Tesis Peran Zakat Sebagai PAD

download Tesis Peran Zakat Sebagai PAD

of 71

Transcript of Tesis Peran Zakat Sebagai PAD

Peran Zakat Sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD)

PERANAN BAITUL MAL SEBAGAI BADAN PENGELOLA ZAKAT DALAM UPAYA MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 (Studi Pada Baitul Mal Kota Banda Aceh)

Dilema Zakat sebagai PAD di AcehJum'at, 11 Maret 2011

Oleh: Sayed Muhammad Husen Kisah awal zakat sebagai bagian dari PAD (Pendapatan Asli Daerah) di Aceh, termuat dalam UU Nomor 18/2001 tentang Otsus NAD. Selanjutnya dimuat lagi dalam Pasal 180 UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Ketentuan ini tak dikenal di daerah lain di seluruh Indonesia. Masalah pun muncul. Dalam setiap pemeriksaan BPK atau Inspektorat, zakat sebagai PAD tetap dipersoalkan, apakah ketentuan tersebut telah diimplementasikan oleh Baitul Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) se Aceh. Menurut Ketua Dewan Pertimbangan Syariah (DPS) BMA, Prof DR Al Yasa Abubakar MA, ketentuan zakat sebagai PAD sebagai pelengkap ketentuan zakat dapat mengurangi pajak penghasilan terhutang (Pasal 192 UUPA). Jika zakat telah diakui sebagai pengurang pajak dan itu artinya pendapatan negara/dearah berkurang, maka penyeimbangnya berupa pemasukan dana negara dalam bentuk zakat sebagai PAD. Dalam implementasinya, tentu, bisa memunculkan masalah, sebab zakat sebagai PAD masih harus dikecualikan dari ketentuan keuangan yang ada. Pada satu sisi pengelolaan zakat sebagai syariat Islam harus tetap independen dan mematuhi ketentuan syariat. Zakat harus disalurkan kepada delapan asnaf. Pada sisi lain, harus pula memperhatikan ketentuan keuangan PAD. Mematuhi regulasi dan prosesur keuangan daerah. Di antara masalah yang muncul, misalnya kabupatan/kota tertentu diharuskan menender penyaluran dana zakat untuk pembelian becak mesin kepada mustahik (penerima zakat); zakat yang dicairkan dari dari Bendara Umum Daerah (BUD) diperlakukan sebagai dana hibah; zakat yang disetor tak bisa ditarik ditarik seruhnya; zakat yang ditarik dari BUD bukan dari sumber zakat, tapi sumber lainnya; penarikan zakat mesti menunggu pengesahan APBD yang seringkali terlambat; dan beberapa masalah lainnya. Lebih tragis lagi, karena dianggap tak patuh terhadap ketentuan zakat sebagai PAD, Kepala BMA 2005-2010, Drs H Amrullah, sempat diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Aceh (2010). Beberapa BMK juga secara terburu-buru menyetor zakat sebagai PAD, tanpa menuggu aturan operasional, misalnya Perbub/Perwalkot tentang Tata Cara Penyetoran dan Penarikan Zakat pada BUD, akibat tekanan BPK atau inspektorat. Dalam beberapa kesempatan sosialisasi juga muncul gugatan dari kalangan ulama, mengapa zakat harus dicatat dulu sebagai PAD. Apakah dengan begitu, zakat yang suci tak akan bercampur dengan sumber PAD lainnya yang kadang masih syubhat. Bagaimana pula BMA dan BMK mengatur likuiditas zakat, sebab mekanisme pencairan dana zakat yang sangat birokratik. Bahkan, pernah Ketua PW NU Aceh, Tgk H Faisal Ali meminta ketetuan zakat sebagai PAD diamandemen. Sebagai solusi terhadap kesemrautan zakat sebagai PAD, maka Pergub Nomor 55/2010 tentang Tata Cara Penyotoran dan Pencairan Zakat pada Bendahara Umum Daerah, telah memberikan beberapa perlakukan khusus, misalnya, zakat dapat dicairkan sebelum APBD disahkan; zakat yang melebihi target pendapatan dapat ditarik seluruhnya; penarikan zakat mengacu kepada data-data terakhir yang disahkan DPS; sisa zakat tahun lalu dapat ditarik

pada tahun berikutnya; pertanggungjawaban zakat tak mengacu pada tahun anggaran; zakat dikelola oleh Badan Pelaksana BMA, walaupun telah dibentuk Sekretariat sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dan, beberapa pengucualian lainnya dari aturan keuangan yang berlaku secara nasional. Memang, ketentuan zakat sebagai PAD pada tingkat kabupaten/kota di seluruh Aceh, masih harus tindaklanjuti dengan pengesahan Perbub/Perwalkot. Untuk itulah diperlukan sikap proaktif dan kesungguhan BMK dalam mengurusnya. Sebab, membiarkan hal ini berlarut-larut dapat berakibat pada tercemarnya kesucian zakat sebagai syariat Islam. Penulis relawan zakat, kini tinggal di Aceh

Zakat Dalam UU Pemerintahan AcehOleh Hendra Saputra, MA Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan Undang-undang yang sangat spesial bagi masyarakat Aceh. Lahirnya Undang-undang ini punya latar belakang yang panjang dan punya sejarah tersendiri. Lahirnya undang-undang ini diharapkan menjadi solusi dalam tegaknya perdamaian di Bumi Serambi Mekkah yang telah lama mencekam dan seram akibat konflik. Disamping itu, faktor lain yang melatar belakangi lahirnya Undang-undang ini salah satunya ialah semangat dalam mengimplementasikan syariat Islam secara kaffah di Aceh. Zakat merupakan salah satu bagian dari pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Dalam UUPA, terdapat tiga pasal yang berkaitan dengan zakat, adalah sebagai berikut: Pasal 180 ayat (1) huruf d menyebutkan: Zakat merupakan salah satu sumber Penerimaan Daerah (PAD) Aceh dan PAD Kabupaten/Kota Pasal 191 menyebutkan: Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dalam Qanun lalu Pasal 192 menyebutkan: Zakat yang dibayar menjadi pengurang terhadap jumlah Pajak Penghasilan (PPh) terhutang dari wajib pajak.Derefasi ketiga pasal tersebut di atas, telah diatur dalam qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. Ketiga pasal sebagaimana telah diuraikan di atas, menegaskan bahwa zakat bukan hanya kewajiban syariah semata, melainkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh negara. Dengan demikian, pemerintah dapat memaksa warga negara untuk menunaikan zakat, hal ini semakin jelas dengan masuknya zakat sebagai salah satu PAD. Berbagai alasan dapat saja dikemukakan agar terhindar dari kewajiban zakat, namun pemerintah dapat menyelesaikan dan mengambil tindakan tegas dengan menggunakan peraturan yang ada, dengan tidak mengabaikan aturan yang telah ditetapkan syariah. Pemaksaan untuk membayar zakat oleh pemerintah muncul pertama kali pada masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq. Pada saat itu, khalifah menyatakan perang terhadap Kabilah Abs dan Zubyan yang membangkang untuk menunaikan zakat. Kemudian setelah itu, tidak muncul lagi masalah pembangkangan zakat, namun lebih cendrung kepada pengelolaannya. Kegemilangan pengelolaan zakat mencapai puncaknya pada masa Khalifah Umar ibn Abdul Azis, dimana pada masa itu tidak didapati seorang pun mustahiq, sehingga dana zakat digunakan untuk membiayai pernikahan bagi pemuda/i yang tidak memiliki biaya untuk melangsungkan pernikahan. Masuknya zakat dalam UUPA, kiranya secara perlahan Pemerintah Aceh dapat mengulang masa kegemilangan pengelolaan zakat sebagaimana pada masa khalifah, hanya saja sekarang diperlukan keberanian, ketegasan dan keseriusan. Bahkan untuk nama lembaganya pun sama seperti pada masa khalifah yaitu Baitul Mal yang mempunyai sejarah tersendiri dalam perjuangan Islam. Kemudian, untuk kewajiban zakat dalam UUPA, Aceh diberikan keistimewaan daripada Provinsi lainnya di Indonesia, yaitu Zakat yang dibayar menjadi pengurang terhadap jumlah Pajak Penghasilan (PPh) terhutang dari wajib pajak. Sebagaimana terdapat dalam pasal 192. Saat ini, BAZNAS, Forum Zakat (FOZ) dan lembaga zakat lainnya sedang berjuang untuk revisi UU

No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, mereka menginginkan zakat yang dibayarkan sama seperti yang terdapat di dalam UUPA. Sementara, Aceh sejak disahkan UUPA pada tahun 2006 lalu, sampai saat sekarang belum dapat diimplementasikan. Masyarakat Aceh terus bertanya-tanya dan sedih mengapa UU yang telah ditetapkan, belum bisa dijalankan. Pemerintah Aceh berupaya untuk mengimplementasikan pasal 192 ini, namun mendapat penolakan dari Departemen Keuangan/DIRJEN Pajak, dengan alasan pajak penghasilan diatur secara tersendiri dalam UU No. 7 Tahun 1983 yang terakhir dirubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 yang berlaku secara nasional dan mengikat siapapun tanpa kecuali. Padahal UUPA merupakan UU yang berlaku azas Leg Spesialis, yang hanya berlaku untuk Aceh. Permasalahan ini secara perlahan sepertinya mulai redup, bahkan dalam beberapa pertemuan yang membahas tentang Implementasi UUPA, pasal ini nyaris saja luput dalam pembahasan. Bila terus terjadi, maka dapat dipastikan pasal ini hanya akan menjadi hiasan atau pajangan dalam UUPA semata, tanpa ada implementasi. Semangat untuk menjalankan syariat Islam dengan dukungan UUPA yang merupakan UU yang sangat spesial bagi masyarakat Aceh, sepertinya hanya akan menjadi dongeng belaka tanpa ada keikhlasan dari Pemerintah Pusat dan keseriusan dari Pemerintah Aceh untuk mengimplementasikan pasal-pasal dalam UUPA yang berkaitan dengan syariat Islam, termasuk masalah zakat. Sekiranya masyarakat Aceh secara bersama-sama mendorong dan berdoa, agar aparatur di Pemerintah Pusat dapat terbuka hatinya untuk mencermati kembali pasal 192 UUPA ini, agar kekhususan yang terdapat dalam UUPA ini dapat dirasakan. Kepada Pemerintah Aceh kiranya dapat lebih giat untuk memperjuangkan pasal ini kepada Pemerintah Pusat agar dapat diimplementasikan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat. Wallahu alam bi ash shawaf. Penulis, amil Baitul Mal Aceh SUMBER : http://www.gemabaiturrahman.com/2010/05/zakat-dalam-uu-pa.html

Intensifikasi Zakat Sebagai PADApril 1, 2011 tags: apba, apbd, PAD, Sayed Muhammad Husen, zakat oleh syukriy Sayed Muhammad Husen Satu dari 18 catatan DPR Aceh terhadap realisasi APBA 2007 adalah, supaya Pemerintah Aceh meningkatkan PAD dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi zakat (Kontras, 17/12/ 2008). Catatan ini cukup beralasan, mengingat ketentuan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) Pasal 180, bahwa zakat merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Aceh dan Pendapatan Asli Kabupaten/Kota. Pertanyaanya, bagaimana PAD zakat ini dapat ditingkatkan? Benarkah potensi zakat cukup besar di Aceh? Mengapa PAD zakat belum signifikan? Mengapa pula Baitul Mal sebagai otoritas pengumpulan zakat belum bekerja maksimal dalam mendongkrak pendapatan zakat? Apa pula kendala yang dihadapi Baitul Mal dalam meningkatkan kinerjanya? Peningkatan penghimpunan zakat sebagai PAD terkait erat dengan kebijakan pemerintah (provinsi dan kabupaten/kota) terhadap regulasi dan manajemen Baitul Mal. Dari segi regulasi, memang, ketentuan Pasal 180 UUPA dapat menjadi dasar yang kuat. Regulasi ini telah dilengkapi dengan Qanun No 10/2007 tentang Baitul Mal, Permendagri tentang Sekretariat Baitul Mal dan Lembaga Keistimewaan Aceh lainnya (MPU, MAA dan MPD), Pergub tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat dan Pergub tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal Aceh. Saya mendapatkan informasi, masalah mendasar yang dirasakan Baitul Mal tingkat provinsi dan kabupaten/kota adalah, belum mendukungnya manejemen kelembagaan untuk meningkatkan pendapatan zakat. Hal ini dapat dimaklumi, Baitul Mal Aceh baru beroperasi Januari 2004, sementara Baitul Mal Kabupaten/Kota rata-rata baru beroperasi 2006. Ada Baitul Mal Kabupaten/Kota yang baru diresmikan 2008 (Sabang dan Tamiang). Bahkan, Pemerintah Kabupaten Pidie Jaya dan Kota Sabulussalam hingga Januari 2009 belum membetuk Baitul Mal. Menurut Kepala Baitul Mal Aceh, Amrullah, dari potensi yang ada bisa saja Baitul Mal mengumpul zakat hingga mencapai Rp 1 trilyun. Sumber zakat ini berasal dari berbagai jenis zakat susuai ketentuan Qanun Baitul Mal mencakup zakat fitrah, penghasilan/pendapatan dan jasa, emas, uang, perdagangan, perusahaan, perindustrian, pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, pertambangan, dan rikaz. Menurut ketentuan qanun, yang termasuk PAD hanya zakat yang dipungut oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota. Tidak termasuk zakat mal dan zakat fitrah yang dihimpun oleh Baitul Mal Gampong. Karena itu, potensi Rp 1 trilyun tak seluruhnya menjadi PAD. Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota tahun 2007 baru berhasil mengumpulkan zakat Rp 38 milyar/tahun (Data Baitul Mal Directory 2007). Diperkirakan 2008 meningkat hingga 43 milyar (datanya sedang dikumpulkan). Sementara Baitul Mal Aceh saja baru berhasil menghimpun zakat Rp 3 milyar/tahun. Zakat fitrah dan zakat mal yang dihimpun

Baitul Mal Gampong belum ada datanya, walaupun secara formal 30% Baitul Mal Gampong telah terbentuk. Jadi, untuk dapat meningkatkan penghimpunan zakat sebagai PAD diperlukan langkahlangkah konkret, antara lain: Pertama, perlunya penyamaan persepsi pemerintah dan legislatif terhadap regulasi zakat di Aceh. Kenyataan selama ini, baru sebagian saja pemerintah dan DPRK yang menganggap penting penghimpunan zakat sebagai PAD. Zakat baru dipahami sebagai bagian syariat Islam, belum menjadi otoritas negara. Di tingkat provinsi pun, persepsi ini belum sama, sehingga sinerjisitas antara Baitul Mal Aceh, Sekretariat Daerah dan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh belum terwujud. Kedua, perlu segera dituntaskan kerancuan pemahaman terhadap ketentuan Pasal 192 UUPA tentang zakat dapat mengurangi pajak penghasilan. Memang, menurut Amrullah, Pemerintah Aceh pernah menyurati Dirjen Pajak untuk dapat mengeluarkan keputusan supaya ketentuan ini dapat dilaksanakan. Hanya saja, secara tertulis Dirjen Pajak mengatakan, ketentuan tersebut tak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan UU Pajak Penghasilan. Untuk ini, diperlukan advokasi yang tuntas oleh Pemerintah Aceh, dengan cara meminta fatwa Mahkamah Agung atau judicial review melalui Mahkamah Konstitusi. Ketiga, menjadikan Baitul Mal sebagai amil profesional. Ini adalah hal mendesak harus dipenuhi dalam waktu dekat. Lima tahun kiprah Baitul Mal Aceh sudah cukup untuk memproklamirkan diri sebagai sebuah badan amil profesional. Demikian juga Baitul Mal Kabupaten/Kota. Pimpinan dan karyawan harus direkrut berdasarkan kualifikasi dan kompetensi yang memadai. Profesionalisme Baitul Mal dapat diwujudkan melalui pembenahan sistem menajemen, akuntansi, merketing/fundraising, teknologi informasi, kualitas SDM dan fasilitasi biaya operasional dengan dana ABBD/APBK. Selain upaya di atas, saya juga menganggap penting pembudayaan zakat melalui pendidikan dan sosialisasi terpadu dan berkelanjutan. Saatnya penghimpunan zakat tidak hanya terfokus pada zakat penghasilan PNS dan kaum profesional saja, tapi patut dipikirkan strategi jangka panjang dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran umat terhadap kewajiban berzakat. Semoga zakat sebagai PAD dapat diintensifkan 2009 ini sebagaimana harapan DPRA, sehingga zakat menjadi solusi bagi pemberdayaan ekonomi dan sosial keislaman masyarakat Aceh. Sumber: http://www.sayedmuhammadhusen.blogspot.com/

Ketentuan Pidana Zakat di AcehOleh Sayed Muhammad Husen Zakat dan pengelolaannya di Aceh, selain merupakan ketentuan syariat Islam, telah pula menjadi hukum positif. Sebab zakat dan pengelolaannya diatur dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. Zakat sebagai hukum positif mengikat muzakki (wajib zakat) dan mengatur amil sebagai pemegang otoritas manajemen zakat. UUPA pasal 191 memberi kewenangan pengelolaan zakat kepada Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal kabupaten/kota dalam provinsi Aceh, yang selanjutnya diatur dengan Qanun Aceh. Pasal 192 UUPA menjadi landasan zakat sebagai pengurang pajak penghasilan dan pasal 180 menetapkan zakat sebagai salah satu PAD (Pendapatan Asli Daerah). Karena itu, zakat di Aceh dikelola oleh negara (pemerintah). Tak diberi ruang lagi pihak swasta menjadi amil zakat. Pasal 21 ayat (1) Qanun 10/2007 menetapkan, Setiap orang yang beragama Islam atau badan yang dimiliki oleh orang Islam dan berdomisili dan/atau melakukan kegiatan usaha di Aceh yang memenuhi syarat sebagai muzakki menunaikan zakat melalui Baitul Mal setempat. Qanun juga telah menetapkan wilayah kerja masing-masing tingkatan Baitu Mal: Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Kab/Kota, Baitul Mal Kemukiman (pemerintahan setingkat di bawah kecamatan) dan Baitul Mal Gampong/Desa. Sementara jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakat, disebutkan dalam Pasal 18 Qanun 10/2007, yaitu: zakat emas, perak, logam mulia lainnya dan uang; zakat perdagangan dan perusahaan; zakat perindustrian; zakat pertanian, zakat perkebunan dan perikanan; zakat peternakan; zakat pertambangan; zakat pendapatan dan jasa; dan zakat rikaz. Ketentuan pidana Lebih lanjut, terhadap pelanggar zakat di Aceh, dikenakan pidana seperti diatur dalam pasal 50, bahwa setiap muzakki (orang Islam atau badan) yang tidak melaksanakan kewajibannya, dihukum karena melakukan jarimah tazir (hukuman denda) dengan uqubat (pidana), berupa denda paling sedikit satu kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling banyak dua kali nilai zakat yang wajib dibayarkan. Bagi perusahaan yang memerlukan audit khusus oleh Baitul Mal, wajib membayar seluruh biaya yang diperlukan. Qanun 10/2007 juga menetapkan pidana bagi yang membuat surat palsu atau memalsukan surat Baitul Mal yang dapat mengakibatkan gugurnya kewajiban membayar zakat, yaitu dihukum dengan uqubat tazir berupa denda paling banyak Rp 3 juta, paling sedikit Rp 1 juta atau hukuman kurungan paling lama tiga bulan atau paling sedikit satu bulan. Kemudian, siapa yang melakukan, turut melakukan atau membantu melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya, yang seharusnya diserahkan pengelolaannya kepada Baitul Mal, dihukum berupa cambuk di depan umum paling sedikit satu kali, paling banyak tiga kali, dan denda paling sedikit satu kali, paling banyak dua kali dari nilai zakat, waqaf dan harta agama yang digelapkan. Amil (petugas Baitul Mal) yang mengelola zakat fitrah dan zakat mal pada Baitu Mal Gampong dan

nazir waqaf, yang melakuklan penyelewengan pengelolaan zakat dan harta agama dihukum uqubat tazir berupa denda Rp 1 juta, paling banyak Rp 3 juta atau hukuman kurungan paling singkat dua bulan atau paling lama enam bulan dan membayar kembali kepada Baitul Mal senilai zakat atau harta gama yang diselewengkan. Sementara jika pelanggaran atau penyelewengan dilakukan oleh badan (perusahaan, PT, CV dan koperasi dan yayasan sebagai wajib zakat) uqubatnya dijatuhkan kepada pimpinan atau pengurus badan tersebut, sesuai dengan tanggungjawabnya. Qanun 10/2007 pasal 45-49 telah pula mengatur tentang mekanisme penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran zakat dan pengelolaannya di Aceh, sehingga Baitul Mal dapat melaporkan kepada polisi muzakki yang ingkar zakat dan amil yang melakukan penyimpangan zakat dan harta agama. Selanjutnya diadili oleh Mahkamah Syariyah. Demikian ketentuan pidana Islam tentang zakat dan pengelolaannya di Aceh, yang telah diatur dalam Qanun 10/2007, sebagai implementsai syariat Islam kaffah. Ketentuan pidana ini lebih maju dibandingkan pengaturan dalam UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang hanya memberi sanksi kepada amil yang melakukan penyimpangan. Semoga dengan ketentuan pidana ini kesadaran muzakki akan terus meningkat dan amil pun lebih amanah dan profesional. Zakat semakin dirasakan manfaatnya dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan pembebasan sosial di negeri ini. Sumber: http://www.hidayatullah.com/read/18599/24/08/2011/ketentuan-pidana-zakat-di-aceh.html

Kajian Zakat di KampusOleh Sayed Muhammad Husen

Dalam lima tahun terakhir kajian tentang zakat di kampus perguruan tinggi semakin diminati. Demikian sekilas amatan saya dan berinteraksi langsung dengan beberapa aktivitas kajian dan penelitian tentang zakat. Indikator yang ada menunjukkan dosen dan mahasiswa Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry semakin meminati kajian zakat. Yang terbaru, tim dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah meneliti tentang desain organisasi, akuntansi dan transparansi pengelolaan zakat pada Baitul Mal Aceh (BMA). Dosen fakultas hukum meneliti implementasi zakat sebagai PAD. Saya sendiri mendapat amanah mengajar mata kuliah Perundang-undangan Zakat pada Fakultas Syariah (2004), kemudian hingga sekarang mengajar mata kuliah Manajemen Zakat, Infaq dan Shadaqah Fakultas Dakwah dan mata kuliah Perundang-undangan Waqaf, Zakat dan Baitul Mal Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Aceh. Fakta lain menarik kita simak, hampir setiap bulan ada saja mahasiswa konsultasi untuk menulis skipsi dan tugas mata kuliah ke BMA. Ada juga yang magang atau praktek kerja, seperti dari D3 Akuntansi Unsyiah, D3 Perbankan Syariah IAIN Ar-Raniry dan STAIN Malikussaleh. Puluhan orang telah menyelesaikan laporan, skripsi, tesis dan desertasi dengan obyek penelitian BMA. Belum lagi yang di Baitul Mal Kab/Kota (BMK). Para amil BMA juga mendapatkan informasi dari interaksi pribadi dan forum diskusi/seminar yang dihadirinya, bahwa mahasiswa dan dosen semakin sering membahas tema-tema zakat dan baitul mal. Pembahasan itu dilakukan dalam kuliah maupun secara informal dalam obrolan warung kopi. Tentu pembahasannya ada yang positif, ada yang begatif. Ada yang mendukung gerakan zakat di bawah lokomotif baitul mal, ada pula yang mengkritisinya. Maraknya kajian zakat dikalangan intektual tak terlepas dari iklim yang kondusif, yaitu formalisasi syariat Islam di Aceh sejak 2002. Salah satu agenda pelaksanaan syariat Islam kaffah adalah pembentukan baitu mal. Badan amil resmi ini berwenang mengelola zakat, waqaf dan harta agama lainnya. Maka dikeluarkanlah SK Gubernur Nomor 18/2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal, sebagai dasar hukum pembentukan Baitul Mal Aceh. BMA (ketika itu bernama Badan Baitul Mal Provinsi NAD) mulai beroperasi secara resmi pada 12 Januari 2004, ditadai dengan pelantikan Kepala BMA (Drs HM Yusuf Hasan SH) dan Wakil Kepala (Drs H Nurdin AR) oleh Gubernur Aceh, Abdullah Puteh. Saya memahami gairah dosen dan mahasiswa menulis atau meneliti tentang zakat, telah memberikan kontrubsi cukup berarti bagi gerakan zakat di Aceh. Gerakan zakat mencakup sosialisasi, edukasi, regulasi dan menajemen yang baik. Sementara kontribusi yang diberikan kalangan kampus lebih bersifat sosialisasi dan edukasi spontan dan swadaya. Baitul Mal tak perlu mengeluarkan biaya, kecuali dalam bentuk sponsorship penelitian. Kajian zakat di kampus semakin pentingnya maknanya jika terus berkembang hingga ke perguruan tingga swasta di seluruh Aceh. Untuk ini, baitul mal perlu mendorong kaum intektelual mengkaji, meneliti dan menulis tentang zakat dengan cara mengintensifkan kampanye zakat, waqaf dan harta agama lainya di kampus-kampus seluruh Aceh. Kampanye dapat dilakukan dalam dilakukan dalam bentuk seminar, diskusi, warkshop atau sayembara menulis. Bisa juga mensponsori penelitian zakat. Salah satu issue zakat yang dianggap menarik menjadi tema kajian di kampus adalah zakat produktif, yaitu bagaimana mendayagunakan zakat sebagai modal usaha dan memberdayakan ekonomi kaum

dhuafa. Hal ini didukung oleh tesis dan disertasi tentang zakat produktif oleh Hendra Saputra MA dan Dr Armiadi Musa MA. Bahkan, Shafwan Bendadeh juga sedang menulis tesis serupa: pengelolaan zakat produktif oleh BMA. Atau, bisa juga tema bagaimana mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial dengan dana zakat. Percayalah, tema zakat tak akan kering dari inspirasi, apalagi jika dilihat dari perspektif delapan asnaf zakat. Sungguh zakat tetap menjadi kajian menarik di perguruan tinggi dan juga di dalam masyarakat.

Zakat Produktif: Memberdayakan Ekonomi Kaum MiskinOleh: Sayed Muhammad Husen

Istilah zakat produktif dapat ditemui dalam UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Istilah ini dimaksudkan, sebagian dana zakat dapat disalurkan dengan pola produktif, selain disalurkan dalam bentuk konsumtif. Zakat menjadi sumber dana pemberdayaan ekonomi fakir miskin. Qanun Aceh No 10/2008 tentang Baitul Mal juga menganut prinsip ini, bahwa zakat di Aceh dapat disalurkan dalam bentuk produktif di antaranya pemberian modal usaha kepada fakir miskin. Dengan ketentuan ini, maka zakat produktif telah menjadi fikih negara, artinya, perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang boleh tidaknya penyaluran zakat dalam bentuk bergulir atau diproduktifkan telah berakhir dengan adanya ketentuan UU dan qanun. Baitul Mal atau lembaga zakat lainnya menjadikan regulasi ini sebagai pedoman operasional dalam mendayagunakan zakat.

Sebelum UU dan qanun zakat disahkan, sejak awal tahun 80-an pekerja ekonomi kerakyatan syariah di Indonesia telah mengembangkan konsep lembaga keuangan mikro syariah (LKMS) baitul mal wat tamwil (BMT) atau di Aceh dikenal dengan baitul qiradh. Sebagian dana yang dihimpun dan didayagunakan LKMS ini juga berasal dari sumber zakat, infaq dan sedekah (ZIS). Hanya saja, waktu itu belum ada regulasi negara.

BMT menyalurkan dana yang bersumber dari zakat kepada nasabah/anggota yang baru memulai usaha (wirausaha baru) dan kepada yang usahanya gagal. BMT merasa bertanggungjawab terhadap nasabah yang gagal dan mendukungnya untuk bangkit kembali dengan menyuntikkan dana segar dari sumber zakat. Dengan dana ini nasabah tidak lagi terbebani bagi hasil/margin.

Zakat produktif pernah disalurkan dalam jumlah terbatas oleh Badan Amil Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) di Aceh (1993-2003). Hanya saja, penyalurannya belum menggunakan prinsip-prinsip pendampingan dan dalam jumlah dana yang terbatas. Karena, BAZIS belum mampu menghimpun dana dalam jumlah besar.

Pengalaman Baitul Mal Aceh (BMA) yang beroperasi 13 Januari 2004 sejak awal telah menyiapkan Program Zakat Produktif (PZP) dengan melatih pengelola dan pendamping lapangan. Pengelola PZP dilatih oleh Pinbuk Aceh dengan menggali pengalaman teman-teman pekerja baitul qiradh di Aceh yang telah merasakan asam garam dalam mengentaskan kemiskinan melalui LKMS (mulai 1995).

Dalam rangka rehabilitasi Aceh pasca tsunami, BMA menyalurkan zakat produktif melalui kerjasama dengan BPRS Hareukat, BPRS Baiturrahman dan BPRS Hikmah Wakilah. Program ini tidak berlangsung lama, karena BMA ingin mengganti formula penyaluran modal usaha tanpa bagi hasil/margin dengan pola qardhul hasan (tanpa bagi hasil dan margin). Pola ini sangat mungkin dilakukan, karena BMA mendapatkan dana operasional dari APBA.

Sejak 2006 hingga sekarang, BMA menyalurkan zakat produktif melalui badan otonom yang khusus dibentuk yaitu UPZP (Unit Pengelola Zakat Produktif). Unit ini dipimpin oleh seorang manajer, ditambah tenaga administrasi/pembukaan, dan pendamping lapangan. Mereka telah mendapatkan pembekalan dari praktisi zakat, pegiat ekonomi kerakyatan dan pekerja baitul qiradh di Banda Aceh dan Jakarta.

BMA menyalurkan zakat produktif kepada tiga sektor: pertama, peternakan sapi dan kambing; kedua, petani sayur dan holtikultura; dan ketiga, usaha mikro di pasar-pasar tradisional di Banda Aceh dan Aceh. Hingga kini telah membina hampir 500 mustahik dengan total dana bergulir Rp 2 milyar. Mereka menerima modal usaha Rp 500 ribu hingga Rp 5 juta.

Penerima zakat produktif harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan UPZP antara lain: berasal dari keluarga miskin; punya potensi wirausaha atau pengalaman awal bertani/ternak; komitmen mengembalikan dana dalam periode satu tahun; bersedia mengikuti pengajian bulanan; dan mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati dalam kelompok dampingan, termasuk bersedia menanda-tangani perjanjian kerjasama.

Dalam melakukan pendataan, pendamping UPZP menggunakan sistem jemput bola. Calon mustahik didatangai ke lokasi masing-masing untuk diwawancarai dan verifikasi. Demikian juga cicilan angsuran setiap bulan dijemput ke lokasi, saat pengajian bulanan berlangsung di masjid/meunasah sekitar lokasi dampingan UPZP. Bahkan, pernah terjadi pengajian bulanan berlangsung di gubuk lokasi petani cabai.

Penerima zakat produktif dilanjutkan pinjamannya setelah lunas. Namun, tidak dilanjutkan lagi bagi yang tidak punya itikad baik. Misalnya tidak disiplin dalam mengangsur pinjaman dan mengikuti pengajian bulanan. Bagi yang gagal akibat musibah atau hal-hal yang tidak disengaja akan ditambah dengan santunan zakat konsumtif dan tidak perlu dikembalikan. Diberikan juga zakat konsumtif dan peralatan kerja bagi petani sayur/hortikultura sambil menuggu hasil panen/produksi.

Sebelum zakat produktif disalurkan, dilakukan sosialisasi supaya mustahik dapat memahami maksud dan tujuan program, termasuk memahami filosofi zakat produktif dan mengapa pengajian bulanan menjadi penting. Sosialisasi juga diakukan kepada masyarakat sekitar lokasi dan masyarakat luas tentang ketentuan fikih dan regulasi zakat produktif di Aceh. Telah pula dilakukan penyamaan persepsi soal zakat produktif ini bagi amil zakat/karyawan baitul mal seluruh Aceh.

Dari hasil evaluasi pengelola UPZP, 20% dari musthik memang bermasalah, misalnya tidak disiplin mencicil pinjaman, bahkan ada yang macet; tidak rutin mengikuti pengajian bulanan; menganggap zakat produktif tidak perlu dikembalikan; tidak jujur dan amanah; dan sebagian lagi gagal usaha karena belum berpengalaman, faktor cuaca/alam, dan pilihan usaha yang tidak tepat.

Pengembangan Selain Baitul Mal Aceh, Baitul Mal Kabupaten/Kota seluruh Aceh juga melakukan program serupa. Telah ada keputusan bersama antar baitul mal se Aceh untuk menyalurkan zakat produktif 40% dari senif miskin. Untuk pengelolaannya dibentuk UPZP di level kabupaten/kota.

Pengembangan zakat produktif untuk memberdayakan ekonomi kaum miskin ini terjadi perkembangan yang cepat. Sebab, selain zakat produktif juga dapat disalurkan infaq produktif yang sifatnya lebih longgar dari segi fikih. Infaq produktif adalah sejumlah dana yang dihimpun baitul mal dari pengusaha rekanan pemerintah. Setiap pengusaha yang mencairkan dana proyek di kas daerah dipungut infaq 0,5% dari total nilai proyek.

Selain BMA, di antara BMK yang telah mengembangakan infak produktif yaitu Baitul Mal Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara dan Abdya. Kabupaten yang terakhir ini malah lebih maju lagi dengan gagasan pengembangan kebun kelapa sawit dan memproduktifkan sebagian anggaran gampong melalui Baitul Mal Gampong (BMG).

Selain mengoptimalkan zakat produktif, sedang dikaji kemungkinan mengelola infak dan sumber dana lainnya dengan pola komersial. Sehingga, baitul mal dapat berperan ganda: fungsi sosial dan fungsi komersial. Fungsi sosial dilakukan dengan optimaliasi zakat, sementara fungsi komersial melalui pendayagunaan dana infak.

Refleksi Zakat produktif diyakini dapat menjadi alternatif sumber dana pemberdayaan ekonomi kaum miskin. Masalahnya sangat tergantung pada kemampuan baitul mal dalam menghimpun, mengelola dan mendayagunakan dana zakat. Baitul Mal dituntut memperkuat kelembagaan, meningkatkan kulitas SDM pengelola (amil) dan melengkapi regulasi yang diperlukan.

Bahkan, untuk jangka panjang, BMG dapat diperankan sebagai satu institusi pemberdayaan ekonomi rakyat. Berbagai program pemberdyaan ekonomi rakyat yang selama ini berlangsung di tingkat paling bawah (gampong) dapat diintegrasikan kepada BMG sebagai satu lembaga yang bekerja secara profesional dan bekelanjutan. Keunggulan baitul mal karena mengembangkan eknonomi kaum miskin dengan mengggunakan pola ekonomi syariah.

Kita mengharapkan, pemberdayaan ekonomi kaum miskin dengan menggunakan dana zakat produktif menjadi satu model pemberdayaan ekonomi yang dapat dikembangkan di seluruh pelosok Aceh.

Selain bentuk memerangi kemiskinan, upaya ini menjadi bagian dari implementasi syariat Islam di bidang ekonomi. Untuk ini, BMA dan BMK menjadi faktor penentu, apakah proram ini dapat dilaksanakan berkelanjutan dengan manajemen yang profesional? Semoga para amil yang telah mengikrarkan diri kebekerja demi perbaikan nasip kaum miskin, dapat terus menerus menginstal energi jihadnya bagi pembebasan kaum miskin dari jeratan kemiskinan.

Pendayagunaan Zakat FitrahOleh Sayed Muhammad Husen Pada umumnya muslimin Aceh menunaikan zakat fitrah pada penghujung bulan suci ramadhan. Mereka menyerahkan kepada panitia yang ada di masjid, meunasah, bahkan ada juga yang membayar zakat fitrah kepada guru pengajian. Hanya sedikit yang menyerahkan masing-masing kepada mustahik atau melalui organisasi keagamaan, Perti dan Muhammadiyah, misalnya. Biasanya, sebuah kampung, sejak malam 27 ramadhan secara otomatis terbentuk panitia penerima zakat fitrah yang dikomandoi oleh imam masjid/meunasah. Dibantu oleh beberapa anggota dari unsur aparatur gampong dan kepemudaan. Mereka berkerja dua hingga tiga malam untuk menerima dan

mendisribusikan zakat ini. Bahkan, bagi gampong yang penduduknya relatif sedikit, mereka mampu menyelesaikannya dalam satu malam. Pada umumnya di Aceh, zakat fitrah dibayar dalam bentuk beras atau uang tunai. Diterima dan dicatat oleh panitia (amil). Bahkan, ada yang disertai dengan bacaan, bahwa zakat telah diserahkan dan panitia pun menerimanya untuk disalurkan kepada yang berhak menerimanya. Terjadilah ijab kabul. Hal menarik dari prosesi penerimaan dan penyaluran zakat fitrah di gampong, semuanya terjadi dalam suasana terbuka dan penuh persaudaraan. Masyarakat dapat menyaksikan dari dekat siapa saja yang menyerahkan dan siapa pula yang menerima zakat fitrah. Dapat pula mengakses pencatatan dan pelaporan zakat yang dibuat oleh panitia. Sungguh transparan. Sungguh pengelolaan zakat fitrah di gampong berlangsung dalam semangat silaturrahim antar warga gampong. Celaknya memang, kita masih menjumpai gampong tertentu yang mendistribusikan zakat fitrah kepada 100% warga. Dengan semangat kebersamaan pula, mereka telah memutuskan, bahwa 100% warga gampong itu terdiri dari fakir miskin. Tak ada upaya untuk memilah mana yang sudah dianggap mampu (tak pantas menerima zakat) dan siapa pula yang masih miskin. Seharusnya, pihak berwenang, dalam hal ini Dinas Syariat Islam dan Departemen Agama perlu lebih gencar lagi melakukan sosialisasi, bahwa zakat fitrah hanya diperuntukkan bagi fakir dan miskin. Kemudian pihak kantor statistik, juga dapat melakukan hal serupa dan menjelaskan berapa persen sebenarnya fakir dan miskin pada setiap gampong di Aceh. Dengan demikian, kita harapkan, zakat fitrah akan lebih mendekati sasaran yang ingin dicapai yaitu memberdayakan fakir miskin. Andai saja zakat fitrah benar-benar didistribusikan untuk fakir miskin, maka sebagian dari zakat fitrah itu dapat digunakan untuk pemberdayaan ekonomi yang berkelanjutan. Sehingga pemberdayaan tidak hanya berlangsung selama tiga atau empat hari, hanya selama idul fitri saja. Sumber: Gema Baiturrahman

Mengoptimalkan Fungsi DPS Baitul Mal AcehOleh: Sayed Muhammad Husen Dewan Pertimbangan Syariah (DPS) adalah unsur penting dalam kelembagaan Baitul Mal Aceh (BMA), selain dua unsur lainnya: Badan Pelaksana (Bapel) dan Sekretariat. Dikatakan penting, karena kebijakan umum pendayagunaan zakat disahkan oleh DPS. Pendayagunaan zakat tentu berdampak luas terhadap pemberdayaan sosial, ekonomi dan pengembangan citra BMA. DPS yang terdiri dari ulama, pakar zakat dan ahli keuangan Islam mendapatkan mandat mewakili gubernur dalam menetapkan penggunaan dana ZISWAF. Keberadaan DPS-BMA menjadi silang pendapat dikalangan legislator DPRA pada 2007, sehingga Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Bitul Mal tidak mengakuai eksistensi DPS. Menurut mereka, peran dan fungsi DPS sebagai pengawas BMA dapat dilakukan oleh Mejelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) dengan cara memaksimalkan fungsi lembaga ulama yang telah ada. Pada 2009 dan 2010, Dewan Syariah (DS) yang dibentuk sejak 2004 maka diganti dengan Tim Pembina (TP), yang di-SK-kan oleh MPU Aceh. Sementara sebelumnya DPS di-SK-Kan oleh gubernur. Pembentukan TP dilakukan untuk mengisi kekosongan pembuat kebijkan dan pengawasan fungsional BMA sebagai sebuah lembaga keuangan. Akhirnya, pada 2011 Tim Pembina berubah kembali namanya menjadi DPS yang dibentuk berdasarkan Pergub Nomor 4/2011 dan personalianya di-SK-kan oleh gubernur setelah mendapat rekomendasi MPU Aceh. Selama ini, DS, TP atau DPS telah menjalankan fungsinya, terutama dalam menetapkan dan mengesahkan alokasi pendayagunaan zakat, infak dan sedekah setiap tahun; menetapkan nishab zakat; mengeluarkan Serat Edaran Kriteria Asnaf Zakat dan melakukan pengawasan fungsional terhadap Bapel dan Sekretariat BMA. DPS juga menjadi mendiator dalam mengefektifkan komunikasi antara Bapel dengan Sekretariat. Namun, sebagai bagian dari upaya penguatan kelembagaan zakat se Aceh, patut dipikirkan peningkatan fungsi DPS. Hal ini perlu dilakukan mengingat keputusan-keputusan DPS berlaku seluruh Aceh dan berdampak signifikan terhadap kinerja BMA. Optimalisasi DPS paling dapat dilakukan dengan tiga cara, pertama, meningkatkan peran Sekretaris DPS yang dijabat oleh Kepala Sekretariat BMA. Sekretaris seharusnya memfasilitasi perencanaan dan tindaklanjut berbagai keputusan DPS. Selama ini, banyak pekerjaan DPS dibantu salah seorang Kabid pada Bapel BMA sambilan saja. Kedua, mengefektifkan sidang bulanan DPS seperti diamanahkan oleh Pergub. Tentu sidang bulanan ini diawali dengan konsep/bahan tertulis yang terlebih dahulu disiapkan oleh Bapel atau Sekretaris. Sidang-sidang ini direncanakan agendanya dengan baik untuk sepanjang tahun, sehingga dapat diprediksi agenda apa saja yang mesti dibahas dan akan menjadi keputusan DPS. Ketiga, melibatkan DPS dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga tahap evaluasi berbagai program dan kegiatan BMA. Dengan cara ini, Bapel dan Sekretariat mendapatkan arahan, bimbingan dan pengawasan yang lebih konprehensif. Dalam pelaksanaan kegiatan misalnya, DPS lebih maksimal lagi berperan sebagai narasumber dalam mensosialisasilan zakat seluruh Aceh. Bisa juga DPS memberikan nasihat dan pengawasan dalam memperkuat program zakat produktif, fakir uzur dan program lainnya. Kelemahan selama ini yang membuat DPS tak maksimalkan berkerja, bahkan keputusankeputusannya pun sering dianggap terlambat, karena tak adanya Sekretaris Eksekutif. Pekerjaan DPS dikerjakakan oleh Sekretari DPS yang juga cukup padat dengan tugas pokok pribadi, sama halnya dengan anggota DPS lainnya. Memfungsikan Sekretaris DPS yang dijabat oleh Kepala Sekretariat BMA bisa menjadi solusi masalah ini. Jika pun Kepala Sekretariat sangat sibuk, dapat menotadinaskan seorang staf yang memiliki kompetensi yang memadai khusus memfasilitasi DPS. Sebagai contoh, hingga akhir Mei 2011, DPS belum berhasil mengesahkan pendayagunaan zakat dan infak yang mencapai Rp 65 milyar. Jika sejak awal telah jelas, siapa Sekretaris Eksekutif DPS, dia akan membuat perencanaan keputusan dan mendorong Bapel/Sekretariat menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Termasuk mengefektifkan komunikasi antar enam personil DPS. Masih ada lagi masalah lain yang mendesak diselesaikan DPS adalah bagaimana mendayagunakan zakat sisa 2009 dan 2010 pada Bendahara Umum Aceh sekitar Rp 7 milyar.

Dengan optimalnya fungsi DPS dan keterpaduan kerja antar unsur di BMA, diharapkan akan lahir gagasan besar dalam pendayagunaan ZISWAF dan akselerasi gerakan zakat dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Sudah saatnya, misalnya, DPS mengkaji perubahan posisi BMA sebagai eksekutor dalam pendayagunaan zakat menjadi lembaga funding. BMA bisa saja hanya sebagai penyandang dana, sementara penyaluran dan pendayagunaannya dilakukan oleh BMK atau mitra lainnya.

Memperkuat Kelembagaan Baitul Mal GampongOleh Sayed Muhammad Husen Baitul Mal Gampong (BMG) adalah tingkatan Baitul Mal paling dekat dengan basis pengumpulan dan pendayagunaan zakat, waqaf dan harta agama lainnya. Muzakki (wajib zakat) diyakini lebih mudah membangun akses ke BMG untuk membayar zakat. Demikian pula akses mustahik (penerima zakat). Masyarakat pun lebih dekat dalam mengawasi pengelolaan dana ummat itu. Dalam beberapa kali diskusi dengan Dewan Pertimbangan Syariah Baitul Mal Aceh (DPS-BMA), disepakati BMG diharapkan menjadi ujung tombak manajemen zakat di Aceh. BMG bisa menjadi basis penyadaran, pemberdayaan dan transformasi mustahik menjadi muzakki. BMG menjadi pusat gerakan masyarakat sipil dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan melalui efektifitas pendayagunaan dana zakat, waqaf dan harta gama lainnya. Masalahnya, hingga tujuh tahun lebih keberadaan Baitul Mal di Aceh, kelembagaan BMG belum diperkuat secara ssungguh-sungguh, baik dari segi peningkatan kapasitas SDM amil, penguatan

menajemen maupun penyediaan fasilitas kantor/sekretariat. Sebagian Baitul Mal Kab/Kota memang sudah membentuk BMG, hanya saja tidak melanjutkan dengan aksi berikutnya. Setelah BMG di-SKkan, dilantik, lalu dibiarkan bangkit sendiri tertatih-tatih. Dari data yang ada, hanya beberapa BMK saja yang melakukan Bimbingan Teknis (Bimtek) dan Rapat Kerja (Raker) dengan BMG. Bemtek sifatnya hanya memberikan gambaran organisasi dan regulasi zakat, belum menjawab masalah-masalah manajemen dan problem solving terhadap masalah perzakatan. Raker masih bersifat koordinatif dan syiar, dibandingkan sebagai media penguatan kelembagaan. Jadi, agenda yang mesti dirancang oleh BMK adalah bagaimana mendesain program dan kegiatan yang mampu memperkuat kelembagaan BMG. Dalam hal ini, paling tidak harus dilakukan tiga hal: Pertama, BMK seharusnya merancang emapat jenis pelatihan dasar bagi personalia BMG yaitu, Pelatihan Fikih Zakat; Pelatihan Manajemen Zakat; Pelatihan Akuntansi Zakat; dan Pelatihan Pengembangan Masyarakat/Pemberdayaan Ekonomi. Kedua, rekrutmen amil. Walaupun Qanun Nomor 10/2007 tentang Baitul Mal menetapkan Imum Gampong secara ex officio sebagai Ketua BMG, namun untuk menggerakkan kelembagaan BMG mestilah direkrut minimal dua orang tenaga muda yang memiliki kemampuan dan kapasitas individual yang memadai. Tenaga amil ini sebelum bertugas dilatih dan dimagangkan pada BMK atau badan amil lainnya. Ketiga, membuat Program BMG Percontohan. Program percontohan diperlukan sebagai model awal BMG untuk dapat ditiru atau ditularkan kepada BMG lain. Jadi untuk tahap awal, tak mesti seluruh gampong BMG dibentuk, cukup dimulai dengan gampong-gampong yang potensial saja (potensial dari segi sumber zakat dan SDM masyarakat). Sebab, pengalaman menujukkan, bahwa BMK tertentu telah membentuk hampir 70% BMG, namun tak berhasil mengoperasionalkannya. Untuk itu, sebagai langkah konkret penguatan BMG, maka BMA dan BMK dapat menginisiasi Program Pembentukan BMG Percontohan. Memulai dengan pemilihan gampong sasaran, penyiapan modul, pelatihan dan magang, hingga evaluasi dan monitoring. Pemilihan lokasi mestilah mempertimbangkan kalayakan dari segi potensi zakat, lokasi yang terjangkau dan mendapat dukungan sosial dari warga gampong setempat. Demikian pula, percepatan penguatan BMG dapat dilakukan dengan memberi peran yang besar terhadap gampong dalam pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Selama ini, secara tak sadar, BMA dan BMK tak serius melibatkan gampong dalam penyaluran zakat. Gampong hanya dijadikan obyek, bukan sebagai subyek dalam penyaluran zakat. Padahal, gampong dapat diberikan peran yang besar dalam merencanakan dan melakukan pendistribusian/pendayagunaan zakat, sementara BMA atau BMK melalukan pembinaan dan menyiapkan standar pelaporan saja. Upaya penguatan kelembagaan BMG dapat dilakukan lebih cepat dan sungguh-sungguh, bila para petinggi Baitul Mal mamahami, bahwa basis transformasi ekonomi zakat sebenarnya berlangsung pada tingkat paling bawah: gampong. Itupun hanya mampu dilakukan oleh SDM amil profesional dan memiliki perspektif jauh ke depan, yaitu amil yang mendambakan perubahan radikal dalam struktur masyarakat yang belum berdaulat secara ekonomi. Maka BMG kita yakini bisa menjadi gerbong perubahan pada lapisan akar rumput di Aceh.

Melengkapi Regulasi Baitul MalOleh Sayed Muhammad Husen Badan amil zakat Baitul Mal (BM) dibentuk di Aceh dalam rangka pelaksanaan syariat secara kaffah, sebagaimana diatur oleh UU Nomor 44/1999 tentang Penyelengaraan Keistimewaan Aceh. Konstitusi Indonesia melegitimasi empat keistimewaan Aceh: keistimewaan di bidang agama (syariat Islam), pendidikan, adat-itiadat dan peran ulama. BM juga merupakan implementasi UU Nomor 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Sejarah formalisasi badan amil zakat dan waqaf di Aceh dimulai sejak pembetukan Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) oleh Gubernur Aceh tahun 1973, yang kemudian namanya berubah menjadi Badan Harta Agama (BHA) tahun 1975. Badan ini berusia 20 tahun hingga dibentuk Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah tahun 1993. BAZIS beroperasi 10 tahun dan digantikan fungsinya oleh BM. Sebenarnya, UU Nomor 38/199 tentang Pengelolaan Zakat menetapkan dua organisasi pengelola zakat sebagai pengganti BAZIS, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang difasilitasi pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola oleh pihak non pemerintah. Namun, dengan hak keistimewaan yang ada, Aceh membuat lembaga baru: BM. Hal ini diatur dengan Perda Nomor 5/2000 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam. BM adalah salah satu dari agenda syariat Islam

kaffah. Sebagai bagian dari resolusi konflik politik di Aceh yang berlangsung sejak 1976, pemerintah pusat memberikan otonomi khusus Aceh dengan disahkannya UU Nomor 18/2001 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sering disebut dengan UU Otsus NAD. Pasal 180 UU Otsus NAD menempatkan zakat sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selanjutnya, dibentuklah BM dengan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 18/2003 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. BAZIS dibubarkan dan assetnya diserahkan kepada BM. Pada 12 Januari BM beroperasi secara resmi ditandai dengan pelantikan kepala dan wakil kepala oleh gubernur. Ini era baru manajemen zakat di Aceh, sebut banyak pengamat zakat ketika itu. Keberadaan BM diperkuat dengan Qanun Nomor 7/2004 tentang Pengelolaan Zakat. Qanun ini merupakan turunan organik dari UU Otsus NAD, mengatur tentang zakat dan harta agama lainya, kelembagaan baitul mal, dan pidana terhadap pelanggaran zakat oleh amil dan muzakki. Konflik Aceh ternyata tak selesai dengan pemberian Otsus kepada Aceh, bahkan konflik memuncak hingga diberlakukannya Darurat Sipil dan Darurat Militer (2003-2004). Allah Swt pula berkehendak terjadinya gempa dan tsunami 26 Desember 2004, yang mehancurkan sebagian Aceh dan ribuan korban hilang/meninggal. Musibah besar ini pula menjadi kekuatan pendorong pihak bertikai RI dan GAM untuk berdamai. Ditandatanganilah MoU Damai di Helsinky, 15 Agustus 2005. Sebagai kelanjutan Mou Damai itu, disahkannya UU Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA menjadi dasar hukum yang kuat bagi kelengkapan regulasi BM di Aceh. BM diatur dalam tiga pasal UUPA yaitu pasal 180 menetapkan zakat sebagai salah sumber PAD, pasal 191 zakat, harta waqaf dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh (BMA) dan Baitul Mal Kab/Kota (BMK) dan pasal 192 zakat sebagai pengurang pajak penghasilan. Selanjutnya, disahkanlah Qanun Aceh Nomor 10/2007 tentang Baitul Mal. Qanun 7/2004 tentang Pengelolan Zakat pun dinyatakan tak berlaku lagi. BM dibentuk pada empat tingkatan: tingkat provinsi, kabupaten/kota, kemukiman (hanya mengelola harta agama) dan gampong (desa). Qanun mengatur, bahwa zakat sebagai bagian PAD hanya berlaku pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sementara zakat pada tingkat gampong tetap dikelola oleh masyarakat. Selain mengelola zakat, harta waqaf dah harta agama, BM diberikan wewenang tambahan sebagai wali pengawas anak yatim/yatim piatu dan pengelola harta (tanah dan rekening bank) tanpa ahli waris. Hal ini diatur dalam UU Nomor 48/2007 tentang Pengesahan Perpu Nomor 2/2007 tentang Penyelesaian Masalah-masalah Hukum dalam Rangka Rehabilitasi Masyarakat Pasca Tsunami. Regulasi BM telah dilengkapi dengan beberapa aturan lainnya seperti Peraturan Gubernur (Purgub) tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal; Pergub Mekanisme Pengelolaan Zakat; Pergub Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Baitul Mal; Pergub Tata Cara Penyetoran dan Penarian Zakat pada Kas Umum Daerah; Pergub Harta yang Tidak Diketahui Pemiliknya/Ahli Waris dan Perwalian; dan beberapa regulasi lainnya. Tentu saja regulasi BM mesti terus dilengkapi, disempurnakan atau merefisi aturan yang ada. Untuk

itu, inisiatif DPR Aceh membahas qanun pengaturan zakat, infaq dan shadaqah yang telah menjadi Program Legislasi Aceh 2011 (bahkan telah diprogramkan sejak 2010) sepatutnya direspon serius oleh BMA. Dan, satu regulasi mendesak dikeluarkan adalah bagaimana zakat sebagai pengurang pajak penghasilan dapat segera diberlakukan. Regulasi itu bisa saja dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Keputusan Dirjen Pajak.

TESIS PERAN ZAKAT DALAM OPTIMASI PORTOFOLIO INVESTASI ASET (STUDI KASUS PADA UNIT USAHA SYARIAH BANK X) (PRODI : EKONOMI KEUANGAN SYARIAH)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Kehidupan manusia didunia ini selalu dipenuhi dengan berbagai persoalan, karenanya agama diturunkan untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut. Islam dengan 1,5 milyar pemeluknya (hal.6 Morris, 2001) adalah agama yang mengatur secara komprehensif sendisendi kehidupan didunia melalui kitab sucinya yaitu Al Quran dan Hadits. Islam memiliki hukum-hukum yang yang bersifat universal dan berlaku sepanjang masa.

Islam dalam bahasa Arab berarti selamat, damai, tunduk, pasrah dan berserah diri, sehingga Islam berarti penyerahan diri secara total kepada pencipta seluruh alam yaitu Allah SWT. Dengan demikian, bagi pemeluk agama Islam, Al Quran dan Hadist adalah petunjuk dari Allah dan Rasulnya dalam pengaturan segala aspek kehidupannya agar selamat. Hal ini berarti tidak ada lagi pemisahan pengaturan antara aspek ekonomi dengan aspek spiritualnya, semua harus merujuk pada Al Quran dan Hadist. Perintah ini tertera dalam QS Al Baqarah 2:208 Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu he dalam Islam secara keseluruhan...." Dalam Islam diyakini bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini hanyalah milik Allah, pemilik mutlak segala sesuatu, sedangkan manusia adalah khalifatullah. Manusialah yang ditugaskan untuk mengelola bumi. Allah memerintahkan manusia untuk mencari karunia-Nya atau kekayaan dan dalam proses pencarian tersebut manusia tetap diwajibkan untuk terus mengingat Allah. Selanjutnya, jika harta kekayaan telah dimiliki, maka harta tersebut haruslah dikelola dengan baik. Harta kekayaan tidak pernah dianjurkan untuk ditumpuk sebagai harta yang idle seperti tertera dalam QS 104:2-3, melainkan hams dimanfaatkan untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat. Pemanfaatan atas harta yang dimiliki juga sangat dianjurkan oleh Rasulullah, diriwayatkan bahwa Nabi Muhamad SAW mengatakan "Sesungguhnya Allah tidak menyukai kalian menyia-nyiakan harta" (HR Bukhari). Selanjutnya, Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi SAW berkata "Siapa sajayang mengerjakan tanah tak bertuan akan lebih berhakatas tanah itu." (HR.Bukhari) (hal.65 Mannan,1992). Kekayaan yang dibiarkan saja akan lenyap habis dimakan zakat, karena pemiliknya harus membayar zakat tiap tahun yang akan mengurangi jumlah kekayaan yang tidak tumbuh tersebut (hal.16 Sadeq, 2002). Sementara itu Ibnu Khaldun mengatakan bahwa kekayaan tidak tumbuh manakala ditimbun dan disimpan. la akan tumbuh dan berkembang bila dibelanjakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, untuk diberikan kepada yang berhak dan menghapuskan kesulitan. (hal.135 Chapra, 2001). Harapan hidup, pendidikan dan pengetahuan serta kesejahteraan yang meningkat telah mendorong manusia untuk berinvestasi. Investasi yang merupakan kegiatan untuk mengembangkan kekayaan (uang) yang dimiliki saat ini untuk mendapatkan keuntungan yang belum pasti dimasa mendatang, pada dasarnya adalah suatu upaya untuk menyiapkan masa depan, karena hal ini juga merupakan perintah dalam Al Quran surat al-Hasyr ayat 18 sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan". Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan "Tahanlah sebagian hartamu untuk masa depanmu; hal itu lebih baik bagimu" (HR Bukhari, Muslim). Menurut Huda dan Nasution (hal.18, 2007), konsep investasi selain sebagai pengetahuan juga bernuansa spiritual karena menggunakan norma syariah, sekaligus merupakan hakikat dari sebuah ilmu dan amal, oleh karenanya investasi sangat dianjurkan bagi setiap muslim. Investasi dalam Islam pada prinsipnya adalah menggunakan harta untuk suatu kegiatan usaha yang akan meningkatkan jumlahnya melalui cara-cara yang sesuai syariah. Investasi yang Islami bisa dilakukan secara langsung pada sektor riil maupun melalui pasar uang syariah dan pasar modal syariah. Sedangkan rambu-rambu pengembangan harta kekayaan dalam Islam

adalah terhindar dari unsur riba, gharar dan maysir. Harus juga terhindar dari unsur haram, kebathilan dan ketidak adilan. Kemudian harta tersebut harus juga disucikan dengan mengeluarkan zakat harta, jika telah sampai pada nishab dan haul-nya. Dengan demikian, investasi Islami mencakup dimensi dunia dan akhirat. Inilah pembeda antara investasi dalam ekonomi Islam dan investasi konvensional. Dalam ekonomi konvensional, investasi dilakukan hanya untuk keuntungan dunia semata, tidak memasukkan unsur akhirat. Trend pada abad 21 dalam Islamization process yang dikembangkan oleh pemikir kontemporer ekonomi Islam adalah pertama, mengganti ekonomi sistem bunga dengan sistem ekonomi bagi hasil. Kedua, mengoptimalkan sistem zakat dalam perekonomian. Artinya paradigma berinvestasi harus dirubah dari return yang pasti untuk semakin meningkatkan kekayaannya menjadi paradigma profit sharing dan pada saat yang sama harus menyadari adanya kewajiban untuk menyisihkan 2,5% zakat sebagai bagian dari "milik publik". (Mufraini 2006, hal. 9) Metwally (1995 hal.71) menyatakan bahwa besaran zakat sebesar 2,5% diambil dari hasil investasinya saja. Sementara aset yang diinvestasikan tidak terkena zakat. Pendapat inilah yang banyak dipakai oleh lembaga keuangan syariah di Indonesia. Namun demikian, ada pendapat lain yang dikemukakan oleh beberapa ahli fiqih diantaranya Utsaimin (2008, hal.214) maupun Qardhawi (2007, hal.267) menyatakan bahwa dana tunai, sertifikat hutang, obligasi dan sekuritas, sertifikat tabungan atau deposito dan saham, zakatnya diambil dari aset tersebut bukan dari hasilnya saja. Thesis ini mengikuti pendapat yang terakhir bahwa aset yang diinvestasikan akan terkena zakat, termasuk modal pokoknya jika telah memenuhi syarat wajib zakat, dan dihitung sebagai zakat kekayaan. Zakat adalah bagian dari harta yang dimiliki untuk diberikan kepada yang berhak, utamanya kaum fakir dan miskin, karena bagian tersebut adalah milik mereka. Pengeluaran zakat dari harta merupakan suatu kewajiban yang perintahnya diberikan oleh Allah SWT langsung dalam AlQuran Surat At Taubah 9:103 Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Begitu pentingnya zakat ini hingga zakat dihubungkan dengan shalat sebanyak 82 kali dalam AlQuran. Abdullah bin Masud r.a seorang sahabat dan Jabir bin Zayd r.a seorang tabiinpercaya bahwa Allah tidak akan menerima shalat seseorang jika orang tersebut tidak membayar zakat. Pendapat ini ditegaskan khalifah Abu Bakar r.a yang memutuskan untuk memerangi orang orang yang meninggalkan shalat dan tidak membayar zakat (Syaikh 2008). Hadits lain yang diriwayatkan oleh Durrul Mantsur menyatakan dari Ali r.a. Rasulullah SAW, bersabda, "Sesungguhnya Allah Swt, telah mewajibkan atas kaum muslimin yang kaya suatu kadar zakat dalam harta mereka, yang akan mencukupi orang-orang fakir diantara mereka. Dan tidaklah ada sesuatu yang menyusahkan orang-orang fakir itu jika mereka kelaparan atau tidak berpakaian, kecuali karena kehilangan orang-orang kaya yang tidak membayar zakatnya. Ingatlah! Sesungguhnya Allah Swt, akan menghisab mereka dengan hisab yang keras dan akan mengadzab mereka dengan adzab yang sangatpedih." (Al khandhalawi rah.a, hal 277). Jelaslah zakat menjadi penting karena didalamnya terkandung ajaran pendistribusian

kekayaan yang adil sebagai jaminan sosial diantara kaum muslimin disamping menyelamatkan si pembayar zakat dari penyakit moral berupa kecintaan dan ketamakan terhadap kekayaan dan meningkatkan keimanan serta kesadaran moral. Sedangkan panduan berinvestasi terdapat dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 261 : Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah seumpama sebuah biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai itu berisi seratus biji. Dan Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dikehendak-Nyai. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui. Ayat diatas memberikan panduan berinvestasi dijalan Allah, yaitu dari tiap butir benih yang diinvestasikan akan menjadi 700 biji. Sehingga berinvestasi di jalan Allah, melalui zakat, infaq dan shodaqoh diikuti dengan syarat beramal yaitu ikhlas, tidak riya dan tidak menyakiti yang diberi, akan mendapatkan balasan berlipat ganda yaitu sebesar 700 kali karena bagi orang yang beriman, janji Allah adalah benar, dan tidak perlu diragukan lagi. Industri keuangan Islam sedang tumbuh sangat pesat. Sejak permulaan 3 dekade yang lalu, lembaga keuangan Islam terus bermunculan hingga mencapai jumlah 300 buah tersebar di lebih dari 75 negara, mengelola aset sebesar 500 milyar US Dollar (www.global.com.kw). Di Indonesia perkembangan keuangan Islam berawal sejak tahun 1992. Dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat yang merupakan bank Islam pertama di Indonesia. Lima belas tahun kemudian, berdasarkan data statistik perbankan syariah Desember 2007, tercatat telah berdiri 3 Bank Umum Syariah, 21 Unit Usaha Syariah dan 114 Bank Perkreditan Rakyat Syariah dengan 482 kantor Pusat dan kantor cabang serta 25 Unit Pelayanan Syariah (www.bi.go.id) Perkembangan Bank Syariah di Indonesia memang cukup pesat, dilihat dari pertumbuhan asset perbankan syariah yang mencapai rata-rata 48,99% pertahun, sejak 2003 hingga 2007. Pada kurun waktu yang sama, perbankan konvensional hanya tumbuh rata-rata 13,22% pertahun. Meskipun demikian, per Desember 2007 market share yang dimiliki baru mencapai 1,76% dari total market share perbankan nasional. Sungguh ironi dengan kenyataan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Sesuai dengan fungsinya, Bank adalah lembaga intermediasi keuangan antara pihak penyimpan dana (nasabah) dan yang membutuhkan dana. Nasabah mau menyimpan dananya di Bank karena ia percaya bahwa bank dapat memilih alternatif investasi yang menarik yang dapat menghasilkan return yang terbaik. Penelitian yang dilakukan oleh Mangkuto (hal.5376, Eksis 2005) maupun Samsudin (hal.77-91, Eksis 2005) menjelaskan bahwa keputusan nasabah untuk menggunakan jasa bank syariah dan melakukan penempatan dana investasinya secara khusus sangat dipengaruhi oleh tingkat imbal hasil yang akan didapatnya. Oleh karenanya bank hams melakukan pemilihan investasi dengan seksama, karena kesalahan dalam pemilihan investasi akan membawa akibat rendahnya bagi hasil yang diperoleh, yang akhirnya menurunkan tingkat distribusi bagi hasil bagi para nasabahnya. Tampak jelas disini bahwa sebagai lembaga keuangan syariah Bank mempunyai tugas untuk memaksimumkan pertumbuhan aset investasi yang dimilikinya disamping juga menyisihkan 2,5 % zakat dari aset tersebut sebagaimana trend dalam Islamization process yang sedang dikembangkan oleh pemikir kontemporer abad 21 yaitu mengoptimalkan sistem zakat dalam perekonomian. Suatu penelitian kami lakukan pada sebuah Unit Usaha Syariah Bank X untuk mengetahui bagaimana penerapan sistem zakat pada aset investasinya.

Unit Usaha Syariah Bank X adalah suatu unit usaha yang memiliki nilai Return on Asset (ROA) sebesar 2,9% dihitung berdasarkan laporan keuangan bulan Desember 2007. Angka ini cukup tinggi dibandingkan rata-rata statistik perbankan syariah yang berada pada kisaran 1,78%, namun cukup rendah bila dibandingkan dengan ROA bank lain yaitu BPD Jabar yang memiliki angka 3,8% pada periode yang sama. Melalui penelitian awal diketahui bahwa UUS bank X belum menerapkan metode tertentu dalam kebijakan portofolionya. Sampai saat ini yang dipakai adalah perhitungan trial error, sehingga tidak ada rumusan yang jelas, bagaimana menginvestasikan dana yang didapat agar optimum. 1.2 Perumusan Masalah Berinvestasi dalam ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional. Investasi Islami yang menggunakan syariah Islam merupakan kegiatan berinvestasi pada instrumen investasi yang halal saja dengan menghindari unsur riba, gharar, maysir, subhat, haram, kebathilan dan ketidak adilan. Kemudian mengeluarkan zakat dari harta yang diinvestasikan bila harta telah mencapai syarat terpenuhinya wajib zakat. Pengenaan zakat pada aset investasi belum tampak pada UUS Bank X. Metwally yang dikutip oleh Sadeq (2002, hal.16 ) menyatakan bahwa zakat diambil hanya dari return investasi saja. Mereka akan dibebaskan dari zakat atas harta yang diinvestasikan. Pendapat serupa banyak dianut kalangan perbankan syariah di Indonesia, dimana investor akan diberi pilihan apakah bersedia bila bagi hasil yang akan didapat dari suatu investasi akan dipotong zakatnya oleh pihak bank atau tidak. Banyak pula yang mengqiaskan zakat atas aset investasi dengan investasi pada tanaman, dimana zakat diambil dari hasilnya bukan dari pokok investasi. UUS Bank X menghadapi kondisi dimana bagi hasil yang didapat tidak maksimal. Melalui penelitian awal diketahui bahwa sampai saat ini dalam menentukan portofolio investasi aset, UUS Bank X belum mempunyai metode yang dianut dalam membentuk suatu portofolio investasi yang optimum, sehingga mendapatkan bagi hasil yang maksimum. Rumusan masalah dalam thesis ini adalah UUS Bank X dalam investasi portofolio tidak sepenuhnya syari, yaitu belum mengenakan ketentuan zakat atas aset investasinya selain tidak optimal dalam membentuk portofolio investasi. Seharusnya sebagai UUS portofolionya hams memperhitungkan ketentuan yang berlandaskan syariah diantaranya masalah zakat. Karenanya dalam thesis ini akan dievaluasi pembentukan portofolio UUS yang memperhitungkan masalah zakat. Dari rumusan permasalahan tersebut dibentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut 1. Bagaimana penerapan ketentuan zakat maal dalam manajemen portofolio aset investasi syariah yang dilakukan UUS bank X ? 2. Bagaimana membentuk portofolio yang optimal bagi UUS Bank X setelah adanya zakat maal ? 3. Apakah terdapat peningkatan hasil investasi portofolio optimal yang baru dengan penerapan zakat maal dibandingkan dengan menggunakan portofolio investasi sebelumnya? 1.3 Tujuan Penelitian Dengan identifikasi masalah diatas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Membentuk portofolio optimum dengan menerapkan ketentuan zakat maal bagi UUS Bank X. 2. Mengetahui apakah ada peningkatan hasil investasi portofolio optimum yang baru dibentuk dengan memasukkan unsur zakat maal dibandingkan dengan rata-rata hasil investasi portofolio sebelumnya. 3. Memberikan usulan kepada perusahaan berdasarkan portofolio optimum baru yang dibentuk dengan menerapkan ketentuan zakat maal bagi aset investasi. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai manajemen portofolio investasi dengan menerapkan ketentuan zakat maal pada aset investasi. Selanjutnya, diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses memaksimalkan bagi hasil melalui optimasi portofolio menggunakan metode Markowitz berikut penerapan ketentuan zakat maal pada perhitungannya dengan mengambil sample salah satu UUS bank syariah, sehingga dapat menjadi bahan masukan kepada UUS bank syariah lainnya dalam memaksimalkan bagi hasilnya, dengan memasukkan unsur zakat sebesar 2,5% pada aset investasinya. Bagi akademisi tentunya penelitian ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk melakukan penelitian selanjutnya. 1.5 Batasan Masalah Pada umumnya investasi dilakukan pada aset yang merupakan kelebihan pendapatan setelah dikurangi konsumsi. Dengan demikian, diasumsikan bahwa aset yang diinvestasikan disini merupakan harta yang telah layak zakat. Penelitian ini dibatasi hanya pada investasi yang dominan pada portofolio investasi UUS bank X. Investasi yang dimaksud adalah pembiayaan murabaha, pembiayaan mudharabah, pembiayaan musharakah dan pembiayaan istisna, serta investasi pada obligasi syariah. Studi kasus pada Bank X dilakukan semata-mata untuk memudahkan penulis mempresentasikan perbedaan sebelum dan sesudah pembentukan portofolio investasi dengan menggunakan teori Markowitz berikut penerapan ketentuan zakat mal karena ketersediaan data. Sehingga, data yang digunakan diasumsikan merupakan representasi aset individu ataupun lembaga. 1.6 Kerangka Pemikiran Pemilihan metode portofolio investasi dimaksudkan untuk mendapatkan portofolio yang efisien yang memberikan bagi hasil yang diharapkan terbesar untuk tingkat risiko tertentu atau dengan kata lain tingkat risiko terendah untuk tingkat pengembalian tertentu. Memilih strategi portofolio merupakan salah satu proses manajemen investasi yang terdiri dari 5 proses yang berkesinambungan (hal 6. Fabozzi, 2002). Jika dinyatakan bahwa bagi hasil portofolio investasi tidak optimal, dan diyakini proses pemilihan portofolio merupakan penyebabnya, maka tahap inilah yang perlu diperbaiki. Investasi yang dilakukan oleh individu muslim maupun lembaga keuangan syariah tentunya hams mengikuti kaidah investasi secara syariah. Selain berinvestasi hanya pada yang halal saja juga menerapkan ketentuan zakat atas harta yang diinvestasikan sesuai dengan petunjuk dalam Al Quran dan Hadist. Sehingga keuntungan yang didapat tidak hanya bersifat

monetary value tapi juga spiritual value yaitu keuntungan uchrawi sebesar balasan yang dijanjikan Allah SWT yaitu sebanyak 700 kali sesuai surat Al Baqarah ayat 261. Data-data yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah data keuangan historis UUS bank X yang merupakan data outstanding pembiayaan murabaha beserta pendapatan marginnya, data outstanding pembiayaan mudharaba beserta pendapatan bagi hasilnya, data outstanding pembiayaan musyarakah beserta pendapatan bagi hasilnya, data outstanding pembiayaan ijarah beserta pendapatan marginnya, data outstanding penempatan obligasi syariah beserta bagi hasilnya dan data penempatan SWBI beserta bonusnya. Penyelesaian permasalahan yang ditawarkan adalah membentuk portofolio investasi dengan metode Markowitz dengan memasukkan unsur zakat. Hasil investasi yang didapat akan dikenakan ketentuan zakat, sehingga investasi yang dilakukan sesuai dengan cara berinvestasi secara syariah. 1.7 Hipotesis Penelitian ini dilakukan untuk melihat jenis investasi yang memiliki bagi hasil tertinggi, kemudian membentuk portofolio optimum bagi UUS bank X yang diharapkan memiliki bagi hasil yang lebih baik dari bagi hasil portofolio saat ini, kemudian mengurangkan zakat dari aset investasi yang terdiri dari pokok dan bagi hasilnya sehingga memenuhi ketentuan syariah. Hipotesis yang dibentuk adalah : H0 : rata-rata return portofolio saat ini sama dengan return portofolio optimal yang baru dibentuk H1 : rata-rata return portofolio saat ini lebih kecil dari return portofolio optimal yang baru dibentuk 1.8 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penulisan karya akhir ini adalah analisis portofolio optimal yang pembentukannya dilakukan dengan menggunakan model portofolio Markowitz dengan memasukkan unsur zakat pada penghitungannya. Pilihan ini dilakukan karena portofolio dengan model Markowitz mudah dibentuk agar sesuai dengan karakteristik investasi yang diinginkan dan tujuan yang ingin dicapai. Jenis investasi yang digunakan dalam membentuk portofolio optimum adalah jenis investasi yang sesuai syariah yaitu pembiayaan-pembiayaan syariah, obligasi syariah dan penempatan dana pada bank Indonesia dalam bentuk SWBI. Kemudian pada akhir investasi dikeluarkan zakat sebesar 2,5% baik dari hasil investasi maupun pokoknya sesuai ketentuan dalam Islam. Bank syariah pada prinsipnya merupakan investment banking dimana konsep investasinya merupakan equity sharing yang sangat mirip dengan berinvestasi pada saham dibursa efek. (hal. 7 Nawawi, 2006) Asumsi ini membuat teori portofolio Markowitz dapat dipergunakan dalam analisa investasi portofolio bank syariah. Untuk mempermudah perhitungan kombinasi proporsi alokasi investasi dalam pembentukan portofolio efisien akan dipergunakan program solver yang terdapat dalam software excell microsoft office. Uji statistik testing hypothesis untuk dua sample independent akan digunakan untuk menguji apakah tingkat bagi hasil yang dihasilkan masing-masing portofolio berbeda secara statistik pada tingkat kepercayaan tertentu. Uji ini dilakukan untuk melihat apakah ada perbedaan

kinerja dari portofolio yang sudah ada saat ini dengan portofolio optimal yang disusun berdasarkan teori Markowitz dengan memasukkan unsur zakat didalamnya. 1.9 Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan Pada bab ini diuraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penulisan thesis, kerangka pikir, hipotesis serta metodologi penelitian yang digunakan dalam pengumpulan dan pengolahan data serta uraian mengenai sistimatika penulisan BAB II Tinjauan Pusaka Bab Ini menjelaskan tentang landasan teori yang dijadikan dasar dalam pemecahan masalah. Diuraikan pula berbagai informasi yang yang bersumber dari textbook, journal dan artikel yang berhubungan dengan tujuan pembahasan sebagai bahan pendukung dalam memperoleh hasil pembahasan yang lebih baik. BAB III Metodologi dan Data Penelitian Ruang lingkup penelitian, data yang dibutuhkan, proses pengumpulannya serta metodologi penelitian yang akan digunakan, model penelitian dalam menulis karya akhir diuraikan pada bab ini. Pada bagian akhir bab ini digambarkan alur proses penelitian. BAB IV Analisis dan Pembahasan Bab ini berisi penjelasan mengenai jenis data yang telah dikumpulkan. Pada bab ini juga diuraikan tahap-tahap penelitian serta gambaran hasil pengolahan data menggunakan metode optimasi portofolio Markowitz, dengan mengenakan ketentuan zakat pada aset investasi tersebut. Kemudian membandingkan bagi hasil dari portofolio optimal yang baru dibentuk dengan bagi hasil portofolio UUS Bank X sebelum dibentuk portofolio optimal. BAB V Kesimpulan dan Saran Bab ini menyimpulkan hasil penelitian yang dilakukan serta memberikan masukan dari hasil analisa untuk dapat dipergunakan oleh pihak yang berkepentingan.

TANGGUNGJAWAB BAITUL MAL DALAM MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA Oleh Hendra Saputra, MA Kepala Bidang Sosialisasi dan Pengembangan Baitul Mal Aceh I. Pendahuluan Dalam Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, Pasal 1, angka 11, dijelaskan bahwa Baitul Mal merupakan Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemashlahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam. Baitul Mal itu sendiri memiliki empat tingkatan, yaitu Provinsi, Kabupaten/Kota, Kemukiman dan Gampong. Dari keempat tingkatan Baitul Mal, Qanun tersebut telah mengatur tugas dan kewenangannya masing-masing. Khusus untuk Baitul Mal Kemukiman, hanya mengelola harta wakaf saja. Masing-masing tingkatan Baitul Mal bersifat otonom,

artinya dalam mengelola zakat, harta wakaf dan harta agama lainnya di daerahnya masingmasing tanpa harus menyetor ke Baitul Mal di atasnya, seperti Baitul Mal Gampong harus menyetor ke Kabupaten/Kota atau Baitul Mal Kabupaten/Kota menyetor ke Provinsi dan sebagainya. Hubungan kerja antara Baitul Mal Aceh dengan yang dibawahnya hanyalah bersifat pembinaan dalam bentuk koordinasi, konsultasi dan integrasi (KKI). Karenanya, zakat, harta wakaf dan harta agama lainnya dapat dikelola secara optimal di daerah masingmasing. Untuk itu, Dalam makalah ini tidak menguraikan program dan kegiatan yang dilaksanakan Baitul Mal Kabupaten/Kota, Kemukiman dan Gampong, melainkan akan membahas beberapa program dan kegiatan hanya pada Baitul Mal Aceh, atau khususnya fungsi Baitul Mal Aceh yang berkaitan dengan dunia pendidikan sesuai dengan judul yang tersedia. II. Pembahasan A. Sejarah dan Dasar Hukum Pembentukan Baitul Mal di Aceh Pengelolaan zakat di Aceh sebenarnya bukanlah hal baru melainkan sudah lama dipraktekkan di dalam masyarakat. Kebiasaan masyarakat Aceh dalam menunaikan dapat diperhatikan pada saat menjelang akhir ramadhan, masyarakat mendatangi mesjid atau meunasah untuk menunaikan zakatnya. Pengelolaan zakat pada waktu itu, masih bersifat tradisional, artinya zakat belum dikelola dengan manajemen yang baik, sehingga zakat yang diberikan kepada mustahiq belum memberikan bekas. Belajar dari pengalaman masa lalu, seiring dengan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah, pemerintah Aceh sepertinya menyadari pentingnya kehadiran sebuah lembaga zakat yang defenitif berdasarkan Undang-undang dengan manajemen yang baik untuk mengelola dana umat ini. Pemerintah terus mencari formulasi yang tepat tentang lembaga pengelolaa zakat ini, sehingga yang terakhir lahirlah lembaga yang diberi nama Baitul Mal. Keberadaan Baitul Mal pada mulanya ditandai dengan dibentuknya Badan Penertiban Harta Agama (BPHA) pada tahun 1973 melalui Keputusan Gubernur No. 05 Tahun 1973. Kemudian pada tahun 1975, BPHA diganti dengan Badan Harta Agama (BHA). Kemudian pada tahun 1993, BHA diganti dengan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS) melalui Keputusan Gubernur Prov. NAD No. 18 Tahun 2003. Kemudian BAZIS, kembali diganti dengan Baitul Mal sehubungan dengan lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang merupakan tindak lanjut perjanjian Mou Helsinky. Kehadiran Baitul Mal itu sendiri, tidak hanya terdapat di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 saja, melainkan juga terdapat dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Masalah Hukum dan Pasca Tsunami di Aceh dan Nias menjadi Undang-Undang. Sebagaimana kita ketahui, pasca terjadinya musibah gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda Aceh beberapa tahun yang lalu, banyak meninggalkan beberapa permasalahan hukum, diantaranya masalah perwalian dan pengelolaan harta yang tidak memiliki ahli waris atau tidak diketahui lagi pemiliknya. Dalam Undang-Undang tersebut, tepatnya dalam pasal 1 angka 6 disebutkan bahwa Baitul Mal adalah lembaga Agama Islam di Provinsi NAD yang berwenang menjaga, memelihara, mengembangkan, mengelola harta agama dengan tujuan untuk kemashalahatan umat serta menjadi wali pengawas berdasarkan syariat Islam. Dengan lahirnya Undang-undang tersebut, berarti tugas Baitul Mal menjadi bertambah, tidak hanya mengelola zakat, harta wakaf dan harta agama lainnya, melainkan juga melaksanakan tugas sebagai wali pengawas. Untuk melaksanakan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang No. 48 Tahun 2007 sebagaimana telah diuraikan di atas memerlukan peraturan turunan (derevatif) dalam bentuk Qanun, yaitu Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal. Pelaksanaan Qanun tersebut diatur kembali dalam Peraturan Gubernur

(PERGUB) No. 92 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Baitul Mal Aceh dan PERGUB No. 60 Tahun 2008 tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat. Untuk mendukung lembaga Baitul Mal, pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) No. 18 Tahun 2008 tentang Stuktur Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Aceh, dimana Baitul Mal Aceh termasuk dalam satu satu dari empat Lembaga Keistimewaan Aceh, yaitu Baitul Mal Aceh, MPU, MAA dan MPD. PERMENDAGRI tersebut membentuk sekretariat yang bertugas untuk memfasilitasi kegiatan lembaga keistimewaan Aceh yang bersumber dari dana APBD. Pelaksanaan PERMENDAGRI tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur Aceh No. 33 Tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Lembaga Keistimewaan Aceh. Untuk Kabupaten/Kota, pemerintah pusat juga menetapkan PERMENDAGRI No. 37 Tahun 2009 tentang Pendoman dan Tata Kerja Lembaga Keistimewaan Aceh untuk Kabupaten/Kota. Namun untuk Kabupaten/Kota sejauh ini ada yang sudah memiliki peraturan turanannya ada yang belum, sehingga bagi yang belum memiliki aturan turunan tidak bisa melaksanakan PERMENDAGRI tersebut. Kemudian untuk menjaga Baitul Mal dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sesuai dengan syariat Islam. Gubernur Aceh mengangkat Dewan Syariah, yang tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur No. 451.6/107/2004 tentang Pengangkatan/Penetapan Dewan Syariah Baitul Mal Prov. NAD. Kemudian nama dari Dewan Syariah ini berganti menjadi Tim Pembina Baitul Mal yang merupakan perpanjangan tangan dari MPU Aceh, yang tertuang dalam Surat Keputusan Ketua MPU Aceh, No. 451.12/15/SK/2009 tentang Pengangkatan/Penetapan Tim Pembina Baitul Mal Aceh. Disamping bertugas untuk mengawasi pelaksanaan kegiatan Baitul Mal Aceh, Dewan Syariah, juga memberikan penafsiran, arahan dan menjawab hal-hal berkaitan dengan syariah, dengan demikian diharapkan pengelolaan zakat, harta wakaf dan harta agama lainnya sesuai dengan ketentuan syariat. B. Kewenangan Baitul Mal Kewenangan Baitul Mal sekilas telah diuraikan sebagaimana tersebut di atas, namun untuk lebih jelas tentang kewenangan Baitul Mal ini dapat dilihat dalam beberapa peraturan di bawah ini, yaitu: 1. Pasal 191, Undang-undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, menyebutkan: Zakat, Harta Wakaf dan Harta Agama Lainnya dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota. 2. Pasal 1 angka 6, disebutkan bahwa Baitul Mal adalah lembaga Agama Islam di Provinsi NAD yang berwenang menjaga, memelihara, mengembangkan, mengelola harta agama dengan tujuan untuk kemashalahatan umat serta menjadi wali pengawas berdasarkan syariat Islam. 3. Pasal 1 angka 11 Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, disebutkan Baitul Mal adalah lembaga Daerah Non Stuktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemashlahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan syariat Islam. C. Baitul Mal Dan Tanggung Jawab Pada Kecerdasan Anak Bangsa Kemiskinan merupakan permasalahan yang sampai sekarang belum ditemukan formula yang tepat untuk mengatasinya. Setiap tahun pemerintah selalu memberikan perhatian khusus untuk mengurangi tingkat kemiskinan, namun sangat sulit untuk menekan angka kemiskinan ini. Jumlah penduduk miskin di Aceh berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Aceh sampai dengan juli 2010 tercatat 4,4 juta sampai

4,5 juta jiwa. Sementara penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan pada bulan maret 2010 sebesar 20,98 % atau 861, 85 ribu jiwa dengan proyeksi jumpah penduduk Aceh sebanyak 4, 363 juta jiwa.[1] Tingginya tingkat kemiskinan berimbas dalam dunia pendidikan, meskipun sudah ada program wajib sembilan tahun, namun dalam realitanya masih terdapat sebahagian masyarakat yang tidak mampu menyekolahkan anaknya dikarenakan tidak mampu dalam segi financial, kalaupun ada yang bersekolah, si anak yang miskin tadi merasa ada beberapa perbedaan antara dia dan teman-temannya, perasaan tersebut membuat ia minder sehingga lamban laut mengundurkan diri dari sekolah. Perasaaan tersebut seperti, masalah perlengkapan sekolah yang kurang, biaya tambahan dari sekolah yang tidak sanggup dipenuhi dan sebagainya. Masalah tersebut semakin menonjol pada saat si anak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi. Untuk mengatasi masalah pendidikan di Aceh, sebenarnya terdapat beberapa instansi seperti Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Pendidikan, Komisi Bea Siswa, Dinas Syariat Islam dan sebagainya. Pemerintah Aceh menyadari betul akan pentingnya pendidikan ini dengan mengalokasikan dana triliunan rupiah agar terciptanya masyarakat Aceh yang cerdas, namun jumlah tersebut dirasa masih kurang karena masih terdapat beberapa anak Aceh yang belum bisa menikmati fasilitas tersebut. Pelaksanaan syariat Islam di Aceh kiranya dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan dan pendidikan ini. Aceh merupakan satu-satunya Provinsi di Indonesia yang diberikan legitimasi untuk melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Zakat merupakan salah satu solusi dalam Islam untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin. Perintah berzakat mengandung dua demensi, yaitu vertikal kepada sang Khalik sebagai bukti kepatuhan menjalankan perintah-Nya dan bersifat horizontal sesama manusia. Bila zakat dapat diimplementasi secara optimal, ia memiliki peran yang sangat penting dalam mewujudkan masyarakat cerdas, adil dan makmur. Pengelolaan zakat di Aceh sedikit berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. Bila di Indonesia pengelolaan zakat merujuk kepada Undang- Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, namun Aceh terdapat Undang-Undang khusus yang berkenaan dengan pengelolaan zakat dan hanya berlaku di Aceh (lex specialis). Undang-undang tersebut ialah Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam UndangUndang tersebut terdapat 3 pasal yang berkenaan dengan zakat, yaitu: Pasal 180 ayat (1) huruf d Zakat merupakan salah satu penerimaan daerah Aceh dan Penerimaan Daerah Kabupaten Kota. Pasal 191 Zakat, Harta Wakaf dan Harta Agama lainnya dikelola oleh Baitul Mal Aceh dan Baitul Mal Kabupaten/Kota yang diatur dengan Qanun Pasal 192 Zakat yang dibayar menjadi pengurang terhadap jumlah pajak penghasilan (Pph) terhutang dari wajib pajak Dalam melaksanakan kegiatannya, Baitul Mal Aceh selalu mengalokasikan dana dalam dunia pendidikan. Zakat untuk pendidikan sebenarnya bukanlah hal yang baru, sudah banyak Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) lainnya mengaktualisasikan program-programnya dalam dunia pendidikan, namun penyaluran zakat untuk dunia pendidikan kiranya harus selalu dikaitkan dan sesuai dengan ketentuan syariat. Dasar penyaluran zakat terdapat ialah sebagaimana terdapat di dalam surat at-Taubah ayat 60 Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

kemudian terdapat beberapa hadits dan sejarah Islam lain yang bercerita tentang pengelolaan zakat. Ini merupakan landasan awal dalam menyalurkan zakat kepada para mustahiq. Kemudian, karena zakat telah masuk dalam salah satu penerimaan daerah (hukum positif) sebagaimana terdapat dalam UUPA, memerlukan turunan yaitu Qanun Aceh No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal dan PERGUB No. 60 Tahun 2008 tentang Mekanisme Pengelolaan Zakat. Semua regulasi tersebut hanya bersifat umum, tidak menjelaskan secara detail tentang asnaf zakat. oleh sebab itu memerlukan pedoman lainnya agar zakat disalurkan sesuai dengan sasaran. Untuk itu, Dewan Syariah Baitul Mal telah menyusun Surat Edaran Dewan Syariah No. 01/SE/V/2006 tentang Pedoman Penetapan Kriteria Asnaf Zakat dan Petunjuk Operasional. Dalam surat edaran tersebut, terdapat tiga senif yang berkaitan dengan pendidikan yaitu: Senif Muallaf, muallaf ialah Orang yang baru masuk Islam/mereka yang diharapkan kecendrungan hatinya terhadap Islam yang diberikan secara selektif. Bantuan yang diberikan: a. Konsumtif, berupa paket yang berisi buku-buku tentang agama Islam dan perlengkapan untuk shalat. b. Produktif, diberikan dalam bentuk bantuan modal usaha dan bea siswa bagi para anak muallaf Untuk senif muallaf ini pada mulanya, diberikan bantuan konsumtif dalam bentuk bantuan untuk konsumsi satu satu dua hari. Namun setelah dievaluasi kembali, bantuan seperti ini tidak efektif, karena kebanyakan muallaf yang mendapatkan bantuan tadi, kembali datang ke kantor Baitul Mal untuk meminta bantuan lagi. Belajar dari pengalaman tersebut, si muallaf tidak lagi diberikan zakat dalam bentuk konsumtif melainkan dalam bentuk produktif. Disamping itu, untuk program jangka panjang, anak-anak dari muallaf tersebut diberikan bea siswa. Fisabilillah, fisabilillah ialah berjuang dijalan Allah dalam rangka menegakkan aqidah umat seperti: 1. Dai daerah rawan aqidah 2. Bantuan sarana dan operasional lembaga pendidikan pada masyarakat kurang mampu. 3. Membangun tempat peribadatan yang disesuaikan dengan kebutuhan mendesak 4. Bantuan publikasi untuk penguatan aqidah. Bantuan yang diberikan: 1. Bantuan langsung sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dana yang tersedia. 2 Bantuan tidak langsung seperti suatu kegiatan usaha atau yayasan yang menghasilkan dana untuk mendukung keperluan tersebut. Untuk senif fisabilillah ini, tidak akan dibahas lebih jauh dikarenakan tidak menyentuh langsung kepada dunia pendidikan dan bantuan yang diberikan sangat selektif, seperti bantuan untuk organisasi Islam, pembangunan sarana tempat peribadatan di daerah rawan aqidah dan sebagainya. Disamping itu, terdapat program yang sama dengan instansi lain seperti Dinas Syariat Islam, Dinas Bina Marga, Badan Dayah dan sebagainya. Ibnu Sabil, Ibnu Sabil ialah orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan seperti: 1. Pelajar miskin yang berprestasi (bea siswa) 2. Pelajar miskin biasa dari tingkat SD sederajat s/d S3 (bea siswa) 3. Program pelatihan untuk sebuah kegiatan/ketrampilan 4. Bantuan orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Bantuan yang diberikan: 1. Bantuan langsung sesuai dengan kebutuhan dan pertimbangan jumlah dan yang tersedia. 2. Bantuan tidak langsung seperti mendirikan banda usaha/yayasan yang dananya dimanfaatkan untuk keperluan tersebut. Adapun mekanisme penyaluran bea siwa ialah Baitul Mal Aceh membentuk Tim pendataan calon penerima bea siswa dari dana zakat Baitul Mal Aceh. Setelah itu, Tim melakukan koordinasi dengan pihak sekolah atau perguruan tinggi. Koordinasi disini sangat penting, terutama untuk menekankan kepada pihak sekolah dan perguruan tinggi agar siswa atau

mahasiswa yang dikirimkan namanya ke Baitul Mal Aceh sebagai salah satu penerima bea siswa benar-benar sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan oleh Baitul Mal Aceh. Kemudian setelah datanya disampaikan kepada tim dari Baitul Mal Aceh, Tim segera melakukan verifikasi data. Setelah di verifikasi dan dinyatakan tidak ada permasalahan dengan data, Tim kembali menghubungi pihak sekolah atau perguruan tinggi untuk menentukan jadwal wawancara langsung dengan para calon peneriman bea siswa. Upaya ini penting untuk dilaksanakan, karena dari beberapa pengalaman pada saat penyaluran bea siswa, tidak ada permasalahan dengan data, namun permasalahan yang muncul pada saat wawancara langsung dengan siswa atau mahasiswa. Misalnya karena ini uang zakat, tentunya yang terima ialah orang miskin, namun pada saat wawancara, atas pengakuannya sendiri ternyata anak orang kaya, atau bahkan ia punya penghasilan sendiri yang sudah mencapai nisab zakat. Bila terjadi hal seperti ini, maka tim akan langsung membatalkan penerima bea siswa tersebut. Setelah proses wawancara selesai, para penerima bea siswa yang dinyatakan berhak untuk menerima bea siswa dari Baitul Mal Aceh diberikan arahan dan nasehat tentang dana zakat yang akan mereka terima. Upaya ini bertujuan agar para murid dan mahasiswa menyadari betul bahwa yang akan mereka terima ialah dana zakat yang memiliki dua aspek (vertikal dan horizontal) dan penerimanya pun harus dari kalangan keluarga miskin. Setelah semua proses berjalan lancar, pada saat penyerahan dana bea siswa dilakukan aqad ijab dan qabul, yang kemudian diahkhiri dengan doa agar acara yang dilaksanakan mendapat berkah dari Allah SWT. Adapun penyaluran bea siswa ini, telah berjalan sejak tahun 2005 sampai dengan sekarang, untuk lebih jelas dapat dilihat dibawah ini.

Tahun 2005 Ibnu Sabil sebanyak 200 Orang Tersebar dibeberapa Perguruan Tinggi Negeri & Swasta di Banda Aceh dan Aceh Besar . Jumlah dana bea siswa Rp. 200.000.000,Tahun 2006 Ibnu Sabil sebanyak 763 orang - 200 pelajar SD/Min Tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar . - 119 pelajar SLTP Tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar - 119 pelajar SLTA Tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar - 200 santri tersebar dalam Prov. Aceh - 100 Mahasiswa tingkat akhir, tersebar di Banda Aceh, Aceh Besar dan sebahagiannya di beberapa perguran tinggi di Kab/Kota - 25 Mahasiswa luar negeri Jumlah dana beasiswa Rp. 454.000.000,Tahun 2007, jumlah penerima bantuan 780 orang Muallaf sebanyak 30 Orang - Bantuan Bea siswa untuk anak muallaf sebanyak 30 Orang Ibnu Sabil sebanyak 750 Orang - 400 santri tersebear dalam Prov. Aceh. - 200 siswa di Banda Aceh dan Aceh Besar - 50 Mahasiswa Luar negeri dan luar daerah dalam Prov. Aceh - 100 Mahasiswa S1 tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar Jumlah Dana Bea Siswa Rp. 500.000.000,-

Tahun 2008, Jumlah penerima bantuan 1040 Orang Mullaf sebanyak 50 Orang - Bea siswa untuk anak mullaf sebanyak 50 Orang Ibnu Sabil sebanyak 990 Orang - 600 santri tersebar dalam Prov. Aceh - 200 siswa di Banda Aceh dan Aceh Besar - 50 Mahasiswa luar negeri dan luar daerah dalam Prov. Aceh - 140 Mahasiswa S1 tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar Jumlah Dana Bea Siswa Rp. 640.000.000,Tahun 2009, Jumlah penerima Bantuan 961 Orang Muallaf sebanyak 30 Orang Bantuan Bea siswa untuk anak muallaf sebanyak 30 Orang Ibnu Sabil sebanyak 931 Orang - 200 pelajar SD/Min, SLTP dan SMA Tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar - 571 santri tersebar di Kab/Kota dalam Prov. Aceh - 140 S1 Mahasiswa tingkat akhir, tersebar di Banda Aceh, Aceh Besar dan sebahagiannya di beberapa perguran tinggi di Kab/Kota - 20 Mahasiswa luar negeri Jumlah Dana Bea Siswa Rp. 568.500.000,Tahun 2010, Jumlah penerima Bantuan 1420 Orang Muallaf sebanyak 100 Orang Bantuan Bea siswa untuk anak muallaf sebanyak 100 Orang Ibnu Sabil sebanyak 1320 Orang - 300 pelajar SD/Min, SLTP dan SMA Tersebar di Banda Aceh dan Aceh Besar - 700 santri tersebar di Kab/Kota dalam P