Toilet Training

115
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan hanya menjadi tanggung jawab dari sektor kesehatan saja, namun sector terkait lainnya seperti sektor pendidikan, sektor ekonomi, sektor sosial dan pemerintahan juga memiliki peranan yang cukup besar. Upaya pembangunan di bidang kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif. Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran program pembangunan kesehatan (Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2011- 2014. 2011). Depkes RI. (2007) menyatakan pembangunan kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya antara lain

description

oke

Transcript of Toilet Training

Page 1: Toilet Training

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat. Pencapaian derajat kesehatan yang optimal bukan

hanya menjadi tanggung jawab dari sektor kesehatan saja, namun sector terkait

lainnya seperti sektor pendidikan, sektor ekonomi, sektor sosial dan pemerintahan

juga memiliki peranan yang cukup besar. Upaya pembangunan di bidang

kesehatan tercermin dalam program kesehatan melalui upaya promotif,

preventif,

kuratif maupun rehabilitatif. Untuk mendukung upaya tersebut

diperlukan

ketersediaan data mengenai penduduk sebagai sasaran program pembangunan

kesehatan (Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan Kesehatan 2011-2014. 2011).

Depkes RI. (2007) menyatakan pembangunan kesehatan sebagai bagian dari

upaya membangun manusia seutuhnya antara lain diselenggarakan melalui upaya

kesehatan anak yang dilakukan sedini mungkin sejak anak masih dalam

kandungan. Upaya kesehatan yang dilakukan sejak anak masih di dalam

kandungan sampai 5 tahun pertama kehidupannya, ditujukan untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya sekaligus meningkatkan kualitas hidup

anak agar mencapai tumbuh kembang optimal baik fisik, mental, emosional,

maupun sosial serta memiliki intelegensi majemuk sesuai dengan potensi

genetiknya.

Page 2: Toilet Training

1

Page 3: Toilet Training

2

Tujuan Pembangunan Kesehatan sebagaimana yang tercantum didalam Sistem

Ketahanan Nasional (SKN) adalah untuk tercapainya hidup sehat bagi setiap

penduduk Indonesia sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang

optimal. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya memperluas pelayanan kesehatan

pada masyarakat secara menyeluruh, terpadu, merata, dengan mutu yang baik dan

biaya yang terjangkau. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting

dalam meningkatkan mutu daya saing generasi yang mempunyai Sumber Daya

Manusia.

Penduduk sasaran program pembangunan kesehatan sangatlah beragam, sesuai

dengan karakteristik kelompok umur tertentu atau didasarkan pada kondisi siklus

kehidupan yang terjadi. Beberapa upaya program kesehatan memiliki sasaran ibu

hamil, ibu melahirkan, dan ibu nifas; sedangkan beberapa program lainnya dengan

penduduk sasaran terfokus pada kelompok umur tertentu, meliputi : bayi, batita,

balita, anak balita, anak usia sekolah SD, wanita usia subur, penduduk produktif,

usia lanjut dan lain-lain (Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan

Kesehatan 2011 - 2014. 2011).

Sepanjang rentang kehidupannya, semenjak dari masa kehamilan sampai

meninggal manusia selalu mengalami perubahan, baik perubahan dalam bentuk

fisik maupun kemampuan mental psikologis. Perubahan-perubahan tersebut terus

berlangsung karena terjadi pertumbuhan dan perkembangan pada dirinya.

Pertumbuhan dan perkembangan dalam kehidupan manusia merupakan dua sisi

mata uang, yang menunjukkan gambaran yang berbeda namun merupakan dua hal

Page 4: Toilet Training

3

yang tak terpisahkan, bahkan kadang kala dikacaukan pengertiannya (Herawati

Mansur. 2011).

Sigmund Freud cit Sunaryo (2004) dalam teori perkembangannya mengatakan

bahwa anak usia 3-6 tahun termasuk dalam fase anal yaitu ditandai dengan

berkembangnya kepuasan (kateksis) dan ketidakpuasan (antikateksis)

disekitar fungsi eliminasi. Dengan mengeluarkan fases (buang air besar) timbul

perasaan lega, nyaman dan puas. Kepuasan tersebut bersifat egosentrik yaitu anak

mampu mengendalikan sendiri fungsi tubuhnya.

Kebiasaan dalam mengontrol buang air besar dan buang air kecil akan

menimbulkan hal-hal yang buruk pada anak di masa mendatang. Dapat

menyebabkan anak tidak disiplin, manja, dan yang terpenting adalah dimana nanti

pada saatnya anak akan mengalami masalah psikologis. Anak akan merasa

berbeda dan tidak dapat mengontrol buang air besar dan buang air kecil (Ayi.

2012).

Di Indonesia diperkirakan jumlah balita mencapai 30% dari 250 juta jiwa

penduduk Indonesia, dan menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

nasional di perkirakan jumlah balita yang sudah mengontrol buang air besar dan

buang air kecil di usia prasekolah mencapai 75 juta anak. Fenomena ini dipicu

karena banyak hal, pengetahuan yang kurang tentang cara melatih BAB dan BAK,

pemakaian popok sekali pakai, hadirnya saudara baru dan masih banyak hal

lainnya.

Page 5: Toilet Training

4

Melakukan toilet training memang harus melihat kesiapan anak secara fisik

dan mental serta kesiapan orang tua. Namun, prosesnya juga tidak boleh terlambat

dilakukan. Usia dua sampai tiga tahun harus sudah dikenalkan ke toilet, apa itu

BAK dan BAB. Jika sudah lewat dari usia tiga tahun, apalagi ketika akan

memasuki masa sekolah, namun belum diberi toilet training, itu akan berpengaruh

terhadap perkembangan sosial si kecil (Ayi. 2012).

Tidak ada patokan usia kapan toilet training (TT) harus dimulai. Saat

yang

tepat tergantung dari perkembangan fisik dan mental anak. Anak berusia di bawah

12 bulan tidak mempunyai kontrol terhadap kandung kemih dan buang air besar, 6

bulan sesudahnya ada sedikit kontrol. Antara 18 dan 24 bulan beberapa anak

sudah menunjukkan kesiapan, tetapi beberapa anak belum siap sampai usia 30

bulan atau lebih (Rini Sekartini. 2009).

Menurut penelitian American Psychiatric Association dalam Medicastore.

2008, dilaporkan bahwa 10 -20% anak usia 5 tahun, 5% anak usia 10 tahun,

hampir 2% anak usia 12-14 tahun, dan 1% anak usia 18 tahun masih mengompol

(nocturnal enuresis), dan jumlah anak laki-laki yang mengompol lebih banyak

dibanding anak perempuan (http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/134/jtptunimus-

gdl-ekanurulaf-6681-2-bab1.pdf).

Studi teranyar merekomendasikan para orang tua untuk mulai mengenalakan

toilet training saat anak berusia 27-32 bulan. Anak yang baru mulai belajar

menggunakan toilet di atas usia 3 tahun cenderung lebih sering mengompol

hingga usia sekolah. Sebaliknya, bila ibu mulai mengenalkan anak untuk pipis dan

Page 6: Toilet Training

5

buang air besar di toilet sebelum ia berusia 27 bulan justru lebih sering gagal

(Kompas. 2010).

Berdasarkan data awal yang peneliti peroleh di Desa Miruk, Kecamatan

Krueng Barona Jaya, Kabupaten Aceh Besar, diperoleh sebanyak 34 ibu yang

memiliki anak usia 2-4 tahun. Dari survey awal yang dilakukan peneliti terhadap

15 orang ibu yang memiliki anak usia 2-4 tahun, 11 diantara anak-anak tersebut

masih memiliki kebiasaan yang salah dalam buang air kecil dan buang air besar.

Misalnya, masih mengompol di malam hari, buang air besar dan buang air kecil di

celana tanpa memberitahu ibu, kurang mandiri dalam hal penggunaan toilet serta

buang air besar dan buang air kecil sambil menangis.

Dari hasil pengamatan sementara peneliti, juga terlihat kurangnya pengetahuan

ibu dalam hal tata cara mengaplikasikan penggunaan toilet terhadap anak-

anaknya, misalnya ibu membentak anaknya pada saat anak mengompol di malam

hari dan buang air besar dan buang air kecil di celana, kemudian kurang tanggap

terhadap anaknya pada saat anak buang air besar dan buang air kecil.

Berdasarkan uraian di atas bahwa keluarga ikut memegang peranan penting

dalam merawat anggota dalam perkembangan yang bisa dicapai seorang anak

terutama dalam kehidupan sehari-hari si anak. Oleh karena itu, peneliti tertarik

melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam

mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa

Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar.

Page 7: Toilet Training

6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dalam penelitian ini

dirumuskan “Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam

mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa

Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam

mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa

Miruk Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar.

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan ibu terhadap pelaksanaan

toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng

Barona Jaya Kab. Aceh Besar.

b. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan ibu terhadap pelaksanaan

toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng

Barona Jaya Kab. Aceh Besar.

c. Untuk mengetahui pengaruh kesiapan psikologis anak terhadap

pelaksanaan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk

Kec. Krueng Barona Jaya Kab. Aceh Besar.

Page 8: Toilet Training

7

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi ilmu pengetahuan

Dapat menambah wawasan dan pengetahuan khusus tentang toilet

training pada anak usia 2-4 tahun

2. Bagi peneliti

Sebagai bahan masukan dalam penambahan ilmu pengetahuan dan

pengalaman penulis dalam penerapan ilmu yang diperoleh.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Menambah bahan informasi yang dapat dijadikan referensi bagi

pengembangan ilmu atau penelitian lebih lanjut bagi yang

membutuhkannya khususnya tentang penerapan toilet training pada

anak

usia 2-4 tahun.

4. Bagi masyarakat

Memberikan masukan atau informasi kepada ibu mengenai toilet

training dan perilaku yang seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam

melatih toilet training pada anak usia 2-4 tahun.

Page 9: Toilet Training

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Toilet Training pada anak

1. Pengertian Toilet Training (Pelatihan Buang Air)

Menurut Hierarki Maslow bahwa kebutuhan dasar manusia yang paling

utama adalah kebutuhan fisik dan biologis. Kebutuhan ini juga berlaku pada

anak, anak butuh makan, minum, menghirup udara segar, kehangatan,

eliminasi baik itu buang air besar maupun buang air kecil. Kesemuanya ini

akan berjalan dengan lancar jika bantuan aktif dari orang tua (Nita Nur

Sugiarti. 2008).

Menurut Gilbert 2003, ada banyak hal yang menyertai pertumbuhan

seorang anak terutama dalam tiga tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan dan

perkembangan berlangsung sangat pesat pada lima tahun pertama kehidupan

anak. Proses ini mencakup perkembangan kemampuan kognitif dan perilaku.

Seringkali dalam membesarkan anak, para orangtua terjebak dalam pola pikir

untuk menyelesaikan semua pendidikan anak secepat mungkin, baik itu

berbicara, berjalan, bahkan menggunakan toilet.

Sebenarnya semua hal tersebut merupakan langkah perkembangan normal

yang prosesnya tidak perlu terburu-buru. Menyesuaikan pemberian latihan

dengan usia anak adalah hal yang wajib diperhatikan. Demikian pula dengan

toilet training, di mana orangtua/pengasuh mengajarkan cara-cara buang air

Page 10: Toilet Training

9

kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) di toilet pada anak. Selain itu perlu

diperhatikan teknik pelaksanaan dan sikap orang tua. Berhasil atau tidaknya

fase toilet training ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya

dari seorang anak yaitu kemampuan mengendalikan perkemihan dan

pencernaan

(http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0808689_chapter2.pdf).

Toilet training pada anak merupakan suatu usaha untuk melatih anak

agar mampu mengontrol dalam melakukan buang air kecil dan buang air

besar (Hidayat. 2008).

Toilet Training pada anak adalah latihan menanamkan kebiasaan pada

anak untuk aktivitas buang air kecil dan buang air besar pada tempatnya

(toilet), (Bunda edisi 256. 2011).

Toilet training merupakan cara untuk melatih anak agar bisa mengontrol

hajatnya apakah itu saat ia ingin buang air kecil atau buang air besar, Selain itu

anak diharapkan mampu BAK dan BAB di tempat yang telah ditentukan

(Bunda edisi 256. 2011).

Toilet training adalah upaya pelatihan kontrol buang air kecil dan buang

air besar anak yang masing masing dilakukan oleh sistem perkemihan dan

defekasi

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23318/4/Chapter%20II.pdf).

Page 11: Toilet Training

10

Seseorang mungkin berharap anak segera dapat dilatih untuk melakukan

toilet training. Namun, tak ada patokan waktu yang pasti kapan hal itu

sebaiknya dimulai, apakah di musim semi atau di musim panas, walaupun itu

dianggap ideal. Patokan utamanya adalah kesiapan fisik dan mental anak.

Umumnya, pada anak yang normal mereka akan siap pada usia 18-30 bulan,

atau bahkan pada usia lebih dari itu (Vicki Lansky. 2006).

Peter Stavinoha, penulis buku Stress-Free Potty Training,

mengatakan

bahwa usia tidak bisa dijadikan patokan untuk menentukan kapan anak harus

mulai diajarkan menggunakan toilet. "Meski rata-rata anak sudah bisa

diajarkan di usia 2, 5 tahun tapi tidak semua anak sama. Kuncinya adalah saat

perkembangan fisik, emosi, dan psikologis anak siap” (Kompas. 2010).

Beberapa tanda yang penting pada anak adalah: pola buang air yang lebih

jarang sehingga anak bisa memakai popok kering lebih lama (sekitar beberapa

jam), kemampuan anak untuk mengerti perintah dan penjelasan sederhana,

keinginan untuk menirukan kebiasaan rutin orang dewasa di kamar mandi,

saat anak mulai suka terhadap kerapian dan tidak suka saat merasa dirinya

basah atau kotor. Yang perlu di ingat oleh seorang ibu adalah jika ia memaksa,

hal yang akan terjadi adalah adegan kejar-kajaran dengan si kecil (Vicki

Lansky. 2006).

Jika anak tidak merespon atau menunjukkan minat, atau jika ibu akhirnya

berdebat karena keinginannya berbeda, tundalah seluruh upaya ini sampai

beberapa minggu atau bulan. Sikap seorang ibu sebaiknya tenang dan jangan

Page 12: Toilet Training

11

terlalu banyak memperhatikan anjuran teman atau kerabat (Vicki Lansky.

2006).

Masalah lainnya ialah masalah mengompol (buang air kecil yang tidak

terkontrol) di malam hari sering membuat anak maupun orang tua putus asa.

Umumnya hal ini lebih sering dialami anak laki-laki, dan bisa berlanjut hingga

usia prasekolah, atau bahkan lebih. Sebaiknya ibu minta dokter memeriksa

apakah tidak ada penyebab fisik lain. Hasil penelitian mutakhir menunjukkan

bahwa mengompol dapat dikaitkan dengan reaksi alergi terhadap susu . Atau,

bisa saja mengompol terjadi karena anak tertidur dengan sangat lelap sehingga

tidak membaca tanda-tanda yang diberikan oleh tubuhnya (Vicki Lansky.

2006).

Hal ini dapat ditunjukan anak mampu duduk atau berdiri sehingga

memudahkan anak untuk dilatih buang air besar dan kecil, demikian juga

kesiapan psikologis di mana anak membutuhkan suasana yang nyaman agar

mampu mengontrol dan konsentrasi dalam merangsang untuk buang air besar

atau kecil. Persiapan intelektual pada anak juga dapat membantu dalam proses

buang air besar dan kecil.

Hal ini ditunjukkan apabila anak memahami arti buang air besar atau kecil

sangat memudahkan proses dalam pengontrolan, anak dapat mengetahi kapan

saatnya harus buang air kecil dan kapan saatnya harus buang air besar,

kesiapan tersebut akan menjadikan diri anak selalu mempunyai kemandirian

dalam mengontrol khususnya buang air kecil dan buang air besar (toilet

Page 13: Toilet Training

12

training). Pelaksanaan toilet training dapat dimulai sejak dini untuk

melatih respon terhadap kemampuan untuk buang air kecil dan buang air besar.

Keberhasilan toilet training tergantung pada cara pengajaran bertahap

yang sesuai dengan anak anda. Ibu harus mendukung usaha anak anda. Jangan

menginginkan hasil yang terlalu cepat. Berikan anak pelukan dan pujian jika

mereka berhasil. Bila terjadi kesalahan jangan mamarahi atau membuat

mereka sedih. Hukuman akan membuat mereka merasa bersalah dan membuat

toilet training menjadi lebih lama (Bunda Edisi 256. 2011).

2. Tahapan toilet training

Pengaturan buang air besar dan berkemih diperlukan untuk keterampilan

sosial, mengajarkan toilet training (TT) membutuhkan waktu, pengertian

dan

kesabaran. Hal terpenting untuk diingat adalah bahwa anda tidak dapat

memaksakan anak untuk menggunakan toilet. The American Academy

of

Pediatrics telah mengembangkan brosur ini untuk membantu anak anda

melewati tahap penting perkembangan sosial (Rini Sekartini. 2009).

Pelatihan buang air besar biasanya mulai dilakukan pada saat anak

berumur 2-3 tahun, sedangkan pelatihan buang air kecil dilakukan pada umur

3-4 tahun. Pada umur 5 tahun, kebanyakan anak sudah dapat melakukan

buang air besar sendiri; melepas pakaian dalamnya sendiri, membersihkan dan

mengeringkan penis, vulva maupun anusnya sendiri serta kembali memakai

pakaian dalamnya sendiri.

Page 14: Toilet Training

13

Toilet training memang perlu diajarkan sejak dini pada anak. Tetapi

kebanyakan ibu tidak menunggu sampai sang anak menunjukkan ia ingin

pergi ke toilet sendiri karena takut anaknya tidak akan pernah belajar. Melatih

toilet training juga dapat membantu meringankan beban ibu di saat-saat

harus

menggantikan pampersnya yang sudah kotor. Walau bagaimanapun, sedari

dini anak harus diajarkan toilet training agar melatihnya lebih mandiri (Nita

Nur Sugiarti. 2008).

Mengajarkan toilet training pada anak memerlukan beberapa tahapan

seperti membiasakan menggunakan toilet training pada anak untuk buang

air,

dengan membiasakan anak masuk kedalam WC anak akan lebih cepat

beradaptasi. Anak juga perlu dilatih untuk duduk di toilet meskipun dengan

pakaian lengkap dan jelaskan kepada anak kegunaan toilet. Lakukan secara

rutin kepada anak ketika anak terlihat ingin buang air (Nita Nur Sugiarti.

2008).

Anak dibiarkan duduk di toilet pada waktu-waktu tertentu setiap hari,

terutama 20 menit setelah bangun tidur dan selesai makan, ini bertujuan agar

anak dibiasakan dengan jadwal buang airnya. Anak sesekali enkopresis

(mengompol) dalam masa toilet training itu merupakan hal yang normal.

Anak apabila berhasil melakukan toilet training maka orang tua

dapat memberikan pujian dan jangan menyalahkan apabila anak belum

melakukan dengan baik (Nita Nur Sugiarti. 2008).

Page 15: Toilet Training

14

Ibu mungkin berharap anak segera dapat dilatih untuk melakukan toilet

training. Namun, tak ada patokan waktu yang pasti kapan hal itu sebaiknya

dimulai, apakah dimusim semi atau dimusim panas, walaupun itu dianggap

ideal. Patokan utamanya adalah kesiapan fisik dan mental anak (Nita Nur

Sugiarti. 2008).

Prinsip dalam melakukan toilet training ada 2 langkah yaitu melihat

kesiapan anak, persiapan dan perencanaan serta toilet training itu sendiri:

a. Melihat kesiapan anak

Mengajari cara buang air besar yang paling mudah pada anak adalah

ketika anak siap melaksanakan tahapan ini dan ia mampu bekerja sama.

Memulai sebelum anak siap hanya akan mengundang masalah dan sering

menyebabkan kecelakaan dalam pemakaian kamar kecil (Hidayat. 2008).

b. Persiapan dan perencanaan

Prinsipnya ada 4 aspek dalam tahap persiapan dan perencanaan. Hal ini

yang perlu diperhatikan yaitu dengan menggunakan istilah yang mudah di

mengerti oleh anak yang menunjukkan perilaku buang air. Orang tua dapat

memperlihatkan penggunaan toilet pada anak sebab anak-anak cepat

meniru tingkah laku orang tua. Orang tuanya hendaknya segera mungkin

mengganti celana anak bila basah karena enkopresis atau terkena kotoran,

sehingga anak merasa risih bila menggunakan celana yang basah dan

kotor. Meminta padanya untuk memberitahu atau menunjukkan bahasa

tubuhnya apabila ia ingin buang air dan bila anak mampu mengendalikan

Page 16: Toilet Training

15

dorongan buang air maka jangan lupa berikan pujian pada anak (Farida.

2008).

Latihan miksi biasanya dicapai sebelum defekasi karena ini merupakan

aktivitas regular yang dapat diduga. Sementara, defekasi merupakan suatu

sensasi yang lebih besar dari pada miksi, yang dapat menimbulkan

perhatian si anak (Nursalam. Et All. 2005).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesiapan toilet training

a. Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap

pembentukan dan perkembangan perilaku individu baik lingkungan fisik

maupun lingkungan sosio-psikologis termasuk didalamnya adalah belajar

(Sudarajat, 2008).

b. Pendidikan

Tingkat pendidikan berpengaruh pada pengetahuan ibu tentang

penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu rendah berpengaruh pada

pengetahuan tentang penerapan toilet training sehingga berpengaruh pada

saat melatih secara dini penerapan toilet training.

Menurut Bloom (1908), untuk kepentingan pendidikan praktis,

dikembangkan manusia dalam tiga ranah perilaku, yaitu pengetahuan

(knowledge), sikap (attitude), dan praktik atau tindakan (practice).

Mulai 4

dari pengetahuan ibu tentang apa itu toilet training, bagaimana cara toilet

Page 17: Toilet Training

16

training serta apa saja yang dibutuhkan dalam toilet training, setelah ibu

mengetahui tentang toilet training, ibu harus mempersiapkan diri serta balita

untuk latihan toilet training, diharapkan setelah ibu memahami dan

mempersiapkan diri untuk toilet training, ibu dapat mempraktekkan apa yang

telah diketahui dan dipersiapkan untuk toilet training (Notoatmodjo. 2010).

Memang suatu tugas yang besar pada anak adalah toilet training

atau

pendidikan menjadi ceri/bersih. Control volunteer dari spingter ani dan uretha

dicapai pada waktu anak dapat berjalan dan biasanya terjadi antara usia 18-24

bulan (bagi anak yang normal tanpa keterbelakangna mental). Namun, factor

kesiapan psikologis sangat berpengaruh pada kesiapan toilet training (Nursalam,

et All. 2005).

Keberhasilan toilet training tergantung pada: persiapan fisik, persiapan

psikologis, persiapan intelektual (Apriyani Puji Hastuti, 2012)

1) Kesiapan Fisik

Indikator anak kesiapan fisik: anak mampu duduk atau berdiri. Pengkajian

fisik yang harus diperhatikan pada anak yang akan melakukan buang air kecil dan

buang air besar dapat meliputi kemampuan motorik kasar seperti berjalan, duduk,

meloncat dan kemampuan motorik halus seperti mampu melepas celana sendiri.

Kemampuan motorik ini harus mandapat perhatian karena kemampuan untuk

Page 18: Toilet Training

17

buang air besar ini lancar dan tidaknya dapat dilihat dari kesiapan fisik sehingga

ketika anak berkeinginan untuk buang air kecil dan buang air besar sudah mampu

dan siap untu melakukannya. Selain itu, yang harus dikaji adalah pola buang air

besar yang sudah teratur, sudah tidak mengompol setelah tidur (Apriyani Puji

Hastuti, 2012)

2) Kesiapan Psikologis

Indikator kesiapan psikologis: adanya rasa nyaman sehingga anak mampu

mengotrol dan konsentrasi dalam merangsang BAK dan BAB. Pengkajian

psikologis yang dapat dilakukan adalah gambaran psikologis pada anak ketika

akan melakukan buang air kecil dan buang air besar seperti anak tidak rewel

ketika akan buang air besar, anak tidak menangis sewaktu buang air besar atau

buang air kecil, ekspresi wajah menunjukan kegembiraan dan ingin melakukan

secara sendiri, anak sabar dan sudah mau ke toilet selama 5 sampai 10 menit tanpa

rewel atau meninggalkannya, adanya keinginantahuan kebiasaan toilet training

pada orang dewasa atau saudaranya, adanya ekspresi untuk menyenangkan pada

orangtuanya (Apriyani Puji Hastuti, 2012)

3) Kesiapan intelektual

Indiklator kesiapan intelektual: anak paham arti BAK atau BAB memudahkan

pengontrolan anak dapat mengetahui kapan saatnya harus BAB & BAK anak

memiliki kemandirian dalam mengontrol BAB & BAK. Pengkajian intelektual

pada latihan buang air kecil dan buang air besar antara lain kemampuan anak

untuk mengerti buang air kecil dan buang air besar, kemampuan

Page 19: Toilet Training

18

mengkomunikasikan buang air kecil dan buang air besar, anak menyadari

timbulnya buang air kecil dan buang air besar, mempunyai kemampuan kognitif

untuk meniru prilaku yang tepat seperti buang air kecil dan buang air besar pada

tempatnya serta etika dalam buang air kecil dan buang air besar (Apriyani Puji

Hastuti, 2012).

Dalam melakukan pengkajian kebutuhan buang air kecil dan buang air besar,

terdapat beberapa hal-hal yang perlu diperhatikan selama toilet training,

diantaranya: hindari pemakain popok sekali pakai dimana anak akan merasa

aman, ajari anak mengucapkan kata-kata yang khas yang berhubungan dengan

buang air besar, mendorong anak melakukan rutinitas ke kamar mandi seperti cuci

muka saat bangun tidur, cuci muka, cuci kaki, dan lain-lain (Apriyani Puji Hastuti,

2012)

4. Cara melatih toilet training pada anak

a. Tehnik lisan

Usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan intruksi pada anak

dengan kata-kata sebelum dan sesudah buang air kecil dan buang air besar.

Cara ini benar dilakukan oleh orang tua dan mempunyai nilai yang cukup

besar dalam memberikan rangsangan untuk buang air kecil dan buang air

besar. Dimana kesiapan psikologis anak akan semakin matang sehingga

Page 20: Toilet Training

19

anak mampu melakukan buang air kecil dan buang air besar (Warta warga,

2009).

Tehnik ini dimana orang tua mengucapkan apa-apa yang ada dalam

pikirannya sendiri, dalam paralel-talk orang tua berperan memverbalkan

apa apa yang mungkin sedang dipikirkan dan dirasakan anak. Dalam hal ini

butuh latihan dan kecermatan orang tua untuk membaca keinginan dan

perasaan anak (Tsurakarta, 2009).

b. Teknik modeling

Usaha untuk melatih anak dalam melakukan buang air kecil dan buang

air besar dengan cara memberikan contoh dan anak menirukannya. Cara

ini juga dapat dilakukan dengan membiasakan anak buang air kecil dan

buang air besar dengan cara mengajaknya ke toilet dan memberikan pispot

dalam keadaan yang aman. Namun dalam memberikan contoh orang tua

harus melakukannya secara benar dan mengobservasi waktu memberikan

contoh toilet training dan memberikan pujian saat anak berhasil dan tidak

memarahi saat anak gagal dalam melakukan toilet training (Warta Warga,

2009).

Dalam terapi bahasa, keterlibatan orang tua sangat mutlak. Karena itu

sebaiknya terapis melibatkan orang tua sejak proses observasi awal,

pembuatan program dan pada tahap terapi. Orang tua tidak harus selalu

hadir diruang terapi, cukup dengan beberapa kali mengajak orang tua

Page 21: Toilet Training

20

mengamati proses terapi dan kemudian melanjutkan model yang sama

dirumah (Tsurakarta, 2009).

B. Manfaat Toilet Training

Dalam Warta Warga (2007), tujuan dari pengajaran toilet training adalah

mengajarkan kepada anak untuk mengontrol keinginannya BAB atau BAK. Hal

ini berhubungan dengan perkembangan sosial anak di mana ia dituntut secara

sosial untuk menjaga kebersihan diri dan melakukan BAB atau BAK pada

tempatnya, yaitu toilet

(http://repository.upi.edu/operator/upload/t_pkkh_0808689_chapter2.pdf).

1. Kemandirian

Toilet Training juga dapat menjadi awal terbentuknya kemandirian anak

secara nyata sebab anak sudah bisa untuk melakukan hal-hal yang kecil seperti

buang air kecil dan buang air besar (Bunda edisi 256, 2011).

2. Mengetahui bagian-bagian tubuh dan fungsinya

Toilet Training bermanfaat pada anak sebab anak dapat mengetahui

bagian-bagian tubuh serta fungsinya (anatomi) tubuhnya. Dalam proses toilet

training terjadi pergantian impuls atau rangsangan dan instink anak dalam

melakukan buang air kecil dan buang air besar (Bunda edisi 256, 2011).

C. Dampak toilet training

Page 22: Toilet Training

21

Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti adanya

perlakuan atau aturan yang ketat bagi orang tua kepada anaknya yang dapat

mengganggu kepribadian anak atau cenderung bersifat retentive di mana anak

cenderung bersikap keras kepala. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua apabila

sering memarahi anak pada saat buang air atau melarang anak saat berpergian.

D. Konsep Pengetahuan

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil dari tahu. Terjadinya pengetahuan adalah setelah

seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan,

pendengaran penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran, yakni mata dan telinga.

Pengetahuan atau kognitif adalah domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo. 2010).

Ahmadi (2003) mengatakan pengetahuan adalah kesan dalam pemikiran

manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya yang berbeda sekali

dengan kepercayaan, takhayul dan penerangan-penerangan yang keliru.

Pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain adalah pendidikan formal. Jadi pengetahuan sangat erat hubunganya

dengan pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi,

maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Akan tetapi

Page 23: Toilet Training

22

perlu ditekankan, bukan berarti seseorang yang berpendidikan rendah, mutlak

berpengetahuan rendah pula.

Hal ini mengingat bahwa, peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh

dari pendidikan formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek

mengandung dua aspek yaitu positif dan negative. Kedua aspek ilmiah yang

pada akhirnya akan menentukan sikap seseorang tentang suatu objek tertentu.

Semakin banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan

menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tertentu.

Melalui pengalaman dan penelitian diketahui bahwa perilaku yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada yang tidak didasari

pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2007) mengungkap bahwa

sebelum terjadi Adopsi perilaku, di dalam diri sesorang secara berurutan

terjadi proses sebagai berikut:

a) Awareness (kesadaran) yaitu proses menyadari dalam arti

mengetahui stimulus atau objek terlebih dahulu.

b) interest, yakni seseorang mulai tertarik terhadap stimulus

c) Evaluation (evaluasi) yaitu proses menimbang-nimbang baik dan

tidaknya stimulus bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden

sudah lebih baik.

d) Trial, yaitu orang mulai mencoba melakukan sebuah perilaku baru

e) Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus

(Notoatmodjo. 2007).

Page 24: Toilet Training

23

Namun demikian, penelitian selanjutnya membuktikan bahwa tidak

seluruh tahap dilewati dalam pencapaian adopsi. Apabila penerimaan adopsi

sebuah perilaku didasari oleh adanya pengetahuan, kesadaran, dan sikap

positif maka hal tersebut akan menyebabkan perilaku yang langgeng (long

lasting). Sebaliknya apabila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan

kesadaran, maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2007).

2. Jenis-Jenis Pengetahuan

Pengetahuan seseorang berbeda-beda. Secara garis besar pengetahuan dalam

domain kognitif memiliki enam tingkatan yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai pengingatan (recall) terhadap sebuah materi yang

sebelumnya sudah dipelajari. Termasuk dalam tingkat ini adalah kemampuan

untuk recall atau mengingat kembali sesuatu hal spesifik dari pelajaran

terdahulu. Pengukuran tercapainya kualitas pengetahuan ini adalah dengan

menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.

Misalnya, tahu bahwa buah tomat banya mengandung vitamin C, jamban

adalah tempat membuang air besar, penyakit demam berdarah ditularkan oleh

gigitan nyamuk Aedes Agepti, dan sebagainya. Untuk mengetahui atau

mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan-

pertanyaan, misalnya: apa tanda-tanda anak yang kurang gizi, apa penyebab

penyakit TBC, bagaimana cara melakukan pemberantasan sarang nyamuk, dan

sebagainya (Notoatmodjo. 2010).

Page 25: Toilet Training

24

b. Memahami (comprehension)

Memahami adalah suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang

objek yang diketahui, dan dapat menjelaskan secara benar tentang objek yang

diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang

yang telah paham terhadap objek atau materi, maka harus bisa menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya, terhadap

objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui

tersebut pada situasi yang lain. Misalnya, seseorang yang telah paham tentang

perencanaan proses perencanaan, ia harus dapat membuat perencanaan

program kesehatan di tempat ia bekerja atau dimana saja. Orang yang telah

paham metodologi peneletian, ia akan mudah membuat proposal penelitian di

mana saja (Notoatmodjo, 2010).

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam sebuah struktur

pengorganisasian, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan

analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat

Page 26: Toilet Training

25

menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan

sebagainya.

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa

pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah apabila

orang tersebut telah dapat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan,

membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

Misalnya, dapat membedakan antara nyamuk Aedes Agepty dengan nyamuk

biasa, dapat membuat diagram (flow chart) siklus hidup cacing kremi, dan

sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungakan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis adalah kemampuan untuk menyusun suatu hal

baru dari hal-hal yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan,

dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori

atau rumusan yang telah ada (Notoatmodjo, 2010).

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan pekerjaan atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan

pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang

Page 27: Toilet Training

26

telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilaksanakan dengan wawancara atau

angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek

penelitian. Kedalaman pengetahuan yang ingin diukur dapat disesuaikan

dengan tingkatan di atas (Notoatmodjo, 2010).

3. Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi

pengetahuan ada 6 yaitu :

a. Pendidikan

Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan

kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan seseorang

makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.

Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar

berbentuk sekolah dasar dan madrasah ibtidayah atau bentuk lain yang

sederajat, serta sekolah menengah pertama dan madrasah sanawiyah atau

bentuk lain sederajat, pendidikan menengah terdiri dari pendidikan menengah

umum dan pendidikan tinggi terdiri dari diploma, sarjana, magister, spesialis

dan dokter yang di selengarakan perguruan tinggi (Sisdiknas, 2003).

b. Media / informasi.

Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal

dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact)

sehingga

menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi

Page 28: Toilet Training

27

akan tersedia bermacam-macam media massa yang dapat mempengaruhi

pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru. Sebagai sarana komunikasi,

berbagai bentuk media masa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah dan

lain-lain mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan opini dan

kepercayaan orang.

Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa

membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini

seseorang. Adanya informasi baru mengenai sesuatu hal memberikan landasan

kognitif baru bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal tersebut (Hidayat,

2007).

Informasi akan memberikan pengaruh pada pengetahuan seseorang.

Meskipun seseorang memiliki pendidikan rendah, tetapi jika ia mendapatkan

informasi yang baik dari berbagai media dapat meningkatkan pengetahuan

seseorang (Hidayat, 2007).

Pengetahuan seseorang tidak secara mutlak dipengaruhi oleh pendidikan

karena pengetahuan dapat juga diperoleh dari pengalaman masa lalu, namun

tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami informasi yang diterima yang kemudian menjadi

dipahami.

c. Sosial budaya dan ekonomi

Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran

apakah yang dilakukan baik atau buruk. Dengan demikian seseorang akan

bertambah pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi

seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas yang diperlukan

Page 29: Toilet Training

28

untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan

mempengaruhi pengetahuan seseorang.

d. Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar individu, baik

lingkungan fisik, biologis, maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap

proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam

lingkungan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik

ataupun tidak yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh setiap individu.

e. Pengalaman

Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk

memperoleh kebenaran pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan

masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja yang

dikembangkan memberikan pengetahuan dan ketrampilan profesional serta

pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan

mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar

secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerja.

Semua pengalaman pribadi dapat merupakan sumber kebenaran

pengetahuan, namun perlu diperhatikan disini bahwa tidak semua pengalaman

pribadi dapat menuntun seseorang untuk menarik kesimpulan dengan benar,

diperlukan berpikir kritis dan logis (Notoadmodjo, 2007).

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pengetahuan diantaranya

adalah pengalaman, semakin banyak seseorang mendengar, melihat dan

Page 30: Toilet Training

29

melakukan tindakan maka semakin bertambah pengetahuan tentang subjek

tersebut (Taufik, 2007).

f. Usia

Mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin

bertambah usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola

pikirnya. Menurut teori Notoadmodjo (2007), mengemukakan bahwa makin

tua umur seseorang maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah

baik, akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan

mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Selain itu

memang daya ingat seseorang dipengaruhi oleh umur. Bertambahnya umur

seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang

diperolehnya, akan tetapi pada umur-umur tertentu atau menjelang usia lanjut

kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang.

Pengetahuan sebagai bagian dari perilaku kesehatan, dipengaruhi oleh 3

faktor utama yaitu:

a. Faktor predisposisi (predisposing factor)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat, tradisi dan

kepercyaan masyarakat, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Hal ini dapat dijelaskan

sebagai berikut. Untuk berperilaku kesehatan, misalnya menjaga kesehatan ibu

hamil, diperlukan pengetahuan dan kesadaran tentang manfaat. Di samping

itu, kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga dapat mendorong

dan menghambat perilaku. Faktor-faktor ini terutama yang positif dapat

Page 31: Toilet Training

30

mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering pula disebut dengan faktor

pemudah.

b. Faktor pemungkin (enabling factor)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas untuk

tercapainya perilaku, misalnya perilaku kesehatan masyarakat. Contohnya

adalah ketersediaan air bersih, tempat pembuangan sampah, tempat

pembuangan tinja, ketersediaan makanan bergizi, dan sebagainya. Termasuk

pula di dalam hal ini fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga medis. Untuk

berperilaku sehat, masyarakat membutuhkan sarana dan prasarana mendukung

yang memadai. Seseorang yang melakukan perilaku sehat bukan hanya karena

kesadaran dan pengetahuan, melainkan juga karena ketersediaan fasilitas.

Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya

perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau

faktor pemungkin pemudah.

c. Faktor penguat (reinforcing factor)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh

agama, sikap dan perilaku para petugas, termasuk petugas kesehatan.

Termasuk juga undang-undang, peraturan, baik dari pusat maupun dari perda.

Selain kesadaran dan pengetahuan yang didukung oleh fasilitas yang

memadai, seseorang dalam berperilaku juga membutuhkan perilaku contoh

(acuan) dari tokoh-tokoh. Selain itu peraturan dan undang-undang juga

Page 32: Toilet Training

31

memperkuat keberadaan suatu perilaku.Oleh sebab itu, intervensi pendidikan

hendaknya dimulai dengan memperhitungkan ketiga faktor tersebut, kemudian

intervensinya diarahkan pula pada ketiga faktor tersebut. Pendekatan ini

disebut dengan model Precede, yaitu predisposing, reinforcing, and

enabling cause in educational diagnosis and evaluation

(Notoatmodjo. 2010).

E. Pendidikan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat sehingga

mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Pengetahuan

seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena semakin tinggi pendidikan

seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya, pendidikan meliputi

SD, SMP, SMA, dan perguruan tinggi (Notoatmodjo. 2005).

Pendidikan dalam arti formal sebenarnya adalah suatu proses paparan/materi

pendidikan kepada sasaran pendidikan (anak didik) guna mencapai perubahan

tingkah laku/tujuan pendidikan bertalian dengan transmisi pengetahuan sikap,

kepercayaan, keterampilan aspek-aspek kelakuan lainnya. Setiap individu pada

umumnya menginginkan pendidikan makin banyak dan makin tinggi pendidikan

seseorang maka makin baik tingkat pengetahuan yang dimilikinya (Notoatmodjo.

2005).

Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, system pendidikan nasional menyatakan

bahwa pendidikan adalah suatu usaha dasar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

Page 33: Toilet Training

32

mangembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bansa dan negara.

Tingkat pendidikan ibu turut menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memehami pengetahuan yang mereka peroleh. Dari kepentingan

keluarga pendidikan itu sendiri amat diperlukan seseorang agar lebih tanggap

adanya masalh perkembangan anak salah satunya penerapan toilet training di

dalam keluarganya.

Adapun tujuan pendidikan menurut Notoatmodjo (2005) adalah suatu upaya

untuk menanamkan pengetahuan atau pengertian pendapat dan konsep-konsep,

persepsi serta menanamkan tingkah laku. Kebiasaan yang baru semakin tinggi dan

semakin formal tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang semakin besar pula

kegiatan yang bersifat intelek yang dilakukan seperti halnya dalam memilih

tempat pemerikasaan kehamilan untuk mendapatkan pelayanan pada ibu hamil.

Jangka pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan

tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan

yang dikembangkan adalah jenjang pendidikan terdiri dari pendidikan ini

merupakan pendidikan awal selama 9 tahun pertama maka sekolah anak-anak

yaitu menengah. Pendidikan menengah merupakan lenjutan pendidikan dasar,

diakhiri masa pendidikan SMP, para siswa harus mengikuti dan lulus ujian

nasional untuk dapat melanjutkan pendidikan ke SMA. Pendidikan menengah ke

atas merupakan lanjutan dari pendidikan menengah pertama. Pendidikan

Page 34: Toilet Training

33

perguruan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menengah atas dengan

pengetahuan dan perubahan sifat yang semakin bertambah dewasa (Wordpress.

Com/2008).

F. Kesiapan psikologis anak

Secara umum psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku

manusia. Atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala jiwa manusia.

Sedangkan jiwa adalah daya hidup rohaniah yang bersifat abstrak yang menjadi

penggerak dan pengatur bagi sekalian perbuatan pribadi (personal behavior)

dari

hewan tingkat tinggi dan manusia. Perbuatan pribadi ialah perbuatan sebagai hasil

proses belajar yang dimungkinkan oleh keadaan jasmani, rohaniah, sosial dan

lingkungan (Abu Ahmadi. 2009).

Psikologi kognitif ialah suatu ilmu yang mempelajari proses-proses

membentuk gagasan, menyelesaikan beragam masalah dan membuat keputusan

(Laura A. king. 2010).

Masa prasekolah merupakan fase perkembangan individu pada usia 2-6

tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau

wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training), dan mengenal

beberapa hal yang dianggap mencelakakan dirinya (berbahaya), (Herawati. 2011)

Karena manusia pertama-tama tergantung sekali pada orang lain, maka

penting sekali peranan orang tersebut misalkan ibu, terhadap perkembangan

kepribadian anak. Pengaruh orang tua dan lingkungan masa kanak-kanak itu tidak

berhenti dimasa kanak-kanak saja, tetapi berlangsung terus, kadang-kadang

Page 35: Toilet Training

34

sampai seumur hidup, khususnya pengaruh yang berupa pengalaman-pengalaman

yang menegangkan, menakutkan, mengoncangkan, membahayakan dan lain-lain

(Sarwono. 2003).

Pada usia 2-3 tahun seorang anak mulai melihat kemampuan-kemampuan

tertentu pada dirinya. Sikap terhadap orang tua mulai berubah. Disatu pihak masih

membutuhkan orang tua, dilain pihak rasa keakuannya mulai tumbuh dan ia ingin

mengikuti kehendak-kehendaknya sendiri (sarwono.2003).

Menurut Hurlock tahun 1980, buang air yang terkendali atau terlatih

merupakan keterampilan fisik dan motorik yang harus dicapai oleh bayi.

Kemampuan untuk mengendalikan buang air ini sangat bergantung pada

kematangan otot dan motivasi yang dimiliki. Ketika baru lahir bayi belum mampu

mengendalikan buang airnya, sehingga buang air dilakukan setiap saat. Pada usia

4 bulan, interval buang airnya sudah dapat diramalkan (Herawati. 2011).

Pengendalian buang air besar rata-rata dimulai pada usia 6 bulan, dan

kebiasaan pengendalian buang air besar baru terbentuk pada akhir masa bayi.

Sedangkan pengendalian buang air kecil dimulai pada usia 15 hingga 16 bulan,

namun sampai akhir masa bayi pengendalian buang air kecil ini belum sempurna

(Herawati. 2011).

Seorang psikolog perkembangan mengatakan, kalau bayi tidak merasa

mengompol karena selalu pakai pospak, ia jadi kehilangan kesempatan belajar

kenal tanda-tanda mau buang air kecil (BAK) dan keinginan untuk

mengendalikannya hingga tiba di tempat yang semestinya, yakni toilet. Kita sama-

Page 36: Toilet Training

35

sama tahu, bayi mungil belum memiliki kemampuan mengontrol pembuangannya,

baik BAK maupun BAB (http://www.infospesial.net/6303/5-manfaat-ngompol-

pada-anak/)

Kemampuan mengontrol buang air besar (BAB), rata-rata dimulai pada usia 6

bulan. Sedangkan kemampuan mengontrol BAK berkisar antara 15-16 bulan.

Umumnya bayi yang berusia kurang dari 6 bulan akan BAK setiap 1-2 jam sekali.

Memasuki usia 6 bulan ke atas, frekuensi tersebut mulai berkurang. Sayangnya,

tak semua orangtua menyadari bahwa mengompol pada bayi memberikan banyak

manfaat untuk tumbuh kembangnya kelak. http://www.infospesial.net/6303/5-

manfaat-ngompol-pada-anak/).

Tak perlu khawatir bahwa mengompol akan mengganggu tidur si bayi, karena

umumnya setelah diganti popok dan alasnya, ia akan tertidur kembali. Pada masa

tidur itulah tubuhnya aktif memperbaiki sel-sel otak yang rusak dan memproduksi

sekitar 75% hormon pertumbuhan. Namun patut diingat, umumnya bayi tidak

memiliki masalah tidur, ia bisa cepat tertidur pulas kembali setelah ngompol

(http://www.infospesial.net/6303/5-manfaat-ngompol-pada-anak/).

Menurut psikolog Ivonne Edr SPsi, kepala divisi TPA Ubaya, saat yang tepat

untuk memulai toilet training adalah ketika anak dan orang tua sama-sama siap.

”Anak mulai bisa mengenali bahwa popok atau celananya basah atau kotor serta

bisa mengeluarkan kata-kata sederhana seperti ’Ma, pipis’ . Sementara itu, bunda

juga sedang tidak terikat dengan komitmen lain sehingga bisa fokus,” paparnya

(Jawa Pos. 2012).

Page 37: Toilet Training

36

Memasuki usia 18 bulan, pada umumnya si kecil sudah mampu berjalan

untuk menuju ke toilet, tentunya dengan pengawasan orang tua. Pada usia

tersebut, dia juga mulai bisa mengenali ada rasa basah yang tidak nyaman di

tubuhnya. Selain melihat kesiapan fisiknya, perhatikan juga kesiapan mental atau

psikologis si anak. Sebab, seorang anak yang sudah siap secara fisik belum tentu

siap meninggalkan kenyamanan popoknya (Jawa Pos. 2012).

Tahap awal, biasanya anak menunjukkan reaksi fisik atau tanda-tanda saat

ada tekanan dari dalam tubuhnya. ”Tanda-tanda yang diperlihatkan setiap anak

bisa jadi berbeda. Ortu harus peka mengenali ketika anak mengejan, meremas

celananya, menyilangkan kaki, mundur ke pojok, atau bersembunyi. Tandanya dia

akan BAK atau BAB,” urai Ivonne (Jawa Pos. 2012).

Adapun Faktor-faktor yang mendukung Toilet Training pada anak:

a. Kesiapan Fisik

1. Usia telah mencapai 18-24 bulan

2. Dapat jongkok kurang dari 2 jam

3. Mempunyai kemampuan motorik kasar seperti duduk dan berjalan

4. Mempunyai kemampuan motorik halus seperti membuka celana

dan pakaian

b. Kesiapan Mental

1. Mengenal rasa ingin berkemih dan devekasi

2. Komunikasi secara verbal dan nonverbal jika merasa ingin

berkemih.

Page 38: Toilet Training

37

3. Keterampilan kognitif untuk mengikuti perintah dan meniru

perilaku orang lain

c. Kesiapan Psikologis

1. Dapat jongkok dan berdiri ditoilet selama 5-10 menit tanpa

berdiri dulu

2. Mempunyai rasa ingin tahu dan penasaran terhadap kebiasaan

orang dewasa dalam BAK dan BAB

3. Merasa tidak betah dengan kondisi basah dan adanya benda padat

dicelana dan ingin segera diganti

d. Kesiapan Anak

1. Mengenal tingkat kesiapan anak untuk berkemih dan devekasi

2. Ada keinginan untuk meluangkan waktu untuk latihan berkemih

dan devekasi pada anaknya

3. Tidak mengalami koflik tertentu atau stress keluarga yang berarti

(Perceraian), (Warta Warga. 2009).

G. Kerangka Teori

Menurut teori Hidayat yaitu:

1. Dukungan keluarga

2. Kemandirian anak

3. Kesiapan anak

Page 39: Toilet Training

38

a. Kesiapan fisik

b. Psikologis

c. Intelektual

Menurut teori Henry yaitu:

1. Pengetahuan

Menurut teori Notoatmodjo yaitu:

1. Pendidikan

2. Pengalaman

Gambar 2.1. kerangka Teori

Ibu dalam

mengaplikasikan

kesiapan Toilet Training

pada anak usia 2-4 Tahun

Page 40: Toilet Training

39

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

H. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini dibuat berdasarkan teori menurut Henry

(2008) yaitu: pengetahuan Toilet training sangat penting dimiliki oleh seorang

ibu. Sedangkan menurut Hidayat (2005) yang menyatakan bahwa kehidupan anak

juga sangat di tentukan dari keberadaanya bentuk dukungan dari keluarga, ketika

masuk fase kemandirian anak dan kesiapan anak. Berdasarkan uraian diatas maka

kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti gambar dibawah ini :

Variabel Independen

Pengetahuan Ibu

Pendidikan Ibu

Kesiapan psikologis anak

Gambar 3.1

Variabel Dependen

Ibu dalammengaplikasikan kesiapan Toilet Training pada anak

usia 2-4 Tahun

Kerangka Konsep Penelitian

Page 41: Toilet Training

40

I. Definisi Operasional

VariablePenelitian

DefinisiOperasional

Cara Ukur AlatUkur

Hasil Ukur

Variabel Dependen

Kesiapan ibu

dalam

mengaplikasikan

toilet training

pada anak usia 2-

4 tahun

Latihan

penggunaan

toilet untuk

mengontrol

BAB dan

BAK

Membagikan

kuesioner

kepada ibu yang

memiliki anak

usia 2-4 tahun

Kuesioner - Ada

- Tidak Ada

Variabel Independen

Pengetahuan Ibu Pemahaman

ibu tentang

cara mengajari

toilet training

dengan benar

pada anak

Membagikan

kuesioner

kepada ibu yang

memiliki anak

usia 2-4 tahun

Kuesioner - Tinggi bila

x > 12

- Sedang bila

x = 8-12

- Rendah bila

x < 8

Pendidikan Ibu Pendidikan

formal yang

telah

diselesaikan

ibu

Membagikan

kuesioner

kepada ibu yang

memiliki anak

usia 2-4 tahun

Kuesioner - Tinggi

- Menengah

- Dasar

Kesiapan

psikologis Anak

Adanya rasa

ingin tahu

anak dan rasa

nyaman dalam

mengontrol

BAB & BAK

Membagikan

kuesioner

kepada ibu yang

memiliki anak

usia 2-4 tahun

Kuesioner - Ada bila x

≥ 4

- Tidak Ada

bila x < 4

Tabel 3.1

Definisi Operasional

J. Hipotesa Penelitian

Page 42: Toilet Training

41

1. Ha : Ada pengaruh antara pengetahuan ibu dalam mengaplikasikan

kesiapan toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun di desa Miruk,

kecamatan Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar.

2. Ha : Ada pengaruh antara pendidikan ibu dalam mengaplikasikan kesiapan

toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun di desa Miruk, kecamatan

Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar.

3. Ha : Ada pengaruh antara kesiapan psikologis anak dalam

mengaplikasikan kesiapan toilet training terhadap anak usia 2-4 tahun

di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona jaya, kab Aceh Besar.

Page 43: Toilet Training

42

BAB IV

METODE PENELITIAN

K. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian

yang bersifat analitik yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan

utama mencari faktor-faktor pengaruh dengan pendekatan cross

sectional (Notoatmodjo, 2005). Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui fakfor-

faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan kesiapan toilet training

pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk kec. Krueng barona jaya, kab. Aceh besar.

L. Populasi Dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto. 2010).

Berdasarkan pendapat di atas maka yang akan menjadi populasi dalam

penelitian ini adalah seluruh ibu yang memiliki anak dengan usia 2-4 tahun

yang berada atau tinggal di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona Jaya,

Kabupaten Aceh Besar yang berjumlah sebanyak 37 orang.

Page 44: Toilet Training

43

b. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari polpulasi yang diteliti (Arikunto.

2010). Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah accidental

sampling, dimana semua ibu yang memiliki anak dengan usia 2-4

tahun

yang berada atau tinggal di desa Miruk, kecamatan Krueng Barona Jaya,

Kabupaten Aceh Besar yang berjumlah sebanyak 37 orang pada saat

penelitian dilakukan.

M. Tempat dan Waktu Penelitian

a. Tempat

Penelitian akan dilaksanakan di desa Miruk, Kecamatan Krueng Barona

Jaya, Kabupaten Aceh Besar tahun 2013.

b. Waktu

Penelitian ini akan dilaksanakan pada tanggal 20-29 Juli 2013.

N. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian ini terdiri dari empat bagian:

1. Bagian 1 terdiri dari data identitas umum dari responden

2. Bagian 2 terdiri dari 1 pertanyaan tentang pelaksanaan (aplikasi) toilet

training

3. Bagian 3 terdiri dari 16 pertanyaan mengenai pengetahuan ibu tentang

toilet training.

4. Bagian 4 terdiri dari 1 pertanyaan tentang pendidikan yang telah ditempuh

ibu secara formal.

Page 45: Toilet Training

44

5. Bagian 5 terdiri dari pertanyaan mengenai kesiapan psikologis anak dalam

aplikasi toilet training.

O. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu dengan membagikan

kuesioner kepada ibu yang mempunyai anak usia 2-4 tahun. Untuk menghindari

kesalahan teknis dalam memberikan jawaban, peneliti memberi penjelasan tentang

petunjuk dalam pengisian kuesioner. Data sekunder di dapat dari Bidan Desa

setempat.

P. Instrumen Penelitian

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner. Kuesioner atau angket

merupakan pertanyaan tertulis yang diajukan kepada responden. Kemudian

jawaban diisi oleh responden sesuai dengan daftar isian yang diterima (Eko

Budiarto. 2001).

Instrumen penelitian dengan menggunakan penyebaran kuesioner yang di

dalamnya berisi 25 pertanyaan yang terdiri dari, ada tidaknya aplikasi toilet

training pada anak sebanyak 1 pertanyaan, pengetahuan ibu sebanyak 16

pertanyaan, pendidikan ibu sebanyak 1 pertanyaan, kesiapan psikologis anak

sebanyak 7 pertanyaan.

Q. Metode Pengolahan data dan Analisa Data

1. Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan proses yang sangat penting dalam penelitian.

Oleh karena itu, harus dilakukan dengan baik dan benar (Eko Budiarto. 2001).

Page 46: Toilet Training

45

Setelah data terkumpul melalui angket atau kuisioner maka dapat

dilakukan pengolahan data melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi Data (Editing)

Dimana peneliti akan melakukan penelitian terhadap data yang

diperoleh dan diteliti apakah terdapat kekeliruan atau tidak dalam

penelitian.

b. Pemberian Kode (Coding)

Peneliti memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga

memudahkan dalam melakukan analisis data.

c. Pengelompokan Data (Tabulating)

Pada tahap ini jawaban-jawaban responden yang sama

dikelompokan dengan teliti dan teratur lalu dihitung dan dijumlahkan

kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel.

2. Analisa Data

a. Analisa Univariat

Analisa data dalam penelitian ini menggunakan teknik statistik

sederhana dalam bentuk bivariat, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anak

usia 2-4 tahun. Penilaian hasil ukur yang digunakan adalah sebagai

berikut:

Page 47: Toilet Training

46

Menurut Budiarto, 2001 untuk menentukan nilai mean ( x ) dengan

menggunakan rumus:

Mean x

x n

Keterangan:

x = rata-rata (mean)

x = Jumlah data

n = Jumlah responden

Sehingga untuk pengetahuan dapat di kategorikan (Notoatmodjo, 2003):

Tinggi bila : × ≥ ̅�Rendah bila : ×< ̅�Sedangkan analisa data dalam penelitian ini akan ditampilkan dalam

bentuk distribusi frekuensi dengan rumus (Budiarto, 2001):

P =f/n x 100 %

Keterangan :

P = Persentase

f = Frekuensi jawaban sampel

N= Jumlah responden

b. Analisa Bivariat

Page 48: Toilet Training

47

Analisa Bivariat merupakan analisa hasil dari variabel bebas diduga

mempunyai hubungan dengan variabel terikat. Analisa yang digunakan

adalah hasil tabulasi silang. Untuk menguji hipotesa dilakukan analisa

statistic dengan uji Chi - Square Tes (x) pada tingkat kemaknaan 95%

(p.

Value < 0,05). Sehingga dapat diketahui perbedaan tidaknya yang

bermakna secara statistic, dengan menggunakan program khusus SPSS for

windows. Melalui perhitungan Chis - Square selanjutnya ditarik

suatu

kesimpulan, bila nilai P lebih kecil dari nilai (0,05), maka Ho ditolak

dan Ha diterima, yang menunjukkan ada hubungan bermakna antara

variabel terikat dengan variabel bebas.

Data dianalisis dengan statistik deskriptif dan statistik inferensial,

dengan dibantu program SPSS versi 1, 0 (Statistical Product And

Service) dengan ketentuan Chi Square sebagai berikut:

a. Bila tabel 2x2, dan tidak ada nilai Expected (harapan) / E <5, maka

uji

yang dipakai sebaiknya “Continuity Correction (a)”.

b. Bila tabel 2x2, dan ada nilai Expected (harapan) / E <5, maka uji

yang

dipakai adalah “Fisher’s Exact Test”.

c. Bila tabelnya lebih dari 2x2, misalnya 2x3, 3x3 dan lain-lain, maka

digunakan uji “Pearson Chi square”

d. Sedangkan “Uji Likehood Ratio”, biasanya digunakan lebih spesifik,

misalnya analisis statifikasi pada bidang epidemiologi dan juga untuk

Page 49: Toilet Training

mengetahui hubungan linear dua variabel kategori, sehingga kedua

jenis ini jarang dipakai.

Page 50: Toilet Training

48

Kemudian untuk mengetahui ada tidaknya nilai E kurang dari 5 (untuk

melihat ada tidaknya hubungan tiga variabel) , maka dilihat pada

footnote a di bawah kotak Chi Square (Riyanto. 2010).

Page 51: Toilet Training

49

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Miruk merupakan salah satu desa yang ada di kecamatan Krueng

Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan luas wilayah ±67 hektar, yang terletak

disebelah Timur Kota Banda Aceh dengan jarak ke pusat kota Provinsi NAD ±4

KM, dan jarak tempuh ke Pusekesmas ± 1 KM.

Desa Miruk terbagi atas empat dusun yaitu dusun Lampoh ladeh, dusun

Ujoeng krueng, dusun Ujoeng blang, dan dusun Ujoeng mesjid, dengan batas-

batas wilayah :

1. Sebelah Timur Berbatasan dengan Desa Lampermai dan desa Gla menasah

baro

2. Sebelah selatan berbatasan dengan sungai Krueng aceh

3. Sebelah Barat Berbatasan dengan Desa Pango

4. Sebelah Utara Berbatasan dengan Desa Ceurih

Distribusi penduduk desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten

Aceh Besar berdasarkan jumlah penduduk adalah +1234 jiwa dan KK berjumlah

270.

Page 52: Toilet Training

50

B. Hasil Penelitan

Berdasarkan pengumpulan data yang peneliti lakukan mulai dari tanggal 20

Juli sampai dengan Tanggal 29 Juli 2013 pada Ibu yang memiliki anak usia 2-4

tahun di desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar tahun

2013 dengan jumlah sampel 37 orang diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Analisa Univariat

a. Kesiapan Ibu Dalam Mengaplikasikan Toilet Training

Tabel 5.1Distribusi Frekuensi Kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet training

Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan

Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013

No Kesiapan Ibu Frekuensi %

1 Ada 16 43.2

2 Tidak ada 21 56.8

Total 37 100

Sumber : Data primer diolah tahun 2013

Berdasarkan tabel 5.1 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas

berada pada kategori ibu yang tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan

toilet training yaitu sebanyak 21 responden (56.8%).

Page 53: Toilet Training

51

b. Pengetahuan Ibu

Tabel 5.2Distribusi Frekuensi Pengetahuan Ibu dalam Mengaplikasikan Toilet

Training Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk

Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar

Tahun 2013

No. Pengetahuan Frekuensi %

1 Tinggi 13 35.1

2 Sedang 12 32.4

3 Rendah 12 32.4

Total 37 100

Sumber : Data primer diolah tahun 2013

Berdasarkan tabel 5.2 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas

berada pada kategori pengetahuan ibu tinggi dalam mengaplikasikan kesiapan

toilet training yaitu sebanyak 13 responden (35.1%).

c. Pendidikan Ibu

Tabel 5.3Distribusi Frekuensi Pendidikan Ibu Yang Memiliki Anak Usia 2-4

Tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona JayaKabupaten Aceh Besar Tahun 2013

No. Pendidikan Frekuensi %

1 Tinggi 12 32.4

2 Menengah 14 37.8

3 Dasar 11 29.7

Total 37 100

Sumber : data primer diolah tahun 2013

Page 54: Toilet Training

52

Berdasarkan tabel 5.3 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas

berada pada kategori pendidikan menengah dalam mengaplikasikan kesiapan

toilet training yaitu sebanyak 14 responden (37.8%).

d. Kesiapan Psikologis Anak

Tabel 5.4Distribusi Frekuensi Kesiapan Psikologis anak terhadap Toilet Training

Pada Anak Yang Berusia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan

Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh BesarTahun 2013

No Kesiapan Psikologis Anak Frekuensi %

1 Ada 16 43.2

2 Tidak ada 21 56.8

Total 37 100

Sumber :data Primer diolah tahun 2013

Berdasarkan tabel 5.4 menunjukan bahwa dari 37 responden, mayoritas

berada pada kategori anak yang tidak ada kesiapan psikologis yaitu sebanyak 21

responden (56.8%).

Page 55: Toilet Training

53

2. Analisa Bivariat

a. Hubungan Pengetahuan ibu dengan Kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan

Toilet Training

Tabel 5.5Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan

Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh BesarTahun 2013

No PengetahuanKesiapan Ibu

TotalAda Tidak ada

1 Tinggi 9 (69.2%) 4 (30.8%) 13 (100%)

0.052 Sedang 5 (41.7%) 7 (58.3%) 12 (100%)

3 Rendah 2 (16.7%) 10 (83.3%) 12(100%)

Total 16 (43.2%) 21 (56.8%) 37 (100%)

Sumber : data diolah tahun 2013

Berdasarkan tabel 5.5 menunjukan bahwa dari 13 responden yang memiliki

pengetahuan tinggi ternyata 9 responden (69.2%) memiliki kesiapan dalam

mengaplikasikan toilet training, dari 12 responden yang memiliki pengetahuan

sedang ternyata 7 responden (58.3%) tidak memiliki kesiapan dalam

mengaplikasikan toilet training, dan dari 12 responden yang memiliki

pengetahuan rendah ternyata 10 responden (83.3%) tidak memiliki kesiapan

dalam mengaplikasikan toilet training.

Page 56: Toilet Training

54

Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square test diperoleh nilai p value =

0.030 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan ada

pengaruh antara pengetahuan ibu dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan

toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng

barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti (diterima).

b. Hubungan Pendidikan Ibu Dengan Kesiapan Ibu Dalam Mengaplikasikan

Toilet Training

Tabel 5.6Hubungan Pendidikan Ibu Dengan kesiapan ibu dalam Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun di Desa Miruk Kecamatan

Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh BesarTahun 2013

No PendidikanKesiapan Ibu

TotalAda Tidak ada

1 Tinggi 10 (83.3%) 2 (16.7%) 12 (100%)

0.052 Menengah 5 (35.7%) 9 (64.3%) 14 (100%)

3 Dasar 1 (9.1%) 10 (90.9%) 11 (100%)

Total 16 (43.2%) 21 (56.8%) 37 (100%)

Sumber : data diolah tahun 2013

Berdasarkan tabel 5.6 menunjukan bahwa dari 12 responden yang

berpendidikan tinggi ternyata 10 responden (83.3%) memiliki kesiapan dalam

mengaplikasikan toilet training, dari 14 responden yang berpendidikan

menengah

ternyata 9 responden (64.3%) tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan

toilet training, dan dari 11 responden yang berpendidikan rendah ternyata 10

Page 57: Toilet Training

55

responden (90.9%) tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet

training.

Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square Test diperoleh nilai p

value = 0.001 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan

ada pengaruh antara pendidikan ibu dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan

toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk Kecamatan Krueng

barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti (diterima).

c. Hubungan Kesiapan Psikologis Anak dengan Kesiapan Ibu

Tabel 5.7Hubungan Kesiapan Psikologis Anak Dengan kesiapan ibu dalam

Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun

di Desa Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013

NoKesiapan

psikologis anakKesiapan Ibu

TotalAda Tidak ada

1 Ada 11 (68.8%) 5 (31.3%) 16 (100%)

2 Tidak ada 5 (23.8%) 16 (76.2%) 21 (100%)

Total 16 (43.2%) 21 (56.8%) 37 (100%)

Sumber : data diolah tahun 2013

Berdasarkan tabel 5.7 menunjukan bahwa dari 16 responden yang anaknya

memiliki kesiapan psikologis ternyata 11 responden (68.8%), memiliki kesiapan

dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 21 responden yang anaknya

tidak memiliki kesiapan psikologis ternyata 16 responden (76.2%), tidak

memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training.

Page 58: Toilet Training

56

Setelah dilakukan uji statistik dengan Chi Square Test diperoleh nilai p

value = 0.016 (p value < 0.05), dengan demikian hipotesa (Ha) yang menyatakan

ada pengaruh antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu dalam

mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk

Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar Tahun 2013 terbukti

(diterima).

C. Pembahasan

1. Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Kesiapan Ibu Dalam

Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa dari 13

responden yang memiliki pengetahuan tinggi ternyata 9 responden memiliki

kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training, dari 12 responden yang

memiliki pengetahuan sedang ternyata 7 responden tidak memiliki kesiapan

dalam mengaplikasikan toilet training, dan dari 12 responden yang

memiliki

pengetahuan rendah ternyata 10 responden tidak memiliki kesiapan dalam

mengaplikasikan toilet training.

Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa semakin kurang baik

pengetahuan responden maka cenderung semakin kurang baik pula kesiapan

ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada anaknya.

Penelitian diatas sesuai dengan teori Bloom (1908) yang menyatakan

bahwa, untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan manusia

dalam tiga ranah perilaku, yaitu pengetahuan (knowledge), sikap

(attitude),

dan praktik atau tindakan (practice). Mulai dari pengetahuan ibu tentang

apa

Page 59: Toilet Training

57

itu toilet training, bagaimana cara toilet training serta apa saja yang

dibutuhkan dalam toilet training, setelah ibu mengetahui tentang toilet

training, ibu harus mempersiapkan diri serta balita untuk latihan

toilet training, diharapkan setelah ibu memahami dan mempersiapkan

diri untuk toilet training, ibu dapat mempraktekkan apa yang telah

diketahui dan dipersiapkan untuk toilet training (Notoatmodjo. 2010).

Menurut sarwono (2003) bahwa, Karena manusia pertama-tama

tergantung sekali pada orang lain, maka penting sekali peranan orang

tersebut misalkan ibu, terhadap perkembangan kepribadian anak. Maka

dalam hal ini pengetahuan ibu yang baik sangat berguna terhadap kebiasaan

anak sehari-hari.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Fitriyanty (2011) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan antara pengetahuan dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan

toilet training kepada anaknya.

Peneliti berasumsi bahwa dalam mengaplikasikan Toilet training

pada anak usia 2-4 tahun, pengetahuan orang tua terutama ibu sangat

dibutuhkan, karena dengan pengetahuan ibu yang baik, ibu dapat

mempersiapkan diri dengan baik dan tepat bagi anak tersebut sehingga

menghasilkan perkembangan anak yang sesuai dengan umurnya terutama

dalam hal buang air besar dan kecil.

Page 60: Toilet Training

58

Selain itu, peneliti berasumsi bahwa banyak orangtua terutama ibu

tidak mengerti tentang toilet training dan manfaat toilet

training, dikarenakan kurangnya informasi yang didapatkan, dan

mereka juga mengatakan pernah mendengar kata toilet training

tapi tidak tahu bagaimana melakukannya dengan tepat. Karena itulah

mereka jarang mengaplikasikan toilet training, jikalaupun ada

melakukan toilet training tetapi tidak sesuai dengan prinsip, tata cara dan

usia anak.

2. Hubungan Pendidikan Ibu Dengan kesiapan ibu

dalam

Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa dari 12 responden

yang berpendidikan tinggi ternyata 10 responden memiliki kesiapan dalam

mengaplikasikan toilet training, dari 14 responden yang berpendidikan

menengah ternyata 9 responden tidak memiliki kesiapan dalam

mengaplikasikan toilet training, dan dari 11 responden yang

berpendidikan

rendah ternyata 10 responden tidak memiliki kesiapan dalam

mengaplikasikan toilet training.

Penelitian ini sesuai dengan teori Soekanto (2003) yang menyatakan

bahwa pendidikan dapat membawa wawasan atau pengetahuan seseorang.

Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai

pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat

pendidikannya lebih rendah. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka ia

akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan dengan hal

yang baru tersebut.

Page 61: Toilet Training

59

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Puspitasari (2012) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan antara pendidikan dengan kesiapan ibu dalam mengaplikasikan

toilet training kepada anaknya.

Peneliti berasumsi bahwa tingkat pendidikan ibu turut menentukan

mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang

mereka peroleh. Dari kepentingan keluarga pendidikan itu sendiri amat

diperlukan seseorang agar lebih tanggap adanya masalah perkembangan

anak salah satunya penerapan toilet training di dalam keluarganya.

Peneliti juga berasumsi bahwa Tingkat pendidikan berpengaruh pada

pengetahuan ibu tentang penerapan toilet training, apabila pendidikan ibu

rendah berpengaruh pada pengetahuan tentang penerapan toilet training

sehingga berpengaruh pada saat melatih secara dini penerapan toilet

training.

3. Hubungan Kesiapan Psikologis Anak Dengan kesiapan ibu

dalam

Mengaplikasikan Toilet Training Pada Anak Usia 2-4 Tahun

Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa bahwa dari 16

responden yang anaknya memiliki kesiapan psikologis ternyata 11

responden memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan toilet training,

dan

dari 21 responden yang anaknya tidak memiliki kesiapan psikologis

ternyata 16 responden tidak memiliki kesiapan dalam mengaplikasikan

toilet training.

Page 62: Toilet Training

60

Hasil penelitian sesuai dengan pendapat psikolog Ivonne Edr SPsi,

kepala divisi TPA Ubaya yaitu, saat yang tepat untuk memulai toilet

training adalah ketika anak dan orang tua sama-sama siap. Ibu juga sedang

tidak terikat dengan komitmen lain sehingga bisa fokus (Jawa pos. 2012)

Selain itu hasil penelitian ini juga sesuai dengan teori Hidayat

(2006) yang menyatakan bahwa suksesnya toilet training tergantung

pada

diri anak dan keluarga, seperti: kesiapan fisik, psikologis dan intelektual

anak.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan

oleh Fina Amalia (2010), dimana hasil penelitiannya menyatakan terdapat

pengaruh antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu dalam

mengaplikasikan kesiapan toilet training pada anaknya.

Peneliti berasumsi bahwa kesiapan psikologis anak juga turut

berperan dalam penerapan toilet training, apabila psikologis anak siap

maka

itu akan sangat membantu ibu dalam mengaplikasikan toilet training pada

anaknya. Peneliti juga berasumsi bahwa dalam mengaplikasikan toilet

training pada anak usia 2-4 tahun, anak tidak hanya harus memiliki

kesiapan psikologis yang baik, karena tidak selamanya anak yang memiliki

kesiapan psikologis yang baik berhasil dalam hal penerapan toilet

training,

karena tingkat kesiapan anak tidak hanya diperoleh dari kesiapan psikologis

semata, tapi juga harus dari kesiapan fisik anak, intelektual anak,

Page 63: Toilet Training

pengetahuan dan pendidikan ibu. Namun, kesiapan psikologis anak yang

baik juga sangat menentukan ibu dalam menerapkan toilet training.

Page 64: Toilet Training

61

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dari tanggal 20 Juli s/d 30 Juli

2013 di desa Miruk Kecamatan Krueng barona jaya Kabupaten Aceh Besar

dengan judul faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam mengaplikasikan

kesiapan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di desa Miruk Kec. Krueng

Barona Jaya Kab. Aceh Besar tahun 2013, dapat disimpulkan hasil penelitian

sebagai berikut :

1. Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan kesiapan ibu dalam

mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk

Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan nilai p

value = 0.030.

2. Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan kesiapan ibu dalam

mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa Miruk

Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan nilai p

value = 0.001.

3. Ada hubungan antara kesiapan psikologis anak dengan kesiapan ibu

dalam mengaplikasikan toilet training pada anak usia 2-4 tahun di Desa

Miruk Kecamatan Krueng Barona Jaya Kabupaten Aceh Besar dengan

nilai p = 0.016.

Page 65: Toilet Training

62

B. Saran

1. Bagi Peneliti Lain

Diharapkan kepada peneliti lain agar dapat melakukan penelitian

yang lebih luas lagi mengenai kesiapan ibu dalam mengaplikasikan toilet

training pada anak sehingga dapat menemukan berbagai permasalahan

yang dapat menghambat proses toilet training pada anak.

2. Bagi Instansi Pendidikan

Diharapkan KTI ini dapat menjadi informasi tambahan bagi

pembaca, dan instansi sebaiknya dapat menyediakan buku bacaan yang

berhubungan dengan penerapan toilet training yang lebih lengkap lagi.

3. Bagi Tenaga Kesehatan

Diharapkan tenaga kesehatan dapat memberikan informasi yang

lebih luas kepada masyarakat tentang pentingnya penerapan toilet

training yang baik pada anak dan mengajarkan kepada masyarakat

bagaimana menerapkan toilet training yang tepat dan sesuai dengan

prinsip, tata cara, usia anak, sehingga pertumbuhan dan perkembangan

anak sesuai dengan usianya.