tipus

37
A. Pendahuluan Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi.1 Di Indonesia, luka bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena itu, penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum), intensifis, spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi. B. Definisi dan Etiologi Beberapa penyebab luka bakar menurut Syamsuhidayat (2007) adalah sebagai berikut: a. Luka bakar suhu tinggi (thermal burn) Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek- objek panas lainnya. Beberapa hal yang dapat menyebabkan thermal burn antara lain: Benda panas: padat, cair, uap Api

description

tinjauan

Transcript of tipus

A. Pendahuluan

Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang

disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan

radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas

tinggi. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi.1 Di Indonesia, luka

bakar masih merupakan problem yang berat. Perawatan dan rehabilitasinya masih sukar

dan memerlukan ketekunan, biaya mahal, tenaga terlatih dan terampil. Oleh karena itu,

penanganan luka bakar lebih tepat dikelola oleh suatu tim trauma yang terdiri dari

spesialis bedah (bedah anak, bedah plastik, bedah thoraks, bedah umum), intensifis,

spesialis penyakit dalam, ahli gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan psikologi.

B. Definisi dan Etiologi

Beberapa penyebab luka bakar menurut Syamsuhidayat (2007) adalah sebagai

berikut:

a. Luka bakar suhu tinggi (thermal burn)

Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api

ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak

dengan objek-objek panas lainnya. Beberapa hal yang dapat menyebabkan thermal

burn antara lain:

Benda panas: padat, cair, uap

Api

Sengatan matahari/ sinar panas

b. Luka bakar bahan kimia (chemical burn)

Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau basa kuat yang biasa

digunakan dalam industri, militer, laboratorium, danbahan pembersih yang sering

digunakan untuk keperluan rumah tangga.

c. Luka bakar sengatan listrik (electrical burn)

Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api dan ledakan.

Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling

rendah, dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada pembuluh darah,

khususnya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal.

Seringkali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber

arus maupun ground.

d. Luka bakar radiasi (radiation injury)

Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe

injury ini sering disebabkan oleh penggunaan bahan radioaktif untuk keperluan

terapeutik dalam dunia kedokteran dan dalam bidang industri. Terpapar sinar

matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

C. Karakteristik Listrik

Karakteristik listrik serta sifat berbagai jaringan menentukan derajat kerusakan

dan memberikan prediksi mengenai kemungkinan morbiditas yang bahkan mortalitas.

Beberapa karakteristik listrik yang perlu diketahui antara lain adalah tegangan (voltage),

arus listrik, resistensi dan konduksi

1. Tegangan

Tegangan adalah gaya elektromotif atau perbedaan potensial listrik. Semakin

besar tegangan listrik yang dialirkan ke jaringan yang memiliki resistensi relatif tetap,

semakin besar arus yang dialirkan.

2. Arus Listrik

Arus listrik (electric current) adalah aliran litrik yang dibagi menjadi dua yaitu

arus bolak balik (alternating current, AC) dan satu arah (direct current, DC).

Arus DC tegangan tinggi menimbulkan spasme muscular, menyebabkan

korban terpental menjauhi sumber arus. Hal ini mengakibatkan waktu paparan dengan

arus relatif singkat, namun diikuti kemungkinan timbulnya trauma tumpul.

Sedangkan, arus AC lebih berbahaya, karena menyebabkan kontraksi muskular

kontinu, tetani, dan timbul bila serat-serat otot mendapat stimulasi 40-110 kali per

detik.

Biasanya semakin tinggi tegangan dan kekuatannya, maka semakin besar

kerusakan yang ditimbulkan oleh kedua jenis arus listrik tersebut. Kekuatan arus

listrik diukur dalam ampere. 1 miliampere (mA) sama dengan 1/1,000 ampere. Pada

arus serendah 60-100 mA dengan tegangan rendah (110-220 volt), AC 60 hertz yang

mengalir melalui dada dalam waktu sepersekian detik bisa menyebabkan irama

jantung yang tidak beraturan, yang bisa berakibat fatal. Arus bolak-balik lebih dapat

menyebabkan aritmia jantung dibanding arus searah. Arus dari AC pada 100 mA

dalam seperlima detik dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel dan henti jantung.

Efek yang sama ditimbulkan oleh DC sebesar 300-500 mA.

Jika arus langsung mengalir ke jantung, misalnya melalui sebuah pacemaker, maka

bisa terjadi gangguan irama jantung meskipun arus listriknya jauh lebih rendah

(kurang dari 1 mA).

3. Resistensi dan Konduksi.

Resistensi adalah tahanan jaringan atau oposisi terhadap aliran listrik,

sedangkan konduksi adalah kapasitas jaringan menyampaikan (mengalirkan arus

listrik). Tahanan yang terbesar terdapat pada kulit tubuh, akan menurun besarnya pada

tulang, lemak, urat saraf, otot, darah dan cairan tubuh. Tahanan kulit rata-rata 500-

10.000 ohm. Di dalam lapisan kulit itu sendiri bervariasi derajat resistensinya, hal ini

bergantung pada ketebalan kulit dan jumlah relatif dari folikel rambut, kelenjar

keringat dan lemak. Kulit yang berkeringat lebih jelek daripada kulit yang kering.

Menurut hitungan Cardieu, bahwa berkeringat dapat menurunkan tahanan sebesar <

1,000 ohm.

Arus listrik banyak yang melewati kulit, karena itu energinya banyak yang

dilepaskan di permukaan. Jika resistensi kulit tinggi, maka permukaan luka bakar

yang luas dapat terjadi pada titik masuk dan keluarnya arus, disertai dengan

hangusnya jaringan diantara titik masuk dan titik keluarnya arus listrik. Tergantung

kepada resistensinya, jaringan dalam juga bisa mengalami luka bakar.

Tahanan tubuh terhadap aliran listrik juga akan menurun pada keadaan demam

atau adanya pengaruh obat-obatan yang mengakibatkan produksi keringat meningkat.

Pertimbangkan tentang ”transitional resistance”, yaitu suatu tahanan yang menyertai

akibat adanya bahan-bahan yang berada di antara konduktor dengan tubuh atau antara

tubuh dengan bumi, misalnya baju, sarung tangan karet, sepatu karet, dan lain-lain.

D. Klasifikasi Luka Bakar

1. Berdasarkan Kedalaman

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu tinggi,

adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung menjilat

tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling

aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti nilon dan

dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu tinggi, lalu menjadi

lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.

Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka

bakar derajat I, II, atau III:

Derajat I

Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak jaringan

untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya sembuh dalam

5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya tampak sebagai

eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh

luka bakar derajat I adalah sunburn.

Derajat II

Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih terdapat

epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi. Terdapat bullae,

nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi, dibedakan atas 2 (dua) bagian:

a. Derajat II dangkal/superficial (IIA)

Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari

corium/dermis.Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea

masih banyak.Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi

secara spontandalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatrik.

b. Derajat II dalam/deep (IIB)

Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa jaringan

epitel tinggal sedikit. Organ-organ kulit seperti folikel rambut,

kelenjarkeringat, kelenjar sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih

lama dandisertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu

lebih darisatu bulan.

Dengan adanya jaringan yang masih sehat, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu.

Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari

pembuluh darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa

nyeri.Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik, dapat

timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga cedera

berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

Derajat III

Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam

sampaimencapai jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami

kerusakan,tidak ada lagi sisa elemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang

terbakarberwarna abu-abu dan lebih pucat sampai berwarna hitam kering.

Terjadikoagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai esker.

Tidakdijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung-ujung sensorik

rusak.Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.

Tabel 1. Kategori derajat luka bakar

2. Luas Luka Bakar

Wallace membagi tubuh atas bagian – nagian 9 % atau kelipatan dari 9 terkenal

dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace.

Kepala dan leher - 9 %

Lengan - 18 %

Badan Depan - 18 %

Badan Belakang - 18 %

Tungkai - 36 %

Genitalia/perineum - 1 %

Total - 100 %

Gambar 7. Rules of nine

Dalam perhitungan agar lebih mempermudah dapat dipakai luas telapak tangan penderita

adalah 1 % dari luas permukaan tubuhnya. Pada anak –anak dipakai modifikasi Rule of Nine

menurut Lund and Brower, yaitu ditekankan pada umur 15 tahun, 5 tahun dan 1 tahun.

Gambar 8. Rules of nine sesuai umur

3. Kriteria Berat-ringannya

Kriteria berat-ringannya suatu luka bakar menurut American Burn Association adalah

a) Luka bakar ringan.

- Luka bakar derajat II <15 %

- Luka bakar derajat II < 10 % pada anak – anak

- Luka bakar derajat III < 2 %

b) Luka bakar sedang

- Luka bakar derajat II 15-25 % pada orang dewasa

- Luka bakar II 10 – 20 5 pada anak – anak

- Luka bakar derajat III < 10 %

c) Luka bakar berat

- Luka bakar derajat II 25 % atau lebih pada orang dewasa

- Luka bakar derajat II 20 % atau lebih pada anak – anak.

- Luka bakar derajat III 10 % atau lebih

- Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan genitalia/perineum.

- Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.

E. Patofisiologi

Pada luka bakar terjadi perubahan lokal berupa nekrosis koagulatif pada

epidermis, dermis dan jaringan di bawahnya, dengan kedalaman tergantung pada

temperatur bahan dan durasi pajanan.

Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan bahan penyebab dan kedalaman luka.

Bahan yang dapat menyebabkan luka bakar adalah api, sclad (cairan panas), kontak

dengan bahan padat yang panas, bahan kimia, dan listrik. Sedangkan kedalaman luka

dapat dibagi menjadi :

1. Derajat 1 : luka terbatas pada epidermis (eritema)

2. Derajat 2 superfisial : luka pada epidermis hingga dermis superfisial atau papila

dermis (bullae)

3. Derajat 2 dalam : luka pada epidermis hingga dermis dalam atau reticular

dermis (bullae)

4. Derajat 3 : luka mencapai seluruh dermis dan jaringan subkutan di

bawahnya. (warna kulit putih hingga coklat kehitaman, tanpa bullae)

Gambar 9. Penampang kedalaman luka bakar4

Pada luka yang melibatkan sebagian tebal lapisan kulit (derajat 1 dan 2) disertai

rasa nyeri, sedangkan derajat 3 biasanya rasa nyeri minimal atau tidak ada. Berdasarkan

gambaran histologis, pada luka bakar terdapat tiga zona yaitu zona koagulasi, zona stasis,

dan zona hiperemia. Pada zona koagulasi terjadi nekrosis jaringan dan kerusakan yang

ireversibel. Zona stasis berada di sekitar zona koagulasi, dimana terjadi penurunan perfusi

jaringan dengan kerusakan dan kebocoran vaskuler. Pada zona hiperemia terjadi

vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable dan proses penyembuhan berawal

dari zona ini.

Gambar 10. Zona luka bakar Jackson dan efeknya terhadap resusitasi adekuat dan inadekuat5

Inti dari permasalahan luka bakar adalah kerusakan endotel dan epitel akibat

cedera termis yang melepaskan mediator-mediator proinflamasi dan berkembang

menjadi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), kondisi ini hampir selalu

berlanjut dengan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS). MODS terjadi

karena gangguan perfusi jaringan yang berkepanjangan akibat gangguan sirkulasi mikro.

Berdasarkan konsep SIRS, paradigma penatalaksanaan luka bakar fase akut berubah,

semula berorientasi pada gangguan sirkulasi makro menjadi berubah orientasi pada proses

perbaikan perfusi (srkulasi mikro) sebagai end-point dari prosedur resusitasi.

Pelepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka bakar

memiliki efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh. Perubahan-

perubahan yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut anatara lain berupa

1. Gangguan kardiovaskular, berupa peningkatan permeabilitas vaskular yang

menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskular ke interstitial. Terjadi

vasokonstriksi di pembuluh darah sphlancnic dan perifer. Kontraktilitas miokardium

menurun, kemungkinan disebabkan adanya TNF. Perubahan ini disertai dengan

kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan hipotensi sistemik dan hipoperfusi

organ.

2. Gangguan sistem respirasi, mediator inflamasi menyebabkan bronkokonstriksi, dan

pada luka bakar yang berat dapat timbul respiratory distress syndrome.

3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga 3 kali lipat. Hal

ini, disertai dengan adanya hipoperfusi sphlancnic menyebabkan dibutuhkannya

pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan katabolisme dan

mempertahankan integritas saluran pencernaan.

4. Gangguan imunologis, terdapat penuruanan sistem imun yang mempengaruhi sistem

imun humoral dan seluler.

Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi dibagi menjadi:

1. Fase akut : deteriorasi airway, breathing, circulation, berlangsung selama 0 - 48

jam (72 jam).

2. Fase subakut : SIRS dan MODS, berlangsung sampai 21 hari.

3. Fase lanjut : jaringan parut (hipertrofik, keloid, kontraktur), berlangsung sampai

8-12 bulan.

Masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama berkaitan dengan

gangguan jalan napas (cedera inhalasi), gengguan mekanisme bernapas dan gangguan

sirkulasi. Ketiga hal tersebut menyebabkan gangguan perfusi jaringan yang dapat

menyebabkan kematian.

Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran napas akibat kontak dengan

sumber termis, toxic fumes, dan zat toksik lainnya. Dugaan kuat mengenai adanya cedera

inhalasi bila dijumpai riwayat luka bakar yang disebabkan api, terperangkap di ruang

tertutup, luka bakar pada wajah dan leher, bulu hidung terbakar, sputum dan air liur

mengandung karbon. Kerusakan mukosa dapat pula disebabkan oleh minyak panas, air

panas, bahan kimia yang mengenai muka, leher, dada bagian atas. Pada cedera inhalasi

terjadi edema mukosa dari orofaring dan laring hingga membran alveoli. Hal ini dapat

menyebabkan obstruksi yang ditandai dengan stridor, suara serak, sulit bernapas, gelisah.

Bronkospasme dapat terjadi bila reaksi inflamasi melibatkan otot polos bronkus.

Tabel 2. Tanda dan Gejala cedera inhalasi

Gangguan mekanisme bernapas pada luka bakar dapat terjadi pada pasien dengan

eskar melingkar di dada yang menyebabkan gangguan proses ekspansi rongga toraks

sehingga compliance paru berkurang.

Gangguan sirkulasi pada luka bakar terjadi melalui mekanisme perubahan

integritas membran mikrovaskuler, perubahan hukum Starling, gangguan perfusi (syok

seluler), dan evaporative heat loss. Setelah cedera termis, terjadi pelepasan histamin

diikuti pelepasan histmain dan aktivasi komplemen yang menyebabkan perlekatan

leukosit PMN dengan endotel. Endotel inflamatif akan melepaskan radikal bebas yang

diikuti oleh peroksidasi lipid yang mengaktivasi asam arakidonat. Hal ini menyebabkan

aktivasi kaskade koagulasi dan pelepasan sitokin (IL1, IL6, TNFa). Proses inflamasi

mengakibatkan perubahan morfologi endotel dan peningkatan permeabilitas kapiler.

Peningkatan permeabilitas kapiler ini mengakibatkan perpindahan cairan dari

intravaskuler ke ruang interstisium. Selain itu mediator inflamasi memacu sel-sel epitel

mukosa mengalami proses inflamasi akut terutama mengakibatkan sel epitel nekrosis.

Pada mukosa alveoli penumpukan fibrin membentuk membran hialin yang menyebabkan

gangguan difusi dan perfusi oksigen (acute respiratory distress syndrom). ARDS ini

umumnya muncul 4-5 hari pasca cedera luka bakar.

F. Gejala dan Tanda Klinis

Menurut Henderson, gejala klinis yang utama pada luka bakar yaitu lepuh yang

merupakan tanda khas luka bakar superfisial. Cairan dihasilkan dari jaringan cedera yang

lebih dalam sehingga permukaan superfisial yang terbakar (mati) akan terangkat. Lepuh

atau bullae pada luka bakar sering pecah dan meninggalkan suatu permukaan merah kasar

yang mengeluarkan cairan serous dan dapat berdarah. Luka bakar yang superfisial terasa

nyeri karena ujung saraf terpapar dan mengalami inflamasi.

Luka bakar yang dalam, gejala klinisnya yaitu, kulit mungkin terlihat normal.

Akan tetapi, tampak mengkilap sehingga pembuluh-pembuluh darahnya mudah dilihat,

tetapi darah dalam pembuluh darah tersebut tidak dapat keluar karena sudah mengalami

koagulasi sehingga saat ditusuk tidak akan mengeluarkan darah. Selain itu, kulit amat

kaku ketika disentuh, serta tidak dapat merasakan nyeri, karena sebagian besar ujung

saraf sudah mati. Pada kondisi yang lebih berat, dapat terjadi pengarangan dan

karbonisasi (hitam).

Gejala-gejala klinis lain selain diatas, yaitu adanya tanda-tanda distress

pernapasan seperti suara serak, ngiler, tanda-tanda cedera inhalasi seperti pernapasan

cepat dan sulit, krakles, stridor, serta batuk pendek.

G. Pengaruh Listrik Terhadap Tubuh

Berdasarkan aspek resistensi dan konduksi ini, dibedakan menjadi dua jenis arus,

yaitu arus langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) yang membedakan dua jenis luka

bakar listrik

1. Arus Langsung (Direk)

Terjadi saat seseorang menyentuh sebuah konduktor yang terhubung dengan arus

listrik. Dampak jaringan listrik diuraikan berikut ini :

a) Kulit

Kulit adalah jaringan yang merupakan resistor (namun tidak sebaik tulang),

bukan konduktor yang baik (tidak sebaik saraf, pembuluh darah, dan otot). Oleh

karena itu, sebagian besar energi listrik diserap oleh kulit terutama di daerah yang

memiliki lapisan keratin tebal (telapak tangan, telapak kaki) dan diubah menjadi

energi panas menimbulkan luka bakar (efek termal).

Dalam keadaan basah, kulit menjadi konduktor yang baik, sehingga tidak ada

energi yang diserap, namun langsung diteruskan ke jaringan dibawahnya. Kondisi

ini menyebabkan electric shock (lectrocotion) pada jaringan yang letaknya lebih

dalam disertai gangguan jantung (aritmia ventricular, cardiac arrest) tanpa luka

bakar sama sekali di permukaan (misal pada bathtub injury).

b) Saraf

Saraf merupakan jaringan tubuh yang didesain untuk menghantarkan aliran

listrik. Jaringan saraf dapat mengalami kerusakan pada sistem konduktivitasnya

karena mengalami nekrosis koagulasi.

c) Sistem otot dan pembuluh darah

Sistem otot dan pembuluh darah mengandung air dan kadar elektrolit dengan

konsentarsi tinggi sehingga berperan baik sebagai konduktor.Otot menghantarkan

arus listrik jauh lebih banyak, sekaligus memanaskan jaringan sekitarnya.

Kerusakan otot periosteal dapat terjadi meski otot yang terletak superficial terlihat

normal.

Pembuluh darah mengalami kerusakan paling berat, disebabkan difusi panas

melalui tunika intima. Kerusakan pada pembuluh darah berupa erosi endotel

(diikuti gangguan integritas endotel), adhesi leukosit-trombosit dan terbentuknya

trombus-trombus, trombosis menyebabkan terganggunya aliran sirkulasi.

d) Tulang, lemak, dan tendon

Tulang, lemak dan tendon merupakan resistor yang baik sehingga tidak

menghantarkan listrik namun lebih menimbulkan panas dan mengalami koagulasi.

2. Arus Tidak Langsung (indirek)

a) Arc (percikan listrik)

b) Flash

c) Step voltage

Sebab kematian karena arus listrik yaitu :

a) Fibrilasi ventrikel

Bergantung pada ukuran badan dan jantung. Dalziel (1961) memperkirakan pada

manusia, arus yang mengalir sedikitnya 70 mA dalam waktu 5 detik dari lengan

ke tungkai akan menyebabkan fibrilasi. Hal yang paling berbahaya adalah jika

arus listrik masuk ke tubuh melalui tangan kiri dan keluar melalui kaki yang

berlawanan/kanan. Jika arus listrik masuk ke tubuh melalui tangan yang satu dan

keluar melalui tangan yang lain maka 60% yang meninggal dunia.

b) Paralisis respiratorik

Paralisis respiratorik timbul akibat spasme dari otot-otot pernafasan sehingga

korban dapat meninggal karena asfiksia. Jantung mungkin masih berdenyut

sampai timbul kematian. Hal ini terjadi bila arus listrik yang memasuki tubuh

korban di atas nilai ambang yang membahayakan, tetapi masih di batas bawah

yang dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. Menurut Koeppen, spasme otot-otot

pernafasan terjadi pada arus 25-80 mA, sedangkan ventrikel fibrilasi terjadi pada

arus 70-100 mA.

c) Paralisis pusat nafas

Jika arus listrik masuk melalui pusat di batang otak, dapat menyebabkan trauma

pada pusat-pusat vital di otak sehingga dapat terjadi koagulasi dan

mengakibatkan efek hipertermia. Bila aliran listrik diputus, paralisis pusat

pernafasan tetap terjadi, tetapi jantung masih berdenyut, oleh karena itu dengan

bantuan pernafasan buatan korban masih dapat ditolong. Hal tersebut bisa terjadi

jika arus listrik melalui jalur kepala.

d) Luka bakar

Paparan arus yang dihasilkan oleh sumber tegangan rendah (termasuk sumber

listrik rumah tangga) dapat menyebabkan luka bakar di jaringan kutaneus yang

disebabkan transformasi energi listrik menjadi energi termal. Luka bakar dapat

berupa eritema lokal hingga luka bakar derajat berat. Tingkat keparahan luka

bakar tergantung pada intensitas arus, permukaan daerah, dan durasi paparan.

H. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan pada pasien luka bakar adalah anamnesis singkat

dikarenakan luka bakar merupakan bagian dari kegawat daruratan biasanya anamnesis

dilakuakan secara auto dan alloanamnesis. Anamnesis yang sering ditanyakan adalah,

berat badan pasien, umur, sudah berapa lama setelah terapar ledakan, terkena ledakan

apa, seberapa besar ledakan, penanganan apa yang sudah dilakukan dan lain lain

seperti keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu riwayat

penyakit keluarga, riwayat pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kejiwaan, gaya hidup

menyusul.

2. Pemeriksaan Fisik

a) Primary survey

A (Airway) – Jalan nafas

Edema mukosa dapat terjadi pada pasien luka bakar atau trauma inhalasi,

obstruksi pada saluran napas atas (pharynx/larynx) dapat berkembang dengan

cepat terutama pada anak. Trauma inhalasi harus dicurigai pada siapa pun dengan

luka bakar dan diasumsikan sampai terbukti sebaliknya, pada siapa pun yang

terbakar dalam ruang tertutup. Inspeksi dari mulut dan pharynx harus dilakukan

lebih awal, dan intubasi endotracheal dilakukan jika perlu. Suara serak dan bunyi

wheezing pada ekspirasi adalah tanda-tanda edema saluran napas yang serius atau

trauma inhalasi. Produksi lendir berlebihan dan dahak karbon yaitu dahak

bercampur flek hitam juga tanda-tanda positif trauma inhalasi. Tingkat

karboksihemoglobin harus didapatkan dan peningkatan tingkat gejala atau

keracunan karbon monoksida (CO) adalah berdasarkan kemungkinan trauma

inhalasi. Penurunan rasio dari tekanan oksigen arteri (PaO2) dan persentase

oksigen terinspirasi (FiO2), adalah salah satu indikator yang paling awal pasien

telah menghirup asap. Bila pasien positif trauma inhalasi sebaiknya pasien dirujuk

ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas pusat luka bakar (burn centre) dengan

dilakukan intubasi terlebih dahulu untuk memastikan jalan nafas tetap terbuka.

B (Breathing) – Kemampuan bernafas

Jika jalan napas baik dan pasien dapat bernapas, pemberian oksigen dengan

sungkup atau nasal kanul mungkin dapat mencukupi. Tetapi jika pasien tidak

dapat bernapas akibat obstruksi jalan napas atas atau akibat penurunan kesadaran,

dapat diberikan intubasi endotrakeal. Trakeostomi emergensi harus dihindari

kecuali jika hal itu benar-benar dibutuhkan. Jika curiga terdapat trauma pada

vertebra servikalis, manipulasi jalan napas harus dilakukan dengan tetap

meimobilisasi leher dan kepala pada axis tubuh sampai vertebra servikal

terevaluasi sepenuhnya.

C (Circulation)

Sirkulasi perifer yang adekuat harus ditemukan dengan cepat setelah terjadinya

luka bakar dengan meraba pulsasi di perifer.Semua pakaian pasien harus

dilepaskan. Cincin, jam dan perhiasan harus dilepaskan pada anggota tubuh yang

mengalami cedera, konstriksi pada bagian yang bengkak akibat jeratan perhiasan

dapat mengakibatkan iskemia di bagian distal. Pada luka bakar, permeabilitas

pembuluh darah meningkat, sehingga terjadi perpindahan cairan dari pembuluh

darah ke jaringan intersitial, akibatnya dapat menimbulkan syok hipovolemik.

Semakin luas area luka bakar, semakin berat syok hipovolemik yang

terjadi.Resusitasi cairan harus diberikan secepatnya.

D (Disability/Drugs)

Apakah ada gangguan ekstremitas atau gerakan lain, dan apakah ada penggunaan

obat-obatan.

E (Exposure)

Bagaimana tampak keseluruhan dari unjung rambut sampai ujung kaki.

b) Secondary survey

Kepala : apakah ada deformitas

Wajah : adakah luka bakar di wajah bagian depan dan kiri dan kanan

Rambut : adakah terbakar

Mata : apakah ada bagian mata yang mengalami gangguan atau cacat

THT : apakah ada jelaga dan ada kelainan pendengaran atau mengeluarkan

darah

Paru : simetris, fremitus, vesikuler , rhonki, wheezing

Jantung : BJ I-II, murmur, gallop

Abdomen : apakah distended, lemas, bagaimana bunyi usus

Ekstremitas : akral hangat atau dingin , apakah ada edema.

c) Status Lokalis

Status lokalis akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan derajat luka bakar.

3. Pemeriksaan Penunjang

a) Hitung darah lengkap : peningkatan Hct awal menunjukkan hemokonsentrasi

sehubungan dengan perpindahan/kehilangan cairan.

b) Elektrolit serum : kalium meningkat karena cedera jaringan /kerusakan SDM dan

penurunan fungsi ginjal. Natrium awalnya menurun pada kehilangan air.

c) Alkalin fosfat : peningkatan sehubungan dengan perpindahan cairan

interstitiil/ganguan pompa natrium.

d) Urine : adanya albumin, Hb, dan mioglobulin menunjukkan kerusakan jaringan

dalam dan kehilangan protein.

e) Foto rontgen dada : untuk memastikan cedera inhalasi

f) Scan paru : untuk menentukan luasnya cedera inhalasi

g) EKG untuk mengetahui adanya iskemik miokard/disritmia pada luka bakar listrik.

h) BUN dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.

i) Kadar karbon monoksida serum meningkat pada cedera inhalasi.

j) Bronkoskopi membantu memastikan cedera inhalasi asap.

k) Albumin serum dapat menurun karena kehilangan protein pada edema cairan.

l) Fotografi luka bakar : memberikan catatan untuk penyembuhan luka bakar

selanjutnya.

4. Diagnosis

Diagnosis dari luka bakar dapat diambil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Selain itu diagnosis pembagian derajat juga diperlukan agar

penanganannya tepat dan cepat. Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar

tergantung pada derajat panas sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh

penderita.

I. Penatalaksanaan

1. Prehospital

Hal pertama yang harus dilakukan jika menemuikan pasien luka bakar di

tempat kejadian adalah menghentikan proses kebakaran. Maksudnya adalah

membebaskan pasien dari pajanan atau sumber dengan memperhatikan keselamatan

diri sendiri. Kemudian lepaskan semua bahan yang dapat menahan panas (pakaian,

perhiasan, logam), hal ini untuk mencegah luka yang semakin dalam karena tubuh

masih terpajan dengan sumber. Bahan yang meleleh dan menempel pada kulit tidak

boleh dilepaskan. Air suhu kamar dapat disiramkan ke atas luka dalam waktu 15 menit

sejak kejadian, namun air dingin tidak boleh diberikan untuk mencegah terjadinya

hipotermia dan vasokonstriksi.

2. Resusitasi jalan napas

Resusitasi jalan napas bertujuan untuk mengupayakan suplai oksigen yang

adekuat. Pada luka bakar dengan kecurigaan cedera inhalasi, tindakan intubasi

dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi obstruksi. Sebelum

dilakukan intubasi, oksigen 100% diberikan menggunakan face mask. Intubasi

bertujuan untuk mempertahankan patensi jalan napas, fasilitas pemeliharaan jalan

napas (penghisapan sekret) dan bronchoalveolar lavage. Krikotiroidotomi masih

menjadi diperdebatkan karena dianggap terlalu agresif dan morbiditasnya lebih besar

dibandingkan intubasi. Krikotiroidotomi dilakukan pada kasus yang diperkirakan

akan lama menggunakan endotracheal tube (ETT) yaitu lebih dari 2 minggu pada

luka bakar luas yang disertai cedera inhalasi.

Kemudian dilakukan pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui pipa endotrakeal.

Terapi inhalasi mengupayakan suasana udara yang lebih baik di saluran napas dengan

cara uap air menurunkan suhu yang menigkat pada proses inflamasi dan mencairkan

sekret yang kental sehingga lebih mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi dengan Ringer

Laktat hasilnya lebih baik dibandingkan NaCl 0,9%. Dapat juga diberikan

bronkodilator bila terjadi bronkokonstriksi seperti pada cedera inhalasi yang

disebabkan oleh bahan kimiawi dan listrik. Pada cedera inhalasi perlu dilakukan

pemantauan gejala dan tanda distres pernapasan. Gejala dan tanda berupa sesak,

gelisah, takipnea, pernapasan dangkal, bekerjanya otot-otot bantu pernapasan, dan

stridor. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan adalah analisa gas darah serial

dan foto toraks.

3. Resusitasi cairan

Syok pada luka bakar umum terjadi dan merupakan faktor utama

berkembangnya SIRS dan MODS. Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar

adalah:

Preservasi perfusi yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh vaskuler

regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan

Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan

Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival

seluruh sel

Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi

pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.

a) Dasar pemilihan jenis cairan

Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid (isotonik), cairan

hipertonik dan koloid. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan

cairan adalah efek hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan

permeabilitas kapiler, oxygen carrier, pH buffering, efek hemostasis, modulasi

respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi, praktis dan efisiensi. Jenis cairan

terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi klinis masih menjadi perdebatan

terus diteliti. Sebagian orang berpendapat kristaloid adalah cairan yang paling

aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi klinis tertentu.

Sebagian berpendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini

dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang memiliki kelebihan

dan kekurangan, sehingga sulit untuk mengambil keputusan untuk diterapkan

secara umum sebagai protokol. Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan cairan

di kompartemen interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam

pertama resusitasi dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.

b) Penentuan jumlah cairan

Untuk melakukan resusitasi dengan cairan kristaloid dibutuhkan tiga sampai

empat kali jumlah defisit intravaskuler. 1L cairan kristaloid akan meningkatkan

volume intravaskuler 300ml. Kristaloid hanya sedikit meningkatkan cardiac

output dan memperbaiki transpor oksigen.

c) Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama

Resusitasi syok menggunakan Ringer laktat atau Ringer asetat, menggunakan

beberapa jalur intravena. Pemberian cairan pada syok atau kasus luka bakar >25-

30% atau dijumpai keterlambatan >2jam. Dalam <4 jam pertama diberikan cairan

kristaloid sebanyak 3[25%(70%x BBkg)] ml. 70% adalah volume total cairan

tubuh, sedangkan 25% dari jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat

menimbulkan gejala klinik sindrom syok.

Pada resusitasi cairan tanpa adanya syok atau kasus luka bakar luas <25-30%,

tanpa atau dijumpai keterlambatan <2jam. Kebutuhan dihitung berdasarkan

rumus Baxter: 3-4 ml/kgBB/ % luas LB.3 Metode Parkland merupakan metode

resusitasi yang paling umum digunakan pada kasus luka bakar, menggunakan

cairan kristaloid. Metode ini mengacu pada waktu iskemik sel tubulus ginjal <

8 jam sehingga lebih tepat diterapkan pada kasus luka bakar yang tidak terlalu

luas dan tanpa keterlambatan. Pemberian cairan menurut formula Parkland

adalah sebagai berikut:

Pada 24 jam pertama : separuh jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama,

sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada bayi, anak, dan orang tua,

kebutuhan cairan adalah 4 ml. Bila dijumpai cedera inhalasi maka kebutuhan

cairan 4ml ditambah 1% dari kebutuhan. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan

cairan ditambah 1% dari kebutuhan.

Penggunaan zat vasoaktif (Dopamin atau Dobutamin) dengan dosis 3

mg/kgBB dengan titrasi atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5%, jumlah

teteasan dibagi rata dalam 24 jam.

Pemantauan untuk menilai sirkulasi sentral melalui tekanan vena sentral

(minimal 6-12cmH2O) dan sirkulasi perifer (sirkulasi renal). Jumlah produksi

urin melalui kateter, saat resusitasi (0,5-1ml/kgBB/jam) dan hari1-2 (1-2

ml/kgBB/jam). Jika produksi urin <0,5ml/kgBB/jam maka jumlah cairan

ditingkatkan 50% dari jam sebelumnya. Jika produksi urin >1ml/kgBB/jam

maka jumlah cairan dikurangi 25% dari jam sebelumnya.

Pemeriksaan fungsi renal (ureum, kreatinin) dan urinalisis (berat jenis dan

sedimen)

Pemantauan sirkulasi splangnikus dengan menilai kualitas dan kuantitas cairan

lembung melalui pipa nasogastrik. Jika <200ml tidak ada gangguan pasase

lambung, 200-400ml ada gangguan ringan, >400ml gangguan berat.

d) Penatalaksanaan 24 jam kedua

Pemberian cairan yang mengandung glukosa dan dibagi rata dalam 24 jam.

Jenis cairan yang dapat diberikan adalah Glukosa 5% atau 10% 1500-2000ml.

Batasi Ringer laktat karena dapat memperberat edema interstisial.

Pemantauan sirkulasi dengan menilai tekanan vena pusat dan jumlah produksi

urin (1-2ml.kgBB/jam). Jika jumlah cairan sudah mencukupi namun produksi

urin <1-2ml/kgBB/jam, berikan vasoaktif sampai 5mg/kgBB.

Pemantauan analisa gas darah, elektrolit.

e) Penatalaksanaan setelah 48 jam

Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance

Pemantauan sirkulasi dengan menilai produksi urin (3-4ml/kgBB/jam),

hemoglobin dan hematokrit

4. Perawatan luka

Perawatan luka dilakukan setelah tindakan resusitasi jalan napas, mekanisme

bernapas dan resusitasi cairan dilakuakan. Tindakan meliputi debridement, nekrotomi

dan pencucian luka. Tujuan perawatan luka adalah mencegah degradasi luka dan

mengupayakan proses epitelisasi. Untuk bullae ukuran kecil tindakannya konservatif

sedangkan untuk ukuran besar (>5cm) dipecahkan tanpa membuang lapis epidermis di

atasnya. Untuk eskar yang melingkar dan mengganggu aliran atau perfusi dilakukan

eskarotomi. Pencucian luka dilakukan dengan memandikan pasien dengan air hangat

mengalir dan sabun mandi bayi. Lalu luka dibalut dengan kasa lembab steril dengan

atau tanpa krim pelembab. Perawatan luka tertutup dengan oclusive dressing untuk

mencegah penguapan berlebihan. Penggunaan tulle berfungsi sebagai penutup luka

yang memfasilitasi drainage dan epitelisasi. Sedangkan krim antibiotik diperlukan

untuk mengatasi infeksi pada luka.

5. Penggunaan antibiotik

Pemberian antibiotik pada kasus luka bakar bertujuan sebagai profilaksis

infeksi dan mengatasi infeksi yang sudah terjadi. Penggunaan antibiotik sebagai

profilaksis masih merupakan suatu kontroversi.4Dalam 3-5 hari pertama populasi

kuman yang sering dijumpai adalah bakteri Gram positif non-patogen. Sedangkan hari

5-10 adalah bakteri Gram negatif patogen. Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka

masih dalam keadaan steril sehingga tidak diperlukan antibiotik. Beberapa antibiotik

topikal yang dapat digunakan adalah silver sulfadiazin, povidone-iodine 10%,

gentamicin sulfate, mupirocin, dan bacitracin/polymixin.

Tabel 3. Agen penyebab infeksi pada luka bakar.

6. Tatalaksana Nutrisi

Pemberian nutrisi enteral dini melalui pipa nasogastrik dalam 24 jam pertama

pascacedera bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi mukosa usus. Pemberian

nutrisi enteral dilakukan dengan aman bila Gastric residual volume (GRV)

<150ml/jam, yang menandakan pasase saluran cerna baik.

Penentuan kebutuhan energi basal (Harris-Benedict):

Tabel 4. Penghitungan kalori dengan rumus Harris Benedict

Laki-laki : 66,5 + 13,7 BB + 5TB – 6,8 U

Perempuan : 65,5 + 9,6 BB + 1,8 TB – 4,7 U

Kebutuhan energi total = KEB x AF x FS

Keterangan:

AF: aktivitas fisik (peningkatan persentase terhadap keluaran

energi, tirah baring/duduk 20%, aktivitas ringan 30%, sedang

40-50%, berat 75%)

FS: faktor stress besarnya sesuai dengan luas luka bakar

Penentuan kebutuhan nutrien:

Protein : 1,5-2,15 g/kgBB/hari

Lemak : 6-8 g/kgBB/hari

Karbohidrat: 7-8 g/kgBB/hari.

Namun ada metode penghitungan kebutuhan kalori yang lebih mudah dengan

menggunakan quick methode yaitu 25-30 kkal /kgBB/ hari. Metode ini lebih mudah

dan praktis serta menghindari jumlah kalori yang berlebihan jika menggunakan rumus

Harris-Benedict.

7. Eksisi dan grafting

Luka bakar derajat dua dalam dan tiga tidak dapat mengalami penyembuhan

spontan tanpa autografting. Jika dibiarkan, jaringan yang sudah mati ini akan menjadi

fokus inflamasi dan infeksi. Eksisi dini dan grafting saat ini dilakukan oleh sebagian

besar ahli bedah karena memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan debridement

serial. Setelah dilakukan eksisi, luka harus ditutup, idealnya luka ditutup dengan kulit

pasien sendiri. Pada luka bakar seluas 20-30%, biasanya dapat dilakukan dalam satu

kali operasi dengan penutupan oleh autograft split-thickness yang diambil dari bagian

tubuh pasien. Sebagian besar ahili bedah melakukan eksisi pada minggu pertama,

biasanya dalam satu kali operasi dapat dilakukan eksisi seluas 20%. Eksisi tidak boleh

melebihi kemampuan untuk menutup luka baik dengan autograft, biologic dressing

atau allograft.

J. Proses Penyembuhan Luka Bakar

Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu:

akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka

waktu 2–3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda- -

tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4-6 minggu.

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan

lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan

luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis,

misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah.

a) Fase Inflamatori

Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama

terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian

perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi

pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan

darah di daerah luka. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Scab

membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme.

Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai

barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme.

Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang

diperlukan pada proses penyembuhan.

Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel

berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini

ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah

cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses

yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF)

yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan

AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat

penting bagi proses penyembuhan.

Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel

berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini

ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah

cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses

yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF)

yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan

AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat

penting bagi proses penyembuhan.

b) Fase Proliferatif

Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke – 21. Jaringan

granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru,

fibronectin and hyularonic acid. Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang

berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan

mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari

setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan

permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan

permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan epitelisasi

tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan

nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.

c) Fase maturasi

Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus mensintesis

kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih kuat.

Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalka garis putih. Dalam

fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan

kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka.

Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan

kekuatan jaringan. Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan

sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular

dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan.

J. Komplikasi

Komplikasi pada luka bakar dibagi menjadi dua, yaitu komplikasi saat perawatan kritis atau

akut dan komplikasi yang berhubungan dengan eksisi dan grafting. Komplikasi yang dapat

terjadi pada masa akut adalah SIRS, sepsis dan MODS. Selain itu komplikasi pada

gastrointestinal juga dapat terjadi, yaitu atrofi mukosa, ulserasi dan perdarahan mukosa ,

motilitas usus menurun dan ileus. Pada ginjal dapat terjadi acute tubular necrosis karena

perfusi ke renal yang menurun. Skin graft loss merupakan komplikasi yang sering terjadi, hal

ini disebabkan oleh hematoma, infeksi dan robeknya graft. Pada fase lanjut suatu luka bakar,

dapat terjadi jaringan parut berupa jaringan parut hipertrofik, keloid dan kontraktur.

K. Prognosis

Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas permukaan badan yang

terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan kecepatan pengobatan

medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh 5-10 hari tanpa adanya jaringan parut. Luka

bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari dan mungkin menimbulkan luka parut. Luka

bakar mayor membutuhkan lebih dari 14 hari untuk sembuh dan akan membentuk jaringan

parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus,

pembedahan diperlukan untuk membuang jaringan parut.