TRANSFORMASI BUDAYA
Transcript of TRANSFORMASI BUDAYA
TRANSFORMASI BUDAYA: UPACARA ADAT TOTOKNG
DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh:
Hendrikus Kurniawan
NIM: 044314001
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
iv
MOTTO
“Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?”
Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada”
(Paulo Cuelho, dalam Sang Alkhemis).
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Sebuah kado kecil ini aku persembahkan kepada:
Papaku:
Y.V. Madarius
Mamaku:
Yulita Krisnah
Adik-adiku:
Rosalina (Almarhum)
Netty Widiastuty
Winarsih Ratna Sari
Irma suryani
Della Ratu
“Terima kasih atas kasih sayang, dorongan, nasihat, motivasi
dan doanya Tuhan Yesus Memberkati, Aleluya Amin…”
Cahaya Hatiku:
Paulina Rete
“Ma’ Kasih atas kasih sayangmu yang begitu dalam padaku,
sehingga membuat hidup ini menjadi lebih bermakna, bagi
mewujudkan cita-cita ini...”
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali seperti yang telah disebutkan
dalam kutipan, catatan kaki dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya-
karya ilmiah.
Yogyakarta, 25 Juni 2010
Penulis,
Hendrikus Kurniawan
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Hendrikus Kurniawan
Nomor Mahasiswa : 044314001
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: TRANSFORMASI BUDAYA : UPACARA ADAT TOTOKNG DALAM MASYARAKAT DAYAK KANAYATN. Beserta perangkat yang perlu (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 13 Juli 2010 Yang menyatakan Hendrikus Kurniawan
vii
ABSTRAK
Hendrikus Kurniawan UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam Masyarakat Dayak Kanayatn”, ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan budaya Dayak Kanayatn yang dari hari ke hari semakin dilupakan dan bahkan hampir punah. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan awal kemunculan Upacara Adat Totokng, dinamika, makna atau simbol dan sejauh mana fungsinya bagi masyarakat Dayak Kanayatn. Lebih dari itu, untuk mencari kausalitas munculnya ketegangan budaya sebagai bentuk transformasi budaya dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Secara khusus, penelitian ini menggunakan sumber lisan atau metode wawancara. Selanjutnya, sebagai data-data pendukung menggunakan sumber tertulis seperti buku, laporan penelitian dan majalah. Sementara dalam upaya untuk memahami masyarakat Kanayatn dan Upacara Adat Totokng menggunakan teori Emile Durkheim tentang pilar-pilar utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred (yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas. Sedangkan, untuk melihat simbol-simbol dalam Upacara Adat Totokng menggunakan metode thick description atau anthropology interpretative milik Clifford Geertz. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, upacara adat totokng merupakan bentuk wujud masyarakat Dayak Kanayatn untuk mengaktualisasi diri kepada adat istiadat, leluhur dan Sang Penciptanya Jubata (Tuhan). Upacara Adat totokng melambangkan sikap “pertobatan” si pengayau”, sebagai upaya memperoleh jalan keselamatan. Selain itu, dengan melaksanakan Upacara Adat Totokng diyakini akan mendatangkan berkah, terutama di bidang pertanian serta untuk menghindari berbagai musibah. Namun demikian dalam perkembangannya, Upacara Adat Totokng telah mengalami transformasi budaya yang signifikan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan munculnya transformasi budaya dalam Upacara Adat Totokng yaitu; Perjanjian Tumbang Anoi 1894, Masuknya Ajaran Agama Katolik dan Modernisasi Upacara Adat Totokng. Kata kunci: Upacara Adat Totokng, masyarakat Dayak Kanayatn dan
Transformasi budaya.
viii
ABSTRACT
Hendrikus Kurniawan SANATA DHARMA UNIVERSITY
YOGYAKARTA
Researching which tittled “Culture Transformation: Upacara Adat Totokng in Dayak Kanayatn Society”, emerged from concerning of Dayak Kanayatn’s culture which abandoned day by day and no longer existed. This research aimed to describe the appear of Upacara Adat Totokng, the dynamics, the meaning or symbol and the founction of Upacara Adat Totokng for the Dayak Kanayatn society. More than that to find the causality the emerge of culture tension as a form of culture transformation in Dayak Kanayatn society.
This research used interview methods. The supporting data used written sources such as book, research report and magazine. Meanwhile in understanding Kanayatn society and Upacara Adat Totokng used Emile Durkheim’s theory about main pilars supporting society which combined internaly. They were the sacred, clarification, ritus and solidarity. On the other hand to figure out the symbols in Upacara Adat Totokng used thick description method or anthropology intepretative by Clifford Geertz.
The results of the research showed that Upacara Adat Totokng was a form of Dayak Kanayatn society to actualize themselves to their ancestors, culture and God. Upacara Adat Totokng symbolized repented of “si pengayau” as a way to get safety. The process of doing Upacara Adat Totokng believed could give blessing, especially in farming and avoided many kinds of disaster. In the development, Upacara Adat Totokng had been experienced culture transformation which were significance. At least there were three things which emerged culture transformation in Upacara Adat Totokng. There were: Tumbang Anoi agreement in 1894, the enter of Catholic doctrine and the modernization of Upacara Adat Totokng. Key words: Upacara Adat Totokng, Dayak Kanayatn society and culture
transformation.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kasih atas berkat dan bimbingan
tangannya kasihNya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi
yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng Dalam
Masyarakat Dayak Kanayatn”.
Tersusunya skripsi ini tidak terlepas dari campuran tangan dan bantuan
dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas semua
bantuannya penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Pada
kesempatan ini penulis dengan penuh ketulusan hati menghaturkan limpah terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku Dekan Fakultas Sastra.
2. Bapak Drs. Hb. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu
Sejarah.
3. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno M. Hum., selaku dosen
pembimbing yang telah perhatian dan meluangkan waktunya dengan sabar
membimbing, mengarahkan, memberi masukan, sehingga penulisan ini
dapat terselesaikan.
4. Dosen-dosen pembimbing akademik seperti bapak Prof. P.J. Soewarno,
S.H. (almarhum), bapak Dr. St. Sunardi, Romo Dr. FX Baskara T.
Wardaya SJ, Romo Dr. G. Budi Subanar SJ, bapak Dr. Anton Haryono M.
Hum., Drs. H. Purwanta M. A., Ibu Dra. Lucia Juningsih M. Hum., dan
bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, yang berkenan menjadi pengajar dan
x
membimbing kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi
mahasiswa di Universitas Sanata Dharma.
5. Karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma kerja
sama yang diberikan kepada penulis penyelesaian skripsi ini.
6. Para-para Informan antara lain, Bapak Maniamas Midden (Mantan Aktivis
Institut Dayakology), Bapak Amuk Jolak (Kepala Adat Binua Satolo,
Menyuke) dan Pastor Yeremias Ofm. Cap (biarawan), yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya.
7. Bruder Bram, MTB, selaku pimpinan Kongregasi Maria Tak Bernoda
(MTB) yang selalu memberikan nasihat, dorongan dan motivasi.
8. Bapak Jhon Bamba, selaku Direktur utama Lembaga Penelitian Institut
Dayakology (ID) yang dengan senang hati memberikan ijin untuk
melakukan penelitian.
9. Kepada keluarga besarku di Darit, Jabeng, Kayuara, Mamek, Bengkayang,
dan di Pontianak. Terima kasih atas tempat tumpangan selama melakukan
penelitian di lapangan dan berserta nasihat-nasihatnya yang membangun.
Tarima kasih manyak boh…(Terima kasih banyak ya…)
10. Bapak Lambertus Rete dan sekeluarga, terima kasih atas dorongan,
motivasi dan nasihat-nasihatnya yang membangun. Terima Kasih banyak
ya…Tuhan Yesus Memberkati. AMIN….
11. Rekan-rekan seperjuangan 2004, The Best My Friend (Gusse, Darwin,
Bay), Anon (Semaun), Mexez dan Maria. Rekan-rekan 05, 06, 07, 08 dan
xi
09. Tetap semangat dan jangan pernah menyerah, bangkitkan terus
jurusan Ilmu Sejarah. “VIVA HISTORY”.
12. Sahabat-sahabatku, Anggoro, Budi, Ibet, Hanu, Tri, Theo Sigit (Dorce
Gama Baru), Alek, Doni, Sedo, Petrus, Ucilo, Denny (Joshua), Jezz
Castro, Bene, Bosse, Ade Bayor, Mukry, Boncel, Niko, kak Githa, kak
Nina, Monik, Vina Rete dan masih banyak lagi yang lainnya.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna karena
terbatasanya data-data yang diperoleh. Oleh karena itu, penulis dengan senang
hati dan penuh keterbukaan, mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut.
Yogyakarta, 25 Juni 2010
Penulis,
Hendrikus Kurniawan
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………….. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………. iii
HALAMAN MOTTO………………………………………………………….. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………………. …. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA……………………………………....... vi
ABSTRAK……………………………………………………………………… vii
ABSTRACT……………………………………………………………………. vii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….. ix
DAFTAR ISI………………………………………………………………... … xii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….. …. 1
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………. 8 1.3 Tujuan Penelitian.…………………………………………………….. 8 1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………………. 9 1.5 Tinjauan Pustaka………………………………………………………9 1.6 Landasan Teori………………………………………………………..12 1.7 Metode Penelitian……………………………………………………..14 1.8 Sistematika Penulisan………………………………………………... 16
BAB II MASYARAKAT SUKU DAYAK KANAYATN…………………… 17
2.1 Lokasi Suku Dayak Kanayatn…………………………………………17 2.2 Asal Usul…………………………………………………………… 18 2.2.1 Penciptaan yang dilakukan oleh tiga pribadi Jubata (Tuhan). 18
2.2.2 Alam Semesta Yang Berpusat Pada Pohon Asam Besar………………………………………………………… 19
2.3 Sistem Kepercayaan……………………………………………… 20 2.3.1 Pandangan Terhadap Hidup Manusia……………………… 20 2.3.2 Pandangan Tentang Kematian……………………………… 21
2.4 Sistem Pemerintahan……………………………………………… 23 2.5 Sistem Perekonomian……………………………………………… 24
2.6 Sistem Kekerabatan……………………………………………….. 25
xiii
2.7 Adat Perkawinan..................................................................................26
BAB III UPACARA ADAT TOTOKNG…………………………………… 28
3.1 Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn......…………….................................................................. 29
3.1.1 Tradisi Mengayau …………………………………………. 29 3.1.2 Latar Belakang Adat Mengayau……………………………. 30
3.1.3 Tujuan Mengayau……………............................................... 31 3.2 Prosesi Upacara Adat Totokng……………...................................... 34
3.2.1 Bahaump…………………………………………………… 34 3.2.2 Ngampar Bide……………………………………………… 35
3.2.3 Na’ap Tariu………………………………………………… 36 3.2.4 Pasinyangan………………………………………………… 37 3.2.5 Mare’ Topeng Makatn……………………………………… 38 3.2.6 Ngantat Tariu Pulakng……………………………………… 39 3.2.7 Macah Bantatn……………………………………………… 40 3.2.8 Balamur……………………………………………………… 40 3.2.9 Malutn Bide…………………………………………………. 41 3.2.10 Mulangkatn Kapala Kayo…………………………………… 41 3.3 Simbolisme Upacara Adat Totokng………………………………… 41
BAB IV TRANSFORMASI UPACARA ADAT TOTOKNG………………. 45
4.1 Perjanjian Tumbang Anoi 1894…………………………………. 45 4.2 Pengkristenan Orang Dayak……………………………………… 50 4.2.1 Masuknya Agama Katolik…………………………………. 50 4.2.2 Enkulturasi Budaya………………………………………… 52 4.2.3 Upacara Adat Totokng Dalam Tinjauan Ajaran Katolik….…. 55 4.3 Modernisasi Upacara Adat Totokng………………………………… 56
BAB V FUNSI UPACARA ADAT TOTOKNG BAGI MASYARAKAT
DAYAK KANAYATN……………………………………………… 60
5.1 Konsep Kosmis…………………………………………………… 60 5.2 Penghormatan Kepada Roh Leluhur……………………………… 61
5.3 Melindungi Pertanian……………………………………………… 63 5.4 Membangun Identitas……………………………………………… 64
5.4.1 Pelestarian Tradisi Lisan…………………………………… 64 5.4.2 Upaya Membangun Identitas……………………………… 66
BAB VI PENUTUP………………………………………………………… 68
6.1 Kesimpulan……………………………………………………… 68 6.2 Saran……………………………………………………………… 70
xiv
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 72
LAMPIRAN…………………………………………………………………… 75
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Suku Dayak1 identik dengan masyarakat yang mendiami pulau
Kalimantan, sampai saat ini masih memiliki adat istiadat yang kuat. Secara
kompleks, adat istiadat tersebut sangat mempengaruhi pola pikir atau pandangan
hidup masyarakat suku Dayak dalam setiap kehidupannya. Dalam adat istiadat
tercakup sistem nilai budaya, norma dan hukum. Singkatnya adat istiadat adalah
sistem budaya.2
Sistem budaya yang tercermin dalam adat istiadat masyarakat Dayak
memiliki hubungan yang sangat erat dengan tradisi lisan. Tradisi lisan merupakan
ungkapan ekspresi fisik-mental dalam suatu kebudayaan yang disebarkan secara
lisan dan diwariskan secara turun temurun oleh suatu masyarakat.3 Dengan
1Berdasarkan hasil kesepakatan dalam Seminar Kebudayaan Dayak yang
bertemakan “Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi” antar etnis Dayak se-Kalimantan tahun 1992 di Pontianak, Kalimantan Barat. Maka, secara resmi nama atau istilah “Dayak” mengalami perubahan di mana sebelumnya, Dayak, Dyak, Daya’, kemudian lebih dipertegaskan menjadi “Dayak”. Untuk lebih jelasnya lihat, Jhon Bamba, 2008. Mozaik Dayak Keberagaman Subsuku Dayak Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakology,. hlm. 9-10, Stepanus Djuweng,. Dayak, Dyak, Daya’, Dan Daya (Cermin Kekaburan Sebuah Identitas) dalam Kalimantan Review No.I/Th.I, Januari-Juni, 1992, dan Edi Petebang, 2003. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.
2Paulus Yusnono, 1997. “Peranan Strategis Yang Semestinya Diperankan Dewan Adat” dalam Paulus Florus dkk (ed)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 106.
3Albert Rufinus, 1997. “Tradisi Dalam Tata Upacara Adat Pada Teknologi Pertanian Asli Masyarakat Dayak Kanayatn” dalam Nico Andasputra &
2
demikian, tradisi lisan sangat erat hubungannya dengan cara pandang atau
gagasan dalam menuntun dan menjiwai pedoman kehidupan masyarakat dalam
lingkungan beserta kebudayaannya.
Tradisi lisan juga hidup pada masyarakat Dayak Kanayatn. Adapun jenis-
jenis tradisi lisan yang ditemukan oleh para peneliti lembaga Dayak (Institut
Dayakology) meliputi dua kelompok yaitu: (1) yang bercorak cerita seperti cerita
biasa tales, mitos, legenda, epik; dan (2) yang bukan bercorak cerita seperti
ungkapan, nyanyian, puisi lisan, peraturan/ upacara adat.
1. Bercorak Cerita
a) Singara yaitu jenis cerita rakyat, seperti cerita tentang binatang, pelipur
lara percintaan, dan cerita jenaka.
b) Gesah yaitu cerita yang berhubungan dengan kepercayaan lama,
semisalnya asal usul orang Dayak Bukit (Kanayatn).
c) Osolant yaitu kisah atau tentang asal usul keturunan (sisilah). Osolant dan
Gesah memiliki hubungan yang sangat erat. Sehingga, dalam menjelaskan
tentang asal usul digunakan arti yang sama atau secara bolak-balik oleh
masyarakat.
d) Batimang yaitu cerita yang dibacakan oleh orang tua saat anaknya
beranjak akan tidur.
2. Bercorak Non Cerita
a) Renyah, merupakan sebuah nyanyian atau pantun yang dilantunkan.
Semisalnya, berbentuk sindiran atau berupa nasihat. Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59.
3
b) Murat’an, biasanya berupa doa agar seseorang tidak tertimpa malapetaka.
c) Gawe, merupakan upacara atau pesta ucapan syukur atau menandai awal
suatu kehidupan baru, seperti, naik dango (pasca panen), gawe balak (awal
masa remaja) dan gawe panganten (menempuh hidup baru berkeluarga).
d) Liatn, merupakan upacara asli adat Dayak Kanayatn yang memiliki
kekuatan magis dan sakral. Liatn biasanya berbentuk tarian, doa dan prosa
berirama. Upacara adat ini biasanya dilaksanakan ketika adanya
pengobatan, permohonan niat dan sebagainya.
e) Totokng, merupakan upacara adat besar sebagai penerimaan dan
pemeliharaan kepala hasil mengayau.4
Berdasarkan pengelompokkan di atas, upacara adat totokng tergolong ke
dalam tradisi lisan yang bercorak non cerita. Upacara adat totokng adalah ritual
yang dilakukan oleh nenek moyang suku Dayak pada zaman dahulu setelah
melakukan kegiatan mengayau. Mengayau artinya mencari kepala atau memotong
kepala musuh. Dalam tradisi masyarakat Dayak Lamandau dan Delang di
Kalimantan Tengah, ”mengayau” berasal dari kata “kayau” atau “kayo” yang
artinya mencari. Mengayau artinya mencari kepala; “ngayau” adalah orang yang
mencari kepala. Kata “ngayau”, bisa juga diartikan dengan orang yang mencari
kepala atau memotong kepala musuh.5 Menurut masyarakat Dayak Kanayatn, kata
“mengayau” mempunyai 3 komponen makna. “Kayo” artinya mencari, “ngayo”
4Ibid., hlm. 98-99. Lihat juga Stepanus Djuweng dkk (ed), 2003. Tradisi
Lisan Dayak: Yang Tergusur Dan Terlupakan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59-66.
5Edi Petebang, 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 3.
4
artinya adalah orang yang mengayau, dan “mengayo” adalah kata kerja yang
artinya melakukan praktek kayo.6
Mengayau adalah adat atau ritual yang dilakukan secara khusus sesuai
dengan aturan-aturan adat yang berlaku. Jadi, dalam hal ini mengayau tidak bisa
dilakukan dengan sembarangan. Menurut adat, mengayau sesungguhnya adalah
hukuman yang teramat berat bagi pihak yang “menang”.7 Dalam konteks ini, bagi
pihak yang menang harus membayar adat dengan melaksanakan upacara adat
totokng selama tujuh keturunan. Dengan melaksanakan upacara adat tersebut,
maka pihak si pengayau diyakini akan mendapat semacam pengampunan dari
kepala orang yang di kayau dan dipercaya akan terhindar dari jukat (musibah).8
Namun demikian sejarah kemunculan pengayauan dalam masyarakat
Dayak sebenarnya sampai saat ini belum ada yang mengetahui dengan jelas,
kapan praktek dari kegiatan itu mulai terjadi. Salah satu sumber untuk mengetahui
kapan dimulainya adat mengayau ini dengan merekonstruksi tradisi lisan (cerita
rakyat) orang Dayak, karena adat mengayau terdapat dalam berbagai cerita rakyat
dari berbagai sub-suku Dayak. Menurut tradisi lisan Dayak, adat mengayau sudah
dilakukan jaman purbakala, ketika manusia dengan Tuhannya serta semua
binatang masih dapat saling berkomunikasi (berbicara).9
6Ibid. 7Ibid., hlm. 4. 8Hasil wawancara dengan Maniamas Midden. Tanggal 7 Maret 2009. Di
dusun Saleh, Simpakng Aur, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. 9Edi Petebang., op. cit., hlm. 9.
5
Terkait dengan hal di atas, secara historis dalam tradisi lisan Dayak
Kanayatn, kegiatan adat totokng sejaman atau sama tuanya dengan adat
mengayau. Secara kronologis, kedua ritual adat tersebut memiliki kesinambungan
dan keterkaitan. Upacara adat totokng merupakan perayaan terakhir dari kegiatan
mengayau. Karena setelah berhasil mendapatkan kepala dari si pengayau, maka
upacara ritual adat itu baru bisa dilaksanakan.
Hanya saja, tradisi adat totokng ini menjadi langka setelah pemerintah
Kolonial Hindia Belanda membuat kesepakatan damai atau yang lebih dikenal
dengan “Perjanjian Tumbang Anoi”, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Januari
1894 sampai dengan 30 Maret 1894 di rumah Damang Bahtu, Lovu kampung
Tumbang Anoi (Kalimantan Tengah). Perjanjian damai itu dihadiri hampir
seluruh pemuka adat suku Dayak di Borneo (Kalimantan). Dalam pertemuan
tersebut, seluruh para pemuka adat Dayak sepakat tidak lagi saling mengayau.10
Kesepakatan damai tersebut tidak begitu saja ditaati, bahkan tetap saja
berlanjut sampai dengan tahun 1930-an. Di mana sekitar 1930-an, kegiatan
mengayau masih berlaku dalam masyarakat Dayak Punan (Kapuas Hulu-
Kalimantan Barat), Dayak Iban (Sarawak-Malaysia) dan Dayak Lamandau
(Kalimantan Tengah).11 Namun, setidaknya melalui kesepakatan damai tersebut
membuat kegiatan pengayauan antar sub-suku Dayak menjadi sedikit berkurang.
Sehubungan dengan itu, kemunculan para missionaris Katolik dan zending
Protestan juga mempengaruhi tingkat kesadaran orang-orang Dayak untuk
10Elias Ngiuk, 2003. “Totokng, Menghapus Dosa Mengayau” dalam
Majalah Kalimantan Review (KR)., Agustus 2003., hlm. 39. 11Ibid., hlm. 4.
6
perlahan-lahan menghilangkan kebiasaan adat mengayau. Dalam hal ini, para
missionaris dan zending banyak keluar-masuk ke daerah pedalaman suku Dayak
untuk memberikan khotbah tentang ajaran cinta kasih.
Dalam perkembangannya, para missionaris dan zending di Kalimantan
Barat telah berhasil mengemban misi suci untuk memajukan masyarakat Dayak.
Untuk memajukan suku Dayak, mereka membuka sekolah-sekolah dengan
maksud memerangi apa yang mereka sebut sebagai “kebodohan”.12 Oleh karena
itu, melalui pendidikan memberikan peradaban yang lebih maju yang kadangkala
disertai dengan tindakan pelecehan atau penolakan terhadap adat istiadat, budaya
dan agama adat.13
Pada tahun 1950-an di daerah Jangkang (Sanggau Kapuas), terjadi
penghapusan terhadap upacara ritual totokng, belian (dukun),14 dan yang lainnya
karena dianggap kuno, primitif, tidak beradab (uncivilized), kotor, takhayul dan
ateis.15 Dengan penghapusan tersebut, secara tidak langsung memutus ikatan
orang-orang Dayak dan budayanya dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru
yang dianggap lebih beradab (maju).
Pada masa kini kebudayaan Dayak telah mengalami masa transformasi
budaya yang sangat signifikan. Namun, perubahan-perubahan tersebut kerap
membuat kebudayaan Dayak berada di persimpangan jalan. Salah satu
12Ricardus Giring, 2004. “Agama Adat Orang Dayak di “Titik” Degradasi”
dalam Petronella Regina (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 19.
13Ibid. 14Belian merupakan upacara ritual adat untuk memohon kesembuhan dari
berbagai macam bentuk penyakit.
15Ricardus Giring., op.cit., hlm. 22.
7
penyebabnya adalah ketidakmampuan orang Dayak dalam mempertahankan dan
melestarikan budayanya.
Sebagaimana uraian di atas, budaya masyarakat Dayak Kanayatn juga
mengalami hal yang sama. Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab
terjadinya perubahan dalam budaya masyarakat Dayak Kanayatn; (1) faktor intern
meliputi melemahnya struktur-struktur adat dan pemerintahan setempat; (2) faktor
ekstern meliputi teknologi dan informasi. Dari kedua penyebab tersebut, tentunya
sangat mempengaruhi tradisi lisan Dayak Kanayatn. Transformasi budaya yang
cenderung meninggalkan tradisi asli Dayak Kanayatn dapat dilihat dari
keengganan generasi muda untuk belajar ritual upacara adat totokng. Menurut
mereka upacara adat totokng identik dengan tradisi kuno atau primitif di tengah-
tengah modernitas yang menggejala di Kalimantan Barat.
Penelitian yang berjudul “Transformasi Budaya: Upacara Adat Totokng
Dalam Masayarakat Dayak Kanayatn, ini beranjak dari sebuah keprihatinan akan
budaya Dayak Kanayatn yang dari hari ke hari semakin dilupakan dan bahkan
hampir punah. Selain itu, munculnya sejumlah pandangan atau pemahaman yang
terkadang kabur dalam memahami budaya Dayak. Semisalnya, mengenai adat
mengayau yang kerap membuat suku Dayak dicap sebagai suku yang tidak
beradab, ateis, kotor, kanibal dan yang lainnya. Dalam rangka untuk menjawab
sejumlah pandangan atau pemahaman yang bernada negatif tersebut, maka
penelitian ini mencoba menguraikan bagaimana awal kemunculan upacara adat
totokng, makna, simbol-simbol, dinamika dan sejauhmana fungsinya bagi
masyarakat Dayak Kanayatn.
8
1.2 Rumusan Masalah
Bertolak dari latarbelakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Mengapa masyarakat Dayak Kanayatn melakukan Upacara Adat totokng?
2. Bagaimana dinamika Upacara Adat totokng pada masyarakat Dayak
Kanayatn?
3. Sejauhmana fungsi Upacara Adat totokng bagi masyarakat Dayak
Kanayatn?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Akademis
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
mendeskripsikan serta menganalisa latarbelakang munculnya upacara totokng
dalam masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Selain itu, penelitian ini
juga menjelaskan tata cara pelaksanaan upacara adat totokng serta peranan
upacara adat totokng bagi masyarakat Dayak Kanayatn.
2. Praktis
Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, penelitian ini bertujuan untuk
memberikan pemahaman bahwa upacara adat totokng masih memiliki fungsi yang
sangat signifikan. Dengan mengingat akan begitu pentingnya upacara adat ini bagi
aspek kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn, maka upacara adat ini harus tetap
di laksanakan secara turun temurun.
9
1.4 Manfaat Penelitian
1. Teoretis
Penelitian ini bermanfaat bagi penelitian-penelitian tentang kebudayaan
Dayak, serta lebih khusus lagi menyangkut soal adat istiadat Dayak Kanayatn.
Sumbangan dari tinjauan historis adalah memberikan konteks kesejarahan atas
munculnya sebuah tradisi. Dalam konteks upacara adat totokng, penelitian ini
memberikan penjelasan historis tentang kemunculan upacara adat totokng serta
perkembangannya di kabupaten Landak, Kalimantan Barat.
2. Praktis
Dalam dimensi praksis, keterangan sejarah menyangkut upacara adat
totokng bermanfaat bagi masyarakat Dayak Kanayatn terlebih bagi generasi
muda agar tidak melupakan budaya leluhur serta melestarikannya. Dengan
demikian, sehingga pemahaman atas upacara adat totokng tidak hanya dimaknai
sebagai ritualitas kebudayaan yang bersifat monumental. Melainkan dapat
bermanfaat bagi pembentukan serta pelestarian identitas Dayak Kanayatn.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini berdasarkan hasil riset di lapangan berupa wawancara dan
pengamatan. Sedangkan untuk mendukung data-data yang diperoleh dari
lapangan, maka diperlukan sumber-sumber tertulis berupa buku-buku, laporan
penelitian, majalah dan artikel di internet.
Patut diakui bahwa penelitian sejenis sudah dilakukan oleh para peneliti
terdahulu. Hasil-hasil penelitian yang sudah dibukukan atau ditulis dalam jurnal
hasil penelitian itu antara lain adalah “Totokng, Menghapus Dosa Mengayau”
10
dalam Majalah Kalimantan Review (KR) terbitan Agustus 2003 yang ditulis oleh
Elias Ngiuk. Majalah ini menguraikan awal kemunculan upacara adat totokng,
prosesi, makna simbol-simbol dan fungsinya. Namun, majalah ini belum lengkap
menguraikan apa yang mendasari orang Dayak Kanayatn untuk melaksanakan
upacara adat totokng.
Selanjutnya adalah Buku Narasi Upacara Adat Totokng yang ditulis oleh
Maniamas Midden S. Buku ini menuliskan tentang prosesi upacara adat totokng
secara lebih terperinci. Selain itu, buku ini juga menjelaskan awal kemunculan
upacara adat totokng, makna dan simbol-simbol dari upacara adat tersebut.
Namun, buku ini tidak menjelaskan munculnya transformasi budaya dalam
upacara adat totokng.
Buku yang ditulis Edi Petebang Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu,
Mangkok Merah. Buku ini menguraikan awal kemunculan tradisi mengayau
dalam masyarakat Dayak dan hanya sedikit menjelaskan tentang upacara adat
totokng, sehingga belum mampu untuk menjawab apa yang melatarbelakangi
orang Dayak Kanayatn dan sejauhmana fungsinya bagi masyarakat tersebut.
Buku selanjutnya adalah Tradisi Lisan Dayak yang Tergusur dan
Terlupakan ditulis oleh Stephanus Djuweng dkk. Buku ini merupakan hasil
penelitian dari tim peneliti lembaga Institut Dayakology (ID) yang dilakukan di
berbagai tempat dalam sub-sub suku Dayak di Kalimantan Barat, seperti Dayak
Simpakng, Bukit (Kanayatn), Pompakng dan Krio. Karena topik penelitianya
tentang Dayak Kanayatn, maka itu, lebih difokuskan untuk memahami tradisi
lisan Dayak Kanayatn. Dalam buku ini hanya sedikit menjelaskan tentang upacara
11
adat totokng, sehingga belum mampu untuk menjawab latar belakang
kemunculan, dinamika, simbol-simbol dan sejauhmana fungsinya bagi masyarakat
Dayak Kanayatn.
Kemudian, buku yang berjudul Mencermati Dayak Kanayatn tulisan
Nico Andasputra dan Vincentius Julipin bercerita tentang awal kemunculan
orang-orang Dayak Kanayatn serta tradisi-tradisi yang melingkupinya. Buku ini
sangat penting dijadikan sebagai sumber penelitian untuk memahami sejauhmana
proses dari budaya Dayak Kanayatn lewat ide-ide, konsep-konsep dan
aktivitasnya.
Buku Mickhail Commans yang berjudul Manusia Daya; Dahulu,
Sekarang dan Masa Depan menuliskan perjalanan sejarah masyarakat Dayak
secara umum di Kalimantan Timur. Dalam hal ini, Commans, ingin memaparkan
tentang realitas sosial masyarakat Dayak dan kebudayaanya. Selain itu, juga
dijelaskan mengenai masalah-masalah munculnya proses transformasi dalam
budaya Dayak.
Buku yang berjudul Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi
yang ditulis oleh Paulus Florus dkk. Bercerita tentang realitas sosial kehidupan
dari suku Dayak pada umumnya, serta peranannya dan sejauhmana eksistensi
budaya Dayak dalam proses terciptanya pembangunan Nasional.
Berdasarkan sumber-sumber di atas, penelitian ini tidak hanya untuk
mendeskripsikan tentang masyarakat Dayak kanayatn dan upacara adat totokng
semata, tetapi sejarah munculnya ketegangan budaya. Penelitian ini akan mencoba
mencari kausalitas munculnya ketegangan sebagai bentuk dari transformasi
12
budaya Dayak, terutama masyarakat Dayak Kanayatn. Inilah yang membedakan
penulisan ini dengan karya-karya peneliti terdahulu.
1.6 Landasan Teori
Dalam kajian sejarah, penggunaan landasan teori dimaksudkan untuk
mengidentifikasi fakta-fakta sejarah menjadi klasifikasi-klasifikasi tertentu,
sehingga penyusunan narasi sejarah dapat lebih kronologis dan sistematis. Secara
lebih spesifik, landasan teori atau “kerangka pemikiran” bertujuan untuk
menangkap, menerangkan dan menunjukan masalah yang telah didefinisikan.16
Dengan demikian, untuk melengkapi semuanya tersebut ilmu sejarah
membutuhkan pendekatan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, agama,
politik dan ekonomi. Dalam kajian sejarah, ilmu-ilmu sosial tersebut bermanfaat
untuk memperkaya wacana penulisan sejarah. Artinya, teori-teori ilmu sosial itu
memiliki daya penjelas yang lebih besar bagi sejarawan dalam memberikan
keterangan historis (historical explanation).
Penelitian ini menggunakan teori Emile Durkheim, tentang pilar-pilar
utama pendukung masyarakat yang dirangkai secara internal yakni, the sacred
(yang keramat), klasifikasi, ritus dan solidaritas.17 Pada dasarnya, keeempat pilar-
pilar tersebut tidak dapat dipisahkan, di mana the sacred merupakan induk utama
yang berperan penting untuk menciptakan kesatuan masyarakat.
16Dudung Abdurahman, 2007. Metodologi Penelitian Sejarah.
Yogyakarta: Az-Ruzz Media., hlm. 61. 17Johanes Supriyono, 2005. “Paradigma Kultural Masyarakat Durkheim”
dalam Mudji Sutrisno & Hendra Putranto (ed)., Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius., hlm. 89.
13
Menurut Emile Durkheim, the sacred (yang keramat) bisa diartikan
sebagai moralitas atau agama. The sacred juga bisa berubah menjadi ideologi atau
semacamnya yang menjadi utopia masyarakat. Nilai-nilai yang disepakati (the
sacred) berperan penting menjaga keutuhan dan ikatan sosial masyarakat, secara
normatif dapat mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Dengan
demikian, masyarakat tidak dizinkan untuk melanggar nilai-nilai tersebut.18
Dalam konteks penelitian ini, maka perlu dilihat pilar-pilar pendukung
masyarakat tentang ritus atau ritual. Ritus merupakan mediasi yang berakar dari
the sacred, yang menghadirkan kembali makna realitas dalam masyarakat (makna
sosial). Dalam hal ini, ritus memiliki kekuatan untuk memperkokoh keberakaran
rasa kolektivitas, sehingga masyarakat menempatkan ritus sebagai sumber
kekeramatan bersama.
Sementara itu, untuk memahami simbol atau makna mengenai upacara
adat totokng, akan digunakanya teori thick description yang dikembangkan oleh
Clifford Geertz. Menurut Geertz, budaya merupakan kesatuan yang kompleks
dengan membaca dari tanda-tanda, simbol-simbol, mitos-mitos rutinitas dan
kebiasaan-kebiasaan dalam sistem budaya masyarakat. Dalam perumusan teori
ini, Geertz menggunakan pendekatan hermeneutik. Untuk memahami semua itu,
Geertz menganjurkan sebuah metode deskripsi mendalam atau anthropology
interpretative.19
18Ibid., hlm. 9. 19Mh. Nurul Huda, 2005. “Budaya Teks: Narasi Dan Hermeutik” dalam
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (ed)., Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius., hlm. 212.
14
Menurut Geertz, metode ini merupakan intrepretasi yang komprehensif
dan fokus etnografis terhadap peristiwa-peristiwa kecil dan waktu-riel dari pada
terobsesi untuk menemukan lautan makna dan merencanakan yang abstrak.20
Dalam etnografis, tugas teori adalah menyediakan sebuah kosakata di mana apa
yang harus dinyatakan tindakan simbolis tentang dirinya, yakni tentang peranan
kebudayaan dalam kehidupan manusia dapat diungkapkan.21 Lebih dari itu,
dengan menggunakan metode thick description, bermaksud untuk menangkap
cara berpikir atau pola kerja dari sistem budaya.
1.7 Metode Penelitian
Metode adalah cara atau prosedur untuk mendapatkan objek penelitian.
Selain itu, metode juga bisa diartikan bagaimana cara untuk membuat atau
mengerjakan sesuatu dalam suatu sistem yang terencana dan teratur.22 Dalam
metode penelitian sejarah, metode ini bertujuan agar penulisan sejarah menjadi
lebih terstruktur dan sistematis.
Terkait dengan hal di atas, maka penelitian ini akan menggunakan metode
penelitian sejarah. Menurut Kuntowijoyo dalam penelitian sejarah secara umum
terdapat lima tahapan yaitu, pemilihan topik, pengumpulan sumber, Verifikasi
20Ibid., hlm. 213. 21Clifford Geertz. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius., hlm. 35. 22Suhartono W. Pranoto, 2010. Teori dan Metodologi Sejarah.
Yogyakarta: Graha Ilmu., hlm. 11.
15
(kritik sejarah, keabsahan sumber), interpretasi: analisis & sintesis dan
penulisan.23
Berdasarkan metode penelitian di atas, pemilihan topik sudah ditentukan
yaitu upacara adat totokng dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Setelah topik
penelitian berhasil ditentukan, maka tahapan selanjutnya adalah pengumpulan
sumber. Penelitian ini menggunakan sumber lisan dan tertulis. Sumber lisan
dilakukan dengan metode wawancara. Metode wawancara ini dilakukan dengan
mewawancarai kepala adat, biarawan dan mantan aktivis Institut Dayakology.
Wawancara tersebut dilakukan di Kecamatan Menyuke, Sengah Temila dan
Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sedangkan, sumber sekunder
diperoleh dengan studi pustaka, seperti, buku-buku, laporan penelitian dan artikel-
artikel di Institut Dayakology dan dari internet.
Setelah sumber-sumber itu terkumpul, selanjutnya dilakukan pemilahan
yang bertujuan untuk melihat mana-mana saja sumber yang layak dipakai sebagai
bahan kajian penelitian. Kemudian, untuk menguji kebenaran dan akurasi atau
ketepatan sumber-sumber tersebut menggunakan cara kritik ekstern dan intern
atau yang lebih dikenal dengan “metode verifikasi” (keabsahan sumber).
Tahapan selanjutnya, setelah sumber-sumber tersebut diuji tingkat
kebenarannya (validitas), kemudian dikumpulkan menjadi satu dan
dinterpretasikan untuk menemukan kesimpulan. Setelah sumber-sumber tersebut
selesai diintrepretasikan, kemudian sampailah pada tahapan terakhir yaitu, metode
penulisan.
23Kuntowijoyo, 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarata: Bentang., hlm. 91.
16
1.8 Sistematika Penulisan
Hasil Penelitian ini dijabarkan ke dalam tulisan dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan yang berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan
Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II berisikan Masyarakat Suku Dayak Kanayatn, yang akan diuraikan
dalam beberapa sub bab; Lokasi Suku Dayak Kanayatn, Asal Usul, Sistem
Kepercayaan, Sistem Pemerintahan, Sistem Perekonomian, Sistem Kekerabatan
dan Adat Perkawinan.
Bab III berisikan Upacara Adat Totokng, yang akan diuraikan dalam
beberapa sub bab; Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn,
Prosesi Upacara Adat Totokng dan Simbolisme Upacara Adat Totokng.
Bab IV berisikan Transformasi Upacara Adat Totokng, yang akan
diuraikan dalam beberapa sub bab yakni; Perjanjian Tumbang Anoi 1894,
Pengkristenan Orang Dayak dan Modernisasi Upacara adat Totokng.
Bab V berisikan Fungsi Upacara Adat Totokng Bagi Masyarakat Dayak
Kanayatn, yang akan diuraikan dalam beberapa sub bab yakni; Konsep Kosmis,
Penghormatan Kepada Roh Leluhur, Melindungi Pertanian dan Membangun
Identitas.
Bab VI Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
17
BAB II
MASYARAKAT SUKU DAYAK KANAYATN
2.1 Lokasi Suku Dayak Kanayatn
Suku Dayak Kanayatn24 merupakan salah satu sub-suku Dayak yang
terdapat di Propinsi Kalimantan Barat. Dayak Kanayatn biasanya dikenal sebagai
orang Dayak Ba’ahe dan Banana’. Sebutan ini disesuaikan karena sebagian besar
masyarakat suku Dayak Kanayatn berdialek menggunakan bahasa Ba’ahe dan
Banana’.
Secara garis besar tempat pemukiman suku Dayak Kanayatn tersebar luas
di dua kabupaten yaitu, Landak dan Pontianak. Di kabupaten Landak terdapat di
kecamatan Karangan, Menjalin, Menyuke, Menyuke Hulu, Meranti, Air Besar,
Sengah Temila, Toho dan Mandor. Sementara di kabupaten Pontianak terdapat di
kecamatan Anjungan, Toho dan Sungai Ambawang.25
2.2 Asal Usul
Asal usul masyarakat Dayak Kanayatn, secara terperinci terungkap dalam
tradisi lisannya. Dari tradisi lisan tersebut dengan jelas dikisahkan tentang
24Mengenai kata “Kanayatn”, menurut penuturan Maniamas Midden
(Kepala Adat Binua Talaga, Simpang Aur, Kec. Sengah Temila Kab. Landak), bahwa sebelumnya tidak ada satu pun orang Dayak Kanayatn yang mengatakan dirinya “kanayatn”. Mereka hanya menyebut dirinya Dayak Bukit. Kata “Kanayatn” mulai akrab ditelinga orang-orang Dayak Kanayatn pada tahun 1980-an. Persis pada saat diadakannya upacara adat naik dango di Anjungan, kabupaten Pontianak. Untuk lebih jelasnya lihat Jhon Bamba, 2008. Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 35-36.
25Jhon Bamba, 2008. Keberagaman Subsuku Dan Bahasa Dayak Di Kalimantan. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 37.
17
18
penciptaan alam semesta dan manusia. Ada dua versi yang berbeda tentang kisah
penciptaan yakni: kisah penciptaan yang dilakukan oleh tiga Jubata (Tuhan) dan
Alam semesta yang berpusat pada Pohon Asam Besar (Pusat Ai’ Pauh Janggi).
2.2.1 Penciptaan Yang Dilakukan Oleh Tiga Pribadi Jubata (Tuhan)
Ketiga pribadi Jubata yang turut andil dalam menciptakan dunia dan
manusia itu adalah Jubata Ne’ Jubata Panitah, Jubata Ne’ Patampa atau Jubata
Ne’ Panjaji dan Jubata Ne’ Pangedokng. Menurut kisah penciptaan tersebut
ketiga nama pribadi untuk Jubata (Tuhan) ini bukan berarti ada tiga Jubata,
melainkan hanya satu pribadi Pencipta. Dari sabda atau titah Jubata Ne’ Panitah
(yang betitah) ditempalah manusia dari tanah liat segambar dengan diri-Nya.26
Pekerjaan menempa ini dilakukan oleh Jubata Ne’ Patampa. Setelah
proses penciptaan selesai, Jubata Ne’ Panjaji menjadikannya persis dengan
gambaran Jubata (Sang Pencipta). Namun hasil karya Jubata Ne’ Pajanji dan Ne’
Patampa belum sempurna karena manusia tersebut belum bernapas. Untuk
menyempurnakan manusia tersebut Jubata Ne’ Pangedokng memberikan nafas,
sehingga hidup. Dari akhir penciptaan ini terciptalah sepasang manusia yaitu Ne’
Adam dan Ne’ Siti Hawa.27
26Nico Andasputra dan Vincentius Julipin, 1997. “Orang Kanayatnkah
atau Orang Dayak Bukit?” dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 3.
27Ibid., hlm. 3-4.
19
2.2.2 Alam Semesta Yang Berpusat Pada Pohon Asam Besar
Menurut kisahnya, pohon asam besar ini adalah pohon kehidupan sumber
segala sumber penciptaan dan kepada-Nya semua ciptaan akan kembali. Dari
kisah penciptaan tersebut memiliki peranan yang penting dalam kejadian alam
semesta dan kisah penciptaan manusia adalah perkawinan kosmis. Kisah
penciptaan tersebut sebagai berikut:
“Kulikng langit dua putar tanah’ Sino Nyandong dan Sino Nyoba. Memperanakan Si Nyati anak Balo Bulatn, Tapancar anak matahari Memperanakan Iro-iro dua angin-angin Memperanakan Uang-uang dua Gantong Tali Memperanakan Tukang Nange dua Malaekat Memperanakan Sumarakng Ai’ sumarakng sunge Memperanakan Tunggur batukng dua mara puhutn Memperanakan Antayut dua Barujut Memperanakan Popo’ dua rusuk”.28
Terjemahan: Kubah langit dan bulan bumi, Sino Nyandong dan Sino Nyoba Memperanakan Si Nyati puteri bulan dan terpancar putera matahari Memperanakan Kacau Balau dan Badai Memperanakan Udara Mengawang dan Embun Menggantung Memperanakan Pandai besi dan Sang Dewi Memperanakan Segala air dan segala sungai
28Fridolin Ukur, 1994. “Makna Religi Dari Alam Sekitar Dalam
Kebudayaan Dayak” dalam Paulus Florus dkk (ed)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Institut Dayakology., hlm. 6-7
20
Memperanakan Bambu dan perpohonan Memperanakan Tumbuhan merambat dan umbi-umbian Kesejukan Lumpur dan Tulang Iga.
Kemudian berdasarkan penuturan sejarah yang lain dijelaskan, bahwa
Kesejukan Lumpur itu adalah isteri sedangkan Tulang Iga adalah sang suami.
Mereka memperanakkan sepasang manusia bernama Ne’ Galeber dan istrinya
bernama Ne’ Anteber. Sepasang insan inilah yang dianggap sebagai nenek
moyang suku Dayak Kanayatn.29
2.3 Sistem Kepercayaan
Sistem kepercayaan yang akan dibahas pada bagian ini adalah pandangan
suku Dayak Kanayatn terhadap hidup manusia dan pandangan terhadap kematian.
2.3.1 Pandangan Terhadap Hidup Manusia
Dalam pandangan hidupnya, suku Dayak Kanayatn sangat percaya dan
patuh terhadap aturan-aturan yang dapat mengatasi segala hal yang terjadi di alam
semesta ini. Aturan alam raya ini diyakini bersifat stabil, selaras dan kekal serta
menentukan kemuliaan dan kebahagian bagi manusia. Di mana di dalamnya
terdapat pola dasar yang tetap dan tertentu, yang memberikan makna kepada
segala apa yang ada. Oleh sebab itu, perbuatan manusia harus disesuaikan dengan
aturan alam raya tersebut.
Manusia yang hidup selaras dan patuh terhadap aturan-aturan akan
mencapai kebahagiaan. Keselarasan tingkah laku manusia dengan aturan yang
29Ibid.
21
universal itu akan mengangkat hidup manusia menjadi otentik dan bernilai
luhur.30 Oleh sebab itu, manusia harus menaruh harapan kepada Penciptanya
Jubata (Tuhan).
Kehidupan merupakan proses yang telah diatur oleh Jubata (Sang
Pencipta). Manusia itu harus melaksanakan aturan-aturan yang bersifat universal
lewat ketaaatannya pada adat istiadat. Dengan demikian, ia akan dicintai oleh
penguasa alam semesta, sedangkan bagi mereka yang tidak taat akan dihukum
dalam rupa penyakit, bencana alam, kelaparan dan yang lainnya.
Dayak Kanayatn percaya bahwa manusia memiliki jiwa dan roh keduanya
bersifat kekal. Sumangat (jiwa) merupakan kekuatan inti badan atau tubuh.
Dengan jiwa, manusia dapat berpikir dan merasa dan bertindak. Sedangkan, roh
manusia setelah mati akan kembali ke Subayatn (alam baka).31
2.3.2 Pandangan Tentang Kematian
Kematian merupakan suatu proses yang bersifat alamiah. Bagi masyarakat
Dayak Kanayatn peristiwa kematian adalah hal yang wajar, asalkan bukan
kecelakaan, bunuh diri dan mati melahirkan. Dalam konteks ini, manusia harus
bisa memahami dirinya sebagai unsur alamiah yang berasal dari alam dan akan
kembali ke Subayatn (surga).
30Dihi Dillen, 1993, “Alam Kehidupan dan Kematian Bagi Suku Dayak Kanayatn”, dalam Majalah Kalimantan Review (KR), No. 4/Th. II/ Mei-Agustus, hlm. 33.
31Dihi Dillen dan Vincentius, 1997. “Alam Kehidupan Dan Kematian Menurut Dayak Kanayatn” dalam Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontiank: Institut Dayakology., hlm. 53.
22
Menurut kepercayaan suku Dayak Kanayatn, roh dan jiwa orang yang
telah meninggal akan kembali ke Subayatn. Oleh sebab itu, orang yang telah
meninggal harus dikuburkan dengan cara yang pantas. Apabila tidak dikuburkan
dengan cara yang pantas, maka jiwa dan roh orang yang telah meninggal diyakini
akan menjadi pidara (hantu).32
Peristiwa kematian dipercayai sebagai peralihan dari dunia bawah (dunia
manusia) ke dunia atas (dunia abadi tempat keilahian). Kematian adalah awal dari
taraf hidup yang serba baru. Oleh karena itu, selayaknya diadakan upacara yang
sebaik mungkin untuk mengantarkan jasad orang yang telah meninggal ke tempat
yang baru, ke martabat hidup yang baik dengan mengembalikannnya kepada
Jubata (Tuhan). Dalam hal ini, jasad orang yang telah meninggal pada saat
upacara pemakaman diberi pesan berupa nasihat, petunjuk-petunjuk yang harus
diikuti supaya ia tidak tersesat menuju ke tempatnya semula.33
Sebelum sampai pada puncak upacara pemakaman, biasanya jasad orang
yang meninggal diberi sejumlah perangkat adat, seperti makanan, minuman,
pakaian dan alat-alat pertanian sebagai lambang bekal hidup abadi. Dalam hal ini,
yang menjadi inti kepercayaan adalah jiwa dan roh manusia yang berasal dari
kekekalan untuk hidup selama-lamanya dan kembali ke Jubata (Tuhan).34
32Ibid. 33Dihi Dillen., op. cit., hlm. 34-45. 34Ibid.
23
2.4 Sistem Pemerintahan
Masyarakat Dayak Kanayatn tidak mengenal sistem pemerintahan seperti
yang diterapkan di Negara Indonesia atau beberapa negara lainnya di dunia.
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, sistem pemerintahan mereka dibagi dalam
beberapa wilayah yang di sebut binua.35 Setiap binua tersebut biasanya dipimpin
oleh Timanggong (Kepala Adat), yang berperan sebagai abdi bagi seluruh
masyarakat.
Dalam suatu wilayah Katimanggongan ada yang disebut radakng
(kampung, desa dan dusun). Semua persoalan yang menyangkut keamanan
radakng beserta peraturan yang berlaku ditangani oleh Timanggong setelah
mencapai kesepakatan melalui baharump (musyawarah). Kemudian di bawah
Timanggong terdapat Pasirah (penasihat adat) yang berperan memberi saran atau
petunjuk kepada Timanggong, sebelum memutuskan segala sesuatu demi
kepentingan bersama.
Namun demikian, sejak pemerintahan Orde Baru menetapkan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1979, sistem pemerintahan suku Dayak Kanayatn yang
seperti ini menyatu ke dalam pemerintahan yang diterapkan. Dengan
ditetapkannya undang-undang tersebut, membuat peranan Timanggong selaku
pemimpin masyarakat dan adat menjadi lemah, karena setiap keputusan atau
35Yonarius Kompu. 2003. Sistem Perladangan Daur Ulang Dayak
Kanayatn Sebagai Upaya Mengembalikan Alam Pada Citranya (Tinjauan Kultural Teologis)., Malang: (Skripsi ) Sekolah Tinggi Filsafat Teologi., hlm. 17.
24
kebijkakan yang diambil kebanyakan berdasarkan pertimbangan dari kepala
desa.36
2.5 Sistem Perekonomian
Dalam dunia perekonomian, orang Dayak pada umumnya di Kalimantan
Barat membiarkan perekonomian mereka diatur oleh sekelompok suku lain.37 Hal
ini juga berlaku untuk masyarakat Dayak Kanayatn. Sistem perekonomian yang
dimaksudkan di sini adalah mata pencaharian pokok. Mata pencaharian pokok
sebagian besar masyarakat Dayak Kanayatn adalah petani karet.
Sistem pertanian suku Dayak Kanayatn dilakukan secara terpadu. Selain
sebagai petani karet, mereka pun memelihara berbagai macam hewan ternak,
seperti ayam, babi, sapi, itik dan yang lainnya. Hasil peternakan ini selain
digunakan dalam berbagai upacara adat, juga dikonsumsi sendiri dan dijual untuk
membeli kebutuhan hidup.
Selain bertani dan beternak, untuk menunjang perekonomiannya mereka
juga memanfaatkan hasil hutan seperti kayu, rotan, damar dan madu. Hasil kayu
biasanya digunakan untuk kepentingan sendiri. Namun dengan masuknya orang-
36Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa,
lembaga-lembaga adat berada dibawah Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan kepala desa merangkap sebagai ketua. Keberadaan Lembaga-Lembaga Adat atau Lembaga Kemasyarakatan dalam Undang-Undang 5 Tahun 1979, pasal 17 ayat (1) dipertegaskan ”Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawarahan/permufakatan yang keanggotaannya yang terdiri atas kepala dusun, Pemimpin Lembaga Masyarakat dan Pemuka Masyarakat di desa yang bersangkutan”. Lihat, http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu-5-1979.htm. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
37P. Florus, 1995, “Orang Dayak dan Bisns”, dalam Majalah Kalimantan Review (KR), No. 01/Th. IV April Juni, hlm. 11.
25
orang luar yang mengeksploitasi hutan dengan mengambil kayu, maka membuat
masyarakat suku Dayak Kanayatn menjadi pebisnis kayu.
Pertambangan rakyat merupakan sektor ekonomi lain yang cukup penting.
Lewat pertambangan ini mereka memperoleh emas yang dapat secara langsung
dijual ke pasar-pasar lokal ataupun kepada penadah. Namun, sektor pertambangan
ini semakin hari semakin tersingkir dengan hadirnya proyek-proyek pertambangan
yang berskala besar dengan ditunjang alat-alat modern.
Masuknya Hak Pengusahaan Hutan, Hutan Tanaman Industri, Perkebunan
dan pertambangan yang sifatnya berskala besar ternyata telah menggeser sumber-
sumber perekonomian asli suku Dayak Kanayatn.38 Oleh karena itu, mereka
banyak yang menjadi buruh seperti pada perkebunan kelapa sawit, perusahaan
swasta maupun negeri dan yang lainnya.
2.6 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan masyarakat Dayak Kanayatn dikenal dengan istilah
page waris (keturunan keluarga).39 Secara rinci hubungan kekerabatannya sebagai
berikut:
1) Sa’ pusat atau tatak pusat, 2) Sakadiriatn atau pupu sakali, 3) Dua madi’ enek atau pupu dua kali 4) Dua madi’ saket atau pupu tiga kali 5) Duduk dantar atau pupu ampat kali 6) Dantar page atau pupu dua kali 7) Page atau pupu enam kali.40
38Nico Andasputra dan Vincentius Julipin (ed)., op. cit,. hlm. 9. 39Ibid,. hlm. 11. 40Stepanus Djuweng (ed), 2003,. op.cit., hlm. 55.
26
Terjemahan: 1) Satu ibu satu bapak (kakak-adik). 2) Satu Kakak 3) Kakek kakak-adik. 4) Nenek sepupu sekali atau satu kakek uyut 5) Antara kakek sepupu dua kali 6) Kedua kakeknya satu kakek sudah uyut 7) Kedua kakeknya sudah dantar page.
Hubungan kekerabatan di atas sangat berperan penting dalam kehidupan
masyarakat Dayak Kanayatn. Semisalnya, apabila terjadi perkara dengan pihak
lain, maka orang yang bersengketa meminta page waris (keturunan keluarga)
untuk mendengar atau memecahkan perkaranya. Sistem kekerabatan ini juga
berguna untuk menentukan pembagian warisan dan hubungan perkawinan.
Dalam hal pembagian warisan, masyarakat Dayak Kanayatn tidak
mengenal adanya warisan yang jatuh ke pihak anak laki-laki atau perempuan.
Sistem kekerabatan ini berdasarkan keseimbangan keduanya (ambilineal).41
Semua anak dalam satu keluarga mendapatkan warisan, tetapi biasanya anak
tertua dan yang bungsu mendapat warisan lebih besar.
2.7 Adat Perkawinan
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, adat perkawinan dapat dilakukan
apabila dari hasil baosol (menyelusuri asal-usul) dalam kegiatan bakomo’
(musywarah keluarga) kedua belah pihak tidak ditemukan garis waris (keturunan,
keluarga dan kerabat).42
Perkawinan antar keluarga dapat dilakukan apabila hubungan keluarga
sudah mencapai garis keturunan kedelapan. Apabila perkawinan masih berada
41Ibid., hlm. 54. 42Ibid.
27
pada garis keturunan yang ketujuh, yaitu page atau sepupu enam kali maka kedua
belah pihak akan dikenai sanksi adat pangarus.43
Namun garis keturunan yang paling kuat tidak boleh melangsungkan
perkawinan adalah garis ketiga, dua madi’ ene’ (sepupu dua kali). Untuk garis
keturunan keempat sampai dengan ketujuh, di masa kini sudah terlihat rapuh.
Walapun bisa melangsung adat perkawinan, tetapi kedua belah pihak tetap akan
dikenakan sanksi.
43Stepanus Djuweng (ed)., op.cit., hlm. 55.
28
BAB III
UPACARA ADAT TOTOKNG
Tradisi mengayau atau memburu kepala antar sub suku dalam masyarakat
Dayak, kerap membuat orang-orang Dayak mendapat stigmanisasi negatif.
Pandangan tersebut sudah berkembang sejak zaman Pemerintahan Kolonial
Hindia Belanda sampai dengan pemerintahan Orde Baru. Tradisi adat mengayau
terus di cap negatif sebagai identitas masyarakat suku Dayak.44 Dalam hal ini,
orang Dayak cenderung dipandang sebagai suku yang kejam, bengis, tidak
beradab, kotor, berekor, pemakan manusia (kanibal) dan tidak
berperikemanusiaan. Dengan kata lain, “mengayau” adalah simbol
ketidakmanusiawinya suku Dayak.
Pada dasarnya pandangan tersebut sangat bertolak belakang dengan fakta
yang sebenarnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Anton Nieuwenhuis
(1894) dalam pengalamanya memasuki kampung-kampung di pedalaman suku
Dayak, ia menjumpai orang-orang Dayak bersikap lembut dan cinta damai.45
Sehubungan dengan hal di atas, apabila dilihat dari kaca mata orang
Dayak, tentu saja adat mengayau bukanlah hanya semata-mata bertujuan untuk
memburu kepala, tetapi melampaui hal itu. Pada konteks ini, adat mengayau
tentunya telah disesuaikan dengan adat dan tradisi yang berlaku. Dengan
44Yekti Maunati, 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi Dan Politik
Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS., hlm. 8. 45Anton Nieuwenhuis. 1994. Di Pedalaman Borneo. Perjalanan Dari
Pontianak Ke Samarinda 1894. Jakarta: PT. Gramedia., hlm. xx.
28
29
demikian, yang dapat memahami dan merasakannya hanyalah orang Dayak
sendiri. Lebih dari itu, orang Dayak ingin menunjukan sikap kepatuhan mereka
terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh leluhurnya (nenek moyang).
3.1 Mengayau Dalam Pandangan Masyarakat Dayak Kanayatn
3.1.1. Tradisi Mengayau
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, tradisi mengayau itu bisa ditemukan
dalam cerita rakyat Ne’ Baruang Kulub tentang asal mula padi. Dalam cerita
rakyat tersebut ada terselip nama seorang tokoh bernama Maniamas yang konon
suka mengayau. Alkisahnya adalah sebagai berikut:
“Suatu hari, Maniamas yang sedang mencari anak kayau kelelahan. Ia beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda bergelantungan di pohon bambu tak jauh dari tempatnya. Setelah berkenalan, rupanya nama pemuda itu rupanya Ne’ Jaek. Ia adalah anak Jubata (Tuhan). Ne’ Jaek pun tinggal di rumah Maniamas. Hari berlalu tak terasa. Ne’ Jaek akhirnya menikahi Dara Amutn, adik perempuan Maniamas. Mereka tinggal di rumah panjang. Sementara itu kegiatan kayau-mengayau terus berlangsung. Setiap hari para pemudanya pergi mengayau, kecuali Ne’ Jaek. Suatu hari Maniamas membujuk Ne’ Jaek untuk ikut pergi mengayau. Rupanya Maniamas benci dengan sikap Ne’ Jaek yang yang ketika pertama berjumpa menuduhnya anak haram. Maniamas membujuk Ne’ Jaek pergi mengayau agar Ne’ Jaek mati dibunuh anak kayau (pengayau). Ne’ Jaek pun setuju. Setelah semua pemuda kampung itu berkumpul, disertai dengan tariu, berangkatlah mereka mengayau. Setelah mengayau, Ne, Jaek tidak mendapatkan kayoan (kepala). Maka sesampai di rumah ia diusir istrinya karena ia dianggap bukan lelaki jantan dan tidak bertanggung jawab”.46 Dari cerita lisan di atas, dapat diketahui bahwa motif dari munculnya
praktek pengayauan (mencari kepala) adalah sebagai salah bentuk balas dendam
46Maran Marcellinus Aseng, 1997. “Memahami Nilai-Nilai Sastra Lisan
Yang Membentuk Budaya Dayak Bukit” dalam Nico Andasputra & Vincentius Julipin (ed)., Mencermati Dayak Kanayatn. Pontianak: Institut Dayakology,. hlm. 106-107.
30
yang melambangkan kejantanan, keperkasaan dan sebagai bentuk tanggung jawab
seorang lelaki terhadap keluarganya.
Namun demikian cerita lisan tentang adat mengayau di atas, secara historis
sulit untuk dipertanggungjawabkan akan kebenaran beserta dengan bukti-bukti
yang kuat, sebagaimana layaknya kajian sejarah sesungguhnya. Sehubungan
dengan itu, Commans mengatakan bahwa masyarakat Dayak itu mempunyai
sejarahnya sendiri, yaitu sejarah zaman purba yang berasal dari kejadian mitologis
atau zaman keselamatan waktu orang masih dekat dengan roh-roh.47 Oleh karena
itu, makna akan kebenaran sejarah yang terjadi dalam masyarakat Dayak tidak
dapat dikaitkan dengan kejadian historis yang sesungguhnya.
3.1.2 Latar Belakang Adat Mengayau
Menurut Amuk Jolak, latar belakang munculnya adat mengayau dalam
masyarakat Dayak Kanayatn adalah dikarenakan adanya perselisihan masalah
batas tanah..48 Persilisihan ini terjadi biasanya dikarenakan sebelumnya tanah
tersebut telah disengketakan oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini, apabila salah
satu pihak yang sedang bersengketa tidak mengindahkan kesepakatan atau
perjanjian yang telah disetujui, maka terjadilah adat mengayau.
Dalam masyarakat suku Dayak Kanayatn, khususnya yang ada di
kecamatan Menyuke, munculnya adat mengayau biasanya dilakukan sesudah adat
pati nyawa (ganti nyawa) tidak diterima oleh musuh. Dalam hal ini, apabila
47Mikhail Commans, 1987. Dayak Dahulu, Sekarang Dan Masa depan,
Jakarta: PT. Gramedia., hlm. 78. 48Hasil wawancara dengan Amuk Jolak, Tanggal 7 Januari 2009, Didusun
Angkamu, Desa Kayu Ara, Kecamatan Menyuke, Kabupaten Landak.
31
seorang warga Dayak Kanayatn terbunuh atau dibunuh, maka pihak keluarga akan
menuntut pihak yang membunuh dengan menggantikannya adat pati nyawa.49
Apabila, pihak yang membunuh tidak membayar dengan adat tersebut, maka
terjadilah pengayauan.50
Selain itu, menurut kepercayaan orang Dayak Kanayatn mengayau
dilakukan karena kepala seseorang mempunyai sumangat (semangat, jiwa dan
kekuatan), yang dapat memberikan kekuatan bagi si pengayau (orang yang
mengayau).51 Karena mempunyai sumangat, maka si pengayau akan mendapatkan
kedudukan dan penghormatan bagi berbagai pihak, termasuk para gadis.52
Selanjutnya, adalah untuk membalas adat mengayau dengan sub-suku
Dayak yang lainnya. Dalam konteks ini, apabila sub-suku Dayak lain mengayau
pada orang Dayak Kanayatn, maka orang Kanayatn harus membalas. Adat
mengayau tidak akan berhenti, apabila jumlah kepala yang dikumpulkan musuh
sama dengan jumlah yang mereka peroleh.53
3.1.3 Tujuan Mengayau
Pada prinsipnya, setiap sub-suku Dayak mempunyai tujuan yang hampir
sama mengapa mereka melakukan adat mengayau. Menurut JU Lontaan, dalam
49Adat patih nyawa ini bertujuan untuk menggantikan nyawa orang yang
telah terbunuh atau dibunuh. Adat patih nyawa maksudnya, “bukan nyawa ganti nyawa”, tapi wujudnya dalam benda-benda adat. Seperti gong untuk mengganti nyawa, tempayan untuk mengganti tubuh dan lainnya.
50Ibid., hlm. 11. 51Ibid. 52Ibid., 12. 53Ibid., hlm. 13.
32
bukunya yang berjudul ”Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat”, ada
lima tujuan dilakukannya kegiatan adat mengayau yaitu:
1) Untuk melindungi pertanian. Dalam rangka untuk menghindari wabah
penyakit yang akan menyerang hasil pertanian, maka untuk memulihkan
keadaan itu perlu mempersembahkan tengkorak dari hasil mengayau.
2) Untuk mendapatkan tambahan daya jiwa. Secara supranatural, orang
Dayak menggangap tengkorak hasil kayau mempunyai kekuatan dahsyat.
Dengan kekuatan tersebut, seseorang dapat melindungi diri, keluarga dan
sekaligus seluruh sukunya.
3) Sebagai motif balas dendam. Bagi masyarakat Dayak Iban balas dendam
dalam adat pengayauan sangat sulit dilupakan, karena setiap orang tua
selalu menceritakannya kepada keturunannya. Dalam struktur masyarakat
yang demikian dapat dipahami, apabila seorang warga kampung terbunuh,
maka seluruh penduduk dalam kampung akan membalasnya.
4) Daya tahan berdirinya suatu bangunan. Dalam hal ini, orang Dayak sangat
mempercayai rumah yang dibuat membutuhkan kurban. Untuk
memperkuat bangunan rumah tersebut, maka kegiatan mengayau perlu
dilaksanakan.
5) Untuk tenaga kerja. Kadang kala orang yang di kayau tidak dibunuh tetapi,
mereka dijadikan sebagai budak atau kuli.54
Sementara itu, mengenai tradisi mengayau ini sangat menarik untuk
ditelusuri, terutama pada permasalahan mengapa yang diambil hanya kepala,
54JU. Lontaan., op. cit., hlm. 533-535.
33
sedangkan tubuhnya dibuang?. Sebagaimana kutipan Yekti Maunati dalam
bukunya Charles Miller yang berjudul “Black Borneo” adalah sebagai berikut:
“Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal (dari lehernya) cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit. Sebuah kepala yang sudah bubuhi ramu-ramuan, bila dimanipulasi dengan tepat, cukup kuat untuk menghasilkan, meningkatkan hasil panen padi, mengusir roh-roh jahat, dan membagikan pengetahuan dari orang-orang pintar dari suku itu. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatanya sudah mulai pudar dan diperlukanya tengkorak yang lebih segar. Tentu saja semakin banyak tengkorak kering yang ada, semakin besar kekuatan yang dihasilkan oleh gabungan dari kekuatan-kekuatannya. Suku yang tak memiliki kepala, atau ulu, atas namanya tidak akan mampu melawan mandau-mandau dan panah-panah yang beracun milik suku tetangga mereka yang sudah lengkap peralatannya”.55 Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, tujuan mereka mengayau adalah
untuk menambah kekuatan jiwa.56 Dalam hal ini, masyarakat Dayak Kanayatn
sangat mempercayai bahwa, setiap manusia memiliki manna57 yakni, jiwa dan
kekuatan. Manna itu terdapat di kepala, itulah sebabnya dalam mengayau hanya
mengambil kepala. Semakin banyak manna yang didapat, maka akan mempunyai
banyak kekuatan yang memberi banyak keuntungan dan berkah kepada seluruh
kampungnya.58
55Yekti Maunati., op. cit., hlm. 10. 56Edi Petebang., op. cit., hlm. 15. 57Sebagaimana yang disetir oleh P. Yeremias, bahwa tidak bisa dipastikan
apakah “manna” itu mempunyai badan atau tidak. Namun, yang pasti “manna” ada dalam seluruh badan manusia mulai dengan rambut. Oleh sebab itulah, maka kepala mandau yang diberi rambut panjang hasil pengayauan diyakini memiliki kekuatan supranatural. Untuk lebih jelasnya lihat, Edi Petebang, 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Institut Dayakology,. hlm. 49-51.
58Elius Ngiuk., op. cit., hlm. 44.
34
Dalam adat mengayau, ada dua pandangan menarik, terutama bagi mereka
yang dianggap sebagai pemenang. Pertama, bagi pihak yang menang akan
mendapatkan wilayah kekuasaan, kemudian diangkat menjadi Pangalangok
(Panglima). Kedua, ia akan dihukum dengan melaksanakan upacara adat totokng
selama tujuh keturunan.59 Karena yang namanya membunuh, apapun alasanya
berdosa. Oleh sebab itu, maka untuk menghapus dosanya tersebut diadakanlah
upacara adat totokng sebagai bentuk wujud untuk memohon pengampunan dari
Jubata (Sang Pencipta).
3.2 Prosesi Upacara Adat Totokng 3.2.1 Bahaupm (rapat)
Sebelum prosesi dimulai, pertama-tama kepala keluarga yang berniat
mengadakan upacara adat totokng, terlebih dahulu melaksanakan bahaump
(rapat). Bahaump ini bertujuan untuk mengumpulkan page samadiatn (kerabat
keluarga) untuk menentukan kapan acara tersebut akan dilaksanakan. Setelah
mencapai kesepakatan dalam waktu yang bersamaan menyembelih 1 ekor ayam
jantan merah untuk memberitahukan kepada Jubata, bahwa akan diadakannya
upacara adat totokng.
Selanjutnya pihak tuan rumah mulai menyebarkan undangan masing-
masing 1 lembar kepada Panyangahatn (Imam), Pamangko Gawe, Kepala
Pajajakng atau pelayan Totokng, tujuh lembarnya untuk Anak Kayoan dan
selebihnya akan diberikan kepada tamu-tamu khusus.
59Maniamas Midden, 2003. Buku Narasi Upacara Adat Totokng.
Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 2.
35
3.2.2 Ngampar Bide (Meletakkan tikar rotan)
Upacara adat ini dilaksanakan pada malam hari, sebelumnya waktu siang
hari mengambil kepala kayo yang akan di totokng ke rumah pangkalatn tempat
penyimpanan tersebut. Pertama-tama, para pelaksana adat totokng seperti
Panyangahant, Pamangko Gawe, Anak Kayoatn dan Kepala Pajajakng sudah
berada tempat sebagai tanda bahwa upacara adat totokng akan dimulai.
Selanjutnya, Imam nyangahatn mengadakan upacara adat ngantukng atau masa
persiapan. Dalam masa persiapan telah dipersiapkan alat-alat atau peraga adat
totokng seperti pekasam ikan, salai burung, tengkasam babi hutan dan yang
lainnya. Sementara itu, selama masa ngantukng telah dibunyikan Dau, gong,
gendang besar selama tujuh hari tujuh malam.
Sebelum membentangkan tikar terlebih dahulu ditandai upacara adat
nyangahatn (berdoa) untuk meminta perlindungan kepada Jubata (Tuhan), agar di
lingkungan tersebut aman, tentram dan bebas dari gangguan yang tidak
diinginkan. Sehubungan dengan itu, langsung menyembelih satu ekor ayam jantan
merah, 1 ekor babi 7 real (kira-kira 70 kg)60 yang telah dilengkapi dengan
sesajian.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara nakat pangkalant menyembelih 1
ekor ayam jantan merah. Sementara di Pangkalatn totokng telah terisi sesajian
seperti satu buah tempayan Siton hitam, 1 buah gong besar, beras kuning 1
60Hewan kurban seperti, babi dan ayam harus berjenis kelamin jantan ini
melambangkan kejantanan karena yang berangkat mengayau hanyalah kaum laki-laki. Sementara, warna merah itu melambangkan tali persahabatan orang Dayak Kanayatn dengan hantu Kamang. Kamang adalah roh yang menyerupai manusia tetapi tidak kelihatan.
36
pinggan putih, 1 bibit kelapa, 1 buah tempayan hitam siam, 1 buah tempayan
Jampa, 1 buah kelapa, gula arem atau gula merah, daun sirih, buah pinang, salai
daging atau kepala babi hutan, salai tupai, salai burung elang, pekasam babi,
pekasam ikan, salai burung dan tempayan kecil. Selanjutnya, semua sesajian
tersebut diletakkan di atas serambi rumah sebelah kiri depan.
Sementara di Pangkalatn didirikan satu batang tebu hutan lengkap dengan
daun-daunya, satu batang kayu burangsakng dan kayu sumiakng. Selanjutnya
diadakanya upacara adat nyangahatn ka’ pabarasatn di tempat beras. Upacara ini
bertujuan untuk mendapatkan berkat atau rahmat dari Sang Pencipta. Kemudian
acara ini dilanjutkan dengan upacara adat ditempat mandi atau tepian tumpang
yang dibuat dari daun kelapa dengan menyembelih satu ekor ayam jantan warna
merah. Maksudnya adalah selama siang dan malam, selama pelaksanaan upacara
totokng laki-laki dan perempuan mengambil air ditempian tidak diganggu oleh roh
halus.
Upacara ini berakhir dengan dilanjutkanya adat netek di kepala tangga
dengan menyembelih satu ekor ayam jantan warna merah. Adat netek bertujuan
untuk memberitahukan kepada kepala kayo, bahwa akan diberikan makan selama
tujuh hari tujuh malam. Kemudian setiap malamnya diharuskan untuk memotong
1 ekor ayam warna merah jantan.
3.2.3 Na’ap Tariu (Menjemput Tariu)
Sebelum upacara adat ini dilaksanakan, Imam membacakan doa untuk
bahan-bahan sesajian di dalam talam dengan maksud untuk memberitahukan
kepada Jubata, bahwa keesokan harinya akan membawa sesajian mentah dan
37
dimasak di tempat pantak.61 Sehubungan dengan itu, dilaksanakannya upacara
menjemput Kamang Tariu62 atau upacara adat na’ap tariu sebagai langkah
mengawali prosesi upacara ritual adat totokng.
Persyaratanya adalah menyiapkan alat peraga adat seperti beras biasa,
beras pulut secukupnya dan 1 ekor ayam jantan berwarna merah. Setelah sesajian
tersebut dikumpulkan, ketujuh Anak Kayoatn dan Imam meletakan cat warna
merah didahi dan pipi mereka. Selanjutnya, langsung menyembelih 1 ekor ayam
jantan dan darahnya dicampurkan dengan nasi dan garam untuk memberikan
makan kepada Kamang Tariu.
Pada saat yang sama, mereka masih menunggu ayam yang dipotong
sampai masak. Setelah daging ayam itu masak, Imam mengucapkan nyangahatn
(doa) untuk memberkati ayam tersebut. Sebelum mereka berangkat ke rumah
kayoatn, Imam itu berkeliling sambil berteriak sebanyak tiga kali dan mengadakan
upacara adat pasinyangan. Di pasinyangan para pelaksana adat totokng
beristirahat untuk sementara waktu menunggu pelaksanaan upacara adat totokng.
3.2.4 Pasinyangan (Persinggahan)
Di pasinyangan, Imam nyangahatn bapipis’ manta’ dengan menyembelih
1 ekor ayam warna merah. Di samping itu, diadakanya upacara menggunakan
61Dalam masyarakat Dayak Kanayatn Pantak adalah patung yang
memiliki kekuatan spiritualitas tinggi. Pantak itu sendiri dibagi kedalam 3 jenis yaitu, 1). Pantak Payugu (tokoh pertanian), 2). Pantak Padagi (Panglima dan dukun), 3). Pantak Keluarga (Peneladan keluarga).
62Tariu adalah teriakan yang mempunyai kekuatan magis yang tinggi, yang dalam masyarakat Dayak diyakini dari teriakan tersebut bisa membuat orang menjadi berani dan kebal, ketika akan berangkat berperang atau mengayau. Sedangkan, Kamang adalah roh yang menyerupai manusia tetapi tidak kelihatan.
38
topeng, ada dua macam topeng yaitu; topeng buta dan oho’. Topeng buta dipakai
kurang dari 50 orang, sedangkan topeng oho’ jumlahnya cenderung tidak dibatasi.
Selanjutnya, Imam membacakan doa sesajian mentah sampai dengan
masak selama di pasinyangan. Selesai iman nyangahatn, ketujuh Anak Kayoatn
dan beserta rombongan berangkat untuk menuju ke Pangkalatn. Sesampai di situ,
mereka langsung disambut oleh Timanggong (Kepala Adat), kemudian sambil
memperlihatkan sebuah tempayan Siton berwarna hitam yang berisikan undang-
undang tentang tata tertib upacara adat totokng.
Setelah itu, Imam nyangahatn melaksanakan upacara adat nigakng manta’
untuk memberi makan topeng dengan nasi pulut. Setelah diberikan makan,
toperng anak Kayoatn itu dipersilahkan untuk naik keplantaran dan menari
bersama Imam dan Tuan rumah untuk mengelilingi babanyang dengan cara maju-
mundur sebanyak tiga kali.
Ketika upacara adat nigakng mantak selesai, Imam tersebut melaksanakan
adat nigakng masak. Sebelum, sesajian tersebut masak, ketujuh Anak Kayoatn
terlebih dahulu dipersilahkan untuk mengelilingi babanyang yang telah diisi
dengan sesajian yang telah masak. Kemudian kira-kira jam 10 malam, Imam
nyangahatn menyampaikan persembahan dari tuan rumah kepada Jubata (Tuhan),
agar mereka terlepas dari sumpah kayo.
3.2.5 Mare’ Topeng Makatn (memberi Topeng makan)
Adat ini dilakukan kira-kira jam 4 dini hari, yang diawali dengan diberinya
beras biasa dan pulut dan 1 ekor ayam merah jantan pada topeng buta, sedangkan
topeng oho’ diberikan satu bungkus nasi yang berisikan sayur daging babi.
39
Maknanya adalah untuk memberi makan hantu dengan harapan tidak menggangu
kampung tempat pelaksanaan upacara adat totokng.
Selesai memberikan topeng makan, dilanjutkan dengan acara
melemparkan tumpi’ (cucur) di atas rumah yang bertujuan untuk menerbangkan
sumpah kayo terhadap orang yang telah dibunuh oleh nenek moyang mereka.
Upacara ini bertujuan mengangkat janji atau sumpah kayo, bahwa harus
memelihara dan memberikanya makan sampai dengan tujuh keturunan. Apabila
tidak maka keturunan si pengayau tersebut akan terkena jukat (musibah). Setelah
itu, dilanjutkan dengan upacara adat ngagar bawar sebagai tahap akhir dari
serangkaian pelaksanaan upacara adat totokng di Pangkalatn. Selesai adat ini,
Imam, Anak Kayoatn dan Pajajakng langsung menuju ke tempat pasinyangan.
3.2.6 Ngantat Tariu Pulakng (Mengantarkan Tariu Pulang)
Ngantat tariu adalah upacara mengantarkan tariu pulang ke tempat
kediamanya. Dalam pelaksanaanya pertama-tama, Imam mendoakan sesajian dan
1 ayam jantan warna merah yang bertujuan untuk memanggil roh-roh halus
(kamang) untuk dikumpulkan di Pasiyangan.
Selesai nyangahatn, Imam itu menyembelihkan ayam merah jantan dan
darahnya diambil sebagai makanan hantu tariu. Selesai memberi tariu makan,
ayam yang disembelih tadi dimasak. Selanjutnya, Imam nyangahatn (mendoakan)
ayam yang sudah masak dan memberikannya kepada kamang. Setelah diberi
makan, Imam nyangahatn menyuruhnya pulang sambil membacakan doa yang
berbunyi:
40
“Karena upacara adat totokng sudah berakhir kalian kamang tariu pulanglah ketempat kalian di Tajur di Gantekng. Kalau hantu Pujut, Mama’, Mawikng, Sarinteke, Ante’enge, Salahpena, Sansa’ lalu pulang di garah di Karabet di situlah tempat kalian. Segala setan iblis pulanglah di Lamo’ Bagenakng Timpurukng Pasuk di tanah yang tidak diinjak orang di air yang tidak pernah di pinum urakng Abo’ kayu Samponga di Pentek Kayu Mati disitulah negeri kalian dan kalian jangan suka merantau ke negeri manusia. Pulanglah kalian untuk selama-lamanya”.63
3.2.7 Macah Bantatn
Setelah melaksanakan upacara mengantarkan Tariu, para anak kayoan
pulang ke tempat pangkalatn. Selanjutnya, akan diadakan upacara macah bantatn.
Upacara adat ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata (Tuhan), tentang
pembagian upah/imbalan kepada seluruh petugas upacara adat totokng berupa
uang, daging babi dan yang lainnya.
3.2.8 Balamur
Balamur adalah masa tenggang atau masa tenang selama 3 hari 3 malam.
Pada saat masa tenang, orang-orang yang ikut melaksanakan ritual seperti
Pamangko, Gawe Totokng tetap menunggu, sedangkan Anak Kayoatn dan
Pajajakng pulang ke rumahnya masing-masing. Setelah masa tenang tersebut
selesai, maka diadakan upacara ngalantekatn. Upacara ini bertujuan untuk
memberitahukan kepada Jubata (Tuhan), bahwa besok akan diadakanya upacara
malutn bidei.
63Maniamas Midden., op. cit., hlm. 7.
41
3.2.9 Malutn Bide (Menggulung Tikar Rotan)
Upacara adat malutn bide adalah menggulung tikar rotan tempat meletakan
tengkorak kayo dan peraga adat totokng. Dalam upacara ini dibutuhkan alat
sesajian seperti ayam jantan warna merah, babi tumpi’ (cucur) dan poe
(lemang)’. Setelah sesajian itu disiapkan, maka Pamangko Totokng membacakan
doa bagi persembahan kepada Jubata (Tuhan) dengan menyembelih 1 ekor ayam
jantan warna merah dan 1 ekor babi.
Upacara ini bertujuan untuk memberitahukan kepada Jubata, bahwa alat-
alat peraga totokng akan dibuka dan rumah tempat diadakannya upacara adat
totokng telah terbebaskan dari sumpah kayo. Selanjutnya, Imam memanggil
semangat tuan rumah agar terhindar dari segala macam bentuk jukat (musibah).
3.2.10 Mulangkatn Kapala Kayo (Mengembalikan Kepala Kayo)
Mulangkant kapala kayo merupakan prosesi terakhir dari keseluruhan
upacara adat totokng. Upacara ritual ini diwajibkan untuk menyembelih 1 ekor
ayam jantan merah. Setelah Iman nyangahatn menyembelih ayam tersebut, maka
acara prosesi upacara adat totokng telah selesai.
3.3 Simbolisme Upacara Adat Totokng
Manusia adalah makhluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan
simbol-simbol. Dalam konteks ini bisa dipahami bahwa budaya manusia penuh
diwarnai dengan simbolisme yaitu, suatu tata pemikiran atau paham yang
menekan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri pada simbol. Dengan
42
demikian, manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dalam bentuk ungkapan-
ungkapan dipenuhi oleh simbolis”.64
Secara etimologis, kata “simbol” atau yang biasa disebut lambang itu
berasal dari bahasa yunani symbolon yang berarti tanda pengenal atau emblem
atau sinyal. Selain itu, simbol juga didenifisikan sebagai sesuatu yang bertindak
bagi atau mewakili sesuatu yang lain; terutama suatu benda yang dipakai untuk
menghadirkan sesuatu yang bersifat abstrak.65
Dalam konsep religi, manusia percaya akan kekuatan tertinggi untuk
patuhi dan disembah sebagai pencipta atau penguasa alam semesta. Karena
memiliki kekuatan yang bersifat abstrak, maka simbol berperanan penting untuk
mengungkap kepercayaan terhadap mereka. Di mana kekuatan tersebut
menghubungkan manusia dengan dunia abstrak, kekuatan tertinggi atau
supranatural, di samping untuk meminta kehadiran kekuatan tersebut di antara
manusia.66
Sementara, untuk memahami atau mengerti konsep cara pandang orang
Dayak, tentang simbol-simbol dalam upacara ritual tidaklah mudah. Karena
keyakinan akan sesuatu yang terjadi dalam masyarakat Dayak yang dapat melihat,
mengerti dan merasakan hanyalah orang Dayak itu sendiri. Hal ini, dikarenakan
konsep pandangan hidup orang Dayak yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan
64Budiono Herusantoso, 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa.
Yogyakarta: Penerbit PT. Hanindita., hlm. 10. 65Stepanus Buan, 2004. “Simbol-simbol dalam Ungkapan Religius di
Kalangan Dayak Mualang” dalam Regina Petronella (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 59.
66Ibid., hlm. 60.
43
religio-magis. Dengan demikian, tidak mengherankan terkadang sulit bagi orang
non-Dayak untuk bisa mempercayai kekuatan simbol-simbol atau tanda yang
terjadi dalam masyarakat Dayak.
Dalam cara pandang masyarakat Dayak memaknai ritus (ritual), menurut
Commans dibagi menjadi dua yaitu, logis dan kritis. Namun sering sulit
membedakan pemikiran logis dan kritis, karena pemikiran mitologis mengambil
peranan penting. Pemikiran mitologis memainkan peranan besar, apabila mereka
berhadapan dengan peristiwa-peristiwa, kejadian tersebut tidak dapat
diterangkannya.67 Konsep pemikiran logis dan kritis orang Dayak tersebut
semisalnya;
“Meskipun, orang Dayak percaya bahwa ritus tersebut akan membawa efek, namun ia tidak menyangkal bahwa ia sendiri harus memelihara ladangnya dengan baik, merumput pada waktunya, membuat pagar untuk menghindarkan kera dan babi masuk ladang dan lain sebagainya. Inilah yang dinamakan pemikiran logis dan kritis. Akan tetapi, kalau panen itu gagal tanpa adanya alasan yang jelas maka pemikiran mitologis yang nampak lagi. Dibelakang kegagalan tersebut disangkanya suatu intensi atau maksud dari dunia ilahi yaitu, yaitu roh yang menggangu atau roh yang menghukum. Cara pandang ini yang berdasarkan prasangka bahwa adanya intensi atau maksud tertentu dari dunia ilahi, kita sebutkan cara pemikiran askriptif (pemikirtan berdasarkan prasangka). Lawanya ialah cara pemikiran deskriptif, yang mencari akal untuk mengatasi segala rintangan dan hambatan. Karena batas antara pemikiran kritis dan pemikiran mitologis tidak selalu jelas baginya, maka orang Dayak merasa wajib mengadakan upacara, bilamana mengalami rintangan dan hambatan seperti penyakit, kegagalan panen, dan lain sebagainya.68 Dalam konteks upacara adat totokng, upacara adat ini dilaksanakan
sebagai salah satu bentuk wujud si pengayau untuk memperoleh jalan
67Michael Commans., op.cit., hlm. 99. 68Ibid.
44
keselamatan. Menurut adat mengayau, kepala hasil mengayau harus diberikan
penghormatan melalui upacara adat totokng sampai dengan tujuh keturunan,
apabila tidak maka keturunan si pengayau tersebut dalam kehidupannya tidak
akan pernah sempurna dan diyakini akan mendapatkan hukuman berupa jukat
(musibah). Semisalnya, dalam bentuk penyakit, kegagalan hasil panen dan yang
lainnya.
Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, upacara
adat totokng merupakan simbol “pertobatan” si pengayau. Upacara adat totokng
juga melambangkan bahwa, masyarakat Dayak Kanayatn sangat patuh terhadap
aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh roh leluhurnya. Kemudian dengan
nyangahatn (doa), melambangkan sikap religius masyarakat Dayak Kanayatn
kepada Sang Penciptanya Jubata (Tuhan).
45
BAB IV
TRANSFORMASI UPACARA ADAT TOTOKNG
Secara kompleks budaya masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan Barat,
pada masa kini telah mengalami transformasi budaya, hal ini terlebih dengan
upacara adat totokng. Oleh karena itu, untuk melihat penyebab transformasi
budaya tersebut maka akan dijelaskan secara terperinci mengenai Perjanjian
Tumbang Anoi 1894, Pengkristenan Orang Dayak dan Modernisasi upacara adat
totokng.
4.1 Perjanjian Tumbang Anoi 1894
Sejak abad ke-17, Belanda di bawah bendera VOC telah mengadakan
hubungan dagang dengan kesultanan Sukadana dan Sambas di Kalimantan Barat.
Namun, ketertarikan Pemerintahan Kolonial Belanda untuk menguasai daerah
pedalaman Kalimantan baru muncul setelah diadakannya perjanjian Inggris dan
Belanda tahun 1814.69
Pemerintah Kolonial Belanda berhasil menduduki Kalimantan Barat pada
awal abad ke-19. Upaya pendudukan Belanda di Kalimantan Barat dilakukan
karena Inggris di bawah James Brooke berhasil menguasai wilayah Sarawak pada
tahun 1883. Hal ini terkait dengan persaingan politik penguasaan wilayah jajahan
sekaligus menjamin keberlangsungan perdagangan mereka di Asia Tenggara.
Dalam masa pendudukannya, Belanda sekaligus melakukan campur
tangan terhadap kehidupan masyarakat Kalimantan Barat. Salah satu campur
69Michael R, Dove (Ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor., hlm. 260.
45
46
tangan Kolonial Belanda yang paling serius adalah masalah perang antar suku
Dayak atau kegiatan pengayauan. Bagi masyarakat Dayak kegiatan mengayau ini
merupakan adat, namun dalam pandangan Barat kegiatan mengayau menunjukan
bahwa, orang Dayak tidak beradab, kejam dan tidak berperikemanusiaan. Atas
dasar tersebut, maka kegiatan pengayauan antar sub-suku dalam masyarakat
Dayak ini harus dihentikan. Secara politis, apabila kegiatan tersebut berhasil
dihentikan, maka akan mempermudah mereka untuk menguasai daerah-daerah
pedalaman suku Dayak. Lebih dari itu, untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
karena terkadang menjadi sasaran dari para pengayau.
Dalam rangka untuk mempermudah kepentingannya, maka pemerintahan
Hindia Belanda mengambil inisiatif untuk mengumpulkan seluruh Kepala Adat
dan pemuka Dayak di Kalimantan. Sehubungan dengan itu, maka pada awal tahun
1893, Residen Banjar memprakarsai pertemuan yang akan diadakan di Kuala
Kapuas.
Atas dasar tersebut, maka pada pertengahan tahun 1893, Residen Tuan
Brus bersama controleur dan serdadunya datang ke Kuala Kapuas (Tumbang
Kapuas). Selanjutnya, pada tanggal 14 Juni 1893 mereka melaksanakan
pertemuan di Kuala Kapuas (Tumbang Kapuas).
Adapun sejumlah agenda yang akan dibicarakan sebagai berikut:
1) Memilih siapa yang berani dan sanggup menjadi ketua dan sekaligus
sebagai tuah rumah untuk menghentikan 3 H (Hokanyou)= saling
mengayau, Hobunu’ = saling membunuh dan Hotohtok= saling memotong
kepala musuhnya.
47
2) Merencanakan tempat perdamaian.
3) Kapan pelaksanaan akan dilaksanakan.
4) Berapa lama sidang itu akan dilaksanakan.
5) Residen Banjar menawarkan siapa yang bersedia menjadi tuan dan
menanggung biaya pertemuan tersebut. Dalam kesepakatan ini, diputuskan
Damang Bahtu, dengan alasan karena beliau memiliki wawasan yang luas
tentang adat istiadat yang ada di Kalimantan.
Kemudian dari pertemuan tersebut disetujui hal-hal sebagai berikut:
1) Pertemuan ini akan dilaksanakan di Lovu (kampung) Tumbang Anoi, yaitu
di Betang tempat tinggalnya Damang Bahtu’.
2) Diberikan waktu 6 bulan bagi Damang Bahtu untuk mempersiapkan acara.
3) Pertemuan itu akan berlangsung selama 3 bulan.
4) Undangan akan disampaikan melalui tokoh atau kepala suku masing-
masing daerah secara lisan, sejak dibubarkanya rapat di Tumbang Kapuas.
5) Utusan yang diutus dalam pertemuan tersebut harus benar-benar mengerti
dan memahami adat di daerahnya masing-masing.
6) Pertemuan damai akan dimulai pada tanggal 1 Januari 1894 sampai
dengan 30 Maret 1894.70
Setelah pertemuan tersebut mencapai kesepakatan, maka pada tanggal 1
Januari 1894 sampai dengan 30 Maret 1894, perjanjian damai atau “Perjanjian
Tumbang Anoi”, secara resmi dilaksanakan yang berpusat di rumah Betang
(rumah panjang) tempat kediaman Damang Bahtu, Lovu kampung Tumbang Anoi
70Edi Petebang., op.cit., hlm. 33-34.
48
(Kalimantan Tengah). Dalam pertemuan tersebut, dihadiri hampir seluruh Kepala
Adat dan pemuka Adat di Borneo (Kalimantan) dengan menghasilkan beberapa
kesepakatan sebagai berikut:
1) Menghentikan permusuhan antar sub-suku Dayak yang lazim disebut 3H
(Hokanyou= saling mengayau, Hobunu’= saling membunuh dan
Hotohtok= saling memotong kepala) di Kalimantan (Borneo pada waktu
itu).
2) Menghentikan sistem Jiphon Kopali’ (hamba atau budak belian) dan
membebaskan para Jiphon dari segala keterikatanya dari Tepui
(majikannya) sebagai layaknya kehidupan anggota masyarakat lainnya
yang bebas.
3) Menggantikan wujud Jiphon dari manusia dengan barang-barang yang
bisa di nilai seperti bolanga’ (tempayan mahal atau tajau), halamaung,
lalang, tanah/kebun dan yang lainnya.
4) Menyeragamkan dan memberlakukan Hukum adat yang bersifat umum,
seperti bagi yang membunuh, maka akan mendapatkan sanksi sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku yakni, berupa Sahiring (saknsi
adat).
5) Memutuskan agar setiap orang yang membunuh orang lain, ia harus
membayar Sahiring sesuai dengan keputusan sidang adat yang diketuai
oleh Damang Bahtu’. Semuanya itu harus dibayar langsung pada waktu itu
juga, oleh pihak yang bersalah.
49
6) Menata dan memberlakukan ada istiadat secara khusus di masing-masing
daerah, sesuai dengan kebiasaan dan tananan kehidupan yang dianggap
baik.71
Melalui perjanjian damai tersebut, setidaknya telah membawa perubahan
terutama masalah stabilitas keamanan yang semakin terjamin, karena kegiatan
pengayauan antar sub-suku masyarakat Dayak sudah berkurang. Selain itu,
masalah jipen (perbudakan) yang telah dipraktekkan penguasa suku Dayak jauh
sebelum pendudukan Belanda di Kalimantan, dihapuskan melalui Perjanjian
Tumbang Anoi.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun seluruh isi perjanjian tersebut telah
tersebar luas di seluruh pelosok Kalimantan. Praktek pengayauan, hukum adat,
permusuhan dan kebiasaan hidup yang berpindah-pindah dikalangan Orang Dayak
berhasil dikurangi, meskipun masih belum signifikan. Namun, setidaknya
pemerintah Belanda mulai mengenal dengan cukup baik Orang Dayak yang
katanya dikenal ganas.
Lebih dari itu, secara substansi kelembagaan adat dan hukum adat Dayak
secara garis besar diseragamkan, agar tidak terjadi lagi kesimpang-siuran satu
dengan lainnya yang dapat menimbulkan pertentangan antar suku Dayak. Dengan
demikian, hukum adat yang berlaku di seluruh Borneo (Kalimantan) disesuaikan
dengan keputusan musyawarah hasil dari Perjanjian Tumbang Anoi.
71Ibid.
50
Setelah sukses “menjinakan” Dayak dengan strategi pertama yakni melalui
perjanjian damai, pemerintah Belanda menggunakan strategi kedua, yakni dengan
mengkristenkan orang Dayak.
4.2 Pengkristenan Orang Dayak
4.2.1 Masuknya Agama Katolik
Secara historis, berdasarkan sumber dari Ordo Kapusin,72 agama Katolik
pertama kali masuk ke Kalimantan Barat pada tahun 1313 oleh Ordo Kapusin.
Namun, secara substansi misi ajaran agama Katolik mulai tersampaikan kepada
masyarakat Kalimantan Barat sejak tahun 1885 yang dibawa oleh para pastor
Ordo Yesuit73 dengan mendirikan stasi di Singkawang. Pater Staal SJ sebagai
pastor Paroki yang pertama. Misi ini bertujuan untuk mendirikan basis karya misi
bagi masyarakat suku Dayak. Dengan didirikanya stasi tersebut, maka menandai
babak awal bagi para missionaris untuk melebarkan sayapnya di bumi
khatulistiwa. Hanya saja, di tahun-tahun ini para missionaris banyak mengalami
72Kapusin adalah ordo Gereja Katolik Roma yang berasal ordo Fransiskan.
Kehadiran ordo Kapusin dalam Gereja Katolik, disebabkan munculnya berbagai Reformasi yang terjadi dalam gereja Katolik tahun 1525. Akibatnya, ordo Fransiskan mengalami perpecahan. ordo Kapusin mulai berkarya di Indonesia sejak tahun 1905. Sejak Februari 1994 dimekarkan menjadi 3 propinsi: Medan, Sibolga dan Pontianak. Lihat, http://id.wikipedia.org/Ordo_Kapusin. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
73Yesuit atau Jesuit biasa dikenal dengan Serikat Yesus adalah ordo Gereja Katolik. Serikat ini didirikan pada 1534 oleh sekelompok mahasiswa pasca-sarjana dari Universitas Paris yang merupakan teman-teman dari Ignatius Loyola. Mereka bersumpah untuk melanjutkan persahabatan mereka setelah mereka selesai studi, hidup dalam kemiskinan sesuai injil dan pergi mengemban perutusan di Yerusalem. Mereka menyebut diri mereka sahabat-sahabat di dalam Tuhan. Lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Ordo_yesuit. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
51
kendala, salah satunya adalah kurangnya tenaga rohaniawan. Selain itu, juga
dikarenakan kondisi di tempat tersebut belum terlalu aman.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka pada awal abad 20 Vikaris
Apostolik74 Jakarta meminta bantuan tenaga kelompok religius dari Negeri
Belanda. Atas dasar tersebut, maka pada tanggal 11 Februari 1905 Prefektur
Apostolik75 Borneo (Kalimantan) secara resmi berdiri di Kalimantan. Berdasarkan
keputusan tersebut, hasilnya Ordo Kapusin Propinsi Belanda diberikan mandat
untuk menyebarluaskan ajaran agama Katolik di Kalimantan. Selanjutnya, para
missionaris secara teratur berdatangan ke pelbagai tempat di Kalimantan.
74Vikaris Apostolik adalah bentuk otoritas untuk suatu kawasan dalam gereja Katolik Roma yang dibentuk dalam wilayah misi dan dinegara yang belum memiliki keuskupan Biasanya status suatu wilayah dalam Vikars Apostolik bersifat sementara, walaupun tetap saja dapat berlangsung hingga lebih dari seabad, hingga wilayah misi itu sudah berkembang, memiliki pertumbuhan umat yang cukup dan bisa memenuhi syarat untuk menjadi keuskupan yang mandiri. Pada dasarnya, vikaris Apostolik kekuasaannya masih dibawah keuskupan. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Vikaris_ Apostolik. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
75Prefektur Apostolik adalah bentuk otoritas rendah untuk suatu wilayah pelayanan dalam Gereja Katolik Roma yang dibentuk di sebuah daerah misi dan di negara yang belum memiliki keuskupan Prefektur Apostolik dipimpin oleh seorang Prefektur Apostolik, yang biasanya adalah seorang pastor. Kalau sebuah Prefektur Apostolik berkembang, statusnya akan ditingkatkan menjadi Vikaris Apostolik dan akan dipimpin oleh orang yang berjabatan uskup sambil membentuk badan-badan institusi yang diperlukan untuk menjadi sebuah keuskupan penuh. Tahapannya adalah misi, menjadi Prefektur Apostolik, Vikarist Apostolik dan kemudian menjadi keuskupan. Lihat, http://id.wikipedia.org/wiki/Prefektur_Apostolik. Data diakses, Minggu 20 Juni 2010.
52
Kemudian pada tanggal 30 November 1905 para missionaris tiba di
Singkawang.76
Tujuan missionaris (Katolik) tersebut, tidak lain adalah mengemban tugas
misi kemanusian. Kedatangan para missionaris ini sangat membantu penduduk
suku Dayak, terutama dalam dunia pendidikan. Karena sebelum masuknya
kedatangan para missionaris, masyarakat Dayak dikenal sebagai orang yang
bodoh, kolot, primitif, takhayul, tidak berperikemanusiaan dan yang lainnya.
Sesuai dengan kondisi di atas, maka selain menyebarkan ajaran-ajaran
agama Katolik mereka juga mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit dan
membantu masyarakat Dayak di dalam bidang pertanian. Dari kebijakan tersebut,
para missionaris, lebih menitik berat pada dunia pendidikan. Oleh karena itu,
melalui pendidikan dapat memberikan orang-orang Dayak peradaban yang lebih
maju, agar kelak mereka tidak lagi mudah dibodohi atau diperdayakan oleh para
penguasa raja-raja Melayu dan penjajahan Kolonial Hindia.
4.2.2 Enkulturasi Budaya
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, para missionaris mulai masuk
pertama kali sekitar tahun 1947-1948 di Tiang Tanjung (sekarang masuk dalam
wilayah kecamatan Mempawah Hulu) yang disebarkan oleh Ordo Kapusin.
Masuknya pengaruh ajaran agama Katolik di Landak, seperti di daerah-daerah
pedalaman yang lainnya, juga disertai dengan pendirian sekolah dan rumah sakit.
76http://stellamaris-siantan.blogspot.com/2008/09/bermulanya-organisasi-
gereja-katolik-di.html. Data diakses Selasa, 10 Oktober 2009.
53
Dengan didirikanya sekolah dan rumah sakit, secara tidak langsung mendorong
masyarakat Dayak Kanayatn untuk memeluk agama Katolik.
Masuknya ajaran agama Katolik di Landak, yang dibawa oleh para
missionaris, diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini terlebih
didukung dengan sikap para missionaris yang bersikap baik terhadap masyarakat.
Selain itu, agama Katolik sangat berbeda dengan agama-agama lain seperti Islam
dan Protestan. Dalam hal ini, agama Katolik lebih toleran terhadap budaya dan
adat dan tradisi yang berlaku dalam lingkungan masyarakat setempat.
Terkait dengan hal di atas, sebagaimana yang diungkapkan oleh Syarif
Ibrahim Alqadrie menegaskan bahwa:
“…Dibanding kedua agama (Islam dan Protestan), agama Katolik lebih memberi orang Dayak ruang kesempatan untuk praktik adat istiadat dan budayanya, sehingga masyarakat Dayak lebih leluasa mempertahankan adat istiadat dan budaya”.77 Selain itu, sejak pemerintah menetapkan perundangan TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, seluruh warga
Negara Indonesia harus memeluk salah satu dari lima agama resmi yang
ditetapkan. Alasan utama ditetapkannya perundangan ini adalah untuk
membendung masuknya paham ajaran Komunisme di Indonesia. Atas dasar
tersebut, maka setiap masyarakat yang tidak menganut salah agama resmi negara
akan dicap sebagai penganut ajaran Komunisme.78 Dengan ditetapkannya
77Paulus Yusnono., op. cit., hlm.10. 78Menurut TAP MPRS No. XXVII/MPRS/1966, agama yang diakui oleh
pemerintah ada lima yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha. Sedangkan, agama-agama Lokal, digolongkan menjadi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Itu pun agama-agama lokal tertentu. Dalam konteks ini, agama lokal
54
perundangan ini, membuat banyak orang-orang Dayak Kanayatn masuk menjadi
agama Katolik.79
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, pengaruh penyebaran agama Katolik
dianggap cukup berhasil, karena berhasil menggunakan adat dan tradisi sebagai
sarana/media dalam pengajaran dan doa (enkulturasi). Bentuk wujud enkulturasi
tersebut bisa dilihat dengan hadirnya buku kecil tata upacara doa agama Katolik
dalam bahasa Kanayatn tahun 1980-an, yang disusun oleh P. Samuel dan
Adrianus Adiran (Katekis di dusun Saginah, kecamatan Sengah Temila), yang
kemudian dipraktekkan dalam sembahyang.80
Selain itu, dalam upacara yang berkenaan dengan keagamaan khususnya,
agama Katolik juga baik langsung maupun tidak langsung masih mengandalkan
yang berasal dari upacara adat. Seperti halnya, dalam upacara adat pemberkatan
benih-benih hasil pertanian lewat nyangahatn (doa) (ijin ka’ Jubata, Ne’
Patampa), agar bibit tersebut mendapat perlindungan dan restu yang benar,
terhindar dari segala macam gangguan seperti bencana, penyakit dan yang
lainnya.
Terkait dengan hal di atas, walaupun agama Katolik bisa masuk dan
berafiliasi dengan adat dan tradisi setempat, namun bukan berarti semuanya dapat
diterima dengan baik. Dalam proses enkulturasi, sebetulnya dapat menimbulkan
kesalahpahaman (bertolak belakang dengan tradisi asli) jika agama yang
Dayak tidak termasuk dalam lima agama tersebut maupun Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
79Ibid., hlm. 19. 80Stepanus Djuweng (ed) ., op.cit., hlm. 75.
55
bersangkutan tidak inklusif, yakni menghargai dan melibatkan konsep-konsep
masyarakat pribumi dalam pengajaran dan penyebaran keimananya. Dengan kata
lain, akan menimbulkan miskomunikasi yakni, munculnya sikap skeptis
(penyerderhanaan) yang berlebihan terhadap pengetahuan dan kepercayaan
masyarakat setempat.81
4.2.3 Upacara Adat Totokng Dalam Tinjauan Ajaran Agama Katolik
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, masuknya ajaran agama
Katolik dalam masyarakat Dayak bisa disilangkan atau dikawinkan dengan tradisi
masyarakat setempat (enkulturasi). Namun perlu digaris bawahi bahwa tidak
sepenuhnya adat dan tradisi masyarakat setempat bisa diterima dengan baik oleh
ajaran agama Katolik. Di sisi lain, masyarakat Dayak masih sangat berpegang
teguh dengan adat dan tradisi yang berlaku. Perbedaan pandangan inilah yang
kemudian kerap memunculkan konflik atau ketegangan antara ajaran agama
Katolik dengan adat dan tradisi masyarakat Dayak.
Dalam konteks upacara adat totokng, apabila ditinjau dari sudut pandang
ajaran agama Katolik, tentunya akan mengundang sejumlah pandangan yang
bersifat negatif. Sebagaimana yang terdapat sepuluh firman Allah pada perintah
pertama yang intinya adalah mengecam keberhalaan berbunyi:
“Dimintai dari manusia supaya hanya beriman kepada Allah, dan bukan kepada allah-allah lain, dan supaya tidak menghormati allah-allah di samping Allah yang Esa. Kitab suci mendesak terus menerus untuk menolak berhala. Pemujaan berhala tidak hanya ditemukan dalam upacara
81Albert Rufinus, 2004. “Ne’ Baruakng Kulub: Tema Dan Pesan” dalam
Petronella Regina (ed)., Agama Dan Budaya Dayak. Institut Dayakology., hlm. 56.
56
palsu di dunia kafir. Ia juga merupakan satu godaan yang terus bagi umat beriman. Pemujuaan berhala itu ada apabila, manusia menghormati dan menyembah suatu hal pencipta sebagai pengganti Allah, apakah itu dewa-dewa atau setan (umpamanya satanisme) atau kekuasaan, kenikmatan, bangsa, nenek moyang, negara, uang, atau hal-hal semacam itu”.82 Sesuai dengan pandangan ajaran gereja Katolik di atas, bisa ditafsirkan
bahwa manusia hanya boleh mempercayai satu Allah yaitu, Allah yang Maha Esa.
Sementara itu, bentuk-bentuk penyembahan di luar tersebut adalah bentuk
penyembahan berhala dan menyangkal dari perintah Allah. Jadi, secara dogma
manusia hanya percaya, taat, hormat dan patuh pada satu kekuatan yaitu Allah
Yang Kuasa.
Lalu bagaimana dengan upacara adat totokng dalam tata perayaannya
bertujuan untuk memohon atau memuja kepada Allah mereka sendiri yaitu,
Jubata (Tuhan)? Selain itu, mereka juga sangat patuh dengan aturan-aturan yang
telah ditetapkan oleh nenek moyang. Apabila ditinjau dari sepuluh firman Allah
dalam alinea pertama, tentunya sangat bertentangan dengan ajaran agama Katolik.
Karena sesuai dengan ajaran agama Katolik, bahwa bentuk kepercayaan semacam
ini dikategorikan ke dalam bentuk penyembahan berhala atau penyangkalan
terhadap Allah yang Maha Esa.
4.3 Modernisasi Upacara Adat Totokng
Kata “modernisasi” adalah simbol kemajuan. Modernisasi berasal dari kata
dasar modern, di mana kata modern tersebut mengacu pada masyarakat yang tidak
terbelakang. Menurut Everett Rogers, modernisasi merupakan proses dengan
82P. Herman Embuiru, 1995. Katekismus Gereja Katolik. Ende Flores:
Arnoldus., 544.
57
mana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup lebih
kompleks dan maju secara teknologis serta cepat berubah.83
Manusia dan budayanya dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan
yang begitu cepat. Perubahan tersebut seiring dengan semakin majunya teknologi
dan informasi dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, pola pikir dan cara
pandangan suatu masyarakat terhadap budayanya juga mengalami hal yang sama.
Oleh sebab itu, semua bentuk karakteristik manusia dan kebudayaanya
disesuaikan dengan perubahan zaman.
Sejalan dengan perkembangan teknologi dan informasi, muncul rasa
keenganan, terutama bagi generasi muda untuk mempelajari dan memahami nilai-
nilai kekayaan warisan budaya leluhurnya. Sikap semacam inilah yang kerap
membuat adat dan tradisi masyarakat Dayak Kanayatn semakin hari semakin sepi
dari perhatian atau bahkan terkesan hampir punah.
Di tengah-tengah dampak transformasi budaya yang terus menggejala,
upacara adat totokng masih tetap dilaksanakan.84 Hanya saja, upacara adat
tersebut telah jarang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Kanayatn. Karena
menurut tradisi, kepala hasil mengayau boleh dikubur atau dibakar setelah
dipelihara selama tujuh keturunan. Selain itu, disebabkan adanya kata sepakat
83M. Franscis Abraham, 1991. Modernisasi Di Dunia Ketiga: Suatu Teori
Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya., hlm. 5. 84Upacara adat totokng tidak dilaksanakan setiap tahun, seperti halnya
dengan upacara adat naik dango. Upacara adat naik dango merupakan acara rutinitas yang dilaksanakan oleh masyarakat Dayak Kanayatn sebagai bentuk wujud rasa syukur atas keberhasilan hasil panen padi. Upacara ini di laksanakan setiap tanggal 27 April. Sebagaimana yang terdapat dalam masyarakat Dayak Kanayatn di kecamatan Menyuke, upacara adat totokng biasanya di laksanakan minimal 4 tahun sekali.
58
tidak mengayau di daerah Sijangko, perbatasan antara kecamatan Mandor dan
Sengah Temila. Lebih dari itu, kepala- kepala hasil mengayau pada beberapa abad
silam sudah hampir punah setelah dikubur atau dibakar. 85
Selain itu, untuk melaksanakan upacara adat totokng dibutuhkan biaya
yang sangat besar. Upacara adat ini harus disesuaikan dengan asal-usul keluarga
dan dari keturunan cerdik-pandai adat, di samping itu dikhawatirkan mendapatkan
jukat (musibah).86
Apabila dilihat dari segi fungsinya, upacara adat totokng telah mengalami
pergeseran. Zaman dahulu upacara adat totokng dilaksanakan dalam rangka untuk
mengaktualisasikan diri bagi mendapatkan pengampunan dosa dari Jubata (Sang
Pencipta). Selain itu, menurut kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn yang
terdapat di kecamatan Menyuke, upacara adat ini sangat berperan penting bagi
kehidupan. Pada konteks ini, apabila dalam kehidupan masyarakat mengalami
berbagai macam jukat (musibah). Semisalnya, penyakit dan hasil panen
mengalami penurunan dalam periode 4 tahun terakhir, maka diadakannyalah
upacara adat totokng.87
Dalam perkembangannya, upacara adat totokng dilaksanakan dengan
kecendrungan lebih pada unsur ekonomis. Dalam hal ini, setelah selesai
menyelenggarakan upacara adat totokng dilanjutkan dengan acara kesenian daerah
85Elias Ngiuk., op. cit., hlm. 44. 86Petronella Regina (dkk)., op. cit., hlm. 67. 87Hasil wawancara dengan Amuk Jolak. Tanggal 7 Januari 2009. Dusun.
Angkamu, Desa Kayu Ara, Kecamatan Menyuke Kabupaten Landak.
59
yakni Jonggan.88 Dengan disertai Jonggan, ini tentunya akan mengundang
munculnya warung, perjudian, mabuk-mabukan dan yang lainnya. Dengan
demikian, apabila dilihat dari kaca mata adat, tentunya sangat bertentangan atau
menyimpang dari upacara adat totokng yang sesungguhnya.
88Elias Ngiuk., op. cit., hlm. 48.
60
BAB V
FUNGSI UPACARA ADAT TOTOKNG
BAGI MASYARAKAT DAYAK KANAYATN
5.1 Konsep Kosmis
Menurut Nico Andasputra, secara umum cara pandang atau pemikiran
masyarakat suku Dayak mencakup tiga dimensi yakni realitas mutlak, manusia
dan alam.89 Ketiga dimensi ini dihayati dalam setiap tingkah laku manusia Dayak,
di mana memiliki keterkaitan atau terjadinya proses kesinambungan, sehingga
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Bagi masyarakat suku Dayak,
pandangan tentang makna kehidupan tidak tergantung pada masalah
kesejahteraan, realitas atau objektivitas sebagaimana yang dipahami oleh manusia
modern, tetapi dalam keseimbangan (kosmis).90 Hal inilah yang terkadang
membuat masyarakat suku Dayak dalam setiap realitas kehidupanya sangat
dipengaruhi oleh dunia mistis dan sulit untuk dinalar dengan akal pikiran.
Secara kompleks, kebudayaan Dayak berpangkal pada alam pikiran mistis
realitas manusia Dayak yang tertuang dalam unsur-unsur kebudayaan seperti adat
istiadat, bahasa dan kesenian yang telah disesuaikan dengan sub-suku masyarakat
Dayak. Namun demikian, terkandung konsep yang sama yaitu pengakuan akan
adanya realitas yang bersifat sangat mutlak pada alam.91
89Nico Andasputra, 1992, “Manusia Dayak Dan Konsep Pemikirannya”
dalam Kalimantan Review (KR), No. I/Th. I/ November-Maret, hlm. 16. 90Fridolin Ukur., op. cit., hlm. 15. 91Nico Andasputra., op. cit., hlm. 13.
60
61
Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, seperti layaknya sub-suku Dayak
lainnya, masih memiliki adat dan tradisi yang kuat. Sehingga tidak
mengherankanlah kalau cara pandang atau pola pikirnya sangat dipengaruhi
kekuatan religio-magis. Kepercayaan religio-magis tersebut salah satunya
terwujud dalam tradisi mengadakan berbagai upacara tradisional seperti hal,
upacara adat totokng sebagai salah satu bentuk wujud penyerahan diri kepada
Jubata (Sang Pencipta).
Masyarakat Dayak Kanayatn sangat mempercayai, bahwa keterkaitan
antara dunia nyata dengan dunia gaib merupakan sumber kehidupan atau sesuatu
yang dapat memberikan kehidupan kepada manusia.92 Selain melalui upacara
adat, perwujudan kepercayaan kosmis masyarakat adat Kanayatn tercermin dalam
perbuatan dan tindakan sehari-hari yang selalu selaras dengan mitos yang menjadi
sumber kebijakan mereka dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan
hidupnya.
5.2 Penghormatan Kepada Roh Leluhur
Secara umum, masyarakat Dayak memiliki suatu kepercayaan yang
kompleks dan sangat berkembang dalam hal sistem kepercayaan. Berdasarkan
tradisi dalam masyarakat Dayak, kompleksitas sistem kepercayaan tersebut
mengandung dua prinsip yakni: 1) unsur kepercayaan yang menekan pada
pemujaan nenek moyang. 2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu dengan
92Poltak Johansen & Christiany Ariani, 1993, “Masyarakat Dayak Dan
Lingkungannya”, dalam majalah Kalimantan Review (KR), No. 5 / Th II/ September-Desember, hlm. 5.
62
kekuasaan tertinggi dan merupakan suatu prima causa dari kehidupan manusia.93
Sementara itu, prinsip-prinsip dari sistem kepercayaan itu sesuai dengan hasil
penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Kalimantan Barat adalah sebagai berikut:
“Di temukan bahwa, sistem kepercayaan kepada nenek moyang atau leluhur dalam masyarakat Dayak itu berisi tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang dan manusia dengan alam berserta isinya. Sedangkan, Tuhan tertinggi yang satu memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (divinity). Karakter pertama mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi” dan karakter yang lainnya tinggal di bawah atau yang “lebih rendah”. Dalam hal ini, orang Dayak sangat mempercayai kedua karakter ini masing-masing memuat yang baik dan buruk. Secara kompleks, masyarakat suku Dayak sama-sama mempercayai kedua prinsip tersebut memiliki kekuatan yang lebih tinggi”. 94 Sehubungan dengan itu, menurut Coomans, sikap religius suku Dayak
sangat patuh terhadap aturan-aturan atau adat dan tradisi yang telah ditetapkan
oleh nenek moyang mereka. Dengan kata lain, segala macam bentuk tindakan,
perbuatan, tingkah laku dan teladan nenek moyang harus di patuhi dengan baik.
Sikap yang tidak meniru teladan nenek moyang adalah bentuk perbuatan yang
tidak direstui oleh dunia ilahi. Dengan menuruti sikap teladan nenek moyang ia
akan menjadi bahagia hidup di dunia ini. Dengan demikian, tingkah laku dan
93 Syarif Ibrahim Alqadrie, 1994. “Mesianisme Dalam Masyarakat Dayak
Di Kalimantan Barat: Keterkaitan Antara Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang Dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi, dalam Paulus Florus (dkk)., Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology., hlm. 23.
94Ibid.
63
perbuatanya berdasarkan realitas, objektivitas dan nilai-nilai yang terkandung
pada peristiwa zaman purba yang diaktualiasikan kembali dalam dirinya.95
Atas dasar tersebut, upacara ritual adat totokng dalam masyarakat suku
Dayak Kanayatn, tidaklah bisa dikatakan sebagai bentuk menyembah berhala.
Secara kolektivitas, upacara adat totokng merupakan salah satu bentuk aturan-
aturan adat dan tradisi yang telah dilaksanakan oleh leluhurnya selama beberapa
ribu tahun yang lalu.
Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Kanayatn, upacara adat ini
dilaksanakan karena mereka sangat patuh akan peraturan yang telah ditetapkan
roh-roh leluhurnya (nenek moyang). Kalau tidak melaksanakannya, maka secara
kosmos keterkaitan antara mereka, alam dan Jubata (Sang Pencipta) akan menjadi
terputus. Kalau hubungan itu terputus, maka masyarakat tersebut akan mendapat
jukat (musibah).
5.3 Melindungi Pertanian
Upacara adat totokng bagi masyarakat Dayak Kanayatn di masa kini masih
sangat relevan dilaksanakan karena diyakini dapat membawa berkah terutama di
bidang pertanian. Hal ini terkait dengan tradisi mengayau pada zaman dahulu,
apabila hasil panen mengalami penurunan atau terkena hama dan yang lainnya,
dibutuhkan kepala hasil mengayau sebagai persembahan.
Pada prinsipnya kepala orang yang dipersembahkan dalam pelaksanaan
upacara adat totokng, biasanya kepala orang-orang yang mempunyai manna (jiwa
dan kekuatan) yang tinggi. Semisalnya, orang kaya (hasil pertanian, harta pusaka
95Mikhail Commans., op. cit., hlm. 79.
64
dan sebagainya), panglima dan baliant (dukun handal). Karena memiliki manna
yang tinggi, maka diyakini akan mendatangkan berkah atau rejeki yang melimpah
di bidang pertanian. Selain itu, mampu melindungi seluruh kampung dari berbagai
macam jukat (musibah).
Pada masa kini, orang Dayak Kanayatn tidak lagi melaksanakan adat
mengayau. Untuk itu, kepala yang dipersembahkan untuk upacara totokng adalah
kepala hasil mengayau pada zaman dahulu.
5.4 Membangun Identitas
5.4.1 Pelestarian Tradisi Lisan
Masyarakat Dayak adalah masyarakat lisan. Oleh karena itu, tradisi lisan
memainkan peranan sentral dalam tatanan masyarakat. Dalam tradisi lisan
tercakup totalitas konspsi-konsepsi dasar ideologi, dogma, doktrin, filsafat
sejarah, bahasa, sastra, hukum dan kebiasaan serta nilai-nilai sentral, struktur
sosial, serta cara-cara berhubungan dengan alam nyata dan alam mistik.96
Atas dasar tersebut, maka tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat
Dayak Kanayatn harus tetap dijaga dan dilestarikan. Secara kolektivitas, tradisi
lisan itu menghubungkan antara masyarakat dan kebudayaanya. Selain itu,
sejumlah tradisi lisan yang terdapat dalam masyarakat Dayak Kanayatn berfungsi
sebagai pengikat tali persaudaraan atau kebersamaan.
96Stepanus Djuweng, 1996. “Orang Dayak, Pembangunan Dan Agama
Resmi, dalam Th. Sumarthana (ed)., Kisah Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Dian/ Inferdei., hlm. 8.
65
Tradisi lisan Dayak Kanayatn merupakan pengetahuan bersama
masyarakat yang dipakai sebagai sumber informasi, penyaksian dan kebiasaan
lisan. Pertama, sebagai informasi, tradisi lisan dapat ditemui dalam bentuk cerita
lisan seperti, tentang kepahlawanan, Ne’ Kancat, Ne’ Dara Itapm, asal usul,
kejadian, cerita Ne’ Baruakng Kulub dan yang lain-lainya. Kedua, penyaksian,
tradisi lisan berupa pengetahuan masyarakat diwujudkan lewat upacara
keagamaan seperti totokng, baliatn, badendo97 dan nyangahatn.98 Ketiga,
kebiasaan lisan pengetahuan tentang gotong royong dalam kegiatan balale’ ka’
uma (bersama-sama ke ladang).99 Ketiganya tersebut, secara rutinitas
dipraktekkan dari waktu ke waktu dan merupakan sesuatu yang telah mengikat
dan mengakar dalam masyarakat Dayak Kanayatn.
Sementara nilai yang terkandung dari tradisi lisan tersebut di dalamnya
dapat langsung dirasakan dan diperoleh. Dengan kata lain, tradisi lisan tersebut
dapat memberikan makna dan harga (nilai). Adapun makna atau nilai dari tradisi
lisan bagi masyarakat Dayak Kanayatn adalah sebagai berikut:
1) Dalam hal pekerjaan sebagai bentuk karya atau amal perbuatan.
2) Sebagai langkah untuk memahami tentang waktu.
3) Untuk menghubungkan manusia dengan sesamanya.
97Upacara yang berhubungan kegiatan pengobatan atau membayar niat. 98Nyangahatn atau biasanya disebut doa. Nyangahatn biasanya dipratekan
doa-doa dalam setiap upacara seperti, Baliatn atau Liatn, Naik Dango (pesta padi), totokng, dan sejumlah deretan dalam prosesi upacara keagamaan lama yang lainnya.
99Albert Rufinus., op.cit., hlm. 60.
66
4) Menghubungkan manusia dengan alam sekitarnya (kosmis).100
Lebih dari itu, tradisi lisan Dayak Kanayatn kini telah hadir dalam
kegiatan formal seperti, pendidikan dan materi kajian pemerintahan desa. Hal ini
terlebih didukung oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1) Karena tradisi lisan setempat diikutsertakan dalam kurikulum materi
kebudayaan.
2) Mampu menyadarkan tentang masyarakat norma-norma adat yang
berlaku.
3) Dalam dunia pendidikan, terutama bagi siswa-siswi SLTP dan SMA
dijadikan sebagai bahan mata pelajaran Muatan Lokal.
4) Sebagai media atau alat cerita komunikasi bagi generasi muda atau
sumber pengetahuan untuk memperkuat identitas.101
5.4.2 Upaya Membangun Identitas
Menurut Jhon D. Waiko tradisi lisan merupakan landasan kesadaran diri
dan otonomi dalam sebuah komunitas, ketika mereka berinteraksi dengan
lingkungannya. Atas dasar tersebut, apabila peranan tradisi lisan itu tergeserkan
dan terlupakan maka kesadaran diri, otonomi dan identitas masyarakat juga pasti
demikian.102
Sebagaimana ungkapan Jhon D. Waiko di atas, ingin menegaskan agar
tradisi lisan Dayak Kanayatn yang dikenal cukup kaya harus tetap dijaga dan
100Ibid., hlm. 61. 101Ibid. 102Stepanus Djuweng (ed)., op. cit., hlm. x.
67
dilestarikan, apalagi jangan sampai dilupakan. Tradisi lisan itu sendiri tercakup
dalam komponen yang dinamakan dengan “kebudayaan”. Lebih dari itu, tradisi
lisan merupakan bentuk cerminan atau identitas masyarakat Dayak Kanayatn.
Seperti halnya, dengan tradisi lisan dalam upacara keagamaan adat yang
lainnya, upacara adat totokng masih sangat penting untuk dilestarikan. Dengan
mengingat upacara adat ini masih dilaksanakan secara tutun temurun. Dalam hal
ini pelaksanaan upacara adat totokng tidak hanya dipandang sebagai simbol
“pertobatan”, tetapi juga merupakan simbol “kemakmuran”. Selain itu, upacara
adat ini juga memiliki nilai kearifan lokal terhadap pelestarian hutan.103 Secara
kompleks, semua praktek upacara adat ritual dalam keagamaan adat memiliki
makna bagi setiap aspek kehidupan masyarakat Dayak Kanayatn.
Atas dasar tersebut, maka upacara adat totokng harus tetap dijaga dan
dilestarikan, karena mengingat upacara adat ini sangat berfungsi bagi kehidupan
masyarakat Dayak Kanayatn. Dalam konteks ini, setidaknya bagi generasi muda
Dayak Kanayatn harus bisa mengetahui, mengerti dan memahami adat dan
tradisinya. Selain itu, orang Dayak Kanayatn harus merasa bangga akan
budayanya sendiri. Dengan demikian, akan meningkatkan kesadaran yang tinggi
demi menjaga keeksistensi budayanya untuk membangun identitas yang mantap
dan tangguh.
103http:// kompas-cetak/ 0507/daerah/ 1870227.
68
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang “Transformasi Budaya: Upacara
Adat totokng dalam Masyarakat Dayak Kanayatn, secara keseluruhan dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, menurut masyarakat Dayak Kanayatn, dengan melaksanakan
upacara adat totokng, menunjukan sikap kepatuhan mereka kepada adat dan tradisi
yang telah ditetapkan oleh leluhurnya. Selain itu, untuk menjaga keseimbangan
antara alam dan Sang Penciptanya Jubata (Tuhan). Apabila, hubungan tersebut
terputus maka, akan mendapat hukuman berupa jukat (musibah). Untuk
menghindari hal tersebut, maka masyarakat Dayak Kanayatn melaksanakan
upacara adat totokng.
Kedua, terjadinya proses dinamika pada upacara adat totokng, setidaknya
disebabkan oleh tiga permasalahan; kebijakan Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda melalui Perjanjian Tumbang Anoi 1894, pengaruh masuknya ajaran
agama Katolik dan pengaruh modernisasi dalam upacara adat totokng. Dari ketiga
permasalahan tersebut membawa dampak transformasi budaya pada upacara adat
totokng.
Pada abad ke-19, pemerintahan Hindia Belanda telah berhasil membawa
perubahan dalam budaya masyarakat Dayak, terutama melalui Perjanjian
Tumbang Anoi 1894. Melalui Perjanjian Tumbang Anoi, telah terjadi
penyeragaman terhadap adat dan tradisi seluruh masyarakat Dayak di Borneo
68
69
(Kalimantan). Sementara itu, adat mengayau dalam masyarakat secara umum
berhasil diminimalisirkan. Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, dampak dari
perjanjian tersebut membuat kegiatan adat mengayau secara perlahan-lahan
dihentikan dan upacara adat totokng semakin jarang dilaksanakan.
Sementara itu, kemunculan para missionaris (Katolik) dianggap telah
berhasil karena mampu melepaskan masyarakat Dayak dari kebodohan dan
penindasan melalui pendidikan. Keberhasilan para missionaris tidak lain karena
mereka bersikap toleransi terhadap adat dan tradisi yang berlaku dalam
masyarakat Dayak. Dalam hal ini, para missionaris berhasil memasukan dan
mempersatukan unsur-unsur agama Katolik dalam budaya Dayak Kanayatn yang
lebih dikenal dengan istilah “enkulturasi budaya”. Namun demikian bukan berarti
budaya Dayak dan agama Katolik tidak ada pertentangan, hanya saja dalam
bentuk skala kecil (miskomunikasi). Karena tidak semua adat dan tradisi dalam
masyarakat Dayak Kanayatn bisa diterima dengan sepenuhnya, hal ini terlebih
dengan upacara adat totokng. Menurut ajaran gereja Katolik, bentuk upacara
semacam ini tentu saja sangat menyimpang dan diakui sebagai bentuk
penyembahan berhala.
Dalam modernisasi dengan semakin majunya perkembangan teknologi dan
informasi dan semakin melemahnya struktur adat, membuat upacara adat totokng
berada di persimpangan jalan dan bahkan seakan terkesan punah. Transformasi
budaya ini tidak hanya terjadi pada upacara adat totokng, tetapi mencakup semua
adat dan tradisi dalam masyarakat Dayak Kanayatn.
70
Ketiga, upacara adat totokng selain disimbolisasikan sebagai lambang
“pertobatan”, untuk memperoleh jalan keselamatan dari Jubata (Sang Maha
Penciptanya). Upacara adat ini juga sangat berfungsi bagi masyarakat Dayak
Kanayatn, karena diyakini akan mendatangkan berkah bagi seluruh masyarakat
terutama di bidang pertanian. Lebih dari itu, untuk menghindari jukat (musibah),
seperti munculnya berbagai macam penyakit, gagal panen, mengusir roh halus dan
yang lainnya.
6.2 Saran
Pertama, kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Dayak Kanayatn
harus dijaga dan dilestarikan, agar secara turun temurun dapat berjalan dengan
baik. Dalam suatu komunitas masyarakat yang tangguh, mereka sangat
menjunjung tinggi dan menghargai adat dan tradisinya sebagai pengikat identitas
diri. Bagi masyarakat Dayak Kanayatn, terutama bagi generasi muda tidak hanya
memandang sebelah mata terhadap kebudayaannya. Dalam hal ini, mereka harus
memiliki rasa bangga menjadi kesatuan dalam masyarakat Dayak Kanayatn.
Kedua, masyarakat Dayak Kanayatn harus berkembang dan berubah untuk
membangun diri dengan syarat harus tetap berada di atas rel tradisi, melalui
perilaku murni Dayak Kanayatn. Dalam hal ini, masyarakat Dayak Kanayatn
diharapkan supaya untuk memperkuat potensi dasar yang kokoh dan kuat yang
dikembangkan dalam kehiduapan nyata.
Ketiga, semua pihak yang terkait seperti, Lembaga Adat, Lembaga
Swadya Masyarakat (LSM), generasi muda Dayak Kanayatn dan pihak yang
lainnya, secara kolektif mempublikasikan adat dan tradisinya melalui media
71
massa maupun cetak. Dengan harapan, agar semua intrepretasi (gambaran)
tentang budaya Dayak tidak hanya dipandang sebelah mata atau hanya dilihat dari
sisi eksotisnya. Dengan demikian, semua bentuk stigma tentang Dayak dan
budayanya, secara kompleks yang dikenal sebagai pemburu kepala, kotor, bodoh,
primitif, takhayul, tidak beradab dan yang lainnya, tidak secara terus menerus di
amini oleh berbagai pihak. Lebih dari itu, hal ini akan mampu memperkuat
identitas masyarakat suku Dayak Kanayatn yang mantap dan tangguh.
72
KEPUSTAKAAN
A. Buku
Abraham, Franscis. M. 1991. Modernisasi Di Dunia Ketiga: Suatu Teori Pembangunan. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Anyang Thambun. 2001. Daya Taman Kalimantan: Dalam Arus Modernisasi.
Jakarta: Grasindo. Bamba, Jhon (Ed). 2008. Mozaik Dayak: Keberagaman Sub-Suku Dan Bahasa
Dayak Di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakology. Budiono Herusantoso, 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta:
Penerbit PT. Hanindita. Commans, Mickhail. 1987. Manusia Daya; Dahulu, Sekarang dan Masa Depan.
Jakarta: PT. Gramedia Utama. Dudung Abdurahman, 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media. Djuweng, Stepanus (dkk). 2003. Tradisi Lisan Dayak: Yang Tergusur Dan
Terlupakan. Pontianak: Institut Dayakology (ID). Edi Petebang. 2005. Dayak Sakti: Pengayauan, Tariu, Mangkok Merah. Institut
Dayakology (ID) Embuiru, Herman P. 1995. Katekismus Gereja Katolik. Ende Flores: Arnoldus.
Florus, Paulus dkk. 2005. Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi. Pontianak: Institut Dayakology (ID).
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hulten, H.J. Van. 1992. Hidupku Di antara Suku Daya. Jakarta: PT. Gramedia.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang.
Lontaan, JU. 1975. Sejarah Hukum Adat Dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda TK.I Kalbar.
Maniamas Midden. 2000. Buku Narasi Upacara Adat Totokng. Pontianak: Institut
Dayakology (ID).
72
73
Mudji Sutrisno & Hendar Putranto (Ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Nieuwenhuis, A.W. 1994. Di Pedalaman Borneo. Perjalanan Dari Pontianak Ke
Samarinda 1894. Jakarta: Gramedia. Petronella, Regina (Ed). 2004. Agama Dan Budaya Dayak. Pontianak: Institut
Dayakology. R. Dove, Michael (Ed). 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam
Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sumarthana (Ed). 1996. Kisah Kampung Halaman: Masyarakat Suku, Agama
Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Penerbit Dian/ Inferdei. Yekti Maunati, 2004. Identitas Dayak: Komodifikasi Dan Politik Kebudayaan.
Yogyakarta: LKIS. Vinsentius Julipin, Nico Andasputra (Ed). 1997. Mencermati Dayak Kanayatn.
Pontianak: Institut Dayakology. B. Majalah, Skripsi dan Internet
Http:// kompas-cetak/ 0507/daerah/ 1870227. “Totokng” Tradisi Dayak Menghormati Tengkorak Musuh”. Jumat, 27 Mei 2007.
Http// stellamaris-siantan blogspot.com/2009/08/ Bermulanya Gereja Katolik Di
Kalimantan Barat. Sabtu, 10 Oktobert 2009.
Http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu-5-1979.htm. Minggu, 20 Juni 2010.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Vikaris_ Apostolik. Minggu 20 Juni 2010.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Prefektur_Apostolik. Minggu 20 Juni 2010.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Ordo_Yesuit. Minggu 20 Juni 2010.
Http://id.wikipedia.org/Ordo_Kapusin. Minggu 20 Juni 2010.
Majalah Kalimantan Review, No.IV/ Th. II/ Mei-Agustus, 1993. Majalah Kalimantan Review (KR), No. 96/Th. XII/ Agustus, 2003. Majalah Kalimantan Review (KR), No. I/ Th. IV/ April-Juni, 1995.
74
Majalah Kalimantan Review (KR), No. 5 / Th II/ September-Desember, 1993. Majalah Kalimantan Review (KR), No. 2 / Th. I/ Januari-Juni, 1992. Yonarius Kompu. 2003. Sistem Perladangan Daur Ulang Dayak Kanayatn
Sebagai Upaya Mengembalikan Alam Pada Citranya (Tinjauan Kultural Teologis). Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana. Tidak diterbitkan.
Yohansen, Sejarah Borneo dan Isi Perjanjian Tumbang Anoi. http://bs-ba.Face
Book.com?topic.php?uid=119020229698&topic=11007je napisao/laAugust 24, 2009 u 9:56 prije podne.
C. Sumber Wawancara
N0 Nama Lengkap Umur Pendidikan
Terakhir Pekerjaan Alamat
01 Amuk Jolak 79 Tahun
SR Kepala Adat Dusun Angkamu, Ds. Kayu Ara, Kec. Menyuke, Kab. Landak.
02 Maniamas Midden 69 Tahun
SR Kepala Adat Dusun Saleh, Simpang Aur, kec. Sengah Temila, Kab. Landak.
03 P. Yeremias Ofm.Cap 71 Tahun
S2 Biarawan Pastoran Menjalin, Kec. Menjalin, Kab. Landak.
75
LAMPIRAN
HASIL TRANSKRIP WAWANCARA
Nara Sumber: Amuk Jolak
Umur: 79 tahun
Jabatan : Kepala Adat Binua Setolo
Alamat: Dusun Angkamu, Desa Kayu Ara, Kecamatan Menyuke Kabupten
Landak
Tanggal: 7 Januari 2009
Hari: Rabu
Jam: 11.12
Topik: Upacara Adat Totokng Versi Menyuke
P :Kek, pertama-tama aku mau nanya pendapat kakek dulu, apakah yang
dimaksud dengan upacara adat totokng itu?
NS :Maksud totokng kan ritual mengangkat hidup.
P :Ya…itu pengertianya ya…
NS :Ha…
P :Habis itu, totokng dan notokng, apa perbedaanya?
NS :Totokng dan notokng?
P :Iya…
NS :Sama jak, ndak ada bedanya.
P :Mungkin bisa kakek bisa jelaskan secara panjang, bagaimana sejarah
munculnya upacara adat totokng itu gimana zaman dulu?
NS :Sejarah munculnya totokng zaman dulu itu begini, jadi zaman
pengayauan ini ndak salah, peperangan antar daerah ke daerah lain,
asalnya yang terjadi perselisihan batas, bunuh membunuh antara suku
Dayak dengan Dayak. Jadi, sudah terjadi pembunuhan segala panglima-
panglima yang sebelah itu tadi, Semisalnya, antara Sambas dan Sekayam,
siapa yang menang itu yang totokng. Totokngkan kan kepala itu, Jadi,
totokng itu ritualnya mengangkat hidup, disamping untuk karena ada
75
76
suatu-suatu kehidupan kita orang Dayak ini yang agak susah ya
dilaksanakannyalah adat totokng. Adat ini adat yang tua, adat laki atau
gawe laki atau kata bahasa Dayaknya, supaya kehidupan yang merosot tadi
bisa makmur lagi, kalau tidak dapat padi, kalau padi ini banyak kena hama
diadakannyalah upacara adat totokng. Jadi, totokng dan peraga totokng dan
kepala kering tetap diadakan.
P :Tadikan kakek mengatakan bahwa, kepala itu harus kering dan kalau
basah itu bedanya apa?
NS :Yang basah ini dapat baru, kalau yang kering yang kita dapat waktu
zaman nenek dulu.
P :Jadi, kepala itu harus benar-benar kering
NS :Ya, benar-benar kering. Ndak ada sekarang kepala basah lagi.
P :Ha…kalau kriteria untuk kepala itu, ha, apakah memenuhi kriteria
tertentu apakah dia memang orang hebat atau apa gitu, di daerah jajahan
itu?
NS :Ya, daerah orang yang hebat, yang hebat panglima, hebatnya kaya, yaitu
itu. Entah, istilahnya dia itu istilahnya dukun begitu. Ya, Itu kepalanya
yang diambil yang bisa kita simpan.
P :Itu kenapa, Kek?
NS :Karena itu mengambil tuah manusia itu, mengambil rejekinya, sepertinya,
saya kepala adat dan saya dicintai oleh daerah sana, harus dapat kepala
saya ini. Supaya kalau dapat saya tetap totokng, saya yang totokngkan dia
kata yang mengijinkan. Sekali dapat ya dan dibersihkan diserahkan dengan
dia. Ha…kepala dia ”lihat ini dia gitu”, diserahkan barulah mengadakan
upacara adat totokng. Jadi, yang itu ada upahnya.
P :Upahnya itu berapa apa?
NS :Upahnya berupa adat, seperti babi, segala ayam dan yang lainnya, apa
namanya peraga-peraga adatnya tu yang lengkap ngasi dia dan babinya itu
sebelah.
P :Dipotong dulu ya...
NS :Ha..a…
77
P :Itu dipotong dulu sebelah itu kenapa, Kek, maksud dan makna itu apa?
NS :Itu apa namanya untuk upah bagi seseorang yang berhasil mendapat
kepala.
P :Memang harus demikian ya, Kek,
NS :Ya…
P :Kalau nggak, gimana, Kek?
NS :Kalau ndak diberi itu wilayah kekuasaannya diambil.
P :O begitu ya…
NS :Karena sudah janji.
P :O..karena sudah ada perjanjian sebelumnya, ya..Kek.
NS :Ha…kalau begitu kau ndak bisa totokngkan ini ndak ngupah saya ambil
tanah-tanah kau ini karena udah menjadi bagian dari hak saya.
P :Ha…biasanya tu yang ikut ikut berperang apakah itu Timanggong
ataukah orang-orang yang terkuat di desa itu atau gimana?
NS :Biasanya yang ikut ini para pengurus adat, dan para panglima, sepertinya
kita di Banyuke ini Patih juga ikut. Segala panglima-panglima itu
kumpulkan datang kesana dan orang-orang kaya kumpulkan untuk
memberi tunjangan, kalau ndak ada beras dan untuk memberi makan bagi
anak istrinya mereka yang ikut pergi mengayau. Selama ngayau 7 hari,
dapat ndak dapat pulang.
P :Apa namanya tad?
NS :Hari Kamang, kamang itu kan orang 7, jadi kan bejalan bertujuh, kita
makai dia 7 hari jak.
P :Oya…biasanya mengenai Kamang, sejauh pemahaman saya membaca
tentang adat Dayak Kanayatn itu, kalau Sengah Temila sepengetahuan
saya itu ada empat nama Kamang dan Banyuke itu ada tujuh Kamang,
kalau Banyuke yang ketujuh nama kamang itu siapa saja namanya?
NS :Saya sih ndak tahu nama Kamangnya, tapi saya cobalah jawabnya…
P :Ha,..
78
NS :Nama Kamang itu, Bujakng Nyangko (kepala Kamang), Kamang Tariu,
Kamang Layo, Kamang Bantukng, Kamang Kebugo, Kamang Kedahing,
(ahe seko’agi’ ya..) (apa satu lagi ya), Kamang Bunsu.
P :Itu biasanya kan zaman dulu ada mengayau, apa segala macam mereka
itu kan yang duluan kan roh-roh nenek moyanglah mungkin ya Kek,
NS :Ya…
P :Itu biasanya kalau mau melaksanakan kegiatan mengayau (mencari
kepala) itu dipanggil mereka semuanyakah dan dikumpul atau bagaimana?
NS :Kamangnya?
P :Ya,…dipanggil.
NS :Ndak. Waktu kita mau pergi dipanggil, waktu itu kita manggilnya bukan
dirumah di Patok dengan kamang.
P :Patok itu apa? bahasa Indonesianya…
NS :Istilah adat.
P :Ho…istilah adat.
NS :Ha..
NS :Bikin adat di Patok dulu.
P :Ho…mau bikin adat ya patok itu..
NS :Ya…kita matok itu dianok itu ndak ditajur kalau patok kamang itu ditajur
tu dibukit, ayam 1 anjing 1 dibawa situ.
P :Itu baru berangkat ya?
NS :Ya, kalau mau berangkat.
P :Biasanyakan setiap desa-desa kan itukan perang dulu, setelah mereka
dapat kepala dan badanya diambil atau dibuang atau bagaimana dan
kepala kan pasti dibawa sedangkan badanya gimana?
NS :Dibuang
P :O…
NS :Tinggalkan.
P :O…gitu ya,..
NS :Kepalanya jak yang diambil bawa pergi. Lalu lihatkan mukanya dengan
orang yang minta tadi.
79
P :Itu biasanya tergantung persetujuan antara masayarakat mau menyerang
siapa gitu ya?
NS :Ha,
P :Misalnya, apa namanya misalnya mau menangkap Tono, misalnya kan?
apakah sudah ada persetujuan sebelumnya di antara masyarakat?
NS :Memang sudah persetujuan.
P :O…memang harus menangkap itu…
NS :Ha,
P :Jadi, itu memang udah diincar ya…
NS :Ha, memang dah diincar. Tapi, yang paling banyak terbunuh itu, itu udah
merayap namanya kita ndak bisa menangkan dialah kan!
P :Ha,..
NS :Ketemu bunuh itu namanya udah merayap. Kalau yang dincar ini yang
udah kita yang kita ajaki gitulah. Udah kita cintai, Itu memang di patok
dulu siapa kekuatannya daerah itu, panggil rohnya kalau kita datang disitu
dia ndak anok, ndak angkat termasuk ndak bersemangat lagi, cari masing-
masing cari dan kalau dia disitu namanya kita mencintai satu kampung
itulah, itu bahkan memang dia siap apa namanya benteng untuk menjaga
kampung itu, maka kita itu di Patok dulu dia supaya dia ndak
bersemangat. Jadi, malam berapa kita bukanya begitu, hari apa, alatnya
apa-apa yang kita dibawakan. Maka dianggap 7 Kamang ini tadi, adanya
namanya Penoret kan, ada yang sebagai kepala karena yang nama
penoreh, adanya yang sebagai kepala, ada yang penyimpan, ini dah
kemanusiaannya, apa ndak kalau kita totokng itu pakai anak Kayo 7 (anak
Kayo) yang tukang nyari-nyari itu tujuh. Maka, Kamang itu memang
disebut 7 Tujuh beradik.
P :Ya,..tujuh kakak adik ya...Biasanya dulu itu terjadinya mau mencari
kepala itu harus jauh ya?
NS :Jauh…misalnya, kita mengayau di daerah Sambas, Sekayam dan
mempawah, ini biasanya terjadi karena pertentangan batas.
P :Jauh-jauh yang nyari nya.
80
NS :Aok…(ya). Mengayau Mempawah ini kan perkelahian pertentangan
batas.
P :O…Biasanya terjadi adat mengayau itu apa-apa saja permasalahanya,
Kek,?
NS :Biasanya asal mula terjadi pengayauan perselisihan batas.
P :Misalnya, batas itu memang sudah ada terjadi perselisihan. Selain batas,
apalagi itu lagi, Kek?
NS :Ya, itulah selain masalah batas ndak ada, tapi siapa yang memperkuatkan
batas ini.
P :O...gitu untuk mempertahankan diri
NS :Untuk mempertahankan diri, menjadi benteng, misalnya Timanggong
Sano, umpamanya lah kan atau mangku sano panglimanya sano, ha, itu
yang di Patok tu. Itu diteliti dulu mempertahankan batas biar sampai kita
bebunuh dibatas itu jangan sampai diberikan. Masalah timbul kayo-
mengayau. Jadi perkara ini asalnya, kan perkara dulu antara dua batas ini
dan laporlah kepada raja.
P :Kek, kalau zaman dulu, raja itu disebut apa di masyarakat Dayak?
NS :Memang raja. Memang zaman dulu raja, raja Melayu dan raja Jawa. Jadi,
perkara ini tak terputus-putus, sama keraskan, belumlah bebunuh belum.
Jadi, ini hasutan dari raja suku Melayu dengan mengirimkan tembako.
P :Tembako itu maksudnya apa?
NS :Tembako punjam tu satu keranjang.
P :Itu, sebagai upetikah itu?
NS :Ini sebagai tanda hasutan.
P :Ho, cari panas gitu ya…
NS :Supaya menghasut yang sebelah ini, kirim tembako dan kain hitam,jadi
kain hitam itu dikirimlah ke untuk apa dan ini tembako ini untuk sugih
artinya kau ini perempuan bukan jantan, bukan jago, bukan berani. Jadi,
kalau gini raja nyuruh kita peranglah, peranglah, jadi timbullah kayo-
mengayau. Intai, mengintai, sampai disitu bunuh-sampai disitu bunuh.
Bunuh yang sipil-sipilnyalah dulu untuk cari perkelahian ini. Barulah cari
81
Panglimanya, lalu bagaimana cari panglimanya ya…di patok. Timbulkan
jalan adat patok gitu bah cerita asal perang ngayau tu. Dapat kepala itu
barulah kita bikinkan adat totokng.
P :O..gitu ya, berarti dari situ ya proses sejarahnya, itukan zaman dulu dan
sekarangkan sudah berubah pasti ya. Jadi, saya disini ingin melihat
bagaimana perkembangan upacara totokng zaman dulu dan sekarang. Jadi,
sekarang saya mau nanya sama kakek, bagaimana proses upacara mulai
dari awal berupa persiapan, bahan-bahan apa-apa dan pelaksanaanya
gimana gitu sampai selesai.
NS :Jadi, adat upacara totokng itu kan kumpulkan masyarakat-masyarakat,
pengurus-pengurus, kita mau mengadakan upacara adat totokng. Totokng
ini adatnya sejenis gawe.
P :Apa itu gawe?
NS :Sejenis adat pesta atau gawe seperti, gawe totokng, gawe sunat, gawe
baliant, gawe balenggang, gawe naik dango, ini yang disebut gawe. Tapi
yang gawe padi itu gawe meluakng.
P :Meluakng itu apa, Kek?
NS :Ngumpulkan orang.
P :O..ya,
NS :Bikin adat, bikin tempat padi itu tinggi-tinggi, pakai bidei, pakai tikarkan
lampan kata zaman dulu, toyo, Betoyo tu
P :He…Betoyo itu apa?
NS :Bidei atau kelasah (tikar anyaman dari rotan).
P :Oya tahu..
NS :Yang dimasukan dalam anok ni, pas nanti isi padi itu nama gawe
bahanyi’ atau (ngarah), namanya beberapa kampung itu dikarah dulu
dikumpulkan gawe padi namanya. Ini gawe totokng, gawe laki, gawe tua.
Setiap gawe itu hanya makai 1 hari 1 malam, baliant 3 malam, pun 1 hari
1 malam yang pakai. Mengapa, waktu kita membunuh babi yang besar itu,
dukun tu kan! itukan besoknya mau habis malam ini-hari ini dia mau
bunuhnya, disebut gawe sahari samalam, (satu hari satu malam). Biarpun,
82
Balenggang 7 hari 7 malam pun 1 hari 1 malam yang disisakan begitu
untuk terakhirnya, maka di Banyuke seluruh Menyuke, kalau dah gawe tu
1 hari 1 malam.
P :Ngak lebih ya?
NS :Ndak, Karena ini bunuh tanun liant tadi, tanum babi itu. Kalau
balenggang tu kan bunuh tanumnya waktu naik dango, Ha, itu tanum
orang balenggang ke dango bunuh dia. Kalau baliant ini ada di dangau
ada yang di baliant kan itu disebut 1 hari 1 malam, hari ini bunuh babi
besoknya selesai.
P :Biasanya Kek, babinya itu ada kriteria tertentu ngak?
NS :Totokng?
P :Ya..
NS :Tertentu.
P :Misalnya, kayak gimana itu?
NS :Terutama bikin adatkan, totokng tu buka bidei, 1 babi kan, baru
malamnya satu babi baru datang dari pasingahant dari tempat pantak
tadikan 1 babi hanya 3, keempat naik dango, kelima penutup kita baliant.
P :Kek, biasanya kalau persiapanya apa aja kalau mau totokng itu?
NS :Persiapannya totokng, peraga adatnya kah?
P :Ha, sepertinya tumenggung kan pasti ikut jadi pemimpinkan,
NS :Iya…
P :Biasanya siapa saja yang dibawa gitu?
NS :Untuk persiapan, persiapan yang mau dipakaikah?
P :Iya,
NS :Kan, sebelum melakukan ritual itukan pasti ngumpulin apa-apa yang mau
dibutuhkan gitu?
NS :Ha, persiapanya kita itu kan bikin pentasnya dulu kan!
P :Ha,
NS :Tempat segala pangkeng-pangkeng kata bahasa kita itu Paseban.
P :Paseban itu apa?
NS :Alat yang didepan rumah, yang bentuknya seperti meja.
83
P :Oya, kata bahasa diri’ (kita).
NS :Segala buluh kuning bunuh bala tu, buluh bala 7 pokok
P :Apa-apa aja itu?
NS :Buluh bala, bambu yang kuning, yang kuning garis.
P :Harus kuning ya, itu Kek?
NS :Kuning!
P :Kalau nggak kuning kenapa?
NS :Ndak bisa.
P :Kalau nggak bisa itu, kenapa itu?
NS :Memang udah peraturanya,
P :Ho, memang udah peraturanya…
NS :Baru kita bikin anok kelangkangnya tu aur yang besar yang besar gini
bah,
P :Iya, ha...
NS :Itu tujuh tu, belahnya ini tujuh dan tingkatnya 3, ha, 3 tingkat.
P :Kalau mengenai bahan-bahannya apa saja, Kek?
NS :Tumpi’ (cucur), poe’ (lemang), ini istilahnya pinggankan!
P :Ha,..
NS :Inikan diberi keretan poe’ kan! Poe’ (lemang) bukan di kerat begini
disusun rapi, jadi semua alat distu semuanya 7, tumpinya 7, bontokngnya
7, karetnya 7, itu alat baru itu lagi kita letakan di Paseban ada belahan
buluh 7 pokok namanya kasih makan kamang, apa bah namanya itu,
o…kita ngasih kamang makan. Beri kamang makan dia 7 beradik
P :Oya, jadi makanannya serba tujuh gitu ya o…jatah buat 7 kamang itu….
NS :Tengkobakng.
P :Tengkobang itu apa?
NS :Tengkobakng, itu buluh yang bulat begini cari yang panjang anok panjang
luasnya dibelah dan sebelah ditancap sikit dan sebelah tancap sikit baru
diberi ronkok tujuh. Diberi nasi, darah, kapur sirih, darah ayam, itulah kita
kasi.
84
P :Kek, kan setiap dari misalnya darah apa segala segala macam itu, apakah
mempunyai makna tersendiri, misalnya kenapa harus makai ayam, babi,
NS :Itu untuk dia kasih dia makan. Jadi, mereka itu, itulah bentuk
pengampunan kita terhadap dia persembahanlah gitu kepada orang yang
halus tadi yang kita panggil begitu. Kalau ndak lengkap itu ndak boleh.
P :Misalnya, ayam harus warna merah itu kenapa?
NS :Ndak, yang bunuh warna putih, semuanya merah, semua jago.
P :Kalau babinya gimana kriterianya?
NS :Laki-laki.
P :O…jadi, semua binatang yang dipersembahkan pada kamang itu laki-laki
semua.
NS :Laki-laki semuanya. Ayam laki, babi laki, anjingnya laki, anjingnya laki,
dan P :Kalau anjingnya?
NS :Warna merah
P :Merah sekali atau bagaimana?
NS :Hitam boleh, merah memang itulah dia…
P :Ha, untuk kriteria untuk binatangnya ada berat-berat tertentu nggak?
NS :Binatangnya ada berat tertentu..
P :Biasanya berapa itu?
NS :Babi, yang pertama sekitar kalau sekarang beratnya 25 kilo, ngampar
bidei (tikar) kalau malam kita itu sekitar 50 kg itu untuk nama betagakng,
maka disebut betagakng maka itu disebut gawe. Betagakng dulu
malamnya kumpulkan segala anak cucu tu menghadap kesitu, belum dia
lagi yang diluar sana tu.
P :Kalau ayamnya, Kek, berapa kilo?
NS :Ayamnya berat 1/5 kg
P :Kalau anjingnya?
NS :Anjingnya sudah bujang, udah ngalanga kata kami.
P :O..persyaratan lihat itu! jadi nggak perkilo?
NS :Yang udah bujang, bersih, jangan bunuh anjing yang sedang berkurap,
segala kadal, segalanya itu ndak boleh dan babinya harus bersih gitu bah.
85
P :Biasa bahan-bahan kayak, anjing, ayam, segala babi biasanya bahan untuk
prosesi itu berapa ekor biasanya?
NS :Babi 5 ekor,
P :Ayamnya berapa ekor?
NS :Ayamnya 7 ekor yang jantan,
P :Ha, anijngnya?
NS :Anjingnya 1 ekor.
P :Ha, waktu motong itu ada cara tersendiri ndak? apakah langsung dipantus
(langsung potong saja) atau gimana gitu?
NS :Anak kayo naik dia motong anjing dulu, setelah anjing itu potong dia kita
tukang anok pawangnya mengambil darahnya ditaru dinasi, nasikan
memang ada didaun taruh disitu darahnya. Anak kayo itu tujuh kali dia
ngangkat, dengan palang yang dibawanya tadi, ini darahnya kan naikan
u…u…sampai 7 kali dia mantus (memotong) babi lagi pak…hantam
babinya
P :Sampai putus ya,
NS :Ndak, supaya darahnya keluar dia pun 7 kali ngasih pawangnya makan.
Habis itu potong lagi ayam kasi lagi darahnya, baru darah, babi, anjing,
ayam, kita yang anok pendoa ni pawang kasi dia makan, sama tujuh
kamang itu. Panggil “woi…nia nagsi’ kita’ makatn” (woi…ini kami beri
makan dengan kalian)
P :Biasanya, kalau bacaan itu kira-kira bagaimana? apakah menggunakan
asa, dua, talu (satu, dua, tiga) atau gimana?
NS :Ndak.
P :Ndak, beda ya?
NS :Beda.
P :Beda dengan upacara adat lain ya,
NS :Ya, kalau kita hanya tu kita udah beri makan ndak lagi baca-baca tinggal
ngampak jak.
P :Ngampak itu apa?
NS :Manggil dia.
86
P :O ya, gitu ya.
NS :”Woi gitu…”Ini nia kasii’ kita’ makan”, na’ usah ngacau, ganggu, anak
perempuan, penonton, na’ usah ngaco dijalan di tajur di Gampeng, kalau
nang agi’ tidur laka’ makatn nia permohonan ma’af kami pada kita’ ”.
P :Bilang Kamang itu ya,
NS :Ha, bilang kamang.
P :Kan, pelaksanaanya sudah selesai apa lagi yang dilakukan?
NS :Dah, ngasi dia makan lagi, babinya itu kan dimasak, toleh (diiris-iris),
direbus, segala, ambil peraga-peraganya dan dilentangkan di Paseban itu,
diletakan di daki tumpinya yang tujuh tadi kan. Di atasnya kan ada
babinya, segala karet poe’ nya 7. Itu diletakan disitu beri sirih masaknya 7
begitu.
P :O…
NS :Ya, Jadi, buis babi ini digantung. Ada buisnya (kulit ini bah), ada
tulangnya, hatinya, tulang rusuk, jadi itu digantung kepada ke bambu yang
kuning tadi yang 7. Jadi anak kayo itu megang kalau udah untuk
penggembalikan nanti, umpamanya habis aku bacakan kasih orang makan,
baca masaknya gitulah beri makan lagi. Habis beri makan kita manusia
pun makan dulu, ini dah penutupan. Udah makan, kita pun bunyikan Dau,
gong, kita mau mengembalikan dia. Setelah itu, kita pawangnya ini
manggil lagi, kamang ini dipanggil lagi ”Kita’ kamang tari, kamang tajoh,
kamang ganting, darah karebekng” nyuruh mengembalikan segala bahu,
kedukuk, pasak, latsa marikng. Jadi, pulakng…pulakng…ini diguncang ni.
Jadi kasih tau kamang itu, pulakng…pulakng…sambillah berteriak,
pulakng…kan panggil lagi “Kalau ada segala penyakit ini- penyakit ini
sa’ ia pulakng man kamang tariu” guncang pulakng…pulakng…kubehnya
tuk...duk…., tandanya dia dah pulang. Jadi, bunyikan lagi tang..tung…
tung… lagi kan! panggil lagi diam jak dulu, panggil lagi penyakit babi,
penyakit ayam pokoknya semuanya dikembalikan. Baru kita manggil
semangat padi…”Kalo ada semangat padi layo sasa, negeri hong kong,
negeri siam, negeri Sinangkan, layo ka’ cina, ka’ laut ka’ belanda pokok
87
sampe urangkng dagang, supaya kita’ kamang tariu pulakngan…iya’ layo,
iya’ sasat”, baru anok lagi kan! “Pulakng…pulakng…pulakng man
kamang tariu ame ditamaan ka’ padi” dan baca lagi dan apalagi dah
terakhir setelah itu habis. Kita anak kayo ini natas babi ini kita ambil
sendiri, masing-masing ngambil
P :Oya, yang para tumenggung itu…
NS :Ha, pada anak kayo. Kepala binua juga ada makanya
P :Kepala Binua (Kepala Adat) juga ikut makan.
NS :Ada masing-masing dapat bagian. Ada dapat kaki, ada yang dapat ini
kepala binua, kepala totokng ini sepertinya tuah rumah dapat ini, anok
pengatur totokng dapat ini, sampai dapat buis babi sebesar gini. Diatur tu,
kita kumpul semua pawang-pawang,semua anak kayo, semua pak ahli-ahli
pengatur adat, kumpul kau tumenggung ini, kepala kampung ini, kau
pasirah ini, berturut makanan itu namanya kebagian, kebagaian ngatur
adat babi (pembagian). Baru tukang pawang, pengantar penyangahatn ini
(pendoa), tuah patok, tuah tahu,tuah bidei, ini sampai disitu ngaturnya,
bidan, dukun semua dapat babi.
P :Itu kan prosesinya sudah selesaikan, kan, setelah selesai itukan ha, tempat
acara tadi masih ditinggalkan dalam berapa hari?
NS :3 hari 3 malam
P :Jadi, selama tiga hari tiga malam itu ada diberikan bacaan tertentu,
nggak?
NS :Ndak, ada cuma dibiarkan saja.
P :Jadi, setelah tiga hari tiga malam itu, kenapa lagi?
NS :Bongkar dia, motong ayam 1 ekor Lgi.
P :Dan, babinya?
NS :Untuk baliant, di rumah tempat upacara notokng.habis itu pagi motong
ayam lagi ditempat Paseban lagi kan. Jadi, semua barang-barang itu
dihantar kehutan diletakan dipokok-pokok kayu yang besar
P :Kayunya itu ada kriteria-kriteria tertentu nggak?
88
NS :Ndak, pokoknya jangan sampai dilewati orang.disimpan disitu dan potong
ayam, anjing disitu dan selama 3 hari itu ndak boleh diambil lalu setelah
itu baru boleh diambil. Itu namanya Simpana (pantangnya). tukang
pawang diberi pinggan 1 dan tempayan 1 itu sebagai pangkaras, anak kayo
yang tujuh 7 pingganya untuk dia pulang. Kalau ada kerasukan berarti
potong ayam dekat rumahnya, anak kayo ini tidak bisa langsung pulang
masuk rumah tinggal diam saja disitu menghadap pintu tinggal beri orang
makan segala roh-roh tadi jangan ikut setelah dikembalikan baru dia boleh
masuk.kalau masuk pun dia akan dimandikan air bunga, orang tertentu tadi
anak kayo, pembaca doa dan 3 malam tidak boleh tidur didalam, tidur
dengan istri, anak.
P :Itu biasanya paling lama berapa hari?
NS :1 hari 1 malam, Cuma persiapannya yang lama
P :Waktu pelaksanaan upacara itu apakah ada tarian atau gimana gitu?
NS :Ada, yang mau nari boleh.
P :Apa nama tariannya?
NS :Tarian suka-suka, menari gitu, kalau siapa yang nari ini ada tampung
tawarnya Carek dan Pawang harus menari dan misalnya, kalau saya mau
menari boleh.
P :Sejauh pemahaman saya dalam masyarakat Sengah temila ada makai
gong, sedangkan kalau dalam masyarakat Banyuke,
NS :Makai 4 gong
P :Selain gong apalagi?
NS :Gong, Dau, kubeh (gong yang paling besar) dan pemukulannya
menggunakan rotan yang besar.
P :Oya kek, kan bu
NS :Kalau harapan saya sebagai pengurus adat, sebagaimana pun adat ini
jangan sampai dilepaskan dan dipunahkan. Itu harapan saya sebagai
pengurus adat. Maka kami ini selaku pengurus adat akan terus mencari
aturan-aturan adat, walaupun kami rasanya sudah cukup kami akan
89
mencari lagi. Harapan kami, jangan sampai adat itu jangan sampai
dihilangkan, gitu jak!
P :O.. itu harapan kakek, kalau selama ini apakah semacam salah satu usaha
atau upaya dari para Tumemggumg di Banyuke ini untuk memperkuat
budaya, itu apakah sudah ada sebelumnya baik acara apa gitu biar secara
turun temurun, itu udah ada ya?
NS :Belum ada.karena apa, karena generasi muda ini ndak pernah menanya,
kita ini mau nyalinkan sama siapa atau memungsikannya dia kan, sebagai
pengganti atau penerus, karena apa sekarang, maaf ya, pengaruhnya
televisi, minuman, jadi disitu anak-anak ndak percaya.kalau jaman kami
dulu orang tua itu cerita waktu gawe (pesta), pertemuan, sunat, pertemuan
naik dango, makan padi baru, itu cerita dia tentang adapt jadi anak-anak
ini suka dengar. Jadi, kalau sekarang putar Televisi dan dia lihat televisi,
secara ini sudah hilang. Zaman dulu udah zaman ketinggalan, jadi itu
hampir-hampir tidak nyambung ritual adat itu karena ndak yang nanya.
Kalau dia minum bukanya 1 gelas, sebelum mabuk belum puas, lalu mau
bagaimana lagi.
NS :Kalau tentang totokng itu memang sangat penting bagi adat, karena
fungsi-fungsinya tadi, pengambalian hama, setan, penyakit, pemanggilan
segala semangat padi, maka ndak bisa dihilangkan sebenarnya. Sekian
tahun harus dilakukan atau tujuh tahun atau 5 tahun, tapi kebanyak tujuh
tahun. Kita bikin adat itu dirasakan dulu, apakah manfaatnya, berhasil atau
tidak ya, kalau dia berhasil 7 tahun atau dari tujuh juga ndak apa-apa. Tapi
kalau dia ndak berhasil 5 tahun kita udah bikin aja. Tapi ini sekarang adat
totokng ini secara pribadi sudah mengikutsertakan seluruh kecamatan.
P :Kek, mengenai tentang upacara totokng tentang Banyuke sudah kakek
jelaskan,tapi saya ingin minta pendapat dari kakek,apa perbedaanya yang
sangat kental antara dayak Banyuke dan Sengah Temila, itu apa?
NS :Perbedaanya yang sangat kental, kalau sengah Temila makai totokng 7
hari memang dikatakan adat tapi sudah bisnis, tapi kalau Banyuke ini
kalau totokng betul totokng upacara apapun tinggalkan tidak boleh, cara
90
bikin adatnya, judi, buka Jonggan kan! kalau menyamping kesitu ngak
boleh. Dah, itu perbedaan kalau disana buka judi baru dapat hasil untuk
biaya totokng katanya, biaya, tapi ndak ada.Tapi kalau Menyuke dipungut
dulu ni kumpulkan dulu ongkos-ongkos ini cukup ndak! asal cukup boleh.
kalau belum cukup cari lagi bagaimana untuk mencari dana kepada
masyarakat, kumpulkan kepala kampung, ketua tahun, Pasirah dan
Timanggong, sekarangkan udah ada dewan adat pak camat, itu
menyaksikan semua kumpulkan berapa biaya hitung.apa-apa yang
diperlukan. Kalau jaman kami dulu binua Angkabang 1 babinya, binua
Setolo 1 babinya, binua betung 1 babinya, binua Sakandis, tujuh binua 7
ekor babi, yang dipakai 5 dan 2 ini untuk dimakan sebagai sayurlah, kasi-
kasi makan kepada yang diundang, segala tumengung, pasirah itu dikasi
makan itu dimulaikan dia panggil makan. Ayam satu-satu 1 binua. Jadi,
Timanggong ini manggil lagi kepada binuanya (Kepala Adat) siapa yang
mau anok babinya, ho..saya ada, ada berat sekian.kalau untuk anok duit,
mau padi, ho..padi kumpulkan padi untuk membayar tadi.
P : Kek, saya rasa acara wawancaranya sudah cukup. ”Ma’ kasih manya’
boh” (terima kasih ya).
NS : Aok…(Iya).
Nara sumber: Maniamas Midden
Umur: 69 tahun
Jabatan: Mantan Aktivis Institut Dayakology (ID)
D/a: Dusun Saleh, Simpakng Aur, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak
Hari: Minggu
Tanggal: 7 Maret 2009.
Jam: 15.27 Wiba.
Topik: Upacara Adat Totokng Versi Sengah Temila
91
P :Apakah yang maksud dengan totokng? ya, mungkin bapak bisa jelaskan
dengan cara panjang lebih atau lebih komprehensiflah gitu?
NS : Apa perbedaan arti kata totokng dan notokng?
P : Ya.
NS : Jadi totokng itulah salah satu bentuk dari upacara adat, notokng adalah
orang yang melaksanakan adat totokng. Jadi, upacara totokng itu berarti
tadi telah dijelaskan bahwa, disitulah dia membuang dosa.karena
bagaimanapun kalau sifatnya membunuh sesama manusia itu dianggap
berdosa, apa boleh buat tadi karena ingin mempertahankan wilayah, kalau
ndak perang zaman dulu terpaksa membunuh orang. Jadi, dianggapnya
membunuh orang itu, namun dengan alasan bagaimana pun tetap berdosa
makanya dia mengadakan upacara adat totokng. Jadi, seolah-olah dia
menyesali perbuatanya begitu, mengaku kesalahanya kepada Tuhan. Di
samping itu juga karena musuh yang dibunuh itu bukan langsung dibunuh
langsung, tetapi dia dilukai dulu, sehingga dia tidak bisa melawan dan
ditanya namanya siapa dari kampung mana orang itu.Nah, setelah itu
orang itu menjawab saya dari kampung ini,ini nama saya, ni bapak-ibu
saya, tapi sudah jodoh saya mau kamu bunuh terima kasih apa boleh buat,
cuman kepala tengkorak saya ini harus di upacara adatkan saya harus
diberi makan gitu kan? dan, tujuh keturunan dari bapak, anak,cucu harus
adakan upacara adat totokng kalau keturunan kalaian tidak sempurna,
sumpahnya itu. Jadi, supaya jangan sumpahnya itu akan menjadi tuah
terhadap kehidupan orang itu maka dia akan melaksanakan upacara
totokng itu sampai 7 keturunan. Nah, di samping dia mampu mengusir
musuh dan mengmbil wilayah kembali maka dia diangkat sebagai
panglima di daerahnya, tapi disisi lain mendapat hukuman, hukuman itu
tadi tujuh keturunan totokng.
P :Kalau, kira-kira faktor-faktor apa saja, misalnya faktor-faktor perebutan
kekuasaan tanah, apa segalanya, ingin mendapat kekuasaan, apakah ada
faktor-faktor lain, misalnya seperti yang telah sebutkan tadi ada yang lain
nggak, faktor yang menyebab munculnya pengayauan (peperangan) tadi?
92
NS :Ya, ada juga yang lain tapi itu salah versi menurut saya. Memang ada juga
kadang dia bilang kalau itu mau kawin, harus nyari tengkorak, setelah ada
tengkorak baru perempuan kawin sama di. Ha..ini begitu tujuan yang
sebenarnya, masih dari dulu sampai sekarang masih ada. Umpama kalau
dulu, karena itu mampu mempertahankan wilayahnya, mampu
mempertahankan Binuanya atau kampung halamannya, sehingga dia
diangkat pangalokng (Panglima), ya jelaslah tetap maulah perempuan
kawin dengan dia, karena dia orang yang bertanggung jawab mampu
melindungi ”begitu kan”! tetapi dasar pokoknya bukan terlalu itu, sama
gak dengan sekarang, kalau orang tu dah sarjana tetap banyaklah
perempuan yang mau kawin dengan dia.
P : He……
NS :Begitu pengertiannya. Jadi, seratus persen ndak bisa dilimpahkan kesitu
untuk pengertian ini ndak juga, bukan juga karena dia mau kawin mau
ngayau (perang) dulu cari kepala, ini sudah memojokan dengan yang
aslinya.
P :Jadi, itu mungkin sebagai salah satu dari yang keberapanya gitu ya!
NS :Ya, begitulah kira-kira.
P :Kalau fungsi. Maksudnya, fungsi dari upacara ini kalau jaman dahulu itu
apa aja, Kek?
NS :Ya…
P :Kalau dikontekskan dengan jaman sekarang?
NS :Ya, fungsinya kalau jaman dulukan tujuanya yang saya katakan tadi,
bahwa walaupun dia mengganggap dirinya paling benar. Tetapi
membunuh manusia itu bukan mudah dia dirinya masih bersalah. Jadi,
fungsinya upacara adat itu, itu tadi supaya jangan dia buat dosa lagi.
Jangan menjadi kutukan lagi begitu.
P :A..mungkin apa nama itu. Langsung ke bagaimana prosesi upacara
totokng tu, A…mungkin bapak bisa langsung jelaskan, bagaimana prosesi
upacara ritual totokng itu mulai dari awal sampai akhirnya!
93
NS :Makanya, upacara adat totokng itu tadi ha…itu. Umpamanya, dia itu yang
menyerang ada 7 orang atau 8 orang. Jadi, semua orang yang membunuh
tadi, semua mengadakan upacara adat totokng. Makanya,kalau dia mau
mengadakan upacara adat totokng itu kan rapat dulu, rapat supaya
kampung tahu, pengurus adat tahu, dan malah kalau sekarang aparat
pemerinyah harus tahu adat itu akan dilaksanakan kapan, tanggal berapa,
hari apa. Jadi, dia ngadakan rapat, setelah diumumkan dalam rapat bahwa
dia akan mengadakan upacara adat totokng itu kan segala yang ikut
mengambil yang membunuh orang itu tadi juga ikut keluar biaya. Jadi
tentukan hari sekian, tanggal sekian, sesudah habis rapat lalu jadi setelah
mau mulai acara adat itu ad namanya upacara adat ngantukng itu. Artinya,
masa dalam persiapan uapacara totokng, persiapan alat-alat, namanya
tengkasam ikankah, salai burung, salai tupai, tengkasam babi hutan,
umpamanya. Ha..itu semua kan mok dicari, jadi dalam masa ngantukng,
jadi dalam bahasa ngantukng itu masa persiapan. Tetapi, dalam ngantukng
itu, jadi dia sudah mulai dibunyikan segala Dau, segala gong, segala
gendang besar itu 7 hari 7 malam lamanya. Ha, itu ada upacara adat nanya
namanya ngampar bidei. Ngampar bidei itu artinya upacara adat
membentangkan tikar untuk tempat mereka duduk dirumah dengan
upacara adat ngampar bidei, ya, potong ayam 1 ekor itu. Ha, jadi tujuh
malam untuk dia ngantukng tiap malam juga dia potong ayam 1 ekor-ekor
ditangga rumah. Maksudnya, kepala yang mau di totokng tadi udah
disiapkan. Ha, ayam yang 1 ekor dikasih makan sama kepala itu dengan
ayam yang 1 ekor, 7 hari 7 malam prosesnya. Sesudah itu, sesudah 7 hari 7
malam, udah mau hari “H” nya, besok hari “H” nya, hari dia pergi ke
tempat persembahan ke Panyugu atau Padagi namanya atau ke Pantak
disitu dia potong ayam bulu merah dia panggil Tariu ngambil Kamang
Tariu untuk dibawa ke Upacara adat totokng selesai dia disana, dia pulang
kerumah itu dengan anak Kayoan, anak-cucu, orang yang ikut mengayau
ke sana pulang dia dirumah. Bila dekat kampung, ada nama tempat
persinggahan namanya Pasingahatn
94
P : Pasingahatn itu artinya apa pak?
NS : Tempat dia istirahat.
NS : Oya…
P : Tempat dia istirahat, dia ganti pakaian atau mau mandi, atau makan di
sana kan?
NS : Ya…
P : Ha, topeng-topeng yang mau pasang topeng kemuka itu kan?
NS : Ha,
P : Ha, itulah nama tempat pasengahatn, disitu juga dia potong ayam. Kira-
kira jam 4 Sore, dia mau naik kerumah ngadakan upacra adat totokng.
Jadi, disana udah ada, ha, yang menyambut yang pertama-tama kepala
adat, Timanggong, menyambut kedatangan dari para panyugu tadi bahwa,
sekarang biasa Kapolsek untuk memberikan pengarahan supaya ndak ada
yang macam-macam disitukan. Ha, baru nama upacara adat itu nama
upacara adat Nigakng mantak itu baru membacakan doa ayamnya belum
disembelih namanya ”nigakng mantak”, Sesudah itu, apabila ayam sudah
direbus sudah masak baru dia mengadakan upacara adat Nigakng masak
berarti ayam itu direbus udah masak baru dia berdoa iman baru dia menari
ditengah lantaran rumah itu dia menari 7 kali keliling baru dia masuk
rumah.
P : Maksudnya tujuh kali itu, apa itu artinya?
NS : Tujuh kali berputar.
P : Maksudnya tujuh kali berputar, ada alasan atau arti tertentu nggak disitu?
NS : Ya, ada tertentu karena sifat hitungan itu harus tujuh, maka doa orang
Dayak itu, asa, dua, taluh, ampat, lima, anam, tujuh begitu juga kalau dia
mau berputar tujuh kali. Itu apa namanya, kode dengan roh halus. Setelah
dia ke dalam rumah, kira-kira setengah jam ada lagi upacara adat
mandikan babi karena mau motong babi. Jadi, babi itu dimandikan dengan
air bunga dibersihkanya babi itu, maksudnya, tujuanya, maknanya,
memerhatikan bunga itu begitu juga dengan orang yang notokng tadi
dianggap berdosa dah kotor dosanya sudah terbersihkan dengan upacara
95
ada itu tadi. Ha, sehabis itu dia bunuh babi, sesudah babi dibunuh direbus
sampai masak, baru dia mengadakan bagi iman namanya ngalesesatn
tumpi, ngalesesatn tumpi itu melemparkan cucur yang besar itu dilempar
diatas rumah maksudnya itu membuang dosa. Kalau bisa lagi cucur itu
kembali kedalam rumah, kembali lagi dosa itu kepada mereka. Kalau ndak
kembali, berarti dosa ndak kembali lagi begitu maksudnya. Artinya
membuang dosa. Habis kira-kira jam 4 dini hari. Ini udah pada mau
terakhir ni, topeng-topeng udah pada berpulangan-berdatangan dikasihlah
makan pulut yang dimasak atau pun topeng buta itu dikasih ayam 1 satu
ekor-ekor, lalu pada siang hari ada upacara adat magalbawar arti upacara
adat dirumah sudah selesai ndak ada lagi. Sehabis magar bawar, anak
kayoan dan iman pergi lagi ke tempat istirahat tadi ke pasengahatn tempat
ganti pakaian disitu dia berarti mengembalikan roh-roh halus yang
dipanggil tadi. Supaya jangan lagi kekampung halaman manusia. Totokng
sudah selesai begitu.
P :Prosesnya berapa lama tu, ha…itu biasanya kan kepala itukan
digantungkan?
NS :Ya.
P :Ha, itu prosesnya setelah itu berapa lama setelah itu?
NS :Kepala itu digantung?
P :Hu..maksud dikembalikan roh itu gitu bah!
NS :Ya, itu tadi apabila selesai acara dirumah kan!
P :Ha,
NS :Kepala itu, masih…disimpan dalam talam tembaga, dia belum digantung
lagi, dia mengembalikan roh-roh halus dulu.
P :Ho…dikembalikan dulu
NS :Hantu Kamang, Hantu pujuk, antah (entah) hantu apalah dikembali dulu
lah. Kan!
P :Ha,
NS :Baru dia pulang kerumah ada acara matah bantatn. Acara matah bantatn
itu mata subak tapi kalau bahasa adatnya gitu, tapi kalau bahasa orang
96
pintar itu apa ya…masuklah balas jasa, iman, pendoa, balas jasa orang-
orang yang bekerja disitu.Habis itu 3 malam 3 hari lagi kepala itu belum
dikembalikan tempat asalnya tempat gantunganya masih dalam rumah tu 3
hari 3 malam. Jadi, hanya menunggu disitu iman habis 3 hari 3 malam dia
potong 1 ekor ayam lagi baru dia mengembalikan kepala itu digantung di
atas lalu digantung lagi. Ha, tapi kalau upacara adat totokng itu udah
selesai sampai tujuh keturunan akan dikuburkan kembali ketanah.
P :Itu maksudnya kenapa harus dikuburkan kembali lagi?
NS :Karena manusia itu ndak boleh digantung lagi, karena pemeliharaanya
udah cukup.
P :Ho…a…
NS :Jadi, kalau kau asal dari tanah kembalilah tanah gitu…kan!
P :Kan, mengenai apa nama tu…a…misalnya kayak ayam, kayak babon
(babi) segala macamnya itu, biasanya ada kriteria tertentu ngak?
NS :Memang, kalau totokng itu banyak menggunakan bulu merah,kalau
panyugu, pasengayangatn, dikepala tangga itu merah, tapi yang lain
boleh-boleh saja. Hanya, tiga ekor itu yang harus merah.
P :Kalau babi, kalau babi itu kan hitam ada kriteria hitam semuanya, kalau
babi ndak yang penting itu kan babi ngak pilih bulu.
P :Siapa tau ada berapanya berapa gitu?
NS :Beratnya memang ada, kalau sebenarnya7 real. Kalau 7 real itu bahasa
adat, kalau bahasa timbangan kurang lebih 70 kg lah gitulah beratnya.
P :Wah…
NS :Makanya besar babinya.
P :Yang warna merah itu ada maksudnya ngak? Artinya apa?
NS :Merah itu tali persahabatan dengan orang bukit, dengan orang Pajoh atau
hantu Kamang begitu yang maba (bawa) Tariu.
P :Sepahaman, selama ini kan warna merah itu kan warna berani gitu…
NS :He….Ha…
P :Mungkin sampai kesitulah barangkali. he…
NS :Itukan memang sudah simbolkan memang.
97
P :Baik, kan setelah bapak selesai menjelaskan prosesinya sampai selesai,
jadi sekarang saya mau nanya lagi, sejauhmana peranan, maksudnya adat
tradisi lisan, terutama mengenai totokng ini. Harapan bapak, selaku orang
yang mengerti adat istiadat Dayak itu harapan untuk generasi muda
selanjutnya itu apa?
NS :Ya, harapan kami bagi generasi muda itu, tentang totokng takkan lah kita
mau kita mau mengayau lagi. Cuma, harapan kami ya, inilah menjadi
kesadaran kita semua, pertama, inilah budaya kita yang selanjutnya patut
kita angkat upacara ini karena kalau tidak tanggapan negatif orang lain ada
kepada kita, bahwa orang Dayak itu kalau ndak bunuh orang ndak kawin.
Gitu kan! Totokng itu orang Dayak berfoya-foya. Ya, keluar biaya
sebegitu-sebegini hanya cari tong judi itu kan!
P :Ha,
NS :Jadi, totokng itu bukan kemauan, tapi apa boleh buat dosa kita kan! maka,
kami yang begitulah mudahan-mudahan generasi muda itu bisa menangkis
yang itu.
P :Ya, ini khusus bagi generasi muda di Kal-bar, jadi saya nanya sebagai
jembatan untuk di luar itu ya, gimana?
NS :Ya,
P :Maksud orang Kalimantan di luarnya itu!
NS :Iya, kalau menurut saya si, ini mungkin juga terbentur pada kebiasan juga
mungkin ini ya,
P :Ya,
NS :Biasakan orang Jawa ini bilang kita berekor, biadab, kuno, kumuh, orang
zalim, tapi apabila kalau mau bunuh orang-bunuh orang. Ha, jadi begitulah
maksud saya supaya menghilangkan jejak-jejak yang begitu, ha, kita
dengan orang lain tanggapan orang lain begitu lagi maksud saya. Kalau
generasi muda juga menyebarluaskanya yang begitu dijelaskan dengan
yang lain.
P :Soalnya, biasalah kalau kayak sayalah, kalau mau kesana itu, apakah itu
ke Yogya atau kemana gitu,…
98
NS :He….ha….
P :Pokoknya diluar Kalimantanlah, kalau mendengar namanya orang Dayak
itu wah…ngerikan katanya,
NS :Ha,
P :Pembunuh makan orang katanya, lalu ya lalu saya sering menjawab gini!
yang membunuh itu bukan orang Dayak, tetapi sesuatu yang tidak bisa kita
ketahui, mungkin saya jelaskan secara…
NS :Terperinci. He….
P :Ya, secara terperinci gitu…maksudnya secara ilmiahlah gitu, ya kalau
mau pandangilah budaya orang itu dengan baiklah.
NS :Iya,
P :Jadi, dengan melihat budaya orang itu tidak bersifat negatif yang
positiflah.
NS :Harus juga dilihat yang positifnya…
P :Ha, gini, Kek, kan setiap sejauh pemahaman saya sedikit-demi sedikit
membaca tentang totokng itu kan!
NS :Iya,
P :Ha, ternyata didalam masyarakat Dayak Kanayatn kan, Dayak Kanayatn
ni kan banyak ada Banyuke,
NS :Iya,
P :Sengah Temila, apa bahasanya Ba ahe, Ba nana’ Ba kamene dan
segalanya, dalam prosesi upacara totokng itukan agak berbeda.
NS :Iya,
P :Jadi, disini saya mau menanyakan sama kakek.
NS :Iya,
P :Perbedaan antara totokng Banyuke dengan Sengah Temila, apalah yang
paling berbeda?
NS :Dari kondisi daerah, contohnya: kalau kami di Binua Talaga ini, kalau
manggil Tariu yang ndak bisa pakai anjing, kalau motong ha…marah
kamang itu
P :Oya,
99
NS :Tapi kalau didaerah Banyuke kan motong anjing, itu kan! karena kondisi
yang membedakan.
P :O…
NS :Totokng itu juga, mungkin berbeda dengan kami disini, tetapi hanya
perbedaan upacara nya tapi tujuanya tetap sama.
P :Oya…
NS : Ha, begitu, tujuanya sama, hanya upacaranya yang agak berbeda karena
kondisi, kondisi Darit (Banyuke) bisa pakai anjing, kalau kami ndak bisa.
P : He…
NS : Ha, itu perbedaanya.
P : Ha, Saya rasa cukup sampai sekian dulu ya kek, terima kasih.
NS : Iya…
Nama Narasumber: Pastor Yeremias Ofm. Cap
Umur: 71 Tahun
Pekerjaan: Biarawan
Alamat: Pastoran Menjalin, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak
Tanggal: 10 Desember 2009
Hari: Selasa
Jam: 12.00 Wib
Topik: Pengaruh Kristenisasi (Katolik) Terhadap Budaya Masyarakat Dayak
Kanayatn Dalam Upacara Adat Totokng
P :Kapan dan tahun berapa kaum missionaris mulai pertama kali masuk ke
Kalimantan Barat?
NS :Yang resmi seperti yang telah tertulis 1905, baru waktu itu sungguh-
sungguh dimulai seluruh Kalimantan.
P :Kalau tahun 1885 itu masih perindividual atau sudah perkelompok yang
datang?
NS :Bukan! pada waktu itu sudah ada kelompok lima orang…
100
P :Siapa-siapa saja?
NS :Yang pertama Hervef Bosch yang menjadi uskup pertama dengan empat
kawan itu, tapi saya lupa nama-namanya itu…
P :Itu yang pasti Ordo Kapusin ya?
NS :Iya, sebelumnya Kalimantan Barat telah dikunjungi oleh beberapa pastor
Ordo Yesuit dari Jakarta.
P :Siapa-siapa saja namanya?
NS :Ini semua ada dalam buku sejarah gereja saya rasa ini tidak ada
problem…
P :Bagaimana pandangan masyarakat Dayak terhadap orang missionaris?
NS :Mereka menerima dengan baik, perhatian tidak terlalu besar yang jelas.
Orang Dayak baru menjadi Kristen itu secara perlahan-perlahan saja,
tetapi waktu itu para missionaris tidak terlalu berusaha untuk semua
menjadi katolik. Mereka memperhatikan nasib rakyat dengan kesehatan,
sekolah, terutama di daerah pedalaman karena pemerintah Hindia Belanda
tidak memperhatikan daerah pedalaman dari berapa sekolah itu pemerintah
punya yang lain punya swasta itu. Lewat itu juga, agama mulai tersebar
dengan dan mereka berbuat baik terhadap orang Dayak dan membuat
suatu suasana agar mereka diterima. Dan, kemudian waktu itu, mulai
kekosongan dan mereka mulai bilang yang dulu tidak bisa harus
memperbaharui diri mereka harus berpikir suatu agama, mereka pada
umumnya menjadi katolik sampai sekarang dan bahwa jumlah katolik
berhubung dengan statistik pemerintah lebih besar dari pada statistik
gereja. Gereja itu hanya mereka yang sudah dibabtis oleh yang juga
belajar, tapi yang lain tidak selalu jumlah orang staistik pemerintah lebih
tinggi karena banyak Dayak walaupun belum beragama disebut Katolik.
P :Apakah ada pertentangan, pastor tadi menjelaskan bahwa, dalam kaca
mata saya sebelum masuknya missionaris, ketika masuknya Hindia
Belanda muncul pertentangan disitu. Misalnya, masuknya pendidikan.
Apakah ada pertentangan antara missionaris denganh Hindia Belanda?
terutama dalam dunia pendidikan?
101
NS :Mereka sampai tahun 1930-an itu mengalami kesulitan cukup besar pada
umumnya dengan pemerintah Hindia Belanda, sesudah itu kebebasan
untuk beragama jauh lebih besar dari sebelumnya, banyak dihalangi oleh
pegawai-pegawai pemerintah Hindia Belanda, mereka tidak terlalu suka
pada umumnya seperti sekarang ini masih sedikit tempat pembuangan
sumatera, Kalimantan tetapi kurang kalau pegawai tidak cocok bicara atau
kesulitan. Jadi, sulit bagi perkembangan itu.
P :Kapan ajaran Agama Katolik pertama kali masuk di Landak?
NS :Saya tidak tahu kapan mulai, pada tahun 1905 baru Singkawang lalu ini
perlahan-lahan berkembang baru tahun 1910 baru sampai di Pontianak,
sejiram di daerah pedalaman jauh lebih dulu, tahun 1908 di beberapa
tempat di Nyarumkop sudah ada sekolah dan di Sejiram ada sekolah dan
dulu anak-anak pedalaman dari Landak dikirim di sekolah itu terutama
dari Tiang Tanjung sudah cukup lama sekitar tahun 1920-an sudah ada. Di
Landak sendiri belum terlalu hebat itu permulaan tapi pengaruh itu pasti
ada, tetapi waktu itu stasi di Landak belum ada. Landak waktu itu masuk
wilayah Nyarumkop, para pastor juga sering kelililing turne (memimpin
sembahyang) di Landak.
P :Tapi yang lebih nyata, dalam wilayah masyarakat Dayak Kanayatn yang
pertama kali dikunjungi oleh para missionaris di wilayah mana?
NS :Yang jelas itu Tiang Tanjung yang paling pertama. Sekarang Landak,
dulu tidak ya…
P :Ya…
NS :Karangan dan sebagainya itu masuk wilayah Pontianak..
P :Muncul ramainya stasi-stasi di seluruh kabupaten Landak itu kapan?
NS :Baru mulai setelah Jepang, sebelum Jepang belum ada satu pun stasi,
disini baru dimulai sekitar tahun 1947-1948 sebagai stasi disekitar sini.
Stasi di Ngabang ini baru sekitar 20-30 tahun yang lalu. Jadi, semuanya
relatif cukup baru itu, sekarang di Landak di Kabupaten Landak mulai ada
Paroki mulai dari Ngabang, Menjalin, Darit, Serimbuk dan Mandor.
102
P :Seperti masuknya pengaruh-pengaruh missionaris di daerah Sejiram dan
yang lainnya. Kalau dalam masyarakat Dayak Kanayatn di Landak, itu
pertama kali itu bagaimana? Semisalnya, bagaimana orang missionaris
memandang orang Dayak pertama kali masuk disini dan sebaliknya orang
Kanayatn memandang para missionaris itu seperti apa?
NS :Dulu-dulu cukup sulit bagi para missionaris biasa tidak terlalu frontal
melawan apa mereka menerima segala-segalanya, namun apabila mereka
dibandingkan dengan orang Protestan jauh lebih toleran terhadap
kebiasaan adat istiadat masyarakat, baru setelah kemudian apa yang
disebut dengan menyesuaikan diri atau istilah enkulturasi, sampai sekarang
masalah enkulturasi itu belum beres masih ada pertentangan agama dan
adat, oleh dikarenakan orang Dayak Kanayatn, masih hidup dengan agama
yang mereka anut yaitu adat dan alam, sehingga ini belum bisa dipadukan
atau dikawinkan.
P :Lalu kira-kira alasan apakah yang membuat orang Dayak Kanayatn mau
menjadi agama Katolik? Apakah karena ajaran cinta kasih Yesus Kristus
itu atau apa seperti apa gitu?
NS :Sangat sulit untuk mengungkapkan semua itu, karena tidak ada sesuatu
untuk membuktikan pikiran tentang hal itu, ini ada beberapa alasan, satu
alasan jelas itu, orang Dayak hidup dalam suatu ketakutan terhadap alam
dan takut tiap ada persembahan, karena setiap kali ada sesuatu mereka
harus was-was, dan yang pasti mereka masuk menjadi agama Katolik,
karena rasa ketakutan mereka bisa hilang, karena mereka merasakan
bahwa Allah itu Maha baik, Salah satu contohnya: yang jelas bagi saya itu,
kalau hidup dalam satu kelompok belum beragama, agama resmi maksud
saya, mereka masuk Katolik itu sebelum tahu banyak apa yang mereka
tahu diberitahukan, Semisalnya mereka bikin kuburan Katolik itu supaya
benar-benar, orang anak-anak, orang tua dan supaya bisa dikuburkan
disitu, disembunyikan di hutan di tempat yang ditutup-tutup itu yang
menakutkan itukan itu ya, di mana tempat yang mengingatkan orang yang
sudah meninggal. Jadi, hanya satu tanda itu, bahwa tidak perlu lagi takut
103
terhadap segala-galanya yang telah terjadi lagi, misalnya kalau burung
lewat sebab ada suatu tanda yang tidak beres dan ini meliputi seluruh
kehidupan mereka. Dan, kenyakinan pada Yesus ini juga jelas yang
merasakan segala-gala dan juga sesuatu yang jelas itu, orang Dayak juga
mengalami bahwa segala kepercayaan yang ada seperti jaman dahulu tidak
bisa dipertahankan dan dengan sendirinya hilang, E…kalau ngomong
mengenai burung, kalau dulu itu mereka ke ladang melihat burung terbang
kesini mereka pulang, kalau ada ular ini itu ada sesuatu yang terjadi.
Kemudian karena kemajuan, secara teknis juga mendobrak adat dan
mereka mulai mengalami kekosongan dan ini perlu diisi dan orang Dayak
tidak bisa hidup tanpa beragama dengan seluruh kebudayaan Dayak itu
dijiwai dengan segala-galanya yang dalam setiap langkah dalam
kehidupannya berhubungan dengan di atas, seperti halnya bertani dan
sebagainya. Sekarang ini tidak berlaku lagi dan tidak mungkin lagi dan
artinya kosong dan mereka mencari benar sesuatu dan isi dan ini yang
rupanya cocok yang dipertanyakan agama Katolik yang dikenal dengan
baik dan pastor-pastor yang berkeliling itu mengubah ini itu dan
menceritakan segala sesuatu.
P :Kan, tadi pastor mengatakan bahwa semenjak Indonesia merdeka baru
masuknya agama Katolik di Landak, lalu setelah masuknya ajaran agama
Katolik sampai jaman sekarang, sebagaimana yang kita ketahui dalam
masyarakat Dayak dengan adat istiadatnya kan sangat kuat. Semisalnya,
setiap mau melakukan kegiatan bertani harus terlebih dahulu mengadakan
ritual adat. Pastor, apakah pernah ada munculnya konflik, seperti halnya
dengan ritual adat totokng?
NS :Yang jelas, konflik-konflik itu pokoknya kalau ada sesuatu yang tidak
benar atau tidak sesuai, bukan semua pastor, mereka memberitahukan
dahulu dan sekarang ini segala itu yang sesuatu ini pasti ada sesuatu yang
tidak beres itu, sebagai contoh: di lingkungan saya hidup disini di
Menjalin saya pernah mempertanyakan tiba-tiba diproklamir pamali
(pantang) ada rumah terbakar, ada orang mati sebelumnya, tentang
104
pantangan itu tanpa mereka cukup tahu, menurut saya tentang ritual itu apa
maksud dan tujuan itu mau diadakan yang pertama kurang sesuai dengan
peraturan adat sendiri, yang kedua dewan adat kecamatan ikut
memproklamir tidak berkuasa, ini menurut adat sama sekali tidak berkuasa
ini Timanggong (kepala Adat) yang berkuasa, dan sesudah berunding
dengan tokoh-tokoh masyarakat yang lainnya dalam hal itu, sama sekali
tidak dihubungi. Mereka juga menyesuaikan itu, dulu dimana itu tidak ada
upaya, tidak boleh memakai alat elektronik, saya bilang tidak boleh
telepon, saya bilang mereka tidak boleh bina instansi, tidak boleh kerja,
saya bilang kalau rumah terbakar tidak boleh dipadamkan, orang sakit
tidak boleh dibawa ke rumah sakit karena tidak boleh keluar dari rumah
juga dan banyak lagi, saya bilang pada dasarnya ritual itu bisa berarti,
bahwa kita tenang, merenungkan dan berdoa apa yang telah terjadi, tetapi
tidak sesudah itu untuk menghilangkan pantangan semacam itu dengan
peraturan dulu yang menggunkan elektronik, ha….disitu saya tegas itu,
ada beberapa orang yang marah yang mau membunuh saya.
P :Itu kapan pastor?
NS :2 tahun yang lalu, ada sebab kenapa saya katakan itu, bahwa tidak benar
bikin peraturan semacam itu, kalau mau menyesuaikan, ya disesuaikan
dengan situasi sekarang, bagaimana pun juga cinta kasih itu lebih penting,
ritual ini bukan maksud untuk membunuh orang atau apa, tapi kalau orang
sakit diberi ijin untuk dibawa ke rumah sakit. Dalam hal itu beberapa kali
ada petentangan di daerah Raba (dekat kecamatan Menjalin), pada waktu
itu pada hari jumat suci dengan mengadakan upacara adat dan panatang
saya bilang itu saya agak keberatan karena ini rumah tempat Tuhan itu hari
jumat agung kita kita menghormati Yesus yang mati tetapi jangan lepas
dari agama itu, saya waktu itu marah tapi distu otomatis ada konflik, tapi
bukan itu tidak bisa diatasi itu saya pikir kalau tidak omong waktu itu
banyak umat Katolik di Menjalin juga sangat gelisah dengan peraturan itu
mereka tidak berani melawan walaupun mereka menyakini dan ini
berbahaya akan mematikan adat kalau tidak sesuai dengan kebutuhan
105
masyarakat sekarang ini, artinya mau dibuat sungguh-sungguh dari hanya
dibuat begitu-begitu saja.
P :Ya….Pastor ketika masuknya para missionaris di Landak, entah itu di
Mandor, Ngabang atau di Menjalin inilah peranan para missionaris yang
paling vital apalah, selain pendidikan dan kesehatan, apakah ada yang
lain?
NS :Ya dua bidang itu yang paling menonjol, dimana-mana itu dibangun, di
Sambas, Pontianak dan Sanggau karena waktu itu punya pemerintah
belum dimulai dan di Sintang beberapa tempat itu pertama dimulai dengan
puskesmas itu, juga didirikannya sejumlah sekolah dan pertanian dari dulu
itu sekolah pertanian sudah ada di Nyarumkop, ketiga bidang itu sangat
diperhatikan, yang bertujuan untuk memajukan orang Dayak.
P :Kalau di bidang sosial dan budaya?
NS :Sosial budaya itu tetap membela orang Dayak di dunia luar, dengan cara
mencoba untuk mempertahankan semua yang ada, walaupun pada awalnya
terlalu banyak yang mendukung, tetapi mereka masih melihat apa yang
bisa mereka katakan tidak. Hal ini karena kebudayaan Dayak itu bukan
gampang untuk memetik sesuatu yang bisa diterima oleh orang lain
terhadap apa yang orang lihat indah dan bagus, seperti sekarang tidak ada!.
Masalah seperti itu semuanya telah tercampur, semisalnya lukisan atau apa
segala macamnya dimana-mana ada dan kepercayaan adat memang
merupakan simbol-simbol yang bagus tetapi kekuatan yang ada tidak
terlalu hebat, jadi harus mengambil warna yang bagus dan segala
macamnya. Kalau jaman dulu, semisalnya lukisan dalam rumah panjang
sangat terlihat teknik. Kemudian ini harus memang ada orang teknik yang
mengerti itu semua. Dan, sekarang sudah mulai 50 tahun atau 100 tahun
yang lalu, 50 tahun pertama tidak muncul itu, kemudian cukup banyak
tulisan yang muncul yang dipakai sebagai sumber itu.
P :Lalu pastor masuknya para missionaris di Kalimantan Barat ini, apakah
diboncengi dengan pemerintahan Hindia Belanda atau seperti apa gitu?
106
NS :Yang jelas itu para missionaris datang di Hindia Belanda, harus mendapat
persetujuan atau ijin dari Pemerintahan Belanda. Supaya lebih jelasnya,
dulu itu Batavia (Jakarta) membutuhkan tenaga untuk di Kalimantan, hal
ini terkait dengan kekurangan tenaga biarawan, yang pertama mereka
meminta bantuan dari Mill Hill sebuah kongregasi yang negara berasal
Inggris, yang sudah menetap sejak tahun 1885 di Sarawak (Malaysia),
yang pada waktu itu sudah berkembang dengan sangat pesat. Namun
karena berasal dari Inggris, akhirnya usulan tersebut ditolak oleh
pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintahan Belanda hanya mau
menerima orang Belanda. Hal ini terkait dengan masalah permusuhan
antara Inggris dan Belanda dalam menguasai wilayah kekuasaannya di
Asia Tenggara. Untuk itu, mereka meminta bantuan para tenaga biarawan
dan biarawati Ordo Kapusin yang berasal dari negara Belanda dan
selebihnya dibantu oleh para pastor-pastor yang melayani pegawai
Belanda.
P :Kalau untuk setelah Indonesia merdeka, hubungan budaya Dayak dengan
agama Katolik seperti upacara ritual adat dan yang lainnya, itu bagaimana
dan perkembangannya seperti apa?
NS :Yang jelas itu ada tanda-tanda, bahwa budaya Dayak menjadi Katolik itu
identitas Dayak sering juga disebut Katolik, orang tidak bisa menawarkan
diri sebagai orang Dayak begitu saja, hal ini semua sudah berubah dan
mengenai perkembangan beberapa tahun yang lalu, kalau ada bis yang
lewat dan kalau bis-bis itu orang Dayak yang punya, biasanya disetiap
pintu dan dalam mobilnya mereka ada beri lambang salib, nah untuk itu
semakin lama-lama, agama dipakai sebagai orang Dayak, walaupun hanya
masih hanya berupa tanda-tanda, tetapi saya pikir yang lebih jelas itu
mereka baru menyesuaikan diri, tetapi itu hanya permulaan.
P :Kalau pastor sendiri datang dan tinggal di Menjalin ini sejak kapan?
NS :Tahun 1980.
P :O…mungkin pastor mengertilah, bagaimana pandangan pemerintahan
Orde Baru dalam memandang Budaya Dayak Kanayatn?
107
NS :Ya saya rasa itu setiap daerah berbeda-beda, namun biasanya masyarakat
Dayak pada umumnya hanya dianggap sebagai penggangu dan kurang
dihargai.
P :Sejauhmana pemahaman saya membaca buku-buku tentang Dayak
dengan menyeluruh, bahwa sejak sebelum kemerdekaan sampai dengan
masa pemerintahan Orde Baru, masyarakat Dayak dan budayanya secara
terus menerus diskriminasi, semisalnya mengenai Betang (rumah panjang)
sebagainya yang dalam tanda kutip merupakan identitas Dayak, menurut
pastor itu bagaimana?
NS :Ya..itu hanya beberapa tanda, bahwa dengan adanya penghancuran
terhadap rumah panjang oleh para tentara, alasannya ini bahaya akan
sebuah kekhwatiran dan rumah ini dibongkar mulai dari serambi depan,
dipaksa tinggal dibongkar. Kalau di Landak khususnya di Menjalin rumah
panjangnya sudah musnah kira-kira 40 tahun yang lalu.
P :Pastor untuk menutup pembicaraan ini, saya mau bertanya dengan pastor
menurut pandangan pastor sendirilah, bagaimana pandangan pastor
terhadap budaya Dayak Kanayatn?
NS :Menurut saya orang Dayak pada umumnya hidup dalam dua dunia, adat
dulu dan agama, tetapi ini belum bisa dihubungkan dan ada usaha-usaha
yang dilakukan Lembaga Dayakology itu mereka mengatakan
melestarikan, mempertahankan adat, tetapi itu tidak bisa dikembalikan
seperti yang dulu, setiap adat dan kebudayaan yang bersifat statis yang
berhenti itu mati. Jadi, misalnya dengan tarian, sekarang bukan masyarakat
yang menari lagi, hanya orang-orang menari hanya menerima tamu, seperti
setiap saya datang kekampung ada acara biasanya pemerintah ndak pernah
hadir disitu dan mereka semua menari, orang muda, tua, dan orang-orang
yang cantik dan bahkan orang yang hampir pincang juga ikut menari.
Menurut yang saya adat itu tidak hanya dipertahankan, ini bahaya karena
adat itu bisa hilang itu, jadi orang itu harus menyelidiki apa arti, maksud,
tujuannya dan mengambil yang baik dan dipertahankan itu yang benar dan
memberikan isi yang benar, itu mungkin sebagian jiwa baru itu, bukan
108
kepercayaan agama Katolik dengan kepercayaan Dayak jelas tidak! Tapi
sebagian cukup baik itu, bisa dipertahankan, tetapi selama masih berpikir
bahwa, adat tidak boleh berubah sedikit pun tidak ada harapan dan
sendirinya akan hilang dan orang akan berlomba untuk berani
menyesuaikan itu, saya bilang itu waktu pertemuan di Menjalin saya
bilang penyesuaian tidak boleh pakai telepon, itu omong kosong ini bukan
penyesuaian yang pasti jauh lebih mendalam itu. Selain itu, kebudayaan
Dayak sangat baik dan indah, umum itu orang itu dari dulu sudah lebih
100 tahun yang lalu sudah dimana-mana baik itu. Satu tanda adat sudah
mulai runtuh itu walaupun ada adat mengayau, orang tetap menghargai
Dayak sebagai manusia perbandingan dari 150 tahun yang lalu beberapa
yang meneliti di Kalimantan Barat, tentang budaya orang Dayak dan
Melayu. Dalam hal ini, orang Dayak tetap dihargai orang Dayak. Pada
akhirnya walaupun orang Dayak seing kali dikatakan kolot, primitif, tidak
beradab dan yang lainnya, namun tetap dihargai sebagai manusia.
Sedangkan, orang Melayu tidak. Oleh karena itu, ada sebab inti budaya
yang bagus dan ini harus kita lestarikan apa yang baik dan ini tugas
melestarikan dari pada membiarkan saja.
P :Pastor saya rasa cukupkan sampai disini dulu, terima kasih banyak ya
pastor.
NS :Iya, sama-sama…
109