Tugas Dr.ali

9
SKENARIO 3 Disusun untuk memenuhi tugas Refleksi Kasus Kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Disusun oleh: Verita Dian Permatasari (4151141501) Kanya Monica Putri (4151141504) Aini Nurfadilah (4151141506) Katia Fauziah (4151141509) Yucca Camelia (4151141517) Najmatul Ummah (4151141519) Rizqiana Alfi Huda (4151141522) LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

description

tug

Transcript of Tugas Dr.ali

SKENARIO 3Disusun untuk memenuhi tugas Refleksi Kasus

Kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Disusun oleh:

Verita Dian Permatasari(4151141501)

Kanya Monica Putri

(4151141504)

Aini Nurfadilah

(4151141506)

Katia Fauziah

(4151141509)

Yucca Camelia

(4151141517)

Najmatul Ummah

(4151141519)

Rizqiana Alfi Huda

(4151141522)LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANIRUMAH SAKIT DUSTIRA

CIMAHI2015

SCENARIO 3

Ms. C, a 31year old woman, was admitted to the Intensive Care Unit of a hospital after suffering a massive intracranial hemorrhage. As a consequence, she sustained irreversible brain damage. She remained unconscious, and her life was dependent on a ventilator and the skills of the physicians and staff who attended her.

At the time, Ms. C was pregnant. Her husband was strongly in favor of maintaining Ms. Cs life support systems until the fetus became viable and the child could be delivered. It was his stated opinion at that time that his wife would also have desired that her life be sustained until the fetus was viable. If her life had to be sacrificed in any case, at least her child should be given a chance to live.

Ms. Cs physicians agreed that an attempt should be made to maintain Ms. C on life support so the fetus would have the chance to develop and become viable. The decision was made not only because it was considered medically possible, but because, taking into consideration what the mothers wishes would have been, it was believed to be in her best interest to sustain her life in order to deliver her child.

Accordingly, Ms. C was kept on advanced life support systems in the Intensive Care. By the time the pregnancy reached 32 weeks, Ms. Cs survival and that of the fetus had been achieved with some difficulties. She had suffered multiple infections and other physiological and metabolic complications associated with prolonged lifesupport in the presence of such severe cerebral damage. The time had come when delivery by caesarean section was fully feasible. The operation had to be carried out without delay. Each day of delay would further endanger the child, and the longer the delay, the greater the danger.

The husband, however, strongly opposed what he believed to be a premature delivery. The husband had been told by his spiritual guide that further time was needed to marshal spiritual healing powers, and it was therefore essential that the birth be delayed at least another ten days. He believed that only a further delay would equally ensure the welfare of the mother and the child.

Should the hospital perform the caesarean section to save the fetus, despite the husbands strong objection and in the absence of Mrs. Cs explicit consent?SKENARIO 3Ny. C, 31 tahun dirawat di ICU sebuah rumah sakit di karenakan perdarahan intrakranial masif. Akibat penyakit tersebut, pasien menderita kerusakan otak yang ireversibel. Saat ini, pasien dalam keadaan tidak sadar, dan hidupnya bergantung kepada ventilator dan bantuan perawat. Pada saat dirawat, Ny. C dalam keadaan hamil. Suami pasien sangat ingin merawat pasien dengan alat bantu hidup agar janin yang ada dalam kandungan pasien dapat dilahirkan. Suami pasien bersikeras untuk melakukan hal tersebut karena permintaan pasien sendiri yang ingin janinnya dapat lahir dengan selamat.

Pasien rela untuk mengorbankan apapun asalkan janinnya dapat hidup. Dokter yang menangani Ny. C setuju bahwa keputusan yang harus dilakukan adalah dengan memasangkan alat bantu hidup pada pasien agar janinnya dapat lahir dengan selamat. Keputusan ini diambil bukan hanya memikirkan masalah medis pasien, namun dikarenakan dokter juga memikirkan permintaan dari pasien untuk melahirkan janin tersebut. Oleh karena itu pasien tetap memakai alat bantu hidup di ICU.

Ketika usia kehamilan pasien menginjak 32 minggu, keselamatan pasien dan janin mulai memasuki masa yang sulit. Pasien mengalami infeksi multipel dan komplikasi metabolik yang diperberat dengan pemakaian alat bantu hidup yang terlalu lama, sehingga makin memperburuk kerusakan otak pasien. Akhirnya diputuskan bahwa waktu terminasi kehamilan harus dilaksanakan secepatnya dikarenakan apabila tidak dilakukan secepatnya, dapat membahayakan kehidupan janin. Semakin mengundur waktu terminasi kehamilan, maka risiko yang akan diterima bayi akan semakin besar.

Namun, suami pasien tidak ingin bayinya lahir prematur. Guru agama suami pasien memberi pendapat agar terminasi diundur 10 hari ke depan agar dapat membantu proses pengobatan spiritual pasien. Suami pasien percaya bahwa hanya pengobatan spiritual (spiritual healing powers) tersebut yang dapat menjamin keselamatan ibu dan janin.

Haruskah rumah sakit melakukan terminasi kehamilan secepatnya untuk menyelamatkan janin walaupun suami pasien bersikeras dengan permintaannya tanpa persetujuan Ny.C ?

PEMBAHASAN KASUSDari kasus diatas, terdapat kaidah dasar moral yang harus dipegang oleh dokter yang menangani pasien tersebut, kaidah dasar moral yang terkait menurut metode Fourbox and Siegler adalah:

1. Medical IndicationKaidah dasar moral beneficence yang berkaitan dengan kasus adalah dokter harus mengusahakan manfaat dibandingkan dengan keburukan dan meminimalisasi akibat buruk. Pada kasus ini, terminasi kehamilan dipilih untuk menyelamatkan janin dari infeksi yang dialami oleh ibu, selain itu, terminasi ini bertujuan untuk mencegah perburukan pada janinnya.Kaidah dasar moral Non-Maleficence yang berkaitan dengan kasus ini adalah Menolong pasien emergency. Pada kasus ini, ibu dan janin merupakan pasien emergency karena melihat kondisi ibu yang menggunakan life support system selain itu ibu mengalami infeksi multipel dan komplikasi dari penyakit metabolic nya, sehingga terminasi merupakan satu-satunya cara untuk menolong ibu dan janin.2. Patient Preference

Kaidah dasar moral Autonomy yang berkaitan dengan kasus ini adalah melaksanakan informed consent dan membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri. Suami pasien diberikan penjelasan mengenai anjuran untuk segera dilakukan tindakan terminasi kehamilan pada istrinya dan penjelasan mengenai dampak yang akan terjadi apabila terminasi tidak segera dilakukan. Apabila suami pasien tidak menyetujui tindakan terminasi tersebut, maka dokter menghargai hak pasien dan suami diminta untuk menandatangani informed consent.3. Quality Of Life

KDM Beneficence meminimalisasi akibat buruk. Pada pasien ini sudah terdapat komplikasi sehingga prognosis dari pasien adalah ad malam.

4. Contextual Feature

KDM Justice menjaga kelompok yang rentan yaitu janin yang lebih di utamakan keselamatannya, kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian dari tindakan terminasi bagi ibu dan janin kepada suami. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten, suami diberikan kesempatan untuk menentukan setuju atau tidak tindakan terminasi ini. 5. Dilema Etik (Non-maleficence vs Autonomy)

Pada kasus ini, dokter seharusnya menghargai hak pasien dalam menentukan waktu terminasi (permintaan suami untuk mengundur jadwal terminasi diundur 10 hari), akan tetapi secara medis memperlambat proses terminasi pada ibu dengan infeksi yang multipel dalam tubuhnya, dapat membahayakan keselamatan janin. Oleh karena itu, asas primafacie yang diambil pada kasus ini adalah kaidah dasar moral Non-maleficence yaitu: menolong pasien emergensi (dalam kasus ini, pasien emergensi tersebut adalah janin) dengan mempercepat proses terminasi agar tidak membahayakan keselamatan janin.