Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

26
1 THEORY OF PLANNED BEHAVIOR, MASIHKAH RELEVAN? ----------------------- Zakarija Achmat PENDAHULUAN Teori ini yang awalnya dinamai Theory of Reasoned Action (TRA), dikembangkan di tahun 1967, selanjutnya teori tersebut terus direvisi dan diperluas oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein. Mulai tahun 1980 teori tersebut digunakan untuk mempelajari perilaku manusia dan untuk mengembangkan intervensi- intervensi yang lebih mengena. Pada tahun 1988, hal lain ditambahkan pada model reasoned action yang sudah ada tersebut dan kemudian dinamai Theory of Planned Behavior (TPB), untuk mengatasi kekurangadekuatan yang ditemukan oleh Ajzen dan Fishbein melalui penelitian-penelitian mereka dengan menggunakan TRA. Icek Ajzen, Ph.D. adalah seorang profesor psikologi di University of Massachusetts. Ia menerima gelar Ph.D. di bidang psikologi sosial dari University of Illinois dan selama beberapa tahun menjadi Visiting Professor at Tel-Aviv University di Israel. Ia banyak menulis artikel, dan bersama Dr. Martin Fishbein menulis berbagai paper, jurnal dan buku-buku mengenai Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior. Ajzen dan Fishbein menulis buku Understanding Attitude and Predicting Social Behavior yang telah banyak dipakai di kalangan akademik dan di wilayah psikologi sosial, yang diterbitkan pada tahun 1980. Martin Fishbein, Ph.D. adalah seorang profesor pada Department of Psychology and the Institute of Communications Research pada University of Illinois di Urbana. Ia seorang konsultan pada the International Atomic Energy Agency, The Federal Trade Commission and Warner Communications, Inc. Bersama dengan Dr. Ajzen, ia telah menulis buku Belief, Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and Research pada tahun 1975. Ia juga telah banyak menulis buku-buku teks, dan artikel-artikel. Ia mulai berfikir mengenai peran sikap dalam mempengaruhi perilaku di awal 1960-an dan di awal 1970-an berkolaborasi dengan Dr. Ajzen mengembangkan Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior.

description

teori psikologi

Transcript of Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

Page 1: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

1

THEORY OF PLANNED BEHAVIOR, MASIHKAH RELEVAN?

-----------------------

Zakarija Achmat

PENDAHULUAN

Teori ini yang awalnya dinamai Theory of Reasoned Action (TRA),

dikembangkan di tahun 1967, selanjutnya teori tersebut terus direvisi dan diperluas

oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein. Mulai tahun 1980 teori tersebut digunakan

untuk mempelajari perilaku manusia dan untuk mengembangkan intervensi-

intervensi yang lebih mengena. Pada tahun 1988, hal lain ditambahkan pada model

reasoned action yang sudah ada tersebut dan kemudian dinamai Theory of Planned

Behavior (TPB), untuk mengatasi kekurangadekuatan yang ditemukan oleh Ajzen

dan Fishbein melalui penelitian-penelitian mereka dengan menggunakan TRA.

Icek Ajzen, Ph.D. adalah seorang profesor psikologi di University of

Massachusetts. Ia menerima gelar Ph.D. di bidang psikologi sosial dari University of

Illinois dan selama beberapa tahun menjadi Visiting Professor at Tel-Aviv University

di Israel. Ia banyak menulis artikel, dan bersama Dr. Martin Fishbein menulis

berbagai paper, jurnal dan buku-buku mengenai Theory of Reasoned Action dan

Theory of Planned Behavior. Ajzen dan Fishbein menulis buku Understanding

Attitude and Predicting Social Behavior yang telah banyak dipakai di kalangan

akademik dan di wilayah psikologi sosial, yang diterbitkan pada tahun 1980.

Martin Fishbein, Ph.D. adalah seorang profesor pada Department of

Psychology and the Institute of Communications Research pada University of Illinois

di Urbana. Ia seorang konsultan pada the International Atomic Energy Agency, The

Federal Trade Commission and Warner Communications, Inc. Bersama dengan Dr.

Ajzen, ia telah menulis buku Belief, Attitude, Intention and Behavior: An

Introduction to Theory and Research pada tahun 1975. Ia juga telah banyak menulis

buku-buku teks, dan artikel-artikel. Ia mulai berfikir mengenai peran sikap dalam

mempengaruhi perilaku di awal 1960-an dan di awal 1970-an berkolaborasi dengan

Dr. Ajzen mengembangkan Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned

Behavior.

Page 2: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

2

Tulisan ini akan me-review beberapa penelitian yang didasarkan pada teori

tersebut dan akan dibahas apakah masih relevan untuk menggunakan dasar teori

tersebut untuk melakukan suatu penelitian, misalnya untuk memprediksi bagaimana

hasil suatu pelatihan akan diimplementasikan oleh para peserta suatu pelatihan.

GAMBARAN SINGKAT MENGENAI THEORY OF PLANED BAHAVIOR

Ada beberapa tujuan dan manfaat dari teori ini, antara lain adalah untuk

meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasional terhadap perilaku yang

bukan dibawah kendali atau kemauan individu sendiri. Untuk mengidentifikasi

bagaimana dan kemana mengarahkan strategi-strategi untuk perubahan perilaku dan

juga untuk menjelaskan pada tiap aspek penting beberapa perilaku manusia seperti

mengapa seseorang membeli mobil baru, memilih seorang calon dalam pemilu,

mengapa tidak masuk kerja atau mengapa melakukan hubungan pranikah.

Teori ini menyediakan suatu kerangka untuk mempelajari sikap terhadap

perilaku. Berdasarkan teori tersebut, penentu terpenting perilaku seseorang adalah

intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah

kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif.

Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku,

evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif

dan motivasi untuk patuh.

Jika seseorang mempersepsi bahwa hasil dari menampilkan suatu perilaku

tersebut positif, ia akan memiliki sikap positif terhadap perilaku tersebut. Yang

sebaliknya juga dapat dinyatakan bahwa jika suatu perilaku difikirkan negatif. Jika

orang-orang lain yang relevan memandang bahwa menampilkan perilaku tersebut

sebagai sesuatu yang positif dan seseorang tersebut termotivasi untuk memenuhi

harapan orang-orang lain yang relevan, maka itulah yang disebut dengan norma

subjektif yang positif. Jika orang-orang lain melihat perilaku yang akan ditampilkan

sebagai sesuatu yang negatif dan seseorang tersebut ingin memenuhi harapan orang-

orang lain tersebut, itu yang disebut dengan norma subjektif negatif. Sikap dan

norma subjektif diukur dengan skala (misalnya skala Likert) menggunakan frase

suka/tidak suka, baik/buruk, dan setuju/tidak setuju. Intensi untuk menampilkan

Harza
Highlight
Page 3: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

3

suatu perilaku tergantung pada hasil pengukuran sikap dan norma subjektif. Hasil

yang positif mengindikasikan intensi berperilaku.

Theory of Reasoned Action paling berhasil ketika diaplikasikan pada perilaku

yang di bawah kendali individu sendiri. Jika perilaku tersebut tidak sepenuhnya di

bawah kendali atau kemauan individu, meskipun ia sangat termotivasi oleh sikap dan

norma subjektifnya, ia mungkin tidak akan secara nyata menampilkan perilaku

tersebut. Sebaliknya, Theory of Planned Behavior dikembangkan untuk

memprediksi perilaku-perilaku yang sepenuhnya tidak di bawah kendali individu.

Perbedaan utama antara TRA dan TPB adalah tambahan penentu intensi

berperilaku yang ke tiga, yaitu perceived behavioral control (PBC). PBC ditentukan

oleh dua faktor yaitu control beliefs (kepercayaan mengenai kemampuan dalam

mengendalikan) dan perceived power (persepsi mengenai kekuasaan yang dimiliki

untuk melakukan suatu perilaku). PBC mengindikasikan bahwa motivasi seseorang

dipengaruhi oleh bagaimana ia mempersepsi tingkat kesulitan atau kemudahan untuk

menampilkan suatu perilaku tertentu. Jika seseorang memiliki control beliefs yang

kuat mengenai faktor-faktor yang ada yang akan memfasilitasi suatu perilaku, maka

seseorang tersebut memiliki persepsi yang tinggi untuk mampu mengendalikan suatu

perilaku. Sebaliknya, seseorang tersebut akan memiliki persepsi yang rendah dalam

mengendalikan suatu perilaku jika ia memiliki control beliefs yang kuat mengenai

faktor-faktor yang menghambat perilaku. Persepsi ini dapat mencerminkan

pengalaman masa lalu, antisipasi terhadap situasi yang akan datang, dan sikap

terhadap norma-norma yang berpengaruh di sekitar individu.

Theory of Planned Behavior didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah

makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-informasi yang mungkin

baginya, secara sistematis. Orang memikirkan implikasi dari tindakan mereka

sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku-

perilaku tertentu.

TRA/TPB dimulai dengan melihat intensi berperilaku sebagai anteseden

terdekat dari suatu perilaku. Dipercaya bahwa semakin kuat intensi seseorang untuk

menampilkan suatu perilaku tertentu, diharapkan semakin berhasil ia melakukannya.

Intensi adalah suatu fungsi dari beliefs dan atau informasi yang penting mengenai

kecenderungan bahwa menampilkan suatu perilaku tertentu akan mangarahkan pada

Harza
Highlight
Harza
Highlight
Page 4: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

4

suatu hasil yang spesifik. Intensi bisa berubah karena waktu. Semakin lama jarak

antara intensi dan perilaku, semakin besar kecenderungan terjadinya perubahan

intensi. Karena Ajzen dan Fishbein tidak hanya tertarik dalam hal meramalkan

perilaku tetapi juga memahaminya, mereka mulai mencoba untuk mengindentifikasi

penentu-penentu dari intensi berperilaku. Mereka berteori bahwa intensi adalah

suatu fungsi dari dua penentu utama, yaitu a) sikap terhadap perilaku dan b) norma

subjektif dari perilaku.

Sikap dianggap sebagai anteseden pertama dari intensi perilaku. Sikap adalah

kepercayaan positif atau negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu.

Kepercayaan-kepercayaan atau beliefs ini disebut dengan behavioral beliefs.

Seorang individu akan berniat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu ketika ia

menilainya secara positif. Sikap ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan individu

mengenai konsekuensi dari menampilkan suatu perilaku (behavioral beliefs),

ditimbang berdasarkan hasil evaluasi terhadap konsekuensinya (outcome evaluation).

Sikap-sikap tersebut dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap intensi

berperilaku dan dihubungkan dengan norma subjektif dan perceived behavioral

control.

Norma subjektif juga diasumsikan sebagai suatu fungsi dari beliefs yang

secara spesifik seseorang setuju atau tidak setuju untuk menampilkan suatu perilaku.

Kepercayaan-kepercayaan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga

kepercayaan normatif (normative beliefs). Seorang individu akan berniat

menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang-orang lain

yang penting berfikir bahwa ia seharusnya melakukan hal itu. Orang lain yang

penting tersebut bisa pasangan, sahabat, dokter, dsb. Hal ini diketahui dengan cara

menanyai responden untuk menilai apakah orang-orang lain yang penting tadi

cenderung akan setuju atau tidak setuju jika ia menampilkan perilaku yang

dimaksud.

Masalah terkait TRA akan muncul jika teori tersebut diaplikasikan pada

perilaku yang tidak sepenuhnya di bawah kendali seorang individu tersebut. TPB

memperhitungkan bahwa semua perilaku tidaklah di bawah kendali dan bahwa

perilaku-perilaku tersebut berada pada suatu titik dalam suatu kontinum dari

sepenuhnya di bawah kendali sampai sepenuhnya di luar kendali. Individu mungkin

Page 5: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

5

memiliki kendali sepenuhnya ketika tidak terdapat hambatan apapun untuk

menampilkan suatu perilaku. Dalam keadaan ekstrim yang sebaliknya, mungkin

sama sekali tidak terdapat kemungkinan untuk mengendalikan suatu perilaku karena

tidak adanya kesempatan, karena tidak adanya sumber daya atau ketrampilan.

Faktor-faktor pengendali tersebut terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor-

faktor internal antara lain ketrampilan, kemampuan, informasi, emosi, stres, dsb.

Faktor-faktor eksternal meliputi situasi dan faktor-faktor lingkungan.

Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, Ajzen memodifikasi TRA dengan

menambahkan anteseden intensi yang ke tiga yang disebut perceived behavioral

control (PBC). Dengan tambahan anteseden ke tiga tersebut, ia menamai ulang

teorinya menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). PBC menunjuk suatu derajat

dimana seorang individu merasa bahwa tampil atau tidaknya suatu perilaku yang

dimaksud adalah di bawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan

membentuk suatu intensi yang kuat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika

ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber atau kesempatan untuk melakukannya

meskipun ia memiliki sikap yang positif dan ia percaya bahwa orang-orang lain yang

penting baginya akan menyetujuinya. PBC dapat mempengaruhi perilaku secara

langsung atau tidak langsung melalui intensi. Jalur langsung dari PBC ke perilaku

diharapkan muncul ketika terdapat keselarasan antara persepsi mengenai kendali dan

kendali yang aktual dari seseorang atas suatu perilaku.

Theory of Planned Behavior dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut:

Source: Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior

and Human Decision Processes, 50, p. 179-211.

Page 6: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

6

TINJAUAN TERHADAP BERBAGAI PENELITIAN MENGENAI THEORY

OF PLANNED BEHAVIOR

Meskipun teori ini berangkat dari kajian psikologi sosial, dan dilahirkan oleh

profesor di bidang psikologi sosial, tetapi aplikasi teori ini telah merambah ke

banyak bidang kajian. Demikian pula dengan penelitian-penelitian yang didasarkan

pada TPB tidak hanya dilakukan di bidang psikologi sosial, tetapi sudah merambah

pula bidang-bidang lain seperti kesehatan dan olah raga (Godin dkk., 1992; Billari &

Philipov, 2005; Higgins & Marcum, 2005; Tang & Wong, 2005; Kouthouris &

Spontis, 2005), pendidikan (Okun & Sloane, 2002; Martin & Kullina, 2004;

Marrone, 2005), marketing (Chiou, 1998), organizational behavior (Kolvereid, 1996;

Wiethoff, 2004; Lanigan & Bentley, 2006), dan lain lain.

Penelitian-penelitian dan pembahasan mengenai teori ini juga telah banyak

dilakukan sejak mulai dipublikasikan oleh penggagasnya, bahkan oleh penggagasnya

sendiri. Misalnya di tahun 1969 Ajzen dan Fishbein meneliti tentang bagaimana

memprediksi intensi berperilaku dalam situasi memilih (Ajzen & Fishberin, 1969).

Di tahun 1985 Ajzen bersama Madden meneliti tentang bagaimana memprediksi

perilaku yang terarah ke pencapaian tujuan melalui komponen-komponen TPB

(Ajzen & Madden, 1986). Di tahun 1991 Ajzen bersama Driver meneliti tentang

bagaimana memprediksi keikutsertaan dalam kegiatan wisata melalui beliefs (Ajzen

& Driver, 1991). Ajzen dan Fishbein masih terus melakukan penelitian-penelitian

dan kajian-kajian bahkan hingga di tahun 2000-an untuk terus menyempurnakan

teori mereka. Di tahun 2005 keduanya masih menulis di suatu jurnal untuk

memberikan komentar kepada ahli lain yang menggunakan teori mereka sebagai

dasar dalam melakukan suatu intervensi (terapi) klinis (Ajzen & Fishbein, 2005).

Tinjauan mengenai penelitian-penelitian yang didasarkan atau terkait dengan

TPB akan dilakukan dengan cara pengelompokan berdasarkan bidang kajian

psikologi, yaitu psikologi industri/organisasi dan psikologi sosial (organizational

behavior, marketing); psikologi pendidikan ; dan psikologi klinis (kesehatan, olah

raga). Tinjauan akan lebih ditekankan pada hasil-hasil penelitian tersebut dan

kemungkinan melakukan penelitian-penelitian lanjutan yang terkait berdasarkan

keterbatasan-keterbatasan pada penelitian yang telah dilakukan tersebut.

Page 7: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

7

Penelitian-penelitian di bidang psikologi industri/organisasi dan psikologi sosial.

Kolvereid (1996) dalam penelitiannya mencoba mengaplikasikan TPB untuk

memprediksi intensi memilih status pekerjaan. Status pekerjaan yang dimaksud di

sini adalah bekerja sebagai pegawai yang digaji, atau bekerja sendiri (berwirausaha).

Penelitian ini juga menyelidiki pengaruh latar belakang keluarga, gender dan

pengalaman bekerja sendiri sebelumnya, terhadap intensi memilih jenis pekerjaan.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh pendekatan role models atau tracking models

yang selama ini telah terlalu lama mendominasi dalam memprediksi intensi

pemilihan status pekerjaan. Penelitian kewirausahaan telah lama menunjukkan

kuatnya pengaruh sejarah pribadi dan konteks sosial terhadap kecenderungan

alamiah untuk berwirausaha. Penelitian melalui tracking atau role model dan latar

belakang keluarga dari para wirausahawan menunjukkan adanya hubungan yang kuat

antara kehadiran role models dan kemunculan wirausahawan.

Krueger dan Carsrud (1993) menyatakan bahwa perilaku kewirausahaan

seperti menjadi wirausahawan, atau memulai suatu usaha baru adalah bertujuan dan

karenanya yang terbaik diprediksi melalui niatan atau intensi untuk melakukannya,

bukan dari sikap, beliefs, kepribadian atau faktor demografis. Yang menjadi

pertanyaan berikutnya adalah apa yang menentukan intensi kewirausahaan tersebut.

Berdasarkan Theory of Planned Behavior, Kolvereid mengajukan hipotesis

bahwa semakin seseorang menunjukkan sikap dan norma subjektif yang mendukung

untuk bekerja sendiri, dan semakin tinggi PBC, maka semakin kuat intensi seseorang

untuk bekerja sendiri. Hipotesis tersebut kemudian diuji dengan menggunakan

LISREL, mengaplikasikan korelasi tata jenjang, dengan memasukkan sikap, norma

subjektif dan PBC ke dalam suatu model LISREL dengan intensi sebagai variabel

terikat. Hasilnya menunjukkan bahwa semua variabel bebas memberi sumbangan

secara signifikan terhadap penjelasan variasi dari intensi. Dengan kata lain bahwa

hasil penelitian memberi dukungan yang kuat terhadap TPB.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa TPB dapat digunakan untuk

memprediksi intensi memilih status pekerjaan. Hanya saja, masih diperlukan

penelitian longitudinal untuk menyelidiki hubungan antara intensi memilih status

pekerjaan dengan perilaku aktualnya.

Page 8: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

8

Jyh-shen Chiou (1998) meneliti tentang pengaruh dari sikap, norma subjektif

dan PBC terhadap intensi membeli sebagai moderating effects pengetahuan produk

terhadap perhatian pada informasi perbandingan sosial. Tujuan penelitiannya adalah

untuk menyelidiki apakah pengaruh relatif dari sikap, norma subjektif dan PBC

dalam mengendalikan intensi membeli akan berbeda ketika konsumen memiliki

tingkat pengetahuan produk (subjektif dan objektif) dan perhatian pada informasi

perbandingan sosial (ATSCI = attention to social comparison information) yang

berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh TPB, intensi membeli para konsumen

dipengaruhi tidak hanya oleh sikap mereka, tetapi juga oleh pengaruh kelompok dan

persepsi mengenai kemampuan mengendalikan yang mereka miliki. Kekeuatan

relatif pengaruh ketiga faktor tersebut pada intensi membeli akan bervariasi di antara

tiap perilaku dan situasi.

Hasil penelitian Chiou menunjukkan bahwa kepentingan relatif sikap, norma

subjektif dan PBC dalam memprediksi intensi bervariasi ketika konsumen memiliki

perbedaan tingkat pengetahuan subjektif mengenai produk dan tingkat perhatian pada

informasi perbandingan sosial (ATSCI). Pengetahuan subjektif adalah variabel

moderator untuk hubungan antara PBC dan intensi membeli, sementara ATSCI

adalah variabel moderator untuk hubungan antara sikap dan intensi membeli dan

untuk hubungan antara norma subjektif dan intensi membeli. Berdasarkan hasil

tersebut, ada beberapa implikasi dalam bidang pemasaran, antara lain menyangkut

pemasaran produk, pengukuran sikap konsumen dan saluran komunikasi.

Ketika membeli suatu produk tanpa memiliki banyak kendali dari diri sendiri,

konsumen tidak hanya membutuhkan lebih banyak sumber daya, misalnya waktu

atau informasi, tetapi juga perlu lebih percaya diri dalam mengambil suatu keputusan

yang tepat. Para tenaga pemasar seharusnya mencoba tidak hanya untuk memberi

penjelasan tentang produk, tetapi juga meningkatkan PBC konsumen, misalnya

dengan menggunakan lebih banyak demonstrasi untuk menunjukkan bagaimana

kinerja suatu produk. Dalam kebanyakan penelitian pasar yang standar seperti uji

produk atau uji konsep, sikap konsumen terhadap produk adalah pertanyaan utama

yang harus diukur, tetapi umumnya norma subjektif tidak disertakan dalam

pengukuran. Padahal, bagi mereka yang memiliki ATSCI tinggi hal tersebut

sangatlah penting. Oleh karenanya, norma subjektif harus disertakan dalam

Page 9: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

9

kuesioner jika target pasarnya adalah orang-orang yang menganggap penting

informasi perbandingan sosial, misalnya pada kelompok masyarakat kolektivistik.

Demikian pula dalam memilih saluran komunikasi, untuk mempengaruhi orang-

orang dengan ATSCI tinggi, media tradisional seperti TV, radio atau koran saja tidak

mencukupi; diperlukan saluran komunikasi yang lebih bersifat interpersonal. Para

pemasar juga perlu mempelajari jenis kelompok acuan atau kelompok sosial mana

yang memiliki pengaruh paling kuat dalam mempersuasi mereka untuk memilih

suatu produk.

Chiou juga mengemukakan keterbatasan-keterbatasan penelitiannya dan

memberikan beberapa saran. Menurutnya, untuk penelitian selanjutnya perlu lebih

mengidentifikasi karekteristik-karakteristik produk yang bisa mempengaruhi hasil

penelitian. Dalam penelitiannya yang digunakan hanya satu jenis produk yang diuji,

yaitu printer. Penelitian selanjutnya bisa dilakukan pada jenis produk yang lain.

Chou juga menyarankan untuk melakukan penelitian di negara lain yang memiliki

sumber tekanan sosial yang berbeda, dimana kelompok acuan yang paling

berpengaruh bisa berbeda. Mengidentifikasi kelompok acuan pada tiap kelompok

masyarakat dapat membantu para tenaga pemasar dalam merancang program

pemasaran yang lebih efektif.

Wiethoff (2004) mengajukan suatu rancangan model pelatihan yang

didasarkan pada TPB. Ia mencoba mengaplikasikan TPB untuk mempengaruhi

motivasi belajar dalam program pelatihan keberagaman (Diversity Training

Program). Ia memilih program pelatihan keberagaman untuk dibahas karena ia

melihat pentingnya program pelatihan tersebut. Dalam survey terakhir masyarakat

sumber daya manusia (Society for Human Resource Management = SHRM),

ditemukan bahwa 66% dari 321 perusahaan yang menjadi responden melaporkan

kuatnya komitmen terhadap keberagaman (Kluttz, 2002). Perusahaan-perusahaan

tersebut mengenali sejumlah alasan untuk mendukung diversifikasi di tempat kerja

mereka. Alasan rasionalnya adalah proyeksi dari perubahan komposisi demografis

(Digh, 1998). Banyak organisasi juga telah menemukan bahwa keberagaman

menyediakan suatu strategi yang menguntungkan (Flynn, 1998) dan membantu

mereka menyediakan suatu peningkatan yang berdasar keberagaman konsumen

(Miler, 1999). Lebih jauh lagi, bukti-bukti menunjukkan bahwa persuahaan-

Page 10: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

10

perusahaan yang inovatif dalam program-program pengembangan sumber daya

manusianya yang mendorong keterlibatan penuh para karyawannya memperoleh

keuntungan dari nilai sharehoder yang meningkat (Orlando & Johson, 2001).

Wiethoff melihat bahwa motivasi karyawan untuk belajar (dalam pelatihan

keberagaman/Diversity Training = DT) dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bisa

dijelaskan melalui TPB. Sikap terhadap DT (untuk mengikutnya) ditentukan oleh

setidaknya empat hal, yaitu kepercayaan (beliefs) mengenai kegunaan dari DT,

persepsi mengenai kebutuhan terhadap DT, kepercayaan bahwa DT akan

memberinya keuntungan dalam pekerjaan (peningkatan gaji), dan pentingnya

peningkatan gaji. Faktor lain dalam TPB yang mempengaruhi intensi untuk

berperilaku adalah norma subjektif. Norma subjektif mengenai keikutsertannya

dalam DT juga ditentukan oleh setidaknya empat hal, yaitu persepsi mengenai

dukungan manajemen, motivasi untuk patuh terhadap manajemen, persepsi mengenai

dukungan rekan kerja, dan motivasi untuk mematuhi rekan kerja. Selanjutnya,

persepsi mengenai kemampuan dalam mengendalikan perilaku untuk mengikuti

program pelatihan juga akan ikut berperan dalam menentukan motivasi belajar

karyawan dalam program pelatihan tersebut.

Model yang diajukan Wiethoff memiliki potensi untuk menjelaskan

penelitian mengenai pelatihan dan pengembangan melalui beberapa cara, antara lain

bahwa secara eksplisit dapat mengidentifikasi komponen-komponen sikap yang

penting yang berhubungan dengan training (yaitu beliefs, norma subjektif dan PBC),

yang memberi peneliti alat ukur yang lebih banyak dan lebih canggih untuk

membantunya lebih memahami konstrak motivasi untuk belajar. Selain itu, adalah

memungkinkan bahwa model tersebut memberi insight untuk munculnya intensi

berperilaku untuk mentrasfer pengetahuan yang diperoleh ke tempat kerja dengan

mengidentifikasi keprcayaan-kepercayaan spesifik dan norma subjektif yang akan

mepengaruhi atau meningkatkan transfer tersebut.

Wiethoff mengakui bahwa model yang diajukannya memiliki keterbatasan.

Model ini hanya dihubungakan dengan motivasi peserta untuk belajar, meskipun

jelas bahwa hal tersebut merupakan suatu bagian penting dari program pelatihan.

Akan tetapi, model tersebut tidak secara langsung memberitahukan bagaimana hasil

pelatihan akan ditransfer ke tempat kerja, walaupun TPB sendiri merupakaan alat

Page 11: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

11

yang cukup membantu menyelidiki intensi perilaku untuk mentransfer hasil belajar

ke tempat kerja.

Masih terkait dengan pelatihan, Lanigan dan Bentley (2006) mengusulkan

suatu kerangka kerja untuk mengevaluasi pelatihan dengan mendasarkan pada TPB.

Usulannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebanyakan evaluasi pelatihan

hanya dilakukan sebatas pada reaksi terhadap pelaksanaannya saja (dengan

memberikan kuesioner yang mengukur reaksi tersebut yang disebut dengan

reactionnaire) dan data tersebut sebenarnya kurang bermanfaat, selain validitas dan

reliabilitasnya juga masih dipertanyakan. Mereka menyebut evaluasi semacam itu

hanya menggunakan teknologi yang ”smiley” reaction.

Pada usulan kerangka kerja barunya dalam mengevaluasi suatu program

intervensi melalui pelatihan, Lanigan dan Bentley tidak begitu saja meninggalkan

evaluasi yang sebatas pada reaksi terhadap pelaksanaannya tersebut. Mereka tetap

menggunakannya, tetapi menambahkan dengan beberapa hal lain (berdasarkan TPB),

dan mereka katakan bahwa kerangka kerjanya ini melampaui empat tingkat evaluasi

dari Kirkpatrick. Usulan kerangka kerja mereka digambarkan pada tabel berikut ini:

No. Kerangka Kerja Alat yang Digunakan

1 Reaksi Reactionnaire atau reactionnaire yang built-in

di dalam pre dan post self-efficacy test secara

simultan (bersamaan)

2 Sikap dan Norma Subjektif Instrumen sikap dan instrumen norma

subjektif.

3 Faktor-faktor PBC Instrumen self-efficacy dan instrumen

pengendali eksternal

4 Intensi berperilaku dan

perilaku nyata

Instrumen intensi berperilaku dan instrumen

perilaku nyata

5 Pengembalian investasi (ROI

= Return on Investment)

Analisis biaya (untung rugi) terkait dengan

ROI

Menurut Lanigan dan Bentley, dari lima kerangka kerja tersebut, paling tidak untuk

empat yang teratas harus dilakukan pre dan post test agar bisa mengevaluasi program

intervensi dengan efektif. Akan tetapi patut disayangkan bahwa Lanigan dan

Bentley dalam tulisannya tersebut tidak memberikan penjelasan konseptual dan

aktual mengenai bagaimana hubungan antara mengukur komponen-komponen dalam

TPB dengan efektivitas dalam mengevaluasi suatu pelatihan.

Page 12: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

12

Penelitian-penelitian di bidang psikologi pendidikan

Dr. Morris A. Okun dari Department of Psychology, Arizona State

University, Amarika Serikat dan Erin S. Sloane dari Los Angeles Unified School

District, California, Amerika Serikat melakukan penelitian yang didasarkan pada

TPB untuk memprediksi keikutsertaan (enrollment) mahasiswa sebagai relawan

dalam suatu program kampus (Okun & Sloane, 2002). Penelitiannya

dilatarbelakangi pemikiran bahwa menjadi relawan dalam suatu kegiatan dipercaya

akan memberi manfaat bagi individu maupun masyarakat, tetapi hanya individu-

individu tertentu saja yang tertarik untuk menjadi relawan. Penelitiannya dirancang

untuk menguji hipotesis yang diturunkan dari TPB. Hipotesis pertamanya adalah

bahwa sikap, norma subjektif, dan PBC akan menjadi prediktor signifikan dari

intensi menjadi relawan. Hipotesis kedua, bahwa intensi merupakan satu-satunya

prediktor signifikan menjadi relawan secara aktual.

Sampel penelitian didapatkan secara random dari para mahasiswa yang

mengikuti mata kuliah Pengantar Psikologi pada suatu universitas besar di Amerika,

sebanyak 647 orang. Setelah kepada mereka disampaikan pesan mengenai

rekrutmen dari kegiatan tersebut (menjadi relawan pada the Student Life Community

Service Program = SLCSP), mereka diminta mengisi kuesioner yang berisi

komponen-komponen dalam TPB dan dua bulan kemudian keikutsertaan mereka

dalam kegiatan tersebut dicek. Konsisten dengan TPB, sikap, norma subjektif dan

PBC merupakan prediktor intensi untuk menjadi relawan pada SLCSP, dan

selanjutnya bisa memprediksi keikutsertaan mereka secara nyata sebagai relawan

pada SLCSP. Akan tetapi, kurang dari 33% mahasiswa yang memiliki skor intensi

yang tinggi yang benar-benar menjadi relawan dalam program tersebut. Ini

menggambarkan bahwa diperlukan suatu strategi untuk memperkuat intensi agar bisa

diwujudkan dalam perilaku nyata.

Jeffrey J. Martin dari the Division of Kinesiology, Health and Sport Studies at

Wayne State University bersama Pamela Hodges Kulinna dari the Department of

Physical Education at Arizona State University melakukan penelitian yang

didasarkan pada TPB dan Self-Efficacy Theory untuk menguji penentu-penentu

(determinan) intensi para guru olahraga untuk melakukan aktivitas fisik ketika

mengajar di kelas-kelas mereka (yaitu menggunakan sedikitnya 50% dari waktu

Page 13: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

13

mereka untuk melakukan aktivitas fisik dari yang sedang hingga berat).

Dilakukannya penelitian tesebut dilatarbelakangi pengamatan mereka bahwa

semakin meningkat usia seseorang, semakin berkurang aktivitas fisik yang

dilakukan, padahal melakukan aktivitas fisik penting bagi kesehatan jantung.

Sementara, para guru olah raga seharusnya mengajak para murid mereka untuk

melakukan aktivitas fisik sebagai bagian dari proses pembelajaran yang menjadi

tanggung jawab mereka.

Subjek penelitian Martin dan Kulinna (2004) tersebut menggunakan 342 guru

olah raga dari SD hingga SMA, pria dan wanita, berusia antara 23 hingga 62 tahun

dengan pengalaman mengajar 1 sampai 40 tahun. Instrumen pengukuran yang

digunakan berupa kuesioner (untuk data-data demografis) dan skala (untuk semua

variabel penelitian). Dari data yang terkumpul menunjukkan bahwa para guru

tersebut memiliki intensi yang kuat untuk mengajar kelas yang banyak melibatkan

aktivitas fisik untuk murid-murid mereka. Mereka juga menunjukkan sikap yang

positif untuk mengajar kelas yang aktif dan memiliki motivasi untuk patuh terhadap

kelompok sosial yang penting (orang tua, para murid) yang mengharapkan mereka

mengajar dengan melibatkan banyak aktivitas fisik. Para guru tersebut juga memiliki

PBC yang tinggi untuk bisa mengajar kelas-kelas yang melibatkan banyak aktivitas

fisik.

Sesuai dengan tujuan penelitian, data-data tersebut kemudian dianalisis

dengan teknik regresi bertingkat (hierarchical regression). Hasilnya menunjukkan

bahwa hipotesis yang diajukan yaitu bahwa intensi para guru untuk mengajar kelas

yang banyak melibatkan aktivitas fisik untuk murid-murid mereka ditentukan oleh

sikap, norma subjektif dan PBC, diterima. TPB mendapat dukungan, bahwa intensi

berperilaku para guru tersebut 59%-nya ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan

PBC mereka.

Stephen Richard Marrone dari Columbia University Teachers College di

tahun 2005 melakukan penelitian yang juga didasarkan pada TPB dari Ajzen dan

Fishbein, terkait dengan intensi para perawat gawat darurat untuk memberi

pelayanan yang secara kultural sesuai bagi pasien Muslim Arab. Tujuan penelitian

tersebut adalah untuk menyelidiki hubungan antara sikap, norma subjektif dan PBC

para perawat gawat darurat dengan intensi mereka untuk memberikan pelayanan

Page 14: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

14

yang secara kulutral sesuai dengan pasien-pasien Muslim Arab. Subjek penelitian

terdiri dari 208 orang perawat. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan

skala model Likert. Masing-masing subjek memperoleh skor sikap, norma subjektif,

PBC dan intensi.

Hasil penelitian Marrone (2005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan

positif yang signifikan antara sikap para perawat gawat darurat dan norma subjektif

mereka dengan intensi untuk memberikan pelayanan yang secara kultural sesuai

untuk pasien Muslim Arab; dan ada hubungan positif yang signifikan antara PBC

dengan sikap. Perbedaan yang signifikan juga ditemukan dalam hal sikap dan norma

subjektif antara mereka yang memiliki intensi dan tidak memiliki intensi

memberikan pelayanan yang secara kultur sesuai terhadap pasien Muslim Arab. Dari

penelitiannya tersebut Marrone kemudian menyarankan akan pentingnya

memberikan materi-materi yang transkultural pada proses pendidikan perawat. Ia

juga menyarankan agar dalam pendidikan dan pelayanan perawat juga dilakukan

pendekatan-pendekatan yang didasarkan pada informasi-informasi yang terkait

dengan budaya-budaya tertentu.

Penelitian-penelitian di bidang psikologi klinis (kesehatan dan olah raga)

Salah satu penelitian di bidang psikologi klinis yang didasarkan pada TPB

dilakukan oleh Godin dkk. (1992) yang bertujuan untuk memverifikasi asumsi-

asumsi dasar dalam TPB untuk memprediksi intensi berolah raga dan berperilaku

(melakukan olah raga) pada orang dewasa dalam kelompok umum (penelitian 1) dan

kelompok wanita hamil (penelitian 2). Dalam kedua penelitian, data baseline

dikumpulkan di rumah mereka melalui para pewawancara terlatih dan melalui

kuesioner. Laporan diri perilaku mereka dikumpulkan enam bulan (penelitian 1) dan

antara delapan hingga sembilan bulan (penelitian 2) setelah data baseline

dikumpulkan. Pada penelitian 1 ditemukan bahwa PBC mempengaruhi perilaku

hanya melalui intensi. Pada penelitian 2, tak satupun variabel dari model Ajzen

berhubungan dengan perilaku berolahraga. Akan tetapi, intensi dipengaruhi oleh

sikap, kebiasaan dan PBC. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PBC

berkontribusi terhadap pemahaman mengenai intensi untuk berolah raga tetapi tidak

dapat meramalkan perilaku berolah raga.

Page 15: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

15

Penelitian lain dilakukan oleh Higgins dan Marcum (2005). Tujuan

penelitian yang mereka lakukan adalah untuk menguji kemampuan TPB dalam

memediasi pengaruh rendahnya kendali diri (self-control) dalam penggunaan

alkohol. Hal tersebut dilandasi oleh alasan bahwa penelitian-penelitian sebelumnya

menunjukkan rendahnya kendali diri memainkan peranan penting dalam penggunaan

alkohol, sedang kemampuan pengendalian diri cenderung stabil. Sementara

ditemukan bahwa mengkonsumsi alkohol mulai menjadi sesuatu yang umum bagi

para mahasiswa, padahal mengkonsumsi alkohol berdampak buruk. Umumnya

mereka menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain, misalnya

ketinggalan kelas, terlibat aktivitas seksual yang tidak terencana dan tidak aman,

menjadi korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual, mengalami kecelakaan,

melakukan tindak kriminal, mengalami ketidakseimbangan fisik dan kognitif, serta

prestasi akademik yang rendah (Wechsler et al., 1998). Akibat yang dirasakan oleh

orang lain terdekat mereka di antaranya belajar atau tidur yang terganggu, harus

merawat teman yang mabuk, atau membuat malu, dimana hal tersebut merupakan

faktor yang bisa menghambat keberhasilan di perguruan tinggi. Untuk itu diperlukan

suatu pendekatan atau penggunaan teori yang lebih pas yang bisa menjelaskan dan

mengatasi masalah tersebut.

Menurut Higgins dan Marcum, penelitiannya signifikan dalam tiga hal.

Pertama, akan memberi pemahaman yang lebih baik pada para peneliti bagaimana

pengukuran melalui teori self-control dan tipe belajar sosial dihubungkan. Kedua,

akan memberi pemahaman yang lebih baik mengenai pengukuran yang dapat diubah

untuk mengurangi masalah penggunaan alkohol pada anak muda. Ketiga, temuan-

temuannya akan memberi para peneliti informasi-informasi untuk mengembangkan

kebijakan dalam membantu mereka yang memiliki self-control rendah untuk melihat

konsekuensi dari penggunaan alkohol.

Billary dan Philipov (2005) dalam draf laporan penelitian yang dilakukannya

di tahun 2002 (untuk dipresentasikan pada suatu konferensi internasional), juga

menggunakan TPB untuk memprediksi intensi untuk memiliki atau menambah anak

di Bulgaria. Tujuan penelitian mereka adalah mempelajari pentingnya hal yang

menentukan dari intensi untuk memiliki anak dengan maksud untuk memperoleh

pemahaman yang lebih mendalam mengenai proses pengambilan keputusan untuk

Page 16: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

16

melahirkan anak. Fokus penelitian mereka adalah intensi yang secara khusus terkait

dengan keselarasan dan waktu (misalnya intensi untuk memiliki seorang anak atau

menambah anak dalam dua tahun ke depan) dan bagaimana intensi tersebut

bergantung pada 1) sikap terhadap kelahiran anak; 2) persepsi mengenai tekanan

normatif dari orang-orang lain yang relevan; dan 3) PBC. Data yang digunakan

diperoleh dari survey di tahun 2002 yang dilakukan di Bulgaria, suatu negara dengan

tingkat kelahiran terendah.

Informasi mengenai intensi, sikap, norma subjektif dan PBC secara konsisten

dikumpulkan dengan cara parity-specific (keselarasan) dan time-specific yang

dilandaskan pada kerangka kerja TPB. Untuk menganalisis data yang diperoleh,

mereka menggunakan model regresi logistik multivariat untuk mengevaluasi

pentingnya ketiga komponen TPB dengan mengendalikan faktor-faktor latar

belakang yang relevan. Temuan yang diperoleh menunjukkan bahwa sikap dan

norma subjektif berpengaruh pada intensi untuk memiliki anak pertama dan anak

kedua terlepas dari variabel latar belakang sosial ekonomi. Sementara, PBC

berpengaruh hanya pada transisi untuk memiliki anak kedua. Dengan demikian,

adalah penting untuk menyertakan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan

pendekatan tersebut (TPB) dalam survey-survey demografis standar.

Penelitian lain di bidang kesehatan yang menggunakan landasan TPB adalah

yang dilakukan oleh Tang dan Wong (2005) dari The Chinese University of Hong

Kong. Penelitian yang mereka lakukan di tahun 2003 mengeksplorasi faktor-faktor

psikososial yang mempengaruhi praktek perilaku preventif dalam menghadapi

SARS (severe acute respiratory syndrome) pada orang-orang tua China di Hong

Kong .

Penelitian mereka dilatar belakangi oleh keadaan pada waktu itu dimana

SARS telah menjadi wabah yang mengancam hampir seluruh permukaan bumi.

Pada umumnya yang terserang SARS adalah orang dewasa (tua), 17% hingga 30%

korban SARS dari 26 negara yang terserang SARS berusia di atas 50 tahun. Di

antara korban yang memerlukan perawatan intensif rata-rata berusia 50 tahun, sedang

yang tidak memerlukan perawatan intensif rata-rata berusia 35 tahun. Pada mereka

yang berusia di bawah 65 tahun, tingkat kematiannya mencapai 6,8% dan meningkat

menjadi 8,9% pada mereka yang berusia antara 65 hingga 74 tahun. Pada mereka

Page 17: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

17

yang berusia 75 tahun ke atas, tingkat kematiannya malah mencapai 28,6%.

Sementara, menurut Berrigan, dkk. (2003); Hui & Morrow (2001); Johansson &

Sundquist (1999), dikatakan bahwa praktek perilaku pencegahan oleh individu

adalah salah satu cara paling efektif dalam mencegah penyakit dan meningkatkan

kesehatan. Meskipun otoritas kesehatan telah berkali-kali memberikan nasehat,

kebanyakan orang tidak mempraktekkan perilaku preventif yang mereka

rekomendasikan. Diduga, berbagai faktor psikososial ikut berpengaruh dalam hal

tersebut, sehingga diperlukan suatu pendekatan melalui faktor-faktor psikososial

tersebut untuk memotivasi orang agar mau melakukan perilaku preventif terkait

dengan suatu penyakit tertentu.

Penelitian yang dilakukan Tang dan Wong difokuskan pada health belief

model dan TPB untuk mempermudah pemahaman terhadap praktek perilaku-perilaku

preventif pada orang-orang tua. Berdasarkan pada the health belief model (Janz &

Becker, 1984; Rosenstock dkk., 1988), praktek perilaku preventif merupakan fungsi

dari tingkat persepsi individu mengenai kerentanannya terhadap gangguan kesehatan,

sedikitnya hambatan yang dihadapi, dan penilaian bahwa hasil yang dicapai akan

mengikuti perilaku preventifnya. TPB (Ajzen, 1991) mengkhususkan bahwa

perilaku preventif merupakan hasil langsung dari intensi untuk berperilaku, sebagai

hasil dari sikap positif bahwa perilaku preventif akan memberikan hasil yang

diharapkan, motivasi untuk mematuhi tekanan normatif agar menampilkan perilaku

tersebut dan kepercayaan bahwa ia memiliki kapasitas untuk melakukannya. Dari

berbagai penelitian sebelumnya yang telah banyak dilakukan, diperoleh bahwa

komponen-komponen utama dalam teori-teori tersebut merupakan prediktor perilaku

preventif yang signifikan.

Dalam penelitian yang mereka lakukan, Tang dan Wong melibatkan 354

orang subjek (167 pria dan 187 wanita) China dewasa berusia 60 tahun atau lebih,

data penelitian diperoleh melalui wawancara telepon. Variabel terikat yang diukur

adalah praktek perilaku preventif yang diklasifikasikan secara tidak konsisten dan

secara konsisten mempraktekkannya. Variabel bebasnya meliputi awareness atau

kesadaran akan adanya bahaya SARS, persepsi mengenai kerentanan untuk

mendapat serangan SARS, persepsi mengenai kemampuan diri dalam menjalankan

perilaku preventif yang disarankan (self-eficacy), persepsi tentang efektifitas perilaku

Page 18: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

18

preventif tersebut, dan persepsi tentang kemampuan otoritas kesehatan lokal. Kelima

variabel bebas tersebut diukur dengan menggunakan skala (4-point items scale).

Hasil penelitan Tang dan Wong menunjukkan bahwa mereka yang persepsi

mengenai kerentanan untuk mendapat serangan SARS-nya lebih tinggi, mereka yang

persepsi mengenai kemampuan dirinya dalam menjalankan perilaku preventif yang

disarankan lebih tinggi, dan mereka yang memiliki kepercayaan lebih tinggi akan

kemampuan otoritas kesehatan lokal dalam mengatasi SARS, lebih konsisten dalam

mempraktekkan perilaku preventif yang disarankan. Akan tetapi, awareness atau

kesadaran akan adanya bahaya SARS dan persepsi tentang efektifitas perilaku

preventif dalam mencegah bahaya SARS bukan merupakan prediktor yang signifikan

ketika faktor-faktor motivasi yang lain juga disertakan.

Kesimpulannya, hasil tersebut mendukung konsep kerangka kerja bahwa

persepsi mengenai gangguan kesehatan secara khusus dan kepercayaan mengenai

kemampuan merupakan dua dimensi utama faktor-faktor yang memotivasi praktek

perilaku preventif terhadap SARS pada para orang tua. Akan tetapi, persepsi

mengenai gangguan kesehatan hanya berhubungan dengan kerentanan, tidak

didukung oleh awareness; dan kepercayaan mengenai kemampuan hanya menunjuk

pada self-efficacy dan kepercayaan pada kemampuan otoritas kesehatan lokal, tetapi

tidak pada efektifitas perilaku itu sendiri.

Kouthouris dan Spontis (2005) dari Department of Physical Education and

Sports Sciences, University of Thessaly, Mesir, mengaplikasikan TPB untuk

memprediksi keikutsertaan dalam kegiatan rekreasi alam bebas (outdoor).

Penelitiannya dilatar belakangi oleh pendapat Priest & Gass (1997) yang menyatakan

bahwa popularitas rekreasi alam bebas telah berkembang dengan pesat pada tahun-

tahun belakangan ini, sejalan dengan semakin banyaknya orang yang menyadari

manfaat ganda dari keikutsertaan pada rekreasi alam bebas. Secara luas dapat

diterima bahwa program-program rekreasi alam bebas berkontribusi pada kesehatan

fisik dan psikis dengan menawarkan kesempatan untuk bergembira, memperoleh

tantangan-tantangan baru, resiko-resiko, pertumbuhan dan perkembangan serta

kesempatan untuk berinteraksi sosial.

Berbagai variasi pendekatan teoritis telah diaplikasikan dalam penelitian

mengenai keikutsertaan dalam rekreasi alam bebas dengan tujuan untuk

Page 19: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

19

mengidentifikasi faktor-faktor yang memfasilitasi atau yang membatasi keikutsertaan

dalam kegiatan-kegiatan rekreasional alam bebas. Pada penelitian yang

dilakukannya ini, Kouthouris dan Spontis menggunakan TPB yang diperluas dengan

menambahkan variabel identitas peran (role identity) dengan tujuan untuk menguji

bagaimana tingkat intensi untuk ikut serta dan keikutsertaan secara aktual dapat

diprediksi melalui elemen-elemen dari teori tersebut. Keikutsertaan dalam program-

program rekreasi alam bebas memiliki karekteristik yang unik karena seseorang

harus menginvestasikan waktu, usaha dan energi. Terdapat banyak faktor internal

(misalnya resiko mengalami kecelakaan, persepsi mengenai kebugaran dan tingkat

ketrampilan) dan faktor eksternal (misalnya kondisi cuaca, transportasi dan

kesempatan untuk melakukannya) yang membatasi pilihan individu, sehingga

menjadikan PBC sebagai suatu variabel yang penting.

Data penelitian dikumpulkan dalam dua tahap. Tahap pertama mereka

mengumpulkan data mengenai intensi keikutsertaan dalam program. Dengan tujuan

merekrut peserta (sekaligus subjek penelitian), serangkaian presentasi dilakukan oleh

peneliti di tempat-tempat yang menjadi target, misalnya di kampus-kampus, di klub-

klub kebugaran, dan di suatu asosiasi budaya lokal. Tigaratus dua puluh sembilan

orang (N=329) menghadiri presentasi. Mereka diberi informasi mengenai pogram,

tempat, aktivitasnya (bersampan di danau, penjelajahan, dan memanah), serta tanggal

pelaksanaannya dan mereka diminta untuk ikut serta. Mereka juga diminta

melengkapi suatu kuesioner yang berisi elemen-elemen TPB dan mereka diminta

juga untuk melaporkan niatnya mengikuti program tersebut. Tahap kedua,

mengumpulkan data keikutsertaan secara aktual. Hanya seratus delapan puluh tujuh

orang (56%) dari mereka yang dilaporkan berniat ikut serta yang hadir di tempat

program dilaksanakan. Merekalah yang dijadikan sampel untuk tahap kedua.

Pengukuran variabel-variabel penelitian menggunakan teknik sebagaimana yang

dilakukan oleh Ajzen.

Untuk melihat hubungan antar variabel, data dianalisis dengan menggunakan

teknik korelasi product-moment dari Pearson dan untuk memprediksi intensi dan

perilaku digunakan teknik analisis regresi ganda berjenjang (stepwise multiple

regression). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara

intensi berperilaku dengan sikap, norma subjektif, PBC, identitas peran, dan perilaku

Page 20: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

20

aktual dalam mengikuti program. Keikutsertaan secara aktual juga berkorelasi secara

signifikan dengan sikap, PBC, dan identitas peran. Kemudian, korelasi yang

signifikan juga ditemukan antara PBC dan sikap, PBC dan identitas peran, sikap dan

identitas peran, serta antara norma subjektif dan identitas peran.

Hasil mengenai prediksi terhadap intensi menunjukkan bahwa PBC, identitas

peran dan sikap merupakan prediktor yang signifikan intensi berperilaku (ikut serta

dalam program). Secara bertahap, dalam tahap 1 PBC berperan dalam prediksi

dengan R = 0,53; tahap 2 identitas peran meningkatkan daya prediksi menjadi R =

0,58 dan selanjutnya tahap 3 sikap lebih meningkatkan lagi daya prediksi menjadi R

= 0,59. Analisis regresi bertingkat (hierarchical regression) juga dilakukan dan

hasilnya cocok dengan analisis berjenjang. Teknik analisis yang sama juga

digunakan dalam memprediksi perilaku aktual. Hasilnya, dalam tahap 1 intensi

berkontribusi dalam prediksi (R = 0,39). PBC, sikap, dan identitas peran tidak

berkontribusi dalam prediksi di luar (tanpa) intensi. Melalui analisis regresi

bertingkat juga menunjukkan hasil yang sama.

Hasil tersebut menunjukkan dukungan terhadap aplikasi TPB dalam konteks

rekreasi alam bebas. Pertama-tama, perilaku aktual secara signifikan dapat

diprediksi dari intensinya. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa prediksi tersebut tidak

terlalu kuat. Hampir separo dari subjek penelitian yang menyatakan intensinya

ternyata tidak ikut serta dalam program. Temuan tersebut menunjukkan sulitnya

memprediksi keikutsertaan dalam rekreasi alam bebas. Mereka menyatakan

intensinya untuk ikut serta tetapi dengan beberapa alasan ternyata tidak ikut. Hal

tersebut, secara teoritis dan secara praktis perlu ditemukan alasannya. Untuk

penelitian selanjutnya, perlu diarahkan pada hal tersebut. Sebagaimana telah

dikemukakan sebelumnya, untuk ikut serta dalam rekreasi alam bebas diperlukan

investasi individu dalam hal waktu, usaha dan sumber daya. Oleh karenanya, idividu

harus mengatasi dulu berbagai hal yang bisa menghambatnya untuk ikut serta.

Alasan itu juga menunjukkan pentingnya PBC dalam memprediksi intensi untuk ikut

serta dalam program. Hal tersebut tampak dari peran PBC yang paling berkontribusi

dalam prediksi. Hasil tersebut selaras dengan hasil kebanyakan penelitian

sebelumnya dalam bidang yang sama yang melaporkan bahwa PBC adalah penentu

Page 21: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

21

(determinan) paling penting dari intensi untuk berpartisipasi dalam aktivitas latihan

dan olah raga.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian Kouthouris dan Spontis, bahwa

hasilnya memberi tambahan nilai dari TPB. Hasilnya juga menunjukkan sulitnya

memprediksi keikutsertaan secara aktual dalam rekreasi alam bebas yang didasarkan

pada intensinya. Penelitian selanjutnya seharusnya difokuskan pada identifikasi

faktor-faktor penyela (intervene) antara intensi dan keikutsertaan secara aktual.

BAHASAN

Adanya berbagai penelitian yang menggunakan Theory of Planned Behavior

sebagai dasar teori, menunjukkan betapa fleksibelnya teori tersebut untuk digunakan

dalam berbagai bidang kajian. Artinya, meskipun awalnya teori tersebut dicetuskan

untuk memprediksi perilaku-perilaku sosial, dalam kajian psikologi sosial, ternyata

bisa diaplikasikan secara luas. Hal tersebut cukup dapat dimengerti, karena memang

hampir tidak ada perilaku yang tidak berimplikasi sosial.

Dalam penelitian-penelitian tersebut, pada umumnya para peneliti hanya

menggunakan TPB sebagai landasan teori, sebagai kerangka kerja dan atau

memverifikasi teori tersebut dalam setting yang berbeda dan di tempat yang berbeda

pula, untuk kemudian menyatakan bahwa teori tersebut benar adanya. Misalnya

seperti yang dilakukan oleh Kolvereid (1996), Chiou (1998), Okun & Sloane (2002),

Martin & Kulinna (2004), Marrone (2005), Godin dkk. (1992), Higgins & Marcum

(2005), Billary & Philipov (2005), Tang & Wong (2005) dan Kouthouris & Spontis

(2005). Penelitian-penelitian tersebut juga menggunakan TPB untuk memprediksi

intensi perilaku tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh penggagasnya.

Meskipun demikian, para peneliti tersebut tetap melihat adanya beberapa

kelemahan dari TPB sehingga perlu ditindaklanjuti dengan penelitian berikutnya.

Pada umumnya mereka menyoroti tentang kesenjangan antara intensi berperilaku

dengan perilaku yang aktual. Misalnya, Kolvereid (1996) dan Godin dkk. (1992)

yang mempertanyakan hubungan antara intensi dengan perilaku aktual. Godin dkk.

secara khusus mempertanyakan peran PBC yang berkontribusi dalam memprediksi

intensi tetapi tidak bisa memprediksi perilakunya itu sendiri. Okun & Sloane (2002)

menyatakan perlunya suatu strategi memperkuat intensi agar terwujud dalam

Page 22: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

22

perilaku nyata. Sejalan dengan pemikiran Okun & Sloane, Kouthouris & Spontis

(2005) menyatakan perlunya menemukan alasan teoritis dan praktis mengapa intensi

tidak terwujud dalam perilaku aktual. Dan karenanya ia melihat bahwa PBC yang

memegang peranan penting dalam hal tersebut. Pendapat ini bertentangan dengan

(atau justru menjawab) pertanyaan Godin dkk. Kouthouris dan Spontis kemudian

menyarankan agar penelitian-penelitian berikutnya lebih difokuskan pada faktor-

faktor penyela antara intensi dengan perilaku aktualnya.

Beberapa peneliti juga melihat pentingnya mengaitkan TPB dengan konteks

budaya, karena TPB banyak berbicara mengenai beliefs dan norma. Misalnya Chiou

(1998) dalam pembahasan penelitiannya menyampaikan pentingnya memperhatikan

masalah budaya tersebut, terkait dengan budaya individualistik dan kolektivistik.

Budaya sering berujud dalam bentuk tekanan sosial dan tekanan sosial yang berbeda

akan berpengaruh pada berbedanya norma subjektif dan PBC.

Berbeda dengan para peneliti di atas yang hanya menggunakan TPB sebagai

dasar teori dan atau memverifikasinya, Wiethoff (2004) menggunakan TPB sebagai

acuan dalam merancang suatu model pelatihan. Ia mencoba mengaplikasikan TPB

untuk mempengaruhi motivasi belajar dalam suatu program pelatihan. Ia

menterjemahkan TPB ke dalam aspek-aspek yang terkait dengan suatu pelatihan,

keberhasilan dan pengukurannya, meskipun yang dilakukannya masih terbatas pada

motivasi untuk belajarnya saja. Misalnya ia menterjemahkan komponen norma

subjektif (mengenai kehadirannya dalam pelatihan) menjadi persepsi mengenai

dukungan menajemen dan teman sekerja terhadapnya untuk mengikuti pelatihan dan

bagaimana motivasinya untuk mematuhi mereka. Dengan menggunakan asumsi-

asumsi dalam TPB, untuk meningkatkan motivasi belajar para peserta pelatihan,

dapat dilakukan melalui peningkatan komponen-komponen tersebut. Meskipun

demikian, dari rancangan yang diajukannya, Wienthoff juga masih mempertanyakan

bagaimana hasil pelatihan nanti akan ditransfer ke tempat kerja.

Masih terkait dengan pelatihan, Lanigan dan Bentley (2006) mengusulkan

TPB sebagai kerangka kerja untuk mengevaluasi pelatihan. Ia mengaplikasikan cara-

cara pengukuran komponen-komponen TPB untuk mengukur kondisi peserta

sebelum dan sesudah pelatihan sehingga bisa menggambarkan efektifitas suatu

pelatihan. Ia juga menyertakan atasan (atau manajemen) sebagaimana Wiethoff

Page 23: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

23

sebagai komponen pengukuran. Kerangka kerja yang diusulkan oleh Lanigan dan

Bentley ini malah sudah lebih jauh dari yang dilakukan oleh kebanyakan peneliti

lain, termasuk Wiethoff, karena ia sudah menyertakan komponen perilaku aktual,

tidak terbatas pada intensi. Sebagaimana empat tingkat evaluasi dari Kirkpatrick

yang salah satunya adalah terkait dengan bagaimana atasan (manajer) bersikap

setelah seseorang mengikuti pelatihan, Lanigan & Bentley menanyakan hal tersebut

yang dimasukkannya sebagai komponen norma subjektif. Dalam evaluasi tersebut

ditanyakan bagaimana persepsi mengenai dukungan manajer terhadap perilakunya

(perilaku sebagaimana dilatihkan dalam program pelatihan). Apa yang dilakukan

oleh Lanigan dan Bentley jelas telah mengembangkan, tidak sekedar

mengaplikasikan atau sekedar memverifikasi, Theory of Planned Behavior.

SIMPULAN DAN SARAN

Dari tinjauan dan pembahasan terhadap penelitian-penelitian mengenai

Theory of Planned Behavior di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

1. Bahwa teori tersebut sangat memungkinkan untuk diaplikasikan dan atau

dijadikan landasan teoritis untuk melakukan penelitian dalam berbagai bidang.

2. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, ketika menggunakan teori tersebut

untuk memprediksi, kebanyakan berhenti pada intensi berperilaku, sehingga

masih menyisakan pertanyaan mengenai bagaimana hubungan intensi dengan

perilaku aktual.

3. Kebanyakan penelitian hanya menggunakan teori tersebut sebagai dasar teori,

tetapi belum banyak yang mencoba mengembangkannya, atau bahkan mencoba

membantahnya.

4. Bahwa teori tersebut masih relevan dan cukup menantang untuk digunakan

sebagai dasar teori dalam melakukan penelitian dengan tinjauan kultural, dan

untuk lebih dikembangkan, misalnya untuk dijadikan model rancangan pelatihan.

Dari tinjauan dan pembahasan terhadap penelitian-penelitian mengenai

Theory of Planned Behavior di atas, dapat disampaikan saran sebagai berikut:

Page 24: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

24

Bahwa untuk penelitian berikutnya yang didasarkan pada teori tersebut hendaknya

lebih memberi tekanan atau berfokus pada prediksi perilaku aktual atau pada faktor-

faktor yang mengantarai intensi berperilaku dengan perilaku aktualnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ajzen, Icek (1988). Attitudes, Personality, and Behavior. Milton-Keynes, England:

Open University Press & Chicago, IL: Dorsey Press.

Ajzen, Icek (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and

Human Decision Processes, Vol. 50, 179 – 211

Ajzen, Icek dan Driver, B.L. (1991) Prediction of Leisure Participation from

Behavioral, Normative and Control Beliefs: An Application of Theory of

Planned Behavior. Leisure Sciences, Vol. 13, 185 – 204

Ajzen, Icek dan Fishbein, Martin (1969) The Prediction of Behavioral Intentions in a

Choice Situation. Journal of Experimental Social Psychology, Vol. 5, 400 –

416

Ajzen, Icek dan Fishbein, Martin (1980) Understanding Attitudes and Predicting

Social Behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.

Ajzen, Icek dan Fishbein, Martin (2005) Theory-based Behavior Change

Interventions: Comments on Hobbis and Sutton. Journal of Health

Psychology Vol. 10, No. 1, 27–31

Ajzen, Icek dan Madden, Thomas J. (1986). Prediction of Goal-Directed Behavior:

Attitudes, Intentions, and Perceived Behavioral Control. Journal of

Experimental Social Psychology, Vol. 22, 453 - 474

Berrigan, D., Dodd, K., Troiano, R. P., Krebs-Smith, S. M. dan Barbash, R. B.

(2003). Patterns of Health Behaviors in US Adults. Preventive Medicine, Vol.

36, 615-623.

Billari, Fransesco C. dan Philipov, Dimiter (2005) Attitudes, Subjective Norms and

Perceived Behavioral Control as Predictors of Fertility Intentions, Prepared

for PAA 2005 (unpublished)

Chiou, Jyh-Shen (1998) The Effects of Attitude, Subjective Norm, and Perceived

Behavioral Control on Consumers’ Purchase Intentions: The Moderating

Effects of Product Knowledge and Attention to Social Comparison

Information. Proc Natl. Sci. Counc. ROC (C), Vol. 9 No. 2, 298 – 308

Digh, P. (1998). The Next Challenge: Holding People Accountable. HRMagazine,

Vol. 43 No. 11, 63–69.

Page 25: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

25

Flynn, G. (1998). Experts Explain The Evolution of Diversity Programs. Workforce,

Vol. 77 No. 12, 32–33.

Godin, Gaston; Valois, Pierre dan Lepage, Linda (2004) The Pattern of Influence of

Perceived Behavioral Control upon Exercising Behavior: An Application of

Ajzen's Theory of Planned Behavior. Journal of Behavioral Medicine, Vol.

16, N0. 1, 181 – 102

Higgins, George E. dan Marcum, Catherin Davis (2005) Can the Theory of Planned

Behavior Mediate the Effects of Low Self-Control on Alcohol Use? College

Student Journal, Vol. 39, Issue: 1.

Hui, S. S. dan Morrow, J. R. (2001). Level of Participation and Knowledge of

Physical Activity in Hong Kong Chinese Adults and Their Association With

Age. Journal of Aging and Physical Activity, Vol. 9, 372-385.

Janz, N. K. dan Becker,M. H. (1984). The Health Belief Model: A Decade Later.

Health Education Quarterly, Vol. 11, 1-47.

Johansson, S. E. dan Sundquist, J. (1999). Change in Lifestyle Factors and Other

Influence on Health Status and All-Cause Mortality. International Journal of

Epidemiology, Vol. 28, 1073-1080.

Kluttz, L. (2002). Changing Face of Diversity. Alexandria, VA: Society for Human

Resource Management.

Kolvereid, Lars (1996) Prediction of Employment Status Choice Intentions.

Entrepreneurship: Theory and Practice, Volume: 21, Issue: 1.

Kouthouris, CH. and Spontis A. ( 2005) Outdoor Recreation Participation: An

Application of the Theory of Planned Behavior. The Sport Journal, Vol. 8,

Number 3, United States Sport Academy

Krueger, N. F., Jr., dan Carsrud, A. L. (1993). Entrepreneurial Intentions: Applying

the Theory of Planned Behavior. Entrepreneurship & Regional Development,

Vol. 5 No. 4, 315-330.

Lanigan, Mary L. dan Bentley, Jennifer (2006) Collecting Sophisticated Evaluations

Even When Corporate Culture Is Resistant. Performance Improvement, Vol.

45 N0. 1, 32 - 51

Marrone, Stephen Richard (2005) Attitudes, Subjective Norms, and Perceived

Behavioral Control: Critical Care Nurses' Intentions to Provide Culturally

Congruent Care to Arab Muslims. Research Report. Columbia University

Teachers College (unpublished)

Page 26: Theory of Planned Behavior Masihkah Relevan1

26

Martin, Jeffrey J. dan Kulinna, Pamela Hodges (2004) Self-Efficacy Theory and

Theory of Planned Behavior: Teaching Physically Active Physical Education

Classes. Research Quarterly for Exercise and Sport, Vol. 75 No. 3, 288 – 297

Miller, S. (1999). Political Correctness in The Office. Office Systems, Vol. 16 No. 4,

34–38.

Okun, Morris A. dan Sloane, Erin S. (2002) Application of Planned Behavior Theory

to Predicting Volunteer Enrollment by College Students in A Campus-Based

Program. Social Behavior and Personality. Tempe: Arizona State University

Orlando, C. R. dan Johnson, N. B. (2001). Understanding The Impact of Human

Resource Diversity Practices on Firm Performance. Journal of Managerial

Issues, Vol. 13, 177–195.

Priest, S. dan Gass, M. (1997). Effective Leadership in Adventure Programming.

Champaign, IL: Human Kinetics.

Rosenstock, I. M., Stretcher, V. J. dan Becker,M. H. (1988). Social Learning Theory

and The Health Belief Model. Health Education Quarterly, Vol. 15, 175-183.

Tang, Catherine So-Kum dan Wong, Chi-Yan (2005) Psychosocial Factors

Influencing the Practice of Preventive Behaviors Against the Severe Acute

Respiratory Syndrome Among Older Chinese in Hong Kong. Journal of

Aging and Health, Vol. 17 No. 4, 490 – 506

Wechsler, H., G., Dowdall, G., Maenner, G., Gledhill-Hoyt, J. dan Lee, H. (1998).

Changes in Binge Drinking and Related Problems Among American College

Students Between 1993 and 1997. Journal of American College Health, Vol.

47, 57-69.

Wiethoff, Carolyn (2004) Motivation to Learn and Diversity Training: Application of

the Theory of Planned Behavior. Human Resource Development Quarterly,

Vol. 15 No. 3