TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Beo · Orang yang pertama kali memberi nama beo dengan nama...
-
Upload
vuongquynh -
Category
Documents
-
view
241 -
download
1
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Beo · Orang yang pertama kali memberi nama beo dengan nama...
TINJAUAN PUSTAKA
Bio-ekologi Burung Beo
Burung yang mampu menirukan suara-suara yang didengarnya,
terdiri dari beberapa ordo, salah satu diantaranya adalah Passeriformes.
Burung-burung yang termasuk ordo Passeriformes, subordo Passeres
merupakan burung penyanyi (Songbird) yang terdiri dari 52 famili. Namun
demikian, hanya tiga spesies dari ordo ini yang mampu menirukan suara
yaitu magpies (Corvus corax, Corvidae), mockingbirds (Mimus polyglottos,
Mimidae) (Lampiran 4) dan burung beo (Gracula religiosa) yang termasuk
famili Sturnidae (Rutgers & Norris 1977; Storer et al. 1979). Selain burung
beo, burung nuri dan kakatua juga mampu menirukan suara yang
didengarnya (Forshow 1977; Sudaryanti 1984), walaupun
perbendaharaan kata yang diikuti tidak sebanyak burung beo. Hal ini
merupakan daya tarik tersendiri bagi penggemar burung untuk menjadikan
burung beo sebagai hewan kesayangan.
Taksonomi Menurut Peters (1937) dan Monroe dan Sibley (1993) burung beo
diklasifikasikan ke dalam :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
SubFilum : Vertebrata
Kelas : Aves
Ordo : Passeriformes
SubOrdo : Passeres
Famili : Sturnidae
Genus : Gracula
Spesies : Gracula religiosa Linnaeus 1758
9
Orang yang pertama kali memberi nama beo dengan nama latin
Gracula religiosa adalah Linnaeus pada tahun 1758 (Peters 1937; Monroe
dan Sibley 1993). Burung beo banyak disukai oleh masyarakat karena
kepandaiannya di dalam menirukan suara yang didengarnya. Burung beo
di Jawa dikenal dengan sebutan menco, sedangkan di Sumatera Utara
dinamai tiung atau tiong (Prijono dan Waluyo 1996), di Pulau Nias dikenal
dengan mageao (Sitepu 1997) dan dalam bahasa Inggris disebut Mynah
(Campbell dan Lack 1985).
Morfologi
Berdasarkan cuping kuduknya, beo di Indonesia dibedakan atas
lima subspesies (Peters 1962; Prijono dan Waluyo 1996, Gambar 1) yaitu:
1. G. r. religiosa Linnaeus 1758, mempunyai pangkal cuping kuduk
terpisah. Subspesies ini tersebar di Tanah Genting Kra Selatan,
Sumatera, Simalue, Enggano, Pulau Dua, Bangka, Belitung,
Kalimantan, Natuna, Karimata, Jawa, Bawean, Bali dan Kangean.
Dalam dunia perdagangan burung dikenal dengan nama beo medan. 2. G. r. robusta Salvadori 1887, memiliki cuping kuduk bersatu antara kiri
dan kanan. Daerah sebarannya meliputi Nias, Pulau Babi, Tuangku
dan Bangkaru dan dikenal dengan sebutan beo nias. 3. G. r. batuensis Finsch 1899, mempunyai ujung cuping kuduk
membelok ke atas dan pangkalnya terpisah. Penyebarannya meliputi
Tello, Siberut, Sipora, Pagi, Anambas, Tambelan dan Tioman, sering
disebut beo lampung. 4. G. r. mertensi Rensch 1928, memiliki ujung cuping kuduk yang
membelok ke atas, pangkalnya terpisah dan juga membelok ke atas.
Pangkal cuping kuduk jika dilihat dari atas berbentuk seperti dua garis
kuning memanjang ke arah paruh. Mempunyai daerah penyebaran di
Flores, Pulau Pantai dan Alor. 5. G. r. venerata Bonaparte 1851, hampir sama dengan G. r. mertensi
tapi ukurannya lebih kecil. Anak jenis beo ini tersebar di Sumbawa dan
kepulauan Sunda Kecil.
10
Gambar 1. Beberapa spesimen beo yang diawetkan (Sumber : Prijono & Waluyo 1996
(a,c,d,e) dan dokumentasi pribadi (b))
a. Beo medan (G.r.religiosa) d. Beo nias (G.r.robusta) b. Beo kalimantan (G.religiosa spp) e. Beo flores (G.r.mertensi) c. Beo lampung (G.r.batuensis)
Pada umumnya, beo mempunyai ukuran panjang tubuh sekitar
300-380 mm. Warna bulunya hitam mengkilap dengan refleksi ungu dan
hijau (Direktorat PPA 1981; Prijono & Waluyo 1996). Beo dewasa
mempunyai noda putih di ujung bulu primer, sedangkan beo muda
memiliki bulu yang kurang mengkilap. Paruh berwarna kuning, oranye
sampai merah dan di bawahnya terdapat cuping kuduk berwarna kuning
(Maradjo 1977). Beo memiliki leher yang pendek, berpial kuning di bawah
mata sampai belakang kepala (Direktorat PPA 1981). Kulmen (paruh beo
berukuran 30 mm, ulnar (sayap) 15 mm, ekor 69 mm dan tarso-
metatarsus (kaki) 30 mm (Direktorat PPA 1981). Karakter morfologi beo
(a) (b) (c)
(d) (e)
11
thailand utara (n=206) memiliki ukuran bobot badan 189,37±15,94 g,
panjang badan 185,20± 7,40 mm, panjang cuping kuduk 28,60±5,60 mm,
panjang tarsus 32,80±2,10 mm dan panjang ekor 75,10±5,10 mm
(Archawaranon & Mevatee 2002, Lampiran 2).
Telur burung beo memiliki lebar yang bervariasi antara 22,90-33,00
mm (Whistler 1949), 22,50-25,00 mm (Noerdjito 1987), sedangkan
panjangnya berkisar antara 33,00-38,00 mm (Noerdjito 1987). Telur
berwarna biru kehijauan atau kecoklatan (Whistler 1949), kebiruan
(Direktorat PPA 1980a), berbintik biru kotor atau merah coklat (Direktorat
PPA 1981). Menurut Hoogerwerf (1949) ukuran telur beo kalimantan
35,10x26,50 mm, telur beo dari daerah Sumatera berukuran 37x26,5 mm.
12
Habitat dan Penyebaran
Daerah penyebaran subspesies beo di dunia meliputi India, Cina,
Daratan Asia Tenggara, Thailand, Palawan, Kalimantan, Sumatera, Jawa,
Bali, Pulau Enggano, Bawean, Sumbawa, Flores, Alor dan Pulau Aru
(MacKinnon 1993; Direktorat PPA 1980a). Beo dapat hidup di dataran
rendah, bukit hutan primer, hutan rawa, hutan sekunder dan hutan
persawahan sampai ketinggian 1000 m di atas permukaan laut (m dpl)
(Marlee & Voous 1988; Noerdjito 1987). MacKinnon (1993) menyebutkan
bahwa pada umumnya beo terdapat di beberapa tempat dataran rendah
Sumatera (termasuk pulau-pulau di sekitarnya) dan Kalimantan (termasuk
pulau-pulau di sekitarnya), sampai ketinggian 1000 m dpl, sedangkan di
Pulau Jawa dan Bali, dahulu umum ditemukan di pinggir hutan, tetapi
sekarang sudah jarang karena adanya penangkapan dan kerusakan
habitat.
Gambar 2. Penyebaran beo di Indonesia dan Thailand (Sumber: Peters 1962) Keterangan : G.r.religiosa G.r. robusta G.r.mertensi G.r.batuensis G.r. venerata G.r.intermedia
14
Perilaku
Perilaku satwa dapat diartikan sebagai ekspresi suatu satwa yang
disebabkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Pola-pola perilaku
yang ditampilkan oleh satwa dapat digunakan untuk menggolongkan
satwa secara sistematis berdasarkan persamaan dan perbedaan pola
perilaku pada masing-masing satwa tersebut (Drickamer & Vessey 1982).
Menurut Pettingil (1969) dan Lehner (1996), faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku satwa dinamakan rangsangan, stimuli atau
agents, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan dinamakan respon.
Pola perilaku merupakan segmen perilaku yang mempunyai fungsi
adaptasi, untuk menjamin kelangsungan hidup dan keberadaan makhluk
hidup pada suatu kawasan tertentu yang sesuai dengannya (Scott 1969).
Perilaku terdiri atas campuran komponen-komponen yang diwariskan,
dibawa dari lahir (insting) dan diperoleh dari lingkungan selama hidup
yaitu berupa pengalaman (Tanudimadja dan Kusumamihardja 1985).
Kebanyakan studi tentang perilaku satwa dimulai dengan penyusunan
etogram, yaitu suatu uraian lengkap dari perilaku yang ditampilkan oleh
satwa (Drickamer & Vessey 1982). Dalam mempelajari perilaku satwa
pola-pola perilaku dapat dikelompokkan ke dalam sistem-sistem perilaku,
yaitu sekumpulan pola perilaku yang memiliki fungsi yang sama (Lehner
1979), yaitu:
1. Perilaku makan (Ingestive behavior)
2. Perilaku mencari tempat bernaung (Shelter seeking)
3. Perilaku bertentangan (Agonistic behavior)
4. Perilaku seksual (Sexual behavior)
5. Perilaku memelihara (Epilemetic behavior)
6. Perilaku mendekati yang memelihara (Et-epilemetic behavior)
7. Perilaku meniru (Allelomimetic behavior)
8. Perilaku membuang kotoran (Eliminative behavior)
9. Perilaku memeriksa (Investigative/Exploratory behavior)
15
Perilaku Beo di Alam
Beo merupakan burung terbang yang tangkas dan sering terlihat
terbang berkelompok (20-30 ekor), di hutan yang tidak terlalu lebat
(Rutgers & Norris 1997). Mereka mempunyai kebiasaan bersuara pada
pagi hari dan sore hari dengan suaranya yang bervariasi, kadang lembut
dan riang, kadang serak dan kasar, bahkan dengan nada yang tinggi
seperti seruling. Pada saat terbang tinggi sering dilakukan komunikasi
dengan mengeluarkan suara-suara siulan keras atau seperti suara
tangisan (Rutgers & Norris 1997).
Di alam burung beo nias memulai aktifitasnya pada pagi hari,
dengan meninggalkan pohon sekitar pukul 05.00 untuk mencari makan di
Hililego (Bukit Lelego, Kabupaten Nias) dan akan kembali lagi sekitar
pukul 17.00 (Direktorat PPA 1981; Sitepu 1997). Makanan yang disukai
beo adalah buah berdaging dari liana dan buah dari Dipterocarpaceae,
yang mempunyai kulit buah tidak keras. Selain buah, beo menyukai
serangga seperti capung, belalang, jangkrik dan telur semut (Direktorat
PPA 1981, Prijono & Waluyo 1996).
MacKinnon & Phillips (1993) menyebutkan burung beo sering
berada di pohon yang tinggi dan hidup berpasangan, kadang-kadang
berkumpul dalam kelompok. Mereka mengunjungi daerah terbuka dan
pohon berbuah, bercak putih pada sayapnya terlihat jelas saat terbang.
Direktorat PPA (1980) menyebutkan mereka terbang bergerombol. Ketika
terbang, warna kuning dari paruh serta kulit kepala yang tidak berbulu dan
noda putih besar di sayapnya nampak jelas sekali. Sedangkan Noerdjito
(1987) menambahkan bahwa beo nias sering berada di puncak-puncak
pohon, kadang-kadang hinggap di tanah dan suka sekali bertengger di
ranting pohon yang telah mati.
Perilaku Bersarang. Burung beo termasuk burung yang bersarang
dalam lubang (hole nesting species). Di alam, beo membuat sarang di
dalam lubang batang pohon yang sudah mati, atau bekas sarang burung
rangkong juga pada tanaman pakis (yang terdapat di atas dahan) atau
16
dengan merebut sarang burung pelatuk. Burung beo hampir tidak memiliki
persaingan dengan burung lainnya, kecuali dengan burung gagak.
Kadang-kadang beo ditemukan bersama-sama dengan burung rangkong
kecil (Direktorat PPA 1981). Beo di alam menyukai tidur di sarang dalam
lubang pohon walaupun tidak sedang bertelur (Frisch 1986).
Perilaku burung beo yang bersarang dalam lubang pohon saat
mencari sarang menurut Stokes dan Stokes (1990) adalah sebagai
berikut: satu atau sepasang burung mendatangi sarang, memeriksa di luar
dan kemudian masuk ke dalam sarang. Hal ini dapat dilakukan berhari-
hari atau berminggu-minggu dengan mendatangi beberapa sarang
sebelum memilih satu diantaranya. Pada hari berikutnya burung kembali
dengan betinanya dan mencoba menarik perhatian betinanya.
Menurut Whistler (1949) musim kawin burung beo berlangsung
pada bulan Pebruari sampai Mei, sedangkan di Malaysia pada bulan
Desember sampai Mei (Noerdjito 1987). Di Sumatera, musim kawin terjadi
pada bulan Pebruari dan di Kalimantan pada bulan Pebruari dan Maret.
Perilaku membuat sarang sering berhubungan dengan proses
bertelur. Jumlah telur burung beo dalam satu kali musim bertelur ialah dua
sampai dengan tiga butir dengan bentuk oval (Whistler 1949), tetapi ada
yang berpendapat lain dalam satu sarang terdapat empat butir telur
(Direktorat PPA 1980a). Pengeraman dilakukan secara bergantian antara
beo jantan dan beo betina, dengan lama pengeraman selama 12 hari
(Stokes & Stokes 1990), sedangkan menurut Frisch (1986) lama
pengeraman 14 sampai 18 hari. Telur beo yang baru menetas akan
mengeluarkan anakan beo yang tidak berbulu (mulai hari pertama sampai
dengan hari ke tiga) dan mulai hari ke empat sudah terlihat adanya
pertumbuhan bulu seperti yang terlihat pada Lampiran 3
(http://www.mynahbird.com/articles).
Lamanya anak burung berada di sarang sampai bisa terbang
berkisar antara 20-23 hari (Frisch 1986). Anak burung memerlukan waktu
4-8 hari untuk belajar terbang, sehingga ada yang berpendapat bahwa
17
anak burung beo meninggalkan sarang kurang lebih berumur 31 hari
(Stokes & Stokes 1990).
Perilaku Beo Nias di Penangkaran. Di penangkaran, beo nias
lebih banyak mengalokasikan waktu hariannya untuk aktivitas menjelajah
(49,55%). Interaksi sosial lebih banyak terjadi di siang hari (Muallivah
1997). Perilaku agonistik pada kelompok beo nias terjadi pada saat
aktivitas makan, perebutan tempat bertengger dan aktivitas saling
menyelisik bulu. Periode keaktifan interaksi sosial terjadi pada siang hari,
dimana aktivitas yang lain cenderung menurun (Muallivah 1997).
Gambaran Darah Burung Beo
Darah terdiri atas dua komponen yaitu 30-40% komponen sel, yang
terdiri atas eritrosit dan leukosit, serta 60-70% merupakan komponen
plasma yang terdiri atas air, elektrolit, metabolit, zat makanan, protein dan
hormon (Swenson 1977). Darah berfungsi sebagai : 1) media transportasi,
antara lain mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel-sel jaringan tubuh
dan karbondioksida dari jaringan tubuh ke paru-paru, mengangkut bahan
makanan dari usus ke sel-sel tubuh, mengangkut air, elektrolit, enzim dan
hormon; 2) homeostasis, dan 3) pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme (Swenson 1977; Widjajakusuma & Sikar 1986).
Eritrosit mempunyai fungsi pasif di dalam pembuluh darah,
sedangkan leukosit mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan
(Brown 1989). Eritrosit bangsa burung berbentuk lonjong dan memiliki inti.
Pada umumnya jumlah eritrosit dalam sirkulasi darah dipengaruhi oleh
umur, jenis kelamin, hormon, keadaan hipoksia, faktor musim, waktu
harian, suhu lingkungan, status reproduksi, nutrisi dan aktivitas (Sturkie
1976; Hodges 1977 & Mitruka et al. 1977). Eritrosit beo disajikan pada
Gambar 4 (Hawkey & Dennet 1989).
Hemoglobin merupakan pigmen darah pada vertebrata yang terdiri
atas protein kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Semua faktor
18
yang berpengaruh terhadap proses eritropoiesis dan jumlah eritrosit akan
berpengaruh pula terhadap kadar hemoglobin darah. Hal ini terjadi karena
hemoglobin terdapat di dalam eritrosit dan dibentuk saat proses
pematangan eritrosit. Dengan demikian maka secara normal kadar
hemoglobin di dalam darah berbanding lurus dengan jumlah eritrositnya.
Pada burung jantan dewasa kadar hemoglobin lebih tinggi daripada
burung betina dewasa (Schalm et al. 1975; Hodges 1977).
Nilai hematokrit atau Packed Cell Volume (PCV) adalah persentase
volume eritrosit di dalam 100 ml darah. Pada hewan normal nilai
hematokrit berbanding lurus dengan jumlah eritrosit dan kadar
hemoglobin. Semua faktor yang mempengaruhi proses produksi dan
jumlah eritrosit berpengaruh pula terhadap nilai hematokrit (Sturkie 1976).
Leukosit berperan sebagai unit pertahanan tubuh (Guyton 1982).
Pada umumnya jumlah total leukosit cenderung lebih tinggi pada burung
betina dewasa daripada jantan (Hodges 1977). Jumlah leukosit
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, kondisi stres, aktivitas fisiologis
yang tinggi, gizi, lingkungan, efek hormon, obat dan sinar x (Brown 1989;
Sturkie 1976).
Gambar 4. Eritrosit burung beo jawa (Hawkey & Dennet 1989) Keterangan : Tanda panah hitam: sel sabit darah merah Tanda panah biru : eritrosit Tanda panah merah : limfosit
Sel sabit darah merah sering ditemui pada burung beo (G.r.religiosa
dari Jawa) dan ini merupakan fenomena invitro yaitu sampel darah yang
19
(a) (b)
(c) (d)
mengandung oksigen dan tidak berhubungan dengan tanda klinik yang
abnormal. Sebagaimana juga ditemukan pada beberapa spesies rusa
dewasa (swamp deer), sapi, kambing dan beberapa carnivora kecil
(Hawkey & Dennet 1989). Gambaran darah pada beberapa burung dapat
dilihat pada Gambar 5 (Hawkey & Dennet 1989)
Gambar 5. Gambaran darah pada beberapa jenis burung (Hawkey & Dennet 1989) (a) Eosinofil (tanda panah hitam) pada burung lappet faced yang terinfestasi parasit (b) Monosit (tanda panah hijau) pada burung flamingo normal (c) Heterofil (tanda panah hitam) dan trombosit (tanda panah merah) pada burung merpati normal
(d) Limfosit besar (tanda panah biru) pada burung elang
Penelitian tentang gambaran hematologis pada burung beo
thailand telah dilakukan oleh Archawaranon (2005) seperti yang disajikan
pada Tabel 1. Beo thailand muda memiliki jumlah eritrosit yang paling
tinggi (3,85±0,59 x 106/mm3), menyusul beo jantan dewasa (3,75±0,44 x
106/mm3) dan beo betina dewasa (3,17±0,43 x 106/mm3).
20
Tabel 1. Gambaran darah beo thailand (Archawaranon 2005) Parameter komponen
darah yang diukur Jantan dewasa
(n= 20) Betina dewasa
(n=15) Beo muda
(n=10)
Eritrosit (106/mm3) 3,75 ± 0,44 3,17 ± 0,43 3,85 ± 0,59
Hematokrit (%) 47,00 ± 4,86 46,67 ± 3,64 48,60 ± 2,46
Hemoglobin (g/dl) 14,26 ± 1,18 13,59 ± 1,12 14,32 ± 0,62
MCV (µm3) 126,04 ± 11,69 124,23 ± 8,68 131,83 ± 13,89
MCH (pg/sel) 38,35 ± 3,57 37,69 ± 2,62 38,86 ± 4,47
MCHC (g/dl) 30,06 ± 1,53 29,08 ± 0,99 29,46 ± 0,52
Leukosit (103 sel/mm3) 20,77 ± 5,82 27,04 ± 6,80 27,88 ± 7,38
Heterofil (%) 43,79 ± 8,02 43,43 ± 7,91 34,75 ± 6,33
Limfosit (%) 48,65 ± 7,54 48,25 ± 8,47 58,44 ± 12,39
Basofil (%) 0,80 ± 0,73 0,27 ± 0,38 0,20 ± 0,40
Monosit (%) 4,60 ± 4,08 4,30 ± 3,19 4,30 ± 3,19
Keterangan : MCV : Mean Corpuscular Volume MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin MCHC : Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration
Penentuan Jenis Kelamin
Gracula religiosa adalah burung monomorf yaitu sulit dibedakan
antara jantan dan betina, sehingga untuk menentukan jenis kelamin dapat
dilakukan dengan teknik pembuatan kromosom, teknik laparoskopi
ataupun metode yang paling cepat dengan teknik PCR terhadap fragmen
DNA penanda kelamin pada kromosom seksnya (W atau Z).
Archawaranon (2004) telah melakukan teknik determinasi seks dengan
menggunakan metode pembuatan kromosom yang berasal dari bulu ekor
beo populasi thailand yaitu G.r.intermedia (Thailand Utara) dan
G.r.religiosa (Thailand Selatan), dan mendapatkan jumlah kromosom
diploid 80 pada beo thailand (Gambar 6).
Beo jantan memiliki homogamet ZZ dan betina heterogamet ZW,
dengan ukuran kromosom Z adalah hampir dua kali kromosom W. Kariotip
terdiri dari tiga puluh sembilan pasang autosom ( sepuluh pasang
makrokromosom dan dua puluh sembilan pasang mikrokromosom), dan
satu pasang seks kromosom. Kromosom Z berbentuk subtelosentrik dan
21
makrokromosom, sedangkan kromosom W berbentuk submetasentrik dan
berukuran lebih kecil (Archawaranon 2004). Kebanyakan kariotip unggas
terdiri atas sejumlah sedikit makrokromosom dan sejumlah besar
mikrokromosom ( Hammer 1970; Tegelstrom H & Ryttman H 1981). Pada
Gambar 6 terlihat perbedaan cuping kuduk beo populasi thailand utara
dan thailand selatan, yaitu beo populasi thailand utara memiliki cuping
kuduk bersatu dengan cuping di pipi membentuk segitiga, sedangkan beo
populasi thailand selatan memiliki cuping kuduk terpisah dengan cuping di
pipi.
Gambar 6. Kariotip burung beo thailand (G.r.religiosa dan G.r.intermedia), MN: Modified Northern, S: Southern, N: Northern I: Intermediate, MS: Modified Southern (Archawaranon 2004)
22
Genetika Konservasi
Masalah genetika akhir-akhir ini banyak mendapat sorotan dunia
dalam hubungannya dengan masalah konservasi. Tolok ukur keberhasilan
kegiatan konservasi didasarkan pada keanekaragaman genetiknya,
sehingga keanekaragaman genetik menjadi indikator kunci yang penting.
Keadaan alam yang berubah dari waktu ke waktu menyebabkan setiap
spesies harus mampu beradaptasi dengan lingkungan yang berubah,
untuk bertahan hidup. Variasi genetik menentukan kemampuan individu
untuk beradaptasi terhadap perubahan (Haig & Nordstrom 1991; Masy’ud
1992).
Kepunahan suatu spesies sebenarnya fenomena yang telah ada
sejak dulu. Kepunahan suatu spesies diawali dengan terpecahnya
populasi besar menjadi populasi kecil, yang mengakibatkan kehilangan
atau berkurangnya variasi genetik. Pada akhirnya terjadi pengikisan
kelenturan evolusi sehingga suatu spesies tidak mampu beradaptasi
terhadap lingkungan yang berubah (Nilsson 1983; Haig & Nordstrom
1991).
Keanekaragaman genetik identik dengan keanekaragaman alela
dan heterozigositas alela. Hilangnya keanekaragaman hayati dapat
menyebabkan 1) penyimpangan genetik secara acak, 2) derajat silang
dalam (inbreeding) yang tinggi dan 3) pengurangan populasi efektif dari
suatu spesies (Lacy 1987; Haig & Nordstrom 1991). Menurut Haig dan
Nordstrom (1991), strategi yang dapat diaplikasikan pada populasi yang
kecil yaitu dengan memasukkan individu-individu baru dari populasi yang
lain secara teratur, sehingga akan memperbesar populasinya secara
cepat.
Sampai saat ini masih sedikit sekali informasi mengenai variasi
genotip pada burung beo di Indonesia. Studi yang sudah dilakukan adalah
analisis polimorfisme protein darah pada burung beo nias, medan, irian
(Siregar 1997). Dengan menggunakan rumus jarak genetik dan kesamaan
genetik Nei (1987) menunjukkan bahwa beo nias dan beo medan memiliki
jarak genetik yang dekat (D=0,0014) dan kesamaan genetik yang tinggi
23
(I=0,9969). Beo irian (Mino dumontii) merupakan spesies berbeda dengan
beo medan dan beo nias, tapi masih berkerabat dekat. Antara beo nias
dan beo irian mempunyai jarak genetik sebesar I=0,6022 dan D=0,2203,
sedangkan antara beo medan dan beo irian memiliki jarak genetik sebesar
I=0,6425 dan D=0,1921. Dari analisis polimorfisme protein darah,
menunjukkan bahwa beo nias dan beo medan mempunyai kekerabatan
yang lebih dekat dibandingkan dengan beo irian (Siregar 1997).
Sedangkan di Thailand, Kudan et al. (2002 unpublished) telah melakukan
perunutan DNA sebagian daerah D-loop mtDNA burung beo
G.r.intermedia dan G.r.religiosa masing-masing dari populasi Thailand
Utara dan Thailand Selatan. Primer PCR yang digunakan untuk
amplifikasi sebagian daerah D-loop adalah Primer F (NDGE) 5’-CCA TAA
CCA ACA ACC TGT CAAT-3’ dan Primer R (H417) 5’-AGT AGC TCG
GTT CTC GTG AG-3’ (Kudan S 20 Juli 2004, komunikasi pribadi).
Genotip, Fenotip, Mutasi Gen, dan Evolusi Burung
Istilah genotip dan fenotip muncul untuk memahami interaksi antara
gen dan lingkungan terhadap organisme. Suatu organisme dikatakan mirip
atau menyerupai induknya karena ada beberapa persamaan ciri-ciri yang
dapat dilihat. Dalam hal ini ciri-ciri tersebut diwariskan. Ditinjau dari sudut
ilmu keturunan, ciri-ciri yang diwariskan tadi disimpan sebagai informasi
genetik dalam gen-gen yang secara molekular tersusun atas asam nukleat
DNA (Burns & Bottino 1988; Sofro 1994).
Informasi genetik yang disimpan dalam DNA selamanya akan tetap
tersimpan dalam runutan DNA kodon-kodon apabila tidak diekspresikan
dalam molekul protein. Molekul protein yang terbentuk untuk selanjutnya
akan menjadi ciri-ciri yang dapat dilihat, baik dalam bentuk sebagai protein
itu sendiri atau alternatifnya bersama faktor-faktor lain merupakan suatu
gambaran bentuk anatomi, fisiologis, biokimia atau bahkan aktivitas
tertentu. Dalam kaitan ekspresi ciri-ciri ini, bila suatu ciri masih dinyatakan
dalam perangkat genetiknya, maka ciri-ciri ini disebut genotip. Tapi apabila
genotip ini sudah diekspresikan dalam bentuk suatu molekul protein dan
24
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, maka ciri-ciri ini menjadi suatu
penampilan atau fenotip. Organisme termasuk genotip yang sama bila
mereka memiliki seperangkat gen yang sama. Sementara itu organisme
termasuk dalam fenotip yang sama bila mereka memiliki beberapa
persamaan ciri-ciri yang ditampilkan. Genotip memberikan seperangkat
komplit gen yang diwariskan oleh suatu individu, sedangkan fenotip
merupakan ciri-ciri lahiriah organisme yang dihasilkan karena interaksi
antara gen dan lingkungan. Sebenarnya tidak ada dua individu yang
memiliki fenotip sama karena pasti ada perbedaan walaupun sedikit
(Singer & Berg 1981; Sofro 1994).
Mutasi terdiri atas dua jenis yaitu mutasi kromosom dan mutasi
gen. Mutasi kromosom adalah perubahan yang terjadi pada kromosom,
meliputi: a) duplikasi (penambahan), b) delesi (lenyapnya gen dari suatu
kromosom), c) inversi (perubahan letak segmen kromosom), d) pindah
silang (pertukaran gen dari kromosom homolog), e) translokasi
(pertukaran dari kromosom (nonhomolog) (Sugiri 1988). Mutasi gen
secara umum adalah perubahan apapun dalam bahan genetik. Mutasi gen
tidak dapat dilihat dengan mikroskop. Perubahan bahan genetik ini pada
dasarnya disebabkan oleh lima hal, yaitu : a) mutasi noktah yang meliputi
perubahan pada kodon-kodon tunggal, b) transisi, c) transversi, d) insersi
dan e) delesi. Namun secara lebih terbatas mutasi lebih menunjuk ke
perubahan dalam gen (intragenik). Dalam mutasi semacam ini ada dua
kelompok besar, yaitu penggantian basa dan mutasi pergeseran rangka.
Mutasi gen merupakan faktor penentu timbulnya keanekaragaman
genetik yang berakibat pada timbulnya keanekaragaman dalam
kehidupan. Pada mutasi penggantian basa dapat terjadi apa yang disebut
transisi dan tranversi. Mutasi transisi adalah penggantian purin yang satu
dengan purin yang lain atau pirimidin yang satu dengan pirimidin yang
lain, dan umumnya terjadi selama replikasi DNA. Pada peristiwa ini terjadi
pergeseran elektron yang menyebabkan bentuk molekul menjadi sedikit
berubah. Pergeseran tautomer pada basa DNA mengubah sifat pasangan
basa sehingga A dapat berpasangan dengan C, dan T dengan G. Mutasi
25
transversi yaitu penggantian basa purin dengan pirimidin atau sebaliknya.
Umumnya penyebab transversi berbeda dengan penyebab transisi karena
tranversi tidak terjadi selama replikasi DNA, melainkan terkait dengan
sistem reparasi DNA yang rentan terhadap kesalahan (Burns & Bottino
1988; Sofro 1994).
Akibat adanya mutasi transisi dan transversi dapat terjadi mutasi
misens atau nonsens. Pada mutasi misens, asam amino pada rantai
polipeptida yang disintesis digantikan dengan asam amino lain. Pada
mutasi nonsens, kodon yang menyandi suatu asam amino berubah
menjadi kodon henti sehingga sintesis rantai polipeptida berhenti sebelum
waktunya (Burns & Bottino 1988; Sofro 1994).
Pada mutasi pergeseran rangka, mutasi terjadi apabila satu
pasangan basa atau lebih ditambahkan (insersi) atau terhapus (delesi)
dari molekul DNA. Hal ini dapat dimengerti karena kodon dibaca berurutan
untuk tiap triplet nukleotida. Dengan adanya tambahan atau pengurangan
basa, maka pembacaan triplet nukleotida menjadi bergeser. Akibat
terjadinya geseran pembacaan kodon, maka asam amino yang disandi
juga mengalami perubahan. Gen mutan semacam ini akan bertahan bila
protein yang terbentuk dapat bertahan (Burns & Bottino 1988; Sofro
1994).
Dari kenyataan adanya mutasi, tampak bahwa meskipun proses
replikasi DNA merupakan proses yang tepat, tetapi kadang-kadang juga
terjadi kesalahan. Seringkali kesalahan ini dibetulkan dalam sel. Tetapi
kadang-kadang kesalahan ini tidak diperbaiki dan terbawa terus pada
proses replikasi selanjutnya. Kesalahan yang tidak diperbaiki semacam ini
dapat bersifat merusak, tetapi tidak jarang pula tidak menimbulkan
kerugian. Justru adanya mutasi semacam inilah yang menyebabkan
timbulnya keanekaragaman kehidupan di dunia (Burns & Bottino 1988;
Sofro 1994).
Burung termasuk salah satu kelompok vertebrata yang paling
umum dijumpai. Ciri utama kelompok burung adalah adanya bulu yang
menutupi tubuhnya. Secara evolusi, burung berkembang dari reptilia yang
26
berkaki dua (Storer et al. 1979; Welty 1982). Evolusi terdiri dari dua jenis
yaitu mikroevolusi dan makroevolusi, dimana mikroevolusi ialah evolusi
yang berhubungan dengan gene pool pada populasi tunggal dan
makroevolusi adalah evolusi yang termasuk asal usul spesies baru dan
pengelompokan taksonomi tingkat tinggi ( Campbell et al. 2006).
Teknik DNA telah memungkinkan penelusuran sejarah evolusi
organisme, termasuk burung. Menurut Sibley dan Ahlquist (1991)
perbandingan DNA menunjukkan bahwa ada hubungan kekerabatan yang
dekat antara dua kelompok passerine, yaitu antara kelompok jalak dan
beo (starling) di Dunia Lama dengan kelompok mockingbird di Dunia Baru
yang ternyata baru terpisah 25 juta tahun yang lalu. Berdasarkan
penelitian-penelitian tentang anatomi kepala, syrinx dan protein otot yang
pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya Sibley dan Ahlquist
(1991) juga menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan yang signifikan
antara beo dengan mockingbird, yaitu memiliki kepandaian meniru suara.
Dibandingkan dengan vertebrata terestrial lainnya burung adalah
satu-satunya yang memiliki kemampuan terbang yang sangat kuat (Welty
1982). Kemampuan terbang burung inilah yang menurut Darlington (1966)
merupakan faktor utama dalam penyebaran burung, atau dengan kata lain
kondisi penyebaran burung di dunia saat ini adalah hasil dari pergerakan
berpindah burung, dan bukan akibat dari pergeseran benua.
Daerah Kontrol D-loop Mitokondrion DNA
Mitokondrion merupakan organel berupa kantung yang diselaputi
oleh dua membran yaitu membran luar, dan membran dalam, sehingga
memiliki dua kompartemen yaitu matriks mitokondrion yang diselimuti
langsung oleh membran dalam dan ruang antar membran, seperti terlihat
pada Gambar 7. Membran luar dapat dilalui oleh ion dan molekul
berukuran kecil, sedangkan membran dalam bersifat impermiabel. Pada
membran dalam terdapat kompleks protein rantai respirasi, ATP sintase
dan berbagai transporter membran. Ruang matriks mengandung berbagai
jenis enzim yang antara lain terlibat dalam oksidase piruvat, asam lemak
27
dan asam amino serta enzim yang terlibat dalam siklus asam sitrat (Lodish
et al. 1995, Artika 2003).
Membran dalam memiliki struktur melekuk, melipat kedalam ke
bagian matriks mitokondrion, dikenal sebagai krista. Struktur melekuk-
lekuk ini sangat membantu dalam meningkatkan luas permukaan
membran dalam, sehingga meningkatkan kemampuannya dalam
memproduksi ATP (Lodish et al. 1995, Artika 2003).
Matriks mitokondrion berupa cairan kental serupa gel, dengan
campuran ratusan jenis enzim dengan konsentrasi yang sangat tinggi,
untuk proses oksidasi piruvat, oksidasi asam lemak dan untuk
menjalankan siklus asam trikarboksilat. Matriks mitokondrion juga
mengandung salinan identik DNA genom mitokondrion, ribosom
mitokondrion, tRNA dan berbagai jenis enzim yang diperlukan untuk
ekspresi gen mitokondrion (Lodish et al. 1995, Artika 2003).
Molekul DNA mitokondrion mempunyai banyak kelebihan sebagai
penanda molekular dalam mempelajari hubungan evolusi hewan pada
berbagai tingkatan. Hal ini disebabkan ukuran DNA mitokondrion
vertebrata relatif kecil (±16 kb) yang mengandung 13 gen menyandikan
protein, 22 gen menyandikan tRNA (transfer RNA), 2 gen menyandikan
rRNA (ribosomal RNA) dan satu ruas DNA berukuran besar yang tidak
menyandikan protein. DNA mitokondrion tidak memiliki intron, kodon stop
beberapa gennya tidak sempurna dan ujung 3’-CCA dari gen-gen tRNA-
nya tidak ada.
Pola pewarisan mitokondrion melalui garis ibu yang menyebabkan
tidak ada rekombinasi dan laju mutasinya tinggi, sehingga mempunyai
keunggulan tersendiri sebagai penanda molekular tingkat intraspesies
pada sebagian besar vertebrata (Avise 1994). Ekspresi genom
mitokondrion berlangsung di mitokondrion. Berbeda dengan mRNA
nukleus, mRNA mitokondrion tidak mengandung intron (Lodish et al.
1995).
28
Gambar 7. Diagram struktur mitokondrion manusia (Lodish et al. 1995) Keterangan: (a) Struktur tiga dimensi mitokondrion
(b) Diagram penampang melintang mitokondrion (c) Diagram satu dimensi mitokondrion
Genom mitokondrion mempunyai variasi runutan DNA yang tinggi,
beberapa kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti dan kecepatan evolusi 5-
10 kali lebih cepat daripada genom inti dan di daerah D-loop mengalami
evolusi lebih cepat lagi (Brown et al. 1982, Majerus 1996). Genom
mitokondrion ayam leghorn putih berukuran 16775 nukleotida. Genom
mitokondrion unggas menyandikan set gen yang sama sebagaimana
genom vertebrata lainnya (13 penyandi protein, 2 rRNA dan 22 tRNA) dan
mempunyai model yang sangat ekonomis (Desjardins & Morais 1990).
Genom mtDNA ayam memperlihatkan dua karakter berbeda yaitu :
menunjukkan novel gene order, ND6 dan tRNA Glu mempunyai lokasi
berdekatan dengan daerah kontrol D-loop, di depannya terdapat tRNA Phe,
12sRNA, 16sRNA, ND1, ND2, COI, COII, ATP6, COIII, ND3, ND4, ND5
dan gen penyandi sitokrom b dan pada ayam tidak ada daerah yang
setara dengan light-strand replication origin yang merupakan runutan DNA
yang kekal, yang ditemukan diantara tRNA Cys dan tRNA Asn pada semua
genom mitokondrion vertebrata. Hal ini menunjukkan bahwa genom
16569 pb
cb
a
29
16775 pb
mitokondrion galliformes terpisah dengan mamalia dan amfibia selama
evolusi spesies vertebrata (Desjardins & Morais 1990).
Dalam sel vertebrata yang sedang aktif, sebagian dupleks DNA
mitokondrion mengandung struktur pendek berutas tiga yang disebut D-
loop (Displacement Loop). D-loop tidak memiliki penyandi untuk gen-gen
struktural tetapi kebanyakan mengandung elemen pengatur replikasi mt
DNA, transkripsi, dan pengatur ekspresi genetik mtDNA serta memiliki laju
mutasi yang tinggi, bahkan tertinggi di seluruh genom sehingga
mempunyai nilai informasi yang tinggi dalam menguji kekerabatan di
dalam satu spesies (Brown et al. 1982; Aquadro & Greenberg 1983;
Lodish et al. 1995; Vigilant et al. 1989).
D-loop bangsa burung diapit oleh gen tRNAGlu dan tRNAPhe, tidak
seperti vertebrata lainnya diapit oleh tRNAPro dan tRNAPhe (Desjardins dan
Morais 1990, Gambar 8). Daerah D-loop mtDNA telah dirunut secara
lengkap pada tujuh spesies ayam hutan Alectoris. Panjang D-loop sangat
kekal (1155 ± 2 nukleotida) dan laju substitusi lebih rendah dibandingkan
dengan gen sitokrom b pada spesies yang sama.
Gambar 8. Genom mitokondrion Gallus gallus (Sorenson 2003)
30
Analisis komparatif menunjukkan adanya pembagian daerah D-
loop ke dalam tiga domain dengan bagian sisi domain I dan domain III
mengandung variabilitas nukleotida yang tinggi, sedangkan domain II
sebagai pusat yang sangat kekal pada vertebrata (Baker & Marshall,
1997 seperti yang diacu dalam Randi & Lucchini 1998). Walaupun
demikian, 161 nukleotida pertama dari domain I D-loop Alectoris pada sisi
setelah tRNAGlu, berevolusi pada laju yang lebih lambat dan
memperlihatkan motif yang serupa dengan runutan DNA pada mamalia
yang disebut ETAS (Extended Termination-Associated Sequences) I dan
ETAS II (Sbisa et al. 1997) yang dapat membentuk struktur sekunder yang
stabil. Bagian ke dua dari domain I mengandung daerah hipervariabel
dengan dua kopi runutan DNA berulang ganda (tandemly repeated
sequence) pada spesies lain dari anseriformes dan galliformes (Quinn &
Wilson 1993; Fumihito et al.1995). Beberapa blok daerah kekal pada
mamalia dapat dipetakan dalam domain pusat Allectoris. Domain III
mempunyai variabilitas yang tinggi dan runutan DNA serupa dengan CSBI
(Conserved Sequence Block I) mamalia (Gambar 9).