Tiwah, Upacara Adat Suku Dayak (Kaharingan)

2
TIWAH, MAAGAH LIAU KAN LEWU TATAU (Tiwah, mengantar Arwah ke kampung yang abadi) Masyarakat Dayak Ngaju (udik) adalah salah satu suku Dayak yang berada di pulau Kalimantan tepatnya di Kalimantan Tengah, yang banyak menempati mendiami Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai Kapuas, sungai Kahayan, sungai Rungan, sungai Barito, dan sungai Katingan. Kepercayaan yang banyak dianut oleh suku Dayak khususnya Dayak Ngaju adalah Kaharingan yang artinya adalah tumbuh atau hidup. Maksud dari kepercayaan ini adalah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ranying Hatalla Langit). Dalam perkembangan kepercayaan Kaharingan, agama ini dimasukan dalam kategori agama Hindu, karena adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa. Dalam istilah agama Kaharingan disebut Ranying Hatalla Langit. Orang Dayak Ngaju terkenal dengan kemampuan spiritual yang luar biasa, dan upacara adat yang sangat kental. Salah satu upacara adat yang cukup terkenal adalah upacara adat Tiwah, yaitu upacara yang dilakukan pada orang yang telah meninggal. Upacara tiwah, yaitu proses mengantarkan arwah (liau) sanak kerabat atau leluhur yang sudah meninggal ke Lewu Tatau yaitu sebuah tempat yang kekal atau abadi. Orang Dayak Ngaju meyakini leluhur akan senang dan bahagia jika arwah mereka sudah diantarkan. Mereka juga meyakini bahwa sebelum dilaksanakan upacara tiwah, roh leluhur dianggap belum masuk surga. Upacara Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur. Dalam pelaksanaannya banyak sekali urutan upacara yang harus dilakukan oleh pelaksana dan para anggota pendukung upacaranya. Upacara ini dapat dikatakan terdapat unsur-unsur supranatural karena memang upacara ini adalah mempersatukan roh, oleh sebab itu urutan dalam pelaksanaannya tidak boleh diubah sekehendak hati namun harus sesuai dengan aturan upacara yang sudah ada dan tertulis.Upacara Tiwah pada umumnya dilakukan 5 tahun sekali, tetapi sesuai dengan kesepakan keluarga yang hendak melakukan upacara Tiwah. Tiwah harus dilaksanakan karena - Basir atau Pisur Pencucian Tulang Tengkorak

Transcript of Tiwah, Upacara Adat Suku Dayak (Kaharingan)

TIWAH, MAAGAH LIAU KAN LEWU TATAU

(Tiwah, mengantar Arwah ke kampung yang abadi)

Masyarakat Dayak Ngaju (udik) adalah salah satu suku Dayak yang berada di pulau

Kalimantan tepatnya di Kalimantan Tengah, yang banyak menempati mendiami Daerah Aliran

Sungai (DAS) sungai Kapuas, sungai Kahayan, sungai Rungan, sungai Barito, dan sungai

Katingan. Kepercayaan yang banyak dianut oleh suku Dayak khususnya Dayak Ngaju adalah

Kaharingan yang artinya adalah tumbuh atau hidup. Maksud dari kepercayaan ini adalah

kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ranying Hatalla Langit).

Dalam perkembangan kepercayaan Kaharingan, agama ini dimasukan dalam kategori

agama Hindu, karena adanya persamaan dalam penggunaan sarana kehidupan dalam

melaksanakan ritual untuk korban (sesaji) yang dalam agama Hindu disebut Yadnya. Jadi

mempunyai tujuan yang sama untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa. Dalam istilah agama

Kaharingan disebut Ranying Hatalla Langit. Orang Dayak Ngaju terkenal dengan kemampuan

spiritual yang luar biasa, dan upacara adat yang sangat kental.

Salah satu upacara adat yang cukup terkenal adalah upacara adat

Tiwah, yaitu upacara yang dilakukan pada orang yang telah meninggal.

Upacara tiwah, yaitu proses mengantarkan arwah (liau) sanak kerabat

atau leluhur yang sudah meninggal ke Lewu Tatau yaitu sebuah tempat

yang kekal atau abadi. Orang Dayak Ngaju meyakini leluhur akan senang

dan bahagia jika arwah mereka sudah diantarkan. Mereka juga meyakini

bahwa sebelum dilaksanakan upacara tiwah, roh leluhur dianggap belum

masuk surga. Upacara Tiwah dipimpin oleh Basir atau Pisur.

Dalam pelaksanaannya banyak sekali urutan upacara yang harus dilakukan oleh

pelaksana dan para anggota pendukung upacaranya. Upacara ini dapat dikatakan terdapat

unsur-unsur supranatural karena memang upacara ini adalah

mempersatukan roh, oleh sebab itu urutan dalam

pelaksanaannya tidak boleh diubah sekehendak hati namun

harus sesuai dengan aturan upacara yang sudah ada dan

tertulis.Upacara Tiwah pada umumnya dilakukan 5 tahun

sekali, tetapi sesuai dengan kesepakan keluarga yang hendak

melakukan upacara Tiwah. Tiwah harus dilaksanakan karena -

Basir atau Pisur

Pencucian Tulang Tengkorak

sebagai rasa tanggung jawab keluarga kepada arwah dan bertujuan untuk mengantarkan si

arwah ke Lewu Tatau (surga). Liau (arwah) dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Balawang Panjang, contohnya seperti: rambut atau kuku.

2. Karahang Tulang, contohnya: tulang belulang.

3. Liau Haring Kaharingan adalah arwah atau roh yang sebenarnya.

Aktivitas Tiwah memang sangat unik, keluarga menggali

kembali kubur yang telah lama meninggal, membuka kembali petinya

dan mengambil satu persatu tulang belulang. Tulang belulang

tersebut kemudian di cuci dan dibawa ke upacara. Kegiatan upacara

ini memakan waktu yang cukup lama, termasuk ritual mengorbankan

hewan seperti Kerbau, Babi dan Ayam. Mereka meyakini bahwa

hewan yang dikorbankan tersebut akan membantu sang arwah

menuju Surga terakhir. Pada akhirnya tulang belulang tersebut

dimasukkan ke dalam Sandung (Rumah Kecil tempat tulang belulang

di letakkan). Biasanya dalam satu keluarga memiliki satu Sandung

yang disediakan untuk berbagai tulang-belulang yang telah di

tiwahkan.

Sumber :

- http://t1r4.wordpress.com/2009/09/01/tiwah-dari-kisah-ritual-suku-dayak/

- http://id.wikipedia.org

NAMA : OTNIEL APRINDO PURBA NIM : 022007257

Pembongkaran Kubur