Tugas Metode Penelitian Di Sd 162
Transcript of Tugas Metode Penelitian Di Sd 162
TUGAS
METODE PENELITIAN DI SD 162
Disusun oleh :
LAS AMALIANim. 56081006056
Nama Dosen : Drs. Iyakrus, M. Kes
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2010
Masalah Yang Dihadapi Di Kelas Atau Di Luar Kelas (Sekolah)
1. Anak yang takut dengan olahraga.
2. Anak yang tidak mau diam (aktif).
3. Anak yang lambat menerima pelajaran.
4. Kurangnya fasilitas olahraga.
5. Minimnya minat anak perempuan dalam cabang sepak takraw.
Usaha Pemecahan Masah
1. Seorang guru olahraga harus memulai mengatur anak didiknya, anak yang
takut harus diberi pengertian tentang olahraga dan dibimbing.
2. Seorang guru harus memberikan pengertian atau perhatian terhadap anak
tersebut dan seorang guru harus mengerti latar belakang anak tersebut.
3. Kita sebagai seorang pendidik harus tahu kepribadian anak didik dan kita
harus memberi pengertian dan hukuman yang mendidik terhadap anak yang
jail tersebut.
4. Guru harus melaporkan dengan kepala sekolah bahwa alat olahraga harus
dibelikan dan fasilitas olahraga.
5. Guru harus mulai bimbing anak perempuan untuk senang berolahraga dan
senang coba sepak takraw.
TUGAS
HUKUM DAN HAKWARGA NEGARA INDONESIA
Disusun oleh :
LAS AMALIANim. 56081006056
Nama Dosen : Drs. Iyakrus, M. Kes
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2010
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat
serta hidayah-Nya, sehingga penulisan Laporan Akhir ini dapat penulis selesaikan.
Judul makalah ini adalah “HUKUM DAN HAK WARGA NEGARA
INDONESIA “.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa baik
isi materi maupun cara pembahasannya masih terdapat kekurangan yang
disebabkan keterbatasan kemampuan dan ilmu yang dimiliki. Untuk itu dengan
sepenuh hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan Laporan ini.
Akhir kata, penulis juga mengharapkan semoga penulisan makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca, amin.
Palembang, September 2010
Penulis
HUKUM DAN HAKWARGA NEGARA INDONESIA
Dalam aspek hukum dan politis akibat amandemen UUD 1945 persoalan
HAM telah diatur dalam konstitusi kita, tepatnya pada BAB X A pasal 28 A-J. hal
ini mengindikasikan bahwa Indonesia meratifikasi tentang DUHAM ini melalui
konstitusinya. Hal ini menarik kita kaji lebih jauh karena akibat adanya
amandemen ini kehidupan demokrasi kita lebih terjamin dengan prinsip otonomi
daerah dengan desentralisasi, dekonsentrasi, dan medebewind. Sebagai akibatnya
munculah UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan peraturan-
peraturan lainnya yang berhubungan. Secara umum maka ada beberapa hal yang
perlu kita catat sehubungan dengan hal-hal yang mana jadi kewenangan
Pemerintah Daerah dan mana yang jadi kewenangan Pemerintah Pusat. Yang jelas
kewenangan Pemerintah Daerah lebih luas untuk mengurusi kepentingannya
sendiri dengan menyeimbangkan antara kebutuhan riil masyarakat daerah tersebut
terhadap segala aspek hukum dan politisnya.
Akan tetapi bukan berarti kewenangan atau kebebasan ini mutlak dimiliki
oleh daerah, karena ada 5 hal yang secara mutlak tidak boleh diatur sendiri oleh
Pemerintah Daerah. 5 hal yang diatur langsung oleh Pemerintah Pusat Adalah
persoalan pertahanan keamanan, fiskal moneter, urusan luar negeri, peradilan, dan
Agama. 3 dari yang pertama sudah jelas menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
dengan pertimbangan kepentiangan dan stabilitas nasional.
Pada masalah peradilan, baik pada lembaga-lembaga strukturalnya dan
regulasi-regulasinya masih banyak hal-hal yang perlu banyak kaji ulang dengan
mempertimbangkan adanya hierarkhi peraturan perundang-undangan UU No. 10
Tahun 2004. Hal pokok yang harus kita ketahui bersama bahwa aturan-aturan
yang posisinya lebih rendah tidak boleh menyalahi dari aturan-aturan yang
diatasnya. Hal ini yang memberikan tidak adanya kepastian hukum seperti yang
diatur dalam pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Hal ini disebabkan adanya
mekanisme dari lembaga Peradilan dengan berbenturan kepentingan umum di
masyarakat dengan mengajukan juidicial review atas suatu perundangan atau
peraturan dengan mengajukan ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
Kita lihat saja rame-ramenya para pejabat Kepala Desa ke Mahkamah Agung di
Jakarta untuk demo merevisi hak-hak politis mereka dalam berserikat dan
mengembangkan aspirasi mereka. Atau kita lihat tentang UU Komisi Yudisial dan
Pengadilan Tipikor yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Yang terbaru
adalah tentang UU kesehatan yang sekarang ini dalam proses persidangan
Mahkamah Konstitusi.
Masalah agama, dalam hal pengaturan agama yang masih menjadi
kewenangan pemerintah pusat untuk mengaturnya sudah jelas menyalahi hak
dasar dari manusia. Hal ini menyalahi dari pasal 28 E ayat (1) dan (2). Dalam
pasal ini disebutkan garis besarnya bahwa setiap orang bebas untuk menyakini
dan menjalankan kepercayaan sesuai dengan hati nuraninya. Persoalan ini menjadi
suatu dilematis sekali karena pada satu sisi tidak ada peraturan pelengkap dari
pasal ini. Hal ini menyebabkan sering terjadi kekacuan persoalan SARA terutama
yang disebabkan persoalan keyakinan suatu golongan terhadap haknya untuk
menjalankan keyakinan dan kepercayaannya secara bebas yang mana harus
dilindungi hukum.
Dengan duduknya Indonesia dalam anggota DK PBB, maka otomatis
Indonesia akan pula menjadi perhatian bagi seluruh negara negara di dunia.
PBB.SekaligusIndonesia diharapkan menjadi penengah dalam menciptakan
perdamaian dunia dalam masa 2 (dua) tahun keanggotaanya. Sebab selain
merupakan salah satu anggota GNB, Indonesia sebagai negara dengan jumlah
muslim terbesar di dunia, akan juga dianggap sebagai wakil negara-negara ketiga
yang tergabung di dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam), di mana beberapa
diantaranya sedang mengalami konflik senjata yang tak kunjung selesai, misalnya
konflik ditimur tengah dan konflik masalah nuklir korea utara.
Namun demikian, yang masih tetap akan menjadi persoalan besar sampai
saat ini ialah, apakah ide dan konsep segala kebijakan dan upaya penegakan hak
hak asasi manusia didalam kehidupan yang berskalah telah global itu harus
bersifat universalistik , dalam artian yang mutlak ataukah sekalipun deklarasi itu
telah diterimah oleh wakil negara bangsa di dunia ini, masikah ada juga tafsir
tafsir yang bersifat partikularistik, artinya adakah hak-hak asasi manusia itu harus
ditegakkan, kapan saja dimana saja dalam pengertian yang sama sebagaimana
modelnya yang klasikdari barat itu? Ataukah hak asasi manusia itu hanya bisa
dipandang sebagai sesuatu yang universal.dalam hal prinsip-prinsipnya saja?
Dewan Keamanan (DK) PBB, Mengingat resolusi-resolusi DK PBB dengan
pernyataan-pernyataan Presiden DK PBB mengenai situasi di Timor Timur,
khususnya pernyataannya pada tanggal 3 Agustus 2000 yang memuat pernyataan
keprihatinan mendalam dalam atas keberadaan pengungsi yang berkepanjangan
dalam jumlah besar di kamp-kamp pengungsi di Timor Barat dan atas kehadiran
secara berkelanjutan para milisi di kamp-kamp pengungsi serta atas tindakan
intimidasi oleh para milisi kepada para pengungsi dan para staf Komisi Tinggi
PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), mengutuk tindakan kejam dan keji
terhadap staf internasional yang tidak bersenjata yang berada di Timor Barat
membantu para pengungsi dan menegaskan kembali pernyataan kutukan DK PBB
atas pembunuhan dua anggota Pemelihara Perdamaian Pemerintahan Transisi
PBB di Timtim (UNTAET) dan berbagai serangan terhadap keberadaan PBB di
Timor Timur.
Perlu diketahui bahwa di negara Indonesia ada sejumlah kemajuan penting
mengenai upaya bangsa ini untuk melindungi HAM seperti diketahui ada
sejumlah produk politik yang penting tentang HAM. Tercatat mulai
dikeluarkannya TAP MPR N0.XVII/ 1998, kemudian amandemen UUD 1945
yang secara implisit sudah memasukkan pasal-pasal yang cukup mendasar
mengenai hak-hak asasi manusia, UU NO, 39/1999 tentang hak-hak asasi
manusia, dan UU 26/2000 tentang pengadilan HAM. Setelah dilakukan
amandemen dengan sendirinya UU 1945 sebenarnya sudah dapat dijadikan dasar
konstitusional untuk memperkokoh upaya-upaya perlindungan HAM. Adanya
undang-undang tentang HAM dan peradilan HAM, merupakan perangkat organik
untuk menegakkan hukum dalam kerangka perlindungan HAM dan peradilan
HAM.Semua ini melengkapi sejumlah konvenan PBB tentang HAM seperti
tentang hak-hak perempuan hak anak atau kovenan tentang anti diskriminasi serta
kovenan tentang anti tindakan kekejaman yang sudah diratifikasi.
Peran-peran kalangan diluar negara tetap dan akan tetap penting dalam
penegakan HAM, termasuk dalam penegakan supremasi hukum, sekalipun negara
mulai menjalankan fungsi dan kewajibannya untuk menjamin dan melindungi
HAM. Dalam perspektif konstitualisme, penegakan HAM dan supremasi hukum
yang menjadi yang menjadi kewajiban imperatif negara tidak akan dengan
sendirinya direalisasikan manakala tidak didukung dan tidak memperoleh desakan
efektif masyarakat. Oleh sebab itu peran masyarakat menjadi penting, dan akan
terus penting mengingat masyarakat juga berkepentingan dengan penegakan
supremasi hukum dan HAM.
Sejarah menunjukkan bahwa penyalah gunaan kekuasaan negara (abuse of
power) merupakan ancaman paling efektif terhadap hak-hak asasi yang
merendahkan martabat manusia oleh penguasa kurang lebih 30 tahun terakhir.
Adanya perlakuan terhadap hak-hak asasi manusia oleh penguasa dalam 30 tahun
terakhir, baik apa dalam masa orde lama maupun orde baru, sudah menyimpang
dari cita-cita bangsa untuk mengangkat martabat manusia. Contoh-contoh
pelanggaran oleh penguasa yang menyalah gunakan haknya sebagai penguasa
namun ia dapat diadili dan ada pula yang lolos dikarenakan adanya HAM. HAM
kasus tanjung priok yang melibatkan MAYJEND TNI Pranowo, Mayjen
SRIYANTO yang yang mana mereka pada tanggal 10 dan 12 agustus 2004 telah
bebas. selanjutnya dalam kasus pelanggran kasus Abepura yang melibatkan
Brigjen johny wainal Usman dkk. yang pada tanggal 8/9/2005 bebas. pelanggaran
kasus jajak pendapat di TIM-TIM yang melibatkan Abilio jose suares mantan
gubernur TIM-TIM pada tgl 4/11/2004 telah bebas selain itu dalam kasus ini juga
melibatkan pra petinggi TNI- POLRI misal Mayjen Adam Damiri, MAYJEN
Timbul Silaen yang mana mereka pada tanggal 29/9/2004 dan pada bulan
desember 2003 mereka telah bebas.dari petinngi POLRI melibatkan AKBP. Adios
salova bebas 19/5/2005.
Dari kasus kasus pelanggran Ham tersebut notabenenya dilakukan oleh
Para petinggi TNI dan POLRI yang mana mereka asdalah para aparat penegak
hukum yang seharusnya harus bisa menegakkan hukum di negeri ini kususnya
dalam masalah HAM. dan sebetulnya masih banyak lagi pelanggran- pelanggran
HAM yang dilakukan oleh pejabat tinggi TNI maupaun POLRI yang sampai saat
ini belum bisa di seret kepengadialn HAM sebut saja mantan KSAD JENDRAL
WIRANTO, dan yang mampu diseret kepengadilan hanya staf-stafnya saja.
Mendeklarasikan dirinya sebagai negara yg melindungi hak asasi manusia
yakni melalui deklarasi universal hak asasi manusia atau dikenal dengan DUHAM
pd tgl 10 desember 1948. Indonesiapun tidak mau kalah dan Indonesiapun telah
meratifikasi berbagai konvensi berkenaan dengan HAM sehingga saat ini di
Indonesia sudah ada aturan hukum yakni UU HAM no.39 tahun 1999 dan UU
PENGADILAN HAM no.26 thn 2000. seperti yg saya peroleh dari perkuliahan
hukum internasional fak hukkum Universitas muhammadiyah malang yg di ajar
oleh ibu.cekli maka semua perangkat hukum yg berkenaan dengan HAM di
Indonesia telah sesuai dengan prinsip2 yakni universal karena dalam setiap
peraturan negara melindungi HAM warga negaranya maupun warga negara lain
yg sedang berada disuatu negara hal ini dapat dilihat dari berbagai bunyi pasal yg
biasanya menggunakan kata “SETIAP ORANG” ini menunjukkan prinsip
universal namun dalam pasal24 ayat 2 UU HAM no.39 thn 1999 baru
menggunakan kata “SETIAP WARGA NEGARA atau kelompok masyarakat
berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi
lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan
negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi
manusia dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” jika melihat pasal ini
maka dpt ditafsirkan yg bisa mendirikan partai politik atau yg bisa berperan sbg
aparatur negara hanyalah yg mempunyai status WARGA NEGARA jelas sekali
disini pemerintah sangat jeli dalam membentuk segala peraturan yg mengatur
HAM di Indonesia dan sperangkat aturan hukum Indonesia inipun secara
kontekstual (bahasa) sangat sesuai dengan prinsip2 lainnya yakni prinsip setiap
orang memiliki hak yang sama (equality) dan tanpa diskriminasi non-
discrimination dan Prinsip Pengakuan indivisibility and interdependence of
different rights.
UU No 39 th 1999 tentang HAM UU ini juga telah menerapkan prinsip
universalitas yang dapat dilihat dalam pasal 3,4,5,7,98,10,11,12,13,14,dll yang
menggunakan kata “setiap orang..”. Prinsip equality dan tanpa diskriminasi juga
dapat dilihat dalam pasal 48 yang memberikan hak yang sama bagi wanita utk
mendapat pendidikan dan pengajaran,49 dan 54 Perlindungan terhadap HAM ini
dibuktikan dengan adanya Pengadilan HAM dalam UU No 26 th 2000, dalam ps
34 dapat dilihat bahwa UU ini memberikan perlindungan bagi ” setiap orang..”
yang menjadi korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat.
Pasal 27 ayat 1 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
Pasal 28, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya di tetapkan dengan undang-undang”
Pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”
Pasal 30 ayat 1 “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha pertahanan dan keamanan”
Pasal 31 ayat 1 “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”
Dan untuk prinsip-prinsip HAM yang ada di negara kita, saya rasa sudah
memenuhi. Meskipun perlu adanya penambahan-penambahan untuk memberikan
yang jauh lebih baik lagi bagi warga negara kita.
Dari ‘Prinsip - Prinsip Perlindungan HAM’ yang sudah di paparkan, jelas
terlihat bahwa negara manapun telah berusaha untuk melindungi setiap hak asasi
manusia yang telah di miliki seseorang sejak ia lahir. Hendardi TIGA tahun seusai
Perang Dunia II, komunitas internasional menyuarakan “pencerahan nurani”
dengan memproklamasikan hak asasi manusia universal 10 Desember 1948.
Upaya untuk menghormati, melindungi, memenuhi hak
asasi manusia, dan meninggikan martabat telah dimulai secara universal.
Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM dimajukan setelah terjadi
transformasi dari komitmen moral menjadi komitmen hukum internasional.
Transformasi ini menemukan wujudnya melalui penerimaan atas dua
perjanjian internasional pada 16 Desember 1966. Kedua perjanjian itu adalah
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yakni
CESCR(Covenant on Economic, Social and Cultural Rights ) serta Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yakni CCPR (COVENANT ON
CIVIL AND POLITICAL RIGHTS) . Sebagian besar inspirasi kedua perjanjian
ini bersumber dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Dari
pemikiran yang di peroleh atas DUHAM yang telah memunculkan CCPR dan
CESCR, Undang-Undang di Indonesia yang mengatur tentang hak asasi manusia
juga tertuang dalam UU No.39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2006 tentang
Pengadilan HAM, serta tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti
pada pasal 27, 28, 29, 30 dan 31.
Bagi sebagian orang atau masyarakat, masih sering ada keragu-raguan atau
tanda tanya besar mengenai suatu konsep yang mengatakan bahwa standar umum
tentang HAM yang dimuat dalam Deklarasi HAM 1948 tidak dapat diberlakukan
oleh semua masyarakat atau semua negara. Beberapa alasan dari keragu-raguan
menyangkut keabsahan dan kekuatan mengikat dari DUHAM. Pertama, bahwa
belum tentu negara-negara tersebut ikut merumuskan asas-asas yang dimuat
dalam DUHAM pada saat ditetapkan. (Dimana pada saat itu belum semua negara
menjadi anggota PBB atau bahkan masih belum merdeka). Misalnya saja, negara
Indonesia, merupakan salah satu contoh negara yang tidak ikut andil sebagai
perserta yang merumuskan substansi DUHAM. Alasan yang kedua adalah bahwa
deklarasi tersebut hanya merupakan suatu pernyataan umum yang tidak mengikat
kepada negara-negara sebagai hukum, dan adanya Kovenan SIPOL dan
EKOSOSBUD hanya akan mengingkat jika negara tersebut menerimanya melalui
ratifikasi atau aksesi. Keraguan di atas didukung oleh fakta dimana masih banyak
negara-negara yang dinilai melanggar prinsip-prinsip HAM namun tidak ada
penyelesaian secara kongkrit.
Namun demikian, sesungguhnya alasan diatas sudah tidak relevan
dikemukakan dalam konteks kekinian karena beberapa alasan. Pertama, bahwa
sejak diadakannya Konferensi Internasional tentang HAM di Teheran tertanggal
22 April sampai 13 Mei 1968 (20 Tahun sejak DUHAMdideklarasikan) yang
dihadiri oleh hampir seluruh anggota PBB telah disepakati bahwa DUHAM diakui
dan diterima sebagai prinsip-prinsip universal dalam penghormatan harkat,
martabat dan nilai-nilai manusia oleh seluruh negara meskipun adakalanya
terdapat suatu pemerintahan tidak menerimanya. Kedua, efektifitas DUHAM
bersama 2 Kovenannya sebagai hukum yang mengikat tidak diragukan lagi karena
secara nyata telah dijadikan dasar dan pembenar sejumlah besar keputusan-
keputusan yang diambil oleh badan PBB, resolusi Majelis Umum/ Dewan
Keamanan atau bahkan Keputusan Pengadilan di tingkat Nasional. Ketiga,
DUHAM secara nyata juga menjadi dasar bagi pembuatan instrument-instrumen
Internasional, perjanjian-perjanjian multilateral, bilateral bahkan pemrumusan
konstitusi suatu negara.
Dengan demikian, keragu-raguan kekuatan mengikat DUHAM secara
universal sesungguhnya menurut penulis tidak dapat dijadikan dasar untuk
menyimpulkan bahwa DUHAM beserta 2 Kovenannya sebagai ketentuan tidak
memiliki kekuatan sebagai hukum yang mengikat setiap negara karena baik aspek
keabsahan serta sifatnya sebagai hukum telah nyata dan terbukti. Namun, jika
dalam prakteknya masih ada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi hanya
menunjukkan bahwa ada sesuatu yang menggangu efektifitas perlindungan dan
penegakan HAM.
Memang harus diakui, bahwasannya terkait dengan pengesahan DUHAM
pada tanggal 10 desember 1948 di U.S/PBB tidak semua negara ikut dalam
pengesahan (rumusan asas-asas DUHAM) tersebut. akan tetapi hal ini bukan
berarti negara-negara yang tidak ikut dalam perumusan enggan memberikan saran
dan masukannya, tapi bisa saja negara tersebut sedang mengalami stabilitas yang
ada di negara tersebut tidak aman.misalnya saja Indonesia dimana pada saat
DUHAM tersebut di buat atau disahkan kondisi atau stabilitas keamanan di
Indonesia tidak memungkinkan, yaitu di Indonesia pada saat itu terjadi penjajahan
oleh belanda dll.Akan tetapi setelah Indonesia stabilitas keamanannya sudah
mulai membaik Indonesia ikut meratifikasi terhadap isi dari DUHAM tersebut
meskipun Indonesia pada saat DUHAM tersebut dirancang Indonesia tidak ikut
andil didalamnya.DUHAM tersebut keberadaannya di bawah bendera PBB
sehingga negara yang mau meratifikasi DUHAM (declaration of human rights)
tersebut stabilitas keamanannya harus terjamin dalam artian aman dari segala
konflik atau peperangan baik antar negara maupun antar suku. diman akaibat hal
tersebut bisa mengganggu stabilitas keamanan negara iu sendiri.Kembali lagi
kepermasalahan masalan DUHAM meskipun pada saat DUHAM tersebut dibuat
dan disahkan ada negara yang tidak ikut dalam pembuatannya dan hanya
meratifikasi saja, tidaklah mengapa asalkan negara tersebut mampu dan mau
mematuhi serta melaksanakan isi dari DUHAM tersebut guna penegakan HAM
bagi negara itu sendiri.
Selain itu pula alasan mengapa? Indonesia juga Ikut meratifikasi DUHAM
tersebut tidak lain diakarenakan, Indonesia adalah negara HUKUM(rechtstaats).
Hal itu sebagaiman telah di jelaskan didalam pembukaan kontitusi UUD 1945
negara republik Indonesia. Dari situ dapatlah diketahui bahwasannya ciri dari
negara hukum adalah “Adanya penagakuan HAK Asasi Manusia(HAM).Dengan
diratifiaksinya DUHAM tersebut oleh Indonesia diharapkan pengekkan HAM di
Indonesia bisa ditegakkan dan dapat dijadikan acuan dalam membuat peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan HAM.masalah Penegakan HAM
merupakan hal yang sangat urgen, mengingat HAM merupakan HAK dasar atau
pokok yang merupakan yang dimiliki oleh setiap manusia yang merupakan
pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa sejak manusia itu lahir.jadi apabila sudah
berhadapan dengan masalah HAM jangan coba-coba main-main kareana sudah
ada aturan yang mengatur dan menjaminnya yaiu DUHAM dan kalau di Indonesia
sejak psca reformasi telah mempunyai UU no.39 tahun 1999 tentang pengadialn
HAM yang salah satu fungsinya menegakan HAM sebagai mana yang telah
diamanatkan didalam DUHAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia yang
keberadaanya mengikat secara universal. Apalagi di idonesia meskipun telah
meratifikasi DUHAM dari PBB dan juga telah mempunyai UU no. 39 tahun 1999
tentang pengadilan HAM akan tetapi fakta yang ada masih banyak pelanggaran
HAM di Indonesia. baik pada masa lalu maupuan sekarang misal pelanggaran
HAM kasus tanjung priok yang melibatkan MAYJEND TNI Pranowo, Mayjen
SRIYANTO yang yang mana mereka pada tanggal 10 dan 12 agustus 2004 telah
bebas. selanjutnya dalam kasus pelanggran kasus Abepura yang melibatkan
Brigjen johny wainal Usman dkk. yang pada tanggal 8/9/2005 bebas. pelanggaran
kasus jajak pendapat di TIM-TIM yang melibatkan Abilio jose suares mantan
gubernur TIM-TIM pada tgl 4/11/2004 telah bebas selain itu dalam kasus ini juga
melibatkan pra petinggi TNI- POLRI misal Mayjen Adam Damiri, MAYJEN
Timbul Silaen yang mana mereka pada tanggal 29/9/2004 dan pada bulan
desember 2003 mereka telah bebas.dari ptinngi POLRI melibatkan AKBP. Adios
salova bebas 19/5/2005. dari kasus kasus pelanggran Ham tersebut notabenenya
dilakukan oleh Para petinggi TNI dan POLRI yang mana mereka asdalah para
aparat penegak hukum yang seharusnya harus bisa menegakkan hukum di bumi
nusantara ini kususnya dalam masalah HAM. dan sebetulnya masih banyak lagi
pelanggran- pelanggran HAM yang dilakukan oleh pejabat tinggi TNI maupaun
POLRI yang samapai saat ini belum bisa di seret kepengadialn HAM sebut saja
mantan KSAD JENDRAL WIRANTO, dan yang mampu diseret kepengadilan
hanya staf-stafnya saja.
Hak asasi manusia adalah hak dasar atau pokok sebagai pemberian Tuhan
Yang Maha Esa sejak manusia lahir. Berdasarkan pengertian HAM diatas dapat
dikatakan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada setiap individu, hak
yang harus ada dan harus mendapatkan penghormatan dari individu lainnya.
Menanggapi tentang masih adanya keragua-raguan atau tanda Tanya besar
mengenai konsep universalitas berlakunya standart umum tentang HAM yang
dimuat dalam deklarasi HAM 1948, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa masih
adanya keragu-raguan dari pihak tersebut diatas tentang adanya HAM itu sendiri.
Seharusnya kita harus mensyukuri adanya dua convenant yang mengatur tentang
standart tentang HAM tersebut karena dengan adanya convenant itu menunjukkan
keseriusan dari masyarakat dunia tentang urgennya pengakuan tentang HAM serta
diharapkan dapat menghapus berbagai macam bentuk penindasan yang sering
dilakukan oleh Negara-negara super power terhadap Negara-negara miskin
sebagai upaya perluasan kekuasaan, baik dalam bentuk politik, ekonomi maupun
budaya.
Alasan tentang tidak ikut sertanya suatu Negara dalam perumusan azas-
azas yang dimuat dalam DUHAM pada saat ditetapkan tidak dapat dijadikan alas
an pembenar untuk tidak mengakui berlakunya azas universalitas dari DUHAM
itu sendiri. Logikanya jika tidak mengakui DUHAM maka dapat dikatakan tidak
mengakui HAM itu sendiri, karena konsep HAM yang terdapat dalam DUHAM
tidak satupun terdapat perumusan yang merugikan suatu bangsa, Negara ataupun
suatu golongan. Bahwa DUHAM tersebut hanya merupakan suatu pernyataan
umum yang tidak mengikat kepada Negara-negara sebagai hukum, dan adanya
convenant SIPOL dan EKOSOSBUD hanya akan mengikat jika Negara-negara
tersebut meratifikasi adalah sebuah pernyataan atau alasan yang salah untuk tidak
mengakui DUHAM. Harus kita ingat bahwa DUHAM itu merupakan pernyataan
sejagal ( Universal Declaration) hal ini dibuktikan dengan hamper semua Negara
dalam konstitusinya memuat rumusan HAM sejak 1948 yang didasrkan pada
DUHAM itu sendiri, dan kepastian praktek tersebut dapat dinyatakan
mendapatkan Opinion Yuris pada pihak Negara-negara, yaitu keyakinan akan
adanya kewajiban hukum.
Hal utama yang perlu ditanyakan bukanlah mengenai keberlakuan konsep
universalitas dari DUHAM tersebut, tetapi mengapa isi dari DUHAM sering
dilanggar oleh beberapa Negara. Namun Comision on Human Rights tidak
memberikan sanski yang tegas, dan disadari atau tidak hal tersebut dapat
mengakibatkan DUHAM hanya dianggap sebagai bualan belaka.
Sebelum membahas mengenai kekuatan mengikat yang dimiliki oleh
DUHAM, sebelumnya kita harus mengerti bagaimana sejarah pembentukannya
dan keberlakuan dari salah satu The International Bill of Human Rights tersebut.
Menindak lanjuti berakhirnya perang dunia kedua dimana hak-hak azasi diinjak-
injak, timbul keinginan untuk merumuskan hak-hak azasi manusia dalam suatu
naskah Internasional. Usha ini pada tahun 1948 berhasil dengan diterimanya
Universal Declaration of Human Rights (DUHAM) secara aklamasi oleh Negara-
negara yang tergabung dalam PBB.
Dalam kenyataannnya, memang tidak ditemukan kesukaran untuk
mencapai suatu kesepakatan mengenai pernyataan HAM. Namun terjadi
kesukaran untuk melaksanakan tindak lanjutnya, yaitu menyusun perjanjian
(convenant) yang mengikat secara yuridis. Dan akhirnya pada tahun 1966
tepatnya 18 tahun setelah disetujuinya DUHAM, PBB baru menyetujui aklamasi
perjanjian tentang hak ekonomi, sosoal dan budaya (Covenant on Economic,
Social, and Cultural Rights) serta perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik
(Covenant on Cipil and Political Rights). Perjanjian-perjanjian tersebut baru
berlaku setelah diratifikasi oleh Negara-negara anggota PBB.
Diperlukannya waktu begitu lama untuk menyusun 2 covenant tersebut,
disebabkan karena dalam tubuh Comition on Human Rights timbul perselisihan
apakah naskah yang disusun akan mempunyai kedudukan sebagai hukum positif
yang wajib dilaksanakan oleh Negara yang mengikatkan diri dengan PBB,
ataukah hanya berfungsi sebagai pedoman.
Dengan demikian DUHAM yang hanya merupakan pernyataan, pada
umumnya dianggap tidak mengikat secara yuridis dank arena itu sering
dinamakan suatu pernyataan keinginan-keinginan manusia (Declaration of Human
Desires) akan tetapi walaupu tidak mengikat secara yuridis, namun DUHAM
memiliki pengaruh moril, politik, dan edukatif secara universal. Pengaruh tersebut
dapat kita lihat dari sering disebutkannnya unsure-unsur DUHAM dalam
keputusan hakim, Undang-undang, ataupun UUD beberapa Negara.
Kesepakatan mengenai dua covenant yang adapun juga mengalami kesulitan,
sebab implementasi HAM menyangkut hukum Internasional yang sangat rumit
sifatnya, seperti maslaah kedaulatan suatu Negara, kedudukan individu sebagai
subyek hukum Internasional dari soal “Domestic Yurisdiction”. Kesukaran lain
ialah bahwa pelaksanaan HAM harus disesuaikan dengan keadaan Negara
masing-masing.
Walaupun kekuatan mengikat secara yuridis tidak dimiliki oleh DUHAM
disbanding dengan kekuatan yuridis yang dimiliki oleh The International Bill of
Human Rights lainnya, namun pengaruhnya secara global dapat kita rasakan
seperti munculnya covensi-convensi dibeberapa Negara yang ditujukan untuk
menindak lanjuti perjuangan HAM didunia, antara lain dibentuknya Convention
for The Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms di Roma tahun
1950.
Sedangkan di Indonesia sendiri yang merupakan Negara baru pada waktu
itu telah mencantumkan beberapa konsepsi HAM di UUD-nya, walaupun dimuat
secara terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara singkat. Hal tersebut
dikarenakan bahwa naskah ini disusun pada akhir masa kedudukan jepang dalam
suasana mendesak. Selain itu, karena UUD 1945 dibuat beberapa tahun sebelum
DUHAM diterima oleh PBB. Namun, dalam amandemen UUD berikutnya
konsepsi HAM telah disiratkan dengan lengkap, hal tersebut tidak lain juga
diilhami dari adanya DUHAM.
Di Indonesia sendiri sejak era reformasi, HAM merupakan hal yang sangat
penting dikarenakan pada saat itu banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM
terutama pada saat jatuhnya kepemimpinan Suharto. Mulainya terbunuhnya
mahasiswa Trisakti, kasus Semangi dan lainya yang semuanya didalamnya
terdapat adanya pelanggaran HAM.
Sejak adanya Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang pengadilan
HAM yang diharapkan untuk mengurangi terjadinya pelanggaran HAM atau
dapat mengusut tuntas kasus yang terjadi sebelum lahirnya Undang-Undang
tersebut tetapi masih saja belum dapat dilaksanakan dengan sepenuhnya atau
seharusnya. Namun demikian sejak lahirnya Undang-Undang tersebut masih tetap
saja terjadinya pelanggaran HAM. Dimana yang masih teringat dialam pikiran
kita tentang terbunuhnya Munir. Dimana masih belum ada kejelasan siapa otak
dibalik pembunuhan terhadap Murnir yang diman masah hidupnya
memperjuangkan tentang HAM.
Pemerintahan SBY menghadapi masalah serius dalam hal reformasi
kelembagaan. Lembaga-lembaga HAM menjadi mesin birokrasi baru tanpa bisa
mendorong secepat mungkin promosi dan perlindungan HAM. Pemerintah juga
kurang mendukung fungsi lembaga HAM dan tidak tercatat telah menjalankan
kebijakan yang berperspektif HAM.
Belum tertanganinya berbagai bentuk pelanggaran di tahun 2006 bukan
karena ketiadaan norma hukum, melainkan karena masing-masing institusi
kenegaraan dan pemerintah tidak mampu untuk mengimplementasikan norma
yang telah ada. Atau tidak ada koherensi pemahaman antar institusi kenegaraan
dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang HAM. Akibatnya persoalan
HAM ditangai secara parsial dan serampangan. Ketidakmampuan
mengimplementasikan kebijakan yang berdimensi HAM disebabkan oleh faktor
ketiadaan blueprint atau agenda yang visioner dalam menyikapi persoalan HAM
karena masalah HAM masih dilihat secara sektoral dan business as usual . Artinya
sampai tahun 2006 berakhir belum ada cara kerja yang menunjukan saling
keterkaitan antar instansi kenegaraan dalam menangani masalah pelangaran
HAM.
Mahkamah Agung, seperti ditahun-tahun sebelumnya, masih saja
membebaskan para terdakwa dengan dalih para pelaku tidak terbukti melakukan
kejahatan yang disangkakan kepadanya. Sulitnya menghukum para pelaku
kejahatan hak asasi manusia di masa lalu semakin lengkap ketika mekanisme
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran di masa lalu melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) urung dibentuk karena Undang Undangnya dinyatakan
oleh MK bertentangan dengan Konstitusi dan Hukum Internasional. Secara
terang-terangan pemerintah Indonesia dengan dukungan penuh dari DPR menolak
desakan dunia internasional tentang penggelaran pengadilan internasional atas
kasus kejahatan terhadap kemanusiaan para pejabat militer Indonesia di Timor
Leste pada tahun 1999. Dengan berkilah bahwa Pemerintah RI dan Timor Leste
telah sepakat memilih penyelesaian melalui pembentukan Komisi Perdamaian dan
Persahabatan (KKP) pemerintah Indonesia meminta dunia internasional untuk
mengurungkan niatnya.
Masih berlanjutnya penggunaan aturan-aturan hukum pidana, dalam hal
ini KUHP, untuk membuat pembatasan-pembatasan hak sipil dan politik warga
negara. Penggunaan hukum pidana dalam kasus-kasus pembatasan kebebasan
tersebut ialah: penggunaan pasal-pasal penghinaan martabat presiden dan wakil
presiden, penggunaan pasal-pasal penjaga moral seperti: pasal-pasal pornografi,
pasal-pasal antikumpul kebo (samenloven) untuk memberangus kebebasan dan
privasi individu, dan pasal-pasal mengganggu ketertiban umum dan perbuatan
tidak menyenangkan.
Perusahaan-perusahan skala besar hingga saat ini masih menikmati
impunitas. Gagalnya reformasi hukum untuk mendorong terciptanya kontrol yang
semakin kuat bagi korporasi serta kebutuhan akan investasi dan devisa yang
mendorong pemerintah untuk lebih mengutamakan terciptanya ‘market friendly’
policy, menjadi penyebab sulitnya meminta pertanggungjawaban perusahaan-
perusahaan swasta/negara yang terlibat dalam berbagai tindak pelanggaran hak
asasi manusia.
Proses demokratisasi di tingkat daerah berlangsung melalui serangkaian
reformasi hukum dan institusi sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah
(gubernur, bupati, maupun walikota) secara langsung (Pilkada) dan penguatan
kebijakan desentralisasi, yang diiringi dengan promosi good governance. Namun
desentralisasi yang dimaksudkan untuk mendekatkan rakyat kepada pengambil
keputusan di daerahnya, tampaknya secara empirik tidak berlangsung seperti
idealnya. Selain telah menjadi arena baru yang memungkinkan sejumlah
kelompok yang siap untuk menguasai jabatan-jabatan strategis dalam politik
lokal, sistem demokrasi di tingkat lokal juga mengembalikan, mempertahankan,
dan mengakumulasi modal (modal ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik).
Akibatnya penduduk kembali menjadi korban tindak pelanggaran hak asasi
manusia baik yang dilakukan oleh aparatus negara, perusahaan, maupun
kelompok-kelompok sipil lain.
Memasuki tahun 2007 kendala besar dalam menangani pelanggaran HAM
di Aceh dan Papua adalah ketiadaan kepastian hukum. Pengadilan HAM di Aceh
dan Papua belum dibentuk sementara Makamah Konstitusi telah menganulir UU
KKR yang ditujukan sebagai instrumen dan mekanisme penanganan pelanggaran
HAM di masa lalu. Padahal UU Pemerintahan Aceh dan UU Otsus Papua
memandatkan pemerintah membentuk KKR sesuai dengan konteks persoalan
HAM di Aceh dan Papua.
Seluruh pengalaman dalam menangani masalah hak asasi manusia di tahun
2006 semestinya menjadi pelajaran bagi semua instansi yang berwenang di bidang
hak asasi manusia di tahun 2007 ini, khususnya untuk memperbaiki kekeliruan di
tahun lalu atau mengerjakan hal-hal yang belum sempat dikerjakan. Dalam
kesempatan ini Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) ingin
memberikan masukan dan berbagi perspektif kepada berbagai instansi yang
berwenang di bidang hak asasi manusia dalam memperbaiki penanganan
persoalan hak asasi manusia baik dalam sisi normatif mau pun dalam sisi
pengimplementasian norma-norma yang ada.
Banyak yang berpendapat bahwa konsep hak asasi manusia tidak dapat
diberlakukan secara universal dikarenakan perbedaan budaya dan adat istiadat
pada wilayah yang memberlakukan ketentuan Hak Asasi manusia tersebut. Hal ini
mungkin nampak jelas pada pasal 4 UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yang merupakan hasil ratifikasi dari Declaration of Human Rights,
dimana hak manusia yang mendasar dikatakan adalah hak untuk hidup dan hak
untuk memeluk agama, akan tetapi bila mengacu pada peraturan perundangan
yang berlaku di Indonesia, tampak adanya pembatasan dalam hal agama yang
diakui pemerintah, sehingga kebebasan yang dimaksud sifatnya masih terbatas.
Kemudian hak untuk hidup juga bersifat relatif, karena dalam undang-undang
yang lain, masih terlihat adanya praktek hukuman mati, yang mana merupakan
indikasi bahwa hak untuk hidup juga bersifat relatif. Pemikiran demikain
merupakan bagian dari pemikiran filsafat komunal yang menganggap bahwa tidak
ada kebenaran yang sifatnya universal. Hal ini merupakan suatu kesalahan karena
sebenarnya yang perlu ditetapkan terlebih dahulu adalah ‘kebenaran’ tersebut,
baru menapak pada pembetulan peraturan lainnya. Jadi jelaslah bahwa mengenai
kebebasan beragama, yang harus diperjuangkan adalah penyadaran bagi bangsa
ini tentang mutlak perlunya HAM dan bahwa Hak Asasi Manusia adalah memang
Haq (Benar). Filsafat komunalisme yang menolak samasekali kebenaran universal
itu jelas mengalami kekeliruan mendasar. Karena bagaimana mereka bisa
mengatakan bahwa sesuatu itu benar untuk komunitas tertentu jika tak ada
parameter untuk menentukan mana yang benar dan salah? Parameter yang bisa
menilai mana yang benar dan salah itu harus sudah ada lebih dahulu, maka tentu
harus bersifat universal.
Meskipun masih banyak keraguan atas kekuatan yang mengikat DUHAM
dan juga masih banyak yang melakukan pelanggaran yang membuat efektifitas
perlindungan dan penegakkan HAM terganggu, ini bukan berarti HAM tidak
diakui oleh seluruh negara. karena, tidak ada negara yang menginginkan
masyarakatnya kehilangan Hak Asasinya.
Meskipun suatu negara tidak ikut merumuskan asas dalam DUHAM
bukan berarti negara itu boleh melakukan sesuatu seenakanya saja tanpa
menghiraukan keinginan masyarakatnya dan tidak menghormati harkat dan
martabat.
Dalam sila ke-2 Pancasila yang berbunyi ”kemanusian adil yang beradab“.
Dalam sila ke-2 ini terkandung nilai-nilai :
1. mengakui dan memberlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabat.
2. mengakui persamaan derajat hak dan kewajiban asasi setiap manusia,
tanpa membedakan ras dll.
3. mengembangakan sikap tenggangrasa dan saling menyayangi, saling
menghormati.
Indonesia juga membuat serta menhesahkan UU no.39 th 1999 pasal 2 ”Di
Indonesia telah mengakui dan menjujung tinggi HAM dan kebebasan dasar
manusia sebagai hak yang secara kodarati melekat padadan tidak terpisahkan dari
manusia, yang harus di lindungi, di hormati, dan di tegakkan…
Dan UU no.26 th 2000 Pengadilan HAM demi melindungi,
mempertahankan, menjaga HAM dari sebuah perampasan HAM. HAM
merupakan hak-hak yang seharusnya diakui secara universal sebagai hak2 yang
melekat pada manusia, karena hakekat dan kodratnya sebagai manusia, bersifat
universalitas atau tanpa melihat ras, suku, agama, jenis kelamin,dll.
Selain itu berdasarkan prinsip-prinsip HAM yakni, prinsip universalitas
yang menyatakan setiap orang dilahirkan secara bebas (bukan karena diberi
kekuasaan apapun)dan tidak memandang perbedaan. Kemudian dalam DUHAM
juga menganut prinsip setiap orang memiliki hak yang sama dan tanpa
diskriminasi, maka jelas bahwa HAM ini sifatnya universal dan patut dilindungi,
di hormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, maupun
dirampas oleh siapapun.
Sehingga jika dilihat dalam seperangkat hukum Indonesia yang mengatur
mengenai HAM , maka prinsip-prinsip tersebut telah dianut pemerintah Indonesia
sejak tahun 1945 yang terdapat pada pembukaan UUD’45 amandemen alenia ke
empat, yang dalam isinya terdapat visi pemerintah Indonesia untuk melindungi
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, maka jelas pemerintah
Indonesia ingin melindungi, menghormati, mempertahankan HAM yang ada di
Indonesia tanpa mendiskriminasikan.
Dan karena Indonesia merupakan anggota PBB dan meretifikasi ICCR &
CESR maka Indonesia mengemban tanggung jawab moral dan hukum, serta
melaksanakan DUHAM. Oleh karenanya pemerintah Indonesiaberkewajiban baik
secara hukum maupun secara politik, ekonomi, sosial dan moral, untuk
melindungi dan memajukan serta mengambil langkah2 konkret demi tegaknya
HAM, maka di berlakukan prinsip2 DUHAM yang telah diwujudkan dalam UU
NO.39 TAHUN 1999, tentang HAM yang salah satunya terdapat dalam ps.5,
yakni:
Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan
memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan
martabat kemanusiaannya didepan hukum. Setiap orang ini artinya tidak
hanya ditujukan pada WNI saja namun juga WNA yang ada di Indonesia.
pd ps. 3 ayat 2 dan 3 yang intinya NRI memberi hak pengekuan,
jaminan ,perlindungan dan perlakuan hukum yang adil dalam kepastian
hukum dan diberi perlakuan yang sama didepan hukum. Dan juga diberi
hak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia tanpa
diskriminasi baik WNI maupun WNA yang ada di wilayah NRI.
Sedang dalam UU no. 26 tahun 2000 terdapat dalam pasal 1 ayat 1 yang
menjelaskan HAM tersebut. Ps.34 ayt 1 setiap korban dan saksi dalam
pelanggaran HAM berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun. ayat 2 perlindungan
sebagaimana ayat satu wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat
keamanan secara cuma-cuma.
A. UUD RI 1945
1. Menganut prinsip universal.terdapat dalam pasal 28G bag ke (2)
2.menganut prinsip orang memiliki hak sama (equality) dan tampak
diskriminasi karena hal ini adalah menyangkut hak pokok yang melekat
pada manusia karna hakeket dan kodratnya sebagai manusia terdapat
dalam pasal 28A, 28B bag ke 2 dll. Namun menyangkut undang undang
dasar ini pada intinya semua menganut universal tetapi berlaku mengikat
bangsa Indonesia saja.
B. UU NO 39 tahun 1999 Tentang
HAM
1. Menganut asas universal terdapat dalam pasal 2,3 dll
2. Menganut prinsip orang memiliki hak yang sama (equality) tanpa
diskriminasi terdapat dalam pasal 3 Bag 2 dan 3.
C. UU NO 26 tahun 2000 tentang
peradilan Ham
1. Menganut prinsip universal
2. Menganut prinsiporang memiliki hak yang sama
(equality) tanpa diskriminasi karna hak asasi manusia adalah sprangkat
hak yang melekat pada hakekatnya keberadaan manusia sebagai mahkluk
tuhan yang maha esa dan merupakan anugrah yang harus dihormati di
jujnjung tinggi dan di lindungi oleh negara,hukum ,pemerintah,dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
maka 3 buah prodak aturan hukum semua menganut apa yang trcantum
dalam deklarasi human raights
Di Indonesia sendiri juga keberadaan HAM juga menjadi sesuatu yang
sangat penting. Ini jelas seperti yang tercantum di dalam Undang - undang No.39
tahun 1999 pasal 1, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia, dan juga yang terdapat pada
pasal 3, bahwa Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Demikian pula pada Undang - undang No.26 tahun 2000 pada pasal 1,
dikatakan bahwa hak asasi menusia merupakan hak dasar secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng , oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau
dirampas oleh sipapun.
Jadi, mengingat tentang Hak Asasi Manusia menjadi sesuatu hal yang
penting, maka seluruh dunia wajib dan harus melindungi dari adanya HAM
tersebut. Secara tidak langsung memang benar bahwa negara yang menganggap
dirinya sbagai negara hukum mengutamakan hak asasi manusia yaitu dengan
melindungi, menghormati, serta menjaga hak dasar yang dimiliki oleh manusia.
Indonesia telah melakukan ratifikasi deklarasi DUHAM tersebut ke dalam
peraturan perundang-undangan UU RI No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan Undang-undang lain. Tetapi jika kita membahas masalah asas
universalitas daripada HAM tersebut, kita juga harus melihat bangsa dan negara
kita yang bersifat kepalauan dan terdiri dari berbagai macam suku bangsa. Jika
kita pelajari tentang kesukubangsaan yang ada akan kita temui adanya suatu
pluralisme hukum yang ada, dimana hukum disini berfungsi sebagai pembatas hak
asasi manusia seseorang agar tidak melanggar hak asasi orang lain. Pluralisme
hukum ada di setiap komunitas, yang akan memberikan hak untuk menentukan
pilihan hukum mana yang akan seseorang pilih dalam menyelesaikan sengketanya
dengan orang lain. terdapat sebuah teori yang berlaku di Asia yaitu cultural
relativity theory, dimana pakar nya Donnelly. yang menekankan bahwa
universalitas HAM tergatung pula kepada budaya dimana Ham itu ditegakkan.
Salah satu paribahasa kita “Dimana bumi dipijak disitu Langit dijunjung”
Pada tahun 1965 melalui Undang-undang Nomor 29 Tahun 1999
Indonesia. Konsekwensi logisnya adalah bahwa Indonesia sebagai negara pihak
akan mematuhi perintah-perintah konvensi baik dalam tataran pelembagaan
hukumdomestiknya maupun pada aspek-aspek administrasi pelaksanaannya.
Bahwa Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Praktik Diskriminasi Rasial
memuat lima perbuatan inti yang seharusnya dimuat dalam hukum pidana
nasional, negara pihak: penyebaran pemikiran yang berdasarkan atas supremasi
ras atau kebencian; hasutan untuk melakukan diskriminasi rasial; hasutan
melakukan kekerasan terhadap ras kelompok perorangan dari warna kulit atau asal
usul etnik yang lain; pemberian bantuan terhadap kegiatan-kegiatan rasis; dan
partisipasi dalam organisasi-organisasi atau kegiatan-kegiatan yang rasis.
Sedangkan KUHP yang saat ini berlaku dan Rancangan KUHP hanya mengatur
perbuatan mengenai pernyataan dan penyebarluasan perasaan permusuhan,
kebencian, dan penghinaan. Bahwa perumusan ulang terhadap pasal 156 dan 157
KUHP melalui Pasal 286 dan 287 Rancangan KUHP secara umum kurang
memadai jika dilihat dari konteks perkembangan norma-norma hukum
internasional, perkembangan KUHP-KUHP dinegara lain yang memiliki akar
kesejarahan yang sama dengan KUHP Indonesia.
Menyimak rumusan pada Pasal 286 dan 287 Rancangan KUHP,
disimpulkan bahwa: Pertama, adanya kecenderungan tidak berubahnya konstruksi
perbuatan dalam Pasal 286 dan Pasal 287 Rancangan KUHP, artinya dalam hal ini
tim perumus Rancangan KUHP kurang merespon perkembangan diluar garis
berpikir KUHP yang saat ini berlaku.
Kedua, beberapa perubahan yang dilakukan pada Pasal 286 dan Pasal 287
Rancangan KUHP khususnya mengenai perluasan perbuatan tidak signifikan
sebagai sebuah perkembangan yang lebih maju dari KUHP yang saat ini berlaku.
Ketiga, bahwa Pasal 286 dan Pasal 287 Rancangan KUHP yang
dikonstruksikan sebagai delik materiil adalah kurang tepat jika dipahami sebagai
salah satu langkah pendemokrasian pasal yang dikategorikan sebagai delik
hatzaaiartikelen. Bahwa pertimbangan demokratisasi pasal-pasal hatzaai artikelen
tidak serta merta harus berbanding lurus dengan cara perumusannya menjadi delik
materiil sebagaimana Pasal 286 dan 287 dirumuskan. Dalam hal ini argumen yang
dibangun para perumus Rancangan KUHP tidak tepat, tim perumus dalam hal ini
tidak melihat konteks permasalahan kepentingan yang akan dilindungi oleh
sebuah tindak pidana, sebagai salah satu bobot pertimbangan yang cukup krusial
untuk menentukan cakupan perbuatan apa saja yang akan diatur berikut sanksinya
serta bagaimana merumuskannya agar sarana pidana berdayaguna dalam
memerangi perbuatan-perbuatan diskriminasi rasial.
Keempat, Konstruksi delik materiil tidak tepat pula diletakkan dalam
kerangka bobot kejahatan tindak pidana diskriminasi rasial, di mana tingkat
ancamannya bagi tertib sosial kemasyarakatan, sebagai salah satu perbuatan yang
merupakan musuh semua umat manusia adalah termasuk kategori berat. Kelima,
karakter khusus seperti bobot ancaman dari perbuatan-perbuatan yang termasuk
sebagai praktik diskriminasi rasial yang memiliki karakter sebagai norma
internasional jus cogens sepertinya tidak cukup kuat diperhitungkan dalam
pertimbangan untuk merumuskan tindak pidana dalam Rancangan KUHP.
Bangsa Indonesia yakin bahwa kemerdekaan yang dikumandangkan pada
tanggal 17 Agustus 1945 bukan semata-mata perjuangan rakyat, namun semua itu
tidak akan pernah terwujud jika Tuham Yang Maha Kuasa tidak menghendakinya
dan Kemudian dalam batang tubuh UUD 1945 Pasal 29 diperkuat lagi pengakuan
negara atas kekuatan Tuhan Dengan melihat ketentuan tersebut bukan berarti
Indonesia adalah negara agama atau negara yang didasarkan pada agama tertentu
UUD 1945 berlaku dan setelah diamandemen 4 kali, dalam Penjelasan UUD 1945
tetap dinyatakan secara tegas bahwa: ”Indonesia adalah negara hukum (rerchstaat)
bukan negara kekuasaan (maachstaat).
Jadi jelas bahwa Indonesia bukan negara agama melainkkan negara hukum
bahwa Undang-Undang dibuat oleh lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan
Rakyat, dan Anggota DPR terdiri dari berbagai suku, etnis, agama, jenis kelamin
dan sebagainya. Hukum di Indonesia tidak dibuat oleh kelompok agama. Jadi
agama tidak pernah mengatur negara, begitu juga sebaliknya negara tidak
semestinya mengatur kehidupan beragama seseorang.
Indonesia. Pertama, pandangan universal absolut yang menganggap bahwa
nilai-nilai HAM bersifat universal sehingga implementasinya tanpa harus
memperhitungkan kondisi-kondisi sosial budaya lokal setempat.
Kedua, pandangan universal relatif yang melihat HAM selain sebagai
persoalan universal namun demikian masih harus memperhitungkan aturan-aturan
internasional yang sudah berlaku sebelumnya.
Ketiga, pandangan partikularistik absolut yang memaknai HAM sebagai
persoalan masing-masing bangsa yang tidak dapat dicampuri oleh negara-negara
lain. Pandangan ini sering menimbulkan kesan antara lain chauvinistik dan
egoistik.
Keempat, pandangan partikularistik relatif, yang melihat HAM selain
sebagai nilai-nilai universal juga merupakan masalah masyarakat setempat dalam
arti dalam penerapannya masih harus memperhatikan kondisi sosial budaya lokal.
Terlepas dari keempat pandangan tersebut, implementasi nilai-nilai HAM
yang universalitistik dalam realitanya pasti akan mengalami proses persentuhan
dengan nilai-nilai budaya lokal yang masih bercorak tradisional. Agar dalam
proses persentuhan tersebut tidak menimbulkan konflik-konflik peradaban maka
sudah seharusnya nilai-nilai HAM bertumpu pula pada konsep pluralisme budaya.
Sebab, dalam konsep pluralisme budaya terdapat makna pengakuan dan apresiasi
yang sama terhadap eskistensi setiap nilai-nilai budaya dari masyarakat mana pun.
Meskipun demikian, secara empirik faham pluralisme akan menghapadi
paling tidak tiga bentuk reaksi, yaitu (1) etnosentrisme adalah bentuk reaksi yang
tidak mau tahu tentang nilai budaya lain dan kebenaran hanya ada pada nilai-nilai
budaya sendiri, pandangan ini bisa disebut juga sebagai fundamentalisme budaya;
(2) relativisme budaya adalah bentuk reaksi yang menganggap bahwa setiap nilai-
nilai budaya pada dasarnya baik dan cocok bagi pendukungnya. Namun sekiranya
nilai-nilai budaya lain dianggap baik dan cocok dengan nilai budaya sendiri tidak
ada salahnya jika nilai-nilai budaya tersebut dicerap dan begitu pula sebaliknya;
(3) sinkretisme budaya merupakan reaksi yang mencampur adukkan semua nilai-
nilai budaya yang ada sebagai satu-satunya referensi. Hal ini berbeda dengan
relativisme budaya, disini seakan telah terjadi proses dialektis karena sosok
masing-masing nilai-nilai budaya tidak tampak lagi tapi berubah menjadi sosok
“budaya baru”.
Pemerintahan SBY menghadapi masalah serius dalam hal reformasi
kelembagaan. Lembaga-lembaga HAM menjadi mesin birokrasi baru tanpa bisa
mendorong secepat mungkin promosi dan perlindungan HAM. Pemerintah juga
kurang mendukung fungsi lembaga HAM dan tidak tercatat telah menjalankan
kebijakan yang berperspektif HAM.
Belum tertanganinya berbagai bentuk pelanggaran di tahun 2006 bukan
karena ketiadaan norma hukum, melainkan karena masing-masing institusi
kenegaraan dan pemerintah tidak mampu untuk mengimplementasikan norma
yang telah ada. Atau tidak ada koherensi pemahaman antar institusi kenegaraan
dalam mengimplementasikan kebijakan di bidang HAM. Akibatnya persoalan
HAM ditangai secara parsial dan serampangan. Ketidakmampuan
mengimplementasikan kebijakan yang berdimensi HAM disebabkan oleh faktor
ketiadaan blueprint atau agenda yang visioner dalam menyikapi persoalan HAM
karena masalah HAM masih dilihat secara sektoral dan business as usual . Artinya
sampai tahun 2006 berakhir belum ada cara kerja yang menunjukan saling
keterkaitan antar instansi kenegaraan dalam menangani masalah pelangaran
HAM.
Makamah Agung, seperti ditahun-tahun sebelumnya, masih saja
membebaskan para terdakwa dengan dalih para pelaku tidak terbukti melakukan
kejahatan yang disangkakan kepadanya. Sulitnya menghukum para pelaku
kejahatan hak asasi manusia di masa lalu semakin lengkap ketika mekanisme
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran di masa lalu melalui Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi (KKR) urung dibentuk karena Undang Undangnya dinyatakan
oleh MK bertentangan dengan Konstitusi dan Hukum Internasional. Secara
terang-terangan pemerintah Indonesia dengan dukungan penuh dari DPR menolak
desakan dunia internasional tentang penggelaran pengadilan internasional atas
kasus kejahatan terhadap kemanusiaan para pejabat militer Indonesia di Timor
Leste pada tahun 1999. Dengan berkilah bahwa Pemerintah RI dan Timor Leste
telah sepakat memilih penyelesaian melalui pembentukan Komisi Perdamaian dan
Persahabatan (KKP) pemerintah Indonesia meminta dunia internasional untuk
mengurungkan niatnya.
Masih berlanjutnya penggunaan aturan-aturan hukum pidana, dalam hal
ini KUHP, untuk membuat pembatasan-pembatasan hak sipil dan politik warga
negara. Penggunaan hukum pidana dalam kasus-kasus pembatasan kebebasan
tersebut ialah: penggunaan pasal-pasal penghinaan martabat presiden dan wakil
presiden, penggunaan pasal-pasal penjaga moral seperti: pasal-pasal pornografi,
pasal-pasal antikumpul kebo (samenloven) untuk memberangus kebebasan dan
privasi individu, dan pasal-pasal mengganggu ketertiban umum dan perbuatan
tidak menyenangkan.
Perusahaan-perusahan skala besar hingga saat ini masih menikmati
impunitas. Gagalnya reformasi hukum untuk mendorong terciptanya kontrol yang
semakin kuat bagi korporasi serta kebutuhan akan investasi dan devisa yang
mendorong pemerintah untuk lebih mengutamakan terciptanya ‘market friendly’
policy, menjadi penyebab sulitnya meminta pertanggungjawaban perusahaan-
perusahaan swasta/negara yang terlibat dalam berbagai tindak pelanggaran hak
asasi manusia.
Proses demokratisasi di tingkat daerah berlangsung melalui serangkaian
reformasi hukum dan institusi sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah
(gubernur, bupati, maupun walikota) secara langsung (Pilkada) dan penguatan
kebijakan desentralisasi, yang diiringi dengan promosi good governance. Namun
desentralisasi yang dimaksudkan untuk mendekatkan rakyat kepada pengambil
keputusan di daerahnya, tampaknya secara empirik tidak berlangsung seperti
idealnya. Selain telah menjadi arena baru yang memungkinkan sejumlah
kelompok yang siap untuk menguasai jabatan-jabatan strategis dalam politik
lokal, sistem demokrasi di tingkat lokal juga mengembalikan, mempertahankan,
dan mengakumulasi modal (modal ekonomi, sosial, kultural, dan simbolik).
Akibatnya penduduk kembali menjadi korban tindak pelanggaran hak asasi
manusia baik yang dilakukan oleh aparatus negara, perusahaan, maupun
kelompok-kelompok sipil lain.
Memasuki tahun 2007 kendala besar dalam menangani pelanggaran HAM
di Aceh dan Papua adalah ketiadaan kepastian hukum. Pengadilan HAM di Aceh
dan Papua belum dibentuk sementara Makamah Konstitusi telah menganulir UU
KKR yang ditujukan sebagai instrumen dan mekanisme penanganan pelanggaran
HAM di masa lalu. Padahal UU Pemerintahan Aceh dan UU Otsus Papua
memandatkan pemerintah membentuk KKR sesuai dengan konteks persoalan
HAM di Aceh dan Papua.
KESIMPULAN
Perlunya pembenahan tentang HAM untuk kedepanya. Dimana menurut
Demos menyatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu dilakukan ke depan untuk
membuat perlindungan dan pemajuan HAM semakin baik, khususnya pada
perbaikan representasi. Bagaimana masyarakat, khususnya yang paling
dipinggirkan, terepresentasi dalam proses pengambilan keputusan politik, baik di
tingkat lokal maupun nasional. Penelitian kita kan menunjukkan ada defisit di
sini. Representasi sangat buruk. Ini prioritas yang harus diperbaiki. Secara umum
kita katakan perlunya repolitisasi rakyat karena sudah dipolitisasi selama ini
DUHAM memang memiliki kekuatan mengikat yuridis secara universal
tetapi memiliki kekuatan mengikat moril, politik, dan edukatif secara universal
yang terlihat dari banyak munculnya covenant maupun UU dibeberapa Negara
yang lahirnya serta isinya diilhami oleh DUHAM.
HAM disuatu negara harus dilihat dari cita-cita bangsa untuk harkat dan
martabat manusia. Prinsip-prinsip HAM yang ada di negara kita sudah memenuhi.
Meskipun perlu adanya penambahan-penambahan untuk memberikan yang jauh
lebih baik lagi bagi warga negara kita.
Undang-Undang di Indonesia yang mengatur tentang hak asasi manusia
tertuang dalam UU No.39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2006 tentang
Pengadilan HAM, serta tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti
pada pasal 27, 28, 29, 30 dan 31.
DAFTAR PUSTAKA
1. C. de Rover “To Serve and To Protect “ Acuan
Universal Penegakan HAM, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2000
2. Scott Davidson “HAK ASASI MANUSIA “PT
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994
3. Litbang Kompas, kasus-kasus pelanggaran HAM.
4. Berita mingguan Pikiran Rakyat, minggu 12
Desember 2004, Tentang Antara Universalitas HAM dan “Asian Values”, di
Internet
5. Maria hartiningsih dan Subur tjahjono tentang
“HAM dan Demokrasi Saling Memperkuat”, di internet
6. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM
7. Dirdjosisworo, Soedjono. 2002. Pengadilan HAM
Di Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti. Efendi
8. Masyur. 1980. Tempat HAM Dalam hukum
Internasional/Nasional. Bandung:Alumni. Rover. 1998.To Serve and To
Protect Acuan Universal Penegakan HAM.Jakarta:Gravindo.
9. Berita mingguan Pikiran Rakyat, minggu 12
Desember 2004, Tentang Antara Universalitas HAM dan “Asian Values”, di
Internet
10. Maria hartiningsih dan Subur tjahjono tentang
“HAM dan Demokrasi Saling Memperkuat”, di internet
11. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM
12. Rover. 1998.To Serve and To Protect Acuan
Universal Penegakan HAM. Jakarta: Gravindo.
http://www.hukum_dan_hak_di_Indonesia.com
http://www.hak_universal_Indonesia.com