Thalassemia
-
Upload
rantangnasi -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
description
Transcript of Thalassemia
Thalassemia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penetapan diagnosis suatu penyakit merupakan hal penting dalam proses pelayanan medis di
mana pasien datang kepada dokter dengan keluhan-keluhan yang ia rasakan. Diagnosis sangat
diperlukan untuk melakukan proses selanjutnya setelah melakukan anamnesis dan
pemeriksaan-pemeriksaan, seperti terapi atau penatalaksanaan pada pasien. Adanya kesalahan
dalam penetapan diagnosis dapat mengakibatkan terjadinya ketidaksembuhan atau tidak
adanya perbaikan pada pasien setelah dilakukan terapi atau bahkan dapat mengakibatkan
keadaan patologis lainnya.
Anemia merupakan keadaan patologis yang sering terjadi di Indonesia dengan angka
prevalensi pada anak balita 30-40% (WHO, 1989). Pada pasien kelainan hematologis
terutama balita yang sedang dalam masa pertumbuhan seperti anemia, dokter perlu
memahami tanda dan gejala klinis khas jenis-jenis anemia dengan memperhatikan segala
aspek sehingga dapat mengetahui diagnosis jenis anemia tertentu pada pasien. Untuk
melakukan diagnosis pada pasien anemia memang tidak mudah terutama apabila ingin
mengetahui lebih jelas jenis anemia yang diderita pasien dan membutuhkan pengalaman
untuk melakukan hal tersebut. Dalam rangka pengenalan masalah klinis secara dini dan
belajar terintegrasi melalui skenario penulis dituntut untuk dapat memecahkan dan
mendiagnosis masalah yang terjadi pada pasien pada skenario dalam tutorial.
Pada skenario 2 terdapat seorang anak laki-laki 2 tahun diantar orang tuanya ke tempat
praktik dokter umum dengan keluhan utama lemas. Hasil anamnesis (heteroanamnesis)
didapatkan:
- anak lemas, pucat, dan mudah capek sejak 6 bulan lalu,
- sudah dua kali periksa ke puskesmas dengan mendapatkan obat penambah darah tetapi tidak
membaik,
- anak sering panas, batuk pilek selama 6 bulan terakhir (sebulan bisa 2 kali sakit),
- pasien anak pertama, ibu sedang hamil anak kedua 2 bulan dan berasala dari keluarga social
ekonomi kurang,
- sepupu pasien mengalami penyakit yang sama dan sering mendapatkan transfusi darah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: anak tampak kurus (BB 10 kg, TB 75 cm), anemis,
lemas, takikardia (120 kali/menit), respirasi 24 kali/menit, suhu 38,00C, tonsil membesar dan
kemerahan, faring kemerahan, splenomegali sebesar 1 shuffner, hepatomegali sebesar 2 ibu
jari di bawah arcus costarum. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: Hb 4,8 g/dl,
AL 15.200/µl, AT 480.000/µl, dan Hct 14,6 %.
Berdasarkan hal-hal di atas, penulis berusaha untuk menetapkan diagnosis atau diagnosis
banding pada pasien dengan dukungan data yang ada pada skenario dan melakukan terapi
serta pencegahan setelah didapatkan diagnosis atau diagnosis banding pada pasien.
Diharapkan penulis dan pembaca dapat mengetahui dan melakukan penetapan diagnosis atau
diagnosis banding melalui masalah skenario di atas.
B. Rumusan Masalah
1. Apa penyebab dan bagaimana proses terjadinya tanda dan gejala klinis pada pasien?
2. Apakah penyebab utama pada manifestasi klinis pasien tersebut disebabkan oleh adanya
kelainan dalam produksi hemoglobin?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium pasien?
4. Apakah pasien ini mengalami thalassemia yang disertai infeksi dikarenakan
hemoglobinopati pada anemia hemolitik?
5. Bagaimana penatalaksanaan dan pencegahan pada pasien?
C. Tujuan Penulisan
1. Dapat mengetahui patofisiologi tanda dan gejala klinis pasien.
2. Dapat menetapkan penyebab utama manifestasi klinis pasien yang disebabkan oleh adanya
kelainan produksi hemoglobin.
3. Dapat menganalisis hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada pasien kelainan
hematologi.
4. Mampu melakukan penetapan diagnosis atau diagnosis banding pada pasien.
5. Mampu memberikan terapi atau penatalaksanaans dan pencegahan pada pasien.
D. Hipotesis
1. Anak atau pasien tersebut memderita anemia dikarenakan adanya gejala anemis, pucat,
lemas, dan penurunan kadar hemoglobin.
2. Pasien tersebut menderita infeksi dikarenakan adanya panas (suhu 38,00C), batuk pilek,
tonsil membesar dan kemerahan, dan faring kemerahan.
3. Hepatosplenomegali pada pasien dapat disebabkan oleh kerja kedua organ dalam destruksi
eritrosit dan metabolisme secara berlebihan dalam melawan infeksi untuk mencapai
homeostatis, di mana destruksi eritrosit tersebut disebabkan oleh adanya kelainan produksi
hemoglobin.
4. Pasien kemungkinan menderita thalassemia yang disertai infeksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hemoglobin
Hemoglobin adalah suatu protein tetramer (protein yang terdiri dari 4 rantai polipeptida).
Pada manusia dewasa hemoglobin utama disebut Hb A, yang terdiri dari dua rantai α dan dua
rantai β (α2β2) (Slamet Suyono, 2001). Selain Hb A pada manusia dewasa terdapat
hemoglobin pendamping (minor) yang disebut Hb A2 (α2δ2). Pada bayi (neonatus) dan janin
(embrio) terdapat bentuk hemoglobin lain yaitu: Hb F (alfa2 gamma2) (Slamet Suyono,
2001) dan hemoglobin embrional : Hb Gowers 1 (zeta2 epsilon2), Hb Gowers 2 (alfa2
epsilon2), dan Hb Portland (zeta2 gamma2). Kadar Hb normal dewasa yaitu:
Hb A : 96-98 %
Hb A2 : 1,5 – 3,2 %
Hb F : 0,5 – 0,8 % (A.V. Hoffbrand, et al., 2005)
Pada tahap perkembangan hemoglobin manusia dimulai dengan pembentukan Hb Gowers 1
kemudian pembentukan Hb Gowers 2 yang bekerja sama dengan Hb Portland dalam masa
transisi menuju Hb F (Tanya Desi DP-nya…). Pada saatnya adanya pergantian pembentukan
rantai gamma pada Hb F oleh rantai alfa globin sehingga terbentuk Hb A. (Tanya juga ke
Desi, kok bisa lupa nanya seh??) Perubahan utama dari hemoglobin fetus ke hemoglobin
dewasa terjadi 3-6 bulan setelah kelahiran (A.V. Hoffbrand,et al., 2005). Terjadi penurunan
kadar Hb F mulai bayi berumur 20 minggu post partum (setelah kelahiran). Pada manusia
dewasa normal Hb F masih ditemukan walaupun dalam jumlah yang sangat kecil (kurang
dari 1%). Hemoglobin embrional hanya bertahan sampai umur janin 10 minggu saja (Slamet
Suyono, 2001). Di samping hemoglobin normal ditemukan pula hemoglobin abnormal yaitu
Hb H (β4) dan Hb Bart’s (γ4) yang ditemukan pada thalassemia α serta merupakan tanda
khas dari penyakit ini.
Pembentukan atau sintesis hemoglobin terjadi dalam sel-sel pendahulu eritrosit. Molekul
hemoglobin terdiri dari 4 senyawa hem identik dengan masing-masing mengandung cincin
protoporfirin dan besi yang terikat dengan 2 rantai globin. Jadi, semua molekul hemoglobin
mengandung 4 pasang hem + globin dengan berat molekul total sekitar 68.000 (D.N. Baron,
1990).
Dikarenakan hemoglobin terdiri dari dua unsur yaitu hem dan globin maka sintesis
hemoglobin terdiri dari sintesis hem dan sintesis globin. Sintesis hem merupakan suatu
rangkaian reaksi biokimia yang terjadi dalam mitokondria. Sintesis hem ini dimulai dari
adanya kondensasi antara suksinil koenzim A (suksinat) dengan asam amino glisin
membentuk asam α-amino β-ketoadipat dan kemudian menjadi asam δ-levulinat (ALA= δ-
amino laevulinic acid) yang dipengaruhi oleh kerja enzim ALA sintetase yang juga
merupakan enzim yang mengatur kecepatan bagi keseluruhan sintesis hemoglobin (D.N.
Baron, 1990; A.V. Hoffbrand, 2005). Dan juga dipengaruhi oleh piridoksal fosfat (vitamin
B6) sebagai koenzim yang dirangsang oleh eritropoetin (A.V. Hoffbrand, 2005). Dua
molekul ALA berkondensasi menjadi satu molekul porfobilinogen, monopirol pengganti, dan
empat molekul porfobilinogen berkondensasi (menggunakan uroporfirinogen I sintetase dan
uroporfirinogen III kosintetase untuk membentuk komponen isomer tetrapirol (porfirin)
siklik, uroporfirinogen seri I dan III. Uroporfirinogen I merupakan precursor porfirin lain,
tetapi tidak berperan lebih lanjut dalam sintesis hem. Uroporfirinogen III merupakan
precursor seri porfirin III dan dikonversikan menjadi koproporfirinogen III serta kemudian
melalui protoporfirinogen menjadi protoporfirinogen IX yang mengikat besi dalam bentuk
ferro (Fe 2+) untuk membentuk hem (D.N Baron, 1990). Hem menghambat ALA sintetase
dan ini merupakan control umpan balik atas sintesis porfirin serta hemoglobin.
Suksinil ko-A Glisin
asam α-amino β-ketoadipat
asam δ-levulinat (ALA)
Porfobilinogen
Uroporfirin III Uroporfirinogen III Uroprofirinogen I Uroporfirin I
Koproporfirin III Koproporfirinogen III Koproporfirinogen I Koproporfirin I
Protoporfirin IX
Besi
Hem
Gb. Sintesis Hem pada Hemoglobin
Sintesis rantai globin terjadi di dalam ribosom sitoplasma yang dipengaruhi oleh gen-gen
penentu rantai globin dengan susunan asam amino. Sintesis globin ini dikendalikan oleh gen
yang mengatur susunan asam amino dan gen yang mengatur kecepatan sintesis rantai globin
(Yuwono A, 2007). Rantai polipeptida alfa terdiri atas 141 asam amino dan rantai beta, delta,
dan gamma terdiri dari 146 asam amino (Pantjita, 1997). Rantai globin dapat dibagi menjadi
dua kelompok:
1. Kelompok α (Alpha like) terdiri dari rantai alfa dan rantai zeta.
2. Kelompok β (Beta like) terdiri dari rantai beta, gamma, delta, dan epsilon.
Kedua kelompok tersebut ditentukan oleh kelompok gen (gene cluster) yang terletak pada
kromosom yang berbeda, yaitu masing-masing pada kromosom nomor 16 untuk kelompok α
dan kromosom nomor 11 untuk kelompok β. Kelompok gen α pada kromosom 16
mengandung dua gen zeta (diantaranya pseudogen) dan tiga gen alfa (satu diantaranya
pseudogen). Pseudogen adalah gen strukturnya mirip sekali dengan gen “asli” tetapi tidak
menghasilkan protein fungsional dan ditandai dengan awalan psi (ψ).
Urutan gen pada kromosom 16 (5’-3’) adalah:
Zeta - psi zeta - psi alfa1 - alfa1 - alfa2
Sedangkan urutan gen pada kromosom 11 adalah:
Epsilon – Gamma - A gamma - psi beta – delta – beta (Purnomo S, 2000).
Setelah sintesis hem dan sintesis globin selesai, maka kedua unsure tersebut akan berikatan
membentuk hemoglobin.
Secara fungsional eritrosit berfungsi mengikat dan membawa O2 ke jaringan dan
mengembalikan CO2 dari jaringan ke paru-paru. Oksigen dalam tubuh ada 2 bentuk, yaitu:
oksigen fisik yang terlarut dalam darah dan oksigen terikat secara kimia oleh hemoglobin.
Dikarenakan kelarutan okasigen dipengarugi oleh tekanan parsial O2 dan suhu, dimana hal
itu merupakan factor yang sangat berubah-ubah sehingga untuk memenuhi kebutuhan O2
dalam jumlah besar dibutuhkan mekanisme lain yaitu aksigen terikat secara kimia. Hal ini
dilakukan oleh hemoglobin dimana terjadi ikatan antara oksigen dengan hemoglobin sebagai
oksihemoglobin. Pengikatan O2 oleh hemoglobin khususnya dilakukan oleh besi (Mohamad
Sadikin, 2001).
Hemoglobin terdiri dari hemoglobin normal dan hemoglobin patologis. Hemoglobin normal
diantaranya, yaitu: Hb A (hemoglobin normal dewasa, terdiri 2 rantai alfa dan 2 rantai beta),
Hb A2 (hemoglobin normal dewasa, terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai delta), Hb F (Hb
normal pada janin, terdiri dari 2 rantai alfa dan 2 rantai gamma), Hb Gowers (Hb normal pada
awal khidupan embrio dan hilang sebelum lahir), Hb Portland (Hb normal pada janin akhir
trimester pertama) (Newman Dorland, 2005). Hemoglobin patologis merupakan akibat dari
adanya kelainan produksi hemoglobin. Hemoglobin tersebut yaitu:
- Hb H : hemoglobin tetramer beta (β) yang memiliki afinitas tinggi terhadap O2.
- Hb Bart’s : hemoglobin tetramer gamma (γ) yang memiliki afinitas tinggi terhadap O2.
- Hb A1c : hemoglobin A terglikasi, terdapat satu heksosa pada terminal N rantai β,
konsentrasi meninggi pada diabetes yang tidak terkontrol dengan baik.
- Hb anti-Lepore : hemoglobin crossover abnormal yang sama dengan Hb Lepore tetapi rantai
non-α bergabung dengan konfigurasi yang berlawanan dengan Hb Lepore (rantai β pada
terminal N dan rantai δ pada terminal C).
- Hb Lepore : Hb crossover abnormal dengan rantai α normal dan dua rantai globin yang
memiliki bagian rantai δ pada terminal N dan rantai α pada terminal C.
- Hb C : hemoglobin abnormal dimana lisin menggantikan asam glutamate pada posisi enam
rantai β.
- Hb D : hemoglobin abnormal yang ditandai oleh mobilitas elektroforetik yang sama dengan
Hb S pada kertas atau selulosa asetat.
- Hb E : hemoglobin abnormal di mana lisin menggantikan asam glutamate pada posisi 26
rantai β.
- Hb S : hemoglobin abnormal di mana valin menggantikan asam glutamate pada posisi enam
rantai β. Keadaan homozigot mengakibatkan anemia sickle cell dan heterozigot asimptomatik
disebut sickle cell trait. (Newman Dorland, 2005)
B. Pembentukan, Maturasi, dan Destruksi Eritrosit
Eritropoesis merupakan proses pembuatan eritrosit. Pada janin dan bayi baru lahir proses ini
berlangsung dalam limpa dan sumsum tulang, tetapi pada individu yang lebih tua hanya
terbatas pada sumsum tulang, seperti: vertebra, tulang iga, sternum, tulang tengkorak,
sacrum, pelvis, ujung proksimal femur (A.V. Hoffbrand, et al., 2005).
Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari rangkaian sel darah merah adalah
proeritroblas. Dengan rangsangan yang sesuai maka dari sel-sel stem CFU-E (Colony
Forming Unit-Erytroid) dapat dibentuk banyak sekali proeritroblas. Sekali proeritroblas ini
terbentuk maka ia akan membelah beberapa kali sampai akhirnya akan terbentuk banyak sel
darah merah yang matur. Sel-sel generasi pertama ini disebut basofil eritroblas. Pada generasi
berikutnya, sel sudah dipenuhi oleh hemoglobin dengan konsentrasi sekitar 34%
(polikromatofil eritroblast), maka nukleus memadat menjadi kecil, dan sisa akhirnya
terdorong dari sel (ortokromatik eritroblast). Pada saat yang sama, retikulum endoplasma
direabsorbsi. Pada tahap ini, sel disebut retikulosit karena masih mengandung sedikit bahan
basofilik, yaitu terdiri dari sisa-sisa aparatus Golgi, mitokondria, dan sedikit organel
sitoplasmik lainnya. Selama tahap retikulosit, sel-sel berjalan dari sumsum tulang masuk ke
dalam kapiler darah dengan cara diapedesis (terperas melalui pori-pori membran kapiler).
Bahan basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan menghilang dalam waktu 1
sampai 2 hari, dan sel kemudian menjadi eritrosit matur. Karena waktu hidup eritrosit ini
pendek, maka konsentrasinya diantara seluruh sel darah merah dalam keadaan normal < 1 %
(A.C. Guyton dan John E. Hall, 1997).
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi eritropoiesis antara lain: sel induk: CFUE,
BFUE, dan normoblast (eritroblast), bahan pembentuk eritrosit: besi, vitamin B12, asam
folat, protein, dll, serta mekanisme regulasi seperti faktor pertumbuhan hemopoietik dan
hormon eritropoietin (I Made Bakta, 2006).
Maturasi atau pematangan akhir eritrosit dipengaruhi oleh vitamin B12 (sianokobalamin) dan
asam folat. Kedua unsur tersebut penting untuk sintesis DNA, karena sianokobalamin dan
asma folat tersebut dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat, yaitu salah satu blok
pembangun penting dari DNA. Oleh karena itu, kurangnya sianokobalamin atau asam folat
dapat menyebabkan penurunan DNA sehingga dapat terjadi kegagalan pematangan dan
pembelahan inti. Sel-sel eritroblastik pada sumsum tulang akan gagal berproliferasi secara
cepat sehingga mengakibatkan ukuran sel lebih besar dari normal (A.C. Guyton dan John E.
Hall,1997).
Masa hidup eritrosit pada umumnya selama 120 hari. Sebagian besar eritrosit mengakhiri
hidupnya di limpa dikarenakan jaringan kapiler organ ini sempit sehingga sel menjadi rapuh
dan pengeluaran eritrosit usang pada hati oleh mekanisme makrofag (Laurelle Sherwood,
2001). Dalam limpa, sebelum eritrosit masuk ke dalam sinus limpa, eritrosit harus melewati
bagian pulpa limpa akan diperas sehingga sel-sel eritrosit tersebut akan rapuh karena trauma
tersebut (A.C. Guyton dan John E. Hall, 1997). Proses destruksi eritrosit terjadi secara normal
setelah masa hidup eritrosit habis (sekitar 120 hari). Proses ini terjadi melalui mekanisme
yang terdiri dari:
1. Fragmentasi
Mekanisme fragmentasi terjadi apabila kehilangan beberapa bagian membrane eritrosit
sehingga menyebabkan isi sel keluar termasuk hemoglobin.
2. Lisis Osmotik
Tekanan osmotik plasma merupakan gambaran terjadinya kecenderungan mendorong air dan
Na dari daerah konsentrasi tinggi di interstisium ke daerah dengan konsentrasi air rendah di
plasma (atau konsentrasi protein plasma lebih tinggi). Sehingga protein plasma dapat
dianggap “menarik air” ke dalam plasma. Hal ini dapat mengakibat lisis eritrosit yang
disebabkan efek osmotik.
3. Eritrofagositosis
Mekanisme destruksi eritrosit ini melalui fagositosis yang dilakukan oleh monosit, neutrofil,
makrofag. Fagositosis eritrosit ini terutama terjadi pada eritrosit yang dilapisi antibody.
Mekanisme ini meruapakan salah satu indikator adanya AutoImun Hemolitic Anemia
(AIHA).
4. Sitolisis
Sitolisis biasanya dilakukan oleh komplemen (C5, C6, C7, C8, C9). Sitolisis ini meruapakan
indikator Peroxysimal Nocturnal Haemoglobinuria (PNH).
5. Denaturasi Hemoglobin
Hemoglobin yang terdenaturasi akan mengendap menbentuk Heinz bodies. Eritrosit dengan
Heinz bodies akan cepat didestruksi oleh limpa. Heinz bodies melekat pada membran
permeabilitas membesar sehingga mengakibatkan lisis osmotik juga.
Destruksi Eritrosit
Eritrosit
Globin Heme
Asam amino Fe CO Protoporfirin
Pool protein Pool Besi Bilirubin indirek
Disimpan/ digunakan lagi
Hati (glukuronida)
Bilirubin direk
EMPEDU
Feses: Urine: Sterkobilinogen Urobilinogen
Gb. Destruksi Eritrosit (diambil dari I Made Bakta, Hematologi Klinik Ringkas,
Jakarta:EGC, 2006)
Destruksi yang terjadi karena proses penuaan disebut proses senescence, sedangkan destruksi
patologis disebut hemolisis. Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dapat juga terjadi
ekstravaskuler, terutama dalam sistem RES (reticuloendotelial system) yaitu lien (limpa) dan
hati.
Hemolisis yang terjadi pada eritrosit akan mengakibatkan terurainya komponen-komponen
hemoglobin menjadi :
1. Komponen protein yaitu globin yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai
kembali.
2. Komponen heme akan pecah menjadi 2 :
a. Besi : yang akan dikembalikan ke pool protein dan dapat dipakai kembali.
b. Bilirubin : yang akan diekskresikan melalui hati dan empedu. (I Made Bakta, 2006)
C. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik merupakan anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis
adalah pemecahan eritrosit dalam pembuluh darah sebelum waktunya (sebelum masa hidup
rata-rata eritrosit yaitu 120 hari) sehingga menyebabkan terjadinya pelepasan hemoglobin dan
isi sel lainnya dari eritrosit. Hemolisis ini menyebabkan terjadinya kerusakan eritrosit lebih
cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya. Proses hemolisis ini akan
menimbulkan penuruanan kadar hemoglobin yang akan mengakibatkan anemia, peningkatan
pemecahan eritrosit dalam tubuh, dan kompensasi sumsum tulang untuk meningkatkan
eritropoesis (I Made Bakta, 2006). Anemia ini dapat disebabkan oleh adanya defek molekuler
(hemoglobinopati atau enzimopati), abnormalitas struktur dan fungsi-fungsi membran, dan
faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi (Ikhwan Rinaldi; Aru W.S.,
2006).
Secara etiologi, anemia hemolitik dikelompokkan menjadi:
1. Anemia hemolitik herediter
a) Defek enzim/Enzimopati
- Defek jalur Embden Meyerhof (defisiensi piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase,
fosfogliserat kinase)
- Defek jalur heksosa monofosfat (defisiensi G6PD (glukosa 6 fosfat dehidrogenase,
defisiensi glutation reduktase)
b) Hemoglobinopati
- Thalassemia
- Anemia sickle cell
- Hemoglobinopati lain seperti heterozigot ganda (thalassemia-Hb E)
c) Defek membran (membranopati) : Sferositosis herediter, eliptositosis herediter,
stomatositosis herediter.
2. Anemia Hemolitik Didapat
a) Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun,
infeksi, transfuse.
b) Mikroangiopati, misalnya: Trombotik Trombositopenia Purpura (TTP), Sindrom Uremik
Hemolitik (SUH), Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID)/Disseminated Intravascular
Coagulation/DIC, preeclampsia, eklampsia, hipertensi maligna, katup prostetik.
d) Infeksi, misalnya :infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi Clostridium.
(I Made Bakta, 2006; Ikhwan R, Aru W.S., 2006)
D. Hemoglobinopati
Hemoglobinopati merupakan kelainan hematologis yang disebabkan oleh adanya
abnormalitas hemoglobin yang diturunkan maupun didapat akibat kelainan produksi
hemoglobin. Kelainan produksi ini dapat disebabkan oleh kelainan gen yang mengatur
susunan asam amino seperti pada anemia sel sabit, Hb S disease, Hb C, Hb E, dll. dan
kelainan gen yang mengatur kecepatan produksi hemoglobin khususnya rantai globin seperti
pada thalassemia. Hemoglobinopati dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Hemoglobinopati structural (kelainan struktur asam amino pada rantai globin)
- Hb S, Hb C, Hb D, Hb E, anemia sel sabit
2. Sindrom thalassemia (gangguan sintesis rantai alfa atau beta)
(I Made Bakta, 2006)
E. Thalassemia
Thalassemia merupakan suatu sindrom anemia hemolitik herediter resesif dimana produksi
satu atau lebih dari rantai polipeptida terganggu yang menyebabkan keabnormalan bentuk
molekul hemoglobin sehingga mengurangi sintesis hemoglobin normal (kuantitatif).
Thalassemia dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Thalassemia-α (gangguan pembentukan rantai α)
Sindrom thalassemia-α disebabkan oleh delesi pada gen α globin pada kromosom 16
(terdapat 2 gen α globin pada tiap kromosom 16) dan nondelesi seperti gangguan mRNA
pada penyambungan gen yang menyebabkan rantai menjadi lebih panjang dari kondisi
normal.
Faktor delesi terhadap empat gen α globin dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
- Delesi pada satu rantai α (Silent Carrier/ α-Thalassemia Trait 2)
Gangguan pada satu rantai globin α sedangkan tiga lokus globin yang ada masih bisa
menjalankan fungsi normal sehingga tidak terlihat gejala-gejala bila ia terkena thalassemia.
- Delesi pada dua rantai α (α-Thalassemia Trait 1)
Pada tingkatan ini terjadi penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH dan terjadi
manifestasi klinis ringan seperti anemia kronis yang ringan dengan eritrosit hipokromik
mikrositer dan MCV 60-75 fl.
- Delesi pada tiga rantai α (HbH disease)
Delesi pada tiga rantai α ini disebut juga sebagai HbH disease (β4) yang disertai anemia
hipokromik mikrositer, basophylic stippling, heinz bodies, dan retikulositosis. HbH terbentuk
dalam jumlah banyak karena tidak terbentuknya rantai α sehingga rantai β tidak memiliki
pasangan dan kemudian membentuk tetramer dari rantai β sendiri (β4). Dengan banyak
terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan
mudah eritrosit dapat dihancurkan. Penderita dapat tumbuh sampai dewasa dengan anemia
sedang (Hb 8-10 g/dl) dan MCV 60-70 fl.
- Delesi pada empat rantai α (Hidrops fetalis/Thalassemia major)
Delesi pada empat rantai α ini dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak
Hb Barts (γ4) yang disebabkan juga karena tidak terbentuknya rantai α sehingga rantai γ
membentuk tetramer sendiri menjadi γ4. Manifestasi klinis dapat berupa ikterus,
hepatosplenomegali, dan janin yang sangat anemis. Kadar Hb hanya 6 g/dl dan pada
elektroforesis Hb menunjukkan 80-90% Hb Barts, sedikit HbH, dan tidak dijumpai HbA atau
HbF. Biasanya bayi yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa jam setelah
kelahirannya.
2. Thalassemia-β (gangguan pembentukan rantai β)
Thalassemia-β disebabkan oleh mutasi pada gen β globin pada sisi pendek kromosom 11.
- Thalassemia βo
Pada thalassemia βo, tidak ada mRNA yang mengkode rantai β sehingga tidak dihasilkan
rantai β yang berfungsi dalam pembentukan HbA. Bayi baru lahir dengan thalasemia β mayor
tidak anemis. Gejala awal pucat mulanya tidak jelas, biasanya menjadi lebih berat dalam
tahun pertama kehidupan dan pada kasus yang berat terjadi dalam beberapa minggu setelah
lahir. Bila penyakit ini tidak segera ditangani dengan baik, tumbuh kembang anak akan
terhambat. Anak tidak nafsu makan, diare, kehilangan lemak tubuh, dan demam berulang
akibat infeksi. (Kapita selekta kedokteran)
- Thalassemia β+
Pada thalassemia β+, masih terdapat mRNA yang normal dan fungsional namun hanya
sedikit sehingga rantai β dapat dihasilkan dan HbA dapat dibentuk walaupun hanya sedikit.
Sedangkan secara klinis thalassemia dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a). Thalasemia Mayor
Terjadi bila kedua orang tuanya membawa gen pembawa sifat thalassemia. Gejala penyakit
muncul sejak awal masa kanak-kanak dan biasanya penderita hanya bertahan hingga umur
sekitar 2 tahun. Penderita memerlukan transfusi darah seumur hidupnya.
b). Thalasemia minor/trait
Gejala yang muncul pada penderita Thalasemia minor bersifat ringan, biasanya hanya sebagai
pembawa sifat. Istilah Thalasemia trait digunakan untuk orang normal namun dapat
mewariskan gen thalassemia pada anak-anaknya.
PATOFISIOLOGIS DAN PATOGENESIS
Patogenesis thalassemia secara umum dimulai dengan adanya mutasi yang menyebabkan
HbF tidak dapat berubah menjadi HbA, adanya ineffective eritropoiesis, dan anemia
hemolitik. Tingginya kadar HbF yang memiliki afinitas O2 yang tinggi tidak dapat
melepaskan O2 ke dalam jaringan, sehingga jaringan mengalami hipoksia. Tingginya kadar
rantai α-globin, menyebabkan rantai tersebut membentuk suatu himpunan yang tak larut dan
mengendap di dalam eritrosit. Hal tersebut merusak selaput sel, mengurangi kelenturannya,
dan menyebabkan sel darah merah yang peka terhadap fagositosis melalui system fagosit
mononuclear. Tidak hanya eritrosit, tetapi juga sebagian besar eritroblas dalam sumsum
dirusak, akibat terdapatnya inklusi (eritropioesis tak efektif). Eritropoiesis tak efektif dapat
menyebabkan adanya hepatospleinomegali, karena eritrosit pecah dalam waktu yang sangat
singkat dan harus digantikan oleh eritrosit yang baru (dimana waktunya lebih lama), sehingga
tempat pembentukan eritrosit (pada tulang-tulang pipa, hati dan limfe) harus bekerja lebih
keras. Hal tersebut menyebabkan adanya pembengkakan pada tulang (dapat menimbulkan
kerapuhan), hati, dan limfe.
a. Thalasemia-α
Pada homozigot thalassemia α yaitu hydrop fetalis, rantai α sama sekali tidak diproduksi
sehingga terjadi peningkatan Hb Bart’s dan Hb embrionik. Meskipun kadar Hb-nya cukup,
karena hampir semua merupakan Hb Bart’s, fetus tersebut sangat hipoksik. Sebagian besar
pasien lahir mati dengan tanda-tanda hipoksia intrauterin.
Sedangkan pada thalassemia heterozigot yaitu αo dan α+ menghasilkan ketidakseimbangan
jumlah rantai tetapi pasiennya mampu bertahan dengan penyakit HbH. Kelainan ini ditandai
dengan adanya anemia hemolitik karena HbH tidak bisa berfungsi sebagai pembawa oksigen.
b. Thalasemia-β
Tidak dihasilkannya rantai β karena mutasi kedua alel β globin pada thalassemia β
menyebabkan kelebihan rantai α. Rantai α tersebut tidak dapat membentuk tetramer sehingga
kadar HbA menjadi turun, sedangkan produksi HbA2 dan HbF tidak terganggu karena tidak
membutuhkan rantai β dan justru sebaliknya memproduksi lebih banyak lagi sebagai usaha
kompensasi. Kelebihan rantai α tersebut akhirnya mengendap pada prekursor eritrosit.
Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki inclusion bodies/heinz bodies yang
menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membran sel, akibat pelepasan heme dari
denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada
thalassemia β disebabkan oleh berkurangnya produksi dan pemendekan umur eritrosit.
Pada hapusan darah, eritrosit terlihat hipokromik, mikrositik, anisositosis, RBC
terfragmentasi, polikromasia, RBC bernukleus, dan kadang-kadang leukosit imatur.
GEJALA KLINIS
a. Thalassemia Mayor
- Tampak pucat dan lemah karena kebutuhan jaringan akan oksigen tidak terpenuhi yang
disebabkan hemoglobin pada thalasemia (HbF) memiliki afinitas tinggi terhadap oksigen
- Facies thalasemia yang disebabkan pembesaran tulang karena hiperplasia sumsum hebat
- Hepatosplenomegali yang disebakan oleh penghancuran sel darah merah berlebihan,
hemopoesis ekstramedular, dan kelebihan beban besi.
- Pemeriksaan radiologis tulang memperlihatkan medula yang lebar, korteks tipis, dan
trabekula kasar. Tulang tengkorak memperlihatkan diploe dan pada anak besar kadang-
kandang terlihat brush appereance.
- Hemosiderosis yang terjadi pada kelenjar endokrin menyebabkan keterlambatan menarse
dan gangguan perkembangan sifat seks sekunder. Selain itu juga menyebabkan diabetes,
sirosis hati, aritmia jantung, gagal jatung, dan perikarditis.
b. Thalassemia Minor
Penderita yang menderita thalasemia minor, hanya sebagai carrier dan hanya menunjukkan
gejala-gejala yang ringan.
BAB III
DISKUSI DAN PEMBAHASAN
A. Patofisiologi Gejala Klinis Pasien
Gejala yang didapat pada pasien berupa gejala umum anemia yaitu: anemis, pucat, mudah
capek, dan adanya penurunan kadar hemoglobin. Hal ini disebabkan oleh penurunan
fungsional hemoglobin dalam menyuplai atau membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh
yang digunakan untuk oksidasi sel. Sehingga oksigenasi ke jaringan berkurang. Selain
sebagai pembawa oksigen, hemoglobin juga sebagai pigmen merah eritrosit sehingga apabila
terjadi penurunan kadar hemoglobin ke jaringan maka jaringan tersebut menjadi pucat.
Penurunan fungsional hemoglobin tersebut dapat disebabkan oleh adanya kelainan
pembentukan hemoglobin, penurunan besi sebagai pengikat oksigen dalam hemoglobin.
Kompensasi tubuh agar suplai oksigen ke jaringan tetap terjaga maka jantung sebagai
pemompa darah berdenyut lebih keras dan sering yang disebut sebagai takikardia di mana hal
ini juga terjadi pada anak tersebut (denyut nadi 120 kali/menit, normal 60-100 kali.menit).
Tetapi frekuensi respirasi pasien dalam tahap normal 24 kali/menit (normal 16-24 kali/menit).
Lemas dan mudah capek disebabkan oleh karena suplai oksigen ke jaringan untuk oksidasi
sel sebagai proses penghasil energy berkurang. Pasien mengalami penurunan kadar
hemoglobin (4,8 g/dl) di mana nilai rujukan normal untuk anak-anak sebesar 10-16 g/dl
(Sutedjo, 2007). Penurunan ini dapat disebabkan oleh adanya kelainan produksi/pembentukan
hemoglobin berupa kelainan susunan asam amino dan kelainan kecepatan sintesis
hemoglobin. Kelainan dua hal tersebut dapat dikategorikan adanya hemoglobinopati.
Kelainan pembentukan hemoglobin tersebut dapat mengakibatkan adanya morfologi eritrosit
abnormal (mikrositik, Heinz bodies, sel target) sehingga dengan cepat akan didestruksi oleh
limpa dan hati. Peristiwa destruksi eritrosit secara cepat kurang dari masa hidupnya (120 hari)
disebut sebagai hemolisis.
Adanya hepatomegali dan splenomegali merupakan salah satu tanda dari anemia hemolitik di
mana disertai adanya penurunan kadar hemoglobin. Pada pasien ditemukan splenomegali
sebesar 1 shuffner (satuan splenomegali yang diukur dengan membuat garis diagonal antara
arcus costarum dengan crista illiaca melewati umbulicus, lalu dari garis tersebut dibagi
menjadi delapan bagian. Satu bagian dinamakan satu shuffner). Splen atau limpa secara
normal bertugas menghancurkan eritrosit tua maupun abnormal sehingga dapat melepaskan
hemoglobin yang akan dimetabolisme menjadi biliribun di hati/hepar, menjadi reservoir
cadangan eritrosit, sintesis limfosit dan sel plasma dalam system imun, dan membentuk
eritrosit baru saat masa janin dan bayi baru lahir. Adanya hemolisis menyebabkan proses
perombakan eritrosit secara cepat. Eritrosit abnormal cepat dihancurkan oleh limpa dan hati
dengan bantuan makrofag sehingga semakin banyak eritrosit abnormal maka kerja limpa
akan semakin berat. Hal inilah yang menyebabkan adanya splenomegali. Selain destruksi
eritrosit di limpa juga terdapat di hati. Selain itu sebagai kompensasi atau umpan balik dari
penurunan kadar hemoglobin akibat oksigenasi ke jaringan kurang merangsang terjadinya
eritropoesis 6-8 kali lipat oleh sumsum tulang. Untuk menunjang dan membantu kerja
sumsum tulang dalam eritropoesis sehingga terbentuk eritropoesis ekstramedular pada limpa
dan hati sehingga merupakan salah satu penyebab hepatosplenomegali. Pada pasien
hemoglobinopati anemia sel sabit tidak ditemukan hepatomegali di mana limpa mengecil
dikarenakan terjadinya infark. Selain itu makrofag di limpa lebih aktif dibandingkan
makrofag pada hati. Penyebab lain hepatomegali pada pasien disebabkan oleh pemberian obat
penambah darah dan penyerapan besi meningkat akibat peningkatan eritropoesis di mana
mengandung preparat besi (sulfas ferrosus) sehingga terjadi penimbunan cadangan besi
berlebih. Padahal hati secara normal berfungsi sebagai sintesis ferritin (simpanan besi) dan
transferin (protein pengikat besi) dan sebagai tempat penyimpanan terbesar cadangan besi
dalam bentuk ferritin dan hemosiderin.
Adanya hepatomegali dan splenomegali pada pasien dapat mengakibatkan penurunan
imunitas tubuh sehingga tubuh rentan terhadap infeksi mikroorganisme. Limpa sebagai
tempat sintesis limfosit dan sel plasma (bahan antibodi) merupakan salah satu pertahanan
imunitas tubuh. Hati sebagai tempat yang sering dilalui mikroorganisme patogenik yang akan
dihancurkan sebelum memasuki saluran gastrointestinal. Kemungkinan pasien mengalami
infeksi dimana terdapat tanda-tanda infeksi pada pasien, yaitu : suhu (38,00C), panas, tonsil
membesar dan kemerahan, dan faring kemerahan. Infeksi ini bisa didapatkan dari
mikroorganisme seperti: malaria, hepatitis, haemophilus, streptococcus, pneumococcus, dll.
Suhu tubuh meningkat dikarenakan adanya metabolisme organ yang berlebihan terhadap
infeksi. Tonsil merupakan salah satu jaringan limfoid yang memproduksi limfosit untuk
pertahanan imunitas tubuh dan akan membesar apabila bekerja berlebihan terhadap suatu
infeksi atau penurunan imunitas lainnya. Infeksi mikroorganisme menyerang saluran
pencernaan salah satu faring sehingga membuat organ tersebut mengalami kemerahan. Gejala
infeksi lainnya pada pasien yaitu batuk pilek.
B. Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien ditemukan hasil pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
- Hb : 4,8 g/dl (Normal: 10-16 g/dl)
- AL : 15.200 µl (Normal: 9.000-12.000 µl)
- AT : 480.000 µl (Normal: 200.000-400.000 µl)
- Hct : 14,8 % (Normal: 33-38 %)
Penurunan kadar hemoglobin (Hb) terjadi pada pasien yang mengalami anemia, penyakit
ginjal, kanker, penyakit Hodgkin, pemberian cairan intravena berlebihan, dan pemberian
obat-obatan. Hal yang paling memungkinkan terjadi pada pasien yaitu adanya anemia yang
didukung oleh tanda dan gejala yang terjadi pada psien yang telah diuraikan di atas.
Leukositosis (leukosit di atas normal) pada pasien kemungkinan disebabkan oleh peningkatan
komponen imunitas leukosit terhadap infeksi. Peningkatan jumlah trombosit (tromobositosis)
kemungkinan diakibatkan oleh pengaruh secara bersamaan pada eritropoesis di mana antara
eritropoesis dan trombopoesis memiliki salah satu factor pemicu yang sama. Penurunan kadar
hematokrit (Hct) pada pasien merupakan salah satu pendukung bahwa pasien mengalami
anemia. Penurunan kadar Hb dan Hct mempengaruhi indeks eritrosit sehingga kemungkinan
adanya eritrosit mikrositik hipokromik pada pasien di mana hal tersebut terjadi pada pasien
anemia defisiensi besi, thalassemia, dan anemia sideroblastik dari segi morfologi eritrosit.
Sehingga dapat disimpulkan dari hasil pemeriksaan hasil laboratorium pasien kemungkinan
terdapat eritrosit mikrositik hipokromik dan adanya infeksi.
C. Penetapan Diagnosis atau Diagnosis Banding
Berdasarkan uraian di atas mengenai tanda, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium
pada pasien, kemungkinan pasien menderita anemia hemolitik pada kelompok
hemoglobinopati. Hemoglobinopati pada pasien kemungkinan menderita thalassemia yang
bersifat herediter di mana pasien memiliki sepupu yang mempunyai sakit yang sama dan
sering mendapat transfusi. Pasien tidak mungkin mengalami anemia sel sabit
(hemoglobinopati struktural) dikarenakan pada anemia sel sabit tidak ada hepatomegali
seperti yang dijelaskan di atas. Sebagai diagnosis banding yaitu anemia hemolitik akibat
infeksi dan hemoglobinopati lainnya selain anemia sel sabit. Untuk melakukan diagnosis
secara pasti untuk thalassemia perlu dilakukan pemeriksaan berupa:
Pemeriksaan Fisik
Secara umum pasien tampak pucat, bentuk muka mongoloid (facies Cooley) atau deformitas
tulang diakibatkan peningkatan eritropoesis dalam sumsum tulang, dapat ditemukan ikterus,
gangguan pertumbuhan, dan hepatosplenomegali yang menyebabkan perut membesar.
Gejala-gejala lain dapat menyertai jika tidak dilakukan penatalaksanaan secepatnya.
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan hematologi rutin
1. Morfologi eritrosit (gambaran darah tepi) – eritrosit hipokromik mikrositik, sel target,
normoblas (eritrosit berinti), polikromasia, bashopilic stipling, Heinz bodies pada β-
thalassemia.
2. Kadar Hb pada thalasemia mayor 3-9 g/dl, thalasemia intermedia 7-10 g/dl
b. Elektroforesis Hb
3. HbF meningkat : 10-98%
4. HbA bisa ada pada β+, bisa tidak ada pada βo
5. HbA2 sangat bervariasi, bisa rendah, normal, atau meningkat
c. Pemeriksaan sumsum tulang
6. Eritropoesis inefektif menyebabkan hiperplasia eritroid yang ditandai dengan peningkatan
cadangan Fe.
d. Uji fragilitas osmotik (darah + larutan salin terbuffer)
7. Pada darah normal 96% eritrosit akan terlisis, sedangkan pada thalasemia eritrosit tidak
terlisis
e. Pengukuran beban besi
8. Pengukuran feritin serum dan feritin plasma sebelum dilakukan transfusi
f. Pemeriksaan pedigree untuk mengetahui apakah orang tua atau saudara pasien merupakan
trait
g. Pemeriksaan molekuler
9. Analisis DNA (Southern blot)
10. Deteksi direct gen mutan
11. Deteksi mutasi dengan probe oligonukleotida sintetik
12. ARMS (mengamplifikasi segmen target mutan)
13. Analisis “globin chain synthesis” dalam retikulosit akan dijumpai sintesis rantai beta
menurun dengan rasio α/β meningkat.
D. Penatalaksanaan dan Pencegahan Pada Pasien
Pada penatalaksanan pada pasien harus melakukan pertimbangan aspek ekonomi, sosial, dan
budaya pasien. Untuk memberikan terapi senantiasa meminta persetujuan dari pasien. Pada
pasien anak tersebut dapat diberikan terapi:
- Transfusi : untuk mempertahankan kadar hb di atas 10 g/dl. Sebelum melakukannya perlu
dilakukan pemeriksaan genotif pasien untuk mencegah terjadi antibody eritrosit. Transfusi
PRC (packed red cell)dengan dosis 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan Hb 1 g/dl.
- Antibiotik : untuk melawan mikroorganisme pada infeksi. Untuk menentukan jenis
antibiotic yang digunakan perlu dilakukan anamnesis lebih lanjut pada pasien.
- Khelasi Besi: untuk mengurangi penimbunan besi berlebihan akibat transfusi. Khelasi besi
dapat berupa: desferoksamin diberikan injeksi subcutan, desferipone (oral), desferrithiochin
(oral), Pyridoxal isonicotinoyl hydrazone (PIH), dll.
- Vitamin B12 dan asam folat : untuk meningkatkan efektivitas fungsional eritropoesis.
- Vitamin C : untuk meningkatkan ekskresi besi. Dosis 100-250 mg/hari selama pemberian
kelasi besi
- Vitamin E : untuk memperpanjang masa hidup eritrosit.Dosis 200-400 IU setiap hari.
- Imunisasi : untuk mencegah infeksi oleh mikroorganisme.
- Splenektomi : limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya terjadinya ruptur. Jika disetujui pasien hal
ini sebaiknya dilakukan setelah anak berumur di atas 5 tahun sehingga tidak terjadi
penurunan drastis imunitas tubuh akibat splenektomi.
Pencegahan thalassemia atau kasus pada pasien ini dapat dilakukan dengan konsultasi pra
nikah untuk mengetahui apakah diantara pasutri ada pembawa gen thalassemia (trait),
amniosentris melihat komposisi kromosom atau analisis DNA untuk melihat abnormalitas
pada rantai globin.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan tanda, gejala klinis, dan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, pasien
kemungkinan menderita thalassemia walaupun penegakan diagnosis secara pasti masih perlu
dilakukan dikarenakan data hasil pemeriksaan penunjang yang mengarah ke thalasemia
kurang lengkap. Diagnosis banding pasien, yaitu : anemia hemolitik akibat infeksi, dan
hemoglobinopati lainnya. Pasien juga mengalami infeksi yang kemungkinan disebabkan oleh
penurunan imunitas tubuh pada hepatosplenomegali pada pasien.Untuk melakukan diagnosis
secara pasti thalassemia diperlukan pemeriksaan penunjang, seperti: elektroforesis Hb.,
gambaran darh tepi, analisis DNA, dll.
B. Saran
1. Sebaiknya orang tua pasien senantiasa memperhatikan anaknya tersebut selain mengurus
kehamilan anak keduanya.
2. Perlu dilakukannya penelusuran pedigree/garis keturunan untuk mengetahui adanya sifat
pembawa thalassemia pada keluarga pasien.
3. Sebaiknya calon pasutri sebelum nikah melakukan konsultasi untuk menghindari adanya
penyakit keturunan.herediter, seperti pada thalassemia.
4. Sebaiknya skenario dilengkapi data-data hasil pemeriksaan laboratorium yang lengkap
sehingga memudahkan mahasiswa dalam menetapkan diagnosis pada skenario.
5. Perlu dilakukannya upaya promotif dan preventif terhadap thalassemia kepada masyarakat
luas yang dilakukan oleh pelayan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I Made. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC.
Cohen, Alan R, et al., 2004. Hematology: Thalassemia. New York: American Society of
Hematology.
Dorland, W.A.Newman.2002.Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C dan John E Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC.
Hadisuparto, Yuwono. 2007. Eritrosit dan Hemoglobin. Disajikan dalam kuliah Patologi
Klinik Semester IV tahun akademik 2006/2007 FK UNS.
Hardjasasmita, Pantjita. 2006. Ikhtisar Biokimia Dasar B. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Hoffbrand, A.V., et al. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Sacher, Ronald A; Richard A.M. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV.Jakarta: Pusat
Penerbit Departemen IPD FKUI.
Sutedjo, A.Y. 2007. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books.
Suyono, Slamet. 2001. Kapita Selekta Biologi Molekuler. Jakarta: Widya Medika.
Tim Penyusun. 2007. Buku Pedoman Mahasiswa: Blok IV Hematologi. Surakarta: Unit
Pengembangan Pendidikan FK UNS.
Widmann, Frances K. 1995. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 9.
Terj. : Gandasoebroto, et al. Jakarta: EGC.