TUGAS MATKUL
-
Upload
nila-khurinin -
Category
Documents
-
view
7 -
download
0
Transcript of TUGAS MATKUL
PENDAHULUAN
Pada alinea ke empat Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa dasar
negara Indonesia adalah keseluruhan nilai yang dikandung dalam Pancasila.
Pancasila bukan hanya dasar negara yang bersifat statis, melainkan juga dinamis
karena Pancasila pun menjadi pandangan hidup, filsafat bangsa, ideologi nasional,
kepribadian bangsa, dan sumber dari segala sumber tertib hukum, tujuan negara,
perjanjian luhur bangsa Indonesia, yang menuntut pelaksanaan dan
pengamanannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Mengingat hal tersebut, maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai
Dasar Negara mempunyai sifat imperatif atau memaksa. Setiap warga negara
Indonesia harus tunduk dan taat kepadanya.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi,
nilai-nilai luhur pancasila mulai dilupakan masyarakat Indonesia. Sendi-sendi
kehidupan di masyarakat sudah banyak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur
Pancasila.
Salah satu sila yang sampai saat ini patut diperbincangkan adalah sila
pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa
Mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap adanya
Tuhan sebagai pancipta alam semesta. Dengan nilai ini menyatakan bangsa
indonesia merupakan bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis. Nilai
ketuhanan juga memilik arti adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk
agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan serta tidak
berlaku diskriminatif antar umat beragama. Upaya untuk menciptakan toleransi
dalam rangka menciptakan kerukunan antar umat beragama mengalami berbagai
macam hambatan. Bahkan sangat rentan untuk terjadinya konflik yang tentu saja
akan membawa dampak atau pengaruh yang besar terhadap bangsa Indonesia.
Hanya karena soal perbedaan keyakinan, dapat menimbulkan perpecahan dan
bahkan menimbulkan perbedaan ideologi, meski Pancasila adalah Ideologi bangsa
dan negara Republik Indonesia.
PEMBAHASAN
Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna adanya keyakinan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta
isinya. Dan diantara makhluk ciptakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkaitan
dengan sila ini ia-lah manusia. Sebagai Maha Pencipta, kekuasaan Tuhan tidaklah
ter-batas, sedang-kan selainNya adalah terbatas.
Dalam memahami dan mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa tak
dapat dikotak-kotakkan dengan keempat sila lainnya karena Hakikat manusia
sebagai mahluk Tuhan yang Maha Esa (sebagai sebab) (hakikat sila I dan II) yang
memben-tuk persatuan mendirikan negara dan persatuan manusia dalam suatu
wilayah disebut rakyat (hakikat sila III dan IV) dan yang ingin mewujudkan suatu
tujuan bersama yai-tu keadilan dalam suatu persekutuan hidup masyarakat negara
(keadilan sosial) (haki-kat sila V).
Negara Indonesia didirikan atas landasan moral luhur, yaitu berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa yang sebagai konsekuensinya, maka negara menjamin
kepada warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan untuk beribadah
sesuai de-ngan agama dan kepercayaannya, seperti pengertiannya terkandung
dalam:
a. Pembukaan UUD 1945 aline ketiga, yang antara lain berbunyi:
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa …. “
Dari bunyi kalimat ini membuktikan bahwa negara Indonesia tidak
menganut paham maupun mengandung sifat sebagai negara sekuler. Sekaligus
menunjukkan bahwa negara Indonesia bukan merupakan negara agama, yaitu
negara yang didirikan atas landasan agama tertentu, melainkan sebagai negara
yang didirikan atas landasan Pancasila atau negara Pancasila.
b. Pasal 29 UUD 1945
1. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya.
Oleh karena itu di dalam negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan
da-lam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sikap atau perbuatan yang anti
terhadap Tu-han Yang Maha Esa, anti agama. Sedangkan sebaliknya dengan
paham Ketuhanan Yang Maha Esa ini hendaknya diwujudkan dan dihidup
suburkan kerukunan hidup beragama, kehidupan yang penuh doleransi dalam
batas-batas yang diizinkan oleh atau menurut tuntunan agama masing-masing,
agar terwujud ketentraman dan ke-sejukan di dalam kehidupan beragama.
Searah dengan perkembangan, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dapat
dijabarkan dalam beberapa point penting atau biasa disebut dengan butir-butir
Pancasila. Diantaranya:
1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa
2. Manusia Indonesia percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai agama dan kepercayaan masing-masing atas dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
3. Mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan bekerja sama
antara pemeluk agama dan kepercayaan yang berbeda-beda terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
4. Membina kerukunan hidup antar sesama umat agama dan berkepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5. Agama dan kepercayaan adalah masalah yang menyangkut hubungan
pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa
6. Mengembangkan sikap saling menghormati menjalankan kebebasan
beribadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
7. Tidak memaksakan suatu agama kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa kepada orang lain.
Penciptaan kerukunan antar umat beragama dan berkepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat, dalam kenyataannya, tidak selalu
berjalan mulus seperti yang dicita-citakan. Ternyata masih banyak terdapat
hambatan-hambatan yang muncul baik dari campur tangan pemerintah maupun
dari golongan penganut agama dan kepercayaan itu sendiri. Hal ini bisa saja
disebabkan karena penghayatan terhadap Pancasila, khususnya sila Ketuhanan,
tidak dapat dipahami dan dihayati secara mendalam dan menyeluruh. Akibatnya
muncul ideologi-ideologi atau paham-paham yang berbasiskan ajaran agama
tertentu. Sehingga seakan-akan bahwa sila pertama dari Pancasila itu hanya
dimiliki oleh salah satu agama tertentu saja. Dengan kata lain bahwa toleransi dan
sikap menghargai agama atau umat kepercayaan lain ternyata belum sepenuhnya
dapat disadari dan diwujudkan. Tentu saja karena adanya golongan-golongan
tertentu yang memiliki paham bahwa hanya kepercayaannya atau hanya ajaran
agamanya sajalah yang paling baik dan benar. Pandangan atau paham yang sempit
mengenai pamahaman terhadap agama dan kepercayaan yang seperti ini dapat
menimbulkan atau mengundang konflik serta gejolak dalam hidup bermasyarakat
dan bernegara.
Salah satu contoh dari kasus tersebut adalah aksi sejumlah warga Muslim
Duri Selatan, Tambora, Jakarta Barat pada April 2013 kemarin. Mereka
melakukan aksi protes untuk menolak rencana pembangunan sebuah aula, yang
mereka klaim untuk membangun sebuah gereja. Rencananya, aula tersebut akan
dibangun di atas lahan sekolah milik Yayasan Bunda Hati Kudus. Di dalam
pelataran sekolah itu terdapat sebuah gereja yang selama ini digunakan oleh
Paroki Damai Kristus untuk pelayanan Misa dan berbagai kegiatan lainnya.
Paroki yang didirikan tahun 1977 itu akan menggunakan aula tersebut untuk
berbagai kegiatan pastoral. Sejak rencana pembangunan aula itu dua tahun lalu
warga Muslim setempat dan didukung oleh kelompok Islam radikal beberapa kali
melakukan aksi protes karena menurut mereka untuk membangun gereja.
Dari contoh kasus tersebut, jelas bahwa masyarakat tersebut tidak
mengamalkan butir-butir pancasila sila pertama khususnya butir kedua dan ketiga
yang menuntut warga negara Indonesia mengembangkan sikap saling hormat-
menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan kepercayaan yang
berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta membina kerukunan hidup
antar sesama umat agama dan berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Contoh kasus yang kedua yang terjadi pada era reformasi ini adalah Kasus
Tragedi Bom Bali yang terjadi tahun 2002. Bom Bali 2002 (disebut juga Bom
Bali I) adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam hari
tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan Sari
Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat
Kantor Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan.
Rangkaian pengeboman ini merupakan pengeboman pertama yang kemudian
disusul oleh pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat
di Bali pada tahun 2005. Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau
cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung
ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa ini dianggap sebagai
peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia. Tim Investigasi Gabungan
Polri dan kepolisian luar negeri yang telah dibentuk untuk menangani kasus ini
menyimpulkan, bom yang digunakan berjenis TNT seberat 1 kg dan di depan Sari
Club, merupakan bom RDX berbobot antara 50-150 kg. Peristiwa ini memicu
banyak dugaan dan prasangka negatif yang ditujugan kepada lembaga pesantren
maupun lembaga pendidikan Islam lainnya, disebabkan banyak masyarakat yang
menggeneralisasi lembaga keagamaan dan mencurigai bahwa terjadi pencucian
otak di dalam pesantren, walaupun belum ada bukti signifikan yang ditemukan
atas isu tersebut.
Dari kasus tersebut dikatakan bahwa pelaku melakukan hal tersebut dengan
alasan jihad, hal ini menunjukkan pelaku tersebut tidak mengamalkan butir-butir
pancasila yang menyebutkan agar warga negara mengembangkan sikap saling
hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan kepercayaan
yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tindakan pelaku
pengeboman tersebut seolah-olah menunjukkan bahwa agamanya yang
dianutnyalah yang paling benar, sehingga semua orang harus mengikutinya dan
semua orang yang tidak menganut agamanya akan disingkirkan, hal ini tentu
bertolak belakang dengan nilai pancasila yang harusnya dianut oleh setiap warga
negara Indonesia.
Contoh kasus lain yang merupakan penyimpangan butir-butir pancasila sila
pertama adalah amuk massa di Kupang yang terjadi pada tanggal 30 November
1998 pada awal reformasi. Amuk massa tersebut bermula dari aksi perkabungan
dan aksi solidaritas warga Kristen NTT atas peristiwa Ketapang, yaiti bentrok
antara warga Muslim dan Kristen dengan disertai perusakan berbagai tempat
ibadah. Aksi perkabungan dan solidaritas itu sendiri diprakarsai oleh organisasi-
organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan Kristen, seperti GMKI, PMKRI,
Pemuda Katholik NTT, dan mahasiswa di Kupang. Karena isu pembakaran
gereja, massa tersebut kemudian bergerak menuju masjid di perkampungan
muslim kelurahan Bonipoi dan Solor, setelah sebelumnya melakukan perusakan
masjid di Kupang. Amuk massa tanggal 30 November tersebut mengakibatkan
setidaknya 11 masjid, 1 mushola, dan beberapa rumah serta pertokoan milik
warga muslim rusak. Amuk massa tersebut tidak hanya berhetnti pada tanggal 30
November itu saja. Dua hari setelahnya, yaitu tanggal 1 dan 2 Desember 1998
kerusuhan masih terjadi dan mengakibatkan beberapa kerusakan. Sasaran amuk
massa tersebut mencakup rumah milik ketua Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), masjid dan toko-toko milik orang Bugis. Kerusuhan Kupang tersebut
berakar dari persaingan kelompok masyarakat, yaitu antara penganut Kristen yang
umumnya warga asli dan warga muslim, yang sebagia adalah pendatang.
Kecepatan pertumbuhan masjid dan perkembangan ekonomi umat Islam yang
baik, karena mereka sulit menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), menimbulkan
kecemburuan sosial. Amuk massa tanggal 30 November 1998 adalah momentum
di mana kecemburuan tersebut mendapatkan ekspresinya lewat idiom agama.
Sesuai kasus tersebut, sudah dapat dinilai pada masyarakat tersebut tidak
tertanam butir-butir pancasila yang mewajibkan tiap warganya untuk saling
menghormati kebebasan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya
masing-masing.
Dari contoh-contoh kasus diatas menunjukkan bahwa idealis terhadap agama
tertentu ternyata masih banyak terdapat di dalam kelompok masyarakat di
Indonesia.
Warga Indonesia seharusnya lebih bisa memahami makna sebenarnya dari
pancasila (di setiap sila, bukan hanya sila pertama saja). Perbedaan agama juga
seharusnya tidaklah menjadi penghalang setiap warga Indonesia untuk tetap
berinteraksi satu sama lain, saling menghormati, dan saling membantu antar
sesama tanpa mempedulikan perbedaan yang ada.
Lembaga keagamaan di Indonesia juga seharusnya tidak menguntungkan
agama-agama tertentu. Keadilan terhadap umat beragama harus lebih diperhatikan
agar tidak terjadi konflik lagi antar umat beragama di Indonesia.