TINJAUAN PUSTAKA
-
Upload
anon618215415 -
Category
Documents
-
view
132 -
download
0
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini meskipun obat tradisional cukup banyak digunakan oleh masyarakat
dalam usaha pengobatan sendiri (self-medication), profesi kesehatan atau dokter
umumnya masih enggan untuk meresepkan ataupun menggunakannya. Hal tersebut
berbeda dengan di beberapa negara tetangga seperti Cina, Korea, dan India yang
mengintegrasikan cara dan pengobatan tradisional di dalam sistem pelayanan
kesehatan formal. Alasan utama keengganan profesi kesehatan untuk meresepkan
atau menggunakan obat tradisional karena bukti ilmiah mengenai khasiat dan
keamanan obat tradisional pada manusia masih kurang. Obat tradisional Indonesia
merupakan
warisan budaya bangsa sehingga perlu digali, diteliti dan dikembangkan agar dapat
digunakan lebih luas oleh masyarakat.
Definisi obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahan yang berasal dari
tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut, yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli Indonesia yang lebih dikenal
dengan nama “jamu”, umumnya campuran obat herbal, yaitu obat yang berasal dari
tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupa akar, batang, daun, umbi
atau mungkin juga seluruh bagian tanaman.
Penggunaan obat tradisional di Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan
tahun yang lalu, sebelum obat modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin
antara lain pada lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang
ditulis dari tahun 991 – 1016 pada daun lontar di Bali.3
Indonesia yang beriklim tropis merupakan Negara dengan keanekaragaman
hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25.000 –
30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia dan 90 %
dari jenis tanaman di Asia.
Hasil inventarisasi yang dilakukan PT Eisai pada 1986 mendapatkan sekitar
7.000 spesies tanaman di Indonesia digunakan masyarakat sebagai obat, khususnya
oleh industri jamu dan yang didaftarkan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
2
(BPOM) Republik Indonesia berjumlah 283 spesies tanaman. Sejumlah tumbuhan
obat Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia
pada tahun 1986 mendokumentasi 940 tanaman obat dan jumlah tersebut tidak
termasuk tanaman obat yang telah punah atau langka dan mungkin ada pula tanaman
obat yang belum dicantumkan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana cara uji pra klinik obat
tradisional beserta contohnya.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui uji pra klinik
obat tradisional beserta contohnya.
1.4 Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan dalam penulisan makalah ini adalah dengan
menggunakan metode literatur.
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari
bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan
berdasarkan pengalaman. Jamu adalah obat tradisional Indonesia
Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya
telah di standarisasi.
2.2 Penggolongan Obat Tradisional
Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum (bubuk,
kapsul, tablet), ditempelkan pada permukaan kulit atau mukosa (suppositori atau
ayang dimasukkan ke dalam lubang kemaluan atau lubang anus), tetapi tidak dalam
bentuk obat suntik atau gas. Obat Tradisional (OT) terdiri dari beberapa jenis yaitu
jamu, obat herbal terstandar, fitofarmaka. Adapun kriterianya adalah sebagai
berikut :
2.2.1 Jamu (Empirical Based Herbal Medicine)
Kelompok jamu harus mencantumkan logo
dan tulisan “JAMU” dicetak dengan warna hitam di
atas dasar warna putih atau warna lain yang
mencolok.
Logo berupa “Ranting Daun” terletak dalam
lingkaran warna dicetak dengan warna hijau di atas
dasar warna putih atau warna lain yang mencolok kontras dengan warna logo,
ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari wadah, pembungkus atau brosur.
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
4
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya
dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman
yang menjadi penyusu jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Pada
umumnya jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang
disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5
– 10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai
dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara
turun-menurun selama berpuluh – puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah
membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan
tertentu.
Kriteria Jamu:
a) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
b) Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.
c) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
2.2.2 Obat Herbal Terstandar – OHT (Scientific Based Herbal Medicine)
Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah sediaan
obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan
bahan bakunya telah distandarisasi.
Obat Herbal Terstandar harus mencantumkan
logo dan tulisan “Obat Herbal Terstandar (OHT)”
dicetak dengan warna hitam di atas dasar warna putih atau warna lain yang mencolok
kontras dengan tulisan tersebut. Logo berupa “Jari – jari Daun (3 pasang)” terletak
didalam lingkaran ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri wadah, pembungkus
atau brosur dicetak dengan warna hijau di atas dasar warna putih atau warna lain
yang mencolok kontras dengan warna logo.
Obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang
dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses
ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah
dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
5
pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada
umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian
pre-klinik seperti standart kandungan bahan berkhasiat, standart pembuatan
ekstrak tanaman obat, standart pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji
toksisitas akut maupun kronis.
Kriteria Obat Herbal Terstandar (OHT) :
a) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
b) Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau praklinik.
c) Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi.
d) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
2.2.3 Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine)
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam
yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara
ilmiah dengan uji pra klinik dan uji klinik, bahan baku
dan produk jadinya telah distandarisasi.
Fitofarmaka mencantumkan tulisan
“Fitofarmaka” dengan warna hitam di atas dasar wrna
putih atau warna lain yang mencolok kontras. Logo "Jari – jari Daun (yang kemudian
membentuk bintang terletak dalam lingkaran)” ditempatkan pada bagian atas sebelah
kiri wadah, pembungkus atau brosur dicetak dengan warna hijau diatas warna putih
atau warna lain yang mencolok kontras dengan warna logo.
Obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern
karena aman proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti
ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Dengan uji klinik akan lebih
meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal disarana
pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal
karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah.
Kriteria Fitofarmaka:
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
6
a. Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
b. Klaim khasiat harus dibuktikan secara uji klinik.
c. Telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam
produk jadi.
d. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
2.3 Standarisasi dan Persyaratan Mutu Simplisia
Standarisasi dan persyaratan mutu simplisia diperlukan karena :
Merupakan hal yang penting untuk pengembangan obat tradisional untuk
menjadi obat herbal terstandar atau fitofarmaka;
Dibutuhkan karena kandungan tanaman obat bervariasi tergantung banyak faktor
dan mendapatkan efek yang dapat diulang (reproducible);
Kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai standar : yang berkhasiat, yang
hanya sebagai pertanda (marker) atau yang memiliki sidik jari pada
kromatogram;
Untuk mendapatkan simplisia dengan mutu standar diperlukan pembudidayaan
dalam kondisi standar;
Industri obat disarankan dan didorong untuk membudidayakan dan
mengembangkan sendiri tanaman sumber simplisianya agar diperoleh simplisia
dengan mutu standar yang homogen.
Standarisasi diperlukan juga untuk metode pembuatan sediaan termasuk
pelarut yang digunakan dan sediaan jadinya.
Persyaratan mutu simplisia diperlukan agar dapat menimbulkan efek dan
aman. Persyatatan mutu simplisia harus berdasarkan Farmakope Indonesia, Ekstra
Farmakope Indonesia dan Materia Medika Indonesia (MMI).
Pemeliharaan mutu dimulai dari budidaya, pemanenan, pengolahan pasca
pemanenan, pembuatan bahan baku, sampai ke pembuatan sediaan dan sediaannya.
Parameter standar mutu simplisia antara lain kadar abu, kadar zat terekstrasi
air, kadar terekstraksi etanol, kadar air, kadar zat aktif atau zat identitas, bahan
organik asing, cemaran : mikroba, jamur atau kapang, alfatoksin, residu pestisida dan
logam berat.
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
7
Parameter standar mutu ekstrak antara lain kadar abu, kadar zat terekstrasi
air, kadar terekstraksi etanol, kadar air, kadar zat aktif atau zat identitas, bahan
organik asing, cemaran : mikroba, jamur atau kapang, alfatoksin, residu pestisida dan
logam berat serta konsistensi ekstrak.
Parameter standar mutu sediaan antara lain waktu hancur, kadar bahan
tambahan (seperti pengawet, pewarna, pemanis), kadar etanol, dan stabilitas.
2.4 Tahapan Pengembangan Obat Tradisional di Indonesia
Agar obat tradisional dapat diterima di pelayanan kesehatan formal atau
profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung oleh bukti ilmiah adanya
khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut hanya dapat
diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik.
Tahapan pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai
berikut :
Seleksi;
Uji praklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farmakodinamik;
Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pembuatan sediaan terstandar;
Uji klinik.
2.4.1 Tahap Seleksi
Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat tradisional
atau obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional atau
obat herbal yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah :
1) Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka
kejadiannya (berdasarkan pola penyakit);
2) Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu;
3) Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.
Akhir – akhir ini ada kecenderungan untuk meneliti tanaman obat yang
mendadak populer di kalangan masyarakat. Sebagai contoh banyak penelitian
belakangan ini dilakukan terhadap tanaman Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)
yang diklaim antara lain bermanfaat untuk penderita diabetes melitus dan buah
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
8
merah (Pandanus conoideus Lamk.) yang diklaim antara lain dapat menyembuhkan
kanker dan AIDS.
2.4.2 Tahap Uji Praklinik
Uji praklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenisobat tradisional yang
akan dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji praklinik dilakukan secara in vitro dan
in vivo pada hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana
pemberian pada manusia. Menurut pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional
yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM Departemen Kesehatan RI hewan coba
yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau mencit, sedangkan WHO
menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada hewan coba digunakan
untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan untuk
melihat keamanannya.
a. Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, subkronik, kronik, dan uji
toksisitas khusus yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan
karsinogenisitas. Uji toksisitas akut dimaksudkan untuk menentukan LD50 (Lethal
Dose 50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan coba, menilai berbagai gejala
toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji LD50 perlu
dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk
pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas
subkronik obat diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji
toksisitas kronik obat diberikan selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas
subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui efek toksik obat tradisional
pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada uji toksisitas
ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia (Tabel 2.3a).
Tabel 2.3a Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia dan Lama
Pemberian Obat pada Hewan Coba pada Uji Toksisitas
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
9
Lama Pemberian Obat Pada
Manusia
Lama Pemberian Obat Pada Hewan
Coba
Dosis tunggal atau <1 minggu 2 minggu – 1 bulan
Dosis berulang ± 1 – 4 minggu 4 minggu – 3 bulan
Dosis berulang ± 1 – 6 bulan 3 – 9 bulan
Dosis berulang >6 bulan 9 – 12 bulan
Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat
tradisional agar masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara
selektif apabila :
1) Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan
efek khusus seperti kanker atau cacat bawaan;
2) Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur;
3) Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu
misalnya kanker;
4) Obat digunakan secara kronik.
b. Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek
farmakodinamik dan menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari
obat tradisional tersebut. Penelitian dilakukan secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang diuji dan bentuk sediaan
disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif secara in vitro
dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan kemungkinan
efek pada manusia.
2.4.3 Standardisasi Sederhana, Penentuan Identitas dan Pembuatan Sediaan
Terstandar
Pada tahap ini dilakukan standarisasi simplisia, penentuan identitas, dan
menentukan bentuk sediaan yang sesuai. Bentuk sediaan obat herbal sangat
mempengaruhi efek yang ditimbulkan. Bahan segar berbeda efeknya dibandingkan
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
10
dengan bahan yang telah dikeringkan. Proses pengolahan seperti direbus, diseduh
dapat merusak zat aktif tertentu yang bersifat termolabil.
Sebagai contoh tanaman obat yang mengandung minyak atsiri atau glikosida
tidak boleh dibuat dalam bentuk decoct karena termolabil. Demikian pula prosedur
ekstraksi sangat mempengaruhi efek sediaan obat herbal yang dihasilkan. Ekstrak
yang diproduksi dengan jenis pelarut yang berbeda dapat memiliki efek terapi yang
berbeda karena zat aktif yang terlarut berbeda. Sebagai contoh daun jati belanda
(Guazuma ulmifolia Lamk) memiliki tiga jenis kandungan kimia yang diduga
berperan untuk pelangsing yaitu tanin, musilago dan alkaloid. Ekstraksi yang
dilakukan dengan etanol 95% hanya melarutkan alkaloid dan sedikit tanin,
sedangkan ekstraksi dengan air atau etanol 30% didapatkan ketiga kandungan kimia
daun jati belanda yaitu tanin, musilago, dan alkaloid tersari dengan baik.
2.4.4 Uji klinik Obat Tradisional
Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional atau obat herbal harus
dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat
moderen maka uji klinik berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda
(randomized double-blind controlled clinical trial) merupakan desain uji klinik baku
emas (gold standard). Uji klinik pada manusia hanya dapat dilakukan apabila obat
tradisional atau obat herbal tersebut telah terbukti aman dan berkhasiat pada uji
preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik obat
moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat
keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent
sebelum penelitian dilakukan. Standardisasi sediaan merupakan hal yang penting
untuk dapat menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi
empat fase yaitu:
Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk menguji keamanan dan
tolerabilitas obat tradisional;
Fase II awal : dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding;
Fase II akhir : dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding;
Fase III : uji klinik definitif;
Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek samping yang jarang atau yang
lambat timbulnya.
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
11
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak
menunjukkan efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji praklinik dapat
langsung dilakukan uji klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang
belum digunakan secara luas harus melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II)
guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap obat tradisional tersebut.
Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan umumnya
berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang
dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo
atau obat standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus
sehingga sulit untuk dibuat tersamar.
Saat ini belum banyak uji klinik obat tradisional yang dilakukan di Indonesia
meskipun nampaknya cenderung meningkat dalam lima tahun belakangan ini.
Kurangnya uji klinik yang dilakukan terhadap obat tradisional antara lain karena:
1) Besarnya biaya yang dibutuhkan untuk melakukan uji klinik;
2) Uji klinik hanya dapat dilakukan bila obat tradisional telah terbukti berkhasiat
dan aman pada uji praklinik;
3) Perlunya standardisasi bahan yang diuji;
4) Sulitnya menentukan dosis yang tepat karena penentuan dosis berdasarkan dosis
empiris, selain itu kandungan kimia tanaman tergantung pada banyak faktor;
5) Kekuatiran produsen akan hasil yang negatif terutama bagi produk yang telah
laku di pasaran.
Setelah melalui penilaian oleh Badan POM, dewasa ini terdapat sejumlah obat
bahan alam yang digolongkan sebagai obat herbal terstandar dan dalam jumlah lebih
sedikit digolongkan sebagai fitofarmaka.
2.5 Klasifikasi Buah Mengkudu
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
12
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian)
Genus : Morinda
Spesies : Morinda citrifolia L.
Mengkudu merupakan salah satu tanaman herbal yang cukup terkenal di daerah
tropis. Family dari Rubiaceae ini merupakan tanaman pohon tingginya mencapai 3-8
m. Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 1500 mDpL. Nama Latin
dari bauh ini adalah Morinda citrifolia, biasa disebut noni dalam bahasa hawaii dan
bahasa Inggris dan ungcoikan dalam bahasa Myanmar.
Mengkudu termasuk jenis tanaman pohon dan berbatang bengkok,. Daun tunggal
dengan ujung dan pangkal kebanyakan runcing. Buahnya termasuk buah bongkol,
benjol-benjol tidak teratur, berdaging, jika masak daging buah berair. Buah masak
berwarna kuning kotor atau putih kekuning-kuningan dengan panjang 5-10 cm, lebar
3-6 cm.
Buah mengkudu (M. citrifolia, L.) mengandung scopoletin, sebagai analgesik,
antiradang, antibakteri. Glikosida, sebagai antibakteri, antikanker, imunostimulan.
Alizarin, Acubin, L. Asperuloside, dan flavonoid sebagai antibakteri. Vitamin C,
sebagai antioksidan.
Mengkudu atau Morinda citrifolia (Rubiaceae) merupakan tumbuhan liar yang banyak
tumbuh di tepi pantai di seluruh nusantara. Kulit akarnya digunakan untuk bahan pewarna
batik; daunnya digunakan sebagai obat sakit perut, sesak nafas, disentri dan luka, serta untuk
mengurangi sakit setelah melahirkan; sari buahnya oleh masyarakat digunakan untuk
memperlancar pengeluaran air seni serta mengo-bati sakit kuning, sedangkan campuran buah
yang digiling ditambah cuka diguna-kan untuk mengobati limpa yang bengkak, penyakit
hati, batuk serta untuk mem-bersihkan luka . Beberapa publikasi menyatakan bahwa buah
mengkudu berkhasiat untuk mengobati aterosklerosis, diabetes, tekanan darah tinggi, radang
tenggorokan, batuk, serta mencegah penyerapan lemak dan melancarkan air seni .
2.6 Diabetes
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
13
Diabetes melitus adalah suatu penyakit hiperglikemia yang bercirikan
kekurangan insulin secara mutlak atau penurunan kepekaan sel terhadap insulin. The
American Diabetic Association membedakan diabetes melitus menjadi diabetes
jenis-1 untuk kekurangan insulin yang mutlak, diabetes jenis-2 yang bercirikan
resistensi insulin dan kekurangan sekresi insulin, diabetes jenis-3 yang disebabkan
oleh gangguan endokrin dan diabetes jenis-4 yaitu diabetes gestasional.
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
14
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Uji Pra Klinik Obat Tradisional
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini
diperoleh informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan
toksisitas calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi,
selanjutnya dipandang perlu menguji pada hewan utuh. Hewan yang baku digunakan
adalah galur tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster, anjing atau
beberapa uji menggunakan primata, hewan-hewan ini sangat berjasa bagi
pengembangan obat. Hanya dengan menggunakan hewan utuh dapat diketahui
apakah obat menimbulkan efek toksik pada dosis pengobatan atau aman.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi, yaitu :
Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis;
Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas);
Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas);
Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).
Selain toksisitasnya, uji pada hewan dapat mempelajari sifat farmakokinetik
obat meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme dan eliminasi obat. Semua hasil
pengamatan pada hewan menentukan apakah dapat diteruskan dengan uji pada
manusia. Ahli farmakologi bekerja sama dengan ahli teknologi farmasi dalam
pembuatan formula obat, menghasilkan bentuk-bentuk sediaan obat yang akan diuji
pada manusia.
Di samping uji pada hewan, untuk mengurangi penggunaan hewan percobaan
telah dikembangkan pula berbagai uji in vitro untuk menentukan khasiat obat
contohnya uji aktivitas enzim, uji antikanker menggunakan cell line, uji anti mikroba
pada perbenihan mikroba, uji antioksidan, uji antiinflamasi dan lain-lain untuk
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
15
menggantikan uji khasiat pada hewan tetapi belum semua uji dapat dilakukan secara
in vitro. Uji toksisitas sampai saat ini masih tetap dilakukan pada hewan percobaan,
belum ada metode lain yang menjamin hasil yang menggambarkan toksisitas pada
manusia, untuk masa yang akan datang perlu dikembangkan uji toksisitas secara in
vitro.
Setelah calon obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan dan aman pada
hewan percobaan maka selanjutnya diuji pada manusia (uji klinik). Uji pada manusia
harus diteliti dulu kelayakannya oleh komite etik mengikuti Deklarasi Helsinki.
3.2 Contoh Uji Pra Klinik Ekstrak Buah Mengkudu Sebagai Antidiabetes
Bahan
Ekstrak etanol kering buah mengkudu, glukosa, glibenklamid, aloksan, kit uji
glukosa (Human), glukotest (Roche), air suling, etanol 70%.
Alat
Alat timbang tikus dan mencit, alat suntik oral tikus dan mencit,
spektrofotometer (Clinicon 4010 Mannheim GMBH), tabung sampel mikro,
sentrifuge, mikropipet, mixer.
Hewan percobaan
Tikus putih jantan galur Wistar dari Laboratorium Perhewanan Departemen
Farmasi ITB, mencit jantan Balb/c dengan berat badan 22 - 35 g dari PT
Biofarma Bandung.
Metode percobaan
Pembuatan ekstrak kering dan sediaan uji
Irisan buah mengkudu yang telah dikeringkan diekstraksi dengan etanol 95%.
kemudian ekstraknya dikisatkan dengan alat penguap vakum putar. Sediaan uji
dibuat dengan mensuspensikan ekstrak kering dalam air suling untuk
mendapatkan dosis 500 dan 1000 mg/kg bb.
Uji antidiabetes dengan metode toleransi glukosa
Hewan percobaan yang telah dikelompokkan secara acak diambil cuplikan darah-
nya (T = 0) untuk penentuan kadar glukosa awal, kelompok uji diberi sediaan uji
secara oral, kelompok kontrol diberi air suling dan kelompok pembanding diberi
glibenklamid. Setelah 30 menit kemudian, semua hewan percobaan diberi larutan
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
16
glukosa secara oral. Setiap 30 menit cuplikan darah diambil dari masing-masing
hewan percobaan. Setelah darah dalam tabung sampel mikro disentrifuga, kadar
glukosa dalam serumnya ditentukan secara uji kolorimetri dengan metode
enzima-tik GOD-PAP.
Uji antidiabetes pada mencit diabetes imbasan aloksan
Hewan setelah disuntik dengan aloksan secara intravena dipelihara selama satu
minggu untuk melihat kembali ke keadaan glukosa serum normal. Hewan perco-
baan yang telah dikelompokkan secara acak cuplikan darahnya diambil (T = 0).
Hewan kelompok uji diberi sediaan uji, kelompok pembanding diberi glibenkla-
mid, sedangkan kelompok kontrol diberi air suling selama tujuh hari berturut-
turut. Semua hewan diberi makan dan minum ad-libitum. Pada hari ke-1,
dilakukan pengambilan serum untuk penentuan kadar glukosa serum pada
pemberian tunggal. Cuplikan darah yang diambil pada hari ke-4 sebelum diberi
sediaan uji digunakan untuk penentuan kadar glukosa serum pada pemberian
berulang (3 hari). Pada hari ke-8, serum diambil untuk penentuan kadar glukosa
serum setelah pemberian sediaan uji 7 hari berturut-turut. Kadar glukosa serum
ditentukan secara uji kolori-metri dengan metode enzimatik GOD-PAP (pada
panjang gelombang 546 nm).
Tikus yang hanya diberi larutan glukosa (kelompok kontrol) memperlihatkan
kenaikan kadar glukosa serum (hiperglikemia) pada menit ke-30 sampai menit
ke-90. Hal ini sesuai dengan pustaka bahwa pada metode toleransi glukosa terjadi
peningkatan kadar glukosa serum mulai menit ke-30 sampai menit ke-90 dan
pada menit ke-120 kadar glukosa serum kembali normal.
Pada uji antidiabetes dengan menggunakan metode toleransi glukosa setiap
hewan dalam satu kelompok perlakuan memperlihatkan perubahan kadar glukosa
serum (awal dan lama kerja) yang beragam mulai dari menit ke-30 sampai menit
ke-120 yang menyebabkan data memiliki standar deviasi yang cukup tinggi.
Namun rata-rata perubahan kadar glukosa serum setiap kelompok perlakuan
memperlihatkan pola yang mirip.
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Uji praklinik merupakan persyaratan uji untuk calon obat, dari uji ini diperoleh
informasi tentang efikasi (efek farmakologi), profil farmakokinetik dan toksisitas
calon obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah pengujian ikatan
obat pada reseptor dengan kultur sel terisolasi atau organ terisolasi, selanjutnya
dipandang perlu menguji pada hewan utuh.
Penelitian toksisitas merupakan cara potensial untuk mengevaluasi, yaitu :
Toksisitas yang berhubungan dengan pemberian obat akut atau kronis;
Kerusakan genetik (genotoksisitas, mutagenisitas);
Pertumbuhan tumor (onkogenisitas atau karsinogenisitas);
Kejadian cacat waktu lahir (teratogenisitas).
Tikus yang hanya diberi larutan glukosa (kelompok kontrol) memperlihatkan
kenaikan kadar glukosa serum (hiperglikemia) pada menit ke-30 sampai menit ke-90.
Hal ini sesuai dengan pustaka bahwa pada metode toleransi glukosa terjadi
peningkatan kadar glukosa serum mulai menit ke-30 sampai menit ke-90 dan pada
menit ke-120 kadar glukosa serum kembali normal.
Pada uji antidiabetes dengan menggunakan metode toleransi glukosa setiap
hewan dalam satu kelompok perlakuan memperlihatkan perubahan kadar glukosa
serum (awal dan lama kerja) yang beragam mulai dari menit ke-30 sampai menit ke-
120 yang menyebabkan data memiliki standar deviasi yang cukup tinggi. Namun
rata-rata perubahan kadar glukosa serum setiap kelompok perlakuan memperlihatkan
pola yang mirip.
4.2 Saran
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional
18
Pengujian obat tradisional secara uji pra klinik diharapkan selalu dilakukan
terhadap berbagai berbagai obat tradisional untuk mengetahui seberapa besar
efektivitas obat tersebut.
Fitofarmaka – Uji Pra Klinik Obat Tradisional