TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

151
TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I) Oleh: Sudirman 109051000065 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

Transcript of TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Page 1: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi

Islam (S. Kom. I)

Oleh:

Sudirman

109051000065

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014

Page 2: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 3: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 4: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 5: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

i

ABSTRAK

Sudirman

Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Komunikasi

Antarbudaya

Tradisi sekaten adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Tradisi yang diadakan setiap bulan Rabiul Awal ini telah dilaksanakan sejak kerajaan Islam Demak berdiri di Jawa. Pada intinya, tradisi ini merupakan media dakwah yang dimanfaatkan oleh Wali Sanga dalam melakukan dakwah di tanah Jawa. Dalam dakwahnya tersebut, para wali tidak menggunakan cara frontal serta tidak menolak budaya lama (lokal), namun, sebaliknya para wali tersebut bertindak arif dan bijaksana tanpa menghilangkan unsur budaya, bahkan memberi warna dan nuansa baru Islam. Pada konteks kekinian, perayaan sekaten tidak hanya memperlihatkan tontonan budayanya saja, namun, juga memperlihatkan aspek hiburan dan ekonomi yang dikemas dalam bentuk pasar malam sekaten. Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam perspektif komunikasi antarbudaya? Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi antarbudaya yaitu akulturasi budaya. Unsur-unsur dari teori tersebut meliputi pesan verbal serta nonverbal. Kemudian, unsur-unsur budaya dalam komunikasi antarbudaya meliputi sistem kepercayaan, nilai-nilai, sikap, pandangan hidup terhadap dunia, dan organisasi sosial masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada: pertama, penelitian kepustakaan, kedua, wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang terkait dalam tradisi sekaten, ketiga, pengambilan data-data dari media cetak internet. Sekaten adalah upacara dan ritual penabuhan gamelan Kiai Sekati yang diadakan di keraton Yogyakarta setiap tahun pada tanggal 5-11 Rabiul Awal untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. Gamelan yang ditabuh setiap pelaksanaan sekaten merupakan media akulturasi budaya antara Islam dengan budaya lokal Jawa. Hasil perpaduan tersebut menghasil suatu kebudayaan baru yang yang disebut sebagai tradisi sekaten. Secara verbal sekaten mengajak umat manusia untuk menerima ajaran Islam secara suka rela dan sungguh-sungguh. Lalu, secara nonverbal sekaten sebagai simbol untuk mengajak umat manusia untuk segera masuk Islam dan melakukan sedekah terhadap harta berlebih yang dimilikinya. Kemudian, eksistensi dari sekaten tentunya tidak lepas dari unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang telah terbentuk sejak sekaten itu ada. Sistem kepercayaan yang berkembang di masyarakat tentunya berpengaruh terhadap cara bersikap masyarakat dalam kehidupan berbudaya. Keywords: Tradisi sekaten, gamelan, Keraton Yogyakarta, komunikasi antarbudaya.

Page 6: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillaahirobbil ‘alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT

atas rahmat, taufik, dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan tujuan untuk memenuhi

tugas akhir pendidikan Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Peneliti menyadari tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai

pihak, penelitian skripsi ini tidak akan selesai, untuk itu pada kesempatan ini

peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Pudek I Dr. Suparto, M. Ed, MA, Pudek II Drs. Jumroni, M.

Si, Pudek III Drs. Wahidin Saputra, M.A.

2. Rachmat Baihaky, MA dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan

dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

3. Drs. M. Sungaidi. M.A, selaku pembimbing penulis. Tiada kata yang

pantas terucap selain terimakasih yang sebesar-besanya karena

kesediannya untuk meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya.

4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah

memberikan ilmu yang tak ternilai.

5. Segenap staf akademik dan staf perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

iii

6. Terima kasih kepada GBPH. Prabukusumo, S. Psi. yang telah memberikan

izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di Tepas Widya Budaya,

Keraton Yogyakarta.

7. KRT. Rintaiswara, KRT Drs H. Ahmad M Kamaludiningrat, Ir. Yuwono

Sri Suwito, MM dan Purwodiningrat, selaku narasumber. Terimakasih atas

kesediaan waktunya untuk wawancara dan dalam rangka pengumpulan

data-data penulis.

8. Kedua Orang Tuaku tercinta, Bapak Suprayitno dan Ibu Sismi yang

memiliki peran yang sangat penting dan tak terkira.

9. Teman-teman KPI angkatan 2009 yang telah bersama-sama berjuang dan

menimba ilmu di kampus tercinta ini.

10. Teman-teman Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi yang telah membantu

dalam kelancaran penulisan skripsi ini, jazakallah atas dukungannya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah

diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga penelitian ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi semua pihak Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 25 November 2013

Sudirman

Page 8: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

iv

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

LEMBAR PERNYATAAN

ABSTRAK ...................................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ............... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 7

D. Metodologi Penelitian ......................................................... 8

E. Tinjauan Pustaka ................................................................. 11

F. Kerangka Pemikiran ............................................................ 13

G. Sistematika Penulisan ......................................................... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS

A. Komunikasi Antarbudaya .................................................... 17

1. Pengertian Komunikasi ................................................. 17

2. Pengertian Budaya ........................................................ 19

3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya............................. 23

B. Pesan Verbal ....................................................................... 30

C. Pengertian Pesan Nonverbal ................................................ 31

D. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya................................ 33

Page 9: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

v

1. Sistem Kepercayaan ...................................................... 34

2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Hidup ....................... 36

3. Organisasi Sosial ........................................................... 39

E. Pengertian Tradisi .... .......................................................... 40

BAB III GAMBARAN UMUM KERATON YOGYAKARTA

A. Arti Lambang Keraton Yogyakarta ..................................... 42

B. Kondisi Geografis Keraton Yogyakarta ............................... 43

C. Sejarah Singkat berdirinya Keraton Yogyakarta.................... 48

D. Struktur Pemerintahan Keraton Yogykarta .......................... 53

E. Asal-Usul Sekaten ............................................................... 58

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA

A. Gamelan Sekaten Dalam Proses Akulturasi Budaya ............ 62

B. Proses Komunikasi Antarbudaya dalam Sekaten .................. 65

C. Prosesi Pelaksanaan Sekaten dalam Pandangan Islam........... 74

1. Tahap Persiapan ............................................................ 74

2. Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan ................... 77

3. Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan ke Masjid ........... 78

4. Tahap Sri Sultan Hadir di Masjid Gedhe Kauman ......... 79

5. Tahap Kondur Gongso .................................................. 80

D. Pesan Verbal dalam Tradisi Sekaten .................................... 82

E. Pesan Nonverbal dalam Tradisi Sekaten .............................. 84

F. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya dalam Sekaten ........ 87

1. Sistem Kepercayaan ...................................................... 87

Page 10: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

vi

2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Hidup ....................... 90

3. Organisasi Sosial ........................................................... 92

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................... 94

B. Saran ................................................................................... 96

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 97

LAMPIRAN

Page 11: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Setiap

daerah mempunyai kebudayaan yang menjadi identitas dari wilayahnya.

Kekayaan tersebut dapat terlihat dari beragamnya jenis tarian, lagu daerah,

upacara adat, jenis makanan, jenis pakaian, bentuk rumah, aturan adat, dan

lain sebagainya. Inilah yang menjadikan Indonesia memiliki ragam

filosofis hidup. Hal tersebut patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi

penerusnya agar budaya tersebut tetap menjadi identitas suatu daerah dan

tidak lenyap ditelan modernisasi.

Salah satu kota yang masih sarat dengan warisan tradisi atau

budaya leluhurnya adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan salah satu

daerah di Indonesia yang masih tetap menjaga tradisi dan nilai-nilai

adiluhung yang diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu. Yaitu dimulai

ketika kerajaan Majapahit hingga Mataram Islam dan lainnya menguasai

tanah Jawa. Sampai saat ini pun tradisi-tradisi yang dilakukan leluhurnya

dahulu masih tetap dilaksanakan. Ini merupakan bukti bahwa rakyat

Yogyakarta masih mencintai dan peduli terhadap budaya daerahnya.

Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang masih tetap

menjalankan sistem pemerintahan kerajaan. Ini dimulai ketika Pangeran

Mangkubumi mendirikan keraton di Yogyakarta pada tahun 1756.

Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwana I yang menjadi

Page 12: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

2

raja pertama memimpin Keraton Yogyakarta setelah wilayah kerajaan

Mataram dibagi menjadi dua yaitu di Surakarta dan kedua adalah di

wilayah Yogyakarta (1755 M).

Pembagian wilayah tersebut tak lepas dari campur tangan Belanda

yang mengadakan perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi, Paku

Buwana III dan Belanda/VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Pangeran Mangkubumi ketika telah mengetahui hal itu, berusaha keras

untuk menyingkirkan Belanda dari Kerajaan Mataram. Singkat cerita,

karena Belanda terdesak oleh serangan yang dilakukan Pangeran

Mangkubumi, akhirnya Belanda mengadakan perjanjian tersebut. Isi dari

perjanjian Giyanti tersebut adalah bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi

dua yaitu setengah dari wilayah Mataram dipimpin oleh Sri Susuhunan

Paku Buwana III dengan ibu kota Surakarta, setengahnya lagi dipimpin

oleh Sri Susuhunan Kabanaran atau disebut sebagai Sri Sultan Hamengku

Buwana I dengan ibu kota Yogyakarta.1

Daerah Istimewa yang disematkan pada wilayah Yogyakarta, tidak

lepas dari sebuah perundingan yang rumit yaitu pada awal pembentukan

pemerintahan daerah. Namun, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya

Yogyakarta mendapatkan gelar Istimewa tersebut. Pemberian gelar

istimewa tersebut memang layak disematkan kepada Yogyakarta, karena

selain sebagai daerah yang menjalankan sistem monarki, daerah tersebut

juga pernah dijadikan sebagai ibu kota negara Indonesia yaitu ketika

1 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa (Yogyakarta: Kepel Press, 2008), h. 24.

Page 13: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

3

keadaan ibu kota di Jakarta tidak kondusif. Selain sebagai Daerah

Istimewa, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, yaitu tempat di

mana para pemuda dan pemudi baik masyarakat Yogyakarta maupun luar

Yogyakarta menuntut ilmu. Kemudian, Yogyakarta juga dikenal sebagai

kota budaya dan juga pariwisata yang cukup terkenal tidak hanya di

Indonesia, bahkan di dunia Internasional. Di tengah perkembangan pesat

itu, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-X sebagai kepala pemerintahan

daerah, tetap menjaga keutuhan budaya leluhur yang dilestarikan secara

turun-temurun. Salah satu kebudayaan yang masih dilestarikan dari awal

terbentuknya pemerintahan di Yogyakarta sampai saat ini adalah tetap

dilaksanakannya sebuah ritual tradisi yang disebut dengan sekaten.

Sekaten adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi

Muhammad s.a.w. Menurut sejarahnya, tradisi ini merupakan salah satu

tradisi Islam yang telah dilaksanakan pada awal pemerintahan kerajaan

Islam Demak. Tradisi ini merupakan pengembangan dari tradisi

sebelumnya yang dilakukan masyarakat Jawa yang berkeyakinan Hindu

dan Budha. Sebelumnya pada masa kerajaan Majapahit masyarakat

melakukan tradisi selamatan, namun, peruntukannya adalah untuk

persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra,

sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur. Namun, ketika kerajaan

Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Islam Demak, oleh

Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali,

perayaan tersebut selanjutnya diubah menjadi kegiatan yang bernuansa

Islami yang peruntukannya adalah untuk mencari ridha dan keberkahan

Page 14: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

4

dari Allah SWT dan bacaan mantra-mantra diubah menjadi bacaan ayat-

ayat Alquran.2

Unsur-unsur budaya dari tradisi yang dilakukan masyarakat pada

masa pemerintahan Majapahit tidak dihilangkan. Para Wali Sanga melihat,

bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu tidak bisa meninggalkan

aktivitas jahiliyah tersebut. Oleh karena itu, para Wali Sanga

memodifikasinya menjadi suatu aktivitas budaya yang lebih Islami tanpa

menghilangkan unsur budaya yang telah tertanam dalam hati dan pikiran

masyarakat pada saat itu.

Pada masa pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta,

tradisi ini menjadi suatu agenda rutin yang ditetapkan oleh Sri Sultan

Hamengku Buwana dan Paku Buwana. Prosesi tradisi ini dilaksanakan

setiap tanggal 5 Rabiul Awal sore hari sampai 11 Rabiul Awal malam hari.

Gamelan Kanjeng Kiai Sekati atau yang disebut sebagai Kanjeng Kiai

Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dikeluarkan dari keraton dan

dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman atau Masjid Besar Keraton untuk

dibunyikan pada saat penyelenggaraan sekaten. Gamelan tersebut

digunakan untuk mengiringi gending-gending yang dilantunkan selama

tujuh hari berturut-turut secara bergantian.

Bunyi-bunyian dari gamelan tersebut tidak lain adalah untuk

menarik perhatian pengunjung yang datang ke Masjid Gedhe Kauman

untuk menyaksikan pemukulan gamelan yang diadakan selama tujuh hari.

2 Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta: Warna

Mediasindo, 2010), h. 55.

Page 15: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

5

Selain itu, pada acara sekaten tersebut pengunjung tidak hanya

menyaksikan acara pemukulan gamelan, namun, juga bisa datang ke pasar

malam sekaten yang menjual jajanan khas tradisi sekaten, tentunya hal ini

menambah keriuhan dan kemeriahan dari acara sekaten itu sendiri. Pada

malam hari tanggal 11 Rabiul Awal di Masjid Gedhe Kauman, raja

keraton menghadiri acara pembacaan riwayat Nabi Muhammad s. a. w.

Kemudian, melakukan penyebaran udhik-udhik (berisi uang logam, beras,

dan bunga setaman) oleh sultan yang disebut Pasowanan Malem Garebeg

yang melambangkan sedekah raja kepada rakyatnya. Kemudian, pada hari

esoknya diadakanlah perayaan Garebeg Mulud. Ini merupakan puncak dari

perayaan sekaten. Warga dari berbagai penjuru tidak hanya dari

Yogyakarta, juga ikut memeriahkan acara yang diadakan setahun sekali

ini.

Perayaan sekaten ini telah berlangsung sejak enam abad silam.

Tradisi ini tetap bertahan karena semangat dari raja-raja Islam untuk

menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Perayaan tradisi ini tentunya

juga tidak lepas dari mitos yang berkembang kuat di masyarakat. Peneliti

dalam hal ini melihat komunikasi antarbudaya yang dibangun oleh ulama-

ulama keraton dahulu begitu komunikatif sehingga dapat diterima dengan

baik oleh masyarakat. Kemudian, hal ini juga tidak lepas dari sistem

kepercayaan yang berkembang di masyarakat serta nilai-nilai budaya yang

masih tertanam kuat.

Dengan demikian, peneliti akan menelusuri lebih mendalam

mengenai tradisi sekaten yang diadakan di Keraton Yogyakarta berkaitan

Page 16: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

6

dengan makna-makna serta unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang ada

dalam tradisi sekaten. Oleh karena itu, peneliti membuat skripsi dengan

judul: “Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif

Komunikasi Antarbudaya”.

B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah

a. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan, peneliti

akan mengidentifikasi masalah yang timbul dalam judul skripsi yang

peneliti susun. Penelitian berkaitan dengan bentuk dan proses

komunikasi antarbudaya yang berlangsung pada tradisi sekaten.

Penelitian ini berangkat dari sejarah asal-usul terbentuknya tradisi

sekaten yang dibawa oleh para wali dalam menyebarkan Islam di tanah

Jawa melalui pendekatan budaya. Salah satunya media komunikasi

yang digunakan para wali untuk berdakwah adalah alat musik

gamelan.

b. Batasan Masalah

Untuk memudahkan dalam penelitian ini, sekaligus agar terfokus

ruang lingkup penelitian, maka penulis perlu membatasi masalah pada

tradisi sekaten yang diadakan di Keraton Yogyakarta yang dikaji

dalam perspektif komunikasi antarbudaya, meliputi pesan verbal dan

nonverbal, sistem kepercayaan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup

terhadap dunia.

Page 17: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

7

c. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang ada,

maka pertanyaan mayornya adalah

Bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam

perspektif komunikasi antarbudaya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan

Mengetahui bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam

perspektif komunikasi antarbudaya.

Manfaat

1. Akademis

Secara akademis penelitian ini akan menambah khasanah ilmu

pengetahuan budaya yaitu tentang tradisi sekaten di Keraton

Yogyakarta.

2. Praktis

Dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan masukan

positif bagi para praktisi untuk lebih mengoptimalkan nilai-nilai yang

terdapat dalam suatu kebudayaan. Betapa pentingnya komunikasi

sebagai alternatif yang positif bagi kelangsungan budaya-budaya yang

ada.

Page 18: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

8

D. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis.

Menurut Dedy N. Hidayat yang mengacu pada pemikiran Guba yang

dikutip oleh Burhan Bungin bahwa paradigma konstruktivis lebih

bersifat reflektif dan dialektikal.3 Menurut paradigma ini, antara

peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi

dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui

metode kualitatif seperti observasi partisipasi.

Dalam konteks metodologi, paradigma konstruktivis bersifat

dialektik, di mana konstruksi mental individu dibentuk dalam seting

alamiah. Kriteria kualitas penelitian dalam paradigma ini terletak pada

trustworthiness and authenticity (dapat dipercaya dan valid). Dari

dimensi aksiologi, paradigma konstruktivis menganggap nilai, etika,

dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu

penelitian, peneliti menempatkan diri sebagai fasilitator dari

rekonstruksi, dan penelitian bertujuan untuk memberikan pemahaman

dari rekonstruksi.

2. Pendekatan dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan

kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang

mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam

masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna

3 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi

Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2011), h. 242.

Page 19: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

9

dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan

dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai

kategorisasi tertentu.

Sasaran kajian dari pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang

berlaku sebagai prinsip-prinsip umum yang hidup dalam masyarakat.

Gejala-gejala tersebut dilihat dari satuan yang berdiri sendiri dalam

kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Sehingga pendekatan kualitatif

sering disebut sebagai pendekatan holistik terhadap suatu gejala

sosial.4

Kemudian, metode yang digunakan adalah deskriptif analisis

dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif ini

digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik

populasi tertentu, dalam hal ini bidang secara aktual dan cermat.

Metode deskriptif bukan saja menjabarkan, tetapi juga memadukan.

Bukan saja melakukan klasifikasi tetapi juga organisasi. Metode ini

menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah. Peneliti

bertindak sebagai pengamat. Peneliti hanya membuat kategori pelaku,

mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi. Dengan

suasana ilmiah berarti bahwa peneliti terjun ke lapangan. Peneliti tidak

memanipulasi variabel.5

3. Tempat Penelitian

4 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi

Komunikasi di Masyarakat, h. 306. 5 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 2002), h. 22.

Page 20: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

10

Penelitian ini dilakukan di area keraton Yogyakarta, meliputi

wilayah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe Keraton,

dan juga wilayah utama Keraton Yogyakarta.

4. Informan

Informan yang dipilih dalam penelitian ini terdiri dari abdi dalem

keraton yang terlibat dalam kegiatan sekaten, ulama keraton,

pemerintah daerah, dan juga organisasi sosial yang turut membantu

mengamankan tradisi sekaten. Informan tersebut antara lain:

a. KRT. Rintaiswara sebagai pengurus kawedanan Hageng

Punokawan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Informan tersebut

berkaitan dengan data makna serta unsur-unsur komunikasi

antarbudaya.

b. Purwodiningrat sebagai Pengageng II Kawedanan Hageng

Punakawan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Informan tersebut

berkaitan dengan data unsur-unsur komunikasi antarbudaya.

c. KRT. Drs. H. Ahmad M. Kamaludiningrat sebagai ulama keraton.

Informan tersebut berkaitan dengan data sejarah sekaten.

d. Ir. Yuwono Sri Suwito sebagai ketua dewan kebudayaan

pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Informan tersebut

berkaitan dengan data akulturasi budaya.

5. Teknik Pengumpulan Data

1) Observasi

Observasi merupakan metode pengumpulan data yang

digunakan pada riset kualitatif. Observasi adalah interaksi dan

Page 21: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

11

percakapan yang terjadi di antara objek yang diriset. Dalam dal

ini objek yang diamati adalah perayaan tradisi sekaten di

Keraton Yogyakarta.

2) Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan

mengajukan beberapa pertanyaan yang telah dipersiapkan.

Wawancara yang dilakukan adalah wawacara mendalam

kepada orang-orang yang terlibat dalam tradisi sekaten dengan

tujuan agar mendapat informasi yang lengkap.

3) Dokumentasi

Dukumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak

langsung ditujukan pada subjek penelitian, namun melalui

dokumen.6 Pencarian data-data primer ataupun sekunder yang

dapat mendukung hasil penelitian.

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dalam penelitian ini didapatkan dari perpustakaan

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yaitu:

1) Skripsi Rinal Rinoza dengan judul “Perspektif Komunikasi

Antarbudaya dalam Film Al-Kautsar” mahasiswa S1, jurusan

Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

6 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya, h. 87.

Page 22: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

12

Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

tahun 2010.

2) Skripsi Ani Bela Safitri dengan judul “Pesan Komunikasi Antarbudaya

Seni Musik Gong Si Bolong pada Masyarakat Kota Depok”

mahasiswa S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

3) Skripsi Keriyono dengan judul “Tradisi Samenan pada Masyarakat

Sukamulya dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya” mahasiswa

S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah

dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2009.

Ketiga skripsi tersebut berbicara tentang komunikasi antarbudaya.

Namun, yang membedakan dengan penelitian penulis adalah terletak pada

subjek dan objeknya. Subjek dari penelitian penulis adalah tradisi sekaten

yang diadakan di Keraton Yogyakarta. Sedangkan objeknya adalah

mengenai komunikasi antarbudaya.

Page 23: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

13

F. Kerangka Pemikiran

Keraton Yogyakarta merupakan tempat di mana raja serta

kerabatnya tinggal serta tempat mengatur jalannya pemerintahan daerah.

Selain itu, keraton ini juga sebagai tempat tujuan pariwisata budaya.

Budaya-budaya yang ada di Yogyakarta saat ini tetap lestari meski

bersanding dengan perkembangan teknologi yang semakin modern. Hal ini

tentunya tidak lepas dari peran raja serta masyarakat Yogyakarta sendiri

dalam menjaga dan melestarikan budaya leluhur.

Salah satu budaya yang masih lestari hingga kini adalah perayaan

sekaten. Perayaan sekaten ini telah ada sejak kerajaan Yogyakarta berdiri

tahun 1755. Sekaten memiliki makna tersendiri yaitu sebagai wujud

kecintaan umat Islam kepada Nabi Muhammad s.a.w. Dalam

pelaksanaannya, prosesi sekaten ini dilaksanakan selama tujuh hari

dimulai dari tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai 11 Mulud (Rabiul

Awal). Selama tujuh dari tersebut, gamelan Kiai Sekati dibunyikan secara

Page 24: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

14

terus menerus. Para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan

melaksanakan tugasnya secara bergantian. Apabila waktu sholat tiba,

maka pemukulan gamelan dihentikan sejenak.

Yang hadir dalam perayaan sekaten ini tidak hanya dari masyarakat

yang tinggal di Yogyakarta, namun, dari luar Yogyakarta juga ikut

merayakan. Dalam perayaan tersebut tentunya terjadi komunikasi

antarbudaya, yaitu komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang

berbeda latar belakang budaya. Namun, perbedaan tersebut tidak

menjadikan pembatas, melainkan menjadikan suatu ikatan yang kuat

seperti yang tertulis dalam lambang burung Garuda yang menjadi lambang

negara Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda

namun tetap satu.

Dalam pelaksanaannya, bunyi gamelan tersebut mempunyai makna

dan pesan tertentu, baik itu pesan secara verbal maupun nonverbal. Intinya

adalah untuk dakwah mengajak umat Islam di Yogyakarta untuk mencintai

dan meneladani Nabi Muhammad s.a.w. Terdapat unsur-unsur budaya

yang memengaruhi berkembangnya tradisi tersebut yaitu sistem

kepercayaan masyarakat, nilai-nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia

dan organisasi sosial.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan skripsi

ini, maka penulis membuat sistematika penulisan pada skripsi sebagai

berikut:

Page 25: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

15

Penulis memulai dengan Bab I, yaitu Pendahuluan, yang

menguraikan latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan

sistematika penelitian yang merupakan gambaran umum dalam penulisan

skripsi.

Selanjutnya, Kajian Teoritis penulis tempatkan pada Bab II, yaitu

menjelaskan teori-teori yang relevan digunakan dalam penulisan skripsi

untuk menganalisa dan merancang informasi yang diperoleh dari berbagai

sumber seperti buku referensi maupun internet yang menjadi landasan

dalam penulisan skripsi ini di antaranya teori tentang komunikasi

antarbudaya, bahasa, pesan verbal dan nonverbal serta unsur-unsur

komunikasi antarbudaya.

Lebih jauh, Gambaran Umum Keraton Yogyakarta yaitu

membahas tentang kondisi geografis Keraton Yogyakarta, penulis

tempatkan pada Bab III. Selain itu, pada bab ini juga membahas mengenai

arti dari lambang Keraton Yogyakarta. Lalu, membahas kondisi geografis

dari Keraton Yogyakarta. Kemudian, membahas sejarah dari Keraton

Yogyakarta. Terakhir, membahas struktur pemerintahan Keraton

Yogyakarta serta asal-usul tradisi sekaten.

Adapun temuan dan Analisis Data dari keseluruhan skripsi ini ada

pada Bab IV yang membahas hasil dari temuan data dan analisis data

yakni proses komunikasi antarbudaya dalam tradisi sekaten. Unit analisis

yang digunakan adalah pesan verbal dan nonverbal dalam tradisi sekaten

serta unsur-unsur komunikasi antarbudaya meliputi sistem kepercayaan,

Page 26: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

16

nilai-nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia dan organisasi sosial

dalam tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta.

Akhirnya Bab V Penutup, yaitu berisi kesimpulan dari penulisan

skripsi ini dan saran yang diharapkan berguna bagi penulis dan pihak

Keraton Yogyakarta serta peneliti selanjutnya.

Page 27: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

17

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Komunikasi Antarbudaya

1. Pengertian Komunikasi

Dari sudut bahasa komunikasi merupakan terjemahan dari bahasa

Inggris communication.1 Communication ini berasal dari perkataan

Latin:

• Communicare, yang berarti: berpartisipasi ataupun

memberitahukan.

• Communis, yang berarti: milik bersama ataupun berlaku di

mana-mana.

• Communis Opinio, yang berarti: pendapat umum ataupun

pendapat mayoritas.

Pengertian komunikasi secara istilah menurut Roudhonah adalah

suatu proses di mana seseorang komunikator menyampaikan pesannya,

baik dengan lambang bahasa verbal maupun dengan isyarat, yang

antara keduanya sudah terdapat kesamaan makna, dan keduanya dapat

mengerti apa yang sedang dikomunikasikan.

Selanjutnya adalah beberapa pengertian komunikasi menurut

beberapa pendapat para ahli, antara lain:

1 Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN PRESS, 2007), h. 27.

Page 28: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

18

Carl I. Hovland:

Komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain.2

Raymond S. Ross

Komunikasi adalah proses transaksional yang meliputi

pemisahan, dan pemilahan bersama lambang secara kognitif,

begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan

dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan

yang dimaksud oleh sumber.3

Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II:

Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi, gagasan,

dan perasaan.4

Wilbur Schramm:

Komunikasi merupakan kontak antara pengirim dan penerima,

dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki

beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan

dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta

ditafsirkan oleh penerima.5

2 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2002), h. 10. 3 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 3. 4 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LkiS,

2003), h. 3. 5 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 2.

Page 29: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

19

Everett M. Rogers:

Mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses di mana

suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau

lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.6

Theodore M. Newcomb:

Bahwa setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu

transmisi informasi, terdiri dari rangsangan yang diskriminatif

dari sumber kepada penerima.7

Kamus Besar Bahasa Indonesia:

Komunikasi diartikan sebagai pesan atau berita antara dua

orang atau lebih sehingga pesan tersebut dapat dipahami dan

dimengerti.8

2. Pengertian Budaya

Secara etimologi9 (bahasa) kebudayaan berasal dari akar kata

budaya (Bahasa Sansekerta) “Bodhya” yang diartikan pikiran dan akal

budi. Secara terminologi10 (istilah), kebudayaan dapat diartikan

sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran, struktur

aturan, kebiasaan, nilai, pengolahan informasi, dan pengalihan pola-

6 Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 21. 7 Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya, 2007), h.

68. 8 Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan

Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 585. 9 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya (Jakarta: Jala Permata, 2008), h. 32. 10 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 32.

Page 30: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

20

pola konvensi (kesepakatan) pikiran, perkataan dan perbuatan/tindakan

yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat.

Dalam buku Johanes Mardimin “Jangan Tangisi Tradisi”,11

memberikan definisi

“...Kebudayaan yang dirumuskan melalui pendekatan filosofis dan sosiologis. Secara filosofis, kebudayaan berbicara tentang keistimewaan manusia jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Secara sosiologis dapat dirumuskan bahwa kebudayaan menyangkut seluruh cara hidup manusia yang dianut bersama dalam suatu masyarakat guna mencapai taraf hidup yang lebih baik,...” Selanjutnya adalah beberapa paparan definisi budaya menurut para

ahli, di antaranya adalah sebagai berikut:

Ki Hajar Dewantara:

Kebudayaan adalah buah budi manusia dalam hidup

bermasyarakat.12

Koentjaraningrat:

Kebudayaan adalah seluruh sistem, gagasan, tindakan dan hasil

karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan

milik diri manusia.13

Sutan Takdir Alisjahbana:

Kebudayaan adalah manisfestasi dari cara berfikir.14

The American Herritage Dictionary:

11 Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat

Indonesia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 11. 12 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24. 13 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24. 14 Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Kencana, 2005), h. 333.

Page 31: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

21

Kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku

yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, seni, agama,

kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia atau

suatu kelompok manusia.15

Tylor:

Budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk

pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat dan

kemampuan serta kebiasaan yang lain yang diperoleh manusia

sebagai anggota masyarakat.16

Cialdini:

Kebudayaan sama halnya dengan terminologi, sebuah kepercayaan,

adat-istiadat, kebiasaan, dan bahasa yang diwariskan dalam

kehidupan masyarakat pada situasi dan tempat tertentu.17

Agama Sebagai Sebuah Budaya

Ada pandangan seorang antropolog yang berbicara mengenai

agama sebagai bagian dari budaya. Menurut Edward Norbeck dalam

buku Bustanuddin Agus mengatakan, “...agama adalah buatan manusia

dan di mana pun banyak kesamaannya. Sebagai suatu ciptaan manusia,

agama adalah bagian dari budaya, bagian ciptaan manusia secara

universal,...”18

15 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24. 16 Kate Loewhental, Religion, Culture, and Mental Health (USA: Cambridge University

Press, 2006 ), h. 4. 17 Kate Loewhental, Religion, Culture, and Mental Health, h.5. 18

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), h. 33.

Page 32: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

22

Dari pernyataan yang disebutkan oleh Edward tersebut tentu

menimbulkan kontra di kalangan peneliti antropolog penganut agama

tertentu karena hal tersebut dapat diartikan bahwa ajaran agamanya

hanyalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu, pernyataan

tersebut dianggap kurang tepat dengan pendekatan ilmiah. Menurut

Hilman Hadikusuma menyatakan “...agama budaya adalah petunjuk

hidup yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Ada pula

kebudayaan agama adalah hasil kreasi manusia beragama,...”19

Kemudian, kembali pada definisi tentang budaya sebelumnya.

Budaya adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia. Agama yang ada

di bumi dibagi menjadi dua kategori yaitu ada yang disebut sebagai

agama Samawi dan agama Ardhi. Agama samawi adalah agama yang

diturunkan dari Allah SWT melalui malaikat Jibril disampaikan

kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan disebar kepada umat Islam. Lalu,

agama Ardhi adalah agama yang diciptakan oleh manusia itu sendiri.

Dari kacamata agama, Islam bukanlah suatu kebudayaan, karena

Islam bukanlah hasil dari produk manusia. Islam merupakan agama

yang isi ajaran-ajarannya berasal dari Allah SWT. Namun, dalam

Islam itu sendiri mengajarkan kepada penganutnya untuk menjadi

manusia yang berbudaya. Islam mendorong para pemeluknya untuk

menciptakan kebudayaan dari berbagai segi. Namun, dari kacamata

budaya Islam dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya karena

19

Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama, h. 33.

Page 33: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

23

dalam Islam tersebut terdapat nilai-nilai serta ajaran-ajaran yang

bepengaruh terhadap kehidupan manusia.

Atas dasar telah diakuinya sebagian adat-istiadat menjadi bagian

dari ajaran Islam, pada masa Nabi Muhammad s.a.w., Khulafaur

Rasyidin, dan Imam Mazhab, maka, pada kurun waktu berikutnya para

ahli fiqih memformulasikan kaidah hukum yang berbunyi al-‘addah

muhakkamah (adat dapat menjadi sumber penetapan hukum). Para ahli

fiqih melihat bahwa prinsip-prinsip adat merupakan salah satu sumber

hukum Islam yang sekunder, bukan yang primer.20 Artinya sumber

hukum adat dapat berlaku ketika sumber hukum primer (Alquran dan

Hadis) tidak dapat menjawab permasalahan yang muncul.

Selanjutnya menurut Nourouzzaman Shiddiqi yang dikutip oleh

Muhaimin, ciri-ciri kebudayaan Islam adalah:21

a. Bernafaskan tauhid, karena tauhid yang menjadi pokok dari

ajaran Islam.

b. Hasil buah pikir dan pengolahannya adalah dimasukkan untuk

meningkatkan kesejahteraan dan membahagiakan umat

manusia.

3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya

Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi

langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia

20 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 7.

21 Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, h. 341.

Page 34: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

24

atau kelompok sosial. Perlintasan komunikasi tersebut menggunakan

kode-kode pesan, baik secara verbal dan nonverbal, yang secara

alamiah digunakan dalam semua konteks komunikasi.22

Larry A. Samovar23 dalam bukunya Understanding Intercultural

Communication menyatakan bahwa komunikasi antaretnik biasanya

terjadi pada situasi di mana komunikator dan komunikan yang

memiliki kesamaan ras tetapi berbeda asal usul etnik atau latar

belakang. Ras24 merupakan sekelompok orang yang ditandai dengan

ciri-ciri biologis yang sama. Kemudian, kelompok etnik25 adalah

kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal usul yang sama.

Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi yang

dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan yang

berbeda.26 Dalam komunikasi yang terjadi antara dua budaya yang

berbeda itu, maka aspek budaya seperti bahasa, isyarat nonverbal,

sikap, kepercayaan, watak, nilai, dan orientasi pikiran akan lebih

banyak ditemukan sebagai perbedaan yang besar yang sering kali

mengakibatkan terjadinya distorsi dalam komunikasi. Namun, dalam

masyarakat yang bagaimanapun berbeda kebudayaan, tetap akan

22 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 12. 23 Larry A. Samovar, Understanding Intercultural Communication (USA: Wadsworth

Publishing Company, 1981), h. 35. 24 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 18. 25 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 18. 26 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 19.

Page 35: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

25

terdapat kepentingan-kepentingan bersama untuk melakukan

komunikasi.27

Selanjutnya adalah beberapa definisi komunikasi antarbudaya

menurut beberapa ahli, di antaranya yaitu:

Definisi menurut Gerhard Maletzke:

Komunikasi antarbudaya diartikan sebagai komunikasi

antarmanusia yang berbeda budayanya.28

Definisi menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa:

Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang

yang berbeda kebudayaan.29

Samovar dan Porter:

Komunikasi antarbudaya terjadi di antara produsen pesan dan

penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.30

Charley H. Dood:

Komunikasi antarbudaya melibatkan peserta komunikasi yang

mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan

pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang memengaruhi

perilaku komunikasi para peserta.31

27 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), h.

16. 28 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya,, h. 16. 29 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 20. 30 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007), h. 10. 31 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 11.

Page 36: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

26

Komunikasi adalah transaksi.32 Dengan transaksi dimaksudkan

bahwa komunikasi merupakan suatu proses, bahwa komponen-

komponennya saling terkait, dan bahwa para komunikatornya beraksi

dan bereaksi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan. Jadi, pada

hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses

komunikasi lain, yakni proses yang interaktif dan transaksional serta

dinamis.33

Berlangsungnya komunikasi antarbudaya adalah jika antara

komunikator dan komunikan mengadakan kesamaan makna/arti

dengan orang yang diajak komunikasi. Menurut Wilbur Schramm

seperti yang dikutip oleh Roudhonah menyatakan “...komunikasi akan

berhasil apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan

kerangka acuan (frame of reference) yakni kumpulan pengalaman dan

makna (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh

komunikan,...”34 Oleh karena itu, apabila antara komunikator dengan

komunikan atau antara salah satunya saja sudah saling mengerti

perbedaan di antara masing-masing, maka komunikasi akan terjalin

dengan baik.

Mohammad Shoelhi dalam bukunya “Komunikasi Internasional”,

fungsi-fungsi komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut:

a. Fungsi identitas sosial

32 Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia (Tangerang Selatan: Karisma, 2011), h.

47. 33 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 24. 34 Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 47.

Page 37: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

27

Dalam komunikasi antarbudaya terdapat berberapa perilaku

komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan

identitas diri maupun identitas sosial.35

b. Fungsi kognitif

Tidak dapat dibantah bahwa komunikasi dapat menambah dan

memperkaya pengetahuan bersama.36

c. Melepaskan diri

Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain sekedar

untuk melepaskan diri dari berbagai masalah yang

menghimpit.37

d. Integrasi sosial

Esensi dari integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan

persatuan antarpribadi, antarkelompok, namun, tetap mengakui

perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur dalam

kelompok sosial.38

e. Sosialisasi nilai

Tanpa disadari ketika ada pergelaran wayang golek atau tarian

Jawa atau pertunjukkan musik rock, di situ ada nilai-nilai yang

ditransformasikan kepada penonton.39

f. Pengawasan

35

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009) h. 38.

36 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 38.

37 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 38.

38 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.

39 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.

Page 38: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

28

Komunikasi juga berfungsi untuk melakukan pengawasan.40

g. Menjembatani

Komunikasi juga berfungsi sebagai jembatan atas perbedaan

antara para peserta komunikasi yang saling berupaya

menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga

hubungan dapat terjalin dengan baik melalui simbol-simbol

yang bermakna sama.41

Akultusari Budaya

Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendatang

untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya lokal.42

Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang pendatang.

Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-

lambang masyarakat lokal yang signifikan. Sebagaimana orang-orang

pribumi memperoleh pola-pola budaya pendatang lewat komunikasi.

Sebaliknya, seorang pendatang pun memperoleh pola-pola budaya

pribumi lewat komunikasi.

Akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang

dimodifikasi melalui kontak dan pemaparan langsung dengan kultur

lain. Menurut Kim dalam buku Komunikasi Antarmanusia menyatakan

bahwa “...penerimaan kultur baru bargantung pada sejumlah faktor.

Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah

40

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39. 41

Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39. 42

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 139.

Page 39: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

29

akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula mereka yang terdidik

dan lebih muda lebih cepat terakulturasi dari pada mereka yang lebih

tua dan kurang berpendidikan. Faktor kepribadian juga berpengaruh.

Orang yang senang mengambil resiko dan berpikiran terbuka, lebih

mudah terakulturasi,...”43

Potensi akulturasi seorang pendatang sebelum bermigrasi dapat

mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi.

Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut.

1. Kemiripan antara budaya asli (pendatang) dan budaya lokal.

2. Usia pada saat bermigrasi.

3. Latar belakang pendidikan.

4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan

toleransi.

5. Pengetahuan tentang budaya lokal sebelum bermigrasi.

Asimilasi (Pembauran)

Asimilasi adalah tujuan penting akulturasi yang secara teoritis

mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi adalah tujuan

sepanjang hidup. Mengutip makna asimilasi dari skripsi Ali Abdul

Rodzik “...asimilasi adalah proses sosial yang timbul apabila ada

golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan berbeda-beda,

saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama,

sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing-

43

Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia: Edisi Kelima (Tangerang: Karisma, 2011), h. 535.

Page 40: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

30

masing berubah wujudnya menjadi unsur-unsur kebudayaan

campuran,...”44

Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan

antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas

antarkelompok. Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri

dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya

dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu

dengan kelompok yang lain.45

Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut:

1. Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan

berbeda

2. Terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif

dan dalam waktu yang relatif lama

3. Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah

dan menyesuaikan diri

B. Pesan Verbal

Pesan verbal dapat diartikan sebagai pesan-pesan komunikasi

dalam bentuk kata-kata. Pesan tersebut bisa dalam bentuk tulisan maupun

44

Ali Abdul Rodzik, “Akulturasi Budaya Betawi Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah),” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 18.

45 Wikipedia, “Asimilasi (Sosial),” artikel diakses pada 26 Januari 2014 dari

http://id.wikipedia.org/wiki/Asimilasi_(sosial)

Page 41: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

31

ucapan lisan dari komunikator kepada komunikan. Secara etimologis,46

kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word

merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’

yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian atau

peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau

penghubung sebuah predikat. Kata verbal sendiri berasal dari bahasa

Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’

atau ‘bermakna melalui kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang

digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering

berbentuk percakapan lisan dari pada tulisan.

Pesan komunikasi verbal adalah sarana utama untuk menyatakan

pikiran, perasaan, dan harapan kepada orang lain. Pesan verbal

menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas

yang ada pada diri seseorang. Kata-kata sebagai ungkapan perasaan dapat

dikemas dalam dua cara yaitu secara vokal atau lisan atau nonvokal atau

tertulis. Komunikasi verbal adalah komunikasi dengan cara

menyampaikan pesan kata-kata yang diucapkan.47

C. Pesan Nonverbal

Secara sederhana, komunikasi nonverbal adalah proses

penyampaian pesan tidak menggunakan kata-kata (bahasa) melainkan

46 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 135. 47 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 128.

Page 42: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

32

dengan isyarat-isyarat yang dapat dipahami.48 Pesan nonverbal berupa

isyarat, simbol, lambang yang dikirim oleh seseorang kepada orang lain,

dapat berupa isyarat bersuara (verbal) maupun tanpa suara (nonverbal).49

Kemudian, menurut Tubb dan Carter seperti yang dikutip oleh

Suranto AW,50 memberikan definisi “jika suatu pesan tidak diucapkan

secara lisan maupun tertulis maka pesan tersebut diungkapkan dengan

menggunakan bahasa nonverbal”. Sementara itu, Arni Muhammad

mengatakan yang dimaksud komunikasi nonverbal adalah penciptaan dan

pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, melainkan

menggunakan bahasa isyarat seperti gerakan tubuh, sikap tubuh, vokal

yang bukan kata-kata, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak,

sentuhan dan sebagainya.

Menurut Back seperti yang dikutip oleh Alo Liliweri,51 bahwa

pesan nonverbal itu sangat penting bagi pengembangan perilaku sosial,

khususnya dalam menyatakan emosi. Friedman juga mengembangkan

gagasan ini dalam sejumlah paper yang menekankan pada kemampuan

yang berbeda-beda dari manusia dalam menggunakan bahasa nonverbal.

Konsep ini banyak disetujui meskipun harus diakui bahwa konsep ekspresi

itu sendiri sangat berimplikasi psikologis, karena meliputi karakteristik

personal.

48 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya, h. 57. 49 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 145. 50 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 146. 51 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 174.

Page 43: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

33

Selanjutnya adalah fungsi komunikasi nonverbal, menurut Mark L.

Knapp yang dikutip oleh Suranto AW,52 menyebut lima fungsi pesan

nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal:

1. Repetisi (repetition), yaitu mengulang kembali gagasan

yang sudah disajikan secara verbal.

2. Substitusi (substitution), yaitu menggantikan lambang-

lambang verbal.

3. Kontradiksi (contradiction), menolak pesan verbal atau

memberi makna yang lain terhadap pesan verbal.

4. Komplemen (complement), yaitu melengkapi dan

memperkaya makna pesan nonverbal.

5. Aksentuasi (accentuating), yaitu menegaskan pesan verbal

atau menggarisbawahinya.

D. Unsur-Unsur Komunikasi Antarbudaya

Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa terdapat tiga unsur sosial

budaya yang mempunyai pengaruh besar atas makna-makna yang kita

bangun dalam persepsi kita. Unsur-unsur tersebut adalah sistem

kepercayaan, nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia, dan organisasi

sosial. Kita semua mungkin melihat entitas sosial yang sama dan

menyetujui entitas sosial tersebut dengan menggunakan istilah-istilah yang

52 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 173.

Page 44: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

34

objektif, tetapi makna objek atau peristiwa tersebut bagi kita mungkin

sebagai individu sangat berbeda.53

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,

mengevaluasi dan mengorganisasikan stimulasi dari lingkungan eksternal.

Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik

lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk

perilaku tertentu. Keberhasilan dan cara mempersepsi dunia perilaku ini

adalah hasil pengalaman budaya.54

Berikut adalah penjabaran unsur sosial budaya yang berpengaruh

terhadap komunikasi antarbudaya, di antaranya:

1. Sistem Kepercayaan

Jalaluddin Rakhmat berpendapat kepercayaan dapat dipandang

sebagai kemungkinan-kemungkinan subjektif yang diyakini individu

bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik

tertentu.55 Dalam buku Richley H. Crapo56 dijelaskan mengenai arti

dari kepercayaan dalam bukunya Cultural Anthropology: Understanding

Ourselves & Others bahwa kepercayaan adalah suatu alat yang mana

seseorang menciptakan suatu faham atau arti dari pengalamannya;

berasal dari suatu pemikiran atau gagasan yang dipercaya menjadi

suatu kebenaran, berdasarkan fakta atau kenyataan.

53

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26.

54 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 57.

55 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26. 56 Richley H. Crapo, Cultural Anthropology: Understanding Ourselves & Others (New

York: McGraw-Hill, 2002), h. 51.

Page 45: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

35

Menurut Daniel E. Hebding dan Leonard Glick yang dikutip Alo

Liliweri dalam bukunya “Makna Budaya Dalam Komunikasi

Antarbudaya” bahwa kepercayaan dapat diartikan sebagai gagasan

yang dimiliki oleh orang tentang sebagian atau keseluruhan realitas

dunia yang mengelilingi dia.57 Kepercayaan melibatkan hubungan

antara objek yang dipercayai dan karakteristik-karakteristik yang

membedakannya. Derajat tingkat kepercayaan kita mengenai suatu

peristiwa atau suatu objek yang memiliki karakteristik-karakteristik

tertentu menunjukkan tingkat kemungkinan subjektif kita dan

konsekuensinya juga menunjukkan kedalaman atau intensitas

kepercayaan kita.58

Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai yang ada,

sebab nilai-nilai itu adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan,

nilai dan sikap yang meliputi kualitas atau asas-asas sebagai berikut:59

a. Kemanfaatan

b. Kebaikan

c. Keindahan (estetika)

d. Kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan

Sistem kepercayaan agama sekelompok orang agak bergantung

pada tingkat perkembangan kemanusiaan mereka, suku-suku bangsa

57

Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 56. 58 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26. 59 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 59.

Page 46: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

36

primitif cenderung percaya pada ketakhayulan dan praktik sihir

merupakan hal yang biasa.60

2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Dunia

Nilai-nilai

Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan, nilai dan

sikap. Nilai-nilai budaya biasanya berasal dari isu-isu filosofis lebih

besar yang merupakan bagian dari suatu milieu (lingkungan pergaulan)

budaya. Nilai-nilai itu umumnya normatif dalam arti bahwa nilai-nilai

tersebut menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang

baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan

palsu, positif dan negatif, dan sebagainya.61

Yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap kebudayaan harus

memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan

sistem kepercayaan di mana semua pengikutnya berkiblat. Nilai dasar

itu membuat para pengikutnya melihat diri mereka ke dalam, dan

mengatur bagaimana caranya mereka melihat keluar. Nilai dasar itu

merupakan filosofi hidup yang mengantar anggotanya ke mana dia

harus pergi.62

Di antara nilai-nilai ada yang sudah membaku dan meresap lama

melalui proses internalisasi kepada individu-individu yaitu yang

dinamakan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini erat kaitannya

60 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 62. 61 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 27. 62 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 137.

Page 47: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

37

dengan nilai agama sehingga sering istilahnya digabung menjadi

sistem nilai-nilai budaya dan nilai agama. Umumnya nilai budaya dan

nilai agama ini membaku dalam norma-norma apa yang baik dan apa

yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang asli dan yang

palsu, yang positif dan yang negatif, yang bermanfaat dan yang

mubazir, dan sebagainya.

Keseluruhan nilai dan norma tersebut adalah aspek evaluatif dari

sistem kepercayaan yang selanjutnya menentukan perilaku-perilaku

mana yang baik dan buruk, mana yang dituruti dan dihindari. Nilai-

nilai inilah yang disebut nilai normatif karena dianggap sudah diterima

menjadi peraturan yang berlaku, seperti di bidang agama, lalu lintas

ataupun di kantor. Yang penting dalam komunikasi antarbudaya bahwa

nilai normatif itu dapat dikenal dalam perilaku-perilaku normatif

sehari-hari sebagai pedoman bagi individu dan kelompok untuk

mengurangi dan mengatasi suatu konflik.63

Sikap

Perilaku dan sikap mempunyai hubungan erat dalam komunikasi

antarpribadi. Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan

yang mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung

objek tersebut. Jika dihubungkan dengan komunikasi antarbudaya,

sikap adalah kesiapan jawaban (respons) perilaku kita sehari-hari

terhadap dunia, manusia, dan peristiwa di lingkungan kita. Kesiapan

63 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 59.

Page 48: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

38

sikap perilaku tersebut adalah hasil dan cara belajar merespons

lingkungan dalam kawasan budaya tertentu.64

Proses terbentuknya kecenderungan-kecenderungan sikap secara

integratif itu meliputi tiga unsur:

• Unsur kognisi dan keyakinan

• Unsur evaluasi

• Unsur intensitas dan harapan

Intensitas sikap (unsur ketiga) berdasarkan tingkat perkembangan

sikap keyakinan (unsur pertama) dan unsur evaluasi (unsur kedua).

Ketiga unsur tersebut berintegrasi dalam proses kejiwaan yang

menciptakan kecenderungan-kecenderungan bereaksi terhadap

lingkungan.65

Pandangan Dunia

Pandangan hidup adalah unsur terpenting dan sangat berpengaruh

dalam aspek-aspek perseptual komunikasi antarbudaya. Berbeda

dengan unsur budaya lainnya, seperti cara makan, berpakaian, gaya

hidup sehari-hari yang mudah disimak oleh panca indera kita. Cara

pemahaman pandangan hidup mengenai dunia itu adalah melalui

substansi dan kerumitan dari pengaruh kuatnya terhadap kebudayaan

masyarakat, bangsa-bangsa, yang seringkali tidak kentara dan tidak

disadari.66

64 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 60. 65 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 60. 66 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 63.

Page 49: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

39

3. Organisasi Sosial

Organisasi sosial sebagai unsur budaya, merupakan cara

bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan bagaimana

lembaga-lembaganya memengaruhi cara anggota-anggota budaya itu

mempersepsi dunia serta bagaimana pula mereka berorganisasi.67

Pengertian lain mengenai organisasi sosial dalam buku “Sejarah

Kebudayaan Indonesia” adalah bagian dari masyarakat yang

mendukung kelangsungan masyarakat tersebut sesuai kebutuhan

kelompok atau keseluruhan dan memperlihatkan hubungan dinamis

yang berbeda satu dari yang lain.68

Organisasi sosial dalam suatu negeri paling utama akan berkaitan

dengan organisasi sosial yang memiliki hubungan dengan

kelembagaan birokrasi, keagamaan, ekonomi (termasuk di dalamnya

pemasaran, dan kegiatan eksploitasi atau produksi), pendidikan,

pertahanan dan keamanan, dan lain sebagainya.69 Ada dua faktor yang

berpengaruh dalam peranan keorganisasiannya: pertama, bahwa

persepsinya akan berbeda-beda, dan kedua, apa yang dikomunikasikan

adalah pencerminan dari apa yang dipersepsikan oleh

kebudayaannya.70

67 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 63. 68

Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 9.

69 Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial, h. 9-10.

70 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 64.

Page 50: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

40

Terdapat dua jenis bentuk pengorganisasian masyarakat yang

memengaruhi komunikasi antarbudaya, di antaranya:71

a. Kebudayaan geografis di lingkungan batas-batas wilayah:

negara, suku bangsa, kasta, sekte keagamaan dan sebagainya.

b. Kebudayaan dalam kedudukan dan peranan sosialnya yang

berkaitan dengan cara-cara berperilaku, profesi dan ideologi

tertentu. Kesemuanya berpengaruh terhadap komunikasi

antarbudaya.

E. Tradisi

Kita adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, di mana

kebudayaan kita terima sebagai warisan yang diturunkan tanpa surat

wasiat. Kita merunduk jika berpapasan dengan orang tua, menahan kentut

dalam suatu pertemuan, kita beranggapan tidak sopan berdiri di dekat

orang lebih tua yang sedang duduk, dan sebagainya. Itu adalah kebiasaan-

kebiasaan yang kita warisi dari generasi pendahulu kita. Itu semua

merupakan bagian-bagian terkecil dari kebudayaan manusia. Kebiasaaan

yang turun-temurun dalam suatu masyarakat itu disebut tradisi.72

Tradisi adalah tatanan keyakinan dan tata cara yang diwarisi dari

masa lalu, sehingga ketika diupayakan reinterpretasi terhadap masa lalu,

tradisi tersebut menjadi berubah. Adapun tradisionalisme merupakan

paham yang mengagung-agungkan masa lalu, segala sesuatu yang datang

71 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 64.

72 Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern, h. 12.

Page 51: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

41

dari masa lalu dianggap tidak bisa berubah. Kaum yang menganut

tradisionalisme menganggap tradisi mereka bersifat tetap, tak berubah dan

mereka memaksakan kepada orang lain agar melakukan seperti yang ia

lakukan sebelumnya.73

73 Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 61.

Page 52: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

42

BAB III

GAMBARAN UMUM KERATON YOGYAKARTA

A. Arti Lambang Keraton Yogyakarta1

Gambar 1: Lambang Keraton Yogyakarta

Keterangan:

1. Songkok: Topi/mahkota kelengkapan busana prajurit, melambangkan

sifat dan sikap kesatria serta kedudukan raja sebagai panglima atau

senapati perang.

2. Sumping: hiasan yang dipakai di telinga terdiri dari motif ceplik bentuk

bunga matahari artinya hidup harus bermanfaat bagi sesamanya. Daun

kluwih artinya raja harus mempunyai kelebihan atau linuwih dibanding

yang lainnya. Makara artinya mempunyai daya untuk menangkal

bahaya sehingga berakibat menambah ketenaran keraton.

1 KRT. Rintaiswara, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa

(Yogyakarta: KHP Widya Budaya, t.t.), h. 22.

Page 53: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

43

3. Praba: sinar artinya selalu memancarkan cahaya penerang bagi

masyarakat luas terutama sekali pada masa sulit, gelap dan

ketidakpastian.

4. Lar: sayap artinya melambangkan cita-cita tinggi mengangkasa.

5. Tameng: melambangkan sikap melindungi dan mengayomi

kewula/rakyat dengan sesanti hamemayu hayuning bawana.2

6. Ha Ba: inisial atau singkatan dari gelar sultan yaitu Hamengku

Buwana yang berarti Hamangku, Hamengku, dan Hamengkoni.3

7. Teratai: melambangkan keterkaitan kehidupan dunia akhirat.

8. Sulur: melambangkan bahwa kehidupan manusia itu berlangsung

turun-temurun sepanjang masa.

B. Kondisi Geografis Keraton Yogyakarta

Secara morfologis kata “keraton” terbentuk dari kata ‘ratu’ dengan

mendapat awalan ka dan akhiran –an (ke-ratu-an) yang kemudian melebur

2 Dalam filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana” terkandung di dalamnya kewajiban Tri

Satya Brata. Pertama, rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman hati), menunjuk pada harmoni hubungan antara manusia dengan alam, baik dalam lingkup dunia sebagai kewajiban ”Hamangku Bumi”, maupun lingkup yang lebih luas dalam seluruh alam semesta (universe) sebagai kewajiban ”Hamengku Buwana”. Kedua, darmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara), sebagai kewajiban manusia selama hidup di dunia, di mana kehidupan merupakan dinamika manusia, yaitu ”Hamengku Nagara”. Ketiga, rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusia oleh kemanusiaannya sendiri). Sehingga dapat dimengerti filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana” itu menyandang misi akbar bagi manusia di dunia dalam tiga substansi tersebut, yaitu: ”Hamengku Nagara, Hamangku Bumi, Hamengku Buwana.”

3 Hamengku Buwana merupakan kewajiban manusia yang lebih luas dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap memberikan sumber daya bagi kehidupan manusia, seperti keberadaan bulan, matahari, air, api, angin dan planet-planet yang lain. Pada hakikatnya, makna yang tersandang dalam ”Hamangku, Hamengku, Hamengkoni” itu adalah tugas dan kewajiban mulia manusia untuk mengagungkan asma Allah.

Page 54: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

44

menjadi ‘keraton/kraton’. Kata ‘ratu’ kata ratu berarti raja. Adapun kata

“keraton” berarti ‘tempat tinggal raja’.4

Di Yogyakarta ada dua buah tempat tinggal raja yang dikenal

dengan sebutan ‘Keraton Kasultanan’ dan ‘Pura Pakualaman’. ‘Keraton

Kasultanan’ merupakan tempat tinggal sultan (Sri Sultan Hamengku

Buwana) sedangkan ‘Pura Pakualaman’ adalah tempat tinggal Paku Alam

(Sri Paduka Paku Alam). Letak Keraton Kesultanan Yogyakarta adalah di

tengah kota Yogyakarta. Dahulu wilayah yang masih termasuk daerah

keraton terbentang antara sungai Code dan sungai Winongo. Berbataskan

Tugu di sebelah utara dan Krapyak di sebelah selatan. Pada masa kini,

daerah keraton hanya terbatas dalam wilayah kecamatan Keraton. Dahulu

luas daerah keraton adalah 14.000 km². Pada masa kini hanya 1 km².5

Kompleks keraton dikelilingi oleh tembok segi empat yang disebut

benteng. Tinggi benteng 3,5 m, dengan kelebaran antara tiga sampai empat

meter. Dahulu kala, bagian luar benteng dikelilingi oleh sebuah parit yang

lebar dan dalam. Pintu gerbang benteng yang disebut plengkung ada lima

buah. Setiap pintu gerbang dihubungkan dengan jembatan yang dapat

ditarik ke atas. Pada masa kini sebagian dari benteng itu sudah rusak dan

sebagian besar bagian dalam dari benteng-benteng tersebut sudah

dijadikan perumahan oleh penduduk. Demikian pula parit yang

mengelilingi benteng sudah lama ditimbun dengan tanah dan dijadikan

4 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa (Yogyakarta: Kepel Press, 2008), h. 11. 5 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 12.

Page 55: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

45

pemukiman. Jembatan-jembatan yang menghubungkan pintu gerbang

sudah lama dibongkar. Dari kelima buah pintu gerbang benteng yang

sampai sekarang masih memiliki bentuknya yang asli tinggal dua buah.6

Pada bagian luar benteng dikelilingi parit yang cukup dalam,

disebut jagang. Sekarang jagang tersebut sudah tidak tampak karena di

atasnya sudah dipakai untuk tempat tinggal atau pertokoan. Untuk keluar

masuk wilayah keraton melalui pintu gerbang yang disebut plengkung,

yaitu pintu gerbang berbentuk setengah lingkaran yang dilengkapi dengan

pintu. Pintu tersebut dijaga oleh para abdi dalem prajurit secara bergiliran,

dibuka pada pukul 06.00-18.00.7

Wilayah kecamatan Keraton atau Jero Beteng, selain dihuni oleh

raja beserta seluruh keluarganya, juga dihuni oleh kaum bangsawan dan

kerabat-kerabat raja beserta hamba-hamba istana keraton yang disebut

abdi dalem yang dikelompokkan menurut tugas mereka di dalam keraton

sehingga nama kampung tempat tinggal mereka sesuai dengan tugasnya.8

Bangunan Keraton terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut.

1) Tratag Pagelaran, Sitihinggil Utara dan sekelilingnya.

2) Kemandhungan Utara atau Keben dan sekelilingnya (termasuk

masjid Suranatan dan Ratawijayan, tempat menyimpan kereta-

kereta pusaka).

3) Sri Manganti

6 Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 25-26. 7 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 12-13. 8 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 13.

Page 56: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

46

4) Kedhaton (inti keraton dengan pusat bangunan yang disakralkan

yang disebut Prabayeksa).

5) Magangan.

6) Kemandhungan Selatan dan sekelilingnya.

7) Sitihinggil Kidul (selatan).9

Setiap bagian bangunan keraton dibatasi atau dihubungkan oleh

sebuah pintu gerbang yang disebut kori. Antara Pagelaran dan Sitihinggil

Utara dengan Kamandhungan atau Keben dibatasi atau dihubungkan

dengan Kori Brajanala. Antara Kamandhungan utara atau Keben dan Sri

Manganti dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Sri Manganti. Antara Sri

Manganti dengan Kedhaton dibatasi atau dihubungkan dengan Kori

Danapratapa. Antara Kedhaton dengan Magangan dibatasi atau

dihubungkan dengan Kori Magangan. Antara Magangan dengan

Kemandhungan Selatan dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Gadhung

Mlathi. Dan antara Kemandhungan Selatan dengan Sitihinggil Selatan

dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Kemandhungan Selatan.

Keraton Yogyakarta memiliki dua halaman, yaitu halaman muka

disebut Alun-alun Utara dan halaman belakang disebut Alun-alun Selatan.

Alun-alun Utara lebih luas dibanding Alun-alun Selatan. Di sekeliling

Alun-alun Utara ditanami pohon beringin sejumlah 64 batang, dua di

antaranya ditanam di tengah alun-alun di depan pagelaran, dengan

dipagari tembok sehingga disebut Ringin Kurung. Kedua pohon beringin

9 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 14-15.

Page 57: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

47

tersebut dikeramatkan dan diberi sebutan Kiai Dewadaru (di sisi barat)

dan Kiai Janadaru/Wijayadaru (di sebelah timur).10

Kompleks bangunan keraton terdiri dari beberapa kelompok

dengan komponen kelengkapannya, ada yang berupa bangunan, ada yang

bukan (misalnya alun-alun), masing-masing mempunyai arti dan fungsi

yang berbeda-beda. Kelompok-kelompok tersebut adalah: Alun-alun

Utara, Sitihinggil Utara, Kemandhungan atau Mandhungan Utara, Sri

Manganti, Kedhaton, Magangan, Kemandhungan atau Mandhungan

Selatan, Sitihinggil Selatan, Alun-alun Selatan.11

(Lihat Skema)

Gambar 2: Denah Keraton Yogyakarta

10 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 17. 11 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 18.

Page 58: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

48

C. Sejarah Singkat Berdirinya Keraton Yogyakarta

Keraton Yogyakarta didirikan pada tahun 1755 Masehi di kota

Yogyakarta. Sejarah berdirinya keraton Yogyakarta dengan perlawanan

Pangeran Mangkubumi sebagai protes karena pengaruh VOC yang ingin

menguasai kerajaan Mataram. Tentu ini adalah situasi yang akan

merugikan pihak kerajaan Mataram apabila intervensi VOC masih tetap

berlangsung di lingkungan kerajaan. Adanya campur tangan kekuasaan

keraton pada saat itu tentunya tidak lepas dari peristiwa pemberontakan

yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Dalam sejarah disebutkan

pada tahun 1742, pada masa Mataram diperintah Susuhunan Pakubuwana

II yang beristana di Kartasura, terjadilah pemberontakan yang dilakukan

oleh orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini dalam sejarah dikenal dengan

sebutan Geger Pacinan.12

Orang-orang Tionghoa berhasil menguasai wilayah sepanjang

pesisir utara, bahkan juga Kartasura yang pada saat itu sebagai ibu kota

Mataram. Akibatnya Sultan Paku Buwana II terpaksa mengungsi ke

Ponorogo. Untuk merebut wilayahnya kembali, Sultan Paku Buwana II

terpaksa minta bantuan VOC. Setelah VOC berhasil mematahkan

pemberontakan, Sultan Paku Buwana II diminta menandatangani sebuah

perjanjian yang terkenal dengan Perjanjian Panaraga pada tahun 1743.

12 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 20.

Page 59: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

49

Perjanjian tersebut sangat merugikan Mataram sehingga banyak

menimbulkan kekecewaan di kalangan bangsawan keraton.13

Salah seorang keponakan Sultan Paku Buwana (PB) II yang

bernama Raden Mas Said (Pangeran Samber Nyawa) merasa tidak suka

atas pengaruh VOC yang semakin kuat di Mataram. Dengan dibantu

Pangeran Martapura dan Bupati Grobogan, Raden Mas Said lalu

mengadakan perlawanan terhadap VOC di keraton. Susuhunan Paku

Buwana II merasa cemas jika perlawanan Raden Mas Said itu semakin

meluas. Oleh karena itu, PB II mengumumkan sayembara yang isinya

barangsiapa berhasil menghadapi perlawanan Raden Mas Said, ia akan

dianugerahi Tanah Sukawati. Akhirnya, Pangeran Mangkubumi berhasil

memadamkan perlawanan tersebut, tetapi Raden Mas Said dan Pangeran

Martapura dapat meloloskan diri.

Kemudian, VOC merasa cemas jika Tanah Sukawati menjadi milik

Pangeran Mangkubumi akan membahayakan kedudukannya. Oleh karena

itu, VOC berusaha menggagalkan pemberian hadiah tersebut, dengan cara

memengaruhi orang yang dekat dengan Paku Buwana. VOC berhasil

mendapatkan orang yang dimaksud, yaitu Patih Pringgoloyo. Ia berhasil

meyakinkan Paku Buwana II bahwa jika Tanah Sukawati menjadi milik

Pangeran Mangkubumi maka kekuasaannya akan terus berkembang

sehingga dapat membahayakan kedudukan Mataram. Akhirnya Paku

13 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 21.

Page 60: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

50

Buwana II membatalkan janjinya untuk menghadiahkan bumi Sukawati

kepada Pangeran Mangkubumi.14

Kemudian, Pangeran Mangkubumi menyadari bahwa kekalutan di

Mataram terjadi karena ulah VOC. Satu hal yang kurang menyenangkan

bagi Pangeran Mangkubumi adalah dilakukannya perjanjian antara Paku

Buwana II dengan VOC pada tanggal 18 Mei 1746 yang isinya sangat

merugikan Mataram. Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan bahwa

Pulau Madura seluruhnya dan pesisir utara sejak itu menjadi milik VOC.

Di samping itu, Paku Buwana II bersedia akan memberikan bantuan sekuat

tenaga bila diminta oleh VOC untuk menindak segala anasir yang bisa

merugikan VOC.

Karena merasa kesal, maka satu hari setelah perjanjian

ditandatangani, yaitu pada tanggal 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi

meninggalkan Surakarta untuk melakukan perlawanan. Kepergiannya

disertai oleh Pangeran Hadiwidjojo, Pangeran Wijil II, dan Pangeran

Krapyak. Perlawanan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi ini membuat

keadaan Mataram menjadi sulit, lebih-lebih setelah Pangeran Mangkubumi

bergabung dengan Raden Mas Said dan Pangeran Martapura.15

Pada saat Mataram sedang menghadapi pergolakan yang dilakukan

oleh Pangeran Mangkubumi tersebut, tiba-tiba ada berita bahwa Sultan

Paku Buwana II sakit keras. Dalam keadaan sakit keras inilah Sultan Paku

14 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 21. 15 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 23.

Page 61: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

51

Buwana II menandatangani suatu perjanjian yang disebut kontrak 11

Desember 1749 yang dibuat oleh VOC. Isi pokok kontrak tersebut

menyatakan bahwa kedaulatan Mataram kini berada di tangan VOC.

Dengan adanya kontrak 11 Desember 1749 ini berarti Mataram di bawah

kekuasaan VOC.16

Atas dasar rasa cemas jika VOC menobatkan orang pilihannya

yang menjadi raja sebagai pengganti Paku Buwana II, maka para pengikut

Pangeran Mangkubumi lalu bertindak cepat. Pada tanggal 11 Desember

1749 itu juga mereka menobatkan Pangeran Mangkubumi sebagai Raja

Mataram, di desa Kabanaran. Sejak itu Mangkubumi dikenal dengan gelar

Susuhunan Kabanaran atau lengkapnya Susuhunan Paku Buwana Senapati

ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama. Kemudian, pada tanggal 15

Desember 1749 VOC menobatkan salah seorang putra Sultan Paku

Buwana II menjadi pengganti ayahandanya dengan gelar Susuhunan Paku

Buwana III. Beberapa hari kemudian, yaitu tanggal 21 Desember 1749,

Sunan Paku Buwana II wafat.17

Makin lama pengaruh Susuhunan Kabanaran semakin besar. Pihak

VOC mengetahui pula jika Susuhunan Kabanaran dilawan dengan senjata

tidak akan membawa hasil, sebab makin lama mereka makin mendapat

kepercayaan dari rakyat. Oleh karena itu, VOC lalu mengajukan usul

kepada Sri Susuhunan Paku Buwana III untuk menghentikan perang

16 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 23. 17 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 23-24.

Page 62: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

52

saudara dengan alasan peperangan tersebut telah mengakibatkan kerusakan

dan penderitaan rakyat. Usul tersebut diterima oleh Susuhunan Paku

Buwana III. Pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan

perjanjian penghentian peperangan yang dilakukan di desa Giyanti. Oleh

karena itu, lalu dikenal sebagai Perjanjian Giyanti atau Palihan Negari

karena isinya memang membagi dua wilayah kerajaan Mataram.

Isi perjanjian ini menyebutkan bahwa wilayah Mataram dibagi dua,

separo tetap dikuasai Sri Susuhunan Paku Buwana III dengan ibu kota di

Surakarta, sedang sisanya diserahkan Sri Susuhunan Kabanaran. Sejak saat

itu Sri Susuhunan Kabanaran berganti gelar menjadi Ngarsa Dalem

Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana

Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah.18

Setelah satu bulan Palihan Negari, yaitu tanggal 13 Maret 1755,

Sri Sultan Hamengku Buwana mengumumkan bahwa separo dari Negari

Mataram yang sudah menjadi bagiannya diberi nama Ngayogyakarta

Hadiningrat. Sejak saat itu Sri Sultan Hamengku Buwana lalu bersiap-siap

untuk membangun ibu kota dan keraton. Selama bangunan keraton sedang

dikerjakan, Sri Sultan Hamengku Buwana I dengan para pengikutnya

tinggal di Pesanggrahan yang terletak di Gamping, jaraknya lebih kurang 5

km di sebelah barat bangunan yang sedang dikerjakan untuk ibu kota.

Pesanggrahan di Gamping disebut istana Ngambar Ketawang.

Pesanggrahan ini sudah ada sebelum dilakukan Perjanjian Giyanti. Waktu

18 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 25.

Page 63: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

53

itu pesanggrahan tersebut bernama Pura Para yang artinya adalah gedung

untuk tempat tinggal sementara bagi orang yang sedang bepergian

(pepara). Kemungkinan pesanggrahan ini dahulu pernah dipakai untuk

istirahat baginda dan pengiringnya jika sedang berburu di hutan beringin,

pada masa keraton Mataram belum pindah ke Kartasura. Sri Sultan

Hamengku Buwana secara resmi tinggal di Pesanggrahan Ngambar

Ketawang selama satu tahun, yaitu dari tanggal 9 oktober 1755 hingga 7

Oktober 1756. Selama itu beliau dari sana terus mengawasi pembangunan

keraton.

Tempat yang dipilih untuk ibu kota Ngayogyakarta Hadiningrat

adalah di hutan beringin. Pemilihan tempat tersebut berdasarkan berbagai

pertimbangan antara lain adalah untuk menghormati tempat bersejarah.

Pada masa Mataram diperintah oleh Sri Susuhunan Amangkurat Jawi, di

beringin telah ada semacam kota kecil dan ada pesanggrahannya yang

disebut Garjitawati. Kemudian pada masa Sultan Paku Buwana II bertahta

di Kartasura, nama pesanggrahan ini diganti Ngayogya. Pada masa itu

Ngayogya dijadikan tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang

akan dimakamkan di Imogiri.19

D. Struktur Pemerintahan Keraton Yogyakarta

Untuk menyelenggarakan pemerintahan keraton, Sri Sultan dibantu

oleh para pangeran dan abdi dalem, setiap pangeran diserahi tugas

19 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 26

Page 64: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

54

mengepalai sebuah kantor yang ada di dalam keraton dan yang tugasnya

mengurus segala kebutuhan keraton. Dalam menjalankan tugasnya ini para

pangeran dibantu oleh seorang wakil yang berpangkat Bupati.20

Menurut Pranatan yang mengatur tentang struktur pemerintahan

keraton Yogyakarta, yaitu “PRANATAN TATA RAKITE

PEPRINTAHAN KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT”,

yang ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 8 November

1999. Kantor yang ada di keraton terdiri dari beberapa badan yang masing-

masing mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. Kantor-kantor itu

antara lain:

a. KAWEDANAN HAGENG PUNOKAWAN PARWA BUDAYA,

yang dibentuk dari gabungan:21

1. Kawedanan Hageng Punokawan Krida Mardawa

2. Kawedanan Pengulon

3. Kawedanan Puralaya

4. Kawedanan Kaputren

Pengagengnya/pimpinannya adalah GBPH. Drs. Yudaningrat.

b. KAWEDANAN HAGENG PUNOKAWAN NITYA BUDAYA, yang

dibentuk dari gabungan:22

1. Kawedanan Hageng Punokawan Widya Budaya

2. Kawedanan Punokawan Purayakara

20 Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta:

Warna Mediasindo, 2010), h. 43 21 Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, h. 43. 22 Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, h. 43.

Page 65: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

55

3. Tepas Banjar Wilapa

4. Tepas Museum

5. Tepas Pariwisata

Pengagengnya/pimpinannya adalah GBPH. H. Prabukusumo, S.Psi

c. KAWEDANAN HAGENG PUNOKAWAN PARASRAYA

BUDAYA, yang dibentuk dari gabungan:23

1. Kawedanan Hageng Punokawan Wahana Sarta Kriya

2. Kawedanan Hageng Punokawan Puraraksa

3. Tepas Panitikisma

4. Tepas Keprajuritan

5. Tepas Halpitapura

6. Tepas Security

Pengagengnya/pimpinannya adalah KGPH. Hadiwinoto

d. KAWEDANAN HAGENG PANITRA PURA, yang dibentuk dari

gabungan:24

1. Parentah Hageng

2. Kawedanan Hageng Sri Wandana

3. Tepas Dwarapura

4. Tepas Darah Dalem

5. Tepas Rantam Harta

6. Tepas Danarta Pura

7. Tepas witardana

23 Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, h. 44. 24

Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, h. 44.

Page 66: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

56

Pengagengnya/pimpinannya adalah GBPH. H. Joyokusumo,

wakilnya adalah GBPH. Condrodiningrat.

Bagan Struktur Organisasi Keraton Yogyakarta

Gambar 3: Struktur Organisasi Keraton Yogyakarta

Ket:

a. Inkang Sinuhun, Ngarsa Dalem Sri Sultan sebagai penguasa dan

pucuk pimpinan keraton.

Page 67: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

57

b. Pandhite, yaitu orang yang ditunjuk Sultan untuk memberikan

usulan, pandangan, dan penemuan yang berdasarkan pada

penelitian maupun kajian di bidang agama, adat, seni, budaya,

ekonomi, politik, hukum, dan sosial.

c. Pengageng, seseorang yang ditunjuk oleh sultan untuk menjadi

pemimpin/pejabat di lingkungan pemerintahan keraton, yang

ditetapkan dengan Surat Keputusan dari keraton.

d. Kawedanan Hageng Punokawan, yaitu salah satu badan yang

melaksanakan sebagian pemerintahan keraton yang bersifat teknis

operasional.

e. Kawedanan Hageng, yaitu salah satu badan yang melaksanakan

sebagian pemerintahan keraton yang bersifat administrasi

fungsional.

f. Sri Palimbangan, semacam dewan penasehat raja.

g. Kawedanan, yaitu sebagai pelaksana Teknis Operasional.

h. Tepas, yaitu sebagai pelaksana Teknis Administrasi

i. Parentah Hageng, yaitu suatu badan yang bertugas menyampaikan

semua perintah Sultan kepada semua abdi dalem yang ada di

keraton. Sebaliknya juga menyampaikan kepada Sultan berkenaan

dengan permintaan para abdi dalem.

Page 68: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

58

E. Asal Usul Singkat Sekaten

Sekaten adalah suatu tradisi yang telah ada sejak zaman kerajaan

Demak. Sultan Agung sebagai raja Demak memprakarsai perayaan sekaten

dan sampai saat ini masih dilestarikan di Keraton Yogyakarta dan

Surakarta. Dalam tradisi kerajaan Demak, upacara sekaten

diselenggarakan sebagai usaha untuk memperluas serta memperdalam

rasa jiwa ke-Islaman bagi segenap masyarakat Jawa. Usaha ini

dilaksanakan oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga.25

Para wali memahami dan yakin bahwa rakyat menggemari bunyi

gamelan. Sunan Giri, salah seorang dari Wali Sanga, memahami teknik

pembuatan gamelan. Beliau lalu membuat seperangkat gamelan yang

dinamakan Kiai Sekati. Selain membuat gamelan, Sunan Giri juga

menciptakan gending untuk alat penyebaran agama Islam. Gamelan Kiai

Sekati itu setiap setahun dibunyikan untuk memeriahkan peringatan hari

lahir Nabi Muhammad s.a.w.

Mengenai nama sekaten ada beberapa pendapat, antara lain:

1. Sekaten berasal dari kata sekati, yaitu nama gamelan keramat dari Keraton Yogyakarta yang terdiri atas dua jenis gamelan, Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Adapun di Keraton Surakarta, dua gamelan itu bernama, Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari. Mengenai kisah gamelan yang tersimpan di Keraton Kasultanan Yogyakarta, ia diyakini sebagai hasil karya cipta Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga Mataram Islam. Gamelan ini hanya ditabuh khusus pada peringatan Maulid, hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. setiap tahunnya. Gamelan ini ditabuh sejak tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai dengan tanggal 11 Mulud

25 Wali Sanga atau Wali Songo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada

abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Page 69: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

59

(Rabiul Awal). Gamelan tersebut dibunyikan secara terus-menerus selama seminggu untuk mengiringi gending hasil dari ciptaan para wali. Jadi, dinamakan sekaten sebab dirangkaian acaranya ditabuh gamelan pusaka keraton yang bernama Kiai Sekati.26

2. Ada yang mengatakan sekaten berasal dari kata suka dan ati yang jika digabungkan menjadi sekaten, yang berarti senang hati. Hal ini mengandung pengertian bahwa masyarakat Jawa sangat senang hatinya menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. pada tanggal 12 Rabiul Awal. Sebagai ungkapan kecintaan mereka kepadanya, mereka kemudian mengadakan acara sedekah berupa hasil bumi, makanan dan pakaian.27

3. Sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Pengertian ini didasarkan pada sejarah sekaten yang diadakan oleh Wali Sanga yang bertujuan untuk menarik orang Jawa agar masuk Islam. Mereka yang datang ke acara sekaten kemudian dengan sukarela mengucapkan kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam.28

4. Sekaten berasal dari kata Sakhataini yang berarti menanamkan dua hal, yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya dan berbudi baik dalam kehidupan keseharian kepada sesama manusia. Juga menghilangkan dua perkara buruk, yaitu menghilangkan semua watak kehewanan dan nafsu setan. Bagi manusia, dengan menyadari secara mendalam makna beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia, ia akan menjadi manusia yang dalam kehidupannya pasrah pada takdir Allah, ikhlas menjalani kehidupan, dan menghormati sesama manusia. Tidak berbuat kerusakan dan keresahan dalam masyarakat.29 Menurut Ahmad Kamaludiningrat, tradisi sekaten ini terbentuk

berdasarkan pendekatan budaya yang dilakukan oleh para wali.30 Sunan

Kalijaga melihat bahwa dengan melalui pendekatan budaya, maka,

kegiatan dakwah akan dengan mudah dilakukan di tengah-tengah

26 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 44-45. 27 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h. 45. 28 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h. 45-46. 29 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h 46. 30

Wawancara Pribadi dengan Ahmad M. Kamaludiningrat, Yogyakarta, 8 Januari 2014.

Page 70: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

60

masyarakat Jawa saat itu. Sebelumnya, Sultan Agung sebagai raja Demak

menitahkan kepada masyarakatnya agar meninggalkan kebiasaan hidupnya

berkaitan dengan sistem kepercayaan animisme serta dinamisme yang

bertentangan dengan akidah Islam. Tentu titah tersebut akhirnya membuat

masyarakatnya resah dan gelisah, karena sudah terbiasa menjalani

kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

Akhirnya, timbullah inisiatif dari wali sanga untuk merancang

strategi agar masyarakat tetap bisa menjalani kebiasaan hidupnya, namun,

dalam setiap aktivitasnya disisipi oleh ajaran-ajaran ke-Islaman. Misalnya

trradisi selamatan yang dihubungkan dengan sadaqah, ujub atau

penyerahan tersebut yang ditujukan kepada roh nenek moyang, diganti

untuk memperingati hari kelahiran Nabi dan para wali. Kemudian, puji-

pujian kepada selain Allah SWT, diganti tahlil. Para wali menetapkan

perubahan ini pada tahun 1463, pada muktamar yang kedua di Demak,

menurut Kitab Kanzul Ulum karya Ibnu Bathuthah.31

Cara yang bijaksana yang dilakukan para wali dalam menyebarkan

Islam bisa diterima oleh masyarakat. Karena unsur budaya lokal tidak

dihilangkan, justru tetap dipertahankan dengan ditambah ajaran-ajaran ke-

Islaman. Kembali pada asal usul sekaten, Ahmad Kamaludiningrat32

menceritakan secara singkat bahwa Islam bisa diterima karena melalui

pendekatan budaya. Sunan Kalijaga saat itu melihat, hal yang disukai oleh

masyarakat Jawa saat itu adalah bunyi-bunyian gamelan. Kemudian,

31 Syariful Alim, HAKEKAT TUHAN DAN MANUSIA: Perspektif Pujangga Muslim Jawa (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2013), h. 3.

32 Wawancara Pribadi dengan Ahmad M. Kamaludiningrat.

Page 71: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

61

dibuatlah gamelan oleh Sunan Giri yang pandai dalam hal membuat

gamelan.

Setelah gamelan selesai dibuat, dibawalah gamelan tersebut

menuju halaman Masjid Demak untuk dibunyikan. Tentunya ini telah

berdasarkan musyawarah antara para wali sebelumnya berkaitan dengan

tempat pemukulan di halaman masjid.33 Pemukulan gamelan tersebut

diringi oleh gending-gending atau lagu yang diciptakan oleh para wali.

Setelah dibunyikan semakin keras dan nyaring, masyarakat yang datang

semakin banyak dan merasa senang. Dan pada saat itulah kesempatan bagi

Sunan Kalijaga untuk berdakwah.

Kemudian, Sunan Kalijaga berdiri di ambang gerbang masjid

sambil menguraikan tentang keutamaan agama Islam disertai tentang

kesamaannya dengan agama Budha, tanpa mencela sama sekali terhadap

agama Budha. Banyak masyarakat yang tertarik, lalu mendekati halaman

masjid.34 Akhirnya, masyarakat tertarik dengan Islam, kemudian

masyarakat berbondong-bondong masuk Islam secara suka rela dengan

mengucapkan dua kalimat syahadat. Itulah sebabnya, ada pengertian yang

menyebutkan bahwa sekaten berasal dari kata syahadat karena banyak

orang yang masuk Islam secara sukarela dengan mengucapkan syahadat.

33 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 35. 34 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya

Jawa, h. 36.

Page 72: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

62

BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

A. Gamelan Sekaten dalam Proses Akulturasi Budaya

Perangkat gamelan sekaten yang sering digunakan dalam setiap

event sekaten memiliki sejarah tersendiri. Konon, salah satu dari gamelan

yang dipukul tersebut merupakan peninggalan kerajaan Demak dan juga

peninggalan raja Mataram Islam pertama. Gamelan tersebut digunakan

oleh wali sanga tidak lain adalah sebagai media dakwah. Awalnya

mengapa bisa muncul gamelan tersebut adalah Sunan Kalijaga melihat

bahwa masyarakat sangat menyukai seni atau budaya. Melihat peluang

tersebut Sunan Kalijaga menunjuk salah satu wali yang mengerti

pembuatan gamelan untuk membuatkan seperangkat gamelan.1

Seperangkat gamelan yang ia pesan kepada Sunan Giri dinamakan

gamelan Kiai Sekati.

Dari nama gamelan yang disematkan oleh Sunan Kalijaga tersebut,

ada yang berpendapat bahwa nama Sekaten yang sekarang ini sudah

menjadi perayaan tahunan di Demak dan Yogyakarta berasal dari nama

Kiai Sekati (nama gamelan Sunan Kalijaga). Teori lain mengatakan, nama

Sekaten berasal dari kalimat Syahadatain (asyhadu anla ilaha illa Allah

was asyhadu anna Muhammadan Rasulullah/ aku bersaksi bahwa tidak

ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah).

1 Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito, Yogyakarta, 27 Januari 2014.

Page 73: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

63

Kedua teori ini mirip, tak ada perbedaan yang signifikan.

Kemudian, setelah pertemuan para wali, di Masjid Demak diselenggarakan

perayaan Maulid Nabi Muhammad. Perayaan ini antara lain diramaikan

dengan rebana dan diiringi lagu-lagu indah yang beriramakan padang pasir

(Arab). Dalam acara perayaan itulah, Sunan Kalijaga menempatkan

Gamelan Kiai Sekati itu di halaman Masjid Demak. Ia dan para penabuh

lainnya memainkan Gamelan Kiai Sekati itu dengan ritme dan irama yang

indah dan bertalu-talu untuk menarik masyarakat mengunjungi perayaan

Maulid Nabi.2

Dari upaya yang dilakukan Sunan Kalijaga tersebut mendapatkan

respon yang sangat besar dari masyarakat Jawa saat itu. Banyak

masyarakat yang datang ke acara tersebut untuk melihat pemukulan

gamelan dan mendengarkan petuah dari Sunan Kalijaga. Akhirnya

masyarakat dengan kesadaran dan kesukarelaannya masuk Islam dengan

mengucapkan dua kalimat syahadat. Ini adalah langkah awal yang dapat

dikatakan sukses bagi wali sanga dalam melakukan dakwahnya di tanah

Jawa. Menurut Yuwono, “...pola strategi dan gerakan dakwah kultural-

edukatif-persuasif yang dilancarkan oleh Sunan Kalijaga bersama dengan

kawannya sukses besar,...”3

Dalam perspektif komunikasi antarbudaya, gamelan merupakan

alat yang dijadikan sebagai media komunikasi yang menghubungkan

antara komunikator dengan komunikan yang berbeda latar budaya. Melalui

2 Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito.

3 Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito

Page 74: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

64

media komunikasi tersebut akhirnya antara dua orang yang berkomunikasi

dapat terhindar dari persepsi yang salah. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah

berfikir panjang mengenai upaya yang tepat agar dakwah dapat diterima

oleh masyarakat dengan hati terbuka tanpa ada paksaan.

Proses akulturasi budaya yang terjadi dalam proses dakwah wali

sanga adalah dengan memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam sendi-

sendi kehidupan masyarakat jawa dengan tidak menghilangkan unsur

budaya lokalnya. Unsur budaya lokalnya adalah alat musik gamelan,

sedangkan nilai-nilai ke-Islamannya adalah pada gending-gending yang

diciptakan oleh wali sanga sebagai pengiringnya. Integrasi antara kedua

unsur tersebut menciptakan satu tradisi yang bernuansa Islam tetapi juga

kental dengan unsur kejawen. Tetapi inilah yang disebut sebagai akulturasi

budaya, di mana perpaduan antara kedua unsur budaya tidak

menghilangkan salah satu unsurnya, tetapi saling terintegrasi antara

keduanya.

Islam bukanlah suatu produk kebudayaan, tetapi nilai-nilai serta

ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya dapat dikatakan sebagai budaya

karena merupakan hasil pemikiran dan pemaknaan manusia. Karena

pengertian budaya sendiri adalah hasil cipta, dan karya manusia. Berarti di

sini jelas terdapat komunikasi antara dua kebudayaan yang berbeda yaitu

antara Islam dengan budaya lokal Jawa.

Page 75: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

65

B. Proses Komunikasi Antarbudaya dalam Tradisi Sekaten

Dalam Babad Tanah Jawa4 tidak ditemukan riwayat sejarah

mengenai perayaan sekaten. Asal usul mengenai sekaten hanya dapat

diketahui melalui cerita-cerita leluhur atau informan yang mengetahui

cerita tersebut dari orang tuanya. Sementara itu, di masyarakat sendiri

cerita tersebut diyakini adanya. Masyarakat percaya bahwa sekaten sendiri

merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman Wali Sanga berdakwah di

tanah Jawa.

Tradisi sekaten merupakan hasil dari pemikiran para wali dalam

melihat pola perilaku serta kepercayaan masyarakat yang cenderung

tradisionalis5. Artinya masyarakat pada saat itu tidak bisa lepas dari pola

hidup serta kepercayaan leluhurnya yang telah mendarah daging di

kehidupannya. Terutama berkaitan dengan kepercayaan animisme6 dan

dinamisme7 yang masih kuat diyakini masyarakat saat itu. Oleh karena itu,

para wali melancarkan kegiatan dakwahnya dengan tetap menyisipkan

nilai-nilai ajaran Islam ke dalam sendi kehidupan tanpa menghilangkan

adat-istiadat yang telah tertanam kuat dalam benak masyarakat pada saat

itu. Salah satunya adalah mengadakan acara sekaten agar masyarakat

nantinya dapat memahami hakikat Islam dengan baik.

4 Babad tanah Jawa adalah cerita mengenai sejarah perkembangan suku bangsa Jawa 5 Tradisionalis adalah cara pandang atau berpikir yang selalu berpedoman pada norma

dan adat-istiadat yang ada secara turun-temurun. 6 Anismisme adalah kepercayaan kepada roh yang mendiami suatu benda. 7 Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan

yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup.

Page 76: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

66

Ahmad Kamaludiningrat mengatakan Ketika para wali tersebut memulai gerakan dakwahnya, dengan sangat bijaksana para wali tersebut tidak menggunakan cara anarki dalam memasukan nilai-nilai ajaran islam, namun, dengan cara yang halus. Masyarakat jawa saat itu tidak dituntut untuk meninggalkan ajaran nenek moyangnya dahulu, dan tetap menjalankan rutinitasnya namun disisipi oleh ajaran islam. Di sinilah proses akulturasi budaya terjadi, yaitu mulai dimasukannya ajaran-ajaran islam ke dalam sendi kehidupan masyarakat jawa. Sehingga saat ini kita lihat ada perpaduan antara budaya jawa dengan nilai-nilai religius yang ditampilkan dalam setiap acara sekaten. Gamelan sekaten sebagai budayanya, dan kegiatan keagamaan seperti acara ceramah sebagai nilai-nilai religiusnya.8 Sekaten mulai dirayakan pada masa kerajaan Demak mulai berdiri

yang dipimpin oleh Raden Patah. Kemudian, setelah kerajaan Demak

runtuh, tradisi ini dikembangkan oleh kerajaan Pajang di bawah

kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Demikian pula ketika kekuasaan

Pajang runtuh, dilanjutkan oleh kerajaan Mataram Islam. Pada masa Sultan

Agung Hanyokrokusumo (Raja Mataram ke-tiga) ditetapkan bahwa

gamelan yang akan mengiringi sekaten adalah gamelan Kiai Gunturmadu

dan Kiai Nagawilaga. Demikian sampai sekarang pun tradisi ini terus

berlanjut, baik di Keraton Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan

Yogyakarta.9 Yang membedakannya terhadap perayaan sekaten di

Kasunanan Surakarta adalah gamelannya yang bernama Kanjeng Kiai

Gunturmadu dan pasangannya adalah Kanjeng Kiai Guntursari.10

Perayaan yang diadakan setiap tahun di Keraton Yogyakarta ini

sudah berusia hampir empat abad, yaitu sejak Hamengku Buwana I

8 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Kamaludiningrat, Yogyakarta, 8 Januari 2014.

9 Ismail Yahya, Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 51.

10 Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat, Yogyakarta, 21 Agustus 2013.

Page 77: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

67

memimpin Yogyakarta. Sekaten merupakan suatu bentuk perayaan yang

masih tetap dilaksanakan secara rutin di keraton Yogyakarta. Menurut

Hamengku Buwana X saat membuka Pasar Malam Perayaan Sekaten 2013

(PMPS 2013) mengatakan bahwa perayaan sekaten hingga saat ini masih

tetap ada, ini membuktikan bahwa sekaten mampu berkembang sesuai

zaman.11

Ada beberapa hal mengapa kebudayaan di Yogyakarta masih tetap

terjaga dengan baik, yaitu:

1. Budaya merupakan modal bangsa, apabila budaya tersebut

hilang, maka negara akan hancur.12

2. Peran raja serta masyarakat yang tetap komitmen untuk terus

melestarikan budaya leluhur termasuk nilai-nilai yang

terkandung dalam budaya tersebut.13

Oleh karena itu, sangat penting menjaga eksistensi dari suatu

kebudayaan. Jika budaya tersebut hilang maka suatu daerah tentu akan

kehilangan identitasnya yang sudah menjadi ciri khasnya. Tidak hanya

kehilangan identitasnya, bahkan lebih buruk lagi adalah timbulnya

degradasi moral karena telah meninggalkan nilai-nilai adiluhung dari

budayanya. Contohnya saja adalah budaya antri, apabila semua

masyarakat sudah tidak peduli dengan budaya antri maka pasti akan kacau.

Inilah yang perlu jadi perhatian bagi manusia sebagai makhluk berbudaya

11 Hendra Setyawan, “Sultan: Sekaten Berkembang Sesuai Zaman,” artikel diakses pada

30 Agustus 2013 dari http://regional.kompas.com/read/2012/12/21/18493744/Sultan.Sekaten.Ber kembang.Sesuai.Zaman

12 Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat. 13 Wawancara Pribadi dengan KRT Rintaiswara, Yogyakarta, 24 Agustus 2013.

Page 78: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

68

untuk selalu menjaga nilai-nilai kearifan budaya yang telah diajarkan oleh

nenek moyang.

Terdapat simbol-simbol budaya dalam tradisi sekaten. Simbol-

simbol tersebut merupakan sebuah sistem dari konsep ekspresi komunikasi

manusia yang mengandung makna.14 Ekspresi tersebut diperlihatkan

melalui pola interaksi kehidupan antara sesama anggota budaya. Setiap

anggota atau komunitas budaya harus memahami makna dari simbol-

simbol budaya yang berlaku pada kelompok tersebut. Dengan memahami

simbol-simbol tersebut maka kemungkinan terjadinya konflik antara

sesama anggota maupun di luar anggota dapat dihindari.

Sekaten dapat dikatakan sebagai jembatan penghubung. Yaitu

jembatan penghubung antara raja dengan rakyat.15 Kemudian, jembatan

penghubung antara sesama masyarakat.16 Ini adalah suatu bentuk

komunikasi vertikal dan juga komunikasi horizontal. Di sinilah adanya

keseimbangan dalam proses interaksi sosial antara pemimpin dengan

rakyat serta sesama manusia. Hal tersebut penting untuk dilakukan agar

terciptanya kerukunan, keamanan, dan ketentraman. Dan yang terpenting

adalah tetap terjalinnya komunikasi walau hanya lewat pentas budaya.

Komunikasi secara vertikal yang dilakukan oleh raja kepada

rakyatnya merupakan modal penting untuk menjaga tali silaturahmi antara

pihak keraton dengan masyarakat Yogyakarta. Dengan hadir di tengah-

14 Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber (Jakarta: Kencana,

2013), h. 15. 15 Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara. 16 Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara.

Page 79: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

69

tengah masyarakat, menunjukkan bahwa raja memiliki kepedulian untuk

merasakan apa yang dirasakan masyarakat. Sehingga timbullah keterikatan

batin antara penguasa dengan rakyatnya. Ketika komunikasi telah terjalin

dengan baik, tentunya rakyat akan royal terhadap keraton. Apabila rakyat

sudah loyal terhadap keraton, maka, pemerintahan di Yogyakarta akan

berjalan lancar dan rakyat tentunya mendukung semua kebijakan

pemerintah.17

Komunikasi secara horizontal adalah komunikasi yang terjadi

antara sesama manusia atau masyarakat. Melalui komunikasi yang terjadi

secara horizontal diharapkan tercipta komunikasi yang harmonis antara

sesama masyarakat . Dalam perayaan sekaten, yang hadir ke arena sekaten

tidak hanya dari kalangan masyarakat Yogyakarta, namun, dari luar

Yogyakarta bahkan mancanegara pun juga turut hadir meramaikan acara

sekaten.18 Di sini terlihat hiruk-pikuk manusia yang membaur menjadi satu

yang memerlihatkan kerukunan dan keakraban.

Hal ini memperlihatkan betapa kuat pengaruh dari perayaan

sekaten, khususnya bagi masyarakat Yogyakarta dan luar Yogyakarta

umumnya. Lewat salah satu momentum tersebut tercipta suatu

keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di saat media

massa menampilkan suatu peristiwa konflik di suatu daerah tertentu yang

terjadi karena krisis kemanusiaan, tradisi sekaten hadir untuk

menginformasikan kepada dunia bahwa menjunjung nilai kemanusiaan

17 Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara. 18 Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat.

Page 80: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

70

sangat penting untuk menjaga kerukunan hidup berbudaya, beragama,

berbangsa dan bernegara. Di sinilah terjadinya proses sosialisasi nilai-nilai

budaya yang teraktualisasi melalui sikap budaya yang santun.

Pada masa kerajaan Islam Demak berdiri, para wali telah

memperlihatkan cara berkomunikasi yang baik dalam mengajak

masyarakat pada saat itu untuk memeluk Islam. Tentunya sangat sulit bagi

Wali Sanga untuk mengepakkan sayap dakwahnya apabila mereka tidak

memahami latar belakang budaya yang berkembang di masyarakat pada

saat itu. Dengan cara memahami adat-istiadat kehidupan masyarakat,

maka, pada saat itu Wali Sanga dapat bergerak masuk untuk mengajarkan

Islam sedikit demi sedikit. Ketika Islam dapat diterima dengan hati

terbuka, barulah para wali dapat dengan mudah mengembangkan ajaran

Islam di tanah Jawa. Ini merupakan suatu bentuk komunikasi antarbudaya

di mana Wali Sanga dapat berkomunikasi dengan baik kepada masyarakat

yang notabene berbeda latar belakang sosial budaya dan agama dengan

para wali.

Perayaan Sekaten Masa Kini

Perayaan sekaten pada masa kini, terhitung mulai tahun 2004

hingga saat ini memperlihatkan nuansa berbeda terutama kemasan pasar

malam yang dibuat meriah. Kemasan pasar malam tersebut dibuat meriah

tentunya adalah untuk menarik perhatian pengunjung agar datang ke pasar

malam sekaten. Kemudian, diharapkan agar masyarakat menyaksikan

pentas budaya yang telah dipersiapkan oleh panitia penyelenggara sekaten.

Page 81: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

71

Pada perayaan sekaten 2013-2014 ini, dibuat agak berbeda dari tahun

sebelumnya. Pada periode ini (6 Desember 2013-14 januari 2014) tiket

masuk arena pasar malam digratiskan, berbeda dengan tahun sebelumnya

setiap pengunjung dimintai tarif untuk masuk menuju pasar malam.

Tentu saja dengan digratiskannya tarif masuk, maka jumlah

pengunjung pun meningkat. Walau hujan rintik-rintik mengguyur area

pasar malam, namun, tidak menyurutkan antusias masyarakat untuk datang

ke acara perayaan sekaten. Banyak program acara pentas budaya serta

agama yang telah disusun oleh panitia untuk dipertunjukkan di panggung

sekaten. Memang pada saat ini, panitia lebih banyak mempertunjukkan

pentas budaya serta agama, ini karena dari evaluasi sebelumnya terdapat

banyak kritikan dari pemerhati budaya bahwa sekaten telah kehilangan

gemanya.

Dari hasil penelusuran peneliti ke acara sekaten pada 8 Januari

2014, terlihat baliho serta spanduk yang memperlihatkan kegiatan tradisi

sekaten dipampang disetiap sisi Alun-alun Utara Yogyakarta. Kemudian,

papan pengumuman kegiatan sekaten juga dipampang dekat pintu

plengkung masuk Alun-alun Utara. Ini adalah salah satu bentuk usaha

yang dilakukan pemerintah kota dalam menyosialisasikan kegiatan sekaten

kepada masyarakat agar selalu hadir dalam setiap even penting yang

diselenggarakan oleh panitia sekaten.

Kemudian, menuju tempat pemukulan gamelan sekaten di sebelah

timur Masjid Besar Keraton, terlihat suasana yang tidak kalah ramai

Page 82: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

72

dengan arena pasar malam sekaten. Memang dapat dikatakan tidak

seramai orang yang datang ke pasar malam, namun, antusias masyarakat

yang melihat pemukulan gamelan cukup besar. Keramaian ini juga

tentunya adanya pedagang lesehan yang menjajakan makanan khas

sekaten, seperti nasi gurih, telur merah dan kinang (daun sirih). Jadi,

sambil mengkonsumsi makanan khas sekaten, masyarakat bisa sambil

mendengarkan alunan gamelan yang dipukul oleh para abdi dalem

keraton.

Pada selang waktu sepuluh tahun terakhir ini memang tidak dapat

dihindari masuknya modernisasi telah mengubah bentuk serta kemasan

sekaten yang dibuat lebih semarak. Artinya pasar malam dibuat lebih

meriah dan megah. Berbeda dengan pasar malam lainnya yang

kemasannya biasa saja dan terbatas oleh luas tempat. Dengan kemegahan

tersebut tentunya masyarakat akan tertarik untuk datang ke pasar malam

sekaten.

Pada perayaan sekaten dikemas dalam bentuk Jogja Expo Sekaten

(JES) sejak tahun 2004 hingga 2005 timbul masalah yang menyebabkan

pergeseran makna religi dan budaya.19 Makna Expo sendiri lebih

berimplikasi pada suatu kepentingan bisnis. Tentunya hal ini dapat

berdampak buruk pada eksistensi dari sekaten tersebut. Dr. Purwadi M.

Hum Humas UGM (Universitas Gajah Mada) mengatakan Jogja Expo

Sekaten 2005 telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dari

19 Humas UGM, “Privatisasi Sekaten?”, artikel diakses pada 6 oktober 2013 dari

http://www.ugm.ac.id/id/berita/1074-privatisasi.sekaten

Page 83: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

73

budaya spiritual menjadi budaya material.20 Oleh karena itu, karena

banyak menuai kritik dari pemerhati budaya, setelah pelaksanaan sekaten

tahun 2005 nama Expo diganti dan diubah menjadi Pasar Malam Perayaan

Sekaten (PMPS) hingga sekarang.

Pada perayaan sekaten tahun 2004 dan 2005 dapat dikatakan

bahwa perayaan tersebut tidak merakyat. Menurut Hendrie seorang Kepala

Pusat Studi Pariwisata UGM, karena pengelolaannya berbasis bisnis, maka

stand sekaten pun diubah secara besar-besaran. Tempat pelaksanaannya

tetap di Alun-alun Utara, namun, sekaten pada saat itu lebih tertutup bagi

kalangan kebanyakan. Seluruh Alun-alun Utara didesain mirip benteng

dengan penambahan gerbang sebagai jalan masuk. Akibatnya masyarakat

luas tidak lagi bebas melihat secara langsung seperti saat dulu, apalagi

ditambah dengan harga tiket masuk yang menurut sebagian pengunjung

sangat memberatkan mereka.21

Dalam pembukaan sekaten 21 Desember 2012 di Keraton

Yogyakarta, Sultan berpesan agar perayaan sekaten tetap mengacu pada

tiga aspek utamanya yaitu religi, budaya, dan ekonomi.22 Pada aspek

ekonomi, memang aspek tersebut merupakan salah satu faktor pemicu

komunikasi antarbudaya.23 Terlihat aktifitas ekonomi di pasar malam

sekaten begitu ramai dan padat. Tentunya agar makna sekaten tidak hilang

20 Pusat Studi Pariwisata UGM, Bahan Diskusi Bulanan (Kumpulan Opini dan Surat

Kabar) Privatisasi Sekaten? (Yogyakarta: T.pn., 2005), h. 4. 21 Humas UGM, “Privatisasi Sekaten?” 22 Hendra A Setyawan, “Sultan: Sekaten Berkembang Sesuai Zaman.” 23 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya (Jakarta: Jala Permata, 2008), h. 9.

Page 84: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

74

karena perkembangan zaman, harus ada sinergitas antara semua pihak

yang terkait dengan perayaan sekaten untuk menata perayaan sekaten lebih

baik lagi. Tiga aspek yang terdapat dalam sekaten yaitu aspek religi,

budaya, dan ekonomi harus berjalan seimbang dan saling menopang.

C. Prosesi Pelaksanaan Sekaten dalam Pandangan Islam

Menurut prosesi pelaksanaannya, sekaten dilaksanakan selama

seminggu dimulai dari tanggal 5 Rabiul Awal hingga 11 Rabiul Awal.

Kemudian, tanggal 12 Rabiul Awal merupakan puncak dari perayaan

sekaten atau dikenal dengan sebutan Grebeg Mulud. Untuk pasar malam

sekaten diadakan selama sebulan, dimulai dari sebulan sebelum acara

Grebeg dimulai.

Urutan atau Tata Cara Ritual Sekaten

Urutan atau tata cara ritual dalam penyelengaraan upacara sekaten

terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Di dalam penyelenggaraan upacara sekaten ada dua jenis

persiapan, yaitu persiapan fisik dan persiapan nonfisik. Persiapan fisik

berwujud benda-benda dan perlengkapan-perlengkapan yang

diperlukan dalam penyelenggaraan upacara, sedangkan persiapan

nonfisik berwujud sikap dan perbuatan yang harus dilaksanakan pada

waktu sebelum pelaksanaan upacara sekaten seperti bersuci dengan

cara puasa dan mandi wajib.

Page 85: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Adapun persiapan yang berwujud fisik, yaitu berwujud benda

benda dan perlengkapan

penyelenggaraan upacara. Benda

a. Gamelan

Gamelan

(dibunyikan) pada saat penyelenggaraan upacara

Masing

Gunturmadu

b. Perbendaharaan lagu

Adapun persiapan yang berwujud fisik, yaitu berwujud benda

benda dan perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalam

penyelenggaraan upacara. Benda-benda tersebut adalah:

amelan sekaten

Gamelan sekaten adalah gamelan yang khusus hanya dipukul

(dibunyikan) pada saat penyelenggaraan upacara

asing-masing gamelan tersebut bernama Kanjeng K

Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga.

Gambar 1. Gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga

Gambar 2. Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu

Perbendaharaan lagu-lagu atau gending-gending sekaten

75

Adapun persiapan yang berwujud fisik, yaitu berwujud benda-

ukan dalam

adalah gamelan yang khusus hanya dipukul

(dibunyikan) pada saat penyelenggaraan upacara sekaten.

Kanjeng Kiai

Gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga

Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu

ekaten

Page 86: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

76

Lagu-lagu atau gending-gending yang dibunyikan pada upacara

sekaten merupakan gending-gending khusus yang tidak pernah

dibunyikan pada acara lain. Gending-gending tersebut adalah:

Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog

pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima,

Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem,

Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru

Putih Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Bayem

Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, Srundheng Gosong

pelog pathet barang.

c. Sejumlah kepingan uang logam, beras, dan bunga Setaman

untuk disebarkan dalam upacara udhik-udhik.

d. Sejumlah bunga Kanthil (Cempaka) yang akan disematkan

pada daun telinga kanan Sri Sultan dan para pengiringnya pada

saat menghadiri pembacaan riwayat Nabi Muhammad s.a.w.

bila pembacaan sudah sampai pada asrokal (semacam bacaan

barjanji).

e. Busana seragam yang masih baru dan sejumlah samir yang

khusus akan dipakai oleh para niyaga selama bertugas

memukul gamelan sekaten dalam upacara sekaten.

f. Atribut dan perlengkapan prajurit keraton yang akan bertugas

mengawal gamelan sekaten dari keraton ke halaman Masjid

Page 87: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

77

Gedhe Kauman, dan dari halaman Masjid Gedhe Kauman

kembali ke keraton.

2. Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan

Gamelan sekaten mulai dibunyikan di dalam keraton pada tanggal

5 Rabiul Awal. Gamelan sekaten dibunyikan di Bangsal Ponconiti

yang berada di halaman Kemandhungan atau Keben, yaitu di tratag

bagian timur dan tratag bagian barat. Mula-mula pada pukul 16.00

WIB gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai

Nagawilaga dikeluarkan dari tempat persemayaman, untuk ditata di

Bangsal Ponconiti, di tratag bagian timur dan tratag bagian barat.

Kanjeng Kiai Gunturmadu ditata di tratag bagian timur, Kanjeng Kiai

Nagawilaga ditata di tratag bagian barat.

Lepas waktu shalat Isya, setelah segala sesuatunya siap, para abdi

dalem yang bertugas di Bangsal Ponconiti (dahulu di Bangsal

Srimanganti dan Bangsal Trajumas) memberi laporan kepada Sri

Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan

melalui abdi dalem yang diutus, mulailah gamelan sekaten

dibunyikan. Gamelan sekaten dibunyikan mulai pukul 19.00 WIB

hingga pukul 23.00 WIB. Mula-mula yang dibunyikan terlebih dahulu

adalah Kanjeng Kiai Gunturmadu dengan gending racikan pathet lima

dhawah gendhing Rambu disusul Kanjeng Kiai Nagawilaga dengan

gending yang sama. Begitu seterusnya, pemukulan gamelan berselang-

Page 88: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

78

seling dari Kanjeng Kiai Gunturmadu disusul Kanjeng Kiai

Nagawilaga dengan urutan gending yang sudah ditentukan.

Pada pukul 20.00 WIB, sultan atau utusannya diiringi para

pangeran, kerabat dan para bupati datang ke tempat gamelan, yaitu di

Bangsal Ponconiti, untuk menyebarkan udhik-udhik. Mula-mula udhik-

udhik disebarkan di Bangsal Ponconiti tratag bagian timur, ke arah

para penabuh gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu, kemudian, di

Bangsal Ponconiti tratag bagian barat, ke arah para penabuh gamelan

Kanjeng Kiai Nagawilaga. Selanjutnya udhik-udhik disebarkan ke arah

para pengunjung (kawula ingkang sowan).

Pada waktu gamelan sekaten dibunyikan di Bangsal Srimanganti

dan di Bangsal Trajumas, mula-mula udhik-udhik disebarkan di depan

gerbang Danapertapa. Sesampainya di gerbang Danapertapa, Sri

Sultan atau yang mewakili menebarkan udhik-udhik ke arah para

pengunjung (kawula ingkang sowan). Selanjutnya rombongan menuju

Bangsal Srimanganti untuk menebarkan udhik-udhik ke arah para

pemukul gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu. Kemudian pindah ke

Bangsal Trajumas, udhik-udhik disebar ke arah para pemukul gamelan

Kanjeng Kiai Nagawilaga.

3. Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan ke Halaman Masjid Gedhe

Kauman

Pada pukul 23.00 WIB bunyi gamelan sudah berhenti. Bersamaan

dengan itu, datang para prajurit yang akan bertugas mengawal iring-

Page 89: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

79

iringan gamelan dari keraton menuju halaman Masjid Gedhe Kauman

serta para abdi dalem KHP Wahono Sarta Kriya yang akan bertugas

mengusung gamelan. Setibanya di keraton para prajurit lalu

mengambil panji-panji, sedangkan para abdi dalem KHP Wahono

Sarta Kriya segera mengambil ancak dibawa ke tratag Bangsal

Ponconiti bagian timur dan barat, kemudian, menata gamelan yang

akan diusung tersebut. Setelah dipindahkan ke masjid, gamelan

tersebut dibunyikan secara terus-menerus sampai tanggal 11 Rabiul

Awal malam, kecuali pada waktu sholat wajib, pada malam Jumat

hingga selesai sholat Jumat.

4. Tahap Sri Sultan Hadir di Masjid Gedhe Kauman

Pada malam ke-7, tanggal 11 Rabiul Awal malam di Masjid Gedhe

Kauman diselenggarakan pembacaan riwayat Nabi Muhammad s.a.w.

dan penyebaran udhik-udhik oleh sultan, yang disebut Pisowanan

Malem Garebeg/Muludan. Kehadiran sultan di Masjid Gedhe Kauman

disambut dan diiringi oleh para abdi dalem Sipat Bupati, dan jalan

yang akan dilintasi sultan dipagar betis oleh empat bregada prajurit,

yaitu satu bregada menjadi pagar betis lintasan jalan dari pintu gerbang

Masjid Gedhe Kauman menuju pagongan selatan, satu bregada

menjadi pagar betis lintasan jalan dari pintu gerbang Masjid Gedhe

Kauman menuju pagongan utara, dan dua bregada menjadi pagar betis

untuk lintasan dari pintu gerbang Masjid Gedhe Kauman menuju

serambi masjid.

Page 90: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

80

Kemudian setelah sampai di masjid, sultan mengucapkan salam,

lalu memberi salam kepada Kanjeng Raden Penghulu untuk mulai

membaca riwayat Nabi Muhammad s.a.w. Beberapa saat kemudian,

sultan dengan diiringkan KGPAA Paku Alam, para KGPH (Kanjeng

Gusti Pangeran Harya), dan para GBPH (Gusti Bendara Pangeran

Harya) dipersilahkan bersemayam di dalam masjid untuk beristirahat.

Pada saat pembacaan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. sampai pada

asrokal (peristiwa kelahiran Nabi), Sri Sultan beserta para

pengiringnya kembali ke serambi untuk menerima persembahan bunga

cempaka (saos sekar sumping) dari Kiai Penghulu yang disajikan oleh

abdi dalem Punokawan Kaji.

5. Tahap Kondur Gongsa

Pada tanggal 11 Mulud (Rabiul Awal), kira-kira pukul 24.00 WIB

setelah sultan meninggalkan Masjid Gedhe Kauman, gamelan sekaten

diboyong kembali ke keraton, yang disebut kondur gongso, dengan

dikawal oleh dua pasukan abdi dalem prajurit, yaitu Prajurit Mantrijero

dan Prajurit Ketanggung. Sebelumnya, pada pukul 23.00 WIB, abdi

dalem KHP Wahana Sarta Kriya datang ke pagongan selatan dan utara

untuk menata gamelan. Para abdi dalem prajurit berbaris di kiri dan

kanan jalan di depan pagongan selatan dan utara untuk ngurung-urung

(melindungi) keluarnya gamelan dari tempat tersebut. Setelah

semuanya siap, Kanjeng Raden Pengulu dan Walikota Yogyakarta

melepas kembalinya gamelan ke keraton. Sesampainya di keraton,

Page 91: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

81

gamelan langsung disemayamkan di tempatnya semula di Bangsal

Trajumas. Dengan dipindahkannya gamelan pusaka Kanjeng Kiai

Sekati dari halaman Masjid Gedhe Kauman kembali ke keraton

menandai bahwa upacara sekaten telah selesai.

Prosesi sekaten yang dilaksanakan setiap bulan Rabiul Awal atau

tepatnya dilaksanakan pada tanggal 5-11 Rabiul Awal memiliki makna

tersendiri baik itu dalam aspek budaya maupun dalam aspek religi. Dalam

aspek budaya tentu ini merupakan hasil cipta dan karya manusia yang

memiliki nilai-nilai filosofis tertentu. Sementara dalam aspek religi,

sekaten merupakan suatu tradisi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai

ke-Islaman. Di dalam tradisi tersebut, dipertunjukkan bagaimana seorang

umat muslim diajak untuk dapat meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad

s.a.w.

Dalam pandangan Islam sendiri, tidak ditemukan perintah ataupun

anjuran untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan

dikategorikan sebagai bid’ah.24 Namun, menurut pendapat Imam

Jalaluddin As-Suyuthi (749-911 H) memperingati hari kelahiran Nabi

Muhammad s.a.w. dibolehkan karena hal itu merupakan wujud kecintaan

umat Islam kepada Rasul-Nya.25 Kemudian, diyakini pula dalam cerita

yang beredar di masyarakat, ini merupakan bentuk dakwah yang dilakukan

oleh para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam. Hal ini senada

24

Wawancara pribadi dengan KRT. Ahmad Kamaludiningrat, pada 8 Januari 2014. 25 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h. 56.

Page 92: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

82

dengan pendapat yang diungkapkan Romo Rinta bahwa perayaan sekaten

ini intinya adalah syiar Islam.26

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para wali berdakwah

dengan cara melakukan penyesuaian terhadap adat-istiadat yang berlaku

dalam kehidupan masyarakat tersebut. Melalui momentum hari kelahiran

Nabi Muhammad s.a.w., para wali tersebut mengganti suatu tradisi

selamatan menjadi tradisi sekaten. Tentunya ini adalah suatu cara yang

dilakukan oleh para wali untuk menyesuaikan tradisi budaya lokal dengan

nilai-nilai ajaran Islam. Melalui iring-iringan gamelan dan pembacaan

riwayat nabi akhirnya banyak masyarakat waktu itu yang memeluk Islam

dengan suka rela.27

D. Pesan Verbal dalam Tradisi Sekaten

Pesan verbal yang ingin disampaikan dalam tradisi sekaten adalah

melalui gending-gending ciptaan wali sanga yang diiringi oleh bunyi

gamelan sekaten. Wali Sanga saat itu menciptakan banyak gending atau

lagu pengiring gamelan dengan menggunakan bahasa Jawa, fungsinya

tidak lain adalah untuk syiar, berikut adalah salah satu gending hasil

ciptaan dari Sunan Kalijaga yang isinya tuntunan kepada manusia untuk

memeluk agama Islam dan diamalkan dalam kehidupan manusia. Salah

satu gending tersebut adalah E Dhayuhe Teka.

E dhayuhe teka, e gelarna klasa

26 Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara. 27

Wawancara pribadi dengan KRT. Ahmad Kamaludiningrat.

Page 93: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

83

E klasane bedhah, e tambalen jadhah E jadahe mambu, e pakakna asu E asune mati, e buwangen kali E kaline banjir, e buwangen pinggir E Pinggire lunyu, e golek o sangu Artinya

Hai tamunya sudah datang, hai bentangkan tikar Hai tikarnya robek, hai tutuplah dengan jadah Hai jadahnya basi, hai kasihkan pada anjing Hai anjingnya mati, hai buanglah ke sungai Hai sungainya banjir, hai buanglah ke pinggir Hai tepian sungainya licin, hai carilah bekal

Lagu tersebut memberikan gambaran kepada manusia bahwa

dhayuh identik dengan tamu atau ajaran Islam telah datang. Untuk itu

segeralah kita menyambut ajaran tersebut dengan suka cita. Caranya

adalah harus dengan gelar klasa (membentangkan tikar), yaitu simbol dari

hati yang suci, terbuka dan ikhlas menerima ajaran Islam. Dengan

membersihkan diri, hati, pikiran, perasaan, dan keinginan, kita diharapkan

tidak akan bedhah (robek) atau menerima kerugian dalam hidup. Cara

paling baik jika hati kita banyak dosa adalah mendekatkan diri kepada

Allah dengan jalan mujahadah dan taubat meskipun itu sulit, seperti

sungai yang sedang banjir dan licin. Akan tetapi, teruslah berusaha

sungguh-sungguh untuk mencari bekal agar kita bisa selamat dunia

akhirat. Bekal yang paling utama adalah ajaran agama Islam.28

28 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h.49.

Page 94: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

84

E. Pesan Nonverbal dalam Tradisi Sekaten

Pada saat perayaan tradisi sekaten, terdapat beberapa simbol-

simbol budaya yang dipertunjukan sebagai bentuk bagian dari ritual

prosesi sekaten. Pertunjukkan simbol-simbol budaya tersebut semakin

menambah kesakralan dari ritual yang diadakan setahun sekali ini. Dalam

simbol-simbol budaya yang dipertunjukkan tersebut mengandung makna

tertentu yang menjadi kepercayaan bagi beberapa masyarakat Yogyakarta.

Berikut adalah penjelasan berkaitan dengan pesan nonverbal yang

terkandung dalam tradisi sekaten.

Pertama, bunyi-bunyian yang dihasilkan dari pemukulan gamelan

memiliki makna tersendiri. Pada tahap gamelan mulai dibunyikan,

terdengar sayup alunan ayat suci Alquran di pengeras suara Masjid Gede

Kauman Yogyakarta. Saat itu jam 19.30 WIB pengajian ibu-ibu dimulai

serta pengunjung di Pasar Malam Sekaten semakin membludak menuju

dua bangsal di mana dua gamelan keraton yaitu Kanjeng Kiai Gunturmadu

dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dimainkan tepat 30 menit kemudian. Para

abdi dalem berpakaian biru muda di dalam dua tempat itu sudah ada pada

posisinya masing- masing, ada yang bertugas menabuh Gong, Kenong,

Kempul, Kendang dan Ganjur. Semua gamelan tersebut jika disusun

sedemikian rupa berbunyi: nong-ning, maksudnya nong-kono/nong-kene

(di sana-di sini), pung-pung, maksudnya mumpung-mumpung (selagi ada

kesempatan), tak ndang-tak ndang artinya ndang-ndang (cepat-cepat atau

segera) dan disusul dengan bunyi nggurr yang berarti njegur (berwudhu

Page 95: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

85

dan masuk masjid).29 Dengan demikian, makna dari pemukulan gamelan

tersebut adalah mengajak semua orang di mana saja agar mereka

menggunakan kesempatan hidupnya untuk segera masuk agama Islam dan

dapat hidup selamat di dunia maupun akhirat.

Kedua, pada saat awal pembunyian gamelan sekaten atau sebelum

dilakukannya miyos gongso di Keraton Yogyakarta, Sri Sultan melakukan

tradisi penyebaran udhik-udhik yang di dalamnya berisi uang logam, beras,

serta bunga setaman. Kemudian, ketika Sri Sultan menghadiri acara

ceramah pada tanggal 11 Rabiul Awal malam di Masjid Gedhe Keraton,

Sri Sultan melakukan hal yang sama yaitu melemparkan udhik-udhik ke

arah jamaah yang datang. Ritual udhik-udhik merupakan simbol dari

kesejahteraan yang dibagikan oleh raja kepada seluruh rakyatnya.30

Ketiga, raja tidak hanya melakukan penyebaran udhik-udhik, raja

juga mengeluarkan tujuh gunungan. Tujuh buah gunungan tersebut akan di

kirab ke tiga tempat yaitu Masjid Agung Kauman dengan gunungan putri,

gunungan kakung, gunungan darat, gunungan gepak, dan gunungan

pawuhan, sedangkan dua gunungan lagi yang terdiri dari dua gunungan

kakung dibawa ke Kepatihan dan Puro Pakualaman. Ke tujuh gunungan

tersebut di buat di Kemagangan Kidul setelah dilakukan prosesi numplak

29 Budi W, “Gending Sekaten diperdengarkan Secara Streaming Radio”, artikel diakses

pada 30 Agustus 2013 dari http://gudeg.net/id/news/2012/01/6838/Gending-Sekaten-diperdengarkan-Secara-Streaming-Radio.html#.UnEHccjL98I

30 “Miyos Gongso, Tabuh Gamelan Selama 7 Hari,” Tribun Jogja, 9 Januari 2014, h. 13.

Page 96: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

86

wajik (prosesi yang mengawali pembuatan gunungan). Kemudian dari

Kemagangan di bawa menuju Keben.31

Pada puncak acara yaitu tanggal 12 Rabiul Awal, gunungan

tersebut diarak ke Masjid Besar Keraton untuk didoakan, setelah selesai

didoakan kemudian dikirim ke tiga tempat tadi untuk di rayah (rebut) oleh

rakyat. Kegiatan ngrayah atau berebut gunungan menggambarkan sebuah

filosofi bahwa manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan harus

berani melakukan persaingan. Dan permasalahan hidup harus dihadapai

bukan untuk dihindari.32 Kemudian, ada kepercayaan yang berkembang di

masyarakat apabila mendapatkan salah satu hasil bumi tersebut maka

akan mendapatkan keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa.33

Gunungan tersebut sebagai simbol sedekah raja kepada rakyatnya.

Gunungan yang diarak di tiga tempat tersebut memiliki tiga arti penting.

Arti pertama adalah arti religius, berhubungan dengan peran sultan sebagai

Sayyidin Panatagama Khalifatullah, sultan bertugas dalam melakukan

penyebaran agama Islam. Kedua adalah arti historis, berkaitan dengan

kewajiban sultan untuk meneruskan warisan tradisi raja-raja Mataram

terdahulu. Ketiga adalah arti kultural, berkaitan dengan kedudukan sultan

31 Windu, “Grebeg Maulud di Kepatihan,” artikel diakses pada 13 Januari 2014 dari

http://www.dolan-dolan.net/2014/01/grebeg-maulud-di-kepatihan.html 32 Aan Ardian, “Gerebeg Sekaten”, artikel diakses pada 31 Agustus 2013 dari

http://kotajogja.com/wisata/index/Grebeg-Sekaten 33 Dinas P dan K, Sekilas Pembuatan Gunungan Dalam Rangka Upacara Grebeg Mulud

Tahun BE 1912 (Yogyakarta: Dinas P dan K, 1981), h. 13.

Page 97: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

87

sebagai pemimpin suku Jawa, yang memiliki kewajiban memelihara dan

melestarikan budaya Jawa.34

F. Unsur unsur Komunikasi Antarbudaya dalam Tradisi Sekaten

1) Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan yang berkembang di Jawa pada

awalnya merupakan sistem kepercayaan Hindu dan Budha yang

dibawa oleh kerajaan Matamam Kuno dan Majapahit. Pada masa

kerajaan tersebut, kepercayaan itu berkembang secara luas dan

tertanam kuat dalam jiwa masyarakat saat itu. Sehingga banyak

ditemukan adanya ritual sesembahan sesaji untuk para dewa atau

benda-benda berhala. Hal ini terus dilakukan hingga akhir

runtuhnya kerajaan Majapahit.

Menurut Simuh, budaya khas masyarakat Jawa yang

dipengaruhi kehidupan beragamanya, menghasilkan tiga

karakteristik kebudayaan Jawa, yaitu:35

1. Kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha

Sebelum masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia,

masyarakat menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.

Kepercayaan ini merupakan akar budaya masyarakat Indonesia

dan dianggap sebagai kepercayaan asli Indonesia.

34

Dinas Kebudayaan DIY, Garebeg: Gunungan, Doa dan Sedekah (Sebuah Dokumentasi Visual) (Yogyakarta: Jogja Heritage Society, 2012), h. 8.

35 Dinas Kebudayaan DIY, Garebeg: Gunungan, Doa dan Sedekah (Sebuah Dokumentasi

Visual) (Yogyakarta: Jogja Heritage Society, 2012), h. 5-6.

Page 98: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

88

2. Kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha

Pada masa ini, unsur-unsur kebudayaan India berakulturasi

dengan budaya Jawa. Pemujaan terhadap dewa-dewa, dan jasa

mantra-mantra magis, menambah subur keyakinan animisme

serta dinamisme sebelumnya.

3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam

Masuknya kebudayaan Islam, ditandai dengan berakhirnya

kerajaan Hindu Jawa menjadi Islam Jawa di Demak. Para wali

memasukkan unsur-unsur agama Islam ke dalam budaya Jawa

untuk mempermudah penyebaran Islam.

Sistem kepercayaan yang mulai berkembang dari sejak

masa pra Hindu-Budha tidak dihilangkan begitu saja. Para wali

menyadari bahwa jika paham-paham yang sudah mengakar kuat di

Jawa itu ditentang secara radikal, agama Islam tidak akan mungkin

dapat dikembangkan dengan lancar di Jawa.36 Pada masa kerajaan

Islam Demak, sistem kepercayaan tersebut tetap berkembang,

namun, dengan disisipi oleh nilai-nilai ke-Islaman. Sehingga,

antara tradisi-tradisi kejawen dengan ajaran ke-Islaman tetap

berjalan secara beriringan.

Ini merupakan metode dakwah yang dilakukan oleh para

Wali Sanga agar Islam di tanah Jawa dapat tersebar secara luas.

Dalam wawancara yang dilakukan penulis terhadap pihak keraton

36 Syariful Alim, Hakikat Tuhan dan Manusia: Perspektif Pujangga Muslim Jawa

(Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2013), h. 3.

Page 99: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

89

menyebutkan bahwa para wali menyebarkan Islam dengan cara

bijaksana dan halus.37 Ini merupakan suatu bukti bahwa Islam

merupakan agama rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta

alam). Islam hadir ditengah masyarakat dengan damai dan akhirnya

akan diterima dengan hati terbuka dan tulus.

Dalam syiar ini, terutama masalah tauhid disebarkan sesuai

dengan ajaran Islam, sehingga penganut agama Jawa (Agama

Kejawen) dan kepercayaan animisme serta dinamisme tidak secara

penuh menyerap ajaran Islam. Misalnya, masalah slamatan

dihubungkan dengan shadaqah, ujub atau penyerahan itu yang

ditujukan sebagai pemberian hidangan kepada ruh-ruh dan Sang

Hyang, diganti ngaweruhi atau memeringati para Nabi dan Wali.

Puji-pujian kepada selain Tuhan yang menyebabkan syirik, diganti

tahlil.38

Sejak Kesultanan Yogyakarta berdiri pada tahun 1755

Masehi, agama resmi kerajaan adalah Islam. Raja memakai sebutan

dengan kata bahasa Arab: Sultan. Rangkaian gelar raja, sebagian

mencerminkan ciri ke-Islaman: Abdul Rahman (yang dalam bahasa

Jawa diucapkan dan ditulis Ngabdurrahman), Sayidin, Kalifatullah.

Kedudukan Sultan bukan hanya Khalifah, melainkan juga penata

37 Wawancara Pribadi dengan Purwadiningrat. 38 Syariful Alim, Hakikat Tuhan dan Manusia: Perspektif Pujangga Muslim Jawa, h. 3.

Page 100: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

90

agama, itu tercantum dalam gelar sultan yang dalam bahasa

Jawanya disebut panotogomo (Panoto-agama = penata agama).39

Citra ke-Islaman secara fisik ditandai dengan adanya

Masjid Gedhe Kauman, pusat peribadatan umum di ibu kota

kerajaan. Masjid Keputren, Masjid Panepen didirikan di bagian

pusat keraton. Ditambah dengan Masjid Suronatan dan adanya

perkampungan atau pemukiman khusus bagi golongan

ulama/golongan kaum, yakni Kauman.40

Akan tetapi sultan adalah seseorang insan Jawa yang

memiliki kebanggaan terhadap identitas suku bangsanya. Yang

membentuk identitas, kepribadian suku bangsa Jawa adalah unsur-

unsur kebudayaan yang diwarnai oleh kepercayaan lama yang

bersifat kejawen. Maka tidaklah mengherankan apabila sultan

sebagai raja dari suku bangsa Jawa, sebagaimana juga yang

dilakukan oleh nenek moyangnya para raja Mataram Islam

terdahulu, merasa berkewajiban untuk melestarikan tradisi

kebudayaan Jawa yang memberi corak kejawen Kesultanan

Yogyakarta.41

2) Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Hidup Tentang Dunia

Dalam sekaten, Islam dan budaya lokal bertemu dalam satu

ritual yang harmonis. Islam tidak menghilangkan aspek tradisi

lokal, tetapi menginterpretasikan secara kritis dan kreatif sehingga

39 Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, h. 36. 40 Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, h. 36. 41 Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, h. 37.

Page 101: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

91

menghasilkan wajah Islam yang ramah, toleran, dan moderat.

Tradisi ini tidak mengorbankan substansi Islam, sebaliknya justru

memperkaya Islam dengan khasanah budaya lokal.42

Purwodiningrat menyatakan bahwa Islam hadir dalam masyarakat

Jawa secara bijaksana tanpa adanya unsur pemaksaan secara

radikal untuk masuk agama Islam.43

Menurut Romo Rinta, nilai-nilai yang terdapat dalam

budaya sekaten meliputi nilai kebersamaan, kerukunan, dan

kesetiaan. Kebersamaan maksudnya adalah dalam penyelenggaraan

sekaten tidak mungkin hanya satu pihak yang berperan terhadap

jalannya acara, namun, peran semua pihak sangat berperan

terhadap kelancaran suatu acara. Lalu, kerukunan maksudnya

adalah adanya saling menghargai dan menghormati antara satu

dengan lainnya. Kemudian, kesetiaan maksudnya adalah adanya

sikap menerima apa pun yang diperintahkan raja oleh para abdi

dalem keraton, dengan sepenuh hati para abdi dalem dengan setia

dan taat melakukan apapun yang diperintah raja terutama dalam

mengangkat gunungan sekaten.44

Usaha mencari keselamatan hidup pada masyarakat Jawa

sudah berlangsung sejak sebelum mereka mengenal teologi

sebagaimana yang didapatkan dalam teologi agama-agama formal.

42 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan?, h. 54. 43 Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat. 44 Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara.

Page 102: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

92

Konsep tentang ketuhanan dan kekuasaan yang bersifat Ilahi sangat

penting bagi orang Jawa tradisional, karena dengan konsep tadi

orang Jawa akan menyesuaikan diri pada alam raya.45 Menurut

orang Jawa tidak ada norma kebenaran yang objektif dan absolut.

Apa yang benar, baik dan tepat adalah apa yang cocok yang

mampu mempertahankan harmoni dan menghindarkan konflik.46

Sebagian orang-orang Jawa dapat dikatakan masih percaya

adanya setan atau hantu yang mengganggu manusia.47 Orang-orang

Jawa sangat mempercayai adanya tempat-tempat yang sakral

termasuk tempat yang wingit atau angker. Agar tetap selamat dan

terhindar dari marabahaya maka berbagai sesajen diberikan di

tempat-tempat yang angker sesuai permintaan dhanyang (leluhur)

setempat. Bahkan di tempat-tempat tertentu perlu diberi sesajen

pada hari-hari tertentu.48

3) Organisasi Sosial

Organisasi sosial yang berpengaruh terhadap eksistensi

kebudayaan di Yogyakarta adalah keluarga, kemudian sekolah, dan

terakhir adalah raja sebagai pemimpin keraton.49 Pertama keluarga,

peran keluarga sangat penting selain sebagai sekolah pertama bagi

seorang anak juga sebagai agen yang menanamkan nilai-nilai

45 Saksono, dkk., Keselamatan dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Ampera Utama, 2012),

h. 15. 46 Saksono, dkk., Keselamatan dalam Budaya Jawa, h. 20. 47 Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta: Cakrawala, 2003), h. 9. 48 Saksono, dkk., Keselamatan dalam Budaya Jawa, h. 13. 49

Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito

Page 103: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

93

budaya Jawa. Salah satunya adalah dari cara bertutur kata yang

baik dan sopan ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua.

Kemudian, tentunya ini juga berpengaruh terhadap pewarisan nilai-

nilai budaya yang harus diteruskan oleh generasi berikutnya agar

tidak hilang. Kedua adalah sekolah, sekolah sebagai institusi

formal sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai kebudayaan

Jawa. Diharapkan, walau modernisasi mulai masuk ke dalam

sendi-sendi kehidupan masyarakat, melalui institusi sekolah

tranformasi nilai-nilai kebudayaan Jawa harus tetap dilakukan

kepada peserta didik. Misalnya dengan mengadakan kegiatan

ekstrakurikuler budaya agar budaya-budaya peninggalan leluhur

tidak hilang begitu saja. Terakhir adalah peran raja sendiri dalam

menjaga keutuhan tradisi-tradisi leluhur. Melalui penyelenggaraan

event-event budaya secara rutin, maka eksistensi suatu kebudayaan

akan tetap terjaga.

Page 104: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

94

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Sekaten adalah upacara dan ritual penabuhan gamelan Kiai Sekati yang

diadakan di keraton Yogyakarta setiap tahun pada tanggal 5-11 Rabiul

Awal untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan

bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.

2. Akulturasi yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal Jawa

memperlihatkan suatu bentuk komunikasi yang lebih terintegrasi.

Kedua unsur tersebut dapat bertemu dalam dalam sebuah event yang

diselenggarakan oleh wali sanga yaitu yang disebut sekaten. Gamelan

yang dibuat wali sanga adalah sebagai media komunikasi yang

digunakan dalam proses akulturasi. Proses tersebut dapat dikatakan

sukses karena banyak diterima oleh masyarakat luas. Islam yang di

satu sisi dipandang sebagai suatu budaya karena nilai-nilai yang

terdapat di dalamnya dapat saling mengisi dan berpadu terhadap

budaya lokal.

3. Secara verbal dalam tradisi sekaten kita diajarkan untuk mempelajari

Islam dengan sungguh-sungguh, hati yang terbuka, bersih dan ikhlas

sesuai dengan judul gending yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang

berjudul E Dhayuhe Teka (Hei Tamunya Datang) maksudnya adalah

ajaran Islam yang telah datang. Sekaten sendiri secara bahasa

mempunyai makna syahadatain. Artinya sekaten berasal dari kata

Page 105: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

95

syahadat yang menurut sejarahnya adalah masyarakat yang datang ke

acara sekaten diharapkan secara suka rela masuk Islam dan

mengucapkan dua kalimat syahadat. Berarti ketika telah mengucapkan

dua kalimat syahadat, maka orang tersebut harus siap mempelajari dan

mengamalkan ajaran-ajaran Islam.

4. Tradisi sekaten secara nonverbal mengandung beberapa makna

simbolik pertama, pemukulan gamelan sekaten yang intinya memiliki

makna untuk mengundang para tamu yang datang untuk segera masuk

Islam. Kedua, dari penyebaran udhik-udhik yang melambangkan

kesejahteraan yang dibagikan oleh raja kepada rakyatnya. Di sisi lain,

penyebaran udhik-udhik mengandung makna bahwa masyarakat ketika

diberi rezeki berlebih agar menyedekahkan hartanya dan dibagikan

kepada orang yang tidak mampu sehingga nantinya hartanya tersebut

menjadi berkah untuk dirinya. Ketiga, gunungan yang yang juga

menyimbolkan sedekah raja kepada rakyatnya. Gunungan tersebut

berjumlah tujuh dan kirim ketiga tempat berbeda, yaitu di Masjid

Keraton, Kepatihan dan Pakualaman untuk kemudian di rebut oleh

masyarakat. Kegiatan ngrayah atau berebut gunungan menggambarkan

sebuah filosofi bahwa manusia dalam kehidupannya untuk mencapai

tujuan harus berani melakukan persaingan.

5. Keberadaan tradisi sekaten yang tetap bertahan hingga saat ini

tentunya tidak lepas dari unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang

terdapat pada tradisi sekaten. Sistem kepercayaan yang telah dibangun

sejak lama pada masa kerajaan Hindu-Budha berkuasa di tanah Jawa

Page 106: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

96

meninggalkan budaya-budaya bercorak klenik dan tentunya hal itu

berpengaruh terhadap perilaku hidup masyarakat Jawa sampai saat ini.

Mitos-mitos yang masih diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa

menjadi sikap budaya yang kemudian berpengaruh terhadap eksistensi

dari tradisi kebudayaan yang diyakini oleh masyarakat tersebut.

B. SARAN

1. Kepada pimpinan keraton Yogyakarta agar penyelenggaraan sekaten

kedepannya lebih mengutamakan keselarasan antara aspek budaya,

religi, dan ekonomi.

2. Dalam penelitian selanjutnya, diharapkan agar bisa dijadikan acuan

dalam mengkaji komunikasi antarbudaya berikutnya. Peneliti melihat

ada baiknya jika penelitian berikutnya bisa membahas mengenai

bagaimana strategi komunikasi antarbudaya yang dilakukan para wali

dalam dakwahnya di tanah Jawa.

Page 107: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

97

DAFTAR PUSTAKA

Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi

Agama. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006.

Alim, Syariful. Hakikat Tuhan dan Manusia: Perspektif Pujangga Muslim Jawa.

Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2013.

Anugrah, Dadan dan Kresnowiati, Winny. Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan

Aplikasinya. Jakarta: Jala Permata, 2008.

AW, Suranto. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.

Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus

Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2011.

Crapo, Richley H. Cultural Anthropology: Understanding Ourselves & Others.

New York: McGraw-Hill, 2002.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya (Juz 1-

Juz30). Surabaya: C.V. Jaya Sakti, 1997.

DeVito, Joseph A. Komunikasi Antarmanusia. Tangerang Selatan: Karisma, 2011.

Dinas P dan K. Upacara Adat Karaton Ngayogyakarta. DIY: Dinas P dan K, t.t.

___________. Sekilas Pembuatan Gunungan Dalam Rangka Upacara Grebeg

Mulud Tahun BE 1912. Yogyakarta: Dinas P dan K, 1981.

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2002.

Endraswara. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2003.

Page 108: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

98

Hasan, M Iqbal. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya.

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.

Heryanto, Fredy. Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta:

Warna Mediasindo, 2010.

Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS,

2003.

__________. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007.

__________. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana, 2011.

Loewhental, Kate. Religion, Culture, and Mental Health. USA: Cambridge

University Press, 2006.

Mardimin, Johanes. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju

Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Moeliono, Anton M. dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen

Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.

Muhaimin. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana, 2005.

Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya,

2007.

Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. Komunikasi Antarbudaya: Panduan

Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Bandung:

Rosdakarya, 2006.

Nasrullah, Rulli. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta:

Kencana, 2013.

Page 109: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

99

Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Paeni, Mukhlis. Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial. Jakarta: Rajawali

Pers, 2009.

Pusat Studi Pariwisata UGM. Bahan Diskusi Bulanan (Kumpulan Opini dan Surat

Kabar) Privatisasi Sekaten? Yogyakarta: T.pn., 2005.

Rintaiswara. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa.

Yogyakarta: KHP Widya Budaya, t.t.

Rodzik, Ali Abdul, Akulturasi Budaya Betawi Dengan Tionghoa (Studi

Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di

Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Skripsi S1

Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri

Jakarta, 2008.

Roudhonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN PRESS, 2007.

Rumondor, Alex H. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Universitas Terbuka,

1995.

Saksono. dkk. Keselamatan dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Ampera Utama,

2012.

Samovar, Larry A. Understanding Intercultural Communication. USA:

Wadsworth Publishing Company, 1981.

Shoelhi, Mohammad. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung:

Simbiosa Rekatama Media, 2009.

Suyami. Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam

Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press, 2008.

Page 110: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

100

Yahya, Ismail. dkk. Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah

Pertentangan? Solo: Inti Medina, 2009.

WEBSITE

Aditya, Ivan. “Sultan Buka Sekaten.” Artikel diakses pada 31 Agustus 2013 dari

http://kr.co.id/read/155343/sultan-buka-sekaten.kr

Ardian, Aan. “Gerebeg Sekaten.” Artikel diakses pada 31 Agustus 2013 dari

http://kotajogja.com/wisata/index/Grebeg-Sekaten

Budi W. “Gending Sekaten diperdengarkan Secara Streaming Radio.” Artikel

diakses pada 30 Agustus 2013 dari

http://gudeg.net/id/news/2012/01/6838/Gending-Sekaten-diperdengarkan-

Secara-Streaming-Radio.html#.UnEHccjL98I

Humas UGM. “Privatisasi Sekaten?” Artikel diakses pada 6 oktober 2013 dari

http://www.ugm.ac.id/id/berita/1074-privatisasi.sekaten

Riyadi, Timur Arif . “Warisi Tradisi di Panggung Sekaten.” Artikel diakses pada

30 Agustus 2013 dari http://www.jurnas.com/halaman/12/2013-01-

22/232476

Setyawan, Hendra. “Sultan: Sekaten Berkembang Sesuai Zaman.” Artikel diakses

pada 30 Agustus 2013 dari

Page 111: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

101

http://regional.kompas.com/read/2012/12/21/18493744/Sultan.Sekaten.Ber

kembang.Sesuai.Zaman

Windu, “Grebeg Maulud di Kepatihan,” artikel diakses pada 20 Januari 2014 dari

http://www.dolan-dolan.net/2014/01/grebeg-maulud-di-kepatihan.html

Wikipedia, “Asimilasi (Sosial),” artikel diakses pada 26 Januari 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Asimilasi_(sosial)

WAWANCARA

Wawancara Pribadi dengan KRT Drs H. Ahmad M Kamaludiningrat. Yogyakarta,

8 Januari 2014.

Wawancara Pribadi dengan KRT Rintaiswara. Yogyakarta, 24 Agustus 2013.

Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat. Yogyakarta, 21 Agustus 2013.

Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito. Yogyakarta, 27 Januari 2014.

Page 112: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

LAMPIRAN-LAMPIRAN

PRIVATISASI SEKATEN?

Di Upload : Kamis, 31 Maret 2005 — HumasUGM Kategori :

• Liputan/Berita

Lain dulu lain sekarang, itulah kata yang pantas untuk mereflesikan pentas budaya Yogyakarta yang bermakna religius bernama Sekaten. Kata sekaten sangat akrab bagi kalangan masyarakat Jogja, khususnya di lingkungan Kraton. Setiap tahun pada setiap bulan Maulud pada penanggalan Jawa, Sekaten diadakan dan bertempat di Alun-Alun Utara. Pentas budaya Sekaten menampilkan berbagai macam jenis aktivitas ekonomi, budaya dan sekaligus sebagai interaksi sosial masyarakat. Di Sekaten ini pula simbol budaya dan kekuasaan Kraton berinteraksi dengan masyarakat. Demikian dijelaskan Kepala Pusat Studi Pariwisata, Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc saat Diskusi Bulanan Puspar UGM bertema “Privatisasi Sekaten ?” pada hari Rabu, 30 Maret 2005 di Ruang Sidang Puspar UGM.

“Tapi apa yang nampak sekarang sangat berbeda dengan yang masa dulu. Sejak tahun 2004 nama Sekaten telah dikemas dalam paket yang diberi nama Jogja Expo Sekaten ( JES). Gelar Expo diduga akan lebih bersifat bisnis daripada sifat-sifat religius dan budaya sebagai ruh dasar Sekaten,” ujar pak Hendrie.

Menurut pak Hendrie, karena pengelolaannya berbasis bisnis, maka stan Sekaten pun dirubah secara besar-besaran. Tempat pelaksanaannya tetap di Alun-Alun Utara, namun Sekaten sekarang lebih tertutup bagi kalangan kebanyakan. Seluruh Alun-Alun Utara didesain mirip beteng dengan penambahan gerbang sebagai jalan masuk. “Akibatnya masyarakat luas tidak lagi bebas melihat secara langsung seperti saat dulu, apalagi ditambah dengan harga tiket masuk yang menurut sebagian pengunjung sangat memberatkan mereka,” tutur pak Hendrie.

Ditambahkan pak Hendrie, pada saat gamelan ditabuh sebagai simbol interaksi rakyat dan kraton (simbol penguasa), suaranya terhalang oleh dinding yang mengelilingi JES. Gamelan yang ditaruh di kawasan Masjid Besar Kauman bukan lagi bagian dari Sekaten.

“Kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perubahan itu adalah privatisasi. Kalau sudah seperti ini, sesungguhnya Sekaten tidak ada bedanya dengan kegiatan expo yang sering dilaksanakan di Jogja Expo Center (JEC) atau expo pasar raya di berbagai daerah di Indonesia. Lalu pertanyaan yang lebih spesifik adalah apa yang istimewa dari Sekaten? Benarkah perubahan-perubahan modus penyelenggaraan

Page 113: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Sekaten belakangan ini telah menjurus kearah privatisasi? Kemudian apa konsekwensi perubahan-perubahan tersebut terhadap makna dan substansi Sekaten yang sarat dengan nilai nilai kultural dan identitas Jogja?” tanya pak Hendrie.

Selain Drs. Subarkah (Ketua Panitia JES’05); acara ini dihadiri pula para pembicara Herman Isdarmadi, A. Md, Ak (Komisi B DPRD Kota Jogja); dan Ir. Yuwono Sri Suwito, MM (Dewan Kebudayaan DIY). (Humas UGM)

Diakses dari http://www.ugm.ac.id/id/berita/1074-privatisasi.sekaten pada tanggal 6

oktober 2013.

Sultan: Sekaten Berkembang Sesuai Zaman

• Jumat, 21 Desember 2012 | 18:49 WIB

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X |

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X

menyatakan, Pasar Malam Perayaan Sekaten yang digelar rutin setiap tahun untuk

memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW akan selalu berkembang sesuai zamannya.

"Hingga saat ini, perayaan Sekaten masih terus ada. Ini membuktikan bahwa Sekaten mampu berkembang sesuai zaman," kata Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X saat pembukaan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) 2012 di Yogyakarta, Jumat.

Menurut Sultan, perayaan Sekaten yang menjadi bagian dari "hajat dalem" tersebut merupakan wujud dinamika budaya Jawa yang diberi aksentuasi warna yang khas.

Meskipun pelaksanaan PMPS terus berkembang sesuai zaman, namun Sultan berpesan agar pelaksanaan Sekaten tersebut tetap mengacu pada tiga aspek utamanya yaitu religi, budaya dan ekonomi.

"Khusus untuk aspek ekonomi dari perayaan Sekaten ini bisa dimanfaatkan oleh usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengembangkan diri. Kedua aspek lainnya juga jangan ditinggalkan," katanya.

Page 114: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Sultan kemudian menyebutkan sejumlah pelaksanaan PMPS yang dinilai berhasil, yaitu pada era 1960-an karena saat itu perayaan Sekaten diikuti oleh sejumlah negara sahabat dan pada 2004 dengan tema "Jogja Expo Sekaten" karena dilakukan dengan inovasi kreatif khususnya untuk bentuk stan.

Sementara itu, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengatakan, bahwa perayaan Sekaten merupakan cerminan kehidupan masyarakat di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang.

"Tema dalam perayaan Sekaten tahun ini adalah harmoni religi, budaya dan ekonomi untuk Yogyakarta istimewa. Ada tiga aspek yang tetap dipertahankan dalam pelaksanaan PMPS tahun ini," katanya.

Unsur budaya yang tetap dipertahankan dalam perayaan tahun ini dilakukan dengan pengadaan panggung kesenian yang akan diisi atraksi kesenian dari 45 kelurahan.

Sedangkan promosi potensi ekonomi diwujudkan dengan anjungan Forum Komunikasi UMKM dari 14 kecamatan, sedangkan religi diwujudkan dengan perayaan Sekaten itu sendiri.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, perayaan Sekaten dipusatkan seluruhnya di Alun-alun Utara Yogyakarta, mulai dari parkir, panggung hiburan, arena permainan dan stan pedagang. PMPS akan digelar pada 21 Desember hingga 24 Januari 2013.

Diakses dari http://regional.kompas.com/read/2012/12/21/18493744/Sultan.Sekaten.Berkembang.Sesuai.Zaman

Gending Sekaten diperdengarkan Secara Streaming Radio

Selasa, 31 Januari 2012, 10:19 WIB

Terdengar sayup alunan ayat suci Al Qur'an dipengeras Masjid Gede Kauman

Yogyakarta. Saat itu jam 19.30 WIB pengajian ibu-ibu dimulai serta pengunjung

di Pasar Malam Sekaten semakin membludak menuju 2 bangsal dimana dua

Page 115: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

gamelan kraton yaitu Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogo Wilogo

dimainkan tepat 30 menit kemudian.

Para Abdi Dalem berpakaian hijau didalam dua tempat itu sudah ada pada

posisinya masing- masing, ada yang bertugas menabuh gong, Kenong, Kempul,

Kendang dan Ganjur. Semua gamelan tersebut jika disusun sedemikian rupa

berbunyi: ‘ nong-ning ', maksudnya nong-kono, nong-kene (disana-disini), ‘ pung-

pung ', maksudnya mumpung-mumpung (selagi ada kesempatan), ‘ tak ndang-tak

ndang ' artinya ndang-ndang (cepat-cepat atau segera) dan disusul dengan bunyi ‘

nggurr ' yang berarti njegur (berwudhu dan masuk masjid).

Dengan demikian nilai filosofis bunyi gamelan pengiring upacara sekaten adalah

mengajak semua orang dimana saja agar mereka menggunakan kesempatan

hidupnya untuk segera masuk agama Islam agar dapat hidup selamat di dunia

maupun akhirat.

Tepat pukul 20.00 WIB, bedug dipukul oleh salah seorang wiyogo abdi dalem, sontak beberapa orang yang tidak siap kaget dan mata mereka langsung menuju ke pusat suara. Gamelan ditabuh dan gending sekaten dimulai di dua tempat yang berada di sisi kanan dan kiri Masjid Kauman tersebut.

Teo beserta ayah dan ibunya datang jauh-jauh dari Sewon Bantul untuk menikmati gending sekaten yang datang hanya 1 tahun sekali ini. Ayah Teo mengaku sengaja mengajak anak laki-lakinya ini untuk mengenal gamelan serta gending yang dimainkan saat sekaten. "Setiap tahun keluarga kami selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke depan masjid ini," jelas ayah Teo kepada tim Gudegnet tadi malam.

Oleh karena Teo masih berumur 5 tahun, maka Ia meminta ayahnya untuk dinaikkan keatas pundak sang ayah. Teo menikmati gamelan tersebut meski harus pulang larut malam. Gamelan Sekaten sendiri dimainkan selama 1 minggu hingga 4 Februari 2012 mendatang. Yang menarik dari gamelan Sekaten tahun ini adalah bahwa Anda pun bisa mendengarkan dirumah via radio streaming. Budi W - GudegNet

Page 116: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Tag: sekaten jogja

Disadur dari http://gudeg.net/id/news/2012/01/6838/Gending-Sekaten-

diperdengarkan-Secara-Streaming-Radio.html#.UnEHccjL98I

Grebeg Sekaten Lokasi: Masjid Gedhe Kraton Kasultanan "Makna Simbolis dan Filosofis dalam Kehidupan"

Lautan manusia memadati Alun-alun Utara hingga pintu gerbang Masjid Gedhe untuk mengikuti prosesi Grebeg Maulud dengan membawa Gunungan sebagai puncak acara Sekaten yang telah berlangsung selama satu bulan. Tumpah ruah mejadi satu dengan berbagai kepentingan untuk menikmati Grebeg Sekaten ini. Grebeng adalah prosesi adat sebagai simbol sedekah dari pihak Kraton Yogyakarta kepada masyarakat berupa gunungan. Kraton Yogyakarta dan Surakarta setiap tahunnya selalu mengadakan upacara grebeng sebanyak tiga kali pada hari besar Islam, yaitu Grebeg Syawal pada Hari Raya Idul Fitri, Grebeg Besar bertepatan pada Hari Raya Idul Adha dan Grebeg Maulud yang lebih populer Grebeg Sekaten pada peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW. Kata grebeg berasal dari kata gumrebeg yang memiliki filosofi sifat riuh, ribut dan ramai. Tidak ketinggalan pula kata gunungan memiliki filosofi dan simbol dari kemakmuran yang kemudian dibagikan kepada rakyat. Gunungan di sini adalah representasi dari hasil bumi (sayur dan buah) serta jajanan (rengginang). Pada Grebeg Sekaten, gunungan yang dijadikan simbol kemakmuran ini mewakili keberadaan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler (pria), Gunungan Estri (perempuan), serta Gepak dan Pawuhan. Gunungan ini dibawa oleh para abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan berkain batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah lingkarannya. Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker.

Prosesi Kirab Gunungan dimulai dari Kori Kamandungan sebagai titik awal kirab Grebeg untuk dibawa menuju halaman depan Masjid Gedhe. Tembakan salvo menjadi tanda dimulainya kirab. Dari Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju Pagelaran di alun-alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan melewati pintu regol.

Page 117: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Prajurit Wirobrojo yang dikenal dengan prajurit lombok abang --karena pakaiannya yang khas berwarna merah-merah dan bertopi Kudhup Turi berbentuk seperti lombok-- mempunyai tugas sebagai cucuking laku alias pasukan garda terdepan di setiap perhelatan upacara kraton. Sebelum memasuki acara puncak 'rebutan gunungan' serah terima pengawalan gunungan dilakukan, dari prajurit Wirobrojo ke prajurit Bugis yang berseragam hitam-hitam dengan topi khas pesulap serta ke prajurit Surakara yang berpakaian putih-putih. Setelah gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede untuk didoakan oleh penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan.

Selesai doa diucapkan, gunungan pun sontak direbut oleh masyarakat yang datang dari seluruh penjuru Jogja. Memang ada kepercayaan dari masyarakat bahwa barangsiapa yang mendapat bagian apa pun dari gunungan tersebut, dia akan mendapat berkah. Kegiatan 'ngrayah' atau berebut mengambarkan sebuah filosofi bahwa manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan harus berani melakukan persaingan dan permasalahan hidup harus dihadapai bukan untuk dihindari. Selain prosesi 'ngrayah' terdapat pula ciri khas dari Grebeg Sekaten ini, yaitu telur merah yang akrab disebut 'ndog abang' yang ditusuk dengan bambu dan dihiasi kertas sebagai bunga-bunga untuk mempercantiknya. Saya sempat bertanya arti filosofi telur merah kepada ibu penjual tersebut. Menurut Ibu Wagirah, telur adalah bentuk permulaan kehidupan, sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut perlambang bahwa semua kehidupan di bumi ini memiliki poros yaitu Gusti Alloh. Warna merah artinya keberuntungan, rejeki, berkahdan keberanian. (konten: aan ardian/kotajogja.com)

Disadur dari http://kotajogja.com/wisata/index/Grebeg-Sekaten

Gunungan Gerebeg Maulud Menuju Kepatihan

Penulis: Jodhi Yudono | Selasa, 8 Februari 2011 | 21:12 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Prosesi Gunungan Gerebeg Maulud yang menjadi puncak Sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 2011 akan singgah di Kepatihan, kantor pusat pemerintahan Provinsi DIY.

"Selain akan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman dan Puro Pakualaman sebagaimana telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, Gunungan Gerebeg Maulud kali ini juga akan dibawa ke Kepatihan," kata Kepala Seksi Pembinaan dan Pelestarian Nilai-Nilai Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Widyastuti di Yogyakarta, Selasa.

Page 118: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Menurut dia, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat akan mengeluarkan tujuh buah gunungan dengan lima jenis gunungan yaitu Gunungan Kakung, Putri, Gepak, Pawuhan dan Darat.

Gunungan yang akan dibawa ke Kepatihan dan juga ke Pakualaman adalah Gunungan Kakung dengan jumlah masing-masing satu buah gunungan.

"Ini baru pertama kalinya gunungan dibawa ke Kepatihan. Tidak ada hubungannya dengan masalah keistimewaan DIY yang kini sedang menjadi polemik di tingkat nasional," katanya.

Gerebeg Maulud tersebut akan digelar pada Rabu (16/2) atau berbeda satu hari dari Peringatan Maulud Nabi yang ditetapkan oleh pemerintah.

"Pada saat pelaksanaan gerebeg tersebut, pegawai di Kepatihan tidak libur. Inilah yang akan menjadi perhatian kami, agar acara bisa berlangsung lancar," katanya.

Sementara itu, Abdi Dalem Punokawan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Kanjeng Raden Tumenggung Waseso Winoto mengatakan, pemberian gunungan ke Kepatihan tersebut seperti mengulang kejadian di masa lalu.

"Pada jaman dulu, sekitar tahun 1939, gunungan dari keraton itu bahkan diberikan ke tiap-tiap bupati yang masuk wilayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat," katanya.

Ia mengatakan, gunungan tersebut pada dasarnya adalah sedekah dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kepada seluruh rakyatnya.

"Jika memungkinkan, maka gunungan itu bisa diberikan kepada bupati-bupati yang ada di wilayah DIY seperti jaman dulu," katanya.

Sementara itu, Kepala Bidang Polisi Pamong Praja dan Pengembangan Masyarakat Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Supriyadi mengatakan, akan ada sekitar 450 petugas dari Dinas Ketertiban, Kepolisian Resor Kota Yogyakarta dan Paksi Katon yang akan diterjunkan untuk mengamankan acara Gerebeg Maulud tersebut.

Supriyadi mengatakan, kesulitan yang akan dihadapi adalah bahwa arah gunungan akan berlawanan dengan arus lalu lintas di Jalan Malioboro, sehingga pihaknya memutuskan akan menutup Jalan Malioboro hingga acara berakhir.

"Kemungkinan acara akan berlangsung pada pukul 10.00 WIB. Jalan Malioboro akan ditutup sekitar dua jam sebelumnya hingga acara berakhir," katanya.

Sumber :

Page 119: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

ANT

Editor :

Jodhi Yudono

http://oase.kompas.com/read/2011/02/08/21121991/Gunungan.Gerebeg.Maulud.Men

uju.Kepatihan

Page 120: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 121: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 122: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 123: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 124: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

DOKUMENTASI

Pembukaan pasar malam sekaten oleh Gubernur DIY bersama Walikota

Yogyakarta tahun 2012 di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara Yogyakarta.

Pertunjukkan tarian daerah dalam rangka pembukaan sekaten 2012 di Alun-alun

Utara Yogyakarta.

Penjual makanan khas sekaten (endog abang dan daun sirih) di Alun-alun Utara

Yogyakarta.

Petugas pemukul gamelan yang sedang memukul gamelan di Masjid Gedhe

Kauman.

Spanduk Sekaten 2013.

Page 125: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Rebutan gunungan sekaten yang dilaksanakan di halaman masjid Gedhe

Kauman Yogyakarta.

GBPH. Prabukusumo menyebarkan udhik-udhik sebagai simbol sedekah kerajaan

kepada rakyat.

Sri Sultan Hamengku Buwono X bergegas kembali ke Keraton seusai mendengarkan

pembacaan riwayat nabi.

Iring-iringan prajurit keraton yang sedang mengusung gunungan.

Prajurit keraton yang sedang mengusung gamelan sekaten.

Gunungan sekaten yang diarak menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan.

Page 126: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

LEMBAR WAWANCARA TERTULIS DENGAN KRT. RINTAISWARA

Nama: KRT. Rintaiswara

Pekerjaan: pengurus Kawedanan Hageng Punakawan Widya Budaya

Waktu wawancara: 24 Agustus 2013, pukul 10.00 WIB.

Tempat Wawancara: KHP Widya Budaya, Keraton Yogyakarta.

A: Kalau menurut bapak makna dari sekaten itu sendiri apa pak?

B: Sekaten itu sendiri merupakan upacara hari kelahiran nabi Muhammad saw yang

diselenggarakan di keraton yogyakarta. Sebenarnya sekaten ini tidak hanya di

keraton yogyakarta, awal-awalnya tidak di sini, di jaman Demak pun sudah ada

perayaan sekaten. sekaten itu ada dua versi, berasal dari bahasa sekati, nama

gamelan dari kerajaan majapahit yang kemudian dibunyikan atau ditabuh di

masjid demak, ya, kemudian orang mendengarkan, Ya, bunyi gamelan sekati itu

dari istilah itu muncul sekatian atau sekaten, nah, versi lain ialah karena setelah

orang berkumpul dan diterangkan para wali tentang apa dan siapa nabi

muhammad, tentang apa dan bagaimana islam, gimana hidup menurut ajaran

agama islam, rukun islam itu apa, rukun iman itu apa, cara masuk islam

bagaimana, sehingga orang rame-rame, ya, ada pro ada kontra, ada yang ragu-

ragu, ok aku masuk islam, ya kalau masuk islam syaratnya ini-ini-ini, ini itu apa

membaca dua kalimat syahadat, dari istilah syahadatain timbul istilah sekaten, itu,

jadi intinya adalah....

A: Tadi kata bapak sekaten itu dilaksanakan di dua tempat jogja dan surakarta. Itu

apakah ada perbedaan dari pelaksanaan sekaten itu sendiri?

B: Gak, secara prinsip gak berbeda, ya, sekali lagi bahwa sekaten itu berawal dari

jaman demak terus berkembang, dilanjut teruskan sampai kerajaan-kerajaan

berikutnya umpamanya di mataram, iya to, nah mataram itu nanti, ada di kota

gedhe,lalu di pleret, terus nanti sampai di kartosuro, sampai tahun 1755 itu di

surakarta ibu kotanya ya, setelah tahun 1755, kemudian, itu dibagi dua, surakarta

di sana dan yogyakarta di sini, sama-sama sebagai penerus mataram, di sana juga

Page 127: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

ada perayaan sekaten, di sini juga ada perayaan sekaten, di sini ada gunungan, di

sana ada gunungan juga, ya perbedaan secara prinsip tidak ada, namun yang

kecil-kecil saya kira ada, gunungan di sana dengan di sini itu bedanya apa dapat

dilihat, di sana pakai bendera merah putih di kepalanya, di sini tidak ada, ya,

karena di mataram itu tidak ada dikibarkan bendera putih di puncak gunungan

sekaten,

A: Terus, unsur-unsur budaya yang ada dalam tradisi sekaten ini apa aja pak?

B: Unsur budaya? Yaitu budaya, ya budaya rakyat, perayaan sekaten itu intinya syiar,

ya, syiar islam, lah, gamelan yang dibunyikan itu pun, nadanya atau gendingnya,

nama-nama islam, seperti: ngajatun, salatun, rangkung, rambu, itu nada-nada

untuk gending itu diambil dari kata-kata islam to, salat-salatun, ngaji-ngajatun,

rangkung, rambu dan segalanya, di samping juga ada solawat, solawat jawa,

solawat asli, nah kemudian berkembang itu tidak Cuma...., ya intinya seperti itu

to, intinya adalah budaya yang bernuansa islam, tapi kemudian berkembang, ya

menjadi pesta rakyat, dalam perayaan sekaten lho, itu adalah pesta rakyat dalam

artian ya ada pasar malam itu yang bernilai ekonomi, juga yang bernilai hiburan,

nanti pentas-pentas kesenian, grup-grup dari rakyat, entah yang namanya

ketoprak, entah yang namanya wayang orang dulu, ada yang namanya kerawitan,

jatilan, itu istilahnya ya meramaikan saja dari perayaan sekaten, tapi sekaten itu

sendiri adalah syiar islam versi mataram, syiar islam versi mataram yang

merupakan kelanjutan dari wali, di islam yang berkembang di jawa itu fakta

berasal dari para wali, yang nuansanya kental dengan adat-istiadat budaya

setempat, ini berbeda dengan yang berkembang sekarang, menghendaki islam itu

pure murni tidak boleh dicampur dengan macam-macam adat-istiadat setempat,

ada yang begitu kan? Nah sedangkan islam yang berkembang di jawa yang

dikembangkan di kerajaan-kerajaan itu adalah menurut ajaran para wali, di mana

mistis dan hal-hal yang berbau irasional, kelebihan seseorang itu sangat menonjol

dari para wali itu, di jawa barat ada sunan gunung jati, ya to, yang di cirebon, nah

kemudian di sana menurunkan raja-raja yang di banten dan juga di jakarta,

Page 128: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

A: Itu kan dalam tardisi sekaten ada unsur budaya nya jga terus ada unsur ke-

islamannya ya pak, itu, bagaimana kedua unsur tersebut dapat menjadi satu

sehingga menjadikan suatu tardisi sakral yang diadakan tiap tahun itu pak,

B: Ya semuanya itu di jiwai dengan semangat toleransi, semuanya berjalan, artinya

kesenian-kesenian yang islami ya silahkan bersanding dengan kesenian-kesenian

tradisi rakyat, ya misalnya ada jatilan, ada tari ketoprak, ada ya grup-grup lain itu

tidak bertentangan dengan islami, dengan islam, yang bertentangan dengan islam

ialah apa kesenian dangdut, ya, yang vulgar, yang istilahnya erat dengan erotisme,

atau erat dengan hal-hal yang berbau porno itu tidak sejalan, sehingga pernah dulu

di jogja ada seperti itu, sehingga akhirnya dilarang, dalam perayaan sekaten tidak

boleh ada pertunjukkan dangdut dan sebangsanya yang mengeksploitir ya

pornografi, atau bagian-bagian tubuh yang merangsang itu tidak boleh karena

tidak sesuai dengan isi dan tujuan dari perayaan sekaten itu,

A: Terus sistem kepercayaan yang terbentuk di masyarakat itu seperti apa itu pak?

B: Sistem kepercayaan yang bagaimana maksudnya?

A: Misalnya agama,?

B: Ya agama, berjalan wajar-wajar saja, maksudnya islam ya berkembang di

jogjakarta lho, di mataram yo berkembang sesuai alami lah, ya, maksudnya alami

ya ada masjid, ada kelompok pengajian, ada ustad, ya ini juga mereka itu

berperan dalam membimbing, mengarahkan, ada jamaah untuk melaksanakan

nilai-nilai islam ajaran-ajaran islam, ya tanpa menimbulkan gejolak, ya, tidak ada

yang protes perayaan sekaten itu sirik, mengarak gunungan itu tidak sesuai

dengan tauhid misalnya, ya walaupun setengah orang mungkin punya pendapat

seperti itu, ya jadi tentang kepercayaan ya masyarakat jogja, masyarakat jawa ya

islam nya berkembang wajar-wajar saja, tidak ada fanatisme, di jogja itu ada

pusat pembaharuan, muhammadiyah, tapi tidak ada bentrok antara

muhammadiyah dengan yang tradisional yang NU, ya biasa aja, tarolah yang 11

ya silahkan jalan, yang 23 ya silahkan saja, tidak ada.., ya kalau memang bersama

Page 129: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

ya sudah nanti merayakan idul fitri ya bersama malam takbiran juga bersama,

ndak ada apa-apa, ya..

A: Terus selanjutnya, apakah nilai-nilai yang bisa diambil dalam tradisi sekaten mulai

dari pelaksanaan sampai akhir pelaksanaan sekaten itu pak,

B: Ya nilai nya itu kebersamaan, kerukunan, dan kesetiaan, itu ada, kebersamaan ya

itu kan tidak bisa sendiri ya harus ada panitia antara pihak keraton di satu sisi,

dengan pihak pemerintah kota madya, ya, di sini ada kerja sama, ada kerukunan

ada ya saling menguntungkan lah jangan saling menjegal, ya karena even ini

milik keraton, tapi nanti penyelenggaraannya itu banyak melibatkan dari aparat,

pemerintah, tahu maksud saya? Gamelan itu, milik keraton, tapi setelah keluar

dari pintu keraton ini diserahkan pada pemerintah setempat, yang bertanggung

jawab di luar keraton, walaupun masjid itu milik keraton, tapi kan di luar beteng,

rumah keraton, itu yang tanggung jawabnya panitia, panitia sekaten, yang di

orangi oleh orang-orang dari kota madya, ada serah terima dari acaranya, kalau

nanti kurang atau rusak atau ya itu ada serah terima antara pihak keraton dengan

pihak pemerintah, nanti ketika sudah selesai ada serah terima, begitu contoh kerja

sama, alun-alun itu milik keraton, tapi dalam pengelolaannya kan diserahkan pada

pemda kota, keraton tidak mengurus tentang itu, tentang stand itu berapa sewanya

ya sekian hari berapa sewanya, keraton mendapat berapa, ya itu ditanggung

urusan sana, kesetiaan, ya jelas harus ada kesetiaan, kalau tidak ada kesetiaan

mana mungkin itu,.. gunungan kan di bawa orang, dipikul, tidak Cuma dua orang,

20 orang tiap set, diambil dari rakyat sekitar, sebulan sebelumnya sudah dikasih

tau, keraton butuh tenaga untuk memikul gunungan dengan sekian orang, mereka

dengan senang hati oke-oke-oke, disamping mungkin ya tidak ada yang mau juga,

sebanyak orang, mereka bersedia seperti itu, walaupun upahnya, katakanlah upah,

ya cuman sedikit, ya, tidak ada itungan UMR, oke, itu ada kesetiaan, mereka

bangga walaupun berpanas-panas, gitu loh aneh ya untuk itu besok silahkan lihat,

tidak usah Mulud, besar idul adha itu ada, dan tidak Cuma di masjid sekarang,

ada di tiga titik, tiga tempat, di masjid besar itu lho reguler, di kepatihan

Page 130: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

malioboro, dan di pakualaman, dikirim ke sana satu, satu, di situ lima, ya, ini

yang baru yang tambahan yang pekalongan yang di sana itu adalah baru,

A: Trus, apakah hambatan-hambatan yang terjadi pada perayaan tradisi sekaten mulai

dari pelaksanaan sampai selesainya acara, ada pak?

B: Ya hambatannya, masalahnya saya bukan panitia penyelenggaraan sekaten tapi

hambatannya bisa jadi cuaca, ya, contoh ya ini pasar malamnya pas musim hujan,

ya itu hambatan, jadi panitia pasar malam istilahnya tekor, defisit bisa jadi,

hambatan dalam pelaksanaan hari H, ya, misalnya ya tadi hujan, ya, tapi

sepanjang ini yo, sepanjang saya mengikuti belum pernah, belum tau hujan, ya

kalau itu jalan wajar-wajar saja gak apa-apa itu, jam 10 keluar dari keraton

kemudian kurang satu jam selesai, rakyat membagi sendiri borampe gunungan itu,

artinya kan dibagi, tapi kan sekarang orang kan berupaya untuk memperoleh lebih

tidak sekedar diberi artinya mengambil sendiri, jadi rakyat mengambil barang-

barang itu mengambil borampe gunungan itu, sehingga kalau itu dibilang

hambatan ya bisa jadi hambatan, di mana petugas itu sulit untuk membendung

kerumunan massa, yang antusias untuk mengambil barang-barang keraton yang

berupa gunungan itu, sebetulnya barang-barang itu adalah barang-barang yang

dari luar tapi yang gak tau itu kacang, itu telur, atau makanan kecil dan tepung itu

ya dibeli nya dari pasar, tapi ya entah itu dibuat di keraton lalu dibawa keluar lalu

lain nilainya, saya ngiri, gumun itu, dulu waktu pertama kali ya pokoknya dari

tahun ke tahun itu tidak berkurang itu, semakin bertambah, ketika, ya dulu ketika

beberapa puluh tahun yang lalu ketika saya ikut yang namanya mencari udhik-

udhik, ya, kalau mulud itu, Sultan untuk menyebar udhik-udhik uang logam, dari

kerumunan itu ketika berdiri banyak orang ada logam yang jatuh di bawah itu

kami masih bisa untuk mengambil, sekarang sudah tidak bisa, karena saking

banyaknya orang, nanti terdesuk-desuk malah berbahaya, udhik-udhik itu ya

logam , uang logam, campur beras, campur bunga ya, ini dalam perayaan sekaten

ya ketika gamelan mulai dibunyikan pada tanggal 5 malam 6 bulan Mulud ya,

mulud jowo lho iki, bukan Rabiulawal ya, 5 malam 6, ini gamelan dibunyikan di

Page 131: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

ponconiti, ya, di ponconiti itu di halaman depan di dekat tiketan tadi, di sana, nah

ini, awal mulainya ini ngarsa Dalem atau raja mengutus adik nya adik Rayu

Dalem namanya dua orang biasanya, Gusti Prabu dan Gusti Yudho, untuk

menyebar undhik-udhik, kepada yang menabuh dan khalayak itu buanyak, jadinya

ratusan ribu uang kalau di hitung karena di bokor itukan, di bokor, bokornya, ya

bokorlah, dua ini penuh, ya itu rakyat ya siapapun ingin memperoleh itu, walau

pun itu istilahnyaa koin, dulu ratusan, nah sekarang ratusan sudah sulit, diganti

500an, pokoknya ini ni disebar, bersama beras, ya, ya resminya beras dan bunga,

koin, tapi yang kebanyakan diambil ya koin, itu di awal, diawal membunyikan

sekaten, 5 malam 6 di ponconiti, iyo to, nah bersamaan itu pula orang-orang yang

dekat ini membeli kinang, kinang itu sekapur sirih, seperangkat makan sirih, ya

kinang, nah ketika ini dibunyikan pertama kali, gamelan ini dibunyikan pertama

kali, mereka bersama-sama untuk mengunyah, kinang itu, daun sirih, dan kapur,

kinang itu namanya, ya itu kepercayaan lama ya macam-macam itu, terserah pada

mereka, tidak ada instruksi untuk demikian, itu reka-reka mereka sendiri, katanya

mau awet muda, atau mau apa, ya terserah mereka, kok bisa hubungannya apa, ya

itu memang hal-hal di dunia itu rasional, tapi juga banyak yang irasional, tidak

boleh lalu dilabeli, oh itu reasionable, tidak nalar itu, tidak boleh , nah tidak boleh

melarang-larang seperti itu, itu, ya nanti pada hari H nya, 12 ya, ini kan tanggal 6

, 5 malam 6, selama dari tanggal 6 sampai 12 gamelan, ini nanti sore ya, sekitar

jam 23 atau 11 gamelan ini di usung ke masjid besar, ke halaman masjid besar, ya

di sebelah selatan satu set, di sebelah utara satu set, yang di selatan itu yang senior

yang diebut namanya kanjeng Kiayi Guntur madu, dan satu lagi yang lebih junior

yang di sebelah utara disebut Nagawilaga, nah ini gamelan pusaka, gamelan

berat-berat, membutuhkan tenaga, tidak Cuma satu dua, berpuluh-puluh,

disamping yang membawa juga ada yang menjaga, pramuka, pemuda, hansip,

Hanra, Polisi, kalau tidak ada kerja sama kalau tidak ada kesetiaan mana mungkin

mereka ya,,,bermalam-malam bersusah-susah, seperti ini, ini dibawa kesana, nah

terus dari tanggal 6 sampai 12, gamelan itu dipukul, ditabuh, ya, ini gamelan

Page 132: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

sekaten gantian, ini satu jam selatan, satu jam ini, tidak sepanjang hari, ada jam-

jam tertentu, kecuali hari jumat, itu tidak ditabuh, ya, nanti pada hari H, tanggal

12 malam, ini ngarsa dalem dateng ke masjid, diiringi dengan oleh para

pendereknya, inilah namanya malam gerebeg, nah raja ngarsa dalem dateng ke

masjid kapasitas beliau bukan sebagai gubernur, tapi sebagai seorang raja, dengan

busana jawa, dengan segala macam asesorisnya, payung, dengan membawa, ya,

abdi dalem yang membawa bukan beliau, 3 bokor uang receh tadi terus ini ke

selatan, selatan dulu, ini ada dua tempat to, ini pagungan selatan, ini pagungan

utara, ke pagungan selatan dulu, ya, sini rakyat sudah berjubel ya ada barisan

prajurit, ya, yang kiri-kanan, di sini ada barisan prajurit kiri-kanan, dan ini

kemudian ini juga ada prajurit kiri-kanan menuju masjid, dan ini sampai di pintu

pagongan beliau lalu menyebar udhik-udhik, satu bokor tadi di lempar ke dalam

pada abdi-abdi yang menabuh, iya to, ya kalau sudah menabuh, ya menabuh saja,

tidak boleh mengambil, yang jatuh dipangku atau di depannya atau di dekat

tangan kirinya ya silahkan, lalu yang di luar sana juga, abis, rame itu juga,

bejubel, melambangkan sedekah raja kepada rakyat, nah uang udhik-udhik itu

walau nilainya hanya ratusan, Cuma lima ratusan, oleh mereka yang

memperolehnya, yang menemukan yang mendapatkan itu akan dipandang sebagai

tidak sekedar uang koin 500an, disimpan atau apa, pada yang ingin membeli lebih

dari nilai itu, ya siapa yang menyuruh kami tidak bisa menerangkan itu urusan

mereka, lalu ke utara satu lagi satu bokor sama prosesnya sama, kemudian beliau

masuk ke masjid, ke mimbar, di sini juga sudah banyak abdi dalem yang datang

ke sana juga ada abdi dalem yang derek ke sana, yang mengikuti juga, terus,

berjubel, duduk di dekat mimbar masjid lalu ngarsa dalem dengan satu bokor tadi

menyebarkannya, krompyang, di sana marmer, kompryang, begitulah ramai, ya

jangankan Cuma abdi dalem seperti saya, para tamu, anggota DPR, eksekutif dan

legislatif yang mendapat undanganpun, bergegas untuk memperoleh udhik-udhik,

setelah itu raja keluar dari masjid, ya duduk di serambi masjid, duduk menghadap

ke sana, kemudian, abdi dalem ada di sayap selatan, menghadap ke utara,

Page 133: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

kemudian tamu-tamu eksekutif yudikatif, kota madya, polisi tetek bengek di sana,

pakaiannya sudah ditentukan, batik lengan panjang, kalau di sini ya sudah

ditentukan, ya ini berpakaian putih-putih, pangkat tertentu, kalau pangkat rendah

tidak boleh, begitu loh, terus di bacakan riwayat nabi, satu jam atau dua jam itu,

oleh ulama keraton, selama itu, bunyi-bunyian di alun-alun, diminta stop, yang

terdengar hanya bacaan riwayat nabi, yang di,, seputar pengeras suara alun-alun,

ya sekitar jam berapa ya, jam 23 lebih ngarso dalem kundur, ya proses kundur ya

tidak semudah itu, ya artinya banyak orang bejubel ingin melihat, diluar masjid,

sehingga dibutuhkan pengawalan, dan sirine, dan pramuka dan satpol PP, yang

berdesak-desakan di sini,

A: Itu melewati jalur yang berbeda ya dari awalnya?

B: Ya jalur Sultan sendiri, dari pintu Dono pratopo, pintu gerbang utama keraton

yang ada patung,terus keluar ini ada pintu pintu pertama anda masuk namanya Sri

Manganti, ya, pintu Sri Manganti atau Gepuro Keben ini di sini ada patung

raksasa tadi, terus ini ke keben, ada jalurnya itu ke Utara, terus masuk masjid, ini

jalur, sultan ya, jalur raja, ni, nanti kundurnya juga begitu, mobilnya di luar sini,

kalau sekarang mobil, dulu ya kereta, kalau sekarang kereta ya nanti eman-eman

rusak di uyek-uyek uwong, ini jalur resmi mios dalem, kundur dalem juga gitu,

setelah dono pratopo ya terus bangsal kencono terus ke keraton kilen, iya to, jalur

resmi mios dalem ya seperti ini. Kalau keseharian beliau tidak,, kapasitas beliau

sebagai gubernur, tidak dari sini, dari keraton kilen terus ke timur, lalu ke utara,

oke,

A: Selanjutnya efek atau hasil apa yang diharapkan kepada masyarakat umumnya dan

internal keraton itu sendiri dari perayaan tradisi sekaten, dari segi behavior/

tingkah laku?

B: Ya sekali lagi upacara sekaten itu merupakan salah satu dari sekian banyak

upacara adat yang diselenggarakan di keraton jogjakarta, yang berkaitan dengan

perkembangan dan sejarah islam, ya diharapkan dengan hal ini kedekatan kita,

ketaqwaan kita kepada tuhan itu lebih meningkat terjalinnya keselarasan antara

Page 134: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

vertikal dan horizontal, keserasian keselarasan antara hablum minallah, hablum

minannas, hablum minannass tidak hanya manusia ya pada alam ya, ini harus

istilahnya seimbang, kehidupan akhirat juga penting, kehidupan keduniawian juga

tidak boleh diabaikan, iya to, ini tercermin dalam filsafat hamemayu hayuning

bawono, ya artinya menjaga keindahan keselarasan, keharmonisan dunia jangan

merusak-rusak alam, jangan merusak-rusak dunia, ya pokoknya ya

mempertahankan keserasian dengan alam ini loh, sekaten itu sangat berperan

penting sebagai aktualisasi dari filsafat ngayogyakarta yang ditanam sejak HB I,

hamemayu hayuning bawono, dan menyatunya antara rakyat dengan raja antara

umat dengan tuhan, namanya filsafat Golong Gilig (menyatunya rakyat dengan

pemerintah juga menyatunya umat dengan tuhan)manakala suatu negara antara

pemerintah dengan rakyat itu menyatu kuat ya sebelum RI ada ini jogja sudah

pegang seperti itu, kalau pemerintah tidak di dukung rakyat, ya apa jadinya, rame,

demo, protes, mana bisa kuat, ya, itu namanya manunggaling kawulo gusti atau

Golong Gilik. Itu di wujudkan dalam tugu di jogja itu namanya tugu golong gilik,

dulu tugu itu golong gilik, tapi sekarang tidak lagi golong gilik, tau? Sekarang

tugu di jogja yang seperti itu, itu sudah pembaharuan, itu berdiri 1819 itu yang

itu, tugu yang awalnya tidak seperti ini, yaitu seperti huruf alif, lurus, di atas ada

bunder seperti bola, di atas, dan tubuhnya bulat silinder seperti bolpoin ini,

golong-gilik, ya, tingginya 25 meter dulunya, nah kemudian ada gempa besar di

jogja, jogja itu daerah labil daerah gempa, tidak Cuma jogja, jawa bagian selatan,

itu ring of fire, 1796 ada lindu gede, ya, sampai ini runtuh, ya, ini runtuh, tinggal

separoh atau berapa lalu, dibangun tugu baru, pada masa pemerintahan HB VII,

ini, ini dibuat pada tahun HB I, ini ya, jadi ini sekali bahwa manakala umat itu

menyatu dengan tuhan, ya artinya ya manut pada aturan-aturan, akan tercipta

kehidupan yang damai, yang tenteram, demikian pula pemerintah itukan sudah

sejalan ya tenang-tenang saja, jokowi ingin membangun waduk pluit, ya kalau

pemikirannya tidak sejalan dengan rakyatnya ya tidak jalan, yak arena rakyatnya

itu menyatu dengan pikiran gubernur ya akhirnya waduk pluit bias dibangun,

Page 135: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

dikembalikan seperti semula, walaupun masih ada hambatan sana sini, dan lain-

lain, dan lain-lain, ya, rakyat nek ora setuju karo pemerintah yap rotes ya demo,

ya seperti itu, negaranya tidak damai, filsafat yogyakarta, kareaton mataram itu

seperti itu, ora seneng nek eneng, ora setujunya pada pemerintah caranya tidak

usah cuap-cuap, ya tapi datang baik-baik, caranya itu dengan pepe, pepe itu di

didik berpanas-panas, ya duduk bersila di depan keraton di alun-alun utara, tau?

Alun-alun utara itu ada dua pohon beringin ya to, itu itu ada namanya itu, kalau

belajar tentang jogja harus tau, ini namanya dewa daru dan ini jono daru, ini dewa

tuhan jono manusia, dan di tengahnya itu, tengahnya itu dulu, untuk-untuk tradisi

Pepe, berpakaian putih atau baju putih, lalu menghadap ke selatan, seorang-dua

orang, tiga orang atau beberapa orang di sana, itu namanya Pepe, itu kalau raja

mendapatkan laporan ada orang yang begitu, itu berarti ada sesuatu yang

disampaikan lalu utusan, le ngopo kok pepe? Eneng opo? Ditanggapi baik-baik,

dikasih minum kasih makan, ngomong opo, tidak usah cuap-cuap, ra usah

negebom, gitu loh, diselesaikan baik-baik tidak usah keruh ya, dalam tata

kerajaan seperti itu, dan sekarang dalam tata republik lalu mahasiswa jogja pun

inginnya seperti makasar, ya ndak boleh, ya tidak boleh adat di jogja tidak seperti

itu walau pun jogja itu sekarang adalah bagian dari NKRI, tapi kan nilai-nilai

kebudayaan nilai-nilai kemanusiaan ya tidak jauh berbeda dari ketika pada masa

kerajaan ya, jadi mahasiswa tidak boleh terlalu protes seenaknya lalu misalnya ya,

lalu rame-rame, menentang rusak sana rusak sini bukan budayanya, apa lagi

mahasiswa kan intelek, oke.

A: Selanjutnya, peran sultan dalam menjaga dan melestarikan budaya khususnya

tradisi sekaten ini seperti apa pa?

B: Ya tetep komit, ya tetep, komit apa yang ada atau yang berjalan sejak raja-raja

pendahulunya, itu tetep dilaksanakan, ini sesuai dengan amanah ayahanda beliau,

ngarsa dalem ke IX pernah dawuh di tahun 40 adat kebudayaan atau tradisi

keraton yang selama ini masih ada selama tidak mengganggu kemajuan jaman

dan rakyat masih menghendaki, ya tetep dijalankan tentu buanyak adat yang di

Page 136: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

kota jogjakarta yang,, ya sehingga sekaten tetep dilaksanakan ya, ada unsur

religiusnya juga ada unsur ekonominya, juga ada unsur budayanya ekonominya

ya terang to, berapa counter berapa kios, berapa pedagang terhidupi dari itu dari

penjual otok-otok sampai telur sundukan merah itu, dari tukang pager sampai

tukang becak, dari toko dagadu sampai toko cenderamata ya karena sekaten,

A: Terus, ya selanjutnya institusi mana sajakah yang terlibat membantu terlaksananya

perayaan sekaten ini selain dari pihak keraton maupun pemerintah kota, dari

organisasi masyarakatnya ada gak yang ikut seperti apa?

B: Ya ada, ada sukarelawan-sukarelawan, yang menjaga, ya turut menjaga

ketertiban, ya jadi ada hansip, ada hanra, kan itu sudah formal to, ada polisi,

formal, ada sekarang namanya faksikaton, faksikaton itu sukarelawan, ya ingin

pokoknya mempertahankan ya menjaga ketertiban, dan kalau ada yang aneh-aneh

menentang keraton atau menentang raja, ya berhadapan sama faksikaton, ya itu

istilahnya sukarelawan sajalah jangan, bukan yang lain-lain, itu, ya, itu

diambilkan ya dari masyarakat, yang mendaftar sendiri yang ingin sendiri, ya

nanti dapat dilihat kalau apa ya, upacara gerebeg, atau kalau ada even-even

keraton nanti kan ada faksikaton tampak, ada iringan gunungan, itu nanti

faksikaton, itu ikut berperan serta bukan untuk apa-apa, ya untuk agar acara nya

berjalan lancar, tidak ada orang yang mengganggu, seragamnya ya seperti celana

panjang pake sepatu, sepatu lapangan, sepatu seperti polisi itu, hitam-hitam, ikat

kepala, lembaran bukan blankon, pokoknya ikat kepalanya lembaran, lembaran

itu ya helaian itu, itu yang swasta, yang negeri tadi sudah saya utarakan ini

banyak instansi yang terlibat, dinas perindustrian, tampil, keuangan ada, ada

bank-bank yang,, kemudian pemerintah provinsi, pemerintah daerah mereka

mengeluarkan stand pameran ya, dinas kebudayaan ada panggung kesenian, ya, di

samping orang-orang swasta, sudah banyak sekali, mereka swasta semua, lalu

penyanyi dangdut tampil, sekarang ada show apa namanya, tapi di ancol itu apa,

apa namanya itu, ikan lumba-lumba ada, ya, itu kan ya swasta, kalau provit

oriented itu, meramaikan tapi kan ya uang, ribuan macam-macam, bank ada stand,

Page 137: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

ada tong setan, tau tong setan, tong setan itu saya sendiri juga belum pernah lihat,

ini seperti sumur, ya dibuat kayak gitu, ada orang naik motor melingkar-lingkar,

saya sendiri gak senang liat tontonan yang memicu adrenalin, rumah hantu jga

ada ya macem-macem pokoke, ya itu, jadi instansi-instansi yang terlibat negeri

dan swasta, sipil dan militer, itu terlibat, nah ketika ngarso dalem mios, ya, tidak

Cuma faksikaton, ya to, semuanya ingin terlibat, ingin berperan serta itu lho,

hansip ada, polisi, nek perlu ya tentara, ya, tentara, kebanyakan ya polisi, gitu loh,

atau upacara grebeg, semuanya terlibat dari dinas pertamanan terlibat, dah, itu

semuanya, saya katakan alun-alun itu milik raja, tidak boleh di bangun seenaknya,

kasih air mancur misalnya, tidak boleh, dikasih mainan nggo kanak-kanan tidak

boleh itu, setelah rampung itu ya harus itu dalam perjanjian, setelah selesai

dikasih waktu berapa hari itu harus sudah bersih dari stand dari bangunan macam-

macam, nah perkara nanti kaki lima do byuk ngepeti tembok ya tidak usah

ditanyakan ya ada gula ada semut, resminya tidak boleh, tapi ya desakan perut

dan itu kebanyakan bukan orang jogja, malioboro yang demikian , buka lesehan

tanpa tarif ya itu belum mesti orang jogja, itu ya pedagang-pedagang kaki lima ya

bukan orang jogja kebanyakan,

A: Selanjutnya pada puncak perayaan sekaten itu pak, gerebeg, gerebeg mulud, itu

pesan yang ingin disampaikan dalam perayaan gerebeg mulud itu apa pak?

B: Ya sama tadi, sama dengan sekaten, yang namanya gerebeg itu kan sultan

mengeluarkan sedekah, ya sedekahnya sultan ya tidak sama dengan sedekahnya

kita, sedekahnya berupa dibuat sedemikian rupa, sehingga besar tinggi, banyak,

ya, kalau dulu mungkin lebih tidak Cuma lima, sekarang tinggal lima, itu

fungsinya itu bahwa raja berdiri pada kaumnya ya, raja itu memberi tidak

menerima, ya, ya itu adalah pesan yang tidak tertulis, begitu,

A: Trus yang bapak harapkan terhadap tradisi sekaten ini ke depannya biar tetep ada?

B: Waduh kami sebagai rakyat kecil, ya harapannya sama dengan rakyat yang lain,

itu satu even yang penting, yang menghibur, yang bernilai religius, juga, bernilai

ekonomis juga, tadi kan, nilai sosial itu ada dan itu tidak menghambat siapa-siapa,

Page 138: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 139: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

LEMBAR WAWANCARA TERTULIS DENGAN PURWODININGRAT

Nama: Purwodiningrat

Pekerjaan: Pengageng II Kawedanan Hageng Punakawan Widya Budaya

Waktu wawancara: 21 Agustus 2013, pukul 10.00 WIB.

Tempat Wawancara: KHP Widya Budaya, Keraton Yogyakarta.

A: Menurut bapak makna dari sekaten itu sendiri apa?

B: Sekaten secara garis besarnya adalah sebagai salah satu cara dakwah utnuk

memeringati hari kelahiran nabi Muhammad saw, jadi sekaten gunungan,

labuhan, siraman pusaka itu dari widya budaya, upacara-upacara adat, itu dari

widya budaya,

A: Widya budaya ini yang ngatur semua kegiatan di keraton ini ya pak?

B: Ya tidak semua,

A: Berkaitan dengan budaya ya?

B: Ya itu meliputi sekaten, gunungan itu, labuhan, siraman pusaka,

A: Untuk sekaten itu sendiri, untuk antusiasme masyarakat terhadap sekaten itu

gimana pak?

B: Masih tetep antusias, dari dulu masih tetap antusias,

A: Pesertanya yang hadir siapa aja tu mungkin?

B: Ya banyak sekali, termasuk turis, labuhan itu dari spanyol ke sini, di kenal baik ya

tiap tahun, ya dari belanda, dari amerika, dari mancanegara juga dan dari negara

kita sendiri banyak juga, ya lihat aja, nah kalau dalam lingkup kita, kita gak tau ni

orang jakarta, atau orang gak tau, ya dari berbagai penjuru daerah, ya itu

antusiasme nya besar sekali,

A: Berarti tradisi sekaten ini hanya dikhususkan hanya untuk orang islam aja ya pak?

Kan tujuannya untuk dakwah kan?

B: Ya memang begitu, kerajaan kita kan kerajaan islam,

Page 140: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

A: Berarti sistem kepercayaan yang berkembang dimasyarakat jogja ini, khususnya di

area keraton ini rata-rata islam ya pa ya?

B: Tapi anehnya, orang-orang non islam juga dateng untuk ikut, ya itu disitu,

pancasilanya jelas sekali,

A: Organisasi-organisasi sosia yang ikut membantu kegiatan sekaten ini ada pak?

Organisasi sosial mungkin dari ,,,

B: Oh itu pengamanan oleh faksikaton, banyak itu, dari kampung-kampung kauman,

menyelenggarakan parkiran itu kan juga berpartisipasi, banyak sekali ya dari

organisasi-organisasi itu,

A: Kalau dengan berkaitan prosesi dari awal sampai akhir, tradisi sekaten itu,

mungkin bapak bisa jelasin apa makna-maknanya itu pas awal persiapan terus

sampai akhir, maknanya itu loh pa?

B: Biasa saja, mengeluarkan gamelan keraton, terus di bawa ke masjid, kalau hari

jumat tidak dibunyikan

A: Kalau penyebaran udhik-udhik itu apa maknanya pak?

B: Itu artinya sedekah raja,

A: Bagaimana ajaran-ajaran islam itu sendiri bisa menyatu dengan budaya jawa?

B: Memang keistimewaannya di situ, bisa menyatu, ya islamnya itu pusaka

amartanya itu, jelas itu, kalimat syahadat, tapi secara halus,

A: Seperti bunyi-bunyian gending ini kan, itu punya makna juga kan?

B: Ya ini ciptaan-ciptaan dari nenek moyang dulu, dan wali-wali juga menciptakan

gending-gending juga, menciptakan apa, instrumen ya para wali-wali itu,

A: Kalau pada awalnya masyarakat di jogja ini memeluk agamanya, agama hindu ya,

B: Hindu dan budha,

A: Terus masuk islam,

B: Mereka memasukkan ajaran islam secara halus, dan bijaksana sekali mereka ,

kebijaksanaan nya itu tidak drastis, tetapi bertahap, nah kebijaksanaannya disitu,

gimana caranya bisa diterima oleh masyarakat, termasuk tradisi sekaten itu

sendiri, jadi tidak terasa kalau masyarakat telah dimasuki nilai-nilai keislaman,

Page 141: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

ada gamelan masuk, itu kan bijaksana sekali, tidak radikal, harus begini-begitu,

harus sama dengan islam Arab, mereka berdakwah disesuaikan dengan situasi,

nah itu, itu yang bagus, tujuan yang ingin disampaikan tercapai, adatnya juga ada

dan tidak hilang, kalau yang radikal, wah itu gamelan singkirkan saja, ciptaan

wali-wali itu kan tidak sembarangan dibuat gitu aja, sudah ada petunjuk dari

tuhan,

A: Kenapa masyarakat jawa ini begitu menjaga kebudayaan yang ada di jawa ini?

Khususnya di jogja?

B: Ya itu kan modal bangsa, modal untuk berbangsa dan bernegara, ini hancur,

hancur negara, itulah istimewanya, saya tidak membanggakan jogja, tapi ya itu

karena untuk bangsa dan negara, jadi kalau ada apa, menuduh musrik, ya tidak

boleh, karena itu kan budaya, jogja ini jangan diidentikan dengan arab, ya lain,

karena di arab tidak berkembang budaya, nah di sini letak bijaksana, dengan cara

yang halus, nah sekarang ini perayaan sekaten itu makin lama makin banyak yang

mengunjungi,

A: Di sini kalau posisi ulama tersendiri gimana pak?

B: Kalau ulama di sini ada sendiri, ya seperti itu,

A: Semua ulama-ulama keraton yang ada di keraton ini cukup berperan penting sekali

ya pak,

B: Ya, itu penting untuk memberi tausiah

A: Peran sri sultan itu sendiri gimana terhadap budaya itu pa?

B: Sultan sangat menjaga, dan yang memberi izin terhadap jalannya acara,

A: Kalau pas tradisi grebeg apakah pernah terjadi bentrok?

B: Tidak pernah, tidak pernah terjadi bentrok, banyak kepercayaan yang timbul,

kalau ada yang dapat bagian dari gunungan tersebut ada yang disimpan agar

mendapat berkah,

A: Saya di sini kagum karena antara budaya jawa dengan ajaran keislaman bisa

berjalan beriringan,

Page 142: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 143: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

LEMBAR WAWANCARA TERTULIS DENGAN YUWONO SRI SUWITO

Nama : Ir. Yuwono Sri Suwito, MM.

Jabatan : Ketua Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Waktu wawancara : Senin, 27 Januari 2014

Tempat Wawancara : Ngadinegaran, Yogyakarta.

A: menurut bapak Unsur-unsur apa yang terdapat dalam tradisi sekaten?

B: ada tiga unsur utama dalam tradisi sekaten yaitu unsur religi, unsur budaya, dan unsur bisnis atau unsur ekonomi. Unsur religi di sini diartikan sebagai unsur-unsur yang terdiri dari nilai-nilai ajaran Islam yang dibawakan oleh rasulullah kepada umatnya, kedua unsur budaya yang terdapat dalam sekaten adalah unsur-unsur budaya peninggalan dari kerajaan sebelumnya, salah satunya adalah gamelan. Ketiga adalah unsur ekonomi yang berkaitan dengan aktivitas jual-beli seperti yang terjadi di pasar malamnya.

A: tadi bapak menyebutkan unsur budaya dalam sekaten adalah gamelan, bagaimana gamelan tersebut dijadikan sebagai unsur yang berpengaruh terhadap penyebaran Islam pada saat itu?

B: gamelan tersebut memiliki cerita tersendiri yaitu mulai dari awal terbentuknya. Salah seorang Wali Sanga yang secara cerdas dan brilian memanfaatkan unsur budaya lokal (Jawa) untuk memudahkan penyiaran agama Islam adalah Sunan Kalijaga. Menurut ukuran zamannya, Sunan Kalijaga adalah sosok yang jenius, visioner, dan memiliki perspektif dan terobosan yang inovatif, progresif, dan konstruktif. Ia tidak melihat adanya jarak antara Islam dan budaya lokal. Justru elemen budaya lokal harus dipadukan dan dimanfaatkan untuk kepentingan tujuan dakwah agar agama Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat luas. Dengan kata lain, pola dan strategi dakwah Sunan Kalijaga mengombinasikan unsur budaya lokal dengan nilai-nilai keislaman sehingga dakwahnya sangat menyentuh lubuk perasaan para penerimanya. Dalam bahasa modern sekarang, gerakan dakwah Sunan Kalijaga disebut gerakan dakwah kultural-edukatif-persuasif. Sunan Kalijaga tidak melancarkan praktik-praktik konfrontatif, tetapi menerapkan upaya-upaya persuasif dalam gerakan dakwahnya. Ada nilai-nilai sakral dan nilai nilai kultural dalam gerakan dakwah Sunan Kalijaga. Menyadari bahwa masyarakat Jawa menyenangi gamelan, Sunan Kalijaga memesan alat itu kepada seorang ahli pembuat gamelan. Seperangkat gamelan yang ia pesan itu dinamai Kiai Sekati yang akan ia pakai sebagai media dakwah untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat luas di Demak dan sekitarnya. Bisa jadi nama Sekaten yang sekarang ini sudah menjadi perayaan tahunan di Demak dan Yogyakarta berasal dari nama Kiai Sekati (nama

Page 144: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

gamelan Sunan Kalijaga). Teori lain mengatakan, nama Sekaten berasal dari kalimat Syahadatain (asyhadu anla ilaha illa Allah was asyhadu anna Muhammadan Rasulullah/ aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah). Kedua teori ini mirip, tak ada perbedaan yang signifikan. Dalam bukunya Sekitar Wali Sanga Solichin Salam mencatat, setelah pertemuan para Wali, di Masjid Demak diselenggarakan perayaan Maulid Nabi Muhammad. Perayaan ini antara lain diramaikan dengan rebana dan diiringi lagu-lagu indah yang beriramakan padang pasir (Arab). Dalam acara perayaan itulah, Sunan Kalijaga menempatkan Gamelan Kiai Sekati itu di halaman Masjid Demak. Ia dan para penabuh lainnya memainkan Gamelan Kiai Sekati itu dengan ritme dan irama yang indah dan bertalu-talu untuk menarik masyarakat mengunjungi perayaan Maulid Nabi. Upacara ini mendapat respons positif dan sambutan meriah dari masyarakat luas. Itu berarti pola, strategi, dan gerakan dakwah kultural-edukatif-persuasif yang dilancarkan oleh Sunan Kalijaga dan kawan- kawannya sukses besar. Para pengunjung diperbolehkan memasuki Masjid Demak dengan syarat sudah berwudu terlebih dulu dengan menggunakan air wudu di kolam masjid. Para pengunjung yang masuk ke masjid itu diminta melalui “Gapura” Masjid Demak.

A: Bagaimana unsur budaya tersebut berpengaruh terhadap akulturasi budaya?

B: tentu unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap proses akulturasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap budaya Jawa. Pertama gamelan, gamelan ini adalah alat tabuh dalam mengiringi gending atau lagu ciptaan wali. Diperkirakan masuknya gamelan ke jawa sudah lama ketika kerajaan hindu-budha menguasai nusantara khususnya di jawa. Ada yang berpendapat bahwa gamelan ini adalah alat musik asli indonesia. Gamelan ini sebagai media yang digunakan oleh walisanga yaitu Sunan Kalijaga untuk berdakwah. Mengapa sunan kalijaga menggunakan gamelan? Tentunya semua itu berdasarkan pengamatan Sunan Kalijaga yang melihat bahwa masyarakat menyukai bunyi-bunyian gamelan. Tidak ingin melewatkan kesempatan untuk berdakwah, akhirnya dibuatlah gamelan tersebut oleh sunan giri yang pandai dalam hal teknik pembuatan gamelan. Ketika gamelan selesai dibuat, baru lah gamelan tersebut di bawa ke halaman masjid keraton untuk dibunyikan. Proses komunikasi yang berlangsung adalah ketika masyarakat mendengar bunyi gamelan tersebut hati mereka senang karena akan ada keramaian. Ketika bunyi gamelan tersebut terdengar ke pelosok desa yang dulunya masih sunyi, tentunya bunyi gamelan tersebut terdengar nyaring dan masyarakat yang datang menjadi banyak, selama tujuh hari gamelan tersebut dibunyikan. Ketika bertepatan dengan tanggal 11 rabiul rabiul awal menjelang maulid nabi, barulah sunan kalijaga memanfaatkan momentum tersebut dengan memberikan pencerahan berkaitan dengan ajaran islam, jelas bahwa gamelan tersebut merupakan alat untuk menarik perhatian masyarakat agar datang ke masjid dan nantinya mendengarkan ceramah dari Sunan Kalijaga. Kedua adalah gending, Gending-gending Sekaten adalah gending pujian kehadlirat Allah SWT dan Shalawat Nabi, serta ajakan untuk menjalankan Syariat Islam secara khusuk. Gending yang ada di Sekaten memiliki makna keagamaan. Gending pertama adalah Gending Rambu, yang diolah para wali dari puji syukur yang berasal dari kata Rabbulngalamin, yang berarti Tuhan yang menguasai segala alam. Dalam perkembangan selanjutnya, gending menjadi banyak. Instrumen pun memiliki makna, seperti gamelan pelog berasal dari kata falakh yang berarti kebahagiaan.Gending-gending yang diperdengarkan berbeda dengan gending-gending Jawa yang ada saat ini. Nama-nama gending yang biasa dibunyikan tersebut,

Page 145: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

Yaume, Salatun, Ngayatun, Supiyatun, Dendang Sabenah, Rambu (ciptaan Sultan Bintara), Rangkung (ciptaan Sultan Agung), Lung Gadungpel, Atur-atur, Andong-andong, Rendeng-rendeng, Gliyung, Burung Putih, Orang-aring, Bayem Tur, dan Srundeng Gosong. Semua gending-gending itu dapat dinikmati di Kagungan Dalem Bangsal Pagongan Lor dan Pagongan Kidul, lewat Kagungan Dalem Gamelan Kangjeng Kiai Gunturmadu dan Kangjeng Kiai Nagawilaga yang ditabuh para abdidalem niyaga Kraton Yogyakarta. Awalnya masyarakat tidak mengetahui mengenai makna dari gending tersebut, tetapi setelah wali sanga menjelaskan berkaitan dengan maknanya, akhirnya masyarakat menjadi tahu dan faham. Disitulah proses komunikasi berlangsung yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak faham menjadi faham terhadap makna gending tersebut. Ketiga adalah gunungan, gunungan dalam filosofi Jawa melambangkan keimanan kepada tuhan. Gunungan tersebut juga melambangkan simbol sedekah raja kepada rakyatnya. Gunungan ini awalnya berasal dari tradisi selamatan yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa yang ditujukan untuk dewa-dewa agar terhindar dari bencana. Dengan masuknya Islam, tentu tradisi tersebut dikatakan sebagai hal yang melenceng dari kaidah-kaidah Islam. Namun, dalam melihat hal tersebut para wali tidak gegabah dalam bertindak. Dalam dakwahnya, para wali tidak menghilangkan esensi budaya lokalnya, tetapi hanya merubah niat dari masyarakat yang ingin melakukan selamatan. Jadi setelah selesai gamelan itu dibunyikan, besoknya ada ritual garebeg nama nya yang menjadi puncak dari acara sekaten. Gunungan yang di bawa tersebut didoakan oleh ulama keraton baru kemudian di rayah oleh masyarakat. Filosofis dari kegiatan rayah tersebut adalah sebagai simbol bahwa dalam mencari kehidupan harus disertai kerja keras. Kemudian doa yang dipanjatkan oleh penghulu keraton, dahulu masyarakat jawa pasca peninggalan kerajaan majapahit masih menjalankan tradisi selamatan yang dibacakan mantra-mantra. Setelah Islam masuk, bacaan mantra tersebut akhirnya diganti oleh wali sanga dengan bacaan doa, sholawat dan dzikir yang maksud dan tujuannya hanya untuk Allah, terakhir adalah penghulu atau ulama keraton. Dahulu ulama keraton pada masa Islam pertama masuk jawa adalah wali sanga, wali sebenarnya tidak hanya sembilan tetapi banyak, namun, yang paling sering disebut dalam babad tanah jawa adalah sembilan sunan yang sering kita dengar. Mereka adalah seorang pendakwah yang menyiarkan agama Islam, sekarang pun juga demikian fungsinya.

A: Bagaimanakah proses akulturasi antara agama, budaya, dan tradisi yang berkembang di masyarakat, khususnya mayarakat Jawa?

B: Akulturasi merupakan perpaduan dua budaya, dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dan dapat hidupsecara berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. awalnya adalah ketika kebudayaan hindu-budha muncul dan dilanjutkan oleh kedatangan Islam di Indonesia dan berakulturasi dengan tradisi masyarakat. Aktulturasi ini terjadi karena masyarakat Indonesia, khususnya Jawa telah memiliki dasar-dasar kebudayaan, sehingga tidak mudah untuk menghilangkan yang sudah ada di masyarakat. Selain itu, kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pengaruh agama dengan kebudayaan di masyarakat hanya sebagai pelengkap karena akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing yang disesuaikan dengan kebudayaan Indonesia. Hasil akulturasi tesebut dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, bidang sosial, ekonomi, sistem pemerintahan, pendidikan, kepercayaan, seni dan budaya, teknologi, sistem kalender dan filsafat. Akulturasi yang masih dapat kita rasakan yakni, pada sosial masyarakat dahulu mengenal

Page 146: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

sistem kasta, sehingga pada saat masuk hindu-budha mayarakat dibagi dalam berbagai tingkat sosial. Namun, pada saat islam datang, sistem kasta itu pun sudah tidak dipakai dan berganti dengan hakikat bahwa manusia itu derajatnya sama, hingga saat ini kesetaraan dalam tatanan sosial masih terus digunakan dalam masyarakat. Akulturasi pada sistem ekonomi tidak terlalu besar pengaruhnya ketika kedatangan hindu-budha-islam, karena pada saat itu masyarakat telah mengenal sistem perdagangan dan pelayaran. Pada tataran pemerintahan, pengaruhnya sangat terlihat, munculnya kepala suku atau pemimin dalam sebuah kelompok dan inilah yang menjadi awal mula berdirinya kerajaan-kerajaan di Indonesia. Hingga saat ini, sistem seperti ini tetap dilakukan karena memang dengan adanya kepala suku atau pemimpin ada pengatur dalam tataran masyarakat. Kebudayaan atau tradisi yang sampai sekarang masih mengakar kuat di masyarakat dapat kita lihat, khususnya pada kraton Yogyakarta yang masih menggelar upacara-upacara keagamaan dan tradisi dalam kehidupan sehari-hari, misal sekaten, nglarung, syawalan dan malan satu suro. Selain itu, tradisi slametan juga masih kita lihat sampai sekarang yang menggunakan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari dalam upacara kematian. Jadi, proses akulturasi yang terjadi di masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, sudah berlangsung sejak kedatangan pembawa agama. Dengan kecerdasaan bangsa Indonesia, terjadilah akulturasi yang terjadi karena bangsa ini telah memiliki nilai-nilai kehidupan dan kecerdasan lokal. Akulturasi tidak akan terjadi jika bangsa ini atau masyarakat Jawa tidak memiliki kebudayaannya sendiri, yang nantinya akan hanya menggunakan kebudayaan yang dibawa dari luar dan meninggalkan kebudayaan yang ada di masyarakat sejak dulu.

A: Sunan Kalijaga dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat lokal melalui pendekatan budaya, mengapa hal tersebut dilakukan oleh sunan kalijaga?

B: Upacara Sekaten pada awalnya adalah suatu upacara yang diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur dan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut Aswameda . Sesaji itu diselenggarakan selama enam hari, yang dilakukan dengan doa-doa dan nyanyian-nyanyian pujian disertai dengan tatabuhan yang mengandung arti memuja arwah leluhur, untuk memohon berkat dan perlindungan. Tahap kedua disebut Asmaradana yang diselenggarakan pada hari ketujuh merupakan penutup tahap yang pertama. Dalam tahap ini diselenggarakan pembakaran dupa besar, disertai dengan mengheningkan cipta atau semedi. Dengan masuknya agama Hindu ke Jawa, maka upacara Asmaweda dan Asmaradana masuk pula ke dalam budaya Jawa. Dan pada jaman Hindu Jawa, raja-raja Jawa juga melestarikan upacara yang diwarisi tersebut. Hal itu ternyata berlanjut pada abad ke-14 ketika agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa. Pada saat itu para pemuka agama Islam disebut wali. Wali yang terkenal pada masa itu berjumlah sembilan dan karena itu disebut Wali Songo. Oleh Wali Songo, upacara Asmaweda dan Asmaradana itu digunakan sebagai sarana menyebarkan agama Islam dan dilakukan dengan cara-cara yang Islami. Grebeg merupakan salah satu metode penyebaran agama islam pada waktu itu dengan pendekatan budaya. Metode ini dipakai karena pada saat itu budaya dan seni bekembang dengan baik. Melalui metode ini, islam disebarkan dengan memasukan berbagai ajaran islam dengan asimilasi dan akulturasi. salah satu wali yang sangat berpengaruh saat itu yaitu Sunan Kalijaga. Wali ini menyebarkan islam dengan cara mengumpulkan masyarakat dan membunyikan gamelan yang ditaruh di halaman Masjid Besar. Setelah masyarakat berduyun-duyun menontonnya, Sunan Kalijaga berdakwah untuk mengemukakan keutamaan ajaran agama Islam.

Page 147: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …
Page 148: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

LEMBAR WAWANCARA TERTULIS DENGAN AHMAD M KAMALUDININGRAT

Nama: KRT Drs H. Ahmad M Kamaludiningrat

Pekerjaan: Ulama Keraton

Waktu wawancara: 8 Januari 2014, pukul 14.00 WIB.

Tempat Wawancara: Keraton Yogyakarta.

A: Apa Makna Sekaten menurut Bapak?

B: sekaten itu pada dasarnya adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad

s.a.w., sebuah tradisi budaya yang berasal dari kerajaan islam yang berdiri pertama kali di

Jawa yaitu Demak untuk memperingati hari kelahiran nabi muhammad s.a.w. Sekaten berasal

dari kata syahadatain atau yang berarti kalimat syahadat. Mengapa syahadat? Karena

menurut cerita leluhur pada masa kerajaan Demak, Wali Sanga menggunakan cara untuk

menyebarkan Islam dengan menciptakan gamelan dan memukulnya dengan irama tertentu

untuk menarik perhatian masyarakat. Lalu akhirnya dengan kerelaan hati masyarakat yang

datang dalam acara sekaten tersebut masuk Islam dan mengucapkan syahadat.

A: Tadi Bapak menyebut Wali Sanga, bagaimana peran Wali Sanga dalam penyebaran Islam di

Tanah Jawa, khususnya berkaitan dengan Sekaten?

B: Tentunya peran Wali Sanga sangat penting dan besar terhadap penyebaran Islam di tanah

Jawa. Pada masa kerajaan Islam di Demak yang dipimpin Sultan Agung, para wali tersebut

melihat bahwa keadaan dan kondisi masyarakat Jawa berkaitan dengan system kepercayaan

dapat dikatakan melenceng dari akidah Islam. Ada yang mempercayai keberadaan roh nenek

moyang dalam kehidupannya, kemudian ada yang menggunakan sesajen untuk persembahan

roh nenek moyang, dan percaya ada kekuatan besar yang menguasai bumi selain Allah SWT,

itu yang membuat para wali berfikir keras untuk meluruskan akidah tersebut. Kemudian,

akhirnya para wali menyusun strategi dakwahnya untuk melancarkan misi dakwahnya agar

nantinya islam dapat diterima oleh masyarakat. Melalui pendekatan budaya tentunya ini akan

membuahkan hasil yang maksimal, terbukti dari cara yang dilakukan oleh sunan kalijaga

dalam menanamkan ajaran-ajaran ke-Islaman melalui wayang kulit dan juga gamelan. Tentu

ini butuh proses yang panjang dan rumit, karena pada saat itu sistem kepercayaan hindu-

budha masih kuat dianut oleh masyarakat jawa pada saat itu semenjak sepeninggalan

Page 149: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

kerajaan majapahit. Namun, para wali disertai dengan dukungan sultan agung tidak

menyerah begitu saja, karena peran sultan agung sangat strategis saat itu, yaitu sebagai

pemimpin kerajaan Demak, dia bisa memerintahkan secara langsung kepada rakyatnya untuk

meninggalkan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun, para wali

beranggapan lain, apabila masyarakat diperintahkan begitu saja tanpa kehendak dari dirinya,

maka pasti misi dakwah tersebut tidak akan berjalan dengan mulus. Akhirnya melalui

musyawarah majelis wali sanga, diperoleh hasil bahwa dalam penyebaran islam tidak

digunakan cara-cara pemaksaan, namun, perlu dikemas dalam bentuk yang islami tanpa

menghilangkan unsur kebudayaan lokalnya. Di sini terlihat kebijaksanaan yang diperlihatkan

oleh para wali dalam menerapkan suatu kebijakan tanpa ada yang dirugikan.

A: sekaten bisa disebut sebagai sebuah akulturasi budaya. Apakah bapak bisa menjelaskan

bagaimana sebuah akulturasi tersebut bisa terjadi?

B: para wali yang tadi saya sebutkan tentunya berbeda dari latar pendidikan, sosial dan budaya

dari masyarakat jawa sepeninggalan kerajaan majapahit saat itu. Para wali merupakan orang

yang terpelajar atau bisa disebut sebagai kaum santri, sedangkan masyarakat jawa saat itu

adalah berkeyakinan hindu-budha dan masih menjalankan sistem kepercayaan animisme

serta dinamisme. Ketika para wali tersebut memulai gerakan dakwahnya, dengan sangat

bijaksana para wali tersebut tidak menggunakan cara anarki dalam memasukan nilai-nilai

ajaran islam, namun, dengan cara yang halus. Masyarakat jawa saat itu tidak dituntut untuk

meninggalkan ajaran nenek moyangnya dahulu, dan tetap menjalankan rutinitasnya namun

disisipi oleh ajaran islam. Di sinilah proses akulturasi budaya terjadi, yaitu mulai

dimasukannya ajaran-ajaran islam ke dalam sendi kehidupan masyarakat jawa. Sehingga saat

ini kita lihat ada perpaduan antara budaya jawa dengan nilai-nilai religius yang ditampilkan

dalam setiap acara sekaten. Gamelan sekaten sebagai budayanya, dan kegiatan keagamaan

seperti acara ceramah sebagai nilai-nilai religiusnya.

A: bagaimananakah nilai-nilai religius dalam budaya sekaten?

B: sekaten ini merupakan tradisi dalam rangka memperingati hari kelahiran nabi muhammad

s.a.w. Nilai-nilai religius dalam tradisi ini tentunya adalah berkaitan dengan akidah.

Masyarakat yang datang ke acara sekaten diharapkan setelah mengikuti acara nya dapat

menjadi lurus akidah nya melalui kegiatan pengajian yang diadakan rutin selama sekaten.

Kedua berkaitan dengan nilai-nilai akhlak. Kita banyak melihat kondisi akhlak kebanyakan

Page 150: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …

manusia saat ini sudah jauh dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Banyak norma-norma yang

ditabrak begitu saja, aturan-aturan yang telah ditetapkan di alquran serta hadis banyak yang

dilanggar, serta sudah tidak menjadikan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai panutan dalam

kehidupannya, yang dijadikan panutan malah idola-idola yang tidak jelas akhlaknya. Ketiga

adalah nilai mahabah atau kecintaan pertama kepada Allah SWT tentunya dan kedua kepada

Nabi Muhammad s.a.w. ini sebenernya salah satu yang ingin ditanamkan setiap

penyelenggaran sekaten tiap tahunnya. Kita diajak untuk bisa mencintai Zat yang

menciptakan kita dan mencintai seseorang yang telah berjasa terhadap tegaknya Islam di

muka bumi.

A: bagaimana pandangan bapak terhadap sekaten bila dipandang dari kacamata islam?

B: dari ajaran nabi muhammad s.a.w. memang tidak diajarkan kepada umatnya untuk

merayakan hari kelahirannya. Perayaan sekaten yang selama ini dirayakan setiap tahun ini

semata-mata adalah sebagai suatu usaha untuk mengajak umat islam untuk meneladani

akhlak rasul. Ada memang yang bilang ini adalah bid’ah, tapi bila kita melihat dari maksud

dan tujuan diadakannya peringatan maulid adalah untuk mengingatkan kepada umatnya

untuk meneladani akhlaknya, tentunya itu tidak negatif atau dipandang buruk dalam

kacamata islam. Jadi selama tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada umat islam untuk

berbuat kepada kebaikan menurut saya boleh acara seperti sekaten ini dilaksanakan. Memang

tidak ada dalil dan syariatnya, tapi sekali lagi ini hanya sebagai sarana dakwah untuk

mengajak umat islam kembali ke jalan yang lurus.

A: menurut bapak, apakah perayaan sekaten saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya

serta religius?

B: saya melihatnya acara sekaten yang 10 tahun terakhir ini memang ada perubahan, terutama

dari kemasan acaranya serta tampilannya. Misalnya saja ketika di masjid keraton ini sedang

ada pengajian, yang datang tidak banyak. Masih ada kursi-kursi yang kosong atau ketika di

dalam masjid masih ada shaf-shaf yang kosong. Kemudian, ketika saya keluar masjid, saya

melihat masyarakat lebih sibuk melakukan aktivitas jual-beli di pasar malam sekaten,

kemudian, banyak yang bermain di arena permainannya. Ya itulah kenyataannya sekarang.

Mengajak seseorang untuk kembali ke Allah lebih sulit dibanding kita mengajak seseorang

berbelanja misalnya ke Malioboro, pasti lebih antusias, dibanding diajak ke masjid untuk

mendengarkan ceramah. Saya menilainya hal yang demikian sebagai sesuatu yang wajar, tapi

Page 151: TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM …