Tor Bimtek Penyeleggara

4
KERANGKA ACUAN BIMBINGAN TEKNIS BADAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014 I. LATAR BELAKANG Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) merupakan salah satu bentuk Pemilu di Indonesia sebagai manifestasi prinsip negara demokrasi berdasarkan UUD 1945. Dengan sendirinya kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif menentukan kualitas negara demokrasi yang dijalankan. Dari sisi politik, pemilu legislatif mengawali agenda ketatanegaraan dan politik nasional. Hasil pemilu legislatif memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemilu presiden/ wakil presiden serta menentukan peta kekuatan politik nasional lima tahun berikutnya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif merupakan agenda konstitusional yang harus dikawal oleh segenap komponen bangsa. Pemilu merupakan proses panjang terdiri atas tahapan-tahapan yang saling terkait, mulai dari penentuan agenda dan jadwal hingga penetapan hasil dan calon terpilih. Setiap tahapan pemilu telah diatur dengan prosedur dan tata cara tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan yang dibentuk oleh KPU untuk memastikan bahwa pemilu akan diselenggarakan secara jujur dan adil, serta hasil pemilu nanti benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat. Dalam tahapan Pemilu Legislatif yang telah dilakukan memang muncul beberapa persoalan. Pada tahap verifikasi partai politik peserta pemilu terdapat gugatan dari partai politik yang dinyatakan tidak lolos. Putusan PTUN telah dijatuhkan dan KPU telah melaksanakan putusan tersebut. Pada tahap verifikasi calon anggota legislatif, KPU sempat memutuskan mencoret daftar calon yang diajukan partai politik di suatu daerah pemilihan karena tidak memenuhi syarat. Namun, putusan ini dieliminasi oleh Bawaslu, sementara KPU juga telah melaksanakan itu. Pada tahap pengumuman DPS, DPSHP, dan DPT berbagai masukan telah diberikan peserta pemilu dan publik yang tentu akan ditindaklanjuti oleh KPU. Tentu saja wajar jika di dalam setiap tahapan pemilu selalu ada persoalan, baik karena perbedaan penafsiran aturan main maupun karena persoalan teknis penyelenggaraan. Kompleksitas pemilu legislatif yang bersifat nasional, yang melibatkan ratusan juta pemilih, puluhan peserta, dan ratusan ribu calon anggota legislatif tentu saja memiliki peluang besar memunculkan berbagai persoalan. Karena itu, pada tahapan-tahapan pemilu selanjutnya permasalahan, baik dalam bentuk perselisihan maupun pelanggaran pasti akan terjadi. Untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dan pelanggaran, hukum pemilu (electoral laws) telah menyediakan mekanisme yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan terpenuhinya asas konstitusional penyelenggaraan pemilu dan tercapainya tujuan pemilu yang demokratis. Mekanisme hukum ini wujud dari prinsip bahwa demokrasi harus dijalankan berdasarkan aturan hukum sesuai prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum. Sepanjang mekanisme hukum yang berorientasi pada asas dan tujuan pemilu dijalankan, kita percaya bahwa semua persoalan yang ada akan dapat diselesaikan. Sebaliknya, jika terdapat pelanggaran terhadap mekanisme hukum atau bahkan pelanggaran terhadap asas dan tujuan pemilu yang demokratis sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, permasalahan akan berkembang dan berkelanjutan hingga mempengaruhi konstitusionalitas hasil pemilu. Terhadap perselisihan atau pelanggaran yang telah terjadi, terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan kembali di Mahkamah Konstitusi (MK) saat persidangan perselisihan hasil pemilu (PHPU) yang akan datang. Dengan sendirinya ketika hal itu dipersoalkan, MK akan menilai dan memutus pelanggaran dan penyelesaian yang telah dilakukan dalam tahapan-tahapan itu, apakah terdapat pelanggaran terhadap konstitusi atau tidak. Ini konsekuensi dari jati diri MK sebagai peradilan konstitusi serta perkembangan putusan-putusan MK dalam perkara PHPU yang menegaskan bahwa peran MK tidak lagi sekadar memutus perselisihan hasil penghitungan suara, tapi memutus konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Putusan-putusan MK dalam perkara PHPU, baik PHPU Legislatif, PHPU Presiden, maupun PHPU Kepala Daerah telah membentuk prinsip-prinsip hukum penyelenggaraan pemilu yang demokratis sesuai konstitusi. Prinsip-prinsip hukum ini tafsiran yang harus dijalankan untuk mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Karena itu, putusan PHPU bersifat pseudo judicial review karena di dalamnya terdapat penilaian dan penafsiran hukum pemilu. Dengan demikian, putusan dan prinsip hukum yang dibentuk dalam putusan PHPU Kepala Daerah juga mengikat dan harus diperhatikan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu legislatif. Sebagai contoh terkait

description

Tor Bimtek Penyeleggara PEMILU

Transcript of Tor Bimtek Penyeleggara

Page 1: Tor Bimtek Penyeleggara

KERANGKA ACUAN BIMBINGAN TEKNIS BADAN PENYELENGGARA

PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

I. LATAR BELAKANG

Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) merupakan salah satu bentuk Pemilu di Indonesia sebagai manifestasi prinsip negara demokrasi berdasarkan UUD 1945. Dengan sendirinya kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif menentukan kualitas negara demokrasi yang dijalankan. Dari sisi politik, pemilu legislatif mengawali agenda ketatanegaraan dan politik nasional. Hasil pemilu legislatif memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemilu presiden/ wakil presiden serta menentukan peta kekuatan politik nasional lima tahun berikutnya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu legislatif merupakan agenda konstitusional yang harus dikawal oleh segenap komponen bangsa. Pemilu merupakan proses panjang terdiri atas tahapan-tahapan yang saling terkait, mulai dari penentuan agenda dan jadwal hingga penetapan hasil dan calon terpilih. Setiap tahapan pemilu telah diatur dengan prosedur dan tata cara tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan yang dibentuk oleh KPU untuk memastikan bahwa pemilu akan diselenggarakan secara jujur dan adil, serta hasil pemilu nanti benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat. Dalam tahapan Pemilu Legislatif yang telah dilakukan memang muncul beberapa persoalan. Pada tahap verifikasi partai politik peserta pemilu terdapat gugatan dari partai politik yang dinyatakan tidak lolos. Putusan PTUN telah dijatuhkan dan KPU telah melaksanakan putusan tersebut. Pada tahap verifikasi calon anggota legislatif, KPU sempat memutuskan mencoret daftar calon yang diajukan partai politik di suatu daerah pemilihan karena tidak memenuhi syarat. Namun, putusan ini dieliminasi oleh Bawaslu, sementara KPU juga telah melaksanakan itu. Pada tahap pengumuman DPS, DPSHP, dan DPT berbagai masukan telah diberikan peserta pemilu dan publik yang tentu akan ditindaklanjuti oleh KPU. Tentu saja wajar jika di dalam setiap tahapan pemilu selalu ada persoalan, baik karena perbedaan penafsiran aturan main maupun karena persoalan teknis penyelenggaraan. Kompleksitas pemilu legislatif yang bersifat nasional, yang melibatkan ratusan juta pemilih, puluhan peserta, dan ratusan ribu calon anggota legislatif tentu saja memiliki peluang besar memunculkan berbagai persoalan. Karena itu, pada tahapan-tahapan pemilu selanjutnya permasalahan, baik dalam bentuk perselisihan maupun pelanggaran pasti akan terjadi. Untuk menyelesaikan berbagai perselisihan dan pelanggaran, hukum pemilu (electoral laws) telah menyediakan mekanisme yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan terpenuhinya asas konstitusional penyelenggaraan pemilu dan tercapainya tujuan pemilu yang demokratis. Mekanisme hukum ini wujud dari prinsip bahwa demokrasi harus dijalankan berdasarkan aturan hukum sesuai prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum. Sepanjang mekanisme hukum yang berorientasi pada asas dan tujuan pemilu dijalankan, kita percaya bahwa semua persoalan yang ada akan dapat diselesaikan. Sebaliknya, jika terdapat pelanggaran terhadap mekanisme hukum atau bahkan pelanggaran terhadap asas dan tujuan pemilu yang demokratis sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, permasalahan akan berkembang dan berkelanjutan hingga mempengaruhi konstitusionalitas hasil pemilu. Terhadap perselisihan atau pelanggaran yang telah terjadi, terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan kembali di Mahkamah Konstitusi (MK) saat persidangan perselisihan hasil pemilu (PHPU) yang akan datang. Dengan sendirinya ketika hal itu dipersoalkan, MK akan menilai dan memutus pelanggaran dan penyelesaian yang telah dilakukan dalam tahapan-tahapan itu, apakah terdapat pelanggaran terhadap konstitusi atau tidak. Ini konsekuensi dari jati diri MK sebagai peradilan konstitusi serta perkembangan putusan-putusan MK dalam perkara PHPU yang menegaskan bahwa peran MK tidak lagi sekadar memutus perselisihan hasil penghitungan suara, tapi memutus konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Putusan-putusan MK dalam perkara PHPU, baik PHPU Legislatif, PHPU Presiden, maupun PHPU Kepala Daerah telah membentuk prinsip-prinsip hukum penyelenggaraan pemilu yang demokratis sesuai konstitusi. Prinsip-prinsip hukum ini tafsiran yang harus dijalankan untuk mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Karena itu, putusan PHPU bersifat pseudo judicial review karena di dalamnya terdapat penilaian dan penafsiran hukum pemilu. Dengan demikian, putusan dan prinsip hukum yang dibentuk dalam putusan PHPU Kepala Daerah juga mengikat dan harus diperhatikan dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu legislatif. Sebagai contoh terkait

Page 2: Tor Bimtek Penyeleggara

peserta pemilu, MK pada perkara PHPU Kepala Daerah telah memutus bahwa verifikasi persyaratan dan penetapan peserta pilkada juga bagian dari konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu. Demikian pula halnya dengan kelengkapan persyaratan calon yang dapat diterapkan pada perkara persyaratan calon anggota legislatif. Terkait dengan DPT, MK juga telah memutus bahwa administrasi prosedural tidak boleh mengesampingkan substansi hak konstitusional sehingga DPS tidak boleh menutup hak pilih warga negara yang memenuhi syarat untuk menggunakan haknya. MK telah memutus bahwa pemilih yang tidak terdaftar pada DPT dapat menggunakan hak pilih dengan menggunakan KTP atau paspor dan kartu keluarga. Pada tahapan selanjutnya juga telah terdapat putusan MK yang dapat dijadikan acuan dan harus diperhatikan. Pada tahap kampanye misalnya agar tidak terjadi pelanggaran terhadap asas-asas pemilu yang demokratis, harus dijaga supaya tidak terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang mempengaruhi hasil pemilu. Walaupun kategori TSM muncul dalam perkara pilkada, potensi TSM dalam pemilu legislatif juga sangat besar. Karena itu, untuk mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu legislatif dan mencegah pelanggaran konstitusi dalam penyelenggaraan pemilu legislatif, penyelenggara dan peserta pemilu legislatif sudah seharusnya senantiasa mengikuti, memahami, dan menjadikan putusan-putusan MK sebagai pertimbangan dalam menyelenggarakan dan mengikuti tahapan pemilu legislatif. Kita tentu berharap tidak ada pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang, diskualifikasi calon, atau diskualifikasi partai politik peserta pemilu. Namun, jika memang telah terjadi pelanggaran yang memenuhi unsur TSM, mencederai demokrasi dan asas pemilu, MK memiliki kewenangan konstitusional untuk memutus sesuai fungsinya mengawal konstitusi dan melindungi demokrasi. Komisi pemilihan umum (KPU) baik ditingkat Provinsi maupun kabupaten/kota dan seluruh jajaran PPK, PPS, serta KPPS, harus menyatukan persepsi terkait pentingnya mengawal konstitusionalisme dalam Pemilu 2014. Khususnya terkait mekanisme penyelesaian sengketa, baik sengketa di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), maupun di MK. Melalui kesadaran inilah, jajaran penyelenggara pemilu mampu memetakan tahapan-tahapan yang krusial dan rawan gugatan sehingga bisa mempersiapkan seluruh ketentuan atau barang bukti yang dibutuhkan pada saat penyelesaian di Bawaslu, DKPP, PTUN, dan MK. Terkait dengan ketentuan hukum, penyelenggara pemilu harus hati-hati dalam mengambil keputusan karena berpotensi untuk disengketakan baik oleh partai politik maupun calon legislative (Caleg). Karena keputusan atau tindakan seorang penyelenggara pemilu tidak hanya diukur dengan legalitas hukum tetapi juga dilihat dari sisi etik bagaimana keputusan tersebut diambil. Ketentuan atau regulasi hukum tentang perlengkapan pemilu, pemungutan dan perhitungan suara, memerlukan pencermatan karena memiliki implikasi teknis dan hukum dalam penyelenggaraan pemilu. Adanya pengaturan tentang pemilih tambahan, pemilih dalam daftar khusus dan pemilih yang langsung memilih dengan menggunakan KTP atau paspor, maka keberadaan pemilih ini harus bisa dilihat jika mereka menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu direkomendasikan agar format dalam berita acara pemungutan suara bisa memuat jumlah pemilih dari 3 kelompok ini. Ada dua masalah yang penting dikaji, yaitu terkait proses penyelesaian pemungutan dan penghitungan suara di TPS dan masalah perbaikan berita acara tingkat sebelumnya jika ditemukan terjadi kesalahan pada saat pleno di tingkat atasnya. Ketentuan UU yang mengatur tentang penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara sering dimaknai bahwa kegiatan di TPS harus selesai dan tidak melewati pukul 24:00, karena setelah pukul 24:00 hari sudah berganti. Tetapi, fakta di lapangan ketentuan ini sering tidak bisa dilaksanakan, terutama penulisan BA penghitungan suaranya yang memerlukan ketelitian dan kehati-hatian, selain jumlah rangkapnya juga banyak. Selanjutnya, kegiatan rekapitulasi di tingkat PPS, PPK dan KPU Kabupaten/Kota, masalah yang perlu dicermati adalah proses dan mekanisme pembetulan jika ditemukan ada kesalahan dalam Berita Acara di tingkat bawahnya. Pembetulan itu disarankan untuk dapat menghadirkan penyelenggara di bawah yang Berita Acara terjadi kesalahan. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak. Hukum pemilu adalah seperangat peraturan yang bertujuan menjamin penyelenggaraan pemilu berjalan sesuai dengan asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Secara operasional,

Page 3: Tor Bimtek Penyeleggara

hukum pemilu mencegah dan memberikan sanksi agar tidak terjadi pelanggaran peraturan pemilu. Hukum pemilu juga mengatur penyelesaian kasus-kasus sengketa atau perselisihan pemilu yang melibatkan para pihak. Mekanisme penyelesaian permasalahan hukum pemilu yang efektif diperlukan untuk menjaga pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair election). Mekanisme itu penting, tidak sekedar untuk menjaga demokratisasi pemilu, namun jauh lebih penting bagaimana mekanisme itu mampu melindungi hak pilih masyarakat dari tindakan manipulatif dan curang. Oleh karena itu, mekanisme hukum pemilu harus mampu memproyeksikan permasalahan yang akan terjadi. Mekanisme itu tidak hanya memprioritaskan adanya kepastian akan bunyi ketentuan perundang-undangan, namun lebih dari itu adalah kepastian akan kekuatan makna aturan main itu sendiri. Dengan kata lain, mekanisme hukum pemilu tidak hanya bersifat prosedural sehingga berpeluang besar meminggirkan pencarian keadilan. Praktik pemilu di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa persoalan ketaatan hukum dan penegakan peraturan pemilu masih banyak kekurangan dan kelamahan. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu sistem penegakan hukum pemilu yang lebih baik dan sesuai dengan standar pemilu demokratis. Di sisi lain, sebagai penyelenggara pemilu penting memiliki pengetahuan tentang persoalan-persoalan hukum pemilu. Misalnya, mengetahui klasifikasi permasalahan hukum. Masalah hukum dalam pemilu dapat diklasifikasikan ke tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, perselisihan administrasi pemilu, perselisihan hasil pemilu, dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu. Kode etik bertujuan untuk memastikan terciptanya penyelenggara pemilu yang independent, berintegritas dan kredibel. Di dalam kode etik tersebut termaktub serangkaian pedoman perilaku penyelenggara pemilu, KPU, Pengawas Pemilu, serta aparat sekretariat KPU dan Panwaslu, di semua tingkatan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Kode Etik ini untuk memastikan bahwa perilaku semua anggota penyelenggara pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Satu tahapan krusial yang melibatkan peserta pemilu adalah kampanye. Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, program peserta pemilu dan atau informasi lainnya. Kampanye peserta pemilu dilakukan sebagai sarana partisipasi politik warga negara dan bentuk kewajiban peserta pemilu dalam memberikan pendidikan politik.Kampanye peserta pemilu dilakukan dalam rangka membangun komitmen antara warga negara dengan peserta pemilu dengan cara menawarkan visi, misi, program dan/atau informasi lainnya untuk meyakinkan pemilih dan mendapatkan dukungan sebesar-besarnya. Sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat kampanye dilakukan secara bertanggung jawab. Bertanggung jawab tentu tidak sekedar dalam skala waktu terbatas saat melakukan kampanye, namun dampak dari pelaksanaan kampanye juga harus dapat dipertanggung jawabkan. Melalui pendididikan politik ini pada akhirnya bermuara pada pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertanggung jawab, sebab pada hakekatnya kehidupan berbangsa dan bernegara adalah penerapan dari produk pendidikan politik itu sendiri. Salah satu bentuk kampanye yang sering menjadi diskusi publik adalah pemasangan alat peraga kampanye. KPU melalui regulasinya telah melakukan pembatasan alat peraga kampanye sebagai perwujudan kampanye sehat. Pembatasan tidak dimaksudkan untuk mempersempit hak rakyat untuk mengenal calon anggota legislatif. Ada dua ruang alat peraga kampanye yang kami batasi, yakni baliho dan spanduk, tapi ada alat peraga lain yang tidak dibatasi.

II. DASAR HUKUM 1. Undang-undangNomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum; 2. Undang-undangNomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; 3. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 03 Tahun 2013 tentang Pembentukan dan Tata Kerja

Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014

4. Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2012 Sebagaimana Diubah Terakhir Dengan Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2013;

5. Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum;

Page 4: Tor Bimtek Penyeleggara

III. NAMA KEGIATAN , WAKTU DAN TEMPAT Kegiatan ini dinamakan Bimbingan Teknis Penyelenggara Pemilu Tahun 2014 bertempat di Hotel Grand Cokro, Klaten pada hari Sabtu, tanggal 25 Januari 2014.

IV. TUJUAN 1. Peserta memahami dan menjadikan Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai acuan dan pedoman

dalam berperilaku dan bertindak; 2. Memberikan pemahaman dan penyadaran kepada para peserta tentang tahapan Pemilu yang rawan

gugatan dan persoalan hukum; 3. Peserta memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mempersiapkan alat bukti, khususnya terkait

dengan kesiapan dalam perselisihan hasil pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi; 4. Peserta memahami regulasi dan keweanangannya dalam tahapan Kampanye Pemilu 2014; 5. Peserta memahami secara utuh tentang seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014;

V. PESERTA

Peserta Bimbingan Teknis adalah seluruh Ketua, Anggota, dan Sekretaris PPK se-Kabupaten Klaten, berjumlah 156 orang.

VI. JADWAL KEGIATAN

NO. WAKTU MATERI/KEGIATAN NARASUMBER

1. 08.00 – 09.00 WIB Registrasi dan Pembukaan Panitia 2. 08.30 – 09.00 WIB Pembukaan Panitia 3. 09.00 – 10.30 WIB Konsolidasi Pelaksanaan Tahapan

Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2014

KPU Provinsi Jawa Tengah

4. 10.30 – 12.00 WIB Pemetaan dan Antisipasi Persoalan Hukum dalam Penyelenggaraan Pemilu 2014

Fajar S.A.K.A, SH, MH

5. 12.00 – 13.00 WIB ISHOMA Panitia 6. 13.00 - 14.30 WIB Kampanye Pemilu Legislatif Tahun

2014 Nuswantoro Dwiwarno, SH, MH

7. 14.30 – 14.45 WIB Coffe break Panitia 8. 14.45 – 15.30 WIB Kode Etik Penyelenggara Pemilu

dan Persiapan Pembentukan KPPS Ketua KPU Kabupaten Klaten

9. 15.30 – 16.00 WIB Penutup Panitia

VII. PEMBIAYAAN Kegiatan Bimbingan Teknis dibiayai oleh APBN Bagian Anggaran 076 Tahun Anggaran 2014.

VIII. PENUTUP Demikian kerangka acuan Bimbingan Teknis Penyelenggara Pemilu Tahun 2014 untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Klaten, 20 Januari 2014

KOMISI PEMILIHAN UMUM KABUPATEN KLATEN

KETUA,

TTD

SITI FARIDA