementerian Kesehatan menargetkan pada tahun 2014 seluruh

desa/kelurahan mencapai 100% UCI atau 90% dari seluruh bayi di

desa/kelurahan tersebut memperoleh imunisasi dasar lengkap yang terdiri dari

BCG, Hepatitis B, DPT-HB, Polio dan campak. Guna mecapai target 100%

UCI desa/kelurahan pada tahun 2014 perlu dilakukan berbagai upaya

percepatan melalui Gerakan Akselerasi Imunisasi Nasional untuk mencapai

UCI (GAIN UCI) seperti yang telah ditetapkan dalam Keputusan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Nomer :

482/MENKES/SK/IV/2010 tentang Gerakan Akselarasi Imunisasi Nasional

Universal Child Immunization 2010-2014 (GAIN UCI 2010-2014). GAIN

UCI merupakan upaya terpadu berbagai sektor terkait dari tingkat Pusat

sampai Daerah untuk mengatasi hambatan serta memberikan dukungan untuk

keberhasilan pencapaian UCI desa/kelurahan.

Berdasarkan angka kematian balita akibat PD3I yang ada, maka masih

sangat diperlukan upaya-upaya dari instasi kesehatan untuk meningkatkan

program imunisasi demi terwujudnya eradikasi penyakit terkait PD3I,

mengingat masih banyak desa yang merupakan kantong rentan terhadap

penyakit khususnya kawasan terisolir. Keberhasilan pelaksanaan program

imunisasi sangat membutuhkan dukungan dan partisipasi dari semua elemen

masyarakat dan tak lepas dari peran petugas pelayanan kesehataan setempat.

Penting bagi mahasiswa FK UNS sebagai calon tenaga medis untuk

mempelajari dasar-dasar imunisasi di tempat pelayanan kesehatan sebagai

bekal nantinya saat terjun di tengah-tengah masyarakat.

3

Page 4: tugas PD3I.doc

B. Tujuan

1. Tujuan umum

Tujuan dari serangkaian kegiatan field lab topik imunisasi yang telah

dilakukan mahasiswa adalah agar mahasiswa mampu melakukan tindakan

imunisasi

2. Tujuan khusus

a. Mampu menjelaskan tentang dasar-dasar imunisasi dan imunisasi

dasar di Indonesia.

b. Mampu melakukan manajemen program dan prosedur imunisasi

dasar bayi dan balita, anak sekolah, ibu hamil, dan calon pengantin

wanita di Puskesmas mulai dari perencanaan, cold chain vaksin,

pelaksanaan (termasuk penanganan Kejadian Ikutan Pasca

Imunisasi/KIPI), pelaporan, dan evaluasi keberhasilan program

imunisasi .

4

Page 5: tugas PD3I.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Imunisasi

Imunisasi atau pemberian vaksin telah lama digunakan untuk mencegah

penyakit ( Humas Kliping UI, 2006). Menurut hikayat Raja Pontus, dia

melindungi dirinya dari keracunan makanan dengan cara minum darah itik,

dan penggunaan hati anjing gila untuk pengobatan rabies. Pembuatan vaksin

sendiri baru dimulai tahun 1877 oleh Pasteur menggunakan kuman hidup

yang dilemahkan yaitu untuk vaksinasi cowpox dan smallpox; pada tahun

1881 mulai dibuat vaksin anthrax dan tahun 1885 dimulai pembuatan vaksin

rabies (Parish, 1965).

Lain halnya di Indonesia, sejarah imunisasi dimulai pada tahun 1956

dengan imunisasi cacar; dengan selang waktu yang cukup jauh yaitu pada

tahun 1973 mulai dilakukan imunisasi BCG untuk tuberkulosis, disusul

imunisasi tetanus toxoid pada ibu hamil pada tahun 1974; imunisasi DPT

(difteri, pertusis, tetanus) pada bayi mulai diadakan pada tahun 1976. Pada

tahun 1977 WHO mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global

dengan EPI (Expanded Program on Immunization) dan pada tahun 1981

mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak mulai

diberikan, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan (Subdit

Imunisasi, 2004).

Imunisasi pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk

menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu

penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan

sakit atau sakit ringan (Matondang & Siregar, 2005).

Kekebalan seseorang terhadap penyakit infeksi terbentuk akibat respons

tubuhnya terhadap mikroorganisme penyebab penyakit. Sistem kekbalan kita

mengenal mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit yang

5

Page 6: tugas PD3I.doc

disebut antigen. Terdapat dua jalur pertahanan dalam tubuh manusia yaitu

adalah imunitas lahiriah (imunitas non spesifik) dan imunitas yang didapat

setelah lahir (imunitas spesifik). (Satgas Imunisasi PP IDAI, 2011)

Respons imun spesifik dibagi dua yaitu respons antibodi dan respons imun

seluler. Respons antibodi disebut juga respons humoral yang bereaksi secara

spesifik terhadap antigen yang bebas di sirkulasi dan jaringan, seperti kuman

difteri, tetanus, pneumokok, H. influenzae dan kuman pertusis. Jika limfosit

yang pertama kali dirangsang oleh mikroorganisme patogen yang masuk ke

dalam sel tubuh, maka mikroorganisme akan dikenali oleh sel T yang akan

memperbanyak diri dan menghancurkan mikroorganisme tersebut. Selain itu

sebagai sel T akan berubah menjadi sel memori yang akan dengan cepat

bertambah banyak jika organism yang sama datang lagi. (Satgas Imunisasi PP

IDAI, 2011)

Selain itu, tubuh juga membentuk sel B memori yang perannya sangat

penting dalam pertahanan tubuh. Sel B memori akan bersirkulasi dalam darah

dan kelenjar getah bening selama ini bertahun-tahun dan siap melawan

antigen yang sama di kemudian hari. Respons imun seluler akan mengenal

antigen yang berada di dalam sel dan menghancurkannya. (Satgas Imunisasi

PP IDAI, 2011)

B. Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)

1. Difteri

Penyakit yang disebabkan bakteri Corynebacterium diphteriae dengan

gejala panas lebih kurang 38oC disertai adanya pseudo membran (selaput

tipis) putih keabu-abuan pada tenggorokan (laring, faring, tonsil) yang tak

mudah lepas dan mudah berdarah. Dapat disertai nyeri menelan, leher

membengkak seperti leher sapi (bull neck) dan sesak nafas disertai bunyi

(stridor) dan pada pemeriksaan apusan tenggorok atau hidung terdapat

kuman difteri.

2. Pertusis

6

Page 7: tugas PD3I.doc

Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Bardetella pertusis dengan gejala

batuk beruntun dan pada akhir batuk menarik nafas panjang terdengar

suara “hup” (whoop) yang khas, biasanya disertai muntah. Serangan batuk

lebih sering pada malam hari. Akibat batuk yang berat dapat terjadi

pedarahan selaput lendir mata (conjunctiva) atau pembengkakan di sekitar

mata (oedema periorbital). Lamanya batuk bisa mencapai 1-3 bulan dan

penyakit ini sering disebut penyakit 100 hari. Pemeriksaan lab pada apusan

lendir tenggorokan dapat ditemukan kuman pertusis (Bordetella pertussis).

3. Tetanus

Penyakit disebabkan oleh Clostridium tetani dengan terdiri dari

tetanus neonatorum dan tetanus. Tetanus neonatorum adalah bayi lahir

hidup normal dan dapat menangis dan menetek selama 2 hari kemudian

timbul gejala sulit menetek disertai kejang rangsang pada umur 3-28 hari.

Tetanus dengan gejala riwayat luka, demam, kejang rangsang, risus

sardonicus (muka setan), kadang-kadang disertai perut papan dan

opistotonus (badan melengkung) pada umur di atas 1 bulan.

4. Tuberkulosis

Penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberculosa menyebar

melalui pernapasan lewat bersin atau batuk, gejala awal adalah lemah

badan, penurunan berat badan, demam dan keluar keringat pada malam

hari. Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus, nyeri dada dan dapat

terjadi batuk darah.

5. Campak

Penyakit yang disebabkan oleh virus measles, disebarkan melalui

droplet bersin atau batuk dari penderita, gejala awal penyakit adalah

demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, conjunctivitis (mata merah),

selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke

tubuh, tangan serta kaki.

6. Poliomielitis

Penyakit pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh satu dari tiga

virus yang berhubungan, yaitu virus polio type 1, 2, atau 3. Secara klinis

7

Page 8: tugas PD3I.doc

penyakit polio adalah anak di bawah umur 15 tahun yang menderita

lumpuh layu akut (acute flaccid paralysis/AFP). Penyebaran penyakit

adalah melalui kotoran manusia (tinja) yang terkontaminasi. Kelumpuhan

dimulai dengan gejala demam, nyeri otot dan kelumpuhan terjadi pada

minggu pertama sakit. Kematian bisa terjadi jika otot-otot pernapasan

terinfeksi dan tidak segera ditangani.

7. Hepatitis B

Penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis B yang merusak hati.

Penyebaran penyakit terutama melalui suntikan yang tidak aman, dari ibu

ke bayi selama proses persalinan, melalui hubungan seksual. Infeksi pada

anak biasanya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang ada adalah lemah,

gangguan perut dan gejala lain seperti flu, urine menjadi kuning, kotoran

menjadi pucat. Warna kuning bisa terlihat pula mata ataupun kulit.

Penyakit ini bisa menjadi kronis dan menimbulkan Cirrhosis hepatis,

kanker hati dan menimbulkan kematian.

8. Meningitis Meningokokus

Penyakit akut radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri

Neisseria meningitidis. Meningitis penyebab kematian dan kesakitan

diseluruh dunia, CFR melebihi 50%, tetapi dengan diagnosis dini, terapi

modern dan suportif CFR menjadi 5 - 15%. Pencegahan dapat dilakukan

dengan imunisasi dan kemoprofilkasis untuk orang-orang yang kontak

dengan meningitis dan karier (muchlastriningsih, 2005). Pemerintah sejak

tahun 1977 telah mengembangkan program imunisasi untuk menangani

PD3I diatas sesuai jadwal dan vaksin yang khusus (Kemenkes, 2004).

C. Indikasi, Kontraindikasi, dan Efek Samping

1. Hepatitis B

Indikasi: Hepatitis B

Kontraindikasi: anak yang sakit berat

Efek samping: selama 10 tahun belum dilaporkan ada efek samping yang

berarti

8

Page 9: tugas PD3I.doc

2. BCG

Indikasi: tuberculosis

Kontraindikasi: tidak ada larangan, kecuali pada anak yang berpenyakit

TBC atau uji mantoux positif dan adanya penyait kulit menahun

Efek samping: jarang dijumpai, bisa terjadi pembengkakan kelenjar getah

bening setempat yang terbatas dan biasanya sembuh sendiri walaupun

lambat.

3. DPT

Indikasi: Difteri, pertusis, tetanus

Kotraindikasi: anak yang sakit parah, anak yang menderita penyakit

kejang, demam kompleks, anak yang menderita batuk rejan, anak yang

menderita penyakit gangguan kekebalan.

Efek samping: gejala-gejala yang bersifat sementara seperti lemas,

demam, kemerahan pada tempat suntikan. Kadang-kadang terdapat efek

samping yang lebih berat seperti demam tinggi atau kejang, yang biasanya

disebabkan unsur pertusisnya.

4. Poliomielitis

Indikasi: poliomielitis

Kontraindikasi: diare berat, sakit parah, gangguan kekebalan.

Efek samping: hampir tidak ada, bila ada berupa kelumpuhan anggota

gerak, seperti polio sebenarnya.

5. Campak

Indikasi : Campak

Kontraindikasi : sakit parah, penderita TBC tanpa pengobatan, kurang gizi

dalam derajat berat, gangguan kekebalan, penyakit keganasan. Dihindari

pula pemberian pada ibu hamil.

Efek Samping : Sangat jarang, mungkin dapat terjadi kejang dan tidak

berbahaya pada hari ke-10-12 setelah penyuntikan. Dapat terjadi radang

otak 30 hari setelah penyuntikan tapi angka kejadiannya sangat rendah.

9

Page 10: tugas PD3I.doc

C. Jadwal Imunisasi dan Vaksinasi

Vaksin hepatitis B harus segera diberikan setelah lahir, karena vaksinasi

HepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan

rantai penularan dari ibu kepada bayinya segera setelah lahir. Jadi imunisasi

HepB-1 diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, mengingat sedikitnya

3,9% ibu hamil mengidap hepatitis B aktif dengan resiko penularan kepada

bayi sebesar 45%.

Sumber: Satgas IDAI

Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan setelah imunisasi HepB-1

yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 6

bulan. (Satgas Imunisasi PP IDAI, 2011)

Vaksinasi BCG optimal diberikan pada umur 2 sampai 3 bulan. Bila vaksin

BCG akan diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin.

Bila uji tuberkulin pra-BCG tidak dimungkinkan, BCG dapat diberikan,

namun harus diobservasi dalam 7 hari. Bila ada reaksi lokal cepat di tempat

suntikan (accelerated local reaction), perlu dievaluasi lebih lanjut (diagnostik

TB). Vaksinasi BCG ulangan tidak dianjurkan.

Imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan ( DTP tidak

boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan jarak 4-8 minggu. Dapat

10

Page 11: tugas PD3I.doc

diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan Hepatitis B atau

Hib. DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan

DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP selanjutnya diberikan satu tahun

setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat mausk

sekolah dasar umur 5 tahun.

Vaksin polio diberikan 5 kali sejak bayi lahir. Polio-0 diberikan saat bayi

meninggalkan rumah sakit /rumah bersalin agar tidak mencemari bayi lain

karena virus polio vaksin dapat dikeluarkan melalui tinja. Untuk imunisasi

polio dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2,4, dan 6 bulan, interval

antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. Vaksinasi polio ulangan

diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4 dan imunisasi selanjutnya

dilakukan saat masuk sekolah (5-6 tahun).

Vaksin campak disuntikkan pada umur 9 bulan. Dari hasil studi Badan

Penelitian dan pengembangan dan Dirjen PPM&PL Kementrian Kesehatan di

4 provinsi, 18,6-32,6% anak sekolah mempunyai kadar campak di bawah

batas perlindungan, sehingga dijumpai kasus campak pada anak usia sekolah.

Karena itu selain vaksinasi umur 9 bulan, vaknisasi campak dapat diberikan

pada kesempatan kedua pada mur 6-59 bulan dan SD kelas 1-6.

Vaksin Hib (Haemophillus influenza tipe b) disuntikkan pada umur 2, 4

dan 6 bulan, dapat diberikan dalam bentuk kombinasi, yang bertujuan untuk

mempersingkat jadwal vaksinasi, mengurangi jumlah suntikkan dan

mengurangi kunjungan. Vaksin Hib perlu diulang pada umur 15 bulan.

Vaksin pneumokokus dapat diberikan pada umur 2, 4, 6, 12-15 bulan. Pada

umur 7-12 bulan, diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur > 1

tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu dosis ulangan 1 kali pada umur

> 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di

atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.

Vaksin influenza berisi dua virus influenza subtipa A dan subtype B.Vaksin

influenza untuk mencegah flu berat yang disebabkan oleh virus influenza.

11

Page 12: tugas PD3I.doc

Vaksin influenza disuntikkan pada anak umur 6-23 bulan, setiap tahun. Untuk

vaksinasi primer anak diberikan pada umur 6 bulan - <9 tahun.diberikan 2

kali dengan interval minimal 4 minggu.

Vaksin MMR dapat diberikan pada umur 12 bulan jika anak belum

mendapat vaksinasi campak pada umur 9 bulan. Selanjutnya vaksinasi

ulangan diberikan pada umur 5-7 tahun.

Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen

diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14

minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya

vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan

tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen : dosis ke-1

diberikan umur 6-12 minggu, interval dosis ke-2, dan ke-3 4-10 minggu,

dosis ke-3 diberikan pada umur < 32 minggu (interval minimal 4 minggu).

Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur

sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur > 12 tahun, perlu 2

dosis dengan interval minimal 4 minggu.

D. KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) dan Penanganannya

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) atau adverse events following

immunization adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam

masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan

KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella),

atau bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccine-strain pada pasien

imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio paralitik serta infeksi

virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau resipien

imunodefisiensi pasca vaksinasi polio).

Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi

simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi akibat efek

12

Page 13: tugas PD3I.doc

langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa efek

farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi

idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.

Efek farmakologi, efek samping, serta reaksi idiosinkrasi umumnya terjadi

karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi merupakan kepekaan

seseorang terhadap unsur vaksin dengan latar belakang genetik. Reaksi

alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong,

influenza, dan demam kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin,

merkuri), atau unsur lain yang terkandung dalam vaksin.

Menurut Departemen Kesehatan (2005), KIPI adalah semua kejadian

sakit dan kematian yang terjadi dalam masa satu bulan setelah imunisasi,

yang diduga ada hubungannya dengan pemberian imunisasi. Menurut

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), KIPI dibagi menjadi 3 (tiga)kategori,

yaitu:

1. Related programme atau hal – hal berkaitan dengan kegiatan imunisasi,

misalnya timbul bengkak bahkan abses pada bekas suntikan vaksin.

Biasanya karena jarum tidak steril. Contoh lain adalah kelenjar limfe

misalnya di daerah ketiak, atau lipat paha membengkak dan terasa sedikit

nyeri. Ini akibat aktivitas sistem kekebalan tubuh yang menerima vaksin

tersebut.

2. Reaction related to properties of vaccine atau reaksi terhadap sifat – sifat

yang dimiliki oleh vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja reaksi

terhadap bahan campuran vaksin. Reaksi ini biasanya berupa

pembengkakan, kemerahan, demam (misalnya terhadap vaksin campak,

biasanya akan normal kembali dalam satu hari).

3. Coincidental atau koinsidensi. Koinsidensi adalah dua kejadian secara

bersama tanpa adanya hubungan satu sama lain. Ketika anak menerima

imunisasi, sebenarnya dia sudah dalam keadaan masa perjalanan penyakit

yang sama atau penyakit lain (masa tunas) yang tidak ada hubungannya

dengan vaksin yang bersangkutan. Misalnya saja, anak sedang dalam

13

Page 14: tugas PD3I.doc

perjalanan mau sakit batuk pilek atau diare bahkan seringkali penyakit

akut yang lebih serius disertai demam.

Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi

karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta

penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi,

atau semata-mata kejadian yang timbul secara kebetulan. Sesuai telaah

laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine (IOM)

USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja.

Kejadian yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan

prosedur dan teknik pelaksanaan (pragmatic errors).

Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian

besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu

unutk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:

1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu

2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik

3. derajat sakit resipien

4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti

5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,

kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur

Ada 5 (lima) kelompok faktor etologi yang dapat menyebabkan KIPI

menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999), yaitu:

Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)

Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik

pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,

pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat

terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:

1. Dosis antigen (terlalu banyak)

14

Page 15: tugas PD3I.doc

2. Lokasi dan cara menyuntik

3. Sterilisasi semprit dan jarum suntik

4. Jarum bekas pakai

5. Tindakan aseptik dan antiseptik

6. Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik

7. Penyimpanan vaksin

8. Pemakaian sisa vaksin

9. Jenis dan jumlah pelarut vaksin

10. Tidak memperhatikan petunjuk produsen

11. Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila

terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.

Reaksi suntikan

Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik

langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi

suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat

suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut,

pusing, mual, sampai sinkope.

Induksi vaksin (reaksi vaksin)

Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat

diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan

secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala

klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian.

Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam

petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi

khusus, perhatian khusus, atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik

lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini

harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.

15

Page 16: tugas PD3I.doc

Faktor kebetulan (koinsiden)

Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi

secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini

ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada

kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa tetapi tidak

mendapatkan imunisasi.

Penyebab tidak diketahui

Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan

kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam

kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya denagn

kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab

KIPI.

Gejala Klinis KIPI

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat

dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi

lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.

Reaksi KIPI Gejala KIPI

Lokal Abses pada tempat suntikan

Limfadenitis

Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis,

BCG-itis

SSP Kelumpuhan akut

Ensefalopati

Ensefalitis

Meningitis

Kejang

16

Page 17: tugas PD3I.doc

Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema

Reaksi anafilaksis

Syok anafilaksis

Artralgia

Demam tinggi >38,5°C

Episode hipotensif-hiporesponsif

Osteomielitis

Menangis menjerit yang terus menerus (3jam)

Sindrom syok septik

Sumber: RT Chen, 1999

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek

samping, maka apabila seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu

diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi

cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada

umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan

observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala

klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka waktu tertentu

timbulnya gejala klinis.

Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul

KIPI

Toksoid Tetanus

(DPT, DT, TT)

Syok anafilaksis

Neuritis brakhial

Komplikasi akut termasuk

kecacatan dan kematian

4 jam

2-18 hari

tidak

tercatat

17

Page 18: tugas PD3I.doc

Pertusis whole cell

(DPwT)

Syok anafilaksis

Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk

kecacatan dan kematian

4 jam

72 jam

tidak

tercatat

Campak Syok anafilaksis

Ensefalopati

Komplikasi akut termasuk

kecacatan dan kematian

4 jam

5-15 hari

tidak

tercatat

Trombositopenia

Klinis campak pada resipien

imunokompromais

Komplikasi akut termasuk

kecacatan dan kematian

7-30 hari

6 bulan

tidak

tercatat

Polio hidup

(OPV)

Polio paralisis

Polio paralisis pada resipien

imunokompromais

Komplikasi akut termasuk

kecacatan dan kematian

30 hari

6 bulan

Hepatitis B Syok anafilaksis

Komplikasi akut termasuk

kecacatan dan kematian

4 jam

tidak

tercatat

BCG BCG-itis 4-6 minggu

Sumber: RT Chen, 1999

Angka Kejadian KIPI

18

Page 19: tugas PD3I.doc

KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis.

Angka kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis

DPT, tetapi yang benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1

juta dosis. Anak yang lebih besar dan orang dewasa lebih banyak

mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif

juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah

imunisasi.

Imunisasi Pada Kelompok Resiko

Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan

apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan

kelompok resiko adalah:

Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu

Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP

KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk

penanganan segera

Bayi berat lahir rendah

Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi

cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan

adalah:

Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar pada bayi

cukup bulan

Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan

diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan

imunisasi hepatitis B diberikan pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila

ibu mengandung HbsAg

Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang

diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak

menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja

19

Page 20: tugas PD3I.doc

Pasien imunokompromais

Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar

atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid

jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien

imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin tersedia.

Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil

dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada

anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat

badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari selama 14 hari.

Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid

dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.

Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin

Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk

menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.

Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi

Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu

sehat kecuali untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu

terdapat petunjuk dari produsen yang mencantumkan indikasi kontra serta

perhatian khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca oleh setiap

pelaksana vaksinasi.

Komite Petugas Pelaksana KIPI

WHO sangat serius menanggapi isu KIPI, maka para ahli di setiap

regional yang dikoordinir oleh kantor pusat WHO selalu mengadakan

pertemuan dan pembahasan tentang KIPI. Indonesia merupakan salah satu

negara yang tergabung dalam South East Asia Regional Officer (SEARO),

dimana SEARO terhadap masalah KIPI.

Di Indonesia, ada komite khusus yang berkaitan dengan KIPI, yaitu

Komnas PP KIPI. Komnas PP KIPI adalah Komite Nasional Pengkajian dan

20

Page 21: tugas PD3I.doc

Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang sifatnya independen

dalam mana anggotanya terdiri dari para dokter senior yang memiliki

keahlian dalam bidang kesehatan anak dan imunisasi, serta pakar dalam

bidang mikrobiologi khususnya virology (ahli virus).

Di samping itu, anggota lain meliputi para ahli di bidang vaksin atau

vaksionologi, ahli bidang obat – obatan dan khasiatnya atau farmakologi,

ahli kesehatan masyarakat dan epidemologi, ahli hukum kedokteran dan

forensik, pakar hukum, anggota profesi IDAI (Ikatan Dokter Anak

Indonesia), POGI (ahli kebidanan dan penyakit kandungan), PAPDI (ahli

penyakit dalam), ISFI (Ikatan profesi bidang farmasi), Balitbangkes

(Penelitian dan Pengembangan Depkes) serta Ditjen P2MPL

(Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan). Tugas dari

Komite Nasional Independen ini adalah melakukan analisis setiap informasi

dan menelaah kasus – kasus KIPI atau dugaan KIPI serta meninjau

keseluruhan pola dari laporan, pelacakan dan membuat analisa hubungan

sebab akibat KIPI pada kasus yang belum dan sudah disimpulkan oleh

Komite daerah KIPI.

Di Indonesia setiap ditemukan kasus dugaan KIPI harus dicatat. Untuk

itu, ada formulir pemantauan KIPI. Para dokter ataupun bidan yang

memberikan imunisasi harus memahami hal ini. Pengisian formulir adalah

tugas petugas kesehatan. Tentu saja penanggulangan KIPI itu sendiri yang

harus diutamakan. Formulir isian dikirim ke tingkat provinsi dan tingkat

pusat untuk dievaluasi. Bila perlu akan dikirim sebuah tim untuk melakukan

penyelidikan. Setiap provinsi memilikik Komite daerah (Komda) Petugas

Pelaksana KIPI (Komda PP KIPI) yang dilengkapi dengan komite ahli.

Sedangkan di tingkat pusat Komite Nasional Petugas Pelaksana KIPI

(Komnas PP KIPI) diketuai oleh seorang professor spesialis anak dan dokter

– dokter ahli dalam bidangnya untuk menentukan apakah kejadian ikutan

tersebut disebabkan oleh imunisasi, koinsidens atau karena hubungan

dengan vaksin. (BUMN, 2010)

21

Page 22: tugas PD3I.doc

BAB III

KEGIATAN YANG DILAKSANAKAN

Kelompok A7 mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan field lab di

Puskesmas Wonogiri I yang terletak di desa Wonoboyo, Kecamatan Wonogiri,

Kabupaten Wonogiri. Kegiatan field lab keterampilan imunisasi dilaksanakan

dalam 3 kali pertemuan.

1.A. Pertemuan I Selasa , 10 April 2012

Kegiatan yang kami lakukan pada minggu pertama field lab di

Puskesmas Wonogiri I adalah mendapat bimbingan dari dr. Pitut Kristiyanta

Nugraha, MM selaku kepala Puskesmas Wonogiri I. Kami mendapat

pengarahan tentang keterampilan imunisasi. Setelah dijelaskan tentang

materi imunisasi, kami dijelaskan oleh Bapak Tari Hutomo, AMG selaku

ketua Pokja Gizi tentang 7 pokja, asupan gizi yang baik diberikan pada bayi

dan balita, dan penanganan-penanganan dalam masalah gizi pada bayi dan

balita. Kami mendapat pengarahan dari Ibu Marmi tentang pengenalan alat

imunisasi, vaksin-vaksin yang digunakan untuk imunisasi, cara

penyimpanan vaksin yang benar, dan perhitungan sasaran dan target

cakupan. Kami mendapat pengarahan dari instruktur lapangan Ibu Idayu K.

E, SKM selaku ketua Pokja Promosi Kesehatan dan instruktur lapangan,

beliau menjelaskan tentang kegiatan yang akan dilakukan pada pertemuan

ke 2 dan ke 3, pembagian kelompok kecil, dan pengarahan tentang sistem

pembuatan laporan field lab.

Kelompok kami terdiri dari 11 mahasiswa yang dibagi menjadi 3

kelompok yang ditentukan dengan cara diundi namanya secara acak untuk

pelaksanaan observasi pada pertemuan kedua. Berikut ialah rincian

pembagian kelompok kecil:

22

Page 23: tugas PD3I.doc

1. Kelompok 1 : Rifqi Hadyan, Fitri Febrianti Ramadhan,

Egtheastraqita Chitivema, R.A. Sitha Anisa

2. Kelompok 2 : Riyan Angga Putra, Ery Radiyanti, Rachmania

Budiati, Ida Bagus Ananta

3. Kelompok 3 : Arga Scorpianus, Siti Nurhidayah, Dhia

Ramadhani

Tiap kelompok tersebut melakukan kegiatan observasi imunisasi

terhadap 20 bayi .

1.B. Pertemuan II Selasa, 1 Mei 2012

Pertemuan kedua, setiap kelompok kecil melakukan pengamatan

terhadap pelaksanaan imunisasi di Puskesmas Wonogiri 1.

1. Kelompok 1

Kelompok 1 beranggotakan Rifqi Hadyan, Fitri Febrianty,

Egtheastraqita C, dan R.A. Sitha Anisa. Kami adalah kelompok

pertama yang melakukan pengamatan proses imunisasi terhadap 20

bayi pertama. Setelah itu kami melakukan pengamatan terhadap

pendataan dan penimbangan. Selanjutnya, kami mendokumentasi

proses imunisasi dan keadaan di puskesmas. Dalam hal pelaksanaan

kami menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan dasar teori,

seperti:

Bayi bernama Armeta berumur 9 bulan dengan berat badan 8.4 kg

diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya

imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4

diberikan pada umur 4 bulan.

Bayi bernama Arya berumur 9 bulan dengan berat badan 6.5 kg

diimunisasi campak. Kondisi Arya pada saat imunisai sedang demam

namun tetap diimunisasi.

Bayi bernama Arfo tidak jadi diimunisasi DPT/HB 1 dan Polio 2

karena belum tepat 2 bulan sehingga disarankan untuk datang

imunisasi pada tanggal 15 Mei 2012.

23

Page 24: tugas PD3I.doc

Bayi bernama Mifta berumur 9 bulan dengan berat badan 7.9 kg

diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya

imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4

diberikan pada umur 4 bulan.

2. Kelompok 2

Kelompok 2 beranggotakan Riyan Angga Putra, Ery Radiyanti,

Rachmania Budiati, Ida Bagus Ananta. Kami mengamati pendataan

dan penimbangan bayi. Setelah itu kami mengamati proses imunisasi

terhadap 20 bayi. Selanjutnya, kami mendokumentasi proses

imunisasi dan keadaan di puskesmas. Dalam hal pelaksanaan kami

menemukan beberapa hal yang tidak sesuai dengan dasar teori,

seperti:

Bayi bernama Sofia berumur 3.5 bulan dengan berat badan 5.5 kg

diimunisasi DPT/HB 2 dan Polio 2, seharusnya Sofia diberikan

DPT/HB 2 dan Polio 3.

Bayi bernama Satrio berumur 9 bulan dengan berat badan 9.8 kg

diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya

imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4

diberikan pada umur 4 bulan.

Bayi bernama Fasha berumur 9 bulan dengan berat badan 7.1 kg

diimunisasi campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya

imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4

diberikan pada umur 4 bulan.

3. Kelompok 3

Kelompok 3 beranggotakan Arga Scorpianus, Siti Nurhidayah,

Dhia Ramadhani. Kami medokumentasikan keadaan di puskesmas.

Setelah kami melakukan pengamatan terhadap pendataan dan

penimbangan bayi. Selanjutnya, kami melakukan pengamatan proses

imunisasi. Dalam hal pelaksanaan kami menemukan beberapa hal

yang tidak sesuai dengan dasar teori, seperti:

24

Page 25: tugas PD3I.doc

Bayi bernama Vransiska berumur 1 bulan dengan berat badan 2.9

kg menurut indeks BB/U termasuk status gizi kurang, tetapi tetap

diberikan imunisasi BCG dan Polio 1.

Bayi bernama Fandi berumur 9.5 bulan dengan berat badan 7.1 kg

diimunisasi Campak dan Polio 4 secara bersamaan, seharusnya

imunisasi campak diberikan pada umur 9 bulan sedangkan Polio 4

diberikan pada umur 4 bulan.

1.C. Pertemuan III Selasa, 15 Mei 2012

Pertemuan ketiga direncanakan untuk kegiatan seminar (presentasi

hasil) kegiatan field lab Keterampilan Imunisasi di ruang aula Puskesmas

Wonogiri I. Seminar ini akan dihadiri oleh kepala Puskesmas (dr. Pitut

Kristianta Nugraha, MM) dan tujuh Pokja yaitu Pokja Admin (Suseno, HS),

Pokja Yanmen (dr. Indri S), Pokja Kesga (Aslihatut T, AM.Keb), Pokja Gizi

(Tari Hutomo, AMG), Pokja P2 (H. Marsudi, S.Kep), Pokja Kesling

(Bambang H, Am.KL), Pokja Promkes (Idayu KE, SKM), Bendahara (Dwi

Rahmanti, SKM) dan Dokter Poli KIA (Tri Rahayu Sutanti, dr.).

25

Page 26: tugas PD3I.doc

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Perencanaan Imunisasi di Puskesmas Wonogiri 1

1. Menghitung Jumlah Sasaran

Jumlah sasaran ini diperoleh dari Data Sasaran Program Kesga, Perbaikan

Gizi, dan Imunisasi Tahun 2012 UPT Puskesmas Wonogiri 1 Kecamatan

Wonogiri Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah. Jumlah sasaran bayi usia 0-

11 bulan adalah 655 bayi.

2. Menentukan Target Cakupan

Berikut adalah penentuan target cakupan menurut WHO

BCG : 95%

Campak : 90%

DPT/HB 1 : 95%

DPT/HB 2 : 93%

DPT/HB 3 : 90%

Polio 1 : 95%

Polio 2 : 93%

Polio 3 : 92%

Polio 4 : 95%

HB(0) (0-7hari) : 80%

26

Page 27: tugas PD3I.doc

3. Menghitung Indeks Pemakaian (IP) Vaksin

Berikut adalah IP vaksin nasional

BCG : 3,5

DPT : 3,5

Campak : 3,6

Polio : 6

DT : 8

TT : 6

HB(0) : 1

4. Menghitung Pemakaian atau Kebutuhan Vaksin

Vaksin yang diperlukan (ampul/vial) = [Jumlah Sasaran X Target

(%)] / IP Vaksin

Vaksin BCG = (655 X 95%) / 3,5 = 104

Vaksin DPT/HB 1 = (655 X 95%) / 3,5 = 104

Vaksin DPT/HB 2 = (655 X 93%) / 3,5 = 175

Vaksin DPT/HB 3 = (655 X 90%) / 3,5 = 169

Campak = (655 X 90%) / 3,6 = 164

Polio 1 = (655 X 95%) / 6 = 104

Polio 2 = (655 X 93%) / 6 = 102

27

Page 28: tugas PD3I.doc

Polio 3 = (655 X 92%) / 6 = 101

Polio 4 = (655 X 90%) / 6 = 99

HB(0) = (655 X 80%) / 1 = 524

5. Menghitung Kebutuhan Alat Suntik dan Safety Box

1) Alat Suntik 0.05 ml untuk imunisasi BCG

Kebutuhan = Sasaran X Target Cakupan BCG = 655 X 95% = 622

2) Alat Suntik 0.5 ml untuk imunisasi DPT, Campak, Hepatitis B

Kebutuhan Alat suntik = Sasaran X Target Cakupan (DPT/HB 1,

DPT/HB 2, DPT/HB 3, Campak, Hepatitis B)

DPT/HB 1 = 655 X 95% = 622

DPT/HB 2 = 655 X 93% = 609

DPT/HB 3 = 655 X 90% = 590

Campak = 655 X 90% = 590

Hepatitis B (0) = 655 X 80% = 524

3) Alat Suntik 5 ml (oplos)

Kebutuhan alat suntik untuk oplos= Jumlah vaksin yang dibutuhkan

= Jumlah Vaksin BCG + Campak

= 178 + 163

= 341

4) Safety Box (SB)

28

Page 29: tugas PD3I.doc

SB 5 liter menampung 100 alat suntik. Sehingga Kebutuhan safety box

5 liter adalah jumlah total alat suntik BCG, DPT, HB, campak dan alat

suntik untuk oplos dibagi 100.

SB 5 liter = BCG + DPT/HB 1 + DPT/HB 2 + DPT/HB 3 + Campak

+ HB (0) + alat suntik oplos = (622 + 622 + 609 + 590 + 590 + 524 +

341) = 3898/100 = 38,98 ≈ 39 buah

Tabel: Daftar Identitas Bayi beserta Jadwal Imunisasinya Tanggal 1 Mei 2012

No Nama Bayi Nama Orang

Tua

Alamat Umur

(bulan)

Berat

Badan

Jenis

Imunisasi

yang

Diberikan

1 M. Wildan Aprilia Dwi Pokok 3 5.6 DPT/HB 2,

Polio 3

2 Rahmad

W.

Suyoto Bulusulur 4 7.6 DPT/HB 3,

Polio 4

3 Armeta D.

A.

Didik S. Semin W 9 8.4 Polio 4,

Campak

4 Satria Ardi Jati Bedug Triyanto 2 5.5 DPT/HB 1,

Polio 2

5 Fina Davit Sumberejo 10 7 Campak

6 Joevita Suparjo Lemah Ireng 3,7 5.2 DPT/HB 2,

Polio 3

7 Arya Marsikin Sumberejo 9 6.5 Campak

8 Nabila

Jihan

Kusmanto Pokok 2,5 4.5 DPT/HB 1,

Polio 2

29

Page 30: tugas PD3I.doc

9 Arfo Setyo Kurang

2 bulan

DPT/HB 2 ,

Polio

10 Narendra Joko P. Geneng 5.2 - DPT/HB 1,

Polio 2

11 Alya

Deyvi

Panji Semin W 4.5 4.9 DPT/HB 3,

Polio 4

12 M. Saka Sumadi Jati Bedug 4 7.1 DPT/HB 3,

Polio 4

13 Nikita Ribut Geneng 2 4.5 DPT/HB 1,

Polio 2

14 Devi Supriyadi Bulusulur 4.13 5.6 DPT/HB 3,

Polio 4

15 Mifta Tuqi Tri H. Geneng 9 7.9 Polio 4,

Campak

16 Naumi Beni Pokok 2 4.5 DPT/HB 1,

Polio 2

17 Qiana Zea Sangga Pokok 19 hari 3 BCG, Polio 1

18 Fathin

Putri

Suranto Pokok 21 hari 3 BCG, Polio 1

19 Zivara Suranto Groglon 19 hari 4.2 BCG, Polio 1

20 Kurniawan Siswanto Ringinharjo 9 7.8 Campak

21 Sofia Putri

Utami

Heri Cubluk 3.5 5.5 DPT/HB 2,

Polio 2

22 Anugrah Sutarmo Bonaran 2.8 5.5 DPT/HB 1,

30

Page 31: tugas PD3I.doc

Polio 2

23 Ananda

gagah

Suroso Jati Bedug 5 6.8 DPT/HB 3,

Polio 4

24 Abimanyu Jumadi Bulusari 2 4.5 DPT/HB 1,

Polio 2

25 Yanuar Santana Bulusari 4 6.4 DPT/HB 2,

Polio 3

26 Qunarsih Marsono Geneng 2.5 4.8 DPT/HB 1,

Polio 2

27 Azhaka Tarmin Malangsari 3 5.9 DPT/HB 2,

Polio 3

28 Nia Aulia Barono Sukorejo 4 5.7 DPT/HB 3,

Polio 4

29 Navis Sugeng P. Norogo 23 hari 3.3 BCG, Polio 1

30 Kemala Ratno Lemah Ireng 9 6.4 Campak

31 Defa Slamet Lemah Ireng 3 5.5 DPT/HB 2,

Polio 3

32 Khanza Wahyu Mloko Weta 9 8.6 Campak

33 Hanif Wardoyo Geneng 2 5.7 DPT/HB 1,

Polio 2

34 Satrio Sunarto Jatirejo 9.2 9.8 Polio 4,

Campak

35 Iqbal Domo Bulusari 1 3.6 BCG, Polio 1

36 Zaki Nabil Sandi Pokok 29 hari 3.7 BCG, Polio 1

31

Page 32: tugas PD3I.doc

37 Iyustisia Tukini Manjung W 23 hari 3.7 BCG, Polio 1

38 Hanif Purwanto Brubuh 4 6.8 DPT/HB 3,

Polio 4

39 Fasha Edi Suyitno Jati Bedug 9 7.1 Polio 4,

Campak

40 Daril Erik Kedungringin 2.5 5.8 DPT/HB 1,

Polio 2

41 Asifa Eri Nurjianto Lemah Ireng 4.5 5.5 DPT/HB 3,

Polio 4

42 Vransisca Petrus Kedungsono 1 2.9 BCG, Polio 1

43 Mahardika Tri

Mahardiyant

o

Trines 1 4.5 BCG, Polio 1

44 Eka

Yuliana

Sriyono Kedungsono 9.5 6.4 Campak

45 Dwi

Suyanto

Sulardi Kedungsono 4 5.5 DPT/HB 3,

Polio 4

46 Hasan Slamet

Suradi

Pokok 3 7.5 DPT/HB 2,

Polio 3

47 Fara Umarwanto Wonosari 11 7.7 Campak

48 Reihan Tri Setyo N Samin W. 20 hari 3.9 BCG, Polio 1

49 Syarif G. Parta Wiro 9.5 9.2 Campak

32

Page 33: tugas PD3I.doc

Warurejo

50 Nadalia Edi Wonosari 4 6.5 DPT/HB 3,

Polio 4

51 Valintina Alex Bewresan 2.5 5.5 DPT/HB 1,

Polio 2

52 Vlavio Darmoade Geneng 4 6.9 DPT/HB 3,

Polio 4

53 Febriana Endra Jati Bedug 3 4.3 DPT/HB 1,

Polio 2

54 Bagus Supadi Bulusari 4 6.3 DPT/HB 3,

Polio 4

55 Panca Edi Kerjo Lor 9 9 Campak

56 Alivia Agung Kebonarum 10.5 7 Campak

57 Bella

Edqina

Beni Bulusari 2 4.7 DPT/HB 1,

Polio 2

58 Adiyasta Suratno Jatirejo 3 5.5 DPT/HB 2,

Polio 3

59 Fandy Nur Sihmiadi Pokok 9.5 7.1 Polio 4,

Campak

60 Anugrah Andri

Wibowo

Sanggrahan 2.5 5.1 DPT/HB 1,

Polio 2

61 Anaya Joko Tiyono Bulusari 2 3.8 DPT/HB 1,

Polio 2

62 Safira Eka Bulusulur 4 5 DPT/HB 3,

33

Page 34: tugas PD3I.doc

Hermawan Polio 4

63 Alsa Dedi

Kristianto

Ngerca 2 4.6 DPT/HB 1,

Polio 2

64 Salfa Agus Pengkol 29 2.2 BCG, Polio 1

65 Aufa Jausa Suratman Pelem 5.5 7 DPT/HB 3,

Polio 4

Sumber: Bagian Imunisasi Puskesmas Wonogiri 1, Wonogiri

B. Pembahasan

34

Page 35: tugas PD3I.doc

Sebagian besar bayi telah mendapatkan imunisasi sesuai jadwal dan

sejalan dengan teori yang ada. Namun ada beberapa permasalahan pada

beberapa bayi, diantaranya:

1. Nama bayi : Armeta D. A.

Nama orang tua : Didik S.

Alamat : Semin W

Umur : 9 bulan

Berat Badan : 8.4 kg

Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak

2. Nama bayi : Arya

Nama orang tua : Marsikin

Alamat : Sumberejo

Umur : 9 bulan

Berat Badan : 6.5 kg

Jenis Imunisasi : Campak

3. Nama bayi : Arfo Setyo

Nama orang tua : -

Alamat : -

Umur : -

Berat Badan : -

35

Page 36: tugas PD3I.doc

Jenis Imunisasi : -

4. Nama bayi : Mifta

Nama orang tua : Tuqi Tri H.

Alamat : Geneng

Umur : 9 bulan

Berat Badan : 7.9 kg

Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak

5. Nama bayi : Sofia Putri Utami

Nama orang tua : Heri

Alamat : Cubluk

Umur : 3.5 bulan

Berat Badan : 5.5 kg

Jenis Imunisasi : DPT/HB2, Polio 2

6. Nama bayi : Satrio

Nama orang tua : Sunarto

Alamat : Jatirejo

Umur : 9.2 bulan

Berat Badan : 9.8 kg

36

Page 37: tugas PD3I.doc

Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak

7. Nama bayi : Fasha

Nama orang tua : Edi Suyitno

Alamat : Jati Bedug

Umur : 9 bulan

Berat Badan : 7.1 kg

Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak

8. Nama bayi : Vransisca

Nama orang tua : Petrus

Alamat : Kedungsono

Umur : 1 bulan

Berat Badan : 2.9 kg

Jenis Imunisasi : BCG, Polio 1

9. Nama bayi : Fandy Nur

Nama orang tua : Sihmiadi

Alamat : Pokok

Umur : 9.5 bulan

37

Page 38: tugas PD3I.doc

Berat Badan : 7.1 kg

Jenis Imunisasi : Polio 4, Campak

Seperti yang kita ketahui imunisasi mempunyai jadwalnya masing-masing.

Tetapi ada beberapa permasalahan yang kita dapatkan pada beberapa bayi

yang disebuttkan di atas.

1. Pergeseran jadwal imunisasi

1) Bayi bernama Fandy Nur, Fasha, Satrio, Mifta, Armeta

mendapatkan imunisasi Polio 4 dan Campak secara bersamaan.

Imunisasi Polio 4 seharusnya diberikan pada umur 4 bulan dan

Campak diberikan tersendiri pada umur 9 bulan.

2) Bayi bernama Sofia Putri medapatkan imunisasi DPT/HB1 dan Polio

2 di umur yang lebih dari 2 bulan. Imunisasi DPT/HB1 dan Polio 2

seharusnya dapat diberikan pada umur 2 bulan sesuai dengan jadwal

imunisasi.

38

Page 39: tugas PD3I.doc

Pergeseran jadwal imunisasi ini bisa terjadi karena beberapa alasan

salah satunya ketidakdisiplinan orang tua dalam membawa anaknya ke

puskesmas untuk mendapatkan imunisasi. Tetapi pada kenyataannya

beberapa imunisasi masih dapat diberikan kepada bayi sampai umur

11-12 bulan (BCG dapat diberian sampai umur 11 bulan dan polio,

campak, DPT dapat diberikan sampai umur 12 bulan). Walaupun

pemberiannya harus lengkap sesuai dengan imunisasi dasar yang

diberikan termasuk dosis yang tepat.

2. Sakit

Bayi bernama Arya berumur 9 bulan datang ke puskesmas untuk

mendapatkan imunisasi campak tetapi karena demam maka dilakukan

penundaan imunisasi sampai Arya benar-benar sehat. Sebenarnya demam

atau panas bukan merupakan kontra indikasi dari pemberian imunisasi

tetapi untuk menghindari tingkat keparahan dari kejadian pasca imunisasi

seperti vaksin DPT yang mempunyai efek samping menimbulkan panas

selain itu untuk menghindari prasangka buruk dari masyarakat kepada

petugas puskesmas akan demam yang terjadi imunisasi tersebut.

3. Kurang umur

Bayi bernama Arfo umur kurang dari 2 bulan datang ke puskesmas untuk

mendapatkan imunisasi DPT/HB 1 dan polio 2, tetapi imunisasi ini tidak

dapat diberikan karena kurang umur. Hal ini dapat terjadi karena

ketidaktahuan orang tua akan jadwal imunisasi yang tepat.

4. Kurang gizi

Bayi bernama Vransiska umur 1 bulan dengan berat badan 2.9 kg di

berikan imunisasi BCG dan Polio 1. Sebenarnya bayi kurang gizi bukan

merupakan kontra indikasi oleh karena itu Vransiska tetap diberikan

imunisasi. Pihak puskesmas seharusnya memberikan edukasi kepada orang

39

Page 40: tugas PD3I.doc

tua tentang bagaimana pemberian makanan seimbang dan bergizi kepada

anak tersebut.

Timbangan yang digunakan dalam penimbangan berat badan bayi sebelum

imunisasi kurang layak digunakan terutama pada kalibrasi timbangan

sehingga hasil penimbangan merupakan hasil yang kurang akurat dan hal ini

akan berdampak pada penentuan status gizi bayi yang bersangkutan.

Sehingga diperlukan penyediaan timbangan yang layak pakai dan tidak

mengacaukan hasil penimbangan dan penentuan status gizi bayi.

Bayi yang ditimbang berat badannya sebaiknya menggunakan pakaian

seminimal mungkin agar hasil penimbangan yang didapatkan benar-benar

merupakan hasil yang akurat. Namun pada kenyataan di lapangan, banyak

bayi memakai pakaian yang berlebihan termasuk topi dan sepatu. Hal ini akan

dapat menjadi faktor perancu hasil penimbangan berat badan bayi dan

penentuan status gizinya. Sehingga hendaknya petugas puskesmas

memberikan pengertian kepada orang tua tentang perlunya penggunaan

pakaian seminimal mungkin pada anaknya sebelum ditimbang.

Air yang digunakan untuk sterilisasi pada daerah yang akan disuntik tidak

dijaga suhunya mulai dari awal pelaksanaan imunisasi yaitu pukul 7.30 WIB

hingga pelaksanaan imunisasi berakhir pukul 10.10 WIB. Air berfungsi untuk

mengilangkan hampir 98% bakteri yang berada di sekitar lokasi injeksi. Tidak

digunakannya alkohol untuk sterilisasi dikarenakan sifat alkohol yang bisa

merusak vaksin. Selain itu, menurut hasil studi yang dipresentasikan oleh Dr.

Matthew Oughton, salah seorang peneliti dari tim Dr. Libman pada kongres

47th Interscience on Antimicrobial Agents and Chemotherapy (ICCAC 2007),

September 2007 di Chicago mengatakan bahwa pencucian dengan air

menghilangkan lebih dari 98% bakteri, pencucian dengan larutan alkohol

hampir tidak menghilangkan sedikitpun, dan protokol dengan handuk

desinfektan menghilangkan sekitar 95% bakteri, Dr. Oughton menjelaskan

bahwa mereka mengira alkohol dapat menghilangkan bakteri ‘hidup’ tapi

40

Page 41: tugas PD3I.doc

tidak sporanya. Dari hasil studi yang dilakukan, air hangat lebih efektif

digunakan sebagai pembersih bakteri jika dibandingkan dengan air biasa.

Beberapa orang tua tidak membawa buku KIA (Kesehatan Ibu Anak)

dengan berbagai alasan mulai dari lupa sampai dengan hilang, akibatnya

terjadi hambatan dalam pemantauan jadwal imunisasi sehingga petugas

puskesmas kesulitan menentukan jenis vaksin. Penentuan jenis vaksin yang

akan diberikan hanya mengandalkan keterangan dan pernyataan dari ibu

tentang vaksin apa saja yang sudah diberikan sebelumnya. Sebaiknya,

dibutuhkan persetujuan dari ibu mengenai kesanggupan pemberian imunisasi

dan kebenaran informasi yang disampaikan guna menghindarkan dari

kejadian yang tidak diinginkan pasca imunisasi dan hendaknya petugas

puskesmas selalu mengingatkan untuk selalu membawa buku KIA setiap kali

imunisasi dan memberikan pengertian kepada orang tua tentang pentingnya

informasi yang terdapat pada buku KIA tersebut dalam menunjang

pelaksanaan imunisasi dan pemantauan status gizi anak.

Penyuntikan BCG dilakukan dua kali pada tempat yang sama tanpa

sterilisasi ulang disebabkan injeksi pertama terlepas karena bayi menangis

dan banyak bergerak. Kejadian ini memungkinkan adanya infeksi kuman

yang terikut dalam jarum. Sehingga, dianjurkan untuk melakukan imunisasi

ulang dengan spuit dan vaksin yang baru, serta dilakukan sterilisasi ulang.

Sesekali didapati cairan vaksin masih tertinggal dalam alat suntik. Ini

berarti dosis vaksin yang diberikan kurang yang dapat mengakibatkan tidak

optimalnya proses perangsangan pembentukan antibodi, sehingga akan

menimbulkan imunitas yang kurang. Sebaiknya petugas imunisasi benar-

benar cermat dalam pemberian dosis vaksin yang bersangkutan termasuk

keluarnya vaksin akibat pembuangan gelembung vaksin dan hendaknya

memasukkan vaksin dengan melebihkannya sedikit dari dosis yang ditetapkan

agar dosis vaksin tersebut tepat diberikan.

41

Page 42: tugas PD3I.doc

Vaksin beku kering (BCG dan campak) sebelum digunakan hendaknya

dioplos atau dilarutkan terlebih dahulu. Terdapat beberapa prosedur pelarutan

vaksin beku kering. Salah satu diantaranya adalah dengan melilitkan plastik

pada leher ampul vaksin maupun pelarut yang akan dipatahkan lehernya

untuk mencegah kontaminasi dari masuknya udara secara mendadak ke dalam

ampul waktu dipatahkan dan agar vaksin tidak berhamburan keluar. Namun

pada kenyataan di lapangan, pematahan ampul dilakukan tanpa melilitkannya

dengan plastik namun dengan menggunakan baju petugas imunisasi yang

dapat menyebabkan timbulnya kontaminasi baik pada vaksin maupun pelarut.

Sebaiknya petugas imunisasi mematuhi dan melaksanakan prosedur

pematahan leher ampul agar imunisasi yang diberikan tersebut benar-benar

optimal.

Agar sterilisasi tetap terjaga, dapat ditunjang melalui penggunaan

handscone oleh petugas imunisasi pada pemberian imunisasi.

Selain itu juga diperlukan asisten tambahan guna membantu kelancaran

pemberian imunisasi dan pemberian sosialisasi kepada orang tua tentang

imunisasi yang bersangkutan dan efek samping yang mungkin timbul akibat

imunisasi tersebut.

Pencampuran antara pelarut dan vaksin beku kering tidak boleh dilakukan

dengan mengocok namun dilakukan dengan menghisap vaksin dan pelarut

pelan-pelan dan meyuntikan kembali ke dalam ampul atau vial beberapa kali

sampai vaksin tercampur. Namun, pada kenyataannya pencampuran pelarut

dan vaksin dilakukan dengan cara mengocok. Pengocokan dapat

menyebabkan vaksin berbuih dan penuh dengan udara,walaupun buih atau

gelembung udara tersebut dapat dihilangkan dengan pengeluaran melalui

spuit tetapi hal tersebut dapat mengurangi dosis vaksin yang seharusnya

diberikan.

42

Page 43: tugas PD3I.doc

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Imunisasi atau pemberian vaksin telah lama digunakan untuk

mencegah penyakit. Imunisasi pada dasarnya merupakan suatu upaya

untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif

terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan penyakit

tersebut tidak akan sakit atau sakit ringan.

2. Penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) antara lain

difteri, pertusis, tetanus, tuberkolusis, poliomielitis, hepatitis B, serta

meningitis meningokokus. Pemerintah sejak tahun 1977 telah

mengembangkan program imunisasi untuk menangani PD3I diatas sesuai

jadwal dan vaksin yang khusus.

3. Pada pelaksanaan imunisasi di puskesmas wonogiri 1 ditemukan

beberapa permasalahan dari pihak peneriama pelayanan imunisasi seperti

pergeseran jadwal imunisasi karena ketidakdisiplinan beberapa orang tua,

bayi yang sakit, kurang umur serta kurang gizi. Selain itu, masih

ditemukan kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya KIA yang

dibuktikan dengan adanya beberapa orang tua yang tidak membawa

ataupun kehilangan KIA.

4. Selain permasalahan di atas, terdapat juga permasalahan dari segi

prosedural pelaksanaan imunisasi seperti penggunaan alat yang kurang

layak, dibutkurangnya sterilitas pelaksanaan imunisasi serta kurangnya

tenaga pelayanan imunisasi.

5. Secara umum pelaksanaan imunisasi di puskesmas wonogiri 1

sudah berjalan baik, tingkat kesadaran masyarakat akan imunisasi pun

tinggi.

43

Page 44: tugas PD3I.doc

B. Saran

1. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya kedisiplinan

dalam imunisasi,serta menjaga inventaris imunisasi seperti KIA sebagai

bukti dari pelaksanaan imunisasi.

2. Dibutuhkannya pengetahuan tentang prosedur pelaksanaan imunisasi agar

orang tua dapat ikut mendukung petugas dalam melakukan imunisasi

sehingga imunisasi dapat dilaksanakan dengan optimal.

3. Perlunya peningkatan kualitas alat yang digunakan dalam pelayanan

imunisasi agar hasil yang diperoleh akurat dan optimal.

4. Sebaiknya petugas puskesmas selalu diberikan pelatihan secara rutin guna

terus meningkatkan kinerja dan pelayanan puskesmas dalam melaksanakan

prosedur pelaksanaan imunisasi yang benar.

5. Perlunya tambahan petugas imunisasi untuk membantu pelaksanaan

imunisasi serta memberikan sosialisasi kepada orang tua yang bayinya

telah mendapat imunisasi mengenai imunisasi itu sendiri serta KIPI untuk

menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

44

Page 45: tugas PD3I.doc

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Melawan Kuman dengan Sabun dan Air Hangat. Available from:

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/160_19Melawankuman.pdf/16

0_19Melawankuman.pdf

Anonim. Mitos Cuci Tangan Air Hangat. Available from:

http://www.femaleradio.com/index.php?

view=article&catid=49%3Ahealth&id=461%3Amitos-cuci-tangan-

airhangat&optio n=com_content

Anonim. Vaksin dan vaksinasi. Available from: http://directory.umm.ac.id/Data

%20 Elmu/pdf/minggu_3_Vaksin_dan_Vaksinasi.pdf

Anonim. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi. Available from:

http://www.bumn.go.id/biofarma/galeri/kejadian-ikutan-pasca-

imunisasi-kipi/. Diakses pada 16 Maret 2012.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman Penyelenggaraan

Imunisasi. Available from:

http://dinkes-sulsel.go.id/new/images/pdf/Peraturan/kmk%20pedo

man%20penyelenggaraan%20imunisasi%201059-2004.pdf

Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008.

http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan

%20Indonesia%202008.pdf. Diakses 3 Mei 2012.

Depkes RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :

482/MENKES/SK/IV/2010 tentang Gerakan Akselarasi Imunisasi

Nasional Universal Child Immunization 2010 - 2014 (GAIN UCI

2010 - 2014). Jakarta : Depkes RI

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21582/4/Chapter%20II.pdf

45

Page 46: tugas PD3I.doc

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28056/4/Chapter%20II.pdf

http://idai.or.id/upload/jadwal_imunisasi_2011.pdf

Humas Kliping UI. 2006.Imunisasi Tambahan, Penting tetapi belum Diwajibkan.

Jakarta: UI Matondang CS, Siregar SP. 2005. Profil kesehatan

Indonesia 2003. Jakarta; Departemen Kesehatan RI.

Muchlastriningsih, Enny. 2005. Penyakit-penyakit Menular yang Dapat Dicegah

dengan Imunisasi di Indonesia. Jakarta: CDK.

Parish HJ. A. 1965. History of Immunization. Edinburg, London: E&S

Livingstone Ltd. Satgas Imunisasi PP IDAI. 2011. Panduan

Imunisasi Anak. Jakarta: Balai Penerbitan Ikatan Dokter Anak

Indonesia.

Subdit Imunisasi, 2004. Program Imunisasi di Indonesia. Jakarta : Dit. Epim -

Kesma. Dit Jen PPM-PL

46