tkptteknik khusus

download tkptteknik khusus

of 10

Transcript of tkptteknik khusus

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    1/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012

     Vol. 1 No. 2 Hal. 164-17 3

    ISSN: 2089-9858

    ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    164

    ANALISIS VARIASI GENETIK JAMBU METE ( ANACARDIUM OCCIDENTALE L.)

    ASAL SULAWESI TENGGARA   MENGGUNAKAN MARKA MOLEKULER AFLP

    ( Amplified Fragment Length Polimorphism)

    Genetic Variation Analysis of Cashew Trees ( Anacardium occidentale  L.)

    in Southeast Sulawesi using AFLP

    ( Amplified Fragment Length Polymorphism)

    Oleh:

    Richael Syam1)

    , Gusti Ray Sadimantara2*)

    , dan Muzuni2)

    .1)

    Alumni S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo2)

    Dosen Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo*) Alamat surat-menyurat:  [email protected]

    ABSTRACT. The research was done to study the presence of genetic variation of cashew ( Anacardium occidentale

    L.) of four regencies of Southeast Sulawesi, i.e. Buton, Muna, Bombana and South Konawe regencies. The study

    was conducted in 2 places; i.e. in The Genetic Laboratory, Biology Department, Mathematics and Science Faculty

    of Haluoleo University for the DNA Isolation and in The Molecular Biology Laboratory of and Plant Cellular,

    Research Centre for Biotechnological Resources and Biotechnology (PPSHB) Bogor Agricultural University for AFLP

    stage. The research was conducted from November 2011 to June 2012. The research was conducted the first step

    for searching of excellent cashew by observing genetic variation using AFLP ( Amplified Fragment Length

    Polymorphism) technique. The research was started by doing isolation of cashew genome, cutting DNA with two

    restriction enzymes (EcoRl dan   Mse1), amplification selectively using four selective primer combinations, and

    doing amplicon on gel electrophoresis poliacrylamid. Total strand obtained was 322. Percentage average of 

    polymorphisms obtained was 70,21% of four primer combinations showed the presence of genetic variation in

    each sample. Dendrogram analysis showed that there were two groups; first group consisted of the cashew from

    Buton, Muna and Bombana regencies and the second group was South Konawe regency that had a differencecompared with three other samples, i.e Buton, Muna and Bombana regencies.

    Key words: Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), cashew tree, polymorphisms

    ABSTRAK.   Penelitian dilakukan untuk mempelajari adanya variasi genetik pada jambu mete (   Anacardium

    occidentale   L) yang berasal dari empat kabupaten di Sulawesi Tenggara yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten

    Muna, Kabupaten Bombana dan Kabupaten Konawe Selatan. Penelitian dilaksanakan di dua tempat yakni di

    Laboratorium Genetika Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Universitas Haluoleo untuk tahapan Isolasi DNA dan

    Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi

    (PPSHB) Institut Pertanian Bogor untuk tahapan AFLP. Penelitian dilakukan mulai bulan November 2011 sampai

    dengan bulan Juli 2012. Penelitian dilakukan sebagai langkah awal pencarian jambu mete unggul dengan melihat

    variasi genetik menggunakan teknik AFLP ( Amplified Fragment Length Polymorphism). Penelitian diawali dengan

    mengisolasi genom jambu mete, memotong DNA dengan dua enzim restriksi (EcoRI dan  MseI), mengamplifikasi

    secara selektif dengan 4 kombinasi primer selektif, dan menjalankan amplikon pada elektroforesis gel

    poliakrilamid. Jumlah pita yang didapatkan berjumlah 322 pita. Rata–rata persentase polimorfisme yang diperoleh

    adalah 70,21% dari 4 kombinasi primer yang menunjukkan adanya variasi genetik pada setiap sampel. Hasil

    dendrogram menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari sampel Kabupaten Buton,

    Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana dan kelompok kedua yaitu Kabupaten Konawe Selatan. Jambu mete asal

    Kabupaten Konawe Selatan memiliki perbedaan dibandingkan dengan ketiga sampel lainnya yaitu Kabupaten Buton,

    Kabupaten Muna dan Kabupaten Bombana.

    Kata kunci : Amplified Fragment Length Polymorphism (AFLP), jambu mete, polimorfisme

    PENDAHULUAN

    Jambu mete ( Anacardium occidentale   L.)

    berasal dari Brasilia Tenggara, pertama kali dibawa

    oleh pelaut Portugis ke Kepulauan Nusantara mela-

    lui Malabar, India pada abad ke-15 dengan demi-

    kian jambu mete telah lama dikenal di Indonesia,

    namun belum dibudidayakan dengan baik. Pada

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    2/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 165

    umumnya (98%) jambu mete diusahakan oleh

    petani secara tercampur dengan tanaman industri

    dan tanaman buah-buahan lain dan hanya sebagian

    kecil saja (2 %) yang diusahakan oleh perkebunan

    negara dan perkebunan besar swasta (Kemal,

    2000).Jambu mete merupakan komoditas perke-

    bunan yang strategis, karena tanaman ini merupa-

    kan komoditas ekspor, yang mempunyai prospek

    pasar dalam negeri dan dapat meningkatkan pen-

    dapatan petani terutama di lahan-lahan marginal

    yang banyak terdapat di Kawasan Timur Indonesia

    seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTB,

    NTT, Maluku dan Bali (Zaubir dan Suryadi, 2003).

    Biji jambu mete mempunyai nilai ekonomi

    yang cukup baik, demikian pula cairan yang terkan-

    dung dalam kulit biji yang disebut CNSL (Cashew 

    Nut Sheel Liquid ) merupakan bahan ekspor nontradisional, sedangkan limbah yang diperoleh dari

    olahan cairan kulit biji merupakan bahan campuran

    pembuatan hardboard . Buah semunya dapat dibuat

    anggur dan sari buah. Kacang mete mengandung

    protein rata-rata 19 % dan lemak rata-rata 47 %,

    sedangkan sari buahnya mengandung vitamin A, B,

    dan C. Kandungan vitamin C ini 3 - 4 kali lipat dari

    kandungan sari buah jeruk (Van Eijnatten, 2011).

    Komoditas jambu mete sebagai komoditas

    perkebunan rakyat di daerah Sulawesi Tenggara

    memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.

    Nilai ekonomis komoditas jambu mete di SulawesiTenggara dapat terlihat dari nilai dan volume per-

    dagangan antar pulau pada tahun 2002 dalam

    bentuk gelondongan sebesar 2.157,40 ton dengan

    nilai mencapai Rp. 8.689.410.000 sedangkan dalam

    bentuk kacang sebesar 26 ton, dengan nilai Rp.

    49.000.000.000 dan ekspor gelondongan mencapai

    5.375.700.000,- dengan volume sebesar 102 ton

    (BPMD Sultra, 2010).

    Dalam bidang pemuliaan tanaman, pe-

    manfaatan jambu mete hingga saat ini masih ter-

    batas pada seleksi dan uji lapangan dengan meng-

    gunakan karakter morfologi dalam mendeskripsikan

    tanaman. Karakter morfologi telah banyak dipergu-

    nakan, namun karakter morfologi memiliki kendala

    yaitu adanya faktor lingkungan sehingga perbedaan

    antar spesies berkerabat dekat seringkali sulit di-

    amati. Kebanyakan karakter sulit dianalisis karena

    tidak memiliki sistem pengendalian genetik yang

    sederhana. Oleh karena itu, diperlukan adanya ana-

    lisis molekuler. Teknik molekuler memberikan pe-

    luang untuk mengembangkan dan mengidentifikasi

    peta genetik dari suatu kultivar jambu mete. Pende-

    katan genetika molekuler dengan menggunakan

    penanda DNA telah berhasil membentuk penanda

    molekuler yang mampu mendeteksi gen dan sifat-

    sifat tertentu dan mengevaluasi keragaman dan

    evolusi pada tingkat genetik. Beberapa teknik

    penanda DNA tersebut adalah   Random Amplified 

    Polymorphic DNA (RAPD), Restriction Fragment 

    Length Polymorphism (RFLP), Amplified Fragment 

    Length Polymorphism   (AFLP),   Simple Sequence

    Repeat  (SSR), Mikrosatelit  (Hoon-Lim et al., 1999).Pemakaian penanda molekuler berdasar-

    kan pola pita DNA telah banyak digunakan untuk

    menyusun kekerabatan beberapa individu dalam

    spesies maupun kekerabatan antar spesies. Penggu-

    naan kekerabatan dapat dijadikan rujukan dalam

    pemuliaan persilangan untuk mendapatkan keane-

    karagaman yang tinggi dari hasil persilangan. Peng-

    gunaan penanda DNA dapat membantu pelaksa-

    naan pemilihan tetua persilangan yang memiliki

    perbedaan tinggi secara genetik (Correa   et al.,

    1999).

    Variasi genetik jambu mete dilihat daripolimorfisme yang digambarkan dengan perbedaan

    pola pita yang dipisahkan berdasarkan ukuran berat

    molekul. Polimorfisme adalah variasi alel pada lokus

    DNA tertentu dari suatu populasi. Data polimor-

    fisme dapat digunakan untuk melihat variasi genetik

    pada populasi jambu mete. Variasi tersebut di-

    harapkan terekspresi sampai tingkat fenotip jambu

    mete. Salah satu teknik untuk mendeteksi adanya

    variasi genetik adalah AFLP ( Amplified Fragment 

    Length Polymorphism). Prinsip dasar teknik AFLP

    adalah mendeteksi perbedaan letak marka DNA di

    seluruh genom yang berupa urutan basa tertentu.Deteksi marka DNA tersebut dilakukan dengan

    amplifikasi secara selektif terhadap fragmen hasil

    digesti dua enzim restriksi. Enzim restriksi yang

    digunakan antara lain adalah   EcoR1 (GAATTC) dan

    Mse1 (TTAA). Amplifikasi dilakukan dengan primer

    selektif yang terdapat tambahan tiga basa pada

    ujung 3’. Primer dibagi menjadi dua, yaitu primer

    dengan ujung pemotongan  EcoRI dan primer untuk

    ujung pemotongan  MseI. Variasi genetik ditentukan

    dengan 4 kombinasi primer yang berasal dari ujung

    EcoRI dan   MseI. Hasil amplifikasi selektif adalah

    pita-pita DNA dengan berbagai ukuran yang dipi-

    sahkan oleh elektroforesis gel poliakrilamida. Anali-

    sis dilakukan untuk melihat jumlah dan keberadaan

    pita-pita yang mampu menunjukkan variasi genetik

    (Saunders, 2001).

    Keunggulan teknik AFLP adalah dapat men-

    deteksi variasi genetik tanpa memerlukan informasi

    urutan basa genom. Selain itu, teknik AFLP memiliki

    tingkat reproduksi yang tinggi berdasarkan ampli-

    fikasi selektif fragmen hasil digesti genom (Mueller

    dan Wolfenbarger, 1999). Teknik AFLP mampu

    menganalisis genom secara menyeluruh sehingga

    dihasilkan informasi yang memadai untuk mengana-

    lisis variasi genetik (Mba dan Tohme, 2005).

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    3/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 166

    Data hasil penelitian variasi genetik jambu

    mete diharapkan dapat menunjukkan perbedaan

    genetik jambu mete dan ekspresinya pada perbe-

    daan karakter fenotip. Perbedaan genetik tersebut

    dapat digunakan sebagai data awal untuk meleng-

    kapi penelitian terhadap jambu mete yang lebihkompleks.

    Berdasarkan uraian di atas, maka peneli-

    tian ini dilakukan untuk mempelajari variasi genetik

     jambu mete yang ditanam pada empat lokasi yang

    berbeda di Sulawesi Tenggara menggunakan marka

    molekuler AFLP.

    BAHAN DAN METODE

    Penelitian ini dilakukan di dua tempat

    yaitu di Laboratorium Genetika Jurusan Biologi

    Fakultas MIPA, Universitas Haluoleo untuk tahapanIsolasi DNA dan di Laboratorium Biologi Molekuler

    dan Seluler Tanaman, Pusat Penelitian Sumber

    Daya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) Institut

    Pertanian Bogor untuk tahapan AFLP. Adapun

    waktu penelitian ini dilakukan mulai bulan Novem-

    ber 2011 sampai dengan bulan Juli 2012. Bahan

    penelitian adalah daun muda jambu mete yang

    diperoleh dari 4 lokasi yang berbeda di wilayah

    Sulawesi Tenggara yaitu: di Kabupaten Muna,

    Bombana, Buton, dan Konawe Selatan.

    Bahan-bahan digunakan untuk isolasi DNA

    dan elektroforesis gel agarosa antara lain buffer TE(Tris HCL : EDTA), buffer ekstraksi (CTAB 2 % ; EDTA

    0,02 M pH 8,0 ; Tris HCl 0,1 M pH 8,0 ;NaCl 1,26 M;

    H20 steril; PVP 3 %), kloroform isoamil (24 : 1),

    nitrogen cair, etanol absolut, sodium asetat, enzim

    RNase, agarosa, buffer TBE 0,5 x, etidium bromida

    dan loading buffer. Bahan yang digunakan untuk

    proses AFLP adalah enzim   EcoRI dan  MseI, 10 mM

    ATP, 5 x RL-Buffer, 1 unit T4 DNA ligase, Milliq H 20,

    5 mM dNTPs, 10 x super buffer, buffer TE, Taq-

    polymerase (5 unit/µl), 5 Primer masing–masing

    adalah P11-700 (GAC TGC GTA CAT GCA GAA), M48

    (GAT GAG TCC TGA GTA AAC AC ), M49 (GAT GAG

    TCC TGA GTA AAC AG), M50 (GAT GAG TCC TGA

    GTA AAC AT ), M51 (GAT GAG TCC TGA GTA AAC 

    CA), masing-masing dengan kombinasi yaitu P11-

    700 dengan M48, P11-700 dengan M49, P11-700

    dengan M50, dan P11-700 dengan M51. Bahan

    yang digunakan untuk elektroforesis gel poliakri-

    lamid adalah loading buffer formamide (98% for-

    mamide, 10 mM EDTA pH 8,0 dan 0,1% bromo-

    phenol) gel poliakrilamid (50% long ranger, sanver-

    tech), urea 40 g, etanol absolute, asam asetat

    glacial,  bind silane,  repel silane, H2O, buffer TBE 10

    x, ammonium persulfat 1,6% dan TEMED.

    Alat yang digunakan adalah termos es,

    pipet mikro 0,1 -2 µl, 2-20 µl, 20-200 µl, 100-1.000

    µl, tip 10 µl ,100 µl, 1.000 µl, freezer-20o

    C, lemari

    pendingin 4o

    C, mesin PCR, eppendorf 0,5 ml, 1,5

    ml, dan 2,0 ml, pompa vakum, rak tabung, mesin

    sentrifugasi, timbangan, vorteks, inkubator, water-

    bath, oven, spatula, perangkat elektroforesis, dan

    lumpang. Alat gelas yang digunakan adalah gelasukur, labu erlenmeyer, dan tabung penyimpanan

    bahan serta peralatan gelas yang umum digunakan

    di laboratorium.

    Sampel yang digunakan berasal dari daun

     jambu mete dari empat lokasi yang berbeda.

    Adapun keempat lokasi pengambilan sampel, yaitu:

    (a) Desa Bombana Wulu, Kec. Gu Kab. Buton, (b)

    Desa Rarontole, Kec. Kabaena Kab. Bombana, (c)

    Desa Wapunto Kec. Duruka Kab. Muna, dan (d)

    Kebun Penelitian Onembute, Kab. Konawe Selatan.

    Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan

    mengambil daun yang masih muda atau pada pucukpertama. Sampel daun yang telah dipilih kemudian

    dimasukkan dalam termos es untuk sementara

    waktu sebelum dimasukkan dalam freezer.

    DNA jambu mete diekstraksi dari bagian

    daunnya dengan menggunakan metode CTAB

    (cetyltrimetyl ammonium bromide). Sebelum dilaku-

    kan ekstraksi, terlebih dahulu disiapkan buffer eks-

    traksi, yang kebutuhannya tergantung dari jumlah

    sampel yang akan diekstraksi. Sampel yang akan

    diekstraksi di timbang (0,15 mg), lalu dipotong kecil-

    kecil, digerus menggunakan lumpang dengan ban-

    tuan nitrogen cair, dimasukkan dalam tabungeppendorf dan ditambahkan 1,5 ml buffer ekstraksi

    divortex dan dipanaskan pada waterbath selama 30

    menit pada suhu 650

    C (setiap 5 menit sekali di-

    keluarkan dan dibolak-balik) lalu disentrifuse pada

    10.000 rpm selama 10 menit, suhu 4o

    C, mengambil

    supernatan lalu dimasukkan dalam eppendorf baru

    dan ditambahkan 1 x volume kloroform isoamil

    untuk melarutkan senyawa-senyawa organik.

    Selanjutnya disentrifuse lagi pada 10.000

    rpm selama 10 menit, suhu 4o

    C, kemudian super-

    natan diambil dan ditambahkan 1 x volume sodium

    asetat dan 2 x volume etanol absolut dingin lalu

    diendapkan selama 2 jam dalam freezer. Setelah

    pengendapan kemudian disentrifuse lagi pada

    10.000 rpm selama 20 menit, suhu 4o

    C, kemudian

    supernatan dibuang dan mengambil endapannya

    yang berada pada bagian bawah. Selanjutnya

    endapan tersebut ditambahkan dengan 500   μl

    ethanol 70% untuk membersihkan dari sodium

    asetat, dikocok sebentar lalu disentrifuse lagi pada

    10.000 rpm selama 10 menit, suhu 4o

    C lalu

    endapannya diambil dengan membuang cairan

    bagian atasnya kemudian dikeringkan pada suhu

    37o

    C di oven selama 20 menit hingga kering

    kemudian ditambahkan 20-30  μl H2O, kocok hingga

    larut dan selanjutnya larutan DNA disimpan pada di

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    4/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 167

    freezer pada suhu -20o

    C. Selanjutnya larutan DNA

    ditambahkan enzim RNase hingga konsentrasi 100

    μg/ml lalu diinkubasi pada suhu 37o

    C selama 1 jam.

    Selanjutnya larutan ditambahkan dengan 500   μl

    buffer TE, dikocok lalu ditambahkan kloroform

    isoamil alkohol (24 : 1).Larutan dihomogenkan dengan vorteks,

    kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11.000

    rpm selama 10 menit. Cairan bagian atas kemudian

    dipindahkan pada tabung baru. Sempel kemudian

    ditambahkan 0,1 volume sodium asetat 3 M, pH 5,2

    dan 2 volume etanol absolut. Tabung dibolak balik

    perlahan lahan kemudian diinkubasi pada suhu -20o

    C selama 30 menit. Pelet dikeringkan dengan

    vakum selama 15 menit. Setelah pelet kering

    kemudian ditambahkan buffer TE sebanyak 20-30

    µl, tabung dipanaskan pada suhu 50o

    C dengan

    heatblock sampai pelet larut.Hasil isolasi DNA diuji dengan elektrofore-

    sis gel agarosa 0,8 % menurut Sambrook dan

    Russell (2001). Langkah pertama elektroforesis gel

    agarosa adalah bahan agarosa ditimbang sebanyak

    0,2 g dan dilarutkan dengan buffer TBE 0,5 x

    sebanyak 25 ml di dalam labu erlenmeyer. Larutan

    agarosa kemudian dipanaskan selama 30 detik. Gel

    agarosa didiamkan pada suhu ruang selama 1 jam.

    Gel agarosa yang telah dibekukan selama 1

     jam siap untuk digunakan. Gel agarosa diletakkan

    pada chamber elektroforesis yang telah diisi

    dengan running buffer TBE 0,5 x. Loading buffersebanyak 1 µl dicampur dengan akuabides seba-

    nyak 3 µl dan sampel sebanyak 2 µl. Percampuran

    dilakukan diatas kertas parafilm. Campuran terse-

    but kemudian dimasukkan kedalam sumur pada gel

    agarosa. Marka yang digunakan adalah marka DNA

    phage ʎ   sebanyak 10 ng dan 30 ng. Elektroforesis

    dilakukan dengan voltase 100 volt selama 20 menit.

    Hasil elektroforesis kemudian dilihat di bawah sinar

    ultraviolet.

    Hasil positif gel agarosa adalah munculnya

    pita yang berpendar jika gel dilihat di bawah sinar

    ultraviolet. Hasil negatif elektroforesis gel agarosa

    adalah tidak adanya pita yang berpendar jika gel

    agarosa dilihat di bawah sinar UV. Ketebalan dan

    intensitas pita DNA sampel dibandingkan dengan

    marka DNA phage ʎ   yang telah diketahui konsen-

    trasinya. Hasil isolasi DNA jambu mete yang dida-

    patkan disimpan pada suhu 4o

    C, dan dapat digu-

    nakan untuk aplikasi selanjutnya.

    Digesti genom dilakukan menurut invitro-

    gen (2003), digesti genom dilakukan dengan meng-

    gunakan enzim restriksi EcoRI/MseI. Sampel genom

    (500 ng dalam 5 µl), enzim EcoRI/MseI (0,5 µl), 5 x

    RL-buffer (10 µl), dan milliqH2O (30 µl) sampai

    volume 50 µl dicampurkan di dalam tabung

    eppendorf 1,5 ml. Campuran kemudian dicampur

    secara perlahan dan disentrifugasi singkat untuk

    menurunkan seluruh cairan dalam tabung. Sampel

    diinkubasi dalam inkubator selama 2 jam dengan

    suhu 37o

    C. Inkubasi sampel selama 15 menit pada

    suhu 70oC dilakukan untuk menginaktivasi enzim.

    Tabung diletakkan dalam kotak es sampai tahapselanjutnya

    Ligasi adapter dilakukan menurut invitro-

    gen (2003). Sampel yang telah didigesti ditambah-

    kan larutan ligase adapter (2 µl), enzim T4 DNA

    ligase (1 µl), 10 mM ATP, sampel dicampurkan

    perlahan, disentrifugasi, kemudian diinkubasi pada

    suhu 20o

    C ± 2o

    C selama 2 jam. Sampel diencerkan

    10 kali dengan mengambil 10 µl sampel kemudian

    dipindahkan ke tabung eppendorf 1,5 ml dan dila-

    rutkan dengan 90 µl buffer TE. Sisa sampel disimpan

    pada suhu -20o

    C.

    Preamplifikasi dilakukan menurut invitro-gen (2003) dengan modifikasi yaitu penambahan 5

    mM dNTP. Preamplifikasi dilakukan dengan cara

    mencampurkan sampel DNA (5 µl), pre-amp primer

    mix (26 µl), 10 x super buffer (2 µl), 5 mM dNTP

    sebanyak 0,8 µl, dan enzim Taq-polymerase (5

    unit/µl) sebanyak 0,08 µl didalam tabung eppendorf 

    200 µl. Larutan dicampur secara perlahan. Sampel

    dimasukkan ke dalam mesin PCR dengan 24 siklus

    seperti 94o

    C selama 30 detik, 56o

    C selama 30 detik,

    dan 72o

    C selama 60 detik dengan temperatur akhir

    4o

    C. Hasil preamplifikasi disimpan pada suhu 20o

    C

    di freezer. Sebelum digunakan sebagai cetakanpada amplifikasi selektif, hasil preamplifikasi dien-

    cerkan dengan milliqH2O.

    Amplifikasi selektif dilakukan menurut in-

    vitrogen (2003). Langkah yang dilakukan adalah

    membuat campuran dengan komposisi primer EcoRI

    sebanyak 0,5 µl dan primer  MseI sebanyak 0,3 µl, 5

    mM dNTPs (0,4 µl), 10 x super buffer (1,0 µl), milliq

    H2O sebanyak 2,8 µl, dan enzim Taq-polymerase 5

    unit/µl sebanyak 0,04 µl. Reaksi amplifikasi dilaku-

    kan pada tabung mikrosentrifugasi 200 µl dengan

    komposisi DNA sampel hasil preamplifikasi yang

    telah diencerkan dan komposisi campuran. Larutan

    dicampur perlahan. Amplifikasi dilakukan dengan

    menggunakan mesin PCR. Program yang digunakan

    adalah sebagai berikut: Satu siklus 94o

    C selama 30

    detik, 65o

    C selama 30 detik (penurunan 0,7  0

    C

    setiap siklus hingga mencapai 56  0

    C) dan 72o

    C

    selama 60 detik untuk 12 siklus dan sisa 24 siklus

    dilakukan dengan suhu 94o

    C selama 30 detik, suhu

    56o

    C selama 30 detik, dan suhu 72oC selama 60

    detik dan diakhiri dengan suhu 10o

    C.

    Hasil amplifikasi selektif kemudian dianali-

    sis dengan menggunakan elektroforesis gel poliakri-

    lamid menurut Sambrook dan Russell (2001). Lang-

    kah pertama adalah menyiapkan alat pencetak gel.

    Alat–alat pencetak gel terdiri atas dua buah

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    5/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 168

    lempeng kaca, dua buah pemisah, dan dua buah

    penjepit kaca. Gel poliakrilamid 6% dapat dibuat

    dengan cara mencampurkan 13,3 ml polyacrilamide

    gel 45% (29 : 1), 41,4 ml H2O, 10 x TBE 10 ml, dan

    urea 40 g. Larutan diinkubasi pada suhu 55o

    C

    sampai seluruh urea larut. Ammonium persulfate1,6% sebanyak 3,3 ml dan TEMED sebanyak 50 µl

    ditambahkan pada larutan gel dan diaduk selama 5

    menit.

    Pencetak gel disiapkan dengan cara, kaca

    panjang diberi campuran larutan  bind silane, etanol

    absolut, asam asetat glasial sebanyak 1 ml dan

    disebar merata pada permukaan kaca dengan

    menggunakan tisu. Setelah 5 menit kaca diberi

    etanol absolut sebanyak 2 ml dan dilap dengan tisu.

    Pencucian dengan etanol dilakukan sebanyak 3 kali.

    Kaca pendek yang terhubung dengan tangki buffer

    diberi   repel silane   sebanyak 2 ml dan disebarmerata pada seluruh permukaan kaca dengan tisu.

    Setelah 10 menit, kaca diberi H2O dan dilap dengan

    tisu.

    Pencetak gel dirancang dengan cara, mele-

    takkan pemisah setebal 0,4 mm diletakkan diatas

    kaca pendek. Kaca panjang diletakkan diatas kaca

    pendek dan pemisah. Kedua lempeng kaca kemu-

    dian dijepit dengan penjepit pada kedua sisi,

    kemudian bagian bawah kaca ditahan dengan

    menggunakan karet silikon. Pencetak gel diletakkan

    secara horizontal. Campuran gel dimasukkan ke

    pencetak gel dengan menggunakan syringe 60 ml.

    Gel kemudian didiamkan selama 30-60 menit.

    Sharktooth comb diangkat secara perlahan ketika

    gel sudah mengeras dan bagian comb yang tajam

    dimasukkan ke dalam gel 1 mm, sehingga terbentukwell yang rata.

    Gel diletakkan pada tangki elektroforesis.

    Penampungan buffer atas diisi dengan 500 ml

    buffer 1 x TBE, sedangkan penampungan buffer

    bawah diisi dengan 350 ml buffer 1 x TBE. Sampel

    DNA dicampur dengan loading buffer formamide

    (20 µl). Sampel didenaturasi pada suhu 94o

    C selama

    lima menit kemudian langsung diletakkan. Sampel

    dimasukkan ke dalam well dengan tips dan mikro-

    pipet sebanyak 3µl. Elektroforesis dilakukan selama

    3 jam 40 menit dengan daya 40 W. Setelah elek-

    troforesis selesai, buffer dipindahkan dari tempatpenampungan. Pemisah dan kedua kaca dilepaskan

    lalu gel menempel pada kaca panjang.

    Analisis pita AFLP dilakukan dengan membe-

    rikan angka 1 untuk keberadaan pita dan angka 0

    untuk tidak adanya pita pada tabel data biner.

    Jumlah seluruh pita dan baris yang mengandung

    pita polimorfisme dihitung, kemudian persentase

    polimorfisme dihitung berdasarkan rumus sebagai

    berikut (Chen et al., 2004).

     pita seluruhdenganbaris Polymorfis pitadenganbaris sme Polymorphi Persentase

     _  _  _  _  _  _  _(%) _ 

    Pita polimorfis adalah pita yang tidak ter-

    dapat pada seluruh sampel sedangkan pita umum

    adalah pita yang terdapat pada seluruh sampel.

    Interpretasi pita dilakukan untuk mempermudah

    dalam melihat lokasi pita-pita spesifik. Data binari

    seluruh primer yang mengandung pita polimorfis

    dimasukkan ke dalam program SPSS (Statistical 

    Package for Social Science) versi 15.0 metode

    Complete Linkage   fungsi Phi (1,0). Analisis data

    biner menghasilkan gambar dendogram.

    HASIL

    Keterangan :

    M1. Marker DNA phage λ (10 ng)

    M2. Marker DNA phage λ (30 ng)

    A. Kab. Konsel (60 ng/µl)

    B. Kab. Bombana (20 ng/µl)

    C. Kab. Muna (20 ng/µl)

    D. Kab. Buton (5 ng/µl)

    Gambar 4. Hasil isolasi DNA Genom Jambu Mete

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    6/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 169

    bp   A B C D

    Gambar 5. Hasil pita AFLP dan rekaannya   1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

    Keterangan: A, B, C, D = Buton, Muna, Bombana, Konsel; M1, M2 = Marker 1, Marker 2; Kombinasi P11 – 700 dan M48, B. Kombinasi

    P11 – 700 dan M49, C. Kombinasi P11 – 700 dan M50, D. Kombinasi P11 – 700 dan M51

    PEMBAHASAN

    Genom jambu mete diisolasi dari daun

     jambu yang diambil dari daun muda. Genom meru-

    pakan seluruh materi DNA pada suatu organisme.

    Isolasi genom dilakukan dengan metode Bosquet

    (1990). Isolasi genom menggunakan buffer eks-

    traksi yang mengandung CTAB, merupakan deter-

    gen yang dapat melisis membran sel dan mampumengendapkan polisakarida serta senyawa fenolik

    yang terdapat pada tanaman jambu mete. Kemam-

    puan CTAB mengendapkan polisakarida dan se-

    nyawa fenolik dipengaruhi oleh konsentrasi garam.

    Jika konsentrasi garam pada buffer lebih dari 0,5 M

    maka CTAB dapat mengendapkan polisakarida dan

    senyawa fenolik serta membentuk kompleks

    dengan DNA. Konsentrasi garam yang digunakan

    pada isolasi genom jambu mete adalah 1,26 M

    sehingga polisakarida dan senyawa fenolik pada

     jambu mete dapat diendapkan (Moore dan

    Dowhan, 2002).Genom jambu mete dimurnikan dengan

    senyawa kloroform isoamilalkohol (24:1) untuk

    mengekstrasi protein dan RNase untuk melisiskan

    RNA. Isopropanol atau etanol absolut dapat digu-

    nakan untuk mengendapkan DNA dan etanol 70 %

    untuk memisahkan genom dari garam-garam mine-

    ral, serta melarutkan sisa CTAB. Pemurnian terse-

    but bertujuan menghilangkan senyawa-senyawa

    yang dapat menghambat reaksi enzimatis pada

    proses AFLP (Weising et al., 1995).

    Menurut Weising et al . (1995), konsentrasi

    DNA dapat dihitung dengan membandingkanintensitas terang pita dan ketebalan pita DNA pada

    gel agarosa dengan pita DNA pada marka DNA yang

    telah diketahui konsentrasinya. Pita DNA sampel

     jambu mete dibandingkan dengan pita DNA phage

    λ.

    Menurut Moore dan Dowhan (2002), jum-

    lah total DNA yang diperoleh dapat diperbanyak

    dengan menaikkan konsentrasi NaCl pada buffer

    ekstraksi dan memodifikasi suhu serta waktu dalam

    tahap presipitasi DNA dengan etanol absolut.

    Hasil isolasi DNA yang diperoleh menun- jukkan bahwa sampel jambu mete asal Kab. Konsel

    memiliki konsentrasi DNA yang tertinggi (120 ng/µl)

    dan jambu mete asal Kab. Buton (10 ng/µl) memiliki

    konsentrasi DNA yang terendah. Tinggi dan rendah-

    nya konsentrasi DNA yang diperoleh, hal ini mung-

    kin disebabkan oleh maksimum tidaknya kerja

    buffer ekstrasksi yang digunakan dalam melisis

    dinding sel, komposisi dinding sel, proses pengge-

    rusan dll. Konsentrasi DNA yang tinggi dapat meng-

    indikasikan bahwa jumlah pita-pita DNA yang di-

    hasilkan nantinya pada proses AFLP akan semakin

    banyak. Adapun isolasi DNA dilakukan untuk me-mastikan ada tidaknya DNA yang diperoleh sebelum

    dilakukan proses AFLP.

    Pita–pita DNA dari seluruh primer diter-

     jemahkan ke dalam bentuk data biner yaitu dengan

    memberi angaka 1 bila terdapat pita dan angka 0

    bila tidak terdapat pita. Berdasarkan data biner

    tersebut, jumlah seluruh pita dihitung. Ukuran pita

    AFLP yang diperoleh berkisar antara 50-700 pb

    dengan berbagai ukuran menunjukkan bahwa

    proses digesti dengan enzim restriksi, ligasi adapter,

    preamplifikasi dan amplifikasi selektif telah berhasil

    dilakukan.Teknik AFLP dapat mendeteksi polimor-

    fisme pada sampel jambu mete dengan mengana-

    460 bp

    350 bp

    100 bp

    145 bp

    225 p

    50 bp

    565 bp

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    7/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 170

    lisis seluruh genom. Menurut Omoto dan Lurquin

    (2004), polimorfisme yang dihasilkan menunjukkan

    adanya perbedaan letak marka AFLP (urutan basa

    pengenalan enzim restriksi   EcoRI dan   MseI dan

    primer selektif) sehingga dapat diperoleh perbeda-

    an informasi genetik pada setiap sampel. Perbe-daan ukuran fragmen DNA menghasilkan suatu pola

    pita DNA tertentu. Teknik AFLP diawali dengan

    memotong genom jambu mete dengan enzim  EcoRI

    dan   MseI. Jambu mete termasuk organisme euka-

    riot yang memiliki basa adenin dan timin yang lebih

    tinggi daripada basa guanin dan sitosin. Analisis

    AFLP dengan enzim  EcoRI dan  MseI bertujuan agar

    polimorfisme yang didapatkan lebih rinci karena

    komposisi basa adenin dan timin pada kedua enzim

    (EcoRI dan  MseI) lebih tinggi daripada basa guanin

    dan sitosin (Vos et al., 1995).

    Fragmen hasil digesti kemudian diligasidengan adapter secara simultan. Adapter merupa-

    kan DNA untai ganda yang memiliki panjang sekitar

    20 pb. Terdapat dua jenis adapter yaitu adapter

    ujung pemotongan   EcoRI dengan kelebihan basa

    AATT pada ujung 5’ dan ujung pemotongan   MseI

    dengan kelebihan basa TA pada ujung 5’. Proses

    ligasi dilakukan dengan bantuan enzim T4 DNA

    ligase yaitu membentuk ikatan fosfodiester antara

    ujung 5’ (ujung fosfat) dan ujung 3’ (ujung OH) pada

    untai DNA (Struhl, 1993). Adapter berfungsi menya-

    makan dua ujung pragmen hasil digesti dan sebagai

    tempat menempelnya primer untuk proses amplifi-kasi selanjutnya. Hasil positif ligasi dapat dilihat

    pada akhir proses AFLP karena urutan basa pada

    primer sehingga bila proses ligasi gagal maka proses

    amplifikasi tidak akan berjalan (Saunders   et al.,

    2001).

    Fragmen hasil ligasi kemudian diamplifikasi

    dengan teknik PCR. Amplifikasi pada AFLP dibagi

    menjadi dua tahap yaitu preamplifikasi dan ampli-

    fikasi selektif. Preamplifikasi dilakukan dengan pri-

    mer selektif yaitu P11 - 700, M48, M49, M50, dan

    M51.

    Menurut Vos   et al . (1995), preamplifikasi

    bertujuan mengurangi kompleksitas fragmen hasil

    digesti, sehingga tidak terjadi kesalahan penempe-

    lan primer pada amplifikasi selektif dan mengurangi

    hasil pita smear pada elektroforesis gel poliakri-

    lamid.

    Amplifikasi selektif dilakukan dengan pri-

    mer selektif yang memiliki tambahan 3 basa pada

    ujung 3’. Primer selektif adalah primer yang ber-

    fungsi menyeleksi fragmen hasil digesti dengan

    adanya basa–basa selektif pada ujung 3’. Kombinasi

    primer digunakan untuk melihat polimorfisme (pola

    pita) secara lengkap. Masing–masing primer memi-

    liki komposisi basa–basa primer selektif. Basa-basa

    selektif pada primer melekat pada fragmen hasil

    digesti yang memiliki basa–basa berkomplemen.

    Perbedaan basa–basa selektif pada setiap primer

    mengakibatkan perbedaan amplifikasi fragmen,

    sehingga menghasilkan perbedaan pita berdasar-

    kan ukuran pita yang dihasilkan dari masing–masing

    sampel. Perbedaan ukuran pita menggambarkanpolimorfisme dari sampel jambu mete (Saunders et 

    al., 2001).

    Hasil pita yang diperoleh dari empat kom-

    binasi primer dan empat sampel adalah sebanyak

    322 pita (Tabel 1).

    Tabel 1. Jumlah pita DNA berdasarkan sampel dan primer

    Pasangan

    Primer

    Kab.

    Buton

    Kab.

    Muna

    Kab.

    Bombana

    Kab.

    Konsel  Total

    P11-700-M48 16 25 13 26 80

    P11-700-M49 12 27 12 23 74

    P11-700-M50 10 10 14 15 49

    P11-700-M51 22 21 35 41 119

    TOTAL 60 83 74 105 322

    Berdasarkan lokasi pita pada sampel jambu

    mete maka pita–pita AFLP dapat dibagi menjadi

    dua, yaitu pita umum (pita yang terdapat pada

    setiap sampel) dan pita polimorfis (pita yang hanya

    terdapat pada satu atau beberapa sampel).   Poli-

    morfisme ditandai dengan ada dan tidak adanya

    pita pada suatu sampel yang disebabkan oleh per-

    bedaan ukuran pita yang dihasilkan oleh setiap

    sampel (Wang   et al . 2003). Berdasarkan hasil pola

    pita–pita AFLP dapat disimpulkan bahwa terdapat

    polimorfisme pada 4 sampel jambu mete. Pita poli-

    morfisme AFLP yang dihasilkan tidak dapat diten-

    tukan sebagai alel atau lokus tertentu karena ana-

    lisis dilakukan pada seluruh genom. Pita polimor-

    fisme yang didapatkan tidak dapat dijadikan dasar

    perbandingan karakter fenotip secara langsung

    (Mba dan Tohme, 2005)Primer selektif digunakan untuk menye-

    leksi fragmen berdasarkan komposisi basa–basa

    pada primer. Perbedaan komposisi basa pada pri-

    mer menghasilkan perbedaan fragmen yang teram-

    plifikasi. Perbedaan fragmen tersebut kemudian di-

    bedakan berdasarkan ukuran. Menurut Loh   et al.

    (2000), setiap kombinasi primer mampu menghasil-

    kan pola pita yang spesifik untuk setiap sampel

    sehingga dapat digunakan sebagai identitas sampel.

    Perbedaan pola pita dapat menggambarkan perbe-

    daan genetik pada setiap sampel jambu mete.

    Perbedaan pola pita dapat ditunjukkandalam perbedaan jumlah pita yang dihasilkan.

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    8/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 171

    Jumlah pita yang dihasilkan oleh setiap 4 kombinasi

    primer berkisar antara 49–119 pita. Jumlah pita

    yang terbanyak dihasilkan oleh pasangan primer

    P11-700 dan M-51 yaitu 119 pita, sedangkan

     jumlah pita terendah dihasilkan oleh pasangan pri-

    mer P11-700 dan M-50 yaitu 49 pita. Berdasarkan jumlah pita yang diperoleh dapat disimpulkan

    bahwa frekuensi kombinasi primer P11-700 dan M-

    51 pada genom jambu mete lebih tinggi daripada

    kombinasi primer P11-700 dan M-50.

    Menurut Restrepo   et al . (1999), komposisi

    basa selektif pada primer akan mempengaruhi

     jumlah pita DNA hasil AFLP. Primer dengan basa

    sitosin atau guanin yang lebih banyak menghasilkan

     jumlah pita yang lebih sedikit daripada primer

    dengan komposisi basa adenin dan timin yang lebih

    banyak karena basa sitosin dan guanin lebih selektif 

    dalam mengamplifikasi fragmen.Jumlah seluruh baris pita–pita AFLP 4 kom-

    binasi primer adalah 141 baris. Dari seluruh baris

    tersebut terdapat 42 baris yang mengandung pita

    umum sedangkan baris pita polimorfis sebanyak 99

    baris. Jumlah baris yang mengandung pita poli-

    morfis dihitung dan diperoleh kisaran persentase

    primer adalah 44,50–83,05%. Rata–rata persentase

    baris polimorfis seluruh pasangan primer adalah

    70,21%. Persentase polimorfisme diperoleh berda-

    sarkan perbandingan jumlah baris yang mengan-

    dung pita polimorfis dengan jumlah baris yang

    mengandung pita umum kemudian dikalikan 100 %.Jumlah baris, baris umum, baris polimorfis dan per-

    sentase polimorfis dari 4 kombinasi primer dapat

    dilihat pada Tabel 2.

    Tabel 2. Jumlah baris, baris yang umum, baris polimorfis

    dan persentase baris polimorfis dari 4 kombinasi primer

    Kombinasi

    primer

     jumlah

    baris

    baris

    umum

    baris

    polimorfis

    persentase

    polimorfis

    (%)

    P11-700-M48 32 12 20 62.50

    P11-700-M49 32 10 22 68.75

    P11-700-M50 18 10 8 44.50

    P11-700-M51 59 10 49 83.05TOTAL 141 42 99 70.21

    Berdasarkan penelitian Chen  et al . (2004),

    diperoleh persentase polimorfisme sebesar 70 %

    dari 30 kultivar   Aglaonema   dengan 6 pasang pri-

    mer. Hasil penelitian Chen   et al . tersebut menun-

     jukkan bahwa ke 6 pasang primer yang digunakan

    dapat menggambarkan perbedaan genetik dengan

    persentase polimorfisme 70%. Berdasarkan hasil

    tersebut, Chen  et al . berhasil membedakan secara

    identik masing–masing kultivar Aglaonema.Berdasarkan hasil rata–rata persentase

    polimorfisme jambu mete yang diperoleh yakni

    sebesar 70,21%, maka dapat disimpulkan bahwa

     jambu mete dari setiap sampel dapat dibedakan

    secara genetik.

    Penelitian dengan menggunakan marka

    AFLP untuk mendeteksi polimorfisme pada bebe-

    rapa spesies tanaman telah dilakukan. Aggarwal   et al , mengidentifikasi 501 pita dari   Oryza sativa   L.

    dengan persentase polimorfisme 65%. Singh   et al .

    menghasilkan 422 pita dari   Azadiracht indica

    dengan persentase polimorfisme 70%. Tomkins   et 

    al, menghasilkan persentase 75% pada  Hemerocallis

    spp.

    Menurut Vergara dan Bughara (2003),

    tingginya tingkat polimorfisme menunjukkan tinggi-

    nya keragaman genetik. Oleh karena itu, hasil per-

    sentase polimorfisme empat sampel jambu mete

    yang diperoleh memiliki keragaman genetik yang

    tinggi. Keragaman genetik tersebut dapat digambar-kan dengan tingginya persentase polimorfisme.

    Keunikan genetik jambu mete kemung-

    kinan disebabkan oleh mutasi DNA dan rekombi-

    nasi. Mutasi DNA dan rekombinasi secara seksual

    merupakan faktor utama terjadinya variasi genetik

    (Indrawan et al ., 2007). Teknik AFLP tidak mengana-

    lisis gen–gen tertentu, tetapi hanya menganalisis

    seluruh genom jambu mete melalui pola pita yang

    terbentuk sehingga keunikan genetik yang diper-

    oleh tidak dapat langsung diterjemahkan ke dalam

    karakter fenotip. Menurut Griffiths   et al.   (2000),

    karakter fenotip dipengaruhi oleh faktor genetikdan lingkungan. Oleh karena itu, data variasi gene-

    tik jambu mete yang telah dilakukan dengan marka

    AFLP perlu dibandingkan dengan analisis faktor ling-

    kungan sehingga dapat digunakan untuk mengana-

    lisis karakter fenotip jambu mete.

    Elektroforesis gel poliakrimida pada peneli-

    tian bertujuan memisahkan fragmen hasil amplifi-

    kasi selektif. Teknik AFLP menggunakan elektro-

    foresis gel poliakrilamida agar pita DNA dengan

    perbedaan satu basa pada setiap sampel dapat

    dianalisis. Gel poliakrilamid memiliki pori–pori yang

    lebih kecil dari pada sel agarosa sehingga dapat

    memisahkan pita DNA yang berukuran relatif kecil

    (5-500 pb) dan mampu memisahkan fragmen

    dengan perbedaan satu basa (Sambrook dan

    Russell, 2001). Pita–pita DNA dari seluruh primer

    diterjemahkan ke dalam bentuk data biner yaitu

    dengan memberi angka 1 bila terdapat pita dan

    angka 0 bila tidak terdapat pita. Data biner

    kemudian diolah dengan metode SPSS, sehingga

    didapatkan Proximity Matrix dan dendrogram

    seperti pada Tabel 3.

    Dendogram merupakan topologi pohon

    filogenetik yang menggambarkan percabangan dan

    pengelompokkan (clustering) sampel yang berderet

    rata secara vertikal pada satu sisi pohon. Berdasar-

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    9/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 172

    kan dendogram, maka dapat diketahui pola perca-

    bangan dengan pengelompokkan sampel berdasar-

    kan marka molekular AFLP. Software SPSS meng-

    analisis data biner menjadi dendogram dengan

    menggunakan perhitungan metode   Complete

    Linkage.

    Tabel 3. Hasil Proximity Matrix dan dendogram jambu

    mete pada 4 lokasi berbeda

    Matrix File InputCase

    Buton Muna Bombana Konsel

    Buton 1.000 0.494 0.008 - 0.484

    Muna 0.494 1.000 0.042 - 0.554

    Bombana 0.008 0.042 1.000 - 0.280

    Konsel - 0.484 - 0.554 - 0.280 1.000

    Hasil dendogram menunjukkan bahwa dari

    empat sampel jambu mete, terdapat dua kelompok

    yaitu kelompok A yang terdiri atas jambu mete asal

    Kab. Buton, Kab. Muna dan Kab. bombana sedang-

    kan kelompok B terdiri atas jambu mete asal Kab.

    Konsel. Pada kelompok A jambu mete asal Kab.

    Bombana berdiri sendiri dan dibedakan dengan

     jambu mete asal Kab. Muna dan Kab. Buton.

    Pengelompokan sampel jambu mete ber-

    dasarkan marka AFLP menunjukkan perbedaan dan

    kemiripan genetik antar sampel. Perbedaan dan

    kemiripan genetik tersebut dihasilkan berdasarkan

    pola pita DNA (Mueller dan Wolfenbarger, 1999).

    Sampel yang tergolong dalam satu kelompok memi-

    liki pola pita yang mirip seperti pada jambu mete

    asal Kab. Muna, Kab. Buton dan Kab. Bombana,

    namun jambu mete asal Kab. Muna dan Kab. Buton

    memiliki kemiripan yang lebih dekat dibandingkandengan Kab. Bombana.

    Berdasarkan letak geografis, bahwa jambu

    mete asal Kab. Muna dan Kab. Buton berada pada

    wilayah kepulauan sedangkan jambu mete asal Kab.

    Bombana dan Kab. Konsel berada pada wilayah

    daratan. Adanya kemiripan genetik antara jambu

    mete asal Kab. Muna dan Kab. Buton mungkin

    disebabkan karena keduanya berada pada wilayah

    kepulauan yang saling berdekatan. Pada penelitian

    ini, jambu mete asal Kab. Konsel yang digunakan

    adalah jambu mete unggul yang berasal dari Kebun

    Penelitian Onembute. Sifat unggul yang dimilikioleh jambu mete asal Kab. Konsel menyebabkan

     jambu mete asal Kab. Konsel memiliki kelompok

    tersendiri dengan ketiga jambu mete lainnya.

    Adapun sifat unggul tersebut seperti gelendong

    berukuran panjang 2,5–3,0 cm dan lebar 2,0–2,25

    cm, gelondong berbobot antara 7 g–10 gram per-

    butir dan rendemen kacang mete berkisar 22 %.

    Jambu mete asal Kab. Bombana yang

    masuk satu kelompok dengan sampel Kab. Muna

    dan Kab. Buton hal ini mungkin disebabkan karena

    wilayah Kab. Bombana dulunya masuk dalam

    wilayah administratif/kecamatan dari Kab. Buton

    sehingga ada kemungkinan bahwa jambu mete yang

    ada di wilayah Kab. Bombana berasal dari bibit

     jambu mete yang berasal dari Kab. Buton.

    Sebagai kesimpulan dari penelitian ini

    bahwa: (1) Terdapat variasi genetik pada empat asal

    sampel jambu mete yang digambarkan melalui poli-

    morfisme dengan menggunakan marka molekulerAFLP, (2) Polimorfisme dapat dilihat pada perbedaan

    pola pita AFLP dengan jumlah pita secara keseluruhan

    322 pita dan rata-rata persentase polimorfisme sebesar

    70,21% dari empat kombinasi primer selektif, dan (3)

    Hasil dendrogram menunjukkan bahwa terdapat dua

    kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari jambu

    mete asal Kab. Buton, Kab. Muna dan Kab. Bombana

    dan kelompok kedua yaitu jambu mete asal Kab.

    Konsel. Jambu mete asal Kab. Konsel memiliki perbe-

    daan dengan ketiga sampel jambu mete lainnya.

  • 8/18/2019 tkptteknik khusus

    10/10

    Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 164-173 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPsUNHALU

    Richael Syam   et al ., 2012. Analisis Variasi Genetik Tanaman Jambu Mete ……………………………………………. 173

    KEPUSTAKAAN

    BPMD Provinsi Sulawesi Tenggara, 2010. Buku po-

    tensi dan peluang investasi di daerah Sula-

    wesi Tenggara. BPS Sultra.

    Chen, J.J., P.S. Devanand, D.J. Norman, R.J. Henny

    and C.T. Chao. 2004.  Genetic relationship

    of Aglaonema species and cultivars infer-

    red from AFLP Markers. Annals of Botany

    93: 157-166.

    Correa, R.X., Ricardo V. A., Fabio G. F. Cosme D. C.,

    Maurilio A. M., and Everaldo G. B. 1999.

    Genetic distance in soybean based on

    RAPD Markers.

    Griffiths, A.J.F., J.H. Miller, D.T. Suzuki, R.C.

    Lewontin and W.M. Gelbrat. 2000.   An

    introduction to genetic analysis.7th

    ed.

    W.H. Freeman, New York: xvii + 860 hlm.Hoon-Lim S, Peng Teng P. C., Lee Y. H., and Goh C. J.

    1999. RAPD analysis of some species in the

    genus vanda (Orchidaceae). Annuals of 

    Botany.

    Indrawan, M., R.B. Primack dan J. Supriatna, 2007.

    Biologi konservasi. rev. ed . Yayasan Obor

    Indonesia. Jakarta.

    Kemal, P., 2000.   Jambu mete. SIM Pembangunan

    Perdesaan. Bappenas. Jakarta.

    Loh, J.P., R. Kiew, A. Kee, L.H. Gan and Y.Y. Gan.

    1999.  Amplified fragment length polymor-

     phism (AFLP) provides molecular markers for the identification of caladium bicolor 

    cultivars. Annals of Botany 84: 155–161.

    Mba, C. dan J. Tohme, 2005. Use of AFLP markers in

    surveys of plant diversity. Methods in enzy-

    mology. 395: 177–201.

    Moore, D.D. and D. Dowhan. 2002. Preparation and

    analysis of DNA.  Dalam: Aususbel, F.M., R.

    Brent, R.E. Kingston, D.D Moore, J.G.

    Seidman, J.A. Smith dan K. Struhl, 1995.

    Current protocol in molecular biology . Vol I.

    John Wiley & Sons, Inc.: xxiv + 9.17.3 hlm

    Mueller, U.G. dan L.L. Wolfenbarger, 1999.   AFLP

    genotyping and fingerprinting. Elsevier

    Science 14: 389-394

    Restrepo, S., M. Duque, J. Tohme and V. Verdier,

    1999.   AFLP fingerprinting: an efficient 

    technique for detecting genetic variation of 

     Xanthomonas axonopodis pv . Manihotis.

    Microbiology 145: 107–114.

    Sambrook, J. dan D.W. Russell, 2001.   Molecular 

    cloning: A laboratory Manual. 3rd 

    ed . CSHL

    Press, New York : xxvii + 18.136 + A.14.1 +

    R.22 + I44 hlm.Saunders, J.A., S. Mischke, dan A.A. Hemeida, 2001.

    The use of AFLP techniques for DNA finger-

     printing in plants. Beckman Coulter, Inc.,

    Fullerton. 9 hlm.

    Van Eijnatten, C.L.M., 1991. Anacardium occidentale

    L. (http://proseanet.org/prosea.eprosea_

    detail.php?frt=&id=1468) diakses tanggal

    10 September 2011.

    Vergara, G.V and S.S. Bughara, 2003.   AFLP analyses

    of genetic diversity in bentgrass. Crop

    Science, 43: 2162–2171.

    Wang, Z.S., A.J. Baker, G.E. Hill and S.V. Edwards,2003. Reconciling actual and inferred

    population histories in the house finch

    (Carpodacus mexicanus) by AFLP analysis.

    Evolution 57(12): 2852-2864.

    Weising, K., Nybom, H., Wolff, K. and Meyer, W.,

    1995.   DNA fingerprinting in plant and 

     fungi. CRC Press. Boca Raton: 322 hlm.

    Zaubir, R. dan R. Suryadi, 2003.  Kriteria kesesuaian

    tanah dan iklim tanaman jambu mete.

    Litbang Jakarta.