Tugas Hukum Penitensier

4
Tugas Hukum Penitensier Nama : Audy Livia Riswanto NIM : 2013-050-028 1. Apakah pemenjaraan berhasil dalam menekan residivisme di Belanda? Faktanya, pidana penjara ternyata tidak terlalu berhasil menekan residivisme. 70% dari mantan narapidana dalam periode enam tahun kembali bersentuhan dengan yustisi. Dengan bertitiktolak dari konsep institusi total dan keberlakuan teori kontrol yang menyatakan bahwa ada dan berkembangnya relasi-relasi (jejaring) sosial mencegah perilaku kriminal, dapat disimpulkan bahwa tingkat residivis tinggi di atas tidaklah mengejutkan. Kehidupan di penjara justru mempelemah ikatan dengan jejaring masyarakat dan tidak membuka kemungkinan untuk memperkuatnya. Kesimpulan umum demikian membenarkan pandangan bahwa pidana penjara dalam keseluruhannya tidak berhasil guna. Karena kalau berhasil seharusnya tingkat residivis jauh lebih rendah. Setelah perang dunia ke-2, perikehidupan masyarakat Belanda di tahun 50’an abad lalu dicirikan oleh optimisme dan idealisme. Ada kepercayaan besar bahwa masyarakat bisa direkayasa. Tahanan/narapidana selama di penjara harus dipersiapkan untuk masuk kembali ke dalam kehidupan normal dalam masyarakat. Mereka harus mampu hidup mandiri dalam masyarakat, tidak saja dengan tidak lagi bertindak kriminal, namun juga sebagai warga setara berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat. Mereka harus didorong untuk mengikuti pendidikan. Wajib kerja yang diterapkan di penjara ditujukan pada pemberian pendidikan lanjut dan membuat mereka terbiasa dengan kesibukan dan tanggung jawab dunia kerja. Penjara dimaksudkan untuk membantu mereka menanggulangi kekurangan- kekurangan mereka di bidang sosial maupun personal. Ternyata praktiknya jauh berbeda dan sangat mengecewakan. Pada tahun 1970-an abad lalu masyarakat dunia Barat tidak lagi percaya pada gagasan ideal re-sosialisasi dan ihtiar menekan angka residivis sampai nol. Angka residivis terlepas dari segala upaya yang telah dilakukan ternyata tetap tinggi. Namun dalam kenyataannya juga di Belanda, sejumlah intervensi masih dalam tahap perkembangan atau tahap uji-coba. Satu program yang kerap dipergunakan ialah kursus keterampilan kognitif (cursussen cognitieve vaardigheden-COVA-cursussen)

description

Residivisme

Transcript of Tugas Hukum Penitensier

Tugas Hukum PenitensierNama : Audy Livia RiswantoNIM: 2013-050-028

1. Apakah pemenjaraan berhasil dalam menekan residivisme di Belanda?Faktanya, pidana penjara ternyata tidak terlalu berhasil menekan residivisme. 70% dari mantan narapidana dalam periode enam tahun kembali bersentuhan dengan yustisi. Dengan bertitiktolak dari konsep institusi total dan keberlakuan teori kontrol yang menyatakan bahwa ada dan berkembangnya relasi-relasi (jejaring) sosial mencegah perilaku kriminal, dapat disimpulkan bahwa tingkat residivis tinggi di atas tidaklah mengejutkan. Kehidupan di penjara justru mempelemah ikatan dengan jejaring masyarakat dan tidak membuka kemungkinan untuk memperkuatnya. Kesimpulan umum demikian membenarkan pandangan bahwa pidana penjara dalam keseluruhannya tidak berhasil guna. Karena kalau berhasil seharusnya tingkat residivis jauh lebih rendah.Setelah perang dunia ke-2, perikehidupan masyarakat Belanda di tahun 50an abad lalu dicirikan oleh optimisme dan idealisme. Ada kepercayaan besar bahwa masyarakat bisa direkayasa. Tahanan/narapidana selama di penjara harus dipersiapkan untuk masuk kembali ke dalam kehidupan normal dalam masyarakat. Mereka harus mampu hidup mandiri dalam masyarakat, tidak saja dengan tidak lagi bertindak kriminal, namun juga sebagai warga setara berpartisipasi penuh dalam kehidupan masyarakat. Mereka harus didorong untuk mengikuti pendidikan. Wajib kerja yang diterapkan di penjara ditujukan pada pemberian pendidikan lanjut dan membuat mereka terbiasa dengan kesibukan dan tanggung jawab dunia kerja. Penjara dimaksudkan untuk membantu mereka menanggulangi kekurangan-kekurangan mereka di bidang sosial maupun personal.Ternyata praktiknya jauh berbeda dan sangat mengecewakan. Pada tahun 1970-an abad lalu masyarakat dunia Barat tidak lagi percaya pada gagasan ideal re-sosialisasi dan ihtiar menekan angka residivis sampai nol. Angka residivis terlepas dari segala upaya yang telah dilakukan ternyata tetap tinggi. Namun dalam kenyataannya juga di Belanda, sejumlah intervensi masih dalam tahap perkembangan atau tahap uji-coba. Satu program yang kerap dipergunakan ialah kursus keterampilan kognitif (cursussen cognitieve vaardigheden-COVA-cursussen) dan kursus keterampilan sosial (sociale vaardigheidscursussen-SOVA cursussen). Kursus yang disebut pertama ditujukan untuk membuat narapidana/tahanan mampu memperoleh pemahaman atas perilakunya sendiri (di mana letak salah dan mengapa saya cenderung berbuat salah?), sedangkan yang kedua memberikan keterampilan bergaul dengan orang-orang lain. Kursus-kursus tersebut bagi narapidana/tahanan sangat relevan, karena banyak dari mereka setelah bebas dari penjara harus berurusan dengan instansi-instansi pemerintah, yakni tatkala mereka mencari kerja, rumah/tempat tinggal atau mengurus santunan sosial.

2. Hal-hal apa saja yang dapat diadaptasi oleh Indonesia?Jika dilihat dari perkembangan di Indonesia, berdasarkan Pasal 54 Rancangan KUHP versi tahun 2008 dinyatakan bahwa pemidanaan antara lain bertujuan untuk prevensi umum, yakni mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman kepada masyarakat. Hal ini dicapai dengan jalan Rehabilitasi dan Resosialisasi, memasyarakatkan terpidana, dengan melakukan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna. Supaya mereka bisa kembali ke masyarakat (itulah sebabnya disebut LP singkatan dari Lembaga Pemasyarakatan). Dalam perspektif ini mereka bukan dipandang sebagai penjahat, hanya orang yang tersesat, sehingga masih ada waktu untuk bertobat.Pemasyarakatan adalah bagian dari sistem peradilan pidana atau criminal justice system (CJS). Sistem peradilan pidana terpadu setidaknya terdapat empat lembaga yang bertanggung jawab, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga Pemasyarakatan (lapas). Administrasi peradilan pidana tidak selesai dengan adanya putusan hakim. Tujuan sistem peradilan pidana baru selesai (tercapai) apabila si pelanggar hukum telah kembali terintegrasi dengan masyarakat dan hidup sebagai warga yang taat hukum. Lapas merupakan muara dari proses peradilan pidana yang menjatuhkan pidana penjara kepada terpidana. Pelaksanaan hukuman penjara bagi narapidana tidak dilakukan semata sebagai sebuah upaya balas dendam dan menjauhkan narapidana dari masyarakat. Pemenjaraan terhadap narapidana dilakukan berdasarkan sebuah sistem pemasyarakatan. Penghukuman melalui mekanisme pemenjaraan dinilai tidak memberikan nilai tambah bagi narapidana guna memperbaiki hidupnya.

Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas WBP agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Masalah-masalah seringkali muncul dalam pemasyarakatan. Di antaranya, penghuni Lapas melebihi daya tampung, khususnya Lapas kelas IA di kota besar, Hak-hak WBP tidak terpenuhi, fasilitas dasar (kesehatan, kerja, mck, pendidikan) minim. Juga seringkali terjadi praktik kekerasan dan pemerasan. Masalah lainnya adalah kurangnya pemahaman konsep pemasyarakatan dari petugas (fokus utama masih pengamanan, belum pembinaan). Penghuni Lapas masih melakukan berbagai kejahatan dari balik jeruji. Praktik mafia peradilan untuk fasilitas dan jasa tertentu.

Seperti halnya kendala-kendala yang dihadapi upaya pemasyarakatan di Indonesia, di negara lainnya pun juga hal yang sama dihadapi. Banyak Lembaga Pemasyarakatan cukup tua dan ketinggalan jaman. Khusus penjara dengan Maximum-security ternyata kebanyakan terlampau besar atau justru melebihi kapasitas (overcrowded). Banyak sel-sel penjara dan ruang-ruang medium-security juga tidak layak untuk ditempati manusia (unsuitable for human habitation). Lembaga-lembaga pemasyarakatan banyak yang kekurangan pegawai dan personelnya sering kurang terlatih. Pengelompokan penghuni yang tepat seringkali kurang dipatuhi. Disiplin lembaga seringkali terlalu kaku. Kehidupan di penjara cenderung sangat monoton dan penuh tekanan. Kebijakan pelepasan bersyarat kadang-kadang tidak fair dan tidak efisien. Klasifikasi yang komprehensif dan strategi program tidak selalu ada. Tampak adanya proses prisonization and criminalization di banyak lembaga.

3. Hukum pidana sebagai ultimum remedium vs. pemidanaan sebagai cara pencegahan kejahatan, apakah retributivisme merupakan pilihan?Dalam hal ini, retributivisme tidak menjadi pilihan melainkan jawaban, karena dengan cara ini keadilan dapat diperoleh masyarakat. Hukum pidana sebagai upaya terakhir apabila upaya lainnya tidak manjur, maka harus menggunakan cara yang berbeda pula dari upaya-upaya lainnya. Dengan cara ini pula, kejahatan dapat dicegah karena sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana seharusnya menyadarkan masyarakat bahwa setiap orang yang melanggar hukum atau tindak pidana, mereka akan dikenakan sanksi yang tidak akan menyenangkan bagi si pelaku. Retributivisme memang mendorong untuk mengembangkan bukannya mengurangi jumlah penderitaan di dunia. Tetapi penderitaan ini didapatkan pelaku ketika mereka melakukan sebuah tindak pidana dan penderitaan itu dijadikan sanksi terberat dalam segala upaya hukum.