Tiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'ud
-
Upload
luluk-wulandari-hariyanto -
Category
Education
-
view
2.492 -
download
3
description
Transcript of Tiga keranjang (Tripitaka Sejarah) By Profesor Abu Su'ud
TIGA
KERANJANG
(TRIPITAKA)
SEJARAH
Oleh
Prof. DR. Abu Su`ud
0
KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum Wr. Wb.
Buku yang anda hadapi sekarang adalah sebuah bacaan (reading) dalam bidang
pendidikan sejarah, ilmu sejarah maupun peristiwa-peristiwa sejarah, dan dimaksudkan
sebagai penunjang bagi mereka yang tengah memperdalam kajian sejarah, atau siapapun
yang tertarik pada kajian sejarah. Banyak perisrtiwa sejarah yang sering membingungkan,
terutama bagi mereka yang berkepentingan secara politik, pengajar sejarah, maupun
pemerhati sejarah. Dengan begitu buku ini bukan dimaksudkan sebagai buku teks bagi
mereka yang melakukan kajian sejarah.
Sebagai sebuah buku bacaan atau reading buku ini merupakan kumpulan tulisan
yang terserak, yang dalam media masa, bahan ceramah dalam forum pertemuan ilmiah,
maupun karya ilmiah dalam studi lanjut. Penyumbang tulisan ini dengan demikian dari
berbagai pihak sesuai dengan minat dan keahlian. Meskipun demikian sebagian besar
memang merupakan karya penulis yang merangkap sebagai penyunting (editor).
Terima kasih disampaikan kepada Patrick Gardner yang menulis buku Nature of
Historical Explanation. Buku tersebut telah dilaporkan oleh penulis buku yang anda
pegang ini sebagai bagian dari tugas perkuliahan SEJARAH 500 yang diampu oleh Prof.
DR. Sartono Kartodirdjo dalam Progra Doktor IKIP Bandung pada tahun 1981. Laporan
buku ini diolah kembali dalam buku ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bernard
Lewis , direktur Lembaga Riset Annenberg untuk kajian-kajian tentang masalah Yahudi
dan Timur Dekat. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
Tidak lupa terima kasih disampaikan kepada para penulis di sekitar peranan Pangeran
Diponegoro, seperti Prof. DR. Djoko Surjo dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universiras Gajah Mada, Prof. DR. AM. Djuliati Surojo dari Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra Universitas Diponegoro, Sagimun MD, penulis buku tentang Pangeran
Diponegoro, naupun Amen Budiman pengamat dan pecinta sejarah dari kota Semarang,
1
yang enggan disebut sejarawan. Terima kasih juga sudah sepatutnya disampaikan kepada
media masa yang telah menerbitkan tulisan-tulisan saya sebagai karya lepas, yang dimuat
sesuai dengan konteks tertentu.
Akhirnya kritik dan saran untuk penyempurnaan buku ini diharapkan dapat
disampaikan kepada penulis.
Selanjutnya last but not lease terima kasih saya sampaikan kepada Prof. DR. H. Sudijono
Sastroatmodjo, MSi selaku rektor Universitas Negeri Semarang yang atas kebijakannya
telah memberi ijin untuk menerbitkan buku ini berkenaan dengan Ulang Tahun saya ke
70 dalam memasuki purna tugas sebagai Guru Besar pendidikan sejarah pasa Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang pada awal Agustus 2008. Dan lebih dari
segalanya saya panjatkkan syukur pada Allah SWT yang senantiasa memberikanb
berbagai kemudahan dalam hidup yang saya jalani ini. Semoga Allah SWR selalu
memberkati semua langkah yang sayalakukan. Amien.
Wassalamu`alaikum Wr. Wb.
marang, 27 Juli 2008
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
KERANJANG PERTAMA : MEMAHAMI SEJARAH
A.KONSEPTUAL
1. PENJELASAN SEJARAH (Prof. Dr. Patrick Gardiner)
2. TANTANGAN SEJARAH (Prof. Dr. Bernhard Lewis)
3. KONTROVERSI DALAM SEJARAH INDONESIA (Prof. Dr. Abu Su`ud)
4. LIMAPULUH TAHUN INDONESIA MERDEKA : TAHUN EMAS? (Prof. Dr.
Abu Su`ud)
5. SEJARAH DAN PATRIOTISME (Prof. Dr. Abu Su`ud)
6. SEJARAH DAN PELESTARIAN BUDAYA *Prof. Dr. Abu Su`ud)
7. REVITALISASI BANGUNAN MONUMENTAL (Prof. Dr. Abu Su`ud)
8. MENGUAK KEBENARAN SEJARAH BANGSA INDONESIA (Prof. Dr. Abu
Su`ud)
9. ETNO NASIONALISME (Ptof. Dr. Abu Su`ud)
10. UPAYA MENGESAMPINGKAN PERBEDAAN (Prof. Dr. Abu Su`ud)
11. MEMAKNAKAN HARI PAHLAWAN (Prof. Dr. Abu Su`ud)
12. HAKIKAT MAKNA PERISTIWA 10 NOPEMBER (Prof. Dr. Abu Su`ud)
KERANJANG KEDUA :
3
HISTORIOGRAFI
A. KONSEPTUAL
1. PENULISAN HADIS SEBAGAI HASIL KAJIAN SEJARAH (Drs. Abu
Su`ud)
2. LEGENDARISASI TOKOH SEJARAH (Dr. Abu Su`ud)
3. KOMENTAR PERS
4. MITOS 3,5 ABAD TERJAJAH (Prof. Dr. Abu Su`ud)
B .MONOGRAFI TENTANG PERANG DIPONEGORO
1. DI SANA-SINI ADA MAKAM DIPONEGORO (Dr. Abu Su`ud)
2. PERANG DIPONEGORO (Ditinjau dari Segi Militer) (Drs. Abu Su`ud)
3. KEPEMIMPINAN PENGERAN DIPONEGORO DALAM PERSPEKTIF
SEJARAH (DR. Djoko Surjo)
4. KONFLIK-KONFLIK YANG MENDAHULUI DAN MEMATANGKAN
PERANG DIPONEGORO (Sagimun MD)
5. MEWARISI SEMANGAT PANGERAN DIPONEGORO (Dr. Abu Su`ud)
6. PENGERAN DAN PETANI : SEBUAH ALIANSI KRATON-DESA DALAM
PERANG DIPONEGORO (Dr. AM Djuliati Surojo)
7. SOSOK PANGERAN DIPONEGORO DALAM NASKAH-NASKAH JAWA
(Amen Budiman)
KERANJANG KETIGA
PENGAJARAN SEJARAH
1. SEJARAH DAN PENDIDIKAN (Dr. Abu Su`ud)
2. BILA ISU KONTROVERSIAL MASUK KELAS SEJARAH (Prof. Dr. Abu
Su`ud)
4
3. KOMENTAR-KOMENTAR
4. MENCARI ALTERNATIF DALAM PENGAJARAN SEJARAH (Prof. Dr. Abu
Su`ud)
5. POTRET KOTA SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH (Prof. Dr. Abu
Su`ud)
6. GURU SEJARAH DAN PERUIBAHAN SEJARAH (Prof. Dr. Abu Su`ud)
7. JASMERAH (Prof. Dr. Abu Su`ud)
8. FORMAT METODOLOGI PENDIDIKAN SEJARAH DALAN
TRANSFORMASI NILAI DAN PENGETAHUAN (Prof. Dr. Abu Su`ud)
9. KURIKULUM BARU TANPA PSPB (Prof. Dr. Abu Su`ud)
10. GURU SEJARAH DAN PERUBAHAN SOSIAL (Prof. Dr. Abu Su`ud)
11. GURU SEJARAH YANG KEBINGUNGAN (Prof. Dr. Abu Su`ud)
12. SEJARAH LEBUR DALAM PPKN : QUO VADIS? )Prof. Dr. Abu Su`ud)
13. POTENSI SEJARAH LOKAL DALM FRAME PENGAJARAN DI SEKOLAH
(Prof. Dr. Abu Su`ud)
@@@
PENDAHULUAN
Dengan berbekal pemahaman sejarah rasanya berbagai peristiwa sosial menjadi
menarik untuk dikaji dan kemudian disampaikan lewat media massa ataupun forum-
forum ilmiah. Bekal lain yang ada berupa potensi untuk menuliskan berbagai hasil
pengamatan sosial, karena terbiasa menjadi penulis artikel pada media massa, sangat
memperlancar komunikasi kepada masyarakat. Bekal ketiga yang kebetulan ada adalah
posisi sebagai dosen pendidikan sejarah pada Program Studi Pendidikan Sejarah pada
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Universiras Negeri Semarang (Unnes). Naluri
sebagai guru telah mendorong untuk selalu mengkomunikasikan hasil kajian itu kepada
orang lain.
Buku ini berisi bacaan tentang masalah-masalah sejarah yang sudah disampaikan
lewat media massa maupun forum ilmiah. Buku ini tidak dimaksudkan sebagai ekspose
5
mengenai konsep-konsep ilmiah tentang masalah sejarah, melainkan kumpulan tulisan di
sekitar bagaimana memahami sejarah, tentang historiografi, maupun tentang pengajaran
sejarah, maupun berbagai analisis tentang peristiwa sejarah. Oleh karena itu kumpulan
tulisan ini menjadi semacam bunga rampai tulisan-tulisan tentang sejarah yang telah
dimuat di beberapa media cetak selama beberapa tahun, yang ditulis berkaitan dengan
situasi maupun peristiwa tertentu dalam masyarakat.
Buku ini mencakup tiga bagian yang membicarakan segala sesuatu di seklitar
sejarah. Jadi layaknya setiap bagian itu sebagai keranjang atau pitaka, maka buku inipun
menjadi semacam Tripitaka Sejarah atau tiga keranjang berbagai tulisan tentang sejarah.
Keranjang pertama berisi pembahasan tentang filsafat sejarah dalam rangka
memberikan penjelasan sejarah, atas peristiwa-peristiwa sejarah maupun bagaimana
memahami peristiwa-peristiwa sejarah. Tulisan-tulisan itu merupakan penyajian
kembali karya tulis sebagai tugas laporan buku dalam studi lanjut dalam Pendidikan
Doktor IKIP Bandung tahun 1980 an maupun perkulihan dalam Jurusan Sejarah IKIP
Semarang tahun 1990 an. Masing-masing berjudul Penjelasan Sejarah, dan disusul
kemudian tulisan berjudul Tantangan Sejarah dan seterusnya.
Keranjang kedua berisi penyajian tulisan sekitar Historiografi. Dalam bagian ini
ditampilkan berbagai tulisan. Pertama misalnya dikemukakan tulisan tentang gejala
legitimasi pada banyak peristiwa suksesi kepemimpinan bangsa, sejak masa kuno sampai
masa modern. Karena tulisan itu merupakan penyajian ulang Pidato Ilmiah dalam upacara
Dies IKIP ke 24, pernah mengundang komentar dari sejumlah media massa cetak.
Komentar-komentar itu ditampilkan mengiringi tulisan utama. Kemudian disusul dengan
tulisan-tulisan tentang berbagai isu berkaitan dengan historiografi, termasuk Prosedur
Penulisan Hadits Sebagai Proses Penulisan Sejarah. Juga dikemukakan tulisan-tulisan
tentang Mitos 350 Tahun Terjajah maupun tentang HUT kemerdekaan RI yang disebut
Ulang Tahun Emas? oleh sebagian warga bangsa. Bagian kedua dari Keranjang kedua
ini berisi penulisan khusus mengenai tokoh Pangeran Diponegoro berkaitan dengan
peristiwa yang fenomenal, yairu Perang Diponegoro.
Keranjang ketiga diberi nama Pengajaran Sejarah. Dalam bagian ini
dikemukakan beberapa tulisan tentang Alternatif-alternatif dalam pengajaran sejarah.
Antara lain dikemukakan penyajian ulang pidato pengukuhan sebagai guru besar
6
pendidikan sejarah, yang berjudul Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah.
Disusul kemudian dengan berbagai tulisan untuk seminar-seminar pendidikan sejarah di
sekitar metode dan pendekatan dalam pengajaran sejarah. Terutama sikap yang harus
dihadapi oleh para guru sejarah ketika menghadapi pergantian Kurikulum Sejarah
sehubungan dengan pergantian rezim yang berkuasa.
Diharapkan kumpulan tulisan ini merupakan bacaan (reading) yang dapat memberi
manfaat bagi mahasiswa sejarah maupun siapapun yang berminat pada tinjauan sejarah.
KERANGJANG PERTAMA
MEMAHAMI SEJARAH
A. KONSEPTUAL
1. PENJELASAN SEJARAH
A. PENDAHULUAN
Mendengar istilah filsafat sejarah menimbulkan berbagai gambaran atau asosiasi
tentang hal-hal yang misterius yang bagaikan muncul dari kedalaman laut abad ke 19
yang diwarnai oleh filsafat Hegel dsb. Selanjutaya perkataan scjarah telah pula membuat
paling tidak dua asoeiasi. Terbayang di mata kita suatu gambaran atau rangkaian kejadian
di masa lampau manakala mendengar perkataan bahwa sejarah itu berulang. Sebaliknya
manakala mendengar bahwa seseorang sedang belajar sejarah, maka yang timbul ialah
gambaran berupa pembahasan-pembahasan dan tulisan-tulisan tentang masa lampau.
Berbeda dengan sejarah yang hanya mengungkapkan rangkaian peristiwa,
termasuk kejadian-kejadian di masa lampau, naka filsafat sejarah mampu
mengungkapkan penjelasan berbagai hubungan di antara kejadian-kejadian tsb, dan
memberikan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinanyang bakal terjadi di masa
mendatang. Berbeda pula dengan sejarah yang membahas masalah dalam sejarah itu
7
sendiri, maka filsafat sejarah membahas sejarah itu sendiri, seperti tentang apakah sejarah
itu pengetahuan (knowledge) atau bukan? Bagaimanakah mengetahui fakta sejarah?
Berbedakah dengan yang disebut dengan sejarah yang obyektif? Juga apakah ada hukum
dalam sejarah ? Atau juga apakah hakekat teori-teori sejarah seperti adanya pendekatan
Marxis dsb,?
Pertanyaan-pertanyaan tsb. tidak segera memperoleh jawaban secara tegas dan
memuaskan. Pertanyaan besar yang dikemukakan dalam buku inl misalnya, yaitu
“Apakah gerangan hakekat penjelasan sejarah itu?” Jawabannya sulit diperoleh sebab
gambaran yang dikemukakan dan ditemukan dapat membahayakan para sejarawan.
Mereka menjadikan jawaban tsb. sebagai semacam peraturan yang mengarahkan semua
uraian sejarah yang dikemukan.
Buku inl mencoba mencari jalan untuk monemnukan jawab atas pertanyaan dasar
tadi dengan cara memberikan peta besar berupa peta sketsa permasalahan.Sebagai
konsekuensi maka secara bertahap buku ini memberikan uraian tentang persoalan
penjelasan dalam ilmu pengetahuan (alam) dan dalam kehidupan sehari-hari. Masalah
pokok bahasan dalam sejarah adalah hubungan kausal dalam sejarah dsb.
Laporan buku inl nencoba mcmberikan gambaran tentang filsafat sejarah, yaitu
masalah hubungan kausal dalam sejarah dan masalah penjelasan sejarah (historical
explanatory)
B. MASALAH SEBAB AKIBAT DALAM SEJARAH
(Causal Connexion in History)
Bagaiaana Penjelasan Sejarawan ?
Bagaimanakah prosedur yang digunakan para sejarawan dalam menghadapi fakta
untuk menjelaskan kejadian sejarah? Pada hakekatnya tak berbeda di antara para
sejarawan, hanya berbeda dalam jalan yang ditempuh, yang dianggap aneh. Berbagai
kesulitan yang dihadapi kita dapat terlihat dalam buku ini, dalam berbagai ilustrasi, dalam
menghadapi atau melihat hubungan sebab akibat dalam sejarah.
8
Dalam banyak hal para sejarawan jarang sekali menggunakan kata-kata
penghubung seperti : sebab, karena oleh sebab, dikarenakan oleh dsb. Sebaliknya mereka
sering menggunakan istilah seperti :
Dalam keadaan seperti itu, maka tak mengherankan kalau ...
Sesungguhnya dalam hal ini dia ..........
Tak dapat dielakkan lagi bahwa ..........
Juga sering digunakan beberapa kata benda seperti :
pengaruh, dorongan motif, dorongan hati (impuls), perkembangan,
konsekuensi,akibat dsb,
Kata-kata kerja seperti tersebut di bawah ini juga seringkali digunakan, seperti :
menuju ke ... menghasilkan dalam ... membuat ..., mengakibatkan ... ataupun merangsang
untuk ... Ini semua memang, nembuat kita menjadi tambah bingung bila dibanding kalau
digunakan kata penghubung sebab dan sebangsa- nya.
Seringkali para sejarawan membuat uraian yang tidak blak- blakan, tidak terus
terang, melainkan berselimut ataupun menggunakan selubung kalimat tartentu, sehingga
hanya nemberikan uraian dengan tersirat saja. Akibatnya hanya terasa mereka
mendongeng (narrating), padahal maksudnya ingin menjelaskan (explaining).Misalnya
mereka menulis sbb.:
“The growing benavalance of the age was moved to cope with
the appaling infant mortality”. (Travelyn: English Social History).
Padahal yang dimaksud ialah lebih dari itu, yaitu:
“ … people decided to deal with the appaling infant mortality”.
Terasa bahwa dalam sejarah masalah penjelasan merupakan sesuatu yang
mengejutkan,Uraian sejarah kebanyakan hanya bersifat kronik saja. Mereka gemar sekali
menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : inevitability, impossibility, necessaity
ataupun metafora-metafora, seperti lead to, force, compel, make dab, seolah-olah ada
sesuatu pengertian ‘takdir’ yang mempengaruhi jalan sejarah. Ada kesan bahwa sejarah
9
tidak lain adalah ‘dongeng’ tentang manusia tak berdaya dalan kungkungan sang takdir
yang jahat dan irasional. Masalahnya sekarang ialah : tidakkah perlu dilakukan
perubahan makna, bahwa sejarah tidak lain adalah ceritera tentang manusia yang
berikhtiar dan berupaya? Dengan demikian maka uraian sejarah tidak lagi terlalu kering
tanpa bumbu.Ada ungkapan terkenal dari Taine yang berbunyi : “Apresia collection des
fails, la recherche des causes”, yang berarti ‘Setelah pengumpulan fakta, tinggal mencari
penyebabnya’.
Berbeda dongan Croce yang tidak menyetujui ungkapan tsb, sepertii tersebut
dalam bukunya The Theory and History of Historiography, Gardiner dapat menerima
ungkapan Taine tsb. Ini berarti dia menyetujui anggapan bahwa sejarah adalah suatu
rangkaian sebab akibat, meskipun pada dasamya orang sulit sekali menemukan faktor
yang dianggap sebagai penyebab yang paling utama.
Ungkapan semacam itu bisa disebut sebagai prosedur sejarah. Dengan kata lain,
sejarah adalah terdiri dari fakta. Dan rangkaian fakta tsb. dapatlah diketahui rangkaian
sebab akibat yang dapat memberikan kejelasan bagi rangkaian fakta tsb. Croce tetap
berpendapat bahva sejarah tidak dapat dijelaskan dengan rangkaian sebab akibat,
melainkan hanya dapat dijelaskan oleh kejadian itu sendiri.
Sementara itu pengertian fakta sendiri masih amat membingungkan (ambigu) dan
bersifat subyektif serta relatif. Misalnya ambilah contoh tentang ‘penyerangan Napoleon
ke Rusia’. Yaklnkah kita bahwa hal itu adaiah fakta sejarah? Bila kita terlibat atau
berkepentingan dengan ‘fakta’ tsb, maka interpretasi kita tentang fakta tsb. dapat lain.
Jadi dengan kata lain, fakta yang kita nyatakan sebagai fakta tak lain adalah fakta yang
telah diberikan interpretasi.
Menurut filsafat sejarah setiap kalimat atau pernyataan menunjuk ke arah fakta,
seperti :
Fakta matematik, seperti 2+2=4.
Fakta hipotetis, seperti bahva planet mengelilingi matahari dengan mengikuti jalur
elips, seperti disebutkan dalam hukum Kepler.
Fakta masa lampau, seperti : bahwa Caesar menyeberaag ke Rubicon.
Dalam hal ini tugas sejarawan ialah mengumpulkan fakta (collecting facts) dan
selanjutnya mencari penyebab (looking for causes). Dan tugas itu tidak dapat dengan
10
mudah dilaksanakan,antara lain karena karena tidak semua fakta dapat dipercaya
(reliable). Untuk itu harus dilakukan pengujian terhadap kebenaran dengan otoritas
ataupun persaksian. Yang dinaksud dengan otoritas dalam hal ini menyangkut dokumen,
pengetahuan yang ada dan pengalaman yang ada. Sementara itu seauatu kejadian tidak
mungkin berdiri sendiri yang terlepas dari ikatan yang disebut sebagai ‘social contact.’
Jadi ungkapan Taine dapat diterima kebenarannyadan tidak menyesatkan.
Sementara itu ada kritik terhadap teori Taine, yaitu :
1. Taine nengacaukan antara fakta dengan bukti. Kalimat ‘Sesuatu telah terjadi’,
tidaklah sama dengan kalimat ‘Terbukti bahwa sesuatu telah terjadi’.
2. Fakta pada dasarnya hanyalah teka-teki. Menurut Croce, fikiranlah yang
membentuk fakta. Jadi ada tidaknya fakta tergantung pada fikiran seseorang.
3. Sebab menghubungkan antara dua atau lebih fakta.
Apa yang dapat ditarik dari pembahaaan di atas ialah suatu kesimpulan bahwa
temyata menemukan fakta dan nenemukan sebab, keduanya merupakan ‘prosedural inter
connexion’ dalam sejarah. Dengan ini dapatlah diterima anggapan bahwa mencari sebab
dapat membcrikan penjelasan bagi sesuatu kejadian sejarah.
Masalah dalan Hubungan historis (historical connexion)
Menemukan hubungan sebab akibat tidak cuma merupakan hal penting dalam
penjelaean sejarah, melainkan juga penting bagi penemuan dan menegakkan fakta. Untuk
itu harus diperhatikan hal-hal sbb. :
1. Masalah apa yang diperbuat oleh sejarawan ketika berbicara tentang dua kejadian
yang berbubungan satu dengan yang lain.
2. Masalah kondisi yang bagaimana dapat dikatakan bahwa dua fakta itu sah untuk
disebut berhubungan.
Dengan sendirinya tugas semacam itu tidak mudah diselesaikan, misalnya dalam
hal menentukan hubungan antara ‘Calvinisme’ dengan ‘kapitalisme’,antara ‘liberalisme’
dengan ‘kebangkitan nasional’, antara ‘kebangkitan agama Kristen’ dengan ‘Sistem
perbudakan di Romawi’, antara ‘Perang Dunia I1’ dengan ‘persaingan bebas’.
11
Di sini para sejarawan sulit menemukan sebab yang utama. Sehingga timbullah
pertanyaan berupa : ‘Betulkah ada hubungan antara setiap pasangan di atas?’ Jawabannya
akan sangat tergantung pada isme apa yang mendasari penafsiran terhadap fakta tsb.,
idealisme-kah atau materialisme-kah?
Masalah penjelasan dalam sejarah tidak dapat dipersamakan dengan penjelasan
dalam peristiwa-peristiwa sehari-hari, seperti antara ‘kaca pecah’ dengan ‘lemparan
batu’, atau antara ‘bola bilyar menggelinding’ dengan ‘sodokan tongkat’. Dalam sejarah,
maka segala fakta harus ditafsirkan dan dijelasakan dalam kaitan dengan ikatan ruang,
waktu serta kondisi. Selain itu harus ditekankan bahwa kita tidak dapat nenemukan
‘hukun’ dalam sejarah, yang dapat dipergunakan untuk ‘neranalkan’ sesuatu kejadian
yang bakal terjadi. Sejarah adalah masalah dimana, mengapa, bagainana dan bukan
tentang hubungan atau ramalan, dan bukan pula suatu masalah generalisasi.
Ini jelas merupakan ciri yang berbeda dengan yang berlaku dalam ilmu
pengetahuan alam, yang mengenal hukum sebab akibat. Masalah generalisasi sebagai
akibat pengambilan kesimpulan dari pengalaman empirik. Dalam sejarah hubungan
antara sebab akibat tidak begitu jelas. Hubungan sebab akibat sangat bersifat khusus.
Sementara itu orang sering melakukan analogi sedang kejadian itu sendiri sulit
didefinisikan.Hal ini juga disebabkan karena dalam sejarah tidak dikenal adanya
pengulangan kejadian maupun percobaan. Sesuatu kejadian sejarah hanya terjadi satu
kali saja. Oleh karenanya hanya kesimpulan khusus saja dapat ditarik dari sesuatu
kejadian.
Sebab dan Konteks dalam Sejarah
Seperti sudah dikatakan di muka artinya sulit sekali menemukan bahwa sesuatu
kejadian itu ditimbulkan atau disebabkan oleh kejadian terdahulu. Biasanya hal itu
melibatkan berbagai kondisi lain yang memberi pengaruh. Sebagai contoh dapat
dikemukakan sbb.:
Sesuatu pemberontakan disebabkan oleh sekelompok perusuh ataukah oleh
Moskow ?
12
Pemberontakan yang digerakkan oleh serikat buruh itu dilancarkan untuk apa,
untuk tujuan perdamaian ataukah untuk kepentingan kelas ?
Dalam sejarah biasanya yang dianggap sebagai sebab utama sesuatu kejadian atau
perubahan ialah : ideologi, semangat nasionalisme,kemauan manusia, ekonomi dab.
Fakta sejarah berupa penembakan yang terjadi di jalan raya Sarajevo dianggap sebagai
penyebab pecahnya PD I. Benarkah itu? Apakah ini berarti bahwa :
Tanpa kejadian itu PD I tidak akan terjadi ?
Atau bahwa PD I tak akan terjadi pada ‘saat’ itu dan dalam ‘bentuk’ seperti itu?
Ataukah bahwa tanpa kejadian itu tak akan ada peristiwa presis seperti itu pada
waktu itu?
Lalu manakah di antara kemungkinan tafsir yang diakui oleh Sejarawan? Ternyata
bahwa dalam menentukan mana-nana yang dianggap sebagai penyebab sesuatu kejadian
atau perubahan, sangat tergantung dari titik pandangan seseorang sejarawan. Selain itu
juga tergantung pula pada proses sejarah itu sendiri. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa
ada suatu “dinamika ajaib” yang menggerakkan atau menjadi sebab utama yang
misterius. Sekali lagi perlu ditekankan bahwa penafsiran sejarah sangat tergantung pada
tempat berpijak sejarawan itu sendiri, tergantung pula pada level dan jarak serta
tergantung pula pada tujuan dan kepentingan.
Tentang masalah sebab utama ada berbagai pandangan. Misalnya Hegel
beranggapan bahwa faktor ekonomi serta faktor tokoh besar sejarah merupakan sebab
utama itu. s Sedangkan J.B. Bury beranggapan bahwa yang menjadi sebab utana adalah
’chance’ dalam artian persaingan antara berbagai penyebab.
C. ASPEK LAIN DARI PENJELASAN SEJARAH
Pendahuluan
13
Dengan berbagai contoh di muka sudah dapat kita pahami betapa penjelasan
dalam sejarah tidak mengikuti logika penjelaaan yang unum. Sejarah sebagai gut
generalia mengikuti logika yang khas (unik). Uraiannya akan mengikuti prosedur sbb.:
Masalah sebab akibat dalam mencari penjelasan mental (mental causation).
Sejarah tidak terbatas dalam mencari penjelaaan melewati fakta-fakta yang
bersifat fisik atau kejadian alamiah yang dapat diamati seperti gempa bumi, perang,
musim/cuaca, proklamasi kemerdekaan dsb. Sejarah juga banyak dijelaskan dengan
penjelasan yang bersifat mental. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal berbagai pola
hubungan sebab akibat seperti :
Sesuatu melakukan tindakan sesuatu untuk mencapai sesuatu.
Untuk mencapai sesuatu seseorang telah melakukan sesuatu.
Seseorang melakukan sesuatu karena khawatir kalau-kalau tidak akan dikerjakan
oleh orang lain.
Dalam kenyataan sesungguhnya dalam sejarah penjelaaan-penjelasan sering dicari
pada maksud, keinginan, fikiran, rencana, kebijaksanaan dsb. dari yang berkepentingan.
Di sini mulai perbedaan itu dalam llmu pengetahuan alam, maka tidak dapat dikatakan
bahwa sesuatu terjadi karena dikehendaki atau dimotivasi oleh sesuatu keinginan. Klta
tahu bahwa gempa, banjir, bencana alam lain dsb. tidak dapat dikatakan datang karena
dikehendaki atau tidak dikehendaki.
Hanya kejadian-kejadian di sekitar manusia saja yang mempunyai latar betakang.
Dan latar belakang itu bersifat mental, seperti fikiran-fikiran yang nembangkitkan
seauatu perbuatan. Dalam keadaan seperti itu maka tugas sejarawan ialah dalam
menggambarkan betapa isi berbagai bentuk sebab atau penyebab dalam sejarah. Juga
mereka bertugas menentukan betapa sesungguhnya sejarawan mengetahui penyebab yang
menggerakkan sesuatu perbuatan sejarah.
Jawaban sejarawan Collingwood dapat dimukakan dalaa dua ccra mengenai hal-
hal tsb., yaitu :
14
1) Penyebab sesuatu kejadian ialah suatu hakekat yang ada di ballk sesuatu kejadlan
dan disambut sabagai mental causation. Ini merupakan motif atau maksud yang
menggerakkan sesuatu perbuatan.
2) Sulit sekali untuk mengetahui motif yang sesungguhnya yang menggerakkan
suatu perbuatan. Ini hanya dapat dijelaakan dengan sekedar analogi dengan
pengalaman manusia yang lain.
Ini memerlukan suatu proses yang disebut pengambilan kesimpulan, yaitu suatu
akibat dari proses ‘rethinking them within his own mind’ atau ‘by recreating the
experience of the agent’. Dalam kenyataan banyak sejarawan yang lebih menggunakan
imajinasi atau intuisi dalam memberikan penjelasan atau penilaian atas sesuatu kejadian,
tanpa melakukan pengambilan kesimpulan (inferensi) setelah melakukan perbandingan.
Dengan kata lain dapatlah dikemukakan sbb,:
1) Banyak ponjelaaan yang diberikan dengan mendasarkan pada pengetahuan
tentang maksud ( motif, iatar belakang dsb,dari sesuatu kejadian.
2) Sejarah sebagai ilmu yang terlibat dengan kejadian dengan kejadian-kejadian
manusia di masa lampau mendasarkan proeedur penjelasannya pada zaman lalu.
3) Penyebabnya amat khas, karena sebab-sebabnya tidak dapat diamati
(unobservable) merupakan bagian dari sebab-sebab fisik, dan pengambilan
kesimpulannya tidak dibandingkan dengan pengalaman masa lampau, melainkan
dengan apa-apa yang hidup dalam ftklran.
Jadi masalahnya memasuki bidang yang tidak kunjung dapat dipecahkan antara
materlalisme dan idealisme, dalam mencari sebab-sebab atau latar belakang sesuatu
kejadian,
Motif, Fikiran dan Understanding
Ada tiga hal yang harus ditegaskan dalam memberikan jawaban atas berbagai
masalah, yaitu :
1) Yang menyangkut analisis tipe-tipe penjelasan.
1. Menyangkut hakekat pengetahuan kita tentang hal-hal yang terjadi dalan fikiran
manusia (orang lain).
15
2. ang menyangkut permasalahan tentang ‘reliving’ atau ‘recreating’ yang terjadi
pada diri manusia.
1. Panjelasaa atas dasar sikap mental.
Pada diri manusia terdapat suatu mekanisme yang disebut ‘the making of the
nind’. Perbuatan-perbuatan manusia pada dasarnya merupakaa pencerminan dari suatu
sikap yang timbul oleh karena berbagai hal, seperti :
‘Occupied by certain thoughts’.
‘Guided by certain considerations’.
‘Governed by cartnin desires’.
‘Driven by certain impulses’.
‘Doing what their reason tells them’.
‘Obeying their instincts’.
‘Searching their consciences’.
‘Fighting their temptations’
Dan dalam hal beberapa negarawan nelakukan berbagai kebijaksanaan sebagai akibat
dari khayalnya, mungkinkah ‘is he really the victim of delusio;
ns of grandeur’?
Dalam sejarah tindakan Napoleon dianggap dimotivasi oleh ‘the will of power’.
Dapatkah hal itu diamati? Lalu bagaimana proses pengaruh itu terjadi? Kapankah
pengaruh itu dimulai dan kapan pula diakhiri? Apakah ketika Napoleon tidur terjadi pula
pengaruh itu? Juga apakah pengaruh itu datang ketika Napoleon sedang beristirahat
kecapaian dan dsb. ?
Motivasi dan dorongan itu tentunya tidak dapat diamati seperti kalau kita
berbicara tcntang ‘power’ yang mendorong lokomotif. Untuk itu kita baru dapat
memperoleh informasinya setelah melakukan angket atau wawancara, melalui buku
harian, surat pribadi maupun surat dinas, laporan memoir dsb.
Dalam kenyataan kita dapat membedakan antara ‘suatu perbuatan itu
direncanakan, dimaksudkan atau diprogramkan’ dsb, atau ‘suatu perbuatan itu
dimaksudkan untuk maksud tertentu’ ataupun dengan ‘suatu perbuatan itu dimotivasi
16
oleh’ dan juga ‘suatu pcrbuatan itu beralasan’ (were reasoned) dan ‘dianggap’ (were
concidered) atau ternyata ‘ada perbedaan dalam derajat’.
3. Apa yang dimaksud dengan ucapan bahwa kita nengetahui apa-apa yang
sedaag menjadi atau sudah terjadi, menurut fikiran oramg lain?
Flkirnn adalah sesuatu yang hanya diketahui oleh yang punya fikiran. Ini neliputi
motif, fikiran atau emosi. Orang lain hanya bisa menduga atau nengandaikan saja apa-
apa yang dalam fikiran orang lain. Jadi apa-apa yang diketahui oleh sejarah adalah hanya
hipotesis atau perkiraan. Meskipun demikian perkiraan itu dinilai sangat meyakinkan
(absolutely certain). Hi[ptesis atau perkitaan tadi tidak usah dipertentangkan dengan
‘'knowledge’.Sejarawan dianggap dapat nenghayati tokoh-tokoh sejarah, sehingga
dianggap dapat menerka fikiran yang ada pada tokoh aejarah.
Seaungguhnya pengetahuan tentang apa-apa yang difikirkan, dirasakan orang lain
itu mustahil ada, sebab fikiran atau perasaan orang lain Itu tidak dapat ditaati. Meski
dengan telepatipun hal itu tak dapat dilakukan. Sebaliknya terkaan atau hipotesis dapat
diperoleh dengan ‘ungkapan’ yang timbul sebagai informasi dari yang mengalami itu
sendiri (yaitu pelaku sejarah), yaitu lewat berbagai dokumen yang bersangkutan dengan
para pelaku sejarah.
D. Apa makna ungkapan-ungkapan seperti di bawah ini?
‘reliving the experience of other people’.
‘rethinking the thoughts of historical characters’
Sebagai alasan untuk membela kemampuan sejarawan melakukan berbagai
peranan itu ialah karena adanya kebenaran tentang ‘living them selfes into’ atau
‘historical inside’ pada mereka. Demikian juga karena adanya yang dikenal sebagai :
‘intuitive understanding’ pada diri mereka. Mereka dianggap mempunyai
kemampuan semacam
‘sinar tenbus psikologis’ untuk menembus batas waktu dan ‘fikiran’ manusia
untuk menangkap:
17
‘menial causes’ yang berada di balik setiap kejadian sejarah.
Tentu saja ini semua perlu diadakan pengkajian lebih dahulu, sbb.:
a. Caranya bukan membayangkan dirinya seolah-olah pelaku sejarah itu sendiri,
melainkan membayangkan diri menghadapi persoalan yang sama itu (the same
experience dan bukan the similar experience).Lalu sejarawan itu membayangkan
apa-apa kira-kira sikap atau tindakan yang akan diambil dengan menggunakan
latar belakang pengalanan sendiri. Jawaban yang diperoleh ialah sebagai hipotesis
yang dapat salah. Contoh-contoh yang diperbuat oleh Max Weber dalam
menguraikan masyarakat Eropah dalam bukunya ’The Theory of Social and
Economic Organization’.
Kalau jawaban yang diperoleh membingungkan, maka digunakanlah cara kedua,
yaitu menempatkan diri dalam posisi si pelaku sejarah.
b. Sejarawan sering mengatakan bahwa mereka dapat memahami (understanding)
terhadap sesuatu tindakan (understanding an action). Ini berbeda dengan
‘understanding an event’ (mengerti sesuatu kejadian).
Orang dapat memahami (appreciate) sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh orang
lain, manakala orang tersebut memiliki pengalaman yang sejenis. Kita dapat contoh dari
seorang sopir yang dapat memahami sesuatu tindakan YAng diperbuat oleh sopir lain.
Kadangkala understanding diartikan dalam kaitan dengan kenampuan untuk
memahami perbuatan seseorang yang luar biasa dengan situasi yang tidak asing. Ini
disebut scbagai ‘imaginative understanding’. Ini sekali lagi tidak bcrart bahwa seseorang
telah menjadi orang lain atau pelaku sejarah tsb.
Dalam hal itu maka interpretasi mereka dapat meyakinkan atau bahkan ‘jauh
panggang dari api’. Keyakinan adanya sejenis pengetahuan semacam itu terlihat pada
ungkapan-ungkapan semacam ‘having the same thought’ (memiliki fikiran yang sama),
‘reachmg the same conclusion’ (sampai pada kesimpulan yang sama), ataupun ‘acting
with the same motives’ (bertindak dengan motif yang sama).
Mengkaji Kembali Permasalahan
18
Masalah yang segera timbul setelah pembahasan di muka ialah ; Bagaimana
pengaruh pandangan-pandaagan tsb, di atas terhadap permasalahan yang kita hadapi?
Masalah itu dapat diperinci menjadi dua bagian, yaitu :
1. Analisis mana yang benar dari penjelasan-ponjelaaan tsb.
2. Pembenaran macam mana yang dikehendaki oleh sejarawan dengan penjelasan-
penjelasan tsb.?
Para alili filsafat sejarah menyatakan banwa meski motif maupun maksud
merupakan “penyebab” sesuatu tindakan atau perbuatan, semuanya masih tetap unik.
Semuanya hanya dapat diketahui oleh pelaku sejarah itu sendiri, sedangkan orang lain
hanya dapat memahaminya dengan membayangkan bahwa pengalaman tsb. terjadi atau
menimpa kita. Meskipun demikian harus dipandang bahwa hubungan itu tidaklah bersifat
sebab akibat. Di sana terjadi sesuatu hubungan yang tidak langsung.
Ada tiga pengamatan yang perlu dilakukan dalam membicarakan motif yang
mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan, yaitu :
A Tentang apa yang dimaksudkan dengan maksud atau tujuan yang dianggap
sebagai latar belakang sesuatu tindakan.
c. Dalam melakukan sesuatu kegiatan (tindakan), harus diingat bagaimana
menformulasikan masalah sebelum bertindak, atau dengan jalan mengingat-ingat
jenis alasan yang dipergunakan. Di lain kesempatan harus dilakukan
tindakan dengan menyingkirkan alasan-alasan yang dibuat-buat atau dengan
mengesampingkan kemungkinan reaksi orang lain atau juga mengesampingkan
pengetahuan tentang karakter atau kepribadian sendiri.
d. .Dalam melakukan sesuatu, maka kita mempertimbangkan kriteria berupa apa-
apa yang mungkin dikatakan orang lain,
Ketika kita memperkirakan motif orang lain jangan digunakan pengalaman diri
sendiri, sebab setiap orang akan berfikir lebih dahulu secara rasional, karena tidak
mengalami sendiri persoalan yang dialami orang lain.
Hal lain yang perlu disanggah ialah karena kebanyakan tokoh sejarah telah tiada,
maka sulit sekali mengikuti atau mengetahui tokoh tsb. Di sini hipotesis tentang motif
menjadi makin terasa menjadi penghalang. Dalam keadaan itu maka sangat diperlukan
19
pembacaan atas pengakuan, memoir naupun buku harian dari tokoh sejarah yang
bersangkutan.Akan tetapi pengakuan semacam itu dianggap tidak pula relevan, karena
biasanya pengakuan itu ditulis dengan secara berlebih-lebihan dan sering bersifat
membohongi diri sendiri. Untuk itu maka diperlukan proses pengujian dengan
membandingkan dengan tindakan-tindakan lain dalam suasana yang bersamaan, yang
juga kita ketahui.
Mamang diakui bahwa cara ini sulit dilakukan, bukan karena adanya pengalaman
empirik, melainkan menurut pertimbangan logika. Satu-satunya yang dapat diperbuat
ialah nengumpulkan perwatakan atau karakteristik sang pelaku sejarah.
Sementara itu terjadi pula perbenturan dalam memberikan penjelasan sejarah. Di
satu fihak kita berusaha memberikan penjelasan dengan nencari tahu dan menemukan
maksud dan tujuan’ yang telah dirancang, yang melatar belakangi sesuatu kejadian. Di
lain fihak kita mendasarkan pada kejadian fisik atau menemukan situasi yang menjadi
lantaran.
Kebingungan terjadi manakala membayangkan bahwa perbedaan jenis penjelasan
itu akan mengakibatkan perbedaan alasan atau sebab. Akan tetapi tidak berarti kita bakal
mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan dengan hukum sebab akibat tentang
mengapa seseorang nempunyai kemauan, maksud, rencana dsb. Yang jelas ialah bahwa
mempunyai keinginan tidak sama dengan mempunyai bisul, misalnya, atau gangguan
syaraf, meskipun semuanya merupakan alasan untuk sesuatu perbuatan. Denikian pula
sebuah tawaran hadiah dapat pula menjadi sebab terjadinya suatu perbuatan.
Dalam sejarah dikenal perbedaan dalam pendekatan antara kaum materialis dan
kaum idealis. Di satu fihak mereka beranggapan bahwa pendekatan kaum materialis
mempunyai status ilmiah. Di lam fihak mereka, kaum idealis beranggapan tentang
perlunya mempertahankan kebebasan dari jiwa manuaia.
Menurut Karl Marx, fikiran serta gagasan pada diri manusia hanya merupakan
“omong kosoag yang lahir dari landaaan materiil”. Sebaliknya Collingwood beranggapan
bahwa yang disebut “omong kosong” itu merupakan kekuatan dan hidup yang dapat
mengendalikan dunia dan mengubahnya. Dia menyebutkan suatu aktivitas manusia yang
pada dasamya merupakan alasan, fikiran, maksud dan rencana, Dunia serta manusia,
katanya, merupakan atau terdiri dari materi dan fikiran. Keduanya tidak dapat dipisahkan
20
satu sama lainnya. Dalam filsafat sejarah sesuatu penafsiran atas kejadian, sangat
tergantung pada interes sang peninjau. Selanjutnya tindakan manusia dipengaruhi oleh
lingkungan dan fikiran manusia itu. Mungkin benar bahwa fikiran, maksud, idea dsb. dari
manusia adalah hasil dari aktivitas tubuh yang bersifat materi, namun tidak berarti bahva
penjelasan atas dasar fikiran ataupun idea manusia menjadi mubazir. Sekali lagi ternyata
bahwa sesuatu kejadian tidak bisa hanya dapat dicarikan penjelasannya dari satu sebab
yang bersifat mutlak.
Jadi jelas sudah bahwa tidaklah benar bahwa seluruh perilaku manusia hanya
dapat diterangkan dengan hukum sebab akibat yang amat bersifat deterministis.
E. KOMENTAR
Para politisi sering berusaha mengambil manfaat dari sejarah dalam usaha mereka
menentukan berbagai kebijakan politik mereka, karena mereka beranggapan bahva
dengan mempelajari sejarah orang dapat meramalkan sesuatu kejadian yang bakal datang.
Ini merupakan contoh dari pengakuan terhadap kebenaran anggapan bahwa sejarah dapat
berulang, meski dalam situasi dan kondisi yang berlainan. Sebenarnya perbincangan
tentang benar tidaknya anggapan semacam itu masih tetap berjalan di kalangan ahli
filsatat sejarah.
Gardiner merupakan salah seorang di antara yang tidak cenderung membenarkan
kebenaran gagaaan itu, karena dia menolak penggunaan hukum sebab akibat dalam
menjelaskan kejadian-kejadian sejarah. Hukum sebab akibat itu hanya dapat barlaku
dalam masalah ilmu pengetahuan alam, di mana kejadian atau sesuatu gejala dapat
diulang kembali, termasuk dalam percobaan, karena kejadian-kejadian itu tidak
tergantung pada faktor ruang, waktu maupun situasi. Berbeda halnya dengan kejadian-
kejadian yang menyangkut manuaia dan yang terjadi di masa lampau.
Akan tetapi sementara itu seluruh kejadian sejarah bagainanapun harus dapat
dijelaskan. Dalam kaitan dengan ini para sejarawan mengambil peranan untuk dapat
memberikan penjelasan seluruh kejadian sejarah itu. Dalam buku The Nature of
Historical Explanation ini Gardiner telah menjelaskan bagaimana perbedaan yang
terjadi di kalangan ahli filsafat sejarah, tentang usaha memberikan penjelasan terhadap
21
peristiwa- periatiwa sejarah. Gardiner sendiri beranggapan bahwa usaha menjelaskan
saling hubungan dalam peristiwa-peristiwa sejarah masih sulit. Hal itu sangat tergantung
pada kepentingan serta pandangan hidup yang dianut sejarawan.
Henry Pirenne beranggapan bahwa perbedaan penjelasan dapat timbul di
kalangan sejarawan, tergantung pada tingkat imajinasi, kreativitas dan konsepnya tentang
manusia. Meskipun demikian dia tidak dapat melepaskan manusia sebagai sejarawan dari
faktor sosial, budaya, lingkunsan nasionalnya dsb. Jadi tidak hanya tergantung pada
kepribadian setiap sejarawan itu sendiri. Nyatalah sudah bahwa tugas sejarawan ialah
menyampaikan fakta masa lampau serta memberikan penjelasan hubungan antar fakta,
sehingga membuat segalanya menjadi jelas. Semuanya menjadi semacam sintesis dan
hipotesis yang dllakukan oleh sejarawan itu sendiri.
Dengan penjelasan yang diberikan oleh sejarawan itu masyarakat dapat
menerimanya sebagai sebuah realitas. Dengan demikian beban yang diberikan oleh bapak
sejarah, Herodotus, dapat dilaksanakan oleh para sejarawan. Seperti kita ketahui
Herodotus beranggapan,bahwa tugas wan ialah menyampaikan apa-apa yang diperbuat
oleh orang-orang di masa lampau, agar tidak dilupakan oleh manusia pada generasi
sekarang dan yang akan datang. Oleh Herodotus ditegaskan bahwa “Historia Vitae
Magistra” yang berarti “Sejarah merupakan guru kehidupan”. Demlkian pentingnya
masalah penjelasan dalam sejarah bagi Gardiner, sehingga dia nengemukakannya dengan
cara berhati-hati.
@@@
Catatan :
Tulisan di atas merupakan karya tulis berbentuk Laporan Buku berjudul The Nature of
Historical Explanation yang ditulis oleh Patrick Gardiner, yang disusun sebagai salah satu
tugas dalam rangka perkuliahan Dimensi Sejarah (SEJARAH 500) yang diampu Prof.
DR. Sartono Kartodirjo, ketika menempuh studi pada Sekolah Pasca Sarjana (SPS) IKIP
Bandung pada tahun 1981.
@@@
22
2. TANTANGAN SEJARAH
PENDAHULUAN
Orang kebanyakan di manapun di dunia, termasuk di Amerika, biasa mengatakan
agar kita menyampaikan apa adanya. Ungkapan tadi secara tidak sadar seperti
23
menyampaikan pendapat sejarawan terkenal dari Jerman, Leopold von Ranke. Untuk
menulis sejarah haruslah apa adanya. Menurut kalimat aslinya "wie es eigentlich
gewesen", atau “how it really was”. Namun dalam kenyataannya ungkapan itu sulit
dilaksanakan.
Ternyata tidaklah sama antara pertanyaan “Apa yang terjadi (hapened?”, “Apa
yang kita ingat (recall)?”, “Apa yang dapat kita temukan kembali (recover)?”, “Apa
yang dapat kita susun (relate)?”.
Sama sulitnya juga bagi kita bagaiamana menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Seringkali kita sangat tergoda untuk menyampaikan berbagai peristiwa
sebagaimana kita harapkan terjadi, ketimbang apa yang sesungguhnya terjadi. Bernard
Lewis menawarkan tiga tipe batasan tentang sejarah, lengkap dengan ilustrasinya dengan
peristiwa yang terjadi dalam sejarah di Timur Tengah.
Ketiga tipe sejarah itu yaitu “sejarah sebagaimana diingat (history-remembered)”,
“sejarah sebagaimana ditemukan kembali (recovered)”, dan “sejarah sebagaimana
ditemukan yang belum dikenal sebelumnya (invented)”.
Lebih lanjut Lewis menegaskan, bahwa yang dimaksud dengan :
remembered “sebagai salah satu tipe sejarah adalah kenangan kolektif yang diwarisi
tentang sesuatu komunitas di masa lampau, yang disampaikan lewat karya sastra, ritus,
maupun nyanyian yang telah digunakan oleh para pemimpin karena dipandang penting
untuk diingat” (the inherited collective memory of a community passed on through
literature, ritual, and song that leaders choose to remember as significant).
Kemudian yang dimasuk dengan recovered “adalah pengetahuan berkenaan
dengan peristiwa, manusia, dan pikiran yang telah terlupakan, kemudian diperoleh
kembali, dan berhasil di susun kembali oleh para sarjana” (the knowledge of events,
persons, and ideas once forgotten and then retrieved and reconstxcructed by scholars).
Sedangkan yang dimaksud dengan invented “adalah sejarah yang lengkap
dengan motif-motif yang tersembunyi. Tipe ini merupakan hasil penafsiran atas sejarah
yang ‘remembered’ maupun ‘recovered’, dan dirakit, kalau tidak – dan ini sering terjadi –
disusun agar sesuai dengan corak politis yang khusus, ideologis, ataupun tujuan nasional.
(history with an ulterior motive. Interpreted from remembered and recovered history—
24
and fabricated when not—it is often tailored to fit specific political, ideological, or
nationalistic goals.
@@@
Tentang penulis buku tersebut dapat dikemukakan, bahwa Bernard Lewis adalah
direktur Lembaga Riset Annenberg untuk kajian-kajian tentang masalah Yahudi dan
Timur Dekat. Beliau juga merupakan Guru Besar Kajian Timur Dekat pada Cleveland E.
Dodge, di samping sebagai Guru Besar Emiritus pada Princeton University. Beliau
banyak menulis buku-buku sejarah Islam maupun masalah Timur Tengah.
BAB 1 : MASADA DAN CYRUS
Pendahuluan
Peringatan peristiwa-peristiwa sejarah dengan menyelenggarakan festival
merupakan kebiasaan orang Timur Tengah kuno yang masih dilaksanakan sampai
sekarang. Perayaan semacam itu diselenggarakan juga sebagai upacara kenegaraan di
masa modern, sementara di masa-masa sebelumnya diselenggarakan dengan cara
perayaan keagamaan yang didahului dengan ritus puasa. Dalam masa-masa yang lebih
kemudian perayaan-perayaan itu ditambah dengan bentuk baru, yaitu perayaan hari
kemerdekaan negara baru di kawasan Timur Tengah maupun perayaan hari ulang tahun
atau peringatan kemenangan revolusi maupun pembebasan berupa rentetan kudeta yang
terjadi. Hari-hari itu kemudian dikenal sebagai “hari besar nasional”.
Salah satu hari nasional yang diperingati oleh bangsa Turki, misalnya, adalah
peristiwa kemenangan Turki atas Konstantinopel yang diperingati terjadi 500 tahun
silam. Peringatan ulang tahun ke 500 dirayakan pada tahun 1953. Di Kairo pemerintah
Mesir pada tahun 1969 menyelenggarakan upacara peringatan yang ke 1000 tahun
berdirinya kota Kairo oleh Khalifah al-Mu'izz dari dinasti Fatimiyah. Pada tahun 1971
bangsa Turki juga memperingati peristiwa penaklukan kaum Muslimin- Turki atas
25
Anatolia yang semula dikuasai kaum Nasrani-Yunani, yang ditandai oleh kemenangan
pasukan Turki di Manzikert 900 tahun silam. Di samping peringatan semacam itu masih
ada jenis peringatan atas kalahiran, keberhasilan, atau kematian tokoh, baik lokal,
maupun nasional. Tokoh itu dipahlawankan oleh manusia, sehingga tempat kelahirannya
diperingati oleh mereka.
Peringatan yang ke 1000 tahun hari kelahiran Avicenna juga dirayakan di
kawasan-kawasan Muslim seperti Arab, Persia, maupun Turki. Karena tokoh itu
dianggap sebagai pahlawan bersama, yang dilahirkan di Bukhara, Uzbekistan.
Di kawasan Timur Tengah peringatan peristiwa-peristiwa historis itu
kebanyakan mulai jarang dirayakan. Kita melihat adanya dua kecenderungan dalam
bentuk peringatannya. Pada beberapa negeri memang masih diperringati secara besar-
besaran sbagai peristiwa utama. Salah satunya adalah peringatan atas perjuangan mati-
matian kaum Yahudi menjelang kejatuhan Masada dalam pemberontakan kaum Yahudi
melawan penguasa Romawi pada tahun 66 Masehi. Peristiwa yang lain berkenaan
peringatan yang diselenggarakan Shah Iran untuk merayakan dibangunnya kekaesaran
Persia 2500 tahun silam oleh Cyrus Agung. Keduanya memiliki kesamaan dalam motif
penyelenggaraannya. Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa perayaan itu
diselenggarakan penuh bernuansa politik, dalam artian untuk membangun citra
kemegahan secara politik maupun kejayaan militer. Ini menjadi berbeda dengan motivasi
yang bersifat keagamaan seperti di masa-masa sebelumnya. Keduanya juga bersandar
pada dukungan resmi negara.
Peringatan atas kejayaan Cyrus dimaksudkan untuk kepentingan Shah sendiri
dalam membangun citra bahwa Shah Iran, Muhammad Riza Pahlevi adalah penerus
kejayaan Cyrus. Hal yang sama juga dilakukan oleh Saddam Hussein yang menempatkan
dirinya sebagai penerus kejayaan Kaesar Hammurabi di masa Babylonia. Sedangkan
peringatan Masada oleh pemerintah Israel dimaksud untuk membangun citra
kepahlawanan bangsa Israel dalam perjuangan melawan dominasi bangsa asing, yaitu
Romawi.
Tergugah oleh kisah sedih berupa kekalahan mereka oleh Romawi, mereka ingin
bangkit menemukan harga diri bangsa dalam kejayaan militer. Reruntuhan Masada yang
telah mengubur tulang belulang prajurit Yahudi di masa lampau, telah membangun
26
paratrop Israel modern yang bersemboyan sangat imajinatif : “Masada tak akan
dikalahkan lagi”. Keduanya telah menjadi momentum strategis untuk diperingati sebagai
hari perayaan nasional.
Peristiwa yang diperingati oleh kedua bangsa itu memang bertolak belakang,
yang satu sebuah kekalahan dan kehancuran, dan yang lain sebuah kemenangan berupa
membangun kerajaan, namun telah menimbulkan sebuah semangat yang sama, yaitu
pengabdian dan kepahlawanan.
Kedua peristiwa sejarah tersebut, Masada maupun Cyrus, nyaris sudah dilupakan
oleh kedua bangsa itu, Israel maupun Iran, namun peristiwa-peristiwa itu telah
ditemukan kembali (recovered) dari sumber lain dari luar tata nilai budaya mereka.
Pengalaman Istrael
Tradisi sistem Rabbi mereka maupun dalam tradisi agama Yahudi lainnya tidak
mengenal kata Masada. Dalam literatur kerabbian maupun bahasa Ibrani bahkan tidak
menemukan kata itu. Satu-satunya sumber informasi tentang kasus Masada hanyalah
sebuah kronik susunan Josephus, seorang Yahudi yang telah murtad. Kronik itu ditulis
dalam bahasa Yunani tentang warisan budaya tradisional Yahudi. Dari sebuah adaptasi
kronik Josephus yang dilakukan oleh seorang Yahudi Italia samar-samar diketahui cerita
tentang Masada. Adaptasi itu memang banyak dikutip dan dibaca masyarakat Yahudi
sejak abad 10 Masehi.
Kajian sudah dilakukan dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu kajian
arkhaeologis dan kajian literer terhadap literatur keagamaan. Antara lain kajian terhadap
Kitab Taoret, yang dimulai dari cerita tentang perpindahan yang dilakukan nenek moyang
bangsa Israel, yaitu Nabi Ibrahim, dari Negeri Ur di Khaldea ke Mesir. Selanjutnya juga
dilakukan kajian mengikuti ‘exodus’ atau perpindahan besar-besaran dari Mesir ke
Tanah yang dijanjikan, yaitu Kanaan di Palestina. Di Bukit Tursina untuk menerima
‘Perintah Yang Sepuluh’.
Dalam kajian arkhaeologis ditemukan petunjuk penaklukan Kekaesaran Romawi atas
tanah orang Israel. Demikian juga mereka yang mati-matian mempertahankan Masada
juga telah dilupakan oleh bangsanya, namun dikenang oleh seorang Yahudi yang telah
27
murtad, dan menuliskannya dengan bahasa asing dan untuk orang asing. Namun kedua
peristiwa itu, Masada dan Cyrus, kemudian ditafsirkan, dan diberikan peranan baru dalam
sejarah modern dari bangsa yang terhormat.
Seperti sudah dikenukakan di depan pemerintah Israel modern telah memanfaatkan
peristiwa Masada itu dengan maksud untuk membangun citra kepahlawanan bangsa
Israel dalam perjuangan melawan dominasi bangsa asing, yaitu Romawi.
Pengalaman Persia
Apa yang terjadi dengan bangsa Persia tidak jauh berbeda dengan yang terjadi
dengan bangsa Israel. Mereka juga nyaris tidak mengenal tokoh bernama Cyrus yang
dikenal sebagai pendiri kekaesaran Persia itu, bahkan nama itupun asing bagi bangsa
Persia. Cyrus memang sudah tiada sejak dua setengah milenium silam, dan sudah
dilupakan oleh bangsa Persia, namun tetap dikenang dengan penuh hormat oleh bangsa
lain. Sumber informasi tentang Cyrus berasal dari literatur asing berbahasa Yunani,
sementara bangsa Persia memang bukan bangsa yang membaca literatur berbahasa
Yunani maupun Injil.
Di samping itu ternyata ada kesamaan dalam cara maupun jalannya mereka
menemukan kembali sejarah masa lampau yang nyaris tidak diketahui di antara dua
bangsa itu, bahkan elemen-elemen dari peristiwa itupun mitip. Yang jelas mereka
menggunakan kajian arkhaeologis maupun kajian kepustakaan. Mereka melakukan
penggalian atas berbagai situs yang diperkirakan berkaitan dengan pembantaian di
Masada. Di Persia para peneliti melakukan penggalian atas peninggalan yang berkaitan
dengan kegiatan Cyrus sebagai pendiri Persia. Para ahli sejarah dan linguistik yang
berebeda juga melakukan kajian atas literatur yang berkaitan dengan peristiwa terkait,
terutama yang ditulis oleh para pemimpin agama.
Dari kajian-kajian itu berhasil ditemukan (discovered) dan disusun (recovered)
sejarah masa lampau, setelah melakukan pendekatan kajian sejarah kritis yang
dikembangkan oleh ilmuan modern Eropa. Kajian semacam itu tidak pernah dilakukan
oleh para ilmuan lama sampai abad renaisanse. Temuan (invention) sejarah itu bukan
28
merupakan temuan sesungguhnya, sebab yang ditemukan (invented) hanyalah peristiwa
yang telah terjadi di masa lampau.
Nama Cyrus sebenarnya sudah sangat dikenal di Eropa Abad Pertengahan, dan
bahkan nama itu dikenal dalam kisah-kisah kuno di Eslandia. Dalam masyarakat Islam
nama itu tidak pernah dimunculkan dalam masyarakat Persia, Bahkan nyaris semua
peristiwa yang berkaitan dengan masa-masa sebelum Islam telah disingkirkan dan secara
harfiah dikuburkan dalam sejarah mereka.
Di Iran atau Persia situasi seperti yang terjadi di Mesir, dengan berbagai temuan
arkhaeologis yang spektrakuler, meskipun agak terlambat diketahui oleh bangsa Iran
sendiri. Berbeda halnya yang terjadi di banyak negeri berbahasa Arab, karena identitas
mereka telah tenggelam dalam bangsa Arab Islam. Sebaliknya dari sekian banyak
bangsa-bangsa yang dibebaskan oleh Arab Islam, merekalah yang bisa tetap bertahan
dengan kondisi mereka. Bangsa Persia telah memeluk Islam, dan menggunakan huruf
Arab, meski tetap berbicara dengan bahasa Persia. Mereka tetap mempertahankan bahasa
asli mereka serta mempertahankan corak budaya asli secara terpisah. Kesadaran itu masih
sebatas corak budaya dan belum sampai menjadi gerakan politik.
Sekitar satu atau dua abad kemudian setelah pembebasan oleh Arab Islam, bangsa
Persia mulai berusaha untuk menghidupkan kembali tradisi penulisan sejarah nasional
mereka, namun tidak banyak yang diperoleh. Kejayaan bangsa Sasanid di masa lampau
hanya menjadi kenangan, namun hampir semua tokoh cikal bakalnya nyaris terlupakan.
Bangsa Persia nampaknya mulai jatuh kembali pada sebuah mitologi yang kemudian
berhasil membangun landasan bagai terbentuknya kisah kepahlawanan agung tentang
Firdawsi, Sang Shahnama. Mereka juga berhasil menyusun penulisan sejarah Persia
Muslim sebagai sejarah Iran kuno hingga masa kini. Agak bertentangan dengan
kecenderungan itu adalah, bahwa kenangan bersama itu hanya meninggalkan dua nama
tokoh besar dari kegelapan masa lampau, sementara nama-nama seperti Cyrus, Xerxes,
sama sekali terlupakan
Nama Darius memang diingat dalam sejarah mereka, namun posisinya masih
membingungkan, karena dirancukan dengan nama tiga kerajaan. Tokoh yang paling
diakrabi oleh rakyat Iran justru Alexander, yang dianggap pahlawan dalam legenda
bangsa Persia. Tokoh itu lebih dikenal dengan nama Iskandar. Sebagai seorang penakluk
29
asing dari Makedonia tokoh itu justru diakui sebagai tokoh seorang pangeran pribumi
Persia yang datang untuk merebut kembali tahta yang telah direnggut orang.
Kebangkitangairah untuk mendambakan kehadiran masa lampau dalam alur
sejarah nasional Persia terlihat dalam karya-karya sejarawan modern, para novelis
maupun para penyair yang berorientasi pada kepentingan sesuatu dinasti yang tengah
berkuasa. Langkah-langkah tersebut memiliki beberapa maksud. Pertama, untuk
mengokohkan semangat perlunya kesinambungan Persia dan identitas nasional bagi
sebuah tanah air. Kedua, untuk menghubungkan hal di atas dengan institusi kerajaan
sebagai sebuah daya pengikat maupun pusat kesetiaan. Selanjutnya, dimaksudkan juga
untuk memperkuat kesadaran nasional, dan dalam waktu bersamaan, melemahnya
pengaruh keagamaan seseorang. Dan tidak bisa dilupakan sebagai upaya untuk membuat
bangsa Persia lebih dahulu merasa sebagai orang Persia, baru kemudian sebagai umat
Muslim.
Pengalaman Mesir
Keberhasilan dunia menemukan kembali sejarah masa lampau Persia tampaknya
merupakan hasil upaya yang tidak kenal lelah bangsa Eropa. Belakangan memang para
ilmuan Rusia maupun Amerika terlibat juga dalam upaya itu. Sedangkan dalam
masyarakat Muslim di Timur Tengah baru setapak demi setapak dimulai, termasuk yang
dialami oleh Mesir.
Proses penggalian dan pencarian akar sejarah Mesir itu diawali dengan penggalian
dan temuan Batu Rosetta. Setelah itu kajian juga dilakukan atas buku-buku sejarah masa
lampau. Di sana diketemukan sebuah ketegangan antara dua buah kepribadian dalam
masyarakat Mesir, antara yang Arab-Muslim dan yang Mesir asli. Di antara mereka
terdapat sejumlah perbedaan, baik aspek identitas diri, aspek kenangan, maupun aspek
sejarah masa lampaunya. Ketegangan itu seperti didramatisasikan oleh versi Quran
dalam penceritaan tentang kisah ‘exodus’ Bani Israil. Dalam versi Quran Firaun
digambarkan sebagai tokoh antagonis, sementara Bani Israil di bawah bimbingan Nabi
Musa digambarkan sebagai pahlawan, bahkan lebih dari itu digambarkan sebagai ‘bangsa
30
terpilih’ serta mendapat bimbingan Tuhan. Ketegangan itu berujung pada berkobarnya
peperangan antara para pewaris Firaun dengan pewaris Bani Israil.
Dalam masa modern seorang penulis perempuan bangsa Mesir, menggunakan
nama samaran Bint al- Shati’, yang berarti ‘Anak Perempuan Bengawan Nil’, telah
menulis sebuah artikel yang amat atraktif dan provokatif beberapa hari menjelang Perang
Enam Hari, antara Mesir dengan Israel. Tulisan itu seolah-olah menyalahkanversi
Quran, dengan mengatakan bahwa Firaun (yang dimaksud adalah pasukan Mesir) adalah
benar, dan Bani Israil (yang dimaksud pasukan adalah pasukan Israel) salah.
Pengalaman Negeri-Negeri Arab
Di negeri-negeri berbahasa Arab di Timur Tengah tanggapan atas temuan sejarah
masa lampau mereka agak lamban, bahkan agak tidak bersemangat, karena dianggap
kurang memiliki makna politik yang meyakinkan. Berbeda dengan yang lain adalah
penguasa Irak yang agak memberi sedikit perhatian pada Assyria maupun Babylonia,
meskipun tidak sampai mengidentikkan diri mereka dengan masa lampau yang penuh
kejayaan itu. Ketika karya Bernard Lewis ini diterbitkan pada tahun 1987 Saddam
Hussein belum berkuasa di Irak. Seperti halnya Shah Iran Muhammad Reza Shah Pahlevi
yang berkuasa di Iran dan mengklain dirinya sebagai penerus Kaesar Cyrus, Saddampun
pernah menyatakan dirinya sebagai penerus Kaesar Hammurabi dari Babylonia. Waktu
Presiden Saddam digulingkan oleh Presiden Bush dengan serangan militer bersama
sekutunya pada tahun 2003 masyarakat dunia menyaksikan patung-patung Saddam yang
digambarkan sebagai Hammurabi ditumbangkan dengan traktor sebagai lambang
penggulingan atas Saddam Hussein.
Di Lebanon lain lagi yang terjadi, yaitu kaum Maronit di sana merasa mereka
sebagai penerus bangsa Phoenisia. Dengan sendirinya mereka dianggap oleh kaum
Muslimin sebagai kekuatan yang anti-Arab ataupun anti pan-Arab. Situasi yang sama
terjadi pula di Syria. Di sana Partai Rakyat Syria yang tidak mendukung gagasan
‘nasionalisme Arab’, karena mereka mengaku sebagai keturunan bangsa Aram Purba dan
menghendaki pembangunan kembali peradaban Aram di Syria. Sayang sekali partai
tersebut kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang.
31
Sepanjang masa berkobarnya semangat pan-Arabisme telah ditemukan cara untuk
mengatasi gejolak itu. Caranyta dengan melarang semua kecenderungan untuk kembali
pada semangat kejayaan masa lampau, kecuali yang berorientasi pada Arab. Nampaknya
ada beberapa jenis akibat yang terjadi pada beberapa daerah yang berbeda dengan
kebijakan itu. Pertama, makin menguatnya penonjolan identitas ‘kearaban’, dan
sekaligus menolak semangat “firaunisme’ seperti yang berkembang di Mesir. Kedua,
semangat Arabisme yang telah berkembang sedemikian cepat, telah memberikan
sumbangan besar bagi kemanusiaan. Dunia Arab bahkan mengklaim bahwa semua
kemajuan yang dicapai merupakan hasil kerja keturunan Semitis di masa lampau.
Ketiga, munculnya tuntutan bahwa bangsa Kanaan merupakan bagian dari bangsa Arab
di Timur Tengah. Mereka menuntut Palestina sebagai milik bangsa Arab, sebelum Israel
membangun permukiman di sana. Bukti sejarah menunjukkan bahwa ekspansi bangsa
Arab sampai ke Afrika Utara bukan merupakan sebuah rangkaian penaklukan, melainkan
sebuah proses pembebasan atas tanah-tanah yang telah dikuasai bangsa-bangsa Persia,
Byzantium dan kaum penjajah lainnya.
Ketika semangat pan-Arabisme mulai menurun, mulai merebaklah gejala
perlawanan terhadap semangat itu. Di Mesir misalnya, mulai menggeliat gerakan
revivalisme Mesir yang berbeda dengan identitas Arab. Bahkan di negeri-negeri yang
dikenal sebagai kawasan Bulan Sabit Sejahtera maupun di Afrika Utara pun, mereka
cenderung mendambakan kembalinya kejayaan masa kekuasaan Phoenisia, Armenia,
maupun Karthago di masa lampau. Meskipun demikian semangat itu hanya merupakan
gerakan budaya dan tidak mempunyai kekuatan sebagai gerakan politik. Hal itu
disebabkan karena pan-Arabisme tetap merupakan satu-satunya ideologi yang mapan
dam efektif di kalangan rakyat. Satu-satunya gerakan penolakan terbuka terhadap
semangat pan-Arabisme hanyalah dari kelompok kaum penyair yang menamakan
dirinya sebagai ‘al-Rafidun’ atau kaum pembangkang. Syair-syair mereka menunjukkan
kerinduan mereka akan datangnya kembali kejayaan masa-masa sebelum ‘Penaklukan
Arab’, yang hendak dijadikan sebagai identitas bangsa. Gerakan itu mirip dengan gerakan
kaum “Kanaanisme” yang muncul dalam periode Israel modern. Mereka merindukan
kejayaan bangsa Israel yang dikenal sebagai ‘kaum jahiliah Yahudi yang sekuler’,
sebelum kebangkitan “Yahudi yang bersejarah”.
32
Pengalaman Turki
Di Turki corak kerinduan pada masa lalu lebih unik lagi, karena bukan hanya dua
melainkan ada tiga macam kecenderungan. Pertama, kerinduan akan kembalinya
kejayaan masa Kekaesaran Turki di bawah Bani Usmani di abad pertengahan. Kerinduan
ini paling merata di kalangan rakyat Turki, yang terungkap dalam buku-buku sekolah,
syair-syair, maupun dalam kesadaran umum rakyat. Dari sejarah yang berhasil disusun
tentang negeri-negeri Muslim abad 19 dan 20 dapat dilacak adanya dua arah yang
berbeda, selain satu yang pertama di muka. Yaitu, yang menunjukkan sejarah Turki lokal
sebelum kedatangan bangsa Turki dari Asia Tengah. Sejarah yang tersusun menunjukkan
arah ke-kejayaan bangsa-bangsa dan peradaban kuno, seperti bangsa Anatolia, dan
menjurus ke masa Hitttte. Tentu saja mereka tidak memasukkan bangsa Yunani maupun
Armenia, yang tercatat bekerjasama dengan kaum Yahudi.
Yang ketiga, sejarah Turki yang mengarah pada uraian mengenai bangsa-bangsa
Turki sebelum menetap di negeri Turki sekarang, artinya ketika mereka masih menetap di
tanah leluhur mereka di Asia Tengah. Kembali kita menjumpai dua arah yang berbeda
dalam arah uraian sejarah. Di satu sisi sejarah mengarah ke semangat patriotisme bangsa
Turki yang senantiasa menunjukkan kesetiaan pada tanah yang mereka tinggali.
Sebagaimana kita ketahui bangsa Turki telah mengembangkan diri di negeri-negeri baru
dalam perjalanan hidup mereka, yang disebut sebagai ‘tanah air kedua’. Pada sisi lain
sejarah mengarah pada semangat pan-Turkisme sebagai doktrin kebangsaan mereka atas
dasar kesamaan identitas orang-orang dari berbagai negeri yang berbahasa Turki.
Di kalangan bangsa Arab semangat pencarian identitas diri mereka lebih
menyukai yang berbau pan-Arabisme ketimbang yang berbau patriotisme lokal. Namun
lama-kelamaan semangat yang lebih mementingkan lokalisme makin menonjol. Contoh
yang paling menonjol adalah yang terjadi di Turki. Kemal Ataturklah yang mengobarkan
semangat patriotisme lokal dan menolak membangkitkan semangat pan-Turkisme.
Semangatnya itu dituangkan dalam program ‘Partai Rakyat Republik’ yang dipimpinnya
pada tahun 1935. Dengan tegas semangatnya itu dinyatakan dalam penonjolan identitas
politik dalam penulisan sejarah Turki. Dalam program partai dinyatakan, bahwa “tanah
33
tumpah darah merupakan negeri yang suci dalam wadah batas-batas politik, tempat
bangsa Turki hidup dalam pasang surutnya sejarah masa lalu, serta kejayaan masa
lampau yang masih hidup di kedalaman tanah air.”
BAB 2 : MEDIA DAN PESAN
Ungkapan paling awal dari kenangan kolektif tentang masa lampau sesuatu
komunitas biasanya berbentuk tak tertulis. Di sejumlah tempat di Afrika misalnya,
nyanyian yang disenandungkan oleh suku-sukiu bangsa pada kesempatan pertemuan
tahunan hasil ternak mengandung sejarah suku bangsa yang mencakup sejumlah generasi,
dan kadangkala meliputi masa tiga abad lamanya. Biasanya secara kronologis kisah-kisah
tentang peristiwa yang terjadi tidak begitu jelas, namun seringkali berbagai persaksian
yang diceritakan oleh para musafir asing, seperti dari bangsa Arab maupun Portugis, bisa
lebih menjelaskannya yang mendekati akurasi kejadian yang sesungguhnya. Epos
tentang Homerus dari Yunani kuno, legenda dari penduduk Iceland, mitologi
pertempuran di kalangan bangsa Arab sebelum masa Islam dsb. mengandung maksud
yang sama.
Syair-syair kepahlawanan di kalangan bangsa primitif itu mengisahkan
perjuangan di antara para pahlawan dalam menegakkan kebenaran, yang mengokohkan
nilai moral cerita. Tentu saja hal itu tidak hanya berlaku pada kejadian historis yang
betul-betul terjadi, melainkan juga pada mitologi agama, maupun cerita yang murni
fiktif. Biasanya kisah-kisah itu berkenaan dengan konflik atau pertempuran antara tokoh-
tokoh pahlawan yang melawan kekuatan dari luar. Tokoh musuh dari luar itu bisa
mewakili dunia manusia biasa, dewa maupun makhluk setengah dewa.
Yang menarik adalah bahwa dalam kisah-kisah kepahlawananitu nilai utama yang
ditonjolkan adalah hakekat perjuangan serta kualitas yang yang terkandung di dalamnya,
dan bukan hasil akhir perjuangan itu sendiri. Barangkali pahlawan dalam kisah itu justru
mengalami kekalahan. Peristiwa kepahlawananitu barangkali justru berakhir dengan
kekalahan atau kematia n tokoh pujaan mereka. Hal yang penting dari kisah itu justru
harga diri dan keberanian dari sesuatu suku bangsa. Barangkali pemujaan orang Yahudi
atas Masada termasuk peristiwa baru, karena mereka tidak mengalami langsung. Berbeda
34
halnya dengan bangsa Serbia yang langsung mengalami peristiwa pertempuran Kosovo
pada tahun 1389, yang dirasakan benar sebagai peristiwa heroik bagi bangsa Serbia.
Nyata sekali diceritakan dalam sejarah betapa Kosovo mengalami kekalahan oleh serbuan
pasukan Turki, yang telah berakibat pada penguasaan Turki atas bangsa Serbia.
Bagi para penyair Serbia akhir peristiwa itu tidak menjadi masalah, namun yang
lebih penting adalah kepahlawanan para pejuang Serbia serta raja mereka. Kisah
mengenai pertempuran Kosovo itu telah berhasil mengobarkansemangat perlawanan
bangsa itu terhadap setiap penyerbuan atas negeri mereka selama berabad lamanya.
@@@
Kebanyakan masyarakat primitif memiliki kisah-kisah kepahlawanan yang telah
menjadi sebuah kenangan kolektif bagi sesuatu kelompok masyarakat, dan telah berhasil
mengarahkan terjadinya kesetiaan-kesetiaan bagi anggota dalam sesuatu kelompok
tertentu, hingga mampu mendorong terjadinya sesuatu peperangan antar kelompok dan
berbagai macam konflik lain. Ternyata jenis kisah-kisah yang berfungsi seperti itu, baik
yang bersifat kesejarahan maupun tidak, sama sekali bukan hanya terbatas dimiliki oleh
masyarakat primitif. Tampaknya ada perbedaan yang penting yang membedakan antara
kisah-kisah yang lahir secara spontan dalam masyarakat, yang disebut ‘epos primer’,
maupun ‘epos sekunder’, yang sengaja disusun atas dasar peristiwa-peristiwa yang yang
sungguh terjadi dan yang dirayakan setiap saat. Kisah jenis yang kedua yang disebut
’epos sekunder’ itu merupakan jenis yang tersurat, tertulis, dan lebih tersusun sebagai
hasil peradaban yang lebih maju.
Kita bisa mengambil contoh dalam masyarakat yang lebih kuno, misalnya dalam
syair-syair dalam peradaban Yunani dan Romawi, yang mengandung perbedaan yang
nyata. Syair-syair tentang pahlawan Homerus terlihat lebih spontan dan primer
sementara epos tentang Aeneid dari Virgil dalam masyarakat Romawi terasa lebih
menggambarkan kesadaran diri serta bersifat rekaan ulang. Kisah-kisah itu merupakan
karya masyarakat kerajaan, dan bukan masyarakat pahlawan. Kisah-kisah itu bukan
merupakan tradisi yang hidup, melainkan sebuah temuan berujud sastra. Katya sastra itu
lebih merupakan rekaan yang disesuaikan dengan fantasi masa lampau.
35
Lebih dari itu semua karya-kartya sastra itu menjadi media yang berisi pesan
untuk mempromosikan kebijakan penguasa baru, yaitu Kaesar Agustus dari Romawi.
Perbedaan seperti tersebut di atas bisa kita samakan dengan yang terjadi antara kisah-
kisah yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama dengan peristiwa dalam masa terkini.
Kisah-kisah tentang Exodus yang dialami Bani Israil di bawah kepemimpinan Nabi Musa
dalam Perjanjian Lama masih selalu diperingati orang Yahudi di masa modern sekarang.
Dalam masyarakat Nasrani juga diperingati setiap tahun peristiwa-peristiwa utama yang
berkaitan dengan sejarah perkembangan agama. Lambang palang salib misalnya,
merupakan salah satu lambang yang senantiasa diyakini sebagai pengakuan akan
kebenaran peristiwa ‘penyaliban’ atas Yesus Kristus. Demikian juga peringatan Hari
Natal, yang merupakan hari kelahiran Nabi Isa, diyakini terjadi dalam bulan Desember
tanggal 25, meskipun sebenarnya di kalangan ahli sejarah masih diragukan kebenarannya.
Demikian juga yang terjadi dengan peringatan Paskah yang dilakukan berkaitan dengan
Hari Wafat dan Kenaikan Yesus Kristus atau Nabi Isa.
Peristiwa yang terakhir ini dianggap tidak diragukan kebenarannya dan
keasliannya, dan bukan rekayasa. Di samping itu penganut agama Nasrani masih juga
memperingati hari-hari besar yang berkaitan dengan hari wafatnya para orang suci
(santo) atau para martir (syuhada) yang meninggal sebagai tumbal. Sebagaimana dalam
agama Yahudi dalam agama Nasranipun kebaktian atau liturgi merupakan wujud
peringatan kepahlawanan yang terjadi di masa lampau.
Islam sebagai agama lebih memiliki sejarah yang terbuka, termasuk proses
kelahirannya di banding agama-agama serumpunnya, yaitu Yahudi maupun Nasrani.
Misalnya, kita tidak tahu secara jelas siapa pendiri agama Yahudi, demikian juga dengan
agama Nasrani. Yang jelas adalah bahwa pendiri agama Nasrani telah wafat di tiang
salib, dan pengikutnya mengalami nasib buruk selama awal perkembangan, yaitu menjadi
golongan minoritas dalam dominasi Romawi selama berabad-abad. Tidak demikian
halnya dengan agama Islam. Pendirinya, yaitu Nabi Muhammad, selama hidupnya
bergelut dengan penyebaran agama Islam. Lebih dari itu nabi pendiri itupun telah
menghabiskan umurnya untuk mempraktekkan ajaran agamanya dalam raranan
masyarakat, baik sebagai kepala negara, panglima tentara maupun sebagai hakim agung.
36
Sejarah tentang perkembangan agama Islam menyatu dengan sejarah hidup Nabi
Muhammad. Oleh karenanya barangkali peringatan-peringatan keagamaan yang utama
tidak berkaitan dengan peristiwa yang berkaitan dengan kehidupan nabi, melainkan
berkaitan dengan hal lain, yaitu Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Ad-ha. Hari Raya
Idul Fitri dirayakan seusai melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan. Sedangkan
Hari Raya Idul Ad-ha merupakan upacara ritual yang dilaksanakan untuk mengenang
peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim, istrinya dan anaknya, Nabi Ismail. Peringatan
itu juga dilakukan oleh mereka yang melaksanakan ziarah ke dua tempat paling suci,
yaitu Mekah dan Medinah. Peringatan yang lebih kecil dilakukan untuk mengenang
kematian para orang suci atau wali.
Dalam masyarakat Yahudi kebiasaan menuliskan kalender sejarah dikenal dengan
nama ‘taqwim’, yang memasang rangkaian ulang tahun peristiwa penting di masa
lampau. Adapun maksud peringatan-peringatan itu dipasang adalah untuk membantu
penyelenggaraan peringatan sekaligus untuk membantu melakukan prediksi masa depan.
Sampai masa modern sebagian besar peringatan-peringatan itu diselenggarakan dengan
cara keagamaan. Termasuk yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang sekuler, di
sana para pendeta memegang peranan besar dalam penyelenggaraannya, misalnya yang
berkaitan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Amerika maupun Hari Penjebolan
Penjara Bastille di Perancis.
Gerakan yang berbau romantisme, yang penuh gambaran kejayaan di masa
lampau, seperti tertera dalam novel-novel sejarah, telah melakukan sejumlah upaya yang
berhasil mempengaruhi bentuk citra masa lampau yang terkenal. Selama abad ke 19 dan
awal abad ke 20 para penulis novel sejarah bangsa Yahudi, Arab, Persia, maupun Turki
telah berhasil membangun citra diri pada masyarakat sebagai pembaca yang terdidik
secara sekuler, yang berguna bagi pencapaian konsekuensi politik.
BAB 3 : SEBAGAIMANA YANG SEHARUSNYA TELAH TERJADI
37
Orang kebanyakan di manapun di dunia, termasuk di Amerika, biasa mengatakan
agar kita menyampaikan apa adanya. Ungkapan tadi secara tidak sadar seperti
menyampaikan pendapat sejarawan terkenal dari Jerman, Leopold von Ranke. Untuk
menulis sejarah haruslah apa adanya. Sesuai dengan kalimat aslinya dikatakan "wie es
eigentlich gewesen", atau “how it really was”. Namun dalam kenyataannya ungkapan itu
sulit dilaksanakan.
Ternyata tidaklah sama antara pertanyaan “Apa yang terjadi (hapened?”, “Apa
yang kita ingat (recall)?”, “Apa yang dapat kita temukan kembali (recover)?”, “Apa
yang dapat kita susun (relate)?”.Sama sulitnya juga bagi kita bagaiamana menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Seringkali kita sangat tergoda untuk menyampaikan
berbagai peristiwa sebagaimana kita harapkan terjadi, ketimbang apa yang sesungguhnya
terjadi. Bernard Lewis menawarkan tiga tipe batasan tentang sejarah, lengkap dengan
ilustrasinya dengan peristiwa yang terjadi dalam sejarah di Timur Tengah. Ketiga tipe
sejarah itu yaitu “sejarah sebagaimana diingat (history-remembered)”, “sejarah
sebagaimana ditemukan kembali (recovered)”, dan “sejarah sebagaimana ditemukan yang
belum dikenal sebelumnya (invented)”. Dalam kesempatan ini Bernard Lewis
melengkapi pandangannya tentang pengungkapan fakta sejarah dengan ilustrasi yang
tepat, yaitu sejarah yang terjadi di Timur Tengah, khususnya dunia Islam. Contoh yang
paling jelas adalah tentang penyusunan kembali sejarah hilangnya kejayaan Spanyol
Islam. Dengan jatuhnya Granada pada tahun 1492, benteng terakhir kekuatan kaum
Muslim di Semenanjung Iberia, berakhir sudah dominasi Muslim di sana. Kekuasaan
Muslim di sana telah berlangsung selama lebih dari delapan ratus tahun. Pada tahun yang
sama menyusul pengumuman dari para raja Katolik untuk mendirikan kerajaan-kerajaan
Kristen di bekas kekuasaan ‘bangsa Moor dan Yahudi’ di seluruh tanah raja-raja
Kristen di Spanyol.
Kaum Muslim Spanyol banyak yang melarikan diri ke Afrika Utara, dan sebagian
kecil saja dari mereka ke Timur Tengah. Dan untuk beberapa lama kenangan dan
nostalgia pada tanah Andalusia yang telah hilang, masih bertahan. Pada awal abad ke 17
seorang sejarawan bangsa Maroko bernama al-Maqqari berhasil menyusun sebuah karya
ensiklopedia yang cukup lengkap tentang riwayat perjalanan sejarah Spanyol Islam dari
awal hingga akhir kajayaannya.
38
Pada bagian terakhir sejarah kerajaan Muslim tersebut, tanah yang hilang tersebut
yang telah lama memerintah dengan peniuh kejayaan, telah dilupakan oleh dunia Islam.
Barangkali sedikit kenangan masa lampau yang penuh kejayaan itu masih tersisa di
kalangan katurunan kaum pelarian yang tinggal di Afrika Utara. Selebihnya semua masa
lampau yang jaya dari Spanyol Islam telah hilang dari kenangan. Dan penyusunan
kembali sejarah periode ini seluruhnya merupakan hasil kerja sejarawan Eropa, termasuk
bangsa Spanyol sendiri serta dari kebangsaan lain.
Karya Al-Maqqari tentang kejayaan Andalusia diterbitkan untuk pertama kalinya
di London pada 1840, yang merupakan hasil terjemahan ke bahasa Inggris yang tidak
begitu baik oleh ilmuan Spanyol bernama Pascual de Gayangos. Sejarah Spanyol Islam
sangat memikat perhatian orang Eropa di awal abad 19, karena menyimpan banyak sekali
kekhasan Spanyol yang menjadi salah satu komponen karya sastra yang penuh
romantika. Dalam salah sebuah karya Washington Irving misalnya, ditulis tentang masa
tenggelamnya kejayaan Alhambra dan tenggelamnya kejayaan Spanyol Muslim.
Kemudian kita juga bisa membaca karya sejarawan Perancis bernama Louis Viardot,
buku berjudul ‘Essai sur I'histoire des arabes et des maures d'Espagne’, atau ‘Esei tentnag
sejarah bangsa Arab dan Moor di Spanyol’, yang terbit di Paris pada 1833.
Karya kaum Muslim tentang masa Spanyol Muslim yang pertama diterbitkan di
Istanbul, pada 1863- 1864. Buku itu merupakan terjemahan dalam bahasa Turki dari buku
berjudul ‘Bangsa Maghribi terakhir’ yang diterbitkan di Aljazair. Perhatian bangsa-
bangsa Arab untuk menulis tentang masa lampau Spanyol Muslim tampaknya terangsang
oleh dua hal. Pertama dan terutama, adalah kehadiran utusan Muslim dalam sebuah
kongres kaum orientalis internasional. Di sana mereka berkenalan dengan kaum orientalis
Eropa yang banyak memaparkan sejarah masa-masa Spanyol Muslim. Yang kedua adalah
keputusan Sultan Abdulhamid II dari Kesultanan Turki Bani Usmani pada 1886 untuk
mengirim utusan ke Spanyol para ahli untuk mencari naskah-naskah berbahasa Arab di
sana. Maka segera beruntun datang para utusan dari Turki, Mesir, dan berbagai negeri
Muslim lainnya, bahkan dari India. Di sana mereka menekuni daerah-daerah penggalian
purba di masa Spanyol Muslim. Dan segera karya-karya tentang Spanyol diterjemahkan
ke dalam bahasa-bahasa Arab, Turki maupun bahasa penduduk Muslim lainnhya,
39
termasuk karya-karya sastra tentang romantika masa lampau di Spanyol Muslim, seperti
mislanya tentang legenda Cordoba di masa keemasan.
Kenangan akan Andalusia membangkitkan emosi yang mendalam yang
dibutuhkan oleh kaum intelektual Muslim. Sebagai salah satu pengaruh dari proses
pendidikan yang mereka peroleh dari Eropa, mereka makin menyadari betapa kelemahan
maupun kemunduran yang mereka alami. Selanjutnya mereka telah mendapatkan
dukungan dan kenyamanan dari kenangan akan kehadiran sebuah negeri Muslim di
Eropa yang besar, kaya beradab, dan kuat, Mereka meyakini bahwa negeri itu telah
menjadi pembimbing dan pemimpin bagi peradaban Eropa.
Pada saat-saat ketika dunia Islam mengalami kemunduran dan kekalahan mereka
justru mendapatkan peluang untuk menyamakan kondisi mereka dengan senjakala yang
semarak dari Alhambra. Kejayaan
Andalusia telah menjadi tema yang digemari para pesyair maupun novelis dalam
mengungkapkan nostalgia. Keberhasilan,yang sesungguhnya maupun yang hanya
diangan-angankan, tentang peradaban Arab-Spanyol yang besar digunakan sebagai dalih
dalam penulisan romantika sejarah peradaban Islam ketika menyaksikan kemunduran
Islam serta timbulnya perasaan kurang percaya diri yang disebabkan oleh pengaruh
tekanan Barat. Kenyataan bahwa sejarah maupun peradaban bangsa Spanyol Islam itu
diketahui oleh mereka karena jerih payah Barat tak ayal dirasakan bagaikan menelan pil
pahit. Itu sebabnya kenyataan sejarah itu pada umumnya tersembunyi dan sejumlah
“sejarawan” Muslim bersikap agak berlebihan, dengan mengatakan bahwa semua
kejayaan masa lalu dalam sejarah Islam maupun sumbangan Spanyol Muslim bagi
peradaban Eropa telah sengaja disembunyikan karena rasa kedengkian dan penuh
prasangka dari sejarawan Eropa.
Bagi para sejarawan Muslim dari bangsa Arab Spanyol, Spanyol Islam
merupakan sumber mata air kesenian dan ilmu pengetahuan yang menjadi sumber
perkembangan peradaban Eropa yang asli dan terbaik. Keyakinan seperti itu mempunyai
dua manfaat. Di satu sisi, membangkitkan kebanggaan yang telah hancur yang dialami
masyarakat Muslim yang telah ditaklukkan. Pada sisi lainnya, lebih meyakinkan akan
kebenaran anggapan bahwa peradaban Islam yang berkembang di Spanyol Islam telah
diterima masyarakat Eropa sebagai sumber asli. Peradaban itu telah menganjarkan
40
semangat toleransi. Salah satu makna toleransi itu adalah hilangnya saling permusuhan di
antara komunitas yang berbeda. Itulah yang dikemukakan sebagai toleransi yang
diajarkan Islam. Pengertian lain dari toleransi adalah tidak adanya diskiminasi, serta
kesamaan hak dan kewajiban di antara sesama warga masyarakat, tanpa memandang
perbedaan suku bangsa, asal usul, keprcayaan. Bagi ahli hukum Islam toleransi dalam
Islam dimaknakan sebagai kesamaan setiap warga masyarakat di muka hukum.
BAB 4 : PENUTUP
Marilah kita kembali pada tema semula, yaitu Cyrus dan Masada. Perayaan ulang
tahun Cyrus di Persepolis menurut para pengamat luar negeri dianggap sebagai
perbuatan yang boros, dan lebih dari itu tidak bermanfaat. Menurut Benhard Smith
barangkali memang memakan biaya besar, namun bukan tidak bermanfaat. Sebaliknya,
merupakan contoh klasik dari penggunaan sejarah secara baik.
Parade yang menawan dan upacara-upacara yang diselenggarakan di makam Raja
Cyrus maupun di reruntuhan kota kuno Persepolis telah mendramatisasikan peristiwa itu
sebagai sebuah upacara yang belum pernah berlangsung sebelumnya di masa Persia. Dan
apa-apa yang menjadi harapan utama penguasa di masa itu telah betul-betul menjadi
kenyataan, yaitu proses transformasi bangsa Persia, dari sebuah masyarakat religius
menjadi sebuah bangsa sekuler, lengkap dengan ciri utama, bukan lagi kesetiaan pada
Islam melainkan pada pada Iran. Proses itu belum lengkap, melainkan terus berjalan, dan
kadangkala diperlukan bantuan.
Tema utama perayaan-perayaan tersebut adalah kesinambungan selama masa
ribuan tahun dari tanah maupun rakyat Iran, melalui kebudayaan maupun agama , serta
peranan lembaga kerajaan yang menunjangnya. Hal yang sama kita saksikan pula dengan
upacara Masada yang berlangsung di Israel modern. Tak dapat disangkal bahwa upacara
itu memang dirancang untuk membangun kembali hubungan antara aspek politik dari ciri
bangsa Yahudi dengan kekuatan militer Israel. Namun sayang sekali pilihan itu
membawa malapetaka.
Cyrus, sesuai dengan hasil kejian sejarah, merupakan awal perkembangan sejarah,
sementara Masada merupakan akhir sebuah episode. Ketika kenangan kolektif bangsa
41
Yahudi telah melupakan peristiwa Masada dan sebaliknya menjadikan peristiwa larinya
Rabbi Yohanan ben Zakkai dari Jerusalem untuk memohon izin dari penakluk Romawi
untuk mendirikan sebuah seminari bagi calon sebagai simbol, tak ayal merupakan satu
pertanda sebuah firasat.
Masada tidak lain adalah sebuah titik akhir sejarah bangsa Yahudi. Di balik itu
semua terhampar sebuah kehampaan. Sesuatu yang dilupakan. Nampaknya langkah yang
dilakukan Ben Zakkai merupakan langkah kebijakan yang memedihkan.Langkah itu
sebenarnya menggambaran suatu kenyataan, bertahan hidup, maupun masa depan,
sambil menelan kebanggaan diri. Langkah itu juga menggambarkan upaya mendambakan
anugerah dari penguasa negeri, yaitu penguasa Romawi. Di samping itu juga merupakan
upaya untuk melestarikan warisan serta identitas Yahudi. Semua itu dilakukan dengan
melalui keyakinan hidup maupun hukum.
Sekarang Masada telah ditemukan kembali, dalam artian yang sesungguhnya.
Temuan sejarah Masada itu bukan sekadar laporan dalam jurnal arkhaeologi, melainkan
betul-betul tumbuh dalam kesadaran Yahudi di kalangan bangsa Israel di manapun.
Meskipun demikian masih diperlukan kewaspadaanuntuk menanganinya di balik
tingkatan-tingkatan penyusunan sejarah yang diangkat dari kumpulan ilusi. Tidak bisa
dipungkiri bahwa pengabdian maupun keberanian sama-sama dibutuhkan, namun
demikian mereka sebaiknya tidak kembali mengarah pada “bunuh diri” dalam ujung
sejarah.
@
Catatan :
Tulisan di atas merupakan saduran bebas untuk pemaparan dalam pertemuan dosen
Jurusan Sejarah IKIP Semarang pada tahun 2000, dari buku berjudul History :
Remembered, Recovered, Invented, karya Bernhard Lewis. Buku aslinya diterbitkan oleh
Simon and Schuster, Inc. New York, London, Toronto, Sidney, Tokyo 1987
42
B. KASUAL
1. KENDALA KRITIK SEJARAH
(Tanggapan atas Kuntowijoyo)
Yang paling menarik dari tulisan Kuntowijoyo berjudul MasalahKritik Sejarah
(Republika 3/] 1) adalah kalimat-kalimat penutupnya. Lengkapnya kalitnat itu berbunyi
"Masalah tersebut sebaiknya tidak dipandang sebagai masalah hukum, tapi masalah
sejarah. Kapan lagi bangsa kita akan mendengarkan wacana ilmiah dari lembaga
pengetahuan dan bukan lagi wacana kekuasaan dari pemerintan, wacana keuntungan dari
bisnis, wacana persaingan dari parpol, dan wacana pemasaran dari media massa."
Pandangan semacam ini mewakili pandangan yang lugu dan konsisten sebagai
sejarawan yang memiliki integritas pada bidang ilmunya. Seorang etikus dan pengikut
teosofi tentu saja memiliki pandangan dan fatwa yang berbeda. Misalnya agar semua
pihak mau tenggang rasa dan memanfaatkan pihak lain, atas dasar prinsip menang tanpa
ngasorake". Bukan "becik ketitik, ala ketara" atau yang balk itu jelas terlihat, yang jelek
itu pun jelas.” Bukankah Tuhan Maha Tahu dan Maha Adil? Demikian juga politikus
mau pun kaum kerabat Bung Karno tetap akan memandang bahwa pandangannya yang
paling benar, yaitu agar dilakukan pendekatan hukum seperti lewat pengadilan, agar
diperoleh kebenaran. Bahkan bukanKebenaran barangkali yang dicapai, melainkan
kepuasan.
Dominasi Kepentingan
43
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kehidupan ini yang paling berkuasa bukan
kaum etikus, moralis, mau pun ilmuwan bahkan juga bukan kaurn politisi maupun
militer, melainkan kepentingan. Dalarn masyarakat ideal menurut konsep Yunani Klasik,
India Kuno manpun Eropa Abad Pertengahan, memang secara formal kaum filsuf,
brahmana atau pun pendeta yang berkuasa karena merekalah yang memiliki
kebijaksanaan. Namun bukan kebijaksanaan (wisdom) yang berkuasa, melainkan
kepentingan. Tegasnya kepentingan untuk menguasai manusia lain agar mau mengikuti
kemauan the rulling class. atau pun the pressure group, yang selamanya saling
berhadapan. Itulah hakekat perjuangan kaum berkepentingan.
Harap jangan selalu memandang bahwa warga kepentingan yang dikembangkan
mesti bersifat negatif, meski pun hampir selalu pihak yang berbeda kepentingan
memandang negatif warga kepentingan lain tersebut dengan berbagai dalih. Banyak
bukti menunjukkan betapa warga kota yang sedang memilih Hari Jadi bagi sesuatu kota,
misalnya mengalami benturan kepentingan, Para ilmuwan sejarah akan selalu berangkat
dari prosedur ilmu sejarah dalam mendapatkan kebenaran. Di antara mereka bukan tidak
mungkin terjadi beda pandangan atas dasar data mau pun tafsir sejarah yang dipakai.
Dalam hal ini para sejarawan meneoba bertindak obyektif ketika menghadapi data dari
para responden atau pun sumber sejarah yang cenderung subjektif. Akibatnya diskusi itu
menjadi amat berkepanjangan. Dan tidak jarang menemui keadaan “jalan tak ada ujung”.
Kepentingan mereka jelas bisa difahami, yaitu kebenaran obyektif sejarah (history as a
fact).
Hampir selalu muncul sikap kaum ekskutif birokratyang ingin segera mendapat
hasil, tanpa prosedur ilmiah yang dianggap bertele-tele. Kepentingannya jelas berbeda.
Maka tidak mengherankan manakala kemudian keluar semacam dekrit untuk menentukan
Hari Jadi versi resmi. Prosedur yang lain adalah prosedur politik, yaltu lewat sidang-
sidang DPR, yang kalau perlu harus dicapai suara bulat. Akan tetapi jangan dipandang
bahwa DPR mengesampingkan acuan data historis. Oleh kerenanya prosedurnya dapat
dianggap ilmiah juga.
Yang menarik adalah perlunya diambil prosedur musyawarah, yang tidak dikenal
dalam dunia ilmu. Bagalmanapun itulah keputusan politik. Dalam hal ini memang tidak
pernah dilakukan prosedur pengadilan, yang nampalmya juga dapat dilalui. Tidak pennah
44
terjadi, misalnya, ahli waris keturunan tertentu yang merupakan pelaku sejarah dalam
proses awal pembangunan kota tersebut merasa dilecehkan karena tidak terlibat sebagai
cikal bakal kota.
Kemudian setiap HUT Hari Jadi kota warga kota pun memeriahkannya dengan
berbagai acara, tennasuk ceramah tentang Hari Jadi Kota tercinta. Namun satu hal sudah
jelas, bahwa ceramah-ceramah tidak boleh mempersoalkan kebenaran Had Jadi lagi,
karena pintu ijtihad telah tertutup rapat.
Apa yang kita saksikan kemudian adalah sebuah pernyataan sejarah yang kemudian
disebarluaskan, disosialisasikan, bahkan diajarkan dari generasi ke generasi. Inilah
kenyataan sejarah sebagai history as written, menurut versi pemerintah. Dan itulah juga
kebenaran sejarah menurut sesuatu versi.
Dalam hal kasus Bung Karno dalam kaitannya dengan kelahiran Orde Baru awal,
halnya semacam kasus penentuan Hari Jadi kota yang kira saksikan. Berbagai fihak
mengklaim paling berhak menentukan kebenaran, dan berbagai fihak mengaku bahwa
klaim tersebut tidak benar. Namun selalu history as written lah yang paling dominan,
karena didukung oleh kekuasaan politik dan kepentingan politik.
Kritik dan saran sejarawan Kuntowijoyo agar masyarakat memperhatikan juga
suara para ilmuan sejarah tentu saja sangat bermanfaat, namun nampakmya hanya
mendapat pembenaran dari masyarakat ilmuan saja. Demikian juga kalau orang berbicara
tentang kebenaran sejarah masa-masa yang lebih lampau. Selalu saja ada history as a
fact, dan selalu saja ada history as written. Dan selalu saja para sejarawan cuma mampu
mengemukakan kritik-kritik dan saran. Dan selalu aaja yang dominan adalah hasil
prosedur politik mau pun pengadilan.
Sejarawan Peneliti dan Sejarawan Pendidik
Istilah sejarawan pendidik dimaksudkan bagi guru atau dosen sejarah profesional.
Tugas intelektual mereka bukan mencari, menemukan dan menuliskan kebenaran sejarah
seeperti yang dilakukan oleh sejarawan peneliti, melainkan menyajikan dan
menyampaikan kebenaran sejarah kepada generasi muda lewat proses pendidikan.
Namun harus diakui bahwa kebenaran sejarah yang disajikan mereka adalah history as
45
written, sesuai dengan kmikulum yang berlaku. Masalah segera muncul di hadapan para
guru sejarah manakala muncul kontroversi tentang kebenaran sejarah, misalnya tentang
keterlibatan Bung Karno dalam pemberontakan G3OS/PKI mau pun "keterlibatan CIA
dalam gerakan untuk mendongkel Bung Karno atau kebangkitan Angkatan `66, yang
kemudian diiukuti kelahiran Irde Baru.
Dalam peran mereka sebagai juru bicara pemerintah, maka tugas guru sejarah
tidak lain menampaikan kebenaran sebagaimana tertulis dalam buku-buku sejarah versi
Orde Baru.Kadangkala mereka mendapat tugas sampiran dalam proses pendidikan
politik, yaitu mengobarkan semangat cinta tanah, semangat rela berkotban. Sebagai
konsekuensinya perubahan apapun yang terjadi dalam kurikulum sejatah para sejarawan
tidak mungkin berbuat lain kecuali mengikuti pendekatan yang ditawarkan dalam
kurikulum. Pengalaman dengan konsep "kompefisi manipolis" mau pun datang dan
perginya PSPB sebagai pendekatan pendidikan sejarah telah merupakan pengalaman tak
terlupakan bagi para sejarawan pendidik.
Yang lebih dipentingkan adalah memberikan peluang makin banyak kepada
warga masyarakat untuk mengemukakan data sebanyak mungkin untuk mendapat
informasi sejarah seakurat mungkin. Dengan begitu maka masyarakat akan mendapat
informasi sebanyak mungkin tentang sesuatu episode dalam sejarah. Kedewasaan
berpikir masyarakat dalam menanggapi banjirnya informasi jangan ditunggu, melainkan
dikondisi. Yang penting dijaga adalah bahwa kekebasan tidak menjurus pada suasana
fitnah. Timbulnya kebimbangan di kalangan warga masyarakat jangan dikhawatirkan
bakal mengarah pada khaos dalam informasi, melainkan akan membawa warga
masyaarakat yang "well-miormed".
Kasus “detik-detik menjelang proklamasi 17 Agustus 1945” telali menghasilkan
banyak sekali informasi yang datang dari berbagai pihak. Sejak dari Bung Karno dan
Bung Hatta yang dianggap sebagai “kolaborator penjajah dan boneka Jepang”, sampai
pada para tokoh pemuda, seeperti Sukarni, Chaerul Saleh maupun Adam Malik, yang
dituduh telah menculik Bung Karno dan Bung Hattake Rengasdengklok, telah
memberikan informasi, yang bukan saja tidak sama, bahkan bertentangan hententangan.
Nyatanya warga masyarakat tidak khaos dalam menanggapi hal tersebut.
46
Akhirmya
Jadi simponi yang harus digelar mengenai kehenaran sejarah adalah, pelaku
sejarah menuliskan pengalaman mereka, betapapun subjektifnya, namun disertai bukti
memadai, sebagaimana pekanya alat perekam canggih. Lalu sejarawan peneliti
melakukan kritik sejarah. ekstern maupun intern, lalu menafsirkannya dan kemudian
menuliskannya, sebagaimana “kebijaksanaan dalam penulisan hadits”. Dan sejarawan
pendidik dengan penuh “kebijaksanaan seorang Batara Guru” akan selalu menyampaikan
kebenaran sejarah kepada generasi muda.
Dalam pada itu tidak dapat dipungkiri akan perlunya buku babon sejarah untuk
kepentingan pendidikan, dan kelengkapan informasi yang bervariasi sehagai sumber
sejarah. Dalain hal im prosedur politik maupun pengadilan hukan sesuata yang harus
dihindari, meskipun bukan merupakan kata akhir. Amerika Serkatpun mengenal
"informasi baku" siapa pembunuh Presiden John F. Kennedy, namun beredar pula
berbagai versi lain dalam masyarakat.
Dalam kasus Bung Karno maupun CIA. yang jauh lebih penting bukan untuk
“mengadili tentang keterlibatannya”. Keterlibatan adalah kesimpulan, sedangkan yang
diperlukan adalah deskripsi kejadian sejarah yang akurat. Napoleon Bonapsrte tidak
dipungkiri pernah terlibat dalarn menyengsarakan rakyat Perancis, dan oleh karenanya
jenazahnya dikuburkan di Pulau Elba di luar wilayah Perancis. Namun kemudian rakyat
berkesimpulan lagi, sehingga makamnya dipindahkan di Perancis sebagai pahlawan.
HARIAN REPUBLIKA, 15 NOPEMBER 1994)
8@@@
47
48
2. KONTROVERSI DALAM SEJARAH INDONESIA
Waktu persaksian Soekaedjo Wilarjito di sekitar proses terbitnya Surat Perintah
Sebelas Maret (Super Semar) mulai tersiar dalam media massa tanggal 26 Agustus baru-
baru ini, terpikir oleh saya bahwa nasibnya akan seperti isu tentang Supriyadi. Pernah
dinyatakan oleh seorang saksi mata bahwa pahlawan Peta Supriyadi masih hidup, jauh
hari setelah dinyatakan bahwa pahlawan itu telah tewas dalam suatu pertempuran.
Kemudian terjadi pelemik, dan kemudian musnah berita tentang kesaksian itu. Pahlawan
Supriyadi tetap diyakini sudah wafat, meski tidak dapat dijelaskan di mana makam
beliau.
Sekarang seorang saksi mata yang telah berumur 71 tahun menyatakan sesuatu
yang berbeda dengan yang tertulis dalam sejarah fomal (history as writen), yang selama
ini diyakini kebenarannya.
Paling tidak ada dua isu yang diungkapkan dalam persaksian itu. Pertama, bahwa
Super Semar itu diterbitkan oleh suatu tekanan dari luar, bahkan dengan todongan pistol
oleh Jendral Panggabean. Jadi bukan ditandatangani atas dasar kerelaan Presiden
Sukarno, sebagaimana tertera dalam sejarah formal. Kedua, bahwa perwira tinggi yang
menjemput Super Semar itu bukan hanya tiga, sebagaimana tertulis dalam sejarah formal,
yaitu Jendral Basuki Rakhmat, Jendral M. Yusuf, dan Jendral Amir Mahmud. Ternyata
diberitakan oleh seorang saksi sejarah dan pelaku sejarah, bahwa Jendral Panggabean
hadir mengambil peranan dalam penjemputan Super Semar di Istana Bogor.
Persaksian kontroversial yang diberikan oleh Soekardjo amat memancing
komentar, karena memang benar-benar mengejutkan. Pertama, karena saksi mata itu
disebutkan sebagai orang yang secara fisik paling dekat dengan peristiwa itu. Yaitu
seorang anggota sekuriti Istana Bogor. Bahkan konon saksi itu menyebutkan
menyaksikan psristiuwa itu dari jarak amat dekat, sekitar tiga meter, dalam usia 39 tahun.
Usia yang masih segar bugar.
49
Kedua, karena yang bersangkutan termasuk bekas tapol G30S/PKI, yang tentu
saja menimbulkan kecurigaan atas keobyektifan pernyataannya. Kata Nurcholis Majid,
pastilah dilatarbelakangi motif tertentu. Entah apa.
Tak urung kesaksian itu mengundang kemungkinan polemik lebih besar, karena
kesaksian itu dapat diuji kebenarannya oleh paling tidak dua orang saksi mata yang juga
masih hidup. Yaitu Pak Panggabean maupun Pak M. Yusuf. Ini alasan ketiga mengapa
kesaksian itu amat menarik.
polemicus interuptus
Komentar yang muncul berbeda-beda. Pak Panggabean, yang paling merasa
ditugikan, dengan sigap membantah pernyataan Soekardjo itu. Anggota DPR RI Ny.
Aisah Amini menghimbau agar peristiwa masa lampau jangan diusik-usik lagi.
Sejarawan Onghokham sebaliknya memandang dengan skeptis kesaksian itu. Dia
melihat peluang untuk dilakukannya penelitian lebih serius, guna menemukan kebenaran.
Letjen (Pur TNI) Bambang Triantoro, yang entah dalam kapasitas sebagai apa,
menyangsikan kebenaran isu itu. Sebagai anggota keluarga mantan Presiden Suharto, Pak
Probosutejo dengan tegas menyatakan bahwa Maraden Panggabean tidak pergi ke Bogor
pada tanggal 11 Maret, meski masih dipertanyakan apakah pada saat itu Pak Probo sudah
berada di Jakarta untuk bergabung dengan keluarga besar Suharto.
Sementara itu ketua LBH Yogyakarta yang menjadi penasihat hukum saksi
sejarah menyatakan, bahwa siapapun berhak melakukan gugatan terhadap kliennya,
Soekardjo Wilarjito, bila merasa dirugikan oleh pernyataan kliennya itu. Dengan cara itu
bahkan kebenaran historis dapat ditemukan.
Yang paling mengejutkan adalah komentar Presiden Habibie, yang buru-buru
melarang untuk meneruskan polemik itu. Tentu saja pernyataan itu mengherankan,
karena dinyatakan oleh seorang ilmuan, yang tentunya amat mengandalkan data terbaru
bagi upaya menemukan sesuatu kebenaran. Tapi sayangnya beliau adalah orang dekat
mantan presiden Suharto, yang tak ayal akan mendapatkan dampak buruk kalau
kesaksian Wilarjito ternyata benar.
50
Apakah ini semua termasuk wujud dari sikap mental ‘mendhem jero, mikul
dhuwur’?
Bagaimanapun kecurigaan bakal terjadi keputusan politik berupa larangan
memperpanjang polemik tentang suatu fakta sejarah di sekitar Super Semar sudah
menjadi kenyataan. Sejarah betul-betul berulang, seperti yang terjadi dengan polemik
tentang kamatian pahlawan Peta Supriyadi yang kontroversial itu.
Keputusan Ilmiah
Kasus Letda (Purn. TNI) Soekardjo Wilarjito yang menyatakan kesaksian
peristiwa terbitnya Super Semar setelah selama 32 tahun tidak diganggu gugat, bukan
satu-satunya isu kontroversial dalam sejarah Indonesia.
Seperti dikemukakan di depan pernah muncul isu tentang kematian pahlawan
Peta Supriyadi yang misterius. Kita mengenal juga isu Hari Lahir Pancasila, tanggal 1
Juni 1945 atukah 18 Agustus 1945.Pernah juga dikedepankan isu Peristiwa
Rengasdengklok, yaitu terjadi atas kehendak Dwi Tunggal Sukarno-Hatta sendiri ataukah
sebagai penculikan oleh kelompok muda yang dipimpin Sukarni, Chairul Saleh dan
Adam Malik. Masih pula menjadi masalah tentang siapah tokoh yang memimpin
penyerangan atau penyerbuah ke Yogyakarta. Benarkah pelakunya adalah Suharto yang
kemudian menjadi presiden RI? Ataukah tokoh lain sebagaimana dituliskan dalam buku
sejarah sebelum era Suharto?
Belum lagi kalau dimasukkan juga isu-isu di sekitar sejarah lokal. Tentang Hari
Jadi sesuatu kota, misalnya.
Hampir semua isu kontroversial itu diselesaikan dengan keputusan politik.
Mungkin tidak berupa suatu SK yang secara formal menghentikan polemik, melainkan
berupa suatu terbitan resmi yang hanya menyebutkan satu versi.
Tentang Hari Lahir Pancasila, Kematian Supriyadi, Peristiwa Rengasdebngklok,
misalnya, polemik seolah-olah berhenti setelah ada penulisan versi pemerintah. Harijadi
sesuatu kota bahkan diputuskan dengan suatu SK Pemda setempat, setelah ada keputusan
DPRD. Dan setelah itu diharapkan warga masyarakat maupun ilmuan tidak boleh
mempersoalkan keputusan politik itu.
51
Pendapat Nurcholis Majid bahwa penulisan sejarah Indonesia campur aduk,
dengan mengambil contoh banyaknya versi dalam terbitan buku sejarah, kurang tepat.
Terbitnya berbagai versi dalam penulisan sejarah Indonesia bila dipandang dari sudut
keseragaman penulisan memang tidak menguntungkan. Dan bisa membingungkan anak-
anak sekolah. Namun bagi para ilmuan Sejarah yang menempatkan penulisan sejarah
dalam kerangka pencarian kebenaran ilmiah, munculnya berbagai versi dalam penulisan
sejarah amat menguntungkan perkembangan ilmu sejarah. Tentu saja harus selalu dijaga
obyektivitas prosedur ilmiah yang dilakukan. Inilah keputusan ilmiah, yang tentu saja
menjadi selalu terbuka untuk diuji.
Dengan cara ini versi-versi penulisan sejarah menjadi sesuatu yang mutlak
dibutuhkan. Dan hasilnya memperkaya kebenaran sejarah sebagai ‘history as writen’.
Lalu bagaimana kebenaran sejarah yang sesungguhnya terjadi sebagai suatu ‘history as a
fact’?Kebenaran sejarah masih bisa ditemukan dengan proses pengadilan, yang akan
menghasilkan keputusan hukum. Misalkan isu terbitnya Super Semar mendorong
Maraden Panggabean menuntut Wilarjito ke sedang pengadilan, karena merasa nama
baiknya tercemar, maka bakal ditemukan kebenaran lewat keputusan hakim.
Tentu saja semua keputusan itu tidak mutlak bakal menghentikan polemik atau
rasa penasaran di kalangan warga masyarakat. Terutama kalangan ilmuan. Sementara itu
masihkah lembaga peradilan kita terbebas dari pengarug dominasi atau tekanan
penguasa?
Buat Apa Sejarah ?
Timbulnya berbagai cara untuk mendapatkan kebenaran peristiwa sejarah banyak
tergantung dari persepsi mereka tentang fungsi sejarah. Bagi fihak penguasa yang
menghendaki agar tidak terjadi polemik berkepanjangan tentang sesuatu fakta sejarah,
didasari oleh anggapan bahwa sejarah merupakan sarana pendidikan politik. Dan karena
tujuan politik tidak lain untuk mencari pembenaran atas sesuatu kebijakan, tidaklah
berlebihan kalau dikatakan bahwa sejarah harus ditulis dengan menekankan pada fakta
yang mendukung proses pendidikan politik itu. Manakala muncul isu kontroversial yang
52
akan mengusik kebenaran sejarah yang sudah mapan, tentu saja harus diwaspadai.
Karena bisa mengganggu target pendidikan politik dari sesuatu rezim.
Sementara itu sejarah bisa dianggap sebagai suatu proses menemukan kebanggaan
diri, dengan merenungi kejayaan masa lampau. Untuk itu diperlukan pencarian fakta
sejarah secara selektif pula. Tentu saja yang diutamakan fakta-fakta yang amat
membanggakan. Otomatis fakta yang mengecilkan kebanggaan nasional tidak bakalan
dipilih. ang paling obyektif dalam upaya mencari kebenaran sejarah adalah yang
dilakukan oleh para ilmuan sejarah. Mereka berangkat dari anggapan bahwa fungsi
sejarah tidak berbeda dengan fungsi bidang ilmu lain. Yaitu mencari kebenaran obyektif.
Biasanya para pakar sejarah berada dalam posisi lemah bila dihadapkan pada
kekuatan rezim yang berkepentingan. Oleh karena penelitian-penelitian harus dilakukan
dengan dukungan legalitas maupun dukungan dana. Itu sebabnya pilihan yang kemudian
diambil para ilmuan sejarah sering tidak populer, lebih-lebih kalau rezim itu tidak
mentolerir keterbukaan. Atau menjadi pendiam seribu basa, dan tenggelam dalam massa
yang membisu. Atau kemudian melacurkan diri dan tenggelam pula dalam gelora
kenikmatan sewaktu.
Yang paling baik barangkali selalu menekuni penelitian, mempublikasikan karya
secara diam-diam. tu sebabnya salah satu cara terbaik yang bisa diambil oleh Letda
(Purn. TNI) Soekardjo Wilarjito dalam kasus Super Semar adalah menerbitkan temuan
atau pengalaman historisnya sebagai sebuah ‘history as writen’. Dengan demikian
muncullah sejumlah versi sejarah. Syarat yang harus dipunyai adalah kejujuran,
obyektivitas, keberanian dan tidak boleh dilupakan keahlian metodologis maupun
penuturan, yang harus dimiliki oleh Soekardjo sebagai saksi sejarah.
Dua syarat terakhir ini, keahlian metodologis maupun kemampuan penuturan
sejarah, tentu saja bisa dilakukan oleh para pendamping profesional. Mereka akan dapat
bekerjasama dengan baik dengan sumber sejarah. Syarat lainnya, yaitu eksternal yang
amat penting adalah kondisi keterbukaan dari pemerintah. Di era reformasi ini, ketika
keterbukaan atau transparansi menjadi kata kunci, nampaknya peluang Soekardjo amat
besar untuk membantu kita menemukan kebenaran historis.
53
@@@
54
3. LIMA PULUH TAHUN INDONESIA MERDEKA =TAHUN EMAS?
Berkunjung selama sepekan di Jakarta pada pertengahan Juli yang lalu, bagi orang
daerah rasanya seperti benar-benar menyaksikan persiapan sebuah perhelatan besar.
Tidak salah, sebab setiap malam, tarutama di kawasan kota, lampu-lampu hias berpendar-
pendar memancarkan ungkapan Dirgahayu 50 Tahun Indonesia Merdeka dari gedung-
gedung bertingkat. Juga di gang-gang, di kampung-kampung DKI. Juga di pepohonan
dan jembatan-jembatan penyeberangan. Tidak hanya itu, larnpu-lampu ita juga
meneriakkan ucapan Dirgahayu HUT Jakarta, karena tanggal itu baru saja berlalu, yaitu
21 Juni.
Suasana pesta lampu hias itu memang tidak menghiraukan hiruk pikuk berbagai
kendaraan dan teriakan kernet bus kota. Hiruk-pikuk lalu lintas pun seperti tidak
mengiraukan genitnya kerlingan gedung-gedung pencakar langit dengan lampu-lampu
bias itu. Arus lalu-lintas itu bergerak sendiri, mengikuti denyut nadi kota Jakarta, seperti
biasa, ada HUT ataupun tidak. Barulah nanti barangkali, ketika pesta-pesta kembang api
50 tahun betia-betul merobek gelap malam Jakarta, di malam 17 Agustus 1995, biruk
pikuk lalu lintas sejenak berhenti, karena terhipnotis oleh pesta kembang api tersebut.
Lain Umur Manusia, Lain Umur Sejarah
Dalam kebidupan umat manusia, peringatan perkawinan emas seringkali
diselenggarakan oleh pasangan-pasangan yang amat berbahagia, karena bidup
perkawinan mereka telah memasuki tahiun ke 50. Paling tidak pasangan itu tentulah
berumur 65 hingg 70 talnun, kalau dalam usia 13 tahun masangan itu telah memasuki
hidup berkeluarga.Bagi orang Indonesia, umar 65 tahun sudah merapakan prestasi.
Demikian juga umur perkawinan ke 5O tentu saja merupakan prestasi langka, karena
kecuali kesehatan mereka tentunya baik, hidup perkawinan itupun dianggap sukses.
Pantaslah kalau peringatan itu disebut kawin emas, atau kawin kencana. Dan barangkali
55
sepuluh tahun kemudian mereka boleh menye butnya sebagai kawin berlian, atau nama
apa pun yang lebih bernilai ketimbang emas. Sementara itu umur sejarah sesuatu bangsa
ataupun umatmanusia, jangka waktu 50 tahun tentu saja barulah suatu permulaan. Bagi
bangsa Indonesia, misalnya, dalam jangka waktu itubarulah mengalami dua orangkepala
negara, Presiden Soekarno dan Presiden Suharto. Dan dalam ukuran PJP atau
PembangunanJangka Panjang, kitabaru saja akan memasuki PJP II.
Oleh karenanya umur kemerdekaan Indonesia yang ke-5O tahun tidak
seyogyanya dipandang sebagai suatu prestasi maha besar, sehingga pantas dijuluki
Peringatan Emas atau bahkan IndonesiaEmas, betapapun besar kebangggaan kita sebagal
bangsa dan betapapun besar syukur kita sebagai hamba yang telah mendapat karunia
Tuhan atas nikmat kemerdekean maupun hasil Pembangunan, rasanya belumlah pantas
menyebut peringatan n ke-5O tahun kemerdekaan sebagai Tahun Emas. Tidak bisa kita
bayangkan seaandainya kila tetap memandang 50 tahun sebagai Tahun Emas, lalu akan
kita sebut taliun apa kelak manakala sebagai bangsa kita akan memperingati HUT Ke-
100 atau satu abad kemerdekaan?
Dalam ukuran umur manusia perorangan, paling lama bisa hidup sampai umur
satu abad atau lebih sedikit, sehingga kita pun belum tentu akan memperingati HUT
perkawinan itu dalam keadaan pasangan tetap utah. Oleh karenanya, manusia tidak akan
membayangkan dapat memperingati hari perkawinan itu pada umur satu abad. Berbeda
halnya kalau kita berbicara tentang suatu kota, atau bahkan suata negara maupun bangsa.
Warga Jakarta sekarang sudah menyaksikan umur kota kebanggaannya mendekati lima
abad.
Entah kapan sebaiknya warga kota ini pantas menyelenggarakan perrayaan HUT
Jakarta sebagai Jakarta Emas. Sungguh sulitdibayangkan mengapa kita berkesimpulan
bahwa kita sebagai bangsa maupun sebagai warga negara RI terah memasuki Tahun
Peringatan Emas bagi HUTkemerderkan kita.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai renungan agar kita dapat berpikir dan bertindak
secara proporsional dan tidak emosional. Angka lima puluh tidak identik dengan angka
keemasan, sehingga ulang tahun ke – 50 tidak selalu berarti ulang tahun emas,
Zaman Keemasan
56
Dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah kita sering membaca sebutan Zaman
Keemasan untuk suatu periode sejarah sesuatu bangsa. Namun yang memberikan julukan
tentulah bukan orang-orang yang masih hidup dalam periode itu sendiri. Julukan itu
menunjakkan kekaguman penulis sejarah di masa-masa berikutnya. Tentu saja bukan
pula berarti bahwa Tahun Emas yang dimaksud dalam peringatan ke-50 tahun ini adalah
juga Zaman Keemasan. Sebab penamaan Zaman Emas berarti bahwa masa-masa setelah
itu bangsa tersebut memasuki masa-masa desintegrasi atau breakdown. Padahal kita baru
saja memasuki maa PJP II I, sehingga tidak seorangpun akan mengharap bangsa kita
segera memasuki periode desintegrasi / breakdown itu. Perlu pula diingat bahwa
penamaan Zaman Keemasan biasa dikatakan dengan deskripsi tentang sesuatu dinasti,
yang tidak kita kenal dalam konsep kehidupan demokrasi.
Lain Periodisasi, Lain Pula Pentahapan Pembangunan
Dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah, para siswa diberitahu para guru
sejarah bahwa tanggal 20 Mei 1908 merupakan awal kebangkitan nasional bagi bangsa
Indonesia. Alasannya sudab jelas, yaitu bahwa pada saat itu sejumlah tokoh bangsa mulai
melakukan kegiatan yang dapat dinilai menggelorakan semangat nasionalisme. Siapapun
ingat pada tokoh-tokoh seperti dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, serta dr. Cipto
Mangunkusumo, yang merupakan penggerak jiwa nasionalisme dalam menentang
kolonialisme yang dilakukan dengan cara-cara politik, untuk menuju tercapainya cita-cita
kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia.
Tidak ada bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa tokoh-tokoh itu, maupun
para penulis telah menamakan gerakan mereka sebagai perintisan gerakan kebangkitan
nasional. Para pelaku sejarah itu hanya melakultan kewajiban sejarah tanpa pretensi
sebagai pelaku yang menggelorakan semangat kebangsaan itu. Para penulis sejarah di
masa berikutnya sajalah yang kemudian melakukan pernilaian atas peristiwa-peristiwa di
masa lampau. Mereka kemudian menyususnnya dalam sebuah rangkaian perjalanan
hidup. Itulah yang disebut sebagai periodesasi. Tidak lain yang dilakukan itu merupakan
sebuah upaya dalam memaharni peristiwa-penstiwa se-jarah.
57
Sulitlah difaharni adanya anggapan resmi bahwa sekarang kita sedang memasuki
Masa Kebangkitan Nasional II ketika ungkapan atau sebutan itu dikeluarkan oleh kita
sendiri yang sedang hidup di masa itu.
Biarkan para penulis di masa depan yang melakukan proses periodisasi terhadap
sejarah di masa sekarang, dengan melakukan pengkajian terhadap berbagai fenomena
dalam sejarah itu sendiri. Kita juga telah melakukan periodisasi dalam sejarah sistem
politik dengan memperhatikan berbagai fenomena yang ber- kembang, dengan sebutan
Masa Liberal, Masa Orde Lama, danMasa Orde Baru. Hal itu dilakukan karena sejarah
adalah sebuah kontinum. Sementara itu dalam proses pembangunan kita juga
mangenal pentahapan demi pentahapan, yang mencoba memberikanpemilahan yang
bersifat progresif terhadap proses pembangunan atau sesuatu program. Beda antara
proses periodisasi dengan pentahapan terletak pada posisi yang melakukan pemi lahan.
Ketika kita berada dalam pasca kejadian, makaproses pemilahan itu disebut periodisasi
sejarah. Dan ketika kita berada dalam prakejadian yang direkayasa, yaitu proses
pembanguan bertahap dan berencana, maka proses pemilahan itu disebut pentahapan.
Kerancuan akan terjadi dalam pemahaman atas makna setiap kali kita
menjumbuhkan kedua proses yang berbeda tarsebut. Ketika kita menggunakan ungkapan
Masa Kebangkitan Nasional untuk masa sejak 20 Mei 1908, yang kita maksudkan
tentulah hasil sebuah periodisasi sejarah. Sebaliknya ketuka kita sekarang menggunakan
istilah Masa Kebangkitan Nasional ke II Pada dasarnya yang kita lakukan adalah proses
pentahapan. Sama halnya bila kita menggunakan istilah PJP I dan PJP II, sebab proses
pembangunan tidak lain adalah sebuah kontinum.
Tidaklah mudah bagi seseorang untuk memberikan penilaian atas peristiwa
sejarah tanpa melepaskan diri dan penilaian atas posisinya dalam sejarah. Pandangan
yang berpusat pada diri inilah yang lazimnya menempatkandiri atau generasinya dalam
kontinum sejarah secaralebih fungsional.Tidak dapat di pungkiri betapa sulitnya
menyisilikan subyektifitas dalam proses periodisasi yang dilakukan, sehingga pemilahan
menjadi sangat penuh dengan pretensi. Ini terjadi kalau proses pemilahan dilakukan
dalam proses kejadian, alih-alih dalam prakejadian maupun posenkejadian.
Dirgahayn RI dalam HUT Kemerdekoan Ke-50.
(Harian KOMPAS, 10-8-1995)
58
@@@
4. SEJARAH DAN PATRIOTISME
(Sebuah renungan menjelang Hari Pahlawan Nasional)
Pendahuluan
Banyak sudah dilontarkan sinyalemen bahwa generasi muda sekarang telah
mencapai titik terendah dalam semangat petriotisme sejak masa Orde Baru ini. Itulah
sebabnya banyak kali ditawarkan cara untuk segera saja diwariskan nilal-nilai serta
semangat empat puluh lima. Yang dimaksud tentu saja nilai-nilai nasionalime dan
patriotisme yang selama ini telah membakar sukma generasi empat lima, yang
mengalami revolusi ftsik dalam memperjuangkan dan mempartahankan Proklamasi
kemerdekaan empat lima dari rongrongan kaum imperialis aerta antek-enteknya. Tentu
saja tak seorangpun bakal menolak gagasan itu. Hanya masalahnya bagaimana proses
pewarisan itu akan dllaksanakan.
59
Sebetulnya kita tidak usah repot-repot mencari jawabnya dengan berbagai
seminar ataupun rapat kerja, karena masyarakat telah memiliki mekanisme bagi pranata
pewarisan nilai itu. Proses itu telah berjalan melalui proses sosialisasi di segala bidang
kegiatan masyarakat, baik lewat komunikasi antar pribadi maupun komunikasi yang
massal sifatnya, baik lewat jalur resmi maupun jalur tidak resmi. Sebagai proses
sosialisasi, maka proses pewarisan nilai-nilai empat lima telah berjalan melewati pranata
keluarga, kesusasteraan, pergaulan dalam masyarakat, kurikulum sekolah, media-media
massa seperti radio, TV maupun media cetak. Dan semuanya berjalan secara simultan.
Masalah berikutnya yang kita hadapi ialah skeptisisme yang timbul di kalangan
generasi muda itu sendiri, bukan terhadap nilai-nilai dan semangat itu sendiri, melainkan
lebih-lebih terhadap generasi yang secara logis adalah penyandang semangat dan nilai-
nilai itu sendiri. Mungkin hal itu timbul sebagai akibat dari daya kritis generasi muda itu
sendiri, akan tetapi tidak mustahil juga timbul dari penilaian terhadap generasi empat
lima sendiri sebagai akibat persepsi terhadap nilai-nilai empat lima sendiri yang dinilai
luhur itu.
Milai-nilai dan semangat empat lima itu sendir telah mereka peroleh lewat
sekolah, media massa jenis manapun lainnya terasa amat jauh berbeda dengan yang
mereka amati dalam masyarakat nyata. Tokoh- tokoh yang dianggap mencerminkan
nilai-nilai luhur itu makin hari makin dirnakan oleh umur dan oleh maut. Itulah sebabnya
seorang siswi SLTP telah menulis di rubrik sebuah Harian di Jawa Tengah boberapa
waktu yang lalu berisi keluhan, bahwa kalau tokoh-tokoh idaman mereka telah satu
persatu meninggalkan dunia fana inii, maka yang tersisa adalah mereka yang tidak begitu
membanggakan generasi muda. Tak ayal lagi suara yang demikian itu telah penentukan
sikap yang amat subyektip dan amat pukul rata. Meskipun demikian hal itu adalah suatu
ungkapan yang amat perlu direnungkan.
Sejarah Sebagai Sarana
Pada bagian paling awal buku Understanding History, Louis Gottshalk
menceritakan kepada kita betapa pada saat-saat krisis nasional para sejarawan menerima
tekanan-tekanan untuk menuliskan sejarah secara lebih sentimentil. Untuk itu tidak
60
jarang mereka harus meninggalkan kebenaran sejarah. Di sini sejarah betul-betul
dimanfaatkan untuk tujuan pembinaan generasi bangsa agar timbul dengan baik rasa
kebanggaan nasiona1. Itulah sebabnya, katanya, Napoleon Bonaparte dari Perancis
menyepelekan moralitas dalam pembinaan bangsa lewat sokolah. Demikian pula Hitler
telah dengan bangga mengatakan bahwa pengaruh Nazisme di Amerika dianggap amat
baik, sedangkan pengaruh Yaliudi di Jerman merupakan suatu kejahatan. Dalam
menjalankan misinya sejarah telah dimanipulasikan untuk tujuan-tujuan propaganda. Dan
suka atau tidak suka sejarah telah dipergunakan untuk membentuk mitos-mitos nasional
disekitar tokoh sejarah.
Penulis sejarah tradisional di Indonesia telah terbiasa menggunakan cara semacam
itu, yaitu membentuk mitos-mitos yang dipergunakan sebagai prosedur legitimasi para
pendiri dinasti. Maka kebanggaan akan keabsahan sang tokoh serta kebanggan
nasionalpun terbentuk. Ken Arok digambarkan oleh Pararaton sebagai tokoh manusia
setengah dewa dan yang telah membuat sejarah, atas bimbingan seorang pendeta.
Senapati menurut Babad Tanah Jawi telahMembentuk dinasti baru di Mataran dengan
bersekongkol dengan Nyai Loro Kidul, 1ambang kekuatan spiritual. Silsilahpun
kemydian disusun mengiktui jalur fikktif yang menimbulkan kebanggaan. Demikian
bangganya kita, sehingga orang masih tetap bangga menjadi keturunan Sunan Tegal
Arum misalnya, yang meninggal sebagai penghianat. Dan makamnya tetap dipuja orang.
Segala fakta sejarah yang dituliskan oleh para sejarawan telah begitu menjadi
realita dalam fantasi kita, sehingga sedikit saja ada suatu koreksi terhadap “kebenaran”
sejarah itu, akan mengakibatkan rangkaian reaksi yang gegap gempita. Dalam keadaan
semacam itu jangan diharapkan rnasyarakat bisa menerima suatu penafsiran yang
menyimpang dan ”citra sejarah” betapapun kecilnya. Oleh Muharnad Yamin telah
ditemukan suatu “realita sejarah”, bahwa bangsa Indonesia sejak dulu telah bersaatu padu
dan tidak mengenal arti “jajah-menjajah” di antara kerajaan yang ada. Jawa tidak pernah
menjajah Sumatra, dan Sumatrapun tidak pernah menjajah Jawa. Kenyataan bahwa
dalam suau kurun waktu dinasti Sanjaya dan Syaelendra berkuasa di daerah Mataram
lama, tak bisa tidak harus dipandang sebagai suatu contoh klasik dari adanya gejala
“pemerintahan bersama”. Demikian pula ekspedisi Pamalayu tidak lain adalah suatu
“ekspedisi persahabatan”.
61
Akibatnyanya, maka masyarakat tidak akan pernah menggubris tulisan Warsito
dalam bukunya “Rekonstruksi Sejarah Indonesia”, berbeda dengan para ppenulis lain
mengatakan bahwa para penguasa Hindu di Jawa bukanlah penduduk asli, melainkan dari
India. Para sejarawanpun tetap berkeyakinan bahwa sejak dari perancangan sampai pada
pembangunan candi-candi di Indonesia tidak lain adalah tenaga dari Indonesia yang telah
mendapat pelatihan di India, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa profil maupun
postur patung-patung para tokoh dalam relief candi-candi itu menunjukkan “warna
asing”. Bahkan sekarangpun kita masih tetap mendengar atau membaca bahwa proyek-
proyek besar, seperti bendungan dan sebagainya di tanah air didirikan oleh tenaga-tenaga
Indonesia sendiri. Atau paling-paling, dengan sayup-sayup ditambahkan, dengan bekerja
sama dengan para ahli bangsa asing..
Selanjutnya janganlah kita mengharap bahwa analisis Marxistis yang
dilakukan oleh Tan Malaka terhadap Perang Diponegoro bisa diterima oleh para
sejarawan Indonesia, karena diaanggap merendahkan derajat dan integritas tokoh
pahlawan Diponegoro. Sebagaimana kita ketahui menurut analisis Tan Malaka
perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda bukan dijiwai semangat patriotisme,
melainkan semata-mata dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, karena Diponegoro merasa
dirugikan tanah miliknya yang digusur untuk proyek jalan umum, Proyek jalan itu sendiri
sebagai prasarana bagi proyek transportasi Belanda nntuk menunjang kelancaran
perekonomian penjajah. Sementara itu kita tahu bahwa dalam menentukan sesuatu
kejadian sebagai penyebab kejadian lain tidaklah mudah. Sesuatu peristiwa dalam
kenyataan bisa saja disebabkan karena sejumlah latar belakang yang berbeda.
Tidak ayal lagi bawa segala gejala konformisme dalam penulisan sejarah
Indonesia selama ini mempunyai tujuan baik, yaitu membuat citra bangsa yang baik atau
mcmbentuk dan membangkitkan nasiona1isme dan patriotisme bangsa. Hanya
masalahnya adalah sampai hatikah kita menempuh cara-cara yang tidak benar dalam
mencapai tujuan mulia?
Penulisan Sejarah Kritis.
Tidaklah benar seluruhnya anggapan bahwa seluruh fakta sejarah yang kita
62
kenal selama ini sebagai suatu “history as written” itu benar belaka. Kita harus
memandang segalanya itu sebagai rangkaian sintesa dan hipotesa dari kebenaran sejarah.
Sejauh belum ada kebenaran baru yang lebih mantap dan “masuk akal”, maka kebenaran
lama masih tetap dianggap sebagai kebenaran sejarah. Disini terbuka peling untuk
terjadinya perbantahan di antara penulis sejarah kritis dengan penulis sejarawan patriotik
tadi. Para penulis sejarah kritis beranggapan bahwa penanaman semangat patriotisme
yang dilakukam dengan cara-cara penanaman mitos-mitos nasional itu tidak bersifat
kekal, karena tidak mendasarkan pada kebenaran yang sesungguhnya.
Di Amerika Serikat usaha pendewaan terhadap tokoh pahlawan George
Washington dilakukan dengan menggambarkan ketika George Washington menyeberangi
sungai Delaware yang penuh es itu dengan berjalan tegak, sambil memegang erat bendera
Amerika “Stars and Stripes”. Gambaran semacam itu diabadikan oleh pelukis Emmanuel
Lautze. Kesangsian para sejarawan kritis bukan terhadap lukisan George Washington
yang berjalan tegak di atas sungai penuh dengan es itu, melainkan pada anakronisme
peristiwa memegang bendera. Dalam kenyataan “Stras and Stripes” disahkan oleh
Kongres AS sebagai bendera Amerika Serikat barulah pada tanggal 4 Juli 1777, jadi
beberapa waktu setelah kejadian penyeberangan sungai Delaware itu terjadi. Menurut
Gottschalk, penggambaran patriotik yang melampaui kebenaran sejarah hanya pantas
disajikan oleh pelukis dan bukan oleh sejarawan.
Menurut para penulis sejarah kritis penanaman patriotisme kepada generasi muda
harus dilakukan tanpa mengorbankan kebenaran sejarah. Dan untuk itu tidak pada
tempatnya untuk menolak sesuatu sintesa ataupun hipotesa lain yang didukung oleh
bukti-bukti sejarah yang kuat. Di negeri-negeri berkembang kecenderungan untuk
berfihak pada pandangan sejarawan kritis masih menghadapi berbagai hambatan
psikologis. Di Amerika Serikat sendiri telah lama beredar pandangan-pandangan dalam
artikel-artikel ilmiah yang menganjurkan para penulis sejarah menghormati bau kramat
yang mengelilingi tokoh-tokoh besar di Amerika. Namun sejak PD II gejala-gejala seperti
itu sudah terkikis habis, seementara ketakutan pada bahaya komunisine mulai surut.
Sementara itu di negeri-negeri berkembang gejala itu masih sulit dihilangkan. Lebih-
lebih karena citra tentang para pemimpin atau pahlawan bangsa adalah tokoh yang tanpa
cela.
63
Sikap semacam itu tentu saja menghalangi upaya mencari kebenaran data otentik
dari yang dikenal dengan “surat-surat” Sukamiskin, karena menyangkut seorang tokoh
pahlawanbangsa yang sangat dihormati. Seperti telah kita ketahui bahwa Rosihan Anwar
telah menulis artikel-artikel ysng mengungkap “kerja sama Sukarno dengan penjajah”.
Tidaklah mengherankan kalau artikel-artikel Rosihan Anwar itu mendapat tanggapan
yang patriotik, yang luas di seantero tanah air.
Nasihat Louis Gottschalk.
Hirodotus sendiri yang mengatakan bahwa sejarah adalah Sang Guru Kehidupan
dan sejarah berguna agar apa-apa yang telah dilakukan oleh orang-orang di masa lampau
tak akan terlupakan di masa kini. Dengan cara lain lewat sejarawan Prapanca, pujangga
Ratnansya mengatakan bahwa sejarah adalah “ kramaning tuha-tuha” atau perbuatan dan
perjalanan hidup orang-orang terdahulu. Sedangkan Henry Pirenne, seorang sejarawan
Belgia, menyatakan bahwa tugas sejarawan dengan demikia ialah menyampaikan fakta di
masa lampau serrta memberinya penjelasan mengenai hubungan antara berbagai
poristivia yang betul-betul terjadi.
Dan dengan uraian kali ini, yaitu peranan sejarah untuk membangkitkan
Patriotisme, marila ita ikuti nasihat Louis Gottshalk sbb. “Suatu patriotisme yang
mendasarkan pada dongeng-dongeng tidak akan kekal. Seorang patriot sejarah tidak
akan mengabdi tanah airnya dengan baik jika menyembunyikan kaki dan pada pujaan
bangsanya yang terbuat dari tanai liat di bawah berlapis-lapis sepuhan. Adalah lebih
bijaksana untuk membiarkan anak-anak melihat tanah liatnya, supaya mereka lebih dapat
menghargai beberapa keping porselin putih dan emas murni yang mungkin terkandung di
dalam patung pujaan itu” (Nugroho Notosutanto,l975).
Dengan demikian diharapkan proses sosialisasi ber jalan semanusiawi mungkin
dalam mentransmisikan nilai-nilai ideal kepada generasi muda.
(SUARA MERDEKA, 16 AGUSTUS 1995)
64
@@@
5. SEJARAH DAN PELESTARIAN BUDAYA
Romantisme sejarah kadangkala menimbulkan sikap yang serba menolak apa saja
yang berbau penjajah. Pengalaman bangsa selama masa - masa penjajahan Belanda yang
panjang dan pahit, telah berhasil membentuk kebencian terhadap simbol - simbol
kebudayaan yang mengingatkan pada masa lalu yang gelap tersebut. Pada tahun tiga
puluhan, misalnya, para ulama NU telah mengambil sikap antipcnjajahan yang tegas
dengan jatan mcngcluarkan fatwa melarang (mengharamkan) penggunaan pantalon serta
dasi karena dianggap sebagai pakaian orang kafir. Pelarangan itu dapat dianalogkan
dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhamad terhadap pemakaian emas bagi lelaki
Muslim, justru ketika umat sedang mengerahkan dana dan tenaga untuk mendukung
perang sabil melawan musuh. Tidak etis rasanya kalau sementara itu kaum lelaki bebas
memakai sebagian dari emas untuk perhiasan.
Sikap semacam itu mudah difahami, karena perasaan anti penjajahan yang
berlebihan. Kaidah yang mendasari sikap semacam itu adalah ungkapan "Man
tasyabbaha bi qaumin, fahua minhum”.Artinya, barang siapa meniru-niru scsuatu
65
kelompok bangsa, dianggap telah tergolong bagian dari kelompok tersebut. Nampaknya
ungkapan tersebut efektif sekali dalam mengobarkan semangat anti penjajah. Sehingga
pada masa - masa penjajahan banyak muslimin yang tidak menghendaki penampilan
yang berbau Belanda, seperti cara berpakaian, cara makan, sistem pendidikan maupun
gaya hidup.
Hancurkan Bangunan
Kcbctulan bebcrapa minggu yang lalu, bersama para anggota Badan Pengkajian
Kebudayaan (BPK) Bappeda Proinsi Jawa Tengah, dalam safari acara sarasehan
kebudayaan, saya beberapa kali memasuki bangunan kuno peninggalan masa penjajahan
Belanda yang menjadi kantor Pembantu Guhernur Wilayah Eks Karesidenan Pekalongan.
Secara arsitektur bangunan - bangunan itu indah sekali, karena memancarkan hasil seni
bangun gaya Eropa klasik. Apalagi bangunan itu nampaknya ditangani dengan sungguh -
sungguh, sehingga berhasil bertahan menembus bilangan abad, dan masih memancarkan
keanggunan budaya mapan. Namun di sisi lain, bangunan itu melambangkan sebuah
sikap angkara murka dan keangkuhan birokrasi penjajahan Belanda.
Untuk wilayah bekas karesidenan, gedung bekas Tuan Residen di masa lampau
itu, tidak lain merupakan lambang penjajahan. Bahkan merupakan salah satu pusat
komando pelaksanaan penjajahan. Lalu secara kilas balik terbayang kesengsaraan rakyat
terjajah. Rakyat kurus - kurus telanjang dada yang harus melaksanakan kerja rodi atau
tanam paksa untuk kepentingan kaum tuan tanah Belanda. Sementara hidup kaum
pribumi mengais - ngais sisa – sisa makanan para tuan tanah Belanda, yang telah
berhasil menumpuk kekayaan dari hasil keringat rakyat tertindas, untuk membangun
bangunan antik megah serta memperkokoh struktur penjajah. Semua itu dikomando
oleh Tuan Residen, sang birokrat penjajahann yang suka melintir kumis, yang tinggal di
balik gedung - gedung bercat putih, kokoh sekokoh struktur penjajahan itu sendiri.
Kemudian sejarah mencatat, bahwa kekuasaan penjajahan itu telah berhasil
ditumbangkan, berkat semangat anti penjajahan yang konsisten. Dan perlahan - lahan
struktur kekuasaan penjajah itu berhasil diganti dengan struktur kekuasaan nasional yang
anti penjajah. Namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa pula bangunan lambang
keangkaramurkaan penjajahan Belanda yang telah memeras sampai tuntas kekayaan dan
66
tenaga Rakyat Indonesia itu tidak ikut ditumbangkan? Mengapa pula kita harus berpayah-
payah melestarikan banguna-bangunan kuno sisa masa lampau yang gelap itu. Demi apa?
Demi siapa? Itulah sebersit perasaan antipati terhadap sisa - sisa budaya asing yang tidak
bersababat. Perasaan semacam itu diungkapkan dalam pertemuan pertemuan dengan para
pembina kebudayaan serta para kepala daerah tingkat kabupaten maupun kota madya.
Nyaris ungkapan yang berakar dari romantisme sejarah ini membakar sentimen
kebangsaan para hadirin. Atau justru membakar sentimen anti pikiran nyleneh dari
panulis, yang dapat dianggap melawan arus, justru ketika misi safari itu sendiri
dimaksudkan untuk membina kesadaran budaya, yang muaranya berupa kesadaran untuk
melestarikan kebudayaan nasional? Namun apakah bangunan - bangunan itu merupakan
produk dan sekaligus kekayaan budaya nasional?
Melestarikan Tonggak Sejarah
Ketika Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin bangsa dan negarawan pendiri
Negara Kesejahteraan (Welfare State) Madinah akhirnya merindukan kembali peranan
kota Mekah sebagai lambang politis, intelektual dan agama, beliau memutuskan untuk
membebaskan kota Mekah.
Dalam peristiwa Futuh al Makkah (The Fall of Macca) sama sekali Nabi tidak
merobohkan barang satu batupun bangunan - bangunan politik maupun budaya di
Mekah. Abu Sofyan sebagai Walikota Mekah tetap pada kedudukannya. Bahkan rakyat
yang tidak bersedia memeluk Islam sebagai ideologi baru, tetap selamat dari "gangguan"
proses Islamisasi, asal mereka tetap berlindung di balik tembok gedung balai kota. a`bah
sebagai lambang intelektual kota Mekah tidak pula dittimbangkan, meskipun struktur
pemerintahan anti Islam telah ditumbangkan.Siapa dapat mengatakan bahwa tindakan itu
tidak ada gayutannya dengan melestarikan karya budaya dari cikal bakal pemukiman,
yaitu Nabi Ibrahim? Kalau arca-arca pemujaan yang tersimpan di dalam bangunan
Ka`bah kemudian dimusnahkan, wajar-wajar saja, karena arca-arca itu merupakan media
pemujaan terhadap tuhan dari keyakinan yang dianggap sesat, dan sebagai lambang jiwa
kejahilan Orde Lama yang anti tauhid. Tindakan itu bukan sebagai penolakan pada
lambang anti penjajahan. Kemudian segera dikeluarkan dekrit dari Nabi agar pasukan
67
Islam tidak mengganggu lingkungan, fisik maupun sosial, dari kota Mekah.
Waktu pemerintahan Islam berdiri di Demak tidak pula dilakukan program
pemusnahan atas pennggalan budaya masa silam. Bahkan rncsjid Dcmak dibangun oleh
para Wali dengan mempertahankan ciri masa silam, yang mendasarkan konsep Meru atau
Gunung dalam konsep agama Hindu. Bahkan mesjid Kuduspun dibangun dengan
menggunakan gaya Hindu yang Orde Lama. Kita bisa rnelihat kebijakan budaya yang
penuh toleransi itu pada hentuk menaranya yang hinduistik.
Ketika India terbelah menjadi dua, India yang sekuler dan Pakistan yang Islam,
banyak bangunan sisa kejayaan Islam yang oleh sementara ahli sejarah dinilai bersifat
imperialistis, tidak diganggu gugat oleh bangsa dan pemerintah India. Bahkan bangunan -
bangunan itu dipasarkan kepada dunia pariwisata sebagai salah sebuah landmark, setelah
dilakukan pemugaran, karena merupakan sebagian dari kebanggaan India, Sebagai
bangunan yang merupakan ciri India. Itulah Taj Mahal merupakan lambang “penjajahan
atau imperialisme Islam” atas masyarakat Hindu di India. Bahkan merupakan salah satu
pusat komando pelaksanaan penjajahan. Demikian juga yang terjadi di Indonesia, yang
berkaitan dengan bangunan-bangunan peninggalan Belanda.
Semua bangunan itu sepanjang waktu kita pelihara setelah dengan biaya besar
berhasil direkonstruksikan. Demi apa? Demi siapa? Bukan demi keangkaramurkaan masa
lampau tentunya. Juga bukan untuk mengenang dan mengabadikan karya penindasan atas
rakyat. Pada hakikatnya kita sedang merekonstruksi pengalaman sejarah bangsa secara
utuh, agar dapat digunakan sebagai pelajaran bagi generasi demi generasi. Pada
hakikatnya kita sedang membangun tonggak - tonggak perjalanan sejarah. Namun tidak
beraiti kita harus melestarikan seluruh peninggalan budaya masa silam tentunya. Justru
disinilah kita dituntut untuk menjadi bijaksana dalam memilih.
Ganti Fungsi
Eropa maupun Inggris Raya tidak sedikit kastil kuno yang telah disulap
fungsinya menjadi hotel atau museum, tanpa harus menumbangkan keaslian bangunan.
Juga di Uni Soviet dulu bekas-bekas Istana Tsar dengan arsitektur bawang, yang
mereka tumbangkan, tetap digunakan sebagai Istana Kremlin. Fungsinya saja yang
68
berubah, dan istana kaum bangsawan menjadi istana kaum proletar di masa rezim
komunis.
Demikian pula candi-candi di Indonesia, yang semula merupakan bangunan
pekuburan dan pemujaan pada dewa telah dialih fungsikan menjadi objek turisme, tanpa
ada gejolak beda pendapat. Jadi kalau ada niatan untuk mengalih fungsikan sebuah
istana atau bangunan khas yang merupakan landmark kota menjadi hotel, bukan pula
merupakan hal aneh, asal pengelola fungsi baru itu tetap mempertahankan kekhasan
arsitekturnya. Ini merupakan salah satu wujud proses transformasi budaya yang sedang
berjalan.
Mengapa kita harus berbicara tentang keaslian arsitektur tidak lain karena dalam
proses transformasi budaya itu kita membutuhkan gambaran utuh mengenai proses
peralihan budaya itu sendiri. Yaitu gambaran mengenai perjalanan sejarah yang utuh.
Namun kembali kita dituntut untuk melakukan proses seleksi, karena tidak semua yang
kuno itu harus dilestarikan. Yang kita lestarikan bukan hanya karya fisiknya, melainkan
juga nilainya. Yaitu nilai historisnya, nilai keunikannya, nilai semangat yang
melatarbelakanginya, maupun nilai ekonomisnya.
Tibalah dengan demikian kita pada titik rawan, karena berbagai kepentingan
sekaligus sedang bertemu. Dalam peristiwa seperti itu yang diperlukan adalah dialog
budaya. (
@@@
6. REVITALISASI BANGUNAN MONUMENTAL
(Antara Romentisme Dan Realisme(
69
Akhirnya muncul juga neaksi pro dan kontra tentang nasib yang bakal
menimpa bangunan kuno yang dilindungi di Semarang, yaitu dijualnya Gedung
Lawangsewu. Kabar yang merebak adalah niat perusahaan perhoteIan asing, Westin
Intemational, membeli bangunan antik itu dan menjadikannya hotel berbintang lima.
Konon pemilik gedung atitik itu, Perumka Wilu Jateng, masih belum memberikan
konfimasi. Namun demikian Eko Budihardjo, arsitek yang sangat prihatin terhadap
setlap usaha pembongkaran benda-benda antik, kali ini setuju atas alih fungsi gedung
tua tersebut (SuaraMerdeka 17/3). Alasannya masuk akal, karena pihak investor tak
akan melakukan pemhongkaran maupun perombakan utama, melainkan hanya
melakukan pengembangan, guna kepentingan promosi hotel itu sendiri.
Tidak memerlukan waktu terlalu lama, ketika mendadak muncul tulisan
Imam Prakoso, yang menunjukkan beda pendapat dengan pandangan Eko. Alasannya
juga sangat masuk akal, yaitu khawatir hilangnya petiIasan-petilasan yang mempunyai
niIai patriotik amat tinggi. Sepetti kita ketahui Gedung Lawangsewu mempunyai peran
amat panting dalam peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang. Sungguh sangat
menyentuh hati ungkapan dan keprihatinan Imam Prakoso; dalam tutisannya yang
berjudul “Lawang Sewu dan Pertempuran Lima Hari” (Suara Merdeka 21/3). Di sana
tertulis antara lain “Setiap saat para pejuang pahIawan itu akan merintih menangis
meIihat tempat yang penuh kenangan sejarah itu telah berganti digunakan untuk
kemaaksiatan. Tak jarang juga perjudian, prostitusi, dan sinndikat narkotik seperti
layaknya hotel-hotel besar di luar negeri”.
Lalu harian ini segera memunculkan sikap resminya, dengan tajuk
rencananya tertanggal 22 Maret yang berjudul "Lawangsewu dijadikan Hotel, Mengapa
Tidak?” Intinya amat menyetujui gagasan penjualan gedung itu kepada Westin
1nternational , karena dianggap sudah profesional dalam mengolah gedung-gedung tua
untuk hotel. Di tangan mereka, diharapkan bentuk asli Lawangsewu dapat
dipertahankan, meskipun tetap dilakukan pengembangannya untuk tujuan pemasanan
hotel.
Revitalisasi Kota Tua
70
ru-baru ini di Semarang diselenggarakan pertemuan ilmiah membicarakan kiat
memanfaatkan bagian kota Semarang di Mberok, yang dikenal sebagai "kota tua".
Sudah lama Sutomo WE, sejak menduduki jabatan kepala Bidang Jarahnitra Kanwil
Depdikbud Jawa Tengah, melemparkan gagasan untuk memanfantkan bagian kota itu,
dengan jalan melarang lalu lintas umum melewati jaianan di sekitar Gereja Blenduk
selama satu atau dua hari dalatn setiap pekan. Dl samping dengan begitti kita dapat
mengurangi dampak berupa polusi udara dari asap knalpot dan mengurangi getaran oleh
lalu lintas berat dengan mobil. Pada saat-saat itu dapat diselenggarakan semacam pasar
tiban. Dl toko-toko besar maupum pedagang kaki lima tradisional. Tampaknya gagasan
itu mendapat tanggapan epadan dari Pemda dan para ahli.
Dengan cara itu kita sekaligus dapat melakukan langkah pelestarian bangunan
antik yang khas. Bukan dengan pemugaran dan menghidupkan kembali fungsi asli
bangunan tersebut, melainkan memodifikasi fungsi suatu gedung kuno. Cara seperti ini
dikenal dengan "revitalisasi", yaitu menghidupkan kembali jiwa bangunan dengan
melakukan alih fungsi yang lebih produktlf. Dengan cara ini dapat dlperoleh man faat
ganda yaitu di samping gagasan untuk reservasi tercapai, dapat diperolen dana, yang
diterima Dari penghasilan fungsi barunya. Misalnya, kalau bangunan kuno itti dijadikan
hotel atau pusat rekreasi.
Dalam kesempatan sebagni penceramah dari Panitia Dasa Warsa Kebudayaan
untuk daerah Jawa Tengah selama beberapa tahun terakhir ini, Eko Rahardjo, Sutomo
WE, yang sekarang menjadi tenaga akademik Akademi Kepariwisataan Indonesia
(Akpari) dan saya, melakukan penyuluhan ke berbagai daerah, tentang perlunya
melakukan upaya reservasi maupun revitalisasi peninggalan kuno. Misalnya benteng
pendhem dijadikan museum maupun pusat kegiatan kesenian, masjid kuno di
Tamansari Yogyakarta dijadikan tempat tujuan wisata. Bahkan di luar negeri, isalnya di
Sydney Australia, bekas penjara dialihfungsikan menjadi pusat pertokoan The Rocks.
Di Yogyakrta, benteng Vredenburg telah disulap menjadi pusat pertokoan dan
kegiatan kebudayaan. Jangan pula dilupakan, fungsi Borobudur, yang merupakan candi
agama Budha, setelah dlpugar secara besar-besaran pun dialihkan fyngsinya menjadi
objek pariwlsata. Sudah sejak lama sebagian Keraton Surakarta maupun
71
Ngayogyakarta dilungsikan sebagai objek wisata.
Romantisme dan Reaiisme
Setiap benda purbakala niemiliki keistimewaan yang menjadi alasan kuat mengapa
perlu dilestarikan. Mengutip pendapat Snyder danCatanese (1979), Eko Budiharjo
menyebutkan enam tolok ukur untuk melakukan pengawetan benda-benda kuno
tersebut.Yaitu, karena alasan kelangkaannya, alasan kesejarahannya, alasan
keindahannya, alasan superlafivitas n (ternasuk yang paling .;..), dan alasan besar
pengaruhnya. Di samping itu, dikutip tolok ukur yang disampaikan Semple, Kerr (1985).
yaitukarena nilai sosialnya, karena nilai komersialnya, maupun, karena nilai ilmiahnya.
Sementara itu dapat pula, dikemukakan ada dua alasan amat berbeda, bahkan
bertentangan, dalam mengambil keputusan untuk melakukan palestarian, yaitu
romantisme dan realisme. Romantlsme di sini adalah alasan-alasan berupa kenangan
Indah, maupunpun beroik, seperti dikemukakan dosa kalau harus membiarkan gedung
yang menjadi saksi patriotisme para pemuda Semarang dalam melawan keangkamurkaan
pasukan Jepang itu mysnah oleh alasan bisnis semata.
Mereka yang tldak merasakan jeritan tangis hati Imam Prakoso akan memandangnya
emosional dan Cengeng. Lebih-Iebih kalau kita tidak dapat memelihara gedung tersebut
sebagaaimana layaknya memelihara keramik zaman Dinasti Ming di rumah-rumah kita.
Apakah kita akan membiarkan terhanyut oleh kenangan romantis dengan membiarkan
diri tidak mampu merawat benda kenangan itu pelan-peIan, lapuk dimakan usia dan
cuaca.Atau sebaliknya kita lebih balk melibat kenyataan hidup secara realistis, yaitu
membiarkan kita melepaskan kenangan romantis masa perjuangan yang penuh
keheroikan itu. Lalu kita biarkan gedung itu dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis, asal
secara fisik bangunan tetap bisa kita saksikan, karena tak akan dibiarkan dijamah
perubahan yang tidak semena-mena. Percayalah arwah para pahlawean tidak akan
bersifat egoistis dan meminta dikenang secara berlebiban, karena kenangan masih tetap
kita kobarkan dengan mengadakan upacara peringatan peristiwa heroik itu. Artinya, roh
pahlawan itu tidak akan menangisi pergeseran fungsi Lawangsewu. Begitulah barangkali
paham realisme yang tidak membiarkan diri terhanyut mimpi emosional dalam kenyataan
72
hidup.
Bagaimanapun tidak mudah keterangan semacam itu diterima orang-orang
seperti Imam Prakoso, karena kekayaan rohani berupa rasa hormat pada pahlawain tidak
dapat diperjualbelikan. Lebih-lebih bila investor yang akan membeli adalah modal
asing. Rasanya emosi kenasionalan kita meluap.
Apa Salahnya?
Ya, apa salahnya Gedung Lawangsewu dialihfungsikan nmenjadi hotel mewah.
Sudah tentu salahi, dan bahkan berdosa besar, kalau kita mengacu pada pandangan
Eugene Ruskin, tokoh yang mengatakan membongkar bangunan kuno, apalagi yang
bernilai sejarah, bukanlah dosa kecil. Karena itu harus betul-betul ada jaminan dari
investor, untuk selalu terikat dengan janji yang menghargai berbagai aspek emosi dan
romantika Lawangsewu.
Di samping itu masih dipandang perlu dibuat sebuah prasasti dt halaman gedung
itu, yang berisi catatan pokok faktual sekitar peranan Lawangsewu di masa lampau,
terutama berkaitan dengan Pertempuran Lima Hari. Dengan cara ini para penganjung
hotel akan inendapat inforinasi lengkap tentang peran Lawangsewu yang mereka inapi.
Akan lebih baik seandainya dikeluarkan buku kecil (booklet) yang berisi cerita tentang
gedung itu secara lebih terurai. Menjelang peringatan Perempuran Lima Hari dipentaskan
konser musik perjuangan ataupun opera kecil tentang kisah patriotik dan heroik dengan
teina pertemparan itu di hotel tersebut, yang sebaiknya juga dinamakan Hotel
Lawangsewu.
Sebagai dokumentasi sebelum dilakukan tindakan apa pun terhadap Lawangsewu,
perlu dilakukan pengabadian secara fisik dengan jalan merekam gedung itu dari berbagai
penjuru dan sudut pengambilan. Tentu saja termasuk tugu segi empat yang paling
berkaitan langsung dengan Perteinpuran Lima Hari, sejak sebelum dipindankan ke
tempat tugu tersebut berdiri sekarang, yaitu di hataman Lawangsewu. Dengan begitu
masyatakat ingat Gedung Lawangsewu pun pernah diniodifikasi, agar dapat tetap
selarnat. (18)
73
(Suara Merdeka, 8-4-1995)
7. MENGUAK KEBENARAN SEJARAH BANGSA INDONE
Tulisan kali ini lebih merupakan uraian dengan kalimat-kalimat pendek mengenai
sesuai pokok bahasan. Kemudian disusul dengan suatu pertanyaan, yang dimaksudkan
untuk mendapatkan penjelasan atas sejumlah fenomena yang dikemukakan dalam
pernyataan sebelumnya. Setiap pokok bagasan ditulis di bawah nomor urut. Dan nomor
berikutnya digunakan untuk mengemukakan uraian berikutnya.
1. Di gereja-gereja di Amerika Serikat dan Eropa terlihat patung Yesus Kristus dengan
rambut dan jenggot berwarna pirang, kulit tubuhnya yang telanjang cerah dan dengan
profil wajah dan tampang ras Kaukasus. Orang tidak pernah mempersoalkannya,
meskipun sebagai keturunan Bani Samyah (Semmit) tentu saja beliau tidak memiliki
ciri fisik seperti digambarkan dalam patung.
Demikian pula orang tidak mempersoalkan patung Yesus Kristus di gereja-gereja di
benua Afrika. Padahal di sana Yesus ditampilkan dengan fisik orang Negro, berkulit
hitam, rambut hitam keriting kecil dan berhidung lebar.
Mana kebenaran sejarah?
74
Di sebuah pelabuhan laut di Jepang berdiri sebuah patung seorang pahlawan bngsa
Jepang. Orangnya gagah, tinggi besar, dan naik kuda. Padahal kenyataannya tampang
pahlawan itu jauh berbeda, yaitu berbadan kecil.
Mana kebenaran sejarah?
Demikian pula di sebuah taman kota di Houston City tegak berdiri patung seorang
pahlawan kemerdekaan Negara Texas. Tubuhnya digambarkan kecil, naik kuda besar,
presis seperti gambaran sesungguhnya. Itulah Sam Houston.
Itukah kebenaran sejarah?
2. Bung Karno sebagai Sang Proklamator pernah diuraikan sebagai keturunan campuran
antara orang kulit putih dengan seorang pribumi. Bahkan disebutkan pula bahwa
silsilah beliau sampai pada garis keturunan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Itulah
yang dibicarakan dari mulut ke mulut. Namun dalam buku-buku sejarah beliau
disebutkan sebagai putra seorang guru dari suku Jawa yang menikah dengan seorang
perempuan Bali.
Yang mana kebenaran sejarah itu?
Menjelang saat-saat proklamasi kemerdekaan beliau dan Bung Hatta pergi ke
Rengasdengklok. Sebagian orang menyatakan bahwa kepergian itu dilakukan karena
diculik oleh kaum muda seperti Chaerul Saleh, Sukarni dan Adam Malik. Mereka
memaksa kedua beliau agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun dalam
buku Sukarno Penyambung Lidah Rakyat, sebagaimana diceritakan Cindy Adams,
dinyatakan bahwa kepergian itu tidak karena adanya sesuatu paksaan dari manapun.
Yang mana kebenaran sejarah itu?
Mana dari cerita itu yang benar?
75
Dan ketika beliau wafat pada tahun 1971 dituliskan dalam buku sebagai akibat sakit.
Bagaimanapun adalah wafat secara wajar. Kemudian baru-baru ini seorang saksi
sejarah, Nyonya Dewi Sukarno, yang juga salah seorang istri beliau menyatakan
bahwa beliau wafat secara tidak wajar. Konon dikatakan ada tangan-tangan yang
sengaja mempercepat kematian beliau.
Mana pula yang dinamakan kebenaran sejarah?
3. Tanggal 30 September 1965 bagi bangsa Indonesia merupakan tanggal bersejarah,
karena di tengah malam itu terjadi penculikan dan pembunuhan sadis terhadap
sejumlah jendral TNI AD. Peristiwa itu kemudian tercatat dalam sejarah sebagai
Pemberontakan G30S/PKI. Itulah faktanya.
Masalahnya kemudian muncul, yaitu :
a. Apa hakekat pemberontakan itu?
1) Kudeta PKI terhadap pemerintahan Sukarno?
2) Pertentangan intern AD?
3) Kudeta terselubung oleh TNI AD?
b. Siapa di balik kegiatan pemberontakan itu ?
1) Bung Karno ada di belakang G30S/PKI?
2) Jendral Suharto mengetahui rencana G30S/PKI?
3) Jendral Suharto memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi?
4) Jendral Suharto merupakan penyusun skenario untuk kepentingan pribadi?
4. Selama lebih dari tiga puluh tahun diajarkan oleh guru sejarah hal-hal sebagai
berikut :
a. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dirancang dan dipimpin oleh Letkol Suharto
b. Supersemar ditanda tangani Presiden Sukarno secara sukarela, untuk mengatasi
situasi keamanan nasional, terutama di Ibu Kota.
76
Baru-baru ini muncul tuduhan dari sejumlah saksi sejarah maupun pelaku sejarah,
bahwa :
a. Perancang SO 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan HB IX.
b. Supersemar ditandatangani oleh Presiden di bawah todongan pistol oleh Jendral
M. Panggabean.
5. Tidak mudah untuk menemukan kebenaran sejarah nasional Indonesia yang hakiki,
karena berbagai alasan sbb.:
a. Faktor subyektifitas pelaku ataupun penulis sejarah, yang terjadi karena :
1) faktor kepentingan pribadi, kelompok maupun politik
2) faktor kelemahan daya ingat atau tingkat persepsi pelaku sejarah yang
berbeda
b. Faktor kepentingan politik suatu orde atau suatu “rulling class”, untuk
meningkatkan kredibilitas kepemimpinan mereka.
c. Faktor persepsi tentang peranan sejarah, yang meliputi :
1) romantisme sejarah, yang menempatkan sejarah untuk meningkatkan
kebanggaan diri.
2) sejarah sebagai sarana pendidikan politik
3) historisisme baru (New Historisism), yang menempatkan sejarah sebagai ilmu.
6. Yang dapat dilakukan dalam menegakkan kebenaran sejarah antara lain :
a. Tim penulis sejarah nasional melakukan kajian ulang terhadap berbagai data yang
kontroversial
b. Guru harus diberi petunjuk untuk menggunakan buku sejarah terbitan masa Orde
Baru secara lebih selektif.
c. Para ilmuan sejarah melakukan melakukan kajian sejarah secara lebih mandiri,
tanpa suatu prasangka.
@@@
77
Makalah untuk Diskusi Panel tentang Menguak Kebenaran Sejarah Bangsa
Indonesia , oleh Forum Masyarakat Katolik Indonesia, Presidium Wilayah Jawa
Tengah, di Unika Sugyopranoto Semarang, 25 Oktober 1998.
8. ETNO-NASIONALIOSME
Pengertian
78
Etno-Nasionalisme merupakan pengertian tentang jenis nasionalisme yang
mendasarkan pada ikatan etnis tertentu. Ernest Renan mengatakan bahwa nasionalisme
adalah semangat untuk membentuk negara nasional atas dasar kesamaan kehendak untuk
bersatu, Mneurut bahasa aslinya Renan mengatakan bahwa nasionalisme adalah “la
desire d`etre ensemble”. Artinya “keinginan untuk bersatu”. Konsep tersebut memang
bisa berarti bahwa yang memiliki kemauan untuk bersatu adalah mereka yang memiliki
kesamaan asal-usul atau keturunan atau satu ras. Kalau hal itu terjadi sebetulnya tidak ada
masalah, kecuali kalau kesamaan asal-usul atau keturunan itu dijadikan satu-satunya
azas, dan kemudian menolak mereka yang berbeda asal-usul, atau keturunan, atau etins,
atau agama. Pengertian nasionalisme seperti itulah yang disebut etno-nasionalisme.
Hal seperti itulah yang dikhawatirkan dan ditolak oleh Bung Karno, karena akan
menimbulkan negara kebangsaan Aceh, negara kebangsaan Minangkabau, Negara
kebangsaan Sunda, Jawa, Minahasa, Ambon, Papua dan seterusnya. Yang dibutuhkan
adalah agar ‘kesatuan Indonesia’ menjadi dasar pembentukan negara kebangsaan
Indonesia, yang meliputi berbagai kesatuan etnis, agama, ikatan adat dsb. yang hidup di
Indonesia. Kesatuan Indonesia itu terjadi karena mereka memiliki kesamaan nasib,
kesamaan cita-cita, kesamaan tujuan dsb.
Sejarah membuktikan bahwa gagasan atau konsep nasionalisme menurut Bung
Karno tersebut telah menjadi kenyataan, karena telah terbentuk negara kebangsaan
Indonesia (Proklamasi Kemerdekaan 17-8-1945), yang didasarkan pada konsep ‘Bhineka
Tunggal Ika’. Perjalanan sejarah telah menunjukkan keberhasilan bangsa Indooensia
dalam mengatasi berbagai usaha kaum separatis untuk memecah belah kesatuan bangsa
itu, seperti berdirinya RMS/BVO (1949), PRRI/ PERMESTA (1960 an) dsb. Jauh
sebelum masa itu berbagai tekad untuk bersatu telah dilakukan oleh berbagai komponen
bangsa, misalnya sejak upaya yang dilakukan (1) Gajah Mada di masa kerajaan
Majapahit dengan Sumpah Palapanya, (2) oleh gerakan semangat kebangsaan sejak Budi
Utomo pada 1908, dan (3) mencapai puncaknya dengan rumusan Sumpah Pemuda pada
1928.
Sementara itu Sartono Kartodirjo beranggapan bahwa nasionalisme bisa timbul
karena dua latar belakang, seperti yang terjadi di Eropa. Yaitu (1) perlawanan terhadap
79
dan pembebasan dari dominasi kekuatan sosial politik di dalam negeri, seperti oleh kaum
bangsawan maupun kaum ningrat atas kaum proletar atau kaum rakyat jelata. Dan (2)
dominasi kekuatan sosial politik asing, yang lebih sering disebut sebagai kaum penjajah
atau penakluk asing.
1. Lahirnya Negara-Negara Kebangsaan.
Dasa warsa pertama setelah PD II usai merupakan masa paling subur bagi lahirnya
negara-negara kebangsaan baru, yang berhasil melepaskan diri dari kungkungan
penjajahan maupun yang karena perjanjian berhasil dilepaskan sebagai negara
kebangsaan. Kebanyakan dari negara kebangsaan baru maupun lama di dunia merupakan
negara kebangsaan multi etnis, termasuk India, Indonesia, Yugoslavia maupun Uni
Sovyet. Mereka kokoh dan stabil, meski berbagai gejolak sparatisme yang mengarah
pada kondisi disintegrasi bangsa tidak kunjung berhenti. Meskipun demikian ketika
sistem kekuasaan despotis yang mendominasi negara-negara tersebut mulai merosot
ancaman terjadi disintergrasi tidak terelakkan, sehingga makin membahayakan keutuhan
bangsa.
2. Lahirnya Semangat Etno-Nasionalisme
Konsep Gorbachev tentang Glasnot dan Peristroika nampaknya menjadi bumerang
bagi kelangsungan kekuasaan Gorbachev. Implikasi dari kampanye Gormachev itu
bergulir dua perubahan besar di dunia. Pertama. komunisme berhasil ditumbangkan dari
percaturan politik Rusia dan banyak negara komunis lainnya. Kedua, negara-negara
bagian dalam kesatuan Uni Sovyet telah melepasklan diri, dan mendirikan negara
kebangsaan sendiri yang merdeka dan berdaulat penuh. Sebuah proses disintegrasi
bangsa tengah berlangsung di negara-negara komunis yang dipimpin secara despotis.
Menyusul kemudian Yogoslavia dan beberapa negara Balkan lainnya, mengalami juga
disintegrasi bangsa. Yugoslavia telah pecah menjadi tiga negara nasional yang bersifat
etno- nasionalis, yaitu Serbia, Bosnia, dan Croasia.
3. Etno-Nasionalisme dan Disintegrasi : Kasus Indonesia.
80
Tumbangnya pemerintahan otoritarianis yang despotis yang telah berlangsung
sangat lama, di bawah presiden Suharto (1966 – 1998), telah pula mengancam terjadinya
gejala semangat etno-nasionalisme yang mengarah pada terjadinya disintegrasi bangsa.
Masyarakat dihadapkan pada sebuah simpang jalan. Di satu sisi bertekad untuk
menggulirkan terus agenda reformasi sebagai perlawanan terhadap rezim Orde Baru,
yaitu menegakkan (1) demokratisasi, (2) keterbukaan, (3) HAM, (4) desentralisasi
kekuasaan, dan (5) supremasi hukum. Pada sisi lain menghadapi gejala disintegrasi
bangsa, dan sparatisme yang mendasarkan pada semangat etno-nasionalisme. Di Aceh
bangkit kekuatan etno-nasionalis GAM (Gerakan Aceh Merdeka), di Papua bangkit
gerakan etno-nasionalis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Masing-masing
menggunakan dalih, bahwa kebijakan pembangunan selama rezim Orde Baru tidak
menguntungkan daerah.
4. Otonomi Sebagai Alternatif.
Otonomi daerah sebagai alternatif untuk mengatasi masalah telah dituangkan ke
dalam UU tentang Otonomi Daerah telah diletakkan dasarnya oleh pemerintahan
Habibie. Dalam pelaksanaannya ternyata semangat otonomi telah berkembang ke arah
yang salah, karena segera muncul kecenderungan neo- tribalisme , yang ditandai dengan
mencuatnya semangat menonjolkan etno-identity. Neo-Tribalisme merupakan
kecenderungan persaingan di antara warga bangsa dalam bentuk kesamaan organisasi
sosial politik, termasuk kesamaan paham keagamaan, Yang diidentikkan dengan
kelompok etnis atau tribe (suku bangsa). Sedangkan etno-identity merupakan simbul-
simbul yang merupakan ciri kelompok etnis, seperti bendera, tata nilai, maupun
kebanggaan masa lalu.
5. Paradigma Nasionalisme Baru
Indonesia telah kehilangan identitas nasional yang berfungsi sebagai alat pemersatu
bangsa. Secara formal Pancasila masih tetap dan diharapkan tetap menjadi identitas
81
bangsa Indonesia, namun sepanjang sejarah telah tercemar oleh penampilan rezim Orde
Lama maupun rezim Orde Baru, yang senantiasa mengidentikkan dengan Pancasila,
sementara penampilan mereka jauh dari semangat Pancasila tersebut. Yang diperlukan
sekarang adalah :
(1) merehabilitasi Pancasila supaya mendapat kepercayaan kembali sebagai identitas
bangsa dan alat pemersatu bangsa dengan pengertian dan perbuatan. (2) Meluruskan
kembali berbagai kontroversi sejarah nasional. (3) Melakukan rekonsiliasi terus menerus
di antara seluruh komponen bangsa. (4) Menghilangkan segala bentuk kesenjangan di
antara semua komponen bangsa, termasuk bidang-bidang sosial, ekonomi politik
Ooo
82
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Makalah ditulis dan disajikan oleh Prof. DR. Abu Su`ud, GB Pendidikan Sejarah pada
FIS Unnes, untuk Seminar Nasioinal VIII Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-
Indonesia (IKA AHIMSI). 13-14 Oktober 2001 di Unnes Semarang.
8. UPAYA MENGESAMPINGKAN PERBEDAAN
“Kesetiaanku pada partai berhenti,
ketika kesetianku pada negara dimulai
Ho Chi Minh).
Saya membaca ungkapan tersebut sebagai pernyataan Paman Ho, seorang
pahlawan bangsa Vietnam, ynng berhasil mendirikan negara nasional Vietnam.
Perjoangannya menentang kekuatan penjajah tidak berjalan mulus, sebab
sepeninggalnyanegara Vietnam terbelah dua, menjadi Vietnam Utara yang menganut
komunisme, dan Vietnam Selatan yang pro Amerika Serikat. Namun dengan kegigihan
yang tak mudah dicari tolok bandingannya rakyat Vietnarn berhasil menyatukan kembali
Vietnam yang terbelah itu, sesuai dengan cita-cita Ho Chi Minh.
Orang berpendapat bahwa keberyhasilan itu merupakan buah Perang Vietnam
yang telah mempermalukan Amerika Serikat, yang telah dengan tidak terhormat
meninggalkan bumi Vietnam. Vietnam. Pada sebuah embok peringatan Perang
Vietnam di Amerika Serikat terukir ribuan nama putera-putera Amerika Serikat yang
tewas, namun nampaknya tanpa suatu kebanggaanpun. Mereka tewas tidak karena
membela tanah air mereka.
Pernyataan Ho Chi Minh tersebut di atas mengajarkan kepada rakyatnya, agar
83
kesetiaan kepada partai, bagaimanapun pentingnya sebagai alat persatuan perjuangan,
harus segera diakhiri, ketika harus berhadapan dengan kepentingan negara. Inilah
hakikat ajaran kebangsaanTiba-tiba saja pernyataan Paman Ho itu menjadi amat relevan
dengan saat kita harus memperingati Hari Sumpah Pemuda kali ini yang bertepatan
dengan situasi global pasca peruntuhan negara-negara komunis di Eropa.
Perekat Nasional
Mungkin ungkapan tersebut telah pula diucapkan oleh negarawan lain, seperti JF
Kenaedy, dan diucapkan pertama kalinya oleh negarawan manapun. Namun marilah kita
baca ungkapan tersebut dengan makna yang berlawanan. Misalnya, kesetiaanku kepada
golongan mulai, manakala kesetiaan kepada negara mulai mereda. Dua tahun akhit-
akhir ini kita menyaksikan pergelaran besar berupa bentrokan antar etnik di berbagai
negeri bekas negara-negara komunis di Eropa Timur. Sekarang kita sedang
mcnyaksikan perjoangan antara hidup dan mati di antara tiga etnik, Serbia, Bosnia dan
Croatia, meski mereka hidup di atas sepotong tanah yang sama di sudut Balkan. Dahulu
mereka hidup rukun dalam sebuah negara, yaitu negara komunis Yugoslavia. Juga sedang
kita saksikan perang saudara di antara etnik Georgia dan etnik Abkhazia, yang sedang
berkecamuk, meski sama-sama bangsa yang dahulu rukun dan damai di bawah Uni
Sovyet.
Menjelang kematian Josef Bros Tito, pejuang, negarawan, dan kepala negara
Yugoslavia yang seperti halnya Bung Karno, telah berhasil menyatukan negaranya.
Dunia sudah meramalkan betapa bangsa itu bakal hancur berantakan. Mereka bakal
terkoyak-koyak koyak oleh perbedaan kepentingan. Ternyata apa yang dikhawatirkan itu
terjadi, meski telah disusun kepemimpinan kolektif sebagai ganti Tito.
Tidak lama setelah komunisme tidak lagi menjadi ideologi bangsa,
berantakanlah persatuan di antara etnik maupun negara bagian. Bukan hanya itu, bahkan
semangat etnosentrisine makin merebak, sehingga mengalahkan semangat integrasi
bangsa yang telah dibina sekian lama. Setiap negara bagian, lebih-lebih yang di
latarbelakangi persamaan etnik maupun agama tiba-tiba menjadi pusat kesetiaan tunggal.
Kesetiaan kepada negara nasional dalam format lama mutai ditinggalkan. Tiba tiba pula
84
ikatan etnik berubah menjadi ikatan “negara nasional” datam format baru yaitu
kebangsaan dalam arti kesamaan etnik.
Apa yang tertadi di Bosnia – Herzegovina itu terjadi pula di Georgia, bekas
republik di Uni Soviet. Kesetiaan pada etnik tiba-tiba berubah menjadi semangat
perjuangan, ketimbang kesetiaan pada keutuhan Republik Georgia dalam format
barupun. Eduard Shevardnadze yang semasa kejayaan Uni Soviet dihormati oleh
seluruh bangsa di Rusia, tiba-tiba terlempar ke sudut Georgia, dan hanya dicintai dan
dipatuhi oleh etnik Georgia. Sementara kaum separatis Abkibazia bertekad untuk
menerkam dan menggulingkannya dari kursi kepresidenan Republik Georgia itu.
Alasannya jelas, yaitu karena dia bukan berasal dari etnik yang sama.
Sumpah Pemuda
Paling tidak ada dua pelajaran yang dapat dipetik dari kasus-kasus di bekas negara
komunis terkemuka di Eropa tersebut. Pertama, bahwa sesuatu idealisme berupa cita-eita
membangun negara nasional hanya dapat terwujud kalau ada ideologi tutiggal yang dapat
menjadi perekat. Ideologi koinunisine - terlepas dari sikap kita yang berbeda - telah lama
menunjukkan kemampuan sebagai perekat nasionalisme beberapa bangsa besar seperti
Sovyet Rusia maupun negara - negara di Eropa Timur. Semula dianggap mustahil kalau
ajaran itu bisa hancur berantakan dan ditinggalkan oleh para pendukungnya. lronisnya,
ternyata bahkan kehancuran itu bukan disebabkan oleh serangan dari luar, melainkan
karena ditinggalkan oleh para pendukungnya sendiri yang mulai jemu dengan semangat
totalitarian yang dikembangkannya.
Kedua, nampaknya diperlukan semangat persatuan bangsa, yang mampu
mengesampingkan berbagai ikatan primordial, demi semangat untuk tetap survive atau
bertahan hidup.
Manusia itu memang aneh. Begitu besar cintanya kepada diri sendiri, sehingga
ingin selalu survive. Justru pada saat itu juga setiap individu mencari teman yang sama-
sama mempunyai kekhawatiran akan nasib kelangsungan hidup sendiri. Kemudian
mereka mengikat diri dalam suatu kerja sama, meski harus mulai mengurangi kebebasan
individual. Inilah yang disebut sebagai kontrak sosial.
85
Dalam skala yang lebih besar, setiap etnik maupun komunitas, dengan alasan
yang sama, mulai menjalin kontrak dengan etnik maupun komunitas lain. Lalu muneullah
gejala bangsa. Selanjutnya setiap bangsa akan mengikat kontrak dengan bangsa lain juga,
agar tidak musnah oleh ulah bangsa lain. Namun manakala dalam format baru itu,
kebebasan dirinyn makin terganggu, mulailah proses desintegrasi kembali merebak.
Masing-masing akan mengobarkan kembali semangat priinordialisme, berupa kesetiaan
pada ikatan-ikatan emosional sepenti kesamaan agama maupun kesamaan etnik.
Secara emosional kita dapat beranggapan, bahwa Pancasila sebagai ideologi
bangsa tidak dapat dihancurkan oleh siapapun. Dan oleh karenanya kita merayakan Hari
Kesaktian Pancasila setelah berhasil menggagalkan usaha pemberontakan G30S/PKI
pada akhir September 1965 Sebaliknya secara rasional tentu saja kita sadar bahwa
ideologi Pancasila itu harus tetap dikembangkan agar tetap menjadi semnangat integrasi
bangsa. Pandangan tentang Pancasila sebagai ideologi terbuka, misalnya merupakan
salah satu upaya strategis agar Pancasila tetap dapat diterima sebagai satu-satunya
ideologi bangsa Indonesia, dan tetap berfungsi sebagai perekat kesatuan bangsa.
Sejarah telah menunjukkan kepada kita, betapa semangat “bhineka tutiggal ika”
telah betul-betul menjiwai para pemuda pada tahun 1928, dengan dirumuskannya ikrar
Suinpah Pemuda yang terkenal itu : Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Itu
merupakan prestasi amat besar bagi upaya integrasi bangsa
Apresiasi kita akan makin tinggi terhadap prestasi itu kalau kita mau
membayangkan betapa sulitnya gagasan persatuan dapat dikembangkan pada saat itu,
justru ketika penjajah selalu mengemmbangkan cara-eara “divide et impera”. Pada saat-
saat itu masing-masing subsistem sedang menikmati dan menggandrungi kekhasan diri
dalam semangat sektarian mereka, dalam wujud kesamaan agama, kesamaan etnik,
kesamaan asal usul, strata sosial dan sebagainya. Prestasi tersebut tidak lain merupakan
wujud dari kemampuan diri untuk mengesampingkan segala perbedaan yang ada secara
emosional, budaya maupun alaini, dan menekan segala dorongan yang lebih
mengutamakan kesetiaan pada ikatan primordial. Sebaliknya mereka pada saat itu
mampu menyatukan tekad untuk segera merealisasikan cita-cita persatuan bangsa.
Proses Pembudayaan
86
Di sinilah letak relevansi pernyataan Ho Clii Minh dengan peringatan Hari
Suinpah Peinuda kaii ini. Karena meskipun pada saat itu wujud Indonesia sebagni negara
nasional belum ada, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia sebagai Nusa, sebagai
Bangsa, dan sebagai Bahasa telah ada. Kendati deinikian kita tidak boleh berkhayal
bahwa persatuan dan persatuan bangsa itu akan selalu dengan sendirinya lestari, dengan
alasan semangat Sumpah Pemuda telah menjiwai perilaku bamgsa kita.
Sejarah telah memberikan kita pelajaran amat berharga, banwa negara besar
semacam Uni Soviet yang dipateri dengan ideologi nasional sejak 1918 pun dapat hancur
berantakan. Kuncinya lain tidak adalah mewaspadai dan menjaga jangan sampai
seinangat provinsialisme maupun separatisme mengalahkan semangat Sumpah Pemuda
itu sendiri, Caranya bukan sekadar dengan pidato pembinaan politik maupun cerainah
akadeinik, melainkan dengan pembudayaan sikap dan perilaku sehari-hari sebagai proses
budaya, tentu saja dalam kondisi sosial politik yang mendukungnya. (28)
SUARA MERDEKA 28 Okttober 1993)
10. MEMAKNAKAN HARI PAHLAWAN
Menurut para ahii psikologi sosial, manakala seseorang atau sekelompok manunia
sedang mengalami fnistrasi dalam hidupnya karena misalnya apa-apa yang dirasakannya
benardan seharusnya terjadi tidak terwujud, maka biasanya mereka mencari berbagai cara
untuk melarikan diri dari tekanan itu. Salah satu pilihan ialah mencari kepuasan dalam
87
dunia mistik atau kemudian orang itu lambat laun menjadi pengelamun nomer wahid,
bak anak pubertas yang sedang dilamun asmara. Pelarian berikutnya ialah
membayangkan kejayaan masa lampau. Atau bernostalgia menurut istilah lama yang
kembali menjadi pupuler.
Dan nampaknya cara orang bernostalgia itu bermacam - macam, menurut selera
serta kemahiran yang dirnillki. Orangpun misalnya beramai - ramai bersimposium untuk
merumuskan betapa jayanya peranan orang-orang muda masa lampau. Maka
direncanakanlah suatu langkah besar untuk menynsun sejarah perjuangan pemuda di
Repubilk ini, sepanjang masa.
Lewat forum itu tokoh - tokoh itu akan menikmati kejayaan masa - masa lalu
mereka. Tentu saja banyak maksud baik yang bisa disalurkan lewat proyek tersebut,
antara lain agar generasi masa kini dan masa datang dapat mengambil suri tauladan dari
perjuangan para pendahulu kita itu. Lalu para budayawan pun bersarasehan tentang pasal
kreatifitas bangsa, sambil mengamati kejayaan masa lalu dalam berkreasi untuk nusa dan
bangsa, terus menerus mengeluh mengapa generasi sekarang menjadi generasi yang
rendah kreatifitasnya. Bahkan ada iagi yang menjadi tidak habis fikir mengapa generasi
masa kinipun nampaknya kurang patriotik, rendah swmangat nasionalisme, dan
sebagainya.
Wawancara dengan Arwali Pahlawan
Barangkali anda kurang setuju dengan perumpamaan di atas bila dikaitkan dengan
kecenderungan bernostalgia tadi. Tapi, izinkanlah cerita ini diteruskan dulu. Kadangkala
saya mengikuti renungan suci pada malam - malam peringatan Hari Pahlawan di Makam
Pahiawan dan bermaksud mengadakan wawancara dengan para arwah pahlawan, tentang
apa - apa yang sebenarnya terjadi pada masa silam. Tetapi medium apa puia yang bisa
dipergunakan untuk keperluan ltu?
Waktu kecil saya sering beramai - ramai menggunakan medium jailangkung
untuk keperluan permainan, tapi kemudian menyadari bahwa medium itu kurang akurat.
Kami sering merasa dibohongi waktu itu. Dan sekarang belum pula saya coba
menggunakan metode metafisis, seperti yang pernah digunakan untuk meneliti
kelengkapan tawarikh Wali Sanga, oleh sementara ahli metafisika.
88
Laiu saya baca sebuah tulisan menarik dalam sebuah buku- yang mengutip The New
York Times terbitan tahun 1965. Barangkali saya telah menemukan sebuah medium yang
memadai. Anda masin ingat film TV “The Time Tunnel”? Senacam itulah medium kita
kali ini, yaltu buah tulisan Russel Baker yang berjudui Observer: VE. Day Plus 7, 305.
yang disajikan dengan terjemahan amat bebas.
Tamu dari Masa Depan
Ketika itu Perang Dunia II baru saja usai, dan tak satupun suara bedil meletup. Di
sebuah barak darurat tempat sekelompok pasukan Sekutu sedang menunggu pasukan
pengganti, tiba - tiba muncul seseorang asing, masih muda dengan setelan jas
berkancing enam dan dengan rambut potongan the Beatle, yang muncul begitu saja dari
'mesin waktu'. Lalu muncullah sebuah pertanyaan mengejutkan.
+ Untuk apa sebenarnya anda sekalian selama ini berperang? Tahu tidak?
Dan dengan serta merta seorang G.I. menjawab pertanysan itu.
- Tentu kami berperang, eh kami beijuang, untuk mempertanankan demokrasi.
Antara lain untuk menolong lnggris Raya.
+ Kalau demikian anda telah gagal. Percuma saja
- Lho, anda minta dihajar, ya. Kalau saja kami tidak sedeng kecapaian, pasti anda
telah kuhantam.
GI tadi nampak betul–betul geram.
- Mengapa anda berkata begitu?
+Kalian betul-betul membuang-buang waktu saja. Anda tidak percaya, bahwa dalam
dasawarsa ini saja lnggris Raya akan tak tertolong lagi, akan invalid. Dan bukan oleh
siapa - siapa, tapi oleh tekanan dri Amerika Serikat.
- Anda ini betul-betul keterlaluan. Tentunya anda seorang 'oknum' propagandis
Nazi, ya? Anda mau mengadu domba antara bangsa Amerika dengan bangsa Inggris.
Dan sebentar lagi anda pasti akan mencoba memecah belah kami dengan Sekutu Besar
kami Sovyet Rusia .
+ Tak salah lagi; jawab tamu berambut gonndrong itu dengan
mantap.Dalam waktu lima tahun mendatang. sebagian dari anda akan menyebut sang
Sekutu Besar Sovuet itu sebagai ‘Sang Penghianat’. Percaya saja, sambungnya dengan
89
kalem.
- Lemparkan saja bajingan ini.
+ Sabar dulu, bung. Apa pula alasan bung terjun ke medan pertempunan ini?
- Menghancurkan Jerman, tentu saja.
+ Nah, kalau demilian bung, sia-sia saja pengorbanan itu. Karena dalam waktu lima
tahun mendatang kalian akan membiayai pembangunan Jerman kembali. Dengan uang
gnjl kalian, bung. Dan selama lima belastaliun berikutnya, Amerika harus menanggung
risiko pula untuk berperang, untuk Jerman itu. Jenybfjibab besar sebagian dari anda
masih hidup waktu itu.
Seetelah memberi kketerangan itu orang tadi tertawa terkekeh–kekeh.
- Nanti dulu, bagaimana pula dengan Asia?
= Ya betul, seru seorang penerbang.
= Katakanlah bshwa kami akan segera berbalik mencumbu "Japs" (istilah jekan buat
Jepang?
- Lalu kami memerangi Cina. Beitu?
Lalu bergetarlah barak itu oleh ketawa seluruh penghuuninya mencemoohkan
tamu itu.
+ Jadi kalian akan mengatakan banwa kalian bermaksud menghancurleburkan
Jepang?
Tanya tamu dari ‘mesin waktu’ itu lagi.
- Apa pula ini?
+ Begini. Kali inipun kalian sia-sia saja menghancurkan Jepang. Tunggu saja,
dalam jangka waktu dua pulun tahun mendatang, kalian akan membangun kembali
Jepang. Dan bangsa itu akan menjadi sekutu kalian di kawasan Pasifik yang paiing akrab.
Dan anak - anak kalian tidak akan memanggil mereka Japs, melainkan Jepang yang
perkasa.
= Tak mungkin, seru seorang prajurit. Hari ini mereka teiah hangus oleh bom
atom kami, sebagai ganti pembokongan mereka atas Pearl Harbour.
+ Itupun percuma saja. Kelak dua puluan tahun lagi, anak -anak kalian yang
sekandang banyaknya dan sengsara ini, sama sekali tidak ingat lagi peristiwa Pearl
Harbor. Balikan mereka akan menyesali pemboman atas Horishima dan Nagasaki itu.
90
= Mereka akan kami gampar.
+ Itu tidak bakalan terjadi. Mereka sudah kapok perang. Mereka tidak lagi
menggubris kalian. Amerika telah berubah. Dunla sudan berubah. Para petani lebih
senang tinggal di kota - kota.
Dan orang - orang kota sebaliknya lebih menyenangi tinggal di pedusunan. Jalan -
jalan desa telah beraspal, sementara kota enjadi makin berantakan. Uang telah diganti
dengan kartu - kartu kredit. Dan ingat, anak - anak kalian bertampang persis saya inl.
Kemudian secepat kilat pemuda itu lenyap menyelinap ke dalam ‘mesin waktu’
kembali ke tahun 1965. Dan selanjutnya asyik ber A Go Go di keremangan ruangan
yang sumpeg dengan asap rokok.
Wawancara Imajiner
Laiu mengapa kita tidak mencoba memasuki ‘mesin wakin’ dan menjelajahi masa
derni masa dalam sejarah negeri kita ini, dan mengadakan wawancara imejiner dengan
pelaku - pelaku sejarah masa itu? Kita bisa menyusun seperangkat pertanyaan. Kita susun
pula seperangkat jawaban imajiner, harapan - harapan para pelaku sejarah waktu itu,
motivasi yang mendasari penjuangan mereka, semangat yang membakar dada mereka,
cita-cita serta tujuan setiap tindakan maupun ikrar mereka.
Lalu kita pun dapat memperkirakan betapa jauh kesenjangan yang terdapat di
antara harapan dengan kenyataan, antara semangat masa lampau dengan semangat masa
kini, antara tujuan yang hendak dicapai dengan prestasi yang teiah dicapai, dan
seterusnya. Dalam kesempatan itu kita dapat “melaporkan” apa-apa yang
sesungguhnya telah teijadi - masa kini.
Kesenjangan bukanlah sesuatu aib. Oleh karenanya tidak usah kita tutup - tutupi.
Sejarah manusia pada hakekatnya adalsh rentetan perubaban demi perubahan. Dan
terjadinya sesuatu kondisi berubah yang tak sesuai dengan harapan kita bukan pula
suatu aib. Perubahan itu sendiri adalah suatu indikator, bahikan sebuah variasi
respons yang ditimbulkan oleh berbagai faktor. Yang penting bagi kita sekarang ialah
mengembangkan kemampuan kita untuk selalu mengontrol sumber - sumber, proses
serta arah perubahan itu sendiri. Itulah barangkail yang dimaksudkan oleh van Peursen
sebagai syarat dalam menyusun sesuatu strategi kebudayaan. Untuk itu kita yang hidup
91
pada masa ini harus selaiu mengadakan dialog - dialog yang jujur yang bersifat nasional,
mengenai berbagai masalah. Sebab dalam kenyataan kita memang tidak dapat
mengadakan dialog dengan orang masa lalu dengan menggunakan ‘mesin waktu’ yang
hidup itu.
Dengan inipun kita teiah memilih salah satu oara untuk memperingati Hari
Pahiawan.
(SUARA MERDEKA 10 Nopember 1989)
11. HAKIKAT MAKNA PERISTIWA 10 NOPEMBER
Para guru Sejarah dan PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) sering
mengatakan betapa besar makna peristiwa 10 November 1945, dalam mengobarkan
semangat patriotisme serta semangat revolusioner bangsa yang baru bebas dari
penjajahan, untuk mepertahankan kemerdekaan. Yang ditekankan adalah keberanian para
pemuda Surabaya unrak merobek bendera triwarna (merah putih biru-Red), bendera
Kerajaan Belanda dan mengibarkan dwiwama (merab putill-Red), bendera Republik
Indonesia di atas atap Hotel Simpang di Tunjungan Serabaya. Penjelasan semaeam itu
selalu membangkitkan pertanyaan para pelajar, apa yang membanggakan dari
perjuangan-perjuangan bersenjata pada saat-saat itu, kalan akhirnya hanya kalah perang
dan memakan korban jiwa dan raga dalam jumlah yang besar? Harus diingat bahwa
peristiwa 10 November 1945, yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan bukan
merupakan kasus yangberdiri sendiri dan meletus tanpa terduga sebeIumnya.
Pristiwa 10 November merupakan puneak dari perang Surabava, yang telah meletus
sejak penghujung bulan Oktoher, sebagai bagian dari gerakan perlawanan rakyat unutk
melucuti persenjataan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh Sekutu dalam Perang Asia
Timur Raya. Kemudian api peperangan menjadi berkobar, justru karena Jenderal Mallaby
dari Inggris terbunuh dalam insiden tersebut. Karena itu tentara lnggris pun murka dan
menghajar para pejuang patriot Indonesia.
Apa manfaat peristiwa 10 November, yang kemudian diresmikan sebagai Hari
Pahlawan bagi bangsa Indonesia itu? Apakah sekadar mempunyai makna sebagai tumbal,
martir atau syuhada?
92
Bertempur atau Berunding?
Pandangan semacam itu tampaknya juga dikemukakan oleh orang dewasa,
yang menghendaki pendekanan diplomasi dengan kaum penjajah. Sejarah memuat
kenyataan adanya dua kubu di kalangan pemimpin bangsa waktu itu. Yaitu mereka yang
menghendaki pelidekatan peperangan melawan kekuatan penjajah dan mereka yang
menghendaki perundingan.
Kubu pertama dipelopori oleh kelompok oposisi, yang se1alu mengobatkan langkah-
langkan perangatau perlawanan bersenjata dalammengusir penjajah. Kubu kedua tidak
lain adalah sikap resmi yang dianut oleh pihak pemerintah. Kubu pertama dipersonifikasi
dengan Tan Malaka dan kawan-kawannya, sedangkan kubu kedua dipersotilikasi
dengan Sutan Syahrir.
Perang pena di antara duapandangan yang berbeda itu, bisa kita ikuti lewat media
massa atau brosur-brosur yang disebarkan masing-masing kubu. Kubu Syahrir
menyebarkan brosur yang berjudul ‘Perjoeangan Kita’ yang berhadapan dengan brosur
‘Moeslihat’ yang dikeluarkan pihak Tan Malaka. Masing- masing mempertahankan
kebenaran pandangan sendiri dan mencela pandangan lawan politiknya.
Sebetulnya tidak hanya ada dua kubu, tetapi tiga. Sebab pihak tentara tid secara
fanatik memihak salah satu kubu. Pihak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) betada di
antara kedua tebing ini, yang selalu menentang langkah yang berunding. Perbedaan
pandangan itu sering menjadi semacam ejekan. Kaum yang memilih cara-cara
perundingan sering melemparkan cercaan, dengan mengatakan bahwa yang dilakukan
oleh para gerilyawan sekadar melarikan diri dari kenyaman, dan hanya mondar-mandir
dari hutan ke hutan. Sementara itu kaum oposisi dengan sengit mencela bahwa
perundengan yang dilakukan hanya mempersempit wilayah kekuasaan RI dari waktu ke
waktu.
Sikap resmi pemerintah daiam menanggapi meletusnya pertempunan bersenjata,
antara lain dapat kita lihat dari pernyataan Bung Karno dalam menghadapi pertempuran
di Magelang Oktober 1945. Dia dengan tegas menyatakan dalam amanat PYM (Paduka
Yang Mulia) Presiden RI kepada rakyat yang bertempur di Magelang mengatakan,
93
“Soedara-soedara yang bertempoer di Magelang sekali lagi saja minta kepada soedara-
soedara oemtoek menghentikan pertempoeran, saja tidak mengatakan bahwa saja tidak
menghargai semangat soedara- soedara. Saja mengetahoei bohwa soedarn-soedara
mendasarkan oesaha soedara-soedara itoe atas alasan yang saya hargai. Tetapi ada
tjara lain oentoek mentjapai kepoeasan hati soedara-soedara. Berhentilah dengan
pertempoeran”. (Warta Inidonesia, Semanang. Joemat ~ 2November l945).
Hams diangat banwa perang Surabaya itu meletus sewaktu pihak Republik yang
diwakili oleh Presiden Soekamo dengan Menteri Pertahan an Amir Syarifudin sedang
berada di Surabaya, untuk melakukan perundingan dengan pihak Sekutu yang menolak
cara pendekatan pertempuran, sebagaimana yang meletus di beberapa daerah, seperti di
Semarang dan Magelang pada penghujung bulan Oktoleer.
Perang Surabaya
Dalam pertempuran yang merupakan insiden berdarah di Surabaya itu, pihak
pemuda kita mungkin kalah, namun kekalahan itu tidak mengecilkan arti pengorbanan
para pemuda tersebut. Memang belum ba nyak dikemukakan mengenai kegagalan
tersebut, seperti diakui oleh salah seorang pelaku sejarah, yaitu Muhammad Noer, putra
Madura yang bekas Gunernur Jawa Timur.
Muhammad Noer menyayangkan kegagalan para pemuda di awal perang
kemerdekaan, untuk mengusai persediaan senjata dari arsenal angkatan laut Jepang di
Batu Poron, di seberang Tanjung Perak. Padahal pergudangan timbunan senjata itu
dikomandani oleh seorang kplonel, yang berarti bahwa gudang persenjama tersebut
dikawal oleh sekitar satu resimen tentara Jepang. Mungkin jalan sejarah perjuangan
Indonesia akan lain seandainya senjata-senjata Itu jatuh ke tangan kita sewaktu
menghadapi serbuan tentara Inggris pada pertemputan Surabaya 10 November 1945.
Demikian penuturan Muhammad Noer dalam diskusi sejarah lokal “Revolusi
Kemerdekaan 1945-1950” yang diselenggarakan baru-baru ini di Semarang.
Perang Surabaya itu kemudian menimbulkan berbagai sikap yang mendominasi
kalangan TKR, yang sebagaimana kita ketahui, telah mendirikan Markas Tinggi TKR di
Yogyakarta. Menurut doktrin TKR pada waktu itu, tentara akan mengikuti dua lini,
94
pettempuaan dan diplomasi.
Perdebatan yang timbul menyusul insiden berdarah di Surabaya itu ada dua. ikap
pertama beranggapan sudah waktunya mengobarkan pertempuran melawan Belanda
dengan jalan menciptakan "lebih banyak Surabaya". agar Belanda tidak mempunyai
waktu untuk mengonsolidasi kekuatannya. Sikap kedua beranggapan, tidak bijaksana
menciptacan "lebih banyak Surabaya", karena hanya menimbulkan kesan, bahwa
kekuatan tentara amat terbatas dalatn melakukan ofensi (Dr. TB.Simatupang. 1988).
Tampaknya strategi kedua yang dipilih oleh tentara, dengan iangkah- langkah
melakukan konsolidasi kekuatan, dan kalau perlu tentara meninggalkan kota-kota dan
menjalankan perang rakyat semesta di luar kota. Meskipun dernikian keterlibatan tentara
dalam perundingan sebelum Perundingan Linggarjati hanya terbatas pada perundingan
untuk mengadakan gencatan senjata. Karena itu menurut pengakuan Sirnatupang, dia
pernah menyertai Pak Dinaan atau Pak Urip ke Jakarta. Namun daalam perundingan
mengenai isi Persetujuan Linggarjati, TKR tidak dilibatkan.
Logika Clausewitz
Setiap pemimpm perang modern seIalu mengingat logika Clausewitz -seorang
pemikir strategi peren dari Austria. Menurutya kegiatan pertempuran tidak dapat
dilepaskan dari kegiatan perundingan. Tak ayal, perundingan- perundingan Linggajati,
Renville, atau KMB, diselenggarakan menynsul insiden-insiden berdarah berkepanjangan
di antara tentara pendudukan dengan perlawanan kaum gerilyawan.
Biasanya disela oleh tenggang waktu tertentu gencatan senjata. Hanyakadangkala
ada penampilan politikus yang tidak konsisten. Misalnya Amir Syafifildin yang
meskipun menandatangani Peijanjian Renville sebagai Perdana Menteri, namun waktu
memimpin oposisi melawan PM Bung Hatta, mencerca Perjanjian Renvrne.Insiden-
insiden berdarah ini oleh Belanda dikesankan sebagai permainan kanak-katiak yang
didalangi oleh segelintir kolaborator Jepang di yang didukung oleh "tekanan" TKR.
Inilah hakikat makna peristiwa 10 November1945, yang panlas disebut sebagai Hari
Pahlawan. (29)
95
(SUARA MERDEKA 9 November 1994)
96
KERANJANG DUA :.
HISTORIOGRAFI
A. KONSEPTUAL
97
1.. PENULISAN HADITS SEBAGAI HASIL KAJIAN SEJARAH
pendahuluan
Banyak anggapan bahwa bidang kajian agama (Islam) sering diasosiasikan dengan
dogma dan doktrin. Sampai sekarang, kita beranggapan pula bahwa sistematika penulisan
Qur'an bukan merupakan karya manusia, melainkan hasil petunjuk dari Malaikat Jibril
kepada Nabi Muhammad SAW ketika dilakukan review atas struktur dan isi Qur'an
menjelang akhir hayat Rasulullah.
Ketentuan itu mencakup tata urutan surat maupun ayat dalam setiap surat. Namun
sementara itu, kita yakin pula bahwa proses kodifikasi Qur'an merupakan hasil ijtihad
manusia, termasuk dalam hal-hal yang teknis sifatnya. Misalnya bahwa setiap ayat
disusun atas dasar persaksian para sahabat Nabi, berkenaan dengan potongan ayat yang
diakui pernah didengar dari Nabi ketika menyampaikan wahyu itu kepada para sahabat.
Dengan demikian, ada jaminan secara ilmiah mengenai kebenaran materiil yang
disampaikan dan yang selanjutnya ditulis sebagai Kitab Suci. Untuk itu, setiap pelapor
harus pula berani angkat sumpah yang disertai dengan dua saksi mata/telinga.
Dalam pada itu, Hadits yang diyakini sebagai sumber syariat Islam kedua
mengalami pula proses ilmiah dalam proses penyusunannya. Berbeda dengan proses
kodifikasi Qur'an yang dilakukan hanya beberapa tahun setelah Nabi wafat, tepatnya di
masa Khalifah Utsman, proses kodifikasi Hadits justru baru dimulai sejak abad ketiga
sepeninggal Nabi, yang berarti sudah tidak lagi ada saksi mata yang masih hidup. Tentu
saja, hal itu membawa implikasi dan konsekuensi mengenai otentisitas materi Hadits.
Ternyata, para ulama Hadits memiliki metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah karena telah dilakukan langkah-langkah yang sesuai dengan prosedur ilmiah yang
sangat canggih.
Berangkat dari anggapan bahwa penulisan Hadits tidak lain adalah juga penulisan
sejarah, maka harus dilakukan tinjauan atas dasar historiografi (ilmu penulisan sejarah)
98
kalau kita ingin membahas mengenai metode penulisan Hadits tersebut. Tulisan pendek
berikut ini merupakan upaya untuk melakukan pembahasan atas prosedur penulisan
Hadits yang sebenarnya terjadi, yang dilakukan para muhaditsin atau ulama ahli Hadits.
Kasus Mu'ad bin Jabal menunjukkan betapa penting kedudukan Qur'an dan Hadits
dalam kehidupan formal masyarakat beragama Islam. Dia adalah seorang calon gubernur
Yaman semasa hidup Rasulullah. Dalam pidato pelantikannya terjadilah dialog yang
terkenal itu.
"Dengan apa akan kau hukumi masalah-masalah yang akan kau hadapi nanti
dalam tugasmu, ya Mu'ad ?", tanya Rasulullah.
"Dengan Qur'an, ya Rasulullah".
"Kalau tak kau jumpai ayat yang relevan?"
"Saya akan menggunakan Sunahmu".
"Kalau tak kau jumpai juga sunahku yang relevan?"
"Akan saya gunakan ijtihad". Jawabnya tegas. Nabi membenarkan jawaban itu.
Ijtihad adalah studi atau telaah dengan mendasarkan pada apa-apa yang tersirat di
dalam Qur'an maupun Hadits dengan menggunakan nalar dalam melakukan studi
tersebut. Hadits ialah semua ucapan, perilaku, sikap serta sikap diam Rasulullah tentang
segala macam perilaku hidup yang menunjukkan ciri Islam. Jadi disini berlaku azas
argumentum ex silentio atau diam itu tanda seuiju. Sering pula istilah Hadits diganti
dengan Sunah, yang berarti perbuatan Nabi. Dan perbuatan atau sunah itu pastilah pernah
disaksikan oleh para sahabat, meskipun dimungkinkan terjadi subjektivitas dari pemberita
Sunah tersebut. Dalam literatur Barat seringkali digunakan istilah tradisi Islam atau
Tradition of Islam. Sedangkan Qur'an ialah semua perkataan atau firman Tuhan yang
disampaikan kepada Rasulullah dengan perantaraan Malaikat Jibril.
Sebagai firman Tuhan, maka Qur'an merupakan sumber hukum, sebagai tempat
orang Islam bertanya dalam memecahkan segala masalah kehidupan, baik dalam bidang
ritus peribadatan maupun bidang hubungan sosial atau mu`malah. Ini adalah sesuatu yang
mutlak, sebagai konsekuensi dari pengakuan diri bahwa "Tiada Tuhan melainkan Allah".
Selagi Nabi Muhammad masih hidup tidak ada kesukaran bagi umat Islam dalam
menafsirkan isi firman dalam Qur'an, karena Rasulullah adalah penafsir Qur'an yang
paling jelas. Tafsir itu kadangkala tercermin dalam sunah atau Hadits Nabi. Itulah
99
sebabnya, Hadits dianggap sebagai sumber hukum kedua. Semua masalah yang tak dapat
dipecahkan oleh umat dapat segera ditanyakan kepada Rasulullah. Kadangkala jawaban
atas pertanyaan umat itu datang berupa wahyu, yaitu berupa firman Tuhan, namun
kadangkala pula jawaban itu hanya berupa orientasi Rasulullah sendiri atas dasar nalar
beliau atau berupa wahyu yang tidak tersurat, dalam arti tidak sederajat dengan bunyi
Qur'an. Kadangkala kalau jawaban Rasulullah berupa Sunah itu tidak berkenan di sisi
Allah, maka segera Tuhan Allah memberikan koreksi berupa firman yang kemudian
daiang dalam kasus tersebut. Itulah sebabnya, umat Islam mempercayai penuh kedudukan
Hadits sebagai 'explanatory power' dalam masalah-masalah hidup umat Islam.
Kesulitan datang ketika kemudian Rasulullah wafat. Padahal, Nabi tidak pernah
memerintahkan untuk mengkodifikasikan segala firman Tuhan maupun Sunah beliau,
meskipun Nabitidak pernah pula melarang upaya beberapa pengikut beliau atau para
sahabat beliau untuk mencatat itu semua.
Mengenai usaha kodifikasi Qur'an tidak mengalami kesulitan, karena menjelang
wafat beliau telah mengadakan review atas isi Qur'an dihadapan para penghafal Qur'an
dengan bimbingan Malaikat Jibril. Kemudian usaha kodifikasi selengkapnya bisa
diselesaikan ketika belum lagi dua puluh tahun Nabi wafat, yaitu pada masa Khalifah
Utsman. Proses kodifikasi Qur'an dilakukan dengan teliti sekali di bawah panitia negara
pimpinan Harris bin Tsabit. Prosedur yang dilakukan adalah setiap orang yang mengaku
mengetahui atau hafal sepotong ayat dari Qur'an diberi kesempatan untuk
mengemukakannya di hadapan panitia tentang kapan dan di mana ayat itu didengar dan
bagaimana bunyi ayat tersebut. Pengakuan itu dikukuhkan dengan sumpah dan dengan
mengajukan paling sedikit tiga orang saksi mata. Hasil kodifikasi itu kemudian dituliskan
ke dalam enam buah naskah baku sebagai hasil kerja panitia negara tersebut dan
disebarkan ke berbagai wilayah kedaulatan Islam pada masa Khalifah Utsman tersebut.
Hasil kodifikasi itu dianggap sebagai naskah yang paling Sahih dan diyakini tidak akan
pernah berubah barang satu huruf pun sampai dunia kiamat (Tafsir Al Qur'an terbitan
Departemen Agama RI).
Masalah yang lebih menarik adalah berkenaan dengan proses kodifikasi Hadits.
Segi menariknya itu bukan saja timbul karena telah beredar berbagai Hadits palsu segera
setelah Nabi wafat, melainkan juga, dan lebih-lebih, karena proses itu telah memakan
100
waktu yang lama sekali, yaitu tidak kurang dari tiga abad setelah Nabi wafat. Selama
waktu itu terus terjadi proses-proses seleksi, interpretasi, dan sintesis sebelum akhirnya
tercipta Hadits yang dianggap baku (Hadits as 'written) itu. Sampai sekarang, Kitab Sahih
Bukhari-Muslim dianggap sebagai kitab yang paling sahih setelah Qur'an dan dianggap
sebagai Hadits yang baku. Akibatnya telah berkembang cabang disiplin tersendiri dalam
Islamologi, yang dikenal sebagai "Mustalahat al- Hadits", "Dirayat al- Hadits" atau
"Ushul al- Hadits" di samping cabang-cabang disiplin lainnya, seperti Ushul al-Fiqh,
Ilmu Kalam, Tarikh, Mantiq, Nahwu, Sharaf, Tafsir, Akhlaq, dan sebagainya.
Sebelum Ibnu Khaldun dikenal sebagai penganut kritisisme dalam ilmu sejarah,
seperti yang telah dinilai oleh Tucydides, seorang sejarawan di dunia Barat, para
Muhaditsin (ahli bidang Hadits) telah melakukan prosedur kritik dalam penulisan 'Hadits
sebagai fakta sejarah. Mereka mempersoalkan otentisitas (keaslian) dengan melakukan
kritik ekstern maupun kredibilitas atau kritik intern terhadap materi hadits (matan hadits)
maupun terhadap sumber (sanad), sebelum sesuatu hadits dapat digolongkan menjadi
"Hadits sahih, hasan ataupun dhaif, yang masing-masing merupakan kategorisasi Hadits
atas dasar kualitasnya sebagai sumber hukum.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai uraian pendek mengenai proses serta prosedur yang
telah dilampaui oleh para muhaditsin, yang dinilai mempunyai kualifikasi ilmiah yang
cukup sah. Mula-mula akan dipaparkan mengenai tahap-tahap penulisan Hadits,
kemudian mengenai kritik terhadap Hadits, yang kemudian disusul dengan uraian
mengenai kualifikasi Hadits. Kritisisme sebagai prosedur dalam penelitian dan penulisan
sejarah bukan merupakan barang baru, karena telah dipraktikkan sejak masa Tucydides.
Akan tetapi, pencantuman rentetan sumber berita (perawi Hadits) yang betul-betui pernah
berjumpa, yang hidup dari generasi ke generasi hingga sampai sumber utama, bagi setiap
hadits adalah sesuatu yang dapat dipeitimbangkan untuk dipergunakan dalam menguji
kredibilitas sumber sejarah. Di sinilah keunggulan para ahli Hadits dalam melakukan
studi sejarah secara kritis.
TAHAP-TAHAP PENULISAN HAD1TS
A. Tahap Pertama
101
Menurut Guillaume dalam ' Tradition of Islam', selagi Nabi masih hidup, beliau
merupakan satu-satunya pemimpin dalam segala hal, balk kerohanian maupun
keduniawian. Hadits atau tradisi dalam arti teknis dapat dikata baru timbul setelah beliau
meninggal (Maulana Muhamad All, 1977).
Semasa hidup Rasulullah sudah ada, kecenderungan menuliskan Hadits aupun
Qur'an, seperti dikatakan pada pendahuluan di muka. Terhadap hal itu, Nabi tidak pernah
bersikap melarang. Para sahabat Nabi (yaitu mereka yang memeluk agama Islam pada
masa hidup Nabi) biasa menuliskan ayat-ayat Qur'an maupun Hadits pada pelepah-
pelepah pohon kurma, kulit-kulit domba ataupun unta yang telah dikeringkan dsb. Akan
tetapi pada umumnya, mereka lebih suka menghafalkan kalimat-kalimat suci tersebut.
Kecenderungan terakhir ini didukung oleh kebiasaan atau tradisi mereka dalam
menghayati kesusasteraan mereka yang sangat bersifat oral (lisan). Mereka mengenal apa
yang dikenal sebagai kahin, yaitu seniman yang menyampaikan syair-syair secara lisan
(Hitti, 1960).
Abu Hurairah adalah seorang dari kelompok As-habus suffah,yang dianggap
sebagai orang yang paling banyak memberitakan Hadits. Oleh karena itu dianggap
sebagai sumber Hadits yang paling produktif. Keunggulannya itu diperoleh karena
kedudukannya sebagai salah seorang dari As-habus suffah tadi, yaitu sekelompok sahabat
Nabi yang karena kedudukan ekonominya yang amat sederhana, tidak mempunyai rumah
dan oleh karena itu mereka menempati sebagian dari serambi masjid di Madinah. Hidup
mereka teramat sederhana, akan tetapi mereka mempunyai kesempatan paling banyak
dalam berkonsultasi dengan Nabi, balk ketika Nabi memberlkan pengajian di serambi
mesjid maupun ketika Nabi menerima tamu. Akibatnya mereka mempunyai banyak
sekali kesempatan untuk merekam pendapat, sikap ataupun sikap diam Nabi dalan
menanggapi berbagai masalah hidup maupun keagamaan, yang notabene adalah Sunah
Nabi atau Hadits. Mereka juga bertugas untuk mengajarkan agama kepada para tamu
yang datang dari luar Madinah, yang pada waktu itu menjadi kota Nabi, yaitu Ibukota
Negara Islam pertama di dunia.
Sementara itu, Siti Aisyah sebagai istri Nabi juga merupakan orang yang banyak
sekali memberitakan Hadits, terutama mengenai masalah-masalah hidup yang sedikit
102
sekali disampaikan di luar lingkungan rumah tangga, maupun tentang segi kehidupan
yang pribadi namun harus diberitakan kepada umat. Beberapa sahabat Nabi lainnya yang
dianggap sebagai sumber primer dalam pengumpulan Hadits (data primer) ialah Umar
bin Khattab, Ibnu Umar, Abu Saad al- Khudri, Jabir Ibnu Abdullah. Pada saat itu, orang
masih selalu mengandalkan pada kemampuan hafalan dalam mengadakan koleksi Hadits.
Hampir semua Hadits disampaikan atau dikomunikasikan dengan jalan lisan, dari mulut
ke mulut.
B. Tahap Kedua
Tahap kedua dalam penulisan Hadits dimulai sejak Nabi wafat. Pada saat, itu
produksi Hadits sudah terhenti. Sementara itu, Nabi sebagai tempat menguji langsung
kebenaran sesuatu Hadits telah pula tiada. Dalam pada itu telah berkembang suatu
kecenderungan baru, yaitu lahirnya ribuan Hadits yang dijajakan sebagai Hadits asli,
padahal tidak jarang yang sama sekali tidak pernah keluar dari Nabi dan bahkan dapat
bertentangan dengan pendapat Nabi. Berbagai alasan yang dipergunakan oleh para
pengedar Hadits palsu itu adalah tingginya kredibilitas atribut Hadits bagi setiap
ungkapan ataupun pernyataan. Ini berarti bahwa umat sangat percaya pada setiap
ungkapan yang disebut Hadits. Hadits-hadits baru itu yang diintervensikan ke dalam
masyarakat Islam terdapat yang dikategorikan sebagai Kisah- kisah Israiliah, yaitu
ungkapan-ungkapan non Islam yang disebarluaskan oleh orang Yahudi atau bekas
penganut agama Yahudi (dan juga Nasrani) yang telah masuk Islam, baik dengan maksud
jahat maupun karena tidak sengaja dilakukan.
Dengan sendirinya, keadaan ini amat membingungkan umat. Sejak itu dilakukan
upaya seleksi interpretasi dan sintesis terhadap Hadits dengan cara yang lebih rumit.
Seperti halnya yang dilakukan dalam proses kodifikasi Qur'an, maka dalam masalah
penulisan Hadits pun mulai dilakukan syahadah atau persaksian dari sejumlah saksi mata
bagi setiap penemuan Hadits.
Kebutuhan akan Hadits yang asli sebagai pencerminan ajaran Islam yang murni,
lebih-lebih dibutuhkan karena masyarakat Islam telah makin berkembang dalam jumlah.
Orang-orang Islam baru, yang tidak sempat melihat atau tidak sezaman dengan
103
Rasulullah, menginginkan lebih banyak fakta tentang Nabi tersebut, maka usaha
penulisan sejarah Nabi pun mulai dirasakanperlunya. Untuk keperluan tersebut peranan
sangat besar dipegang oleh para sahabat yang dianggap amat berkompeten dalam hal
Hadits, yaitu Abu Hurairah, Siti Aisyah, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar,
Abdullah bin Amar, Anas bin Malik dsb. (Maulana Muhamad Alt, 1977).
Para penelaah Hadits kemudian melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai
tempat yang ada kalanya amat jauh dalam rangka mencari kesaksian para sumber primer
untuk memperoleh data primer sesuatu Hadits. Tidak jarang untuk memperoleh suatu
keyakinan tentang sahihnya sesuatu Hadits, para penelaah harus melakukan kunjungan
bolak-balik ke Kairo, Bagdad, Damaskus, Isfahan, dan sebagainya. Pendek kata, cara-
cara kritis dengan mengadakan wawancara langsung terhadap para saksi mata sebagai
sumber sejarah primer, sepeiti yang dilakukan oleh ahli sejarah Tucydides (Louis
Gottschalk, 1969), telah dilakukan oleh muhaditsin pada tahap ke dua ini. Pada tahap
inipun, mereka masih tetap mengandalkan pada kemampuan hafalan setiap saksi mata
(isnad). Bahkan, seluruh proses penulisan kembali Hadits amat tergantung pada
kemampuan hafalan seseorang yang dijadikan salah satu persyaratan menjadi seorang
perawi (pelapor Hadits) atau isnad (sumber Hadits).
C. Tahap Ketiga
Ketika generasi sahahat, yaitu generasi yang sezaman dengan masa hidup Nabi
dan yang sekaligus menjadi generasi saksi mata (termasuk mereka yang tidak beragama
Islam, tetapi diakui sah sebagai sumber primer) meninggal dunia, timbullah kesulitan
baru dalam proses pengumpulan Hadits. Kondisi ini mengawali tahapan baru dalam
proses penulisan Hadits tersebut, yaitu tahapan ketiga. Gejala menarik dalam periode ini
ialah, bahwa sumber Hadits telah ergeser dari yang bersifat perorangan ke perguruan-
perguruan, yang letaknya amat berpencar-pencar. Akibatnya, penelaahan Hadits telah
berpusat di pusat-pusat ilmu pengetahuan agama itu.
Di sana timbul unsur baru dalam bidang ilmu Hadits ini, yaitu unsur sanad. Sanad
adalah jamak dari isnad (sumber Hadits). Dalam Dirayat al Hadits istilah sanad
mengandung pengertian sebagai rangkaian sumber yang bertanggung jawab atas sesuatu
104
Hadits yang diberitakan. Kecenderungan untuk selalu memberitakan sesuatu Hadits itu
timbul sebagai akibat pesan Rasulullah (Hadits) di dalam khutbah terakhir dalam masa
hayatnya, yang berbunyi "Hendaklah orang yang hadir di sini menyampaikan amanat ini
kepada orang yang tidak hadir"(Bukhari-Muslim). Hadits tersebut merupakan stimulan
bagi setiap Muslim untuk selalu mengkomunikasikan setiap HaditsRasulullah di
manapun berada.
Sebagai akibat lanjut dari dimasukkannya unsur sanad itu, maka iperlukan catatan
mengenai rangkaian isnad atau sumber Hadits tersebut. Akan tetapi, materi Hadits tetap
dihafalkan oleh para sahabat yang masih hidup sepeninggal Nabi. Bagi orang Islam pada
waktu itu, hafalan tidak menjadi masalah, karena mereka sudah terbiasa dalam menghafal
Qur'an. Dalam sejarah tercatat Khalifah Umar bin Abdul Aziz (atau dikenal juga sebagai
Umar II) dari dinasti Umayah yang memerintah di Damaskus di sekitar tahun 90 Hijriah,
sebagai pejabat yang pertama kali memerintahkan untuk mengumpulkan Hadits secara
resmi dan kemudian menuliskannya. Akan tetapi, sejarah tidak mencatat sesuatu naskah
hasil kerja Khalifah tersebut. Barangkali hal tersebut disebabkan oleh pendeknya masa
pemerintahannya.
D. Tahap Keempat
Periode keempat ini merupakan periode di mana Hadits lebih serius
ditelaah di perguruan-perguruan. Penulisan Hadits mulai mantap dilakukan. Dalam
periode ini, rentetan perawi makin banyak diperoleh untuk setiap Hadits sehingga suatu
Hadits tertulis makin dirasakan perlunya. Dalam periode ini pula terbit sebuah Kitab
Hadits pertama yang beredar dan dijadikan buku teks dalam perguruan yang dipimpin
oleh penulis Hadits itu sendiri, ialah Imam Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij. Dia
hidup dalam pertengahan abad kedua Hijriah. Karyanya yang bernama Muwaththa’ itu
merupakan buku Hadits yang hanya berisi kehidupan Islam sehari-hari dalam
peribadatan. Jadi tidak mencakup berbagai masalah kehidupan manusia sebagai makhluk
sosial dan hamba Tuhan.
Secara metodologis, karya Bin Juraij tersebut sejajar dengan karya Bukhari, yaitu
dalam taraf kesahihan Hadits yang disampaikannya. Hanya pada karya Bin Juraij, sanad
105
yang dipergunakan ialah sanad orang-orang yang hanya melibatkan saksi mata
perorangan.
E. Tahap Kelima
Tahap ini berada pada sekitar abad ke tiga Hijriah dan telah menghasilkan karya-
karya besar Hadits. Cirinya terletak pada penulisannya yang mendasarkan pada faktor
sanad. Ini berarti mengusut sesuatu Hadits melalui serangkaian perawi atau para penutur
Hadits sampai pada mata rantai terakhir, yaitu Rasulullah sendiri. Biasanya pada saat itu
dijelaskan bahwa adalah Nabi “mengatakan sesuatu atau Nabi melakukan sesuatu”.
Dari jenis penulisan ini yang terkenal ialah ‘Kitab Musnad’karya Imam Ahmad
bin Hambal. Beliau adalah pendiri Madzab Hambali, salah sebuah dari empat madzab
dalam Islam. Dia hidup sekitar 164-241 Hijriah. Dia juga menulis jami', yaitu sebuah
himpunan Hadits lain. Musnad sendiri berisi 30.000 buah Hadits. Penults Hadits lain
yang tersohor ialah Muhamad bin' Ismail al- Bukhari (wafat 279 H.), Muslim (wafat 261
H.), Abu Dawud (wafat 275 H.), Turmudzi (wafat 279 H.), Ibn Majah (wafat 283 H.)
serta Nasa’i (wafat - 303 H.).
Kitab-kitab tersebut telah disusun menurut bab-bab yang didasarkan pada
permasalahan secara sistematis. Dalam urutan penulis Hadits yang terkenal, Bukhari
menempati kedudukan paling atas dalam kelompok Hadits yang paling sahih. Kelompok
itu terdiri dari enam buah buku Hadits hingga dikenal sebagai Kutub as Sittah (Kitab
yang enam), sedangkan kelompok Hadits yang mendapat rekomendasi oleh kedua penulis
Hadits terke- muka Bukhari dan Muslim dikenal sebagai As Sahihani atau Dua Yang
Sahih. Kelebihan Bukhari dalam penulisan Hadits terletak pada beberapa hal-hal sebagai
berikut:
1. Dia adalah penulis Hadits yang menggunakan model yang termasuk modern,
yaitu menggunakan kritik ekstern de- ngan cara menguji otentisitas matan
(keaslian materi Hadits) dan kritik intern dengan menguji kredibilitas sanad (bisa
dipercayanya sumber Hadits). Model tersebut kemudian diikuti oleh para penulis
Hadits berikutnya.
106
2. Dia hanya mau menerima kesahihan sesuatu Hadits kalau ada suatu bukti, bahwa
antara perawi yang mendahului dan yang berikutnya dalam satu rangkaian perawi,
betul-betui pemah hertemu dan tidak hanya dinyatakan hidup sezaman. Kecuali
itu para perawi tersebut betul-betul dapat dipercaya, tidak pernah berbohong. Di
samping itu, perawi harus masih sehat akal dalam artian tidak pikun.
3. Dia mempunyai ketajaman otak lebih dibanding dengan rekan-rekannya sesama
ahli Hadits. Dia hafal di luar kepala tidak kurang dari 200.000 buah Hadits,
lengkap dengan rangkaian sanad-nya.
4. Dalam setiap bab yang penting dalam Kitab Haditsnya, selalu didahului kutipan
sebuah ayat Qur'an yang dianggap relevan. Qur'an itu dianggap sebagai batu uji
bagi kesahihan Hadits.
Akibat proses seleksi tersebut, Bukhari hanya berhasil membukukan idak lebih
dari 7.397 buah Hadits yang dikategorikan sahih, dari 600.000 buah Hadits yang berhasil
dihimpunnya, seperti disebutkan di atas. Sejumlah 200.000 buah di antaranya dapat
dihafalnya di luar kepala. Ini berarti bahwa sebagian besar Hadits yang ada masih
diragukan kesahihannya, menurut Guillaume. Sedangkan menurut Muir dalam 'Life of
Mahomet' atau 'Riwayat Muhammad', bahkan hanya 4000 buah Hadits yang dianggap
betul-betul mempunyai sumber yang dapat dipercaya. Perlu diingat bahwa jumlah yang
600.000 itu tercapai karena banyak Hadits yang karena perbedaan isnad, meskipun
matannya sama, kemudian dinyatakan Hadits berdiri sendiri. Karya Hadits terbesar dalam
sejarah ini dianggap sebagai ‘masterpiece’, sehingga dapat disebut pula sebagai kitab
yang paling sahih setelah Qur'an.
Seorang ulama Islam terkenal bernama Ibnu Taimiyah mengatakan: "Tak ada di
bawah kolong langit ini sesuatu kitab yang lebih sahih daripada Al- Bukhari dan Muslim,
sesudah Al-Qur'an" (Hasbi Ash Shiddieqy, 1976). Kitab tersebut diselesaikannya dalam
16 tahun, dengan melakukan sembahyang sunah dua rakaat setiap menyelesaikan sebuah
Hadits. Dengan diterbitkannya Kitab Sahih Bukhari-Muslim itu, maka sebetulnya
selesailah tahapan-tahapan penulisan Hadits. Setelah masa itu hampir tidak terdengar lagi
usaha untuk menguji kesahihan kedua karya besar tesebut dalam ilmu Hadtis. Jadi, umat
Islam sekarang cenderung merasa puas kalau untuk menyelesaikan masalah-masalah
107
kehidupan duniawi maupun keagamaan mereka, karena tinggal berkonsultasi pada kitab-
kitab Hadits tersebut.
Sebuah perguruan yang terkenal dengan nama Darul Hadits, yang mempunyai
cabang pula di Indonesia, mempunyai tuntutan agar setiap pengajar Hadits, kapan dan di
manapun kini mengajar, harus dapat menunjukkan kedudukannya dalam rangkaian
perawi sejak penyusun sesuatu kitab Hadits. Rangkaian tersebut harus berupa hubungan
guru-murid. Di Indonesia, perguruan ini tidak banyak mempunyai penganut karena
dianggap terlalu pelik. Sementara itu, aliran Syiah, seperti yang secara mayoritas dianut
di Iran, mempunyai Kitab Hadits sendiri yang bersifat eksklusif. Mereka tidak mengakui
setiap Hadits yang tidak diriwayatkan oleh penganut aliran tersebut, yaitu Syiah, yang
dianggap pewaris sah darah kenabian karena merasa menjadi keturunan Sayidina Ali
yang menjadi Khalifat ke empat, pengganti Khalifah Utsman. Sebaliknya, semua ulama
Hadits di luar penganut Syiah telah menpersyaratkan "bukan penganut Syiah" bagi setiap
sanad yang dianggap sahih karena dianggap tidak mempunyai kredibilitas tinggi sebagai
perawi Hadits. Ini merupakan konsekuensi dari sebuah friksi dalam agama yang
mempunyai latar belakang politik.
KRITIK TERHADAP HADITS
Sebagaimana setiap penulisan sejarah yang ingin menyajikan kebenaran sejarah
seobjektif mungkin dan seotentik mungkin, maka para muhadisin telah melewati proses
seleksi, interpretasi, dan sintesis dalam menyusun kembali Hadits. Prosedur yang diikuti
dengan mengikuti dua jalur, yang masing-masing mengikuti pengujian atas sanad
(sumber Hadits) dan atas matan (materi Hadits). Jauh sebelum Ibn Khaldun, yang dinilai
oleh para orientalis sebagai sarjana Muslim yang menggunakan kritik sejarah dalam
mencari kebenaran, para muhaditsin beberapa abad sebelumnya telah mengikuti jejak
Tucydides dalam menelusuri jejak-jejak sejarah guna mendapatkan kepastian mengenai
sesuatu fakta dengan konsep ilmu penulisan sejarah yang dikenal di negeri-negeri Barat.
Metodologi penulisan Hadits ini akan didekati sehingga diharapkan akan diperoleh
gambaran yang lebih konsepsional. Beberapa istilah mungkin terasa dipaksakan dan ini
sulit dihindari.
108
A. Kredibilitas atau Kritik Intern
Masalah isnad atau rangkaian perawi yang dianggap sebagai
rangkaian mata rantai penanggung jawab kesahihan sesuatu Hadits menjadi salah satu
aspek penting dalam upaya pengujian Hadits. Ini muncul ketika Hadits telah menjadi
bahan diskusi dalam perguruan-perguruan Islam pada awal generasi tabi‘in, yaitu ketika
generasi sahabat telah meninggal. Tabi‘in ialah generasi yang tidak sezaman dengan
masa hidup Nabi. Setiap orang yang mengaku memiliki sebuah berita berupa Hadits
harus dipersoalkan dari mana Hadits tersebut diperoleh. Dan selanjutnya dipertanyakan
pula dari mana si pemberita sebelumnya itu mendapatkan Hadits serta dengan cara
bagaimana berita tersebut diperoleh. Rangkaian pemberita itu harus ditelusuri hingga
diketemukan mata rantai terakhir yang mendapatkannya dari Rasulullah. Ini menyangkut
masalah kedudukan seorang perawi dalam rangkaian isnad dan menyangkut kualitas
isnad itu sendiri. Segi lain yang dipermasalahkan ialah kualitas perawi itu sendiri
dipandang dari segi materiil maupun intelegensia serta agama, yaitu tentang bagaimana
kualitas iman, hubungan antar manusia
serta kemampuan hafalan seorang perawi. Setiap ulama Hadits mempunyai kriteria
sendiri dalam memberikan penekanan serta penilaian tentang aspek-aspek persyaratan
yang dipergunakan. Akan tetapi, pada dasarnya secara garis besar di antara mereka
mempunyai kesamaan.
Dalam buku Tradition of Islam, Guillaume mengatakan bahwa penyelidikan perlu
dilakukan terhadap tabiat para perawi, apakah mereka benar-benar memuaskan
dipandang dari sudut moral dan agama. Misalnya, apakah mereka dinodai dengan ajaran
yang menyimpang dari agama, apakah mereka mempunyai reputasi kerakusan atau
mempunyai kemampuan untuk menyampaikan apa yang mereka dengar? Akhirnya
mereka harus sanggup berdiri sebagai saksi yang kesaksiannya akan diterima oleh
pengadilan (Maulana Muhamad Ali, 1977).
Pada garis besarnya dapat disebutkan beberapa persyaratan untuk
mempertimbangkan kredibilitas sumber Hadits bila dilakukan kritik atas dasar intern
109
terhadap rangkaian sumber Hadits sebagai berikut, seperti dikemukakan dalam buku
Maulana Muhamad Ali juga:
1. Para perawi memiliki sifat adil, yaitu orang yang ucapan serta keputusannya dapat
dipercaya atau orang yang tak mau menyimpang Dari jalan benar.
2. Para perawi memiliki kualitas tammuddlabihi, yaitu mampu menangkap dan
merawat sesuatu Hadits dengan hafalan yang baik.
3. Para perawi harus dalam keadaan muttashilus sanad, yakni mengalami kontak
fisik secara langsung. Artinya antara seorang perawi terdahulu dengan perawi
berikutnya harus pemah hertemu dan tidak sekedar pernah hidup dalam satu
zaman tertentu yang sama.
Bukhari dan Muslim tidak sepakat dalam persyaratan muttashilus sanad, dalam
artian pandangan mereka berbeda. Bukhari amat menekankan perlunya ada pertemuan
bermuka-muka di antara dua rawi yang disebutkan berurutan, sedangkan Muslim
menganggap cukup kalau seorang perawi memperoleh berita itu dari guru yang pernah
bertemu dengan perawi yang dimaksud. Di sini tampak bahwa Muslim amat menekankan
adanya kepercayaan pada guru, yang dinilai dapat dipercaya karena kedudukannya
sebagai ulama pengajar.
Kemudian perlu dikemukakan bahwa ada beberapa cara untuk mengetahui
kualitas serta kredibilitas seorang rawi. Untuk menguji sifat adil misalnya, Hasbi Ash
Shiddieqy mengemukakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mengacu pada daftar yang telah disusun oleh para ulama ahli Hadits, berdasarkan
penilaian masyarakat terhadap reputasi atau nama baik seseorang. Pada umumnya
disepakati bahwa hampir semua sahabat Nabi dikualifikasikan sebagai bersifat
adil.
2. Dengan menerima persaksian paling tidak dua orang anggota masyarakat tentang
sifat perawi yang dimaksud untuk menguji apakah seorang perawi itu dhabith
atau kokoh ingatannya atau tidak, antara lain dilakukan sbb.: (Hasbi Ash
Shiddieqy,1958)
110
3. Membandingkan riwayat atau Hadits yang dimaksud dengan riwayat atau Hadits
yang diberitakan oleh sumber lain. Dengan kata lain juga dilakukan cara mengacu
pada sumber yang dianggap lebih kokoh ingatannya.
4. Mengadakan diskusi dengan tokoh tersebut. Dengan kata lain dapat diketahui
relevansi dengan sumber yang lebih tinggi, konkordansi dengan Hadits yang
diriwayatkan orang lain serta konsistensi dengan Hadits yang diberitakan sendiri.
Untuk menguji kualitas muttashilus sanad, yaitu persambungan antara Sumber
satu dengan lainnya, diperlukan pengujian yang rumit dan ketekunan yang tinggi. Dalam
hal ini asas argumentum ex silentio tidak berlaku, sebab yang diperlukan adalah
kepastian bahwa seseorang betul-betui pernah bertemu. Jadi tidak berarti bahwa karena
tidak ada sanggahan, maka berita yang disampaikan seorang perawi dengan sendirinya
diakui kebenarannya.
B. Otentisitas atau Kritik Ekstern
Wafatnya Nabi telah menyebabkan makin membengkaknya Hadits tidak saja
dalam jumlah, melainkan lebih-lebih dalam isinya yang amat bervariasi. Dalam bukunya
yang terkenal 'Mukaddimah'', Ibn Khaldun mengatakan bahwa bangsa Arab adalah
bangsa yang ummi atau buta tulis-baca. Mereka tidak mempunyai perpustakaan maupun
ilmu pengetahuan. Untuk mengetahui lebih banyak rahasia alam, mereka menanyakannya
kepada para Ahli Kitab, yaitu penganut agama Nasrani maupun Yahudi. Meskipun
demikian, pengetahuan orang Nasrani dan Yahudi itu tetap seperti orang awam sehingga
ketika mereka akhirnya berpindah agama menjadi Islam, mereka tetap mempercayai
kepercayaan lama. Dari sanalah asal-mula timbulnya gejala intervensi 'kisah-kisah
Israiliah' ke dalam kepercayaan Islam. Akibatnya tafsir Qur'an dan Hadits Nabi amat
banyak dipenuhi kisah-kisah Israiliah itu (Maulana Muhamad Alt, 1977).
Akibatnya diperlukan upaya yang serius untuk membersihkan segala Intervensi
itu. Lebih-lebih manakala terdapat pula gejala kesengajaan untuk memasukkan Hadits-
hadits palsu berupa berbagai ungkapan yang sama sekali tidak pernah di sebutkan oleh
Rasulullah. Jadi, masalah yang timbul ialah bagaimana menemukan Hadits-hadits yang
dapat dianggap otentik, yaitu Hadits yang betul-betui pernah dikatakan oleh Rasulullah
111
atau betul-betui merupakan sikap Rasulullah. Kritik ekstern dimaksudkan untuk menguji
kesahihan sesuatu Hadits berdasarkan analisis terhadap matan atau materi Hadits.
Dalam historiografi dikenal beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
mengadakan kajian bagi otentisitas sesuatu materi sejarah. Mula-mula harus diperhatikan
faktor anakronisme (ketidakcocokan waktu), yang meliputi bahan yang dipergunakan
untuk menuliskan sesuatu dokumen, seperti kertas, mesin ketik, alat tulis yang
dipergunakan dsb. Anakronisme itupun meliputi gaya bahasa, gaya tulisan, idiom
maupun masalah yang diungkapkan dalam materi sejarah tersebut. Untuk mencapai
akurasi sangat dibutuhkan beberapa ilmu bantu, seperti filologi, ilmu kimia, ilmu
sosiologi, dan sebagainya. Dalam filologi dikenal prosedur yang dikenal dengan kritik
teks (Louis Gottschalk, 1975). Di kalangan para muhaditsin juga dikenal beberapa
ketentuan yang digunakan dalam mengadakan pengujian terhadap kesahihan sesuatu
Hadits berdasarkan kritik terhadap materinya Kita mengenal, misalnya, Syah Abdul Aziz
yang dalam bukunya Ujalah Nafi'ah, yang telah berhasil menyimpulkan berbagai
ketentuan yang biasa dipergunakan oleh para muhaditsin dalam menyeleksi Hadits.
Menurut ketentuan itu, sesuatu Hadits tidak boleh diterima (tidak sahih) kalau keadaan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. jIka Hadits tersebut bertentangan dengan fakta-fakta sejarah.
2. Jika Hadits tersebut diriwayatkan oleh orang Syiah maupun orang Khariji dan
Hadits tersebut berisi cercaan terhadap keluarga Nabi. Akan tetapi bila Hadits
tersebut mendapat penguatan (konfirmasi) berdasarkan kesaksian yang tidak
memihak, maka Hadits tersebut dapat diterima.
3. Jika Hadits tersebut bersifat mewajibkan umat untuk mengetahui serta
engamalkannya padahal Hadits hanya diberitakan oleh seorang perawi (tidak ada
korporasi) atau Hadits ahad (tunggal perawi).
4. Jika dapat dibuktikan bahwa Hadits tersebut sengaja dibuat- buat.
5. Jika Hadits tersebut bertentangan dengan akal sehat atau bertentangan dengan
ajaran ajaran Islam yang jelas.
6. Jika Hadits tersebut menguraikan sesuatu peristiwa, yang jika peristiwa tersebut
sungguh-sungguh terjadi, niscaya peristiwa itu diketahui dan diceritakan oleh
orang banyak, padahal orang banyak tidak bercerita tentang kejadian tersebut.
112
Jika masalah maupun kata-kata yang digunakan artinya kata-katanya cocok
dengan idiom Arab atau masalah yang diceritakan tidak pantas dengan martabat
Nabi.
7. Jika Hadits itu berisi ancaman hukuman berat atas perbuatan dosa biasa dan berisi
pemberian ganjaran besar atas amal yang tidak begitu besar.
8. Jika Hadits itu menerangkan pemberian ganjaran oleh Nabi kepada orang yang
berbuat baik.
9. Jika ada pengakuan bahwa Hadits itu dibuat-buat belaka.
Aturan semacam itu secara eksplisit tercantum dalam buku Maudhuat karya
Mullah Ali Qari, Fathul Mughit karya Ibn al-Jauzi serta Nuzhat al-
Nazhar karya Ibnu Hajar (Maulana Muhamad Alt, 1977).
Akhirnya sebagai batu uji terakhir dari setiap Hadits ialah ayat Qur'an. Sebuah
Hadits yang bertentangan dengan isi Qur'an dengan sendirinya tidak dapat diterima
kesahihannya, meskipun Hadits itu menurut pertimbangan sanad-nya. sangat memenuhi
syarat (sahib sanad-nya). Itulah sebabnya, hampirpada setiap awal bab pada Kitab
Haditsnya, Bukhari mencantumkan ayat Qur'an yang relevan sebagai tempat Hadits itu
mengacu.
Sekedar beberapa contoh akan dicantumkan beberapa buah Hadits yang tidak
diterima oleh muhaditsin atas pertimbangan persyaratan tersebut di atas, sebagai berikut:
1. Buah terong itu adalah penawar segala penyakit.
2. Sesungguhnya Allah menciptakan kuda betina, lalu Dia memacunya, rnaka
berpeluhlah kuda itu. Maka Allah menciptakan diri-Nya dari kuda itu.
3. Memandang warna hijau adalah suatu ibadat.
4. Barang siapa memelihara ayam putih, niscaya tak akan didekati setan.
5. Umur dunia adalah 7000 tahun.
6. Sesungguhnya bahtera Nuh bertawaf tujuh kali keliling Kabah, dan
bersembahyang dua rakaat di Maqam Ibrahim.
7. Anak zina tidak masuk sorga hingga tujuh keturunan.
8. Barang siapa mempunyai anak dan dinamakannya Muhamad, maka dia dan
anaknya masuk sorga.
113
9. Barang siapa bersembahyang dhuha sekian rakaat, niscaya diberi pahala tujuh
puluh Nabi.
10. Barang siapa membaca kalimat La ilaha illallah, niscaya dijadikan Allah
Untuknya seekor burung yang mempunyai tujuh puluh lidah. Pada setiap lidah
ada tujuh puluh ribu bahasa yang memohon ampun kepada
Allah untuk orang itu.
Dan masih ratusan ribu lagi Hadits yang sebenarnya bukan Hadits yang
dianggap telah diintervensikan ke dalam khazanah Hadits yang seringkali membaur ke
dalam kepercayaan umat Islam yang tidak kritis.
KUALIFIKAS1 HAD1TS
Ketekunan dan kesabaran para ahli Hadits sepanjang beberapa generasi telah
berhasil menginventarisasikan, menyeleksi dengan jalan melakukan pengujian atau kritik
intern dan ekstern, memberikan penilaian atas dasar kualitas otentitas maupun kredibilitas
sumber, mengadakan klasifikasi secara sistematis, dan akhirnya membukukan hasil
penelaahan mereka dalam kitab Hadits terkenal.
Proses seleksi, interpretasi, dan sintesis telah dijalankan oleh muhaditsin bagaikan
para ahli historiografi melaksanakan tugas mereka dalam menyusun sejarah dalam arti
subjektif atau lebih dikenal dengan nama "history as written". Demikian pula, para
muhaditsin telah secara subjektif menghasilkan berbagai "Hadits as written", atau Hadits
sebagaimana tertulis, artinya bukan
Hadits sebagaimana sesungguhnya terjadi. Harus dipahami bahwa Hadits atau sejarah
sebagaimana terjadi (as a fact) hanya Tuhan yang tahu.
Berikut ini merupakan sistematika hasil kualifikasi dan klasifikasi Hadits yang
dikemukakan secara singkat dan mengambang, dalam arti tidak njlimet dan mendalam.
A. Kualifikasi Dikhotomis
Karya pertama yang besar sumbangannya dalam ilmu Hadits adalah
keberhasilan para muhaditsin mengelompokkan berbagai Hadits yang bergalau dalam
masyarakat Islam, menjadi dua secara hitam-putih. Di satu pihak terdapat Hadits yang
114
betul-betui Hadits dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya dalam hal sanad serta
matannya. Dan di lain pihak terdapat apa yang dikenal sebagai Hadits palsu. Itu adalah
Hadits yang disebut maudhu'. Para muhaditsin menyebutnya Hadits yang dibikin-bikin,
yang menjadi gugur karena kepalsuan dan kebohongan perawi-nya. Ungkapan-ungkapan
itu datang bukan dari Rasulullah, melainkan yang sengaja diintervensikan dengan
berbagai maksud dengan mengandalkan pada legalitas Hadits Rasulullah. Ternyata ada
beberapa motif yang mendorong perbuatan orang emalsukan Hadits itu, yang menurut
penelitian dapat digolongkan:
1. Mencemarkan agama Islam yang dilakukan oleh "kaum zindiq" , yaitu mereka
yang tak menyenangi Islam.
2. Memalsukan Hadits untuk tujuan mengokohkan sesuatu ungkapan atau pendapat
mereka dengan membonceng pada legalitas Hadits.
3. Untuk memikat hati para pendengar yang dilakukan oleh para juru cerita atau
kahin.
4. Untuk mengambil hati para penguasa negara oleh para ulama tertentu dalam
"melegalisasikan" beberapa kegemaran dan kebaikan para penguasa.
5. Untuk mendapat legalitas agama bagi fatwa atau ajaran yang tak berdasar agama.
6. Untuk mendapat legalitas agama bagi cerita-cerita Israiliah.
7. Untuk mendapatkan legalitas agama yang dilakukan oleh kaum 'vested interest'
dari kalangan kelompok politik, etnis, dan sebagainya (Hasbi Ash Shidieqy,
1976).
B. Kualifikasi yang Mempunyai Implikasi Hukum
Penilaian terhadap Hadits yang diperkirakan atau bahkan diyakini sebagai Hadits
yang datang dari Rasulullah yang dilakukan dengan kriteria yang terdapat dalam prosedur
kritik intern maupun ekstern seperti tersebut di muka akhirnya membagi Hadits ke dalam
tiga kelas. Ketiganya didasarkan atas derajat kualifikasi kecocokannya dengan
115
persyaratan yang dituntut hagi kesahihan suatu Hadits. Ketiga kelas itu yakni sahih,
hasan, dan dhaif.
1. Hadits Sahih
Suatu Hadits dapat digolongkan menjadi berkualitas sahih (valid) atau benar kalau
Hadits tersebut memenuhi persyaratan yang dituntut bagi keotentikan matan maupun
kredibilitas sanad. Salah sebuah takrif (definisi) mengatakan bahwa Hadits disebut sahih
kalau Hadits tersebut terjamin lafal (ejaan)-nya dan keburukan susunannya, terjamin
maknanya dari menyalahi yat atau berita mutawatir, dan isnadnya bersambung-sambung
dengan orang yang adil serta kuat ingatannya (Hasbi Ash Shiddieqy, 1976). Ini berarti
sahih matan maupun sanad-nya. Yang dimaksud dengan berita mutawatir ialah berita atau
Hadits yang sangat tinggi mutu sanad-nya, karena diberitakan oleh banyak sekali jalur
isnad atau rangkaian perawi. Paling sedikit ada sepuluh isnad yang semuanya mempunyai
kredibilitas tinggi, baik pada generasi sahabat, tabi'in maupun tabi'in at-tabi'in. Hadits
yang demikian ini sudah terjamin kesahihannya.
Selanjutnya Hadits sahih masih dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan
lain, yaitu sahih li dzatihi (sahih dengan sendirinya) dan li ghairihi (sahih karena unsur
lain). Yang dimaksud dengan Hadits sahib li dzatihi ialah Hadits yang betul-betui sahih
dengan sendirinya, tanpa bantuan unsur lain. Hadits ini memenuhi persyaratan sebuah
Hadits sahih seperti: sanad-nya bersambung-sambung tanpa ada mata rantai yang
digugurkan, terjamin dari menyalahi ayat, diberitakan oleh perawi yang adil dan sangat
kuat ketekunan dan daya ingatnya. Manakala salah sebuah persyaratan itu tak dipenuhi,
akan tetapi diimbangi dengan banyaknya jalur isnad yang ikut memperkuat, maka Hadits
tersebut menjadi berkualitas sahih li Ghairihi, yaitu karena bantuan dari unsur baru.
3. Hadits Hasan
Sebetulnya kualifikasi hasan dalam llmu Hadits merupakan hal yang baru, karena
semula hanya ada dua pembagian, yaitu yang sahih dan yang dhaif (lemah, tidak sahih).
116
Ini menunjukkan adanya moderasi dalam pembagian mutu Hadits yang tergolong hasan.
Karena ia berada di antara yang sahih dan yang dhaif, yaitu manakala salah satu dari
persyaratan Hadits sahih tidak dipenuhi. Begitu ada unsur yang dapat mengimbangi atau
menutupi kekurangan itu dengan unsur lain yang lebih ketat, maka naiklahkelas Hadits
tersebut menjdi sahih li ghairihi.
Terhadap Hadits hasan-pun dilakukan pengelompokan menjadi dua, yaitu hasan li
dzatihi dan hasan li ghairihi. Kalau mutu hasan itu datang, dengan sendirinya akan
disebut hasan li dzatihi. Sebaliknya kalau mutu hasan itu terjadi akibat adanya imbangan
dari unsur baru yang lebih kuat, akan disebut hasan li ghairihi.
3. Hadits Dhaif
Hadits yang memiliki derajat kesahihan rendah sekali disebut Hadits yang lemah
atau dhaif, artinya sangat lemah sebagai bahan argumentasi dalam pengambilan hukum.
Ini terjadi karena Hadits itu memiliki lebih banyak persyaratan, yaitu ditolak sebagai
Hadits sahih. Sebagian kecil saja persyaratan dapat dipenuhi. Begitu rendahnya
derajatnya hingga tidak dapat dicapai kualifikasi hasan-pun. Hal ini terjadi pertama-tama
karena terdapat perawi yang gugur atau dinyatakan gugur karena tidak memenuhi syarat
sebagai perawi.
Bila perawi yang gugur berada pada awal sanad, disebut mu'alaq, yaitu perawi pada
generasi sahabat. Sedangkan sebutan Hadits yang mursal, kalau perawi yang dinyatakan
gugur berada pada generasi tabi'in. Bila perawi yang gugur itu berada secara berantai
dalam rangkaian isnad, maka dinyatakan sebagai Hadits mu'dal, tetapi bila perawi yang
dinyatakan gugur itu tidak beriringan, meski lebih dari satu, dinyatakan sebagai munqathi
Selanjutnya Ibn Hajar dalam kitab Nuzhatun Nashar menyebutkan beberapa kelas Hadits
dhaif berdasarkan jenis atau derajat cacat yang dihubungkan dengan perawi. Disebutkan
antara lain:
a. Hadits yang dhaif karena terbukti perawi telah mendustakan Hadits tersebut
disebut maudhu' (tidak terpakai/ditolak).
b. Hadits yang cacat karena perawi tertuduh dusta, dinamai matruk (ditinggalkan
atau tidak dipedulikan).
117
c. Hadits yang cacat karena perawi banyak berbuat kekeliruan disebut munkar
(salah, tak sesuai).
d. Hadits yang syad atau mahfudh, yaitu bila isi beritanya tidak mendapat penguatan
dari yang lain, atau tidak mendapat konfirmasi.
e. Hadits yang disebut mu'allal atau yang sakit, karena adanya beberapa cacat yang
tidak jelas.
f. Hadits yang makluh atau dijungkirbalikkan susunan sanad hingga bersifat
anakronis.
g. Hadits yang bernama mudraj, yaitu Hadits yang mendapat berbagai tambahan
atau sisipan kata.
h. Dan masih banyak lagi golongan Hadits (Habsi Ash-Shidieqy, 1976).
1. Implikasi Hukum
Tidak terdapat kesepakatan di antara para ulama Hadits mengenai derajat
kekuatan masing-masing Hadits tersebut sebagai hujjah (argumentasi) dalam menentukan
hukum sesuatu perbuatan. Sedangkan terhadap hadits sahih tidak terdapat perselisihan
paham betapa kuatnya hadits sahih sebagai pedoman dalam menentukan hukum sesuatu
perbuatan (sebagai hujjah). Perselisihan timbul manakala mereka membicarakan Hadits
yang hasan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa Hadits hasan dapat dipergunakan
sebagai hujjah dalam membuat dalil. Sebaliknya sebagian lagi beranggapan bahwa hanya
yang sahih saja yang dapat dipergunakan sebagai landasan hukum setelah Qur'an.
Dalam hal Hadits dhaif-pua, perselisihan pendapat itu terus berlangsung, tentang
apakah Hadits dhaif dapat atau tidak dipakai sebagai landasan pengambilan hukum.
Sebagian ulama menganggap bahwa Hadits dhaif dapat saja dipergunakan sebagai hujjah
dalam menentukan hukum, asal tidak menyangkut akidah atau keyakinan. Jadi, hanya
yang menyangkut masa lalu perbuatan baik-buruk. Sebaliknya kelompok ulama yang
lebih keras berpendapat bahwa hanya Hadits sahih yang boleh dipakai sebagai hujjah
dalam mengambil setiap keputusan agama.
C. Kualifikasi Didasarkan atas Sanad
118
1. Hadits Mutawatir
Ada fakta yang diperoleh karena menghayati secara langsung sebagai saksi
kuping maupun ada fakta yang diperoleh dari tangan kedua (data sekunder). Sebuah fakta
atau berita (Hadits) yang dibawakan atau diberitakan oleh sejumlah saksi mata dan di
antara mereka tidak ada kemungkinan terjadi suatu persekongkolan untuk menyatakan
kebohongan akan membuat mutu fakta tersebut menjadi sangat meyakinkan (signifikan).
Para muhaditsin menyebutnya sebagai mencapai taraf yaqin. Hadits yang demikian itu
disebut sebagai Hadits mutawatir. Gejala korborasi itu selanjutnya juga terdapat pada
perawi tingkat ke dua pada generasi tabi'in. Ini menyebabkan tingkat mutawatir itu naik.
Terhadap Hadits mutawatir para muhaditsin bersepakat untuk memasukkannya ke
dalam Hadits yang sahih dengan sendirinya, karena amat meyakinkan sifat sahih-nya.
Terhadap Hadits jenis itu tidak lagi perlu dilakukan pengujian atas otentisitasnya,
sebagaimana orang tidak meragukan lagi kebenaran atau otentiknya ayat Qur'an setelah
dilakukan pengujian sanad dengan persaksian. Di sini tidak pula dilakukan. Persaksian
karena adanya korborasi atau pengakuan dari banyak sekali sumber pada generasi sahabat
tentang kebenaran matan tersebut. Pada dasarnya tak ada batas jumlah sumber dalam
korborasi itu, namun biasanya dianggap cukup kalau terdiri dari 10 saksi mata atau lebih.
Selanjutnya para muhaditsin mengelompokkan Hadits mutawatir menjadi tiga
kelas mutawatir lafdhi, mutawatir ma'nawi, dan mutawatir 'amali. Disebut Hadits
mutawatir lafdhi manakala seluruh lafal secara harfiah tidak berbeda pada Hadits hadits
yang diberitakan oleh banyak sekali PErawi.
HadiTs mutawatir ma'nawi dimaksudkan untuk Hadis yang meskipun lafalnya
tidak sama benar, tetapi mempunyai makna atau arti yang bersamaan. Perlu diketahui
bahwa berbeda dengan Qur'an yang setiap penukilan tidak boleh berbeda satu hurufpun,
maka Hadits dapat dinukil (dikutip) tidak usah dengan kalimat yang sama persis.
Sedangkan yang disebut sebagai Hadits mutawatir 'amali ialah Hadits yang telah
dilaksanakan oleh baik Nabi atau umat secara nyata. Jadi dalam hal ini semua umat telah
mengamalkan Hadits tersebut dalam perbuatan.
119
2. Hadits Ahad
Pembagian ini bertumpu pada gradasi saja dari jumlah saksi mata yang enjadi
sumber berita. Hadits yang diberitakan oleh sekelompok saksi mata yang tidak mencapai
jumlah yang memungkinkan menjadi Hadits mutawatir, disebut Hadits Ahad. Kelompok
ini dibagi pula menjadi dua golongan ialah Hadits masyhur dan Hadits ghairu masyhur.
Yang ghairu masyhur terdiri dari dua kategori, yaitu yang aziz dan yang gharib.
Disebut Hadits masyhur kalau suatu Hadits sudah tersebar dan termashur di
seantero sahabat. Popularitas sebuah Hadits dibatasi pula oleh derajat keterlibatan mereka
dalam Hadits. Oleh karena itu, ada katagori: masyhur di kalangan ulama Hadits, masyhur
di kalangan awam. Tentu saja ini memberikan konsekuensi pada derajat pembobotannya
sebagai hahan hujjah.
Disebut Hadits Aziz kalau jumlah pemberita, yaitu para saksi mata tidak lebih
dari dua orang pada tiap mata rantai perawi Misalnya, si A dan si B mendengar dari
Rasulullah. Si A menyampaikan berita itu kepada C dan D, sedangkan si B menyampai
kannya kepada si E dan D. Demikian seterusnya. Manakala tiap mata rantai itu hanya
ditempati oleh hanya satu perawi saja, maka jumlah Hadits itu menjadi gharib. Kalau
perawi tunggal itu terdapat pada sanad generasi sahabat, Hadits itu akan disebut gharib
mutlak. Sedangkan manakala perawi tunggal itu terdapat pada generasi tabi'in akan
disebut Hadits gharib nisbi.
Sebuah Hadits yang masyhur menurut para ulama ahli Hadits tidak encari taraf
signifikansi atau yaqin dalam memberikan sesuatu penjelasan melainkan hanya pada
taraf dhan (dugaan). Artinya hanya diasumsikan (diduga) otentik, jadi mempunyai
explanatory power yang lebih rendah bila dibandingkan dengan Hadits mutawatir.
D. Contoh
Berikut ini sebuah contoh mengenai jalur isnad yang berbeda tentang satu Hadits
yang sama dan diberitakan oleh penulis Hadits yang berbeda, yaitu Sahihani Bukhari-
Muslim. Jalur pertama: Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang diperoleh dari Al
Humaidi, yang diperoleh dari Sofyan, yang diperoleh dari Yahya bin Sa'id, yang
120
diperoleh dari Ahamad bin Ibrahim, yang diperoleh dari Alqamah, yang diperoleh dari
Umar, yang mendengar, bahwa Rasulullah mengatakan ... (kemudian diikuti oleh suatu
materi Hadits).
Jalur kedua: Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang diperoleh dari
Abdullah bin Maslamah, yang diperoleh dari Malik, yang diperoleh dari Yahya bin Sa'id,
yang diperoleh dari Ahmad bin Ibrahim, yang diperoleh dari Alqamah, yang diperoleh
dari Urnar, yang didengar langsung dari Rasul yang mengatakan ... (dst. berisi materi
Hadits).
4. PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits ialah ucapan, perbuatan, dan sikap diam Nabi Muhamad yang elah
menjadi fakta dan realita di kalangan umat Islam, yang kemudian diyakini dan diamalkan
sebagai ajaran agama. Di kalangan cendekiawan terdapat keraguan terhadap kesahihan
seluruh Hadits yang telah beredar dalam umat. Oleh karena itu, timbullah upaya-upaya
untuk mengadakan pengujuan terhadap seluruh Hadits tersebut.
Gejala kritisisme dalam penulisan sejarah yang telah dikenal sejak zaman
Tucydides, telah pula dipraktekkan oleh para muhaditsin (sarjana ahli Hadits). Mereka
melakukan kritik intern untuk menguji kredibilitas sumber Hadits (sanad). Mereka juga
melakukan kritik ekstern dalam menguji otentisitas materi Hadits (matan).
Melalui proses seleksi, interpretasi, dan sintesis para ulama Hadits telah berhasil
menyajikan karya-karya Hadits sebagai suatu "Hadits as written". Dengan sendirinya,
Hadits-hadits itu berada dalam arti subjektif dan mempunyai kualifikasi yang bervariasi.
Kemampuan para sarjana Hadits di kalangan umat Islam telah dituntut untuk
menghasilkan karya-karya besar itu, lebih-lebih karena orang Arab tidak mempunyai
tradisi menuliskan semua fakta sejarah dalam rekaman sejarah mereka. Mereka
cenderung menghafalkan seluruh fakta. Oleh karena itu, kemampuan menghafal
merupakan salah satu persyaratan yang dituntut bagi kredibilitas seorang sumber Hadits.
Syarat lain menyangkut pula masalah kualitas dalam beragama, hidup sebagai anggota
121
masyarakat serta kecerdasan. Yang lebih menarik ialah adanya persyaratan bagi
terdapatmya urutan, dengan dasar kontak pribadi di antara para sumber Hadits.
Pengelompokan Hadits menjadi berbagai kelas menunjukkan kehati-hatian para
muhaditsin dalam melaporkan hasil penentuan dan studi mereka. Adapun penggunaan
masing-masing kelompok akan tergantung pada ulama ahli hukum (fikih), bagaimana
penggunaannya sebagai bahan hujjah.
Kesimpulan yang dapat dipetik ialah antara lain:
1. Penyusunan Hadits telah menggunakan prosedur ilmiah yang tinggi dengan
menggunakan proses seleksi, interpretasi, dan sintesis sehingga merupakan karya
ilmiah yang tinggi.
2. Cara-cara tersebut telah memberikan sumbangan besar bagi metode historiografi.
3. Fakta tersebut menunjukkan kepada dunia betapa hati-hati para ulama ahli Hadits
(muhaditsin) dalam upaya mencari kebenaran karena rasa tanggungjawab mereka
ke hadapan mahkamah Tuhan maupun sejarah.
B. Saran-saran
Mungkin tidak banyak yang dapat dipetik dari metodologi penulisan Hadits ini
bagi sejarawan dan penults sejarah di Indonesia, karena banyak prosedur yang tidak
termasuk baru bila dibanding dengan metodologi penulisan sejarah yang telah
berkembang yang diterima dari teoritisi Barat. Meskipun demikian, prosedur kritisisme
yang berjalan dinilai sah sebagai suatu penulisan sejarah. Oleh karena itu tidak ada
jeleknya kalau cara-cara itu disajikan sebagai bahan perbandingan.
Penelaahan yang lebih mendalam mengenai prosedur yang digunakan oleh para
muhaditsin dalam penulisan Hadits akan merupakan usaha yang bermanfaat guna
menemukan cara-cara yang dapat diterapkan bagi historiografi di Indonesia, terutama
dalam mengungkapkan fakta-fakta sejarah daerah di mana masih belum banyak bahan
sejarah tertulis dikumpulkan. Kebanyakan dari saksi mata atau yang menerima cerita dari
orang tuanya, masih mendasarkan pada kekuatan ingatan para responden yang menjadi
saksi mata..
@@@
122
DAFTAR BACAAN
Al-Bukhari, Kitab Sahib Bukhari.
Berg, C. C, 1974. Penulisan Sejarah Jawa, (terjemahan oleh S. Gunawan) Jakarta
Bhatara.
Gardiner, Patrick, 1961. The Nature of Historical Explanation,, London, Oxford
niversity Press - Amen House.
Gottschalk, Louis, 1975. Mengerti Sejarah, (terjemahan Nugroho
Notosutanto) Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Hasbi Ash- Shiddieqy, T.M., 1958. Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta.
Penerbit Bulan Bintang. 1976. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits Jilid I,
Jakarta: Penerbit Bulan Bintang.
Maulana Muhamad Ali, 1977. Islamologi (Dinul Islam), Darul Kutubul
Islamiyah (terjemahan oleh Kaelani dan H. Bahrun), Jakarta: Penerbit PT.
Ichtiar Baru.
Saefudin Zuhri, 1980. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya
Di Indonesia, Bandung: Penerbit PT. Al Ma'arif.
Departemen Agama RI, 1966. Tafsir Al Qur'an, Jakarta.
123
@@@
CATATAN
Tulisan di atas berasal dari risalah berjudul Prosedur Penulisan Hadits, yang terbit pada
tahun 2000, dan disajikan ulang untuk buku ini.
2. LEGENDARISASI TOKOH SEJARAH
PENDAHULUAN
Salah satu segi menarik dari diri manusia iaiah keterikatannya dengan atribut, atau
julukan yang ditempelkan pada diri seseorang karena dianggap memiliki karakcteristik
tertentu yang sesuai dengan makna atribut tersebut. Laina-kelamaan nampaknya gejala
tersebut menjadi semacam obscsi, di mana orang merasa tergantung pada perlunya
menyandang atau diberi sandangan atau atribut tertentu, yang memberikan kesan khas
pada orang tersebut atau tokoh tertentu. Menurut sahibul hikayat, balikan sejenis manusia
124
yang karena sangat dihormati dalarn masyarakat yang mengikuti garis ibu, kemudian
diberi julukan 'perempuan', artinya yang diempukan, yang diperempu, yang dihormati
sebagai seorang empu. Dan lama kelamaan julukan itu sudah berubah menjadi nama
jenis, yaitu manusia yang bukan bejehis kelarnin lelaki.
Dalam pada itu manusia tetap mengernbangkan sifat atau karakternya sehingga kemudian
muneul berbagai sifat atau karakter yang khas pula, yang memberikan ciri khas kepada
penyandang ciri tersebut. Mereka yang meniliki sifat licik seperti kancil, misainya akan
mendapat julukan Si Kancil. Demikian juga akan mendapat julukan Buaya Darat,
manakala pada dirinya terdapat sifat-sifat "kebuayaan" pada dirinya, menurut pandangan
orang lain. Julukan juga diberikan kepada mereka berkenaan dengan peranan mereka
dalam masyarakat pada suatu penggalan sejarah tertentu, seperti dikenal orang pada masa
tertentu. Sehingga kita kemudian mengenal tokoh-tokoh dengan nama dan julukan Yahya
Sang Pembaptis, Soekarno Sang Proklamator, Cromwell Lord The Protector, Pizarro El
Conquesitadores, ataupun Don Juan, The Great Lover dan sebaganya
Sementara itu di dalam masyarakat Indonesia kita kenal juga julukan-julukan panjang
yang diberikan kepada sejumlah tokoh, karena dianggap memang pantas menyandang
julukan tersebut. Misainya kita kenal julukan bagi penguasa Mataram yang panjang itu,
Kanjeng Sultan Hamengku Bowono Senopati Hing Alogo Ngabdurahman Sayidin
Panotogomo Kalifatulah Tanah Jawi. Masalah yang kita hadapi adalah bagaimana gejala-
gejala sosial budaya semacam itu dapat dijelaskan.
PERANAN PERSEPSI MANUsIA
Pengetahuan manusia mengenai setiap objek amatlah terbatas. Lantas dengan
pengetahuan yang terbatas itu manusia membentuk sistem keyakinan tertentu mengenai
sesuatu, yang terbatas pula sifatnya, di sekitar objek tersebut, sehingga tak ayal lagi
mereka memiliki cara tertentu dalam memandang serta memperlakukan objek tersebut.
Untuk keseluruhan itu orang menyebutnya sebagai persepsi tentang sesuatu objek
tertentu, yang bisa berupa sesuatu konsep, orang, masyarakat, nilai dan sebagainya. Tak
dapat disangsikan lagi, bahwa sifat persepsi itu amatlah subjektif, selektif, serta temporer.
Meskipun dernikian dapat dikatakan, baliwa persepsi itu pada seseorang relatif bersifat
125
konstan atau stabil. Sifatnya yang selektif dan subyektif itu membuat kualitas, persepsi
mengenai sesuatu objek mengalani pergeseran. Di dalam masyarakat yang masih amat
tergantung pada alam dikenal pengertian sakral (suci) dan profan (cernar), dikenal pula
konsep magis maupun gejala kekuatan yang supra natural, yang metafisik, yang
dianggap mempunyai kekuatan mempengaruhi dan bahkan menentukan segala sesuatu
yang fana ini. Di satu sisi, persepsi mereka mengenai lingkungan fisik maupun rohani,
telah membentuk sistem mitologi, yaitu sejumlah atau sekelompok peranan supra natural
yang dimiliki oleh alam besar atau makrokosmos, di luar diri kita yang merupakan
mikrokosmos. Kemudian muncullah julukan-julukan seperti: Zeus Sang Pencipta, Venus
Sang Pencinta, Herkules YangPerkasa, Brahma Sang Pencipta, Wisnu Sang Pemelihara,
Syiwa Sang Perusak, Allah Tuhan Bapa, Yesus Sang Penebus Dosa, Sang Adi Budha,
Gautama Sang Manusia Budha, Hyang Widi Wase, Kang Murbeng Dumadi, Allah Al-
Khalik, Ar Ralirnan, Setan Sang Penggoda, Iblis YangTerkutuk dan seterusnya.
Dalarn hubungan sosial yang lebih nyata, di mana sifat hubungan saling pengaruh
lebih bersifat nyata, kita mengenal juga sejumlah tokoh dengan julukan-julukan khas.
Misalnya, Yahya Sang Pembaptis, Daud Yang Perkasa, Firaun Yang Angkara Murka,
Iskandar Zul Karnaen, Muharnad Al Amin, Jengis Khan Sang Penakluk, Umar Al-Faruk,
Richard Si Hati Singa, Columbus Penemu Benua Amerika, Penembahan Senopat Pendiri
Dinasti Mataram, bahkan juga Hitler Der Fiffirer, Musolni 11 Duce, Idi Amin Dada, dan
juga Soekarno Penggali Poncasila. Dan ja~ pula dilupakan Soeharto Bapak
Pembangunan. Mereka adalah tokoh-tokoh legendaris dan yang dilegendariskan.
TOKOH LEGENDARIS DAN LEGENDARISASI TOKOH
Semula, pengertian legenda memang tidak lebih dari ceritera yang diyakini olch
rakyat sesuatu daerah, mengenai tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan asal usul sesuatu
gejala alam. Misalnya, legenda Malim Kundang, legenda Sangkuriang dan sebagainya
yang masing-masing dikaitkan dengan Batu Merintih di pantai Sumatera Barat dan
Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Kemudian, legenda juga mengandung
pengertian atau mencakup ceritera-ceritera mengenai tokoh historis, yang tersebar di
kalangan rakyat banyak, mengenai kehidupan maupun pengalarnan yang benarbenar
terjadi maupun yang tidak benar-benar terjadi. Meskipun dernikian sebagian besar rakyat
126
meyakini kisah-kisah tersebut sebagai benar-benar terjadi. Kita mengenal misalnya,
ceritera mengenai Panembahan Senopati pendiri Mataram yang dikaitkan dengan
perkawinannya secara rohani dengan Nyi Roro Kidul, Penguasa Laut Setatan; kisah Jan
Pieter Zooncoen yang digambarkan sebagai anak Baron Sekeber yang kawin dengan
seorang keturunan Raja Pajajaran; hikayat Ken Arok sebagai putera Dewa Brahma
dengan Ken Endog, yang rakyat jelata: juga ceritera tentang Sultan Agung sebagai
keturunan yang mengikuti garis keturunan Nabi Adam, sekaligus juga mengikuti garis
keturunan Batara Kala; demikian pula kisah Ayattulah Khumaeni, yang dilyakini sebagai
keturunan Nabi Muhammad.
Ceritera-ceritera semacam itu dimaksudkan untuk memitoskan mereka sebagai
tokoh-tokoh yang dianggap memiliki legitimasi sebagai penyandang getar pemimpin.
Dalam masyarakat di mana proses legitimasi atau pengabsahan didasarkan atas keturunan
darah, maka diusahakan meyakinkan pendukungnya, yaitu rakyat, bahwa penguasa
tersebut betul- betul mempunyai darah yang diturunkan yang berasal dari para pendiri
kekuasaan. Namun dalam kenyataan hidup, dalarn perjalanan sejarah dapat terjadi
sejumlah kasus di mana seseorang tokoh, yang meskipun semula tidak memiliki hak
mewarisi kepemimpinan, kernudian menduduki kedudukan tersebut dengan berbagai
jalan. Keadaan semacan itu dianggap membuat goncangan dalam keseimbangan jagad
raya magis, yang bertentangan dengan falsafat Jawa yang mementingkan azas
keseirnbangan, keserasian dan keselarasan hidup, oleh karena itu diperlukan proses
legitirnasi berupa proses legendarisasi tokoh tersebut.
Sejarah Indonesia, terutama di Jawa menunjukkan berbagai bukti sebagai contoh
mengenai cara diperolehnya kekuasaan oleh para pemimpin. Menurut Benedict R.0.G.
Anderson dalam bukunya "The Ideas of Power in Javanese Culture", kalau tidak dengan
jalur turun temurun, maka jalur yang dilalui adalah lewat 'geger' ataupun 'kekalutan'. Atau
paling tidak proses tersebut didahului oleh 'geger' atau 'kekalutan' tadi. Cara itu diperkuat
dengan diterimanya wahyu oleh pemimpin, yang melandasi seluruh keabsahan kekuasaan
yang diterimanya dari sumber kekuasaan, dan merupakan jarninan bagi suksesnya
kepemimpinan penguasa baru tersebut. Jalur kedua yang biasanya dilalui dalam proses
diperolehnya kekuasaan adalah, dimilikinya sesuatu pusaka, yang merupakan simbol
kekuasaan yang menghubungkan status barunya itu dengan penguasa terdahulu. Misalnya
127
pusaka tersebut dapat berupa sebiiah keris yang dianggap rnempunyai kekuatan atau
magis tertentu. Di sanalah letak falsafah komunitas sejarah yang dimiliki oleh ide-ide
kekuasaan di Jawa.
Kasus Ken Arok maupun Panembahan Senopati yang sebenarnya berasal dari orang
kebanyakan, dan kemudian berhasil mengangkat dirinya ke atas puncak kekuasaan
kerajaan di Jawa, merupakan bukti historis dari kebenaran anggapan Anderson. Mereka
sampai ke puncak kekuasaan menjadi Raja Jawa, dengan melalui proses 'geger' ataupun
'kekalutan'. Dalam sejarah Indonesia baru fenomena tersebut dapat kita saksikan ketika
menyaksikan munculnya Soekarno manpun Soeharto menjadi 'Raja Jawa', yang masing-
masing juga bermula dengan pecahnya 'kekalutan' ataupun meletusnya 'geger'. Kalau
pada kasus Ken Arok dikenal 'geger' yang membawa kematian Empu Gandring maupun
Tunggul Ametung, dan kasus Panembahan Senopati mengenal 'geger' melawan lasykar
Pajang, maka kasus Soekarno mengenal Perang Dunia II maupun perang-perang
kemerdekaan dalarn membela Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kasus
Soeharto mengenal 'geger' Pemberontakan G30S/PKI, yang telah mengantarkan kedua
tokoh tersebut ke puncak kekuasaan sebagai 'Raja Jawa' tersebut.
Tidaklah berlebihan kalau rakyat kemudian mempersepsi Paneasila manpun konsep
Nasakom pada masanya, sebagai 'pusaka' yang tetap dipegangi Soekarno ketika akan naik
ke puncak kekuasaan dan berhasil mempertahankan kekuasaan untuk waktu yang relatif
lama. Pancasila sendiri menurut Pidato Lahirnya Pancasila, berhasil digali dan
disampaikan untuk pertama kalinya kepada rakyat dalam sidang PPKI pada 1 Juni 1945,
setelah scmalam suntuk beliau bertirakat dan tidak tidur. Perlu kita ingat kembali betapa
tirakat bagi orang Jawa merupakan upaya untuk memperolch sesuatu kekuatan magis.
Dan untuk selama waktu yang lama sekali Pancasila tersebuy masih diyakini sebagai
hasil galian Soekarno tersebut. Dalam pada itu konsistensi atau kelanggengan Soekarno
dalam mempertahankan konsep Nasionalisme, Islarnisme dan Sosialisme (nama salah
satu ajaran Soekarno) dan menampilkannya kembali dalam wujud konsep Nasakom,
selama masa-masa terakhir kekuasaannya sebagai 'Raja Jawa', menunjukkan betapa
beliau terikat secara magis dengan kedua konsep tersebut. Penjelasan beliau bahwa kedua
ajaran tersebut merupakan perumusan dari ajaran nenek moyang yang telah diakui
kebenarannya, dan oleh karenanya patut dipertahankan dan diamalkan, menunjukkan
128
betapa beliau seolah secara spiritual dan magis terikat oleh 'pusaka' tersebut.
Selanjutnya Anderson juga mengingatkan kita pada eara- cara pemegang kekuasaan
tradisional mempertahankan kekuasaan atau ‘kasekten’ mereka. Ceritera-ceritera wayang
engenai pefistiwa 'manjingnya' jiwa Raja Patra pada diri Arjnna, atau 'merasuknya' jiwa
Begawan Bagaspati pada diri Yudistira, kemudian terjadi pula pada diri Soekarno yang
kemasukan ajaran-ajaran Nasionalisme, Agama, serta Komunisme ke dalam jiwanya
yang amat bersifat akomodatif dan sinkrttis itu. Seperti Arjuna yang memandang jiwa
Raja Patra sebagai 'kasekten' atau 'power', dan Yudistira memandang jiwa Begawan
Banaspati sebagai 'kasektcn' atau 'power', naka Soekarno pun memandang ketiga ajaran
yang nampaknya saling kontradiktif itu sebagai ‘kasekten’ atau 'power'. Dan sekaligus
Soekarno ingin mempertahankan konsep kelangsungan atau kontinuitas sejarah sebagai
falsafah sejarah. Bagaimana pula dengan kemungkinan adanya 'pusaka' yang mengikat
kepemimpinan Seharto dengan kelangsungan sejarah?
Kepemimpinan Orde Baru sebagaimana kita ketahuu tidak dapat dilepaskan dari terbitnya
Surat Perintah Sebelas Maret, yang merupakan dokumen historis yang rnengantarkan
peralihan kepemimpinan dari Prestden Soekarno ke tangan Jenderal Soeharto. Secara
formal sejak terbitnya Surat Parintah Sebelas Maret (Supersemar) jenderal Soeharto
telah menerima atau memperoteh 'power' dari pemegang kekuasaan sebelumnya, yaitu
Presiden Soekarno. Namun sangatlah menarik persepsi orang jawa mengenai Supersemar
itu, yang sekaligus difahami tidak saja sebagai legalitas sebuah kekuasaan, melainkan
juga (dan lebih- lebih) difahami sebagai semacam 'pusaka' yang dengan sendirinya
bermuatan 'kasekten' pula. Kata 'Surat' tak ayal lagi telah menimbulkan asosiasi pada
makna 'serat' pada 'Serat Kalimosodo' atau semacam ‘Cupu Manik Astagina', yang
merupakan lambang kekuasaan itu sendiri. Dengan pemahaman ini proses pergantian
kepemimpinan dari Presiden Soekarno ke tangan Jenderal Soeharto, telah memenuhi
'syarat' terjadinya proses kelangsungan sejarah atau kontinuitas sejarah pula. Proses
legendarisasi masih berlangsung terus, terutama terhadap para tokoh yang menurut
konsep kepemimpinan turun temurun tidak berhak menjadi pemimpin ataupun raja. Kisah
mengenai Ken Arok yang dikatakan sebagai putera Dewa Brahma dengan Ken Endog,
maupun kisah
Panembahan Senopati yang dikatakan menjadi kekasih sekaligus suami Nyal Loro
129
Kidul, merupakan proses rasionalisasi atau pembenaran agar sesuai dengan ide-ide
tentang kekuasaan menurut falsafah Jawa. Artinya, orang-orang kebanyakan seperti Ken
Arok dan Panembaaan Senopati, sebenarnya bukan 'orang kebanyakan', melainkan
keturunan Dewa atanpun sangat berkaitan dengan 'Kang mbahu rekso' di kawasan
tertentu. Oleh karenanya mereka berhak atas kedudukan sebagai 'Raja Jawa'. Jadi tidaklah
berlebihan pula manakala orang-orang kebanyakan seperti Soekarno dan Soeharto
berhasil menjadi 'Raja Jawa' pula. Bukan karena proses demokrasi, yang membuat kedua
tokoh nasional tersebut menjadi Presiden atau menurut penalaran Jawa sebagai 'Raja
Jawa', narnun sebaliknya, karena keduanya nierupakan keturunan 'bukan orang
kebanyakan'. Oleb karenanya tidaklah mengagetkan secara budaya, manakala untuk
kedua tokoh tersebut disusun sitsilah khayali sebagai pembenaran atau rasionalisasi yang
cocok dengan ide-ide Jawa mengenai sumber 'power' atau kasekten' yang telah dimiliki
oleh kedua tokoh tersebut. Sebagaimana kita tahu masih berkembang adanya keyakinan
pada sebagian rakyat, bahwa Soekarno memiliki darah keturunan Raja-raja Singasari,
Raja Jayabaya maupun Sunan Kalijaga, yang mengalir pada diri beliau. Bahkan
disebutkan pula betapa Soekarno juga memiliki darah keturunan para penguasa Belanda,
karena menurut logika tersebut tidaklah mungkin orang kebanyakan dapat menjadi
penguasa Jawa.
Pada akhir dasawarsa 70 an telah berkembang pula kisah-kisah khayali yang
menghubungkan Presiden Soeharto dengan darah ningrat yang mengalir dari Susuhanan
Raja Jawa yang bernama Hamengku Buwono VIII. Demikian pula masih berkembang
kisah mengenai peristiwa 'samadi' atau 'tirakatan' yang dilakukan otch Jenderal Soeharto
di lautan, ketika malam pembantaian para Jenderal TNI oleh pasukan Cakrabirawa/ PKI
itu berlangsung. Malam tirakatan atanpun samadi itu selain dikaitkan dengan proses
perolehan kekuasaan yang kemudian dimiliki oleh Jenderal yang kemudian menjadi 'Raja
Jawa' itu. Secara pribadi maupun secara resmi oteh pemerintahan Soeharto, kisah-kisah
semacarn itu telah dibantah untuk kepentingan meluruskan fakta sejarah, dan sekaligus
sebagai proses pendidikan bagi masyarakat. Namun pada tingkat 'budaya diam' kisah
'kenyataan magis' seperti versi pertama tadi, tetap berkembang dalam masyrakat. Dan
masih sebagai pada ingatan kita betapa Sawito telah mendakwakan diri menerima
wangsit sebagai keturunan Raja Brawijaya, untuk membenarkan tindakannya, sebagai
130
calon penggariti Presiden Soeharto yang direncanakan lewat proses "penyerahan
kekuasaan" model Sawito.
Bagaimana gejala sosial semacam itu dapat diterangkan? Menurut konsep Jawa
sebagaimana dikatakan clch R.0.0. Anderson, pertama-tama ‘power is concrete’. Artinya
bahwa kekuasaan/power/kasekten berasal dari Tuhan, yang dituangkan menjadi satu
dengan kekuatan Alam itu sendiri. Dan karena kekuasaan itu datangnya dari sumber yang
sama, yaitu Tuhan, maka jenis kekuasaan itupun sama, dan bisa dipegang oleh siapapun.
Itulah sebabnya idea kedua adalah 'power is homogeneous'. Dan pengertian ini dapatlati
difahami, baliwa kekuasaan dapat diberikan kepada siapa pun, dengan lebih d.ahulu
mendapat tanda kekuasaan itu, yaitu datangnya wahyu, ndaru ataupun pulung
Kedatangan saat itu dibarengi dengan datangnya gejala alam yang bagaikan bintang
gemerlapan, biru berkilauan, atau kadangkala bagaikan bola pijar berwarna putih atau
kuning. Itulah sebabnya orang kebanyakan seperti Ken Arok, Penembahan Senopati,
Soekarno, maupun Soeharto juga dapat memillki kekuasaan itu. Tapi Sawito gagal.
Orang-orang dari luar budaya Jawa diharapkan dapat memahami pula, betapa
menurut prinsip ketiga bahwa 'the quantum of power in the universal is constant'.
Artinya, bahwa kekuatan yang ada di jagad raya ini sarna, ajeg maupun pasti. Oleh
karenanya kekuatan itu tidak datang dari unsur manapun di jagad raya ini, juga tidak
merupakan produk dari organisasi manapun, juga tidak ada kaitan dengan kekayaan
maupun kekuatan senjata siapapun. Tidak juga datang dari rakyat. Oleh karenanya,
sebagai prinsip keempat dapat disebutkan bahwa, 'power does not raise the question of
legitimacy'. Artinya baliwa kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang tokoh, menurut
gagasan kekuasaan Jawa, tidak perlu mendapat pengabsahan atau legitimasi dari rakyat.
Sementara itu dalam masyarakat di mana perbuatan kepahlawanan merupakan kebajikan
tertinggi, maka upaya legendarisasi dengan latar belakang kepahlawanan biasa disusun
orang. Hampir tak seorangpun bangsa Yugoslavia misalnya, yang mengingkari
kepahlawanan Yosip Bros Tito dalam memimpin pasukan partisan melawan kezaliman
Sang Fuhrer. Cerita semacam itu betul-betul merupakan realita yang amat diyakini
kebenarannya oleh rakyat Yugoslavia. Demikian pula ceritera kepahlawanan Charles De
Gaule, yang telah berhasil mengobarkan semangat perlawanan bangsa Perancis untuk
mengusir penjajahan bangsa Jerman di bawah Hitler selama Perang Dunia II, sangat
131
diyakini dan dikagumi para pengagum de Gaule. Demikian juga kepahlawanan Mao
Zedong di mata rakyat RRT dalam mengusir pasukan pendudukan Jepang dari tanah
Ieluhur mereka amat dikagumi rakyatnya. Dan masih banyak lagi pahlawan dari lain
bangsa yang juga tetap dikagumi tanpa melalui proses rasionalisasi atau proses
pembenaran, seperti yang terjadi dengan para tokoh pahlawan kita tersebut di atas
SIAPA YANG BERKEPENTINGAN
Masih banyak lagi ceritera-ceritera legendaris, yang scolah-oiah sangat khayali
sifatnya, yang memenuhi khazanah pustaka dunia, baik yang dinyatakan secara tertulis
mau pun yang berkembang dari mulut ke mulut. Orang Turki mengenal juga tokoh
Kemal Pasha Ataturk, Bapak Republik Turki Moderen; orang Jerman pada masanya juga
sangat mengaguni Fuhrer mereka, yaitu Hitler; orang Italia juga memitoskan Il Duce
mereka Benito Musolini; pada masanya orang-orang Uganda juga mencintai dan
mengagumi pemimpin mereka Idi Amin Dada, meskipun untuk masa berikutnya terjadi
proses de-Amnnisasi. Hal yang sama juga terjadi di RRC, yaitu terjadinya proses de-
Maoisasi, di Rusia terjadi proses de-Stalinisasi. Sementara itu bangsa Indonesia telah
pula mengalarni proses pendewaan tokoh legendaris Soekarno, yang menyandang julukan
yang amat panjang, yaitu Paduka Yang Mulia (PYM), Presiden Seumur Hidup, Doktor
Insinytir Haji Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi (PBR), Penyambung Lidah Rakyat,
Sang Proklamator, dan sekaligus Penggali Pancasila. Kemudian setelah masa klimaksnya
pada masa Pemberontakan G30S/PKI, disusul dengan masa de-Soekarnoisasi, sehingga
tinggallah satu gelaran saja bagi beliau, yaitu Prokiamator. Atau paling-paling Presiden
Pertama epublik Indonesia.
Pada menjrlang Pemilu untuk memilih Presiden pada tahun 1983, kita semua
menyaksikan suatu proses legendarisasi terhadap Presiden Soeharto, yaitu ketika
menjelang Pemilu tersebut terjadi gelombang pernyataan pada hampir semna lapisan
masyarakat, yang mengusulkan agar MPR hasil Pemilu nantinya mengangkat presiden
Soeharto sebagai Bapak Pembangunan Indonesia. Gelaran semacam itu dipandang tepat
diberikan kepada beliau, yang dinilai telah menunjukkan keberhasilannya dalam
membangun bangsa dan rakyat Indonesia. Pada dasawarsa 60 an bangsa Indonesia telah
132
pula menyaksikan proses semacam itu, yaitu agar MPRS mengangkat Presiden Soekarno
sebagai Presiden Seumur Hidup Republik Indonesia, serta memberikan gelaran-gelaran
lainnya. Lepas dari kemungkinan terdapatnya 'aktor intelektual' di balik seluruh proses
tersebut, proses itu sondiri yang ditujukan kepada MPR atau MPRS telah menandai
adanya pergeseran pengakuan atas sumber kekuasaan, di maria rakyat dipandang sebagai
tokoh nitos. Sehingga terjadilah proses legitimasi atas proses lahirnya pemimpin oleh
rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Apa yang sebenarnya terjadi di baik proses-proses sosial budaya tersebut?
Siapakah yang sebenarnya berkepentingan dalam proses semacam itu? Tidak ayal lagi
seluruh proses itu timbul dari jenis persepsi yang ada pada manusia, bangsa atau warga
masyarakat, mengenai tokoh yang bersangkutan maupun tata nilai yang diakui
kebenarannya dalam masyarakat. Yang dimakaud adalah, bagairnana pengetahuan
mengenai sesuatu objek, bagaimana keyakinan mengenai hal tersebut serta bagaimana
cara memandang masyarakat mengenai hal tersebut. Setelah itu muncullah respon
emosional itu, yaitu proses legendarisasi.
Ada empat faktor detenninan yang secara teoritik melatar bolakangi timbulnya
persepsi tertentu pada setiap individu, yaitu faktor lingkungan fisik maupun sosial,
strultut kejiwaa, tujuan/harapan, serta pengalaman masa lampau dari setiap individu
maupun sesuatu masyarakat sebagai kelompok individu. Itulah menurut tiga sekawan
Krech, Crutotifield dan Ballachey dalam buku beriudul "individual in Society". Namun
yang paling menarik dari keempat faktor determinan tersebut adalah faktor
tutuan/harapan.
Setiap manusia atau kelompok manusia mempunyai tujuan agar hidup mereka
enjadi lebih baik di masa depan. Dan lag'" mereka pun mendambakan ketenangan
maupun kepuasan dalam hidup. Dalam banyak hal manusia banyak menemukan dunia
gelap sebagai limngkungan hidup mereka Oleh karenanya sangatlah masuk akal kalau
manusia kemudian membentuk konsep kekuatan-kekuatan supra natural yang bakal
memberikan perlindungan serta bantuan untuk tercapainya tujuan serta harapan hidup itu.
Adakalanya manusia meyakini bahwa jawaban itu telah datang berupa konsep dari agama
langit, namun tidak jarang yang mempercayakan diri atas datangnya jawaban dari konsep
yang bersifat intuitif yang serba spekulatif. Sementara itu ada pula yang mempercayakan
133
diri pada konsep-konsep yang rasional bahkan llmiah. Namun bukan tidak mungkin
terjadi pembauran atas landasan konseptual dalam memandang lingkungan.
Dalam skala yang lebih khas, sekelompok manusia di Jawa meyakini akan
datangnya tokoh-tokoh semacam Imam Mahdi, Rata Adil, Erucakra dan sebagainya yang
merupakan persoflifikasi kekuatan supra natural tersebut dalam memberikan harapan
pada manusia. Keyakinan ini Iebih dikenal sebagai mileniarisme, yang mendambakan
datangnya 'masa depan yang cemertang' itu. Dalam konteks atau kaitan inilah, mucul
tokoh-tokoh seperti Ken Arok, Panembahan Senopati, Diponegoro, KH. Tubagus Ismail,
Soekarno, dan balikan Soeharto, yang dicerap (dipersepsi) sebagai tokoh yang akan
membawa semacam 'collective dream' tersebut menjadi kenyataan.
Dalam masyarakat yang masih bersifat paternalistik, gejala semacarn itu dapat
dipandang pula sebagai kecenderungan 'dependensi' atau gejala ketergantungan
masyarakat terhadap mereka yang dianggap lebih tua, lebih pandai, lebih bertuah, tebig
sakti dan sebagainya. Namun demikian tidak dapat dipungkiri kemungkinan adanya
dominasi ketiga faktor determinan lain seperti disebutkan di muka, yaitu lingkungan
fisik/sosial, strnktur kejiwaan, dan pengalaman masa lampau. Di samping itt, gejala
dependensi masyarakat sering muncul dalam wujud 'kelatahan', yang muncul dalam
bentuk 'gelombang kebulatan tekad' yang tidak lain merupakan bentuk konformitas
sosial. Inilah peranan faktor lingkungan osial yang diperkirakan ikut memberikan andil
atas kevenderungan osial budaya tersebut.
Pengalaman masa lampau yang dialami oleh perorangan maupun kelompok
manusia , maupun struktu kejiwaan yang erupakan kompleks kualitas kejiwana manusia,
tak urung juga memberikan sumbangan dalam melatar belakangi kecenderungan sosial
bndaya tersebut. Misalnya, bukan tidak rnungkin bahwa timbulnya 'gelombang kebulatan
tekad' dalarn proses legendarisasi tersebut telah berperan amat aktif seluruh anggota
masyarakat yang mempunyai interes (kepentingan) politik tertentu yang a sosial. Kita
masih dapat mengingat bagaimana kaum komunis telah berteriak paling nyaring daiam
proses legendarisasi terhadap Soekarno.
PENUTUP
Demikianlah sejurnlah upaya konseptual untuk rancoba memberikan penjelasan
134
terhadap fenomena-fenomena sosial budaya yang lama sekali berkembang dalam
hubungan sosial, lewat penelusuran proses sejarah. Dengan cara ini diharapakan kita
dapat lebih memahami kecenderungan sosial budaya dalam masyarakat, dan terhindar
dari kesalah fahaman. @@@
DAFTAR BACAAN
Anderson, Benedict R.O.G., 1979, The Idea of Power in Javanese Culture, New York.
Geertz, Clifford, 1964, The Religion of Java, London.
Geertz, Hidred, 1963, Indonesian Culture and Communities, New Haven
Koentjaraningrat, 984, Kebudayaan Jawa, Jakarta.
Krech, David, et al., 1962, Individual in Society, Tokyo : McGraw – Hill,
Kogakhusha Ltd.
Kuncaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta : PN Balai Pustaka
Sartono Kartodirdjo, 1972, Agrartan Radicalism in Java: Its setting and
development, aca.
@@@
135
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cataatan:
Tulisan di atas merupakan naskah pidato ilmiah yang dibacakam dalam rangka upacara
Dies Natalis IKIP Semarang ke 24 pada tahun 1989. Naskah asli tulisan tersebut pernah
mengalami pertimbangan serius oleh panitia Dies Natalis pada saat itu, karena isinya
dianggap “berbahaya” dan kontroversial, terutama karena menyebut-nyebut
kepemimpinan Sukarno maupun Suharto. Panitia khawatir pada kebijakan
Pangkopkamtib kalau naskah pidato tersebut diloloskan.
3. KOMENTAR PERS.
PROSES LEGENDARISASI TOKOH MASIH BERJALAN
Presiden Soeharto maupun almarhum Presiden Soekarno pernah diisukan sebagai
keturunan raja. Hal itu terjadi karena proses legendarisasi tokoh masih berlangsung terus
hingga kini, terutama terhadap para tokoh yang menurut konsep kepemimpinan turun
temurun, tidak berhak menjadi pemimpin ataupun raja.
Demikian antara lain diungkapkan Dr. Abu Su`ud, salah seorang ahli sejarah IKIP
Negeri Semarang dalam pidato ilmialanya ketika berlangsung Dies Naialis ke-24 IKIP
Negeri Semarang, di auditorium perguruan tinggi tersebut, Kamis kemarin (30 Maret
1989).
136
LEGENDARIS
Dikatakan, semula pengertian legenda memang tidak lebih dari ceritera yang
diyakini oleh rakyat suatu daerah, mengenai tokoh-tokoh yang dikaitkan dengan asal-usul
sesuatu gejala alam. Misalnya legenda Malin Kundang dari Tanah Minang ataupun
legenda Sangkuriang dari Tanah Sunda, dan sebagainya. Dalam perkembangannya
kemudian, legenda juga mengandung pengertian atau mencakup ceritera- ceritera
mengenai tokoh histori, yang tersebar di kalangan rakyat banyak, ruengenai kehidupan
maupun pengalaman yang benar-benar terjadi maupun tidak pernah terjadi. Meskipun
demikian, sebagian rakyat meyakini kisah - kisah tersebut sebagai benar - benar
terjadi.Kita mengenal misalnya, ceritera mengenai Panembahan Senopati yang dikaitkan
dengan perkawinan rohaninya dengan Nyi Roro Kidul (penguasa laut selatan).
Alkisah Jan Peterszoen Coen yang digambarkan sebagai anak Baron Sekeber yang
kawin dengan keturunan Raja Pajajaran. Kemudian hikayat Ken Arok yang katanya
sebagai putera Dewa Brahma dengan Ken Endog, seorang wanita desa. Ada 1agi yang
mengkaitkan Suitan Agung sebagai keturunan garis Nabi Adam, sekaligas mengikuti
garis Bathara Guru. Demikian juga kisah Ayatolah Khumaeni yang diyakini sebagai
keturunan Nabi Muhammad. Dan masih banyak lagi.
Ceritera - ceritera semacam itu memang dimaksudkan untuk memitoskan mereka
sebagai tokoh - tokoh yang dianggap memiliki legimitasi sebagal penyandang gelar
pemimpin. Dalam masyarakat di mana proses legitimasi atau pengabsahan didasarkan
atas keturunan darah, maka diusahakan menyakinkan pendukungnya yaitu rakyatbahwa
penguasa tersebut betul- betul mempunyai darah yang di turunkan yang berasal dari para
pendiri kekuasaan.
PAK HARTO
Doktor Abu Su`ud mengatakan, sebagaimana kita tahu, masih berkembang
adanya keyakinan pada sebagian rakyat, bahwa almarhum Presiden Soekarno memiliki
darah keturunan raja-raja Singosari, Raja Jayabaya maupun Sunan Kalijaga. Bahkan
137
disebutkan pula, betapa Soekarno juga memiliki darah keturunan para penguasa
Belanda. Semua proses legitimasi itu untuk menunjukkan bahwa Soekarno bukan orang
kebanyakan. Menurut logika tersebut di atas tidaklah mungkin orang kebanyakan dapat
menjadi raja Jawa atau bahkan Indonesia.
Pada akhir Dasawarsa 7O'an telah berkembang pula kisah- kisah khayali yang
menghubungkan Presiden Soeharto dengan darah ningrat yang mengalir dari Susuhunan
Raja Jawa yang bernama Hamengku Buwono ke-8. Akhirnya secara resmi maupun
pribadi kisah- kisah macam itu telah dibantah untuk kepentingan pembenaran fakta
sejarah dan sekaligus sebagai proses pendidikan bagi masyarakat, tambahnya.
Pidato ilmiah Dr. Abu Su`ud memang cukup menarik para pengunjung yang hadir
dalam Dies Natalis IKIP Negeri tersebut. Di samping menyoroti pemimpin dan
legendarisasi, juga dari berbagi aspek lain. MisaInya tokoh Jawa, harus punya pegangan
semacam keris atau barang keramat lainnya untuk mengukuhkan kepemimpinannya. Di
sanping itu, ada juga tokoh pemimpin yang lahir bukan dari Iegenda, tetapi dari
"gegeran" atau kekalutan. Contohnya Ken Arok dengan gegeran Ganter melawan
Tunggul Amelung, Bung Karno dengan gegeran Revolusi '45 dan Pak Harto dengan
gegeran G.30.S/PKI.(C.20).
(Suara Merdeka, 31 Maret 1990)
138
4. MITOS 3,5 ABAD TERJAJAH
Setiap bangsa pasti memiliki mitos yang lahir secara tidak disengaja, namun
kemudian dikembangkan sebagai sebuah instrumen untuk kepentingan nation and
character building. Salah satu mitos yang selama ini dikembangkan, bangsa Indonesia
telah mengalami masa penjajahan kerajaan BeIanda selama 35O tahun. Masa itu
kemudian ditambah 3,5 tahun berada di bawah penjajahan balatentara Dai Nippon.
Celakanya, mitos itu justra membuat kecenderungan berpikir apologis pada hanipir
semua tingkat warga masyarakat. Yaitu kecenderungan untuk selalu mengkambing
hitamkan pada lamanya masa penjajahan yang nyaris tidak masuk akal itu, setiap kali
bangsa kita mernpunyai penampilan yang tidak membanggakan. Seperti kebodohan,
kemiskinan, ketergantungan, kepicikan, dan kelambanan dalam kerja. Tentu saja dampak
negatif itu bukan yang diharapkan sebagai nation and character building yang dipadukan
139
dalam pendidikan poutik oleh para pendidik bangsa kita. Taruhlah itu sebagai
kecelakaan.
Sudah barang tentu yang dimaksud semula dengan mitos tiga setengah abad
berada di bawah penjajahan bangsa Eropa, plus seumur jagung (baca: 3,5 tahun masa
penjajahan Jepang, bukan munculnya perasaan rendah diri ataupun sikap apologis tadi.
Pastilah yang dimaksudkan agar bangsa kita segera bangkit dari ketergantungan pada
kekuatan asing, dan selanjutnya mau belajar dari pengalaman sejarah, dan tidak menjadi
keledai yang terantuk dua kali pada batu sandungan yang sama.
Tidak Meninggalkan Sejarah.
Tidak hanya Bung Karno yang menghendaki agar kita tidak sekali-kali
meninggalkan sejarah. Artinya agar kita tidak melupakan kejadian-kejadian sejarah
bangsa sendiri. Oleh karena itu sejak kita duduk di SD semua pelajar sudah belajar
sejarah. Sementara itu Pak Harto juga berbicara tentang sejarah. Harapannya, agar kita
tidak terbelenggu oleh sejarah. Konteks pembicaraannya memang berbeda dengan
pernyataan Bung Karno.Yang dimaksud Pak Harto adalah agar kita sebagai bangsa harus
selalu bergerak maju. , dan meninggalkan masa lalu sebagai inspirasi dan sebagai guru,
dan bukan hanya termangu-mangu mengenang kejayaan masa lampau.
Lima puluh tahun berada dalam alam kemerdekaan dan diperintah oleh bangsa
sendiri tentu saja bukan merupakan masa yang lama untuk ukuran umur bangsa. Oleh
karenanya peringatan HUT kemerdekaan kali ini tidak usah diibaratkan dengan Tahun
Emas. Bukan pula Zaman Keemasan. Meskipun demikian masa itu sudah cukup lama
bagi suatu generasi untuk mawas diri dan belajar dari pengalaman. Selama separuh umur
republik bangsa ini telah mengalami berbagai pengalaman pahit namun segera dengan
sadar dikoreksi perjalanan sejarahnya.
Saat merayakan masa 50 tahun masa kemerdekaan seperti sekarang ini adalah
masa yang tepat untuk melakukan proses perenungan itu. Termasuk ke dalamnya
adalah melakukan perbaadingan dengan pengalaman sejarah bangsa tetangga serta
bangsa lain.
Daya Sentripetal
140
Masa awal kedatangan bangsa-bangsa asing di Indonesia di akhir' abad 16, merupakan
pertanda kemerosotan dalarn sifat hubungan antarbangsa, sekaligus juga merupakan masa
keberhasilan daya sentripetal- internal dalam melakukan konsolidasi kekuatan sosial,
ekonomi, dun poIitik, sehingga bisa menciptakan kesatuan dan tradisi besar (great
tradition) berupa negara. Mungkin belum berupa negara nasional, namun cukup untuk
hanya dianggap sebagai negara suku (etnic state). Yang dimaksud adalah kedaulatan di
bawan Syah Iskandar Muda di Aceh misalnya, yang merupakan pusat kekuatan sosial
ekonomi dan sekaligus politik untuk wilayah Indonesia Barat. Di wilayah Indonesia
Tengah, muncullah kekuatan integratif- sentripetal yang setara, yang berpusat di
Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agung Anyokrokusumo. Dalam pada itu di
kawasan 1ndonesia Timur, Sultan Hasanudin yang dijuluki “ayam jantan dari timur”,
telah menegakkan kekuatan nyata (real power) yang berpusat di Kerajaan Makassar.
Nampaknya daya sentripetal ini tidak bisa tidak dijiwai oleh semangat Islam,
sebagaimana ditulis oieh Dr Helius Syanasudin dalam “Pola Tarik Ulur Sentripetal dan
Sentrifugal dalam Sejarah Indonesia”. (Minibar Pendidikan IKIP Bandung No 3, Tahun
XII 1993).
Daya sentripetal itu kemudian berhadapan dengan kekuatan sentrifugal-
eksternal yang datang dari kekuatan penjajah asing, yang dikenal dengan istilah devide et
impera. Bahkan mereka mampu mengubah semangat primordial di antara suku bangsa di
Indonesia menjadi daya sentrifugal yang destruktif bagi semangat integratif bangsa kita.
Belum lagi posisi alami geografis Indonesia yang berbentuk “tanah air” yang telah ikut
manjadi daya sentrifugal yang disintegratif.
Secara individual masing-masing sentra kekuatan sosial, ekonomi dan politik
tersebut di atas cukup tangguh. Namun tidak adanya kordinasi di antara masing-masing
kekuatan nasional itu di saat itu, dan tiap-tiap kekuatan tidak berkembang secara
maksimal akibatnya mereka tidak mampu mengusir kekuatan penjajah. Hal itulah yang
secara konvensional dianggap sebagai kelemahan bangsa Indonesia dalam melawan dan
mengusir kekuatan penjajah. Sekali lagi kita menghadapi mitos. Betulkah variabel
tersebut yang menghambat keberhasilan kita mengusir penjajah? Bukankah dalam
berbagai episode sejarah terbukti bangsa Indonesia berhasil penjajah, seperti terbukti
141
Karaeng Galesung yang bekerja sama dengan Untung Surapati telah berhasil
mengusir penjajah? Nampaknya ada variabel determinan yang menjadi kunci
ketidakberhasilan upaya mengusir penjajah. Lantas kekuatan apa?
Era Penjajahan
Catatan sejarah dunia menunjukkan adanya “era penjajahan” dalam sifat
hubungan antarnegara. Untuk memperlunak dampak psikis merasa terjajah Muhammad
Yamin melakukan rekonstruksi dala periodisasi sejarah nasional Indonesia. Untuk itu dia
mengjukan uusul istilah periode “hubungan antatbangsa” sebagai ganti istilah periode
masa penjajahan. Dalam periode itu memang ada masanya sifat hubungan antar bangsa
itu tidak seimbang , karena inisiatif selalu berada di tangan bangsa Barat. Termasuk
inisiatif dalam menentukan bentuk perjanjian dengan para penguasa nasional yang amat
merugikan bangsa Indonesia.
Nampaknya hubungan yang tidak seimbang dalam hubungan antar bangsa pada
saat itu bersifat mondial, sehingga nyaris bisa disebut sebuah era. Pada saat itu inisiatif
selalu berada di fihak Barat, karena memiliki berbagai keunggulan dalam bidang
teknologi dan semangat petrualangan. Semangat yang membuat mereka mendoiminasi
hubungan antar bangsa itu adalah gold, glotry and gospel, yaitu kekayaan, balas dendam
dan penyebaran agama Nasrani.
Kemudian lahirlah era baru dalam hubungan antar bangsa yang ditandai kekuatan
ikut campurnya negara ketiga maupun supra negara yang menjadi ciri utama diplomasi
antar bangsa. Hampir tidak satupun bangsa yang terjajah dapat melepaskan diri dari
cengkeraman penjajah, kecuali ketika telah ikut campur proses diplomasi antar bangsa.
Nampaknya hanya Vietnamlah yang dalam arti kata sesungguhnya dapat memerdekakan
diri dari kekuatan asing, baik Perancis maupun Amerika, tanpa ikut campur kekuatan
diplomasi antar bangsa. Sejarah mencatat, kombinasi antara patriotisme, heroisme, dan
kelihaian diplomasi antar bangsa telah mengantar bangsa Indonesia ke pintu gerbang
kemerdekaan.
Ada tiga pelajaran yang bisa kita petik dari uraian tersebut di atas. Pertama,
“mitos 3,5 abad masa terjajah” memberi danpak negatif bagi nation and character
142
buiilding. Kedua, “era penjajahan” merupakan fenomena mondial, dan ketiga, aspek
“diplomasi antar bangsa” merupakan variabel determinan bagi proses pembebasan dari
penjajahan.
(SUARA MERDEKA, 5 Mei 1995)
oOo
143
B. MONOGRAFI TENTANG PERANG DIPONEGORO
1. DI SANA-SINI ADA MAKAM PANGERAN DIPONEGORO
Pada suatu hari, seorang reporler sebuah surat kabar memancing komentar saya
tentang berita ditemukannya makam Diponegoro di Demak, yang konon didapat lewat
wangsit oieh Sumito. Dengan tegas saya katakan bahwa pengakuan Sumito itu amat
spekulatif. Bisa benar, bisa juga salah. Oleh karenanya, diperlukan proses pembuktian
lewat penelitian teoritik maupun penelitian lapangan.
Bahwa berita itu bermula dari wangsit tentu saja tidak dengan serta merta harus
ditolak. Para detektif di Amerika pun tak segan-segan menggunakan jasa paranormal
dalam mencari sisik-melik misteri tindak kejahatan ataupun rajapati. Namun pelacakan
selanjutnya menjadi tugas para ditektif profesional. Kalau kita memang penasaran, dapat
saja melacak kebenaran adanya makam yang berisi jenazah manusia di tempat yang
diisyaratkan tersebut. Kalau memang benar ada jenazah tertanam di sana, tahap
selanjumya adalah melakukan pengujian secara ilmiah dengan cennat, yang menupakan
tugas bagian forensik serta dinas purbakala.
Sudah dapat kita duga bahwa kita bakal menghadapi kesulitan dalam melakukan
identifikasi jenazah yang sudah cukup larna, lebih-lebih manakala identitas Pangeran
Diponegoro fisik sendiri tidak banyak kita ketahui. Misalnya, tahukah kita susunan gigi
tokoh sejarah itu, karena tidak ada berita adanya ciri rahang pahlawan masa abad 19
tersebut.
Selanjutnya untuk menguji kebenaran jenazah seseorang di masa lampau juga
diperlukan pengujian umur jenazah. Secara teoritis. para petugas tak bakal mengalami
kesulitan, karena dinas purbakala juga mempunyai ilmunya, dengan menggunakan
proses pengujian kimiawi. Dengan teknik pengujian semacam kita tidak akan terkecoh
oleh suatu sosok jenazah dengan umur yang tidak sesuai dengan umur sejarahnya.
144
Kerangka Sejarah
Peetanyaan yang seterusnya harus terjawab adalah apakah penemuan itu
tidak mengubah kerangka atau cerita sejarah seperti yang sudah kita kenal sekarang dan
sebelumnya (histoty as writen) Pangeran Diponegoro. Tentu saja temuan itu tak akan
mengubah kerangka sejarah, dalam hal ini sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro.
Kalau ada perubahan itu hanya sekitar masa-masa akhir hayatnya. Kepastian itu
beralasan, karena sebagian besar sejarah perjuangan Pangeran Diponegoro sudah
diketahui dan ditulis dalam berbagai dokumen. Tidak pennah ada keraguan tentang
kebenaran episode sejarah di tanah Jawa yang dikenal dalam literatur Belanda sebagai De
Orloog van Jawa atau Perang Jawa itu.
Dalam masa sejarah, sebagai lawan dari masa pra sejarah, di mana sumber-sumber
tertulis merupakan alas pembuktian utama, penemuan kerangka jenazah, instrumen
peperangan, maupun puing-puing bangunan, tidak punya makna yang berarti untuk
terjadinya perubahan kerangka sejarah. Kalaupun ada pengaruhnya, hanyalah dalam alur
cerita sejarah. Tidak demikian halnya kalau temuan iitu berkaitan dengan suatu episode
dalam masa purba ketika rekaman tertulis hanya merupakan tambaban, karena
kebanyakan bukti sejarah terdiri atas peninggalan tak bertulis.
Jadi seandainya ternyata ada bukti amat meyakinkan secara arkhaeologis Pangeran
Diponegoro dimakamkan di Demak, seperti diributkan akhir-akhir ini, atau dimakamkan
di Madura, sebagaimana dikemukakan Amen Budiinan, sejarah Perang Diponegoro
tidak mengalami perubahan. Paling-paling muncul pertanyaan terbaru, yattu bagaimana
kelanjutan cerita sejarah Pangeran Diponegoro setelah ia dibuang ke Sulawesi Utara.
Mengapa kemudian ia “bisa kembali” ke Madura ataupun ke Jawa Tengah? Kemauan
siapakah jenazah iiu dipindahkan? Apakah untuk menghindari terbentuknya kelompok
fanatikus di daerah pemakaman, seperti konon dilakukan terhadap jenatah Untung
Suropati? Ataukah ada latar belakang lain, seperti terjadi dengan pemindahan makam
Napoleon Bonaparte maupun Lenin ke tempat yang sekarang, yang dekat dengan
masyarakat pendukungnya? Bagaimanapun, kerangka utama sejarahnya tidak akan
berubah, sebab didukung berbagai dokumen yang meyakinkan sebelumnya.
145
Kultus Kubur?
Sebenarnya kita tak perlu merisaukan adanya pro dan kontra tenang upaya
pelacakan atas kebenaran adanya makam Pangeran Diponegoro di Demak. Pelacakan itu
makin cepat makin baik, agar masyarakat tidak penasaran terlalu lama. Penemuan itu
sendiri tak akan mengganggu stabilitas negata maupun ketahanan nasional. Seperti
beberapa tahun lalu, ketika masyatakat santer membicarakan isu tentang masih hidupnya
Supriyadi, pahlawan Peta yang sudah diyakini teiah meninggal di Blitat, tidak perlu ada
kebijakan pemerintah yang mematikan isu itu.
Biarkan mereka yang yakin Supriyadi masih hidup mengemukakan segala bukti
sejarah untuk mendukung keyakinan mereka. Dan Sejarah, sebagai ilmu, dapat
mengakomodasikan kemungkinan timbulnya lebih dari satu versi, yang masing-masing
sah sebagai history as writen. Sedang bagaimana yang sebenarnya terjadi sebagai history
as a fact, tetap merupakan misteri.
Dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad pernah dimunculkan anggapan bahwa
saat kelahiran (maulud) Nabi bukan pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awwal tahun
Gajah. Tentu saja pandangan ini amat merisaukan masyarakat muslim, terutama yang
betpandangan pintu ijtihad telah tertutup. Sebalikhya pihak yang menempatkan
pandangan yang melawan anggapan itu betanggapan, dengan pandangannya itu, bahwa
perubahan kecil ita tidak akan mengganggu gugat akidah Islamiah. Alasan mereka
adalah, Senin l2 Rabiul Awal merupakan hasil political will, karena pada masa itu
bangsa Arab belum mempunyai kebiasaan mencatat saat kelahiran seseorang. Dan lagi
ketika Muhammad lahir beliau belum merupakan tokoh yang perlu diingat hari
kelahirannya. Titi mangsa itu tampaknya hanya diambil dengan analogi pada hari wafat
maupun hari hijrah Muhammad, yang keduanya sudah logis kalau diingat karena
Muhammad sudah menjadi tokoh historis. Lebih-lebih Muhammad waktu dilahirkan
bukan merupakan tokoh yang pantas dicatat hari kelahirannya.
Hal yang sama juga terjadi pada ketentuan Hari Jadi Semarang, yang juga
merupakan political will. Yang lebih perlu diwaspadai dengan isu makam Pangeran
Diponegoro adalah kemungkinan mencuatnya motivasi tak sehat, berupa kultus kubur,
seperti yang berkembang di sekitar makam-makam ”orang suci”. Kekhawatiran itu tentu
saja beralasan, mengingat kebiasaan penduduk yang amat mengagungkan makam-makam
146
1eluhurr. (29)
(SUARA MERDEKA, 5-2- 1994)
2. PERANG DIPONEGORO
(Ditinjau dari Segi Militer)
:
Perang akan selalu dimenang-kan oleh pihak
yang paling sedikit membuat kesalahan.
BAB I PENDAHULUAN
Banyaklah sudah karangan yang ditulis atau pidato yang diucapkan pada hari-hari
wafatnya Pangeran Diponegoro, tentang diri Pangeran Diponegoro dan perjuangannya,
hingga demikian tidak asinglah lagi bagi kita siapa sebenarnya tokoh perjuangan
kemerdekaan pada abad ke 19 ini. Riwayat hidupnya telah banyak dikenal melalui
tulisan-tulisan yang khusus mengenang masa-masa perjuangan beliau dalam memimpin
perjuangan melawan penjajah Belanda, dalam usaha mengusir segala bentuk penjajahan
dari muka bumi Indonesia. Kisah perjuangannya dalam meminpin rakyat Indonesia untuk
menjatuhkan segala kekuatan sosial yang ada pada bumi Indonesia untuk mengusir dan
menggulingkan segala praktek kelaliman, mengikis segala pengaruh buruk kebudayaan
Barat yang telah mengotori kesucian kebudayaan Indonesia. Perjuangannya untuk
memulihkan dan menegakkan kembali susunan masyarakat yang kuat dan bersih dari
pengaruh buruk dari kebudayaan Barat, telah banyak menarik minat para penulis
Indonesia. Pada umumnya tinjauan mereka itu berkisar pada sebab-sebab yang bersifat
sosial ekonomis, yaitu bagaimana keadaan masyarakat dan ekonomi penduduk Jawa pada
saat-saat sebelum peperangan. Akhirnya juga bagaimana akibat sosial ekonomis
peperangan itu yang nampak pada masyarakat Jawa serta pada pemerintahan pendudukan
Belanda. Akan tetapi masih sangat sedikit bahan bacaan dalam bahasa Indonesia yang
menguraikan segi-segi peperangan itu sendiri. Sedang daripadanya kita dapat mengambil
banyak teladan, umpamanya bagaimana strategi dan taktik yang dipergunakan oleh
Diponegoro selama peperangan yang berlangsung antara 1825 – 1830.
147
Penulis bertolak dari anggapan dasar bahwa peperangan yang dilancarkan oleh
Pangeran Diponegoro ialah merupakan suatu perang kemerdekaan. Dibawah ini akan
dimajukan alasan penulis yang mendasari anggapan tersebut. Terlebih dahulu akan
diuraikan dengan secara sederhana apakah hakekad-hakekad perang itu dan bagaimana
pendapat para ahli tentang perang. Kemudian juga atas dasar alasan manakah perang
yang dikobarkan oleh Diponegoro itu dapat disebut suatu perang kemerdekaan.
Bagaimana pertimbangan kekuatan kedua belah pihak yang berperang akan dibicarakan
pula, yaitu bagaimana kekuatan dipihak Diponegoro dan bagaimana pula kekuatan
dipihak sekutu.
Penulis dengan dasar menggunakan istilah sekutu untuk pihak lawan Diponegoro
kendatipun Diponegoro dalam setiap kesempatan selalu menegaskan bahwa yang
diperangi hanyalah kekuasaan Belanda. Dalam sebuah kesempatan ketika pasukan
Diponegoro terpaksa membinasakan saudaranya sendiri, yaitu dalam pertempuran pada
tanggal 30 Juli 1826 di Nglengkong, beliau menulis sepucuk surat untuk menegaskan
pendiriannya. Surat itu antara lain berbunyi sebagai berikut:
“Sripaduka menulis setjarik surat kepada hamba tentang meninggalnja
adinda Murdaningrat dan pamanda Panular, dan jang lain-lain (meninggal
karena tewas dalam peperangan dan dibunuh oleh tentara Diponegoro);
keadan itu berlaku, karena melanggar aturan; berani melawan kami,
sedangkan kami sekali-kali tidak ada mengandung maksud berperang dengan
sanak saudara sendiri. Sebaliknja kami selalu berharap, supaja mereka sesuai
dengan perasaan kami dan supaja bentji kepada Belanda ……dst.1
Akan tetapi kita tidak dapat memungkiri adanya kenyataan sejarah, bahwa selain
mengerahkan segala tenaga tempur yang terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa
lainnya, Belanda juga telah mengajukan tenaga tempur dari suku-suku bangsa pribumi
Indonesia untuk berperang dipihak mereka. Sejarah telah membuktikan bahwa bantuan
pasukan dari Maluku, seperti dari Ambon dari Sultan Ternate dan Tidore ikut
memperkuat pasukan-pasukan Belanda. Demikian pula bala bantuan didatangkan juga
dari Makasar dan putera-putera Gunung dari Arafuru. Tidak sedikit pula bantuan dari
1 M.D. Sagimun, Pahlawan Diponegoro Berjuang , Cabang bag. Bahasa dan urusan adat istiadat dan cerita rakyat Jawa. Kebudayaan Dep. P. P dan K. Jogjakarta, 1960, hal. 135
148
tentara Sultan Sumenep, Mangkunegaran dan Susuhunan Surakarta. Dan jangan
dilupakan orang-orang perantauan yang dipersenjatai dan disuruh berperang dipihak
Belanda.
Mula-mula kita dapati pasukan-pasukan Diponegoro memperoleh kemenangan-
kemenangan taktis ditiap medan pertempuran, pada tahun-tahun pertama peperangan.
Akan tetapi kemudian ternyata berturut-turut sampai akhir peperangan, pasukan-pasukan
Diponegoro selalu didera kekalahan-kekalahan baik taktis maupun strategis. Dalam Bab
yang membicarakan masalah itu, penulis akan memberikan ulasan mengenai sebab-sebab
dan latar belakangnya. Termasuk kedlamnya gambaran mengenai perimbangan kekuatan
yang dipunyai oleh kedua belahpihak yang berlawanan. Juga bagaimana bentuk strategi
yang dijalankan oleh kedua belah pihak yang berperang.
Baik juga penulis mencantumkan sekedar arti istilah-istilah teknis yang sering kita
jumpai dalam karangan ini, taktik dan strategi. Karl Von Clausewitz memberikan
rumusannya sbb: “Taktik ialah teori mengenai pemunggunaan kekuatan-kekuatan militer
dalam pertempuran-pertempuran, sedang strategi ialah teori mengenai penggunaan
pertempuran untuk tujuan perang.”2
Dengan perkataan lain maka istilah strategi mengandung pengertian kebijaksanaan
umum yang dipunyai oleh setiap pimpinan dari setiap pihak yang berperang, dalam
melaksanakan peperangan dan dalam usaha mencapai tujuan-tujuan peperangan.
Sedangkan taktik mengandung pengertian yang lebih sempit, yaitu kebijaksanaan yang
diambil oleh pimpinan-pimpinan pasukan untuk mencapai tujuan pertempuran. Sebagai
tambahan, dalam bab terakhir penulis akan memberikan rangkuman dan kesimpulan
mengenai karangan ini.
Dalam karangan pendek ini penulis berpengharapan bahwa kita dapat mengambil
pelajaran dari masa lampau. Dan kemudian dapat menentukan sikap yang lebih matang
untuk menghadapi hidup masa kini dan masa datang, sesuai dengan hahekad tujuan
pendidikan sejarah. Dengan perkataan lain kita dapat menampung, meskipun hanya
sebagian kecil, amanat penderitaan bangsa kita pada suatu episode yang bergelora yaang
meskipun telah gagal akan tetapi tidak sia-sia dalam rangka keseluruhan perjuangan
bangsa. Semoga kita tidak menyia-nyiakan amanat penderitaan rakyat dari generasi yang
2 Karl Von Clausewitz, Tentang Perang (terjemahan R. Soesatyo, Mayor Inf.) Pembimbing, Jakarta, 1954, hal.
149
lampau, supaya dengan demikian kita dapat bertindak dengan lebih matang untuk
berjuang dalam rangka menyelesaikan revolusi bangsa Indonesia. Semoga berhasil.
BAB I PERANG KEMERDEKAAN
1. Hakekat Perang.
2.
Dalam suatu perdebatan, seorang kawan dengan secara berseloroh mengatakan
bahwa ilmu sejarah sangat penting artinya dalam kehidupan manusia. Lebih jauh dia
mengatakan bahwa seandainya tidak ada ilmu sejarah maka tidak akan ada perang Dunia
ataupun peperangan yang lain didunia ini. Sepintas lalu pernyataan kawan saya itu amat
menggelikan. Betapa amat menggelikannya dan terbaliknya jalan pikirannya itu. Akan
lebih tepat barang kali kalau dia mengatakan kalau didunia ini tidak ada peperangan
apapun, maka tidak akan ada ilmu sejarah. Walaupun pernyataan itupun tidak semuanya
benar, tetapi dalam satu segi ada kebenarannya. Sejarah manusia memangdiwarnai oleh
perjuangan-perjuangan untuk mempertahankan hidup dan seringnya dilanjutkan dengan
bentrokan-bentrokan bersenjata yang disebut perang. Hal ini terjadi sepanjang sejarah
kemanusiaan, sejak permulaan adanya peradaban sampai pada masa-masa di mana
manusia telah mencapai peradaban yang tinggi. Memang benar bahwa sejarah bukanlah
ilmu pengetahuan yang khusus membicarakan peperangan-peperangan melulu, akan
tetapi karena perang sebagai salah satu gejala dalam masyarakat manusia yang paling
menentukan dalam perkembangan manusia, maka dengan sendirinya perang telah banyak
mengambil tempat dalam halaman-halaman kitab sejarah kemanusiaan.
Bahkan dalam pertunjukan-pertunjukan wayang, perang merupakan inti pertunjukan,
karena disitulah digambarkan suatu bentrokan antara pihak kebenaran melawan pihak
kejahilan. Pihak kejahilan digambarkan dengan segala bentuk yang menakutkan dan
dengan bentuk lahir berupa raksasa. Sebaliknya pihak kebenaran digambarkan dengan
bentuk yang tampan dan umumnya dengan bentuk lahir yang lembut. Dan pertunjukan
selalu akan berakhir dengan kemenangan ada dipihak yang mewakili kebenaran. Itupun
moral pertunjukan kesenian, akan tetapi dalam dunia kenyataan, maka tidak selamanya
dalam bentrokan antara pihak yang mewakili kebenaran melawan pihak yang mewakili
150
kejahilan selalu diakhiri pihak dengan kemenangan yang mewakili kebenaran. Banyaklah
faktor yang ikut menentukan jalannya peperangan yang berlangsung. Hingga tidak jarang
pihak yang mewakili kejahilan memperoleh kemenangan, walaupun hanya bersifat
sementara. Dalam hal ini maka berarti pihak yang mewakili kebenaran untuk sementara
waktu mengalami kegagalan dalam usaha mempertahankan kebanaran itu. Dalam sejarah
Indonesia banyak sekali contoh yang menunjukkan bahwa rakyat Indonesia telah
mengalami kegagalan dalam berjuang mengusir penjajah Belanda.
Dari sejarah pula kita dapat mengetahui bahwa perang dapat merupakan ahli kimia
ajaib, yang telah merobah keadaan mayarakat tertentu dengan secara mendadak. Keadaan
masyarakat tertentu tiba-tiba berubah warna sama sekali sebagai akibat dari peperangan
yang baru saja berlangsung. Beberapa susunan pemerintahan baru tiba-tiba bermunculan
dibagian dunia ke II. Republik Indonesia muncul pada 17 Agustus 1945 segera setelah
selesai perang pasifik atau Perang Asia Timur Raya. Kenyataan itu memeberikan bukti
bahwa hampir semua perkembangan sejaran dan peradapan manusia diisi oleh peristiwa-
peristiwa perang. Nyatalah disini bahwa perang merupakan suatu sebab dari kejadian-
kejadian penting dalam peradapan manusia, walaupun tentu saja bukan satu-satunya
sebab. Banyaklah contoh yang menunjukkan bahwa kejadian-kejadian yang bersifat
“kebetulan” sering berhasil menciptakan perubahan-perubahan dalam peradapan
manusia. Diceritakan bahwa jatuhnya sebuah apel masak dikebun pada akhir tahun 1687
telah membuat Isaac Newton 1 menemukan hukum gaya berat semesta. Penemuan Isaac
Newton itu merupakan penyempurnaan teori Galileo dan Kepler tentang peredaran
benda-benda langit. Dan yang lebih penting ialah karena ternyata merupakan pertanda
bagi naiknya zaman pencerahan dalam bidang fisika. Sebuah peristiwa lagi terjadi pada
tahun 1520. pada waktu itu anak-anak buah ketiga perahu yang dipimpin oleh Colombus
sedang merasa putus asa disebuah titik dilautan Atlantik, ketika tiba-tiba terjadi badai
yang menyerat perahu-perahu tersebut. Ke pantai sebuah benua baru. Peristiwa itu
kemudian menjadi pembuka zaman baru2, yaitu zaman kolonisaai secara besar-besaran ke
benua baru itu yang kemudian terkenal dengan Benua Amerika.
1 Louis L Snyder, Abad Pemikiran (terjemahan Nyoman S Pendit), Bhratara, Jakarta, 1961, hal. 29. 2 Jean Canu, Sejarah Anerika Serikat (terjemahan Mr. Nany Suwondho), Pustaka Rakyat N.V.,
Jakarta 1953, hal. 5.
151
Bertolak dari kenyataan di atas sampailah kita pada kesempatan untuk membicarakan
perang Diponegoro, ialah suatu peristiwa dalam sejarah Indonesia yang meninggalkan
bukti-bukti berupa catatan bertarich. Dan peristiwa itu telah berlangsung dari tahun 1825
sampai dengan awal 1830.
Lalu apakah hakekad perang sebenarnya ? Dan mengapa peristiwa yang terjadi di
Jawa Tengah dan Jawa Timur antara 1825 – 1830 itu disebut perang?
Setiap terdengar perkataan perang terbayang di depan mata kita suatu pertarungan
mempertaruhkan jiwa raga antara dua belah pihak atau lebih, dimana masing-masing
pihak berusaha mengalahkan lawannya dengan kekuatan senjata. Gambaran itu sesuai
benar dengan pendapat orang – orang yang selalu disebut-sebut namanya setiap kali
orang membicarakan perang, yaitu Karl van Clausewitz. Didalam bukunya yang berjudul
“Tentang Perang” dijelaskannya bahwa baginya “perang merupakan suatu pergulatan
secara secara besar-besaran, dimana masing-masing pihak memaksa pihak lawannya
dengan kekuatan jasmaninya, untuk supaya tunduk kepadanya”.3
Dengan pengertian baru ini kita hendaknya mencoba menjawab pertanyaan yang
mungkin timbul dalam pikiran kita, apakah peristiwa yang terjadi pada suatu masa antara
1825-1830 disebagian pulau Jawa itu dapat disebut perang? Jawabannya dengan tegas
ialah benar. Sejarah dengan tegas telah membuktikan ada dua belah pihak yang saling
bertentangan. Di satu pihak berdiri Diponegoro yang mendapat dukungan yang merata
dari sebagian besar penduduk Jawa. Dipihak lain berdiri kekuasaan Belanda yang
bersekutu dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintahan, seperti kesultanan Yogyakarta,
Kesunanan Surakarta, Keadipaten Mangkunagaran serta pihak Monconegaran, dibawah
pimpinan Letnan Jendral Marcus de Kock.
Kemudian timbul lagi pertanyaan, pihak mana yang berusaha mendesakkan
kehendaknya terhadap pihak lain? Jawabannya tentu saja kedua belah pihaklah yang telah
sama-sama mendesakkan kehendaknya. Pihak Belanda selalu mendesakkan kehendaknya
kepada pihak Diponegoro. Dan dan kehendak itu banyak sekali wajahnya. Pihak Belanda
antara lain telah mendesakkan atau memaksakan cara hidup baru, suatu kebudayaan baru
kepad pihak Diponegoro dan kepada masyarakat Jawa.
3 Karl von Clausewitz, op cit. hal. 1
152
Di lain pihak maka Diponegoro sebagai lambang kehendak rakyat, berusaha pula
mempertahankan pendiriannya. Dan pendiriannyapun berwajah banyak. Diantaranya
penolakan masuknya pengaruh kebudayaan Barat yang buruk terhadap masyarakat Jawa,
terutama dikalangan tinggi. Pihak Belanda hendaknya mau menghargai cara hidup dn
kebudayaan Indonesia, khususnya di Jawa dan mau pula menghargai atau menghormati
harga diri Pangeran Diponegoro beserta rakyatnya. Dalam pertentangan itu masing-
masing pihak telah mempergunakan seluruh tenaga jasmani dan rohaninya, hingga
timbullah pergulatan senjata yang dasyat. Itulah hakekad perang.
Setiap uraian perang tidaklah mungkin bersifat obyektif, hingga uraian itu bersifat
deskriptif, selama penulisnya masih berasal dari salah satu pihak yang berperang. Setiap
buku yang ditulis oleh pihak Belanda tentang perang Diponegoro, dalam setiap
kesempatan akan mengatakan bahwa pihak Diponegorolah yang tidak benar, karena telah
mengadakan pembangkangan dan pemberontakan melawan kekuasan yang ada.dan
dengan demikian maka pihak belandalah yang benar. Akan tetapi di pihak Diponegoro
dengan sendirinya mempunyai pendapat yang berlainan, yaitu pihak Belandalah yang
bersalah, karena selalu mengadakan penindasan terhadap rakyat Indonesia, dalam hal ini
di Jawa. Dan setiap pengemban amanat penderiataan rakyat dengan tegas akan memilih
tempat di belakang pendapat Diponegoro itu. Hingga dengan demikian penulis dengan
sendirinya tanpa ragu-ragu mempergunakan julukan yang tegas bagi perang yang terjadi
pada waktu itu, seperti dalam uraian mendatang ini.
2. Perang Diponegoro Sebagai Perang Kemerdekaan.
Perkataan Diponegoro didepan perkataan perang dimaksudkan untuk memberi ciri
dan tekanan bahwa daalam perang itu yang memegang peranan penting ialah Pangeran
Diponegoro. Jadi bukan Trunojoyo ataupun pahlawan yang lain. De Stuers memberikan
julukan La Guerre de Java atau perang Jawa untuk peristiwa yang sama, dengan
menganggap remeh peranan Pangeran Diponegoro sebagai seorang pengatur strategi
perang yang telah berlangsungselama lima tahun di tanah Jawa. Dia hanya memberikan
tekanan kepada tempat terjadinya peristiwa perang itu, yaitu tempet terjadinya kegiatan
Belanda. Kita bisa membandingkan julukan perang Korea dan perang Pasifik, untuk
153
memberikan tekanan bahwa perang-perang itu terjadi di tanah Korea dan yang satunya
diperairan lautan Pasifik. Kita mengenal pula julukan Perang Boer ataupun Perang
Punisia untuk membedakan bahwa perang yang pertama adalah melawan bangsa Boer
dan yang kedua melawan bangsa Punisia.
Dengan pemberian perang Diponegoro ini selain untuk memberikan tekanan pada
peranan Diponegoro, penulis hendak menyatakan bahwa keterangan Diponegoro
mempunyai hubungan erat dengan sifat perang itu sendiri, yaitu perang kemerdekaan.
Akan tetapi sebelum memberikan bukti bahwa perang yang dilakukan oleh Diponegoro
dan pasukannya itu merupakan perang kemerdekaan, maka lebih dahulu baiklah kita
ketahui apa yang disebut perang kemerdekaan itu.
Perang idak lain dan tidak bukan adalah lanjutan dari pada politik dengan cara
lain. Maka kita lihat perang bukan saja merupakan suatu tindakan politik, namun
juga sesungguhnya suatu alat politik, suatu lanjutan dari pergaulan politik, yang
melanjutkannya dengan cara – cara lain.4
Itu adalah perumusan Clausewitz yang paling mashur diantara perumusan-
perumusan yang lainnya tentang perang. Perumusannya itu memberikan jawaban
bahwa perang sebenarnya hanyalah alat saja, jadi bukan tujuan. Bila hubungan antara
dua negara atau antara rakyat dengan pemerintahnya, ataupun antara suatu bangsa
yang terjajah dengan suatu bangsa yang kebetulan menjadi penguasa, tidak
memberikan kepuasan dalam bidang politik, maka keadaan “damai” itu tidak
mungkin lebih lama lagi dapat dipertahankan. Dengan demikian maka dicarilah jalan
untuk mendapatkan kepuasan politik itu. Dan salah satu cara atau alternatif yang
paling exstrim yang dapat diambil yaitu mengobarkan peperangan dengan maksud
supaya pihaknya akan mendapatkan kepuasan politik itu. Dan kalau kita akan
berbicara dalam rangka hukum sebab akibat, maka pada tingkat pertama perang
merupakan suatu akibat, yaitu akibat dari konstelasi politik dari masyarakat tertentu
pada masa tertentu. Dengan demikian maka sifat akibat tidak akan menyimpang dari
sifat percaturan politik pada waktu itu.
Perkembangan politik di tanah Jawa, khususnya didaerah Mataram pada waktu itu,
yaitu sebelum pecah perang adalah demikian rupa, hingga rakyat dan sebagian para
4 Karl von Clausewitz, op cit. hal. 27.
154
bangsawan merasakan adanya suasana politik yang tidak memuaskan. Perkataan politik
disini jangan diartikan dalam hubungan pemerintahan saja, akan tetapi juga dalam
hubungan dengan keadaan sosial dan ekonomi masyarakat. Suasan apolitik pada waktu
itu sangat menguntungkan pihak Belanda. Pada hati rakyat sangat deras timbulnya
kesadaran bahwa keadaan buruk itu tidak mungkin lebih lama lagi dipertahan kan terus.
Demikian juga perasaan itu terdapat pula pada dada para bagsawan. Kesadaran itu lebih-
lebih menggerakkan hati pemimpin-pemimpin rakyat. Seperti Pangeran Diponegoro,
Pangeran Mangkubumi, Kyai Modjo, Sentot Prawirodirdjo dsb. Untuk segera berusaha
mengubah keadaan pada waktu itu. Dan pendirian serta keyakinan yang terdapat pada
dada mereka itu tidak mungkin lagi dapat diubah. Bila dengan jalan damai pemerintah
jajahan tidak mau mengubah sikap dan tidak pula mau menghargai sikap Diponegoro dan
rakyatnya, maka tidak ada pilihan lain kecuali diambilnya di jalan perang untuk mencapai
politik itu tadi. Dengan demikian pergulatan dengan senjatapun dimulailah.
Karena pihak yang merasa tidak puas dengan konstelasi politik pada waktu itu adalah
bagsa yang terjajah. Maka perang yang dilakukan oleh pihak yang terjajah untuk
mengusir pihak yang menjajah itu, untuk mencapai kemerdekaan bangsanya, disebut
perang kemerdekaan. Nyatalah disini bahwa motif dari perjuangan bersenjata yang
dilakukan oleh rakyat dan pemimpin-pemimpinnya, ialah hasrat untuk kemerdekaan diri
dari belenggu penjajahan dalam semua bidang kehidupan. Jelas sekali tujuan politik dari
perang itu ialah membentuk suatu negara dan masyarakat Indonesia yang bebas dari
pemerasan penjajah. Dengan perkatan lain merupakan reaksi dari keadan dimana
kemerosotan moral sangat merajalela dan beban rakyat begitu berat sebagai akibat
penetrasi Belanda.
Istilah perang kemerdekaan ini juga merupakan reaksi terhadap istilah yang di ajukan
oleh Jean Gottmann. Dalam kerangkanya yang berkepala perkembangan perang kolonial
perancis, dia antara lain mengatakan bahwa peristiwa itu adalah “Sebagai perang
155
kolonial”.5 Sedangkan professor Q. Wright6, seorang penulis sejarah militer, dalam
bukunya yang berjudul “A Study of war” menyebutkan, bahkan, perang-perang yang
terjadi terjadi selama kurun masa antara tahun 1789-1914 ialah perang kapitalisasi,
artinya perang yang bertujuan untuk menanamkan kapital-kapital pada daerah-daerah
jajahan. Hal itu disebabkan karena perbedaan tempat dari mana orang memandang
persoalan itu. Kalau pihak penjajah dipandang sebagai subyek dan pihak yang terjajah
dipandang sebagai obyek, maka benarlah apa yang dikatakan oleh kedua orang penulis
dari Barat itu. Akan tetapi sebagai bangsa yang telah mengalami betapa pahit rasanya
terjajah selama tiga setengah abad, maka saya berpendapat tidak adalah istilah yang lebih
herois dan dengan demikian lebih tepat untuk menamai perang yang demikian itu sebagai
perang kemerdekaan.
5 Baca karangan Jean Gottmann : Perkembangan Perang Kolonial Perancis, dalam buku Edward Mead Earle, Penyusun-prnyusun Strategi Perang Modern, Bhratara, Jakarta 1962, hal. 201-221.
6 Edward Mead Earle, ibid, hal. 246. Prof. Q. Wright membagi sejarah peperangan dalam kurun masa-
masa yang baik sekali: a) Kurun mas pemakaian senjata api (1450-1648), b) kurun masa tentara profesional dan perang dinasti (1648-1789), c) kurun masa kapitalisasi (1789-1914), dam d) Kurun masa perang total (1914-1942).6
156
BAB II PERIMBANGAN KEKUATAN
1. Casus Belli.
Kalau mau dituliskan secara terperinci sebab-sebab timbulnya perang Diponegoro,
maka uraian itu akan merupakan buku yang berjilid-jilid tebalnya, sebab akan berisi
cetusan perasaan tidak puas yang diderita oleh lapisan masyarakat di Jawa Tengahsejak
mulainya ada bentuk penjajahan pada pertengahan abad ke 17. semua kegagalan yang
dialami perang-perang kemerdekaan yang terjadi pada masa-masa sebelum 1825 juga
merupakan sebab-sebab timbulnya perang Diponegoro itu.
Saat pemerintahan Amangkurat I (1645-1677) dikenal sebagai langkah yang tidak
menunjukkan keperwiraan bagi tradisi Mataram. Tradisi menentang penjajahan yang
telah dirintis oleh Sultan Agung (1613-1645), telah dirusakan oleh Amangkurat I, sebab
raja ini telah secara jurudis mengakui adanya kekuatan asing di Batavia yang berbentuk
V.O.C. Tindakan itu dibuktikan adnya perjanjian yang diadakan dengan V.O.C. yang
terjadi pad 1646, antara lain berisi :
1. Mataram mengakui Belanda di Batavia
1. Mataram boleh berdagang dengan merdeka di seluruh Indonesia
kecuali dengan :
a) Ternate, Ambon dan Banda
b) Pelayaran ke Malaka atau melalui Malaka harus memakai surat
izin Belanda.
2. V.O.C. tiap-tiap tahun mengirimkan utusan ke Mataram. 1
Selanjutnya keadaan di Jawa menjadi lebih buruk lagi selama pemerintahan Amangkurat
II, yang hanya karena ingin tetap sebagai Susuhunan di Mataram, telah memberikan
kesempatan lebih banyak lagi kepada Belanda untuk menguasai tanah Jawa. Perjanjian
yang diadakan pada 1677 antara Amangkurat II dengan pihak Belanda antara lain
berbunyi :
1. Mataram membajar 250.000 rejal dan 3.000 pikol beras dibajar 3 kali
dalam tiga tahun.
1 R. Moh. Ali, Perjuangan Feodal Indonesia, Ganaco N.V. Jakarta Bandung, 1963, hal. 130.
157
2. Pelabuhan DJawa semuanja terbuka bagi V.O.C.
3. V.O.C. mendapat daerah Kerawang dan Priangan.
4. Ongkos perang selandjutnja ditaksir 20.000 rejal harus dibajar oleh
Mataram (tiap-tiap bulan).2
Dari kegiatan ini dapatlah kita maklumi betapa Belanda telah menghujamkan cakar
kolonialismenya ke bumi Indonesia. Profesor Dr. D. H. Burger telah mentafsirkan
keadaan sejak 1677 itu Mataram telah menjadi “semacam” protektorat” kompeni”.3
Dengan demikian maka kekuasaan atau pemerintahan atas bangsanya sendiri telah hilang.
Kemudian kita mengetahui bahwa keadan yang merupakan awal dari ikut campur tangan
asing itu telah membangkitkan tokoh-tokoh seperti Trunojoyo dan Untung Suropati untuk
mengadakan pemberontakan menurut istilah Belanda. Masing-masing telah terjadi sekitar
tahun 1674-1679 dan sekitar tahun 1683-1706. Akan tetapi sejarah telah membuktikan
bahwa teknik Belanda yang lebih unggul telah memadamkan api perlawanan bersenjata
itu.
Kemudian sejarah juga membuktikan bahwa sejak itu Belanda mulai melakukan
campur tangan dalam segala bidang kehidupan di tanah Jawa, terutama didaerah
“kekuasaan” Mataram. Sebagai pihak yang bersikap sebagai “protektor” maka Belanda
mulai menguasai perekonomian tanah Jawa. Belanda yidak lagi berdagang secara bebas,
tetapi sebaliknya mulai menjalankan monopoli atas pemasukan barang-barang import ke
wilayah Mataram dan juga atas pelemparan hasil-hasil bumi Mataram.
Setelah selesai perang mahkota ketiga (11755), maka selain Belanda telah benar-
benar menguasai daerah-daerah diluar Mataram, yang lebih menyedihkan ialah
terpecahnya “wilayah” Mataram menjadi empat “kekuasaan” yang kecil-kecil. Sebagai
akibat perjanjian Gianti pada 1755 timbullah “kekuasaan” baru seperti Kesunanan
Surakarta dibawah seorang Paku Buwono Kesultanan Yogjakarta dibawah Hamengku
Buwono. Dalam tahun 1757 muncullah Mangkunegaran sebagai “kekuasaan” baru di
Surakarta dan pada tahun 1812 di Jogjakarta muncullah “kekuasaan” Pakualaman. Semua
kerajaan itu baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang ekonomi betul-betul 2 R. Moh. Ali, ibid. hal. 134.3 D. H Burger, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia, jilid I (disadur oleh Prof. Dr. Prayudi
Atmosudirjo), P. N. Pradja paramita, Jakarta 1960, hal. 68. 3
158
tidak mempunyai kemerdekaan sama sekali. Profesor Dr. D. H. Burger dalam bukunya
Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia Menggambarkan sebagai “negara pekerjaan dan
pencerahan wajib saja kepada Belanda ……”4
Dalam hal demikian itu maka kebudayaan dan cara hidup orang Belanda yang buruk-
buruk mudah saja mempengaruhi kalangan atas setiap kerajaan di Jawa. Para bangsawan
Jawa mulai dibius oleh minuman keras dan kebiasaan Belanda yang buruk. Sementara
rakyatnya selalu saja menderita akibat buruknya. Kemudian tidak sedikit para bangsawan
yang mulai menyadari betapa merusaknya segala akibat penetrasi Belanda itu. Semuanya
itu sangat menyinggung kemurnian perasaan timur dan adat pusaka moyang mereka.
Perubahan-perubahan yang berkali-kali diadakan oleh pemerintah-pemerintah
penjajah Belanda dan Inggris, yang pad hakekadnya sangat merugikan rakyat dan
kalangan bangsawan di Jawa, melahirkan situasi yang baik sekali untuk timbulnya
perasan tidak puas yang dapat mencetuskan praktek-oraktek perlawanan terhadap
penjajah. Gambaran itu semua menunjukkan kepada kita betapa rapatnya hubungan
kejadian-kejadian yang satu dengan yang lain dalam sejarah Indonesia yang merupakan
kelangsungan cerita sejarah yang bulat. Menunjukkan pula sebuah episode dalam sejarah
Indonesia sebenarnya mempunyai sumbernya pada kejadian-kejadian masa lampau.
Teringatlah penulis pada ucapan Lyautey, sssalah seorang tokoh militer Perancis abad
ke 19, seorang yang telah berhasil merumuskan gagasan dan doktrin madzab militer
kolonial Perancis. Dalam memberikan ulasan terhadap perang-perang kemerdekaan yang
digambarkan sebagai pemberontakan perampok-perampok, dia mengatakan bahwa
tindakan gerombolan perampok itu ialah sebagai tanaman yang tumbuh di atas tanah
tertentu saja.” Cara yang paling efisien untuk menghentikan menjalarnya tanaman itu
ialah dengan menjadikan tanah itu tidak cocok bagi pertumbuhannya”.5
Bagaimana sebenarnya keadan tanah dan bumi Indonesia, dalam hal ini di Jawa?
Keadaannya merupakan bumi yang subur bagi tanaman yang liar itu. Semak belukar
perasan tidak puas telah merimba. Kita masih ingat perasan tidak puas dan perang-perang
kemerdekaan yang dipimpin oleh Sultan Agung, Trunojoyo, Untung Suropati dsb. yang
juga terjadi di bumi yang sama. Semak-semak itu memang telah berkali-kali dicabuti,
akan tetapi berkali-kali pula tumbuh lagi. Ibarat rumpun ilalang yang setelah dibakar
4 Prof. Dr. D. H. Burger, ibid. hal. 78.5 Edward Mead Earle, op cit. hal. 208.
159
habis, tunas-tunasnya tidaklah musnah. Pada saat hujan jatuh untuk pertama kalinya,
ilalang itu tumbuh dan meratalah kembali rumpun ilalang diseluruh bumi itu. Demikian
pula dengan semangat perang kemerdekaan di Indonesia. Seperti halnya dengan tunas-
tunas ilalang, maka tunas-tunas api kemerdekaan itu secara kodrati, secara hukum alam,
pasti akan tumbuh segera setelah hujan pertama jatuh.
Dan hujan yang ditunggu-tunggu itu jatuh pada kira-kira pertengahan bulan Juli 1925
atau tegasnya pada tanggal 20 Juli 1825. peristiwa itu sudah begitu terkenal, sehingga
tidak perlu diuraikan dengan panjang lebar lagi. Pada pertengahan tahun 1825 itu,
seorang bangsawan Mataram berpangkat Patih yang sangat tunduk kepada Belanda,
memberikan perintah untuk melebarkan jalan raja dari Yogjakarta ke Magelang dengan
melalui sebidang tanah milik Pangeran Diponegoro, tanpa memberitahukan lebih dahulu
kepada beliau. Bahkan sebagaian tanah perkuburan yang sangat dihormati beliau telah
dibongkar guna keperluan pembuatan jalan tadi. Dan reaksi yang kemudian timbul dari
pihak Diponegoro sungguh sangat bersifat ksatria. Selain menyuruh mencabuti seluruh
tonggak yang dipancangkan disepanjang tanah beliau, Pangeran Diponegoro
mengirimkan surat protes. Dan manakala surat jawaban atas surat protes itu tidak
kunjung datang, bahkan yang tiba ialah berita kabar angin bahwa Pangeran Diponegoro
akan ditangkap, lebih-lebih bila tentara yang ditugaskan untuk mengepung kediaman
Diponegoro telah ada disekitar tempat beliau, maka tegaslah sudah bahwa api perang
kemerdekaan segera harus dikobarkan. Suara salvo yang keluar dari senapan-senapan
tentara Belanda yang mengepung puri Tegalrejo, memberikan pertanda bahwa pernyataan
perang telah diumumkan. Dan permulaan perang itu justru datang dari pihak Belanda.
Secara beralasan sebenarnya kekhawatiran akan meletusnya apa yang disebut perang
Jawa itu telah timbul jauh sebelum tahun 1825, yaitu sejak 1802, dengan adnya usul dari
Dirk van Hogendorp6 mengenai perubahan struktur masyarakat pada bidang sosial dan
ekonomi, yang kemudian dilaksanakan oleh Daendels dan Raffles. Usul itu seperti sudah
kita maklumi adalah mengenai usaha menghilangkan sistem feodal, dimana para
bangsawan Jawa merupakan tuan-tuan tanah. Kemudian ternyata bahwa para bangsawan
itulah yang pali banyak mendukung perang kemerdekaan yang kemudian berkobar,
walaupun bukan oleh alasan tersebut itu saja. Tindakan Belanda itu ternyanta membuat
6 D.H. Burger, op cit. hal. 171.
160
bumi Jawa itu menjadi sangat subur untuk tumbuhnya tanaman liar tadi. Selanjutnya
tindakan Belanda didaerah jajahannya itu merupakan pupuk yang baik untuk
menumbuhkan jenis tumbuhan tadi. Sayang sekali “nasihat” yang diberikan oleh seorang
kolonial Perancis di Tonkin kepada Belanda baru datang pada akhir abad ke 19. nasihat
itu mengatakan bahwa “…….Orang mesti membajak tanah yang sudah ditaklukkan itu,
lalu memagarinya dan kemudian menanaminya dengan padi yang baik ……”7
Oleh karena Belanda tidak memandang gawat keadaan di Jawa pada waktu itu, maka
dikirimlah tentaranya pada sebelum tahun 1825 sebagai ekspedisi ke Minangkabau,
Makasar dan Saparua, karena didaerah-daerah itu sedang terjadi pula pemberontakan
bersenjata melawan Belanda. Seperti sudah kita ketahui pada 1819 Belanda melakukan
ekspedisi ke Palembang karena Sultan Nadjamudin tidak mau mengakui kekuasan
Belanda. Pada 1822 timbul perang Paderi di Minangkabau yang sangat memerlukan
balabantuan dari Jawa. Sementara itu untuk memaksa raja Bone yang bergelar Aru
Palaka, supaya mentaati isi perjanjian Bongaya yang diadakan oleh Belanda dengan
Sultan Hasanudin pad 1667, Belandapun harus mengerahkan tentaranya ke Makasar.
Sedang sebelum itu, yaitu pada 1817 dipulau Ambon telah berkobar pula perang
kemerdekaan yang dipimpin oleh Pattimura. Jadi ditanah Jawa pada waktu itu sedang
kekurangan tentara.
Pada saat yang gawat itulah, dengan perantaraan kaki tangannya yaitu Patih Danurejo
, Residen Jogjakarta Smissaert dan sekretarisnya Chevallier telah melakukan tindakan
yang boleh dianggap sebagai pancingan untuk mengibarkan perang baru. Besar
kemungkinannya bahwa tindakan pancingannya itu memang sengaja dilakukan, dengan
sombong kedua pejabat itu pernah mengatakan bahwa “….. Diponegoro tidak ada artinya
dan tidak sama harganya dengan satu penggalan kelewang Belanda ……”8
Akan tetapi kemudian sejarah membuktikan bahwa perkiraan itu mereka terhadap
kekuatan Diponegoro itu sama sekali tidak benar. Bahkan ternyata kemudian
Smissaertlah yang pagi-pagi telah berteriak-teriak meminta bantuan kepada Surakarta,
waktu dia dan tentaranya yang terdiri dari 200 orang, beserta keluarga Keraton
Yogjakarta terkurung dalam benteng “Vredeburg”.
7 Edward Mead Earle, op cit. hal. 208.8 Muhammad Yamin, Sejarah Peperangan Diponegoro, Yayasan Pembangunan, Jakarta, 1950. hal.
106.
161
Dan bukanlah tidak mungkin bahwa alasan penyekoresan dan pemecatan atas diri
Smissaert sebagai Residen Yogjakarta oleh de Kocktidak hanya berlatar belakang
kecurangan pejabat itu dalam bidang ekonomi saja- seperti kita ketahui dia telah berusaha
mengambil keuntungan harta benda untuk dirinya sendiri dari kesulitan pemerintah
jajahan, umpamanya saja pembesar itu sampai hati menimbun keperluan-keperluan
tentara seperti beras, padi, bahkan gabah dan rumput untuk keperluan sendiri.9 Bukan
tidak mungkin bahwa alasan yang dipakai de Kock untuk memecat dia itu adalah
tindakannya yang sangat ceroboh dalam bidang militer, karena pejabat itu telah
memancing-mancing timbulnya perang, justru pada saat-saat posisi Belanda sedang tidak
menguntungkan. Karena dalam saat-saat gawat seperti itu dia telah membiarkan
Chevallier menyerang puri Tegalrejo. Dan peristiwa itulah yang tercatat dalam sejarah
Indonesia sebagai sebab langsung pecahnya perang Diponegoro atau dengan perkataan
lain disebut c a s u s b e l l i dari dari suatu perang kemerdekaan yang berlangsung
antara 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830.
2. Kekuatan Diponegoro
a. Faktor non militer.
Bukanlah hal yang mudah untuk mengetahui perincian kekuatan yang ada pada
pihak Diponegoro, karena kurangnya keterangan dokumenter yang khusus menguraikan
hal tersebut. Akan tetapi dengan sumber-sumber yang penulis telaah, penulis hendaknya
memaparkan secara sederhana.
Beberapa faktor sangat menguntungkan posisi Diponegoro dalam perang yang
dihadapinya. Keadaan alam, misalnya merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam
suatu perlawanan rakyat menentang penjajah. Ternyata keadaan seluruh wilayah dengan
segala gejalanya seperti hutan-hutan, pegunungan, rawa-rawa, jalan-jalan setapak dan
suangai-sungai yang terdapat didaerah itu tidak asing lagi bagi rakyat yangmendukung
perang itu. Dengan demikian maka pasukan Diponegoro mudah mencari tempat
perlindungan dan mudah pula melakukan serangan sekonyong-konyong dalam
9 Sagimun M.D, op cit. hal. 97-98
162
melaksanakan perang gerilya. Daerah-daerah Kedu, Banyumas dan Bagelan tempat
dimana pasukan-pasukan Diponegoro beroperasi adalah daerah-daerah yang dikenal baik
oleh mereka. Akibatnya semua lerenga dan lembah, semua punggung gunung, semua
liku-liku jalan setapak, dan hutannya dapat mereka pergunakan dalam gerakan mundur
mereka ataupun dalam mengadakan serangan mendadak. Hal itu sangat menguntungkan
dalam usaha memelihara moril yang tinggi dari pasukan serta keberanian mereka.
Dengan demikian mereka akan selalu merasa bermain dirumah sendiri. Hal itu sangat
membantu memelihara semangat bertempur mereka.
Daerah Jawa Tengah yang seolah-olah ditaburi gunung-gunung, lembah-lembah
yang curam, hutan-hutan lebat dan sungai-sungainya yang deras arusnya, beserta desa-
desa yang dikelilingi oleh rumpun-rumpun bambu yang tinggi, seolah-olah merupakan
barikade alam yang sukar ditembus bagi pertahanan mereka. Sungai-sungainya yang
berarus deras dan bertebing sampai setinggi 30 kaki didaerah-daerh pegunungan, serta
padang-padang ilalang dn semak-semak gelagah yang tingginya sampai mencapai 4 atau
5 kaki dan musim penghujan yang lama, merupakan kombinasi yang sangat
menguntungkan pihak Diponegoro dalam menjalankan taktik perang gerilya.
Selain itu faktor manusia juga merupakan faktor yang menentukan juga. Faktor itu
tidak dapat dikesampingkan dalam setiap perjuangan massa. Setiap pemimpin perjuangan
akan selalu mencari simpati rakyat sebanyak-banyaknyadan berusaha mendapatkan
dukungan yang banyak untuk mensukseskan perjuangannya. Apalagi dalam perjuangan
bersenjata semacam peperangan kemerdekaan yang dipimpin oleh Diponegoro itu,
dimana manusia memiliki potensi yang sangat berarti baik ditinjau secara taktis maupun
secara strategis peperangan. Dari pihak mereka dapat diambil tenaga-tenaga cadangan
yang militan. Dari pihak mereka dapat pula diambil kegunaan lain seperti sumbangan-
sumbangan berupa bekal hidup selama perjuangan bersenjata itu berlangsung.
Gambarannya seperti air danau yang memberi hidup kepada ikan. Kepada merekalah para
pejuang mengharapkan perlindungan dan pertahanan hidup selama masa perjuangan
melawan tentara penjajah yang lebih kuat seperti ikan yang mengharapkan perlindungan
air danau. Rakyat yang selama masa penjajahan mengalami penderitaan, terutama dalam
bidang ekonomi, sudah lama merasa tidak puas dengan keadaan waktu itu, hingga
keinginan memberontak telah ada pada diri mereka. Tinggallah menunggu datangnya
163
pemimpin yang akan menggalang semangat dan yang kemudian akan mengobarkan api
perjuangan. Pada saat itu muncullah tokoh seperti Pangeran Diponegoro. Dan hampir
seluruh rakyat dan bangsawan Mataram dengan serta merta menggabungkan diri dengan
Diponegoro, segera setelah mendengar berita bahwa peperangan telah pecah. Dan
merekalah tenaga-tenaga yang mula-mula menjadi tumpuan segala harapan Pangeran
Diponegoro.
Faktor selanjutnya ialah faktro simpati dari luar. Tentu saja Diponegoro tidak dapat
mengharapkan datangnya simpati dari negara-negara lain diluar Indonesia. Karena belum
adanya komunikasi yang dapat memberitahukan dengan serentak tentang pemberontakan
itu. Dan lagi Diponegoro tidak memiliki perahu-perahu besar yang dapat bergerak cepat
untuk meminta bantuan dari luar, seperti yang pernah dilakukan oleh Adipati Unus waktu
mengepung kota Malaka yang sejak 1511 jatuh di tangan Portugis. Dipati Unus waktu itu
telah meminta bantuan berupa armada kapal perang dari Aceh, sebagai sama-sama negara
maritim. Akan tetapi hal yang demikian itu tidak dapat dilakukan oleh Diponegoro.
Meskipun demikian Belandan tetap berusaha supaya Diponegoro tidak mempunyai
kontak dengan dunia luar. Ini dibuktikan dengan adanya dua buah kapal perang Belanda
dipantai selatan didekat muara aliran sungai-sungai Progo dan Bogowonto, yaitu kapal-
kapal “de Haay” dan “de Leye”.10
Akan tetapi tidak berarti bahwa perjuangan Diponegoro tidak mendapat simpati dari
pengusa-penguasa daerah. Begitu pemberontakan itu dimulai di Mataram, beritanya
sudah sampai didaerah-daerah lain, dengan perantaraan suarat ataupun kurir Diponegoro
yang dikirimkan ke darah Rembang, Jepara, Bagelan dsb. di bawah ini tercamtum slinan
sepucuk surat yang dirulis oleh Diponegoro guna mengobarkan perjuangan penduduk
Kedu. Surat itu tertulis dalam bahasa Melayu sebagai berikut:
Soerat ini datang dari saja Kandjeng Goesti Pangeran Diponegoro serta
Pangeran Mangkoeboemi di Djokjakarta Adiningrat kepada semua kawan
di Kedoe, menyatakan bahwa sekarang negeri Kedoe sudah saja minta.
Orang semoeanya moesti tahu tentang hal ini, laki-laki, perempoean,
besar, ketjil tidak perlu diseboetkan satoe persatoe. Adapun orang jang
saja suruh namanja Kazan Bazari; djikalau soedah mengikoeti soerat
10 Sagimun M. D, op cit. hal. 199.
164
oendangan saja ini, biarlah lekas sedia sendjata, biar reboet negeri dan
betoelkan agama Rosoel. Djikalau ada yang berani tidak maoe pertjaja
akan bencinya soerat saja ini, maka dia saja potong lehernja.
Kemis, tanggal 5, boelan Hadji
tahoen Be (31 Djuli 1825).1
1
Sambutan atas surat semacam itu datang dari berbagai daerah dengan pengiriman
tenaga-tenaga tempur ke Mataram atau dengan mengadakan persiapan pemberontakan di
daerah masing-masing.
Nyatalah bahwa ketiga faktor tersebut, mula-mula tidak bersifat militer atau non
militer. Akan tetapi perang tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat militer
saja. Seperti pemimpin Diponegoro telah berhasil mengubah faktor-faktor yang tidak
bersifat militer itu menjadi faktor sangat penting dalam bidang strategi dasar untuk
pertahanan dan perlawanan rakyat. Akan ternyata nanti bahwa semua wilayah di Jawa
Tengah dan Jawa Timur menjadi medan pertempuran. Pemimpin-pemimpin daerah
diberi kekuasaan untuk membuka front-front baru dalam peperangan melawan Belanda,
mesti doktrin perang regular pada dasarnya tidak menghendaki pembukaan front lebih
dari satu, kalau keadaan tidak memaksa, apalagi bagi pihak yang kurang kuat dalam
persenjataannya. Akan tetapi Diponegoro berani mengabaikan doktrin tersebut. Karena
faktor alam dan tenaga juang yang militan berpihak kepadanya, maka dimana-mana
bermunculan front-front yang bersifat elastis, artinya pasukan Diponegoro itu mudah
sekali memindahkan tempat kegiatan meraka. Dan hal itu sangat membingungkan pihak
lawan.
Pada babak terakhir peperangan, Diponegoro seolah-oleh menjadi “single fighter”,
karena pembantunya seorang demi seorang meninggalkannya seperti al:
o putranya sendiri yang bernama Dipokusumo memihak kepada Susuhunan pada
tanggal 17 Maret 1827.
o Kyai Mojo tertangkap pada tanggal 16 Nopember 1928.
o Pangeran Mangkubumi turun ke kota pada tanggal 28 September 1928
11 Muhammad Yamin, op cit. hal.41.
165
o Dan Sentot sendiri beserta para pemimpin militer lainnya menjarah pada 24
Oktober 1829.
Maka pada saat itu dipusatkanlah daerah pertahanannya di sekitar Bagelan,
Banyumas dan Kedu. Pemusatan didaerah-daerah tersebut bukanlah suatu tindakan yang
dilakukan secara kebetulan saja, akan tetapi merupakan suatu sikap yang benar-benar
telahdiperhitungkan atas pengetahuan dan keadaan rakyat dan daerah Bagelan, Banyumas
dan Kedu itu mempunyai nilai strategis yang baik sekali.
Pangeran Diponegoro mengetahui benar watak rakyat dari setiap daerah yang
memihak kepadanya. Misalnya rakyat Kedu sangat baik dalam setiap perjuangan, asal
jangan dibawa keluar daerahnya sendiri. Rakyat Mataran tanpa ada kekhawatiran apapun
dapat berperang dimana saja. Sebaliknya rakyat dari daerah Pajang dan Surakarta hanya
mau berperang untuk sekali perjuangan saja. Selanjutnya putera-putera Madiaun sangat
agresif pada tingkat pertama perjuangan, tetapi selanjutnya jiwanya menjadi kurang
bersemangat lagi. Itu semua diketahui oleh Pangeran Diponegoro dan hal itu merupakan
bukti bahwa beliau memperhatikan kegunaan ilmu bumi militer.12 Jadi dengan demikian
dapatlah diketahui bahwa tindakan Diponegoro yang seolah-olah menggantungkan nasib
perjuangannya kepada penduduk daerah-daerah tersebut, tadi benar-benar merupakan
sikap yang telah diperhitungkan.
Kesimpulan yang demikian itu memang beralasan, sebab kemudian dalam perjuangan
kemerdekaan dalam abad ke 20, bermunculanlah tokoh-tokoh m8iliter dari daerah-daerah
tersebut. Seperti Jendral Sudirman yang dibesarkan di darah Banyumas, Jendral Gatot
Subroto dan Jendral Urip Sumoharjo bahkan pemimpin gerombolah pemberontak
D.I./T.I.i. yang terkenal gigih dalam membela keyakinannya dan kuat bertahan di dalam
hutan selama tiga belas tahun lebih, juga putera daerah Banyumas. Namanya Sekarmaji
Marijan Kartosuwiryo.
Sekali lagi dalam pertengahan abad ke 20 wilayah dan rakyat ketiga darah itu pernah
memegang peranan penting dalam perang kemerdekaan segara setelah kekuasaan Jepang
roboh. Ketiga wilayah itu dan rakyatnya kembali merupakan air danau bagi ikan yang
hendak mempertahankan hidup.
12 Muhammad Yamin, op cit. hal. 91.
166
b. Faktor-faktor yang bersifat militer.
Faktor kekuatan militer mula-mula tidak dimiliki oleh Diponegoro. Tidak ada
pasukan bersenjatapun yang dimiliki, apa lagi pasukan yang telah mendapat didikan
dan latihan secara teratur yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan. Hal itu memang
tidak mungkin bisa terjadi, karena pihak Belanda sudah terang tidak memperbolehkan
tokoh seperti Diponegoro memiliki pasukan bersenjata. Diponegoro sendiri tidak
pernah memikirkan hal itu, karena kepergian beliau ke Tegalrejo bukanlah
dimaksudkan untuk mempersiapkan suatu pemberontakan bersenjata. Seperti sudah
dikatakan dalam bab terdahulu, maka tindakan Diponegoro itu hanyalah merupakan
suatu kelanjutan tindakan politik untuk menentang Belanda tanpa perlawanan
bersenjata. Akan tetapi kemudian tiba-tiba berubah menjadi perang, sebab perang telah
dimulai oleh pihak Belanda.
Dan bila jalan pemberontakan itu telah dimulai, maka peristiwa yang kemudian
terjadi sesuai benar dengan pendapat Karl Marx mengenai pemberontakan. Karl Marx
telah menulis karangan yang dimuat dalam the New York Tribune dengan judul
Revolution and Counter Revolution yang menyatakan bahwa : “…… sekali dimulai
(pemberontakan itu. Penyusun), maka bertindaklah kamu dengan ketetapan yang paling
besar dan pihak yang offensip. Kedudukan bertahan berarti berakhirnya setiap
pemberontakan bersenjata …….. Kejutkanlah musuhmu ………”13
Dan memang benar Diponegoro telah bertindak tidak kepalang tanggung. Sebagai
seorang bangsawan yang memiliki kecakapan militer, maka disusunlah dengan segera
kekuatan perlawanan. Selarong sebagai daerah berbukit dan berhutan campuran yang
terletak di sebelah tenggara kota Yogjakarta dipilihnya sebagai pangkalan pertama.
Dengan perlengkapan senjata mereka telah siap buat bertempur. Menurut de Stuers
persenjataan pasukan Diponegoro terdiri dari keris dan tombak yang panjangnya sepulah
sampai lima belas kaki, sebagai senjata yang sangat efektif. Akan tetapi banyak pula
diantara mereka yang dipersenjatai dengan bedil.14
13 Edward Mead Earle, op cit. hal. 139.14 De Stuers, Memoires Sur La Guerre De L’ile De Java, De 1825-1830, A Leyde, Chez S & J.
Lachmans, Amsterdam 1833, hal. 4 - 5.
167
Sambil lau dalam pertempuran-pertempuran yang menyusul diusahakanlah
memperoleh tambahan persenjataan dan perlengkapan militer lainnya.umpamanya saja
dalam pertempuran singkat, yang berupa penghadangan yang dilakukan oleh pasukan
yang dipimpin oleh Mulya Sentika atas sebuah pasukan balabantuan Belanda yang datang
dari Semarang untuk Jogjakarta dibawah pimpinan Kapten Kumsius, pasukan
Diponegoro memperoleh persenjataan buat lebih dari 200 orang. Pertempuran itu terjadi
didekat pisangan, sebuah daerah diantara Jogjakarta dan Magelang. Selain senjata mereka
juga memperoleh rampasan uang tunai itu hanya sebesar 50.000 perak. Menurut De
Stuers maka rampasan uang tunai hanya berjumlah 30.000 perak.15
Dalam pertempuran lain bahkan pasukan Diponegoro berhasil mendapatkan
rampasan peran yang terdiri dari wagon-wagon, kereta-kereta dan bahkan meriam beserta
amunisinya dan sejumlah besar alat-alat lain yang dipergunakan dalam peperangan.16
Perlengkapan-perlengkapan itu semua membuata pasukan Diponegoro menjadi lebih
maju dalam persenjataannya.
c. Organisasi militer Diponegoro
Masalah ini sangat menarik sebab merupakan salah satu jawaban dari pertanyaan
yangtimbul mengapa sebuah kesatuan yang serba sangat kurang dalam persenjataannya,
sampai kuat bertahan hingga lima tahun lamanya dalam melancarkan serangannya
terhadap Belanda dan sekutunya yang telah mempunyai pengalaman militer yang terbaru
dalam perang Napoleon di daratan Eropah. Kita tidak bisa menyamakan keadaan yang
terjadi pada waktu itu dengan keadaan gerombolan pemberontak Kartosuwiryo dapat
bertahan jauh lebih lama dibandingkan waktu yang dipakai oleh pasukan-pasukan
Diponegoro, yaitu sampai lebih dari tiga belas tahun di hutan-hutan, tetapi mereka
mempunyai faktor-faktor yang masing-masing berbeda. Kita tahu bahwa gerombolan
Kartosuwiryo mempunyai sumber bantuan dari luar negeri. Selain itu pasukannya hampir
tidak pernah melakukan serangan-serangan ke pusat-pusat kedudukan lawannya, satu hal
yang sering sekali dilakukan oleh pasukan-pasukan Diponegoro. Pengepungan kota
Yogjakarta pada saat-saat pertama pecah perang serta pengepungan dan serangan
15 De Stuers, i b i d. hal. 42. 16 De Stuers, i b i d. hal. 8.
168
terhadap Surakarta pada tanggal 15 Oktober 1826 adalah dua diantara sekian bukti
kebenaran pernyataan itu.
Dan salah satu rahasia keunggulan itu terletak pada adanya organisasi militernya
dan susunan stafnya yang efektif. Susunan stafnya itu tentu saja belum merupakan
susunan hierarki militer seperti yang kita kenal sekarang ini. Yang terdapat pada waktu
itu ialah sekedar adanya pembagian tugas sesuai dengan kemampuan para penanggung
jawabnya.
Diponegoro sebagai tokoh yang menjadi pusat segala kegiatan, menduduki jabatan
kepala negara dengan gelar Sultan, sebagai lambang persatuan perjuangan. Disamping itu
beliau juga bertindak sebagai panglima tertinggi tentara pembebasan dengan pangkat
Senopati hing alogo. Tugasnya ialah menentukan kebijaksanaan dalam rangka strategi
perjuangan dan pertahanan. Dalam hal ini beliau didampingi oleh penasihat-penasihat
militernya seperti pangeran Ngabei dan Sentot Priwirodirjo. Sedang setiap pemimpin
militer didaerah mempunyai wewenang yang cukup luas dalam menentukan
kebijaksanaan sendiri dalam bidang strategi dan taktik.
Pangeran Diponegoro juga sekaligus menjabat pimpinan agama Islam dengan gelar
Sajidin Panotogomo Kalipatullah. Dalam menjalankan tugas ini beliau didampingi oleh
penasihatnya yaitu Kyai Mojo.
Jabatan-jabatan itu telah secara resmi diterima oleh Diponegoro dalam suatu
upacara resmi di Dekso pad awal tahun 1826, dimana secara resmi beliau mendapat gelar
Sultan Abdulhamid Herucokro Amirul MukmininSajidin Panotogomo Kalipatullah
Tanah Jawi. Penobatan itu dilakukan dengan upacara adat dan agama dalam suasana
peperangan. Profesor Muhammad Yamin membandingkan peristiwa itu dengan peristiwa
penobatan Raja Erlangga di dalam hutan selama beliau mengembara. Juga peristiwa itu
mirip dengan penobatan Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit di hutan Tarik.
Pangeran Mangkubumi selain mempunyai kedudukan sebagai penesihat dalam
bidang pemerintahan, juga menjadi kepala staf bagian perumahan. Dalam staf operasi
duduklah tokoh-tokoh seperti Pangeran Ngabei Joyokusumo, Sentot Prawirodirjo dan
Kyai Mojo. Yang terakhir ini juga diserahi tugas sebagai penasehat urusan pemeliharaan
rohani. Hingga dengan demikian beliau telah mewarnai perjuangan kemerdekaan itu
dengan sifat keagamaan.
169
Dalam perkembangan selanjutnya selama perang berlangsung, Diponegoro telah
membangun tentaranya menjadi suatu tentara yang teratur, dimana setiap pasukan
memiliki ciri-ciri tertentu untuk mengadakan pembedaan diantara berbagai pasukan.
Setiap pakaian itu mempunyai pakaian seragam yang tertentu, panji-panji tertentu pula
serta mempunyai nama-nama tertentu yang masing-masing dipimpin oleh komandan
tertentu. Akan tetapi pembagian pasukan-pasukan tadi tidaklah menuru pembagian
seperti pada tentara regular,seperti terdiri dari Batalyon, peleton dan regu. Kepala-kepala
pasukan itu pada umumnya berpangkat pangeran atau Tumenggung. Untuk jelasnya di
bawah ini kami cantumkan perinciannya :
1. Pasukan Bulkios, berada dibawah komandannya yang bernama Pasya Hasan
Munadi, jumlahnya mencapai 400 orang.
2. Pasukan Barjumuah, dipimpin oleh Abdulrahman dan jumlahnya sampai 140
orang.
3. Pasukan Turkios, yang dikomandani oleh Pangeran Prawiro Kusumo
mempunyai kekuatan sebanyak 300 orang.
4. Ketiga pasukan ini mengenakan sorban yang berwarna putih dan berbaju atau
jubah yang berwarna hijau.
5. pasukan Harkios, dibawah Pangeran Notoprono, mempunyai kekuatan 300
orang dan semuanya mengenakan sorban yang berwarna hijau dengan baju atau
jubah yang berwarna hijau pula.
6. Pasukan Pinilih, langsung dibawah komandan Pasya Sentot Priwirodirjo.
Pasukan ini mempunyai kekuatan 250 orang dengan ciri sorban belang hitam
putih serta baju atau jubah merah.
7. Pasukan Larban dipimpin oleh Tumenggung Joyo Lelono dengan pasukannya
sebanyak 140 orang.
8. Pasukan Naseran dibawah pimpinan Tumenggung Prawiroloyo, jumlahnya 300
orang.
9. Kedua pasukan ini ditandai dengan sorban yang berwarna hitam dan baju/jubah
hitam pula.
170
10. Pasukan Suropadah yang dikomandani oleh putera Pangeran Diponegoro
sendiri mempunyai jumlah prajurit 100 orang. Sorbannya berwarna belang biru
putih, demikian juga warna baju atau jubahnya.
11. Pasukan yang bernama Sipuding terdiri para santeri, ulama-ulama, berjumlah
sebanyak 140 orang. Pemimpinnya bernama Syeh Hansari.
12. Pasukan Jagir dikepalai oleh Pasya Joyo Sendirgo, jumlah Passukanya ada 800
orang.
Seperti juga anggota pasukan Sipuding, maka pasukan inipun mengenakan
sorban putih. Demikian pula warna baju dan jubahnya.
13. Pasukan Surotandang adalah pasukan yang langsung dibawah Damuredjo.
14. Pasukan Djajengan mempunyai komandan yang bernama Pasja Kerto
Pengaalasan. Kekuarannya terdiri dari 600 orang prajurit. Kedua pasukan tadi
memakai tanda tersendiri, yaitu menggunakan surban berwarna merah, sedang
warna baju dan jubahnya ialah putih
15. Pasukan Surjogomo berjumlah 144 orang, keistimewaannya ialah karena
dipimpin oleh pangeran Diponegoro langsung.
16. Sedang pasukan Wanengprang yang mempunyai kekuatan 500 orang prajurit
dipimpin oleh Pasja Mertonegoro.
Kedua pasukan tersebut terakhir ini mengenakan sorban yang berwarna belang
putih. Demikian pula warna baju dan jubah yang mereka pakai.17
Kecuali itu mereka juga menjadi panji-panji yang berbeda-beda pula. Ada yang hanya
terdiri dari gambar palang dengan warna yang bermacam-macam pula, dan ada lagi yang
memakai gambar ular. Selain itu ada pula panji-panji yang dihiasi huruf-huruf arab atau
ayat-ayat Al Quran.
3. Kekuatan Belanda dan sekutunya
Walaupun pada dasarnya lawan Diponegoro dan pasukannya adalah
kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia, akan tetapi pada kenyataannya
Diponegoro harus berhadapan dengan pasukan-pasukan yang terdiri dari bukan orang-
17 De Stuers, op cit. hal 92-93
171
orang Belanda, yaitu dengan prajurit-prajurit sebangsa sendiri. Ini adalah akibat
permainan politik devide et impera yang dijalankan Belanda untuk mencapai tujuan
dalam waktu secepat mungkin dengan menggunakan tenaga sesedikit mungkin. Dalam
kesempatan ini dipakailah pasukan-pasukan penduduk asli berasal dari Madura, Ambon,
Makasar dan sebagainya. Mereka berada di bawah satu komando, yaitu komanda
Belanda.
Disamping itu maka pemerintah-pemerintah Mangkunegaran, Pakualaman dan
Surakarta adalah kekuatan-kekuatan yang memihak dan memilih berperang dipihak
Belanda. Semuanya itu sangat menguntungkan pihak Belanda yang justru sangat
membutuhkan bantuan, berupa pasukan-pasukan. Datangnya pasukan-pasukan
balabantuan dari kedua daerah Monconegaran yang masing-masing dipimpin oleh bupati
Kediri Tjakraningrat dan bupati Madiun R.M.T. Prawirohardjo menambah kekuatan
Belanda. Kemudian datang pula balabantuan dari Makasar, Madura dan dari Maluku
yang terakhir ini terutama datang dari Tidore, Ambon, Ternate dan Buton.
Segera setelah perang pecah maka seluruh kekuatan militer Belanda diseluruh Jawa,
terutama dari daerah-daerah pantai utara Jawa dikerahkan untuk melawan Diponegoro
dan pasukan-pasukannya Jendral Marcua de kock sendiri sengaja datang ke Jawa Tengah.
Pada 30 Juli jendral itu menemui Susuhuran guna membicarakan tambahan balabantuan.
Dan balabantuan dari Jakarta, Surabaya dan Semarang berdatangan ke wilayah Kedu,
Bagelen dan Mataram. Sementara itu tentara-tentara dikaresidenan Bayumas, Kedu,
Bagelen dan dari karisedenan lain di pantai utara Jawa Tengah dan dikedua daerah
Monconegaran bertahan mati-matian menghadapi kegiatan para pemberontak di wilayah
masing-masing. Tentara Belanda yang dikirim ke Bone ditarik kembali pada awal
September 1825 guna memperkuat pasukan sekutu. Tentara itu dipimpin oleh seorang
perwira yang nantinya banyak disebut-sebut dalam peperangan besar itu, yaitu jenderal
Van Geen. Kemudian datang pula Sollewijn dengan tentaranya dari Kalimantan ke tanah
Jawa. Juga pasukan balabantuan dari negeri Belanda didatangkan ke Jawa.
Akan tetapi walaupun tentara sekutu dengan organisasinya yang teratur dan
persenjatannya yang sangat unggul, ditambah lagi dengan keahlian Belanda untuk
mengembangkan strategi devide et imperanya, akan tetapi masih tidak dapat menandingi
pasukan-pasukan Diponegoro yang sangat mobil, karena mereka bermain diwilayah
172
sendiri. Pada tahun-tahun pertama peperangan, pihak Belanda selalu menderita
kekalahan-kekalahan taktis hampir ditiap medan pertempuran. Akan tetapi kemudian
pada babak-babak terakhir peperangan, Belanda telah pula mengembangkan
pengalamanya dalam bidang militer sebagai hasil yang mereka peroleh dalam perang
Napoleon didaratan Eropa.
Betapa buruknya posisi pihak Belanda dalam perang Diponegoro itu diakui oleh
de Stuers, seorang mayor tentara kerajaan Belanda yang diperbantukan di Markas Besar
staf umum selama perang berkobar. Di dalam bukunya yang berjudul Memoires sur la
guerre de l’ile de java, dia memilih dalam introduksinya mengenai medan pertempuran
antara lain sebagai berikut :
En effet, les nonbreuses montagnes escarpees, les epaises forets, les
precipices imposibles a fanchir, les plaines submergees, les chemins
impracticables, les torrents impeteuex qui ravagents le terrain, er mille
autres accidents qui tiennent de la nature d’un sol toujours inegal et
dechiru sont autant d’obsttacles perquin surmontables qui entravent les
operations des troupes regulieres.18
Maksudnya bahwa sesungguhnya sejumlah pegunungan yang terjadi, hutan-hutan
belantara yang lebat, lembah-lembah yang sukar dituruni, dataran-dataran yang
tergenang air, dijalanan yang sangat sukar dilalui, arus dahsyat yang kemudian
merusaki permukaan bumi dan beribu peristiwa alam yang selalu bengis dan tidak
mengenal kasihan, kesemuanya merupakan halangan-halangan yang amat tidak
menguntungkan bagi operasi-operasi pasukan regular.
Pasukan-pasukan Belanda yang didatangkan dari daratan Eropa banyak
mengalami kesukaran ketika harus bertempur ditanah Jawa. Walaupun mereka telah
mendapatkan latihan-latihan militer yang terbaru, tapi di tanah Jawa ini mereka harus
menghadapi keadaan medan yangsangat berbeda dan sangat asing. Mereka juga harus
menghadapi tantangan yang tentu saja sangat kejam dirasakannya. Udara panas di
daerah tropis, lebih-lebih pada musim kemarau dirasakan sangat memeras tenaga
mereka. Dan musim penghujan merupakan tantangan yang sangat dahsyat pula. Akan
18 De Stuers, op.cit.hal.4.
173
tetapi tentu saja bukan karena dinginnya, sebab mereka sudah biasa merasakan udara
yang lebih dingin lagi. Hujan lebat di daerah tropis sering sekali menghalangi rencana
operasi militer yang jatuh pada sekitar tahun 1825 telah menghentikan operasi-operasi
militer mereka.
Dalam menjalankan opersai tidak jarang mereka harus melewati daerah paja-
paja yang biasanya menjadi sarang penyakit tropis. Dan bila wabah malaria itu
kemudian menjangkiti mereka, maka sudah terang hal itu akan sangat menghalangi
jalannya operasi yang mereka adakan. Itulah salah satu sebab disamping sebab-sebab
yang lain, mengapa pada saat permulaan perang mereka hampir selalu menderita
kekalahan-kekalahan ditiap medan pertempuran.
Dengan demikian maka dapatlah dimaklumi mengapa kemudian markas besar
tentara Belanda memperbanyak balabantuan yang terdiri dari bangsa pribumi.
Balabantuan itu didatangkan dari Makasar, Ambon, dan dari Maluku serta dari daerah
Jawa sendiri, yang sangat cocok untuk dipakai dalam pertempuran-pertempuran
ditanah Jawa. Belanda mengetahui bahwa pasukan-pasukan yang didatangkan dari
berbagai daerah di Indonesia itu, pada umumnya mempunyai reputasi yang baik
dalam pertempuran.
Untuk sekedar menunjukkan betapa besar bantuan yang telah diperoleh pihak
Belanda dari pasukan balabantuan pribumi itu, dibawah ini kami cantumkan nama-
nama perwira bangsa pribumi yang telah memeroleh tanda-tanda jasa dalam perang
yang mereka namakan Perang Jawa, berupa medali-medali emas dan perak dari
pemerintah dijajahan Belanda.
Tumenggung Wironegoro, berpangkat letnan kolonel dari pasukan-pasukan
Sultan Yogjakarta.
Pangeran Suryodiningrat dan Pangeran Suryomataram dari legiun
Mangkunegaran.
Mayor Tjakraningrat, komandan pasukan balabantuan dari Madura.
Pangeran Kamto, seorang kapten balabantuan dari Sumenep.
Letnan Kalu dan Balu serta marsekal Muhamad dari barisan Djajeng Sekar.
Mayor Kulabat sebagai komandan balabantuan yang datang dari Ternate.
Major Syarifudin, menjadi komandan pasukan –pasukan dari Tidore.
174
Letnan Sigera dan Letnan Sariman, komandan-komandan pasukan yang
berada dari Jawa.19
tu hanyalah sebagian saja dari serentetan nama-nama yang terdapat dalam daftar
yang dibuat oleh Belanda.
Klimaks dari kekuatan pihak Belanda yang dipergunakan untuk menindas
perjuangan bangsa Indonesia pada saat itu ialah pemakaian atau penggunaan strategi
perang baru yang berupa pengembangan secara intensip usaha pengepungan dengan
tujuan mempersempit daerah bergerak para pejuang kemerdekaan. Caranya dengan
menjabarkan benteng-benteng dihampir segenap daerah. Setiap benteng itu dihubungkan
dengan benteng yang lain oleh pasukan-pasukan yang mobil. Merekalah yang selalu
mengadakan perondaaan di wilayah-wilayah sekitar benteng-benteng itu. Mereka pulalah
yang selalu memberikan supply bahan makanan dan amunisi dari benteng-benteng itu.
Hingga dengan demikian penggunaan cara baru itu merupakan alat peperangan yang
mempunyai nilai-nilai taktis yang sangat unggul dan akhirnya merupakan strategi yang
sangat berhasil. Strategi baru itu menjadi terkenal dengan nama Benteng Stelsel atau
Aturan Benteng.
Pada gilirannya nanti akan kami jumpai lagi uraian tentang Benteng Stelsel itu
secara lebih khusus dan dalam hubungannya dengan jalannya peperangan juga bagaimana
hasil-hasil operasi dengan mempergunakan strategi baru iu.
BAB III : PERANG YANG MEMBAKAR PULAU JAWA
1. Unlimited War.
Kalau kita bentangkan peta pulau Jawa dan kita percikan tinta merah diatasnya, maka
seolah-olah pada waktu yang bersamaan bermunculan dengan merata bintik-bintik merah
di atas peta. Gambaran itu seperti bermunculannya pejuang-pejuang api peperangan di
banyak tempat meluas di tanah Jawa pada saat terbakarnya oleh api peperangan
19 De Stuers, op.cit.hal.216-217
175
kemerdekaan melawan penjajah Belanda, dalam peristiwa yang dikenal sebagai Perang
Diponegoro.
Jika tidak terpaksa maka dalam setiap perang regular setiap pemimpin militer akan
sedapat mungkin menghindari suatu peperangan yang tidak terbatas atau suatu unlimited
war, dalam keadaan yang demikian itu maka sekaligus seluruh kekuatan pasukan akan
dihadapkan dalam adu tenaga dalam sejumlah besar frout. Akan tetapi Diponegoro
mempunyai pandangan lain tentang hal itu. Tentunya karena Diponegoro menginsafi
benar bahwa sebagai pasukan yang tidak regular pasukannya mempunyai kondisi lain
yang tentunya tidak dimiliki oleh pasukan-pasukan regular. Berbeda dengan pasukan
regular, maka pasukan Diponegoro jarang sekali mengadakan perang terbuka, artinya
suatu peperangan dimana kedua pasukan beradu muka secara tidak mempunyai
perlindungan. Beberapa peristiwa yang terjadi selama masa Selarong dan masa Dekso
menjadi tempat pertahanan pasukan Diponegoro, menunjukkan bahwa beliau sangat
menghindari apa yang lazim disebut sebagai perang terbuka itu, walaupun perang yang
terjadi pada ketika itu ialah jenis perang posisi-yaitu perang untuk memperebutkan posisi
atau kedudukan tertentu.
Barangkali karena menyadari akan ada mobilitas atau kelincahan pasukan yang
sangat besar dan menyadari pula bahwa dalam suatu perang gerilya. Posisi bukalnlah
merupakan faktor yang mutlak menentukan kemenangan akhir, maka Diponegoro telah
mengorbankan posisinya di Selarong, dengan tujuan mencapai kemenangan atau
keuntungan yang lain dalam bidang strategi, yaitu mencegah suatu pengorbanan tenaga
yang sia-sia saja dipihaknya.
Selarong bukanlah merupakan sebuah kota seperti yang digambarkan oleh
Muhamad Yamin dalam bukunya Sejarah Peperangan Diponrgoro, akan tetapi hanyalah
sebuah desa dengan beberapa perumahan perumahan yang tidak banyak jumlahnya.
Selebihnya hanyalah buki-bukit kapur dengan hutan-hutan bambu serta tanaman jambu
liar dan pohon-pohon kelapa. Karena tempatnya berbukit-bukit dan bergua-gua, maka
daerah itu sangat baik untuk tempat pangkalan bagi pasukan-pasukan Diponegoro. Akan
tetapi tempat yang sejak awal peperangan dipakai sebagai pangkalan itu, pada awal bulan
oktober tahun 1825 telah diserahkan tanpa perlawanan kepada pihak Belanda. Peristiwa
176
itu terjadi pada waktu Belanda dengan sekutu mengadakan opersai gabungan ke daerah
Selarong yang dipimpin oleh Jenderal Van Geen.
Demikian juga yang terjadi dengan pangkalan di Dekso. Waktu pasukan
gabungan datang menyerbu, benteng itu telah ditinggalkan oleh Diponegoro dan
pasukannya. Peristiwa itu terjadi pada awal bulan Juli tahun 1826. Pasukan-pasukan
Diponegoro sekali lagi telah menghindari suatu perang terbuka dan kemudian mencari
kesempatan yang baik guna mengadakan serangan yang mendadak sebagai pembalasan.
Keadaan yang tidak ideal bagi serangan yang fatal untuk pihak musuh itu tiba-tiba
atau terjadi disebuah jurang di daerah Kasuran. Pada waktun itu lewatlah sebuah iring-
iringan tentara Belanda yang dipimpin oleh Van Geen. Mereka baru saja kembali dari
suatu operasi yang gagal dan akan kembali kepangkalannya di Jogjakarta. Pada waktu
iring-iringan itu lewat dengan lesungnya pada suatu daerah yang lengang, tiba-tiba
pasukan Diponegoro dibawah Komandan Alibasja Sentot prawirodirdjo datang
menyerangnya dengan serentak. Serangan yang berhasil itu terjadi pada 26 Juli 1826.
Taktik offensip seperti itulah yang menyebabkan pasukan-pasukan Diponegoro yang
walaupun sangat inferiur atau lemah dalam persenjataannya, masih dapat mengadakan
serangan tak terbatas atau sebuah unlimited war tadi, dan telah berhasil mengulur waktu
peperangan hingga selama lima tahun lamanya.
Kalau kita menyaksikan dalam peta yang menggambarkan terjadinya peperangan
yang terjadi pada waktu itu, nyatalah bahwa pada saat yang hampir bersamaan
berkobarlah pertempuran-pertempuran di daerah yang merata. Di daerah Probolinggo
tidak jauh dari Megelang, rakyat mulai mengobarkan peperangan pada tanggal 26 Juli
1825, dan masih dalam tahun itu juga, yaitu 1825 berkobarlah peperangan dengan
membuka front-front baru didaerah yang luas. Seperti misalnya dalam bulan Agustus
pasukan-pasukan rakyat telah mengganggu garis pertahanan Belanda dari Pekalongan
hingga Semarang. Sedangkan diwilayah Monconegaran seperti di Pacitan, terjadi pula
pemberontakan pada tanggal 9 Oktober dan di Ngawi bahkan sampai dua kali terjadi
peristiwa yang serupa, yaitu pada 23 bulan September, dan sekali lagi pada 13 bulan
Nopember.
Pada tahun 1826 lebih banyak lagi bentrokan bersenjata terjadi. Disekitar kota
lama Plered bahkan terjadi dua kali pertempuran yang sangat dahsyat, dan yang
177
merupakan salah satu perang posisi yang dilakukan oleh pasukan Diponegoro untuk
mempertahankan benteng lama itu. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 16 bulan April dan
yang kedua pada tanggal 9 Juni, sedangkan dikaki pegunungan Menoreh terjadi pula
pertempuran hebat pada tanggal 8 bulan Juli dan pada tanggal 9 bulan Agustus, 28 bulan
Agustus dan tanggal 15 Oktober, berturut-turut terjadi di pula pertempuran-pertempuran
masing-masing di Kedjiwan, Delangu dan di Gawok yang kesemuanya terdapat disekitar
Surakarta.
Dan tahun 1827pun dipadati oleh pertempuran-pertempuran dibeberapa daerah.
Yang paling berarti ialah pecahnya pemberontakan di Radjegwesi pada tanggal 28 bulan
Nopember, yang merupakan awal berkorbannya daerah Rembang. Dengan sendirinya
daerah-daerah seperti Tuban dan Surabaya yang keduanya merupakan pintu daerah
perdagangan Belanda, menjadi terancam ketenangannya.
Itu semuanya hanya beberapa contoh untuk menunjukkan betapa besar
kesanggupan Diponegoro untuk membuka perang tak terbatas dan pada suatu
kekhawatiran bahwa nantinya pasukannya akan tersobek-sobek di beberapa daerah. Hal
itu sekali lagi disebabkan karena Diponegoro selalu menghindari suatu peperangan
terbuka, dan sebaliknya selalu mengintensipkan suatu taktik perang gerilya. Pasukannya
yang mengenal baik keadaan daerah atau medan dan yang sifatnya sangat mobil dalam
arti mudah sekali digerakkan dengan lincah, dapat mempraktekkan taktik seekor lebah
yang tiba-tiba datang menyengat dan mengganggu mangsanya. Seperti seekor harimau,
dan segera setelah itu melarikan diri. Keadaan Belanda pada waktu itu memang tidak
menguntungkan, karena expedisi-expedisi Belanda sering dilancarkan dari tempat-tempat
yang jauh dari daerah sasaran, sedangkan perlengkapannya biasanya berat-berat. Kadang-
kadang mereka tidak menjumpai musuh dalam operasi yang mereka adakan, kemudian
mereka terpaksa pulang dengan jalan kaki. Keadaan mereka sangat lesu. Maka tidak
jarang mereka kemudian menderita kecapaian dan kelsuan, hingga dengan demikian
kesiapsiagaan mereka tidak lagi bulat. Dan dalam keadaan seperti itu mereka merupakan
sasaran yang sangat rawan bagi kaum gerilya Diponegoro. Hingga kesudahan dari
operasi-operasi yang semacam itu sudah dapat diterka sebelumnya.
178
2. Perang Strategi
Kalau kita perhatikan tempat-tempat tercetusnya peperangan atau tempat-tempat
dimana telah terjadi kontak antara tentara Belanda dengan pasukan-pasukan Diponegoro
pada peta-peta bumi, maka akan terbukti bahwa tempat-tempat itu mempunyai arti
strategis yang ideal dan seperti sudah dipertimbangkan benar-benar. Gambarannya adalah
seperti suatu proses pengepungan terhadap kota-kota yang dianggap sangat strategis buat
Belanda atau setidak-tidaknya mempunyai maksud untuk memotong garis pertahanan
musuh dengan jalan memencilkan dua atau lebih daerah atau pusat-pusat pertahanan
Belanda sekaligus.
Dikuasainya daerah Selarong oleh pasukan Diponegoro pada saat mulai
meletusnya peperangan, sangat menguntungkan pihak Diponegoro karena Selarong
adalah tempat yang sangat tampak sebagai pangkalan batu loncatan untuk mengepung
kota Yogyakarta. Mengingat besarnya arti strategis daerah Selarong itu, maka ketika
Jendral De Kock berhasil memasuki kota Yogyakarta dengan pasukannya pada tanggal
25 September 1825, tindakan operasinya yang mula-mula dilakukan ialah menyerang
Selarong. Untuk keperluan itu maka dikirimnya sepasukan tentaranya dibawah mayor
Sollewijo serta Letnan Kolonel Achenbach dan dibantu oleh pasukan-pasukan bumi
putera di bawah Penembahan Sumenep, Pangeran Purbojo, Pangeran Ario Mataram, serta
Pangeran Surjodiningrat dan Pangeran Surjaning Prang. Operasi gabungan itu
diperjajakan kepada Jendral Van Geen. Sedangkan balabantuan dari Bagelen dan Kedu
dibawah letnan kolonen Clecreus dan letnan kolonel Homberg beserta mayor De Bast
mempunyai tugas untuk menghadang kalau-kalau pasukan Diponegoro merembes
kesebelah timur.
Selanjutnya dalam usaha mengepung kota Magelang, pasukan-pasukan
Diponegoro mulai mengadakan serangan-serangan yang dimulai dari Probolinggo dengan
kekuatan lebih dari 3000 orang yang terjadi pada tanggal 26 Juli 1826. Pasukan itu telah
menyebrangi kali Elo dan mulai bergerak kearah Magelang, kemudian disusul dengan
terjadinya pertempuran di Kalijengking yang dipimpin oleh Muhammad Usman Alibasja
Abdulkadir dan Hadji Mustafa. Menghadapi ancaman yang merupakan kemajuan
pasukan Diponegoro itu, tindakan yang dilakukan oleh komandan pasukan Belanda di
179
Kedu major Du perpon, ialah menarik mundur segala pasukan yang menduduki pos-pos
pertahanan disekitar Magelang, seperti Parakan, Prapag, Putjang, Sadegan, Sodongan,
Borobudur, dan Kalijengking dan dipusatkan di Magelang untuk memperkuat pertahanan
disana. Oleh karena pasukan-pasukan itupun dirasa kurang mampu untuk menghadapi
kemajuan pasukan-pasukan Diponegoro, maka dimintanya juga pasukan bantuan dari
karisidenan lain. Untuk itu maka dikirimkanlah balabantuan dari Surakarta dibawah
letnan kolonenl Cochius.
Selain itu maka untuk menganggu daerah-daerah Belanda di Pekalongan,
Semarang dan Magelang, pihak Diponegoro telah menaruh pangkalan didaerah Ledok.
Ledok ialah sebuah daerah yang sangat strategis yang terletak diperbukitan dihulu sungai
Seraju. Dari sana dapat selalu diadakan pengangguan diketiga daerah Belanda tersebut
tadi.
Sementara itu didaerah Semarang sendiri dan Rembang telah menyala api
peperangan baru yang lebih teratur. Kegiatan itu dijiwai oleh seorang bangsawan tinggi
yang bernama Pangeran Serang. Api pemberontakan itu meluas kedaerah Kudus, Demak,
Grobogan dsb. Dan dengan sendirinya telah merupakan kepungan terhadap daerah
Semarang dari sebelah timur dan dari sebelah selatan kota Surabaya sendiri dan kedua
daerah Monconegaran telah terancam pula ketentramannya dengan pecahnya perang di
Radjegwesi, Ngawi, dan di Patjitan.
Dalam perang memperebutkan daerah Plered antara pasukan-pasukan Belanda
dengan pasukan Diponegoro tercatat suatu pertempuran posisi yang banyak memakan
korban dikedua belah pihak. Plered adalah sebuah tempat yang mempunyai posisi sangat
baik dalam arti kemiliteran dan bagi tujuan politik perang Diponegoro. Semula kota itu
akan dijadikan lambang dan pusat pembentukan masyarakat yang diinginkan
Diponegoro, suatu masyarakat yang lepas dari pengaruh buruk kebudayaan barat. Seperti
halnya Selarong, letak plered sangat tepat untuk dijadikan batu loncatan dan
pengepungan kota Yogyakarta dari sebelah timur. Belanda merasa sangat khawatir
selama Plered masih ada di tangan Diponegoro, sebab dengan demikian maka kedudukan
Yogyakarta sebagai lambang dominasi politik dan ekonomi Belanda didaerah Mataram
akan selalu terancam dari sebelah timur. Oleh karena itu, maka tidak heranlah bila kedua
180
belah pihak sama-sama mengerahkan tenaga besar sekali untuk dapat menguasai tempat
itu.
Expedisi Belanda untuk merebut benteng Plered berangkat pada suatu hari pada
tanggal 16 bulan April 1826 dibawah jendral Van Geen sendiri. Walaupun kemudian
benteng Plered tersebut dapat direbutnya dari tangan Diponegoro, akan tetapi ternyata
kemudian bahwa operasi tersebut secara strategis tidak mempunyai arti dan tidak
mempunyai hasil seperti yang diharapkan semula, oleh karena sebagai ternyata kemudian
benteng Plered tersebut dapat direbut kembali dari tangan Belanda oleh pasukan
Diponegoro.
Begitu pentingnya, arti benteng itu dalam arti militer bagi pihak Belanda, hingga
belanda merencanakan penyerbuan sekali lagi untuk merebut benteng tadi. Dan pada pagi
hari kira 2 jam 2 pagi di bulan Juni tanggal 9 tahun itu juga, jadi sesudah kira-kira dua
bulan setelah expedisi yang pertama, barangkali tentara sekutu dengan pasukan yang
lebih besar menyerbu Plered. Mereka datang dari dua jurusan yang pertama datang dari
jurusan Yogyakarta, sedang yang sebuah lagi berangkat dari tanjung tirto, sebuah pusat
balabantuan dari legian Mangkunegaran. Operasi gabungan itu diperjajakan
pelaksanaannya ketangan kolonel Cochius. Kekuatannya adalah 900 orang infantri, 150
anggota kavaleri dan balabantuan dari pasukan bumiputera yang terdiri dari 3000 orang
bersenjata. Pasukan itu diperlengkapi dengan dua belas pucuk meriam.
Sementara itu benteng tua itu dipertahankan oleh pasukan jajengan yang dipimpin
oleh Pasja Xerto Pengalasan. Mereka dengan gagah berani telah berjuang
mempertahankan kedudukan mereka. Dalam pertempurannya itu pihak Diponegoro
mengalami kerugian besar sekali. Baik secara taktis maupun secara strategis mengalami
kekalahan empat ratus anggota pasukan Kerto Pengalasan telah gugur dalam pertempuran
mati-matian mempertahankan nama bangsanya dan memperbaiki benteng itu supaya
jangan lepas dari tangan mereka. Tapi ternyata benteng itu akhirnya mereka lepaskan
juga.
Segera setelah terjadi bencana itu, pasukan Diponegoro dibawah Sentot
Prawirohardjo dan Prawirokusumo telah mengimbangi kekalahan mereka dengan sebuah
kemenangan gilang gemilang dalam sebuah pertempuran didekat kasuran. Peristiwa itu
terjadi pada tanggal 26 Juli 1826. Pada waktu itu sebuah iring-iringan tentang Belanda
181
sedang berusaha mencari tempat perlindungan pasukan-pasukan Diponegoro. Mereka
melewati suatu tempat yang sangat baik untuk dibedang. Kedua pemimpin pasukan
Diponegoro itu memerintahkan pasukannya untuk tersembunyi di belakang pagar bambu
yang cukup tinggi. Dan untuk menjaga supaya kuda-kuda mereka tidak bersuara, mereka
telah memberi garam kepada mulut-mulut kuda mereka. Kemudian dengan serta merta
mereka mengadakan serangan. Karena serangan yang datangnya tidak disangka-sangka
itu, maka tentara Belanda tidak mempunyai kesempatan untuk mengadakan perlawanan
yang sepadan dengan kekuatan yang sebenarnya ada pada mereka. Akibatnya tentara
Diponegoro dapat memperoleh gilang gemilang.1
Pada tanggal 30 bulan itu juga pasukan Diponegoro telah mendapat kesempatan
lagi untuk menebus kekalahan di Plered. Kesempatan itu datang pada waktu sepasukan
tentara Belanda dengan sekutunya kembali dari expedisi yang gagal di Dekso. Dalam
perjalanan pulang ke Yogyakarta, setelah menyebrangi sungai Religa, irin-iringan yang
dipimpin oleh letnan Haubert tiba-tiba mendapat serangan yang sangat mendadak dan
sangat cepat dari sepasukan gerilyawan Diponegoro. Dengan serentak mereka datang dan
dengan serentak pula mereka menghilang, setelah mereka berhasil memusnahkan hampir
seluruh iring-iringan pasukan Belanda dengan sekutunya. Gerilyawan yang mengadakan
serangan itu terdiri dari pasukan Pinilih yang dipimpin oleh Sentot Prawirohardjo.
Mereka telah berhasil menewaskan selain komandan pasukan Belanda itu sendiri, juga
dua orang pengganti Pangeran Diponegoro yang menjadi wali sultan, yaitu Pangeran
Murdaningrat dan Pangeran Panular. Peristiwa itu terkenal dengan sebutan kemenangan
Nglengkong, sebab peristiwa itu terjadi didesa Nglengkong.
Nyatalah sudah bahwa serangan-serangan yang mendadak menjadi ciri serangan-
serangan Sentot Prawirohardjo, dan ternyata serangan-serangan yang demikian itu
mempunyai nilai taktis yang besar dan membawa hasil yang baik.
Untuk mengalihkan perhatian Belanda, pasukan-pasukan Diponegoro melakukan
semacam hidjrah ketimur dan membuka front pertempuran baru disekitar Surakarta.
Dalam masa itu tercatat tiga kali pertempuran, yaitu di Kedjiwan, Delangu dan di Gawok.
Ketiga pertempuran itu menurut beberapa peninjau sejarah merupakan pertempuran yang
terakhir selama kejayaan pasukan Diponegoro, sebelum mereka menarik diri ke daerah
1 Sagimun M.D, op cit.hal.131.
182
antara sungai-sungai Progo dan Bogowonto. Bagaimana kesudahan dan jalan
pertempuran-pertempuran yang terjadi diketiga tempat itu, kami uraikan di bawah ini.
3. Manoeuvre Cannae Dimedian Kejiwaan (9 Agustus 1826)
Beberapa peristiwa sejarah yang terjadi dibeberapa negeri dalam waktu yang tidak
bersamaan ataupun yang bersamaan sering kelihatan hampir serupa. Hal itu berlaku pula
dalam sejarah peperangan. Pada waktu orang menghadapi serangan Hitler dalam Perang
Dunia kedua kewilayah Rusia pada musim dingin tahun 1940, orang teringat kembali
akan serangan yang pernah dilakukan oleh Napoleon tepat 128 tahun sebelumnya atas
daerah yang sama. Dan kesudahan kampanye-kampanye itu sama benar, yaitu kekalahan
bagi pihak yang menyerang dan banyak lagi peristiwa semacam itu yang terjadi dalam
panggung sejarah dunia.
Setiap penulis sejarah militer akan selalu teringat pada suatu peristiwa dalam perang
Punisia kedua, yang berlangsung dari tahun 218 hingga 201 SM, antara bangsa Romawi
melawan bangsa dari kerajaan Carthago. Peristiwa itu menjadi terkenal karena dalam
pertempuran di Cannae sebuah kesatuan Carthago yang berjumlah lebih kecil, kira-kira
sebanyak 50.000 orang yang ada dibawah komando Hannibal, telah berhasil
mengalahkan pasukan Romawi yang berjumlah lebih banyak, yaitu sebanyak 70.000
orang. Selain itu tentara Hannibel bukanlah tentara yang masih segar seperti tentara
Romawi, sebab tentara Hannibel telah mengalami pertempuran-pertempuran selama
menyebrangi pegunungan Pirenia dan pegunungan Alpen. Sedang pertempuran itu sendiri
terjadi didaerah Romawi, jadi posisi Romawi sebenarnya jauh lebih menguntungkan jika
dibanding dengan posisi pasukan Hannibel. Akan tetapi dalam pertempuran itu Hannibel
telah berhasil memperoleh kemenangan akhir, apa gerangan rahasia kemenangan
Hannibel dalam pertempuran di Cannae yang terjadi pada 2 Agustus tahun 216 SM.
Kunci kemenangan itu terletak pada keahlian Hannibel dalam mengadakan taktik
manoeuvrenya. Mula-mula pasukannya menghadapi pasukan lawan dalam formasi
(susunan atau bentuk) garis cembung kedepan ditengah-tengah. Kemudian pasukannya
dibiarkan melengkung kedalam pada waktu menerima serangan dari pihak lawan. Dan
183
pada waktunya maka tibalah taraf ketiga, tiba-tiba kedua sayap kanan dan kirinya datang
menjepit pasukan musuh yang terletak ditengah-tengah pasukannya.
Hasil manoeuvre itu ialah 45.000 orang meninggal dari pihak Romawi, 3000 orang
tertawan dan sisanya dapat melarikan diri. Sedangkan dari pihak Hannibel hanya 5500
orang meninggal. Konsepsi yang direncanakan oleh Hannibal yang kemudian menjadi
terkenal itu, mashur dengan nama konsepsi Cannae.2 Kemudian orang suka sekali
membanding-bandingkan menoeuvre yang hampir mirip dengan menoeuvre yang
dilancarkan oleh Hannibal itu dengan konsepsi Cannae tersebut.
Selama perang Diponegoro juga pernah terjadi suatu menoeuvre yang dilancarkan
oleh Diponegoro terhadap pasukan tentara sekutu, yang berjalan hampir mirip dengan
konsepsi Cannae tadi. Tentu saja terdapat perbedaan dalam konsisinya, sebab dalam
pertempuran selama perang Diponegoro itu, pihak Diponegoro mempunyai tentara yang
lebih banyak. Pertempuran itu terjadi didesa Kedjiwan, suatu tempat tidak jauh dari
Surakarta. Pada tanggal 9 Agustus 1826 pasukan Diponegoro yang berjumlah 3000 orang
bertahan dibelakang sebuah jurang yang dalam tetapi sempit. Medan dibelakangnya
sangat jelek, sebab merupakan sawah yang jelek. Pasukan sekutu dibawahi mayor
Sollewijn mempunyai kekuatan 100 orang infanteri, 200 orang infanteri dari legiun
Mangkunegaran, 50 orang pertikaman bangsa Madura, 500 orang barisan milisi
Mangkunegaran, 40 orang prajurit Djajeng Sekar dan sepasukan kecil kavaleri. Akan
tetapi pasukan yang berjumlah kecil itu mempunyai keunggulan dalam bidang
persenjataan dan perlengkapan militer lainnya, sebab mereka memiliki meriam dengan
peluru ukuran 2 pond dan dua mortir Coehoonn. Mereka menyusun formasi bertempur
diseberang jurang. Sedang artileri mereka ditempatkan dikedua sisi mereka dan barisan
Djajeng Sekar serta barisan pertikaman berada dilini kedua.
Mula-mula pasukan Diponegoro mulai memancing-mancing dengan salvo tembakan
senapan ringan yang segera dibalas oleh Artileri musuh dengan lebih gencar. Setelah
bertahan selama setengah jam, pasukan Diponegoro mulai mengadakan pencingan kedua,
yaitu dengan mengadakan gerakan mundur. Dalam kesempatan ini, maka dengan
dilindungi oleh tembakan-tembakan artileri, pasukan musuh yang terdiri dari Pasukan
Djajeng Sekar, milisi Mangkunegaran dan satu peleton pasukan Belanda mulai
2 Asisten Kepala Pusat Sejarah Militer, Pengantar Sejarah Militer untuk Secapa, Publikasi Resmi Pusat Sejarah Militer, Bandung, 1959.hal.37-38.
184
mengadakan serangan dengan jalan menyebrangi jurang untuk mengejar pasukan
Diponegoro. Dan sebentar kemudian seluruh kekuatan 8 sekutu dikerahkan untuk
mengadakan pengejaran. Pada tingkat kedua ini pasukan-pasukan Diponegoro menderita
banyak kerugian, sebab keadaan medannya sangat jelek, hingga mereka tidak dapat
mengadakan perlawanan sambil melakukan gerakan mundur.
Akan tetapi pada saat itu pasukan Diponegoro telah berhasil menarik sayap kiri
pasukan Belanda kekaki sebuah bukit dimana dibelakangnya sebagian besar pasukan
Diponegoro sedang menyusun kekuatan. Apa yang kemudian terjadi mudah sekali
diduga, ialah bahwa dalam sekejap mata pasukan-pasukan Diponegoro mengadakan
penyerangan terhadap tentara Belanda dan milisi Mangkunegaran yang berada tepat
dibawah mereka. Karena sifat pendadakan dalam serangan itu, tentara musuh jadi panik
dan akibatnya menarik dan menyeret pasukan-pasukan lainnya. Dan pada saat itulah
seluruh pasukan Diponegoro secara serentak dan tiba-tiba melakukan peningkaran
terhadap pasukan musuh. Dalam keadaan begini tentu saja artileri musuh tidak dapat
digunakan dengan efektif.3
Dan hasil dari manoeuvre pasukan Diponegoro yang demikian itu ialah pertama-
tama musuh menjadi kocar-kacir. Daya guna persenjataannya dan peralatan lain yang
baik tidak berguna lagi. Pasukan Diponegoro bahkan berhasil merebut alat-alat artileri
musuh. Sebagian pasukan musuh berhasil dimusnahkan, sisanya berhasil melakukan
gerakan mundur. Untunglah bagi sisa-sisa pasukan sekutu yang melarikan diri itu, sebab
tidak berapa lama kemudian datanglah pasukan balabantuan dari Le Bron de Vexela dan
dengan lindungan mereka pasukan yang melarikan diri itu berhasil mencapai pos yang
terdekat yaitu pos Kalasan.
4. Pertempuran Gawok dan Benteng Stelsel
Perang akan selalu dimenangkan oleh pihak yang paling sedikit membuat kesalahan.
Semboyan itu sudah menjadi pedoman bagi ahli-ahli peperangan sejak zaman Romawi.
Dan bukti-bukti selalu menunjukkan kebenaran semboyan tersebut. Bila sebuah pasukan
telah banyak membuat kesalahan, baik dalam bidang strategis maupun dalam bidang
3 E.H. Bahrudin, Perang Partisan, Yayasan Pustaka Militer, Bandung, 1954.hal.54-56.
185
taktis, sedangkan mereka tidak dapat segera menduga akan adanya kesalahan-kesalahan
itu. Kejadian yang demikian itu telah menimpa pasukan Diponegoro dan pemimpinnya.
Peperangan di Gawok telah dianggap sebagai saat titik balik dari masa-masa kejayaan
pasukan-pasukan Diponegoro dimedan peperangan, karena sejak kejadian-kejadian itu
boleh dikata pasukan-pasukan Diponegoro tidak lagi membuat inisiatip penyerangan
yang berarti. Sejak itu pasukan-pasukan Diponegoro tidak lagi menduduki posisi sebagai
penyerang, akan tetapi bahkan telah berbalik menjadi pihak yang bertahan. Sejak itu
keadaan menunjukkan bahwa sebaliknya pasukan-pasukan Diponegoro berhasil dipecah
belah. Pasukan intinya bahkan berhasil digiring kesuatu daerah dan kemudian dengan
mudah dapat dimusnahkan, atau kemudian kepada mereka disodorkan suatu rencana
perundingan yang sangat tidak menguntungkan.
Pertempuran yang terkenal itu terjadi pada tanggal 15 bulan kesepuluhan 1826.
Dalam usaha untuk merebut kota Surakarta pasukan Diponegoro telah memotong garis
pertahanan Belanda antara Yogyakarta dan Surakarta. Dan setelah terjadi suatu
pertempuran yang merupakan pertempuran pendahuluan yang terjadi di Kedjiwan, seperti
telah disebutkan tadi. Dan pertempuran di Delangu, maka ditempat pangkalan sementara
yaitu didesa Gawok terjadilah suatu kontak bersenjata antara pasukan Belanda dengan
pasukan Diponegoro. Pertempuran itu dianggap istimewa, sebab sebelum pertempuran
terjadi, Pangeran Diponegoro dan Kyai Modjo masing-masing mempunyai pendapat yang
agak berlainan mengenai kebijaksanaan yang harus diambil terhadap masalah yang
sedang dihadapi. Kyai Modjo sebagai orang Surakarta-tegasnya dari daerah padjang-
menganggap penting jatuhnya kota Surakarta ketangan pasukan Diponegoro, karena
selain disana terdapat banyak simpatisan dan kawan-kawan serta murid-murid Kyai
Modjo, juga karena jatuhnya kota itu akan mempunyai pengaruh terhadap jalannya
peperangan. Setidak-tidaknya Belanda akan merasa kehilangan sebuah pangkalan yang
cukup penting bagi strategi peperangan, yaitu kota Surakarta. Akan tetapi tidak demikian
halnya pandangan Diponegoro. Beliau yang sangat bersifat sentimentil dan yang selalu
beranggapan bahwa maksud peperangan yang dilancarkan ialah memerangi Belanda,
bukan untuk merusak keraton bangsa sendiri, tidak menyetujui penyerbuan atas kota
Surakarta itu. Akan tetapi entah bagaimana jalan perundingan itu, rupa-rupanya
186
pandangan Kyai Modjo lah yang kemudian dijalankan. Dengan begitu maka rencana
penyerbuan terhadap kota Surakarta dijalankan.
Dalam langkah pendahuluan selagi pasukan Diponegoro masih berada tidak jauh dari
Surakarta, yaitu didesa Gawok, pasukannya telah menjumpai lawan, yaitu tentara
Cochius. Tentara Cochius itu bergabung dengan tentara Susuhunan Surakarta yang
dipimpin oleh Susuhanan sendiri. Selain itu ikut juga berperang pasukan yang datang dari
Yogyakarta yang dipimpin oleh jendral Van Geen.
Kesudahan peperangan itu sangat menyedihkan bagi pihak Diponegoro. Diponegoro
sendiri dalam peperangan itu mendapat luka-luka badan yang cukup parah, yaitu pada
kaki kiri sebelah bawah tumit, dada sebelah kiri dan tangan sebelah kanannya. Beliau
terpaksa tidak dapat melanjutkan memimpin peperangan. Dan setelah menyerahkan
pimpinan peperangan kepada Pangeran Bei, dengan dipikul diatas tandu beliau
meninggalkan medan peperangan menuju kearah lereng gunung Merapi.
Kekalahan Diponegoro menurut beberapa penulis disebabkan karena tidak bulatnya
rencana strategi dalam penyerangan terhadap kota Surakarta.4 Dalam peperangan maka
hukum besilah yang berlaku. Kalau tidak membunuh maka dialah yang akan dibunuh
oleh musuh. Perasaan kasihan yang tumbuh pada diri seseorang dalam peperangan ada
merupakan semacam racun yang memperlemah semangat. Dan bila perasaan yang
demikian itu tumbuh pada diri pemimpin perjuangan seperti pangeran Diponegoro, maka
hal itu amatlah mempengaruhi moril para prajuritnya. Dalam sejarah tercatat bahwa
dalam peperangan itu pasukan Diponegoro telah mengalami kekalahan, baik taktis
maupun strategis, sebab selain Pangeran Diponegoro menderita cedera dalam peperangan
itu, juga tentaranya mengalami banyak korban dan maksud untuk merebut kota Surakarta
sama sekali gagal.
Sebab kedua ialah karena tidak adanya konsolidasi atas hasil – hasil peperangan yang
sudah lalu dan atas kemajuan peperangan yang mereka peroleh. Pada diri mereka cepat
sekali dihinggapi penyakit yang paling bebahaya dalam setiap peperangan yaitu V.D.
atau Victory Desease, ialah penyakit yang sembuh karena dimabuk kemenangan dalam
peperangan yang lalu. Kemudian mereka kurang dapat memperhitungkan situasi yang
bakal datang. Dengan demikian maka kemenangan taktis yang selalu mereka peroleh
4 Sagimun M.D.op cit.hal.152-153
187
dihampir tiap medan pertempuran, tidak dapat mereka pergunakan sebagai kemenangan
strategis. Dan mereka tetap tidak dapat mengambil manfaat dari pengalaman masa
lampau yang telah mereka capai. Kemenangan yang mereka peroleh dalam pertempuran
di Kedjiwan dan kemenangan yang kemudian menyusul yaitu dimedan Delangu, dimana
pasukan Bulkios dibawah Sentot Prawirohardjo berhasil mengalahkan pasukan Belanda
yang menduduki Delangu, sebenarnya merupakan dua pendahuluan yang sangat baik
bagi pasukan Diponegoro untuk merebut kota Surakarta. Akan tetapi karena tidak adanya
konsolidasi atas kemenangan tadi dan karena didahului oleh datangnya kegairahan atas
kemenangan tadi, Pasukan-pasukan Diponegoro menjadi kurang waspada dan kurang
kesiap-siagaannya untuk menghadapi tugas mendatang. Kalau mereka tidak keburu
dipengaruhi oleh kegairahan atas kemenangan dan dengan demikian mereka tidak buru-
buru “mengambil cuti” kedaerah Radjasa dan kalau seandainya tidak timbul perselisihan
pendapat antara Kyai Modjo dengan Pangeran Diponegoro mengenai kebijaksanaan atas
nasib Surakarta, maka kesudahan peperangan barangkali akan sama sekali berlainan
dengan yang telah terjadi yang ternyata sangat menyedihkan. Akan tetapi semuanya telah
terjadi. Itulah sejarah.
Berbeda sekali dengan yang terjadi pada pihak Belanda. Kegagalan-kegagalan yang
telah mereka alami selama hampir dua tahun menghadapi perang gerilya, telah membuat
mereka berkesimpulan bahwa cara yang selama itu mereka praktekkan tidak tepat dan
harus mereka ganti dengan yang baru. Dan cara baru itu segera mereka ketemukan.
Caranya dengan memecah belah pasukan-pasukan Diponegoro menjadi suatu kesatuan
yang terpisah-pisah. Kemudian berusaha mempersempit daerah bergerak musuh.
Sementara itu mereka berusaha terus mempersempit daerah bergerak pasukan inti
Diponegoro, yaitu dengan mendirikan pos-pos pertahanan yang disebut benteng.
Benteng-benteng itu tersebar dihampir seluruh wilayah yang tadinya dikuasai
Diponegoro dan antara benteng-benteng itu selalu diadakan kontak dengan perantaraan
pasukan-pasukan yang selalu bergerak. Dengan demikian maka pertahanan didalam
benteng itu selalu dijaga supaya tidak terasing. Lingkaran perbentengan itu makin maju
dan makin sempit, hingga dengan demikian daerah bergerak pasukan Diponegoro makin
menjadi sempit. Strategi baru itu seperti sudah kita maklumi bernama Benteng Stelsel.
188
Dikombinasikan dengan usaha sebanyak mungkin mengadakan hubungan dengan
para pemimpin perjuangan dan mengadakan perjanjian – perjanjian dengan mengajukan
syarat-syarat yang menarik, maka strategi itu ternyata merupakan strategi yang berhasil
sebagai usaha anti gerilya.
Pada mulanya pihak pemimpin tentara pendudukan Belanda di Jawa masih
meragukan kegunaan strategi baru itu. Apalagi mengingat biaya yang harus dikeluarkan
untuk mengongkosi pelaksanaan strategi baru itu sangat mahal. Bisa dimaklumi sifat
ragu-ragu itu karena justru pada saat itulah pemerintah jajahan Belanda sedang
kekurangan keuangan. Ekses yang nyata-nyata dirasakan akibat buruknya pada bidang
keuangan itu terbukti nanti sesudah peperangan berakhir, Belanda melancarkan strategi
dasar baru bagi bidang keuangan dan ekonomi. Strategi baru itu terkenal dengan nama
Aturan Tanam Paksa. Akan tetapi itu adalah persoalan nanti. Persoalan yang sangat
mendesak yang harus segera diselesaikan pada waktu itu ialah bagaimana caranya
menyelesaikan perang dengan cepat dan baik hasilnya.
Setelah menginsafi benar bagaimana kegunaan strategi baru yang disodorkan
didepannya dan yang kemudian diketahui betapa efektifnya kerja benteng stelsel tadi bagi
mempercepat berakhirnya peperangan, maka atas nama pemerintah dijajahan Belanda di
Jawa, Jendral De Kock mengambil keputusan yang termasuk berani. Strategi benteng
harus lebih diintensipkan. Persoalan tidak lagi dititik beratkan pada masalah biaya. Ini
semacam perjudian, kalau tidak menang maka kekalahanlah yang akan diperoleh. Karena
De Kock sudah dapat melihat kegunaan strategi baru itu dan menginsafi bahwa
keuntungan yang bakal diterima adalah besar, yaitu berakhirnya peperangan dengan
segera. Dengan demikian maka taruhannyapun diperbesar, dan taruhan itu telah
diletakkan.
Segera setelah itu maka dimedan sebelah timur, yaitu dikedua daerah Monconegaran
dan sekitarnya, bermunculanlah benteng-benteng seperti di Rembang. Banjar, Jatirogo,
Tuban, Radjegwesi, Planturan, Flora, Pamotan dan di Babat. Sementara itu diwilayah
Kataran dan sekitarnya sudah berdiri benteng-benteng seperti di Minggir, Grobjag,
Bantul, Brosot, Puluwatu, Kedjiwan, Tlagapinian, Danalaja, Pasargede, Trajem,
Djatinom, Delangu dan sebagainya. Juga didaerah-daerah Kedu, Banyumas dan Bagelen
seolah-seolah tumbuh benteng-benteng seperti di Pakeongan, Kemit, Pandjer, dan
189
Merden. Semuanya ditaksir tidak kurang dari 165 buah benteng yang meluas dari daerah
Madiun disebelah Timur kedaerah Banyumas disebelah barat.
Dan sementara benteng-benteng itu sudah tersebar disentero daerah Mataram,
Bagelen, Banyumas, Kedu dan dikedua daerah Monconegaran, sejumlah besar para
bangsawan yang ikut memimpin pasukan-pasukan Diponegoro satu persatu
mengundurkan diri dari peperangan dan memenuhi ajakan Belanda untuk menyerah.
Alasannya ada seribu satu macam. Tahun-tahun 1828 dan 1829 adalah tahun-tahun yang
tidak menguntungkan bagi Diponegoro. Amat menyedihkan kejadiannya bila kita ingat
bahwa banyak para perwira dari pasukan Diponegoro yang menyerah, termasuk juga para
penasihatnya seperti Kyai Modjo, Alibasja Sentot dan Mangkubumi, sedang posisi
pasukan intinya sudah tidak menguntungkan, yaitu terkurung diantara dua aliran sungai
Prego dan Bogowonto.
Pada sekitar tahun 1828 diketahui bahwa Pangeran Diponegoro ada didaerah Pengasi,
diseberang barat kali Progo, mendengar berita tentang posisi Pangeran Diponegoro, maka
Belanda segera melakukan gerakan-gerakan pengurungan. Sudah jelas bahwa maksud
Belanda ialah mendesak pasukan-pasukan Diponegoro ketempat bergerak yang lebih
sempit, yaitu di daerah yang dibatasi oleh kedua aliran sungai Progo dan Bogowonto, dan
disebelah selatan dibatasi oleh samudera Indonesia. Dan dari ketiga daerah disekitarnya
Belanda maju terus dalam usahanya untuk menangkap Pangeran Diponegoro hidup atau
mati. Rencana yang akan dijalankan adalah sebagai berikut :
Dari sebelah barat tentara Belanda dibawah mayor Buschkens akan menjaga batas
alam kali Bogowonto. Mereka datang dari Bageleh sementara itu tentara-tentara yang
dipimpin oleh mayor Michiels direncanakan akan datang dari arah barat laut yaitu dari
arah daerah Ledok. Sedang kolonel Cleerens akan memotong dari arah utara yang berasal
dari Magelang, mereka dibantu oleh tentara yang dipimpin oleh Pangeran
Mangkuningrat, Pangeran Ario Kusumujudo dan mayor Puspowinoto. Dan dari arah
timur bergeraklah pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ledel. Demikian
pula pasukan-pasukan letnan kolonel Sollewijn dan kolonel Cochius sudah bergerak dari
arah Yogyakarta ke arah Pengasi. Dan seperti sudah kita maklumi, di pantai selatan
diantara dua aliran kali Progo dan Bogowonto selalu siap dua buah kapal Belanda yaitu
“De Naay” dan “De Leye”.
190
Demikian rapinya rencana pengepungan, hingga setiap ahli strategi perang akan
mengambil kesimpulan bahwa tidak lama lagi Pangeran Diponegoro akan tertangkap di
Pengasi ini. Akan tetapi seperti sering terjadi dimana-mana, banyak kali terjadi hal-hal
yang bersifat kebetulan atau keberanian alami dari seorang pejuang yang dapat datang
tiba-tiba merubah keadaan dengan secara ajaib. Demikian juga yang telah terjadi disekitar
Pengasi itu.
Belanda kemudian menyadari bahwa ada suatu faktor yang tidak diperhitungkan,
yaitu adanya seorang pemimpin militer dari pasukan Diponegoro yang cakap yang
memiliki kepandaian perang secara alami, walaupun masih muda usia, yang bernama
Alibasja Sentot Prawirohardjo. Seorang yang mempunyai reputasi baik sekali dalam
setiap medan pertempuran dimasa-masa yang lalu. Segera setelah menerima jabatan
sebagai pengganti Gusti Basja (nama lengkapnya Gusti Iman Ngabdulhamid Alibasja),
kemudian mendapat tugas yang sangat berat karena hasilnya sangat menentukan dalam
operasi yang dilakukannya. Tugasnya ialah menerobos blokade Belanda disebelah barat
untuk mencapai daerah Bagelen. Dan tugas itu telah dilaksanakannya dengan hasil yang
gemilang.
Pasukannya yang dikejar oleh mayor Buschkens, segera berhenti didesa Kraja dan
dengan tiba-tiba membuka sebuah perangkap. Hasil perangkap itu ialah beratus anggota
pasukan Buschkens tewas, lebih dari 400 pucuk senapan disita, demikian pula beberapa
pucuk meriam dan sejumlah amunisi. Ini terjadi pada bulan Oktober 1828. dan pada
bulan berikutnya yaitu bulan Nopember, pasukannya telah berhasil menerobos gelang
pengepungan Belanda dan berhasil mencapai Bagelen dengan selamat. Akibatnya sangat
jelek bagi Belanda, sebab dengan demikian terbukalah kembali pintu daaerah Mataram ke
Bagelen yang lebih buruk lagi akibat dari gerakan Sentot itu ialah bahwa Sentot telah
berhasil membawah Diponegoro kedaerah Bagelen. Dan ini merupakan prestasi yang
besar dan sangat mengagumkan baik bagi lawan maupun bagi kawan sendiri.
Cara penyebrangan yang dipakai untuk membawa lari Diponegoro itu sebetulnya
sangat klasik, akan tetapi sering dipergunakan, yaitu penipuan dan mengelabuhi mata
musuh tentang arah sebenarnya dari tujuan gerakan tentara Diponegoro. Seperti halnya
waktu Napoleon berhasil menyingkapkan blokade armada Inggris dipantai Afrika Utara
atau tegasnya di Mesir. Mula-mula Napoleon pura-pura mempersiapkan suatu expedisi
191
yang besar kearah pedalaman Mesir. Rencana itu dipersiapkan secara menyolok sekali,
supaya pihak Inggris mengira bahwa betul-betul Napoleon akan mengadakan gerakan
besar-besaran ke pedalaman Mesir. Dan diharapkan Inggris akan mengadakan pemusatan
kekuatan di pedalaman dan meninggalkan pantai Mesir dengan kekuatan yang tidak
berarti. Betul juga diperkirakan Napoleon. Dengan begitu secara sembunyi-sembunyi
Napoleon dengan beberapa pasukannya meninggalkan daratan Mesir dan menuju arah
daratan Perancis dengan selamat, tanpa mengalami gangguan dari pasukan Inggris yang
pada waktu itu sebenarnya merupakan hantu yang menjadi tujuh lautan termasuk juga
laut Mediteran.
Demikian juga yang telah dilakukan oleh Sentot pada waktu hendak menerobos
blokade Belanda diperbatasan Mataram dengan Bagalen. Dengan pura-pura akan
mengadakan hijrah ke daerah padang dengan jalan menyebrangi kali Progo, tiba-tiba
rombongan Diponegoro yang dipimpin oleh Sentot membelok kebarat. Dan dalam
beberapa hari saja rombongan itu dengan selamat berhasil mencapai Bagelen. Akan tetapi
perjalanan yang dilalui oleh rombongan itu tidaklah begitu mudah. Setelah menyeberangi
sungai Bogowonto dengan menuruti kali lerang ke barat, mereka juga harus melewati
beberapa blokade Belanda. Waktu mereka sampai ke desa Ayar, rombongan itu harus
menginap dahulu, kemudian menghindari penjagaan-penjagaan Belanda yang dipimpin
oleh perwira bernama Blondeau.
Sementara itu di dalam usahanya yang direncanakan oleh Belanda untuk
mengadakan pengepungan daerah antara dua aliran kali Progo dan Bogowonto, ternyata
Belanda tidak menemui jalan yang semula yang terdapat pada kertas. Setiap kali mereka
melangkah maju dan bermaksud mengadakan semacam “beach head” atau batu loncatan
pada daerah-daerah tertentu, mereka selalu mendapat perlawanan yang sengit dari
pasukan-pasukan Diponegoro. Hanya dengan susah payah dan setelah meninggalkan
korban yang besar, Belanda umpamanya baru berhasil memasuki Grogol dan lalu
mendirikan benteng di sana. Demikian juga yang terjadi di Beliga dan sebagainya. Dan
bila kemudian kemajuan dari gelang perbentengan itu telah nyata tercapai, tiba-tiba
kijang buruan itu ternyata lepas kembali. Seperti sudah kita maklumi bahwa Diponegoro
telah berhasil keluar dari daerah Mataram.
192
Kegagalan itu hampir saja menggulingkan De Kock dari kedudukannya, karena
dicela komisaris Jenderal Du Bus. Dan untuk lebih mengintensipkan strategi benteng itu,
maka De Kock melipat gandakan usaha mengadakan hubungan dengan para pemimpin
pemberontak dan juga mengadakan perundingan-perundingan dengan mereka, terutama
dengan Diponegoro, akan tetapi kesempatan mengadakan perundingan dengan
Diponegoro itu belum juga tiba.
Diangkatnya Sultan Sepuh Belanda di atas tahta Mataram sejak 1826 yang
dimaksudkan supaya diponegoro menghentikan perlawanan terhadap Belanda, atau
setidak-tidaknya para pengikutnya akan menghindarkan diri dari Diponegoro, ternyata
tidak membawa hasil. Orang tua yang tidak beruntung itu wafat pada usia 80 tahun pada
tahun 1828. Tindakan yang dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan perlawanan
rakyat untuk melengkapi strategi Benteng stelsel itu, ialah dengan menangkapi anggota
keluarga Diponegoro, seperti putera dan istri beliau. Akan tetapi harapan untuk dengan
segera mengakhiri perang atau setidak-tidaknya mengadakan perundingan dengan
Diponegoro belum juga terlaksana.
5. Perjuangan Terakhir Sebagai “Single Fighter”.
Kekalahan di Gawok pada tahun 1826 tidaklah berarti benar bahwa perlawanan
Diponegoro menjadi surut. Yang benar ialah bahwa perlawanannya tidak lagi bersifat
offensip atau menyerang. Dan perjuangnya tidak lagi menunjukkan kemajuan-kemajuan.
Walaupun perlawanan itu masih muncul dimana-mana. Segera setelah kekalahan di
Gawok terjadi pula pertempuran sengit diSingosari dan di sekitar Jatianom. Tapi
pertempuran-pertempuran itu lebih merupakan semacam pertempuran sambil lalu saja
yang dilakukan sambil mengadakan perjalanan hijrah ke pegunungan kelir, yang
kemudian menjadi pangkalan baru. Memang di daerah Ledok juga terjadi pertempuran
sengit yang dipimpin oleh Imam Musbah dan Mas Lurah. Juga di daerah Semarang
berkobar pula perlawanan bersenjata menentang Belanda, dibawah pangeran Serang. Dan
juga di kedua daerah Monconegaran meletus pula peperangan di bawah Sosrodilogo.
Akan tetapi perlawanan dan pertempuran itu lebih merupakan perlawanan lokal saja
karena kurang adanya koordinasi. Akibatnya perlawanan itu tidak berlangsung lama.
193
Pada 21 bulan enam 1827, pangeran Serang menyerah bersama Pangeran
Notoprodjo, dengan 850 orang prajutritnya. Sosrodilogo sendiri menyerah pada
tanggal 3 oktober 1828. Dan perlawanan di daerah Ledok sudah boleh dikatakan
berhenti pada awal 1827.
Yang merupakan ciri yang amat menyedihkan dari babakan peperangan Diponegoro
setelah peperangan di Gawok ialah banyaknya penyerahan yang dilakukan oleh para
pemimpin pejuang. Selain yang baru saja disebutkan, maka yang lebih menyedihkan
ialah tindakan-tindakan penyerahan yang terjadi diantara pemimpin-pemimpin pejuang
didalam inti pasukan.
Pada akhir tahun 1826 pangeran Mangkudiningrat menyerah kepada Belanda.
Diikuti kemudian oleh Pangeran Surjo Metaram dan pangeran Prang Wedono pada 19
Januari 1827. Putera Pangeran Diponegoro sendiri, Pangeran Dipokusumo memihak
kepada Susuhunan pada 7 Maret 1827. Diikuti kemudian oleh putera pangeran
Mangkubumi, yaitu pangeran Notodiningrat pada 18 April. Belum lagi terhitung
beberapa pahlawan yang telah gugur dalam peperangan. Kita sebutkan diantaranya Gusti
Basja. Pada bulan September 1829 gugurlah Pangeran Ngabei. Demikian pupa telah
meningggal Djojokusumo.
Kyai Modjo sejak “perselisihannya” dengan Diponegoro mengenai strategi
pengepungan kota Surakarta, selanjutnya boleh dikata berjuang secara tersendiri saja.
Pusat perjuangannya kini dipusatkan di Padjang. Dua kali beliau mengadakan
perundingan dengan Belanda untuk menyelesaikan tujuan untuk peperangan. Akan tetapi
kemudian nasib buruk telah menimpa beliau, ketika kemudian pihak Belanda mengetahui
tempat persembunyian beliau. Dan pada 16 Nopember 1828, beliau ditangkap oleh
Belanda. Selanjutnya pahlawan itu dibuang ke Menado.
Selanjutnya Belanda terus melancarkan pengepungan terhadap Diponegoro. Bahkan
pada pertengahan September 1829 De Kock mengeluarkan semacam selebaran untuk
memberikan hadiah bagi mereka yang berhasil menangkap Diponegoro, hidup atau mati.
Belanda dalam pada itu telah berhasil memecah belah kedudukan pasukan dari
Diponegoro. Tempat kedudukan Diponegoro jauh dari tempat Sentot. Pada waktu itu
Diponegoro sudah meningggalkan daerah kedu, sedang Sentot dengan tentaranya
bergerilya di Yogyakarta selatan di sebelah timur kali opak Demikian pula tempat
194
kedudukan Mangkubumi, yang terpisah berpuluh km, dari tempat Diponegoro bertahan.
Ini terjadi pada triwulan terakhir tahun 1829. Kemudian berita yang sampai ketelinga
Diponegoro betul-betul sangat mengejutkan, karena Sentot bersama tentaranya telah
memenuhi hasrat Belanda untuk meletakkan senjata. Ini terjadi pada tanggal 16 Oktober
1829 di Imogiri. Sedang satu bulan sebelumnya yaitu pada tanggal 28 September
pangeran Mangkubumi pun telah menyerahkan diri kepada Belanda.
Peristiwa lain yang amat mengejutkan Diponegoro ialah ditangkapnya istri
Diponegoro bersama anak kandungnya, Raden Ayu Gianti di tepi kali opak.
Prawirokusumo sendiri menyerah bersama 20 seorang Bupati segera setelah Sentot
menyerah.
Nyatalah sudah betapa gentingnya keadaan dipihak Diponegoro. Dan kalau kita
adakan balas kekuatan antara kedua belah pihak yang berperang pada waktu itu, maka
keadaannya makin tidak seimbang. Disatu pihak Belanda makin mempunyai keyakinan
penuh bahwa perang akan segera berakhir dengan kemenangan ada pihaknya. Di lain
pihak keadaan makin genting. Para pendukung sudah makin menipis. Dan Diponegoro
boleh dikata seperti seorang “Single fighter”, beliau melakukan perlawanan menentang
Belanda sendirian saja. Hanya satu faktor yang masih menguntungkan, ialah bahwa alam
masih berpihak kepada beliau. Beliau masih selalu bisa terlindung dari kejaran-kejaran
Belanda. Selain itu penduduk daerah Bagelen, Banyumas dan Kedu masih selalu
merupakan air danau bagi ikan yang hidup didalamnya. Hingga dengan demikian
Belanda masih belum dapat menangkap Diponegoro, hidup atau mati. Dan oleh
karenanya Belanda masih melancarkan lagi permintaannya kepada Diponegoro untuk
mengadakan perundingan-perundingan menghemat tenaga.
Masa antara 20 Januari sampai dengan April 1829 resminya dianggap sebagai saat
genjatan senjata, sebab pada waktu itu Belanda telah menghubungi Diponegoro untuk
mengadakan perundingan. Dengan perantaraan Kyai Mojo yang lebih dahulu telah
ditangkap, Belanda mengadakan perundingan dengan Diponegoro. Ternyata perundingan
itu telah mengalami kegagalan sebelum dimulai, sebab Belanda telah mengajukan
prasarat yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak Diponegoro, yaitu supaya Diponegoro
jangan mengajukan permintaan yang tinggi.
195
Dalam bulan April tahun itu juga Belanda mengajak berunding lagi. Tapi
perundingan itupun terakhir dengan kegagalan pula. Dengan demikian maka
pertempuranpun berkobar pula.
Pada suatu hari di bulan Oktober 1829, setelah pertempuran berkobar lagi, pasukan
Diponegoro sedang dikejar oleh pasukan Belanda, ketika kemudian berpisah dari
pasukannya. Dengan hanya diikuti oleh dua orang pemuda yang masih hijau dalam
pengalaman, yaitu Roto dan Banteng wareng dan dua ekor kuda yang bernama Sri
Gentaju dan Sri Krena, Diponegoro meneruskan perjalanannya kearah daerah gunung
Menoreh. Untuk menghindarkan diri dari buruan pihak Belanda yang selalu mengejar
dibelakangnya, mereka menerjunin jurang yang ada didepannya, dengan diiringi oleh
hujan peluru dan tombak musuh. Tetapi untunglah tidak satupun senjata itu yang
mengenai Pangeran Diponegoro dan pengiringnya. Setelah pertempuran itu reda,
dijumpailah kedua ekor kuda kesayangannya tidak lagi bersama beliau. Kemudian
dengan tetap diiringi oleh kedua pemuda muda usia tadi, beliau melanjutkan
perjalanannya kedaerah Kedu.
Gambaran itu menunjukkan betapa buruknya keadaan Diponegoro waktu itu. Seakan-
akan benarlah gelaran “single fighter” bagi Pangeran Diponegoro. Akan tetapi tidak tepat
benarlah istilah yang demikian itu untuk Diponegoro, sebab Diponegoro masih
mempunyai kepercayaan penuh atas dukungan rakyat Bagelan,Banyumas dan Kedu.
Beliau bahkan ssudah mengadakan tindakan darurat, yaitu menggantikan pembantu-
pembantu yang telah tidak ada dengan putera-putera ketiga daerah tadi. Akan tetapi
pengganti-pengganti itu adalah terdiri dari tenaga-tenaga yang belum berpengalaman
banyak.7
Dan bila kemudian Diponegoro terpaksa menerima ajakan berunding yang
disodorkan oleh pihak Belanda, dalam hal ini oleh Kolonel Cleerens, hal itu semata-mata
karenabeliau menginginkan suatu gencatan senjata. Dan sementara itu diharapkan
Diponegoro dapat menyusus kembali kekuatannya. Selain itu juga dimaksudkan untuk
mencoba mencari suatu jalan lain untuk mencapai tujuan politiknya. Akan tetapi
kemudian Belanda mempergunakan kesempatan perundingan itu untuk menangkap
7 Muhammad Yamin, op cit. hal. 97.
196
Pangeran Diponegoro, dengan melanggar segala peraturan tata tertib perundingan antara
dua pihak yangberlawanan, karena Belanda ingin lekas-lekas mengakhiri perang.
Demikianlah pada sekitar jam 11.00 siang tanggal 28 bulan Maret tahun 1830 Pangeran
Diponegoro telah dikhianati, justru pada waktu sedang diadakan perundingan tingkat
tinggi. Sejarah membuktikan bahwa pengkapan yang mashur itu atas diri Pangeran
Diponegoro, diikuti kemudian oleh berakhirnya peperangan yang dimulai pada 20 Juli
1825. disatu pihak perang itu telah berakhir dengan kegagalan, karena tidak mencapai
tujuan politik yang telah digariskan semula, yaitu melepaskan diri dari belenggu
penjajahan Belanda. Sementara itu dilain pihak perang telah berakhir dengan baik,
meskipun dengan melalui jalan yang tidak terhormat.
BAB IV PENUTUP DAN PENILAIAN
Perang telah berakhir pada tanggal 28 Maret 1830, yaitu dengan ditangkapnya
Pangeran Diponegoro, oleh pihak musuh yaitu Belanda. Penangkapan tu sendiri menjadi
termashur, karena terjadi pada saat gencatan senjata yang telah sama-sama disetujui,
yaitu pada waktu di adakan perundingan puncak antara pihak Belanda yang diwakili oleh
Jendral Dekock sebagai panglima tertinggi tentara pendudukan Belanda di Jawa dan
Pangeran Diponegoro yang mewakili seluruh kemauan rakyat yang sedang berjuang.
Tempat terjadinya perundingan yang cemar itu di Magelang.
Menyedihkan sekali bahwa perjuangan bersenjata melawan penjajah itu tidak
diteruskan, karena tidak ada lagi pemimpin lain yang berani mengambil inisiatif. Sejarah
telah membuktikan bahwa perang yang telah dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro itu
telah gagal. Gagal akan tetapi tidak sia-sia, demikian kata Bung Karno dalam kata
sambutannya dalam peringatan seratus tahun wafatnya Pangeran Diponegoro. Tidak sia-
sia sebab antara lain semangat perjauangan beliau untuk mengusir penjajah Belanda dari
tanah airnya, telah memberikan inspirasi kepada kita yang hidup setelah beliau, untuk
melanjutkan perjuangan beliau yang belum selesai.8
Untuk lebih menunjukkan bahwa perjuangan beliau itu memang tidak sia-sia, maka
kita akan sedikit mengadakan penilaian terhadap perang yang telah berlangsung selama
8 Sagimun M.D. op cit. hal. 439-441.
197
lima tahun itu. Dengan demikian maka kita akan lebih banyak belajar dari pengalaman
masa silam. Dan mmemang hakekad ilmu sejarah ialah memberikan kepada kita banyak
sekali pelajaran yang terdiri dari peristiwa-peristiwa masa lampau.
Dalam permulaan tulisan kita sudah sepakat mengenai sifat-sifat perlawanan
bersenjata yang telah dilakukan oleh Pangeran Diponegorodan pasukannya, yaitu suatu
perang kemerdekaan. Artinya sebagai kelanjutan dari bentrokan dalam bidang politik
antara sebagian besar rakyat di Jawa melawan Belanda. Bentrokan itu kemudian telah
berubah menjadi peperangan sebagai jalan lain untuk mendapatkan kemerdekaan dalam
segala bidang, kehidupan, maka perang yang telah mereka lakukan, seperti sudah kita
sepakati tadi ialah perang kemerdekaan.
Kedua belah pihak sebenarnya dalam keadaan belum siap untuk berperang, akan
tetapi kedua belah pihak sama-sama mempunyai kondisi yang khas. Pihak Diponegoro
pada hakekadnya sudah matang untuk berperang, akan tetapi tidak pernah terpikirkan
untuk memulai mengambil inisiatif itu. Oleh karena itu mereka tidak pernah memiliki
persiapan-persiapan untuk berperang, apalagi karena konstelasi politik pada waktu itu
tidak memungkinkan untuk mengadakan persiapan-persiapan tersebut. Akibatnya mereka
tidak mempunyai kekuatan tempur yang teratur ataupun perlengkapan militer yang lebih
rapi.akan tetapi pada tingkat pertama peperangan, Diponegoro mempunyai banyak sekali
faktor yang sangat menguntungkan, yang dapat mengobarkan semangat pertempuran itu.
Diponegoro mempunyai bala bantuan dari rakyat yang berdiri dipihaknya. Sedangkan
alam dengan segala speknya, seperti hutan-hutan, gunung-gunung, dan musim penghujan
dsb. sangat menguntungkan posisi mereka. Simpati yang datang dari para bangsawan dari
daerah-daerah dan para bangsawan Mataram merupakan kekuatan yang tidak dapat
dianggap ringan, sebab mereka mempunyai banyak pengaruh dikalangan rakyat.
Diponegoro juga mempunyai penasihat-penasihat militer yang cakap, yang mempunyai
reputasi yang baik dalam setiap pertempuran. Mereka sering lebih mengutamakan
pemakaian taktik penghadangan, pendadakan, pengejutan dan sebagainya yang terkenal
dengan sebutan perang gerilya, dan sedapat mungkin mereka menghindari perang
terbuka. Ditambah sistem pembagian tugas dan sifat kepemimpinan yang kharismatis dari
Diponegoro, maka semua faktor tersebut dapat mengimbangi kalemahan pasukan-
pasukan Diponegoro dalam bidang persenjataan danperlengkapan perang. Akibatnya
198
ialah dipeoleh kemenangan-kemenangan taktis dan hampir setiap pertempuran, terutama
selama tahun-tahun permulaan pertempuran. Nantinya akan kita ketahui faktor-faktor
baru datang yang menyebabkan pihak Diponegoro menglami kkekalahan-kekalahan
taktis maupun strategis, hingga kemudian mereka mengalami kegagalan pada akhir
peperangan.
Pihak Belanda sendiri walaupun jauh sebelum pecah perang sudah mempunyai
dugaan akan timbulnya perang, akan tetapi mereka tidak mempunyai dugaan bahwa
perang itu akan cepat datang. Atau setidak-tidaknya mereka barangkali memang tidak
menghendaki perang, sebab pada saat hampir yang bersamaan tentaranya sedang
diperlukan untuk memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang terjado dipulau
lain, seperti yang terjadi di Minangkabau, Banjarmasin dan Bone. Sampai dengan bulan
Agustus 1825 Jendral De Kock masih belum bersedia untuk berperang. Beberapa jalan
ditempuhnya untuk sedapat mungkin menghentikan peperangan sebelum terlambat,
terutama dengan jalan menghubungi Diponegoro dengan surat. Dan manakala usaha-
usaha itu menglami kegagalan, maka dengan tergesa-gesa dicari bala bantuan untuk
menambah kekuatan guna secepat mungkin menghentikan peperangan. Terbukti
kemudian walaupun balabantuan itu berdatangan dari daratan Eropah dan dari para
bangsawan yang dapat diperalat oleh Belanda, pasukan-pasukan Belanda itu hampir
ditiap medan pertempuran dapat dikalahkan.
Organisasinya yang cukup baik dan persenjataannya yang cukup modern bagi saat
itu tidak dapat mempertahankan daya gunanya, berhubung mussuh yang dihadapinya
tidak hanya satu jenis. Selain harus berhadapan dengan partisan Diponegoro, mereka juga
harus berhadapan dengan alam yang sangat mengganggu mereka, tetapi sebaliknya
sangat berpihak kepada Diponegoro. Selain itu strategi yang mereka kembangkan selama
dua tahun pertama peperangan sangat tidak sepadan untuk menghadapi taktik perang
gerilya. Berkali-kali mengirimkan tentara regular yang lengkap persenjataannya, berjalan
kearah tempat sasaran operasi yang kadang-kadang sangat jauh letaknya, sangat tidak
seimbang kalau menghadapi pasukan-pasukan yang sangat lincah geraknya, walaupun
berjumlah sangat sedikit. Apalagi karena yang dihadapi ialah pasukan-pasukan yang
merasa bermain dirumah sendiri, macam pasukan-pasukan Diponegoro.
199
Dua pasukan yang memiliki kekuatan yangtidak seimbang dalam bidang
persenjataan dan peralatan perang lainnya saling beradu kekuatan. Hasilnya sangat
menakjubkan yaitu banyaknya kemenangan yang dipeoleh pihak yang lemah
persenjataannya. Akan tetapi karena pihak yang mula-mula mendapat kekalahan, dapat
dan mau belajar dari pengalaman masa lampau, maka pada waktu peperangan memasuki
tahun ketiga, lukisan peperangan Diponegoro menjadi betul-betul berbeda dari gambaran
semula. Pihak Belanda yang hampir selalu menderita kekalahan, kemudian menyadari
bahwa untuk menghadapi perang gerilya haruslah dipergunakan strategi baru untuk
mengganti strategi yang selama itu dipakai tetapi selalu menderita kekalahan. Musuh
harus segera dapat dipecah belah dengan mutlak dan dipencilkan dari pemimpinnya yang
bersifat kharismatis. Pasukan inti harus dapat didesak kedaerah yang terbatas dan sempit,
hingga moril prajuritnya jadi merosot. Strategi baru itu terkenal dengan nama Benteng
Stelsel, sebab praktek pengepungan juga mereka lakukan itu dilakukan dengan
mendirikan benteng-benteng dibeberapa tempat. Dikombinasikan dengan sebanyak
mungkin berusaha mendekati para pejuang yang kurang kuat imannya dengan jalan
sebanyak mungkin mendekati dan menawarkan syarat-syarat yang menarik bagi
perjanjian untuk meletakkan senjata, maka strategi baru itu sangat cocok untuk
menghadapi para gerilyawan Diponegoro. Apalagi bila ditambah dengan aktivitas dan
ndaya guna para infiltran Belanda yang memeras batang tubuh kekuatan pasukan
Diponegoro dari dalam. Dan walaupun pasukan perlawanan pasukan-pasukan
Diponegoro tidak menjadi turun oleh adanya strategi baru itu, akan tetapi karena makin
berkurangnya tenaga-tenaga perjauangan yang menjadi penggerak perjuangan itu sendiri,
baik karena telah gugur ataupun telah berhasil dipikat oleh Belanda ataupun telah dapat
ditangkap oleh pihak Belanda, maka akhirnya Pangeran Diponegoro sebagai motor utama
perjuangan bersenjata itu menerima ajakan Belanda untuk mengadakan perundingan.
Akhir dari perundingan yang diadakan di Magelang pada tanggal 28 Maret 1830 itu
sudah menjadi terkenal, yaitu nahwa pada saat itu Pangeran Diponegoro ditangkap oleh
perintah Jendral De Kock. Akan tetapi penangkapan yang mashur atas diri Pangeran
Diponegoro itu, hanyalah merupakan pukulan terakhir saja yang menentukan kegagalan
Pangeran Diponegoro. Hingga dengan demikian maka sempurnalah kegunaan strategi
Belanda untuk mengakhiri perang yang telah membakar pulau Jawa itu.
200
Dilain pihak perang telah berakhir dengan kegagalan. Kalau kita mau meneliti
sebab-sebab kegagalan yang dialami oleh perjuangan Diponegoro itu maka terdapatlah
beberapa hal yang patut disebutkan.
1. Sebab-sebab Subyektif.
Termasuk kedalamnya segala kondisi yang terdapatdalam tubuh pasukan
Diponegoro dan strategi yang dijalankan oleh Diponegoro. Dalam bidang taktik pada
umumnya pasukan Diponegoro unggul, walaupun persenjataan sangat lemah. Ini
disebabkan karena adanya persyaratan-persyaratan tadi. Akan tetapi strategi perlawanan
yang dipunyai oleh Pangeran Diponegoro kurang kompak dan kurang matang.
Walaupun banyak contohyang menunjukkan bahwa pengepungan kota-kota yang
penting banyak dilakukan oleh pasukan-pasukan Diponegoro, seperti terhadap kota
Jogjakarta, Magelang, akan tetapi seterusnya tak menunjukkan konsekwensinya dalam
tindakan-tindakan selanjutnya. Hal itu nampak karena pada waktu menghadapi masalah
pengepungan terhadap Surakarta, terjadi keragu-raguan pada pucuk pimpinan. Dengan
demikian pengepungan terhadap daerah-daerah yang strategis bukanlah merupakan ciri
yangkhas bagi strategi mereka. Lalu apakah yang menjadi strategi utama adalah
mengulur waktu dengan maksud melelahkan lawan, dan kemudian pad sat yang tepat
akan mengadakan usul perundingan yang menguntungkan pihaknya? Ternyata strategi
inipun tidak dilaksanakan dengan konsekwen, sebab banyak contoh menunjukkan
bahwa pasukannya diboroskan dalam perang posisi seperti yang terjadi di Plered dan
Gawok. Hingga dengan demikian maka kemenangan akhir yang sangat diharapkan
tidak kunjung mereka peroleh.
Sedang sebab selanjutnya dari kekalahan dan kegagalan yang mereka peroleh
adalah karena tidak adanya usaha yang mereka lakukan untuk mengadakan konsolidasi
terhadap kemenangan-kemenangan taktis yangmereka peroleh pada masa lampau. Pada
umumnya mereka terlapau cepat dihinggapi penyakit mabuk kemenangan atau terkenal
sebagai Victory Desease, hingga sering sekali mereka menjadi lengah dalam menghadapi
tugas-tugas mendatang.
201
2. Sebab-sebab obyektif
Sebab-sebab ini berasal dari pihak lawan. Faktor pertama yang harus kita akui ialah
keunggulan Belanda dan sekutunya dalam bidang persenjataan. Selain itu kita mengenai
juga kemahiran mereka untuk mengadakan politik pemecah balah dan adu dombadiantara
suku-suku bangsa yang ada di Indonesia. Dan kelihan mereka dalam menarik para
bangsawan dan pendukung pemberontak yang lain untuk berhenti mengangkat senjata
adalah juga merupakan sebab-sebab kegagalan perlawanan bersenjatayang diadkan oleh
Diponegoro. Tidak dapat juga diabaikan kepandaian pihak Belanda untuk berani
mempelajari pengalaman mereka pada masa lampau dan kemudian keberanian mereka
untuk dengan segera mengubah strategi mereka, manakala strategi yangmereka
pergunakan pada waktu itu tidak menguntungkan mereka. Hingga dengan demikian maka
timbullah kemajuan dalam jalannya peperangan.
Akhirnya sifat Zakelijk bangsa Belanda dalam perang sangat menolong mereka.
Dengan begitu mereka tidak lagi mudah dan tidak selalu dipengaruhi oleh permainan
perasaan. Hal itu menyebabkan mereka menyadari benar hakekada hukum besi yang
selalu berlaku didalam peperangan. Barang siapa tidak lebih dahulu mau membunuh
lawan maka dia sendirilah yang akan dibunuh oleh lawan. Dengan demikian maka
peristiwa penangkapan atas diri Pangeran Diponegoro, walaupun sangat melanggar
hukumperang, akan tetapi yang menjadi tujuan perang bagi belanda adalah menangkap
Diponegoro yang dianggap sebagai motor pemberontakan bersenjata, maka ditangkaplah
Pangeran Diponegoro. Dan karena sifat kharismatis beliau merupakan paranan utama
dalam usaha memimpin perjuangan, maka akibat dari penangkapan itu menjadi lebih
buruk jadinya. Seperti kemudian ternyata dalam sejarah, maka untuk waktu yang cukup
lama setelah Diponegoro tertangkap, tidak pernah lagi terdapat perang kemerdekaan
dalam bentuk yang sebenarnya. Setelah masa itu boleh dikata untuk sementara waktu
dalam abad ke 19 tidak muncul lagi pemimpin atau pelopor yang melanjutkan usaha
perjuangan Diponegoro yang telah gagal itu. Amatlah tragis kedengarannya,akan tetapi
ini adalah kenyataan sejarah. Bagi kita sebagai putera-putera bangsa yang selalu masih
berjuang, maka banyaklah pelajaran yang kita peroleh dari kejadian-kejadian pada masa
itu.
202
Dengan perasaan yang penuh keprihatinan kita menyaksikan bahwa perjauangan
yang pernah dipelopori oleh Pangeran Diponegoro itu telah gagal mencapai tujuan akhir
peperangan. Akan tetapi sekali lagi kita menginsafi bahwa walaupun perjuangan itu telah
gagal, akan tetapi tidaklah sia-sia. Banyaknya pelajaran berharga yang telah diajarkan
oleh kegagalan itu kepada kita. Dan pelajaran itu betul-betul telah membuat kita berhasil
dalam salah satu segi dari keseluruhan rangka perjuangan kita. Hasil yang nyata ialah
bahwa kita telah dapat memerdekakan diri dari kungkungan penjajahan Belanda, yaitu
pada tanggal 17 Agustus 1945.
GAMBAR 1
203
GAMBAR 2
204
DAFTAR BACAAN
Ali, R. Mohamad, Perjuangan Feodal Indonesia, Ganaco, N. V. Bandung, Jakarta,
1963.
_______________, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Bhratara, Jakarta, 1961.
Asisten Kepala Pusat Sejarah Militer, Sejarah Militer Untuk Calon Perwira, Publikasi
Resmi Pusat Sejarah Militer, cetakan I, Bandung, 1959.
Auwyong Peng Koen, Dengan bantuan F. J. E. Tan, Perang Pasifik 1941 – 1945. Bagian
Penerbitan Keng Po, Jakarta, 1958.
Bahruddin, E. H, Perang Partisan, Penerbit Yayasan Pustaka Militer, Bandung, 1954.
Balai kursus tertulis Pendidikan Guru, Sejarah Nasional, jilid I C no. 142. Bandung.
Berg, H. J. van den, cs, Asia dan Dunia sejak 1500, J.B. Wolters, Jakrta, - Groningen,
1954.
Burger, D. H, Sejarah Ekonomi Sosiologis Indonesia jilid I, saduran Prayudi
Atmosudirjo, P. N. Prajnya Paramita, Jakarta,1960.
Canu, Jean, Sejarah Amerika Serikat, Penerbit Pustaka Rakyat, Jakarta, 1953.
Clausewitz, Karl von, Tentang Perang, terjemahan R. Soesattyo, mayor infantri,
Pembimbing bagian penerbitan, Jakarta, 1954.
205
Dunant, Henry, Sebuah Kenang-kenangan di Solferino, Balai Pustaka, Jakarta, 1951.
Earle, Edward Mead, Penyusun-penyusun Strategi Perang Modern, diterjemahkan oleh
Sumantri Mertodipuro cs. Bhratara- Yayasan Franklin bagian Penerbit, Jakarta-
New York 1962.
Kompilasi Sejarah Militer, Jendral Sudirman, Seri bagian biografi Militer dan
Pejuang Indonesia, Publikasi Resmi Pusat Sejarah Militer, Bandung, 1959.
Louw, P. J. P, De Java Oorlog I, Batavia Lands drukkerij, 1904 ‘s Hage M. Nyhoff.
Nasution, M. A, S, dan M. Thomas, Buku Penuntun Membuat Thesis, Usaha Penerbit
Jaya Sakti, Jakarta, 1961.
Nasution, A. H, Pokok-pokok Gerilya , Pembimbing, Jakarta,1954
Nazir, Perang Gerilya, Penerbit C.V. Pembimbing, Jakarta, 1961.
__________, “Pikiran Rakyat”, Selasa/Rabu, tanggal 5 dan 6 Juni 1962, tahun ke XIII,
no. 4 dan 5.
Puar, Yusuf Abdullah,”Panji Masyarakat”, no. 20 tanggal 28 – 3 – ’60.
Radjab, Muhamad, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803 – 1838), Perpustakaan
Perguruan Kementrian P.P dan K, Jakarta, 1954.
Sagimun, M. D, Pahlawan Diponegoro Berjuang, Cabang bagian bahasa/ Urusan Adat
Istiadat Jawatan Kebudayaan Departemen P.P dan K, Yogyakarta 1960.
Snyder, Louis L, Abad Pemikiran, terjemahan Nyoman S. Pendit, Bhratara – Yayasan
Penerbit Fanklin, Jakarta – new York 1962.
206
____________, Dunia Dalam Abad ke 20, terjemahan Suwarno Hadiatmojo, Usaha
Penerbit Jaya Sakti, Jakarta.
Soegondo, R. , Ilmu Bumi Militer Indonesia I dan II, Penerbit Pembimbing, Jakarta
1960.
Soeroto, Indonesia ditengah-tengah Dunia dari Abad ke Abad jilid I, II dan III,
Jambatan, Jakarta 1963.
Stuers, F.V. A. de, Memoires Sur La Guerre De L’ile De Java de 1825 a 1830, Aleyde,
Chez S – j. Luchtmans, Amsterdam 1833.
Sukanto, Sekitar Yogyakarta 1755 – 1825 Penjanjian Gianti – Perang Diponegoro,
Mahabarata, Jakarta – Amsterdam 1952
_______, Sentot Alias Alibasah Abdulmustopo Prowirodirjo – Senopati Diponegoro,
N.V. Pustaka Asli – Jakarta – Bandung – Amsterdam – New York – Sydney
1951.
Yamin, Muhammad, Sejarah Peperangan Diponegoro Pahlawan Kemerdekaan
Indonesia, Yayasan Pembangunan, Jakarta 1950.
207
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
CATATAN
Tulisan di atas merupakan penulisan adaptasi dari naskah skripsi Sarjana Muda
pada Jurusan Sejarah Fakultas Ileguruan Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Bandung, Juli
2964
3. KEPEMIMPINAN PANGERAN DIPONEGORO DALAM PERSPEKTIF
SEJARAH
“All the world’s a stage and all the men and
women mereley players:
They have their exits and their entrances;
And one man in his time plays many parts
(Sumber :peare’s As You Like It)
1. Pendahuluan
Dengan mengutip bagian puisi karya Shakespeare dalam As You Like It seperti
tertera di atas, tulisan ini bermaksud menyoroti segi kepemimpinan Pangeran Diponegoro
dari perspektif sejarah. Dari uraian kata yang penuh makna tersebut di atas, dapat
ditangkap bahwa Shakespeare hendak menggambarkan proses kehidupan di dunia ini
sebagai panggung (stoge) sandiwara, yang para pemainnya tidak lain adalah manusia itu
sendiri. Secara silih berganti para pemain naik ke panggung untuk memainkan
peranannya masing-masing, (sudah barang tentu harus) sesuai dengan naskah (script),
perintah (order), kemampuan interpretasi dan apresiasi terhadap lakon yang harus
208
dimaikan. Analog dengan panggung teater di atas, maka manusia dalam proses sejarah
dapat digambarkan sebagai pelaku (aktor) sejarah yang secara dinamis memainkan
perannya masing-masing (taking-role) sesuai dengan kedudukan (position) yang
dimilikinya dalam konteks sosio-kultural dan ikatan spatial dan temporal masing-masing.
Berangkat dari metapora Shakespearedi atas, maka pembahasan tentang
kepemimpinan dan kepahlawanan tokoh Pangeran Diponegoro akan dipusatkan pada
persoalan yang menyangkut tentang kedudukan dan peranan Pangeran Diponegoro dalam
panggungsejarah masyarakat Indonesia. Dengan pertanyaan apa, siapa, bagaimana dan
mengapa Diponegoro memiliki tempat penting dalam sejarah-sejarah Indonesia akan
mengantarkan kedudukan dan perannya dalam sejarah dan masyarakat Indonesia.
Pertanyaan itu sekaligus juga akan mengrahkan penjelasan mengenai masalah
kepahlawanan dan kepemimpinan Diponegoro.
Untuk menjawab pertanyaan di atas diperlukan wawasan pendekatan sejarah yang
komprehensif, yang dapat memberikan landasan interpretasi kritis terhadap tokoh
Diponegoro dalam proses sejarah. Dalam hubungan itu maka perlu diperhatikan segi-segi
berikut. Pertama, tokoh Diponegoro perlu ditempatkan dalam perspektif sejarah yang
berwawasan nasion Indonesia sebagai pusat (Indonesia – centrism). Kedua, Diponegoro
perlu ditempatkan dalam struktur dan interaksi sosio-kultural dari jamannya. Ketiga,
tokoh Diponegoro perlu dipandang sebagai tokoh simbolis yang mengambil peran
penting (“role-taking”) dalam proses interaksi simbolis (symbolic interaction) dari
masyarakat pendukungnya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan indogen dan eksogen.
Diponegoro perlu ditempatkan dalam perspektif nasion, yang dimaksud adalah
penempatan tokoh Diponegoro dalam wawasan sejarah yang mengacu pada proses
integrasi nasion Indonesia. Wawasan sejarah semacam itu akan dapat membantu dalam
menjelaskan dua masalah pokok. Pertama, yaitu masalah makna peristiwa sejarah
(historical events) yang melibatkan pelaku sejarah (historical actors), dan kedua, masalah
pelaku sejarahnya, di sini yaitu Pangeran Diponegoro. Yang pertama, menyangkut
penjelasan yang berkaitan dengan makna peristiwa perang Diponegoro atau perang Jawa
(Java-Oorlog atau Java War) pada tahun 1825 – 1830, dalam proses sejarah
pembentukan kesatuan nasion Indonesia. Yang kedua, maksudnya ialah menyangkut
kedudukan dan peranan tokoh Diponegoro dalam perspektif proses perjuangan
209
pembentukan kesatuan nasion yang sama. Secara luas wawasan pendekatan semacam itu
juga penting artinya dalam menjelaskan berbagai segi lain yang berkaitan dengan
masalah tentang latar sejarah (historical – setting), kausalitas, proses, kedudukan
(position), peranan (role), makna (meaning) dan bobot aksi dan pertisipasi (action and
participation capacity), kepemimpinan (leadership) dan kepahlawanan (hero), dalam hal
ini yang dimiliki Diponegoro.
Secara metodologis penggunaan perspektif sejarah yang mengacu pada integrasi
nasion penting sekali artinya dalam proses informasi teoritis yang dapat menerangkan
gejala-gejala sejarah mana yang bersifat lokal dan mana yang bersifat supra – lokal atau
nasional. Dengan kerangka konseptual yang sama, juga akan dapat diterangkan
pertanyaan- mengenai perbuatan dan perilaku (pelaku) sejarah mana yang bermakna
individu, subyektif, primoedial, parokial dan etnis, dan tindakan dan tingkah laku mana
yang dipandang bermakna sebaliknya yaitu kolektif, obyektif, modern, supra lokal dan
nasion.
Dalam kaitan yang sama, kerangka konseptual di atas dengan demikian akan
dapat menjelaskan sejauh mana peristiwa perang Diponegoro dan peristiwa yang
semacam lainnya (Perang Padri), 1821-1837); perang Aceh, 1837-1904, dll.) bersifat
lokal dan sejauh mana bersifat supra lokal atau “nasional”.
Seperti halnya persoalan di atas, maka persoalan lainnya juga akan dapat
diterangkan. Pertanyaan mengenai kapan seorang pelaku sejarah akan dipandang sebagai
tokoh lokal, dan kapa seorang pelaku sejarah yang lain akan dapat dipandang sebagai
tokoh sejarah nasional. Konseptual semacam itu menjadi penting dalam menjelaskan
tentang bagaimana tokoh Diponegoro harus dipandang, dan demikian juga dengan tokoh-
tokoh lainnya (Imam Bonjol, Teuku Umar, Si Singamangaraja, dll.)
Selanjutnya penempatan tokoh Diponegorodalam perspektif interaksi sosio-
kultural, dalam hubungan ini akan lebih memperluas wawasan penjelasan (Explanation)
tersebut di atas. Dengan menggunakan perspektif interaksi simbolik (simbolic
interaction) dan peranan (role perspective atau theory), berbagai jaringan hubungan
antara kedudukan (position /status), peranan (role), harapan (Exectation), situasi
(situation) dan aksi (action) yang dimainkan oleh Diponegoro sebagai pelaku (actor)
sejarah dapat diterangkan. Perspektif teoritis ini juga alkan penting dalam mendasari
210
penjelasan yang menyangkut dimensi tingkah laku (behavior), Perilaku (attitude),
peranan (role) dan dimensi-dimensi yang disebabkan oleh kekuatan indogen dan eksogen
yang dalam hal ini telah menimbulkan pecahnya perang Diponegoro pada tahun 1825 –
1830 di Jawa.
2) Latar Sejarah : Perang Diponegoro, 1825 – 1830
Pergantian masa dari abad XVIII ke abad XIX di Indonesia ditandai dengan
berbagai perubahan besar. Di satu pihak, terlihat adanya gejala perluasan kekuasaan
politik secara ekstensif dan intensif atas wilayah Indonesia, yang dilakukan oleh
pemerintah Hindia-Belanda sebagai pengganti pemerintah VOC. Di lain pihak,
sebaliknya, terjadi kemerosotan kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional sebagai akibat
penetrasi politik kolonial Belanda. Wilayah teritorial, otonomi kekuasaan, kekuatan
militer, sumber ekonomi, kawula, kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan-kerajaan di
berbagai daerah Indonesia menjadi semakin kecil, atau bahkan hilang seluruhnya
karena jatuh ke tangan kekuasaan penjajah, yang berarti hapusnya suatu kerajaan. Ada
pula yang kerajaan pada lahiriah tampak seperti masih hidup, akan tetapi sebenarnya
tidak lebih dari pada sebuah boneka dari kekuasaan asing, karena sudah tidak memiliki
kekuasaan dan kedaulatan yang berarti lagi.
Selain gajala di atas, terdapat pula gejala kemunduran kehidupan ekonomi bagi
semua lapisan masyarakat tanah jajahan sebagai akibat peningkatan proses ekstraksi
ekonomis yang dibawa oleh penetrasi sistem kapitalistis barat. Gajala kemerosotan
kekuasaan politik dan kemunduran kehidupan ekonomi tersebut telah menyebabkan
timbulnya telah menyebabkan timbulnya gejala ketidakpuasan, ketegangan, kekisruhan,
perpecahan dan pertentangan, serta pergolakan. Berbagai gejala yang tersebut di atas,
hampir semuanya terdapat di lingkungan kerajaan Mataram di Jawa. Secara umum
kerajaan Mataram mengalami kemunduran besar, semenjak mangkatnya Sultan Agung
pada pertengahan abad XVII. Sedikit demi sedikit wilayah Mataram di pulau Jawa jatuh
ke tangan Belanda, bersama dengan pusat sumber kekayaan ekonominya. Daerah
kekuasaan Mataram di Jawa Barat, daerah pesisir utara Jawa, sejumlah daerah di Jawa
Timur, yang semuanya merupakan daerah potensial, secara berangsur-angsur jatuh ke
211
tangan VOC. Akibatnya pada akhir abad ke XVIII dan awal abad XIX wilayah kerajaan
Mataram menjadi sempit dan hanya berpusat pada wilayah Yogyakarta dan Surakarta
serta beberapa daerah sekitarnya yang kurang potensial. Sementara itu pusat
pemerintahan kerajaan telah terpecah-pecah menjadi beberapa bagian, yaitu Kasunanan
Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Pakualaman.
Kesemuanya tidak merupakan kerajaan yang memiliki kemerdekaan dan kedaulatan yang
penuh, melainkan merupakan pemerintahan “boneka” dari Belanda. Mengapa sampai
terjadi kemerosotan yang demikian, tidak lain karena pengganti Sultan agung umumnya
lemah, suka berkompromi dengan pihak Belanda, tidak ada ketegaran untuk menentang
kehadiran kekuasaan asing seperti pendahulunya. Terbagi-baginya kerajaan sering
diawali dengan terjadinya pertantangan dan pergolakan kekuasaan di antara para pewaris
kerajaan. Karena itu kerajaan menjadi lemah, suram, kurang wibawa, banyak konflik,
penuh intrik, persekongkolan dan banyak perpecahan di antara golongan elite keraton
yang berbeda-beda orientasi dan idiologinya. Suasana lingkungan kerajaan semacam itu
sangat mendukung bagi terjadinya pergolakan.
Kekuasaan pemerintah Belanda atas istana dan wilayah kerajaan, di lain pihak,
cenderung makin kuat dan terpusat. Kekuasaan Belanda tidak hanya sangat menentukan
dalam pengangkatan dan penobatan raja dan pengangkatan para pejabat kerajaan, akan
tetapi juga dalam memasukkan unsur-unsur gaya kehidupan Barat ke lingkungan
kerajaan, seperti dalam segi-segi seremonial, etiket, tradisi, pergaulan, kemewahan dan
adat kebiasaan baru yang sering dianggap bertentangan dengan tradisi Jawa.
Di luar keraton, yaitu di daerah pedesaan, keadaan penduduk umumnya banyak
mengalami hambatan dan kesulitan akibat dari berbagai penerapan sistem perekonomian
yang cenderung membawa ekstraksi ekonomis seperti tersebut di atas. Berbagai sistem
persewaan (verpachtingren), penarikan bea cukai, bea toll dan tindakan pemerasan yang
menurut sumber banyak dilakukan oleh orang-orang cina atau golongan sosial lain, telah
menyuilitkan dan memerosotkan kehidupan ekonomi rakyat kecil. Kemerosotan
kehidupan masyarakat kecil tidak hanya dalam segi ekonomi saja, tapi di mana-mana
juga terdapat kemerosotan segi moral, sebagai akibat dari meningkatnya perjudian,
permadatan, peminum-minuman keras, pelacuran dan perbanditan. Menurut tradisi lokal
penyebab kemerosotan moral masyarakat tersebut sering dirujuk pada lima jenis penyakis
212
sosial yang terkenal dengan sebutan Ma-lima (Jawa = main, madon, minum, madat, dan
maling), sebenarnya gejala kemerosotan moral atau demoralissi bukan hanya terjadi di
kalangan wong cilik, melainkan juga melanda golongan priyayi, termasuk sementara
anggota bangsawan keraton.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa selama periode 1812-1825 telah timbul
ketidakpuasan dan kekisruhan di Jawa sebagai akibat dari hal-hal tersebut di atas.
Peningkatan campur tangan Barat dalam urusan keraton terasa, terutama di keraton
Yogyakarta. Demikian juga konflik, intrik dan korup makin meluas. Sementara itu
penyewaan tanah-tanah penduduk di Jawa Tengah oleh pengusaha Barat dan Cina untuk
perkebunan tebu, kopi dan indigo juga makin bertambah luas, terutama di daerah tanah
lungguh (apanage) milik para bangsawan karena kebutuhan keuangan. Sementara itu
dalam tahun 1816-1824 di Yogyakarta tercatat banyak terjadi kasus pemerasan dan
penyelewengan yang dilakukan oleh para penarik pajak dan bea toll, terutama dari orang-
orang Cina. Gangguan keamanan, pencurian, perbandita, dan kejahatan merajalela di
daerah Yogyakarta dan sekitarnya dalam periode yang sama, sebagai akibat kesulitan
perekonomian. Sementara itu para bangsawan banyak yang kehilangan tanah-tanah
apanage dan pengurangan sumber kehidupan disamping banyak mendapat tekanan dari
pihak Belanda. Keadaan semacam itu telah memasakkan situasi untuk memecahkan
pergolakan. Pergolakan segera meletus ketika seorang bangsawan terkemuka, Pangeran
Diponegoro, yaitu putera tertua Sultan Hamengkubuwono III, melancarkan aksi
penentangan terhadap campur tangan pemerintah Belanda terhadap keraton dan situasi
korup di lingkungan punggawa keraton.
Pergolakan disulut dengan peristiwa bentrokan antara pengikut Diponegoro
dengan pasukan keraton di bawah Patih Danurejo IV, musuh Diponegoro, sehubungan
dengan pembuatan jalan yang menuju Tegalrejo, tempat kediaman Diponegoro, pada
sekitar bulan Mei 1825. bentrokan itu segera meluas dan meningkatkan ketegangan dan
situasi konflik, mencapai puncaknya pada tanggal 20 Mei 1825 dengan berkobarnya
peperangan melawan Belanda oleh Diponegoro di Tegalrejo, dan segera meluas secara
cepat ke berbagai wilayah Yogyakarta dan Surakarta, serta dengan Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Diponegoro segera keluar dari Tegalrejo untuk mengobarkan peperangan
213
melawan belanda dan kaki tangannya. Demikianlah awal pecahnya perang Jawa yang
berlangsung sejak tahun 1825 hingga 1830.
Perlawanan Diponegoro mendapat sambutan luas dari berbagai pihak, baik dari
kalangan rakyat pedesaan maupun dari golongan bangsawan, pejabat, ulama dan para
pemuka rakyat lainnya. Dari 29 bangsawan terkemuka yang ada di keraton Yogyakarta,
15 orang diantaranya bergabung dengan Diponegoro. Selain itu 41 orang dari 88 bupati
senior, juga mendukung Diponegroro, demikian juga para ulama dan kyai serta santrinya
di lingkungan pesantren ikut menjadi tulang punggungnya, terutama tokoh ulama
terkemuka Kyai Mojo. Dukungan terhadap Diponegoro dapat dibuktikan pula dari
luasnya peta daerah pertempuran. Apabila diperhatikan medan pertempuran menyebar
secara luas, tidak hanya di daerah pusat kota Yogyakarta, Surakarta, akan tetapi juga
terjadi di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Kedu, Banyumas, Pekalongan,
Semarang, Pati, Bojonegoro, Madiun, Kediri dan daerah sekitarnya. Peristiwa, Medan
dan jalannya pertempuran yang terjadi selama pecahnya perang Diponegoro, kiranya
cukup dapat diikuti dalam berbagai sumber historiografi perang Diponegoro, baik dari
sumber-sumber Belanda maupun sumber lokal. Cukup disebut di sini dari sumber
Belanda misalnya karya penting Louw dan Klerck (6 jilid), Ridder de Stuers, Weitzel,
Hogemen, disamping karya-karya lainnya termasuk tulisan Johan Fabricius. Sumber
lokal, kiranya cukup banyak, terutama barupa karya Babad, baik yang ditulis oleh
Pangeran Diponegoro sendiri sewaktu di pengasingan maupun yang ditulis oleh penulis
lainnya, yang mencakup golongan yang pro dan kontra terhadap Perang Diponegoro.
Peperangan berakhir ketika Pangeran Diponegoro terkecoh ke dalam meja
perundingan di Magelang pada bulan Mei 1830, karena perundingan yang direncanakan
oleh pihak Belanda hanyalah sebagai perangkap untuk menangkapnya. Diponegoro
ditangkap dan dibuang ke Menado, dan kemudian dipindahkan ke Makasar sampai akhir
hayatnya (8 Januari 1855).
Perang Diponegoro ditujukan kepada Belanda dan keraton cukup banyak
membawa korban dan biaya yang tidak sedikit bagi pihak Belanda. Menurut salah sebuah
sumber tidak kurang dari 8000 pasukan Eropa dan 7000 pasukan bumiputra meninggal
dan menghabiskan biaya tidak kurang dari 20 juta gulden. Demikian juga korban yang
jatuh di pihak pasukan Diponegoro tidak terhitung jumlahnya. Menurut sementara
214
sumber disebutkan bahwa tidak kurang dari 200.000 orang Jawa menunggal, dan hampir
separoh penduduk Yogyakarta hilang.
Dari keterangan di atas dapat dijelaskan bahwa perang Diponegoro termasuk
perang besar menurut ukuran jamannya, dan cukup besar pengaruhnya dalam kehidupan
nasional pemerintah Belanda pada waktu itu. Bagi pemerintah Belanda, perang
Diponegoro merupakan perang yang mengerahkan dana dan kekuatan militer secara
besar-besaran. Perang itu telah melibatkan hampir seluruh kekuatan militer Belanda yang
ada di Indonesia, tetapi juga telah menghabiskan dana keuangan yang tidak sedikit, yang
kemudian menjadikan penyebab kemerosotan keuangan pemerintah Belanda pada
periode itu. Mengpa sistem tanam paksa (Kultur stelsel) kemudian diterapkan pada masa
sesudah perang Diponegoro selesai, alasannya antara lain adalah untuk memperbaiki
kebobrokan kas Negara akibat banyak membiayai peperangan.
3. Hakekat perang Diponegoro
Sekalipun Perang Diponegoro relatif belangsung singkat yaitu dalam tahun 1825-
1830, akan tetapi memiliki makna yang luas. Secara politik peperangan Diponegoro
merupakan manifestasi dari sikap penentangan dari kekuatan lokal terhadap kekuasaan
Barat yang datang dari luar dan bersifat raksasa (massive), internasional, terorganisir rapi,
dan lebih maju. Kehadiran kekuasaan Barat di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara
pada umumnya dapat dipandang sebagai kekuatan eksogen dan arus besar (mainstrams)
yang mengancam eksistensi kemerdekaan dan kedaulatan politik negara tradisionaldi
daerah-daerah Indonesia. Ancaman kekuasan Barat semacam ini sejak dini telah disadari
oleh Sultan Agung pada abad ke XVII. Akibat dari kekuasaan Barat memang telah
terbukti membawa proses disintegrasi bagi kekuatan-kekuatan politik, sosial dan kultural
masyarakat dilingkungan karajaan Jawa. Karena itu Pangeran Diponegoro pada dasarnya
merupakan eksogen yang bersifat destruktif dan disintegratif.
Diponegoro dan para pendampingnya pada umumnya sadar akan ancaman bahaya
destruktif yang datang dari kekuasaan kolonial Belanda, karena itu gerakan
perlawanannya juga bercorak sebagai gerakan protes yang dijiwai oleh semangat anti
kolonial.
215
Di sisi lain peperangan ini juga menggambarkan suatu reaksi terhadap golongan
penguasa keraton yang telah mantap, tetapi tidak memiliki tanggung jawab sosial dan
bertindak sewenang-wenang. Maka dari itu peperangan Diponegoro juga cenderung
bersifat anti birokrat dan anti keraton.
Sangat besar dukungan kalangan petani dan golongan bawah yang tertindas dan
terperas terhadap peperangan ini. Karena itu semangat peperangan ini juga dijiwai oleh
nafas pencarian keadilan dan perlindungan. Justru dari kalangan ini Diponegoro mampu
memobilisasi kekuatan pasukan dan logistik yang menentukan kelancaran peperangan
secara terbuka ataupun secara gerilya. Gelar “Ratu Adil”yang melekat pada Diponegoro
selama perang, pada dasarnya berkaitan dengan massa pendukungnya yang sebagian
besar dari kalangan bawah yang tertindas. Golongan semacam ini yang memimpikan
untuk memperoleh keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan, yang menjadi pendukung
kepercayaan mistis simbolis akan kehadiran “juru selamat” yang dilambangkan pada
tokoh Diponegoro.
Pergolakan yang dilancarkan oleh Diponegoro dan pengikutnya pada dasarnya
juga ditujukan untuk menentang akses yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan
struktural dan kultural sebagai akibat penetrasi kekuasaan Barat yang membawa
kemerosotan moral, baik dikalangan bangsawan keraton maupun masyarakata umumnya.
Karena itu satu sisa dari gerakan perlawanan ini bercorak sebagai gerakan anti
kemerosotan moral, dan anti kultur Barat. Maka dari itu gerakan peperangan yang
dilancarkan oleh Diponegoro dapat juga disebut sebagai “gerakan kebudayaan tandingan”
(Counter-Culture-Movement). Inti dari gerakan ini antara lain hendak menangkal
ancaman budaya Barat dan hendak melestarikan inti kebudayaan Jawa sebagai sumber
kekuatan untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis.
Salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari perang ini ialah unsur agama
Islam. Peperangan tidak hanya di dukung secara fisik oleh kekuatan golongan ulama,
kyai dan para santri dari kalangan pesantren, akan tetapi juga didukung oleh moral dan
idiologi ajaran Islam. Malah semangat dan idiologi Islam memasuki tempat penting
dalam proses pembentukan organisasi dan mobilisasi pendukung perjuangan Diponegoro.
Idiologi Perang Sabil dan Jihad fi Sabilillah serta semboyan anti kafir terdapat dalam
faset-faset perjuangan Diponegoro selama itu. Dengan demikian salah satu sisi
216
perjuangan keagamaan. Dalam hubungan ini relevan apabila Michael Adas menyebut
Diponegoro sebagai Prophets of Rebbelion (Nabi Pemberontakan).
Dengan demikian perang Diponegoro dapat dipandang sebagai perang yang
memiliki dimensi banyak dan berskala nasional. Karena itu corak peperangan cenderung
bersifat total, mencakup keseluruhan hakekat kehidupan dan daerah dukung luas, serta
pengaruh yang jauh. Gerakan peperangan Diponegoro memang bersifat tradisional dan
konservatif karena tidak dapat lepas dari situasi jamannya, sehingga tidak mampu
menghadapi pihak lawan yang telah lebih maju. Hal ini merupaka salah satu ciri dari
kelemahan corak perjuangan dari masa tradisional.
4. Pangeran Diponegoro: Kepemimpinan dan Kepahlawanan
Penyorotan kepemimpinan dan kepahlawanan tokoh Diponegoro pada dasarnya
adalah penyorotan tentang aktualisasi tokoh sejarah dalam realita kahidupan pada masa
lampaunya. Kepemimpinan dan kepahlawanan pada dasarnya adalah suatu bentuk
kualitas kepribadian individu yang memiliki makna dalam hubungan kehidupan kolektif.
Sebagai bagian dari kualitas diri, pelaku sejarah kepemimpinan merupakan ekspresi
simbolis dari aktualisasi respons integratif terhadap tantangan lingkungan kehidupan
pada jamannya. Ideologi, perspektif dan orientasi pemikiran yang mendasari sang pelaku
sejarah diperoleh dari hasil proses interaksi sosial di lingkungan jamannya.
Kelahiran kepemimpinan dan kepahlawanan dengan demikian lekat dengan
lingkungan dan kondisi struktural dan kultural masyarakat dan jamannya. Unsur-unsur
kepribadian yang sarwa terkemuka, utama, dan bagus (Primacy, Primus, Elite), sarwa
sadar dan memiliki tanggung jawab sosial tinggi serta berjiwa besar dan memiliki daya
nalar yang jauh adalah unsur-unsur kepribadian yang mendasari terbentuknya orang
terkemuka, pemimpin atau orang besar. Menurut Oswald Spengler “orang besar” (the
great men) atau pahlawan (hero) adlah “jiwa jamannya” (the spirit of his time) atau
“sukma kebudayaannya” (the soul of his culture). Maksudnya tokoh “orang besar” dan
“pahlawan” tidak lain adlah “jati diri”, “jiwa” atau “inti” dari masyarakatnya,
kebudayaan dan jaman yang menjadi tempat sang pahlawan dan pemimpin dilahirkan dan
berkarya.
217
Kelahiran pahlawan dan pemimpin tidak dengan sendirinya atau semata-mata
atas pilihannya sendiri. Akan tetapi dalam batas-batas tertentu kelahiran kepemimpinan
dan kepahlawananjuga ditentukan oleh tuntutan dan keharusan (necessity) dari
masyarakat, kebudayaan dan jamannya. Kebutuhan jaman (needs of the period) yang
mengharuskan kelahiran kepemimpinan atau kepahlawanan dapat berbeda-beda, baik
sifat maupun bentuknya, yaitu metafisikal (metaphysical), ideal, kultural, politik dan
ekonomis. Demikian jenis-jenis, apabila meminjam tipologi Weber maka akan dapat
dibedakan antara tipe tradisional, kharismatis dan yang legal-rasional.
Dari keterangan di atas, maka dapat dikemukakan, bahwa tuntutan masyarakat
dan jamannya telah menempatkan Diponegoro sebagai tokoh “pemimpin”, “pahlawan”
dan “orang besar” pada jamannya. Sesuai dengan kedudukan Diponegoro telah
memainkan peranan sebagai “anak jaman”, “juru bicara” dan “pejuang” masyarakat dan
kebudayaannya untuk membela kemerdekaan, kedaulatan, keadilan, kepribadian,
kehidupan dan agama. Sebagai anak jamannya ia telah mengintegrasikan dirinya dengan
tuntutan masyarakatnya. Diponegoro telah mampu menghadapi lingkungan masyarakat
pada jamannya secara kritis dan mampu menginterpretasikan situasi jamannya secara
tepat, serta mampu mengaktualisasikan gagasan dan pikirannya dalam bentuk perbuatan
dan aksi-aksi perjuangannya. Dengan kata lain Diponegoro telah berpikir, berbuat, dan
berkorban. Apabila disimak hampir seluruh hidupnya diabdikan untuk perjuangan yang
diyakininya. Akhirnya yang dihabiskan dalam pembuangan menegaskan Diponegoro
merupakan pemimpin dan pahlawan sejati.
Inti kepemimpinan Diponegoro pada dasarnya sejajar dengan hakekat
perjuangannya. Pertama, mengutamakan kemerdekaan dan kebebasan, tercermin dari
corak perjuangannya yang bercorak anti kolonial dan anti keraton. Kedua, mengutamakan
kejujuran, tercermin dari sifat perjuangnnya yang bersifat anti kebathilan dan kejahatan
dilingkungan keraton. Ketiga, mengutamakan kemandiriandan percaya kepada diri
sendiri, yang tercermin dari sikap hidupnya yang melapaskan diri dari ikatan istana dan
tinggal di luar keraton. Keempat, sikap merakyat dan melindungi yang lemah, tercermin
dari kediamannya yang ada di tengah-tengah rakyat biasa dan juga berjuang untuk
pembebasan penderitaan rakyat. Kelima, sikap berani dan memiliki pendirian yang teguh.
218
Keenam, sikap hidup dan perjuangannya yang bersifat religius. Ketujuh, berakar kepada
kebudayaan masyarakatnya.
Secara simbolis semangat dan jiwa kepemimpinan Diponegoro pada dasarnya
juga dapat dilacak dari makna gelar-gelar yang dipakai selama peperangan. Beberapa
gelar yang penting antara lain sebagai berikut. Pertama, gelar Diponegoro yang
berbunyi : “Sultan Ngabdulkamid Erucakro Sayidin Panotogomo Kalifat Rosulullah
SAW”). Kedua, “Sultan Ngabdulkamid Erucakro Amirulmukminina Kalifat Rosulullah
Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Sabilullah Ing Tanah Jawa”. Yang pertama dapat
ditafsirkan bahwa Sultan Ngabdulkamid adalah Ratu Adil (Erucakra), pemuka dan
pembina Agama, dan Kalifat utusan Allah. Yang kedua kira-kira berarti bahwa Sultan
Ngabdulkamid, adalah Ratu Adil, pemmpin kaum mukmin, khalifat dari utusan Allah,
Hamengkubuwono, Panglima Perang Sabil di Jawa. Dengan demikian tersirat adanya
citra kepemimpinan yang berorientasi kepada keadilan, kesalehan, ketakwaan, bersikap
seperti khalifat, berwibawa, perang di jalan Allah demi kebenaran.
5. Penutup
Pangeran Aryo Diponegoro (1785-1855) adalah seorang tokoh pemimpin,
pejuang dan pahlawan dalam perang Jawa (1825-1830). Ia dilahirkan sebagai seorang
bangsawan keraton Yogyakarta, yaitu putera tertua Sultan Hamengkubuwono III, dan
seorang muslim dan sekaligus juga seorang Jawa. Diponegoro memiliki pengalaman
pribadi yang dalam, baik dalam pengalaman keagamaan maupun kehidupan, yang
mungkin mendasari sikapnya yang kritis terhadap lingkungan sekitarnya dan jamannya.
Proses dialog antara dirinya dengan lingkungan sosial dan kulturnya melahirkan
kesadaran dan kearifan pribadinya dalam menghadapi perubahan-perubahan yang sedang
terjadi di sekitarnya. Penetrasi kekuasaan Kolonial dan dampaknya terhadap
kemerosotan sosial dan kultural masyarakatnya ditanggapi secara positif dan integratif. Ia
berani menentang arus besar yang sedang melanda dalam daerah Indonesia, dengan
melancarkan protes, penentangan dan peperangan yang harus ditebusnya dengan segala
pengorbanan jiwa dan raganya. Sikap dan perbuatannya yang demikian itu hanyalah ad
pada seorang yang berjiwa besar dan berjiwa pahlawan. Keputusannya untuk
219
mengobarkan peperangan yang cukup memakan waktu hanyalah mungkin terjadi pada
orang yang memiliki jiwa pemimpin yaitu berani dan bertanggung jawab untuk
melaksanakan apa yang dipikirkan dan dikatakannya. Karena sikap dan perbuatannya
yang demikian itulah Diponegoro memiliki tempat penting dalam masyarakatnya.
Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa perang Diponegoro adalah
perang melawan arus besar pemerintahan kolonialis Belanda, yaitu musuh dari semua
rakyat di wilayah Indonesia. Perang Diponegoro memiliki dimensi nasional, di atas
dimensi lokal. Demikian juga tokoh Diponegoro memiliki dimensi nasional, di samping
tokoh yang memiliki dimensi lokal.
Dalam proses sejarah pembentukan nasion Indonesia, perang Diponegoro
memiliki tempat sebagai salah satu unsur dinamis dari masyarakat Indonesia. Mulai
kepemimpinan dan kepahlawanan Diponegoro masih relevan untuk dipakai secara
pragmatis dalam pembinaan kesadaran nasional, cinta tanah air dan dalam pembinaan
sosok kepemimpinan di masa datang.
@@@
DAFTAR BACAAN
Adas, Michael, Prophets of Rebellion, Millenarian Protest movements against the
European Colonial Order. Cambridge, London etc.: cambridge University Press,
1987.
Carey, P.B.R.,”Javanese Histories of Diponegoro: The Buku Kedung Kebo, Its
Authorship and Histirical Importance”. BKI, 130 (1874), hlm. 259-288.
Febricious, Johan, Diponegoro (De Java-Oorlog van 1825 tot 1830. den Haag:
Leopold, 1976.
Hagemen, J., Geschiedenis van den Oorlog van 1825 tot 1830. Batavia, 1856.
Kemp, P.H. van der, “Diponegoro, een geschiedkundig Hamlet Type”, BKI, XLVI
(1896). Halm. 201.
220
Louw, P.J.F., dan E.S. de Klerck, De Java Oorlog van 1825-1830. 6 jilid, s’Hage: M.
Nijhoff, 1889.
Rickles, M.C., “ Diponegoro’s Early Inspirational Exsperience”. BKI, 130 (1974),hlm,
227-258.
Turner, Jonathan H., The Struckture Of Sociological Theory. Georgetown, Ontario;
Irwin-Dorsey Ltd., 1978.
__________________________________________________________
Makalah disusun dan disajikan oleh DR. Djoko Surjo dari Jurusan Sejarah
Fakultas sastra Universitas Gajah Mada dalam Seminar Sehari Perang Diponegoro
di Universitas Diponegoro, 20 Februari 1990
4. KONFLIK-KONFLIK YANG MENDAHULUI DAN MEMARANGKAN
PERANG DIPONEGORO
Agar memperoleh gambaran yang lebih jelas dan memahami lebih dalam peristiwa
meledak dan berkobarnya perang Diponegoro yang oleh Belanda disebut “De Java
221
Oorlog”, artinya “perang Jawa”, maka kita perlu mengetahui pangkal dan awal mula
konflik antara VOC (Belanda) dan kerajaan Mataram yang merdeka, berdaulat dan begitu
jaya serta besar kekuasaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma
(1613-1645) dapat sebegitu merosot kekuasaannya, pengaruh wibawanya menjadi sebuah
atau beberapa buah kerajaan kecil yang hanya dapat menari mengikuti irama genderang
VOC (Belanda). Kerajaan Mataram yang pada abad ke XVII begitu jaya, berkuasa,
ditakuti dan disegani baik oleh kawan maupun lawan, pada abad ke XIX sudah menjadi
kerajaan yang terpecah-belah, hilang kemerdekaan dan kedaulatannya serta sangat
bergantung kepada Belanda.
Pada masa Sultan Agung Hanyakrakusuma menduduki tahta kerajaan Mataram,
kerajaan Mataram adalah kerajaan Jawa yang terbesar sesudah kerajaan Majapahit.
Wilayah kekuasaan dan pengaruhnya meliputi seluruh pulau Jawa, kecuali kerajaan
Banten dan Batavia (Jakarta) yang pada waktu itu diduduki dan dikuasai oleh VOC
(Belanda). Sultan Agung Hanyakrakusuma berusaha mewujudkan cita-cita dan usaha
eyangnya (Panembahan Senopati), yakni mempersatukan seluruh pulau Jawa dibawah
kekuasaanya.
Cita-cita Sultan Agung Hanyakrakusuma itu jelas ditentang dan dihalang-halangi
oleh VOC (Belanda). Oleh karena itu maka Batavia yang diduduki oleh VOC (Belanda)
harus direbut dan dikuasai. Sampai dua kali tentara Mataram menyerang Batavia, yakni
pada tahun 1628 dan pada tahun 1629. sungguhpun memiliki angkatan darat yang
dahsyat dengan prajurit-prajurit yang gagah berani serta sangat berpengalaman di
pelbagai medan pertempuran, namun Sultan Agung Hanyakrakusuma tidak berhasil
merebut dan menguasai Batavia dari tangan VOC (Belanda). Sungguhpun tidak berhasil
merebut dan menguasai Batavia, namun sebaliknya selama Sultan Agung
Hanyakrakusuma memerintah kerajaan Mataram, selama itu pula VOC (Balanda) tidak
berani menginjakkan telapak kaki kekuasannya di bumi Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma kerajaan Mataram
mencapai puncak kejayaannya. Selain di pulau Jawa, Kerajaan Mataram juga mempunyai
beberapa wilayah kekuasaan di pulau Kalimantan bagian Selatan. Setelah dua kali
menaklukkan Batavia yang diduduki oleh VOC (Belanda), maka sejak tahun 1630 Sultan
Agung Hanyakrakusuma mencurahkan perhatiannya kepada pembangunan kerajaan
222
Mataram. Dalam masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma kerajaan Mataram
menjadi sebuah kerajaan yang makmur dan sejahtera. Hal ini dapat dilihat serta diukur
dari kemajuan kebudayaan, kesenian dan kesusastraan yang berkembang. Hanya di negeri
yang makmur dan sejahtera, hanya di negeri yang murah sandang serta murah pangan,
kebudayaan, kesenian dan kesusasteraan dapat maju dan berkembang dengan baik.
Di samping sastra Gending, yakni buku filsafat yang dikatakan ciptaan Sultan
Agung Hanyakrakusuma sendiri, buku-buku sastra yang lain seperti Nitisruti, Nitisastra,
Astabrata dan ramayana Kakawin dan lain-lainnya sangat digemari dan banyak di gemari
dan banyak dibaca. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma banyak
perubahan dan pambaharuan yang dilakukan, antara lain :
Perayaan yang dikenal sebagai sebagai “gerebeg” disesuaikan dengan hari raya Idul
Fitri dan Maulid Nabi Muhammad saw. Maka dikenal nama “Gerebeg Poso” (Puasa) dan
“Gerebeg Mulud”.
Gamelan sekaten yang hanya dibunyikan pada Gerebeg Mulud atas kehendak
Sultan Agung Hanyakrakusuma dipukul di halamam Masjid Besar.
Hitungan tahun Saka yang berdasarkan perjalanan matahari yang berbeda dengan
tahun Hijriah yang berdasarkan peredaran bulan pada tahun 163 atas perintah Sultan
Agung Hanyakrakusuma tidak lagi ditambah dengan hitungan peredaran bulan seperti
atau sesuai dengan tahun Hijriah.
Banyak lagi perubahan dan pembaharuan-pembaharuan yang dilakukan pada masa
pemerinthan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Semuanya itu merupakan indikator-
indikator bahwa pad masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma kerajaan
Mataram mencapai puncak kejayaannya, makmur dan sejahtera.
II
Sultan Agung Hanykrakusuma wafat pad tahun 1645. Baginda digantikan oleh
putera baginda yang bergelar Sultan Amangkurat I. Sultan Amangkurat I inilah yang
mengadakan perjanjian persahabatan dengan VOC (Belanda). Di dalam perjanjian itu
VOC (Belanda) dan kerajaan Mataram berjanji akan saling membantu jikalau salah satu
di antara mereka ada yang tertimpa kesukaran.
TINDAKAN INI ADALAH SUATU BLUNDER, SUATU KESALAHAN BESAR.
223
Tindakan ini adalah tindakan politik yang sangat besar pengaruh dan akibatnya di
dalam sejarah Indonesia dan di dalam sejarah Kerajaan Mataram khususnya.
Dengan perjanjian itu terbukalah pintu yang selebar-lebarnya dan kesempatan
yang seluas-luasnya bagi VOC (Belanda) untuk mengembangkan sayap kekuasaannya
dan memperluas pengaruhnya di pulau Jawa khususnya dan di Indonesia umumnya.
Dengan dalih mematuhi perjanjian tahun 1646 itulah VOC (Belanda) dengan mudah
“sebagai kawan yang baik” mencampuri urusan dalam negeri kerajaan Mataram. Dan hal
ini kemudian memang dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh VOC (Belanda).
Marilah kita coba mengkaji pengaruh dan akibat buruk BLUNDER yang dilakukan oleh
Amangkurat I dengan mengadakan perjanjian persahabatan dengan VOC (Belanda) pada
tahun 1646 itu :
I. Pada tahun 1674 Trunajaya, seorang Pangeran Madura mengadakan pemberontakan
terhadp kekuasaan Mataram. Trunajaya dibantu oleh orang Makasar di bawah
pimpinan Karaeng Galesong. Pasukan-pasukan pemberontak berhasil menduduki
Plered yang pada waktu itu menjadi ibu kota kerajaan Mataram. Plered terletak di
sebelah selatan kota Yogyakarta sekarang. Pada tanggal 2 Juli 1677, Sultan
Amangkurat I lari menyelamatkan diri. Baginda bermaksud hendak meminta bantuan
kepada VOC Belanda yang telah menjadi sekutunya. Akan tetapi di dalam perjalanan
baginda jatuh sakit, lalu wafat. Baginda dimakamkan di Tegalwangi atau Tegalarum,
beberapa kilometer di sebelah selatan kota Tegal. Baginda digantikan oleh putera
baginda yang kemudian bergelar Amangkurat II. VOC (Belanda) membantu
Amangkurat II dan berhasil memadamkan pemberontakan Trunajaya. Bantuan VOC
(Belanda) itu tidak diberikan secara cuma-cuma. Sebagai imbalan jasa atas bantuan
yang telah diberikan VOC (Belanda) itu VOC Belanda menerima :
1. Daerah Krawang, sebagian daerah Priangan dan daerah Semarang.
2. Pelabuhan-pelabuhan di pantai utara dikuasai oleh VOC (Belanda).
3. Ekspor beras dan hasil bumi yang lainnya dan impor barang-barang dari luar
serta seluruh perdagangan melalui lautan jatuh ke tangan VOC (Belanda)
Dengan demikian, maka kekuasaan dan pengaruh kerajaan Mataram mulai dikurangi
dan jatuh ke tangan VOC (Belanda).
224
II. Pada tahun 1702 Sultan Amangkurat II wafat. Baginda digantikan oleh putera baginda
yang bergelar Amangkurat III alias Sunan Mas bersekutu dengan Untung Suropati
yang menjadi musuh besar VOC (Belanda). Kemudian VOC (Belanda) membantu
pangeran Puger (paman Sunan Mas) yang berselisih dengan Sunan Mas. Dengan
bantuan VOC (Belanda) Pangeran Puger dapat menaiki tahta kerajaan Mataram dan
bergelar Susuhunan Paku Buwono I. Kali inipun bantuan VOC (Belanda) yang licik
tidak diberikan dengan cuma-cuma. Kali inipun kerajaan Mataram harus mengurangi
lagi pengaruh dan kekuasaannya, yakni :
1. Daerah Priangan, Cirebon dan Madura bagian timur jatuh ke tangan
VOC (Belanda)
2. Raja bebas dari hutang-hutang Raja yang terdahulu selama VOC
(Belanda) memegang monopoli perdagangan di Mataram.
3. Di ibukota Mataram (Kartasura) VOC atau Belanda menempatkan
sepasukan tentaranya.
Untung Surapati akhirnya tewas dan Sunan Mas dapat di tawan, kemudian
dibuang dan diasingkan ke Ceylon (Srilangka). Pada tahun 1719 Sunan Paku Buwono
I wafat. Baginda diganti oleh putera baginda yang kemudian bergelar Sultan
Amangkurat IV (1719 – 1726). Di dalam masa pemerintahan Sultan Amangkurat IV
ini suasana di dalam kerajaan Mataram makin bertambah keruh. Pada masa itu
Pangeran Arya Mataram, mengadakan pemberontakan. Beliau-beliau menentang
VOC (Belanda) yang mulai banyak mencampuri urusan dalam negeri kerajaan
Mataram. Pada 1723 pemberontakan ini berakhir.
III. Pada tahun 1726 Sultan Amangkurat IV wafat. Baginda digantikan oleh putera
baginda yang kemudian bergelar Susuhunan Paku Buwono II inilah terjadi peristiwa
yang di dalam Sejarah Indonesia terkenal sebagai “Pembantaian Orang-orang Cina”
atau di dalam bahasa Belanda disebut “Chinezen Moord”. Pada tanggal 10 Oktober
1740 orang-orang Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Jendral Andrian
Valckenier (1737-1741) melancarkan aksi pembantaian terhadp orang-orang Cina di
Batavia (Jakarta). Maka orang-orang Cina yang banyak jumlahnya di Jakarta, bahkan
diseluruh pulau Jawa bergolak. Di mana-mana terjadi perlawanan terhadap VOC
(Belanda) : di daerah-daerah Semarang, Banyumas, Cirebon. Demikian pula di ibu
225
kota Mataram, yakni di Kartasuraa. Tangsi Belanda di Kartasura diserang dan
pemimpin pasukan-pasukan Belanda, yakni Van Velsen mati terbunuh. Karena Sunan
Paku Buwono II loyal terhadap VOC (Belanda), maka kaum pelawan dan orang-
orang yang benci kepada Belanda mengangkat Raden Mas Garendi (cucu Sunan Mas
yang dibuang oleh Belanda ke Ceylon) sebagai Susuhunan. Beliau ini dikenal dalam
sejarah sebagai Sunan Kuning. Mungkin gelar Sunan Kuning itu ada kaitannya
dengan pemberontakan orang-orang Cina yang dikenal pula sebagai bangsa kulit
kuning. Pada tanggal 30 Juni 1742 kaum pemberontak yang tidak senang terhadap
sikap Sunan Paku Buwono II yang loyal terhadap VOC (Belanda) menyerang
Kartasura dan menyerbu kraton. Paku Buwono II dapat lolos dan menyingkir ke
Ponorogo. Kali inipun VOC (Belanda) datang membantu sebagai “kawan yang
baik”.
Pada tanggal 24 Desember 1742 Sunan Paku Buwono II dapat kembali
menduduki tahta kerajaannya dan memasuki kratonnya. Kali inipun “Belanda yang
baik hati” menuntut imbalan atas jasa-jasanya :
1. Seluruh pantai utara pulau Jawa jatuh ke tangan VOC (Belanda)
2. Seluruh daerah di sebelah timur Pasuruhan, selanjutnya Surabaya, Madura,
Rembang dan Jepara tidak lagi menjadi daerah takluk kerajaan Mataram.
3. Patih kerajaan Mataram, yakni pegawai tertinggi yang menjalankan sehari-
hari hanya boleh diangkat dengan persetujuan VOC (Belanda).
4. Biaya tangsi Belanda ditanggung oleh Susuhunan.
5. Sebagai pengganti daerah-daerah dan hak-hak Sunan yang hilang, Sunan
mendapat bayaran berupa uang.
Dengan demikian kekuasaan dan pengaruh serta kewibawaan kerajaan Mataram
makin merosot dan Sunan makin bergantung kepada VOC (Belanda). Sunan Paku
Bowono memindahkan kratonnya ke Solo atau Surakarta.
IV. Keadan kerajaan Mataram makin suram. Mas Said yang dikenal sebagai
Sambernyawa masih tetap mengadakan perlawanan. Pada akhir pemerintahan Paku
Buwono II terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi, yakni
saudara Sunan Paku Buwono II sendiri. Sebabnya Sunan Paku Buwowo II
mengingkari janjinya.
226
Pada tahun 1749 Sunan paku Buwono II wafat. Baginda digantikan oleh putera
baginda yang kemudian bergelar paku Buwono III. Perlawanan Pangeran
Mangkubumi berakhir dengan diadakannya pada tanggal 13 Pebruari 1755 sebuah
perjajian di sebuah desa yang dikenal dengan nama Giyanti. Perjanjian itu disebut
perjajian Giyanti. Perjanjian ini sangat terkenal karena membagi dua kerajaan
Mataram yang sudah susut menjadi dua bagian, yakni:
1. Kerajaan Yogyakarta yang diperintah oleh Sultan Hamengku Buwono I.
2. Kerajaan Surakarta yang diperintah oleh Susuhunan Paku Buwono III.
Dengan demikian maka Panngeran Mangkubumi yang menjadi Sultan
Hamengku Buwono I adalah sultan Yogyakarta yang pertama. Mas Said alias
Sambernyawa yang masih meneruskan perlawanannya, pada tanggal 24 Pebruari
1757 berdamai dengan Susuhunan Paku Buwono III. Atas usaha Gubernur Hartingh,
pada tanggal 17 Maret 1757, di Salatiga diadakan persetujuan antara Susuhunan Paku
Buwono III dan Sambernyawa alias Mas Said. Di dalam persetujuan itu disepakati,
bahwa Mas Said mendapat sebagian wilayah Susuhunan dan bergelar Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Mangkunegara dan dengan singkat beliau dikenal pula sebagai
Mangkunegara I. Kemudian, yakni pada zaman pendudukan Inggris Kesultanan
Yogyakarta juga terbagi menjadi dua bagian, yakni; Yogyakarta dan Paku Alaman.
Dengan demikian, maka campur tangan kaum penjajah bangsa asing (Belanda)
kerajaan Mataram yang pada zaman pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma
begitu jaya dan berkuasa, akhirnya setelah jauh susut kekuasaan dan pengaruh serta
wibawanya terpecah belah lagi manjadi empat buah kerajaan kecil yang sangat
bergantung kepada kaum penjajah bangsa asing (Belanda), yakni :
1. Surakarta yang diperintah oleh keturunan Paku Buwono
2. Mangkunagaran yang diperintah oleh keturunan Mangkunagara
3. Yogyakarta yang diperintah oleh keturunan Hamengku Buwono
4. Paku Alaman yang diperintah oleh keturunan Paku Alam.
Kita telah melihat bahwa di kerajaan Mataram sering terjadi “Perang Mahkota”
atau “Perang Suksesi” yang amat banyak menimbulkan kakacauan dan kekaruhan yang
sangat merugikan kerajan Mataram sendiri. Kerajaan yang begitu jaya dan berkuasa,
227
makin lama makin susut kekuasaannya, pengaruh dan wibawanya, karena kerajaan
Mataram sendiri pada tahun 1646 yang mulai membuka pintu serta memberi kesempatan
kepada VOC (Belanda) untuk mencampuri urusan dalam negeri kerajaan Mataram. Itulah
tindakan politik yang merupakan blunder (kesalahan besar) yang telah dilakukan oleh
Sultan Amangkurat I dengan mengadakan perjanjian persahabatan dengan VOC
(Belanda). Dengan siasat yang licik, yakni dengan memecah belah dan mengadu domba
serta “sebagai kawan yang baik” memberikan bantuan kepada pihak dan saat yang sudah
diperhitungkan, Belanda berhasil memperluas kekuasan dan memperbesar pengaruhnya.
Hal ini sangat dipermudah dan diperbesar kemungkinannya oleh sistem poligami
yang dijalankan serta dilazimkan oleh raja-raja dari kaum bangsawan Mataram.
Seseorang sering mempunyai lebih dari satu orang permaisuri atau padmi selain dari itu
Raja dan bahkan juga kaum bangsawan lainnya mempunyai lagi selir yang sering amat
banyak jumlahnya. Pada tiap pergantian Raja wafat atau (turun tahta) sering terjadi
pertikaian, permusuhan , bahkan peperangan antara golongan-golongan (putera-putera
atau saudara-saudara Raja) yang ingin atau merasa dirinya berhak untuk menggantikan
Raja yang wafat atau Raja yang turun tahta. Maka di dalam kraton terjadilah intrig, helat-
menghelat, iri-mengiri, cemburu-mencemburui, curiga-mencurigai, bahkan bunuh-
membunuh antara kelompok-kelompok yang bersaingan itu. Tahta kerajaan menjadi
rebutan : Maka terjadilah apa yang disebut “Perang Mahkota” atau “Perang Suksesi”
antara anak-anak Raja atau saudara-saudara raja yang berambisi untuk menduduki tahta
kerajaan yang kosong.
Hal inilah yang mempermudah kaum penjajah untuk mempergunakan dengan
sebaik-baiknya politik “devide et impera”nya. Demikianlah yang terjadi pada kerajaan
Mataram : namun keadaan di dalam kraton tidaklah menjadi lebih baik. Keadan keruh
berjalan terus. Di dalam kraton-kraton itu selalu terjadi intrig, persaingan, helat-
menghelat, iri-mengiri, cemburu-mencemburui serta curiga-mencurigai. Hal ini
diperbesar dan lebih dikobarkan lagi oleh kaum penjajah yang memang sangat mahir
mempergunakan senjata memecah belah dan mengadu domba bangsa Indonesia yang
ternyata memang senang dipecah-belah dan diadu-domba.
228
III
Perang Diponegoro yang oleh Belanda disebut “De Java Oorlog” yang
berlangsung dengan dahsyat selama lima tahun (dari tahun 1825 s/d 1830) sangat erat
hubungannya dengan suasana keruh dan suram di dalam kraton Yogyakarta, terutama
pada zaman pertentangan antara Sultan Hamengku Buwono II atau Sultan Sepuh dan
pengikut-pengikut beliau di satu pihak dan Sultan Hamengku Buwono III atau Sultan
Raja di lain pihak.
Sultan Hamengku Buwono I yang dihormati serta dimuliakan oleh orang-orang
Yogyakarta sebagai seorang pendiri dan pembangun kerajaan Yogyakarta, wafat pada
tanggal 24 Maret 1792 dalam usia lebih dari 83 tahun. Baginda digantikan oleh putera
baginda yang kemudian bergelar Sultan Hamengku Buwono II. Baginda dinobatkan pada
tanggal 2 April 1792.
Dalam bulan Januari 1807 Mr. Herman Daendels diangkat sebagai Gubernur
Jendral. Baru pada tanggal 14 Januari 1808, jadi setahun kemudian, Daendels dapat
menjalankan kewajibannya. Gubernur Jendral Daendels dikenal sebagai seorang yang
keras dan sering mempergunakan tangan besi untuk memaksakan keinginan-
keinginannya. Jalan raya yang membujur seluruh pulau Jawa, yakni dari Anyer di sebelah
barat sampai ke Banyuwangi di sebelah timur terkenal sebagai “Jalan Raya Daendels”.
Jalan raya itu dibuat atas perintah Daendels dalam usaha memperkuat pertahanan
Belanda terhadap kemungkinan serangan Inggris. Pada waktu itu kerajaan Belanda yang
diperintah oleh Lodewijk Napoleon sedang bermusuhan dengan kerajaan Inggris.
Lodewijk Napoleon adalah saudara Napoleon Bonaparte, Kaisar Perancis yang terkenal.
Tindakan Daendels di daerah kesultanan Yogyakarta menimbulkan konflik antara
Daendels (Belanda) dan Sultan Hamengku Buwono II (kesultanan Yogyakarta).Daendels
menetapkan peraturan tata tertib dan tata cara baru. Sebelum peraturan yang ditetapkan
oleh Daendels itu keluar, Residen Yogyakarta (demikian pula Residen Surakarta) harus
menunjukkan penghormatannya kepada Raja (Sultan Yogyakarta dan Susuhunan
Surakarta). Pada waktu berkunjung ke Kraton, para Residen itu tidak boleh naik kereta,
akan tetapi harus berjalan kaki melalui alon-alon utara. Para Residen itutidak boleh
memakai payung. Di dalam upacara kunjungan resmi para Residen itu harus berdiri dan
229
mempersembahkan sirih atau minuman kepada Raja yang tinggal saja tetap duduk di
tempat nya. Para Residen itu juga harus duduk pada kursi atau tempat duduk Raja.
Menurut pandangan Daendels peraturan itu sangat merendahkan derajat dan
martabat kekuasaan Belanda. Oleh karena itu, maka Daendels pad tanggal 28 Juli 1808
menetapkan peraturan yang baru. Di kerajaan Surakarta dan Yogyakarta para Residen
diganti gelarnya menjadi “Minister” sebagai pembesar yang mewakili pemerintahan
Belanda. Jikalau Minister atau Residen berkunjung kepada raja (Sultan Yogyakarta atau
Susuhunan Surakarta) mereka tidak lagi berjalan kaki melalui alun-alun utara, akan tetapi
mereka itu datang berkereta dan dikawal oleh seorang komandan dengan 12 (dua belas)
orang dragonders atau prajurit berkuda. Jikalau wakil pemerintahan Belanda itu tiba dan
turun dari kereta maka ia dibukakan pintu dan harus dipayungi. Minister atau Residen itu
tidak boleh lagi mempersembahkan sirih atau minuman kepada Raja yang hanya tinggal
tetap saja duduk ditempatnya. Ada orang yang khusus berselang-seling
mempersembahkan minuman kepada Raja dan kepada wakil pemerintah Belanda itu.
Tempat duduk Minister atau Residen sebagai wakil pemerintah Belanda tidak boleh lebih
rendah dari pada tempat duduk Raja.
Peraturan yang dibuat Daendels itu menaikkan gengsi wakil pemerintah Belanda,
akan tetapi mengurangi lagi harkat dan derajat kemuliaan Raja. Hal ini jelas
menimbulkan kekecewaan bagi orang-orang kraton. Belanda mulai makin banyak
mencampuri urusan dalam negeri kerajaan. Maka Sultan Hamengku Buwono II tidak
setuju dengan peraturan baru yang ditetapkan oleh Gbernur Jendral Daendels
itu.
Sementara itu di daerah kerajaan Yogyakarta terjadi kekacauan-kekacauan. Yang
dituduh menyebabkan dan menjadi biang keladi kekacauan-kekacauan itu adalah Raden
Rangga Prawiradirja III, Bupati Wadana Mancanegara kerajaan Yogyakarta yang juga
menjadi anak mantu Sultan Hamengku Buwono II. Selain itu Sultan Hamengku Buwono
II juga memecat Patih Danureja II karena patih itu banyak membantu Belanda. Ketiga hal
itulah yang menjadi pokok konflik antara Daendels (Belanda), dan Sultan Hamengku
Buwono II (kerajaan Yogyakarta). Hal ini terbukti dari tuntutan-tuntutan Daendels
kepada Sultan Hamengku Buwono II :
230
1. Mengembalikan Danurejo II pada kedudukannya semula sebagai Patih
Kerajaan Yogyakarta.
2. Menyerahkan Raden Rangga Prawiradirja III.
3. Sultan Hamengku Buwono II harus menerima dan mentaati peraturan
yang telah ditetapkan oleh Belanda.
Akhirnya dengan tangan besi, yakni dengan sebuah tentara ekspedisi Daendels
memaksa Sultan Hamengku Buwono II dipaksa turun tahta dari kerajaan dan dalam bulan
Januari 1811 digantikan oleh putera baginda yang kemudian bergelar Sultan Hamengku
Buwono III. Akan tetapi Daendels memperbolehkan Sultan Hamengku Buwono II alias
Sultan Sepuh tetap tinggal di Kraton. Jadi dapat kita bayangkan betapa keruhnya suasana
di dalam kraton Yogyakartayang diciptakan oleh Gubernur Jendral Daendels :
1. Di dalam kraton ada seorang bekas Raja yang dipaksa turun tahta
kerajaannya. Raja ini mempunyai banyak pengikut yang setia dan simpatisan
yang terdiri dari patriot-patriot Mataram/yogyakarta yang membenci orang-
orang dan kaum penjajah bangsa asing yang makin merajalela. Kelompok ini
terkenal sebagai kelompok kesepuhan (Sultan Hamengku Buwono II dikenal
pula sebagai Sultan Sepuh).
2. Ada seorang Raja, anak Raja yang tua (Sultan Sepuh) dinobatkan oleh
Belanda. Baginda harus memerintah didampingi oleh Patih (Danureja II)
yaang tidak disenangi,
bahkan dibenci oleh Raja yang dipaksa turun dari tahtanya. Tidak heran jikalau di
dalam kraton Yogyakarta terjadi kekaruhan dan kesuraman, bahkan kekacauan
yang luar biasa. Maka terjadi intriges, helat-menghelat, iri-mengiri, curiga-
mencurigai. Yang satu berusaha menjatuhkandan menyingkirkan, bahkan
mencelakakan saingannya dan jikalau perlu dengan cara-cara yang melanggar
kesusilaan dan peri kemanusiaan. Hal ini bukan tidak mungkin pula dengan
sengaja diciptakan oleh Belanda yang memang senang dan sangat mahir
mempergunakan senjata adu domba dan devide et imperanya.
231
Selain dari itu Daendels banyak pula merugikan kerajaan Yogyakarta. Kerajaan
Yogyakarta diharuskan menanggungbiaya tentara ekspedisi yang dikerahkan oleh
Daendels untuk memaksa Sultan Hamengku Buwono II menuruti keinginan-
keinginannya. Kerajaan Yogyakarta harus menyerahkan beberapa daerahnya kepda
Belanda, antara lain sebagian daerah Kedu, daerah Jipang (Bojonegoro), daerah Japan
(Mojokerto0 dan lain-lainnya.
Suasana keruh di dalam kraton Yogyakarta ini dilihat, didengar, dialami, dihayati,
serta diketahui betul-betul oleh Pangeran Diponegoro. Pada waktuitu beliau sudah
dewasa. Beliau dilahirkan pada tahun 1785. Pada tanggal 16 Mei 1811 Daendels
digantikan oleh J.W. Janssens sebagai Gubernur Jendral. Hanya beberapa bulan saja Jan
Willem Janssens menjalankan tugasnya, karena tidak lama kemudian tentara Inggris
menyerang dan menguasi pulau Jawa serta seluruh Indonesia. Janssens menyerah kepada
Inggris di Tuntang Jawa Tengah, pada tanggal 18 September 1811. Inggris menjajah
Indonesia dari tahun 1811 s/d tahun 1816.
Kesempatan yang baik itu digunakan oleh Sultan Sepuh (HB II) untuk merebut
kembali tahta kerajaan Yogyakarta. Sungguhpun sudah diletakkan segala peraturan yang
telah dibuat dan diputuskan oleh pemerintah Belanda tetap berlaku dan diakui oleh
pemerintah Inggris, namun Sultan Sepuh (HB II) tetap menjadi sultan dan menduduki
tahta kerajaan Yogyakarta, sedangkan Sultan Raja (HB III) kembali menjadi Pangeran
Adipati Anom atau Pangeran Putera Mahkota. Sultan Sepuh (HB II) mengangkat
Sindunegara menjadi Patih kerajaan Yogyakarta. Kemudian Raffles kembali ke Batavia
(Jakarta). Suasna di Yogyakarta bertambah keruh.
Setelah merasa dirinya kuat, maka Sultan Sepuh (HB II) mengadakan
pembersihan. Orang-orang yang bekerjasama dengan Sultan Raja (HB III) pada masa
Daendels dipecat, bahkan ditangkap. Tidak heran jikalau Sultan Raja (HB III) sendiri
merasa gelisah. Maka terjadilah persaingan bahkan pertentangan antara golongan
kesepuhan dan pengikut-pengikut Sultan Raja (HB III). Maka peristiwa yang terjadi di
kerajaan Banten pada akhir abad ke 17 (1680), yakni pertentangan bahkan permusuhan
antara Sultan Ageng yang memusuhi Belanda dan Sultan Haji (Anak Sultan Ageng
Tirtayasa berulang di kraton Yogyakarta.
232
Kaum kesepuhan terkenal sangat senang, bahkan benci kepada orang-orang Barat
(inggris dan Belanda) yang terlalu banyak mencampuri urusan dalam negeri kerajaan
Yogyakarta. Di dalam hal ini Pangeran Diponegoro tergolong kaum kesepuhan. Pangeran
Diponegoro juga sangat membenci kaum penjajah dan pengaruh besar asing yang
merusak kehidupan bangsanya. Namun sebagai seorang anak tertua Pangeran Diponegoro
banyak dan sering memberikan buah pikiran – buah pikiran yang berguna kepada ayah
beliau (Sultan Raja alias Sultan HB. III)
Ketika Rafflesia meminta agar supaya perjanjian-perjanjian yang telah dibuat dan
disepakati dengan pemerintahan Belanda, terutama yang mengenai daerah-daerah
kerajaan Yogyakarta yang diserahkan kepada “ Gupernemen” harus ditaati dan Sultan
Sepuh menolak, maka terjadilah konflik antara Raffles (Inggris) dan Sulatan Sepuh.
Sultan Raja berpihak kepada Inggris/Raffles. Akhirnya dengan sebuah tentara ekspedisi
Raffles berhasil mengalahkanSultan Sepuh (HB II) ditawan dan dibuang oleh Inggris ke
Penang (Malaysia), yang kemudian setelah Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya
kepada Belanda, Sulatan Sepuh oleh Belanda dipindahkan ke Ambon (Maluku). Pada
tanggal 28 Juni 1812 Sultan Raja kembali diangkat menjadi Sultan Kerajaan Yogyakarta
dengan gelar Sultan Hamengku Guwono III.
Kali inipun Kerajaan Yogyakarta banyak menderita. Harta keyakayaan Sultan dan
Kerajaan Yogyakarta banyak yang dirampas oleh prang-orang Inggris. Sultan dan
Kerajaan Yogyakarta tidak lagi memungut bea (cukai pada pasar-pasar). Sultan juga
melepaskan keuntungan-keuntungan dari hasil penjualan madat atau candu, sarang
burung, kayu jati dan lain-lainnya. Sebagai penggantinya Sultan tiap tahun menerima
sejumlah uang dari pemerintah Inggris. Sultan dan kerajaan Yogyakarta makin
bergantung kepada kekuasaan pemerintah kolonial.
Sultan Yogyakarta harus pula melepaskan hak-haknya atas tanah-tanah Kedu,
Pacitan, Japan, Jipang dan Grobogan. Dalam bulan Maret tahun 1813 Pangeran
Natakusuma menerima sebagaian tanah Sultan Yogyakarta dan diangkat sebagai
penguasa (Raja) di tanah itu dengan gelar Paku Alam I. Dearahnya disebut Paku Alaman.
Pada tanggal 3 Nopember 1814 Sultan Hamengku Buwono IV yang dikenal pula
sebagai Sultan Jarot. Jadi Sultan Hamengku Buwono IV (Sultan Jarot) adalah adik seayah
lain ibu pangeran Diponegoro. Pada tanggal 19 Agustus 1816 Inggris menyerahkan
233
kekuasaannya kembali kepada Belanda. Yang diangkat oleh pemerintah Belanda menjadi
Gubernur Jenderal ialah Van Der Capellen (1816 – 1826). Pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Van der Capellen inilah Perang Diponegoro pecah.
Pada masa itu penyewaan tanah kepada orang-orang swasta, terutama kepada
orang-orang Eropa (Belanda) makin merajalela. Penyewaan tanah dilakukan secara besar-
besaran. Bahkan sampai-sampai Residen Yogyakarta sebagai pegawai tertinggi Belanda
di Yogyakarta sendiri ikut-ikut pula menyewa tanah. Demikianlah Residen Yogyakarta
yang bernama Narhuys turut menyewa tanah Merapi. Penyewaan tanah secara besar-
besaran ini mempunyai aspek ekonomis, politis dan sosial- budaya yang sangat
merugikan. Rakyat menjadi makin miskin dan melarat hidupnya diperas oleh Tuan tanah-
tuan tanah yang serakah. Kekuasaan dan pengaruh bangsa asing secara langsung terhadap
rakyat yang sangat patuh makin lama makin besar.
Beberapa kali Pangeran Diponegoro memperingatkan kepada kakaknya yakni
Sultan Jarot (Sultan HB IV) tentang bahaya dan akibat buruk penyewa tanah yang makin
meluas itu terhadap nasib kerajaan Mataram. Akan tetapi segala usaha damai Pangeran
Diponegoroitu tidak berhasil. Sultan tidak dapat menghindari pengaruh kehidupan Barat.
Cara hidup tuan tanah orang-orang Eropa (Belanda) yang konsumtif dan boros yang
banyak yang ditiru. Pesta-pesta mabok-mabokan makin merajalela.
Pada tanggal 6 Desember 1822 Sultan jarot (HB. IV) dengan sekonyong-konyong
wafat dalam tamasya). Pihak lawan dan orang-orang yang tidak senang kepada Pangeran
Diponegoro, terutama orang-orang Belanda, melontarkan tuduhan dan fitnahan bahwa
Pangeran Diponegoro yang meracun adiknya itu (Sultan Jarot alias Sulatan Hamengku
Bowono IV), karena Pangeran Diponegoro sendiri ingin menjadi Sultan Yogyakarta.
Sungguh suatu tuduhan dan fitnahan yang sangat rendah, keji dan kotor.
Sultan Hamengku Buwono IV digantikan oleh putera baginda yang masih kecil
(lahir 25 Januari 1820) yang bernama Menol. Karena Sultan Hamengku Buwono V alias
Sultan Menol masih sangat kecil (belum berusia tiga tahun), maka dibentuklah sebuah
badan perwakilan yang terdiri dari empat orang, yakni :
1. Kanjeng Ratu Ageng (nenek perempuan Sultan Menol)
2. Kanjeng ratu Kencana (Ibu Sultan Menol)
3. Pangeran Mangkubumi (Putera HB II)
234
4. Pangeran Diponegoro.
Akan tetapi kemudian Pangeran Diponegoro mengundurkan diri sebagai anggota
Dewan Perwakilan itu. Hal ini dipergunakan lagi terutama oleh Belanda sebagai bukti,
bahwa Pangeran Diponegoro sangat berambisi untuk menjadi Sultan.
IV
Belanda memang selalu menyabarkan fitnah dan tuduhan bahwa Pangeran
Diponegorommemberontak, karena Pangeran Diponegoro sangat berambisi menjadi
Raja. Hal ini sengaja dilontarkan oleh Belanda untuk merendahkan tekad dan tujuan
perjuaangan Pangeran Diponegoro dan kawan-kawan beliau, tetapi sebenarnya untuk
menutupi dan membenarkan tindakan-tindakan kolonialnya yang lalim dan sewenang-
wenang. Pemberontakan dan perlawanan rakyat yang dimpin oleh Pangeran Diponegoro
dan kawan-kawan beliau itu meledak dan membakar hampir seluruh Jawa Tengah dan
Jawa Timur tidak lain karena kelaliman dan kesewenang-wenangan kaum penjajah
bangsa asing (Belanda)
Yogyakarta adalah tanah yang amat subur bagi timbulnya perlawanan rakyat
menentang kelaliman kaum penjajah bangsa asing. Di Kesultanan Yogyakarta seluruh
lapisan masyarakat banyak mengalami penderitaan dan penghinaan. Golongan atasnya
yang terdiri dari Raja atau Sultan atau keluarga baginda serta kaum bangsawan
mengalami penghinaan danperlakuan yang menurut adat-istiadat pada waktu itu sangat
menyinggung perasaan. Martabat kemuliaan dan harga diri meraka tercoreng-moreng
oleh kaum penjajah bangsa asing.
Rakyat makin lama makin menderita. Selain dari pada harus membayar
bermacam-macam pajak, rakyat ditindas dan diperas oleh sistem pembayaran tol atau bea
(cukai). Orang-orang yang lewat daerah beawan (tolgarders) membayar bea (cukai) untuk
barang-barang yang mereka bawa. Karena keuntungannya sangat menarik, maka jumlah
tolgarders atau beawan itu makin meningkat. Nafsu angkara murka mereka makin lama
makin bergelora dan merajalela. Bahkan anak kecil yang sedang didukung atau sedang
digendong oleh ibunya dianggap pula barang yang harus dikenakan bea (cukai).
Kemudian para pemungut bea atau cukai sering berlaku kurang ajar dan berani
menggeledahi badan wanita-wanita yang lewat.
235
Lebih menderita lagi hidup rakyat di tanah kerajaan seperti di daerah
Yogyakarta.
V
Pengusaha bangsa Eropa, terutama bangsa Belanda mulai merajalela. Mereka
biasanya terdiri dari pensiunan militer dan keturunan petani-petani Belanda. Mereka
leluasa menyewa tanah Raja dan para bangsawan. Para pemilik tanah itu lazimnya tidak
hanya menjadi pemilik tanah saja, akan tetapi mereka dapat dikatakan menjadi raja-raja
kecil di tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasainya. Terlebih-lebih mereka yang menyewa
tanah di daerah Kerajaan (Surakarta, Mangkunegaran, Yogyakarta dan Paku Alaman).
Mereka menguasai tanah-tanah itu beserta isinya). Meraka tidak hanya mendapatkan
tanah saja, akan tetapi mereka juga mendapatkan tenaga kerja yang patuh, rajin, dan
sangat murah, bahkan boleh dikatakan tenaga cuma-cuma. Dengan upah yang tidak
seberapa mereka bekerja berat untuk kepentingan para tuan-tuan tanah.
Penindasan dan pemerasan berjalan terus. Para pembesar kerajaan yang
bertanggung jawab tidak berbuat apa-apa untuk meringankan beban rakyat. Mereka
sudah sangat terpengaruh dan sangat dikuasai oleh penjajah bangsa asing. Bahkan Patih
Danureja yang sangat setia dan patuh pada Belanda menambah lagi beban rakyat yang
sudah sangat menderita hidupnya itu dengan bermacam-macam tindakan yang sangat
merugikan rakyat. Keadaan di dalam kratonpun sangat menyedihkan , pengaruh
kebudayaan dan kehidupan Barat makin merajalela. Raja dan para pembesar kraton
sering mengadakan pesta-pesta dan makan-makan. Di dalam pesta-pesta dan makan-
makan itu selalu dihidangkan minuman keras. Semua hal ini sangat memilukan hati
Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro sering tampil membela nasib rakyat yang menderita akibat
pemerasan dan perlakuan yang sewenang-wenang. Namun Belanda selalu melontarkan
tuduhan dan fitnahan bahwa Pangeran Diponegoro licik, tidak dapat dipercaya serta
berambisi keras untuk menjadi Sultan dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari buku
tentang Pangeran Diponegoro atau “De Java Oorlog” sendiri. Perang Diponegoro
bukanlah suatu peperangan yang dijalankan secara membabi buta tanpa tujuan. Perang
Diponegoro bukanlah suatu peperangan yang dipimpin oleh orang-orang yang
236
berangasan, gelap mata, orang-orang jahat yang serakah, yang berambisi menjadi Raja
dan sebagainya. Perang Diponegoro terbukti didukung oleh tidak kurang dari 20 (dua
puluh ) orang Pangeran, anak cucu dan saudara-saudara Sultan-sultan HB I, HB II, HB III
yang merasa terpanggil untuk berjuang untuk membela panji-panji kerajaan Mataram
yang makin memudar. Dalam pimpinan tertinggi kita mengetahui antara lain :
1. Paangeran Mangkubumi, putera Sultan HB II. Jadi beliau adalah paman atau
mamak Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro bertindak sebagai penasihat
Agung
2. Pangeran Ngabehi Jayakusuma yang lebih dikenal dengan singkatannya Pangeran
Bey. Beliau adlah putera Sultan HB II (Sultan Sepuh). Beliau adalah seorang
panglima Perang yang gugur dan dimakamkan di atas Singi dialiran Sungai
Progo.
3. Kyai Mojo, seorang ulama terkenal dari Mojo (Solo). Beliau inilah yang memberi
corak dan nafas Islam dalam perang Diponegoro. Kyai Mojo ditangkap dengan
tipu muslihat oleh Belanda, lalu dibuang bersama dengan pengikut-pengikut
beliau ke daerah Tondano Minahasa (Sulawesi Utara). Kyai Mojo wafat dalam
pembuangan di Tondano pad tanggal 20 Desember 1849 dan dimakamkan di
dekat kota Tondano, Minahasa (Sulawesi Utara). Keturunan Kyai Mojo dan
pengikut-pengikut beliau berkembang biak di Sulawesi Utara dan dikenal sebagai
orang-orang “Jaton” artinya orang-orang Jawa Tondano. Mereka tetap menjadi
penganut agama Islam di tengah-tengah masyarakat Kristen di Sulawesi Utara.
4. Sentot Alibasah Abdul Mustafa Prawiradirja adalah Putera raden Rangga
Prawiradirja III yang tewas dalam perlawanan menentang Gubernur Jenderal
Daendels. Sentot juga wafat dalam pertempuran di Bengkulu (Sumatera) pada
tanggal 17 April 1855 setalah lebih dahulu dipergunakan oleh Belanda di
Sumatera Barat untuk Memadamkan perlawanan kaum Paderi.
Perang Diponegoro memang didukung oleh bangsawan-bangsawan Mataram yang
merasa terhina dan tersinggung harga dirinya. Perang Diponegoro didukung oleh rakyat
tertindas yang membenci dan menentang penjajahan bangsa asing yang serakah dan
penuh angkara murka. Meraka berjuang dengan sadar dan rela mengorbankan apa saja,
bahkan nyawa mereka sekalipun, untuk mengusir kaum penjajah bangsa asing yang lalim
237
dan sewenang-wenang. Jika kalau perang Diponegoro karena ambisi Pangeran
Diponegoro saja untuk menjadi Raja, maka tidak mungkin jikalau peperangan itu dapat
berlangsung dengan hebatnya sampai hampir lima tahun lamanya.
Rakyat hidup melarat dan sangat menderita. Golongan atas (kaum bangsawan)
pun tidak dapat dikatakan hidup makmur dan sejahtera, karena pengaruh kebudayaan dan
cara hidup berat mereka hidup sangat konsumtif, suka berpesta-pora, boros dn tenggelam
dalam hutang. Demikianlah keadaan di Jawa Tengah dan Jawa pada umumnya serta
keadaan di Yogyakarta khususnya. Keadaan sudah sangat eksplosif dan masak untuk
meledakkan peperangan melawan kaum penjajah yang lalim. Rakyat hanya menanti
seorang patriot ksatria yang menyulut sumbu peperangan. Namun perang Diponegoro
didahului oleh insiden-insiden yang membuat suasana makin panas.
Pada pertengahan tahun 1825 atas perintah kaum penjajah Belanda Patih
Danurejo menyuruh membuat dan memperlebar jalan. Patih Danureja terkenal sebagai
pembesar kerajaan Yogyakarta yang sangat setia dan patuh pada kaum penjajah Belanda.
Membuat dan memperlebar jalan itupun ia lakukan dengan sangat patuh atas perintah
kaum penjajah Belanda. Jalan yang akan dibuat dan diperlebar itu melalui daerah
Tegalreja yang menjadi milik Pangeran Diponegoro. TANPA MEMBERITAHUKAN DAN
TANPA IZIN pemilik tanah itu, yakni Pangeran Diponegoro, Patih Danureja menyuruh
orang-orangnya menancapkan pancang-pancangnya sebagai tanda bahwa tanah itu “akan
digarap” oleh Belanda. Perbuatan itu sungguh sewenang-wenang : Apalagi karena dalam
melaksanakan perbuatan yang sewenang-wenang itu ada tanah perkuburan orang-orang
yang dihormati Pangeran Diponegoro yang dibongkar dengan seenaknya saja tanpa seizin
dan tanpa sepengetahuan Pangeran Diponegoro. Apasaja di dunia ini memang ada
batasnya: Betapapun luasnya benua, benua itu pasti ada batas atau pantainya. Demikian
pula betapapun luasnya samudera, samudera itu pasti ada tepinya. Demikian pula dengan
kesabaran Pangeran Diponegoro:
Pangeran Diponegoro mengajukan protes yang keras. Beliau meminta agar Patih
Danurejo dipecat. Akan tetapi Residen Yogyakarta yang bernama A.M. Misseart
membela Danureja, karena Danureja sangat setia dan sangat patuh kepada kaum penjajah
Belanda. Di sini kita melihat bahwa sejarah berulang: Sulatan Hamengku Buwono II
(Sultan Sepuh) sangat membenci Patih Danureja II, karena patih itu sangat setia dan
238
patuh kepada kaum penjajah Belanda (Daendels). Sekarang Pangeran Diponegoro juga
tidak senang kepada patih Danureja IV, karena patih itu sangat setia dan patuh akepada
kaum penjajah Belanda (Residen Smisseart). Pembesar kerajaan Yogyakarta itu lebih
setia kepada kaum penjajah Belanda dan tidak memperhatikan kepentingan karajaan dan
nasib rakyat yangmenderita.
Keadaan makin meruncing dan panas: Setiap kali pancang-pancang
ditancapkanatas perintah patih Danureja, setiap kali pula Pangeran DDIponegoro
menyuruh orang-orang beliau mencabut pancang-pancang itu. Suasana makin tegang
antara patih Danureja dan anak buahnya serta Belanda di satu pihak dan Pangeran
Diponegoro dan anak buahnya serta pengikut-pengikut beliau di lain pihak.
Kemudian, yakni pada tanggal 20 Juli 1825 pasukan-pasukan Belanda dengan
sekonyong-konyong menyerang Pangeran Diponegoro di tempat kediaman beliau di
Tegalreja. Serangan Belanda yang tiba-tiba itu dibalas dengan spontan dn segera oleh
rakyat yang telah siap membela pemimpin mereka. Demikianlah Perang Diponegoro
atau “De Java Oorlog” pecah dan berlangsung dengan sengitnya sampai lima tahun
lamanya yakni dari tanggal 20 Juli 1825 sampai dengan tanggal 8 Maret 1830, yakni
dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro dengan tipu muslihat yang licik dengan cara
yang tidak mengenal malu pada hari itu dalam suatu perundingan di kota Magelang (Jawa
Tengah )
Pangeran Diponegoro mula-mula dibuang ke kota Manado di Sulawesi Utara,
yakni pada tahun 1834 Pangeran Diponegoro dipindahkan dan ditawan di Fort Rotterdam
(Benteng Ujung Pandang) di kota Makassar atau Ujung Pandang di Sulawesi Selatan.
Akhirnya sesudah mengalami hidup di dalam tahanan Belanda kurang lebih 25
(dua puluh lima ) tahun lamanya, maka pada tanggal 8 Januari 1855 Pangeran
Diponegoro wafat dalam usia kira-kira 70 (tujuh puluh) tahun. Kewafatan Pangeran
Diponegoro dikuatkan oleh sebuah proses- verbal yang ditanda tangani oleh sebuah
panitia yang terdiri dari pejabat-pejabat yang kompeten, yakni :
1. Assistant Resident en Magistraat J.G. CRUDELBACH,
2. Majoor der infanteric J. LION, dan
3. Officier van fezodheid der eerste klasse F.A.M. SCHMITZ.
239
Perang Diponegoro amat banyak membawa kerugian bagi kaum penjajah Belanda,
baik berupa kerugian berupa harta benda dan keuangan yang tak ternilai harganya bagi
rakyat berupa harta benda, darah dan air mata derita serta nyawa beribu-ribu rakyat yang
sangat menderita akibat penjajahan bangsa asing yang lalim dan penuh angkara murka.
Selama perang Diponegoro yang berlangsung lima tahun lamanya itu, tidak kurang dari
8.000 orang tentara Belanda yang menemui ajalnya. Suatu jumlah yang cukup besar
menurut ukuran perang pada zaman itu. Biaya yang harus dikeluarkan oleh kaum
penjajah Belanda untuk memadamkan perang Diponegoro itu kurang lebih f 20.000.000
(dua puluh juta gulden). Suatu jumlah yang tidak kecil arti dn nilainya pada masa itu.
Apalagi mengingat kas dan ekonomi negeri Belanda pada saat itu sangat menyedihkan
keadaannya. Perang Diponegoro betul-betul telah menggoncangkan dan hampir saja
menumbangkan serta menghancurkan sendi-sendi kekuasaan penjajahan Belanda pada
abad ke 19.
vI
Di dalam bukunya “The Exspansion of England” yang ditulis pada tahun 1883,
Sir John Robert Seeley (1834-1895) antara lain dikatakan : ”We learn history to be wise
for the event”. Artinya kurang lebih : ”Kita belajar sejarah agar kita bijaksana dalam
menghadapi sesuatu peristiwa”. Jadi membaca dan belajar sejarah barulah ada
manfaatnya jikalau hal itu membuat kita berpikir, bersikap dan bertindak bijaksana dalam
menghadapi masa depan. Sejarah memang merupakan sumber inspirasi atau ilham yang
tak habis-habisnya bagi bangsa yang ingin dan pandai memetik serta mengambil sari-sari
yang banyak terkandung di dalamnya. Sejarah Indonesia pada umumnya dan sejarah
Perang Diponegoro khususnya AMAT BANYAK mengamdung nilai edukatif dan nilai
inspiratif. Sejarah Indonesia pada umumnya dan sejarah Perang Diponegoro khususnya
amat banyak dapat memberikan pendidikan serta inspirasi atau ilham kepada kita bangsa
Indonesia dan terutama kepada Generasi Muda Indonesia untuk membangun masa depan
tanah airnya yang gilang –gemilang. Namun yang sangat relevan dan amat penting untuk
dikemukakan di sini adalah, bahwa Generasi Muda sebelum abad ke 20 telah berjuang
dengan gagah berani dan dengan tulus ikhlas serta rela mengorbankan apa saja, bahkan
nyawanya sekalipun. Namun mereka belum berhasil menghalau dan mengusir penjajahan
240
bangsa asing dari bumi tanah air yang tercinta. Sebab utamanya adalah karena mereka
masih mudah dipecah-belah dan masih senang diadu-domba oleh kaum penjajah bangsa
asing. Harus disadari pula bahwa kaum penjajah bangsa asing (Belanda) memang sangat
pandai dan amat mahir mempergunakan senjata ampuh mereka yang dikenal dengan
nama “devide et impera” atau pecah-belah dan jajahlah. Generasi Muda sebelum abad
dua puluh masih berjuang secara daerah demi daerah, secara suku demi suku. Mereka
ternyata belum mampu melawan dan mengalahkan senjata ampuh kaum penjajah bangsa
asing (Belanda) yang kita kenal dengan nama “devide et impera”.
Generasi muda Kebangkitan Nasional Indonesia mulai belajar dari sejarah serta
sadar, bahwa keinginan untuk merdeka dan cita-cita untuk membebaskan diri dari
belenggu penjajahan bangsa asing tidak hanya cukup berbekal dengan semangat
patriotisme lokal, kegagahberanian, kerelaan berkorban saja, akan tetapi keinginan dan
cita-cita itu harus didukung dan ditopang pula terutama oleh rasa persatuan dan kesatuan
kebangsaan Indonesia yang padu, kokoh dan kuat. Indonesia merdeka harus dicapai
melalui pergerakan kebangsaan Indonesia. Demikianlah pada awal abad ke 20, yakni
pada tanggal 20 Mei 1908 mulai dirintis perjuangan kemerdekaan Indonesia melalui
pergerakan kebangsaan Indonesia. Peristiwa itu dikenal di dalam Sejarah Nasional
Indonesia sebagai HARI KEBANGKITAN NASIONAL INDONESIA.
Kemudian Generasi Sumpah Pemuda Indonesia lebih banyak lagi belajar dari
Sejarah Indonesia. Mereka makin sada, bahwa senjata “devide et impera” kaum penjajah
bangsa asing, hanya dapat dikalahkan serta dapat dilumpuhkan dengan persatuan dan
kesatuan nasional Indonesia yang kokoh dan kuat. Jikalau pada masa Generasi Muda
Kebangkitan Nasional Indonesia kata dan pengertian INDONESIA, batas wilayahnya dan
bangsa yang menghuninya masih samar-samar, bahkan kabur, maka Sumpah Pemuda
tanggal 28 Oktober 1928 telah menegaskan, bahwa :
1. Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, Tanah
Indonesia.
2. Kami Putera dan Puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
3. Kami Putera dan Puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
indonesia.
241
Maka makin jelaslah bahwa kita mempunyai satu tumpah darah, yakni yang
wilayahnya membentang dari Sabangdi sebelah barat sampai Merauke di sebelah
timurdan dari pulau Minahaasa di sebelah utara sampai ke pulau Rotadi di sebelah
selatan. Jelas adat istiadat dan kebudayaan, namun ditegaskan pula bahwa kita dalam
semboyan : ”BHINNEKA TUNGGAL IKA”.
VII
Demikian pula bahwa kita bangsa indonesia menjunjung tinggi satu bahasa
nasional, yaitu bahasa Indonesia yang dulu masih disebut bahasa Melayu. Dengam
senjata TRISULA itulah, SATU NUSA, SATU BANGSA, DAN SATU BAHASA kita bangsa
Indonesia siap melawan dan mengalahkan kaum penjajah dengan senjata devide et
impera.
Dengan lebih banyak lagi belajar dari sejarah, dilandasi oleh persatuan dan
kesatuan nasional Indonesia yang kokoh, kuat didukung oleh semangat nasionalisme,
patriotisme dan heroisme Indonesia serta tekad “Merdeka atau Mati” angkatan 45
akhirnya berhasil menegakkan’ membeladan mempertahankan proklamasi Kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945. dengan semangat persatuan dan kesatuan nasional
yangkokoh –kuat Angkatan 45 akhirnya dapat mengusir kaum penjajah bangsa asing dari
bumi tanah air Indonesiayang tercinta ini.
Ada pepatah atau peribahasa bahasa asing (Belanda) yang mengatakan :”EEN
EZELSTOOT ZICH NIET VOOR DE TWEEDE KEER OF DEZELFDE STEEN”. Artinya
: “Seekor keledai tak akan untuk kedua kalinya terantuk pada batu yang sama”.
Meksudnya bahwa seekor binatang yang paling bodoh sekalipun, seperti halnya seekor
keledai, tidak akan mengulangi perbuatan atau kesalahan yang telah membawa celaka
baginya. Demikian pula tentunya kita bangsa Indonesia : kita telah belajar dari sejarah
bahwa kita bangsa Indonesia dapat dijajah oleh bangsa Belanda yang tidak seberapa
jumlahnya dan amat kecil tanah airnya jika dibandingkan dengan luas tanah air kita, tidak
mudah dipecah-pecah dan senang diadu-domba. Kita dapat dikalahkan dan ditaklukkan
oleh bangsa Belanda yang tidak seberapa jumlahnya karena kita tidak bersatu sebagai
bangsa Indonesia. Di bawah pimpinan pahlawan-pahlawan yang gagah berani seperti
Teuku Umar, dari Aceh, Imam Bonjol daro Sumatera Barat, Sulatan Hasanudin dari
242
Sulawesi Selatan, Pattimura dari Maluku, dan Pangeran Diponegoro dari Jawa kita belum
dapat mengusir kaum penjajah bangsa asing dari bumi tanah air Indonesia yang tercinta,
karena kita belum bersatu padu sebagaii bangsa Indonesia.
Demikian pula pada penjajahan Jepang. Di mana-mana di seluruh Indonesia
terjadi perlawanan rakyat Indonesia menentang kelaliman dan kekejaman tentara Jepang
yang serakah : di Sukamanah (Tasikmalaya, Jawa Barat) di bawah pimpinan Kyai Haji
Zainal Mustafa ; di Cot Plieng, Lhokseumawe (Aceh) di bawh pimpinan Teuku Abdul
Jalil ; di Kalimantan Barat di mana lebih dari 20.000 orang (dua puluh ribu) orang yang
dibantai secara kejam oleh tentara Jepang ; di desa Unra’ , kecamatan Awangpone
(Sulawesi Selatan) di bawah pimpinan Haji Temmale dan di Blitar (Jawa Timur) terjadi
pemberontakan tentara PETA di bawah pimpinan Supriyadi, Kuradi dan kawan-
kawannya. Sayang sekali perlawanan-perlawanan rakyat melawan tentara Jepang yang
lalim dan kejam di seluruh Indonesia itu belum dilandasi cita-cita dan tujuan
kemerdekaan nasional bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Perlawanan-perlawanan rakyat di seluruh Indonesia itu tidak dilancarkan secara Nasional,
serentak dan serempak pada saat atau momentum yang tepat. Oleh karena itu, maka
perlawanan-perlawanan rakyat di seluruh Indonesia itu dapat dilokalisir, lalu dipatahkan
oleh tentara Jepang yang kejam.perlawnan rakyat melawan kaum penjajah bangsa asing
yang dilakukan secara Nasional, dilandai oleh cita-ciata dan tujuan kemerdekaan nasional
bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, yang dilakukan secara
serempak dan serentak serta pada saat atau momentum yang tepat barulah terjadi dengan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 melahirkan Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Jadi sejarah telah mengajarkan kepada kita bangsa Indonesia, bahw kita dapat
dijajah oleh bangsa asing yang tidak seberapa jumlahnya karena kita mudh dipecah-belah
dan sering diadu-domba. Di dalam penjajahan bangsa asing itulah kita mengalami
bencana yang hebat. Kita telah terjerumus kedalam lembah kemiskinan dan kehinaan
yang luar biasa. Sejarah juga telah mengajarkankepada kita bangsa Indonesia, bahwa kita
belum dapat mengalahkan dan mengusir kaum penjajah bangsa asing dari bumi tanah air
Indonesiayang tercinta karena kita belum bersatu padu secara nasional sebagai SATU
243
BANGSA, yang mempunyai SATU TANAH AIR, yakni BANGSA INDONESIA YANG
BERTANAH AIR INDONESIA.
Jadi jikalau sekarang kita bangsa Indonesia, masih juga mau berpecah- belah dan
masih juga senang diadu-domba, maka kita lebih bodah daripada seekor keledai yang
tidak mau terantuk untuk kedua kalinya pada batu yang sama. Jadi kita jangan mau lagi
mengulangi kesalahan-kesalahan pada masa lalu yang telah membawa bencana dan mala
petaka bagi kita. Oleh karena itu maka kita harus tetap memelihara dan melestarikan
persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. Kita harus selalu mengumandangkan lagu
SATU NUSA SATU BANGSA, dan SATU BAHASA di dalam dada kita. Semboyan :
“BERSATU KITA TEGUH, BERCERAI KITA RUNTUH” masih tetap relevan dan tetap
harus disegarkan di dalam lubuk hati Generasi penerus bangsa Indonesia di dalam
perjuangannya mengisi kemerdekaan yang telah direbut, dibela dan dipertahankan
dengan pengorbanan yang tak ternilai harganya berupa harta benda, darah dan air mata,
derita rakyat serta nyawa beribu-ribu pahlawan kita. Semangat persatuan dan kesatuan
nesional Indonesia masih harus tetap bergelora di dada Generasi Penerus Bangsa
Indonesia untuk berjuang mewujudkan cita perjuangan bangsa Indonesia yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Akhirnya, marilah kita berdoa, semoga kita bangsa Indonesia selalu mendapat
perlindungan dan rakhmat serta taufik dan hidayat Tuhan Yang Maha Esa. Amin ya
Rabbal ‘alamin !
BACAAN YANG DIPERGUNAKAN
1. Graaf, H.J. de : “Geschiedenis van Indonesia” N.V. Uitgeverij W.
Van Hoeve ‘s Gravenhage Bandung 1949
2. Sagimun M. D Pahlawan Diponegoro Berjuang, Gunung Agung,
Jakarta 1965.
244
3. Sagimun M.D, Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme
Jepang, Penerbit P.T. Inti Idayu Press, Jakarta 1985
4. Sagimun M.D, Peranan Pemuda Dari Sumpah Pemuda Sampai
Proklamasi, Bina Aksara, Jakarta, 1989.
5. Sutjipto Wirjosuparto, DR, R.M., Sedjarah Indonesia, Djilid II,
Indira, 1961.
_________________________________________________________
Makalah disusun dan disajikan oleh Sagimu MD dalam Seminar Sehari tentang
Perang Diponegoro , yang diselenggaraksn oleh Fakultas Sastra Universitas
Diponegoro Semarang, pada 20 Februari 1990
245
5. MEWARISI SENMANGAT JUANG PANGERAN DIPONEGORO
1. PENDAHULUAN
Penggunaan Diponegoro untuk nama Komando Daerah Militer (KODAM) IV
Jawa Tengah nampaknya mempunyai latar belakang serta konsekuensi yang positif. Di
satu sisi kawasan kerja KODAM IV memang meliputi kawasan Jawa Tengah yang juga
merupakan bagian terbesar dari kawasan atau teritori peperangan yang terjadi sejak 1825
hingga 1830, yang lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro. Perang tersebut dalam
literatur Barat juga dikenal dengan nama “Perang Jawa”, karena memang meletus dan
berkobar di kawasan Jawa. Bagi bangsa Indonesia perang tersebut merupakan bukti
luapan semangat perjuangan anti penjajahan, yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro
dan didukung oleh seluruh penduduk tanah Jawa yang memiliki semangat juang yang
sama dengan pemimpin penuntun mereka, Pangeran Diponegoro. Selanjutnya perang
tersebut juga mendapat dukungan serta simpati seluruh bangsa Indonesia, mesti tidak
kebetulan sezaman dengan peristiwa perang tersebut. Komando Daerah Militer
(KODAM) IV Jawa Tengah termasuk ke dalam mereka yang meski tidak sezaman
dengan peristiwa patriotik dan heroik itu, namun amat menghargai dan mengagumi kisah
perjuangan tersebut. Dengan demikian sudah sewajarnya kalau kemudian KODAM IV
mengabadikan nama Diponegoro menjadi nama kebanggaan, sehingga bernama KODAM
IV / Diponegoro.
Sebagai konsekuensi itu semua, di samping untuk mengabadikan nama Pangeran
Diponegoro menjadi KODAM IV secara resmi, seluruh jajaran KODAM IV /Diponegoro
tersebut dibebani tanggung jawab moril untuk selalu mempertahankan dan bahkan
mengobarkan semangat juang Perang Diponegoro tersebut dalam pengabdiannya sebagai
pengawal Pancasila. Untuk itu dipandang perlu seluruh penduduk Jawa Tengah, terutama
seluruh KODAM IV / Diponegoro, memahami lebih baik seluruh alur perjuangan
Pangeran Diponegoro. Dan pemahaman seperti itu hanya akan diperoleh seandainya kita
dapat mengikuti jalan cerita perjuangan itu sendiri, serta pembahasannya.
Sajian mengenai perang Diponegoro kali ini tidak hanya menekankan pada sifatnya
yang deskriptif naratif, yang hanya menekankan pada uraian faktual, melainkan lebih
246
mengutamakan pada sifatnya yang deskriptif analitis. Lebih dari itu uraian kali ini juga
mencoba menggunakan pendekatan dari segi militer, agar lebih mendekati pada relevansi
dengan maksud penerbitan buku ini di samping mendasarkan pada buku “Rumpun
Diponegoro dan Pengabdiannya” terbitan Dinas Sejarah Militer Kodam VII/ Diponegoro,
yang bekerjasama dengan C.V. Borobudur Megah Semarang (1977), juga mengacu pada
“Perang Diponegoro “, skripsi yang disusun oleh Abu Su’ud dalam meraih gelar Sarjana
Pendidikan Jurusan Sejarah IKIP Bandung (1964), yang meninjau perang kemerdekaan
itu dari segi militer.
Bagian kedua karangan ini berisi uraian singkat mengenai asal-usul Pangeran
Diponegoro dan rangkuman perkembangan peperangan, sejak awal peperangan hingga
babakan terakhir peperangan, termasuk masa pasca peperangan. Selanjutnya bagian
ketiga berisi uraian jalannya peperangan beserta pembahasannya.
2. Rangkuman Perang Diponegoro
a.Asal-Usul Pangeran Diponegoro
Diponegoro dilahirkan pada hari Jum’at Wage 8 Muharram Tahun Be 1712,
WukuWayang, yang kalau diperhitungkan dengan penanggalan Masehi bertepatan
dengan tanggal 11 Nopember 1785. Menurut silsilah, Pangeran Diponegoro adalah putera
Sultan Hamengku Buwono III, yang mendapat julukan dengan nama Sultan Raja. Ini
berarti Diponegoro merupakan cucu Sultan Sepuh alias Sultan Hamengku Buwono I,
pendiri dan cikal bakal Kerajaan Yogyakarta Hadiningrat. Dari silsilah dapat diketahui,
bahwa beliau merupakan saudara tua Sultan Jarot alias Sultan Hamengku Buwono IV,
dan sekaligus merupakan juga paman Sultan Menol alias Sultan Hamengku Buwono V.
dari garis ibu mengalir pada diri Diponegoro darah Madura, yaitu Raden Ajeng
Mangkorowati, yang berasal dari Pacitan. Kakek Diponegoro dari garis keturunan ibunya
itu seorang Bupati, yang konon mempunyai darah Madura.
Menurut tradisi Jawa sudah jelas bahwa Pangeran Diponegoro merupakan
keturunan para penguasa di Jawa, yang tentu saja amat dihormati oleh rakyat sebagai
keturunan raja-raja Jawa. Ketinggian martabatnya di mata rakyat tidak hanya karena
247
beliau mempunyai darah bangsawan, maupun juga karena sifat dan perangai beliau yang
terpuji dan selalu berpihak pada kepentingan rakyat. Oleh karena itu tidaklah
mengherankan kalau simpati rakyat selalu berada di pihak Pangeran, ketika peperangan
yang lebih dikenal sebagai Perang Diponegoro itu berkobar. Hampir seluruh rakyat yang
tertindas di Jawa tengah, para ulama serta pejuang pembela keadilan dengan tidak ragu-
ragu berbaris di belakang beliau dalam mengobarkan peperangan melawan penjajahan
Belanda yang angkara murka.
Konon pada suatu ketika, waktu Sultan Hamengku Buwono I duduk di dalam
serambi keraton, segera menitahkan bayi yang baru dilahirkan dari garba Raden Ajeng
Mangkorowati untuk dibawa menghadap. Setelah memperhatikan sejenak jabang bayi
tersebut, bersabdalah beliau kepada permaisuri sebagai berikut : “Adinda, ketahuilah,
bahwa adalah kehendak Yang Maha Kuasa bahwa cicit kita ini telah ditentukan kelak
akan memusnahkan orang-orang Belanda. Adapun bagaimana akhir perjuangannya hanya
Tuhan jualah yang mengatahui. Anak ini akan melebihi saya. Oleh karena itu, adinda
harus memelihara dengan baik-baik bayi ini.”.
Nantinya sejarah membuktikan bahwa kehendak baginda Hamengku Buwono I
tersebut menjadi kenyataan, karena bayi yang dimaksud tersebut kelak dikenal dengan
sebutan pangeran Diponegoro. Waktu masih kecil Diponegoro dipanggil dengan nama
Ontowiryo, dan telah mendapat kelengkapan pendidikan agama Islam. Selama masa
kanak-kanaknya Diponegoro mendapatkan pendidikan dari nenenda Ratu Ageng di
kediaman beliau di Tegalrejo dengan pendidikan kesalehan beragama, karena nenenda
tersebut dikenal sebagai Ratu yang saleh dan taat menjalankan agama. Di tangan
beliaulah Pangeran Diponegoro mendapat dasar pendidikan agama maupun kebatinan.
Pengeran Diponegoro memang seorang keturunan bangsawan tinggi, namun beliau
dikenal sebagai seorang yang sederhana, rendah hati, hidupnya. Sampai –sampai seorang
tokoh lawan politiknya, Cakranegara, mengakui keadaan tersebut dan beranggapan
bahwa Diponegoro merupakan lambang atau suri tauladan bagi hidup orang-orang saleh
dan sederhana. Sebagai keturunan bangsawan, Pangeran Diponegoro sebetulnya dapat
hidup mewah dan penuh keduniawian, namun dalam kenyataannya beliau lebih memilih
hidup penuh kesederhanaan dan keprihatinan.
248
Kesederhanaan dan keprihatinan hidup yang dipilih oleh Pangeran Diponegoro tadi
terlihat nyata dalam sikapnya yang tegas terhadap tawaran ayahanda beliau, Sultan
Hamengku Buwono III, untuk menggantikan menjadi Sultan, manakala masanya telah
tiba. Di dalam serat Cakranegara disebutkan, bahwa Pangeran Diponegoro dengan tegas
menolak tawaran akan jabatan terhormat itu, dan sebaliknya merelakan jabatan Sultan
tersebut kepada adik beliau. Sementara Diponegoro akan selalu menunjukkan tanggung
jawabnya sebagai Pangeran dengan tekad untuk selalu memberikan nasihat serta bantuan
kepada kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Hamengku Buwono IV, yang juga dikenal
dengan sebutan Sultan Jarot. Namun ternyata kemudian, bahwa segala nasihat beliau
yang menunjukkan keprihatinan beliau mengenai hubungan kesultanan dengan penjajah
Belanda sering tidak mendapat tanggapan dari pihak kesultanan. Pola hidup, cara hidup,
dan bahkan kedaulatan Sultan berada di bawah maupun kedaulatan Belanda sebagai
penjajah. Semua itu membuat tekad Pangeran Diponegoro makin bulat untuk menentang
dan mengusir penjajah Belanda dari bumi Jawa, yang secara nyata berujud meletusnya
Perang Diponegoro atau Perang Jawa.
b. Rangkuman Jalan Peperangan
1) Kasus pematokan tanah-tanah milik Diponegoro di kawasan
Tegalrejo, lebih-lebih yang mengenai tanah makam leluhur beliau, dianggap
sebagai awal penyebab meletusnya peperangan (casus belli) yang berlangsung
selama lima tahun (1825-1830). Pematokan itu dilakukan atas tanah yang akan
dibebaskan guna pembuatan jalan baru, merupakan kebijaksanaan Residen
Yogyakarta A.H. Smissaert. Dalam pelaksanaannya kebijaksanaan itu dilakukan
oleh Patih Danurejo IV, yang amat memihak kepentingan pemerintah kolonial
Belanda, pada 20 Juli 1825.
2) Peperangan itu berkobar untuk pertama kalinya di Tegalrejo,
dengan diawali oleh letusan salvo senapan kaum penjajah, yang ditujukan ke
rumah kediaman Diponegoro di Tegalrejo, yang sejak lama menjadi tempat
tinggal yang nyaman dari gangguan dan campur tangan Belanda. Selanjutnya
passukan Pangeran Diponegoro yang dipimpin langsung oleh Pangeran beserta
249
para pahlawan dan ulama pendukungnya dipusatkan di Gua Selarong. Gua itu
sendiri selama ini merupakan tempat Pangeran Diponegoro melakukan tafakur,
dan selanjutnya telah diubah menjadi pusat komando pertempuran pihak
penentang keangkaramurkaan penjajahan Belanda. Dalam persenjataan dan
ketrampilan peperangan pihak Belanda unggul, lebih-lebih karena Belanda telah
mendapatkan pengalaman serta ilmu peperangan yang diperoleh di Eropah,
yang merupakan ajang peperangan antar bangsa. Namun sementara itu Pangeran
Diponegoro dan pasukan Pangeran Diponegoro mendapat keuntungan dari
pendukung yang boleh dikata tak terbatas maupun alam yang sangat berpihak
kepada mereka, baik untuk kepentingan logistik maupun strategi peperangan.
3) Segera setelah peperangan meletus, maka secara hampir serentak
seluruh kawasan di Jawa Tengah, dan bahkan sebagian Jawa Timur, berubah
menjadi ajang peperangan. Perang yang menjadi bersifat “Unlimited War” itu
telah membakar kawasan-kawasan Kedu, Bagelan, Banyumas, Surakarta,
Yogyakarta, Semarang dan Pekalongan. Bahkan peperanganpun telah
membakar daerah Blora. Dalam banyak medan pertempuran pasukan
Diponegoro sering memperoleh kemenangan taktis, namun sayang sekali
hampir tidak pernah memperoleh kemenangan strategis. Hal itu terutama sekali
karena pasukan Diponegoro selalu berada dalam posisi bertahan. Dan lagi
sasaran akhir peperangan itu berbeda bagi pihak Belanda dan pihak Diponegoro.
Tidaklah seimbang kalau diingat, bahwa sasaran akhir pihak Belanda
“hanyalah” menaklukkan Pangeran Diponegoro sebagai pemimpin seluruh
pasukan, sementara sasaran akhir pasukan Diponegoro tidaklah sekedar
menaklukkan Letnan Jenderal de Kock, melainkan mengusir Belanda dari bumi
pertiwi.
4) Secara strategis sebetulnya Pangeran Diponegoro mempunyai
keunggulan, sebab dalam mengawali pertempuran Diponegoro telah
mengembangkan konsep kesatuan komando dengan dipusatkannya segala
bentuk kekuasaan, militer, sipil, maupun spiritual, di tangan Diponegoro. Yang
dimaksud adalah gelaran panjang yang dikaitkan dengan kepemimpinan
Diponegoro, yaitu Sultan Abdulhamid Herucokro Amurul Mukminin Sayidin
250
Panotogomo Kalipatullah Tanah Jawi. Penobatan itu dilakukan dalam suasana
peperangan dengan upacara adat dan keagamaan, yang menurut Prof.
Muhammad Yamin dapat dibandingkan dengan peristiwa penobatan raja
Erlangga di dalam hutan selama beliau mengambara, atau peristiwa penobatan
Raden Wijaya menjadi Raja Majapahit di hutan Tarik. Namun pengelolaan
selanjutnya segala keunggulan itu tidak dapat mengembangkannya menjadi
kemenangan akhir. Sebaliknya secara perlahan-lahan tetapi pasti kobaran
semangat peperangan makin mengecil, dan sampai akhirnya padam.
5) Diawali dengan dikembangkannya sistem “Perang Benteng” oleh
Beland a dalam upaya mendapatkan kemenangan strategis atas Diponegoro,
yang kemudian disusul dengan rangkaian perdamaian dengan para petinggi
pasukan Diponegoro, maka tercapailah tujuan itu, yaitu pangeran dipaksa untuk
duduk di meja perundingan yang sangat nista itu. Peristiwa-peristiwa tersebut
ini menunjukkan betapa tragisnya akhir peperangan Diponegoro itu.
Tanggal 28 September 1829 Pangeran Mangkubumi yang merupakansimbol
dukungan kaum bangsawan, namun telah rapuh dimakan usia, meletakkan
senjata. Disusul kemudian dengan berhasil ditangkapnya ibunda Pangeran
Diponegoro beserta puteri beliau Den Ayu Mertonegoro, pada tanggal 14
Okktober tahun itu juga.
Kemudian, setelah diawali dengan masa perundingan pada 17 Oktober 1829,
sang pendekar yang masih belia namun amat mengagumkan itu, yaitu Sentot
Prawirodirjo menyatakan menyerah pada tanggal 24 Oktober 1829. Lalu tibalah
saat yang mengenaskan itu. Pangeran Diponegoro mulai termakan oleh tipu
muslihat Belanda, karena pada 8 Maret 1830, jam 12.00 Pangeran Diponegoro
mulai meninggalkan hutan, menuju meja perundingan di Magelang. Tindakan
itu sebagai tindak lanjut hasil perundingan di Soka pada 16 Maret 1830, antara
Cleerens dengan pangeran Diponegoro. Sejarah kemudian mencatat, bahwa
pada tanggal 28 Maret 1830 tiba di Magelang, untuk bertemu dengan de Kock,
setelah beliau menunda maksud pertemuan itu selama bulan Ramadhan penuh.
Lalu terjadilah penghianatan itu, yaitu ketika sang Jenderal secara culas
menangkap pangeran Diponegoro untuk dijadikan tawanan perang, setelah lebih
251
dahulu melucuti para pengawal beliau, termasuk ketiga putera beliau, Dipo
Anom, Dipo Atmojo dan Raden Mas Jemet.
Selanjutnya pada 28 Maret 1830, jam 11.00 Pangeran Diponegoro dibawa ke
Semarang dengan kereta, dengan dikawal 1 detasemen kawal. Dan pada tanggal
5 April 1830, beliau diangkut ke Batavia untuk dihadapkan di depan meja hijau
kaum kolonial. Vonis itu keluar pad 30 April, yang menentukan hukuman buang
ke Menado. Maka pada 12 Juni 1830, tepat jam 11.00 tawanan itu dimasukkan
ke dalam benteng Amsterdam di Menado sebagai orang buangan. Pada 1834
beliau dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makasar, sampai saat wafat beliau
pada tanggal 8 Januari 1855.
6). Konon untuk menyelenggarakan perang Jawa itu pemerintah jajahan Belanda
telah mengeluarkan dana tidak kurang dari 25 juta gulden. Sedangkan kurban
dipihak Belanda mencapai 15.000 tentara, yang mencakup 8.000 orang bangsa
Eropah, dan 7.000 orang bangsa pribumi.
3. Perang Diponegoro ditinjau dari Aspek Militer
a. Perang Diponegoro Sebagai Perang Kemerdekaan
Setiap mendengar perkataan perang terbayanglah di depan mata kita suatu
pertarungan jiwa, raga maupun harta, yang terjadi antara dua atau lebih pihak, di mana
masing-masing pihak berusaha mengalahkan lawannya dengan kekuatan senjata ataupun
tipu muslihat. Gambaran itu sesuai benar dengan pendapat seseorang yang selalu disebut-
sebut setiap kali orang membicarakan perang, yaitu karl von Clausewitz. Di dalam
bukunya yang berjudul “Tentang Perang” dijelaskannya, bahwa baginya “perang
merupakan suatu pergaulatan secara besar-besaran, dimana masing-masing pihak
memaksa pihak lawannya dengan kekuatan jasmaninya, untuk supaya tunduk kepadanya”
(1954: 1). Sejarah kemudian membuktikan, bahwa antara tahun 1825 hingga 1830, di
kawasan tanah Jawa telah terdapat dua fihak yang saling bertentangan. Di satu pihak
berdiri Pangeran Diponegoro, yang mendapat dukungan penuh dari seantrro penduduk
tanah Jawa, di lain pihak berdiri dengan angkuhnya kekuasan penjajah Belanda, yang
252
bekerja sama dengan sekutu mereka yang terdiri dari kekuasan tradisional pribumi,
seperti Kesultanan Yogyakarta, Kesunanan Surakarta, maupun Kadipaten
Mangkunegaran. Kekuasaan sekutu tersebut berada di bawah Komando Letnan Jenderal
Marcus de Kock. Masing-masing fihak sedang memaksakan kehendak kepada fihak
lainnya, dengan menggunakan kekuatan senjata maupun tipu muslihat. Betul-betul
sebuah peperangan sedang berkobar di antara keduan belah fihak. Menurut Clausewitz
(1954: 27), “perang tidak lain merupakan lanjutan politik dengan cara lain.” Jadi perang
merupakan suatu tindakan politik, melainkan juga sesungguhnya suatu alat politik, suatu
lanjutan pergaulan politik, yang melanjutkannya dengan cara-cara lain.
Perkembangan politik di tanah Jawa, khususnya di darah Mataram disekitar tahun
20 an , terasa mencekam, menekan fihak rakyat, dan sebaliknya amat menguntungkan
fihak Belanda. Karena yang merasakan ketidakpusan adalah rakyat yang terjajah, maka
perang yang kemudian meletus antara fihak yang terjajah melawan fihak penjajah,
disebut perang kemerdekaan. Penamaan ini sekaligus merupakan reaksi atas pendapat
Jean Gottmann, yang menyebut perang-perang seperti perang yang terjadi di Vietnam,
ketika rakyat berjuang melawan penjajah Perancis, sebagai “perang kolonial” (Edward
Mead Earle, 1962:201-221). Dalam pada itu Profesor Q. Wright beranggapan, ketika
melakukan pembagian peperangan ke dalam kurun-kurun waktu 1789-1914 lebih tepat
kalau disebut “Perang Kapitalisasi” (Edward Mead Earle, 1962:201-221). Meskipun
perang Diponegoro atau yang juga dikenal sebagai perng Jawa dapat dimasukkan ke
dalam kategori Gottmann maupun Wright, namun lebih tepat disebut sebagai “Perang
Kemerdekaan”, karena lebih memenuhi hakekat makna perjuangan bangsa Indonesia.
b. Unlimited War
Kalau kita bentangkan peta pulau Jawa, dan kita percikkan tinta merah di atasnya,
maka seolah-olah pada saat yang bersamaan bermunculanlah dengan merata bintik-bintik
merah di atas PETA. Gambaran itu seperti bermunculannya cetusan-cetusan api
peperangan di banyak tempat yang meluas di tanah Jawa. Dan bintik-bintik itu makin
merata dan makin meluas. Demikianlah kira-kira keadaan di tanah Jawa pada saat
berkobarnya Perang Diponegoro.
253
Jika tidak kerana terpaksa, dalam setiap peperangan reguler setiap pemimpin militer
akan sedapat mungkin menghindari suatu peperangan yang tidak terbatas atau unlimited
war. Dalam keadaan yang demikian itu, sekaligus seluruh kekuatan pasukan akan
dihadapkan dalam adu tenaga dalam sejumlah front (medan perang). Namun demikian
Pangeran Diponegoro mempunyai pandangan lain tentang hal tersebut. Tentunya hal itu
terjadi karena Diponegoro mempunyai keinsafan betapa sebagai pasukan yang tidak
reguler pasukannya mempunyai kondisi lain, yang tidak dimiliki oleh pasukan reguler.
Sebagai pasukan yang tidak reguler, pasukan Diponegoro jarang sekali mengadakan
perang terbuka, di mana kedua pasukan berhadpan tanpa mempunyai perlindungan .
Selama masa Selarong dan masa Dekso, Diponegoro berusaha menghindari pertemuan
secara terbuka, meskipun perang yang terjadi itu jenis perang posisi, yaitu perang untuk
memperebutkan posisi strategis. Barangkali hal itu dilakukan oleh Diponegoro karena
mereka menyadari akan mobilitas atau kelincahan pasukan untuk bergerak dalam perang
gerilya, sedangkan posisi bukan merupakan faktor yang mutlak menentukan kemenangan
akhir.
Selarong bukanlah merupakan sebuah kota seperti digambarkan oleh Muhammad
Yamin dalam bukunya “Sejarah Perang Diponegoro”, melainkan hanya sebuah desa
dengan beberapa perumahan penduduk yang tidak banyak jumlahnya. Selebihnya adalah
bukit-bukit kapur dengan hutan bambu dan tanaman jambu liar dan pepohonan kelapa.
Karena tempatnya berbukit-bukit dan bergua-gua, maka tempat itu sangat baik untuk
tempat pangkalan bagi pasukan Diponegoro. Namun tempat yang sangat baik itu terpaksa
pada bulan Oktober 1825 harus dilepaskan kepada fihak Belanda, yang telah melakukan
serangan dengan pasukan gabungan di bawah van Geen. Demikian pula yang terjadi
dengan pangkalan Dekso, yang terpaksa diserahkan kepada Belanda, pada awal Juli 1826.
Pasukan Diponegoro sekali lagi menghindari perang terbuka, namun sebaliknya mencari
kesempatan yang baik guna mengadakan serangan mendadak sebagai pembalasan. Taktik
penyerangan mendadak itulah yang menyebabkan pasukan Diponegoro hanya,
meskipun sngat lemah dalam persenjataan, masih dapat melakukan serangan yang
terbatas atau limited war tadi, dan telah berhasil mengulur waktu peperangan sampai lima
tahun lamanya.
254
Kalau kita menyaksikan dalam peta yang menggambarkan jalannya peperangan
pada waktu itu, nyatalah bahwa pada saat yang bersamaan, berkobarlah pertempuran-
pertempuran di banyak daerah secara merata. Di daerah Probolinggo, tidak jauh dari
Magelang, rakyat mulai mengobarkan peperangan pada tanggal 26 Juli 1825. Dan masih
dalam tahun itu juga, berkobarlah peperangan di daerah lain. Pada Agustus 1825 pasukan
rakyat mulai mengganggu garis pertahanan Belanda dari Pekalongan hingga Semarang.
Sedangkan di wilayah Monconegaran seperti Pacitan, terjadi pupa pemberontakan rakyat
pada tanggal 10 Oktober. Dan di luar Ngawi bahkan sampai dua kali terjadi peristiwa
yang serupa, yaitu pada tanggal 23 September dan 13 Nopember.
Pada tahun 1826 lebih anyak lagi bentrokan bersenjata terjadi . misalnya di sekitar
kota tua Plered, bahkan terjadi dua kali pertempuran yang dahsyat, yang merupakan
parang posisi untuk memperebutkan benteng lama, pada 16 April dan 9 Juni. Sedangkan
di kaki pegunungan Menoreh terjadi pula pertempuran hebat pada 8 Juli. Dan pada 9
Agustus, 28 Agustus serta 15 Oktober, secara berurutan terjadi pertempuran-pertempuran
di Kejiwan, Delanggu, dan di Gawok, yang semuanya terletak di kawasan Surakarta. Dan
tahun 1827 di dipadati dengan pertempuran-pertempuran di Rajegwesi, 28 Nopember,
yang merupakan awal pertempuran di Rembang. Selanjutnya menyusullah pertempuran-
pertempuran di Tuban dan Surabaya. Itu semuanya merupakan beberapa contoh bertapa
benarnya anggapan mengenai kesanggupan Diponegoro mengobarkan unlimited war
tersebut.
c. Perang Strategi
Kalau diperhatikan tempat-tempat terjadinya peperangan atau pertempuran dalam
peta, akan terbukti bahwa tempat-tempat tersebut mempunyai arti strategis yang ideal,
dan nampaknya sudah diperhitungkan benar-benar sebelumnya. Gambarannya adalah
seperti suatu proses pengepungan terhadap kota-kota yang dianggap sangat strategis buat
Belanda atau setidak-tidaknya mempunyai maksud untuk memotong garis pertahanan
musuh, dengan jalan memotong atau memencilkan dua atau lebih daerah atau pusat
pertahanan Belanda. Dikuasai daerah Selarong oleh pasukan Diponegoro, misalnya,
sangat menguntungkan fihak Diponegoro, Karena Selarong merupakan tempat yang
255
sangat tepat sebagai pangkalan batu loncatan untuk mengpung Yogyakarta. Mengingat
besarnya arti strategis Selarong itu, maka ketika de Kock berhasil memasuki Yogyakarta
pada 25 September 1825, tindakan operasional yang segera dilakukan olehnya adalah
merupakan Selarong, di bawah pimpinan mayor Sollewijn dan Letkol Achenbach, dan
dibantu oleh pasukan-pasukan bumi putera di bawah penembahan Sumenep, Pangeran
Purboyo, Pangeran Aryo Mataram serta pasukan Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran
Suryaningrat. Selanjutnya dalam usaha mengepung kota Magelang, pasukan Diponegoro
memulai serangan lewat Probolinggo dengan kekuatan 3000 orang pada 26 Juli 1826,
dengan menyeberangi sungai Elo. Kemudian disusul dengan terjadinya pertempuran-
pertempuran di Kalajengking. Sebagai akibatnya Belanda melakukan penarikan pasukan-
pasukan di sekitar Magelang, seperti Parakan, Parapag, Pucang, Sadegan Sodongan
Borobudur dan Kalajengking. Selain itu untuk mengganggu daerah-daerah Belanda di
Pekalongan, Semarang, maupun Magelang pihak Diponegoro telah menaruh pangkalan di
daerah Ledok, yang terletak di perbukitan di hulu sungai Serayu. Tempat itu sangat
strategis untuk mengadakan gangguan terhadap ketiga daerah yang dikuasai Belanda tadi.
Sementara itu daerah Semarang mendapat ancaman dari kantong-kantong konsentrasi
pasukan Diponegoro di daerah-daerah Rembang, Kudus, Demak, maupun Grobogan.
Sedangkan Surabaya nampaknya terancam dengan kegiatan militer pasukan Diponegoro
di Rajegwesi, Ngawi, maupun Pacitan, yang sekaligus mengancam kedua daerah
Monconegaran. Plered yang merupakan daerah sangat strategis menjadi ajang
pertempuran antara pasukan Belanda dengan Diponegoro yang selalu ingin
memperebutkannya secara militer maupun politik Plered tak ayal lagi memang
merupakan daerah-daerah strategis. Untuk itu kedua fihak mengerahkan tenaga tempur
mereka habis-habisan. Dalam pertempuran-pertempuran kedua belah fihak Diponegoro
banyak mencatat kemenangan taktis namun akhirnya oleh keunggulan teknologi perang
mereka Belanda dapat merebut daerah-daerah strategis tersebut. Lebih-lebih setelah
Belanda melancarkan kombinasi strategis serangan, yaitu: “Perang Benteng”. dan “Masa
Perundingan”.
Maka fihak Diponegoro makin terjepit dan digiring ke dalam jaring penghianat oleh
Belanda yang dengan sangat culas menghianati perjanjian dengan menangkap pemimpin
dan jiwa peperangan itu, yaitu Pangeran Diponegoro. Di satu fihak perang telah berakhir
256
dengan kegagalan Karena tidak berhasil mencapai tujuan politik yaitu mengusir Belanda
dari bumi Indonesia. Sementara itu di lain fihak perang telah berakhir dengan baik, yaitu
memadamkan “Pemberontakan” yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro meski dengan
jalan yang tidak terhormat, yaitu menangkap lawan perundingan yaitu Pangeran
Diponegoro.
4. Penutup dan Penilaian
Perang telah berakhir pada tanggal 28 Maret 1830 yaitu dengan ditangkapnya
Pangeran Diponegoro oleh musuh atau lawan perangnya, yaitu Belanda. Penangkapan itu
menjadi termasyhur, karena terjadi pada saat gencatan senjata yang telah sama-sama
disetujui pada saat itu sedang terjadi perundingan puncak antara fihak Belanda, yang
diwakili oleh Letnan Jenderal Marcus de Kock sebagai panglima tertinggi tentara
pendudukan Belanda di Jawa, dengan Pangeran Diponegoro yang mewakili seluruh
kehendak rakyat di tanah Jawa yang sedang berjuang melawan keangkara murkaan
Belanda. Tempat terjadinya perundingan yang cemar di Magelang.
Menyedihkan sekali bahwa perjuangan bersenjata melawan pejajahan Belanda
tidak diteruskan, Karena nampaknya tidak adalagi pemimpin yang berani tampil
mengambil prakarsa untuk memimpinnya, sejarah telah membuktikan bahwa perang yang
telah dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro itu telah gagal. Gagal, namun tidak sia-sia
kata Bung Karno dalam salah satu sambutan pada Hari peringatan wafat Pangeran
Diponegoro. Gagal, karena tidak berhasil mengusir penjajahan Belanda pada abad 19.
Tidak sia-sia, karena semangat perjuangan Pangeran Diponegoro untuk mengusir
penjajahan Belanda dari tanah air, telah memberikan inspirasi kepada kita yang hidup
setelah beliau, untuk melanjutkan perjuangan beliau yang belum selesai (Sagimun M.D.,
1960: 439-441).
Untuk lebih menunjukkan perjuangan itu memang tidak sia-sia, maka akan sedikit
diadakan penilaian (evaluasi) terhadap perang yang telah berlangsung selama lima tahun
itu. Dengan demikian kita dapat lebih banyak belajar dari pengalaman masa silam, karena
pada hakekatnya mempelajari sejarah memang mencari pelajaran peristiwa dari masa
silam.
257
a. Kesiapan Perang
Kedua pihak sebenarnya dalam keadaan belum siap untuk berperang, namun keduanya
sama-sama mempunyai kondisi yang khas. Fihak Diponegoro sebenarnya sudah matang
untuk perang, akan tetapi tidak pernah berpikir untuk memulai mengambil prakarsa untuk
memulai perang. Oleh karena itu mereka tidak pernah memiliki persiapan-persiapan
untuk berperang, apalagi karena konstelasi politik pada waktu itu tidak memungkinkan
untuk mengadakan persiapan-persiapan tersebut. Akibatnya mereka tidak mempunyai
kekuatan tempur yang teratur ataupun kekuatan militer yang lebih rapih. Namun
demikian pada tingkat awal peperangan, Diponegoro mempunyai banyak sekali faktor
yang menguntungkan yang dapat mengobarkan semangat pertempuran.
Diponegoro mempunyai sumberdaya manusia yang siap siaga untuk
melaksanakan peperangan. Sementara itu alam dengan segala aspeknya, seperti gunung,
hutan, dan musim hujan sangat menguntungkan posisi mereka. Jangan pula dilupakan
simpati para bangsawan Mataram, para ahli peperangan maupun para pemuka masyarakat
yang terdiri dari para ulama dsb. merupakan modal amat berharga untuk pelaksanaan
peperangan jangka waktu panjang, yaitu perang gerilya. Ditambah lagi faktor kharisma
Pangeran sendiri, yang mampu menggerakkan roda peperangan hampir seluruh penduduk
tanah Jawa. Hanya karena faktor-faktor baru datang sajalah, peperangan itu kemudian
dimenangkan oleh fihak lawan.
Fihak Belanda sendiri, walaupun jauh sebelum pecah perang sudah mempunyai
dugaan akan timbulnya perang, namun mereka tidak mempunyai dugaan bahwa perang
itu akan datang begitu cepat. Atau barangkali mereka memang tidak menghendaki
peperangan, sebab pada saat hampir bersamaan, tentara mereka sedang diperlukan untuk
memadamkan “pemberontakan” yang terjadi di pulau-pulau lain, seperti di Minangkabau,
Banjarmasin maupun Bone. Sampai dengan bulan Agustus 1825 Jendral de Kock masih
menunjukkan keengganannya untuk berperang. Beberapa jalan telah dicoba untuk
menghentikan perang sebelum betul-betul berkobar membakar tanah Jawa, terutama
dengan jalan menghubungi Pangeran Diponegoro dengan surat. Dan manakala usaha-
usaha itu tidak berhasil, maka dengan sangat terburu-buru maka dicarinya balabantuan
258
tambahan untuk segera menghentikan peperangan itu. Terbukti kemudian, meski
balabantuan dari daratan Eropah segera datang, dan balabantuan dari para bangsawan
pribumi yang dapat dibujuk segera siap bertempur, pasukan Belanda itu hampir di setiap
medan pertempuran menderita kekalahan taktis.
Organisasi yang cukup baik dan modern dari sistem pertahanan Belanda ternyata
tidak dapat menghasilkan dayaguna yang tinggi, berhubung musuh yang dihadapi
memang tidak hanya tunggal. Selain harus menghadapi pesukan tentara Diponegoro,
mereka harus pula menghadapi alam yang tidak bersahabat, dan bahkan sebaliknya
sangat menguntungkan fihak Diponegoro yang mengembangkan taktik perang gerilya.
Ternyata dengan belajar dari pengalaman, fihak Belanda berhasil
mengembangkan strategi perang baru, yang dikenal dengan nama “Strategi Perang
Benteng”. Yang dikombinasikan dengan pendekatan diplomasi (perundingan).
Dan kemudian sejarah mencatat, meskipun strategi itu tidak membuat semangat dan
kualitas peperangan Diponegoro menurun, namun system peperangan Diponegoro
menjadi kurang efektif. Banyak para pemimpin perang Diponegoro yang gugur, atau
tertangkap, dan banyak pula yang mulai turun semangat karena bujukan Belanda,
kemudian meninggalkan medan peperangan karena menyerah. Maka seolah-olah
Pangeran Diponegoro hanya tampil sebagai “Single Fighter” dalam peperangan yang
maha luas kawasannya itu, sampai akhirnya motor peperangan itu berhasil digiring ke
meja perundingan yang dilumuri keculasan fihak Belanda. Pangeran Diponegoro berhasil
ditangkap oleh Belanda, dan padamlah seluruh kobaran api peperangan dahsyat yang
telah membakar tanah Jawa dari 1825 hingga 1830.
b. Sebab-sebab Kekalahan
Untuk sekedar agar kita dapat belajar dari pengalaman sejarah, maka
ada baiknya kalau kita dapat menduga-duga sejumlah faktor yang merupakan penyebab
kekalahan peperangan pada fihak pasukan Diponegoro sebagai berikut.
1) Sebab-sebab Subyektif
259
Termasuk kedalam kategori sebab subyektif ini adalah segala kondisi yang
terdapat dalam tubuh pasukan Diponegoro dan strategi yang dijalankan oleh Pangeran
Diponegoro. Dalam bidang taktik pada umumnya pasukan Diponegoro unggul.
Walaupun persenjataan sangat inferiur. Ini disebabkan Karena adanya persyaratan-
persyaratan tadi. Akan tetapi strategi perlawanan yang dipunyai oleh pangeran
Diponegoro kurang kompak dan kurang matang. Walau banyak contoh yang
menunjukkan bahwa pengepungan kota-kota yang penting banyak dilakukan oleh
Diponegoro, akan tetapi tindakan ikutannya tidak menunjukkan konsistensi. Hal tersebut
kelihatan jelas dalam kasus pengepungan Surakarta, terdapat keragu-raguan pada fihak
pucuk pimpinan. Jadi nampaknya pengepungan terhadap daerah-daerah penting bukan
merupakan ciri khas dari strategi mereka, malainkan nampaknya hanya merupakan cara
untuk mengulur waktu dengan maksud melelahkan lawan saja, dan selanjutnya pada saat
yang tepat akan mengajukan usul perundingan yangmenguntungkan fihaknya. Ternyata
strategi inipun tidak dilaksanakan secara konsekuaen, sebab ternyata dalam banyak kasus
menunjukkan bahwa pasukan Diponegoro diboroskan dalam perang-perang posisi,
seperti yang terjadi di Plered dan Gawok. Hingga dengan demikian kemenangan akhir
yang diharapkan tidak kunjung mereka peroleh.
Sedangkan sebab selanjutnya dari kekalahan dan kegagalan yang mereka peroleh,
adalah karena tidak adanya usaha yang mereka lakukan untuk mengadakan konsolidasi
terhadap kemenangan-kemenangan taktis yang telah dipeoleh pada mas lalu. Pada
umumnya mereka terlampau banyak dihnggapi penyakit mabuk kemenangan atau dikenal
sebagai “victory desease”, sehingga seringkali mereka menjadi lengah dalam menghadapi
tugas-tugas mendatang.
2) Sebab-sebab Obyektif
Sebab-sebab obyektif ini berasal dari fihak lawan. Faktor pertama yang harus
diakui ialah keunggulan Belanda dan sekutunya dalam bidang persenjataan. Selain itu
kita menganal juga faktor kemahiran fihak Belanda dalam memecah-belah atau mengdu-
260
domba di antara para bangsawan serta para pendukung Diponegoro. Agar bersedia
mengangkat senjata di fihak Belanda atau paling tidak berada di fihak Diponegoro.
Kelebihan lain yang dimiliki Belanda adalah kemampuan atau kemauan untuk berani
belajar dari pengalaman masa lampau, dan selanjutnya mengubah strategi peperangan,
manakala strategi lama tidak menguntungkan. Dengan demikian dicapailah kamajuan
dalam gerakan perang mereka.
Akhirnya sifat lugas mereka dalam perang sangat menolong mereka, sehingga
tidak mendapat pengaruh jelek dari permainan perasaan. Hal itu menyebabkan mereka
menyadari hakekad hukum besi yang selalu berlaku dalam peperangan. Barangsiapa tidak
mau membunuh fihak lawan, maka dia akan terbunuh dalam peperangan itu. Dengan
fikiran seperti itu, maka kasus penangkapan atas diri Pangeran Diponegoro, walaupun
sangat melanggar hukum perang, namun karena yang menjadi tujuan peperangan bagi
Belanda adalah menghentikan peperangan dengan jalan memotong jalur kepemimpinan
kharismatik mereka, yaitu Pangeran Diponegoro, maka ditangkaplah Pangeran
Diponegoro.
Akibat penangkapan itu sungguh menakjubkan. Bukan saja peperangan itu
kemudian dapat berhenti berkobar, melainkan juga untuk waktu yang cukup lama tidak
lagi terdapat perang kemerdekaan dalam bentuk yang sebenarnya. Sejak itu sampai
dipenghujung abad 19 tidak muncul lagi pemimpin atau pelopor yang mampu
melanjutkan usaha perjuangan Diponegoro yang gagal itu. Amatlah tragis
kedengarannya, namun bagaimanapun ini kenyataan sejarah.
Dengan perasaan penuh keprihatinan kita menyaksikan, bahwa perjuangan yang
telah dipelopori oleh Pangeran Diponegoro telah gagal dalam mencapai tujuan akhir
peperangan, yaitu mengusir penjajahan Belanda dari tanah air tercinta. Akan tetapi sekali
lagi kita menginsafi bahwa walaupun perjuangan telah gagal, namun tidak sia-sia.
Banyak pelajaran berharga telah diajarkan kepada kita lewat kegagalan itu. Dan pelajaran
itu betul-betul telah membuat kita berhasil dalam salah satu segi dari keseluruhan rangka
perjuangan kita. Hasil nyata itu adalah, bahwa kita telah dapat memproklmasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
261
_____________________________________________________________
Tulisan di atas merupakan bagian dari kontribusi penulis untuk mengisi buku yang
dikeluarkan oleh Kodam IV Diponegoro dalam rangka ulang tahun Kodam IV
Diponegoro tahun 1990
6. PANGERAN DAN PETANI SEBUAH ALIANSI KRATON-DESA DALAM
PERANG DIPONEGORO
Milanipun balanya dareg rapetung sagunging
wong desa tumur dadya brandhal sami
genging trisna mring Pangeran Diponegoro
(Oleh sebab itu tak terkira banyak
pengikutnya semua orang desa turut menjadi
pengacau karena cintanya kepada Pangeran
Diponegoro).
(Biografi Ko Ho Sing, h. 25, pupuh 40)
Mengapa disebut “Perang Jawa” ?
Adalah menarik bahwa hanya ada dua peristiwa perang kolonial yang diakui
Belanda sebagai perang besar, perang yang meliputi seluruh wilayah etnis tetentu, yaitu
“De Java-Oorlog” atau “Perang Jawa” yang lebih kita kenal sebagai “Perang
262
Diponegoro”, dan “De Atjeh-Oorlog” atau “Perang Aceh”.1 Kiranya, hal ini berangkat
dari suatu penilaian bahwa dari sekian banyak peperangan yang dilakukan Belanda untuk
menjajah Indonesia, hanya kedua peperangan itulah yang melibatkan sebagian besar
rakyat dari segala lapisan dan meliputi sebagian besar wilayah mereka. Selain faktor
keluasan lingkup spasial dan lingkup partisipasi dari pendukung peperangan, juga faktor
waktu, biaya dan pengorbanan sangatlah menonjol baik pada Perang Diponegoro maupun
Perang Aceh, dibandingkan dengan berbagai perang dan pemberontakan lain. Tidak
kurang dari 200.000 orang gugur dalam Perang Diponegoro ditambah hutang pemerintah
Belanda 32 juta gulden, sedang Perang Aceh menelan korban sedikitnya 59.500 orang
gugur disertai kerugian di pihak Belanda sebanyak 131 juta gulden.2
Khusus mengenai Perang Diponegoro, mengapa Belanda memberi sebutan “Perang
Jawa”, ada beberapa alasan dapat dikemukakan disini. Pertama, dilihat dari aspek spasial
perang ini yang bermula dari Yogyakarta meluas dengan cepatnya ke seluruh Jawa
Tengah dan separuh Jawa Timur. Dapat dikatakan seluruh daerah Kejawen dilanda
peperangan dan hampir semua orang Jawa bangkit mengangkat senjata atau terlibat
dalam perang. Kedua, Perang Diponegoro adalah perang terbesar dari suku bangsa Jawa
melawan kekuasaan kolonialisme Belanda. Sebagian besar rakyat Jawa, khususnya para
petani di pedesaan berjuang di pihak Pangeran Diponegoro dan baru dapat dipadamkan
setelah lima tahun. Perang ini merupakan perang terakhir dari kerajaan tradisional Jawa,
atau kekuasaan politik yang bercorak feodalistik dan primordial di Jawa untuk mencoba
menegakkan diri melawan kekuasaan kolonialisme Barat dan modern dan sekuler.
Satu masalah teramat penting dalam Perang Diponegoro adalah mengapa perang ini
memperoleh dukungan begitu besar dari daerah-daerah di Jawa (Tengah dan Timur)
padahal hampir semua bupati berpihak kepada Belanda? Mengapa rakyat petani
mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang hampir tak mereka kenal
sebelumnya? Bagaimanakah jalinan hubungan antara sang Pangeran sebagai golongan
bangsawan dengan para petani sebagai golongan wong cilik? Adakah perbedaan motivasi
antara bangsawan dan petani dalam mendukung perang ini? Makalah ini akan mencoba
membahas rangkaian permasalahan tersebut.
1*Makalah disajikan dalam Seminar Sehari Sejarah Pangeran Diponegoro yang diselenggarakan oleh Universitas Diponegoro Semarang, 20 Pebruari 1990.
263
Struktur Kerajaan Mataran pasa Abad XVIII-XIX
Seperti pada umumnya kerajaan-kerajaan tradisional yang sudah berkembang di
Nusantara, Mataram merupakan kerajaan bercorak feodalitistik yang berpusat pada raja.
Sebagai penguasa tunggal ia memerintah secara langsung inti kerajaan (negara-gung) dari
ibu kota kerajaan (Kuthanegara) melalui pejabat dalam sistem birokrasi yang hirarkis
sebagai pelaksana kekuasaannya. Kekuasaan di berbagai wilayah di luar wilayah inti
kerajaan (jabarangkah, mancanegara dan pesisiran) diserahkan kepada penguasa daerah
(bupati) yang memerintah atas nama raja. Kebanyakan dari meraka adalah penguasa
daerah setempat yang ditaklukan Mataram, kemudian melalui ikatan perkawinan dengan
keluarga raja diizinkan memerintah di daerahnya. Dapat pula kerabat raja atau pegawai
kerajaan ditempatkan di daerah taklukan atau luar inti kerajaan.3
Dengan adanya ikatan kekerabatan antara raja dengan para pejabat dan para
penguasa daerah terciptalah suatu jaringan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah
yang diharapkan dapat memperkokoh kekuasaan raja dan daerah yang diharapkan dapat
memperkokoh kekuasaan raja dan menjamin loyalitas para pejabat dan penguasa daerah
terhadap raja. Namun sistem ini mengandung kelemahan karena di satu pihak raja
Mataram yang berkuasa secara mutlak kurang didukung oleh lembaga birokrasi yang
kuat dan mampu mengadakan pengawasan efektifitas di daerah. Hal ini antara lain
disebabkan sulitnya komunikasi dan transportasi ke daerha-daerah. Di pihak lain adanya
sistem pengangkatan pejabat dan penguasan daerah yang bersifat pribadi serta lemahnya
kekuasaan golongan bangsawan menyebabkan seringnya terjadi perang perebutan tahta,
karena hanya sebagai rajalah kelanggengan kekuasaan di segala bidang dapat diperoleh.4
Disamping struktur kerajaan yang bersifat feodalistik dan hirakris, raja Mataram
bertumpu pada nilai-nilai magis dan religius yang hidup dalam pandangan hidup Jawa
tentang manunggaling kawula lan gusti, menyatunya hamba / rakyat dan raja. Pandangan
hidup yang berakar dari sinkretisme kebudayaan Hindu dan mistik Jawa ini
menggambarkan tercapainya keseimbangan dan kesejahteraan hidup melalui penyatuan
jiwa individual (atman, micro-cosmos) dengan jiwa alam semesta (brahman, macro-
cosmos), atau bersatunya manusia dengan Tuhan. Raja yang dilambangkan sebagai
titisan dewa adalah menyatu dengan rakyat, yang satu melindungi dan memancarkan
264
berkah, yang lain melaksanakan perintah-perintahnya dengan patuh, maka tercapailah
kesejahteraan dan stabilitas negara, atau tata tentrem kerta raharja.5 Nilai magis religius
ini menjadi salah satu jaminan tunduknya rakyat kepada raja dan tiadanya oposisi
melawan raja. Namun demikian rajapun dituntut menjadi raja yang adil dan bijaksana
dalam memerintah rakyat. Pengaruh islam yang datang kemudian tidak banyak merubah
pandangan magis religius ini, sedang konsep dewa-raja diubah menjadi raja sebagai
khalifatulah (wakil Tuhan di dunia) yang juga suci.6 Dalam kenyataan, patuh tidaknya
rakyat tergantung dari penilaian apakah raja bertindak adil dan bijaksana sesuai dengan
harapan mereka.
Hubungan Kratof dan Desa
Sistem ekonomi kerajaan Mataram, seperti masyarakat feodal pada umumnya,
masih bersifat agraris sehingga penguasaan tanah merupakan kekuatan ekonomis yang
utama. Secara formal raja menguasai seluruh tanah di kerajaannya, meskipun secara
faktual hanya tanah yang dibudidayakan atas perintah dan biaya raja merupakan tanah
miliknya pribadi (siti narawita dalem). Selanjutnya raja meminjamkan tanah kepada para
pejabat dan pegawai sebagai gaji (siti lungguh) selama mereka memangku jabatan atau
aktif bekerja.7 Khusus kepada anggota keluarga raja, sanak saudara, orang berjasa atau
mereka yang dikasihi raja diberikan tanah permenen (siti ganjaran). Akan halnya tanah
yang berad di luar wilayah inti kerajaan, raja menyerahkan kekuasaannya kepada bupati
kepala daerah. Mereka berkewajiban memungut pajak atas tanah-tanah tersebut (siti
majegan) dan menyerahkannya kepada raja pada waktu mereka resmi menghadap raja
dua kali setahun (seba).8
Para pejabat dan kerabat raja penguasa tanah kemudian mengontrakkan tanah-tanah
meraka kepada deman desa yang bersedia membayar pajak, baik berupa hasil bumi,
tenaga kerja atau uang. Pada gilirannya para demang desa ini mengontrakkan kembali
tanah-tanah ini kepada para bekel (sebagian besar adalah kepala desa). Para bekel inilah
yang menggarap tanah-tanah bersama-sama dengan beberapa petani lain (sikep) sebagai
anak buah mereka, dan sebagai pembayar pajak yang sebenarnya.9
Melalui sistem pengontrakan tanah-tanah pertanian dan sistem pemungutan pajak
inilah terjalin hubungan antara raja, para bangsawan dan pejabat (priyayi) atau secara
265
kolektif disebut golongan atas (bendara) dan rakyat petani (wong cilik). Dalam konsep
sosial politik dan sosial budaya dapat disebut sebagai hubungan antara lingkungan kraton
dan pedesaan.
Secara konkret petani menjalin hubungan dengan golongan atas ini melalui
pembayaran pajak atau bekerja-wajib di rumah pembesar atau yang menguasai lungguh
di desa. Pada masa perang petani direkrut sebagai prajurit atau tenaga angkutan.
Seluruhnya diurus oleh bekel yang menjadi patron petani di desa dan demang sebagai
penguasa beberapa desa (kini kecamatan). Sebagai kawula kerajaan para petani
mempunyai kesadaran bahwa ia mengabdi bendara dengan cara memenuhi kewajiban-
kewajiban pajak dan kesetiaan sebagai pengikutnya dalam, dan sebagai imbalannya ia
mendapat berkah keselamatan dari raja dan sang bendara. Namun demikian petani juga
mempunyai rasa keadilan apakah sang bendara menuntut pajak yang wajar atau telah
menindasnya dengan tuntutan yang berlebih-lebihan. Apabila beban pajak dirasakan
terlalu berat, petani akan melakukan protes dengan berbagai cara dan sangat responsif
terhadap ajakan untuk mengadakan pemberontakan yang akan melepaskan mereka dari
beban penderitaan.10
Selain bendara di kota dan petani di desa masih ada tokoh ketiga yaitu kyai atau
ulama dengan kelompok santrinya yang tinggal di lingkungan pedesaan. Kyai yang
memiliki pondok pesantren merupakan golongan elit desa, pemimpin informal yang
sangat dihormati rakyat petani karena reputasinya sebagai orang “suci”, menguasai ilmu
agama Islam yang tinggi dan sering dianggap memiliki kekuatan gaib. Sebagian dari para
ulama ini mempunyai hubungan-hubungan yang akrab dengan kraton, sebagai penasehat
raja serta mendidik putra bangsawan dalam hal keagamaan. Golongan kyai dan ulama
mempunyai pengaruh yang besar dalam menggerakkan rakyat pendesaan melawan
penguasa dengan ideologi perang sabil. Demikian pula mereka dapat bersekutu dengan
kelompok bangsawan yang ingin merebut tahta kerajaan.11
Penetrasi Kolonial, Kerawanan Sosial Ekonomi di Pedesaan dan Krisis Integritas
Kraton.
Awal abad XIX merupakan awal dari penetrasi kolonial yang sesungguhnya di
Jawa. Sejak tahun 1800 setelah runtuhnya VOC Jawa diperintah secara langsung oleh
266
pemerintah Negeri Belanda. Kolonialisme semakin dalam menghunjamkan kukunya ke
dalam masyarakat Jawa melalui perebutan-perebutan wilayah kerajaan pribumi yang
semakin luas, selalu perubahan – perubahan kelembagaan guna meningkatkan
eksploitasinya dalam rangka menegakkan negara kolonial. Daendels memulainya dengan
membentuk birokrasi moderen dengan jajaran pejabat pribumi yang digaji uang dan
pejabat-pejabat Belanda sebagai atasan mereka. Pada masa pemerintahan Daendels
Kesultanan Banten dihapuskan (1808). Ia mengambil sebagian wilayah-wilayah
Kesultanan Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta melalui campur tangan yang semakin
besar dalam masalah pemerintahan di kerajaan-kerajaan tersebut.12 Raffles melanjutkan
aneksasi bebagai wilayah kerajaan Yodyakarta dan Surakarta seperti daerah-daerah Kedu,
Grobogan, Jipang (Bojonegoro), Japan dan Wirasama (sekitar Mojokerto), setelah
melancarkan serbuan ke kraton Yogyakarta akibat konflik dengan Sultan Hamengku
Buwono II (1812).13 Ia juga menghapuskan Kesultanan Cirebon pada tahun yang sama.14
Penghinaan dan kekalahan politik yang diderita kraton Yogyakarta terasa semakin
mendalam karena jabatan patih sebagai pejabat ekslusif tertinggi justru harus diangkat
dan diberhentikan oleh pemerintah kolonial dan dengan sendirinya loyal kepada
pemerintah Belanda. Melalui patih ini residen Belanda mengadakan campur tangan
mengenai kebijaksanaan pemerintah kerajaan, seperti pengangkatan-pengangkatan Sultan
baru, pemilihan dewan perwalian sultan yang masih kecil (Hamengku Buwono V) dan
segala intrik istana yang dapat menguntungkan Belanda.15 Lebih-lebih setelah
diperkenalkannya gaya hidup Barat oleh Belanda dan sebagian para bangsawan. Ini
sangat menusuk perasaan para sentana (keluarga raja), nayaka (pejabat tinggi) dan para
pemuka agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam.16
Konflik politik dan konflik budaya yang semakin menggerogoti wibawa kraton
Yogyakarta ini semakin dipertajam lagi dengan kondisi ekonomi para bangsawan di
Yogyakarta maupun Surakarta yang diperburuk oleh politik Van de Capellen. Dia
memerintahkan pengembalian tanah-tanah lungguh yang semula disewa oleh pengusaha
perkebunan Belanda (1816-1823) kepada para bangsawan yang menyewakannya.
Sebagai akibatnya para pengusaha Belanda menuntut pengembalian uang sewa tanah
beserta bunganya kepada para penguasa lungguh yang tentu saja tidak mungkin
mengembalikannya tanpa mereka jatuh miskin.17 Bahkan sebelum timbulnya masalah
267
pengembalian sewa tanah ini pun sebagian pejabat dan bangsawan kerajaan telah
berkurang pendapatan mereka, disebabkan lungguh mereka berada di daerah-daerah yang
direbut Raffles (1812). Para priyayi dan sentana ini terpaksa menerima gaji dalam bentuk
uang atau tanah yang ditempat lain yang jauh lebih sedikit daripada penghasilan mereka
dahulu. Meningkatnya situasi konflik dalam posisi yang semakin merugikan bagi
sebagian priyayi dan sentana ini menimbulkan dendam mereka yang kian membara
kepada Belanda dan kelompok kraton lain yang menjadi sekutunya. Mereka hanya
menantikan munculnya seorang pemimpin untuk melakukan kraman, yaitu memberontak
melawan kekuasaan kolonial Belanda dan sekutunya.
Situasi para petani di pedesaan tidak lebih baik pada perempatan pertama abad XIX.
Perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah kolonial dalam rangka memantapkan
penjajahannya membawa dampak pada kehidupan petani. Pembangunan prasarana oleh
Daendels untuk kepentingan baik militer, pemerintahan dan ekonomis menuntut
pengerahan tenaga besar-besaran. Pemerintah memanfaatkan sistem kerja-wajib
tradisional untuk kepentingan umum seperti pembangunan jalan Anyer-Panarukan.
Pelabuhan dan benteng pertahanan. Untuk itu para petani di desa-desa dikerahkan besar-
besaran untuk kerja-wajib umum (heerendiensten) yang menelan korban 10.000 orang
mati dan puluhan ribu lainnya minggat ke wilayah kerajaan Jawa (Yogyakarta dan
Surakarta).18
Penerapan sistem pajak tanah baru atau landrente oleh Raffles sejak tahun 1813
menambah berat beban rakyat petani. Semula landrente yang dibayar dengan uang ini
menjadi satu-satunya pajak tanah. Pajak-pajak lain, termasuk kerja-wajib, dihapuskan.
Dalam kenyataan pajak uang sulit dilaksanakan karena sebagian daerah belum
mengembangkan ekonomi uang. Banyak petani terjerat hutang kepada Cina untuk
membayar landrente dengan akibat petani menjadi sasaran pemerasan. Kerja wajib tidak
dapat dihapuskan dan berbagai pungutan lain masih sering dilakukan.19
Di wilayah kerajaan Jawa yang tidak dikenakan sistem landrente, beban pajak
petani tidak lebih ringan, sistem penyewaan tanah lungguh para bangsawan secara
bertingkat-bertingkat kepada para demang, kemudian turun ke bekel sampai petani
menyebabkan jumlah sewa atau pajak petani yang harus dibayar adalah paling besar.
268
Lebih-lebih sejak wilayah kerajaan Jawa makin dipersempit sedang jumlah pegawai
keluarganya semakin bertambah, eksploitasi tanah lungguh menjadi semakin berat.20
Keadaan ini makin diperburuk oleh penarikan berbagai cukai seperti cukai bandar
atau pintu gerbang jalan-jalan dan cukai pasar yang mencegat setiap orang yang
melaluinya. Pemungutan cukai dikontrakkan kepada orang-orang Cina yang sangat
berkuasa dalam merogoh kantong pedagang dan petani, bila perlu dengan kekerasan.
Tidaklah mengherankan bila orang-orang Cina pengontrak bandar ini sangat dibenci
rakyat desa.21
Daerah kerajaan Jawa yang diambil Inggris seperti Kedu mengalami eksploitasi
yang parah karena pungutan landrente makin lama makin tinggi, kerja-wajib makin hari
makin bertambah, sementara cukai bandar dan pasar belum dihapus. Cukai baru dipungut
melalui monopoli penjualan garam dan candu. 22
Tekanan eksploitasi ekonomis yang demikian berat di pedesaan Jawa menyebabkan
lahirnya kelompok orang-orang yang tersisih, yaitu petani miskin yang tak mampu
membayar pajak yang tinggi atau petani-petani tanpa lahan pertanian yang tak mampu
menguasai lahan sendiri karena tingginya pajak. Mereka menjadi kuli gladhag
pengangkut barang, menjadi pengembara atau menjadi pencuri atau kecu (perampok).23
Adanya perbanditan, menurut Hobsbawn termasuk social banditry, menyebabkan
rawannya situasi di pedesaan, khususnya di bidang kemanan.24 Penduduk desa setiap
malam harus siap siaga menjaga rumah mereka masing-masing karena setiap saat pencuri
dapat memasuki rumah. Selain itu gerombolan kecu dapat secara mendadak menyerbu
desa. Sasaran mereka adalah orang-orang kaya seperti orang-orang Cina pengontrak
bandar, pengontrak penjualan candu dan pedagang yang memiliki banyak uang kontan.
Bahkan mereka berani merampok ondercollecteur yang menyimpan banyak uang
pembayaran landrente. Juga bekel yang kaya tidak luput dari sasaran mereka.25
Gerombolan kecu ini secara paksa memasuki rumah korban, merampas uang dan barang-
barang berharga dan mengancam penduduk apabila berani melaporkan kepada kepala
desa atau penguasa keamanan daerah (gunung).
Adalah menarik bahwa gerombolan kecu atau brandal ini juga dapat digunakan
untuk alat politik. Sultan Hamengku Buwono II misalnya, pernah mengadakan kerja
sama dengan gerombolan kecu untuk mengganggu keamanan di daerah gupernemen,
269
sebagai pembalasan terhadap pengambilan beberapa wilayah kerajaan dan sikap
Daendels yang tak mau menghargai Sultan.26
Kerawanan sosial di pedesaan mencapai puncaknya menjelang Perang Diponegoro
ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 1822, menghancurkan sebagian sawah-sawah
di Kedu Selatan, peristiwa ini disusul oleh masa paceklik yang panjang karena musim
kering dan melonjaknya harga beras.27 Situasi kritis ini semakin mematangkan situasi
pecahnya suatu pemberontakan yang akan menyelamatkan rakyat petani dari
keputusasaan mengatasi bencana yang mengancam subsistensi mereka.
Diponegoro, Pengeran Santri dan Penyelamat
Pangeran Diponegoro adalah saudara seayah dengan Sultan Hamengku Buwono IV.
Sebagai putra sentana ia termasuk golongan bangsawan yang mempunyai status tinggi di
mata rakyat. Menurut tradisi kraton Mataram, para bangsawan tinggal di sekitar kraton
meskipun dia mempunyai lungguh di pedesaan di daerah tertentu. Bahkan bupati kepala
daerah sering diharuskan tinggal di ibukota kerajaan, apabila terdapat kecurigaan dia
akan memberontak.28 Dengan demikian jarang terjadi komunikasi langsung antar rakyat
desa sebagai kawula dengan bendara mereka. Jarak sosial mereka sebagai wong cilik
cukup jauh dengan pembesar yang menguasai daerah atau menguasai tanah lungguh yang
mereka garap. Sebagian besar dari para petani di desa mungkin tak pernah bertemu
dengan bendara mereka, karena masalah penyetoran pajak telah diurus oleh bekel sebagai
wakil mereka. Berbeda dengan kebiasaan hidup para bangsawan, Diponegoro justru
dibesarkan di Tegalrejo tempat lungguh buyutnya: Ratu Ageng, permaisuri Hamengku
Buwono I, pendiri dinasti kesultanan Yogyakarta. Tinggalnya Ratu Ageng di desa
menimbulkan kharisma tersendiri di kalangan para petani. Terlebih lagi hidupnya saleh,
religius dan mempunyai hubungan yang akrab dengan para kyai dan ulama. Hal ini
menyebabkan dia sangat dihormati oleh masyarakat desa-desa di sekitarnya. Dalam
lingkungan pedesaan dengan penghayatan agama Islam yang sangat mendalam, namun
tetap diasuh dalam nilai-nilai budaya Jawa serta adat istiadat kraton oleh buyutnya,
Diponegoro tumbuh sebagai sosok pemimpin yang mengakar di kalangan masyarakat
desa. Ia sangat akrab dengan para petani dan elit pedesaan. Ia mengelola tanah
270
lungguhnya dengan produktif dan mengetahui para petani yang menggarap tanahnya.
Oleh sebab itu ia tidak termasuk bangsawan yang mengeksploitasi petani dengan
menuntut pajak lungguh yang sangat tinggi. Kemurahan hari seorang bendara kepada
wong cilik ini menyebabkan Diponegoro sangat populer di lingkungan para petani yang
menjamin loyalitas mereka sebagai pengikut-pengikut yang setia.29
Selanjutnya hubungan Diponegoro yang akrab dengan para ulama, kyai dan
kunjungannya ke berbagai pesantren telah menumbuhkan ikatan-ikatan yang kuat dengan
golongan santri. Latihan-latihan kerohanian yang dilakukan dengan tekun dalam bertapa,
tirakat hingga seperti diakuinya sendiri mengalami penampakan gaib serta wahyu yang
diterimanya sebagai orang yang diutus Tuhan untuk menyelamatkan bangsa dan
menegakkan agama Islam, makin meyakinkan dirinya untuk sewaktu-waktu tampil
sebagai pemimpin memperjuangkan cita-citanya.30 Untuk itu ia jelas mendapat dukungan
dari para kyai dan ulama yang tersebar di berbagai daerah.
Dalam kaitannya sebagai keluarga raja dan dalam kedudukannya sebagai wali
Sultan Hamengku Buwono V, Diponegoro mempunyai hubungan yang cukup luas di
lingkungan kraton. Kecerdasan dan kemampuannya yang luas mengenai hukum dan
pemerintahan, hidupnya yang saleh dan integritasnya sebagai pangeran senior
menyebabkan ia dihormati oleh sultan dan para bangsawan, dan disegani oleh kelompok
yang tidak menyukainya. Bagi kelompok bangsawan yang merasa dirugikan oleh politik
Belanda dan melihat krisis kewibawaan pemerintah yang tidak lagi mencerminkan
kerajaan merdeka, keberanian Diponegoro menentang Belanda memberikan keyakinan
bahwa dialah pemimpin yang mereka nantikan untuk mengenyahkan kekuasaan asing dan
kafir, serta menegakkan kembali kerajaan Yogyakarta yang merdeka.
Dengan demikian Diponegoro muncul sebagai pemimpin tradisional yang penuh
kharisma, baik dari kualitas pribadinya yang memiliki keunggulan, maupun karena
dorongan situasi masyarakat Jawa yang kritis.31 Dukungan yang diperolehnya dari petani,
bangsawan, dan santri, bahkan juga dari golongan under world yaitu gerombolan dalam
masyarakat Jawa pada masa itu.32 Semua faktor inilah yang menyebabkan perang dapat
meluas ke seluruh wilayah kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, ke wilayah yang direbut
pemerintah kolonial sejak 1808 dan wilayah gupernemen yang lain.33
271
Menurut Burger Perang Diponegoro tidak hanya suatu pemberontakan untuk
melawan kekuasaan Barat, melainkan juga pemberontakan untuk mempertahankan
struktur masyarakat feodal lama dalam kerajaan Jawa.34 Bila dilihat perang ini memang
didukung oleh separuh golongan bangsawan dan pejabat. Di kraton Yogyakarta 15 dari
29 pangeran berpihak kepada Diponegoro, 41 dari 88 orang bupati, dan 78 orang demang
juga memilih pihaknya. Para bangsawan ini melalui demang mereka masing-masing dan
para bekel bawahan mereka merekrut para petani di desa-desa menjadi prajurit. Ketika
Diponegoro dinobatkan oleh rakyat sebagai Sultan di Selarong, ia menyusun hirarki
pemerintahan yang tak jauh berbeda dengan struktur feodalistik Mataram yang lama.
Namun demikian ada gejala perubahan yang menarik. Di beberapa desa di Bagelen yang
berpihak kepada Diponegoro, tanah-tanah lungguh dihapuskan. Sebagai imbalannya
petani diwajibkan mengirim prajurit beserta uang biaya hidup mereka.35 Atau desa itu
mengirim tenaga kuli setiap hari. Tampaknya ada dua usaha ke arah komunalisasi tanah,
seperti terjadi pada masa Tanam Paksa kemudian.
Masalah lain yang menarik adalah dukungan dari para petani di pedesaan di daerah-
daerah bekas wilayah Mataram seperti Kedu dan Grobogan, yang telah menjadi daerah
gupernemen sejak 1812. Walaupun para bupati dan sebagian demang di Kedu memihak
Belanda, sebagian besar petani Kedu dipimpin bekel mereka atau atas inisiatif sendiri
turut berperang di pihak Diponegoro.36 Bahkan banyak para petani di Karesidenan Tegal,
Pekalongan, Semarang, dan Rembang melarikan diri karena mereka dipaksa untuk
menjadi prajurit melawan Diponegoro atau bekerja wajib angkutan perang.37
Dukungan serta solidaritas yang besar dari para petani dari Tegal atau Banyumas
sebelah barat hingga Madiun di Jawa Timur untuk mendukung Diponegoro menunjukkan
adanya motivasi tertentu yang berkaitan dengan kepentingan mereka sendiri. Dengan
peperangan ini petani mempunyai harapan membebaskan diri dari himpitan beban
kesengsaraan hidup seperti tekanan pajak, ketidakamanan serta mahalnya bahan pangan.
Seperti pandangan Peter Carey dan Michael Adas, para petani melihat Diponegoro
sebagai penjelmaan Ratu Adil, penguasa yang akan membebaskan mereka dari segala
jenis eksploitasi dan pemerintahannya membawa kemakmuran, keadilan dan
kedamaian.38
272
Demikian pula golongan agama dengan para santrinya, yang berhasil
membangkitkan semangat rakyat dengan ideologi perang sambil memberikan dukungan
penuh pda Diponegoro dengan tujuan mengenyahkan orang Barat yang kafir, yang telah
menodai nilai-nilai agama Islam.
Bahwa Perang Diponegoro dapat bertahan selama lima tahun meskipun berhadapan
dengan kekuasaan asing dan sekutunya yang memiliki organisasi dan teknologi canggih,
adalah karena kesetiaan para petani, sekutu dan pendukung utamanya. Sampai saat-saat
akhir peperangan, ketika semua sekutu serta sahabat meninggalkannya, dan dia dikejar-
kejar untuk ditangkap, tak seorang petanipun tega melaporkan kepada musuh. Juga ketika
Diponegoro turun ke pesanggrahan Magelang untuk mengadakan perundingan dan
berakhir dengan penangkapan, para petani datang berbondong-bondong menghadap dia.
Mereka membawa berbagai bahan makanan sebagai persembahan.39 Rakyat petani yang
sederhana itu tetap mengharap Diponegoro, sang Ratu Adil, menyelamatkan mereka.
CATATAN BELAKANG
1) Lihat antara lain P.J. F. Low, 1894-1909, De Java Oorlog Van 825-1830, vol.
I,II,III dan E.S. de Klerck, dengan judul sama Vo.IV,V,VI, Batavia, Martinus Nijhoff,
H.J. De Graaf, 1949, Gesch. Van Indonesia. Batavia, Verhoeve. E.S. de Klerck 1912,
De Atjeh Oorlog, Het Valstan Van de Oorlog, Vol.I. S. Gr Hage: M. Nij Hofb. E.B.
Kusltra, 1885, Beschrijoij van de Atjeh-Oorlog. Tiga Jilid. S. Gravenhage: De
gebraeders van Kleef.M.C.Ricklefs, 1981, A History of Modern Indonesia, London:
MacMillan, h.113; Ibrahim Alfian, 1987, Perang di Jalan Allah Jakarta: Sinar
Harapan, h, 266, 267.
2) Lihat Soemarsaid Moertono, 1974, State and Stalecraft in Old Java, Ithaca:
Cornell University, h.111-116.
3) B. Schrieke, 1959, Indonesia Sociological Studies, II, Bandung / The Hague: W.
van Hoeve, h.217-229.
4) Moertono, op,cit, h.14-20; Onghokham, 1983, Rakyat dan Negara, Jakarta : Sinar
Harapan, h.93-95.
273
5) Gelar raja Yogyakarta yang resmi adalah Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
Senopati Ingalogo Ngabdurahman Sayidin Panatagama Kalipatuloh. Lihat M.C.
Ricklefs, 1974, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi 1749-1792, London: Oxford
University Press, h.78; Moertono, op.cit, h.28-29.
6) Lihat G.P.Rouffaer, 1931, “Vorstenlander”, Over druk, Adatrechtbundel XXXIV,
D, 81,h.54,62.
7) Loc.Cit
8) A.M. Djulianti Suroyo, 1989, Kerja Wajib Sebagai Eksploitasi Kolonial.
Disertasi tidak diterbitkan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h.78-80
9) Mengenai berbagai jenis protes petani serta sebab-sebab protes, lihat Sartono
Kartodirejo, 1973, Protest Movementsin Rural Java, Singapore: Oxford University
Press, Bab I, “Introductory”, h.1-20.
10) Dalam Sejarah kita kenal misalnya Perang Trunojoyo, lihat H.J.de Graaf, 1948,
Greschiedenis Van Indonesia, S. Graven hage / Bandung: W.Van Hoeve, h.212-218.
11) Ibid.,h.362-370
12) Ibid.,h.376- 377; Rouffaer, op.cit.,h.13
13) Graaf, op.cit.,h.375-376.
14) Peter Carey, 1986, Asal Usul Perang Jawa, terjemahan Redaksi AZ, Jakarta:
Pustaka Azet, h.55-63.
15) Ibid.,h. 67-70.
16) Tentang persewaan tanah lungguh oleh pengusaha Belanda lebih jauh lihat
D.H.Burger, De Ontsluiting van Java’s Binnenland voor het wereld Verkeer,
Wageningen, h. 84-87.
17) J.S. Bastin, 1957, The native Policy of Sir Stamford Raffles in Java and Sumatra,
Oxford: Clarendon Press, h.66.
18) Burger, (1939), op.cit., h. 73-75.
19) Peter Carey, 1986, “Waiting for the Just King: The Agrarian World of South-
Central Java from Giyanti (1955) to the Java War (1825-1830), “Modern Asian
Studies, 20, I, h.67-80.
20) Peter Carey (1984), “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities
in Central Java, 1755-1825,” Indonesia, (37), h. 16-19, 27, 33, 36.
274
21) Van Hogendorp, “Over de Staat”, “Collectie Baud 177, Ministerie Van Kolonien,
Algemeene Rijksarchief (MK ARA).
22) Carey (1986), op.cit., h. 82-83.
23) Pertumbuhan perbanditan secara menyolok pada masa tertentu erat kaitannya
dengan situasi pedesaan yang dilanda krisis, antara lain oleh merosotnya
kemakmuran. Lihat E.J. Hobsbawm, 1972, Bandits, Harmondsworth: Penguinn
Booksm h. 22-26.
24) Lihat arsip kerisdenan Kedu, “Proceedinga” (1815), Kedu 23 a, Arsip Nasional
RI (ARNAS).
25) Lihat protes Daendels kepada Sultan Hamengkubuwono II, termuat dalam surat
jawaban Sultan sekitar 1810, British Library, Add. MS. 12341, f. 240-244, dalam
Peter Carey, 1980, The Archieve of Yogyakarta, I, Oxford: The British Academy, h.
73-74.
26) Harga padi per pikul waktu itu f5, - (1822), sedang harga tahun-tahun sesudah
perang hanya antara f1, 25-f3,- (1837). Lihat “Historisch Overzigt 1830-1870”,
Residentie Archief, Pasar Ikan 1068, ARNAS.
27) Schrieke, op.cit., h. 217-221.
28) Carey (1986 a), op. cit., h. 42.
29) Peter Carey, 1986 b), Ekologi Kebudayaan Jawa dan Kitab Kedung Kebo,
Terjemahan Redaksi PA, Jakarta: Pustaka Azet, h.22-43.
30) Mengenai berbagai tipe kepemimpinan lebih jauh lihat antara lain Robert A.
Nisbet, 1970, The Social Bond, New York: Alfred A. Knopf, h. 119-135; lihat juga
Soerjono Soekanto, 1982, Sosiologi. Suatu Pengantar, jakarta: Rajawali, h. 285-292.
31) Carey (1986 a), op. cit, h. 68.
32) Lihat Sagimun M.D., 1960, Pahlawan Diponegoro Berjuang, Jogjakarta: Tjabang
Bagian Bahasa ? urtan Adat Istiadat dan Cerita Rakyat Jawatan Kebudayaan
Departemen P.P. dan K; Soekesi Soemoatmodjo, 1973, “Perang Diponegoro,” dalam
A. Sartono Kartodirjo, ed., 1973, Sejarah Perlawanan-perlawanan terhadap
Kolonialisme, Jakarta: Departemen pertahanan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, h.
123-161.
275
33) D.H. Burger, 1975, Sociologisch-Economische Geschiedenis van Indonesia, I,
Wageningen: Landbouwschool, h. 85-86.
34) W.B. Bergsma, 1896, Eindresume, III, Batavia: Landsch Drukkerij, Bijlage, h. 5-
11.
35) Lihat uraian lengkap dalam Louw dan De Klerck, op.cit.
36) Bergsma, op.cit., h. 71, 119, 125, 162, 185, 198.
37) Lihat Michael Adas, 1988, Ratu Adil, terjemahan M. Tohir effendi, Jakarta:
Rajawali, h. 168-173; juga Carey (1986 b), op.cit., h. 25-43.
38) Lihat Babad Diponegoro, 1983, alih aksara Ambaristi dan Lasman Marduwiyota,
Jakarta: Balai Pustaka untuk Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, II, h. 399-406.
@@@
276
__________________________________________________________
Makalah disusun dan disajikan oleh DR. A.M.. Djuliati Suroyo dari Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Undip dalam Seminar sehari Sejarah Perang Diponegoro, 20
Februari 1990
7. SOSOK PANGERAN DIPONEGORO DALAM NASKAH-NASKAH JAWA
Dalam kepustakaan Jawa terjumpai sejumlah naskah mengenai biografi dan
perjuangan Pangeran Diponegoro. Namun karena keterbatasan waktu untuk
menyampaikan uraian ini, dengan sengaja mutalaah ini hanya terbatas membicarakan
sosok Pangeran Diponegoro berdasarkan naskah autobiografi Babad Diponegoro dan
sebuah naskah Babad Diponegoro dari bupati Purworejo I Raden Adipati Cakranegara,
yang terkenal juga dengan nama Buku Kedhung Kebo. Keduanya koleksi Bagian Naskah
Perpustakaan Nasional di Jakarta. (Naskah Br 149 dan KBG 5).
Dalam naskah autobiografi Babad Diponegoro Pangeran Diponegoro menuturkan
dirinya sebagai seorang pribadi yang sangat saleh dan taat kepada agama Islam.
Ketatannya kepada agama Rasul ini sudah jelas tersebab dari pendidikan yang
diterimanya sejak kecil di Tegalrejo di bawah asuhan nenek buyutnya, Kanjeng Ratu
Ageng, istri Sultan Hamengku Buwono I.
Di samping itu, Pangeran Diponegoro juga diceritakan senang sekali berkelana,
berkhalwat dan berkumpul dengan wong cilik. Beliau sering bertapa dengan sangat
bermati raga dan memakai pakaian serba jelek. Oleh karena itulah jarang orang
mengetahui kejatian dirinya. Jika identitas dirinya ini sampai ketahuan guru para santri,
Pangeran Diponegoro segera pergi. Pangeran Diponegoro memang senang berkumpul
dengan para santri yang berasal dari kalangan rakyat kecil dan sama-sama nista seperti
dirinya.
277
Sebab itu, menurut penuturan naskah autobiografi Babad Diponegoro selanjutnya,
Pangeran Diponegoro sering berpindah-pindah pondok. Jika Kanjeng Pangeran merasa
bosan di pesantren, Kanjeng Pangeran pindah ke hutan, gunung, jurang yang berbatu-batu
karang, gua dan kadang-kadang berkelana di sepanjang pesisir. Jika bulan Ramadhan tiba
Kanjeng Pangeran beribadat di dalam gua yang sunyi.
Dari naskah autobiografi Babad Diponegoro maupun naskah Buku Kedhung Kebo
kita juga dapat menyimpulkan, Pangeran Diponegoro mempunyai watak yang keras.
Penulis sejarah Belanda Hageman malah menyebutnya “brangasan”. Perwatakan ini
nampak jelas dalam menghadapi patih Danureja yang berkali-kali telah melakukan
perbuatan yang sangat menyinggung harkat dirinya sebagai wali raja.
Setelah berperang melawan Belanda kita melihat penampilan Pangeran Diponegoro
sebagai seorang panglima dan sekaligus sebagai seorang sultan yang sangat piawai dalam
berdiplomasi menghadapi pihak Belanda. Ketaatannya kepada agamanya tidak beringsut
sedikit pun, juga setelah beliau harus menghadapi berbagai macam masalah pelik yang
sangat menyulitkan perjuangannya.
Ketegarannya luar biasa. Satu demi satu para pemimpin perangnya telah meninggal
atau menyeberang ke pihak Belanda. Beliau juga harus menghadapi sedemikian banyak
problem dengan Kyai Mojo dan Alibasah Sentot Prawirodirjo yang keduanya
menghendaki sebagian dari kekuasaan beliau sebagai seorng Sultan. Kendati demikian,
beliau tetap meneruskan perjuangannya. Bahkan, setelah fisik beliau melemah karena
serangan penyakit demam, beliau tetap berdiri di depan menghadapi pihak Belanda.
Naskah autobiografi Babad Diponegoro dan Buku Kedhung Kebo menunjukkan betapa
beratnya upaya pihak Belanda menghadapi dirinya pada saat-saat sulit semacam itu.
Beranjak dari sinilah barang kali sudah saatnya bagi kita untuk menanyakan ,
“Benarkah Pangeran Diponegoro pernah bertemu dengan Jendral De Kock di Magelang,
yang kemudian telah menangkap dan mengantarnya ke tempat pengasingannya di
Manado dan Makasar sebagai tawanan negara?”.
Baik naskah autobiografi Babad Diponegoro maupun naskah Buku Kedhung Kebo
mengakui kebenaran penuturan sejarah yang sangat terkenal dan telah klasikal ini.
Namun, beberapa prasasti dan sumber-sumber sejarah lain di Sumenep justru telah
menyangkal kebenaran penuturan tersebut. Tokoh yang tertangkap sebenarnya bukan
278
Pangeran Diponegoro, tapi seorang sahabatnya, yang dengan sengaja telah
ditampilkannya sebagai dirinya menghadapi siasat pihak Belanda.
Dialah Muhammad Jiko Maturi yang dengan dibekali “ngelmu” telah berhasil
mengelabuhi pihak Belanda. Memang, inilah akhirnya yang terjadi. Sebuah skandal
sejarah yang benar-benar luar biasa. Pihak Belanda berpikir dapat menipu Pangeran
Diponegoro dan menangkapnya dengan paksa demi mengakhiri perang Jawa yang
hampir-hampir membangkrutkan pemerintahannya di Indonesia. Tidak tahunya mereka
justru telah berhasil dikelabuhi oleh Pangeran Diponegoro sendiri.
Sebuah naskah tentang sejarah raja-raja Madurayang ringkasannya pernah
diterbitkan oleh Pelmer van den Broek pada tahun 1877 menyajikan sebuah fragmen
menarik yang barang kali dapat menguatkan dugaan kita.
Dalam naskah ini dituturkan, ketika Pangeran Diponegoro datang ke Magelang
dari Menoreh dalam rangka perundingannya dengan Jendral De Kock, beliau telah naik
seekor kuda berwarna coklat tua, memakai jubah putih, serban hijau, sedang mukanya
disembunyikan di belakang sebuah cadar dari kain kasa putih.
Data ini sudah barang tentu menarik perhatian kita dan menimbulkan pertanyaan,
Mengapa Pangeran Diponegoro sampai mengenakan cadar muka dari kain kasa? Apa
sebenarnya maksudnya? Apakah perbuatan ini tidak merupakan suatu siasat agar para
pengikut beliau tidak mengetahui, bahwa sosok yang datang dan naik kuda itu
sebenarnya Pangeran Diponegoro palsu?
Dalam penuturan sejarah Pangeran Diponegoro sering kita dengar, ketika Pangeran
Diponegoro bertemu dengan Jendral De Kock di Karesidenan Magelang, beliau disertai
oleh putera beliau, Pangeran Diponegoro Anom yang dalam naskah autobiografi Babad
Diponegoro dikenal sangat berani. Mengapa Pengeran Diponegoro Anom sampai diam
saja melihat perbuatan Jendral De Kock yang semena-mena? Apakah ini tidak
menguatkan sangka-sangka kita, bahwa sosok yang bertemu dengan Jendral De Kock
sebenarnya bukan Pangeran Diponegoro, tapi Muhammad Jiko Maturi?
Inilah sebuah masalah, yang saya rasa, harus mendapatkan perhatian cermat dari
para peserta seminar ini. Sebuah masalah yang sangat pelik memang, tapi harus segera
dipecahkan, justru karena keberadaan sumber-sumber sejarah baru mengenai Pangeran
Diponegoro dari Sumenep. Benarkah sumber-sumber ini merupakan sumber-sumber
279
sejarah yang sahih? Jika benar demikian, lalu bagaimana halnya dengan naskah
autobiografi Babad Diponegro? Siapa sebenarnya penulis naskah ini? Pertanyaan ini
sangat penting, karena hingga dewasa ini justru belum pernah diketahui naskah asli dari
Babad Diponegoro ini.
Masyarakat Sumenep – terutama keturunan Pangeran Diponegoro percaya, bahwa
betapapun, kesejarahan Pangeran Diponegoro yang benar pasti akan terungkap. Bahkan
mereka tidak lupa menyampaikan wasiat Pangeran Diponegoro, bahwa kejelasan tersebut
akan terjadi kelak pada masa keturunannya yang ketujuh. Pada hal, keturunan Pangeran
Diponegoro di Madura sekarang telah mencapai keturunan yang ketujuh.
@@@
280
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Makalah disusun dan disajikan oleh Amen Budiman, sejarawan dari Semarang,
dalam Seminar Sehari Sejarah Perang Diponegoro, diselenggarakan oleh Jurusan
Sejarah Fakultas Sastra Undip Semarang pada 20 Fwbruari 1990
KERANJANG KETIGA :
281
PENGAJARAN SEJARAH
1. SEJARAH DAN PEMDIDIKAN
A. PENDAHULUAN
1. Sejarah dan Pendidikan
282
Judul di atas agak membingungkan dan penuh teka-teki. Berikut ini akan kita
bicarakan satu persatu. Kemungkinan yang pertama adalah, bahwa yang dimaksud
adalah Pendidikan Sejarah. Kalau itu yang dimaksud, tentu yang dimaksudkan adalah
kegiatan pendidikan melalui pengenalan peristiwa-peristiwa sejarah atau ilmu sejarah,
seperti dikembangkan di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang
menghasilkan calon-calon pendidikan atau pengajar, atau guru, seperti IKIP. LPTK ini
menyiapkan para calon tenaga guru bidang studi, termasuk guru sejarah.
Kemungkinan kedua yang dimaksudkan adalah Sejarah Pendidikan. Dalam hal ini
yang dimaksudkan adalah kegiatan pendidikan bagi calon ahli ilmu sejarah atau
sejarawan. Sebagai calon sejarawan mereka mendapat berbagai bidang kajian sejarah
khusus. Misalnya Sejarah Eropa, Sejarah Amerika, Sejarah, Indonesia dsb. Di samping
itu mereka juga menyelenggarakan kajian tentang Sejarah Intelektual, Sejarah Kesenian,
Sejarah Pendidikan, Sejarah Sosial, maupun Sejarah Mentalita. Kegiatan kajian sejarah
tersebut diselenggarakan di Fakultas Sastra pada sesuatu Universitas.
2. Masalah yang timbul.
Sejunlah masalah yang dihadapi sekarang adalah :
a. Dapatkah atau mampukah bidang studi sejarah berperan sebagai sarana untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional? Ini merupakan masalah konseptual.
b. Dapatkah secara kelembagaan sekolah melaksanakan peranan atau fungsi bidang
studi sejarah dalam mancapai tujuan pendidikan nasional tersebut?
c. Dapatkah atau siapkah secara kurikuler fungsi dan peranan bidang studii sejarah
dikembangkan unituk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut?
B. DAPATKAH SEJARAH MENGAJARKAN SESUATU
Pernyataan yang nenjadi klasik mengenai kegunaan sejarah telah dikemukakan
oleh Hirodotus, yaitu " Historia Vitae Magistra".Sojarah merupakan guru kehidupan,
katanya. Artinya bahwa sejarah memiliki kemampuan untuk digunakan untuk mencapai
tujuan pendidikan tertentu yang dikehendaki umat manusia, karena pada hakekatnya
283
sejarah umat manusia memang berisi pengalaman manusia yang penuh dengan pelajaran
tentang hidup.
1.Fungsi Sejarah
Mengenai fungsi sejarah bagi kehidupan umat unnusia nampaknya tergantung
dari pemahaman tentang sejarah itu sendiri, yang amat bervariasi sepanjang sejarah.
a. Sejarah berfungsi genesis, oleh karenanya bersifat deskriptif dan informatif.
Dalam hal ini sejarah berisi rangkaian fakta yang dianggap menarik untuk
dikisahkan dari generasi ke generasi. Sejarah hanya berisi hal-hal tentang what, who,
when, where serta how. Sejarah dengan demikian lebih merupakan hasil sastra atau buah
karya seni manusia, yang amat patut dikisahkan atau didongengkan (histcay as art ) .
b. Sejarah berfungsi didaktis, oleh karcnanya penyajian bahan sejarah dipilih fakta
mengenai pengalaman masa lalu yang membanggakan, menyedihkan dan
sebagainya yang dikomunikasikan kepada generasi baru untuk tujuan
mengobarkan semangat. Berbagai nilai luhur (ideal) bangsa ingin ditanamkan
lewat sejarah, agar terjadi proses sosialisasi dalam generasi baru, untuk
menunbuhkan semangat kepahlawanan, patriotisme, nasionalisme, dan
sebagainya.
c. Sejarah sebagai kajian ilmu. Aliran Sejarah Baru (New Historisism) amat
menekankan pada perlunya penyajian fakta sejarah secara lebih objektif, apa
adanya, dan lugas. Sejarah oleh karenanya harus tidak usah dikaitkan dengan
usaha mendidik (didaktik) untuk membangkitkan semangat kepahlawanan dan
sebagainya pada generasi baru. Untuk itu sejarah harus disusun atas dasar fakta
yang sesungguhnya terjadi, sehingga diperlukan proses studi sejarah kritis
Proses yang dilakukan dengan demikian adalah mengumpulkan data,
nenyeleksi, menganalisis, menafsirkan dan menyajikannya dalam buku sejarah
(history as writen) .
284
Proses yang demikian ini memang menunjang untuk terjadinya sejarah sebagai
ilmu (history as science), yang bersifat obyektif. Namun tidaklah mudah untuik
menyajikan sesnatu tuliisan sejarah yang bebas dari subyektivitas penulis, karena
berbagai alasan ,seperti kepribadian, ras, agama kelonpok etnis, kelonpok kepentingan
kebudayaan dan sebagainya.
Konsekuensi dari kehendak untuk men yajikan sejarah yang lebih utuh, maka
diambillah cara pendekatan yang interdisiplin. Sejak itu bidang studi sejarah telah masuk
ke dalam kawasan bidang studi ilmu pengetahuan sosial atau IPS (Ilmu Pengetahuan
Sosial) ketika diajarkan di sekolah-sekolah.
2.Dapatkah Sejarah Mengajarkan Sesuatu
Pertanyaan dapatkah sejarah mengajarkan sesuatu, merupakan pertanyaan yang
dapat dijawab sebagai berlkut.
a. Sejarah pada hakekatnya merupakan sebuah ingatan mengenai
pangalaman umat manusia. Dan karena umat manusia itu pada dasamya
satu, maka terhapusnya sesuatu bagian dari pengalaman itu sebagai
kesatuan, maka hilanglah pula ukuran umat manusia sebagai umat.
Dengan sajarah kita dapat mengetahui siapa sebenamya kita ini, dan
dengan cara bagaimana umat manusia berkembang serta mempertahankan
keberadaannya.
b. Oleh karenanya peninggalan masa lampau ataupun kejadian masa lampau
selalu menantang umat manusia untuk mengetahuinya, untuk lebih
mengetahuanya, untuk mengetahui kehidupan umat manusia, dengan
jalan menguak tabir kehidupan masa lampau itu. Jelaslah bahwa sejarah
merupakan bidang penjelajahan intelektual manusia maupun kisah
petualangan umat manuasia yang menjadi obyek kerinduan untuk
menelaahnya.
c. Sejarah merupakan gambar insprirasi bagi masa kini dan yang akan datang
dalam upaya untuk mengembangkan diri dan agar manusia menjadi makin
bijaksana.
285
C. FUNGSI PENDIDIKAN
Paling tidak ada tiga jenis fungsi pendidikan, yang masing masing dikembangkan
oleh aliran yang bsrbeda dalam pendidikan, seliingga berkembang menjadi sistem
pendidikan tertentu. Ketiga sistem itu adalag sebagai berikut.
1.Pendidikan sebagai transmisi kebudayaan
Yang dimaksud dengan pernyataan tersebut di atas adalah, bahwa fungsi
pendidikan adalah menyampaikan atau mewariskan nilai-nilai luhur dari sesuau generasi
ke generasi yang lainnya. Secara formal sistem pendidikan yang mendasarkan pada
asumsi tersebut menekankan perlunya " Liberal art" diajarkani pada generasi baru, yang
antara lain filsafat, seni, serta sejarah. Hal-hal itu lebih dikenal sebagai " general
education", karena dianggap sebagai pokok-pokok nilai kemanusiaan (humariiora) untuk
mcmbcbaskan manusia dari kebodohan dan keterbelakangan. Aliran pendidikan ini
berkembang pada abad Pertengahan sampai dengan abad 19 di Eropa.
2.Pendidikan sebagai proses transformasi kebudayaan
Pengertian yang dimaksud adalah bahwa pendidikan berfungsi menyiapkan generasi
baru yang dapat memenuhi kebutuhan pembangunan pada masanya setelah mangatahui
pengalaman di masa lampau. Di negeri-negeri komunis generasi diberikan latihan
ketrampilan agar mereka mampu melaksanakan proses panbangunan di pusat-pusat
produksi.
3. Pendidikan sebagai proses pengembangan individual
Yang dimaksud dengan pengertian itu adalah, bahwa pendidikan merupakan
proses untuk membantu dan memberikan motivasi kepada setiap individu untuk dapat
286
berkembang sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Sistem pendidikan yang
berkembang di sana di dasarkan pada sistem sosial yang liberalistis, karena setiap
individu diberi kesempatan untuk menjadi manusia yang unik. Proses pendidikan di sana
merupakan proses untuk pengembangan diri (aktualisasi diri).
Di Indonesia telah dikembangkan sistem pendidikan yang bersifat konvergen, yang
merupakan pencerminan dari ketiga sistem yang ada di dunia. Ketiga fungsi pendidikan
itu tertuang dalam GBHN 1983 mengenai Tujuan Pendidikan Nasional yang antara lain
tertulis di sana : 1. ..... meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan, dan ketrampilan ( = transmisi, aktualisasi, dan transformasi budaya).
2. ...... meningkatkan budi pekerti, ( = transmisi budaya).
3. ..... mempcrkuat kepribadian dan mempcrtebal semangat kebangsaan dan cinta tanah
air ( = transmisi budaya).
4. ..…. agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan, yang dapat
membangun dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas pambangunan
bangsa (= aktualisasi diri dan transformasi).
4. Bagaimana kedudukan sejarah dalam Sistem Pendidikan Nasicnal?
5.
a. Sejarah dapat dipergunakan untuk mentransmisian nilai-nilai luhur yang
telah dibentuk sepanjang sejarah .
b. Sejarah dapat memberikan gambaran mengenai fakta liistoris yang nyata
pada setiap periode sejarah, agar kita dapat belajar dari sejarah ( fungsi
transformasi sejarah).
c. Sejarah sekaligus juga dapat dikembangkan sebagai ilmu, yang
memerlukan proses penemuan, analisis, penafsiran dan penyajian melalui
prosedur ilmiah, maupun sebagai suntoer inspirasi bagi pengembangan
individual sepanjang masa ( aktualisasi diri).
Dalam fungsinya sebagai proses aktualisasi diri ini terdapat peluang untuk
terjadinya perbedaan kepentingan antara objektivitas ilmu dengan subjektivitas
287
pandangan untuk kepentingan pcndidikan untuk memngibarkan semangat kebangsaan
ataupun slogan kepentingan umum .
Dalam situasi sanacam itu maka penafsiran sejarah akan cenderung diarahan pada
membenarkan kepentingan umum, meskipun barangkali harus mengorbankan
objektivitns ; sejarah sebagai ilmu (history as science). Kecenderungan semacam itu akan
berpengaruh pula pada "kebebasan akademik" para penulis sejarah ataupun guru sejarah,
yang menjadi tertekan ataupun tidak berkembang. Lalu muncullah masalah-maaalah baru
dalam kegiatan pengajaran sejarah Maupun pengembangan kerjasama antara para
sejarawan peneliti/penulis dengan para sejarawan pendidik .
D. SEJARAH DALAM KURIKULUM SEKOLAH
Nampaknya Kurikulum 1984, baik untuk SMP maupun SMA, manberikan
peluang lebih banyak dan lebih baik kepada para guru sejarah dalam mengembang kan
bidang studinya
1. Untuk SMP waktu yang tersedia manang tidak sebanding dengan bahan
yang tersedia, yang relatif tebal, sehingga guru menjadi kekurangan
waktu (6 semester dengan masing-masing 1 x tatap muka setiap minggu).
2. Sementara itu jatah waktu yang tersedia untuk PSPB (3 semester drngan
masing-masing 2x tatap muka setiap minggu), dirasakan terlampau
banyak. Belum lagi kalau dilihat banyaknya gejala tumpang tindih dalam
bahan pelajaran antara PSPB dengan Sejarah Indonesia. Akibatnya
seringkali terjadi kejenuhan di antara para siswa maupun guru sejarah.
3. Untuk SMA telah terjadi peluang paling besar bagi guru untuk lebih
mengembangkan bidang studi sejarah setelah bidang studi Sejarah
dimasukkan
Program Inti. Semua jurusan yang ada di SMA mendapat peluang yang sama
dalam keeempatan mengembangkan bidang studi Sejarah (klas I, 2 semester asing -
masing 3x tatap muka setiap minggu, klas II dan III, 4 semester, masing-masing 2x tatap
muka setiap minggu ). Jatah yang tersedia dibagi dua, masing-masing untuk Sejarah
Indonesia maupun Sejarah Dunia . Untuk Sejarah Indonesia telah tersedia buku paket,
288
sedangkan untuk Sajarah Dunia beban guru menjadi lebih besar karena harus
menyediakan sendiri bahan pekajaran. Untuk SMA di kota-kota guru bisa tega hati untuk
mempercepat proses "transfer of knowledge" dengan teknologi fotocopy, tidak demikian
halnya bagi mereka yang di pedesaan.
4. Tidak ssperti bidang studi PSPB di SMP, di SMP hanya berdapat peluang
separuh jatah. Dan gejala tumpang-tindih serta kecendenungan menjadi
jenuh terhadap bahan pelajaran tetap saja terdapat.
Sementara itu metode pengajaran sejarah pada sekolah-sekolah menengah amat
menarik untuk dibahas karena berbagai alasan.
a. Orientasi yang amat besar pada selesainya bahan disampaikan (= Subject
matter-Oriented) dapat menbuat guru terpancing untuk "berpacu dalam
pelajaran".
b. "Proses penjelasan" cenderung untuk dilakukan banyak dengan
mengungkapkan apa-apa yang telah tersurat, padahal peranan guru bisa
lebih dari itu. Guru dapat mengungkapkan apa-apa yang tersirat, dengan
jalan mengungkapkan faktor "why" pada berbagai fakta sejarah, sehingga
pelajaran sejarah menjadi mata pelajaran yang paling msnarik, karena guru
mempunyai peluang untuk memberikan penjelasan terhadap bahan yang
tertulis. Nanum berbagai faktor selalu harus dipertimbangkan setiap kali
guru akan melangkah melakukan "penjelasan sejarah" yang lebih jauh.
separti : a. faktor selesainya bahan disampaikan kepada siswa; b. faktor
ketepatan dengan pakem atau bahan yang tertulis;
c. faktor kematangan siswa;
d. faktor kesiapan guru secara akadeanis;
e. faktor dukungan lingkungan;f. faktor tersedianya bahan penunjang, berupa
literatur. Urangnya penjelasan dari guru dapat mengakibatkan pemahaman
yang tidak utuh mengenai sesuatu fakTa sejarah.
Dalam berbagai kesempatan mengikuti ceramah umum di hadapan mahasiswa
seolah tersembul kenyataan betapa :
289
a. pengetahuan mereka akan fakta historis amat rendah, seperti tentang kisah-
kisah Mahabharatamaupun Ramayana.
b. Pemahaman mereka tentang fakta "PKI dan Ormas-omasnya" ,"DI/TIII",
''PRRI/Permesta" dsb. sangat tidak proporsional.
Gambaran mereka tentang para penberontak itu kurang manusiawi, karena seolah
bagai "tokoh setan" dan jauh dari kenyataan sebagai gejala sosial yang munculnya karena
sesuatu kondisi, dan menjadi pemberontak karena kegagalan msreka dalam menerima
tata nilai yang telah diakui kebenarannya bersama. Dengan kata lain karena kegagalan
proses sosialisasi. Dan oleh karenanya kehancuran mereka bukan semata-mata karena
"kewalat" olch “kesaktian” Pancasila, melainkan karena mereka melawan tata nilai yang
diakui oleh umum, dan oleh karenanya harus berhadapan dengan umum pula .
Proses penalaran semacam itu jauh lebih mudah dipahami oleh para siswa sekolah
menengah, dan akan membuat takta sejarah sebagai pengalaman yang penuh pelajaran
bagi generasi muda.
Terdapat kecenderungan di mana para guru menerima kehadiran perangkat SAP
hanya sebagai kewajiban formalistik belaka, hingga direncanakan menjadi samacam
beban akademik, karena datang dari atas. Sewajarnya perangkat itu dipahami sebagai
"dewa penyelamat'', yang sangat dibutuhkan oleh setiap guru untuk dipersiapkan sendiri
menjadi semacam "skenario" untuk kepentingan diri scndiri dalam menjalankan tugas
akademiknya. Ibarat sama dengan pemahaman kita tentang pcrangkat helm bagi para
pengendara sepeda motor, yang tentunya dibutuhkan tidak untuk menghindari tilang
poltas, melainkan untuk keselamat diri sendiri.
E. KERJASAMA ANTARA SEJARAWAN PENELITI DENGAN
SEJARAWAN PENDIDIK
Kerjasatna antara sejarawan peneliti/penulis dengan sejarawan pendidik dapat
diibaratkan sebagai kerjasama antara perancang mode busana
dengan peragawan/pcperagawati.Sebagaimana busana seorang perancang mode
busana, maka sejarawan peneliti bukan pencipta fakta, melainkan penemu, penyeleksi,
290
dan perangkai fakta historis. Hasil temuannya dapat dipajang di balik etalase sebuah
butik dalam wujud buku sejarah. Namun hasil rancangan itupun dapat diperagakan oleh
peragawan/peragawati di hadapan kelas. Dan para siswa ketika memungut sejarah itu
tidak merasa bagaikan memungut dari kotak obralan, melainkan dari diri sang guru
sejarah yang telah memperagakan sejarah di hadapan siswa.
Tantangan yang dihadapi oleh seorang peneliti sejarah maupun penulis sejarah
bagaikan tantangan yang dihadapi oleh para penjahit busana .Pilihannya ada di antara dua
hal. apakah akan menjadi perancang/jahtt yang memenuhi pesanan yang akan
mempronosikan produk dari pabrik tertentu, ataukah akan mangembangkan hasil kreasi
sebagai hasil temuan lapangan. Dan lebih dari seorang peragawan/peragawti, seorang
guru sejarah tidak hanya sekadar memperagakan sesuatu karya perancang, dalam wujud
sebuah paket, melainkan juga dapat ikut maramu sejumlah karya rancang busana, dan
menampilkannya dalam bentuk kreasi baru.
___________________________________________________
Makalah disajikan dalam Temu Ilmiah diselenggarakan oleh Jurusan Sejarah ,
Fakultas Sastra Undip 1990
2. BILA ISU KONTROVERSIAL MASUK KELAS SEJARAH
A. Pendahuluan
Pada suatu hari seorang mahasiswa mengemukakan sebuah pertanyaan kepada dosen
sejarah di dalam kelas sejarah, yang diambil dari tulisan-tulisan yang dimuat dalam
sebuah majalah berita. Tulisan semacam itu nampaknya juga dimuat dalam media massa
lain, seperti surat kabar, radio maupun televisi di Indonesia, karena termasuk ke dalam
'big news". Misalnya, tulisan tentang lama masa jabatan presiden, kriteria yang cocok
291
untuk jabatan wakil presiden, benar tidaknya tokoh pahlawan Peta Supriyadi masih
hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam kompleks Kraton Kasunanan Surakarta,
serta rencana memfungsikan Gedung Lawang Sewu di Semarang sebagai hotel.
Sedangkan tentang kejadian di mancanegara muncul pula tulisan-tulisan tentang sah
tidaknya klaim dan aneksasi Saddam Husein atas Kuweit, terlibat tidaknya Presiden Bush
dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah Yugoslavia pasca desintegrasi
dengan pemerintah lama, misi pelayaran Akatsuki Maru yang memuat plutonium
Perancis ke Jepang, maupun penghancuran Mesjid Babri oleh kaum militan Hindu, yang
berkeyakinan bahwa mesjid tersebut telah didirikan di atas reruntuhan Candi Rama, pada
masa Wangsa Moghul berkuasa di India. Tulisan-tulisan tersebut dianggap sebagai isu
kontroversial, karena mengandung kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di
kalangan masyarakat ramai maupun cendekiawan di Indonesia.
Manakala isu kontroversial semacam itu dikemukakan di dalam kelas sejarah, maka
amat bervariasi kemungkinan tanggapan yang muncul dan para dosen sejarah. Seorang
dosen barangkali akan dengan senang hati menanggapi isu tersebut, dengan membuka
kesempatan untuk diskusi kelas. Dan dari sana pembicaraan akan memasuki pokok
bahasan yang sudah terjadwal. Dosen lainnya barangkali mencoba untuk menghindarkan
diri dari kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan mahasiswa yang sulit
dilerai.
Perbedaan pendapat di kalangan dosen sejarah tersebut mencerminkan adanya
perbedaan prinsip mengenai dapat tidaknya isu-isu sosial dimasukkan sebagai bagian dari
proses belajar mengajar sejarah, sebagai bagian dari IPS, Iebih-lebih manakala isu
tersebut bersifat kontroversial.
Dalam kesempatan ini akan saya kedepankan hasil studi empirik mengenai
kemungkinan dimasukkannya isu kontroversial sebagai bagian dari proses belajar
mengajar.
B Paradigma Ilmu Sejarah
Sebelum sampai pada pokok bahasan utama, yaitu masuknya isu kontroversial dalam
kegiatan belajar mengajar sejarah, ada baiknya dikemukakan berbagai hal mengenai
292
sejarah itu sendiri, maupun tujuan pendidikan sejarah. Paling tidak ada dua cara untuk
mendefinisikan pengertian sejarah. Penama, sejarah dianggap sebagai keseluruhan
kejadian yang dialami oleh umat manusia di masa lampau. Kedua, sejarah dianggap
sebagai catatan atau rekaman kejadian-kejadian itu sendiri (Daniels, 1966 : 3). Dengan
adanya catatan maupun rekaman itu sejarah dapat dikomunikasikan dari generasi ke
generasi lain, yang kemudian dikenal sebagai bagian dari proses pendidikan. Dengan
batasan pertama, sejarah dianggap sebagai kumpulan fakta atau "history as a fact", dalam
artian kejadian obyektif tentang sesuatu yang betul-betul terjadi. Sedangkan dengan
batasan yang kedua, sejarah dianggap sebagai memori tentang masa lampau,
sebagaimana dialami atau didengar oleh seseorang secara subyektif, yang kemudian
disebut sebagai "history as written".
Oleh karena sejarah merupakan kenangan sesuatu bangsa terhadap pengalaman
bangsa itu sendiri, maka melupakan sejarah berarti bangsa itu seolah-olah menderita
amnesia. Oleh karenanya perilaku sosial berikutnya menjadi tidak utuh, karena tidak
didasarkan atas pengalaman masa Iampaunya. ltulah sebabnya Bung Karno pernah
menyampaikan pidatonya yang terkenal dengan judul Jasmerah, yang merupakan
singkatan dari nasihatnya “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.
Meskipun jalan sejarah itu unik dan hanya sekali saja terjadi, namun pengalaman
menunjukkan bahwa sejarah dapat mengajarkan sesuatu kepada umat manusia yang mau
belajar dari sejarah. Seorang filsof Yunani kuno, Heraklitos, pernah mangatakan, bahwa
“kalian tidak dapat menginjak untuk kedua kalinya aliran sungai yang sama, lantaran
aliran sungai yang baru akan selalu mengaliri kaki kalian” (Daniels, 1966: 4 dan 5).
Demikian pula sejarah itu sendiri terus berlalu, namun dia meninggalkan pelajaran bagi
bangsa-bangsa berikutnya.
Sementara itu tanggapan warga masyarakat terhadap fakta sejarah maupun cerita
sejarah tidak selamanya sama, sehingga menimbulkan berbagai versi. Tidak jarang
komentar maupun pandangan orang-orang itu disampaikan dengan cara-cara yang
merangsang, bahkan menimbulkan pertentangan pendapat atau kontroversial, yang pada
gilirannya memancing pendapat yang berkepanjangan. Media massa telah menyajikan
isu-isu kontroversial itu, sehingga materi sejarah bukan lagi hanya menjadi urusan para
sejarawan, melainkan juga oleh masyarakat awam maupun para pengajar sejarah. Salah
293
satu kemungkinan yang terjadi adalah munculnya sikap yang bervariasi dari para
pengajar sejarah.
Dalam kesempatan ini akan saya kedepankan hasil studi empirik mengenai
kemungkinan dimasukkannya isu kontroversiai sebagai bagian dari proses belajar
mengajar sejarah, sebagai bagian dari pendidikan IPS.
1. Fungsi-fungsi Sejarah
a. Sejsrsh berfungsi sebagai genesis, oleh karenanya bersifat deskriptif, naratif, dan
informatif. Dalam hal mi sejarah berisi rangkaian fakta yang dianggap menarik untuk
dikisahkan dari generasi ke generasi. Sejarah hanya berisi hal-hal mengenai faktor-
faktor What; Who, When, Where dan How. Sejarah dengan demikian lebih
merupakan hasil karya sastra ataupun rumusan gagasan falsafi, sehingga dikenal
sebagai "history as art" ataupun humaniora. Itu sebabnya Jurusan Sejarah dalam
Universitas-Universitas dimasukkan ke dalam Fakultas Sastra dan/atau Filsafat,
misalnya.
b. Sejarah berfungsi didaktis, oleh karena itu dipilihlah fakta di sekitar pengalaman
masa lampau yang membanggakan, menyedihkan dan sebagainya, yang
dikomukasikan kepada generasi muda untuk tujuan mengobarkan semangat.
Berbagai nilai luhur (ideal) bangsa ingin disampaikan lewat pendidikan sejarah, agar
terjadi proses sosialisasi dalam generasi baru, untuk menumbuhkan semangat
kepahlawanan, patriotisme, nasionalisme dan sebagainya.
c. Sementara itu aliran Sejarah Baru (New Historisism) amat menekankan pada
perlunya sajian fakta sejarah secara Iebih oblektif, lugas atau apa adanya. Sejarah
oleh karenanya harus tidak usah dikaitkan dengan usaha mendidik (didsktis) untuk
membangkitkan semangat kepahlawanan dan sebagainya, pada generasi baru.
Sejarah oleh karenanya harus disusun atas dasar fakta yang sesungguhnya terjadi,
sehingga diperiukan proses studi sejarah kritis. Hasilnya disajikan dalam wujud
sejarah sebagai karya llmu (history as science) dalam bentuk buku sejarah (history as
written). Dalam fungsi se macam inilah sejarah dianggap sebagai bagian dari llmu
Pengetahuan Sosial, yang dalam konteks persekolahan disebut Ilmu Pengetahuan
294
Sosial (IPS). Dengan alasan itu pulaiah Jurusan Sejarah di IKIP dimasukkan ke
dalam Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosisl (FPIPS).
C. . Identifikasi Tujuan Pendidikan Sejarah
1. Paradigfna Tujuan Pendidikan Nasional
Berbagai tujuan penidikan nasional pada berbagsi negara secara teoritik dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, sesusi dengan paradigma pendidikan yang
dikembangkan. Di negeri-negeri sedang berkembang pendidikan dipandang sebagai
"process of cultural transmission", di mana pendidikan dimaksudksn untuk
menyampaikan dan melestarikan kebudaysan yang telah dianggap mapan (Taba, 1962 :
19). Konsep tentang “pelestarian nilai-nilai perjuangan 1945”, misslnya, merupakan salah
satu bukti dipergunakannya sistem pendidikan yang demikian itu (Abu Su'ud,
1986 :110 ). Orientasi pengajaran sejarah yang dianut oleh negeri-negeri yang baru
mencapai kemerdekaan, amat menekankan pada bentuk sejarah nasional (Ballard ,1970 :
37).
Sementara itu di negeri-negeri bersistem komunis atau sosialis dikembangksn
prinsip bahwa pendidikan merupakan "process of cultural transformation", atsu proses
untuk merubah warga masyarakat menjadi tenaga kerja yang amat diperlukan oleh
lapangan pekerjaan atau industri (Taba, 1962:19). Oleh karena itu pengajaran sejarah
harus disrahksn pada penanaman pengertian mengenai benarnya prinsip “perjuangan
kelss”, yang mendasarkan pada azas “historis materislisme” atau “dialektika sejarah”
yang dianut oleh mereka (Ballard, 1970 : 39).
Di negeri-negeri Eropa dan Amerika, yang menganut sistem sosial yang liberalistik,
berkembang sistem pendidikan yang menganggap pendidikan sebagsi "process of
individual development", karena setiap individu dipandang sebsgai individu yang unik
(Taba, 1962 :19). Oleh karena itu pengajaran sejarah di sekolah harus dikembangkan
untuk dua hal, yaitu “kebanggssn nasional” dan “pengembangan saling pengertian antar
bangss” (Ballard, 1970 : 40).
295
2. Kesesusian dengan Sistem Pendidikan Nasional
Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, balk menurut GBHN 1983 msupun GBHN
1988, sama-sama beranggapan akan perlunya pengembangan pendidikan sejarah
perjuangan bangsa, dalam rangka untuk meneruskan dan mengembangksn jiwa,
semangat, dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda. Dan keduanya sama-sama tidak
menggunakan huruf besar dalam menyebut “pendidikan sejarah perjuangan bangsa”.
Amanat tersebut tetap sesuai dengan Tujuan Pendidikan Nasional menurut GBHN 1983.
a. … bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat
kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsasn dan cinta tanah air, agar
dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri, serta bersama-sama bertanggung jawab atas Penibangunan
Bangsa (GBHN, 1983).
Apabila kita simak, bunyi Undang-Undang No. 2 Tahun l989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Bab Il, PssaI 4 mengandung butir-butir penting, yang antara lain :
1) mencerdaskan kehidupan bsngsa, 2) mengembangkan konsep manusia Indonesia
seutuhnya, seperti religius, berbudi pekerti luhur, cakap, sehat, berpengetahuan, dan 3)
sadar akan tanggung jawab sebagai masysrakat dan bangsa.
Dari sana terlihat betapa Sistem Pendidikan Nasional kita tidak hanya menekankan
pengertian pendidikan pada fungsi “process of cultural transmission”, melainkan
sekaligus merupakan “process of cultural transformation” dan “process of individual
development”. Dengan demikian maka Model pengajaran sejarah di Indonesia harus
selalu mengacu pada seperangkat rujukan yang sesusi dengan (1) fslsafsh Pancasila
(bsndingkan dengan falsafah dialektika materislisme bagi pengajaran sejarah di Soviet
Rusia); (2) ketakwssn kepada Tuhan YME, budi pekerti, semangat kebangssan, cinta
tanah air, yang sesusi dengan fungsi “cultural transmission”; (3) dapat menumbuhkan
manusis-manusia pembangunan, yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-
sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsanya, sesusi dengan fungsi “cultural
296
transformation”; (4) meningkatkan kecerdasan dan ketrampilan , sesuai dengan fungsi
“individual development”; serta (5) mengembangkan saling pengertian antar bangsa,
seperti bunyi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, alinea terakhir “...dan ikut
malaksanskan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial ...” (GBHN 1983).
3. Tujuan pendidikan Sejarah di Sekolah
Dalam Kurikulum 1964 dan 1968 pengajaran sejarah lebih memberikan peluang bagi
mengembangan rasa kebangsaan. Dalam Kurikulum 1964, misalnya, tujuan yang
demikian itu terlihat jelas baik dalam jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), maupun Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal itu terjadi karena pelajaran
sejarah berstatus sebagai bagian dan Pendidikan Kewarganegarsan (Civics). Keadaam
semacam itu masih dirasakan dalam Kurikulum 1968, lebih-lebih ketika pemerintah Orde
Bsru mulai mengembangksn program Pendidikan Kewarganagaraan, menyusul terjadinya
pemberontakan G 30 S/PKI pada 1965. Rumusan tujuan seperti “Menghayatkan kepada
pelajar riwayst perjuangan Bangsa Indonesia dengan segala hambatannya (feodalisme,
kolonialisme) untuk mencapai perikehidupan yang bebas, bahagia, adil dan makmur"
menjadi ciri utama tujuan pendidikan sejarah pada awal Orde Baru itu (Hasan 1990 : 72)
Sementara itu tujuan pengajaran yang mengarah pada pengembangan kognitif telah
muncul pula pada Kurikulum 1968 itu. Misalnya, Kurikulum SMA menyebutkan bshwa
Pendidikan Sejarah bertujuan “untuk menanamkan historis inzich kepada anak didik, agar
mereka mengetahui segala peristiwa dalam hubungan sejsrah, yang merupakan suatu
proses sebab-akibat yang berkelanjutan”. Dalam Kurikulum 1975 misi Pendidikan
Sejarah sebagai sarana pengembangan kognitif, amat menonjol. Hal itu dirasakan sekali
ketika status Pendidikan Sejarah dianggap sebagai bagian dari llmu Pengetahuan Sosial
(IPS) (Hasan, 1990 : 73).
Dalam Kurikulum 1986 kedua tujuan tersebut, kognitif dan afektif, sudah
digabunghkan dalam Pendidikan Sejarah. Fungsi sebagai pendidikan nilai dari sejarah
lebih-lebih terasa dengan munculnya mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa (PSPB), yang secara khusus dimaksudksn sebagai sarana untuk mengembangksn
297
jiwa dan semangat nilai-nilai 1945, yaitu patriotisme, kepahlawanan, rela berkorban
maupun nasionslisme (Abu Su'ud, 1990 : 93). Sejarah di sini dipelajari sebagai sejarah
normatif. Di samping itu tetap diajarkan mata pelajaran sejarah yang lebih menekankan
pada pengembangan kognisi dan intelektual siswa. Di sini sejarah dipelajari sebagai
sejarah empirik.
Sampai di sini muncullah kemudian sejumlah masalah dalam dunia pengajaran
sejarah, yang muncul karena para guru sejarah harus melakukan sejumlah penyesuaian
diri dengan tugas-tugas profesional mereka. Masalah itu bermula dari pengertian
konseptual mengenai peranan sejarah dalam kehidupan manusia, potensi sejarah dalam
dunia pendidikan dan pengajaran ataupun bagaimana sejarah diajarkan. Sudah barang
tentu masalahnya dapat berkembang ke arah perbincangan mengenai peranan PSPB,
karena meskipun GBHN masih menganggap perlu peranan PSPB dalam proses
pendidikan, pengalaman menunjukksn terjadinya kejenuhan dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah-sekolah.
Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia, balk menurut GBHN 1983 maupun GBHN
1988, sams-sama memandang perlu pengembangan pendidikan sejarah perjuangan
bsngsa, dalam rangka meneruskan dan mengembsngkan jiwa, semangat, dan nilai-nilai
1945 kepada generasi muda. Kalau kita perhatikan maka dalam kedua konsep tersebut
tidak ditulis dengan huruf besar (=PSPB). Ini berarti bahwa misi itu tidak harus
dilaksanakan dalam satuan program yang eksplisit, seperti pelajaran PSPB dalam
kurikulum sekolah. Itu pula yang menjadi sikap para perumus kurikulum bsru yang akan
segera diberlakukan pada tahun 1994. Di sana tidak dipisahkan Iagi fungsi untuk
pengembengan watak bangsa lewat PSPB, dan fungsi pengembangan inteklektual lewat
pengajaran sejarah sebagai bidang studi.
D. Meningkatkan Efektivitas Metode Mengajar Sejarah
. Mencari Alternatif Baru
Lebih dari dua tahun yang lalu seorang warga negara Indonesia menyatakan
keprihatinannya mengenai pengajaran sejarah di sekolah. Orang tersebut adalah salah
298
seorang pengguna hasil pendidikan sejarah di sekolah, yang karena merasa tidak puas
dengan hasil pendidikan tersebut menyatakan keluhan serta mengajukan saran dalam
pengajaran sejarah di sekolah. Yang dimsksud adalah Bspak Haji Ismail, Gubernur
Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Tengah, yang nampak juga hadir dalam ruangan
ini. Keluhan tersebut dinyatakan dalam Pidato Sambutan dalam Pembukaan Seminar
Sejarah Nasional V di Semarang pada 27-30 Agustus 1990. Dalam kesempatan itu antara
lain dikatakan
“Memang kita akui bidang studi sejarah saat ini kurang diminati, baik di sekolah
maupun di perguruan tinggi. Hal ini terbukti adanya banyak keluhan para guru sejarah
kita. Sementara kita tahu, bahwa seiarah nasional mempunyal kriteria khusus dalam
pembinsan watak generasi muda kita, seperti menumbuh kembangkan jiwa patriotisme.
Di samping itu, melalui pelajaran sejarah nasional, anak-anak kita dapat memahami arti
pengorbanan para pahiawan kita dalam menegakkan kedaulatan negaranya. Melihat
kenyataan ini, terasa agak memprihatinkan manakala, bidang studi ini menjadi “samben”
bagi anak-anak kita. Untuk itulah pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan
harapan-harapan sebagai berikut Pertama, carilah alternatif terbaik untuk merangsang
minat belajar sejarah nasional bagi pelajar maupun mahasiswa. Hal ini penting artinya
bagi pembinaan semangat guru sejarah ...” (Ismail, 1990).
Paling tidak ada dua hal yang patut mendapat perhatian dari keluhan warga negara
yang mempunyai keprihatinan terhadap pengajaran sejarah itu. Pertama, ungkapan kata
“menumbuh kembsngkan jiwa patriotisme”. Ungkapan tersebut terasa lebih manusiawi
dan demokratis dibanding ungkapan yang lazim digunakan, seperti menanamkan jiwa
patriotisme maupun menanamkan nilai-nilai empatlima. Ungkapan tersebut timbul dari
kejelasan akan pandangan kita tentang hakekat manusia. Digunakannya ungkapam
menumbuh kembangkan menunjukksn betapa manusia tidak dianggap sebagai objek
mati, melainkan sebaliknya sebagal manusia yang mempunyai potensi fitrah. Fungsi guru
dengan demikian sangat tepat kalau dinyatakan sebegai membantu peserta didik dalam
mengembangkan din mencapai kedewassan.
Rumusan-rumusan dalam Undang-Undang No. 2 1989 lebih menegaskan lagi akan
perlunya kita menggunakan ungkapan yang lebih manusiawi dan demokrstis itu. Di sana
disebutkan
299
(1) Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikapan kemampuan
(Pasal 13 UU No.2 1989).
(1) Pendidikan tinggi merupakan kelanjutan pendidikan menengah yang diselenggarakan
untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang …” (Passl 16
UU No.2 1989).
Ungkapan menyiapkan peserta didik tersebut, jauh lebih tepat dibanding ungkapan
mencetak peserta didik, sebagaimana sering kita gunakan selama ini.
Kedua, ungkspan "Carilah alternatif terbaik untuk merangsang minat belajar
sejarah nasional bagi pelajar maupun mahasiswa" di atas, membuat kita tersentak dan
serta merta menyadari akan perlunya kita mencari dan menemukan alternatif alternatif
terbaik untuk merangsang belajar sejarah bagi pelajar maupun mahssiswa. Sudah barang
tentu alternatif yang akan dikemukakan dalam pidato ini bukan yang terbaik, namun
musti alternatif yang dimaksudkan untuk lebih merangsang belajar sejarah.
2. Landasan Pemikiran
a. Kepedulian Sosial
Salah satu tujuan pengajaran sejarah sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial adaiah
untuk menyiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik, serta berpikir kritis,
yang antara lain terlihat pada adanya kepedulian sosial. Dalam kaitan dengan kegiatan
belajar mengajar sejarah hal tersebut dapat tedihat pada kecenderungan tanggapan
mereka terhadap berbagai isu kontroversial dalam masyarakat; seperti tulisan tentang
lama masa jabatan presiden, tokoh yang cocok sebagai wakil presiden, benar tidaknya
tokoh pahlawan Peta Supriyadi masih hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam
kompleks Kraton Kasunanan Surakarta, serta rencana memfungsiksn Gedung Lawang
Sewu di Semarang sebagai hotel. Sedangkan tentang kejadian di mancanegara muncul
pula tulisan-tulisan tentang sah tidaknya klaim dan aneksasi Saddam Husein atas Kuweit,
terlibat tidaknya Presiden Bush dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah
Yugoslavia pasca desintegrasi dengan pemerintah lama, maupun misi pelayaran Akatsuki
Maru yang berisi plutonium Perancis ke Jepang.
300
b. Proses Pendemokrasian
Secara teoritik kerangka pemikiran itu didasarkan atas anggapan dasar, bshwa
demokrasi merupakan cara hidup yang menghargai alternatif, yang berarti warga
masyarakat mempunyai kebebasan untuk berbicara, berkumpul, mengajar dan
sebagainya. Tanpa adanya kebebasan itu rakyat tidak mempunyai kesempatan untuk
memerintah atau melsksanakan kedaulatan rakyat. Dalam lembaga sekolah para siswa
yang dididik untuk menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab,
mempunyai peluang untuk berlatih mengembangkan jiwa demokrasi itu dengan
menyatakan pendapat, meskipun berbeda dengan pendapat orang lain, misalnya terhadap
berbagai isu sosial yang bersifat kontroversial.
Sekolah ternyata mempunyaa fasilitas untuk memberikan pengalaman kepada para
siswa/mahasiswa untuk mengembangkan pengetahuan kognitif, emosi, serta ketrampilan
yang berkaitan dengan hak masyarakat demokrstis (Hartshorn dan Nu'msn Somantri,
1971:49).
Yang menjadi dasar konsep tersebut adalah kenyataan bahwa setiap bsngsa, setiap
warga masyarakat akan dihadapkan pada banyak isu dan masalah, yang menimbulkan
perbedaan pendapat adanya kepedulian sosial. Dalam kaitan dengan kegiatan belajar
mengajar sejarah hal tersebut dapat terlihat pada kecenderungan tanggapan mereka
terhadap berbagai isu kontroversial dalam masyarakat, seperti tulisan tentang lama masa
jabatan presiden, tokoh yang cocok sebagai wakil presiden, benar tidaknya tokoh
pahlawan Peta Supriyadi masih hidup, maupun rencana mendirikan hotel dalam
kompleks Kraton Kasunanan Surakarta serta rencana memfungsikan Gedung Lawang
Sewu di Semarang sebagai hotel. Sedangkan tentang kejadian di mancanegars muncul
puls tulisan-tulisan tentang sah tidaknya klaim dan aneksssi Saddam Husein atas Kuweit,
terlibat tidaknya Presiden Bush dalam skandal Iran-Kontra, identik tidaknya pemerintah
Yugoslavia pasca desintegrasi dengan pemerintah lama, maupun misi pelayaran Akstsuki
Maru yang berisi plutonium Perancis ke Jepang.
c. Relevansi Sosial Budaya
301
Secara konseptual dapat difahami, bahwa kecenderungan tanggapan maupun sikap
seseorang terhadap sesuatu isu atau objek, merupakan bagian dari pemeranan atau
penampilan seseorang dalam posisi sosial mereka. Sikap atau tanggapan itu tidak bisa
dilepaskan dari lingkungan sosial mereka. Pola tingkah laku yang telah menyatu dalam
masyarakat itu dalam sosiologi dikenal sebagai “design for living” bagi warganya. Gejala
semacam itu membuktikan kebenaran dari konsep “cultural determinism”, menurut para
antropolog, Herskovits maupun Mslinowski, atau “social determinism” menurut para
sosiolog (Abu Su'ud, 1986,170-171)
Dalam masyarakat yang mengenal sistem demokrssi yang mengandalkan
“musyawarah untuk mufakat”, sebagaimana difahami masyarakat pada tahapan
pembangunan sekarang, pengajar maupun mahasiswa sejarah di Jawa Tengah, sebagsi
bagian dari masyarakat Jawa Tengah pada umumnya, yang menurut pendapat
Kuntjaraningrat (1984) bertingkah laku lebih mengutamakan keselarasan dengan
lingkungsn alam maupun sosial, dikhawatirkan mereka cenderung tidak tertarik untuk
mengajukan isu kontroversial dalam kelas sejarah. Terasa sekali, bahwa ungkapan
“musyawarah untuk mufakat” cenderung difahami sebagai keharusan untuk selalu
konform dengan pendapat umum. Sehingga ungkapan keterbukaan yang amat dianjurkan
oleh pemerintah, hanya dirasakan sebagai slogan melulu, yang menandakan masih
rendahnya kemandirian (otonomi) pada sebagian anggota masysrakat dalam menyatakan
pendapat.
Kesimpulan semacam itu tentu saja sangat hipotetis sifatnya. Namun bagaimana
kenyataan yang terjadi?
3. Pengalaman Empirik
a. Masalah dan Tujuan
Untuk menjajagi kemungkinan dilaksanakannya gagasan isu kontroversial dalam
kelas sejarah, diperlukan pengalaman empirik dari lapangan. Yang menjadi masalah
untuk dipecahkan dengan penelitian tersebut ialah bagaimana kecenderungan tanggapan
mahasiswa maupun pengajar sejarah dalam menanggapi isu kontroversial yang
302
berkembang dalam masyarakat, dalam ran gka kegiatan belajar mengajar sejarah di
perguruan tinggi.
Secara operasional penelitian dikembangksn dengan tujuan untuk mengetahui lebih
rinci : 1) kecenderungan tanggapan mahasiswa sejarah terhadap isu kontroversial
dalam kelas sejarah, 2) kecenderungan jenis isu kontroversial yang dihindari untuk
dibahas dalam kelas sejarah, dan 3) kecenderungan tanggapan pengajar sejarah terhadap
isu kontroversial yang diajukan mahasiswa dalam kelas sejarah.
b. Populasi
c.
Populasi penelitian ini adalah para pengajar maupun mshasiswa sejarah pada
beberapa perguruan tinggi di Jawa Tengah, karena mereka sama-sama terlibat dalam
kegiatan belajar mengajar dalam lembaga yang melaksanakan pendidikan sejarah pada
Jurusan Sejarah. Dalam kenyataan terbukti bahwa populasi tersebut terbagi menjadi
tujuhan penelitian, atas dasar perbedaan kondisi maupun kekhasan, sebagai berikut.
Atas dasar efisiensi kerja, maka dilakukan penelitian sampel dengan menentukan
semua pengajar bidang studi sejarah yang sudah mandiri dalam memberikan kuliah
(Golongan III d ke atas atau sederajat), dan semua mahasiswa smester Vii pada tahun
kuliah 199011991. Hasilnya adalah 34 orang pengajar sejarah dan 181 orang mahasiswa
sejarah sebagai responden untuk seluruh daerah penelitian. Kepada mereka dan kedua
kelompok responden tersebut, diberikan daftar pertanyaan (kuesioner) yang berbeda.
Tabel 1 Kondisl Dan Kekhaaan Populasi
S t a t u s T u j u a n L e m b a g a K e k h a s a n
Negeri Mendidik Mendiigik Umum
Perguruan Tinggi Calon Calon
Swasta Sejarawan Sejarawan Khusus
303
Peneliti Pendidik
1. FS UNDIP V . V . Umum.
2. FS UNS V . V .
3. FKIP UNS V V . Umum.
4. FKIP UKSW V . V Kristiani
5. FPIPS IKIP
SEMARANG V . . V Umum
6. FPIPS IKIP
VET. SMG. . V . V Umum
7. FPIPS IKIP
MUH. PWKT .. . V . V Islam
I
C. Temuan dari Lapangan
Hasil dari lapangan dapat disajikan sebagai berikut
1) Mahasiswa mempunyai kesiapan mental tinggi dalam menanggapi isu kontroversial,
karena kebanyakan (83%) di dalam keluarga mereka merasa mempunyai kebebasan
berpendapat (periksa Tabel 2) meskipun berbeda dengan pendapat umum, sementara
itu mereka termotivasi kerangsangan yang tinggi oleh media masa (77%) (periksa
Tabel 3), dan bagian terbesar (89%) tertarik untuk mendiskusikan isu kontroversial
dengan teman kuliah ( Tabel 4).
304
Tabel 2 Kondlsi Kebebasan Berpendapat Dalam Keluarga (Dlm %)
Merasa Merasa Tidak
Perguruan Tinggi Bebas Tak Bebas Tahu
FS Undip (n=40) 90 10 -
FS UNS (n=31) 84 7 9
FKIP UNS (n=33) 79 9 12
FKIP UKSW (n=20) 65 20 15
FPIPS IKIPSEMARANG (n=8) 75 25 -
FPIPS IKIPVETERAN (n=19) 89 6 5
FPIPs IKIP MUH. PWK 83 3 14
Rata-rata (n = 181) 83 9 8
Tabel 3 Tingkat Kerangsangan Media (Dalam %)
Hampir Kadang Bila Ada Tidak
Perguruan Tinggi Setap kaala9 Yg. Pernah
Hari Menarik
FS UNDIP (n=40) 32 35 30 3
FS UNS (n=31) 45 32 19 4
FKIP UNS (n=33) 55 35 10
FKIP UKSW (n=20) 20 30 50
FPIPS IKIP SMG.(n=8) 40 50 10
FPIPS IKIP VET.(n=19) 5 74 21
FPIPS IKIP MUH 19 67 14
Rata-rata (n = 181) 33 44 23 7
305
Tabel 4 Rangsangan Untuk Membahas isu Kontroversial(Dalam %)
Tertarik Tertarik Membahas Masa
Mendis- Mendisi Sendiri Bodoh
Perguruan Tinggi kusikan kusikan dg.
Di kelas teman
FS UNDIP (n=40) 3 5 5
FS UNS (n=31) 3 87 6 3
FKIP UNS (n=33) 3 91 6 -
FKIP UKSW (n=20) 5 90 - 5
FPIPS IKIP SMG. (n=8) - 100 - -
FPIPS IKIP VET. (n=19) - 89 11 -
FPIPS IKIP MUH. (n=30) 7 87 6 -
Rata-rata (n = 181) 3 8 9 5 5
Tabel 5 Jenis isu Kontroversial Yang Dihindari Untuk Dibahas
(Dalam %)
FS FS FKIP FKIP FPIPS FPIPS FPIPS JML
Jenis Isu UNDIP UNS UNS UKSW IKIP IKP IKIP
SMG. VET MUH. (N=332)
IDEOLOGI 26 13 13 8 4 12 14 = 90(27)
POLITIK 8 7 6 4 2 10 8 = 45(14)
EKONOMI 2 9 3 4 0 1 6 = 25(27)
SOSIAL 4 7 10 7 2 1 8 = 39(11,7)
BUDAYA 15 6 5 1 2 2 8 = 40(12)
AGAMA 10 17 19 7 3 11 8 = 75(22,6)
306
HANKAM 0 4 4 4 0 4 2 = 18(5)
2). Dalam hal kecenderungan jenis isu kontroversial yang dihindari mahasiswa untuk
dibahas dalam kelas sejarah, berurutan sebagai benkut : ideologi (27%), agama
(22,6%), politik (14%), budaya (12%), sosial (1137%), ekonomi (?;5%), dan hankam
(5%). (Pedksa Tabel 5).
3) Sebesar 18% para pengaajar sejarah cenderung sangat bergairah membahas isu
kontroversial yang diajukan mahasiswa dalam kelas sejarah, menurut pandangan
mahasiswa, sebanyak 65% cenderung hanya berkomentar sekilas, sebesar 11% lagi
mengaku tidak pernah membahasnya, dan sisanya (6%) seialu men ghindar untuk
membahasnya. (Periksa Tabel 6).
Tabel 6 Kecenderungan Sikap Dosen Dalam Menanggapl Isu
KontroVersial Dalam Kelas, menurut mahaslswa (Dalam %)
Bergairah Berkomentar Tak Pernah Selalu Perguruan
Tinggi Membahas Selintas Membahas Membahas
FS UNDIP (n=40) 8 69 18 5
FS UNS (n=31) 7 67 16 10
FKIP UNS (n=33) 24 64 10 2
FKIP UKSW (n=20) 5 85 - 5
FPIPS IKIP SMG.(n=8) 12 76 - 12
FPIPS IKIP VET.(n=19) 11 68 16 5
FPIPS IKIP MUH.(n=30)1 47 43 5 5
Rata-rata (n=181) 18 65 11 6
307
Informasi itu datangnya dari fihak mahasiswa ketika ditanya tentang pengajar
sejarah mereka di kelas. Ada perbedaan menyolok antara pendapat yang dikemukakan
oleh mahasiswa dengan jawaban yang diberikan oleh para pengajar itu sendiri. Kita ikuti
informasi berikut ini Sebagian besar (73%) mengaku bergairah membahas isu
kontroversial itu dalam kelas. Sementara sebanyak 21 % hanya menanggapi ala kadarnya.
Sedangkan Iumlah yang mengelak karena khawatir menimbulkan selisih pendapat ada
3%, dan yang beralasan tidak menguasai masalah ada 3% (Periksa Tabel 7).
Tabel 7 Kecenderungan Tanggapan Pengejar Sejarah
Terhadap Isu Kontrcversial (Dalam %)
Membahas Menanggapi Mengelak Mengelak
Dalam sekadarnya agar tak karena tak
Kelas agar Mhs. Timbul kuasai
Perguruan Tinggi Tak kecewa selisih masalah
Faham
FS UNDIP (n=4) 100 - - -
FS UNS (n=4) 50 50 - -
FKIP UNS (n=4) 75 M25 - -
FKIP UKSW (n=4) 50 50 . .
FPIPS IKIP SMG.(n=8) 87,5 12,5 - -
FPIPS IKIP VET.(n=4) 25 25 25 25
FPIPS IKIP MUH.(n=6) 100 - - -
Rata-rata (n=34) 73 21 3 3
308
d. Diskusi
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa mahasiswa yang kebanyakan
merasa mempunyai kebebasan dalam keluarga untuk menyatakan pendapat (sebanyak
83%), cenderung tidak berani (hanya 3%) menyatakan pendapat dalam kelas sejarah
untuk mengajukan isu kontroversial sebagai bagian dari kegiatan belajar mengajar sejarah
? Mereka hanya berani berdiskusi dengan teman sendiri (sebesar 89%).
Demikian pula mengapa para pengajar sejarah cenderung untuk menghindar dan
kemungkinan membahas isu kontroversial yang diajukan oleh mahasiswa? Hanya 18%
saja yang siap untuk melayani mahasiswa. Sementara sebagian besar (yaitu 65%) hanya
menanggapi selintas.
Dapat diduga bahwa kecenderungan itu terjadi karena faktor “relevansi sosial
budaya” yang terjadi dalam masyarakat, yang cenderung memberikan kepada warganya
suatu “design for living”, dan yang sekaligus merupakan akibat dari proses “social
determinism” atau “cultural determinism”. Artinya, bahwa dalam menentukan sikap atau
pendapat, para mahasiswa maupun pengajar sejarah, terikat oleh “tekanan” sosial budaya,
berupa nilai-nilai mapan yang diyakini. Misalnya, pengajar tidak begitu bergairah kalau
mahasiswa mengajukan isu sosial (apalagi yang kontroversial) dalam kelas sejarah,
sehingga mahasiswa menladi takut melakukannya. Ini menandakan gejala rendannya
kemandirian.
Para pengajar nampaknya juga terpengaruh oleh gambaran atau citra mengenai
kemapanan nilai sosial yang dianggapnya tidak mendukung keterbukaan seperti itu.
Dalam konflik internal yang terjadi antara kemandinan yang menjadi kualitas seorang
ilmuan, dengan kehendak untuk selalu konform atau harmonmis dengan lingkungan, yang
menjadi kualitas seorang birokrat, nampaknya dimenangkan oleh kualitas birokrat yang
ada pada diri mereka. Sebuah gambaran ekstrim dapat dikemukakan di sini menyangkut
seorang dosen calon respoden misalnya, menolak untuk mengisi kuesioner penelitian
karena dianggapnya akan melakukan dosa poIitik.
Menurut gambaran pada Tabel 6 saya tidak tahu mengapa di antara dosen yang
309
menurut mahasiswa sangat bergairah untuk menaggapi isu kontroversial, 47% berasal
dari IKIP Muhammadiyah Purwokerto, 24% terdapat di FKIP UNS dan 12% terdapat di
IKIP Semarang. Sedangkan iainnya berada di bawah itu. Dalam pada itu perguruan tinggi
yang diperkirakan memiliki kemandirian dalam bersikap, tidak menonjol dalam
menghasilkan dosen sejarah yang senang membahas isu kontroversial dalam kelas.
Misalnya, Fakultas Sastra Undip maupun FKIP UKSW Salatiga.
V. Pola Pengembangan Program. Isu Kontroversial Masuk Kelas
Berikut mi merupakan sebuah pola pengembangan program isu kontroversial dalam
kelas sejarah, yang disusun berdasarkan rambu-rambu yang diperoleh dari hasil
penelitian, baik dari fihak responden mahasiswa maupun responden pengajar
1. Tujuan Program
)rogram dengan nama “Bila Isu Kontroversial masuk kelas sejarah” bisa
dikembangkan untuk berbagai tujuan sbb.:
1) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan daya penalaran.
2) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan daya kritik sosial
3) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan kepekaan sosial
4) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan toleransi dalam
perbedaan pendapat.
5) Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan keberanian
mengemukakan pendapat secara demokratis.
6). Program dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan kemampuan menjadi
warga negara yang bertanggung jawab.
2. Sumber Dan Bahan Program
Program isu kontroversial masuk kelas sejarah seyogyanya mendasarkan pada bahan
310
yang bersumber dari media masa, karena sifatnya yang terbuka dan dapat diikuti oleh
siapapun. Bahan yang bersumber dari desas-desus bukan merupakan sumber yang
dianjurkan, meskipun bersifat menarik.
Adapun bahan isu kontroversial yang cenderung lebih disukai oleh mahasiswa ialah
yang berkaitan dengan kejadian di Dalam Negeri, dengan alasan “lebih bermanafaat” dan
“mudah dihayati”. Sebaliknya pada itu para pengajar sejarah lebih menyukai kejadian di
Luar Negeri.
3. Peranan Pengajar Dan Metode Pengembangan
1) Pengajar sejarah yang melaksanakan program isu kontroversial masuk kelas
sejarah seyogyanya mempunyai seperangkat kualitas berikut ini, yang disusun
berurutan sesuai hasil penelitian (1) objektif, (2) menguasai masalah, (3) relevan
dengan bidang studi sejarah, (4) toleran,. (5) membantu proses penalaran, dan (6)
pendidikan tambahan. (Periksa Tabel 8).
2) Peranan pengajar dalam program ini amat menentukan, meskipun
urutan berikut tidak menunjukkan peringkat
(1) sebagai pengendali agar diskusi dapat terarah
(2) harus menguasai masalah
(3) harus memberikan keleluasan kepada menyatakan pendapat
Tabel 8 Urutan Kualitas Yang Dituntut Untuk Dosen Daiam
Melaksanakan Program lsu Kontroversial Dalam Kelas
(Dalam %)
FS FS FKIP FKIP FPIPS FPIPS FPIPS jUMLAH
311
Jenis Isu UNDIP UNS UNS UKSW IKIP IKIP IKIP (n=332)
SMG. VET. MUH.
Relevan dgn. 18 17 14 8 4 9 14 =84 (16,94)
S Sejarah
Menguasai 29 20 18 7 5 11 12 =102 (20,56)
Masalah
Objektif 24 18 19 8 7 13 15 = 104 (20,97)
Toleran 24 11 14 8 3 7 8 = 75 (15,12)
Membantu 20 17 13 7 3 8 6 = 74 (14,91)
Pendidikan-
Tambahan 13 16 8 5 2 6 7 = 57 )11,49)
4. Meetode
Adapun metode yang dianggap baik oleh para pengajar untuk mengembangkan
program mi bervariasi. Penggunaan metode tertulis banyak didukung oleh para pengajar,
dengan alasan dapat melibatkan Iebih banyak peserta, menurut para pengajar namun
sekaligus dapat mengurangi spontanitas peserta. Sementara itu para mahasiswa lebih
menyukai cara lisan, karena dapat mengembangkan dialog Iangsung.
5. Sistem Evaluasi
Berikut ini merupakan seperangkat rambu-rambu yang berguna dalam penyusunan
perangkat evaluasi terhadap keberhasilan belajar dalam program isu kontroversial dalam
kelas sejarah, sebagai kesimpulan hasil penelitian.
(1) Keberhasilan belajar dalam program tidak dapat dilepaskan dari keseluruhan tujuan
pengajaran sejarah.
312
(2) Keberhasilan belajar dalam program tidak boleh merugikan mahasiswa yang tidak
dapat menyatakan pendapat secara lisan dalam diskusi.
(3) Keberhasilan belajar dalam program agar dapat dilihat pada kemampuan
menganalisis masaiah-masaiah sosial
(4) Keberhasilan belajar dalam program tidak dapat diukur dari keserasian atau
ketidakserasian dengan pendapat pemerintah.
(5) Keberhasilan belajar dalam program agar dapat dilihat pada keberanian
mengemukakan pendapat secara objektif, disertai dengan argumentasi yang tepat.
E.Penutup
Para hadirin yang amat terpelajar
Pada bagian akhir pidato ini hanya ingin ditekankan kembali perlunya pencarian
jalan terobosan, guna menemukan alternatif dalam cara pengajaran sejarah di sekolah.
Maksudnya sudah jelas, yaitu agar sejarah dapat disajikan lebih menarik dan merangsang
pelajar untuk mau belajar sejarah dalam arti yang sesungguhnya. Berbagai cara sudah
ditawarkan, termasuk model yang ditawarkan oleh para mahasiswa Jurusan Sejarah IKIP
Semarang, dalam kesempatan tampil sebagai finalis dalam Lomba Karya llmiah
Mahasiswa Bidang Pendidikan Wilayah B tahun 1993 mi. Mereka, Hari Wulyanto
bersama Suwarno, telah mengajukan alternatif dalam pengajaran sejarah, yang disebut
dalam makalah yang diajukan yang berjudul “Metode Belajar Kreatif Dalam Proses
Belajar Mengajar Sejarah”.
Berbagai mitos dalam cara pengajaran sejarah, seperti alasan memenuhi target untuk
menghabiskan bahan, menghindari konflik terbuka di kalangan mahasiswa, hilangnya
wibawa guru kalau tidak dapat menjawab masalah dan sebagainya, harus dapat
dihilangkan, kalau kita menginginkan kemajuan. lnilah refleksi proses inovatif dalam
proses pengajaran sejarah. Resiko yang bakal dihadapi memang ada, seperti telah
dikemukakan dalam isi pidato di muka.
Gagasan isu kontroversial masuk kelas sejarah yang saya tawarkan ini hanya
merupakan langkah-langkah kecil dalam rangkaian metode belajar kreatif dalam proses
belajar mengajar sejarah, seperti ditawarkan oleh “anak-anak kernarin” dalam forum
313
besar seperti Kipnas Pendidikan tahun 1992 yang Ialu. Pada tempatnya kalau kita
bersama dapat memberikan hormat kepada mereka.
Disarankan pula agar metode belajar mengajar semacam inipun dapat pula
dikembangkan pada bidang studi IPS lainnya, pada jurusan-jurusan selain Pendidikan
Sejarah, seperti yang juga dikembangkan dalam perkuliahan llmu Sosial Dasar (ISD)
maupun llmu Budaya Dasar (IBD).
Para hadirin yang amat terpelajar.
Dengan demikian dapat saya akhiri pidato ini. Harapan saya semoga ada manfaatnya.
Dan banyak terima kasih saya sampaikan kepada para hadirin karena telah sudi
memberikan perhatian pada pidato saya ini.
Pada akhirnya, dimohon dengan hormat lagi sangat sudilah kiranya para rekan
sejawat serta hadirin sebagai warga masyarakat ilmiah senantiasa memberikan motivasi
serta dorongan kepada diri saya, agar sejak peristiwa pengukuhan ini senantiasa dapat
melaksanakn peran sosial saya dalam kapasitas yang baru mi, lebih baik lagi.
Terpujilah Allah SWT yang telah memberikan kekuatan pada saya untuk
membacakan pidato ini. Semoga Dia senantiasa memberikan taufik serta hidayatNya
kepada kita.
Amin, Ya Robbal Alamin.
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarokatuh.
@@@
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Su'ud, 1986, Kecenderungan Konfarmitas Pendapat Para SiswaTiga
SMA (Kolese Loyola, Muhamadlyali, dan Taman Siswa) di emarang,
Mengenai Berbagai Masalah Sosial, Dalam Rangka
Proses Integrasi Sosial, Disertasi, tidak diterbitkan, Bandung.
314
Abu Su'ud, 1989, Sejarah Dan Pendidikan, Makalah Dalam Temu Sejarah II, Semarang:
Kanwil Depdikbud Prop. Jateng bekerja sama dengan MSI Cabang Jateng.
Abu Su'ud, 1990, “Pengajaran Sejarah”, dalam Seminar Sejarah Nasional V, Jakarta :
Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah
Nasional.
Abu Su`ud, 1991, Pemeranan Pengajar Sejarah Pada beberapa Perguruan Tinggi Di Jawa
Tengah Dalam Menanggapi lsu Kontroversial, Laporan Penelitian, Pusat
Penelitian IKIP Semarang.
Abu Su'ud, 1991, Model Pengajaran Sejarah Yang Sesuai Dengan Perkembangan Sosial,
dalam Seminar Pengajaran Sejarah dan Perubahan Sosial dalam Rangka Dies
Natalis IKIP ke 26, IKIP Semarang.
Abu Su'ud, 1992, Penanaman Kesadaran Sejarah Dalam Menatap MadaDepan, akalah
Untuk Pembinaan Dan Pengembangan Kebudayaan Daerah Jawa Tengah,
Semarang : Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa Tengah.
Ahmad Sanusi, 1972, Beberapa Pendekatan dan Alat dalam Studi Sosial Bandung.:
Bagian Penerbitan FKIS IKIP Bandung.
Ballard, Martin (ed), 1970, New Movement in the Study and Teaching History, London :
Temple Smith.
Banks, James A., 1972, Teaching Strategies for the Social Studies Inquiry, Valueing and
Decision Making, 2nd Edition, Massachusetts: Addison-Wesley Publishing
House Company.
Clifton, James A, (ed), 1968, Introduction to Cultural Anthropolog Boston:Houghton
315
Miffin Coy.
Daniels, Robert V, 1966, Studying History, New Jersey : Pranice Hall.
Gottschalk, Louis, 1975, Understanding History A Primer of Historical Method,
terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta : Yay. Penerbit UI.
Hari Wulyanto dan Suwarno, 1992, Metode Belajar Kreatif Dalam Proses
BelaiarMengajar Sejarah, Makalah disampaikan Dalam Kipnas Pendidikan
Wilayah B, IKIP Semarang.
Hartshorn Merril F dan Nu'man Somantri, 1971, Tantangan Daiam Pengajaran Ilmu
Sosial dan Pendidikan Kewargaan Negara, Bandung : Badan Penerbitan IKIP
Bandung.
Hasan, Said Hamid, 1990, “25 Tahun Pendidikan Sajarah”, dalam Seminar Sejarah
Nasional V Jakarta : Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek I nventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
Ismail, M., 1990, “Pidato sambutan”; dalam Pembukaan Seminar Sejarah Nasional
V, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
Sartono Kartodirdjo, 1990, “Fungsi Sajarah Dalam Pembangunan Bangsa Kesadaran
Sajarah, identitas dan kepribadian Nasional”, dalam Seminar Sajarah Nasional V
Jakarta: Depdikbud, Dit Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Serjarah Nasional
Taba, Hilda, 1962, Curriculum Development Theory and Practice1 Chicago, New York :
Harcourty, Braces World, Inc.
316
-------- ,1983, UUD 1945, P4 DAN GBHN: BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,
Depdikbud, Jakarta.
-------- 1988, UUD 1945, P4 DAN GBHN BAHAN PENATARAN, Dirjen Perti,
Depdikbud, Jakarta.
--------,1991, Himpunan UU No.2 Tahun 1989, PP No.30 Tahun 1990, dan Kep.
Mendikbud No.0457, IKIP Semarang.
ATATAN :
TulisaN di atas adalah Pidato Pengukuhan dalam pelantikan sebagai Guru Besar
Pendidikan Sejarah pada IKIP Semarang pada tahun 1992. Pada kesempatan itu Rektor
membacakan juga pidato pengantar pelantikan. Dalam bagian ini juga dipaparkan
kembali berbagai komentar dari Media Massa setempat yang menyambut peristiwa
pengukuhan tersebut.
Di bawah ini di dicantumkan sejumlah komentar yang diberikan oelg rektor IKIP
Semarang maupun tulisan dalam media massa, nasional maupun lokal.
3. KOMENTAR-KOMENTAR
A. SAMBUTAN REKTOR
317
“…………………………………………………………………….
Dalam lingkungan pendidikan sejarah IKIP Semarang Prof. DR. Ab Su`ud
bukan merupakan orang asing lagi, karena banyak karya tulis yang pernah disajikannya
di media massa. Gaya penulisannya yang populer dan merangsang minat baca sungguh
merupakan daya tarik tersendiri, sehingga banyak materi ilmiah menjadi mudah dicerna
dan difahami oleh berbagai kalangan masyarakat. Demikian pula dengan materi pidato
ilmiah yang akan segera disampaikannya berikut ini Prof. DR. Abu Su`ud akan
membawa kita pada pemikiran mendalam mengenai pendidikan sejarah melalui
pembangkitan minat terhadap isu-isu kontroversial yang menarik.
Sejarah sebagai kenyataan masa lalu adalah pengalaman yang sangat berharga
bagi kehidupan menusia, lengkap dengan peradabannya. Apa yang dicapai oleh manusia
pada saat itu , baik dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni maupun bagian
peradaban lainnya adalah kelanjutan dari apa yang telah dicapai oleh manusia
sebelaumnya. Masa lalu, apapun bentuknya, baik berupa keagungan Majapahit maupun
yang berbentuk tragedi Pemberontakan Gerakan 30 September oleh Partai Komunis
Indonesia, keduanya harus dapat diambil hikmahnya sebagai pelajaran untuk perbaikan
dan pengembangan masa depan. Tidak selayaknya kita hanya tenggelam di dalam
kebanggaan di masa lalu, demikian tidak pada tempatnya apabila kita hanya dapat
mengutuk dan menyesali masa lalu. Masa lalu adalah timbunan ilmu pengetahuan,
teknologi dan peradaban manusia yang terus menerus yang harus digali dan dikaji untuk
perkembangan kebudayaan, peradaban dan kemaslahatan umat manusia. Dunia
pendidikan sejarah menghadapi tantangan besar dalam upaya membangkitkan minat pada
generasi muda untuk lebih memahami sejarah bangsanya, terutama, secara akurat.
Mudah-mudahan sumbangan pemikiran yang disampaikan oleh Prof. DR. Abu
Su`ud ini akan sangat bermanfaat bagi pengembangan pendidikan sejarah, terutama
dalam era yang menhendaki peningkatan demokrasi dan keterbukaan seperti pola yang
menjadi tekad pemerintah RI menhjelang memasuki Abad 21. Dalam kesempatan ini
izinkanlah saya atas nama Senat dan kelaurga besar IKIP Semarang menyampaikan
penghargaan dan ucapan selamat kepada Prof. DR. Abu Su`ud dan keluarga atas
penykuhan Guru Besarnya pada hari ini.
318
IKIP Semarang dan masyarakat ilmiah lainnya sangat berbangga dan berterima
kasih atas segala pengabdian Prof. DR. Abu Su`ud, baik di bidang pengembangan ilmu
maupun kemasyarakatan. Selamat mengabdikan diri untuk mewujudkan cita-cita
mencerdaskan keghidupan bangsa.
……………………………………………………………………………….”.
Rektor selaku Ketua Senat
Prof. DR. Retmono.
@@@
B. TAJUK RENCANA HARIAN SUARA MERDEKA, 26 – 1 - 1993
“…………………………………………………………………………
Pengangkatan Dr Abu Suud sebagai guru besar datam bidang Pendidikan Sejarah di
IKIP Semarang agaknya punya makna tersendiri. Staf pengajar yang rajin menulis di
media massa, memberikan ceramah, dan berbicara di berbagai pertemuan ilmiah itu
mengangkat persoalan yang aktual dan kontekstual di bidangnya. Dalarn pidato
pengukuhannya dia juga menyinggung soal isu-isu kontroversial, yang ternyata memang
tidak mudah bagi pengajar di kelas sejarah. Bentuk sejarah kontemporer yang masih
dekat dengan praktik potitik, kesulitan bukan hanya bagi pengajar tetapi juga peserta
didik, yang sering terpotong daya kritisnya dan terhalang semangat kreatifnya. Bahkan di
luar kelas sejarah formal, di kelas sejarah yang lebih luas baik, di masyarakat maupun di
penataran-penataran, isu kontroversial juga sering merepotkan.
Sejarah merupakan rangkaian kejadian masa lalu yang direkonstruksikan kembali
dengan sistem tertentu. Tak bisa dipungkiri bahwa sudut pandang dari penyusun yang
terlibat dalam sistem itu pasti sangat menentukan kepentingan- kepentingan yang begitu
319
kuat, terutama datang dari kepentingan politik. Sejarah lama yang banyak didominasi
riwayat elite politik menunjukkan betapa besar pengaruh kelompok itu dalam penulisan
sejarah. Baik pada kesadaran penulisannya maupun kesadaran untuk memuatkan
kepentingan-kepentingan kelompok elite politik. Maka datam ilmu potitik diteorikan
bahwa sejarah adalah potret politik masa IaIu, dan politik masa kini akan menjadi sejarah
di masa depan. Dari sini kesulitan yang dikemukakan Prof. Abu Suud itu dimulai.
Untuk sejarah yang masih sangat dekat dengan kekuatan politik, misalnya, jika
dikaitkan dengan para pelaku sejarah atau para pendukungnya masih ada, akan lebih sulit
untuk didekati secara objektif. Dari sini biasanya kontroversi itu mulai. Pro-kontra
mengenai keterlibatan tokoh atau kelompok tertentu dalam peristiwa sejarah, atau posisi
dan sikap mereka dalam menanggapi kejadian-kejadian historis bisa menjadi kontroversi
yang tak pernah selesai. Polemik tentang Pancasila yang pernah berlarut-jarut, misalnya,
menyangkut hari lahirnya, siapa perumusnya dan sebagainya, merupakan contoh yang
sangat dirasakan dalam masyarakat kita. Kasus terbaru adalah kontroversi posisi Raja
Bone, Aru Palaka, pahlawan atau p9ngkhianat?
Daftar itu bisa terus diperpanjang. Dampak kontroversi bisa dilihat pada
pelarangan buku sejarah untuk diajarkan di sekolah karena penulisnya dinilai tidak bisa
dipercaya keobjektifannya. Juga berkali-kali buku pelajaran sejarah dikritik, komudian
disunting kembali. Bahkan untuk kalangan tenentu kontroversi sejarah bisa di anggap
sebagai masalah hidup dan mati. Cap bahwa seseorang terlibat dalam peristiwa sejarah
yang dianggap negatif, misalnya Gerakan 30 September (G30S/PKI) bisa membuat
orang mempertaruhkan kehormatan sampai ke meja hijau. Penulis buku Siapa Menabur
Angin Akan Menuai Badai, Soegiarso Soerojo diajukan ke pengadilan oleh salah soorang
tokoh yang disebutkan dalam buku tersebut.
Kepedulian Prof. Suud pada masalah ini memang sangat beralasan, justru karena
berkaitan dengan kompetensinya sebagai pengajar dari para pengampu kelas sejarah.
Dalam kenyataan ini terbukti dari penelitian, para pengajar berusaha tidak mengambil
risiko dalam mengangkat topik-topik kontroversial itu ke dalam kelasnya. Ada yang
hanya menyinggung sepintas lalu, atau bahkan sama sekali tak mengagendakannya
dalam rencana pengajaran. Atau bahkan menghindar jika ada peserta didik yang kreatif
dan berusaha mengangkat masalah yang mengandung kontroversi itu. Dalam Iingkup
320
yang lebih luas, ketakutan mengambil risiko itu juga terjadi dalam perbincangan di
masyarakat, bahkan di forum-forum ilmiah. Banyak mahasiswa yang menghindarkan diri
untuk meneliti kasus kontroversi jika targetnya ingin cepat lulus.
Keadaan ini bisa memprinatinkan. Kalau tidak membuat kita atau generasi
mendatang kurang mendapatkan infomasi yang jelas dan objektif juga menyebabkan
para peserta kelas sejarah tidak kritis dan kurang kreatif. Dr. Abu Suud menyarankan
agar dalam situasi demikian digunakan data objektif yang dimuat media massa. Memang
walaupun data media massa bukan satu-satunya kebenaran, namun guru besar ini
setidaknya ingin mengajak para peserta didik atau siapa saja untuk mengangkat fakta
seperti apa adanya. Kemudian menyarankan pada publik sejarah agar melakukan
penilaian dan tanggapan. Walaupun tentu saja kerangka konstruktifnya perlu disepakati
agar cara pandang yang mungkin berbeda tak mengurangi komitmen dalam bersikap
untuk menghadapi masa depa n ………………..”
@@@
C. BERITA DI SUARA MERDEKA, 22 JANUARI 1993)
“……………………………………………………………………………………………
Kebanyakan mahasiswa ternyata merasa mempunyai kebebasan dalam keluarga untuk
menyatakan pendapat, namun cenderung tidak berani menyatakan pendapat dalam kelas
sejarah untuk mengajukan isu kontroversial sebagai bagian dari kegiatan belajar-
mengajar sejarah.Hal tersebut terungkap dalam penelitian Prof. Dr. Abu Su'ud terhadap
mahasiswa jurusan sejarah dari tujuh universitas, yakni di emarang, Solo, dan Salatiga. Ia
mengemukakan hal itu berkaitan dengan rencana pengukuhannya sebagai guru besar
tetap pada Fakultas Pendidikan IImu Pengetahuan Sosial (FPIPS) IKIP Semarang, Sabtu
besok.
Dalam pidatonya "Bila Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah: Sebuah Alternatif
dalam Pengajaran Sejarah", kolumnis di berbagai media massa, antara lain Suara
Merdeka, akan menyampaikan gagasannya tentang perlu dimasukkannya isu
kontroversial dalain pengajaran sejarah. Dijelaskan berbagai isu kontroversial yang
berkembang di masyarakat seperti tentang lama masa jabatan presiden, pembangunan
321
hotel di kompleks Kasunanan Surakarta dan sebagainya, dapat dikemukakan di dalam
kelas sebagai bahasan pelajaran sejarah.
Untuk menjajaki kemungkinan dilaksankannya gagasan itu diperlukan
pengalaman nyata (em pirik) dari lapangan. Hal yang menjadi masalah untuk dipecahkan
dengan penelitian tersebut ialah, bagaimana kecenderungan mahasiswa maupun
pengajar sejarah dalam sejarah dalam menanggapi isu kontroversial yang berkembang
dalammasyarakat, dalam rangka kegiatan belajar- mengajar sejarah di perguan tinggi.
Penelitiannya dilakukan terahadap 181 responden mahasiswa dan 34 responden
pengajar sejarah.Responden berasal dan Jurusan Sejarah pada Fakultas Sastra Undip
Semarang, Fakultas Sastra UNS Solo,FKIP UNS Solo, FKIP UKSW Salatiga,FPIPS
IKIP Veteran Semarang, FPIPS IKIP Mubammadiyah Purwokerto dan IKIP Semarang.
Ditemukan, 83 persen responden mempunyai kesiapan mental tinggi dalam
menanggapi isu kontroversial. Hal itu disebabkan karena merek amerasa mempunyai
kebebasan berpendapat dalam keluarga. "Namun sebanyak tiga persen cenderung tidak
berani menyatakan pendapat dalam kelas," tegasnya. Sedangkan dari fihak pengajar, 18
persen yang siap untuk melayani mahasiswa, sementara sebagian besar, yakni 65 persen,
menanggapi selintas.
Kecenderungan atau kenyataan ini jelasnya, diduga terjadi karena faktor
relevansi budaya yang ter]adi dalam masyarakat. Artinya, para mahasiswa maupun
pengajar sejarah terikat oleh "tekanan" sosial budaya” ketika harus menentukan sikap
atau pendapat. Kenyataan menarik lain, mahasiswa yang sangat bergairah menanggapi
isu kontroversial, berasal dari IKIP Mubammadiyah Purwokerto (47 persen), FKIP UNS
(24 persen), dan IKIP Semarang (12 persen). Sedang lainnya, di bawah itu. "Saya tidak
tahu mengapa terjadi demikian,'' komentarnya.
Abu Su'ud merupakan guru besar ke-15 yang dimiliki IKIP Semarang. Saat ini ia
menjabat Ketua Jurusan MKDU FPIPS di IKIP Semarang tersebut. Gelar doktor Bidang
Pendidikan IPS atau Studi Sosial diraih dari IKIP BandungKIP Bandung tahun 1986.
Putra kelahiran Tegal pada tanggal 27 Juli 1938 aktif menulis di berbagai medial media
massa, menghasilkan belasan karya ilmiah, buku, dan makalah- makalah. (gn-13).
@@@
322
D. Harian KOMPAS, 23-1-1993
“………………………………………………………………………
Dr. H. Abu Su'ud, Ketua Jurusan MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum) Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) IKIP Semarang, menawarkan program isu
kontroversial dalam kelas sejarah sebagai sebuah alternatif dalam pengajaran sejarah.
Doktor bidang Pendidikan IPS alumnus IKIP Bandung tahun 1986 ini, mengutarakannya
ketika menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar pada Fakultas Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial IKIP Sernarang, Sabtu (23/1/93) Acara berlangsung dalam
Rapat Senat Terbuka IKIP Semarang di kampusnya, Semarang, Sabtu siang (23/1).
"Gagasan ini hanya merupakan langkah-langkah kecil dalam rangkaian metode belajar
kreatif dalam proses belajar- mengajar sejarah," ujarnya. Dia menyarankan agar metode
belajar- mengajar semacam ini dapat dikembangkan pada bidang studi IPS lainnya, pada
jurusan selain Pendidikan Sejarah, seperti yang dikembangkan dalam perkuhahan Ilmu
Sosial Dasar (ISD) maupun Ilmu Budaya Dasar (IBD).
Abu Su'ud mengatakan, program lsu kontroversial masuk kelas sejarah ini dapat
dikembangkan untuk mencapai tingkatan daya penalaran, peningkatan dayaa kritik sosial,
dan peningkatan kepekaan sosial. Selain ita program ini dapat dikembangkan untuk
mencapai peningkatan toleransi dalam perbedaan pendapat. Juga peningkatan keberanian
mengemukakan pendapat secara demokratis di samping peningkatan kemampuan
menjadi warga- negara yang bertanggung jawab.. –
Menyangkut sistem evaluasi terhadap keberhasilan belajar pada program isu
kontroversial dalam kelas sejarah ini, Abu Su'ud mengetengahkan seperangkat rambu-
rambu. Antara lain, keberhasilan belajar dalam program ini tidak dapat diukur dari
keserasian atau ketidakserasian dengan pendapat pemerintah. Keberhasilan belajar dapat
dilihat pada kemampuan menganalisis masalahmasalah sosial, keberanian
mengemukakan pendapat secara obyektif disertai dengan argumentasi yang tepat.
Namun, itu tidak boleh merugikan mahasiawa yang tidak dapat menyatakan pendapat
secara lisan. dalam diskusi (wgt)
@@@
E. Harian Sore(WAWASAN, 23/1/1993
323
“……………………………………………………..
Dari hasil penelitian yang dllakukan oleh Dr Abu Su`ud terungkap, mahasiswa yang
merasa mempunyai kebebasan herpendapat dalam keluarga (83 persen), cenderung tidak
berani (3 peraen) menyatakan pendapatnya ketika diajukan isu kontroversial sebagai bahan
diskusi dalam kegiatan helajar mengajar sejarah. Justru mahasiawa hanya berani
‘berdiskusi dengan teman sendiri,’ (89 persen). Demikian pula para pengajar cenderung
menghindari kemungkinan membahas isu kontroversial yang diajukan oleh mahaslawa.
Hanya 18 peraen pengajar yang siap untuk melayani mahasiawa, Sedang sebagian besar
(65 persen) hanya menanggapi selintas.
"Hal ini menandakan gejala rendahnya kemandirian di tingkat dosen dan mahasiawa,"
ujar Prof Dr Abu Su'ud, dalam pidato pengukuhannya berjudul "Bila Isu Kontroversial
Masuk Kelas sejarah" sebagai guru besar pada FPIPS (Fakultas Pendidikan llmu
Pengetanuan Sosial), IKIP Semarang, di auditorium, kampus setempat, Sabtu (23/i) pagi
tadi.Peneiltian yang dilakukan oleh Dr Abu Su'ud itu dilakukan terhadap 181 resppnden
mahasiawa dan 34 responden pengajar sejarah yang berasal dari 7 perguruan tinggi,
masing masing Fakultas Sastra (FS) Undip, FS UNS, FKIP UNS, FKIP UKSW, FPIPS
IKIP Semarang, FPIPS IKIP Veteran Semarang dan FPIPS IKIP Muhammadiyah
Purrwokerto
Isu kontroversial yang dimaksud oleh Prof Abu Su'ud ini, misalnya tuliaan-tulisan
yang dirnuat dalam media massa sebagai the big news seperti tulisan tentang masa jabatan
presiden, benar tidaknya pahlawan PETA Supriyadi maslh hidup, rencana pendirian hotel
dl kraton Kasunanan Sarakarta, pengubahan gedung Lawang Sewu Semarang dljadikan
hotel, pencaplokan Kuwait oleh Irak, skandal Iran-Contra dan sebagainya.
Prof Abu Su'ud menduga kecenderungan tersebut terjadi karena faktor relevansi
sosial budayn yang terjadi dalam masyarakat, yang cenderung memberikan kepada
warganya suatu design far living dan sekaligus merupakan akibat dari proses social
determinism atan cultural determinism.
Artinya, dalarn menentukan sikap atau pendapat, para mahasiswa maupun pengajar
sejarah, terikat oleh "tekanan" sosial budaya herupa nilai-niiai mapan yang diyakininya.
324
Para pengajar, nilai ketua jurisan MKDU FPIPS IKIP Semarang ini terpengaruh oleh
gambaran atau citra kemapanan- nilai sosial yang dianggapnya tidak mendukung
keterbukaan seperti itu. Dalam konflik internal yang terjadi antara kemandirian, yang
menjadi kualitas seorang ilmuwan, dengan kehendak intuk selalu konform atau harmonis
dengan lingkungan nampaknya dimenangkan oleh kualitas birokrat yang ada pada diri
mereka
Sebagai gambaran eksatrem dikemukakannya, ada seorang dosen calon respenden
menolak untuk mengisi kuesioner, karena dianggapnya akan melakukan "dosa politik"
Pada bagian lain Abu Su'ud menekankan, perlunya dicari terobosanmenemukan alternatif
dalampengajaran sejarah di sekolah. Maksud Abu Su'ud, agar pelajaran sejarah dapat
disajikan lebih menarik dan merangaang pelajar untuk mau helajar sejarah dalam arti yang
sesungguhnya. Asumainya, kalau kita menginginkan kemajuan dalam pengajaran sejarah
maka berbagai mitos dalam cara pengajaran sejarah harus dihilangkan
Mitos yang harus dihilangkan tersebut, menurutnya, seperti alasan memenuhi
target untuk ‘menghabiskan bahan ajaran’, ‘menghindari konflik terbuka dengan
mahasiawa’, ‘hilangnya wibawa guru kalau tidak dapat menjawab masalah’ dan
sebagainya. …………………………………. (Gt/m)
@@@
4. MENCARI ALTERNATIF DALAM PENGAJARAN SEJARAH
(Menyongsong Pengukuhan Sebagai Guru Besar)
325
Sekitar dua tahun yang lalu dalam kesempatan memberikan sambutan pada
Seminar Sejarah Nasional V di Semarang Gubernur Jawa Tengah HM Ismail
menekankan perlunya dicari aiternatif untuk menemukan cara pengajaran sejaran yang
lebih menarik. Ungkapan tersebut disampaikan setelah menyampaikan sinyalemen banwa
pelajaran sejarah tidak menarik para pelajar, bahkan dianggapnya sebagai samben oleh
para siswa.Keluhan semacam itu manjadi makin menarik, karena yang menyampaikan
keluhan tersebut lurahnya Jawa Tengah yang sehari-harinya tidak berhubungan langsung
dengan kegiatan belajar mengajar, namun memerlukan menyampaikannya di hadapan
para peserta seninar kaum sejarawan. Sebagai pengguna lulusan Lembaga Fendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) yang harus mengajar sejarah di berbagai jenjang
pendidikan, pernyataan itu amat tepat. Sekaligus mengingatkan kembali kepada
masyarakat
sejarawan pendidik, banwa keluhan tersebut bukan kali itu saja disampaikan.
Dengan cara yang bervariasi, warga masyarakat lainnya sering menyampaikan keluhan
semacam. Pertanyaan yang segera muncul adalah, siapa yang paling bertanggung jawab
atas kondisi yang tidak nyaman itu? Bagaimana cara mengatasinya? Faktor-faktor
manakah yang paling berkaitan? Faktor gurukah? Faktcr LPTK yang menghasilkan guru
sejarah? Faktor buku pegangan? Faktor metode pengajaran? Ternyata bukan perkara
gampang untuk memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Memilih Metode
Dalam setiap kegiatan belajar mengajar, menentukan pilihan metode bukan
merupakan langkah yang paling prima. Tidak dengan serta merta penggunaan metode
mengajar yang bergengsi ataupun teknologi paling canggih akan memberikan efektivitas
positif dalam mencapai tujuan pengajaran.Ini berarti bahwa pemilihan metode, pemilihan
bahan ajar, pemilihan media canggih maupun cara penilaian (evaluasi),harus selaiu
mengacu pada tujuan pengajaran atau sasaran perubahan apa yang hendak dicapai oleh
sesuatu program.Selain itu tidak bisa dilupakan faktor kelas yang dihadapi, besarnya
kelas, tingkat umur ataupun kesiapan menerima informasi.
Oleh karena itu pertanyaan pertama adalah manusia yang bagaimanakah yang
hendak dicapai dengan pendidi kan sejarah? Menjadi warga negara yang baik?
326
Manusia de ngan hafalan penuh dan menguasai seluruh fakta tentang kejadian masa
laiu? Ataukah manusia dengan kemampuan menganalisis berbagai kejadian umat
manusia, terutama bangsanya?
Secara teoritis dapatlah dikemukakan, bahwa proses pendidikan dapat
menghasilkan tiga hal, yaitu (1) penguasaan akan pengetahuan, (2) penguasaan akan
teknologi atau metodologi, serta (3) kebijaksanaan (wisdom).
Tak disangsikan lagi, kita tidak dapat secara apriori beranggapan bahwa metode
diskusi jauh lebih efektif katimbang metode ceramaah, ataupun bahwa metode inkuiri
lebih unggul dibanding dengan metode diskusi, atau justru sebaliknya. Peranan pengajar
dalam menggunakan atau memanfaatkan sesuatu merode jauh lebih berarti dalam
mencapai efektivitas proses belajar mengajar sejarah. Kita bisa membandingkan antara
penggunaan cangkul bila dibanding dengan buldozer, mana yang lebih efektif? Tentu saja
jawabannya banyak tergantung pada untuk tujuan apa peralatan itu digunakan, dan siapa
yang menggunakan. Hal itu perlu dikemukakan, karena banyak yang secara apriori
memilih metode diskusi untuk segala situasi. Demikian juga banyak yang lebih memilih
menggunakan OHP dalam kelas. Penggunaan OHP yang hanya memindahkan teks dari
buku ke layar atau tembok, dan gurupun hanya membaca teks tersebut, tentu saja jauh
kurang efektif dibanding dengan penggunaan papan tulis plus kapur. Apalagi kalau
sesekali guru tersebut menggambar skema dengan beberapa coretan, nama dan angka.
Daya Tarik Belajar Sejarah
Guru tidak dapat hanya dipandang sebagai instruktur yang memanipulasi segala
metode maupun teknologi pendidikan untuk kepentingan pengajaran, lebih-lebih lagi,
guru bukan sekadar instrumen yang bekerja mengikuti program-program yang secara
teknologis dipersiapkan oleh teori maupun badan pengembang pendidikan yang
kadangkala jauh dari lapangan.
Orang lebih setuju kaiau guru sebaiknya dipandang sebagai seniman Dalam
memainkan peranannya, guru amat lihai dalam memainkan seni menghadapi siswa
secara personal dengan memanipulasi berbagai perangkat yang tersedia, seperti materi
pelajaran, media pengajaran, siswa dan sebagainya, untuk kepentingan tercapainya
327
tujuan pengajaran. Dalam memiiih kiat itu seorang guru dituntut kemampuan imajinasi,
kreativitas maupun sentuhan seni. Itulah sebabnya banyak guru sejarah yang saya
wawancarai menyatakan, telah tertarik menjadi guru sejarah, karena terpesona oleh
penampilan guru sejarah mereka di SLTP maupun SMA. Bukan karena kemampuan
mereka memiiih metode maupun media yang canggih, melainkan karena merekatelah
tampil sebagai seniman.
Dalam berbagai kesempatan pembicaraan dari hati ke hatidengan beberapa
mahasiswa sejarah, banyak dikemukakan rendahnya minat para dosen sejaran
mengangkat isu-isu kontroversial dalam kelas sejarah. Termasuk ketika hangat-hangatnya
berita mengenai pergeseran politik di negeri-negeri Eropa Timur, bentrokan politik di
negeri-negeri Timur Tengah maupun Asia Selatan. Sementara itu di dalam negeri banyak
pula kontroversi yang terlewat begitu saja tidak diangkat ke dalam kelas sejarah, seperti
rencana pembangunan pada kawasan kesunanan Surakarta, masa jabatan presiden dan
sebagainya.
lsu Kontroversial dalam Kelas Sejarah
Terdorong olehi keingian mengetahui lebih banyak tentang keoenderungan itu,
penulis pernah rnelakukan studi pada tingkat perguruan tiggi di Jawa Tengah, mengenai
hal yang sama. Memang haslnya masih menunjukkan rendaihnya minat untuk itu, baik di
kalangan mahasiswa maupun dosen sejarah. Secara teoritis, sebenarnya cara itu, yaitu
memasukkan isu kontroversial ke dalam kelas sejarah, dapat meningkatkan daya kritik
sosial, kepedulian sosial, toleransi sosial maupun dalam menyatakan pendapat, meskipun
berbeda dengan pendapat umum. Timbul dugaan, banwa faktor "relevansi sosial budaya"
yang lebih menghargai keselarasan sosial, telah menghambat kecenderungan untuk
aktualisasi diri secara terbuka, meskipun pemerintah selain menganjurkan keterbukaan.
Otonomi nampaknya masik terhambat oleh kecenderungan untuk selain konform dengan
kemapanan ..
Sebagai akhir renungan ini, ada baiknya kalau secara terbatas dan selektif, para
guru sejarah dapat memasukkan isu kontroversial ke dalam kelas sejarah. Dengan
demikian sasaran akhir pengajaran sejarah untuk menyiapkan menjadi warga negara yang
328
baik, mempunyai daya kritik sosial tinggi, maupun meningkatkan toleransi sosial, dapat
didekati secara terarah. Jurusan lain yang dapat menerapkan konsep ini, adalah
Pendidikan Moral Pancasila – Kewarga Negaraan (PMP-KN). (HARIAN
WAWASAN1993)
5. POTRET KOTA SEBAGAI SUMBER BELAJAR
Ketika berkesempatan memberikan ceramah di hadapan para guru dan siswa
SLTP - SLTA dalam rangka memperingati Hari JadiKota Semarang saya mengalami
kesuIitan dalam memberi peragaan.Dari seseorang yang sangat memperhatikan
konservasi kota Semarang, yiatuProf. Ir. Eko Budiharjo, MSc. saya hanya mendapatkan
gambar serta /potret slide dan gambar mati tentang gedung- gedung tua di Semarang.
Mungkin usaha saya belum maksimal dalam mendapatkan bahan tersebut.
Dalam kesempatan ceramah tersebutsaya saya mengemukakan perlunya usaha
yang terpadu untuk membuat pemotretan- pemotretan maupun perekaman dengan video
berbagai obyekdi Semarang. Bukan hanya untuk keperluan dokumentasi melainkanjuga
untuk kepentingan yang Iebih ofensif. Maksudnya adalah untuk keperluan
“"menghidupkan” Semarang di mata warga masyarakat sekarang di masa yang akan
datang. Lcbih-lebihkarena memang Semarang sedang dan selalu mengalami proses
perubahan, hingga banyak momentum kesejarahan yang berupa obyek-obyek fisik kota
maupun kejadian akan tinggal dalam kenangan sejarah belaka, kalautidak sempat
diabadikan sebelumnya, atau sekarang juga. Demikian juga banyak sekali gerak hidup
kota Semarang yang lain, baik kegiatan- kegiatan olah raga, kegiatan budaya maupun
kegiatan atau peristiwa alam, seperti banjir bandang, rob, maupun kemacetan lalu lintas
dan sebagainya.
Semua itu sebaiknya diberitahukan kepada warga masyarakat. Bukan hanya
sekadar sebagai sebuah berita, melainkan juga sebagai pokok bahasan dalam kegiatan
belajar mengajar sejarah atau IPS pada umumnya.
Memerlukan Skenario
Anak-anak sekolah di beberapa negeri maju akan digiring ke sebuah ruamg gelap
untuk diajak mengenal kotanya lewat slide ataupun video, untuk melengkapi pelajaran
329
IPS, IPA maupun Ekologi. Isinya tidak hanya hasil pemotretan dari jarak dekat,
melainkan juga hasil pemotretan banyak sudut atau pengambilan gambar yang hidup
dengan kamera film, tentang kota maupun kawasan negeri yang dapat dijadikan sebagai
pokok hahasan. Akhir-akhir ini misalnya, banyak informasi tentang kota-kota di Bosnia
yang menuju kehancuran karena perang saudara yang terjadi di sana. Untuk versi
Indonesia barangkali bisa digunakan gambar-gambar yang menayangkan berbagai kasus
kebakaran, pembiman maupun bentrtokan antar kelompok di berbagai daerah. Atau
sebaliknya berbagai acara kerjasama warga masyarakat untuk membangun kembali
berbagai fasilitas sosial yang mengalami bencana alam.
Untuk keperluan itulah TPI sejak semula didirikan. Tetapi kita sudah melupakan
fungsi itu pada PPT, karena memang sulitnya bukan main menghadirkan acara TPIdi
atas. Apakah kita harus meliburkan anak untuk dapat nonton di rumah masing - masing.
Ataukah kita harus menyediakan perangkat TV di sekolah khusus untuk acara tertentu.
Namun demikian kita tidak bisa hanya merenungi kegagalan itu saja tanpa berbuat yang
lebih praktis.
Rencana penyusunan skenarionya bisa dimulai sejak upacara penerimaan hadiah
Adhipura atau Adhipura Kencana, barangkali. Kemudian pemandangan bergerak ke
berbagai obyek atau sudut kota yang memang patut dikagumi sebagai keberhasilan
pembangunan. Namun dari sana kamera dapat saja menjauhi lokasi-lokasi yang
membanggakan, seterusnya menelusuri lokasi-lokasi yang “memalukan”, atau memilih
bagian-bagian kota yang sebentar lagi musnah dan berganti wajah dengan bangunan baru,
sebagai akibat tukar gulung atau peningkatan manfaat sesuatu kompleks bangunan.
Perlu diingat kembali bahwa kita tidak sedang membuat film berita, melainkan
merancang sebuah bagian dari sumber belajar, yang tentu saja diperlukan bagian-bagian
adegan yang perlu penekanan atau perlu pembahasan.
Catatatn Atas Kematian
Di beberapa negeri maju setiapdidirikan kompleks bangunan baru di atas kawasan
tertentu, akan diawali dengan pemotretan semua kompleks bangunan yang bakal
dimusnahkan. Tentu saja potret-potret itu dilengkapi dengan penjelasan seperlunya.
330
Catatan dan dokumentasi tersebut amat berguna untuk menelusuri jejak katau-kalau
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan bagi keselamatan penghuni bangunan baru tersebut.
Jadi tidak sekadar melestarikan tradisi menanam kepala kerbau.
Kalau segala catatan itu terdokumentasi di perpustakuan kota atau bagian arsip kota,
tentu saja siapapun dapat memanfaatkannya untuk keperluan studi pertumbuhan kota.
Kita tidak begitu yakin apakah terhadap berbagai bangunan kuno di Semarang atau kota-
kota lain di Indonesia, telah dilakukan usaha pendokumentasian itu. Misalnya, kitapun
belum yakin apakah kita tel;ah dengan sengaja mengabadikan Gedung Lawang Sewu
dalam potret mati ataupun film. Lebih-labih kalau bangunan kuno itu akan “diremajakan”
oleh pemiliknya yang baru, yang konon adalah dari keluarga Cendana.
Ceramah-ceramah tentang Hari Jadi danperkembangan kota Semarang, misatnya,
seyogyanya tidak lagi hanya sekadar berisi riwayat atau kenangan ketika untuk pertama
kalinya Semarang didirikan oleh Kyai Pandanaran beberapa ratus tahun yang lampau.
Sehabis itu tidak ada lagi yang dapat dikisahkan, karena memang tidak ada catatan
tentang pertumbuhan kota tersebut.
Sekali lagi, para guru sekolah sekarang barangkati masih dapat berkisah tentang
pertumbuhan kota Semarang dari ingatan atau catatan pribadinya, dalam rangka
mengisi"muatan lokal" dalam kurikulum sekolah.Misalnya bahwa ada sebuah Gedung
Olah Raga (GOR) Simpang Lima,yang cukup megah pada masanya di tahun tujuh
puluhan. Bangunan itu merupakan tempat berbagai kegiatan budaya, kesenian, olah raga,
pendidikan maupun keagamaan. Sekarang bangunan itu telah tiada bekasnya
sekaliupun.Di tempat itu sekarang telah didirikan sebuah kompleks bangunan yang
lebihmegah dan modern. Yaitu Citraland, sebuahhotel bintang lima yang semi pencakar
langit, yang terpadu dengan sebuah mall, pertokoan, perkantoran maupun rekreasi, yang
amat berperan datam mengubah wajah Simpang Lima. Berubah dari sebuah pusat
budaya dan olah raga menj adi pusat bisnis yang terpadu dengan pusat rekreasi dan
budaya juga.
Tidak seorang awampun yakin,bahwa GOR itu telah diabadikan secara sengaja, sebagai
catatan atas kematiannya. Secara tidak sengaja tentu saja pemotretan itu telah banyak
sekaliditakukan ketika GOR dimanfaatkan untuk pelaksanaan Wisuda sesuatu perguruan
tinggi, untuk pengajian, pertunjukan sirkus, maupun untuk pertandingan berbagai nomer
331
olah raga dsb.
Untuk Keperluan Pariwisata
Gagasan memotret Semarang atau kota-kota lain yang relevan, sebagaipengisi
"muatan lokal" pada kurikulum sekolah, dapat segera kita lakukan dengan persiapun
yang matang. Yang dibutuhkan kiranya bukan cuma skenario, melainkan tentunya juga
dana. Lebih-lebih kalau harus melakukan pemotretan atau perekaman dari udara. Lalu
fihak mana atau siapa yang harus membiayai kegiatan itu?
Di Semarang ada instansi pemerintah bernama Balai Prodokat Me-Dananya tentu
saja dapat dimanfaatkan untuk kerja sama dengan developer yang harus melakukan
pendokumentasian berbagai kawasan lama yang akan disutap menjadi kawasan baru.
Dana juga dapat dip[eroleh dari pemerintah daerah yang melakukan pendokumentasian
proses pertumbuban kota dan daerahnya. Dan jangan diabaikan peranan Deparpostel.
Pada beberapa kota modern di luar negeri, para turis lebih dulu akan diajak
menikmati sajian pertunjukan audiovisual mengenai "gerak hidup" dan pertombuhan
kota, dalam ruang-ruang pamer Balai Kota. Di Semarang ruang pamer itu dapat saja
disatukan dalam kompleks Posat Rekreasi Taman Mini Jawa Tengah, atau di sebuah
Rtuang data yang memiliki auditorium. Lantas para tamu kita dari program "Midden Java
Reunie" (MJR) akan lebih dahulu diajak ke sana. Erg mooi toch? Indah nian, kan? (29)
@@@
332
6. GURU SEJARAH DAN PERUBAHAN SOSIAL
Orde demi Orde pemerintahan silih berganti. Rezim demi rezim silih berganti
pula. Dan selanjutnya buku sejarah demi buku sejarah bergantian pula dipasarkan dalam
pasaran buku, Lebih dari itu silih berganti pula penataran untuk para guru sejarah
diseelenggarakan. Maksudnya agar para guru dapat senantiasa melaksanakan tugas
pendidikan dengan sempurna sebagai juru bicara pemerintah. Pelajaran sejarah
merupakan bidang pendidikan nilai yang sarat dengan norma dan semangat kebangsaan.
Oleh karenanya kalau guru menghadapi perubahan dalam fakta sejarah dalam buku
sejarah bukan perkara mudah untuk diterima.
Beberapa orang guru sejarah yang memasuki masa pensiun menyatakan
kegembiraan hati mereka, karena merasa sudah terlepas dari beban psikis setiapkali
melaksanakan tugas mengajar. Selama ini mereka merasa harus menghadapi situasi
konflik setiap kali harus mengajarkan fakta-fakta sejarah yang tercantum dalam buku
pegangan, yang menurut keyakinan mereka amat berbeda.
Mereka merasa betapa enaknya menjadi guru IPA, Matematika, maupun
Geografi. Mereka tidak mengalami beban mental karena tidak menghadapi situasi konflik
batin, karena perbedaan fakta. Sebetulnya anggapan itu tidak sepenuhnya benar, sebab
banyak guru yang menghadapi situasi konflik yang sama ketika harus mengajarkan
333
matematika modern, misalnya. Hanya tentu saja kadar beban itu tidak sama karena tidak
berkaitan dengan norma maupun etika sosial.
Yang sering dilakukan guru sejarah maupun PMP adalah menjauhi resiko bagi
keselamatan mereka sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Itu sebabnya mereka
akhirnya cenderung tidak lagi mempersoalkan hakekat kebenaran sejarah (history as a
fact). Mereka tetap melaksanakan tugas mengajar sesuai dengan acuan resmi, yaitu
kurikulum dan silabus mata pelajaran (history as writen).
Bagaimanapun di hati kecil mereka masih terdapat ganjalan, karena harus
menyatakan sesuatu kebohongan kepada murid yang belum tahu apa-apa. Hati mereka
merasa ada beban dosa. Itu sebabnya mereka merasakan kebebasan ketika terbebas dari
tugas mengajar.
Akhirnya hampir-hampir para guru sejarah itu menjadi sebuah tape recorder, yang
hanya menjadi His Master`s Voice. Hati nurani sebagai intelektual sudah lama mereka
tumpulkan. Bahkan untuk menyatakan secara terbuka dalam pertemuan GMP (Guru Mata
Pelajaran) dengan rekan guru sejenis bidang studipun tidak berani. Oleh karenanya
forum-forum pertemuan antar guru mata pelajaran tidak pernah mereka gunakan untuk
membahas berbagai kesulitan yang dihadapi guru sejarah ketika menghadapi situasi
konflik seperti di atas. Yang mereka bicarakan tidak lebih dari teknikalitas pengajaran
belaka.
BEDA FAKTA, BEDA SEMANGAT
Akhir-akhir ini, sebagai konsekuensi dari semangat reformasi total. muncul
kembali sejumlah isu kontroversial dalam sejarah nasional. Bahkan nyaris tidak
terbendung. Berbagai keraguan sejarah di sekitar berbagai peristiwa sejarah yang selama
tiga dasa warsa hanya menjadi celotehan para sejarawan dalam forum-forum terbatas,
mendadak dimunculkan secara lebih lugas dan terbuka dalam media massa. Tanpa ewuh
pakewuh.
Seorang tokoh orang kecil yang tidak pernah dikenal dalam pergaulan intelektual
tiba-tiba membuka rahasia sejarah di sekitar proses terbitnya Surat Perintah Sebelas
Maret 1966 (Supersemar). Menurut pengakuannya dirinya adalah mantan petugas
334
sekuriti Presiden Sukarno di Istana Bogor pada waktu peristiwa itu terjadi. Secara lugas
dia menyatakan di hadapan LBH DIY Yogyakarta sebuah isu baru, yang selama ini tidak
pernah diketahui dengan pasti Orang itu, Letda TNI (Purn) Wilardjito menyatakan
melihat empat orang Jendral TNI AD menghadap Bung Karno di tengah malam tanggal
11 Maret 1966. Salah seorang dari mereka baru pertama kalinya dikaitkan dalam
peristiwa itu, yaitu Jendral Panggabean. Konon diceritakan bahwa jendral tersebut
menodongkan pistol untuk memaksa Bung Karno menandatangani Surat Perintah itu.
Cerita itu tentu saja membingungkan para guru sejarah, karena data itu tidak
pernah terdapat dalam buku sejarah yang mereka pakai. Selama ini yang disampaikan
kepada murid adalah nilai semangat kerelaan seorang pejuang dan nasionalis sejati, Bung
Karno, yang menghadapi situasi genting, menyusul pemberontakan G30S/PKI. Perintah
Presiden Suharto untuk pengamanan situasi dan penyerahan kekuasaan kepada Jendral
Suharto adalah suatu kebijakan yang sangat rasional. karena Jendral Suharto merupakan
Panglima Kostrad yang telah berhasil mengatasi pemberontakan dengan berhasil pada
tingkat awal.
Dalam tempo yang cepat Pangkostrad itu telah berhasil dengan gemilang
memimpin operasi pencarian korban kekejaman G30S/PKI. Dalam operasi itu sembilan
perwira tinggi ABRI yang korban keganasan G30S/PKI telah diketemukan di sebuah
sumur tua di kawasan Lobang Buaya di sekitar Lanuma Halim Perdanakusuma. Berhasil
pula beliau menguasai keadaan di Jakarta, dengan bantuan Jendral Sarwo Edi Wibowo
dari RPKAD yang legendaris itu.
Semangat lain yang terkandung dalam buku-buku sejarah adalah juga tingginya
tanggung jawab dan ketaatan seorang prajurit TNI AD Jendral Suharto untuk
melaksanakan perintah dari Pangti ABRI Presiden Sukarno.
Kalau nanti ternyata cerita Wilardjito benar, sebagai hasil pengusutan yang
obyketif ilmiah, tentu saja semangat di balik peristiwa penandatanganan Supersemar
menjadi berubah sama sekali. Yaitu semangat pemaksaan pendapat, semangat
kebohongan, semangat penghianatan seorang prajurit, maupun semangat kelicikan
seorang komandan.
Semuanya memang masih bersifat tentatif. Namun para murid maupun para guru
sejarah sudah dihadapkan pada suatu keadaan pelik.
335
KONTROVERSI DALAM SEJARAH
Belum lagi usai kasus pengungkapan fakta sejarah oleh Wilardjito, yang dinilai
sebagai pencetus kebohongan sejarah diusut tuntas, muncul lagi isu baru. Sebetulnya
bukan isu baru, karena sayup-sayup pernah pula diungkapkan dalam masa rezim Suharto.
Yang dimaksudkan tidak lain siapa pelaku sejarah yang telah merencanakan Serangan
Oemoem 1 Maret 1949. Kali ini yang membuka cerita itu tidak lain Brigjen TNI (Purn)
Marsudi. Kredibilitas pemberita itu sangat tinggi, karena beliau merupakan mediator atau
kurir, yang mempertemukan kedua tokoh itu. Yaitu Sri Sultan HB IX dengan Letkol
Suharto. Dan beliau bersedia dipertemukan dengan Jendral Besar TNI (Purn) Suharto
untuk pemberitaan itu.
Selama masa Orde Lama para murid menghafalkan sejarah nasional bahwa SO 1
Maret 1949 untuk pertama kalinya dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Selama masa rezim Orde Baru para guru sejarah telah mengampaikan dengan baik
semangat pejuang Letkol Suharto yang mempunyai semangat juang tanpa henti.
Disebutkan dalam buku sejarah, bahwa pencetus gagasan untuk melakukan SO 1 Maret
1949 adalah seorang perwira menengah berumur sekitar 25 tahun bernama Suharto.
Perwira muda itulah yang kemudian menjadi Presiden selama lebih dari 30 tahun ini.
Kembali para guru mengalami kebingungan bagaimana harus mengambil sikap
dalam menghadapi pergantian data dalam buku sejarah. Apakah mereka sepantasnya
tetap mengajarkan sejarah apa adanya seperti tertulis (history as writen)? Apakah mereka
harus mengajarkan sejarah sesuai dengan keyakinan masing-masing guru? Inipun berarti
sebuah sejarah apa adanya menurut keyakinan pengajar. Adalah wajar kalau keyakinan
pengajar itu berasal dari keyakinan sesuatu otoritas, yang bisa berupa sejarawan, pelaku
sejarah namun bisa sebuah Orde.
Kebimbangan semacam itu dialami juga oleh para guru PMP, yang pada dasarnya
mempunyai kompetensi yang tidak berbeda dengan guru sejarah.
Dalam melaksanakan tugas di kelas mereka juga pernah menghadapi
kebimbangan tentang Hari Lahir Pancasila. Apakah akan disampaikan sesuai dengan
bunyi dokumen Pidato Lahirnya Pancasila oleh Bung Karno, yaitu 1 Juni 1945? Apakah
336
mereka harus mengajarkan persepsi pemerintah Orde Baru, yaitu 18 Agustus 1945, sehari
setelah Hari Proklamasi Kemedekaan?
LAIN GURU SEJARAH, LAIN DOSEN SEJARAH
Kita belum tahu presis sikap para guru di era reformasi dalam menanggapi
kemuskilan yang dihadapi pengajar sejarah. Hampir dapat dipastikan bahwa selama masa
Orde Lama maupun Orde Baru mereka lebih mengutamakan kepastian pekerjaan
ketimbang idealisme pada kebenaran sejarah. Artinya mereka melaksanakan tugas
mengajar sebagai anak manis, yaitu menjadi juru bicara pemerintah dalam
menyampaikan pesan-pesan pembangunan maupun kebenaran sejarah.
Kondisi yang sama nampaknya terdapat pula dalam pendidikan tinggi. Tidak ada
beda sikap yang diambil oleh guru sejarah maupun dosen sejarah. Secara teoritis
sebetulnya para dosen sejarah mempunyai peluang lebih besar untuk lebih mandiri dalam
melaksanakan tugas mengajar sejarah. Dosen dapat menggunakan pendekatan sejarah
sebagai ilmu. Dengan pendekatan ini kepada mahasiswa dapat diberikan berbagai data
yang berbeda sekalipun.
Pendekatan semacam itu tidak dapat diterapkan pada tingkat pendidikan dasar
maupun menengah. di Indonesia. Alasannya terletak pada kemampuan peserta didik
yang belum dapat diajak untuk berpikrir alternatif. Lebih dari itu karena pola pengajaran
sejarah yang dikembangkan pada jenjang pendidikan itu mengiktui konsep mata pelajaran
sejarah untuk kepentingan pendidikan kewarganagaraan. Hal semacam itu menjadi ciri
pengenbangan pendidikan di Era Orde Lama maupun Orde Baru yang bersifat otoriter.
Dengan konsep itu sejarah digunakan untuk kepentingan pendidikan politik.
Dengan sendirinya materi maupun metode pengajaran harus berorientasi pada
kepeningan pengembangan kebanggaan bangsa, romantisme penguasa, serta loyalitas
tunggal pada kemapanan.
Pada banyak negara pendekatan pengajaran sejarah untuk kepentingan pendidikan
kewarganegaraan tetap diterapkan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hanya
bedanya di negeri liberal peserta didik sudah terbiasa dengan pola pengembangan
berfikir alternatif, sejak dalam pendidikan keluarga.
337
PENDIDIKAN SEJARAH DI ERA REFORMASI
Kita sekarang sedang memasuki suatu tatanan hidup yang sangat transisional.
Bagaikan tahap kehidupan para remaja, Mereka baru saja meninggalkan masa anak-anak
yang penuh dengan bimbingan dan petunjuk, dan sedang memasuki masa dewasa yang
diidentikkan dengan kemandirian. Layaknya kehidupan kaum remaja masyarakat kita
sekarang sangat traumatis pada pola hidup dan pola fikir Orde Baru. Hampir semua pola
lama seperti ingin ditinggalkan. Sementara itu kita belum mempunyai pola yang mantap
dalam pengembangan tatanan sosial.
Dapatlah difahami kalau banyak terjadi ekses dalam mengaktualisasikan
semangat reformasi. Terkesan amat bersifat nihilistis. Terkesan adanya suasana anarkis
dalam memaknakan semangat keterbukaan. Dalam kondisi semacam ini sulit bagi kita
untuk menentukan pilihan atas pendekatan maupun metodologi pengajaran sejarah.
Kita harus mampu menjawab lebih dahulu sejumlah pertanyaan sebelum
menemukan alternatif. Pertama, apakah demi keterbukaan setiap guru sejarah
diperkenankan mengembangkan pengajaran sejarah sesuai dengan pemikiran dan
persepsinya tentang sejarah dan data sejarah? Kedua, apakah para guru sejarah di jenjang
pendidikan dasar dan menengah harus pula mengembangkan konsep pendidikan sejarah
sebagai ilmu? Ketiga, apakah setiap peserta didik dapat mengembangkan konsep isu
kontroversial masuk kelas sejarah?
Beberapa gagasan berikut ini nampaknya perlu dijadikan dasar pemikiran. Tentu
saja yang diperlukan adalah pemikiran yang jernih, jauh dari emosi yang timbul karena
sikap apriori terhadap yang berbau konsep pengajaran sejarah untuk kepetingan
pendidikan kewarganegaraan. Pertama, nampaknya masih harus diterima konsep
pengajaran sejarah untuk kepentingan meningkatkan kebanggaan bangsa. Kedua, untuk
itu tetap diperlukan penulisan buku sejarah baku yang lebih abyektif,
338
ebagai konsekuensi semangat keterbukaan. Ketiga, romantisme sejarah tidak dapat
dihindarkan dalam penulisan buku sejarah nasional yang baru. Namun harus dihindari
kecenderungan ke arah pendewaan terhadap tokoh sejarah. Lebih-lebih kalau dilakukan
dengan manipulasi fakta sejarah untuk kepentingan politik fihak penguasa.
339
METODE PENGAJARAN
Ada semacam kekhawatiran timbul dalam hati menyaksikan berbagai ekses dalam
pemaknaan semangat reformasi. Seperti dikatakan di depan ada gejala nihilisme dan
anarkisme, sebagai akibat dari berfikir apriori menolak segala yang berkaitan dengan
Orde Baru. Yang terjadi justru praktek-praktek pemaksaan pendapat dengan cara-cara
yang lebih lugas.
Kekhawatiran akan berkembangnya budaya memaksakan pendapat harus
dihindarkan dalam metode pengajaran. Tanpa adanya kejernihan dalam mencari
kebenaran sejarah, bisa muncul pemaksaan dengan dalih mempersamakan persepsi
terhadap data sejarah, yang dilakukan dalam kelas sejarah. Kalau ini terjadi. berarti kita
mengulang kembali kesalahan Orde Baru, yang dinilai otoriter itu.
Untuk itu diperlukan kesadaran bahwa kebenaran bukan monopoli penguasa.
Termasuk bukan monopoli guru sejarah dalam kelas. Untuk itu harus dikembangkan
iklim demokratis dalam kelas sejarah. Pertama, guru harus membuka diri untuk
pemikiran alternatif, dengan cara memberikan kemungkinan adanya lebih dari satu fakta
sejarah. Kedua, guru menyediakan peluang bagi proses pemberian komentar dan
penilaian terhadap materi sejarah. Termasuk berkomentar terhadap kebijakan yang telah
diambil oleh pelaku sejarah. Hal ini bisa dilakukan baik oleh guru maupun oleh murid.
Ketiga, guru memberi kesempatan kepada murid untuk menyatakan pertanyaan maupun
isu sosial dalam kelas, meski tidak berkaitan langsung dengan bahan ajar.
Dengan demikian para guru tidak perlu mengalami kebimbangan setiapkali
muncul isu baru yang berkaitan dengan data sejarah. Semuanya bisa ditampung oleh guru
dengan penuh rasa percaya diri. Yang diperlukan mau tidak mau adalah keluasan
cakrawala pengetahuan guru sejarah.
Mampukah dalam kondisi penghasilan guru pada umumnya yang sangat rendah
untuk menyiapkan diri menjadi guru yang memiliki rasa percaya diri lebih?
SUARA MERDEKA, 28-6-1993)
340
OO
7 JASMERAH
Sebagian pembaca barangkali ada yang tidak mengetahui bahwa Jasmerah
merupakan sebuah judul salah sebuah pidato Bung Karno pada awal tahun 60 an, yang
kalau dipanjangkan berbunyi Jangan Sekali-kali Meninggaikan Sejarah. Dan
sebagaimana pidato - pidato Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi lainnya,
Jasmerah pun kemudian menjadi bukan hanya bahan telaah, melainkan juga nenjadi
bahan indoktrinasi bagi seluruh rakyat Indonesia selama masa Orde Lama.
Di dalam Tubapi (Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi), yang terbit pada 1961 belum
tercantum pidato Jasmerah tersebut, namun Semua pidato Presiden setelah itu akhirnya
dimasukkan juga menjadi banan indoktrinasi.
Secara nalar judul pidato tersebut tidak dapat diterima, karena bagaimana
mungkin seseorang atau sesuatu bangsa tidak meninggalkan sejarah. Setiap orang pasti
akan meninggalkan sejarah, karena menurut Empu Ratnansa, seorang sejarawan pada
zaman Majapahit, sejarah tidak lain adalah kramaning tuha - tuha, atau perbuatan orang -
orang tua dahulu.
341
Artinya, tentu pengalaman atau perjalanan hidup orang -orang di masa lampau.
Sedangkan Robert V Daniels dalam bukunya "Studying History" menyatakan bahwa
"History is the memory of human group experience" (Sejarah merupakan kenangan
mengenai pengalaman sesuatu kelompok umat manusia). Dan itu tentu saja tetah terjadi
di masa lampau.
Sementara itu teringatlah kita pada ucapan seorang filsuf Yunani, Heraklitos, yang
mengatakan. bahwa "Engkau tak akan levat dua kali melangkahi sungai yang sama,
karena bukankah selalu saja air baru akan mengalir terus? Ibarat sungai maka kejadian
demi kejadian, kramaning tuha-tuha demi kramaning tuha-tuha selalu silih berganti.
Lalu bagaimana mungkin kita tidak boleh meninggalkan sejarah? Selama kita
masih manjadi manusia hidup, maka kita selalu akan mengalir terus menapaki masa kini
untuk menembus masa depan. Dan kita akan selalu saja meninggalkan sejarah, sambil
membuat sejarah baru.
Tentu saja bukan yang demikian itu yang dimaui oleh Bung Karno. Ibarat Bung
Karno sendiri telah tiada. Beliau telah menjadi catatan atau menjadi kenangan masa
lampau, telah menjadi tokoh sejarah. Demikian juga yang terjadi dengan Mahatma
Gandi , John F. Kennedy, Agus Salim, Sarwo Edi, maupun Ali Murtopo. Dan perjuangan
mereka selama masih hidup telah menjadi kramaning tuha-tuha.
Dapatkah kemudian kita meninggalkan kramaning mereka itu? Tentu saia tidak,
karena mereka dan segala langkah perjuangan mereka itu -juga bila langkah - langkah itu
dinilai buruk laku, seperti dilakukan oleh Hitler, Sekar maji Kartosuwiryo maupun DN
Aidit, tetap merupakan bagian dari pengalaman umat manusia yang satu.
Seandainya kita melupakan mereka atau meniuggalkan sejarah, kata Robert V
Daniels, maka berarti kita telah terputus dari ikatan umat manusia. BarangkaIi demikian
pula makaud BungKarno pada waktu itu.
Subyektifitas Sejarah
Sebagai kramaning tuha - tuba maupun “memori mengenai pengalaman umat
manusia" sejarah tentulah bersifat obyektif, yang tinggal dibaca, ditelaah, dan kemudian
dikisahkan dari generasi ke generasi. Namun siapa yang berkisah itu kalau bukan
342
seseorang subyek. Oleh karena itu sejarah setelah disajikan (history as written) berubah
menjadi subyektif sifatnya, yang terjadi karena berbagai kualitas yang menempel pada
subyek itu sendiri. Misalnya, kepribadiannya, asal usulnya, pandangan hidupnya,
kedudukan sosial maupun kepentingannya dalam kaitan dengan peristiwa itu, dan
sebagainya. Itulah sebabnya orang kemudian berbicara tentang fungsi sejarah atau
kegunaan sejarah.
Bermula sejarah dianggap sebagai rangkaian kisah hidup manusia, tentang
pengalaman dan perjalanan hidup manusia, tentang nilai - nilai hidup yang telah
ditemukan pada masa lampau. Atau dengan pendek bisa disebutkan tentang kebudayaan
manusia. Semua itu kemudian disajikan (deskriptif) serta dikisahkan (naratif) sebagai
suatu informasi (informatif) dari generasi ke generasi berikutnya.
Sejarah. dengan demikian merupakan sebuah alat untuk mentransmisikan
kebudayaan dalam suatu kerangka besar yang bermaksud sebagai proses pewarisan
budaya. Peranan sejarah seperti itu dikembangkan bersamasama dengan seni musik, seni
sastra, filsafat, matematika. dan sebaginya. yang dianggap sebagai liberal art untuk
maksud membebaskan manusia dari kegersangan budaya. Secara tegas selanjutnya
sejarah dimaksudkan untuk sarana pendidikan (didaktis). Oleh karenanya sejarah harus
dikemas sedemikian rupa agar dapat digunakan untuk tujuan mengobarkan semangat.
Bisa semangat kepahlawanan. semangat patriotisme, maupun semangat rela berkorban.
Bahkan secara eksatrem sejarah dapat dikembangkan untuk mengobarkan nasionalisme
sempit maupun chauvinisme. Gaya penulisan sejarah yang demikian itu seringkali
mengundang kecemasan pada fihak lain, yang merasa dirugikan, karena sejarah dengan
kemasan seperti itu cenderung meninggalkan obyektivitas sejarah sebagai ilmu (history
as science). Pengertian "history" nampaknya telah bergeser ke arah "his story".
Kasus penulisan kembali "Sejarah Jepang" ternyata telah menimbulkan kemarahan
fihak Cina, karena buku sejarah tersebut dinilai telah memanipulasi fakta sejarah. Dalam
buku tersebut nampaknya fakta “pendudukan Jepang atas daratan Cina dan Korea” telah
dikaburkan, menjadi semacam “hubungan antar bangsa”. Demikian juga telah terjadi
kasus revisi sejarah karena dianggap fakta sejarah yang ditulis pada masa Stalin
dianggap tidak valid. Lalu berkembang pula aliran baru dalam sejarah (new history) yang
dipelopori oleh Von Ranke (1790 - 1886), yang ingin rnengembangkstudi sejarah kritis.
343
Menurutnya studi sejarah kritis sejarah tidak berpretensi untuk mendidik ataupun
membangkitkan semangat kepada generasi baru. Tujuan mereka adalalh bagaimana
mengungkapkan apa adanya berdasarkan fakta yang sesunggunya terjadi. Untuk itu para
sejarawan harus mampu menemukan metode untuk mengumpulkan data,
menganalisis,~dan kemudian menuturkannya sebagaimana adanya.
Tentu saja untuk mencapai tujuan itu, haruslah digunakan metode interdisiplin,
yang melibatkan sosiologi, politik maupun hukum, dan . ilmu bahasa. Pemaparan
sejarah yang lebih utuh, karena berwajah majemuk.
Kurikulum
Kurikulum sekolah yang mengalami perubahan itu hal yang wajar - wajar saja, karena
setiap dasawarsa ada saja kemajuan yang terjadi dalam masyarakat. Dan kemajuan
membawa dampak pada perubahan tujuan, sasaran pembangunan maupun kualitas
manusia yang diharapkan dapat nengelola pembangunan. Oleh karenanya lembaga
sekolah tempat membina pembangunan calon pengelola sudah sewajarnya kalau
diadakan sejumlah penyesuaian untuk dapat melaksanakan peranan yang tepat.
Maka berubahan kurikulurn pada setiap sekitar satu dasawarsa dianggap wajar,
bahkan merupakan keharusan. Kita kenal misalnya Kurikulurn 1969, 1975, dan terakhir
1984. Dan nantinya Kurikulurn 1992?
Wajar atau tidak wajar. sudan barang tentu setiap perubahan kurikulum
memberikan dampak pada petaksamaan pengajaran di sekolah. Jadi ada saja yang merasa
dibikin repot. Dernikian pula para guru sejarah di sekolah mengalami perubahan itu.
Mula - mula mata pelajaran sejarah diletakkan mandiri, berdiri sama tinggi. duduk sama
rendah dengan mata pelajaran ilmu sosial lainnya, seperti ilrnu burni, ekonorni,
hukum/civic – hukum. Kemudian di dalam Kurikulurn 1975 sejarah, ilrnu burni, ilmu
ekonorni maupun kewarganegaraan ditempatkan dalarn wadah khusus yang bernarna IPS.
Dan selanjutnya sekarang. dalam Kurikulurn 1984 kembali sejarah, ekonomi maupun
geografi dibiarkan berkelana sendiri sendiri. Dalam kurikulum terbaru rasanva guru
memang mendapatkan peluang lebih mantap dalam rnengernbangkan bidang studi
sejarah. Alasan pertama karena guru tidak lagi terpaksa berperan "lain di kurikulum, lain
344
pula di kelas". Yang dipesankan oleh kurikulum mengajarkan sejarah, maka yang
dilakukan juga mengajarkan sejarah. Demikian pula yang dilakukan para guru geografi
maupun ekonomi. Itulah yang konon disebut pendekatan monodisiplin. Sedangkan pada
kurikuluin sebelumnya, resminya digunakan pendekatan interdisiplin maupun
multidisiplin. Namun para guru IPS dan berbagai aspek (sejarah, ekonomi maupun
geografi) tetap saja bermain monodisiplin. Alasan kedua, karena seluruh siswa dari
berbagai jurusan yang ada bakal mendapat peluang yang sama dalam mendapatkan
intormasi mengenai kramaning tuha -tuba.
Tumpang Tindih
Sernentara itu para siswa menerima lagi PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan
Bangsa), yang dimaksudkan untuk mengobarkan semangat kebangsaan, semangat
patriotisme, semangat rela berkorban dsb. Sudah barang tentu tak dapat dihindari
terjadinya tumpang tindih bahan pelajaran atau pekok bahasan yang dilakukan oieh guru
sejarah (Indonesia maupun PSPB). Resikonya memang jelas, yaitu timbulnya kejenuhan.
Kemampuan PSPB mengemban arnanat sebagai sarana pendidikan nilai bagi pengobaran
semangat perjuangan bangsa, nasionalisme, patriotisme, rela berkorban dan sebagainya.
Nampaknya selain empuk untuk menjadi bahan pembicaraan. Mengenai bahan
pelajarannya saja sudah meinbuka peluang bagi yang tak begitu bersemangat mendukung
PSPB untuk memberikan kritik. Bahan yang tumpang tindih dengan yang disajikan dalain
sejarah Indonesia dapat menimbulkan kejenuhan, baik bagi siswa mnaupun bagi guru.
Sehingga proses belajar mengajar (PBM) yang berlangsung lebih merupakan "asal
memenuhi syariat saja".
Sebetulnya kejenuhan itu bisa dihindari, karena PSBB mempunyai misi yang jauh
berbeda, yaitu tujuannya, baik Tujuan Instruksional Umum (TIU) maupun Tujuan
Instruksional Khususnya (TIU). Jadi secara struktur menang sudah berbeda. Demikian
kira - kira pembelaan yang dapat dikemukakan. Namun, bukankah mubazir saja kalau
membiarkan dua kali siswa menghadapi menu yang sama meski disajikan dalam kemasan
yang berbeda? Sedangkan para guru tetap dapat menggunakan semua bahan yang tersedia
daiam hidang studi sejarah Indonesia untuk tujuan pengobaran sernangat, kalau diberikan
345
peluang waktu sedikit saja melebihi yang ada sekarang. Dan itu tidak akan sebanyak yang
dipakai untuk PSPB. Tentu saja pernyataan seperti itu keluar dari mereka yang tidak
bersemangat mendukung program PSPB. Soal istilah “penanaman nilai” lebih tepat
diganti dengan istilah “pengembanganilai”. Alasannya tidak lain karena peserta didik itu
bukan benda mati yang sekadar bisa ditanami atau dicekoki dengan nilai, melainkann
manusia yang memiliki potensi, termasuk potensi nilai-nilai baik. Oleh karenanya adalah
manusiawi kalau guru bertugas untuk peserta mengembangkan kepribadian yang sudah
ada pada diri mereka. Kurikulurn dapat memberikan amanat kepada semua guru dari
berbagai bidang studi, atau khususnya guru sejarah Indonesia, karena bahannya
tercakup di sana. Pendidikan nilai memang sebuah investasi jangka panjang. Oleh karena
itu tidaklah bijak kalau para guru menjadi terlalu terpesona menyaksikan perubahan
"sikap" siswa yang pada akhir proses belajar mengajar memberikan jawaban
"setuju" untuk "pernyataan - pernyataan positif atau "tidak setuju" untuk "pernyataan
negatif'”.
Yang muncul di sana hanyalah cognitive judgment. Yaitu gejala penilaian atas dasar
akal sehat semata, yang timbul karena memiliki pengetahuan mengenai sesuatu fakta,
yaitu fakta sejarah mengenai kramaning tuha-tuha.
Menanamkan Sikap
Alasan utaina para pendukung dilaksanakannya PSPB dalam kurikulum sejarah, karena
bidang studi sejarah dianggap hanya berinuatan kognisi (pengetahuan), artinys hanya
mampu menuangkan pengetahuan berupa fakta sejarah dan tidak dapat menanamkan
sikap.
Apa sih yang dinamakan sikap? Apa pula jeleknya dengan ranah kognisi, sampai -
sampai orang menjadi alergi pada kawasan kognisi? Nampaknya ada sedikit kekeliruan
atau kerancuan semantik, yang menjadi biang keladinya. Selalu saja sikap diartikan
identik dengan emosi atau ranah afeksi, juga dalam bidang pengajaran sejarah ini. Sikap
sendiri tidak bisa diukur karena merupakan semacam barang yang tidak kasat mata,
kedap suara maupun tak terasakan.
Sikap tak lain ruerupakan kesiapan (predesposisi) yang terdapat dalam mental
346
seseorang, Setiap kali dihadapkan pada obyek atau lingkungan. Barulah muncul di
permukaan ketika orang tersebut dirangaang untuk memberikan tanggapan (mereaksi
terhadap sesuatu obyek. Sekarang kita menggunakan kecenderungan ini dengan kata
'bersikap" atau "manyikapi". Sikap (attitude) tersebut sebetulnya berwajah ganda, yang
mencakup komponen kognisi (yaitu mengetahui atau tidak mengetahui mengenai sesuatu
obyek, afeksi (rnenyenangi atau tidak menyenangi sesuatu obyek), dan konasi (yaitu
kecenderungan untuk melakukan sesaustu). Jadi mengapa kita harus alergi terhadap
bidang kognisi, karena dianggap bukan sikap Bukankah kognisi tidak lain merupakan
bagian sikap itu sendir? Jadi kalau siswa sudah mengetahui, memahami dan meyakini
bahwa fakta "G30S-PKI melakukan makar dengan cara kejam terhadap pemerintahan RI
yang sah misalnya, itu berarti telah terjadi perubahan sikap pada siswa. Lewat PBM
bidang studi sejarah non PSPB pun guru dapat kemudian membangkitkan (dan bukan
menanamkan) perasaan (emosi) tidak senang terhadap-kramaning tuha-tuba tersebut,-
yang merupakan ranah afeksi. Lalu kalau mereka dirangsang untuk memberikan
jawaban tindakan apa yang akan dilakukan seandainya begini dan begitu, maka jawaban
(daiam tes) ituIah yang dikenal sebagai konasi.
Super Ego
Bagaimana perilaku sesungguhnya dalam kenyataan hidup ketika kepada mereka
dihadapkan pada obyek atau lingkungan tertentu, itu tidak gampang diterka. Berbagai
fsktor X, seperti sikondom (situasi, kondisi dan dorninasi), nampaknya sangat berperan
dalam membuat seseorang untuk selalu berkualitas "satunya sikap dan perbuatan" atau
justru sebaliknya.
Dengan menyadari ini semua, maka kita tidak perlu menyepelekan peranan
bidang studi sejarah sebagai pendidikan nilai. Guru memang hanya mempunyai
kewenangan untuk melimpahkan ilmu pengetahuan, namun juga memotivasi terjadinya
perubahan emosi atau afeksi. Dan waktunya bisa lama. bahkan mungkin baru
berkembang setelah para siswa itu meninggalkan bangku sekolah. Nampaknya prinsip
"witing trisna jalaran saka kulina" dapat kita pegangi sebagai cara untuk mengurangi
kekecewssn para guru, kalau sering dituduh tidak becus untuk menanamkan nilai atau
347
sikap pada siawa. Faktor kulina itu berarti faktor waktu dan kebiassan. yang tercakup
dalain pengertian conditioning. Sebagaimana proses pembentukan "super ego" yang
merupakan kendali mutu pada diri setiap manusia yang terbentuk dan berkembang
selama proses sosialisasi dalam keluarga dan Iingkungan, maka proses penanaman /
pengembangan nilai atau sikap cinta tanah air, rela berkorban, nasionalisme, patriotisme
dab. berlangaung dalam keluarga maupun lingkungan yang mampu mengkondisi. Dan
prograrn pengajaran bidang studi sejarah merupakan salah sebuah sarana untuk
ruengembangkan "super ego' itu. Bukan hanya para guru sejaran yang harus difungsikan,
melainkan juga para sejarawan peneliti maupun penulis mempunyai peranan luhur itu,
dengan pikiran - pikiran mereka yang tertuang daiam buku sejarah. yang tidak hanya
mengungkapkan fakta. melainkan juga analisis.
(Suara Merdeka, 28-6-1990)
8. FORMAT METODOLOGI PENDIDIKAN SEJARAH DALAM
TRANSFORMASI NILAI DAN PENGETAHUAN
348
I. Pendahuluan
Sejak berlakunya GBHN 1983 yang secara eksplisit tnengamanatkan agar
pendidikan sejarah perjuangan bangsa (PSPB) diajarkan di seluruh jenjang pendidikan,
untuk lebih meningkatkan kecintaan warga negara kepada tanah air, sejalan dengan
tujuan pendidikan nasional, para guru sejarah dengan serta merta secara sadar memikul
fungsi sebagai indoktrinator maupun sebagai juru bicara suatu proses pendidikan politik
atau manggala penataran P4. Dalam konsep politik barangkali fungsi itu dapat
digolongkan sebagai juru bicaraa suatu elit politik atau pendidik kewarganegaraan.
Dengan perkataan lain yang dimaksud adalah bahwa sejarah telah ditempatkan sebagai
bagian dan alat untuk pendidikan politik.
Pendidikan politik bukan sesuatu yang tidak selayaknya dilakukan dalam sesuatu
negara, lebih-lebih manakala sesuatu masyarakat masih memerlukan proses konsolidasi
politik, seperti Indonesia, yang masih memerlukan rehabilitasi bangsa setelah
mengalamai pengalaman pahit akibat pemberontakan G3OS/PKI yang gagal. Untuk itu
mekanisme pendidikan politik telah dirancang dan dilaksanakan dengan mapan, yaitu
berupa penataran-penataran P4. Amanat GBHN 1983 yang mencantumkan PSPB
beriringan dengan penataran P4 telah menghasilkanKurikilum 1984. Dan selama hampir
sepu1uh tahun berikutnya dunia pendidikan kita memperlakukan sejarah sebagai bahan
ajar untuk tujuan-tujuan pembinaan watak bangsa secara langsung, di samping penataran
P4, PMP maupun Civic atau Kewarganegaraan.
Dalarn dasawarsa 90 an mulai muncul berbagai keluhan masyarakat mengenai
pendekatan dalam pengajaran sejarah di seko1ah dengan pola PSPB, dengan alasan
munculnya berbagai kejenuhan, tidak hanya di kalangan pelajar melainkan juga di
kalangan guru. Kejenuhan itu muncul karena terdapatnya gejala tumpang tindih dalarn
bahan pelajaran untuk P4, PMP maupun PSPB Berkenaan dengan itu telah timbul
kekhawatiran bahwa kalau kondisi sernacam itu terus berkembang akan rnembahayakan
misi pcmbinaan watak bangsa itu sendiri, yaitu timbulnya efek bumerang. Artinya, hasil
proses pembinaan watak bangsa itu akan berkebalikan dari ruinusan tujuan yang semula
diharapkan terjadi dengan program-prograrn tersebut. Itulah sebabnya kemudian muncul
gagasan untuk rnenghapuskan PSPB sebagai bentuk pendekatan dalam pengajaran
349
sejarah, yang kemudian terlaksanan dalarn Kurikulum 1984. Kemudian pengajaran
sejarah tidak dilakukan sebagai alat pendidikan pohitik melainkan sebagai proses
mencerdaskan bangsa. Ini berarti bahwa ' pengajaran sejarah akan mengalami perubahan
pendekatan dan rnetodologinya.
Tantangan yang kemudian rnenghadang para ahli pendidikan sejarah adalah
bagaimana menemukan pendekatan maupun metode pengajaran sejarah di sekolah. Perlu
kita ingat kembali bahwa gagasan digunakannya pendekatan PSPB bagi pengajaran
sejarah juga disebabkan keprihatinan yang rnuncul di kalangan para elit politik yang
menyaksikan praktek pengajaran sejarah yang bersifat deskriptif-naratif. Sebagai
akibatnya, para pelajar tidak tnampu mengainbil rnanfaat berupa pelajaran dari
pengajaran sejarab, kecuali kemampuan menghafal nama tokoh, jalannya peristiwa
rnaupun angka tahun kejadian. Pertanyaan yang segera harus mendapat jawaban
adalah bagaimana format metodologi pengajaran sejarah yang tepat untuk era sekarang,
yang ditandai dengan proses cepatnya transformasi nilai dan ilmu pengetahuan? Adakah
metode atau pendekatan yang khusus dalain suatu era yang khusus dalam pengajaran
sejarah?
Ii.Menentukan Tujuan Pengajaran Sejarah
Dalam hal memilih sesuatu metode dalam pengajaran perlu diyakini bahwa tidak
ada sesuatu metode yang selulu unggul untuk segala situasi. Tidak juga ada sesuatu
metode khusus untuk pengajaran sejarah, karena pada garis besarnya dalam proses belajar
mengajar pelajaran apapun ada suatu proses yang sama. Narnun berbagai situasi khusus
dapat saja muncul, ineskipun untuk pelajaran yang sama sekalipun, atau bahkan yang
dihadapi oleh guru yang sarna sekalipun, yang membuat setiap guru sejarah akan
inenghadapi situasi dan kondisi yang khas. Berbagai situasi dan kondisi inilah yang
seharusnya diperhitungkan dalarn meinilih sesuatu metode pengajaran.
Dalarn berbagai buku tentang didaktik dan metodik sering dikemukakan bahwa
dalam menentukan pemilihan metode rnaupun pendekatan dalam proses belajar mengajar
harus senantiasa berorientasi pada tujuan. Secara visual dapatlah dikernukakan bahwa
rancangan kegiatan pengajaran akan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
350
TUJUAN
BAHA\N EVALUASI
METODE
Lebih dahulu harus disetujui untuk tujuan apa sesuatu palajaran akan disajikan,
yang kemudian harus dirumuskan menjadi tujuan instruksional. Untuk rnencapai tujuan
tersebut harus digunakan bahan belajar yang spesifik pula, yang harus secara eksplisit
dipilih. barulah setelah itu ditentukan metode pengajaran yang paling tepat dalam
melaksanakan proses belajar mengajar. Pada akhirnya sudah harus diantisipasi model eva
luasi yang akan dipergunakan untuk mengetahui keberhasilan belajarnya. Tentu saja
harus pula disadari untuk kelompok siswa mana pelajaran itu disampaikan, yang tentunya
dapat diketahui dan jenjang pendidikan yang sedang ditempuh.
Secara ideal setiap rumusan tujuan pengajaran harus selalu mengacu pada
rumusan tujuan umum mata pelajaran. Rumusan tujuan umum pelajaran itu sendiri harus
mengacu pada rurnusan tujuan institusional lembaga pendidikan, yaitu untuk lembaga
pendidikan mana pelajaran sejarah itu disampaikan. Sedangkan rumusan tujuan
institusional tadi harus rnengacupada rumusan tujuan pendidikan nasional. Dan pada
akhirnya rumusan tujuan pendidikan nasional harus dijabarkan dari rumusan filosofi
nasional, yaitu Pancasila.
Bagian terbanyak dari rangkaian rumusan tujuan itu menjadi tugas tim
pengembang pada tingkat nasional, agar rumusan menjadi seragam, sebagaimana
tertuang dalam GBPP atau garis-garis besar perencanaan pengajaran. Rumusan tersebut
sudah tercantum secara terpadu dalarn kurikulum inti yang diterima sebagai paket secara
nasional. Tugas para guru atau dosen di lapangan dirnulai segera setelah siap untuk
memainkan penyegaran maupun penataran dan sebagainya. Tugas pertamanya adalah
351
melakukan upaya mengidentifikasi, mengevaluasi dan menganalisis berbagai faktor yang
ada dan seterusnya melakukan perumusan langkah-langkah operasional dalam suatu
format yang dikenal sebagai Satuan Pelajaran (Satpel). Dalam bagian ini para guru atau
dosen mempunyai kebebasan dalam menentukan metode yang paling sesuai dan
operasional, karena diharapkan mampu menapertimbangkan berbagai realitas yang
merupakan faktor yang nyata nyata, seperti potensi guru/dosen, bahan ajar yang tersedia,
media pengajaran yang tersedia maupun kekhasan siswa/mahasiswa yang menjadi
sasaran.
III Sifat-Sifat Psikologis Dan Sosial Belajar Sejarah
1.Sifat-Sifat Psikologis Belajar
Belajar tidak lain adalah kegiatan psikologis yang terjadi pada setiap diri dalain
menanggapi setiap rangsangan yang datang dari lingkungan. Para guru maupun ahli
psikologi yakin bahwa hasil belajar terlihat pada perubahan sikap dan perilaku. Anggapan
itu mengisyaratkan bahwa ada perbedaan antara proses belajar dengan kegiatan yang
menekankan pada menghafal. Artinya mempelajari sesuatu, yang berarti memahami
sesuatu tidak sama dengan menghafal fakta atau konsep. Dengan begitu sesuatu program
belajar harus membuka peluang terjadinya suatu proses belajar mengajar yang aktif
(Thomas F, Staton, 1978, hal.: 9).
Demikian pula dalam kegiatan belajar mengajar sejarah seorang guru harus
mempu menciptakan suatu lingkungan yang memberi peluang terjadinya proses belajar
mengajar yang aktif. Dengan cara ini pelajar akan mampu memahami sejarah secara lebih
benar, tidak hanya mampu menyebutkan fakta sejarah belaka. Pemahaman konsep belajar
sejarah secara itu memerlukan pendekatan dan metode pengajaran yang lebih hidup dan
bervariasi, agar pelajar betul-betul mengambil manfaat dan belajar sejarah. Ini berarti
bahwa pelajar akan memperoleh hasil dari belajar, dan bukan sekadar menerima
pemberian pengertian atau fakta dari guru.
Hasil belajar yang dimaksud adalah terjadinya perubahan atau perbedaan dalam
cara berfikir, merasakan, dan kemamapuan berbuat setelah mendapat pengalaman dalam
352
proses belajar mengajar. Hal itu akan terbukti dari cara mereka menghadapi berbagai
situasi baru (Thomas F. Staton, 1978 : hal : 9).
Perubahan semacam itu sangat diharapkan terjadi dalambelajar sejarah. Dalam hal
sejarah dianggap sebagai alat pendidikan politik (fungsi didaktis), maka belajar sejarah
akan menghasilkan perubahan sikap dan perilaku pelajar sejarah ke arah rnenjadi warga
negara yang baik. Sebaiknya dalam hal sejarah dipandang sebagai alat untuk marnpu
befiki kritis (pandangan Sejarah Baru) tentang berbagai masalah sosial, sebagaimana
diharapkan oleh para ahli ilmu-iltnu sosial. Mereka akan makin bijaksana dalam
memahami fakta sejarah dan mampu belajar dan pengalaman masa lampau.
Sebagaimana kita ketahui ada beberapa anggapan tentang fungsi sejarah, sebagai
berikut.
a. Sejarah berfungsi sebagai genesis, oleh karenanya bersifat deskriptif, naratif, dan
informatif. Dalam hal mi sejarah berisi rangkaian fakta yang dianggap menarik
untuk dikisahkan dan generasi ke generasi. Sejarah hanya berisi hal-hal rnengenai
faktor-faktor What, Who, When, Where dan How. Sejarah dengan demikian
lebih merupakan hasil karya sastra ataupun rumusan gagasan falsafi, sehingga
dikenal sebagai “history as art” ataupun humaniora. Itu sebabnya Jurusan Sejarah
dalam Universitas-Universitas dimasukkan ke dalarn Fakultas Sastra dan/atau
Filsafat, misalnya.
b. Sejarah berfungsi didaktis, oleh karena itu dipilihlah fakta di sekitar pengalaman
masa lampau yang membanggakan, menyedihkan dan sebagainya, yang
dikomunikasikan kepada generasi muda untuk tujuan mengobarkan semangat.
Berbagai nilai luhur (ideal) bangsa ingin disampaikan lewat pendidikan sejarah,
agar terjadi proses sosialisasi dalam gcnerasi baru, untuk rnenumbuhkan semangat
kepahlawan an, patriotisrne, nasionalisme dan sebagainya. Secara eksplisit fungsi
tersebut dibebankan pada PSPB.
c. Sernentara itu aliran Sejarph Baru (New Historisism) atnat rnenekankan pada
perlunya penyajian fakta sejarah secara lebih obiektjf, lugas atau apa adanya.
Sejarah oleh karena itu harus tidak usah dikaitkan dengan usaha mendidik
(didaktis) untuk membangkitkan semangat kepahlawanan dan sebagainya, pada
generasi baru. Itulah sebabnya sejarah harus disusun atas dasar fakta yang
353
sesungguhnya terjadi, sehingga diperlukan proses studi sejarah kritis. Hasilnya
disajikan dalarn wujud sejarah sebagai karya ilmu (history as science) dalam
bentuk buku seiarah (history as written) Dalsm fungsi semacarn ini sejarah
dianggap sebagai bagian dan ilrnu-ilrnu sosial, yang dalam konteks persekolahan
disebut Ilrnu Pengetahuan Sosial (IPS). Dengan alasan itu pula Jurusan Sejarah di
IKIP dimasukkan ke dalam FPIPS (Abu Su'ud, 1993, hal. : 5).
Dengan cara belajar sejarah semacam itu dalam diri siswa akan tumbuh motivasi
belajar lebih baik. Dengan motivasi belajar dirnaksudkan, bahwa anak mengetahui apa
yang akan dipelajari, dan memahami mengapa hal tersebut patut dipelajari (Thotnas F.
Staton, 1978,:::10).
Pada gilirannya anak akan mempunyai perhatian lebih besar pada bahan ajar
dengan cara meningkatkan konsentrasi dalarn artian rnengerahkan seluruh daya dan
perhatian untuk lebih rnernahrni bahan ajar. Selanjutnya diharapkan anak akan
mengerahkan seluruh kemampuan mentalnya untuk betul-betul berada dalam proses
pemahaman bahan ajar. Untuk itu anak tidak sekadar diam dan mengikuti cerarnah atau
diskusi, mnelainkan harus rnerasa mengalir bersama aliran bahan ajar yang sedang
dibahas. Dengan cara ini anak sedang dibangun kemarnpuannya dalarn rnelakukan reaksi,
sebagaimana seorang pernain bela yang siap untuk bereaksi secara tepat atas posisi bola
dalarn keseluruhan situasi permainan.
Nyata benar perbedaan antara kaca jendela yang kotor dengan sekeranjang
pecahan kaca, yaitu terletak pada kemampuan rnengorganisasikannya. Demikian pula
perbedaan antara belajar dengan kebingungan terletak pada kemampuan
mengorganisasikan fakta maupun gagasan yang disampaikan dalam proses belajar
mengajar Dalam hal mi maka kemampuan mengorganisasikan bahan ajar merupakan
syarat berikutnya dalam menangkap hasil belajar. Dengan cara itu anak sedang bergerak
ke arah pemahaman se1cngkapnya atas pelajaran yang sedang dihadapi. Kemampuan
yang diharapkan terjadi adalah rnenangkap komprihensi dari pelajaran yang sebenarnya.
Dan akhirnya hasil belajar yang ingin dicapai dari proses belajar mengajar harus dapat
dibuktikan dengan kemampuan melakukan repetisi atau rnalakukan pengulangan atau
rekonstruksi atas seluruh bahan ajar (Thomas F. Staton, 1973, hal. : 20 - 30).
354
1. Sifat-sifat Sosial Belajar
Dalam sejarah pada dasarnya belajar tingkah laku manusia di masa lampau,
tentang sukses mereka, kegagalan mereka mereka maupun tentang bagairnana mereka
dapat memepertahankan hidup (survive). Ini berarti manusia harus dapat rnenangkap
pengalarnan sejarah tentang bagaimana mereka mampu mengatur tata hidup rnereka dari
waktu ke waktu. Ada dua hal yang nampaknya amat berkaitan, yaitu kepedulian sosial,
proses pendemokrasian, serta kebenaran ilmu.
a. KepedLilian Sosial
Salah satu tujuan pengajaran sejarah sebagai bagian dan ilmu-ilmu sosial adalah
untuk menyiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik, serta berpikir kritis, yang
antara lain terlihat pada adanya kepedulian sosial. Dalam kaitan dengan kegiatan belajar
mengajar sejarah hal tersebut dapat terlihat pada kecenderungan tanggapan mereka
terhadap berbagai isu kontroversial dalam masyarakat, seperti tulisan tentang keterlibatan
Sudorno dalam skandal kebocoran dana Bappindo sebesar Rp.1,3 trilyun, polemik
tentang sudah meninggal atau belumnya tokoh pahlawan Peta Supriyadi, maupun
pendapat tentang ditemukannya makam Diponegoro di Demak. Sedangkan tentang
kejadian di mancanegara muncul pula tulisan-tulisan tentang sah tidaknya klaim dan
aneksasi Serbia Bosnia atas Bosnia Herzegowina, terlibat tidaknya Presiden Clinton
dalam skandal Whitewater, maupun sikap pemerintah RRC atas pendukung gerakan pro
demokrasi.
b. Proses Pendeinokrasian
Secara teoritik kerangka pemikiran itu didasarkan atas anggapan dasar, bahwa
demokrasi rnerupakan cara hidup yang menghargai a1ternatif yang berarti warga
masyarakat mempunyai kebebasan untuk berbicara, berkumpul, mengajar dan
sebagainya. Tanpa adanya kebebasan itu rakyat tidak mempunyai kesempatan untuk
mernerintah atau melaksanakan kedaulatan rakyat. Dalam lembaga sekolah para siswa
355
yang dididik untuk menjadi warga masyarakat yang baik dan bertanggung jawab,
mempunyai peluang untuk berlatih mengembangkan jiwa demokrasi itu dengan
menyatakan pendapat, meskipun berbeda dengan pendapat orang lain, misalnya terhadap
berbagai isu sosial yang bersifat kontroversial. Sekolah ternyata mempunyai fasilitas
untuk rnemberikan pengalaman kepada para siswa/mahasiswa untuk mengembangkan
pengetahuan kognitif, emosi, serta ketrampilan yang berkaitan dengan hak masyarakat
demokratis (Hartshorn dan Nu`man Sornantri, 1971 49).
Yang menjadi dasar konsep tersebut adalah kenyataan bahwa setiap bangsa, setiap
warga masyarakat akan dihadapkan pada banyak isu dan masalah, yang menimbulkan
perbedaan pendapat mengenai pemahaman maupun tindakan yang akan diambil. Pada
saat itulah muncul atau berkembang isu kontroversial. Kalau hal-hal yang menimbulkan
perbedaan-perbedaan itu diabaikan atau dihilangkan, maka masalah itu justru akan
membara di bawah permukaan (Hartshorn dan Nu'man Somantri, 1971 : 50).
Di sekolah-sekolah kemungkinan pemecahan seperti itu harus dialami para
siswa,/mahasiswa. Dalam hal ini tidak terdapat kernungkinan terjadinya persetujuan bulat
atas sesuatu keputusan, narnun sebaliknya sesuatu alternatif pemecahan akan muncul.
Tugas guru dalam rnenghadapi keadaan semacam itu harus mernbantu para
siswa/mahasiswa untuk rnengernbangkan ketrampilan dalarn berfikir kritis dan
mengembangkan nilal-nilai demokratis (Hartshorn dan Nu'inan Somantri, 1971 50).
IV. Isu Kontroversial Masuk Kelas Sejarah
Berikut mi merupakan pola pengembangan rancangan isu kontroversial dalam
kelas sejarah, yang disusun berdasarkan rainbu-rambu yang diperoleh dari hasil
penelitian, baik dari fihak responden mahasiswa maupun responden pengajar.
1. Tujuan Rancangan
Berbagai rumusan tujuan bagi pengembangan rancangan ini adalah
1). Rancangan dapat dikembangkan untuk daya penalaran.
2). Rancangan dapat dikembangkan untuk daya kritik sosial.
356
3). Rancangan dapat dikembangkan untuk kepekaan sosial.
4). Rancangan dapat dikembangkan untuk toleransi dalam perbedaan
pendapat.
5). Rancangan dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan keberanian
mengemukakan pendapat secara demokratis.
6). Rancangan dapat dikembangkan untuk mencapai peningkatan kemampuan
warga menjadi waarga negara yang bertanggung jawab.
2. Sumber Dan Bahan
Rancangan isu kontroversial masuk kelas sejarah seyogyanya mendasarkan pada
bahan yang bersumber dari media masa, karena sifatnya yang terbuka dan dapat diikuti
oleh siapapun. Bahan yang bersumber dari desas-desus bukan mcrupakan sumber yang
dianjurkan, meskipun bersifat menarik.
Bahan isu kontroversial yang cenderung lebih disukai oleh mahasiswa ialah yang
berkaitan dengan kejadian di dalam negeri dengan alasan “lebih bermanfaat” dan
“mudah dihayati”.Sebaliknya para pengajar sejarah lebih menyukai kejadian di luar
negeri, karena jauh dari resiko politis.
3. Peranan Pengajar Dan Metode Pengembangan
1). Pengajar sejarah yang melaksanakan rancangan isu kontroversial masuk kelas
sejarah seyogyanya mempunyai seperangkat kualitas berikut ini, yang disusun sesuai
dengan hasil penelitian (1) objektif, (2) menguasai masalah, (3) relevan dengan bidang
studi sejarah, (4) toleran, (5) membantu proses penalaran, dan (8)pendidikan tambahan
(S2 atau S3).
2). Peranan pengajar dalam rancangan mi amat menentukan, meskipun urutan berikut
tidak tnenunjukkan peringkat (1) sebagai pengendali, agar diskusi dapat terarah (2) harus
menguasai masalah; dan (3) harus memberi kebebasan kepada mahasiswa dalam
menyatakan pendapat.
357
4. Teknik
Adapun teknik yang dianggap baik oleh para pengajar untuk mengembangkan
rancangan ini bervariasi. Penggunaan teknik tertulis banyak didukung oleh para
pengajar, dengan alasan dapat melibatkan lebih banyak peserta, menurut para pongajar,
namun sekaligus dapat mengurangi spontanitas peserta. Sementara itu para mahasiswa
lebih menyukai cara lisan, karena dapat mengembangkan dialog langsung.
5. Sistem Evaluasi
Berikut ini merupakan seperangkat raambu-rambu yang berguna dalarn
penyusunan perangkat evaluasi terhadap keberhasilan belajar dalam rancangan isu
kontroversial dalam kelas sejarah, sebagai kesimpulan hasil penelitian.
(1) Keberhasilan belajar dalam rancangan mi tidak dapat dilepaskan dari
keseluruhan tujuan pengajaran sejarah.
(2) Keberhasilan belajar dalam rancangan ini tidak boleh merugikan mahasiswa yang
tidak dapat menyatakan pendapat secara lisan dalam diskusi.
(3) Keberhasilan belajar dalain rancangan ini agar dapat dilihat pada kemampuan
menganalisis masalah sosial.
(4) Keberhasilan belajar dalam rancangan ini tidak dapat diukur dari keserasian atau
ketidakserasian dengan pendapat pemcrintah.
(5) Keberhasilan belajar dalam rancangan ini agar dapat dilihat pada keberanian
mengemukakan pendapat secara objektif, disertai dengan argumentasi yang tepat.
V Kesimpulan
1. Kurikulurn, tertnasuk kurikulum pengajaran sejarah, harus selalu mengacu pada
berbagai situasi dan kondisi yang berkembang dalam lingkungan nasional dan global,
oleh karenanya kurikulum perlu direvisi dan disusun kembali untuk jangka waktu
yang rasional, misalnya sepuluh tahun.
2. Dalam pelaksanaannya di lapangan diperlukan format metodologi pengajaran sejarah
358
yang sesuai dengan proses transformasi nilai maupun pengetahuan, sesuai dengan
perubahan yang terjadi dalam situasi dan koridisi sosial politik, nasional maupun
global, namun tetap mengacu pada sifat-sifat psikologis maupun sosial belajar
sejarah.
3. Secara konseptual setiap perancangan metode pongajaran sejarah harus selalu
mengikuti asumsi tentang fungsi sejarah bagi manusia, yaitu fungsi genesis, fungsi
didaktik maupun fungsi pengembangan daya kritik siswa/mahasiswa.
4. Secara teknis setiap perancangan format metodologi pengajaran, termasuk pengajaran
sejarah, mengikuti model hubungan antara faktor-faktor objektif yang berupa tujuan
pengajaran, bahan pengajaran, metode dan pola evalusi.
5. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas dapat dikemukakan salah satu
alternatif yang patut diperhatikan untuk dikembangkan dalam pengajaran sejarah
sebagai bagian dan ilmu pengatahuan sosial, adalah rancangan isu kontroversial
masuk kelas sejarah.
@@@
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Su`ud, 1989, Sejarah Dan Pendidikan, Makalah dalam Temu Sejarah II,
Semarang: Kanwil Depdikbud Prop. Jateng bekerja saina engan MSI
Cabang Jateng.
Abu Su`ud, 1990, "Pengajarran Sejarah", dalain Seminar Sejarah Nasional
Jakarta : Depdikbud, Dit. Jarahnitra, Proyek Inventarisasi dan
Dokumentasi Sejarah Nasional.
359
Abu Su`ud, 1991, Pemeranan Pengajar Sejaran pada beberapa Perguruan
Tinggi di Jawa Tengah dalam Menanggapi Isu Kontroversial ,
Laporan Penelitian, Pusat Penelitian IKIP Semarang.
Abu Su`ud, 1991, Model Pengajaran Sejarah Yang Sesuai dengan
Perkembangan Sosial , dalam Seminar Pengajaran Sejarah dan
Perubahan Sosial dalarn Rangka Dies Natalis IKIP ke 28 , IKIP
Semarang.
Abu Su'ud, 1992, Penanaman Kesadaran Sejarah dalam Menatap Masa
Depan ,Makalah untuk 'Pembinaan Dan Pengembangan Kebudayaan
Daerah Jawa Tengah, Semarang : Kanwil Depdikbud Propinsi Jawa
Tengah.
Abu Su`ud, 1993, Bila KelasIsu KontroversialMasuk Sejarah, Pidato
Pengukuhan Saat Menerima Jabatan Guru Besar pada FPIPS IKIP
Semarang, pada 23 Januari 1993.
Sanusi, Ahmad, 1972, Beberapa Pendekatan dan A1at dalam Studi Sosial,
Bandung : Bagian Penerbitan FKIS IKIP Bandung.
Ballard, Martin (ed), 1970, New Movement in the Study aad Teaching
History , London : Tomplo Smith
Banks, James A, 1972, ~ Strategies for the Social Studies : Inquiry
Valueing and Decision Making, 2nd Edition, Massachusetts : Addison-
Wesley Publishing House Coy
Daniels, Robert V, 1966, Studying History, New Jersey : Prantice Hall.
Gottschalk, Louis, 1975, Understanding History: A Primer of
IHistorical Method, terjemahan Nugroho Notosusanto, Jakarta :
Yayasan Penerbit UI.
Hartshorn Merril F dan Nu`maan Somantri, 1971, Tantangan dalam
Pengajaran Ilmu Sosial daa Pendidikan Kewarganegaraan, Bandung
: Badan Penerbitan IKIP Bandung
360
361
.
Makalah disajikan dalam Seminar Memantapkan Format MetodologiI Pendidlkan Sejarah
Dan Sosialisasi Kurikulum 1994, oleh Himpunan Mahasiswa Sejarah (HMJ) Pendidikan
Sejarah FPIPS IKIP Yogyakarta pada 30 April 1994
9. KURIKULUM BARU, TANPA PSPB
Ungkapan “ganti menteri, ganti pula kurikuilum” senantiasa dibantah oleh setiap
Menteri Depdikbud, karena merancang kurikulum memang tidak secepat menyiapkan
sajian di restoran fast food. Karena itu bilamana seorang Mendikbud memprakarssi
pergantian kurikulum baru, hasilnya baru terwujud ketika Mendikbud hampir mengakhiri
masa baktinya. Kurikulum 1994 bagi SLTP (Sekolah Lanjutan Tinghat Pertama) dan
SMU (Sekoish Menengah Umum) yang akan berlaku awal tahun pelajaran 1994, sudah
dirancang jauh sebelum Pak Wardiman diserahi tugas menjadi Mendikbud. Rancangan
itu sudah dimulai sejak masa bakti Prof. Dr. Fuad Hasan.
Yang menjadi bahan bahasan menarik bukan siapa perancang kurikulum tersebut,
melainkan alasan yang melatarbelakangi. Namun sejak ada kabar akan lenyapnya PSPB
(Pendidikan Sejarah Pejuangan Bangsa) dari kurikulum itu mulai berkembang keluhan
dari berbagai pihak. Sejak dari para guru PSPB yang merasa bakal kehilangan lahan
pangabdian dan penghasilan, sampai kekhawatiran kambuhnya gejala rendahnya
patriotisme, nasionalisme maupun heroisme di kalangan generasi muda.
Akar PSPB
Tidak bisa ditolak bahwa PSPB bermula dari lahirnys GBHN 1983 maupun
GBHN 1988, yang menentukan perlunya pendidikan sejarah perjuangan bangsa (huruf
kecil, asli dari GBHN, penulis). Jadi dalam GBHN itu PSPB merupakan suatu rumusan
tujuan, dan bukan judul konsep pendidikan kewarganegaraan dengan materi sejarah.
Pelaksanaannya untuk perguruan tiaggi didasarkan atas Keputusan Dirjen Dikti No. 25
362
Dikti/ Kep/1985, yang menyiapkan lahirnya sarjana dengan kualifikasi wawasan PSPB,
hingga dapat : (1) memperkuat semangat kebangasan, (2) memperkuat rasa cinta tanah
air, (3) meninghatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, (4) mempertiriggi jiwa
kebangsaan, dan (5) memperkokoh jiwa kesatuan dan persatuan.
Sementara itu UU No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II,
Pasal 4 mengandung butir-butir penting yang antara lain: (1) mencerdaskan kehidupan
bangsa, (2) mengembangkan konsep manusia Indonesia seutuhnya, seperti religius,
berbudi pekerti luhur, cakap, sehat, berpengetahuan dan (3) sadar akan tanggungjawab
sebagai masyarahat dan bangsa.
Hampir tidak ada beda di antara keduanya bagi landasan pengembangan tujuan
pendidikan nasional ke dalam kurikulum sekolah. Keduanya bisa melandasi adanya atau
tidak adanya PSPB dalam kurikalum. Menjadi berbeda ketika kita mancoba menafsirkan
kalimat “pendidikan Pancasila dan pendidikan kewarganegarsan”, baik untuk kurikulum
Dikti maupun untuk kurikulum Dikdasmen, secara gamblang kurikulum untuk SLTP
maupun SMU sudah tidak mencantumhan PSPB, sementara untuk kurikulum perguruan
tinggi diserahkan pada pilihan masing-masing PT. Maka dapat dibayangkan bahwa ada
PT yang masih tetap mencantumkan PSPB, ada juga yang sudah menyingkirkannya dari
kurikulum.
Fungsi-Fungsi Sejarah
Sabetulnya tidak pernah PSPB dikaitkan dengan mata pelajaran sejarah, sehingga
tidak seorangpun guru sejarah yang harus marasa kehilangan lahan pengabdian. PSPB
hanya diserahhan kepada para pengajar yang telah mendapatkan SIM (Surat Izin
Mengajar) tertentu yang telah mengikuti panataran pengajaran PSPB, baik untuk jenjang
Dikdasmen maupun untuk Dikti, meskipun yang dianggap relevan adaiah para guru
sejarah maupun PMP. Jadi tidak berbeda dengan yang berhak menjadi
penatar/penceramah untuk penataran P4. Selama itu memang PSPB tidak termasuk dalam
kelompok studi sejarah atau tergabung dalam IPS.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah fungsi pendidikan
kewarganegaraan yang terkandung dalam PSPB menjadi hilang, begitu likuidasi PSPB
dilalkukan? Yang juga menjadi bahan pertimbangan bagi penghapusan PSPB dari
363
kurikulum sekolah adalah munculnya berbagai kejenuhan, sebagai akibat terjadinya
tumpang-tindih di antara PSPB, PMP, bidang studi sejarah maupun penataran P4.
Dikhawatirkan hal itu bakal mengundang terjadinya efek bumerang bagi program
pendidikan kewarganegaraan itu sendiri. Artinya, bahwa bukan tidak mungkin para
pelajar PSPB justru mulai masa bodoh dengan semangat yang hendak dikobarkan oleh
mata pelajaran tersebut. Paling tidak terjadi kejenuhan.
Pada dasarnya fungsi pendidikan nilai yang terkandung dalam PSPB tidak pernah
tarpikirkan untuk dihapuskan oleh siapa pun. Hanyalah pelembagaannya yang perlu
dipikirkan ulang. Sebagaimana kita ketahui bahwa missi pendidikan kewarganegarsan
adalah menyiapkan generasi muda menjadi warga negara yang baik, yaitu yang
memiliki loyalitas tinggi serta tanggung jawab pada masyarakat dan negara.
Selama ini timbul kesan bahwa bidang studi sejarah hanya menekankan pada (1)
fangsi genesis, yang pengembangannya berupa penyampaian infonnasi faktual kejadian
sejarah. Olehkarena itu sejarah lebih mengesankan pada hafalan dan rekreasi dalam
menjelajahi masa lalu, yang disajikan secara deskriptif - naratif di sekolah.
Di samping itu sejarah juga punya (2) fungsi edukatif, yang menekankan pada
materi-matari bahaaan yang relevan dengan pola tata nilai ideal Sejarah dalam konteks ini
diartikan sebagsi alat pendidikan nilai yang pada gilirannya akan lalar sejasrah dengan
selera tertentu sebsgsi history as written. Sejarah dengan begitu amat selektif disusun dan
disajikan. Salah satu akibatnya lahirnya kesan adanya semacam rekayssa dalam penulisan
sejarah. Kecenderungan ini sebetulnya bukan aneh dalam negara-negara berkembang, di
mana pendidikan lebihli mengesankan berfungsi sebagai a process of cultural
transmission, yaitu pendidikan sebagai proses pelestarian nilai budaya.
Dalam pada ita sejarah juga mempunyai fungsi untuk meningkatkan daya pikir
kritis atas dasar objekivitas ilmu, yang dikembangkan oleh aliran baru sejarah, yang
menekankan pada sejarah sebagai hasil telaah ilmu (history as science). Dalam hal ini
maka sejarah dianggap tidak ada kaitannya dengan proses edukatif; karena dianggap
hanya menekankan pads pengobaran semangat atau emosi etnosentrisme. Para perancang
kurikulum 1994, khususnya bidang sejarah, beranggapsn bahwa fungsi pendidikan
kewarganegaraan dalam PSPB kembali dikembangkan lewat bidang studi sejarah secara
implisit, maupun secara eksplisit lewat PMP dan Panataran P4. Pengembangan daya nalar
364
peserta didik maupun kesetisan pada bangsa dapat dikembangkan lewat pengertian bahwa
pendidikan juga berfungsi sebagai a process of cultural transformation, yaitu
pendidikan untuk mengubah diri menjadi, maupun a process of self-actualization, yaitu
pendidikan untuk peningkatan diri.
Memanfaatkan Pengajaran Sejarah
Selama satu dasawarsa PSPB nyaris menjadikan pengajarnya sebagai pegawai
Departemen Penerangan atau juru bicara pemerintah dalam proses pendidikan politik
kepada generasi muda sehingga harupir tidak mungkin sekaligus memainkan peranan
sebagai pengajar sejarrah untuk meningkatkan daya kritis. Dalam peranannya sebagai
pengajar sejarah kini pangajar sejarah tidak usah memainkan peranan sebagal juru bicara
itu, dan sebaliknya dapat tampil sebagai pengajar sejarah bagi peningkatan penalaran
maupun peningkatan saling pengertian antar suju maupun antar bangsa. Namun tidak
urungmereka masih tetap tampil sebagai nasionalisme, patriotmaupun pejuang bangsa
pada bidangnya, karena ikut berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Selama ini berbagai studi maupun evaluasi program banyak dilakukan para
guru/dosen PSPB tentang efektivitaspengajaran PSPB, lewat nilaites formatif maupun
sumatif pada akhir program sebagai indikator keberhasilan. Dalam bidang pendidikan
niiai sebenarnya indikator itu terlalu naif, karena apa yang kita kenal sebagal tea sihap
(afektif?) pada program PSPB digonakan shaI la tipe-Likert. Padabal kita tahu bahwa
skala tipe-Likert bukan pada tempatnya untuk menilai prestasi atau hasil belajar, seperti
disebutkan di atas, sejarah juga memiliki (3) fungs edukatif. Dengan mengembangkan
fungsi edukatif pengajaran sejarah, para pengajar tetap mempunyai peluang untuk
mengembanghan nasionalisme, patriotisme, heroisme, rela berkorban, persatuan/kesatuan
dan sebagainya, dengan tetap mengembangkan nilal saling pengertian, toleransi antara
suku maupun antar bangsa. Secara teoritik dapat dipahami bahwa cara ini dapat menekan
pengembangan yang berlebihan emosi etnosentrisme, provinsialisme maupun
chauvinisme, dan menekan kecerderungan terjadinya purbasangka a antar kelompok.***
(Harian KOMPAS, 18-6-1994).
365
10. GURU SEJARAH DAN PERUBAHAN SOSIAL
Orde demi Orde pemerintahan silih berganti. Rezim demi rezim silih berganti
pula. Dan buku sejarah demi buku sejarah bergantian pula dipasarkan. Untuk itu semua
silih berganti pula penataran untuk guru sejarah diseelenggarakan, agar dapat
melaksanakan tugas pendidikan sebagai juru bicara pemerintah.
Pelajaran sejarah merupakan bidang pendidikan nilai yang sarat nilai dan norma
suatu bangsa. Oleh karenanya bukan perkara gampang bagi guru menghadapi perubahan
366
materi dalam buku sejarah. Beberapa orang guru sejarah yang memasuki masa pensiun
menyatakan rasa gembira, karena merasa terlepas dari beban psikis. Alasannya karena
selama ini mereka menghadapi situasi konflik setiap kali harus menyampaikan fakta
sejarah yang menurut keyakinan mereka amat berbeda.
Yang sering dilakukan guru sejarah maupun PMP adalah menjauhi resiko demi
keselamatan diri sebagai pencari nafkah utama bagi keluarga. Itu sebabnya mereka
cenderung tetap melaksanakan tugas mengajar sesuai acuan resmi, yaitu kurikulum dan
silabus (history as writen), tanpa mempersoalkan hakekat kebenaran sejarah (history as a
fact). Bagaimanapun di hati kecil mereka masih terdapat ganjalan, ada perasaan bedosa,
karena harus menyatakan sesuatu kebohongan kepada murid yang belum tahu apa-apa.
Itu sebabnya mereka merasa bebas ketika tidak lagi mengajar.
Akhirnya nyaris para guru sejarah menjadi sebuah tape recorder, yang hanya
menjadi His Master`s Voice. Hati nurani sebagai intelektual sudah lama mereka
tumpulkan. Bahkan untuk menyatakan secara terbuka dalam pertemuan dengan rekan
guru sejenis bidang studipun tidak berani. Forum-forum pertemuan itu tidak pernah
digunakan untuk membahas situasi konflik semacam itu. Yang mereka bicarakan tidak
lebih dari teknikalitas pengajaran belaka.
Beda Fakta, Beda Semangat
Akhir-akhir ini, sebagai konsekuensi dari semangat reformasi total. muncul
kembali sejumlah isu kontroversial dalam sejarah nasional. Bahkan nyaris tidak
terbendung. Berbagai keraguan tentang peristiwa sejarah yang selama tiga dasa warsa
hanya menjadi celotehan para sejarawan dalam forum-forum terbatas, mendadak
dimunculkan secara lebih lugas dalam media massa.
Seorang warga masyarakat yang tidak pernah dikenal dalam pergaulan intelektual
tiba-tiba membuka rahasia sejarah di sekitar proses terbitnya Supersemar 1966 Secara
lugas Letda TNI (Purn) Wilardjito yang mengaku sebagai mantan petugas sekuriti
Presiden Sukarno di Istana Bogor menyatakan di hadapan LBH DIY Yogyakarta sebuah
isu baru. Dia mengaku melihat empat orang Jendral TNI AD menghadap Bung Karno di
tengah malam tanggal 11 Maret 1966. Salah seorang dari mereka, yaitu Jendral Maraden
367
Panggabean, konon menodonglan pistol untuk memaksa Bung Karno menandatangani
Surat Perintah itu..
Cerita itu makin membingungkan para guru sejarah, karena tidak pernah
sebelumnya terdapat dalam buku sejarah baku. Selama ini yang disampaikan kepada
murid adalah nilai semangat kerelaan seorang pejuang dan nasionalis sejati, Bung Karno,
yang menghadapi situasi genting, menyusul pemberontakan G30S/PKI. Perintah Presiden
Sukarno untuk pengamanan situasi dan penyerahan kekuasaan kepada Jendral Suharto
merupakan kebijakan yang sangat rasional. karena Jandral Suharto telah berhasil
mengatasi pemberontakan pada tingkat awal.
Semangat lain yang terkandung dalam buku-buku sejarah adalah juga tingginya
tanggung jawab dan ketaatan seorang prajurit TNI AD Jendral Suharto untuk
melaksanakan perintah Presiden Sukarno/Pangti ABRI dalam menegakkan suasana aman.
Kalau ternyata cerita Wilardjito tentang Supersemar benar, semangatnya
menjadi berubah sama sekali. Yaitu semangat pemaksaan pendapat, semangat
kebohongan, semangat penghianatan seorang prajurit, dan semangat kelicikan seorang
komandan.
Kontroversi Dalam Sejarah
Belum lagi kasus Wilardjito yang dituduh menyebarkan kebohongan diusut
tuntas, muncul isu lain lagi, yang sebetulnya bukan baru. Yaitu siapa pelaku sejarah
yang merencanakan Serangan Oemoem 1 Maret 1948. Cerita itu dikemukakan oleh
Brigjen TNI (Purn) Marsudi. Sebagai mediator dan kurir Sri Sultan dengan Letkol
Suharto, kredibilitas pemberita itu sangat tinggi.
Selama masa Orde Lama para murid yang belajar sejarah nasional menghafalkan
bahwa SO 1 Maret 1948 yang legendaris itu dirancang oleh Sri Sultan HB IX. Sedangkan
selama masa rezim Orde Baru para guru sejarah telah menanamkan dengan baik
semangat pejuang Letkol Suharto yang tidak kunjung berhenti. Dalam buku sejarah
disebutkan, bahwa pencetus gagasan SO 1 Maret 1948 adalah seorang perwira muda
usia, Letkol Suharto.
368
Kembali para guru bingung menghadapi pergantian data dalam buku sejarah.
Sepantasnyakah mereka tetap mengajarkan sejarah apa adanya seperti tertulis (history as
writen)? Haruskah mereka mengajarkan sejarah sesuai dengan keyakinan masing-masing
guru? Meskipun barangkali keyakinan pengajar itu berasal dari keyakinan sesuatu
otorotas, yang bisa berupa sejarawan, pelaku sejarah maupun sebuah Orde..
Kebimbangan para guru sejarah maupun PMP pernah pula muncul dalam kasus
Hari Lahir Pancasila. Apakah akan disampaikan sesuai dokumen Pidato Lahirnya
Pancasila oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945? Atau haruskah mereka mengajarkan
persepsi pemerintah Orde Baru, yaitu 18 Agustus 1945?
Lain Guru Sejarah, Lain Dosen Sejarah
Kita belum tahu presis sikap para guru di era reformasi dalam menanggapi
kemuskilan dalam mengajar sejarah. Hampir dapat dipastikan bahwa selama masa Orde
Lama maupun Orde Baru mereka lebih mengutamakan kepastian pekerjaan ketimbang
idealisme tentang kebenaran sejarah. Artinya mereka melaksanakan tugas mengajar
sebagai anak manis, sebagai juru bicara pemerintah dalam menyampaikan kebenaran
sejarah versi resmi.
Kondisi yang sama nampaknya dialami para dosen sejarah di PT. Tidak ada beda
sikap yang diambil oleh guru sejarah maupun dosen sejarah. Secara teoritis sebetulnya
para dosen sejarah mempunyai peluang lebih besar untuk mandiri dalam mengajar
sejarah. Mereka dapat menggunakan pendekatan sejarah sebagai ilmu. Dengan
pendekatan ini kepada mahasiswa dapat diberikan berbagai data yang berbeda sekalipun.
Pendekatan itu tidak dapat diterapkan pada tingkat pendidikan dasar maupun menengah
di Indonesia. Alasannya terletak pada kemampuan murid belum dapat diajak untuk
berpikrir alternatif. Lebih dari itu pola pengajaran sejarah yang dikembangkan mengikitu
konsep sejarah untuk kepentingan pendidikan kewarganagaraan. Hal semacam itu
menjadi ciri pengenbangan pendidikan di Era Orde Lama maupun Orde Baru yang
bersifat otoroter. Sejarah menurut konsep itu digunakan untuk kepentingan
pendidikan politik. Dengan sendirinya materi maupun metode pengajaran harus
369
berorientasi pada pengembangan kebanggaan bangsa, romantisme penguasa, serta
loyalitas tunggal pada kemapanan.
Pada banyak negara pendekatan sejarah untuk kepentingan pendidikan
kewarganegaraan tetap diterapkan untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hanya
bedanya di negeri liberal peserta didik sudah terbiasa dengan pola pengembangan
berfikir alternatif, sejak dalam pendidikan keluarga.
Pendidikan Sejarah Di Era Reformasi
Kita sekarang sedang memasuki suatu tatanan hidup yang sangat transisional,
bagaikan tahap kehidupan para remaja. Mereka baru saja meninggalkan masa anak-anak
yang penuh dengan bimbingan dan petunjuk. Mereka sedang memasuki masa dewasa
yang diidentikkan dengan kemandirian. Layaknya kehidupan kaum remaja masyarakat
kita sekarang sangat traumatis pada pola hidup dan pola fikir Orde Baru. Hampir semua
pola lama seperti ingin ditinggalkan. Sementara itu kita belum siap dengan pola yang
mantap dalam pengembangan tatanan sosial.
Dapatlah difahami kalau banyak terjadi ekses dalam mengaktualisasikan
semangat reformasi. Terkesan amat bersifat nihilistis. Terkesan pula adanya suasana
anarkis dalam memaknakan semangat keterbukaan. Dalam kondisi semacam ini sulit
bagi kita untuk menentukan pilihan atas pendekatan maupun metodologi pengajaran
sejarah.
Ada sejumlah pertanyaan yang kita hadapi. Pertama, apakah demi keterbukaan
setiap guru sejarah diperkenankan mengembangkan pengajaran sejarah sesuai dengan
pemikiran dan persepsinya tentang sejarah? Kedua, haruskah para guru sejarah di jenjang
pendidikan dasar dan menengah mengembangkan konsep pendidikan sejarah sebagai
ilmu? Ketiga, bolehkah guru mengembangkan konsep isu kontroversial masuk kelas
sejarah?
Tentu saja yang diperlukan adalah pemikiran yang jernih, jauh dari emosi yang
timbul dari sikap apriori terhadap konsep sejarah untuk pendidikan kewarganegaraan.
Oleh karenanya, pertama, nampaknya masih harus diterima konsep pengajaran
sejarah untuk meningkatkan kebanggaan bangsa. Kedua, untuk itu tetap diperlukan
370
penulisan buku sejarah baku yang lebih abyektif, sebagai konsekuensi semangat
keterbukaan. Ketiga, romantisme sejarah tidak dapat dihindarkan dalam penulisan buku
sejarah nasional yang baru. Meskipun demikian harus dihindari kecenderungan
pendewaan terhadap tokoh sejarah. Lebih-lebih kalau dilakukan dengan manipulasi fakta
sejarah untuk kepentingan politik fihak penguasa.
METODE PENGAJARAN
Ada kekhawatiran dalam menyaksikan berbagai ekses dalam pemaknaan
semangat reformasi, seoerti munculnya gejala nihilisme dan anrkisme, sebagai akibat
berfikir apriori menolak segala yang berkaitan dengan Orde Baru. Yang terjadi justru
praktek pemaksaan pendapat dengan cara-cara yang lebih lugas. Oleh karenanya gejala
dan budaya memaksakan pendapat harus dihindarkan dari metode pengajaran. Tanpa
adanya kejernihan dalam mencari kebenaran sejarah, bisa muncul pemaksaan dengan
dalih mempersamakan persepsi terhadap sejarah, yang dilakukan dalam proses
pembelajaran. Kalau ini terjadi. berarti kita mengulang kesalahan Orde Baru, yang
dinilai otoriter itu. Untuk itu diperlukan kesadaran bahwa kebenaran bukan monopoli
penguasa. Dan bukan pula monopoli guru sejarah dalam kelas. Sepantasnya kalau
dikembangkan iklim demokratis dalam kelas sejarah, dengan cara-cara berikut.
Pertama, guru harus membuka diri untuk pemikiran alternatif, dengan cara
memberikan kemungkinan adanya lebih dari satu data sejarah.Kedua, guru menyediakan
peluang bagi proses pemberian komentar dan penilaian terhadap materi sejarah.
Termasuk berkomentar terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pelaku sejarah. Hal
ini bisa dilakukan baik oleh guru maupun oleh murid. Ketiga, guru memberi kesempatan
kepada murid untuk mengemukakan pertanyaan maupun isu sosial dalam kelas, meski
tidak berkaitan langsung dengan bahan ajar.
Dengan demikian para guru tidak perlu mengalami kebimbangan setiapkali
muncul isu baru yang berkaitan dengan data sejarah. Semuanya bisa ditampung oleh guru
dengan penuh rasa percaya diri. Yang diperlukan mau tidak mau adalah keluasan
cakrawala pengetahuan guru sejarah. Mampukah dalam kondisi penghasilan guru
371
pada umumnya yang sangat rendah menyiapkan diri menjadi guru yang memiliki rasa
percaya diri lebih?
***
Suara Merdeka, 27-11-1992)
11. GURU SEJARAH YANG KEBINGUNGAN
Menurut salah satu versi di dunia ini cuma ada dua macam profesi, yaitu guru dan
bukan guru. Menurut orang Jawa guru itu mengandung pengertian yang digugu dan yang
ditiru. Artinya mereka yang dipercaya (bicaranya) dan yang ditiru (perilakunya).Dan
akhir-akhir ini kembali tingkat kesejahteraan guru marak diperbincangkan. Tidak lain
karena masalah rapelan kenaikan gaji yang tidak kunjung diberikan, karena terbatasnya
kemampuan keuangan pemerintah daerah. Kalaupun akhirnya keluar rapelan itu sudah
tidak utuh lagi, karena ada pemotongan sekitar 10%, yang entah dilakukan oleh fihak
372
mana. Yang menimbulkan perasaan iba adalah karena jumlah rapelan itu hanya sekitar
satu juta rupiah, namun hampir setiap hari beritanya dibicaraklan dalam media daerah.
Namun bagaimanapun mereka tetap tidak pantas kalau harus berdemonstrasi menuntut
perbaikan nasib.
Nasib guru sejarah lain lagi, yang tidak berkaitan dengan pemberitaan uang
rapelan yang hanya sebesar itu. Nasibnya lebih mengenaskan, karena setiap saat
dihadapkan pada dilema dalam melaksanakan tugas sebagai guru sejarah di kelas.
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa guru (sejarah) merupakan profesi yang ragu-
ragu dan yang takut keliru. Mereka menyadari bahwa bahan ajar bidang sejarah yang
mereka kembangkan di dalam kelas mengalami perubahan setiapkali terjadi perubahan
politik yang mandasar, terutama kalau terjadi perubahan kepemimpinan nasional. Namun
demikian perubahan bahan ajar itu tidak berlangsung sama cepat dengan perubahan
politik sebagaimana diikuti oleh warga masyarakat lewat media masa. Akibatnya guru
sejarah menjadi ragu-ragu, bahan ajar mana yang akan dikembangkan. Kreatifitas para
guru untuk memberikan sisipan atau koreksi secara individual dalam kelas sejarah tidak
selamanya baik dilakukan. Pertama, tentunya karena para guru harus senantiasa mengacu
pada buku babon. Kedua, para guru terbelenggu pula dengan lingkup bahan ajar untuk
menghadapi ujian, sehingga tidak mudah melakukan inprovisasi. Ketiga, trauma masa
lalu di masa Orde Baru yang mendasarkan semangat bahwa guru sejarah adalah “His
master`s voice”, terutama dalam bidang politik pemerintah, belum lagi hilang dari
ingatan para guru. Hal-hal tersebut membuat para guru sejarah terperangkap dalam situasi
‘takut keliru’ dalam memainkan peranan sebagai guru sejarah yang baik dalam era
reformasi. Sebagaimana diketahui para guru sejarah berfungsi menyiapkan warga negara
yang baik, yaitu yang peranan para sejarawan demokratis, yang transparan, yang obyektif
, dan tidak lagi menjadi ‘His master`s voice’.
Peranan Para Sejarawan
Di kalangan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) terdapat pengakuan bahwa
sejarawan bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu sejarawan peneliti/penulis, dan
sejarawan pengajar/pendidik. Pada tingkat perguruan tinggi para sejarawan pengajar
373
sering memainkan peranan juga sebagai sejarawan peneliti atau penulis, karena mereka
mendapat motivasi untuk melakukan penelitian atau penulisan materi sejarah, karena
mereka mendasarkan kegiatan profesional mereka pada Tri Dharma Pendidikan, yaitu
pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Meskipun demikian tidak
semua pengajar sejarah itu memiliki kegemaran atau kemampuan untuk melakukan
penelitian dan penulisan sejarah. Kondisi rendahnya motivasi untuk melakukan
penelitian lebih-lebih terdapat pada level pendidikan dasar dan menengah, karena
perilaku sebagai sejarawan peneliti/penulis seperti itu seperti jauh dari tradisi keilmuan
mereka. Dari uraian tersebut di atas sadarlah kita bahwa potensi meneliti dan menulis
sejarah amat kecil kita miliki.
Selama tiga-empat hari pada akhir bulan Oktober ini MSI menyelenggarakan
Kongres dan Konferensi MSI di Hotel Indonesia. MSI bukan organisasi profesional
seperti ISEI, PERADIN, PII, IDI, IAI dsb. yang para anggotanya memiliki posisi
ekonomi jauh lebih baik dibanding MSI. Oleh karenanya kegiatan organisasi hanya bisa
dilaksanakan kalau mendapat dukungan dari Depdiknas. Dalam kegiatan seperti Kongres
dan Konferensi MSI selain dibicarakan masalah keorganisasian, biasa dikemukakan
berbagai hasil studi sejarah. Pelaksanaan Kongres dan Konferensi itu sendiri sebetulnya
agak terlambat, karena suksesi politik telah terjadi sejak empat tahun yang lalu, ketika
rezim Suharto yang telah membentuk opini keilmuan, terutama kebenaran sejarah selama
tiga puluh tahun lebih digantikan rezim baru. Sejarah telah memasuki era baru pula, yaitu
era reformasi. Sejak awal masa suksesi politik itu telah muncul berbagai isu tentang
perlunya pelurusan sejatah nasional, terutama yang berkaitan dengan keterlibatan Suharto
dalam sejumlah peristiwa sejarah.
Para sejarawan maupun politikus sudah banyak berbicara mengenai perlunya
penulisan sejatah baru, sebagai revisi atas penulisan sejarah di masa Orba. Namun para
guru sejarah tetap masih hanya memiliki acuan lama atau bahan ajar lama. Kondisi
semacam itulah yang tidak berlebihan kalau disebut bahwa guru sejarah tengah berada
dalam kebimbangan.
Sejarah Dan Otonomi Daerah
374
Terasa di cari-cari hubungan antara sejarah lokal dengan otonomi daerah, tapi
betul-betul sebuah batu sandungan nyata bagi guru sejarah di lapangan. Keadaan seperti
Itu terjadi setelah gagasan
otonomi daerah memasuki kawasan bahan ajar sejarah.
Paling tidak ada dua pengertian tentang sejarah lokal. Bisa berupa sejarah lokal
sebagai sesuatu yang spesifik dan eksklusif , seperti “Sejarah Yogyakrta”, “Sejarah
Papua”, “Sejarah Nangro Aceh Darussalam” atau sejarah “Kesultanan Bintoro : Lahir
dari Rawa Demak”. Sejarah lokal bisa diartikan juga sebagai sejarah tentang peranan
yang telah dimainkan sebagai bagian dari sejarah nasional, seperti “Peranan Ulama di
Pondok Pesantren Mranggen dalam Pertempuran Lima Hari Semarang”, atau “Sejarah
Peranan Ulama Aceh Dalam Merebut Kemerdekaan Indonesia”.
Lalu apa yang bisa diharapkan dari sejarah lokal dalam kaitan dengan otonomi
daerah yang sedang kita siapkan? Dengan lebih gamblang dapat dikatakan tentang
peranan sejarah lokal dalam mengembangkan semangat kamandirian, demokrasi,
kepemimpinan maupun kekhasan daerah, yang potensial terkandung dalam gagasan
otonomi daerah? Barangkali berikut inilah jawabnya.
Seperti dikatakan di atas, yang dimaksud dengan semangat kemandirian adalah
semangat untuk mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi warga masyarakat,
tanpa mengandalkan pada bantuan fihak lain. Dengan demikian kita harus mampu
menggali pengalaman sejarah lokal maupun local heroes untuk membangkitkan motivasi
warga masyarakat dalam membangun semangat kemandirian, kalau sejarah itu dihayati
oleh warga masyarakat. kita juga harus mampu menggali dari khazanah pengalaman
sejarah daerah semangat demokrasi, kepemimpinan serta kekhasan yang dimiliki daerah.
Pemerintah daerah seyogyanya amat berkepentingan dengan pengembangan
sejarah lokal, dan seharusnya memberikan dukungan terhadap langkah-langkah penelitian
sejarah lokal terkait. Meskipun demikian tidak satu instansipun, termasuk pemerintah
daerah, boleh memanipulasi penelitian sejarah lokal untuk kepentingan politik. Misalnya
dalam pencarian dan penulisan tentang Harijadi sesuatu Kota atau Kabupaten.
Mewaspadai Ekses
375
Ada beberapa pengertian yang muncul di sekitar otonomi daerah yang perlu
diwaspadai, agar tidak berkembang ke arah yang destruktif. Misalnya tentang
kemandirian dan kekhasan yang merupakan semangat yang dominan. Kemandirian harus
tidak bisa dipisahkan dari kerjasama, karena sesuatu daerah tidak mungkin bisa dalam
arti yang sesungguhnya bisa mandiri. Para petani Grobogan misalnya, tidak bisa dengan
bangga menyatakan kemandirian mereka, karena sudah bisa melakukan swasembada
pangan, karena keberhasilan pertanian, yang tidak lagi tergantung pada musim hujan.
Ternyata para petani itu sangat tergantung pada sistem irigasi dan volume waduk
Gajahmungkur, yang ada di kabupaten Boyolali. Sementara itu rakyat Boyolali, yang
telah kehilangan lahan pertanian untuk membangun waduk itu, tidak memperoleh apa-
apa. Oleh karenanya secara logis Boyolali, untuk melindungi rakyatnya, bisa menyetujui
untuk mengeringkan air bendungan. Alternatif yang destruktif itu harus diganti dengan
yang konstruktif, yaitu mengadakan kerjasama. Misalnya, mendirikan otorita bersama
yang mengatur sistem pengairan, dengan sistem bagi hasil.
Semangat kekhasan yang dikembangkan pada setiap daerah, yang dimaksudkan
sebagai alat pemersatu, bisa berubah menjadi pemicu terjadinya disintegrasi bangsa,
karena telah menjadi simbul primordialisme (kesetiaan atas dasar faktor yang irasional).
Selanjutnya kondisi itu akan mencuat menjadi gejala baru yang memperkuat
berkembangnya disintegrasi bangsa, seperti gejala identity forming maupun neo
tribalism.
Semangat identity forming ditandai dengan maraknya pengibaran bendera daerah,
menyanyikan lagu identitas daerah maupun membentukan citra keunggulan diri lewat
penulisan sejarah daerah. Sementara itu semangat neo tribalism ditunjukkan dengan
ikatan kesetiaan lebih pada kelompok dengan identitas maupun aspirasi daerah.
Berbagai kecenderungan tersebut sekali lagi harus dihadapi oleh para guru
sejarah. Belum tentu mereka telah memiliki kesiapan mental, penguasaan materi maupun
ketrampilan mendidik yang memadai, untuk mampu menanggulangi masa-masa sulit
dalam melaksanakan tugas profesional mereka. Inilah tugas yang harus dihadapi MSI
atau Masyarakat Sejarawan Indonesia.
Ooo
376
12. SEJARAH LEBUR DALAM PPKN : QUO VADIS?
Sebuah bom sebetulnya telah meledak, namun tak seorangpun yang mendengar
dan menanggapinya, terutama mereka yang berada di luar lingkaran kepentingan maupun
profesi. Sebetulnya bom itu belum meletus secara terbuka, karena hanya menggelegar
dalam gedung kaca kurikulum, yang baru akan dilaksanakan pada tahun ajaran
mendatang untuk pendidikan dasar dan menengah. Yang dimaksud dengan bom yang
meletus itu tidak lain keputusan untuk melikwidasi eksistensi mata-mata pelajaran yang
semula tergabung dalam IPS. Sebagian dari padanya akan dileburkan dalam
matapelajaran PPKN atau Pendidikan Pancasila dan Kewargaan Negara. Yang paling
mengejutkan dari kebijakan baru Mendiknas itu adalah hilangnya eksistensi
matapelajaran Sejarah dan Geografi, karena dilebur ke dalam mata pelajaran PPKN tadi.
Keputusan itu amat menggelisahkan para guru Sejarah maupun Geografi, karena
mereka bakal kehilangan lahan pengabdian sebagai guru bidang studi, terutama karena
mereka itu hanya memiliki kewenangan mengajar bidang studi tersebut sesuai ijazah
yang dimiliki. Implikasinya tentu saja akan dirasakan dalam jaminan hidup mereka.
Kedua, perubahan itu akan berpengaruh pula pada makin sempitnya cakupan
matapelajaran Sejarah dan Geografi, karena frekuensi komunikasi setiap matapelajaran
menjadi makin kecil. Pokok bahasan bidang studi sejarah yang mencakup sejarah
mancanegara maupun pembahasan masa-masa sebelum kemerdekaan menjadi tidak
relevan dengan matapelajaran PPKN, sehingga akan dihilangkan. Demikian juga
pembahasan mengenai masa-masa sebelum pergerakan nasionalpun menjadi tidak
relevan. Situasi tentulah tidak berbeda jauh dengan cakupan matapelajaran PSPB atau
Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa yang pernah dimasukkan kurikulum, dan
377
kemudian dihilangkan. Yang ketiga dan yang paling esensial adalah hilangnya hakekat
peranan dan hakekat fungsi Sejarah sebagai matapelajaran atau bidang studi.
Secara kelembagaan paling tidak sudah ada dua forum yang telah mengemukakan
keberatan kepada Mendiknas atas kebijakan tersebut. Forum silaturahmi pimpinan
Fakultas Ilmu Sosial (FIS) pada Universitas bekas IKIP, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (FKIP) pada Universitas yang menyelenggarakan pertemuan periodik dua
tahunan berbarengan dengan Kongres Himpunan Sarjana Pendidikan IPS (HSPIPS) di
Semarantg medio Oktober yang lalu telah menyampaikan rekomendasi kepada
Mendiknas. Rekomendasi yang sama juga dikeluarkan oleh Konferensi dan Kongres
Masyarakat Sejarawan Indonesia yang diselenggarakan minggu terakhir bulan Oktober di
Jakarta. Bahkan sebelumnya hal tersebut telah disampaikan kepada Wakil Presiden RI
pada acara pembukaan Konferensi dan Kongres MSI di Istana Wapres pada tanggal 28
Oktober 2001.
Kegelisahhan Guru
Kita tidak yakin bahwa pemerintah akan betul-betul melikwidasi keberadaan guru
sejarah dan menggantikan mereka dengan para guru PPKN, yang mendapat tugas baru,
yaitu memegang matapelajaran Sejarah dan Geografi. Resikonya terlalu besar kalau
kebijakan itu yang diambil. Ini berarti SIM atau surat ijin mengajar masih tetap pada
mereka yang sejak dahulu mengajar matapelajaran Sejarah maupun Geografi, meski
keberadaan matapelajaran itu telah lebur dalam PPKN. Meskipun demikian peluang
kiprah para guru Sejarah maupun Geografi menjadi makin kecil. Tanggung jawab makin
kecil berarti peluang untuk mendapatkan penghasilanpun makin berkurang pula. Tidak
banyak memang honorarium yang diperoleh para guru pada sekolah tingkat dikdasmen,
apalagi kalau dibandingkan dengan para wakil rakyat anggota dewan daerah, yang setiap
bulan mendapatkan lima belas juta rupiah. Lebih-lebih kalau dibandingkan dengan para
pebisnis sukses. Namun bagi para guru penyusutan penghasilan itu bakal mengecewakan
mereka dan keluarga, karena penghasilan mereka memang sudah rendah.
Di samping itu kebijakan Mendiknas tersebut bakal berdampak pula pada lulusan
baru pendidikan tinggi yang menyiapkan calon guru Sejarah maupun Geografi. Jelas
378
sekali bahwa peluang atau lapangan kerja bagi mereka yang akan mengabdikan diri pada
pendidikan bidang studi makin sempit. Bahkan bukan tidak mungkin kalau nantinya
terjadi restrukturisasi dalam konfigurasi bidang studi keilmuan pada lembaga pendidikan
yang menyiapkan calon guru bidang studi itu. Misalnya kemungkinan ditutupnya
jurusan-jurusan yang telah kehilangan eksistensi dalam kurikulum sekolah. Atau
mungkin calon mahasiswa sudah akan menjauhi jurusan-jurusan atau program-program
studi tadi.
Mungkin kebijakan peleburan matapelajaran Sejarah maupun Geografi ke dalam
PPKN tidak terlalu lama membekas pada nasib para guru. Kasus yang hampir sama telah
dihadapi oleh para guru PSPB, ketika tiba-tiba pemerintah melikwaidasi PSPB pada lima
tahun yang lalu. Para guru PSPB itu ternyata masih tetap eksis dan tidak menimbulkan
malapetaka, seperti terjadinya demo para guru sebagai protes, misalnya. Masalah yang
kita hadapi menjadi lebih mendasar, yaitu bidang kurikulum.
Kurikulum Yang Berubah
Nyaris menjadi kenyataan anggapan atau keluhan orang bahwa setiap ganti
menteri ganti pula kurikulum. Nyatanya belum lagi satu tahun Mendiknas dijabat menteri
baru sudah pula disosialisasikan kurikulum baru. Dan seperti pada pergantian-pergantian
kurikulum terdahulu kurikulum dikdasmen kali ini membuat pula kegelisahan dunia
pendidikan. Namun sebetulnya secara jujur harus diakui bahwa hampir setiap pergantian
kurikulum ketika menteri baru menjabat pada dasarnya merupakan kelanjutan konsep
perubahan yang telah dirancang dan telah dimulai oleh menteri yang digantikan. Oleh
karenanya ungkapan ganti meteri ganti pula kurikulum menjadi tidak tepat.
Sementara itu pergantian kurikulum merupakan sesuatu keniscayaan, Secara
teoritis perubahan kurikulum hartus dilakukan minimal satu dasawarsa sekali, bahkan
kalau perlu dilakukan lima tahun sekali, terutama kalau telah terjadi pergeseran dalam
tata politik nasional. Harus difahami bahwa kurikulum disusun tidak lain untuk
mengantisipasi perubahan sosial di masa depan, karena sekolah merupakan institusi yang
harus aspiratif dan antisipatif terhadap pekmebangan sosial politik dalam masyarakat.
379
Ternyata dalam mengatisipasi perubahan masa depan Diknas dalam penyusunan
kurikulum dikdasmen tidak selamanya tepat dan sesuai dengan aspirasi masyarakat,
terutama aspirasi dunia pendidikan. Kesalahan masa lampau dengan menyusun
matapelajaran PSPB seperti akan diulang. Seperti kita ketahui PSPB dirancang sebagai
bagian dari pendidikan kewargaan negara, telah membuat tumpang tindihnya bahan ajar
antara PSPB dengan PPKN. Apa yang menjadi bahan ajar PPKN juga menjadi bahan ajar
PSPB. Dan sekarang justru di era reformasi matapelajran Sejarah dan Geografi dilebur ke
dalam PPKN, sementara Sejarah dan Geografi dalam pendidikan memiliki fungsi yang
tidak selamanya sejalan dengan missi PPKN. Kekeliruan asumsi itu telah menyebabkan
Sejarah dan Geografi oleh perancang paling tinggi seluruh kebijakan pendidikan dilebur
ke dalam PPKN.
Dengan serta merta timbul asosiasi bahwa dengan demikian cakupan bahan ajar
ke dalam matapelajaran itu makin dikerdilkan. Persinggungan antara PPKN dengan
Sejarah hanya sebatas bahan ajar yang berkaitan dengan masa modern, misalnya sejak
masa penjajahan di Indonesia. Bagaimana pula dengan bahan ajar yang membahas
sejarah mancanegara, yang tentunya sangat tidak relevan kalau dibahas dalam rangka
PPKN. Kalau hal itu terjadi, yaitu tidak dimasukkan dalam kurikulum, maka makin
sempit cakrawala pandang anak-anak sekolah dalam sejarah.
Kehilangan Missi
Paling tidak ada tiga fungsi sejarah dalam kehidupan manusia. Pertama, fungsi
rekreasi, dalam artian dengan sejarah umat manusia atau sesuatu komunitas bisa
menjelajah masa lampau sesuatu bangsa ataupun sesuatu komunitas. Dengan demikian
sesuatu bangsa atau komunitas itu tidak tergolong orang hilang ingatan, karena tidak
mengenal sama sekali masa lampaunya. Sejarah juga berfungsi untuk mengenali masa
lampau untuk belajar dari masa lampau, tentang kegagalan dan sukses bangsanya.
Dengan cara ini generasi tua dalam membina generasi muda dengan jalan menghormati
jasa-jasa para pendahulu dan membangun semangat patriotisme, dan nasionalisme.
Ketiga, sejarah juga berfungsi untuk mengembangkan daya penalaran, daya kritis
maupun obyektivitas.
380
Kita tidak bisa menghindar dari kenyataan bahwa sejarah sangat efektif untuk
dikembangkan dalam fungsi pendidikan atau edukatif. Orang sadar bahwa dalam
pengembangan fungsi edukatif itu sejarah sering dimanipulasi untuk kepentingan
penguasa. Akibatnya setiap penguasa sangat berkepentingan untuk dapat menuliskan
sejarah dan memfungsikan dengan maksimal pelajaran Sejarah untuk dapat menunjang
kepentingan penguasa sewaktu. Sebagai akibatnya pula Sejarah kemudian diposisikan
sebagai bagian dari pendidikan politik kewargaan negara. Pembentukan PSPB sebagai
matapelajaran di masa Orde Baru maupun peleburan Sejarah dan Geografi dalam PPKN
di era reformasi ini jelas memanfaatkan fungsi edukatif pada sejarah.
Sebagai konsekuensinya buku ajar Sejarah bagi sekolah senantiasa mengalami
revisi yang disesuaikan dengan babon Sejarah Nasional, yang disusun oleh penguasa.
Lebih menyedihkan lagi karena eksistensi bidang studi Sejarah ketika dilebur ke dalam
PPKN telah kehilangan eksistensinya dan kemandiriannya. Ini berarti sejarah telah
kehilangan pula fungsinya yang ketiga, yaitu untuk mengembangkan daya penalaran,
daya kritis maupun obyektivitas, karena sejarah tidak diajarkan secara mandiri. Justru
dampak ketiga inilah yang paling dirasakan para sejarawan, seperti dibahas dalam
kongres Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) baru-baru ini di Jakarta.
Solusi
Solusinya gampang saja. Kembalikan bidang-bidang studi, terutama yang dilebur,
yaitu Sejarah dan Geografi, pada habita semula, yaitu kelompok Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS). Bersama-sama dengan PPKN bidang-biodang studi tersebut berpotensi sebagai
bagian dari pendidikan kewargaan negara (civics), yaitu untuk tercapainya tujuan
menyiapkan peserta didik menjadi ‘warga negara yang baik’. Sementara itu fungsi
sebagai civics tidak harus melebur mata-mata pelajaran itu kehilangan wujudnya menjadi
PPKN. Bahkan PPKN dan matapelajaran non sosialpun dapat dikembangkan sebagai
sarana pendidikan kewargaan negara (civics).Yang paling penting diberikan klarifikasi
adalah indikator dan kriteria ‘warga negara yang baik’. Tentu saja tidak berlebihan kalau
indikator warga negara yang baik mnegikuti ukuran era reformasi, yaitu demokratisasi,
381
toleransi, keterbukaan, mentaati hukum dan menghornati HAM, kritis, penalaran tinggi,
obyektifitas tinggi, patriotis, heroik dan nasionalis.
oOo
382
13. POTENSI SEJARAH LOKAL DALAM FRAME PENGAJARAN DI
SEKOLAH
I,. Mukadimah
Terasa di cari-cari hubungan antara sejarah lokal dengan otonomi daerah, tapi
betul-betul sebuah batu uji buat pemakalah, untuk memenuhi harapan panitia
penyelenggara pertemuan ini.
Tentang sejarah lokal bukan hal baru, karena sudah lama kita mendengar, yaitu
sejarah sesuatu komunitas pada lokal tertentu, yang berkaitan dengan unit administrasi
pemerintahan tertentu. Bisa berupa sejarah lokal sebagai sesuatu yang spesifik dan
eksklusif , seperti “Sejarah Yogyakrta” atau sejarah “Kesultanan Bintoro : Lahir dari
Rawa Demak”. Sejarah lokal bisa diartikan juga sebagai sejarah tentang peranan yang
telah dimainkan sebagai bagian dari sejarah nasional, seperti “Peranan Ulama di Pondok
Pesantren Mranggen dalam Pertempuran Lima Hari Semarang”.
Pengertian otonomi daerah, meski seperti baru, sebetulnya bukan pengertian baru.
Namun demikian masih juga dipahami dengan cara berbeda-beda. Paling tidak istilah itu
menimbulkan asosiasi yang bermacam-macam, sehingga lahir pengertian konotatif, dari
aspek 1) potensi SDM (seperti faktor kual;itas dan kuantitas SDM), 2) potensi SDA
(seperti kekayaan alam, maupun PAD), dan 3) kepemimpinan (faktor syarat putera
daerah dsb). Sementara itu semangat di balik semuanya itu tidak lain adalah 1)
kemandirian, 2) demokrasi, 3) pengembangan kerjasama dalam kerangka negara
nasional, dan 4) kekhasan daerah.
Yang dimaksud dengan kemandirian tidak lain adalah kemampuan untuk
mengatasi berbagai masalah yang dihadapai, tanpa mengandalkan pada bantuan fihak
383
lain. Sedangkan demokrasi diartikan sebagai semangat untuk mentolerir adanya
perbedaan, dalam artian tidak memaksakan pendapat. Sementara itu kekhasan adalah
semangat untuk menemukan karakteristik sebagai identitas diri, yang berpotensi sebagai
alat pemersatu.
Dalam rangka pengertian itu peranan sejarah lokal seharusnya dikembangkan
dalam kurikulum sekolah, agar dapat memainkan fungsinya dengan tepat dan maksimal.
II. Potensi Sejarah Lokal
Selama ini kita mengetahui bahwa sejarah mempunyai paling tidak tiga potensi
sebagai : 1) sarana pendidikan kewarganegaraan atau fungsi edukasi, 2) fungsi
rekreasi, dan 3) fungsi pengembangan intelektual (ilmu). Dalam skala global, sejarah
nasional adalah juga sejarah lokal, karena memiliki potensi untuk bersifat eksklusif dan
spesifik, maupun bagian dari sejarah umat manusia. Selanjutnya dalam skala nasional,
maka sejarah lokal adalah juga sejarah nasional, sehingga memiliki sifat sebagaimana
sejarah pada umumnya. Yaitu edukasi, rekreasi dan pengembangan intelektual (ilmu).
Lalu apa yang bisa diharapkan dari sejarah lokal dalam kaitan dengan otonomi
daerah yang sedang kita siapkan? Dengan lebih gamblang dapat dikatakan bagaimana
peranan sejarah lokal dalam mengembangkan semangat kamandirian, demokrasi,
kepemimpinan maupun kekhasan daerah, yang potensial terkandung dalam gagasan
otonomi daerah? Barangkali berikut inilah jawabnya.
Seperti dikatakan di atas, yang dimaksud dengan semangat kemandirian adalah
semangat untuk mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi warga masyarakat,
tanpa mengandalkan pada bantuan fihak lain. Dengan demikian kita harus mampu
menggali pengalaman sejarah lokal maupun local heroes untuk membangkitkan motivasi
warga masyarakat dalam membangun semangat kemandirian, kalau sejarah itu dihayati
oleh warga masyarakat. Kita juga harus mampu menggali dari khazanah
pengalaman sejarah daerah semangat demokrasi, kepemimpinan serta kekhasan yang
dimiliki daerah.
Pemerintah daerah seyogyanya amat berkepentingan dengan pengembangan
sejarah lokal, dan seharusnya memberikan dukungan terhadap langkah-langkah penelitian
384
sejarah lokal terkait. Meskipun demikian tidak satu instansipun, termasuk pemerintah
daerah, boleh memanipulasi penelitian sejarah lokal untuk kepentingan politik.
III. Implikasi Dalam Pengajaran Sejarah Di Sekolah.
Ada tiga paradigma pendidikan yang patut kita kembangkan, yang implikasinya
kita rasakan dalam pengajaran sejarah di sekolah. Ketiga paradigma pendidikan itu
adalah : 1) pendidikan sebagai proses transmisi budaya, yang berarti mengutamakan
proses pelestarian nilai lama. 2) Pendidikan sebagai proses transformasi budaya, yang
berarti menyiapkan generasi sebagai pelaksanaan rencana pembangunan. 3) Pendidikan
sebagai proses aktualisasi diri, yang berarti menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan diri sesuai kehendak diri.
Dengan mengacu pada paradigma pertama, yaitu proses transmisi budaya, sejarah
harus dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai instrumen untuk hanya menyampaikan
fakta-fakta yang bisa membenarkan tata nilai yang diyakini oleh orang dewasa pada suatu
masa tertentu. Yang dilakukan adalah memfungsikan sejarah untuk melestarikan tata nilai
lama.
Dengan mengacu pada paradigma kedua, yaitu sebagai proses transformasi
budaya, sejarah harus bisa dimanfaatkan sebagai istrumen untuk
mentransformasikan tata nilai. Sejarah bukan sekadar menyampaikan fakta, melainkan
dapat dipakai sebagai sarana untuk membentuk watak bangsa menjadi lebih baik, lebih
maju, lebih siap untuk menerima perubahan, lebih profesional dsb. Fungsi itu bisa
berhasil kalau sejarah disampaikan dengan pendekatan analisis, tidak sekadar dekskriptif
naratif.
Dengan mengacu pada paradigma ketiga, sebagai proses aktualisasi diri,
pengajaran sejarah harus mampu membangkitkan kesadaran diri mengenai kemampuan
diri yang spesifik. Selain itu sejarah juga harus difungsikan sebagai instrumen untuk
memotivasi berprestasi, dengan mengacu pada kegiatan para local heroes.
IV. Mewaspadai Ekses
385
Ada beberapa pengertian yang muncul di sekitar otonomi daerah yang perlu
diwaspadai, agar tidak berkembang ke arah yang destruktif. Misalnya tentang
kemandirian dan kekhasan yang merupakan semangat yang dominan. Kemandirian
harus tidak bisa dipisahkan dari kerjasama, karena sesuatu daerah tidak mungkin bisa
dalam arti yang sesungguhnya bisa mandiri. Para petani Grobogan misalnya, tidak bisa
dengan bangga menyatakan kemandirian mereka, karena sudah bisa melakukan swa
sembada pangan, karena keberhasilan pertanian, yang tidak lagi tergantung pada musim
hujan. Ternyata para petani itu sangat tergantung pada sistem irigasi dan volume waduk
Gajahmungkur, yang ada di kabupaten Boyolali. Sementara itu rakyat Boyolali, yang
telah kehilangan lahan pertanian untuk membangun waduk itu, tidak memperoleh apa-
apa. Oleh karenanya secara logis Boyolali, untuk melindungi rakyatnya, bisa menyetujui
untuk mengeringkan air bendungan. Alternatif yang destruktif itu harus diganti dengan
alternatif yang konstruktif, yaitu mengadakan kerjasama. Misalnya, mendirikan otoritas
bersama yang mengatur sistem pengairan, dengan sistem bagi hasil.
Semangat kekhasan yang dikembangkan pada setiap daerah, yang dimaksudkan
sebagai alat pemersatu, bisa berubah menjadi pemicu terjadinya disintegrasi bangsa,
karena telah menjadi simbul primordialisme (kesetiaan atas dasar faktor yang irasional).
Lalu apa peranan pengajaran sejarah di sekolah?
@@@
386
Makalah disajikan untuk Seminar Regional Jateng dan DIY “Antara Sejarah Lokal
dengan Otonomi Daerah”. Oleh Jurusan Pendidikan Sejarah FIS UNNES Semarang, 22
Nopember 2000.
MENUJU INDONESIA BARU : DALAM PERSPEKTIF SOSIAL HISTORIS
1. Dari sudut pandang filsafat sejarah yang manapun, perjalanan sejarah umat
manusia pastilah mengarah ke depan. Bedanya, ada yang beranggapan gerak
sejarah itu maju secara linier, tanpa adanya gejala pengulangan. Pandangan lain
meyakini bahwa sejarah bergerak maju, namun melingkar, seperti bergerak di
tempat, bagaikan sebuah siklus. Ffilsafat sejarah lain menganggap bahwa gerak
sejarah itu melingkar, namun bergerak maju, bagaikan spiral.
Sementara itu secara mekanistik gerak sejarah diyakini menuju suatu kondisi yang
makin baik. Filsafat sejarah menurut historis materialisme sebagaimana dianut kaun
komunis, misalnya meyakini bahwa sejarah umat manusia itu bergerak dari
387
masyarakat kapitalis ke arah masyarakat proletariat. Dalam masyarakat Timur dikenal
masyarakat ideal yang menjadi sasaran akhir gerak sejarah.
Banyak komunitas Muslim yang meyakini akan datangnya zaman keemasan
(Baldatun Toyyibatun wa Robbun Ghofur) yang didahului oleh datangnya Imam
Mahdi, sebagai tokoh yang mendapat petunjuk Allah. Masyarakat Jawa mengenal
masa depan yang diawali oleh datangnya Heru Cakra atau Ratu Adil. Oleh karenanya
tidaklah berlebihan kalau Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila,
sebagaimana disebutkan dalan P4, hanyalah sebuah tatanan ideal dalam masyarakat
modern.
2. Indonesia Baru, merupakan konsep masa depan yang kini kita idamkan, yang diyakini
memiliki kualitas serba menyenangkan, setelah sekian lama bangsa kita terpuruk
dalam serangkaian krisis. Berbagai konsep dikemukakan sebagai model Indonesia
Baru, seperti Masyarakat Madani, Civil Society ataupun Masyarakat Modern,
seperti seringkali dikemukakan olah para politisi.
Dalam setiap periode selalu Pancasila tetap dipetahankan sebagai pandangan hidup
bangsa dan negara. Untuk mencapai sasaran akhir berupa masyarakat ideal itu
dilaklukan sejumlah model pendekatan. Pada awal masa kemerdekaan (1945-1959)
misalnya, berlangsung periode yang dikenal sebagai Zaman Demokrasi Liberal,
meski tetap mendasarkan pada UUD 1945.
Sejak 1959, diawali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Indonesia memasuki
priode baru yang dikenal sebagai masa Demokrasi Terpimpin atau Sosialisme
Indonesia. Periode itu untuk selanjutnya dikenal sebagai masa Orde Lama. Periode
berikutnya dikenal sebagai masa Orde Baru. Mereka menklim diri sebagai orde yang
mengoreksi Orde Lama, karena dianggap tidak melaksanakan Pancasila secara murni
dan konsekuen.
Orde Baru (1966-1998) ternyata mempraktekkan pemerintahan yang totaliter, meski
diawali dengan cara-cara yang demokratis. Dominasi ABRI dengan konsep Dwifungsi
ABRI amat besar dalam mengembangkan konsep Demokrasi Pancasila. Azas
demokrasi hanya tinggal formalitas belaka.
388
Seperti halnya Orde Lama, Orde Baru berakhir secara tragis, yang sama-sama
terguling oleh kekuatan mahasiswa dan rakyat, yang meneriakkan reformasi.
Gerakan Reformasi total mulai diletakkan untuk menyongsong datangnya Era
Reformasi, sebagai langkah lurus menuju Masyarakat Madani yang merupakan model
ideal bagi masyarakat Indonesia Baru. Ciri utama era reformasi adalah (a)
keterbukaan, (b) supremasi hukum, (c) pengakuan akan HAM, (d) terbuka bagi
alternatif, serta (e) kebebasan pers.
3. Sementara itu terlihat adanya gejala menarik berupa langgengnya watak kebersamaan
dalam masyarakat, termasuk dalam menyusun pemerintahan dari ketiga periode.
Di zaman Orde Lama dikembangkan pola kebersamaan dengan membentuk
pemerintahan nasional berkaki tiga, yang memanfaatkan semua kekuatan nasional,
dalam konsep Nasakom. Dalam masa Orde Baru dikembangkan pola kerjasama
nasional dalam wadah dua parpol (PPP dan PDI) dan satu Golkar. Bentuk kerjasama
seperti itu nampaknya mengikuti pola tertentu, untuk menghindari munculnya
kekuatan oposisi yang melembaga. Sulit kiranya dihilangkan kesan bahwa pola
kerjasama itu menjadi pola baku dalam sistem sosial di Indonesia.
@@@
389
PERUBAHAN SOSIAL DALAM PERSPEKTIFSEJARAH
I
Menurut Heraklitos segala sesuatu itu mengalami perubahan, dan satu- satunya
yang tetap di dunia ini adalah perubahan itu sendiri. Itulah sebabnya tidak seorangpun
akan disentuh oleh air yang sama [pada waktu sedang berdiri dalam air sungai, karena
aliran air itu selalu baru. Perubahan itu juga berlaku bagi kehidupan umat manusia
sepanjang masa, yang kemudian membentuk sejarah umat manusia. Sejarah itu sendiri
adalah rangkaian ceritera tentang pengalaman umat manusia. Pada dasarnya sejarah
adalah rangkaian perubahan sosial yang dialami umat manusia, baik sebagai suatu
kesatuan, maupun sebagai kelcmpok-kelcinpck sosial.
Salah satu tujuan belajar sejarah adalah untuk mendapatkan pelajaran dari
mnasa lampau. Untuk itu harus ditemukan kecenderungan bentuk maupun arah
perubahan yang dialami oleh perjalanan sejarah itu sendiri, menemukan faktor-faktor
390
yang diduga berpengaruh dalam proses perubahan sosial, sehingga dapat ditemukan
pola perubahan sosial. Dalam bukunya Anatomi Revolusi, Carl Brinton mengemukakan
adanya pola yang terlihat dalam setiap revolusi sosial. Antara lain dikatakan bahwa pada
permulaannya revolusi didukung oleh semua pihak yang mempunyai tujuan yang sama,
yang sedang menggulingkan sesuatu rezim. Selanjutnya akan terjadi proses kristalisasi
di kalangan para pendukung revolusi itu. Pada akhirnya revolusi itu akan dimenangkan
oleh salah satu pihak yang paling kuat dalam proses kristalisasi itu. Teori itu diperoleh
dari hasil mempelajari apa yang berlangsung dalam Revolusi Perancis.
II Menurut Karl Mannheim, perubahan sosial tidak terjadi karena
adanya seperangkat paksaan yang kokoh, melainkan terjadi karena adanya dorongan
yang kuat untuk munemukan kaidah-kaidah baru dalam rnengekspresikan pengalaman
yang berubah. Dengan kata lain, perubahan sosial tidak terjadi karena adanya
ketentuan-ketentuan yang nyata-nyata menekan sesuatu kelompok manusia, melainkan
karena adanya dorongan yang menyatu dalam dirinya untuk menjadi selalu baru. Ini
berarti bahwa dalam masyarakat tradisional gerak perubahan itu tidak sebanyak dalam
masyarakat modern.
Mengenai faktor penyebab terjadinya perubahan sosial Robert L. Sutherland
menyebutkan ada empat, yaitu sebagai berikut :
(1) inovation, yaitu pembaharuan, seperti dalam melakukan perbaikan atau
penyempurnaan sesuatu peraturan ataupun teknologi tertentu. Sejak
ditanggalkannya ideologi komunis oleh bangsa Rusia misalnya, para pemimpin
Rusia melakukan pembaharuan-pembaharuan di bidang ekonomi. Yang terjadi di
sana adalah sebuah perubahan sosial karena mereka menghendaki sesuatu sistem
sosial ekonomi baru.
(2) invention, yaitu penemuan sesuatu yang baru, seperti dalam hal ditemukannya
mesin uap maupun mesin tenun. Revolusi Industri di Inggris merupakan contoh
nyata bagi penemuan mesin uap, dan runtuhnya dominasi Jepang atas negara-
negara Asia.
391
(3) adaptation, yaitu penyesuaian secara sosial atas sesuatu inovasi maupun penemuan
(invention) yang dilakukan setahap demi setahap.
Diterimanya gagasan Keluarga Berencana (KB) oleh masyarakat, misalnya,
telah menaikkan ttngkat pendapatan nastonal perkapita bangsa di Indonesia.
(4) adoption, yattu penerimaan atau pengambilalihan sesuatu teknologi, kaidah ataupun
filsafat yang datang dari luar. Penggunaan sejumlah alat kontraseptik maupun
derasnya arus informasi telah meningkatkan proses pengikisan nilai sesuatu
bangsa. Misalnya proses desakralisasi atau justru proses mitosisasi atas sesuatu
instrumen atau benda. Revolusi yang terjadi pada negara jajahan dalam merebut
kemerdekaan merupakan wujud perubahan sostal yang terjadi karena dtterimanya
berbagai gagasan demokrasi, ajaran agama maupun sosialisme.
III
Sementara ttu dapat dikatakan, bahwa perubahan sosial terjadi karena adanya
interaksi dari berbagai faktor. Faktor-faktor ttu misalnya, berupa
(1)keadaan geografis, seperti terjadtnya perubahan garis pantai karena proses
pendangkalan, yang pernah dialami oleh pusat Kedatuan Sriwtjaya;
pendangkalan muara Sungai Brantas, seperti yang menimpa pusat pelabuhan
Keprabuan Majapahit; ataupun perpindahan pusat Kerajaan Mataran dari
Jawa Tengah ke Jawa Timur, karena tertimpa gempa ledakan gunung
berapi.
(2) keadaan biofistk kelompok masyarakat, sebagai akibat terjadtnya polamakan dan
gizi, seperti terjadinya daya tarik untuk melakukan urbanisasi.
(3) kebudayaan1 berupa kemajuan iptek maupun gejala primordialisme,
seperti dialami oleh Jepang dalam Restorasi Meiji.
(4) sifat anomi masyarakat, berupa kegelisahan masyarakat negara
berkembang yang menghadapi proses urbantasi dengan berbagai resikonya,
sebagai akibat perubahan atas orientasi hidup mereka yang terjadi karena
392
dttolaknya tata nilai lama, namun belum dapat menerima tata nilai baru.
IV
Perubahan sosial dapat mengambil bentuk yang bermacam-ragam, seperti evolusi
sosial, mobilitas sosial, maupun revolusi sosial. Evolusi sosital berlangsung di dalam
tubuh sesuatu bangsa maupun dalarn masyarakat pergaulan bangsa-bangsa. Kemajuan
iptek serta komunikasi, misalnya diandalkan sebagai penyebab wujud baru pergaulan
bangsa-bangsa dalam era globalisasi dan era komunikasi. Bahkan revolusi sosial, baik
berdarah maupun tidak, baik intern maupun ekstern bangsa, sering terjadi karena
perubahan orientasi ideologi, yang notabene merupakan konsekuensi diterimanya sesuatu
ideologi, iptek maupun altran agama tertentu.
Tidak dapat dilupakan berlangsungnya terus-menerus aliran urbanisasi, terutama
di negeri-negeri berkembang, yang tidak lain terjadi karena berlangsungnya proses
interaksi dari berbagai faktor penyebab perubahan sosial di atas. Gejala tersebut dikenal
sebagai mobilitas sosial dalam wujudnya yang bervariasi. Yang vertikal sebagai akibat
hasil pendidikan, dan yang horisontal sebagai akibat akibat gerak migrasi, seperti
urbanisasi.
V
Perubahan sosial juga dapat terjadi karena rekayasa sosial yang dilakukan oleh
penguasa negara, seperti program-program pembaugunan berencana. Namun harus diakui
bahwa keberhasilan sesuatu rekayasa bukan terjadi karena berlangsungnya paksaan dari
atas, melainkan karena diterimanya gagasan pembaharuan itu sendiri, yang telah
dtkomunikasikan oleh para penguasa kepada warga mesyarakat.
Arah perubahan dapat berbalik tidak sesuai dengan tujuan yang dirancang, seperti
terjadinya diesintegrasi sosial, kalau terjadi unsur pemaksaan atas perubahan itu. Oleh
karenanya settap rancangan perubahen harus dapat mengerahkan seluruh potensi agen-
agen perubehan (agent of change), seperti lembaga pendidikan, angkatan bersenjata, para
intelektual maupun pemimpin formal maupun nonformal, agar terjadi integrasi sosial.
@@
393
(Makalah untuk Pekan Diskusi Ilmiah Agamawan Muda se Jawa, 12-16 September
1993, yang diselenggarakan oleh Balai Penelitian Agama Depag du Semarang.)
MENGUAK KEBENARAN SEJARAH BANGSA INDONESIA
394
4. Di gereja-gereja di Amerika Serikat dan Eropah terlihat patung Yesus Kristus dengan
rambut dan jenggot berwarna pirang, kulit tubuhnya yang telanjang cerah dan dengan
profil dan tampang ras Kaukasus. Orang tidak pernah mempersoalkannya, meskipun
sebagai keturunan Bani Samyah (Semmit) tentu saja beliau tidak memiliki ciri fisik
seperti digambarkan dalam patung.
Demikian pula orang tidak mempersoalkan patung Yesus Kristus di gereja-gereja di
benua Afrika. Padahal di sana Yesus ditampilkan dengan fisik orang Negro, berlulit
hitang, rambut hitam keriting kecil dan berhidung lebar..
Mana kebenaran sejarah?
Di sebuah pelabuhan laut di Jepang berdiri sebuah patung seorang pahlawan bngsa
Jepang. Orangnya gagah, tinggi besar, dan naik kuda. Padahal kenyataannya tampang
pahlawan itu jauh berbeda, yaitu berbadan kecil.
Mana kebenaran sejarah?
Demikian pula di sebuah taman kota di Houston City tegak berdiri patung seorang
pahlawan kemerdekaan Negara Texas. Tubuhnya digambarkan kecil, naik kuda besar,
presis seperti gambaran sesungguhnya. Itulah Sam Houston.
Itukah kebenaran sejarah?
5. Bung Karno sebagai Sang Proklamator pernah diuraikan sebagai keturunan orang
kulit putih dengan seorang pribumi. Bahkan disebutkan pula bahwa silsilah beliau
sampai pada garis keturunan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Itulah yang
dibicarakan dari mulut ke mulut. Namun dalam buku-buku sejarah beliau disebutkan
sebagai putra seorang guru dari suku Jawa yang menikah dengan seorang perempuan
Bali.
Yang mana kebenaran sejarah itu?
395
Menjelang saat-saat proklamasi kemerdekaan beliau dan Bung Hatta pergi ke
Rengasdengklok. Sebagian orang menyatakan bahwa kepergian itu dilakukan karena
diculik oleh kaum muda seperti Khaerul Saleh, Sukarni dan Adam Malik, dan
memaksa kedua beliau agar segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun dalam
buku Sukarno Penyambung Lidah Rakyat, sebagaimana diceritakan Cindy Adams,
dinyatakan bahea kepergian itu tidak karena adanya sesuatu paksaan dari manapun.
Yang mana kebenaran sejarah itu?
Mana dari cerita itu yang benar?
Dan ketika beliau wafat pada tahun 1071 dituliskan dalam buku sebagai akibat sakit.
Bagaimanapun adalah wafat secara wajar.
Kemudian baru-baru ini seorang saksi sejarah, Nyonya Dewi Sukarno, menyatakan
bahwa beliau wafat secara tudak wajar. Konon dikatakan ada tangan-tangan yang
sengaja mempercepat kematian beliau.
Mana pula yang dinamakan kebenaran sejarah?
6. Tanggal 30 September 1965 bagi bangsa Indonesia merupakan tanggal bersejarah,
karena di tengah malam itu terjadi penculikan dan pembunuhan sadis terhadap
sejumlah jendral TNI AD. Peristiwa itu kemudian tercatat dalam sejarah sebagai
Pemberontakan G30S/PKI. Itulah faktanya.
Masalahnya kemudian muncul, yaitu :
a Apa hakekat pemberontakan itu?
4) Kudeta PKI terhadap pemerintahan Sukarno?
5) Pertentangan intern AD?
6) Kudeta terselubung oleh TNI AD?
c. Siapa di balik kegiatan pemberontakan itu
5) Bung Karno ada di belakang G30S/PKI?
6) Jendral Suharto mengetahui rencana G40S/PKI?
7) Jendral Suharto memanfaatkan kesempatan untuk kepentingan pribadi?
396
8) Jendral Suharto merupakan menyusun skenario untuk kepentingan pribadi?
5. Selama lebih dari tiga puluh tahun diajarkan oleh guru sejarah hal-hal sebagai
berikut :
c. Serangan Oemoem 1 Maret 1949 dirancang dan dipimpin oleh Letkol Suharto
d. Supersemar ditanda tangani Presiden Sukarno secara sukarela, untuk mengatasi
situasi keamanan nasional, terutama di Ibu Kota.
Baru-baru ini muncul tuduhan dari sejumlah saksi sejarah maupun pelaku sejarah.
bahwa :
c. Perancang SO 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan HB IX.
d. Supersemar ditandatangani oleh Presiden di bawah todongan pistol oleh Jendral
M. Panggabean.
6. Tidak mudah untuk menemukan kebenaran sejarah nasional Indonesia yang hakiki,
karena berbagai alasan sbb.:
b. Faktor subyektifitas pelaku ataupun penulis sejarah, yang terjadi karena :
3) faktor kepentingan pribadi, kelompok maupun politik
4) faktor kelemahan daya ingat atau tingkat persepsi pelaku sejarah
d. Faktor kepentingan politik suatu orde atau rulling class, untuk meningkatkan
kredibilitas kepemimpinan mereka.
e. Faktor persepsi tentang peranan sejarah, yang meliputi :
4) romantisme sejarah, yang menempatkan sejarah untuk meningkatkan
kebanggaan diri.
5) sejarah sebagai sarana pendidikan politik
6) historisisme baru, yang menempatkan sejarah sebagai ilmu.
7. Yang dapat dilakukan dalam menegakkan kebenaran sejarah antara lain :
d. Tim penulis sejarah nasional melakukan kajian ulang terhadap berbagai data yang
kontroversial
e. Guru harus diberi petunjuk untuk menggunakan buku sejarah terbitan masa Orde
Baru secara lebih selektif.
397
f. Para ilmuan sejarah melakukan melakukan kajian sejarah secara lebih mandiri,
tanpa suatu prasangka.
Mkalah untuk Diskusi Panel tentang Menguak Kebenaran Sejarah Bangsa Indonesia
, oleh Forum Masyarakat Katolik Indonesia, Presidium Wilayah Jawa Tengah, di
Unika Sugyopranoto Semarang, 25 Oktober 1998.
398
POTENSI SEJ. LOKAL DLM FRAME PENGAJ. DI SEKOLAH
MUKADIMAH
1. Topik :
a. Terasa dicari-cari
b. Sbg. batu uji ??
2. Sejarah lokal :
3. Ttg sej. lokal bukan hal baru, yaitu sej. sesuatu komunitas pd. lokal tertentu.
a. Bisa berupa sej. lokal sbg. sesuatu yg. spesifik dan eksklusif, spr. “Sej.
Yogyakarta” atau “Kesultanan Bintoro : Lahir dari Rawa Demak”.
b. Bisa diartikan sbg. sej. ttg. peranan yg telah dimainkan sbg. bg. sej.
nas., spt. “Peranan Ulama di PonPes. Mrang gen dlm Pertemp. 5 Hari
Smg”.
399
3. OtDa., meski spt. baru, tapi bukan hal baru.
OtDa masih juga dipahami dgn. cara bervariasi.. Paling tidak telah timbulkan
asosiasi berbeda-beda, hingga lahir pengert. konotatif, dari aspek 1) potensi SDM
(faktor kualitas dan kuantitas SDM), 2) potensi SDA (kekayaan alam, PAD), 3)
kepemim- pinan (faktor putera daerah).
4. Sementara itu terdapat semangat di balik semuanya, yaitu :
a. kemandirian
b. demokrasi
c. pengembangan kerjasa- ma dlm. krangka neg. nas.
d. kekhasan daerah.
5. Keterangan :
a. Kemandirian merupakan kemampuan utk. atasi masalah tanpa menggan-
tungkan bantuan fihak lain.
b. Demokrasi = semangat utk mnttolerir adanya per- bedaan è tdk paksakn
pendpat
c. Kekhasan = semangat utk. temukan karakteristik sbg identitas diri, yg. berpo-
tensi sbg. alat pemersatu.
Dlm rangka pengertian itu peranan sej. lokal seharus- nya dikembangkan
dlm. kurikulum sekolah, agar dpt melaksanakan fungsinya dgn. tepat dan maksimal.
II. POTENSI SEJ. LOKAL
1. Tiga potensi sej. sbg. :
a. Fungsi PKN / edukasi
b. fungsi rekreasi,
400
c. fungsi pengembangan intelektual (ilmu).
2. Posisi sejarah.
Dlm. skala global, sej. nas. = juga sej. lokal, karena berpotensi uutuk bersifat
eksklusif / spesifik, dan bagian dr. sej. umat manusia. Dlm skala nasional sej. lokal =
sej. nas., sehingga memiliki sifat sbg. sej. pada umumnya : edukasi, rekreasi, + pengemb.
intelektual (ilmu)
3. Pranan sej. Lokal
Apa yg. bisa diharapkan dr. sej. lokal dlm. kaitan dgn. OtDa? Tegasnya :Bgm
peranan sej. lokal dlm mengembangkan semangat kamandirian, demokrasi,
kepemimpinan maupun kekhasan daerah yg. poten- sial dlm. gagasan Ot.Da.?
Barangkali berikut inilah jawabnya.
a. Individual.
Spt. dikatakan di atas , semangat kemandirian = semangat uituk mampu
mengatasi masalah tanpa mengandalkan bantuan fihak lain. Dgn begitu kita harus
mampu mnggali pengalama sej. lokal / local heroes utk bangkitkan motivasi warga
masy. dalam. membangun semangat kmandirian , kalau sej. itu dihayati oleh warga
masy. Kita juga harus mampu menggali dr. khazanah sej. lokal semangat demokrasi,
kepemimpinan serta kekhasan daerah.
b. Kelembagaan
Pemda. seyogyanya amat berkepentingan dgn. pe- ngembangan. sej. lokal, dan
harus berikan dukungan thd. upaya penel. sej. lokal.
c. Persyaratan
401
Tidak satu instansipun, termasuk pemda, boleh memanipulasi penelitian sej. lokal
utk. interes politik.
III .IMPLIKASI DLM PENG. SEJ. DI SEKOLAH
Ada tiga paradigmaa pend.
.Pend. Sbg. proses transmisi budaya, (pelestarian nilai mapan).
1.
roses transformasi budaya, (siapkan tenaga pembangunan).
Proses aktualisasi diri, (utamakan pngembangan kemampuan diri).
Implikasi
Dgn mengacu pd. paradigma pertama sej. harus diman- faatkan dan dikembangkan
sbg. instrumen utk sampaikan fakta-srj. yg. bisa mem- benarkan tata nilai yg berlaku pd
suatu masa tertentu Caranya dgn memfungsikan sej. utk. lestarikan tata nilai
a. Dgn mengacu pd. paradigma kedua, sej. harus bisa dimanfaatkan sbg
instrumen utk transformasikan tata nilai. Sej. bukan sekadar sampaikan fakta,
melainkan dpt. dipakai sbg. sarana utk. membentuk watak bgs. menjadi
lebih baik, lebih maju, lebih siap untuk menerima perubahan, lebih
profesional dsb. Fungsi itu bisa berhasil kalau sej. disampaikan dgn. cara
melakukan analisis, tidak hanya dekskriptif -naratif.
b. Dgn mengacu pd. paradigma ketiga, pengaj. Sej. harus bisa bangkitkan
kesadaran diri mengenai kemam- puan diri yang spesifik. Sej. juga harus
difungsi- kan sbg instrumen utk. memotivasi berprestasi, dgn. menteladani
para local heroes .
IV. MEWASPADAI EKSES
Ada beberapa pengertian yg. muncul di sekitar Ot.Da. yg. perlu diwaspadai agar tidak
berkembang ke arah yg destruktif. Misalnya, ttg kemandirian dan kekhasan daerah.
1. Kemandirian dan kerjasama.
402
Kemandirian tdk. bisa dipisahkan dari kerjasama, sebab daerah tidak mungkin
bisa hidup mandiri, dlm arti yg. sesungguhnya.. Para petani kab. Grobogan misalnya,
tidak bisa dgn. bangga menyatakan kemandi- rian mereka , karena sdh bisa swasembada
pangan, krn. keberhasilan sistem irigasi, yg. tidak lagi tergantung pd musim hujan.
Betulkah? Ternyata para petani itu sangat tergantung pd. waduk Kedungombo, kab.
Boyolali.
Sementara itu rakyat Boyolali, yg. telah kehilangan lahan pertanian uuntuk
membangun waduk itu, tidak memperoleh apa-apa. Oleh sebab itu secara logis Boyolali,
demi untuk melindungi rakyatnya, bisa setujui gagasan untuk mengeringkan air waduk.
Alternatif yg. destruktif itu harus diganti dgn. alternatif yg. konstruktif, yaitu kerja
sama. Misalnya mendirikan otoritas bersama yg.. mengatur sistem pengairan, dgn.
sistem bagi hasil
2.Identitas diri.
Semangat kekhasan yg. dikembangkan pd. setiap daerah, yg. dimaksudkan sbg.
alat pemersatu, bisa berubah jadi pemicu terjadinya desin- tegrasi bangsa, karena tlh.
jadi simbul primordialisme.
Yang terjadi adalah premordialsme è identiy formation è tribal system dalam
masyarakat.
Lalu apa peranan pengajaran sejarah di sekolah?
MENGESAMPINGKAN PERBEDAAN UNTUK INTEGRASI
PUCUNG
Kang pitulung
403
sakawit met dongengipun
Dariji tukaran lawan kadange pribadi
Purwanira panuduh jahil manabdo
Enthik - enthik
patenana si panunggul
Gek dosane apa,
dosane ngungkul ngungkuli
Dhi aja dhi, malati sadulur tuwo
Bener bener
enak seger rasanipun
Mengkono prayogo aja sok jahil jinahil
Saduluran den rukun santosa
Bagian terpenting dari upaya melintasi sejarah bangsa bukan tertetak pada
menemukan perisriwa sejarah itu sendiri, melainkan pada kemampuan menjelaskan
peristiwa itu. Dengan penjelasan itu akan ditemukan pelajaran dan penghayatan dari
belajar sejarah. Tanpa ada penjelasan atas petistiwa-peristiwa sejarah, yang diperoleh
sekadar rangkaian mitos yang sering dianggap sebagai inti sejarah. Setiap memperingati
Hari Sumpah Pemuda kita lafalkan teks itu sesuai dengan teks aslinya. Kemudian ada
semacam kekhusyuan yang diharapkan dalam pembacaan itu. Namun sudahkah kita
mencoba memahami dengan jalan mendapatkan penjelasan atas bait-bait pernyataan itu
dalam konteksnya?
GBHN mengajarkan betapa besar kekayaan alami yang kita miliki, yaitu
kemerdekaan serta kedautatan, kedudukan geografis yang strategis, dan sumber daya
alam yang berlimpahan, penduduk yang besar, ajaran kemajemukan budaya, potensi
efektif ketangguhan angkatan bersenjata sebagai kekayaan yang merupakan modal
dasar yang manfaatnya sangat tergantung pada keamampuan kita mengelola dan
mengembangkannya, sehingga bisa mendatangkan manfaat, namun sekaligus bisa
mendatangkan mudarat.
404
Benang Merah
Sulit sekali menyangkal adanya hubungan antara konsep-konsep Bhineka Tunggal
Ika, Devide et Impera, Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Pancasila, dan
Proklamasi 17 Agustus1945. Sebetulnya yang ada bukan sekadar hubungan erat
melainkan juga fungsional. Bahkan pada dasarnya bagaikan ada benang merah yang
menghubungkavariabel-variabel tersebut. Itu berarti perjalanan sejarah bangsa Indonesia
telah melalui proses panjang, namun tetap konsisten dalam menciptakan integrasi sosial
dan bangsa. Bermula dari konsep dasar pergaulan dalam masyarakat yang heterogen
(bhinneka) di masa Majapahit, yang dikenal dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.
Meskipun hiterogen, tetap juga datam kesamaan, dan mendukung suatu komunitas yang
tunggal, yaitu Majapahit. Integritas sebagai bangsa kemudian diintervensi kaum penjajah
yang ingin menikmati kekayaan Indonesia, lebih-lebih ketika penjajah bangsa Indonesia
lewat studi-studi antropologis mereka.
Dengan penuh kesadaran mereka kemudian mulai mengembangkan politik devide et
impera. Sebagai akibatnya berkembanglah di kalangan pribumi kesadaran akan
perbedaan masing-masing diri atau komunitas mereka dan keunggulan (superioritas)
masing diri mereka. Menyadari keadaan objektif semacam itu besar sekali penghargaan
kita pada makna semangat kebangkitan nasional yang dikobarkan generasi 1908 an.
Rumusan Sumpah Pemuda 1928: Satoe Noesa, Satoe Bangsa, dan Satoe Bahasa
harus pula dilihat dalam konteks semangat kebangkitan nasional yang berkembang dalam
iklim devide et impera. Tanpa menyadari ini sulit sekali kita dapat menghargai seperti
apa makna Sumpah Pemuda. Sumpah Pemuda adalah sebuah prestasi, bankan sebuah
masterpiece. Jadi tidak sekedar mitos dari sebuah generasi.
Karena itu rumusan Pancasila bukan sesuatu yang baru, bila dilihat dari perkebangan
konsep-konsep yang hidup sepanjang sejarah, terutarna dalam segi sosialnya. Cita-cita
toleransi dalam kemajemukan keyakinan agarna, kebangsaan, kemanusiam. demokrasi
maupun keadilan telah dengan pasti terkandung dalam konsep- konsep tersebut. Semua
konsep tersebut secara lengkap dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Bila
kemudian dikumandangkan pula proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus pada 1945,
405
tak lain sebagai manifestasi monumental.
Ajaran Moral
Bait-bait tembang Pucung di atas, berkisah tentang pertengkaran di antara jari-jari
tangan, merupakan ajaran moral tentang toleransi hidup bermasyarakat. Dia mengajarkan
prinsip kebersamaan, meski dalam keadaan kebhinekaan alamiah. Hasrat untuk
meratakan tingkat kesejahteraan, kemampuan maupun tingkat sosial seluruh warga, yang
timbul di kalangan dhuafa (inferior), dianggap tidak etis. Jadi superioritas karena menjadi
jari tengah yang paling jangkung bukanlah sebuah dosa. Mereka tidak boleh dipateni
(dibunuh), karena yang menjadi ukuran adalah perilaku dan amal, dan bukan kondisi
yang ada.
Aktualisasi ajaran moral ini muncul dari kehidupan berbangsa. Implikasinya
adalah keharusan mengembangkan kerja sama rasial, budaya. pendidikan, maupun
keyakinan agama dalam pergaulan. Perbedaan bukan untuk dimusnahkan ataupun
ditonjolkan, melainkan untuk dikesampingkan. Menjadi orang Ambon, Jawa, Menado.
Minangkabau, atau menjadi Islam, Ktisten maupun Hindu - Bali, bukanlah suatu
halangan untuk berintegrasi. Kondisi obyektif itu bukan suatu dosa, selagi penampilan
mereka mendorong terjadinya integrasi.
Prinsip yang muncul dalam rumusan Sumpah Pemuda dengan begini tidak dapat
hanya dipandang dari sudut politik, artinya bukan merupakan produk politik, melainkan
produk budaya. Barangkali lebih tepat halau disebut sebagai produk budaya politik
Indonesia. Semangat semacam itu nampaknya tidak langgeng dalam kehidupan
bermasyarakat. Secara formal barangkali semangat itu masih tetap dipertahankan, seiring
dengan bunyi azas - azas dalam Pancasila. Dalam kenyataan penlaku adigang. adigung.
dan adiguna. dalam berbagai seklor kehidupan bangsa terutama bidang polilik dan
perekonomian telah menjadi gejala umum, justru ketika kila memasuki masa seiengah
abad kemerdekaan. Pemilik modal merasa tidak beralasan lagi untuk tetap mengenakan
topeng keramah - tamahan, dan kembali menunjukkan watak aslinya sebagai “hewan
ekonomi” yang hanya menekankan keuntungan materi. Keunggulan atau superioritas
sementara warga kembali menunjukkan watak garangnya. Dan kemapanan makin
406
menunjukkan keangkuhan dan keterasingannya dari lingkungan sosial. Kedermawanan
menjadi suatu bisnis, yang mengharapkan imbalan berlipat ganda berupa pahala,
pengurangan pajak atau paling tidak publikasi. Atau menjadi sebuah kebaikan hati, yang
menuntut imbalan pernyataan terika kasih kasih untuk dinikmati secara emosional. Jauh
dari sebagai ungkapan tanggungjawabsosial. Sebahknya kedhaifan dan inferioritas
menjadi alasan untuk menunjukkan kebencian maupun kedengkian mereka terhadap
kemapanan. . Bukanlah aneh kalau kemudian kita menyaksikan kecenderungan
holiganisme, unjuk rasa bahkan kebrutalan. Orang seolah kehilangan raaa kebersamaan,
karena merasa satoe noesa, satoe bangsa, dan satoe bahasa: Indonesia.
Sikap yang paling baik bagi pendidik dalam menghadapi berbagai gejala di atas
adalah mengenibangkan sifat optmistis bahwa proses integrasi sosial dan bangsa akan
berjalan sevara positif. Dalam proses pendidikan orang yang menjadi pelaku pendidikan
adalah seluruh orang dewasa. Dan yang lebih penting lagi adalah pencipiaan kondisi yang
mendukung lancarnya proses integrasi itu (18).
MAKNA PERISTIWA 10 NOPEMBER BAGI KEMENANGAN DIPLOMASI
Para guru sejarah dan PSPB sering mengatakan betapa besarnya makna peristiwa
10 Nopember 1945 dalam mengobarkan semangat patriotisme serta semangat
revolusioner bangsa yang baru merdeka dalam mempertahankan kemerdekaan. Yang
ditekankan adalah keberanian para pemuda Surabaya untuk merobek bendera Triwarna
dan mengibarkan Dwiwarna di atas atap Hotel Sifnpang di Tunjungan. Penjelasan
semacam itu selalu membangkitkan pertanyaan di kalangan pelajar apa yang
membanggakan sebenarnya perjuangan-perjuangan bersenjata pada saat-saat itu, kalau
akhirnya hanya kalah perang dan memakan korban jiwa dan raga besar? Sehabiis
pertempuran yang tidak seimbang itu. Belandapun kembali berkuasa di Indonesia.
Dapakah pengorbanan itu tidak sia-sia?
407
Harus diingat bahwa peristiwa 10 Nopember 1945 yang kemudian dikenal sebagai
Hari Pahlawan bukan merupakan kasus yang berdiri sendiri dan meletus tanpa terduga
sebelumnya. Peristiwa 10 Nopember merupakan puncak dari perang Surabaya yang telah
meletus sejak penghujung bulan Oktober, sebagai bagian dari gerakan perlawanan rakyat
untuk melucuti persenjataan Jepang. Kemudian api peperangan menjadi berkobar justru
karena Jendral Inggris Mallaby terbunuh dalam insiden tersebut. Maka tentara Inggrispun
murka dan menghajar para pejuang patriot Indonesia, yang afnat memakan korban nyawa
dan harta.
Lalu apa manfaat peristiwa 10 Nopember, yang kemudian diresmikan sebagai
Hari Pahlawan bagi bangsa Indonesia itu? Apakah sekadar metnpunyai makna sebagaii
tumbal, martir, maupun syuhada?
ANTARA BERTEMPOER DAN BEROENDING
Pandangan semacam itu nampaknya juga dikemukakan oleh orang dewasa, yang
terdiri dari mereka yang menghendaki pendekatan diplomasi dengan kaum penjajah. Dan
sejarah tnenyajikan kenyataan adanya dua kubu di kalangan pemimpin bangsa waktu itu,
yang terdiri dari mereka yang menghendaki pendekatan peperangan melawan kekuatan
penjajah, yang berseberangan dengan mereka yang menghendaki perundingan.
Kubu pertama dipelopori oleh kelompok oposisi yang selalu mengobarkan
langkah-langkah perang maupun perlawanan bersenjata dalam mengusir penjajah,
sementara kubu kedua tidak lain adalah sikap resmi dianut oleh fihak pemerintah. Kubu
pertama dipersonifikasi dengan Tan Malaka dan kawan-kawannya. Sedangkan kubu
kedua dipersonifikasi dengan Sutan Syahrir.
Perang pena di antara dua pandangan yang berbeda itu bisa kita ikuti lewat media
massa maupun brosur-prosur yang discbarkan oleh masing-masing hubu tersebut. Kubu
Syahrir menyebarkan brosur yang berjudul "Perdjoeangan Kita" yang berhadapan dengan
brosur "Moeslihat" yang dikeluarkan fihak Tan Malaka. Masing-masing mempertahankan
benarnya pandangan sendiri dan mencela pandangan lawan politiknya.
Sebetulnya tidak hanya ada dua kubu, melainkan tiga, dengan kenyataan bahwa
fihak tentara tidak secara fanatik memihak salah satu kubu. Fihak Tentara Keamanan
408
Rakyat (TKR) berada di antara kedua tebing itu, yang selalu melakukan langkah yang
berimbang. Kadangkala mendukung peperangan, kadangkala mendukung perundingan.
Perbedaan pandangan itu sering meletup menjadi semacam ejekan. Kaum yang
memilih cara-cara perundingan sering melemparkan cercaan, dengan mengatakan bahwa
yang dilakukan oleh para gerilyawan sekadar melarikan diri dari kenyataan, dan hanya
mondar-mandir dari hutan ke hutan. Sementara itu kaum oposisi dengan sengit mencela
bahwa hasil perundingan yang dilakukan hanya mempersempit wilayah kekuasaan RI
dari waktu ke waktu.
Sikap resmi pemerintah dalam menanggapi meletusnya perternpuran bersenjata
antara lain dapat kita lihat dari pernyataan Bung Karno dalam menghadapi pertempuran
di Magelang, yang terjadi dalam bulan Oktober 1945. Dengan tegas amanat Pafduka yang
Mulia (PYM) Prssiden R.I kepada Rakyat yang bertempur di Mage1ang menyatakan :
"Soedara2 jang bertempoer di Magelang, sekali lagi saja niinta kepada Soedara2 oentoek
menghentikan pertempoeran. Saja tidak mengatakan, bahwa saja idak menghargai
semangat soedara2 ; saja mengetahoei bahwa soedara2 mendasarkan oesaha soedara2 itoe
atas alasan jang saja hargai - Tetapi ada tjara lain oentoek mentjapai kepoeasan hati
soedara2. Berhentilah dengan pertempaeran" (Warta Indonesia,, Semarang hari Djoemat,
2 Nopember 1945). Harus diingat bahwa perang Surabaya itu sendiri meletus
selagi fihak Republik yang diwakili oleh Presiden Sukarno dengan Menteri Pertahanan
Amir Syarifudin sedang berada di Surabaya untuk melakukan perundingan dengan fihak
Sskutu yang diwakili oleh Jendral Mallaby. Kehadiran Presiden Sukarno merupakan
konsistensi fihak pemerintah yang menolak cara pendekatan pertempuran, yang
sebagaimana diketahui mulai meletus di beberapa daerah, di Semarang, Magelang dan
lain sebagainya pada penghujung buian Oktober.
PERANG SURABAYA
Dalam pertempuran yang merupakan insiden berdarah yang berkobar di Surabaya
itu fihak pemuda kita mungkin mengalami kekalahan, namun kekalahan itu tidak
mengecilkan arti pengorbanan para pemuda tersebut. Memang belum banyak
dikemukakan mengenai kegagalan tersebut, seperti diakui oleh salah seorang pelaku
409
sejarah, yaitu Mohamniad Noer, putera Madura yang bekas gubernur Jawa Timur.
Mohammad Noer menyayangkan terjadinya kegagalan yang dialami para pemuda
di awal perang kemerdekaan untuk menguasai parsediaan senjata dari arsenal angkatan
laut Jepang di Batu Poron di seberang Tanjung Perak. Padahal pergudangan timbunan
senjata tadi dihomandani oleh seorang kolonel, yang berarti bahwa gudang persenjataan
tersebut dikawal oleh sekitar satu resimen tentara Jepang. Mungkin jalan sejarah
perjuangan Indonesia akan lain seandainya senjata-senjata tadi jatuh ke tangan kita
sewaktu menghadapi serbuan tentara Inggris pada pertempuran Surabaya 10 Nopember
1945. Demikian penuturan Mohammad Noer dalam Diskusi Sejarah Lokal tentang
Revolusi Kemerdekaan, 1945-1950, yang diselenggarakan baru-baru ini di Semarang.
Perang Surabaya itu kemudian menimbulkan berbagai sikap yang mendominasi
kalangan TKR, yang sebagaimana kita ketahui telah mendirikan Markas Tinggi TKR di
Yogyakarta. Menurut doktrin TKR pada waktu itu tentara akan mengikuti dua lini,
pertempuran dan diplomasi. Perdebatan yang timbul menyusul insiden berdarah di
Surabaya itu ada dua. Sikap pertama beranggapan bahwa sudah waktunya mengobarkan
pertempuran melawan Belanda, dengan jalan menciptakan "lebih banyak Surabaya", agar
Belanda tidak mempunyai waktu untuk mengkonsolidasi kekuatannya. Sikap kedua
beranggapan bahwa tidak bijaksana menciptakan "lebih banyak Surabaya", karena hanya
menimbulkan kesan bahwa kekuatan tentara amat terbatas dalam melakukan ofensif (Dr.
T.B. Simatupang, 1988).
Nampaknya strategi yang kedua yang dipilih oleh tentara, dengan langkah-
langkah melakukan konsolidasikan kekuatan, dan pada masanya, kalau perlu tentara
meninggalkan kota-kota dan menjalankan perang rakyat semesta di luar kota. Meskipun
demikian keterlibatan tentara dalam perundingan sebelum Perundingan Langgarjati hanya
terbatas pada perundingan untuk menyiapkan gencatan senjata. Untuk itu menurut
pengakuan Simatupang, dia pernah menyertai Pak Dirman maupun Pak Urip ke Jakarta.
Meskipun demikian dalam perundingan mengenai isi Persetujuan Linggarjati itu sendiri,
TKR tidak dilibatkan.
LOGIKA CLAUSEWITZ
410
Setiap pemimpin perang modern selalu mengingat logika Clausewitz, seorang
pemikir strategi perang dan Austria, bahwa di antara kegiatan pertempuran tidak dapat
dilepaskan dari kegiatan perundingan. Demihian juga para pemikir yang ada di belakang
strategi militer di Markas Tinggi TKR di Yogyakarta pastilah menggunakan loglka
Clausewitz tersebut daam menghadapi tentara penjajah Belanda pasca proklamasi.
Memang belum ada konfirmasi bahwa insiden-insiden bersenjata yang terjadi di
beberapa daerah sejak bulan Oktober 1945 merupakan hasil rekayasa fihak MT TKR.
Namun demikian dampak yang tinibul setelah pertempuran-pertempuran itu, termasuk
perang Surabaya maupun Serangan Umum Yogyakarta, tidak dapat dipungkiri telah
memberikan "tekanan" kepada berbagai fihak untuk maju ke perundingan.
Tak ayal perundingan-perundingan Linggarjati., RenvilIe maupun KMB
diselenggarakan menyusul insiden-insiden berdarah berkepanjangan di antara tentara
pandudukan dengan perlawanan kaum gerilya. Biasanya disela olen tenggang waktu
tertentu gencatan senjata. Hanya kadangkala ada penampilan politikus yang ttdak
konsisten. Misalnya Amir Syarifudin yang meskipun menanda tangani Perjanjian
Renvllle sebagai Perdan a Menteri, namun wahtu memimpin oposisi melawan PM Bung
Hatta, mencerca Perjanjian Renville.
Inslden-insiden berdarah itu oleh Belanda dikesankan sebagai perniainan kanak-
kanak yang didalangi oleh segelintir kolaborator Jepang yang didukung oleh "tekanan"
TKR. Ternyata anggapan semacam itu hanya merupakan "ilusi" fihak Belanda.
Terhukti insiden-insidan itu, meskipun secara militer tidak mempunyai arti
penting karena hampir eelalu mudah disudahi, namun melupakan bukti kepada dunia
internasional, bahwa Republik Indonesia itu ada. Dengan begitu para pemimpin
Indonesia dapat dianggap fnitra' yang sejajar dalam meja-meja perundingan, yang secara
bertahap telah ikut “menekan" bagi pengakuan internasional atas keberadaan RI, baik
secara de facto maupun de jure. Itulah pada hakekatnya makna peristiwa 10 Nopember
1945, yang pantas disebut sebagai Hari Pahlawan.
DIRGAHAYU HARI PAHLAWAN.
411
@@@
TENTANG PENULIS
Abu Su`ud dilahirkan di Tegal, pada 27 Juli 1938. Pendidikan dasarnya
diselesaikan di kota kelahirannya. SR/SD Negeri pada tahun 1951 dan SMP/A Negeri
pada tahun 1954. Sedangkan SMA/A Negeri diselesaikan di Yogyakarta pada 1957.
Selanjutnya Gelar sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Seharah-Budaya diperoleh
dari IKIP Bandung pada tahun 1964. sementara gelar Doktor Pendidikan bidang Studi
Sosial diperolah dari Program Doktor IKIP Banding pada tahun 1986. Kemudian pada
412
tahun 1993 dikukuhkan sebagai Guru Besar Pendidikan di tempatnya bekerja, yaitu di
IKIP Semarang
Menjadi Ketua Pimpinan Wikayah Jawa Tengah periode 1995-2000, dan pada
periode yang sama menjadi anggota pengurus pleno MUI Jawa Tengah dan Wakil
Kordinator Orwil ICMI Jawa Tengah. Sejak tahun 1990 – 2006 menduduki jabatan
sebagai Ketua I Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Cabang Jawa Tengah bersama
Prof. DR. AM Juliati Suroyo dan Prof. DR. Sutomo WE, serta sejak 1998 – sekarang
menjadi pengurus HIPIIS (Himpunan Pencinta Ilmu-Ilmu Sosial) Komisariat Jawa
Tengah bersama Prof. DR. Sacipto Raharjo, SH dan budayawan Drs. Darmanto Jatman,
SU.
Sejak 1990 – sekarang menjadi anggota DPAPP (Dewan Penasihat Arsitektur
dan Pembangunan Perkotaan) Kotamadya Semarang bersama Ptof. Ir. Eko Budihatjo,
MSc , di masa Kolonel (Purn) Sutrisno Suharto menjadi walikota. Sejak tahun 1999
berubah menjadi DP2K (Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota), di masa Sukawi
Sutarip, SH, SE menjadi walokota.
Sejak 1999 menjadi anggota pengurus Yayasan Mesjid Raya Bairturahman
Semarang maupun Islamic Center Semarang (ICS) yang diketuai oleh HM Ismail yang
mantan Pangdam IV Diponegoro dan mantan Gubernur Jawa Tengah. Sejak waktu
bersamaan menjadi anggora Dewan Penyantun Dewan Riset dan Pengembangan Daerah
(DRD) Jawa Tengah. Dan sejak 2003 diangkat menjadi Rektor Universitas
Muhammadiyah Semarang (Unimus) untuk periode 2003-2007. Dan sebelumnya
menjadi Pengelola Program Studi Pendidikan IPS Program Pasca Sarjana Universitas
Negeri Semarang (Unnes). Untuk periode 2000-2004. Terakhir sejak 2004 –sekarang
menjadi anggota pengurus Dewan Pendidikan Jawa Tengah yang diketuai Prof. DR.
Retmono.
Buku pertamanya berjudul Asia Selatan Sebelum Masa Islam diterbitkan oleh
IKIP Semarang Press pada tahun 1992 (ISBN 979-8107-71-3). Kamudian buku
berjudul Ritus-Rirus Kebatinan merupakan karyanya yang kedua pada 2001, yang
diterbitkan oleh Muhammadiyah University Press Surakarta dari Universitas
413
Muhammadiyah Surakarta (UMS), setelah buku berjudul Prosedur Penulisan Hadis ;
(ISBN 636-024-4) terbit pada tahun 2000 oleh penerbit yang sama. Sebelum itu buku
berjudul Sepanjang Hari Bersama Rasulullah SAW diterbitkan oleh Penerbit Aneka
Ilmu, yang disusul kemudian oleh buku berjudul Haji, antara Syara` dan Mitos (ISBN
979-736-364-5) oleh Penerbit Aneka Ilmu pada 2003. Kemudian pada 2003 terbit buku
berikutnya berjudul Islamologi oleh Penerbit Rineka Cipta Jakartra dengan ISBN 979-
518-974-4. Disusul kemudian oleh terbitnya buku berjudul Semangat Orang-Orang
Tegal atas kerjasama antara Pemkot Tegal dan Penerbit Mascom Media Semarang pada
2003.
Buku berikutnya berjudul Sepanjang Hari Bersama Rasulullah Saw,Cetakan
Pertama 2003, Penerbit Aneka Ilmu Semarang, ISBN 979- 9029-98-8. Buku berjudul
Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya, Cetakan pertama Juni 2005, Cetakan kdua
Februari 2006, diterbitkan oleh Pustaka DNAN, Penerbitan Pustaka Rizki Putra,
Semarang , ISBN 079-9430-34-8. Disusul kemudia oleh
Ada Anak Bertanya Pada Ibunya,
Cetakan pertama Agustus 2005; Selanjutnya buku ajar berjudul ASIA SELATAN (1.
Integrasi di bawah Hindu-Buda, 2. Ketika Qutb Minar dan Taj Mahal dibangun, 3
integrasi di bawah penjajahan Inggris, dan 4. Masa Kemerdekaan)Seri Memahami
Sejarah Bangsa-Bangsa di Asia Selatan : ISBN : 979-9579-89-9 Cetakan Pertama , UPT
Percetakan dan Penerebitan, Unnes Press, 2006. Pada pertengahan tahun 2007 terbit
buku terakhir beejudul UJAR-UJAR KAKEK KEPADA CUCUNYA atas kebaikan
Gubernur Jawa Tengah H. Mardiyanto bekaitan dengan hari Jadi Propinsi Jawa Tengah.
414