Tirtayatra Hati

download Tirtayatra Hati

If you can't read please download the document

Transcript of Tirtayatra Hati

TIRTAYATRA HATIOleh I Wayan Artika, dosen Undiksha Singaraja Pekerja Pendidikan di YGRP Pacung Tejakula Bali Salah satu trend dalam kerangka beragama adalah originalisme atau otentisitas. Asal agama, secara geografi, dikonstruksi sebagai tujuan. Hal ini adalah dekonstruksi filosofi tuhan ada dimana-mana dan juga menolak dari mana saja kau menyembah-Ku dan dengan cara apa saja, pasti Aku terima. Mencapai otentisitas dalam bergama bukan semata-mata peningkatan spiritualitas. Hal ini harus dipahami pula dari perspektif teknologis/materialisme. Cara kita bergama ditentukan oleh pencapaian teknik. Cara kita beragama ditentukan oleh tingkat kekayaan kita. Tirtayatra atau perjalanan suci (?) ke alamat asal agama juga mengandung nilai rekreasi. Bukankah ada istilah wisata spiritual. Perjalanan suci pun dijual. Umat yang ingin melakukan perjalanan ini harus punya banyak uang. Akhir-akhir ini, bagi orang Hindu di Bali yang kaya uang, melakukan perjalanan suci ke India, adalah tuntutan atau agenda baru dalam beragama. Dulu, sebelum industri penerbangan murah, mungkin gengsi paling tinggi dalam hal beragama adalah menyelenggarakan yadnya super-utama. Kini yadnya tak cukup untuk mendongkrak gengsi. Karena itu, tirtayatra adalah bentuk gengsi baru. Tapi ini gengsi yang suci. Bukan gengsi profan. Daya dukung materi/ekonomi/teknik, yang kita adopsi dalam kerangka infrastruktur agama, ternyata menjadi bagian ketika kita beragama. Hal ini pula terjadi dalam tirtayatra, satu perilaku beragama yang mungkin dijalankan di atas kemajuan teknik transportasi. Pikiranpikiran teknik-material patut menjadi renungan dalam hal ini. Jadi, agama tidak semata-mata satu hal yang transenden. Agama juga sangat bergantung kepada perkembangan teknik, perkembangan enonomi. Iman bisa bangkrut di tengah keruntuhan teknik dan ekonomi, bukan? Memang, tirtayatra ke luar negeri, khususnya ke India, hanyalah agenda beragama yang super-ekskutif. Bagi orang Hindu yang kaya. Hal ini jauh bedanya dengan naik haji. Bertirtayatra keluar negeri, dilakukan oleh sedikit orang saja karena harganya sangat mahal. Tirtayatra, sementara ini adalah mengunjungi pura/tempat suci Hindu. Orang Hindu di Bali, bertirtayatra, pada umumnya, yang paling jauh adalah ke Pura Gunung Salak (Jawa Barat). Ini juga hanya mampu dilakukan oleh PNS dan pengusaha. Pada konteks tirtayatra, yang lebih ditonjolkan adalah spritual-fisik. Umat Hindu bertirtayatra menempuh jarak dan sampai di tempat tujuan. Seharusnya ada pengembangan

1

definisi/konsep tirtayatra tersebut. Hindu harus idnetik dengan pura. Mengapa Hindu, dalam agenda tirtayatra, tidak boleh dibayangkan sebagai komunitas? Saya menikah dengn Sigit Widhiati, umat (asli) Hindu Jawa dari Kandang Tepus, Senduro, Lumajang-Jawa Timur. Hampir setiap hari, di hari-hari biasa, Pura Mendara Giri Semeru Agung, para pemedek (petirtayatra), umumnya asal Bali, datang. Bagi mereka, ini adalah satu tirtayatra, pengertian yang dianut selama ini. Perjalanan mereka berhenti di pura ini. Ini sangat fisik-spiritual. Mengapa tirtayatra mereka tidak sampai kepada komunitas Hindu di balik Mandara Giri Semeru Agung? Apa yang didapat jika tirtayatra hanya usai dan sudah di pura itu? Paling-paling, secara fisik, hanya melihat bangunan pura Bali di Jawa. Bagi banyak orang hindu yang kolot pandangan ini sungguh mengagumkan. Mereka lupa, Hindu di Bali datang tidak langsung dari India tetapi telah dijawakan, berabad-abad lamnaya di tanah Jawa. Karena itu, mesti ada tirtayatra gaya baru. Bertirtayatra ke komunitas. Pada kasus bertirtayatra ke Pura Mandara Giri Semeru Agung, di Lumajang-Jatim, para petirtayatra, mestinya jangan hanya finis di pura saja. Harus melakukan lanjutan kunjungan ke komunitaskomunitas Hindu Jawa di berbagai dusun di kecamatan-kecamatan di Lumajang. Yang paling dekat misalnya, ke komunitas Hindu Kandang Tepus, dari Pura Mandara Giri Semeru Agung hanya berjarak 2 km. Atau bisa juga ke Kandangan. Bisa pula ke kantong-kantong Hindu lainnya. Informasi dan pemandu bisa diperoleh dari umat setempat atau dari para pemangku di pura ini. Tirtayatra komunitas akan membuka pandangan kita bahwa Hindu di Lumajang (misalnya) tidak hanya Pura Mandara Giri Semeru Agung. Ini cara pandang yang sangat Bali dan kolot. Pura mandara Giri Semeru Agung tidak ada apa-apanya, jika tidak didukung oleh tradisi hidup, Hindu Jawa, yang asli/lokal. Sejarah mereka jauh lebih tua ketimbang Hindu di Bali. Sebelum pura ini dibangun, yang dirintis oleh Bapak Djumadi Setjo dkk., umat setempat, telah hidup tradisi Hindu di sanggar-sanggar. Ini sebagai pengikat utama. Sanggar adalah semacam pura desa atau pura tiga kayangan di Bali. Sanggar adalah pusat Hindu di Jawa, khususnya di Lumajang. Mereka hidup dengan daya dukung ekonomi perkebunan (kopi, pisang, sayur-sayuran), yang sangat bergantung kepada kesuburan abu vulkanik Gunung Semeru. Pandangan ini harus ada sehingga umat Hindu yang bertirtayatra ke Pura Mandara Giri Semeru Agung mengenal komunitas-komunitas Hindu di berbagai dusun, yang mempertahankan Hindu di tengah Islam, di sanggar-sanggar mereka, secara turun-temurun. Bagaimana bisa bertirtayatra komunitas jika kita berpikir sempit dan kolot? Bahwa tirtayatra hanya ke pura? Apa yang saya kemukakan di sini, sebagai salah satu contoh. Saya selaku umat Hindu (dari Bali. Orang Bali Aga, yang cara ber2

Hindu- nya sangat aneh), merasa bersyukur bisa mengenal umat Hindu di balik bayangan Bali keagungan Pura mandara Giri. Pura bisa besar bukan karena apa-apa tetapi karena tradisi Hindu yang hidup. Hal ini bisa kita lihat di pura-pura yang dibangun di luar Bali, oleh para transmigran Bali. Mereka tidak hanya membangun pura tetapi mereka membangun tradisinya juga. Jadi, bisa bertahan. Bertahan dan hidup tanpa tirtayatra umat Hindu dari Bali. Ingat, jika bertirtayatra ke luar komunitas Hindu di Bali, ke Jawa, misalnya, jangan melihat segala aktivitas Hindu dari pandangan Bali, yang telanjur dipuja dan dianggap bernilai paling tinggi dan paling benar. Harus lebih terbuka dan mencoba memahami segi-segi yang berbeda. Jangan mengutip hal-hal yang sama. Lalu, jika berbeda, akan dijadikan bahan tertawaan. Ini sering sekali dilakukan oleh umat Hindu Bali, yang melakukan kontak dengan Hindu di luar Bali. Hal ini juga yang menjadikan Pura Mandara Giri Semeru Agung sangat Bali. Arsitekturnya, mungkin boleh saja Bali, tetapi tradisinya dan cara Hindunya, mesti dibiarkan ala Jawa. Cara ini menguatkan posisi politis Hindu di Jawa, khusunya di Jawa Timur (Lumajang). Hingga saat ini, model Jawa dan model Bali di Pura Mandara Giri Semesru Agung tetap menjadi pertentangan. Umat Hindu setempat (Jawa) harus berani mengambil alih dan membangun kemabli tradisi Jawa di pura ini. Umat Hindu Bali pun harus menyadari bahwa pura ini, sama sekali bukan pura Hindu Bali. Hal ini bisa dilakukan dalam kegiatan tirtayatra ke pura ini. Dengan model tirtayatra komunitas, maka akan terjadi perjumpaan-perjumpaan di hati setiap umat. Tidak cukup tirtayatra sebatas pura dan ini sangat fisik. Memang selama ini tirtayatra adalah fisik. Sudah waktunya mengubah pandangan ini. Tirtayatra adalah perjalanan atau kunjungan ke komunitas umat. Bisa dimaknai lain. Tirtayatra juga sebuah kunjungan hati. Hal ini jarang dilakukan. Akibatnya, tirtayatra hanyalah reakreasi, yang diberi nuansa agama. Dengan demikian, tirtayatra tidak mesti ke India. Hal ini pandangan yang sangat sempit. Ini hanya pandangan kapitalis agama. Bisa bertirtayatra ke India tapi kita gagal bertirtayatra ke rumah-rumah hati umat kita, saudara kita di dekat kita. Kita gagal mengunjungi mereka yang tidak sekolah karena miskin, yang gagal ke rumah sakit karena miskin. Yang terjepit oleh hukum adat yang masif. Yang terbiarkan bodoh karena jarang membaca buku. Tirtayatra kita adalah kekonyolan dan sudah waktunya melakukan perubahan-perubahan, sebagaimana munculnya konsep agama baru di Amerika Latin: mengembalikan agama ke altar rakyat. Di sini agama sangat membumi dan humanis. Agama menyatu dengan berbagai aktivitas di perkebunan tomat. Agama tidak lagi upacara di altar gereja yang temaram. Tapi agama adalah pisau untuk meretas jalan hidup, menuju pembebasan dari himpitan-himpitan sosial, ekonomi, dan politik. 3

4