TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM...

106
TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: RISTA ASLIN NUHA NIM. 1113044000059 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2019 M/1440 H

Transcript of TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM...

Page 1: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT

KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

RISTA ASLIN NUHA

NIM. 1113044000059

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2019 M/1440 H

Page 2: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 3: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 4: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 5: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

iv

ABSTRAK

Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059. Tadisi Weton Dalam

Perkawinan Masyarakat Kabupaten Pati Perspektif Hukum Islam.

Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum,

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1440 H/ 2019 M.

ix + 70 halaman 26 halaman lampiran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui praktik tradisi weton

dalam perkawinan masyarakat Kabupaten Pati, mengetahui pandangan

masyarakat Desa Sidokerto tentang tradisi weton dalam perkawinan

serta untuk mengetahui perspektif hukum Islam tentang tradisi weton

dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto.

Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif,

berdasarkan objeknya menggunakan penelitian antropologi hukum, dan

jenis penelitian adalah penelitian lapangan (field research). Kriteria data

yang didapatkan berupa data primer dan data sekunder. Teknik

pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, studi

pustaka, dan studi dokumentasi setelah itu data tersebut dianalisis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat

Desa Sidokerto yang melakukan praktik tradisi weton dalam

perkawinan. Praktik tradisi weton dalam perkawinan untuk menentukan

perjodohan dan menentukan hari melangsungkan pernikahan. Meskipun

masyarakat Desa Sidokerto berbeda pandangan tentang tradisi weton

dalam perkawinan; ada yang setuju dan ada juga yang tidak setuju,

tradisi weton dalam perkawinan ini masih kuat dipegang serta dijalankan

hingga sekarang ini sebagai bentuk menghormati para leluhur. Tradisi

weton dalam perkawinan ini tidak bertentangan dengan hukum Islam,

karena tradisi ini sekadar berupa ikhtiar dan kehati-hatian dalam

menentukan perjodohan maupun hari pernikahan, supaya mendapatkan

kebaikan serta keberuntungan selama mengarungi kehidupan rumah

tangga. Dan tradisi weton dalam perkawinan ini dikategorikan sebagai

‘urf yang sahih.

Kata Kunci : Perkawinan, Weton, Hukum Islam

Pembimbing : H. Qosim Arsadani, S.Ag., M.A.

Daftar Pustaka : Tahun 1974 s.d. Tahun 2019

Page 6: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

v

KATA PENGANTAR

بسم ميحرلا نمحرلا هللا

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan

limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini, khususnya

kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad

SAW, keluarga, serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan bagi seluruh

umat manusia.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari

berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak

yang telah memberikan bantuan, baik moril maupun materil, khususnya kepada:

1. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil

Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Keluarga

beserta Achmad Chairil Hadi, M.A., Sekretaris Program Studi Hukum

Keluarga, yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

3. H. Qosim Arsadani, S.Ag., M.A., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum

sekaligus sebagai Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan

selalu memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses

penyusunan skripsi ini.

4. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag., Dosen Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus

Dosen Penasihat Akademik penulis, yang telah sabar mendampingi hingga

semester akhir.

Page 7: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

vi

5. Dr. Syahrul A’dam, M.Ag. dan Hj. Rosdiana, M.A. yang telah bersedia

menjadi penguji dalam sidang munaqasyah dan memberikan masukan serta

arahannya demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Seluruh civitas akademika serta dosen Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

berkontribusi mengajarkan penulis berbagai macam keilmuan mulai dari teori

hingga praktiknya. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bapak dan Ibu.

Amiin.

7. Paling teristimewa dan spesial dalam hidup penulis, Pae tercinta Asmuri dan

Bue terkasih Supartini yang tak pernah jenuh dan menyerah untuk

memberikan dukungan motivasi serta tidak henti-hentinya mendoakan

penulis dalam menempuh pendidikan serta kakak-kakak dan adik-adik

penulis, Erna Asfiyanti, Edi Cholin Na’im, Ifa Astutik, Muhammad Ircham,

dan si bungsu Muhammad Masrukhan.

8. Sahabat-sahabat terbaik Ali Ahmadi, Syahreza Amri Wildan, Taufiqul

Hakim, Gus Iqbal, Izzatus Syafa’at, Muhammad Irfan Fathir H., M. Nadhif

Julianto, Abdul Wahid, M. Luthfi Andalusia, Muhammad Roihan, dan Gus

Baha yang selalu setia menemani penulis jatuh bangun bersama, mencari

referensi ke perpustakaan bersama, dan saling mendukung dalam menggapai

kesuksesan.

9. Teman-teman Kelompok Kerja Nyata (KKN) Gerakan Edukasi Rakyat Go

Excellent Transformation (GERGET), Rosita, Estri, Erick, Piqri, Hasan,

Yudis, Jannah, Memei, Sopi, dan Budi sebulan kita pernah bersama

menjalani kewajiban sebagai mahasiswa melakukan pengabdian kepada

masyarakat, semoga persaudaraan kita tetap terjaga selamanya. Amiin.

10. Sahabat-sahabat Indekos Nirmala Kang Mamat, Kang Sigit, Boy Reza, Ali

Komeng, serta Bang Roihan, di manapun kalian menginjakkan kaki semoga

kita selalu seduluran dan sukses semuanya.

Page 8: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

vii

11. Keluarga besar di tanah perantauan Hukum Keluarga 2013 B, Keluarga Besar

Prodi Ahwal Syakhsiyyah (KBPA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat, Silaturrahmi

Mahasiswa Pati (SIMPATI) Jakarta & Sekitarnya, Ikatan Alumni Salafiyah

(IKLAS) Jawa Barat, DPN Gerakan Mahasiswa Satu Bangsa (GEMASABA),

serta Keluarga Mathali’ul Falah (KMF) Jakarta yang telah memberikan

kesempatan penulis untuk belajar berorganisasi dengan baik dan benar serta

saling memberikan dukungan terbaik untuk kesuksesan bersama.

12. Adik-adik Mahasiswa dan Mahasiswi yang senantiasa menyemangati penulis

dalam mengerjakan skripsi ini, semoga kalian juga bisa secepatnya

menyelesaikan kewajiban menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

serta menjadi orang-orang yang sukses dan bermanfaat.

Tiada cita-cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan

Allah SWT sehingga penulis dapat memberikan kontribusinya dalam khazanah ilmu

pengetahuan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu mendapatkan

perbaikan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang konstruktif akan penulis perhatikan

dengan baik. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan

pembaca yang budiman pada umumnya serta dicatat sebagai amal baik di sisi Allah

SWT. Amiin.

Jakarta, 2 Agustus 2019

1 Dzulhijjah 1440 H

Rista Aslin Nuha

Page 9: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR .............................................................................................. v

DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 7

C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 8

E. Kerangka Teori............................................................................. 8

F. Review Studi Terdahulu ............................................................... 10

G. Metode Penelitian......................................................................... 12

H. Sistematika Penulisan .................................................................. 14

BAB II PERKAWINAN, WETON, DAN ‘URF

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ................................... 16

B. Rukun dan Syarat Perkawinan ..................................................... 21

C. Tujuan Perkawinan....................................................................... 23

D. Hak dan Kewajiban Suami Istri ................................................... 25

E. Kafa’ah dalam Perkawinan .......................................................... 28

F. Pengertian Weton ......................................................................... 30

G. Sakralitas Weton dalam Pernikahan............................................. 32

Page 10: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

ix

H. Pengertian ‘Urf ............................................................................. 34

I. Macam-Macam ‘Urf..................................................................... 35

J. Kehujjahan ‘Urf ........................................................................... 36

BAB III POTRET KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

A. Potret Kabupaten Pati ................................................................... 38

B. Letak Geografis ............................................................................ 42

C. Kondisi Demografis ..................................................................... 42

BAB IV TRADISI WETON DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Tradisi Weton di Kabupaten Pati ................................................. 46

B. Pandangan Masyarakat Kabupaten Pati Tentang Tradisi Weton

Dalam Perkawinan ....................................................................... 51

C. Pandangan Hukum Islam Tentang Tradisi Weton Dalam

Perkawinan ................................................................................... 53

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................. 62

B. Saran ............................................................................................. 63

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 65

LAMPIRAN .............................................................................................................. 71

Page 11: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik itu

etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia hadir

dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya.

Selanjutnya, norma ini mulai menyerap dalam institusi masyarakat. Masyarakat

muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan dengan

hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional hukum Islam terus-

menerus membentuk struktur sosial masyarakat muslim dalam menjalani

kehidupan sosialnya.1 Salah satu perilaku masyarakat muslim dalam kehidupan

sosial yang diatur oleh hukum Islam yaitu perkawinan.

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Perkawinan

merupakan kebutuhan hidup manusia sejak zaman dulu, sekarang, dan masa akan

datang. Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat (mitsaqan

ghalidzan), ikatan yang suci (transenden), suatu perjanjian yang mengandung

makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak keperdataan

biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya hubungan badan antara

suami istri sebagai penyaluran libido seksual manusia yang terhormat. Oleh

karena itu, hubungan tersebut dipandang sebagai ibadah.3

Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun

kelompok. Dalam hal ini dapat dilihat terjadinya cemoohan di dalam masyarakat,

bila ada di kalangan mereka yang tidak bersedia berumah tangga, sedangkan

syaratnya telah terpenuhi. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki

1 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, (Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 11 2 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

3 Yayan Sopyan, Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h. 127

Page 12: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

2

dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai

makhluk yang mulia. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana

damai, tenteram dan rasa kasih sayang antara suami istri. Anak keturunan dari

hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus

merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan terhormat.4

Perkawinan dianggap sah apabila memenuhi rukun dan syarat nikah. Rukun nikah

ada lima, yaitu:5

1. Shigat (Ijab dan qabul),

2. Adanya calon suami,

3. Adanya calon istri,

4. Dua orang saksi, dan

5. Wali dari calon istri.

Bagi yang bisa berbahasa Arab, shigat (ijab dan qabul) harus diucapkan

secara jelas (sharih), lengkap dengan ijab dan qabul sebagaimana akad lainnya.6

Syarat perkawinan ialah syarat yang berkaitan dengan rukun-rukun perkawinan,

yaitu syarat-syarat bagi kelima rukun perkawinan tersebut di atas:7

Syarat calon suami:

1. Bukan mahram (perempuan yang haram untuk dinikahi) dari calon istri;

2. Tidak terpaksa atau atas kemauan sendiri;

3. Orangnya tertentu atau jelas orangnya;

4. Tidak sedang menjalankan ihram (niat mulai menjalankan) haji atau

umrah.

Syarat calon istri:

1. Tidak ada halangan hukum, yakni tidak bersuami, bukan mahram dan

tidak sedang dalam idah;

2. Merdeka atas kemauan sendiri;

4 A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Banda Aceh: PeNA, 2010),

h. 1 5 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, (Penerjemah: Muhammad Afifi, Abdul Hafiz),

(Jakarta: Almahira, 2010), h. 453 6 Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, h. 453

7 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,

(Jakarta: Kencana, 2010), h. 277-279

Page 13: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

3

3. Jelas orangnya;

4. Tidak sedang berihram haji atau umrah;

Syarat wali:

1. Laki-laki;

2. Baligh;

3. Waras akalnya;

4. Tidak dipaksa;

5. Adil;

6. Tidak sedang ihram haji.

Syarat saksi-saksi:

1. Laki-laki;

2. Baligh;

3. Waras akalnya;

4. Dapat mendengar dan melihat;

5. Bebas, tidak dipaksa;

6. Tidak sedang mengerjakan ihram;

7. Memahami yang dipergunakan untuk ijab qabul.

Syarat-syarat ijab qabul:

1. Dilakukan dengan bahasa yang dimengerti kedua belah pihak (pelaku

akad dan penerima akad dan saksi);

2. Singkat hendaknya menggunakan ucapan yang menunjukkan waktu

lampau atau salah seorang menggunakan kalimat yang menunjukkan

waktu lampau sedang lainnya dengan kalimat yang menunjukkan waktu

yang akan datang.

Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa

perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Pasal 15

Kompilasi Hukum Islam disebutkan pula bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan

rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah

mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, yakni calon suami minimal berumur 19 tahun dan calon istri minimal

berumur 16 tahun.

Page 14: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

4

Bersatunya dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan dalam satu ikatan

pernikahan suci dan halal memiliki tujuan utama yaitu terciptanya sebuah

ketenangan batin. Ketenteraman jiwa yang dirasakan seorang lelaki kala

bersanding dengan istri yang suci lagi terhormat, serta ketenangan dan

kenyamanan yang dia temukan dalam naungan kehidupan keluarga yang bahagia.

Dan inilah yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia, لتسكنىآ إليها “agar kamu

cenderung dan merasa tenteram kepadanya”.8

Ikatan cinta dan kasih, yang mana Allah SWT telah mengikatkannya pada

hati suami dan istri, ىدة ورحمة و جعل بينكم م “dan Dia telah menjadikan di antara kamu

cinta tulus dan kasih”. Sekiranya tanpa nikmat ini, niscaya seorang suami takkan

bercengkerama dengan istri sehingga persahabatan maupun kerekatan hati takkan

pernah melanggeng. Namun, Allah SWT dengan kekuasaan dan guyuran rahmat-

Nya menanamkan emosi ini: emosi cinta suami terhadap istrinya dan emosi cinta

istri terhadap suaminya. Sehingga, suami akan bersedih lantaran hal-hal yang

membuat istri bersedih, dan bahagia lantaran hal-hal yang membuat istrinya

berbahagia. Begitulah suami dan istri, mereka saling bertukar perasaan: emosional

dengan emosional, dan cinta dengan cinta.9

Ada beberapa pertimbangan seorang laki-laki dalam pemilihan pasangan,

yaitu karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Dari

keempat pertimbangan tersebut, yang perlu diutamakan adalah faktor agamanya.10

Adapun yang dimaksud dengan keberagamaan di sini adalah komitmen

keagamaannya atau kesungguhannya dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini

dijadikan pilihan utama karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika

akan lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula kedudukan,

suatu ketika akan hilang.11

8 Muhammad Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, (Penerjemah: Ahmad Nurrohim),

(Solo: Mumtaza, 2008), h. 10 9 Muhammad Ali Ash-Shobuni, Pernikahan Islami, h. 11

10 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016), h. 15

11 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.

49

Page 15: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

5

Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong

terciptanya kebahagiaan suami istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan

dari kegagalan atau kegoncangan rumah tangga.12

Kafa’ah dianjurkan oleh Islam

dalam memilih calon suami atau istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya

perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu

perkawinan yang tidak seimbang, serasi atau sesuai akan menimbulkan problema

berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian oleh

karena itu, boleh dibatalkan.13

Islam telah mengatur tata cara pelaksanaan dalam membina rumah tangga.

Jika seluruh umat Islam mengikutinya, insya Allah akan tercipta keturunan yang

baik, manusia yang mulia di muka bumi ini.14

Kebudayaan Jawa merupakan salah

satu bagian dari kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan Jawa dengan

keanekaragamannya banyak mengilhami masyarakat Jawa dalam tindakan

maupun perilaku keberagamannya. Masyarakat Jawa memiliki keunikan

tersendiri. Dalam segala tindakannya biasanya tidak lepas dari mengikuti tradisi

atau kebiasaan yang dianut oleh para leluhurnya. Keunikannya dapat dilihat mulai

dari kepercayaan masyarakat, bahasa, kesenian, dan tradisinya.15

Di dalam masyarakat Jawa terdapat tradisi weton. Weton adalah perhitungan

hari lahir kedua calon mempelai. Namun perhitungan ini, bukanlah penentu

apakah calon menantu diterima atau tidak. Hal ini lebih sering dipahami sebagai

ramalan nasib masa depan kedua mempelai. Apabila jatuh pada kebaikan, itulah

doa yang diharapkan oleh kedua orang tua. Namun jika jatuh pada hal yang

kurang beruntung, diharapkan kedua mempelai lebih berhati-hati serta berdoa dan

bertawakal kepada Allah SWT agar selamat dunia akhirat.16

12

Abd. Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 51 13

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2009), h. 57 14

Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer, (Bandung:

Penerbit Angkasa, 2005), h. 134 15

Clifford Geetz, Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa, (Penerjemah: Aswab

Mahasin), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), h. 13 16

M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, (Yogyakarta:

Hanggar Kreator, 2008), h. 7

Page 16: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

6

Tradisi weton merupakan tradisi secara turun-temurun dari nenek moyang.

Masih banyak masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto yang

menggunakan weton dalam berbagai kegiatan, baik digunakan oleh laki-laki

maupun perempuan dari anak-anak hingga orang tua. Tidak hanya digunakan

dalam perkawinan saja, weton juga digunakan dalam khitanan, slametan, dan lain

sebagainya. Apabila tidak menggunakan weton dikhawatirkan tidak baik dalam

keturunan selanjutnya. Cara menghitung weton kedua pasangan calon suami istri

dijumlahkan ada berapa dan hari apa wetonnya. Misalnya, wetonnya 13 dan 12

kalau dijumlahkan ada 25. Nanti 25 itu dalam perkawinan diambilkan hari yang

jumlahnya 13. Jadi, 13 itu hari apa, 13 dijumlahkan dengan 25 itu ada 38. Kalau

dibagi tiga-tiga itu nikahnya hanya boleh (kalau sisanya) 2, itu hitungan untuk

perkawinan. Lainnya hari itu (13), ada hari 12, 10, 11, 8, dan banyak sekali hari

itu.17

Oleh karena itu, kedua calon mempelai yang akan melangsungkan

perkawinan dianjurkan untuk menggunakan weton guna kehati-hatian dalam

menentukan pasangan suami atau istri dan hari pernikahan agar rumah tangga

harmonis dan bahagia. Cara menghitung weton itu kedua pasangan calon suami

istri wetonnya dijumlahkan, lalu dibagi tiga-tiga, itu nikahnya hanya boleh jika

sisanya dua. Kalau tidak menggunakan weton berarti tidak orang Jawa. Tradisi

weton perlu dilaksanakan, dihati-hati dan diingat-ingat selama-lamanya.18

Melihat fenomena di atas, tradisi weton yang masih begitu kentalnya di

masyarakat Kabupaten Pati menjadikan penulis ingin melakukan penelitian untuk

mengetahui lebih jauh. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap adanya

tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Kabupaten Pati. Oleh karena itu,

penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi dengan judul skripsi “Tradisi Weton

Dalam Perkawinan Masyarakat Kabupaten Pati Perspektif Hukum Islam”.

17

Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 18

Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018

Page 17: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

7

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi beberapa

masalah yang ada dalam bahasan ini. Masalah-masalah tersebut di antaranya

adalah:

1. Apakah yang dimaksud dengan tradisi weton dalam perkawinan?

2. Dari mana asal mula tradisi weton dalam perkawinan?

3. Apa makna tradisi weton dalam perkawinan bagi masyarakat Kabupaten

Pati?

4. Bagaimana praktik tradisi weton dalam perkawinan masyarakat di Desa

Sidokerto?

5. Bagaimana persepsi masyarakat Kabupaten Pati tentang tradisi weton

dalam perkawinan?

6. Bagaimana eksistensi tradisi weton dalam perkawinan masyarakat di

Kabupaten Pati?

7. Bagaimana pengaruh tradisi weton terhadap kelangsungan perkawinan?

8. Bagaimana cara menyikapi perkawinan terkendala tradisi weton?

9. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang tradisi weton dalam

perkawinan di Kabupaten Pati?

C. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian ini tidak melebar, maka pembahasan

mengenai persoalan tradisi weton dibatasi hanya pada tradisi weton dalam

perkawinan yang ada di Kabupaten Pati dengan kasus di Desa Sidokerto

Kecamatan Pati, praktik tradisi weton dalam perkawinan, pandangan

masyarakat tentang tradisi weton, dan bagaimana Islam memandang tradisi

tersebut.

2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah penulis rinci dalam bentuk pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

a. Bagaimana praktik tradisi weton dalam perkawinan masyarakat

Kabupaten Pati?

Page 18: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

8

b. Bagaimana pandangan masyarakat Desa Sidokerto tentang tradisi

weton dalam perkawinan?

c. Bagaimana perspektif hukum Islam tentang tradisi weton dalam

perkawinan masyarakat Desa Sidokerto?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari sebuah penelitian adalah mengungkapkan secara jelas

sesuatu yang akan dicapai pada penelitian yang akan dilakukan. Dari

pemahaman tersebut maka tujuan dari diadakannya penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui praktik tradisi weton dalam perkawinan

masyarakat Kabupaten Pati.

b. Untuk mengetahui pandangan masyarakat Desa Sidokerto tentang

tradisi weton dalam perkawinan.

c. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam tentang tradisi weton

dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto.

2. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai, demikian pula

dengan penelitian yang penulis adakan ini diharapkan dapat bermanfaat

sebagai berikut:

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan manfaat

bagi penulis dan masyarakat dalam memahami tradisi yang ada di

Indonesia.

b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran (sebagai

informasi ilmiah) bagi akademisi tentang tradisi weton dalam

perkawinan masyarakat Kabupaten Pati perspektif hukum Islam.

E. Kerangka Teori

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk

segera melaksanakannya. Karena perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan,

baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan. Orang yang

berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan

Page 19: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

9

bekal (fisik dan nonfisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk berpuasa.

Orang berpuasa akan memiliki kekuatan atau penghalang dari berbuat tercela

yang sangat keji, yaitu perzinaan.19

Perkawinan di Jawa tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua

jaringan keluarga yang luas, tetapi yang dipentingkan adalah pembentukan sebuah

rumah tangga sebagai unit yang berdiri sendiri. Pandangan ini tampak jelas di

dalam istilah yang lazim untuk kawin ialah omah-omah, yang berasal dari kata

omah atau rumah.20

Pesta perkawinan yang meriah, pada zaman dahulu hanya dilakukan oleh para

bangsawan, khususnya raja. Para bangsawan atau priyayi itu sangat njelimet

dalam menentukan jodoh bagi anaknya. Mereka mempertimbangkan bibit, bebet

dan bobot. Bibit adalah faktor darah dan keturunan. Siapakah orang tua dan

keluarganya, apakah sehat jasmani dan ruhani, dari latar budaya bagaimana dan

sebagainya. Bebet adalah faktor status sosial mempelai dan keluarganya. Apakah

mempelai berasal dari keluarga yang baik-baik dan sebagainya. Sedangkan bobot

adalah faktor harta benda. Hal ini menyangkut kesiapan kedua calon pengantin

dalam hal materi.21

Ada lima faedah (keuntungan) perkawinan, yakni memperoleh

anak, mematahkan (menyalurkan syahwat), menghibur diri, menambah anggota

keluarga, dan berjuang melawan kecenderungan nafsu (dengan menangani dan

mengatasi bermacam keadaan yang timbul karena semua itu).22

Dalam perkawinan masyarakat Jawa, terdapat tradisi weton yang hingga

sekarang masih digunakan untuk menentukan kecocokan dalam pasangan dan hari

dalam melangsungkan pernikahan yang sudah dilakukan secara turun-temurun

dari nenek moyang. Weton itu ilmu mengingat, jadi wetonnya apa. Misalnya,

wetonnya Rabu Pahing itu harus mengingatnya selamanya hidup karena penting.

Weton itu digunakan, misalnya akan nikah itu membutuhkan weton. Selain

19

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7 20

P. Haryono, Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 46 21

M. Hariwijaya, Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa, (Yogyakarta:

Hanggar Kreator, 2008), h. 6 22

Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali, Menyingkap Hakikat Perkawinan, (Penerjemah:

Muhammad Al-Baqir), (Jakarta: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2015), h. 24

Page 20: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

10

pernikahan itu, akan mencari kerja dan lain-lain. Weton itu harus diamati, harus

diingat selamanya hidup. Weton itu penting.23

Adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan dalam Islam disebut dengan ‘Urf.

Kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa ya’rufu sering diartikan dengan “al-ma’ruf”

dengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal ini lebih dekat kepada

pengertian diakui orang lain.24

Di antara ahli bahasa Arab ada yang menyamakan

kata ‘adat dan ‘urf tersebut, kedua kata itu mutaradif (sinonim). Seandainya

kedua kata itu dirangkaikan dalam satu kalimat, seperti: “Hukum itu didasarkan

kepada ‘adat dan ‘urf.” Tidaklah berarti kata ‘adat dan ‘urf itu berbeda

maksudnya karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka dalam contoh

tersebut ‘urf adalah sebagai penguat terhadap kata ‘adat.25

Abdul Wahab Khallaf mengutip beberapa pendapat dari ulama ushul fiqh

mengenai berhujjah dengan ‘urf dan menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh.

Ulama Mazhab Maliki banyak mendasarkan hukumnya atau amal perbuatan

penduduk Madinah. Abu Hanifah dan para pengikutnya berbeda pendapat

mengenai sejumlah hukum berdasarkan ‘urf mereka. Imam Syafi’i ketika tinggal

di Mesir, ia mengubah sebagian hukum yang pernah menjadi pendapatnya ketika

yang ia berada di Bagdad, karena perbedaan ‘urf. ‘Urf yang diperbolehkan dalam

Islam yaitu yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dari segi

keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua, yaitu: ‘Urf al-shahih

(kebiasaan yang dianggap sah) dan al- ‘urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap

rusak). Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih yaitu ‘urf yang tidak

bertentangan dengan syara’.26

F. Review Studi Terdahulu

Sebelumnya penulis sedikit kesulitan untuk mendapatkan review yang benar-

benar sama dengan judul skripsi, akan tetapi penulis menemukan sebuah skripsi

yang sekiranya dapat dijadikan sebagai bahan studi review, yaitu:

23

Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 24

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 387 25

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, h. 387 26

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, (Penerjemah: M. Zuhri, Ahmad Qarib),

(Semarang: Dina Utama, 1994), h. 124

Page 21: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

11

No. Judul Pembahasan Perbedaan

1. Weton: Mengkaji

Peranan Tukang

Petung Dalam

Perkawinan (Studi

Antropologi di Desa

Krandon Kota Tegal)

oleh Hardian Sidiq

pada tahun 2016.

Membahas tentang

sejauh mana peranan

tukang petung pada

masyarakat Desa

Krandon.

Perbedaan dalam skripsi

yang akan penulis tulis

adalah perhitungan weton

dalam menentukan cocok

tidaknya pasangan calon

pengantin dan

menentukan hari

pernikahan yang ada di

Kabupaten Pati

digabungkan, berbeda

dengan perhitungan

tukang petung yang ada

di Kota Tegal dengan

memisahkannya.

2. Perhitungan Weton

dalam Perkawinan

Masyarakat Jawa

(Studi Kasus di Desa

Mojowarno

Kecamatan Kaliori

Kabupaten Rembang)

oleh Kharisma Putri

Aulia Aznur pada

tahun 2016.

Membahas yang

melatarbelakangi

masyarakat Desa

Mojowarno,

Kecamatan Kaliori,

Kabupaten Rembang

masih melakukan

perhitungan weton

dalam perkawinan.

Perbedaan dengan skripsi

yang penulis angkat

adalah perhitungan weton

di Desa Mojowarno,

Kabupaten Rembang

dianggap sebagai ‘urf

yang fasid, sedangkan

tradisi weton di

Kabupaten Pati sebagai

‘urf yang sahih.

3. Tradisi Weton Dalam

Perkawinan

Masyarakat Jatimulyo

Menurut Pandangan

Islam (Studi Pada

Membahas tentang

pengaruh weton

terhadap

kelangsungan

pernikahan pada

Perbedaan dengan skripsi

yang penulis angkat

adalah tradisi

perhitungan weton dalam

perkawinan masyarakat

Page 22: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

12

Kelurahan Jatimulyo

Kecamatan

Lowokwaru Malang)

oleh Enna Nur

Achmidah pada tahun

2008.

masyarakat

Kelurahan

Jatimulyo.

Jatimulyo, Malang tidak

terdapat cara perhitungan

weton yang jelas,

sedangkan tradisi weton

dalam masyarakat

Kabupaten Pati terdapat

cara perhitungan weton

yang sangat jelas.

G. Metode Penelitian

Pembahasan masalah-masalah dalam penyusunan ini, perlu adanya suatu

penelitian untuk memperoleh suatu data yang relevan dengan masalah yang akan

dibahas dan deskripsi dari masalah tersebut secara gamblang dan akurat. Berikut

ini beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain:

1. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan adalah antropologi hukum.

Antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia

dengan kebudayaan yang khusus di bidang hukum.27

Dengan melihat dan

mengamati secara langsung kehidupan masyarakat Kabupaten Pati yang

melakukan tradisi weton dalam perkawinan.

2. Jenis Penelitian

Jenis penilitian yang digunakan dalam penelitian dengan pendekatan

antropologi hukum ini adalah penelitian lapangan (field research) yang

bersumber pada data-data yang bersifat deskriptif. Penelitian lapangan (field

research) ini adalah penelitian yang sumber datanya terutama diambil dari

objek penelitian―masyarakat atau komunitas sosial―secara langsung di

daerah penelitian.28

3. Sumber Data

27

Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni, 2010),

cet. ke-3, h. 10 28

Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2010), h. 32

Page 23: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

13

Pada umumnya sumber data dalam sebuah penelitian terbagi menjadi

beberapa sumber. Pembagian ini dapat dibedakan antara data yang diperoleh

dari lapangan dan dari bahan perpustakaan, adapun sumber data yang penulis

gunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

a. Data primer, yaitu data-data yang diperoleh secara langsung dari

masyarakat baik yang diambil dengan wawancara, observasi, buku

primbon atau lainnya. Data yang langsung dari sumber asalnya yakni

perilaku masyarakat melalui penelitian, berbagai hal yang

berhubungan dengan objek penelitian yang dihadapi kemudian

diamati dan dicatat untuk pertama kalinya oleh peneliti. Adapun

yang termasuk data primer dalam penelitian ini adalah dokumen atau

catatan yang dibuat oleh pelaku atau saksi mata, dan bisa juga

berupa kesaksian secara lisan dari pelaku atau saksi mata yang

mengetahui perihal pelaksanaan tradisi weton dalam perkawinan.

b. Data sekunder, yaitu data-data yang dikumpulkan, diolah, dan

disajikan oleh pihak lain mencakup dokumen-dokumen resmi, kitab-

kitab, ataupun hasil penelitian. Data sekunder diperoleh atau berasal

dari bahan perpustakaan, data ini digunakan oleh penulis untuk

melengkapi data primer.

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang akurat dan berkualitas dalam penelitian ini

penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode

sebagai berikut:

a. Interview (wawancara) yaitu cara pengumpulan yang dilakukan

dengan bertanya dan mendengarkan jawaban langsung dari sumber

utama (orang yang diwawancarai) atau pihak-pihak yang mendukung

tercapainya tujuan penelitian ini.

b. Dokumentasi yaitu teknik pengumpulan data dengan cara meneliti

dokumentasi-dokumentasi yang ada dan memiliki relevansi dengan

tujuan penelitian.

Page 24: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

14

c. Studi pustaka yaitu mengidentifikasi secara sistematis dan

melakukan analisis terhadap buku-buku yang memuat informasi

yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan

dilakukan.

5. Metode Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yakni jenis penelitian yang

temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau hitungan

lainnya.29

Metode berpikir yang penulis gunakan adalah metode berpikir

induktif, dimana penulis menganalisa data dimulai dari kasus-kasus yang

diteliti kemudian digeneralisasikan pada suatu kesimpulan yang bersifat

umum.

6. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat analitik merupakan kelanjutan dari penelitian

deskriptif yang bertujuan bukan hanya sekadar memaparkan karakteristik

tertentu, tetapi juga menganalisa dan menjelaskan mengapa atau bagaimana

hal itu terjadi.30

7. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang peneliti lakukan adalah di Kabupaten Pati

khususnya di Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati.

8. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu

kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah

dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2017.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan adalah penjelasan tentang bagian-bagian yang akan

ditulis di dalam penelitian secara sistematis. Secara garis besar skripsi ini terdiri

29

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, alih bahasa

Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 4 30

Yayan Sopyan, Metodologi Penelitian Hukum, (Ciputat: Buku Ajar, 2009), h. 28

Page 25: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

15

dari lima bab dengan beberapa sub bab. Agar mendapat arah dan gambaran yang

jelas mengenai hal yang tertulis, berikut ini sistematika penulisannya:

Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan tentang latar

belakang masalah, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, kerangka teori, review studi terdahulu, metodologi penelitian,

dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, membahas mengenai pengertian dan dasar hukum perkawinan,

rukun dan syarat perkawinan, tujuan perkawinan, hak dan kewajiban suami istri,

kafa’ah dalam perkawinan, pengertian weton, sakralitas weton dalam pernikahan,

pengertian ‘urf, macam-macam ‘urf, dan kehujjahan ‘urf.

Bab Ketiga, membahas mengenai profil Kabupaten Pati, letak geografis, dan

kondisi demografis, supaya pembaca dapat mengetahui deskripsi dari lokasi

penelitian.

Bab Keempat, membahas mengenai tradisi weton di Desa Sidokerto,

pandangan masyarakat Kabupaten Pati tentang tradisi weton dalam perkawinan,

dan pandangan hukum Islam tentang tradisi weton dalam perkawinan.

Bab Kelima, merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran

terkait kajian yang dimaksud dari awal hingga akhir pembahasan beserta

lampiran-lampiran terkait.

Page 26: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

16

BAB II

PERKAWINAN, WETON DAN ‘URF

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan

1. Pengertian Perkawinan

Secara arti kata nikah berarti “bergabung” (ظى), “hubungan kelamin”

.(ػقذ) ”dan juga berarti “akad (غء)1 Secara terminologi perkawinan (nikah)

yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta‟ (persetubuhan) antara

seorang pria dengan seorang wanita, selama seorang wanita tersebut bukan

seorang wanita yang diharamkan baik dengan sebab keturunan atau seperti

sebab susuan.2 Perkawinan atau pernikahan menurut fikih:

ػ ش ش اج انض بع ز ز اس م د ح أ ش بن ث م ج انش بع ز ز اس ك ه ي ذ ف ن ع بس انش ؼ ظ ذ ق ػ ب

.م ج ش بن ث ح أ ش ان 3

Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟

untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan

dan menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki.”

Akad nikah yang telah dilakukan akan memberikan status kepemilikan

bagi suami istri, dimana status kepemilikan akibat akad tersebut bagi suami

berhak memperoleh kenikmatan biologis dan segala yang terkait dengan itu

secara sendirian tanpa dicampuri atau diikuti oleh lainnya. Begitu pula bagi

istri sebagaimana suami ia juga berhak memperoleh kenikmatan biologis

yang sama, akan tetapi tidak bersifat khusus untuk dirinya sendiri, dalam hal

ini istri boleh menikmati secara biologis atas diri suami bersama istri suami

yang lainnya. Sehingga kepemilikan di sini merupakan hak berserikat antara

para istri.4

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu

untuk segera melaksanakannya, karena perkawinan dapat mengurangi

1 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 29

2 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha Ilmu,

2011), h. 4 3 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, h. 29

4 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, h. 29

Page 27: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

17

kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk

perzinaan, orang yang berkeinginan untuk melakukan pernikahan, tetapi

belum mempunyai persiapan bekal (fisik dan non fisik) dianjurkan oleh Nabi

Muhammad SAW untuk berpuasa.5

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Pasal 1 disebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi

Hukum Islam (KHI) Pasal 2 disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam

adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan

untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan

ibadah.”

2. Dasar Hukum Perkawinan

Pada hakikatnya perkawinan merupakan akad yang membolehkan antara

laki-laki dan perempuan melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak

diperbolehkan, dapat dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan yaitu

boleh atau mubah. Dengan berlangsungnya akad perkawinan, maka pergaulan

laki-laki dan perempuan menjadi mubah. Berikut ini dijelaskan mengenai

dasar hukum dari sebuah perkawinan.

a. Al-Qur’an

Ayat-ayat Al-Qur‟an yang mengatur hal ihwal perkawinan itu ada

sekitar 85 ayat di antara lebih dari 6000 ayat yang tersebar dalam sekitar

22 surat dari 114 surat dalam Al-Qur‟an. Keseluruhan ayat Al-Qur‟an

tentang munakahat tersebut disepakati keberadaannya (thubut) sebagai

firman Allah SWT atau disebut juga dengan qath‟iy al-tsubut.6

Firman Allah SWT dalam QS. An-Nuur (24): 32

5 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 7

6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h.6

Page 28: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

18

للا ى غ آء ش ق اف ك إ ى ك آئ ي إ ى ك بد ج ػ ي ذ بن انص ى ك ي بي اال ذ ك أ

(24:32)انس/ى ه ػ غ اس للا ه ع ف ي

Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di

antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-

hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang

perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan member kemampuan kepada

mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya)

lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nuur (24): 32)

b. Hadis

Perkawinan merupakan yang disyariatkan dalam agama Islam,

merupakan suatu perjanjian yang kuat, sebagaimana sabda Nabi

Muhammad SAW yang melarang seseorang hidup sendirian tanpa kawin

karena sesungguhnya dengan perkawinan dapat memelihara diri dari

kemungkinan melakukan perbuatan yang terlarang.7 Hal tersebut

berdasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW dari Abdullah bin

Mas‟ud yang berbunyi:

،ش ص ج ه ن ط غ أ ج،فإ ض ز ه حف بء ج ان ىك ي بع ط ز اس بةي ج انش ش ش ؼ ي ب

)ساانجخبسبء ج ن إ ف و بنص ث ه ؼ ف غ ط ز س ى ن ف ،ج ش ف ه ن ص د أ

(يسهى8

Artinya: “Wahai generasi muda, barang siapa di antara kamu telah

mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaklah ia kawin,

karena perkawinan itu lebih menutup mata dari penglihatan yang tidak

baik dan lebih menjaga kehormatan. Bila ia tidak mampu untuk kawin

hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu baginya pengekang hawa

nafsu.” (HR. Bukhari Muslim)

c. Ijma

7 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1974), h. 24 8 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari (Bab Nikah No.

1905, 5065, 5066), (Beirut: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, 2002 M/ 1463 H), h. 1292 dan Muslim,

(IV/128), At-Tirmidzi, (No. 1018), An-Nasa‟iy, (VI/56-58), Ad-Darami (II/132) dan Al-Baihaqi

(VII/77)

Page 29: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

19

Dalam perspektif fikih, nikah disyariatkan dalam Islam berdasarkan

Al-Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟. Dan dari segi Ijma‟, para ulama sepakat

mengatakan nikah itu disyariatkan. Hukum asal suatu perkawinan adalah

boleh atau mubah. Namun dengan melihat kepada sifatnya adalah

sunnatullah.9 Sementara ulama mazhab Syafi‟i sebagaimana yang dikutip

oleh Abdul Rahman Ghazali berpendapat bahwa hukum asal perkawinan

adalah mubah. Sedangkan ulama Zahiriyah berpendapat bahwa

perkawinan wajib dilakukan oleh seseorang yang telah mampu. Para

ulama Malikiyah mutakhirin berpendapat bahwa nikah itu wajib untuk

sebagian orang, sunah untuk sebagian lainnya dan mubah untuk

segolongan lainnya.10

Hukum Islam mengenal lima kategori hukum yang lazim dikenal

dengan sebutan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima yaitu wajib

(harus), sunah (anjuran, dorongan), mubah (kebolehan), makruh (kurang,

tidak disukai) dan haram (larangan keras). Jika dihubungkan dengan al-

ahkam al-khamsah (lima kategori hukum) ini, maka hukum melakukan

perkawinan atau pernikahan dapat dibedakan ke dalam lima macam11

dan

hukum tersebut bisa berubah menjadi wajib, sunah, mubah, makruh,

haram tergantung kepada illat hukum, yaitu:

1. Mubah (diperbolehkan), yaitu pernikahan yang dilakukan tanpa

ada faktor-faktor yang mendorong atau memaksa atau yang

menghalangi, ini asal hukumnya.

2. Sunnah bagi seseorang yang mampu untuk melangsungkan

perkawinan tetapi dia merasa mampu untuk menjaga dirinya

dari kemungkinan melakukan hal-hal yang diharamkan jika

tidak menikah, maka nikah bagi dirinya hukumnya sunah.

3. Wajib bagi orang yang telah cukup sandang pangan dan

dikhawatirkan terjerumus pada perzinaan.

9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fikih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, h. 43 10

Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 16 11

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah jilid 3, (Jakarta: Cakrawala Publishing, 1990), h. 209

Page 30: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

20

4. Makruh bagi seorang laki-laki yang tidak memiliki keinginan

seksual sama sekali atau memiliki rasa cinta kepada anak-anak

atau diyakini akan mengakibatkannya lalai dalam berbagai

kewajiban agamanya karena pernikahannya itu.12

5. Haram manakala seorang laki-laki yang akan melaksanakan

pernikahan itu tidak memiliki kemampuan melakukan aktivitas

biologis hubungan suami istri, dan tidak memiliki kemampuan

menjamin perbelanjaan atas istrinya.13

d. Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

merumuskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga (keluarga)

yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.

Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan Pancasila,

dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka

perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau

kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau

jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang

penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan

keturunan yang pula merupakan tujuan perkawinan, memelihara, dan

pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.14

Selain Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,

Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur tentang hukum

perkawinan, dengan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

tanggal 10 Juli 1991 diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam yang

berisikan pedoman bagi orang-orang Islam mengenai perkawinan,

12

Abdur Rahman I. Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992),

h. 9 13

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar

Madzhab, (Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 18 14

M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi

Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind.Hillco-Co, 1990), h. 2

Page 31: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

21

pewarisan dan perwakafan.15

Adanya Kompilasi Hukum Islam ini sangat

membantu para hakim dalam menyelesaikan setiap permasalahan tentang

perkawinan.

B. Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa, bahwa

rukun itu adalah sesuatu yang berada dalam hakikat dan merupakan bagian atau

unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah suatu yang berada di

luarnya dan tidak merupakan unsurnya.16

Menurut Wahbah Zuhaili rukun nikah

ada lima, yaitu:17

1. Shighat (Ijab dan qabul);

2. Adanya calon suami;

3. Adanya calon istri;

4. Dua orang saksi; dan

5. Wali dari calon istri.

Rukun dan syarat perkawinan menentukan suatu perbuatan hukum, terutama

yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.

Rukun dan syarat mengandung arti yang sama dalam hal pernikahan, keduanya

merupakan sesuatu yang harus diadakan dalam pernikahan. Dalam suatu acara

pernikahan rukun dan syarat tidak boleh tertinggal, artinya perkawinan tidak sah

apabila rukun dan syaratnya tidak ada.18

Syarat sahnya perkawinan merupakan ketentuan yang harus dipenuhi agar

pernikahan yang dilaksanakan dinyatakan sah dan diakui secara hukum sehingga

hak dan kewajiban yang berkenaan dengan perkawinan dapat berlaku. Dengan

demikian perkawinan dinyatakan sah apabila sudah memenuhi dua syarat berikut

ini:19

15

Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007), h. 1 16

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, h. 59 17

Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi‟i 2, (Penerjemah: Muhammad Afifi dan Abdul

Hafiz), (Jakarta: Almahira, 2010), h. 453 18

Amir Syarifuddin, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1994), h. 59 19

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, h. 270

Page 32: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

22

1. Perempuan yang akan dinikahi adalah perempuan yang halal untuk

dijadikan sebagai istri.

2. Adanya saksi yang menyaksikan prosesi akad perkawinannya.

Perkawinan yang sarat nilai dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan

rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah perlu diatur dengan syarat

dan rukun tertentu agar tujuan disyaratkannya perkawinan tercapai. Menurut

hukum Islam syarat dan rukun perkawinan adalah:20

1. Harus adanya calon suami dan calon istri yang telah aqil dan baligh.

2. Adanya persetujuan yang bebas antara kedua calon pengantin.

3. Harus adanya wali nikah bagi calon pengantin perempuan.

4. Harus ada 2 (dua) orang saksi laki-laki muslim yang adil.

5. Harus ada mahar (mas kawin) yang diberikan oleh pengantin laki-laki

kepada pengantin perempuan.

6. Harus ada ijab dan qabul. Ijab artinya pernyataan kehendak dari calon

pengantin wanita yang diwakili oleh walinya dan qabul artinya

pernyataan kehendak (penerimaan) dari calon pengantin pria kepada

calon wanita, yang tidak boleh berjarak yang lama antara ucapan ijab

dengan pernyataan qabul.21

Sedangkan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan terdapat syarat-syarat perkawinan sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin

dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih

hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

20

Ahmad Rafiq, Hukum Keluarga di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1998), cet. ke-3, h. 69-72 21

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara

Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 20

Page 33: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

23

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup

dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut

dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih

diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam

daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan

perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin

setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3)

dan (4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari

yang bersangkutan tidak menentukan lain.

C. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama Islam di antaranya sebagaimana

disampaikan oleh Abdul Rahman Ghazali ialah untuk memenuhi petunjuk agama

dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.22

Begitu

mulianya tujuan dari perkawinan, selain tujuan dari perkawinan yang telah

disebutkan di atas, terdapat tujuan yang utama yaitu menciptakan ketenangan jiwa

dan rasa kasih sayang antar suami dan istri. Allah SWT berfirman dalam QS. Ar-

Rum (30): 21 dan QS. Al-A‟raf (7): 189:

ي ك ى ث ؼ م ج ب اإ ن ك بن ز س اج أ ص ك ى ف س أ ي ن ك ى ه ق خ أ آ بر ي خ د س د ح

)انشو/ و ز ف ك ش ق بدن ف ر ان ك (30:21إ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan

pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan

22

Abd. Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, h. 22

Page 34: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

24

sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda

(kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”. (QS. Ar-Ruum (30): 21)

ب إ ن ك بن س ج بص ي ؼ م ج ذ ح اد ف س ي ه ق ك ى خ ان ز (7:189)لػشاف/

Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan

daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa tenang

kepadanya”. (QS. Al-A‟raf (7): 189)

Melalui ayat di atas dapat diambil pelajaran, nafs wahidah “jiwa yang satu”

memberi kesan bahwa pasangan suami istri harus menyatu, menjadi satu jiwa,

satu arah dan satu tujuan. Liyaskunuu ilaihaa “agar ia merasa tenang kepadanya”

ayat ini berlaku timbal balik, baik istri maupun suami harus bisa saling

menumbuhkan rasa ketenangan dan kenyamanan batin. Al-Qur‟an menggunakan

kata .karena kata ini memiliki makna ketenangan yang didahului kegelisahan س ك

Lahirnya ketenangan ini disebabkan adanya rasa mawaddah “kasih” dan rahmah

“sayang” yang Allah SWT tumbuhkan dalam hati pasangan suami istri.23

Secara rinci tujuan perkawinan menurut Mardani yaitu sebagai berikut:24

1. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

kemanusiaan.

2. Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

3. Memperoleh keturunan yang sah.

4. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang

halal, memperbesar rasa tanggung jawab.

5. Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah

(keluarga yang tenteram, penuh cinta kasih dan kasih sayang).

6. Ikatan perkawinan yang mitsaqan ghalidzan sekaligus menaati perintah

Allah SWT bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan

lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam

23

Lilik Ummu Kultsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Ciputat:

UIN Press, 2015), h. 206-207 24

Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, h. 11

Page 35: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

25

kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syarat

hukum Islam.

Menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin seperti yang dikutip

oleh Abdul Rahman Ghazali menyebutkan bahwa tujuan perkawinan itu ada lima,

yaitu:25

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan,

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayangnya,

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan,

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak

serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta

kekayaan yang halal,

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram

atas dasar cinta dan kasih sayang.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

tujuan dari perkawinan adalah seperti dalam pasal 1 yang menyebutkan bahwa

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita

sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 1 tersebut

sangat jelas bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa

“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan rahmah.”

D. Hak dan Kewajiban Suami Istri

Perkawinan adalah perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dan

wanita (suami dan istri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT di satu

pihak dan di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan

25

Abd. Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, h. 24

Page 36: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

26

hak dan kewajiban antara suami dan istri. Oleh karena itu, antara hak dan

kewajiban merupakan hubungan timbal balik antara suami dengan istrinya.26

Di dalam membentuk rumah tangga suami mempunyai hak begitu pula istri

memiliki hak yang sama dan suami mempunyai beberapa kewajiban begitu pula

dengan istri memiliki kewajiban yang harus dipenuhi.27

Allah SWT telah

berfirman di dalam surat al-Baqarah (2): 228:

ش ؼ بن ث ه ػ ز ان م ث ي ن ج س د ه ػ بل ج هش ن ف (2:228)انجقشح/خ

Artinya: “Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan

kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan

di atas mereka”. (QS. Al-Baqarah (2): 228)

Hak-hak dalam hubungan suami istri ada tiga macam, yaitu:28

1. Hak-hak bersama antara suami dan istri

Hak-hak bersama antara suami dan istri meliputi:

a. Suami istri dan masing-masing dari keduanya diperkenankan untuk

bersenang-senang di antara mereka berdua.

b. Keharaman keluarga dari kedua belah pihak. Maksudnya, istri haram

(dinikahi) ayah suaminya, kakek, anak, dan anak keturunan dari

anaknya, sebagaimana suami juga haram menikahi ibu istrinya, anak

perempuannya, dan anak keturunan dari anaknya.

c. Keabsahan hak saling mewarisi antara keduanya karena telah

terlaksananya akad nikah.

d. Keabsahan nasab anak dari suami sebagai pasangan yang sah dalam

rumah tangga.

e. Pergaulan dengan cara yang baik.

2. Hak-hak istri yang wajib ditunaikan suami

a. Hak istri yang menjadi kewajiban suami yang bersifat materi yang

biasa disebut nafkah.

26

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 51 27

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, h. 159 28

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, h. 407

Page 37: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

27

b. Hak istri yang menjadi kewajiban suami yang tidak bersifat materi

ataupun yang tidak berkaitan dengan materi adalah sebagai berikut:29

(1) Menggauli istrinya secara baik dan patut. Hal ini sesuai dengan

firman Allah SWT dalam surat an-Nisaa‟ (4) ayat 19:

ش ؼ بن ث ش بش ػ ئ ش ا ش ك ر أ س ؼ ف ز ش ك إ ف ف للا م ؼ ج ب

(4:19بء/)انساش ث اك ش خ ف

Artinya: “Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang

patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah)

karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah

menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. (QS. An-Nisaa‟ (4):

19)

(2) Menjaganya dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya

pada suatu perbuatan dosa dan maksiat.

(3) Suami wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan

Allah untuk terwujudnya keluarga yang bahagia.

3. Hak suami yang wajib ditunaikan istri

Kewajiban istri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari

istrinya tidak ada yang berbentuk materi secara langsung. Yang ada adalah

kewajiban dalam bentuk nonmateri. Ini merupakan hak terbesar yang dimiliki

suami.30

Adapun kewajiban yang bersifat non materi itu adalah:

a. Menggauli suaminya secara baik sesuai dengan kodratnya.

b. Memberikan rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan

memberi rasa cinta dan kasih sayang kepada suaminya dalam batasan-

batasan yang berada dalam kemampuannya.

c. Taat dan patuh kepada suaminya, selama suaminya tidak

menyuruhnya untuk melakukan perbuatan maksiat. Kewajiban

29

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan, h. 160 30

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, h. 467

Page 38: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

28

mematuhi suami ini dapat dilihat dalam firman Allah SWT QS. An-

Nisaa‟ (4): 34:

(4/34)انسبء:للا ع ف بد ث ت غ ه ن بد ظ بف د بد ز ب ق بد ذ بن بنص ف

Artinya: “Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka

yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak

ada, karena Allah telah menjaga (mereka)”. (QS. An-Nisaa‟ (4): 34)

d. Menjauhkan dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak

dipandang dan suara tidak enak didengar.

e. Menjaga dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya sedang

tidak berada di rumah.

f. Menjauhkan dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak

disenangi oleh suaminya.

E. Kafa’ah dalam Perkawinan

Dalam istilah fikih, “sejodoh” disebut dengan “kafa‟ah”, artinya ialah sama,

serupa, seimbang, atau serasi.31

Yang dimaksud dengan kafa‟ah atau kufu‟ dalam

perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu keseimbangan dan keserasian

antara cal on istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat

untuk melangsungkan perkawinan. Atau laki-laki sebanding dengan calon

istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan derajat dalam

akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa‟ah adalah keseimbangan,

keharmonisan, dan keserasian. Hal tersebut berdasarkan kepada hadis Nabi

Muhammad SAW dari Abu Hurairah yang berbunyi:

ث ذ ر ش انذ ث ز اد ف ش ب،ف بظ ن ذ ب بن ن ج ب ج س ن ذ ب بن ث غن أ ح ل س ش ان ك خ ر ذ ا

)ساانجخبس(32

Artinya: “Wanita yang dikawinkan karena empat hal, yaitu: hartanya,

kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita yang taat

beragama, niscaya akan beruntung.” (HR. Bukhari)

31

Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, h. 69 32

Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, (Beirut: Dar Thauq Al Najjah,

1422 H), Jilid 7, h. 7

Page 39: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

29

Dalam syariat Islam, kafa‟ah diberlakukan sebagai sesuatu yang

dipertimbangkan dalam pernikahan, namun tidak berkaitan dengan keabsahannya.

Hal tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Imam Zakaria al-Ahshari:

ف ه ن ان أ ح ش ه ن ق بد ل ث م ز ذ ن ص ان ك بح ل ح ف ز ج ش ؼ ح ان :ف انك ف بء م بف ص

ب ق بغ إس 33

Artinya: “Pasal tentang kafa‟ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah,

bukan pada soal keabsahannya, namun hal tersebut merupakan hak calon istri

dan wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya.”

Dalam kriteria yang digunakan untuk menentukan kafaah, ulama berbeda

pendapat. Hal ini secara lengkap diuraikan oleh Al-Jaziri seperti yang dikutip oleh

Abdul Ghofur Anshori berikut ini:34

Menurut ulama Hanafiyah yang menjadi dasar kafaah antara kedua calon

mempelai adalah:

1. Nasab, yaitu keturunan atau kebangsaan;

2. Islam, yaitu dalam silsilah kerabatnya banyak yang beragama Islam;

3. Hirfah, yaitu profesi dalam kehidupan;

4. Kemerdekaan dirinya;

5. Diyanah atau tingkat kualiatas keberagamaannya dalam Islam; dan

6. Kekayaan.

Menurut ulama Malikiyah yang menjadi kriteria kafaah hanyalah dinayah

atau kualitas keberagamaan dan bebas dari cacat fisik. Menurut ulama Syafiiyah

yang menjadi kriteria kafaah itu adalah:

1. Kebangsaan atau nasab;

2. Kualitas keberagamaan;

3. Kemerdekaan diri; dan

4. Usaha atau profesi.

Menurut kalangan ulama Hanabilah yang menjadi kriteria kafaah adalah

sebagai berikut:

33

Imam Zakaria al-Anshari, Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab, (Beirut: Dar al-

Fikr), juz II, h. 47 34

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h.

71-72

Page 40: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

30

1. Kualitas keagamaan;

2. Usaha atau profesi;

3. Kekayaan;

4. Kemerdekaan diri; dan

5. Kebangsaan.

F. Pengertian Weton

Weton adalah hari kelahiran. Dalam bahasa Jawa, Wetu bermakna keluar atau

lahir, kemudian mendapat akhiran –an yang membentuknya menjadi kata benda.

Yang disebut dengan weton adalah gabungan antara hari dan pasaran saat bayi

dilahirkan ke dunia.35

Dengan kata lain, weton merupakan penggabungan,

penyatuan, penghimpunan, atau penjumlahan hari lahir seseorang, yaitu hari ahad,

senin, selasa dan seterusnya dengan hari pasaran, yaitu legi, pahing, pon, dan

seterusnya.

Nilai dari masing-masing hari dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini:36

Tabel 2.1

Nilai atau Isi Hari dan Orientasi

No. Hari Nilai Orientasi

1. Senin 4 Barat

2. Selasa 3 Barat Laut

3. Rabu 7 Utara

4. Kamis 8 Timur Laut

5. Jumat 6 Timur

6. Sabtu 9 Selatan

7. Minggu 5 Barat Daya

Untuk memudahkan perhitungan hari, maka pertama yang dihitung adalah

hari sabtu mulai dari arah selatan dan begitu seterusnya searah jarum jam,

35

Romo RDS Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini: Warisan Nenek Moyang untuk Meraba

Masa Depan, (Jakarta: Bukune, 2009), h. 17 36

Asif Nizaruddin, Interpretasi Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna dalam

Perspektif Budaya dan Akidah Islam, (Jakarta: Pondok Pesantren Sholawat Darut Taubah, 2018),

h. 150

Page 41: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

31

sehingga diketahui ada orientasi atau arah mata angin yang memang kosong

(suwung) atau tidak memiliki tempat yaitu arah tenggara.

Nilai dari masing-masing pasaran dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah ini:37

Tabel 2.2

Nilai atau Isi Pasaran dan Orientasi Serta Anasir

No. Pasaran Nilai Arah Unsur

1. Kliwon 8 Tengah,

Perpaduan 4 Arah

Perpaduan 4 Unsur

2. Legi 5 Timur Air

3. Pahing 9 Selatan Api

4. Pon 7 Barat Angin

5. Wage 4 Utara Tanah

Untuk memudahkan perhitungan pasaran, maka pertama yang dihitung adalah

pasaran pahing mulai dari arah selatan dan begitu seterusnya searah jarum jam,

sehingga diketahui posisi khusus pasaran kliwon tepat berada di tengah yang

merupakan perpaduan dari empat anasir tersebut.

Setiap orang Jawa mempunyai weton, karena weton memiliki arti hari

kelahiran seseorang sesuai dengan hari pasarannya. Hari pasaran, terdiri dari lima

hari dengan urutan nama; kliwon, legi, pahing, pon, wage. Lima hari tersebut

dinamakan pasaran, karena masing-masing nama itu sejak zaman kuno digunakan

untuk menentukan dibukanya pasar bagi para pedagang, sehingga pada hari yang

ditentukan, untuk suatu pasar akan banyak kunjungan pedagang menjual

dagangannya, dan banyak dikunjungi orang yang berbelanja. Kalau mengungkap

dari leluhur zaman dahulu, nama lima hari tersebut sebenarnya diambil atau

berasal dari nama lima roh. Nama-nama roh tersebut adalah Batara Legi, Batara

Pahing, Batara Pon, Batara Wage, Batara Kliwon. Bagian pokok dari jiwa

37

Asif Nizaruddin, Interpretasi Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna dalam

Perspektif Budaya dan Akidah Islam, h. 151

Page 42: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

32

manusia yang sudah menjadi pengetahuan dan keyakinan leluhur orang Jawa

sejak zaman purba sampai sekarang.38

Berhubung lima hari pasaran itu pada hakikatnya mengambil dari nama jiwa

manusia yang disebut “Sedulur Papat Lima Pancer”, dari itu dalam kalangan

masyarakat Jawa sampai sekarang ini terdapat naluri menggunakan nama lima

pasaran tersebut untuk dijadikan titikan bagi perangan seseorang menurut hari

Pasaran kelahirannya.39

Sedulur papat lima pancer yakni arah wetan, kidul, kulon,

dan lor serta pancer (tengah). Tengah adalah pusat kosmis (semesta) manusia

Jawa. Arah kiblat ini juga terkait dengan perjalanan hidup manusia, yang

hidupnya selalu ditemani juga oleh sedulur papat lima pancer. Sedulur papat,

yaitu kawah, getih, puser, dan adhi ari-ari. Sedangkan pancer (ego, atau manusia

itu sendiri). Letak sedulur papat ini sejalan dengan arah kiblat manusia Jawa juga.

Kawah berwarna putih, berada di sebelah timur (wetan, witan) ini yang

mengawali kelahiran, dia pembuka jalan. Getih, berwarna merah di sebelah

selatan, puser berwarna hitam di sebelah barat, dan adhi ari-ari berwarna kuning

berada di arah utara. Sedangkan yang di tengah adalah pancer, yaitu Mar atau

Marti yang keluar lewat margahina, secara lahiriah.40

G. Sakralitas Weton dalam Pernikahan

Sakralitas merupakan sesuatu yang mengandung keramat atau suci dan bisa

mendatangkan keberuntungan, kebaikan, keberkahan, kemalangan, keburukan,

dan lain sebagainya. Jadi yang disebut sakral selalu dikaitkan dengan keyakinan

dan ritual keagamaan, sedangkan yang profan masuk pada kategori kebudayaan.

Keduanya secara teori dan konsep bisa dibedakan, tetapi pada praktik dan

kenyataannya sesungguhnya tidak bisa dipisahkan antara yang sakral dan yang

profan, antara agama dan budaya.41

38

Soenandar Hadikoesoema, Filsafat Ke-Jawan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam

Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, (Jakarta: Yudhagama Corporation, 1998), h. 57 39

Soenandar Hadikoesoema, Filsafat Ke-Jawan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam

Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, h. 59 40

Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam

Budaya Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 53-54 41

Komaruddin Hidayat, Sakral dan Profan, artikel diakses pada 5 April 2019 dari

https://nasional.sindonews.com/read/1231400/18/sakral-dan-profan-1502983114

Page 43: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

33

Orang Jawa begitu besar dalam memperhatikan keselamatan, sehingga pada

akhirnya akan tergolong orang beruntung (begja). Keberuntungan juga ditandai

apabila dalam pernikahan mendapat keturunan yang baik. Karena itu filosofi Jawa

banyu kuwi mili mudhun, artinya bahwa perwatakan orang tua akan menurun pada

anaknya—selalu mendapat penekanan. Dengan kata lain, perkawinan adalah masa

persiapan atau peletakan fondasi keluarga, sehingga selalu diupayakan menuju ke

kesempurnaan hidup.42

Sempurna itu artinya tidak mungkin mengalami kesulitan

dan yang mendorong orang mencari sempurna itu ialah pengharapan bahwa orang

mungkin tidak mengalami kesulitan selamanya.43

Dalam tradisi Jawa, memang jodoh termasuk misteri yang siapa pun tidak ada

yang tahu. Jelas. Karena, Tuhan jelas sedikitnya merahasiakan tiga hal: pesthi,

jodho, wahyu. Untuk meraih tiga hal ini, dalam tradisi Jawa harus melalui

petungan khusus. Orang Jawa, ada yang sekedar menerapkan petungan untuk

mencari (menemukan) jodohnya. Ada pula, yang menerapkan petungan ke dalam

mistik, sekurang-kurangnya melalui tirakat. Ini, juga sejajar dengan salat tahajud

dan istiqarah—dalam hal penentuan jodoh.44

Dalam menjalani tradisi kejawen demikian, orang Jawa selalu mengacu pada

budaya leluhur yang turun-temurun. Orang Jawa juga sering menyebut leluwur

artinya leluhur yang telah meninggal, tetapi memiliki karisma tertentu. Leluhur

dianggap memiliki kekuatan tertentu, apalagi kalau orang yang telah meninggal

tersebut tergolong wong tuwo (orang tua) baik dari segi umur maupun ilmunya.

Karena itu, sadar atau tidak orang kejawen telah banyak memanfaatkan karya-

karya leluhur sebagai pijakan dan pijaran hidupnya.45

Bertitik tolak dari dasar-dasar filosofis serta keyakinan dari para pengguna

Weton maka dapat diketahui bahwa terdapat latar belakang teologis yang

mengarah pada mistik-magis dan kelenik. Dengan mistik dimaksudkan bahwa

42

Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, (Yogyakarta: Cakrawala, 2018), cet. ke-6,

h. 128 43

Ki Ageng Suryomentaram, Kesempurnaan dan Wujud Ilmu Jawa, (Jakarta: Yayasan

Idayu, 1979), h. 5 44

Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, h. 132-133 45

Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme dalam

Budaya Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 8

Page 44: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

34

orang berusaha untuk mencari keselarasan dengan ketentuan-ketentuan (takdir)

Tuhan. Dengan mengikuti perhitungan-perhitungan sebagaimana yang terdapat

dalam Primbon itu berarti bahwa orang berupaya menyelaraskan dengan takdir.

Sedangkan dimaksud dengan magis merupakan tindakan manusia yang

memaksakan kehendaknya dengan bantuan kekuatan adiduniawi yang hasilnya

sering dapat mengubah kodrat ilahi. Dimensi magis itu terlihat pada penempatan

angka-angka sebagai angka bernilai keramat yang menentukan baik buruknya

waktu, demikian juga pandangan tentang hari-hari bulan yang ditentukan sebagai

bulan naas atau hari dan bulan yang tidak menguntungkan sebagai hasil dari

perhitungan.46

Walaupun demikian, dalam masyarakat Jawa khususnya masyarakat Islam,

masih ada yang secara apriori terhadap nilai-nilai budaya Jawa ini. Hal ini

disebabkan nilai-nilai budaya Jawa dianggapnya sebagai “klenik” atau kebatinan

(spiritual) yang menurut mereka dianggap bid‟ah atau kufur. Untuk itu tidak ada

jeleknya dalam kerangka keilmuan kita dapat belajar dan memahami nilai-nilai

mana yang dianggap pantas sebagai pelengkap ajaran Islam, dan mana yang dapat

mengurangi atau merusak ajaran Islam.47

H. Pengertian ‘Urf

Kata „urf berasal dari kata „arafa, ya‟rifu ( ف ش ؼ ف ش ػ ). Sering diartikan

dengan al-ma‟ruf ( ف ش ؼ ان ) dengan arti: “sesuatu yang dikenal”.48

Al-„Urf adalah

apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik ucapan, perbuatan

maupun pantangan-pantangan dan disebut juga adat.49

„Urf yang bermakna

berbuat baik dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an surat Al-A‟raf (7): 199:

ف ؼ ان ز خ ج ان ػ ض ش ػ أ ف ش ؼ بن ث ش ي أ (7:199الػشاف/.) ه ب

Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf,

serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”. (QS. Al-A‟raf (7): 199)

46

Ridin Sofwan, Dimensi Teologis Petungan Waktu Menurut Tradisi Jawa, (Semarang:

Pusat Pengkajian Islam dan Budaya Jawa (PP-IBJ) IAIN Walisongo, 2005), h. 85-86 47

Asmoro Achmadi, Filsafat dan Kebudayaan Jawa, (Surakarta: CV Cendrawasih,

2004), h. 134 48

Zulbaidah, Ushul Fiqh 1, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2016), h. 146 49

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka

Amani, 2003), cet. ke-11, h. 117

Page 45: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

35

Dalam kajian ushul fiqh, „urf adalah suatu kebiasaan masyarakat yang sangat

dipatuhi dalam kehidupan mereka sehingga mereka merasa tenteram. Kebiasaan

yang telah berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan, baik yang

bersifat khusus maupun yang bersifat umum. Dalam konteks ini, istilah „urf sama

dan semakna dengan istilah al-„adah (adat istiadat).50

Hakikat adat dan „urf itu

adalah sesuatu yang sama-sama dikenal oleh masyarakat dan telah berlaku secara

terus-menerus sehingga diterima keberadaannya di tengah umat.51

I. Macam-Macam ‘Urf

„Urf ditinjau dari sisi kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh syari‟ah)

ada dua macam „urf, yaitu:52

1. „Urf yang fasid atau „urf yang batal, yaitu „urf yang bertentangan dengan

syari‟ah. Seperti ada kebiasaan menghalalkan minuman-minuman yang

memabukkan, menghalalkan makan riba, adat kebiasaan memboroskan

harta, dan lain sebagainya.

2. „Urf yang shahih atau al-„adah ashahihah yaitu „urf yang tidak

bertentangan dengan syari‟ah. Seperti memesan dibuatkan pakaian

kepada penjahit. Bahkan cara pemesanan itu pada masa sekarang sudah

berlaku untuk barang-barang yang lebih besar lagi, seperti memesan

mobil, bangunan-bangunan, dan lain sebagainya.

Ditinjau dari ruang lingkup berlakunya, adat kebiasaan bisa kita bagi menjadi:

1. Adat atau „urf yang bersifat umum, yaitu adat kebiasaan yang berlaku

untuk semua orang di semua negeri. Misalnya membayar bis kota dengan

tidak mengadakan ijab qabul atau juga contoh pesanan di atas.

2. Adat atau „urf yang khusus, yaitu yang hanya berlaku di suatu tempat

tertentu atau negeri tertentu saja. Misalnya adat gono-gini di Jawa.

Di samping itu adat juga bisa berupa:

50

Firdaus, Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam, (Depok:

Rajawali Pers, 2017), h. 108 51

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2012), h. 71 52

Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,

(Jakarta: Kencana, 2006), h. 90-91

Page 46: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

36

1. Perkataan, seperti di Arab menyebut walad hanya untuk anak laki-laki

saja. Atau di Indonesia menyebut bapak kepada orang yang lebih tinggi,

baik umurnya, jabatannya, atau ilmunya.

2. Perbuatan, seperti cara berpakaian yang sopan dalam menghadiri

pengajian-pengajian.

Adat yang sudah berlangsung lama, dalam hubungannya dengan hukum

syara‟ yang datang kemudian ada tiga macam:53

1. Adat yang sudah ada sebelum datangnya agama Islam, karena dianggap

baik oleh hukum syara‟ dinyatakan berlaku untuk umat Islam, baik dalam

bentuk diterimanya dalam Al-Qur‟an maupun mendapat pengakuan dari

Nabi. Umpamanya pembayaran diat atau tebusan darah sebagai

pengganti hukum qishash telah berlaku di tengah masyarakat Arab dan

ternyata terdapat pula dalam Al-Qur‟an untuk dipatuhi umat Islam. Adat

dalam bentuk ini dengan sendirinya diamalkan dalam Islam karena telah

dikukuhkan dalam nash Al-Qur‟an.

2. Adat yang berlaku sebelum datangnya Islam, namun karena adat tersebut

dianggap buruk dan merusak bagi kehidupan umat, dinyatakan Islam

sebagai suatu yang terlarang. Umpamanya kebiasaan berjudi, minum

khamar dan bermuamalat dalam bentuk riba. Disepakati oleh ulama

bahwa adat dalam bentuk ini tidak boleh dilakukan.

3. Adat atau kebiasaan yang terdapat di tengah masyarakat belum diserap

menjadi hukum Islam, namun tidak ada nash syara‟ yang melarangnya.

Adat dalam bentuk ini dapat dijadikan dalil dalam menetapkan hukum

syara‟. Untuk itu berlaku kaidah fiqh: يذكخ yang berarti adat itu انؼبدح

dapat menetapkan hukum.

J. Kehujjahan ‘Urf

„Urf yang shahih itu wajib dipelihara pada tasyri‟ dan pada hukum. Mujtahid

harus memeliharanya pada tasyri‟nya itu. Dan bagi hakim memeliharanya itu pada

hukumnya. Karena apa yang saling diketahui orang itu dan apa yang saling

dijalani orang itu dapat dijadikan hujjah, kesepakatan dan kemaslahatan mereka.

53

Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, h. 71-72

Page 47: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

37

Selama tidak menyalahi syari‟at, maka wajib memeliharanya. Syari‟ memelihara

kesahihan „arfu Arab itu dalam tasyri‟. Dia itu diwajibkan hanya kepada orang

berakal. Syarat kafaah (setara) itu hanya dalam perkawinan. Kefanatikan keluarga

itu hanya dalam masalah perkawinan dan warisan.54

Para ulama sepakat bahwa „urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama

tidak bertentangan dengan syara‟. Ulama Malikiyah terkenal dengan pernyataan

mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama

Hanafiyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kufah dapat dijadikan dasar

hujjah. Imam Syafi‟i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu

kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih

berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul

jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan „urf.

Tentu saja „urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.55

54

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), cet. ke-5, h.

105 55

Kamal Mukhtar, dkk., Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 149

Page 48: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

38

BAB III

POTRET KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

A. Potret Kabupaten Pati

Kabupaten Pati adalah salah satu daerah otonom di provinsi Jawa Tengah,

Indonesia. Kabupaten Pati terkenal dengan julukan Pati Bumi Mina Tani karena

penduduknya mayoritas bekerja dalam bidang pertanian. Kabupaten Pati

mempunyai suasana yang sangat tenang karena kotanya tidak berkembang

sehingga dijuluki Kota Pensiunan serta juga dikenal dengan Kota Seribu

Paranormal atau Hogwarts van Java karena sejak zaman Majapahit sampai

sekarang masih banyak ditemukan warga Kabupaten Pati yang menekuni ilmu

magis, spiritual, mistis dan klenik.

Secara administrasi, sejak tahun 2006 Kabupaten Pati terdiri dari 21

kecamatan, 401 desa dan 5 kelurahan.1 Berdasarkan angka tahun 2017 yang

diterbitkan Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati, bahwa penduduk Kabupaten

Pati berdasarkan proyeksi penduduk tahun 2017 sebanyak 1.246.691 jiwa yang

terdiri atas 603.907 jiwa penduduk laki-laki dan 642.784 jiwa penduduk

perempuaan yang terdiri dari 424.616 kepala keluarga.2 Dengan luas wilayah

Kabupaten Pati sekitar 1.503,68 km² persegi, rata-rata tingkat kepadatan

penduduk Kabupaten Pati adalah 829,09 jiwa per km².3

Berdasarkan kepadatan penduduk Kabupaten Pati pada tahun 2017,

Kecamatan Pati merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi

sebesar 2.532 jiwa/km2.4 Dengan jumlah penduduk sebanyak 107.590 jiwa yang

terdiri atas 51.735 jiwa penduduk laki-laki dan 55.855 jiwa penduduk

perempuan.5 Pembagian wilayah administrasi menurut kecamatan pada tahun

1 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, (Pati: BPS Pati, 2018),

h. 25 2 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 57

3 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 68

4 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 49

5 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 57

Page 49: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

39

2017, di Kecamatan Pati terdapat 24 desa, 5 kelurahan, 100 Rukun Warga (RW)

dan 570 Rukun Tetangga (RT).6

Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati merupakan salah satu dari

24 desa yang terdapat di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Masyarakat Desa

Sidokerto, Kecamatan Pati keseluruhannya berjumlah 6.529 jiwa yang terdiri atas

3.247 laki-laki dan 3.282 perempuan yang terdiri dari 3.014 kepala keluarga.7

Sebagian besar masyarakat Desa Sidokerto bermata pencaharian sebagai petani

karena lahan pertanian di Desa Sidokerto sangat luas, ada juga masyarakat yang

bekerja sebagai tukang batu, pedagang, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang

hanya sedikit.8

Masyarakat Desa Sidokerto menurut agama dapat dilihat pada tabel 3.1 di

bawah ini:9

Tabel 3.1

Penduduk Desa Sidokerto Menurut Agama

No. Agama Penduduk

1. Islam 6.336 orang

2. Kristen 103 orang

3. Katolik 78 orang

4. Hindu 0 orang

5. Budha 1 orang

Ada delapan puluh lima persen memeluk agama Islam, selainnya agama non-

Islam (Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha). Kegiatan atau aktivitas keagamaan di

Desa Sidokerto berjalan dengan sangat baik dan tertib, baik dalam memperingati

hari-hari besar Islam maupun pengajian rutinan yang dilakukan oleh masyarakat

Desa Sidokerto. Seperti pengajian umum, maulid Nabi Muhammad SAW, isra’

mi’raj, satu suro, dan hari raya idulfitri. Sedangkan yang non-Islam menyesuaikan

6 Badan Pusat Statistik Pati, Kabupaten Pati Dalam Angka 2018, h. 26

7 Data Laporan Bulanan Desa, Desa Sidokerto bulan November Tahun 2018

8 Kuswanto, Kepala Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember 2018

9 Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember Tahun

2017, Pati: 2017, h. 4

Page 50: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

40

dengan kepercayaannya.10

Semua itu, didukung adanya sarana ibadah di Desa

Sidokerto yang dapat dilihat pada tabel 3.2 di bawah ini:11

Tabel 3.2

Sarana Ibadah di Desa Sidokerto

No. Sarana Ibadah Jumlah

1. Masjid 7 buah

2. Surau/Mushola 13 buah

3. Gereja 1 buah

4. Kuil/Pura 0 buah

Masyarakat Desa Sidokerto memegang teguh tradisi kebudayaan Jawa dan

tradisi Islam. Menurut yang dikatakan oleh Nur Rohmat sebagai salah satu tokoh

agama di Desa Sidokerto, bahwa masyarakat Desa Sidokerto masih kuat

memegang teguh tradisi Jawa dan ajaran-ajaran agama Islam supaya tidak

menyimpang dalam menjalankan tradisi Jawa. Sebab, masih ada orang untuk

ditanyai atau konsultasi, seperti orang tua atau banyak masyarakat menyebutnya

dengan sesepuh di Desa Sidokerto. Karena adat istiadat biasanya seperti itu,

asalkan tidak perlu terlalu diyakini dan dibalik semua itu ada Allah SWT Yang

Maha Mengetahui.12

Masyarakat Desa Sidokerto selain aktif dalam hal-hal keagamaan, juga tidak

melupakan pendidikan bagi anak-anaknya sebagai generasi penerus bangsa ke

depannya. Seperti yang disampaikan oleh Kuswanto selaku Kepala Desa

Sidokerto, bahwa masyarakat Desa Sidokerto sekarang memasuki era modern

dengan tuntutan pendidikan yaitu sembilan tahun masa pendidikan, minimal

Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat.13

Untuk mendukung dalam

10

Kuswanto, Kepala Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember 2018 11

Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017, h. 3 12

Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 27 Desember

2018 13

Kuswanto, Kepala Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember 2018

Page 51: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

41

memajukan pendidikan di Desa Sidokerto terdapat beberapa sarana pendidikan

formal yang dapat dilihat pada tabel 3.3 di bawah ini:14

Tabel 3.3

Sarana Pendidikan di Desa Sidokerto

No. Sarana Pendidikan Jumlah

1. Sekolah TK 1 buah

2. SD Negeri 3 buah

3. SLTP Negeri 1 buah

4. SMU Negeri 0 buah

Supaya semua kegiatan masyarakat Desa Sidokerto berjalan dengan baik,

setidaknya harus didukung prasarana yang baik pula. Adapun sarana yang ada di

Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, yaitu: Kantor Desa: 1 buah,

Poliklinik: 1 buah, Koperasi: 1 buah, Toko: 4 buah, Kios: 31 buah, Warung: 8

buah, Industri sedang: 3 buah, Industri kecil: 4 buah, Hotel: 2 buah, Rumah

makan: 5 buah dan prasarana yang ada di Desa Sidokerto adalah sebagai berikut:15

1. RT dan RW

Desa Sidokerto terdiri dari 3 RW dan 24 RT.

2. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD)

Jumlah Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) terdapat 15 orang.

Adanya lembaga ini sangat penting untuk memberdayakan masyarakat

Desa Sidokerto.

3. Poliklinik

Jumlah poliklinik di Desa Sidokerto ada 1 buah. Adanya poliklinik ini

sangat penting untuk berobat masyarakat Desa Sidokerto.

4. Pembinaan ketentraman dan perlindungan masyarakat

14

Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017, h. 1-

2 15

Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017, h. 1

Page 52: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

42

Jumlah anggota Linmas ada 20 orang dan jumlah petugas pos

kamling/pos ronda ada 32 orang. Adanya lembaga ini sangat penting

untuk menjaga ketentraman serta melindungi masyarakat Desa Sidokerto.

Dengan adanya kelembagaan dan prasarana yang telah ada di Desa

Sidokerto, maka kegiatan masyarakat dapat menjadi lebih mudah dan terorganisir

dengan baik sehingga kegiatan masyarakat dapat berjalan dengan baik.

B. Letak Geografis

Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati merupakan salah satu dari

29 desa di Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Desa Sidokerto sendiri berada pada

posisi yang strategis yaitu berada di tengah-tengah ibukota Kabupaten Pati,

sehingga Desa Sidokerto termasuk perkotaan. Wilayah Desa Sidokerto,

Kecamatan Pati merupakan dataran rendah, dimana sebagian besar wilayahnya

berupa pertanian, perkebunan dan permukiman penduduk.

Luas wilayah Desa Sidokerto sebesar 278.900 Ha. Secara administrasi Desa

Sidokerto terbagi dalam 3 wilayah RW dan 24 RT.16

Desa Sidokerto mempunyai

beberapa Dukuh, diantaranya Dukuh Kunden (pusat pemerintahan desa), Dukuh

Ndangsewu, Dukuh Ndekeso, Dukuh Ndopang, Dukuh Njambean, dan Dukuh

Kebondalem.

Batas wilayah Desa Sidokerto sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Mulyoharjo

Sebelah Barat : Desa Tamansari

Sebelah Timur : Desa Kutoharjo

Sebelah Selatan : Desa Randukuning

C. Kondisi Demografis

Dalam menjalankan roda pemerintahan desa, Desa Sidokerto dipimpin oleh

seorang kepala desa atau kebanyakan masyarakat Desa Sidokerto menyebutnya

dengan Petinggi. Keberadaan Petinggi tersebut dipilih langsung oleh masyarakat

Desa Sidokerto dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi calon Petinggi.

Sedangkan dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai Petinggi, Petinggi dibantu

16

Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017, h. 1

Page 53: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

43

oleh sekretaris desa, seksi-seksi, dan staf-staf pemerintahan Desa Sidokerto,

Kecamatan Pati, Kabupaten Pati.

Masyarakat Desa Sidokerto sebagian besar bermata pencaharian sebagai

petani, selain itu ada yang berprofesi sebagai pengusaha, pengrajin, buruh tani,

buruh industri, buruh bangunan, pedagang, Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan lain-

lain. Masyarakat Desa Sidokerto selalu gotong royong dalam pembangunan desa

karena desa tidak dapat dibangun oleh satu atau dua orang saja melainkan harus

secara bersama-sama.

Beberapa potensi penduduk Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati

adalah sebagai berikut:17

1. Bidang Pertanian

Pati Bumi Mina Tani merupakan julukan Kabupaten Pati karena luasnya

sawah di daerah ini, yaitu 70% Kabupaten Pati adalah sawah. Sehingga

mayoritas penduduk Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto berkerja

dalam bidang pertanian atau mata pencaharian sebagian besar masyarakat

Desa Sidokerto adalah petani. Luas tanah sawah di Desa Sidokerto

sebesar 168.374 Ha yang terdiri dari 123.451 Ha irigasi teknis dan

123.451 Ha irigasi setengah teknis.

2. Bidang Seni Budaya

Kabupaten Pati terkenal akan seni dan kebudayaannya, salah satunya

kesenian budaya tradisional yang terkenal di Kabupaten Pati adalah Gong

Cik dan Barongan Mbah Wage. Adapun tokoh seniman atau budayawan

asal dari Kabupaten Pati diantaranya ada Anis Sholeh Ba’asyin, Nur

Askhonah, Sigit Hardadi, Soimah Pancawati dan lain-lain. Desa Sidokerto

terdapat satu perkumpulan kebudayaan atau sanggar, yang anggotanya

berjumlah 16 budayawan.

3. Bidang Keagamaan

Banyak masyarakat menyebut Kabupaten Pati sebagai Kota Santri karena

banyaknya pondok pesantren dan ulama besar yang berasal dari

Kabupaten Pati, juga memiliki banyak tempat wisata religinya

17

Data Laporan Monografi, Desa Sidokerto, Semester II bulan Juli-Desember 2017

Page 54: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

44

diantaranya ada Makam Sunan Prawoto, Makam Sunan Ngerang, Makam

Sunan Makhdum, Makam Prabu Angling Dharma, Makam Syekh Ahmad

Mutamakkin, dan lain-lain. Adapun tokoh agama yang berasal dari

Kabupaten Pati diantaranya ada KH. Bisri Syansuri, KH. Abdullah Salam,

KH. Suyuthi Abdul Qadir, KH. MA. Sahal Mahfudh, Ulil Abshar

Abdalla, dan lain-lain. Dengan adanya sarana dan prasarana untuk

mendukung dalam menjalankan kegiatan keagamaan di Desa Sidokerto,

maka kegiatan keagamaan yang dijalankan masyarakat Desa Sidokerto

berjalan dengan baik.

4. Bidang Pendidikan

Terdapat ada banyak sekolahan dan madrasah serta perguruan tinggi di

Kabupaten Pati, diantaranya ada SMAN 1 Pati, SMK Cordova, MA

Salafiyah Kajen, Sekolah Tinggi Agama Islam Pati (STAIP), Institut

Pesantren Mathali’ul Falah (IPMAFA) Pati, dan lain-lain. Adapun tokoh

pendidikan yang berasal dari Kabupaten Pati diantaranya ada M. Amin

Abdullah, Ahmad Sholeh Dimyathi, KH. MA. Sahal Mahfudh, dan lain-

lain. Masyarakat Desa Sidokerto menurut pendidikan: belum sekolah: 84

orang, tidak tamat SD: 259 orang, tamat SD: 277 orang, tamat SLTP:

1.693, tamat SMU: 2.665 orang, tamat Akademi: 161 orang, tamat

Perguruan Tinggi: 185, dan buta huruf: 0 orang. Dari data masyarakat

Desa Sidokerto menurut pendidikan tersebut, dapat dilihat bahwa tidak

ada masyarakat Desa Sidokerto yang buta huruf.

5. Bidang Perekonomian

Selain terkenal dengan Bandeng Prestonya, Kabupaten Pati merupakan

salah satu dari dua kabupaten penghasil buah manggis terbesar di Jawa

Tengah. Sarana perekonomian di Desa Sidokerto, Kecamatan Pati dalam

mendukung kegiatan-kegiatan masyarakat di Desa Sidokerto, diantaranya

adalah: Koperasi simpan pinjam: 1 buah, Toko: 4 buah, Kios, 31 buah,

Warung: 8 buah, Industri sedang: 3 buah dengan jumlah tenaga kerja 16

orang, Industri kecil: 4 buah dengan jumlah tenaga kerja 10 orang, Hotel:

2 buah dengan jumlah tenaga kerja 15 orang, dan Rumah makan: 5 buah

Page 55: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

45

dengan jumlah tenaga kerja 12 orang. Dengan adanya sarana tersebut

maka perekonomian masyarakat di Desa Sidokerto, Kecamatan Pati,

Kabupaten Pati dapat lebih baik, maju dan sejahtera.

Page 56: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

46

BAB IV

TRADISI WETON DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Tradisi Weton di Kabupaten Pati

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat

kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah SWT dan

melaksanakannya merupakan ibadah.1 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan

kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Idealnya dalam

perkawinan terdiri dari satu orang suami dan satu orang istri, dan suami istri

mempunyai derajat (kedudukan), hak dan kewajiban yang sama di hadapan

agama, sosial, dan hukum.2

Karena pernikahan itu merupakan ikatan untuk hidup bersama dalam rumah

tangga dalam waktu yang panjang, bahkan seumur hidup, maka sebelum terjadi

perkawinan pada umumnya didahului dengan pemilihan jodoh. Banyak cara yang

dilakukan untuk memilih jodoh; ada yang mengikuti tuntunan agama, ada pula

yang berdasar tradisi yang sudah mengakar di masyarakat. Pengaruh tradisi pada

umumnya lebih mendominasi pemilihan jodoh ini, misalnya pada masyarakat

Jawa: laki-laki mempunyai hak untuk memilih calon istri, sedangkan perempuan

dalam posisi pasif karena berada pada pihak yang dipilih.3

Bagi masyarakat Jawa, perkawinan merupakan sesuatu yang sakral, sehingga

harus dipersiapkan dengan baik dan matang, supaya rumah tangganya menjadi

harmonis, bahagia, dan kekal. Dalam mencapai keharmonisan, selain harus ada

persiapan dan kematangan masyarakat Jawa juga menggunakan tradisi weton (hari

lahir) dalam perkawinan. Tradisi weton merupakan tradisi Jawa yang hingga

sekarang masih dilakukan masyarakat Jawa, baik ketika akan mendirikan rumah,

memulai usaha atau kerja, sunatan, perkawinan, dan lain-lain.

1 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam

2 Yayan Sopyan, Islam-Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, h. 158 3 Sri Suhandjati Sukri, Orang Jawa Mencari Jodoh, (Bandung: Penerbit Nuansa

Cendekia, 2019), h. 25

Page 57: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

47

Tradisi Jawa yang masih erat dipegang oleh masyarakat Kabupaten Pati

khususnya masyarakat Desa Sidokerto hingga sekarang ini adalah tradisi weton

dalam perkawinan. Weton adalah suatu pedoman kelahiran anak bagi keluarga

yang berbudaya. Dari mulai kelahiran sampai ke pernikahan semuanya

menggunakan weton. Karena weton sudah menjadi budaya Jawa yang turun-

temurun. Tradisi weton ini dalam masyarakat masih banyak yang

menggunakannya, termasuk dalam perkawinan. Setiap perkawinan masyarakat

masih banyak menggunakan weton untuk keselamatan kedua calon pasangan

suami istri. Bahkan, meskipun calon pasangan suami istri itu berada di luar Jawa

selama masih masyarakat Jawa, perkawinan itu tetap menggunakan weton dan

yang mencarikan wetonnya itu orang tua calon pasangan suami istri. Selain

digunakan dalam perkawinan, weton juga digunakan dalam berbagai kegiatan di

masyarakat. Seperti digunakan untuk khitanan, mendirikan rumah, mendirikan

usaha, memulai cocok tanam, menggali sumur, dan lain-lain. Tradisi Weton

adalah budaya Jawa yang masih kental, dipegang erat dan tradisi yang turun-

temurun dari nenek moyang.4

Weton itu penting, karenanya weton harus diamati dan harus diingat seumur

hidup. Hampir semua kegiatan atau aktivitas sehari-hari di masyarakat itu

membutuhkan weton, seperti dalam perkawinan, mendirikan rumah, menggali

sumur, dan lain-lain. Hari dan pasaran itu penting, karenanya seseorang harus

mengingat wetonnya selama-lamanya. Weton itu satu-satunya jalan yang harus

selalu diamati, diingat, dan dimengerti untuk masyarakat Jawa.5

Semua menggunakan weton, baik laki-laki maupun perempuan, muda

maupun tua, perlu menggunakan weton dan dihati-hati selamanya. Kalau tidak

menggunakan weton berarti tidak orang Jawa, ada yang tidak menggunakan weton

tetapi tidak orang Jawa. Akibat tidak menggunakan weton itu tidak baik, baik

dalam mempunyai keturunan maupun akan mempunyai keturunan. Karena itu,

weton sangat penting untuk digunakan bagi masyarakat Jawa dan tidak boleh

4 Busono, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018

5 Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018

Page 58: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

48

ditinggalkan sebagai bentuk menghormati para leluhur yang telah mewariskan

tradisi weton dari turun-temurun.6

Adapun cara menghitung weton untuk pemilihan jodoh dalam perkawinan

yaitu mencari tahu terlebih dahulu berapa weton dari calon pasangan suami dan

calon passangan istri. Setelah mengetahui weton kedua calon pasangan suami istri

kemudian menjumlahkan weton kedua calon pasangan suami istri tersebut. Selesai

menjumlahkannya kemudian dicarikan hari yang sisanya 2. Setelah ditemukan

hari yang sisa 2, dijumlahkan antara jumlah weton kedua pasangan suami istri

dengan hari yang telah dicarikan. Hari yang dicarikan ini akan menjadi hari

melangsungkan pernikahan. Tabel 4.1 berikut ini adalah nilai masing-masing hari

dan arahnya:7

Tabel 4.1

Hari, Nilai dan Arah

Hari Nilai Arah

Ahad 5 Wetan (Timur)

Senin 4 Pojok Lor Kulon (Barat Laut)

Selasa 3 Pojok Kidul Kulon (Barat Daya)

Rabu 7 Kulon (Barat)

Kamis 8 Kidul Wetan (Tenggara)

Jumat 6 Lor (Utara)

Sabtu 9 Kidul (Selatan)

Nilai dari masing-masing pasaran dan arah dapat dilihat pada tabel 4.2 di

bawah ini:

6 Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018

7 Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018

Page 59: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

49

Tabel 4.2

Pasaran, Nilai dan Arah

Pasaran Nilai Arah

Kliwon 8 Tengah

Legi 5 Wetan (Timur)

Pahing 9 Kidul (Selatan)

Pon 7 Kulon (Barat)

Wage 4 Lor (Utara)

Menurut Wakijan, cara menghitung perkawinan itu kedua pasangan calon

suami istri dijumlahkan ada berapa, hari apa wetonnya. Misalnya, wetonnya 13

dan 12, kalau dijumlahkan ada 25. Nanti, kalau 25 itu dalam perkawinan

diambilkan hari yang jumlahnya itu 13. Jadi, 13 itu hari apa. Tiga belas tersebut

dijumlahkan dengan 25 itu ada 38. Kalau dibagi tiga-tiga masih sisa 2, itu

nikahnya hanya boleh (kalau sisanya) 2, itu hitungan untuk perkawinan. Lainnya

hari itu, ada hari 12, 13, 10, 11, 8, dan masih banyak lagi hari itu. Sepeti misalnya,

Selasa Wage ada 7, Rabu Kliwon ada 15, Kamis Legi ada 13, Jumat Pahing ada

15, Sabtu Pon ada 16, dan lain-lain. Misalkan lagi, 15 dengan 16 jumlahnya 31,

ini dipasangkan dengan hari 10, 10 hari apa saja. Ada Minggu Legi 10, Selasa Pon

ada 10, dan lain-lain. Kemudian dipasangkan 31 tadi dengan 10 jumlahnya 41.

Setelah itu, 41 ini dibagi tiga-tiga sisanya masih 2. Kalau 41 diambil 30 tinggal

11, 11 diambil 9 sisa 2.8

Apapun menggunakan weton, maka weton itu harus diamati dan diingat-ingat

selama hidup. Apalagi dalam perkawinan weton itu sangat penting. Namun, kalau

nikah jangan sampai mendapat pasangan yang wetonnya itu Kamis Kliwon. Jika

mendapat pasangan yang wetonnya Kamis Kliwon, maka harus dibatalkan.

Karena Kamis itu 8 Kliwon 8, seseorang tidak akan kuat menjalani rumah tangga

bersama seorang perempuan yang wetonnya Kamis Kliwon. Semua weton boleh

yang tidak boleh hanya satu yaitu Kamis Kliwon. Apabila mengalami seperti itu

8 Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018

Page 60: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

50

tidak boleh diterjang, harus dibatalkan dan mencari pasangan yang lainnya yang

wetonnya tidak Kamis Kliwon.9

Selain itu, menurut Wakijan kalau tidak cocok dapat diubah wetonnya dalam

perkawinan. Misalnya, 10 dengan 15 jumlahnya 25, itu agar bisa hasilnya 2,

dibagi tiga-tiga hasilnya 2 dicarikan hari apa. Hari 25 itu agar sisanya 2 dalam ijab

qabul. Kalau hari 25 dipasangkan dengan hari 10 jumlahnya 35. Tapi, kalau hari

10 ternyata tidak cocok karena ada hari geblak dari bapaknya, harus dicarikan hari

yang lainnya. Bisa hari 25 dengan 16 jumlahnya 41, diambil 30 jumlahnya 11.

Kemudian 11 diambil 9 sisanya 2, itu hasil yang dibolehkan. Kalau sisanya 1

tidak boleh dalam berumah tangga. Karena sisanya harus masih 2, sebab sisa 2 itu

adalah laki-laki dan perempuan atau calon suami dan calon istri.10

Perkawinan yang menggunakan weton diharapkan dapat berjalan secara

lancar dan bahagia rumah tangganya. Dengan melaksanakan weton perkawinan,

rumah tangganya akan menemui keberuntungan dan keharmonisan sehingga

rumah tangganya dapat senantiasa rukun, sejahtera, bahagia dan kekal.

Sebaliknya, apabila perkawinan tidak menggunakan weton dikhawatirkan akan

tidak berjalan secara lancar dan banyak menemui masalah di dalam rumah

tangganya. Masih banyak masyarakat yang menjalankan tradisi weton karena

masih adanya leluhur dan masih kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap tradisi

weton.

Untuk memudahkan dalam menghitung weton perjodohan maupun hari

pernikahan, dapat dilihat pada bagan di bawah ini:

9 Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018

10 Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018

Page 61: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

51

B. Pandangan Masyarakat Kabupaten Pati Tentang Tradisi Weton Dalam

Perkawinan

Tradisi weton yang masih banyak dijalankan dalam masyarakat Kabupaten

Pati khususnya di Desa Sidokerto sampai sekarang ini merupakan tradisi Jawa

yang telah turun-temurun dari leluhur. Penggunaan eton dalam perkawinan adalah

paling mendominasi yang dijalankan masyarakat Desa Sidokerto. Setiap manusia

yang lahir memiliki weton (hari lahir) yang dapat mendatangkan kebaikan dan

keburukan dalam kelangsungan perkawinan maupun yang lainnya. Masih banyak

masyarakat Desa Sidokerto yang percaya adanya tradisi weton dalam pemilihan

jodoh, mencari hari baik untuk melangsungkan perkawinan maupun yang lainnya.

Namun, tidak mengharuskan masyarakat yang lain untuk mempercayainya.

Karena pada hakikatnya semua hari itu baik, manusia diberi hak untuk dapat

memilih. Tradisi weton dalam perkawinan merupakan pedoman dan upaya untuk

mendapatkan keselamatan, keberuntungan, dan kebahagiaan serta untuk

Weton Calon Suami Weton Calon Istri

Jumlah Weton Kedua Calon

Jumlah Weton Kedua Calon Hari Pernikahan

Jumlah, lalu dibagi tiga-tiga

Sisa 2

Jodoh

Page 62: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

52

menghindari musibah maupun keburukan dalam mengarungi bahtera rumah

tangga. Segala yang ada di bumi ini sudah ada yang mengaturnya, yaitu Allah

SWT. Berikut ini adalah beberapa pandangan masyarakat Desa Sidokerto terkait

tradisi weton dalam perkawinan:

Menurut Sarni, weton itu sebagai ilmu yang harus diingat-ingat selama hidup

karena penting. Misalnya, seseorang wetonnya Rabu Pahing, maka Rabu Pahing

itu wetonnya yang harus diingat selamanya hidup. Weton juga sebagai satu-

satunya jalan harus diamati dan dimengerti bagi orang Jawa. Dalam perkawinan

menggunakan weton itu amat penting, selain itu juga dalam memulai pekerjaan,

membangun rumah, pindahan, khitanan, dan lain-lain. Dan apabila wetonnya

dalam perkawinan pasangan calon suami dan istri tidak cocok, maka dibatalkan

dan mencari yang lainnya serta tidak boleh diterjang.11

Menurut Wakijan, mengungkapkan bahwa weton adalah sebuah kelahiran

seseorang, misalnya seseorang lahir pada hari Sabtu, hari Sabtu tersebut

merupakan kelahiran seseorang. Weton perlu dilaksanakan, dihati-hati, dan

diingat-ingat sampai selamanya hidup. Semua menggunakan weton, baik laki-laki

maupun perempuan dari muda sampai yang tua. Apabila tidak menggunakan

weton berarti bukan orang Jawa. Akibatnya tidak menggunakan weton itu tidak

baik dalam keluarga maupun keturunannya.12

Menurut Mutsripah, weton itu penting untuk perkawinan, khitanan,

membangun rumah, dan lain-lain. Karena orang Jawa maka masih menggunakan

weton dalam apapun, apabila menggunakan weton perkawinan tersebut lancar,

rumah tangga tidak ada musibah, dan lain-lain. Sebaliknya apabila tidak

menggunakan weton maka rumah tangganya bisa terkena musibah yang terjadi

pada orang tuanya atau pada pasangan suami istri tersebut.13

Menurut Jumani, mengatakan bahwa weton adalah hari kelahiran seseorang,

yang dapat digunakan untuk memulai kerja, perkawinan, mendirikan rumah, dan

lain-lain. Latar belakang masih menggunakan weton karena masih ada orang-

11

Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 12

Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 13

Mutsripah, Tokoh Masyarakat Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember

2018

Page 63: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

53

orang terdahulu (sesepuh), jadi masih menganut orang-orang tua atau sesepuh

yang masih hidup. Meskipun tidak apa-apa tanpa menggunakan weton dalam

perkawinan, tapi dapat terjadi benturan batin dengan sesepuh dahulu. Perkawinan

yang menggunakan weton kalau cocok itu rumah tangga lancar, tapi kalau tidak

cocok biasanya tetap dijalankan.14

Menurut Nur Rohmat, weton sama dengan hari kelahiran seseorang. Hitungan

weton Jawa dalam penyelidikan asal mulanya seperti perempuan haid dan nifas.

Kebanyakan kalau ada orang yang ditanyai bisa begini cocok, lalu dikumpulkan

dan dicocokkan. Kalau adatnya orang Jawa weton itu biasanya tidak

meninggalkan. Allah SWT menciptakan hari dan semua hari itu baik. Tapi

manusia diberikan hak untuk memilih. Hari itu tidak ada bedanya karena sama

saja. Misalnya, menurut orang yang mengaji kalau memulai mengaji itu yang baik

di hari Rabu. Hukumnya tradisi weton yang pasti boleh, tapi kalau terlalu diyakini

malah jadi murtad.15

Sebagian besar masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto

memandang tradisi weton sebagai hari kelahiran seseorang yang harus diamati

dan dimengerti masyarakat, yang digunakan untuk perkawinan, memulai

pekerjaan, mendirikan rumah, khitanan, dan lain-lain. Weton sebagai budaya Jawa

yang dalam perkawinan bertujuan untuk kelancaran, keharmonisan, dan

kebahagiaan selama menjalani rumah tangga. Jadi, weton menjadi hal yang

penting selain syarat-syarat perkawinan Islam bagi masyarakat Desa Sidokerto.

Sudah semestinya orang Jawa melestarikan tradisi weton ini karena sudah menjadi

budaya Jawa secara turun-temurun dari leluhur.

C. Pandangan Hukum Islam Tentang Tradisi Weton Dalam Perkawinan

Tradisi weton merupakan budaya Jawa yang masih banyak digunakan

masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto yang telah turun-temurun

dari nenek moyang, baik dalam perkawinan, memulai pekerjaan, mendirikan

rumah, membangun sumur, khitanan, dan lain-lain. Menurut Busono, tradisi

weton itu bukan sesuai dengan hukum Islam. Kalau hukum Islam itu ada

14

Jumani, Tokoh Masyarakat Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 27 Desember 2018 15

Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember

2018

Page 64: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

54

hubungannya dengan Al-Qur’an dan Hadis, sedangkan weton itu adalah tanda

pembuatan nama anak itu. Misalnya, kelahirannya Selasa, Selasa itu adalah dicari

dengan bahasa Jawa, Sutarno. Apabila kelahirannya Sabtu, Sutayan, apabila Rabu,

Rohiman itu dengan pedoman kata-kata yang ada di depan. Menurutnya tidak ada

praktik tradisi weton yang tidak sesuai dengan hukum Islam, semuanya bagus.

Seandainya orang itu mencari jodoh contohnya, kalau orang tua itu menyadari

zaman-zaman yang modern seharusnya mencari keselamatan anak itu sendiri dan

bagi keluarga.16

Ketika seseorang lahir itu adalah weton, yang masih banyak digunakan pada

masyarakat di Desa Sidokerto karena tradisinya orang Jawa. Menurut M. Subchi,

tradisi weton itu tidak sesuai dengan hukum Islam karena tradisi weton itu adalah

perhitungan Jawa yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Orang Islam itu

dasarnya Al-Qur’an dan Hadis, di sana tidak memuat masalah itu. Kuatnya

masyarakat Desa Sidokerto memegang tradisi weton menjadikan sulit untuk

mengubahnya. Kalau tradisi yang lain bisa diubah, seperti dulu kalau ada orang

meninggal ketika akan memberangkatkan jenazahnya masyarakat menyapu

halaman terlebih dahulu, sekarang setelah diberi pengetahuan sudah tidak ada

lagi. Kalau dulu ada orang yang meninggal yang di depan keluarganya, sekarang

tidak lagi. Tapi kalau masalah tradisi weton itu masih kuat sehingga sulit untuk

mengubahnya.17

Masih adanya orang tua atau sesepuh yang ditanyai, tradisi weton masih kuat

dipegang masyarakat Desa Sidokerto dan masih banyak juga yang menggunakan

weton dalam perkawinan. Menurut Nur Rohmat, kalau adatnya orang Jawa itu

biasanya tidak meninggalkan weton. Memang benar, Allah SWT yang membuat

hari, semua hari itu baik. Manusia diperintahkan untuk memilih, manusia

mempunyai hak untuk memilih. Namun, seperti itu jangan dibalikkan kalau weton

itu terlalu diyakini, jangan seperti itu. Hakikatnya tidak boleh sebab semua itu

yang mengatur hanya satu yaitu Allah SWT. Hukumnya tradisi weton yang pasti

boleh, tapi kalau terlalu diyakini menjadi murtad. Hari itu tidak ada bedanya dan

16

Busono, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 26 Desember 2018 17

M. Subchi, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember 2018

Page 65: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

55

sama saja, tapi untuk hitungan dan patokan. Semua itu tergantung pada

kepercayaa masing-masing. Kalau yakin semua hari dan weton itu yang membuat

Allah SWT, yang menentukan juga Allah SWT.18

Hukum perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat

penting. Oleh karena itu, peraturan-peraturan tentang perkawinan diatur dan

diterangkan secara jelas dan terperinci. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya

tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaannya saja, melainkan juga segala

persoalan yang berhubungan dengan perkawinan. Dalam perkawinan yang sesuai

dengan hukum Islam, selain syarat-syarat sah nikah, para pemeluk agama Islam

juga sebaiknya memperhatikan empat perkara ini untuk memilih calon pengantin

untuk melangsungkan perkawinan, yaitu kekayaan, kecantikan, nasab, dan agama.

Seperti dalam hadis Nabi Muhammad SAW dari Abu Hurairah yang berbunyi:

يه تشبت ي ا، فاظفش بزات الذ لذيى ا لجمال ا لحسب ا تىكح المشأة لسبع لمال ذا

)ساي البخاسي(19

Artinya: “Wanita yang dikawinkan karena empat hal, yaitu: hartanya,

kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita yang taat

beragama, niscaya akan beruntung.” (HR. Bukhari)

Masyarakat Jawa memiliki kriteria tersendiri yang hampir sama dengan

tuntunan hadis di atas, yaitu bibit (keturunan), bebet (tingkah laku), dan bobot

(kualitas hidup). Perbedaannya dengan Hukum Islam, masyarakat Jawa

menggunakan tradisi weton dalam perkawinan. Tradisi weton yang dilaksanakan

masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto dalam perkawinan

bertujuan untuk menentukan pemilihan jodoh atau kecocokan pasangan dan

menentukan hari dalam melangsungkan perkawinan. Masalah tentang perbedaan

hukum dibolehkannya atau tidak tradisi weton dalam perkawinan tersebut akan

dilihat dengan melalui „urf.

Al-„Urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan menjadi tradisinya, baik

ucapan, perbuatan maupun pantangan-pantangan dan disebut juga adat.20

Adapun

18

Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember

2018 19

Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Shahih Al Bukhari, (Beirut: Dar Thauq Al Najjah,

1422 H), Jilid 7, h. 7

Page 66: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

56

secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan dikutip oleh Satria

Effendi, istilah „urf berarti: “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat

karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik,

berupa perbuatan atau perkataan”. Istilah „urf dalam pengertian tersebut sama

dengan pengertian istilah al-„adah (adat istiadat). Misalnya, „urf berupa perbuatan

atau kebiasaan di satu masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan

sehari-hari seperti garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan

menyerahkan harga tanpa mengucapkan ijab dan kabul (qabul). Contoh „urf yang

berupa perkataan, seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan

kata al-lahm (daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu menjadi

bahan pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah

yang tidak ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.21

„Urf ditinjau dari sisi kualitasnya (bisa diterima dan ditolaknya oleh syariah)

ada dua macam „urf, yaitu:22

1. „Urf yang fasid atau „urf yang batal, yaitu „urf yang bertentangan dengan

syariah. Seperti ada kebiasaan menghalalkan minuman-minuman yang

memabukkan, menghalalkan makan riba, adat kebiasaan memboroskan

harta, dan lain sebagainya.

2. „Urf yang shahih atau al-„adah ashahihah yaitu „urf yang tidak

bertentangan dengan syariah. Seperti memesan dibuatkan pakaian kepada

penjahit. Bahkan cara pemesanan itu pada masa sekarang sudah berlaku

untuk barang-barang yang lebih besar lagi, seperti memesan mobil,

bangunan-bangunan, dan lain sebagainya.

Dari segi ruang lingkup penggunaannya, „urf terbagi kepada:23

1. „Adat atau „urf umum (عشف عام), yaitu kebiasaan yang telah umum

berlaku di mana-mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa

memandang negara, bangsa, dan agama. Umpamanya: (a)

20

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka

Amani, 2003), cet. ke-11, h. 117 21

Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 140 22

Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam,

(Jakarta: Kencana, 2006), h. 90 23

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 391-392

Page 67: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

57

menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala

tanda menolak atau menidakkan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari

itu, maka dianggap aneh atau ganjil, (b) di mana-mana bila memasuki

pemandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang hanya

membayar seharga tariff masuk yang ditentukan tanpa memperhitungkan

berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama ia menggunakan

pemandian tersebut.

2. „Adat atau „urf khusus (عشف خاص), yaitu kebiasaan yang dilakukan

sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu; tidak

berlaku di semua tempat dan di sembarang waktu. Umpamanya: (a) „adat

menarik garis keturunan melalui garis ibu atau perempuan (matrilineal)

di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal) di kalangan suku Batak,

(b) orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dan ayah,

dan tidak digunakan untuk kakak dari ayah; sedangkan orang Jawa

menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan untuk kakak dari ayah,

(c) bagi masyarakat tertentu, penggunaan kata “budak” untuk anak-anak

dianggap menghina, karena kata itu hanya terpakai untuk hamba sahaya;

tetapi bagi masyarakat lainnya kata “budak” biasa digunakan untuk anak-

anak.

Para ulama yang mengamalkan „urf itu dalam memahami dan meng-istinbath-

kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima „urf tersebut,

yaitu:24

1. „Adat atau „urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat

ini telah merupakan kelaziman bagi „adat atau „urf yang sahih, sebagai

persyaratan untuk diterima secara umum. Umpamanya tentang kebiasaan

istri yang ditinggal mati suaminya dibakar hidup-hidup bersama

pembakaran jenazah suaminya. Meski kebiasaan itu dinilai baik dari segi

rasa agama suatu kelompok, namun tidak dapat diterima oleh akal yang

sehat. Demikian pula tentang kebiasaan memakan ular.

24

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, h. 401-402

Page 68: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

58

2. „Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang

yang berada dalam lingkungan „adat itu, atau di kalangan sebagian besar

warganya. Dalam hal ini al-Suyuthi mengatakan:

ل ف د ش ط ي ن ل ن إ ف ت د ش ط اا ر إ ة اد ع ال ش ب ت ع ا ت م و إ

Artinya: “Sesungguhnya „adat yang diperhitungkan itu adalah yang

berlaku secara umum. Seandainya kacau, maka tidak akan

diperhitungkan.”

Umpamanya: kalau alat pembayaran resmi yang berlaku di suatu tempat

hanya satu jenis mata uang, umpamanya dollar Amerika, maka dalam

suatu transaksi tidak apa-apa untuk tidak menyebutkan secara jelas

tentang jenis mata uangnya, karena semua orang telah mengetahui dan

tidak ada kemungkinan lain dari penggunaan mata uang yang berlaku.

Tetapi bila di tempat itu ada beberapa alat pembayaran yang sama-sama

berlaku (ini yang dimaksud dengan: kacau), maka dalam transaksi harus

disebutkan jenis mata uangnya.

3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada

(berlaku) pada saat itu; bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti

„urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang

kemudian, maka tidak diperhitungkan. Dalam hal ini ada kaidah yang

mengatakan:

م و إ اظ ف ل ال ي ل ع ل م ح ت ز ال ف ش لع ا ت م ال ن د ق ا ب الس ن اس ق م ال ا ش خ أ

Artinya: “Urf yang diberlakukan padanya suatu lafaz (ketentuan hukum)

hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang

datang kemudian.”

Dalam hal ini, Badran memberikan contoh: Orang yang melakukan akad

nikah dan pada waktu akad itu tidak dijelaskan apakah maharnya dibayar

lunas atau dicicil, sedangkan „adat yang berlaku waktu itu adalah

melunasi seluruh mahar. Kemudian „adat di tempat itu mengalami

perubahan, dan orang-orang telah terbiasa mencicil mahar. Lalu muncul

suatu kasus yang menyebabkan terjadinya perselisihan antara suami istri

tentang pembayaran mahar tersebut. Suami berpegang pada „adat yang

Page 69: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

59

sedang berlaku (yang muncul kemudian), sehingga ia memutuskan untuk

mencicil mahar, sedangkan si istri minta dibayar lunas (sesuai adat lama

ketika akad nikah berlangsung). Maka berdasarkan pada syarat dan

kaidah tersebut, si suami harus melunasi maharnya, sesuai dengan „adat

yang berlaku waktu akad berlangsung dan tidak menurut „adat yang

muncul kemudian.

4. „Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau

bertentangan dengan prinsip yang pasti. Sebenarnya persyaratan ini

hanya menguatkan persyaratan penerimaan „adat sahih; karena kalau

„adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau bertentangan dengan

prinsip syara‟ yang pasti, maka ia termasuk „adat yang fasid yang telah

disepakati ulama untuk menolaknya.

Tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Kabupaten Pati khususnya

masayarakat Desa Sidokerto telah menjadi warisan secara turun-temurun dari

leluhur yang masih sangat kuat memegangnya dan masih banyak yang

menggunakannya. Apabila dianalisis menggunakan „urf, tradisi weton dalam

perkawinan telah memenuhi persyaratan sebagai „urf dan dapat dikategorikan

dalam „urf yang sahih. Persyaratan „urf yang sahih tersebut adalah sebagai

berikut:

1. „Urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat.

Tradisi Weton dalam perkawinan pada masyarakat Kabupaten Pati

khususnya di Desa Sidokerto sekarang ini mempunyai kemaslahatan. Di

kemudian hari pelaksanaan tradisi weton dalam perkawinan tersebut akan

berpengaruh baik untuk kelangsungan perkawinan, baik bagi suami dan

istri, orang tua, maupun keturunannya.

2. „Urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang berada

dalam lingkungan „adat itu, atau di kalangan sebagian besar warganya.

Sesungguhnya pelaksanaan tradisi weton dalam perkawinan yang

berlaku pada masyarakat Kabupaten Pati khususnya masyarakat Desa

Sidokerto tidak memandang keturunan, status sosial, agama ataupun

kedudukan lainnya.

Page 70: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

60

3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada

(berlaku) pada saat itu, bukan „urf yang muncul kemudian.

Tradisi weton dalam perkawinan yang berlaku pada masyarakat

Kabupaten Pati khususnya di Desa Sidokerto telah ada sebelum

penetapan hukum. Jadi, tradisi weton dalam perkawinan yang terjadi

pada saat itu sudah dilaksanakan oleh masyarakat Desa Sidokerto.

Kemudian datang ketetapan hukum untuk dijadikan sandaran, baik dalam

menentukan cocok tidaknya pasangan pengantin ataupun menentukan

hari perkawinan.

4. „Urf tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada atau

bertentangan dengan prinsip-prinsip syara‟ yang pasti.

Tradisi weton dalam perkawinan yang berlaku pada masyarakat

Desa Sidokerto tidak bertentangan dengan hukum Islam atau prinsip-

prinsip syara‟. Karena tradisi weton dalam perkawinan yang berlaku

pada masyarakat Desa Sidokerto sekarang ini tidak ditemukan atau tidak

ada praktik-praktik yang bertentangan dengan hukum Islam, seperti

adanya sesajen, dan lain-lain.

Pada hakikatnya tradisi weton dalam perkawinan yang berlaku pada

masyarakat Kabupaten Pati khususnya di Desa Sidokerto sekarang ini sebagai

bentuk ikhtiar yang bertujuan untuk mencari kebaikan dan mencegah hal-hal yang

buruk terjadi dalam kelangsungan perkawinan. Sehingga tradisi weton dalam

perkawinan masyarakat Desa Sidokerto apabila dianalisis menggunakan „urf

termasuk dalam „urf yang sahih. Karena selain memenuhi persyaratan sebagai „urf

yang sahih juga tidak terdapat praktik-praktik yang menyimpang dari syara‟ atau

ajaran agama Islam, seperti adanya sesajen dan lain-lain. Meskipun semua hari itu

baik, manusia diberikan hak untuk memilih sebagai ikhtiar asalkan tidak terlalu

diyakini. Sebab, semua yang ada di langit dan bumi termasuk semua hari itu

adalah Allah SWT yang menciptakan serta mengaturnya.25

25

Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Interview Pribadi, Pati, 28 Desember

2018

Page 71: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

61

Dari uraian di atas penulis dapat menganalisis, bahwa tradisi weton dalam

perkawinan masyarakat Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati,

mempunyai tujuan untuk melestarikan nilai-nilai tradisi dan budaya sebagai

bentuk menghormati tradisi yang secara turun-temurun dari leluhur Desa

Sidokerto. Memang tidak mudah menjaga tradisi dan budaya di zaman modern

sekarang ini yang serba teknologi canggih serta maju. Namun, tidak ada alasan

untuk tetap melestarikan tradisi weton dalam perkawinan karena sudah menjadi

keharusan bagi masyarakat Desa Sidokerto untuk menjaga tradisi-tradisi yang

telah lama ada di Desa Sidokerto supaya tidak punah dimakan zaman. Sehingga

generasi selanjutnya masih dapat menjalankan dan akan terus menjalankan tradisi

weton dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto sampai selama-lamanya.

Tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto merupakan adat

istiadat yang diketahui oleh masyarakat dengan baik serta untuk menghormati

dengan melestarikan tradisi weton dalam perkawinan dari generasi ke generasi

berikutnya. Selain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, juga sebagai

bentuk ikhtiar mencari pasangan yang terbaik dan mencari hari baik dalam

melangsungkan pernikahan. Tradisi weton dalam perkawinan ditinjau dari „urf,

penulis mengategorikan tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Desa

Sidokerto termasuk ke dalam „urf yang sahih. Karena tradisi weton dalam

perkawinan masyarakat Desa Sidokerto dapat diterima kehadirannya oleh

masyarakat Desa Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati. Tradisi weton

dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto bertujuan untuk meraih

kemaslahatan dan menghindari kemudaratan dalam mengarungi kehidupan rumah

tangga.

Page 72: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

62

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Beralaskan uraian dari pembahasan yang ada di bab-bab sebelumnya, penulis

dapat mengambil beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut di antaranya adalah

sebagai berikut:

1. Praktik tradisi weton pada masyarakat Kabupaten Pati khususnya di Desa

Sidokerto dilakukan oleh seseorang yang biasa masyarakat menyebutnya

sesepuh. Sesepuh ini merupakan orang tua yang mengerti dan memahami

tentang perhitungan weton. Masyarakat yang menggunakan weton akan

mendatangi dan menanyakan wetonnya kepada sesepuh, sesepuh di Desa

Sidokerto diantaranya; Wakijan, Sarni, dan lainnya. Penggunaan weton

yang biasanya masyarakat lakukan dalam perkawinan, memulai

pekerjaan, mendirikan rumah, khitanan, dan lain-lain, yang paling

banyak dalam masalah perkawinan. Praktik tradisi weton dalam

perkawinan masyarakat Desa Sidokerto untuk menentukan perjodohan

maupun menentukan hari baik bagi pasangan calon pengantin yang akan

melangsungkan perkawinan.

2. Pelaksanaan tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Desa Sidokerto

dilakukan murni atas keinginan masyarakat sendiri dan tanpa adanya

paksaan dari orang lain. Tradisi weton merupakan bentuk ikhtiar dari hal-

hal baik, kewaspadaan dari hal-hal buruk, dan budaya Jawa secara turun-

temurun dari leluhur. Menurut masyarakat Desa Sidokerto, tradisi weton

sebagai hal yang penting. Hari kelahiran seseorang atau pedoman

kelahiran seseorang yang harus diamati, dimengerti, diingat-ingat, dan

dihati-hati selama hidup. Masyarakat Desa Sdokerto masih sangat kuat

memegangnya dan banyak yang menggunakannya serta masih relevan

dilakukan oleh masyarakat Desa Sidokerto sekarang ini. Karena masih

Page 73: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

63

ada orang tua atau sesepuh yang mengerti serta mempelajari tradisi

weton.

3. Tradisi weton dalam perkawinan masayarakat Kabupaten Pati khususnya

masyarakat Desa Sidokerto apabila dikaji dan dianalisis menggunakan

perspektif ‘urf, maka penulis mengatagorikan tradisi ini termasuk sebagai

‘urf yang sahih. Karena tradisi ini tidak bertentangan dengan hukum

Islam dan dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat Desa Sidokerto.

Tradisi weton ini sudah berjalan sejak lama dalam masyarakat Desa

Sidokerto dan tidak ditemukan atau terdapat praktik-praktik yang

menyimpang jauh dari ajaran agama Islam. Tradisi weton merupakan

bentuk ikhtiar yang bertujuan untuk mencari kebaikan dan mencegah hal-

hal yang buruk terjadi dalam kelangsungan perkawinan serta untuk

menjaga dan melestarikan kearifan lokal yang berasal dari Desa

Sidokerto, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati.

B. Saran

Sesudah mempelajari pembahasan di bab-bab sebelumnya, sampai pada

penulis ingin memberikan saran, baik kepada masyarakat, pemerintahan daerah

Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto, maupun teman-teman yang tertarik

untuk melakukan penelitian lebih dalam tentang tradisi weton dalam perkawinan

masyarakat Desa Sidokerto. Berikut ini adalah saran penulis antara lain:

1. Kepada masyarakat Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto

Kecamatan Pati supaya tetap menjaga dan melestarikan tradisi weton

dalam perkawinan yang telah diwariskan para leluhur secara turun-

temurun. Karena dengan melestarikan tradisi tersebut kearifan lokal akan

tetap terjaga dan tradisi tersebut dapat diwariskan kepada generasi

selanjutnya. Sedangkan dalam menjalankan tradisi weton, sebaiknya

dijalankan hanya sebagai bentuk ikhtiar untuk mencari kebaikan dalam

melangsungkan perkawinan dan tidak terlalu diyakini hasil dari

perhitungan weton tersebut yang dapat melemahkan iman kita kepada

Allah SWT.

Page 74: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

64

2. Bagi pemerintah Kabupaten Pati khususnya Desa Sidokerto, dalam

pengarsipan budaya dan tradisi masyarakat Desa Sidokerto, Kecamatan

Pati supaya lebih dioptimalkan khususnya tradisi weton dalam

perkawinan serta turut mendukung dalam mengangkat dan

memperkenalkan kearifan lokal kepada publik.

3. Untuk teman-teman yang tertarik dan ingin melanjutkan penelitian

dengan tema tradisi weton dalam perkawinan masyarakat Kabupaten Pati

khususnya Desa Sidokerto, penulis ingin menyarankan supaya

memperluas wilayah penelitian dan membuat analisis komparasi dari

setiap daerah yang melaksanakan tradisi weton dalam perkawinan.

Page 75: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

65

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar

Madzhab. Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006

Achmadi, Asmoro. Filsafat dan Kebudayaan Jawa. Surakarta: CV Cendrawasih,

2004

Anshori, Abdul Ghofur. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press, 2011

Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2007

Al-Anshari, Imam Zakaria. Fathul Wahab bi Syarhi Minhaj al-Thalab. Beirut:

Dar al-Fikr

Al Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih Al Bukhari. Beirut: Dar Thauq Al

Najjah, 1422 H

Al-Ghazali, Al-Imam Abu Hamid. Menyingkap Hakikat Perkawinan. Penerjemah

Muhammad Al-Baqir. Jakarta: Penerbit Mizan Anggota IKAPI, 2015

Ash-Shobuni, Muhammad Ali. Pernikahan Islami. Penerjemah Ahmad

Nurrohim. Solo: Mumtaza, 2008

Al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1986

Badan Pusat Statistik Pati. Kabupaten Pati Dalam Angka 2018. Pati: BPS Pati,

2018

Data Laporan Bulanan Desa, Desa Sidokerto bulan November Tahun 2018

Data Laporan Monografi, Semester II, Desa Sidokerto bulan Juli-Desember Tahun

2017

Djazuli. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam.

Jakarta: Kencana, 2006

Page 76: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

66

Effendi, Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2017

Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2018

Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme dan Sufisme

dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2018

Firdaus. Ushul Fiqh: Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam. Depok:

Rajawali Pers, 2017

Ghazali, Abd. Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta: Kencana, 2006

Geetz, Clifford. Abangan, Santri, Priyai Dalam Masyarakat Jawa. Penerjemah

Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989

Hadikoesoema, Soenandar. Filsafat Ke-Jawan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib

Dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba. Jakarta:

Yudhagama Corporation, 1998

Hadikusuma, Hilman. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT Alumni, 1986

Hariwijaya, M. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta:

Hanggar Kreator, 2008

Haryono, P. Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994

Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih. Penerjemah M. Zuhri, Ahmad Qarib.

Semarang: Dina Utama, 1994

Kultsum, Lilik Ummu dan Ghazali, Abd. Moqsith. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam.

Ciputat: UIN Press, 2015

Mardani. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2016

Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2011

Page 77: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

67

Mukhtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan

Bintang, 1974

Mukhtar, Kamal dkk. Ushul Fiqh Jilid I. Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995

Nizaruddin, Asif. Interpretasi Kitab Primbon Lukmanakim Adammakna dalam

Perspektif Budaya dan Akidah Islam. Jakarta: Pondok Pesantren Sholawat

Darut Taubah, 2018

Rafiq, Ahmad. Hukum Keluarga di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1998

Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syariat Islam. Jakarta: Rineka Cipta, 1992

Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2002

Ramulyo, Mohd. Idris. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara

Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar

Grafika, 1995

Ramulyo, M. Idris. Tinjauan Beberapa Pasal UU Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi

Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind.Hillco-Co, 1990

Ranoewidjojo, Romo RDS. Primbon Masa Kini Warisan Nenek Moyang Untuk

Meraba Masa Depan. Jakarta: Bukune, 2009

Rusdiana, Kama dan Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Jakarta dengan UIN Jakarta Press, 2007

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Jilid 3. Jakarta: Cakrawala Publishing, 1990

Sarong, A. Hamid. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Banda Aceh: PeNA,

2010

Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum

Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010

Page 78: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

68

Sofwan, Ridin. Dimensi Teologis Petungan Waktu Menurut Tradisi Jawa.

Semarang: Pusat Pengkajian Islam dan Budaya Jawa (PP-IBJ) IAIN

Walisongo, 2005

Sopyan, Yayan. Islam Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional. Jakarta: PT. Semesta Rakyat Merdeka, 2012

Sopyan, Yayan. Metodologi Penelitian Hukum. Ciputat: Buku Ajar, 2009

Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2010

Strauss, Anselm dan Corbin, Juliet. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, alih

bahasa Muhammad Shodiq dan Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2009

Sukri, Sri Suhandjati. Orang Jawa Mencari Jodoh. Bandung: Penerbit Nuansa

Cendekia, 2019

Suryomentaram, Ki Ageng. Kesempurnaan dan Wujud Ilmu Jawa. Jakarta:

Yayasan Idayu, 1979

Syarifuddin, Amir. Fikih Sunnah. Bandung: Al-Ma’arif, 1994

Syarifuddin, Amir. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2012

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007

Syarifuddin. Amir. Ushul Fiqh 2. Jakarta: Kencana, 2011

Tihami dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers, 2009

Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer.

Bandung: Penerbit Angkasa, 2005

Page 79: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

69

Zuhaili, Wahbah. Fiqih Imam Syafi’i 2. Penerjemah Muhammad Afifi, Abdul

Hafiz. Jakarta: Almahira, 2010

Zulbaidah. Ushul Fiqh 1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2016

Artikel dan Wawancara

Komaruddin Hidayat, Sakral dan Profan, artikel diakses pada 5 April 2019 dari

https://nasional.sindonews.com/read/1231400/18/sakral-dan-profan-

1502983114

Interview Pribadi dengan Busono, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Pati, 26

Desember 2018

Interview Pribadi dengan Jumani, Tokoh Masyarakat Desa Sidokerto, Pati, 27

Desember 2018

Interview Pribadi dengan Kuswanto, Kepala Desa Sidokerto, Pati, 28 Desember

2018

Interview Pribadi dengan M. Subchi, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Pati, 28

Desember 2018

Interview Pribadi dengan Mutsripah, Tokoh Masyarakat Desa Sidokerto, Pati, 26

Desember 2018

Interview Pribadi dengan Nur Rohmat, Tokoh Agama Desa Sidokerto, Pati, 27

Desember 2018

Interview Pribadi dengan Sarni, Sesepuh Desa Sidokerto, Pati, 26 Desember 2018

Interview Pribadi dengan Wakijan, Sesepuh Desa Sidokerto, Pati, 26 Desember

2018

Kompilasi Hukum Islam

Page 80: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

70

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Page 81: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

TRANSKIP WAWANCARA DENGAN SESEPUH

DI KABUPATEN PATI

Hasil wawancara dengan Wakijan selaku sesepuh mengenai tradisi weton di Desa

Sidokerto:

1. Apa makna weton menurut Anda?

Weton itu kelahiran. Misalnya saya lahir hari sabtu, hari sabtu itu

kelahiran.

2. Dalam hal apa saja weton digunakan?

Weton digunakan untuk khitanan, perkawinan, dan lain-lain.

3. Bagaimana cara menghitung weton?

Cara menghitung weton itu kedua pasangan calon suami istri dijumlahkan

ada berapa dan hari apa wetonnya. Misalnya, wetonnya 13 dan 12 kalau

dijumlahkan ada 25. Nanti 25 itu dalam perkawinan diambilkan hari yang

jumlahnya 13. Jadi, 13 itu hari apa, 13 dijumlahkan dengan 25 itu ada 38.

Kalau dibagi tiga-tiga itu nikahnya hanya boleh (kalau sisanya) 2, itu

hitungan untuk perkawinan. Lainnya hari itu, ada hari 12, 13, 10, 11, 8,

banyak sekali hari itu. Mulai pertama, Selasa Wage: 7, Rabu Kliwon: 15,

Kamis Legi: 13, Jumat Pahing: 15, Sabtu Pon: 16, seperti itu. Nanti setelah

itu dikumpulkan orang dua (calon pasangan suami istri). Kalau misalnya

jatuh pada hari apa, hari jumat sama hari kamis, nanti jumlahnya hari

jumat dengan hari kamis berapa, Jumat Legi, atau Jumat Wage, atau Jumat

Pahing, atau Jumat Pon, atau Jumat Kliwon seperti itu. Tidak satu jurusan,

tapi 5 jurusan, 5 jumat. Kalau jumat ini jumat saja, Jumat Kliwon, Jumat

Legi, Jumat Pahing, Jumat Pon, Jumat Wage, ini 5 jurusan. Kalau 5

jurusan ini nanti ketemunya hari-hari sampai 7 hari ini. Kalau 7 hari ini

diambil misalnya hari Selasa Wage: 7, Rabu Kliwon: 15, Kamis Legi: 13,

Jumat Pahing: 15, Sabtu Pon: 16. Dijatuhkan sama yang sebelumnya tadi

pasarannya. Pasaran itu kalau Wage: 4, Kliwon: 8, Pon: 7, Pahing: 9, Legi:

5. Jadi, misalnya jatuh pada hari yang sama itu Jumat Pahing: 15 sama

Page 82: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

Sabtu Pon: 16, jumlahnya berapa 2 (dua) hari itu, itu untuk pernikahan.

Lima belas sama 16 jumlahnya 31, ini dipasangkan dan dicarikan hari 10,

10 hari apa saja. Ada Minggu Legi: 10, Selasa Pon: 10, seperti itu caranya.

Lalu dipasangkan 31 sama 10 jumlahnya 41, kalau untuk pernikahan.

Kemudian 41 ini dibagi tiga-tiga sisanya masih 2. Kalau 41 diambil 30

tinggal 11, 11 diambil 9 sisa 2. Jadi, kalau perjodohan seperti itu.

Misalnya, ditentukan hari Sabtu Pon: 16 sama dengan Minggu Wage: 9 itu

jumlahnya 25, kumpulnya dicarikan 10 lagi jumlahnya 35 diambil 33 sisa

2.

4. Apakah weton perlu dilaksanakan?

Ya perlu dilaksanakan. Dihati-hati dan diingat-ingat sampai besok kembali

di akhir. Kalau nanti ada halangan, yang dicari ya weton. Misalnya ada

halangan kira-kira yang tidak mampu, dicarikan obat ya menggunakan

weton. Ini wetonnya apa, ya obatnya arahnya. Kalau menurut Jawa seperti

itu. Kalau sekarang tidak digunakan. Kalau saya masih saya gunakan terus.

5. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?

Banyak, semua menggunakan weton baik laki-laki maupun perempuan

terus sampai tua.

6. Bagaimana cara menyikapi apabila perkawinan terkendala weton?

Kalau tidak baik begitu misalnya dua puluh lima, sepuluh sama lima belas,

kalau saya tidak saya pakai, diberhentikan. Sama dengan dua puluh empat

yang dilarang itu, sama dengan dua puluh sama dengan tiga puluh. Dua

puluh empat, dua puluh lima, dua puluh, tiga puluh, kalau itu perjodohan.

7. Apa akibatnya apabila tidak menggunakan weton dalam perkawinan?

Kalau tidak menggunakan weton itu ya tidak orang Jawa. Ya ada yang

tidak menggunakan weton tetapi tidak orang Jawa. Akibatnya itu tidak

baik. Kalau nanti mempunyai keturunan bagaimana, hasil keturunan yang

belum dijalani. Kalau tidak menggunakan lama-lama menjadi apa. Kalau

tidak cocok diubah-ubah (weton) dalam pernikahan itu. Misalnya 10 sama

15 jumlahnya 25, itu bisa hasilnya 2, dibagi tiga-tiga hasilnya 2 dicarikan

hari apa. Dua puluh lima itu sisanya 2 dalam ijab qabul itu dicarikan hari

Page 83: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

apa yang sisanya masih 2, masih ada dua orang. Harinya 25 dua orang ini

jumlahnya 25. Kalau diambil tiga-tiga masih 2 dinaikkan hari apa. Kalau

lainnya hari 10 itu pasti ketemu 35. Sekarang kalau hari 10 itu tidak cocok,

harus dicarikan hari apa supaya bisa cocok ketemu 2. Tadi 25, kalau hari

10 tidak cocok karena ada hari geblak. Kalau geblaknya itu dari bapaknya.

Dua puluh lima sama 16 jumlahnya 41. Empat puluh satu diambil 30

jumlahnya 11. Sebelas diambil 9 sisanya 2, itu hasilnya. Kalau hasilnya 1

tidak betul kalau berumah tangga. Sisanya harus masih 2, sebab laki-laki

dan perempuan.

Hasil wawancara dengan Sarni selaku sesepuh mengenai tradisi weton di Desa

Sidokerto:

1. Apa makna weton menurut Anda?

Weton itu ilmu mengingat, jadi wetonnya apa. Misalnya, wetonnya Rabu

Pahing itu harus mengingatnya selamanya hidup karena penting.

2. Dalam hal apa saja weton digunakan?

Weton itu digunakan, misalnya akan nikah itu membutuhkan weton.

Selain pernikahan itu akan mencari kerja dan lain-lain. Weton itu harus

diamati, harus diingat selamanya hidup. Weton itu penting.

3. Bagaimana cara menghitung weton?

Weton itu menurut hari atau dina terus pasaran. Jadi, maksudnya hari ada

gandengannya, misalnya ini Jumat Pahing, ini secara hitung kuno Kamis

Page 84: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

Legi. Hari itu 7, pasarannya 5. Jumat: 6 tempatnya di Lor (Utara), Sabtu: 9

Kidul (Selatan), Ahad: 5 Lor Wetan pojok (Timur Laut), Senin: 4 pojok

Lor Kulon (Barat Laut), Selasa: 3 pojok Kidul Kulon (Barat Daya), Rabu:

7 Kulon (Barat), Kamis: 8 pojok Kidul Wetan (Tenggara). Pasarannya,

Kliwon: 8 Tengah, Legi: 5 Wetan (Timur), Pahing: 9 Kidul (Selatan), Pon:

7 Kulon (Barat), Wage: 4 Lor (Utara). Misalnya, hari ini Jumat Pahing,

Jumat itu 6 Pahing: 9 jumlahnya 15. Kamis Legi, Kamis itu 8 Legi itu 5

jumlahnya 13. Kalau hendak nikah, hendak apa saja yang penting

menggunakan itu. Misalnya, Kamis Legi, Kamis itu 8 Legi itu 5

jumlahnya 13, dapat pasangan Ahad Pon, Ahad: 5 Pon: 7 jumlahnya 12.

Kemudian dijumlahkan ada berapa. Nikah itu ada nujumnya baru dihitung,

misalnya jumlahnya 27 diambil tiga-tiga masih sisa 2. Itu namanya nujum

hari dalam nikah, khitanan, mendirikan rumah, menggali sumur. Hari dan

pasaran itu penting.

4. Apakah weton perlu dilaksanakan?

Weton itu diamati dan diingat-ingat, apapun menggunakan weton. Diingat-

ingat selamanya hidup weton itu penting. Apalagi perkawinan penting

weton itu. Kalau nikah jangan sampai dapat pasangan Kamis Kliwon,

kalau ada dibatalkan. Kamis: 8 Kliwon: 8, tidak kuat melakukannya

bersama seorang perempuan hari Kamis Kliwon. Satu saja, Kamis Kliwon,

semua bisa yang tidak bisa hanya satu Kamis Kliwon.

5. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?

Iya yang menggunakan weton banyak, pada saat nikah penting

menggunakan weton, pada saat akan pindahan ke sana cari hari, jalannya

ke sana menggunakan weton. Jadi weton itu satu-satunya jalan harus

diamati harus tahu harus mengerti untuk orang Jawa.

6. Bagaimana cara menyikapi apabila perkawinan terkendala weton?

Semua bisa yang tidak bisa hanya satu seorang perempuan yang wetonnya

Kamis Kliwon. Jika Kamis Kliwon maka dibatalkan cari yang lainnya.

Tidak bisa diterjang.

7. Apa akibatnya apabila tidak menggunakan weton dalam perkawinan?

Page 85: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

Harus menggunakan weton. Akibatnya kalau menurut daerah Jawa Tengah

itu menggunakan hitungan. Misalnya Jumat Pahing, Jumat: 6 Pahing: 9

jumlahnya 15, bertemu dengan Ahad Pon, Ahad: 5 Pon: 7 jumlahnya 12,

jumlah keduanya 27. Dua puluh tujuh itu dicarikan hari untuk menikah,

setelah itu diambil tiga-tiga masih sisa 2. Sisa 2 itu calon suami dan calon

istri.

Page 86: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

TRANSKIP WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT

DI KABUPATEN PATI

Hasil wawancara dengan Mutsripah selaku elemen masyarakat mengenai tradisi

weton di Desa Sidokerto:

1. Apa makna weton menurut Anda?

Iya itu untuk khitanan, perkawinan, itu kan penting. Untuk membangun

rumah itu juga menggunakan weton. Membangun sumur saja

menggunakan weton.

2. Dalam hal apa saja weton digunakan?

Untuk khitanan, perkawinan, terus sedekah-sedekah seperti itu wetonnya

yang tidak ada.

3. Apa yang melatarbelakangi maasih digunakannya weton?

Kejawen, orang Jawa, kan tradisi itu.

4. Bagaimana cara menyikapi apabila perkawinan terkendala weton?

Bisa dibatalkan, diteruskan ya terserah yang menjalankan.

5. Apa akibatnya apabila melangsungkan perkawinan tanpa menggunakan

weton?

Bisa saja terkena musibah, musibahnya ke orang tua bisa, pada diri sendiri

juga bisa.

6. Bagaimana pengaruh weton terhadap kelangsungan perkawinan?

Ya seperti orang jalan bisa lancar. Misalnya pekerjaan lancar, berumah

tangga tidak ada musibah.

7. Apakah tradisi weton tidak bertentangan dengan hukum Islam?

Soalnya weton itu kan dari orang Jawa ya menganut orang Jawa. Menurut

saya sesuai dengan agama Islam. Soalnya kalau ada yang akan nikah

seperti itu wetonnya apa. Tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Page 87: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

Hasil wawancara dengan Jumani selaku elemen masyarakat mengenai tradisi

weton di Desa Sidokerto:

1. Apa makna weton menurut Anda?

Menurut saya weton itu hari kelahiran seseorang.

2. Dalam hal apa saja weton digunakan?

Weton digunakan saat mempunyai kerja, perkawinan, mulai kerja, kerja

bakti, atau untuk mendirikan rumah, dan lain-lain.

3. Apa yang melatarbelakangi masih digunakannya weton?

Latar belakang masih digunakannya weton yaitu karena kita masih ada

orang-orang terdahulu. Kita menganut orang-orang tua kita yang masih

hidup.

4. Bagaimana cara menyikapi apabila perkawinan terkendala weton?

Untuk menyikapi weton kalau sepengetahuan saya, pengalaman saya itu

begini, misalkan hari itu si A si B berdasarkan perkawinan tidak cocok, itu

tidak apa-apa tetap berjalan. Tapi lain hari itu ada kata-kata istilahnya

dibacakan lagi, diselamatkan lagi, nikah ulang jadi ada pernikahan ulang.

Tapi ya tetap, hanya selamatan seperti itu.

5. Apa akibatnya apabila melangsungkan perkawinan tanpa menggunakan

weton?

Sebenarnya tidak apa-apa kalau perkawinan tanpa melaksanakan weton

sebenarnya tidak apa-apa. Ya memang kita benturan walaupun itu tetap

dijalankan, kita benturan batin sama orang-orang tua dulu.

Page 88: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

6. Bagaimana pengaruh weton terhadap kelangsungan perkawinan?

Menggunakan weton tapi kalau wetonnya itu cocok saya kira lancar, tapi

kalau tidak cocok biasanya itu tetap dijalankan.

7. Apakah tradisi weton tidak bertentangan dengan hukum Islam?

Tradisi weton itu kalau diamati sebenarnya bertentangan. Tapi orang desa

itu yang penting tidak terlalu menyimpang dari ajaran agama Islam.

Contohnya weton ini harus disembelihkan babi, itu kan menyimpang kalau

menurut Islam kan tidak boleh. Misalkan lagi wajib diadakan ketoprak,

wayang, itu kan menurut Islam tidak boleh kecuali mempunyai niat untuk

mengadakan pengajian itu justru boleh kalau menurut Islam. Kalau

mengadakan ketoprak menurut Islam tidak wajib.

Page 89: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

TRANSKIP WAWANCARA DENGAN TOKOH AGAMA

DI KABUPATEN PATI

Hasil wawancara dengan Busono selaku tokoh agama yang juga sesepuh

mengenai tradisi weton di Desa Sidokerto:

1. Apa makna weton menurut Anda?

Makna weton adalah suatu pedoman kelahiran anak bagi keluarga budaya

jawa.

2. Apa yang melatarbelakangi masih digunakannya weton?

Penggunaan weton itu kan kalau menurut bahasa Jawa ini adalah suatu

pedoman berasal dari kelahiran untuk sampai pernikahan dan sampai

melahirkan anak-anak yang akan datang.

3. Apakah masih sesuai menerapkan weton di zaman sekarang ini?

Masih. Kalau di Jawa itu sudah budaya weton. Contoh saja apabila ada

suatu pernikahan di antara perempuan dan laki-laki itu masih dihitung

dengan secara budaya hitungan weton.

4. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?

Masih banyak. Pokoknya di Jawa itu semuanya menggunakan hitungan

weton walaupun orang itu bekerja di Jakarta pernikahannya tetap dicari

oleh orang tua bagaimana baiknya untuk keselamatan anak itu keduanya

atau calon pengantin.

5. Apakah weton sesuai dengan hukum Islam?

Kalau weton itu bukan sesuai dengan hukum Islam, kalau hukum Islam itu

kan ada hubungan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Dan weton itu adalah

suatu tanda pembuatan nama anak itu. Misalkan kelahirannya Selasa itu

dibuat Selasa itu adalah dicari dengan bahasa Jawa Selasa, Sutarno.

Seandainya Sabtu, Sutayan. Seandainya Rabu, Rohiman itu dengan

pedoman kata-kata yang ada di depan.

6. Apakah ada praktik tradisi weton yang tidak sesuai dengan hukum Islam?

Page 90: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

Tidak ada. Semuanya bagus. Seandainya orang itu mencari jodoh

contohnya, kalau orang tua itu menyadari zaman-zaman yang modern

seharusnya mencari keselamatan anak itu sendiri dan bagi keluarga.

Hasil Wawancara dengan M. Subchi, S.Ag. selaku tokoh agama mengenai tradisi

weton di Desa Sidokerto:

1. Apa makna weton menurut Anda?

Weton itu ya ketika seseorang lahir.

2. Apa yang melatarbelakangi masih digunakannya weton?

Ya yang melatarbelakangi masyarakat masih menggunakan weton itu ya

karena tradisi orang Jawa itu tadi.

3. Apakah masih sesuai menerapkan weton di zaman sekarang ini?

Kalau menurut orang Jawa masih sesuai.

4. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?

Masih. Kalau orang Jawa khususnya masih banyak.

5. Apakah weton sesuai dengan hukum Islam?

Tidak sesuai karena itu perhitungan Jawa, tidak sesuai dengan syariat

Islam.

6. Apakah ada praktik tradisi weton yang tidak sesuai dengan hukum Islam?

Orang Islam itu dasarnya Al-Qur’an dan Hadis. Di sana tidak memuat

masalah itu jadi tidak ada.

7. Bagaimana kehidupan keagamaan di Desa Sidokerto?

Page 91: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

Kehidupan keagamaan di Desa Sidokerto ya pertama syiar, kemudian

kerukunan beragama, guyub rukun.

8. Seberapa kuatkah masyarakat di Desa Sidokerto memegang tradisi weton?

Masih kuat. Kalau saya menilai masih kuat dikaitkan masalah weton.

Rata-rata orang di sini masih kuat memegangnya.

9. Apakah tradisi weton perlu dilestarikan?

Merubahnya yang sulit, bab weton itu merubahnya sulit. Kalau lainnya

bisa. Contohnya kalau ada orang meninggal, dahulu mau

memberangkatkan (jenazahnya) menyapu halaman dan sekarang saya beri

pengetahuan sudah tidak. Atau dulu kalau ada orang yang meninggal itu

yang di depan keluarganya sekarang sudah tidak. Tapi kalau masalah

weton itu masih kuat.

Hasil wawancara dengan Nur Rohmat selaku tokoh agama mengenai tradisi weton

di Desa Sidokerto:

1. Apa makna weton menurut Anda?

Weton manusia itu waktu saya dulu tidak terlalu mengerti, tapi sekarang

saya sudah mengerti diceritakan Kyai Mun’in. Hitungan Jawa weton atau

hitungan-hitungan Jawa itu Mbah Arwani masih menggunakan tidak

berani meninggalkan. Karena Jawa itu cara hitungan Jawa weton itu di

dalam penyelidikan, seperti perempuan haid, nifas, itu di dalam

penyelidikan asal mulanya. Kebanyakan kalau ada orang yang ditanyai

Page 92: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

bisa begini cocok, terus dikumpulkan dan dicocokkan. Kalau weton seperti

hitungan Jawa, kalau Selasa itu tiga, Rabu itu enam, itu kalau hari weton.

Weton sama saja hari kelahiran.

2. Apa yang melatarbelakangi masih digunakannya weton?

Seperti tadi saya asal mulanya tidak terlalu mengerti. Waktu Kyai Mun’in

sudah bicara demikian. Kalau menurut Kyai Arwani itu saja masih

menggunakan hitungan Jawa. Hitungan Jawa itu istilahnya asalnya dari

Wali Jawa, itu di dalam penyelidikan. Kalau dasar sebenarnya di Kitab itu

tidak ada, yang ada itu bahasannya di dalam Mujarobat atau katanya dulu

itu karangan Wali asli Wali Jawa. Katanya Kyai Mun’in seperti itu. Sebab

Kyai Arwani juga itu tidak berani meninggalkan masalah hitungan itu.

3. Apakah masih sesuai menerapkan weton di zaman sekarang ini?

Ya tergantung adatnya. Kalau adatnya orang Jawa itu biasanya tidak

meninggalkan. Allah SWT kan ya benar membuat hari, semua hari itu

baik. Tapi orang disuruh memilih, manusia kan berhak memilih. Namun,

seperti itu jangan dibalikkan kalau weton itu terlalu diyakini, jangan

diyakini seperti itu. Hakikatnya tidak boleh sebab semua itu yang

mengatur itu hanya satu yaitu hanya Allah SWT. Kalau menurut

hakikatnya seperti itu.

4. Apakah masih banyak yang menggunakan weton?

Kalau daerah di sini masih banyak, daerah saya juga masih banyak, daerah

gunung-gunung di sana juga masih banyak yang saya ketahui. Kalau orang

itu malah hanya nama menurut orang Sumatra, kalau mau khitanan, mau

menikah, itu biasanya nama orang. Ya ada kitabnya tapi ya saya pernah ke

Sumatra, itu tergantung kepercayaan diri sendiri. Kalau yakin semua Allah

SWT membuat hari weton itu ya yang membuat Allah SWT yang

menentukan Allah SWT.

5. Apakah weton sesuai dengan hukum Islam?

Kalau menurut Islam ya belum tahu saya. Kalau kitabnya sepengetahuan

saya ngaji di dalam masalah itu, kitab yang sudah pernah saya baca belum

pernah menemukan. Yang menemukan itu di dalam kitab-kitab mujarobat.

Page 93: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

Itu katanya karangannya Syekh Subakir. Syekh Subakir itu kan termasuk

Wali Jawa asli orang Jawa. Hukumnya yang pasti boleh, jadi kalau

diyakini ya malah jadi murtad. Kalau hari diyakini kalau hari ini Senin ya

yakin hari Senin, kalau hari ini Kamis ya yakin hari ini Kamis, ya rupanya

hari Kamis jangan ditanyakan. Kalau ditanyakan, hari itu bedanya apa.

Hari itu bedanya apa, padahal kan sama saja. Tapi buat hitungan, buat

patokan. Hari ini hari apa hari Jum’at, kalau Jum’at itu menurut hari sudah

ada yang utama kan, bahasan di dalam kitab itu ada. Sebab apa, hari

Jum’at itu hari yang mulia dibandingkan hari-hari lainnya. Menurut orang

yang ngaji, kalau mau memulai ngaji itu yang baik katanya di hari Rabu,

itu di dalam kitabnya ada.

6. Apakah ada praktik tradisi weton yang tidak sesuai dengan hukum Islam?

Menurut saya ya kalau memang di dalam Islam, hari weton itu kan hari.

Makanya kenapa ditanyakan kelahiran hari apa, kalau di Indonesia kan

seperti itu. Kelahirannya tahun berapa, hari apa, tanggal berapa.

7. Bagaimana kehidupan keagamaan di Desa Sidokerto?

Kalau di sini menurut orang awam, orang awam itu kan menganut saja.

Menurut keagamaan, semua perbuatan apa yang dikerjakan, jadi semua itu

harus pakai ilmu. Tanpa ilmu sia-sia.

8. Seberapa kuatkah masyarakat di Desa Sidokerto memegang tradisi weton?

Kalau di sini kuat, hampir merata sebab masih ada orang yang ditanyai

seperti orang tua (sesepuh). Jadi kalau mau khitanan jangan di hari ini, tapi

tidak perlu diyakini. Semua itu Allah SWT dibalikkan seperti itu. Tapi

adat biasanya seperti itu. Yang melanggar itu katanya ada wala’nya. Kalau

saya ilmu titen (hafalan) itu tidak terlalu mengetahui, saya ya baru itu

ngajinya Kyai Mun’in itu katanya Mbah Arwani saja tidak meninggalkan

hitungan Jawa. Kalau menurut Kanjeng Nabi SAW, kalau orang mau

menikah, mau khitanan, yang lebih baik itu tujuh, tujuh belas, dua puluh

tujuh. Itu kalau menurut Kanjeng Nabi SAW. Itu yang mengatakan Kyai

Abdul Karim.

Page 94: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

9. Apakah tradisi weton perlu dilestarikan?

Tergantung daerahnya. Kalau di sini dilestarikan.

Page 95: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

TRANSKIP WAWANCARA DENGAN KEPALA DESA

DI KABUPATEN PATI

Hasil wawancara dengan Kuswanto selaku Kepala Desa Sidokerto mengenai Desa

Sidokerto:

1. Bagaimana sejarah Desa Sidokerto?

Sepengetahuan saya setiap tanggal satu suro atau muharam diperingati hari

jadi Desa Sidokerto. Termasuk tahlil keliling di cikal bakal-cikal bakal di

antaranya Mbah Santosono, Mbah Rogo Cetho, Mbah Rogo Cethi, Mbah

Jolo Tundo, Mbah Kendir Wesi, Mbah Ki Ageng Blutho, Mbah Jalak

Sentono. Kalau di sini sejarah cikal bakalnya banyak mempunyai sarean

sendiri-sendiri.

2. Bagaimana kehidupan keagamaan di Desa Sidokerto?

Kehidupan keagamaan di sini itu delapan puluh lima persen memeluk

agama Islam selainnya agama non Islam. Kalau aktivitas keagamaan di

sini itu termasuk pengajian umum, maulid nabi, isra’ mi’raj, satu suro satu

muharam, kalau hari raya idul fitri itu kan wajib, kalau yang non Islam

menyesuaikan sama kepercayaannya.

3. Seberapa kuatkah masyarakat di Desa Sidokerto memegang tradisi weton?

Kalau tradisi weton itu adat yang kental. Kalau adat kan ibaratnya kalau

Arab harus Arab, kalau Jawa harus Jawa dirawat. Termasuk adat itu sudah

peninggalan dari nenek moyang dirawat.

4. Bagaimana kondisi ekonomi di Desa Sidokerto?

Kalau Desa Sidokerto termasuk perkotaan. Mayoritas penduduk Desa

Sidokerto kan kalau asli Desa Sidokerto itu mata pencarian sebagian besar

itu petani, tukang batu, pedagang, kalau PNS hanya sedikit. Kalau di sini

pertaniannya kan luas.

5. Bagaimana kondisi pendidikan di Desa Sidokerto?

Page 96: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.

Kalau pendidikan rata-rata memasuki era modern sama tuntutan

pendidikan kan sekarang dituntut sembilan tahun masa pendidikan,

minimal SMA. Seperti pendatang pendidikannya setara S1.

Page 97: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 98: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 99: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 100: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 101: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 102: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 103: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 104: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 105: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.
Page 106: TRADISI WETON DALAM PERKAWINAN MASYARAKAT KABUPATEN PATI PERSPEKTIF HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/47263... · 2019-10-04 · Rista Aslin Nuha. NIM 1113044000059.