Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

96

description

Hasil tulisan peserta ekspedisi mata angin

Transcript of Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Page 1: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 2: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Muthi’a Jamilatuzzuhriya Mahya - Kelompok 1 – Goa Pawon

Goa Pawon; Menemukan Mesin Waktu

Setiap manusia punya sejarahnya, lalu dengan sejarah mereka manganyam

masa depan – Iqbal Syarie, Transit Cinta

Ketika kecil, saya ingat saya benar-benar percaya pada mesin waktu.

Melihat bagaimana asyiknya memiliki mesin waktu di film fiksi anak-anak, saya

sangat ingin memiliki satu. Yakin bahwa harganya sangat mahal, saya

memendam keinginan itu dan melupakannya pelan-pelan. Hingga akhirnya saya

mengetahui fakta tentang mesin waktu. Bahwa tak ada satupun mesin waktu di

dunia ini.

Waktu memanglah hal yang unik. Dimensi yang tidak dapat

dibalikkan dan terus berjalan secara positif. Maju tak dapat dihentikan. Segala

perubahan di dunia ini bisa dikatakan berubah terhadap waktu. Sering kita ingin

megetahui apa yang terjadi di masa lalu untuk menjelaskan segala hal di masa

sekarang. Maka dari itu banyak orang masih penasaran dengan mesin waktu.

Berteori dan melakukan percobaan untuk menghadirkan mesin waktu dalam

kenyataan.

Hari itu dalam sebuah ekspedisi yang bernama Ekspedisi Mata Angin

2014 yang digagas AICT, untuk pertamakalinya saya menemukan sebuah mesin

waktu di kaki sebuah bukit di kawasan Padalarang, Bandung Barat. Saya terbawa

kembali ke jaman megalitikum ratusan tahun yang lalu. Hari ini pula saya

membuktikan bahwa mesin waktu itu ternyata ada. Mesin waktu yang saya lihat

hari itu bukanlah mesin dengan suatu portal yang bisa diprogram untuk

membawa kita ke berbagai waktu di masa depan dan masa lampau. Mesin waktu

ini hanya bisa mengantarkan saya ke jaman megalitikum. Jaman dimana nenek

moyang kita masih tinggal di goa-goa untuk melindingi diri dari dinginnya malam

dan teriknya siang.

Page 3: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Mesin waktu itu saya temukan ketika saya menjelajahi sebuah goa.

Goa pawon namanya. Goa karst dengan pemandangan elok stalaktit

stalakmitnya. Goa ini mempunyai beberapa pintu dan ruangan yang saling

terhubung bak labirin mini. Dindingnya sebagian kuning keemasan terkena sinar

matahari sore dan sebagian lain hijau muda segar dengan lumut yang menempel.

Goa ini adalah habitat bagi puluhan mungkin ratusan kelelawar yang selama ini

menggantikan nenek moyang kita yang dulunya tinggal disana. Kelelawar-

kelelawar itu sungguh gaduh meskipun saya kesana di sore hari saat mereka

seharusnya masih tidur. Mungkin karena saya terlalu berisik, hewan-hewan itu

merasa terusik.

Page 4: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Beberapa bagian dari goa ini mudah dijelajahi dan sebagian lain

membutuhkan perjuangan untuk menjelajahinya. Kadang saya harus memanjat

dinding goa yang dilumuri kotoran kelelawar untuk dapat menyaksikan

keindahan goa dari berbagai sisi. Tak jarang saya hampir terjatuh dari ketinggian

tebing dinding goa. Tetapi tak apa, segala keindahan membutuhkan perjuangan

kan? Semakin menantang, semakin seru.

Saya masih terus mengelilingi goa Pawon dengan labirin mininya.

Banyak lubang keluar yang terlihat indah memancarkan berkas cahaya matahari

menerangi kedalaman goa. Seperti spotlight yang biasa ada di panggung-

panggung sebuah pagelaran. Sekali lagi saya melihat keindahan yang

menginspirasi, inspiring beauty.

Page 5: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Saya sudah berada diluar goa ketika saya melihat hal yang lebih

mengagumkan. Sebuah mesin waktu berpagar besi dilindungi naungan stalakmit

goa pawon. Mesin waktu itu berupa tengkorak seorang manusia. Hampir utuh

sempurna dengan posisi menelungkup melipat kedua lutut kearah dada, seperti

orang kedinginan. Tengkorak itu adalah tengkorak seorang wanita ras mongoloid

yang hidup pada jaman megalitikum. Seketika mesin waktu itu menceritakan

kepada saya gambaran bagaimana manusia ratusan tahun yang lalu hidup. Saya

hanya bisa merasa bahwa pemandangan yang saya lihat kali ini sungguh luar

biasa. Pemandangan ini membuktikan bahwa tak hanya express across nation

yang mungkin dilakukan tetapi juga express across time. Hampir habis kata saya

menggambarkannya.

Page 6: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Berlama-lama saya menghayati kehidupan masa lalu. Hampir saya

terserap ke masa lampau, namun akhirnya keramaian menyadarkan saya dan

menarik saya dari mesin waktu megalitikum. Pengunjung goa ini lumayan ramai.

Di sore hari pada hari kerjapun banyak orang yang berkunjung kemari. Saya

bertemu dengan beberapa rombongan lain. Saya bersyukur ada banyak orang

yang sadar akan pentingnya sejarah. Karena sejarah adalah bagian yang

membentuk identitas seorang manusia. Bung Karno, seorang cendekia pendiri

bangsapun sampai berpesan untuk menekankan pentingnya sejarah “Jangan

sekali-sekali melupakan sejarah”. Tak peduli kamu seseorang yang suka berjalan

mendaki gunung, menyusur pantai, berkeliling kota, datanglah kemari! Lihatlah

bagaimana pendahulumu hidup, bagaimana dunia berubah terus menerus dari

kehidupan manusia goa hingga manusia modern seperti sekarang. Jadikanlah goa

ini seperti kaca untuk merefleksikan bagaimana kehidupan manusia. Manusia

yang mungkin berubah secara peradaban namun tidak berubah sama sekali sifat

dan emosionalitasnya. Belajarlah dari masa lalu dan jadilah manusia yang lebih

baik dari manusia yang hidup sebelumnya.

Page 7: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 8: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Muthi’a Jamilatuzzuhriya Mahya - Kelompok 1 - Stone Garden

Taman Batu; Bukit yang Menyimpan Cerita Lautan

Hari ini kami berjalan lagi

Menapaki batuan melawan terik matahari

Demi mewujudkan sebuah ekspedisi

Membawa cukup satu misi

Melawan diri kami sendiri

Perjalanan kami hari ini adalah suatu ekspedisi. Ekspedisi Mata Angin 2014

namanya diinisiasi oleh AICT. Tidak biasanya kami mengartikan perjalanan

sebagai suatu ekspedisi. Perjalanan adalah cukup suatu perjalanan. Yang

termaknai setelah perjalanan itu berakhir. Berbeda dengan hari ini. Kami

memaknai perjalanan sebagai suatu ekspedisi. Ekspedisi adalah perjalanan yang

membawa suatu misi. Misi yang harus kami tuntaskan saat kami kembali.

Membawa kabar bahwa negeri ini masih menyimpan misteri. Misteri indah yang

membuat kami terhenyak, terkesima. Menyaksikan keindahan negeri ini sekali

lagi. Bukit yang menyimpan cerita tentang laut, bukit yang menyimpan cerita

tentang sejarah. Hari ini bukit itu berada dihadapan kami,dipijakan kaki kami.

Hari masih pagi. Saatnya mengawali ekspedisi. Barat adalah tujuan kami

Pukul delapan pagi di sebuah penginapan di Cimbeleuit, kota kembang, kami siap

menuju bukit di barat yang menyimpan cerita lautan. Di bukit itu ada sebuah

taman yang saat ini menjadi tujuan. Warga sekitar lebih suka menyebutnya

Taman Batu. Tapi supaya bisa go international taman itu juga disebut Stone

Garden. Berkendara dengan mobil menjadi pilihan kami walaupun sebenarnya

bisa saja kami menaiki kendaraan umum. Mobil memang angkutan yang cukup

praktis bahkan untuk express across nation, right? Waktu menunjukkan pukul

Page 9: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

setengah sepuluh pagi. Sudah sekitar satu setengah jam kami melalui jalanan

Bandung Padalarang yang berkelok dan padat. Akhirnya kami sampai di kaki

bukit itu. Rasa penasaran yang mengusik kami selama perjalanan akan segera

terjawab di puncak bukit. Bagaimana cerita lautan yang dititipkan disana, kami

akan segera tahu.

Mendaki, bukan hal asing bagi kami. Para pejalan seperti kami siap mendaki

demi terwujudnya misi

Merupakan hal wajar bila hal indah membutuhkan bayaran mahal. Siang hari,

dengan pemandangan batuan terjal dan tanah licin otak kami menyimpulkan

perjalanan ketas bukit ini bukanlah hal mudah. Mengingat rasa penasaran kami

akan cerita lautan, lebih banyak sisi hati kami yang menyuruh untuk tetap

menguatkan kaki, melawan matahari, untuk melihat sendiri bagaimana cerita

lautan dikisahkan. Lima menit, sepuluh menit, peluh menetes lama-lama

semakin membanjir. Lima belas menit sepertinya sendi kami tak kuat lagi,

berteriak minta berhenti. Akhirnya kami menyerah sementara. Kami minum dan

meluruskan kaki. Waktu berlalu memperpanjang rasa penasaran kami akan cerita

lautan. Kamipun berdiri dan kembali melangkahkan kaki. Kali ini terasa lebih

mudah. Medan tak lagi sesulit tadi dan sendi kami sudah mulai terbiasa.

Setengah jam dari awal pendakian, di kejauhan kami bisa melihat apa yang kami

harapkan muncul. Susunan batuan besar yang katanya berasal dari lautan.

Ketika cerita lautan dikisahkan

Kami setengah berlari menuju tumpukan batuan yang kokoh berdiri. Tanpa sadar

kami berada di ketinggian. Menyaksikan seutuhnya pemandangan yang tidak

bisa kami lihat di tempat yang lebih rendah. Pandangan kami mengalahkan

tembok, pohon, dan segala benda yang biasanya membatasi. Jalan yang tadi

kami lewati, desa dibawah kami, bukit-bukit lain disekitar bukit ini, kami bisa

Page 10: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

melihat semuanya. Jika para pendaki mengatakan rasa kebebasan akan lebih

terasa ketika berhasil menaklukan suatu puncak, kali ini kami tak akan

membantah lagi. Di ketinggian udara yang berhembus adalah udara kebebasan.

Cobalah sendiri dan kalian akan tahu apa itu udara kebebasan.

Dan cerita lautan membuat kami takjub

Di puncak ini semua batuan adalah batuan karbonat. Disusun oleh mineral kalsit,

batuan ini sering disebut batugamping oleh masyarakat sekitar. Batu yang

menurut para ahli bumi biasa terbentuk di lingkungan laut, bagi awam seperti

kami sungguh aneh bila tiba-tiba muncul di bukit setinggi ini. Inilah cerita lautan

yang dikisahkan disini. Alkisah dulunya bukit ini adalah dasar lautan. Tempat

foraminifera, ganggang laut, dan terumbu karang hidup subur. Setelah mati,

biota lautan itu akan mengendap tersedimentasi menjadi batuan karbonat.

Batuan itu tetap diam di dasar laut sampai ada suatu peristiwa besar pada masa

itu. Terjadi pengangkatan lautan. Hampir tidak sanggup imajinaasi kami

Page 11: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

membayangkan bagaimana lautan terangkat. Tapi melihat bukti di bukit ini mau

tak mau kami mempercayai cerita ini.

Jika bukit yang menyimpan cerita lautan ini tak berumur panjang

Ada yang membebani hati kami disini. Pemandangan yang kami saksikan bukan

sema sekali tanpa cacat. Bukit di seberang bukit ini, Masigit namanya. Bukit itu

tinggal separuh. Bukan karena longsor dan bencana alam lainnya. Bukit itu

hampir habis digerogoti keserakahan manusia. Mereka mengeruknya berupaya

segera menghabiskannya. Setiap hari puluhan truk berkapasitas ratusan kubik

batugamping hilir mudik di jalan raya padalarang yang sempit. Menggunduli

padalarang, mengkerdilkan bukit-bukitnya. Bukit yang indah, tinggi, kokoh, lama

kelamaan semakin rendah, penuh bopeng keropeng sana-sini, dikeruk kegagahan

nya. Bukit ini, tempat kami berdiri saat ini, akankah sama seperti bukit lain nya?

Pada akhirnya batuan yang menyimpan cerita lautan akan berakhir menjadi

keramik di suatu rumah mewah atau menjadi porselen penghias ruangan? Maka

Page 12: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

jika benar seperti itu, maka hilang sudah suatu harta, inspiring beauty, pencerita

kisah lautan. Lalu bagaimana generasi setelah kita mendengar cerita lautan.

Maka ini saatnya menuntaskan misi

Dorongan untuk menyimpan cerita lautan demi generasi setelah kami membuat

kami tak ingin kalah dengan industrialisasi. Satu-satunya cara untuk melawan

mesin penggali batugamping itu adalah dengan meramaikan bukit ini. Dengan

berada disini akan menghalau para pengeruk batugamping. Kami para pejalan

ekspedisi ini akan terus mengajak agar semua orang agar datang kesini.

Datanglah kesini! Datanglah membantu melindungi kisah lautan! Supaya tak

berakhir sebagai porselen penghias ruangan. Supaya kisah ini sampai ke generasi

mendatang.

Page 13: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 14: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Nama : Saepulloh

Nama Kelompok : Kelompok 1 (K1)

Tujuan Destinasi : Gua Pawon, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Ada Stonehenge di Padalarang?

Siapa yang belum pernah ke Bandung? mungkin hampir setiap orang

sudah pernah mengunjungi Kota Kembang ini. Kota dan Kabupaten yang terkenal

dengan udaranya yang segar, pemandangannya yang indah, serta sekarang

Bandung menjadi sorotan pelancong baik domestik maupun mancanegara.

Mengapa tidak? Bandung saat ini memiliki banyak inovasi baru dan segar bagi

masyarakatnya maupun orang-orang yang sekedar ingin tahu dengan terobosan

yang ada di Bandung. siapa yang tidak tahu dengan Taman Jomblo?, kalau Taman

Musik?, atau Taman Lansia? Eitss, yang paling terbaru deh Taman Film? Tahu

ngga? Ini semua tempat hiburan yang dibuat untuk masyarakat Bandung

khususnya dan seluruh orang yang berkunjung ke Bandung pada umumnya.

Mungkin itu segelintir kecil tempat wisata di Bandung, tetapi kali ini saya

akan membahas tentang Taman Batu atau Stone Garden. Ada yang pernah

mendengar Taman Batu atau Stone Garden di Bandung? Jika belum boleh simak

cerita saya serunya berkeliling Stone Garden. Perjalanan saya di Stone Garden

berawal ketika saya dinyatakan menjadi salah satu delegasi Ekspedisi Mata Angin

2014 perwakilan Bekasi. Acara yang diselenggarakan oleh Ambassador of

Indonesian Culture and Tourism (AICT) dibawah naungan Komunitas Sobat

Budaya ini mempertemukan saya dengan orang-orang hebat se-Indonesia hasil

seleksi yang ketat.

Singkat cerita, saya masuk dikelompok satu yang mendapatkan lokasi

destinasi Gua Pawon dan Taman Batu atau sering disebut Stone Garden. Pagi itu

kami diantarkan menggunakan mobil JNE “Express Across Nation” salah satu

perusahan yang bergerak dalam bidang pengiriman dan logistik yang berpusat di

Jakarta. Setelah sampai dilokasi, kami mengunjungi Gua Pawon terlebih dahulu

Page 15: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

sebelum Stone Garden karna lokasi yang berdekatan dan masih dalam satu

kawasan karst di daerah Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Pernah mendengar Stonehenge di Inggris? Mungkin Stone Garden ini bisa

dibilang versi Indonesianya. Lokasi yang terletak di puncak Gunung Pawon,

Kampung Girimulya, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten

Bandung Barat merupakan pemandangan hamparan perbukitan dengan

bongkahan Batugamping dengan variasi bentuk dan ukuran yang menghampar

luas seperti Taman Batu (Stone Garden). Diperlukan waktu 30 menit atau sekitar

1,5 kilometer menuju lokasi yang berada kurang lebih 710 meter diatas

permukaan laut.

Stone Garden, Citatah, Kabupaten Bandung Barat

Trek yang berliku dan lumayan terjal membuat kita harus berhati-hati

dalam berjalan, tetapi itu semua akan terbayar lunas ketika kita sudah berada di

Stone Garden. Hamparan bebatuan yang tak beraturan, ilalang-ilalang yang

mengelilingi bebatuan, sampai hamparan pesawahan yang sebagiannya mulai

menguning terlihat jelas dari lokasi Stone Garden.

Page 16: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Menurut cerita, hamparan ini merupakan bagian-bagian dari kumpulan

Batugamping yang terbentuk dibawah permukaan laut sekitar 30 juta tahun yang

lalu. Wow, bukan hanya pemandangan yang indah yang bisa kita nikmati tetapi,

kita bisa belajar mengenai jenis batuan gamping beserta proses geologinya.

Hamparan batugamping yang meninggi diantara ilalang

Ada yang menarik ketika saya mengunjungi Stone Garden. Di waktu

teman-teman yang lain sibuk mengamati atau sekedar berjalan-jalan santai,

salah satu teman perempuan saya malah menggunakan peralatan kosmetik dari

Wardah “Inspiring Beauty”. Pas saya tanya kenapa menggunakan produk

Wardah, dia berkata “Iya nih, produk wardah ini cocok banget buat kita para

wanita yang ingin tetap terlihat cantik walapun aktivitas di tempat-tempat

terbuka seperti saat ini, selain itu juga Warda itu Halal. Jadi makin seneng deh

menggunakan Wardah”. Saya sih cuma bisa senyum aja. Namanya juga wanita

selalu ingin dimengerti.

Jadi tidak perlu jauh-jauh ke Stonehenge di Inggris untuk menikmati

hamparan bebatuan, cukup ke Stone Garden di Bandung saja. Selain jalan-jalan,

kita juga bakalan banyak dapet pelajaran tentang bebatuan, kita juga bisa

Page 17: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

mengetahui sejarah pembetukanya, terlagi lokasi ini berdekatan dengan Gua

Pawon sehingga sekali mendayung dua pulau dinikmati. Selamat berlibur.

Page 18: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 19: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Nama : Saepulloh

Nama Kelompok : Kelompok 1 (K1)

Tujuan Destinasi : Gua Pawon, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Mau Liat Manusia Purba? Ke Gua Pawon Aja.

Siapa yang belum pernah ke Bandung? Ibukota dari Provinsi Jawa Barat

ini penuh pesona dan kreativitas. Siapapun yang mengujungi kota Kembang ini

pasti selalu betah berlama-lama menikmati keindahan alamnya. Udaranya yang

sejuk, warganya yang ramah, serta lokasi pariwisatanya yang tidak kalah dengan

daerah lain, membuat siapapun yang pernah mengunjungi tempat ini akan

sependapat dengan saya. Jika kalian yang suka mengunjungi tempat baru,

apakah kalian sudah pernah mengunjungi Gua Pawon? Jika jawaban kalian

belum, segeralah mengunjungi gua ini.

Sedikit cerita dari saya mengenai Gua Pawon yang mungkin bisa menjadi

sedikit gambaran perjalanan liburan kalian diakhir pekan ini. Perjalanan saya

diawali dengan terpilihnya saya menjadi Delegasi Ekspedisi Mata Angin 2014

setelah melewati proses seleksi yang ketat. Acara Ekspedisi Mata Angin ini

merupakan acara yang diusung oleh Ambassador of Indonesian Culture and

Tourism (AICT) yang merupakan project dari Komunitas Sobat Budaya.

Tak tanggung-tanggung, acara ini mengundang peserta terpilih dari

seluruh Indonesia yang telah dibekali sebelumnya dengan materi-materi

penunjang dalam perjalanan ekspedisi seperti Travel Writing, Fotografi, dan

Videografi. Semua materi ini disampaikan oleh pakar-pakar dibidangnya dengan

penyampaian yang santai dan fresh, sehingga kita dengan mudah memahami

materinya. Selain itu acara ini didukung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Provinsi Jawa Barat, Wardah Kosmetik “Inspiring Beauty”, JNE “Express Across

Nation” , dan masih banyak lagi.

Page 20: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Perjalanan saya berawal ketika saya bergabung bersama kelompok 1 yang

mendapatkan lokasi ekspedisi di Gua Pawon dan Stone Garden atau Taman Batu

di daerah Padalarang. Perjalanan kami awali menuju ke Gua Pawon dengan

menggunakan fasilitas mobil dari JNE. Ini cerita singkat saya, buat kalian yang

menyukai Wisata Alam atau Wisata Sejarah, Gua Pawon bisa menjadi salah satu

alternatif kunjungan kalian diakhir pekan. Gua Pawon merupakan gua yang

terletak di Pasir atau Gunung Pawon, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat

Kabupaten Bandung Barat, jaraknya kurang lebih 500 meter dari pintu masuk

Kawasan Karst Citatah di tepi Jalan Raya Padalarang. Atau kita bisa menempuh

jarak + 25 km ke arah Barat menuju Padalarang dari Kota Bandung.

Mengapa harus mengunjungi tempat ini? Ini mungkin pertanyaan

pertama yang akan terlontar ketika mendengar Gua Pawon. Gua Pawon ini

merupakan salah satu Cagar Alam yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat,

khususnya Kabupaten Bandung Barat. Gua yang “mengangah” lebar ini membuat

kita akan terpesona dengan salah satu Maha Karya Tuhan yang sangat luar biasa.

Maha Karya yang terbentuk oleh alam secara alami dan wajib dikunjungi,

dipelajari, serta dilestarikan ini.

Dengan merogoh kocek Rp 5.500,- kita sudah dapat “menelanjangi” Gua

Pawon sampai ke titik feminim yang belum banyak orang ketahui. Titik yang

mungkin hanya bisa kalian nikmati ketika berada di jantung Gua Pawon. Selain

itu, sepanjang perjalanan menuju ke Gua Pawon, kalian akan disambut

rombongan kera-kera yang hidup di sekitaran gua.

Lain di luar lain juga di dalam, saat berada di mulut gua kita sudah

disambut dengan aroma khas yang mungkin sebagian orang tidak menyukainya.

Ya, aroma itu berasal dari kotoran ribuan kelelawar yang “menghitam” di atas

gua, selain itu juga kalian akan menjumpai kawanan burung Walet yang hilir

mudik di antara celah-celah mulut gua. Tenang saja, aroma itu hanya tercium di

awal saja, semakin dalam dan semakin tinggi kita menjelajahi isi gua, semakin

Page 21: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

terbiasa dan perlahan menghilang aromanya. Stalaktit yang menggantung

dilangit-langit membuat gua ini pun semakin cantik dan mempesona.

Penampakan Stalaktit yang sangat mempesona

Selain terpesona dengan keindahan isi gua, kalian pun akan tercengang

dengan penemuan fosil manusia purba yang ada di dalam gua. Ternyata,

menurut sejarah gua tersebut pada masa lalu digunakan sebagai tempat hunian

dengan temuan berupa artefak penunjang kehidupan pada masa lalu, serta di

gua ini pernah ditemukan oleh para peneliti yaitu lima bagian tulang belulang

manusia purba yang mewakili lima individu yang berbeda, dan kalian bisa

melihat rangka utuh manusia purba yang pernah ditemukan di Gua Pawon.

Page 22: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Fosil manusia purba di Gua Pawon

Jadi, selain menyimpan keindahan, ternyata Gua Pawon menyimpan

banyak sejarah dan misteri yang harus kita pelajari. Yuk, tunggu apalagi kalau

mau belajar tentang Arkeologi dan Ilmu Kebumian, Gua Pawon bisa menjadi

salah satu alternatif mudah mengisi liburan atau hanya sekedar ingin menikmati

hamparan kawasan karst di Kabupaten Bandung Barat.

Page 23: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 24: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

1

CURUG CINULANG : MELEPAS PENAT DENGAN BASAH -BASAHAN I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)

“P

An Nisaa’ Siti Humaira Kelompok 2 - Di Ufuk Timur Bandung Timut (Curug Cinulang)

CURUG CINULANG : Melepas Penat dengan Basah-basahan

ejamkan mata, bayangkan

kita sedang mendengar

riuhnya deburan air yang jatuh

terhempaskan dari ketinggian, cium

aroma basah segar di sekeliling, dan

ketika membuka mata, kita dapat

meilhat burung beo sedang berputar-

putar di puncak ketinggian air terjun

sembari menikmati pelangi yang

terbiaskan oleh mentari dan hempasan

air. Percikan lembut air yang

menyentuh kulit seketika menyegarkan

pemikiran. Rasanya penat yang sudah

menumpuk akan hilang saat itu juga!

Berjuta keindahan tersebut dapat dibeli

dengan hanya Rp5.000,00/orang dan

kita dapat sepuasnya menikmati

pesona Curug Cinulang.

Curug Cinulang menjadi salah satu

destinasi wisata yang dieksplorasi di

Wilayah Bandung Timur pada

kesempatan yang diberikan oleh AICT

(Ambassador of Indonesian Culture and

Tourism) yang bekerja sama dengan

JNE “express across nation” dalam

rangkaian acara Ekspedisi Mata Angin

2014.

Curug dalam Bahasa Sunda berarti

air terjun. Air terjun ini diberi nama

demikian karena sebagian wilayahnya

berada di Desa Sindulang (seringkali

juga disebut Cinulang oleh warga

setempat), Kabupaten Sumedang.

Curug ini berada di sebelah timur Kota

Bandung yang tepatnya berada di

antara dua wilayah administratif yang

berbeda yakni di Desa Sindulang,

Kabupaten Sumedang dan Desa

Jatiwangi, Kabupaten Bandung.

Curug Cinulang memiliki dua air

terjun utama yang keduanya memiliki

tinggi sekitar 50 meter. Di area sekitar

air terjun utama dapat dikatakan cukup

aman sehingga kita dapat bermain-

main air langsung di bawah hempasan

air terjun. Namun, tetap hati-hati

Page 25: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

2

CURUG CINULANG : MELEPAS PENAT DENGAN BASAH -BASAHAN I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)

karena batu yang terhempas air

ditumbuhi lumut-lumut sehingga

sedikit licin dan membutuhkan sedikit

kewaspadaan ketika berbasah-basahan

langsung di bawah tempias air terjun.

Terdapat dua hal yang sangat

menarik di curug ini, yang pertama

adalah kita dapat melihat pelangi

secara jelas di air terjun ini terutama

ketika siang hari dan ketika cuaca

sedang cerah. Hal menarik lainnya

adalah adanya beberapa mitos seperti

kepercayaan untuk dapat

memeperoleh sesuatu jika bertapa di

curug ini selama 40 hari tanpa makan

dan minum. Mitos lainnya yang

menarik adalah terkait jodoh! Warga

lokal percaya jika : (a) datang ke curug

tanpa pasangan maka setelahnya akan

mendapatkan pasangan; (b) datang ke

curug dengan pasangan tapi hanya

diam saja tanpa bermain air dan basah-

basahan maka setelahnya akan terjadi

hal yang tidak diinginkan seperti putus

hubungan; dan (c) datang dengan

pasangan kemudian bermain-main air

dan berbasah-basahan di curug maka

setelahnya hubungan akan terus

langgeng. Nah, mau pilih yang mana?

Percaya atau tidak, mau datang sendiri

atau dengan pasangan, keluarga, dan

teman, pastikan kita bermain-main air

ya, karena rugi kan jika ke air terjun

tapi tidak basah-basahan.

HOW TO GET TO CURUG CINULANG?

Dengan kondisi normal, curug ini

dapat ditempuh dengan perjalanan

selama ±1,5 jam dari Kota Bandung.

Lokasi Curug ini cukup mudah

dijangkau baik dengan kendaraan

pribadi maupun kendaraan umum dan

dengan akses jalan yang sudah

sepenuhnya mulus beraspal. Berikut ini

merupakan beberapa alternatif yang

dapat kita pilih untuk menuju ke Curug

Cinulang.

Air Terjun Cinulang Sumber : M. Anis Alghifari, 2014

Pelangi di Curug Cinulang Sumber : M. Anis Alghifari, 2014

Page 26: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

3

CURUG CINULANG : MELEPAS PENAT DENGAN BASAH -BASAHAN I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)

Dengan menggunakan mobil, kita

dapat memilih jalur melalui Jalan

Tol Purbaleunyi dengan pintu

keluar tol di Cileunyi. Dari Cileunyi

kemudian menuju ke arah Jalan

Raya Rancaekek-Cicalengka. Dari

Jalan Raya Cicalengka memang

tidak dapat ditemukan signage

menuju Curug Cinulang, tapi

patokan yang paling mudah diikuti

adalah dengan mengikuti signage

menuju tempat wisata “Pondok

Aki-Enin” karena lokasi dari curug

tidak jauh dari pondok wisata

tersebut.

Jika bepergian dengan sepeda

motor, maka jalur yang dipilih ke

arah Cileunyi dari Kota Bandung

adalah melalui jalur ke arah

Terminal Cicaheum-Cibiru-Cileunyi.

Selanjutnya dari Cileunyi

menempuh jalur yang sama jika

bepergian dengan mobil.

Bagi yang bepergian dengan

menggunakan angkutan umum,

dari Kota Bandung kita dapat

menggunakan kereta api dari

Stasiun Bandung menuju Stasiun

Cicalengka. Kemudian dilanjutkan

dengan menggunakan angkutan

umum yang berada tepat di pintu

keluar stasiun. Angkutan umum ini

langsung menuju ke Curug

Cinulang dengan ongkos sekali

jalan adalah Rp8.000,00, tetapi

hati-hati karena angkot ini hanya

ada hingga pukul 13.00 WIB saja.

Jika angkot sudah tidak beroperasi,

maka kita dapat menggunakan ojek

dengan membayar sebesar

Rp15.000,00 sekali jalan hingga

stasiun atau terminal.

TIPS KE JALAN-JALAN KE CURUG

CINULANG

Beberapa tips yang dapat disarankan

jika kita jalan-jalan ke Curug Cinulang

diantaranya adalah seperti berikut.

Bawa baju ganti. Sayang sekali jika

datang ke curug tapi tidak basah-

basahan. Sensasi tempias air yang

mengguyur seluruh badan wajib

dicoba! Dengan basah-basahan di

bawah air terjun sembari

menikmati keindahan pelangi

secara langsung, dijamin penat

akan hilang dengan sendirinya.

Jangan khawatir barang akan

hilang karena di area ini juga

terdapat tempat penitipan barang.

Page 27: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

4

CURUG CINULANG : MELEPAS PENAT DENGAN BASAH -BASAHAN I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)

Terdapat juga toilet, mushola, dan

tempat ganti pakaian.

Bawa bekal makanan/minuman

atau di area curug jika tidak mau

repot. Setelah bermain-main

dengan dinginnya air, tentunya

perut akan langsung lapar sehingga

sebaiknya kita membawa bekal

makanan/minuman. Namun jangan

khawatir jika kita malas dan tidak

mau repot-repot membawa bekal.

Terdapat banyak kios/warung

penjaja makanan dan minuman

yang dapat menghangatkan tubuh.

Datang ketika hari/cuaca cerah.

Hal yang paling menarik adalah

ketika kita bisa melihat pelangi.

Pelangi dapat dilihat ketika

hari/cuaca cerah terutama pada

siang hari sehingga datanglah pada

waktu-waktu tersebut.

Hindari datang ke curug setelah

lebaran jika tidak terlalu suka

suasana yang sangat ramai. Waktu

paling ramai dikunjungi adalah

pada saat libur sehabis lebaran.

Pada waktu tersebut, dalam sehari

dapat terjual sebanyak 1.000 tiket

masuk curug. Kebayang kan betapa

penuh sesaknya?

Rombongan hindari datang

dengan menggunakan bus karena

lebar jalan sangat sempit. Lebar

jalan dari/menuju curug walaupun

kondisinya sudah baik namun

lebarnya masih sangat sempit

sehingga direkomendasikan untuk

tidak menggunakan bus. Di

samping itu, belum tersedia

tempat parkir yang cukup untuk

bus.

” Capture the inspiring beauty of

Curug Cinulang! The emergence of

nature in East Bandung.”

Page 28: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 29: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

1

TAMAN KAREUMBI : BERKONTEMPLASI DENGAN ALAM I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)

“S

M

An Nisaa’ Siti Humaira Kelompok 2 - Di Ufuk Timur Bandung Timut (Taman Kareumbi)

TAMAN KAREUMBI : Berkontemplasi dengan Alam

elain Curug Cinulang, masih

terdapat potensi destinasi

wisata lainnya di Wilayah Bandung

Timur yang belum terekspos. Masih

pada kesempatan yang diberikan oleh

AICT (Ambassador of Indonesian

Culture and Tourism) yang bekerja

sama dengan JNE “express across

nation” dalam rangkaian acara

Ekspedisi Mata Angin 2014, dilakukan

pula eksplorasi potensi destinasi wisata

ke Kawasan Taman Konservasi

Kareumbi yang berlokasi di kaki Gunung

Masigit dengan pintu masuk kawasan

berada di Desa Jatiwangi, Kecamatan

Cicalengka, Kabupaten Bandung.

SEKILAS TENTANG TAMAN KAREUMBI

Nama dari Taman Kareumbi

diambil dari nama pohon “Kareumbi”

yang paling banyak ditemukan di hutan

di kawasan ini. Taman Kareumbi

merupakan kawasan konservasi yang

memiliki luas sebesar 12.406 Ha dan

uniknya terletak pada tiga wilayah

administratif yang berbeda, yakni

Kabupaten Bandung, Kabupaten

Sumedang, dan Kabupaten Garut.

Lokasi Taman Kareumbi hanya berjarak

4 km dari Curug Cinulang sehingga

dapat dijangkau dengan mudah dan

cara menjangkaunya sama dengan jalur

yang dilalui jika kita akan menuju Curug

Cinulang (NB : baca tulisan Curug

Cinulang).

Saat ini Taman Kareumbi dikelola

oleh Wanadri dan berada di bawah

kewenangan BKSDA (Badan Konservasi

Sumber Daya Alam) Jawa Barat-Dirjen

Perlindungan Hutan dan Konservasi

Alam, Kementerian Kehutanan. Karena

statusnya tersebut, maka pengelola

tidak boleh melakukan promosi

pariwisata dan tidak boleh memperoleh

profit atas kegiatan yang berjalan (tidak

ada biaya untuk tiket masuk, hanya ada

biaya parkir dan biaya perawatan untuk

Page 30: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

2

TAMAN KAREUMBI : BERKONTEMPLASI DENGAN ALAM I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)

beberapa fasilitas yang digunakan).

Oleh karena itu, wajar rasanya jika

Taman Kareumbi tidak dikenal luas.

ADA APA DI TAMAN KAREUMBI?

Walaupun Taman Kareumbi

merupakan kawasan konservasi, namun

terdapat berbagai fasilitas rekreasi yang

dapat digunakan oleh publik. Dengan

fungsi utamanya sebagai kawasan

konservasi yang termasuk ke dalam

kawasan lindung, terdapat dua

program utama yang terdiri dari

Program Wali Pohon dan Program

Ekowisata.

1. Wali Pohon

Wali pohon merupakan suatu program

yang dicanangkan dengan tujuan agar

masyarakat umum sadar akan

pentingnya menjaga lingkungan yang

slaah satunya dengan menanam pohon.

Pengunjung atau siapa pun dapat

menanam jenis pohon yang endemik di

hutan di kawasan ini dengan membayar

sebesar Rp50.000,00/pohon. Biaya

tersebut digunakan untuk land clearing,

pembibitan, dan pemeliharaan. Selama

tiga tahun dari proses penanaman,

pohon akan dipantau dan dipelihara

selama tiga tahun hingga dapat tumbuh

dan berkembang baik di hutan. Jenis

pohon yang paling sering ditanam dan

banyak ditemukan karena endemik di

kawasan ini adalah Pohon Kareumbi

dan Pohon Rasamala. Setiap pohon

akan diberi label dengan nama

penanam dan penanam pohon akan

diberikan sertifikat penanaman pohon.

2. Ekowisata

Ekowisata merupakan wisata berbasis

alam. Tujuan dari kegiatan wisata pada

ekowisata adalah untuk memanfaatkan

kawasan konservasi agar tidak sekedar

menjadi suatu kawsan konservasi saja

tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk

kegiatan wisata dan juga dinikmati oleh

masyarakat luas tanpa merusak

struktur ekologis dari lingkungan.

Kawasan ini sangat cocok untuk

dijadikan tempat berwisata/berekreasi

baik bagi keluarga, dengan teman, atau

Bibit pohon yang baru ditanam pada Program Wali Pohon

Sumber : An Nisaa’ Siti Humaira, 2014

Page 31: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

3

TAMAN KAREUMBI : BERKONTEMPLASI DENGAN ALAM I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)

pun dengan rombongan yang ingin

memperoleh ketenangan dan

melepaskan kepenatan dari rutinitas

sehari-hari karena di kawasan ini

pengunjung akan berkontemplasi

dengan alam.

Ada pun jenis rekreasi dan fasilitas

penunjang yang tersedia di kawasan ini

diantaranya adalah seperti berikut.

Penangkaran Satwa

Terdapat beragam satwa yang dapat

dapat ditemui di kawasan ini yang

diantaranya adalah rusa, kalkun,

burung-burung, angsa, kelinci, dan

anjing. Selain rusa, satwa lainnya

dibiarkan untuk dapat bebas tanpa

pagar pembatas.

Bike Tracking

Jika ingin sedikit berolahraga, maka

kita dapat melakukan tracking ataupun

bike tracking. Terdapat tujuh jalur yang

dapat dilalui dengan waktu tempuh

yang bervariasi baik dari 5 menit

hingga 30 menit dan juga memiliki

tingkat kesulitan yang berbeda-beda

baik dari mudah, agak sulit, dan sulit.

Dari ketujuh jalur tersebut, terdapat

dua jalur yang belum dapat digunakan.

Camping Ground

Camping area tersebar di seluruh

kawasan, pengunjung dapat berkemah

di mana pun. Akan tetapi disediakan

pula camping ground dengan area

yang sudah datar dalam bentuk lapang

yang luas. Untuk berkemah di taman

ini, pengunjung dikenakan biaya

penyewaan tempat sebesar

Rp50.000,00/kemah.

Dermaga Kano

Untuk mengelilingi kawasan

konservasi, disediakan fasilitas kano

yang dapat mengelilingi aliran sungai

buatan di kawasan ini. Namun

kegiatan dengan menggunakan kano

ini masih tentatif dan bergantung pada

kondisi aliran sungai.

Rumah Pohon

Taman Kareumbi juga menyediakan

pondok yang disewakan kepada

pengunjung dengan tarif sewa sebesar

Penangkaran Rusa Sumber : An Nisaa’ Siti Humaira, 2014

Page 32: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

4

TAMAN KAREUMBI : BERKONTEMPLASI DENGAN ALAM I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)

Rp400.000,00-Rp500.000,00/malam.

Yang sangat menarik adalah pondok-

pondok yang disewakan adalah dalam

bentuk rumah pohon dan berada di

tengah-tengah hutan sehingga

pengunjung yang menginap akan

merasakan sensasi tidur di alam

dengan ditemani riuh-rendah suara

angin yang menelisik pepohonan di

tengah hutan.

Hutan Konservasi

Sebagian besar atau kurang lebih 95%

penggunaan lahan di kawasan ini

merupakan hutan konservasi. Hutan

konservasi di kawasan ini merupakan

hutan heterogen yang terdiri dari

berbagai tumbuhan yang diantaranya

ditumbuhi dengan berbagai

peopohonan endemik di lokasi

tersebut seperti Pohon Kareumbi,

Rasamala, Puspa, Kisireum, Cangkudu,

Manglid, dan 20 jenis pohon lainnya.

Fasilitas Penunjang

Untuk memudahkan pengunjung, maka

pihak pengelola menyediakan berbagai

jenis fasilitas penunjang kegiatan

wisata seperti kantin, mesjid, toilet,

pusat informasi, toko cinderamata, dan

taman bacaan.

” Explore the inspiring beauty of

Taman Kareumbi! Feel the

sensation, contemplate with the

nature, get the sweet escape in

East Bandung”

Rumah Pohon Sumber : An Nisaa’ Siti Humaira, 2014

Page 33: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 34: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Nama : Yoni Elviandri

Nama Kelompok : Ufuk Timur

Tujuan Destinasi : Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi

Surga Kecil di Timur Bandung

Keindahan panorama alam Bandung, tidak hanya tentang Kawah Putih Ciwidey

yang terkenal dengan keunikannya, bukan juga tentang Gunung Tangkuban Perahu

yang sudah tersohor dengan legendanya. Namun lebih dari itu, Bandung ternyata

juga mempunyai pesona lain di belahan timur nya yang cukup jarang di kunjungi,

seperti sebuah surga kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan.

Gemericik air terdengar lirih mengaliri anak sungai, berpadu dengan serau

angin yang menerbangkan dahan ke muka tanah. Sementara suara burung

terdengar sedang beradu kencang saling sahut menyahut dengan beberapa angsa

yang sedang mencari makan.

Saya segera turun dari mobil yang telah membawa kami melewati jalanan

berliku penuh tanjakan menuju pintu masuk kawasan konservasi Masigit Kareumbi.

Kawasan konservasi seluas 12.420,70 Hektar ini, terletak di perbatasan Kabupaten

Bandung dan Kabupaten Garut. Dari wisma pendawa Ciumbeulit, kami menempuh

waktu selama 90 menit perjalanan melewati Cicalengka- Sindangwangi-

Tanjungwangi dan Blok KW (Cigoler) yang merupakan pintu masuk utama.

Kampung Rusa

Salah satu keunikan dari kawasan konservasi ini adalah ia berada di tiga

daerah administratif sekaligus yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan

Kabupaten Sumedang yang hanya dipisahkan oleh sebuah aliran anak sungai. Dari

pintu masuk kawasan konservasi, saya dan peserta dari Ekspedisi Mata Angin 2014

Page 35: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

memulai perjalanan dengan melewati sebuah jembatan yang ternyata menjadi

pemisah antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Kami kemudian berbelok

ke arah kiri menuju kampung rusa dan melewati sebuah jembatan kayu tua yang

ternyata menjadi pembatas kabupaten Garut dan Kabupaten Sumedang. Tidak

kurang dari tujuh menit, kami telah menjejakan kaki di tiga kabupaten secara

bersamaan layaknya pengantar barang dengan express across nation secapat kilat.

Sesampainya di kampung rusa, kami langsung disambut oleh bapak Yudi

Alwahyu yang lebih akrab disapa abah Ayut. Beliau adalah salah satu anggota dari

Wanadri yang bertugas sebagai ketua pengelola program wali pohon. Selain rusa,

disini juga terdapat beberapa ekor kelinci, kalkun dan juga anak ayam yang hilir

kemari. Rusa yang kami jumpai berjenis kijang (Muntiacus muntjak) yang saat ini

populasi nya semakin menurun. Rusa yang terlihat malu-malu dan semakin menjauh

jika didekati tersebut, ternyata sempat membuat frustasi beberapa teman peserta

AICT karena cukup sulit untuk mendapatkan foto dengan komposisi terbaik.

Agaknya, ia sedikit takut karena tidak ingin inspiring beauty nya memudar dan

hilang.

Page 36: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Eksotisme Rumah Pohon Hutan Pinus

Dari kampung rusa, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah pohon yang

terletak ditengah hutan pinus. Melewati jalan setapak yang kiri kanan nya ditumbuhi

tanaman kopi. Rumah pohon ini berdiri mengelilingi sebuah lapangan yang biasanya

digunakan sebagai tempat menyalakan api unggun. Setiap rumah pohon memiliki

sebuah toilet yang dilengkapi dengan bak berisi air yang dialirkan melalui kran-kran.

Harga dari masing-masing rumah pun berbeda, untuk rumah berkapasitas 10 orang

biasanya dipatok harga Rp 550.000 permalam dengan fasilitas sleeping bag, tabung

gas dan lainnya. Menginap di rumah pohon tentunya adalah sebuah pilihan yang

sangat tepat untuk menikmati sensasi tinggal diantara pohon pinus yang tinggi

menjulang.

Makan siang di bawah barisan pohon pinus bersama terpaan angin yang

terasa sangat sejuk membuat kami betah berlama-lama, sehingga tidak sadar bahwa

waktu sudah beranjak sore. Jika tidak ingin repot membawa perbekalan, di kawasan

Page 37: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

konservasi ini juga terdapat sebuah kantin yang menjual berbagai makanan dan

minumana siap santap. Suasana sekitar kantin yang sangat nyaman dapat dijadikan

sebuah pilihan untuk istirahat menikmati siang berhadapan dengan kolam.

Arsitektur kantin dan rumah pohon mewakili ciri khas Sunda yang merupakan

campuran dari bambu, kayu, tembikar serta beratapkan ijuk. Harmoni dengan alam.

Sebelum pulang, kami pun tidak ingin ketinggalan menjadi wali pohon. Kami

menanam tiga batang pohon yang masing-masing telah diberi papan nama yang

berada di samping kantor informasi. Wali pohon adalah sebuah program konservasi

menanam sejumlah batang pohon dengan model adopsi bergaransi selama lima

tahun. Program ini turut serta memberdayakan masyarakat sekitar sebagai

pemelihara dan pengunjung sebagai wali pohon.

Untuk satu batang pohon dikenakan biaya sejumlah Rp 50.000 rupiah

sebagai biaya perawatan dan nantinya akan mendapatkan sertifikat wali pohon dan

Page 38: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

pengunjung dapat melihat perkembangan pohon yang telah ditanam kapan saja.

Beberapa jenis pohon bisa dipilih untuk ditanam yaitu, Manglid (Manglieta glauca),

Sobsi (Maesopsos eminii), Puspa (Schima wallichii), Salam (Syzgium polyanthum),

Rasamala (Altingia excelsa), maupun Suren (Toona sureni). Kegiatan ini menjadi

salah satu kegiatan favorit pengunjung yang datang ke kawasan konservasi ini

karena itu berarti telah ikut menghijaukan kembali kawasan hutan yang gundul.

Sekilas Tentang Masigit Kareumbi

Untuk memasuki kawasan ini tidak ditarik biaya seperserpun, kecuali jika

ingin melakukan aktivitas seperti camping, bermalam di rumah pohon serta aktivitas

lain yang biayanya digunakan untuk pemeliharaan. Waktu terbaik untuk datang ke

kawasan konservasi ini adalah pada hari kerja setiap senin hingga jumat, terlebih

bagi yang membutuhkan suasana sepi karena pada akhir pekan biasanya akan ramai

oleh pengunjung yang akan camping atau sekedar piknik keluarga.

Page 39: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 40: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Nama : Yoni Elviandri

Nama Kelompok : Ufuk Timur

Tujuan Destinasi : Curug Cinulang, Bandung Timur

Semerkah Pesona Curug Cinulang

Mengunjungi kawasan konservasi Masigit Kareumbi, belum lengkap rasanya

jika tidak singgah sejenak di Curug Cinulang. Selain karena memang berdekatan,

kedua lokasi ini juga mempunyai keunikan tersendiri sehingga sangat harus

dikunjungi ketika berkunjung ke Bandung Timur. Ibarat sebuah paket yang saling

melengkapi, jika Masigit Kareumbi memanjakan mata dengan suasana asri, hijau,

dan rindang. Maka, Curug Cinulang akan memberikan panorama alam berbeda.

Keindahan yang terpancar begitu mempesona dan berwana.

Kekaguman tidak hanya pada derasnya butir air putih menggumpal serupa

salju yang terhempas lalu menguap ke udara dari bebatuan hitam di bawahnya,

tetapi juga pada tebing berwana kuning kecoklatan dengan akar-akar pohon yang

menjalar. Berpadu dengan hijau lumut yang menempel mesra di tebing-tebing yang

ketika diterpa sinar matahari akan terlihat lebih tajam dan menyala memancarkan

inspiring beauty bagi siapapun yang melihatnya.

Setelah puas mengelilingi kawasan konservasi Masigit Kareumbi, seolah tak

ada alasan bagi kami para peserta Ekspedisi Mata Angin 2014 untuk tidak berhenti di

curug yang keindahan dan gema suaranya sudah terdengar dari jalan raya.

Perjalanan dari Masigi-Kareumbi turun hingga sampai di pintu masuk curug Cinulang

ditempuh selama 15 menit atau lebih cepat 16 menit ketimbang perjalanan mendaki

dari pintu masuk Curug Cinulang menuju Masigit Kareumbi yang ditempuh selama

31 menit.

Melewati jalanan perkampungan yang begitu tenang, anak-anak terlihat

sedang berlari riang diantara selasar rumah yang berhadapan dengan jalan yang

Page 41: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

tidak begitu besar. Setelah memarkir mobil express across nation yang mengantar

kami, kami segera memasuki sebuah gerbang penyambut tamu bertuliskan “Selamat

Datang di Objek Taman Wisata Curug Cinulang”. Disamping gerbang, terdapat

sebuah pos penjagaan yang terbuat dari kayu yang hanya berukuran 2 X 2 meter.

Untuk masuk ke taman wisata curug Cinulang ini setiap orang dikenakan

biaya Rp 5.000, sedangkan untuk parkir Rp 10.000 per mobil. Dipinggir jalan sebelah

pintu masuk terdapat beberapa warung yang menjual gorengan serta makanan dan

minuman lainnya. Didalam kawasan taman wisata, juga terdapat penjual siomay dan

bakso menjajakan dagangan mereka dipinggir warung.

Pesona Pelangi Cinulang

Tidak sulit untuk bisa sampai di kaki curug ini, karena telah disediakan undak-

undakan dari tanah dan beton serupa anak-anak tangga yang disetiap sisi bagian

datarnya ditempati oleh warung atau pondok-pondok kecil tempat bersantai.

Beberapa jenis bunga seperti Arachis pintoi nampak bergoyang-goyang terkena

hembusan angin yang datang dari aliran curug.

Saya berhenti sejenak di sebuah pondok kecil disebelah warung yang

menghadap ke curug untuk menyaksikan nya dari atas, sedangkan teman-teman

AICT lainnya terlihat beberapa sudah sampai di kaki curug dan bersiap-siap

mengambil posisi terbaik untuk mengambil gambar. Saya membeli cilok lima potong

dengan harga Rp 5000, cukup membantu menghangatkan tubuh yang sedari tadi

mulai dihinggapi dingin. Suasana curug semakin rome semakin ramai, umumnya

pengunjung yang datang adalah sepasang muda-mudi dari berbagai usia yang

sedang memadu kasih, ada juga sebuah keluarga yang terlihat sedang memulai

menyantap bekal perjalanan mereka di pondok kecil pinggir sebelah tangga.

Tidak afdhol rasanya, jika ke curug tanpa merasakan dinginnya air secara

langsung. Melewati sebuah jembatan bambu dan merayap diantara tebing-tebing

seraya berpegangan pada batu. Ketika menyentuh air, tangan terasa membeku.

Page 42: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Namun langsung terbayar dengan segarnya yang luar biasa. Uap air juga berhembus

begitu cepat sehingga seluruh tubuh basah seketika. Perlahan, dibalik bongkahan

batu-batu muncul lah pelangi dengan segala keelokannya melingkar kecil dari ujung

ke ujung. Timbul dan tenggelam memamerkan keindahan warnanya berseri-seri.

Cahaya matahari pun tiba-tiba menyeruak dari balik pohon dan memedarkan

kemilau emas yang terpantul diantara riak-riak curug. Pelangi sore ini melengkapi

keindahan alam Bandung timur yang masih jarang terjamah.

Curug dengan ketinggian sekitar 40 meter ini mempunyai dua debit yang

berbeda. Tumpahan air dari curug sebelah kiri mempunyai debit cukup tinggi dan

berlapis-lapis memainkan uap yang mengambang sedangkan curug bagian kanan

mempunyai debit yang cukup rendah.

Page 43: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Terpukau Senja di Padang Ilalang

Menjelang pukul lima petang, kami akhirnya memutuskan untuk beranjak

pulang. Dan lagi-lagi, kami tak tahan untuk tidak berhenti menyaksikan senja di ufuk

barat yang kilaunya begitu menggoda masuk menyelinap diantara ruang-ruang kecil

di mobil. Rombongan anak muda terlihat sedang bermain sepakbola , sedangkan

muda-mudi lainnya menghabiskan waktu dipinggir jalan menikmati semilir angin

bersama senja yang mulai memedar tahtanya di kaki langit.

Saya kemudian menuju padang ilalang yang berada di sebelah kanan jalan

raya, dibawahnya tergambar jelas petak demi petak sawah, jalan raya seperti garis

lurus, serta orang-orang yang berjalan terlihat sangat kecil. Saya menghabiskan

banyak waktu disini, duduk sejenak. Menikmati detik demi detik hirupan nafas.

Mengagumi keindahan alam tuhan sang pencipta semesta raya yang tercipta di

Bandung timur yang begitu indahnya.

Page 44: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Disepanjang perjalanan pun, alam nan indah menyertai kami lewat

hamparan sawah terasering berwarna hijau yang menjadi pencuci mata sekaligus

pembawa nostalgia pada cerita kakek nenek tentang indahnya alam di tanah

Pasundan.

Penasaran dengan segala surga dunia di Bandung timur? Kemas barangmu

sekarang dan berangkatlah, sekarang !

Page 45: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 46: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Fadli Adzani

3GP

Gunung Puntang

Sejarah Eksotis Gunung Puntang

Masih di dalam acara yang

diselenggarakan oleh AICT (

Ambassador of Indonesia

Culture and Tourism),

akhirnya kami melanjutkan

perjalanan kami ke tempat

yang lagi-lagi belum pernah

kami dengar tentang

keberadaannya dan apa yang

ditawarkan oleh tempat ini.

Gunung Puntang, ya, itulah

nama dari destinasi yang akan

kami singgahi selanjutnya.

Jarak yang harus ditempuh

dari Situ Cileunca ke Gunung

Puntang tidak terlalu jauh,

saya dan teman-teman sampai di Gunung Puntang hanya dalam waktu 45 menit,

dan lagi-lagi, keindahan alam dari Bandung Selatan membuat saya dan teman-teman

saya tercengang tidak percaya melihat keindahan pohon-pohon pinus liar yang

Page 47: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

tumbuh tinggi menjulang seakan-akan menantang kami untuk mendaki lebih tinggi

lagi untuk melihat keindahan Gunung Puntang ini. Satu hal yang membuat saya

pribadi berpikir, “tempat ini membuatku merasa sedang dirumah, bahkan ketika aku

tidak dirumah.”.

Ada beberapa kesamaan yang dimiliki oleh Gunung Puntang dan Situ Cileunca ini,

selain wilayahnya yang tidak terlalu jauh, kedua tempat pariwisata tersebut

menawarkan pemandangan yang kaya akan warna hijau akibat daratan yang

ditumbuhi oleh tumbuhan dan pepohonan yang membuat kedua tempat tersebut

dapat menjadi idaman bagi para pencari ketenangan, kedamaian dan kesejukan.

Ada yang menarik dari Gunung

Puntang ini, selain gunung ini

kaya akan kekayaan alam nya,

gunung ini juga kaya akan nilai

sejarahnya. Seperti contohnya,

ada sebuah goa peninggalan

Belanda yang dibuat oleh para

penjajah belanda di saat

mereka sedang menduduki

negeri kita, saya dan teman-

teman jadi merasa penasaran

dan tertantang untuk

memasuki goa ini walaupun

goa ini sangat gelap dan

lembap dan pada akhirnya

kami menelusuri goa ini

dengan hanya ditemani oleh sinar telpon seluler. Kemudian ada sebuah puing-puing

dari seorang pegawai Belanda yang mengelola radio lokal yang bernama Radio

Page 48: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Malabar, sungguh amat disayangkan rumah dari pegawai Belanda tersebut harus

dihancurkan menjadi puing-puing, di saat bangunan tersebut harusnya dapat

dijadikan sebagai bukti sejarah dan tempat untuk para wisatawan berkunjung.

Tidak jauh dari puing-puing peninggalan pegawai belanda tersebut, terdengar suara

sungai yang kurang lebih jaraknya 250 meter dari tempat dimana saya sedang

berdiri, waktunya sangat tepat, setelah seharian terkena sinar matahari yang panas

dan terik, saya dan teman-teman saya sangat haus akan kesegaran, kami menjadi

tidak sabar untuk sampai di sungai tersebut. Semakin kami jalan menanjaki Gunung

Puntang ini, terdengar suara burung berkicau, suara hewan liar seakan-seakan

mengundang kami untuk lebih tinggi lagi mendaki Gunung Puntang ini. Suara sungai

semakin kencang, akhirnya setelah lelah mendaki, akhirnya kami beristirahat di

sungai tersebut, kami mencelupkan kedua kaki kami ke dalam sungai yang sangat

amat menyegarkan diri kita, air yang sangat jernih sehingga kita bisa melihat

bebatuan sungai yang ada di dasarnya, kami membasuh muka kami dengan air

sungai yang turun langsung dari Gunung Puntang ini yang langsung menghilangkan

segala rasa letih kami.

Kemudian, datanglah waktu dimana kita

harus mengunjungi destinasi terakhir di

Gunung Puntang, yaitu Kolam Cinta. Tak

disangka-sangka, ternyata ketika kami

sampai di Kolam Cinta ini, terlihat ada

sepasang kekasih yang dengan mesra

sedang melakukan pengambilan foto untuk

pre wedding mereka, mungkin karena ada

legenda yang mengatakan jika ada

sepasang kekasih yang datang ke Kolam

Cinta, maka hubungan dan cinta mereka

Page 49: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

akan menjadi abadi. Tentu kami tidak heran, Kolam Cinta adalah sebuah kolam yang

berbentuk hati, dan sangat bagus untuk kalian yang ingin melakukan kegiatan

seperti pre wedding itu sendiri atau sekedar mengunjungi kolam tersebut dan

menikmati keindahan alam dari Gunung Puntang bersama pasangan anda.

Akhirnya waktu kita untuk berekspedisi di Bandung Selatan telah habis, waktunya

kami kembali ke tempat dimana kami beristirahat. Pengalaman ini sungguh

berharga, mengetahui bahwa pengalaman yang kami dapatkan setelah melakukan

ekspedisi ini mengingatkan kami akan pentingnya anak-anak muda seperti saya,

seperti kita untuk terus membudi dayakan dan mencoba untuk memperkenalkan

apa yang kita punya, Indonesia punya ke dunia.

Page 50: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Tidak hanya Situ Cileunca dan Gunung Puntang, masih banyak sekali tempat-tempat

di Bandung maupun di Indonesia yang dapat kita jelajahi, maka dari itu teruslah

menggali tempat pariwisata Indonesia yang belum terjamahi, teruslah mencari

budaya yang belum tersentuh. Banyak keuntungan yang saya dapatkan dalam

mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh AICT ini. Ekspedisi Mata Angin

memberikan saya banyak pengalaman yang saya tidak bisa dapatkan di tempat atau

acara lainnya. Teman dan pengalaman baru adalah sebuah pasangan yang sungguh

baik untuk anak muda seperti saya, seperti kita. Teruslah jelajahi negara Indonesia,

cintai lah negara ini.

Page 51: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 52: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Fadli Adzani

3GP

Situ Cileunca

Situ Cileunca: Keindahan Yang Tersembunyi

Beberapa orang menyebutnya Kota Kembang, beberapa orang lagi menyebutnya

dengan sebutan Paris Van Java dan tidak sedikit orang yang menjuluki nya sebagai

City of Heritage, ya, Bandung adalah sebuah kota besar yang terletak di bagian barat

dari pulau Jawa sekaligus menjadi ibu kota dari Jawa Barat itu sendiri. Kota Bandung

memiliki berbagai macam hal menarik untuk di jelajahi dan sepertinya pesona dari

kota Bandung itu pun tidak akan pernah berhenti menarik perhatian banyak orang

untuk mengunjungi kota metropolitan itu. Sebut saja wisata kulinernya, hampir di

seluruh bagian di Bandung kalian bisa menemukan restoran atau tempat makanan

yang enak, kemudian tempat belanjanya lalu gedung-gedung bersejarahnya.

Bandung juga terkenal akan tempat-tempat pariwisatanya yang sering dikunjungi

oleh banyak turis lokal maupun mancanegara. Siapa yang tidak tahu dengan Gedung

Sate, Kawah Putih Ciwidey, Gunung Tangkuban Perahu, Curug Dago dan tempat-

tempat pariwisata terkenal lainnya yang ada di Bandung. Akan tetapi, sangat

disayangkan sekali bahwa masih banyak tempat-tempat di Bandung yang belum

terjamahi oleh wisatawan padahal tempat-tempat tersebut memiliki potensi besar

untuk dijadikan tempat pariwisata baru di Bandung.

Saya dan teman-teman kebetulan memiliki kesempatan dari AICT (Ambassador of

Indonesia Culture and Tourism) untuk mengikuti sebuah acara yang dinamakan

dengan Ekspedisi Mata Angin, sebuah kegiatan yang menurut saya sangat penting

seperti anak-anak muda seperti saya untuk meningkatan pengalaman dan keahlian

Page 53: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

nya masing-masing. Kali ini, AICT mengajak kita untuk mendatangi beberapa tempat

di bagian selatan Bandung dengan tujuan untuk melestarikan budaya dan

melakukan sebuah perjalanan ke tempat-tempat di Bandung yang belum terekspos.

Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Situ Cileunca. “Situ Cileunca? Tempat

apa sih itu? Ada apa aja sih disana?”, kata-kata tersebutlah yang pertama kali

muncul di dalam

benak saya, karena

jujur saya belum

pernah mendengar

nama dari tempat

yang akan saya

kunjungi itu. Singkat

cerita akhirnya saya

dan teman-teman

akhirnya sampai di

Situ Cileunca setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan dari pusat kota

Bandung.

Udara matahari panas dan hawa sejuk Bandung yang khas langsung menyambut

seketika saya dan teman-teman sampai di Situ Cileunca ini. Danau yang terbentang

luas, pohon-pohon rindang yang seketika menghilangkan rasa panas, perahu-perahu

yang berjejeran rapi di pinggir danau dan pemandangan gunung yang indah seakan-

akan menyambut ramah kedatangan saya dan teman-teman. Mata saya benar-

benar dimanja di tempat ini, lalu ketika saya sedang menikmati pemandangan yang

ada sambil duduk-duduk di rumput yang hijau, tiba-tiba munculah seorang bapak

tua yang mendatangi saya dan berkata, “Selamat datang di Situ Cileunca kang, mau

saya antar naik perahu keliling danau gak kang? Pemandangannya lebih bagus

disana loh kalo mau foto-foto mah”, ujar Bapak Hendi yang sudah lama berkerja

sebagai pemandu di Situ Cileunca. Setelah saya mendengar Bapak Hendi

Page 54: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

mengatakan bahwa ada pemandangan yang lebih bagus dari pemandangan yang

saya lihat, saya langsung bergegas mengajak teman-teman saya untuk naik ke

perahu yang dimiliki Bapak Hendi.

Selama perjalanan

mengarungi danau

Situ Cileunca, saya

berbincang-bincang

dengan Bapak Hendi

tentang kegiatan apa

saja yang ada di

sekitaran danau

Cileunca tersebut.

Jadi, setelah

mendengar beberapa informasi dari beliau, saya jadi tahu bahwa penduduk sekitar

bermata pencaharian sebagai petani sayur-sayuran dan juga sebagai peternak sapi

perah, lalu kegiatan-kegiatan yang dapat dinikmati di Situ Cileunca itu sendiri adalah

seperti perahu untuk mengelilingi danau Cileunca, kegiatan ini menguras kocek

sebesar 20.000 rupiah per-orang, lalu ada fasilitas arum jeram atau rafting, jika ada

wisatawan atau pengunjung yang ingin menguji adrenaline mereka, rafting dapat

menjadi pilihan yang cocok, dengan menguras kocek 150.000 rupiah, kita dapat

melakukan hal tersebut dalam durasi yang cukup panjang yaitu dua jam.

Setelah saya berkeliling Danau Cileunca selama kurang lebih 30 menit, saya masih

menunggu-nunggu pemandangan yang lebih indah seperti apa yang telah Bapak

Hendi janjikan, sampai pada akhirnya Bapak Hendi menghentikan perahunya ke

tepian. “Sekarang kalian turun saja dari perahu lalu kalian daki dataran yang

menanjak ini dan kalian lihat apa yang ada di baliknya.”, setelah mendengar Bapak

Page 55: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Hendi berkata seperti itu, saya dan teman-teman bergegas turun dari perahu dan

mendaki daratan yang menanjak tersebut.

Ternyata Bapak Hendi

adalah orang yang suka

menepati janji. “Benar apa

kata Pak Hendi.”, batin saya

berkata demikian. Saya tak

menyangka ternyata Situ

Cileunca terbagi menjadi dua

bagian, dan bagian yang

ditutupi oleh daratan menanjak itu jauh lebih indah karena danau ini dikelilingi oleh

perkebunan yang sungguh hijau dan luas, tempat para petani melakukan kegiatan

tanam menanam dan bercengkrama dengan penuh canda tawa sesama para petani.

Apa yang saya lihat pada waktu itu membuat kaki saya dan tanah yang saya injak

menjadi erat, semakin erat sehingga sangat sulit untuk saya untuk mengangkat kaki

saya dan berpaling dari pemandangan seindah ini. Akan tetapi, waktu sudah

semakin sore, saya dan teman-teman harus melanjutkan perjalanan saya dalam

melakukan eksplorasi di Kota Bandung ini.

Page 56: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 57: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Nama: Gea Melinda

Nama Kelompok: Kelompok 3

Tujuan Destinasi: Gunung Puntang dan Situ Cileunca

Sejarah di Dalam Mangkuk Cinta yang Kering Gunung Puntang; Mata Angin Selatan

Pamor Bandung Selatan sebagai tempat wisata belum setenar Bandung

Utara. Pernyataan ini saya dapatkan dari hasil menjelajah google saat akan

berangkat ke destinasi yang telah diundi malam sebelumnya oleh pihak

penyelenggara Ekspedisi Mata Angin 2014, yaitu tim inti AICT (Ambassador of

Indonesian Culture and Tourism). Pada tanggal 23 September 2014 kami

berangkat dengan menaiki mobil JNE. Sesuai slogan perusahaan JNE, Express

Across Nation, tim kami diantar dengan cepat dan tanpa hambatan berarti

selama di perjalanan. Perjalanan kali ini adalah one day trip yang berarti harus

sigap membagi waktu kunjungan untuk kedua wisata agar tidak kehilangan

timing pengambilan gambar bagi fotografer dan videografer.

Setelah puas mengarungi Situ Cileunca, dengan waktu yang tersisa (dan

mepet), kami langsung menuju ke Gunung Puntang. Lokasi dua tempat ini tidak

berjauhan dan Gunung Puntang berada di arah jalan pulang sehingga kami harus

memutar balik melewati jalan berkelok dengan barisan pohon tinggi di pinggiran

jalan raya. Kedua tempat wisata ini saling melengkapi layaknya kopi dan gula.

Bukan kewajiban bagi setiap wisatawan untuk mengunjungi keduanya jika

memang tidak memungkinkan tetapi akan lebih sedap dan lengkap jika dapat

mengkolaborasikan perjalanan di dua medan yang berbeda ini. Pemandangan

danau didominasi perairan dan hamparan tinggi rangkaian pegunungan Malabar

yang didominasi tanjakan juga bukit sungguh memanjakan mata.

Gunung Puntang cukup eksis di mesin pencarian google walau dengan

berbagai silir berita dan opini. Tempat ini biasanya digunakan sebagai bukit

perkemahan. Bisa dilihat beberapa tenda dengan warna terang didirikan di

daerah dataran tinggi. Suasana dingin dan lembap menyelimuti terutama karena

sinar matahari dengan susah payah harus menerobos ranting-ranting dengan

Page 58: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

dedaunan rimbun yang membentuk mozaik jaring di langit. Setelah gerbang

depan tempat membeli karcis seharga kurang lebih 7.500, kendaraan

pengunjung harus menuju beberapa ratus meter ke arah dalam untuk dapat

mencapai objek wisata utama. Di sepanjang jalan, biota khas penghuni hutan

terpajang dengan asri. Dominasi pohon pinus, damar, pakis, sesekali pohon

beringin, dan bunga-bunga hutan akan dengan mudah ditemui. Kehidupan

penduduk beriiringan dengan tempat wisata ini. Dapat kita temui penduduk yang

sedang menjemur kerupuk maupun bercengkrama akrab. Fokuskan diri untuk

menikmati suara serangga, burung, dan aneka satwa lokal yang menggema di

setiap sudut hutan. Aroma tanah yang basah, dedaunan kering, genangan air

akan menghipnotis pikiran sabagai rileksasi.

Kehidupan warga dan alam (dok. Pribadi)

Sebagai hidangan pembuka, tim kami mencicipi suasana misterius Goa

Belanda yang berada 300 meter dari tempat parkir. Goa ini memiliki nilai historis

yang sudah santer beredar di kalangan warga sekitar. Tanah yang basah, licin,

dan bergunduk membuat pengunjung harus hati-hati. Penerangan wajib dibawa

dan disarankan pergi dalam rombongan. Jangan khawatir bagi pemula (termasuk

saya) karena goa ini tergolong pendek dan tidak ada labirin yang kompleks.

Menuju lubang keluar, jalan akan sedikit naik dan banyak genangan air.

Selanjutnya, sungai Cigeureuh tampak menarik untuk dikunjungi apalagi suara

gemuruh air terdengar bersahut-sahutan dengan gemerisik angin. Nama sungai

ini cukup sulit untuk dieja oleh pendatang seperti saya sehingga ketika akan

bertanya ke warga, saya memilih mundur dan membiarkan teman seperjalanan

Page 59: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

yang lain untuk bertanya. Menuju ke sungai ini tidak memakan waktu lama dan

medan yang ditempuh juga tidak terlalu berat. Keindahan yang ditawarkan cukup

memuaskan. Air sungai yang jernih dan kombinasi susunan batu yang bertingkat

seperti miniatur air terjun. Sayangnya, di sekitar area sungai tampak bekas

bakaran dan sampah bekas makanan. Kurangnya kesadaran pengunjung segera

harus dibangun mengingat tempat ini memiliki keindahan dan nilai sejarah yang

berharga. Destinasi terakhir adalah kolam cinta, inspiring beauty of love.

Ekspetasi saya agaknya cukup jauh dari perkiraan. Kolam ini tidak lagi berisi air,

hanya ada hamparan rumput semata di dalamnya. Ternyata, sudah cukup lama

kolam ini kering. Ditambah lagi, bentuk hati yang saya bayangkan tidaklah nyata

terlihat. Masih banyak pertanyaan yang terlintas mengenai kolam ini mengingat

sedikit sekali narasumber yang bisa saya ajak bicara dan waktu yang terbatas.

Paling tidak, dinding kolam yang dibuat dari susunan bata dan terlihat klasik

sudah cukup banyak bercerita. Sepasang gunung dengan megah menjadi latar

belakang pemandangan kolam sehingga tidak jarang banyak orang yang

berkemah bahkan foto pre wedding di sini. Terlihat juga warga yang

memanfaatkan pepohonan tua untuk dijadikan kayu bakar dan memanggulnya di

atas punggung ke arah deretan warung yang tersebar di beberapa titik. Hal lain

yang membuat saya bertanya-tanya adalah banyak puing-puing bangunan tua di

kiri kanan jalan utama wisata ini. Bangunan dari susunan bata tak terurus,

tempat lumut dan bunga-bunga liar mengadu hidup. Dengan dikelilingi pohon-

pohon pinus dan damar membawa kesan klasik yang manis. Usut punya usut,

tempat ini adalah kawasan penting pada zaman kolonial Belanda. Terdapat

sebuah radio yang bernama Malabar dan tenar pada masanya. Betapa tidak,

siarannya bisa mencapai hingga ke negeri kincir angin! Kini semua tinggallah

cerita. Berjalan ke area Gunung Puntang ini, sisa-sisa peninggalan menjadi

dokumenter bisu yang dapat kita saksikan secara langsung dan bila dihayati lebih

jauh akan membuat kita terenyuh betapa majunya negara kita saat di bawah

pimpinan negara lain. Puing-puing bangunan di kiri kanan jalan tak lain adalah

rumah bagi pegawai Belanda. Kemerdekaan yang kita rebut kembali penuh

Page 60: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

dengan pertumpahan darah serta isak perjuangan, pertanyaannya adalah

siapkah kita yang telah merdeka menjadi lebih baik dari sebelumnya? Menjadi

lebih berkuasa atas diri kita sendiri melebihi sejarah yang pernah tercatat?

Di lain sisi, kolam cinta masih berselimut misteri bagi saya pribadi. Mitos

yang beredar menyebutkan tentang asmara sepasang kekasih yang akan

langgeng jika berkunjung ke tempat ini. Akan tetapi, bagaimana airnya kering?

Kenapa disebut kolam cinta bahkan ketika bentuknya bukan hati? Entahlah.

Sejarah dan cinta tampaknya selalu berselimut misteri dan tanda tanya hingga

kelak waktu yang menjawab. Selain tempat wisata di atas, masih banyak bagian

Gunung Puntang yang dapat kita jelajahi, seperti pendakian ke puncak gunung,

taman Bougenvile, dan Gunung Puntang juga merupakan konservasi alam bagi

Owa Jawa. Waktu pagi hari adalah waktu yang tepat untuk melihat satwa langka

ini. Waktu yang terbatas membuat saya belum bisa menyelami Gunung Puntang

secara lengkap. Walau begitu, sebagai one day trip, pemandangan pilar-pilar

alam yang merupakan pepohonan pinus sudah cukup melegakan hati. Begitu

juga dengan wahana yang disediakan alam. Tidak perlu ragu untuk datang ke

tempat wisata baru yang belum terekspos ke media. Perjalanan itu tidak diukur

dari ketenaran suatu tempat atau seberapa keren gambar yang dapat kita pajang

di media sosial. Baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri, sudahkah saya

mencintai Indonesia lebih dalam hari ini?

Harmoni alam dalam sejarah (dok. Pribadi)

Page 61: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 62: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Nama: Imama Lavi Insani

Nama Kelompok: Pejalan Tangguh (Kelompok 4)

Tujuan Destinasi: Tahura dan Curug Dago

Menghirup Cerita di Paru – Paru Kota Bandung

Taman Hutan Raya atau biasanya dikenal dengan Tahura merupakan salah

satu hutan di Kota Bandung yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Pemda Provinsi

Jawa Barat. Hutan seluas 590 Hektar ini terletak di kawasan kawasan Dago Pakar

sampai Maribaya. Di dalam Tahura sendiri terdapat beberapa tempat wisata

yang sayang untuk dilewatkan seperti Curug Omas , Curug Dago , Gua Jepang ,

Gua Belanda dan masih banyak lagi.

Umumnya perjalanan dari keberangkatan sampai Tahura memakan waktu

sekitar 10 menit saja namun karena pada saat itu terdapat perbaikan jalan kami

harus mencari jalan lain. Total perjalanan tim Ekspedisi Mata Angin 2014

khususnya kelompok empat kurang lebih sekitar 1,5 jam. Dengan kondisi jalan

yang berbatu dan berliku membuat saya bertanya – tanya , apakah tujuan wisata

yang akan kami kunjungi akan seindah dan semenarik seperti yang banyak

diceritakan pada artikel – artikel di internet ? Akankah setimpal dengan

Page 63: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

perjalanan yang kami lewati menuju kesana?Ah daripada terus bertanya – tanya

lebih baik saya segera memulai menikmati perjalanan saya.

Awalnya kami melewati sebuah perkampungan kecil bernama Desa

Sekejolang. Penduduk Desa Sekejolang nampak begitu ramah menyambut

kedatangan kami. Terbukti dengan lengkungan manis pada bibir mereka ketika

membalas sapaan kami.

“Punten pak bu..” Mereka pun membalas “Mangga mangga...”

Kami bertemu dengan tiga orang perempuan yang memanggul rumput di

bahunya untuk makan hewan ternak mereka. Saya sendiri dibuat heran melihat

hal tersebut. Betapa tidak , mereka masih menyempatkan untuk membalas

sapaan kami dan tersenyum hangat padahal mereka harus menempuh jalan yang

berliku dan menanjak dengan hanya menggunakan kaos kaki saja. Hebat sekali

perempuan – perempuan di desa ini.

Page 64: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Sekitar 30 menit kami melewati hutan dengan pepohonan pinus dan

akhirnya sampai di Curug Omas. Suara gemuruh air dari Curug menyambut kami

yang datang dengan terengah – engah setelah berjalan melewati hutan. Pantas

saja suara air tampak begitu deras karena tinggi curug ini sendiri kurang lebih

sekitar 30 meter.

Setelah melewati jembatan tersebut kami disambut oleh seorang

perempuan yang menyewakan tikar seharga Rp 10.000 tanpa ada batas waktu

untuk memakainya. Perempuan tersebut bernama Teh Nunung. Sejak kecil Teh

Nunung sudah membantu orang tuanya dengan menyewakan tikar. Rata – rata

tiap harinya dapat menyewakan sekitar 1-2 tikar dan jumlah tersebut meningkat

menjelang weekend. Namun pada hari itu nampaknya Dewi Fortuna berpihak

dengan Teh Nunung. Dalam waktu sekitar satu jam lima tikar sudah disewa. Dan

saya melihat Teh Nunung berlari kecil menuju warung orang tuanya yang

merupakan satu – satunya penjual ketan bakar di kawasan wisata Curug Omas

untuk mengambil tikar lagi. Dalam hati saya berdoa Semoga lancar rejekimu ya

Teh...

Ada pengalaman menarik ketika kami berada di Curug Omas. Ketika kami

menggelar tikar dan mulai untuk makan makanan kami tiba – tiba segerombol

monyet datang untuk mengambil makanan kami. Saya yang menyembunyikan

jagung di belakang punggung saya dibuat memekik terkejut ketika salah satu

monyet merebut jagung di tangan saya dan segera berlari untuk memakannya.

Kami pun memilih untuk segera meninggalkan Curug Omas melanjutkan

perjalanan menuju destinasi selanjutnya , yaitu Gua Belanda dan Gua Jepang.

Page 65: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Untuk menuju Gua Belanda kami harus berjalan sejauh lima kilometer.

Rimbunnya pohon di Tahura ini dapat membantu melindungi kami dari sengatan

matahari siang itu. Selain itu untuk melindungi dari sengatan matahari kita dapat

mengoleskan Sunscreen Gel Wardah yang sangat cocok dipakai untuk wanita

pecinta kegiatan outdoor seperti saya. Dengan tagline Inspiring beauty membuat

semua wanita tetap terjaga kecantikannya meskipun sedang melakukan kegiatan

outdoor.

Setelah berjalan sejauh lima kilometer nampak sebuah tulisan “ Gua

Belanda “. Kami pun segera masuk dan menyalakan senter pada handphone kami

masing-masing.

Suasana dingin dan lembab menyambut kami yang berjalanan beriringan.

Pada beberapa bagian gua terdapat celah kecil yang dulunya berfungsi sebagai

sel tahanan dan di tengah gua ini terdapat jalur rel. Sekitar 100 meter akhirnya

kami melihat cahaya matahari. Suasana panas kembali kami rasakan ketika

keluar dari gua ini. Sangat berbeda dengan keadaan di dalam gua yang sampai

membuat bulu kuduk saya berdiri.

Berbeda dengan Gua Belanda yang hanya memiliki satu pintu , Gua Jepang

memiliki 4 pintu yang saling berhubungan dan dua buah pintu ventilasi. Konon

menurut juru kunci Gua Jepang ada hal penting yang harus diperhatikan saat

berada di sini yaitu larangan mengucapkan kata “Lada” dan lebih baik

menggantinya dengan kata “ Pedes “.Menurut beliau apabila kata “Lada”

diucapkan artinya menantang “penghuni” di Gua Jepang tersebut. Kami pun

mendengarkan dengan seksama penjelasan juru kunci tersebut.

Page 66: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Tidak jauh dari Gua Jepang kami sampai di area utama Tahura. Saat siang

hari apalagi bukan weekend Tahura nampak sepi. Hanya ada beberapa orang

yang terlihat sedang berfoto. Di dalam area utama Tahura ini sendiri terdapat

beberapa tempat seperti permainan untuk anak – anak , lahan kosong yang

waktu itu digunakan oleh sekelompok regu Pramuka untuk berlatih , sanggar

kreativitas alam , areal persemaian , dan masih banyak lagi tempat – tempat

yang menyenangkan yang lain.

Perjalanan kami menyusuri Tahura kali ini membawa cerita yang menarik

untuk disimpan di dalam memori otak kami. Mulai dari masyarakat di sekitar

Tahura yang begitu ramah dengan masyarakat luar , Curug Omas yang begitu

menarik dan membuat pikiran kita disegarkan oleh pemandangan curug yang

begitu indah , pengalaman memasuki Gua Belanda yang membuat bulu kuduk

sampai merinding , cerita dari juru Kunci Gua Jepang tentang pelarangan

mengucapkan kata “Lada” , dan kerindangan serta kesejukan di area utama

Tahura yang dijadikan masyarakat untuk melakukan beberapa aktivitas serta

melakuakn refreshing.

Akhirnya pertanyaan – pertanyaan saya sebelum berangkat menyusuri

Tahura terjawab dengan cerita – cerita di atas. Tujuan wisata yang telah kami

kunjungi sangat indah dan menarik seperti yang banyak diceritakan pada artikel

– artikel di internet bahkan saya menemukan beberapa cerita baru yang tidak

banyak diceritakan di internet. Sangat setimpal dengan perjuangan menuju

Tahura ini.

Seperti nafas seorang manusia yang membawa begitu banyak oksigen

ketika bernafas sesuai dengan awal perjalanan kami yang membawa semangat

dan rasa penasaran begitu tinggi bagaimana perjalanan yang akan kami lewati.

Lalu menghembuskan udara yang berisi cerita – cerita menarik ketika dalam

perjalanan menyusuri paru – paru Kota Bandung ini.

Page 67: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 68: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Nama: Imama Lavi Insani

Nama Kelompok: Pejalan Tangguh (Kelompok 4)

Tujuan Destinasi: Tahura dan Curug Dago

Sejuknya Curug Dago

Papan tulisan informasi Curug Dago

Sekitar 200 meter dari jalan raya utama nampak sebuah tiang dengan

tulisan “Prasasti Curug Dago +- 200 m”. Kami pun mempercepat langkah kami

untuk menuju curug tersebut.

Jalan yang kami lewati sedikit berbeda dengan perjalanan sebelumnya yang

menyusuri Tahura. Tidak ada bebatuan dan pepohonan pinus yang ada adalah

jalanan yang terbuat dari semen dan di sampingnya terdapat sawah. Jalanan ini

juga cukup sempit. Ketika ada sebuah motor melintas maka kami harus berjalan

menepi ke tembok. Beruntung tidak banyak motor yang melintas saat itu

sehingga kami tidak perlu sering – sering berjalan mepet ke tembok.

Sekitar 200 meter berjalan kaki , kami mendengar suara gemuruh air yang

membuat kami mempercepat langkah kami. Tetapi kami berhenti sejenak untuk

Page 69: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

membaca papan informasi pada halaman utama Curug yang dikelola oleh Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat ini.

Setelah membaca papan informasi kami menuju ke tangga kedua yang

akan membawa kami menuju ke Curug Dago. Ada sekitar kurang lebih 77 anak

tangga yang harus kami turuni. Di belakang kami terlihat beberapa orang yang

membawa alat pancing. Saya sedikit heran mengapa mereka membawa alat

pancing , apakah Curug Dago merupakan tempat untuk memancing ? Saya makin

dibuat penasaran dengan tempat ini.

Keadaan di Curug Dago

Suara gemuruh air terdengar makin jelas. Di depan kami terlihat ada sungai

kecil dengan bebatuan. Setelah menyelesaikan anak tangga terakhir dan

berbelok ke arah kanan kami melihat curug setinggi kurang lebih 10 meter

berdiri kokoh dengan tebing – tebing di sampingnya. Seketika suasana menjadi

sejuk. Terlihat bapak – bapak yang membawa alat pancing turun ke bawah dan

ternyata cukup banyak orang yang sedang memancing di Curug Dago.

Page 70: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Di Curug Dago ini menyimpan keunikan yang tidak ada di tempat lain.

Orang pertama negeri tetangga kita , Thailand , pernah mengunjungi Curug Dago

ini dan meningalkan dua buah prasasti yang diletakkan di dalam sebuah

pondokan kecil yang temboknya diganti dengan kaca.

Page 71: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Pada papan informasi tertulis Raja Rama V di kunjungannya yang kedua

pada tahun 1901 menuliskan paraf dan tahun Bangkok di atas sebuah batu. Dan

prasati yang kedua tertulis pada tahun 1929 Raja Rama VIII mengunjungi Curug

Dago untuk melihat batu yang terukir paraf Raja Rama V. Ra Rama VIII juga ikut

menuliskan paraf seperti ayahnya yang juga dilengkapi dengan tahun Bangkok ,

B.E. 2472.

Pengunjung memang terbilang cukup sepi , namun suasana dan keadaan

sekitar Curug Dago ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif berlibur

menyegarkan pikiran sejenak. Beruntung sekali tim AICT memilih tempat wisata

ini sebagai salah satu tempat Ekspedisi Mata Angin 2014. Fasilitas dan

infrastruktur yang disediakan juga terbilang cukup memadai. Tangga yang

terbuat dari beton memudahkan pengunjung untuk turun ke bawah. Selain itu

keamanan juga cukup terjaga dengan adanya pegangan di sisi anak tangga.

Nah itu tadi cerita tentang Curug Dago yang sangat sejuk dan prasasti dari

Raja Thailand yang meluangkan waktunya untuk berkunjung ke tempat ini.

Perjalanan kami hari ini dibantu oleh mobil dari JNE dengan sopir handal yang

membuat perjalanan seharian lancar tanpa hambatan. Tagline Express Across

Nation memang pantas disematkan kepada JNE sebagai salah satu penyedia jasa

pengantaran barang di Indonesia. Nah kalau Raja Thailand saja mengunjungi

tempat ini , kenapa kita tidak mengunjunginya juga?

Alamat lengkap :

Alamat: Terletak di Desa Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung,

Propinsi Jawa Barat

Arah: ± 10 km di sebelah timur laut dari pusat kota Bandung, di tebing

Sungai Cikapundung tidak jauh dari air terjun Curug Dago

Page 72: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 73: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 74: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

The Best of TAHURA

It is not a perfect natural tourism, but it is the most awesome forest park

in the City of Bandung, what else, but Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda or Tahura

Ir. H. Djuanda. This huge green city heart is located in the north side of Bandung,

precisely in Dago Pakar. This tourism site is not very far from downtown,

approximately it takes 30-45 minutes to get there. There are several gates to enter

the forest, the local dwellers usually know the ‘secret doors’ to enter the forest,

while the common visitors only enter it from the main gate where they should pay

IDR 8.000 to get the ticket. What a very cheap cost to enjoy a bewitching

circumstances! I genuinely enjoy my second visit there in accordance with a great

event, Ekspedisi Mata Angin 2014 (EMA 2014) held by AICT (Ambassador of

Indonesian Culture and Tourism). I guarantee you would never be sick of this fresh

woody land though you come over and over again.

Compared with the other Tahura or forest parks in Indonesia, such as

Tahura Brastagi in North Sumatera

(where there is only one falls in Tahura

Brastagi named Air Terjun Tiga Warna

and no cave), there are some views that

you will never find there, except in

Tahura Ir. H. Djuanda. In this place your

eyes are going to touch the splendour of

five curugs (curug is a Sundanese word

to say a waterfall) derived from

Cikapundung River, They are Curug

Koleang, Curug Kidang, Curug Lalay,

Curug Omas and Curug Dago which is

located separately and quite far from

the other waterfalls.

Writer : Monalisa Siburian

Group : 4

Destinantion: TAHURA Ir. H. Djuanda

Curug Omas, photo by Monalisa Siburian

Page 75: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

The best curug among them, is Curug Omas which is located near

Maribaya, in the farthest site of Tahura. Its height is about 30 meters with a wiry

fence surrounding it. It is about 5 km from the main gate and takes two or three-

hour walking. There is a romantic bridge above its pouring water whose floor made

of wood and only four or five persons are permitted to cross it at the same time.

This bridge is one of the best spot to take a picture of the falling stream of the light

and pure water particle which pushes each other, and of course, do selfie, and .

The stormy sound of the pouring water and the brand-fresh air spoil the visitors

and make them want to stay in the shade of the pine for a longer time. The carpet

is rented for only IDR 10.000 and then you can use it as long as you wish. Your belly

rebels? Don’t worry! There are several small food stalls offering some traditional

meals and beverages, like jagung bakar (roasted corn), nasi timbel, gado-gado,

batagor, bandrek, bajigur, and many more. The sellers are kind and amiable. The

other nicest thing is that all of them are not expensive, it ranges from IDR 3.000-

15.000. However, be careful! There are a lot of monkeys around that place. You

don’t want to fight with those little creature because of meals, right? But I also

feel relieved that those monkey still can live freely in their habitat. It feels like

these inspiring beauty enlighten the mind and the spirit. I bet that your tiring after

a long trekking would be gone when you get there.

Talking about Indonesian history, the other

advantage that the visitors could get, are recognizing the

sign of the Colonial and Japanese Government period in

Bandung from the two popular caves in Tahura. They are

Goa Belanda and Goa Jepang whose location is not very

far from the main gate. Entering the mouth of the cave,

the cold air stings my face since both caves are made

inside the big mountainside. The upper surface of the

caves are cemented and have been renovated. However,

according to my sight, the more attractive cave is Goa

Belanda because there are two big holes at the each edge of the caves, a railway

Goa Jepang, photo by Monalisa Siburian

Page 76: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

track, and about 20 opened-rooms. However, Goa Jepang has four exits in a line

and does not have a railway track. It is told that these caves were made to save

the equipment of the armies and to hide from the enemy when there was a lot of

war at that time. This means that the Colonialism was spread and expressed across

nation.

I recommend this Tahura as the alternative for those who are sick of

shopping circumstances and they who cannot do hiking. Another best part is that

not far from Tahura Ir. H. Djuanda, there is a spot to see Tahura from above, it is

Tebing Keraton. The ticket is IDR 11.000 per person. This peak provides a very

excellent view of the green pine forest, mountains, and the light of Bandung City

at night. Many young people are coming here, taking selfie, then uploading it to

the social media. Thus, have you taken your best picture in the best spot in Tahura?

Page 77: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 78: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

1001 Ideas of Curug Dago

Like a toast without a glass of milk, that’s how I think when visitors talking

about Bandung without knowing about Dago. Dago is not only full of cafes and

factory outlets. If you keep your feet exploring until to the top side of Dago, which

is commonly known as Dago Pakar, you will be amazed by its inspiring beauty.

Dago Pakar provides the natural tourism packed in one big nature conservation in

Taman Hutan Raya Bandung Ir. H. Djuanda (TAHURA Ir. H. Djuanda; a large forest

park in Bandung). One of the tourism competency in Tahura the is Curug Dago.

Curug is a Sundanese word for a waterfall. Curug Dago is located near the Terminal

Dago and Dago Tea House and this is the nearest waterfall among the other

waterfalls in Tahura because the access is easy to

get. Its height is about 11 meters, pouring the water

from Cikapundung River. It has two stone

inscriptions made by the King of Thailand around

1900s. There are several aging pictures of a

character and flowers next to the stone. The first

idea popping in my mind at the first time visiting this

cascade in an event called EMA 2014 (Ekspedisi

Mata Angin 2014) conducted by AICT (Ambassador

of Indonesian Culture and Tourism) is ‘can I imagine

what changes experienced by this natural heritage

because of the man’s right hand and the sophisticated technology that should

have been built a great refinement’?

At the first time, I was really exciting hearing the whiring sound of a great

water falling and I was proud actually because the access to get this place is quite

easy, many tress are standing in its surrounding, the track is pretty smooth

(although we must walk downstairs to see it directly), both stone inscriptions are

covered with a strong case and unique package. Immediately, my exhilaration of

the changes in Curug Dago was answered, but it turns into a fear, a fear of a broken

natural beauty. At this time, I think it is not really a surprise or an astonishing fact

Writer : Monalisa Siburian

Group : 4

Destinantion: Curug Dago

Curug Dago, photo by Monalisa Siburian

Page 79: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

if a tourism spot is smashed into pieces, but a habit. As the one who cares, taking

action is the only choice, and action is derived from ideas.

The first consideration is about the better change from inside. The quality

of the precise spot of Curug Dago should be improved. This talks about its clean

and purity. Indonesian expression says that ‘Cleanliness is a Part of Faith’

(Kebersihan Sebagian dari Iman). People (without thinking from where they are,

what tribe they are, or whether they are old or young) have to cure this hurting

waterfall. The most essential thing to be purified is the quality of the water. The

spot where the water falls, I think, should be sterilized from any waste, micro-

organism, or mud that makes the greyish color of

the water surface. Some trash cans will be very

helpful to keep the environment clean. If

necessary, a wiry fence should be built to

prevent any irresponsible hands. I also imagine if

one day there exists another space for a fishpond

near the stream. This idea emerged because

when I came to this place, I saw some young men

with a cigarette in their lips coming there with

net and fishhook, they stood at the edge of the

falls and did fishing. Some lights in the stone

inscriptions may make it more attractive.

It must be ridiculous if we promote something that is not worth it.

Therefore, after the inside part of the falls is fixed, the second action is making

promotion. We can start from the a cheap ticket. The visitors do not have to pay

IDR 11.000 to get there, but for only half-price or for free in a week. This promotion

also can be made in an application like Indonesia in Your Hand or the other

supported applications. A clear nameboard and direction along the path towards

the spot will make the visitors easier to follow the track.

Tempat Prasasti di Curug Dago, photo by Monalsa Siburian

Page 80: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

I believe that these ideas were not imposible to realized one day, thus

those who visit Curug Dago can express it across nation and invite people in all

areas to come and see it. Let’s make our ‘toaster’ complete with its milk, let’s make

our Dago complete with its curug. If in the past a Thailand King adored this curug,

isn’t it our turn now? If the foreign tourists have visited this place, why haven’t us?

Page 81: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 82: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Nama: Gea Melinda

Nama Kelompok: Kelompok 3

Tujuan Destinasi: Gunung Puntang dan Situ Cileunca

Danau di Balik Deretan Pilar Situ Cileunca; Mata Angin Selatan

Siapa yang tidak tahu Kota Bandung? Saya yang berasal dari pulau

tetangga pun sudah tahu nama kota yang tersohor dengan denyut

modernisasinya ini. Sedangkan Gunung Puntang dan Situ Cileunca? Kernyitan di

dahi sepertinya cukup jelas menggambarkan kebingungan. Dalam rangka

memenuhi misi Ekspedisi Mata Angin 2014 yang diselenggarakan oleh AICT

(Ambassador of Indonesian Culture and Tourism) pada tanggal 23 September

2014, saya dan tim diberi kesempatan untuk menjelajahi kedua tempat ini.

Uniknya, kami menjelajah dengan menumpangi mobil JNE yang terkenal dengan

jargon Express Across Nation sehingga warga sekitar tempat pemberhentian

tampak antusias ketika mobil kami parker karena berharap ada barang yang

diantarkan. Dari daerah Ciumbuleuit, kita harus menempuh kurang lebih dua jam

menuju Bandung Selatan. Jalanan yang berkelok dan udara dingin tentu bukan

hal yang asing untuk perjalanan di daerah pegunungan sehingga perlu persiapan

bagi yang mabuk darat dan sensitif udara dingin.

Destinasi pertama adalah Situ Cileunca. Berjarak 45 menit lebih jauh dari

daerah wisata Gunung Puntang. Sebagai daerah perairan dengan pepohonan di

sekitarnya, tentu lebih baik jika dikunjungi saat matahari masih giat bersinar. Di

musim kemarau, suhu daerah ini justru semakin dingin. Pertama kali tiba di sini,

kita akan disambut deretan warung sederhana yang menjual makanan maupun

minuman layaknya tempat wisata lain. Juga tersedia penyewaan perahu kayu

kecil yang dapat membawa kita membelah danau buatan warisan zaman kolonial

Belanda yang cukup luas dengan kedalaman sekitar lima belas meter. Situ

Cileunca terkenal dengan fasilitas outbond, satu di antaranya adalah rafting.

Akhir pekan adalah puncak jumlah pengunjung. Di bagian depan danau terlihat

air yang berwarna kecoklatan dan dapat ditemukan beberapa sampah.

Page 83: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Selayaknya sebagai wisatawan kita juga harus menjaga kelestarian alam. Di sini

kita juga bisa melakukan aktivitas memancing.

Warung dan danau pertama (dok. Pribadi)

Situ Cileunca adalah tempat wisata yang erat berdampingan dengan

penduduk sekitar. Kita bahkan bisa menemukan jemuran milik warga yang dijejer

rapi pada selembar terpal. Di tepian danau dengan mudah kita menemukan

lahan-lahan pertanian warga yang dipenuhi dengan tanaman sawi, tomat, serta

tanaman kacang-kacangan. Perlu diketahui bahwa Situ Cileunca memiliki dua

danau. Danau kedua dapat kita capai dengan menaiki perahu kayu hingga ke

ujung belakang danau pertama yang memiliki air lebih jernih dan berwarna hijau

muda bercorak sedikit hijau tua. Di dekatnya juga terdapat DAM Cipanunjang. Di

danau kedua, kegiatan bercocok tanam akan mendominasi pemandangan.

Terlihat luasnya lahan yang sedang dikerjakan oleh warga sekitar untuk ditanami

berbagai sayuran. Nantinya sayur ini akan dijual ke daerah terdekat dari wilayah

ini. Dinamika kehidupan penduduk amat bergantung pada danau. Kedua danau

ini digunakan untuk pengairan lahan pertanian waktu musim kemarau tiba.

Banyak pula nelayan menaiki rakit yang berupa anyaman bambu yang disusun

sedemikian rupa sehingga bisa mengapung di air, melempar jaring ke danau

untuk mengundi peruntungan pendapatan ikan. Dominasi ikan teri air tawar

membuat ikan ini menjadi oleh-oleh khas Situ Cileunca dan hanya bisa dibeli di

pagi hari.

Page 84: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

Hal lain yang dapat dinikmati adalah deretan pohon raksasa yang

menjulang tinggi seakan meraih langit. Juga lebatnya kumpulan bambu yang

membuat saya teringat dengan angklung. Pohon-pohon ini berada pada jarak

yang cukup dekat satu sama lain. Tumbuh disekeliling danau tanpa jeda.

Mengurung danau pertama di Situ Cileunca dalam harmoni. Kayu pohon amat

kokoh dan berwarna coklat agak abu-abu layaknya pilar-pilar beton alam. Kota

Bandung yang cukup padat membuat masyarakat tidak bisa menikmati langit

dengan utuh karena tertutup bangunan-bangunan tinggi. Duduk di tepian danau

sambil menikmati segelas teh hangat dan melihat langit yang terbentang luas

tentu sangat menggoda. Ditambah desiran angin yang akan membuat suara khas

dari air yang bergerak pelan diiringi desis gesekan antarbatang bambu.

Ujung dari danau pertama (dok. Pribadi)

Untuk one day trip yang kami lakukan, dana yang dibutuhkan tentu dapat

ditekan seminim mungkin. Membayar penyewaan perahu yang 20.000/orang

dan berjalan-jalan sambil berdialog dengan warga sekitar yang ramah sudah

cukup memuaskan rasa penasaran akan Situ Cileunca. Namun, Situ Cileunca juga

menyediakan penginapan di bagian depan dan dapat memilih paket outbond.

Jika beruntung, kita bisa menyaksikan lomba dayung tingkat nasional yang

diagendakan pada waktu-waktu tertentu di danau pertama. Melalui perjalanan

Page 85: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

ini, saya mempelajari banyak hal. Harmoni antara alam dan ekonomi warga

sekitar dapat berjalan beriringan dengan simbiosis mutualisme karena

hakikatnya alam adalah bagian dari ekosistem dan kita saling menjaga serta

menyediakan kesejahteraan. Selain wisata alam, Situ Cileunca juga menyediakan

wisata budaya kehidupan warga sekitar. Yang kita butuhkan hanyalah sepotong

senyuman dan dialog. Indonesia dalam pelangi pluralisme selalu menyajikan

kelok eksotisme yang tidak terbatas. Satu di antaranya adalah Kota Bandung

Selatan. Kalau boleh mengutip, keindahan alamnya seperti slogan produk

kosmetik terkenal, inspiring beauty. Jangan lupa untuk menjelajahi Situ Cileunca

yang istimewa secara utuh baik dari sisi alam maupun ragam dinamika

kehidupan penduduk sekitar. Selamat menikmati dan menjaga alam!

Pertanian (dok. Pribadi)

Danau kedua dan kegiatan bertani warga (dok. Pribadi)

Page 86: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 87: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

1

Menyusuri Jalan Panjang Tahura Djuanda

“Sayang, kita sudah lama saling menjaga cinta Sejak umur 20-an, hingga rambut ini beruban Wajahmu sudah mulai banyak kerutan-kerutan, tenagamu sudah tak seperti dulu Semuanya memudar selaras dengan bertambahnya usia ini Namun, satu hal yang tak pudar darimu: cinta, kasih sayang, perhatian, ketulusan, dan kesungguhanmu Terus membara dan membuat hatiku melayang-layang Di jalan setapak nan panjang ini, aku kembali memuda 20 tahunan Jiwa dan seluruh tubuhku terus berucap: I Love You”

Pancaran yang kuat, dan radiasinya membuat kami menyakini dengan pasti

“inilah cinta sejati.” Walaupun kami tidak menanyakan secara gamblang pada mereka,

tapi gambaran wajah dan aura tubuh tidak akan pernah bisa bohong. Cinta, kasih

sayang, kedamaian, dan kenikmatan dalam melangkah setapak demi setapak

menyiratkan hal itu. 10 km lebih, mereka lalui dengan perasaan tenang, santai, damai,

senyum, canda ria, dan tanpa keluh kesah. Ketika letih menghampiri, mereka duduk

sejenak di kanopi (tempat peristirahatan yang disediakan oleh pengelola) sambil minum

air dan memakan jamilan yang dibawa dari rumah. Itulah gambaran indah, romantisme

dari dua pasang kakek nenek, yang sedang menikmati pesona Taman Hutan Raya

(Tahura) Ir. H. Djuanda, Bandung Jawa Barat. Bertempat di Komplek Tahura Ir. H.

Djuanda No. 99 Dago Pakar Kode Pos 40198.

Berjalan beriringan dengan hamparan luas tumbuhan hijau, tebing indah,

dan udara segar melimpah ruah. Mulai dari pintu masuk, Curug Omas, Goa Jepang, Goa

Belanda, museum, hingga taman. Sungguh kontras dengan usia mereka yang sudah

lanjut. Semangat, tekad, niat, dan cinta membuat mereka kuat dan terus berjalan,

walaupun jarak yang dilalui cukup jauh. Mungkin inilah yang melatar belakangi, kenapa

jalan di Tahura hampir semua paving, panjang, naik turun dengan bermacam tumbuhan

serta pesona indahnya.

Nama : Sandi Iswahyudi Nama Kelompok : Pejalan Tangguh Destinasi : Tahura Ir. H. Djuanda

Page 88: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

2

Pesona Curug Omas

Jika Anda menyukai

panorama air terjun, halaman

luas untuk bersantai sambil

menikmati sensasi jagung

bakar, ketan bakar/makanan

lainnya datanglah ke ke

kawasan Maribaya. Kawasan

yang di dalamnya terdapat

Curug Omas, pusaran air,

halaman luas, parade monyet

alam, dan kuliner. Bisa dipastikan, Anda akan puas dan ingin berlama-lama di sana.

Curug omas terbentuk oleh aliran lava basalt yang membeku membentuk

tingkat-tingkat setinggi ± 30 m. Tinggi curug ± 15 m dengan 3 air terjun sejajar. Bila di

foto dari kejauhan dari jembatan kedua, maka akan terlihat pemandangan yang indah,

deburan air berwarna putih, dengan warna hijau tumbuhan di masing-masing sisi.

Sambil menikmati pesona Curug Omas, bersantailah dahulu di sisi kanan

curug dengan bentangan rumput luas serta naungan pohon-pohon. Pesanlah tikar untuk

alas bersantai dengan harga Rp 10.000,- per buah. Di sini, Anda bisa melakukan piknik,

cocok juga untuk tempat nongkrong/diskusi, menulis, meneliti, fotografi, melukis atau

sekadar refresh otak. Bonus tambahan yang tidak setiap jam/hari ada adalah parade

monyet. Yaitu, tingkah laku monyet yang meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya,

bahkan mereka akan saling kejar-kejaran untuk berebut makanan yang di dapat dari

pengunjung. Jadi hati-hati dengan makanan Anda dari serangan monyet.

Situs Goa Belanda dan Goa Jepang

Puas bersantai dan bermain-main di curug, bergeraklah langsung ke situs

Goa Belanda dan Jepang. Dulu area Tahura ini dijadikan tempat yang strategis bagi

Gambar 1. Keindahan Curug Omas

Page 89: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

3

penjajah untuk berperang atau bertahan dari musuh. Jarak dari Curug Omas menuju

Goa Belanda ± 5 km, bisa ditempuh dengan ojeg atau jalan kaki.

Menurut sejarah Goa Belanda dibangun pada tahun 1906 sebagai

terowongan penyadapan aliran air Sungai Ci Kapundang untuk pembangkit listrik tenaga

air (PLTA) oleh BEM (Bandoengsche Electriciteit Maatschappif). Pada tahun 1918

terowongan ini beralih fungsi untuk kepentingan militer dengan beberapa ruang di

sayap kiri dan kanan terowongan utama. Pada masa Perang Dunia II, Belanda

memperluas goa dan mendirikan stasiun radio komunikasi di sini sebagai pengganti

Radio Malabar di Gunung Puntang yang berada di wilayah tak terlindungi dari serangan

udara. Setelah kemerdekaan, Goa Belanda masih memiliki fungsi militer sebagai gudang

mesiu bagi pemerintah Indonesia. Baru pada tahun 1970-an, mesiu-mesiu ini

dipindahkan.

Setelah itu, ke

Goa Jepang dengan jarak ± 2

km. Dapat dilalui dengan jalan

kaki atau ojeg. Bagi pejalan

kaki, bisa mengisi persediaan

air minum di mushola dekat

Goa Belanda. Disana terdapat

air bersih yang segar dan

layak konsumsi. Jika ingin

mengisi perut, bisa memesan

jagung bakar, ketan bakar, atau makanan lainnya di samping mushola. Perjalanan

menuju Goa Jepang akan melewati tebing-tebing indah, dengan simfoni alunan burung,

dan alam beserta tarian daun-daun yang berguguran.

Sepanjang perjalanan menuju Goa Jepang, suasana sangat indah, sejuk, dan

mempesona. Kita bisa melihat daun-daun berguguran seperti di musim gugur negara 4

musim. Berkas cahaya matahari yang menembus diantara naungan pohon-pohon besar,

Gambar 2. Goa Jepang

Page 90: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

4

menciptakan pemandangan yang luar biasa. Jika letih menyerang, kita bisa duduk di

kanopi. Jangan lupa untuk menikmati udara segarnya dengan menghirup banyak udara,

menahan beberapa detik, kemudian mengeluarkan secara perlahan. Tubuh spontan

fresh, tenang, dan damai.

Jika rute dari Curug Omas, maka Goa Jepang berada disisi kiri. Goa Jepang di

Tahura Ir. H. Djuanda merupakan salah satu dari puluhan goa yang tersebar di seluruh

Indonesia, yang umumnya dibuat tahun 1942-1945. Ketika masa pendudukan Jepang,

Kota Bandung merupakan markas salah satu dari tiga Kantor Besar di Pulau Jawa.

Bandung juga menjadi tempat pemusatan terbesar tawanan perang mereka, baik

tentara Hindia-Belanda dan satuan sekutunya, maupun warga sipil. Pada masa itu, selain

memanfaatkan goa buatan Belanda, Jepang juga menambahkan sejumlah goa di

kawasan ini. Goa-goa buatan Jepang dipergunakan untuk keperluan penyimpanan

amunisi, logistik, dan komunikasi radio pada masa perang. Pada masa Jepang, Tahura

tertutup bagi masyarakat umum. Di Goa Jepang terdapat 6 lubang yang saling sejajar: 2

lubang kecil sebagai ventilasi, 4 lubang besar lainnya sebagai pintu. Di sini kita akan

diajak untuk kembali ke masa lalu, bagaimana pengalaman pahit masyarakat Indonesia

masa itu. Bagaimana perjuangan mereka. Sehingga generasi muda saat ini, bisa

bersyukur dan bertekad untuk selalu memajukan Indonesia.

Puas berfoto di Goa Jepang, kita bisa terus mengikuti jalan, maka akan

menemukan halaman luas lainnya. Di sini akan ditemukan fasilitas outbound, taman

bermain anak-anak, tempat untuk santai, museum, dan kuliner.

Pilihan Ideal: Berjalan Kaki

Tahura Ir. H. Djuanda sangatlah luas, maka jangan heran jika banyak

ditemukan ojeg yang siap untuk mengantarkan turis ke berbagai destinasi. Banyak pula,

yang memilih untuk berjalan kaki mengelilingi tahura. Letih, lelah, haus, dan lapar tentu

menghampiri. Namun itu bukan sebuah hambatan tentunya. Dua pasang kakek nenek

saja, berjalan kaki. Masak yang masih muda naik motor? Untuk sensasi, kenangan,

kepuasan batin, dan manfaat bagi tubuh tentu lebih terasa yang berjalan kaki. Saya, Aji,

Page 91: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

5

Akbar, Dekna, Sirka, Mona, dan Ima telah membuktikan dalam Ekspedisi Mata Angin

2014 yang diadakan oleh AICT (Ambassador Of Indonesia Culture and Tourism), Selasa

(23/9) dari start sekitar pukul 10.00 WIB s/d 15.00 WIB. Kami puas, senang, dan

mendapatkan kenanangan yang mendalam. Inilah bukti kami sebagai generasi muda

penyebar optimisme, inspiring beauty, dan express across nation.

Berjalan kaki, bagi kesehatan merupakan

salah satu alternatif untuk menenangkan diri,

menyehatkan tubuh, dan mengurangi

terjadinya resiko bermacam penyakit karena

titik-titik pusat penyakit (titik akupuntur)

berada di kaki. Buktinya, nenek moyang kita

tubuhnya sehat, kuat, dan jarang sakit.

Sedangkan zaman sekarang dengan pola

serba instan, apa yang terjadi? Padahal

ketetapannya, alam memberikan manfaat

pada manusia. Namun jika manusia

menginginkan segala sesuatunya instan,

apakah alam akan tetap memberi manfaat?

Gambar 3. Jalan panjang Tahura

Page 92: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
Page 93: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

1

Pesona Terpendam Curug Dago

Letih, keringat bercucuran, haus, dengan cuaca terik serta polusi udara,

menghiasi setiap langkah perjalanan di padatnya aktivitas Kota Bandung. Hal itu

tidak membuat saya, Akbar, Sirka, Dekna, Mona, Aji, dan Ima mengendurkan

semangat serta keinginan untuk mundur dari tantangan menuju lokasi terpendam.

Walaupun jauh, melewati jalan raya dengan cuaca panas, tidak sekalipun

melunturkan niatan kami untuk berhenti dan berkata, “Saya/kami tidak ingin

lanjut. Saya ingin berhenti di sini saja.” Tekad kami sudah bulat, untuk melangkah

menyusuri jalanan, dari

Kota Bandung menuju

lokasi terpendam itu,

untuk satu tujuan,

“Mencintai Indonesia.”

Bagi kami, ini sebagai

bentuk perjuangan dan

bukti cinta kami pada ibu

pertiwi express across

nation.

Kami yang notabene berasal dari berbagai kultur disatukan dalam satu

wadah AICT (Ambassador Of Indonesia Culture and Tourism) Ekspedisi Mata Angin

2014. Mengangkat tema Capture the Unexplored Culture membuat jiwa muda

kami: inspiring beauty, agent of change, pekerja keras, dan penerus bangsa terus

membara tanpa pernah padam. Itulah esensi, kenapa kami berbeda-beda namun

menjadi satu serta saling selaras. Inilah kolaborasi kami untuk negeri tercinta.

Selasa (23/9) siang, kami berjalan dari pintu keluar Tahura Ir. H. Djuanda

menuju Curug Dago. Curug ini, masih berada di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda

yang beralamat di Kampung Curug Dago, Desa Dago, Kecamatan Coblong

Bandung, Jawa Barat. Perjalanan kami lalui dengan berjalan kaki, sejauh ± 1,5 km

melewati jalan raya. Panas, bising, dan polusi udara adalah hal umum yang kami

Gambar 1. Tim kelompok 4 sebelum berangkat

Nama : Sandi Iswahyudi Nama Kelompok : Pejalan Tangguh Destinasi : Curug Dago

Page 94: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

2

rasa. Tapi kami tetap merasakan senang dan senyum merekah terlihat dari wajah

teman-teman. Karena memang yang utama dari sebuah perjalanan, bukan

cepat/lambatnya kita menempuhnya. Tapi sejauh mana, pribadi mampu

menikmati perjalanan serta membaginya pada orang lain. Setelah sampai di

Terminal Dago, kami belok kanan menuju Curug Dago berasal, yang ditandai

dengan adanya plakat menuju curug.

Jarak antara plakat menuju lokasi sekitar ± 2 km, dengan medan naik turun

jalan tanah, paving, dan semen. Medan cukup berat, ketika pengunjung menuruni

anak tangga yang banyak dan cukup curam. Pegangan kayu berwarna hijau bisa

dimanfaatkan sebaik mungkin. Tanda sudah dekat dengan curug, terdengar

deburan air, dengan kondisi lingkungan sekitar cukup lembab, udara segar, sejuk,

suara burung-burung bersahutan. Selain itu terlihat rumah warna merah. Di Curug

Dago terdapat dua rumah warna merah,

yang didalamnya terdapat batu prasasti

peninggalan Kerajaan Thailand atas

kedatangan Raja Rama V tahun 1896 dan

Raja Rama VII tahun 1901 lalu.

Melihat hal tersebut, semangat kami

pun kembali membara, untuk merekam,

mendokumentasikan serta melukiskan lewat

kata-kata. Beberapa kali, saya menghirup

udara dalam-dalam lewat hidung, ditahan

beberapa detik, dan dikeluarkan secara perlahan-lahan. Sungguh nikmat,

mendamaikan, dan tubuh kembali segar. Itu salah satu tip, untuk menikmati udara

segar, menyehatkan tubuh, serta me-refresh pikiran. Di sisi lain, teman-teman

saya ada yang berfoto dengan curug, prasasti, alam sekitar/beberapa warga

sekitar yang sedang memancing.

Gambar 2. Pesona Curug Dago

Page 95: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

3

Curug Dago dikelilingi

oleh tebing-tebing yang

membentuk cekukan ke

dalam, dengan rimbunnya

tumbuh-tumbuhan di

sekitar. Kesan pertama

yang saya rasakan saat

menginjakkan kaki di sini,

“menakutkan.” Namun

beberapa menit berlalu,

kesan itu berubah menjadi pesona atas ciptaan Tuhan yang luar biasa. Tinggi curug

± 12 m dan berada di ketinggian sekitar 800 m. Spot menarik lain, adalah di sisi

kanan ketika kami pergi pulang. Kami melihat, matahari yang seolah berusaha

masuk menembus rimbunnya tetumbuhan, yang kemudian ditangkap oleh aliran

air dari Curug Dago. Menghasilkan parade yang indah untuk dinikmati dan difoto.

Apalagi dengan bebasnya kita bisa mendengar orkestra burung-burung yang saling

bersahutan, bunyi desiran dahan satu dengan lainnya, serta hewan-hewan

lainnya. Menjadikan diri terbius kembali untuk mengucap syukur pada Sang

Pencipta, inilah lukisan Tuhan yang tak mampu untuk direkam

Curug Dago merupakan tempat indah untuk yang hobi fotografer, pecinta

alam, serta pencari inspirasi. Dalam hati saya merenung, tumbuhan kecil dekat

dengan sungai berada di antara tumbuhan besar pengahalang sinar matahari saja,

bisa “hidup.” Apalagi kita sebagai manusia, yang diciptakan sebagai makhluk

sempurna?

Pasti banyak, di antara pengunjung yang datang ke Curug Dago digunakan

untuk fotografi, pecinta alam, dan wisata keluarga. Namun cukup jarang,

pengunjung yang datang ke wisata alam mengambil ilmu dari alam sekitar.

Padahal segala sesuatunya sudah jelas, bahwa manusia diciptakan dari tanah.

Maka, sudah semestinya bahwa bumi seisinya adalah ibu/guru bagi manusia.

Contoh kecilnya, manusia tidak bisa hidup, kecuali harmonisasi dengan alam.

Gambar 3. Sisi lain Curug Dago

Page 96: Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014

4

Manusia ketika mendapatkan masalah, kemudian melihat dan berfikir di alam

sekitar akan segera mendapatkan solusi. Kenapa itu terjadi? Semua sudah ada

ketetapan, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti memiliki manfaat.

Perjalanan mendaki tangga kembali menemani kami. Lelah pasti

menghampiri di sekujur tubuh untuk merusak kebahagiaan yang baru dialami.

Namun, kedamaian tidak akan pernah hilang. Dia akan terus menjadi kenangan di

dalam sanubari. Dalam hati kecil saya, Indonesia begitu indah dan memesona,

sayang tidak banyak generasi muda yang sadar!