TUGAS AKHIR SATRYA ADI PRATAMA O 121 16...

43
STUDI KASUS BEDAH AURAL HEMATOMA PADA ANJING CHOW CHOW DI RUMAH SAKIT HEWAN PROVINSI JAWA BARAT TUGAS AKHIR SATRYA ADI PRATAMA O 121 16 007 PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2018

Transcript of TUGAS AKHIR SATRYA ADI PRATAMA O 121 16...

STUDI KASUS BEDAH AURAL HEMATOMA PADA ANJING

CHOW CHOW DI RUMAH SAKIT HEWAN PROVINSI

JAWA BARAT

TUGAS AKHIR

SATRYA ADI PRATAMA O 121 16 007

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018

i

STUDI KASUS BEDAH AURAL HEMATOMA PADA ANJING

CHOW CHOW DI RUMAH SAKIT HEWAN PROVINSI

JAWA BARAT

Tugas Akhir Sebagai Salah Satu Syarat untuk

Mencapai Gelar Dokter Hewan

Disusun dan Diajukan oleh :

SATRYA ADI PRATAMA O 121 16 007

Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan

Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin

2018

ii

HALAMAN PENGESAHAN TUGAS AKHIR

Yang disusun dan diajukan oleh : Judul Tugas Akhir : Studi Kasus Bedah Aural Hematoma pada Anjing

Chow Chow di Rumah Sakit Hewan Provinsi Jawa Barat

Nama : Satrya Adi Pratama NIM : O 121 16 007

Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Akhir Dokter Hewan pada tanggal 05 Januari 2018 dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk menyandang gelar Dokter Hewan (Drh)

Disetujui Oleh,

Pembimbing

Drh. Dini Kurnia Ikliptikawati, M.Sc. NIP. 19850513 201404 2 001

Diketahui Oleh,

Dekan Fakultas Kedokteran

Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. Bs NIP. 19551019 198203 1 001

Ketua Program Profesi Dokter Hewan

Dr. drh. Dwi Kesuma Sari

NIP. 19730216 199903 2 001

Tanggal Lulus : 05 Januari 2018

iii

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Satrya Adi Pratama NIM : O121 16 007 Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

a. Karya Tugas Akhir saya adalah asli. b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya tulis ini, terutama dalam bab

hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 1 November 2017

Satrya Adi Pratama

iv

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat melaksanakan dan menyelesaikan penulisan tugas akhir ini dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar dokter hewan.

Dalam penyusunan tugas akhir ini, penulis menyadari bahwa penyusunan tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan dan dalam penyusunan tugas akhir ini penulis mengalami kesulitan, hambatan, dan rintangan akan tetapi berkat bimbingan dan pengarahan serta dorongan dari berbagai pihak maka tugas akhir ini dapat tersusun. Melalui kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. Bs selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin beserta pimpinan fakultas yang lain.

2. Dr. Drh. Dwi Kesuma Sari selaku Ketua Program Pendidikan Profesi

Dokter Hewan Universitas Hasanuddin

3. Drh. Dini Kurnia Ikliptikawati, M.Sc selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan segala petunjuk, saran, bimbingan dan waktu yang diluangkan

untuk penulis selama menyusun tugas akhir ini.

4. Drh. Novi Susanty selaku pembimbing akademik yang telah banyak

membantu dan memberi ilmu dan pengalamannya kepada penulis dalam

banyak hal khususnya selama penulis menempuh pendidikan sehingga

penulis dapat menjalani Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan dengan

baik

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Drs Edy Suwarno dan Dra Sri Henny Ratnawati, serta adik-adik penulis, Ganda Adi Septiyawan dan Arya Adi Maulana yang selama ini telah banyak memberikan bantuan dukungan, semangat dan doa yang tak terhitung banyaknya untuk keberhasilan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Seluruh dokter hewan, paramedik dan staf di Rumah Sakit Hewan Provinsi Jawa Barat atas kerjasama, ilmu dan bantuannya dalam bagian magang kerumahsakitan.

7. Seluruh dokter hewan, paramedik dan staf yang terlibat dalam setiap bagian koasistensi yang tak terhitung ilmu serta bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

8. Seluruh dosen Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan Universitas Hasanuddin atas ilmu pengetahuan yang diberikan kepada Penulis selama menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan.

9. Sahabat seperjuangan selama menempuh pendidikan di Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Ade Andrew Samudera Pinontoan, Ryan Payung, dan Muhammad Yogi Wildan Pranoto.

10. Teman-teman sekelompok di bagian bedah, dan magang kerumahsakitan, Anastas Eka, Fajar Anugrah, Andi Futri Febriani, Ainin Arsyilini, dan Yaumil Ni’mah.

11. Teman-teman seangkatan yang telah menemani penulis dalam suka dan duka selama kuliah

v

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati penulis persembahkan tugas akhir

ini, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan Universitas Hasanuddin. Saran dan kritik yang sifatnya konstruktif senantiasa penulis harapkan untuk menyempurnakan penulisan yang serupa di masa yang akan datang.

Makassar, 1 November 2017

Penulis

vi

ABSTRAK SATRYA ADI PRATAMA. O12116007. “Studi Kasus Bedah Aural Hematoma pada Anjing Chow Chow di Rumah Sakit Hewan Provinsi Jawa Barat.” Di bimbing oleh Drh. Dini Kurnia Ikliptikawati, M.Sc.

Aural hematoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi akumulasi atau

timbunan darah di dalam kartilago pinna. Darah tersebut biasanya tertimbun di

permukaan konkaf pinna. Kebengkakan daun telinga (pinna) secara tiba-tiba

dapat disebabkan oleh adanya abses atau hematoma. Abses sering terjadi pada

anjing yang telah berkelahi. Hematoma sendiri merupakan akumulasi darah

dibawah kulit daun telinga. Telinga yang terkena hematoma akan terasa hangat

dan empuk saat disentuh serta terasa sakit. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk

memberi informasi tentang penanganan kasus aural hematoma pada anjing. Pada

tanggal 6 Juni 2017 telah dilakukan penanganan pada kasus aural hematoma

Rumah Sakit Hewan Provinsi Jawa Barat pada seekor anjing ras Chow Chow,

jenis kelamin betina, umur 2 bulan, dengan berat badan 4.3 kg, suhu 38,1 °C

(normal: 38oC - 38.6oC). Pemeriksaan klinis dilakukan dengan inspeksi dan

palpasi pada telinga dimana ditemukana adanya perubahan berupa bengkak,

merah, dan terasa ada cairan. Selanjutnya dokter melakukan pemeriksaan lanjutan

dengan melakukan punction dan terdapat darah keluar dari pinna anjing. Terapi

yang diberikan adalah tindakan bedah dengan insisi dan jahitan. Pasien diresepkan

glucortin-20 inj dan amoxicillin-250 kapsul sebanyak 60mg/ 2x sehari selama 5

hari. Perawatan topikal disarankan oleh dokter dengan cara pemijatan lembut

dengan kassa steril dan pemberian iodine. Benang pada jahitan telinga diambil

oleh klien setelah 2 minggu, luka telah tertutup dan sembuh.

Kata kunci : Anjing, Chow Chow, Aural Hematoma, bedah.

vii

ABSTRACT SATRYA ADI PRATAMA. O12116007. “Case Study of Aural Hematoma Surgery in Chow Chow Dog at Animal Hospital, West Java” Supervised by Drh. Dini Kurnia Ikliptikawati, M.Sc.

Aural hematoma is a condition that there is blood in the cartilage of the pinna.

The blood usually accumulated in the surface of the concave. The swelling of ear

flap (pinna) is usually caused by abcess or hematoma. Abcess frequently caused

by fighting with another dog. Hematoma is accumulation of blood under the ear

flap skin. The ear flap will feel warm and soft when we touch it and feel a little bit

painful. The purpose of this article is to give an information of the treatment of

aural hematoma in dog. In June 6th 2017, at Animal Hospital a female Chow

Chow dog, 2 months old, with 4.3 kg weight, 38.1oC temperature (normal: 38oC -

38.6oC) has been treated. Clinical examination has been done by inspection and

palpation of the ear flap and found a change, there is swelling, red, and fluid feel

underneath the skin. The veterinarian is doing punction to the dog’s ear and the

blood is coming out. The treatment of this case is surgical incision with suture.

The dog is getting glucortin-20 injection and amoxicillin-250 capsule 60 mg /

twice a day for five days. The veterinarian suggest to give a topical treatment,

which massage gently with sterile kassa and iodine. The suture is opened by the

client after 2 weeks, and the wound is closed and healed.

Keyword : Dog, Chow Chow, Aural Hematoma, surgery.

viii

DAFTAR ISI Halaman Judul ......................................................................................... i Halaman Pengesahan ............................................................................... ii Pernyataan Keaslian ................................................................................ iii Prakata ...................................................................................................... iv Abstrak ...................................................................................................... vi Abstract ..................................................................................................... vii Daftar Isi ................................................................................................... viii Daftar Gambar ......................................................................................... x Daftar Tabel .............................................................................................. x Bab I Pendahuluan ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 2 1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2 1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................. 2 1.5 Keaslian Penulisan ................................................................................ 2 Bab II Tinjauan Pustaka .......................................................................... 3 2.1 Anjing Chow Chow ............................................................................... 3 2.2 Telinga .................................................................................................. 5 2.3 Aural Hematoma ................................................................................... 6 2.3.1 Definisi .............................................................................................. 6 2.3.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi ......................................................... 7 2.3.3 Patogenesis ........................................................................................ 8 2.3.4 Diagnosis ........................................................................................... 8 2.3.4.1 Pemeriksaan Klinis ......................................................................... 8 2.3.4.2 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 9 2.3.5 Diagnosis Diferensial ......................................................................... 9 2.3.6 Prognosis ........................................................................................... 9 2.3.7 Penatalaksanaan ................................................................................. 10 2.3.7.1 Insisi ............................................................................................... 11 2.3.7.2 Punch Biopsy .................................................................................. 12 2.3.7.3 Laser ............................................................................................... 13 2.3.7.4 Drainase .......................................................................................... 13 2.3.8 Obat-Obatan ....................................................................................... 14 2.3.8.1 Antibiotik ........................................................................................ 14 2.3.8.2 Anti Inflamasi ................................................................................. 15 Bab III Materi dan Metode ..................................................................... 17 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 17 3.2 Alat yang Digunakan............................................................................. 17 3.3 Bahan yang Digunakan ......................................................................... 17 3.4 Prosedur Kegiatan ................................................................................. 17 3.4.1 Pemeriksaan Umum ........................................................................... 17 3.4.2 Pemeriksaan Lanjutan ........................................................................ 17 3.4.2.1 Teknik Pengambilan Sampel ........................................................... 17 3.4.2.2 Teknik Pemeriksaan Sampel ............................................................ 17 3.4.3 Prosedur Operasi ................................................................................ 18 3.4.3.1 Persiapan Alat ................................................................................. 18 3.4.3.2 Persiapan Operator .......................................................................... 18

ix

3.4.3.3 Persiapan Hewan ............................................................................. 18 3.4.3.4 Premedikasi dan Anastesi ................................................................ 18 3.4.3.5 Teknik Operasi ................................................................................ 18 3.4.4 Perawatan Post Operasi ...................................................................... 19 3.4.4.1 Obat-obatan ..................................................................................... 19 3.4.4.2 Manajemen Luka ............................................................................. 19 3.4.4.3 Manajemen Nutrisi .......................................................................... 19 Bab IV Hasil dan Pembahasan ................................................................. 20 4.1 Hasil ..................................................................................................... 20 4.1.1 Signalment ......................................................................................... 20 4.1.2 Anamnesa .......................................................................................... 20 4.1.3 Temuan Klinis .................................................................................... 20 4.1.4 Diagnosa ............................................................................................ 20 4.1.5 Status Present ..................................................................................... 20 4.2 Pembahasan .......................................................................................... 22 Bab V Penutup .......................................................................................... 29 5.1 Kesimpulan ........................................................................................... 29 5.2 Saran ..................................................................................................... 29 Daftar Pustaka .......................................................................................... 30

x

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Anjing Chow Chow, longhaired (kiri) dan shorthaired (kanan) 4 Gambar 2.1 Anatomi telinga pada anjing ................................................... 5 Gambar 2.2 Anjing labrador retriever aural hematoma ............................... 6 Gambar 2.3 Bentuk insisi longitudinal (kiri) dan huruf S (kanan) ............... 12 Gambar 2.4 Teknik insisi sutureless (tanpa jahitan)..................................... 12 Gambar 2.5 Pola metode punch biopsy ....................................................... 13 Gambar 2.6 Metode drainase pada aural hematoma .................................... 14 Gambar 4.1 Dokter sedang melakukan anamnesa. ....................................... 22 Gambar 4.2 Dokter sedang melakukan pemeriksaan fisik ............................ 23 Gambar 4.3 Pasien telah diinjeksi pramedikasi. ........................................... 25 Gambar 4.4 Pengeluaran darah, darah beku, dan fibrin dari pinna. .............. 26 Gambar 4.5 Penjahitan pinna. ..................................................................... 26 Gambar 4.6 Hasil bedah aural hematoma. ................................................... 27

DAFTAR TABEL Tabel 1. Klasifikasi Status Fisik Anestesi ASA ........................................... 10

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masyarakat Indonesia lebih menyukai memelihara anjing ras daripada anjing

domestik sebagai hewan kesayangan. Salah satu ras yang disukai karena rambutnya yang tebal dan perawakan yang lucu yaitu Chow Chow, dan masih banyak ras populer lain di Indonesia seperti golden retriever, german shepherd, pitbull, dan siberian husky. Owner terkadang mengadopsi anjing tidak secara bersamaan, sehingga ada perbedaan umur pada peliharaan mereka. Karena anjing suka bermain satu sama lain, tidak menutup kemungkinan anjing yang lebih tua dengan tidak sengaja melukai anjing yang lebih muda akhirnya menyebabkan trauma pada salah satu bagian tubuhnya (Seibert, 2013). Pada kasus aural hematoma ini, disebabkan oleh gigitan anjing yang lebih tua yang menyebabkan trauma.

Aural hematoma merupakan akumulasi cairan atau darah di dalam pinna telinga. Aural hematoma disebabkan oleh trauma dari sering digaruk, menggelengkan kepala secara berlebihan dan juga gigitan dari anjing lain. Selain itu, aural hematoma dapat disebabkan oleh gatalnya telinga karena otitis eksterna atau media, ektoparasit, atopy atau benda asing dalam lubang telinga. Hal tersebut dapat membuat pembuluh darah kecil di pinna mengalamai ruptur. Seluruh area pinna dapat bengkak atau hanya sebagian saja yang terkena aural hematoma (Pereira, 2006).

Secara akut, anjing akan mengalami rasa sakit yang mengganggu, dan apabila tidak ditangani, telinga akan terlihat seperti bunga kol dan terasa keras saat diraba. Untuk mencegah hal ini perlu dilakukan tindakan bedah (Bellah, 2008).

Dampak dari aural hematoma terhadap pasien adalah perubahan perilaku anjing yang sering menggelengkan kepalanya dan menggaruk telinganya, tingkat stress anjing, kehilangan nafsu makan, dan perubahan bentuk telinga apabila tidak segera ditangani (Pereira, 2006).

Tujuan dari penanganan bedah adalah untuk menghilangkan hematoma, menjaga drainase, mencegah kemunculan ulang dengan menjaga bentuk pinna. Ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan hematoma. Sangat penting apabila menangani penyebab utama dari aural hematoma agar kasus ini tidak terjadi secara berulang (Asinga, 2006).

Lund (2006) melakukan studi dengan data yang dimiliki oleh rumah sakit hewan Banfield selama 2001-2005 menunjukkan bahwa dari 2.652.000 anjing ada 9.452 anjing yang didiagnosa terkena kasus aural hematoma. Terdapat 0.36 persen anjing yang terkena aural hematoma dari total anjing yang berkunjung di rumah sakit hewan Banfield. Sekitar 90% dokter melakukan tindakan bedah, 67.5% memberikan kombinasi antara tindakan bedah dan pemberian perban, 20% pemberian penanganan perban saja, dan 2.6% dengan tindakan pemberian tube (saluran).

2

1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang dapat disimplkan dari

penulisan ini adalah bagaimana cara diagnosa dan penanganan bedah kasus aural hematoma pada anjing Chow Chow.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui cara diagnosa dan penanganan bedah kasus aural hematoma pada anjing Chow Chow.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari tulisan ini adalah menambah kemampuan calon dokter hewan dalam melakukan bedah aural hematoma sehingga mempersiapkan calon dokter hewan dalam memasuki dunia praktisi.

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anjing Chow Chow Anjing telah didomestikasi oleh manusia sejak zaman dahulu, hewan ini

awalnya dimanfaatkan sebagai teman berburu hewan liar, dan penjaga hewan ternak dari ancaman binatang buas (Cholillurrahman, 2012). Dimasa modern sekarang ini, anjing lebih diperuntukkan sebagai hewan kesayangan, dan merupakan salah satu hewan peliharaan yang paling popular sama seperti kucing (Natania, 2012).

Pemilik hewan peliharaan memiliki resiko penyakit jantung koroner, serta batuk, pusing, dan demam lebih rendah dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki hewan peliharaan. Selain itu tingkat stress pemilik hewan peliharaan lebih rendah daripada yang tidak memiliki hewan peliharaan (Wells, 2010).

Anjing tidak hanya mampu membantu manusia menjaga kesehatan psikologisnya, tetapi mereka dapat berkontribusi dalam pembentukan karakter psikologis seseorang. Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian menunjukkan bahwa hewan, terutama anjing dapat memperbaiki efek buruk dari gaya hidup yang stress seperti kegelisahan, kesendirian, dan depresi. Selain itu dapat meningkatkan sifat kemandiriran, kompeten, dan kepercaraan diri. Kebaikan psikologis yang banyak tadi berasal dari anjing yang memberikan rasa persahabatan pada manusia. Anjing juga dapat membantu pembentukan psikologis manusia secara tidak langsung, melalui perkenalan interaksi sosial dengan orang lain. Berjalan-jalan dengan anjing menunjukkan peningkatan kesempatan bertemu dan berbicara dengan orang lain yang tak dikenal. Anjing muda dan ras yang memiliki tempramen yang baik cenderung lebih menarik daripada yang lebih tua ataupun yang mendapat prasangka buruk oleh masyarakat sekitar. Beberapa studi menunjukkan bahwa anjing dapat memberikan nilai terapeutik terhadap manusia. Perlu diingat bahwa anjing dapat pula menyebabkan beberapa resiko buruk terhadap kesehatan seseorang, seperti penyebar penyakit zoonosis, penyebab alergi, gigitan, dan yang lebih buruk lagi dapat menyebabkan kematian (Wells, 2010).

Chow Chow memiliki beragam fungsi di masa lampau, seperti sebagai anjing pemburu. Ras ini merupakan ras kuno dari negeri Cina. Chow Chow memiliki tubuh yang kompak dan agak pendek. Ekornya melingkar keatas, memiliki dada yang luas dan dalam, bentuk kaki yang lurus dengan panjang yang sedang dan tulang yang kokoh. Kakinya kecil dan bulat terlihat seperti kaki kucing. Mata Chow Chow berbentuk seperti almond dan berukuran kecil, dan anjing bebas dari resiko entropion (kelopak mata yang masuk ke dalam). Telinganya kecil dan tebal dengan ujung yang bulat, serta dapat digerakkan ke depan. Saat berdiri Chow Chow memiliki tinggi 48-56 cm untuk yang jantan dan 46-51 cm untuk yang betina. Ada dua tipe rambut Chow Chow. Rambut panjang (longhaired) yang paling populer dan ada pula yang berambut pendek (shorthaired). Chow Chow yang berambut panjang memiliki rambut yang tebal, padat, dan berdiri lurus. Rambut bagian luar akan terasa lebih kasar teksturnya dan bagian dalam lebih halus. Pada bagian leher, rambutnya lebih panjang. Chow Chow berambut pendek memiliki rambut yang terasa seperti bludru dibandingkan dengan yang berambut panjang, secara kepadatan rambut hampir sama dengan yang berambut panjang hanya saja shorthaired lebih pendek. Chow Chow memiliki warna brown, red, dan

4

cream. Warna yang paling banyak yaitu warna brown, dan red. Lidah anjing Chow Chow memiliki warna biru tua dan warna gusinya hitam dengan warna mata yang gelap (Esther, 2001).

Chow Chow memiliki karakter yang tenang. Meskipun dikenal sangat setia dengan majikan dan keluarga, mereka masih memiliki sifat independen. Chow Chow memiliki kepercayaan diri yang besar, waspada pada lingkungan sekitarnya dan menjaga pemilik beserta keluarganya dari orang asing. Anjing ini tidak mudah berteman dengan semua orang, namun tidak mudah tersinggung dan pemberani saat dibutuhkan. Ras ini biasanya memiliki rasa lebih dominan daripada ras lainnya. Meskipun demikian, anjing ini dapat bersosialisasi dengan anak-anak. Anjing ini tidak bermasalah dengan kucing ataupun hewan peliharaan lain setelah mereka dapat mengenal satu sama lain. Anjing ini akan menjadi tidak ramah dan waspada terhadap orang yang tak dikenal (Esther, 2001).

Gambar 1.1 Anjing Chow Chow, longhaired (kiri) dan shorthaired (kanan)

(Esther, 2001) Taksonomi anjing menurut Linnaeus (1758) dalam Wilson (2005) sebagai

berikut : Kingdom : Animalia Subkingdom : Bilateria Infrakingdom : Deuterostomia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Infrafilum : Gnathostomata Superkelas : Tetrapoda Kelas : Mammalia Subkelas : Theria Infrakelas : Eutheria Ordo : Carnivora Subordo : Caniformia Famili : Canidae Genus : Canis Spesies : Canis lupus Subspesies : Canis lupus familiaris

5

2.2 Telinga Indera pendengaran merupakan indera yang paling tajam pada anjing. Anjing

dapat mendengar dengan jelas suara yang tidak bisa kita dengar termasuk suara dengan frekuensi yang sangat rendah dan sangat tinggi. Karena pendengaran yang sangat akurat, anjing lebih mengandalkan indera ini dibandingkan dengan indera penglihatan. Telinga anjing memiliki ukuran dan bentuk yang beranekaragam, dan dapat digerakkan sesuai dengan keinginannya. Bagian luar daun telinga terdapat rambut yang menutupinya. Pada bagian dalam daun telinga kulitnya berwarna merah muda pada beberapa ras dan berbintik pada ras lain. Suara yang merupakan getaran yang berada di udara, ditangkap oleh daun telinga atau pinna, dan dihantarkan langsung ke dalam lubang telinga. Pinna itu sendiri merupakan kartilago yang dilapisi oleh kulit dan rambut pada kedua sisinya. Pada anak anjing, lubang telinganya belum terbuka sampai satu atau dua minggu setelah kelahiran, sehingga masih belum bisa mendengar. Lubang telinga akan turun secara vertikal dan kemudian berbelok secara horizontal sampai pada gendang telinga (membran timpani). Bentuk seperti ini dapat menjadi penyebab adanya gangguan telinga, dikarenakan cairan, dan debris terperangkap didalam lubang telinga. Getaran pada membrane timpani disalurkan ke koklea melalui tulang-tulang pendengaran. Koklea bertugas sebagai reseptor suara, memiliki cairan didalamnya yang dapat mengubah getaran tadi menjadi gelombang cairan yang nantinya berubah menjadi impuls saraf. Pada sekitar tulang-tulang pendengaran terdapat pula apparatus vestibular, yang memiliki fungsi sebagai penyinkron antara gerakan mata dengan keseimbangan, postur tubuh, dan koordinasi. Saraf pada vestibular menghubungkan antara saraf pendengaran dengan pusat keseimbangan di otak. Pada telinga bagian tengah terdapat saluran pendengaran yang menghubungkan antara telinga dengan nasofaring. Fungsi dari saluran ini untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi gendang telinga (Debra, 2007).

Gambar 2.1 Anatomi telinga pada anjing (Debra, 2007)

6

Pinna tersusun atas kartilago yang dibungkus oleh kulit. Konkaf memiliki lapisan kulit yang menempel dengan kuat dibandingkan dengan sisi konveks telinga. Konkaf tidak dilapisi oleh rambut dan konveks telinga terdapat rambut. Pinna sendiri disuplai oleh percabangan arteri karotid eksterna dan arteri aurikular (Harvey, 2001).

Pemeriksaan dilakukan dengan inspeksi terhadap kulit daun telinga bagian dalam dan luar apakah ada kerusakan-kerusakan dan dibandingkan antara telinga kiri dan telinga kanan. Kerusakan daun telinga dapat pula terjadi akibat dari gangguan dalam lubang telinga bagian dalam. Misalnya lubang telinga bagian dalam terasa gatal, anjing akan menggaruk-garuk telinganya dengan kaki belakang sehingga terjadi excoratio pada kulit daun telinganya. Excoratio kulit daun telinga apa diikuti dengan adanya infeksi sekunder akan menjadi dermatitis excoratio atau dermatitis ulserosa (Widodo, 2012).

2.3 Aural Hematoma 2.3.1 Definisi

Aural hematoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi akumulasi atau timbunan darah di dalam kartilago pinna. Darah tersebut biasanya tertimbun di permukaan konkaf pinna (Birchard, 2006).

Kebengkakan daun telinga (pinna) secara tiba-tiba dapat disebabkan oleh adanya abses atau hematoma. Abses sering terjadi pada anjing yang telah berkelahi. Hematoma sendiri merupakan akumulasi darah dibawah kulit daun telinga. Telinga yang terkena hematoma akan terasa hangat dan empuk saat disentuh serta terasa sakit (Debra, 2007).

Gejala klinis yang terlihat berupa adanya kantong yang terbentuk pada daun telinga anjing, berwarna merah dan bengkak, apabila dipalpasi akan terasa seperti cairan. Selain itu, anjing akan menunjukkan perilaku seperti sering menggaruk telinganya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Diagnosa untuk kasus ini yaitu berupa riwayat dan gejala klinis yang terlihat, pemeriksaan otoskopik pada lubang telinga untuk mengidentifikasi adanya otitis eksterna atau tidak, sitologi terhadap lubang telinga dapat melihat adanya tungau otodectes, bakteri ataupun jamur, aspirasi atau punction pada kantong yang ada akan menunjukkan adanya darah (Hnilica, 2011).

Gambar 2.2 Anjing labrador retriever yang mengalami aural hematoma, dan

bagian medial pinna (kiri) (Hnilica, 2011)

7

2.3.2 Etiologi dan Faktor Predisposisi Aural hematoma sering terjadi pada anjing yang memiliki telinga yang

menggantung, tetapi beberapa kali terjadi pada anjing yang bertelinga tegak. Kasus ini dapat juga terjadi sebagai kasus sekunder akibat dari peradangan pada pinna dan lubang telinga bagian luar, benda asing, atopi, alergi makanan, infeksi bakteri, jamur, dan ear mites. Pengidentifikasian penyebab utama dari inflamasi sangat penting dilakukan agar tidak berulang kejadiannya dan memperparah kondisi. Studi saat ini telah melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara autoimun dengan aural hematoma (Birchard, 2006).

Aural hematoma dapat terjadi secara unilateral dengan pembentukan hematoma pada daerah contralateral telinga, dan jarang terjadi secara bilateral, pada umumnya terjadi pada permukaan konkaf pinna. Faktor predisposisi kasus ini dikarenakan trauma pada pinna, menggoyangkan kepala secara berlebihan, dan juga otitis eksterna akut ataupun kronis. Faktor lain yaitu adanya ear mites, gigitan serangga yang dapat menyebabkan dermatitis. Anjing dengan telinga jatuh dan panjang lebih mudah terkena infeksi bakteri akibat dari tidak adanya sirkulasi udara dan kondisi cahaya yang tidak sampai ke lubang telinga, sehingga lembab dan sangat cocok dengan pertumbuhan bakteri dan jamur yang nantinya dapat menyebabkan rasa gatal dan anjing akan menggaruk serta berlebihan menggelengkan kepalanya. Pembuluh darah pada daun telinga akan mengalami ruptur dan terjadi pendarahan pada jaringan di pinna membentuk kantung, namun gelengan kepala secara terus menerus dapat membuat kantung semakin lebar (Falih, 2010).

Aural hematoma dapat terjadi akibat dari infestasi ear mites, pada studi yang dilakukan oleh Kuwahara dalam Harvey (2001), 59% anjing dan 76% kucing yang terkena aural hematoma memiliki infestasi ear mites O. cynotis. Dalam studi tersebut dijelaskan bahwa ear mites melepaskan antigen yang memungkinkan terjadinya reaksi antibodi yang pada akhirnya terbentuklah aural hematoma. Namun, tungau ini tidak ditemukan pada beberapa kasus aural hematoma yang menunjukkan bahwa apabila ada hubungan diantara hal tersebut, hubungannya masih secara tidak langsung.

Terdapat 72% anjing yang terkena aural hematoma menunjukkan adanya otitis eksterna, hal ini memperkuat adanya hipotesa bahwa otitis eksterna yang disertai dengan gelengan kepala merupakan patogenesis dari aural hematoma (Harvey, 2001).

Trauma pada pinna merupakan penyebab yang sering dikaitkan dengan kasus aural hematoma. Luka trauma pada pinna dapat terjadi secara langsung melalui garukan kaki atau dari gelengan kepala secara berlebihan. Trauma akibat garukan kaki sebagai contoh, lebih merusak konveks daripada konkaf, hal ini menunjukkan bahwa trauma secara langsung masih tidak mungkin menyebabkan aural hematoma karena kasus ini terjadi pada bagian konkaf. Pada studi Kuwahara, aural hematoma tidak dapat terjadi dengan melakukan tekanan langsung pada pinna ataupun dengan menginjeksi larutan garam steril atau darah diantara kulit dan kartilago. Trauma dapat terjadi akibat dari gelengan kepala ataupun otitis eksterna. Infestasi ektoparasit, alergi, dan benda asing di telinga juga dapat juga menyebabkan terjadinya aural hematoma. Banyak kasus dalam aural hematoma dikaitkan dengan adanya hipersensitif sebagai penyebab utamanya, lesi hipersensitif pada anjing terdapat pada bagian konkaf pinna. Hal

8

ini menyebabkan efek gatal (pruritus) sehingga aning selalu melakukan gelengan kepala dan berusaha menggaruk untuk menghilangka rasa gatal. Selain itu, beberapa kasus menunjukkan adanya infiltrasi eosinophil dan sel mast (Harvey, 2001).

2.3.3 Patogenesis

Patogenesis merupakan suatu mekanisme biologis penyebab penyakit

hingga menjadi suatu penyakit. Sampai saat ini terdapat banyak penyebab terjadinya aural hematoma pada anjing salah satunya otitis eksterna. Otitis eksterna menyebabkan rasa gatal pada telinga anjing, yang dapat menstimulasi

anjing untuk menggerakan dan menggelengkan kepalanya. Penggelengan kepala

secara berlebihan bias membuat kulit untuk bergeser kedepan dan belakang terhadap kartilago sehingga terjadi gesekan antara kulit dan kartilago pinna, yang dapat menyebabkan pembuluh darah mengalami ruptur. Pendarahan kemudian

terjadi di antara kartilago dan perikondrium. Gelengan kepala secara terus menerus dapat menyebabkan frakturnya kartilago pinna. Ada dua macam mekanisme yang dapat menyebabkan frakturnya kartilago pada pinna. Pada mekanisme pertama, gelengan kepala secara eksplosif dapat menyebabkan

terbentuknya gelombang (getaran) pada pinna, yang akan terpantul kembali pada ujungnya sebagai gelombang yang sifatnya menarik dan berpindah kembali ke telinga, terpantul pada ujung proksimal dengan gaya dua kali lipat, dan berujung sebagai fraktur kartilago. Pada mekanisme kedua gelengan kepala anjing lebih

stabil dan kurang eksplosif, akan menyebabkan gelombang sinusoidal terhadap struktur pinna memberikan efek stress yang berujung pada frakturnya kartilago pinna (Joyce, 2000).

Kartilago akan mengalami degenerasi pada jaringannya yang terisi dengan jaringan granular. Dan apabila tidak ditangani pinna akan mengalami deformasi menjadi bentuk seperti bunga kol (cauliflower like). Degenerasi ini menurut Kuwahara (1986), diakibatkan oleh adanya reaksi autoimun, vasoaktif amino

dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dekat kartilago, sehingga terjadi eksudasi dan rupturnya pembuluh darah serta hemoragi.

Otitis eksterna sering dikaitkan dengan kejadian kasus aural hematoma, namun tidak semua kasus aural hematoma ini disebabkan oleh otitis eksterna

(Joyce, 2000).

2.3.4 Diagnosis Diagnosa pada kasus aural hematoma diambil berdasarkan anamnesa dan

gejala klinis yang ditunjukkan oleh pasien. Dokter akan melakukan punction dengan menggunakan jarum kecil steril. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan terhadap penyebab utama dari kasus aural hematoma, sehingga treatment (penanganan) dapat dilakukan dengan tepat (Turner, 2007).

2.3.4.1 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis meliputi sinyalemen, anamnesa, dan temuan-temuan klinis dari pasien. Penulisan sinyalemen pasien merupakan hal penting sebagai identitas pasien, untuk kasus aural hematoma sama seperti kasus lain. Sinyalemen

9

meliputi nama dan jenis hewan, ras, jenis kelamin, umur, warna kulit dan rambut, berat badan dan ciri-ciri khusus. Sinyalemen dapat dilakukan dengan bertanya kepada klien, dan inspeksi terhadap hewan serta menimbang untuk berat badannya. Untuk kasus aural hematoma sendiri anjing yang bertelinga menggantung (panjang) lebih rentan daripada anjing yang bertelinga tegak. Anamnesa adalah berita atau keterangan atau lebih tepatnya keluhan dari pemilik hewan mengenai keadaan hewannya ketika dibawa datang berkonsultasi untuk pertama kalinya, namun dapat pula berupa keterangan tentang sejarah perjalanan penyakit hewannya jika pemilik sering datang berkonsultasi. Anamnesa dapat diperoleh secara pasif dari informasi atau cerita pemilik hewan yang tahu kejadiannya misalkan tentang gejala yang timbul mula-mula, waktu dan lama kejadiannya, situasi hewan. Anamnesa dapat juga diperoleh secara aktif dengan cara dokter menanyakan keluhan-keluhan yang mungkin dapat terjadi namun tidak diceritakan oleh pemilik hewan. Untuk kasus aural hematoma, anamnesa terfokus pada perilaku dan tingkah laku hewan, kondisi telinga, dan nafsu makan hewan. Selain itu, trauma merupakan penyebab yang sering terjadi pada anjing, riwayat penyakit anjing yang pernah mengalami otitis dapat menyebabkan terjadinya kasus ini, adanya infestasi parasit (caplak) pada daun telinga (pinna) dapat membuat anjing menggelengkan kepalanya secara berlebihan sehingga dapat terbentuk kantung hematoma (Widodo, 2011).

Pemeriksaan klinis untuk kasus aural hematoma terfokus pada area telinga. Inspeksi dilakukan dengan memeriksa daun telinga secara seksama, dan bias dilakukan pemeriksaan otoskopik untuk melihat kesehatan telinga bagian tengah, otoskopik dilakukan apakah kasus aural hematoma benar disebabkan oleh trauma saja atau malah oleh infeksi ear mites. Palpasi dilakukan pada pinna untuk merasakan massa di dalam kantung apakah berupa cairan atau benda padat (Widodo, 2011).

2.3.4.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan melakukan punction pada kantung hematoma untuk melihat apa yang berada didalam kantung tersebut (Asinga, 2006).

2.3.5 Diagnosis Diferensial

Menurut Bellah (2008), diferensial diagnosa untuk kasus aural hematoma yaitu, neoplasia, abses, dan edema pada pinna. Ketiga kelainan diatas akan menunjukkan gambaran klinis yang mirip dengan aural hematoma yaitu

kebengkakan pada pinna. Neoplasia akan terasa lebih keras saat dipalpasi daripada hematoma, abses, dan edema. Melakukan aspirasi atau punction pada pinna dapat membedakan apakah pinna mengalami hematoma atau mengalami salah satu dari tiga diferensial diagnosa tersebut. Hematoma akan menunjukkan

adanya darah yang keluar dari kantung hematoma, sedangkan abses akan mngeluarkan pus.

2.3.6 Prognosis

Apabila kasus aural hematoma ini dibiarkan, dapat menimbulkan luka dan deformasi (perubahan bentuk) pada telinga yang terkena, dan bisa saja berubah

10

bentuk menjadi seperti bunga kol. Fausta apabila kantung hematoma dapat dilakukan penanganan dan pendarahan sudah berhenti serta tidak terjadi infeksi sekunder. Infausta lebih kepada reaksi hewan terhadap anastesi umum, reaksi shock anafilaktik. Penanganan bedah hanya bisa berhasil apabila penyebab utama trauma dapat diidentifikasi dan dieliminasi. Tanpa mengurangi rasa gatal pada telinga pasien, trauma akan dapat terjadi lagi, begitu juga dengan hematoma. Dengan penanganan bedah yang benar dan imobilisasi telinga yang baik dapat membantu jaringan beradesi dan sembuh, persembuhan penuh tanpa kejadian ulang prognosanya akan tercapai atau fausta (Petwave, 2009).

2.3.7 Penatalaksanaan

Aural hematoma harus segera ditangani, jika tidak akan terjadi pembentukan fibrin dan akan terjadi fibrosis, pengerasan, dan akan berubah bentuk seperti bunga kol. Apabila penanganan terlambat, pembedahan akan menjadi lebih sulit dan meninggalkan bekas luka. Tujuan dari tindakan bedah adalah untuk mengeluarkan hematoma, membuat drainase, dan mencegah pembentukan hematoma kembali serta tetap menjaga bentuk normal pinna dan meminimalisir terjadinya bekas luka (scar). Penanganan terhadap penyebab utama aural hematoma merupakan hal yang penting agar kasus ini tidak terjadi lagi. Ada empat teknik bedah yang bisa digunakan yaitu insisi, biopsi, laser, dan drainase. Sebelum dilakukan tindakan bedah pasien diberikan anastesi (Asinga, 2006).

Penentuan prognosis dalam anestesi dilakukan dengan penentuan klasifikasi status fisik ASA (American Society of Anesthesiologist), berikut ini adalah klasifikasinya.

Klasifikasi ASA Definisi

ASA I Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi

ASA II Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya

ASA III Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena berbagai penyebab

ASA IV Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya

ASA V Pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak

ASA VI Pasien dengan kematian fungsi otak yang dianestesi untuk donor organ

Tabel 1. Klasifikasi Status Fisik Anestesi ASA (American Society of Anesthesiologist).

Anestesi memiliki arti kehilangan rasa sebagian tubuh (lokal) atau seluruh

tubuh (umum) sebgai akibat kerja obat yang menekan aktivitas sistem syaraf. Keadaan dimana hilangnya kesadaran (amnesia), hilangnya rasa sakit (analgesia), terjadinya relaksasi otot dan berkurangnya efek somatis (arefleksia) diartikan sebagai fungsi dari anestesi umum. Tujuan dari anestesi ini yaitu menghilangkan rasa sakit dan kesadaran saat operasi (Esrawati, 2006).

11

Menurut Handoko (2003) di dalam Esrawati (2006), efek anestesi terhadap sistem syaraf pusat dibagi atas 4 tahap:

1. Tahap analgesia : berhubungan dengan korteks, secara berangsur-angsur obat akan menghilangkan kesadarannya.

2. Tahap eksitasi : menghambat syaraf pusat yang berada di aktivitas otak tengah. Menyebabkan muntah, peningkatan sekresi kelenjar, pertambahan tonus otot, hilangnya kesadaran, midriasis, dan takikardia

3. Tahap toleransi (pembedahan) : obat mulai bekerja pada sistem syaraf bagian dalam (batang otak dan sumsum tulang belakang). Hal ini dapat menyebabkan refleks dan sekresi kelenjar berkurang, tonus otot menurun, pernafasan spontan tetap terpelihara, pupil sangat lebar. Stadium ini dibagi atas empat tingkat, yaitu :

Tingkat 1 : pernafasan teratur, miosis, pernafasan dada dan pernafasan perut seimbang, belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna.

Tingkat 2 : pernafasan teratur tapi kurang dalam, pupil mulai melebar, refleks laring.

Tingkat 3 : pernafasan perut lebih dominan, relaksasi otot lurik sempurna, pupil lebih lebar tapi belum maksimal.

Tingkat 4 : pernafasan perut sempurna karena paralisis otot intercoste sempura, tekanan darah mulai turun, pupil sangat lebar dan refleks cahaya hilang.

4. Tahap afiksiasi : karena pemblokan pusat-pusat vegetatif yang vital pada medulla oblongata maka pernafasan dan jantung berhenti, tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah telah kolap (collapse).

2.3.7.1 Insisi Teknik insisi dengan cara membuat insisi pada konkaf pinna seperti huruf S

ataupun secara longitudinal di sepanjang kantong hematoma. Insisi hanya dapat dilakukan pada kulitnya saja, kartilago tidak boleh sampai terkena insisi. Keluarkan darah dan bersihkan lapisan fibrin dengan menggunakan tampon atau dengan forceps. Gunakan cairan steril untuk membersihkan kantong hematoma (Asinga, 2006). Kantong hematoma akan kosong dan jahit kulit di daerah kantong dengan jarak sekitar 1 cm hal ini agar jaringan kulit dapat menempel dengan baik pada kartilago sehingga tidak ada akumulasi darah dalam lokasi hematoma. Jahitan pada telinga secara keseluruhan melewati konkaf, kartilago, dan konveks dapat juga dilakukan, namun hal ini dapat mengganggu suplai darah yang ada di telinga. Pemberian jarak pada setiap jahitan 0,5-1cm bertujuan mnghindari ligasi terhadap pembuluh darah telinga. Teknik ini merupakan teknik yang paling efektif dan dapat dilakukan pada kasus yang kronis (Hnilica, 2011).

12

Gambar 2.3 Bentuk insisi longitudinal (kiri) dan huruf S (kanan) (Asinga, 2006)

Teknik insisi yan lain ada pula yang tanpa melakukan penjahitan (sutureless).

Kekurangan dari teknik insisi dengan jahitan dapat menyebabkan penebelan, bergelombang dan membentuk seperti bunga kol pada telinga. Namun hal itu tidak muncul pada teknik sutureless. Setelah pinna telah dibersihkan insisi pada sepanjang kantong hematoma. Kantong dibersihkan seperti pada metode sebelumnya. Kemudian telinga di plaster dengan hasil insisi tetap terekspos, dan pinna diletakkan diatas kepala yang telah diberi ganjalan (padding). Plaster yang pendek diletakkan pada kedua sisi konveks telinga lalu plaster yang panjang pada konkaf telinga.Telinga akan tetap diplaster setidaknya selama 3 minggu (Bojrab, 1998).

Gambar 2.4 Teknik insisi dan pemasangan plaster sutureless (tanpa jahitan)

(Bojrab, 1998)

2.3.7.2 Punch Biopsy Teknik selanjutnya yaitu punch biopsy dilakukan dengan melakukan biopsi

sekitar 6 mm untuk membuat satu atau beberpa lubang drainase yang tetap dibiarkan terbuka dan jaringan disekitarnya tetap tertutup. Biopsi dilakukan pada kulit pinna saja tanpa mengganggu kartilago. Untuk mencegah terkena kartilago dapat menggunakan spaltel atau instrument dengan permukaan rata untuk

13

menahan kulit terpisah dengan kartilago. Lubang drainase di sebar pada daerah hematoma dengan jarak 10 sampai 15 mm satu sama lain (Hnilica, 2011).

Gambar 2.5 Pola metode punch biopsy (Asinga, 2006)

2.3.7.3 Laser

Teknik menggunakan laser merupakan metode yang baru dalam dunia kedokteran hewan. Metode ini menggunakan laser karbondioksida (CO2) untuk membuat insisi 1 cm pada kulit, mirip dengan punch biopsy buat insisi di seluruh daerah hematoma dengan panjang 1-2 mm. Namun tidak perlu dijahit lagi karena insisi kecil ini berfungsi sebagai drainase (Hnilica, 2011).

2.3.7.4 Drainase

Teknik drainase dapat dilakukan dengan cara memasukkan tube ke dalam kantung hematoma dan dibalut pada kepala pasien. Metode ini dapat digunakan untuk menyedot cairan hematoma dan dapat membuat jaringan melekat satu sama lain. Tabung vakum digunakan untuk menyedot cairan secara konstan dan diganti setiap 12 jam. Apabila eksudat yang keluar kurang dari 2 ml/hari, tubenya sudah bias dilepas (biasanya 5-7 hari). Telinga masih dapat diperban untuk beberapa minggu agar mencegah rusaknya persembuhan akibat goyangan kepala pasien. Metode drainase ini lebih cocok terhadap aural hematoma akut yang masih memiliki cairan di dalam kantungnya. Pasien kebanyakan menunjukkan perubahan 7 – 10 hari dengan kerusakan pinna yang minimal. Dilaporkan pembentukan aural hematoma kembali sekitar 22%, yang mana disebabkan oleh dermatitis yang tidak terkontrol (Seibert, 2013).

14

Gambar 2.6 Metode drainase pada aural hematoma (Seibert, 2013)

Penanganan post operasi hampir sama pada beberapa metode tersebut,

sebaiknya pasien yang menggunakan metode insisi khususnya pasien yang bertelinga jatuh menggunakan perban. Biarkan lubang telinga terbuka dan lakukan pembersihan pada telinga untung mengurangi resiko terjadinya infeksi. Gunakan perban paling tidak selama 10 hari dan ganti apabila dibutuhkan. Lepas jahitan setelah 3 minggu. Apabila terjadi sekresi serumen, bersihkan dengan kapas dan apabila membesar lagi sedot dengan jarum ukuran 20. Perlu diberikan obat anti inflamasi seperti prednisone selama 7 – 14 hari untuk mengurangi iritasi akibat gelengan kepala pasien. Pada metode drainase perban bias dilepas apabila pasien sangat memaksa untuk terus menerus menggelengkan kepalanya, penggunaan elizabeth kolar untuk mengurangi insiden trauma. Bentuk telinga dipengaruhi oleh teknik drainase dan tingkat keparahan hematoma. Lakukan pengecekan secara berkala untuk menjaga persembuhan pasien (Birchard, 2006).

2.3.8 Obat-obatan 2.3.8.1 Antibiotik

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain. Banyak antibiotik dewasa ini dibuat secara semisintetik atau sintetik penuh. Namun dalam praktek sehari-hari antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk sintetik (misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotik. Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada hewan, harus memiliki toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Sifat selektif yang absolut belum atau mungkin tidak akan diperoleh. Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik, dan

15

ada yang bersifat membunuh mukroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid (Setiabudy, 2009).

Pemberian antibiotik untuk kasus aural hematoma bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi saat penanganan post operasi sedang berlangsung, mengingat resiko semakin besar karena adanya luka terbuka yang berfungsi sebagai drainase. Maka pemilihan antibiotik yang memiliki fungsi terhadap mikroba spektrum luas (bakteri gram negatif dan gram postif) lebih baik karena tidak menutup kemungkinan dua jenis bakteri tersebut dapat menginfeksi melalui luka drainase. Ada beberapa antibiotik yang berspektrum luas yaitu, amoxicillin dan tetrasiklin.

Amoxicillin merupakan antibiotik golongan beta lactam, bekerja dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri. Mukopeptida bakteri dihambat sehingga sintesis dinding sel tidak terjadi, mukopeptida digunakan sebagai bahan sintesis dinding sel oleh bakteri. Amoxicillin berspektrum luas dapat bekerja pada bakteri gram positif dan negatif. Obat ini akan masuk melalui sistem pencernaan, dan didistribusikan melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh, obat ini tidak terpengaruh oleh adanya makanan yang ada dilambung. Amoxicillin umumnya dieksresi melalui proses sekresi di tubuli ginjal (Setiabudy, 2009).

Tetrasiklin merupakan antibiotik yang menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam masuknya antibiotik ke dalam ribosom bakteri, pertama secara difusi pasif melalui kanal hidrofilik, kedua melalui transport aktif. Setelah masuk, antibiotik berikatan secara reversible dengan ribosom 30S dan mencegah ikatan tRNA-aminoasil pada kompleks mRNA-ribosom. Hal tersebut dapat mencegah perpanjangan rantai peptida yang sedang tumbuh dan berakibat pada terhentinya sintesis protein. Golongan ini termasuk antibiotik yang bersifat bakteriostatik dan berspektrum luas. Tetrasiklin diserap lewat saluran cerna, absorbsi sebagian besar berlangsung di lambung dan usus halus bagian atas. Berbagai faktor dapat menghambat penyerapan tetrasiklin seperti adanya makanan dalam lambungg, pH tinggi, dan pembentukan kelat (komponen dalam susu). Oleh sebab itu tetrasiklin diberikan sebelum atau 2 jam setelah makan. Obat ini diekskresi melalui urin berdasarkan filtrasi glomerulus (Setiabudy, 2009).

2.3.8.2 Anti Inflamasi

Obat anti inflamasi terbagi menjadi dua macam yaitu golongan kortikosteroid dan non steroid. Obat anti inflamasi berfungsi untuk menghambat terjadinya inflamasi dan juga bersifat analgesik, dimana inflamasi dapat menginduksi adanya efek nyeri pada bagian yang terkena. Pemberian anti inflamasi disini berfungsi untuk memberikan efek pengurangan radang dan nyeri post operatif, adapun obat yang dapat diberikan yaitu dexamethasone, meloxicam, dan phenylbutazone.

Dexamethasone termasuk dalam golongan kortikosteroid, memberikan efek anti inflamasi dan imunosupresif dengan 30 kali lebih poten dari kortisol. Efek anti inflamasinya bersifat kompleks namun bekerja melalui pengambatan dari sel-sel inflamasi dan supresi dari mediator inflamasi (Papich, 2011).

Meloxicam adalah obat anti inflamasi non steroid (NSAID). Meloxicam memiliki efek analgesik dan anti inflamasi dengan menghambat sintesis prostagalandin. Enzim yang dihambat adalah cyclo-oxygenase enzyme (COX).

16

Enzim COX terbagi atas dua macam COX-1 dan COX-2, COX-1 berfungsi untuk sintesis prostaglandin yang penting dalam menjaga kesehatan traktus gasterointestinal, fungsi ginjal, fungsi platelet, dan fungsi normal lainnya. COX-2 berfungsi untuk sintesis prostaglandin yang penting dalam mediasi rasa sakit, inflamasi, dan demam. Meloxicam memiliki paruh waktu 23-24 jam pada anjing, sangat mudah mengikat protein, dan diabsorbsi hampir menyeluruh pada anjing. Meloxicam digunakan untuk mengurangi rasa sakit, inflamasi , dan demam, biasa juga digunakan untuk sakit yang akut maupun kronis, dan juga untuk obat rasa sakit karena tindakan bedah (Papich, 2011).

Phenylbutazone memberikan efek analgesik dan anti inflamasi dengan menghambat pembentukan atau sintesis prostaglandin. Obat ini tidak bersifat selektif dalam menghambat enzim COX-1 amupun COX-2, memiliki waktu paruh 4-6 jam pada anjing (Papich, 2011).

17

BAB III MATERI DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilaksanakan di Rumah Sakit Hewan Cikole Provinsi Jawa Barat

pada tanggal 6 Juni 2017. Pada pukul 09.00 WIB pasien datang dan kemudian dilakukan operasi jam 10.00 WIB.

3.2 Alat yang Digunakan

Alat yang digunakan dalam kegiatan ini antara lain meja operasi, lampu operasi, timbangan digital, thermometer digital, stetoskop, scalpel, pinset anatomis dan cirurgis, gunting lurus, needle holder, towel clamp, jarum, kapas, kain penutup, tampon, perlengkapan bedah steril (baju bedah, handuk, sikat, sarung tangan, masker dan penutup kepala)

3.3 Bahan yang Digunakan

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini antara lain Atropin, Ketamine, Xylazine, NaCl fisiologis, Alkohol 70%, Iodine, benang silk 3.0 (OneMed), glucortin-inj, Amoxicillin.

3.4 Prosedur Kegiatan 3.4.1 Pemeriksaan Umum

Dokter dan paramedik melakukan pengisian data berupa signalement pasien dan anamnesa yang diceritakan oleh klien. Setelah itu pasien ditimbang dengan timbangan digital. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan umum terhadap pasien. Pasien diletakkan di atas meja periksa dan dihandling oleh paramedis. Dokter melakukan pengukuran suhu dan pemeriksaan umum.

Pemeriksaan umum dilakukan oleh dokter, dari pengukuran berat badan, suhu, frekuensi pulsus, dan frekuensi nafas. Setelah itu dokter melakukan

inspeksi terhadap pasien, dari daerah kranial sampai daerah kaudal. Dokter melakukan palpasi, auskultasi, dan perkusi. Untuk kasus aural hematoma ini dokter lebih mefokuskan pada pemeriksaan telinga, menggunakan otoskop, dan palpasi.

3.4.2 Pemeriksaan Lanjutan 3.4.2.1 Teknik Pengambilan Sampel

Pemeriksaan lanjutan dilakukan dengan metode punction, untuk mengetahui apakah isi dari kantung hematoma benar-benar merupakan darah. Punction dilakukan dengan menggunakan jarum steril yang kecil.

3.4.2.2 Teknik Pemeriksaan Sampel Cairan yang telah dikeluarkan, diperiksa dengan cara inspeksi

cairannya apakah merupakan darah atau serumen.

18

3.4.3 Prosedur Operasi 3.4.3.1 Persiapan Alat

Alat yang akan digunakan disterilisasi terlebih dahulu, dicuci

sampai bersih dan di beri desinfektan. Alat yang telah disterilisasi diletakkan secara teratur diatas meja alat bersama dengan bahan-bahan yang akan digunakan.

3.4.3.2 Persiapan Operator Perlengkapan operator dan co-operator meliputi gloves, masker dan

baju operasi harus dalam keadaan bersih agar operasi aural hematoma

dapat dilaksanakan secara aseptis dan steril agar pasien terhindar dari kontaminasi.

3.4.3.3 Persiapan Hewan Pasien yang akan dioperasi dilakukan pemeriksaan fisik terlebih

dahulu seperti frekuensi pulsus, frekuensi nafas, suhu, turgor kulit, dan CRT. Menurut Looney (2008), nilai normal pada pemeriksaan fisik anjing,

yaitu frekuensi pulsus 90-120x/menit, frekuensi nafas 10-35x/menit, suhu 38oC-38.5oC, dan CRT 1-2 detik.

3.4.3.4 Premedikasi dan Anastesi Premedikasi dilakukan dengan menggunakan atropine sulfat

dengan dosis 0.03ml/kg BB secara subkutan. Dosis yang digunakan 0.03ml X 4.3kg = 0,129ml

Anastesi dilakukan dengan kombinasi Xylazine dan Ketamine, dosis xylazine 2mg/kg BB, dan dosis Ketamine 0,1ml/kg BB diberikan secara intramuscular.

Dosis Xylazine 2mg X 4.3kg = 0,43ml

20mg/ml Dosis Ketamine 0.1ml X 4.3kg = 0.43ml

3.4.3.5 Teknik Operasi Setelah pasien teranastesi, operasi dimulai dengan membuat insisi

secara longitudinal sepanjang daerah yang mengalami hematoma pada permukaan daun telinga sebelah kanan. Insisi dimulai dari distal ke

proksimal pada bagian kulit. Insisi tidak sampai pada bagian kartilago auricular.

Saat diinsisi darah langsung keluar. Terdapat juga darah yang

membeku dari rongga hematoma dan dikeluarkan menggunakan tampon steril sambil dipijat dari proksimal ke distal. Jaringan fibrin dan gumpalan darah yang lebih melekat dilapisan permukaan rongga hematoma dikeluarkan menggunakan forceps mosquito. Setelah dikeluarkan rongga

dibilas dengan menggunakan cairan NaCl 0.9%. Setelah dipastikan tidak ada lagi darah dan jaringan fibrin

dilakukan ligasi dengan benang berukuran 3-0 non-absorbable sepanjang

19

0.75 sampai 1 sentimeter pada kulit dipermukaan daun telinga. Jahitan dilakukan dengan menembus kartilago. Jahitan meliputi teliga bagian

dalam dan menembus kartilago sampai telinga bagian luar. Jahitan

dilakukan 5-10 mm dari sepanjang sisi insisi. Ligasi dilakukan dibeberapa tempat selebar daun telinga yang teraba memiliki rongga akibat penumpukan darah. Insisi awal tidak ditutup dan digunakan sebagai

drainasi.

3.4.4 Perawatan Post Operasi 3.4.4.1 Obat-obatan

Pasien diresepkan glucortin-20 inj sebanyak 0.02 ml setelah operasi untuk mengurangi respon radang dan memberikan efek analgesik. Pasien diresepkan amoxicillin-250 kapsul sebanyak 60mg/ 2x sehari

selama 5 hari untuk mendapatkan efek antibiotik.

3.4.4.2 Manajemen Luka

Klien disarankan perawatan topikal pada luka dengan melakukan

pijatan yang lembut menggunakan kapas steril sebanyak 3-5 kali sehari. Lalu dioleskan iodine. Pergerakan pasien dikontrol. Tidak dibiarkan keluar rumah dan beraktivitas berlebih selama perawatan.

3.4.4.3 Manajemen Nutrisi

Klien disarankan oleh dokter untuk memberikan makanan yang biasa diberikan kepada pasien.

20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil 4.1.1 Signalment

Nama : Meggi Jenis Hewan : Anjing Ras/Breed : Chow Chow Warna Bulu & Kulit : Cream Jenis Kelamin : Betina Umur : 2 bulan Berat Badan : 4.3 kg

4.1.2 Anamnesa Meggi sering bermain dengan Luna (golden retriver) dan saat bermain luna

sering mengigit telinga Meggi. Nafsu makannya baik. Pasien sering menggaruk-garuk telinga. Sering menggelengkan kepala. Kulit telinga kiri agak memerah.

4.1.3 Temuan Klinis

Saat pemeriksaan fisik dokter menemukan temuan klinis sebagai berikut: Telinga mengalami perubahan yaitu bengkak, kulit memerah, tidak ada

luka.

Setelah diraba terasa ada cairan. Cairan di dalam telinga dikeluarkan dengan cara punction, hasilnya

terdapat darah. Turgor kulit sedang, mukosa pink

4.1.4 Diagnosa

Diagnosa diambil dari anamnesa dan hasil pemeriksaan fisik menunjukkan gejala klinis dari aural hematoma. Diagnosa ditunjang dengan hasil punction yang menunjukkan adanya darah dalam pinna pasien.

4.1.5 Status Present

Status Present KeadaanUmum Perawatan : Baik Habitus/tingkah laku : Tegak pada keempat kaki Gizi : Baik Pertumbuhan badan : Baik Sikap berdiri : Tegak pada empat kaki Suhu : 38,1oC (normal: 38-38.5oC) Frekuensi nafas : 27 kali/menit (normal: 10-35 kali/menit) Frekuensi jantung : 105 kali/menit (normal: 90-120 kali/menit).

Palpasi Mata dan orbita kiri dan kanan

Palpebrae : Membuka dan menutup sempurna Cilia : Melengkung keluar

21

Conjuctiva : Merah muda, Basah

Bola mata kanan dan kiri Sclera : Putih Cornea : Bening (jernih) Iris : Hitam Limbus : Rata Pupil : Tidak ada kelainan (ada reaksi cahaya) Refleks pupil : Ada Vasa injectio : Tidak ada

Mulut dan rongga mulut Rusak/luka bibir : Tidak ada Mucosa : Pink, licin, basah dan tidak ada kerusakan Lidah : Biru tua, licin, basah dan tidak ada kerusakan.

Thorak: Sistem Pernafasan Inspeksi

Bentuk rongga thorax : Simetris Tipe pernafasan : Costal (costo abdominal) Ritme : Ritmis Intensitas : Dangkal (teratur) Rambut : kusam Kulit : ada lesi

Thorak: Sistem Peredaran Darah Auskultasi

Frekuensi : 105 kali/menit Intensitas : Sedang Ritme : Teratur Sinkron pulsus dan jantung : Sinkron

Abdomen dan Organ Pencernaan Palpasi

Kulit : Turgor <3 detik Rambut : Baik Epigastricus : ginjal teraba Mesogastricus : Usus tidak teraba Hypogastricus : Vesica urinaria penuh berisi urin Isi usus besar : Tidak teraba Isi usus kecil : Tidak teraba

Anus Sekitar anus : Bersih Refleks spinchter ani : Ada

22

4.2 Pembahasan Anjing Chow Chow bernama Meggi dibawa ke Rumah Sakit Hewan Provinsi

Jawa Barat pada tanggal 7 Juni 2017 di jam 09.00 WIB. Pasien kemudian ditimbang menggunakan timbangan digital memiliki berat 4.3 kg. Lalu dilakukan pencatatan sinyalemen dan anamnesa, setelah itu dokter melakukan pemeriksaan fisik dan pengukuran suhu.

Anamnesa dari klien, klien memiliki dua anjing yang nafsu makan keduanya baik, dengan umur yang berbeda yaitu golden retriever (3 tahun) dan Chow Chow (2 bulan), mereka sering bermain bersama-sama, namun anjing golden sering menggigit telinga Chow Chow yang merupakan kebiasaan anjing saat bermain. Mengingat umur terpaut jauh, telinga anjing muda tidak mampu menahan gigitan anjing yang lebih tua sehingga salah satu pembuluh darah auricular pada pinna anjing muda pecah akibat trauma gigitan tersebut. Karena pecahnya pembuluh darah pada pinna membuat anjing tidak nyaman, maka anjing berusaha untuk menghilangkan ketidaknyamanannya dengan cara menggaruk telinga dengan kaki belakang dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Hal ini membuat darah semakin menumpuk pada bawah kulit konkaf pinna yang menyebabkan penimbunan darah lalu membentuk suatu kantung (Fossum, 2007).

Gambar 4.1 Dokter sedang melakukan anamnesa.

Dari pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa telinga pasien mengalami

pembengkakan dan saat dipalpasi seperti ada cairan didalam kebengkakan tersebut. Setelah itu dilakukan punction terhadap lesi tersebut untuk memastikan apa yang berada dalam lesi itu, ternyata keluar darah. Punction atau aspirasi merupakan salah satu cara mendiagnosa apakah kebengkakan telinga pada pasien benar-benar merupakan cairan bukan massa ataupun pus. Punction dilakukan dengan cara menusuk kantung hematoma pada pinna dengan jarum steril ukuran 23G dengan kedalaman sekitar 1-2cm dan sudut kemiringan 45o, lalu dilihat isi atau cairan yang keluar dari kantung hematoma itu berupa darah atau cairan lain seperti pus (Hnilica, 2011).

Pengambilan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan sudah benar. Sebaiknya pemeriksaan lanjutan tidak sampai pada inspeksi cairan saja dapat dilakukan pemeriksaan patologis klinis pada darah dengan menggunakan mikroskop (sitologi) untuk membedakan hematoma dengan angioedema, abses atau tumor (Pereira, 2006).

23

Gambar 4.2 Dokter sedang melakukan pemeriksaan fisik

Setelah dilakukan punction, dokter hewan menyarankan untuk dilakukan

operasi, karena apabila kantung hematoma dibiarkan dapat menyebabkan hematoma mengeras dan akhirnya semakin menambah kesakitan pasien. Selain itu akan terjadi kerusakan permanen dengan berubahnya bentuk pinna menjadi seperti bunga kol meskipun massa dalam kantung dikeluarkan karena hematoma menyebabkan proliferasi pada kartilago pinna (Seibert, 2013).

Menurut Bellah (2008), anjing yang memiliki telinga jatuh maupun tidak sama-sama beresiko untuk mengalami aural hematoma apabila terjadi trauma yang menyebabkan pembuluh darah pinna pecah. Namun anjing telinga jatuh akan menunjukkan kejadian yang lebih parah dikarenakan luas pinna lebih besar daripada yang anjing telinga tegak dan efek gravitasi yang menyebabkan darah dalam pinna terus keluar sedangkan pada kasus ini anjing memiliki tipe telinga tegak yang jarang terkena aural hematoma.

Penyebab adanya aural hematoma selain dari trauma, dapat juga disebabkan oleh iritasi, inflamasi, gangguan imun, alergi, parasit, dan benda asing. Penyebab-penyebab diatas dapat membuat pasien mengalami otitis eksterna dimana memicu pasien menggeleng-gelengkan kepala secara berlebihan, merusak kartilago auricular dan membentuk hematoma. Sumber dari hematoma adalah rupturnya cabang dari arteri auricular caudalis. Hematoma berada diantara kulit dan kartilago dari pinna (Brown, 2010).

Penanganan pada aural hematoma ada beberapa metode, yang paling populer adalah metode insisi, punch biopsy, drainase, dan laser. Pada kasus ini dokter memilih metode insisi dengan jahitan yang menurut penulis sudah tepat dikarenakan klien tidak ingin anjingnya untuk dirawat inap. Metode ini memiliki efektifitas yang tinggi, artinya tingkat keberhasilannya bagus dan kejadian ulang kasus tidak terjadi lagi. Kekurangan dari metode ini diabanding dengan metode lain adalah apabila tidak dilakukan dengan hati-hati pinna pasien mengalami keriput dan bergelombang (Bojrab, 1998).

Sebelum melakukan operasi, perlu dilakukan persiapan alat dan bahan serta persiapan hewannya. Alat disterilkan terlebih dahulu dengan cara dicuci lalu diberi desinfektan. Setelah steril, alat diletakkan pada meja alat dengan bahan. Persiapan hewan meliputi pramedikasi dan anastesi.

24

Dikarenakan dalam kasus ini menggunakan anastesi umum, maka sangat penting dilakukan penentuan prognosa dari kategori ASA penyakit ini. Sebaiknya perlu juga dilakukan pemeriksaan darah untuk mengevaluasi fungsi ginjal dan hati yang nantinya berdampak dalam efek obat anastesi dan dalam setiap tindakan anastesi khususnya anastesi umum terdapat resiko terhadap pasien dan hal ini juga perlu dijelaskan kepada klien. Pada kasus ini pasien masuk kategori ASA I, berdasarkan dari pemeriksaan fisik, pengukuran suhu, dan nafsu makan, pasien dalam keadaan sehat namun memerlukan tindakan operasi pada hematomanya.

Pramedikasi yang digunakan adalah atropine sulfat sebanyak 0,129 ml intra subkutan. Atropine memiliki fungsi sebagai antikolinergik (memblokir efek asetilkolin pada reseptor muskarinik). Sebagai agen antimuskarinik, obat ini memblok stimulasi koliergik dan menyebabkan penurunan gerakan atau peristaltik gastero-intestinal, penurunan sekresi sistem respirasi, meningkatkan frekuensi jantung (antivagal), dan midriasis (dilatasi pupil mata) (Papich, 2011).

Obat anastesi yang digunakan adalah kombinasi ketamine dan xylazine masing-masing sebanyak 0,43 ml intramuskular. Menurut Papich (2011), ketamine digunakan sebagai agen anastetik, mekanisme yang jelasnya masih belum diketahui, namun beberapa fakta menunjukkan bahwa obat ini bekerja sebagai agen yang memisahkan pusat kesadaran. Ketamine memberikan analgesik ringan dan masih memberikan efek kesakitan dikarenakan sifat antagonis reseptor n-methyl D-aspartate (NMDA) kurang baik. Dalam ketamine terdapat dua macam isomer yaitu R-ketamine dan S-ketamine. S-ketamine fungsi lebih aktif dan mudah untuk dieliminasi. Ketamine dimetabolisme dengan cepat pada kebanyakan hewan sekitar 60-90 menit paruh waktunya pada anjing sehingga ketamine digunakan untuk anastesi yang cepat (short term) kerja obat sekitar 30 menit aja. Ketamine biasanya digunakan secara bersamaan dengan obat anastesi lain seperti benzodiazepines (diazepam) atau agonis alpha2 (medetomidine, dexmedetomidine, dan xylazine). Xylazine bekerja sebagai agonis alpha2-adrenergik. Alpha2 agonis menurunkan pelepasan neurotransmitter neuron. Obat ini bekerja dengan cara mengikat presinaptik reseptor alpha2. Hasilnya terjadi penurunan pengiriman simpatetik, analgesia, sedasi, dan anestesi. Obat ini digunakan untuk anestesi jangka pendek, sedasi, dan analgesia pada kuda, anjing, kucing, sapi, dan hewan eksotik. Xylazine hanya bisa berkerja selama 30 menit saja.

Anestesi memiliki arti kehilangan rasa sebagian tubuh (lokal) atau seluruh tubuh (umum) sebgai akibat kerja obat yang menekan aktivitas sistem syaraf. Keadaan dimana hilangnya kesadaran (amnesia), hilangnya rasa sakit (analgesia), terjadinya relaksasi otot dan berkurangnya efek somatis (arefleksia) diartikan sebagai fungsi dari anestesi umum. Tujuan dari anestesi ini yaitu menghilangkan rasa sakit dan kesadaran saat operasi (Esrawati, 2006).

Pada awalnya pasien diberi premedikasi berupa atropine sulfat 0,129ml kemudian ditunggu selama 10-15 menit, hal ini dilakukan agar pasien merasa rileks terlebih dahulu agar tidak shock saat diberi obat anastesi. Setelah itu diinjeksikan secara intramuskular kombinasi xylazine dan ketamine sebanyak 0,43ml, lalu ditunggu sampai pasien kehilangan kesadarannya. Setelah pasien kehilangan kesadarannya kita beri respon pada mata, dan cahaya pada pupil apakah pasien benar-benar dalam keadaan teranastesi sempurna (tingkat 3) atau belum. Pasien sudah tidak memberikan feedback terhadap respon tersebut, maka anastesi sudah bekerja secara sempurna dan pasien sudah siap untuk di operasi.

25

Pemilihan obat anastesi untuk anjing pediatrik 2-3 bulan dapat diberikan obat lain yaitu zoletil, kombinasi tiletamine dan zolazepam, obat ini memberikan efek analgesik lebih baik dari kombinasi ketamine dan xylazine, serta mengurangi efek mual atau muntah pada pasien. Efek samping dari zoletil adalah hipersalivasi dan antagonis terhadap atropine, jadi tidak perlu lagi pemberian atropine jika anastesi yang digunakan adalah zoletil. Efek anastesi dari zoletil yaitu sekitar 30 menit (Papich, 2011).

Dalam beberapa referensi Stein (2009), Lukasik (2014), Davidson (2014), penggunaan xylazine tidak disarankan untuk anjing neonatal dan pediatrik dikarenakan xylazine dapat memberikan depresi kardiak yang cukup kuat, dan apabila dikombinasikan dengan ketamine dapat memberikan depresi lebih kuat, ketamine memiliki depresi yang mild atau sedikit. Untuk itu ketamine lebih baik dikombinasikan dengan diazepam ataupun midazolam daripada xylazine. Selain itu, anestesi lain seperti propofol dan etomidate, dapat diberikan pada anjing pediatrik.

Propofol dan etomidate memiliki efek depresi kardiak yang minimal, namun membuat tekanan darah menurun tetapi efek tersebut bersifat mild. Propofol dan etomidate tidak diberikan secara bersamaan. Propofol larut pada lemak dan biasanya dalam sediaan lemak atau emulsi, sehingga dimetabolisme di hati. Propofol bekerja pada sistem saraf pusat dengan cara memberi efek depresan sehingga efek anestesi dapat terjadi. Etomidate bekerja sebagai modulator GABAA sehingga neurotransmitter dapat terhambat (Papich, 2011).

Gambar 4.3 Pasien telah diinjeksi pramedikasi.

Karena pasien sudah dalam keadaan teranastesi (pupil tidak merespon pada

cahaya), maka operasi sudah bisa dilakukan. Karena telinga kiri yang mengalami hematoma maka tubuh sebelah kanan diletakkan dibawah dan yang sebelah kiri diatas. Pasang kain duct pada telinga tidak perlu di klem. Telinga kemudian disterilkan dengan alkohol lalu iodin, buat sayatan (insisi) pada kantung hematoma. Kemudian insisi secara longitudinal sepanjang kantung tanpa menembus kartilago pinna, keluarkan darah secara perlahan-lahan dengan pemijatan dari proksimal ke distal hingga bersih. Gunakan tampon steril dan forceps mosquito untuk mangambil sisa darah yang menggumpal dan sisa fibrin yang masih ada dalam kantung. Darah yang dikeluarkan sekitar 8-10ml.

26

Gambar 4.4 Pemijatan dan pengeluaran darah (8-10ml), darah beku, dan fibrin

dari pinna. Lakukan flushing dengan NaCl 0,9% beberapa kali agar darah benar-benar

bersih sampai dengan cairan irigasi berwarna bening dan keluar dari kantung hematoma. Setelah yakin bersih kulit pinna dijahit pada sekitar insisi dengan pola sejajar dengan arah insisi. Gunakan benang berukuran 3-0 non-absorbable pemilihan benang non absorable sendiri dipilih agar benang tidak mengganggu bentuk persembuhan luka pinna, dijahit dengan panjang 0.75 sampai 1 sentimeter pada kulit dipermukaan daun telinga, jahitan dilakukan dengan menembus kartilago, hal ini dilakukan agar kantung hematoma yang berada diantara kulit konkaf dan kartilago pinna dapat melakukan adesi atau melekat dengan sempurna, sehingga resiko terjadinya kembali hematoma bisa diminimalisir. Jahitan meliputi teliga bagian dalam dan menembus kartilago sampai telinga bagian luar. Jahitan dilakukan 5-10 mm dari sepanjang sisi insisi. Tipe jahitan yang digunakan dalam kasus ini adalah single suture, pemilihan tipe ini dapat merekatkan rongga di pinna dengan kuat. Ligasi dilakukan dibeberapa tempat selebar daun telinga yang teraba memiliki rongga akibat penumpukan darah.

Gambar 4.5 Penjahitan pinna.

27

Prosedur yang dilakukan sudah sesuai dengan referensi metode insisi dengan jahitan. Setelah dijahit pinna diberi iodine untuk mensterilkan luka bedah. Insisi awal tidak ditutup dan digunakan sebagai drainasi. Drainasi dibuatkan karena tidak menutup kemungkinan, darah maupun serum dapat terbentuk lagi, dan apabila tidak diberi drainasi material ini tidak dapat keluar dan aural hematoma dapat terjadi lagi, pembuatan drainasi bertujuan agar material tersebut dapat keluar. Sebaiknya selama operasi pasien diberi terapi cairan (diinfus) untuk mencegah hipotensi, vasodilatasi, kehilangan darah, kehilangan cairan (evaporasi), mencegah ketidakseimbangan elektrolit, dan keseimbangan asam basa. Untuk kasus ini penggunaan infus ringer laktat atau natrium klorida sudah cukup, jenis infus ini memiliki elektrolit yang dapat menjaga keseimbangan elektrolit dan mencegah hilangnya cairan dalam proses bedah (Tjahajati, 2015).

Gambar 4.6 Hasil bedah aural hematoma.

Perawatan post operasi dilakukan dengan pemberian amoxicillin-250 kapsul

sebanyak 60mg/ 2x sehari selama 5 hari pemberian antibiotik dalam jangka waktu seperti ini ditujukan agar tidak terjadi resistensi terhadap mikroba yang ada di dalam pasien. Pemberian antibiotik bertujuan agar pasien tidak mengalami infeksi dari luka bedah. Amoxicillin merupakan antibiotik golongan beta laktam. Bekerja dengan cara menghambat dinding sel bakteri. Antibiotik ini berspektrum luas sehingga dapat bekerja pada bakteri gram negatif dan gram positif. Lalu pasien diberi dengan glucortin-inj sebanyak 0,02ml, kandungannya yaitu dexamethasone diberikan dengan melalui subkutan. Dexamethasone merupakan obat anti inflamasi golongan kortikosteroid, bekerja dengan menghambat sel-sel inflamasi untuk bekerja dan mensupress mediator inflamasi (Papich, 2011). Klien disarankan untuk melakukan perawatan topikal pada luka dengan melakukan pijatan yang lembut menggunakan kapas steril sebanyak 3-5 kali sehari. Perawatan topikal ini bertujuan untuk mengeluarkan dan membersihkan material (darah maupun serum) yang keluar melalui luka bedah. Lalu dioleskan iodine. Pergerakan pasien dikontrol. Tidak dibiarkan keluar rumah dan beraktivitas berlebih selama perawatan (Hnilica, 2011).

28

Mengingat kondisi pasien yang baik dan masih muda, nafsu makannya juga baik, pemberian pakan seperti biasa sudah cukup. Pakan pasien setidaknya memiliki asam amino dan asam lemak esensial untuk membantu persembuhan pinna. Asam amino esensial yang dibutuhkan untuk membatu persembuhan luka (wound healing) yaitu arginine, glutamine, dan taurine. Selain itu pasien dapat juga diberikan pujimin yang memiliki kandungan ekstrak ikan gabus, dimana ekstrak ini ada albuminnya yang dapat pula membantu persembuhan luka. Untuk asam lemak berupa omega-3 yang dapat memberi efek anti inflamasi sehingga persembuhan luka dapat berlangsung dengan cepat (Corbee, 2014).

Arginine meningkatkan respon dan jumlah sel T-helper terhadap trauma(termasuk juga bedah) dan infeksi. Arginine membantu dalam proses retensi nitrogen, pergantian protein, konversi ammonia menjadi urea, dan persembuhan luka. Pada beberapa studi terhadap mencit, arginine meningkatkan kemampuan untuk sintesis protein dan persembuhan luka, retensi nitrogen dan pertumbuhan. Selain itu, arginine berperan dalam recovery pada kerusakan traktus intestinal dan mencegah adanya infeksi bakteri. Arginine merupakan asama mino esensial pada anjing dan kucing. Glutamin adalah salah satu asam amino yang penting. Asam amino ini membantu dalam kesehatan sel-sel pencernaan dan memperbaiki imunitas. Pada hewan yang stress termasuk stress karena tindakan bedah, glutamine tidak disintesis sepenuhnya. Glutamin membantu aktivitas pencernaan dan sistem imun dengan menstimulasi fase protein spesifik dan mengurangi periode recovery pasca operasi. Glutamine berperan dalam proses pembelahan sel dan merupakan sumber dalam enterosit. Glutamin juga berperan dalam sintesis glutation (antioksidan dalam mukosa pencernaan). Asam amino ini dapat membantu dalam persembuhan luka dan perbaikan sel. Taurin membantu dalam kesehatan dan fungsi dalam sistem imun. Taurin membantu dalam reaksi infeksi seluler akibat dari stress oksidatif dan berperan dalam konjugasi empedu, fungsi retina, dan metabolisme energi di miokardium. Taurin juga berperan dalam mekanisme pertukaran kalsium dan peurunan tekanan darah pada manusia. Kekurangan taurin dapat menyebabkan dilatasi cardiomyopathy pada anjing dan kucing (Corbee, 2014).

Pasien yang telah dioperasi dijemput oleh klien pada pukul 15.00 WIB. Setelah dua minggu klien kembali ke rumah sakit dengan membawa pasien yang lain, dokter menanyakan keadaan pasien Chow Chow. Klien mengatakan bahwa anjing Chow Chow telah sembuh, telinganya sudah kering dan lukanya sudah tertutup, benang dicabut sendiri oleh klien karena menurut klien telinga pasien sudah sembuh dan tidak terasa sakit selain itu klien juga tidak sempat membawa pasien ke Rumah Sakit dan tidak terjadi pembentukan kantung hematoma kembali. Klien mengikuti saran dokter yaitu pemberian antibiotik selama 5 hari dan perawatan topikal secara rutin.

29

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan anamnesa, gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lanjutan punction, pasien anjing ras Chow Chow mengalami aural hematoma. Pada kasus ini metode insisi dengan jahitan dapat memberikan kesembuhan yang efektif. Insisi dilakukan secara longitudinal tanpa menembus kartilago. Perawatan post operasi dapat diberikan antibiotik dan anti inflamasi. Setelah dua minggu, benang pada telinga pasien telah dilepas oleh klien, telinga pasien telah sembuh dan luka bedah telah menutup dan tidak tejadi pembentukan kantung hematoma.

5.2 Saran

Dalam proses operasi perlu dipertahankan tentang sterilisasi alat yang digunakan serta ruangan yang steril sehingga meminimalisir terjadinya kontaminasi saat melakukan operasi. Perlu di perhatikan teknik penjahitan agar tidak terjadi perubahan bentuk pinna. Perawatan post operasi perlu diperhatikan agar persembuhan luka bedah pasien bisa optimal.

30

DAFTAR PUSTAKA Asinga, T. 2006. Treating Aural hematomas. Banfield Hospital, Johns Creek,

Georgia, United States of America.

Bellah, Jamie. R. 2008. Handbook of Small Animal Practice, Fifth Edition.

Elsevier Saunders. United States of America.

Birchard. 2006. Saunder's Manual of Small Animal Practice, 3rd edition. Elsevier

Saunders. United States of America.

Bojrab, M.J., Waldron, D.R., dan Toombs, J.P. 1998. Current Techniques In

Small Animal Surgery 4th Edition. Tenton New Media, Jackson, Willey-

Blackwell, United States of America

Brown, Cyndi. 2010. Surgical Management of Canine Aural hematoma. 104

Volume 39, No. 4 | april 2010. Ocean State Veterinary Specialists, East

Greenwich, Rhode Island, United States of America.

Cholillurrahman. 2012. Studi Kasus Skabies Anjing di Rumah Sakit Hewan

Jakarta (Januari 2005-Desember 2010) Fakultas Kedokteran Hewan,

Institut Pertanian Bogor.

Corbee, R.J. and Van Kerkhoven, W.J.S. (2014) Nutritional Support of Dogs and

Cats after Surgery or Illness. Open Journal of Veterinary Medicine, 4,

44-57.

Davidson, Autumn. 2014. Pediatrics, An Issue of Veterinary Clinics of North

America: Small Animal Practice. Elsevier. California, United States of

America.

Debra, Eldredge. 2007. Dog Owner’s Home Veterinary Handbook Fourth Edition.

Wiley Publishing, Inc., Hoboken, New Jersey, United States of America.

Esrawati, Maya. 2006. Pengaruh Anestesi Per-Injeksi danAnestesi Per-Inhalasi

Terhadap Nilai Saturasi Oksigen dan Nilai Fisiologis Lainnya Pada

Kucing Lokal (Felis domestica) Selama Enterotomi. Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Esther,J.J. 2001. The Complete Encyclopedia of Dogs. Rebo International,

Groningen, Netherlands

31

Falih, Mohsin A.J. 2010. Surgical Treatment of Ear Haematoma in Dogs.

Bas.J.Vet.Res.Vol.9,No.1,2010. Department of Surgery and Obstetric,

College of Veterinary Medicine - Basrah University. Iraq.

Fossum, Theresa. W. 2012. Small Animal Surgery, 4th Edition. Elsevier Mosby.

United States of America.

Harvey, Richard G. 2001. Ear Diseases of the Dog and Cat. Manson Publishing.

London. United Kingdom

Hnilica, Keith. A. 2011. Small Animal Dermatology Color Atlas and Therapeutic

Guide. Elsevier Saunders. United States of America.

Joyce, Judith. 2000. Canine aural haematoma. Waltham Focus Vol 10 No 4 2000.

Northumberland, United Kingdom

Lukasik, Victoria M. 2014. Anesthesia Of The Pediatric Patient. Animal

Speciality & Emergency Center. Los Angeles, United States of America.

Lund, Elizabeth. 2006. Identifiying aural hematoma risk. Banfield Hospital, Johns

Creek, Georgia, United States of America.

Natania, Mudita. 2012. Kejadian Penyakit Distemper dan Parvo Pada Anjing

Melalui Pendekatan Klinis, Studi di Rumah Sakit Hewan Institut

Pertanian Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Papich, M.G. 2011. Saunders Handbook of Veterinary Drugs : Small and Large

Animal, 3rd Edition. Elsevier Saunders. United States of America.

Pereira, Stephen. Aural hematomas: Underlying causes. Banfield Hospital, Johns

Creek, Georgia, United States of America.

Petwave. 2009. Treatment and Prognosis for Aural hematomas in Dogs Diakses

pada tanggal 22 November 2017. http://www.petwave.com/Dogs/Health/Aural-

Hematomas/Treatment.aspx.

Seibert, R. 2013. Surgical Treatment for Aural hematoma. University of

Tennessee, Knoxville, Tennessee, United States of America.

Setiabudy, Rianto. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen

Farmakologi dan Terapeutik. Fakultas Kedokteran. Universitas Indonesia

Stein, Bob. 2009. Small Animal Anesthesia Guide. Veterinary Anesthesia &

Analgesia Support Group. United States of America.

32

Tjahajati, Ida. 2015. Aplikasi Klinis Fluid Therapy Pada Anjing dan Kucing.

Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah

Mada.

Turner, Callum. 2007. Ear Hematoma in Dogs. Diakses pada tanggal 22

November 2017. https://wagwalking.com/condition/ear-hematoma

Wells, Deborah. 2010. Domestic Dogs and Human Health: An Overview. British

Journal of Health Psychology 12, 145–156. United Kingdom.

Widodo, Setyo. 2012 . Diagnostik Klinik Hewan Kecil Edisi 1. IPB Press, Bogor,

Indonesia.

Wilson, Don. E. 2005. Mammal Species of the World: A Taxonomic and

Geographic Reference, 3rd ed., vols. 1 & 2. Johns Hopkins University

Press. Baltimore, Maryland, United States of America.