TUGAS AKHIR - Jokowi Effect Dalam Perspektif Pemasaran Politik-edited
-
Upload
dawud-gede -
Category
Documents
-
view
9 -
download
1
description
Transcript of TUGAS AKHIR - Jokowi Effect Dalam Perspektif Pemasaran Politik-edited
INDIVIDUAL REPORT PAPER
MARKETING MANAGEMENT
-Marketing Insight-
Dosen : Dr. Ike Janita Dewi, MBA
Oleh : Dawud Gede (33R1207)
Reguler 33 JKT
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
INDIVIDUAL REPORT PAPER
MARKETING MANAGEMENT
-Marketing Insight-
Dosen : Dr. Ike Janita Dewi, MBA
Oleh : Dawud Gede (33R1207)
Reguler 33 JKT
PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
Jokowi Effect – Marketing Insight
Pendahuluan
Konsep marketing yang diutarakan Kotler tidak hanya berlaku bagi sektor komersial, tapi
juga dapat diterapkan pada sektor publik, non-komersial, dan tokoh (selebritas), yang bila dikaitkan
dengan teori pertukaran ekonomi, tidak terbatas pada pertukaran kapital semata, tapi dapat terjadi
juga dalam konteks sosial yang lebih luas dimana nilai, ide, informasi, dan karakteristik dapat juga
dipertukarkan.
Konsep pemasaran tokoh sedikit banyak sesuai (klop) dengan pemenuhan kebutuhan ke-3
dan ke-4 dari piramida Maslow yaitu kebutuhan sosial dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Setiap
orang menginginkan berada dalam lingkaran sosial tertentu, atau berbeda dari kebanyakan orang
(aktualisasi diri), atau menginginkan atensi premium dari kebanyakan orang (fenomena alpha-
male). Tidak dapat dipungkiri, disadari atau tidak, pemenuhan kebutuhan diatas ditampilkan oleh
tokoh melalui pembawaan diri mereka masing-masing.
Joko Widodo, Walikota Solo, mendukung produk dalam negeri mobil ESEMKA
dan Al Gore, kandidat Demokrat untuk capres USA tahun 2000, sangat peduli akan isu pemanasan global.
[Sumber : http://news.okezone.com/read/2012/10/03/52/698601/jokowi-minta-esemka-jadi-mobil-dinas-dki-1 ;
http://kids.britannica.com/comptons/art-89047/Al-Gore-in-An-Inconvenient-Truth, tanggal akses : 21/05/2013]
Setiap manusia unik dan mempunyai persepsi yang berbeda-beda terhadap status sosial dan
lingkaran profesionalnya masing-masing. Bagaimana hal ini diterjemahkan ke dalam bahasa
perilaku sehari-hari, baik disadari atau tidak, akan mempengaruhi citra (branding) seseorang di
mata publik. Pemasaran untuk selebritas (apakah artis atau tokoh politisi) atau yang lebih dikenal
dengan istilah personal branding memiliki kesamaan dengan merek produk bahwa mereka
menampilkan nilai-nilai unik yang mampu mewakili proposisi nilai jual suatu produk, atau sifat
ideal yang diinginkan mayoritas orang, atau karakteristik terwakili dari kelas sosial tertentu, dan
yang terpenting memiliki ciri pembeda (competitive advantage). Sang tokoh mempersepsikan
dirinya sebagai merek.
Artikel kali ini membahas fenomena Jokowi (EFFECT) dalam aplikasi marketing di dunia
politik. Sang tokoh ditampilkan secra halus sebagai suatu branding, yang disisipkan dalam
kehidupan sehari-hari, memiliki nilai berita dan ditampilkan oleh media, ditambah konsistensi
perilaku yang koheren dengan pencitraan yang ditampilkan.
Profil Tokoh
Joko Widodo, atau yang lebih akrab dipanggil
Jokowi, Walikota Surakarta (Solo) selama satu
setengah periode dari 2005-2010 dan 2010-2012,
terhitung sejak tanggal 15 Oktober 2012 memimpin
Ibukota Indonesia. Pria kelahiran Surakarta, 21 Juni
1961 merupakan gubernur ke-17 yang memimpin DKI
Jakarta. Sangat menarik dicermati bahwa hanya butuh
waktu 7 tahun perjalanan karir politik sebagai
pemimpin kota Solo dengan luas daerah
[sumber gambar : http://media.infospesial.net/image/news/t/5-istilah-nyeleneh-ala-jokowi.jpg, tanggal akses: 21/05/2013]
hanya 44km2 mampu melambungkan Jokowi ke posisi bergengsi memimpin Jakarta dengan
luas wilayah 651km2 ,
idaman seluruh gubernur incumbent. Terlebih lagi melihat perjalanan hidup
Jokowi yang tidak pernah berkecimpung dalam dunia politik, apakah itu elemen aktivis
kemahasiswaan atau anggota partai tertentu, melainkan seorang pengusaha eksportir mebel jebolan
Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Kepercayaan untuk memimpin Jakarta tentu bukan tanpa sebab, berbagai langkah yang
dilakukan Joko Widodo dalam kepemimpinannya di Kota Solo dinilai cukup progresif bila
dibandingkan dengan ukuran kota-kota lainnya yang ada di Pulau Jawa. Salah satu hal yang paling
fenomenal adalah berhasil merelokasi pedagang barang bekas di Taman Banjarsari tanpa adanya
gejolak dari para pedangang. Jokowi yang dianggap pro ekonomi kerakyatan mampu
menghidupkan pasar tradisional dan mengerem pendirian mall dan minimarket. Tidak hanya itu,
dengan slogan baru “Solo: The Spirit of Java” , Jokowi mengubah Surakarta yang sarat kriminalitas
menjadi pusat seni dan budaya. Berbagai usaha berbasis seni kreatif dan budaya diberi dukungan
oleh pemerintah daerah. Kota Solo pun terdaftar sebagai anggota dari Organisasi Kota-kota Warisan
Dunia pada tahun 2006.
Selama masa menjabat sebagai
Walikota Surakarta, Jokowi telah banyak
mendapatkan banyak penghargaan. Salah
satunya diakui dalam tiga besar walikota
terbaik dunia pada tahun 2012 versi situs
online World Mayor.
Strategi Push-Pull Marketing
Pencitraan bagi seorang tokoh tidak mengenal waktu, sepanjang tahun, sepanjang lima
tahun, atau sepanjang masa. Minimal nilai-nilai proposisi tokoh tergambarkan oleh retensi terakhir
publik pada individu tersebut. Ada pemahaman yang mengaitkan antara branding dengan
awareness konsumen yang nyatanya tidak berumur panjang. Sehingga merek harus selalu
diingatkan kembali untuk mempertahankan awarness konsumen. Tidak peduli apakah produk
merek tersebut consumer goods, fashion, atau tokoh personal sekalipun. Hal yang sama juga harus
dilakukan pada merek politik, agar selalu diingat oleh masyarakat (atau konstituen).
Teori marketing membagi dua strategi pemasaran untuk mempromosikan produk, yaitu push
marketing dan pull marketing. Secara sederhana, pada pull marketing konsumenlah yang “menarik”
tawaran penjual. Sedangkan push marketing ketika penjual “mendorong” produk kepada konsumen.
Pemasaran pull menitikberatkan pada branding yang akan menginspirasi konsumen sehingga
tercipta permintaan. Sebaliknya pada push memberikan stimulan langsung pada konsumen untuk
mendapatkan dukungan.
Perbedaan Push dan Pull Marketing dan efeknya terhadap responden
Jokowi sangat sadar akan pentingnya strategi pull ini diluar push yang hanya berlangsung
lima tahun sekali. Penting baginya untuk membentuk citra sebagai pemimpin yang pro rakyat, pro
generasi muda, transparan, dan “Action, Not Only Talk” dengan mewujudkan rencana2 perubahan
dan tidak sekedar wacana belaka. Mengingat tabungan politis Jokowi adalah walikota, pemimpin
wilayah administrasi kota, maka dia harus mentransfer nilai-nilai ideal yang diinginkan oleh
pemimpin suatu kota melalui media (ulasan positif) dan word-of-mouth. Ulasan oleh pihak lain
(media) adalah sangat penting mengingat dipandang masyarakat umum sebagai pihak yang tidak
memihak, dengan catatan tidak berlebihan sehingga dipandang “lebay”.
Pastinya ada banyak pemimpin daerah yang kompeten melakukan hal yang sama, hanya saja
apakah tersampaikan dalam lima tahun kepemimpinan. Umumnya, setelah lewat masa kampanye
dan terpilih, para kandidat terpilih (diduga) sibuk mengembalikan modal kampanye dan lupa akan
tugas dan janji yang diucapkan. Padahal lima tahun ini adalah kesempatan emas untuk membentuk
citra, memberikan karakteristik pembeda, dan menanamkan merek politik yang permanen. Sehingga
pencapaian lima tahun kerja tidak perlu disampaikan kembali pada kampanye berikutnya karena
masyarakat mampu mengukur kinerja yang bersangkutan.
Selain itu, karena strategi pull juga menginspirasi konsumen, sehingga tercipta hubungan
relasional yang mampu berlangsung dalam jangka panjang dan bukan transaksional belaka.
Walaupun ini tidak dirasakan secara nyata tetapi simpati masyarakat akan terbentuk mengingat
umumnya hubungan tercipta dalam dua arah (ada interaksi), misalnya relokasi pedagang di Taman
Banjarsari yang didahului dengan pembicaraan santai dalam 54 kali lobi makan siang. Atau, sudah
bukan rahasia lagi bahwa Jokowi penyuka musik beraliran metal yang umumnya didengarkan
generasi muda dan anti kemapanan. Padahal persepsi kelompok ini sangatlah negatif terhadap
politik, meskipun potensi voters dari kelompok ini tidak dapat dipandang kecil.
Sebagai gambaran, hasil survey cyrusnetwork pada profil pemilih pra-pemilukada Jakarta
2012 kemarin, menunjukkan demografi untuk kelompok umur 15-24 tahun adalah sebesar 10,3%.
Jokowi tahu bahwa hobinya akan musik metal dapat menghubungkan dirinya pada segmen anak
muda. Mereka yang biasanya disebut swing voters tidak memiliki loyalitas akan suatu pilihan partai
melainkan rasionaltas akan program kampanye dan karakteristik yang mampu mewakili mereka.
Segmentasi, Targeting, dan Positioning
Segmentasi adalah proses pengelompokan konsumen ke dalam unit lebih kecil yang
memiliki karakteristik yang sama. Sedangkan targeting adalah pemilihan sub-segmen yang lebih
spesifik yang nantinya akan menjadi target pemasaran. Tidak jauh berbeda dengan segmentasi pada
dunia pemasaran, hanya saja konsumennya adalah pemilih itu sendiri. Biasanya setiap kandidat
akan memiliki tim kampaye sendiri yang akan jeli melihat segmen manakah yang mempunyai gap
yang tidak begitu jauh dengan produk yang ditawarkan. Ini sangat penting mengingat setiap tokoh
sudah memiliki fans loyal sendiri, tetapi tidak signifikan besar untuk mampu memenangkan
pemilihan langsung. Sehingga diperlukan analisis preferensi pemilih untuk menebak kecenderungan
pilihan politik berdasarkan alasan apa, yang nantinya ditindaklanjuti dengan strategi komunikasi
yang pas sesuai dengan target yang telah dipetakan sebelumnya.
Berdasarkan temuan survey LSI dan CyrusNetwork menjelang pilkada Jakarta 2012,
mayoritas rakyat Jakarta adalah critical voters yang selalu update informasi, dengan tingkat
pendidikan mayoritas SMA dan PT, multietnis, dan masih dalam usia produktif, dengan
perbandingan penduduk yang tinggal di tengah kota dan suburban cenderung sama, pendapatan
terbanyak berada pada level UMR, dan cenderung sekuler.
Jokowi yang jeli melihat komposisi profil masyarakat Jakarta menargetkan pemilih yang
multietnis, kalangan intelektualitas dan kritis, lebih update informasi melalui media online (anak
muda dan usia produktif dewasa), dan rata-rata cenderung sekuler. Sehingga lebih mengedepankan
program kampanye yang solutif, pencapaian kinerja masa lampau, penggunaan baju “kotak-kotak”
yang mampu menggandeng seluruh etnis, dan mencitrakan dirinya sebagai agen perubahan dengan
slogan “Jakarta Baru” yang ditujukan untuk menyasar target anak muda, kalangan intelektualitas,
multietnis, tidak memandang agama, dan sudah bosan dengan keadaan Jakarta yang tidak aman,
banjir, dan macet disana-sini.
Strategi kampanye akan diarahkan baik sumber daya manusia & kapital, dan pendekatan
komunikasi yang spesifik untuk target pemilih ini, yang disesuaikan pula dengan branding walikota
yang pro rakyat, pro generasi muda, transparan, dan sukses dengan beberapa program kesehatan,
pendidikan, dan transportasi di Solo. Disinilah peran pull marketing yang dibangun Jokowi selama
7 tahun jabatan walikota lebih menambah kesan mendalam dalam benak pikiran pemilih
(positioning).
Aktivitas kampanye yang dilakukan bertujuan untuk menanamkan kesan di pikiran
konsumen agar bisa membedakan figur gubernur yang satu dengan yang lain dengan
mengedepankan kredibilitas dan reputasi yang tentu saja dimiliki dalam proporsi dan persepsi yang
berbeda-beda di masing-masing kelompok masyarakat.
Keberhasilan Jokowi memanfaatkan teknologi
internet, seperti Facebook, aplikasi permainan
online, dan video klip lagu parodi “Jokowi dan
Basuki” di Youtube dalam berkampanye
membuatnya dikenali sebagai tokoh yang
mewakili anak muda, serta baju “kotak-kotak
merah” yang ikonik mampu merangkul semua
etnis, yang disisi kandidat lain malah membuat
blunder dengan isu-isu kedaerahan. [sumber
gambar: http://wawansetyadi257.blogspot.com/2012/11/game-jokowi-ahok-selamatkan-jakarta.html, tanggal akses: 21/05/2013]
Tidak ketinggalan berbagai aksi flashmob yang dilakukan simpatisan mampu menarik
partisipasi anak muda pada pilkada Jakarta 2012 kemarin.
Selain itu, berbagai isu seputar kesejahteraan rakyat miskin, pendidikan anak, kesehatan,
perburuhan, transportasi, dan perbaikan tata kota mampu mengukuhkan kredibilitas Jokowi sebagai
tokoh populis yang dapat diterima berbagai kalangan. Dalam hal pencitraan yang lain, Jokowi juga
mencitrakan dirinya sebagai agen perubahan. Dengan jargon “Jakarta Baru” yang diusungnya di
setiap kampanye, berjanji mengubah Jakarta menjadi kota yang lebih tertata rapi sesuai dengan
predikat Jakarta sebagai ibukota negara dan kota dunia.
Citra yang dimiliki Jokowi berbeda
dibandingkan kandidat lain, seperti
kesederhanaan, murah senyum, mau untuk
turun ke lapangan (blusukan). Sehingga
sangat sempurna dipandang sebagai calon
peminpin yang ideal yang tidak hanya
duduk diam di kantor dan “asal bapak
senang”. Memang biasanya menjelang pemilihan, aksi turun ke lapangan banyak dilaksanakan
setiap kandidat, tetapi apakah dipersepsikan sama oleh masyarakat pemilih. Disinilah letak reputasi
citra yang sudah mapan mampu membedakan masing-masing kandidat, dimana reputasi timbul
karena repetisi yang dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang lebih dipandang tulus oleh
pemilih.
Mengelola Personal Branding
Seperti yang telah diutarakan diawal, personal branding adalah bagaimana kita memasarkan
diri pada orang lain dengan pesan yang konsisten dan melalui cara yang sistematis. Karena
orang/tokoh adalah mereknya, maka perlu dilakukan penggalian ciri yang bernilai dari orang
bersangkutan yang layak untuk disampaikan. Penggalian ciri ini dapat saja disesuaikan dengan tema
situasional saat itu. Terdapat tiga hal utama yang diperlukan dalam mengelola personal branding,
yaitu popularitas, kredibilitas, dan kepribadian.
Popularitas akan melambungkan seseorang, tapi apakah relevan dengan proposisi yang
ditawarkan. Seorang dokter gigi nomor 1 tidak akan berbicara masalah astronomi, maka diperlukan
kredibilitas sang tokoh Kredibilitas diperoleh dalam jangka waktu yang tidak singkat dan erat
dengan kemampuan seseorang menangani serangkaian masalah.
Faktor berikutnya yang penting adalah kepribadian seseorang yang akan sangat mendukung
gagasan yang diutarakan. Dan hal inilah yang sangat dipentingkan oleh politisi, yang tentu saja
ingin didengarkan. Pandangan orang akan berubah 1800 apabila gagasan dibawakan oleh orang
yang terlihat biasa-biasa saja. Walaupun ini terlihat seperti dibuat-buat, namun masyarakat
cenderung lebih menyukai pribadi yang ekspresif, wajah cerah, optimis, senyum, bersahabat.
Kepribadian ini akan sangat mencolok perbedaannya, bila satu tokoh disandingkan dengan yang
lainnya. Sebagai contoh, begitu banyak artis yang memilih (dan terpilih) sebagai politisi. Hal ini
tidak lain karena mereka memiliki kepribadian yang mempesona ditambah popularitas yang
dimiliki, terlepas modal pemikiran dan pendidikan yang minim di bidang politik.
Ketiga modal dasar ini harus selalu dimiliki selebritas dengan konsistensi penyampaian
proposisi nilai yang konsisten, agar tidak bertabrakan dengan modal dasar tadi. Contohnya, Oprah
Winfrey yang memiliki proposisi nilai perempuan kelas menengah tentu tidak akan memakai
pakaian yang terlihat mewah menyala, atau menjual produk eksklusif kelas atas seperti parfum
mahal. Hal ini akan sangat bertolak belakang dengan personal branding yang telah dibentuknya. Hal
yang sama berlaku pula pada Jokowi dimana kesederhanaan yang menjadi ciri khas beliau tentu
tidak akan menampilkan kehidupan mewah dalam kesehariannya (seperti memakai arloji mewah),
meskipun ia seorang pengusaha eksportir mebel.
Merek generik
Merek yang berkembang sangat kuat di benak sehingga menjadi bagian dari kehidupan
bermasyarakat, menjadikan merek tersebut sebagai nama sebuah produk. Misalnya, merek Odol
identik dengan pasta gigi, sehingga kita masih sering mendengar seseorang berkata, “Beli odol
Pepsodent”. Personal branding pun tidak terlepas dari hal ini dimana yang dijual adalah ciri,
karakteristik sesorang yang mewakili proposisi nilai, maka terkadang nilai-nilai ini cenderung
dijiplak untuk menunjukkan perwakilan yang sama dengan yang sebelumnya. Sebagai contoh, baju
“kotak-kotak merah” pada pilkada Jakarta 2012 kemarin sangat ikonik sebagai baju multietnis dan
agen pembaharuan.
Adanya fenomena “Jokowi effect” ini menjadikan segala bentuk kampaanye pilkada
mengusung tema kotak-kotak merah yang sama di berbagai kota/kabupaten/propinsi. Padahal belum
tentu proposisi baju tersebut menarik bagi masyarakat setempat. Hal ini terlihat pada dua pilkada
Jawa Barat dan Jawa Tengah, dimana pada propinsi pertama hanya sukses membawa kandidat pada
putaran kedua padahal sudah menggunakan baju kotak-kotak merah. Berbeda dengan propinsi
kedua yang menggunakan warna putih yang dipersepsikan oleh masyarakat Jawa Tengah lebih
positif daripada kotak-kotak merah. Sehingga mampu memenangkan pilgub Jawa Tengah, tentu
saja masih didukung oleh hal-hal teknis lain diluar persepsi warna baju saja.
Kesimpulan
Personal branding tidak hanya milik terbatas selebritis saja, tetapi saat ini sudah berkembang
ke berbagai profesi dan sektor. Banyak orang mulai mengerti kekuatan dari popularitas yang berasal
dari pemasaran merek personal yang baik. Hal ini juga berimbas pada dunia perpolitikan dengan
munculnya marketing politik. Fenomena pengaplikasian ilmu marketing agar para kandidat mampu
memenuhi keinginan pasar dan menawarkan solusi yang menjawab akar permasalahan di sebuah
pemilihan.
Beberapa tokoh yang sukses dalam aplikasi ini adalah Barrack Obama dan Jokowi. Dimana
strategi yang digunakan meliputi hampir semua aspek pemasaran yang mungkin dilaksanakan
sebuah perusahaan sebelum meluncurkan suatu produk baru. Mulai dari segmentasi pasar,
targeting, positioning, branding, hingga marketing terintegrasi yang mendayagunakan komunikasi
intensif melalui bebagai kanal yang diperbolehkan, apakah itu melalui push marketing dan/atau pull
marketing.
Apapun ilmu pemasaran yang digunakan, masyarakat semakin kritis dalam menilai suatu
figur. Oleh karena itu kandidat sebaiknya memiliki personal branding yang kuat ditunjang oleh
strategi pemasaran yang tepat, menyasar publik yang tepat, maka akan membuahkan kesuksesan
karena menampilkan proposisi nilai yang menarik para pemilih.
Referensi
1. Kotler, Phillip, Keller, Kebin Lane. (2006). Marketing Management 12e. Singapore: Pearson
Prentice Hall
2. Rein, Irving, Kotler, Phillip. (2006). High Visibility – Transforming Your Personal And
Professional Brand 3e. Toronto: McGraw-Hill
3. Wasesa, Silih Agung. (2011). Political Branding & Public Relation. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
4. Fadel, Ahmad. (2012). Marketing Politik Kampanye Obama. http://ahmad-
fadel.blogspot.com/2012/06/marketing-politik-kampanye-obama.html.
Tanggal akses : 21/05/2013
5. Pramana, Shidiq Tungga.(2012). Marketing Promotional Strategies ; Push or Pull ?.
http://shidiq40e.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2012/02/25/marketing-promotional-strategies-
push-or-pull/. Tanggal akses : 21/05/2013
6. Kabar UGM Online. (Juli 2009). Menjadi Walikota Dengan Niat Yang Mulia.
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=headline&artikel=141.
Tanggal akses : 21/05/2013
7. The CyrusNetwork. (Maret 2011). Laporan Survei Pra-Pemilukada DKI Jakarta 2012.
Jakarta: CyrusNetwork
8. Lembaga Survei Indonesia. (September 2012). Temuan Survei Pilkada DKI Jakarta 2012.
Jakarta: Lembaga Survei Indonesia
9. Berbagai gambar pendukung diambil dari internet melalui perantara search engine google.