TUGAS KEBIJAKAN

5
Nama : Rahayu Eka Putri NPM : 170410120004 Kelas : B Implementating Public Policy Studi implementasi kebijakan dapat dibagi ke dalam tiga generasi yaitu: (1) the firts generation (generasi pertama) dengan model pendekatan top-down, (2) the second generation (generasi kedua) dengan model pendekatan bottom-up, dan (3) the thirtd generation (generasi ketiga) dengan model pendekatan yang mencoba menyatukan kedua model sebelumnya. Singkatnya ketiga generasi pada studi kebijakan tersebut didasarkan pada model pendekatan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. 1. Top-down Beberapa tokoh pendekatan top down adalah Presman & Wildavsky, Van Meter & Van horn, Bardach, Mazmanian dan Sabatier, Nakamura dan small wood Model ini di awali oleh asumsi dasar bahwa implementasi kebijakan dimulai dengan keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Jadi model ini memiliki arah kebijakan berupa arah yang sifatnya dari atas kemudian diturunkan ke bwah yang selanjutnya dilaksanakan ditingkat bawah. Meskipun Sabatier dan Mazmanian mengakui bahwa kontrol hirarkis yang sempurna atas proses pelaksanaan sulit dicapai dalam praktek dan kondisi yang tidak menguntungkan dapat menyebabkan kegagalan implementasi, mereka berpendapat bahwa para pembuat kebijakan dapat memastikan pelaksanaan yang efektif melalui memadai rancangan program dan strukturasi pintar dari proses implementasi 2. Bottom-up Model ini muncul sebagai bentuk ktitik atas model top down. Dengan tokoh model ini adalah Lipsky dan Elmore, Hjern, Porter dan Hull. Model ini didasarkan bahwa implementasi dimulai dari "bawah" dengan mengidentifikasi jaringan pelaku yang terlibat dalam pengiriman kebijakan yang sebenarnya. Implementasi terdiri dari strategi pemecahan masalah sehari- hari dari birokrat level bawah (birokrat lokal) yang dipandang lebih dekat ke masalah nyata daripada pembuat

description

ilmu pemerintahan

Transcript of TUGAS KEBIJAKAN

Page 1: TUGAS KEBIJAKAN

Nama : Rahayu Eka Putri

NPM : 170410120004

Kelas : B

Implementating Public Policy

Studi implementasi kebijakan dapat dibagi ke dalam tiga generasi yaitu: (1) the firts generation (generasi pertama) dengan model pendekatan top-down, (2) the second generation (generasi kedua) dengan model pendekatan bottom-up, dan (3) the thirtd generation (generasi ketiga) dengan model pendekatan yang mencoba menyatukan kedua model sebelumnya. Singkatnya ketiga generasi pada studi kebijakan tersebut didasarkan pada model pendekatan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.

1. Top-downBeberapa tokoh pendekatan top down adalah Presman & Wildavsky, Van Meter & Van horn, Bardach, Mazmanian dan Sabatier, Nakamura dan small wood Model ini di awali oleh asumsi dasar bahwa implementasi kebijakan dimulai dengan keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Jadi model ini memiliki arah kebijakan berupa arah yang sifatnya dari atas kemudian diturunkan ke bwah yang selanjutnya dilaksanakan ditingkat bawah.Meskipun Sabatier dan Mazmanian mengakui bahwa kontrol hirarkis yang sempurna atas proses pelaksanaan sulit dicapai dalam praktek dan kondisi yang tidak menguntungkan dapat menyebabkan kegagalan implementasi, mereka berpendapat bahwa para pembuat kebijakan dapat memastikan pelaksanaan yang efektif melalui memadai rancangan program dan strukturasi pintar dari proses implementasi

2. Bottom-up Model ini muncul sebagai bentuk ktitik atas model top down. Dengan tokoh model ini adalah Lipsky dan Elmore, Hjern, Porter dan Hull. Model ini didasarkan bahwa implementasi dimulai dari "bawah" dengan mengidentifikasi jaringan pelaku yang terlibat dalam pengiriman kebijakan yang sebenarnya. Implementasi terdiri dari strategi pemecahan masalah sehari-hari dari birokrat level bawah (birokrat lokal) yang dipandang lebih dekat ke masalah nyata daripada pembuat kebijakan pusat. Lipsky menunjukkan bahwa street-level bureaucrat menciptakan praktik yang memungkinkan pekerja publik untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam pekerjaan sehari-hari para birokrat ini. menyarankan bahwa analisis harus dimulai dengan masalah kebijakan yang spesifik dan kemudian memeriksa tindakan lembaga lokal untuk memecahkan masalah. Pendekatan model ini menyoroti kegagalan top-down dan sebaliknya menyoroti bagaimana kekuatan peran birokrat di level yang berinteraksi langsung dengan masyarakat.

Perbandingan top-down dan bottom-up

Ada beberapa karakteristik top-down dan bottom-up teori yang menjelaskan jurang lebar yang memisahkan dua pemikiran dalam teori implementasi: ditandai dengan bersaing strategi penelitian, kontras tujuan analisis, menentang model proses kebijakan, pemahaman yang tidak konsisten dari proses implementasi, dan saling bertentangan model demokrasi.

Alur kerja top-down berupa panah dari atas ke bawah dimana keputusan kebijakan dicapai pada "top" (di tingkat atas) dari sistem politik dan bekerja dengan cara mereka "down" ke pelaksana. Sebaliknya bottom-up memiliki alur berupa panah dari bawah ke atas

Page 2: TUGAS KEBIJAKAN

dimana kebijakan dikirim dari tingkat bawah dari sistem politik-administratif kemudian analisis bergerak "ke atas". Perbedaan selanjutnya mengenai tujuan dari analisis kedua model, tujuan dari analisis top-down adalah untuk mencapai teori umum pelaksanaan sedangkan tujuan dari penelitian bottom-up, sebaliknya, untuk memberikan deskripsi empiris yang akurat dan penjelasan tentang interaksi dan strategi penyelesaian masalah dari aktor yang terlibat dalam pengiriman kebijakan. Kemudian dalam hal pandangan akan fase-fase suatu kebijakan dipandang berbeda oleh kedua model ini jika model top-down memandang pada bagian bagaimana implementasi dari suatu kebijakan sebaliknya model bottom-up memandang bahwa suatu kebijakan dianggap suatu kesatuan tahapan yang utuh dimana setiap tahap dalam kebijakan ikut diperhatikan mulai dari proses pembuatan hingga menjadi keluaran dan dilaksanakan. Pada model bottom-up kebijakan tidak begitu banyak ditentukan oleh undang-undang yang berasal dari pemerintah dan parlemen melainkan keputusan politik sebagian besar otonom para pelaku yang terlibat langsung dalam pemberian kebijakan hal ini berkebalikan dengan model top-down. Dan poin pembeda terakhir adalah masalah demokrasi. Pendekatan top-down berakar pada tradisional, konsepsi elitis demokrasi perwakilan. Dalam pandangan ini, wakil-wakil terpilih adalah satu-satunya aktor dalam masyarakat yang dilegitimasi untuk mengambil keputusan secara kolektif mengikat atas nama seluruh warga. Dengan demikian masalah yang tepat demokratis pemerintahan untuk memastikan bahwa keputusan ini dilakukan seakurat mungkin. Dengan kata lain, setiap penyimpangan dari tujuan kebijakan yang sentralis dipandang sebagai pelanggaran standar demokratis. Dengan demikian masing-masing model dengan ciri karakteristik masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dari model implementasi yang diterapkan oleh kedua pandangan tersebut.

3. Hybrid TheoriesModel ketiga ini merupakan penggabungan dari kedua model sebelumnya, konsepsi ini memiliki beberapa kemiripan dengan pendekatan bottom-up analisis dimulai dari masalah kebijakan dan hasil dalam merekonstruksi strategi aktor yang relevan untuk memecahkan masalah ini. Selain itu, menekankan peran pembelajaran kebijakan dan mengakui pentingnya kondisi sosial dan ekonomi asing yang dapat berdampak pada pembuatan kebijakan. Inti model ini telah membawa dua inovasi penting untuk teori implementasi. Pertama, mereka mencoba untuk mengatasi konseptual kelemahan dari perdebatan terpolarisasi antara bottom-up dan top-down ulama. Mengesampingkan aspek normatif dari kontroversi, mereka fokus hanya pada argumen empiris tentang tepat konseptualisasi proses pelaksanaan dan pragmatis dicampur argumen yang ekstrim dari kedua belah pihak menjadi model yang dianut baik kemudi pusat dan otonomi daerah. Kedua, beberapa para ahli teori hybrid menunjuk faktor penting yang sampai sekarang mendapat sedikit perhatian. Kemudian meningkatkan kesadaran bahwa pelaksanaan tidak dapat dianalisis tanpa melihat proses perumusan kebijakan.

New development dalam analisis implementasi

Uni Eropa memberikan contoh mengenai bagaimana implementasi dalam konteks internasional. Uni eropa yang semakin menyadari perbedaan kelembagaan dan budaya yang sistematis dalam gaya pelaksanaan khas negara-negara yang berbeda kemudian menyebabkan kebijakan Eropa didasarakan pada pertimbangan internasional bukan hanya pada pertimbangan politis domestis yang cenderung bersifat tradisional dan mencoba mempertahankan status quo. Disini adanya penggambaran akan jaring-jaring aktor yang

Page 3: TUGAS KEBIJAKAN

terlibat disamping politis-admnistratif. Karena dalam prakteknya implementasi kebijakan tidak hanya dipandang melalui pembatasan aktor yang hanya terkait dengan politik namun juga oleh faktor-faktor seperti jumlah pemain veto, ada atau tidak adanya konsensus budaya pengambilan keputusan yang berorientasi, atau dukungan atau perlawanan kelompok kepentingan yang dapat dijadikan pertimbangan lain. Menyadari akan hal ini Uni Eropa mencoba memperkaya studi dengan menggeser pandangan dari yang sifatnya nasional ke dalam pendekatan yang lebih luas, pendekatan yang jauh lebih komparatif. Akibatnya, perbandingan lintas negara telah sementara menjadi pendekatan metodologis standar mengembangankan dasar Uni Eropa.

Pendekatan interpretatif dalam implementasi kebijkan

Analisis interpretatif mempelajari definisi dari masalah atau, dengan kata lain, mengkaji "perjuangan untuk penentuan makna" daripada mengasumsikan bahwa pernyataan kebijakan yang murni rasional dan berorientasi pada tujuan. Hal ini menunjukkan bahwa pernyataan juga memiliki karakter ekspresif. Melalui mereka, pemerintahan yang dapat mengungkapkan identitas yang berbeda. Melalui interpretasi ini dpat mengkaji bagaimana aktor yang berbeda menafsirkan kebijakan ini dan kemudian melacak efek dari beberapa pemahaman tentang proses implementasi. Selanjutnya, analisis berfokus pada konteks di mana kebijakan ditransformasikan ke dalam praktek. Dalam pengertian ini, pemeriksaan makna-konteks khusus kebijakan mengungkapkan bagian penting dari proses implementasi.

Lalu seperti apa perkembangan implementasi kebijakan selamana ini? Sejauh ini, studi implementasi telah melewati angka 30 tahun dan selama kurun waktu tersebut telah menyumbang beberapa pelajaran dari studi yang dilaksanakan, pertama, melalui perdebatan model bottom-up dan top-down satu hal yang menjadi kesepakatan bahwa implementasi merupakan suatu rangkaian di tingkat pusat dan tingkat lokal, kedua, bootom-up mampu memberi pandangan bahwa implementasi lebih dari eksekusi teknis tatanan politik dari atas, ketiga implementasi dan perumusan kebijakan adalah proses yang sangat saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, keempat, dalam proses pelaksanaannya, perlu mempertimbangan aspek-aspek eksternal lainnya yang dapat mempengaruhi kebijakan, dan kelima, praktek di Uni eropa telah menunjukan bahwa negara-negara yang berbeda tampaknya memiliki berbeda gaya implementasi.

Jadi dengan demikian berbagai model implementasi kebijakan memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dengan karakteristik antara model yang berbeda. Sebagai upaya menjembatani perbedaan yang mencolok antara model awal yaitu top-down dan bottom-up muncul lah teori hybrid yang merupakan sintesis dari kedua model tersebut yang mencoba menyatukan kedua model implementasi kebijakan.