Tugas Kepemimpinan AH Nasution

download Tugas Kepemimpinan AH Nasution

of 21

Transcript of Tugas Kepemimpinan AH Nasution

BAB I PENDAHULUAN

Sejarah peradaban dan perkembangan manusia dari dahulu kala hingga saat ini, telah melalui proses yang sangat panjang. Sejak dahulu, kelompok-kelompok manusia mempertahankan eksistensinya di wilayah dan daerahnya masing-masing dari gangguan kelompok-kelompok

manusia lainnya. Peperangan dan pertempuran tidak jarang dijadikan alat untuk mempertahankan eksistensinya. Negosiasi dan diplomasi antar kelompok manusia juga dijadikan alat untuk mempertahankan

kelangsungan hidup kelompoknya. Dalam mempertahankan kelangsungan kelompoknya tidak terlepas dari pengaruh pemimpin-pemimpin dalam kelompok-kelompok manusia tersebut. Kepiawaian seorang pemimpin dalam memimpin suatu kelompok merupakan kemenangan strategis bagi kelompok tersebut. Alexander the Great yang hampir tidak pernah kalah dalam setiap pertempuran dengan kepiawaiannya dapat menaklukkan Negeri Persia. Genghis khan atau Temujin dengan keahliannya dalam memimpin berhasil menyatukan bangsa Mongolia, mendirikan kekaisaran Mongolia hingga berhasil menguasai hampir seluruh daratan Asia dan melakukan invasi besar-besaran ke wilayah Timur Tengah pada masanya. Solahuddin AlAyyubi atau Si Singa Padang Pasir terkenal karena keshalihannya dan kebijaksanaannya baik kepada kawan maupun lawan-lawannya yang tercatat di kancah perang salib. Sultan Mehmet II (Muhammad Al-Fatih sang penakluk Konstantinopel) dengan kecerdikannya berhasil untuk

memindahkan 70-an kapal-kapalnya

hanya dalam semalam

memasuki sebuah selat yang dimana benteng Kota Konstantinopel lemah

disana hingga ia berhasil menaklukkan Kota Konstantinopel dan dengan kebijaksanaannya tidak membunuh satupun dari tawanan perangnya. Kebesaran bangsa-bangsa dan kemajuan peradaban bangsa-bangsa terdahulu sangat erat kaitannya dengan kepiwaian para pemimpinpemimpin tersebut pada masanya. Walaupun perang pada masa dahulu berbeda dengan perang-perang pada era saat ini yang mungkin lebih mengandalkan strategi, hingga muncul istilah perang pikiran yang tidak lagi mengandalkan otot melainkan otak yang tidak dapat dibatasi dari segala arah dan segala bentuk. Tetap saja kepiawaian dan kebijaksanaan para pemimpin menjadi modal utama untuk meraih kemenangan suatu bangsa disetiap peperangan. Sehingga tidak jarang kepemimpinan seorang pemimpin dijadikan tolak ukur dalam kemajuan peradaban suatu kelompok dan dijadikan contoh oleh pemimpinpemimpin berikutnya baik dalam berprilaku maupun dalam mengambil tindakan. Kepemimpinan menurut para ahli merupakan suatu proses

mempengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya dengan tujuan dan maksud tertentu. Seorang pemimpin biasanya dijadikan panutan dan contoh bagi kelompoknya. Untuk itu, para pemimpin haruslah berbuat baik dan sehingga dijadikan kelompok atau pengikutnya memperoleh atau berkelakuan yang baik pula. Seorang ayah misalnya, merupakan pemimpin di dalam keluarganya haruslah

berkelakuan baik yang daoat dijadikan contoh baik pula bagi anaknya. Sehingga anaknya kelak menjadi seorang pemimpin yang baik pula bagi keluarganya. Dengan demikian, tujuan dari seorang pemimpin dapat tercapai. Adapun beberapa lagi contoh pemimpin yang pernah

menggetarkan dunia antara lain, Nabi Muhammad SAW, Napoleon

Bonaparte, Adolf Hitler, Mao Tse Tung, Josef Stalin dan lain-lain. Di Indonesia, Soekarno, Bung Hatta, Jenderal Soedirman hingga Abdul Harris Nasution merupakan beberapa tokoh pemimpin yang fenomenal dimasanya. Dalam panggung perjuangan kemerdekaan Negara Kesatuan

Republik Indonesia (NKRI), bangsa Indonesia dipimpin oleh pemimpinpemimpin yang rela berkorban, pantang menyerah dan piawai dalam menggerakkan massa. Kepiawaian para pemimpin Indonesia pada waktu itu terbukti dengan menjadikan Indonesia sebagai Negara Macan Asia. Sehingga Indonesia menjadi salah satu negara yang di takuti di Asia bahkan di dunia. Perebutan kembali irian barat dengan maklumat trikora dari bung karno merupakan salah satu bentuk ketangguhan pemimpin Indonesia pada masanya. Sehingga menjadikan Negeri Belanda tidak dapat menjajah Nusantara lagi. Peran militer yang dominan dalam mempertahankan kemerdekaan Indoensia tidak terlepas dari pengaruh kuat seorang Kepala Staf TNI AD pada waktu itu, yakni Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Jenderal Besar A.H. Nasution adalah seorang pejuang yang idealis, taat beribadah dan mampu memimpin TNI AD dengan baik sehingga TNI tetap mampu

mengawal perjalanan kemerdekaan Republik Indonesia. Jenderal besar yang tidak pernah tertarik dengan kehidupan duniawi dan materil semata pernah diuji kesabaran dan kebijaksanaannya. Jenderal Nasution yang pernah menjadi musuh Orde Lama dan Orde Baru ini pernah kesulitan air pada saat ia telah pensiun dari militer beberapa orang tidak dikenal merusak aliran air kerumahnya. Begitu juga sepeninggal putri beliau yang menjadi korban dalam keganasan G30 S/PKI, namun karena kebijaknsanaan dan kesabaran beliau tetap ikhlas

menerimanya dan menganggap sebagai ujian dari Allah SWT. Salah satu dari 3 Jenderal besar yang ada di Indoensia ini yang disegani oleh kawan maupun lawannya dan penggagas taktik perang gerilya yang menjadi panduan dasar akademi militer di beberapa Negara di dunia membuat penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang kepemimpinan Jenderal Besar A.H. Nasution pada era mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

BAB II FAKTA DAN DATA A. Leader Jenderal Bintang Lima (Purn.), Dr. Abdul Haris Nasution lahir pada tanggal 3 Desember 1918 di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Jenderal yang biasanya disapa Pak Nas ini merupakan buah hati dari H. A. Halim Nasution dan H. Zaharah Lubis. Jenderal Besar ini memiliki seorang istri bernama Johana Sunarti Nasution. Mereka menikah pada tanggal 30 Mei 1947 di Ciwidey, Jawa Barat. Dari hasil pernikahan tersebut, mereka dikarunai dua orang anak, yaitu Hendriyanti Sahara dan Ade Irma Suryani yang gugur pada usia lima tahun saat peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G 30 S/PKI pada tahun 1965. Beliau adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putri beserta ajudannya, Lettu Pierre Tendean. Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang taat beribadah. Ia tidak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi. Riwayat pendidikan beliau antara lain: 1) HIS, Yogyakarta (1932); 2) Sekolah Guru (HIK), Yogyakarta (1935); 3) Sekolah Menengah Atas (AMS Bagian B), Jakarta (1938); 4) Akademi Militer (KMA), Bandung (1942); 5) Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962); 6) Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962); 8) Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962); dan 9) Universitas Mindanao, Filipina (1971). Selanjutnya, Pria yang biasa disapa dengan Pak Nas ini, juga memiliki sederet karir yang sungguh tidak mudah

untuk dicapai, antara lain: 1) Guru di Bengkulu (1938); 2) Guru di Palembang (1939-1940); 3) Pegawai Kotapraja Bandung (1940-1942); 4) Dan Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946); 5) Dan Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948); 6) Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948); 7) Panglima Komando Jawa (1948-1949); 8) KSAD (1949-1952); 9) KSAD (1955-1962); 10) Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959); 11) Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (19591966); 12) Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963); 13) Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965); dan 14) Ketua MPRS (1966-1972).1 Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat. Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut mendaftar. Beliau kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA1

http://kolom-biografi.blogspot.com/2010/02/biografi-jendral-ah-nasution.html

mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Beliau juga ikut bekerja sebagai pegawai Kotapraja Bandung, Pemimpin Barisan Pemuda, dan Wakil Komandan Batalion Barisan Pelopor. Pak Nas juga ikut memimpin gerakan rahasia pemuda/pelajar/mahasiswa yang antitentara pendudukan. Pada 1944, berhenti dari pekerjaan tersebut dan mondar-mandir antara JakartaBandung-Semarang-Yogyakarta-Surakarta-Surabaya dalam rangka gerakan tersebut.2 Pada Maret 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.3 Akibat pertentangan internal di dalam Angkatan Darat maka ia menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng. Setelah islah akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia. pada 1958, diangkat letnan jenderal dan pada 1959 menjabat sejumlah kedudukan strategis seperti menjadi Menteri Keamanan Nasional, Ketua Panitia Penyusun Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara, Anggota Paniti Perumus Dekrit kembali ke UUD 1945, Anggota Majelis Pemusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) merangkap Jabatan Kepala2 3

Bisikan Nurani Sang Jenderal. A.H. Nasution. 1997. Halaman 370. http://id.wikipedia.org/wiki/Abdul_Haris_Nasution

Staf Angkatan Darat, Deputi

II Penguasa Perang Tertinggi, dan

sebagainya. Tahun 1960, diangkat menjadi jenderal. Sejak 1972, Nasution pensiun dan berhenti dari semua tugas resmi RI dan ABRI. Namun, ia tak pernah melewatkan perkembangan kehidupan politik di tanah air. Berbagai julukan telah diberikan oleh orang-orang yang mengagumi komitmen dan sosok Pak Nas. Ia disebut sebagai Bapak Angkatan Darat, Bapak Dwifungsi ABRI, Sesepuh ABRI, bahkan ia juga disebut Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai, dan ia pun sempat dicap dissident: Kelompok yang berseberangan atau Orang di Luar Pagar pemerintah. Bahkan Nasution sendiri menyebut dirinya Orang Pinggiran. Maksudnya, orang yang sudah jauh dari hiruk pikuk kekuasaan. Namun, sebagai pejuang, andil Nasution tidaklah kecil. Misalnya, menciptakan sejumlah karya yang tidak hanya berguna bagi dunia kemiliteran atau keprajuritan, tapi juga bermanfaat bagi generasi muda yang ingin mengetahui perjalanan sejarah bangsanya dari salah seorang saksi sejarah dan sesepuh ABRI yang berhasil terlepas dari pembunuhan berdarah pada Peristiwa G-30S/PKI, September 1965. Peristiwa yang kemudian telah menorehkan lembaran kelam dalam sejarah bangsa kita. B. Follower Dari beberapa jenjang karir yang telah digelutinya, salah satunya menjabat sebagai Ketua Umum MPRS. Pak Nas memiliki seorang bawahan yang begitu mengagumi karya beliau. Dia adalah Brigjen TNI (Purn.) Mohamad Abdulkadir Besar, S.H., 65 tahun, saat itu menjabat sebagai Sekretaris Umum MPRS (1967-1972), pernah menjadi dosen Fakultas Pasca Sarjana UI, mantan Asisten Menko Polkam Bidang Politik Dalam Negeri (1978-1987). Ketika menjabat sebagai Sekretaris Umum, ia

melihat cara kerja Pak Nas yang sistematis dan sesuai dengan kebutuhan politik saat itu. Misalnya, Pak Nas sudah memperhitungkan bahwa Surat Perintah 11 Maret harus masuk dalam TAP agar tidak bisa dicabut. Artinya, mengukuhkan Supersemar menjadi Ketetapan MPRS. Termasuk rincian tugas-tugas MPRS sesuai UUD 1945. Ia pernah kelupaan mendudukan lembaga-lembaga negara sesuai fungsi dan posisinya UUD 1945. Apabila terlambat dikukuhkan pada waktu itu, maka Soekarno bisa mencabut Supersemar itu. Dan ini sudah diperhitungkan Pak Nas. Sebenarnya, dia menjadi staf Pak Nas pada 1963. Yang dia alami, kalau briefing, hanya ditulis dalam sebuah notes kecil, tapi sangat rinci dan sistematis untuk satu tahun, dan juga sudah jelas bagaimana operasinya dan evaluasinya nanti, jika tidak ada lagi briefing-briefing. Makanya wajar kalau Pak Nas sering disebut konseptor dan ahli strategi. Menurutnya, Pak Nas itu imannya sangat kuat. Dalam keadaan apapun, sakit, perang, ia tetap menjalankan kewajiban sebagai seorang yang beriman. Dalam mengambli keputusan, Pak Nas pernah bilang padanya, tanya dulu pada diri sendiri, apakah punya kepentingan pribadi dengan keputusan itu atau tidak. Kalau ada, jangan diambil. Lalu dikerjakan apabila memang berkenan bagi Yang Maha Kuasa. Sehingga, apa yang diputuskan tidak akan bertentangan dengan ajaran Tuhan. Syarat lainnya, jangan pikir dulu dukungan karena dukungan itu bersifat temporer. Pimpinan yang besar sekalipun akan jatuh apabila tidak mempunyai dukungan yang kuat.4 C. Context

4

Bisikan Nurani Sang Jenderal. A.H. Nasution. 1997. Halaman 387-388.

Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Nasution sebagai seorang kolonel dengan satu setengah bulan menjabat Kepala Staf Komandemen Jawa Barat, kemudian menjadi Panglima Divisi II TKR (Priangan). Tahun berikutnya, beliau menjadi mayor jenderal dengan menjabat Panglima Divisi I Siliwangi, Jawa Barat. Namun, dengan sukarela diturunkan pangkat satu tingkat kembali menjadi kolonel dikarenakan jabatan trsebut dihapuskan. Namun, pada tahun 1948, beliau diangkat kembali menjadi mayor jenderal dan menjabat Wakil Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Kemudian kolonel (penurunan pangkat-pangkat setingkat dalam TNI). KSO (Kepala Staf Operasi) MBAP/Anggota Dewan Siasat Militer, dan mewakili tugas sehari-hari dari Panglima Besar karena beliau dalam keadaan sakit (setelah terjadi peristiwa PKI). Kemudian beliau juga menjadi Panglima Komando Jawa selama perang gerilya kedua. Kemudian, Pak Nas juga menjadi Kepala Staf Angkatan Darat RIS. Tahun 1952, berhenti sebagai KSAD setelah peristiwa pengepungan Istana Merdeka oleh tentara pada 17 Oktober 1952 dan ditawari sebagai pegawai tinggi atau masuk dinas luar negeri, namun beliau tetap tidak bersedia. Selain itu, beliau juga menulis buku-buku militer antara lain, Pokok-pokok Gerilya, SPK, dan TNI I, II, III. Tiga tahun kemudian, Nasution terpilih sebagai angggota Konstituante dan ditawari sebagai Menteri Negara, namun tidaka bersedia. Beliau juga diangkat oleh Presiden Soekarno dan karena permintaan perwira-perwira AD saat itu untuk kembali menjadi KSAD dengan menyandang pangkat mayor jenderal, sekaligus ketua GKS (Gabungan Kepala-kepala Staf). Pada tahun 1958, Pak Nas diangkat menjadi Letnan Jenderal dan menjabat sebagai Anggota Dewan Nasional yang mengusulkan dengan

tertulis agar kembali ke UUD 1945. Tahun 1959, beliau menjabat sebagai Menteri Keamanan Nasional/Menko Hankam/KSAD yang berkunjung ke Mesir dalam upaya agar Kanal Suez ditutup bila pecah perang, lalu beliau ke Pakistan/India dan meminta boikot pesawat Belanda. Satu tahun kemudian, Pak Nas diangkat menjadi Jenderal dengan jabatan anggota MPRS. Pada 1962, beliau menjadi Wakil Panglima Besar Pembebasan Irian Barat yang akhirnya berhenti sebagai KSAD. Namun, beliau dipercayakan menjadi KASAB, disamping tetap menjadi Menteri Koordinator Hankam. Tugas beliau yang terbatas kepada koordinasi administrasi, berhubung komando ABRI beralih ke tangan

Presiden/Pangti/Pangsar KOTI, yang dengan dibantu staf KOTI langsung membawakan menteri panglima-panglima angkatan. Selanjutnya, beliau diberhentikan sebagai Wakil Panglima Besar Pembebasan Irian Barat, karena jabatan tersebut dihapus. Pada tahun 1965, sementara diangkat menjadi Wakil Pangima Besar, setelah terjadi G-30-S/PKI, kemudian jabatan itu dihapuskan lagi. Tahun berikutnya, pada bulan Februari, setelah TRITUTA (aksi KAMI), beliau diberhentikan sebagai Menko Hankam/KASAB (Jabatan-jabatan tersebut dihapuskan oleh presiden). Kemudian, setelah SUPERSEMAR dan diadakan pembaruan kabinet, beliau diangkat kembali untuk sementara menjadi Wakil Panglima Besar Komando Ganjang Malaysia (KOGAM). Selain itu, beliau juga dipilih oleh Sidang Umum IV MPRS sebagai Ketua Umum MPRS. Beliau juga menjabat sebagai Anggota Dewan Kehormatan

Republik Indonesia. Kemudian, pada tahun 1972, beliau dipensiunkan dan juga berhenti dari semua tugas.5 Seperti yang sudah diketahui, Nasution adalah salah seorang tokoh yang ikut menandatangani surat Pernyataan Keprihatinan pada 13 Mei 1980. Surat yang kemudian dikenal dengan Petisi 50 itu berisi tanggapan kritis terhadap pidato tanpa teks Presiden Soeharto dalam Rapim ABRI di Pekanbaru (27 Maret 1980) dan pada HUT Kopassandha (sekarang Kopassus) di Cijantung, Jakarta (16 April 1980).6 Dari akhir kedudukan beliau terhadap semua tugas dan fungsinya, cukup banyak menuai kontroversi. Hal tersebut dikarenakan adanya beberapa pihak yang tidak menyukai keeksisan beliau dalam banyak hal dan juga pendiriannya yang tegas dalam mengambil keputusan. Setelah beberapa tahun kemudian, empat orang jenderal (Menko Polkam Soesilo Soedarman, Menhankam Edi Sudradjat, Pangab Feisal Tanjung, dan Wakasad Soerjadi) menjenguk beliau yang sedang terbaring di Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta. Jenderal tua itu tetap tampak berwibawa. Kendati sakit-sakitan, ketika menerima kunjungan empat jenderal

penerusnya. Ini memang peristiwa langka. Untuk pertama kalinya, selama 13 tahun terakhir setelah pensiun, Nasution dikunjungi empat pejabat penting ABRI. Sebenarnya ada yang menarik dari kunjungan tersebut yang dilakukan selang dua hari setelah Kapuspen ABRI Brigjen Syarwan Hamid menegaskan bahwa Nasution secara formal tak5 6

pernah dicekal.

Bisikan Nurani Sang Jenderal. A.H. Nasution. 1997. Halaman 370-372. Bisikan Nurani Sang Jenderal. A.H. Nasution. 1997. Halaman 14.

Sementara itu, menurut Nasution, sudah sejak 1971 dirinya mengalami pencekalan antara lain: 1) tidak diperbolehkan mengikuti acara

kekeluargaan tertentu; 2) dilarang menyampaikan khotbah di Masjid Cut Meutia; dan 3) tidak diperkenankan mengikuti seminar di Malaysia (1986).7 Menurut pengakuan beliau, ia sudah merasa dicekal sejak 1971, ketika masih menjabat sebagai Ketua Umum MPRS. Sedang Petisi 50 baru go public pada 1980. Pada 1983 dan 1986, Pak Nas sempat pergi ke AS untuk menjalani operasi akibat pembengkakan jantung di RS Raven Woods selama hampir dua bulan. Tetapi, pada 1989 beliau dicekal ketika mendapat undangan dari Menteri Kebudayaan Malaysia untuk menghadiri seminar di Kuala Lumpur. Pak Nas menyatakan pencekalan tersebut diperintahkan oleh Menhankam Jenderal Benny Moerdani.8 D. Leadership Process Pak Nas dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya anggota pergerakan Sarekat Islam di kampung halaman mereka di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini melahap buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan Belanda dan Prancis. Selepas AMS-B (SMA Paspal) 1938, Pak Nas sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Tetapi kemudian ia tertarik masuk Akademi Militer, terhenti karena invasi Jepang, 1942. Sebagai taruna, ia menarik pelajaran berharga dari kekalahan Tentara Kerajaan Belanda yang cukup

7 8

Bisikan Nurani Sang Jenderal. A.H. Nasution. 1997. Halaman 25-26. Bisikan Nurani Sang Jenderal. A.H. Nasution. 1997. Halaman 21-22.

memalukan. Di situlah muncul keyakinannya bahwa tentara yang tidak mendapat dukungan rakyat pasti kalah. Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas menarik pelajaran kedua. Rakyat mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949). Pak Nas muda jatuh cinta pada Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Pak Nas gemar bermain tenis. Pasangan itu berkenalan dan jatuh cinta di lapangan tenis (Bandung) sebelum menjalin ikatan pernikahan. Pasangan ini dikaruniai dua putri (seorang terbunuh). Pengagum Bung Karno di masa muda, setelah masuk di jajaran TNI, Pak Nas acapkali akur dan tidak akur dengan presiden pertama itu. Pak Nas menganggap Bung Karno campur tangan dan memihak ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952. Ia berada di balik Peristiwa 17 Oktober, yang menuntut pembubaran DPRS dan

pembentukan DPR baru. Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD. Bung Karno akur lagi dengan Pak Nas, lantas mengangkatnya kembali sebagai KSAD tahun 1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang memberi angin kepada PKI.

Namun, dalam situasi seperti itu Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah dan hati nuraninya. Bung Karno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. Gaya hidup bersahaja dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai akhir hayatnya, 6 September 2000. Ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan

idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi. Namun Tuhan memberkatinya umur panjang, 82 tahun. Beliau dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya melawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS). Dan, Pak Nas tak pernah mengelak sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi. Soalnya, praktik Dwi Fungsi ABRI menyimpang jauh dari konsep dasar. Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, seperti

Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid). Baginya, proses untuk menjadi seorang pemimpin sungguh sangat berat, tapi disitulah kenikmatan yang dituainya bagi anak cucunya. Hingga sekarang orang-orang mengenal Pak Nas sebagai sosok pemimpin yang berwibawa dan bersahaja. Karyanya bagi Indonesia akan selalu menjadi panutan bagi generasi yang tau dan mau menyadari betapa pentingnya seorang pemimpin seperti Jenderal Nasution. E. Outcome Berbagai asam dan garam yang telah dicicipi beliau dalam menempuh jenjang karirnya di Indonesia, tidak menjadikan semangat Pak Nas hilang begitu saja. Beliau tetap ingin menunjukkan eksistensinya yang terbaik agar dijadikan panutan bagi anak bangsa yang mempelajari sejarah dan motivasinya. Beliau tidak pernah pantang menyerah dalam

mewujudkan sesuatu yang diinginkannya. Hal tersebutlah yang menunjukkan sosok Jenderal Besar ini sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab, profesional, idealis, perfeksionis, tapi tetap bersahaja dalam kesederhanaannya. Harapan beliau tentunya dapat membawa generasi-generasi penerus menjadi sosok pemimpin yang berwibawa dan pantang menyerah dalam menghadapi setiap persoalan. Beliau ingin selalu menjadi inspirator bagi calon-calon pemimpin negara ini, sehingga dapat membangun negara yang lebih harmonis dan memberi kenyamanan bagi segenap bangsa dan menjadikan Indonesia masih tetap eksis di kancah Internasional hingga saat ini.

BAB III ANALISA Jenderal Besar Abdul Harris Nasution memiliki jiwa kepemimpinan yang sangat menonjol. Berbagai posisi strategis yang pernah dicapai mengindikasikan kepiawaian Pak Nas dalam memimpin. Tidak hanya itu, Pak Nas juga tidak jarang ditunjuk oleh rekan-rekannya di militer untuk memimpin berbagai kegiatan dan organisasi militer. Adapun beberapa tampuk kepemimpinan yang pernah diduduki di militer yang menjadikannya Jenderal yang disegani antara lain, Divisi III TKR/TRI, Bandung (19451946); Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948); Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948); Panglima Komando Jawa (1948-1949); KSAD (1949-1952); KSAD (1955-1962); Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959); Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966); Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (19621963); Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1965); dan Ketua MPRS (1966-1972). Kepemimpinannya yang fenomenal dan disegani baik lawan maupun kawan membuatnya menjadi target pertama dan utama dalam upaya pembunuhan para jenderal yang dilakukan para pemberontak G30S/PKI. Dari hanya seorang guru hingga wakil panglima besar komando tertinggi dan bahkan menjadi ketua MPRS yang memberhentikan mantan Presiden Soekarno dari jabatannya sangat memperlihatkan keahliannya dalam memimpin. Jenderal Nasution atau biasa disebut Pak Nas, juga merupakan sosok pemimpin yang berambisi tinggi dan tekad yang kuat. Hal tersebut

terlihat dari riwayat pendidikan beliau yang tidak rendah dan terkesan terus berusaha untuk menjadi yang terbaik. Berawal dari seorang guru yang taat beribadah membuat jenderal dua anak ini tidak berhenti untuk terus berpartisipasi di dunia pendidikan. Setelah menjadi anggota militer Pak Nas terus melanjutkan kuliahnya hingga ia memperoleh gelar Doktor. Ilmu yang tidak mengenal batas membuat Pak Nas pernah menuntut ilmu hingga ke Mindanao, Filipina. Pria yang biasa disapa dengan Pak Nas ini, juga memiliki sederet karir yang sungguh tidak mudah untuk dicapai. Ambisi yang tinggi dan tekad yang kuat membuat seorang guru biasa mampu menjadi seorang tokoh militer yang piawai dan handal. Ketegasan dalam mengambil setiap keputusan dan tekad yang kuat untuk menjalankan setiap kebijakan membuat banyak lawannya iri kepada sang jenderal. Kecerdasan Pak Nas tidak dapat diragukan lagi. Orde Baru yang ikut didirikannya (hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer walaupun belakangan disalahgunakan yang mengakibatkan militer sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Fundamentals of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat. Setelah masa bakti militernya habis Pak Nas dengan

kecerdasannya yang mumpuni terus tetap bersumbangsih dalam dunia pendidikan dengan banyak mengarang buku-buku sejarah dan biografi. Ketaatan dalam beribadah membuat kerangka mentalitas yang kokoh didalam diri sang pejuang untuk tetap menjalankan tugas dengan baik,

ikhlas dan tanpa pamrih. Pengagum Nabi Muhammad SAW ini, di dalam berbagai buku dan literatur diterangkan bahwa sang jenderal tidak pernah sekalipun meninggalkan sholat 5 waktunya. Kepergian buah hatinya, Ade Irma Suryani Nasution yang ditembak mati oleh PKI pada pemberontakan G30S/PKI tidak membuat Pak Nas terlalu menyesalinya dan tetap ikhlas atas kepergian sang buah hati, sehingga menunjukkan kekuatan mentalitas yang tinggi dari seorang Pak Nas. Seorang mantan jenderal besar yang hanya ada 3 di Indonesia yang pernah kesulitan air di rumahnya dialah Pak Nas. Jenderal yang idealis ini tidak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi sehingga membuatnya banyak dikagumi berbagai kalangan dan patut dijadikan contoh sebagai seorang pemimpin. Sifat yang lebih temperamental dan bersikeras untuk tetap pada pendirian sering dijadikan kelemahan oleh lawannya. Pertentangan internal di dalam Angkatan Darat maka ia menggalang kekuatan dan melawan pemerintahan yang terkenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng. Walaupun demikian Pak Nas tetap sabar dalam menerima segala konsekuensi yang telah Pak Nas perbuat. Jenderal Besar Abdul Haris Nasution sebenarnya memiliki peluang yang besar untuk menjadi seorang Panglima ABRI pada masanya bahkan dapat menjadi seorang Presiden apabila supersemar ditujukan kepada Jenderal Nasution. Namun, hubungan yang tidak akur dengan Presiden akibat perbedaan pendapat dan prinsip antara Presiden Soekarno membuat Pak Nas tidak mampu menduduki posisi teratas di Indonesia,

bahkan Pak Nas dengan sengaja tidak diberikan posisi di militer dan ditawarkan untuk bekerja di luar negeri oleh Presiden Soekarno. PKI (Partai Komunis Indonesia) yang merupakan salah satu partai besar dan telah melebarkan sayap dimana-mana menilai bahwa kondisi Bung Karno tidak dapat lagi membaik, sehingga merasa telah cukup mapan dan mampu untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan di Indonesia. Akibatnya pada 30 September 1965 terjadilah pemberontakan dengan cara menculik para jenderal yang menjadi petinggi militer yang tidak ingin bergabung dengan PKI dan membunuhnya jenderal-jenderal tersebut. Pak Nas yang saat itu menjabat sebagai Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi dan sebagai menteri keamanan nasional dapat meloloskan diri dari maut. Hal ini merupakan ancaman yang nyata bagi musuh seorang idealis yang taat beribadah. Jenderal Besar Abdul Haris Nasution dengan berbagai kekuatan dan peluang yang dimilikinya telah mampu memberikan sumbangan yang besar dalam perjalanan panjang mempertahankan kemerdekaan

Indonesia. Walau dengan berbagai ancaman dari luar dan kelemahan yang jenderal besar miliki sosok Jenderal Besar Abdul Haris Nasution tetap salah satu tokoh yang dapat dijadikan contoh pemimpin yang pernah ada di Indonesia.

BAB IV KESIMPULAN Seabagai seorang Jenderal Besar, Abdul Harris Nasution merupakan jenderal yang idealis dan taat beibadat. Pak Nas memiliki banyak pengalaman perjuangan dan idealisme. Beliau adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putri beserta ajudannya, Lettu Pierre Tendean. Pak Nas merupakan tokoh yang lebih memilih untuk membela rakyat daripada membela penguasa negara. Walaupun Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik pemerintahan orba, tapi Pak Nas sendiri merupakan tombak lahirnya orba. Sebagai seorang Jenderal besar, sikap dan kepiawaian beliau dalam memimpin patut dijadikan contoh.