Tugas Matkul Hukum Islam Nikah Siri

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat seiring berlalunya waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan audio visual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning / kondisi terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri. Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan pernikahan siri yang dilakukan oleh selebritis) yang melatar belakangi penulis untuk memilih topik “Nikah Siri“ dalam permasalahan pernikahan sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan makalah dan presentasi mata kuliah Fiqih. Terlepas dari berbagai pemberitaan akan “Pernikahan Siri” yang terjadi, masih banyak mahasiswa yang salah mengartikan nikah siri dan tidak mengerti baik-buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi diangkatnya topik “Pernikahan Siri yang dilatar 1

description

Nikah Siri

Transcript of Tugas Matkul Hukum Islam Nikah Siri

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangDewasa ini, statistik kejadian nikah siri meningkat seiring berlalunya waktu. Terutama pasca beredarnya berbagai pemberitaan di seluruh jenis media (audio, visual dan audio visual) akan nikah siri yang dilakukan tidak hanya 1-2 selebritis namun segelintir orang dengan tingkat pemberitaan tinggi sehingga menyebabkan proses conditioning / kondisi terjadi di masyarakat konsumen berita. Proses conditioning sendiri adalah proses adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat akan berbagai budaya baru yang terjadi namun akibat pemberitaan yang berulang-ulang budaya tersebut semakin cepat dapat diterima oleh masyarakat dan dijadikan bagian dari budaya masyarakat itu sendiri. Berbagai pemberitaan tersebut lah (spesifikasi : pemberitaan pernikahan siri yang dilakukan oleh selebritis) yang melatar belakangi penulis untuk memilih topik Nikah Siri dalam permasalahan pernikahan sebagai topik yang diangkat dalam pembuatan makalah dan presentasi mata kuliah Fiqih. Terlepas dari berbagai pemberitaan akan Pernikahan Siri yang terjadi, masih banyak mahasiswa yang salah mengartikan nikah siri dan tidak mengerti baik-buruknya jenis pernikahan ini. Hal itu juga termasuk salah satu faktor yang melatar belakangi diangkatnya topik Pernikahan Siri yang dilatar belakangi dengan status kehadiran wali dan kedua saksi ini kami angkat. Besar harapan penulis agar makalah ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai literatur atau sumber pencarian informasi terkait topik pernikahan Siri. Maka dari itu, kami berusaha sebaik-baiknya untuk mengumpulkan berbagai informasi dari berbagai sumber dan narasumber untuk dimasukkan ke dalam makalah ini agar kelak dapat dijadikan sebagai referensi oleh pihak - pihak yang membutuhkan.

1.2. TujuanTujuan menulis dan menyusun makalah ini antara lain : a. Mahasiswa dan masyarakat lainnya (pembaca makalah dan audiens presentasi) memahami berbagai definisi akan nikah siri baik yang berhubungan dengan wali / saksib. Mahasiswa dan audiens lain mengerti dan mengetahui landasan hukum terkait nikah siri baik ditinjau dari sudut pandang Islam dan pembahasan berbagai rancangan undang-undangc. Mahasiswa dan audiens lain mengetahui dampak positif dan dampak negatif dari nikah sirid. Mahasiswa dan audiens lain dapat mengeluarkan berbagai pendapatnya terkait nikah siri dan berdiskusi satu sama laine. Memenuhi salah satu syarat atau tugas Kuliah Hukum Islam

1.3. Manfaata. Dengan penjelasan yang detail dan berbagai kajian akan negatif - positifnya nikah siri atau yang identik dengan nikah tanpa wali atau saksi audiens akan dapat mengerti bahwa nikah siri lebih banyak menimbulkan hal negatif dan pada akhirnya dapat dijadikan pencegahan akan terjadinya nikah sirib. Membantu berbagai kalangan untuk menyamakan pikiran akan tidak baiknya pernikahan siri terutama untuk latar belakang non - kekurangan biayac. Membantu mensosialisasikan apa sebenarnya nikah siri itu dan tindakan apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi angka terjadinya nikah sirid. Menambah angka audiens atau masyarakat yang memahami berbagai fakta, pro dan kontra terkait pernikahan siri dan hukum-hukum yang terkait nikah siri

BAB II LANDASAN TEORI2.1. Definisi Nikah SiriPernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan :Pertama: Pernikahan tanpa wali, atau ada wali (tidak jelas) dan tidak ada izin dari wali sebenarnya lalu menikah dengan wali yang tidak jelas (asal copot), jadi sama saja tidak memakai wali.Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri), penyebab umum yang terjadi dikalangan masyarakat dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali;atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat

Kedua: Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara.Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatansipil negara.Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.

Ketiga: pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma / noda negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.

2.2. Landasan Terkait Catatan PernikahanPertama: pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain.Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syariy (bayyinah syariyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara.Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.Kedua : pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara.

Ketiga : dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafatkepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat.Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya.

Keempat : jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.

Kelima : pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakanwalimatul ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah).

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1. Nikah Siri Menurut Hukum NegaraRUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat.

Pasal 143 Rancangan Undang-Undang Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.

Pasal 144 Rancangan Undang-Undang Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.

3.2. Nikah Siri Menurut IslamAdapun mengenaifakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain bin Abbad al-Naaiy dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari Hisham bin Urwah dari ayahnya dari Aishah : Aishah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil.

BerdasarkanDalalah al-iqtidla, kata Laa pada hadits menunjukkan pengertian tidak sah, bukan sekedar tidaksempurna sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda: : : Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihiwasallam bersabda, Seorang wanita yang menikah tanpa izin walinya maka pernikahannya adalah batiil, batil, batil. Dan apabila mereka bersengketa maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali. (HR. Abu Daud no. 2083, Tirmidzi no. 1102, Ibnu Majah no. 1879 dan Ahmad 6: 66. Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Wanita tidak bisa menjadi wali wanita. Dan tidak bisa pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina-lah yang menikahkan dirinya sendiri. (HR Ibn Majah dan HR. Ad Daruquthni, 3: 227. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Ahmad Syakir)Imam Al Baghawi berkata, Mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi dan sesudah mereka mengamalkan kandungan hadits Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali. Hal ini merupakan pendapat Umar, Ali, Abdullah bin Masud, Abdullah bin Abbas, Abu Hurairah, Aisyah dan sebagainya. Ini pula pendapat Said bin Musayyib, Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim An NakhaI, Qotadah, Umar bin Abdul Aziz, dan sebagainya. Ini pula pendapat Ibnu Abi Laila, Ibnu Syubrumah, SufyanAtsTsauri, Al Auzai, Abdullah bin Mubarak, Syafii, Ahmad, dan Ishaq (SyarhSunnah, 9: 40-41).

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia.Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab tazir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim).Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.1. Makna haditsSecara literal, redaksi hadits yang berbunyi menunjukkan arti bahwa tidak ada pernikahan tanpa adanya wali dan dua saksi yang adil. Namun terkait dengan susunan lafadh yang nantinya berimplikasi pada konteks hukum, terdapat perbedaan di antara ulama.Bentuk kata mendapat interpretasi beragam dari ulama. Ada yang menyebut bahwa nafy tersebut hanya menunjukkan arti ketidak sempurnaan. Dengan demikian, hadits di atas dapat diartikan Tidak sempurna pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil. Dalam konteks hukum, tidak sempurna berarti wali dan atau aksi bukan merupakan syarat sah, sehingga pernikahan yang tidak dihadiri wali dan atau saksi dihukumi sah. Dengan kata lain, wali dan atau saksi hanya sebatas disunnahkan.

Ada juga ulama yang menginterpretasikan nafy pada sah dan tidaknya perbuatan. Dengan demikian, berarti tidak sah pernikahan. Dalam konteks hukum, bila nafy diinterpretasikan sebagai hakikat syariat, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa wali dan ataupun saksi adalah tidak sah.

2. Pendapat Ulama Tentang Wali dan Saksi NikahSehubungan dengan masih beragamnya interpretasi tentang hadits diatas, ulama juga masih berbeda pendapat terkait hukum pernikahan tanpa adanya wali dan ataupun saksi. Mengingat bahwa keterangan wali dan saksi serta hukum keberadaan wali dan saksi dalam pernikahan dalam beberapa kitab dipisahkan, maka demi menghindari kerancuan pembahasan hukum keberadaan wali dan saksi dalam makalah ini juga akan dipisahkan.

1) Wali NikahBerdasarkan hadits utama di atas, mayoritas ulama berpendapat bahwa wali merupakan syarat sah dalam suatu pernikahan. Pendapat ini berdasarkan firman Allah : . (janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya)

Imam al-Shafii menyatakan bahwa ayat di atas merupakan petunjuk yang sangat jelas terkait wali dalam pernikahan. Selain itu, keberadaan wali sebagai syarat sah pernikahan juga telah dijelaskan dalam beberapa hadits, misalnya hadits yang ditakhrij Abu Daud yang berbunyi , al-Tirmidzi: , al-Daruqutni: dan juga Ibnu Majah . Dengan berdasar dalil-dalil tersebut, maka pernikahan yang dilaksanakan tanpa adanya wali diangap tidak sah. Lebih jauh lagi, hubungan badan yang dilakukan oleh wanita yang menikah tanpa wali dianggap merupakan perbuatan zina.Adapun esensi wali menurut ulama yang berpendapat wali sebagai syarat sah adalah kehadirannya dalam prosesi akad nikah. Hal ini berarti apabila ada seorang wanita menikahkan dirinya sendiri dan wali sudah memberi izin, namun ia tidak ada dan tidak mewakilkannya, maka pernikahan tetap diangap tidak sah. Tidak sahnya pernikahan tersebut tak lain adalah tidak terpenuhinya salah satu syarat sah nikah, yakni wali.

Kemudian apabila ada seorang wanita yang hendak menikah namun tidak ada wali, maka yang berhak menjadi wali adalah Sultan (pihak yang berwenang). Dalam konteks pernikahan di indonesia, wewenang menikahkan wanita yang tidak ada walinya ialah hakim atau petugas KUA.

Pendapat berbeda disampaikan oleh imam Abu Hanifah dan Abu yusuf yang menyatakan bahwa wali bukan merupakan syarat sah pernikahan.Wali menurut pendapat kedua ini hanya merupakan sesuatu yang disunahkan. Dengan demikian, wanita diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri ataupun anak perempuannya. Pendapat ini berpegangan pada dalil yang sama namun dengan interpretasi berbeda, yakni bahwa bentuk pada adalah ketiadaan dari kesempurnaan. Selain itu, kewenangan wanita untuk menikahkan dirinya tanpa wali juga dapat dipahami dari hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibn Abbas berikut: Dalam hadits lain di sebutkan : , " : , ? : " Artinya : "Tidaklah janda dinikahkan kecuali perintah darinya, dan tidaklah perawan dinikahkan kecuali mendapat ijin darinya. Mereka berkata : wahai Rosulullah, bagaimana ijinnya (perawan) ? beliau menjawab : "(ijinnya) ketika diam." (HR Bukhoridan Muslim)

Adapun dari al-Quran, ayat yang dipergunakan sebagai dasar istimbath hukum kelompok kedua juga sama dengan kelompok pertama, namun beda dalam menafsirinya. Abu Hanifah dan Abu yusuf menyandarkan pendapatnya pada ayat-ayat berikut:

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka (janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan calon suaminya) Kemudian apabila telah habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut

Lafadh nikah pada dua ayat pertama menurut Abu Hanifah disandarkan pada wanita dan khitabnya menunjuk pada azwaj, bukan wali. Sedangkan berdasarkan ayat ketiga, dapat dipahami dengan jelas bahwa suami bagi wanita adalah kewenangan mutlak mereka.

2) Saksi NikahPada masalah saksi pernikahan, Imam Malik menyatakan bahwa keberadaan saksi bukan merupakan keharusan, melainkan cukup dengan diberitakan atau asal pernikahan tersebut sudah diketahui oleh khalayak. Senada dengan imam Malik, Abu Thaur dan madzhab Syiah menyatakan bahwa pernikahan dianggap sah dengan tanpa saksi, sebab pada hakikatnya pernikahan adalah akad dan akad tidak memerlukan saksi, kehadiran saksi menjurut pendapat ini hanya sebatas sunnah sajaPendapat tersebut diambil setidaknya berdasarkan dua hal.Pertama : analogi terhadap jual beli. Allah dalam al-Quran memerintahkan adanya saksi dalam jual beli, sedangkan saksi tidak diperintahkan dalam pernikahan. Oleh karena itu, apabila saksi bukan merupakan syarat dalam sah jual beli, maka saksi lebih tidak disyaratkan dalam pernikahan.Kedua : adanya hadits yang memerintahkan untuk memberitakan pernikahan. Hadits tersebut adalah: Adanya perintah Rasulullah untuk memberitakan pernikahan diangap merupakan esensi dari perintah adanya saksi. Dengan kata lain, adanya saksi bukan merupakan syarat sah nikah, melainkan hanya agar pernikahan tersebut diketahui oleh masyarakat. Apabila tujuan diketahui oleh khalayak tersebut telah terpenuhi, maka saksi tidak lagi diperlukan.

Berlawanan dengan imam Malik, mayoritas ulama menyatakan bahwa saksi merupakan syarat sah dalam pernikahan. Dengan demikian, akad pernikahan yang dilaksanakan tanpa saksi hukumnya adalah tidak sah. Pendapat ini berdasarkan pada beberapa hadits yang telah secara jelas menyebutkan disyaratkannya saksi dalam nikah. Di antara hadits-hadits tersebut ialah: , dan . Selain itu, saksi harus hadir ketika akad nikah, dan tidak cukup hanya dengan diberitakan saja. Menurut mereka, pernikahan merupakan hal yang berbeda dengan jual beli. Tujuan dari jual beli adalah harta benda, sedangkan tujuan pernikahan adalah memperoleh kenikmatan dan keturunan. Oleh karena itu, harus dilakukan dengan hati-hati dengan cara menghadirkan dua saksi.

Adapun terkait dengan persyaratan adanya saksi dalam pernikahan, ulama sepakat memberikan kriteria bagi orang-orang yang dijadikan saksi sebagai berikut:(1). Islam, (2). Akil balig, (3). Berakal, (4). Mendengar rangkaian kalimat akad dan memahaminya. Dengan demikian, anak kecil, orang gila atau mabuk dan non Muslim tidak dapat diterima persaksiannya.

Sehubungan dengan kriteria bagi saksi nikah, status saksi sebagai seorang yang adil masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa saksi tidak harus orang yang adil. Siapapun yang berhak menjadi wali nikah, maka ia juga berhak menjadi saksi. Menurut kriteria ini, pernikahan dengan dua saksi yang fasiq dihukumi sah. Ulama Shafiiyah, Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa saksi haruslah orang yang adil, sebagaimana tersebut dalam hadits .

Terlepas dari status adil maupun tidak, madhhab Shafii dan Hambali menyatakan bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan. Pendapat ini berdasarkan pada hadits nabi : , , .Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam pernikahan diperbolehkan. Pendapat ini berangkat dari persepsi bahwa saksi pernikahan sama dengan saksi dalam jual beli (harta benda). Oleh karena perempuan dapat dijadikan saksi dalam masalah harta benda, maka ia juga dapat menjadi saksi pernikahan[footnoteRef:1] [1: Kitabul Fiqh Alaa Madzahibul Arbaah Talif Abdurrohman bin Muhammad uwadl Al jazary, Bab. Saksi Hal. 29]

3.3. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan SipilAdapun faktapernikahan siri kedua,yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni 1. Hukum pernikahannya 2. Hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori mengerjakan yang haram dan meninggalkan yang wajib.Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat.Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;1) Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya;2) Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya;3) Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia.Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt.

3.4. Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan1. Untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; 2. Memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; 3. Memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri).Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya.Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya.Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

3.5. Bahaya Terselubung Surat NikahWalaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat.Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaaiy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali.Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;

Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah.Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah.Padahal, keduanya secara syariy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.

Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syariy antara suami isteri yang sudah bercerai.Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah.

Ketika suami isteri itu merujuk kembali hubungan suami isteri padahal mereka sudah bercerai, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah.Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat agar masyarakat semakin memahami hukum syariat, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.

BAB IVPENUTUP

2.1. Kesimpulan1. Bahwa penyiaran pernikahan dan adanya surat nikah lebih banyak menimbulkan hal positif daripada hal negatif2. Penguasa (dalam hal ini pemerintah) harus mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan3. Hadith yang ditakhrij oleh al-Daruqutni dari Aishah tentang pernikahan tanpa wali dan saksi adalah hadith dhaif. 4. Selain ulama Hanafiyah, ulama sepakat bahwa wali merupakan syarat sah nikah. Dengan kata lain, pernikahan tanpa adanya saksi adalah tidak sah. Bagi wanita yang tidak memiliki wali, maka yang menjadi walinya adalah hakim.5. Selain imam Malik dan madhhab Shiah, mayoritas ulama menyepakati bahwa saksi juga merupakan syarat yang menentukan dalam sah atau tidaknya pernikahan. Dengan demikian, tidak sah hukumnya pernikahan tanpa adanya dua orang saksi.6. Pelaku nikah siri hendaknya tidak dipidanakan karena nikah siri dapat terjadi oleh berbagai faktor dan secara syariat pernikahan tersebut sah apabila terdapat a) Walib) Dua orang saksi, dan c) Ijab qabul.

2.2. SaranSebaiknya pembahasan mengenai nikah siri tidak hanya dilakukan oleh kalangan tertentu saja namun akan lebih baik apabila disosialisasikan pada masyarakat baik-buruknya dan berbagai pro-kontra yang terjadi agar masyarakat dapat terbantu dalam mengambil keputusan dan mengurangi terjadinya pernikahan siri. Apabila sosialisasi agak sulit dapat dilakukan dengan terjunnya berbagai pakar yang memahami detail hukum dan seluk-beluk nikah siri ini untuk berdiskusi langsung dengan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Artikel Rancangan Undang-Undang Materil oleh Peradilan Agama Bidang PerkawinanAbdurrohman bin Muhammad uwadl Al jazary, Kitabul Fiqh Alaa Madzahibul ArbaahMaktabah al-Shamilah, Sunan al-Daruqutni no 3580Ali, Ibn Umar al-Daruqutni.Sunan al-Daruqutni.Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah. 1985Ali, Muhammad al-Shabuni.Tafsir ayat al-Ahkam. Syiria: Maktabah al-Ghazali, Juz II. 1988

DAFTAR ISI

Daftar isi iBAB I PENDAHULUAN 11.1. Latar Belakang 11.2. Tujuan 11.3. Manfaat 2BAB II LANDASAN TEORI 32.1. Definisi Nikah Siri 32.2. Landasan Hukum Terkait Catatan Pernikahan 3BAB III PEMBAHASAN 53.1. Nikah Siri Menurut Hukum Negara 53.2. Nikah Siri Menurut Islam 53.3. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil123.4. Hal-Hal Positif yang Didapat dari Penyiaran Pernikahan133.5. Bahaya Terselubung Surat Nikah14BAB IV PENUTUP164.1. Kesimpulan164.2. Saran16DAFTAR PUSTAKA17i

17