toxo - incrit
-
Upload
proichtus7 -
Category
Documents
-
view
68 -
download
8
Transcript of toxo - incrit
KASUS INDIVIDU
TOKSOPLASMOSIS
Oleh:
Inggrit Pratiwi (201020401011139)
Pembimbing:
dr. Kunadi, Sp.S.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.....................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................3
BAB II LAPORAN KASUS.............................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................9
BAB IV KESIMPULAN..................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................44
2
BAB I
PENDAHULUAN
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, protozoa intraselular
obligat distribusi di seluruh dunia. Ensefalitis toksoplasma, merupakan penyebab
tersering lesi otak fokal infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di
Amerika angka kejadiannya mencapai 15%-29,2%, sedangkan di Eropa mencapai
rata-rata 90%. Sekitar 10-20% dari pasien yang terinfeksi HIV di Amerika Serikat
pada akhirnya akan terkena ensefalitis toksoplasma (Suriya, 2008).
Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan
gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan
tomografi komputer (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging(MRI).
Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan
histopatologi dari biopsi dan ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi
toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun
demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau
multipel yang nyata bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada
basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction
(subkotikal) disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai 3 cm (Matthew,
2009).
Di Indonesia sendiri, menurut Menkes RI, jumlah penderita terinfeksi
HIV tahun2002 diestimasikan sebanyak 90.000-130.000 orang. Sebagian besar
3
tersangka HIV ini merupakan pengguna obat narkotika suntik (Intravenous drug
users).Lebih dari 50 % penderita yang terinfeksi HIV akan berkembang menjadi
kelainan neurologis (Davey, 2006).
Kelainan neurologis yang sering terjadi pada penderita yang terinfeksi
HIV adalah ensefalitis toxoplasma, limfoma SSP, meningitis kriptococcal , CMV
ensefalitis dan progressive multifocal leukoencephalopathy. Infeksi oportunistik
SSP yang paling sering pada penderita HIV adalah ensefalitis toxoplasma (Gilroy,
2000).
4
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : Heri
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 28 Tahun
Nomor RM : 036761/592546
Suku Bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Truni, RT.4 RW. 4, Babat, Lamongan
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 21 Juli 2012
2.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri kepala
RPS: Nyeri kepala hanya dirasakan pada kepala kiri, berdenyut, dirasakan sejak
10 hari ini. Muntah disangkal, mual disangkal, dan kejang juga disangkal.
Beberapa hari ini pasien linglung dan bingung. Mulai kemarin pasien
merasa wajahnya penceng ke kiri. Sejak 3 hari yang lalu badan sebelah
kanan pasien lemas dan berat bila digerakkan. 1 bulan ini pasien sariawan,
tidak sembuh-sembuh. Diare disangkal. Batuk-batuk lama disangkal.
Riwayat kencing nanah 3 bulan yang lalu. Pernah berhubungan dengan
WTS.
5
RPD: Hipertensi tidak dan DM disangkal.
RPK: Hipertensi dan DM disangkal.
2.3 Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : cukup
Kesadaran : komposmentis
GCS : 456
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Frekuensi nafas : 20x/menit
Temperatur : 36 0c
Kepala dan leher : anemi (-), ikterik (-), sesak (-), sianosis (-), dan lidah terdapat
bercak-bercak putih
Thorax : simetris (+), retraksi (-)
Pulmo : vesikuler +/+, wheezing -/-, Rhonki -/-
Jantung : S1S2 normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : flat, supel, nyeri tekaan (-), hepar dan lien tidak teraba,
timpani, bising usus dalam batas normal
Ekstremitas : hangat,kering, merah, edem (-)
2.4 Status Psikologis
Afek : baik
Proses berfikir : baik
Kecerdasan : baik
Penyerapan :baik
Kemauan : baik
6
Psikomotor :baik
2.5 Status Neurologis
1. Kepala
Posisi : simetris
Penonjolan : (-)
Bentuk dan ukuran : normal
Auskultasi : TDE
2. Nervus kranialis
Nervus I (olfakorius): penghidu normal/normal
Nervus II (optikus)
Visus: >2/60 ODS
Lapang pandang: baik
Funduskopi: TDE
Nervus III (okulomotorius)
Celah kelopak mata
Ptosis: -/-
Exsoftalmus: -/-
Pergerakan bola mata: normal/normal
Pupil
ukuran: 3mm/3mm
bentuk: bulat/bulat
Reflek cahaya langsung: +/+
Reflek cahaya tidak langsung: +/+
Nistagmus: -/-
7
Nervus IV (Tokhlearis)
Posisi bola mata: medial/medial
Pergerakan bola mata: normal/normal
Nervus VI (Abdusens)
Pergerakan bola mata: normal/normal
Nervus V (Trigeminus)
Motorik
Inspeksi: simetris
Palpasi: normal/normal
Mengunyah: normal/normal
Menggigit: normal/normal
Sensibilitas
N. V 1: normal/normal
N. V 2: normal/normal
N. V 3: normal/normal
Refleks kornea: +/+
Refleks dagu/ maseter: +/+
Nervus VII (fasialis)
Motorik
M. Frontalis: normal/normal
M. Oblik okuli:normal/normal
M. Oblik oris: normal/deviasi ke kiri
8
Sensorik
Pengecapan 2/3 depan lidah: TDE
Nervus VIII (oktavus)
Detik arloji: baik/baik
Suara berbisik: baik/baik
Tes weber: TDE
Tes rinne: TDE
Nervus IX (glossofaringeus)
Reflek muntah: (+)
Pengecapan 1/3 belakang: TDE
Nervus X (Vagus)
Posisi arkus faring: normal
Reflek telan: +
Nervus XI (aksesorius)
Mengangkat bahu: normal/normal
Memalingkan wajah: normal/normal
Nervus XII (Hipoglossus)
Deviasi lidah: (-)
Fasikulasi: (-)
Tremor: (-)
Atrofi: (-)
Ataksia: (-)
9
3. Leher
Tanda-tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk: (+)
Kernig’s sign: (-)
Kelenjar limfe: normal
Arteri karotis: normal
Kelenjar gondok: normal
4. Abdomen
Reflek kulit dinding perut:
5. Kolumna vertebralis
Inspeksi: normal
Palpasi: normal
Pergerakan: normal
Perkusi: TDE
6. Ekstremitas superior:
7. Tonus otot: (+)
8. Refleks fisiologis
BPR: 2/2
TPR: 2/2
KPR: 2/2
APR: 2/2
9. Refleks patologis
Hoffman/ Trommer: -/-
Babinski: -/-
10
- -- -- -
3 53 5
Gordon: -/-
Chaddock: -/-
Schaefer: -/-
Oppenhein: -/-
Rossolimo: TDE
Mendel B: TDE
10. Trofi: (-)
11. sensibilitas
Eksteroseptif
Nyeri: (+)
Suhu: TDE
Raba: (+)
Propioseptif
Sikap: (+)
Nyeri dalam: TDE
Fungsi kortikal
Rasa diskriminasi: normal
Stereognosis: nornal
Barognosia: TDE
12. Pergerakan abnormla spontan: (-)
13. Gangguan koordinasi
Tes jari hidung: normal
Tes pronasi supinasi: normal
Tes tumit lutut: TDE
11
14. Gait: SDE
15. Pemeriksaan fungsi luhur
Afek/emosi: baik
Kemampuan bahasa: baik
Memori: baik
Visuospasial: baik
Intelegensia:baik
2.6 Pemeriksaan laboratorium
DL: diffcount 5/1/66/19/9
Hct 36,9%
Hb 12,7 mg/dl
Lekosit 5.400
Trombosit 205.000
Serum elektrolit: Clorida 108 mol/l
Kalium 4,0 mmol/l
Natrium 139 mmol/l
GDA: 90
Lemak: cholesterol 189 mg/dl
HDL 31,7 mg/dl
LDL 113,6 mg/dl
TG 221 mg/dl
RFT: serum kreatinin 0,9 mg/dl
Urea 20 mg/dl
Uric acid 5,1 mg/dl
12
Anti HIV: metode I reaktif
Metode II reaktif
Metode III reakti
2.7 Pemeriksaan radiologis
Foto thorax
13
CT scan kepala
2.8 Ringkasan
Laki-laki, 27 tahun, nyeri kepala kiri, lemah tubuh sebelah kanan, lesi nervus
fasialis sentral, hemiparese dextra, anti HIV reaktif 3 metode.
2.9 Diagnosis
Klinis: headache sinistra, hemiparese dextra, lesi nervus VII sentral
Topis: temporal sinistra
Etiologi: Toxoplasmosis serebral
14
2.10 Therapy
- IVFD RA 1500 cc/ 24 jam
- Pirymetamin 100 mg/hari
- Pirymetamin 50 mg/hari + klindamisin 4 x 600 mg
- Folinic acid 10-50 mg/hari
- dexamethasone 4 x 1 gram
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Disebut juga toksoplasmosis otak, muncul pada kurang lebih 10% pasien
AIDS yang tidak diobati. Hal ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii,
yang dibawa oleh kucing, burung dan hewan lain yang dapat ditemukan pada
tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan kadang pada daging mentah atau
kurang matang. Begitu parasit masuk ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di
sana, tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat melawan parasit
tersebut hingga mencegah penyakit. Gejala termasuk ensefalitis, demam, sakit
kepala berat yangtidak menanggapi pengobatan, lemah pada satu sisi tubuh,
kejang, kelesuan,kebingungan yang meningkat, masalah penglihatan, pusing,
masalah berbicara danberjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua
pasien menunjukkan tanda infeksi (Sudoyo dkk, 2006).
Toksoplasmosis adalah penyakit hewan dan manusia yang akut atau
kronis, tersebar luas disebabkan oleh Toksopalasma gondii dan di tularkan oleh
ookis pada kotoran kucing. Sebagian besar infeksi pada manusia bersifat
asimtomatik, bila gejala muncul, akan berkisar dari penyakit ringan dan sembuh
sendiri yang menyerupai mononukkleosis hingga penyakit fulminan dan
diseminsata yang dapat membahayakan otak, mata, otot, hati, dan paru.
Manifestasi berat terutama terlihat pada penderita yang imunitasnya terganggu
dan pada janin yang terinfeksi melalui transplasenta sebagai akibat dari infeksi
16
maternal. Korioretinitis bisa berkaitan dengan semua bentuk, tetapi biasanya
merupakan sekuele akhir penyakit kongenital (Dorland, 2002).
Toksoplasmosis suatu penyakit yang disebabkan oleh Toksoplasma gondii,
merupakan penyakit parasit pada manusia dan juga pada daging hewan yang biasa
dikonsumsi oleh manusia. Infeksi yang disebabkan oleh T.gondii tersebar di
seluruh dunia. Pada hewan berdarah panas dan mamalia lainnya termasuk manusia
merupakan hospes perantaranya. Sedangkan kucing dan berbagai jenis felixdae
lainnya merupakan hospes definitif (WHO, (1979) dalam Chahaya I (2003)). Pada
kehidupan manusia, ada dua populasi manusia yang kemungkinan berisiko tinggi
terinfeksi oleh parasit ini, yaitu wanita hamil dan individu yang mengalami
defisiensi sistem imun (Chahahya I, 2003).
Toksoplasma gondii merupakan parasit protozoa intraselluler. Bentuk
parasit ini seperti batang yang melengkung dengan ukuran lebih kecil
dibandingkan sel darah merah manusia (3-6 μm). Parasit ini dapat menembus sel
secara aktif dan masuk ke berbagai jaringan seperti otak, mata, dan usus. Menurut
siklus hidupnya, parasit ini terdiri atas 3 bentuk, yaitu: takizoit, kista (bradizoit)
dan ookista. Ookista sendiri berukuran 10-12 μm, mempunyai hospes definitif,
yaitu kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus seksual yang kemudian
menghasilkan ookista dan dikeluarkan bersama feses kucing. Kucing yang
mengandung toksoplasma gondii dalam fesesnya mengandung jutaan ookista.
Ookista dapat bertahan di lingkungan untuk beberapa bulan dan tahan terhadap zat
desinfektan, pembekuan dan tempat yang kering, namun dapat mati dengan
pemanasan 70˚C selama 10 menit (Sutanto I at al. , 1998).
17
Penelitian lainnya juga dilakukan untuk menemukan peranan kucing dalam
penularan toksoplasma, penelitian oleh Umyati dan Amino misalnya. Adapun
penelitian yang dilakukan di laboratorium Kedokteran Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta tersebut membuktikan bahwa 3 dari 14 kucing yang di periksa
ternyata positif mengandung ookista T.gondii, walaupun ternyata dari ketiga
kucing hanya dua kucing yang positif secara serologis. Dimana hasil
menunjukkan bahwa kucing disuatu laboratorium dapat terinfeksi toksoplasma
dan mampu menularkannya. Begitu juga dengan kucing peliharaan masyarakat
maupun hewan lainnya termasuk ternak yang dagingnya dikonsumsi manusia.
Penelitian ini ditunjang oleh hasil penelitian yang mengatakan bahwa lebih dalam
menularkan toksoplasma pada manusia (Rochiman, 2006).
3.2 Epidemiologi
Kejadian infeksi toksoplasma gondii terdistribusi hampir diseluruh dunia
dan dapat dijumpai pada tempat-tempat atau lingkungan yang memiliki kucing.
Adapun berbagai spesies mamalia, reptile dan burung juga dapat terinfeksi secara
alamiah. Adapun siklus penyebaran infeksi ini umumnya melibatkan kucing dan
tikus. Dimana tikus memakan materi/ bahan yang telah terkontaminasi oleh
ookista yang di jatuhkan atau dibuang oleh kucing, lalu tikus tersebut terinfeksi
dan kista dapat berkembang di tubuh tikus tersebut. Apabila tikus yang telah
terinfeksi parasit tersebut dimakan oleh kucing, maka kucing tersebut akan
kembali tertular infeksi dan kucing yang telah terinfeksi ini akan mengandung
ookista dalam tinjanya. Ada beberapa teori lainnya mengenai siklus
toksoplasmosis dan beberapa diantaranya pernah didokumentasikan (Paniker,
2002).
18
Toksoplasmosis pada manusia merupakan satu zoonosis. Parasit ini biasa
didapati pada air atau makanan yang terkontaminasi oleh ookista yang matang
atau bisa melalui makanan mentah atau yang tidak dimasak secara matang/
sempurna dan masih mengandung kista-kista di jaringan (Paniker, 2002).
Kontak yang sering terjadi dengan hewan terkontaminasi atau dagingnya,
dapat dihubungkan dengan tingkat prevalensi yang lebih tinggi, khususnya pada
dokter hewan, mahasiswa kedokteran hewan, pekerja di rumah potong hewan dan
orang yang menangani daging mentah seperti juru masak (Chahaya I, 2003).
Daging babi dan sapi juga dapat terinfeksi kista jaringan. Tidak hanya itu,
lalat dan kecoa juga berperan sebagai vektor mekanik dalam kontaminasi
makanan dengan ookista yang berasal dari tanah yang terinfeksi. Infeksi juga
didapati dari air apabila sumber air tersebut telah terkontaminasi dengan tinja
kucing. Walaupun sangat jarang, infeksi juga dapat ditularkan melalui transfusi
darah atau leukosit serta transplantasi organ. Selain itu, toksoplasmosis dapat juga
berasal dari laboratorium. Dimana lama inkubasi berkisar 1 atau 3 minggu
(Paniker, 2002).
Adapun infeksi yang terjadi tergantung kepada status imun orang yang
terinfeksi. Kebanyakannya infeksi lebih aktif pada penderita yang mengalami
imunnocompromised. Dimana toksoplasmosis merupakan salah satu dari
komplikasi yang fatal pada orang dengan system imun yang sangat rendah,
penderita HIV/AIDS misalnya (Paniker, 2002).
Insidensi toksoplasmosis kongenital dapat diestimasikan dalam 1000
kelahiran. Hal ini mengacu pada kepentingan kesehatan publik terhadap
toksoplasmosis kongenital dan risiko yang ditimbulkannya kelak. Adapun
19
tinjauan serologi terhadap antibodi toksoplasma lebih banyak dilakukan di negara-
negara maju, khususnya pada wanita usia subur, saat mengandung dan memiliki
bayi baru lahir (Paniker, 2002).
3.3 Etiologi
Disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing,
burung dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja
kucing dan kadang pada daging mentah ataukurang matang. Begitu parasit masuk
ke dalam sistem kekebalan, ia menetap di sana, tetapi sistem kekebalan pada
orang yang sehat dapat melawan parasit tersebut hingga tuntas, mencegah
penyakit. Transmisi pada manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau
domba yang mentahyang mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa
juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak langsung dengan feses kucing.
Selain itu dpat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan
transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang immunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi
reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak (Sylvia, 2006).
20
Toxoplasma gondii merupakan protozoa obligat intraseluler, terdapat
dalam tiga bentuk yaitu takizoit (bentuk proliferatif), kista (berisi bradizoit) dan
ookista (berisi sporozoit) (Hiswani, 2005). Bentuk takizoit menyerupai bulan sabit
dengan ujung yang runcing dan ujung lain agak membulat. Ukuran panjang 4-8
mikron, lebar 2-4 mikron dan mempunyai selaput sel, satu inti yang terletak di
tengah bulan sabit dan beberapa organel lain seperti mitokondria dan badan golgi
(Sasmita, 2006). Bentuk ini terdapat di dalam tubuh hospes perantara seperti
burung dan mamalia termasuk manusia dan kucing sebagai hospes definitif.
21
Takizoit ditemukan pada infeksi akut dalam berbagai jaringan tubuh. Takizoit
juga dapat memasuki tiap sel yang berinti.
Kista dibentuk di dalam sel hospes bila takizoit yang membelah telah
membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, ada yang berukuran kecil hanya
berisi beberapa bradizoit dan ada yang berukuran 200 mikron berisi kira-kira 3000
bradizoit. Kista dalam tubuh hospes dapat ditemukan seumur hidup terutama di
otak, otot jantung, dan otot bergaris. Di otak bentuk kista lonjong atau bulat, tetapi
di dalam otot bentuk kista mengikuti bentuk sel otot (Gandahusada, 2003).
Ookista berbentuk lonjong, berukuran 11-14 x 9-11 mikron. Ookista
mempunyai dinding, berisi satu sporoblas yang membelah menjadi dua sporoblas.
Pada perkembangan selanjutnya ke dua sporoblas membentuk dinding dan
menjadi sporokista. Masing-masing sporokista tersebut berisi 4 sporozoit yang
berukuran 8 x 2 mikron dan sebuah benda residu. Toxoplasma gondii dalam
klasifikasi termasuk kelas Sporozoasida, berkembang biak secara seksual dan
aseksual yang terjadi secara bergantian.
3.4 Siklus Hidup
Toxoplasma gondii hidup dalam 3 bentuk : thachyzoite, tissue cyst (yang
mengandung bradyzoites) dan oocyst ( yang mengandung sporozoites). Bentuk
akhir dari parasit diproduksi selama siklus seksual pada usus halus dari kucing.
Kucing merupakan pejamu definitif dari T gondii. Siklus hidup aseksual terjadi
pada pejamu perantara, (termasuk manusia). Dimulai dengan tertelannya tissue
cyst atau oocyst diikuti oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites
atau sporozoites secara berturut-turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites
,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh lewat peredaran darah atau
22
limfatik.Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu mencapai jaringan
perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjang hidup pejamu, dan berpredileksi
untuk menetap pada otak, myocardium, paru, otot skeletal dan retina (Misbach,
2006 dan Robert, 2003).
Tissue cyst ada dalam daging, tapi dapat dirusak dengan pemanasan
sampai 67 oC, didinginkan sampai -20oC atau oleh iradiasi gamma. Siklus
seksual entero-epithelial dengan bentuk oocyst hidup pada kucing yang akan
menjadi infeksius setelah tertelan daging yang mengandung tissue cyst. Ekskresi
oocysts berakhir selama 7-20 hari dan jarang berulang. Oocyst menjadi infeksius
setelah diekskresikan dan terjadi sporulasi. Lamanya proses ini tergantung dari
kondisi lingkungan, tapi biasanya 2-3 hari setelah diekskresi. Oocysts menjadi
infeksius di lingkungan selama lebih dari 1 tahun (Misbach, 2006 dan Robert,
2003).
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau
domba yang mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang
terkontaminasi atau kontak langsung dengan Feces kucing. Selain itu dapat terjadi
transmisi lewat transplasental, transfusi darah, dan transplantasi organ. Infeksi
akut pada individu yang imunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia
dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. yang
akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak
(Misbach, 2006 dan Robert, 2003).
Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit).
Takisoit ini akan menghancurkan seldan menyebabkan focus nekrosis (Misbach,
2006; Robert, 2003; dan Weiner, 2001).
23
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 <
200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
Oportunistik infeksi yang mungkin terjadi pada penderita dengan CD4 < 200
sel/mL adalah pneumocystiscarinii , CD4 <100 sel/mL adalah toxoplasma gondii ,
dan CD4 < 50 adalah M. aviumComplex , sehingga diindikasikan untuk
pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat
menyebabkan infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL (Misbach, 2006 dan
Robert, 2003).
24
25
3.5 Patofisiologi
HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas fungsional dan kualitas
kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang
mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yang juga mempunyai reseptor CD4
adalah : sel monosit, sel makrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher
rahim, dan sel langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh
perlekatan virus kepermukaan sel reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel
dengan meningkatkan tingkat apoptosis pada sel yang terinfeksi. Selain
menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga berdampak pada sistem
saraf dan dapat mengakibatkan kelainan pada saraf. Infeksi oportunistik dapat
terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS. Infeksi
26
tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan
sel saraf (Gilroy, 2000).
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti
toxoplasmosis sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4, kegagalan
produksi IL-2, IL-12, dan IFN-gamma, kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin.
Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV menunjukkan penurunan produksi IL-12
dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi dari CD 154 sebagai
respon terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari
perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV. Ensefalitis
toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan CD4
T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut.
Manifestasi klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri
kepala (55%), bingung / kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi
didapatkan adanya tanda ensefalitis global dengan perubahan status mental pada
75% kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus, Nyeri kepala pada 50 %
kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus (Gilroy, 2000).
Defisit neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan
gangguan bicara. Bisa juga terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum, meningismus, movement
disorders dan menifestasi neuropsikiatri (Robert, 2003).
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi
prediktor untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien
dengan CD4< 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat
tinggi (Robert, 2003).
27
3.6 Gejala Klinis
Manusia dapat terinfeksi oleh T. gondii dengan berbagai cara yaitu makan
daging mentah atau kurang masak yang mengandung kista T. gondii, termakan
atau tertelan bentuk ookista dari tinja kucing, rnisalnya bersarna buah-buahan dan
sayur-sayuran yang terkontaminasi. Juga mungkin terinfeksi melalui transplantasi
organ tubuh dari donor penderita toksoplasmosis laten kepada resipien yang
belum pernah terinfeksi T. gondii. Kecelakaan laboratorium dapat terjadi melalui
jarum suntik dan alat laboratoriurn lain yang terkontaminasi oleh T. gondii.
Infeksi kongenital sendiri terjadi secara intra uterin melalui plasenta (Levine,
1990).
Setelah terjadi infeksi T. gondii ke dalam tubuh akan terjadi proses yang
terdiri dari tiga tahap yaitu parasitemia, di mana parasit menyerang organ dan
jaringan serta memperbanyak diri dan menghancurkan sel-sel inang. Perbanyakan
28
diri ini paling nyata terjadi pada jaringan retikuloendotelial dan otak, di mana
parasit mempunyai afinitas paling besar. Pembentukan antibodi merupakan tahap
kedua setelah terjadinya infeksi. Tahap ketiga rnerupakan fase kronik, dimana
telah terbentuk kista-kista yang menyebar di jaringan otot dan syaraf yang sifatnya
menetap tanpa menimbulkan peradangan lokal. Secara garis besar, infeksi yang
terjadi sesuai dengan cara penularan dan gejala klinisnya. Adapun toksoplasmosis
dapat dikelompokkan atas; toksoplasmosis akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis
kongenital. Baik toksoplasmosis dapatan maupun kongenital sebagian besar
merupakan asimtomatis atau tanpa gejala. Dimana keduanya dapat bersifat akut
dan kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang nampak sering tidak
spesifik dan sulit dibedakan dengan penyakit lain (Chahaya I, 2003).
Toksoplasmosis dapatan biasanya tidak diketahui karena jarang
menimbulkan gejala. Tetapi bila seorang ibu yang sedang hamil mendapat infeksi
primer, maka ada kemungkinan bahwa 50% anak yang akan dilahirkan mengalami
toksoplasmosis kongenital. Gejala yang dijumpai pada orang dewasa maupun
anak-anak umumnya ringan. Gejala klinis yang paling sering dijumpai pada
toksoplasmosis dapatan adalah limfadenopati dan rasa lelah, disertai demam dan
sakit kepala (Zaman dan Keong, 1988).
Pada infeksi akut, limfadenopati sering dijumpai pada kelenjar getah
bening daerah leher bagian belakang. Gejala tersebut di atas dapat disertai demam,
mialgia, malaise. Bentuk kelainan pada kulit akibat toksoplasmosis berupa ruam
makulopapuler yang mirip kelainan kulit pada demam tifoid sedangkan pada
jaringan paru dapat terjadi pneumonia interstisial (Chahaya I, 2003).
29
Gambaran klinis toksoplasmosis kongenital dapat bermacam-macam. Ada
yang tampak normal pada waktu lahir dan gejala klinisnya baru timbul setelah
beberapa minggu sampai beberapa tahun. Ada gambaran eritroblastosis,
hidropsfetalis dan trias klasik yang terdiri dari hidrosefalus, korioretinitis dan
perkapuran intrakranial atau tetrade sabin yang disertai kelainan psikomotorik
(Zaman dan Keong, 1988). Toksoplasmosis kongenital dapat menunjukkan gejala
yang sangat berat dan dapat menimbulkan kematian penderitanya karena parasit
telah tersebar luas di berbagai organ penting dan juga pada sistem syaraf penderita
(Chahaya I, 2003).
Gejala susunan syaraf pusat sering meninggalkan kecacatan, seperti
retardasi mental dan gangguan motorik. Kadang-kadang hanya ditemukan
sikatriks pada retina yang dapat kambuh pada masa anak-anak, remaja atau
dewasa. Korioretinitis karena toksoplasmosis pada remaja dan dewasa biasanya
akibat infeksi kongenital (Chahaya I, 2003).
Akibat kerusakan pada berbagai organ, maka kelainan yang sering terjadi
dapat bermacam-macam jenisnya. Kelainan pada bayi dan anak-anak akibat
infeksi pada ibu selama kehamilan trimester pertama dapat berupa kerusakan yang
sangat berat sehingga terjadi abortus atau lahir mati, atau bayi dilahirkan dengan
kelainan seperti ensefalomielitis, hidrosefalus, kalsifikasi serebral dan
korioretinitis. Pada anak yang lahir prematur, gejala klinis lebih berat dari anak
yang lahir cukup bulan dan dapat disertai hepatosplenomegali, ikterus,
limfadenopati, kelainan susunan syaraf pusat dan lesi mata (Chahaya I, 2003).
30
Infeksi T. gondii pada individu dengan imunodefisiensi menyebabkan
manifestasi penyakit dari tingkat ringan, sedang sampai berat, tergantung kepada
derajat imunodefisiensinya (Chahaya I, 2003).
31
3.7 Diagnosa
1. Pemeriksaan Serologi
Didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM. Deteksi juga dapat
dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA), aglutinasi, atau enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak dalam 1-2
bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan seumur hidup.
2. Pemeriksaan cairan serebrospinal
Menunjukkan adanya pleositosis ringan dari mononuklear predominan dan
elevasi protein.
3. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)
Digunakan Mendeteksi DNA Toxoplasmosis gondii. PCR untuk T.gondii dapat
juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aquos humor
dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif
pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapat
bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut (Lamoril, 1996).
4. CT scan
Menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens multiple disertai
dan biasanya ditemukan lesi berbentuk cincin atau penyengatan homogen dan
disertai edema vasogenik pada jaringan sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma
jarang muncul dengan lesi tunggal atau tanpa lesi.
5. Biopsi otak
Untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
32
3.7 Penatalaksanaan
1. Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
2. Toxoplasma Gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya.
3. Kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam.
4. Pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-
100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
5. Pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum
tulang.
6. Pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan Azitromycin
1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone 750 mg
tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah
perbaikan gejala klinis.
7. Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total
kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV
3.9 Pencegahan
Dalam hal pencegahan toxoplasmosis yang penting ialah menjaga
kebersihan, mencuci tangan setelah memegang daging mentah menghindari
kotoran kucing, lalat, kecoak pada waktu membersihkan halaman atau berkebun.
Memasak daging minimal pada suhu 66°C atau dibekukan pada suhu -20°C.
33
Menjaga makanan agar tidak terkontaminasi dengan binatang rumah atau
serangga. Wanita hamil trimester pertama sebaiknya diperiksa secara berkala akan
kemungkinan infeksi dengan toxoplasma gondii. Mengobatinya agar tidak terjadi
abortus, lahir mati ataupun cacat bawaan (Hiswani, 2003).
Jika anda memiliki hewan peliharaan kucing, jangan biarkan kucing anda
berkeliaran di luar rumah yang dapat memperbesar kemungkinan kontak dengan
toksosplasma. Mintalah angota keluarga lain untuk membantu anda
membersihkan kucing anda termasuk memandikannya mencuci kandangnya atau
tempat biasa kucing berada dan mencuci tempat makannya. Beri makanan kucing
anda dengan makanan yang sudah dimasak dengan baik. Lakukan pemerikasaan
berkala terhadap kesehatan kucing anda. Gunakan sarung tanggan plastik ketika
anda harus membersihkan kotoran kucing, sebaiknya dihindarai. Cuci tangan
sebelum makan dan setelah berkontak dengan daging mentah, tanah atau kucing.
Gunakan sarung tanggan plastik anda jika anda berkebun terutama jika terdapat
luka di tanggan anda (Hiswani, 2003).
Untuk mencegah terjadinya infeksi dengan ookista yang berada di dalam
tanah, dapat diusahakan mematikan ookista dengan bahan kimia seperti formalin,
amonia dan iodin dalam bentuk larutan serta air panas 70˚C yang disiramkan pada
tinja kucing (Chahaya I, 2003).
34
BAB III
KESIMPULAN
Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika belum
terinfeksi tokso, dapat menghindari risiko terpajan infeksi dengan tidak memakan
daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut jika membersihkan
kandang kucing. Dapat memakai obat anti-HIV yang untuk menahan jumlah CD4.
Ini kemungkinan akan mencegah masalah kesehatan diakibatkan tokso. Dengan
diagnosis dan pengobatan dini, tokso dapat diobati secara efektif. Jika anda
mengalami penyakit tokso, sebaiknya terus memakai obat antitokso untuk
mencegah penyakitnya kambuh. Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat
penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi disebabkan oleh virus, bakteri,
protozoa dan jamur dan juga mudah terkena penyakit keganasan. Pengobatan
untuk infeksi oportunistik bergantung pada penyakit infeksi yang ditimbulkan.
Pengobatan status kekebalan tubuh denganmenggunakan immune restoring
agents, diharapkan dapatmemperbaiki fungsi sellimfosit, dan menambah jumlah
limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat menyeluruh terdiri dari pengobatan,
perawatan atau rehabilitasi dan edukasi. Pengobatan pada pengidap HIV/penderita
AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi opportunistik, kanker
sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif.
35
DAFTAR PUSTAKA
Jayawardena Suriya, MD. Cerebral Toxoplasmosis in Adult Patients with HIV
Infection Availabel from URL : http://www.turner-white.com/memberfile.php?
PubCode=hp_jul08 _toxoplasmosis.pdf. Accessed July, 2008.
George Sara Mathew, MD. Cerebral Toxoplasmosis in an HIV Positive Patient: A
Case Report and Review of Pathogenesis and Laboratory Diagnosis. Availabel
from URL :
http://www.bahrainmedicalbulletin.com/june_2009/Toxoplasmosis.pdf.
Accessed Juny, 2009.
Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 2006.
Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rd edition. New York. 2000 : 482-90.
Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency
(HIV)/AcquiredImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Volume 1.Edisi 6. Jakarta: EGC,2006.
Profesor.dr.H. Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi.
Jakarta : Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.
Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice
Medicine. Januari 2003.
Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta:
EGC. 2001.
Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and
Acquired Immunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology.
Goetz. 2003:955 -89.
Lamoril J. Detection by PCR of Toxoplasma gondii in blood in the diagnosis of
cerebral toxoplasmosis in patients with AIDS. Availabel from URL :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1023168/. Accessed July, 1996.
Chahaya, I., 2003. Epidemiologi “ Toxoplasma Gondii ”. Digital Library
36
Universitas Sumatera Utara. Diambil dari:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-indra%20c4.pdf
[Diakses pada 20 Mac 2010]
Hiswani, 2005. Toksoplasmosis Penyakit Zoonosis yang Perlu Diwaspadai.
Dalam: Hassan, W. (ed). 2005. Info Kesehatan Masyarakat. Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan: 43-50
Gandahusada, S., Ilahude, H.H., dan Pribadi, W., 2003. Parasitologi Kedokteran.
Edisi ke-3. Jakarta: FKUI.
37