TUGAS KEWARGANEGARAAN

download TUGAS KEWARGANEGARAAN

of 18

Transcript of TUGAS KEWARGANEGARAAN

TUGAS KEWARGANEGARAAN KELOMPOK 7

TENTANG

SENGKETA RRC TAIWAN

SMA NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG

NAMA ANGGOTAAnnisa Karla Arini Sesunan Mellinda Eky Putri Nitami Evita Inonu Nuris Sanida

SENGKETA RRC TAIWAN1. Latar Belakang MasalahKawasan Asia Timur adalah salah satu kawasan yang unik dan menarik untuk diamati. Cina, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Mongolia, dan Taiwan adalah beberapa negara di kawasan ini di mana sejarah menunjukkan bahwa organisasi kawasan sulit diwujudkan. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah pengaruh Amerika Serikat (AS). Beberapa alasan yang mendorong Negeri Paman Sam berperan di Asia Timur adalah:

1. Kawasan Asia Timur dianggap sebagai kawasan strategis dalam ranah perekonomian dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi besar. 2. Isu-isu pelaksanaan hak asasi manusia di Asia Timur yang menjadi ganjalan AS. 3. Belum tuntasnya proses demokratisasi di Asia Timur yang didukung AS.

Pasca Perang Dingin, salah satu isu terpenting di kawasan ini adalah konflik Selat Taiwan. Konflik ini bermuara pada terjadinya perang sipil yang memaksa pemerintahan Chiang Kai-Shek keluar dari Cina dan lari ke Taiwan karena kekalahan melawan gerakan komunis yang dipimpin Mao Zedong pada tahun 1949. Baik Cina maupun Taiwan bersikeras mempertahankan pemerintahan mereka yang dianggap sah mewakili Cina, mencakup daratan Cina dan Pulau Taiwan. Polemik tersebut mereda dengan semakin diterimanya One China Policy.

Pemerintahan Cina menganggap Taiwan hanya sebagai satu provinsi yang memberontak terhadap pemerintahan di Beijing. Dengan kata lain, Taiwan bukan dianggap sebagai satu entitas independen dan berdaulat sendiri. Baik Taipei maupun Beijing telah melakukan diplomasi guna kepentingan masing-masing. Namun diplomasi Cina lebih berhasil dengan pengakuan dari dunia internasional sedangkan Taiwan hanya diakui oleh beberapa negara di Amerika Tengah.

Dalam perkembangannya, hubungan Cina-Taiwan selalu diliputi oleh kecurigaan dan konflik yang tak berkesudahan. Upaya perdamaian dan keamanan di Selat Taiwan menjadi dalih intervensi dunia internasional terutama Amerika Serikat. Pasang-surut hubungan bilateral CinaTaiwan sejalan dengan kedekatan Amerika Serikat dengan keduanya. Paper ini membahas dinamika konflik Cina-Taiwan di tengah pengaruh Amerika Serikat.

2. Sejarah Konflik China TaiwanPasca Perang Dunia II, Taiwan sempat menguasai Cina daratan di bawah Partai Kuomintang (Nasionalis) yang dipimpin oleh Chiang Kai-Shek. Gerakan ini ampuh mengakhiri penjajahan Jepang yang berlangsung selama lima puluh tahun. Kai-Shek membentuk status pulau tersebut menjadi provinsi Cina. Taiwan memperoleh kemerdekaan dari Jepang. Namun dalam pemerintahan Kai-Shek banyak terjadi korupsi dan eksploitasi sumber daya alam Taiwan setelah rekonstruksi pasca perang dengan Jepang. Industri Taiwan secara langsung mensuplai kebutuhan Beijing sehingga ekonomi di kepulauan (Taiwan) menjadi krisis. Pengangguran banyak terjadi yang mengakibatkan demonstrasi masif pada tahun 1947 dan berlanjut pada peristiwa Teror Putih yaitu pembunuhan sekitar 18.000 sampai 300.000 elit akademik dan elit politik penduduk asli di Taiwan oleh Chiang Kai-Shek untuk menunjukkan kontrolnya. Kontrol ini justru menimbulkan gerakan komunis. Partai Komunis Cina (PKC) yang dipimpin oleh Mao Zedong mengadakan perang kebebasan yang berhasil menaklukkan Partai Kuomintang (PKMT) pada Oktober 1949. Kemudian Mao mengambil alih Cina daratan dengan diproklamirkannya Republik Rakyat China (RRC) dan PKC adalah partai tunggal sah di Cina. Chiang Kai-Shek akhirnya mengundurkan diri dan membawa pasukan beserta para pengungsi ke Pulau Formosa atau Taiwan dan cadangan emas RRC. Pada perkembangannya, Chiang menginginkan Taiwan sebagai negara baru yang berdaulat dan tidak berada di bawah pemerintahan RRC.

3. Posisi Republik Rakyat ChinaMelalui One China Policy RRC menginginkan Taiwan kembali bersatu dengan RRC, menyusul masuknya Hongkong dan Makau untuk bergabung kembali. RRC selalu membujuk Taiwan atas sistem One Nation, Two States agar Taiwan dapat bergabung dengan RRC. Secara de jure maupun de facto Taiwan adalah bagian dari RRC dan di mata PBB dengan resolusi 2758, RRC

adalah pemerintahan yang sah. Namun masih banyak hambatan yang dihadapi oleh RRC dalam usaha reunifikasi dengan Taiwan. Setiap presiden Taiwan memimpin negaranya, tidak ada satu pun yang menyatakan kesediannya untuk bergabung RRC. Munculnya militer RRC juga menjadi salah satu isu terpenting dalam upaya reunifikasi. Militer RRC merupakan sarana yang paling ampuh untuk memaksa Taiwan. Ditopang dengan lebih dari 3,5 juta tentara, kekuatan Angkatan Darat dan Angkatan Laut yang handal, bukan tidak mungkin RRC sewaktu-waktu akan menyerang Taiwan jika Taiwan memproklamirkan kemerdekaannya. Pada tahun 2005, RRC mengeluarkan UU Anti Pemisahan (Anti-Secession Law) yaitu undangundang yang disahkan oleh konferensi ke-3 Kongres Rakyat Nasional dari pemerintah RRC. Terdapat tiga skenario dalam UU yang memprekondisikan penggunaan tindakan non damai dalam menghadapi Taiwan: jika separatis Taiwan mengambil tindakan untuk memisahkan Taiwan dari RRC dengan segala tujuan atau segala bentuk; terdapat insiden besar yang menjadi sebuah petunjuk Taiwan terhadap usaha memisahkan diri dari RRC; dan kemungkinan untuk unifikasi secara damai sudah dalam tahap melelahkan. UU ini merupakan UU Status Quo yang dibuat polanya untuk menjaga situasi terakhir di Selat Taiwan. 2.2.1 One China Policy One China Policy berarti hanya ada satu Cina yaitu Cina daratan (RRC), Tibet, Hongkong, Makau, Xinjiang, maupun Taiwan adalah bagian dari Cina. Hal ini adalah alasan utama bahwa RRC dan Taiwan harus melakukan unifikasi. Dalam kasus yang dialami oleh AS, One China Policy dalam Shanghai Communique pada tahun 1972 menyatakan: The United States acknowledges that Chinese on either side of the Taiwan Strait maintain there is but one China and that Taiwan is a part of China. The United States does not challenge that position., maka dari itu dapat ditarik benang merah bahwa One China Policy yang dipahami AS berbeda dengan yang digariskan RRC ke dunia internasional, yaitu RRC dan Taiwan berada pada satu pemerintahan. AS tidak menyatakan dengan tegas mengenai apakah Taiwan adalah negara merdeka atau tidak, sebaliknya AS menyatakan penjelasannya terhadap klaim RRC bahwa Taiwan adalah bagian dari Cina. One China Policy juga menjadi prasyarat bagi pemerintahan Cina untuk berdialog mengenai cross-strait relations dengan kelompok yang datang dari Taiwan. Kebijakan ini menolak rumusan Two China atau One China, One Taiwan dan dengan jelas bahwa upaya pembagian kedaulatan Cina akan berakibat kepada perang militer. RRC telah menawarkan dialog dengan partai-partai di Taiwan dan pemerintahan di Taiwan berdasarkan konsensus tahun 1993 yang menyatakan bahwa ada satu Cina, tetapi terdapat pemahaman yang berbeda mengenai satu Cina di kedua negara.

4. Resolusi PBB Nomor 2758Sidang Majelis Nasional PBB meluluskan Resolusi 2758 pada tahun 1971 yang memulihkan hakhak RRC dan pemerintah nasionalis Taiwan dikeluarkan oleh PBB. Adapun isi dari resolusi tersebut adalah sebagai berikut: a. Mengingat pemulihan hak-hak yang sah menurut hukum RRC adalah penting bagi perlindungan Piagam PBB dan PBB harus melayani berdasarkan piagam tersebut. b. Mengakui bahwa pemerintah RRC adalah satu-satunya pemerintahan yang sah di PBB dan RRC adalah salah satu diantara lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. c. Memutuskan untuk memulihkan semua hak RRC dan untuk mengakui bahwa pemerintahannya adalah satu-satunya pemerintahan yang sah di depan PBB, dan memaksa keluar dengan segera pemerintahan Chiang-Kai Shek yang tidak sah di PBB dan semua organisasi yang berhubungan dengannya.

Resolusi di atas hanya membahas hak perwakilan RRC di lembaga internasional dan tidak menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari RRC, tidak memberikan hal perwakilan Taiwan kepada RRC maupun kepada organisasi lainnya di bawah PBB. Sejak RRC berdiri pada tahun 1949, RRC tidak pernah memerintah di Taiwan. Dengan kata lain, Taiwan adalah negara merdeka, memiliki pemerintahan sendiri yang terpisah dari Cina daratan. 2.2.3 Kepentingan RRC dalam Penyatuan dengan Taiwan Upaya mencegah Taiwan merdeka adalah masalah penting bagi RRC karena menyangkut kredibilitas di mata rakyatnya. Untuk tetap menjaga kredibilitas tersebut, Beijing bertekad menempuh segala cara, termasuk invasi ke Taiwan meskipun nantinya RRC akan berhadapan juga dengan AS. RRC mengklaim bahwa Pulau Formosa yang berganti nama menjadi Taiwan adalah bagian dari RRC berdasarkan sejarah yang tercatat tahun 304 M dengan nama Pulau Yizh Liuqiu. Di masa Dinasti Sui, penduduk Cina daratan mulai memasuki pulau ini. Berbagai dinasti Cina selanjutnya juga tercatat menguasai pulau ini hingga akhirnya terjajah oleh Jepang. Kembalinya Taiwan kepada RRC tertuang dalam Deklarasi Postdam yang ditandatangani Cina, Amerika Serikat, dan Inggris pada 26 Juli 1945. Berdasarkan kenyataan ini, RRC mempunyai klaim kuat secara de facto dan de jure bahwa Taiwan adalah bagian dari negara Cina. Reunifikasi Taiwan ke dalam RRC adalah bagian dari perang saudara tahun 1949 yang belum terselesaikan. Bagi RRC, terbentuknya Taiwan adalah akibat dari intervensi AS. Menurut RRC, pelarian kelompok nasionalis yang kalah dalam perebutan kekuasaan melawan komunis tahun 1949 tdak akan akan dapat bertahan tanpa intevensi AS. Bagi RRC, keutuhan adalah harga

mati sehingga kemerdekaan Taiwan dinilai sebagai kegagalan pemerintah mempertahankan RRC. Hal ini penting karena akan menyulut potensi adanya gerakan separatism dari wilayah Mongolia, Tibet dan Xinjiang yang berbeda secara etnis, agama dan budaya dari etnis Han yang mendominasi.

5. Posisi TaiwanUsaha Taiwan untuk memerdekakan diri tidak mendapatkan dukungan dunia internasional, termasuk Amerika Serikat. Washington sebagai pembela utama Taipei tidak menghendaki adanya negara Taiwan merdeka karena AS sudah terikat dengan Three Sino-US Joint Communiques dengan RRC. Isu kemerdekaan Taiwan juga mendapat hambatan karena sebagian rakyat Taiwan juga tidak menghendaki adanya negara Taiwan merdeka karena nantinya akan berlangsung konflik yang melibatkan militer. Alasan Taiwan merdeka dapat diterima karena wilayahnya relatif sempit dengan perekonomian lebih stabil dibandingkan RRC. Taiwan menganggap bahwa keikutsertaan RRC dalam perekonomian negaranya akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi, karena nantinya jika Taiwan kembali bergabung dengan RRC, dengan sendirinya perekonomiannya diatur oleh RRC. Bantuan militer AS juga menjadi alasan mengapa Taiwan ingin merdeka. Didukung oleh persenjataan yang canggih dari AS, Taiwan semakin percaya diri untuk menjaga pertahanan dan keamanan negaranya dari invasi militer RRC. Kondisi status quo Taiwan merupakan kekuasaan yang memerintah dengan merdeka yang tidak tunduk kepada aturan dari negara-negara lain. Reunifikasi dengan RRC merupakan pilihan bagi Taiwan, salah satu dari berbagai macam pilihan masa depan Taiwan adalah dengan diputuskan oleh rakyat Taiwan. Pandangan ini didukung penuh oleh masyarakat Taiwan. Seperti pada penelitian yang dibuat oleh Profesor Yun-Han Chu pada tahun 1996 sampai dengan 2002 yang menyatakan bahwa masyarakat Taiwan yang mengidentifikasi sebagai bagian dari bangsa Cina telah menurun dari 20,8 persen menjadi 7,8 persen. Sementara yang mengatakan bahwa bangsa Taiwan dan sebaliknya yang menyatakan bahwa bangsa Taiwan bukan bagian bangsa Cina meningkat dari 35,7 persen ke 38 persen dan dari 40,5 persen menjadi 50,6 persen. Survey yang lain mengatakan bahwa dua per tiga masyarakat Taiwan berpendapat bahwa budaya Taiwan merupakan budaya dari bangsa Cina dan 80 persen dari mereka mengidentifikasikan hanya pulau itu yang menjadi negara merdeka dan hanya orang Taiwan yang menjadi jawaranya.

6. Intervensi Amerika Serikat dalam Konflik Cina-TaiwanPasca Perang Korea tahun 1950, Presiden AS Harry S.Truman menempatkan Pasukan Laut Ketujuh (The Seventh Fleet) di Taiwan untuk mencegah serangan komunis RRC ke Taiwan. Hal ini adalah intervensi pertama kalinya dalam konflik Cina (daratan) dan Taiwan (pulau). Washington menilai bahwa Taipei mampu menghalau komunis di Asia dan menyediakan bahanbahan yang diperlukan dalam rangka menjaga keamanan seperti keamanan dan peraltan militer. Pada bulan Desember 1954, AS dan pihak-pihak yang berwenang di Taiwan mengesahkan Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual-Defense Treaty) yang menetapkan posisi Taiwan berada dalam naungan AS. Hal ini dinilai salah karena campur tangan AS terlalu jauh dalam konflik yang melibatkan RRC dan mengakibatkan konflik tersebut berlangsung dalam jangka panjang. Isu ini juga membuat ketegangan hubungan antara Washington dan Beijing. Selama Perang Dingin, AS melakukan hubungan kembali dengan RRC sebagai upaya untuk pencegahan terhadap ekspansi Uni Soviet. RRC sebagai negara yang kuat menjadi mitra strategis bagi AS untuk menghadapi ekspansi tersebut. Ancaman nuklir Uni Soviet akan mengganggu keamanan dunia dan mengganggu kepentingan nasional Amerika Serikat. RRC bagi Amerika Serikat adalah mitra strategis dari ancaman nuklir Uni Soviet. 2.4.1 Three Sino-US Joint Communiques Pada tanggal 21 Februari 1972, Presiden AS Richard Nixon mengunjungi Beijing. Kunjungan tersebut disebut ice breaking karena untuk pertama kali Presiden AS datang ke RRC sejak RRC merdeka tahun 1949. Dalam kunjungan ini Richard Nixon dan Perdana Menteri RRC Chou Enlai menandatangani Shanghai Communique. Dalam perjanjian ini, lahir sebuah nota kesepahaman bernama Nixons Five Points sebagai berikut: a. Menentukan status Satu Cina, Taiwan bagian dari Cina b. Tidak mendukung kemerdekaan Cina c. Berusaha menahan Jepang (seiring meningkatkan pengaruhnya di Taiwan) d. Mendukung resolusi damai e. Mengusahakan normalisasi Adanya perbedaan pemahaman akan One China Policy membuat RRC meragukan kesungguhan AS untuk mendukungnya karena dinilai tidak bisa meninggalkan kewajiban Taiwan karena AS masih terikat dengan Mutual-Defense Treaty dengan Taiwan. Pemerintah AS menormalisasi hubungan dengan RRC dengan menerima 3 prinsip kerjasama diplomatik yang dibuat oleh RRC dengan nama Joint Communique on the Establishment of Diplomatic Relations (Normalization Communique) pada akhir 1978 dan baru aktif pada 1 Januari 1979 dengan isi: AS memutuskan hubungan diplomatik dengan pihak berkuasa Taiwan, AS memmbatalkan Mutual-Defense Treaty dengan Taiwan, dan menarik mundur pasukan AS di Taiwan. Maksud dari perjanjian ini

adalah adanya pengakuan sah AS akan RRC dengan memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mulai kembali membina hubungan diplomatik dengan RRC. Langkah AS dimaksudkan karena AS menyetujui Cina dengan One China Policy dan meninggalkan pakta pertahanan terhadap Pulau Taiwan. Menurut AS, Taiwan adalah bagian dari RRC. Untuk menyelesaikan masalah perdagangan senjata AS-Taiwan melalui TRA, RRC bersama AS mengadakan perundingan pada tanggao 17 Agustus 1982 dan mengeluarkan Joint Communique ketiga tentang hubungan RRC dengan AS yang juga disebut August 17, 1982, Joint Communiques. Dalam perjanjian itu ditunjukkan bahwa AS tidak akan melaksanakan dasar tentang penjualan senjata ke Taiwan dalam jangka waktu lama dan berangsur-angsur menguranginya. Dengan menandatangani Three Sino-US Joint Communiques ini, RRC sukses menghentikan usaha Taiwan untuk mendapatkan senjata dengan karakter bertahan (penangkal) dari AS.

7. Taiwan Relations ActUntuk menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas di Pasifik Barat dan melanjutkan hubungan komersial. Budaya, dan hubungan-hubungan lain antara AS dan Taiwan, maka AS membuat Taiwan Relations Act (TRA) atau Undang-Undang Hubungan dengan Taiwan. TRA ditandatangani oleh Presiden Jimmy Carter pada tahun 1979 dan berisi mengenai hubungan diplomatik AS dengan pemerintah RRC. UU ini memberikan kekuasaan khusus kepada institusi AS di Taiwan (American Institute of Taiwan atau AIT) kepada tahap de facto dan menegakkan segala kewajiban internasional sebelumnya yang dibuat antara AS dan RRC berdasarkan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. UU ini mendefinisikan Taiwan sebagai kepulauan Taiwan dan Pescadores dengan tidak memasukkan Kepulauan Kinmen dan Matsu. Dalam perjalanannya, TRA menetapkan bahwa AS akan mempertimbangkan segala usaha menentukan masa depan Taipei dengan maksud menjaga perdamaian, termasuk boikot dan embargo senjata Taipei, yang mengancam perdamaian dan keamanan Pasifik Barat yang menjadi perhatian penting AS. UU ini juga diperlukan AS untuk menyediakan senjata penangkal dan menjaga kekuatan AS untuk pertahanan dari segala upaya penyerangan atau cara lain dengan kekerasan yang dapat mengganggu keamanan atau sosial ekonomi bagi rakyat Taiwan. Bagaimanapun juga, UU ini juga tidak menjadi syarat AS dalam mengambil langkah militer melawan RRC dari semua peristiwa penyerangan. TRA telah digunakan oleh administrasi suksesif AS untuk menjustifikasi penjualan persenjataan kepada Taiwan, walaupun AS menganut kebijakan satu Cina, yang berbeda dengan perjanjian antara AS dan RRC. TRA ini secara umum memerintahkan AS untuk memperbolehkan Taiwan untuk menjaga kecukupan kapabilitas pertahanan diri. 2.4.3 Six Assurances

Six Assurances (SA) merupakan pedoman untuk memimpin hubungan Taiwan dan AS guna menjaga perdamaian di Selat Taiwan. SA diajukan Taiwan pada tahun 1982 selama adanya perundingan antar AS dengan RRC mengenai penjualan senjata AS ke Taiwan. SA digunakan oleh Presiden AS Ronald Reagan dan disetujui oleh Kongres AS pada tahun 1982 dengan isi sebagai berikut: a. AS tidak akan menetapkan waktu untuk menghapuskan penjualan senjata ke Taiwan. b. AS tidak akan merubah isi dari TRA. c. AS tidak akan berunding dengan RRC sebelum membuat keputusan mengenai penjualan senjata AS ke Taiwan. d. AS tidak akan menjadi penengah antara RRC dan Taiwan. e. AS tidak akan mengubah posisinya mengenai kedaulatan Taiwan yang berarti keputusannya dilakukan secara damai oleh RRC dan tidak akan menekan Taiwan untuk berunding dengan RRC. f. AS secara formal tidak mengakui kedaulatan RRC atas Taiwan. 2.4.4. Taiwan Security Enchanment Act Untuk mengatasi srangan RRC karena kenaikan anggaran militernya, kongres AS mengeluarkan Taiwan Enchanment Act (TSEA) pada 1 Februari 2000 dengan tujuan menyediakan dukungan militer AS yang lebih besar kepada Taiwan, termasuk pelatihan dan peralatan militer. TSEA juga menetapkan hubungan komunikasi secara langsung antara AS dengan Taiwan. UU ini juga dimaksudkan untuk mempertegas dan memperbaharui TRA yang diluluskan setelah pengadilan penghentian hubungan antara AS dengan Taiwan di mana AS mengakui RRC sebagai negara sah dan tertuang dalam Normalization Communique.

8. Penjualan Senjata Militer Amerika Serikat ke TaiwanBermula dari kunjungan bersejarah Presiden Nixon pada tahun 1972, Washington telah membangun hubungan yang lebih dekat dengan Cina dan mereduksi status diplomatik Taiwan bukan sebagai negara. Presiden Reagan telah menandatangani Shanghai Communiqu pada tahun 1982, berjanji untuk mengurangi penjualan senjata ke Taiwan secara perlahan dan untuk menghindari penjualan senjata yang bersifat ofensif. Penjualan senjata ke Taiwan oleh AS menurun selama 1980-an ketika AS mulai membantu Cina daratan teknologi persenjataannya. Fenomena ini menjadi terbalik setelah peristiwa Tiananmen 1989 di Beijing. Niat baik AS untuk membantu pengembangan senjata Cina terhenti. Perdagangan senjata ke Taiwan meningkat dan Taiwan mengimpor senjata lebih besar dari pada Cina di sepanjang tahun 1990-an. Pada kenyataannya Shanghai Communiqu hanya menjadi perjanjian mati. Dewasa ini kekuatan militer Taiwan membuat Cina tidak bisa bertindak menggunakan instrumen militer untuk menghadapinya. Derasnya pasokan militer dari Amerika Serikat membuat Taiwan lebih dari cukup untuk

memimpin dalam perlombaan senjata dengan Cina. Taiwan melebihi kebutuhan minimum untuk memastikan balance of power di selat Taiwan. Cina, yang mana persediaan senjatanya lebih sedikit, mungkin akan terdorong untuk menambah pengeluarannya untuk membeli senjata baru, mendorong perlombaan senjata yang lebih parah di Asia Timur, dan membahayakan stabilitas keamanan di kawasan. Pada tahun 2003, Presiden George W. Bush memutuskan untuk menawarkan Taiwan paket senjata terbesar semenjak ayahnya menjual bermacam-macam kapal perang dan pesawat F-16 ke Taiwan dekade yang lalu. Bush menolak Taiwan untuk pembelian barang paling mahal dan kontroversial : empat Arleigh Burke-class destroyers dilengkapi dengan system radar Aegis. Bush benar-benar menyetujui dua sistem senjata yang lain yang ditentang Cina : delapan kapal selam dan 12 pesawat patroli anti-kapal selam P-3C . Juga ditawarkan oleh AS empat Kidd-class penghancur rudal. Walaupun ini tidak secanggih Arleigh Burke-class, tetapi lebih besar dua kali lipat dari semua kapal perang Taiwan yang pernah ada dan lebih kuat dari penghancur milik Cina. Ini akan menjadi tambahan yang sangat berarti bagi angkatan laut Taiwan. Namun yang terpenting adalah kapal selam. Baru-baru ini, Taiwan mampu menggagalkan usaha Cina untuk memblokade pulau Taiwan. Angkatan Udara Taiwan bisa menyebabkan kerugian bagi kegiatan perkapalan Cina dalam sekitar 1000 km dari Taiwan. Dengan kapal selam barunya, bagaimanapun, akan memberikan kemampuan untuk menyerang kegiatan perkapalan Cina di seluruh laut di Asia Timur. Taiwan dapat menghancurkan kegiatan perdagangan melalui laut. Kemampuan Cina untuk mengganggu perdagangan Taiwan lebih terbatas. Washington telah menggagalkan penjualan kapal selam modern kepada Taiwan untuk beberapa tahun karena kapal selam tersebut merupakan senjata ofensif yang tidak diperlukan pertahanan Taiwan. Taiwan pada saat itu hanya mempunyai dua kapal selam buatan Belanda dan dua kapal selam bekas AS, yang sangat tua, digunakan untuk latihan. AS dan Inggris hanya membuat kapal selam tenaga nuklir dengan harga yang mahal. Kapal-kapal Taiwan kemungkinan dibuat oleh Jerman, Belanda, Perancis, Italia, Jepang, Rusia, atau Swedia. Sehubungan dengan ini dua negara pertama sepertinya akan menjadi kandidat kuat karena mereka tidak begitu peduli akan nantinya menyinggung Cina dari pada negara lain. Pada tahun 1995 Presiden Taiwan Lee Teng-hui menguatkan hubungannya dengan AS, beliau mengunjungi Washington dan bertemu dengan Presiden Clinton. Tindakan ini dibalas oleh Cina dengan mengadakan percobaan penembakan misil, tindakan ini banyak disebut-sebut orang sebagai tindakan untuk mempengaruhi pemilihan umum dengan pamer kekuatan. Taiwan yang sudah melakukan hubungan dengan AS mendapatkan dukungan dari negara adikuasa tersebut, AS merespon tindakan Cina dengan pengiriman kapal perang ke Teluk Taiwan. Negeri Paman Sam melakukan hal ini karena tidak ingin Cina menjadi the only big power di Asia Pasifik. Cina membalas tindakan ini dengan berbagai pengembangan senjata, bahkan pada bulan maret 2006 Taiwan mengeluh pada Cina yang telah mengembangkan kemampuan penyerangan militernya secara besar-besaran. Bahkan disebut-sebut bahwa Cina mengarahkan

sedikitnya 700 buah misil balistiknya ke arah Taiwan. Situasi ini diprotes mati-matian oleh rakyat Taiwan yang mengatakan bahwa nasib Taiwan bukan ditentukan oleh 1,3 milyar penduduk Cina melainkan di putuskan oleh 23 juta penduduk Taiwan. Perkembangan terakhir dari isu ini terlihat pada kunjungan Presiden Hu Jintao ke AS, Presiden Hu Jintao menyatakan bahwa Cina tetap berambisi untuk menyatukan Taiwan dengan One China Policy-nya. Apabila Taiwan melakukan tindakan-tindakan yang ekstrim maka Cina mungkin akan menggunakan kekuatan militernya terhadap Taiwan sehingga dapat dapat disimpulkan bahwa kekuatan militer Cina semakin bertambah kuat tahun demi tahun.

9. Dinamika Konflik Cina-TaiwanMasa Pemerintahan Chiang Kai-Shek (1949-1975)Pada Desember 1949, Chiang Kai-Shek menegaskan bahwa Taipei adalah ibukota sementara Cina dan berjanji akan menguasai daratan Cina. Beliau mengeluarkan undang-undang keadaan darurat (martial law) terhadap RRC. Sebagai bagian untuk mewakili Cina, segala institusi di pemerintahan RRC dipindahkan ke Taiwan, termasuk parlemen. Selain itu juga menjatuhkan larangan terhadap kebebasan sipil dan berpolitik, memenjarakan dan menghukum lawanlawannya, dan mengawasi secara ketat dialek asli Taiwan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Chiang Kai-Shek adalah seorang diktator yang didukung oleh agen rahasia militer, Taiwan Garrison Command. Posisinya menghadapi dua tantangan. Di satu sisi, penduduk asli Taiwan yang ingin memerdekakan Taiwan, menolak aturan yang ditegakkan oleh RRC. Di sisi lain, munculnya ancaman invasi dari komunis RRC. Chiang Kai-Shek mengawali pemerintahan baru dengan menampung generasi muda dan penduduk asli Taiwan dengan fokus utama pada perubahan dari menaklukkan kembali RRC menjadi pembangunan di Taiwan itu sendiri, Pada akhir 1960-an, Taiwan mengalami penurunan dukungan dari AS karena politik Perang Dingin. Pada tahun 1971, Taiwan kehilangan kursinya dalam mewakili Cina di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Taiwan akhirnya keluar dari PBB. RRC yang sejak berdirinya PBB pada tahun 1946 telah menjadi anggota Dewan Keamanan tetap eksis bersama AS, Inggris, Perancis dan Rusia sebagai pemenang Perang Dunia II. Presiden Chiang Kai-Shek wafat pada tahun 1975 dan pada tahun 1978, tampuk kepemimpinan turun kepada anaknya, Chiang Ching-Kuo dari PKMT. Pengangkatan Chiang Ching-Kuo menandakan bahwa dinasti Chiang masih tetap eksis dan menyebabkan adanya penentangan dari dalam negeri Taiwan. Pada tahun 1979, kelompok penentang melakukan protes terhadap keadaan di dalam negeri yang menunjukkan Hari HAM Internasional. Selama pemerintahan

Chiang Ching-Kuo, skandal keuangan menghancurkan pemerintahan Kuomintang dan kecaman terhadap aturan satu partai tumbuh. Pada tahun 1985, Chiang Ching-Kuo membuka pembicaraan dengan posisi dalam negeri dan pada tahun 1986 partai oposisi pertama Taiwan muncul, yaitu Democratic Progressive Party (DPP).

Masa Pemerintahan Lee Teng-Hui (1988-2000)Penurunan terhadap perang di tahun 1987 dan kematian Presiden Chiang Ching-Kuo pada tahun 1988 membuka era baru terhadap perpolitikan Taiwan. Pada tahun 1988 Lee Teng-hui yang sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden diangkat menjadi presiden pertama yang berasal dari penduduk asli Taiwan. Pada tahun 1989, pemilu parlemen pertama dilaksanakan dengan partai yang berbeda dengan PKMT, yaitu DPP. Setahun kemudian, anggota parlemen yang mewakili provinsi Cina pension, mengakhiri tuntutan Cina atas Taiwan untuk menjadi satu pemerintahan Cina. Pada masa ini, Taiwan menawarkan kebijakan Two China atau Dua Cina. Dengan prinsip ini Taiwan mengakui One China Policy. Di lain pihak, Taiwan menginginkan adanya pengakuan terhadap negara Taiwan sebagai satu entitas tersendiri yang terpisah dari RRC. Taiwan mencabut kemauannya untuk dianggap sebagai wakil Cina di forum internasional dan menghendaki peningkatan cross strait relations yang telah terjalin sebagai hubungan antarnegara (special state-to-state relations). Kebijakan tersebut sesungguhnya bertentangan dengan One China Policy karena Taiwan menginginkan adanya pengakuan sebagai entitas tersendiri dari RRC.

Masa Pemerintahan Chen Shui-Bian (2000-2008)Berakhirnya pemerintahan PKMT selama 50 tahun ditandai dengan kemenangan Presiden Chen Shui-Bian pada tahun 2000 dari DPP. Di awal pemerintahannya, presiden ini berjanji akan menghindari kebijakan politik terhadap RRC yang dinyatakan sebagai lima pantangan atau Five Nos yaitu: 1. Taiwan tidak akan memproklamirkan kemerdekaan. 2. Taiwan tidak akan mengubah identitas nasional sebagai bagian dari bangsa Cina 3. Taiwan tidak akan memposisikan hubungan Taiwan dan RRC sebagai hubungan antarnegara karena kedua pihak adalah sama-sama mewakili negara Cina. 4. Taiwan tidak akan melakukan referendum untuk mengubah posisi status quo yang terjadi selama ini.

5. Taiwan tidak akan mengurangi peran Dewan Unifikasi Nasional. Pada akhirnya, Chen Shui-Bian dianggap sebagai tokoh politik yang ambisius untuk memerdekaan Taiwan. Isu kemerdekaan dan permusuhan dengan RRC dimanfaatkan oleh beliau untuk kepentingan politik domestiknya. Selama beliau berkuasa, pemerintahannya tidak memperlihatkan langkah konkrit dalam mewujudkan Taiwan merdeka. Akan tetapi, dalam pemilihan presiden keduanya tahun 2004, beliau dalam kampanyenya berjanji akan merevisi Konstitusi Taiwan sehingga lebih merefleksikan secara penuh kemandirian negaranya. Diantaranya adalah mengubah nama Republik Cina menjadi hanya Taiwan dan hubungan dengan RRC diklasifikasikan sebagai hubungan dengan negara asing. Dalam kampanyenya ini juga, beliau menawarkan referendum untuk kemerdekaan Taiwan pada tanggap 20 Maret 2004. Referendum adalah solusi politik bagi Taiwan untuk membawa peta perpolitikan Taiwan di masa yang akan datang. Akan tetapi, referendum pada masa ini gagal karena sosok Chen ShuiBan yang ambisius. Beliau dianggap tidak dapat dipercaya karena melanggar kebijakan politik terhadap RRC yang dinyatakan sebagai Lima Pantangan dengan melakukan referendum kepada rakyat Taiwan.

Masa Pemerintahan Ma Ying-Jeou (2008-sekarang)Ma Ying-Jeou terpilih menjadi Presiden Taiwan pada 20 Mei 2008 dengan wakilnya Vincent Siew dengan dukungan 58,45 persen suara. Sejak masa kampanye, Ma berusaha memulihkan hubugan Cina dan Taiwan serta merevitalisasi perekonomian. Presiden Ma Ying-Jeou menginginkan kerjasama yang lebih baik dengan Cina, mengingat keduanya mewarisi filosofi, tradisi, dan nilai kebudayaan yang sama. Hal ini dipengaruhi oleh kebiasaan masa kecilnya yang begitu tertarik dengan ajaran dan filosofi para filsuf klasik China, seperti Lao Tse, yang begitu menekankan pentingnya harmoni dalam kehidupan. Secara umum, terdapat dua prioritas utama hubungan Cina-Taiwan pada masa inii, yaitu: pertama, yakni pemulihan hubungan ekonomi; dan kedua yakni kesepakatan damai. Beliau cenderung lebih bersikap damai, berbeda dengan pendahulu sebelumnya, yakni Chen Shuibian, yang sangat anti dengan RRC dan sikap pro-kemerdekaannya memicu kemarahan pemerintah Beijing. Sinyal awal membaiknya hubungan politik RRC dan Taiwan ditunjukkan saat Presiden Cina Hu Jintao mengirimkan telegram atas terpilihnya Ma Ying-jeou sebagai pemimpin Kuomintang yang merupakan komunikasi langsung pertama kali antara dua pemimpin RRC dan Taiwan sejak berakhirnya perang sipil pada tahun 1949. Pesan tersebut menunjukkan niat yang baik untuk memperbaiki hubungan serta mencapai win-win solution. Dewasa ini, dalam konteks hubungan RRC dan Taiwan, memang agak berbeda, namun pada

dasarnya sama, yakni motif ekonomi yang saling menguntungkan. Meskipun secara politik bermusuhan, namun tidak dapat dinafikan bahwa keduanya saling membutuhkan satu sama lain. Taiwan dapat memperoleh keuntungan dari pertumbuhan Cina yang solid, sebaliknya Cina juga dapat berinvestasi pada perekonomian Taiwan yang berkembang pesat. Kontak perdagangan antara RRC dan Taiwan berawal pada tahun 2000 ketika parlemen Taiwan menghentikan larangan hubungan dagang dan transportasi dengan Cina, dan membolehkan terciptanya beberapa rute dagang. Kini, interdependensi keduanya satu sama lain makin meningkat, seiring dibukanya keran berbagai hubungan dagang. Pada tahun 2008, RRC berhasil mengalahkan AS sebagai sumber impor utama Taiwan. Sementara itu, RRC juga menjadi sumber destinasi Foreign Direct Investment (FDI) utama bagi Taiwan. Intinya, ini merupakan hubungan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Dalam sebuah kesepakatan, Taiwan dan RRC juga sepakat untuk melipatgandakan penerbangan langsung ke Selat Taiwan menjadi 270 per minggu, dari 108 saat ini, dan menambah enam destinasi ke Cina dari sebelumnya 21. Demikian juga dengan penerbangan kargo, yang akan ditingkatkan dari 60 kali menjadi 112 kali sebulan atau 28 kali per minggu. Sebelum adanya penerbangan langsung, perdagangan bilateral antara kedua negara bahkan mencapai $130 miliar. Dalam waktu dekat, kedua pemerintahan diperkirakan akan menjalin kesepakatan perekonomian, yang menurut Ma diperkirakan akan menciptakan 273,000 lapangan kerja serta mendongkrak ekspor sebesar 4.87% hingga 4.99%. Bahkan, keduanya juga akan membuat suatu sistem foreign-exchange clearing, yang akan makin menghapus batasan antara pasar permodalan dan keuangan keduanya. Sebagai langkah awal, keduanya akan memilih satu atau dua bank untuk melakukan tukar mata uang yuan Cina dan dollar Taiwan. Seiring dengan meningkatnya hubungan perdagangan dan investasi antara Taiwan dan Cina, salah satu wacana yang mengemuka adalah kemungkinan untuk menggunakan mata uang Yuan Cina sebagai cadangan devisa Taiwan. Diawali dari jalinan hubungan ekonomi yang baik, diharapkan ini akan menjadi langkah awal yang mengarah kepada bersatunya kedua Cina, yakni RRC dan Republik Cina (Taiwan). Hubungan yang saling menguntungkan antara kedua negara tersebut tentunya menjadi factor utama yang dapat membuat kedua pemerintah mengesampingkan konflik, dan memilih untuk berdamai. Akan tetapi, upaya Ma menjalin kerja sama dalam harmoni dengan China daratan membuat sebagian kecil warga Taiwan diliputi kecemasan. Yang ditakutkan, para pelaku ekonomi China akan kembali menguasai Taiwan lewat jalur ekonomi. Tetapi Ma menjamin dia tidak akan menggadaikan Taiwan. Ma hanya yakin jika China dan Taiwan bisa bermitra secara sejajar, otomatis martabat Taiwan akan terangkat dengan sendirinya di mata dunia internasional. Akhirnya dapat dikatakan bahwa, Ma menginginkan normalisasi hubungan ekonomi dan budaya antara China dan Taiwan yang dianggap sebagai solusi paling masuk akal dan samasama menguntungkan.

Dengan menganalisa pembahasan di atas dapat ditarik benang merah pasang surut konflik Cina-Taiwan sebagai berikut: 1949- Kubu komunis yang dipimpin oleh Mao Zedong mengalahkan kubu nasionalis yang dipimpin Chiang Kai-Shek, jutaan pengikut mengikuti Chiang ke Taiwan dan mendirikan pemerintahan sendiri. 1954- Amerika Serikat menandatangani perjanjian pertahanan bersama dengan Taiwan. 1958- Cina menyerang pulau Quemoy, sebuah basis lebih dari 100.000 pasukan nasionalis di Selat Taiwan, Amerika Serikat mengerahkan tujuh armada, Cina mundur. 1971-Taiwan dikeluarkan keanggotaannya dari PBB dan diambil alih Cina, disusul kunjungan rahasia Sekretaris Negara AS, Henry Kissinger ke Beijing. 1972-Presiden AS Richard Nixon mengujungi Cina, membuka lembaran baru hubungan diplomatik dengan Cina dan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Taiwan. 1979-Amerika Serikat secara formal memutus hubungan diplomatik dengan Taiwan dan mendukung kebijakan Beijing One China. 1987- Taiwan menguak Undang-Undang Perang setelah 38 tahun dan mengizinkan warganya mengunjungi kerabat ke Cina untuk pertama kalinya. 1988- Lee Teng-Hui menjadi orang Taiwan asli pertama yang menduduki tampuk kepresidenan Taiwan dan reformasi demokratis dimulai. 1989- Cina takut akan Taiwan karena partai pro-kemerdekaan berjaya, Democratic Progressive Party (DPP) baik dalam pemilu lokal dan parlemen. 1993- Pertemuan tingkat tinggi pertama antar Cina dan Taiwan digelar di Singapura 1995- Kunjungan Presiden Lee ke Amerika Serikat mempercepat Cina untuk menunjukkan tes misil dan latihan militer di Selat Taiwan beberapa saat sebelum pilihan presiden pertama Taiwan digelar melalui hak pilih bersama, Lee menang. 1999- Lee marah kepada Beijing dengan mengatakan bahwa Cina dan Taiwan menikmati "special state-to-state relationship," dengan kata lain menegaskan bahwa Taiwan adalah negara-bangsa yang berdaulat. 2000- Calon presiden Chen-Shui Bian (orang asli Taiwan), terpilih menjadi presiden, mengakhiri kekuasaan Kuomintang yang lebih dari 50 tahun. 2001- Taiwan melonggarkan larangan perusahan-perusahannya berinvestasi di Cina. Dua jurnalis Cina Xinhua News Agency menjadi wartawan Cina pertama yang mengunjungi Taiwan di bawah kebijakan Taiwan, Open Door. 2002- Presiden Chen menjelaskan bahwa status quo sebagai sebuah negara di Selat Taiwan, menyebabkan kritikan tajam dari Beijing dan lawan-lawan politiknya di dalam negeri. 2003- Maskapai penerbangan Taiwan pertama mendarat di Cina sejak 1949. Sementara itu Chen, mengumumkan rencana untuk referendum pada hari pemilihan umum, 20 Maret 2004, bertanya kepada para rakyatnya apakah Taiwan harus menambah anggaran militernya atau melakukan dialog intensif dengan Beijing.

2005- Maskapai penerbangan Cina dan Taiwan terbang non-stop diantara ke dua negara pada Tahun Baru Cina. 2008- Presiden Cina Hu Jintao mengirimkan telegram atas terpilihnya Ma Ying-jeou sebagai Presiden Taiwan, lebih dari 350.000 perjalanan turis dari Cina ke Taiwan.

KESIMPULANKonflik Cina-Taiwan atau lebih populer disebut Konflik Selat Taiwan sejatinya bermuara pada perdebatan soal unifikasi versus kemerdekaan yang berjalan terus seiring tumbuhnya nasionalisme orang Taiwan sebagai Taiwanese, bukan Chinese. Hal ini mengakibatkan pergeseran cara pandang konflik Cina-Taiwan yang tidak lagi ideologi tetapi menjadi persaingan antarnasionalisme. Tidak mengherankan karenanya jika kemudian ketegangan lintas-selat menjadi lebih sering dan konflik bersenjata semakin besar peluangnya untuk terjadi. Beijing tetap bersikukuh menghendaki semua upaya penyelesaian damai masalah Taiwan harus didahului dengan penerimaan Taipei akan prasyarat One China. Namun kebijakan ini belum mendapatkan hasil yang menggembirakan karena baik Cina maupun Taiwan bersikukuh pada posisi masing-masing. Secara substantif, Taiwan menghendaki agar proses demokrasi, posisi otonom yang dipunyai, serta perdagangan dan investasi yang terus meningkat dengan Cina tetap terpelihara. Di sisi lain, Cina menghendaki prinsip One China untuk menjamin situasi internasional guna menjaga laju pertumbuhan ekonomi. Pengaruh Amerika Serikat tidak dapat dilepaskan sejak pasca Perang Dunia II dan meningkat pasca Perang Dingin hingga sekarang. Hal ini tidak lain adalah kepentingan politik untuk menyebarkan demokrasi liberal. Dalam perkembangannya, hubungan Washington dengan Beijing dan Taipei mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan yang digulirkan keduanya. Washington memang telah mendukung kebijakan One China namun penjualan senjata ke Taiwan menimbulkan standar ganda. Dalam sudut pandang pemerintah Taiwan, masa pemerintahan Chiang Kai-Shek, Lee Teng-Hui dan Chen Shui-Bian cenderung masih kaku dalam mempertahankan kebijakan politik dengan Cina, namun sejak presiden Ma Ying Jeou yang terpilih pada tahun 2008, hubungan TaipeiBeijing sedikit demi sedikit mengalami kemajuan terutama dalam ranah perekonomian dan dialog perdamaian. Akhirnya, dinamika konflik Cina-Taiwan akan terus bergulir selama kedua pihak belum menyepakati perjanjian yang menguntungkan dalam negerinya masing-masing. Hal ini sejalan dengan kebijakan Beijing yang menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsi di bawah kekuasaannya sementara Taiwan menganggap dirinya sudah menjadi negara merdeka dan berdaulat secara de facto dan de jure