Trauma laring
-
Upload
wedantara-wangsa -
Category
Documents
-
view
237 -
download
2
Transcript of Trauma laring
BAB I
PENDAHULUAN
Laring memiliki tiga fungsi penting yakni sebagai proteksi jalan nafas,
pengaturan pernafasan dan menghasilkan suara. Kerusakan pada laring akibat
trauma dapat sangat parah. Trauma laring ini sangat jarang ditemukan, hanya
ditemukan pada sebagian kecil dari keseluruhan kejadian trauma. Trauma laring
adalah termasuk trauma yang jarang, diperkirakan kurang dari 1% total kunjungan
ke Unit Gawat Darurat (UGD) dengan kasus trauma. Hal ini menguntungkan,
sebab trauma laring dapat mengakibatkan masalah obstruksi jalan nafas yang
serius dan dapat merusak produksi suara bila tidak didiagnosis dengan benar
secepatnya. Pokok utama yang harus diperhatikan dalam trauma laring akut
adalah melindungi jalan nafas. Fungsi vokal, selain merupakan prioritas kedua
karena harus mendahulukan keselamatan, biasanya ditentukan oleh efektifitas dari
penanganan awal. Penting sekali bagi seorang otolaringologis untuk dapat
mengenali dan mendiagnosis serta mengetahui penanganan yang tepat bagi jenis
trauma yang jarang, tetapi cukup serius ini.1,2
Trauma laring dapat berupa trauma tumpul atau trauma tajam akibat luka
sayat, luka tusuk, dan luka tembak. Trauma tumpul pada daerah leher selain dapat
menghancurkan struktur laring juga menyebabkan cidera pada jaringan lunak
seperti otot, saraf, pembuluh darah, dan struktur lainnya. Hal ini sering terjadi
dalam kehidupan sehari-hari, seperti leher terpukul oleh tangkai pompa air, leher
membentur dashboard dalam kecelakaan waktu mobil berhenti tiba-tiba,
tertendang, atau terpukul waktu olahraga beladiri, dicekik, atau usaha bunuh diri
dengan menggantung diri.1,2
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa,
mencegah kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan
menyembuhkan. Seperti kita ketahui, dalam penanganan trauma dikenal primary
survey yang cepat dilanjutkan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya
terapi definitif. Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Pada primary survey
dikenal sistem ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability,
1
Exposure/Environmental control) yang disusun berdasarkan urutan prioritas
penanganan. Jadi prioritas utama penanganan adalah menjamin jalan nafas terjaga
adekuat, oleh karena itu trauma jalan nafas adalah keadaan yang memerlukan
penanganan yang cepat dan efektif untuk menghindari akibat yang tidak
diinginkan.1,3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu
kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan
penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas,
pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu, sehingga dapat
menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.2
2.2 Epidemiologi
Trauma laring jarang ditemukan, hanya terdapat 1 dari 137.000 kunjungan
pasien, 1 dari 14.000-42.000 kasus gawat darurat dan kurang dari 1% dari
keseluruhan kejadian trauma tumpul.2 Jarangnya trauma ini ditemukan
kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di
sekitarnya, misalnya oleh spina servikalis di posterior dan mandibula yang
tergantung di superior dan anteriornya serta oleh mekanisme refleks fleksi dari
leher. Proteksi laring ini lebih besar lagi pada anak-anak dimana laring pada anak-
anak lebih superior dan sifatnya yang masih elastis. Insiden trauma laring pada
pengendara kendaraan bermotor juga semakin berkurang disebabkan oleh karena
penggunaan sabuk pengaman dan pengaman berkemudi lainnya. Kurang dari 50%
dari keseluruhan trauma laring diperkirakan adalah hasil dari trauma krikoid.1,2
Wanita cenderung memiliki leher yang lebih panjang dan jenjang,
membuat mereka lebih rawan untuk terkena trauma laring, khususnya trauma
supraglottik. Namun secara keseluruhan pria lebih sering ditemukan mendapatkan
trauma ini (77%:23 %), hal ini dikarenakan aktivitas yang digeluti kaum pria jauh
lebih berbahaya seperti olahraga ekstrim dan perkelahian. Pada kelompok umur
yang lebih tua, trauma laring sering berkaitan dengan proses penuaan seperti telah
terjadinya kalsifikasi pada tulang-tulang mereka.1,2
2.3 Anatomi
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu
masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di bagian atas, laring
3
membuka ke dalam laringofaring dan bagian bawah bersambung dengan trakea.
Kerangka laring dibentuk oleh beberapa tulang rawan (yaitu: hioid, epiglotis,
tiroid, aritenoid dan krikoid) yang dihubungkan oleh ligamentum dan digerakkan
oleh otot.2,4
Saraf sensorik mukosa laring di atas plika vokalis berasal dari ramus
laringeus internus cabang dari nervus laringeus superior, sedangkan di bawah
plika vokalis disarafi oleh nervus laringeus rekurens. Persarafan motorik ke otot
intrinsik laring melalui nervus laringeus rekurens kecuali untuk m.cricotiroideus
yang dipersarafi oleh nervus laringeus eksternus. Pendarahan laring bagian atas
diperoleh dari ramus laringeus superior dari a.tiroidea superior sedangkan bagian
bawah oleh ramus laringeus inferior dari a.tiroidea inferior.4
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri
dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan
mengandung pita suara. Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (glottis)
bermuara ke dalam trakea dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas
dan bawah. Glottis merupakan pemisah antara saluran pernafasan atas dan bawah.
Meskipun laring dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya sebagai
organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring ke atas,
penutupan glottis, dan fungsi seperti pintu dari epiglottis yang berbentuk daun
pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk
ke dalam esophagus. Jika benda asing masih mampu masuk melampaui glottis,
fungsi batuk yang dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret
keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.1,2,4
Gambar 2.1 Anatomi Laring1
4
Laring dilindungi dengan baik oleh mandibula, sternum, dan mekanisme
fleksi dari leher. Fungsi primer dari laring adalah sebagai jalan nafas, melindungi
saluran pernafasan di bawahnya, dan memproduksi suara. Laring dapat dibagi
menjadi 3 area : supraglottis, glottis and subglottis. Sebagai penyangganya adalah
os hyoid, kartilago tiroid, dan kartilago krikoid. Supraglottis adalah area yang
paling tidak bergantung pada penyangga eksternal, dan mengandung sebagian
besar jaringan lunak dan mukosa. Glottis sangat bergantung pada penyangga
eksternal dan dengan koordinasi mobilitas krikoaritenoid dan aktifitas
neuromuskular mengatur jalan nafas dan memproduksi fonasi. Pada orang
dewasa, jalan nafas mengalami penyempitan di daerah glottis. Oleh karena itu,
trauma yang terjadi di area ini dapat berimbas paling buruk untuk usaha
mempertahankan jalan nafas. Subglottis disangga hanya oleh kartilago sirkuler
pada laring, yaitu krikoid, yang merupakan area tersempit dalam jalan nafas bayi
dan anak-anak.1,2,4
Gambar 2.2 Pembagian area laring menjadi area supraglottis, glottis,
dan subglottis2
2.4 Patofisiologi
Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak,
trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring
akibat trauma tumpul semakin menurun karena perkembangan yang maju pada
sistem pengaman kendaraan (automobile safety). Sementara itu angka
kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga persentase kejadian trauma
5
tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan
jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.1,2,3
Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau
trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu
sebagai berikut:
Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini
berisi trakea dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus
brakiosefalika, arteri subklavia, arteri karotis komunis, trunkus tiroservikal
dan vena-venanya, duktus torasikus, kelenjar tiroid dan medula spinalis.
Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula.
Zona ini berisi arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna,
vena jugularis interna, laring, hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula
spinalis.
Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang
berisi arteri karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus
kranialis dan medula spinalis.1,3
Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya.
Pada setiap cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan
pada tulang, secara khusus, dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.2
2.4.1 Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan
cenderung menciderai laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas
bawah. Daerah yang terkena akan menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut
yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang terkena.1,2
2.4.2 Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering
disebabkan oleh hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau
trauma benturan pada dada. Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang
kemudian membentur kemudi, handle bars atau dashboard. Trauma tumpul lebih
sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana korban terhimpit
6
di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan terhimpit di
antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.1,2
Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan
laring, sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan
robekan trakea atau laring. Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena
trakea tertekan di antara manubrium dan kolumna vertebralis. Trauma tumpul
pada dada dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea pars membranosa atau
bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina.2,3
Gambar 2.3 Mekanisme trauma tumpul1
Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada
trauma akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan
mengakibatkan tekanan intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan
robekan pada bagian membran trakea. Robekan ini terjadi akibat diameter
transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga terjadi akibat robekan
diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru yang
mendadak.1,2,3
2.4.3 Trauma Tajam
Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang
paling banyak akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai
adalah belati, pisau clurit, pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka
kejadian trauma tajam semakin meningkat dan penyebab utamanya relatif lebih
banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk.1,3
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran
nafas, trakea merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat
luka tusukan. Laring yang mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran
7
nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian lagi adalah trakea pars servikalis.
Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini biasanya disebabkan
oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.1,3
2.4.4 Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan
gangguan kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat
diakibatkan oleh intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun
karena balon yang menekan mukosa terlalu lama sehingga menjadi nekrosis.
Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena inflasi balon yang berlebihan
walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah. Trauma yang
disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang
mengalami trauma saat trakeostomi.1,2
Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan
pada kelompok usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam
menggunakan benda-benda berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila
didapatkan pada usia dewasa, biasanya ditemukan pada kasus-kasus percobaan
bunuh diri dengan menelan larutan alkali ataupun hidrokarbon.1,2
2.5 Diagnosis
Trauma jalan nafas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi
tergantung mekanisme traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam
mendiagnosis trauma laring adalah mekanisme cidera dan harus waspada terhadap
tanda seperti kontusio lokal, emfisema subkutis, perubahan suara (seperti stridor
inspirasi / hoarseness), distress pernafasan dan hemoptisis.3
2.5.1 Gejala Klinis
Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah
sesak nafas. Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada),
sianosis, gangguan suara juga merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah
ke perlukaan jalan nafas. Tanda lain yang dapat ditemukan pada pasien dengan
trauma laring adalah adanya kebocoran udara atau suara mendesis pada tempat
trauma. Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di tempat
luka, sedangkan pada trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang
mengembang pada saat batuk.1,3
8
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat
hantaman benda tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka
dan penonjolan tulang, hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi,
diskontinuitas, nyeri tekan pada daerah laring, emfisema subkutis maupun
emfisema mediastinum jika cidera lebih ke distal.2
Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cidera yang menentukan
indikasi operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis
walaupun ringan memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang
dapat dibagi menjadi 5 grup, sebagai berikut :
Grup I : Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur
Grup II : Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada
expose
tulang rawan, fraktur nondisplaced.
Grup III : Edema berat robekan mukosa dengan expose tulang rawan.
Fraktur displaced pada CT Scan.
Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak
beraturan.
Grup V : Terputusnya laring komplit.1,2
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma
leher yang mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma
tumpul ataupun yang sudah terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat
terlihat adanya bayangan udara terperangkap di prevertebra dan leher bagian
dalam atau peninggian/elevasi tulang hyoid pada kasus separasi krikotrakea.1,3
Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan
letak luka, luas luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT
guna menjamin jalan nafas. Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma
tembus. Tindakan panendoscopy dan arteriografi disarankan dilakukan pada
trauma tembus leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan tersebut di atas
selain efektif juga sensitifitasnya tinggi untuk menghindari eksplorasi yang
berlebihan.1,2,3
9
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras,
computed tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan
telah berperan banyak dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu
menurunkan angka eksplorasi bedah karena mampu mendeteksi lebih rinci dan
non invasif. CT diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan trauma laring hanya
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya
menunjukkan satu gejala/tanda. CT mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan
midline displaced yang minimal namun berpengaruh dalam pembentukan fonasi.
Hal ini sangat menguntungkan pasien karena jika tidak terdeteksi akan
menyebabkan gangguan fonasi jangka panjang. CT kurang berguna pada kasus
dengan indikasi pembedahan seperti pada kartilago yang terekspose atau
displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.1,2
2.6 Penatalaksanaan
Kewaspadaan terhadap trauma laring pada trauma leher oleh tenaga medis
atau paramedis harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada
trauma laring, luka atau jejas pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan
seksama. Pada prinsipnya, penatalaksanaan trauma harus sistematis dimulai dari
penilaian dan pengamanan jalan nafas agar tetap adekuat.1,2
2.6.1 Manajemen Jalan Nafas
a. Trakeostomi
Trakeostomi adalah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke
trakea untuk mengatasi asfiksi apabila ada gangguan pertukaran udara pernapasan.
Trakeostomi diindikasikan untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas,
melindungi trakea serta cabang-cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya
discharge bronkus, serta penanganan terhadap penyakit (keadaan) yang
mengakibatkan insufisiensi respirasi.5,6
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan
saluran nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus
dilakukan adalah trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai
balon, sehingga tidak terjadi aspirasi darah. Pada trauma tumpul, tindakan
pengamanan jalan nafas dengan trakeostomi lebih cenderung dipilih dibanding
dengan orotracheal tube maupun krikotiroidotomi. Tindakan trakeostomi akan
10
menurunkan jumlah udara residu anatomis paru hingga 50 persennya. Sehingga,
pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk bernafas dan
meningkatkan ventilasi alveolar. Menurut lamanya pemasangan, trakeostomi
dibagi menjadi:
1. Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan trakeostomi permanen.
Kartilage trakea diarahkan ke permukaan kulit dan dilekatkan pada
leher. Rigiditas cartilage mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga
tidak diperlukan trakeostomy tube (canule).
2. Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan trakeostomi
temporer. Trakea dan jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat
obstruksi. Digunakan trakeostomi tube (canule) terbuat dari metal atau
Non metal (terutama pada penderita yang sedang mendapat radiasi dan
selama pelaksanaan MRI scanning).1,5,6
Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan
mengikat pembuluh darah yang cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan
yang robek. Indikasi untuk melakukan eksplorasi ialah :
a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
b. Emfisema subkutis yang progresif.
c. Laserasi mukosa yang luas.
d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
e. Paralisis bilateral pita suara.5
b. Montgomery T-Tube
Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan khususnya
dalam pembedahan di bagian kepala dan leher. T-tube awalnya diperkenalkan
pada pertengahan tahun 1960 dan digunakan untuk menyokong trakea setelah
tindakan laryngotracheoplasty. Alat ini memiliki 2 cabang, cabang utama yang
lebih panjang dimasukkan dalam trakea, sedangkan cabang yang lebih pendek
diproyeksi melalui stoma trakeostomi. Saat ini, T-tube dipergunakan pada pasien
dengan cidera trakeal akut, penyokong trakea pasca rekonstruksi, maupun sebagai
pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Diameter eksternal T-
tube berukuran mulai dari 4,5 – 16 mm, sedangkan diameter internal dan
11
ketebalannya bervariasi. Alat ini terbuat dari bahan silicon sehingga dapat
mengurangi pembentukan mucus yang berlebihan.7,8,9
Gambar 2.4 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube.
(B) Montgomery T-tube.7
Setelah pemasangan dilaksanakan, edukasi terhadap pasien dan keluarga
harus diperhatikan terutama mengenai perawatan T-tube untuk mencegah
terjadinya komplikasi. Salah satu langkah sederhana dalam perawatan T-tube
adalah dengan melakukan irigasi mempergunakan 2-3 ml larutan normal saline 2-
3 kali sehari serta menjaga bagian eksternal dari T-tube tetap bersih. Nebulizer
dengan acetylcysteine 10% atau albuterol dapat diberikan 3 kali sehari untuk
membantu menekan produksi sekret serta membantu mengencerkan sekret yang
sudah terbentuk sehingga lebih mudah dikeluarkan. Beberapa keuntungan yang
diperoleh dengan pemasangan T-tube dibandingkan dengan trakeostomi dapat
dilihat pada table berikut: 7,8
Tabel 2.1 Perbedaan T-tube dan trakeostomi.9
12
Penggunaan Montgomery T-tube masih terbilang jarang. Bahkan tidak
sedikit anestesiologis kesulitan dalam hal manajemen general anestesi pada pasien
dengan operasi laring yang mempergunakan T-tube. Metode standar dalam
pemasangan T-tube adalah dengan mempergunakan curved haemostatic forceps
dan diletakkan intratrakeal melalui trakeostomi. Kesalahan dalam meletakkan atau
memasang T-tube dapat mengakibatkan hilangnya kontrol terhadap jalan nafas
pasien. Pada kasus tersebut, T-tube harus dilepaskan dan dipasang ulang dengan
seksama di posisi yang tepat.7,8,9
c. Laryngeal Mask Airway (LMA)
Laryngeal mask airway (LMA) atau dikenal pula dengan sebutan sungkup
laring, merupakan suatu alat untuk membantu jalan napas yang terdiri atas pipa
besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembangkempiskan seperti balon pada pipa trakhea. Tangkai pipa LMA dapat
berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya
lubang tetap paten. Terdapat 2 jenis LMA yang dapat dipergunakan, yaitu:
1. LMA standar dengan satu pipa napas.
2. LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa
tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.10
Gambar 2.5 Laryngeal mask airway (LMA)9
LMA dipergunakan selama operasi trauma laring yang sedang berlangsung
untuk menjaga jalan napas pasien tetap adekuat. LMA dikenal karena kemudahan
dalam pemasangannya serta kemungkinan terjadinya trauma trakea sangat rendah.
Dibandingkan dengan endotrakeal tube (ETT), LMA memiliki beberapa
13
keuntungan, yaitu dapat mengurangi insiden spasme laring, batuk-batuk, serta
suara serak pasca operasi.10
Pemilihan ukuran LMA sangat penting untuk diperhatikan mengingat
perbedaan dari sisi anatomis pada pasien anak-anak dan dewasa. Berikut adalah
tabel pemilihan ukuran LMA berdasarkan usia dan estimasi berat badan:
Ukuran Usia Berat badan (kg)
1.0 Neonatus < 3
1.3 Bayi 3 – 10
2.0 Anak kecil 10-20
2.3 Anak 20 – 30
3.0 Dewasa kecil 30 – 40
4.0 Dewasa normal 40 – 60
5.0 Dewasa besar > 60
Penggunaan LMA sebelum pemasangan Montgomery T-tube dapat menjadi
solusi bagi anestesiologis untuk tetap menjaga jalan nafas pasien tetap adekuat
selama proses pemasangan berlangsung. Selain itu, manajemen jalan nafas dengan
LMA tidak mengganggu proses rekonstruksi. Sehingga, meskipun dalam proses
pemasangan T-tube terjadi kesulitan ataupun keterlambatan (delay), keselamatan
pasien tidak terancam.1,10
2.6.2 Terapi Bedah
Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur
endoskopik dan radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam
merencanakan sebuah eksplorasi daerah leher. Bila jalan nafas mengalami
sumbatan, trakeostomi harus dilakukan dalam keadaan pasien sadar dan
menggunakan anastesi lokal dengan efek sedasi ringan. Biasanya, insisi trakeal
dibuat pada posisi di bawah trakeostomi standar. Insisi di bawah cincin ketiga dan
keempat lebih disukai untuk menolong pasien dengan trauma laring. Karena pada
posisi ini, membantu mencegah trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai
laring.1,2
Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi
membran krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang
hyoid di superior dan ke krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu
memperlihatkan cidera pada saraf, vaskular dan organ isceral. Otot-otot
dipisahkan di miline dan retraksi ke lateral agar tulang dapat di lihat dengan baik.
14
Pada titik ini, dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa fraktur pada kartilago
laring yang terlihat.2,3
Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cideranya. Bisa dengan
midline tirotomi, ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid.
Bila kartilago tiroid telah terbuka, mukosa endolaring kemudian dipotong tajam.
Pemeriksaan endolaring kemudian dapat dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid
dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan mobilitasnya. Kord vokalis di perbaiki
menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0. Menyambung kembali
kommissura anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas suara.1,2,3
Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan
memperbaiki laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk
meminimalisir fibrosis dan mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup,
maka dapat dipergunakan kulit atau membran mukosa sebagai graft.1
2.6.3 Terapi Medikamentosa Lainnya
Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif
dan harus diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Pemberian
kortikosteroid mempunyai tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan
timbulnya edema laring pada fase akut. Jika edema jalan nafas cukup berat, dapat
diberikan dosis 1-20mg/kg BB bolus intravena. Pemberian kortikosteroid juga
bertujuan untuk mengurangi atau mencegah penambahan edema yang terjadi
akibat manipulasi saat operasi.1,2,3
Penggunaan antibiotik tidak begitu penting pada trauma ringan dimana
fraktur kartilago dan robekan mukosa tidak dapat diidentifikasi. Namun, begitu
robekan mukosa dapat divisualisasi, antibiotik sistemik harus digunakan untuk
mengurangi resiko infeksi lokal dan perikondritis yang bisa memperlambat
penyembuhan dan menyebabkan stenosis jalan nafas. Penggunaan obat-obatan
anti refluks sepeti antagonis reseptor H-2 dan PPI, dapat membantu mengurangi
jaringan granulasi dan stenosis trakea.1,2
15
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
1. Nama : Nyoman Sutariana
2. Umur : 19 tahun
3. JenisKelamin : Laki-laki
4. Pekerjaan : Tidak bekerja
5. Suku : Bali
6. Agama : Hindu
7. Alamat : Selemandeg, Tabanan
8. Status : Belum menikah
9. No. CM : 01494691
10. Diagnosis Bedah : Trauma Laring Zona III
11. Tindakan : Laringoplasty dan Pemasangan T-Tube
12. MRS : 01/06/2012
3.2 Status Pasien
3.2.1 Anamnesis
Anamnesis Khusus :
Pasien post trauma laring zona III pada 8 bulan lalu saat percobaan gantung
diri, post trakeostomy.
Anamnesis umum :
Riwayat penyakit sistemik disangkal.
Riwayat operasi / anestesi : 1 kali, trakeostomy
Riwayat penyakit alergi / asma tidak ada.
3.2.2 Status present
1. Kesadaran : GCS E4V5M6
2. Tekanan darah : 110/70 mmHg.
3. Nadi : 88 kali / menit.
4. Respirasi : 16 kali / menit melalui trakeostoma kanul logam
5. Status gizi : Normal (BB : 70 kg, TB : 170 cm, BMI 24 kg/m2)
16
3.2.3 Pemeriksaan fisik
1. Sistem saraf pusat : Normal ( compos mentis )
2. Respirasi : Normal ( 16x/mnt,vesic +/+,wh -/-, rh -/-,
trakeostoma terawat )
3. Sirkulasi : Normal ( T: 110/70 mmHg, N : 88x/mnt, S1S2
reg,murmur (-) )
4. Saluran Cerna : Normal
5. Ginjal : Normal
6. Metabolik : Normal
7. Hematologi : Normal
8. Otot Rangka : Malampati 2, fleksi dan defleksi normal, gigi
geligi utuh
Trakeostoma dengan kanul logam, terawat baik dan berfungsi baik.
3.2.4 Pemeriksaan penunjang
1. Hematologi ( 10-05-2012 ):
Leukosit : 11,2.103 / μ L
Hgb : 16,4 g/dL
Hct : 48,5 %
Plt : 371.000
BT : 1’00”
CT : 7’30”
2. Sistem hepatobilier:
AST : 28 IU/L, ALT : 28 IU/L,
Alb : 4,6 g/dl
3. Sistem urogenital:
BUN: 10 mg/dl, SC: 0,71 mg/dl Na; 142 mmol/L K:4,01 mmol/L
4. Endokrin:
Glukosa : 98 mg/dl
Thorax foto : cor/pulmo normal
3.3 Persiapan Pra-Anestesia
3.3.1 Persiapan di ruangan/bangsal
Informed consent tentang rencana operasi, rencana anestesi yang dipilih.
17
Surat perjanjian operasi yang di tanda tangani oleh suami penderita.
Persiapan fisik : penderita telah puasa makanan padat 8 jam (mulai pukul
24.00 wita sampai acara operasi), penderita masih boleh minum air putih
sampai pukul 06.00 Wita (07-06-2012).
Penderita telah melakukan persiapan fisik rutin seperti melepas
assesoris, mengenakan pakaian untuk kamar operasi pada pagi hari serta
berdoa.
3.3.2 Persiapan di ruang persiapan OK IBS
Periksa kembali identitas pasien dan surat persetujuan operasi.
Menanyakan kembali persiapan yang sudah dilakukan di bangsal.
Pasang infus dengan abocath G18 dan cairan Ringer Laktat 25 tetes /mnt.
Memberikan obat premedikasi:
1. Midazolam 2 mg intra vena
2. Ketorolac 30 mg intra vena
3.3.3 Persiapan di kamar operasi
Persiapan mesin anestesi.
Persiapan obat dan alat anestesia – analgesia.
Persiapan obat dan alat resusitasi.
Pindahkan pasien ke meja operasi.
Pasang monitor / alat pantau (ECG, Tensimeter, Pulse Oksimetri).
Pasien disimpulkan: Status fisik ASA I
3.4 Pengelolaan Anestesia
1. JenisAnestesi : AnestesiUmum
2. Teknik Anestesi : Anestesi Umum inhalasi pemasangan pipa
endotrakeal melalui trakeostoma, nafas assisted.
Penderita tidur telentang dengan kepala diganjal bantal.
Berikan preoksigensi O2 8 liter/menit selama 5 menit
sambil memberikan ko-induksi Fentanyl 50 gr secara perlahan-
lahan.
Dilakukan penggantian kanul dari logam menjadi kanul
plastik.
Induksi dengan propofol 200 mg pukul 9.30 WITA.
18
Di dalamkan dengan Sevoflurane.
Respirasi assited-spontan.
Setelah pasien tertidur dalam, dilakukan pemasangan pipa
endotrakeal non kinking masuk melalui trakeostoma.
Pemeliharaan N2O : O2 : Sevoflurane = (2 L/mnt : 2L/mnt
: 1-1,5 Vol %)
Setelah eksplorasi dan rekonstruksi trakea selesai, pasien,
pipa endotrakeal dilepas dan di pasang T-Tube yang telah
disambungkan ETT kinking no 6 pada bagian eksternal tube, dan
bagian proximal tube di klem, sehingga ventilasi masih tetap
dapatdiberikan.
Sementara laring di tutup kembali, LMA no 4 dipasang
untuk persiapan ventilasi dari laring proximal.
Saat jahitan sudah akan menutup semua, klem T-Tube
proximal dilepas, ETT di bagian eksternal T-Tube dilepas, dan
lubangnya di tutup, ventilasi diambil alih melalui LMA sampai
operasi selesai.
Setelah operasi selesai, pasien di bangunkan, dan
ekstubasi sadar.
3. Pukul 12.40 WITA
Aldrette Skor 9, TD 110/70 mmHg, N 64 x/mnt, Sat O2 100 %.
Pasien dipindahkan ke Recovery Room.
4. Rekapitulasicairan : BB 70 kg
Kebutuhan cairan per jam = (40 ml/kgBB x 70 kg) / 24 jam = 83
ml/jam
Defisit cairan puasa 3 jam (pukul 06.00 – 9.00) = 3 x 83 = 332 ml
Evaporasi bedah besar (2 ml/kgBB/jam x 70 kg) = 140 ml/jam
Perdarahan durante operasi minimal.
Perhitungan kebutuhan cairan durante operasi
Jam I (10.00 – 11.00) = 449 ml untuk defisit puasa
Jam II (11.00 – 12.00) = 336 ml
Jam III (12.00 – 13.00) = 336 ml
19
Jam IV (13.00 – 14.00) = 333 ml
Perdarahan = (-)
Total kebutuhan cairan s/d pukul 14.00 = 1404 ml
Jumlah cairan masuk s/d pukul 14.00 = 1700 ml
(Kristaloid 1700 ml)
5. Jumlah Medikasi :
Midazolam 2mg
Ketorolac 30 mg
Ondancetron 4 mg
Fentanyl 100 mg
Propofol 200 mg
Dexametason 10 mg
Difenhidramin 10 mg
Untuk anelgesia post operasi diberikan bolus Ketorolac 3x30 mg, oral
Tramadol 3x50 mg, dan Paracetamol 4x500 mg. Pasien dipastikan sadar baik dan
bernafas adekuat, jalan nafas dipastikan sudah bersih. Pasien di pindahkan ke
ruang pemulihan.
3.5 Pasca Anestesi
3.5.1 Di ruang pemulihan (pkl 14.30 – 15.00)
Pukul Tekanan Darah Nadi
14.30 120 / 70 72
14.40 120 / 70 75
14.50 120 / 70 70
15.00 130 / 70 70
3.5.2 Di ruangan
Bila mual / muntah : ondansetron 4 mg I.V.
Makan / minum : bebas setelah sadar baik.
Infus : Ringer lactat 25 tetes / menit.
Evaluasi jalan nafas, tekanan darah, nadi, respirasi, nyeri dan keluhan
lainnya.
20
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki, usia 19 tahun, suku Bali datang dengan riwayat trakeostomi
setelah mengalami trauma laring 8 bulan yang lalu akibat percobaan bunuh diri.
Saat ini pasien telah melakukan operasi laryngoplasty dan pemasangan
Montgomery T-tube.
Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma inhalasi, trauma tajam, trauma
tumpul, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Penyebab lain trauma laring
adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan kejiwaan atau pada pasien
dengan stress berat. Pada pasien ini, trauma laring disebabkan oleh percobaan
bunuh diri yang dilakukan sekitar 8 bulan yang lalu.
Terdapat 3 zona pada trauma laring yang diklasifikasikan terutama
berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya. Pasien ini didiagnosis dengan
trauma laring zona III, sehingga daerah yang mengalami trauma adalah daerah
dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri karotis, arteri
vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan medula spinalis.
Pasca trauma laring, trakeostomi dilakukan pada pasien untuk menangani
dan mengamankan jalan nafas pasien agar tetap adekuat. Pada pasien ini,
rekonstruksi dan eksplorasi laring dilaksanakan setelah dilakukan trakeostomi.
Sesuai dengan indikasi, sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi dapat
dilanjutkan dengan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh darah yang
cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek.
Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan pada pasien
dengan cidera trakeal akut, sebagai penyokong trakea pasca rekonstruksi, maupun
sebagai pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Tujuan utama
pemasangan T-tube adalah untuk menjaga dan mempertahankan jalan nafas yang
adekuat pada pasien dengan trauma laring. Pada pasien ini, pemasangan
Montgomery T-tube dilakukan setelah rekonstruksi dan eksplorasi laring telah
selesai dilaksanakan sehingga ventilasi dapat diberikan melalui tube tersebut.
21
Pemasangan T-tube pada pasien ini disertai dengan penggunaan LMA untuk
mengambil alih ventilasi selama proses pemasangan berlangsung. Menurut teori,
penggunaan LMA tidak mengganggu proses rekonstruksi laring. Sehingga,
meskipun dalam proses pemasangan T-tube terjadi kesulitan ataupun
keterlambatan (delay), keselamatan pasien tidak terancam akibat gangguan jalan
nafas. Pemilihan LMA selain berdasarkan usia juga dapat dipengaruhi oleh berat
badan. Pasien ini mempergunakan LMA no 4 sesuai dengan usia pasien, namun
dengan berat badan yang mencapai 70 kg dapat dipertimbangkan pula pemakaian
LMA no 5 sesuai dengan teori.
22
BAB V
KESIMPULAN
Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu
kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan
penyebab lainnya. Trauma laring merupakan keadaan yang jarang ditemukan, hal
ini kemungkinan berkaitan dengan struktur laring yang terlindungi oleh organ di
sekitarnya.
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sfingter pelindung pada pintu
masuk jalan nafas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Trauma laring dapat
disebabkan oleh trauma inhalasi, trauma tumpul, trauma tajam, maupeun
penyebab lain misalnya akibat agen kaustik dan trauma intubasi. Tanda dan gejala
trauma laring dapat bervariasi sesuai dengan penyebabnya serta mekanisme
trauma. Tanda dan gejala yang dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring
adalah sesak nafas, batuk, batuk darah, sianosis, dan gangguan suara. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilaksanakan adalah pemeriksaan radiologi, bronkoskopi,
CT Scan, dan MRI.
Penatalaksanaan yang paling utama pada trauma laring adalah manajemen
jalan nafas. Trakeostomi dan penggunaan Montgomery T-tube merupakan
tindakan yang dapat dilaksanakan pada pasien dengan trauma laring. Penggunaan
Laryngeal Mask Airway (LMA) selama tindakan operasi dapat memberikan
keuntungan dalam menjaga jalan napas tetap adekuat tanpa mengganggu proses
pembedahan. LMA juga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya trauma trakea
bila dibandingkan dengan penggunan endotrakeal tube (ETT).
Selain manajemen jalan napas, penatalaksanaan trauma laring dapat berupa
terapi pembedahan dan terapi medikamentosa lainnya. Eksplorasi dan
rekonstruksi laring dilaksanakan berdasarkan informasi yang diperoleh melalui
anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur endoskopik dan radiologi. Sedangkan
medikamentosa yang dapat diberikan pada pasien dengan trauma laring adalah
kortikosteroid dan antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi lokal.
23