Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014
-
Upload
ambassador-of-indonesian-culture-and-tourism -
Category
Documents
-
view
239 -
download
1
Embed Size (px)
description
Transcript of Travel Writing Ekspedisi Mata Angin 2014


Muthi’a Jamilatuzzuhriya Mahya - Kelompok 1 – Goa Pawon
Goa Pawon; Menemukan Mesin Waktu
Setiap manusia punya sejarahnya, lalu dengan sejarah mereka manganyam
masa depan – Iqbal Syarie, Transit Cinta
Ketika kecil, saya ingat saya benar-benar percaya pada mesin waktu.
Melihat bagaimana asyiknya memiliki mesin waktu di film fiksi anak-anak, saya
sangat ingin memiliki satu. Yakin bahwa harganya sangat mahal, saya
memendam keinginan itu dan melupakannya pelan-pelan. Hingga akhirnya saya
mengetahui fakta tentang mesin waktu. Bahwa tak ada satupun mesin waktu di
dunia ini.
Waktu memanglah hal yang unik. Dimensi yang tidak dapat
dibalikkan dan terus berjalan secara positif. Maju tak dapat dihentikan. Segala
perubahan di dunia ini bisa dikatakan berubah terhadap waktu. Sering kita ingin
megetahui apa yang terjadi di masa lalu untuk menjelaskan segala hal di masa
sekarang. Maka dari itu banyak orang masih penasaran dengan mesin waktu.
Berteori dan melakukan percobaan untuk menghadirkan mesin waktu dalam
kenyataan.
Hari itu dalam sebuah ekspedisi yang bernama Ekspedisi Mata Angin
2014 yang digagas AICT, untuk pertamakalinya saya menemukan sebuah mesin
waktu di kaki sebuah bukit di kawasan Padalarang, Bandung Barat. Saya terbawa
kembali ke jaman megalitikum ratusan tahun yang lalu. Hari ini pula saya
membuktikan bahwa mesin waktu itu ternyata ada. Mesin waktu yang saya lihat
hari itu bukanlah mesin dengan suatu portal yang bisa diprogram untuk
membawa kita ke berbagai waktu di masa depan dan masa lampau. Mesin waktu
ini hanya bisa mengantarkan saya ke jaman megalitikum. Jaman dimana nenek
moyang kita masih tinggal di goa-goa untuk melindingi diri dari dinginnya malam
dan teriknya siang.

Mesin waktu itu saya temukan ketika saya menjelajahi sebuah goa.
Goa pawon namanya. Goa karst dengan pemandangan elok stalaktit
stalakmitnya. Goa ini mempunyai beberapa pintu dan ruangan yang saling
terhubung bak labirin mini. Dindingnya sebagian kuning keemasan terkena sinar
matahari sore dan sebagian lain hijau muda segar dengan lumut yang menempel.
Goa ini adalah habitat bagi puluhan mungkin ratusan kelelawar yang selama ini
menggantikan nenek moyang kita yang dulunya tinggal disana. Kelelawar-
kelelawar itu sungguh gaduh meskipun saya kesana di sore hari saat mereka
seharusnya masih tidur. Mungkin karena saya terlalu berisik, hewan-hewan itu
merasa terusik.

Beberapa bagian dari goa ini mudah dijelajahi dan sebagian lain
membutuhkan perjuangan untuk menjelajahinya. Kadang saya harus memanjat
dinding goa yang dilumuri kotoran kelelawar untuk dapat menyaksikan
keindahan goa dari berbagai sisi. Tak jarang saya hampir terjatuh dari ketinggian
tebing dinding goa. Tetapi tak apa, segala keindahan membutuhkan perjuangan
kan? Semakin menantang, semakin seru.
Saya masih terus mengelilingi goa Pawon dengan labirin mininya.
Banyak lubang keluar yang terlihat indah memancarkan berkas cahaya matahari
menerangi kedalaman goa. Seperti spotlight yang biasa ada di panggung-
panggung sebuah pagelaran. Sekali lagi saya melihat keindahan yang
menginspirasi, inspiring beauty.

Saya sudah berada diluar goa ketika saya melihat hal yang lebih
mengagumkan. Sebuah mesin waktu berpagar besi dilindungi naungan stalakmit
goa pawon. Mesin waktu itu berupa tengkorak seorang manusia. Hampir utuh
sempurna dengan posisi menelungkup melipat kedua lutut kearah dada, seperti
orang kedinginan. Tengkorak itu adalah tengkorak seorang wanita ras mongoloid
yang hidup pada jaman megalitikum. Seketika mesin waktu itu menceritakan
kepada saya gambaran bagaimana manusia ratusan tahun yang lalu hidup. Saya
hanya bisa merasa bahwa pemandangan yang saya lihat kali ini sungguh luar
biasa. Pemandangan ini membuktikan bahwa tak hanya express across nation
yang mungkin dilakukan tetapi juga express across time. Hampir habis kata saya
menggambarkannya.

Berlama-lama saya menghayati kehidupan masa lalu. Hampir saya
terserap ke masa lampau, namun akhirnya keramaian menyadarkan saya dan
menarik saya dari mesin waktu megalitikum. Pengunjung goa ini lumayan ramai.
Di sore hari pada hari kerjapun banyak orang yang berkunjung kemari. Saya
bertemu dengan beberapa rombongan lain. Saya bersyukur ada banyak orang
yang sadar akan pentingnya sejarah. Karena sejarah adalah bagian yang
membentuk identitas seorang manusia. Bung Karno, seorang cendekia pendiri
bangsapun sampai berpesan untuk menekankan pentingnya sejarah “Jangan
sekali-sekali melupakan sejarah”. Tak peduli kamu seseorang yang suka berjalan
mendaki gunung, menyusur pantai, berkeliling kota, datanglah kemari! Lihatlah
bagaimana pendahulumu hidup, bagaimana dunia berubah terus menerus dari
kehidupan manusia goa hingga manusia modern seperti sekarang. Jadikanlah goa
ini seperti kaca untuk merefleksikan bagaimana kehidupan manusia. Manusia
yang mungkin berubah secara peradaban namun tidak berubah sama sekali sifat
dan emosionalitasnya. Belajarlah dari masa lalu dan jadilah manusia yang lebih
baik dari manusia yang hidup sebelumnya.


Muthi’a Jamilatuzzuhriya Mahya - Kelompok 1 - Stone Garden
Taman Batu; Bukit yang Menyimpan Cerita Lautan
Hari ini kami berjalan lagi
Menapaki batuan melawan terik matahari
Demi mewujudkan sebuah ekspedisi
Membawa cukup satu misi
Melawan diri kami sendiri
Perjalanan kami hari ini adalah suatu ekspedisi. Ekspedisi Mata Angin 2014
namanya diinisiasi oleh AICT. Tidak biasanya kami mengartikan perjalanan
sebagai suatu ekspedisi. Perjalanan adalah cukup suatu perjalanan. Yang
termaknai setelah perjalanan itu berakhir. Berbeda dengan hari ini. Kami
memaknai perjalanan sebagai suatu ekspedisi. Ekspedisi adalah perjalanan yang
membawa suatu misi. Misi yang harus kami tuntaskan saat kami kembali.
Membawa kabar bahwa negeri ini masih menyimpan misteri. Misteri indah yang
membuat kami terhenyak, terkesima. Menyaksikan keindahan negeri ini sekali
lagi. Bukit yang menyimpan cerita tentang laut, bukit yang menyimpan cerita
tentang sejarah. Hari ini bukit itu berada dihadapan kami,dipijakan kaki kami.
Hari masih pagi. Saatnya mengawali ekspedisi. Barat adalah tujuan kami
Pukul delapan pagi di sebuah penginapan di Cimbeleuit, kota kembang, kami siap
menuju bukit di barat yang menyimpan cerita lautan. Di bukit itu ada sebuah
taman yang saat ini menjadi tujuan. Warga sekitar lebih suka menyebutnya
Taman Batu. Tapi supaya bisa go international taman itu juga disebut Stone
Garden. Berkendara dengan mobil menjadi pilihan kami walaupun sebenarnya
bisa saja kami menaiki kendaraan umum. Mobil memang angkutan yang cukup
praktis bahkan untuk express across nation, right? Waktu menunjukkan pukul

setengah sepuluh pagi. Sudah sekitar satu setengah jam kami melalui jalanan
Bandung Padalarang yang berkelok dan padat. Akhirnya kami sampai di kaki
bukit itu. Rasa penasaran yang mengusik kami selama perjalanan akan segera
terjawab di puncak bukit. Bagaimana cerita lautan yang dititipkan disana, kami
akan segera tahu.
Mendaki, bukan hal asing bagi kami. Para pejalan seperti kami siap mendaki
demi terwujudnya misi
Merupakan hal wajar bila hal indah membutuhkan bayaran mahal. Siang hari,
dengan pemandangan batuan terjal dan tanah licin otak kami menyimpulkan
perjalanan ketas bukit ini bukanlah hal mudah. Mengingat rasa penasaran kami
akan cerita lautan, lebih banyak sisi hati kami yang menyuruh untuk tetap
menguatkan kaki, melawan matahari, untuk melihat sendiri bagaimana cerita
lautan dikisahkan. Lima menit, sepuluh menit, peluh menetes lama-lama
semakin membanjir. Lima belas menit sepertinya sendi kami tak kuat lagi,
berteriak minta berhenti. Akhirnya kami menyerah sementara. Kami minum dan
meluruskan kaki. Waktu berlalu memperpanjang rasa penasaran kami akan cerita
lautan. Kamipun berdiri dan kembali melangkahkan kaki. Kali ini terasa lebih
mudah. Medan tak lagi sesulit tadi dan sendi kami sudah mulai terbiasa.
Setengah jam dari awal pendakian, di kejauhan kami bisa melihat apa yang kami
harapkan muncul. Susunan batuan besar yang katanya berasal dari lautan.
Ketika cerita lautan dikisahkan
Kami setengah berlari menuju tumpukan batuan yang kokoh berdiri. Tanpa sadar
kami berada di ketinggian. Menyaksikan seutuhnya pemandangan yang tidak
bisa kami lihat di tempat yang lebih rendah. Pandangan kami mengalahkan
tembok, pohon, dan segala benda yang biasanya membatasi. Jalan yang tadi
kami lewati, desa dibawah kami, bukit-bukit lain disekitar bukit ini, kami bisa

melihat semuanya. Jika para pendaki mengatakan rasa kebebasan akan lebih
terasa ketika berhasil menaklukan suatu puncak, kali ini kami tak akan
membantah lagi. Di ketinggian udara yang berhembus adalah udara kebebasan.
Cobalah sendiri dan kalian akan tahu apa itu udara kebebasan.
Dan cerita lautan membuat kami takjub
Di puncak ini semua batuan adalah batuan karbonat. Disusun oleh mineral kalsit,
batuan ini sering disebut batugamping oleh masyarakat sekitar. Batu yang
menurut para ahli bumi biasa terbentuk di lingkungan laut, bagi awam seperti
kami sungguh aneh bila tiba-tiba muncul di bukit setinggi ini. Inilah cerita lautan
yang dikisahkan disini. Alkisah dulunya bukit ini adalah dasar lautan. Tempat
foraminifera, ganggang laut, dan terumbu karang hidup subur. Setelah mati,
biota lautan itu akan mengendap tersedimentasi menjadi batuan karbonat.
Batuan itu tetap diam di dasar laut sampai ada suatu peristiwa besar pada masa
itu. Terjadi pengangkatan lautan. Hampir tidak sanggup imajinaasi kami

membayangkan bagaimana lautan terangkat. Tapi melihat bukti di bukit ini mau
tak mau kami mempercayai cerita ini.
Jika bukit yang menyimpan cerita lautan ini tak berumur panjang
Ada yang membebani hati kami disini. Pemandangan yang kami saksikan bukan
sema sekali tanpa cacat. Bukit di seberang bukit ini, Masigit namanya. Bukit itu
tinggal separuh. Bukan karena longsor dan bencana alam lainnya. Bukit itu
hampir habis digerogoti keserakahan manusia. Mereka mengeruknya berupaya
segera menghabiskannya. Setiap hari puluhan truk berkapasitas ratusan kubik
batugamping hilir mudik di jalan raya padalarang yang sempit. Menggunduli
padalarang, mengkerdilkan bukit-bukitnya. Bukit yang indah, tinggi, kokoh, lama
kelamaan semakin rendah, penuh bopeng keropeng sana-sini, dikeruk kegagahan
nya. Bukit ini, tempat kami berdiri saat ini, akankah sama seperti bukit lain nya?
Pada akhirnya batuan yang menyimpan cerita lautan akan berakhir menjadi
keramik di suatu rumah mewah atau menjadi porselen penghias ruangan? Maka

jika benar seperti itu, maka hilang sudah suatu harta, inspiring beauty, pencerita
kisah lautan. Lalu bagaimana generasi setelah kita mendengar cerita lautan.
Maka ini saatnya menuntaskan misi
Dorongan untuk menyimpan cerita lautan demi generasi setelah kami membuat
kami tak ingin kalah dengan industrialisasi. Satu-satunya cara untuk melawan
mesin penggali batugamping itu adalah dengan meramaikan bukit ini. Dengan
berada disini akan menghalau para pengeruk batugamping. Kami para pejalan
ekspedisi ini akan terus mengajak agar semua orang agar datang kesini.
Datanglah kesini! Datanglah membantu melindungi kisah lautan! Supaya tak
berakhir sebagai porselen penghias ruangan. Supaya kisah ini sampai ke generasi
mendatang.


Nama : Saepulloh
Nama Kelompok : Kelompok 1 (K1)
Tujuan Destinasi : Gua Pawon, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Ada Stonehenge di Padalarang?
Siapa yang belum pernah ke Bandung? mungkin hampir setiap orang
sudah pernah mengunjungi Kota Kembang ini. Kota dan Kabupaten yang terkenal
dengan udaranya yang segar, pemandangannya yang indah, serta sekarang
Bandung menjadi sorotan pelancong baik domestik maupun mancanegara.
Mengapa tidak? Bandung saat ini memiliki banyak inovasi baru dan segar bagi
masyarakatnya maupun orang-orang yang sekedar ingin tahu dengan terobosan
yang ada di Bandung. siapa yang tidak tahu dengan Taman Jomblo?, kalau Taman
Musik?, atau Taman Lansia? Eitss, yang paling terbaru deh Taman Film? Tahu
ngga? Ini semua tempat hiburan yang dibuat untuk masyarakat Bandung
khususnya dan seluruh orang yang berkunjung ke Bandung pada umumnya.
Mungkin itu segelintir kecil tempat wisata di Bandung, tetapi kali ini saya
akan membahas tentang Taman Batu atau Stone Garden. Ada yang pernah
mendengar Taman Batu atau Stone Garden di Bandung? Jika belum boleh simak
cerita saya serunya berkeliling Stone Garden. Perjalanan saya di Stone Garden
berawal ketika saya dinyatakan menjadi salah satu delegasi Ekspedisi Mata Angin
2014 perwakilan Bekasi. Acara yang diselenggarakan oleh Ambassador of
Indonesian Culture and Tourism (AICT) dibawah naungan Komunitas Sobat
Budaya ini mempertemukan saya dengan orang-orang hebat se-Indonesia hasil
seleksi yang ketat.
Singkat cerita, saya masuk dikelompok satu yang mendapatkan lokasi
destinasi Gua Pawon dan Taman Batu atau sering disebut Stone Garden. Pagi itu
kami diantarkan menggunakan mobil JNE “Express Across Nation” salah satu
perusahan yang bergerak dalam bidang pengiriman dan logistik yang berpusat di
Jakarta. Setelah sampai dilokasi, kami mengunjungi Gua Pawon terlebih dahulu

sebelum Stone Garden karna lokasi yang berdekatan dan masih dalam satu
kawasan karst di daerah Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Pernah mendengar Stonehenge di Inggris? Mungkin Stone Garden ini bisa
dibilang versi Indonesianya. Lokasi yang terletak di puncak Gunung Pawon,
Kampung Girimulya, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten
Bandung Barat merupakan pemandangan hamparan perbukitan dengan
bongkahan Batugamping dengan variasi bentuk dan ukuran yang menghampar
luas seperti Taman Batu (Stone Garden). Diperlukan waktu 30 menit atau sekitar
1,5 kilometer menuju lokasi yang berada kurang lebih 710 meter diatas
permukaan laut.
Stone Garden, Citatah, Kabupaten Bandung Barat
Trek yang berliku dan lumayan terjal membuat kita harus berhati-hati
dalam berjalan, tetapi itu semua akan terbayar lunas ketika kita sudah berada di
Stone Garden. Hamparan bebatuan yang tak beraturan, ilalang-ilalang yang
mengelilingi bebatuan, sampai hamparan pesawahan yang sebagiannya mulai
menguning terlihat jelas dari lokasi Stone Garden.

Menurut cerita, hamparan ini merupakan bagian-bagian dari kumpulan
Batugamping yang terbentuk dibawah permukaan laut sekitar 30 juta tahun yang
lalu. Wow, bukan hanya pemandangan yang indah yang bisa kita nikmati tetapi,
kita bisa belajar mengenai jenis batuan gamping beserta proses geologinya.
Hamparan batugamping yang meninggi diantara ilalang
Ada yang menarik ketika saya mengunjungi Stone Garden. Di waktu
teman-teman yang lain sibuk mengamati atau sekedar berjalan-jalan santai,
salah satu teman perempuan saya malah menggunakan peralatan kosmetik dari
Wardah “Inspiring Beauty”. Pas saya tanya kenapa menggunakan produk
Wardah, dia berkata “Iya nih, produk wardah ini cocok banget buat kita para
wanita yang ingin tetap terlihat cantik walapun aktivitas di tempat-tempat
terbuka seperti saat ini, selain itu juga Warda itu Halal. Jadi makin seneng deh
menggunakan Wardah”. Saya sih cuma bisa senyum aja. Namanya juga wanita
selalu ingin dimengerti.
Jadi tidak perlu jauh-jauh ke Stonehenge di Inggris untuk menikmati
hamparan bebatuan, cukup ke Stone Garden di Bandung saja. Selain jalan-jalan,
kita juga bakalan banyak dapet pelajaran tentang bebatuan, kita juga bisa

mengetahui sejarah pembetukanya, terlagi lokasi ini berdekatan dengan Gua
Pawon sehingga sekali mendayung dua pulau dinikmati. Selamat berlibur.


Nama : Saepulloh
Nama Kelompok : Kelompok 1 (K1)
Tujuan Destinasi : Gua Pawon, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.
Mau Liat Manusia Purba? Ke Gua Pawon Aja.
Siapa yang belum pernah ke Bandung? Ibukota dari Provinsi Jawa Barat
ini penuh pesona dan kreativitas. Siapapun yang mengujungi kota Kembang ini
pasti selalu betah berlama-lama menikmati keindahan alamnya. Udaranya yang
sejuk, warganya yang ramah, serta lokasi pariwisatanya yang tidak kalah dengan
daerah lain, membuat siapapun yang pernah mengunjungi tempat ini akan
sependapat dengan saya. Jika kalian yang suka mengunjungi tempat baru,
apakah kalian sudah pernah mengunjungi Gua Pawon? Jika jawaban kalian
belum, segeralah mengunjungi gua ini.
Sedikit cerita dari saya mengenai Gua Pawon yang mungkin bisa menjadi
sedikit gambaran perjalanan liburan kalian diakhir pekan ini. Perjalanan saya
diawali dengan terpilihnya saya menjadi Delegasi Ekspedisi Mata Angin 2014
setelah melewati proses seleksi yang ketat. Acara Ekspedisi Mata Angin ini
merupakan acara yang diusung oleh Ambassador of Indonesian Culture and
Tourism (AICT) yang merupakan project dari Komunitas Sobat Budaya.
Tak tanggung-tanggung, acara ini mengundang peserta terpilih dari
seluruh Indonesia yang telah dibekali sebelumnya dengan materi-materi
penunjang dalam perjalanan ekspedisi seperti Travel Writing, Fotografi, dan
Videografi. Semua materi ini disampaikan oleh pakar-pakar dibidangnya dengan
penyampaian yang santai dan fresh, sehingga kita dengan mudah memahami
materinya. Selain itu acara ini didukung oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Provinsi Jawa Barat, Wardah Kosmetik “Inspiring Beauty”, JNE “Express Across
Nation” , dan masih banyak lagi.

Perjalanan saya berawal ketika saya bergabung bersama kelompok 1 yang
mendapatkan lokasi ekspedisi di Gua Pawon dan Stone Garden atau Taman Batu
di daerah Padalarang. Perjalanan kami awali menuju ke Gua Pawon dengan
menggunakan fasilitas mobil dari JNE. Ini cerita singkat saya, buat kalian yang
menyukai Wisata Alam atau Wisata Sejarah, Gua Pawon bisa menjadi salah satu
alternatif kunjungan kalian diakhir pekan. Gua Pawon merupakan gua yang
terletak di Pasir atau Gunung Pawon, Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat
Kabupaten Bandung Barat, jaraknya kurang lebih 500 meter dari pintu masuk
Kawasan Karst Citatah di tepi Jalan Raya Padalarang. Atau kita bisa menempuh
jarak + 25 km ke arah Barat menuju Padalarang dari Kota Bandung.
Mengapa harus mengunjungi tempat ini? Ini mungkin pertanyaan
pertama yang akan terlontar ketika mendengar Gua Pawon. Gua Pawon ini
merupakan salah satu Cagar Alam yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat,
khususnya Kabupaten Bandung Barat. Gua yang “mengangah” lebar ini membuat
kita akan terpesona dengan salah satu Maha Karya Tuhan yang sangat luar biasa.
Maha Karya yang terbentuk oleh alam secara alami dan wajib dikunjungi,
dipelajari, serta dilestarikan ini.
Dengan merogoh kocek Rp 5.500,- kita sudah dapat “menelanjangi” Gua
Pawon sampai ke titik feminim yang belum banyak orang ketahui. Titik yang
mungkin hanya bisa kalian nikmati ketika berada di jantung Gua Pawon. Selain
itu, sepanjang perjalanan menuju ke Gua Pawon, kalian akan disambut
rombongan kera-kera yang hidup di sekitaran gua.
Lain di luar lain juga di dalam, saat berada di mulut gua kita sudah
disambut dengan aroma khas yang mungkin sebagian orang tidak menyukainya.
Ya, aroma itu berasal dari kotoran ribuan kelelawar yang “menghitam” di atas
gua, selain itu juga kalian akan menjumpai kawanan burung Walet yang hilir
mudik di antara celah-celah mulut gua. Tenang saja, aroma itu hanya tercium di
awal saja, semakin dalam dan semakin tinggi kita menjelajahi isi gua, semakin

terbiasa dan perlahan menghilang aromanya. Stalaktit yang menggantung
dilangit-langit membuat gua ini pun semakin cantik dan mempesona.
Penampakan Stalaktit yang sangat mempesona
Selain terpesona dengan keindahan isi gua, kalian pun akan tercengang
dengan penemuan fosil manusia purba yang ada di dalam gua. Ternyata,
menurut sejarah gua tersebut pada masa lalu digunakan sebagai tempat hunian
dengan temuan berupa artefak penunjang kehidupan pada masa lalu, serta di
gua ini pernah ditemukan oleh para peneliti yaitu lima bagian tulang belulang
manusia purba yang mewakili lima individu yang berbeda, dan kalian bisa
melihat rangka utuh manusia purba yang pernah ditemukan di Gua Pawon.

Fosil manusia purba di Gua Pawon
Jadi, selain menyimpan keindahan, ternyata Gua Pawon menyimpan
banyak sejarah dan misteri yang harus kita pelajari. Yuk, tunggu apalagi kalau
mau belajar tentang Arkeologi dan Ilmu Kebumian, Gua Pawon bisa menjadi
salah satu alternatif mudah mengisi liburan atau hanya sekedar ingin menikmati
hamparan kawasan karst di Kabupaten Bandung Barat.


1
CURUG CINULANG : MELEPAS PENAT DENGAN BASAH -BASAHAN I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)
“P
An Nisaa’ Siti Humaira Kelompok 2 - Di Ufuk Timur Bandung Timut (Curug Cinulang)
CURUG CINULANG : Melepas Penat dengan Basah-basahan
ejamkan mata, bayangkan
kita sedang mendengar
riuhnya deburan air yang jatuh
terhempaskan dari ketinggian, cium
aroma basah segar di sekeliling, dan
ketika membuka mata, kita dapat
meilhat burung beo sedang berputar-
putar di puncak ketinggian air terjun
sembari menikmati pelangi yang
terbiaskan oleh mentari dan hempasan
air. Percikan lembut air yang
menyentuh kulit seketika menyegarkan
pemikiran. Rasanya penat yang sudah
menumpuk akan hilang saat itu juga!
Berjuta keindahan tersebut dapat dibeli
dengan hanya Rp5.000,00/orang dan
kita dapat sepuasnya menikmati
pesona Curug Cinulang.
Curug Cinulang menjadi salah satu
destinasi wisata yang dieksplorasi di
Wilayah Bandung Timur pada
kesempatan yang diberikan oleh AICT
(Ambassador of Indonesian Culture and
Tourism) yang bekerja sama dengan
JNE “express across nation” dalam
rangkaian acara Ekspedisi Mata Angin
2014.
Curug dalam Bahasa Sunda berarti
air terjun. Air terjun ini diberi nama
demikian karena sebagian wilayahnya
berada di Desa Sindulang (seringkali
juga disebut Cinulang oleh warga
setempat), Kabupaten Sumedang.
Curug ini berada di sebelah timur Kota
Bandung yang tepatnya berada di
antara dua wilayah administratif yang
berbeda yakni di Desa Sindulang,
Kabupaten Sumedang dan Desa
Jatiwangi, Kabupaten Bandung.
Curug Cinulang memiliki dua air
terjun utama yang keduanya memiliki
tinggi sekitar 50 meter. Di area sekitar
air terjun utama dapat dikatakan cukup
aman sehingga kita dapat bermain-
main air langsung di bawah hempasan
air terjun. Namun, tetap hati-hati

2
CURUG CINULANG : MELEPAS PENAT DENGAN BASAH -BASAHAN I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)
karena batu yang terhempas air
ditumbuhi lumut-lumut sehingga
sedikit licin dan membutuhkan sedikit
kewaspadaan ketika berbasah-basahan
langsung di bawah tempias air terjun.
Terdapat dua hal yang sangat
menarik di curug ini, yang pertama
adalah kita dapat melihat pelangi
secara jelas di air terjun ini terutama
ketika siang hari dan ketika cuaca
sedang cerah. Hal menarik lainnya
adalah adanya beberapa mitos seperti
kepercayaan untuk dapat
memeperoleh sesuatu jika bertapa di
curug ini selama 40 hari tanpa makan
dan minum. Mitos lainnya yang
menarik adalah terkait jodoh! Warga
lokal percaya jika : (a) datang ke curug
tanpa pasangan maka setelahnya akan
mendapatkan pasangan; (b) datang ke
curug dengan pasangan tapi hanya
diam saja tanpa bermain air dan basah-
basahan maka setelahnya akan terjadi
hal yang tidak diinginkan seperti putus
hubungan; dan (c) datang dengan
pasangan kemudian bermain-main air
dan berbasah-basahan di curug maka
setelahnya hubungan akan terus
langgeng. Nah, mau pilih yang mana?
Percaya atau tidak, mau datang sendiri
atau dengan pasangan, keluarga, dan
teman, pastikan kita bermain-main air
ya, karena rugi kan jika ke air terjun
tapi tidak basah-basahan.
HOW TO GET TO CURUG CINULANG?
Dengan kondisi normal, curug ini
dapat ditempuh dengan perjalanan
selama ±1,5 jam dari Kota Bandung.
Lokasi Curug ini cukup mudah
dijangkau baik dengan kendaraan
pribadi maupun kendaraan umum dan
dengan akses jalan yang sudah
sepenuhnya mulus beraspal. Berikut ini
merupakan beberapa alternatif yang
dapat kita pilih untuk menuju ke Curug
Cinulang.
Air Terjun Cinulang Sumber : M. Anis Alghifari, 2014
Pelangi di Curug Cinulang Sumber : M. Anis Alghifari, 2014

3
CURUG CINULANG : MELEPAS PENAT DENGAN BASAH -BASAHAN I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)
Dengan menggunakan mobil, kita
dapat memilih jalur melalui Jalan
Tol Purbaleunyi dengan pintu
keluar tol di Cileunyi. Dari Cileunyi
kemudian menuju ke arah Jalan
Raya Rancaekek-Cicalengka. Dari
Jalan Raya Cicalengka memang
tidak dapat ditemukan signage
menuju Curug Cinulang, tapi
patokan yang paling mudah diikuti
adalah dengan mengikuti signage
menuju tempat wisata “Pondok
Aki-Enin” karena lokasi dari curug
tidak jauh dari pondok wisata
tersebut.
Jika bepergian dengan sepeda
motor, maka jalur yang dipilih ke
arah Cileunyi dari Kota Bandung
adalah melalui jalur ke arah
Terminal Cicaheum-Cibiru-Cileunyi.
Selanjutnya dari Cileunyi
menempuh jalur yang sama jika
bepergian dengan mobil.
Bagi yang bepergian dengan
menggunakan angkutan umum,
dari Kota Bandung kita dapat
menggunakan kereta api dari
Stasiun Bandung menuju Stasiun
Cicalengka. Kemudian dilanjutkan
dengan menggunakan angkutan
umum yang berada tepat di pintu
keluar stasiun. Angkutan umum ini
langsung menuju ke Curug
Cinulang dengan ongkos sekali
jalan adalah Rp8.000,00, tetapi
hati-hati karena angkot ini hanya
ada hingga pukul 13.00 WIB saja.
Jika angkot sudah tidak beroperasi,
maka kita dapat menggunakan ojek
dengan membayar sebesar
Rp15.000,00 sekali jalan hingga
stasiun atau terminal.
TIPS KE JALAN-JALAN KE CURUG
CINULANG
Beberapa tips yang dapat disarankan
jika kita jalan-jalan ke Curug Cinulang
diantaranya adalah seperti berikut.
Bawa baju ganti. Sayang sekali jika
datang ke curug tapi tidak basah-
basahan. Sensasi tempias air yang
mengguyur seluruh badan wajib
dicoba! Dengan basah-basahan di
bawah air terjun sembari
menikmati keindahan pelangi
secara langsung, dijamin penat
akan hilang dengan sendirinya.
Jangan khawatir barang akan
hilang karena di area ini juga
terdapat tempat penitipan barang.

4
CURUG CINULANG : MELEPAS PENAT DENGAN BASAH -BASAHAN I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)
Terdapat juga toilet, mushola, dan
tempat ganti pakaian.
Bawa bekal makanan/minuman
atau di area curug jika tidak mau
repot. Setelah bermain-main
dengan dinginnya air, tentunya
perut akan langsung lapar sehingga
sebaiknya kita membawa bekal
makanan/minuman. Namun jangan
khawatir jika kita malas dan tidak
mau repot-repot membawa bekal.
Terdapat banyak kios/warung
penjaja makanan dan minuman
yang dapat menghangatkan tubuh.
Datang ketika hari/cuaca cerah.
Hal yang paling menarik adalah
ketika kita bisa melihat pelangi.
Pelangi dapat dilihat ketika
hari/cuaca cerah terutama pada
siang hari sehingga datanglah pada
waktu-waktu tersebut.
Hindari datang ke curug setelah
lebaran jika tidak terlalu suka
suasana yang sangat ramai. Waktu
paling ramai dikunjungi adalah
pada saat libur sehabis lebaran.
Pada waktu tersebut, dalam sehari
dapat terjual sebanyak 1.000 tiket
masuk curug. Kebayang kan betapa
penuh sesaknya?
Rombongan hindari datang
dengan menggunakan bus karena
lebar jalan sangat sempit. Lebar
jalan dari/menuju curug walaupun
kondisinya sudah baik namun
lebarnya masih sangat sempit
sehingga direkomendasikan untuk
tidak menggunakan bus. Di
samping itu, belum tersedia
tempat parkir yang cukup untuk
bus.
” Capture the inspiring beauty of
Curug Cinulang! The emergence of
nature in East Bandung.”


1
TAMAN KAREUMBI : BERKONTEMPLASI DENGAN ALAM I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)
“S
M
An Nisaa’ Siti Humaira Kelompok 2 - Di Ufuk Timur Bandung Timut (Taman Kareumbi)
TAMAN KAREUMBI : Berkontemplasi dengan Alam
elain Curug Cinulang, masih
terdapat potensi destinasi
wisata lainnya di Wilayah Bandung
Timur yang belum terekspos. Masih
pada kesempatan yang diberikan oleh
AICT (Ambassador of Indonesian
Culture and Tourism) yang bekerja
sama dengan JNE “express across
nation” dalam rangkaian acara
Ekspedisi Mata Angin 2014, dilakukan
pula eksplorasi potensi destinasi wisata
ke Kawasan Taman Konservasi
Kareumbi yang berlokasi di kaki Gunung
Masigit dengan pintu masuk kawasan
berada di Desa Jatiwangi, Kecamatan
Cicalengka, Kabupaten Bandung.
SEKILAS TENTANG TAMAN KAREUMBI
Nama dari Taman Kareumbi
diambil dari nama pohon “Kareumbi”
yang paling banyak ditemukan di hutan
di kawasan ini. Taman Kareumbi
merupakan kawasan konservasi yang
memiliki luas sebesar 12.406 Ha dan
uniknya terletak pada tiga wilayah
administratif yang berbeda, yakni
Kabupaten Bandung, Kabupaten
Sumedang, dan Kabupaten Garut.
Lokasi Taman Kareumbi hanya berjarak
4 km dari Curug Cinulang sehingga
dapat dijangkau dengan mudah dan
cara menjangkaunya sama dengan jalur
yang dilalui jika kita akan menuju Curug
Cinulang (NB : baca tulisan Curug
Cinulang).
Saat ini Taman Kareumbi dikelola
oleh Wanadri dan berada di bawah
kewenangan BKSDA (Badan Konservasi
Sumber Daya Alam) Jawa Barat-Dirjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam, Kementerian Kehutanan. Karena
statusnya tersebut, maka pengelola
tidak boleh melakukan promosi
pariwisata dan tidak boleh memperoleh
profit atas kegiatan yang berjalan (tidak
ada biaya untuk tiket masuk, hanya ada
biaya parkir dan biaya perawatan untuk

2
TAMAN KAREUMBI : BERKONTEMPLASI DENGAN ALAM I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)
beberapa fasilitas yang digunakan).
Oleh karena itu, wajar rasanya jika
Taman Kareumbi tidak dikenal luas.
ADA APA DI TAMAN KAREUMBI?
Walaupun Taman Kareumbi
merupakan kawasan konservasi, namun
terdapat berbagai fasilitas rekreasi yang
dapat digunakan oleh publik. Dengan
fungsi utamanya sebagai kawasan
konservasi yang termasuk ke dalam
kawasan lindung, terdapat dua
program utama yang terdiri dari
Program Wali Pohon dan Program
Ekowisata.
1. Wali Pohon
Wali pohon merupakan suatu program
yang dicanangkan dengan tujuan agar
masyarakat umum sadar akan
pentingnya menjaga lingkungan yang
slaah satunya dengan menanam pohon.
Pengunjung atau siapa pun dapat
menanam jenis pohon yang endemik di
hutan di kawasan ini dengan membayar
sebesar Rp50.000,00/pohon. Biaya
tersebut digunakan untuk land clearing,
pembibitan, dan pemeliharaan. Selama
tiga tahun dari proses penanaman,
pohon akan dipantau dan dipelihara
selama tiga tahun hingga dapat tumbuh
dan berkembang baik di hutan. Jenis
pohon yang paling sering ditanam dan
banyak ditemukan karena endemik di
kawasan ini adalah Pohon Kareumbi
dan Pohon Rasamala. Setiap pohon
akan diberi label dengan nama
penanam dan penanam pohon akan
diberikan sertifikat penanaman pohon.
2. Ekowisata
Ekowisata merupakan wisata berbasis
alam. Tujuan dari kegiatan wisata pada
ekowisata adalah untuk memanfaatkan
kawasan konservasi agar tidak sekedar
menjadi suatu kawsan konservasi saja
tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan wisata dan juga dinikmati oleh
masyarakat luas tanpa merusak
struktur ekologis dari lingkungan.
Kawasan ini sangat cocok untuk
dijadikan tempat berwisata/berekreasi
baik bagi keluarga, dengan teman, atau
Bibit pohon yang baru ditanam pada Program Wali Pohon
Sumber : An Nisaa’ Siti Humaira, 2014

3
TAMAN KAREUMBI : BERKONTEMPLASI DENGAN ALAM I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)
pun dengan rombongan yang ingin
memperoleh ketenangan dan
melepaskan kepenatan dari rutinitas
sehari-hari karena di kawasan ini
pengunjung akan berkontemplasi
dengan alam.
Ada pun jenis rekreasi dan fasilitas
penunjang yang tersedia di kawasan ini
diantaranya adalah seperti berikut.
Penangkaran Satwa
Terdapat beragam satwa yang dapat
dapat ditemui di kawasan ini yang
diantaranya adalah rusa, kalkun,
burung-burung, angsa, kelinci, dan
anjing. Selain rusa, satwa lainnya
dibiarkan untuk dapat bebas tanpa
pagar pembatas.
Bike Tracking
Jika ingin sedikit berolahraga, maka
kita dapat melakukan tracking ataupun
bike tracking. Terdapat tujuh jalur yang
dapat dilalui dengan waktu tempuh
yang bervariasi baik dari 5 menit
hingga 30 menit dan juga memiliki
tingkat kesulitan yang berbeda-beda
baik dari mudah, agak sulit, dan sulit.
Dari ketujuh jalur tersebut, terdapat
dua jalur yang belum dapat digunakan.
Camping Ground
Camping area tersebar di seluruh
kawasan, pengunjung dapat berkemah
di mana pun. Akan tetapi disediakan
pula camping ground dengan area
yang sudah datar dalam bentuk lapang
yang luas. Untuk berkemah di taman
ini, pengunjung dikenakan biaya
penyewaan tempat sebesar
Rp50.000,00/kemah.
Dermaga Kano
Untuk mengelilingi kawasan
konservasi, disediakan fasilitas kano
yang dapat mengelilingi aliran sungai
buatan di kawasan ini. Namun
kegiatan dengan menggunakan kano
ini masih tentatif dan bergantung pada
kondisi aliran sungai.
Rumah Pohon
Taman Kareumbi juga menyediakan
pondok yang disewakan kepada
pengunjung dengan tarif sewa sebesar
Penangkaran Rusa Sumber : An Nisaa’ Siti Humaira, 2014

4
TAMAN KAREUMBI : BERKONTEMPLASI DENGAN ALAM I (Destinasi Wisata di Bandung Timur)
Rp400.000,00-Rp500.000,00/malam.
Yang sangat menarik adalah pondok-
pondok yang disewakan adalah dalam
bentuk rumah pohon dan berada di
tengah-tengah hutan sehingga
pengunjung yang menginap akan
merasakan sensasi tidur di alam
dengan ditemani riuh-rendah suara
angin yang menelisik pepohonan di
tengah hutan.
Hutan Konservasi
Sebagian besar atau kurang lebih 95%
penggunaan lahan di kawasan ini
merupakan hutan konservasi. Hutan
konservasi di kawasan ini merupakan
hutan heterogen yang terdiri dari
berbagai tumbuhan yang diantaranya
ditumbuhi dengan berbagai
peopohonan endemik di lokasi
tersebut seperti Pohon Kareumbi,
Rasamala, Puspa, Kisireum, Cangkudu,
Manglid, dan 20 jenis pohon lainnya.
Fasilitas Penunjang
Untuk memudahkan pengunjung, maka
pihak pengelola menyediakan berbagai
jenis fasilitas penunjang kegiatan
wisata seperti kantin, mesjid, toilet,
pusat informasi, toko cinderamata, dan
taman bacaan.
” Explore the inspiring beauty of
Taman Kareumbi! Feel the
sensation, contemplate with the
nature, get the sweet escape in
East Bandung”
Rumah Pohon Sumber : An Nisaa’ Siti Humaira, 2014


Nama : Yoni Elviandri
Nama Kelompok : Ufuk Timur
Tujuan Destinasi : Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi
Surga Kecil di Timur Bandung
Keindahan panorama alam Bandung, tidak hanya tentang Kawah Putih Ciwidey
yang terkenal dengan keunikannya, bukan juga tentang Gunung Tangkuban Perahu
yang sudah tersohor dengan legendanya. Namun lebih dari itu, Bandung ternyata
juga mempunyai pesona lain di belahan timur nya yang cukup jarang di kunjungi,
seperti sebuah surga kecil yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan.
Gemericik air terdengar lirih mengaliri anak sungai, berpadu dengan serau
angin yang menerbangkan dahan ke muka tanah. Sementara suara burung
terdengar sedang beradu kencang saling sahut menyahut dengan beberapa angsa
yang sedang mencari makan.
Saya segera turun dari mobil yang telah membawa kami melewati jalanan
berliku penuh tanjakan menuju pintu masuk kawasan konservasi Masigit Kareumbi.
Kawasan konservasi seluas 12.420,70 Hektar ini, terletak di perbatasan Kabupaten
Bandung dan Kabupaten Garut. Dari wisma pendawa Ciumbeulit, kami menempuh
waktu selama 90 menit perjalanan melewati Cicalengka- Sindangwangi-
Tanjungwangi dan Blok KW (Cigoler) yang merupakan pintu masuk utama.
Kampung Rusa
Salah satu keunikan dari kawasan konservasi ini adalah ia berada di tiga
daerah administratif sekaligus yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan
Kabupaten Sumedang yang hanya dipisahkan oleh sebuah aliran anak sungai. Dari
pintu masuk kawasan konservasi, saya dan peserta dari Ekspedisi Mata Angin 2014

memulai perjalanan dengan melewati sebuah jembatan yang ternyata menjadi
pemisah antara Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut. Kami kemudian berbelok
ke arah kiri menuju kampung rusa dan melewati sebuah jembatan kayu tua yang
ternyata menjadi pembatas kabupaten Garut dan Kabupaten Sumedang. Tidak
kurang dari tujuh menit, kami telah menjejakan kaki di tiga kabupaten secara
bersamaan layaknya pengantar barang dengan express across nation secapat kilat.
Sesampainya di kampung rusa, kami langsung disambut oleh bapak Yudi
Alwahyu yang lebih akrab disapa abah Ayut. Beliau adalah salah satu anggota dari
Wanadri yang bertugas sebagai ketua pengelola program wali pohon. Selain rusa,
disini juga terdapat beberapa ekor kelinci, kalkun dan juga anak ayam yang hilir
kemari. Rusa yang kami jumpai berjenis kijang (Muntiacus muntjak) yang saat ini
populasi nya semakin menurun. Rusa yang terlihat malu-malu dan semakin menjauh
jika didekati tersebut, ternyata sempat membuat frustasi beberapa teman peserta
AICT karena cukup sulit untuk mendapatkan foto dengan komposisi terbaik.
Agaknya, ia sedikit takut karena tidak ingin inspiring beauty nya memudar dan
hilang.

Eksotisme Rumah Pohon Hutan Pinus
Dari kampung rusa, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah pohon yang
terletak ditengah hutan pinus. Melewati jalan setapak yang kiri kanan nya ditumbuhi
tanaman kopi. Rumah pohon ini berdiri mengelilingi sebuah lapangan yang biasanya
digunakan sebagai tempat menyalakan api unggun. Setiap rumah pohon memiliki
sebuah toilet yang dilengkapi dengan bak berisi air yang dialirkan melalui kran-kran.
Harga dari masing-masing rumah pun berbeda, untuk rumah berkapasitas 10 orang
biasanya dipatok harga Rp 550.000 permalam dengan fasilitas sleeping bag, tabung
gas dan lainnya. Menginap di rumah pohon tentunya adalah sebuah pilihan yang
sangat tepat untuk menikmati sensasi tinggal diantara pohon pinus yang tinggi
menjulang.
Makan siang di bawah barisan pohon pinus bersama terpaan angin yang
terasa sangat sejuk membuat kami betah berlama-lama, sehingga tidak sadar bahwa
waktu sudah beranjak sore. Jika tidak ingin repot membawa perbekalan, di kawasan

konservasi ini juga terdapat sebuah kantin yang menjual berbagai makanan dan
minumana siap santap. Suasana sekitar kantin yang sangat nyaman dapat dijadikan
sebuah pilihan untuk istirahat menikmati siang berhadapan dengan kolam.
Arsitektur kantin dan rumah pohon mewakili ciri khas Sunda yang merupakan
campuran dari bambu, kayu, tembikar serta beratapkan ijuk. Harmoni dengan alam.
Sebelum pulang, kami pun tidak ingin ketinggalan menjadi wali pohon. Kami
menanam tiga batang pohon yang masing-masing telah diberi papan nama yang
berada di samping kantor informasi. Wali pohon adalah sebuah program konservasi
menanam sejumlah batang pohon dengan model adopsi bergaransi selama lima
tahun. Program ini turut serta memberdayakan masyarakat sekitar sebagai
pemelihara dan pengunjung sebagai wali pohon.
Untuk satu batang pohon dikenakan biaya sejumlah Rp 50.000 rupiah
sebagai biaya perawatan dan nantinya akan mendapatkan sertifikat wali pohon dan

pengunjung dapat melihat perkembangan pohon yang telah ditanam kapan saja.
Beberapa jenis pohon bisa dipilih untuk ditanam yaitu, Manglid (Manglieta glauca),
Sobsi (Maesopsos eminii), Puspa (Schima wallichii), Salam (Syzgium polyanthum),
Rasamala (Altingia excelsa), maupun Suren (Toona sureni). Kegiatan ini menjadi
salah satu kegiatan favorit pengunjung yang datang ke kawasan konservasi ini
karena itu berarti telah ikut menghijaukan kembali kawasan hutan yang gundul.
Sekilas Tentang Masigit Kareumbi
Untuk memasuki kawasan ini tidak ditarik biaya seperserpun, kecuali jika
ingin melakukan aktivitas seperti camping, bermalam di rumah pohon serta aktivitas
lain yang biayanya digunakan untuk pemeliharaan. Waktu terbaik untuk datang ke
kawasan konservasi ini adalah pada hari kerja setiap senin hingga jumat, terlebih
bagi yang membutuhkan suasana sepi karena pada akhir pekan biasanya akan ramai
oleh pengunjung yang akan camping atau sekedar piknik keluarga.


Nama : Yoni Elviandri
Nama Kelompok : Ufuk Timur
Tujuan Destinasi : Curug Cinulang, Bandung Timur
Semerkah Pesona Curug Cinulang
Mengunjungi kawasan konservasi Masigit Kareumbi, belum lengkap rasanya
jika tidak singgah sejenak di Curug Cinulang. Selain karena memang berdekatan,
kedua lokasi ini juga mempunyai keunikan tersendiri sehingga sangat harus
dikunjungi ketika berkunjung ke Bandung Timur. Ibarat sebuah paket yang saling
melengkapi, jika Masigit Kareumbi memanjakan mata dengan suasana asri, hijau,
dan rindang. Maka, Curug Cinulang akan memberikan panorama alam berbeda.
Keindahan yang terpancar begitu mempesona dan berwana.
Kekaguman tidak hanya pada derasnya butir air putih menggumpal serupa
salju yang terhempas lalu menguap ke udara dari bebatuan hitam di bawahnya,
tetapi juga pada tebing berwana kuning kecoklatan dengan akar-akar pohon yang
menjalar. Berpadu dengan hijau lumut yang menempel mesra di tebing-tebing yang
ketika diterpa sinar matahari akan terlihat lebih tajam dan menyala memancarkan
inspiring beauty bagi siapapun yang melihatnya.
Setelah puas mengelilingi kawasan konservasi Masigit Kareumbi, seolah tak
ada alasan bagi kami para peserta Ekspedisi Mata Angin 2014 untuk tidak berhenti di
curug yang keindahan dan gema suaranya sudah terdengar dari jalan raya.
Perjalanan dari Masigi-Kareumbi turun hingga sampai di pintu masuk curug Cinulang
ditempuh selama 15 menit atau lebih cepat 16 menit ketimbang perjalanan mendaki
dari pintu masuk Curug Cinulang menuju Masigit Kareumbi yang ditempuh selama
31 menit.
Melewati jalanan perkampungan yang begitu tenang, anak-anak terlihat
sedang berlari riang diantara selasar rumah yang berhadapan dengan jalan yang

tidak begitu besar. Setelah memarkir mobil express across nation yang mengantar
kami, kami segera memasuki sebuah gerbang penyambut tamu bertuliskan “Selamat
Datang di Objek Taman Wisata Curug Cinulang”. Disamping gerbang, terdapat
sebuah pos penjagaan yang terbuat dari kayu yang hanya berukuran 2 X 2 meter.
Untuk masuk ke taman wisata curug Cinulang ini setiap orang dikenakan
biaya Rp 5.000, sedangkan untuk parkir Rp 10.000 per mobil. Dipinggir jalan sebelah
pintu masuk terdapat beberapa warung yang menjual gorengan serta makanan dan
minuman lainnya. Didalam kawasan taman wisata, juga terdapat penjual siomay dan
bakso menjajakan dagangan mereka dipinggir warung.
Pesona Pelangi Cinulang
Tidak sulit untuk bisa sampai di kaki curug ini, karena telah disediakan undak-
undakan dari tanah dan beton serupa anak-anak tangga yang disetiap sisi bagian
datarnya ditempati oleh warung atau pondok-pondok kecil tempat bersantai.
Beberapa jenis bunga seperti Arachis pintoi nampak bergoyang-goyang terkena
hembusan angin yang datang dari aliran curug.
Saya berhenti sejenak di sebuah pondok kecil disebelah warung yang
menghadap ke curug untuk menyaksikan nya dari atas, sedangkan teman-teman
AICT lainnya terlihat beberapa sudah sampai di kaki curug dan bersiap-siap
mengambil posisi terbaik untuk mengambil gambar. Saya membeli cilok lima potong
dengan harga Rp 5000, cukup membantu menghangatkan tubuh yang sedari tadi
mulai dihinggapi dingin. Suasana curug semakin rome semakin ramai, umumnya
pengunjung yang datang adalah sepasang muda-mudi dari berbagai usia yang
sedang memadu kasih, ada juga sebuah keluarga yang terlihat sedang memulai
menyantap bekal perjalanan mereka di pondok kecil pinggir sebelah tangga.
Tidak afdhol rasanya, jika ke curug tanpa merasakan dinginnya air secara
langsung. Melewati sebuah jembatan bambu dan merayap diantara tebing-tebing
seraya berpegangan pada batu. Ketika menyentuh air, tangan terasa membeku.

Namun langsung terbayar dengan segarnya yang luar biasa. Uap air juga berhembus
begitu cepat sehingga seluruh tubuh basah seketika. Perlahan, dibalik bongkahan
batu-batu muncul lah pelangi dengan segala keelokannya melingkar kecil dari ujung
ke ujung. Timbul dan tenggelam memamerkan keindahan warnanya berseri-seri.
Cahaya matahari pun tiba-tiba menyeruak dari balik pohon dan memedarkan
kemilau emas yang terpantul diantara riak-riak curug. Pelangi sore ini melengkapi
keindahan alam Bandung timur yang masih jarang terjamah.
Curug dengan ketinggian sekitar 40 meter ini mempunyai dua debit yang
berbeda. Tumpahan air dari curug sebelah kiri mempunyai debit cukup tinggi dan
berlapis-lapis memainkan uap yang mengambang sedangkan curug bagian kanan
mempunyai debit yang cukup rendah.

Terpukau Senja di Padang Ilalang
Menjelang pukul lima petang, kami akhirnya memutuskan untuk beranjak
pulang. Dan lagi-lagi, kami tak tahan untuk tidak berhenti menyaksikan senja di ufuk
barat yang kilaunya begitu menggoda masuk menyelinap diantara ruang-ruang kecil
di mobil. Rombongan anak muda terlihat sedang bermain sepakbola , sedangkan
muda-mudi lainnya menghabiskan waktu dipinggir jalan menikmati semilir angin
bersama senja yang mulai memedar tahtanya di kaki langit.
Saya kemudian menuju padang ilalang yang berada di sebelah kanan jalan
raya, dibawahnya tergambar jelas petak demi petak sawah, jalan raya seperti garis
lurus, serta orang-orang yang berjalan terlihat sangat kecil. Saya menghabiskan
banyak waktu disini, duduk sejenak. Menikmati detik demi detik hirupan nafas.
Mengagumi keindahan alam tuhan sang pencipta semesta raya yang tercipta di
Bandung timur yang begitu indahnya.

Disepanjang perjalanan pun, alam nan indah menyertai kami lewat
hamparan sawah terasering berwarna hijau yang menjadi pencuci mata sekaligus
pembawa nostalgia pada cerita kakek nenek tentang indahnya alam di tanah
Pasundan.
Penasaran dengan segala surga dunia di Bandung timur? Kemas barangmu
sekarang dan berangkatlah, sekarang !


Fadli Adzani
3GP
Gunung Puntang
Sejarah Eksotis Gunung Puntang
Masih di dalam acara yang
diselenggarakan oleh AICT (
Ambassador of Indonesia
Culture and Tourism),
akhirnya kami melanjutkan
perjalanan kami ke tempat
yang lagi-lagi belum pernah
kami dengar tentang
keberadaannya dan apa yang
ditawarkan oleh tempat ini.
Gunung Puntang, ya, itulah
nama dari destinasi yang akan
kami singgahi selanjutnya.
Jarak yang harus ditempuh
dari Situ Cileunca ke Gunung
Puntang tidak terlalu jauh,
saya dan teman-teman sampai di Gunung Puntang hanya dalam waktu 45 menit,
dan lagi-lagi, keindahan alam dari Bandung Selatan membuat saya dan teman-teman
saya tercengang tidak percaya melihat keindahan pohon-pohon pinus liar yang

tumbuh tinggi menjulang seakan-akan menantang kami untuk mendaki lebih tinggi
lagi untuk melihat keindahan Gunung Puntang ini. Satu hal yang membuat saya
pribadi berpikir, “tempat ini membuatku merasa sedang dirumah, bahkan ketika aku
tidak dirumah.”.
Ada beberapa kesamaan yang dimiliki oleh Gunung Puntang dan Situ Cileunca ini,
selain wilayahnya yang tidak terlalu jauh, kedua tempat pariwisata tersebut
menawarkan pemandangan yang kaya akan warna hijau akibat daratan yang
ditumbuhi oleh tumbuhan dan pepohonan yang membuat kedua tempat tersebut
dapat menjadi idaman bagi para pencari ketenangan, kedamaian dan kesejukan.
Ada yang menarik dari Gunung
Puntang ini, selain gunung ini
kaya akan kekayaan alam nya,
gunung ini juga kaya akan nilai
sejarahnya. Seperti contohnya,
ada sebuah goa peninggalan
Belanda yang dibuat oleh para
penjajah belanda di saat
mereka sedang menduduki
negeri kita, saya dan teman-
teman jadi merasa penasaran
dan tertantang untuk
memasuki goa ini walaupun
goa ini sangat gelap dan
lembap dan pada akhirnya
kami menelusuri goa ini
dengan hanya ditemani oleh sinar telpon seluler. Kemudian ada sebuah puing-puing
dari seorang pegawai Belanda yang mengelola radio lokal yang bernama Radio

Malabar, sungguh amat disayangkan rumah dari pegawai Belanda tersebut harus
dihancurkan menjadi puing-puing, di saat bangunan tersebut harusnya dapat
dijadikan sebagai bukti sejarah dan tempat untuk para wisatawan berkunjung.
Tidak jauh dari puing-puing peninggalan pegawai belanda tersebut, terdengar suara
sungai yang kurang lebih jaraknya 250 meter dari tempat dimana saya sedang
berdiri, waktunya sangat tepat, setelah seharian terkena sinar matahari yang panas
dan terik, saya dan teman-teman saya sangat haus akan kesegaran, kami menjadi
tidak sabar untuk sampai di sungai tersebut. Semakin kami jalan menanjaki Gunung
Puntang ini, terdengar suara burung berkicau, suara hewan liar seakan-seakan
mengundang kami untuk lebih tinggi lagi mendaki Gunung Puntang ini. Suara sungai
semakin kencang, akhirnya setelah lelah mendaki, akhirnya kami beristirahat di
sungai tersebut, kami mencelupkan kedua kaki kami ke dalam sungai yang sangat
amat menyegarkan diri kita, air yang sangat jernih sehingga kita bisa melihat
bebatuan sungai yang ada di dasarnya, kami membasuh muka kami dengan air
sungai yang turun langsung dari Gunung Puntang ini yang langsung menghilangkan
segala rasa letih kami.
Kemudian, datanglah waktu dimana kita
harus mengunjungi destinasi terakhir di
Gunung Puntang, yaitu Kolam Cinta. Tak
disangka-sangka, ternyata ketika kami
sampai di Kolam Cinta ini, terlihat ada
sepasang kekasih yang dengan mesra
sedang melakukan pengambilan foto untuk
pre wedding mereka, mungkin karena ada
legenda yang mengatakan jika ada
sepasang kekasih yang datang ke Kolam
Cinta, maka hubungan dan cinta mereka

akan menjadi abadi. Tentu kami tidak heran, Kolam Cinta adalah sebuah kolam yang
berbentuk hati, dan sangat bagus untuk kalian yang ingin melakukan kegiatan
seperti pre wedding itu sendiri atau sekedar mengunjungi kolam tersebut dan
menikmati keindahan alam dari Gunung Puntang bersama pasangan anda.
Akhirnya waktu kita untuk berekspedisi di Bandung Selatan telah habis, waktunya
kami kembali ke tempat dimana kami beristirahat. Pengalaman ini sungguh
berharga, mengetahui bahwa pengalaman yang kami dapatkan setelah melakukan
ekspedisi ini mengingatkan kami akan pentingnya anak-anak muda seperti saya,
seperti kita untuk terus membudi dayakan dan mencoba untuk memperkenalkan
apa yang kita punya, Indonesia punya ke dunia.

Tidak hanya Situ Cileunca dan Gunung Puntang, masih banyak sekali tempat-tempat
di Bandung maupun di Indonesia yang dapat kita jelajahi, maka dari itu teruslah
menggali tempat pariwisata Indonesia yang belum terjamahi, teruslah mencari
budaya yang belum tersentuh. Banyak keuntungan yang saya dapatkan dalam
mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh AICT ini. Ekspedisi Mata Angin
memberikan saya banyak pengalaman yang saya tidak bisa dapatkan di tempat atau
acara lainnya. Teman dan pengalaman baru adalah sebuah pasangan yang sungguh
baik untuk anak muda seperti saya, seperti kita. Teruslah jelajahi negara Indonesia,
cintai lah negara ini.


Fadli Adzani
3GP
Situ Cileunca
Situ Cileunca: Keindahan Yang Tersembunyi
Beberapa orang menyebutnya Kota Kembang, beberapa orang lagi menyebutnya
dengan sebutan Paris Van Java dan tidak sedikit orang yang menjuluki nya sebagai
City of Heritage, ya, Bandung adalah sebuah kota besar yang terletak di bagian barat
dari pulau Jawa sekaligus menjadi ibu kota dari Jawa Barat itu sendiri. Kota Bandung
memiliki berbagai macam hal menarik untuk di jelajahi dan sepertinya pesona dari
kota Bandung itu pun tidak akan pernah berhenti menarik perhatian banyak orang
untuk mengunjungi kota metropolitan itu. Sebut saja wisata kulinernya, hampir di
seluruh bagian di Bandung kalian bisa menemukan restoran atau tempat makanan
yang enak, kemudian tempat belanjanya lalu gedung-gedung bersejarahnya.
Bandung juga terkenal akan tempat-tempat pariwisatanya yang sering dikunjungi
oleh banyak turis lokal maupun mancanegara. Siapa yang tidak tahu dengan Gedung
Sate, Kawah Putih Ciwidey, Gunung Tangkuban Perahu, Curug Dago dan tempat-
tempat pariwisata terkenal lainnya yang ada di Bandung. Akan tetapi, sangat
disayangkan sekali bahwa masih banyak tempat-tempat di Bandung yang belum
terjamahi oleh wisatawan padahal tempat-tempat tersebut memiliki potensi besar
untuk dijadikan tempat pariwisata baru di Bandung.
Saya dan teman-teman kebetulan memiliki kesempatan dari AICT (Ambassador of
Indonesia Culture and Tourism) untuk mengikuti sebuah acara yang dinamakan
dengan Ekspedisi Mata Angin, sebuah kegiatan yang menurut saya sangat penting
seperti anak-anak muda seperti saya untuk meningkatan pengalaman dan keahlian

nya masing-masing. Kali ini, AICT mengajak kita untuk mendatangi beberapa tempat
di bagian selatan Bandung dengan tujuan untuk melestarikan budaya dan
melakukan sebuah perjalanan ke tempat-tempat di Bandung yang belum terekspos.
Tempat pertama yang saya kunjungi adalah Situ Cileunca. “Situ Cileunca? Tempat
apa sih itu? Ada apa aja sih disana?”, kata-kata tersebutlah yang pertama kali
muncul di dalam
benak saya, karena
jujur saya belum
pernah mendengar
nama dari tempat
yang akan saya
kunjungi itu. Singkat
cerita akhirnya saya
dan teman-teman
akhirnya sampai di
Situ Cileunca setelah menempuh sekitar dua jam perjalanan dari pusat kota
Bandung.
Udara matahari panas dan hawa sejuk Bandung yang khas langsung menyambut
seketika saya dan teman-teman sampai di Situ Cileunca ini. Danau yang terbentang
luas, pohon-pohon rindang yang seketika menghilangkan rasa panas, perahu-perahu
yang berjejeran rapi di pinggir danau dan pemandangan gunung yang indah seakan-
akan menyambut ramah kedatangan saya dan teman-teman. Mata saya benar-
benar dimanja di tempat ini, lalu ketika saya sedang menikmati pemandangan yang
ada sambil duduk-duduk di rumput yang hijau, tiba-tiba munculah seorang bapak
tua yang mendatangi saya dan berkata, “Selamat datang di Situ Cileunca kang, mau
saya antar naik perahu keliling danau gak kang? Pemandangannya lebih bagus
disana loh kalo mau foto-foto mah”, ujar Bapak Hendi yang sudah lama berkerja
sebagai pemandu di Situ Cileunca. Setelah saya mendengar Bapak Hendi

mengatakan bahwa ada pemandangan yang lebih bagus dari pemandangan yang
saya lihat, saya langsung bergegas mengajak teman-teman saya untuk naik ke
perahu yang dimiliki Bapak Hendi.
Selama perjalanan
mengarungi danau
Situ Cileunca, saya
berbincang-bincang
dengan Bapak Hendi
tentang kegiatan apa
saja yang ada di
sekitaran danau
Cileunca tersebut.
Jadi, setelah
mendengar beberapa informasi dari beliau, saya jadi tahu bahwa penduduk sekitar
bermata pencaharian sebagai petani sayur-sayuran dan juga sebagai peternak sapi
perah, lalu kegiatan-kegiatan yang dapat dinikmati di Situ Cileunca itu sendiri adalah
seperti perahu untuk mengelilingi danau Cileunca, kegiatan ini menguras kocek
sebesar 20.000 rupiah per-orang, lalu ada fasilitas arum jeram atau rafting, jika ada
wisatawan atau pengunjung yang ingin menguji adrenaline mereka, rafting dapat
menjadi pilihan yang cocok, dengan menguras kocek 150.000 rupiah, kita dapat
melakukan hal tersebut dalam durasi yang cukup panjang yaitu dua jam.
Setelah saya berkeliling Danau Cileunca selama kurang lebih 30 menit, saya masih
menunggu-nunggu pemandangan yang lebih indah seperti apa yang telah Bapak
Hendi janjikan, sampai pada akhirnya Bapak Hendi menghentikan perahunya ke
tepian. “Sekarang kalian turun saja dari perahu lalu kalian daki dataran yang
menanjak ini dan kalian lihat apa yang ada di baliknya.”, setelah mendengar Bapak

Hendi berkata seperti itu, saya dan teman-teman bergegas turun dari perahu dan
mendaki daratan yang menanjak tersebut.
Ternyata Bapak Hendi
adalah orang yang suka
menepati janji. “Benar apa
kata Pak Hendi.”, batin saya
berkata demikian. Saya tak
menyangka ternyata Situ
Cileunca terbagi menjadi dua
bagian, dan bagian yang
ditutupi oleh daratan menanjak itu jauh lebih indah karena danau ini dikelilingi oleh
perkebunan yang sungguh hijau dan luas, tempat para petani melakukan kegiatan
tanam menanam dan bercengkrama dengan penuh canda tawa sesama para petani.
Apa yang saya lihat pada waktu itu membuat kaki saya dan tanah yang saya injak
menjadi erat, semakin erat sehingga sangat sulit untuk saya untuk mengangkat kaki
saya dan berpaling dari pemandangan seindah ini. Akan tetapi, waktu sudah
semakin sore, saya dan teman-teman harus melanjutkan perjalanan saya dalam
melakukan eksplorasi di Kota Bandung ini.


Nama: Gea Melinda
Nama Kelompok: Kelompok 3
Tujuan Destinasi: Gunung Puntang dan Situ Cileunca
Sejarah di Dalam Mangkuk Cinta yang Kering Gunung Puntang; Mata Angin Selatan
Pamor Bandung Selatan sebagai tempat wisata belum setenar Bandung
Utara. Pernyataan ini saya dapatkan dari hasil menjelajah google saat akan
berangkat ke destinasi yang telah diundi malam sebelumnya oleh pihak
penyelenggara Ekspedisi Mata Angin 2014, yaitu tim inti AICT (Ambassador of
Indonesian Culture and Tourism). Pada tanggal 23 September 2014 kami
berangkat dengan menaiki mobil JNE. Sesuai slogan perusahaan JNE, Express
Across Nation, tim kami diantar dengan cepat dan tanpa hambatan berarti
selama di perjalanan. Perjalanan kali ini adalah one day trip yang berarti harus
sigap membagi waktu kunjungan untuk kedua wisata agar tidak kehilangan
timing pengambilan gambar bagi fotografer dan videografer.
Setelah puas mengarungi Situ Cileunca, dengan waktu yang tersisa (dan
mepet), kami langsung menuju ke Gunung Puntang. Lokasi dua tempat ini tidak
berjauhan dan Gunung Puntang berada di arah jalan pulang sehingga kami harus
memutar balik melewati jalan berkelok dengan barisan pohon tinggi di pinggiran
jalan raya. Kedua tempat wisata ini saling melengkapi layaknya kopi dan gula.
Bukan kewajiban bagi setiap wisatawan untuk mengunjungi keduanya jika
memang tidak memungkinkan tetapi akan lebih sedap dan lengkap jika dapat
mengkolaborasikan perjalanan di dua medan yang berbeda ini. Pemandangan
danau didominasi perairan dan hamparan tinggi rangkaian pegunungan Malabar
yang didominasi tanjakan juga bukit sungguh memanjakan mata.
Gunung Puntang cukup eksis di mesin pencarian google walau dengan
berbagai silir berita dan opini. Tempat ini biasanya digunakan sebagai bukit
perkemahan. Bisa dilihat beberapa tenda dengan warna terang didirikan di
daerah dataran tinggi. Suasana dingin dan lembap menyelimuti terutama karena
sinar matahari dengan susah payah harus menerobos ranting-ranting dengan

dedaunan rimbun yang membentuk mozaik jaring di langit. Setelah gerbang
depan tempat membeli karcis seharga kurang lebih 7.500, kendaraan
pengunjung harus menuju beberapa ratus meter ke arah dalam untuk dapat
mencapai objek wisata utama. Di sepanjang jalan, biota khas penghuni hutan
terpajang dengan asri. Dominasi pohon pinus, damar, pakis, sesekali pohon
beringin, dan bunga-bunga hutan akan dengan mudah ditemui. Kehidupan
penduduk beriiringan dengan tempat wisata ini. Dapat kita temui penduduk yang
sedang menjemur kerupuk maupun bercengkrama akrab. Fokuskan diri untuk
menikmati suara serangga, burung, dan aneka satwa lokal yang menggema di
setiap sudut hutan. Aroma tanah yang basah, dedaunan kering, genangan air
akan menghipnotis pikiran sabagai rileksasi.
Kehidupan warga dan alam (dok. Pribadi)
Sebagai hidangan pembuka, tim kami mencicipi suasana misterius Goa
Belanda yang berada 300 meter dari tempat parkir. Goa ini memiliki nilai historis
yang sudah santer beredar di kalangan warga sekitar. Tanah yang basah, licin,
dan bergunduk membuat pengunjung harus hati-hati. Penerangan wajib dibawa
dan disarankan pergi dalam rombongan. Jangan khawatir bagi pemula (termasuk
saya) karena goa ini tergolong pendek dan tidak ada labirin yang kompleks.
Menuju lubang keluar, jalan akan sedikit naik dan banyak genangan air.
Selanjutnya, sungai Cigeureuh tampak menarik untuk dikunjungi apalagi suara
gemuruh air terdengar bersahut-sahutan dengan gemerisik angin. Nama sungai
ini cukup sulit untuk dieja oleh pendatang seperti saya sehingga ketika akan
bertanya ke warga, saya memilih mundur dan membiarkan teman seperjalanan

yang lain untuk bertanya. Menuju ke sungai ini tidak memakan waktu lama dan
medan yang ditempuh juga tidak terlalu berat. Keindahan yang ditawarkan cukup
memuaskan. Air sungai yang jernih dan kombinasi susunan batu yang bertingkat
seperti miniatur air terjun. Sayangnya, di sekitar area sungai tampak bekas
bakaran dan sampah bekas makanan. Kurangnya kesadaran pengunjung segera
harus dibangun mengingat tempat ini memiliki keindahan dan nilai sejarah yang
berharga. Destinasi terakhir adalah kolam cinta, inspiring beauty of love.
Ekspetasi saya agaknya cukup jauh dari perkiraan. Kolam ini tidak lagi berisi air,
hanya ada hamparan rumput semata di dalamnya. Ternyata, sudah cukup lama
kolam ini kering. Ditambah lagi, bentuk hati yang saya bayangkan tidaklah nyata
terlihat. Masih banyak pertanyaan yang terlintas mengenai kolam ini mengingat
sedikit sekali narasumber yang bisa saya ajak bicara dan waktu yang terbatas.
Paling tidak, dinding kolam yang dibuat dari susunan bata dan terlihat klasik
sudah cukup banyak bercerita. Sepasang gunung dengan megah menjadi latar
belakang pemandangan kolam sehingga tidak jarang banyak orang yang
berkemah bahkan foto pre wedding di sini. Terlihat juga warga yang
memanfaatkan pepohonan tua untuk dijadikan kayu bakar dan memanggulnya di
atas punggung ke arah deretan warung yang tersebar di beberapa titik. Hal lain
yang membuat saya bertanya-tanya adalah banyak puing-puing bangunan tua di
kiri kanan jalan utama wisata ini. Bangunan dari susunan bata tak terurus,
tempat lumut dan bunga-bunga liar mengadu hidup. Dengan dikelilingi pohon-
pohon pinus dan damar membawa kesan klasik yang manis. Usut punya usut,
tempat ini adalah kawasan penting pada zaman kolonial Belanda. Terdapat
sebuah radio yang bernama Malabar dan tenar pada masanya. Betapa tidak,
siarannya bisa mencapai hingga ke negeri kincir angin! Kini semua tinggallah
cerita. Berjalan ke area Gunung Puntang ini, sisa-sisa peninggalan menjadi
dokumenter bisu yang dapat kita saksikan secara langsung dan bila dihayati lebih
jauh akan membuat kita terenyuh betapa majunya negara kita saat di bawah
pimpinan negara lain. Puing-puing bangunan di kiri kanan jalan tak lain adalah
rumah bagi pegawai Belanda. Kemerdekaan yang kita rebut kembali penuh

dengan pertumpahan darah serta isak perjuangan, pertanyaannya adalah
siapkah kita yang telah merdeka menjadi lebih baik dari sebelumnya? Menjadi
lebih berkuasa atas diri kita sendiri melebihi sejarah yang pernah tercatat?
Di lain sisi, kolam cinta masih berselimut misteri bagi saya pribadi. Mitos
yang beredar menyebutkan tentang asmara sepasang kekasih yang akan
langgeng jika berkunjung ke tempat ini. Akan tetapi, bagaimana airnya kering?
Kenapa disebut kolam cinta bahkan ketika bentuknya bukan hati? Entahlah.
Sejarah dan cinta tampaknya selalu berselimut misteri dan tanda tanya hingga
kelak waktu yang menjawab. Selain tempat wisata di atas, masih banyak bagian
Gunung Puntang yang dapat kita jelajahi, seperti pendakian ke puncak gunung,
taman Bougenvile, dan Gunung Puntang juga merupakan konservasi alam bagi
Owa Jawa. Waktu pagi hari adalah waktu yang tepat untuk melihat satwa langka
ini. Waktu yang terbatas membuat saya belum bisa menyelami Gunung Puntang
secara lengkap. Walau begitu, sebagai one day trip, pemandangan pilar-pilar
alam yang merupakan pepohonan pinus sudah cukup melegakan hati. Begitu
juga dengan wahana yang disediakan alam. Tidak perlu ragu untuk datang ke
tempat wisata baru yang belum terekspos ke media. Perjalanan itu tidak diukur
dari ketenaran suatu tempat atau seberapa keren gambar yang dapat kita pajang
di media sosial. Baiknya kita bertanya pada diri kita sendiri, sudahkah saya
mencintai Indonesia lebih dalam hari ini?
Harmoni alam dalam sejarah (dok. Pribadi)


Nama: Imama Lavi Insani
Nama Kelompok: Pejalan Tangguh (Kelompok 4)
Tujuan Destinasi: Tahura dan Curug Dago
Menghirup Cerita di Paru – Paru Kota Bandung
Taman Hutan Raya atau biasanya dikenal dengan Tahura merupakan salah
satu hutan di Kota Bandung yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Pemda Provinsi
Jawa Barat. Hutan seluas 590 Hektar ini terletak di kawasan kawasan Dago Pakar
sampai Maribaya. Di dalam Tahura sendiri terdapat beberapa tempat wisata
yang sayang untuk dilewatkan seperti Curug Omas , Curug Dago , Gua Jepang ,
Gua Belanda dan masih banyak lagi.
Umumnya perjalanan dari keberangkatan sampai Tahura memakan waktu
sekitar 10 menit saja namun karena pada saat itu terdapat perbaikan jalan kami
harus mencari jalan lain. Total perjalanan tim Ekspedisi Mata Angin 2014
khususnya kelompok empat kurang lebih sekitar 1,5 jam. Dengan kondisi jalan
yang berbatu dan berliku membuat saya bertanya – tanya , apakah tujuan wisata
yang akan kami kunjungi akan seindah dan semenarik seperti yang banyak
diceritakan pada artikel – artikel di internet ? Akankah setimpal dengan

perjalanan yang kami lewati menuju kesana?Ah daripada terus bertanya – tanya
lebih baik saya segera memulai menikmati perjalanan saya.
Awalnya kami melewati sebuah perkampungan kecil bernama Desa
Sekejolang. Penduduk Desa Sekejolang nampak begitu ramah menyambut
kedatangan kami. Terbukti dengan lengkungan manis pada bibir mereka ketika
membalas sapaan kami.
“Punten pak bu..” Mereka pun membalas “Mangga mangga...”
Kami bertemu dengan tiga orang perempuan yang memanggul rumput di
bahunya untuk makan hewan ternak mereka. Saya sendiri dibuat heran melihat
hal tersebut. Betapa tidak , mereka masih menyempatkan untuk membalas
sapaan kami dan tersenyum hangat padahal mereka harus menempuh jalan yang
berliku dan menanjak dengan hanya menggunakan kaos kaki saja. Hebat sekali
perempuan – perempuan di desa ini.

Sekitar 30 menit kami melewati hutan dengan pepohonan pinus dan
akhirnya sampai di Curug Omas. Suara gemuruh air dari Curug menyambut kami
yang datang dengan terengah – engah setelah berjalan melewati hutan. Pantas
saja suara air tampak begitu deras karena tinggi curug ini sendiri kurang lebih
sekitar 30 meter.
Setelah melewati jembatan tersebut kami disambut oleh seorang
perempuan yang menyewakan tikar seharga Rp 10.000 tanpa ada batas waktu
untuk memakainya. Perempuan tersebut bernama Teh Nunung. Sejak kecil Teh
Nunung sudah membantu orang tuanya dengan menyewakan tikar. Rata – rata
tiap harinya dapat menyewakan sekitar 1-2 tikar dan jumlah tersebut meningkat
menjelang weekend. Namun pada hari itu nampaknya Dewi Fortuna berpihak
dengan Teh Nunung. Dalam waktu sekitar satu jam lima tikar sudah disewa. Dan
saya melihat Teh Nunung berlari kecil menuju warung orang tuanya yang
merupakan satu – satunya penjual ketan bakar di kawasan wisata Curug Omas
untuk mengambil tikar lagi. Dalam hati saya berdoa Semoga lancar rejekimu ya
Teh...
Ada pengalaman menarik ketika kami berada di Curug Omas. Ketika kami
menggelar tikar dan mulai untuk makan makanan kami tiba – tiba segerombol
monyet datang untuk mengambil makanan kami. Saya yang menyembunyikan
jagung di belakang punggung saya dibuat memekik terkejut ketika salah satu
monyet merebut jagung di tangan saya dan segera berlari untuk memakannya.
Kami pun memilih untuk segera meninggalkan Curug Omas melanjutkan
perjalanan menuju destinasi selanjutnya , yaitu Gua Belanda dan Gua Jepang.

Untuk menuju Gua Belanda kami harus berjalan sejauh lima kilometer.
Rimbunnya pohon di Tahura ini dapat membantu melindungi kami dari sengatan
matahari siang itu. Selain itu untuk melindungi dari sengatan matahari kita dapat
mengoleskan Sunscreen Gel Wardah yang sangat cocok dipakai untuk wanita
pecinta kegiatan outdoor seperti saya. Dengan tagline Inspiring beauty membuat
semua wanita tetap terjaga kecantikannya meskipun sedang melakukan kegiatan
outdoor.
Setelah berjalan sejauh lima kilometer nampak sebuah tulisan “ Gua
Belanda “. Kami pun segera masuk dan menyalakan senter pada handphone kami
masing-masing.
Suasana dingin dan lembab menyambut kami yang berjalanan beriringan.
Pada beberapa bagian gua terdapat celah kecil yang dulunya berfungsi sebagai
sel tahanan dan di tengah gua ini terdapat jalur rel. Sekitar 100 meter akhirnya
kami melihat cahaya matahari. Suasana panas kembali kami rasakan ketika
keluar dari gua ini. Sangat berbeda dengan keadaan di dalam gua yang sampai
membuat bulu kuduk saya berdiri.
Berbeda dengan Gua Belanda yang hanya memiliki satu pintu , Gua Jepang
memiliki 4 pintu yang saling berhubungan dan dua buah pintu ventilasi. Konon
menurut juru kunci Gua Jepang ada hal penting yang harus diperhatikan saat
berada di sini yaitu larangan mengucapkan kata “Lada” dan lebih baik
menggantinya dengan kata “ Pedes “.Menurut beliau apabila kata “Lada”
diucapkan artinya menantang “penghuni” di Gua Jepang tersebut. Kami pun
mendengarkan dengan seksama penjelasan juru kunci tersebut.

Tidak jauh dari Gua Jepang kami sampai di area utama Tahura. Saat siang
hari apalagi bukan weekend Tahura nampak sepi. Hanya ada beberapa orang
yang terlihat sedang berfoto. Di dalam area utama Tahura ini sendiri terdapat
beberapa tempat seperti permainan untuk anak – anak , lahan kosong yang
waktu itu digunakan oleh sekelompok regu Pramuka untuk berlatih , sanggar
kreativitas alam , areal persemaian , dan masih banyak lagi tempat – tempat
yang menyenangkan yang lain.
Perjalanan kami menyusuri Tahura kali ini membawa cerita yang menarik
untuk disimpan di dalam memori otak kami. Mulai dari masyarakat di sekitar
Tahura yang begitu ramah dengan masyarakat luar , Curug Omas yang begitu
menarik dan membuat pikiran kita disegarkan oleh pemandangan curug yang
begitu indah , pengalaman memasuki Gua Belanda yang membuat bulu kuduk
sampai merinding , cerita dari juru Kunci Gua Jepang tentang pelarangan
mengucapkan kata “Lada” , dan kerindangan serta kesejukan di area utama
Tahura yang dijadikan masyarakat untuk melakukan beberapa aktivitas serta
melakuakn refreshing.
Akhirnya pertanyaan – pertanyaan saya sebelum berangkat menyusuri
Tahura terjawab dengan cerita – cerita di atas. Tujuan wisata yang telah kami
kunjungi sangat indah dan menarik seperti yang banyak diceritakan pada artikel
– artikel di internet bahkan saya menemukan beberapa cerita baru yang tidak
banyak diceritakan di internet. Sangat setimpal dengan perjuangan menuju
Tahura ini.
Seperti nafas seorang manusia yang membawa begitu banyak oksigen
ketika bernafas sesuai dengan awal perjalanan kami yang membawa semangat
dan rasa penasaran begitu tinggi bagaimana perjalanan yang akan kami lewati.
Lalu menghembuskan udara yang berisi cerita – cerita menarik ketika dalam
perjalanan menyusuri paru – paru Kota Bandung ini.


Nama: Imama Lavi Insani
Nama Kelompok: Pejalan Tangguh (Kelompok 4)
Tujuan Destinasi: Tahura dan Curug Dago
Sejuknya Curug Dago
Papan tulisan informasi Curug Dago
Sekitar 200 meter dari jalan raya utama nampak sebuah tiang dengan
tulisan “Prasasti Curug Dago +- 200 m”. Kami pun mempercepat langkah kami
untuk menuju curug tersebut.
Jalan yang kami lewati sedikit berbeda dengan perjalanan sebelumnya yang
menyusuri Tahura. Tidak ada bebatuan dan pepohonan pinus yang ada adalah
jalanan yang terbuat dari semen dan di sampingnya terdapat sawah. Jalanan ini
juga cukup sempit. Ketika ada sebuah motor melintas maka kami harus berjalan
menepi ke tembok. Beruntung tidak banyak motor yang melintas saat itu
sehingga kami tidak perlu sering – sering berjalan mepet ke tembok.
Sekitar 200 meter berjalan kaki , kami mendengar suara gemuruh air yang
membuat kami mempercepat langkah kami. Tetapi kami berhenti sejenak untuk

membaca papan informasi pada halaman utama Curug yang dikelola oleh Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat ini.
Setelah membaca papan informasi kami menuju ke tangga kedua yang
akan membawa kami menuju ke Curug Dago. Ada sekitar kurang lebih 77 anak
tangga yang harus kami turuni. Di belakang kami terlihat beberapa orang yang
membawa alat pancing. Saya sedikit heran mengapa mereka membawa alat
pancing , apakah Curug Dago merupakan tempat untuk memancing ? Saya makin
dibuat penasaran dengan tempat ini.
Keadaan di Curug Dago
Suara gemuruh air terdengar makin jelas. Di depan kami terlihat ada sungai
kecil dengan bebatuan. Setelah menyelesaikan anak tangga terakhir dan
berbelok ke arah kanan kami melihat curug setinggi kurang lebih 10 meter
berdiri kokoh dengan tebing – tebing di sampingnya. Seketika suasana menjadi
sejuk. Terlihat bapak – bapak yang membawa alat pancing turun ke bawah dan
ternyata cukup banyak orang yang sedang memancing di Curug Dago.

Di Curug Dago ini menyimpan keunikan yang tidak ada di tempat lain.
Orang pertama negeri tetangga kita , Thailand , pernah mengunjungi Curug Dago
ini dan meningalkan dua buah prasasti yang diletakkan di dalam sebuah
pondokan kecil yang temboknya diganti dengan kaca.

Pada papan informasi tertulis Raja Rama V di kunjungannya yang kedua
pada tahun 1901 menuliskan paraf dan tahun Bangkok di atas sebuah batu. Dan
prasati yang kedua tertulis pada tahun 1929 Raja Rama VIII mengunjungi Curug
Dago untuk melihat batu yang terukir paraf Raja Rama V. Ra Rama VIII juga ikut
menuliskan paraf seperti ayahnya yang juga dilengkapi dengan tahun Bangkok ,
B.E. 2472.
Pengunjung memang terbilang cukup sepi , namun suasana dan keadaan
sekitar Curug Dago ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif berlibur
menyegarkan pikiran sejenak. Beruntung sekali tim AICT memilih tempat wisata
ini sebagai salah satu tempat Ekspedisi Mata Angin 2014. Fasilitas dan
infrastruktur yang disediakan juga terbilang cukup memadai. Tangga yang
terbuat dari beton memudahkan pengunjung untuk turun ke bawah. Selain itu
keamanan juga cukup terjaga dengan adanya pegangan di sisi anak tangga.
Nah itu tadi cerita tentang Curug Dago yang sangat sejuk dan prasasti dari
Raja Thailand yang meluangkan waktunya untuk berkunjung ke tempat ini.
Perjalanan kami hari ini dibantu oleh mobil dari JNE dengan sopir handal yang
membuat perjalanan seharian lancar tanpa hambatan. Tagline Express Across
Nation memang pantas disematkan kepada JNE sebagai salah satu penyedia jasa
pengantaran barang di Indonesia. Nah kalau Raja Thailand saja mengunjungi
tempat ini , kenapa kita tidak mengunjunginya juga?
Alamat lengkap :
Alamat: Terletak di Desa Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung,
Propinsi Jawa Barat
Arah: ± 10 km di sebelah timur laut dari pusat kota Bandung, di tebing
Sungai Cikapundung tidak jauh dari air terjun Curug Dago



The Best of TAHURA
It is not a perfect natural tourism, but it is the most awesome forest park
in the City of Bandung, what else, but Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda or Tahura
Ir. H. Djuanda. This huge green city heart is located in the north side of Bandung,
precisely in Dago Pakar. This tourism site is not very far from downtown,
approximately it takes 30-45 minutes to get there. There are several gates to enter
the forest, the local dwellers usually know the ‘secret doors’ to enter the forest,
while the common visitors only enter it from the main gate where they should pay
IDR 8.000 to get the ticket. What a very cheap cost to enjoy a bewitching
circumstances! I genuinely enjoy my second visit there in accordance with a great
event, Ekspedisi Mata Angin 2014 (EMA 2014) held by AICT (Ambassador of
Indonesian Culture and Tourism). I guarantee you would never be sick of this fresh
woody land though you come over and over again.
Compared with the other Tahura or forest parks in Indonesia, such as
Tahura Brastagi in North Sumatera
(where there is only one falls in Tahura
Brastagi named Air Terjun Tiga Warna
and no cave), there are some views that
you will never find there, except in
Tahura Ir. H. Djuanda. In this place your
eyes are going to touch the splendour of
five curugs (curug is a Sundanese word
to say a waterfall) derived from
Cikapundung River, They are Curug
Koleang, Curug Kidang, Curug Lalay,
Curug Omas and Curug Dago which is
located separately and quite far from
the other waterfalls.
Writer : Monalisa Siburian
Group : 4
Destinantion: TAHURA Ir. H. Djuanda
Curug Omas, photo by Monalisa Siburian

The best curug among them, is Curug Omas which is located near
Maribaya, in the farthest site of Tahura. Its height is about 30 meters with a wiry
fence surrounding it. It is about 5 km from the main gate and takes two or three-
hour walking. There is a romantic bridge above its pouring water whose floor made
of wood and only four or five persons are permitted to cross it at the same time.
This bridge is one of the best spot to take a picture of the falling stream of the light
and pure water particle which pushes each other, and of course, do selfie, and .
The stormy sound of the pouring water and the brand-fresh air spoil the visitors
and make them want to stay in the shade of the pine for a longer time. The carpet
is rented for only IDR 10.000 and then you can use it as long as you wish. Your belly
rebels? Don’t worry! There are several small food stalls offering some traditional
meals and beverages, like jagung bakar (roasted corn), nasi timbel, gado-gado,
batagor, bandrek, bajigur, and many more. The sellers are kind and amiable. The
other nicest thing is that all of them are not expensive, it ranges from IDR 3.000-
15.000. However, be careful! There are a lot of monkeys around that place. You
don’t want to fight with those little creature because of meals, right? But I also
feel relieved that those monkey still can live freely in their habitat. It feels like
these inspiring beauty enlighten the mind and the spirit. I bet that your tiring after
a long trekking would be gone when you get there.
Talking about Indonesian history, the other
advantage that the visitors could get, are recognizing the
sign of the Colonial and Japanese Government period in
Bandung from the two popular caves in Tahura. They are
Goa Belanda and Goa Jepang whose location is not very
far from the main gate. Entering the mouth of the cave,
the cold air stings my face since both caves are made
inside the big mountainside. The upper surface of the
caves are cemented and have been renovated. However,
according to my sight, the more attractive cave is Goa
Belanda because there are two big holes at the each edge of the caves, a railway
Goa Jepang, photo by Monalisa Siburian

track, and about 20 opened-rooms. However, Goa Jepang has four exits in a line
and does not have a railway track. It is told that these caves were made to save
the equipment of the armies and to hide from the enemy when there was a lot of
war at that time. This means that the Colonialism was spread and expressed across
nation.
I recommend this Tahura as the alternative for those who are sick of
shopping circumstances and they who cannot do hiking. Another best part is that
not far from Tahura Ir. H. Djuanda, there is a spot to see Tahura from above, it is
Tebing Keraton. The ticket is IDR 11.000 per person. This peak provides a very
excellent view of the green pine forest, mountains, and the light of Bandung City
at night. Many young people are coming here, taking selfie, then uploading it to
the social media. Thus, have you taken your best picture in the best spot in Tahura?


1001 Ideas of Curug Dago
Like a toast without a glass of milk, that’s how I think when visitors talking
about Bandung without knowing about Dago. Dago is not only full of cafes and
factory outlets. If you keep your feet exploring until to the top side of Dago, which
is commonly known as Dago Pakar, you will be amazed by its inspiring beauty.
Dago Pakar provides the natural tourism packed in one big nature conservation in
Taman Hutan Raya Bandung Ir. H. Djuanda (TAHURA Ir. H. Djuanda; a large forest
park in Bandung). One of the tourism competency in Tahura the is Curug Dago.
Curug is a Sundanese word for a waterfall. Curug Dago is located near the Terminal
Dago and Dago Tea House and this is the nearest waterfall among the other
waterfalls in Tahura because the access is easy to
get. Its height is about 11 meters, pouring the water
from Cikapundung River. It has two stone
inscriptions made by the King of Thailand around
1900s. There are several aging pictures of a
character and flowers next to the stone. The first
idea popping in my mind at the first time visiting this
cascade in an event called EMA 2014 (Ekspedisi
Mata Angin 2014) conducted by AICT (Ambassador
of Indonesian Culture and Tourism) is ‘can I imagine
what changes experienced by this natural heritage
because of the man’s right hand and the sophisticated technology that should
have been built a great refinement’?
At the first time, I was really exciting hearing the whiring sound of a great
water falling and I was proud actually because the access to get this place is quite
easy, many tress are standing in its surrounding, the track is pretty smooth
(although we must walk downstairs to see it directly), both stone inscriptions are
covered with a strong case and unique package. Immediately, my exhilaration of
the changes in Curug Dago was answered, but it turns into a fear, a fear of a broken
natural beauty. At this time, I think it is not really a surprise or an astonishing fact
Writer : Monalisa Siburian
Group : 4
Destinantion: Curug Dago
Curug Dago, photo by Monalisa Siburian

if a tourism spot is smashed into pieces, but a habit. As the one who cares, taking
action is the only choice, and action is derived from ideas.
The first consideration is about the better change from inside. The quality
of the precise spot of Curug Dago should be improved. This talks about its clean
and purity. Indonesian expression says that ‘Cleanliness is a Part of Faith’
(Kebersihan Sebagian dari Iman). People (without thinking from where they are,
what tribe they are, or whether they are old or young) have to cure this hurting
waterfall. The most essential thing to be purified is the quality of the water. The
spot where the water falls, I think, should be sterilized from any waste, micro-
organism, or mud that makes the greyish color of
the water surface. Some trash cans will be very
helpful to keep the environment clean. If
necessary, a wiry fence should be built to
prevent any irresponsible hands. I also imagine if
one day there exists another space for a fishpond
near the stream. This idea emerged because
when I came to this place, I saw some young men
with a cigarette in their lips coming there with
net and fishhook, they stood at the edge of the
falls and did fishing. Some lights in the stone
inscriptions may make it more attractive.
It must be ridiculous if we promote something that is not worth it.
Therefore, after the inside part of the falls is fixed, the second action is making
promotion. We can start from the a cheap ticket. The visitors do not have to pay
IDR 11.000 to get there, but for only half-price or for free in a week. This promotion
also can be made in an application like Indonesia in Your Hand or the other
supported applications. A clear nameboard and direction along the path towards
the spot will make the visitors easier to follow the track.
Tempat Prasasti di Curug Dago, photo by Monalsa Siburian

I believe that these ideas were not imposible to realized one day, thus
those who visit Curug Dago can express it across nation and invite people in all
areas to come and see it. Let’s make our ‘toaster’ complete with its milk, let’s make
our Dago complete with its curug. If in the past a Thailand King adored this curug,
isn’t it our turn now? If the foreign tourists have visited this place, why haven’t us?


Nama: Gea Melinda
Nama Kelompok: Kelompok 3
Tujuan Destinasi: Gunung Puntang dan Situ Cileunca
Danau di Balik Deretan Pilar Situ Cileunca; Mata Angin Selatan
Siapa yang tidak tahu Kota Bandung? Saya yang berasal dari pulau
tetangga pun sudah tahu nama kota yang tersohor dengan denyut
modernisasinya ini. Sedangkan Gunung Puntang dan Situ Cileunca? Kernyitan di
dahi sepertinya cukup jelas menggambarkan kebingungan. Dalam rangka
memenuhi misi Ekspedisi Mata Angin 2014 yang diselenggarakan oleh AICT
(Ambassador of Indonesian Culture and Tourism) pada tanggal 23 September
2014, saya dan tim diberi kesempatan untuk menjelajahi kedua tempat ini.
Uniknya, kami menjelajah dengan menumpangi mobil JNE yang terkenal dengan
jargon Express Across Nation sehingga warga sekitar tempat pemberhentian
tampak antusias ketika mobil kami parker karena berharap ada barang yang
diantarkan. Dari daerah Ciumbuleuit, kita harus menempuh kurang lebih dua jam
menuju Bandung Selatan. Jalanan yang berkelok dan udara dingin tentu bukan
hal yang asing untuk perjalanan di daerah pegunungan sehingga perlu persiapan
bagi yang mabuk darat dan sensitif udara dingin.
Destinasi pertama adalah Situ Cileunca. Berjarak 45 menit lebih jauh dari
daerah wisata Gunung Puntang. Sebagai daerah perairan dengan pepohonan di
sekitarnya, tentu lebih baik jika dikunjungi saat matahari masih giat bersinar. Di
musim kemarau, suhu daerah ini justru semakin dingin. Pertama kali tiba di sini,
kita akan disambut deretan warung sederhana yang menjual makanan maupun
minuman layaknya tempat wisata lain. Juga tersedia penyewaan perahu kayu
kecil yang dapat membawa kita membelah danau buatan warisan zaman kolonial
Belanda yang cukup luas dengan kedalaman sekitar lima belas meter. Situ
Cileunca terkenal dengan fasilitas outbond, satu di antaranya adalah rafting.
Akhir pekan adalah puncak jumlah pengunjung. Di bagian depan danau terlihat
air yang berwarna kecoklatan dan dapat ditemukan beberapa sampah.

Selayaknya sebagai wisatawan kita juga harus menjaga kelestarian alam. Di sini
kita juga bisa melakukan aktivitas memancing.
Warung dan danau pertama (dok. Pribadi)
Situ Cileunca adalah tempat wisata yang erat berdampingan dengan
penduduk sekitar. Kita bahkan bisa menemukan jemuran milik warga yang dijejer
rapi pada selembar terpal. Di tepian danau dengan mudah kita menemukan
lahan-lahan pertanian warga yang dipenuhi dengan tanaman sawi, tomat, serta
tanaman kacang-kacangan. Perlu diketahui bahwa Situ Cileunca memiliki dua
danau. Danau kedua dapat kita capai dengan menaiki perahu kayu hingga ke
ujung belakang danau pertama yang memiliki air lebih jernih dan berwarna hijau
muda bercorak sedikit hijau tua. Di dekatnya juga terdapat DAM Cipanunjang. Di
danau kedua, kegiatan bercocok tanam akan mendominasi pemandangan.
Terlihat luasnya lahan yang sedang dikerjakan oleh warga sekitar untuk ditanami
berbagai sayuran. Nantinya sayur ini akan dijual ke daerah terdekat dari wilayah
ini. Dinamika kehidupan penduduk amat bergantung pada danau. Kedua danau
ini digunakan untuk pengairan lahan pertanian waktu musim kemarau tiba.
Banyak pula nelayan menaiki rakit yang berupa anyaman bambu yang disusun
sedemikian rupa sehingga bisa mengapung di air, melempar jaring ke danau
untuk mengundi peruntungan pendapatan ikan. Dominasi ikan teri air tawar
membuat ikan ini menjadi oleh-oleh khas Situ Cileunca dan hanya bisa dibeli di
pagi hari.

Hal lain yang dapat dinikmati adalah deretan pohon raksasa yang
menjulang tinggi seakan meraih langit. Juga lebatnya kumpulan bambu yang
membuat saya teringat dengan angklung. Pohon-pohon ini berada pada jarak
yang cukup dekat satu sama lain. Tumbuh disekeliling danau tanpa jeda.
Mengurung danau pertama di Situ Cileunca dalam harmoni. Kayu pohon amat
kokoh dan berwarna coklat agak abu-abu layaknya pilar-pilar beton alam. Kota
Bandung yang cukup padat membuat masyarakat tidak bisa menikmati langit
dengan utuh karena tertutup bangunan-bangunan tinggi. Duduk di tepian danau
sambil menikmati segelas teh hangat dan melihat langit yang terbentang luas
tentu sangat menggoda. Ditambah desiran angin yang akan membuat suara khas
dari air yang bergerak pelan diiringi desis gesekan antarbatang bambu.
Ujung dari danau pertama (dok. Pribadi)
Untuk one day trip yang kami lakukan, dana yang dibutuhkan tentu dapat
ditekan seminim mungkin. Membayar penyewaan perahu yang 20.000/orang
dan berjalan-jalan sambil berdialog dengan warga sekitar yang ramah sudah
cukup memuaskan rasa penasaran akan Situ Cileunca. Namun, Situ Cileunca juga
menyediakan penginapan di bagian depan dan dapat memilih paket outbond.
Jika beruntung, kita bisa menyaksikan lomba dayung tingkat nasional yang
diagendakan pada waktu-waktu tertentu di danau pertama. Melalui perjalanan

ini, saya mempelajari banyak hal. Harmoni antara alam dan ekonomi warga
sekitar dapat berjalan beriringan dengan simbiosis mutualisme karena
hakikatnya alam adalah bagian dari ekosistem dan kita saling menjaga serta
menyediakan kesejahteraan. Selain wisata alam, Situ Cileunca juga menyediakan
wisata budaya kehidupan warga sekitar. Yang kita butuhkan hanyalah sepotong
senyuman dan dialog. Indonesia dalam pelangi pluralisme selalu menyajikan
kelok eksotisme yang tidak terbatas. Satu di antaranya adalah Kota Bandung
Selatan. Kalau boleh mengutip, keindahan alamnya seperti slogan produk
kosmetik terkenal, inspiring beauty. Jangan lupa untuk menjelajahi Situ Cileunca
yang istimewa secara utuh baik dari sisi alam maupun ragam dinamika
kehidupan penduduk sekitar. Selamat menikmati dan menjaga alam!
Pertanian (dok. Pribadi)
Danau kedua dan kegiatan bertani warga (dok. Pribadi)


1
Menyusuri Jalan Panjang Tahura Djuanda
“Sayang, kita sudah lama saling menjaga cinta Sejak umur 20-an, hingga rambut ini beruban Wajahmu sudah mulai banyak kerutan-kerutan, tenagamu sudah tak seperti dulu Semuanya memudar selaras dengan bertambahnya usia ini Namun, satu hal yang tak pudar darimu: cinta, kasih sayang, perhatian, ketulusan, dan kesungguhanmu Terus membara dan membuat hatiku melayang-layang Di jalan setapak nan panjang ini, aku kembali memuda 20 tahunan Jiwa dan seluruh tubuhku terus berucap: I Love You”
Pancaran yang kuat, dan radiasinya membuat kami menyakini dengan pasti
“inilah cinta sejati.” Walaupun kami tidak menanyakan secara gamblang pada mereka,
tapi gambaran wajah dan aura tubuh tidak akan pernah bisa bohong. Cinta, kasih
sayang, kedamaian, dan kenikmatan dalam melangkah setapak demi setapak
menyiratkan hal itu. 10 km lebih, mereka lalui dengan perasaan tenang, santai, damai,
senyum, canda ria, dan tanpa keluh kesah. Ketika letih menghampiri, mereka duduk
sejenak di kanopi (tempat peristirahatan yang disediakan oleh pengelola) sambil minum
air dan memakan jamilan yang dibawa dari rumah. Itulah gambaran indah, romantisme
dari dua pasang kakek nenek, yang sedang menikmati pesona Taman Hutan Raya
(Tahura) Ir. H. Djuanda, Bandung Jawa Barat. Bertempat di Komplek Tahura Ir. H.
Djuanda No. 99 Dago Pakar Kode Pos 40198.
Berjalan beriringan dengan hamparan luas tumbuhan hijau, tebing indah,
dan udara segar melimpah ruah. Mulai dari pintu masuk, Curug Omas, Goa Jepang, Goa
Belanda, museum, hingga taman. Sungguh kontras dengan usia mereka yang sudah
lanjut. Semangat, tekad, niat, dan cinta membuat mereka kuat dan terus berjalan,
walaupun jarak yang dilalui cukup jauh. Mungkin inilah yang melatar belakangi, kenapa
jalan di Tahura hampir semua paving, panjang, naik turun dengan bermacam tumbuhan
serta pesona indahnya.
Nama : Sandi Iswahyudi Nama Kelompok : Pejalan Tangguh Destinasi : Tahura Ir. H. Djuanda

2
Pesona Curug Omas
Jika Anda menyukai
panorama air terjun, halaman
luas untuk bersantai sambil
menikmati sensasi jagung
bakar, ketan bakar/makanan
lainnya datanglah ke ke
kawasan Maribaya. Kawasan
yang di dalamnya terdapat
Curug Omas, pusaran air,
halaman luas, parade monyet
alam, dan kuliner. Bisa dipastikan, Anda akan puas dan ingin berlama-lama di sana.
Curug omas terbentuk oleh aliran lava basalt yang membeku membentuk
tingkat-tingkat setinggi ± 30 m. Tinggi curug ± 15 m dengan 3 air terjun sejajar. Bila di
foto dari kejauhan dari jembatan kedua, maka akan terlihat pemandangan yang indah,
deburan air berwarna putih, dengan warna hijau tumbuhan di masing-masing sisi.
Sambil menikmati pesona Curug Omas, bersantailah dahulu di sisi kanan
curug dengan bentangan rumput luas serta naungan pohon-pohon. Pesanlah tikar untuk
alas bersantai dengan harga Rp 10.000,- per buah. Di sini, Anda bisa melakukan piknik,
cocok juga untuk tempat nongkrong/diskusi, menulis, meneliti, fotografi, melukis atau
sekadar refresh otak. Bonus tambahan yang tidak setiap jam/hari ada adalah parade
monyet. Yaitu, tingkah laku monyet yang meloncat dari satu pohon ke pohon lainnya,
bahkan mereka akan saling kejar-kejaran untuk berebut makanan yang di dapat dari
pengunjung. Jadi hati-hati dengan makanan Anda dari serangan monyet.
Situs Goa Belanda dan Goa Jepang
Puas bersantai dan bermain-main di curug, bergeraklah langsung ke situs
Goa Belanda dan Jepang. Dulu area Tahura ini dijadikan tempat yang strategis bagi
Gambar 1. Keindahan Curug Omas

3
penjajah untuk berperang atau bertahan dari musuh. Jarak dari Curug Omas menuju
Goa Belanda ± 5 km, bisa ditempuh dengan ojeg atau jalan kaki.
Menurut sejarah Goa Belanda dibangun pada tahun 1906 sebagai
terowongan penyadapan aliran air Sungai Ci Kapundang untuk pembangkit listrik tenaga
air (PLTA) oleh BEM (Bandoengsche Electriciteit Maatschappif). Pada tahun 1918
terowongan ini beralih fungsi untuk kepentingan militer dengan beberapa ruang di
sayap kiri dan kanan terowongan utama. Pada masa Perang Dunia II, Belanda
memperluas goa dan mendirikan stasiun radio komunikasi di sini sebagai pengganti
Radio Malabar di Gunung Puntang yang berada di wilayah tak terlindungi dari serangan
udara. Setelah kemerdekaan, Goa Belanda masih memiliki fungsi militer sebagai gudang
mesiu bagi pemerintah Indonesia. Baru pada tahun 1970-an, mesiu-mesiu ini
dipindahkan.
Setelah itu, ke
Goa Jepang dengan jarak ± 2
km. Dapat dilalui dengan jalan
kaki atau ojeg. Bagi pejalan
kaki, bisa mengisi persediaan
air minum di mushola dekat
Goa Belanda. Disana terdapat
air bersih yang segar dan
layak konsumsi. Jika ingin
mengisi perut, bisa memesan
jagung bakar, ketan bakar, atau makanan lainnya di samping mushola. Perjalanan
menuju Goa Jepang akan melewati tebing-tebing indah, dengan simfoni alunan burung,
dan alam beserta tarian daun-daun yang berguguran.
Sepanjang perjalanan menuju Goa Jepang, suasana sangat indah, sejuk, dan
mempesona. Kita bisa melihat daun-daun berguguran seperti di musim gugur negara 4
musim. Berkas cahaya matahari yang menembus diantara naungan pohon-pohon besar,
Gambar 2. Goa Jepang

4
menciptakan pemandangan yang luar biasa. Jika letih menyerang, kita bisa duduk di
kanopi. Jangan lupa untuk menikmati udara segarnya dengan menghirup banyak udara,
menahan beberapa detik, kemudian mengeluarkan secara perlahan. Tubuh spontan
fresh, tenang, dan damai.
Jika rute dari Curug Omas, maka Goa Jepang berada disisi kiri. Goa Jepang di
Tahura Ir. H. Djuanda merupakan salah satu dari puluhan goa yang tersebar di seluruh
Indonesia, yang umumnya dibuat tahun 1942-1945. Ketika masa pendudukan Jepang,
Kota Bandung merupakan markas salah satu dari tiga Kantor Besar di Pulau Jawa.
Bandung juga menjadi tempat pemusatan terbesar tawanan perang mereka, baik
tentara Hindia-Belanda dan satuan sekutunya, maupun warga sipil. Pada masa itu, selain
memanfaatkan goa buatan Belanda, Jepang juga menambahkan sejumlah goa di
kawasan ini. Goa-goa buatan Jepang dipergunakan untuk keperluan penyimpanan
amunisi, logistik, dan komunikasi radio pada masa perang. Pada masa Jepang, Tahura
tertutup bagi masyarakat umum. Di Goa Jepang terdapat 6 lubang yang saling sejajar: 2
lubang kecil sebagai ventilasi, 4 lubang besar lainnya sebagai pintu. Di sini kita akan
diajak untuk kembali ke masa lalu, bagaimana pengalaman pahit masyarakat Indonesia
masa itu. Bagaimana perjuangan mereka. Sehingga generasi muda saat ini, bisa
bersyukur dan bertekad untuk selalu memajukan Indonesia.
Puas berfoto di Goa Jepang, kita bisa terus mengikuti jalan, maka akan
menemukan halaman luas lainnya. Di sini akan ditemukan fasilitas outbound, taman
bermain anak-anak, tempat untuk santai, museum, dan kuliner.
Pilihan Ideal: Berjalan Kaki
Tahura Ir. H. Djuanda sangatlah luas, maka jangan heran jika banyak
ditemukan ojeg yang siap untuk mengantarkan turis ke berbagai destinasi. Banyak pula,
yang memilih untuk berjalan kaki mengelilingi tahura. Letih, lelah, haus, dan lapar tentu
menghampiri. Namun itu bukan sebuah hambatan tentunya. Dua pasang kakek nenek
saja, berjalan kaki. Masak yang masih muda naik motor? Untuk sensasi, kenangan,
kepuasan batin, dan manfaat bagi tubuh tentu lebih terasa yang berjalan kaki. Saya, Aji,

5
Akbar, Dekna, Sirka, Mona, dan Ima telah membuktikan dalam Ekspedisi Mata Angin
2014 yang diadakan oleh AICT (Ambassador Of Indonesia Culture and Tourism), Selasa
(23/9) dari start sekitar pukul 10.00 WIB s/d 15.00 WIB. Kami puas, senang, dan
mendapatkan kenanangan yang mendalam. Inilah bukti kami sebagai generasi muda
penyebar optimisme, inspiring beauty, dan express across nation.
Berjalan kaki, bagi kesehatan merupakan
salah satu alternatif untuk menenangkan diri,
menyehatkan tubuh, dan mengurangi
terjadinya resiko bermacam penyakit karena
titik-titik pusat penyakit (titik akupuntur)
berada di kaki. Buktinya, nenek moyang kita
tubuhnya sehat, kuat, dan jarang sakit.
Sedangkan zaman sekarang dengan pola
serba instan, apa yang terjadi? Padahal
ketetapannya, alam memberikan manfaat
pada manusia. Namun jika manusia
menginginkan segala sesuatunya instan,
apakah alam akan tetap memberi manfaat?
Gambar 3. Jalan panjang Tahura


1
Pesona Terpendam Curug Dago
Letih, keringat bercucuran, haus, dengan cuaca terik serta polusi udara,
menghiasi setiap langkah perjalanan di padatnya aktivitas Kota Bandung. Hal itu
tidak membuat saya, Akbar, Sirka, Dekna, Mona, Aji, dan Ima mengendurkan
semangat serta keinginan untuk mundur dari tantangan menuju lokasi terpendam.
Walaupun jauh, melewati jalan raya dengan cuaca panas, tidak sekalipun
melunturkan niatan kami untuk berhenti dan berkata, “Saya/kami tidak ingin
lanjut. Saya ingin berhenti di sini saja.” Tekad kami sudah bulat, untuk melangkah
menyusuri jalanan, dari
Kota Bandung menuju
lokasi terpendam itu,
untuk satu tujuan,
“Mencintai Indonesia.”
Bagi kami, ini sebagai
bentuk perjuangan dan
bukti cinta kami pada ibu
pertiwi express across
nation.
Kami yang notabene berasal dari berbagai kultur disatukan dalam satu
wadah AICT (Ambassador Of Indonesia Culture and Tourism) Ekspedisi Mata Angin
2014. Mengangkat tema Capture the Unexplored Culture membuat jiwa muda
kami: inspiring beauty, agent of change, pekerja keras, dan penerus bangsa terus
membara tanpa pernah padam. Itulah esensi, kenapa kami berbeda-beda namun
menjadi satu serta saling selaras. Inilah kolaborasi kami untuk negeri tercinta.
Selasa (23/9) siang, kami berjalan dari pintu keluar Tahura Ir. H. Djuanda
menuju Curug Dago. Curug ini, masih berada di kawasan Tahura Ir. H. Djuanda
yang beralamat di Kampung Curug Dago, Desa Dago, Kecamatan Coblong
Bandung, Jawa Barat. Perjalanan kami lalui dengan berjalan kaki, sejauh ± 1,5 km
melewati jalan raya. Panas, bising, dan polusi udara adalah hal umum yang kami
Gambar 1. Tim kelompok 4 sebelum berangkat
Nama : Sandi Iswahyudi Nama Kelompok : Pejalan Tangguh Destinasi : Curug Dago

2
rasa. Tapi kami tetap merasakan senang dan senyum merekah terlihat dari wajah
teman-teman. Karena memang yang utama dari sebuah perjalanan, bukan
cepat/lambatnya kita menempuhnya. Tapi sejauh mana, pribadi mampu
menikmati perjalanan serta membaginya pada orang lain. Setelah sampai di
Terminal Dago, kami belok kanan menuju Curug Dago berasal, yang ditandai
dengan adanya plakat menuju curug.
Jarak antara plakat menuju lokasi sekitar ± 2 km, dengan medan naik turun
jalan tanah, paving, dan semen. Medan cukup berat, ketika pengunjung menuruni
anak tangga yang banyak dan cukup curam. Pegangan kayu berwarna hijau bisa
dimanfaatkan sebaik mungkin. Tanda sudah dekat dengan curug, terdengar
deburan air, dengan kondisi lingkungan sekitar cukup lembab, udara segar, sejuk,
suara burung-burung bersahutan. Selain itu terlihat rumah warna merah. Di Curug
Dago terdapat dua rumah warna merah,
yang didalamnya terdapat batu prasasti
peninggalan Kerajaan Thailand atas
kedatangan Raja Rama V tahun 1896 dan
Raja Rama VII tahun 1901 lalu.
Melihat hal tersebut, semangat kami
pun kembali membara, untuk merekam,
mendokumentasikan serta melukiskan lewat
kata-kata. Beberapa kali, saya menghirup
udara dalam-dalam lewat hidung, ditahan
beberapa detik, dan dikeluarkan secara perlahan-lahan. Sungguh nikmat,
mendamaikan, dan tubuh kembali segar. Itu salah satu tip, untuk menikmati udara
segar, menyehatkan tubuh, serta me-refresh pikiran. Di sisi lain, teman-teman
saya ada yang berfoto dengan curug, prasasti, alam sekitar/beberapa warga
sekitar yang sedang memancing.
Gambar 2. Pesona Curug Dago

3
Curug Dago dikelilingi
oleh tebing-tebing yang
membentuk cekukan ke
dalam, dengan rimbunnya
tumbuh-tumbuhan di
sekitar. Kesan pertama
yang saya rasakan saat
menginjakkan kaki di sini,
“menakutkan.” Namun
beberapa menit berlalu,
kesan itu berubah menjadi pesona atas ciptaan Tuhan yang luar biasa. Tinggi curug
± 12 m dan berada di ketinggian sekitar 800 m. Spot menarik lain, adalah di sisi
kanan ketika kami pergi pulang. Kami melihat, matahari yang seolah berusaha
masuk menembus rimbunnya tetumbuhan, yang kemudian ditangkap oleh aliran
air dari Curug Dago. Menghasilkan parade yang indah untuk dinikmati dan difoto.
Apalagi dengan bebasnya kita bisa mendengar orkestra burung-burung yang saling
bersahutan, bunyi desiran dahan satu dengan lainnya, serta hewan-hewan
lainnya. Menjadikan diri terbius kembali untuk mengucap syukur pada Sang
Pencipta, inilah lukisan Tuhan yang tak mampu untuk direkam
Curug Dago merupakan tempat indah untuk yang hobi fotografer, pecinta
alam, serta pencari inspirasi. Dalam hati saya merenung, tumbuhan kecil dekat
dengan sungai berada di antara tumbuhan besar pengahalang sinar matahari saja,
bisa “hidup.” Apalagi kita sebagai manusia, yang diciptakan sebagai makhluk
sempurna?
Pasti banyak, di antara pengunjung yang datang ke Curug Dago digunakan
untuk fotografi, pecinta alam, dan wisata keluarga. Namun cukup jarang,
pengunjung yang datang ke wisata alam mengambil ilmu dari alam sekitar.
Padahal segala sesuatunya sudah jelas, bahwa manusia diciptakan dari tanah.
Maka, sudah semestinya bahwa bumi seisinya adalah ibu/guru bagi manusia.
Contoh kecilnya, manusia tidak bisa hidup, kecuali harmonisasi dengan alam.
Gambar 3. Sisi lain Curug Dago

4
Manusia ketika mendapatkan masalah, kemudian melihat dan berfikir di alam
sekitar akan segera mendapatkan solusi. Kenapa itu terjadi? Semua sudah ada
ketetapan, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini pasti memiliki manfaat.
Perjalanan mendaki tangga kembali menemani kami. Lelah pasti
menghampiri di sekujur tubuh untuk merusak kebahagiaan yang baru dialami.
Namun, kedamaian tidak akan pernah hilang. Dia akan terus menjadi kenangan di
dalam sanubari. Dalam hati kecil saya, Indonesia begitu indah dan memesona,
sayang tidak banyak generasi muda yang sadar!