TINJAUAN PUSTAKA

26
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication), profesi kesehatan atau dokter umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Hal tersebut berbeda dengan di beberapa negara tetangga seperti Cina, Korea, dan India yang mengintegrasikan cara dan pengobatan tradisional di dalam sistem pelayanan kesehatan formal. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia merupakan warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat digunakan lebih luas oleh masyarakat. Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang lebih dikenal dengan nama “jamu”, umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat

dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication), profesi kesehatan atau dokter

umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Hal tersebut

berbeda dengan di beberapa negara tetangga seperti Cina, Korea, dan India yang

mengintegrasikan cara dan pengobatan tradisional di dalam sistem pelayanan

kesehatan formal. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan

atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan

keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia

merupakan

warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat

digunakan lebih luas oleh masyarakat.

Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari

tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan

tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan

pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang lebih dikenal

dengan nama “jamu”, umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal dari

tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa akar, batang, daun, umbi

atau mungkin juga seluruh bagian tanaman.

Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan

tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin

antara lain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang

ditulis dari tahun 991 – 1016 pada daun lontar di Bali.3

Indonesia yang beriklim tropis merupakan Negara dengan keanekaragaman

hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25.000 –

30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90 %

dari jenis tanaman di Asia.

Hasil inventarisasi yang dilakukan PT Eisai pada 1986 mendapatkan sekitar

7.000 spesies tanaman di Indonesia digunakan masyarakat sebagai obat, khususnya

oleh industri jamu dan yang didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA

2

(BPOM) Republik Indonesia berjumlah 283 spesies tanaman. Sejumlah tumbuhan

obat Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia

pada tahun 1986 mendokumentasi 940 tanaman obat dan jumlah tersebut tidak

termasuk tanaman obat yang telah punah atau langka dan mungkin ada pula tanaman

obat yang belum dicantumkan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan

masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana cara uji pra klinik obat

tradisional beserta contohnya.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui uji pra klinik

obat tradisional beserta contohnya.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan

menggunakan metode literatur.

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari

bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman. Jamu adalah obat tradisional Indonesia

Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan

keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya

telah di standarisasi.

2.2 Penggolongan Obat Tradisional

Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum (bubuk,

kapsul, tablet), ditempelkan pada permukaan kulit atau mukosa (suppositori atau

ayang dimasukkan ke dalam lubang kemaluan atau lubang anus), tetapi tidak dalam

bentuk obat suntik atau gas. Obat Tradisional (OT) terdiri dari beberapa jenis yaitu

jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka. Adapun kriterianya adalah sebagai

berikut :

2.2.1 Jamu (Empirical Based Herbal Medicine)

Kelompok jamu harus mencantumkan logo

dan tulisan “JAMU” dicetak dengan warna hitam di

atas dasar warna putih atau warna lain yang

mencolok.

Logo berupa “Ranting Daun” terletak dalam

lingkaran warna dicetak dengan warna hijau di atas

dasar warna putih atau warna lain yang mencolok kontras dengan warna logo,

ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah, pembungkus atau brosur.

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA

4

Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya

dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman

yang menjadi penyusu jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada

umumnya jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang

disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5

– 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai

dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara

turun-menurun selama berpuluh – puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah

membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan

tertentu.

Kriteria Jamu:

a) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

b) Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.

c) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

2.2.2 Obat Herbal Terstandar – OHT (Scientific Based Herbal Medicine)

Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah sediaan

obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan

khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan

bahan bakunya telah distandarisasi.

Obat Herbal Terstandar harus mencantumkan

logo dan tulisan “Obat Herbal Terstandar (OHT)”

dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang mencolok

kontras dengan tulisan tersebut. Logo berupa “Jari – jari Daun (3 pasang)” terletak

didalam lingkaran ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri wadah, pembungkus

atau brosur dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain

yang mencolok kontras dengan warna logo.

Obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang

dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses

ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah

dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA

5

pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada

umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian

pre-klinik  seperti  standart  kandungan  bahan  berkhasiat, standart pembuatan

ekstrak tanaman obat, standart pembuatan obat tradisional yang  higienis,  dan  uji

toksisitas  akut  maupun  kronis.

Kriteria Obat Herbal Terstandar (OHT) :

a) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

b) Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau praklinik.

c) Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam

produk jadi.

d) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

2.2.3 Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine)

Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam

yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara

ilmiah dengan uji pra klinik dan uji klinik, bahan baku

dan produk jadinya telah distandarisasi.

Fitofarmaka mencantumkan tulisan

“Fitofarmaka” dengan warna hitam di atas dasar wrna

putih atau warna lain yang mencolok kontras. Logo "Jari – jari Daun (yang kemudian

membentuk bintang terletak dalam lingkaran)” ditempatkan pada bagian atas sebelah

kiri wadah, pembungkus atau brosur dicetak dengan warna hijau diatas warna putih

atau warna lain yang mencolok kontras dengan warna logo.

Obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern

karena aman proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti

ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Dengan uji klinik akan lebih

meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal disarana

pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal

karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah.

Kriteria Fitofarmaka:

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA

6

a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.

b. Klaim khasiat harus  dibuktikan  secara  uji  klinik.

c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam

produk jadi.

d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

2.3 Standarisasi dan Persyaratan Mutu Simplisia

Standarisasi dan persyaratan mutu simplisia diperlukan karena :

Merupakan hal yang penting untuk pengembangan obat tradisional untuk

menjadi obat herbal terstandar atau fitofarmaka;

Dibutuhkan karena kandungan tanaman obat bervariasi tergantung banyak faktor

dan mendapatkan efek yang dapat diulang (reproducible);

Kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai standar : yang berkhasiat, yang

hanya sebagai pertanda (marker) atau yang memiliki sidik jari pada

kromatogram;

Untuk mendapatkan simplisia dengan mutu standar diperlukan pembudidayaan

dalam kondisi standar;

Industri obat disarankan dan didorong untuk membudidayakan dan

mengembangkan sendiri tanaman sumber simplisianya agar diperoleh simplisia

dengan mutu standar yang homogen.

Standarisasi diperlukan juga untuk metode pembuatan sediaan termasuk

pelarut yang digunakan dan sediaan jadinya.

Persyaratan mutu simplisia diperlukan agar dapat menimbulkan efek dan

aman. Persyatatan mutu simplisia harus berdasarkan Farmakope Indonesia, Ekstra

Farmakope Indonesia dan Materia Medika Indonesia (MMI).

Pemeliharaan mutu dimulai dari budidaya, pemanenan, pengolahan pasca

pemanenan, pembuatan bahan baku, sampai ke pembuatan sediaan dan sediaannya.

Parameter standar mutu simplisia antara lain kadar abu, kadar zat terekstrasi

air, kadar terekstraksi etanol, kadar air, kadar zat aktif atau zat identitas, bahan

organik asing, cemaran : mikroba, jamur atau kapang, alfatoksin, residu pestisida dan

logam berat.

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA

7

Parameter standar mutu ekstrak antara lain kadar abu, kadar zat terekstrasi

air, kadar terekstraksi etanol, kadar air, kadar zat aktif atau zat identitas, bahan

organik asing, cemaran : mikroba, jamur atau kapang, alfatoksin, residu pestisida dan

logam berat serta konsistensi ekstrak.

Parameter standar mutu sediaan antara lain waktu hancur, kadar bahan

tambahan (seperti pengawet, pewarna, pemanis), kadar etanol, dan stabilitas.

2.4 Tahapan Pengembangan Obat Tradisional di Indonesia

Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal atau

profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya

khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat

diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik.

Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai

berikut :

Seleksi;

Uji praklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik;

Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar;

Uji klinik.

2.4.1 Tahap Seleksi

Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional

atau obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional atau

obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah :

1) Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka

kejadiannya (berdasarkan pola penyakit);

2) Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu;

3) Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.

Akhir – akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang

mendadak populer di kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian

belakangan ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

yang diklaim antara lain bermanfaat untuk penderita diabetes melitus dan buah

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA

8

merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat menyembuhkan

kanker dan AIDS.

2.4.2 Tahap Uji Praklinik

Uji praklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenisobat tradisional yang

akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji praklinik dilakukan secara in vitro dan

in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya.

Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana

pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional

yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba

yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO

menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan

untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk

melihat keamanannya.

a. Uji Toksisitas

Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji

toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan

karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (Lethal

Dose 50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala

toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu

dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk

pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas

subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji

toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas

subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional

pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas

ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia (Tabel 2.3a).

Tabel 2.3a Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia dan Lama

Pemberian Obat pada Hewan Coba pada Uji Toksisitas

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA

9

Lama Pemberian Obat Pada

Manusia

Lama Pemberian Obat Pada Hewan

Coba

Dosis tunggal atau <1 minggu 2 minggu – 1 bulan

Dosis berulang ± 1 – 4 minggu 4 minggu – 3 bulan

Dosis berulang ± 1 – 6 bulan 3 – 9 bulan

Dosis berulang >6 bulan 9 – 12 bulan

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat

tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara

selektif apabila :

1) Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan

efek khusus seperti kanker atau cacat bawaan;

2) Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur;

3) Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu

misalnya kanker;

4) Obat digunakan secara kronik.

b. Uji Farmakodinamik

Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek

farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari

obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada

hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan

disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro

dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan

efek pada manusia.

2.4.3 Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan

Terstandar

Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan

menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat

mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA

10

dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh

dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil.

Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri atau glikosida

tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula prosedur

ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak

yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang

berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda

(Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga

berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago dan alkaloid. Ekstraksi yang

dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin,

sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia

daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.

2.4.4 Uji klinik Obat Tradisional

Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional atau obat herbal harus

dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat

moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda

(randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku

emas (gold standard). Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat

tradisional atau obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji

preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat

moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat

keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent

sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting

untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi

empat fase yaitu:

Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan

tolerabilitas obat tradisional;

Fase II awal : dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding;

Fase II akhir : dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding;

Fase III : uji klinik definitif;

Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang

lambat timbulnya.

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA

11

Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak

menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji praklinik dapat

langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang

belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II)

guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.

Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya

berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang

dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo

atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus

sehingga sulit untuk dibuat tersamar.

Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia

meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.

Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:

1) Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik;

2) Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat

dan aman pada uji praklinik;

3) Perlunya standardisasi bahan yang diuji;

4) Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis

empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor;

5) Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah

laku di pasaran.

Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat

bahan alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih

sedikit digolongkan sebagai fitofarmaka.

2.5 Klasifikasi Buah Mengkudu

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA

12

Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian)

Genus : Morinda

Spesies : Morinda citrifolia L.

Mengkudu merupakan salah satu tanaman herbal yang cukup terkenal di daerah

tropis. Family dari Rubiaceae ini merupakan tanaman pohon tingginya mencapai 3-8

m. Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 1500 mDpL. Nama Latin

dari bauh ini adalah Morinda citrifolia, biasa disebut noni dalam bahasa hawaii dan

bahasa Inggris dan ungcoikan dalam bahasa Myanmar.

Mengkudu termasuk jenis tanaman pohon dan berbatang bengkok,. Daun tunggal

dengan ujung dan pangkal kebanyakan runcing. Buahnya termasuk buah bongkol,

benjol-benjol tidak teratur, berdaging, jika masak daging buah berair. Buah masak

berwarna kuning kotor atau putih kekuning-kuningan dengan panjang 5-10 cm, lebar

3-6 cm.

Buah mengkudu (M. citrifolia, L.) mengandung scopoletin, sebagai analgesik,

antiradang, antibakteri. Glikosida, sebagai antibakteri, antikanker, imunostimulan.

Alizarin, Acubin, L. Asperuloside, dan flavonoid sebagai antibakteri. Vitamin C,

sebagai antioksidan.

Mengkudu atau Morinda citrifolia (Rubiaceae) merupakan tumbuhan liar yang banyak

tumbuh di tepi pantai di seluruh nusantara. Kulit akarnya digunakan untuk bahan pewarna

batik; daunnya digunakan sebagai obat sakit perut, sesak nafas, disentri dan luka, serta untuk

mengurangi sakit setelah melahirkan; sari buahnya oleh masyarakat digunakan untuk

memperlancar pengeluaran air seni serta mengo-bati sakit kuning, sedangkan campuran buah

yang digiling ditambah cuka diguna-kan untuk mengobati limpa yang bengkak, penyakit

hati, batuk serta untuk mem-bersihkan luka . Beberapa publikasi menyatakan bahwa buah

mengkudu berkhasiat untuk mengobati aterosklerosis, diabetes, tekanan darah tinggi, radang

tenggorokan, batuk, serta mencegah penyerapan lemak dan melancarkan air seni .

2.6 Diabetes

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA

13

Diabetes melitus adalah suatu penyakit hiperglikemia yang bercirikan

kekurangan insulin secara mutlak atau penurunan kepekaan sel terhadap insulin. The

American Diabetic Association membedakan diabetes melitus menjadi diabetes

jenis-1 untuk kekurangan insulin yang mutlak, diabetes jenis-2 yang bercirikan

resistensi insulin dan kekurangan sekresi insulin, diabetes jenis-3 yang disebabkan

oleh gangguan endokrin dan diabetes jenis-4 yaitu diabetes gestasional.

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA

14

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini

diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan

toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah

pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi,

selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan

adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau

beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi

pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui

apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman.

Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi, yaitu :

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis;

Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas);

Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas);

Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).

Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik

obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil

pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada

manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam

pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji

pada manusia.

Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan

telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat

contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba

pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA

15

menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara

in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan,

belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada

manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in

vitro.

Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada

hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia

harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.

3.2 Contoh Uji Pra Klinik Ekstrak Buah Mengkudu Sebagai Antidiabetes

Bahan

Ekstrak etanol kering buah mengkudu, glukosa, glibenklamid, aloksan, kit uji

glukosa (Human), glukotest (Roche), air suling, etanol 70%.

Alat

Alat timbang tikus dan mencit, alat suntik oral tikus dan mencit,

spektrofotometer (Clinicon 4010 Mannheim GMBH), tabung sampel mikro,

sentrifuge, mikropipet, mixer.

Hewan percobaan

Tikus putih jantan galur Wistar dari Laboratorium Perhewanan Departemen

Farmasi ITB, mencit jantan Balb/c dengan berat badan 22 - 35 g dari PT

Biofarma Bandung.

Metode percobaan

Pembuatan ekstrak kering dan sediaan uji

Irisan buah mengkudu yang telah dikeringkan diekstraksi dengan etanol 95%.

kemudian ekstraknya dikisatkan dengan alat penguap vakum putar. Sediaan uji

dibuat dengan mensuspensikan ekstrak kering dalam air suling untuk

mendapatkan dosis 500 dan 1000 mg/kg bb.

Uji antidiabetes dengan metode toleransi glukosa

Hewan percobaan yang telah dikelompokkan secara acak diambil cuplikan darah-

nya (T = 0) untuk penentuan kadar glukosa awal, kelompok uji diberi sediaan uji

secara oral, kelompok kontrol diberi air suling dan kelompok pembanding diberi

glibenklamid. Setelah 30 menit kemudian, semua hewan percobaan diberi larutan

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA

16

glukosa secara oral. Setiap 30 menit cuplikan darah diambil dari masing-masing

hewan percobaan. Setelah darah dalam tabung sampel mikro disentrifuga, kadar

glukosa dalam serumnya ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode

enzima-tik GOD-PAP.

Uji antidiabetes pada mencit diabetes imbasan aloksan

Hewan setelah disuntik dengan aloksan secara intravena dipelihara selama satu

minggu untuk melihat kembali ke keadaan glukosa serum normal. Hewan perco-

baan yang telah dikelompokkan secara acak cuplikan darahnya diambil (T = 0).

Hewan kelompok uji diberi sediaan uji, kelompok pembanding diberi glibenkla-

mid, sedangkan kelompok kontrol diberi air suling selama tujuh hari berturut-

turut. Semua hewan diberi makan dan minum ad-libitum. Pada hari ke-1,

dilakukan pengambilan serum untuk penentuan kadar glukosa serum pada

pemberian tunggal. Cuplikan darah yang diambil pada hari ke-4 sebelum diberi

sediaan uji digunakan untuk penentuan kadar glukosa serum pada pemberian

berulang (3 hari). Pada hari ke-8, serum diambil untuk penentuan kadar glukosa

serum setelah pemberian sediaan uji 7 hari berturut-turut. Kadar glukosa serum

ditentukan secara uji kolori-metri dengan metode enzimatik GOD-PAP (pada

panjang gelombang 546 nm).

Tikus yang hanya diberi larutan glukosa (kelompok kontrol) memperlihatkan

kenaikan kadar glukosa serum (hiperglikemia) pada menit ke-30 sampai menit

ke-90. Hal ini sesuai dengan pustaka bahwa pada metode toleransi glukosa terjadi

peningkatan kadar glukosa serum mulai menit ke-30 sampai menit ke-90 dan

pada menit ke-120 kadar glukosa serum kembali normal.

Pada uji antidiabetes dengan menggunakan metode toleransi glukosa setiap

hewan dalam satu kelompok perlakuan memperlihatkan perubahan kadar glukosa

serum (awal dan lama kerja) yang beragam mulai dari menit ke-30 sampai menit

ke-120 yang menyebabkan data memiliki standar deviasi yang cukup tinggi.

Namun rata-rata perubahan kadar glukosa serum setiap kelompok perlakuan

memperlihatkan pola yang mirip.

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA

17

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh

informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas

calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan

obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya

dipandang perlu menguji pada hewan utuh.

Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi, yaitu :

Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis;

Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas);

Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas);

Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).

Tikus yang hanya diberi larutan glukosa (kelompok kontrol) memperlihatkan

kenaikan kadar glukosa serum (hiperglikemia) pada menit ke-30 sampai menit ke-90.

Hal ini sesuai dengan pustaka bahwa pada metode toleransi glukosa terjadi

peningkatan kadar glukosa serum mulai menit ke-30 sampai menit ke-90 dan pada

menit ke-120 kadar glukosa serum kembali normal.

Pada uji antidiabetes dengan menggunakan metode toleransi glukosa setiap

hewan dalam satu kelompok perlakuan memperlihatkan perubahan kadar glukosa

serum (awal dan lama kerja) yang beragam mulai dari menit ke-30 sampai menit ke-

120 yang menyebabkan data memiliki standar deviasi yang cukup tinggi. Namun

rata-rata perubahan kadar glukosa serum setiap kelompok perlakuan memperlihatkan

pola yang mirip.

4.2 Saran

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA

18

Pengujian obat tradisional secara uji pra klinik diharapkan selalu dilakukan

terhadap berbagai berbagai obat tradisional untuk mengetahui seberapa besar

efektivitas obat tersebut.

Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional