TINJAUAN PUSTAKA - digilib.uns.ac.id · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sedangkan menurut...
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA - digilib.uns.ac.id · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Sedangkan menurut...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Pusaka
Asawidya dkk (2011) menjelaskan bahwa peralatan merupakan kriteria yang paling
dominan dalam penerapan green construction pada proyek konstruksi di Surabaya.
Jef Franklyn Sinulingga (2012) menyimpulkan bahwa hambatan terbesar yang
dialami oleh sebagian besar responden dalam menerapkan green construction
adalah pembiayaan serta perawatan green building. Hambatan dari segi
pembiayaan serta perawatan green building menjadi alasan utama oleh sebagian
besar responden dikarenakan tidak mudah merawat suatu gedung atau bangunan
apalagi bangunan dengan konsep green building, yang harus mempertahankan
manfaatnya untuk lingkungan sekitar.
Hasil analisis Korelasi Pearson nilai interprestasi (r) adalah - 0,408. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa hubungan antara penerapan kriteria green construction
dengan hambatan–hambatan dalam penerapan green construction memiliki
hubungan yang sedang (0,40–0,599), sedangkan bertanda negatif ( - ) menunjukkan
bahwa hubungannya berlawanan arah artinya jika kriteria green construction
semakin diterapkan maka hambatannya semakin tidak menghambat.
Besarnya nilai signifikasi adalah 0,014 dimana α = 5%, maka dapat diketahui
bahwa nilai signifikasi lebih kecil dari nilai α (0,014 < 0,05) jadi dapat disimpulkan
adanya hubungan antara kriteria dalam menerapkan green construction dengan
hambatan–hambatan dalam penerapan green construction pada proyek konstruksi.
Eka Nirmala dkk (2014) menjelaskan bahwa variabel terkuat penghambat
penerapan green development adalah biaya investasi yang tinggi, prosedur
penerapan yang memakan waktu, keterbatasan ketersediaan produk hijau, kesulitan
pelaksanaan teknis, minimnya informasi tentang bangunan hijau, perencanaan yang
rumit, kurangnya keahlian serta rendahnya permintaan pasar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Wulfram I. Ervianto (2014) menyimpulkan bahwa hambatan yang terjadi dalam
mengimplementasikan green construction adalah permasalahan teknologi, peran
aktif pemilik proyek, terbatasnya regulasi, campur tangan sumber pendanaan serta
faktor-faktor lain yang mencakup sosialisasi tentang lingkungan.
Taufiq Lilo Adi Sucipto dkk (2014) menyimpulkan bahwa komitmen yang kuat dari
owner sebagai pioneer dalam mewujudkan bangunan yang ramah lingkungan dan
hemat energi sebagai alasan utama penerapan konsep green building pada Gedung
Bank Indonesia Surakarta. Aplikasi green building yang diterapkan meliputi:
penggunaan solar panel sebagai sumber energi alternatif, penggunaan kaca low-e
sebagai pencahayaan alami, memanfaatkan air limbah untuk daur ulang, ruang
terbuka hijau yang maksimal, adanya reflecting pool, penggunaan peralatan
mekanikal-elektrikal yang hemat energi, terdapat parkir sepeda dan shower
compartement, terdapat BAS (Building Automation System), perlengkapan sanitary
yang ramah lingkungan, serta lingkungan kerja yang sehat dan nyaman.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Pengertian Green Construction
Glavinich (2008) mengemukakan green construction adalah suatu perencanaan dan
proses konstruksi terhadap lingkungan agar terjadi keseimbangan antara
kemampuan lingkungan dan kebutuhan hidup manusia untuk generasi sekarang dan
mendatang. Konsep green construction menurut Glavinich (2008) mencakup hal
sebagai berikut:
a. Perencanaan dan penjadwalan konstruksi.
b. Konservasi material
c. Tepat guna lahan
d. Manajemen limbah kontruksi
e. Penyimpanan dan perlindungan material
f. Kesehatan lingkungan kerja
g. Menciptakan lingkungan kerja yang ramah lingkungan
h. Pemilihan dan pengoperasian peralatan konstruksi
i. Dokumentasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Sedangkan menurut Kibert (2008) konsep green construction mencakup hal sebagai
berikut:
a. Rencana pelindungan lokasi pekerjaan
b. Program kesehatan dan keselamatan kerja
c. Pengelolaan limbah pembangunan atau pembongkaran
d. Pelatihan bagi subkontraktor
e. Reduksi jejak ekologis proses kontruksi
f. Penanganan dan instalisasi material
g. Kualitas udara
2.2.2 Standar Kriteria Penerapan Green Construction
Standar yang dapat digunakan sebagai penilaian green construction antara lain
sebagai berikut:
a. Greenship untuk bangunan baru versi 1.2 oleh Green Building Council
Indonesia (GBCI).
Green Building Council Indonesia adalah lembaga mandiri (non government) dan
nirlaba (non-for profit) yang berkomitmen penuh terhadap pendidikan masyarakat
dalam mengaplikasikan praktik-praktik terbaik lingkungan dan memfasilitasi
transformasi industri bangunan global yang berkelanjutan. GBC Indonesia
merupakan Emerging Member dari World Green Building Council (WGBC) yang
berpusat di Toronto, Kanada. WGBC saat ini beranggotakan 102 negara dan hanya
memiliki satu GBC di setiap negara.
Kategori yang digunakan dalam sistem rating greenship antara lain sebagai berikut:
1) Appropriate Side Development (ASD) atau tepat guna lahan
2) Energy Efficiency and Refrigerat (EER) atau efisiensi energi dan refrigeran
3) Water Conservation (WC) atau konservasi air
4) Material Resources and Cycle (MRC) atau sumber dan siklus material
5) Indoor Air Health and Comfort (IHC) atau kualitas udara dan kenyamanan
udara
6) Building and Environment Management (BEM) atau menejemen lingkungan
bangunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Tahap penilaian Greenship terdiri dari:
1) Tahap rekognisi desain (design recognition – DR) dengan maksimum nilai
77 poin.
Pada tahap ini, tim proyek mendapat kesempatan untuk mendapatkan penghargaan
sementara untuk proyek pada tahap finalisasi desain dan perencanaan berdasarkan
perangkat penilaian Greenship. Tahap ini dilalui selama gedung masih dalam tahap
perencanaan.
2) Tahap penilaian akhir (final assessment – FA) dengan maksimum nilai 101
poin.
Pada tahap ini, proyek dinilai secara menyeluruh baik dari aspek desain maupun
konstruksi dan merupakan tahap akhir yang menentukan kinerja gedung
menyeluruh. Penjabaran nilai pada setiap kategori greenship rating tool dapat
dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1 Penjabaran Nilai Kategori Kriteria Green Construction by Greenship
Rating Tool GBCI
Kategori
Jumlah nilai untuk DR Jumlah nilai untuk FA
Prasyarat Kredit Bonus Prasyarat Kredit Bonus
ASD - 17 - - 17 -
EEC - 26 5 - 26 5
WAC - 21 - - 21 -
MRC - 2 - - 14 -
IHC - 5 - - 10 -
BEM - 6 - - 13 -
Jumlah - 77 5 - 101 5
Grafik persentase penilaian greenship untuk bangunan baru v1.2 dapat dilihat pada
Gambar 2.1 di bawah ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
Gambar 2.1 Grafik Persentase Penilaian Greenship untuk Bangunan Baru v1.2
b. Green Contractor Assessment Sheet oleh PT. PP (Persero) Tbk.
Green Contractor Assessment Sheet adalah upaya penerapan green construction
yang dilakukan oleh PT. PP (Persero) Tbk. Hal-hal yang tertuang dalam Green
Contractor Assessment Sheet antara lain sebagai berikut:
1) Tepat guna lahan
Memelihara kehijauan lingkungan proyek serta mengurangi emisi CO2 dan gas
polutan. Mengurangi beban drainasi kota akan limpasan air hujan maupun air dari
kegiatan konstruksi baik kualitas maupun kuantitas.
2) Efisiensi dan konservasi energi
Mendorong penghematan konsumsi/pemakaian energi selama kegiatan kontruksi
dengan cara pemantauan pemakaian serta melakukan aplikasi upaya efisiensi
energi.
3) Konservasi air
Mendorong penghematan konsumsi/pemakaian air selama kegiatan kontruksi
dengan cara pemantauan pemakaian serta melakukan aplikasi upaya efisiensi
penggunaan air.
4) Manajemen lingkungan proyek konstruksi
Melaksanakan pengolahan sampah selama proses konstruksi dan mendorong
mengurangi terjadinya sampah sehingga mengurangi beban Tempat Pembuangan
Sampah Akhir (TPA) serta melaksanakan program kampanye/promosi green
0
5
10
15
20
25
30
35
40
ASD EEC WAC MRC IHC BEM
DR
FA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
construction dalam rangka sosialisasi dan edukasi akan pentingnya pengolahan
kontruksi ramah lingkungan.
5) Sumber dan siklus material
Mengoptimalkan penggunaan material yang ada untuk mengurangi pemakaian
bahan mentah atau material baru serta melaksanakan proses produksi yang ramah
lingkungan.
6) Kesehatan dan kenyamanan di dalam lokasi proyek konstruksi
Menjaga dan meningkatkan kualitas udara serta kenyamanan udara serta menjaga
kebersihan dan kenyamanan lingkungan seperti mengurangi dampak asap rokok,
debu, serta mengurangi pemakaian material yang dapat membahayakan kesehatan.
7) Lubang resapan biopori (LRB)
Merupakan teknologi tepat guna untuk mengatasi permasalahan air dan sampah
serta menjaga kualitas tanah. LRB adalah lubang silinder yang dibuat secara
vertikal ke dalam tanah dengan diameter lubang ± 10 cm dan kedalaman sekitar
100cm dengan catatan tidak melebihi kedalaman permukaan air tanah.
2.2.3 Pelaksanaan Kriteria Green Construction
Pelaksanaan green construction dimulai dari perencanaan hingga pelaksanaan
sebuah proyek. Dalam implementasinya, green construction tidak hanya digunakan
untuk green building saja, namun juga untuk bangunan konvensional.
Berdasarkan Greenship versi 1.2 oleh Green Building Council Indonesia (GBCI)
terdapat enam kriteria yang digunakan dalam penilaian pelaksanaan green
construction. Secara spesifik kriteria tersebut akan dijabarkan sebagai berikut.
1) Appropriate Side Development (ASD) atau tepat guna lahan
Dalam aspek ini terdapat kriteria prasyarat yang mengharuskan dalam proses
pekerjaan tetap memelihara atau memperluas kehijauan kota untuk meningkatkan
kualitas iklim mikro, mengurangi CO2 dan zat polutan, mencegah erosi tanah,
mengurangi beban sistem drainasi menjaga keseimbangan neraca air bersih dan
sistem air tanah. Selain itu terdapat kriteria kredit yang mendukung kriteria
prasyarat. Kriteria-kriteria kredit tersebut diantaranya:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
a. Pemilihan tapak
Tujuan dari kriteria ini adalah menghindari pembangunan di daerah
penghijauan dan pembukaan lahan baru. Tolak ukurnya adalah pemilihan
lokasi yang terdapat prasarana dan melakukan revitalisasi lahan yang
bernilai negatif.
b. Aksesibilitas komunitas
Tujuan dari kriteria ini adalah mendorong pembangunan di tempat yang
telah memiliki jaringan konektivitas dan meningkatkan pencapaian
penggunaan gedung sehingga mempermudah masyarakat dan menghindari
penggunaan kendaraan bermotor.
c. Transportasi umum
Tujuan dari kriteria ini adalah mendorong pengguna gedung untuk
menggunakan kendaraan umum.
d. Fasilitas pengguna sepeda
Tujuan dari kriteria ini adalah mendorong pengguna gedung untuk
menggunakan sepeda agar mengurangi penggunaan sepeda bermotor.
e. Lansekap pada lahan
Tujuan dari kriteria ini adalah memelihara dan memperluas kehijauan kota
untuk meningkatkan kualitas iklim mikro, mengurangi CO2 dan zat polutan,
menjaga keseimbangan neraca air bersih dan sistem air tanah.
f. Iklim mikro
Tujuan dari kriteria ini adalah meningkatkan kualitas iklim mikro di sekitar
gedung yang mencakup kenyamanan manusia dan habitat sekitar gedung.
Penggunaan material-material yang tidak mengakibatkan heat island effect
dan penambahan luas lansekap sangat dianjurkan dalam kriteria ini.
g. Manajemen air limpasan
Tujuan dari kriteria ini adalah mengurangi beban sistem drainasi lingkungan
dari kuantitas air limpasan air hujan dengan sistem manajemen air hujan
secara terpadu.
2) Energy Efficiency and Refrigerat (EER) atau efisiensi energi dan refrigeran
Dalam aspek ini terdapat kriteria prasyarat yang mengharuskan pemantauan
penggunaan energi sehingga dapat menjadi dasar penerapan manajemen energi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
yang baik seperti memperhatikan kWh meter secara berkala. Selain itu juga terdapat
kriteria kredit yang menunjang kriteria prasyarat diantaranya efisiensi dan konversi
energi, penggunakan pencahayaan alami, penggunaan ventilasi, pemahaman
tentang pengaruh perubahan iklim, serta menggunakan energi yang dapat
terbarukan.
3) Water Conservation (WC) atau konservasi air
Kriteria prasyarat dalam aspek ini adalah perhitungan penggunaan air dengan
pemantauan berkala pada meteran air agar penggunaan air dapat lebih efisien.
Selain itu juga terdapat beberapa kriteria kredit seperti pengurangan penggunaan
air, pengalokasian penggunaan fitur air, daur ulang air, sumber air alternatif,
penampungan air hujan, serta efisiensi penggunaan air lansekap.
4) Material Resources and Cycle (MRC) atau sumber dan siklus material
Refrigeran fundamental menjadi kriteria prasyarat pada aspek ini, maksudnya
adalah mencegah penggunaan material yang memiliki potensi merusak ozon yang
tinggi. Selain itu terdapat juga kriteria kredit lainnya yaitu:
a. Penggunaan gedung dan material
Yang dimaksudkan disini adalah penggunaan kembali material bekas
bangunan lama dan/atau dari tempat lain untuk mengurangi penggunaan
bahan mentah baru, sehingga dapat mengurangi limbah pembuangan akhir.
b. Material ramah lingkungan
Mengurangi jejak ekologi dari proses ekstraksi bahan mentah dan proses
produksi material.
c. Mengurangi refrigeran tanpa ODP
Menggunakan bahan yang tidak memiliki potensi merusak ozon.
d. Kayu bersertifikat
Menggunakan bahan baku kayu yang dapat dipertanggung jawabkan asal-
usulnya untuk melindungi kelestarian alam.
e. Material prafabrikasi
Meningkatkan efisiensi dalam penggunaan material dan mengurangi
sampah konstruksi.
f. Material regional
Untuk mengurangi CO2 yang dihasilkan dari transportasi material.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
5) Indoor Air Health and Comfort (IHC) atau kualitas udara dan kenyamanan
udara
Melakukan introduksi dengan udara luar merupakan kriteria prasyarat. Tujuannya
untuk menjaga dan meningkatkan kualitas udara di dalam ruangan dengan
melakukan introduksi udara luar sesuai dengan kebutuhan laju ventilasi untuk
kesehatan pengguna gedung. Kriteria kreditnya antara lain:
a. Pemantauan kadar CO2
b. Kendali asap rokok di lingkungan
c. Mengontrol polutan kimia
d. Pemandangan keluar gedung
e. Kenyamanan visual
f. Kenyamanan termal ruangan
g. Mengontrol tingkat kebisingan
6) Building and Environment Management (BEM) atau menejemen lingkungan
bangunan
Kriteria prasyaratnya adalah terdapat dasar pengelolaan sampah yang bertujuan
untuk mendorong gerakan pemilahan sampah secara sederhana untuk memudahkan
proses daur ulang. Selain itu terdapat kriteria kredit sebagai berikut:
a. Melibatkan minimal 1 tenaga ahli (greenship professional) dalam
perencanaan proyek.
b. Manajemen sampah yang disebabkan proses konstruksi.
c. Pengolahan sampah tingkat lanjut.
d. Membuat sistem komisioning yang baik dan benar agar pelaksanaan sesuai
dengan perencanaan.
e. Menyerahkan data untuk melengkapi data implementasi konstruksi ramah
lingkungan di Indonesia.
2.2.4 Faktor Penghambat Penerapan Green Construction
Nirmala Eka dkk (2014) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh
penting dalam penerapan green construction diantaranya:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
1) Biaya investasi yang tinggi
Biaya investasi merupakan penghambat utama yang disebabkan oleh kecanggihan
teknologi yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan.
Kecanggihan teknologi yang dimaksudkan tersebut, dapat diterapkan dengan
adanya sistem sel surya, teknologi smart home dan sebagainya menurut seorang
manajer proyek. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa apabila konsep bangunan
hijau yang diterapkan berbasis pada kecanggihan teknologi hijau dengan
melibatkan keseluruhan kinerja sistem mekanikal-elektrikal gedung yang bahkan
dapat memproduksi on-site energy (Priatman,2002), maka biaya investasi dapat
menjadi sangat tinggi (Zhang,2011; Hwang,2012). Sedangkan beberapa manajer
proyek yang menyatakan kurang setuju pada variabel ini menyatakan bahwa
perencanaan konsep bangunan hijau yang berbasis pada strategi desain pasif
tidaklah memerlukan biaya tinggi meskipun tidak mendukung efisiensi
energi sepenuhnya bahkan tidak menghasilkan energi baru yang merupakan inovasi
terpenting dalam pembangunan hijau.
2) Prosedur penerapan yang memakan waktu
Dominasi jawaban responden pada perusahaan pengembang di Surabaya sesuai
dengan pernyataan Hwang (2012) dan Choi (2009) yang menyebutkan bahwa
alokasi waktu yang lebih panjang diperlukan untuk menjalankan rumitnya
pengawasan, pengendalian dan proses persetujuan pada tiap tahapan pekerjaan
dimana terdapat cukup banyak metode dan teknologi baru yang belum cukup
dikenal, sehingga konsep ini masih perlu dipelajari dan didiskusikan dalam
beberapa saat sebelum diterapkan. U.S EPA (2007) juga menambahkan bahwa
pemenuhan kebutuhan perencanaan yang lebih detail dan komprehensif menuntut
keterlibatan dan interaksi berbagai stakeholder sehingga memperlambat prosedur
penerapan yang ada. Sedangkan sebagian kecil pendapat responden yang
berlawanan, mengarah pada keunggulan elemen konstruksi hijau seperti yang
dicontohkan Ervianto (2012) diantaranya adalah pemasangan sistem modular beton
pracetak yang ternyata mempersingkat durasi proyek karena pelaksanaannya yang
tidak terpengaruh cuaca sehingga meminimalkan terjadinya keterlambatan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
3) Keterbatasan ketersediaan produk hijau
Pengalaman dari beberapa perusahaan pengembang di Kota Surabaya yaitu
seringkali material hijau hanya dapat diperoleh dari segelintir pemasok saja
sehingga mau tidak mau material tersebut harus diterima bagaimanapun adanya
tanpa dapat membandingkan harga maupun kualitas dengan material sejenis dari
pemasok lain. Kendala keterbatasan ketersediaan material dan peralatan
bersertifikasi hijau yang disediakan oleh supplier menurut Dair (2006) dan Lam et
al (2009) ini disebabkan karena material dan peralatan bersertifikasi hijau seringkali
berada di luar standar umum rantai pasok proyek konstruksi sehingga berdampak
pada resiko ketidakpastian persediaan pasokan dan minimnya jenis alternatif
pengganti. Hwang (2012) pun menambahkan ketersediaan material hijau tidak
mudah didapat karena tidak tersedia secara lokal sehingga sebagian besar harus
diperoleh secara import. Hal ini juga disebabkan oleh rendahnya demand yang ada
menurut Landman (1999).
4) Kesulitan pelaksanaan teknis
Terdapat cukup banyak komponen sistem pada proyek pembangunan hijau
yang terbentuk oleh adanya teknologi yang masih tergolong baru, sehingga
muncullah kesulitan teknis pada masa konstruksi (Marchman,2011). Suatu contoh
yang disebutkan oleh seorang responden bahwa terdapat kesulitan dalam
pemasangan sistem sistem ventilasi pengalihan udara untuk perbaikan kenyamanan
termal dan kualitas udara ruang pada gedung. Sistem ini menyalurkan 100% udara
luar ke dalam ruangan melewati bagian bawah lantai atau dinding bawah,
kemudian secara perlahan hawa panas pun terserap ke arah saluran pemipaan pada
plafon tanpa memindahkan debu dan kotoran dari lantai. Pelaksanaan sistem ini
tampak cukup rumit karena sulitnya integrasi sistem ini dengan sistem lain yang
ada pada lantai, dinding dan plafon.
5) Minimnya informasi tentang bangunan hijau
Menurut Yudelson (2008), hal-hal yang perlu diinformasikan tentang bangunan
hijau adalah bagaimana aplikasi konsep hijau yang harus dilakukan secara tepat,
serta berbagai keuntungan sosial dan ekonomi yang penting untuk dijadikan
motivasi bagi stakeholder. Bahkan menurut salah seorang responden, informasi
yang ada tentang bangunan hijau sebenarnya telah cukup tersedia dan mudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
ditemui di Surabaya yang notabene merupakan sebuah kota besar, namun di
antara cukup banyaknya informasi tersebut yang paling penting namun sulit
diperoleh adalah informasi aplikasi teknologi hijau pada bangunan dengan
gambaran nyata mengenai nilai manfaat yang diperoleh dibandingkan dengan
keseluruhan biaya yang telah diinvestasikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan
bahwa informasi detail mengenai perbandingan biaya dan manfaat (cost-benefit)
yang ada pada konsep pembangunan hijau masih sangatlah rendah karena
minimnya penerapan yang ada menurut Tomkiewicks (2011).
6) Perencanaan yang rumit
Perencanaan pada proses konstruksi di dalam proyek pembangunan hijau
memerlukan peran semua pihak secara terintegrasi di sepanjang proses perencanaan
(Ervianto, 2012). Hal ini disebabkan oleh karena cukup banyaknya komponen pada
sistem bangunan hijau yang merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi, sehingga
kesalahan rencana instalasi dapat berdampak terhadap gangguan teknis pada
elemen bangunan lain menurut Choi (2009). Bahkan tanpa berbasis pada instalasi
teknologi hijau, perencanaan bangunan hijau dengan desain pasif pun tidak
sesederhana perencanaan bangunan biasa menurut salah seorang responden yang
merupakan manajer proyek perusahaan pengembang. Sedangkan perencanaan
bangunan hijau yang dikatakan sederhana oleh sebagian kecil responden pada
penelitian ini, dikatakan oleh Petersen (2008) sebagai proses desain yang hanya
mengandalkan trial and error sehingga pencapaian konsep bangunan hijau dapat
berpotensi tidak tepat pada sasarannya.
7) Kurangnya keahlian
Proyek pembangunan hijau adalah proyek yang memerlukan pengetahuan dan skil
yang berbeda dengan proyek biasa berdasarkan pernyataan Hwang (2012).
Sehingga minimnya keahlian yang mendetail tentang bagaimana penerapan,
metode dan spesifikasi teknis teknologi hijau menyebabkan konsep ini menjadi sulit
diterapkan secara maksimal (Robichaud et al, 2011). Dari hasil wawancara yang
telah dilakukan pada seorang manajer proyek, ahli yang kompeten dalam konsep
Green Development pada proyek konstruksi gedung di Surabaya seringkali hanya
terlibat pada saat tahap pelaksanaan konstruksi saja, contohnya yaitu pada proses
pemasangan sistem balok pracetak yang seringkali hanya dikuasai oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
subkontraktor beton ready-mix. Robichaud (2011) dan Dair (2006) menyebutkan
bahwa terlambatnya keterlibatan konsultan yang ahli dalam konsep bangunan hijau
tidak akan memberi pengaruh yang signifikan pada kelancaran pelaksanaan proyek
pembangunan hijau.
8) Rendahnya permintaan pasar
Menurut Abidin (2010), perusahaan pengembang sangat berorientasi pada
pengembangan properti yang mudah laku terjual, sehingga penerapan konsep
pembangunan hijau ini akan secara total dilaksanakan apabila terdapat dorongan
dari permintaan pasar. Yudelson (2008) menyatakan bahwa permintaan pasar dapat
didorong oleh semakin bertambahnya tingkat pertumbuhan proyek-proyek
pembangunan hijau. Hal ini sesuai dengan pendapat seorang responden yang
mengatakan bahwa rendahnya permintaan pasar bukan lagi menjadi suatu
penghambat yang berarti, namun justru dapat menjadi suatu pendorong yang dipicu
oleh perilaku sektor industri dalam memproduksi material ataupun komponen hijau
secara besar-besaran untuk menarik konsumen. Adapun respon tidak setuju pada
rendahnya permintaan pasar yang ada pada saat ini, didukung oleh pernyataan Mc
Graw Hill Construction (2006) yaitu terdapat sebuah kecenderungan bahwa
kemungkinan besar kondisi pasar saat ini telah lebih tinggi dari beberapa tahun lalu.
Wulfram I. Ervianto (2014) menyimpulkan hambatan yang terjadi dalam
mengimplementasikan green construction adalah:
1) Permasalahan Teknologi
Permasalahan teknologi, dimana kontraktor masih terkendala oleh beberapa hal
sebagai berikut: (a) penggunaan bahan bakar alternatif, (b) teknologi daur ulang,
(c) terbatasnya ketersediaan peralatan yang ramah lingkungan dalam hal tingkat
kebisingan, (d) implementasi komponen prafabrikasi, (e) ragam material
terbarukan.
2) Peran Aktif Pemilik Proyek
Peran aktif dari pemilik proyek dalam beberapa hal sebagai berikut: (a)
mensyaratkan pemakaian kayu yang dapat dipertanggungjawabkan asal usulnya,
(b) mensyaratkan pembuatan sistem untuk infiltrasi air tanah, (c) ketentuan
filterisasi air yang akan disalurkan ke dalam riol kota, (d) ketentuan tidak menebang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
pohon kecuali yang berada dalam massa bangunan, (e) mensyaratkan penggunaan
air secara bertanggung jawab baik yang bersumber dari PDAM maupun air tanah,
(f) melakukan monitoring sampah yang dihasilkan, (g) memantau kebisingan,
getaran, dan kondisi air tanah yang diakibatkan oleh aktivitas proyek, (h) memantau
kualitas udara selama proyek berlangsung untuk menciptakan udara bersih.
3) Keterbatasan Regulasi
Terbatasnya regulasi yang mengatur tentang implementasi green construction
dalam beberapa hal sebagai berikut: (a) standarisasi terkait dengan penerangan
yang sesuai untuk aktivitas konstruksi baik di dalam maupun di luar ruangan,
(b) ketentuan penggunaan peralatan konstruksi yang rendah emisi dan berbahan
bakar alternatif.
4) Sumber Pendanaan
Campur tangan sumber pendanaan dalam hal peremajaan berbagai peralatan yang
rendah emisi dan efisien bahan bakar.
5) Faktor Kesadaran
Faktor lainnya yang mencakup sosialisasi penghematan air, energi, penggunaan
sensor cahaya untuk penerangan dan tidak menggunakan bahan berbahaya seperti
merkuri, styrofoam dan zat lain yang tidak ramah lingkungan.
2.3. Analisis Statistik
2.3.1. Uji Validitas
Pearson Product Moment merupakan salah satu teknik pengujian validitas yang
sering digunakan. Teknik ini digunakan untuk mengetahui pengaruh antara variabel
bebas (X) dengan variabel terikat (Y) dengan mengkorelasikan skor butir pada
kuisioner terhadap skor total pada tingkat signifikansi 5%.
Rumus Pearson Product Moment:
𝑟 = n.(Σxy) – (Σx) (Σy)
√{nΣx² – (Σx)²} {n.Σy2 – (Σy)²} (2.1)
Dimana:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
r = korelasi Pearson Product Moment
n = Banyaknya Pasangan data X dan Y
Σx = Total Jumlah dari Variabel X
Σy = Total Jumlah dari Variabel Y
Σx2 = Kuadrat dari Total Jumlah Variabel X
Σy2 = Kuadrat dari Total Jumlah Variabel Y
Σxy = Hasil Perkalian dari Total Jumlah Variabel X dan Variabel Y
2.3.2. Uji Reliabilitas
Metode yang digunakan pada uji reliabilitas adalah metode Cronbach’s Alpha.
Alpha Cronbach adalah koefisien keandalan (reliability) yang menunjukkan
seberapa baik item dalam suatu kumpulan berkorelasi satu sama lain. Perhitungan
Cronbach’s Alpha dilakukan dengan menghitung rerata interkorelasi di antara
butir-butir pertanyaan pada kuisioner.
Rumus Cronbach’s Alpha:
rtt = 𝑘
𝑘−1(1 −
∑ σ b2
σ 𝑡2) (2.2)
Dimana:
rtt = reliabilitas kuisioner
k = banyaknya butir pertanyaan
∑ σ b2 = jumlah variansi butir
σ t2 = variansi total
Tabel 2.2 Cronbach’s Alpha
No Interval Kriteria
1 < 0.200 Sangat rendah
2 0.200 - 0.399 Rendah
3 0.400 - 0.599 Cukup
4 0.600 - 0.799 Tinggi
5 0.800 - 1.000 Sangat Tinggi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
2.3.3. Analisis Regresi Linier Berganda
Analisis regresi berganda adalah suatu model dimana variabel terikat tergantung
pada dua atau lebih variabel bebas. Analisis ini digunakan untuk mengetahui
pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
Bentuk Umum Regresi Linier Berganda
Y = a + b1X1 + b2X2 + ……….. + bnXn (2.3)
Dimana:
Y adalah variabel terikat
X adalah variabel bebas
a adalah konstanta
b adalah koefisien regresi
2.3.4. Uji Asumsi Klasik
Uji asumsi klasik dilakukan seiring analisis regresi berganda, yang meliputi uji
asumsi multikolinieritas, autokorelasi, normalitas, dan heteroskesdastisitas.
Apabila hasilnya tidak ditemukan multikolinieritas, autokorelasi, dan
heteroskesdastisitas, maka analisis regresi berganda yang telah dilakukan dapat
digunakan sebagai hasil akhir uji hipotesis penelitian mengenai hambatan yang
terjadi dalam penerapan green construction.
2.3.4.1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel
pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Uji ini dilakukan dengan
melihat normal probability plot. Distribusi normal akan membentuk garis lurus
diagonal. Dan ploting data residual akan akan dibandingkan dengan garis diagonal,
jika distribusi residual normal, maka garis yang menggambarkan data
sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
2.3.4.2. Uji Multikolinieritas
Mulitikolinieritas menunjukkan hubungan linier antara variabel bebas. Pengujian
multikolinieritas dalam penelitian ini menggunakan nilai varian inflation factor
(VIF) yang diperoleh dari pengujian hipotesis. Kriteria terjadinya multikolinieritas
adalah apabila VIF lebih besar dari 10.
2.3.4.3. Uji Autokorelasi
Pengujian autokorelasi bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi korelasi antara
anggota serangkaian observasi yang diurutkan secara waktu (time series) atau
secara ruang (cross sectional). Metode yang digunakan untuk mengetahui adanya
autokorelasi adalah uji Durbin-Watson.
2.3.4.4. Uji Heterokesdatisitas
Uji heterokedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan varian dari satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varian dari
residual atau pengamatan satu ke pengamatan lain tetap. Maka disebut
homokedastisitas.
Pengujian heterokedastisitas dapat dilakukan dengan melihat grafik plot antara nilai
prediksi variabel terikat, yaitu ZPRED (sumbu X), dengan residualnya SRESID
(sumbu Y). Jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang membentuk pola teratur
(bergelombang, menyebar kemudian menyempit) maka mengindikasikan
terjadinya homokedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas dan teratur, serta titik-
titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka terjadi
heterokedastisitas.
2.3.5. Pengujian Hipotesis Uji t
Yaitu uji hipotesis pengaruh variabel bebas secara parsial terhadap variabel
terikat.
1) Hipotesis operasional
Ho = Variabel bebas secara parsial tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel terikat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Ha = Variabel bebas secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap variabel terikat
2) Perhitungan t tabel
Tingkat signifikasi (α) = 0.05
t tabel = t (α / 2; n – k)
3) Dasar pengambilan keputusan
Berdasarkan t tabel:
Jika t hitung < t tabel maka Ho diterima
Jika t hitung > t tabel maka Ho diterima
Berdasarkan taraf signifikasi/nilai probabilitas
Jika signifikasi > 0,05 maka Ho diterima
Jika signifikasi < 0,05 maka Ho ditolak
Nilai t tabel yang diperoleh dibandingkan nilai t hitung, bila t hitung > t tabel, maka
Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas berpengaruh terhadap
variabel terikat. Apabila t hitung < t tabel, maka Ho diterima sehingga dapat
disimpulkan bahwa variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel terikat.
2.3.6. Pengujian Hipotesis Uji F
Yaitu uji hipotesis pengaruh variabel bebas secara simultan terhadap variabel
terikat.
1) Hipotesis operasional
Ho = Variabel bebas secara simultan tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap variabel terikat
Ha = Variabel bebas secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap variabel terikat
2) Perhitungan t tabel
Tingkat signifikasi (α) = 0.05
F table = t (α , V1, V2)
F table = t (α ,[k-1]; [n-1] [k-1])
Keterangan: n = jumlah sampel, k = jumlah variabel
3) Dasar pengambilan keputusan
Berdasarkan t tabel:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Jika F hitung < F tabel maka Ho diterima
Jika F hitung > F tabel maka Ho diterima
Berdasarkan taraf signifikasi/nilai probabilitas
Jika signifikasi > 0,05 maka Ho diterima
Jika signifikasi < 0,05 maka Ho ditolak
Nilai F tabel yang diperoleh dibandingkan nilai F hitung, bila F hitung > F tabel,
maka Ho ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel bebas berpengaruh
terhadap variabel terikat. Apabila F hitung < F tabel, maka Ho diterima sehingga
dapat disimpulkan bahwa variabel bebas tidak berpengaruh terhadap variabel
terikat.