Tugas h Adat

5

Click here to load reader

Transcript of Tugas h Adat

Page 1: Tugas h Adat

HUKUM ADAT

Nama : Muhammad Iqbal (20120610138)

Aditya Setiawan (20120610141)

Anggara Reza M (20120610163)

Rahmat Ali (20120610

Ananda HP (20120610

1. Teori Receptio in Complexu

Teori receptio in complexu ini dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg, Guru Besar di Delf dan Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintah kolonial Belanda.

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”.

Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai suatu “perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima secara keseluruhan) itu.

Dengan berlandas pada teori yang dikemukakannya itu, maka van den Berg menggambarkan hukum Adat itu sebagai hukum yang terdiri hukum agama dan penyimpangan-penyimpangannya.

Teori van den Berg ini mendapat banyak tentangan dari para sarjana, antara lain:

1. Prof. Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” Jilid I;2. Mr. van Ossenbruggen dalam bukunya “Oorsprong en eerste ontwikkeling van testeer en voog dijrecht”;3. Mr. I.A. Nederburgh dalam bukunya “Wet en Adat” Jilid I;4. Mr. C. van Vollenhoven dalam bukunya “Het Adat-recht van Nederlans Indie”;5. dan lain-lainnya.

2. Teori Receptie

Dalam studi Islam secara umum (terutama hukum Islam), nama Christian Snouck Hurgronje (1757-1837) jauh lebih dikenal ketimbang Van den Berg. Snouck Hurgronje dikenal luas sebagai salah seorang sarjana yang menjadikan Islam sebagai satu disiplin tersendiri di Barat. Ia juga dikenal sebagai salah seorang tokoh awal yang menjadikan hukum Islam sebagai salah satu obyek kajian di Eropah dengan pendekatan sejarah. Van Niel juga menggambarkan Snouck Hurgronje sebagai tokoh penting yang mempunyai pengetahuan cukup luas tentang Nusantara (Indonesia). Selama lebih dari tujuh belas tahun (1889-1906), ia menempati posisi penasehat khusus Pemerintah Kolonial Belanda yang sebelumnya dijabat oleh Van den Berg, yang bertugas, antara lain, memberi nasehat terkait dengan ajaran Islam dan budaya setempat. Hingga kini, nama Snouck Hurgronje tetap dikenal luas di kalangan masyarakat Indonesia, apalagi di kalangan mereka yang studi Islam Indonesia.

Page 2: Tugas h Adat

Salah satu yang membawa namanya dikenal luas adalah teorinya yang dikenal dengan Receptie, yang kemudian teori tersebut didukung kuat oleh dua sarjana Belanda berikutnya: Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) dan B. Ter Haar.

Teori Receptie secara tegas berbeda (bahkan bertentangan) dengan Receptio in Complexu yang dikemukakan pendahulunya, Van den Berg. Teori tersebut menegaskan bahwa hukum Islam akan berlaku secara efektif di kalangan umat Islam jika hukum Islam tersebut sejalan dengan hukum adat di Indonesia. Dengan demikian, hukum yang berlaku di Indonesia tidak didasarkan pada ajaran agama (Islam) tetapi lebih pada hukum adat setempat.

Teori Receptie telah menjungkir balikkan teori Receptio in Complexu yang telah dikenal sebelumnya. Van Vollenhoven mendukung teori yang diajukan Snouck Hurgronje dengan mengatakan:

Satu hambatan kuat untuk mengkaji hukum adat di Indonesia adalah terdapatnya proposisi (keyakinan?) yang salah bahwa: hukum masyarakat mengikuti agama yang dianut dan setiap agama pasti mempunyai hukum. Karena itu, agama Pagan mempunyai hukum Pagan, agama Hindu mempunyai hukum Hindu, agama Islam mempunyai hukum Islam, agama Kristen mempunyai hukum Kristen, dan seterusnya. Proposisi yang sebenarnya bertolak belakang dengan kenyataan ini telah dan masih mempunyai pengaruh kuat yang amat fatal. Yang sebenarnya terjadi adalah: pengaruh hukum agama itu amat terbatas. Sebagian besar sarjana melakukan kesalahan dengan terlalu menekankan element agama dalam hukum adat, dan mencampur aduk antara ajaran agama dengan hukum adat.

Dengan menekankan pentingnya hukum adat sebagaimana yang dilakukan Snouck Hurgronje, Van Vollenhoven meneruskan penelitiannya dengan hasil yang dikenal luas berupa terdapatnya sembilan belas macam hukum adat di Indonesia.

Menurut Sajuti Thalib, transisi dari teori Receptio in Complexu ke arah teori Receptie berlangsung cukup lama, dan selama masa transisi tersebut Pemerintah Kolonial Belanda telah memberlakukan sejumlah aturan. Setelah melalui proses panjang dengan sejumlah aturan tersebut, pada akhirnya dikeluarkanlah Stbl. Nomor 221 tahun 1929, pasal 134 (2) Wet op de Staatsinrinchting van Ned. Indie (IS) yang kemudian dikenal sebagai sumber formal diberlakukannya teori Receptie yang diajukan oleh Snouck Hurgronje.

3.    Teori Receptie Exit

Hazairin merumuskan teori receptie exit yang menegaskan fungsi hukum dan hukum Islam serta sumber hukum. Ia berpendirian bahwa setelah Indonesia merdeka, setelah Proklamasi Kemerdekaan R.I., dan UUD 1945 dijadikan konstitusi negara, maka teori receptie yang dikemukakan oleh Snouck semestinya exit (dikeluarkan dari tata hukum Indonesia), walaupun menurut Peraturan Peralihan dalam UUD 1945 seluruh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru. Menurut Hazairin bahwa teori receptie dan semua produk peraturan perundang-undangan yang lahir didasarkan atau terpengaruh oleh teori ini adalah bertentangan dengan jiwa UUD 1945. Hazairin bahkan menyebut teori receptie sebagai “teori iblis”   karena   bertentangan   dengan   al-Qur’an   dan   al-Sunnah.[8]

Menurut Hazairin bahwa setelah Proklamasi Kemerdekaan R.I. dan diberlakukannya UUD 1945 didalamnya ada semangat kemerdekaan di bidang hukum. Adanya Peraturan Peralihan dalam UUD 1945 memang dibutuhkan untuk menghindari terjadikan kevakuman hukum, namun bangunan-bangunan hukum yang diberlakukan semestinya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Beliau berpendapat bahwa banyak produk hukum Hindia Belanda yang bertentangan dengan UUD 1945, terutama produk teori receptie. NKRI sangat akrab dengan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana dinyatakan dengan tegas pada Pancasila sila pertama, Alinea ke-3 Pembukaan UUD 1945 (atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan untuk hidup bebas maka dengan ini bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya), serta pasa ke-29 UUD 1945. Istilah ”Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UUD 1945 tidak dikandung niat untuk menyingkirkan hukum Islam dan hukum agama. Dengan adanya istilah ”Ketuhanan Yang Maha Esa” maka hukum agama harus diberlakukan di Indonesia bagi penganut-penganutnya. Hal ini bukan berarti hanya pemberlakuan hukum Islam saja bagi umat Islam Indonesia, namun hukum-hukum

Page 3: Tugas h Adat

agama lain bagi pemeluk-pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia. Hukum agama harus masuk dan diserap menjadi hukum nasional Indonesia. Itulah hukum baru Indonesia dengan dasar Pancasila.[9]

Teori receptie exit sebenarnya dilatarbelakangi oleh bangkitnya kesadaran beragama di kalangan ahli hukum Indonesia yang beragama Islam untuk menerapkan hukum Islam dalam politik dan budaya hukum nasional pasca kemerdekaan Indonesia. Teori receptie dipandang sebagai penghalang terbesar untuk mengintegrasikan hukum Islam sebagai salah satu bagian pembentuk hukum nasional Indonesia, sehingga harus dihancurkan terlebih dahulu secara akademis agar memberikan peluang bagi pemberlakukan hukum Islam di Indonesia. 

Namun tinjauan receptie exit masih berbentuk tinjauan hukum ketatanegaraan dan belum mendekonstruksi ”nilai akademis” teori receptie yang didasarkan penelitian Snouck terhadap hukum adat Aceh dan Gayo dalam karya ilmiahnya De Atjehers dan De Gajoland. Dengan kata lain, teori receptie exit belum sepenuhnya mampu memberikan ”pukulan mematikan” bagi teori receptie. Hal ini membuat teori receptie masih tetap eksis dalam keyakinan akademis banyak para ahli hukum, terutama ahli hukum adat Indonesia.

4. TEORI RECEPTIE A CONTRARIO

teori receptie a contrario dikembangkan oleh Sayuti Thalib SH. Teori receptio a contrario seara harfiah berearti kebalikan dari teori receptie. Jika teori receptie mendahulukan hukum adat daripada hukum Islam, maka teori receptie a contrario mendahulukan hukum islam daripada hukum adat. dalam teori receptio hukum islam dapat berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum adat, sementara teori reeptie a contrario hukum adat dapat berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum islam.

5. TEORI EKSISTENSI

Teori eksistensi merupakan teori yang dikemukakan oleh Ichtijanto yang menegaskan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional. Bentuk eksistensi hukum Islam di dalam hukum nasional Indonesia adalah:[17]

1.        Ada dalam arti sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia.2.        Ada dalam arti adanya dengan kemandiriannya yang diakui adanya dan kekuatan dan wibawanya oleh

hukum nasional dan diberi status sebagai hukum nasional.3.        Ada dalam hukum nasional dalam arti norma hukum Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-

bahan hukum nasional Indonesia.4.        ada dalam arti sebagai bahan utama hukum nasional Indonesia.[18]

Teori eksistensi ini dapat dikatakan merupakan puncak dari revolusi teori pemberlakuan hukum Islam di Indonesia yang secara tegas menyatakan bahwa hukum Islam memang nyata keberadaannya sebagai bahan pembentuk hukum nasional. Sekali pun NKRI bukanlah negara Islam dan tidak menjadikan Islam sebagai agama negara, namun keberadaan hukum Islam benar-benar eksis dan dijalankan oleh bangsa Indonesia dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan. Hukum Islam tidak hanya menjadi hukum yang hidup (ius non scriptum) atau hukum yang hidup di masyarakat (living law), tetapi eksis sebagai hukum formal yang terligislasi (ius scriptum) dalam peraturan perundang-undangan. 

Ada banyak undang-undang di Indonesia yang telah memuat hukum Islam atau menjadikan hukum Islam sebagai bahan utama, sehingga menjadikan hukum Islam sebagai bagian integral dari hukum nasional yang dapat dibagi menjadi dua klasifikasi, antara lain:

a.    Undang-undang yang langsung mengintegrasikan hukum Islam sebagai hukum nasional, yaitu:1)      Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk serta Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura. Undang-Undang ini mengatur secara formil tata cara perkawinan umat Islam Indonesia.

2)      Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini menjadikan hukum perkawinan Islam sebagai bahan utama. Hukum agama dijadikan kriteria sah atau tidaknya suatu perkawinan, sehingga perkawinan umat Islam dinyatakan sah jika dilakukan sesuai dengan hukum Islam.