Tragedi Berdarah 1965 -...

3
6 MPA 313 / Oktober 2012 Masih kuat dalam ingatan kita akan sejarah berdarah tahun 1965. Isu Dewan Jenderal dihembuskan oleh PKI.6 Jenderal diculik dan dibunuh. Kudeta disiapkan. Tapi pemerintah lebih sigap. Kerjasamaantara TNI dan rakyat, mampu menghadang rencana jahat PKI. Pemberangusan terhadap PKI pun telah dilakukan sampai ke akar-akarnya. Melalui TAP MPRS No. XXV Tahun 1966, organisasi tersebut dibubarkan dan dilarang hidup kembali. Di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, eks PKI dan anak turunnya juga dibatasi hak politik- nya. Tapi kini rezim Suharto telah run- tuh. Semenjak era Reformasi lahir, anak turun PKI – yang tadinya tiarap – kini berani tampil ke publik. Bahkan mereka mengaku bangga menjadi anak PKI. Mereka menuntut agar hak-haknya seba- gai warga negara diakui. Cap Tapol ka- tegori A, B ataupun C dalam KTP dihapus. Mereka juga mengusulkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) dan menuntut ganti rugi sebesar 900 juta – 2,5 miliar terhadap 20 juta orang PKI. Orang-orang PKI juga telah mengadakan pertemuan-pertemuan secara intensif di berbagai kota mencari jalan untuk dapat mencabut Tap MPRS NO XXV Tahun 1966. “Tujuannya jelas, mereka ingin memutarbalikkan sejarah sehingga orang-orang PKI dianggap sebagai korban pembunuhan pada tahun 1965. Sedang pemerintah dan sebagian besar umat Islam menjadi tersangka pe- laku pembunuhan,” terang Prof. Dr. Aminuddin Kasdi geram. Dan kini, melalui Komnas HAM, mereka menuntut pemerintah minta maaf terhadap orang-orang PKI. Sebab bagi Komnas HAM, peristiwa ’65 dianggap sebagai pelanggaran HAM berat dan o- rang PKI sebagai korban. Kontan saja, permintaan Komnas HAM itu membuat darah Guru Besar Sejarah UNESA itu mendidih. “Terang saja kami menolak. Sejumlah Ormas Islam maupun perorang- an menyatakan menolak keras segala ben- tuk permintaan maaf dari Presiden atau Pemerintah kepada korban tragedi 1965- 1966,” ujarnya serius. Sebab baginya, implikasi dari per- mintaan maaf itu akan berbuntut panjang. “Jika Presiden jadi minta maaf, maka cerita sejarah akan berbalik,” katanya. Meski mengakui pelik untuk mengurai sejarah ’65, tapi suami Sr. Sarmidjah ini menegaskan, peristiwa ’65 bukanlah pe- langgaran HAM berat seperti dituduhkan oleh Komnas HAM. “Itu jelas Kudeta yang dilakukan oleh PKI,” tandasnya. “Sayangnya waktu itu, pertikaian itu tidak diselesaikan lewat jalur Peradilan. Tapi zaman dulu kan belum ada HAM seperti sekarang ini,” tambahnya. Walau demikian, penulis buku ’Kaum Merah Menjarah’ itu menyadari, kondisi chaos waktu itu yang menye- babkan rakyat saling tikam. “Situasi waktu itu, kalau tidak membunuh ya di- bunuh,” terang lelaki kelahiran Nganjuk, 9 Januari 1948 ini. Peristiwa berdarah itu memang sudah 47 tahun berlalu. Meski demikian, kita masih perlu khawatir. Sebab masih banyak pelaku sejarah ’65 yang masih banyak hidup dengan bayang-bayang kelam masa lalu. “Masih banyak tokoh PKI yang masih hidup. Mereka akan te- rus menyebarkan bibit virus ideologi komunis itu pada tiap generasi yang lahir dari rahim kemiskinan, keterpurukan, ke- takberdayaan dan keputusasaan,” tukas- nya serius. Dan yang membuatnya khawatir adalah, masihada yang memendam den- dam sejarah dan ingin melakukan balas dendam. “Yang merisaukan hati saya, jika Presiden jadi minta maaf, mungkin saja peristiwa berdarah itu akan kembali ter- jadi,” tambahnya mengingatkan. Dengan fakta sejarah seperti itu, masihkah kita meminta maaf kepada o- rang-orang eks-PKI? Pasalnya, ide per- mintaan maaf itu telah bergulir. Secara kronologis, pada hari Jum’at tanggal 17 Pebruari 2012, ada pertemuan antara Albert Hasibuan (Wantimpres Bidang Hukum dan HAM) dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), bersama korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Kantor Wantimpres. Pertemuan itu ditujukan untuk me- nyampaikan harapan korban dan keluarga korban, agar Presiden menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa la- lu; seperti kasus pelanggaran HAM 1965/ 1966, kasus Semanggi I dan II, kasus Talangsari 1989, kasus Tanjung Priok 1984, dan kasus Mei 1998. Dalam perte- muan itu, Albert Hasibuan sem- pat menyampaikan bahwa Pre- siden tahun ini akan bersedia meminta maaf atas pelanggaran HAM masa lalu. Dua bulan berselang, te- patnya pada hari Rabu 11 April 2012, Albert Hasibuan di kan- tornya memberi penjelasan; bahwa rencana permintaan maaf itu akan disampaikan langsung oleh Presiden pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2012 ini. Dalam kesempatan la- in, Rabu 25 April 2012, Wan- timpres Bidang Hukum dan HAM itu menjelaskan, bahwa langkah perminaan maaf Pre- siden itu diambil agar tidak ada Tragedi Berdarah 1965 Permintaan Maaf Akan Memicu Balas Dendam Sejarah Prof. Dr. Aminuddin Kasdi H. A. Rachman Azis

Transcript of Tragedi Berdarah 1965 -...

6 MPA 313 / Oktober 2012

Masih kuat dalam ingatan kitaakan sejarah berdarah tahun 1965.Isu Dewan Jenderal dihembuskan

oleh PKI.6 Jenderal diculik dandibunuh. Kudeta disiapkan. Tapi

pemerintah lebih sigap.Kerjasamaantara TNI dan rakyat,

mampu menghadang rencana jahatPKI.

Pemberangusan terhadap PKI puntelah dilakukan sampai ke akar-akarnya.Melalui TAP MPRS No. XXV Tahun1966, organisasi tersebut dibubarkan dandilarang hidup kembali. Di bawahkekuasaan rezim Orde Baru, eks PKI dananak turunnya juga dibatasi hak politik-nya.

Tapi kini rezim Suharto telah run-tuh. Semenjak era Reformasi lahir, anakturun PKI – yang tadinya tiarap – kiniberani tampil ke publik. Bahkan merekamengaku bangga menjadi anak PKI.Mereka menuntut agar hak-haknya seba-gai warga negara diakui. Cap Tapol ka-tegori A, B ataupun C dalamKTP dihapus. Mereka jugamengusulkan UU KKR(Komisi Kebenaran danRekonsiliasi) dan menuntutganti rugi sebesar 900 juta – 2,5 miliarterhadap 20 juta orang PKI.

Orang-orang PKI juga telahmengadakan pertemuan-pertemuan secaraintensif di berbagai kota mencari jalanuntuk dapat mencabut Tap MPRS NOXXV Tahun 1966. “Tujuannya jelas,mereka ingin memutarbalikkan sejarahsehingga orang-orang PKI dianggapsebagai korban pembunuhan pada tahun1965. Sedang pemerintah dan sebagianbesar umat Islam menjadi tersangka pe-laku pembunuhan,” terang Prof. Dr.Aminuddin Kasdi geram.

Dan kini, melalui Komnas HAM,mereka menuntut pemerintah minta maaf

terhadap orang-orang PKI. Sebab bagiKomnas HAM, peristiwa ’65 dianggapsebagai pelanggaran HAM berat dan o-rang PKI sebagai korban. Kontan saja,permintaan Komnas HAM itu membuatdarah Guru Besar Sejarah UNESA itumendidih. “Terang saja kami menolak.Sejumlah Ormas Islam maupun perorang-an menyatakan menolak keras segala ben-tuk permintaan maaf dari Presiden atauPemerintah kepada korban tragedi 1965-1966,” ujarnya serius.

Sebab baginya, implikasi dari per-mintaan maaf itu akan berbuntut panjang.“Jika Presiden jadi minta maaf, makacerita sejarah akan berbalik,” katanya.Meski mengakui pelik untuk menguraisejarah ’65, tapi suami Sr. Sarmidjah inimenegaskan, peristiwa ’65 bukanlah pe-langgaran HAM berat seperti dituduhkan

oleh Komnas HAM. “Itu jelas Kudetayang dilakukan oleh PKI,” tandasnya.“Sayangnya waktu itu, pertikaian itutidak diselesaikan lewat jalur Peradilan.Tapi zaman dulu kan belum ada HAMseperti sekarang ini,” tambahnya.

Walau demikian, penulis buku’Kaum Merah Menjarah’ itu menyadari,kondisi chaos waktu itu yang menye-babkan rakyat saling tikam. “Situasiwaktu itu, kalau tidak membunuh ya di-bunuh,” terang lelaki kelahiran Nganjuk,9 Januari 1948 ini.

Peristiwa berdarah itu memangsudah 47 tahun berlalu. Meski demikian,kita masih perlu khawatir. Sebab masih

banyak pelaku sejarah ’65 yang masihbanyak hidup dengan bayang-bayangkelam masa lalu. “Masih banyak tokohPKI yang masih hidup. Mereka akan te-rus menyebarkan bibit virus ideologikomunis itu pada tiap generasi yang lahirdari rahim kemiskinan, keterpurukan, ke-takberdayaan dan keputusasaan,” tukas-nya serius.

Dan yang membuatnya khawatiradalah, masihada yang memendam den-dam sejarah dan ingin melakukan balasdendam. “Yang merisaukan hati saya, jikaPresiden jadi minta maaf, mungkin sajaperistiwa berdarah itu akan kembali ter-jadi,” tambahnya mengingatkan.

Dengan fakta sejarah seperti itu,masihkah kita meminta maaf kepada o-rang-orang eks-PKI? Pasalnya, ide per-mintaan maaf itu telah bergulir. Secara

kronologis, pada hari Jum’at tanggal 17Pebruari 2012, ada pertemuan antaraAlbert Hasibuan (Wantimpres BidangHukum dan HAM) dengan Komisi untukOrang Hilang dan Korban Kekerasan(Kontras), bersama korban dan keluargakorban pelanggaran HAM di KantorWantimpres.

Pertemuan itu ditujukan untuk me-nyampaikan harapan korban dan keluargakorban, agar Presiden menuntaskankasus-kasus pelanggaran HAM masa la-lu; seperti kasus pelanggaran HAM 1965/1966, kasus Semanggi I dan II, kasusTalangsari 1989, kasus Tanjung Priok1984, dan kasus Mei 1998. Dalam perte-

muan itu, Albert Hasibuan sem-pat menyampaikan bahwa Pre-siden tahun ini akan bersediameminta maaf atas pelanggaranHAM masa lalu.

Dua bulan berselang, te-patnya pada hari Rabu 11 April2012, Albert Hasibuan di kan-tornya memberi penjelasan;bahwa rencana permintaan maafitu akan disampaikan langsungoleh Presiden pada peringatanHari Kemerdekaan 17 Agustus2012 ini. Dalam kesempatan la-in, Rabu 25 April 2012, Wan-timpres Bidang Hukum danHAM itu menjelaskan, bahwalangkah perminaan maaf Pre-siden itu diambil agar tidak ada

Tragedi Berdarah 1965Permintaan Maaf

Akan Memicu Balas Dendam Sejarah

Prof. Dr. Aminuddin Kasdi H. A. Rachman Azis

7MPA 313 / Oktober 2012

beban sejarah yang belum terselesaikan.Dia juga menyatakan, bahwa saat iniWantimpres sedang menyiapkan konsepmengenai permintaan maaf untuk kemu-dian diserahkan kepada Presiden SBY.Dua puluh hari kemudian tepatnya padahari Selasa tanggal 15 Mei 2012, harianJawa Pos memuat berita bahwa rencanapermintaan maaf Presiden itu akan disam-paikan sebelum masa jabatan Presidenberakhir.

Tentu saja kabar tentang adanya ren-cana permintaan maaf Presiden atas pe-langgaran HAM 1965/1966 itu sangatmengejutkan bagi masyarakat Indonesia.Sebab yang dimaksud adalah jelas, yaituperistiwa pemberontakan PKI yang ter-kenal dengan sebutan Gerakan 30 Sep-tember/PKI (G-30-S/ PKI ). Merekaberhasil menculik dan membunuh enamorang Jenderal sekaligus. “Alhamdulillahpemberontakan itu dapat ditumpas olehpemerintah yeng dilakukan oleh TNI/ABRI dibantu oleh masyarakat yangmayoritas Muslim,” tukas H. A. RachmanAzis.

Rupanya rencana permintaan maafPresiden kepada PKI tersebut, terangnya,diselipkan pada kasus-kasus pelanggaranHAM masa lalu; seperti kasus SemanggiI dan II, kasus Tanjung Priok 1984, kasusTalangsari 1989, kasus Mei 1998. “Pa-dahal kasus-kasus itu sama sekali bukankasus pemberontakan atau perebutan ke-kuasaan.Tapi murni kasus kekerasan ataupelanggaran HAM,” jelasnya. “Kalauminta maaf yang berhubungan dengankasus-kasus tersebut, tidak ada masalah,”tambahnya.

Adapun tentang peristiwa 1965-1966 yang didalangi oleh PKI, lanjutnya,itu adalah pemberontakan (perebutankekuasaan) yang memang harus ditumpas.Ini bukan tindakan kekerasan atau pe-langgaran HAM, melainkan tindakan te-gas dari pemerintah dalam rangka mem-

pertahankan Negara Kesatuan RepublikIndonesia. “Jadi tidak perlu ada kata maafbagi pemberontak,” tegasnya.

Purnawirawan perwira tinggi TNISyaiful Sulun– mantan Pangdam V Bra-wijaya dan mantan Wakil Ketua MPR,pada hari Jumat 15 Juni 2012 juga pernahmenegaskan:”Khusus PKI, bukan pe-langgaran HAM. Itu pemberontak, peng-khianat, dan mereka sudah direhabiliterhak politiknya.” Apalagi permintaanmaaf kepada eks PKI tersebut, justru bisamemicu konflik di Indonesia yang dapatmengancam keutuhan NKRI.

Sebab rencana permintaan maaf itu,tengarai Rachman Azis, dapat berartipembenaran terhadap tindakan PKI padamasa lalu. Dan itu sekaligus membuktikan,bahwa perlawanan para Ulama’, parasantri, masyarakat Muslim maupunABRI/TNI kala itu adalah salah. Haltersebut secara otomatis pula melegalkanPKI kembali di Indonesia. “Padahal jelas-jelas PKI telah dibubarkan dan dilarangsebagaimana tercantum dalam TAPMPRS No. XXV/MPRS/1966.” katanyamengingatkan.

Dalam menanggapi rencana permin-taan maaf Presiden kepada eks PKI – baikorang-orangnya atau lembaganya, Ge-rakan Umat Islam Bersatu (GUIB) JawaTimur segera membuat pernyataan yangisinya; agar Presiden SBY tidak mintamaaf kepada eks PKI sebab akan berakibatsangat fatal. Akan timbul konflik hori-zontal yang sangat besar dan dikhawa-tirkan berakibat pecahnya NKRI.

Selain membuat pernyataan, GUIBJatim yang beranggotakan 52 Ormas Is-lam tingkat Jawa Timur, bersamadenganCICS (Center for Indonesian CommunityStudies), pada hari Rabu 11 April 2012juga berangkat ke Jakarta untuk menemuifraksi-fraksi DPR RI. Karena waktu itusedang berlangsung siding paripurna DPRRI, maka yang berhasil ditemui secara

langsung hanyalah Fraksi PAN, danFraksi PKS. Mereka setuju agar PresidenSBY tidak minta maaf pada eks PKI yangkini mengaku sebagai korban kekerasan.Padahal mereka adalah pelaku pemberon-takan yang akan merebut kekuasaan.

GUIB Jatim juga sudah menyam-paikan kepada fraksi PKB, fraksi PPPdan sejumlah fraksi lain di DPR RI ten-tang hal tersebut. Dan semua fraksi diDPR RI setuju menolak rencana permin-taan maaf Presiden itu. “Alhamdulillah,ternyata pada pidato HUT ProklamasiKemerdekaan RI ke 67 Agustus 2012Presiden tidak menyebut-nyebut permin-taan maaf,” tutur Ketua MUI Jatim Bi-dang Infokom ini dengan lega.

Akar persoalan hingga rencana per-mintaan maaf Presiden tersebut, sebe-narnya dipicu dari telaah Komnas HAMyang mensinyalir adanya pelanggaranHAM pada tragedy tahun 1965. Dalamrekomendasinya, Komnas HAM memin-ta Jaksa Agung untuk menindaklanjutitemuan itu. Hal ini berdasarkan ketentuanpasal 1 angka 5 junctopasat 20 ayat 1UU nomor 26 tahun 2000 tentang peng-adilan HAM. Konsekuensi dari rekomen-dasi tersebut, adalah dibentuknya per-adilan Ad Hoc oleh Kejagung. “Ini me-rupakan pendekatan hokum pidana.Padahal pelaku maupun saksi kejadiansudah banyak yang matikan?” ujar Drs.Arukat Djaswadi mempertanyakan.

Yang kedua, sesuai dengan keten-tuan pasal 47 ayat 1 dan 2 undang-undangtentang pengadilan HAM tersebut, makahasil penyelidikan ini dapat juga dise-lesaikan melalui mekanisme non yudisialyakni pendekatan perdata dengan meng-upayakan rekonsiliasi. “Padahal UUnomor 27 tahun 2004 tentang rekonsiali-sasi telah dibatalkan oleh MK setelah di-ujimaterikan. Sehingga tidak ada landasanhokum untuk rekonsiliasi,” tegas KetuaCenter for Indonesia Community Studies

Drs. Najib Hamid, M.Si Drs. Arukat Djaswadi

8 MPA 313 / Oktober 2012

(CICS) Jawa Timur ini.Menurut lelaki kelahiran Mojokerto

4 Juli 1948 ini, temuan Komnas HAMtak seharusnya berhenti pada adanya pe-langgaran kemanusiaan tapi juga pelakumaupun korban. “Memang ada pelang-garan HAM kala itu, tapi siapa pelaku-nya? Siapa korbanya? Ini yang seharus-nya dijelaskan oleh Komnas HAM,” tu-kasnya serius.

Dalam kajiannya selama ini, konflikhorizontal tahun 1965 merupakan perangsipil. Sebab dari sisi korban, tidak hanyadari kalangan orang PKI tapi juga tentaradan masyarakat sipil dengan jumlah yangtak sedikit. “Yang perlu dikaji adalahsiapakah penyulutnya. Sebab tidak mung-kin ada akibat tanpa adanya sebuah se-

bab,” ungkanya.Tragedi kemanusiaan itu sendiri

sebenarnya dipicu oleh ulah PKI denganmelakukan serentetan kejahaatan kema-nusiaan yang memuncak pada pembu-nuhan enam Jenderal dan rakyat tak ber-dosa. “Di sini saya melihat KomnasHAM tidak objektif dalam melihat kasusini,” simpulnya.

Wajar rasanya jika Arukat mensi-nyalir apa yang direkomendasikan Kom-nas HAM dalam tragedi 1965 telah diin-filtrasi. Ini diperkuat sinyalemen yangmenyeruak, bahwa selalu peristiwa itusaja yang diubek-ubek. Sebab banyakkasus yang mengandung pelanggaranHAM berat seperti pemberontakan Per-mesta/PRRI, kasus Tanjung Priok, kasussampit dan sebagainya yang belum adatitik terang hingga kini. “Itu adalah bukti,bahwa ada upaya sistematis untuk meng-hapus kesalahan PKI selama ini,” tan-

dasnya curiga.Karena itulah pada Juni lalu, Arukat

bersama gabungan ormas Islam dan FrontAnti Komunis (FAK) Jawa Timur mem-pertanyakan temuan Komnas HAM ter-sebut. Meski tak membuahkan hasil me-muaskan dari Komnas HAM, namun aksiitu ternyata direspon Istana empat harikemudian. Presiden mengutus salah se-orang Watimpres untuk berdialog denganFAK Jawa Timur.

Dalam pertemuan itu, FAK menje-laskan berbagai hal terkait temuan komnasHAM. Para ormas yang tergabung sepertiMUI, NU, Mumammadiyah, PII jugamempertanyakan ide rencana permintaanmaaf Presiden kepada eks PKI. MenurutWatimpres, permintaan maaf itu ternyata

bukan ditujukan secara intitusi tapi secarapribadi. “Apapun alasannya, kami meno-lak rencana tersebut. Sebab jika dilakukanberarti dalam kasus G30S/PKI pemerin-tah yang salah. Padahal sudah jelas PKI-lah yang melakukan pengkhiatan dan ku-deta yang menyebabkan pertumpahandarah,” tandas bapak tiga anak ini.

Setelah pertemuan itu, 6 Agustuslalu, FAK datang lagi ke Jakarta karenamerasa tidak ada tindak lanjut dari hasilpertemuan di Surabaya. Yang dituju FAKpertama kali adalah kantor KomnasHAM. Mereka menyatakan sikap meno-lak rekomendasi Komnas HAM atas tra-gedi tahun 1965. Lalu mereka bergerakmenuju istana merdeka untuk mendorongpresiden agar tidak meminta maaf kepadaeks PKI. Selanjutnya, massa bergerakmenuju kantor Kejagung. “Kita juga me-minta Kejagung tidak membuat peradilanad hoc,” kata Wakil Ketua Forum Kewas-

padaan Dini Masyarakat (FKDM) Jatimini.

Bagi Drs. Najib Hamid, M.Si,HAM itu isu mutakhir dan sekaligus isupolitik yang sifatnya fluktuatif. Jadi aktu-alitasnya tergantung situasi global. Se-mentara kasus PKI terjadinya sebelumadanya isu HAM. Jadi menurutnya, itutak relevan jika dikaitkan dengan HAM.Sebab pelarangan PKI lebih ditekankanpada pelarangan partainya, yang menurutkajian pada zamannya dianggap tidakmendukung eksistensi negara.

Namun yang perlu hati-hati, me-nurut Sekretaris PWM Jawa Timu ini,ketika ada seseorang yang tidak ikut ter-libat sebagai pelaku lantas dikategorikanPKI dan dihukum. “Itu yang tak benar,”

tukasnya. “Jadi yang memperolehsanksi adalah yang berbuat. Tidak fairbila ada kerabat jauhnya dianggap dandicap juga sebagai pelaku, padahalmereka tidak melakukan dosa politik,”tuturnya.

Oleh karenanya, lanjut ayah tigaanak yang anggota KPUD Surabaya ini,nasionalisme di kalangan pemuda hen-daknya dibangkitkan kembali. Namunnasionalisme tidak bisa dibangun hanyadengan retorika semata. Yang terpen-ting, bagaimana membangun nasionalis-me generasi muda dengan memberi ke-teladanan secara langsung. Sebab me-reka tak punya keterlibatan dalam pe-rebutan kemerdekaan secara fisik mau-pun intelektual.

Jadi, menurut pengurus FKUBSurabaya ini, bagaimana menjadi pe-mimpin dan berbangsa yang baik.Tunjukkan bahwa antara orang yangtaat dan tidak taat itu akan memperolehperlakuan atau hak dan kewajiban yangberbeda. “Kalau dianalogkan, ikan itubusuk dari kepalanya. Jika disemua lini

serba brengsek, kayaknya perlu dilakukanpembenahan di level atas,” tegasnya.

Bagi kandidat Doktor bidang Hu-kum Islam Pascasarjana IAIN Surabayaini, setiap orang itu punya hak dan ke-wajiban. Ketika hanya salah satunya sajayang ditonjolkan, tentu akan terjadi ke-tidakseimbangan. Maka setiap orangboleh menuntut hak, namun harus dida-hului dengan melaksanakan kewajiban-nya. “Lha, masak dengan mengatasna-makan kebebasan HAM, tetapi disisi lainjustru perbuatannya mengganggu hak or-ang lain,” paparnya. “Nah, ketika melang-gar hak orang lain itulah, berarti seseorangtelah mengingkari kewajibannya. Olehkarenanya hak dan kewajiban mesti dila-kukan secara proporsional,” tandasnya.

Laporan: A. Husein AR, Mey.S,Dedy Kurniawan, A. Suprianto

(Surabaya).