The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an...

132
Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Potensi Pinang (Areca catechu) sebagai Antelmintik untuk Ternak The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an anthelmintic for Livestock Aulia Evi Susanti *) , Agung Prabowo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan Jl. Kol.H. Burlian No.83 Km.6 Palembang *) Penulis untuk korespondensi: 081315265391 email: [email protected] ABSTRACT Internal parasit infestation is one of the things that hamper the productivity of livestock. The use of plants and plant products as medicine has long been practiced. Betel nut (Areca catechu) has an anthelmintic effect, in particular from the class Nematode. The main content of betel nut are carbohydrates, fats, fiber, polyphenols including flavonoids and tannins, alkaloids and minerals. Dominant alkaloid present in betel nut and are likely to have the effect of anthelmintic is arecoline and tannin. Some studies use betel nut to prove the content of anthelmintic has been done on Haemonchus contortus and Ascaridia galli. The results showed that betel nut contains an anthelmintic and can be used as an anthelmintic for livestock. Keywords: Anthelmintic, Betel nut, Livestock ABSTRAK Infestasi parasit internal merupakan salah satu hal yang menghambat produktivitas ternak. Penggunaan tanaman dan produk tanaman sebagai obat telah lama dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Pinang, yang dalam bahasa latin dikenal dengan nama Areca catechu L ini memiliki efek antelmintik, khususnya cacing dari golongan Nematoda. Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral. Jenis alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah arekolin dan senyawa tanin. Beberapa penelitian penggunaan biji pinang untuk membuktikan adanya kandungan antelmintik telah dilakukan pada cacing Haemonchus contortus dan Ascaridia galli. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang mengandung antelmintik dan dapat digunakan sebagai obat cacing untuk ternak. Kata kunci: Antemintik, Biji pinang, Ternak PENDAHULUAN Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak adalah adanya berbagai penyakit yang merupakan faktor yang langsung berpengaruh terhadap kehidupan ternak. Salah satu penyakit yang dapat 404

Transcript of The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an...

Page 1: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Potensi Pinang (Areca catechu) sebagai Antelmintik untuk Ternak

The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an anthelmintic for

Livestock

Aulia Evi Susanti*)

, Agung Prabowo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

Jl. Kol.H. Burlian No.83 Km.6 Palembang *)

Penulis untuk korespondensi: 081315265391 email: [email protected]

ABSTRACT

Internal parasit infestation is one of the things that hamper the productivity

of livestock. The use of plants and plant products as medicine has long been

practiced. Betel nut (Areca catechu) has an anthelmintic effect, in particular from the class Nematode. The main content of betel nut are carbohydrates, fats, fiber, polyphenols including flavonoids and tannins, alkaloids and minerals.

Dominant alkaloid present in betel nut and are likely to have the effect of anthelmintic is arecoline and tannin. Some studies use betel nut to prove the content of anthelmintic has been done on Haemonchus contortus and Ascaridia galli. The results showed that betel nut contains an anthelmintic and can be used

as an anthelmintic for livestock. Keywords: Anthelmintic, Betel nut, Livestock

ABSTRAK

Infestasi parasit internal merupakan salah satu hal yang menghambat

produktivitas ternak. Penggunaan tanaman dan produk tanaman sebagai obat telah

lama dipraktekkan dalam kehidupan masyarakat. Pinang, yang dalam bahasa latin

dikenal dengan nama Areca catechu L ini memiliki efek antelmintik, khususnya

cacing dari golongan Nematoda. Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat,

lemak, serat, polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral. Jenis

alkaloid yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang

kemungkinannya mempunyai efek antelmintik adalah arekolin dan senyawa tanin.

Beberapa penelitian penggunaan biji pinang untuk membuktikan adanya kandungan

antelmintik telah dilakukan pada cacing Haemonchus contortus dan Ascaridia galli.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang mengandung antelmintik dan dapat

digunakan sebagai obat cacing untuk ternak. Kata kunci: Antemintik, Biji pinang, Ternak

PENDAHULUAN

Salah satu hambatan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak

adalah adanya berbagai penyakit yang merupakan faktor yang langsung

berpengaruh terhadap kehidupan ternak. Salah satu penyakit yang dapat

404

Page 2: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 menghambat produktivitas ternak, yaitu penyakit parasit cacing. Menurut Ronohardjo dan Nari (1977), peternakan di Indonesia tidak dapat membebaskan diri dari parasit karena kondisi lingkungan Indonesia yang memang menguntungkan bagi parasit. Iklim tropis yang hangat dan basah memberikan

kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan telur dan ketahanan hidup larva dan telur infektif di alam (Satrija et al. 2003). Walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi

dikatakan sangat besar, sehingga penyakit parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Kerugian-kerugian akibat penyakit cacing, antara lain: penurunan bobot badan, penurunan kualitas daging, penurunan produktivitas sebagai ternak potong dan bahaya penularan pada manusia.

Penyakit cacingan merupakan salah satu pola penyakit hewan endemik.

Penyakit ini walaupun normal, tapi pada aras yang tinggi akan mulai timbul suatu

masalah. Pencegahan dan pengobatan cacingan ternak dapat dilakukan dengan

beberapa aplikasi obat komersial yang beredar di pasaran, Akan tetapi obat-obatan

komersial sulit didapatkan di derah terpencil. Obat-obatan tradisional bisa menjadi

alternatif untuk obat-obat yang mahal. Cara pengobatan tradisional untuk

penanganan berbagai penyakit ternak tersebut telah berkembang luas di masyarakat,

baik pengobatan secara ilmiah dapat diterima ataupun pengobatan di luar

keilmiahan. Praktek-praktek pengobatan tersebut sangat membantu dalam

penanganan sementara petugas kesehatan hewan tidak ada. Saat ini sudah banyak

ditemukan khasiat farmakoseutika dari berbagai tanaman, yang dapat dimanfaatkan

untuk penanganan masalah kesehatan ternak, sehingga produktivitas ternak tetap

terjaga atau diperbaiki. Pinang merupakan salah satu tanaman herba potensial, yaitu

tanaman atau bahan alami yang memiliki kandungan kimia yang bersifat

farmakoseutika atau berkhasiat sebagai obat maupun memberikan efek sinergi

dalam pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan

biji pinang dan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai penggunaan biji pinang sebagai antelmintik ternak.

PINANG (Areca catechu)

Pinang (Areca catechu) merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat

mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus bergaris tengah 15 cm. Buahnya

berkecambah setelah 1,5 bulan dan 4 bulan kemudian mempunyai jambul daun-daun

kecil yang belum terbuka. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun dan

berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Tanaman ini berbunga pada

awal dan akhir musim hujan dan memiliki masa hidup 25-30 tahun. Biji buah

berwarna kecoklatan sampai coklat kemerahan, agak berlekuk-lekuk dengan warna

yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua

dengan lipatan tidak beraturan menembus endosperm yang berwarna agak keputihan

(Depkes RI, 1989). Kandungan utama biji pinang adalah karbohidrat, lemak, serat,

polyphenol termasuk flavonoids dan tanin, alkaloid dan mineral (IARC, 2004). Biji

buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin (C8 H13 NO2), arekolidine,

arekain, guvakolin, guvasine dan isoguvasine (Wang et al., 1996). Jenis alkaloid

yang dominan yang terdapat di dalam biji pinang dan yang kemungkinannya

mempunyai efek antelmintik adalah

405

Page 3: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 arekolin (Suryati dan Suprapto, 1988). Arekolin bersifat racun bagi beberapa jenis cacing (Lutony, 1993;Suharsono, 1994) dan menyebabkan paralisis sementara (Firgorita, 1991). Nonaka (1989) menyebutkan bahwa biji buah pinang mengandung proantosianidin, yaitu suatu tannin terkondensasi yang termasuk dalam golongan flavonoid. Senyawa tanin diduga memiliki kemampuan daya antelmintik yang mampu menghambat enzim dan merusak membran (Shahidi dan Naczk, 1995). Terhambatnya kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Tanin umumnya berasal dari senyawa polifenol yang memiliki kemampuan untuk mengendapkan protein dengan membentuk koopolimer yang tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Tanin juga memiliki aktivitas ovasidal, yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein

sehingga pembelahan sel didalam telur tiadak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk (Tiwow et al., 2013). Pada pengobatan hewan, ekstrak biji pinang digunakan untuk pengobatan cacing pada anjing dan ternak, dan untuk mengobati masalah pencernaan pada kuda (Hannan et al., 2012).

PARASIT INTERNAL PADA TERNAK

Menurut morfologinya cacing parasitik pada dibagi menjadi tiga kelas,

yaitu: trematoda, cestoda dan nematoda. Nematodosis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing nematoda atau cacing gilig. Di dalam saluran pencernaan (gastro intestinalis), cacing ini menghisap sari makanan yang dibutuhkan. Nematoda dapat hidup bebas dalam air dan tanah tetapi sebagian

besar spesies hidup berparasit pada tumbuh-tumbuhan dan hewan (Noble dan

Noble, 1989). Cara nematoda menyerap makanan untuk bertahan hidup dalam hospesnya antara lain dengan menggunakan cavum bucalis dengan melisiskan

jaringan atau menusuk jaringan tersebut, sedang nematoda yang hidup di dalam cairan tubuh dan jaringan akan menusuk jaringan untuk mengambil darah. Darah tersebut diambil oksigennya dengan cara difusi di dalam tubuh (Lee, 1965).

Cacing Haemonchus contortus. Haemonchosis merupakan penyakit cacing nematoda saluran pencernaan yang disebabkan oleh Haemonchus sp pada domba dan kambing yang menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar.

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan meliputi kerugian penurunan produksi daging, susu dan wol baik secara kuantitatif maupun kualitatif serta kematian ternak. Patogenitas haemonchosis tergantung jumlah larva yang menginfeksi, hal tersebut tampak pada domba muda yang terinfeksi sebanyak 1500 sampai

2500 larva infektif akan terjadi kematian, sedangkan pada domba dewasa jika

terinfeksi 3000 sampai 6000 larva cacing H.contortus.Telah dilaporkan bahwa infeksi hiperakut terjadi kematian pada domba dan ditemukan sebanyak 20.000

sampai 50.000 cacing di dalam abomasum (Colin, 1999).

Cacing Ascaridia galli. Cacing Ascaridia galli merupakan nematoda

parasitik yang sering ditemukan pada unggas termasuk ayam petelur (Zalizar et.

al. 2006). Parasit tersebut menyebabkan kerugian kepada peternak berupa

406

Page 4: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 penurunan berat badan dan hambatan pertumbuhan (Ikeme, 1971, Zalizar & Rahayu, 2001; Zalizar et al., 2006), penurunan produksi telur (Tiuria, 1991) serta penurunan kualitas telur (Zalizar et al., 2007). Hal tersebut karena cacing selain menyerap zat-zat makanan juga menyebabkan kerusakan sel-sel epitel

villi serta berkurangnya luas permukaan villi usus yang berperanan dalam proses pencernaan dan penyerapan makanan (Zalizar, et al. 2006). Penanggulangan terhadap infeksi parasit cacing yang sering dilakukan pada saat ini adalah

dengan memberi obat cacing (antelmintik). Pemberian antelmintik yang berulang menimbulkan galur cacing yang resisten (Waller, 1994).

BEBERAPA PENELITIAN PENGGUNAAN BIJI PINANG SEBAGAI ANTELMINTIK

Ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus.

Penelitian yang dilakukan oleh Beriajaya et al. 1998, bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak biji pinang terhadap cacing Haemonchus contortus secara in vitro. Penelitian ini dilakukan terhadap cacing dewasa dan larva cacing. Dalam penelitian ini digunakan biji pinang muda dan tua, yang setelah

dipotong kecil-kecil, kemudian dikeringkan dalam oven suhu 40oC selama 4

hari. Potongan-potongan biji pinang kemudian dibuat serbuk dan dibuat larutan biji pinang dalam 6 konsentrasi, yaitu 0,0; 0,1; 0,2; 0,3; 0,4; 0,5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji pinang muda dan tua mempunyai pengaruh yang sama baik terhadap cacing H. Contortus maupun larvanya. Pada cacing dewasa terlihat bahwa pada konsentrasi 0,1 g/ml cukup memberi pengaruh sehingga sebagian cacing kedapatan mati. Pada larva cacing terlihat bahwa makin tinggi konsentrasi biji pinang maka perkembangan larva makin dihambat dimana tidak terdapat larva yang hidup pada konsentrasi 0,5 g/ml biji pinang tua. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa biji pinang yang mengandung alkaloid arekolin mungkin berfungsi sebagai antelmintik (Beriajaya et al., 1998).

Ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli. Penelitian penggunaan ekstrak etanol biji pinang terhadap cacing Ascaridia galli telah dilakukan oleh Tiwow et al., 2013 secara in vitro. Pengujian menggunakan ekstrak etanol biji pinang dengan konsentrasi 10%, 20%, dan 30%. Biji pinang

sebanyak 2 kg (berat basah) dikeringkan dalam oven suhu 50oC sampai kering,

Tahap selanjutnya simplisia kering digrinder sehingga menjadi simplisia serbuk dan diayak, kemudian disimpan dalam wadah bersih dan tertutup rapat. Selanjutnya diekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol 95%. Kemudian A.galli dimasukkan kedalam ke tiga konsentrasi ekstrak etanol biji pinang tersebut. Persentasi kematian dan paralisis cacing dinilai setiap jam. Hasil pengujian menunjukkan bahwa secara in vitro ekstrak etanol biji pinang konsentrasi 20% mampu membuat cacing Ascaridia galli menjadi lisis/mati. Ekstrak biji etanol pinang pada konsentrasi 30% lebih efektif daya antelmintiknya terhadap cacing cacing Ascaridia galli.

407

Page 5: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

KESIMPULAN

Biji buah pinang mengandung alkaloid, seperti arekolin dan tanin yang kemungkinannya mempunyai efek antelmintik. Arekolin bersifat racun bagi

beberapa jenis cacing dan menyebabkan paralisis. Senyawa tanin memiliki

kemampuan menghambat enzim dan merusak membran. Membran cacing yang rusak karena tanin menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Penelitian

efek antelmintik biji pinang telah dilakukan pada cacing H. Contortus dan

Ascaridia galli. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak biji etanol pinang

memiliki daya antelmintik .

DAFTAR PUSTAKA

Beriajaya, T.B. Murdiati, Suhardono dan C.F. Pantouw. 1998. Pengaruh ekstrak

biji pinang (Areca cathecu) terhadap cacing Haemonchus contortus secara

in vitro. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18-19

Februari 1998. Bogor: Balitvet. pp: 154-160 Colin, J. 1999. Parasites and Parasitic Disease of Domestic Animals. University

of Pensylvania. Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia Jilid V. p. 55-58. Firgorita, I. 1991. Arecoline hydrobromide pada biji pinang (Areca catechu)

dosisi efektif terhadap Raillietina spp dan dosis herbal terhadap ayam

buras [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor Hannan, A., Karan, S and Chatterjee T.K. 2012. Anti-inflammatory and

analgesic activity of methanolic axtract of Areca seed collected from

Areca cathecu plant grown in Assm. International journal of

pharmeceutical and chemical sciences 1(2): 2277-5005 Harborne. 1987. Metode fitokomia, penuntun cara modern menganalisis

tumbuhan. Terjemahan : K. Padmawinata, I. Sudiro. Bandung : Institut

Teknologi Bandung. IARC. 2004. WHO-biennial report. International Agency for Research on

Cancer, Part I, IARC Group and Cluster reports. Lyon, France, pp: 1-192 Ikeme MM. 1971. Weight changes in chickens placed on different levels of

nutrition and variying degrees of repeated dosage with Ascaridia galli eggs.

Parasitology 63: 251-260. Lee, D.L.1965. The physiologi of nematoda. W.H. Freeman and Company. San

Fransisco. Lutony, T.L. 1993. Pinang sirih komoditi ekspor dan serbaguna. Jakarta:

Kanisius.

408

Page 6: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Noble, E.R and Noble, G. A.,1989. Parasiologi Biologi Parasit Hewan. Edisi ke

5. terjemahan dari Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Nonaka, G. 1989. Isolation and structure elucidation of tannins, Pure & Appl.

Chem, 61 (3): 357-360. Ronohardjo P, Nari J. 1977. Beberapa Masalah Penyakit Unggas di Indonesia.

Didalam: Ilmu dan Industri Perunggasan. Seminar Pertama, 30-31 Mei 1977. Bogor.

Satrija F, Ridwan Y, Retnani EB, Tiuria R. 2003. Penggunaan antelmintika untuk

pengendalian kecacingan pada ternak, di dalam: strategi pemanfaatan

anthelmintika untuk pengendalian kecacingan pada ternak. Seminar Sehari,

11 Feb 2003.Bogor : FKH IPB dan PT Capsulgell Indonesia.p 1-7. Shahidi, F and M. Naczk. 1995. Food phenolics. Technomic Inc, Basel. Suharsono, S.K.H. 1994. Pengobatan tradisional penyakit cacing ayam buras.

Poultry Indonesia. 173: 14. Suryati, E dan E.S.M Suprapto. 1988. Isolasi dan penemuan sifat senyawa aktif

piscisida dari biji pinang (Areca catechu). Media Penelitian Sukamandi

6:50 Tiwow, D., Widdhi, B dan Novel, S.K. 2013. Uji efek antelmintik ekstrak etanol

biji pinang (Areca catechu) terhadap cacing Ascaris lumbricoides dan

Ascaridia galli secara in vitro. Pharmacon 2 (02): 76-80 Waller, P.J. 1994. The development of anthelmintic resistance in ruminant

livestock. Acta Tropica 56:233-243 Wang, C.K. and Lee, W.H. 1996. Separation, characteristics, and biological

activities on phenolics in areca fruit. J. Agric. Food Chem 44(8):2014 -

2019. Zalizar L, Rahayu ID. 2001. Pengaruh penggunaan larutan bawang putih

terhadap penampilan produksi ayam lurik penderita parasit cacing. Jurnal

Agritek Vol. 9 No. 2. Zalizar L, Satrija F, Tiuria R, Astuti DA. 2006. Dampak infeksi Ascaridia galli

terhadap gambaran histopatologi dan luas permukaan vili usus serta

penurunan bobot hidup starter. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 11(3):

215-222. Zalizar L, Fadjar. S, Risa. T, Dewi AA. 2007. Respon ayam yang mempunyai

pengalaman infeksi ascaridia galli terhadap infeksi ulang dan

implikasinya terhadap produktivitas dan kualitas telur. Animal Production.

Jurnal Produksi Ternak 9(2): 92-98.

409

Page 7: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Keragaan Inpari 13 dengan Berbagai Sistem Tanam Jajar

Legowo di Lahan Sawah Irigasi Dataran Tinggi

di Sumatera Selatan (Studi Kasus Desa Talang Darat Kota Pagaralam)

The Performance Inpari 13 With Various Legowo Row Planting

System Irrigated Land In Plateau In South Sumatra ( Case Study Of

Village Talang Darat Pagaralam District)

Johanes Amirullah dan NP. Sri Ratmini

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera

Selatan Jl. Kol. H. Barlian No. 83 KM 6, Palembang

30153 e-mail: [email protected]

ABSTRACT

VUB Inpari 13 is not so much known to the public due to newly released in late 2013 , this variety has the advantage of early maturity of up to ( 105-124 days ) , with a short life ( very early maturing ) about 103 days , the plants can be harvested already Inpari 13 , but it is also the high productivity of rice plants with an average yield of 6.59 t / ha . Along with the development of production technology of crop management is required a system -specific crop management such as integrated crop management (PTT) is an innovative and dynamic approach in an effort to increase production and income of farmers through

participatory component assembly technology with farmers . Field trials conducted with legowo cropping systems . The purpose of this study to test the VUB Inpari 13 on dry land plateau , while the location of the assessment carried out in the Village Talang Darat Kota Pagaralam North Dempo . The results obtained at the time of harvest production obtained at 2:1 legowo production system 6,0 ton / ha , 3:1 production of 5.5 tons / ha , 4:1 production of 4,8 tons / ha . Keywords : Inpari 13 , dryland , highland

ABSTRAK

VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas

dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki

umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59 t/ha. Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan

tanaman ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui

410

Page 8: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di

lapangan dilakukan dengan sistem tanam legowo. Tujuan dari pengkajian ini

untuk melakukan uji coba VUB Inpari 13 di lahan kering dataran tinggi,

sedangkan lokasi pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo

Utara Kota Pagaralam. Hasil yang didapat pada saat panen produksi yang

didapat pada sistem legowo 2:1 produksi 6 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1

produksi 4.8 ton/ha. Kata Kunci : Inpari 13, lahan kering, dataran tinggi

PENDAHULUAN

Sektor pertanain komoditas padi sampai saat ini masih merupakan

komoditas yang sangat strategis. Untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat

yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat indonesia masih penuhi dari

komoditas padi, karena bahan pangan khususnya beras memberikan sumber energi

dan protein cukup tinggi. Varietas unggul memberikan manfaat teknis dan ekonomis

yang banyak bagi perkembangan suatu usaha pertanian, diantaranya pertumbuhan

tanamanan menjadi seragam, sehingga panen menjadi serempak, rendemen dan

mutu hasil lebih tinggi dan sesuai dengan selera konsumen. Selain itu varietas

unggul mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap gangguan hama dan

penyakit dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan. Sehingga

dapat memperkecil biaya penggunaan input seperti pupuk dan obat-obatan (Suryana

dan Prajog, 1997). VUB Inpari 13 belum begitu banyak diketahui masyarakat luas

dikarenakan baru dilepas pada akhir 2013, keunggulan dari varietas ini memiliki

umur genjah sampai dengan (105-124 hari), dengan umur yang pendek (sangat

genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13 sudah dapat dipanen, selain itu juga

dengan produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar

6,59 t/ha (Sinar Tani, 2011). Seiring dengan perkembangan teknologi produksi pengelolaan tanaman

ini diperlukan suatu sistem pengelolaan tanaman yang spesifik lokasi seperti pengelolaan tanaman terpadu (PTT) yaitu suatu pendekatan inovatif dan dinamis dalam upaya meningkatkan produksi dan pendapatan petani melalui perakitan komponen teknologi secara partisipatif bersama petani. Percobaan di lapangan dilakukan dengan sistem tanam legowo. Sitem tanam legowo muerupakan cara tanam padi sawah dengan pola beberapa barisan tanaman yang kemudian diselingi satu barisan kosong. Tanaman yang seharusnya ditanam pada barisan yang kosong dipindahkan sebagai tanaman sisipan di dalam barisan. Diharapkan dari hasil percobaan ini, petani dapat mengadopsi teknologi yang diterapkan.

Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara bijak. Pada dasarnya pengelolaan tanaman terpadu (PTT) bukanlah suatu paket teknologi, akan tetapi lebih merupakan metode/strategi, bahkan filosofi bagi peningkatan produksi melalui cara mengelola tanaman, tanah, air dan unsur hara serta organisme

pengganggu tanaman secara terpadu dan berkelanjutan. Tujuan dari sistem

ini adalah untuk meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan, dan

411

Page 9: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 efisiensi produksi dengan memperhatikan sumber daya yang ada, kemampuan

dan kemauan petani.

BAHAN DAN METODE

Adapun teknologi yang diterapkan pada pada percobaan ini adalah penggunaan VUB, pengendalian hama dan penyakit serta penggunaan pupuk yang berimbang. Sedangkan bahan yang digunakan Inpari 13, pupuk organik dan anorganik, kegiatan ini dilakukan dengan membuat unit percontohan demplot budidaya padi Inpari 13 seluas 1 ha, sedangkan perlakuan yang diterapkan dengan pendekatan PTT dengan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1, untuk penentuan dosis pupuk dengan menggunakan alat PUTS, dari hasil analisis didapat kebutuhan pupuk adalah sebagai berikut : pupuk kandang 1000 kg, pupuk ZA 100 kg, phonska 100 kg, SP-36 100 kg dan KCl 75 kg. Lokasi

pengkajian dilakukan di Desa Talang Darat Kelurahan Dempo Utara Kota Pagaralam, pada musi tanam April-Juli 2013. Data yang diambil tinggi tanaman dan produksi hasil panen ubinan 2,5 x 2,5 m, kemudian data dianalisis secara deskriftip. Untuk melihat respon petani terhadap penerapan teknologi diambil data primer dengan mengadakan wawancara langsung pada petani dengan menggunakan daftar pertanyaan berstruktur atau kuisioner.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Inpari 13 nama varietas unggul terbaru BB Padi, varietas ini belum

banyak diketahui oleh masyarakat luas karena baru dilepas akhir tahun 2009.

Dengan umur yang pendek (sangat genjah) sekitar 103 hari, tanaman Inpari 13

sudah dapat dipanen. Varietas yang sangat genjah ini didukung juga dengan

produktivitas tanaman padi yang tinggi dengan rata-rata hasil panen sebesar 6,59

t/ha. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Deskripsi Inpari 13 Eskripsi Varietas Inpari 13 Bentuk beras Panjang dan ramping Bentuk tanaman Tegak Tekstur nasi Pulen Kadar amilosa 22,40 % Rata-rata hasil 6,59 t/ha Potensi hasil 8,0 t/ha Umur tanaman 103 hari Tinggi tanaman 101 cm Jumlah anakan produktif 17 batang Ketahanan terhadap hama wereng Tahan hama wereng biotipe 1, 2 dan 3 Tahun dilepas 2009

Sumber : Deskripsi varietas padi, 2010 Pertumbuhan Tinggi Tanaman. Dari hasil pengamatan didapat rerata

tinggi tanaman pada saat dilakukan panen dapat dilihat pada Tabel 1.

412

Page 10: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 2. Rerata Pertumbuhan Tinggi Tanaman

Varietas Tinggi Tanaman

2:1 3:1 4:1

Inpari 13 74,80 71,93 74,33

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa pemberian pupuk dengan dosis

yang tepat dan menerapkan sistem jajar legowo akan memberikan pengaruh

pada pertumbuhan tinggi tanaman, dari hasil pengamatan sebelum dilakukan panen, tinggi tanaman dengan menggunakan sistem jajar legowo 2:1, 3:1 dan 4:1 pertumbuhan tinggi tanaman tidak terlalu meberikan pengaruh yang signifikan,

dimana pertumbuha tinggi tanam tertingi rerata pada sistem 2:1 dan terendah pada sistem 3:1. Merata nya tingi tanaman, diduga pupuk N,P, dan K yang diberikan telah terserap bagai tanaman, dan sudah optimal untuk menyediakan N

dalam meningkatkan tinggi tanaman.

Produktivitas. Berdasarkan hasil pengkajian rata-rata produksi dengan

menggunakan sistem jajar legowo dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 3. Rerata Produktivitas Inpari 13 Sistem Jajar Legowo

Varietas Hasil gkp ton/ha

2:1 3:1 4:1

Inpari 13 6,0 5,5 4,8

Dapat dilihat pada Tabel 2 produksi yang didapat pada sistem legowo 2:1

produksi 6,0 ton/ha, 3:1 produksi 5,5 ton/ha, 4:1 produksi 4,8 ton/ha. Dari hasil panen yang dilakukan produksi tertinggi pada jajar legowo 2:1 hal ini diduga pada sistem 2:1 ini sudah sesuai dan cukup mendapatkan sinar matahari dengan mengatur sistem jarak tanamnya. Menurut sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu komponen PTT pada padi sawah apabila dibandingkan dengan sistem tanam lainnya memiliki keuntungan sebagai berikut terdapat ruang terbuka yang lebih besar diatara dua kelompok barisan tanaman yang akan memperbanyak cahaya matahari masuk ke setiap rumpun tanaman, mempermudah petani dalam pengelolaan usahataninya, meningkatkan jumlah tanam pada kedua bagian pinggir untuk setiap set legowo, sistem tanam berbaris ini juga berpeluang bagi pengembangan sistem produksi padi-ikan, dan meningkatkan produktivitas padi hingga mencapai 10-15%.

Respon Inovasi Teknologi. Dari hasil pengkajian adaptasi VUB Inpari

13 didapat respon petani terhadap kegiatan yang telah dilakukan dengan

percontohan melalui demplot, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.

413

Page 11: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 3. Rerata Penerapan Teknologi

Penerapan

Nilai Interval

1.00-1.67 1.68-2.35 2.36-3.03

Teknologi

(kurang baik) (cukup baik) (baik)

Varietas unggul - 2.90

Pupuk (Urea, SP-36 - 2.30 -

dan KCl)

Pemberantasan - 1.75 -

hama penyakit

Penyiangan - - 2.85

Sistem legowo - 2.50 -

Dapat dilihat pada tabel diatas rata-rata petani dalam penggunaan

varietas unggul (2.90) dan penyiangan (2.85) sudah termasuk dalam kriteria baik, hal ini sudah menunjukan respon yang baik dari petani dalam

memperkenalkan VUB baru, dan sistem penyiangan gulma sudah sesuai dengan

anjuran. Sedangkan pemupukan berimbang sesuai dengan dosisi anjuran (2.30),

pemberantasan hama penyakit (1.75) dan sistem legowo (2.50) termasuk dalam kriteria cukup baik. Dari hasil wawancara dengan petani, rendah nya teknologi

yang diterapkan petani dikarenakan dengan modal yang terbatas. Sedangkan

sistem tanam jajar legowo belum terbiasa bagi petani untuk menerapkannya, anggapan dengan menggunakan sistem legowo selain populasi rumpun tanaman

sedikit, juga sistem kerja padaa saat tanam perlu tenaga kerja orang banyak.

Menurut Sembiring (2001), sistem tanam legowo merupakan salah satu

keuntugan adalah memberikan kemudahan petani dalam pengelolaan usahatani

dalam pemupukan susulan, pemberantasan hama dan penyakit serta lebih

memudahkan dalam mengendalikan tikus serta meningkatkan produktivitas padi

hingga mencapai 10-15%.

KESIMPULAN

Dari hasil pengkajian mengenai uji VUB Inpari 13 dilahan kering dataran

tinggi diperoleh kesimpulan : 1. Rata-rata tinggi tanaman dan produktivitas Inpari 13 yang didapat pada

sistem jajar legowo pertumbuhan tertinggi pada legowo 2:1 dengan tinggi 74,80 cm dan produksi 6 ton gkp t/ha

2. Penerapan respon teknologi yang diterapkan petani VUB Inpari 13, untuk varietas dan penyiangan termasuk dalam kriteriacukup baik, sedangkan pemupukan, pemberantasan hama penyakit dan sistem jajar legowo termasuk kriteria baik.

DAFTAR PUSTAKA Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan

414

Page 12: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pertanian, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Pendampingan SL-PTT Departemen Pertanian. Jakarta.

Sembiring H. 2001. Komoditas Unggulan Pertanian Provinsi Sumatera Utara.

Badan Pengkajian Teknologi Pertanian. Suamtera Utara. 58 p. Sinar Tani. 2011. Edisi 5-11 Januari 2011 N0.3387 Tahun XLI Sudharto, T., J. Triastono, E. Sudjitno, A. Syam dan Z. Zaini. 1995. Laporan

Tahunan Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering (UFDP)

TA.1994/1995. Proyek Penelitian Usahatani Lahan Kering. Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Suryana dan U.H. Prajogo. 1997. Subsidi Benih dan Dampaknya Terhadap

Peningkatan Produksi Pangan. Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian.

Analisis Kebijakan Antisipatif dan Respontif. Pusat Penelitian Sosial

Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Peranian.

415

Page 13: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengaruh Penggunaan Ekstrak Kompos Kulit Udang (EKKU)

Terhadap Pertumbuhan dan Serangan OPT Terung

The Effect of Shrimp Skin Compost Extract to Plant Growth

and Pest of Eggplant

Syahri1*)

, Renny Utami Somantri1

1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan

*)Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks.

+62711410155/+62711411845 email: [email protected]

ABTSRACT

The assessment was carried out at Senabing village, Lahat District from July

until December 2013. In each selected village each of 10 farmers as implementing

activities. Assessment prepared using randomized block design (RBD) with 4

treatments and 5 replication. The treatment was a combination of inorganic

fertilizers and EKKU consisting of: A: Inorganic Fertilizers full dose (= 2 g Urea,

NPK = 20 g), B: ½ dose of inorganic fertilizers (urea = 1 g, NPK = 10 g) + 40 mL

EKKU/L of water, C: 3/4 dose of inorganic fertilizers (urea = 1.5 g, NPK = 15 g) +

EKKU 20 mL EKKU/L of water, and D: 3/4 dose of inorganic fertilizers (Urea =

1.5 g, NPK = 15 g) + 40 mL EKKU/L of water. Planting were done by the following

procedures: first eggplant seeds sown in a plastic tray measuring 30 x 40 cm for 30

days, then transferred seedlings in polybags measuring 10 kg medium containing a

mixture of soil and manure. Fertilization was done 2 times in 2 adn 10 weeks after

planting. Spraying EKKU (dose treatment) was carried out every week until harvest.

The study showed that a dose reduction of 50% inorganic fertilizer combined with

the application EKKU much as 40 mL/L of water is able to suppress the leaf-eating

caterpillars attack, where the attack rate is only 19.2%. Giving EKKU much as 40

mL/L of water at various doses of inorganic fertilizer can improve plant growth

eggplant, where the highest plant growth occurs in inorganic fertilizer reduction by

25% which is 87.0 cm. Keywords: biopesticide, EKKU, fertilizer, plant growth.

ABSTRAK

Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan Model Kawasan Rumah

Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu Desa Senabing Kecamatan Lahat

dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang. Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi

pendampingan BPTP Sumatera Selatan sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Di

setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian

disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan

diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik

dan EKKU yang terdiri atas: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK =

20 g), B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40

mL/L air, C: Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis

20 mL/L air, dan D: Pupuk

416

Page 14: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40 mL/L air. Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih dahulu disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst) dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan setiap minggu hingga menjelang panen. Hasil pengkajian menunjukkan pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan ulat pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. Pemberian EKKU sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan anorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm. Kata kunci: biopestisida EKKU, dosis pemupukan, OPT, terung.

PENDAHULUAN

Terung (Solanum melongena L.) merupakan salah satu komoditas

hortikultura yang ditanam di Sumatera Selatan. Hampir sebagian besar wilayah di Sumatera Selatan bisa ditanami dengan komoditas ini. Terung juga merupakan jenis sayuran yang sangat populer dan disukai oleh banyak orang,

sehingga komoditas itu sangat potensial untuk dikembangkan secara intensif dalam skala agribisnis. Selama ini pembudidayaan terung umumnya masih bersifat sampingan di lahan pekarangan, tegalan, ataupun lahan sawah di musim kemarau. Tidak heran bila hasil rata-rata terung di Indonesia masih rendah yaitu

antara 32,64-34,11kuintal per hektar (Rukmana, 1994). Untuk meningkatkan produksi terung maka perbaikan teknik budidaya perlu dilakukan.

Tingginya input bahan agrokimia berupa pupuk dan pestisida menjadi

permasalahan dalam budidaya terung. Penggunaan pestisida sintetis di Indonesia

berkembang sangat pesat, tercatat ada sebanyak 2.810 di tahun 2013 (Direktorat

Pupuk dan Pestisida, 2013). Penggunaan bahan agrokimia yang berlebihan ini dapat

berdampak buruk bagi ekosistem pertanian. Menurut Wiratno et al. (2013),

penggunaan pestisida sintetis dilaporkan meninggalkan residu dalam tanah hingga

bertahun-tahun setelah pemakaian, sehingga menguragi daya dukung lahan akibat

menurunnya populasi mikroorganisme pengurai bahan organik yang hidup di

dalamnya. Selain itu, pestisida juga berdampak buruk yakni menimbulkan resistensi,

resurjensi dan ledakan hama serta dapat memusnahkan musuh alami hama. Hal ini

diperparah lagi dengan adanya input berupa pupuk anorganik yang bisa

menyebabkan rusaknya tekstur dan struktur tanah. Utami dan Handayani (2003)

menyatakan sistem pertanian yang berbasis bahan fosil (high input energy) seperti

pupuk kimia dan pestisida dapat merusak sifat-sifat tanah dan akhirnya menurunkan

produktivitas tanah untuk waktu yang akan datang. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan perbaikan terhadap

cara budidaya yang dilakukan sehingga lebih aman terhadap lingkungan sehingga

akan tercapai keseimbangan ekosistem. Penggunaan biopestisida sekaligus juga

biofertilizer merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi

417

Page 15: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 risiko ketergantungan terhadap input bahan kimiawi sintetik. Salah satu bahan yang efektif dan ramah lingkungan adalah ekstrak kompos kulit udang (EKKU). EKKU diketahui efektif mengendalikan berbagai penyakit pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis (Suwandi, 2004), ketimun dan oyong (Syahri et al.,

2014), dan virus kuning pada cabai (Syahri dan Somantri, 2014). EKKU juga diketahui mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Namun, penggunaan EKKU pada tanaman terung belum dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini

dilakukan dalam rangka mengetahui efektivitas EKKU dalam menekan penyakit dan meningkatkan pertumbuhan pada tanaman terung.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu. Pengkajian dilaksanakan di lokasi pengembangan

Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) Kabupaten Lahat, yaitu

Desa Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang.

Kedua lokasi tersebut merupakan lokasi pendampingan BPTP Sumatera Selatan

sejak bulan Juli sampai Desember 2013. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah ekstrak kompos kulit

udang-EKKU (Bio-Fitalik) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, benih terung (Matahari), pupuk kandang (kotoran sapi dan kambing), pupuk anorganik (Urea, SP-36, KCl dan NPK Pelangi 20:10:10), polybag ukuran 10 kg. Alat yang digunakan adalah sprayer 1 L, gelas ukur, mikroskop, timbangan, alat tulis, dan gunting.

Rancangan Pengkajian. Pengkajian dilaksanakan di 2 desa yakni Desa

Senabing Kecamatan Lahat dan Desa Perigi Kecamatan Pulau Pinang, di setiap desa dipilih masing-masing 10 petani sebagai pelaksana kegiatan. Pengkajian disusun menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 5 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dosis pupuk anorganik dan EKKU yang terdiri dari: A : Pupuk anorganik dosis lengkap (Urea = 2 g, NPK = 20 g) B : Pupuk anorganik ½ dosis (Urea = 1 g, NPK = 10 g) + EKKU dosis 40 mL/L

air. C : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 20

mL/L air. D : Pupuk anorganik 3/4 dosis (Urea = 1,5 g, NPK = 15 g) + EKKU dosis 40

mL/L air. Penanaman dilakukan mengikuti prosedur berikut: benih terung terlebih

dahulu disemaikan dalam baki plastik berukuran 30 x 40 cm selama 30 hari, selanjutnya bibit dipindah dalam polybag berukuran 10 kg yang mengandung media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang (kotoran ternak sapi/kambing). Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali yakni umur 2 minggu setelah tanam (mst) dan umur 10 mst. Penyemprotan EKKU (dosis sesuai perlakuan) dilakukan setiap minggu hingga menjelang panen.

Jenis Hama dan Penyakit yang Menyerang. Pengamatan hama penyakit

yang menyerang pada masing-masing tanaman dilakukan mulai dari satu minggu

setelah tanam hingga delapan minggu setelah tanam. Penentuan penyakit didasarkan

pada gejala yang muncul pada tanaman. Identifikasi penyakit dilakukan dengan

mengambil daun tanaman sakit di lapangan dan dibawa ke

418

Page 16: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 laboratorium untuk diidentifikasi penyebabnya dengan menggunakan mikroskop

yang mengacu pada prosedur diagnosis penyakit tanaman. Data yang diperoleh

disajikan dalam bentuk tabulasi dan gambar untuk selanjutnya dianalisis secara

deskriptif. Keparahan Hama/Penyakit. Keparahan hama/penyakit dihitung dengan

menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009):

I (n v)

100%

N Z

Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah

seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala tertinggi.

Skala kerusakan daun didasarkan pada kriteria: 0 = tanaman sehat/tidak ada

serangan; 1 = >0-20% tanaman terserang; 2 = >20-40% tanaman terserang; 3 = >40-

60% tanaman terserang; 4 = >60-80% tanaman terserang dan 5 = >80-100%

tanaman terserangData yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif. Pertumbuhan Tanaman. Data pertumbuhan tanaman yang dikumpulkan

meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang yang diamati saat pertumbuhan tanaman maksimum. Data yang diperoleh selanjutnya ditabulasikan untuk dianalisis secara statistik dengan analisis sidik ragam menggunakan program SPSS versi 11.0.

HASIL Jenis Hama Penyakit yang Menyerang. pengamatan jenis hama dan

penyakit yang muncul pada terung disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hama penyakit tanaman terung yang menyerang selama

kegiatan pengkajian. Jenis OPT Perlakuan

A B C D Ulat pemakan daun + + + ++ Kutu kebul - - - -

Bercak daun + - - - Keterangan:

- = tidak ada serangan + = serangan ringan ++ = serangan berat Intensitas Serangan Hama

Hasil pengkajian terhadap serangan ulat pemakan daun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Intensitas serangan ulat pemakan daun

Perlakuan Intensitas penyakit pada petani ke- (%)

Rerata (%)

I II III IV V

A 4 16 32 40 12 20,8a

B 16 16 28 20 16 19,2a

C 40 24 24 20 40 29,6a

D 48 4 20 12 44 25,6a

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05

419

Page 17: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pertumbuhan Tanaman Terung. Pertumbuhan tanaman terung pada

kajian ini diamati dari dua parameter pertumbuhan tanaman yakni tinggi dan

jumlah cabang tanaman terung. Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata

juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman (Tabel 3). Tabel 3. Pertumbuhan tanaman terung yang diaplikas EKKU pada berbagai

dosis pemupukan anorganik

Perlakuan Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang

A 57,4a 2,6a

B 62,9ab 3,4a

C 81,4ab 3,0a

D 87,0b 2,5a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama

berarti berbeda tidak nyata menurut DMRT0,05

PEMBAHASAN

Hasil pengamatan terhadap jenis OPT yang menyerang pada pertanaman terung selama pengkajian menunjukkan bahwa serangan OPT didominasi oleh serangan serangga hama, sedangkan serangan patogen sangat rendah. Bahkan, serangga penghisap. Penggunaan EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan dengan pengurangan dosis pemupukan hingga 50% (pelakuan B) dapat menekan intensitas serangan ulat pemakan daun terung. Hal ini terlihat dari serangan yang paling rendah yakni 19,2%. Namun, pemberian EKKU dengan berbagai dosis yang dikombinasikan dengan pengurangan pupuk anorganik sebanyak 25% (perlakuan C dan D) ternyata memberikan penekanan serangan hama yang lebih rendah dibandingkan tanpa penggunaan EKKU (perlakuan A). Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya kandungan bahan hara yang terkandung dalam EKKU sehingga menyebabkan tanaman lebih tumbuh subur sehingga rentan terhadap serangan hama. Kandungan EKKU yang terdapat dalam Bio-Fitalik yakni glukosamin (minimal 1.000 mg/l),

mikrobia khitinolitik (minimal 3 x 106/L), bakteri pelarut phospat (minimal 1 x

106/L), mikrobia selulotik (minimal 1 x 10

7/L), dan beberapa unsur hara (total N

850 ppm, P2O5 150 ppm, K2O 50 ppm, nitrat 350 ppm, Ca 450 ppm).

Penekanan hama maupun penyakit tanaman disebabkan karena ekstrak

kompos dapat memacu terjadinya induksi resistensi, antagonisme, dan peningkatan

toleransi tanaman. Menurut Suwandi (2004), efektifitas pengendalian penyakit

menggunakan EKKU pada tanaman sayuran telah dilaporkan terhadap penyakit

daun pada tanaman kacang panjang, cabai dan kubis. Adanya kandungan kulit

udang pada kompos ini, memungkinkan bahan ini lebih efektif dari ekstrak kompos

biasa. Peningkatan aktifitas pengendalian ini dapat terjadi akibat meningkatnya

aktifitas mikroorganisme kitinolitik yang diinduksi oleh kitin yang terdapat pada

kulit udang. Menurut Yurnaliza (2002), kitin merupakan homopolimer dari -1,4 N-

setil-D-glukosamin dan merupakan polimer ke dua terbanyak di alam setelah

selulosa. Enzim kitinase dapat digunakan sebagai biokontrol terhadap serangga dan

jamur penyakit tanaman dan produksi protein

420

Page 18: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 sel tunggal (single cell protein) yaitu dengan menggunakan kitinase untuk

menghidrolisis material kitin dan khamir sumber protein sel tunggal sehingga

diperoleh protein sel tunggal dengan kadar protein dan asam nukleat yang sesuai. Aplikasi EKKU pada tanaman terung ternyata juga mampu meningkatkan

pertumbuhan tanaman. Hal ini disebabkan karena bahan organik EKKU juga

berperan sebagai sumber hara bagi tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan

meningkatkan kapasitas pertukaran kation yang dapat meningkatkan kesuburan

tanah (Hastuti, 2000). Hasil kajian menunjukkan bahwa aplikasi EKKU dengan

dosis 40 mL/L air (perlakuan D) memberikan tinggi tanaman tertinggi dibandingkan

perlakuan lainnya yakni 87,0 cm, sedangkan jumlah cabang terbanyak terdapat pada

perlakuan B yakni aplikas EKKU dengan dosis 40 mL/L air yang dikombinasikan

dengan pengurangan dosis pupuk anorganik sebesar 25%. Hasil ini mengindikasikan

bahwa pemberian EKKU dengan dosis 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan

anorganik ternyata mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman. Suwandi (2004)

menambahkan produksi tanaman juga mengalami peningkatan dengan pemberian

kompos dikarenakan bahan organik juga berperan sebagai sumber hara bagi

tanaman, meningkatkan daya ikat air tanah dan meningkatkan kapasitas pertukaran

kation yang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Penggunaan EKKU bahkan dapat

meningkatkan produksi tanaman oyong dan kacang panjang masing-masing sebesar

17,40% dan 246,67% (Syahri et al., 2014).

KESIMPULAN 1. Pengurangan dosis pupuk anorganik sebanyak 50% yang dikombinasikan

dengan aplikasi EKKU sebanyak 40 mL/L air mampu menekan serangan

ulat pemakan daun, dimana tingkat serangan hanya 19,2%. 2. Pemberian EKKU sebanyak 40 mL/L air pada berbagai dosis pemupukan

anorganik mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman terung, dimana pertumbuhan tanaman tertinggi terjadi pada pengurangan pupuk anorganik sebesar 25% yakni 87,0 cm.

DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada University Press,

Yogyakarta. Kurniawati, S. dan Hersanti. 2009. Pengaruh Inokulasi MVA dan Pemberian

Abu Kelapa Sawit terhadap Perkembangan Penyakit Bercak Coklat (Alternaria solani Sor.) pada Tanaman Tomat. Widyariset 12(2): 63-69.

Rukmana, R. 1994. Bertanam Terung. Kanisius, Yogyakarta. Suwandi. 2004. Efikasi Ekstrak Kompos Kulit Udang untuk Pengendalian

Penyakit pada Daun Tanaman Kacang Panjang, Cabai dan Kubis. J. Pest Tropical 1(2):18-24.

Syahri dan R.U. Somantri. 2014. Kajian aplikasi biopestisida berbahan ekstrak kompos kulit udang (EKKU) pada berbagai dosis pemupukan terhadap pertumbuhan dan serangan penyakit cabai. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014.

421

Page 19: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Syahri, Hartono dan Suwandi. 2014. Pemanfaatan ekstrak kompos kulit udang

(EKKU) dalam pengendalian penyakit dan peningkatan produksi

tanaman sayuran. Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian

Organik. Bogor, 18-19 Juni 2014. Utami, S.N.H. dan S. Handayani. 2003. Sifat Kimia Entisol pada Sistem

Pertanian Organik. Jurnal Ilmu Pertanian 10(2): 63-69. Wiratno, Siswanto, dan I.M. Trisawa. 2013. Perkembangan Penelitian,

formulasi, dan pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 32(2): 150-155.

Yurnaliza. 2002. Senyawa Khitin dan Kajian Aktivitas Enzim Mikrobial Pendegradasinya. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/826/1/ Biologi-Yurnaliza2.pdf, diakses 1 Juni 2012).

422

Page 20: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Perkembangan Organisme Pengganggu Tanaman Padi Akibat Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

di Lahan Rawa Lebak

The Effect of Integrated Plant Management (IPM) to Rice

Pests and Diseases on Freshwater Land

Syahri1*)

, Renny Utami Somantri1

1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Selatan

*)Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks.

+62711410155/+62711411845 email: [email protected]

ABSTRACT

Pest attack was causing up to 20% yield losses of rice. Integrated Plant Management can be used to suppress the yield losses due to pest attack. The research was conducted on farmers' fields with freshwater land typology. The treatments consisted of the use of new high yield variety (Inpari 10, Inpari 12, and Inpari 14), fertilization recomendation based on PUTS dan KATAM, Legowo 4: 1 with 2-3 seeds/hole, and pest control with the principles of integrated pest management, whereas for comparison is cultivation by farmers. Observations were made on the intensity of pest attacks such as blast disease, injury lever for leaf folder and mole-cricket. The monitoring of organisms using pitfall traps and light traps. The study showed that the application of ICM on rice crops give effect to the pest attack. In the IPM-application, the intensity of leaf folder attacks only <16%, mole cricket <1% and blast <7%. These are lower than farmer technology. PTT also gives effect to an increase in the population of

natural enemies of pests such as spiders and bees. Keywords: integrated plant managemend, pest and diseases, yield losses.

ABSTRAK

Serangan organisme pengganggu tanaman dapat menyebabkan kehilangan

hasil padi hingga 20%. Penerapan PTT dengan konsep PHT di dalamnya menjadi

bagian penting yang bisa digunakan untuk menekan kehilangan hasil akibat

serangan OPT. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani dengan tipologi lahan

rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Petak perlakuan terdiri

dari penggunaan VUB (Inpari 10, Inpari 12, dan Inpari 14), pemupukan berdasarkan

KATAM dan PUTS, sistem tanam jajar legowo 4:1 dengan jumlah bibit 2-3

bibit/lubang, dan pengendalian OPT dengan prinsip pengelolaan hama terpadu,

sedangkan sebagai pembanding adalah sistem budidaya yang biasa dilakukan petani

(cara petani). Pengamatan dilakukan pada intensitas serangan OPT penting seperti

penyakit blas, hama putih palsu, orong-orong serta dilakukan juga pengamatan

populasi organisme yang ada pada petak pengkajian dengan menggunakan pitfall

trap dan light trap. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada

pertanaman padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan

PTT, intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%,

423

Page 21: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 orong-orong <1% dan penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini

cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT

dibandingkan dengan cara petani. PTT juga memberikan pengaruh terhadap

peningkatan populasi musuh alami hama seperti laba-laba maupun lebah. Kata kunci: organisme pengganggu tumbuhan, pengelolaan tanaman terpadu,

padi

PENDAHULUAN

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) merupakan salah satu faktor penghambat dalam upaya meningkatkan produktivitas padi. Direktorat Perlindungan Tanaman (2010) melaporkan bahwa kekeringan, kebanjiran, dan

OPT telah menyebabkan sekitar 380 ribu ha sawah terganggu, dan 48 ribu ha di antaranya gagal panen. Menurut Balitpa (2004), hama dan penyakit tanaman menyebabkan kehilangan hasil mencapai kira-kira 20%, yang merupakan angka yang tinggi dalam mengurangi produktivitas tanaman. Berbagai jenis hama dapat menyerang tanaman padi mulai dari persemaian hingga proses pemanenan. Selain itu kendala penyakit penting seperti blas (Pyricularia oryzae), hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae), hawar pelepah, tungro juga menjadi ancaman dalam budidaya padi di Indonesia. Pada bulan Januari sampai Juni 2007, di wilayah Sumatera, wereng coklat menyebabkan kerusakan padi sekitar 95 ha dan menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 250 ton (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2007). Selain itu masih banyaknya serangan hama tikus, tungro dan wereng mempengaruhi penurunan produksi (www.sripoku.com, 2011). Berdasarkan laporan Balai Perlindungan Tanaman

Pangan dan Hortikultura Sumatera Selatan, beberapa OPT penting yang menyerang padi di antaranya hama putih palsu, penyakit blas, orong-orong, kresek, tungro. Tahun 2013 misalnya, serangan penyakit kresek hampir menyebar di seluruh sentra pertanaman padi di Sumatera Selatan.

Permasalahan OPT ini berpotensi menimbulkan gangguan produksi padi nasional. Karena itu, upaya untuk mencapai target surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014, tentunya memerlukan dukungan teknologi yang komprehensif. Penggunaan pestisida kimiawi yang berlebihan dan terus-menerus di tingkat petani semakin memperparah tingkat serangan maupun kerusakan akibat OPT. Menurut Laba dan Trisawa (2008) dalam Syahri et al. (2011), penggunaan insektisida dapat menimbulkan dampak terhadap hama utama serta organisme bukan sasaran. Dampak tersebut di antaranya adalah resistensi dan resurjensi serangga hama serta terancamnya populasi musuh alami dan organisme bukan sasaran. Menurutnya, beberapa jenis insektisida menimbulkan resurjensi wereng coklat, dapat meningkatkan jumlah telur, reproduktivitas/keperidian, stadia nimfa dan lama hidup serangga dewasa. Tercatat 23 jenis insektisida menimbulkan resurjensi terhadap wereng coklat. Menurut Villareal (1999), ketika terjadi epidemi tungro di Filipina tahun 1998, petani melakukan penyemprotan pestisida sipermetrin setiap minggu. Ternyata pengendalian ini tidak efektif mengurangi insidensi penyakit tungro dan justru menyebabkan resurjensi populasi wereng coklat.

424

Page 22: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Untuk mencapai sasaran tersebut, maka dilaksanakanlah Sekolah Lapang

Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Pengelolaan tanaman terpadu (PTT)

merupakan suatu usaha untuk meningkatkan hasil tanaman pangan dan efisiensi

masukan produksi dengan memperhatikan penggunaan sumber daya alam secara

bijak. Menurut Jamal (2009), penerapan PTT berpedoman kepada pemahaman

petani terhadap masalah yang dihadapi serta identifikasi peluang pengembangan

yang mungkin dilakukan. Adapun komponen teknologi PTT terdiri dari komponen teknologi dasar

dan komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar untuk padi rawa lebak di antaranya varietas modern (VUB, PTB), bibit bermutu dan sehat, pemupukan N granul, P dan K berdasarkan PUTS, serta PHT sesuai OPT sasaran. Sedangkan komponen teknologi pilihan di rawa lebak d antaranya pengelolaan tanaman yang meliputi populasi dan cara tanam (legowo, larikan, dll), umur bibit, pengelolaan air, pembuatan saluran/caren keliling, pengendalian gulma terpadu, penanganan panen dan pasca panen (Ditjen Tanaman Pangan, 2013). Menurut Fagi dan Kartaatmaja (2004), komponen teknologi untuk mengoreksi deteriorasi kesuburan tanah telah diteliti dan hasilnya telah dirakit dapat paket teknologi pada strategi PTT yang meliputi: (1) pengelolaan unsur hara spesifik lokasi, (2) pengaturan rejim air yang sesuai dengan fisiko-kimia tanah, dan (3) penyeimbangan komponen hasil tanaman padi. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai pengaruh PTT terhadap perkembangan OPT padi khususnya di lahan rawa lebak.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian. Pengkajian dilaksanakan pada lahan petani

dengan tipologi lahan rawa lebak Kabupaten Ogan Ilir Propinsi Sumatera Selatan. Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah benih padi varietas unggul

baru (VUB) Inpari 10, Inpari 12, Inpari 14, biopestisida Bio-Fitalik (ekstrak kompos kulit udang-EKKU) yang berasal dari Klinik Tanaman HPT Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, pupuk anorganik (Urea, SP-36, NPK Phonska dan KCl), Kalender Tanam (KATAM) Terpadu Musim Tanam I 2012/2013, dan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Alat yang digunakan adalah pitfall trap, light trap modifikasi, knapsack sprayer, gelas ukur, arit, meteran, timbangan, alat tulis, bambu, dan gunting.

Prosedur Pengumpulan Data. Tahapan pelaksanaan penelitian yaitu dengan

menentukan lahan masing-masing seluas 1.430 m2 untuk rekomendasi pemupukan

KATAM, PUTS dan perlakuan petani (luas lahan disesuaikan dengan ketersediaan

lahan petani). Pengolahan tanah dilakukan dengan cara olah tanah sempurna yakni

dengan cara dibajak. Dosis pemupukan KATAM dilakukan dengan menggunakan

rekomendasi pemupukan yang tercantum dalam KATAM MT I (dosis NPK

Phonska (15-15-15) sebanyak 225 kg/ha dan 175 kg Urea/ha) dan dengan sistem

tanam jajar legowo 4:1, rekomendasi pemupukan berdasarkan PUTS yakni 150 kg

NPK Phonska (15:15:15)/ha; 200 kg Urea/ha; 10 kg KCl/ha, sedangkan cara petani

dengan dosis pemupukan NPK kebiasaan petani yakni sebesar 300 kg/ha dan Urea

sebanyak 150 kg/ha dengan sistem tanam tegel (20 x 20 cm). Pemupukan dilakukan

sebanyak 3 kali yakni pemupukan I pada umur 0-1

425

Page 23: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 minggu setelah tanam (mst), pemupukan II umur 3-4 mst, dan pemupukan III pada umur 7-8 mst. Pemupukan dilakukan dengan cara ditebar/dihambur di seluruh permukaan lahan. Sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu benih direndam dalam larutan 20 ml Bio-Fitalik/L air selama 24 jam selanjutnya

diperam selama 2 hari. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit berumur + 30 hari. Penyiangan gulma dilakukan dengan cara diterbas dan menggunakan herbisida, sedangkan pengendalian OPT dilakukan dengan

menggunakan perangkap cahaya dan pestisida kimiawi yang diaplikasikan sesuai dengan tingkat serangan OPT dengan mengikuti prinsip PHT.

Paramater Pengamatan. Pengamatan tingkat serangan OPT dilakukan

seminggu sekali sejak awal penanaman hingga menjelang panen. Sampel tanaman untuk pengamatan OPT dipilih secara diagonal dengan jumlah sampel tanaman yakni 10 tanaman. Intensitas serangan OPT dihitung dengan menggunakan rumus Mc. Kinney dalam Kurniawati dan Hersanti (2009):

I (n v)

100%

N Z

Dimana I = keparahan penyakit; n = jumlah tanaman yang terserang; N = jumlah seluruh tanaman; v = nilai skala serangan yang dihasilkan; Z = nilai skala tertinggi. Untuk mengetahui populasi OPT terutama serangga pada petak pertanaman juga dilakukan penangkapan dengan menggunakan pitfall trap dan light trap. Serangga yang diperoleh selanjutnya dihitung dan diidentifikasi jenisnya.

HASIL

Intensitas Serangan Hama. Pengaruh pemupukan yang tidak tepat dan

penggunaan varietas rentan dapat berakibat pada kerentanan tanaman terhadap

serangan OPT. Menurut Baehaki (2009), pemberian pupuk yang disesuaikan

dengan kebutuhan tanaman merupakan salah satu cara dalam menekan perkembangan hama penyakit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa

OPT yang banyak menyerang di antaranya hama putih palsu (HPP) yang

menyerang pada stadia vegetatif awal, orong-orong terutama pada lokasi yang tidak tergenang. Tingkat serangan HPP ditampilkan pada Gambar 1.

426

Page 24: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminnar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

Gambar 1. Pengaruh penerapan PTT pada berbagai varietas padi

terhadap serangan hama putih palsu. Gambar 1 menunjukkan bahwa serangan HPP terutama terjadi pada stadia

vegetatif (umur 0-5 mst). Penerapan PTT pada semua varietas padi ternyata

memberikan pengaruh yang lebih baik dalam menekan seranngan HPP

dibandingkan dengan cara petani, namun secara umum serangannya masih

cukup rendah. Hasil pengamatan tingkat serangan orong-orong pada padi

disaajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Tingkat seranggan orong-orong pada padi

Varietas

Jumlah tanaman mati pada minggu ke- (mst)

I II III

Inpari 10 (PUTS) 10 0 0

Inpari 10 (KATAM) 0 0 0

Inpari 12 (PUTS) 15 4 0

Inpari 12 (KATAM) 19 1 0

Inpari 14 (PUTS) 23 0 0

Inpari 14 (KATAM) 15 1 0

Inpari 12 (CARA PETANI) 30 3 0

Hasil tangkapan light trap dan pitfall trap selama penelitian ditunjukkan

pada Tabel 2.

Tabel 2. Beberapa organisme yang tertangkap pada pitfall trap dan lighht trap

Jenis Perangkap Jenis Organisme Jumlah (ekor)

Pitfall trap Hymenoptera 26

Arachnida 3

Light trap Coleoptera 2

Hymenoptera 99

Lepidoptera 1

Coleoptera 2

Homoptera 31

427

Page 25: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Intensitas Serangan Penyakit. Tingkat serangan penyakit blas

ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Intensitas serangan penyakit blas pada padi Perlakuan Intensitas Serangan (%)

Inpari 10 (PUTS) 0

Inpari 10 (KATAM) 1,1

Inpari 12 (PUTS) 0

Inpari 12 (KATAM) 1,1

Inpari 14 (PUTS) 6,7

Inpari 14 (KATAM) 4,4

Inpari 12 (CARA PETANI) 0,9

Tabel 3 memperlihatkan bahwa serangan penyakit blas relatif rendah yakni masih <7%. Serangan penyakit blas tertinggi terjadi pada varietas Inpari 14

dengan berbagai metode pemupukan. Sedangkan pada varietas Inpari 10 dan

Inpari 12 serangan penyakit relatif rendah <2%. Varietas Inpari 12 merupakan

varietas padi yang tahan terhadap penyakit blas ras 033 dan agak tahan terhadap ras 133 dan 073 (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2012). Menurut Sutami

et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling sesuai apabila jenis

patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan pergiliran varietas tahan.

PEMBAHASAN

Beberapa OPT penting yang umum menyerang pertanaman padi di

rawa lebak antara lain: 1. Penyakit Blas/Busuk Leher

Penyakit blas disebabkan oleh cendawan Pyricularia oryzae. Penyakit ini umumnya terdapat di pertanaman yang subur. Pada masa batang padi tumbuh memanjang (+ umur 55 hari) tanaman sangat rentan terinfeksi daun. Penyakit ini dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit dan biji dalam bentuk miselia dan konidia. Tingkat keparahan penyakit blas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kelebihan nitrogen dan kekurangan air menambah kerentanan tanaman. Diduga bahwa kedua faktor tersebut menyebabkan kadar silikon tanaman rendah. Kandungan silikon dalam jaringan tanaman menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi terjadinya penetrasi patogen kedalam jaringan tanaman. Tanaman padi yang berkadar silikon rendah akan lebih rentan terhadap infeksi patogen. Pupuk nitrogen berkorelasi positif terhadap keparahan penyakit blas. Artinya makin tinggi pupuk nitrogen keparahan penyakit makin tinggi.

Penyakit dapat timbul pada daun, batang, bunga, malai dan biji dan sangat

jarang muncul pada upih daun. Gejala pada daun, berbentuk bercak jorong

dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan

428

Page 26: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

biasanya mempunyai tepi coklat atau coklat kemerahan. Gejala khasnya

adalah membusuknya ujung tangkai malai (busuk leher) sehingga malai

menjadi mudah patah. Pengendalian yang dapat dilakukan di antaranya: menggunakan varietas

tahan secara bergantian untuk mengantisipasi perubahan ras cendawan yang relatif cepat, pemupukan nitrogen sesuai anjuran, mengatur waktu tanam yang tepat, agar waktu awal pembungaan (heading) tidak banyak embun dan hujan terus-menerus, pengendalian secara kimiawi dengan gunakan fungisida (bila diperlukan) yang berbahan aktif metil tiofanat atau fosdifen dan kasugamisin.

2. Walang sangit Walang sangit merupakan hama yang umum merusak bulir padi pada fase

pemasakan. Serangga ini akan mempertahankan diri dengan mengeluarkan bau

apabila diganggu. Selain sebagai mekanisme pertahanan diri, bau yang

dikeluarkan juga digunakan untuk menarik walang sangit lain dari spesies yang

sama. Fase pertumbuhan tanaman padi yang rentan terhadap serangan walang

sangit adalah dari keluarnya malai sampai matang susu. Kerusakan yang

ditimbulkannya menyebabkan beras berubah warna dan mengapur, serta hampa.

Ambang ekonomi walang sangit adalah lebih dari 1 ekor walang sangit per dua

rumpun pada masa keluar malai sampai fase pembungaan. Mekanisme

merusaknya yaitu menghisap butiran gabah yang sedang mengisi. Di Indonesia walang sangit merupakan hama potensial yang pada waktu-

waktu tertentu menjadi hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil

mencapai 50%. Diduga bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat

menurunkan hasil sampai 25%. Hasil penelitian menunjukkan populasi walang

sangit 5 ekor per 9 rumpun padi akan menurunkan hasil 15%. Hubungan antara

kepadatan populasi walang sangit dengan penurunan hasil menunjukkan bahwa

serangan satu ekor walang sangit per malai dalam satu minggu dapat

menurunkan hasil 27%. Kualitas gabah (beras) sangat dipengaruhi serangan

walang sangit. Diantaranya menyebabkan meningkatnya grain discoloration.

Sehingga serangan walang sangit disamping secara langsung menurunkan hasil,

secara tidak langsung juga sangat menurunkan kualitas gabah. 3. Penggerek batang padi (stem borer)

Penggerek batang padi merupakan hama yang sangat penting pada padi dan sering menimbulkan kerusakan dan menurunkan hasil panen secara nyata. Terdapatnya penggerek di lapang dapat dilihat dari adanya ngengat di pertanaman dan larva di dalam batang. Mekanisme kerusakan disebabkan larva merusak sistem pembuluh tanaman di dalam batang. Stadia tanaman yang rentan terhadap serangan penggerek adalah dari pembibitan sampai pembentukan malai. Gejala kerusakan yang ditimbulkannya mengakibatkan anakan mati yang disebut sundep pada tanaman stadia vegetatif dan beluk (malai hampa) pada tanaman stadia generatif. Siklus hidupnya 40-70 hari tergantung pada spesiesnya. Ambang ekonomi penggerek batang adalah 10% anakan terserang; 4 kelompok telur per rumpun (pada fase bunting). Perlu diketahui bahwa kerusakan pada stadia generatif maka tindakan pengendalian sudah terlambat atau tidak efektif lagi.

Penggerek batang padi terdapat sepanjang tahun dan menyebar di seluruh Indonesia pada ekosistem padi yang beragam. Intensitas serangan penggerek batang padi pada tahun 1998 mencapai 20,5% dan luas daerah yang terserang

429

Page 27: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

mencapai 151.577 ha. Kehilangan hasil akibat serangan penggerek batang

padi pada stadia vegetatif tidak terlalu besar karena tanaman masih dapat

mengkompensasi dengan membentuk anakan baru. 4. Keong mas (golden apple snail)

Keong mas merusak tanaman dengan cara memarut jaringan tanaman dan

memakannya, menyebabkan adanya bibit yang hilang di per-tanaman. Bekas

potongan daun dan batang yang diserangnya terlihat mengambang. Waktu kritis

untuk mengendalikan keong mas adalah pada saat 10 hari setelah tanam pindah,

atau 21 hari setelah sebar benih (benih basah). Setelah itu laju pertumbuhan

tanaman lebih besar daripada laju kerusakan oleh keong mas. Bila di sawah

diketahui ada keong mas, perlu dilakukan pengaturan air karena keong mas

menyenangi tempat-tempat yang digenangi air. Jika petani menanam dengan

sistem tanam pindah maka pada 15 hari setelah tanam pindah, sawah perlu

dikeringkan kemudian digenangi lagi secara bergantian (flash flood = intermitten

irrigation). Bila petani menanam dengan sistem tabela (tanam benih secara

langsung), selama 21 hari setelah sebar benih sawah perlu dikeringkan kemudian

digenangi lagi secara bergantian. Selain itu perlu dibuat caren di dalam dan di

sekeliling petakan sawah sebelum tanam, baik di musim hujan maupun kemarau.

Ini dimaksudkan agar pada saat dilakukan pengeringan, keong mas akan menuju

caren sehingga memudahkan pengambilan keong mas dan sebagai salah satu cara

pengendaliannya. Keberadaannya di lapang ditandai oleh adanya telur berwarna merah

muda dan keong mas dengan berbagai ukuran dan warna. Keong mas merupakan salah satu hama penting yang menyerang padi muda terutama di sawah yang ditanam dengan sistem tabela.

Tindakan pengendalian yang dapat dilakukan diantaranya: secara fisik, menggunakan saringan berukuran 5 mm mesh yang dipasang pada tempat air masuk di pematang untuk meminimalkan masuknya keong mas ke sawah dan memudahkan pemungutan dengan tangan, secara mekanis dengan memungut keong dan menghancurkannya, bila di suatu lokasi sudah diketahui bahwa keong mas adalah hama utama, sebaiknya tanam bibit yang tua dan tanam lebih dari satu bibit per rumpun; buat caren di dalam dan di sekeliling petakan sawah, mengaplikasikan pestisida yang berbahan aktif niclosamida dan pestisida botani seperti lerak, deris, dan saponin.

Serangan HPP pada lokasi pengkajian cenderung meningkat pada minggu

ke-2 setelah tanam, dan menurun kembali pada periode selanjutnya. Hal ini disebabkan karena pada minggu ke-3 setelah tanam dilakukan penyemprotan

insektisida berbahan aktif deltametrin sehingga terjadi penurunan persentase

serangan pada 4-5 mst. Serangan HPP terendah terjadi pada varietas Inpari 12 yang diberi pemupukan berdasarkan rekomendasi PUTS (intensitas serangan

<2%). Sedangkan, tingkat serangan tertinggi terjadi pada padi varietas Inpari 12

dengan perlakuan tanam mengikuti cara petani. Selain serangan HPP, pada petak pertanaman juga terdapat serangan orong-

orong (Gryllotalpa sp.). Orong-orong merupakan salah satu hama penting yang

menyerang perakaran tanaman padi, gejala yang ditimbulkannya yakni rusaknya

bagian perakaran padi sehingga menyebabkan padi menguning dan mati.

430

Page 28: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Serangan orong-orong terutama pada padi yang tumbuh pada lokasi yang tidak

tergenang (kering). Serangan orong-orong pada semua petak perlakuan relatif rendah (<1%

dari populasi tanaman), hal ini disebabkan karena sebagian besar lahan dalam kondisi tergenang air. Bahkan, pada minggu ke-3 tidak terdapat lagi tanaman yang mati karena orong-orong (Tabel 1). Hal ini dikarenakan telah dilakukan aplikasi insektisida karbofuran pada lokasi pertanaman terutama pada pinggir petak perlakuan yang kondisinya tidak tergenang.

Selanjutnya, untuk menekan serangan OPT yang aktif pada malam hari

(nocturnal pest) dilakukanlah penangkapan dengan menggunakan perangkap cahaya

yang dimodifikasi (light trap), perangkap ini dibuat dengan menggunakan corong

air berukuran besar dengan diameter + 30 cm, dengan cahaya bersumber dari lampu

senter (Gambar 2). Sedangkan, untuk mengidentifikasi jenis serangga yang ada pada

tanah dilakukan dengan menggunakan perangkap sumuran (pitfall trap) yang

dipasang di setiap petak perlakuan.

Gambar 2. Perangkap cahaya yang telah dimodifikasi

Hasil tangkapan dengan menggunakan pitfall trap maupun light trap menunjukkan bahwa organisme yang tertangkap terdiri dari berbagai jenis organisme. Tabel 2 menunjukkan bahwa populasi organisme pada petakan

penerapan PTT didominasi oleh organisme yang bermanfaat sebagai musuh alami seperti dari ordo Hymenoptera (lebah) dan Arachnida (laba-laba). Hymenoptera merupakan kelompok serangga yang didominasi oleh parasitoid,

sedangkan arachnida berperan sebagai predator serangga hama. Oleh karena itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi serangga hama yang tertangkap relatif rendah karena kemungkinan disebabkan adanya penekanan populasi oleh musuh alami tersebut.

Menurut Baehaki (2009), teknologi yang dikembangkan untuk mengendalikan hama pada pertanaman padi didasarkan kepada konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dengan mempertimbangkan ekosistem, stabilitas, dan kesinambungan produksi sesuai dengan tuntutan praktek pertanian yang baik (Good Agricultural Practices). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan PTT yang di dalamnya menggunakan taktik pengendalian OPT berdasarkan prinsip PHT ternyata mampu menekan serangan berbagai jenis hama padi.

431

Page 29: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Hasil penelitian pengaruh PTT terhadap serangan penyakit padi menunjukkan bahwa penyakit yang menyerang pada setiap perlakuan didominasi oleh serangan penyakit blas yang disebabkan oleh jamur Pyricularia oryzae. Menurut Semangun (2004), penyakit blas dapat menyerang daun,

batang, bunga, malai dan biji dan sangat jarang muncul pada upih daun. Gejala pada daun, berbentuk bercak jorong dengan ujung runcing. Pusat bercak berwarna kelabu atau keputih-putihan dan biasanya mempunyai tepi coklat atau

coklat kemerahan. Gejala khasnya adalah membusuknya ujung tangkai malai (busuk leher) sehingga malai menjadi mudah patah.

Menurut Sutami et al. (2001), taktik pengendalian penyakit yang paling sesuai apabila jenis patogennya mudah membentuk ras baru adalah dengan pergiliran varietas tahan. Untuk menekan berkembangnya penyakit blas selama penelitian, maka pemupukan ke-3 (susulan II) tidak dilakukan serta dilakukan juga pengendalian dengan menyemprotkan fungisida. Tindakan ini dilakukan karena penyakit blas akan semakin bertambah parah jika dosis pemupukan N tinggi (Semangun, 2004). Selain itu, kondisi cuaca saat penelitian dengan intensitas hujan yang tinggi yang justru akan membantu. Menurut Roja (2009), kondisi seperti ini menyebabkan spora jamur penyebab blas (Pyricularia grisea) banyak dilepaskan ke udara, dan spora-spora ini akan menginfeksi tanaman padi sehingga menimbulkan kerusakan tanaman.

Perbedaan dosis pemupukan, jenis varietas maupun tindakan pengendalian akan sangat mempengaruhi serangan penyakit tanaman. Serangan penyakit seperti blas daun cenderung lebih rendah pada varietas Inpari 10 dan Inpari 12 yang diberi pupuk berdasarkan rekomendasi PUTS. Menurut Wood (1974) dalam Supriatna (2003), pemupukan dengan Kalium dan Fosfat dapat menurunkan insidensi serangan hama penyakit. Kekurangan Kalium akan menyebabkan penurunan laju pertumbuhan dan vigor tanaman, penurunan ketahanan tanaman, dan menyebabkan akar tanaman berkembang lambat sehingga mudah diinfeksi penyakit akar (Anonim, 1988 dalam Supriatna, 2003).

Berdasarkan hasil penelitian, teknologi PTT yang terdiri dari penggunaan varietas unggul baru tahan OPT, pemupukan berdasarkan rekomendasi (KATAM maupun PUTS) serta taktik pengendalian OPT menggunakan prinsip PHT memberikan pengaruh terhadap penurunan intensitas serangan OPT pada pertanaman padi. Dengan adanya penurunan serangan OPT ini diharapkan tanaman padi akan tumbuh dengan baik dan memberikan produktivitas yang baik pula sehingga target produksi yang diharapkan petani maupun pemerintah dapat tercapai.

KESIMPULAN

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penerapan PTT pada pertanaman

padi memberikan pengaruh terhadap serangan OPT. Pada penerapan PTT,

intensitas serangan hama putih palsu hanya <16%, orong-orong <1% dan

penyakit blas <7%. Serangan hama maupun penyakit ini cenderung lebih rendah pada padi yang menggunakan teknologi PTT dibandingkan dengan cara petani.

PTT juga memberikan pengaruh terhadap peningkatan populasi musuh alami

hama seperti laba-laba maupun lebah.

432

Page 30: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

433

Page 31: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2012. Deskripsi Varietas Unggul Baru

Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian

Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Kalender Tanam

Terpadu. http://katam.litbang.deptan.go.id.[12 Januari]2013. Baehaki, SE. 2009. Strategi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dalam

Perspektif Praktek Pertanian yang Baik (Good Agricultural Practices). Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): 65-78.

Balai Penelitian Tanaman Padi. 2004. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Sukamandi.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Kementerian Pertanian.

Fagi, AM dan S. Kartaatmaja. 2004. Teknologi Budidaya Padi: Perkembangan dan Peluang. Dalam: Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Penyunting: Fasisal Kasryno, E. Pasandaran, AM Fagi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Roja, A. 2009. Pengendalian Hama dan Penyakit secara Terpadu (PHT) Padi Sawah. BPTP Sumatera Barat.

Santos, A.B., N.K. Fageria, A.S. Prabhu. 2003. Rice ratooning management practices for higher yields. Communication Soil Science. J. Plant Anal 34: 881-918.

Semangun, H. 2004. Hama dan Penyakit Penting Tanaman Pangan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sriwijaya Post Online (http://www.sripoku.com, Edisi Tanggal 20 Juni 2010 dan 11 Januari 2011)

Supriatna, A. 2003. Integration pest management and its implementation by rice farmer in Java. Jurnal Litbang Pertanian 22(3): 109-115.

Sutami, B. Prayudi, dan S. Sulaiman. 2001. Reaksi Ketahanan Galur-galur Padi Rawa Pasang Surut terhadap Penyakit Blas Leher. Di dalam: Prayudi B, et al. (eds), Pegelolaan Tanaman Pangan Lahan Rawa. Prosiding Optimalisasi Pemanfaatan Hasil Penelitian Tanaman Pangan di Lahan Rawa Menuju Ketahanan Pangan, Kesejahteraan Petani dan Konsumen; Banjarbaru, 4-5 Juli 2000. p 127-137.

434

Page 32: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru Kedelai Melalui Pendekatan PTT Mendukung SL-PTT Kedelai

Di Sulawesi Tengah

Adaptation Some New Varieties of Soybean Through Supports PTT approach SLPTT Soybean

In Central Sulawesi

Ruslan Boy*), Yakob Langsa1, Saidah2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah

*)Penulis untuk korespondensi: Tel./Faks. 081354259888/0451482549

email: [email protected]

ABSTRACT

This study aims to obtain new varieties soybeans adaptive and has a high yield potential through the approach of Integrated Crop Management (ICM) supports soybeans in Central Sulawesi. Location studies on dry land Luwuk District of East Village Lauwon Banggai and Wood Village District Court District of Mepanga Moutong Parigi. Using Split plot design consisting of a main plot and subplot. The main plot is the location/village activities. The subplots were soybean varieties consisting of varieties Tanggamus, Argomulyo, Willis and Kaba. Each treatment was repeated 3 times. Broad swath of assessment 5 mx 5 m using a spacing of 40 cm x 15 cm at planting 2 seeds

planting hole. The results of the study show that the introduced varieties 4 shows the different productivity of the development site. Banggai varieties Tanggamus obtain the highest yield of 3.16 t/ha followed by Kaba 3.00 t/ha, Willis 2.40 t/ha, and Argomulyo 2.20 t/ha, while in the District Parigi Moutong Willis varieties 2.20 t/ha Tanggamus ha followed by 2.08 t/ha and Argomulyo and Kaba obtain the same result of 1.60 t/ha. Conclusion that the varieties Tanggamus and adaptive willis to be developed at each study site because it gives results in higher soybeans seed, which Tanggamus varieties of 3.16 t/ha and Willis 2,40 t/ha as compared to other varieties. Keywords : Adaptation , yielding varieties , soybeans , Results

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul baru (VUB)

kedelai yang adaptif dan memiliki potensi hasil tinggi melalui pendekatan

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi

Tengah. Lokasi kajian di lahan kering Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur

Kabupaten Banggai dan Desa Kayu Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi

Moutong. Menggunakan rancangan Split Plot yang terdiri dari petak utama dan anak

petak. Petak utama adalah lokasi/desa tempat kegiatan. Anak petak

435

Page 33: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 adalah varietas kedelai yang terdiri dari varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis dan Kaba. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Luas petak pengkajian 5 m x 5 m dengan menggunakan jarak tanam 40 cm x 15 cm ditanam 2 biji per lubang tanam. Hasil kajian menunjukkan dari 4 varietas yang diintroduksi memperlihatkan produktivitas yang berbeda terhadap lokasi pengembangannya. Kabupaten Banggai varietas Tanggamus memperoleh hasil tertinggi 3,16 t/ha disusul Kaba 3,00 t/ha, Willis 2,40 t/ha, serta Argomulyo 2,20 t/ha sedangkan di Kabupaten Parigi Moutong varietas Willis 2,20 t/ha disusul Tanggamus 2,08 t/ha serta Argomulyo dan Kaba memperoleh hasil yang sama 1,60 t/ha. Kesimpulan bahwa varietas Tanggamus dan willis adaptif untuk dikembangkan di masing-masing lokasi penelitian karena memberikan hasil biji kedelai yang lebih tinggi, yaitu varietas Tanggamus 3,16 t/ha dan Willis 2,40 t/ha dibandingkan dengan varietas lainnya. Kata kunci: Adaptasi, varietas unggul, kedelai, hasil

PENDAHULUAN

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi,

jagung dan umbi-umbian yang meiliki gizi tinggi. Kebutuhan kedelai di Indonesia

terus meningkat dan ini belum bisa diimbangi oleh produksi nasional sehingga

impor kedelai masih terus dilakukan. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi

permintaan nasional yang cenderung terus meningkat, produksi kedelai perlu terus

diupayakan peningkatannya untuk memenuhi kebutuhan yang semakin bertambah

dan sekaligus penyediaan pangan yang bergizi bagi masyarakat luas. Perkembangan produktivitas tanaman kedelai di Sulawesi Tengah periode

2010-2012 menunjukkan adanya peningkatan. Produktivitas kedelai Tahun 2010 mencapai 1,31 t/ha, Tahun 2011 mencapai 1,28 t/ha dan Tahun 2012 mencapai 1,46 t/ha (BPS Sulteng, 2013). Namun demikian, produktivitas yang dicapai masih tergolong rendah dan fluktuatif. Peluang peningkatan produksi melalui perbaikan teknologi masih terbuka lebar, mengingat produktivitas pertanaman kedelai di tingkat petani masih rendah (1,3 t/ha) dengan kisaran 0,6-2,0 t/ha (Hermanto dan kasim, 2008), padahal teknologi produksi yang tersedia mampu menghasilkan produktivitas kedelai antara 1,7- 3,2 t/ha (Marwoto et al. 2009). Rata-rata produktivitas kedelai nasional baru mencapai 1,42 t/ha (BPS Pusat, 2013).

Varietas unggul merupakan inovasi teknologi Badan Litbang Pertanian yang mudah diadopsi petani dan memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan produksi. Perakitan varietas kedelai di Indonesia telah berhasil mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan mulai diarahkan pada perbaikan ketahanan terhadap cekaman biotik maupun abiotik. Namun rata-rata hasil kedelai nasional masih relatif rendah. Penyebabnya karena budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi, namun juga antar musim, faktor lain hingga saat ini belum semua petani kedelai menggunakan benih varietas unggul yang berlabel (Thamrin et al. 2012).

Pengembangan varietas kedelai berdaya hasil tinggi pada cakupan lingkungan yang luas merupakan salah satu faktor kunci dalam peningkatan

436

Page 34: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 produksi. Besarnya ragam lingkungan budidaya kedelai di Indonesia

mengakibatkan rentang hasilnya sangat besar, yaitu 0,50-2,50 t/ha (Subandi et

al. 2008). Hasil biji merupakan karakter kompleks yang terkait dengan beberapa

komponen hasil dan dipengaruhi oleh fluktuasi lingkungan. Selah satu cara

untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menyediakan varietas yang

berdaya hasil relatif sama pada lingkungan yang berbeda. Upaya mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan terobosan dalam

memproduksi kedelai yang mampu memberikan produktivitas tinggi dengan proses produksi yang efisien dan berkelanjutan. Guna mencapai hal tersebut, diperlukan rakitan teknologi spesifik lokasi dengan memperhatikan kesesuaian terhadap kondisi biofisik lahan, sosial ekonomi masyarakat, dan kelembagaan petani. Proses produksi yang demikian pada hakekatnya merupakan konsep pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang sangat berperan dalam mendukung SL-PTT kedelai untuk peningkatan produksi kedelai di Sulawesi Tengah. Hasil penelitian Suryana (2008) komponen teknologi produksi yang dikemas dalam Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada tanaman kedelai mampu meningkatkan produksi hingga lebih dari 2 t/ha. PTT kedelai perlu diterapkan di sentra-sentra produksi kedelai di Sulawesi Tengah, baik di lahan sawah maupun di lahan kering (Ruslan Boy dan Mardiana, 2012).

Berdasarkan uraian tersebut diatas maka dilakukan kajian tentang adaptasi beberapa varietas unggul baru kedelai melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT) mendukung sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu (SL-PTT) kedelai di Sulawesi Tengah yang bertujuan untuk mendapatkan varietas-varietas kedelai yang adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik dan memiliki potensi hasil tinggi.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Lauwon Kecamatan Luwuk Timur Kabupaten Banggai di lahan kering pada ketinggian tempat 181 mdpl dan berada

pada posisi geografi 00050’35.7’’ LS dan 122

057’41.8’’ BT dan Desa Kayu

Agung Kecamatan Mepanga Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Dilakukan pada bulan April sampai dengan Juli 2012.

Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Petak Terpisah (RPT) yang terdiri atas petak utama (PU) yaitu lokasi penelitian dan anak petak (AP) yaitu varietas Tanggamus, Argomulyo, Willis dan Kaba. Setiap perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 24 unit perlakuan dan satuan percobaan berupa petak berukuran 5 m x 5 m.

Kajian ini menggunakan pendekatan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman

Terpadu (SL-PTT) yang dilakukan di lahan petani. Persiapan lahan dengan cara

Tanpa Olah Tanah (TOT), seed treatment dengan carbosulfan 25,53% (dosis

formulasi 20 gr Insektisida Marshal 25ST/kg benih kedelai). Menggunakan jarak

tanam 40 cm x 15 cm (2 biji/lubang tanam). Pupuk yang diberikan untuk lokasi di

Kabupaten Banggai dengan takaran NPK Phonska 200 kg/ha, SP36 37,3 kg/ha dan

KCl 62,5 kg/ha dan Parigi Moutong dengan takaran NPK Phonska 150 kg/ha, SP36

100 kg/ha dan KCl 12,5 kg/ha. Pengendalian hama dan penyakit serta

437

Page 35: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014 gulma dilakukan secara optimal. Panen dilakukan saat masak fisiologis ditandai

dengan 95% polong telah berwarna coklat dan daun berwarna kuning. Pengamatan kajian ini meliputi data keragaan komponen pertumbuhan

dan hasil. Data komponen pertumbuhan terdiri dari: persentase tanaman tumbuh, umur 50% pembungaan, tinggi tanaman, dan umur panen. Data komponen hasil terdiri dari: jumlah cabang produktif, jumlah polong per tanaman, bobot 100 biji dan hasil biji per hektar. Data hasil pengamatan dianalisis dengan sidik ragam (Uji F), apabila analisis ragam menunjukkan perbedaan nyata maka dilakukan dengan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%.

HASIL Tabel 1. Persentase Tanaman Tumbuh (%) beberapa varietas unggul kedelai di 2

lokasi SL- PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012

Lokasi Varietas

Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata Banggai 97,44 92,25 95,65 94,53 94,97a Parigi Moutong 86,70 63,33 83,30 70,00 75,83b

Rata-rata 92,07a 77,79c 89,47a 82,26b Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata pada taraf 5% uji BNJ Tabel 2. Umur berbunga (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-

PTT kedelai, Sulawesi Tengah, MH 2012

Lokasi

Varietas

Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata

Banggai 35,25 35,00 37,87 34,75 35,72a

Parigi Moutong 31,00 33,00 38,00 40,00 35,50a

Rata-rata 33,12a 34,00a 37,93b 37,37b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda

nyata pada taraf 5% uji BNJ

Tabel 3. Tinggi Tanaman (cm) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-

PTT kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012.

Lokasi Varietas

Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata

Banggai 92,00 69,00 72,70 82,60 79,10a

Parigi Moutong 74,80 55,80 66,60 74,40 67,90b

Rata-rata 83,40a 64,25c 67,80c 78,50b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda

nyata pada taraf 5% uji BNJ

438

Page 36: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014 Tabel 4. Umur Panen (hari) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT

kedelai, Sulawesi Tengah. MH 2012

Lokasi

Varietas

Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata

Banggai 88,34 80,00 88,57 84,25 85,29a

Parigi Moutong 86,00 76,00 90,00 86,00 84,50a

Rata-rata 87,17c 78,00a 89,28d 85,12c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda

nyata pada taraf 5% uji BNJ

Tabel 5. Jumlah Cabang Produktif beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi

SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012

Lokasi Varietas

Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata

Banggai 5,20 4,90 5,00 4,80 4,97a

Parigi Moutong 5,30 5,50 4,00 4,00 4,70a

Rata-rata 5,25a 5,20a 4,50a 4,40a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda

nyata pada taraf 5% uji BNJ

Tabel 6. Jumlah Polong Pertanaman beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT kedelai, Sulawesi Tengah. 2012

Lokasi

Varietas

Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata

Banggai 109,1 52,30 87,40 79,80 82,15a

Parigi Moutong 75,00 56,70 104,70 75,50 77,97b

Rata-rata 92,05a 54,50d 96,05a 77,65c

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda

nyata pada taraf 5% uji BNJ

Tabel 7. Bobot 100 biji (gr) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT

kedelai, Sulawesi Tengah. 2012

Lokasi

Varietas

Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata

Banggai 12,26 17,18 12,57 13,13 13,78a

Parigi Moutong 11,53 17,01 13,12 12,90 13,64a

Rata-rata 11,89b 17,10a 12,84b 13,01b

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda

nyata pada taraf 5% uji BNJ

Tabel 8. Hasil Biji (t/ha) beberapa varietas unggul kedelai di 2 lokasi SL-PTT

kedelai, Sulawesi Tengah. 2012

Lokasi

Varietas

Tanggamus Argomulyo Willis Kaba Rata-rata

Banggai 3,16 2,20 2,40 3,00 2,69

Parigi Moutong 2,08 1,60 2,20 1,60 1,87

Rata-rata 2,62 1,90 2,30 2,30

Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda

nyata pada taraf 5% uji BNJ

439

Page 37: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PEMBAHASAN

Persentase Tanaman Tumbuh. Hasil analisis keragaman yang

dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata persentase tanaman tumbuh pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai

memberikan pengaruh nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai persentase tanaman tumbuh yang lebih tinggi yaitu 94,97% dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 75,83%. Sedangkan untuk

4 varietas yang diuji, varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata persentase tumbuh tanaman yang lebih tinggi yaitu 92,07% dan berbeda nyata dengan varietas Argomulyo dan Kaba, tetapi tidak berbeda dengan varietas Willis.

Umur berbunga. Pengamatan umur berbunga dilakukan pada saat 50%

keluarnya bunga kedelai di pertanaman. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap umur berbunga, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur

berbunga kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih cepat yaitu 35,25 hari dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 35,72 hari. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata umur berbunga lebih cepat yaitu 33,12 hari

dan berbeda nyata dengan varietas Willis dan Kaba tetapi tidak berebeda dengan varietas Argomulyo. Arsyad et al. (2007) dalam Djufry (2012) Tipe tanaman ideal berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik pada lahan yang suboptimal

seperti lahan kering masam yang memiliki umur berbunga 40-45 hst.

Tinggi Tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan pada saat tanaman menjelang panen karena pada umur tersebut, pertumbuhan vegetatif terutama tinggi tanaman telah mencapai ukuran yang optimal. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata tinggi tanaman pada 2 lokasi penelitian dan penggunaan 4 varietas kedelai memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi penelitian di Kabupaten Banggai memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 79,10 cm dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yaitu 67,90 cm. Sedangkan untuk varietas, dari 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus menunjukkan rata-rata tinggi tanaman yang lebih tinggi yaitu 83,40 cm dan berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Tinggi tanaman merupakan karakter penting yang dapat mempengaruhi komponen tanaman kedelai lainnya

seperti jumlah cabang produktif dan jumlah buku produktif. Tinggi tanaman yang ideal menurut Somaatmadja (1985) dalam Djufry (2012) adalah 75 cm.

Umur Panen. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi

penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap umur

panen, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Umur panen kedelai pada

lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong lebih capat yaitu 84,50 hari

dibandingkan dengan Kabupaten Banggai 85,29 hari. Hasil uji BNJ 5%

440

Page 38: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo

menunjukkan rata-rata umur panen lebih cepat yaitu 78,00 hari dan berbeda

nyata dengan varietas kedelai lainnya.

Jumlah Cabang Produktif. Hasil analisis keragaman menunjukkan

bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap jumlah cabang produktif tidak memberikan pengaruh nyata. Walaupun dapat

dilihat jumlah cabang produktif di lokasi penelitian Kabupaten Banggai lebih banyak yaitu 4,97 cbg dibanding Kabupaten Parigi Moutong 4,70 cbg. Varietas yang diuji, rata-rata jumlah cabang produktif varietas Tanggamus lebih banyak yaitu 5,25 cbg dibandingkan dengan varietas kedelai lainnya. Hal ini

mengindikasikan varietas Tanggamus memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi agroekologi setempat. Penelitian Djufry (2012) tipe tanaman ideal berdaya hasil tinggi yang beradaptasi baik mampu membentuk percabangan

antara 5-6 cabang.

Jumlah Polong Pertanaman. Hasil analisis keragaman yang dilanjutkan

dengan uji BNJ 5% terhadap pengamatan rata-rata jumlah polong pertanaman pada lokasi penelitian dan penggunaan varietas kedelai memberikan pengaruh

nyata, sedangkan interaksinya tidak memberikan pengaruh nyata. Lokasi

penelitian di Kabupaten Banggai menghasilkan jumlah polong pertanaman yang

lebih banyak yaitu 82,15 plg dan berbeda nyata dengan lokasi penelitian di Kabupaten Parigi Moutong yang menghasilkan 77,97 plg. Sedangkan untuk 4

varietas kedelai yang diuji, varietas Willis memperoleh jumlah polong generatif

yang tertinggi yaitu 96,05 plg dan tidak berbeda dengan varietas Tanggamus

tetapi berbeda nyata dengan varietas Kaba dan Argomulyo.

Bobot 1000 Biji. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi penelitian dan penggunaan varietas memberikan pengaruh berbeda terhadap bobot 100 biji kedelai, sedangkan interaksinya tidak berpengaruh nyata. Bobot 100 biji kedelai pada lokasi penelitian di Kabupaten Banggai mencapai 13,78 gr, sedangkan Kabupaten Parigi Moutong mencapai 13,64 gr. Hasil uji BNJ 5% menunjukkan bahwa dari 4 varietas yang diuji, varietas Argomulyo menunjukkan bobot 100 biji yang lebih berat yaitu 17,10 gr dan berbeda nyata dengan varietas kedelai lainnya. Djufry (2012), mengelompokkan genotype kedelai yang tergolong berbiji kecil memiliki bobot kurang atau sama dengan 7,5 gr, berbiji sedang memiliki bobot antara 7,6-12,5 gr, dan berbiji besar memiliki bobot lebih dari 12,5 gr. Berdasarkan pengelompokkan tersebut, maka varietas-varietas kedelai yang diujikan termasuk dalam kelompok kedelai yang berbiji besar karena memiliki kisaran rata-rata bobot 100 biji antara 12,26 gr-25, 56 gr dan rata-rata bobot 100 biji pada varietas pembanding mencapai 14,85 gr.

Hasil Biji Perhektar. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa lokasi

penelitian dan penggunaan varietas serta interaksinya terhadap hasil biji perhektar

tidak berpengaruh nyata. Walaupun hasil biji perhektar tertinggi dicapai pada lokasi

penelitian di Kabupaten Banggai yaitu 2,69 t/ha dan Kabupaten Parigi Moutong

mencapai 1,87 t/ha. Demikian pula, 4 varietas yang diuji varietas Tanggamus

menunjukkan hasil biji perhektar yang lebih tinggi yaitu 2,62 t/ha

441

Page 39: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 disusul Willis dan Kaba memperoleh hasil yang sama 2,30 t/ha dan Argomulyo

1,90 t/ha. Setelah melihat beberapa data komponen pertumbuhan dan komponen

hasil yang ditunjukkan 4 varietas kedelai yang diuji pada 2 lokasi yang berbeda menunjukkan keragaman antar varietas tersebut. Hasil penelitian Adie dan Arifin (2008), salah satu penyebab terjadinya fluktuasi hasil kedelai karena budidaya kedelai di Indonesia berada dalam lingkungan yang sangat beragam, sehingga hasil kedelai tidak hanya berfluktuasi antar lokasi namun juga antar musim. Disinyalir juga bahwa besarnya ragam hasil antara lokasi lebih disebabkan oleh penerapan perbedaan budidaya. Selain dari itu, faktor determinan budidaya kedelai antar musim di Indonesia adalah mutu draenase dan ketersediaan air. Ayda Krisnawati dan Adie (2008), menyatakan sulitnya mendapatkan kedelai berdaya hasil di atas 2,5 t/ha dengan umur masak di bawah 75 hari berkaitan dengan masalah proses fisiologi tanaman. Hal ini diduga bahwa varietas kedelai yang berumur dalam akan memiliki fase vegetatif lebih panjang dibandingkan dengan kedelai berumur genjah, sehingga cabang, jumlah buku dan jumlah polong semakin banyak. Selain itu periodisitas kedelai berumur dalam juga lebih panjang akan menjadi modal penting dalam menghasilkan fotosintesis bersih bagi tanaman dan dapat meningkatkan hasil biji kedelai.

Karakter morfologi tanaman, seperti ketebalan daun dan laju pertumbuhan

tanaman, merupakan karakter tanaman yang diduga mempengaruhi tingkat

produktivitas karena dapat mempengaruhi kecepatan proses fotosintesis. Laju

pengisian biji yang tinggi dan berlangsung relatif lama akan menghasilkan bobot biji

yang tinggi selama biji sebagai sink dapat menampung hasil asimilat. Sebaliknya,

bila sink cukup banyak tetapi hasil asimilat rendah mengakibatkan kehampaan biji

(Sutoro et al. 2008). Besarnya ragam lingkungan untuk budidaya kedelai di

Indonesia memang menuntut tersedianya varietas kedelai yang memiliki keragaman

hasil relatif kecil pada sembarang lokasi, sehingga daya hasil yang diperoleh akan

paralel dengan mutu lingkungan lokasi yang bersangkutan.

KESIMPULAN

Adaptasi beberapa Varietas Unggul Baru kedelai melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu dalam mendukung SL-PTT kedelai di Sulawesi Tengah menunjukkan kemampuan adaptasi yang berbeda antar lokasi penelitian.

Varietas Tanggamus adaptif terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di Kabupaten Banggai, sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil biji kering yang lebih tinggi yaitu 3,16 t/ha, sedangkan varietas Willis adaptif

terhadap lingkungan tumbuh yang spesifik di Kabupaten Parigi Moutong,

sehingga cocok untuk dikembangkan dan mencapai hasil biji kering yang lebih tinggi yaitu 3,16 t/ha dibanding varietas lainnya.

442

Page 40: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

DAFTAR PUSTAKA Adie,M.M. dan Arifin, 2008. Hasil Biji Galur-Galur Harapan Kedelai. Inovasi

teknologi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. Badan Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. BPS, 2013. Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. Hermanto dan Kasim, H., 2008. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu

(SL-PTT) Kedelai. Departemen Pertanian. Iriani, E., dan Jauhari, S., 2012. Uji Adaptasi beberapa Varietas Kedelai pada

Lahan dengan pH < 5,5 di Spesifik Jawa Tengah. Prosiding Seminar

Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Semarang. DJufry Fadjry, 2012. Pengujian Galur-Galur Harapan Kedelai Produktivitas

Tinggi di Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Prosiding Seminar

Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Bogor. Krisnawati, A.,dan Adie,M.M., 2012. Stabilitas Hasil Galur Harapan Kedelai di

Lintas Lokasi. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan. Bogor. Marwoto, Subandi, T.Adisarwanto, Sudaryono, Astanto K, Sri H, Diah S dan

M.M.Adie, 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Badan Litbang

Pertanian. Jakarta. Ruslan Boy dan Mardiana, 2013. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu

Kedelai. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Palu. Statistik Tanaman Pangan, 2013. Perkembangan Produktivitas Palawija. Badan

Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah. Palu. Subandi, Marwoto dan H.Kuntyastuti, 2008. Kesiapan Teknologi Mendukung

Peningkatan Produksi Menuju Swasembada Kedelai. Prosiding

Simposium V Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan. Bogor. Sukarman, Las, I., dan Hidayat, A., 2008. Potensi dan Ketersediaan Lahan

Pertanian untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan. Prosiding Simposium

V Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan. Bogor. Suryana, A., 2008. Kebijakan dan Program Penelitian Mendukung Tercapainya

Swasembada Kedelai dan Ubi Kayu. Inovasi Teknologi Kacang-

Kacangan dan Umbi-Umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan. Bogor.

443

Page 41: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Sutoro, Dewi,N., dan Setyowati,M., 2008. Hubungan Sifat Morfologis Tanaman

dan Hasil Kedelai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 27

No.3 2008.

Thamrin,T.,Soehendi,R.,Syahri dan Kuswantoro,H., 2012. Uji Adaptasi Galur-

Galur Harapan Kedelai Toleran Kemasaman di Lahan Pasang Surut

Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi

Pertanian Spesifik Lokasi. Bogor.

444

Page 42: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Keragaan Galur dan Varietas Padi di Lahan Rawa Lebak

Provinsi Sumatera Selatan

Performance of Lines and Rice Varieties in Lowland Swamp South Sumatra Province

Suparwoto *)

, Rajulis dan Waluyo1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sumatera Selatan

*)Penulis untuk korespondensi: 082175323647

email: [email protected]

ABSTRACT

This research was conducted at the experimental Kayuagung, Sidakersa village, Ogan Komering Ilir District, South Sumatra Province, started in the dry season of 2011. The goal of gaining some rice strains that have high yield potential and can adapt well the lowland swamp. Varieties / lines were examined as many as 11 lines and 3 varieties for comparison, namely: Ciherang, Inpara 3 and Inpara 5. The study is based on randomized complete block design (RBD) with three replications, broad swath of 4 m x 5 m, a spacing of 25 cm x 25 cm , age 30 day after seedlings, planted 2-3 seeds / hole. Fertilization is done 3 times that at the time of planting 0 day after planting (DAP) 300 kg / ha ponska, 4 weeks after planting (WAP) 100 kg / ha of urea and 7 (WAP) 100 kg / ha of urea given spread. The variables measured were: plant height, number of productive tillers, harvesting, number of grains per panicle, percentage of filled grains per panicle, weight of 1000 grains and dry milled grain yield / plot after removed the line edge. Analysis of data using analysis of variance, followed by Duncan test at 5% level. The results showed that the strains that were tested had high ideal plant for shallow and mid swampy areas, and early duration. Selected strains are strains B 13134-5-MR-1-KA-1 (3.3 tons/ ha), B 10 891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (3.25 tons / ha), B 13132-8-MR-1-KA-1 (3.0 tons / ha), B 115 867 F-MR-11-2-2 (3.0 ton/ ha) significantly different from Ciherang, Inpara 3 and Inpara 5. Keywords: lines and varieties, the performance, rice, lowland swamp

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Kayuagung, Desa

Sidakersa, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada lebak

tengahan, dimulai pada musim kemarau tahun 2011. Adapun tujuannya untuk memperoleh beberapa galur-galur padi yang mempunyai potensi hasil tinggi dan

dapat beradaptasi baik di lahan rawa lebak. Galur/varietas yang diteliti sebanyak

11 galur dan 3 varietas sebagai pembanding yaitu : Ciherang, Inpara 3 dan

Inpara 5. Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK)

445

Page 43: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dengan 3 ulangan, luas petak 4 m x 5 m, jarak tanam 25 cm x 25 cm, umur bibit 30 HSS, ditanam 2-3 bibit/rumpun. Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pada saat tanam (0 HST) 300 kg/ha ponska, 4 MST 100 kg/ha urea dan 7 MST 100 kg/ha urea diberikan secara disebar. Peubah yang diamati adalah : tinggi tanaman,

jumlah anakan produktif, umur panen, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi per malai, bobot 1000 butir gabah dan hasil gabah kering giling/petak setelah dihilangkan satu baris pinggir. Analisis data menggunakan analisis varian dan

dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%. Hasil menunjukkan bahwa galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang ideal untuk daerah lebak dangkal dan tengahan, dan berumur genjah. Galur-galur yang terpilih yaitu galur B 13134-5-MR-1-KA-1 (3,3 ton gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1

(3,25 ton gkg/ha), B 13132-8-MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR-11-2-2 (3,0 ton gkg/ha) berbeda nyata dengan Ciherang, inpara 3 dan inpara 5. Kata kunci : Galur dan varietas, keragaan, padi, rawa lebak

PENDAHULUAN

Lahan rawa khususnya lahan rawa lebak merupakan salah satu sumber daya

lahan yang potensial untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan pertanian

tanaman pangan khususnya beras. Lahan rawa lebak salah satu penyumbangan

produksi beras khususnya untuk Provinsi Sumatera Selatan bahkan secara nasional.

Oleh karena itu peningkatan kebutuhan pangan secara ekstensifikasi maupun

intensifikasi diarahkan di luar pulau Jawa diantaranya Provinsi Sumatera Selatan.

Pada tahun 2011 luas panen padi di Sumatera Selatan mencapai 784.820 ha dengan

rata-rata produktivitas 4.3 ton/ha dan secara nasional sudah mencapai 4.98 ton/ha

(Badan Pusat statistik Indonesia, 2012). Sedangkan produktivitas padi di lahan lebak

rata-rata 3 ton/ha, bila dibandingkan dengan rata-rata produktivitas padi secara

nasional masih tergolong rendah, karena petani di lahan lebak menanam padi pada

musim kemarau. Sehingga kadangkala terjadi kekeringan dan bila turun hujan

terjadi kebanjiran. Selain itu varietas yang digunakan tidak berlabel atau benih hasil

seleksi sendiri dan penggunaan varietas yang sama dalam jangka waktu yang lama.

Kemudian pada lahan rawa lebak dalam yang airnya lambat surut maka petani

menggunakan varietas lokal dan tidak dipupuk sehingga hasil yang dicapai kurang

memuaskan. Maka banjir, kekeringan dan tinggi genangan air merupakan faktor

penghambat dan bahaya bagi pertumbuhan tanaman padi. Selain itu, kesuburan

tanah yang rendah, kemasaman tanah, keracunan dan defisiensi hara juga

merupakan masalah yang penting di lahan rawa lebak. Permasalahan yang sering

dialami petani adalah kebanjiran pada saat padi masih dipersemaian sehingga petani

kekurangan bibit dan bibit yang ditanam sudah berumur tua akibat air belum surut

dalam melakukan usahataninya. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut maka

Balai Besar Penelitian Padi Sukamandi menyediakan galur-galur padi untuk lahan

rawa lebak. Dikemukakan oleh Zen (2007) dalam Jonharnas et al. (2009), galur

yang memiliki keunggulan yang baik dari varietas yang berkembang di petani akan

dapat diterima lebih cepat oleh konsumen bila sesuai dengan preferensi konsumen.

Hasil penelitian sebelumnya, varietas unggul padi yang ditanam di lahan rawa lebak

Kabupaten Banyuasin Sumsel seperti Ciherang, INPARA 2 dan INPARA 1 dapat

tumbuh

446

Page 44: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 baik dengan produksi 6,5-7,4 ton gkp/ha pada MK 2009 (Suparwoto, et al,

2011). Adapun tujuannya untuk memperoleh beberapa galur-galur padi yang

mempunyai potensi hasil tinggi dan dapat beradaptasi baik di lahan rawa lebak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Kayuagung, Desa

Sidakersa, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada lebak

tengahan, dimulai pada musim kemarau (Maret-Oktober) 2011. Galur/varietas yang diteliti sebanyak 11 galur dan 3 varietas sebagai pembanding yaitu : No Galur/varietas No Galur/varietas 1 Ciherang-sub-1 8 B 13135-1-MR-2-KA-1

2 PSBRC82-sub-1 9 B 13135-1-MR-2-KA-2 3 B 115867-MR-11-2-2 10 B 13138-7-MR-2-KA-1 4 B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1- 11 B 13138-7-MR-2-KA-2

MR-1

5 B 13132-8-MR-1-KA-1 12 Ciherang 6 B 13134-4-MR-1-KA-1 13 Inpara 3

7 B 13134-5-MR-1-KA-1 14 Inpara 5

Persemaian dilakukan pada kondisi tanah yang tidak tergenang air di pematang sawah pada bulan April 2011. Persemaian dilakukan dua kali pindah. Persemian pertama tanah dibersihkan dan digemburkan dengan cangkul. Benih direndam dalam air selama 24 jam. Benih disebar 50 g per m2, lalu ditutup dengan rumput/alang-alang. Untuk mencegah hama orong-orong diberikan

Dharmafur sebanyak 10 gr/m2. Setelah berumur 21 hari, bibit dipindahkan

kepersemaian ke-2 pada bulan Mai 2011 karena air belum juga surut. Bibit ditanam pada bulan Juni 2011 dengan umur bibit 30 hari setelah semai (HSS). Luas plot 4 m x 5 m.

Persiapan lahan dimulai pada bulan Maret untuk rawa lebak tengahan. Persiapan tanah pertama kali dengan menebas/memancah gulma dengan menggunakan parang kemudian sisa tanaman dikumpulkan dibuat galengan di sekeliling petak sawah. Pengolahan tanah tidak dilakukan pada lahan rawa lebak tengahan, setelah pengolahan lahan selesai dilakukan penanaman. Penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit dari persemaian ke-2 umur bibit 30 HSS. Jarak tanam 25 cm x 25 cm dan jumlah bibit 2-3 bibit/rumpun. Pemupukan dilakukan 3 kali yaitu pada saat tanam (0 HST) 300 kg/ha ponska, 4 minggu setelah tanam (MST) 100 kg/ha urea dan 7 MST 100 kg/ha urea diberikan secara disebar.

Pemberantasan hama dan penyakit dilakukan apabila diperlukan sesuai keadaan di lapang. Penyulaman dilakukan seminggu setelah tanam, sedangkan penyiangan pertama dan kedua dilakukan masing-masing pada 30 hari dan 60 hari setelah tanam. Bila perlu dilakukan penyiangan ketiga, tergantung keadaan di lapangan.

Panen dilakukan apabila padi sudah menguning lebih 80% matang pada waktu kadar air 20-25%. Tanaman padi dipanen dengan menggunakan sabit gergaji kemudian dirontokan, selanjutnya dijemur sampai kadar air 14%.

447

Page 45: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

Penentuan sampel dilakukan secara acak, masing-masing varietas sebanyak

10 tanaman. Data yang dikumpulkan meliputi : tinggi tanaman, jumlah anakan

produktif, umur panen (80% tanaman menguning), Jumlah gabah per malai, Jumlah

gabah isi per malai, Bobot 1000 butir, Hasil gabah kering per plot. Hasil gabah

diambil dengan membuat petak contoh bersih dengan memisahkan satu baris

rumpun tanaman di sekeliling petak percobaan. Metoda yang digunakan adalah

rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Analisis data menggunakan

analisis varian dan dilanjutkan dengan uji duncan pada taraf 5%.

HASIL

Pada Tabel 1, secara statistik galur-galur yang diuji menunjukkan

perbedaan yang nyata dengan varietas pembanding Ciherang, Inpara 3 dan

Inpara 5 terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur panen. Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, jumlah anakan produktif dan umur panen dari

galur-galur/varietas yang diuji di lahan lebak, MK 2011 No Galur/varietas Tinggi tanaman Jumlah anakan Umur panen

(cm) produktif (btg) (80%)(HST) 1 Ciherang-sub-1 91,7 c 13,4 a 92,3 b 2 PSBRC82-sub-1 78,7 b 15,2 b 93,0 b 3 B 115867 F-MR-11-2-2 103,1 d 14,5 b 98,3 c 4 B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1- 100,5 d 16,0 bc 101,3 d

MR-1

5 B 13132-8-MR-1-KA-1 85,1 b 16,1 c 91,3 b 6 B 13134-4-MR-1-KA-1 79,5 b 13,8 b 97,7 c 7 B 13134-5-MR-1-KA-2 81,5 b 13,5 ab 99,7 c 8 B 13135-1-MR-2-KA-1 98,2 d 13,1 a 100,3 d 9 B 13135-1-MR-2-KA-2 93,3 c 13,5 a 101,3 d 10 B 13138-7-MR-2-KA-1 87,2 c 13,1 a 95,3 c 11 B 13138-7-MR-2-KA-2 93,3 c 14,0 b 96,0 c 12 Ciherang 84,6 b 13,9 b 87,0 a 13 Inpara 3 89,2 c 14,3 b 89.7 a 14 Inpara 5 76,9 a 14,3 b 94,7 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti

tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.

Pada Tabel 2, secara statistik parameter yang diamati yaitu jumlah gabah

per malai, persentase gabah isi per malai dan bobot 1000 butir gabah dari galur

yang diuji berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang, Inpara 3 dan

Inpara 5 (Tabel 2).

448

Page 46: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014 Tabel 2. Rata-rata jumlah gabah/malai, persentase gabah isi/malai dan berat 1000

butir gabah dari galur-galur/varietas yang diuji di lahan lebak, MK 2011 No Galur/varietas Jlh gabah/malai Persentase gabah Bobot 1000 butir

(btr) isi/malai (btr) gabah (gr) 1 Ciherang-sub-1 90,3 c 66,9 a 27,5 a 2 PSBRC82-sub-1 70,1 b 78,6 b 28,5 b 3 B 115867 F-MR-11-2-2 88,1 c 81,1 c 29,1 c 4 B 10891 B-MR-3-KN-4-1- 92,9 c 81,6 c 29,8 d

1-MR-1

5 B 13132-8-MR-1-KA-1 93,0 c 80,5 c 29,8 d 6 B 13134-4-MR-1-KA-1 81,2 b 73,4 b 28,1 b 7 B 13134-5-MR-1-KA-2 87.2 c 82,6 c 29,5 c 8 B 13135-1-MR-2-KA-1 79,9 b 79,1 b 27,8 b 9 B 13135-1-MR-2-KA-2 83,5 b 80,3 c 29,1 c 10 B 13138-7-MR-2-KA-1 85,8 b 78,7 b 29,0 c 11 B 13138-7-MR-2-KA-2 80,2 b 78,5 b 28,8 c 12 Ciherang 71,4 b 77,7 b 28,7 c 13 Inpara 3 70,3 b 74,5 b 26,8 a 14 Inpara 5 68,9 a 73,5 b 28,3 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti

tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%. Secara statistik hasil gabah dari galur dan varietas yang diuji menunjukan perbedaan yang

nyata (Tabel 3).

Tabel 3. Rata-rata hasil gabah (ton gkg/ha) dari galur-galur/varietas yang diuji di

lahan lebak, MK 2011 No Galur/varietas Konversi hasil gabah kering per ha (ton gkg/ha) 1 Ciherang-sub-1 2,25 a 2 PSBRC82-sub-1 3,0 c 3 B 115867 F-MR-11-2-2 3,0 c 4 B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 3,25 c 5 B 13132-8-MR-1-KA-1 3,0 c 6 B 13134-4-MR-1-KA-1 2,9 b 7 B 13134-5-MR-1-KA-1 3,3 c 8 B 13135-1-MR-2-KA-1 3.1 c 9 B 13135-1-MR-2-KA-2 2,8 b 10 B 13138-7-MR-2-KA-1 2,25 a 11 B 13138-7-MR-2-KA-2 2,8 b 12 Ciherang 2,7 b 13 Inpara 3 2,35 b 14 Inpara 5 2,3 b Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolam yang sama berarti

tidak berbeda nyata pada uji Duncan taraf 5%.

449

Page 47: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PEMBAHASAN

Tinggi tanaman. Tinggi tanaman dari galur yang diuji dan varietas Inpara 3, Inpara 5, Ciherang bervariasi (Tabel 1). Galur B 115867 F-MR-11-2-2, B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1-MR-1 dan B 13135-1-MR-2-KA-1 memiliki tinggi tanaman tidak berbeda nyata dengan varietas Ciherang, Inpara 3 dan inpara 5 sebagai pembanding dengan rata-rata tinggi tanaman 103,1 cm, 100,5 cm dan 98,2 cm. Berdasarkan deskripsi Inpara 3 yang merupakan padi rawa tinggi tanamannya bisa mencapai 108 cm dan Inpara 5 lebih pendek dari inpara 3 hanya 92 cm (Balai Besar Penelitian Padi, 2011). Menurut IRRI (1996), kriteria tinggi tanaman tergolong rendah, sedang dan tinggi apabila tingginya masing-masing adalah < 110 cm, 110-130 cm dan > 130 cm. Galur-galur yang dikaji semuanya bisa ditanam di lahan rawa lebak karena tidak menunjukkan kerebahan, baik untuk ditanam di lebak dangkal dan tengahan dan galur tersebut termasuk tanaman yang rendah < 110 cm. Bervariasinya tinggi tanaman dari varietas yang dikaji disebabkan oleh faktor genetik dari masing-masing galur dan faktor lingkungan. Tinggi pendeknya tananam berkaitan dengan ketahanan tanaman terhadap kerebahan. Karakter tinggi tanaman merupakan salah satu karakter agronomi yang harus diperhatikan, karena jika tanaman terlalu tinggi maka tanaman akan mudah rebah. Tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah pada saat panen, karena rendahnya daya topang tanah. Tanaman padi yang mengalami kerebahan di lahan rawa lebak akan mengalami permasalahan apabila terlambat panen bulir padi akan tumbuh maka kualitas padi akan turun. Menurut Waluyo (2004) dalam Bakri et al. (2006), lahan rawa lebak mempunyai struktur tanah amorf dan terdapat lumpur yang dalam, akibatnya daya topang tanah rendah, tanaman yang tinggi cenderung untuk rebah. Disisi lain jika tanaman terlalu pendek maka tanaman akan rentan terhadap rendaman yang sering terjadi di lahan rawa lebak. Galur-galur yang diuji tergolong mempunyai tinggi tanaman yang ideal untuk lahan lebak.

Jumlah anakan produktif. Galur-galur yang diuji mempunyai anakan

produktif rata-rata 13-16 batang/rumpun. Galur B 13132-8-MR-1-KA-1 dan B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 memiliki anakan produktif rata-rata 16 batang/rumpun lebih banyak dari varietas pembanding Ciherang, inpara 3 dan inpara 5. Berdasarkan deskripsi inpara 3 dan inpara 5 bisa mencapai 17-18 batang/rumpun. Menurut IRRI (1996), kriteria jumlah anakan produktif tergolong rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi masing-masing berjumlah 5-9, 10-19, 20-25 dan > 25 batang. Maka galur yang diuji tergolong sedang. Bervariasinya jumlah anakan produktif yang dimiliki oleh masing-masing galur dan varietas, akibat faktor genetik dan juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya, diantaranya pada saat pembentukan anakan produktif atau

pengisian bulir kekurangan air karena curah hujan berkurang. Kendala ini merupakan salah satu kendala alami budidaya tanaman padi di lahan lebak. Menurut Lesmana et al. (2004), salah satu faktor yang mempengaruhi produksi tanaman padi tinggi adalah kondisi anakan produktif yang banyak.

Umur panen. Umur panen galur-galur yang diuji dan varietas

pembanding tergolong genjah berkisar 87,0-101,3 HST (Tabel 1). Bervariasinya

450

Page 48: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 umur panen dari 11 galur dan 3 varietas pembanding disebabkan adanya perbedaan dari masing-masing genetik dan juga faktor lingkungan. Menurut

Utami (2009) dalam Purnamaningsih et al., (2010), perbedaan genotip yang

ditunjukkan oleh karakter umur panen berhubungan erat dengan masa berbunga

dari masing-masing galur, di mana semakin cepat umur berbunga maka semakin cepat tanaman dapat dipanen. Umur padi yang genjah sangat diharapkan oleh

petani karena di lahan rawa lebak mempunyai masalah diantaranya banjir dan

kekeringan yang mengakibatkan gagal panen.

Jumlah gabah per malai. Galur Ciherang-sub-1, B 115867 F-Mr-11-2-

2, B 10891 B-Mr-3-KN-4-1-1-Mr-1, B 13132-8-MR-1-KA-1 dan B 13134-5-MR-1-KA-2 tidak berbeda nyata terhadap jumlah gabah per malai tetapi berbeda

nyata dengan varietas pembanding.(Tabel 2). Jumlah gabah per malai

merupakan komponen yang sangat penting dalam menentukan komponen hasil.

Faktor lingkungan seperti kekeringan merupakan kendala alami di lahan rawa lebak di mana penanaman dilakukan pada musim kemarau. Sehingga sangat

berpengaruh terhadap pengisian gabah.

Persentase gabah isi/malai. Persentase gabah isi per malai dari galur-galur yang diuji tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding Ciherang,

Inpara 3 dan Inpara 5 yaitu galur B 115867 F-Mr-11-2-2, B 10891 B-Mr-3-KN-

4-1-1-Mr-1, B 13132-8-MR-1-KA-1, B 13134-5-MR-1-KA-2 dan B 13135-1-

MR-2-KA-2 berkisar 80,3%-82,6%. Tinggi rendahnya persentase gabah isi per malai disebabkan oleh perbedaan tanggapan dan ketahanan tiap galur/varietas

terhadap kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan terutama pada fase

reproduktif dan pemasakan. Dikemukakan oleh Simanulang (2001) bahwa

jumlah gabah isi per malai berhubungan nyata dengan hasil tanaman tetapi

sangat dipengaruhi oleh gabah hampa.

Berat 1000 butir gabah. Bobot 1000 butir gabah dari galur yang diuji

berbeda nyata dengan varietas pembanding yaitu galur B 10891 B-MR-3-KN-4-

1-1-MR-1 dan B 13132-8-MR-1-KA-1 rata-rata 29,8 gram, sedangkan Ciherang

rata-rata 28,7 gram, Inpara 3 rata-rata 26,8 gram dan inpara 5 rata-rata 28,3 gram

(Tabel 2). Komponen bobot 1000 butir gabah merupakan suatu komponen yang

harus diperhatikan untuk memprediksi potensi hasil tanaman. Semakin tinggi

bobot 1000 butir gabah menggambarkan semakin bernas gabah tersebut.

Hasil gabah. Hasil gabah tertinggi dicapai oleh galur B 13134-5-MR-1-

KA-1 (3,3 ton gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (3,25 ton gkg/ha), B

13132-8-MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR-11-2-2 (3,0 ton gkg/ha),

B 13135-1-MR-2-KA-1 (3,1 ton gkg/ha), PSBRC82-sub-1 (3,0 ton gkg/ha)

(Tabel 3). Galur-galur tersebut didukung oleh komponen hasil persentase gabah isi per

malai rata-rata 81,1-82,6%, bobot 1000 butir gabah rata-rata 29,1-29,8 gram dan

jumlah gabah per malai rata-rata 87,2-93,0 butir. Hasil yang dicapai oleh galur-

galur/varietas yang diuji tergolong rendah. Rendahnya hasil gabah tersebut

diakibatkan penggunaan bibit tergolong tua 30 HSS dimana persemaiannya

dilakukan 2 kali karena air belum surut, selain itu pada saat pengisian bulir terjadi

451

Page 49: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 kekurangan air karena curah hujan sedikit hanya 40,5 mm dengan satu hari

hujan pada bulan Juli 2011 bahkan sampai bulan Agustus tidak ada curah hujan.

(Gambar 1).

450

400

350

300

250

200

150

100

50

0

Ju

li

Jan

ua

ri

Fe

bru

ari

Ma

ret

Ap

ril

Me

i

Ju

ni

Ag

ustu

s

Se

pte

mb

er

Okto

be

r

No

pe

mb

er

Dese

mb

er

curah hujan

(mm) hari hujan

Gambar 1. Grafik curah hujan di lokasi penelitian

KESIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman yang ideal untuk daerah

lebak dangkal dan tengahan, dan berumur genjah

2. Galur-galur yang terpilih yaitu galur B 13134-5-MR-1-KA-1 (3,3 ton gkg/ha), B 10891 B-MR-3-KN-4-1-1-MR-1 (3,25 ton gkg/ha), B 13132-8-MR-1-KA-1 (3,0 ton gkg/ha), B 115867 F-MR-11-2-2 (3,0 ton gkg/ha) berbeda nyata dengan Ciherang, Inpara 3 dan Inpara 5.

3. Penampilan dari galur-galur dan varietas yang diuji terhadap pertumbuhan maupun hasil gabah sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dari masing-masing galur dan lingkungan dimana galur tersebut ditanam.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2012. Statistik Indonesia. Badan Pusat Statistik

Indonesia. Jakarta. Bakri dan R.H. Susanto. 2006. Keragaan produksi beberapa varietas padi hasil

mutasi radiasi di daerah rawa lebak di Kecamatan Rambutan Musi

Banyuasin, Sumatera Selatan. Jurnal Tanaman Tropika 9 (1) : 24-29. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 2011. Deskripsi varietas padi. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. 118 hal.

452

Page 50: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. Internasional Rice Research

Institute. Los philippines.

Jonharnas, Novia, C, Syahrul, Z. 2009. Penampilan beberapa galur harapan padi

sawah di Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam : Bambang Suprihatno,

Aan Andang Daradjat, Satoto, Baehaki, dan Sudir (Ed). Prosiding

Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Padi.

Badan Litbang Pertanian Sukamandi. Hal :115-122.

Lesmana, O.S, H.M. Toha, I.Las dan B. Suprihanto. 2004. Varietas unggul baru

padi. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.

Purnamaningsih, L.S; Arifin,K dan Utami, M.D. 2010. Adaptasi enam genotip

padi lokal pada lingkungan pemupukan organik dan anorganik. Prosiding

Seminar Nasional Balai Besar penelitian Padi, Badan Litbang Pertanian.

Sukamandi. Hal. 89-101.

Simanulang, Z.A. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat agronomis dan mutu. Dalam

Bambang Prayudi dkk (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil-hasil

penelitian/pengkajian Spesifik lokasi. BPTP Jambi.

Suparwoto dan Waluyo. 2011. Pertumbuhan dan daya hasil padi varietas INPARA

1, INPARA 2 dan Ciherang di lahan lebak tengahan Kabupaten Banyuasin

Sumatera Selatan. Dalam : Bambang Suprihatno, Aan Andang Daradjat,

Satoto, Baehaki, dan Sudir (Ed). Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian

Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Buku 1. Badan

Litbang Pertanian Sukamandi. Hal :161-168.

453

Page 51: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Varietas Unggul Padi Tahan terhadap Penyakit Blas Mendukung

Bio-Industri di Lahan Sub-Optimal

Rice Varieties Resistant to Blast Disease Supports Bio-Industry in

Sub-Optimal Land

Dini Yuliani1*)

, Sudir1, dan Tumarlan Thamrin

2

1Balai Besar Penelitian Tanaman Padi

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

*)Penulis

untuk korespondensi: Jl. Raya Sukamandi IX Ciasem Subang, HP. 081221480099

Email: [email protected]

ABSTRACT

Blast disease in rice was caused by fungus Pyricularia grisea. At the beginning, this disease was one of the major obstacles in sub-optimal land on upland rice cultivation and rice swamp. But lately had spread in irrigated land. P. grisea pathogen attack all phases of the growth of rice plants from seedlings to harvest. Based on the symptoms, Blast was differentiated into leaf blast and neck blast. In a conducive environment, leaf blast can cause the death of the rice plant. While blas neck can reduce rice yields due to rot and panicle neck fracture that plagued grain filling even empty. Pathogenic races of P. grisea had highly variations and was very dynamic so it was difficult to control blast disease. Rice varieties that have durable resistance and polygenic nature is one way to control pathogens blast which multiraces. Some rice varieties resistant to several pathogenic races of blast disease including Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago

7, Inpago 8, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, and Inpara 6. Other actions that need to be considered in the use of resistant varieties i.e. do not grow rice in widely monoculture and continuously. Rice plants at sub-optimal land must performed rotation varieties or rotation genes. The existence of several varieties with different of resistance in a rice planting area can reduce the selection pressure on the pathogen P. grisea that can delay the occurrence of a new blast races and fracture resistance of rice varieties. Key Words: Rice Varieties, Blast Disease, Sub-Optimal Land

ABSTRAK

Penyakit blas pada tanaman padi disebabkan oleh cendawan Pyricularia

grisea. Pada awalnya, penyakit ini salah satu kendala utama di lahan sub optimal

pada budidaya padi gogo dan padi rawa. Namun akhir-akhir ini sudah menyebar di

lahan sawah irigasi. Patogen P. grisea menyerang semua fase pertumbuhan tanaman

padi mulai dari persemaian hingga menjelang panen. Berdasarkan gejala, Blas

dibedakan menjadi blas daun dan blas leher. Pada lingkungan kondusif, blas daun

dapat menyebabkan kematian tanaman padi. Sedangkan blas leher dapat

menurunkan hasil padi karena leher malai busuk dan patah sehingga pengisian

gabah terganggu bahkan hampa. Penyakit blas sulit dikendalikan karena patogen

454

Page 52: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 P. grisea memiliki banyak ras yang bersifat sangat dinamik. Perakitan varietas padi yang memiliki ketahanan durable dan bersifat poligenik merupakan salah satu cara menghadapi patogen blas yang bersifat multiraces. Beberapa varietas padi yang tahan terhadap beberapa ras patogen blas diantaranya Inpago 4,

Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, dan Inpara 6. Usaha lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan vareitas tahan yaitu tidak menanam padi secara monokultur dengan terus menerus. Tanaman padi di lahan sub optimal perlu dilakukan pergiliran varietas atau rotasi gen. Adanya

beberapa varietas yang berbeda tingkat ketahanannya pada suatu areal pertanaman padi dapat mengurangi tekanan seleksi terhadap patogen P. grisea sehingga dapat memperlambat terjadinya ras blas yang baru dan patahnya

ketahanan varietas padi. Kata kunci: Varietas Unggul, Penyakit Blas, Lahan Sub-Optimal

PENDAHULUAN

Penyakit blas merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman padi yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia grisea. Blas merupakan penyakit utama padi gogo dan menginfeksi tanaman padi pada semua fase pertumbuhan (Ou, 1979). Penyebaran penyakit blas sangat luas dan bersifat destrukif jika kondisi lingkungan menguntungkan (Scardaci et al., 1997). Daerah endemis blas tersebar di beberapa provinsi di Indonesia terutama di Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara. Potensi penyakit blas yang besar ditemukan juga di lahan pasang surut seperti Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (Mukhlis, 1997). Hasil monitoring perkembangan penyakit blas yang dilakukan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penyakit tersebut telah meluas dari padi gogo ke padi sawah, sehingga varietas

IR64 telah terserang penyakit blas (Orbach et al., 2000). Serangan blas meluas ke areal sawah antara lain di Bali, Banyuwangi, Sukabumi, dan Sumatera Selatan (Amir 1995). Sudir et al. (2013), melaporkan bahwa penyakit blas ditemukan menyerang tanaman padi sawah irigasi di Kabupaten Subang, Karawang, dan Indramayu (Jawa Barat); Pemalang, Pekalongan, Batang, Demak, Jepara, dan Blora (Jawa Tengah); serta Lamongan, Jombang, Pasuruan, Mojokerto, Probolinggo, dan Lumajang (Jawa Timur).

Penyakit ini dibedakan berdasarkan organ tanaman yang terserang, apabila terjadi infeksi pada daun menyebabkan blas daun dan apabila infeksi pada malai menyebabkan blas leher (Syam dan Hermanto, 1995). Blas leher dinilai lebih berbahaya karena dapat menyebabkan kehampaan gabah sebesar 90% (Amir dan Kardin, 1991). Tingkat kehilangan hasil akibat serangan penyakit blas di daerah endemik mencapai 11-50% (Baker et al., 1997; Scardaci et al., 1997). Di Indonesia, serangan penyakit blas pada tahun 2007 mencapai 1.285 juta ha atau 12% dari total luas areal pertanaman padi di Indonesia dan bahkan diramalkan serangan akan meningkat pada tahun-tahun mendatang (Ditjen Tanaman Pangan, 2008).

Ledakan penyakit blas pada tahun 2007 merupakan salah satu dampak dari

perubahan iklim yang terjadi. Pemanasan global dapat menyebabkan perubahan

yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis seperti peningkatan intensitas badai

tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin,

455

Page 53: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 masa reproduksi hewan dan tanaman, distribusi spesies dan ukuran populasi, frekuensi serangan hama dan wabah penyakit (Balitklimat, 2011).

Perkembangan penyakit dipengaruhi oleh dinamika faktor iklim. Fenomena

banjir dan kekeringan, perubahan pola curah hujan yang berdampak terhadap

pergeseran musim dan pola tanam, fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang semakin meningkat akan menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan

penyakit tanaman merupakan dampak dari perubahan iklim yang mengancam

keberlanjutan usaha pertanian. Untuk mengantisipasi terjadinya ledakan penyakit blas akibat pemanasan

global antara lain dapat diupayakan dengan pengendalian penyakit secara terpadu, yaitu memadukan waktu tanam yang tepat dan pergiliran varietas unggul baru tahan penyakit blas. Tulisan ini membahas penggolongan varietas tahan penyakit blas berdasarkan agroekosistem dan manajemen pengelolaan ketahanannya terhadap penyakit blas. Selain itu, pemahaman mengenai epidemi penyakit blas berguna dalam pengendalian penyakit blas secara efektif dan efisien mendukung bio-industri pertanaman padi di lahan sub-optimal.

PEMBAHASAN

Epidemi Penyakit Blas. Cendawan P. grisea termasuk dalam kelompok

scomycetes dan bersifat heterotalik (Zeigler, 1998). Jamur ini ditemukan di alam

dalam bentuk aseksualnya saja sedangkan bentuk seksualnya, yaitu Magnaporthe

grisea (Herbert) Barr, hanya dihasilkan dengan pengkulturan di laboratorium

(Valent, 1990). Secara morfologi, jamur P. grisea mempunyai konidia berbentuk

bulat, lonjong, tembus cahaya, dan bersekat dua (3 ruangan) (Ou, 1985). Konidia jamur P. grisea akan berkecambah pada kondisi optimum dengan

cara membentuk buluh-buluh perkecambahan yang selanjutnya menjadi appresoria

(Bourett dan Howard, 1990). Appresoria akan menembus kutikula daun dengan

bantuan melanin yang ada pada dinding appresoria. Proses penetrasi appresoria

pada kondisi optimum berlangsung 8–10 jam (Chumley dan Valent, 1990). P. grisea

dapat menjadi patogen pada beberapa tanaman penting lainnya, seperti gandum,

sorghum dan serealia lainnya (Kahmann dan Basse 1997), lebih dari 40 spesies

gulma rumput-rumputan dan gulma lainnya (Ou, 1985). Cendawan P. grisea penyebab penyakit blas merusak hampir semua

bagian tanaman padi yaitu daun, kolar daun, buku, leher malai, dan bulir padi (Chen, 1993). Gejala tanaman yang terserang blas relatif mudah dikenali secara kasat mata. Bentuk khas dari bercak blas adalah elips dan runcing pada kedua ujungnya. Bentuk dan warna bercak bergantung pada keadaan lingkungan, kepekaan varietas, dan umur bercak itu sendiri. Ukuran bercak sebesar 1-1,5 cm x 0,3-0,5 cm. Bercak bermula kecil berwarna hijau gelap, lalu menjadi abu-abu agak kebiruan. Pada varietas peka dan dalam keadaan lembap, bercak terus membesar. Bercak yang telah berkembang berwarna coklat pada bagian tepi dan bagian tengah berwarna putih keabuan (Ou 1979).

P. oryzae juga dapat menyebabkan tangkai malai membusuk dan patah, penyakit ini biasa kita sebut busuk leher. Jika infeksi terjadi sebelum pengisian bulir dapat menyebabkan kehampaan bulir padi. Tidak hanya daun dan malai batang juga dapat terinfeksi sehingga batang padi membusuk dan rebah.

456

Page 54: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Epidemik hanya berkembang apabila kombinasi dan perkembangan yang baik dari banyak faktor lingkungan seperti: kelembaban, suhu dan angin yang bertepatan dengan tingkat kerentanan tanaman dengan produksi, penyebaran, inokulasi, penetrasi, infeksi dan reproduksi patogen (Agrios, 1996). Menurut Ou

(1979), penyebaran spora blas dapat terjadi oleh angin atau melalui benih dan jerami tanaman sakit. Cendawan P. grisea mampu bertahan dalam sisa gabah dan jerami tanaman sakit. Pada daerah tropik, sumber inokulum selalu ada

sepanjang tahun, karena adanya spora di udara dan tanaman inang selain padi (Santoso dan Nasution, 2009).

Pada umumnya kombinasi suhu air rendah (17 °C) dan suhu udara sedang

(32 °C) menyebabkan infeksi blas meningkat (Tasugi dan Yoshida, 1959). Varietas

dari daerah sub-tropis lebih rentan pada suhu rendah daripada varietas dari daerah

tropis (Hashioka, 1944). Kelembapan udara dan kelembapan tanah mempengaruhi

patogenisitas dan pertumbuhan cendawan. Pada lahan kering, serangan penyakit

blas lebih berat daripada lahan sawah. Namun tergantung pada varietas padi yang

digunakan oleh petani. Kelembaban udara memengaruhi perkembangan bercak.

Peran kelembapan udara, baik iklim makro maupun mikro, dan pembentukan embun

sangat menentukan perkembangan penyakit blas (Ou, 1985). Di pesemaian,

misalnya, infeksi di bagian tengah lebih berat di bagian pinggir. Naungan juga

berpengaruh pada perkembangan bercak. Pesemaian dalam rumah kaca akan lebih

rentan apabila terdapat naungan sehingga sedikit teduh. Ras cendawan P. grisea dapat berubah dan mudah terbentuk ras baru

dengan cepat apabila populasi tanaman atau sifat ketahanan tanaman berubah (Ou, 1985). Mutasi, seleksi, aliran gen di antara populasi dan rekombinasi genetik merupakan faktor utama yang menentukan struktur genetik dan dinamika populasi patogen P. grisea (Zeigler, 1998).

Patogen P. grisea mempunyai siklus ganda (polisiklik) dengan kemampuan membentuk ras baru dalam waktu singkat. Varietas yang dinyatakan tahan harus mampu menghadapi banyak ras. Ketahanan tanaman padi terhadap penyakit blas dipengaruhi oleh adanya gen ketahanan pada tanaman inang, patogenisitas cendawan P. grisea dan faktor lingkungan (Ou, 1985). Ketahanan ini dapat dikendalikan oleh satu, beberapa dan banyak gen. satu gen dapat mengendalikan ketahanan terhadap ras tertentu, beberapa gen dapat mengendalikan beberapa ras dan banyak gen mengendalikan banyak ras (Takahashi, 1963).

VARIETAS TAHAN PENYAKIT BLAS

Berbagai teknik pengendalian telah dilakukan seperti teknik budidaya,

pengolahan tanah, dan pestisida sintetik. Namun hasilnya belum memuaskan,

karena pemakaian pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang kurang bijaksana

mengakibatkan rusaknya lingkungan serta keseimbangan ekosistem terganggu

misalnya, musuh alami dan agen antagonis dari patogen menjadi mati sehingga

hama dan penyakit tanaman berkembang dengan cepat di pertanaman padi. Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu komponen utama dalam

pengendalian penyakit blas secara terpadu, karena cara ini merupakan yang paling

murah, mudah, dan efektif dilakukan oleh petani. Ketahanan suatu varietas terhadap

penyakit merupakan sifat genetik yang dapat diwariskan. Perbedaan

457

Page 55: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

ketahanan adakalanya karena sifat morfologis tanaman yang menentukan kuat

tidaknya jaringan tanaman yaitu jumlah kutikula yang menutupi sel-esel

epidermis, susunan dinding epidermis, ukuran, lokasi dan bentuk stomata serta

lenti sel (Agrios, 1996). Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian melalui Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) sebagai instansi pemerintah memiliki tupoksi

khusus meneliti tanaman padi telah melepas varietas unggul tahan penyakit blas

berdasarkan agroekosistem lahan kering dan lahan rawa, yaitu padi gogo dan padi

rawa (Tabel 1 dan 2). Baik padi gogo maupun padi rawa memiliki keunggulan

spesifik berupa umur tanaman, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, bobot 1000

butir, potensi hasil, tekstur nasi, dan ketahanan varietas terhadap penyakit blas.

Petani dapat memilih varietas sesuai preferensi berdasarkan keunggulannya tersebut.

Varietas unggul tahan penyakit blas diharapkan dapat menekan kehilangan hasil

akibat serangan patogen P. grisea di lapangan.

Tabel 1. Deskripsi varietas unggul tahan penyakit blas untuk agroekosistem

lahan kering (padi gogo) Umur Tinggi

Anakan Tekstur Bobot Potensi Ketahanan

No. Nama Varietas Tanaman Tanaman 1000 Butir Hasil

Produktif Nasi terhadap Blas

(Hari) (cm) (gr) (ton/ha)

1 Gajah Mungkur 90-95 95-100 6-8 Pulen 36 2,5 Agak Tahan

2 Jatiluhur 110-115 95-100 13-15 Pera 27 3,5 Tahan

3 Cirata 115-125 100-110 10-13 Pulen 28,5 6,5 Agak Tahan

4 Towuti 105-115 95-100 13-15 Pulen 26 7 Agak Tahan

5 Limboto 115-125 110-132 12-18 Sedang 28 6 Tahan

6 Danau Gaung 110-116 130-140 14-18 Sedang 27 5,5 Tahan

7 Batutugi 116 124 sedikit Pulen 25 6 Tahan

8 Situ Patenggang 110-120 100-110 10-13 Sedang 26,5-27,5 6 Tahan

9 Situ Bagendit 110-120 99-105 12-13 Pulen 27-28 6 Agak Tahan

10 Inpago 4 124 134 11 Pulen 25 6,1 Tahan

11 Inpago 5 118 132 14 Sangat 26 6,2 Tahan

Pulen

12 Inpago 6 113 117 11 Sedang 25 5,8 Tahan

13 Inpago 7 111 107 - Pulen - 7,4 Agak Tahan

14 Inpago 8 119 122 - Pulen - 8,1 Tahan

15 Inpago 9 109 115 - Sedang - 8,4 Agak Tahan

Sumber: Suprihatno et al. 2011

Tabel 2. Deskripsi varietas unggul tahan penyakit blas untuk agroekosistem

lahan rawa (padi rawa) Umur Tinggi

Anakan Tekstur Bobot Potensi Ketahanan

No. Nama Varietas Tanaman Tanaman 1000 Butir Hasil

Produktif Nasi terhadap Blas

(Hari) (cm) (gr) (ton/ha)

1 Banyuasin 118-122 98-105 10-15 Pulen 26 6 Tahan

2 Batanghari 122-128 105-112 10-15 Pera 24 6,5 Tahan

3 Dendang 123-127 90-100 15-20 Pulen 24 5 Agak Tahan

4 Indragiri 117 100 15-20 Sedang 24-25 6 Tahan

5 Punggur 117 100 15-20 Sedang 27 5,5 Tahan

6 Martapura 120-125 120-130 10-19 Pera 21 5 Agak Tahan

7 Margasari 120-125 120-130 10-19 Pera 21 4,5 Tahan

8 Siak Raya 115-124 118-122 15-20 Pera 26 6 Tahan

9 Air Tenggulang 123-127 118-122 15-20 Pera 27 6 Tahan

10 Lambur 115 100 14 Pulen 28 5 Tahan

11 Mendawak 115 89 13 Pulen 27 5 Agak Tahan

458

Page 56: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional

Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung Bioindustri di Lahan Sub Optimal

Palembang, 16 September 2014

Umur Tinggi Anakan Tekstur Bobot Potensi

Ketahanan

No. Nama Varietas Tanaman Tanaman 1000 Butir Hasil

Produktif Nasi terhadap Blas

(Hari) (cm) (gr) (ton/ha)

12 Inpara 1 131 111 18 Pera 23,25 6,47 Tahan

13 Inpara 2 128 103 16 Pulen 25,66 6,08 Tahan

14 Inpara 3 127 108 17 Pera 25,7 5,6 Tahan

17 Inpara 6 117 99 13 Sedang 26 6 Tahan

18 Inpara 7 114 88 - Pulen - 5,1 Agak Tahan

Sumber: Suprihatno et al. 2011

Selain varietas unggul tahan penyakit blas yang telah dilepas oleh BB Padi,

terdapat galur-galur padi yang dirakit berasal dari koleksi plasma nutfah terdiri atas

varietas lokal, varietas unggul, dan padi liar yang telah diuji ketahanannya terhadap

penyakit blas. Adanya keragaman genetik yang luas di dalam plasma nutfah

memberikan peluang yang besar untuk perbaikan genotipe tanaman (Sumarno,

2002). Varietas lokal yang tahan lima ras dominan (033, 041, 073, 133, dan 173)

yaitu varietas Sibau dan P. Pulut Longbanga (Nasution et al. 2011). Respon

beragam dari 465 galur padi hasil pemuliaan terhadap lima ras P. grisea. Sebagian

besar galur menunjukkan reaksi tahan terhadap satu dan dua ras blas masing-masing

sebanyak 32,04 dan 30,32% (Santoso dan Nasution, 2011). Spesies padi liar merupakan sumber daya genetik yang cukup penting untuk

program perakitan varietas unggul tahan hama, penyakit, dan toleran cekaman

abiotik. Sumber keragaman genetik lainnya dapat diperoleh dari spesies padi liar.

Spesies padi liar merupakan kerabat jauh dari padi budidaya (Oryza sativa). Spesies

padi liar Oryza officinalis bereaksi tahan terhadap blas, sedangkan Oryza rutifogon, Oryza punctata, Oryza alta bereaksi agak tahan terhadap blas (Nasution et al. 2012).

Untuk menekan serangan penyakit blas, disarankan untuk melakukan pengendalian secara terpadu, antara lain menanam varietas tahan sesuai cekaman lingkungan setempat, menggunakan pupuk urea sesuai dosis rekomendasi, melakukan pola pergiliran varietas sehingga siklus hidup cendawan P. grisea dapat terputus, menanam padi secara serempak, melakukan sanitasi lingkungan secara intensif, dan khusus pada daerah endemis blas dapat dilakukan penyemprotan fungisida sistemik (Santika dan Sunaryo, 2008).

PENGELOLAAN KETAHANAN VARIETAS

Pergiliran Varietas. Ketahanan varietas padi terhadap penyakit blas

umumnya mudah patah. Hal ini disebabkan varietas unggul yang dilepas

menjadi patah ketahanannya setelah beberapa musim tanam. Penggunaan

varietas tersebut harus disesuaikan dengan sebaran blas yang dominan di suatu

daerah. Apabila tanaman padi ditanam berturut-turut sepanjang tahun maka

harus dilakukan pergiliran varietas atau rotasi gen. Kondisi pertanaman padi gogo dan padi rawa secara umum masih terlihat

sangat tradisional, masih menggunakan varietas lokal yang tidak seragam sehingga

dalam suatu areal pertanaman dapat dijumpai beberapa macam varietas. Meskipun

hasilnya rendah, pertanaman padi seperti ini tidak pernah terserang berat oleh

penyakit blas karena mempunyai ketahanan blas yang stabil. Faktor

459

Page 57: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 utama yang diduga sebagai pendukung stabilitas ketahanan terhadap penyakit blas

pada pertanaman padi tradisional adalah keragaman genetik dari varietas tersebut. Seleksi individu yang diikuti dengan pembentukan galur dari varietas

lokal maupun antar galur di dalam varietas, dengan demikian varietas lokal tersebut berupa campuran. Penggunaan varietas campuran dilaporkan menghambat perubahan virulensi patogen yang berakibat meningkatkan stabilitas hasil (Santoso dan Nasution, 2011). Penanaman varietas campuran membuat kondisi lingkungan menjadi tidak homogen atau adanya keragaman pada populasi inang (Garret and Mundt, 1999). Penanaman bermacam-macam varietas yang memiliki ketahanan terhadap penyakit blas berbeda pada suatu hamparan diharapkan dapat diperoleh ketahanan tanaman padi yang stabil.

Namun untuk menerapkan paket teknologi berupa penggunaan varietas unggul baru tahan penyakit blas disertai pergiliran varietas bukan suatu hal yang mudah dilakukan karena petani tidak akan menggunakan varietas baru sebelum mereka yakin akan keunggulannya. Oleh karena itu, perlu digiatkan penyuluhan, demonstrasi varietas, atau promosi lain agar informasi varietas unggul baru tahan penyakit blas dapat segera diadopsi oleh petani.

Identifikasi Kesesuaian varietas di Daerah Endemis Blas. Cendawan P.

grisea mudah membentuk ras baru. Hal ini menyebabkan penggunaan varietas tahan

sangat dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya varietas yang semula tahan akan

menjadi rentan setelah ditanam beberapa musim tanam. Varietas yang tahan di suatu

tempat mungkin rentan di tempat lain (Amir dan Nasution, 1993). Tingkat mutasi

pada cendawan blas yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan terjadinya

segregasi dan rekombinasi antar ras blas (Kiyosawa, 1976). Pemantauan populasi ras blas sejak tahun 1970 sampai sekarang masih

menggunakan cara konvensional yaitu dengan menggunakan satu set varietas

differensial yang masing-masing varietas mampu membedakan patogenisitas isolat

yang akan dideteksi. Semula Indonesia menggunakan varietas diferensial

Internasional dan Jepang untuk penetapan ras P. grisea dan untuk studi

perbandingan dengan negara lain. Varietas differensial ini kurang sesuai untuk

wilayah Indonesia karena sebagian besar merupakan varietas Japonika sehingga

sulit dalam perbanyakan benihnya. Tujuh varietas differensial asal Indonesia yang

digunakan untuk keperluan identifikasi ras blas yaitu: Asahan, Cisokan, IR64,

Krueng Aceh, Cisadane, Cisanggarung, dan Kencana Bali (Mogi et al. 1991). Perbedaan reaksi suatu varietas terhadap blas disebabkan oleh adanya

perbedaan dan perubahan ras antar lokasi dan adanya perubahan komposisi ras yang dominan di suatu wilayah sebaran. Hingga saat ini telah terdeteksi 64 ras blas, beberapa diantaranya terdapat di Sitiung (Sumatera Barat). Ras baru ini terutama ditemukan di Karang Agung (Sumatera Selatan) dan Jawa Barat. Ras-ras blas tersebut dapat menyerang varietas Lematang, Kapuas, Krueng Aceh, IR64, Cisokan dan Cisadane. Di Sitiung, ras-ras blas dapat menyerang padi gogo varietas Sentani, Tondano, Maninjau, Ranau, Arias, Bicol, dan C-22. Sedangkan varietas Semariti dan Sirendah masih mampu bertahan (Nasution et al. 1992).

Hasil monitoring terhadap perkembangan populasi patogen blas yang

dilakukan di Lampung dari tahun 2000 hingga 2004 menunjukkan bahwa di wilayah

tersebut setiap musim tanam dapat diidentifikasi 13-17 ras yang berbeda dengan

proporsi yang beragam. Selama lima tahun monitoring tersebut diperoleh

460

Page 58: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 total 26 ras yang berbeda di antaranya terdapat 7 ras yang selalu muncul di

setiap tahun yaitu ras 001, 023, 033, 073, 101, 133, dan 173. Hasil monitoring

2007 hingga 2008 dari beberapa lokasi di Indonesia seperti Sumatera (Kayu

Agung, Lampung), Kalimantan Tengah (Dadahup), Bali (Tabanan) dan Jawa

Barat (Kuningan) terindentifikasi sebanyak 18 ras seperti ras 001, 021, 040, 041,

051, 061, 071, 073, 100, 101, 121, 201, 203, 241, 301, 333, 341, dan 343

(Santoso dan Nasution, 2009). Sampel daun sakit di Propinsi D.I. Yogyakarta menunjukkan bahwa

penyakit blas yang berkembang adalah ras 033, 133, dan 173. Di Propinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Sukabumi telah diketahui sebagai daerah endemik penyakit blas. Data monitoring menunjukkan bahwa tingkat keragaman populasi patogen blas di Sukabumi cukup tinggi. Beberapa ras yang ditemukan di Kab. Sukabumi yaitu Ras 001, 123, 133, 173, dan 243 (Santoso et al. 2007).

Populasi P. grisea sangat beragam dan terdiri dari individu-individu ras yang mempunyai sifat virulensi yang berbeda (Zeigler et al. 1994). Dominasi ras P. grisea di suatu wilayah dengan wilayah lain yang berbeda memungkinkan varietas padi di suatu wilayah tahan tetapi rentan di wilayah lain. Informasi sebaran ras P. grisea sangat diperlukan untuk memprediksi kesesuaian varietas yang akan dilepas (spesifik lokasi). Hal ini sangat penting untuk regionalisasi varietas sesuai dengan sebaran ras P. grisea di wilayah tersebut. Dengan diketahuinya sebaran ras P. grisea yang dominan di suatu wilayah endemik blas maka pengendalian penyakit blas akan lebih efektif dengan menggunakan varietas tahan yang disesuaikan dengan ras P. grisea di wilayah tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN

Penggunaan varietas tahan memiliki kontribusi yang besar terhadap

penekanan dan penyebaran dan pengendalian penyakit blas. Terdapat beberapa

pilihan varietas unggul baru tahan penyakit blas sesuai agroekosistem lahan

kering yaitu Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 7, Inpago 8, dan Inpago 9,

sedangkan untuk agroekosistem lahan rawa tersedia varietas Inpara 1, Inpara 2,

Inpara 3, Inpara 6, dan Inpara 7. Untuk mengatasi ledakan penyakit blas sebagai dampak perubahan iklim

seiring dengan perubahan ras blas perlu terus dirakit varietas tahan dengan keragaman sumber gen yang luas dan sesuai dengan preferensi konsumen. Rekomendasi penanaman varietas dilakukan berdasarkan ras blas dominan di daerah endemis masing-masing sehingga ketahanan varietas dapat bertahan lama. Agar rekomendasi dapat diterapkan perlu dikembangkan sistem penyediaan logistik benih yang dapat merespon permintaan petani untuk varietas yang direkomendasikan.

DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 1996. Ilmu penyakit tumbuhan. Edisi Ketiga. Busnia, M., dan T.

Martoredjo (penerjemah). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Amir, M., dan M.K. Kardin. 1991. Pengendalian penyakit jamur. Dalam Padi Buku

3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. p. 825-844.

461

Page 59: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Amir, M. dan A. Nasution. 1993. Status dan pengendalian blas di Indonesia.

Risalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, 23-25 Agustus 1993. hlm. 583-

601. Amir, M. 1995. Petunjuk teknis pengendalian penyakit blas (Pyricularia grisea)

pada padi gogo di Indonesia. Pelatihan Teknis PGUVB bagi Kepala UPP-BLN dan Asisten PTP pada Proyek-proyek Direktorat Jenderal Perkebunan, Cipayung, Bogor, 23-24 Maret 1995. 14 hlm.

Baker, B., P. Zambryski, B. Staskawicz, and S.P. Dinesh Kumar. 1997. Signaling in plant microbe interactions. J. Science 276:726-733.

Balitklimat. 2011. Dampak perubahan iklim terhadap serangan organism pengganggu tanaman. http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/idex2.php?.&do_pdf=1&id=168 diakses tanggal 25 Mei 2011 pukul 14:11 WIB.

Bourett, T.M. and R.J. Howard. 1990. In vitro development of penetration structure in the rice blast fungus Magnaporthe grisea. Can. J. Bot. 68: 329–342.

Chen, D. 1993. Population structure of Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. In two screening site and quantitative characterization of major and minor resistance genes. A thesis doctor of philosophy. University of the Philippines at Los Banos. p.161.

Chumley, F.G., and B. Valent. 1990. Genetic analysis of melanin deficient, non pathogenic mutants of Magnaporthe grisea. Mol. Plant-Microbe Interact. 3:135–143.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2008. Pengalaman dari 2007 dan mensukseskan MT 2007/2008. http://ditjentan.deptan.go.id/index.php. option. Diakses tanggal 25 Agustus 2014 pukul 8:12 WIB.

Garret, K.A., and C.C. Mundt. 1999. Epidemiology in mixed host population. Phytopathology 89: 984-990.

Hashioka, Y. 1944. Studies on the rice blast disease in the tropics. VIII: Relation of Suhue to Leaf Blast Resistance of the Different Varieties of Rice Plant Collected from District in Various Latitudes. J. Soc. Trop. Agric. 16: 196– 204 (Jap. Engl. Summ.).

Kahmann, R. and C. Basse. 1997. Signaling and development in pathogenic fungi-

new strategies for plant protection. Trends in Plant Sci. 2: 366–367. Kiyosawa, S. 1976. Pathogenic variation of Pyricularia oryzae and their use in

genetic and breeding studies. Sabrao J. 8: 53–67. Mogi, S., Z. Sugandhi, S.W. Baskoro, R. Edwinia, dan I. Cahyadi. 1991.

Establishment of the differential variety series for pathogenic race identification of rice blast fungus and the distribution of race based on the new differential Indonesia. Karawang. Jatisari. Indonesia: Rice Disease Study Group.

Mukhlis. 1997. Ketahanan beberapa varietas dan galur padi terhadap blas leher di lahan pasang surut. Prosiding Kongres XIV dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Volume II. Palembang, 27-19 Oktober 1997. p. 236-239.

Nasution, A., Santoso, dan I. Hanarida. 2011. Sumbangan varietas lokal sebagai sumber ketahanan terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Prosiding

462

Page 60: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar

Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. p. 547-556. Nasution, A., E. Lubis, dan Sudir. 2012. Pemetaan ras blas (Pyricularia grisea)

yang menyerang padi sawah di Jawa Barat. Laporan Akhir Tahun ROPP 2012. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi.

Nasution, A., Santoso, dan S. Silitonga. 2012. Pengujian ketahanan 74 spesies padi liar terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. p. 275-283.

Orbach, M.J., L. Farrall, J.A. Sweigard, F.G. Chumley, and Valent. 2000. A telomeric avirulence gene determines efficacy for the rice blast resistance gene Pita. Plant Cell 12:2019-2032.

Ou, S.H. 1979. A Handbook of rice diseases in the tropics. 3rd ed. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. p. 17-25.

Ou, S.H. 1985. Rice disease. 2nd ed. Commonwealth Mycological Institute Kew, Surrey. England. 380p.

Santika, A., dan Sunaryo. 2008. Teknik pengujian galur padi gogo terhadap penyakit blas (Pyricularia grisea). Buletin Teknik Pertanian 13 (1): 5-8.

Santoso, A. Nasution, D.W. Utami, I. Hanarida, A.D. Ambarwati, S. Moeljopawiro, dan D. Tharreau. 2007. Variasi genetik dan spektrum virulensi patogen blas pada padi asal Jawa Barat dan Sumatera. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(3):150-155.

Santoso, dan A. Nasution. 2011. Seleksi galur-galur hasil pemuliaan untuk ketahanan blas berbeda. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Sukamandi. p. 557-563.

Santoso, dan A. Nasution. 2009. Pengendalian penyakit blas dan penyakit cendawan lainnya. Dalam Inovasi Teknologi Produksi Padi. Buku 2. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. p: 531-563.

Scardaci, S.C., R.K. Webster, C.A. Greer, J.E. Hill, J.F. William, D.M. Mutters, R.G. Brandon, K.S. McKenzie, and J.J. Oster. 1997. Rice blast: A new disease in California. J. Agr. Fact. Sheet Ser. 1:2-5.

Sudir, D. Yuliani, A. Nasution, B. Nuryanto. 2013. Pemantauan penyakit utama padi sebagai dasar skrining ketahanan varietas dan rekomendasi pengendalian di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2013. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. 33p.

Sumarno. 2002. Menuju sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman nasional secara adil dan bermanfaat. Prosiding Konggres IV dan Simposium Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. PERIPI. Komisariat Daerah Istimewa Yogyakarta dan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Suwarno, E. Lubis, S.E. Baehaki, Sudir, S.D. Indrasari, I.P. Wardana, dan M.J. Mejaya. 2011. Deskripsi varietas

463

Page 61: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian. Syam, M. dan Hermanto. 1995. Teknologi produksi padi mendukung swasembada

beras. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 62 hlm. Takahashi, Y. 1963. Genetic of resistance to the rice blast disease. In Proceeding

of symposium of IRRI. July 1963. The Jhon Hopkins Press. Baltimore, Maryland. p: 303-329.

Tasugi, H. and L. Yoshida. 1959. Relation between rice blast resistance and suhue environment. Ann. Phytopath. Soc. Japan.

Valent, B. 1990. APS planary session lecture: Rice blast as a model system for plant pathology. Phytopathology 80: 33–36.

Zeigler, RS, J. Tohme, R. Nelson, M. Levy and FJ Correa-Victoria. 1994. Lineage exclusion : A proposal for linking blast population analysis to resistance breeding. Rice Blast Disease. CAB International IRRI 267-292.

Zeigler, R.S. 1998. Recombination in Magnaporthe grisea. Annu. Rev. Phytopathology 36: 249–275.

464

Page 62: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Kelimpahan Artropoda Predator di Tajuk Tanaman Padi yang di

Aplikasikan Bioinsektisida Cair di Rawa Lebak

The Abundance Of Predatory Arthropods In Applied Aqueous

Bioinsecticide Paddy Canopy At fresh swamp

Khodijah1,2)

1)Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian,

Universitas Palembang, Jl. Darmapala No. I A, Bukit Besar,

Palembang 30139 2)

Pusat Unggulan Riset Pengembangan Lahan Suboptimal (PUR-PLSO) Universitas Sriwijaya

Corresponding author: Telp. +081271349520 +62711357270

[email protected] : [email protected]

ABSTRACT

The negative impact from the usage of synthetic insecticide has an

alternative way to be overcame, that is by using the bioinsecticide. The research was

conducted in the central of paddy rice crops in the Pelabuhan Dalam village of

Pemulutan subdistrict in Ogan Ilir regency of South Sumatera. Insect identification

was done at the Laboratory of Entomology Department of Plant Pests and Diseases,

Faculty of Agriculture, Sriwijaya University, in Indralaya. The study took place

from May 2012 to August 2012. This research aims to determine the effect of liquid

formulated biopesticide application against arthropod Predatory in the rice plant

canopy fresh swamp area of South Sumatra. Observations of insect Predatory in rice

plant canopy were using nets. The results showed that the type of Arthropods found

both types of insects and spiders which are consist of spiders group such as

Lycosidae, Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae and

insect group such as Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae,

Tettigonidae, and Gryllidae. Application of entomopathogenic with fungal active

ingredients bioinsecticide affect the relative abundance in the rice plant canopy

ranging from age 10 hst to 80 hst. Relative abundance of centipede found in the age

group 10-40 hst from spiders with Tetragnathidae family by 42.74% at 30 hst and

the insect group of Coenagrionidae 25.89% at the age of 10 hst. At the age of 50-80

hst the highest relative abundance of the highest class of the spider with

Tetragnathidae family by 38.26% and the class of insect families of Coenagrionidae

by 13:48%. Keywords: bioinsecticide, arthropods predatory, fresh swamp

ABSTRAK

Dampak negatif penggunaan insektisida sintetik yang ditimbulkan salah

satu alternatif untuk mengatasinya yaitu dengan menggunakan bioinsektisida.

Penelitian ini dilaksanakan di sentra pertanaman padi sawah lebak Desa

Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan.

465

Page 63: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Identifikasi serangga dilakukan di Laboratorium Entomologi Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya, di Indralaya. Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai Agustus 2012. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh aplikasi bioinsektisida formulasi cair terhadap artropoda predator di tajuk tanaman padi daerah rawa lebak Sumatera Selatan. Pengamatan serangga predator di tajuk tanaman padi menggunakan jaring. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan jenis artropoda predator baik jenis serangga dan laba-laba yaitu golongan laba-laba Lycosidae, Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae dan golongan serangga Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae, Tettigonidae, dan Gryllidae. Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur 10 hst sampai 80 hst. Kelimpahan relatif tetinggi ditemukan pada umur 10-40 hst dari golongan laba-laba dari famili Tetragnathidae sebesar

42,74% pada umur 30 hst dan pada golongan serangga Coenagrionidae 25.89% pada umur 10 hst. Pada umur 50-80 hst kelimpahan relatif tertinggi tertinggi dari golongan laba-laba famili Tetragnathidae sebesar 38.26% dan golongan serangga famili Coenagrionidae 13.48%. Kata kunci: Bioinsektisida, artropoda predator, rawa lebak

PENDAHULUAN

Luas rawa di Indonesia mencapai 34,4 juta ha yang terdiri dari 20,2 juta

ha rawa pasang surut dan 13,3 juta ha rawa lebak (Nugroho et al. 1996). Salah

satu sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan

komoditas pertanian adalah lahan rawa yang luasnya mencapai 33,40−39,40 juta ha, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Menurut

Subagjo & Widjaja (1998), lahan rawa di Indonesia terdiri dari lahan rawa

pasang surut yang diperkirakan luasnya mencapai 23,10 juta ha dan lahan rawa

lebak (non pasang surut) dengan luas mencapai 13,30 juta ha. Budidaya tanaman padi merupakan hal yang paling pokok dalam

pengembangan produksi tanaman pangan. Padi merupakan bahan makanan pokok

masyarakat Indonesia, kebutuhan pangan padi sampai saat ini masih sangat tinggi

(Triwidiyati 2008). Berbagai kendala terjadi dipertanaman padi yang mengakibatkan

produksi padi menurun diantaranya hama dan penyakit tumbuhan penyakit (Effendy et al. 2008; Widiarta et al. 2004; Syam et al. 2007; Bahagiawati, 2001).

Pengendalian hama pada tanaman padi, umumnya masih sangat tergantung pada pestisida sintetis. Penggunaan insektisida sintetik yang

berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif, berupa pencemaran lingkungan, resistensi hama sasaran dan terjadinya resurgensi. Penggunaan agens hayati berupa jamur entomopatogen (Herlinda et al. 2008), merupakan suatu upaya untuk mengurangi penggunaan pestisida sintetik. Diharapkan jamur entomopatogen tersebut dapat menjadi solusi menekan populasi hama yang bersumber dari potensi sumber daya hayati lokal yang diperkirakan

466

Page 64: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 keberadaannya berlimpah di Indonesia. Asikin et al. (2008), melaporkan bahwa

di lahan pasang surut Kalimantan Selatan dan Tengah ada 62 spesies serangga

musuh alami (parasitoid dan predator). Musuh alami tersebut ditemukan di

pertanaman padi dan tumbuhan liar lahan pasang surut. Musuh alami itu

tergolong ke dalam dari ordo Arachnida, Odonata, Orthoptera, Coleptera,

Diptera Dermaptera dan Hymenoptera. Musuh alami penghuni tajuk padi dapat dikelompokkan sebagai

parasitoid maupun predator. Namun, predator lebih dominan dibanding dengan parasitoid (Herlinda et al. 2004). Di persawahan di wilayah Cianjur, Jawa Barat ditemukan predator penghuni tajuk dari kelompok laba-laba pemburu dan laba-laba pembuat jaring, kumbang famili Staphylinidae dan kepik famili Reduviidae. Predator tersebut umumnya merupakan musuh alami wereng dan penggerek batang padi (Settle et al. 1996: Santiago et al. 2001; Prayogo et al. 2005).

Jamur entomopatogenik Beauveria bassiana (Bals.) Vuill telah terbukti cukup efektif membunuh serangga hama dari ordo Lepidoptera (Herlinda et al. 2006b;Prayogo et al. 2005; Suharto et al. 1998; Soetopo. 2004), Coleoptera (Wraight & Ramos 2002), Hemiptera (Herlinda et al. 2006a), dan Homoptera (Wraight et al. 1998; Baehaki & Noviyanti 1993; Prayogo & Tengkano 2002), dan Coleoptera (Murad et al. 2006). Kedua spesies jamur entomopatogen tersebut sampai saat ini belum dilaporkan resisten terhadap serangga hama.

Dalam proses pembuatan bioinsektisida cair berbasis jamur entomopatogen, perlu dikaji faktor yang mempengaruhi virulensi jamurnya melalui pengamatan tersebut akan didapat produk yang efektif dalam membunuh serangga hama. Pembuatan bioinsektisida formulasi cair, berbasis jamur entomopatogen dengan bahan pembawa Ekstraks Kompos Kulit Udang (EKKU) dan berbagai jenis kompos, diduga dapat mempengaruhi keefektipan bioinsektisida. Selain itu aplikasi bioinsektisida cair berpengaruh terhadap kelimpahan relatif atropoda predator (Serangga dan laba-laba) yang aktif di tajuk tanaman.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di sentra pertanaman padi sawah rawa lebak di

Desa Pelabuhan Dalam, Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan ilir, Sumatera

Selatan. Identifikasi artropoda predator dilakukan di Laboratorium Entomologi

Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya,

di Indralaya. Penelitian berlangsung dari bulan Mei 2012 sampai Agustus 2012.

Penelitian ini menggunakan varietas padi Mikonga. Pertanaman padi yang dijadikan

lokasi penelitian luasnya 1 ha. Untuk keperluan penelitian tersebut dibuatlah

bioinsektisida dengan formulasi cair. Pembuatan formulasi bioinsektisida cair

mengikuti metode Herlinda et al. (2008). Pada saat penelitian berlangsung suhu

lahan dipertanaman padi berkisar antara 26-27oC dan kelembaban nisbi udara

berkisar 69-85%. Aplikasi bioinsektisida cair diberikan dengan dosis 4 L per ha

setiap aplikasi. Aplikasi bioinsektisida cair dilakukan dengan cara menyemprotkan

di tajuk tanaman padi dengan menggunakan alat knapsack spayer (bervolume 15 L).

Aplikasi mikoinsektisida cair diaplikasikan 8 kali. Aplikasi pertama dilakukan pada

saat tanaman padi berumur 10 hst (hari

467

Page 65: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 setelah tanam). Dua hari setelah aplikasi dilakukan pengamatan terhadap

keanekaragaman spesies dan kelimpahan artropoda predator.

Pengamatan Artropoda Predator di Tajuk Tanaman Padi. Artropoda

predator yang diamati di tajuk tanaman padi dikoleksi menggunakan jaring

serangga. Jaring diayunkan 20 kali pada tanaman padi 10 ayunan kekiri dan 10

ayunan kekanan secara kontinyu. Setiap 1 ha petak sawah dijaring sebanyak 80 ayunan. artropoda predator yang terjaring diambil dan dimasukkan dalam plastik berisi formalin 4%. Selanjutnya, laba-laba predator yang terperangkap dipindahkan ke dalam botol vial berisi alkohol 70% untuk disimpan di laboratorium. Artropoda predator di identifikasi didasarkan pada ciri morfologinya.

Identifikasi artropoda predator dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya.

Kelimpahan Relatif Artropoda Predator Tajuk Tanaman Padi. Artopoda predator di tajuk tanaman akan diamati sesuai metode Herlinda & Effendy (2003). Pada lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair akan dibandingkan umur 10 hari setelah tanam (hst) sampai umur 80 hari setelah tanam (hst) akan dibandingkan kelimpahannya dengan kelompok artropoda predator pada lahan insektisida sintetik. Kelimpahan relatif artropoda predator yang didapat kemudian didentifikasi artropoda predator dan dikelompokkan menurut jenisnya lalu dihitung jumlahnya. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi, Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya dengan menggunakan Kalshoven (1981), Barrion & Litsinger (1999). Data jumlah spesies dan jumlah individu masing-masing spesies digunakan untuk menentukan nilai kelimpahan relatif artropoda predator di tajuk tanaman baik pada lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair menurut umur hari setelah tanam. Kelimpahan relatif artropoda predator dapat dihitung dengan menggunakan rumus

Error! Reference source not found. x 100% Analisis Data. Analisis menggunakan program SPSS 16 versi 2.13.1. Data

komposisi spesies dan jumlah individu laba-laba predator digunakan untuk

menganalisis kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba. Data

ditampilkan dalam bentuk Tabel.

HASIL

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditemukan jenis artropoda predator

baik jenis serangga dan laba-laba yaitu golongan laba-laba Lycosidae,

Araneidae, Tetragnathidae, Linyphiidae, Oxyopidae, Salticidae dan golongan

serangga Staphylinidae, Coccinelidae, Coenagrionidae, Lubellulidae,

Tettigonidae, dan Gryllidae. Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh

terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur 10 hst sampai 80 hst. Kelimpahan relatif tertinggi ditemukan pada umur 10-40 hst dari

468

Page 66: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 golongan laba-laba dari famili Tetragnathidae sebesar 42,74% pada umur 30 hst

dan pada golongan serangga Coenagrionidae 25.89% pada umur 10 hst. Pada umur 50-80 hst kelimpahan relatif tertinggi tertinggi dari golongan

laba-laba famili Tetragnathidae sebesar 38.26% dan golongan serangga famili Coenagrionidae 13.48%. Hasil penelitian di daerah rawa lebak ditemukan artropoda predator di tajuk ada 23 famili, terdiri dari 5 famili dari golongan laba-laba dan 18 famili dari golongan serangga predator. Jumlah artropoda predator ditemukan di tajuk tanaman padi di lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair pada umur 10-40 hari setelah tanam terdiri dari 11 famili dan 23 spesies dan pada umur 50-80 hari setelah tanam (hst) di lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair ditemukan 15 famili dan 25 spesies.

Tabel 1. Famili, spesies, jumlah individu, dan kelimpahan relatif artropoda

predator di tajuktanaman padi di lahan rawa lebak yang diaplikasikan

bioinsektisida cair di Desa PelabuhanDalam Kecamatan Pemulutan

Kabupaten Ogan Ilir.

Kelas, Ordo, Waktu pengamatan pada umur tanam 10-40 hari setelah tanam (hst)

10

20

30

40

Famili

JS JI KR JS JI KR JS JI KR JS JI KR

Arachnida

Lycosidae 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00

Araneidae 0 0 0.00 0 0 0.00 1 2 1.71 0 0 0.00

Tetragnathidae 4 35 31.25 4 41 37.96 3 50 42.74 3 53 35.33

Linyphiidae 0 0 0.00 0 0 0.00 3 7 5.98 2 9 6.00

Oxyopidae 2 27 24.11 2 23 21.30 2 8 6.84 2 26 17.33

Salticidae 0 0 0.00 1 2 1.85 2 11 9.40 3 18 12.00

Insecta

Hemiptera

Staphylinidae 1 10 8.93 1 5 4.63 1 5 4.27 1 3 2.00

Coccinelidae 0 0 0.00 2 3 2.78 2 8 6.84 1 13 8.67

Odonata

Coenagrionidae 3 29 25.89 3 20 18.52 3 17 14.53 3 21 14.00

Lubellulidae 0 0 0.00 1 1 0.93 0 0 0.00 0 0 0.00

Orthoptera

Tettigonidae 1 2 1.79 1 1 0.85 1 1 0.85 1 4 2.67

Gryllidae 2 9 8.04 2 11 10.19 2 8 6.84 1 3 2.00

Total 13 112 100.00 17 108 100.00 20 117 100.00 17 150 100.00

JS = Jumlah spesies, JI = Jumlah individu, KR= Kelimpahan relatif

Kelimpahan artropoda predator di tajuk di lahan yang diaplikasikan bioinsektisida cair pada umur 10-40 hst yang tertinggi pada umur 40 hst 150

individu dan yang terendah pada umur 20 hst 108 individu. Jumlah spesies yang

ditemukan pada umur 10.40 hst tertinggi pada umur 30 hst 20 spesies dan yang terendah umur 10 hst 13 spesies. Pada umur 50-80 hst kelimpahan artropoda

predator tertinggi pada umur 50 hst 149 individu dan yang terendah pada umur

80 hst 114 individu. Jumlah spesies yang ditemukan tertinggi pada umur 40 hst

21 spesies dan yang terendah pada umur 70 hst 14 spesise (Tabel 1 dan 2).

469

Page 67: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Tabel 2. Famili, spesies, jumlah individu, dan kelimpahan relatif artropoda

predator di tajuk tanaman padi di lahan rawa lebak yang diaplikasikan

bioinsektisida cair di Desa Pelabuhan Dalam Kecamatan Pemulutan

Kabupaten Ogan Ilir.

Kelas, Ordo, Famili Waktu pengamatan pada umur tanam 10-80 hari setelah tanam (hst)

50 60 70 80

JS J1 KR JS J1 KR JS J1 KR JS J1 KR

Araneidae

Arachnida

Lycosidae 0 0 0.00 0 0 0.00 1 1 0.71 0 0 0.00

Araneidae 0 0 0.00 1 1 0.73 0 0 0.00 0 0 0.00

Tetragnathidae 3 57 38.26 3 45 32.85 3 50 35.46 4 37 32.46

Linyphiidae 2 4 2.68 1 2 1.46 0 0 0.00 3 6 5.26

Oxyopidae 2 21 14.09 2 29 21.17 2 26 18.44 3 17 14.91

Salticidae 2 21 14.09 2 18 13.14 2 20 14.18 2 18 15.79

Insecta

Coleoptera

Staphylinidae 1 3 2.01 1 3 2.19 1 4 2.84 1 2 1.75

Coccinelidae 0 0 0.00 1 16 11.68 1 16 11.35 1 19 16.67

Bostrychidae 1 2 1.34 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00

Chrysomelidae 1 2 1.34 0 0 0.00 0 0 0.00 0 0 0.00

Melyridae 1 1 0.67 1 3 2.19 0 0 0.00 0 0 0.00

Odonata

Coenagrionidae 3 17 11.41 3 10 7.30 2 19 13.48 3 12 10.53

Orthoptera

Tettigonidae 1 5 3.36 1 6 4.38 0 0 0.00 0 0 0.00

Gryllidae 2 3 2.01 2 4 2.92 2 5 3.55 2 3 2.63

Total 21 149 100.00 18 137 100.00 14 141 100.00 19 114 100.00

JS = Jumlah spesies, JI = Jumlah individu (ekor), KR = Kelimpahan relatif

Hal ini disebabkan pada umur 40 hst dan 50 hst dilihat dari morfologi

tanaman padi sudah besar dan sudah mulai masuk pada fase generatif. Pada

umur tanaman seperti ini sangat disukai oleh serangga fitopag dimana inang

menyediakan tempat dan makanan yang berlimpah.

PEMBAHASAN

Sejalan dengan hasil penelitian Khodijah et al. (2012) artropoda predator

penghuni ekosistem persawahan rawa lebak dan pasang surut Sumatera Selatan

ditemukan serangga predator Coenagrionida, Coleoptera, Lubellulidae,

Tettigonidae. Aplikasi bioinsektisida berbahan aktif jamur entomopatogen berpengaruh

terhadap keanekaragaman keanekaragamaman spesies dan kelimpahan populasi artropoda predator (serangga dan laba-laba) baik di tajuk maupun di permukaan tanah (Khodijah, 2013). Di ekosistem persawahan, artropoda predator (serangga

470

Page 68: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dan laba- laba) merupakan musuh alami yang paling berperan dalam menekan

populasi hama padi (wereng coklat dan penggerek batang) (Thalib et al. 2002). Jumlah individu atau kelimpahan artropoda predator dengan

bertambahnya umur tanaman bertambah pulah jumlah kelimpahannya. Rendahnya jumlah individu artropoda predator pada lahan yang diaplikasikan bioinsektisida dan insektisida sintetik hal ini menunjukan bahwa aplikasi tersebut dapat mempengaruhi populasi artropoda predator yang aktif di tajuk maupun di permukaan tanah (Herlinda et al. 2008).

Dengan banyaknya serangga fitopag akan banyak pula serangga dan laba-laba predator yang memangsa serangga fitopag tersebut. Keanekaragaman spesies serangga yang aktif di tajuk dan permukaan tanah pada sawah tanpa aplikasi insektisida lebih tinggi dibandingkan dengan keanekaragaman spesies serangga pada sawah yang diaplikasi insektisida sintetik maupun bioinsektisida (Herlindah et al. 2008).

KESIMPULAN

Aplikasi bioinsektisida cair berbahan aktif jamur entomopatogen

berpengaruh terhadap kelimpahan relatif di tajuk tanaman padi mulai dari umur

10 hst sampai 80 hst.

SANWACANA

Penelitian ini dibiayai oleh Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional,

Kementerian Riset dan Teknologi, Republik Indonesia Tahun Anggaran 2012

dengan kontrak nomor: 1.55/SEK/IRS/PPK/I/2012, tanggal 16 Januari 2012.

Promotor Prof. Dr. Ir. Siti Herlinda,M.Si, Copromotor 1 Dr. Ir. Chandra Irsan.,

M.Si, Copromotor 2 Dr. Ir. Yulia Pujiastuti., M.P.

DAFTAR PUSTAKA Asikin S, Wahyuni S dan Ardiwinata A.N. 2008. Keanekaragaman Serangga

Musuh Alami di Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa

(BALITTRA). Banjar Baru Kalimantan Selatan. Barrion AT, Litsinger JA. 1999. Taxonomy of Rice Insect Pest and Their

Arthropod Parasites and Predators, p.13-362. In E.A. Heinrichs (ed.).

Biology and Management of Catindig, J.L.A & Heong, K.L. 2003. Stem borers. Rice Doctor. International Rice Research Institute, Philippines (Web site).

Bahagiawati. 2001. Manajemen Resistensi Serangga Hama pada Pertanaman

Tanaman Transgenik Bt. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan,

Bogor. Jurnal Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian Volume 4 Nomor I.

Baehaki SE, Noviyanti. 1993. Pengaruh umur biakan Metarhizium anisopliae

strain lokal Sukamandi terhadap perkembangan wereng coklat, hlm. 113-

471

Page 69: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 124. Dalam Martono E, Mahrub E, Putra NS, Trisetyawati Y (eds.).

Simposium Patologi Serangga I. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,

12-13 Oktober 1993.

Effendy , Herlinda S, Irsan S, Salim A, Erni. 2008. Seleksi Substrat Jamur

Metarhizium sp. Untuk Mengendalikan Wereng Coklat Nilaparvata

lugens (Stal.) (HOMOPTERA:DELPHACIDAE) di Tanaman Padi. h.

125-101. Di dalam : Prosiding Seminar Nasional Kerjasama PEI Cabang

Palembang dan PFI Komda SumSel., Palembang 18 Oktober 2008

Herlinda S, Hamdiyah, Adam T, Thalib. 2006a. Toksisitas isolat-isolat

Beauveria bassiana (Bals.)Vuill.Terhadap nimfa Eurydema pulchrum

(Westw.) (Hemimoptera:Pentatomidae ). Agritrop 2;34-37.

Herlinda S, Utama MD, Pujiastuti Y, Suwandi. 2006b. Kerapatan dan viabilitas

spora Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. akibat subkultur dan pengayaan

media, serta virulensinya terhadap larva Plutella xylostella (Linn.). J HPTT

6:70-78.

Herlinda S, Hartono, Irsan C. 2008. Efikasi Bioinsektisida formulasi cair

berbahan aktif Beauveria bassiana (BALS.) VUILL. DAN Metarhizium

sp. Pada wereng punggung putih (Sogatella f urcifera HORV.). Seminar

Nasional dan Kongres PATPI 2008, Palembang 14-16 Oktober 2008.

Herlinda S, Waluyo, Estuningsih, Irsan C. 2008. Perbandingan keanekaragaman

spesies dan kelimpahan arthropoda predator penghuni tanah di sawah

lebak yang diaplikasikan dan tanpa aplikasi insektisida. J. Entomol.Indon.

2:96-107.

Khodijah, Herlinda S, Irsan C, Pujiastuti Y & Thalib R. 2012. Artropoda

predator penghuni ekosistem persawahan lebak dan pasang surut

Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Suboptimal 1(1):57-63.

Kalshoven LGE, van der Laan PA. 1981. The pest of crops in Indonesia. P.T.

Ichtiar Baru. Van Hoeve, Jakarta.

Nugroho, K., S. Suping, dan M. Sarwani. 1993. Karakteristik Lahan dalam

Penelitian Reklamasi dan Pengolahan Tanah Sulfat Masam. Kerja Sama

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan Proyek P3N, Jakarta.

hlm. 1−15.

Nunilahwati H, Khodijah. 2008. Keanakaragaman dan Kelimpahan artropoda

predator hama padi penghuni permukaan tanah sawah lebak di tepi

sungai musi. Prosiding Seminar Nasional Kerjasama PEI Cabang

Palembang dan PFI Komda SumSel., Palembang 18 Oktober 2008.

Prayogo Y, Tengkano W. 2002. Pengaruh media tumbuh terhadap daya

kecambah, sporulasi dan virulensi Metarhizium anisopliae (Metchnikoff)

472

Page 70: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Sorokin isolat kendal payak pada larva Spodoptera litura (L.).

SAINTEKS. (9)4:233-242. Prayogo Y, Tengkano W, Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen

Metarhizium anisopliae untuk Mengendalikan Ulat Grayak Spodoptera litura Pada Kedelai. J Litbang Pertanian 24;19-26.

Thalib R, Effendy TA, Herlinda S. 2002. Struktur komunitas dan potensi

artropoda predator hama padi penghuni ekosistem sawah dataran tinggi

di daerah Lahat, Sumatera Selatan, Makalah Seminar Nasional Dies

Natalis Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya & Peringatan Hari

Pangan Sedunia, Palembang, 7-8 Oktober 2002. Santiago DR, Castillo AG, Arapan RS, Navasero MV, Eusebio JE. 2001.

Efficacy of Metarhium anasopliae (Metsch.) Sor. againts the oriental

migratoria locust, Locusta migratoria manilensis Meyen. The Philippine

Agric. Scientist 84:26-34. Settle WH, Ariawan H, Astuti ET, Cahyana W, Hakim AL, Hindayana D, Lestari

AS, Pajarningsih. 1996. Managing tropical rice pest through conservation of

generalist natural enemies and alternative prey. Ecology. 77:1975-1988.

Subagyo H, Wijaya.1998. Potenssi pengembangan dan tata ruang lahan rawa

untuk pertanian. Dalam Inovasi Teknologi Pertanian: Buku 1. September

Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.

Jakarta.p. 95-119. Suharto, Trisusilowati EB, Purnomo H. 1998. Study on physiological aspects of

Beauveria bassiana and Their virulence to Helicoverpa armigera . Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. 4(2):112-118.

Soetopo D. 2007. Efficacy of selected Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Isolated

in combination with a resistant cotton variety (psb-ct9) against the cotton

bolworm, Helicoverpa armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae)

(Disertasi Universitas of Philippines Los Banos). Syam M, Suparyono, Hermanto, Wuryandari DS. 2007. Masalah Lapang Hama

Penyakit Hara pada Padi. Ed. 3. Puslitbangtan. Bogor. 78 hal. Widiarta IN, Kusdiaman D, Siwi SS, Hasanuddin A. 2004. Variasi efikasi penularan tungro oleh

koloni-koloni wereng hijau Nephotettix virescens Distant. J. Entomol Ind 1:50-56. Wraight SP, Carruthers RI, Bradley CA, Jaronski ST, Lacey LA, Wood P,

Wraight SG.1998. Pathogenicity of the entomopathogenic fungi Paecilomyces spp. and Beauveria bassiana against the silverleaf whitefly, Bemisia argentifolii. J Invertebr Pathol 71:217-22.

473

Page 71: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Wraight SP, Ramos ME. 2002. Application parameter affecting field efficacy of

Beauveria bassiana foliar treatments againts Colorado potato beetle, Leptinonarsa decemlineata. Biol Control 23:164-178.

474

Page 72: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengaruh Amelioran Terhadap Pertumbuhan

Tanaman Jeruk Siam Banjar di Lahan Rawa Pasang Surut

The Effect of Ameliorant on Growth of Banjar Tangerine

at Tidal Swamp Land

Yenni1*)

, Otto E1, Oka A.B

1, dan Agus S

2 1Balai

Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika 2Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan *Penulis untuk korespondensi : Telp/Fax : 0341-592683/593047

email : [email protected]

ABSTRACT

Citrus cultivation in tidal swamp land is very promising because it can afford a considerable profit. However, this still has disadvantages because tidal swamp land have acid soil pH which can affect the growth and production of citrus plants. The purpose of this research was to determine the effect of ameliorant on growth of Banjar tangerine at tidal swamp land. The research was conducted in Barito Kuala South Kalimantan on January-December 2013. The variety of citrus, which was used, was Banjar tangerine that has grown for 6 years, and ameliorant material which was used was dolomite. The research was arranged in randomized block design (RBD) with 4 treatments of dolomite and repeated three times, e.g. 0,1,2,3 tons /ha. The data were analyzed using analysis of variance (ANOVA). The results showed that the addition of dolomite 3 tons/ha can increase soil pH from 3,72 to 4,45 and decrease the content of Al-dd from 13.99 to 8.15. The highest scale of P-available was obtained from use of

dolomite 1 ton / ha (26,39 me/100g). The highest scale of fruit weight and diameter was obtained on 1 ton/ha (106,55 g / fruit and 5,85 cm). The lowest scale of fruit weight and diameter was obtained in the treatment without dolomite (89.3 g/fruit and 5,46 cm). The results of research indicated that the addition of ameliorant can affect the pH and nutrient availability in the soil, and increase the diameter, weight, number of flowers and fruits, fruit skin thickness and fruit weight of Banjar tangerine. Keywords: Ameliorant, Tangerine, Growth, Tidal Swamp Land

ABSTRAK

Budidaya tanaman jeruk di lahan rawa pasang surut sangat menjanjikan

karena dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar. Namun, hal ini masih

memiliki kendala karena lahan rawa pasang surut memiliki pH tanah yang masam

yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman jeruk. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui pengaruh amelioran terhadap pertumbuhan tanaman

jeruk siam Banjar di lahan rawa pasang surut. Penelitian ini dilaksanakan di

Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan pada bulan Januari-Desember 2013.

Varietas jeruk yang digunakan adalah jeruk siam Banjar berumur 6 tahun dan bahan

amelioran yang digunakan adalah dolomit. Penelitian disusun dengan

475

Page 73: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dolomit masing-masing diulang 3 kali yaitu 0,1,2,3 ton/ha. Data dianalisa dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penambahan dolomit 3 ton/ha dapat meningkatkan pH tanah yaitu 4,45 dari 3,72

dan menurunkan kandungan Al-dd 8,15 dari 13,99. P-tersedia tertinggi pada perlakuan dolomit 1 ton/ha (26,39 me/100g). Berat dan diameter buah tertinggi didapat pada dolomit 1 ton/ha (106,55 g/buah dan 5,85 cm). Berat buah dan

diameter buah terkecil didapat pada perlakuan tanpa dolomit (89,3 g/buah dan 5,46 cm). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pemberian dolomit dapat mempengaruhi pH dan ketersediaan unsur hara di dalam tanah dan meningkatkan diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal kulit dan berat kulit

buah jeruk siam Banjar. Kata Kunci : Amelioran, Jeruk, Pertumbuhan, Rawa Pasang Surut

PENDAHULUAN

Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian menjadi salah satu

kendala dalam pembangunan pertanian. Oleh karena itu, usaha pengembangan

pertanian di arahkan pada pemanfaatan lahan marginal seperti lahan pasang

surut. Lahan pasang surut mempunyai potensi cukup besar untuk dijadikan lahan pertanian karena sebarannya sangat luas, yaitu diperkirakan sekitar 20,1 juta

hektar yang terbentang di sepanjang pantai Sumatera, Kalimantan dan Papua.

(Widjaja-Adhi et al., 1992). Salah satu komoditas pertanian yang berpotensi

untuk dikembangkan di lahan rawa pasang surut adalah tanaman jeruk. Budidaya jeruk di lahan rawa sudah lama dikenal masyarakat setempat,

khususnya di Kalimantan Selatan sejak ratusan tahun silam. Budidaya jeruk siam di lahan rawa dapat dilakukan dengan sistem hamparan (sawah), tetapi umumnya dengan sistem tukungan (gundukan) atau surjan bertahap (sistem baluran). Secara bertahap petani membuat tukungan di lahan sawahnya. Sistem tukungan ini dianjurkan hanya untuk lahan rawa dengan jenis tanah mineral atau bergambut, tetapi juga mulai merambat ke lahan gambut dengan berbagai ketebalan dari dangkal sampai sedang. Bentuk tukungan umumnya persegi empat dengan tinggi 60-75 cm dan lebar sisi antara 2-3 meter. Jarak tanam antar tanaman dalam baris 4-6 meter. Jarak antar baris 10-14 meter tergantung luas lahan dan kemampuan operasional traktor dalam pengolahan tanah untuk tanaman padinya. Apabila pilihan penataan lahan dengan sistem surjan maka diperlukan saluran pengatusan di salah satu sisi dengan lebar 1,0 meter dan dalam 0,6 meter agar mudah pengaliran air keluar dan juga dlengkapi dengan pintu air sistem tabat (dam overflow). Saluran ini juga dapat dimanfaatkan sebagai perangkap ikan alamiah (Noor dan Nursyamsi, 2012).

Budidaya tanaman jeruk sangat menjanjikan karena dapat memberikan

keuntungan yang cukup tinggi dibandingkan usahatani lainnya. Menurut Zuraida

(2012), usahatani jeruk dapat mendukung rumah tangga petani dengan penerimaan

sebesar Rp 21.150.000,- dan biaya produksi Rp 6.630.000, maka nilai R/C Ratio:

3,1(R/C Ratio >1). Pendapatan petani sebesar Rp 14.520.000,- dan ini memberikan

kontribusi sebesar 70,70 %. Dari hasil tersebut terlihat jelas bahwa usahatani jeruk

sangat mendukung terhadap pendapatan rumah tangga petani.

476

Page 74: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Namun, budidaya jeruk di lahan rawa surut masih memiliki kendala karena lahan rawa pasang surut memiliki pH tanah yang masam yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman jeruk. Penggunaan bahan amelioran dapat dijadikan alternatif yang ditempuh. Pemberian amelioran

bertujuan untuk meningkatkan pH sehingga kelarutan Al dan konsentrasi ion H menjadi rendah dan juga dapat memberikan tambahan unsur hara berupa Ca dan Mg pada tanah gambut dan sulfat masam. Bahan amelioran dapat berupa kapur

tanah (dolomit). Beberapa hasil penelitian menunjukan pemakaian kapur antara 1-3 ton/ha telah menunjukkan peningkatan hasil yang nyata di tanah rawa (Alihamsyah, 2004; Widjaya-Adhi, 1987; Sudana, 2005). Oleh karena itu, menarik untuk diteliti mengenai pengaruh pemberian amelioran terhadap

pertumbuhan tanaman jeruk siam Banjar di lahan pasang surut.

BAHAN DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan rawa

pasang surut tipe luapan C desa Karang Indah Kecamatan Mandastana

Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian

bulan Januari - Desember 2013.

Bahan dan Alat. Bahan dan alat yang digunakan adalah tanaman jeruk

siam Banjar berumur 6 tahun, hand counter, plastik, thermohygrometer, hand

refractometer, jangka sorong, ring sampel, ATK dan komputer supplies dan

bahan/alat pendukung lainnya.

Prosedur Penelitian. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dolomit masing-masing diulang 3

kali yaitu 0 ton/ha (D0), 1 ton/ha (D1), 2 ton/ha (D2), dan 3 ton/ha (D3).

Analisa Tanah. Analisa karakteristik kimia tanah dilakukan dengan

pengambilan sampel tanah sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Sampel

tanah komposit ini diambil dari lapisan 0-20 cm dan 20-40 cm. Tiap sampel

tanah komposit diaduk merata kemudian diambil kurang lebih 1 kg untuk

dianalisis di laboratorium tanah.

Pengumpulan dan Analisis Data. Data yang dikumpulkan meliputi

pertumbuhan tanaman jeruk siam Banjar (tunas daun, bunga, diameter buah, berat

buah, tebal kulit buah, berat kulit buah, jumlah juring dan jumlah buah jeruk siam

Banjar) dan analisa kimia tanah (pH, P, Al, Mg, Ca). Data yang didapat dianalisa

dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA), apabila berbeda nyata

dilanjutkan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji 5%.

477

Page 75: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

HASIL

Karakteristik Lokasi Penelitian. Jeruk dan padi merupakan komoditas

yang dominan ditanaman di lahan petani di desa Karang Indah Kecamatan

Mandastana Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Jenis tanaman jeruk

yang biasa ditanam adalah jeruk Siam Banjar.

(a) (b) Gambar 1. (a). Lokasi penelitian yang berada di lahan rawa pasang surut dengan sistem surjan;

(b). Bagian tabukan yang tidak ditanami padi ditumbuhi tanaman purun tikus.

Budidaya jeruk di wilayah ini berbeda dengan yang biasa dilakukan di lahan kering karena di wilayah kalimantan selatan merupakan lahan rawa yang memerlukan penataan yang khusus supaya tanaman jeruk dapat hidup dan berkembang. Usahatani tanaman jeruk di lahan pasang surut Kalimantan Selatan ditanam dengan cara meninggikan sebagian tanah di sekitarnya secara memanjang sehingga terbentuk surjan. Bagian lahan yang ditinggikan disebut tembokan, sedang wilayah yang digali atau di bawah disebut tabukan. Lebar tembokan sekitar 2,5-4 m, sedangkan tabukan dengan lebar 6-7 m. Bagian tabukan yang tidak ditanami padi ditumbuhi oleh tanaman purun tikus. Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan gulma yang tumbuh dan berkembang di lahan rawa pasang surut yang berlumpur. Tumbuhan ini mempunyai rimpang pendek dengan stolon memanjang berujung bulat gepeng, berwarna kecoklatan sampai hitam. Batang tegak, tidak bercabang, berwarna keabuan hingga hijau mengilap dengan panjang 50−200 cm dan tebal 2−8 mm. Analisis Tanah. Lokasi kegiatan penelitian yang digunakan adalah lahan petani

pada daerah pasang surut dengan tipe luapan C yang menerapkan budidaya

tanaman jeruk saja dengan sistem surjan (monokultur). Secara umum jenis tanah

di lokasi tersebut adalah tanah sulfat masam. Tanah sulfat masam umumnya

memiliki sifat-sifat khas yang dicirikan oleh bahan-bahan sulfida atau horison

sulfurik pada solum tanah dan pH tanah (pH < 3,5-4,0).

478

Page 76: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Gambar 2. Perlakuan Pemberian Amelioran di Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan pada

Bulan Mei 2013. Dari hasil analisa awal diketahui bahwa karakteristik kimia tanah

mempunyai sifat bereaksi sangat masam, P-tersedia rendah dan basa-basa tukar

sangat rendah hingga rendah (Tabel 1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

perlakuan penambahan dolomit 3 ton/ha dapat meningkatkan pH tanah tertinggi

yaitu 4,45 dari 3,72 dan menurunkan kandungan Al-dd 8,15 dari 13,99. Kandungan

p-tersedia tertinggi pada perlakuan dolomit 1 ton/ha yaitu 26,39 me/100g.

Berdasarkan analisis sidik ragam, perlakuan pemberian dolomit 2 dan 3 ton/ha

berpengaruh nyata dalam meningkatkan pH tanah terhadap kontrol/tanpa dolomit.

Namun perlakuan pemberikan dolomit 1 ton/ha tidak berpengaruh nyata.

Tabel 1. Karakteristik Kimia Tanah Sulfat Masam Awal Sebelum dan Sesudah

Perlakuan di Desa Karang Indah Kec. Mandastana, Kab. Barito Kuala,

Kalimantan Selatan

Dosis Dolomit pH K-dd Ca-dd Mg-dd Al-dd P-tersedia

(me/100g) (me/100g) (me/100g) (me/100g) (ppm)

0 ton/ha (D0) 3.72 a 0.71 a 1.21 a 1.37 a 13.99 a 22.36 ab

1 ton/ha (D1) 3.96 ab 0.96 a 2.74 ab 2.19 ab 10.71 a 26.39 b

2 ton/ha (D2) 4.19 bc 0.60 a 2.06 ab 1.80 a 8.82 a 21.22 ab

3 ton/ha (D3) 4.45 c 0.72 a 5.17 b 4.04 b 8.15 a 18.81 a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Peningkatan pH pada tanah juga dapat menurunkan kelarutan Al pada

tanah. Semakin tinggi pH, maka Al yang terlarut juga akan semakin rendah.

Pemberian kapur juga dapat meningkatkan ketersediaan hara dalam tanah, salah

satu unsur hara yang meningkat ketersediaannya adalah unsur hara Ca dan Mg.

Keragaan Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jeruk Siam Banjar. Pertumbuhan tunas tanaman jeruk siam Banjar hampir terjadi sepanjang tahun. Pertumbuhan tunas yang terus menerus disebabkan karena kondisi cuaca di Kalimantan Selatan yang setiap bulan masih terjadi hujan sehingga tanaman tersedia air untuk pertumbuhan tunasnya. Demikian halnya dengan bunga, tanaman jeruk siam Banjar juga dapat berbunga ≥ 4 kali setahun tetapi dengan jumlah bunga yang bervariasi setiap periode berbunganya. Puncak pembungaan terjadi sekitar bulan Maret 2013. Pada bulan Oktober 2013, setelah panen jeruk

479

Page 77: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 siam Banjar berbunga kembali. Pada bulan Oktober 2013 jumlah bunga tertinggi

terjadi pada perlakuan kapur 1 ton/ha sebanyak 127 bunga/pohon. Karena pembungaan tanaman jeruk siam Banjar terjadi ≥ 4 kali setahun,

terdapat beberapa cluster buah berdasarkan diameter buah dalam satu tanaman, sehingga musim panen jeruk siam Banjar juga terjadi lebih dari ≥ 3 kali per tahun. Pengamatan terhadap buah jeruk siam Banjar pada bulan Mei 2013, tanaman jeruk didominasi oleh buah yang berdiameter rata-rata 34,49 mm dengan jumlah buah + 363 buah per pohon. Pada bulan Juli dan September 2013, jumlah jeruk sudah mulai menurun karena sebagian dari jeruk tersebut telah dipanen. Puncak waktu panen dilakukan pada bulan September 2013. Warna buah jeruk siam Banjar pada saat panen hijau kekuningan. Namun pada pengamatan bulan Nopember 2013, jeruk siam Banjar telah berbuah kembali, dengan diameter buah rata-rata 4,81 mm dan jumlah buah tertinggi terjadi terjadi pada perlakuan dolomit 1 ton/ha rata-rata 111 buah/pohon dan jumlah buah terendah pada perlakuan dolomit 0 ton/ha rata-rata 96 buah/pohon. Hasil pengamatan terhadap diameter, berat, tebal kulit, berat kulit dan jumlah juring pada buah jeruk siam Banjar saat panen disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Diameter, berat, tebal kulit, berat kulit dan jumlah juring buah jeruk

siam Banjar pada saat panen Dosis Dolomit Diameter Berat Buah Tebal Kulit Berat Kulit Jumlah

Buah (mm) (g) Buah (mm) Buah (g) Juring (bh)

0 ton/ha (D0) 54.69 a 89.3 a 1,92 a 10,00 a 13.00 a

1 ton/ha (D1) 58.52 b 106.55 b 2,13 a 16,00 ab 12.25 a

2 ton/ha (D2) 57.61 b 101.70 ab 2,14 a 20,50 b 11.75 a

3 ton/ha (D3) 56.52 ab 100.90 ab

1,87 a 18,75 b 12.25 a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

Hasil pengamatan terhadap diameter, berat, berat kulit buah jeruk siam

Banjar pada perlakuan dolomit memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan tanpa

diberikan dolomit. Semakin tinggi pH tanah, komponen hasil jeruk siam Banjar

akan semakin tinggi. Diameter dan buah tertinggi pada perlakuan D1 (1 ton/ha)

masing-masing sebesar 58,52 mm dan 106,55 g. Untuk tebal dan berat kulit buah

tertinggi pada perlakuan D2 (2 ton/ha) masing-masing sebesar 2,14 mm dan 20,50 g.

Tetapi hal ini tidak terjadi pada pengamatan jumlah juring buah jeruk, penambahan

dolomit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dan jumlah juring tertinggi pada

perlakuan tanpa pemberian dolomit sebanyak 13 buah juring.

480

Page 78: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

(d)

Gambar 3. (a) bunga jeruk siam Banjar (b) fruit set jeruk siam Banjar; (c) buah siam Banjar

berumur 8 msb; (d) buah siam Banjar pada saat panen

Analisa Buah Jeruk Siam Banjar. Jeruk siam merupakan salah satu

bebuahan yang cukup digemari karena memiliki rasa yang manis dan daging buah

yang halus. Namun cita rasa jeruk siam dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tumbuh. Kondisi tanah adalah salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi

kualitas buah jeruk siam. pH tanah yang rendah dapat mempengaruhi ketersediaan unsuk makro di dalam tanah. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa

penambahan dolomit menurunkan total padatan terlarut jeruk siam Banjar. Total

padatan terlarut tertinggi pada perlakuan tanpa pemberian dolomit yaitu 11,95obrix

dan terendah pada perlakuan dengan pemberian dolomit 1 ton/ha sebesar 10,57 obrix. Sedangkan untuk total asam dan jus buah, perlakuan yang diberikan tidak

berpengaruh nyata. Total asam dan jus buah tertinggi pada perlakuan pemberian

dolomit 2 ton/ha masing-masing sebesar 33,30% dan 2,13%. Hasil pengamatan terhadap total padatan terlarut, volume jus, dan kadar asam buah jeruk siam Banjar

saat panen disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Total padatan terlarut, volume jus, dan kadar asam buah jeruk

siam Banjar pada saat panen

Dosis Dolomit Total Padatan Terlarut Jus Total Asam

(oBrix) (%) (%)

0 ton/ha (D0) 11.95 a 32.87 a 1.23 a

1 ton/ha (D1) 10.57 b 33.07 a 1.09 a

2 ton/ha (D2) 10.75 b 33.30 a 2.13 a

3 ton/ha (D3) 10.62 b 33.25 a 1.51 a

Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama dalam kolom yang sama menunjukkan

tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

481

Page 79: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PEMBAHASAN

Pertumbuhan dan perkembangan buah jeruk dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara dan pH di dalam tanah. Apabila pH tanah rendah maka satu atau lebih faktor tanah yang tidak menguntungkan muncul dan dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Salah satu permasalahan yang dijumpai pada tanah masam adalah konsentrasi unsur seperti Al dapat mencapai taraf racun (Winarso, 2005). Pada kondisi yang sangat masam (pH < 4), kelarutan aluminium meningkat drastis. Dari hasil analisis kimia tanah,

perlakuan D0 memiliki pH tanah 3,72 dan kandungan ion Al3+

lebih tinggi yaitu

13,99 ppm dibandingkan dengan perlakuan D3 hanya 8,15 ppm. Menurut Radjagukguk (1983), efek meracun Al adalah pada pertumbuhan dan perkembangan akar sehingga akar tanaman tidak dapat menyerap hara dan air yang dibutuhkan tanaman. Apabila hal ini terjadi pertumbuhan tanaman akan terhambat. Berdasarkan hasil pengamatan pada perlakuan tanpa dolomit, diameter dan berat buah jeruk siam Banjar terkecil dibandingkan dengan perlakuan dolomit. Hal ini mungkin disebabkan pada tanaman tanpa pemberian dolomit terjadi penghambatan pertumbuhan karena pengaruh Al yang tentunya hal ini akan mempengaruhi penyerapan hara dan aktivitas fotosintesis tanaman. Buah jeruk merupakan hasil fotosintesis bersih, apabila fotosintesis terhambat maka hasil bersihnya berupa buah juga mejadi kecil.

Berdasarkan hasil penelitian, penambahan dolomit dapat meningkatkan

diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal kulit dan berat kulit buah jeruk siam

Banjar. Menurut Winarso, (2005); Hakim et al., (1986); Mengel dan Kirby, (1987),

pemberian kapur dapat meningkatkan ketersediaan beberapa unsur hara tertentu dan

dapat mensuplai unsur Ca dan Mg untuk tanaman, meningkatkan kemampuan

residual dan aplikasi fosfor, meningkatkan fiksasi nitrogen pada tanah dan

tumbuhan, meningkatkan hasil panen tanaman budidaya, dan mengurangi zat yang

merugikan di dalam tanah. Unsur Ca dapat membantu mengaktifkan enzim

tanaman, membentuk senyawa-senyawa yang merupakan bagian dari dinding sel

yang akan membantu memperkuat struktur tanaman, merangsang perkembangan

akar dan daun, mempengaruhi hasil secara tidak langsung melalui penurunan

kemasaman tanah. Sedangkan unsur Mg mempunyai fungsi yang khas, yaitu sebagai

inti dari molekul klorofil sehingga berperan dalam proses fotosintesis, membantu

peranan hara S, demikian pula sebaliknya. Selain itu Mg juga berfungsi membantu

translokasi fosfor dalam tanaman, aktivator enzim tertentu dalam biji, memacu daur

asam sitrat dalam respirasi

KESIMPULAN

Pemberian dolomit dapat mempengaruhi pH dan ketersediaan unsur hara

di dalam tanah dan meningkatkan diameter, berat, jumlah bunga dan buah, tebal

kulit dan berat kulit buah jeruk siam Banjar. Diameter dan berat buah terkecil

dihasilkan pada perlakuan tanpa pemberian dolomit. Perlakuan pemberian

dolomit menurunkan total padatan terlarut jeruk siam Banjar. Sedangkan untuk

total asam dan jus buah, perlakuan pemberian dolomit tidak berpengaruh nyata.

482

Page 80: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan bapak Qomarudin selaku teknisi

(Balittra) dan semua pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan

dalam penelitian atau penulisan makalah.

DAFTAR PUSTAKA Alihamsyah. T. 2004. Potensi dan pendayagunaan lahan rawa untuk peningkatan

produksi padi. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Di dalam: F.Karino,

et al. Jakarta: Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Hakim, N., Nyakpa Y.M., Lubis, A.M., Nugroho, S.G., Diha, A., Hong G.B.,

Bailey, H.H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampurng:Penerbit

Universitas Lampung. Mengel, K and E.A. Kirkby. 1987. Principles of Plant

Nutrition. Switzerland:International Potash Institute. Noor, M dan Nursyamsi, D. 2012. Jeruk Siam Banjar:Andalan Pendapatan bagi

Petani Lahan Rawa Pasang Surut. http://muhammadnoor20.

blogspot.com/2012/ 12/jeruk-siam-banjar.html. [diakses 24 Agustus

2014]. Radjagukguk, B. 1983. Masalah Pengapuran Tanah Mineral Masam di Indonesia.

Makalah Seminar Alternatif-Alternatif Pelaksanaan Program Pengapuran Tanah-Tanah Mineral Masam di Indonesia. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Sudana, W. 2005. Potensi dan Prospek Lahan Rawa Sebagai Sumber Produksi Pertanian. Jurnal Analisis Kebijakan. 3:141-151

Widjaja-Adhi, IPG. 1987. Pengelolaan Lahan Rawa di Daerah Transmigrasi.

unpublished. Bogor. Widjaya-Adhi, IPG., K Nugroho., Ardi D., Karama A.S., 1992. Sumber Daya

Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai. Potensi Keterbatasan dan

Pemanfaatan. Di dalam Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian

Lahan Pasang Surut dan Rawa; Cisarua, 3-4 Maret 1992. Cisarua. Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah; Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah.

Yogyakarta: Gava Media. Zuraida, R. 2012. Usahatani Jeruk Mendukung Pendapatan Petani pada Lahan

Pasang Surut di Kalimantan Selatan. Jurnal Sepa 9:19-24.

483

Page 81: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Optimalisasi Lahan Rawa Lebak di Kebun Percobaan

Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan

dengan Budidaya Karet

Kgs. A. Kodir Balai Pengkajian Teknologi Sumatera Selatan

Jl. Kol. H.Barlian No.83. Km 6 Palembang E-mail :[email protected]

ABSTRAK

Sumatera Selatan memiliki lahan rawa lebak cukup luas yaitu sekitar 2,98

juta hektar namun hingga kini pemanfaatannya untuk budidaya pertanian baru mencapai sekitar 12,7%. Upaya optimalisasi lahan rawa lebak telah dilakukan di Kebun Percobaan (KP) Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan dengan penanaman karet klon unggul. Percobaan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran adaptasi tanaman karet pada lahan rawa lebak dangkal seluas ± 1 ha (550 batang). Penanaman dilakukan sejak bulan Mei Tahun 2007 menggunakan bibit polibeg satu payung dengan jarak tanam 6 x 3,3 m. Pengamatan dilakukan terhadap persentase tanaman hidup dan pertumbuhan tinggi tanaman serta panjang lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah. Hasil percobaan menunjukan bahwa hingga tahun ke 7 tanaman tetap bertahan hidup hingga berjumlah 455 batang (82,7%) dan seluruhnya menunjukan penampilan yang baik (tidak ada gejala serangan hama dan penyakit serta pertumbuhan normal). Hasil pengukuran panjang lilit batang menunjukkan bahwa pertumbuhan lilit batang maksimum hingga tahun ke 7 (2014) mencapai 75 cm. Panjang lilit batang rata-rata populasi pohon karet tersebut mencapai

54,5 cm. Matang sadap 50% dicapai pada umur 5 tahun. Pada saat ini tinggi tanaman rata-rata mencapai 8,4 meter.

PENDAHULUAN

Dalam upaya memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia, optimalisasi

sumber daya lahan menjadi pilihan yang tak terelakkan karena dengan itu dapat

meningkatkan produksi pertanian dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan

masyarakat. Dalam usaha peningkatan produksi pertanian, diperlukan teknologi

sistem usahatani yang rasional sesuai kondisi agro-ekosistem. Lahan rawa lebak

termasuk salah satu ekosistem hayati yang memiliki potensi untuk dikembangkan.

Indonesia mempunyai areal lahan rawa lebak seluas 13,4 juta hektar (Bappenas,

2007) yang terdiri dari 4,2 juta hektar rawa lebak dangkal, 6,07 juta hektar lahan

rawa lebak tengahan, dan 3,0 juta hektar lahan rawa lebak dalam. Lahan tersebut

tersebar di Sumatera, Kalimantan, dan Irian Jaya (Wijaya-Adhi et al, 1992, Dinas

PU Pengairan, 2010). Sumatera Selatan memiliki lahan rawa lebak cukup luas yaitu

sekitar 2,98 juta hektar namun yang sudah dimanfaatkan untuk tanaman pangan

baru seluas 379.450 hektar yang terdiri dari 70.908 ha lebak dangkal; 129.103 ha

lebak tengahan dan 168.670 ha lebak dalam tersebar di Kabupaten

484

Page 82: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Ogan Komering Ilir, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, dan Kabupaten

Muara Enim (Puslitbangtanak, 2002, Dinas PU Pengairan, 2010). Secara agronomis lahan rawa lebak selain dapat dimanfaatkan untuk

tanaman pangan seperti padi dan palawija juga dapat dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan. Tanaman karet telah banyak dibudidayakan di lahan kering di Sumatera Selatan namun untuk rawa lebak nampaknya belum lazim dilakukan karena kondisi lahan yang selalu terendam air terus menerus atau pada musim tertentu. Akan tetapi pada akhir-akhir ini mengingat perkembangan tanaman karet sudah cukup pesat dan kebutuhan pemenuhan produksi makin meningkat maka tidak menutup kemungkinan tanaman karet juga dapat dibudidayakan di lahan rawa lebak. Beberapa petani ada yang mencoba menanam karet di lahan rawa lebak dangkal, namun demikian hasilnya belum memuaskan sebab masalah biofisik lahan dan tata kelola lahan serta teknik budidaya. Dengan penerapan teknologi pengelolaan lahan yang merupakan kunci keberhasilan usahatani karet di lahan rawa lebak, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan rawa lebak.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan dengan Metode Deskriptif, yaitu dengan mengumpulkan fakta sebagian dari data pertumbuhan populasi tanaman karet yang ditanam pada lahan rawa lebak dangkal seluas ± 1 ha (550 batang) di Kebun Percobaan Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan sejak Tahun 2007. Prosedur penelitian dilakukan secara observasi lapangan dengan mencatat jumlah tanaman yang hidup dan menunujukkan pertumbuhan yang optimal. Selanjutnya dilakukan pengamatan secara visual mengenai pertumbuhan tanaman dan ada tidaknya gangguan fisiologis atau hama dan penyakit. Untuk memperoleh data pertumbuhan tanaman dilakukan pengukuran

panjang lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah. Sebagai data pendukung, dilakukan pencatatan tentang pelaksanaan teknis budidaya tanaman karet di lahan rawa lebak dan dilakukan pengukuran tinggi genangan air pada saat luapan tingi maksimal dan dalam masa waktu tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lahan Rawa Lebak di KP. Kayu Agung. Berdasarkan letak geografis KP Kayu Agung berada pada 03

023,8’ Bujur Timur

dan 104049,4’ Lintang Selatan dengan ketinggian tempat 31 m di atas

permukaan laut. Dari keseluruhan hamparan lahan KP Kayu Agung yang luasnya ± 27,3 ha, hampir 90% berupa dataran rendah spesifik lahan rawa lebak, yang terdiri dari lahan rawa lebak dangkal (± 6,5 ha), lebak tengahan (± 5,3 ha) dan lebak dalam (± 13,5 ha) dengan tipe iklim tropik basah, kelembaban rata-

rata 71% dan suhu rata-rata harian 29 – 310 C. Domisili KP Kayu Agung adalah

di Kota Kayu Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir, ± 67 km dari sisi timur Ibu Kota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang. Jenis / tipe tanah yang dimiliki KP Kayu Agung adalah Inceptisol dan organosol (pada bagian rawa) serta kambisol ( pada bagian darat).

485

Page 83: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Menurut Noor (2007) lahan rawa lebak memiliki banyak potensi yang dapat digali dan memberikan keunggulan-keunggulan komparatif dan kompetitif dibandingkan dengan lahan-lahan yang lain. Salah satu potensi lahan rawa lebak adalah pemanfaatannya sebagai lahan pertanian. Secara umum, pertanian yang dapat dilakukan di lahan rawa lebak adalah pertanian sawah, palawija, dan beberapa komoditas buah-buahan dan perkebunan. Pola tanam dan jenis komoditas yang dapat dikembangkan di lahan rawa lebak sangat tergantung kepada tipologi lahan rawa lebak, yaitu lebak dangkal, lebak tengahan, dan lebak dalam. Pada musim hujan, lahan rawa lebak tengahan sampai lebak dalam akan tergenang lebih dari 100 cm sehingga disebut dengan sawah barat. Sawah barat harus ditanami padi surung (deep water rice) pada akhir musim kemarau dan dipanen pada saat musim hujan (genangan 100-150 cm). Padi yang termasuk jenis padi surung adalah alabio, tepus, nagara, termasuk padi yang di kenal dengan nama hiyang. Banyak juga padi irigasi yang dapat di tanam di lahan

rawa lebak pada musim hujan. Pada musim kemarau, lebak dangkal dan lebak tengahan menjadi kering sehingga bisa ditanami sayuran, palawija, dan buah-buahan. Buah yang ditanam pada ledokan ini adalah jenis buah yang semusim seperti semangka, ataupun melon. Pada lebak dalam hanya ditanamai pada saat musim kemarau panjang (4-5 bulan kering), selebihnya dibiarkan dengan genangan yang tetap tinggi.

Guna mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa lebak di KP Kayu Agung,

untuk pertama kali mulai dicoba memanfaatkan tanaman perkebunan seperti karet

dan kelapa sawit. Seperti diketahui bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman di lahan

rawa lebak sangat tergantung pada jenis tanah dan juga masalah air. Jika mampu

mengatasi kedua masalah tersebut, pertanian di lahan rawa lebak akan memberikan

hasil yang mungkin sama baiknya dengan di lahan pertanian yang tidak marginal

(Noor, 2007). Untuk itu dalam pelaksanaan pengembangan tanaman perkebunan di

lahan rawa lebak ini telah dilakukan pembuatan saluran-saluran drainase untuk

mengendalikan muka air tanah dan dilakukan pemberian kapur dan pemupukan

pada saat pengolahan tanah/penanaman.

TEKNOLOGI BUDIDAYA KARET DI LAHAN RAWA LEBAK 1. Persiapan bahan tanam.

Secara umum ada dua macam bibit sebagai bahan tanam karet, yaitu bibit

stum dan bibit polybeg. Bibit stum adalah bahan tanam karet yang diperoleh

hasil okulasi batang bawah dengan mata entres dari batang tas yang sudah hidup

tetapi belum tumbuh tunas. Ada dua macam stum yaitu stum mata tidur dan

stum tinggi. Stum mata tidur adalah bahan tanam karet berupa stum yang sudah

dipotong akar batang bawah dan batang bagian atas ± 10-15 cm dari atas mata

entres, sedangkan stum tinggi adalah bahan tanam berupa stum yang tingginya

mencapai 1,2 – 2 m. Bibit polybeg adalah bahan tanam karet yang berasal dari

stum mata tidur yang ditanam dalam polybeg atau berasal dari biji sebagai

batang bawah yang ditanam dalam polybeg kemudian setelah memenuhi syarat

diokulasi ditumbuhkan tunas okulasinya dalam polybeg hingga 1-2 payung.

Dalam kegiatan ini penanaman tanaman karet di

486

Page 84: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

lahan rawa lebak KP Kayuagung dilakukan dengan menggunakan bibit karet

polybeg yang berasal dari bibit stum mata tidur yang ditanam dalam polybeg

yang telah berumur satu payung dan tinggi bibit antara 50-75 cm, . 2. Pengelolaan lahan dan Pola Tanam

Dalam pelaksanaan penerapan teknologi budidaya karet di lahan rawa

lebak di KP Kayu Agung ini dilakukan pengelolaan lahan secara hati-hati

dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang perlu diperhatikan guna

mendukung keberhasilan pemanfaatan rawa lebak. Untuk itu teknologi

pengelolaan lahan rawa lebak di KP Kayu Agung ini menerapkan prinsip-

prinsip yang meliputi : (1) pengelolaan air; (2) pengolahan tanah; (3)

pemupukan ; (4) pola tanam. Untuk itu telah dibuat saluran pembuangan air

utama dan saluran sekunder serta tersier. Dalam hal menerapkan prinsip

pengolahan tanah, lahan penanaman dipersiapkan sejak 3-4 bulan sebelum

penanaman yaitu dimulai sejak lahan sudah tidak tergenang air pasang lagi

(bulan Maret). Mula-mula lahan dibersihkan dari gulma dan sisa-sisa tanaman

pasca genangan. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara dibajak rata dengan

hand traktor, selanjutnya di lakukan pengajiran jarak tanam, yaitu 6 x 3,3 m. Mengenai pola tanam di lahan rawa lebak ada beberapa pola tanam

yang dapat dilakukan dalam pengelolaan tanah rawa diantaranya adalah; 1). Pengelolaan dengan sistem sorjan, yaitu pembuatan bedengan-

bedengan yang diantara bedengan itu adalah air. Tanaman ditanam diatas bedengan tersebut. 2). Pembuatan Tapak Timbun (tanaman ditanam diatas tapak tanam yang dibuat secara individu untuk setiap titik tanam. Dalam kegiatan budidaya karet di lahan rawa lebak ini, setelah dilakukan pengolahan tanah dan pengajiran jarak tanam maka selanjutnya dilakukan

pembuatan tapak timbun setinggi ± 75 cm dengan luas 1-1,5 m2 pada setiap

ajir untuk lubang tanam yang akan dibuat. Kira-kira 1 bulan setelah itu barulah dilakukan pembuatan lubang tanam ditengah tapak timbun yang sudah dibuat, ukuran lubang tanam 40 x 40 x 30 cm selanjutnya dilakukan pengapuran dengan dolomite sebanyak 250 g setiap lubang setelah itu lubang dibiarkan terbuka selama ± 2 minggu.

3. Penanaman.

Penanaman dilakukan setelah bibit dan lubang tanam siap. Sebelum

penanaman, setiap lubang tanam diberi pupuk NPK 100 g diaduk dengan

tanah dalam lubang kemudian baru dimasukkan bibit karet polibeg ke dalam

lubang. Bibit karet dimasukan beserta kantong plastik polybegnya kemudian

dilepas dalam lubang dengan cara menyayat bagian dasar polybeg setelah itu

dibelah separuh lalu ditarik ke atas, hal ini dimaksudkan untuk mencegah

agar media dalam polybeg tidak hancur dan akar tanaman tidak terganggu. 4. Pemeliharaan.

31. Penyulaman Penyulaman dilakukan setelah umur 1 tahun sejak penanaman, yaitu

487

Page 85: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

dengan mengganti semua tanaman yang mati dengan menggunakan bibit

karet polybeg yang sudah dua payung.

b. Pemupukan

Dalam hal menerapkan prinsip pemupukan di lahan rawa lebak maka

yang utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan pemupukan adalah

menetralkan unsur besi (Fe) dan Alumunium (Al), dengan cara pemberian

zat kapur. Apa bila tidak dinetralkan kedua zat logam berat diatas dapat

mengikat ion-ion pupuk yang diberikan sehingga menjadi “tidak tersedia”

bagi tanaman atau dengan kata lain pupuknya tidak hilang namun tidak juga

dapat bermanfat bagi tanaman. Untuk itulah maka kapur diberikan ke lobang

tanam setelah pembuatan lobang tanam. Sesuai dengan sifat agrofisik dan

kondisi tanah, untuk memperoleh hasil pertumbuhan yang baik maka

sebelum penanaman karet, pada lobang tanam diberikan masukan berupa

kapur sebanyak 250 g dan pupuk majemuk NPK Phonska sebanyak 100 g

per lobang tanam. Pemupukan pada TBM 1 (umur satu tahun) dan TBM 2

(umur dua tahun) diberikan Urea, SP36, dan KCl dua kali setahun pada

akhir musim kemarau dan akhir musim hujan saat lahan tidak tergenang air.

Pemupukan selanjutnya pada tahun ke 3, 4, 5, 6, dan 7 hanya satu kali

setahun.

Adapun dosis pemupukan dilakukan sesuai anjuran dan kondisi

lahan rawa lebak sebagai berikut (Tabel 1.) Tabel 1. Dosis Pemupukan Karet di Lahan Rawa Lebak KP Kayu

Agung

UMUR ( bulan ) Dosis pupuk (g per tanaman)

Urea SP36 KCl (g)

(g) (g)

0 0 100 0

3 50 50 20

8 50 50 20

12 75 100 50

18 75 100 50

24 100 150 75

36 150 200 100

48 200 300 150

dst 200 300 150

0 – 36 200 300 150

> 36 200 300 150

c. Pemeliharaan saluran drainse

Pengaturan saluran drainase air, yaitu dengan cara mendalami saluran air dipinggir lahan guna menampung luapan air yang berlebihan. Hal ini penting dilakukan guna mengantisipasi genangan air yang berlebihan pada saat musim hujan. Selanjutnya juga dilakukan pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit.

d. Pengendalian Hama dan Penyakit

488

Page 86: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Beberapa hama dan penyakit yang menyerang pertanaman karet di lahan rawa

lebak antara lain : 1). Hama a. Kutu tanaman (Planococcus citri)

Gejala: merusak tanaman dengan mengisap cairan dari pucuk batang dan daun muda. Bagian tanaman yang diisap menjadi kuning dan kering. Pengendalian: Menggunakan BVR atau Pestona.

b. Tungau (Hemitarsonemus , Paratetranychus) Gejala; mengisap cairan daun muda, daun tua, pucuk, sehingga tidak normal dan kerdil, daun berguguran. Pengendalian: Menggunakan BVR atau Pestona

2). Penyakit a. Penyakit pada akar : Akar putih (Jamur Rigidoporus lignosus), Akar merah

(Jamur Ganoderma pseudoferrum), Jamur upas (Jamur Corticium salmonicolor),

b. Penyakit pada batang : Kanker bercak (Jamur Phytophthora palmivora), Busuk pangkal batang (Jamur Botrydiplodia theobromae),

c. Penyakit pada Daun : Embun tepung (jamur Oidium heveae), Penyakit colletorichum (Jamur Coletotrichum gloeosporoides), Penyakit Phytophthora (Jamur Phytophthora botriosa)

Berdasarkan pengamatan visual dilapangan hingga saat ini gejala serangan hama dan penyakit seperti tersebut di atas tidak berpengaruh pada pertumbuhan, artinya walaupun ada gejala serangan hama dan penyakit tetapi tidak significant berpengaruh pada pertumbuhan tanaman karet yang ada. 5. Penyadapan

Pohon karet dinyatakan matang sadap apabila lilit batangnya pada ketinggian 100 cm dari kaki gajah telah mencapai ≥ 45 cm. Penyadapan dapat dimulai apabila kebun karet telah matang sadap. Suatu kebun telah memenuhi kriteria matang sadap apabila jumlah pohon yang matang sadap sudah 60% atau lebih (Dirjendbun, 2009).

Ditinjau dari kenampakan fisik pertumbuhan tanaman pada saat ini dan berdasarkan hasil pengukuran lilit batang pada ketinggian 1 meter dari kaki gajah maka dapat diketahui bahwa sudah lebih 60% tanaman telah mencapai lilit batang ≥ 45 cm. Ini berarti kebun karet tersebut telah matang sadap. Namun hingga saat ini tanaman belum dilakukan penyadapan karena masih menunggu persiapan alat dan bahan untuk pengelolaan lateks pasca penyadapan. Dengan pertumbuhan normal, tanaman karet dapat mulai disadap pada umur 5 tahun, sehingga usia produktifnya dapat dipertahankan hingga mencapai 25-35 tahun (Damanik, S.,et al.,2010).

Hasil Pengamatan Penampilan Tanaman Dari pengamatan yang telah dilakukan hingga tahun ke 7 tanaman karet yang ditanam di lahan rawa lebak KP Kayuagung tetap bertahan hidup hingga berjumlah 455 batang (82,7%) dan seluruhnya menunjukan penampilan yang baik, tidak ada gejala serangan hama dan penyakit serta pertumbuhan normal (Gambar 1dan 2).

489

Page 87: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Gambar 1. Pertanaman Karet Di Lebak

Dangkal (Umur 7 tahun)

Gambar 2. Pertanaman Karet Di Lebak

Dangkal (Umur 1 tahun)

Hasil pengkajian budidaya tanaman karet di lahan rawa lebak dangkal

Desa Buntut Bali Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan, Provinsi

Kalimantan Tengah melaporkan bahwa tanaman karet klon PB 260 dan IRR39

dapat tumbuh dengan baik (Firmansyah et al., 2012). Hasil pengukuran panjang lilit batang tanaman karet yang ditanam di lahan rawa

lebak dangkal di KP Kayu Agung menunjukkan bahwa pertumbuhan lilit batang

maksimum hingga tahun ke 7 (2014) mencapai 76 cm. Pada saat ini panjang lilit

batang rata-rata populasi pohon karet tersebut mencapai 54,5 cm dan yang

matang sadap (lilit batang ≥ 45 cm) mencapai 63,9%. Matang sadap 50% dicapai

pada umur 5 tahun. Secara umum umur matang sadap karet bervariasi antara 5-7 tahun, tergantung dari

beberapa faktor, antara lain klon, iklim, tindakan budidaya (Boerhendy,2010).

KESIMPULAN

Tanaman karet dapat dikembangkan di daerah lahan rawa lebak sehingga

dapat mengoptimalkan pemanfaatan lahan rawa lebak. Ternyata tanaman karet

mampu memberikan nilai tambah yang cukup baik bagi petani di lahan rawa

lebak, terutama petani yang biasanya hanya menanam padi atau palawija. Hal ini menunjukkan bahwa lahan rawa lebak mempunyai potensi yang besar untuk

dikembangkan, dan akan memberikan sumbangan besar terhadap pembangunan

daerah terutama dalam meningkatkan taraf hidup dan pendapatan petani, serta

secara bertahap menghilangkan kantong-kantong kemiskinan. 490

Page 88: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

DAFTAR PUSTAKA Damanik, S., M. Syakir, Made Tasma, dan Siswanto. 2010. Budidaya dan Pasca

Panen Karet.. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. 86 h. Diretktorat Jenderal Perkebunan, 2009. Teknis Budidaya Tanaman Karet.

file:///C:/Users/User/Downloads/Documents/pedoman_umum_karet_2009.pd f.

Firmansyah, M.A., Suparman, W.A. Nugroho, Harmini dan Umi Pudji Astuti

(2012). Kajian Perbaikan Usaha Tani Lahan Lebak Dangkal di SP1 Desa

Buntut Bali, Kecamatan Pulau Malan Kabupaten Katingan. Provinsi

Kalimantan Tengah. http://bengkulu.litbang-

pertanian.go.id/ind/images/dokumen/tanaman-pangan/firmansyah.pdf. Island Boerhendy. 2010. Manajemen dan Teknologi Budidaya Tanaman Karet,

Balai Penelitian Karet Sembawa. Noor Muhammad. 2007. Rawa Lebak: Teknologi, Pemanfaatan, dan

Pengembangannya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Prajnanta, F. 1996. Agribisnis karet non biji. Penerbit Swadaya. Jakarta. Puslitbangtanak. 2002. Anomali iklim. Evaluasi dampak, peramalan dan teknologi

antisipasinya. Untuk menekan resiko penurunan produksi. Laporan Hasil

Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Widjaja-Ahdi, IPG., K. Nugroho, Didi Ardi S., dan A. Syariffudin Karama. 1992.

Sumber Daya Lahan Rawa : Potensi, Keterbatasan, dan Pemanfaatan. Pp.

19-38. Dalam pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut

dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian .

491

Page 89: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Tampilan Empat Varietas Unggul Baru Jagung Hibrida Berbasis Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sumatera Barat

Performance of Four Superior New Variety Hybrid Maize Based on Approach Integrated Crop Management in West Sumatra

Nurnayetti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

ABSTRAK Sampai saat ini, Indonesia belum mampu untuk berswasembada jagung.

Salah satu upaya untuk mencapai swasembada adalah dengan meningkatkan

produktivitas melalui pemakaian varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan tampilan empat VUB jagung

hibrida di Sumatera Barat. Penelitian telah dilaksanakan pada lahan sawah tadah

hujan di Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dari

bulan Agustus sampai Desember 2012. Percobaan ditata menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Perlakuannya adalah empat

macam VUB jagung hibrida yang dilepas oleh Balitbangtan, yaitu: Bima-2, Bima-3,

Bima-4, dan Bima-5. Teknologi yang diterapkan adalah komponen dasar dan

pilihan yang terdapat dalam model pengelolaan tanaman terpadu (PTT) jagung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan VUB berpengaruh nyata terhadap

semua peubah yang diamati, kecuali tinggi letak tongkol. Didapatkan dua VUB

jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati rata-rata deskripsinya, yaitu:

Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3

t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari

rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4

(8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha). VUB jagung hibrida Bima-5 sangat berpotensi

untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di kawasan Kabupaten Tanah

Datar, Sumatera Barat. Kata kunci : adaptasi, jagung, hibrida, pengelolaan tanaman terpadu, varietas

unggul baru.

PENDAHULUAN

Sampai saat ini, Indonesia belum mampu untuk berswasembada jagung.

Berdasarkan data statistik tiga tahun terakhir, volume impor jagung mencapai

2,858 juta ton (setelah dikurangi ekspor yang hanya sebesar 30.787 ton) pada tahun 2011 (Kementan, 2014). Volume impor ini menurun pada tahun 2012

menjadi 1,848 juta ton. Namun, meningkat lagi pada tahun 2013 menjadi 3,272 juta ton. Diperkirakan pada tahun 2014 mencapai 3,6 juta ton, akibat makin berkembangnya industri pakan ternak dan kurangnya pasokan jagung di lapangan. Diduga, kebutuhan jagung untuk makanan ternak mencapai 15,5 juta

ton dan kebutuhan jagung lainnya sebesar 7,7 juta ton. Lima tahun mendatang,

492

Page 90: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 diperkirakan kebutuhan industri pakan sudah mencapai 20 juta ton dan diiringi

kebutuhan jagung lainnya sebesar 10 juta ton. Produksi jagung nasional ditentukan dua sumber pertumbuhan utama,

salah satunya adalah produktivitas. Produktivitas jagung nasional masih rendah (4,90 t/ha) dibanding potensinya yang mencapai 14,1 t/ha dan produktivitas hasil penelitian (mencapai 7,90 t/ha di lahan sawah, 8,06 t/ha di lahan kering terbuka, dan 6,20 t/ha di lahan kering di bawah pohon kelapa) (Atman, 2015). Produktivitas jagung masih sangat beragam antar provinsi, berkisar 1,710-7,206 t/ha. Produktivitas jagung tertinggi ditemui di Provinsi Jawa Barat (7,206 t/ha), diikuti Sumatera Barat (6,703 t/ha). Sedangkan Jawa Timur dan Jawa Tengah sebagai daerah sentra utama jagung di Indonesia memberikan sumbangan produktivitas berturut-turut 4,803 t/ha dan 5,509 t/ha. Sementara itu, produktivitas terendah ditemui di Provinsi Papua Barat (1,710 t/ha) (BPS, 2014). Bila kesemua wilayah ini, utamanya Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dapat ditingkatkan produktivitasnya, diperkirakan akan mampu mempercepat pencapaian swasembada jagung di Indonesia, yang telah dicanangkan oleh pemerintah untuk dicapai dalam tiga tahun ke depan.

Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung adalah melalui

pemakaian varietas unggul baru (VUB) jagung hibrida (Hosen, dkk., 2013). Sejak

tahun 1956 sampai 2013, telah ditemukan sebanyak 159 varietas jagung yang terdiri

dari 38 varietas komposit dan 121 varietas hibrida. Varietas hibrida yang telah

dilepas berasal dari Balitbangtan dan swasta. Diantara VUB hibrida yang dilepas

oleh Balitbangtan adalah Bima-1, Bima-2, Bima-3, Bima-4, Bima-5, sampai dan

yang terbaru (Bima-19 URI dan Bima-20 URI). Dari deskripsinya, rata-rata hasil

Bima-2 (8,5 t/ha), Bima-3 (8,3 t/ha), Bima-4 (9,6 t/ha), dan Bima-5 (9,3 t/ha)

(Puslitbangtan, 2013). VUB jagung hibrida ini sangat prospek untuk dikembangkan

pada daerah sentra produksi jagung yang ada di Indonesia. Namun, daya

adaptasinya pada masing-masing agroekosistem masih belum banyak diketahui.

Untuk itu dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui keragaan

tampilan empat VUB jagung hibrida di Sumatera Barat. Diharapkan hasil penelitian

ini mendapatkan rekomendasi VUB jagung hibrida yang adaptif di Sumatera Barat,

khususnya di Kabupaten Tanah Datar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian telah dilaksanakan pada lahan sawah tadah hujan di

Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat

pada bulan Agustus-Desember 2012. Percobaan ditata menggunakan Rancangan

Acak Kelompok (RAK) dengan lima kali ulangan. Perlakuan yang di uji adalah

empat macam VUB jagung hibrida yaitu: Bima-2, Bima-3, Bima-4, dan Bima-5. Ada empat komponen teknologi dasar PTT jagung yang diterapkan dalam

penelitian ini, yaitu: (1) Varietas unggul baru (VUB) hibrida; (2) Benih bermutu dan

berlabel; (3) Populasi 66.000-75.000 tanaman/ha; dan (4) Pemupukan berdasarkan

kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Sedangkan komponen teknologi pilihan

adalah: (1) Penyiapan lahan (tanpa olah tanah); (2) Pembuatan saluran drainase

saluran irigasi di lahan sawah; (3) Pemberian bahan organik; (4) Pembumbunan; (5)

Pengendalian gulma secara mekanis atau dengan herbisida

493

Page 91: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 kontak; (6) Pengendalian hama dan penyakit; dan (7) Panen tepat waktu dan

pengeringan segera. Komponen teknologi sebagai penciri PTT disajikan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Komponen teknologi yang diterapkan petani sebagai penciri model PTT

jagung Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012. No. Komponen Teknologi Keterangan 1 Varietas unggul Bima 2, Bima 3, Bima 4, Bima 5 (hibrida) 2 Asal benih BPTP Sumbar 3 Daya kecambah benih >95% 4 Perlakuan benih 2 g Saromil/kg benih 5 Pengolahan tanah Olahtanah sempurna 6 Jarak tanam 70 x 40 cm (2 biji per lubang) 7 Pupuk Urea Berdasarkan BWD (350 kg/ha, diberikan 3 kali, umur 10, 30, dan 45 HST) 8 Pupuk SP-36 100 kg/ha (berdasarkan PUTK, diberikan umur 10 HST) 9 Pupuk KCl 50 kg/ha (berdasarkan PUTK, diberikan umur 10 HST) 10 Pupuk kandang Kotoran sapi 1,5 t/ha diberikan saat tanam sebagai penutup benih 11 Penyiangan Penyiangan manual umur 30 dan 60 HST 12 Pengendalian OPT Menerapkan konsep PHT 13 Panen dan prosesing hasil Panen dilakukan setelah jagung masak fisiologis,

dan prosesing hasil menggunakan alat pemukul

Pengamatan dilakukan terhadap peubah-peubah tinggi tanaman (cm),

tinggi letak tongkol (cm), panjang tongkol (cm), lingkaran tongkol (cm), jumlah

baris/tongkol, jumlah biji/baris, berat 1.000 biji (g), dan hasil pipilan kering

(t/ha). Data dianalisis secara statistik dengan sidik ragam (Uji F) sesuai dengan

rancangan yang digunakan. Bila uji F menunjukkan pengaruh nyata maka untuk

membandingkan nilai antar perlakuan digunakan uji beda rata-rata Duncan

(UBD) pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan VUB jagung hibrida

memberikan pengaruh nyata terhadap peubah tinggi tanaman saat panen dan tidak

berbeda nyata terhadap tinggi letak tongkol (Tabel 2). Terlihat, tinggi tanaman

berkisar 208,4-239,0 cm. Tanaman tertinggi didapatkan pada VUB Bima-5 (239,0

cm) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-4 dan Bima-3. Sedangkan tanaman

terendah didapatkan pada VUB Bima-2 (208,4 cm). Selanjutnya, tinggi letak

tongkol berkisar 98-116 cm. Dibanding deskripsinya, ternyata keseluruhan VUB

memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi, berturut-turut 200 cm, 200 cm, 212 cm,

dan 204 cm. Sebaliknya, tinggi letak tongkol keseluruhan VUB cenderung lebih

rendah dibanding deskripsinya, berturut-turut 100 cm, 98 cm, 116 cm, dan

494

Page 92: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 115 cm untuk Bima-2, Bima-3, Bima-4, dan Bima-5 (Puslitbangtan, 2013).

Artinya, berdasarkan tinggi tanaman, keempat VUB jagung hibrida yang diuji

sesuai untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah

Datar. Tabel 2. Keragaan tinggi tanaman (cm) dan tinggi letak tongkol empat VUB

jagung hibrida. Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar,

2012.

No VUB Jagung Tinggi Tanaman Tinggi Letak Tongkol

Hibrida (cm) (cm)

1 Bima-2 208,4 b 97,5 a

2 Bima-3 231,1 a 97,1 a

3 Bima-4 238,8 a 102,6 a

4 Bima-5 239,0 a 110,6 a

KK (%) 4,51 6,77

Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%.

Perlakuan VUB jagung hibrida juga menunjukkan pengaruh nyata terhadap

peubah panjang tongkol, lingkaran tongkol, jumlah baris/tongkol, dan jumlah

biji/baris (Tabel 3). Terlihat, panjang tongkol berkisar 17,2-19,9 cm, dengan tongkol

terpanjang didapatkan pada Bima-4 (19,9 cm) yang tidak berbeda nyata dengan

Bima-5 (19,4 cm). Sedangkan tongkol terpendek didapatkan pada Bima-2 (17,2 cm)

yang berbeda nyata dengan VUB lainnya. Lingkaran tongkol berkisar 15,2-16,4 cm,

dengan lingkaran tongkol terpanjang didapatkan pada Bima-4 (16,4 cm) yang tidak

berbeda nyata dengan Bima-5 (16,3 cm). Sedangkan lingkaran tongkol terpendek

didapatkan pada Bima-2 (15,2 cm) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 (15,6

cm). Jumlah baris/tongkol berkisar 12,7-13,7 cm. Jumlah baris/tongkol terbanyak

didapatkan pada Bima-2 (13,7 baris) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-5 (13,5

baris). Sedangkan jumlah baris/tongkol tersedikit didapatkan pada Bima-4 (12,7

baris) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 (12,9 baris). Selanjutnya, jumlah

biji/baris berkisar 33,6-38,1 butir, dengan jumlah biji/baris terbanyak didapatkan

pada Bima-4 (38,1 butir) yang berbeda nyata dengan VUB lainnya. Sedangkan

jumlah biji/baris tersedikit didapatkan pada Bima-2 (33,6 butir) yang berbeda nyata

dengan VUB lainnya. Tabel 3. Keragaan panjang tongkol (cm), lingkaran tongkol (cm), jumlah

baris/tongkol. Dan jumlah biji/baris empat VUB jagung hibrida.

Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, 2012. VUB Panjang

Lingkaran Jumlah Jumlah

No Jagung Tongkol Baris/Tongkol Biji/Baris

Tongkol (cm)

Hibrida (cm) (butir)

1 Bima-2 17,2 c 15,2 b 13,7 a 33,6 d

2 Bima-3 17,9 b 15,6 b 12,9 b 35,2 c

3 Bima-4 19,9 a 16,4 a 12,7 b 38,1 a

4 Bima-5 19,4 a 16,3 a 13,5 a 36,0 b

KK (%) 1,49 1,22 1,91 0,93

Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%.

495

Page 93: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Dibanding deskripsinya, ternyata hanya Bima-5 yang memiliki panjang tongkol melebihi deskripsinya (18,2 cm) dan Bima-4 menyamai deskripsinya (20 cm) serta Bima-2 dan Bima-3 masih rendah dibawah deskripsinya, masing-masing 21 cm. Sementara itu, keseluruhan VUB yang diuji menunjukkan jumlah

baris/tongkol yang sama dengan deskripsi, yaitu berkisar 12-14 baris (Puslitbangtan, 2013). Artinya, berdasarkan panjang tongkol, hanya Bima-5 dan Bima-4 yang sesuai untuk dikembangkan. Namun, berdasarkan jumlah biji/baris,

keempat VUB jagung hibrida yang diuji sesuai untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah Datar.

Selanjutnya, perlakuan VUB jagung hibrida juga menunjukkan pengaruh

nyata terhadap berat 1.000 biji dan hasil pipilan kering (Tabel 4). Terlihat, berat 1.000 biji berkisar 260,6-370,5 g. Biji terberat didapatkan pada Bima-2 (370,5 g) yang berbeda nyata dengan perlakuan VUB lainnya, sedangkan biji teringan

didapatkan pada Bima-4 (260,6 g) yang berbeda nyata dengan perlakuan

lainnya. Dibanding deskripsinya, ternyata keempat VUB menunjukkan berat 1.000 biji mendekati deskripsinya, berturut-turut 378 g, 359 g, 267 g, dan 270 g (Puslitbangtan, 2013). Artinya, dilihat dari berat 1.000 biji, keempat VUB yang

diuji sesuai untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Tanah Datar. Tabel 4. Keragaan berat 1.000 biji (g) dan hasil pipilan kering (t/ha) empat VUB

jagung hibrida. Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar,

2012.

No VUB Jagung

Berat 1.000 Biji (g) Hasil Pipilan Kering

Hibrida (t/ha)

1 Bima-2 370,5 a 7,92 b

2 Bima-3 358,4 b 8,13 ab

3 Bima-4 260,6 d 8,50 ab

4 Bima-5 268,9 c 9,17 a

KK (%) 0,17 6,65

Angka-angka pada masing-masing kolom diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut UBD pada taraf nyata 5%.

Pada Tabel 4 terlihat bahwa hasil pipilan kering berkisar 7,92-9,17 t/ha. Hasil pipilan kering tertinggi didapatkan pada Bima-5 (9,17 t/ha) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 dan Bima-4. Sedangkan terendah pada Bima-2 (7,92 t/ha) yang tidak berbeda nyata dengan Bima-3 dan Bima-4. Dibandingkan

dengan deskripsinya, ternyata dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5 (9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya

memberikan hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu:

Bima-2 (7,92 t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha) (Puslitbangtan, 2013). Artinya, ditinjau dari tampilan hasil pipilan kering, VUB Bima-5 berpeluang untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah hujan di

Kabupaten Tanah Datar.

496

Page 94: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Didapatkan dua VUB jagung hibrida yang memberikan hasil mendekati rata-

rata deskripsinya, yaitu: Bima-3 (8,13 t/ha, deskripsinya 8,27 t/ha) dan Bima-5

(9,17 t/ha, deskripsinya 9,3 t/ha). Sementara dua VUB lainnya memberikan

hasil yang lebih jauh rendah dari rata-rata deskripsinya, yaitu: Bima-2 (7,92

t/ha, deskripsinya 8,51 t/ha) dan Bima-4 (8,5 t/ha, deskripsinya 9,6 t/ha). 2. Untuk meningkatkan produktivitas jagung, maka VUB jagung hibrida

Bima-5 sangat berpotensi untuk dikembangkan pada lahan sawah tadah

hujan di kawasan Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat dengan

menerapkan teknologi PTT jagung.

DAFTAR PUSTAKA

Atman. 2015. Produksi Jagung; Strategi Meningkatkan Produksi Jagung.

Penerbit Graha Ilmu Yogyakarta (dalam proses pencetakan). BPS. 2014. Statistics Indonesia. https://www.bps.go.id. Diunduh 22 November

2014, jam 14.00 WIB. Hosen, N., Hardiyanto, M. Daniel, E. Mawardi, I. Manti, Atman, dan Harmaini.

2013. Model Peningkatan Produksi dan Pendapatan Petani Jagung Ramah Lingkungan dengan Pendekatan Dinamik Sistem di Sumatera Barat. Laporan akhir BPTP Sumatera Barat (unpublished); 55 hlm.

Kementan. 2014. Portal ekspor impor. http://eksim.pertanian. go.id/. Diunduh 7 Agustus 2014. Jam 12.00 WIB.

Puslitbangtan. 2013. Deskripsi Varietas Jagung Edisi 2013. Puslitbangtan-Balitbangtan; 151 hlm.

497

Page 95: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Profil Usahatani Terpadu Sayuran-Ternak Sapi Potong

di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau

Profile of Integrated Farming between Livestock Beef Cattle and

Vegetable in Bintan Regency, Riau Islands

Salfina Nurdin Ahmad1 dan Yayu Zurriyati

1

1Loka Pegkajian Teknologi PertanianKepulauan Riau Jalan Pelabuhan

Sungai Jang No 38 Tanjung Pinang Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The research was conducted in February 2014 - December 2014, this

research was done in Malang Village Meeting (District of Mount Deer), anculai Ekang Village and Village North Toapaya (Subdistrict Toapaya), Bintan regency. Intake of secondary data and primary data in the form of direct interviews sebanak 25 people then the data generated descriptive ditabulase later. The results showed age of childbearing age with a breeder is still under the age of 50 years, whereas the average farmer's main job is nearly 52%, using waste vegetable culled cows about 24% and 8% use kosentrat rice and composted sewage treatment by means fermentase only 16%, in the event almost all look dull hair and knowledge about worming approximately 52% and approximately 42% bloating disease .. the use of dung as fertilizer generally almost 80% is used to own the remaining approximately 20% sold. State of almost 100% cow disease Anaplasma. Sp.dan after the cows examined terrhadap terlur worm turns cows infected with worms with worm eggs 679-4.600 epg. Keywords: Medicinal herbs, beef, performance, area vegetables.

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Febuari 2014 - Desember 2014,

penelitian ini dilaksananakan di Desa Malang Rapat (Kecamatan Gunung Kijang),

Desa Ekang anculai dan Desa Toapaya Utara (Kecamatan Toapaya) , Kabupaten

Bintan. Pengambilan data secara skunder dan data primer berupa wawncara

langsung sebanak 25 orang kemudian data ditabulase kemudian dibuat secara

deskriptip. Hasil penelitian menunjukkan umur peternak adalah usia produktif

dengan umur masih dibawah 50 tahun , sedangkan rata-rata pekerjaan utamanya

adalah petani hampir 52%, sapi menggunakan limbah sayuran afkir sekitar 24% dan

penggnaan kosentrat padi 8% dan pengolahan kotoran dibuat kompos dengan cara

fermentase hanya 16%, pada kegiatan ini i hampir semua terlihat bulu kusam dan

pengetahuan tentang penyakit cacingan sekitar 52% dan penyakit kembung sekitar

42%.. Penggunaan kotoran sebagai pupuk ummnya hamper 80% digunakan untuk

sendiri selebihnya sekitar 20% dijual. Keadaan sapinya hampir 100% menderita

penyakit Anaplasma. Sp.dan setelah diperiksa terrhadap terlur cacing sapi-sapi

terinfeksi cacing dengan telur cacing 679 epg – 4.600 epg. Kata kunci: Obat herbal, sapi potong, performans, kawasan sayuran.

498

Page 96: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

PENDAHULUAN

Berdasarkan laporan dari Dinas Pertanian, Kehutanan dan Peternakan

Provinsi Kepulauan Riau (2009), rata-rata terjadi peningkatan permintaan dan

konsumsi daging sapi di Provinsi Kepulauan Riau sekitar 9,31%/tahun yang

sebagian besar disuplai dari impor. Sementara populasi ternak sapi potong di

Propinsi Kepulauan Riau pada tahun 2011 hanya 8.323 ekor (BPS, 2011). Salah satu kendala dalam usaha pengembangan peternakan sapi potong

di Kepulauan Riau adalah penyakit parasit terutama parasit interna yaitu helminthiasis (penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing). Peyakit yang cukup sering menyerang ternak sapi ini umumnya disebabkan oleh cara pemeliharaan yang kurang diperhatikan sehingga infeksi yang parah dapat menyebabkan tingkat kematian yang cukup tinggi. Penyakit cacing yang sering menyerang sapi sebagian besar disebabkan oleh jenis cacing yaitu Bunostomum sp., Oesophagustomum sp,. Trychostrongylus sp., Trichuris sp., Haemonhus contortus., Taenia sp..

Rendahnya populasi ternak sapi dipengaruhi oleh tingkat produktivitas ternak sapi yang juga rendah. Untuk itu, diperlukan upaya untuk mengatasinya, salah satunya dengan memperbaiki manajemen pemeliharaan ternak sapi ditingkat petani.

Pengembangan areal untuk tanaman sayuran di Provinsi Kepulauan Riau

yang cukup pesat saat ini juga merupakan salah satu potensi untuk mendukung

pengembangan ternak sapi, karena ternak dapat dapat memanfaatkan sayuran afkir

sebagai sumber pakan. Saat ini produksi sayuran di provinsi ini tercatat 63.369 ton

(BPS KEPRI, 2012). Jika diasumsikan 5% dari hasil panen tersebut merupakan

sayuran afkir, maka akan tersedia 3.168 ton sayuran afkir sebagai sumber pakan

hijauan ternak, yang berarti dapat menampung sekitar 300 ekor ternak sapi/thn,

disamping itu keberadaan ternak sapi dilokasi areal tanaman sayur juga amat

penting, karena ternak sebagai penghasil pupuk organik untuk tanaman. Produktivitas ternak sapi selain dipengaruhi oleh ketersediaan pakan yang

sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya, juga sangat dipengaruhi dengan kesehatan

ternak tersebut. Salah satu penyakit yang sangat berpengaruh terhadap produktivitas

sapi adalah penyakit cacing.Penyakit ini dapat menurunkan bobot badan dan

menggangu reproduksi ternak. Berdasarkan laporan dari instansi terkait di

Kabupaten Bintan, kejadian penyakit cacing terutama cacing hati pada ternak sapi di

kabupten ini adalah sekitar 45% dari populasi yang ada dengan derajat infestasi

sedang sampai dengan berat dan dilaporkan pula banyak kegagalan reproduksipada

ternak sapi akibat kejadian tersebut (DINAS PERTANIAN, PETERNAKAN DAN

KEHUTANAN KABUPATEN BINTAN , 2012). Pemeliharaan ternak sapi

umumnya dengan cara ekstensif hingga semi intensif. Pohon pinang (Areca catecu) banyak ditemukan di Kepulauan Kepri

khususnya Kabupaten Bintan.Keampuhan obat untuk pengobatan penyakit cacing dapat diketahui dari hilangnya gejala klinis akibat penyakit tersebut pada ternak dan penampilan fisik ternak menjadi lebih baik. Untuk mengetahui sejauh mana efektivitas biji pinang untuk penyakit cacing dibandingkan pengobatan menggunakan obat buatan pabrik, perlu dilakukan pengkajianperbaikan manajemen pemeliharaan ternak sapi untuk peningkatan produktivitasnya dikawasan tanaman sayuran di Provinsi Kepulauan Riau.

499

Page 97: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui profil peternak sapi potong di

kawasan tanaman sayuran dan kejadian penyakit cacing di Kepulauan Riau.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Bintan, Propinsi Kepulauan Riau.

Pengambilan sampel darah ternak di Kecamatan Gunung Kijang yakni Desa Malang

Rapat pada kelompok Tunas Jaya, Kelompok Agri Bangun Jaya di Desa Toapaya

Utara, kelompok Tunas Muda di desa Malang Rapat dan kelompok Margatani di

desa Ekang Anculai bulan Febuari 2014 sampai dengan Desember 2014.

Peternaknya memiliki lahan sayuran pada umumnya merupakan petani sayuran yang

sudah lama menjadi petani sayuran di Kabupaten Bintan. Data yang dikumpulkan merupakan data primer dan skunder. Sumber data

primer dari wawancara dengan responden kelompok petani sayuran dan ternak yang

ditentukan secara sengaja (purpussive sampling). Selanjutnya Metode penarikan sampel dari penelitian ini adalah dilakukan Pengambilan sampel

kelompok tersebut dari populasi sapi yang terbanyak berdasarkan kelompok dengan cara Fokus Discussion Group (FGD) yang dikumpulkan di tempat Balai

Pertemuan . Penelitian ini dilakukan dengan metode partisipatory Rural Apprasial

(PRA) yaitu proses pengumpulan data yang melibatkan kerjasama aktif antara

pengumpul data dengan responden (Singarimbun dan effendi, 1995). Selanjutnya

dilakukan pertanyaan pada petani peternak dengan melalui kuisioner yang dibuat

sebanyak 25 orang , data di Tabulase dan dianalisa secara deskriptif. Selanjutnya

data primer lainnya dengan pengambilan sampel feses diambil secara acak pada tiap

kelompok dengan cara diambil dari anus sapi sekitar 5 gram kemudian dimasukkan

ke dalam plastic diberi tanda kemudian diperiksa di Laboratorium Kesehatan Hewan

Propinsi Kepulauan Riau. diperiksa Selanjutnya data ditabulasi kemudian

dilaporkan secara deskriptif. Dalam pengambilan data kuisioner diamati sapi-sapi

yang berada dalam kandang kemudian dicatat dan ditabulase.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengkajian produktivitas sapi potong basis kawasan sayuran di

Kepulauan Riau dilakukan pada kelompok ternak dengan kawasan tanaman

sayuran . Profil peternak dan ternaknya dimana pada ternaknya memperlihatkan

sapi yang kurus, bulu kusam dan mucosa mata terlihat pucat . Karakterisitik

kelompok peternakan sapi di kelompok Tunas Jaya, kelompok Agri Bangun

Jaya dan kelompok Margatani dapat diperlihatkan pada Tabel 1.

500

Page 98: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Tabel 1. Karakteristik petani , sistem Integrasi tanaman sayuran dan ternak No Uraian Persentase (%) 1 Umur

20 – 40 tahun 24 41 – 50 tahun 52 >50 tahun 24

2 Pendidikan

SD 24 SLTP 12 SLTA 64

3 Mata Pencaharian

Buruh 24 Petani 52 Wiraswasta 24

4. Pengalaman Usahatani tanaman < 1 tahun 16

2-5 tahun 40 6-10 tahun 44

>10 tahun 4 5. Pengalaman beternak sapi < 1 tahun 16 >1-4 tahun 68

6. >10 th 16 Kepemilikan ternak sapi

1-5 ekor 60 6-10 ekor 24

7. >10 ekor 16 Sistem Pemeliharaan ternak sapi

Ektensif

Semi intensif 100 8. Pakan yang diberikan pada ternak sapi Rumput alam 88 Rumput +kosentrat (tongkol jagung ) 12

9. Limbah pertanian

Sayuran afkir 24 Dedak padi 8 Tongkol Jagung 8 10. Jumlah limbah pertanian (sayuran)

5-10 kg /ekor/hari 100 10-12kg/ekor/hari

>15 kg/ekor/hari 11. Penyakit yang sering menyerang ternak

Cacingan 52 Perut kembung 48 Mengetahui manfaat kotoran ternak dari

12. Baca buku

Penyuluhan 16 Pelatihan 60

13. Jenis teknologi pengolahan kotoran ternak yang 24 diterapkan atau pernah diterapkan

Amoniasi

Fermentase - Tanpa olahan 16

14 Pupuk organic dan kotoran ternak yang dihasilkan 84 digunakan untuk

Kebutuhan sendiri

Dipasarkan /dijual 80 20

501

Page 99: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pada Tabel 1 berdasarkan hasil wawancara dengan petani kelompok ternak

diperlihatkan bahwa mata pencaharian paling banyak adalah petani sayur sekitar

52%, , dan pengalaman beternak sapi ada yang kurang dari 1 tahun sekitar 16 %,

dan paling banyak yang memelihara ternak sekitar 56%. Pemberian kosentrat

pada ternak sapi di tiga kelompok ternak hanya 12%. Limbah sayuran atau limbah pertanian yang diberika pada ternak sapinya

hanya 6 orang sekitar 24% dan tongkol jagung hana 8% dan pemberian dedak padi hanya 8% yaitu hanya 2 orang. Jenis kotoran yang diterapkan dan yang pernah diterapkan oleh ketiga kelompok ternak adalah diolah dengan fermentase sekitar 16% dan tanpa olahan sekitar 84% hal ini dikarenakan petani atau kelompok ternak tersebut umumnya dijemur beberapa hari langsung dipakai oleh peternak.

Pupuk organik atau kompos umunya digunakan sendiri hampir 8% dan dijual sekitar 80% . Hal ini bahwa ketiga kelompok ternak merupakan Kawasan kawasan tanaman sayur maka penggunaan feses sapi sebagai pupuk dengan olahan atau kompos dan tanpa olahan , dengan demikian peternak menggunakan kotoran sapi sebagai pupuk di lahan peternak itu sendiri.

Tabel 2. Karakteristik kondisi ternak ternak sapi

Kelompok Kelompok Kelompok

No Uraian Tunas Agri

Bangun Margatani

Jaya

Jaya

1 Kurus (terlihat tulang rusuk)

Skor 3 1 1 6

Skor 2 4 2 2

Skor 1 11 2 3

2 Bulu Kusam 16 5 10

3 Pucat dilihat dari mukosa 12 4 8

4 Feses Encer dan bau amis 11 3 8

5 Bulu Berdiri 8 4 9

6 Tidak pakai air minum dalam √ √ X

Kandang

7 Kandang Gelap Agak Agak

terang terang

8 Dekat kandang ada saluran Ada Ada Tdk ada

9 Basis sayuran Ya Ya Tdk

10 Feses dibuat kompos Ya Ya Tdk

Hasil penelitian dan waktu pengamatan di kandang dapat dilihat pada

(Tabel 2) dan Gambar 1, terlihat bahwa pada kelompok tani Tunas Jaya keadan

sapi kurus dengan skor hanya 1 sampai dengan 2 sehingga tulang rusuk yang kelihatan tiga dan empat. Hasil pengamatan dilapangan peternak tersebut agak

mengerti dengan penyakit cacingan pada sapi. Pada Tabel 1, terlihat

karakteristik ternak sapi dalam kandang seperti feses encer berbau amis, bulu

kusam dan pucan serta bulu berdiri. Hal ini menunjukkan gejala klinis cacingan sehingga diperlukan uji laboratoriun dengan pemeriksaan feses terhadap telur

cacing dapat dilihat pada Tabel 2.

502

Page 100: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Eksisting peternak di tiga kelompok ternak tersebut waktu wawancara

dengan peternak dimana ternaknya sangat menyedihkan dan kedaan lingkungan

kandang gelap dan becek sehingga kotoran sapi encer didalam kandang

menimbulkan bau yang tidak sedap. Hasil pemeriksaan sampel pada Tabel 3 memperlihatkan bahwa sampel

darah positif terhadap Theleria dan Anaplasma masing –masing …. % dan …. % hanya di tempat kelompok Tunas Jaya negative 2 ekor, dalam pemeriksaan ini terlihat hasil karateristik hewannya pucat dan ada tidak mau birahi. Pemeriksaan terhadap sapi-sapi tersebut negatif Bakteri Brucella, hal ini sapi yan tidak birahi bukan disebabkan oleh bakteri ini tetapi oleh sebab lain dalam hal ini adalah penyakit cacing (MERCK, 1982). Penyakit cacingan disebabkan oleh lingkungan yang kurang bersih dan keadaan gelap tempatnya sehingga kalau gelap tempat sarang nyamuk, nyamuk juga sebagai vector penyakit parasit darah dalam hal ini parasit Anaplasma sp.

Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian obat herbal ekstrak pinang, obat herbal ekstrak papaya dan obat pabrik pada 2 minggu setelah pemberian tidak ada perubahan derajat infeksinya tetap ada yang sedang dan berat.

Tabel 4. Hasil pemeriksaan telur cacing pada sapi yang diberikan obat

cacing herbal serbuk biji pinang dan biji pada pepaya

Rata-rata Epg 2 Rata-rata Epg setelah 2 mg

No Kelompok Ternak mg sebelumm

pengobatan (e.p.g)

diobati (e.p.g)

1 Tunas Jaya 769 769

2. Agri Bangun Jaya 679 679

3. Margatani 4.300 4.397

Keterangan: SBPep=Serbuk Buah Pinang Pepaya,SBPin=Serbuk Buah Pinang,

OB.P=Obat Pabrik,infeksi ringan epg<500, Infeksi sedang 500-

5.000,infeksi berat >5.000

Gambar 1. Sapi awal pengkajian kelihatan kurus waktu wawancara

503

Page 101: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

KESIMPULAN 1. Hasil dari wawancara peternak , peternaknya memiliki usaha yang utama

adalah petani 52% dan wiraswasta sekitar 24% selebihnya adalah buruh.

2. Pemanfaatan kotoran membuat kompos untuk pupuk tanaman berasal dari membaca buku dan latihan serta penuluhan.

3. Peternak sudah mengetahui gejala klinis penyakit cacing (52%) dan penyakit kembung (48%).

4. Peternak sudah mngetahui obat penyakit cacing dengan obat dari Pabrik dari Dinas Peternakan berupa Ivomec dan tradisional dengan obat pinang.

5. Hasil pemmeriksaan laboratorium sapi-sapi di kelompok Agri bangun, Margatani dan Tunas Jaya terimfeksi penyakit parasit darah Anaplasma sp., Theleria sp., dan Babesiosis dan Penyakit cacing dengan terinfeksi telur dari sedang sampai berat 679 epg-4.300 epg.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Azwar. 1992. Antropologi Kesehatan Indonesia, Pengobatan

Tradisional. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Beriajaya and P. Stevensen. 1986. Reduced Productivity in Smalll Ruminant in

Indonesian as a result of Gastrointestinal Nematoda infection In Livesstock Production .Dinas Peternakan Pertanian dan Kehutanan. 2011. Laporan Tahunan.

BPS. 2012. Kepulauan Riau dalam Angka. Ditjennak. 2010b. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta:

Direktorat Jenderal Peternakan, Kementan RI Kartono, J. Abas Basuni Jahari, Ahmad Sulaeman, Hardinsyah, Mary Astuti,

Moesijanti Soekatri. 2012. Angka Kecukupan Gizi (Akg) 2012 Untuk Orang Indonesia. Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi http://www.majalahinfovet.com/2007/10/berbagai-metode-pengobatan-penyakit.html

Komisarek, J. and Dorynek, Z., 2002. “Genetic aspects of twinning in cattle” Journal of Applied Geneticts”. 43 (1): 55-68.

Manti, I., F. Nurdin, S. Abdullah, I. Rusli, E. Afdi dan Syafril. 2006. Review Teknologi Pertanian Hasil Pengkajian BPTP Sumatera Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Barat.

MC Kay and Gandolfo,D. 2007. Phytophagous insects associated with reproductive structures of mesquite (Propsopis spp) in Argentina and potential as biocontrol agents in South Africa. African Entomology. 15: 121- 131.

Meiyanto, E., Sugiyanto, dan Sudarto, B., 1997, Uji Antikarsinogenik dan Antimutagenik Preparat Tradisional Daun Gynura procumbens (Lour.) Merr., Fakultas Farmasi UGM, Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XII, 32.

Mujiono. 2009. Keburuhan dan ketersediaan SDM Peternakan dalam Mewujudkan

Kecukupan daging . 2010. Buku Panduan Seminar Nasional Pengembangan

Usaha Pembibitan Ternak sapi Pola Integrasi Tanaman

504

Page 102: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 ternak Dalam rangka Mendukung kecukupan daging 2010, Senin 14

Agustus 2006. Riady, M. 2004. Tantangan dan peluang peningkatan produksi sapi potong

menuju 2020. Prosiding Lokakarya Nasional Sapi Potong. Yogyakarta 8-9 Oktober 2004. P. 3-6.

Waller, P.J. 1987. Anthelmintic resistance and future for roundwrm control. Veterinary Parasitology 15(2):177- 191.

Waller, PJ and M. Larsen. 1996. Workshop summary Biological control of nematode parasites of livestock Veterinary Parasitology. 64: 135.

505

Page 103: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Perlakuan Kombinasi Pakan pada Usaha Penggemukan

Sapi Bali Jantan di Lahan Pekarangan

Application of Feed Combinations Treatment on Fattening Bali

Beef Cattle in Back Yard

Salfina Nurdin Ahmad1, dan Twenty Liana

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau

2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah,

E-mail Penulis: [email protected]

ABSTRACT

To support PSDSK 2014 and MP3EI in tidal swamp, beef cattle production using local feed resources had been encouraged. Utilization fermented of palm midrib, husk, and bio-cass probiotics as a cattle feed has been used to increase of productivity and alleviate feed in the dry season. The experiment was conducted to identify prospect and production response beef cattle to feed treatment introduction as feed in beef cattle fattening systems at Tidal Swamp Lamunti A2 Village, Kapuas Regency. Fifteen cattles were used in this experiment during the period of September to December, 2005. Feed given consistsed of P I (grass + Bio cass probiotic + fermented of palm midrib + husk); PII (husk + Bio cass probiotic + grass); PIII (fermented of plam midrib + Bio cass probiotic + grass); PIV (grass + Bio cass probiotic); dan PV (control = grass that used as animal feed). The results showed that liveweight gain of P I, PII, PIII, PIV and PV treatment respectively were 0.67 kg; 0.58 kg; 0.56 kg; 0.56 kg; dan 0.33 kg respectively . P I treatment is significantly different to the others (control and three combinations feed), while for three combinations are not significantly different, but among three combinations, but significantly with control. It was concluded that the use of fermented of palm midrib, husk, and bio-cass probiotics as a cattle feed gives different response from grass used as animal feed. Keywords: feed combinations, cattle, live weight gain

ABSTRAK

Untuk mendukung PSDSK 2014 dan MP3EI di rawa pasang surut, produksi

sapi potong menggunakan sumber daya lokal pakan telah didorong. Pemanfaatan

fermentasi dari pelepah sawit, sekam, dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak

telah digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi pakan pada

musim kemarau. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi prospek dan

daging sapi respon produksi ternak untuk memberi makan pengenalan pengobatan

sebagai pakan sapi potong sistem penggemukan di Tidal Swamp Lamunti A2

Village, Kabupaten Kapuas. Lima belas ekor sapi yang digunakan dalam penelitian

ini selama periode September-Desember 2005. Pakan yang diberikan terdiri dari PI

(rumput + Bio cass probiotik + fermentasi dari pelepah sawit + sekam); PII (sekam

+ Bio cass probiotik + rumput); PIII (fermentasi plam pelepah + Bio cass + rumput

probiotik); PIV (rumput + Bio cass probiotik); Dan PV (kontrol = rumput yang

digunakan sebagai pakan ternak). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keuntungan

liveweight PI, PII, PIII, PIV dan

506

Page 104: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 pengobatan PV masing-masing adalah 0,67 kg; 0.58 kg; 0,56 kg; 0,56 kg; dan

0,33 kg masing-masing. Pengobatan PI secara signifikan berbeda dengan yang

lain (kontrol dan tiga kombinasi pakan), sedangkan untuk tiga kombinasi yang

tidak berbeda secara signifikan, tapi di antara tiga kombinasi, tetapi secara

signifikan dengan kontrol. Disimpulkan bahwa penggunaan fermentasi dari

pelepah sawit, sekam, dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak memberikan

respon yang berbeda dari rumput yang digunakan sebagai pakan ternak. Kata kunci: kombinasi pakan, sapi, pertambahan bobot badan

PENDAHULUAN

Kalimantan Tengah dengan areal perkebunan kelapa sawit seluas 709.200

ha berpotensi untuk pengembangan sapi potong secara terintegrasi. Pada saat ini

populasi sapi potong di Kalimantan Tengah adalah 63.300 ekor, atau ratio antara

populasi sapi dan luas areal sawit sebesar 0,09, yang berarti peluang pengembangan sapi potong di kawasan perkebunan kelapa sawit sampai dengan

tingkat kepadatan maksimum 1 ekor/ha masih terbuka lebar (BPS, 2010). Pada

setiap perkebunan kelapa sawit di Indonesia, limbah kebun kelapa sawit tersedia

dalam jumlah yang cukup banyak dan mudah diperoleh. Ternak sapi potong pada umumnya dipelihara oleh peternak di perdesaan

(99%) dengan permasalahan yang dihadapi terutama rendahnya produktivitas/reproduktivitas ternak, yaitu pertambahan bobot badan harian (PBBH) antara 0,2-0,3 kg/ekor/hari (potensi ≥ 0,5 kg/ekor/hari), angka kelahiran ternak 21% (potensi 30%) dari populasi, jarak beranak sekitar 18-21 bulan (potensi 15 bulan) (BPS, 2010). Oleh karena itu perlu adanya terobosan dalam pengembangan peternakan sapi, mengingat pemerintah mempunyai program swasembada daging sapi untuk mencukupi kebutuhan daging domestik (Mahendri et al., 2006).

Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah memiliki perkebunan kelapa sawit cukup luas, yaitu 125.642,32 ha dengan populasi ternak sapi 4.741 ekor (ratio = 0,04). Produk samping yang dihasilkan dari industri kelapa sawit, baik yang berasal dari kebun maupun pabrik pengolahan jumlahnya cukup banyak, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal (BPS, 2010). Produk samping dapat diperoleh dari tanaman utama seperti pelepah (fronds), daun (leaves), dan batang (trunk), produk ikutan hasil pengolahan buah kelapa sawit seperti lumpur sawit (palm oil sludge), dan dari pengolahan inti sawit seperti bungkil inti sawit (palm kernel cake) (Prayitno dan Darmoko, 1994).

Menurut hasil penelitian Jalaludin et al., (1991) jumlah pohon kelapa sawit untuk setiap hektar areal perkebunan rata-rata 130 pohon, dan setiap pohon kelapa sawit (TM) dapat menghasilkan 22 pelepah per tahun dengan rata-rata bobot pelepah per batang 7 kg, atau sekitar 20 ton pelepah segar yang dihasilkan untuk setiap hektar dalam setahun. Dengan persen bahan kering pelepah 26,07%, maka bahan kering pelepah yang dihasilkan dalam setahun untuk setiap hektar adalah 5.214 kg.

Pemberian pakan tambahan yang bersumber dari produk samping kebun kelapa sawit, seperti pelepah masih belum mampu memenuhi kebutuhan sapi potong akan nutrien, sehingga perlu pemberian pakan tabahan yang bersumber dari hasil ikutan pengolahan buah sawit, seperti Bungkil Inti Sawit (BIS).

507

Page 105: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Kandungan nutrien dan nilai biologis BIS cukup tinggi. BIS segar yang

dihasilkan dari setiap hektar areal perkebunan setahun adalah rata-rata 560 kg.

Dengan persen bahan kering 91,83%, maka bahan kering BIS yang dihasilkan

adalah 514 kg/ha/tahun (Elisabeth & Ginting, 2003; Ginting & Elisabeth, 2003) Salah satu strategi pengembangan ternak sapi di Indonesia pada subsistem

usahatani on farm adalah mempercepat pertambahan bobot hidup ternak dengan

memanfaatkan sumberdaya lokal, terutama yang berasal dari limbah perkebunan

berupa silase yang diolah dari pelepah sawit, limbah pertanian berupa dedak dan

probiotik bio-cass. Untuk meningkatkan tingkat konsumsi dan palabilitas pelepah

sawit dilakukan perlakuan fisik (dicacah/dipotong-potong), kemudian untuk

mempertahankan/meningkatkan kualitas nutrien pelepah dilakukan melalui

pembuatan silase. Upaya memperkaya kandungan nutrien BIS dilakukan melalui

proses fermentasi yang dilengkapi dengan pakan imbuhan sebagai sumber vitamin

dan mineral. Jumlah pelepah yang diberikan pada sapi adalah 30% dari bahan kering

yang dikonsumsi, dengan patokan konsumsi bahan kering = 4% dari bobot hidup.

Setiap ternak pengkajian diberi probiotik “bio-cas” produk BPTP Bali, yang

mengandung mikroorganisme yang berfungsi untuk efisiensi pencernaan serat kasar.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana respon penggunaan

kombinasi pakan pada ternak sapi terhadap Pertambahan Bobot Badan Harian

(PBBH) dan konversi pakan serta prospek kedepannya.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan secara on farm reseach di Desa Lamunti A2,

Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas, pelepah sawit diperoleh dari

PT. Gelobal Agung Lestari dengan agroekosistem lahan pasang surut. Kegaitan

dilaksanakan selama empat bulan dimulai bulan Mei sampai dengan September

2012. Ternak yang digunakan adalah sapi bali jantan sebanyak 15 ekor, sedang

kombinasi pakan yang diberikan adalah sebagai berikut (kg/ekor/hari) (Gambar 1.):

1. PI = rumput + probiotik bio-cas + silase pelepah sawit + dedak

2. PII = dedak + probiotik bio-cass + rumput 3. PIII = silase pelepah sawit + probiotik Bio-cass + rumput 4. PIV = rumput + probiotik bio-cass

5. PV = kontrol (rumput yang biasa diberi petani). Rumput yang diberikan 25 kg/ekor/hari, probiotik 5 cc/ekor/hari, silase 2,5

kg/ekor/hari dan dedak 2 kg/ekor/hari. Probiotik Bio-cass adalah produk dari BPTP Bali, berasal dari isi rumen, mengandung mikrobial yang dapat menghancurkan serat kasar menjadi protein. Ternak diberi pakan 2 kali sehari yaitu pagi hari dan siang hari. Nilai gizi rumput yang digunakan peternak, silase hasil fermentasi, dan dedak yang diberikan pada ternak sapi ditunjukkan pada Tabel 1.

508

Page 106: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tabel 1. Komposisi Nutrient Rumput Pakan, Silase Dan Dedak

Uraian Komposisi

Rumput Silase Pelepah Dedak

Pakan Sawit

Kadar air 60 °C 65,300 34,210 16,200

Protein kasar (% BK) 10,064 8,376 9,500

Lemak kasar (% BK) 0,969 - 3,300

Serat kasar (% BK) 96,869 - 16,400

Kadar abu (% BK) 5,838 11,733 10,800

Bahan Ektra Tanpa N 41,136 50,902 43,800

TDN 56,687 19,170 -

Energi total (Kcal/Kg) 3767,044 3031,044 53,000

Keterangan: Hasil analisa Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak, Balitnak (2012)

PBBH dihitung dengan mengurangi bobot akhir dengan bobot awal dibagi jumlah hari antara kedua bobot tersebut. Dari parameter teknis tersebut selanjutnya dilakukan estimasi ekonomi untuk mengetahui kelayakan dari introduksi teknologi pakan yang diberikan serta tambahan penghasilan yang diperoleh pada masing-masing pola pemeliharaan. Pendekatan ekonomi yang digunakan adalah analisis usahatani parsial yang meliputi analisis gross margin dan biaya produksi umum sesuai dengan petunjuk Amir & Knipscheer (1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Petani Pelaksana

Sebagian besar petani dilokasi adalah transmigran berasal dari Pulau Jawa

yang didatangkan saat proyek PLG dimulai pada tahun 1998. Setelah proyek PLG

selesai banyak petani setempat meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan lain

sebagai buruh. Pada tahun 2006 di desa tersebut berdiri perkebunan kepala sawit

PT. Gelobal Agung Lestari, yang melibatkan petani sebagai plasma dan pekerja di

perkebunan. Selanjutnya, petani yang dilibatkan pada penelitian ini adalah petani

yang memiliki ternak dan bekerja di perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan pekerjaannya, petani pelaksana merupakan pekerja yang

bekerja penuh diperkebunan, setengah penuh dan tidak bekerja. Pekerjaan ini menentukan petani pelaksanan dalam menyiapkan/mengumpukan hijauan berupa rumput bagi ternaknya. Petani yang tidak bekerja penuh sampai tidak bekerja di perkebunan akan memiliki waktu yang banyak dalam mengumpulkan hijauan bagi ternaknya.

Usia petani pelaksana antara 27-50 tahun, usia ini termasuk dalam usia produktif yang akanlebih mendukung keberhasilan dalam usaha peternakan, namun disisi lain pendidikan petani pelaksana sebagian besar masih rendah, yaitu 45 % tamat SD, sehingga diseminasi adopsi teknologi perlu dibantu dengan metode yang sederhana. Hernanto (1989) dalam Budiharjo (2004), menyatakan bahwa kemampuan kerja seseorang dipengaruhi oleh umur, pendidikan, keterampilan, pengalaman, kesehatan dan factor alam. Usia produktif sangat penting bagi pelaksanaan usaha karena pada usia ini peternak mampu mengkoordinasi dan mengambil langkah yang efektif. Tingkat pendidikan yang dimiliki peternak mempunyai kecenderungan menentukan dalam penerapan teknologi pertanian.

Usahatani lain yang diusahakan selain beternak adalah dari usaha tanaman

509

Page 107: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 pangan (padi, jagung, ubi kayu, dan lain-lain), tanaman perkebunan (karet), dan ternak (kambing, ayam). Usaha tani lain ini diusahakan petani pelaksana bersamaan dengan usaha ternak sapi.

Dari aspek perkandangan, petani pelaksana merupakan suatu kelompok tani yang telah memiliki kandang kelompok. Sistem perkandangan dalam penggemukkan sapi sebagian besar menggunakan sistem kandang terbuka dengan lantai tanah. Kandang sistem ini bertujuan agar memudahkan sirkulasi atau pertukaran udara. Menurut Marhijanto (1993) dalam Budiharjo (2004), kandang sistem lantai mempunyai keuntungan yaitu dapat menghemat biaya. Pakan ternak sapi yang digunakan petani sebagian besar adalah rumput alam, sedangkan pakan tambahan yang diberikan berupa umbi singkong dan ampas tahu. Sistem pemeliharaan yang dilakukan petani pelaksana ini adalah semi intensif yaitu dilakukan dengan cara digembalakan pada daerah yang banyak rumputnya, pada saat yang sama petani mencari rumput untuk pakan sore harinya, selanjutnya pada sore hari sapi dikandangkan. Penggembalaan dilakukan agar sapi sehat karena dapat memperoleh cahaya matahari yang cukup, selain itu dapat menekan biaya pakan, karena sapi memperoleh hijauan pada saat digembalakan.

Pengenalan teknologi penggunaan silase dari pelepah sawit belum pernah dilakukan kepada petani pelaksana. Pelepah sawit yang banyak tersedia di sekitarnya biasanya dibakar atau dibiarkan membusuk, sehingga secara teknis teknologi tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan oleh peternak, sehingga potensi adopsi teknologinya cukup tinggi. Karakteristik petani pelaksana secara lengkap

dapat dilihat pada (Tabel 2).

Tabel 2. Karakteristik Petani Pelaksanan Penelitian Uraian Keterangan

Pekerjaan di pekerbunan Bekerja penuh, setengah penuh dan tidak bekerja Usia 27 – 50 tahun Usahatani lainnya Tanaman pangan, tanaman perkebunan, serta ternak Tingkat pendidikan SD, SMP, dan SMA Kandang Kandang kelompok Pakan ternak sapi Rumput alam dan HMT Pakan tambahan Umbi singkong, ampas tahu Adopsi teknologi pakan Belum ada Penggunaan silase dari pelepah sawit Belum diketahui Gudang pakan Ada Pencacah Ada Kemudahan mendapatkan pelepah Tersedia sawit, dan dedak

Kemudahan mengaplikasikan teknologi Bisa Keragaan Pertumbuhan Ternak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bobot awal ternak sapi jantan bervariasi dari 212,71 – 217,85 kg dan bobot akhir dari 247,55 – 297,45 kg dengan rata-rata PBBH berkisar antara 0,33 – 0,67 kg/ekor/hari selama masa penelitian. Data keragaan produksi ternak meliputi bobot awal, bobot perbulan, selisih bobot awal dan akhir, dan rerata PBBH disajikan pada (Tabel 3). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa perlakuan PI dan PIII pada bulan kedua dan ketiga sudah menunjukkan

pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan bobot badan sapi

510

Page 108: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

dibandingkan perlakuan PII, PIV dan kontrol (Tabel 3). Pakan PI semakin terlihat pengaruhnya pada bulan keempat, karena pertambahan bobot badannya berbeda

nyata dibandingkan PII, PIII, PIV dan kontrol, namun demikian perlakuan PII,

PIII dan PIV juga berpengaruh nyata dibandingkan kontrol. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan imbangan silase,

dedak dan probiotik bio-cass cukup efisien dicerna oleh sapi. PBBH yang dicapai

pada perlakuan PI yaitu 0,67 kg/ekor/hari sudah cukup baik untuk kegiatan di tingkat lapang. Hasil ini mendekati PBBH yang dicapai pada sapi Ongole yang diberi pakan jerami padi fermentasi yaitu 0,75 kg/ekor dengan total konsumsi pakan yang diberi jauh lebih besar yaitu 13,00 kg/hari (Kostaman et al., 1999).

Ditinjau dari aspek konsumsi pakan dimana PI mengkonsumsi kombinasi pakan lebih lengkap daripada ternak pada kempat perlakuan lainnya, maka semakin tinggi total konsumsi pakan akan mempengaruhi besarnya PBBH. Nilai PBHH ini masih lebih tinggi dari yang dilaporkan Boer et al. (2003) pada ternak sapi yang diberi pakan tambahan 15% onggok yaitu 0,503 kg. Begitu juga dengan yang dilaporkan oleh Prayogo et al. (2003), bahwa PBBH ternak sapi PO yang diberi pakan rumput gajah serta campuran konsentrat dan ampas kecap adalah 0,33 kg/hari dengan nilai konversi pakan 8,53. Nilai ini masih jauh lebih rendah daripada nilai PBHH penelitian ini. Tabel 3. Rata-rata Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

Uraian Perlakuan

PI PII PIII PIV P

V

Bobot awal/bulan I (kg) 216,810a 215,710a 212,850a 212,710a 217,850a

Bobot bulan II (kg) 241,610b 233,110a 246,510b 229,510a 227,900a

Bobot bulan III (kg) 260,650b 250,510a 252,740b 244,450a 232,210a

Bobot akhir/bulan IV (kg) 297,450c 267,910b 263,250b 272,210b 247,550a

Selisih bobot awal dan akhir (kg) 89,640c 52,200b 50,400b 49,500b 29,700a

Rerata PBBH (kg/ekor/hari) 0,670c 0,580b 0,560b 0,550b 0,330a

Menurut Ishida dan Hassan (1992) dan Purba et al. (1997) dalam

Simanihuruk dkk., (2008), bahwa nilai kecernaan bahan kering pelepah kelapa sawit adalah 51%, relatif sama dengan rumput alam yang mencapai 50 – 54%. Dengan kandungan zat nutrisi dan nilai kecernaan pelepah kelapa sawit tersebut, maka energi pelepah kelapa sawit diperkirakan hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup pokok, sehingga untuk pertumbuhan, bunting dan laktasi diperlukan pakan tambahan untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi.

Penambahan Probiotics bio-cass pada pakan juga membantu penyerapan pakan oleh ternak. Berdasarkan data pada Tabel 3, penambahan bobot ternak pada kombinasi pakan yang ditambah probiotik menunjukkan adanya penambahan bobot yang nyata dibandingkan dengan kontrol. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Adeniji & Zubairu (2013) pada kelinci dengan penambahan suplementasi probiotik pada pakan dengan perlakuan penggunaan probiotik (Probiotik A dan Probiotik B) dan tanpa probiotik menunjukkan adanya perbedaan yang nyata pada semua parameter pengamatan pertumbuhan kelinci dan penyerapan pakan. Pada unggas, seperti ayam petelur, pemberian probiotics juga meningkatkan produksi telur dan menurunkan tingkat kematian anakan (Yoruk et al. 2004 Cit Ezema 2013), pada ayam boiler/pedaging pemberian probiotik dengan berbegai level pada pakan meningkatkan penambahan bobot badan (Bozkurt et al. 2011 Cit Ezema 2013) dan pada sapi perahproduksi susu meningkat setelah aplikasi probiotik dibandingkan tanpa probiotik (Sretenovic et

511

Page 109: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 al. 2008 Cit Ezema 2013). Menurut Fuller (1989, 1992) dan Ezema 2013, salah satu ciri dari probiotik yang bagus adalah peningkatan pertumbuhan pada ternak yang dikenakan probiotik. Sehingga pemberian probiotik pada pakan ternak harus juga memperhatikan strain bakteri yang digunakan, tingkat konsumsi ternak dan kondisi ternak sendiri (Koop-Hoolihan, 2001). Pemberian pakan tambahan 2 kg komplit feed dan 5 cc probiotik pada sapi Bali jantan mampu menambah bobot badan harian 0,63 kg/ekor/hari (Suyasa dkk, 1999). Penggunaan probiotik lokal (Jamu EKD) dengan tambahan 1% dedak menambah bobot badan harian 0,533 Kg/ekor/hari (Utomo dkk, 2009). Analisis Ekonomi

Analisis ekonomi yang dilakukan adalah model input-output, yang

memberikan gambaran jelas terhadap suatu proses produksi, disamping

memudahkan evaluasi di masa yang akan datang. Estimasi gross margin atau

keuntungan merupakan salah satu metode/teknik dari model input output yang

diperoleh dari perbedaan atas total penerimaan dengan total biaya produksi (Amir &

Knipscheer, 1989). Total penerimaan terdiri atas penjualan ternak hidup, sedangkan

total biaya produksi terdiri dari komponen biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya

tetap meliputi biaya penyusutan kandang, sedangkan biaya tidak tetap terdiri dari

biaya pembelian pakan dan konsentrat, pembelian alat (habis pakai), pembelian

obat-obatan, tenaga kerja, transportasi dan lain-lain. Selain menghitung estimasi

keuntungan, analisis ini juga meliputi nilai investasi pada masing-masing periode

produksi dan nisbah R/C. Tentunya, pada periode produksi yang berbeda akan

menghasilkan nilai investasi dan estimasi keuntungan yang berbeda pula. 1. Investasi

- Harga dari ternak sapi jantan adalah Rp. 28.000/kg bobot hidup. 2. Biaya produksi

- Harga pelepah sawit segar, dedak, dan probiotik bio-cass Rp. 500/pelepah; Rp. 5000/kg dan Rp. 15,625/5cc. Tenaga kerja diperhitungkan dengan upah pokok sebesar Rp. 300.000/bulan. Komponen obat-obatan diperlukan pada saat ternak masuk dalam kandang dengan perkiraan harga obat-obatan tersebut adalah Rp. 1600/ekor/hari.

- Alat habis pakai yang diperlukan seperti terpal, kayu untuk kandang, ember dan alat-alat pembersih diasumsikan sebesar Rp. 250.000/ekor/periode.

- Transportasi dan lain-lain diasumsikan sebesar Rp. 250.000/ekor per periode

3. Penerimaan Total penerimaan diperoleh hanya dari penjualan ternak setelah periode penggemukan, dengan nilai yang berlaku saat itu adalah Rp. 30.000/kg berat hidup.

Nilai gross margin per hari yang diperoleh masing-masing untuk perlakuan PI, PII, PIII, PIV dan PV adalah Rp. 8.244,54; Rp. 2.366,20; Rp.10.618,54; Rp. 13.891,21; dan Rp. 6.792,50, dengan nilai R/C masing-masing perlakuan 1,12; 1,04; 1,19; 1,26; dan 1,12. Perhitungan estimasi keuntungan atas biaya tidak tetap dari usaha penggemukan sapi selama penelitian berdasarkan perlakuan pakan yang diberikan berturut-turut dapat dilihat pada (Tabel 4). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa estimasi keuntungan atas biaya variabel tertinggi dicapai oleh ternak sapi dengan pemberian perlakuan pakan PIV yaitu perlakuan probiotik bio-cass dan rumput yaitu Rp. 13.891,21 dengan nisbah R/C 1,26. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan ini biaya produksi pakan kombinasi berupa dedak dan silase tidak diikutkan sehingga pengeluaran bagi peternak sangat

512

Page 110: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

sedikit. Sedangkan perlakuan lain bila dilihat dari nilai R/C Perlakuan pakan

lainnya (PI, PII dan PIII) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata bagi nisbah R/C, karena biaya produksi diperoleh dari silase dan dedak, sehingga akan memberikan respon ekonomi yang sama.

Introduksi teknologi pakan kombinasi pada ternak sapi tidak memberikan nilai ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian rumput segar. Respon produksi yang relatif tidak memberikan nilai tambah secara ekonomi ini, perlu mendapat perhatian lebih lanjut dalam hal inovasi pembuatan pakan, misalnya dengan menghindari penggunaan bahan-bahan pakan yang berharga tinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada usahaternak sapi, setiap penambahan satu unit input akan diperoleh tambahan pendapatan yang bervariasi antara 4 sampai 26 unit output. Nisbah R/C ini akan sangat berkaitan dengan estimasi keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi keuntungan yang didapat, akan semakin besar pula nisbah R/C. Semakin tinggi nisbah R/C menunjukkan bahwa usaha tersebut semakin menguntungkan. Nilai ini masih lebih tinggi dari angka yang dilaporkan oleh Boer et al. (2003) pada ternak sapi PO yang diberi tambahan pakan 15% onggok dengan PBBH 0,503 kg menghasilkan nisbah R/C sebesar 1,09.

Tabel 4. Estimasi Ekonomi Usahaternak Penggemukan Sapi (Rp)

Harga Perlakuan

Uraian satuan PI

PII

PIII

PIV PV

(Rp.)

Investasi

Pembelian 28.000,00 6.070.680,00 6.039.880,00 5.959.800,00 5.955.880,00 6.009.800,00

ternak

Biaya

Variabel

Silase 500,00 150.000,00 - 150.000,00 - -

Dedak 5.000,00 1.200.000,00 1.200.000,00 - - -

Probiotik 15,63 1875,60 1875,60 1875,60 1875,60 -

Bio-cass

Obat- 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00 1.600,00

obatan

Peralatan 250.000,00 250.000,00 250.000,00 250.000,00 250.000,00 250.000,00

Tenaga 10.000,00 10.000,00 10.000,00 10.000,00 10.000,00 10.000,00

kerja

Total biaya 7.934.155,60 7.753.355,60 6.623.275,60 6.469.355,00 6.611.400,00

produkai

Penerimaan

Penjualan 30.000,00 8.923.500,00 8.037.300,00 7.897.500,00 8.166.300,00 7.426.500,00

ternak

Total 8.923.500,00 8.037.300,00 7.897.500,00 8.166.300,00 7.426.500,00

Penerimaan

Keuntungan 989.344,40 283.944,40 1.294,224,40 1.666.945,00 815.100,50

R/C 1.12 1.04 1.19 1.26 1.12

513

Page 111: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan silase pelepah sawit, dedak hasil pertanian dan probiotik bio-cass sebagai pakan ternak sapi mampu meningkatkan PBHH sapi jantan antara 0,33 – 0.67 kg/ekor/hari,

dimana PBHH tertinggi berasal dari perlakuan PI. Bila dilihat berdasarkan

respon produksi dan ekonomi, perlakuan PI, PII dan PIII tidak memberikan respon produksi dan ekonomi yang bagus. Hal ini terlihat dari PBHH nilai gross margin atas biaya variable tertinggi dicapai oleh ternak yang diberi pakan kombinasi perlakuan PIV Rp. 13.891,21 dengan nisbah R/C 1,26.

SARAN

Usaha ternak penggemukkan akan lebih efektif jika ditunjang dengan

pakan tambahan yang diperoleh dari usaha tani lainnya, sehingga biaya variable

dapat diturunkan.

DAFTAR PUSTAKA Adenjil, A.A. and Zubairu, N., 2013, Nutrition Value of Palm Kernel Cake

Supplemented with or Without Probioticts to Replece Groundnut Cake in the Diets of Weaner Rabbits, Journal of Animal Science Advances, 3(10) : 517 – 523.

Amir, P. and Knipscheer, H.C., 1989, Conducting On-Farm Animal Research: Procedures and Economic Analysis, Winrock International Institute for Agricultural Development and International Development Research Center, Morrilton, Arkansas, USA.

Badan Litbang Pertanian, 2005, Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Sapi, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Boer, M., Azizal, P.B., Hendri, Y. dan Ermidas, 2003, Tingkat Penggunaan Onggok Sebagai Bahan Pakan Penggemukan Sapi Bakalan, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peteranakan, Bogor, hal. 99 – 102.

BPS. 2010, Kalimantan Tengah Dalam Angka 2010, Palangkaraya. Budiharjo, K., 2004, Analisis Profitabilitas Pengembangan Usaha Ternak Itik di

Kecamatan Pagerbarang Kabupaten Tegal, Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2004, Buku Statistik Peternakan

Tahun 2004, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, 2005, Buku Statistik Peternakan Tahun 2005, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Elisabeth, Y, dan Ginting, S.P., 2003, Pemanfaatan Hasil Samping Industri Kelapa Sawit Sebagai Bahan Pakan Ternak Sapi Potong, Prosiding Lokakarya Nasional, Bengkulu, 9-10 September 2003.

Ezema, C., 2013, Probiotics in Animal Production: A Review, Journal of Veterinary Medicine and Animal Health, 5(11): 308 – 316

Fuller, R., 1989, Probiotics in man and animals, Journal appl. Bacteriol, 66: 365-

514

Page 112: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

378 Fuller, R., 2004, What is probiotics? Biologist, 5: 232 Ginting, P.S, dan Elisbeth, Y., 2003, Teknologi Pakan Berbahan Dasar Hasil

Sampingan Perkebunan Kelapa Sawit, Prosiding Lokakarya Nasional Bengkulu, 9-10 Sepetember 2003.

Jalaludin, S., Jelan, Z.A., Abdullah N., and Haq, Y.W.,1991, Recent Development in the Oil Palm By-Product base Ruminant Feeding System, Proc. MSAP, Penang, Malaysia pp 35-44

Koop-Hoolihan, L., 2001, Prophylactic and Therapeutic Uses of Probiotic: A Review of Jounal of The American Dietic Association. 147: 747 - 748

Kostaman, T., Handiwirawan, E., Haryanto, B., dan Diwyanto, K., 1999, Respon Bangsa Sapi Potong Terhadap Pemberian Jerami Padi. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18 – 19 Oktober 1999. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 299 – 303.

Mahendri, I.G.A.P., Haryanto, B., dan Priyanti, A., 2006, Respon Jerami Padi Fermentasi Sebagai Pakan Usaha Penggemukkan Ternak Sapi. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Prayitno dan Darmoko, 1994, Prospek Industri Bahan Baku Limbah Padat Kelapa Sawit

di Indonesia. Berita Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. Sumut. Prayogo, S., Purbowati, E. dan Dartosukarno, S., 2003, Penampilan Sapi

Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang Dipelihara Secara Intensif. Pros. SemNas Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 29 – 30 September 2003. hlm. 240 – 24.

Rasyaf, M., 2002, Beternak Itik, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Simanihuruk, K., Junjungan dan Ginting, S,P., 2008, Pemanfaatan Silase

Pelepah Sawit Sebagai Basal Kambing Kacang Fase Pertumbuhan. Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner Suyasa, Guntora, S., Purwati, Suprapto dan Widyazid, S., 1999, Pemanfaatan

probiotik dalam pengembangan sapi potong berwawasan agribisnis di Bali, Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2(1):

Utomo, Widjaya, N.E., dan Dara, E.K., 2009. Pengaruh pemberian probiotik lokal (Jamu EKD) terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH) sapi Bali jantan di Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 12(1): 11 – 20.

515

Page 113: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Kearifan Lokal dalam Mengendalikan Hama

untuk Menunjang Pertanian Organik

S.Asikin1 dan Tumarlan Thamrin

2

1) Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa

2) BPTP Sumatera Selatan

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

terluas kedua di dunia setelah Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan hama maupun penyakit. Di lahan rawa ditemukan lebih dari 1000 jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pengendali hama seperti bahan biopestisida. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa yang dapat dijadikan biopestisida seperti tumbuhan jenis pohon adalah pulai dan buta-buta, jenis herbal (tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak liman). Jenis tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama ulat grayak dengan persentase kematian larva masing-masing sebesar untuk tumbuhan pohon pulai (80-95 %), Buta-buta (80-95%), tumbuhan herbal Tawar (80-92,5%), Kakambat (75-80%) dan gulinggang (70-80%9 dan jenis gulma usar (85-95%), dan Tapak liman (70-75%). Kata kunci : Biopestisida, Kearifan lokal dan Pertanian organik.

PENDAHULUAN

Pertanian organik merupakan jawaban atas revolusi hijau yang digalakkan

pada tahun 1960-an yang menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan

kerusakan lingkungan akibat pemakaian pupuk dan pestisida kimia yang tidak

terkendali. Sistem pertanian berbasis high input energy seperti pupuk kimia dan

pestisida dapat merusak tanah yang akhirnya dapat menurunkan produktifitas tanah,

sehingga berkembang pertanian organik. Pertanian organik sebenarnya sudah sejak

lama dikenal, sejak ilmu bercocok tanam dikenal manusia, semuanya dilakukan

secara tradisional dan menggunakan bahan-bahan alamiah. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

terluas kedua di dunia setelah Brasil. Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan hama maupun penyakit.

Di lahan rawa ditemukan lebih dari 1000 jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan pengendali hama seperti bahan biopestisida. Dari beberapa hasil penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa yang dapat dijadikan

516

Page 114: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 biopestisida seperti tumbuhan jenis pohon adalah pulai dan buta-buta, jenis herbal

(tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak liman) (Asikin, 2012) . Tumbuhan merupakan gudang berbagai senyawa kimia yang kaya akan

kandungan bahan aktif, antara lain produk metabolit sekunder (secondary metabolic products), yang fungsinya dalam proses metabolisme. Kelompok senyawa ini berperan penting dalam proses berinteraksi atau berkompetisi, termasuk melindungi diri dari gangguan hama maupun penyakit. Sampai saat ini dalam mengendalikan hama dan penyakit selalu bermitra dengan bahan kimia beracun atau pestisida kimiawi. Dalam konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT), pengendalian dengan pestisida kimiawi merupakan alternatif terakhir apabila komponen tersebut tidak mampu lagi. Di lain pihak penggunaan bahan kimia beracun atau pestisida kimiawi tersebut sangat berpengaruh bunuk terhadap lingkungan terutama terbunuhnya jasad bukan sasaran terjadinya resurgensi dan resistensi terhadap hama dan terbunuhnya musuh alami (predator, parasitoid dan pathogen).

Tanaman atau tumbuhan yang berasal dari alam dan potensial sebagai pestisida nabati umumnya mempunyai karakteristik rasa pahit (mengandung alkaloid dan terpen), berbau busuk dan berasa agak pedas. Tanaman atau tumbuhan ini jarang diserang oleh hama sehingga banyak digunakan sebagai ekstrak pestisida nabati dalam pertanian organik (Hasyim. 2010).

Di Indonesia, sejak tahun 2001 Pemerintah telah mencanangkan gerakan “Go Organik 2010” dengan harapan Indonesia sebagai salah satu produsen utama pangan organik di dunia. Oleh karena itu dalam SNI 01-6729-2002 yang mengatur sistem pangan organik telah melarang penggunaan pestisida kimia dan dianjurkan menggunakan pestisida alami ( termasuk pestisida nabati) dan pengendalian secara mekanis ( Rizal, 2009).

Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan jenis tumbuhan yang efektif untuk digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama dalam menunjang pertanian organik.

Teknologi Kearifan Lokal Dalam Mengendalikan Hama Tanaman

Nenek moyang kita telah mengembangkan pestisida nabati yang ada di

lingkungan pemukimannya untuk melindungi tanaman dari serangan pengganggunya secara alamiah. Mereka memakai pestisida nabati atas dasar kebutuhan praktis dan disiapkan secara tradisional. Tradisi ini akhirnya hilang karena desakan teknologi yang tidak ramah lingkungan. Kearifan nenek moyang

kita bermula dari kebiasaan menggunakan bahan jamu (empon-empon = Jawa), tumbuhan bahan racun (gadung, ubi kayu hijau, pucung, jenu = Jawa), tumbuhan berkemampuan spesifik (mengandung rasa gatal, pahit, bau spesifik, tidak disukai hewan/serangga, seperti awarawar, rawe, senthe), atau tumbuhan lain

berkemampuan khusus terhadap hama/penyakit (biji srikaya, biji sirsak, biji mindi, daun mimba, lerak).

Akhir-akhir ini banyak dilakukan ekspolorasi terhadap bahan tanaman yang mengandung bahan bioaktif dan bermanfaat sebagai pengendali hama yang ramah lingkungan, seperti penggunaan tanaman perangkap dan pestisida/insektisida nabati. Cara terbaik untuk mengatasi atau mengurangi dampak bahaya penggunaan insektisida organik sintetik terhadap manusia

517

Page 115: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 maupun lingkungan perlu dicari alternatif pengendalian dengan menggunakan

bahan alam yang bersifat racun bagi hama tanaman atau yang disebut dengan

insektisida nabati. Misalnya untuk mengendalikan hama tikus menggunakan tumbuhan

jengkol dapat digunakan sebagai pengusir tikustumbuhan tegari dan gadung dapat digunakan sebagai umpan beracun nabati dalam mengendalikan tikus (Asikin et al., 2013).

Prinsip Pertanian Organik

Prinsip-prinsip pertanian organik menjadi dasar dalam penumbuhan dan pengembangan pertanian organik. Menurut IFOAM (2008) prinsip-prinsip pertanian organik adalah : (1) Prinsip kesehatan : pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia dan

bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan; (2) Prinsip ekologi: Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan. Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan, yang bahwa produksi didasarkan pada proses dan daur ulang ekologis. Siklussiklus ini bersifat universal tetapi pengoperasiannya bersifat spesifik-lokal; (3) Prinsip keadilan: Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama; dan (4) Prinsip perlindungan: Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup. ( Henny. M., 2012).

Hasil-Hasil Penelitian

Sebelum ditemukannya pestisida kimia seperti sekarang ini petani-petani

kita dulu atk moyang kita dulu dalam mengatasi atau mengendalikan hama dan

penyakit tanaman, salah satunya menggunakan bahan tanaman yang diolah

dengan cara ditumbuk dan disebarkan pada tanaman yang dikendalikan. Adapun

jenis tanaman yang digunakan seperti: Tumbuhan Pulai (Alstonia sp)

Pulai merupakan tumbuhan berbentuk pohon, tinggi mencapai 40 - 50 m,

diameter batang mencapai 1 m, batang bergalur, dan berwarna abu-abu sampai

putih. Permukaan batang halus sampai bersisik, kulit bagian dalam batang sangat

tebal dan halus, berwarna jingga sampai kecoklatan, dan bergetah. Daun tunggal

yang tersusun secara vertikal di ujung ranting, berbentuk oval atau ellips, pangkal

agak lancip, ujung bundar, permukaan licin atau tidak berbulu, tulang daun sejajar,

daun bagian bawah berwarna keputihan, panjang 8 – 12 cm, dan lebar 3 – 5 cm.

Bunga berwarna putih dan kecil di ujung. Buah berbentuk kapsul, berpasangan,

panjang 25 – 30 cm, dan permukaan licin sampai kasar (Gambar 1). Pohon pulai mengandung getah berwarna putih yang sangat pahit. Kulit

batang mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol. Sedangkan daun

mengandung pikrinin dan bunganya mengandung asam ursolat dan lupeol. Asikin

518

Page 116: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 (2011) melaporkan bahwa ekstrak tumbuhan pulai efektif mengendalikan hama

ulat garyak dengan mortalitas larva mencapai 80-95 % dan 90,0-92,5%.

Gambar 1. Tumbuhan Pulai Buta-Buta (Excoecaria agalocha)

Buta-buta merupakan pohon meranggas yang tumbuhnya mencapai 15 meter dan memiliki daun berwarna hijau tua yang akan berubah menjadi merah bata sebelum rontok. Bunganya berwarna kuning yang kemudian berubah menjadi bulat-bola-hijau dengan tiga tonjolan. Tumbuhan ini memiliki kayu yang dapat digunakan sebagai bahan pembuat kertas yang bermutu baik. Getahnya berwarna putih pekat yang sering digunakan nelayan untuk membuat ikan pingsan sehingga mudah menangkapnya (Gambar 2). Buta-buta mengandung eksokarol, agalokol, isoagalokol, amirin dan manit. Senyawa yang berhasil diisolasi adalah tarakseron, sitosterol dan 3-O-glukopiranosil; -sitosterol. Menurut Asikin dan Thamrin (2010c), bahwa ekstrak tumbuhan buta-buta berpotensi sebagai pestisida nabati dengan mortalitas larva antara 75- 85%.

Gambar 2. Pohon Buta-Buta Kakambat/Gandarusa (Justicia sp)

Tumbuhan gandarusa (Gambar 3) merupakan tanaman obat-obatan terutama untuk penyakit ginjal dan disamping itu pula tumbuhan gandarusa dapat digunakan sebagai perawatan wajah dari jerawat dan pelik-pelik hitan. Menurut Asikin (2011), ekstrak tumbuhan gandarusa efektif dalam mengendalikan hama ulat grayak dengan mortalitas berkisar antara 75-80%.

Gambar 3. Tumbuhan Gandarusa/Kakambat

Gulinggang (Cassia alata)

519

Page 117: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Tumbuhan Gulinggang (Gambar 4) ini sering digunakan untuk

pengobatan penyakit kulit seperti panu. Dan disamping itu ekstrak tumbuhan

gulinggang tersebut dapat juga digunakan sebagai insektisida dan fungisida

nabati untuk ulat grayak dan penyakit busuk buah yang disebabkan

cendawan/fungi Coletutricum sp. Untuk insektisida nabati dapat mematian ulat

grayak berkisar antara 70-80% (Asikin, 2011)

Gambar 4. Tumbuhan Gulinggang Usar/Tegari (Dianella sp.)

Masalah yang muncul akibat penggunaan rodentisida sintetik yang tidak

bijaksana tersebut menyebabkan meningkatnya kembali perhatian sejumlah peneliti

dalam memanfaatkan potensi tumbuhan seperti akar tegari (Dianella sp.) (Gambar

5) untuk mengendalikan tikus sawah (Jumar dan Helda, 2003 dalam http://wiraagungdinata.wordpress.com). Oleh karena itu, elative ve

menggunakan perangkap merupakan pengendalian yang elative aman terhadap hewan sekitar dan lingkungan, pengendalian hama ini dilakukan dengan mengacu pada konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dan tepat sasaran.

Berdasarkan penelitian Fauzi (1997 dalam http://wiraagungdinata. wordpress.com) memperlihatkan bahwa campuran akar tegari sebanyak 30 gram dapat mematikan 26 ekor tikus putih (Musmusculus), dari 30 ekor yang diuji atau 86,66%. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Balantek (1999 dalam http://wiraagungdinata.wordpress.com) memperlihatkan hasil bahwa larutan 30 gram akar Tegari dan dicampur dengan 150 gram beras ketan efektif membunuh tikus sawah.

Jumar (1999 dalam http://wiraagungdinata.wordpress.com) menyatakan

bahwa beras ketan yang direndam dalam larutan akar Tegari dan disimpan sampai 5

hari masih efektif untuk mematikan tikus sawah. Pengendalian dengan cara ini

memerlukan tenaga dan biaya yang cukup besar, tidak dilakukan secara teratur dan

tidak berkelanjutan sehingga tingkat keberhasilannya rendah. Pengendalian secara

kimia dilakukan dengan pemberian umpan beracun dari bahan-bahan kimia sintetis

maupun bahan-bahan alami beracun seperti akar tegari (Dianella sp). Asikin (2011), melaporkan bahwa ekstrak tumbuhan tegari efektif

mengendalikan ulat grayak dengan mortalitas sebesar antara 85-95%.

520

Page 118: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Gambar 5. Tumbuhan Usar/Tegari Tumbuhan Tawar (Costus spect)

Tumbuhan Tawar (Gambar 6) ini banyak tumbuh di lahan rawa dibagian

atasnya, tanaman ini dapat digunakan sebagai penghalau hama wereng hijau. Kalau

tanaman padi terserang penyakit kuning atau tungro biasanya menggunakan

tanaman tawar untuk menghindari meluasnya penyebaran dari penyakit tungro

tersebut. Secara manual tanaman tawar ini mengeluarkan bau yang dapat

mempengaruhi aktifitas dari serangga vektor dari penyakit tungro ini yaitu jenis

wereng hijau. Sehingga dengan adanya tanaman tawar ini dipertanaman padi dapat

menghentikan penyebaran penyakit tunggo. Menurut Asikin (2007), ekstrak

tanaman tawar ini juga efektif dalam mengendalikan hama ulat grayak.

Gambar 6.Tumbuhan Tawar Tapak Liman (Elephantopus scaber)

Tumbuhan tapak liman (Gambar 7) merupakan tumbuhan herbal yang banyak tumbuhan di lahan kering pada wilayah rawa lebak. Kebiasaannya tumbuhan tapak liman digunakan sebagai bahan pengobatan untuk sakit pinggang. Ekstrak tumbuhan tapak liman efektif dalam mengendalikan ulat grayak dengan mortalitas larva berkisar antara 70-75% (Asikin., 2011).

Gambar 7. Tumbuhan Tapak Liman

521

Page 119: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Tumbuhan Liar rawa ribu-ribu dan tumbuhan mercon

Menurut Asikin (2005), melaporkan bahwa kebiasaan petani dalam

mengendalian hama tanaman padi pada fase generatif salah satunya adalah

menggunakan tumbuhan liar jenis ribu-ribu (Lyqodium flexuosum) (Gambar 8),

terutama untuk mengendalikan hama penggerek batang dan walang sangit. Adapun

aplikasinya yaitu dengan cara adalah dengan menaburkan daun ribu-ribu tersebut

pada lahan pertanaman padi yang masih ada airnya. Dengan perlakuan tersebut

serangan penggerek batang (beluk) dan walang sangit dapat dihindari. Tumbuhan mercon ini digunakan petani pada saat tanaman padi pada

fase generatif yaitu dengan cara dibakar digalangan disamping sawah. Dengan cara pembakaran ini dapat mengekluarkan asap. Taktik pengandalian dengan menggunaan asap sudah seringkali dilakukan oleh petani rawa lebak maupun tadah hujan, tetapi hasilnya kurang memuaskan. Tetapi dengan mengganti bahan pengasapan tersebut dengan menggunaan tumbuhan mercon hasil yang cukup memuaskan, karena bahan tumbuhan tersebut kalau dibakar dapat mengeluarkan bau yang menusuk sehingga dapat mempengaruhi kunjungan dari imago penggerek batang. Hal ini sudah dilakukan petani dalam mengendalikan hama padi pada fase generatif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pengasapan dengan menggunakan bahan tumbuhan mercon intensitas kerusakan dari serangan penggerek batang dapat ditekan yaitu berkisar antara 5-10%. Adapun waktu pengasapan kebiasaanya dilakukan pada sore hari menjelang malam.

Menurut Sanjaya (1970), mengemukkan banyak diantara jenis-jenis serangga tertarik atau menolak oleh bau-bauan dipancarkan oleh bagian tanaman yaitu bunga ataupun buah atau benda lainnya. Zat yang berbau tersebut pada hakekatnya adalah senyawa kimia yang mudah menguap seperti pada pengasapan bahan mercon tersebut.

Gambar 8. Tumbuhan Ribu-Ribu

KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dari beberapa hasil

penelitian diketahui bahwa tumbuhan rawa seperti tumbuhan jenis pohon pulai dan

buta-buta, jenis herbal (tawar dan kakambat) dan jenis gulma (usar dan tapak

liman), dapat digunakan sebagai biopestisida untuk mengendalikan hama ulat

grayak dengan persentase kematian larva masing-masing sebesar untuk tumbuhan

pohon pulai (80-95 %), Buta-buta (80-95%), tumbuhan herbal Tawar (80-92,5%),

Kakambat (75-80%) dan gulinggang (70-80%) dan jenis gulma usar (85-95%),

522

Page 120: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 dan Tapak liman (70-75%). Semua jenis tumbuhan tersebut merupakan

tumbuhan yang pernah digunakan nenek moyang kita dalam mengatasi

hama/mengendalikan hama tanaman.

DAFTAR PUSTAKA Asikin, S. 2007. Mempelajari Tumbuhan Tawar Dalam Mengusir Vektor

Penyakit Tungro. Laporan Kegiatan Hama dan Penyakit. Balittra

Banjarbaru. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2010. Pengendalian Ulat Grayak Spodoptera litura

dengan Menggunakan Ekstrak Bahan Tumbuhan Liar Rawa. Prosiding

Seminar Nasional Perlindungan Tanaman, Bogor 5 - 6 Agustus 2009.

Strategi perlindungan tanaman menghadapi perubahan iklim global dan

sistem perdagangan bebas. Hal. 180 - 192. Asikin. S. 2011. Flora Rawa Sebagai Pengendali OPT dan Penyakit Tanaman.

Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang

Bandung. Bandung 16 - 17 Pebruari 2011. Hal 83 - 96. Asikin, S. 2012. Fungsi Flora Rawa Dalam Peretanian Organik. Prosiding

Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian (Buku III). Banjarbaru

13 - 14 Juli 2011. Hal 361 - 378 Asikin, S., dan Khairuddin. 2013. Pengenalan Kearifan Lokal Dalam

Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman Ramah Lingkungan. Dalam

Sulaeman. Y., Ladiyani, R.W., Edi Husen, C. Tafakresnanto, Woro. E., S.

Wahyuni, E.Maftu’ah dan Erna. S. (Ed). Prosiding Seminar Nasional

Pertanian Ramah Lingkungan. Bogor, 29 Mei 2013. Hal. 465-474. Hasyim, A. 2010. Efikasi dan Persistensi Minyak Serehwangi sebagai

Biopestisida terhadap Helicoverpa aemigera . Balai Penelitian Tanaman

Sayuran Lemba IFOAM. 2008. The World of Organic Agriculture -Statistics & Emerging

Trends 2008. http://www.soel.de/fachtheraaii downloads/s_74_l O.pdf. Nenny. M. 2012. Pengembangan Pertanian Organik di Indonesia. J Forum

Penelitian Agro Ekonomi 30(2), Desember 2012. Hal. 91-108. Rizal, M. 2009. Pemenfaatan Tanaman Arsiri sebagai Pestisida Nabati, Balitro.

Bogor.

523

Page 121: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Flora Rawa Sebagai Komponen Pengendali Hama Terpadu

Tumarlan Thamrin1)

dan Syaiful Asikin2)

1)BPTP Sumatera Selatan

2)Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa

ABSTRAK

Di lahan rawa ditemukan flora rawa yang sangat bervasiasi jenisnya, dari

jenis flora tersebut ada yang berfungsi sebagai bahan pengendali hama, pupuk,

bahan penyerap unur beracun, biofilter dan bahan obat-obatan. Dalam

mengendalikan hama pada umumnya selalu bertumpu dengan menggunakan

insektisida sintetik. Sulitnya mengurangi penggunaan insektisida kimia atau yang

disebut insektisida sintetik disebabkan belum adanya cara pengendalan lain yang

efektif. Insektisisa sintetik mudah aplikasinya karena siap pakai dan hasilnya lebih

cepat terlihat. Padahal telah banyak dilaporkan bahwa insektisida sintetik bukan saja

berdampak negatif bagi lingkungan, namun juga terhadap kesehatan manusia. Untuk

mengatasi hal tersebut di atas perlu dicari alternatif pengendalian hama yang ramah

lingkungan, yaitu dengan memanfaatkan beberapa jenis flora seperti tumbuhan

purun tikus dapat digunakan sebagai tanaman perangkap hama penggerek batang

padi putih dan sebagai bahan attraktannya. Beberapa jenis flora rawa dapat

digunakan sebagai bahan pembuatan insektisida nabati misalnya seperti tumbuhan

Kepayang, Bintaro, Simpur, Jingah, Pegagang, Cambai karuk dalam mengendalikan

hama ulat grayak,ulat jengkal,ulat buah, ulat kubis/plutella dan wereng coklat.

Untuk tumbuhan Kirinyu atau rumput minjangan berperan sebagai biopestisida dan

bahan pupuk organik atau Biopertilezer. Kata kunci: Flora rawa, pengendali hama, ramah lingkungan

PENDAHULUAN

Di lahan rawa ditemukan tumbuhan yang sangat bervasiasi jenisnya, dari

jenis-jenis tumbuhan tersebut ada yang berfungsi sebagai bahan pengendali

hama, pupuk, bahan penyerap unur beracun, biofilter dan bahan obat-obatan. Dalam mengendalikan hama tanaman pada umumnya selalu bermitra

dengan bahan kimia beracun atau isektisida sintetik. Penggunaan insektisida sintetik yang kurang bijaksana berpengaruh negatif terhadap lingkungan seperti terbunuhnya jasad bukan sasaran, terbunuhnya jenis musuh alami, berpengaruh buruk terhadap kesehatan manusia dan hewan peliharaan.

Peran flora rawa di dalam ekosistem pertanian dapat dipandang sebagai

organisme pengganggu tanaman, karena memiliki daya kompetisi yang tinggi, dapat

tumbuh secara cepat, dan daya serap yang tinggi terhadap unsur-unsur yang tersedia

di tanah (Ross dan Lembi, 1988). Namun tidak semua gulma menjadi musuh bagi

petani. Interaksi antara gulma dan tanaman produksi menyebabkan berkurangnya

hasil tanaman produksi. Sinyalemen ini berhubungan erat dengaan arah dan strategi

pengelolaan gulma/flora yang bertujuan untuk mengendalikannya seoptimal

mungkin. Di sisi lain, penggunaan gulma secara

524

Page 122: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 langsung maupun tidak langsung, sangat bermanfaat untuk bahan baku pupuk, industri, obat-obatan, sayuran, biofilter, makanan ternak, makanan ikan, inang

hama, dan alat penjernih limbah cair rumah tangga. Penggalian berbagai potensi

flora rawa itu, telah banyak yang melaporkan (Everaats, 1981), dilakukan

melalui pengetahuan kearifan lokal, inventarisasi, koleksi dan pelestarian plasma nuftahnya. Untuk pelestarian gulma yang bermanfaat masih ditemui banyak

permasalahan, terutama mengenai budidaya gulma, karena pada saat ini gulma

masih dikategorikan sebagai tumbuhan liar. Makalah ini bertujuan untuk menginformasikan manfaat dari beberapa

jenis flora rawa pasang surut yang dapat digunakan sebagai komponen pengendali hama ramah lingkungan.

Flora Rawa Sebagai Komponen Pengendalian Hama Purun Tikus (Eleocharis dulcis) Sebagai Tanaman Perangkap

Purun tikus (E.dulcis) adalah jenis tumbuhan liar yang paling banyak ditemukan tumbuh di lahan pasang surut sulfat masam termasuk kedalam famili Cyperaceae.

Hasil penelitian sejak tahun 1995 - 2008, diketahui bahwa tumbuhan purun tikus sangat disenangi oleh hama penggerek batang padi putih sebagai tempat meletakkan telurnya. Jumlah telur yang diletakkannya > 6000 kelompok telur setiap hektarnya, lebih banyak daripada jumlah telur yang diletakkan pada gulma lainnya pada padi (Gambar 1).

Kelompok Telur Peng.Batang

8000 7000

6000

5000 2005 Kel.Telur 4000 2006

3000 2007 2000 2008 1000 2009

0 E.dulcis P.karka S.grossus Padi

Jenis Tumbuhan Liar

Gambar 1. Kelompok Telur Peng Batang Padi pada Beberapa Tumbuhan liar

dan padi di Lahan Pasang Surut. Sumber : Asikin dan Thamrin (2009)

Jumlah kelompok telur yang diletakkan pada purun tikus lebih banyak

daripada tumbuhan lainnya, hal ini disebabkan tumbuhan lainnya mempunyai

batang yang lebih keras, selain itu bagian permukaan batang purun tikus lebih

licin sehingga memudahkan bagi penggerek batang untuk meletakkan telurnya.

Menurut Asikin et al. (2001) bahwa penggerek batang padi putih lebih tertarik

meletakkan telurnya pada purun tikus dibandingkan dengan padi yang

permukaan daunnya kasar. Hasil penelitian yang menggunakan purun tikus sebagai tanaman

perangkap ternyata yang diletakkan di tepi sawah lebih banyak memerangkap penggerek batang padi untuk meletakkan telurnya dengan tingkat kerusakan

525

Page 123: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 paling rendah dan yang tertinggi adalah areal pertanaman padi tanpa tanaman

perangkap (Gambar 2).

inte

nsita

s k

eru

sa

ka

n (

%)

16 14 12 10 8 6 4 2 0

1998/1999 1999/2000 musim

hujan

tanaman perangkap

(tepi sawah) tanaman perangkap

(tengah sawah) tanpa tanaman

perangkap

Gambar 2. Pengaruh letak tanaman perangkap (purun tikus) terhadap intensitas

kerusakan padi oleh batang putih, Kabupaten Banjar, Kalsel Purun Tikus Sebagai Bahan Attraktan

Ada lima jenis rumputan yang disenangi oleh penggerek batang padi putih meletakkan telurnya yaitu rumput purun tikus (Eleocharis dulcis), kelakai (Stenochlaena palutris), perupuk (Phragmites karka), rumput bundung (Scirpus grosus), rumput purun kudung (Lepironea articulata). Tetapi dari kelima jenis rumputan tersebut yang paling disenangi dan paling banyak ditemukan kelompok telurnya hanya pada E. dulcis. (Gambar 3 dan 4).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak purun tikus (Eleocharis dulcis), dan kemudian diikuti prupuk (Phragmites karka) mempunyai potensi sebagai attraktan bagi penggerek batang padi putih.

Pengaruh Ekstrak Tum.Rawa Terhadap Peng.Batang

JJlh

.Kel.T

elu

60

50

40

30

20

10 0

E.dul cis S.grosus L.articulata S.palutris P.karka Kontrol Jenis Ekstrak

Gambar 3. Jumlah Kelompok Telur Penggerek Batang yang Terperangka

Inlitra Banjarbaru MT.2001 (Sumber : Asikin, 2002).

Menurut Asikin dan Thamrin (2003), melaporkan bahwa ekstrak purun

tikus murni yang dicairkan dan diaplikasikan pada tanaman padi ternyata paling

banyak memerangkap kelompok telur penggerek batang dibandingkan dengan

perlakuan lainnya, kem udian solvent purun tikus yang juga disemprotkan pada

tanaman padi, ternyata solvent dari bahan segar yang langsung diaplikasikan

paling banyak menarik penggerek batang padi putih untuk meletakkan telurnya. 526

Page 124: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Pengaruh Ekstrak E.dulcis Terhadap Peng.Batang

35

30

Jlh

.Kel.

Telu

25

20

15

10

5

0

Bhn Segar Bhn Kering

E.ducis

Langsung Simp 1 hari Kontrol

Gambar 4. Pengaruh solvent purun tikus (E.dulcis) terhadap penggerek batang

pada MK. 2003 (Sumber : Asikin dan Thamrin, 2003)

Flora Rawa Sebagai Pestisida Nabati Beberapa jenis flora rawa yang berpotensi sebagai pestisida nabati dalam

pengendalian hama dan penyakit tanaman (Tabel 2). Tabel 2. Manfaat Flora/Tumbuhan Liar Rawa

Jenis Flora Rawa Nama Ilmiah Nama Daerah Bag.Tanaman Ket/Kegunaan

Pangium edule Kapayang Kulit Batang, Insektisida

Cassia sp daun, buah

Gulinggang Daun Insektisida/Fungisida

Canavalis sp Kac.parang Biji Insektisida

Centella asiatica Jalukap Daun Insektisida

Lasia spinosa Gagali Daun Insektisida

Piper sarmentosum Cambai karuk Daun Insektisida

Erythrina subumbrans Dadap Daun Insektisida

Leea indica Mamali habang Daun Insektisida

Urtika dioica Jalatang tulang Daun Insektisida

Hedychium sp Suli tulang Daun Insektisida

Barringtonia spicata Putat Daun Insektisida

Glutha rengas Jingah Daun Insektisida

Dillenia suffruticosa Simpur Daun Insektisida

Justicia sp Patah kajang Daun Insektisida

Kakambat Daun Insektisida

Maleleoca cajuputi Tanaman mercon Daun Insektisida

Gelam Daun Insektisida

Patycerium bifurcatum Lukut Daun Insektisida

Ficus glomerata Luwa Daun Insektisida

Croton tiglium Kumandrah Daun Insektisida

Amorphophallus Maya Daun,Umbi Insektisida

Campanulatus

Annona muricata Sersak Daun Insektisida

Nyctanthes abortritis) Sarigading Daun Insektisida

Melastoma affene Karamunting Daun Insektisida

Eleocharis dulcis) Purun tikus - Tan.perangkap

Phragmites karka Prupuk - Tan.perangkap

Scirpus grosus Bundung - Tan.perangkap

Psidium guajava Jambu biji Daun Fungisida

Alpinia galangal Lengkuas Daun,umbi Fungisida

Cerbera odollam Kelampan Daun,buah Insektisida

Diocorea composite Kelabuau Daun Insektisida

Gadung Umbi Insektisida

Derris eliptica) Tuba Daun,akar Insektisida

527

Page 125: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014

Jenis Flora Rawa Nama Ilmiah Nama Daerah Bag.Tanaman Ket/Kegunaan

Vitex trifolia Langgundi Daun Insektisida

Phitecellobium Jengkol Daun Insektisida

lobatum)

Spondias pinnata) Kedondong Daun Insektisida

Peronema canescen) Sungkai Daun Insektisida

Morinda citrifolia Mengkudu Daun Insektisida

Stenochiaena palutris) Kalakai - Tan.perangkap

Datura fastuosa L. Kacubung Daun Insektisida

Raja bangun Daun Insektisida

Pisang bangkui Daun Insektisida

Mantawingan Daun Insektisida

Miratan Daun Insektisida

Kanidai Daun Insektisida

Panahan banyu Daun Insektisida

Pilancau/Mamali Daun Insektisida

Kayu Mandau Daun Insektisida

Akar arau Daun Insektisida

Kalindayu Daun Insektisida

Pidampul Daun Insektisida

Racun ayam Daun Insektisida

Lycodium flexuosum Mantawingan kulit Daun,kulit Insektisida

Ribu-ribu Daun Insektisida

Blumea balsamifera Sasambung Daun Insektisida

Acorus calamus L.) Dringo Daun Insektisida

Orthosiphon stamineus Kumis kucing Daun Insektisida

Benth.)

Uncaria gambir) Gambir Getah Insektisida

Talang hujan Daun Insektisida

Sambung Asam Daun Insektisida

Bati-Bati Putih Daun Insektisida

Acanthus ebracteatus Hambat Lalat Daun Insektisida

Jeruju Daun Insektisida

Elephantophus scaber Tapak gajah Daun Insektisida

Sawi Laut Daun Insektisida

Averrhoa bilimbi L Serunai Daun Insektisida

Belimbing tunjuk Daun Insektisida

Dianella montana bl Kayu miskin Batang Insektisida

Usar Daun,akar Insektisida/Rodentisida

Chromolaena odorata Rumput minjangan Daun Insektisida

Flacourtia rukam Rukam Daun Insektisida

Mangifera caesia Binjai Daun Insektisida

Alstonia sp Pulantan Daun Insektisida

Crinum asiaticum Bakung Rawa Daun Insektisida

Sumber: Asikin dan Thamrin (2010)

Tanaman Jingah (Glutha rengas) Ekstrak tanaman Jingah (Glutha rengas) termasuk tumbuhan famili

Anacardiaceae, yang sering dimanfaatkan kayunya, ini terkenal karena getahnya amat beracun. Bila terkena kulit, getah rengas bisa menyebabkan iritasi berat, bahkan bisa melumpuhkan manusia. Racun dari getah ini juga kerap digunakan untuk berburu binatang.

Meski bersifat iritan, getah rengas punya khasiat untuk membasmi jamur. Beberapa penelitian menyebutkan rengas mengandung senyawa ursiol, rengol,

528

Page 126: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 glutarengol, laccol, dan thitsiol. Sedangkan kayunya punya senyawa golongan

steroid, lipid, benzenoid dan flavonaloid. Meskipun keefektifan senyawa kimia nabati jauh dibawah senyawa kimia

sentitik, tetapi senyawa tersebut mempunyai kelebihan, yaitu kurang menimbulkan dampak negatif antara lain risidu yang terjadi melalui rantai makanan yang membahayakan manusia dan lingkungan (http://www.tempo.co.id/hg/iptek/2007). Asikin dan Thamrin (2010), melaporkan bahwa tanaman jingah ini cukup efektif dalam mengendalikan hama penggerek batang padi yaitu mencapai 75%. Tumbuhan Bintaro dan Simpur

Selain tumbuhan liar tersebut diatas ditemukan juga tumbuhan Simpur (Dillenia suffruticosa) dan Bintaro (Cerbera odollam) kedua jenis tumbuhan ini berupa pohon berkayu.

Menurut Asikin dan Thamrin (2007), bahwa ekstrak tumbuhan simpur dan bintaro efektif dalam mengendalikan hama perusak daun seperti ulat grayak (Spodoptera litura) dan ulat jengkal (Plusia sp) dengan persentase mortalitas larva antara 75-95% (Gambar 4). Kedua jenis tumbuhan tersebut berkayu tersebut mengandung saponin. Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol yang telah terdeteksi lebih dari 90 jenis suku tumbuhan. Saponin senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisa sel darah. Saponin merupakan bahan yang beracun terhadap serangga.

Adapun kandungan bahan aktif dari tumbuhan kelampan (Cerbera odollam) tersebut adalah daun, buah dan kulit batang bintaro/kelampan mengandung saponin, daun dan buahnya juga mengandung polifenol, disamping itu kulit batangnya mengandung tanin (http://am3green.wordpress.com).

Saponin adalah glikosida triterpen dan sterol yang telah terdeteksi lebih dari

90 jenis suku tumbuhan. Saponin senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti

sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisa sel darah. Saponin mempunyai kegunaan sebagai racun dan

antimikroba (jamur, bakteri, virus), bersifat antioksidan dan antikarsinogenik.

Adanya kandungan saponin ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dalam air

aglikonnya. Saponin ini memiliki berat molekul yang besar, larut dalam air, alkohol

dan etanol. Salah satu senyawa saponin yang terkandung dalam binahong adalah

ancordin. Ancordin merupakan sejenis protein yang memiliki berat molekul tinggi.

Ancordin ini berfungsi sebagai antibodi stimulan pencegahan penyakit sehingga

meningkatkan daya tahan tanaman. Senyawa ancordin ini dapat memacu

terbentuknya nitrit oksida. (http://dinicanidria.blogspot.com). Austin (1984) dalam (http://dinicanidria.blogspot.com) menyebutkan

bahwa peran nitrit oksida pada tanaman dapat digunakan sebagai bahan penambah

katalis dalam pembuatan herbisida. Saponin ini berkaitan erat dengan reaksi

penyabunan, sehingga diprediksikan binahong dapat melisiskan dinding sel

serangga yang sulit dibasmi karena mempunyai zat lilin, contohnya kutu putih Tanin tersebar luas pada tumbuhan berpembuluh, dalam angoespermae

terdapat khusus dalam jaringan kayu. Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dengan protein dan enzim sitoplasma, tetapi bila jaringan dirusak misalnya bila hewan memakannya maka reaksi penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini protein

529

Page 127: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Semi nar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 Sep tember 2014 lebih sukar dicapai ole h cairan pencernaan hewan. Sebahagian besar tumbuhan

yang banyak mengandung tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan

karena rasanya yang sepet (Rus taman et.al 2007). Utami (2010), melaporkan bahwa seperti biji bintar o/kelampan

mengandung alkaloid, steroid, triterpenoid dan saponin. Da ging buah mengandung flavonoid, steroid, dan saponin. Daun mengandung flavo noid, tanin, saponin dan steroid. Ranting mengandung flavonoid dan steroid. Sedangkan kulit batang mengandung fvonoid dan steroid.

Senyawa golon gan alkaloid bersifat toksik, repellent, dan mempunyai

aktivitas penghambat makan terhadap serangga (antifeedant). Prosea (2002) melaporkan bahwa adan ya kandungan cerberin pada biji bintaro/kelampan diduga memberikan efek mematikan pada tikus. Cerberin merupakan golongan alkaloid/glikosida yang diduga berperan terhadap mortalitas serangga. Saponin dan plifenol dikenal sebagai senyawa yang sangat toksik terhadap serangga. Sedangkan flavonoid m empunyai efek antimikroba/sesebagai pelindun g tanaman dari patogen dan antife edant (Dadang dan Prijono, 2008). Adanya kandungan bahan kimia yang terda pat pada bagian-bagian tanaman bintaro/kelampan tersebut maka potensi tanaman bintaro/kelampan sebagai pengendali seran gga hama termasuk rayap kayu kering sangat besar.

Tumbuhan Simp ur (Dellinia suffruticosa), merupakan salah satu tumbuhan asli Asia yang menga ndung antioksidan. Adapun senyawa antiok sidan yang terindentifikasi dalam t anaman simpur (Dillenia suffruticosa) adalah B HT dan 1-doctriacontanol (Prames ti, 2005).

Gambar 4. Efikasi ekstrak flora rawa Bintaro dan Simpur terhadap ham a

perusak daun Pegagan (Centela asiatica [L.] Urban)

Pegagan dapat diperbanyak dengan pemisahan stolon dan biji. Menurut

Asikin dan Thamrin (20 05), tanaman ini cukup efektif untuk mengendalikan ulat

jengkal dan ulat grayak . Herba rasanya manis, sifatnya sejuk, berkhasiat tonik,

antiinfeksi, antitoksik, antirematik, penghenti pendarahan (hemostatis), peluruh

kencing (diuerik ringan), pembersih darah, memperbanyak pengeluara n empedu,

pereda demam (antipiretik), penenang (sedatif), mempercepat penyemb uhan luka,

dan melebarkan pembu luh darah tepi (vasodilator perifer). Khasiat sed atif terjadi

melalui mekanisme kolinergik di susunan syaraf pusat Pegagan mengandung

asiaticoside, thankuni side, isothankuniside, madecassoside, brahmoisde,

brahminoside, brahmi c acid, madasitic acid, hydrocotyline, m esoinositol,

centellose, caretenoid s, garam mineral (seperi garam kalium, natrium, magnesium,

kalsium, besi) zat pahit vellarine dan zat samak. Didug a senyawa 530

Page 128: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 glikosida triterpenoida yang disebut asiaticoside berperan dalam berbagai

aktivitas penyembuhan penyakit. Asiaticoside berperan dan senyawaan sejenis

juga berkhasiat anti lepra (kusta). Secara umum, pegagan berkasiat sebagai

hepatoprotektor yaitu melindungi sel hati dari berbagai kerusakan akibat racun

dan zat berbahaya (http://drliza.wordpress.com). Jengkol (Phitecellobium lobatum)

Menurut Asikin dan Thamrin (2005), tanaman jengkol selain efektif untuk ulat grayak juga efektif untuk mengendalikan ulat kubis atau ulat tritip. Menurut Setianingsih (1994), jengkol mengandung alkaloid, minyak atsiri, steroid, glikosida, tanin dan saponin. Daun jengkol mengandung saponin, flavonoida dan tanin (htt://waristek.ristek.go.id). Smith (1989) dalam Nursal (2003), melaporkan bahwa alkaloid, terpenoid dan flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nunik et al (2001), melaporkan bahwa buah lerak yang mengandung golongan senyawa saponin, daun kecubung yang mengandung alkaloid dan antrakoinon serta daun orang-aring yang mengandung minyak atsiri, tanin dan steroid terbukti berkhasiat sebagai insektisida. Hal ini mengindikasikan bahwa tanin, saponin dan flavonoid mempunyai daya toksik terhadap hama.

Zat toksik tanin, saponin dan flavonoid yang terdapat pada daun jengkol inilah yang menyebabkan ulat grayak mati. Daun jengkol diduga lebih banyak mengandung tanin hal ni nampak pada saat pembuatan larutan pasta, dimana larutan pasta tidak adanya busa yang terbentuk, sedangkan zat aktif saponin mempunyai kemampuan membentuk busa (Widodo, 2005). Cambai karuk (Piper caninum)

Tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai pengobatan tradisional sebagai obat dan berkhasiat untuk penyakit maag dan ginjal. Tumbuhan cambai karuk (Piper sarmentosum Roxb.Ex Hunter) mengandung saponin, polifenol, fvanoid dan minyak atsiri (Permadi 2005). Menurut Pittaya (2006), tumbuhan cambai karuk juga mengandung berbagai kandungan senyawa seperti pyrrolidinel amide, betasitosterol, methylenedioxybencena, guineensine, alkene, sarmintine, pellitorine, sarmentosine dan polifenol. Suli Tulang (Hedychium sp)

Tanaman tersebut kebanyakan ditemukan tumbuh pada habitat lahan pasang surut sulfat masam dan tergenang air. Bentuk dari tanaman ini sepeti tanaman kunyit. Adapun tanaman ini digunakan masyarakat dayak sebagai bahan pengobatan terhadap penyakit dalam dan tulang patah. Tanaman ini cukup beracun terhadap ulat jengkal, ulat grayak dan ulat buah (Asikin dan Thamrin, 2005).

531

Page 129: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Rumput minjangan/Kirinyu

Meskipun keefektifan senyawa kimia nabati jauh dibawah senyawa kimia sentetik, tetapi senyawa tersebut mempunyai kelebihan, yaitu kurang menimbulkan dampak negatif antara lain risidu yang terjadi melalui tantai makanan yang membahayakan manusia dan lingkungan. Menurut Campbell, (1933) dan Burkill, (1935) jenis tumbuhan telah diketahui berfungsi sebagai insektisidal dan repelen atau attraktan mengandung senyawa bioaktif seperti alkaloid, terpenoid, steroid, asetogenin, fenil propan, dan tanin.

Pada pestisida nabati tersebut diduga bersifat racun perut, karena pada hari

pertama terjadi kontak belum memperlihatkan gejala keracunan, tetapi setelah larva-

larva tersebut makan sehingga mengakibatkan gejala keracunan bagi larva tersebut.

Daya toksisitas/racun tertinggi yaitu pada bahan tumbuhan Pangium edule,

Palatycerium bifurcatum dan Eriglossum rubiginosum dan Chromolaena odorata

yaitu daya racunnya berkisar antara 70-85% (Asikin dan Thamrin, 2002). Tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat luka tanpa menimbulkan

bengkak, tumbuhan ini berfungsi juga sebagai bahan insektisida nabati untuk mengendalikan beberapa jenis hama sayuran. Biller et al. (1994), melaporkan tumbuhan rumput minjangan juga dapat digunakan sebagai pakan ternak, namun harus melalui proses pengolahan seperti pengeringan dan penumbukan. Rumput minjangan mengandung Pas (Pryrrolizidine Alkaloids) sebagai racun, dan kandungan ini menyebabkan tanaman ini berbau menusuk, rasa pahit, sehingga bersifat repellent dan juga mengandung allelopati.

Rumput minjangan/Kirinyu ini cukup efektif dalam mengendalikan hama perusak tanaman sepeti ulat grayak, ulat jengkaldan ulat buah (Asikin dan Thamrin 2005).

Kirinyu (Chromolaena odorata) adalah salah satu tumbuhan yang dapat digunakan sebagai larvasida alami. Tumbuhan ini mengandung senyawa fenol, alkaloid, triterpenoid, tanin,flavonoid (eupatorin) dan limonen. Kandungan tanin yang terdapat dalam daun kirinyuh adalah 2,56% (Romdonawati, 2009). Menurut Ikhimioya (2003), Chromolaena odorata mengandung zat antinutrisi. Kandungan antinutrisi Chromolaena odorata adalah sebagai berikut: Haemagglutinnin 9.72 mg/g, Oxalate 1.89 %, Phytic acid 1.34 % dan Saponin 0.50

Chromolaena odorata Sebagai Bahan Pupuk Organik Kualitas Biomasa Gulma Chromolaena odorata

Kualitas bahan organik ditentukan oleh komposisi kimia dan sifat fisik

bahan. Komposisi kimia yang paling menentukan kualitas bahan organik yaitu

kandungan C-organik, N-total, P-total, rasio C/N kandungan lignin dan polifenol

(Swift dan Woomer, 1993). Bahan organik dikatakan mempunyai kualitas tinggi

jika mengandung lignin kurang dari 15 %, kandungan polifenol kurang 4 %,

Nitrogen lebih besar dari 2,5 %, kandungan P-total lebih besar dari 2,5 % dan rasio

C/N kurang dari 2 % (Hairiah, 2000). Bahan organik kualitas tinggi mempunyai

kemampuan menyediakan unsur hara dalam waktu yang relatif cepat, sehingga

sesuai sebagai sumber unsur hara bagi tanaman. Sebaliknya bahan organik yang

mempunyai kualitas rendah dengan rasio C/N > 20, kandungan lignin lebih besar

dari 15 %, polifenol lebih besar 4 %, hanya baik digunakan

532

Page 130: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 sebagai sumber bahan organic tanah. Bahan organic tanah penting peranannya

dalam memperbaiki sifat fisik dan kimia maupun biologi tanah. Hasil penelitian Pratikno (2002) menunjukkan bahwa biomasa

Cromolaena odorata dan Agerathum conyzoides merupakan bahan organic kualitas tinggi dengan komposisi kimia bahan seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia biomasa Cromolaena odorata dan

Agerathum conyzoides

Komposisi Chromolaena odorata Agerathum conyzoides

C – organic (%) 49,97 34,56 N – total (%) 3,04 2,31 Rasio C/N 16,44 14,96 P total (%) 0,29 0,58 Rasio C/P 173,86 60,135 Lignin (%) 9.00 11,44

Polifenol (%) 4,62 0,82 Sumber: Pratikno, 2002

Rasio C/N bahan menunjukkan mudah tidaknya bahan organik tersebut terdekomposisi. Rasio C/N tinggi menunjukkan bahan organik yang sukar terdekomposisi karena adanya fraksi tahan lapuk dalam jumlah yang besar. Fraksi tahan lapuk tersebut terdiri dari lilin, lemak dan selulosa (Kanmegne et al., 1995). Sebaliknya bahan organik dengan rasio C/N rendah merupakan bahan organik yang mudah terdekomposisi. Akan tetapi rasio C/N saja tidak cukup untuk digunakan sebagai acuan kualitas bahan organik. Hal tersebut dinyatakan oleh Handayanto et al., 1994, selain rasio C/N bahan organik, dekomposisi dan mineralisasi bahan organik ditentukan oleh kandungan lignin dan polifenol. Tingginya kandungan lignin bahan organik mengakibatkan dekomposisi yang terjadi lambat akibat terhambatnya aktivitas mikroorganisme yang membantu proses dekomposisi tersebut. Lignin merupakan senyawa tahan lapuk karena

lignin mempunyai struktur yang mengandung OCH3 yaitu senyawa yang dapat

menghambat proses dekomposisi (Stevenson, 1982). Selain lignin, polifenol sangat mempengaruhi dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Polifenol dapat melindungi protein dari dekomposisi yang cepat, karena polifenol mampu mengikat protein dalam bahan organik.

KESIMPULAN

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa jenis flora

rawa dapat digunakan sebagai komponen pengendalikan hama ramah lingkungan

misalnya seperti flora rawa purun tikus dapat digunakan sebagai tanaman perangkap

hama penggerek batang padi putih dan sebagai bahan attraktannya. Beberapa jenis flora rawa dapat digunakan sebagai bahan pembuatan

insektisida nabati misalnya seperti tumbuhan Kepayang, Bintaro, Simpur, Jingah,

533

Page 131: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 Pegagang, Cambai karuk dalam mengendalikan hama ulat grayak,ulat

jengkal,ulat buah, ulat kubis/plutella dan wereng coklat.

DAFTAR PUSTAKA Asikin, S., M.Thamrin dan A. Budiman. 2001. Purun Tikus (Eleocharis dulcis)

(Burm.F.) Henschell Sebagai Agensia Pengendali Hama Penggerek

Batang Padi dan Konservasi Musuh Alami di Lahan Rawa Pasang Surut.

Prosiding Simposium Keanekagaragam Hayati dan Sistem Produksi

Pertanian Cipayung, 16-18 Nopember 2000. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2002. Bahan Tumbuhan Sebagai Pengendali Hama

Ramah Lingkungan. Disampai pada Seminar Nasional Lahan Kering

dan Lahan Rawa 18-19 Desember 2002. BPTP Kalimantan Selatan dan

Balittra. Banjarbaru. Asikin. S., M.Thamrin dan M.Willis. 2002. Iventarisasi Tumbuhan Sebagai

Bahan Pestisida Nabti. Laporan Hasil Penelitian Balittra. Banjarbaru Asikin, S., dan M.Thamrin. 2005. Bahan Tumbuhan Rawa Yang Berpotensi

Sebagai Insektisida Nabati. Disampaikan pada Seminar Nasional

Pestisida Nabati III, 21 Juli 2005. Asikin., S. 2005. Manfaat Beberapa Bagian Tumbuhan Kapayang Terhadap

Hama Sayuran. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin., S. 2006. Penggunaan Tumbuhan Kapayang Terhadap Hama Perusak

Daun Sawi dan Bayam. Laporan Hasil Penelitian. Balittra. Banjarbaru. Asikin. S., dan M.Thamrin. 2007. Koleksi Bahan Tumbuhan Yang Berpotensi

Mengandung Bahan Bioaktif Untuk Pengendalian Hama. Laporan Hasil

Penelitian Balittra. Banjarbaru. Budiman., A., M.Thamrin dan S.Asikin. 1988. Beberapa Jenis Gulma di Lahan

Pasang Surut Kalimantan Selatan dan Tengah Dengan Tingkat

Kemasaman Tanah Yang Berbeda. Prosiding Konperensi KeIX HIGI.

Bogor 22-24 Maret 1988. Biller, A., M. Boppre, L. Witte and T. Hertman. 1994. Pyrrolizidine alkaloids in

Chromolaena odorata. Phytochemistry.

http//www.ens.cau.au//Chromolaena/o/o mod.html. Diakses 26

Agustus 2005 Dadang dan D.Prijono. 2008. Insektisida Nabati :Prinsip, Pemanfaatan dan

Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian IPB.

Bogor Everaats, A.P. 1981. Weeds of vegetables in the highlands of Java. Horticultural

Research Institute. Jakarta. Hairiah, K. 2000. Biologi Tanah. Program Pascasarjana. Universitas

Brawijaya.Malang http:/waristek.ristek.go.id/pertanian. Jengkol, diakses tanggal 4 Desember 2008.

534

Page 132: The Potency of Betel Nut (Areca catechu) as an ...sumsel.litbang.pertanian.go.id/.../12/Makalah-Budidaya-dan-Farming... · Makalah ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai

Prosiding Seminar Nasional Pertanian Ramah Lingkungan Mendukung

Bioindustri di Lahan Sub Optimal Palembang, 16 September 2014 http://www.tempo.co.id. Getah Anti Jamur di akses tanggal 10 Desember 2008. http://drliza.wordpress.com. Pegagan untuk awet muda di akses tanggal

10 Desember 2008. PROSEA. 2002. Plant Resources of South-East Asia 12 : Medicinal and

Poisonous Plant 2 PROSEA Bogor, Indonesia Ross, M.A. dan C.A. Lembi. 1985. Applied Weed Science. Burgess Publ. Co.

Minneapolis. Rustaman, M.Abdurrahman dan Ace Tatang, H. 2007. Skrining Fitokimia

Tumbuhan di Kawasan Bukit Tunggul Kabupaten Bandung. Laporan

Penelitian Peneliti Muda UNPAD Bandung. Fak.Matematika dan

Pengetahuan Alam. Unpad. Bandung. http://laporan_akhir_litmud.

Diakses 5 Nop 2009. Wijaya Kusuma, H.M., H. Dalimartha, S., Wirian, A.S. 1995. Tanaman

Berkhasiat Obat di Indonesia. Pustaka Kartini. Jakarta. Wardhana, A., Gt. 1997. Penetapan LC 50 Ekstrak Pucuk Daun Kapayang

(Pangium edule Rein W.) Terhadap Ulat Pemakan Daun Kubis (Plutella

xylostella Linn.) Skripsi. Fak.Pertanian Unlam. Banjarbaru. Widodo, W., 2005. Tanaman Beracun Dalam Jehidupan Ternak. UMM Press,

Jakarta Setianingsih, E. 1994. Petai dan Jengkol. Penebar Swadaya. Jakarta. Utami, S. 2010. Bioaktivitas Insektisida Nabati Bintaro (Cerbera odollam

Gaertn) sebagai Pengedali Hama Spodoptera litura dan Pteroma

plagiophleps. Manuskrip.

535