Tugas Makalah KLH Kelompok IV

29
KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP (KLH) I. ISU GLOBAL Masalah lingkungan global saat ini ialah pencemaran yang terjadi hampir diseantero bumi, baik dinegara maju maupun di negara - negara berkembang. Ada 4 hal pokok yang menyangkut masalah lingkungan yaitu : 1. Perubahan tingkat pertumbuhan penduduk, 2. Perubahan dan pertumbuhan limbah bahan berbahaya baracun (B3), 3. Pergeseran lokasi sumber dan penyebaran pencemaran dari negara industri ke negara – negara berkembang, serta 4. Menyebarnya dampak lokal menjadi global. Masalah lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dengan masalah penduduk, perhatian kita harus pula pada masalah kependudukan. Dalam 10 tahun mendatang penduduk Indonesia akan bertambah 25 juta orang, dari 180 juta orang (1990) sampai menjadi 205 juta orang tahun 2000. Penduduk dunia akan berubah pula dari 5,4 milyar saat ini sampai 6,4 milyar tahun 2000. Jadi dalam 10 tahun penduduk dunia bertambah 1 milyar. Untuk melayani kebutuhan akan papan, sandang dan pangan bagi 205 juta penduduk tahun 2000 itu harus dilaksanakan pola pembangunan berkelanjutan. Limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri kimia, misalnya pestisida dan 1

description

makalah

Transcript of Tugas Makalah KLH Kelompok IV

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP (KLH)I. ISU GLOBAL

Masalah lingkungan global saat ini ialah pencemaran yang terjadi hampir diseantero bumi, baik dinegara maju maupun di negara - negara berkembang. Ada 4 hal pokok yang menyangkut masalah lingkungan yaitu :

1. Perubahan tingkat pertumbuhan penduduk,

2. Perubahan dan pertumbuhan limbah bahan berbahaya baracun (B3),

3. Pergeseran lokasi sumber dan penyebaran pencemaran dari negara industri ke negara negara berkembang, serta

4. Menyebarnya dampak lokal menjadi global.

Masalah lingkungan hidup tidak dapat dipisahkan dengan masalah penduduk, perhatian kita harus pula pada masalah kependudukan. Dalam 10 tahun mendatang penduduk Indonesia akan bertambah 25 juta orang, dari 180 juta orang (1990) sampai menjadi 205 juta orang tahun 2000. Penduduk dunia akan berubah pula dari 5,4 milyar saat ini sampai 6,4 milyar tahun 2000. Jadi dalam 10 tahun penduduk dunia bertambah 1 milyar. Untuk melayani kebutuhan akan papan, sandang dan pangan bagi 205 juta penduduk tahun 2000 itu harus dilaksanakan pola pembangunan berkelanjutan.

Limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang sangat ditakuti adalah limbah dari industri kimia, misalnya pestisida dan sampah radio aktif. Amerika Serikat adalah penghasil limbah B3 terbesar yaitu sebesar 264 juta ton setiap tahunnya, yang terdiri dari residu logam berat dan senyawa organik. Negara maju dengan ipteknya mencoba menjaga lingkungannya. Namun kemampuan manusia terbatas. Nyatanya saat ini Amerika Serikat memerlukan biaya sebesar 10 sampai 20 milyar dolar untuk membersihkan 2.000 sampai 10.000 tempat pembuangan limbah. Limbah atau pencemaran menjadi ciri masalah lingkungan di negara industri kini telah memasuki negara berkembang. Ada dua hal penyebab utama, yaitu pertumbuhan penduduk yang sejalan dengan perkembangan ekonomi telah menimbulkan dampak lingkungan dan yang kedua barangkali karena gerakan ekologi dangkal negara maju yang mengekspor pencemaran ke negara berkembang untuk mengurangi pencemaran di negara mereka sendiri. Pencemaran tidak mengenai batas negeri (Polution no national boundary), sehingga pencemaran pada suatu negara akan barakibat pada negara lain. Kasus hujan adalah contoh nyata. Hujan asam adalah hujan dengan derajat keasaman (pH) lebih kecil dari 5,6. Air hujan menjadi asam karena terkontamidasi oleh sulfur dioksida (SO2) dan oksida nitrogen (Nox) yang terbesar adalah kendaraan bermotor. Akibat hujan asam pada bangunan, ekosistem danau, lahan, dan hutan, serta tanaman pertanian sangatlah merugikan.

Karena penyebab hujan asam adalah kegiatan industri, maka dulu disebutkan bahwa hanya terdiri di bumi belahan utara. Namun saat ini, setiap negara yang mempunyai aktifitas industri akan mengalami hujan asam, sehingga hujan asam sudah mulai terasa di kota kota besar Indonesia, seperti Jakarta dan Bogor.Pencemaran global yang lain adalah disebabkan oleh senyawa kimia Freon dan cholrofluorcarbon (CFC), yang merusak lapisan ozon. Lapisan ozon menyelubungi bumi di dalam stratosfir pada ketinggian sekitar 15 sampai 35 km dari permukaan bumi. Ozon menjadi penyaring sinar ultraviolet jenis C atau disingkat UV C sangat berbahaya bagi kehidupan, pada manusia menimbulkan kanker kulit.Isu lingkungan global mulai muncul dalam berberapa dekade belakangan ini. Kesadaran manusia akan lingkungannya yang telah rusak membuat isu lingkungan ini mencuat. Isu yang paling penting dalam lingkungan adalah mengenai pemanasan global. Pemanasan global disebabkan oleh efek rumah kaca yaitu bertambahnya jumlah gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfir yang menyebabkan energi panas yang seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke permukaan dan menyebabkan temperatur permukaan bumi menjadi lebih panas (iatpi.org).Hal-hal yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca adalah polusi udara yang ditimbulkan oleh asap pabrik maupun kendaraan bermotor. Lalu, membuang limbah ke tempat penimbunan sampah yang menghasilkan metana. Metana juga dihasilkan dari limbah binatang yang dipelihara untuk menyuplai kebutuhan susu dan daging (seperti sapi) dan juga dari pertambangan Batubara (iatpi.org).

Kesadaran akan lingkungan dan pemanasan global ini membuat sebagian golongan membuat organisasi pemerhati lingkungan. Di Indonesia, kita mengenal WALHI dan untuk skala internasional kita juga mengenal Greenpeace. Organisasi-organisasi tersebut merupakan wadah dimana orang-orang dapat menumbuhkan kesadaran akan kondisi lingkungannya saat ini. Organisasi semacam ini juga sering menjadi yang terdepan dalam memperjuangkan keselamatan lingkungan. Misalnya, para aktivis WALHI sangat menolak akan pendirian sebuah PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di daerah Muria, Jawa Tengah. Keberadaan PLTN ini nantinya dikhawatirkan akan berdampak buruk terhadap kelangsungan lingkungan sekitar.Indonesia tercatat dalam buku rekor dunia Guinness edisi 2008 sebagai negara yang hutannya paling cepat mengalami kerusakan (deforestasi). Perkiraan Greenpeace, 76%-80% deforestasi ini dipercepat oleh tingginya angka pembalakan liar, penebangan legal, dan kebakaran hutan. Dalam data yang dimiliki Greenpeace disebutkan dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia. Dengan 1,8 juta hektare hutan hancur per tahun antara tahun 2000 hingga 2005 -sebuah tingkat kehancuran hutan sebesar 2% setiap tahunnya atau setara 51 kilometer persegi per hari. Total hutan Indonesia mencapai 120,35 juta hektare dari wilayah seluas 1.919.440 kilometer persegi. Namun saat ini, Indonesia juga menjadi negara penghasil kayu utama dunia dalam bentuk kayu lapis, kayu gergajian, kayu pertukangan, furnitur, hingga ke produk bubur kertas. Tujuan ekspor utama yaitu Malaysia, Singapura, China, Jepang, Korea Selatan, negara Eropa, dan Amerika. (media-indonesia.com)

Sungguh tragis memang keadaan Indonesia saat ini. Negara kita di mata internasional dianggap sebagai salah satu negara yang menyumbang kerusakan alam global terbesar. Parahnya, Pemerintah rela mengorbankan lingkungan demi mengejar pendapatan negara semata. Keadaan ini tidak boleh dibiarkan terus menerus. Pemerintah diharapkan dapat lebih bijak dalam menggunakan sumber daya alam, khususnya yang berpengaruh dengan lingkungan global, seperti hutan lindung. Masalah-masalah seperti pembalakan liar harus disikapi dengan tegas. Pengkonsolidasian regulasi-regulasi yang mengatur tentang penebangan hutan liar dan kerjasama antara pihak-pihak yang berkepentingan adalah cara-cara yang dapat diterapkan dalam rangka penyelamatan hutan di Indonesia dan lingkungan global.

Dalam ruang lingkup multilateral, pengangkatan tema mengenai pemansan global atau global warming telah berlangsung lama. Diantaranya adalah dengan adanya Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kacamereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca karbondioksida metan, nitrous oxide, sulfurheksafluorida, HFC, dan PFC yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia (unfccc.int).

Selain Protokol Kyoto, baru saja dilangsungkan konferensi tentang perubahan iklim yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, Indonesia. Mulai banyaknya negara-negara yang mulai memikirkan tentang keadaan lingkungan global diharapkan kan berdampak positif terhadap upaya pelestarian lingkungan global dari pemanasan global yang mengancam keberlangsungan seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi. Namun, saat ini masih terdapat kendala-kendala seperti masih belum sejalannya sikap yang diambil antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Negara maju ingin negara berkembang dapat mandiri dalam menyikapi masalah ini dan negara berkembang ingin agar negara maju lebih serius akan menyikapi dan menyelesaikan masalah lingkungan ini.

II. KARBONDIOKSIDA MASA KINI DAN PURBAKarbondioksida adalah gas atmosphera yang terdiri daripada satu atom karbon dan dua atom oksigen. Karbon dioksida merupakan sebatian kimia yang dikenali ramai, ia biasanya dikenali dengan formulanya CO2.

Karbon dioksida terhasil daripada pembakaran bahan organik sekiranya cukup oksijen hadir. Ia juga dihasilkan oleh pelbagai mikroorganisma hasil penapaian dan pernafasan selular. Tumbuhan menggunakan karbon dioksida semasa fotosintesis, menggunakan kedua-dua karbon karbon dioksida dan oksijen untuk membina karbohidrat. Tambahan lagi, tumbuhan membebaskan oksijen ke atmosphera di mana ia akhirnya digunakan untuk pernafasan oleh organisma heterotrophik, membentuk kitaran. Kehadirannya di atmosphera Bumi pada kepekatan rendah dan bertindak sebagai gas rumah hijau. Ia merupakan komponen utama kitaran karbon.2.1CIRI CIRI KIMIA DAN FISIKAL

Karbon dioksida merupakan gas tanpa warna yang, apabila dihidu pada dos yang tinggi (aktiviti merbahaya disebabkan risiko sesak nafas), menghasilkan rasa masam dalam mulut and rasa menyengat di hidung dan tekak. Kesan ini disebabkan oleh gas melarut dalam selaput mukus dan air liur, membentuk larutan cair asid karbonik. Kepadatannya pada 25C adalah 1.98 kg m&negatif;3, sekitar 1.5 kali ganda udara. Molekul karbon dioksida (O=C=O) terdiri daripada dua ikatan berkembar dan mempunyai bentuk linear (lurus). Ia tidak mempunyai dipolar eletrik. Apabila teroksida sepenuhnya, ia tidak aktif dan tidak mudah terbakar.

2.2KARBONDIOKSIDA (CO2) MASA KINI

CO2 masa kini berasal dari gas buangan pernafasan (respirasi) hewan dan manusia setiap saat, dan dari tumbuhan pada malam hari, dari pembakaran kayu dan proses perombakan atau penguraian sisa sisa tumbuhan dan hewan oleh mikroba. Gunung berapi yang masih aktif mengeluarkan pula CO2. Dari CO2 kelompok ini sebagian secara alami dipakai oleh tumbuhan hijau didarat untuk prosses fotosintesis dengan adanya sinar matahari. Sebagian dari CO2 ini akan larut didalam air pada temperature normal, sebagian lagi embentuk asam karbonat lemah H2CO3. Tumbuhan ini didarat memakai CO2 terlarut untuk fotosintesis di siang hari pada saat ada sinar matahari. Karena permukaan air di bumi jauh lebih besar dari permukaan daratan, maka diperkirakan CO2 yang disimpan di ar 60 kali lebih banyak dari CO2 atmosfir. Sebagian CO2 yang masih di udara, secara alami ada yang bereaksi dengan uap air berupa awan, sehingga terbentuk K2CO3, yamg menyebabkan air hujan mempunyai derajat keasaman pH air hujan normal.

2.3KARBONDIOKSIDA (CO2) MASA PURBA

CO2 ini berasal dari pemakaian atau pembakaran minyak bumi, gas alam dan batubara. Minyak bumi (bensin, minyak tanah, solar avtur) dan gas alam (elpigi, LNG) serta batubara berasal dari hewan dan tumbuhan masa lalu yang tertimbun jutaan tahun lamanya. Oleh karena sisa atau bekas kehidupan masa lalu (purba) disebut sebagai fosil. Di dalam kegiatannya, negara negara maju telah membakar bahan bakar fosil dalam jumlah yang semakin meningkat dari tahun ke tahun sehingga sejak di mulainya industrialisasi di negara barat sampai saat ini terjadi kenaikan konsentrasi CO2 global.Berbicara sedikit statistik, mari kita lihat data dari Netherlands environmental Assesment Agency. Disebutkan bahwa, ada lima negara yang menjadi penyumbang terbesar buangan CO2, yaitu China, India, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Russia. Sumber buangan CO2 yang terpenting adalah hasil dari pembakaran bahan bakar fosil (industri maupun pembangkit listrik) dan proses produksi semen.III. EFFEK RUMAH KACA DAN KEKHAWATIRAN NEGARANEGARA INDUSTRI

Pengalaman petani di atas kemudian dikaitkan dengan apa yang terjadi pada bumi dan atmosfir. Lapisan atmosfir terdiri dari, berturut-turut: troposfir, stratosfir, mesosfir dan termosfer: Lapisan terbawah (troposfir) adalah yang yang terpenting dalam kasus ERK. Sekitar 35% dari radiasi matahari tidak sampai ke permukaan bumi. Hampir seluruh radiasi yang bergelombang pendek (sinar alpha, beta dan ultraviolet) diserap oleh tiga lapisan teratas. Yang lainnya dihamburkan dan dipantulkan kembali ke ruang angkasa oleh molekul gas, awan dan partikel. Sisanya yang 65% masuk ke dalam troposfir. Di dalam troposfir ini, 14 % diserap oleh uap air, debu, dan gas-gas tertentu sehingga hanya sekitar 51% yang sampai ke permukaan bumi. Dari 51% ini, 37% merupakan radiasi langsung dan 14% radiasi difus yang telah mengalami penghamburan dalam lapisan troposfir oleh molekul gas dan partikel debu. Radiasi yang diterima bumi, sebagian diserap sebagian dipantulkan. Radiasi yang diserap dipancarkan kembali dalam bentuk sinar inframerah.

Sinar inframerah yang dipantulkan bumi kemudian diserap oleh molekul gas yang antara lain berupa uap air atau H20, CO2, metan (CH4), dan ozon (O3). Sinar panas inframerah ini terperangkap dalam lapisan troposfir dan oleh karenanya suhu udara di troposfir dan permukaan bumi menjadi naik. Terjadilah Efek Rumah Kaca. Gas yang menyerap sinar inframerah disebut Gas Rumah Kaca.

Seandainya tidak ada ERK, suhu rata-rata bumi akan sekitar minus 180 C terlalu dingin untuk kehidupan manusia. Dengan adanya ERK, suhu rata-rata bumi 330 C lebih tinggi, yaitu 150C. Jadi, ERK membuat suhu bumi sesuai untuk kehidupan manusia.

Namun, ketika pancaran kembali sinar inframerah terperangkap oleh CO2 dan gas lainnya, maka sinar inframerah akan kembali memantul ke bumi dan suhu bumi menjadi naik. Dibandingkan tahun 50-an misalnya, kini suhu bumi telah naik sekitar 0,20 C lebih.

Para ahli berpendapat pemanasan global dapat menyebabkan masalah dan mencairnya es di kutub yang akan mnaikkan permukaan air laut antara 60 90 m yang berarti akan menenggelamkan 20 % dari daratan bumi. Fluroida di Amerika Serikat akan di tenggelamkan air laut, Los Angeles dan New York akan tinggal sisa sisanya berupa pemuncak pemuncak pencakar langit yang muncul di permukaan air. Kenaikan panas bumi menyebabkan pula kegagalan pertanian, yang pada gilirannya negara maju dan daya seperti USA akan berubah menjadi negara miskin dengan penduduknya yang kelaparan. Negara kepulauan Jepang akan tinggal 1 pulau saja yaitu Fujiama. Yang lebih drastic, negara negara Eropa Barat, terutama Belanda akan tenggelam , sebagian lagi kebanjiran atau terendam air. Itulah kekuatan yang mengancam negara negara industri.Pikiran sebagian ilmuwan dunia kini diarahkan pada besarnya buangan gas karbon dioksida (CO2) terhadap kelangsungan nasib bumi. Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini konsentrasi CO2 yang beredar di permukaan bumi telah meningkat tajam. Perlu diingat adalah CO2 hanyalah salah satu komponen gas rumah kaca disamping gas methan (CH4) dan gas-gas chlorofluorokarbon (CFC). CO2 menjadi topik paling hangat karena konsentrasinya meningkat secara exponensial seiring dengan proses industrialisasi, sedangkan CH4 biasanya diproduksi alamiah (dari proses pembusukan material organik). CFC sendiri produksi dan pemanfaatannya sudah jauh berkurang. disamping itu, pemanfaatan CO2 yang dijerap dari cerobong-cerobong industri sungguh menantang alam pikir dan memiliki masa depan ekonomi.

Dari grafik di bawah ini dapat dilihat prosentase kenaikan masing-masing gas rumah kaca (termasuk CO2) semenjak tahun 1970 hingga 2004.

Sumbangsih CO2 mencapai 75% (atau setara dengan 45.000 megaton CO2) dari seluruh kenaikan emisi gas rumah kaca (termasuk methana, nitro oksida, dan gas-gas CFC).Indonesia juga disebut-sebut penyumbang pemanasan global terbesar nomor tiga setelah China dan Brazil karena gagal menjaga hutan tropisnya dari kerusakan. Karbon netral yang terkandung dalam hutan tropis (pepohonan dan tanah gambut) telah terkonversi menjadi CO2 dan terlepas ke udara akibat dari pembukaan hutan dan pengolahan hasil hutan yang tidak terkendali.

Kecenderungan penelitian terhadap pengurangan, penangkapan, maupun pemanfaatan CO2 dapat dilihat dari hasil-hasil penelitian terkini di forum-forum ilmiah tentang CO2, gas rumah kaca, dan teknologi bersih. Rangkaian tulisan ringan ini akan mengupas masalah tersebut satu persatu.

Sasaran utama sistem penjerapan CO2 adalah buangan CO2 hasil pembakaran batu bara dari pembangkit listrik, karena merupakan salah satu penyumbang terbesar konsentrasi CO2 antropogenik di atmosfer.

Ada tiga kemungkinan proses penjerapan CO2 yang terintegrasi dengan sistem pembangkit listrik bahan bakar batu bara, yaitu Post-Combustion system, Pre-Combustion system, dan Oxy-Combustion (lihat diagram berikut ini).

Masing-masing sistem memiliki karakteristik buangan CO2 yang berbeda, misalnya pada sistem Post-Combustion, konsentrasi gas CO2 hanya kisaran 3-15% pada tekanan atmosfer dan sisanya sebagian besar adalah nitrogen (campuran gas ini disebut flue gas). Sedangkan pada Pre-Combustion system, gas CO2 panas (400 oC) dengan konsentrasi mencapai 40% bertekanan lebih dari 60 atmosfer dihasilkan dari proses pembuatan syn gas.

Beberapa waktu belakangan ini diusulkan untuk menimbun CO2 di kedalaman bumi dengan cara menginjeksikan CO2 ke dalam semacam reservoir (sink) alam (menurut data di Amerika Serikat, 1120 hingga 3400 milyar ton CO2 dapat dimampatkan di bawah permukaan daratan Amerika Serikat), atau menginjeksikannya pada sumur-sumur minyak bumi demi memompa keluar semakin banyak minyak bumi (enhanced oil recovery, EOR), atau menginjeksikan CO2 pada Coal Bed Methane (CBM) untuk memompa keluar cadangan gas methan. namun semua itu membutuhkan teknologi penjerapan dan pemisahan CO2 yang mumpuni (handal) dan ekonomis sebelum proses penyimpanan.

IV. KEKELIRUAN NEGARA NEGARA INDUSTRI BARAT

Kini kita semakin yakin bahwa persoalan mendasar dari masalah dunia saat ini adalah masalah prilaku manusia, pemanasan global (global warming) yang menjadi isu hangat saat ini pada akhirnya kembali kepada konteks prilaku manusia. Sejauh mana manusia dapat menjadi subjek yang memberikan ketenangan dan kedamaian di alam bumi ini. Hal itu tentunya sangat sulit diterapkan apabila melihat kenyataan yang ada sekarang ini, paham neoliberalisme lebih mempengaruhi pola interaksi sosial dan ekonomi masyarakat sehingga hal-hal yang menyangkut etika publik dan masa depan dunia menjadi dipertaruhkan oleh keinginan materialisme sesaat.Kini kita semakin yakin bahwa persoalan mendasar dari masalah dunia saat ini adalah masalah prilaku manusia, pemanasan global (global warming) yang menjadi isu hangat saat ini pada akhirnya kembali kepada konteks prilaku manusia. Sejauh mana manusia dapat menjadi subjek yang memberikan ketenangan dan kedamaian di alam bumi ini. Hal itu tentunya sangat sulit diterapkan apabila melihat kenyataan yang ada sekarang ini, paham neoliberalisme lebih mempengaruhi pola interaksi sosial dan ekonomi masyarakat sehingga hal-hal yang menyangkut etika publik dan masa depan dunia menjadi dipertaruhkan oleh keinginan materialisme sesaat.

Neoliberalisme sungguh menakutkan, paham ini terus bermetamorfosis dalam berbagai bentuk yang terakhir adalah bentuk budaya. Budaya popular yang terus dihembuskan oleh penganut neolib telah berdampak pada perubahan prilaku sosial yang pada akhirnya membentuk karakter 'homo economicus' tanpa batas. Kondisi ini apabila dibiarkan berlarut-larut maka implikasinya ada dua hal pertama, terjadinya dehumanisasi dan kedua,perubahan iklim dunia yang mengarah pada kehancuran.

Seperti halnya yang terjadi saat ini, konfrensi perubahan iklim untuk mensikapi kondisi bumi yang sudah sampai titik nadir akibat ulah manusia. Ternyata sangat sulit menyatukan paham untuk menentukan masalah iklim dunia yang semakin mengkhawatirkan. Para peserta dari negara berkembang dan negara maju cukup sulit menerima bali road map. Keangkuhan Negara adidaya dan berkembang itu semata-mata karena paham pembangunan yang lebih beroreintasi neolib, artinya mereka akan rugi ketika harus mengikuti bali roadmap dimana didalamnya ada keharusan mengurangi penggunaan energi untuk indsutri. Hal ini menunjukkan bahwa ideologi kapitalisme telah membentuk pemikiran dan prilaku yang rakus dan serakah hingga menyebabkan dunia ini diambang kepunahan.

Pemanasan global bukan hanya sekedar isu, tetapi ini sudah menjadi fakta yang dapat menjadi masalah besar dikemudian hari. Dari data World Resources Institute tahun 1994 menunjukkan bahwa pada tahun 1991 AS mengkonsumsi energi hampir tiga kali lipat lebih banyak dari Jepang untuk menghasilkan 1 dolar AS GNP-nya. Dengan penduduk yang hanya 4,6 persen dari penduduk dunia, pada tahun 1991 AS menghasilkan 22 persen emisi global CO2. Dengan pola konsumsi energi sebagai indikator bagi lingkungan yang berkelanjutan, kelahiran bayi di AS menghasilkan 2 kali lipat dampak lingkungan bagi bumi dibandingkan seorang bayi yang lahir di Swedia, 3 kali lipat dibanding di Italia, 13 kali lipat dibanding Brazil, 35 kali dari India, dan 140 kali lipat dibanding Bangladesh.

Dari data tersebut kita akan melihat betapa besar kebutuhan energi negara maju di dunia ini yang disadari atau tidak telah berpengaruh terhadap kondisi bumi. Kebutuhan energi di Negara maju ini disebabkan oleh faktor pola hidup yang serba mewah dan kebutuhan industri yang tidak memperhatikan aspek lingkungan. Pola hidup masyarakat di Negara maju, rata-rata menggunakan fasilitas AC, rumah luas dengan penghuni sedikit, kendaraan berenergi fosil, pakaian berbahan kulit binatang, penggunaan air yang berlebihan, makanan yang bersumber dari kimiawi dan yang paling penting adalah industrialisasi di Negara-negara maju terutama Amerika Utara dan Eropa. Telah menyumbang sekitar 22 milyar ton karbon per tahunterutama dari konsumsi BBM, industri, dan penebangan hutan. Di antara negara maju, penyumbang emisi terbesar adalah Amerika (36,1%) disusul Rusia (17,4%), Jepang, dan negara Eropa lainnya dalam persentase kurang dari 10%. Bandingkan dengan negara-negara berkembang seperti Asia, Amerika Selatan, dan Afrika yang cuma menyumbang sekitar 4 milyar karbon per tahunitu pun bukan dari industri, melainkan perubahan penggunaanlahan.

Setelah konfrensi perubahan iklim berakhir kemarin (16/12) dengan kesepakatan yang terbilang sukses, yaitu adanya kesepakatan pengurangan emisi karbon, adanya kesepakatan pembayaran insentif untuk mengurangi deforestasi melalui mekanisme REDD, terjadinya kesepakatan mengenai transfer teknologi penangkapan dan menyimpanan karbon (CSS) dari negara maju ke negara berkembang. Dari semua hasil kesepakatan itu maka seluruh masalah perubahan iklim dunia akan mengacu pada bali roadmap. Walaupun ada kemajuan dalam konfrensi perubahan iklim di Bali, Namun sangat disayangkan dari skema bali roadmap, oreintasi neoliberal masih sangat kental. Pembayaran insentif, pengurangan emisi karbon dengan perhitungan sesuai rate yang dikeluarkan setiap negara dan berbagai macam proyek perubahan iklim lainnya. Saya memprediksi dana-dana yang mengalir kebeberapa program ini akan sulit dimonitoring, apalagi negara berkembang rentan dengan praktekkorupsi.

Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena penanganan perubahan iklim ini sebetulnya tidak harus menggunakan pendekatan neoliberalisme seperti terjadi saat ini. Kecenderungan pola-pola neoliberal terlihat lebih dominan dibandingkan dengan cara-cara pengembangan kebudayaan dan kearifan penanganan iklim diseluruh dunia. Para peserta konfrensi rupanya larut dengan perlawanan teradap negara maju untuk mengeluarkan insentifnya agar mengganti dana perbaikan iklim di negara berkembang. Padahal agenda itu seharusnya tidak perlu diprioritaskan tetapi menjadi isu kedua setelah adanya komitmen yang terstruktur dan terkontrol dengan baik mengenai komitmen bersama mengurangi emisi karbon dan standar hidup maksimal meliputi gaya hidup, pemakaian rumah, penggunaan air, pakaian atau yang sejenisnya disemua negara di dunia.

Solusi permasalahan pemanasan global tidak hanya terkait dengan perbaikan hutan, pengurangan emisi karbon dengan mengganti energi fosil menjadi energi biofuel, atau mengurangi instrialisasi di seluruh negara. Tetapi yang lebih penting adalah kembalikan dimensi humanisme dalam beragam kehidupan baik melalui pendidikan agama ataupun kearifan spiritualitas lainnya. Inilah keyword utama yang harus didorong semua pihak, agar masa depan dunia tidak menjadi hantu yang menakutkan bagi anak cucu kita.V. KEANGKUHAN NEGARA INDUSTRI

Negara-negara maju terutama Amerika terus menyalahkan negara berkembang seperti Indonesia karena dianggap lalai menjaga kelestarian hutan.

George Bush Senior, kala masih menjabat presiden Amerika Serikat, berkata di Rio de Janeiro tahun 1992, Gaya hidup kami tidak bisa dinegosiasikan. Ketika itu, dia menolak meratifikasi Protokol Kyoto. Dengan pernyataan Bush ini, bukan saja Amerika Serikat menolak untuk ikut ambil bagian dalam mengurangi pemanasan global, tetapi juga menunjukkan sikap arogansi Amerika Serikat yang tak mau tahu tentang kondisi dunia.Protokol Kyoto sendiri merupakan kesepakatan yang penting untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global. Berawal pada bulan Desember 1997, negara-negara yang tergabung dalam UNFCCC berkumpul di Kyoto, Jepang. Para pemimpin negara ini sepakat menandatangani protokol Kyoto yang diadopsi dari Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992.

Pernyataan pers PBB menyatakan protokol ini merupakan persetujuan negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar 5,2 % dari tahun 1990. Gas yang jadi kambing hitam pemanasan bumi ini antara lain berupa karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC dan PFC.

Target Kyoto adalah pengurangan 8 persen untuk Uni Eropa, 7 persen untuk Amerika Serikat, 0 persen untuk Rusia dan batas penambahan emisi yang diizinkan untuk Australia sebesar 8 persen dan 10 persen untuk Islandia.

Semua pihak dalam UNFCCC dapat menandatangani atau meratifikasi Protokol Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disebutkan dalam Annex I dalam UNFCCC.

Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia, Australia dan 25 negara anggota Uni Eropa, serta Rumania dan Bulgaria.

Kini hanya tinggal Amerika Serikat yang masih menolak meratifikasi Protokol Kyoto. Sebanyak 174 negara dan entitas pemerintah diharuskan memenuhi target pengurangan emisi gas rumah kaca menjelang 2012, kecuali untuk negara-negara berkembang. Negara seperti China dan India termasuk yang mendapat pengecualian, padahal mereka sedang dalam perjalanan untuk mengalahkan Amerika Serikat sebagai pencemar terbesar di dunia.

Washington menjadikan pengecualian itu sebagai argumen utama untuk tidak menandatangani protokol yang ditetapkan tahun 1997 tersebut. Pemerintahan Bush menyebut Kyoto cacat fatal, dan akan melumpuhkan perekonomian Amerika Serikat.

Pemerintah Australia yang tadinya mengikuti jejak sekutunya AS untuk tidak meratifikasi Protokol Kyoto sudah berubah haluan tahun ini. Beberapa saat setelah dilantik sebagai Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd langsung menandatangani dokumen yang akan menyiapkan negaranya untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Sebagai sinyal atas komitmen tersebut, pemerintah Australia bahkan menciptakan departemen baru bernama Departemen Perubahan Iklim.

5.1PENOLAKAN AS

Menurut Joseph Stiglitz, penerima Nobel Ekonomi 2001 dan kritikus kebijakan pemanasan global, Protokol Kyoto hanya sampai pada penyampaian pesan akan pentingnya isu pemanasan global pada dunia.

Oleh karena itu, saat ini berkaitan dengan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali, Amerika memastikan mendukung kesepakatan internasional baru yang disebut Bali Road Map atau Peta Jalan Bali. Peta Jalan Bali merupakan suatu cara yang ditawarkan untuk menjalani proses menuju pasca Protokol Kyoto yang berakhir 2012. Isinya antara lain rumusan soal mitigasi, adaptasi, transfer teknologi serta mekanisme pendanaan terkait penanganan perubahan iklim.

Pernyataan dukungan itu tetap tidak menghapus kesan arogansi negara adidaya ini. Amerika, menurut Stiglitz, adalah negara industri yang masih memiliki pandangan fundamental. Negara ini masih mempercayai teknologi industri yang banyak memakan bahan bakar bakar fosil. Saat Eropa dan Jepang mulai memproduksi mobil-mobil kecil yang irit bahan bakar fosil, Paman Sam justru melakukan sebaliknya. Autonet menyebutkan mobil-mobil produksi Amerika semisal Ford atau General Motor rata-rata menghabiskan lebih banyak bahan bakar dibandingkan mobil Eropa, Jepang atau Korea.

Kebiasaan ini ada kaitannya dengan kebudayaan Amerika sendiri, kata Emil Salim, pakar lingkungan hidup. Menurutnya dibandingkan negara-negara lain di dunia, penduduk Amerika cenderung menggunakan kendaraan besar. Kendaraan yang menghabiskan lebih banyak bahan bakar fosil ini menjadi simbolisme maskulinitas ala Amerika.

Pemerintahan Bush telah mengambil kebijakan tidak akan memaksakan peraturan pengurangan emisi pada industri Amerika. Keputusan menerapkan teknologi ramah lingkungan pada industri hanya didasarkan pada kesukarelaan masing-masing perusahaan. Pemerintahan Bush juga mempertahankan Undang-undang Pertambangan Amerika yang telah ketinggalan zaman. UU yang dibuat tahun 1872 ini sama sekali tidak mengharuskan perusahaan tambang Amerika memperhatikan atau mengurus dampak kerusakan lingkungan sekitar area tambang. New York Post mencatat hingga tahun 2006 sekitar 500 ribu area bekas tambang di Amerika terbengkalai.

Bush berasal dari latar belakang keluarga yang dekat dengan industri minyak, dan ia sendiri seorang yang berpandangan fundamentalis untuk masalah ini. Selama masih kuliah, Bush juga sempat bekerja di bisnis minyak milik keluarganya. Tak heran jika Bush tak ingin isu pemanasan global menggoncang bisnis minyak Amerika.

Padahal menurut laporan terakhir organisasi Peace, Amerika hingga tahun 2007 masih menduduki peringkat pertama Nnegara penghasil emisi karbon dioksida terbesar. Serupa dengan China di posisi kedua, emisi Amerika sebagian besar berasal dari pemakaian energi negara tersebut. Dan penyerapan energi terbesar berasal dari lingkungan industri. Amerika akan setuju dengan peraturan pemanasan global apapun selama itu tidak berpengaruh pada industrinya, tegas Stiglitz.

Memang tak semua politisi di AS mendukung kebijakan Bush. Politikus Al Gore kini lebih dikenal sebagai aktivis lingkungan hidup yang menantang kebijakan Bush. Karyanya berupa film dokumenter Unconvenient Truth mengenai pemanasan global bahkan meraih penghargaan Academy Award 2007. Secara pribadi Al Gore juga memilih menggunakan mobil Hibrid yang lebih ramah lingkungan. Menurut majalah Forbes, Gore sebenarnya telah berusaha memaksa Amerika menerima Protokol Kyoto sejak tahun 2000. Namun ia kalah dalam perebutan kursi kepresidenan, dan Amerika tetap menerapkan kebijakan lingkungan sukarelanya.

Sebenarnya Amerika mampu membiayai industri yang ramah lingkungan. Mampu tapi tak mau. Tak bisa diingkari perubahan teknologi tetap akan memakan biaya tambahan.

Berupaya memecahkan masalah, Stiglitz mengemukakan solusi pemanasan global yang berbasis ekonomi. Menurutnya masalah terletak pada keengganan negara dan perusahaan polutan secara sukarela membayar dampak sosial marjinal. Polusi akibat emisi karbon tak bisa diingkari berdampak langsung terhadap lingkungan sosial. Menurut Environmental Working Group dan Pew Campaign for Responsible Mining jumlah klaim terhadap pertambangan Amerika naik dari 207.504 di 2003 menjadi 376.500 di tahun 2007.

Solusinya, perusahaan-perusahaan ini harus dipaksa membayar biaya marjinal itu lewat pajak, kata Stiglitz. Ukuran besar kecilnya pajak, menurut dosen Universitas Columbia ini akan ditentukan lewat dampak reduksi emisi sesuai yang dicita-dicitakan Protokol Kyoto.

Di lain pihak, Stiglitz juga mempertimbangkan keadilan bagi negara-negara yang diminta mempertahankan hutannya. Laporan Greenpeace menyatakan pada tahun 2006 hutan tropis Amazon berkurang 25 persen dari luasnya semula. Meskipun pemerintah Brazil telah berkomitmen akan mengurangi pembalakan hutannya.

Emil Salim bahkan mempertanyakan mengapa tidak ada kompensasi bagi negara-negara berkembang yang mempertahankan hutannya. Padahal mempertahankan hutan berarti mengurangi kesempatan membuka lahan untuk pertanian.

Dalam makalah Economics and Politics of Gobal Climate, Stiglitz mengemukakan solusi insentif berbasis pasar. Selain pengenaan pajak untuk setiap emisi karbondioksida, perlu diterapkan penyeimbang berupa subsidi dan tukar menukar teknologi antara negara-negara dunia.

Untuk ini, setiap negara berkembang menurut Stiglitz memerlukan insentif untuk melakukan efisiensi energi. Demikian, Amerika sebagai negara maju seharusnya tak hanya berkomitmen pada reduksi emisi karbon dalam negeri saja.5.2KETIDAKADILAN

Rusaknya hutan diklaim seakan sebagai penyebab utama pemanasan global. Selalu diberitakan kebakaran hutan dan gambut yang ikut meningkatkan tinggi muka laut akibat naiknya suhu udara dan melelehnya es di Greenland dan Antartika.1