Tinjauan Yuridis Pendirian Rumah Sakit

download Tinjauan Yuridis Pendirian Rumah Sakit

of 24

Transcript of Tinjauan Yuridis Pendirian Rumah Sakit

TINJAUAN YURIDIS PERIZINAN PENDIRIAN DAN OPERASIONAL RUMAH SAKIT DI KABUPATEN PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH NASKAH PUBLIKASI Untuk Berkala Penelitian Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Program Studi Magister Hukum Kesehatan

Diajukan Oleh Cecep Triwibowo 09/294038/PMU/06363

Kepada PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

TINJAUAN YI]RIDIS PERIZINAN PENI}IRIAI\ DAN OPERASIONAL RUMAH SAKIT DI KABUPATEN PURBALINGGA PROYINSI JAWA TENGAII

NASKAH PUBLIKASI Untuk BerkalaPenelitian Pascasarjana Universitas GadiahMadaPrograu Studi Magistcr Hukum Kesehatan

Dipersiapkan dan disusun oleh: CecepTriwibowo frgn94A38lPMU06363 Yoryakarta, September20lL Disetujui Pimbimbing Utama

All/ f/Yra^g tttf trrtfl

t-

I--/J

lF v/

Ilwi l{r1vrti, S}f.ntfH PembimbingPendamping

*--Wdr. SiswantoSastrowijofo,Sp. THT.,MH

PERITYATAAN Denganini kami selakupembimbingtesismahasiswa ProgramPascasarjana: Nama No. Mahasiswa ProgramStudi : CecepTriwibowo :09rl294038lPMlJlA6363 : MagisterHukum Kesehatan

Setujdtidak setuju*) naskah ringkasan penelitian (calon naskah berkala Penelitian Program Pascasarjan) yaftg disusun otetf yang bersaqgkutan dipublikasikan dengan/anpa*) mencantumkanftrma pembimbing sebagai coauthor.

Kemudianharap maklum.

Yogyakarta September l 20l

.M

PembimbingU1urma

Ihri Haryati, SH.nilffi

)* Coretyangtidak perlu

3

TINJAUAN YURIDIS PERIZINAN PENDIRIAN DAN OPERASIONAL RUMAH SAKIT DI KABUPATEN PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH Cecep Triwibowo1, Dwi Haryati2, Siswanto Sastrowijoto3 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengetahui pelaksanaan perizinan pendirian dan operasional rumah sakit di Kabupaten Purbalingga, dengan sub tujuan yaitu a) mengetahui proses perizinan pendirian dan operasional rumah sakit, b) mengetahui tingkat kepatuhan rumah sakit dalam pemenuhan persyaratan perizinan, c) mengetahui pengawasan dan pembinaan dalam pelaksanaan pendirian dan operasional rumah sakit. 2) Mengetahui kendala dalam pelaksanaan perizinan pendirian dan operasional rumah sakit di Kabupaten Purbalingga. 3) Mengetahui upaya yang dilakukan dalam menghadapi kendala pelaksanaan perizinan pendirian dan operasional rumah sakit di Kabupaten Purbalingga. Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris. Yuridis empiris dimaksudkan untuk meneliti efektivitas bekerjanya hukum didalam masyarakat. Penelitian dilakukan dengan menggunakan wawancara didukung dengan teori dan studi dokumen, kemudian dinarasikan dalam bentuk deskriptif. Hasil dari penelitian ini yaitu 1) Pelaksanaan proses perizinan di Kabupaten Purbalingga melibatkan dinas terkait yaitu Dinas Kesehatan, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, dan Kantor Lingkungan Hidup. Izin rumah sakit diterbitkan oleh Bupati atas rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten. 2) Kepatuhan rumah sakit dalam melaksanakan proses perizinan rumah sakit tergolong rendah. Persyaratan perizinan yang diamanatkan pada Permenkes No. 148 Tahun 2010 tentang Perizinan Rumah Sakit belum sepenuhnya dicapai oleh rumah sakit . 3) Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh rumah sakit seperti tidak memiliki izin dan sudah beroperasinal menunjukkan bahwa pengawasan tidak dilakukan dengan baik oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, Pemerintah Daerah tidak tegas dalam pemberian sanksi sesuai dengan kewenangannya. 4) Peraturan perundangan yang sering berganti dan koordinasi yang tidak baik antar dinas terkait menjadi kendala dalam pelaksanaan perizinan rumah sakit di Purbalingga. 5) Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam perizinan rumah sakit belum dilaksanakan secara optimal, karena hanya dilakukan dengan mengeluarkan peraturan internal dan sosialisasi. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu perizinan rumah sakit di Kabupaten Purbalingga belum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata Kunci : Rumah sakit, Perizinan, Peraturan1 2

Perumnas Blok E2 No. 94 Majenang Cilacap Jawa Tengah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito, Yogyakarta

4

JUDICIAL REVIEW OF ESTABLISHMENT AND HOSPITAL OPERATIONAL LICENSING IN SUB PURBALINGGA CENTRAL JAVA PROVINCE Cecep Triwibowo1, Dwi Haryati2, Siswanto Sastrowijoto3 Abstract This study aimed to 1) Determine the implementation of the hospital establishment and operational in Purbalingga with sub-goal as a) determining the process of hospital establishment and operational, b) determining the level of compliance of the hospital toward the licensing requirement, c) finding out supervision and guidance on the establishment and implementation of hospital operations. 2) Determining the constraints in the license in Purbalingga. 3) Determining the efforts to facing the constraints in the implementation of hospital establishment in Purbalingga. This study used a qualitative descriptive, empirical juridical approach. Juridical empirical was intended to examine the effectiveness of the operation of law in society. The study was conducted using interviews supported the theory and study the document, then narrated in the form of descriptive. The results of this study were 1) implementation of the licensing process in Purbalingga involving relevant agencies of Department of Health, Office of Integrated Licensing Services, and Environment Office. Permits issued by the hospital on the recommendation of the Regent District Health Office. 2) Compliance hospitals in implementing the hospital licensing process were low. Licensing requirements was mandated in Regulation of Health Ministry No. 148 of 2010 on the Hospital licensing which not fully achieved by the hospital. 3) The violations committed by such hospitals do not have permission and had operated was not done well by local governments. In addition, local governments are not assertive in imposing sanctions in accordance with their authority. 4) Such frequently changing legislation and better coordination among related agencies do not become obstacles in the implementation of licensing hospitals in Purbalingga. 5) The efforts made to overcome the obstacles in the hospital licensing had not been implemented in an optimal, because it is only done by issuing internal regulations and socialization. The conclusion of this research is in the hospital licensing Purbalingga was not in accordance with laws and regulations. Keywords: Hospitals, Permits, Regulations1 2

Blok E2. Perumnas. 94 Majenang Cilacap Central Java Faculty of Law, Gadjah Mada University, Yogyakarta 3 Public Hospital Dr. Sardjito, Yogyakarta

5

A. Pendahuluan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

menyebutkan bahwa setiap operasional rumah sakit wajib memiliki izin yaitu izin pendirian dan izin operasional. Perizinan yaitu salah satu bentuk pelaksanaan fungsi peraturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiahtan-kegiatan yang dilakukan masyarakat (Sutedi, 2010). Perizinan merupakan salah satu mekanisme regulasi mutu pelayanan untuk menjamin bahwa lembaga pelayanan atau individu tenaga kesehatan tersebut memenuhi standar kompetisi minimal umtuk melindungi keselamatan publik (Hikmatin dkk, 2006). Permenkes No. 147 tahun 2010 tentang Perizinan Rumah Sakit Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa untuk memperoleh izin mendirikan, rumah sakit harus memenuhi persyaratan yang meliputi: a) Studi kelayakan, b) Master plan, c) Status kepemilikan, d) Rekomendasi izin mendirikan, e) Izin undang-undang gangguan (HO), f) Persyaratan pengolahan limbah, g) Luas tanah dan sertifikatnya, h) Penamaan, i) Izin Mendirikan Bangunan (IMB), j) Izin Penggunaan Bangunan (IPB), k) Surat Izin Tempat Usaha (SITU). Kemudian, pada Pasal 6 ayat (1) bahwa untuk mendapatkan izin operasional, Rumah sakit harus memenuhi persyaratan yang meliputi: a) Sarana dan prasarana, b) Peralatan, c) Sumber daya manusia, d) Administrasi dan manajemen. Pemberian izin bagi rumah sakit belum berjalan secara maksimal. Berbagai kasus menunjukkan bahwa rumah sakit dengan mudah dapat didirikan, namun mengalami kendala dalam pengelolaan akibat ketidaksiapan SDM dan

6

kesalahan dalam perencanaan. Kasus tentang perizinan penyelenggaraan rumah sakit mencerminkan bahwa masih banyak terjadi pelanggaran hukum berkaitan dengan perizinan rumah sakit (Noegroho, 1999). Kabupaten Purbalingga mempunyai tujuh rumah sakit yang sudah beroperasional. Dari 7 rumah sakit tersebut, satu rumah sakit belum memiliki izin, satu rumah sakit tengah mengajukan proses izin dan lima rumah sakit sudah mempunyai izin baik izin sementara maupun izin tetap.

B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah kesesuaian pelaksanaan perizinan pendirian dan operasional rumah sakit di Kabupaten Purbalingga dengan perundang-undanganan yang berlaku?.

C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu pertanyaan yang disusun untuk mengetahui informasi dari subjek penelitian. Tekhnik yang digunakan dalam pengambilan data pada penelitian ini yaitu dokumen, observasi, dan wawancara mendalam. Peneliti melakukan inventarisasi dokumen-dokumen yang diperlukan, selanjutnya dianalisis terhadap kesenjangan yang terjadi antara kenyataan dengan peraturan perundangan yang ada. Kemudian, peneliti mengumpulan informasi melalui wawancara mendalam dengan subjek. Hasil wawancara akan dinarasikan

7

dalam bentuk transkrip yaitu mencatat seluruh yang diperoleh seperti apa adanya tanpa membuat kesimpulan. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Purbalingga. Subjek pada` penelitian ini berjumlah lima orang yaitu Kepala Seksi Kesehatan Dasar dan Institusi Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, Kepala Seksi Pemerintahan dan Pembangunan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Purbalingga, Kepala Seksi Pengendalian dan Pengawasan Pencemaran kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Purbalingga, Bagian Pendidikan dan Pelatiha Rumah Sakit Goeteng Tanoedibrata, Bagian Umum Rumah Sakit Nirmala.

D. Hasil dan Pembahasan 1. Pelaksanaan Perizinan Pendirian dan Operasional Rumah Sakit. a. Proses Perizinan Pendirian dan Operasional Rumah Sakit Rumah sakit umum Nirmala dan rumah sakit Goeteng

Tanoedibrata merupakan dua dari empat rumah sakit di Purbalingga yang telah memiliki izin tetap. Perizinan rumah sakit tipe C diterbitkan oleh Bupati atas rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten. seperti yang dipaparkan oleh bag. Diklat RS Goeteng Tanoedibroto dan Bagian Umum RS. Nirmala berikut ini: Status tipe Rumah Sakit Goeteng Tanoedibrata saat ini masih C meskipun sedang mengajukan menjadi tipe B. Dulu saat awal pendirian, saya mengira prosesnya ke dinkes. Bag. Diklat RS. Goeteng Tanuedibroto. Proses perizinan kami lakukan di Pemda Purbalingga, sesuai prosedur yang berlaku kalau rumah sakit tipe C perizinannya dilakukan di Pemkab. Bag. Umum RS. Nirmala.

8

Permenkes No. 147 Tahun 2010 Pasal 3 Ayat (4) menyatakan bahwa izin mendirikan dan izin operasional Rumah Sakit kelas C dan D diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setelah mendapat rekomendasi dari pejabat yang berwenang di bidang kesehatan pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Hal ini berarti, instansi yang mempunyai wewenang dalam memberikan rekomendasi terkait dengan perizinan rumah sakit yaitu dinas kesehatan. Dalam melaksanakan tugasnya, dinas kesehatan berkoordinasi dengan dinas-dinas yang lain seperi Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT), dan Kantor Lingkungan Hidup (KLH). Pembangunan rumah sakit baru dilaksanakan apabila sudah mempunyai izin mendirikan. Kemudian, dilanjutkan dengan proses perizinan operasional. Perizinan pendirian rumah sakit dimulai dengan pengurusan IMB, IPB, HO, dan SITU. Proses perizinan tersebut dilakukan di KPPT. Pihak pemohon mengajukan permohonan terkait dengan izin tersebut dengan disertai dengan persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan. Syarat mendapatkan IMB yaitu terlebih dahulu telah memperoleh izin lokasi. izin yang pertama diberikan yaitu izin lokasi, mencari lahan yang sesuai dengan tata ruang. Izin lokasi adalah izin yang diberikan badan usaha untuk mendapatkan lahan yang diperuntukkan untuk penanaman modal Kasi Pemerintah dan Pembangunan KPPT Purbalingga UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 7 ayat (1) mengamanatkan bahwa rumah sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian, dan peralatan. Kemudian, pada ayat (3) dijelaskan bahwa ketentuan mengenai tata ruang

9

dilaksanakan sesuai dengan peruntukan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan dan/atau Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.Izin lokasi merupakan dasar untuk memperoleh izin selanjutnya. Setelah izin lokasi diterbitkan, pemohon mengajukan permohonan kembali kepada KPPT untuk memperoleh izin gangguan (HO), IMB, IPB, dan SITU. Izin HO melibatkan kecamatan atau kelurahan, IMB dan IPB melibatkan Dinas Pekerjaan Umum, sedangkan SITU melibatkan Kantor Lingkungan Hidup, seperti yang dipaparkan oleh Kasi Pemerintah dan Pembangunan KPPT Purbalingga berikut ini: Setelah izin lokasi diberikan baru mengurus izin HO. Izin HO melibatkan kecamatan atau kelurahan. Setelah itu baru IMB, IMB melibatkan DPU kaitannya dengan hardplan tentang rencana pembangunan/konstruksi, kemudian SITU, di dalam SITU ada persyaratan tentang UPL, UKL, dan AMDAL, karena ada UU tentang kegiatan usaha yang wajib berdokumen seperti UPL, UKL, dan AMDAL yaitu UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, apabila syarat sudah terpenuhi baru diterbitkan SITU. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup Pasal 40 ayat (1) yang menyatakan bahwa izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin lingkungan atau izin kegiatan.

10

Pengguna layanan

Front Office, terdiri dari: loket informasi, loket kasir, dan loket pelayanan sesuai perizinan yang dikehendaki

Pemeriksaan administrasi

Pemeriksaan oleh tim teknis (Survey Lapangan)

Kepala KPPI Pengesahan/Penolakan Perizinan Sumber: SK Bupati Purbalingga No. 44 Tahun 2003

Forum rapat kepala KPPT, Ketua tim teknis, Pimpinan instansi terkait dan staff fungsional

Gambar 1. Alur Pelayanan Perizinan di KPPT Setelah IMB, IPB, HO, SIUP dan Persyaratan Pengelolaan Limbah diterbitkan oleh KPPT, pemohon mengajukan berkas-berkas tersebut sebagai persyaratan untuk memperoleh izin pendirian rumah sakit kepada dinas kesehatan disertai persyaratan lain yang diverifikasi langsung oleh dinas kesehatan yaitu studi kelayakan dan master plan. Lestantini (2004), pembangunan rumah sakit baru harus melalui perencanaan yang mengacu pada rencana strategis dengan melalui pertimbangan salah satunya studi kelayakan. Setelah semua persyaratan terpenuhi, izin pendirian rumah sakit akan diterbitkan oleh Bupati atas rekomendasi dari dinas kesehatan, seperti yang dikemukakan oleh Kasi Kesehatan Dasar dan Institusi DKK Purbalingga berikut ini: Setelah persyaratan dipenuhi, baru terbit izin pendirian rumah sakit oleh Bupati atas rekomendasi Dinas Kesehatan Kabupaten.

11

Pemohon mengajukan izin HO, IMB, IPB, SITU , dan persyaratan pengelolaan limbah kepada KPPT

Pemohon mengajukan izin mendirikan rumah sakit kepada dinas kesehatan dilengkapi dengan persyaratanpersyaratan

Verifikasi persyaratan oleh dinas kesehatan

Pengesahan atau penolakan Izin Mendirikan rumah sakit oleh Bupati

Rekomendasi Izin Mendirikan Rumah Sakit dari Dinas Kesehatan kepada Bupati

Gambar 2. Alur Perizinan Pendirian Rumah Sakit Penerbitan izin pendirian rumah sakit akan diikuti izin operasional rumah sakit. Dinas yang terlibat dalam izin operasional rumah sakit yaitu dinas kesehatan. Izin operasional rumah sakit akan diterbitkan apabila persyatan-persyaratan telah dipenuhi. Berikut petikan wawancara dengan Kasi Kesehatan Dasar dan Institusi DKK Purbalingga: Setelah izin mendirikan diterbitkan, selanjutnya akan di proses izin operasional rumah sakit. Sebagian besar dinas yang terlibat dalam izin operasional yaitu dinas kesehatan karena persyaratan yang ditentukan terkait dengan bidang kesehatan Hasil wawancara tersebut senada dengan Hikmatin (2006), bahwa setelah dilakukan kunjungan inspeksi dan ternyata memang sebuah pelayanan kesehatan tersebut memenuhi persyaratan perizinan maka izin untuk melakukan pelayanan kesehatan segera diterbitkan. Sesuai dengan Lampiran Permenkes No. 147 Tahun 2010 tentang Perizinan Rumah Sakit, persyaratan untuk memperoleh izin operasional rumah sakit yaitu sarana

12

dan prasana, peralatan, tenaga medis, paramedis, dan non medis, struktur organisasi, hospital by law, medical by law, standar prosedur operasional. Izin operasional rumah sakit terdiri dari dua jenis yaitu izin tetap dan izin sementara. Izin sementara diterbitkan apabila rumah sakit belum memenuhi 100 % persyaratan yang telah ditentukan. Izin tetap diterbitkan apabila rumah sakit sudah dapat memenuhi 100% persyaratan yang telah ditetapkan. Hal ini sesuai dengan Kepmenkes No. 147 Tahun 2010 Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa izin operasional sementara diberikan kepada rumah sakit yang belum dapat memenuhi seluruh persyaratan.

Pemohon mengajukan berkas-berkas persyaratan izin operasional rumah sakit kepada dinas kesehatan

Verifikasi persyaratan oleh dinas kesehatan

Rekomendasi izin operasional rumah sakit dari Dinas Kesehatan kepada Bupati

Izin Tetap

Izin sementara

Pengesahan izin operasional oleh Bupati

Penolakan izin operasional oleh Bupati

Gambar 3. Alur Perizinan Operasional Rumah Sakit b. Kepatuhan Rumah Sakit dalam Pemenuhan Persyaratan Perizinan Pemenuhan persyaratan dalam perizinan merupakan hal yang mutlak yang harus dilakukan oleh pihak pemohon. Namun, dalam perizinan rumah sakit pemenuhan persyaratan secara mutlak atau 100 % menjadi hal yang sulit. Kasi Kesehatan Dasar dan Institusi Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga membenarkan bahwa yang menjadi

13

pertimbangan utama dalam pemberian izin operasional adalah sarana dan prasarana supaya rumah sakit dapat melakukan kegiatan operasionalnya, seperti pada petikan wawancara dengan Kasi Kesehatan Dasar dan Institusi DKK Purbalingga berikut ini: Dirasional saja, yang penting sarana dan prasarana yang utama sudah ada, sudah bisa beroperasional. Kalau persyaratan yang lainnya bisa menyusul seperti hospital by law dan staff medical by law. Hal yang serupa juga disampaikan oleh Bag. Diklat Rumah Sakit Goeteng Tanoedibroto, seperti pada wawancara berikut ini: Selama ini kami selalu berusaha untuk memenuhi standar yang ditentukan, karena bagaimanapun ini rumah sakit pemerintah. Walaupun pemenuhan itu dilakukan secara bertahap. Misalnya untuk administrasi manajemen, sekarang kami sudah punya HBL. Selain itu, perangkat persyaratan yang tingkat pemenuhannya tergolong rendah yaitu kepemilikan dokumen AMDAL, UPL/UKL yang merupakan persyaratan pengelolaan limbah, seperi yang diutarakan pada wawancara dengan Kasi Pengendalian dan Pengawasan Pencemaran KLH Purbalingga berikut ini: Rumah Sakit yang baru memiliki AMDAL yaitu RSUD Goeteng Tanoedibrata. Kalau rumah sakit yang swasta, UPL/UKL saja mereka tidak punya apalagi AMDAL. Bagi, yang sudah mempunyai AMDAL, sebenarnya harus direvisi, wajib dilaporkan setiap 6 bulan, tapi pada kenyataannya tidak pernah direvisi sampai sekarang. Berdasarkan ketiga narasumber tersebut membuktikan bahwa ketidakpatuhan rumah sakit sebagai pihak pemohon dalam memenuhi persyaratan perizinan rumah sakit. Penelitian ini didukung oleh Hikmatin (2006) yang menyatakan bahwa pemenuhan standar input minimal pada rumah sakit yang diteliti belum mencapai nilai seratus persen, artinya

14

belum memenuhi kualifikasi, latar belakang maupun sumber daya yang sesuai standar. Penelitian ini juga didukung oleh penelitian Subroto (2009), yang menyatakan bahwa RSUD Jayapura belum memiliki dokumen lingkungan seperti Amdal, UKL/UPL mapun DPPL yang wajib dimiliki dalam penyelenggaraan rumah sakit. Hal ini dikarenakan kekurangpedulian rumah sakit terhadap upaya pelaksanaan kesehatan lingkungan rumah sakit. Menurut Hikmatin (2006), rumah sakit sudah mempunyai izin operasional belum sepenuhnya mempunyai standar minimal yang telah ditentukan, berarti hakekat perizinan yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan/keselamatan publik belum menjadikan prasyarat utama atau masih bersifat administrasi. Lebih lanjut Hikmatin berpendapat bahwa seharusnya sebuah rumah sakit bisa diberikan izin kalau dapat memenuhi standar minimal, karena hal ini untuk melindungi kesehatan dan keselamatan publik. c. Pengawasan dan pembinaan dalam pelaksanaan pendirian dan operasional rumah sakit Pengawasan dan pembinaan merupakan suatu langkah untuk mengontrol perizinan rumah sakit. Pada perizinan operasional, pembinaan dan pengawasan yang dilakukan berbeda antara izin sementara dan izin tetap. Pengawasan pada izin tetap yaitu tidak terlalu intensif kecuali apabila ada permasalah-permasalahan. Sedangkan, pengawasan pada izin

15

sementara yaitu lebih intensif. Seperti yang dipaparkan oleh Kasi Kesehatan Dasar dan Institusi DKK Purbalingga berikut ini: Pengawasan antara izin sementara berbeda dengan izin tetap. Kalau izin tetap, supervisi tetap dilakukan tapi tidak terlalu intensif kecuali apabila ada masalah. Kalau izin sementara, pengawasan lebih intensif, karena izin sementara hanya satu tahun. Jadi tiap izin itu berakhir dilakukan supervisi. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa tidak berjalannya pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh dinas kesehatan. Padahal hakekatnya pengawasan terhadap rumah sakit yang telah mendapatkan izin sangat penting dilakukan. Pemberian izin disertai dengan persyaratan, maka harus dilakukan kontrol oleh instansi pemberi izin. Pada Permenkes No. 147 Tahun 2010 dijelaskan bahwa yang memberikan izin yaitu Bupati atas rekomendasi dari pejabat yang berwenang dibidang kesehatan pada Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini, berarti yang melakukan pengawasan yaitu dinas kesehatan. Lebih lanjut, pada UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 6 ayat (1) di sebutkan bahwa salah satu tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah yaitu membina dan mengawasi penyelenggaraan rumah sakit. Menurut Darwais (2009), pengawasan berfungsi untuk memastikan apakah rencana yang telah dibuat dilaksanakan secara baik untuk mencapai keberhasilan. Lebih lanjut Sutedi (2010) menyatakan bahwa pengawasan dilakukan untuk mengatahui ada atau tidaknya pelanggaran. Apabila pengawasan tidak dilakukan dengan baik, maka tidak bisa diketahui apakah terjadi pelanggaran atau tidak.

16

Berdasarkan pengamatan peneliti, terdapat 7 rumah sakit yang beroperasi di purbalingga berdasarkan papan nama yang terpasang didepan rumah sakit. Namun, dinas kesehatan purbalingga hanya menganggap terdapat 6 rumah sakit di purbalingga, seperti yang diutarakan pada petikan wawancara dengan Kasi Kesehatan Dasar dan Institusi DKK Purbalingga berikut ini: Kami hanya menganggap ada enam rumah sakit yaitu RSUD Goeteng Tanuedibrata, RS. Nirmala, RS. Harapan Ibu, RS. Kasih Ibu, dan RSJ. H Mustjab. Kalau PKU Muhammadiyah itu bukan rumah sakit, hanya balai pengobatan. Hal ini memperkuat bahwa pembinaan dan pengawasan tidak berjalan dengan baik. Dalam Permenkes No. 147 Tahun 2010 menyatakan bahwa pemerintah daerah melalui pejabat yang berwenang dibidang kesehatan yaitu dinas kesehatan mempunyai kewenangan dalam melakukan tindakan pembinaan berupa bimbingan, supervisi, konsultasi, pendidikan dan latihan, dan kegiatan pemberdayaan lain. Dengan kasus yang terjadi pada PKU Muhammadiyah, hendaknya dinas kesehatan melakukan tindakan pembinaan untuk mendorong pengajuan permohonan izin sebagai rumah sakit yang dilakukan oleh PKU muhammadiyah sebagai pihak memohon. Selain itu, hendaknya dinas kesehatan melakukan tindakan pengawasan dengan menegur PKU muhammadiyah yang telah menggunakan kata rumah sakit dipapan nama PKU Muhammadiyah atau menutup pelayanan kesehatan yang tidak mempunyai izin. Pada kasus ini, juga menunjukkan bahwa dinas kesehatan tidak tegas dalam pemberian sanksi terhadap rumah sakit yang tidak memiliki

17

izin. Sejatinya pemberian izin dimaksudkan untuk melindungi maskarakat, apabila terdapat rumah sakit yang beroperasi namun tidak mengantongi izin, hal ini berarti akan membahayakan masyarakat. Setiap pelanggaran harus diberikan sanksi karena tertuang jelas dalam UU No. 44 Tahun 2009 Pasal 62 yang berbunyi Setiap orang yang dengan sengaja

menyelenggarakan rumah sakit tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah). 2. Kendala dalam pelaksanaan perizinan pendirian dan operasional rumah sakit Rumah sakit merupakan subjek dalam pelaksanaan perizinan rumah sakit. Dalam proses perizinan rumah sakit menghadapi beberapa kendala. Kendala utama yang dialami oleh Rumah Sakit Goeteng Tanoedibroto yaitu dalam hal pemenuhan persyaratan perizinan, seperti pada wawancara dengan Bag. Diklat RS Goeteng Tanoedibrata berikut ini: Untuk proses perizinannya relatif tidak ada masalah, karena sekarang sudah jelas. Syarat-syaratnya sudah ada di Undang-Undang dan permenkes. Akan tetapi, kadang-kadang yang diperintahkan oleh peraturan tidak bisa dipenuhi. Hal ini dikarenakan masalah anggaran dan SDM. Menurut Aditama (2000), cit Lestantini (2004), jumlah SDM yang kurang akan berakibat terhadap mutu rumah sakit yang tidak baik karena jumlah beban kerja yang bertambah. Perizinan memiliki fungsi sebagai pengaturan yaitu menjadi instrumen pengaturan tindakan dan perilaku masyarakat. Perizinan hanya dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan. Terkait dengan perizinan

18

rumah sakit, banyak peraturan perundang-undangan baru yang mengaturnya. Hal ini, justru menjadi kendala bagi dinas kesehatan untuk melaksanakan perizinan rumah sakit. Banyaknya peraturan yang mengatur menyebabkan ketumpangtindihan peraturan tersebut. Seperti yang diungkapkan pada wawancara dengan Kasi Kesehatan Dasar dan Institusi DKK Purbalingga berikut ini: Kendalanya yaitu peraturan sering berubah-ubah dan aturan-aturan yang ada belum bisa diterapkan sepenuhnya di rumah sakit. Kita mengikuti peraturan yang baru. Tapi di lapangan kita tidak bisa menerapkan karena banyak perubahan-perubahan. Misalkan yayasan, dulu bentuk badan hukum tidak dibahas, tapi sekarang merupakan hal yang baru dibidang perumahsakitan. Akhirnya, kita harus sosialisasi ke rumah sakit, misalnya perubahan akta yayasan. Selain itu, antar peraturan berbenturan atau saling tumpang tindih. Misalnya praktek dokter spesialis, diperaturan yang satu bisa memiliki tiga tempat praktek, sementara diperaturan yang lain harus full. Rijkschroeff (2001), menyatakan bahwa sejumlah besar aturan mengalami penyesuaian atau diganti dengan aturan-aturan baru. Dengan kata lain, aturan-aturan undang-undang tidak seterusnya sama. Melainkan mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa hukum tidak selalu statis melainkan mengalami perubahan, ini dikenal dengan aspek hukum yang dinamis. Saifudin (2009), berpendapat bahwa suatu undang-undang yang telah diundangkan dan dinyatakan berlaku mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dalam masyarakat. Organ negara yang diserahi tugas untuk melaksanakan UU harus dapat bertindak arif, bijaksana, dan tegas dalam menghadapai berbagai persoalan yang muncul dengan diberlakukannya suatu UU baru. Penegakan hukum perlu dilakukan secara transaparan dan tanpa

19

pandang bulu sehingga UU tersebut dapat berlaku ditengah-tengah masyarakat. Selain dinas kesehatan dan rumah sakit, kantor lingkungan hidup juga menghadapi kendala dalam pelaksanaan perizinan rumah sakit. Lain halnya dengan Dinas Kesehatan yang mengalami kendala dalam implementasi peraturan, Kantor Lingkungan Hidup mengalami kendala berkaitan koordinasi antar dinas. Berikut pemaparan dari Kasi Pengendalian dan Pengawasan Pencemaran KLH Purbalingga: Kendalanya, karena perizinan sudah satu pintu di KPPT, biasanya kita hanya memberikan rekomendasi dan itu kurang efektif apabila pengurusan UPL, UKL, dan AMDAL di KPPT, karena kita hanya memberikan rekomendasi secara lisan, tidak tertuang dalam suatu tulisan. Jadi, tidak bisa digunakan sebagai dasar hukum karena penyampaian rekomendasi hanya secara lisan. Pada wawancara mendalam yang dilakukan oleh Haryata (2005), disebutkan bahwa terlalu banyak kepentingan dalam proses pendirian rumah sakit khususnya dalam pengelolaan lingkungan rumah sakit. Pada wawancara mendalam tersebut dipaparkan bahwa ada konflik kepentingan misalnya dengan dinas kesehatan, jadi ketika rumah sakit berdiri penekanan mereka hanya pada teknis kinerja operasional pelayanan rumah sakit saja sedangkan perlindungan terhadap lingkungan dinomorduakan sehingga yang penting berdiri dulu beroperasi, pengendalian dampaknya nomor dua. 3. Upaya yang dilakukan dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan perizinan pendirian dan operasional rumah sakit Setiap masalah dari suatu proses, harus segera diperoleh solusi atau upaya untuk mengatasi permalahan tersebut. Diakui oleh dinas kesehatan, ada

20

berbagai kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan perizinan. Dari kendala tersebut harus ada upaya pemecahannya. Upaya untuk mengatasi kendala tersebut dengan mengeluarkan peraturanperaturan internal dan kebijakan-kebijakan yang bisa diterapkan di rumah sakit. Kasi Kesehatan Dasar dan Institusi DKK Purbalingga Menurut Jhonson dan Sheles (2001) cit Hikmatin (2006), dalam perundangan, regulasi serta aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh badan regulasi harus memiliki kesesuaian dengan peraturan dan perundangan yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga jelas ketetapan yang akan

diformulasikan antara satu bagian dengan bagian yang lain, terutama dalam mempersepsikan suatu kondisi tertentu. Artinya, peraturan yang dibuat oleh dinas kesehatan untuk mengatasi kendala tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang sebelumnya. Peraturan yang sebelumnya harus menjadi acuan dalam menyusun peraturan yang baru. Dinas kesehatan juga selalu mensosialisasikan terkait dengan peraturan-peraturan yang baru ataupun perubahan-perubahan peraturan. Sosialisasi ini juga dilakukan oleh kantor lingkungan hidup. Selain itu, pihak rumah sakit juga selalu berkonsultasi dengan dinas kesehatan terkait kendala yang dialami oleh pihak rumah sakit, seperti pada wawancara dengan Bag. Diklat RS Goeteng Tanoedibrata berikut ini: Kami selama ini selalu konsultasi baik dengan Dinas Kesehatan Kabupaten maupun dengan Dinas Kesehatan Provinsi Konsultasi ini diharapkan akan diperoleh suatu solusi untuk masalah yang dihadapi terkait perizinan. Dengan konsultasi juga diharapkan pihak rumah sakit akan memperoleh informasi yang tepat berkaitan dengan 21

perizinan. Disebutkan dalam Hikmatin (2006), bahwa informasi merupakan hal yang sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik antara pihak yang meregulasi dan pihak yang diregulasi.

E. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini yaitu: 1. Pelaksanaan proses perizinan di Kabupaten Purbalingga melibatkan dinas terkait yaitu Dinas Kesehatan, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu, dan Kantor Lingkungan Hidup. Izin rumah sakit diterbitkan oleh Bupati atas rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten. 2. Kepatuhan rumah sakit dalam melaksanakan proses perizinan rumah sakit tergolong rendah. Persyaratan perizinan yang diamanatkan pada Permenkes No. 148 Tahun 2010 tentang perizinan rumah sakit belum sepenuhnya dicapai oleh rumah sakit meskipun rumah sakit sudah memiliki izin tetap. 3. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh rumah sakit seperti tidak memiliki izin dan sudah beroperasinal menunjukkan bahwa pengawasan tidak dilakukan dengan baik oleh Pemerintah Daerah. Selain itu, Pemerintah Daerah tidak tegas dalam pemberian sanksi sesuai dengan kewenangannya. 4. Peraturan perundangan yang sering berganti dan koordinasi yang tidak baik antar dinas terkait menjadi kendala dalam pelaksanaan perizinan rumah sakit di Purbalingga.

22

5. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala dalam perizinan rumah sakit belum dilaksanakan secara optimal, karena hanya dilakukan dengan mengeluarkan peraturan internal dan sosialisasi. Dari penelitian tersebut, peneliti menyarankan berbagai hal sebagai berikut: 1. Sistem koordinasi antar dinas terkait dalam pelaksanaan perizinan rumah sakit lebih ditingkatkan untuk memperjelas tugas, fungsi dan wewenang masingmasing dinas terkait. 2. Pemerintah daerah harus tegas dalam penegakan peraturan perundangundangan. 3. Bagi rumah sakit, pemenuhan persyaratan perizinan lebih diperhatikan oleh rumah sakit agar tidak timbul masalah di kemudian hari.

F. Daftar Pustaka Darwis, F. 2009. Pengelolaan Limbah Cair Bahan Berbahaya dan Beracun di Pelayanan Kesehatan ST. Carolus Jakarta. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Haryata, A.R. 2005. Peran Stakeholder Dalam Pengelolaan Limbah Cair Rumah Sakit di Kota Yogyakarta. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Hikmatin, I., Hanevi D., Adi, U. 2006. Studi Kasus Deskriptif Efektivitas Pelaksanaan Regulasi Perizinan Rumah Sakit Umum. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 09, No. 3. Lestantini, R. 2004. Analisis Rencana Operasionalisasi Rumah Sakit Umum Daerah Kota Madiun Tahun 2004. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Noegroho, A. 1999. Analisis Aliansi Stratejik sebagai Alternatif Peningkatan Operasionalisasi dan Pengembangan RSUD Panti Waluyo

23

Kabupaten Daerah Tingkat II Madiun. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Rijkschroeff, B.R. 2001. Sosiologi, Hukum dan Sosiologi Hukum, Penerjemah: F. Tengker, Edt: Wila, C.S. Bandung: Mandar Maju. Saifudin, 2009. Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Yogyakarta: FH UII Press. Subroto, K.W.E. 2009. Evaluasi Efektivitas Pelaksanaan Kepmenkes RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004 Tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit di RSUD Jayapura. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Sutedi, A. 2010. Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik. Jakarta: Sinar Grafika.

Peraturan Perundang-Undangan Lampiran Peraturan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 147/MENKES/PER/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit. Menteri Kesehatan Republik Indonesia 147/MENKES/PER/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit. Nomor Nomor

Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

24