Theory of Escapism

5
Theory of Escapism Ada tiga cara/sikap yang dilakukan manusia ketika dihadapkan pada sebuah situasi atau sebuah argumen. 1. Menerima argumentasi/situasi tersebut apa adanya, walaupun tidak mungkin menerima situasi tersebut di setiapsaat. Ini cara paling positif jika dilakukan. 2. Penolakan, yakni mempertahankan pandangan/argumentasi sambil mengungkapkan pandangan yang kita anggap benar 3. Menghindar, yakni sikap tanpa argumen atau tanpa penjelasan. Sikap seperti ini menciptakan ruang dimana kita bisa mempertahankan argumen, namun sekaligus tidak mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap argumen/situasi tersebut. Ketiga sikap/cara tersebut adalah yang paling awam dilakukan oleh individu ataupun, kelompok sosial, maupun sebuah organisasi dalam menghadapi sebuah pernyataan, aturan, tekanan, situasi atau apapun namanya. Ternyata, ada beberapa jenis sikap lain yang cenderung semakin

description

how people, person or community act when facing any circumtances

Transcript of Theory of Escapism

Page 1: Theory of Escapism

Theory of Escapism

Ada tiga cara/sikap yang dilakukan manusia ketika dihadapkan pada sebuah situasi

atau sebuah argumen.

1. Menerima argumentasi/situasi tersebut apa adanya, walaupun tidak mungkin

menerima situasi tersebut di setiapsaat. Ini cara paling positif jika

dilakukan.

2. Penolakan, yakni mempertahankan pandangan/argumentasi sambil

mengungkapkan pandangan yang kita anggap benar

3. Menghindar, yakni sikap tanpa argumen atau tanpa penjelasan. Sikap seperti

ini menciptakan ruang dimana kita bisa mempertahankan argumen, namun

sekaligus tidak mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap argumen/situasi

tersebut.

Ketiga sikap/cara tersebut adalah yang paling awam dilakukan oleh individu

ataupun, kelompok sosial, maupun sebuah organisasi dalam menghadapi sebuah

pernyataan, aturan, tekanan, situasi atau apapun namanya. Ternyata, ada beberapa

jenis sikap lain yang cenderung semakin banyak dipakai oleh masyarakat ketika

berhadapan dengan sebuah situasi. Situasi tersebut bisa saja dalam bentuk tekanan,

ketidakadilan, kemiskinan, kesewenangan, dan sebagainya.

Jika kita sikap masyarakat cenderung yang pertama (menerima),maka

kecenderungannya sebuah situasi tersebut berhubungan dengan kultur mengalah,

diam dan nrimo yang masih banyak dianut oleh masyarakat kita, khususnya di

Indonesia. Tekanan, kemiskinan, ketidakadilan, dan kesewenangan cenderung

diterima apa adanya, karena memiliki landasan moral dan nilai dalam kultur kita.

Page 2: Theory of Escapism

Sikap kedua sering dipilih ketika sebuah masyarakat, individu atau kelompok

sosial tertentu sudah memiliki prinsip, ideologi dan basis nilai alternatif yang

bertolakbelakang dengan situasi yang dihadapi. Penolakan akan dilanjutkan dengan

perlawanan, dan berusaha mengalahkan, melawan dan menghancurkan situasi yang

tidak menguntungkan tersebut. Rakyat yang kuat, ideologis, berdaulat dan mandiri

akan memilih sikap seperti ini.

Sikap terakhir adalah menghindar. Kerap kali, dalam situasi tertentu kita tidak

setuju, sekaligus juga tidak menolak. Sikap seperti ini bersifat absurd, karena sama

sekali tidak menyatakan kesetujuan dan penolakan. Masyarakat dalam tipe seperti

inilah yang kemudian terdorong untuk melarikan diri (escape/menghindar atau

melarikan diri) atau mengalihkan sikap yang seharusnya diambil ketika berhadapan

dengan sebuah situasi.

Sikap terakhir ini berdasarkan Teori Eskapisme (Escapism Theory)

mengarahkan individu, masyarakat dan kelompok sosial pada tiga bentuk tindakan

lanjutan, yakni;

1. Menghindar dalam penerimaan (Escapism in acceptance): Dalam kondisi

seperti ini, seseorang atau masyarakat cenderung menerima fakta yang ada,

walaupun tidak berusaha untuk mengikuti atau patuh terhadap situasi tersebut.

2. Menghindar dalam penolakan (Escapismin rejection) . Individu atau

masyarakat dalam tipe ini cenderung tidak setuju atau menolak situasi yang ada,

namun sekaligus tidak memiliki kemampuan untuk menolak.

3. Menghindar dalam menghindar (Escapism in Escapism). Yakni sikap

dimana seseorang atau sekalompok masyarakat sama sekali tidak memikirkan

situasi tersebut, atau pura-pura memikirkan dan menghadapinya.

Jika kita berrefleksi terhadap kondisi masyarakat kita, maka ketiga cara

terakhirlah yang sering dilakukan. Kita kerap seakan-akan menerima kondisi

tekanan atau situasi yang kita rasa tidak adil, namun ketidakadilan yang ada dalam

Page 3: Theory of Escapism

institusi negara, kebijakan dan sistem tersebut tidak kita benar-benar patuhi. Kita

atau masyarakat hanya sibuk dengan dunianya masing-masing, dengan

permasalahannya masing-masing tanpa berusaha mengikuti, patuh dan taat dengan

sistem yang ada. Masyarakat juga sering melakukan penolakan, tetapi dikarenakan

ketiadaan kemampuan/kapasitas, maka kita sering menghindar dan menolak. Dalam

keseharian, kita sering melihat seseorang yang menggerutu di belakang orang yang

tidak kita sukai. Begitu juga dengan masyarakat. Masyarakat sebenarnya menolak

kebijakan yang ada, namun karena tidak mampu melawan, maka akhirnya

menggerutu dan melarikan tekanan/ketidaksetujuan tersebut pada hal lain.

Salah satunya adalah ketika berhadapan dengan ketidakadilan. Masyarakat

tidak memiliki kemampuan untuk melawan dan merubah ketidakadilan tersebut,

sehingga akhirnya berusaha menghindar dan melakukan tindakan-tindakan yang

sama sekali tidak berhubungan secara langsung dengan upaya merubah

ketidakadilan tersebut. Kemarahan kita dialihkan kepada sesuatu yang sama sekali

tidak berkontribusi terhadap perubahan, sehingga ketidakadilan dan kesewenangan

akan tetap subur.

Sikap terakhir adalah pilihan paling tidak jelas. Kita sering menghindar, tapi

sekaligus juga tidak memiliki sikap menolak ataupun menerima. Sikap seperti ini

adalah budaya bisu total. Dalam keseharian, sikap seperti ini diambil disebabkan

oleh dua hal, yakni disamping tidak memiliki kemampuan untuk menolak, sekaligus

juga kita memang tidak punya kemampuan sama sekali untuk mencerna, memahami

dan mengerti situasi yang sedang dihadapi. Pertanyaannya, dimanakah posisimu

atau posisi organisasimu?

Oleh tua hasiholan hutabaratDiolah dari berbagai sumber dan pengalaman lapangan