TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

112
TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN POLITIK INGATAN DALAM TEGANGAN KATOLIK-JINGITIU Mario Ferdinandus Lawi 166322003 Program Magister Ilmu Religi dan Budaya UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Transcript of TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

Page 1: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

TESIS

AMBIVALENSI MANUSIA SABU:

IDENTITAS DAN POLITIK INGATAN DALAM TEGANGAN KATOLIK-JINGITIU

Mario Ferdinandus Lawi

166322003

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini, saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang

bernama Mario Ferdinandus Lawi (NIM: 166322003), menyatakan bahwa tesis berjudul

―Ambivalensi Manusia Sabu: Identitas dan Politik Ingatan dalam Tegangan Katolik-

Jingitiu‖ merupakan hasil karya penelitian saya sendiri.

Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian,

peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya

untuk keperluan ilmiah sesuai peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis

dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 11 Maret 2020

Yang membuat pernyataan

Mario Ferdinandus Lawi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, penulis mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Mario Ferdinandus Lawi

NIM : 166322003

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulis yang berjudul:

Ambivalensi Manusia Sabu:

Identitas dan Politik Ingatan dalam Tegangan Katolik-Jingitiu

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian penulis memberikan

kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan

dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan

secara terbatas, dan memublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan

akademis tanpa perlu meminta izin dari penulis maupun memberi royalti kepada penulis

selama tetap mencantumkan nama penulis sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 11 Maret 2020

Yang menyatakan

Mario Ferdinandus Lawi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

vi

Ambivalensi Manusia Sabu:

Identitas dan Politik Ingatan dalam Tegangan Katolik-Jingitiu

Mario Ferdinandus Lawi

Abstrak

Katolik dan Jingitiu adalah dua komunitas yang berbeda dalam banyak hal, tetapi

berinteraksi secara intensif sejak kedatangan Franz Lackner, SVD pada 1967 di Sabu.

Penulis menggunakan gagasan ambivalensi dan komunitas dari Homi Bhabha, dan

menemukan bahwa peristiwa 1965, pendirian dua sekolah Katolik di Sabu, dan

penerjemahan Alkitab adalah hal-hal yang memungkinkan Katolik berdialog dengan

Jingitiu di Sabu. Dialog ini menghasilkan resistensi dan apropriasi, membuat orang-

orang Katolik Sabu dan Jingitiu mendefinisikan kelompok dan pribadi mereka menurut

pertemuan-pertemuan tersebut. Definisi tersebut juga jadi bagian yang mewarnai politik

ingatan dan identitas dengan faset-fasetnya.

Kata Kunci: Katolik, Jingitiu, identitas, komunitas, ambivalensi, ingatan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

vii

The Ambivalence of Savunese:

Identity and the Politics of Memory in the Tension between Catholic and Jingitiu

Mario Ferdinandus Lawi

Abstract

Catholic and Jingitiu are two different communities in many ways. This two

communities have interacted intensively since the arrival of Franz Lackner, SVD in 1967

in Savu. The author uses the ideas of community and ambivalence of Homi Bhabha, and

finds that the post-1965 massacre, the building of two Catholic school in two different

areas of Savu, and the translation of the Bible enable the Catholic Church to encounter

conversations with Jingitiu. These conversations lead to resistance and apropriation,

and make Savunese, both Catholics and Jingitius, define their selves and communities

based on the ongoing encounters. Their definitions are parts of the memory and identity

politics with all the facets.

Keywords: Catholic, Jingitiu, identity, community, ambivalence, memory.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

viii

Kata Pengantar

Saya ingin berterima kasih kepada semua orang yang telah membantu mewujudkan

karya ini:

Para dosen Ilmu Religi dan Budaya: Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr.

Y. Tri Subagya, Dr. Katrin Bandel, Dr. Y. Devi Ardhiani, Dr. FX Baskara Wardaya, S.J.,

Dr. Budi Susanto, S.J., Prof. Dr. Supratiknya, Dr. B. Hari Juliawan, S.J., serta dosen-

dosen lain. Ilmu dan teladan yang selama ini saya timba dari di IRB membuat pikiran

saya kian terbuka.

Ungkapan terima kasih juga saya tujukan kepada Pradewi Tri Chatami, Christina

Desy, Mulyadi, Agnes Dwityas Anindhita, dan kawan-kawan angkatan 2016 yang tidak

dapat saya sebutkan satu demi satu. Terima kasih atas masukan, diskusi, kritik dan saran

yang saya terima selama perkuliahan dan masa-masa penulisan tesis. Yang terakhir,

bukan berarti tidak penting, untuk kedua orang tua, kedua saudari, para keponakan,

komunitas Claretian Yogyakarta yang menjadi rumah pertama saya ketika berada di

Yogyakarta, keluarga besar yang mendukung langkah saya hingga kini, serta para

narasumber yang bersedia melayani pertanyaan-pertanyaan dan kedatangan-kedatangan

saya ketika melakukan penelitian.

Tanpa mereka semua, karya ini tak akan ada.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

ix

DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................................................ i

Halaman Persetujuan ............................................................................................................. ii

Halaman Pengesahan .......................................................................................................... iii

Pernyataan Keaslian Karya .................................................................................................. iv

Pernyataan Kesediaan Publikasi .......................................................................................... v

Abstrak ................................................................................................................................. vi

Abstract ............................................................................................................................... vii

Kata Pengantar .................................................................................................................. viii

Daftar Isi ............................................................................................................................... ix

Daftar Tabel ........................................................................................................................ xii

Daftar Lampiran ............................................................................................................... xiii

Bab I Pendahuluan ................................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.2. Pertanyaan Penelitian Tesis .................................................................................... 7

1.3. Tujuan Penelitian Tesis ........................................................................................... 8

1.4. Manfaat Penelitian Tesis ......................................................................................... 8

1.5. Tinjauan Pustaka ..................................................................................................... 8

1.5.1. Savu: Oral History and Oral Tradition on an Island of Indonesia .......................... 8

1.5.2. Dunia Orang Sawu ................................................................................................ 10

1.5.3. Orang Sabu dan Budayanya .................................................................................. 10

1.5.4. Penelitian-Penelitian Lain ..................................................................................... 11

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

x

1.6. Kerangka Teoretis ................................................................................................. 15

1.7. Batasan Tesis......................................................................................................... 17

1.8. Metode Penelitian ................................................................................................. 18

1.9. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 20

Bab II Sabu, Jingitiu dan Kristen: Kisah-Kisah Pertemuan Awal ...................................... 23

2.1. Genesis, Eksodus, dan Kelahiran Suku Bangsa Sabu ........................................... 23

2.2. Orang Sabu, Jingitiu dan Konsep tentang Agama ................................................ 27

2.3. Kristen Pribumi dan Mengerasnya Dikotomi Kristen-Jingitiu ............................. 31

2.4. Katolik dan Sabu: Pertemuan Awal ...................................................................... 40

Bab III Mencari Antara dalam Ruang dan Waktu .............................................................. 46

3.1. Katolik dan Jingitiu, Kedatangan dan Pertemuan ................................................. 47

3.1.1. Permandian dan Pernikahan .................................................................................. 55

3.1.2. Katolik, Jingitiu, dan Peristiwa 1965 .................................................................... 57

3.2. Pa Lede dan Kisah tentang Jingitiu ....................................................................... 61

3.3. Bahasa dan Pewartaan ........................................................................................... 68

Bab IV Ambivalensi dan Identitas ...................................................................................... 71

4.1. Ambivalensi dan Mimikri dalam Interaksi Sosial................................................. 73

4.1.1.Sekolah dan Bahasa: Identitas dan Ruang Memahami.......................................... 73

4.1.2. Nama Baptis: Mode Representasi ......................................................................... 75

4.1.3. Menyikapi Musim Tanam ..................................................................................... 77

4.2. Komunitas dan Narasi Identitas ............................................................................ 78

4.2.1. Interaksi Komunitas ............................................................................................. 78

4.2.2. Penciptaan, Eksodus, dan Identifikasi Identitas ................................................... 79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

xi

4.2.3.Wènynyi Ri dan Ju Deo ......................................................................................... 80

Bab V Penutup .................................................................................................................... 87

Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 89

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

xii

DAFTAR TABEL

Orang Kristen di Sabu pada 1887 ...................................................................................... 36

Wenynyi Ri dan Ju Deo ..................................................................................................... 80

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran1: Peta .................................................................................................................. 93

Lampiran 2: Foto-Foto ........................................................................................................ 94

Lampiran 3: Pedoman Wawancara ..................................................................................... 99

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jingitiu adalah istilah Sabu untuk menyebut para penganut kepercayaan tradisi di

pulau Sabu dan Raijua, provinsi NTT, jauh sebelum agama Kristen yang dibawa bangsa

Eropa menancapkan kuku di sana. Di keluarga inti ibu, kakek adalah penganut Jingitiu

terakhir. Setiap tahun, keluarga kami mengenang kematiannya, pada setiap peringatan

tanggal kematiannya dan pada hari arwah, selain secara Katolik, yakni berdoa,

menyalakan lilin, juga dengan cara yang lazim dilakukan orang-orang di kampung ibu:

menyediakan bekal-bekal berupa sirih pinang dan makanan (biasanya nasi, telur atau

daging ayam rebus). Semua itu dilakukan dengan harapan jalannya ke surga dilapangkan.

Kakek tidak mengenal konsep surga dalam teologi Katolik. Ritual tahunan yang

dilakukan adalah kompromi keluarga atas irisan identitas yang hadir di tengah keluarga.

Nama kakek adalah Huki Leo. Ia seorang Kenuhe, salah satu bagian dari tujuh

imam Jingitiu yang sering disebut sebagai Ratu Mone Pidu. Ratu Mone Pidu adalah

istilah untuk menyebut tujuh pemangku adat bersama para pembantunya Sabu.1 Sejak

kecil hingga usia lima tahun saya tinggal di Sabu, pulau di sebelah barat daya Timor,

yang sampai sekarang merupakan tempat tinggal para penghayat Jingitiu. Dari kakek,

saya mengamati caranya, seperti cara orang-orang Sabu lain, menipiskan daun lontar

kering muda untuk membungkus tembakau sebagai pengganti rokok, mengasah pisau

yang tajam ujungnya, hingga mengenal silsilah semua leluhur secara lisan.

Kisah ini dialami juga oleh orang-orang keturunan Sabu lain yang memilih dibaptis

menjadi Kristen. Kisah personal tadi saya tempatkan dalam sebuah konteks yang lebih

1 Kana menerjemahkan Ratu Mone Pidu sebagai Imam Lelaki yang Tujuh (1983:38).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

2

besar, bagaimana pertemuan antara Gereja dan tradisi berpengaruh terhadap cara orang-

orang Sabu hidup, termasuk cara mengenang orang-orang yang mereka cintai.

Kakek meninggal menjelang saya tamat SMP, pertengahan 2005. Semua anggota

keluarga inti kami dan sejumlah sanak-saudara yang tinggal di Kupang hadir ketika

kakek dimakamkan di Sabu: tepat di bawah panggung sebelah kiri di bawah pintu d‟uru2

rumah tradisional (èmmu hawu), di tempat yang disebut roa mengèrru3, jenazahnya

diletakkan secara vertikal dalam posisi duduk di dalam lubang yang digali berbentuk

lingkaran, punggungnya disangga dengan kayu, tubuhnya dibalut dengan selimut tenun-

ikat, bagian kepalanya yang diikat destar dialasi dengan tikar daun sebelum makamnya

ditimbun dengan tanah.

Setelah kematian kakek, tidak ada lagi penghayat Jingitiu di keluarga inti ibu. Jauh

sebelum kematiannya, semua anak dan istrinya telah dibaptis menjadi Katolik. Ibu

dibaptis ketika SMP oleh Franz Lackner, seorang misionaris SVD asal Austria, jauh

sebelum ibu mengenal ayah, lelaki asal Manggarai, Flores, yang kemudian dinikahinya.

Nama ibu sebelum dibaptis adalah Teni Huki, sebagaimana juga tercatat dalam buku

induk sekolah semasa SD, kemudian berganti menjadi Tersiana Agustina Huki sesuai

Surat Permandian dan keterangan dalam Buku Induk Permandian.

Ibu kemudian tumbuh menjadi seorang katekis Katolik, dan ia termasuk katekis

awal Katolik dari desa Pedarro dan kecamatan Mehara, kabupaten Sabu-Raijua, NTT.

Sebagian kecil dari keluarga besar saya, anak-anak dari saudara-saudara kakek saya, ada

2 Rumah tradisional Sabu (èmmu hawu) dibagi atas tiga tingkatan; d‟amu, d‟ara èmmu (kelaga ae), kelaga rai.

Èmmu hawu lazim dianggap seperti perahu terbalik Letaknya mengikuti arah timur dan barat, dengan bagian

depan rumah biasanya menghadap ke utara atau ke selatan. Pembagian beberapa komponen rumah dilakukan

atas prinsip keseimbangan, peran dan tugas sosial penghuni, dan lain sebagainya. Selain atas empat tingkatan

(vertikal), arsitektur èmmu hawu biasanya dibagi menjadi dua bagian (horisontal), d‟uru dan wui yang masing-

masing menyimbolkan haluan/ anjungan dan buritan pada kapal. Wilayah perempuan adalah bagian wui,

sedangkan wilayah laki-laki adalah bagian d‟uru. (Kana, 1983:31-36; Dimu, 1998: 31-34; Bara Pa, 22013:223-

226). 3 Bara Pa (Ibid., op.cit. 238-241) menambahkan bagian keempat dari èmmu hawu yang tidak dimasukkan oleh

Kana dan Dimu yakni roa mengèrru. Roa mengèrru adalah kamar kematian atau kuburan yang berada tepat di

kolong rumah pintu bagian wui untuk perempuan dan pintu bagian d‟uru untuk laki-laki.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

3

yang masih menganut Jingitiu. Kenuhe dalam tradisi Jingitiu adalah posisi yang diemban

secara turun-temurun oleh satu garis silsilah dalam suku Nappupudi. Dibaptis menjadi

Katolik menghilangkan peluang dari anak-anak laki-laki kakek untuk menggantikan ayah

mereka, karena Kenuhe adalah jabatan dalam struktur lembaga adat yang hanya mungkin

dijabat oleh orang-orang Sabu yang tidak dibaptis Kristen.

Meski demikian, ada fenomena lain yang menarik diamati. Ketika musim tanam

(ku‟ja ma), para petani di Pedarro, Mesara, mengikuti tradisi yang turun-temurun

diwariskan sesuai tata cara Jingitiu: tidak menyembelih hewan dan membelah kelapa

untuk masak selama tujuh hari masa tanam. Termasuk di antara orang-orang ini adalah

saudara-saudari ibu, baik kerabat jauh maupun dekat, yang telah dibaptis maupun tidak.

Lama waktu menanam pun disesuaikan dengan penanggalan adat yakni tujuh hari.

Fenomena di atas menunjukkan kompromi atas irisan identitas yang hadir di tengah

keluarga juga dilakukan oleh orang-orang Pedarro yang sudah menganut agama Katolik.

Terlahir sebagai anak Jingitiu yang dibaptis menjadi Katolik dan menjadi katekis

membuat ibu memelihara dongeng lain bagi kami, anak-anaknya. Dalam tradisi Jingitiu,

dongeng sendiri berperan penting dalam pewarisan silsilah keluarga, kisah-kisah

terjadinya suatu tempat dan pembagian genealogi yang kisahnya hanya mungkin

dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi. Ibu tidak hanya mendongengkan cerita-

cerita tradisional dari Sabu saja untuk kami, tetapi juga kisah-kisah yang kebanyakan

berasal dari Perjanjian Lama, yang pada masa kecil kami anggap juga sebagai dongeng.

Dalam tradisi keluarga Sabu, hal yang memudahkan suatu keluarga mengenal

leluhurnya maupun orang-orang dari klan yang sama adalah dengan mengurutkan silsilah

secara lisan. Orang-orang Sabu memiliki sistem penamaan ganda yang khas, nama

pertama sebagai nama anak, nama kedua merupakan nama orang tua (nama kedua adalah

nama ayah jika si anak lahir dari hubungan suami istri yang sah, atau merupakan nama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

4

ibu jika si anak lahir sebagai ana pa kepue4). Tujuh silsilah leluhur teratas biasanya tidak

diucapkan oleh orang-orang muda yang belum menikah karena dianggap tabu (misalnya,

tidak akan mendatangkan keturunan jika diucapkan).

Dalam historiografi Kristen di Indonesia sangat mudah menemukan tulisan tentang

sejarah gereja Katolik di Flores, baik yang ditulis oleh kongregasi-kongregasi maupun

sejumlah peneliti (misalnya: Steenbrink, 2007; Aritonang, dkk, 2008). Dari sejumlah

kisah ibu dan sejumlah keluarga dekat, kisah tentang perkembangan gereja Katolik di

Sabu saya ketahui secara samar. Pada bulan Maret tahun 2017, gereja Katolik di Sabu

memperingati 50 tahun kedatangan Franz Lackner, SVD sebagai misionaris. Meski

dalam catatan Riwu Kaho (2005: 157-159), misalnya, ditemukan bahwa adanya

misionaris Portugis yang pernah ke Sabu pada abad ke-17, jejak yang ada sama sekali

lenyap setelah kedatangan VOC. Belum ada bukti tertulis yang menyatakan bahwa ada

orang Sabu yang dibaptis Katolik pada waktu itu.

Kontak awal orang Sabu dengan bangsa Portugis disinggung oleh Duggan dan

Hägerdal dalam buku Savu: History and Oral Tradition on an Island of Indonesia (2018:

143-149). Dengan mencoba membandingkan sumber-sumber tertulis dan lisan, Duggan

dan Hägerdal berusaha membandingkan narasi kisah Ju Deo dan Ina Ju Deo dengan

pertemuan orang Sabu dengan Portugis, yang berarti juga dengan Katolik. Narasi

tersebut memiliki kesamaan dengan teks Alkitab: Ju Deo sebagai Yesus Kristus dan Ina

Ju Deo sebagai Maria, penyaliban, kebangkitan dan kenaikan ke surga. Ada pun

narasumber yang diwawancarai Duggan adalah Deo Rai, salah satu dari Ratu Mone Pidu

di Mesara. Ada pun versi lain narasi kisah Ju Deo yang saya dengar dari Kenuhe,

anggota lain dari Ratu Mone Pidu, saya letakkan pada bab 3 untuk melihat bagaimana

4 Ana pa kepue (anak pada pohon) atau ana pa èmmu (anak dalam rumah) merupakan kiasan bahasa Sabu untuk

menyebut anak yang lahir sebagai hasil hubungan tidak resmi dari perempuan yang belum kawin secara resmi

atau berstatus janda.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

5

kemungkinan pengujian tersebut adalah salah satu dari kemungkinan interaksi Portugis

dan orang Sabu di masa lalu.

Putusnya riwayat pertemuan antara Katolik dan orang-orang Sabu yang

kemungkinannya dilemparkan oleh Duggan dan Hägerdal baru pada tahun 1967 dirajut

kembali oleh seorang imam Serikat Sabda Allah asal Austria bernama Franz Lackner.

Franz Lackner tiba pada tahun 1967 di Sabu, setahun setelah ekses peristiwa G30S di

Jawa merebak hingga ke Sabu, melanjutkan misi sebelumnya yang dirintis oleh Piet

Konijnsun. Orang-orang Sabu yang dituduh terlibat atau mendukung para dalang G30S

dibawa ke Rote untuk dibantai.5 Salah satu korban pembantaian ini adalah Dimu Dopo,

ayah dari Adrianus Dimu, satu-satunya imam projo Keuskupan Agung Kupang dari

pulau Sabu. Sebelum ekses tersebut, ada Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang menyebut dengan

pasti kategori agama adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Cu

(Confusius) (Picard, 2011: 13-14; UU 1 PNPS 1965, pasal 1). Di Sabu, akibat yang

paling terasa sebagai ekses peristiwa 1965 di Jawa adalah penghancuran gerakan

masyarakat sipil, orang-orang Jingitiu, dan guru-guru perempuan (Bara Pa & Nyake

Wiwi, 2012). Ekses peristiwa 1965 di daerah lain di NTT bisa dilihat dari laporan Van

Klinken (2015: 323) tentang orang-orang halaik (yang tidak menganut agama-agama

berdasarkan kategori yang disebutkan dalam Perpres no. 1 tahun 1965) di Timor. Pada

bulan Oktober 1967, seorang perwira militer dari Rote membawa ajaran agama Kristen

Protestan ke Boti (salah satu desa di kabupaten Timor Tengah Selatan, pulau Timor,

NTT) dan mengintimidasi kaum lelaki untuk berpindah agama. Sebagian besar

masyarakat yang mengubah agama mereka untuk menyenangkan hati para serdadu yang

5 Lihat artikel berjudul ―Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS‖ yang dipublikasikan historia.id.

(http://historia.id/modern/penumpasan-pki-di-ntt-dalam-dokumen-rahasia-as diakses 1 November 2017 pukul

15.35).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

6

mengintimidasi mereka dengan siksaan fisik kemudian pindah dari lokasi-lokasi yang

biasa digunakan sebagai ritual desa.

Meskipun hadir di daerah yang sejak zaman kolonial menjadi wilayah penyebaran

agama Kristen Protestan, pertemuan yang paling intensif terjadi justru antara gereja

Katolik dengan orang-orang Sabu yang tidak dibaptis. Dua daerah awal karya Franz

Lackner adalah Liae dan Mesara (sekarang masing-masing telah menjadi nama

kecamatan dari kabupaten Sabu-Raijua) melalui bidang pendidikan. Di dua daerah ini

masing-masing didirikan satu sekolah dasar: SD Katolik Mehona di desa Mehona, Liae,

dan SD Katolik Perema di desa Tanajawa, Mesara. Kedua SD Katolik ini berperan

penting dalam memperkenalkan agama Katolik melalui pelajaran di kelas dan

membidani lahirnya sejumlah misionaris awam dan katekis di pulau Sabu untuk

mendukung pertumbuhan Gereja Katolik. Dalam rentang 1967 hingga 1970, sebelum

hadirnya lembaga pendidikan Katolik yang berperan signifikan dalam pengembangan

misi gereja di Sabu, Franz Lackner mesti melewati fase embrional yang dijalaninya

melalui pembelajaran dari misionaris terdahulu yang melayani Sabu dan Rote maupun

dengan perjumpaan-perjumpaannya dengan orang-orang baru di tanah misi. Sebagai

misionaris muda pengemban tugas Gereja, salah satu adaptasi yang mesti cepat

dilakukan Franz Lackner muda adalah adaptasi bahasa. Sembari menyempurnakan

kemampuan Lii Hawu, Franz Lackner meminta bantuan guru dan Kepala SD GMIT

Lederae Mawide 1 Benyamin Bunga untuk menerjemahkan lagu-lagu rohani Katolik dari

buku Syukur kepada Bapa ke dalam bahasa Sabu.

Anak-anak dari keluarga Jingitiu seperti ibu saya, juga dari keluarga-keluarga

Kristen Protestan lain di desa-desa sekitar sekolahlah yang kemudian bersekolah di

sekolah-sekolah yang didirikan Franz Lackner di dua daerah tersebut. Dalam kasus-kasus

lain, orang-orang tua dari anak-anak yang dibaptis Katolik dan disekolahkan di sekolah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

7

misi ini kemudian ikut dibaptis. Mereka lazimnya memiliki dua nama: nama yang

mereka peroleh secara adat dan nama baptis. Nenek saya, lahir dengan nama adat Hehe

Hae, tetapi dikuburkan lewat ritus Katolik dengan nama permandian Maria Yosephina

Hae. Jauh sebelum Duggan memperingatkan pentingnya transmisi memori oral sebagai

mekanisme pemertahanan ingatan orang-orang Sabu (Duggan, 2009: 163-177), Gereja

dan modernitas yang datang dengan tradisi tekstualnya telah berpengaruh terhadap

penempatan prioritas orang-orang Sabu terhadap pemahaman dirinya dan hubungannya

dengan keluarga dan masyarakatnya.

Konsep politik ingatan adalah konsep yang berkaitan dengan wacana mimikri dan

ambivalensi. Jika mengingat silsilah keluarga, misalnya, adalah kerja kolektif oral di

dalam kerangka menjaga kekerabatan komunitas, maka tradisi tekstual pada awalnya

dapat dibaca sebagai sesuatu yang asing. Nama-nama yang ditulis di dalam buku dan

surat permandian mungkin mewakili orang yang sama, tetapi merupakan nama-nama

yang merepresentasikan identitas yang berbeda, sekaligus menjadi objek yang asing di

dalam khazanah lisan orang-orang Sabu. Di kampungnya Pedarro, ibu lebih dikenal

dengan nama Teni Huki ketimbang Tersiana Agustina Huki. Orang-orang seperti ibu

adalah orang-orang yang masih membawa tilas-tilas Jingitiu di dalam kekatolikannya,

dan menghayati kekatolikannya dengan tilas-tilas yang ditinggalkan tradisinya. Tilas-

tilas ini adalah ruang kompromi sekaligus ruang pengingkaran, ruang di mana identitas

terus-menerus direfleksikan.

1.2. Pertanyaan Penelitian Tesis

Terkait dengan latar belakang singkat di atas, pertanyaan-pertanyaan tesis saya

rumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana pertama kali Katolik diperkenalkan kepada orang-orang Jingitiu?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

8

2. Bagaimana resistensi dan apropriasi dilakukan oleh orang-orang Jingitiu, baik yang

tidak dibaptis, maupun yang dibaptis menjadi Katolik?

3. Bagaimana ambivalensi berlangsung dalam produksi dan pewarisan ingatan

komunitas Katolik Sabu?

1.3. Tujuan Penelitian Tesis

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan di atas, tesis ini ditulis:

1. Untuk mengetahui pengaruh pertemuan Katolik dan Jingitiu.

2. Untuk mengetahui sejauh mana proses dialektika identitas berlangsung di tengah

komunitas Katolik dan Jingitiu.

3. Untuk mengetahui bagaimana ingatan, di tengah ambivalensi, diproduksi dan dirawat

oleh komunitas Katolik Sabu.

1.4. Manfaat Tesis

Tesis ini diharapkan bermanfaat bagi penelusuran akademik lebih lanjut mengenai

sejarah gereja Katolik di NTT, khususnya di Sabu, hubungannya dengan tradisi dan

khazanah tradisional, serta memperkaya kajian-kajian seputar persoalan identitas dan

refleksi yang melatarinya.

1.5. Tinjauan Pustaka

1.5.1. “Savu: History and Oral Tradition on an Island of Indonesia”

Penelitian untuk tesis ini sedang dilakukan ketika buku Savu: History and Oral

Tradition on an Island in Indonesia (NUS Press, 2018, selanjutnya disebut Savu) terbit.

Buku yang ditulis oleh Genevieve Duggan dan Hans Hägerdal adalah kolaborasi antara

riset antropologi selama puluhan tahun dan penelusuran arsip-arsip kolonial. Buku Savu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

9

memuat begitu banyak informasi penting tentang Sabu. Tiga bab awal buku Savu

membahas ingatan kolektif orang-orang Sabu tentang asal-mula dan terciptanya pulau,

terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat, sistem ritual dan pembagian wilayah.

Bab-bab selanjutnya, bab 4-10, membahas perkembangan Sabu dan interaksinya dengan

kebudayaan-kebudayaan lain: Majapahit, Portugis, dan Belanda, hingga zaman

pascakemerdekaan.

Dengan menggunakan sumber-sumber lisan, yakni penuturan-penuturan

masyarakat Sabu, dan sumber-sumber arsip tertulis kolonial, buku Savu merupakan buku

penelitian tentang Sabu yang paling komprehensif cakupannya, baik dari segi rentang

waktu maupun topik pembahasan. Buku Savu juga mengelaborasi dan menanggapi

beberapa penelitian sebelumnya tentang Sabu, baik dari ranah antropologi maupun studi-

studi singkat yang pernah dilakukan sebelumnya. Ketiga buku yang jadi rujukan dalam

buku Savu saya gunakan juga sebagai kajian pustaka, karena ketiganya ditulis oleh orang

Indonesia.

Sejumlah bagian dari Savu yang dipakai dalam tesis ini adalah kajian historis

Kristen dan pertemuannya dengan orang-orang Sabu yang menganut Jingitiu pada masa

kolonial. Bagian yang juga penting dari buku Savu bagi tesis ini adalah kisah tentang Ju

Deo dan Ina Ju Deo yang diperoleh Duggan dari narasumber di Sabu dalam buku Savu.

Kisah tersebut saya bandingkan dengan narasi lain yang saya dengar dari narasumber

penelitian saya, sebuah narasi yang dipertahankan dengan turun-temurun secara lisan

untuk melihat pengaruh pertemuan dengan Kristen dalam mitologi tradisional, dan

berubahnya sudut pandang narasi dalam mitologi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

10

1.5.2. Dunia Orang Sawu

Dunia Orang Sawu (1978) adalah sebuah karya analisis struktural tentang orang-

orang Sabu yang ada di Mesara. Karya Nico L. Kana ini adalah karya yang paling

mendalam yang pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Karya yang berasal dari disertasi

Kana ini dibuka dengan dua bab yang menjelaskan secara singkat alasan dan tujuan

penelitian di Sabu, serta gambaran umum tentang Sabu. Pada empat bab selanjutnya,

Kana membahas tentang rumah orang Sabu dan dimensi kulturalnya (bab 3), serta

upacara-upacara adat dan makna-makna simbolik di baliknya (bab 4-6). Tiga bab

berikutnya, bab 7-9, menampilkan penelusuran terhadap gagasan orang Sabu tentang

waktu, alam semesta dan manusianya. Pada bab 9, pandangan orang Sabu tentang

persebaran penduduk dan relasi antarkelompok ditampilkan Kana. Kana menutup

penelitiannya ini dengan bab yang memaparkan makna dunia kehidupan bagi orang

Sabu, dan mencoba menyingkap hal-hal yang ia pandang tersirat dalam kebudayaan

Sabu.

Dunia Orang Sawu digunakan dalam tesis ini karena tempat penelitian disertasi

Kana adalah juga tempat pengambilan data bagi tesis ini. Meski menulis tentang banyak

aspek kehidupan sosial dan kultural orang-orang Sabu, istilah ―Jingitiu‖ tidak sekalipun

digunakan Kana dalam Dunia Orang Sawu.

1.5.3. Orang Sabu dan Budayanya

Orang Sabu dan Budayanya (2005) adalah karya Robert Riwu Kaho yang ditulis

dengan tujuan memperkenalkan Sabu secara singkat kepada para peserta Persidangan

Majelis Sinode GMIT XXV di Sabu pada bulan April 2000. Karya ini coba

memfokuskan pembahasan tentang hubungan antara Sabu dan Gereja Masehi Injili di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

11

Timor. Inilah buku pertama yang menggunakan konsep Jingitiu untuk menyebut agama

tradisional orang Sabu.

Orang Sabu dan Budayanya mengelaborasi gagasan-gagasan yang sebelumnya

sudah ditulis oleh Kana dalam bukunya. Bagian penting buku ini adalah bagaimana

penulis melihat hubungan Protestan dengan Jingitiu dan orang Sabu secara umum. Pada

bab 5, misalnya, Riwu Kaho membagi periode penginjilan berdasarkan masa pertemuan

dengan orang-orang Eropa. Pembagian ini berfungsi untuk mendudukkan peran GMIT di

Sabu.

Pada bab 6, diperlihatkan hubungan antara penginjilan dan dampaknya terhadap

budaya Sabu. Dampak positif menurut Riwu Kaho, antara lain, adalah pendidikan yang

memungkinkan orang-orang Sabu mengembangkan diri di tengah masyarakat (2005:

172). Riwu Kaho memotret dampak negatif yang pernah terjadi di Sabu berkaitan dengan

penginjilan, yakni dibongkarnya sebuah tempat acara Jingitiu di Liae dan dibatalkannya

sebuah perayaan syukur panen (Banga Liwu) di Namata karena bertepatan dengan hari

raya Paskah.

Karya Riwu Kaho ini berguna bagi penelitian saya terutama untuk mengkaji

hubungan antara Protestan dan Jingitiu yang sudah lebih dahulu disampaikan Riwu Kaho

dalam penelitiannya. Beberapa bagian dari karya ini, seperti etimologi Jingitiu, sejumlah

kasus yang berkaitan dengan G30S dan konversi agama orang-orang Jingitiu, saya

gunakan sebagai data dalam tesis saya.

1.5.4. Penelitian-Penelitian Lain

Dua penelitian awal yang penting dalam tarafnya masing-masing memperkenalkan

Sabu ke dunia internasional dan khazanah berbahasa Indonesia ditulis oleh Yakob Detaq,

Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu (1973), dan James Fox, Harvest of the

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

12

Palm (1977). Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu adalah karya berbahasa

Indonesia pertama yang mencoba memperkenalkan khazanah Sabu. Seluruh bagian

dalam karya ini, dari asal mula terbentuknya pulau Sabu, pembagian waktu dan wilayah,

hingga silsilah orang Sabu, ditulis berdasarkan sumber-sumber lisan. Adapun Harvest of

the Palm adalah karya berbahasa Inggris yang memperkenalkan Sabu secara luas ke

lingkungan akademisi. Hal ini tampak dari rujukan buku-buku tentang Sabu dan Raijua

yang ditulis setelahnya. Harvest of the Palm membahas mengenai peranan lontar bagi

masyarakat Rote dan Sabu, dan membandingkannya dengan kasus di Madura. Dalam

Harvest of the Palm, Fox juga menunjukkan pertemuan orang Sabu dengan Belanda dan

pertama kali menunjukkan bahwa silsilah oral yang dirawat masyarakat Sabu dapat juga

dicocokkan dengan arsip yang ditinggalkan bangsa Eropa tentang Sabu. Dalam buku ini,

Fox menggunakan contoh jurnal James Fox.

Informasi-informasi dari kedua karya ini ditanggapi dalam karya-karya yang terbit

kemudian. Hubungan tradisi oral dan arsip teks kolonial yang embrionya kita kenal

melalui karya Fox, misalnya, dielaborasi Duggan dan Hägerdal secara lebih

komprehensif dalam karya mereka Savu: History and Oral Tradition on an Island in

Indonesia. Pewarisan silsilah, riwayat tempat dan tradisi secara lisan yang ada dalam

karya Detaq dikembangkan secara lebih struktural dan antropologis dalam karya-karya

yang ditulis kemudian, termasuk karya Kana dan Duggan dan Hägerdal.

Adapun karya yang juga saya gunakan untuk memperkaya khazanah pustaka saya

adalah skripsi-skripsi mengenai hubungan antara Sabu dan Jingitiu. Skripsi-skripsi ini

dipakai dalam tesis ini, karena sejauh ini, ketiga karya inilah yang membicarakan aspek-

aspek tertentu dari hubungan antara Jingitiu dan Katolik.

Karya pertama adalah skripsi berjudul Nilai Upacara Daba di Kalangan

Masyarakat Jingitiu bagi Karya Pastoral Gereja Katolik di Kelompok Umat Basis di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

13

Desa Pedarro Stasi Santo Gregorius Perema Paroki Santo Paulus Seba Keuskupan

Agung Kupang (2010). Skripsi ini ditulis oleh Tersiana Huki, seorang sarjana Sabu yang

berkonversi agama dari Jingitiu menjadi Katolik. Skripsi Huki menunjukkan paralelitas

sakramen Permandian dalam Gereja Katolik dengan upacara Daba, sebuah ritual inisiasi

kaum Jingitiu. Tiga poin awal kesimpulan penelitian Huki adalah (2010: 53-57): (1)

upacara Daba adalah manifestasi kedalaman rohani orang-orang Jingitiu, (2) upacara

Daba identik dengan penerimaan Sakramen Permandian dalam liturgi Gereja Katolik dan

(3) kebudayaan setempat (Jingitiu) merupakan arena yang baik bagi pertumbuhan dan

pemeliharaan iman karena telah memiliki manifestasi kedalaman rohani dalam bentuk-

bentuk upacara seperti Daba. Penelitian ini dapat dibaca sebagai penyesuaian atau cara

kompromi yang, meski tidak mewakili pandangan umum komunitas Sabu yang dibaptis

Katolik, mampu menampilkan kecenderungan apropriasi atas agama baru dengan

penyesuaian faset-faset baru itu ke dalam kenyataan tradisi di mana agama baru itu

bertumbuh.

Penelitian itu sebenarnya tidak hanya menampakkan bagaimana apropriasi coba

untuk dilakukan. Laporan itu juga menampilkan bagaimana apropriasi dalam faset yang

berbeda bisa menampakkan sisi resistennya. Dalam penelitian itu dengan tegas

ditampilkan secara berbeda dua ritual dari Katolik dan Jingitiu. Dengan kata lain, adopsi

atas ritual-ritual Katolik ke dalam faset-faset upacara Daba Jingitiu tidak dilakukan.

Bertahannya Daba selama bertahun-tahun menandakan adanya resistensi yang sistematis

dari orang-orang Jingitiu, sebelum anak-anak yang di-daba cukup usia dan dibiarkan

dibaptis menurut agama luar yang dipilih mereka atau atas anjuran kerabat dan sanak-

saudara.

Contoh lain bagaimana tradisi Jingitiu coba dielaborasi dan dilihat dari kacamata

orang Sabu Kristen adalah penelitian yang dilakukan oleh Thomas Koro Magga dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

14

Adrianis Dimu. Skripsi Koro Magga yang berjudul Studi Empiris tentang Upacara Tao

Leo di Kalangan Masyarakat Jingitiu di Raijua dalam Perbandingan dengan Liturgi

Pemakaman menurut P. Alexander Beding, SVD (1997) menampakkan kecenderungan

untuk melihat Tao Leo atau upacara ritual kematian orang Sabu sebagai indikasi positif

untuk menyusupkan nilai-nilai Kristiani. Dalam dua dari lima kesimpulan penelitiannya,

Koro Magga (1997: 156-159) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan sarana efektif

bagi pewartaan injil dan pertumbuhan iman, serta upacara Tao Leo identik dengan

penobatan orang kudus dalam Gereja Katolik. Setali tiga uang dengan kesimpulan Koro

Magga, Dimu dalam skripsinya yang berjudul Nilai Religius Ammu Hawu bagi

Masyarakat Sabu berpendapat bahwa ammu hawu (rumah tradisional Sabu)

menampakkan dimensi religius (sensus religiosus) dari penghuninya dan dapat

dipandang ―tanah yang baik bagi tumbuh kembangnya benih Firman Kehidupan‖ (1998:

67).

Penelitian Huki, Koro Magga, dan Dimu menunjukkan dimensi-dimensi yang rinci

tentang ritual-ritual dan aspek-aspek spiritual masyarakat Sabu, dan mereka dengan sadar

menggunakan pemahaman terhadap aspek-aspek tersebut sebagai celah untuk

memperkenalkan kesamaan nilai-nilai ritual tradisional Sabu dengan nilai-nilai Kristen.

Ketiga peneliti adalah orang Sabu yang mengalami pengalaman sebagai, atau

berinteraksi dengan orang-orang Jingitiu, entah berkat pergaulan dengan orang-orang di

sekitar atau mengalaminya sebagai bagian dari tradisi keluarga besar, sebelum akhirnya

benar-benar memilih untuk menjadi pewarta iman Katolik. Huki dan Koro Magga adalah

katekis-katekis angkatan awal di pulau Sabu, sedangkan Dimu adalah imam pribumi

pertama dari pulau tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

15

1.6. Kerangka Teoretis

Ada dua gagasan Homi Bhabha dari bukunya The Location of Culture (2004) yang

akan diuji dalam pembahasan kerangka teoretis penelitian ini. Gagasan yang pertama

adalah ambivalensi, sedangkan gagasan yang kedua adalah identitas. Gagasan yang

pertama berkaitan dengan konsep mimikri dan aspek identitas di dalam prosesnya,

sementara gagasan yang kedua berkaitan dengan penempatan identitas dalam komunitas.

Gagasan tentang ambivalensi saya ambil dari esai berjudul “Of Mimicry and Man: The

Ambivalence of Colonial Discourse” sedangkan gagasan kedua selain dari esai tersebut,

akan dibantu dengan esai lain Bhabha yang berjudul “How Newness Enters the World:

Postmodern Space, Postcolonial Times and the Trials of Cultural Translation”.

Dalam esai “Of Mimicry and Man,” Bhabha berpendapat bahwa mimikri

dikonstruksi dalam ambivalensi dan merupakan tanda dari sebuah artikulasi ganda, yang

mendekati ―Other‖ sebagaimana memandang kekuasaan (2004: 122). Dari gagasan di

awal esai tersebut dapat dilihat bahwa Bhabha menggunakan konsep-konsep kunci

psikoanalisa, terutama dari Lacan. Mimikri adalah hasrat untuk menjadi “a subject of a

difference that is almost the same, but not quite.” (ibid. loc.cit.). Dalam mimikri, tanda

rasial dan prioritas kultural diproblematisasi (2004: 124). Yang muncul adalah sebuah

penulisan, sejenis mode representasi, yang meminggirkan sejarah besar.

Dalam pemahaman Huddart (2006: 114), mimikri menurut Bhabha berarti

penyalinan yang berlebihan terhadap bahasa, budaya, kebiasaan dan gagasan. Sebagai

contoh, di antara kehidupan berkomunitas di NTT, ada stereotipe dan lelucon bahwa

bahasa Indonesia orang Sabu selalu melenyapkan huruf konsonan di akhir kata.

Stereotipe ini berangkat dari kenyataan bahwa bahasa Sabu adalah bahasa yang diakhir

oleh huruf vokal, dan sejumlah kecil orang Sabu kadang membawa kebiasaan melafalkan

bahasa daerah ketika berbicara bahasa Indonesia. Lelucon ini adalah olok-olok

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

16

(mockery), jika dikisahkan oleh komunitas etnis lain dengan tujuan merendahkan.

Dengan sadar terhadap tujuan tersebut, orang Sabu pun justru mengulang lelucon

tersebut, yang awalnya bertujuan mengolok-olok, sebagai sarana menertawakan diri

sendiri. Lama-kelamaan, cara tersebut menghasilkan resistensi. Demikianlah mimikri

dihasilkan. Lelucon stereotipikal yang awalnya digunakan untuk menyerang, dipakai

sebagai bentuk resistensi.

Menurut Huddart, secara umum, mimikri adalah respons terhadap sirkulasi

stereotipe. Mimikri memiliki kualitas komikal penting justru karena wacana kolonial

begitu serius dan khidmat (2006: 114). Dialektika dalam proses mimikri ini menjadikan

wacana kolonial terbelah sehingga penerimaan realitas maupun penolakannya sebagai

realitas sekaligus pengggantiannya sebagai produk hasrat yang baru berlangsung secara

terus-menerus dan dalam pada itu realitas diartikulasikan sebagai mimikri (Bhabha,

2004: 130). Gagasan mimikri Bhabha dapat pula digunakan untuk melihat bagaimana

stereotipe secara umum digunakan sebagai sarana resistensi. Dalam penelitian ini,

mimikri digunakan dalam sebuah wilayah pascakolonial, yang ekses langsungnya sudah

lenyap puluhan tahun sebelumnya.

Ambivalensi, dalam gagasan yang diajukan Bhabha, sebagai bagian dari identitas,

menolak dikotomi, karena otoritas yang muncul dari efek kolonialisme berusaha terus-

menerus digerakkan oleh penentangan sekaligus penerimaan subjek yang dikoloni,

dihasratkan tetapi sekaligus tidak pernah dapat disamai secara persis. Dalam poros

semacam ini, kristianitas sebagai bagian dari otoritas kolonial terus-menerus bergerak

dalam dialektika identitas masyarakat Sabu.

Jika ambivalensi, dalam kaitannya dengan identitas, mempermasalahkan narasi

besar kolonialisme, gagasan yang tidak kalah pentingnya dari identitas manusia

pascakolonial adalah penempatan identitas tersebut di dalam realitas komunitas.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

17

Komunitas manusia pascakolonial adalah komunitas yang bertolak belakang dari

pandangan Anderson dalam Imagined Communities. Dalam esainya yang kedua, “How

Newness Enters the World,” Bhabha menawarkan, antara lain, dua definisi tentang

komunitas. Pertama, komunitas, adalah pengganggu narasi besar kapital global, yang

mengganti penekanan pada produksi menjadi kolektivitas ‗kelas‘, dan yang

mengacaukan homogenitas dari komunitas terbayang sebuah bangsa. Kedua, komunitas

adalah suplemen antagonis dari modernitas: dalam wilayah metropolitan komunitas

adalah teritori dari minoritas, dalam dunia transnasional komunitas adalah masalah batas

dari orang-orang diaspora, migran dan pengungsi (2004: 330). Definisi pertama lebih

erat kaitannya dengan kritiknya terhadap Anderson terutama gagasannya tentang

imagined communities dan homogeneous, empty time (dan lebih jelas dielaborasi Bhabha

dalam esainya yang berjudul ―DissemiNation: Time, Narrative and the Margins of the

Modern Nation). Dalam definisi kedualah dapat dijumpai persinggungan tentang

minoritas dan kemungkinan bagi identitas-identitas yang terus-menerus bergerak dalam

berinteraksi. Definisi yang kedua dapat diuji untuk mencari tahu kesesuaian konsep

komunitas yang digunakan Bhabha untuk kasus India dengan strategi orang-orang yang

memperoleh identitas Jingitiu, sebagai bagian dari dialog dengan Kristen, untuk melihat

kristianitas sebagai sesuatu yang tidak lagi universal melainkan kontekstual dan bisa

diterima sekaligus yang mampu mereka tampilkan sebagai identitas baru yang sama

sekali berbeda dengan kristianitas versi terdahulu.

1.7. Batasan Tesis

Tesis ini mencakupi hubungan antara Katolik dan Jingitiu, dialektika kedua

khazanah dan bagaimana dialektika itu ditampilkan dalam ruang sosial. Hubungan-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

18

hubungan dengan komunitas lain ditampilkan sejauh perlu dan mendukung tema utama

penelitian ini.

1.8. Metode Penelitian

Pengambilan data tesis dilakukan dengan tiga cara: studi pustaka, wawancara dan

studi lapangan (lived experience) selama liburan peralihan semester, Desember 2017-

Januari 2018, dan Juni 2018-Agustus 2018. Studi pustaka dilakukan untuk memeriksa

kembali kemungkinan-kemungkinan yang luput dikaji dalam penelitian-penelitian

tentang masyarakat Sabu dan gereja Katolik di NTT terdahulu, sekaligus memperoleh

hal-hal yang berguna untuk mempertajam perspektif sekaligus mendukung dua cara

pengambilan data yang lain. Bahan-bahan studi pustaka, selain ditelusuri di Yogyakarta

selama masa penulisan tesis, juga dikumpulkan dari bahan-bahan yang ada di Kupang

dan Sabu, terutama bahan-bahan yang berkaitan dengan sejarah Kristen, terutama gereja

Katolik di NTT. Wawancara dilakukan secara mendalam (in depth interview) bersamaan

dengan studi lapangan dengan sejumlah narasumber yang telah ditentukan, yakni

Kornelis Tael, Tadeus Lodo dan Habel Bunga, pengajar di dua sekolah dasar Katolik di

Sabu, Pa Lede Kenuhe salah satu dari Ratu Mone Pidu, serta Franz Lackner misionaris

yang memasuki tahun misi ke-51 di pulau Sabu, serta bahan-bahan dari para katekis yang

dibiayai oleh Franz Lackner. Hal-hal ini dilakukan dengan tujuan lebih beragam suara

yang diperoleh, tetapi sekaligus peneliti mampu menempatkan refleksivitas diri di

dalamnya, dan mendayagunakan dialektika yang terjadi untuk mempertajam dan

menjembatani cara peneliti melihat persoalan.6 Studi lapangan difokuskan di Sabu,

terutama di desa Tanajawa dan sekitarnya, lokasi tempat SD Katolik Perema berada dan

6 Menurut Saukko (2003: 72-73), tujuan penelitian new etnographic adalah untuk membangun mode-mode

kajian dan penulisan yang memungkinkan peneliti untuk menjadi lebih setia terhadap realitas dari masyarakat

lain. Dengan menekankan pada elemen kolaborasi, refleksivitas diri dan polivokalitas, new etnography

diharapkan mampu menampilkan perspektif yang berbeda.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

19

Mehona, tempat SD Katolik Mehona berada, tempat di mana orang-orang Kristen dan

orang-orang Jingitiu hidup bersama.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah autoetnografi, genealogi dan

dekonstruksi. Genealogi sebagai metode, menurut Saukko, (2003: 133-134) berusaha

menginvestigasi sejarah sebagai sesuatu yang taken-for-granted melalui pengujian

terhadap teks-teks sejarah untuk melihat sejak kapan pernyataan-pernyataan tertentu

muncul menjadi wacana. Pengujian lain yang memungkinkan penggunaan metode

genealogi adalah investigasi terhadap sejarah fenomena yang membentuk masa kini.

Teks-teks sejarah yang akan diteliti pada bagian ini tidak hanya bersumber dari laporan-

laporan yang ditulis oleh para misionaris, pemuka agama, antropolog, dan para sarjana

terdahulu, tetapi juga narasi-narasi lisan yang berkembang di tengah masyarakat Sabu,

dokumen-dokumen seperti Buku Induk Permandian dan Buku Induk Pernikahan gereja

Katolik Sabu.

Menurut Saukko, penyelidikan genealogis berbeda dari penyelidikan historis

tentang asal-usul. Melalui genealogi, sejarah tidak dilihat sebagai kontinuitas, melainkan

patahan. Jika penyelidikan historis melegitimasi masa kini dengan mencari pijakannya di

masa lalu, penyelidikan genealogis justru mengkaji sejarah untuk menantang masa kini.

Dengan kata lain, metode genealogis ditandai dengan karakter pembacaan yang hati-hati

terhadap detail-detail historis bukan untuk mencari kebenaran yang disampaikan,

melainkan untuk menyingkap kebenaran yang terkandung (2013: 129).

Dari penyelidikan genealogis ini pembahasan dilanjutkan melalui metode

dekonstruksi untuk mempermasalahkan dikotomi-dikotomi dan pandangan-pandangan

biner yang berkembang. Dekonstruksi sebagai metode (Saukko, 2003:147)

dikembangkan untuk membongkar masalah-masalah dasar yang problematik di bagian

dalam tetapi tampak progresif di permukaan. Kritik Saukko atas metode dekonstruksi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

20

adalah bahwa penggunaannya sering kali berakhir pada pembentukan dikotomi baru dan

perangkulan gagasan-gagasan pokok dari kebebasan yang tak terartikulasikan. Untuk

sedapat mungkin menghindari jebakan ini atau malah terjerembap ke dalam nihilisme,

dekonstruksi sebagai metode akan ditempatkan dalam kerangka identitas dan

ambivalensi yang telah disediakan oleh Bhabha untuk membaca fenomena penelitian ini.

Dengan metode ini pula, narasi Bhabha dalam pembangunan konsep-konsepnya akan

ditinjau kembali.

Autoetnografi digunakan sebagai titik berangkat melihat persoalan dari bingkai

keluarga dan lingkungan terdekat ke area yang lebih luas, terutama komunitas Katolik

dan Jingitiu di Sabu. Autoetnografi digunakan sebagai metode agar sensitivitas terhadap

pertemuan antarkelompok dapat dielaborasi kembali menggunakan pengalaman yang

pernah dialami dan diamati.

Analisis tesis ini, mengikuti Saukko (2003: 23-25), adalah dengan uji validitas

dialogis dan kontekstual (ibid. op.cit., 19-22). Data-data yang diperoleh dari hasil studi

lapangan, wawancara dan penelusuran pustaka dipertemukan, dikritisi untuk disusun

kembali dengan mengedepankan self-reflexivity, truthfulness, polyvocality serta

sensitivitas terhadap konteks sosial dan kesadaran akan historisitas.

1.9. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri atas lima bab.

Bab pertama berisi latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, batasan penelitian, kajian pustaka, kerangka teoretis, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan pembahasan konteks historis dan sosiokultural masyarakat

Sabu dan pertemuannya dengan gereja Kristen: pertama, sejarah pertemuan orang-orang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

21

Sabu dengan kaum kolonial pada masa lalu, termasuk munculnya dikotomi Jingitiu-

Kristen dan tegangan awal yang muncul dalam perubahan mekanisme pewarisan ingatan;

kedua, perkembangan agama Kristen di Sabu hingga sekarang. Bagian pertama

mencakupi bagaimana sejumlah pandangan hidup orang Sabu dapat disimak dari

sejumlah mitologi sebelum bertemu dengan agama Kristen. Deskripsi bagian ini dibantu

dengan penelusuran hasil laporan para antropolog terdahulu yang menulis tentang

khazanah Sabu. Bagian kedua mencakupi bagaimana agama Kristen berkembang di Sabu

sejak paruh kedua abad ke-20 hingga awal masuknya gereja Katolik di Sabu berdasarkan

penelusuran pustaka. Bagian ini akan mencakup bagaimana pemaknaan identitas dan

politik ingatan berkembang semakin kompleks dalam interaksi sosial orang-orang Sabu.

Bab ketiga adalah bentangan data penelitian. Bab ini berisi narasi hasil wawancara

terhadap narasumber terpilih. Bagian ini dibagi menjadi dua bagian: Pertama, narasi

historis tentang masa embrional gereja Katolik di Sabu melalui dua sekolah yang

dibangun, peran guru agama dan katekis, serta hubungan dengan orang-orang Jingitiu

yang bersekolah di sana. Pembahasan bagian ini juga dibantu dengan penelusuran

terhadap Buku Induk Permandian dan Buku Induk Pernikahan, dua arsip tertulis yang

menunjukkan angka perkembangan orang-orang Katolik di Sabu. Penelusuran arsip ini

juga berfungsi untuk melihat hubungan antara Katolik dan Jingitiu. Kedua, narasi tentang

pengalaman Pa Lede, Kenuhe dari komunitas Jingitiu di dalam ruang-ruang sosial di

Sabu yang juga dihuni para penganut Kristen dan Katolik. Pembahasan bagian kedua

dibantu dengan observasi lapangan, data autoetnografi peneliti dan penelusuran pustaka

yang mendukung.

Bab keempat adalah bab analisis. Bab ini berisi analisis tentang bagaimana mimikri

dan ambivalensi bekerja dalam temuan-temuan di bab tiga. Dari analisis tersebut,

identitas dan komunitas orang-orang yang berinteraksi di dalamnya dirumuskan kembali.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

22

Bab kelima adalah kesimpulan berdasarkan rumusan masalah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

23

BAB II

SABU, JINGITIU DAN KRISTEN: KISAH-KISAH PERTEMUAN AWAL

Pertemuan awal Sabu dan Kristen penting untuk melihat bagaimana sejarah

kolonialisme berpengaruh terhadap orang Sabu merawat ingatan, sesuatu yang hingga

kini bertahan dan secara langsung berpengaruh terhadap dikotomi Kristen-Jingitiu.

Sebagian besar kronologi dalam bab ini mengandalkan buku-buku sejarah gereja tentang

NTT dan Sabu, serta laporan-laporan yang dihasilkan oleh para antropolog tentang Sabu

yang saya sesuaikan dengan kebutuhan pembahasan bab ini. Bagian pertama mencakupi

bagaimana sejumlah pandangan hidup orang Sabu dapat disimak dari sejumlah narasi

sebelum bertemu dengan agama Kristen. Deskripsi bagian ini dibantu dengan

penelusuran hasil laporan para antropolog terdahulu yang menulis tentang khazanah

Sabu. Bagian kedua mencakupi bagaimana agama Kristen berkembang di Sabu sejak

paruh kedua abad ke-20 hingga awal masuknya gereja Katolik di Sabu berdasarkan

penelusuran pustaka. Bagian ini akan mencakup bagaimana pemaknaan identitas dan

politik ingatan berkembang semakin kompleks dalam interaksi sosial orang-orang Sabu.

2.1. Genesis, Eksodus, dan Kelahiran Suku Bangsa Sabu

Ada sejumlah narasi tentang penciptaan dan hubungannya dengan genealogi

masyarakat Sabu saat ini. Salah satu narasi tersebut antara lain mengisahkan pulau Sabu

yang dibentuk dari tanah taburan yang diambil dari Raijua, dari kolong rumah Mone

Weo, yang didahului oleh eksodus seseorang bernama Kika Ga. Kisah kelahiran pulau

Sabu yang didahului kisah eksodus tersebut adalah kisah penciptaan kedua. Sabu adalah

dunia muda, yang dibentuk dari tanah yang diambil dari Raijua yang lebih tua di sebelah

Barat. Sabu adalah pulau yang tenggelam, dan untuk menghadirkannya ia perlu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

24

ditumpuki tanah. Duggan dan Hägerdal (2018) membuka laporan mereka tentang Sabu

dengan meletakkan kisah penciptaan dunia pada awal mula, melalui penelusuran

genealogi lisan orang-orang Sabu. Buku Savu: History and Oral Tradition on an Island

of Indonesia dibuka dengan bab berjudul ―From the Base of the World‖. Buku yang

ditulis oleh Duggan dan Hägerdal dengan memanfaatkan sumber-sumber lisan yang

berasal dari wawancara etnografi Duggan selama 30-an tahun dan sumber-sumber arsip

kolonial yang diakses Hägerdal tersebut adalah buku yang paling ambisius dan

komprehensif yang pernah ditulis dalam ranah penelitian tentang Sabu. Meski demikian,

menarik membandingkan susunan buku tersebut dengan dua buku lain tentang Sabu yang

sama-sama memuat kisah penciptaan. Buku tersebut adalah Orang Sabu dan Budayanya

yang ditulis Robert Riwu Kaho dan Dunia Orang Sawu dari Nico L. Kana. Kisah

penciptaan alam semesta baru dimasukkan Riwu Kaho pada bab 4 yang berjudul

―Budaya Orang Sabu‖, sub judul ―Tentang Penciptaan Alam Semesta dan Isinya‖,

sedangkan Kana bahkan mengisahkan narasi penciptaan yang dilacaknya dari genealogi

lisan orang-orang Sabu baru pada bab 8 yang berjudul ―Terjadinya Alam Semesta, Tanah

Sawu dan Manusianya‖. Ada kesamaan yang samar ditampakkan oleh Riwu Kaho dan

Kana dalam laporan mereka; kisah penciptaan Sabu hanya bisa disimak ketika para

pembaca telah mengetahui manusia dan budayanya. Di sisi sebaliknya, laporan Duggan

dan Hägerdal ditulis dengan meniru susunan Alkitab, segala sesuatu mesti dibuka dengan

penciptaan dunia, sebelum pembaca menemukan narasi tentang peradaban yang

dikembangkan manusia.

Kisah penciptaan dalam Riwu Kaho dan Kana selalu dimulai dengan sosok

bernama Deo Ama, sedangkan kisah penciptaan dalam Duggan dan Hägerdal dimulai

dengan ungkapan D‟a‟i Nata Woro Ei. Pada keturunan kelima dari Woro Ei adalah sosok

Deo Muri. Sosok pertama dari kisah penciptaan nyaris hanya disebutkan sebagai sosok

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

25

tunggal tanpa cerita lanjutan dalam penelitian-penelitian sebelum Duggan dan Hägerdal.

Kedua peneliti terakhir kemudian berusaha menarik konsepnya secara harfiah. ―Dalam

kosmogoni Sabu,‖ tulis Duggan dan Hägerdal (2018: 13), ―awal mula ada di pusat dunia

dan muncul dari kegelapan, d‟a‟i nata woro ei.‖ ―D‟a‟i‖ berarti ―bawah‖ (sebagai

antonim ―d‟i‟da‖ yang berarti ―atas‖), ―nata‖ berarti ―dasar‖, ―woro‖ berarti ―buih‖, dan

―ei‖ berarti ―air‖. Dari penelusuran harfiah ini air adalah unsur penting dalam

pembentukan semesta orang Sabu. Dalam kisah penciptaan kedua (pengangkatan pulau

Sabu yang tenggelam), air adalah unsur yang mesti ditimbun dengan tanah, sementara

dalam penciptaan pertama airlah salah satu unsur dasar penciptaan. Pemisahan genealogi

secara tegas antara langit (liru), bumi (rai) dan laut (dahi) baru terjadi pada generasi

kesembilan setelah Deo Ama yang diwakili oleh keturunan Bèla Bako bernama Liru Bèla

(langit), Rai Bèla (bumi) dan Dahi Bèla (laut) (Kana, 1983: 106; Riwu Kaho, 2005: 79).

Dari Rai Bèla, muncullah garis keturunan keenam yang kemudian menghasilkan D‘a‘ra

D‘a‘i dan Nata D‘a‘i. Nata D‘a‘i adalah pangkal yang menurunkan manusia, binatang

dan tumbuh-tumbuhan, sedangkan D‘a‘ra D‘a‘i adalah pangkal yang menurunkan gejala-

gejala angkasa (Kana, ibid., loc.cit.).

Meski demikian, barulah pada Kika Ga orang-orang Sabu dapat merujuk silsilah

keturunan patrilineal mereka (genealogi pria). Kisah pertama dapat kita simak dalam

laporan Detaq (1973: 7-8). Dikisahkan di suatu tempat bernama Hura berdiam dua orang

anak laki-laki bersaudara, Kika Ga dan Djape Ga. Djape Ga lebih dikasihi daripada Kika

Ga, karena itu Kika Ga memutuskan untuk meninggalkan Hura. Dengan berkuda, Kika

Ga meninggalkan Hura, meneruskan perjalanan berhari-hari dan tiba di Djawa Wawa

(sekarang bernama Raijua). Di Djawa Wawa pada waktu itu, di sebuah tempat yang

bernama Ketita, berdiamlah seorang dewa bernama Mone Rau dan saudarinya yang

bernama Mudji Rau. Kika Ga kemudian memperistri Mudji Rau dan memperoleh anak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

26

bernama Hu Kika. Setelah berkeluarga, di sebelah timur Ketita, timbullah dari dasar laut

dataran Teriwu (sekarang merupakan dataran tertinggi di pulau Sabu). Setelah

kemunculan pulau tersebut, Kika Ga bersama keluarganya pun pindah dari Ketita ke

Teriwu. Selanjutnya mereka beranak pinak dan menghasilkan keturunan yang menjadi

cikal-bakal orang Sabu sekarang ini.

Hikayat lain mengisahkan bahwa Kika Ga datang dari sebuah tempat yang jauh,

ketika pulau Sabu belum terbentuk. Di tempat yang kini menjadi pulau Sabu, hanya ada

sebutir batu, yakni Wadu Mea, dan dua puncak, Merabu dan Kebuhu. Sekian lama

sendiri di Wadu Mea, Kika Ga pun tersangkut kail pancing Ludji Liru, anak dewa Liru

Bèla, dan ditarik ke kahyangan. Di kahyangan Kika Ga dijadikan anak angkat Liru Bèla,

dan memperistri dewi Lia Ra. Dari kahyangan, Kika Ga dan Lia Ra kembali ke puncak

Merabu bersama Ludji Liru. Kika Ga dan Lia Ra kemudian ditinggalkan Ludji Liru di

Merabu ketika ia pergi ke Ketita, tempat tinggal pasangan dewa-dewi Mone Weo dan

Bènni Weo. Dari bawah tangga rumah mereka, Ludji Liru mencuri tanah dan

menghamburkan tanah curian tersebut dari puncak Merabu, hingga terbentuklah daratan

yang mengelilingi Merabu dan Kebuhu, yakni pulau Sabu sekarang. Kelahiran pulau

Sabu bersamaan dengan lenyapnya Ludji Liru. Kisah Kika Ga hadir dengan sejumlah

variasi. Ada narasi yang mengisahkan bahwa ada saudari Kika Ga bernama Male Ga,

yang kemudian masuk ke laut dan menjadi paus mistik bernama Iwa Lungi. Ada variasi

lain yang menarasikan bahwa ketika kembali ke bumi Kika Ga dibekali dengan

perangkat tenun (Duggan & Hägerdal, 2018: 22).

Kisah tentang sepasang leluhur orang Sabu ini masih bertahan hingga sekarang

dalam cerita-cerita di antara masyarakat Sabu. Meski bertahan sebagai kisah kedatangan

dan penciptaan hingga sekarang, kisah ini mesti berbagi tempat dengan kehadiran kisah-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

27

kisah lain yang dibawa kaum kolonial pada masa penjajahan, misalnya kisah penciptaan

dan eksodus yang diperkenalkan para zendeling dan misionaris.

Pada bagian kedua dikotomi Jingitiu-Kristen diawali oleh bangsa penjajah yang

secara sederhana membagi masyarakat Sabu menjadi dua bagian akan ditampilkan.

Orang-orang Jingitiu yang mempertahankan kisah penciptaan tersebut relatif tidak

bersentuhan dengan khazanah tekstual, sebagaimana orang Kristen Sabu yang juga

mengenal kisah penciptaan dan eksodus lain dari Alkitab, seperti eksodus Abraham dan

Musa. Kisah tentang penciptaan dan manusia yang dapat dilacak dari genealogi lisan

orang-orang Sabu tidak seterkenal kisah dari Alkitab, yang tidak hanya direproduksi

kembali dari teks menjadi lisan, tetapi juga bertahan sebagai sumber penciptaan seni dan

alih wahana dari berbagai seniman di berbagai belahan dunia, khususnya Eropa Barat,

selama berabad-abad.

2.2. Orang Sabu, Jingitiu, dan Konsep tentang Agama

Sejumlah literatur yang membahas tentang Sabu tidak menyinggung ―Jingitiu‖

sebagai sebuah kategori, atau bagian dari pembahasan yang dibicarakan secara spesifik

mengenai sistem kepercayaan, meskipun menurut Riwu Kaho, istilah ini sudah

digunakan sejak zaman kolonial oleh para misionaris Portugis (2005: 76-77). Sebelum

mulai membahas Jingitiu, ada baiknya kita melihat bagaimana literatur-literatur

terdahulu membahas tentang Sabu dan khazanah tradisinya.

Salah satu literatur yang sering digunakan untuk merujuk pada khazanah Sabu

adalah catatan harian dari pelayar terkenal Inggris James Cook. Seperti telah disinggung

pada bagian Latar Belakang, James Cook mencatat keberadaannya di Sabu selama empat

hari, tanggal 18 September 1770 sampai tanggal 21 September 1770. Dari catatannya

diketahui bahwa pada waktu itu ada beberapa orang Sabu yang bisa berbahasa Portugis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

28

Dalam jurnalnya bertanggal 20 September Cook menulis bahwa mereka dijamu dengan

tata cara setempat. Pada bagian lain, Cook juga mengisahkan sedikit tentang upacara

kematian seorang raja, dan memuji sistem pernikahan orang Sabu yang monogami dan

tidak mengenal perselingkuhan dan perzinahan. Cook pun menyinggung tentang mahar

yang mesti diserahkan seorang laki-laki Sabu kepada keluarga besar perempuan ketika

menikah, tentang bagaimana gula lontar diolah, tentang kebiasaan orang-orang Sabu

memamah sirih, pinang dan kapur yang dihaluskan dari batu koral, tentang penerjemahan

Perjanjian Baru ke dalam bahasa yang menurut Cook ―peculiar‖ dan ratusan orang yang

dibaptis Kristen oleh Belanda, tentang konstruksi rumah tradisional Sabu, dan lain

sebagainya. Dari catatan Cook diketahui bahwa Sabu pada waktu itu dijaga oleh seorang

petugas VOC kelahiran Jerman bernama Johan Christopher Lange. Lange telah bertugas

selama hampir sepuluh tahun dan mengelilingi pulau Sabu dua bulan sekali untuk

keperluan mengirim hasil panenan ke Kupang. Lange memiliki 50 budak pribumi yang

mengiringinya selama berkeliling mengumpulkan hasil panenan dari tiap wilayah di

Sabu. Para budak pribumi sering ditukar dengan budak yang lain, atau bahkan dengan

binatang seperti babi atau kuda yang bagus. Sabu, menurut catatan Cook, adalah bagian

dari wilayah yurisdiksi Portugal sebelum VOC datang dan berdagang di situ (1983: 453-

462).

Keterangan Cook ini merupakan sumber utama yang digunakan oleh Fox (1977)

untuk menulis bagian tentang hubungan Belanda dan Sabu pada abad ketujuh belas dan

kedelapan belas dari bukunya Harvest of the Palm. Dalam penelitian antropologis untuk

menunjukkan fungsi dan peran tanaman lontar/siwalan (Borassus flabellifer) bagi

masyarakat Sabu dan Rote, Fox juga menyinggung dan memberikan contoh singkat

bagaimana peran genealogi oral membuat orang-orang Sabu mampu melacak jejak para

pendahulu mereka. Dengan berpatokan pada tradisi lisan orang Sabu dalam mengingat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

29

silsilah keluarga, Fox melacak keturunan Madocho Lomi Djara, orang yang disebut

Cook dalam jurnalnya (1977: 120-121).

Meski beberapa kali menggunakan “Savunese religion‖ dalam tulisannya, Fox

tidak secara spesifik menggunakan istilah ―Jingitiu‖ (misalnya, 1977:119 & 120). Pilihan

Fox ini sama dengan cara yang ditempuh Detaq dalam buku Mengenal Kebudayaan Suku

Bangsa Sawu (1973). Detaq menulis tentang tata cara ritual tradisi orang-orang Sabu,

sejumlah narasi penciptaan dan asal-usul, genealogi oral dan dan pembagian tiap

kelompok masyarakat (udu dan kerogo) secara genealogis, pelaksanaan ritual dan

penanggalan sistem lunar, hingga sendi-sendi kehidupan sosial lainnya. Silsilah lisan

Lomi Djara yang dicontohkan Fox, misalnya, dapat kita temukan versi panjangnya dalam

laporan Detaq (1973: 14-15).

Setahun setelah buku Detaq terbit, Nico L. Kana merampungkan disertasinya yang

pada tahun 1983 dibukukan dengan judul Dunia Orang Sawu. Buku ini adalah hasil

penelitian antropologis Kana terhadap khazanah kehidupan orang Sabu, mulai dari

praktik-praktik ritualnya, mitologi penciptaannya, hingga pandangan orang Sabu tentang

waktu dan dunia. Kana memilih tempat penelitian di Mesara (yang kini merupakan satu

kecamatan tersendiri), karena pada waktu itu dianggap ―relatif masih sedikit kontak

dengan dunia luar, baik diperbandingkan dengan situasi prakolonial‖ (1983: 12).

Jika Kana dan Detaq sama-sama memberi porsi yang dominan pada sumber-

sumber lisan, termasuk cara mereka mengelaborasi mitologi-mitologi dan garis genealogi

dari sumber-sumber tersebut, maka Fox agak lebih ketat menelusuri referensi. Jika salah

satu perhatian penelitian dalam Kana dan Detaq adalah pada bagaimana genealogi lisan

menjadi bagian penting dari cara masyarakat Sabu memahami komunitas dan khazanah

kultural spiritual mereka, Fox justru berfokus pada sokongan ekologis, bagaimana daerah

segersang Sabu tetap bisa menghidupi orang-orangnya dengan tumbuhan lontar yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

30

nyaris semua elemennya dimanfaatkan orang Sabu untuk keperluan pangan dan papan.

Dari laporan-laporan ketiganya dalam rentang waktu yang relatif berdekatan, konsep

―jingitiu‖ tidak digunakan.

―Jingitiu‖ baru digunakan dalam buku Robert Riwu Kaho berjudul Orang Sabu

dan Budayanya (2005 [2000]). Tentang Jingitiu, Riwu Kaho menulis:

Agama Suku Sabu tidak diketahui namanya. Akan tetapi sekarang ini masyarakat,

baik di Sabu maupun di luar Sabu menamakan Agama Suku Sabu itu Agama Jingitiu.

Para pastor Katolik Roma berkebangsaan Portugis yang datang ke Sabu pada awal abad

ke-17 untuk tujuan penginjilan, memberi nama orang Sabu sebagai Gentios. Yang

dimaksudkan oleh mereka adalah kafir artinya tidak percaya kepada Allah menurut

konsep agama Kristen. Orang Sabu dan para Mone Ama tidak mengerti akan arti kata

itu sehingga mereka tidak membantahnya (2005: 76).

Dari keterangan ini, kita mengetahui bahwa Jingitiu adalah istilah kategorial, atau

kategori yang muncul untuk mengeksklusi sekelompok masyarakat dari kategori lain

(Kristen). Eksklusi tersebut masih dilanjutkan belakangan, misalnya, sebagaimana

dilaporkan Riwu Kaho bahwa menurut beberapa pendeta GMIT di Sabu, jingitiu berasal

dari tiga kata bahasa Sabu jingi ti Au yang jika diterjemahkan berarti ―menolak-Mu‖ atau

―menolak Tuhan‖ (2005: 77). Pernyataan sejumlah oknum pendeta GMIT itu tentu saja

tidak mewakili seluruh jemaat Protestan Kalvinis yang ada di Sabu, tetapi dapat dibaca

sebagai bagian dari strategi zending atau merupakan sebuah preseden akan adanya

eksklusivitas yang coba dibangun.

Kagiya mencatat bahwa di Raijua, pulau kecil di sebelah barat barat daya pulau

Sabu, jumlah penganut Jingitiu berdasarkan demografi agama tahun 2007 sebanyak

2.360 orang, meskipun jumlah itu secara persentase menurun drastis dari tahun 1982,

dari 60% menjadi 25% (2010: 19). Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi NTT, dalam

laporan tahun 2016 yang memuat data sensus tahun 2015, total persentase penganut

Jingitiu (yang dalam kolom keterangan agama dicantumkan ―lainnya‖) di kabupaten

Sabu Raijua, yang meliputi pulau Sabu dan Raijua, sebanyak 7,24%, berada di urutan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

31

kedua setelah penganut Protestan yang mencapai 89,86%. Katolik dan Islam berada di

urutan ketiga dan keempat dengan masing-masing persentase 1,95% dan 0,95% (2016:

111). Baik Riwu Kaho maupun Kagiya menggunakan istilah Jingitiu sebagai bagian dari

pandangan luar; Riwu Kaho menggunakan pandangan masyarakat umum, Kagiya

menggunakan pandangan pemerintah dalam sensus.

Kita dapat mengamati peran negara dalam cara laporan-laporan tentang orang-

orang Sabu dan Jingitiu ditulis melalui kasus ini. Istilah Jingitiu bagi penghayat

kepercayaan tradisi Sabu datang dari luar, sebagai identifikasi orang luar untuk

memandang orang-orang dan khazanah yang sudah ada sebelumnya. Menurut Picard,

sejak tahun 1952, Kementerian Agama coba untuk memberikan definisi yang legal

mengenai agama (religion) berdasarkan pandangan yang Islamik. ―Menurut

Kementerian,‖ sebagaimana dilaporkan Picard, ―untuk diakui, sebuah agama mesti

merupakan wahyu dari Tuhan, memiliki nabi dan kitab suci, mempunyai sistem hukum

yang diatur bagi para pemeluknya, dan mesti memperoleh pengakuan internasional dan

tidak terbatas pada sekelompok etnis tertentu.‖ Kelompok-kelompok di luar kriteria ini

dimasukkan Kementerian Agama ke dalam aliran kepercayaan. Melalui Penetapan

Presiden Nomor 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan

Agama, yang termasuk dalam agama menurut konstitusi adalah Islam, Protestan, Katolik,

Hindu, Budha dan Khong Cu (Confusius) (Picard, 2011: 13-14).

2.3. Kristen Pribumi dan Mengerasnya Dikotomi Kristen-Jingitiu

Ada hal yang lebih besar yang ditinggalkan bangsa kolonial selain agama bagi

masyarakat Sabu yakni tekstualitas dan cara lain merawat ingatan. Melalui narasi

pertemuan yang akan disampaikan berikut, hal tersebut akan ditampakkan secara

bersamaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

32

Orang Sabu hari ini memiliki istilah do geré (bule) untuk menyebut orang-orang

kulit putih. Penyebutan ini dalam makna yang lebih jauh dari do j‟awa (orang non-Sabu).

Meski tidak tepat untuk menyebut para kolonial yang datang dari berbagai suku bangsa

di dunia, dikotomi do geré-do hawu akan digunakan untuk melihat bagaimana masuknya

kekristenan awal di Sabu dan NTT pada umumnya. Historiografi Kristen di NTT selalu

dimulai pada 1556 ketika Antonio Taveira, seorang imam Dominikan, membaptis 5000

orang di pulau Timor (Naisaban, dkk, 2013: 1; van den End & Weitjens, 1980: 87),

peristiwa yang menandai diterimanya Katolik oleh para pribumi. Peristiwa ini tidak

berpengaruh secara langsung terhadap orang-orang di Sabu. Dalam buku Ragi Carita 1

(91-92), Van den End & Weitjens mencatat bahwa masuknya agama Kristen di Sabu

berjalan seiring dengan kedatangan VOC setelah Belanda berhasil merebut benteng di

Solor pada 1613. Pada 1670-an, satu-dua orang raja di pulau Timor meminta diri mereka

atau pengikut mereka untuk dibaptis. Pertumbuhan jumlah orang Kristen di pulau Timor

yang dikuasai Belanda naik pada abad ke-18. Di Rote, salah satu pulau terdekat dengan

Timor, perkembangan agama Kristen dipelopori seorang raja mereka, hingga berhasil

memengaruhi ribuan rakyatnya. Perkembangan ini membuat jemaat di Timor dilayani

secara teratur selama sepuluh tahun (1753-1763), masa yang bersamaan dengan

berkembangnya gerakan kristenisasi di pulau Sabu.

Melalui pembacaan atas laporan seorang zendeling bernama Mattheus Teffer,

Duggan dan Hägerdal (2018: 143-149) mengajukan kemungkinan akan adanya kontak

masyarakat Sabu dengan orang Portugis dan agama Katolik yang disebarkan para pelaut

Portugis tersebut. Dalam surat bertanggal 29 Oktober 1876, Teffer mengisahkan kembali

mitologi Ju Deo. Dalam surat tersebut, Teffer mengisahkan bahwa Ju Deo dikirim

ayahnya untuk mengajar orang-orang Raijua, pulau di sebelah Barat pulau Sabu.

Dilaporkan bahwa Ju Deo melakukan mukjizat seperti memunculkan mata air yang layak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

33

diminum dari karang pantai, dan berjalan di atas air. Kisah tentang Ju Deo adalah kisah

yang terkenal di Raijua dan Mesara. Sebagai pembuktian, Duggan mewawancarai Deo

Rai, salah satu dari Ratu Mone Pidu, untuk mengisahkan kembali narasi Ju Deo dan

ibunya, Ina Ju Deo. Wawancara Duggan dengan Deo Rai saya kutip lengkap karena pada

bagian pembahasan, kisah ini akan dibandingkan dengan versi lain yang saya peroleh

dari Kenuhe:

Ditemani Maja, Appu Lod‘o dan Kenuhe, Ina Ju Deo mulai mencari anaknya di

Sabu dan mencapai bagian paling barat pulau Sabu, di mana ia bertemu dengan seorang

pria, Jèka Wai, yang sedang mengerjakan kebunnya. Menunjukkan perlawanan terhadap

permintaan kelompok tersebut, Jèka Wai pun ditantang oleh Kenuhe dan Maja, dan

kehilangan tanahnya. Jèka Wai pun kemudian diminta untuk mengikuti kelompok tersebut.

Ketika mereka tiba di Raijua, mereka bertemu dengan seorang penggembala kambing dari

udu Rohaba. Jawabannya memuaskan pertanyaan Ina Ju Deo, Ina Ju Deo memutuskan udu

Rohaba hanya boleh mengumpulkan garam laut dan dilarang untuk memiliki tanah sendiri

di Raijua. Ina Ju Deo melanjutkan perjalanannya ke Wuditèngu tempat ia bertemu seorang

penggembala kerbau dari Ledetalo. Ina Ju Deo menanyakan pertanyaan yang sama seperti

yang ditanyakan ke orang Rohaba tadi. Mendapatkan jawaban positif, Ina Ju Deo

menghadiahi si gembala dengan perangkap ikan kena‟a dan holo kodo.

Kelompok itu pun melanjutkan perjalanan ke Liurae, dan Ina Ju Deo mengulangi

pertanyaannya. Di sana ia diberitahu bahwa orang yang sedang ia cari sedang disalibkan di

Nada Roju‘u di Raenadega. Sebelum memasuki Raenadega, Ina Ju Deo memerah

payudara kirinya dan mengumpulkan air susunya dalam botol. Kemudian Ina Ju Deo

memercikkan air susunya ke arah orang-orang yang berkumpul di desa dan semua yang

terpercik air susunya meninggal. Sejak saat itu ada sebuah batu yang disebut wowadu

lakati di sana. Ina Ju Deo kemudian memasuki desa, dan pergi ke rumah Deo Rai dan

melihat putranya yang meninggal diikat di balok rumah yang berbentuk salib; Ina Ju Deo

menurunkannya dari balok tersebut dan pergi sesegeranya.

Ina Ju Deo, Maja, Apu Lod‘o, Kenuhe dan Jèka Wai kembali ke Sabu (melintasi

selat dengan perahu Maja). Di Lederaga, Ina Ju Deo memperoleh kain untuk membungkus

tubuh anaknya. Ina Ju Deo pergi ke mata air Èimadakebo ketika kelompoknya disambut

oleh orang-orang setempat yang menari ledo dan pedo‟a. Mereka melanjutkan perjalanan

ke D‘ara Raepumanu di desa Ledeae, dan kemudian ke D‘ara Raekewowo. Di setiap

tempat yang mereka singgahi, mereka disambut tarian dan sedikit demi sedikit Ju Deo

mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Mereka kemudian pergi ke Koloteriwu,

perkampungan yang paling ditakzimkan di Sabu, yang dikenal dalam syair Rae Pulu Pa

Lobo Pulu Ewa Ana Deo Pulu Kati. Di Koloteriwu Ina Ju Deo, Ju Deo dan para

pengikutnya naik ke langit karena pada masa lalu langit dan bumi berdekatan. Bersama

putranya, Ina Ju Deo naik ke langit. Orang-orang melihat mereka diselubungi awan.

Jèka Wai tidak tinggal di langit tetapi kembali ke bumi dan menggunakan perahu

Maja, mengeklaim perahu tersebut sebagai miliknya sendiri, yang membuat Maja marah.

Sejak saat itu, kehidupan di bumi tak lagi aman karena ke mana pun Jèka pergi, akan terus-

menerus ada petir dan kilat. Suatu kali, Jèka berteduh di bawah pohon kepaka (Sterculia

foetida), tempat tinggal seorang bernama Denga. Denga mengatakan kepada Jèka bahwa

mengambil perahu Maja adalah hal yang salah. Karena itu, ia akan terus-menerus diteror

oleh kilat dan petir hingga ia meminta maaf. Jèka pun kembali ke langit dan meminta maaf

kepada Maja yang kemudian memutuskan bahwa semua orang dan keturunan mereka

mesti mengorbankan seekor babi kepada Maja setahun sekali, dan tradisi ini bertahan

hingga sekarang. Jèka merawat perahu yang diberi nama Ama Dèki Lomi itu. Untuk hal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

34

ini, keturunannya mesti meluncurkan sebuah perahu upacara yang diisi oleh bahan-bahan

persembahan yang diberi nama kowa Jèka setahun sekali dari bagian paling Barat Mesara.

Menurut Duggan dan Hägerdal, narasi tersebut memiliki kesamaan dengan teks

Alkitab: Ju Deo (―Ju‖ bisa merupakan transliterasi dari Yesus, dan ―Deo‖ yang berarti

―Tuhan‖) dan ibunya (Ina Ju Deo secara harfiah berarti ―ibu dari Ju Deo‖), penyaliban,

kebangkitan dan kenaikan. Saya tidak setuju terhadap pendapat tersebut karena narasi

narasumber yang saya wawancarai mengindikasikan pemaknaan yang lain. Meski

demikian, versi yang direkam berdasarkan cerita Deo Rai jauh lebih panjang dari catatan

yang ditinggalkan Teffer pada abad ke-19. Meski tidak dijelaskan secara rinci perbedaan

laporan Teffer dengan kisah Ju Deo yang diceritakan Deo Rai, Duggan dan Hägerdal

menganggap kisah tersebut berasal dari kontak dengan bangsa Portugis pada abad ke-16,

dan zendeling Protestan yang datang kemudian menghilangkan referensi yang mengacu

pada Ina Ju Deo. Kecurigaan tersebut beralasan sebab tidak ada bukti lain untuk melacak

jejak pertemuan bangsa Portugis sebagai representasi dari Katolik dengan orang-orang

Sabu, sebelum masuknya VOC dan agama Protestan.

Catatan dari para zendeling Protestan menjelaskan bagaimana pertemuan Kristen

dan orang Sabu merupakan interaksi yang tidak selalu mudah. Catatan dari W.M.

Donselaar, seorang zendeling yang mencari pengikut Kristen yang baru di Timor dan

Sabu, dan teman-temannya, pada paruh kedua abad ke-19 (narasi bagian ini

diparafrasekan dari Duggan & Hägerdal, 2018: 330-349) menunjukkan hal tersebut. Pada

tahun 1869 penduduk pulau Sabu dan Raijua terserang cacar. Jumlah populasi sekitar

30.000 orang turun menjadi tak lebih dari 16.000 orang pada tiga tahun kemudian.

Ketika terserang wabah, menurut laporan Donselaar, orang-orang Sabu dan Raijua

melaksanakan ritual, menciptakan lempung berbentuk babi dan kerbau, dan

mempersembahkan kepada arwah leluhur. Menurut para zendeling, orang-orang Sabu

merasa kepercayaan lama mereka tidak lagi sepadan, karena tak lagi bisa membantu di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

35

saat-saat mala dan sakit menyerang. Ketika Donselaar dari Nederlandsche

Zendelinggenootschap (ZNG) mendarat di Sabu pada tahun 1870, sudah ada sebuah

sekolah Melayu yang didirikan pemerintah kolonial di Seba pada tahun 1862 atas

inisiatif Residen Isaac Esser. Melalui sekolah-sekolah seperti inilah agama Kristen dan

budaya Belanda diperkenalkan, dan dengan demikian para zendeling datang dengan

beban yang lebih ringan karena ada dasar yang telah dipersiapkan. Keterangan ini juga

berarti bahwa keberadaan sekolah pemerintah kolonial turut berandil dalam membentuk

pemahaman masyarakat pribumi terhadap agama baru yang kemudian diperkenalkan

para zendeling. Pada tahun 1872, kerabat Donselaar, Mattheus Teffer tiba di Sabu,

berturut-turut suksesornya kemudian seperti Niks, Letterboer dan Wijngaarden. Dalam

catatan para zendeling dapat dibaca bahwa Sabu (terutama Seba) bukan hanya wilayah

baru yang perlu dibuka dan terbuka bagi penerimaan Kristen, tetapi juga wilayah yang

penuh ancaman. Sejumlah surat dari Jan Kornelis Wijngaarden mengungkapkan

penyesalannya setelah kehilangan istrinya yang jatuh sakit akibat menginap beberapa

saat di Sabu. Jumlah orang Kristen meningkat pesat ketika pada tahun 1870-an para

zendeling membaptis empat raja di Sabu, dan kemudian diikuti oleh raja Raijua pada

awal abad ke-20. Kendala lain yang dihadapi para zendeling adalah kendala bahasa.

Letteboer melaporkan kesalahan penerjemah khotbahnya membuat pangeran Jonathan

Doko memarahinya di sebuah gereja di Seba. Ada pun tabel statistik orang-orang Kristen

di Sabu pada 1887 yang dikumpulkan Niks (dalam Duggan & Hägerdal, 2018: 338)

dapat kita lihat sebagai perbandingan:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

36

Tabel 1: Orang Kristen di Sabu pada 1887

Tempat Laki-laki Perempuan Total

Seba 748 787 1590

Menia 77 83 168

Rai Liu 68 69 139

Liae 257 268 526

Dimu Bodae 152 169 335

Dimu Bolou 65 45 117

Mesara 228 221 450 (Sumber: Duggan & Hägerdal, 2018: 338)

Duggan dan Hägerdal (2018: 338) mengingatkan bahwa meski statistik di atas

meragukan, karena total tidak sama dengan hasil jumlah laki-laki ditambah perempuan,

statistik tersebut menunjukkan bahwa Kristianitas telah berakar di Seba pada akhir abad

ke-19 dan telah mempunyai pengikut yang signifikan di tiga wilayah lain. Tabel ini bisa

dilengkapi salah satu narasi contoh penerimaan (Duggan & Hägerdal, 2018: 339-341).

Menurut laporan Teffer, kemampuan membaca yang diperoleh di sekolah Melayu

memungkinkan seorang pribumi mengakses pengetahuan yang lebih tinggi dari orang-

orang Kristen lainnya. Dalam kasus diakon Hanokh Hede Kore, sebagaimana dilaporkan

oleh Niks, kemampuan membaca membuat Hanokh mampu mengakses informasi dari

Perjanjian Lama yang dibelinya seharga 5 gulden, Perjanjian Baru seharga 2,5 gulden

dan buku serani karangan John Bunyan seharga 2,5 gulden. Hanokh percaya bahwa

Yesus adalah penyelamat setelah membaca Perjanjian Baru dan buku Bunyan, dan

kemudian meminta dibaptis. Kasus Hanokh secara gamblang menunjukkan bagaimana

pendidikan modern dan tradisi teks gereja turut berandil membentuk cara manusia Sabu

mengingat. Hanokh, dalam contoh kasus ini, tidak saja manusia yang beralih dari Jingitiu

kepada Kristen, tetapi juga dari tradisi lisan kepada tradisi tekstual. Dalam contoh lain

pada laporan Teffer diceritakan bagaimana sang zendeling berkonfrontasi dengan raja

Liae, Ama Amu, dan merasa menang. Di tengah kondisi kering, Teffer bertanya apakah

para tetua mampu memanggil hujan untuk mengusir kegersangan. Ama Amu menjawab

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

37

bahwa kegagalan-kegagalan ritual menyebabkan hujan tak kunjung datang, dan pada titik

itu membuat si raja tidak lagi percaya pada keyakinan lamanya. Si raja kemudian

memandang Teffer lebih superior dan merupakan seseorang yang bisa mendatangkan

hujan. Pada akhir sub-bab tentang penyebaran Kristen pada masa kolonial, Duggan dan

Hägerdal (2018: 348) menutup dengan kesimpulan bahwa laporan-laporan tertulis para

zendeling tersebut menghadirkan citra tentang Sabu sebagai daerah ambang antara

masyarakat pramodern dan masyarakat kolonial, antara Jingitiu dan Kristen. Meski

demikian, laporan para zendeling tersebut tetap saja tidak bisa menampilkan apa yang

sesungguhnya dirasakan oleh orang-orang Sabu pada waktu itu tentang perpindahan

agama.

Steenbrink (2007: 155) mencatat, Rote dan Sabu merupakan pusat utama orang-

orang Protestan pribumi di wilayah NTT. Ini dapat dilihat, misalnya, dari pesatnya

perkembangan orang pribumi yang dibaptis di Rote (kira-kira 8.000 orang pada 1858)

ketimbang di Timor (2.000 pada tahun yang sama). Perkembangan gereja Protestan

kedua pulau tersebut juga berpengaruh ke ranah lain yang pada saat itu juga erat

kaitannya dengan gereja, yakni pendidikan. Pendatang-pendatang dari Sabu dan Rote

menjadi orang-orang Protestan pertama di pulau Sumba, sedangkan sejumlah guru yang

mengajar di Sumba dan Timor adalah orang-orang Rote dan Sabu. Di Rote dan Sabu,

sebagaimana dicatat Van den End dan Weitjens (1989: 100), jumlah orang Protestan

bertambah dari kurang lebih 11.500 pada tahun 1899 menjadi 46.590 pada tahun 1938.

Pesatnya perkembangan jemaat Protestan pribumi di wilayah Sabu tidak bisa

dilepaskan dari strategi penginjilan yang diterapkan para pewartanya. Saya kutip secara

utuh penggalan keterangan dari Van den End dan Weitjens (1989: 100-101), tanda kursif

dari saya:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

38

Meskipun pendeta Belanda-lah yang membaptis orang Kristen baru itu, tetapi usaha

p.I. terutama dilakukan oleh tenaga Indonesia. Mereka memakai berbagai cara untuk

menarik orang kafir ke dalam agama Kristen. Mereka umpamanya, mengunjungi orang di

rumahnya. Orang yang dikunjungi itu tentu tidak langsung masuk Kristen, tetapi kini ia

mengetahui bahwa ada agama baru. lalu di rumah itu misalnya ada yang jatuh sakit, dan

orang mau mengadakan percobaan: sang pendeta dipanggil untuk berdoa. Kalau si sakit

sembuh maka kemungkinan besar dia bersama keluarganya bertobat. Kesempatan lain

muncul pada waktu orang mengadakan pesta (yang di Timor sering terjadi. Sementara

orang menunggu hidangan disajikan, penginjil dapat berbicara mengenai kebaikan dan

kejahatan, mengenai kehidupan di seberang maut (khusus pada pesta kematian), mengenai

roh-roh serta dewa-dewa dan seterusnya, sambil mengemukakan pandangan Kristen. Atau,

kalau penginjil (yang kebanyakan orang Rote) sudah menguasai bahasa daerah, ia pada

malam hari duduk-duduk bersama orang setempat, Kristen dan kafir, omong-omong

mengenai hal agama.

Penulisan historiografi semacam ini pertama dan terutama ditujukan sebagai arsip

internal gereja (misalnya dengan penggunaan kata ―kafir‖ kepada orang non-kristen atau

penganut agama pribumi, dan ―bertobat‖ kepada kegiatan konversi kepada Kristen).

Namun, dari penulisan semacam itu, dapat kita baca bahwa identitas berkaitan erat

dengan politik kepentingan pihak-pihak yang berperan memainkannya.

Peristiwa bersejarah lain yang perlu dicatat berkaitan dengan perkembangan

Protestan di NTT secara umum dan Sabu secara khusus adalah semangat anti-Belanda

yang melatari keinginan untuk berdiri sendiri. Sebagaimana dilaporkan Van den End dan

Weitjens (1989: 104-108; lihat juga Aritonang & Steenbrink: 308-310), berdirinya

Gereja Masehi Injili di Timor pada 31 Oktober 1947 adalah buah dari keinginan tersebut.

Wilayah GMIT meliputi pulau Timor, Flores, Alor, Pantar, Rote, Sabu dan Sumbawa.

Pada tahun-tahun awal GMIT, meski telah berdiri sendiri, ketua Sinode GMIT masih

orang Belanda dan pembiayaan kegiatan gereja masih menjadi tanggungan pemerintah.

Pada awalnya GMIT dibiayai oleh pemerintah kolonial dan kemudian oleh pemerintahan

Indonesia. GMIT baru benar-benar berdiri secara mandiri (dalam arti lepas dari

tanggungan negara) pada masa kepemimpinan pendeta Abineno sejak tahun 1950. Hal

ini tidak lepas dari peran negara: Soekarno menyatakan pemisahan negara dari agama.

Sebagai kompensasi GMIT menerima dua juta rupiah pada waktu itu untuk mengawali

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

39

kemandirian pengelolaan keuangannya. Uang ini habis pada 1955 dan sejumlah krisis

berlangsung, dan bertahan hingga ekonomi Indonesia membaik pada tahun 1970-an.

Banyak para pekerja gereja yang tetap mengabdi meskipun gaji jarang dibayar. Salah

satu sumbangan sosial GMIT adalah bidang pendidikan. Pada tahun 2004 yayasan GMIT

untuk pendidikan Protestan bertanggung jawab atas 102 TKK, 340 SD, 30 SMP, 9 SMA

dan 2 sekolah vokasional. Dalam kasus ini, sebagian besar sekolah-sekolah yang

didirikan pada masa kolonial dikelola GMIT, misalnya SD GMIT Lederae Mawide 1

yang berada di desa Pedarro.

Peristiwa politik lain dalam konteks nasional yang mempengaruhi GMIT adalah

peristiwa 1965. Sejumlah anggota gereja, bahkan pengurusnya, merupakan anggota PKI.

Setelah pelarangan PKI orang-orang Indonesia dipaksa untuk memilih satu dari lima

agama yang diakui pemerintah (Aritonang & Steenbrink, ibid., loc.cit.). Peristiwa 1965

turut berpengaruh dalam percepatan proses kristenisasi di Sabu, (Riwu Kaho, 2005: 165-

167). Para pejabat pemerintahan dan gereja bekerja sama untuk mengkristenkan orang-

orang Jingitiu, karena jika tidak, mereka akan dicap PKI dan disiksa. Pada tahun 1976,

Camat, Danramil dan Dansek Polri mendesak semua penganut Jingitiu menjadi Kristen.

Rencana tersebut tidak berjalan mulus. Pada tanggal penetapan pembaptisan massal di

Seba, 13 September 1976, muncul hujan lebat, dan beberapa sungai meluap karena

banjir. Kendaraan pengangkut para calon baptisan pun tertahan akibat sungai yang

meluap. Dengan demikian, upacara pembaptisan massal pun batal. Meski demikian,

secara umum dampak peristiwa G30S berakibat positif bagi pertumbuhan umat Kristen.

Jumlah jemaat GMIT melonjak, dari 19.982 jiwa pada tahun 1971 menjadi 36.481 jiwa

dari jumlah penduduk 57.609 jiwa pada tahun 1987. Pada tahun 1998 jumlahnya

meningkat menjadi 47.692 jemaat dari jumlah penduduk 63.617 jiwa. Sebaliknya,

penganut Jingitiu menurun drastis dari 20.813 menjadi 16.412 pada tahun 1992 dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

40

menjadi 14.077 pada tahun 1998. Dalam Sabu Raijua dalam Angka (2017: 41) yang

dirilis BPS, persentase penganut Kristen mencapai 91,91% (Protestan 89,86% dan

Katolik 1,95%), sedangkan persentase penganut Jingitiu sebesar 7,24%.

Dari narasi bagian ini dapat dilihat bagaimana pengerasan identitas yang awalnya

dimulai pada masa kolonial dilanjutkan dan bahkan dipaksakan oleh pemerintah melalui

aparat-aparatnya, selain karena terjadi secara alamiah sebagai akibat perbedaan yang

timbul dari dua kutub identitas tersebut. Sekolah Melayu yang pada awalnya berfungsi

untuk mendisiplinkan pikiran warga pribumi juga dipakai sebagai sarana untuk

memperkenalkan agama baru kaum kolonial. Orang-orang Sabu yang bersekolah di

sekolah Melayu bentukan Belanda adalah orang-orang yang berpindah dari khazanah

lisan ke khazanah tekstual, mengalami bahasa tidak saja sebagai suara, tetapi juga

sebagai hal yang visual, dan mengetahui ada cara lain menyimpan ingatan selain melalui

tuturan-tuturan yang dipraktikkan para leluhur mereka selama ribuan tahun.

2.4. Katolik dan Sabu: Pertemuan Awal

Meski Duggan dan Hägerdal telah memberikan kemungkinan adanya hubungan

antara orang Sabu dan Katolik melalui Portugis pada masa sebelum kedatangan VOC

berdasarkan penafsiran atas kisah Ju Deo dan Ina Ju Deo, nyaris tak ada bukti lain yang

mendukung spekulasi tersebut. Dengan kata lain, setelah sekian lama absen sejak masa

Portugis, baru pada paruh kedua abad kedua puluh gereja Katolik kembali hadir di Sabu

melalui para misionaris Serikat Sabda Allah.

Pada 1630, para imam Dominikan yang tiba bersama Miguel Rangel, OP—yang

pada tahun 1614 ditunjuk sebagai Vikaris Jenderal Dominikan Goa—ditugaskan ke

beberapa lokasi, termasuk Rote dan Sabu. Meski dicatat bahwa ada permintaan akan

seorang imam dari orang-orang di pulau Sabu pada 1624, seperti yang dilakukan orang-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

41

oranng Rote pada 1621, permintaan orang-orang Sabu ini hanya bisa dikabulkan melalui

kunjungan misionaris-misionaris yang lewat, bukan melalui misionaris-misionaris yang

menetap seperti di Rote (Heuken, 2008: 83-84). Menurut Riwu Kaho, kata ―jingitiu‖

merupakan penyesuaian dialek setempat atas pelafalan kata Portugis salah satu

misionaris yang mengunjungi Sabu pada periode ini, yakni ―gentios‖ (2005: 158-159).

Nomina ―gentios‖ adalah bentuk plural dari ―gentio‖ yang berarti ―kaum pagan‖ atau

―penyembah berhala‖, yang berasal dari bentuk singular nomina bahasa Latin ―gens-

gentis‖ dengan arti serupa.

Setelah arus misionaris Katolik sempat terputus setelah ditinggal para misionaris

Dominikan pada tahun 1648 karena Sabu kemudian menjadi wilayah VOC dan Belanda,

kehadiran misionaris-misionaris dari kongregasi Serikat Sabda Allah (Societas Verbi

Divini) mengisi tempat yang ditinggalkan para misionaris Dominikan. Misionaris Sabda

Allah sebelum Franz Lackner yang pergi ke Sabu adalah Piet Konijnsun. Franz Lackner

adalah misionaris SVD pertama di Sabu yang menggunakan pendidikan sebagai salah

satu cara propaganda iman. Pendidikan adalah jalan untuk memudahkan Katolik diterima

sekaligus sarana mengajar dan merawat katekis-katekis awam sebagai corong

pewartaannya di Sabu. Meski Gereja Katolik di Sabu hadir di atas tilas-tilas yang

ditinggalkan Protestan, pendidikan tetap menjadi jalan yang ditempuh oleh Gereja untuk

memperkenalkan modernitas kepada orang-orang yang disasar. Beberapa contoh dari

berbagai wilayah dapat disimak sebagai perbandingan.

Pendidikan sebagai cara memperkenalkan modernitas kepada masyarakat yang

oleh para misionaris Eropa dianggap primitif bukanlah hal baru dalam sejarah misi di

dunia. Sebagaimana dilaporkan Steenbrink dalam tulisannya berjudul “Flores: Efforts to

create a modern and Christian society” (2007: 77-152), pendidikan menjadi salah satu

cara utama para misionaris Eropa untuk memodernisasi cara berpikir orang-orang,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

42

memenangkan persaingan ―pertempuran iman‖ dengan kaum Muslim dan menjadikan

Flores sebagai pulau dengan mayoritas penduduknya menganut Katolik. Peran sekolah

sebagai pendorong modernisasi dan kristenisasi juga dapat dilihat dalam kasus van Lith.

Seperti laporan Madinier, para murid di Muntilan tercatat mengonversi agama mereka

selama masa belajar di sekolah (2011: 39).

Sebagai sebuah contoh lain, misionaris-misionaris Spanyol seperti Francisco

Blancas de San José dan Agustín de Magdalena, sebagaimana dilaporkan Vicente L.

Rafael, menggunakan perangkat gramatika bahasa Spanyol yang diturunkan dari Latin

untuk merumuskan gramatika bahasa Tagalog, sebuah bahasa yang sama sekali asing

bagi orang-orang Filipina pada saat itu. Dengan mengabaikan realitas kultural yang ada

sebelumnya, para misionaris memperkenalkan Kekristenan dan bahasa Latin serta

Spanyol kepada orang-orang Filipina, elemen-elemen yang juga berperan penting dalam

perkembangan intelektual Bapak Bangsa Filipina José Rizal. Aksara baybayin yang

sudah ada dalam khazanah linguistik Filipina diabaikan oleh huruf-huruf yang dilatinkan.

Dalam kasus Filipina, konversi aksara dan gramatika diperlukan oleh para misionaris

demi mempermudah pengajaran dan penyebaran agama (1988: 23-54).

Menurut uskup pertama Keuskupan Agung Kupang Gregorius Manteiro SVD,

dalam autobiografi Memori Uskup Keuskupan Agung Kupang, Sabu sebagai bagian dari

wilayah Gereja Timor termasuk dalam wilayah pelayanan Vikariat Apostolik Timor,

dengan pemimpin Vikaris Mgr. Y. Pessers, SVD. Dua orang misionaris Sabda Allah

Pater Kresten dan Schroder tiba di Kupang pada 2 Oktober 1946. Wilayah pelayanan

keduanya mencakup wilayah parokial SoE, Alor, Rote, dan Sabu. Empat wilayah ini

secara periodik dilayani dari Kupang. Paroki Sabu dan Rote secara resmi dibentuk pada

1956, di bawah perlindungan St. Christoforus (1997: 29).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

43

Karya kedua misionaris Sabda Allah di Sabu tersebut rupanya tidak terekam dalam

laporan-laporan selanjutnya selain autobiografi Manteiro. Dari laporan Duggan dan

Hägerdal (2018: 412-413), misionaris Serikat Sabda Allah yang diketahui pernah

bertugas di wilayah Sabu dan sekitarnya adalah Piet Konijnsun. Konijnsun yang waktu

itu mendirikan stasi Ba‘a dan tinggal di Ba‘a, sesekali bermisi di pulau Sabu, dari tahun

1956 hingga 1967. Kunjungannya ke Sabu pada waktu itu dalam rangka melayani tiga

polisi Flores beragama Katolik yang bertugas di sana. Dari sebuah skripsi berjudul

Pendampingan Kaum Muda Katolik dalam Upaya Menciptakan Kader Pastoral di Sabu

karya Markus Manu Nge Djo (2000: 15) keterangan pembaptisan warga Sabu pertama

diketahui. Dalam rentang waktu tugasnya di Sabu, Konijnsun membaptis seorang Sabu

bernama Mone Haga, dengan nama baptis Titus. Tulisan yang sama melaporkan bahwa

tidak ada penambahan umat melalui pembaptisan selama rentang waktu pastoral

Konijnsun.

Laporan Duggan dan Hägerdal (2018: 412-413) menunjukkan bahwa meski tak

tetap hadir langsung di Sabu, gereja Katolik melayani Sabu melalui kehadiran Piet

Konijnsun. Piet Konijnsun mulai mengunjungi umat Katolik di pulau Alor, Rote dan

Sabu pada tahun 1948. Pada tahun yang sama, persisnya 11 November 1948, paroki

Kalabahi di pulau Alor didirikan. Konijnsun yang waktu itu mendirikan stasi Ba‘a dan

tinggal di Ba‘a, tetapi juga sesekali bermisi di pulau Sabu, dari tahun 1956 hingga 1967.

Kunjungannya ke Sabu pada waktu itu dalam rangka melayani tiga polisi Flores

beragama Katolik yang bertugas di sana. Pada tahun 1956, Piet Konijnsun membuka

stasi Baa di Rote, karena wilayah misi Alor dan Pantar yang awalnya termasuk dalam

Vikariat Apostolik Atambua dipisahkan dan dimasukkan dalam Vikariat Apostolik

Larantuka. (Neonbasu & Lebao, 1993: 21-22).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

44

Konijnsun kemudian digantikan oleh imam muda dari Serikat Sabda Allah, Franz

Lackner, pada tahun 1967. Menggantikan tugas Piet Konijnsun di Ba‘a, Franz Lackner

juga melanjutkan karya misinya ke pulau Sabu dan Raijua. Pada saat kedatangannya

hanya ada satu keluarga Katolik keturunan Filipina di pulau tersebut. Franz muda

mendirikan dua sekolah dasar, masing-masing di Perema pada tahun 1970 dan Mehona

pada tahun 1969, dan mempekerjakan guru-guru yang pada tahun 1966 dilarang

mengajar. Pada tahun-tahun tersebut juga dibangun gedung gereja dan asrama di Mèba,

Seba, satu asrama putri dan satu asrama putra yang sampai sekarang masih digunakan

untuk menampung anak-anak dari berbagai agama yang ingin melanjutkan sekolah di

Seba (Duggan & Hägerdal, 2018, ibid., loc.cit.).

Sebuah artikel berjudul “Missionar am Ende der Welt. Franz von Sabu”—

―Misionaris di Ujung Dunia, Franz dari Sabu‖ memberi informasi bahwa Franz Lackner

tiba di Sabu pada bulan Maret 1967.7 Franz Lackner berasal dari Paroki Paldau, Styria,

Austria.8 Ia dilahirkan pada 29 April 1940. Setelah dua tahun berada di Sabu,

9 tepatnya

pada tanggal 1 Januari 1969, Franz Lackner mendirikan sekolah dasar SD Katolik

Mehona yang berada di wilayah kecamatan Liae dan SD Katolik Perema setahun

kemudian, 1 Januari 1970, yang berada di wilayah kecamatan Mesara. Mehona dan

7 Dari situs https://www.3sat.de/page/?source=/dokumentationen/179273/index.html, diakses 10 Januari 2017

pukul 03.45 AM. Artikel ―Missionar am Ende der Welt Franz von Sabu‖ sendiri sebagian besar diadaptasi dari

sebuah artikel dan video dokumenter yang dipublikasikan di situs lain berjudul serupa tentang kehidupan harian

Pater Franz Lackner di Sabu yang juga bisa diakses lewat youtube. Dari video dokumenter karya Gundi

Lamprecht tersebut, misalnya, statistik kependudukan berdasarkan agama dicuplik. Menariknya, kedua sumber

tersebut, baik film dokumenter maupun artikel tersebut, masyarakat adat Sabu yang belum dibaptis tidak disebut

sebagai ―Jingitiu‖, melainkan sebagai ―Anhänger einer animistischen Naturreligion‖ atau ―Penganut sebuah

Agama Asli Animistik‖ (Jika ―die Religion‖ dalam pengertian ini boleh diterjemahkan sebagai ―agama‖). 8 Berdasarkan informasi dari situs ―Missio: Päpstliche Missionswerke‖, https://www.missio.at/unsere-

mission/die-dioezesanstellen/missio-steierrmark/steirische-missioarinnen.html, diakses 10 Januari 2017 pukul

04.00 AM. 9 Waktu itu, wilayah misi Franz Lackner adalah pulau Sabu, pulau Rote dan pulau-pulau kecil di sekitar kedua

pulau tersebut, seperti pulau Ndao dan Raijua, dengan rumah pastoran dan gereja paroki di pulau Sabu. Ketika

Rote berdiri sebagai paroki sendiri dan berganti-ganti diasuh oleh imam yang ditugaskan Keuskupan Agung

Kupang, Franz Lackner memusatkan pelayanannya di Sabu. Untuk mempersempit lingkup narasi, kisah ini

hanya akan berfokus pada kisahnya di Sabu. Franz Lackner adalah satu-satunya imam di wilayah Keuskupan

Agung Kupang yang tidak pernah dimutasi dari pulau Sabu oleh Uskup setelah kedatangannya 50 tahun yang

lalu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

45

Perema adalah dua nama lokasi (Mehona adalah nama desa, sementara Perema adalah

bagian dari desa Tanajawa) yang sekaligus digunakan menjadi nama penunjuk kedua

sekolah dasar. Pembangunan kedua gedung sekolah tersebut dibantu oleh Bruder Beatus

dan Bruder Albert, dua orang bruder dari kongregasi SVD, para tukang bangunan, dan

orang-orang setempat. Kedua sekolah tersebut dikelola oleh Yayasan Swastisari milik

Keuskupan Agung Kupang. Selain peran langsung Franz Lackner, sekolah-sekolah

Katolik ini adalah tonggak untuk mencetak katekis-katekis awam untuk membantu

penyebaran agama Katolik di Sabu.

Hal mencolok yang membedakan ciri pelayanan misionaris Konijnsun dari Lackner

adalah pada mobilitasnya: Konijnsun terus bergerak merintis paroki-paroki yang kelak

termasuk dalam wilayah Dioses Kupang (stasi Ba‘a di Rote dan paroki Penfui di

Kupang, Timor), sementara Lackner berfokus hanya pada wilayah pulau Sabu, Rote dan

pulau-pulau kecil di sekitarnya. Progresi pertambahan umat Katolik tidak terjadi pada

masa Konijnsun, sedangkan sepanjang lima puluh tahun masa berkarya Lackner jumlah

umat Katolik tumbuh dua persen di Sabu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

46

BAB III

MENCARI ANTARA DALAM RUANG DAN WAKTU

Dalam bab II telah kita baca bagaimana Kristen masuk bersama dengan kedatangan

kaum kolonial. Perbedaan masa embrional gereja Protestan dan Katolik di Sabu

terbedakan melalui peran aktor-aktornya, dan keaktifan mereka dalam mengembangkan

gereja dengan mengekspansi orang-orang dari kalangan Jingitiu, yang terlihat dari narasi

awal berdirinya gereja Protestan dan Katolik di Sabu. Jika pada kasus gereja Protestan

awal di Sabu pertumbuhan jumlah anggota gereja didorong oleh para zendeling Belanda

melalui perangkat-perangkat modern seperti sekolah Melayu dan Alkitab terjemahan

berbahasa Melayu, pada kasus gereja Katolik pertumbuhannya dibantu peran guru-guru

pribumi yang awalnya mengajar di kedua sekolah yang dibangun Franz Lackner, serta

katekis-katekis pribumi yang pendidikannya dibiayai Franz Lackner. Pertumbuhan ini

juga dipercepat oleh peristiwa 1965. Bab ini akan dibuka dengan kisah tentang masa

embrional gereja Katolik di Sabu melalui penelusuran terhadap narasi-narasi di seputar

sekolah, dan arsip-arsip berupa Buku Induk Permandian dan Buku Induk Pernikahan

setelah sekolah didirikan. Pembahasan kemudian dilanjutkan dengan narasi seputar

pertemuan-pertemuan antara Jingitiu dan Katolik berdasarkan data-data wawancara

terhadap narasumber-narasumber terpilih, pengalaman penelitian, data autoetnografi,

serta penelusuran pustaka yang mendukung. Narasi wawancara akan ditampilkan sebagai

parafrasa. Selain wawancara terhadap Franz Lackner yang setengah bagian berlangsung

dalam bahasa Inggris, dan terhadap Pa Lede yang sepenuhnya berlangsung dalam bahasa

Sabu, wawancara terhadap para narasumber dilakukan dalam bahasa Indonesia dan

Melayu-Kupang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

47

3.1. Katolik dan Jingitiu, Kedatangan dan Pertemuan

Adanya orang pribumi yang fasih berbahasa Portugis dalam laporan Cook, laporan

Duggan dan Hägerdal (2018: 129-148) bahwa adanya kemungkinan masyarakat Sabu

mengadakan kontak dengan orang Portugis dan agama Katolik yang dibawa orang

tersebut berdasarkan arsip-arsip kolonial, ditambah pendapat Riwu Kaho bahwa Jingitiu

berasal dari bahasa Portugis membuat satu hal perlu diperhitungkan: sejak zaman

kolonial, Sabu merupakan wilayah yang telah diketahui oleh pihak Portugis.

Sabu adalah bagian dari NTT. NTT sendiri merupakan wilayah yang memiliki

sejarah panjang dengan gereja Katolik yang diperkenalkan orang-orang Portugis.

Menurut Manteiro, mantan Uskup Agung Kupang, sejak abad ke-16 hingga abad ke-18,

bangsa Portugis berkarya di kawasan NTT. Karya misi tersebut, ―evangelizatio dan

implementatio ecclesiae, dilakukan secara gencar oleh bangsa Portugis‖. Pada masa

Portugis, imam yang melayani pulau Timor dan kawasan sekitarnya, termasuk Sabu dan

Rote, dikirim dari Lohayong, Solor, pulau yang termasuk dalam gugusan pulau Flores

(1997: 17). Tidak ada catatan lebih lanjut siapa para imam yang dikirim tersebut, tetapi

dari laporan tersebut tampak bahwa gereja Katolik di Sabu bermisi di atas tilas-tilas masa

lalu.

Dampak misi Franz Lackner di Sabu tampak setelah pembangunan SDK Perema

dan SDK Mehona. SDK Perema diresmikan pada 1 Januari 1970. Berdasarkan

keterangan Habel Bunga,10

SD tersebut sudah dioperasikan pada tahun sebelumnya.

Sebelum berlokasi di daerah sekarang, di wilayah desa Tanajawa, tempat kegiatan

belajar mengajar SDK Perema diadakan di kantor fetor Mesara. Hubungan baik Franz

Lackner dan fetor Mesara Benyamin Bunga membuat kegiatan tersebut bisa berlangsung

10

Wawancara dengan Habel Bunga dilakukan pada 11 Januari 2018 di kediamannya di desa Pedarro,

Kecamatan Hawu Mehara, Kabupaten Sabu-Raijua, NTT. Habel Bunga adalah guru-guru awal yang direkrut

Franz Lackner untuk mengajar di SDK Perema. Ia tamat SMEA Negeri Waingapu Sumba pada 1969, pulang ke

Sabu, dan mulai mengajar di Perema tahun 1971.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

48

di kantor fetor sampai gedung sekolah berdiri. Menurut Lackner, Benyamin Bunga

adalah orang yang baik dan hidup sederhana. Hubungan baik inilah yang memungkinkan

Franz Lackner meminta siswa-siswa dari SD GMIT tersebut untuk menjadi murid-murid

perdana SDK Perema. Menurut Habel Bunga, uskup Manteiro disambut dengan tarian

Ledo yang meriah saat peresmian sekolah. Hubungan baik dengan orang-orang penting

dari kalangan Protestan inilah yang tidak dimiliki oleh Konijnsun menurut Lackner.

Selama masa bermisinya di Sabu, Konijnsun malah diminta oleh seorang pendeta

Protestan untuk tidak melakukan kegiatan apa pun di Sabu. ―Gereja Katolik tidak boleh

melakukan apa pun di Sabu,‖ demikian Lackner meniru kata-kata pendeta tersebut.

Stigma daerah merah tidak lantas membuat SDK Perema kehilangan pamor.

Menurut Bunga, pada masa awal berdiri, SDK Perema dianggap sebagai sekolah

berkualitas. Anak-anak dari desa sekitar memilih untuk bersekolah di SDK Perema,

meski harus berjalan kaki berkilo-kilometer. Begitu terkenalnya SDK Perema, pada masa

itu bahkan ada pepatah dalam bahasa Sabu untuk melukiskan kualitas sekolah tersebut,

―Wala ma Perema do nga wewe pa kelae” ([Gedung] Perema dengan usungan di pintu

adalah tempat yang bagus).

Menurut Kornelis Tael,11

SDK Perema seharusnya berdiri bersamaan dengan SDK

Mehona yang diresmikan setahun sebelumnya. Namun, karena keterbatasan bahan

bangunan dan tenaga kerja, pembangunan SDK Perema baru bisa dilangsungkan ketika

bahan-bahan dari Kupang tersedia. Jika alasan awal dibangunnya SD Katolik di Perema

dan Mehona adalah stigmatisasi akibat kekerasan negara, alasan tambahan yang

11

Kornelis Tael adalah salah satu dari 12 orang tukang bangunan yang dibawa oleh dua orang bruder SVD

(Beatus dan Albert) untuk mengerjakan proyek-proyek pembangunan gereja dan gedung-gedung milik

keuskupan di Sabu pada akhir 1960-an dengan Kapal Ratu Rosari. Sebelas orang tukang bangunan tersebut

berasal dari daerah Timor Tengah Utara, dan satu orang yang mengepalai mereka, Simon Saka, berasal dari

Flores. Timor Tengah Utara dan Flores adalah bekas wilayah jajahan Portugis di NTT, sehingga agama

mayoritas para penduduknya adalah Katolik. Tael lahir pada 1952 dan dibaptis setelah kelahirannya di

Bijaepasu, Timor Tengah Utara, Timor, NTT. Wawancara dilakukan pada 15 Januari 2018 di rumahnya di desa

Mehona, Kecamatan Liae, Kabupaten Sabu-Raijua, NTT.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

49

membuat pembangunan sekolah di Mehona diterima adalah balas budi. Dua tahun

setelah diresmikan, ditingkatkan dari gedung semi-permanen ke permanen. Pada 1971

terjadi paceklik makanan di Mehona. Lackner memberikan bantuan bulgur untuk

meringankan paceklik, yang menurut Tadeus Lodo,12

diperolehnya berkat bantuan dari

luar negeri. Merasa berhutang budi atas bantuan tersebut, masyarakat membantu

pembangunan gedung SDK Mehona. Pasir sebagai bahan campuran lantai dan tembok

dipikul bersama-sama dari pantai. Bantuan bulgur masih diberikan beberapa tahun

setelah itu sampai paceklik makanan mereda. Bekas karung-karung bulgur digunakan

masyarakat untuk bahan baku celana, digunakan di rumah maupun ke sekolah.

Peresmian SDK Mehona dilakukan oleh Mgr. Gregorius Manteiro, SVD, Uskup Agung

Kupang waktu itu. Denah SDK Mehona pada saat itu menyerupai gedung-gedung biara,

dengan gerbang di bagian utara dan selatan, sisi barat dan timur digunakan sebagai

tempat mengajar untuk memudahkan pengontrolan. Seperti SDK Perema, SDK Mehona

adalah sekolah yang dianggap berkualitas pada masanya.

Menurut Tael, SDK Perema dan SDK Mehona didirikan oleh 12 tukang bangunan

yang berasal dari Timor Tengah Utara dengan dikomandoi Simon Saka yang berasal dari

Flores. Para tukang bangunan tersebut adalah orang-orang Katolik yang dipekerjakan

oleh Bruder Albert, SVD dan Bruder Beatus, SVD, dan sebelumnya telah membangun

beberapa sekolah dan gereja di Kupang. Mereka tiba pada awal 1969 di Sabu melalui

KM Ratu Rosari. Bahan-bahan bangunan yang dipakai untuk membangun gedung gereja,

asrama dan sekolah juga diangkut menggunakan kapal tersebut. Bahan-bahan bangunan

tersebut, seperti semen, dan besi, diangkut oleh para tukang bersama orang-orang dari

wilayah sekitar sekolah dengan berjalan kaki dari Seba dengan jarak lebih dari 20 km ke

12 Wawancara dengan Tadeus Lodo dilakukan di rumahnya, di dekat SD Katolik Perema, Desa Tanajawa, 10

Januari 2018. Lodo adalah guru agama di kapel St. Gregorius Perema, dan mengajar di SDK Perema.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

50

Mehona, dan 18 km ke Tanajawa. Dalam kasus Mehona, bahan-bahan baku lain seperti

pasir, juga turut disumbangkan warga.

Sejak didirikan, SDK Perema dan SDK Mehona adalah sekolah yang bernaung di

bawah Yayasan Swasti Sari. Yayasan ini didirikan pada tanggal 22 Agustus 1969,

menaungi lembaga-lembaga pendidikan di wilayah Keuskupan Agung Kupang. Hanya

ada dua sekolah di wilayah paroki Ba‘a, Rote Ndao, keduanya berada di pulau Sabu

(Neonbasu & Lebao, 1993: 44-46).

Kedua lokasi sekolah, baik di Perema maupun di Mehona, adalah juga tempat

perayaan Ekaristi dan kegiatan-kegiatan gerejawi lain dilakukan sebelum dibangunnya

kapel-kapel. Kapel-kapel di Perema dan Mehona yang dibangun kemudian pun letaknya

berdekatan dengan lokasi sekolah. Meski menerima siswa dari berbagai latar belakang

agama, pelajaran yang diajarkan di kedua sekolah tersebut adalah pelajaran Agama

Katolik. Pada tahun-tahun awal pendirian sekolah, wali-wali kelas yang mengampu mata

pelajaran setiap kelaslah yang mengajarkan pelajaran Agama Katolik kepada para

siswanya. Menurut Bunga, meski beragama Protestan, ia mengajarkan pelajaran Agama

Katolik dengan senang hati pada waktu itu sebagai bagian dari memenuhi tuntutan

profesi.

Menurut Tadeus Lodo, sejak dulu, persyaratan masuk SDK Perema hanya akta atau

keterangan kelahiran. Hal ini wajar, mengingat pada tahun-tahun awal penerimaan siswa

baru, sebagian siswa berasal dari keluarga Jingitiu, yang keterangan kelahirannya pun

diperkirakan berdasarkan penyesuaian kalender Masehi atas penanggalan tradisional.

Menurut Lodo, sejumlah anak-anak yang bersekolah di Perema dan Mehona, termasuk

sejumlah orang tua dan kerabat mereka, pada waktu-waktu kemudian dibaptis Katolik.

Menurut Bunga, kedua sekolah tersebut dianggap unggul pada masanya bukan saja

karena militansi guru-gurunya untuk mengembangkan sekolah baru, tetapi juga karena

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

51

sarana mengajar yang mendukung. Alat peraga untuk mata pelajaran tertentu disediakan

oleh Lackner untuk kedua sekolah, sehingga penjelasan-penjelasan guru dapat lebih

mudah ditangkap oleh para siswa. Sebelum memulai dan setelah mengakhiri kegiatan

belajar mengajar, para siswa mendoakan doa-doa Katolik.

Menurut Lackner, pada saat pendirian kedua sekolah, tidak ada satu pun umat

Katolik di kedua daerah itu, termasuk tenaga pengajar beragama Katolik, sehingga ia

meminta bantuan guru-guru Protestan untuk mengajar di kedua sekolah tersebut.

Pelajaran Agama Katolik baru sepenuhnya diajarkan oleh guru-guru beragama Katolik

setelah ada tenaga guru yang berasal dari Flores dan Timor, baik yang dipersiapkan

secara khusus oleh Lackner seperti kasus Kornelis Tael dan orang-orang Katolik perdana

di Sabu yang diminta untuk mengajar di kedua sekolah tersebut. Berdasarkan keterangan

Lackner, diketahui bahwa di dalam kedua sekolah itulah, para siswa-siswa angkatan

perdananya, orang-orang non-Katolik, dididik dan berkenalan dengan nilai-nilai Katolik.

Setelah menyelesaikan pembangunan sekolah, yang dilakukan secara bertahap,

Kornelis Tael diminta untuk mengajar pelajaran Agama Katolik di SD Katolik Mehona,

dan kemudian SD Katolik Perema. Pada 1976 ia diminta Franz Lackner untuk mulai

mengajar. Kornelis Tael pun menandai masa di mana mulai hadirnya Katolik untuk

mengajarkan Pelajaran Agama Katolik. Untuk keperluan tersebut, Tael mengikuti Kursus

Persiapan Guru selama tiga tahun. Pada 1982, Tael lolos seleksi PNS. Tael pun tercatat

sebagai kepala sekolah di SD Katolik Perema selama 1991-2006.

Menurut Habel Bunga, pada awal-awal berjalannya kedua sekolah, setiap wali

kelas bertanggung jawab mengajarkan semua pelajaran. ―Sonde kayak sekarang, setiap

pelajaran sekarang ada gurunya. Dulu saya mengajar semua pelajaran untuk anak-anak di

kelas saya,‖ ujar Bunga. Karena kekurangan guru, pada awal berdirinya sekolah,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

52

sejumlah guru mesti mengajar di kedua sekolah pada hari bergantian. ―Saya juga

mengajar di Perema dan Mehona,‖ jelas Bunga.

Mengajarkan Pendidikan Agama Katolik adalah hal yang tak terhindarkan bagi

Bunga dan para guru lain saat itu. Menurut Bunga, sejak awal pelajaran, siswa-siswa

dipandu untuk berdoa secara Katolik. Sebagai seorang non-Katolik, Bunga memahami

hal tersebut, memandu anak-anak untuk berdoa, sebagai tuntutan profesi. ―Untuk anak-

anak wali saya, saya waktu itu mengajar anak-anak kelas satu, saya ajar doa-doa wajib;

Tanda Salib, Bapa Kami, Salam Maria,‖ jelas Bunga.

Menurut Tadeus Lodo, sejak dulu, semangat dan nilai-nilai Katolik yang

ditanamkan di sekolah selalu dipertahankan. Yang berbeda, menurut Lodo, adalah cara,

metode dan tuntutan zaman. ―Dulu ada guru yang setiap hari bisa mengajarkan cerita

Adam dan Hawa, sampai anak-anak hafal setiap kali dia mau masuk (kelas), mereka

pasti kusu-kusu (berbisik), ‗Pak Adam dan Hawa su datang‘,‖ kenang Lodo. Lodo pun

menambahkan:

―Dulu tidak ada silabus seperti sekarang. Setiap guru ajar apa yang dia tahu. Tetapi

mayoritas pelajaran asalnya dari Katekismus. Guru-guru yang mengajar tiap kelas akan

ajar sesuai pemahaman mereka. Kalau (untuk mengajarkan) doa-doa, ada buku kecil yang

bisa dipakai.‖

Menurut Bunga, meski berasal dari agama non-Katolik, para siswa dengan mudah

menghafal doa-doa yang diajarkan di sekolah. ―Yang agak stenga mati (setengah mati)

anak-anak kelas 1 dan 2, karena mereka belum belajar bahasa Indonesia,‖ ujar Bunga.

Bunga menambahkan bahwa semua bahan ajar kelas pada masanya disediakan oleh

Franz Lackner.

Ansow (2008: 17), mengutip dokumen Sekolah Katolik yang dipublikasikan 19

Maret 1997 oleh Kongregasi Suci bagi Pendidikan Katolik, menulis bahwa sekolah

katolik adalah tempat istimewa bagi pembentukan manusia yang utuh dan integral karena

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

53

tugas misinya. Ansow menambahkan bahwa sekolah Katolik adalah komunitas Kristen,

dan berfungsi memperkembangkan suasana yang dijiwai semangat cinta kasih dan

kebebasan dalam komunitas berdasarkan Injil.

Menurut dokumen yang sama, Pendidikan Agama Katolik berperan penting dalam

sekolah Katolik. Metode sistematisnya memungkinkan sekolah Katolik mengalihkan

budaya dalam terang iman, untuk mengembangkan integrasi antara budaya dengan iman,

dan iman dengan kehidupan (2008: 19).

Pendidikan Agama Katolik, dengan demikian, menjadi pelajaran yang

memungkinkan orang-orang Jingitiu yang bersekolah di Perema dan Mehona untuk

berkenalan dengan ajaran-ajaran dan nilai-nilai Katolik. Kini, Mehona merupakan

wilayah dengan jumlah umat Katolik Sabu terbanyak.

Pendidikan Agama Katolik, menurut Lackner, penting untuk memperkenalkan

nilai-nilai Katolik kepada orang-orang halaik (menurut istilah Lackner sendiri). KBBI V

mendefinisikan halaik sebagai penyembah berhala, orang yang tidak menganut agama.

Untuk alasan inilah, pernikahan antara pasangan Jingitiu dan Katolik tidak pernah

diterakan Lackner sebagai disparitas cultus. Dalam semua kasus, pasangan Jingitiu

(biasanya perempuan), dipermandikan terlebih dahulu sebelum menerima sakramen

pernikahan, seperti akan kita baca dalam temuan di bawah ini.

Menurut Tael, sekolah berperan penting tidak hanya sebagai sarana untuk

mengajarkan nilai-nilai Katolik, tetapi juga berfungsi sebagai gedung gereja dalam arti

harfiah.

Waktu belum ada kapela kayak sekarang, Pater biasanya misa di bawah pohon itu

(sebuah pohon di depan SD Mehona). Kalau di Perema misa hari Minggu biasanya di

pohon ketapang di depan SD. Kalau sekarang berarti itu pohon ada di tengah kompleks

SD. Soalnya dulu bangunan lama masih sempit, kalau misa di bawah pohon kan ada

sombar (rimbun).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

54

Keterangan Tael menunjukkan bahwa gedung sekolah juga berfungsi sebagai

kawasan ibadah pada hari Minggu. Dalam riwayat-riwayat pembaptisan sebelum ada

kapela, anak-anak dari kedua SD dan kerabat kenalan mereka sering dibaptis di dalam

kompleks SD tersebut.

Penelitian dan wawancara yang dilakukan beririsan dengan bulan Nyale Kuja,

bulan menanam. Di kedua daerah, Mesara dan Liae, tempat kedua sekolah berada, hal

yang terlihat mencolok adalah keseragaman waktu menanam. Sejumlah tanaman di Liae,

tempat beradanya SDK Mehona, sudah tumbuh tinggi ketika tanaman lain baru ditanami.

Menurut Tael, hanya sebagian kelompok di Mehona dan Liae yang mengikuti waktu

tanam berdasarkan penanggalan adat. ―Di sini orang mau tanam kapan, mereka lihat

hujan su pas atau tidak. Jadi ada yang tanaman su tinggi, baru yang lain tanam,‖ kata

Tael.

Di Mesara, kecamatan tempat adanya SDK Perema, ritual ku‟ja ma, berpantang

memasak dengan kelapa dan daging dilakukan. Ritual ini juga menandai tujuh hari

menanam yang dilakukan oleh seluruh orang Mesara. Mengenai hal ini, Lodo

mengatakan, ―Semua orang di sini dengar Mone Ama, seperti Ama Lede‖. Ama Lede

adalah nama panggilan Pa Lede di kalangan keluarga dan orang-orang yang

mengenalnya. Di Mesara, Pa Lede adalah Kenuhe dari suku Nappu Pudi, salah satu dari

imam Jingitiu yang disebut Ratu Mone Pidu. ―Kalau Ama Lede su bilang tanam, Bapa

dong di sini mulai tanam. Biasanya kalau musim tanam begini, pantang dan puasanya itu

masak pakai santan, karena dari kelapa. Tidak boleh makan daging juga,‖ ujar Lodo.

Menurut Lodo, pantang selama tujuh hari musim tanam di Mesara dilakukan oleh siapa

pun yang menanam, tak pandang latar belakang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

55

3.1.1. Permandian dan Pernikahan

Buku Induk Perkawinan dan Buku Induk Permandian adalah dua sumber yang

dapat digunakan untuk mengamati perkembangan umat Katolik di Sabu. Menurut catatan

dalam Buku Induk Perkawinan, hingga 14 Agustus 2014,13

sakramen pernikahan yang

diterimakan di paroki Sabu sebanyak 236. Pernikahan pertama di Sabu dilangsungkan

pada 12 Juli 1970 atas nama Alexander Fernandez dan Maria Magdalena Mira dengan

keterangan ―mixt relig.‖ pada Buku Induk Perkawinan. Sampai tahun 1987, tercatat ada

8 kasus pernikahan ―mixt relig.‖ yang disahkan gereja Katolik di Sabu. ―Mixt relig.‖

adalah singkatan dari frasa Latin mixta religio, sebuah istilah untuk menyebut pernikahan

antara umat Katolik dengan pasangan beragama Kristen. Dalam kasus-kasus di Sabu,

para pengantin pria adalah orang-orang Katolik.

Sejumlah pernikahan yang dilangsungkan di Sabu juga terjadi antara sesama

orang-orang Flores yang bekerja di Sabu. Orang-orang ini biasanya berprofesi sebagai

PNS dan menetap di Seba, yang jaraknya 18 sampai 20-an kilometer dari Mehona dan

Tanajawa. Pernikahan antara para pendatang ini biasanya adalah pernikahan yang

dilangsungkan antara pasangan Katolik.

Ada istilah lain selain mixta religio, yakni disparitas cultus. Disparitas cultus

adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan pernikahan yang dilangsungkan antara

umat Katolik dengan pasangan non-Kristen. Sampai bulan 12 Juli 1970 hingga 14

Agustus 2014 tercatat ada 14 kasus mixta religio, dan satu kasus disparitas cultus.

Sepanjang penelusuran Buku Induk Perkawinan, istilah disparitas cultus tidak saya

temukan diberikan untuk pernikahan yang dilangsungkan antara orang Katolik dengan

Jingitiu. Dalam Buku Induk Perkawinan, disparitas cultus diterakan untuk kasus

pernikahan antara seorang pria Katolik dengan wanita Muslim.

13

Data yang bisa saya akses dari foto Buku Induk Perkawinan yang diberikan Franz Lackner, SVD kepada saya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

56

Untuk kasus permandian, hingga 24 Agustus 2014, sakramen permandian telah

diterimakan kepada 206414

orang di Paroki Sabu. Tempat permandian biasanya

disesuaikan dengan kebutuhan. Untuk kasus permandian orang-orang di Perema dan

Mehona, permandian biasanya tidak dilakukan di gereja paroki di Seba, melainkan di

Mehona dan Perema. Dari 2064 jumlah permandian, 80% adalah anak-anak yang berasal

dari orang tua Jingitiu. Beberapa kasus menunjukkan pembaptisan menjelang

pernikahan. Sebagian besar lain adalah anak-anak yang berasal dari kedua sekolah di

Perema dan Mehona. Sebagian kecil adalah anak-anak para pendatang yang tinggal dan

bekerja di Sabu.

Permandian Katolik pertama di Sabu dilakukan pada 28 September 1971, atas

nama Martinus Goa. Martinus Goa adalah putra dari seorang polisi Flores bernama

Paulus Goa, salah satu umat Katolik perdana pada awal masa bermisi Franz Lackner.

Dua data awal dari penelusuran terhadap Buku Induk Perkawinan dan Buku Induk

Permandian Paroki St. Paulus Sabu Raijua ini saya tunjukkan untuk memperlihatkan

bahwa agen paling berhasil pada masa Franz Lackner adalah dua lembaga pendidikan.

Siswa-siswa dari latar belakang keluarga Jingitiu diperkenalkan kepada agama Katolik

secara formal melalui dua SD Katolik yang dibangun Franz Lackner.

Pada 20 Desember 1977 diadakan pembaptisan empat orang anak Sabu berusia

rata-rata 13-15 tahun di SDK Mehona. Anak-anak ini dibaptis bersama bayi-bayi dari

keluarga Flores dan Timor lain, dan seorang perempuan Jingitiu berusia 32 tahun

bernama Nila Rona. Pembaptisan keempat anak dengan rata-rata usia tersebut menandai

titik tumbuh misi Katolik yang dijalankan lewat pendidikan dan pelajaran Agama

Katolik di SDK Mehona. Dua tahun kemudian, 14 Oktober 1979, anak-anak dengan rata-

rata usia serupa, termasuk Teni Huki dan ketiga saudarinya, salah satunya baru berusia

14

Data yang bisa saya akses dari foto Buku Induk Permandian yang diberikan Franz Lackner, SVD kepada saya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

57

setahun, dipermandikan di Seba. Pembaptisan ini juga menandai titik tumbuh misi

Katolik di SDK Perema. Perkembangan Katolik selama 50 tahun lebih misi Franz

Lackner secara kuantitatif tentu jauh dari banyak, tetapi secara kualitatif, tumbuh di

tengah umat Protestan yang sudah mapan, baik dari segi kelembagaan, iman, maupun

tradisi pendidikan, adalah sebuah capaian. Hal ini juga didukung oleh satu kenyataan

tambahan, keduanya memperoleh anggota gereja baru dari kelompok yang sama:

Jingitiu.

Dalam permandian dan pernikahan, aspek identitas yang paling tampak berbeda

adalah nama. Nama-nama orang-orang Jingitiu yang dibaptis Katolik ditambahkan satu

nama santo/santa pelindung. Teni Huki, misalnya, nama yang diterima ketika Daba,

menjadi Tersiana Agustina Teni Huki dalam buku permandian. Hal serupa terjadi dengan

para mempelai perempuan dari keluarga Jingitiu yang akan menikahi laki-laki Katolik.

3.1.2. Katolik, Jingitiu, dan Peristiwa 1965

Peristiwa 1965 menjadi salah satu penanda penting dan kondisi yang

memungkinkan kedua SD Katolik di Sabu berdiri. Pada Maret 1967, tugas Konijnsun,

seorang imam Belanda, digantikan Franz Lackner. Ketika Franz Lackner tiba di Sabu,

Kristen Protestan yang dipayungi Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah agama

mayoritas. Kedatangan Lackner pun setahun setelah ekses 1965 di Jakarta merebak

hingga ke Sabu. Mengenai hubungan peristiwa 1965 dan orang-orang Jingitiu, Bara Pa

dan Nyake Wiwi menulis, ―Masyarakat adat juga terperanjat mengalami kejahatan

negara melalui pembunuhan bahkan teror. Atas nama penghancuran PKI, mereka dipaksa

beralih kepercayaan (dari agama asli ke gereja) sebagai tanda mereka ber-Tuhan‖ (2012:

126).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

58

Peristiwa 1965 berdampak ke segi-segi penting kehidupan orang-orang Sabu.

Masyarakat sipil, komunitas adat, dan pendidikan, adalah aspek-aspek yang paling

merasakan imbasnya. Data sementara yang dihimpun oleh Bara Pa dan Nyake Wiwi

(2012: 184-185) menunjukkan bahwa mayoritas korban berasal dari kalangan guru,

sisanya berasal dari berbagai kalangan, seperti pendeta, istri PNS, dan kelompok lain

seperti orang-orang Jingitiu. Dari 22 orang perempuan yang ditahan karena PKI dan di-

PKI-kan, 16 orang merupakan guru (73%). Dari 57 orang lelaki yang ditahan, 26 orang

atau 46% adalah guru. Dari 34 orang lelaki yang dibunuh, 20 orang atau 59% adalah

guru. Eksekusi direncanakan berlangsung dalam dua tahap, malam hari 29 Maret 1966,

dan pagi hari 30 Maret 1966. 31 orang dibunuh pada tahap pertama, dan 3 orang dibunuh

pada tahap kedua. Pada hari kedua ada perintah bahwa Gerwani tidak dibunuh. Hal ini

menjelaskan mengapa semua korban pembunuhan adalah laki-laki.

Pada bab sebelumnya telah kita baca laporan Riwu Kaho bahwa peristiwa 1965

membawa dampak positif bagi Kristenisasi. Aparat-aparat negara bergerak untuk

melakukan pembaptisan besar-besaran dan mengecap PKI orang-orang yang menolak

dibaptis. Dalam kasus ini, tentu saja, yang menjadi korban adalah orang-orang Jingitiu.

Stigmatisasi ini terus berjalan dan berperan penting dalam memengaruhi keputusan

orang-orang Jingitiu beralih agama menjadi Kristen.

Dampak penghancuran perempuan dan para guru melalui peristiwa 1965 yang

dialami orang-orang Sabu membuat beberapa daerah dicap sebagai daerah merah,

termasuk wilayah Mesara. Bara Pa dan Nyake Wiwi melaporkan salah satu peristiwa

yang mendukung alasan ini (2012: 134):

Di kampung adat Rae Loro terjadi kebakaran rumah keluarga Dima sekitar Juli-

Agustus 1965. Sejak rumah itu terbakar kampung ini sepi. Kebakaran juga melanda Kota

Seba, mulai di rumah Pak Mone Dami, salah satu pengurus PNI, pada Juli 1965 serta SD

GMIT Lederaemawide di wilayah Mehara. Di Sabu sering terjadi kebakaran pada Juli-

Agustus sebab selain musim kering, angin juga kencang. Tetapi pada 1965, kebakaran di

Seba dan Lederaemawide dicurigai oleh anggota partai lain dilakukan oleh anggota PKI,

sedangkan pak Mone Dami sendiri dituduh dan ditangkap atas kebakaran di Kota Seba.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

59

SD Lederaemawide merupakan SD GMIT yang berada di wilayah Mesara. Alasan

lain mengapa Mesara, terutama desa Pedarro, dijadikan daerah merah, adalah karena di

Pedarrolah para tertuduh PKI ditampung untuk sementara sebelum dibawa ke tempat

pembantaian di Seba (Bara Pa & Nyake Wiwi, 2012: 147).

Menurut Lackner, alasan daerah merahlah yang membuat otoritas setempat

mengizinkannya membangun dua sekolah Katolik di wilayah Perema dan Mehona.

Gertruida Kana, salah satu korban peristiwa 1965 dan anggota Gerwani merupakan

kepala sekolah dan pengajar perdana SDK Perema tersebut. Setelah dua sekolah

didirikan, orang-orang Jingitiu memilih menjadi Katolik bukan saja untuk menghindari

stigmatisasi dan teror, tetapi juga karena sejak kecil mereka mengenal ajaran-ajaran dan

nilai-nilai agama tersebut melalui pelajaran di sekolah.

Dalam khotbah misa hari Minggu, 14 Januari 2018, Lackner dengan terang-

terangan menyatakan ketidaksukaannya terhadap komunisme. Dalam wawancara tanggal

20 Januari 2018,15

ia menjelaskan maksud khotbahnya. Baginya, komunisme menjual

harapan palsu: para petingginya hidup bergelimang kemewahan, sedangkan kalangan

bawah tetap hidup dalam kemelaratan dengan iming-iming utopis. Lackner menuturkan

bahwa ia belajar dari pengalaman partai-partai komunis di Eropa. Ketika saya

menyinggung tentang laporan adanya tertuduh PKI di Sabu, yang dibawa dan kemudian

dibantai di Rote, Franz Lackner menjawab singkat, ―Saya tahu letak kuburan mereka, di

sebuah persimpangan di Rote.‖

Bermalam-malam sesudah peristiwa tersebut, menurutnya, dilakukan jaga malam.

―Saya tiba setelah peristiwa tersebut terjadi. Keluargamu juga terpengaruh?‖ tanya Franz

15

Semua narasi tentang Franz Lackner diambil dari wawancara dengannya di pastoran paroki St. Paulus Seba,

20 Januari 2018. Ia meminta untuk tidak merekam wawancara dengannya, dan tidak memasukkan isu-isu yang

menurutnya sensitif. Karena itu, narasi tentangnya dan pendapat-pendapatnya diolah kembali dari catatan-

catatan yang saya buat sesudah wawancara.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

60

Lackner kepada saya. Keluarga yang ia maksud adalah kakek buyut saya, kakek dari ibu

saya. Menurut cerita ibu dan salah satu saudaranya, kakek mereka adalah korban salah

tangkap. Kakek buyut pada waktu itu adalah seorang Kenuhe, jabatan Jingitiu yang kelak

diemban oleh kakek saya ketika kakek buyut meninggal. Waktu itu, seperti semua

korban yang lain, ia dibawa ke Seba, ke sebuah tempat bernama Hanga Loko Pedae

(secara harfiah berarti: Ceruk Kali Kering yang Sering Dibicarakan), lokasinya sekarang

terletak di ujung lapangan terbang Terdamu. Seperti Ratu Mone Pidu pada umumnya,

rambut kakek buyut tidak dipotong. Ketika ditahan, rambutnya hendak dipotong sebelum

dibawa ke tempat pembantaian. Namun, usaha tersebut gagal setelah dicoba beberapa

kali karena gunting yang digunakan tidak berfungsi. Kejadian itu mungkin dianggap

magis oleh para tentara, sehingga kakek ibu dilepaskan dengan pertimbangan tambahan

bahwa ia adalah seorang Ratu Mone Pidu.

Franz Lackner memang mengatakan ia tidak menyukai komunisme, tetapi ia

meminta umat Katolik berpihak kepada orang-orang yang tertindas dan tidak mempunyai

akses bersuara kepada kekuasaan. Ketika pengambilan data penelitian ini dilangsungkan

di Sabu, isu eksploitasi tambang mangan sedang menguat di wilayah tersebut, terutama

di dua kecamatan yang menjadi wilayah operasi perusahaan. ―Kita harus berada bersama

orang-orang Mesara dan Liae yang terancam digusur,‖ ujarnya dalam khotbah hari

Minggu. Mesara, dengan nama administratif kecamatan Hawu Mehara, dan Liae, adalah

dua kecamatan dengan populasi penganut Jingitiu terbanyak. Eksploitasi tambang tidak

hanya mengancam tergusurnya komunitas di dua wilayah tersebut, tetapi juga akan

makin menggerus orang-orang Jingitiu dan tempat-tempat ritual mereka yang jadi bagian

dari wilayah penambangan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

61

3.2. Pa Lede dan Kisah tentang Jingitiu16

Pa Lede menuturkan bahwa ia tahu akan menggantikan pamannya, kakek saya,

ketika dalam sebuah ritual, tahun 2005, sang paman berkata, ―Inilah anak yang akan

menggantikan saya.‖ Pa Lede jelas memilih posisi berada di luar sekolah dan di luar

agama Kristen. Berada di luar jalur pendidikan formal memungkinkannya untuk tidak

bersentuhan dengan tulisan, hal yang menurutnya akan merampas perhatiannya dari doa-

doa ritual yang mesti diucapkannya ketika upacara menjelang musim tanam, bahkan

silsilah leluhur yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan. Ketika wawancara, Pa

Lede bahkan menyebutkan nama beberapa generasi yang namanya hilang dari memori

keluarga kami, nama-nama yang tidak tercantum dalam buku-buku silsilah orang Sabu

yang pernah ditulis. Dengan memilih untuk tidak menempuh jalur pendidikan formal, Pa

Lede percaya ia tidak akan lupa dengan tata cara dan kata-kata yang mesti diucapkan

seperti saat Kenuhe pertama menyelamatkan Wènynyi Ri, ketika dunia masih gelap,

dengan silsilah yang mungkin telah dilupakan sebagian besar keluarga.

Sabu di zaman Pa Lede adalah wilayah yang digempur dengan teknologi yang

bertumbuh, handphone dan jaringan internet. Orang-orang Jingitiu tertentu menggunakan

handphone untuk merekam silsilah keluarga mereka dan cerita-cerita rakyat Sabu, dan

menyebarkannya melalui handphone kepada kerabat-kenalan yang lain. Pa Lede memilih

untuk tidak mengikuti cara itu. Baginya, cara terbaik merawat silsilah adalah dengan

mengisahkannya langsung, jauh dari intervensi teknologi dan buku-buku. Orang-orang

Jingitiu lain seperti Pa Lede biasanya mencari nafkah dari pekerjaan-pekerjaan

keterampilan yang tidak menuntut ijazah, seperti tukang bangunan, penyadap nira, dan

penjual gula dan sopi (minuman distilasi nira lontar yang diasamkan).

16

Sebagian besar data bagian berasal dari wawancara dengan Pa Lede pada 2 Juli 2018 di Kupang. Tanggapan-

tanggapan Pa Lede disampaikan dalam bahasa Sabu. Demi kerapian dan efisiensi tulisan, semua versi yang

dipakai sebagai data adalah versi terjemahan Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

62

Pa Lede menggunakan penanggalan menurut musim tanam seperti yang digunakan

orang-orang Jingitiu. Orang-orang Jingitiu menghitung penanggalan berdasarkan siklus

menanam. Bulan mereka, berturut-turut Waru A‟a (atau bulan ―Kakak‖ jatuh pada Mei-

Juni), Waru Ari (atau bulan ―Adik‖, jatuh pada Juni-Juli), Waru Hobo (atau bulan

―bertunas‖, jatuh pada Juli-Agustus), Waru Wadu Ae (atau bulan ―kekeringan hebat‖

jatuh pada Agustus-September), Waru Kai Ai (atau bulan ―mencari air‖, jatuh pada

September-Oktober, Waru Ha‟e Rae (atau bulan ―naik kampung‖, jatuh pada Oktober-

November, Waru Ko‟o Ma (atau bulan ―membersihkan ladang‖, jatuh pada November-

Desember), Waru Nyale Ku‟ja (atau bulan ―menugal‖, jatuh pada Desember-Januari),

Waru Nyale Ae (atau bulan ―nyale besar‖, jatuh pada Januari-Februari), Waru Penata

(atau bulan ―manis‖, jatuh pada Februari-Maret), Waru Daba Ae (atau bulan ―Daba‖ ritus

inisiasi orang Jingitiu, jatuh pada Maret-April), dan Waru Banga Liwu (atau bulan Banga

Liwu, jatuh pada April-Mei).

Bulan Waru Hobo adalah bulan saat pohon-pohon menggugurkan daun-daun yang

lama dan bertunas baru, menandai akan makin panasnya bulan kemarau. Bulan Wadu Ae

dinamakan sesuai kondisi pada bulan tersebut, di mana bulan tersebut adalah bulan yang

lebih kering dan panas daripada bulan-bulan lain. Wadu Ae disusul bulan Kai Ai, bulan

ketika air perlu dicari karena sumur-sumur biasanya mulai mengering. Air yang dicari

dalam bulan Kai Ai bukan saja air sumur, tetapi juga air nira lontar. Karena itulah ada

upacara untuk memohon agar air nira lontar menjadi banyak. Nira lontar biasanya diolah

menjadi gula kental (donahu Hawu), diminum langsung ketika masih manis, diasamkan

untuk dijadikan minuman beralkohol seperti laru dan sopi, hingga dijadikan minuman

hewan domestik seperti anjing dan babi.

Bulan Ha‟e Rae adalah bulan saat berlangsungnya upacara mengembalikan

kekuatan gaib yang merusak ke laut. Orang-orang Jingitiu percaya kekuatan yang paling

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

63

jahat berasal dari laut, karena itu mesti dikembalikan ke laut. Upacara ini juga dilakukan

sebagai persiapan untuk menanam. Dengan terluputnya mara dari kampung dan ladang,

panenan diharapkan dapat mendatangkan hasil berlimpah. Bulan Ko‟o Ma adalah bulan

mempersiapkan ladang untuk ditanami. Bulan ini diikuti dengan Nyale Kuja, bulan

menugal dan mulai menanam. Di bulan ini, Pa Lede mengadakan upacara Ku‟ja Ma, agar

tanaman dapat tumbuh dengan baik. Untuk upacara ini, orang-orang di Mesara biasanya

berpantang, termasuk tidak makan daging dan memasak menggunakan kelapa untuk

konsumsi selama masa menugal dan menanam. Menurut Pa Lede, hal ini dilakukan

untuk menghormati bumi yang sedang bekerja merawat benih-benih tanaman.

Bulan selanjutnya adalah Nyale Ae, tempat dilakukannya pencarian terhadap nyale,

cacing laut Leodice viridis dalam jumlah besar. Pencarian nyale biasanya dilakukan pada

hari-hari sesudah bulan purnama, dengan ember berisi garam. Nyale yang ditangkap di

pinggir pantai menggunakan perangkap dari kain biasanya langsung dimasukkan ke

dalam ember berisi garam. Nyale yang diawetkan bisa bertahan lebih dari setahun. Untuk

konsumsi sehari-hari, nyale biasanya dicampurkan dengan cuka lontar dan daun

kemangi.

Bulan Penata berkaitan dengan sejumlah upacara untuk menyambut panenan

kacang hijau. Kacang hijau adalah salah satu tanaman yang berperan penting dalam

kehidupan dan ritual orang-orang Jingitiu. Pada upacara melepaskan orang dewasa yang

akan pergi merantau, misalnya, kacang hijau bersama kopra diberikan kepada calon

perantau sebagai bekal simbolik agar si perantau tidak kekurangan makanan selama di

tempat perantauan. Bulan Daba Ae adalah bulan diadakannya upacara Daba, upacara

inisiasi anak-anak yang lahir setelah bulan Daba Ae tahun sebelumnya, untuk menjadi

anggota suku. Bulan setelahnya adalah Banga Liwu, bulan yang berkaitan dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

64

upacara larung hasil panenan ke laut (Hole), bulan syukur karena panenan yang baru

diterima dari alam.

Berdasarkan latar belakang Pa Lede tersebut, saya pun menggali cerita tentang Ina

Ju Deo dan Ju Deo yang saya baca dalam laporan Duggan. Beginilah kisah menurut Pa

Lede:

Ini kisah tentang Wènynyi Ri, anak dari Ri D‘ara. Ia dilahirkan di atas pohon

pinang, di antara pelepah dan tangkai buah pinang, di tengah laut biru, ketika bintang

berekor (moto nga lado) diletakkan di langit oleh Deo Ama sebagai tanda, ketika dunia

masih gelap, laut dan daratan belum jelas terpisah. Ari-ari si bayi yang jatuh ke laut

menjadi nyale (cacing laut yang biasanya dikonsumsi masyarakat Sabu). Wenynyi Ri dan

ibunya tinggal di pohon pinang sampai kemudian diturunkan dan dibawa oleh kapal Liru

Bèla. Tanda dari bintang berekor membuat muatan kapal yang diturunkan Liru Bèla

mudah untuk diarahkan, karena bintang berekor adalah juga bintang penunjuk tempat.

Setelah menemukan tempat, mereka mencari puncak gunung (kolo lede) yang menyembul

dari laut. Ujung tersebut adalah penanda daratan. Di daratan, ada rumah kosong, dengan

kandang hewan. Setelah menemukan itu, anak yang baru lahir tersebut kemudian

dimandikan di tempat hewan dengan air yang ada di darat.

Wènynyi Ri pun tumbuh besar, dan menjadi perbincangan karena kejatmikaannya.

Orang-orang takut karena Wènynyi Ri dapat diangkat menjadi raja (duae) ketika sudah

cukup usia. Perbincangan dari mulut ke mulut ini sampailah ke sebuah tempat bernama

Wonga ‗Dai ‗Dara ‗Dai. Agar mencegah hal itu terjadi, Wènynyi Ri pun dibunuh. Setelah

ia mati, orang-orang di tempat itu pun tetap saja takut. ―Jangan biarkan jenazahnya tetap

berada di sini,‖ kata mereka satu kepada yang lain. Jenazahnya pun dipindahkan ke

berbagai tempat, disembunyikan dengan segala macam jenis asap, tetapi masih saja

terlihat. Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Dana, tetapi tetap saja tak bisa

disembunyikan. Akhirnya, jenazahnya dipindahkan ke tempat tinggal Hemège di ‗Jawa

Wawa, sebuah tempat di pulau Raijua.

Hemège pun menyembunyikan jenazah Wènynyi Ri di dalam rumahnya,

menggantungnya di ketanga rohe (balok rumah yang berbentuk salib). Ketika kejadian

menimpa Wènynyi Ri, Ri D‘ara pun berusaha mencari anaknya. Kagetlah ia ketika ia tak

menemukan anaknya di tempat anaknya dikabarkan seharusnya berada. Ri D‘ara pun

mencari anaknya hingga ke ‗Jawa Wawa. Diajaklah Maja dan Kenuhe, karena mereka

berdualah yang sama sekali tak gentar berhadapan dengan wango (iblis). (Tugas-tugas

Kenuhe saya emban, sedangkan tugas Maja sekarang dilaksanakan Tudu Gili dari suku

Nabelu). Karena tugas-tugas itulah, kami yang mengemban tugas sejak awal mula tidak

sekolah. Orang-orang kami ada yang bersekolah, tetapi tidak ada yang berhasil.

Setelah itu, mereka pun pergi ke ‗Jawa Wawa untuk menurunkan jenazah Wènynyi

Ri. Hari telah malam di sana. Di jalan, mereka bertemu Jèka Wai yang sedang

mengerjakan kebunnya. ―Ini kebun siapa?‖ tanya Kenuhe dan Maja. Kenuhe bertanya

jawab sebanyak sembilan kali dengan Jèka Wai. Dengan Maja, Jèka Wai bertanya jawab

sebanyak tujuh kali. Karena kalah dalam tanya jawab tersebut, kebun Jèka Wai („doka

Jèka) menjadi milik Kenuhe dan Maja, sedangkan Jèka Wai ditugaskan menjaga kebun

tersebut selama Kenuhe dan Maja tidak membutuhkan apa-apa dari kebun tersebut. Dari

kebun tersebut, Kenuhe dan Maja memperoleh sirih dan pinang hingga penuh „beka

(tempat menampung sirih pinang dari anyaman lontar). Mendekati ‗Jawa Wawa, mereka

bertemu dengan seorang anak gembala (ana mata b‟ada) bernama Pu Tèdo, anak dari

Tèdo Lede, dan menanyakan tempat Hemège. Berdasarkan keterangan Pu Tèdo, mereka

bertiga menemukan tempat Hemège. Pu Tèdo berasal dari ‗Jawa Wawa, tempat tinggal

Hemège.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

65

Hemège adalah raja iblis (duae wango), dan bisa memerintahkan iblis-iblis lain.

Pada saat itu, ia membuat jalan ke rumahnya seolah-olah sedang terjadi pesta, dan riuh

dengan musik dan tari-tarian. Untuk melapangkan jalan ke tempat Hemège dan

menurunkan jenazah Wènynyi Ri dari ketanga rohe, Ri D‘ara memerah payudara kirinya.

Orang-orang yang sedang berpesta tersebut mati terkena air susu dari payudara kiri Ri

D‘ara. Agar ada orang yang bisa diperintah, Hemège meminta Ri D‘ara pun

menghidupkan 40 orang dengan air susu dari payudara kanannya. Setelah itu, Wènynyi Ri

pun diturunkan dari ketanga rohe. Ketika jenazah Wènynyi Ri dibawa oleh Ri D‘ara,

Kenuhe dan Maja bertugas melawan iblis-iblis dari segala tempat yang diperintahkan oleh

Hemège.

Wènynyi Ri kemudian dibawa ke kubur. Orang-orang masih tak ingin Wènynyi Ri

hidup karena ia akan menjadi raja dan memerintah mereka. Kubur Wènynyi Ri berbentuk

bundar, ia didudukkan di atas batu di dalam kubur, dan dari lubang kubur bagian atas Ri

D‘ara memerah air susu dari payudara kanannya.

Menurut Pa Lede, dalam versi lain, Wenynyi Ri dikenal juga sebagai Ju Deo.

Beberapa bagian kisah di atas serupa dengan narasi yang diperoleh Duggan dari Deo Rai,

tokoh-tokoh seperti Maja, Kenuhe, Jèka Wai dan gembala, muncul dalam garis besar

cerita. Dalam cerita Pa Lede, tokoh gembala memiliki nama. Wènynyi Ri adalah

padanan Ju Deo dalam kisah Deo Rai, sedangkan Ri D‘ara adalah Ina Ju Deo.

Bagian-bagian yang berbeda pun tak bisa dibilang sedikit. Narasi yang diperoleh

Duggan secara jelas menampakkan kesamaan nama-nama tempat dalam narasi dengan

nama-nama tempat historis di Sabu, sedangkan dalam narasi Pa Lede, nama-nama tempat

lebih tersamar. Perbedaan paling pokok yang membedakan narasi Deo Rai yang dikutip

Duggan dan narasi Pa Lede adalah lenyapnya keberadaan Hemège dalam narasi Deo Rai.

Seperti telah kita baca, keberadaan Hemège menjadikan narasi lebih dari sekadar sebuah

kisah pencarian seorang ibu terhadap anaknya yang hilang.

Dunia dalam kisah Pa Lede tentang Wènynyi Ri dan Ri D‘ara adalah dunia yang

dipercaya oleh orang-orang Jingitiu saat ini. Sejumlah kiasan dan objek dalam cerita

adalah bagian dari tradisi yang hidup di tengah orang-orang Jingitiu. Adapun sejumlah

unsur yang muncul dalam kisah tentang Wènynyi Ri dan Ri D‘ara bisa dipakai untuk

melihat khazanah orang-orang Jingitiu yang merentang dari kelahiran hingga kematian.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

66

Pelepah pinang adalah alat yang digunakan untuk menerima bayi Jingitiu yang

baru lahir. Nyale adalah makanan orang-orang Jingitiu yang biasa diawetkan dengan

garam dan tahan selama setahun. Air susu dari payudara kanan melambangkan

kehidupan. Air susu payudara kiri melambangkan kematian. Sirih dan pinang dalam

kosmologi Sabu berperan penting dalam segala situasi dan mewakili berbagai bentuk

komunikasi, baik komunikasi dengan sesama manusia yang masih hidup, maupun

komunikasi dengan arwah leluhur. Sirih dan pinang bisa berfungsi sebagai pembuka

tegur sapa antara orang-orang ketika bertemu di perjalanan. Di dalam jamuan dan

penerimaan tamu, sirih dan pinang adalah hal pertama yang ditawarkan kepada para

tamu. Ketika hendak memulai sebuah ritual penting, sirih dan pinang adalah sapaan yang

disampaikan oleh orang-orang hidup kepada para leluhur melalui peletakan kedua jenis

buah tersebut di makam-makam mereka. Dalam ritual Daba, ritual inisiasi orang-orang

Jingitiu, air olesan sirih pinang digunakan sebagai salah satu tanda pengesah diterimanya

seorang anak ke dalam komunitas Jingitiu.

Ketika meninggal, orang-orang Jingitiu dimakamkan dalam posisi duduk, dalam

sebuah kubur yang digali berbentuk lingkaran. Di dalam kubur disediakan kerang untuk

mendudukkan jenazah. Jenazah didudukkan di atas kerang dengan berbalutkan tikar

anyaman, dan dengan kepala ditutupi gong. Bentuk kubur dan posisi jenazah seperti ini

merujuk kepada bentuk kubur dan posisi jenazah Wènynyi Ri ketika dikuburkan. Di

akhir kisah Pa Lede, kita baca bahwa Ri D‘ara memerah air susu dari payudara kanannya

ke atas kubur Wènynyi Ri yang dilubangi. Ini merujuk kepada tindakan cinta seorang ibu

yang berusaha menghidupkan kembali anak yang dikasihinya.

Bagi Pa Lede, keberadaan sekolah membuatnya rentan kehilangan narasi tersebut

secara lisan karena ia akan makin sering berurusan dengan hal-hal yang dianggapnya

tidak ia perlukan. Kisah Wènynyi Ri dan Ri D‘ara lebih dari sekadar kisah yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

67

menyiratkan hubungan antara Katolik dan orang-orang Sabu seperti anggapan Duggan

dan Hägerdal. Kisah Wènynyi Ri menjelaskan banyak aspek dalam kehidupan orang-

orang Jingitiu, yang membentang dari kelahiran sampai kematian.

Pa Lede sendiri adalah putra sulung di keluarganya. Nyaris seluruh keluarganya

telah menjadi penganut Kristen. Ibunya meninggal dan dikuburkan sebagai orang

Kristen. Dengan demikian, ia tidak dikuburkan seperti orang-orang Jingitiu, di bawah

rumah panggung, melainkan di depan rumah salah satu saudara Pa Lede, dengan epitaf

bertuliskan nama sang ibu.

Saat ditanya mengenai pendapatnya tentang orang-orang Jingitiu di Sabu sekarang,

Pa Lede berpendapat (tanda kurung dari saya):

Lede dan Liha (putra dan putri Pa Lede) masih Jingitiu. Lede nanti yang akan

menggantikan saya (menjadi Kenuhe). Om-om (maksudnya saudara-saudaranya yang lain)

yang lain ada di Kupang dan semuanya orang Kristen. Ama Dari (salah satu saudaranya di

Sabu) yang masih Jingitiu, sama seperti saya. Kau punya saudara-saudara yang lain juga

masih ada yang Jingitiu. Begini sudah kita hidup. Mau jadi orang Kristen atau Jingitiu,

yang penting ingat kampung. Kalau ada apa-apa (kegembiraan atau kemalangan) harus

bikin acara (ritual), ingat orang tua-orang tua kita (maksudnya: leluhur) yang sudah

meninggal. Mau bagaimanapun, kita dari satu pohon (keluarga).

Pendapat tersebut menunjukkan penerimaan Pa Lede terhadap keberagaman yang

ada di tengah keluarga besarnya. Sebagai Kenuhe, salah satu dari Ratu Mone Pidu,

jajaran imam dalam Jingitiu, pendapat tersebut menunjukkan adanya keterbukaan untuk

melakukan dialog. Namun, di satu sisi, pilihan-pilihannya untuk tetap berada dalam cara

hidup yang ditempuh leluhurnya menunjukkan pula sisi resistensinya.

Lede Pa dan keluarganya tinggal di Lede Para Galla, kawasan rumah adat yang

menjadi pusat beberapa upacara penting, termasuk tempat penguburan jenazah Kenuhe

sebelumnya. Tak jauh dari rumahnya, ada SD Katolik Perema dan kapel St. Gregorius

Perema, wilayah yang menjadi tempat tugas Tadeus Lodo, sebagai guru agama dan

katekis. Tak jauh dari Lede Para Galla, ada pantai, tempat sering dilangsungkannya

upacara hole, melarungkan panenan sebagai tanda syukur atas berkat bumi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

68

3.3. Bahasa dan Pewartaan

Stigmatisasi ―Jingitiu sama dengan PKI‖ memuncak pada 1976, ketika orang-orang

Jingitiu dipaksa menganut Kristen. Alkitab terjemahan pertama berbahasa Sabu, Injil

Markus (Lii Haga Dara do Hure ri Markus), diterbitkan oleh Lembaga Alkitab

Indonesia pada tahun yang sama. Tahun 1970-an adalah tahun-tahun signifikan bagi

gerakan kristenisasi di Sabu, sebab orang-orang Jingitiu tidak hanya berhadapan dengan

lembaga-lembaga agama dan lembaga-lembaga pendidikan GMIT yang ada di sana

selama bertahun-tahun maupun yang belakangan dibangun oleh gereja Katolik, tetapi

juga menghadapi negara melalui ekses pascaperistiwa 1965. Jingitiu menjadi sinonim

dari PKI.

Peran penerjemahan Alkitab terhadap misi dan zendeling diakui signifikan oleh

Lackner. Hidup dan berkarya selama lebih dari 50 tahun di pulau Sabu membuat Lackner

memahami bahasa Sabu melalui cara yang tidak dipikirkan oleh orang-orang Sabu pada

umumnya: menyenaraikan kata-kata, contoh-contoh kalimat, dan aturan-aturan tata

bahasanya dalam bentuk tertulis. Ia memiliki manuskrip daftar kata-kata bahasa Sabu,

beserta contoh-contoh penempatan kata-kata tertentu untuk konteks kalimat yang

berbeda, serta aturan tata bahasa sederhana dalam bahasa Sabu yang ia kumpulkan

selama berada di Sabu.

Alkitab terjemahan membantu Lackner untuk mempelajari bahasa Sabu dengan

lebih baik. Ketika wawancara dilakukan, Lackner menyampaikan bahwa ia telah

membaca berulang kali Lipedara Wowiu, Perjanjian Baru terjemahan bahasa Sabu

(2000) yang, menurut Lembaga Alkitab Indonesia penerbitnya, merupakan ―buku yang

pertama (secara lengkap dari Matius – Wahyu) yang mengalihkan (menulis) bahasa Sabu

dari bahasa Lisan menjadi bahasa Tulisan‖ (LAI, 2000). Lackner tidak secara eksplisit

mengatakan bahwa Alkitab terjemahan membantunya belajar bahasa Sabu secara lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

69

baik. Namun, dengan mengungkapkan bahwa ia telah membaca Alkitab sejak kecil, ia

menyiratkan bahwa ia lebih mudah menafsirkan bagian-bagian yang dimaksud dalam

bahasa Sabu karena memiliki khazanah biblis yang ia simpan selama bertahun-tahun

dalam bahasa aslinya.

Pada 2006, Injil Markus diterjemahkan ulang ke dalam bahasa Sabu oleh Unit

Bahasa dan Budaya GMIT, dengan judul Lii Hag‟a D‟ara j‟ara lua Yesus pedutu nga do

hure do b‟uke ri Ma‟u (Kabar Baik tentang Yesus menurut Markus), dengan bahasa yang

lebih vulgar dari versi terbitan 1976. Terjemahan lengkap Alkitab Perjanjian Baru

digunakan oleh katekis-katekis Katolik sebagai sarana pewartaan untuk menyampaikan

kisah-kisah tentang Yesus melalui bahasa yang dipahami oleh orang-orang Sabu.

Lackner memiliki versi cetak Lipedara Wowiu maupun versi terjemahan elektronik

yang menjadi bagian dari aplikasi android Alkitab. Lackner sadar akan fungsi bahasa

sebagai jembatan maupun tembok. Dalam wawancara, contohnya, ia memilih

mengobrolkan isu-isu yang menurutnya sensitif bagi masyarakat Sabu memakai bahasa

Inggris karena pastoran yang ia tinggali dekat dengan asrama putri paroki, dan bahasa

Inggris adalah bahasa yang sama sekali asing bagi anak-anak perempuan yang tinggal di

asrama.

Sejak didirikan hingga hari ini, bahasa yang digunakan untuk mengajar di kedua

sekolah adalah bahasa Sabu dan bahasa Indonesia. Bahasa Sabu hanya digunakan untuk

siswa-siswa kelas I dan II, sebagai transisi bagi mereka sebelum berkenalan dengan

pengajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas selanjutnya. Penggunaan bahasa Sabu di

kelas-kelas bawah tersebut pun terbatas pada aspek pelisanan, karena bahan-bahan yang

digunakan ditulis dalam bahasa Indonesia.

Alkitab terjemahan adalah sarana yang menempatkan orang-orang Sabu dalam

situasi antara merawat oralitas dan menerima tekstualitas dalam taraf yang berbeda.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

70

Melalui Alkitab terjemahan, bahasa Sabu ditarik dari kelisanannya dan dimasukkan ke

dalam tradisi tertulis, tetapi kisah-kisah yang ditulis dalam bahasa tersebut bukanlah

kisah-kisah yang berasal dari kosmologi mereka. Menurut Lackner, salah satu akibat dari

terjemahan Alkitab ini adalah kebingungannya para katekis untuk melisankan kembali

versi tertulis karena variasi vokal dalam bahasa Sabu lebih mudah untuk dilisankan

ketimbang dibacakan.

Tadeus Lodo pun merasakan pentingnya peran bahasa Sabu bagi para umat

Katolik. Lodo adalah salah satu katekis Sabu yang berasal dari keluarga Jingitiu, dan

menganut Katolik setelah kedatangan Lackner. Ia menjadi Katolik di usia SMP, dan kini

merupakan guru agama di kapel Perema.

Menurut Lodo, orang-orang di Sabu untuk lebih baik memahami pesan-pesan

ibadah dan bacaan-bacaan Kitab Suci jika disampaikan dalam bahasa Sabu. Untuk

kepentingan ibadah rosario, katekese bulan Kitab Suci, dan ibadah hari Minggu, Lodo

memfotokopi Lipedara Wowiu yang dimiliki Lackner untuk digunakan di Perema.

Menurut Lodo:

Lebih gampang orang di sini mengerti kalau Bapa omong dalam bahasa Sabu.

Ibadat hari Minggu ju sama. Alkitab yang Bapa fotokopi dari Pater biasanya berguna kalau

ada pas ada ibadat dan harus ambil bacaan, bapa pakai (Alkitab) bahasa Sabu. Orang-orang

di sini mau tua ko muda, lebih senang kalau Bapa bawakan ibadah dalam bahasa Sabu.

Dalam bahasa Sabu pula, Franz Lackner dipanggil oleh orang-orang Katolik Sabu,

―Ama Di‖. Ama Di, dalam bahasa Indonesia, berarti Ayah Kami. Sabu hanya memiliki

satu bahasa yang dapat dipahami oleh semua orang di pulau tersebut. Bahasa, dalam

kasus di atas, berfungsi untuk menyeberangkan gagasan-gagasan Alkitab dan khazanah

kristiani ke dalam perbendaharaan kosakata yang sehari-hari digunakan oleh orang-orang

Sabu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

71

BAB IV

AMBIVALENSI DAN IDENTITAS

Bab ini berisi analisis terhadap temuan-temuan pada bab-bab sebelumnya,

konkretisasi dua konsep Bhabha, ambivalensi dan identitas. Ambivalensi berkaitan

dengan konsep mimikri dan aspek identitas di dalam proses terjadinya. Dalam gagasan

tentang identitas, ada kaitan terhadap proses berkomunitas.

Bhabha membicarakan mimikri sebagai bagian dari realitas pascakolonial dalam

konteks India. Menurut Bhabha, mimikri dikonstruksi di sekitar ambivalensi. Agar

efektif, mimikri mesti terus menghasilkan ekses, perbedaan dan slippage. Dalam

membaca gagasan Bhabha, Huddart (2006: 40) menyampaikan bahwa pada dasarnya,

wacana kolonial ingin agar para terkoloni sama tetapi tidak identik dengan pengoloni.

Dalam konteks India, para terkoloni berbicara bahasa Inggris dan menjadi Kristen,

tetapi mereka tetap tidak sama dengan orang-orang Inggris. Orang-orang India yang

demikian menjadi Anglicised, tetapi bukan English (2004: 125). Inilah situasi

ambivalensi awal. Meski berbicara bahasa Inggris, mereka adalah orang-orang India.

Ambivalensi menjadi tak terelakkan dalam proses mimikri karena kekuasaan dominan

tidak pernah stabil dan gagasan dominan tidak pernah absolut. Mimikri adalah proses

yang menunjukkan bahwa gagasan dominan bisa disimpangkan. Jika identitas beroperasi

melalui metafora, maka mimikri beroperasi melalui metonimia. Metonimia adalah istilah

linguistik untuk merujuk sesuatu atau konsep berdasarkan nama sesuatu yang dekat atau

berhubungan dengan hal atau konsep tersebut.

Dalam konteks Indonesia, sejak zaman penjajahan, orang-orang pribumi tidak

berbicara bahasa Belanda sebagai bahasa pemersatu. Seperti ditunjukkan Maier (1993)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

72

dalam artikel “From Heteroglossia dan Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch

in the Indies,” pihak Belanda menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa administrasi

sekaligus bahasa pengontrol kaum pribumi. Dengan latar seperti itulah mimikri

berpotensi dihadirkan oleh kaum terkoloni di Indonesia: bahasa yang diatur kaum

penjajah untuk memperlancar tugas dan kepentingan administrasi wilayah jajahan

dipakai oleh kaum terjajah sebagai sarana resistensi. Ambivalensi tampak dalam kisah

selanjutnya: alih-alih menjadi bahasa yang mengatur, bahasa Melayu kemudian menjadi

embrio bahasa Indonesia. Bahasa yang diharapkan menekan para terjajah dalam

keberjarakannya dengan bahasa penjajah, justru berhasil mengikat berbagai macam suku

dari bahasa berbeda dalam satu wilayah terbayang. Bahasa Melayu, dari polyglossia,

seperangkat bahasa yang diatur secara hierarkis dan mengikat secara individual demi

kepentingan otoritas untuk mengatur wilayah kekuasaan justru digunakan secara akrab

sebagai polyglossia, bentuk bahasa hibrida yang digunakan oleh orang-orang dari

berbagai latar belakang budaya ketika bertemu.

Dalam konteks Sabu, mimikri sebagai proses mengulang alih-alih

merepresentasikan dapat kita temukan dalam interaksi anak-anak Jingitiu di sekolah

Katolik, sebuah keadaan yang beririsan dengan ambivalensi sebagai cara menerima

sekaligus meresistensi; dalam diri Kenuhe dan orang-orang Jingitiu lain yang hidup

berdampingan dengan orang-orang Katolik di Perema dan Mehona; dalam diri para

katekis yang mengajarkan agama Katolik dalam bahasa Sabu.

Sementara itu, identitas komunitas, sebagai bagian dari ingatan kolektif dan

resistensi/apropriasi terhadap khazanah lain, dilacak melalui dua narasi berbeda. Dua

narasi ini hidup dan berkembang di tengah kelompok Katolik maupun Jingitiu, dan

menunjukkan bagaimana dialog dilakukan di dalam komunitas Katolik Sabu dan

komunitas Jingitiu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

73

4.1. Ambivalensi dan Mimikri dalam Interaksi Sosial

4.1.1. Sekolah dan Bahasa: Identitas dan Ruang Memahami

Sekolah dan bahasa adalah dua bagian yang tak terpisahkan untuk memahami

bagaimana gereja Katolik di Sabu masuk pertama kali. Dalam sekolah, pengajaran dan

penanaman nilai berlangsung nyaris setiap hari selama seminggu. Dengan tambahan

―Katolik‖, ada nilai-nilai Katolik yang turut diajarkan. Sebagai sekolah Katolik,

Pendidikan Agama Katolik menjadi pelajaran penting untuk memperkenalkan Katolik.

Dalam kasus gereja Katolik di Sabu, sekolah berperan penting untuk

memperkenalkan nilai-nilai Kristiani. Di bangunan awal kedua sekolah pula, ibadah dan

Misa Mingguan diadakan, sebelum kapel-kapel dibangun di lokasi yang tak jauh dari

sekolah. Pertemuan langsung Katolik di wilayah-wilayah yang menjadi tempat

komunitas-komunitas Jingitiu membuat ruang pemahaman menjadi lebih kompleks dan

terbuka, seperti siasat yang ditampilkan oleh orang-orangnya.

Anak-anak Jingitiu yang awalnya bersekolah di Perema dan Mehona melihat

―jingitiu‖ tidak dengan kacamata yang dipakai Portugis ketika menyematkan nama

tersebut, yang berarti ―pagan‖. Realitas sehari-hari mereka di sekolah membuat mereka

memiliki perbandingan dengan kehidupan sehari-hari di rumah. Ibadah dan misa setiap

hari Minggu semakin mengintensifkan pertemuan anak-anak di sekolah dengan Katolik.

Di sekolah, mereka bertemu dengan bahasa Indonesia dan Pendidikan Agama Katolik.

Pada hari Minggu, mereka mendengarkan Injil dibacakan dalam bahasa Sabu.

Dalam diri mereka, mimikri hadir lewat wajah ganda. Mereka berasal dari

kelompok Jingitiu yang menjadi Katolik, tetapi juga menjadi Katolik di tengah orang-

orang Jingitiu. Ambivalensi dalam diri terus-menerus bergema karena mimikri tidak

pernah akurat. Mereka mengalami ritual-ritual dan melaksanakan kalender adat seperti

para orang tua mereka, tetapi mereka juga dirawat dalam nilai-nilai dan ajaran-ajaran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

74

Katolik. Keadaan ambivalen justru lahir dari cairnya mimikri. Di dalam diri mereka ada

bagian yang senantiasa mengulang ritual-ritual tradisional dengan identititas yang baru,

ada juga bagian yang memandang hal tersebut sebagai bagian dari masa lalu.

Anak-anak di SDK Mehona dan Perema yang mengalami misa dan mendengarkan

pembacaan Alkitab, serta mengulangi doa-doa wajib dalam bahasa Indonesia. Dalam

bahasa Sabu, ―Tuhan‖ diterjemahkan menjadi ―deo‖. Orang-orang Jingitiu memahami

konsep ―deo‖ secara berbeda. Dalam khazanah mereka, ―deo‖ adalah salah satu nama

untuk menyebut entitas dewata yang mereka miliki, misalnya Deo Ama, atau nama salah

satu Ratu Mone Pidu, yakni ―Deo Rai‖. ―Deo‖ dalam pengertian biblis adalah pengertian

kepada sosok tunggal. ―Deo‖, terjemahan bahasa Sabu untuk ―Allah‖, mereka alami

dalam identitas baru. Melalui kata ―Deo‖, bahasa menampilkan ambivalensi identitas:

―deo‖ bisa dipakai untuk merujuk tidak hanya sosok dewata atau salah satu Ratu Mone

Pidu dalam khazanah Jingitiu, tetapi juga untuk merujuk sosok transenden di luar

Jingitiu.

Bagi anak-anak SD Mehona dan Perema yang belum sepenuhnya memahami doa-

doa wajib yang diajarkan dalam bahasa Indonesia, mengulangi pengucapan doa-doa

tanpa paham sepenuhnya makna setiap kata adalah bentuk mimikri yang paling harfiah.

Identitas dikembangkan dengan cara meniru. Efek slippage mimikri justru diperoleh dari

tidak sepenuhnya arti doa-doa yang diucapkan dipahami.

Anak-anak yang kemudian melanjutkan sekolah di Seba dan memanggil Franz

Lackner dengan panggilan ―Ama Di‖ atau ―Ayah Kami‖ juga bisa dibaca dalam

hubungan dengan ambivalensi dan mimikri. Dengan memanggil ―Ama Di‖, Franz

Lackner dipandang oleh anak-anak tersebut sebagai ayah mereka, tetapi sekaligus

sebagai ayah bagi siapa saja yang merasa berada di dalam kelompok ―kami‖. ―Ama Di‖

adalah mimikri bagi panggilan terhadap ayah yang dimiliki setiap orang Sabu di rumah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

75

4.1.2. Nama Baptis: Mode Representasi

Dalam kasus pembaptisan, dan juga pernikahan di mana mempelai perempuan

Jingitiu dibaptis Katolik sebelum menikah, nama-nama yang diterima oleh orang-orang

Jingitiu saat ritual Daba ditambahkan nama santo dan santa pelindung. Mungkin

tampaknya sepele, tetapi kenyataannya jauh lebih kompleks dari yang tampak di

permukaan. Pembaptisan Katolik dan ritual daba dalam Jingitiu sama-sama merupakan

ritual inisiasi, di mana seseorang diterima sebagai anggota baru sebuah komunitas:

komunitas gerejawi dalam pembaptisan, komunitas suku dalam daba.

Dua ritual ini mewakili dua khazanah dari dua tradisi berbeda yakni oralitas dan

tekstualitas. Untuk tegangan tersebut, saya ingin berpaling pada Walter J. Ong. Pada

bagian awal karyanya yang terkenal Orality and Literacy, Ong (2012: 8) menulis:

―[D]alam ranah-ranah ajaib tempat tulisan tersedia, kata-kata yang terucap

tetap tersisa dan hidup. Semua teks-teks tertulis mesti dikaitkan, langsung

maupun tidak, dengan ranah bunyi, habitat natural dari bahasa, untuk

menghasilkan maknanya. ‗Membaca‘ sebuah teks berarti mengubahnya ke dalam

bunyi, keras-keras atau dalam imajinasi, silabel demi silabel dalam pembacaan

pelahan atau sekilas dalam pembacaan cepat lazimnya menurut kebudayaan

teknologi-tinggi. Tulisan tidak dapat tersalur tanpa oralitas. ... Ekspresi oral dapat

eksis dan kebanyakan telah eksis tanpa tulisan sama sekali, tetapi tulisan tidak

dapat eksis tanpa oralitas.‖

Nama tradisional adalah nama yang diperoleh seorang anak saat ritual Daba.

Dalam tradisi nama orang-orang Jingitiu, nama-nama disusun dengan pola nama anak –

nama orang tua, masing-masing nama terdiri atas satu kata. Dari Huki Leo, misalnya,

kita bisa merujuk silsilah ke satu generasi sebelumnya yakni Leo Kana, terus ke Kana

Robo, Robo Hidi, Hidi Wadu, dan seterusnya. Ada pola anadiplosis yang terus berulang,

yang memungkinkan pelisanan hingga ke turunan pertama dapat diucapkan tanpa

kehilangan satu generasi pun. Namun, ada hal yang lebih penting dari itu. Melalui cara

itu, orang-orang Jingitiu melihat masa lalu sebagai, dan melalui, masa kini. Mereka

menelusuri sejarah melalui apa yang ada di masa kini. Yang disebutkan terlebih dahulu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

76

dalam meriwayatkan silsilah bukanlah nama nenek moyang, melainkan nama orang-

orang yang hadir sekarang, nama diri mereka atau nama anak-cucu mereka.

Setelah pembaptisan, nama-nama dicatat dalam Buku Permandian, dengan tanggal

lahir dan tanggal permandian, beserta nama orang tua dan orang tua baptis. Di Sabu,

pembaptisan dapat dilakukan tanpa waktu tertentu, seperti Daba yang hanya bisa

dilakukan pada bulan Daba. Mekanisme pencatatan berdasarkan penanggalan Masehi ini

memiliki keteraturan yang sama dengan sistem Daba. Dalam Daba, keteraturan

diperoleh dari bulan pengadaan ritual. Setiap orang Jingitiu bisa mengetahui bulan Daba-

nya. Daba sebagai ritual inisiasi jadi bagian yang juga dirayakan keluarga besar. Dalam

pencatatan buku permandian, keteraturan jadi jauh lebih rinci dan detail, karena satuan

waktunya menjadi lebih sempit, dan orang-orang yang dicatat adalah orang-orang yang

spesifik.

Orang-orang Katolik Sabu melewati dua proses ini: proses perekaman secara lisan

dalam upacara Daba dan pencatatan dalam buku setelah dipermandikan. Nama baptis

adalah identitas yang di dalamnya terkandung proses pengarsipan tekstual, sedangkan

nama daba menyimpan proses pengarsipan kolektif berdasarkan ingatan dan tradisi oral.

Di tengah orang-orang Jingitiu yang ingin mengurutkan kembali silsilah keluarga, atau

melakukan ritual tradisi, nama baptis adalah identitas yang diabaikan keberadaannya,

karena berada di luar ―gramatika‖ tradisional. Di tengah ibadah orang-orang Katolik,

nama santo/santa pelindung adalah salah satu nama yang disebutkan untuk mendoakan

kita. Identitas ini bergerak di dalam ruang yang selalu dinamis, dalam diri orang-orang

Katolik Sabu.

Melalui meleburnya nama baptis dan nama daba, orang-orang Katolik Sabu

mengalami mimikri karena tanda rasial dan prioritas kultural digugat (Bhabha, 2004:

125), sebagaimana diwakili oleh nama Katolik sekaligus nama Jingitiu. Memakai nama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

77

santo/santa Eropa tidak lantas menjadikan orang Sabu seperti orang Eropa, sedangkan

meski memakai nama Jingitiu, mereka tidak lagi sama seperti orang-orang Jingitiu pada

umumnya. Dalam peleburan nama, identitas adalah sesuatu yang goyah, dan mimikri

menjelma menjadi sebuah cara penulisan ulang yang terus-menerus.

4.1.3. Menyikapi Musim Tanam

Ada dua cara menyikapi musim tanam dan ritual ku‟ja ma, atau ritual menanam. Di

Mehona, seperti yang disampaikan Tael, orang-orang tidak lagi mengacu kepada ritual

ku‟ja ma sebagai referensi musim tanam. Selain orang-orang Jingitiu, setiap orang di

Mehona dan Liae menanam pada waktu yang mereka anggap baik untuk tanaman. Di

Perema dan Mesara, menurut Lodo dan Pa Lede, orang-orang menjadikan ritual ku‟ja ma

sebagai satu-satunya referensi musim tanam, tak peduli latar belakang mereka. Ritual ini

biasanya ditandai dengan penanaman tanaman-tanaman konsumsi, seperti sorgum,

kacang hijau dan kacang tanah, di kebun sekitar Lede Para Galla, tempat tinggal Pa Lede

sekaligus tanah di sekitar kompleks rumah adat suku Nappu Pudi di Mesara. Jika Pa

Lede mulai menanam, orang-orang Mesara mengetahui bahwa ku‟ja ma sudah dimulai

dan akan berlangsung selama tujuh hari.

Dari data-data di atas, tampak bahwa di Mehona, penanggalan dan ritual adat tidak

lagi menjadi satu-satunya acuan orang-orang untuk menanam. Sebaliknya, di Perema,

waktu menanam adalah salah satu masa yang mengumpulkan kembali orang-orang di

dalam kalender adat dan ritualnya. Dua cara tanggap terhadap ritual dan musim tanam ini

menunjukkan dua model penerimaan: ritual dan kalender adat tidak lagi menjadi satu-

satunya acuan orang-orang Katolik Sabu di Mehona untuk mengidentifikasi kesabuan

dan tilas-tilas kejingitiuannya. Di Perema, ritual-ritual seperti inilah yang sama-sama

dirayakan oleh orang-orang Jingitiu dan orang-orang Katolik Sabu. Di saat seperti itulah,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

78

Tadeus (nama baptis Tadeus Lodo) dan Pa Lede sama-sama berharap kepada ibu bumi

agar panenan berhasil. Melalui musim tanam, orang-orang Katolik Sabu di Mesara

menjadi serupa seperti orang-orang Jingitiu, tetapi tidak cukup sama. Dalam hal ini,

ambivalensi mengemuka karena mereka punya doa-doa lain selain yang disampaikan Pa

Lede dan para Mone Ama. Sementara bagi orang-orang Katolik di Mehona, ritual tidak

lagi menjadi sarana identifikasi kejingitiuan mereka.

4.2. Komunitas dan Narasi Identitas

4.2.1. Interaksi Komunitas

Lede Para Galla, kompleks rumah sekaligus rumah kediaman Pa Lede, terletak

tidak jauh dari SD Katolik Perema dan kapel St. Gregorius di samping SD. Lede Para

Galla adalah kompleks yang berisi rumah orang-orang Jingitiu, bercampur dengan

rumah-rumah komunitas lain. Di Lede Para Galla, sejumlah ritual dilaksanakan. Orang-

orang Jingitiu di sekitar Lede Para Galla biasanya mendapatkan sumber penghasilan dari

bertani (entah sebagai petani lontar, petani ladang, petani peternak), berdagang

kelontong/ hasil tenunan, hasil-hasil kerajinan, maupun menjadi tukang bangunan.

Tempat-tempat ritual keagamaan (entah agama Jingitiu maupun agama Katolik)

yang berdekatan menampakkan keberterimaan. Tadeus Lodo, pengajar Pendidikan

Agama Katolik di SDK Perema dan guru agama kapel St. Gregorius Perema, masih

menjalankan ritual-ritual Jingitiu seperti keluarga besarnya di Mesara, ritual-ritual yang

dipimpin oleh Pa Lede. Pada hari Minggu, Tadeus Lodo adalah pemimpin ibadah di

kapel Gregorius.

Penerimaan Pa Lede dalam lakunya sejalan dengan ungkapan lisannya: ―Mau jadi

orang Kristen atau Jingitiu, yang penting ingat kampung. Kalau ada apa-apa harus bikin

acara, ingat orang tua-orang tua yang sudah meninggal. Mau bagaimanapun, kita dari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

79

satu pohon.‖ Penerimaan Tadeus Lodo, seorang Katolik Sabu, menunjukkan betapa

cairnya identitas, dan satu hal yang bisa kita anggap sebagai apropriasi, di satu sisi justru

menampakkan resistensinya.

Ungkapan Pa Lede yang berangkat dari pengalaman banyaknya saudara dan

keluarganya yang menganut Kristen tidak semata bisa kita baca sebagai apropriasi.

Dengan tetap memilih menganut Jingitiu, Pa Lede menunjukkan resistensinya. Dari

pertemuan-pertemuan di tengah komunitas semacam itulah, identitas, bersama segenap

ambivalensinya mengemuka.

4.2.2. Penciptaan, Eksodus dan Identifikasi Identitas

Kisah penciptaan dari Kitab Kejadian menjadi menarik untuk disandingkan dengan

narasi penciptaan orang-orang Sabu karena terdapat kesamaan sekaligus perbedaan.

Kesamaannya adalah bahwa ada entitas tunggal yang menjadi asal mula segala hal, dan

bahwa air adalah bagian paling awal dari segala sesuatu sebelum dunia terbentuk. Di

dalam Kitab Kejadian dikisahkan Roh Allah melayang-layang di permukaan air sebelum

penciptaan dunia. Dalam narasi penciptaan dunia versi Sabu airlah yang merupakan

elemen dasar entitas pertama. Kesamaan lainnya adalah bahwa peradaban dimulai

setelah penciptaan manusia: Dalam Kitab Kejadian setelah Adam dan Hawa diusir dari

Eden, dalam narasi mitologi Sabu setelah Kika Ga diberikan peralatan tenun. Jika

kediaman Liru Bèla dan taman Eden adalah representasi realitas surgawi, peradaban baru

bisa dimulai ketika kedua pasangan tersebut berpindah dari realitas surgawi; Kika Ga

dari kediaman Liru Bèla, dan Adam dan Hawa dari Eden. Bedanya, dalam genealogi

lisan Sabu manusia berasal dari genealogi entitas pertama, sedangkan dalam kisah

Kejadian manusia diciptakan oleh entitas tunggal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

80

Dalam narasi eksodus Kika Ga, dari tempat yang jauh untuk menemukan pulau

Sabu, kita temukan bahwa penemuan wilayah baru adalah sebuah peristiwa sakral,

sebagaimana peristiwa eksodus Abraham menuju Kanaan. Kika Ga dan Abraham sama-

sama patriark bagi keturunan mereka. Dalam narasi perjalanan Kika Ga tidak ditemukan

semacam nubuat, seperti yang diperoleh Abraham, atau bahkan tokoh-tokoh epos

terkenal dari Eropa seperti Aeneas dan Odysseus. Narasi Kika Ga terbalik dari narasi-

narasi Abraham atau epos-epos besar Eropa Barat. Realitas dewata belum muncul sejak

awal eksodus. Hanya ketika tiba di tempat tujuanlah Kika Ga akhirnya berkenalan dan

diajak memasuki realitas dewata.

Narasi-narasi penciptaan dan eksodus orang-orang Sabu yang dicuplik dari

sumber-sumber tertulis dalam bagian ini adalah narasi-narasi yang hingga saat ini tetap

hidup dalam khazanah lisan orang-orang Sabu dengan berbagai variasinya. Berbagai

variasi menunjukkan ciri ingatan masyarakat lisan yakni tersebar dan kolektif. Narasi

tidak dituliskan, melainkan dilisankan, dan dalam beberapa kasus, dapat dikisahkan

kemballi secara variatif sesuai bagian-bagian yang diingat oleh si penyimpan.

4.2.3. Wenynyi Ri dan Ju Deo

Dua kisah dari pokok tradisi yang sama saya sandingkan untuk melihat bagaimana

kisah yang sama dapat menghasilkan tafsir yang berbeda. Kolom sebelah kiri adalah

kisah Ju Deo yang dikutip Duggan dari Deo Rai (2018: 145-146). Kolom sebelah kanan

adalah kisah tentang Wènynyi Ri D‘ara yang saya kutip dari Kenuhe (2018):

Ju Deo versi Deo Rai via Duggan Wènynyi Ri dan Ri D’ara versi Kenuhe

Ditemani Maja, Appu Lod‘o dan Kenuhe,

Ina Ju Deo mulai mencari anaknya di Sabu dan

mencapai bagian paling barat pulau Sabu, di

mana ia bertemu dengan seorang pria, Jèka

Wai, yang sedang mengerjakan kebunnya.

Menunjukkan perlawanan terhadap permintaan

kelompok tersebut, Jèka Wai pun ditantang

Ini kisah tentang Wènynyi Ri, anak dari Ri

D‘ara. Ia dilahirkan di atas pohon pinang, di

antara pelepah dan tangkai buah pinang, di

tengah laut biru, ketika bintang berekor (moto

nga lado) diletakkan di langit oleh Deo Ama

sebagai tanda, ketika dunia masih gelap, laut

dan daratan belum jelas terpisah. Ari-ari si

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

81

oleh Kenuhe dan Maja, dan kehilangan

tanahnya. Jèka Wai pun kemudian diminta

untuk mengikuti kelompok tersebut. Ketika

mereka tiba di Raijua, mereka bertemu dengan

seorang penggembala kambing dari udu

Rohaba. Jawabannya memuaskan pertanyaan

Ina Ju Deo, Ina Ju Deo memutuskan udu

Rohaba hanya boleh mengumpulkan garam

laut dan dilarang untuk memiliki tanah sendiri

di Raijua. Ina Ju Deo melanjutkan

perjalanannya ke Wuditèngu tempat ia bertemu

seorang penggembala kerbau dari Ledetalo. Ina

Ju Deo menanyakan pertanyaan yang sama

seperti yang ditanyakan ke orang Rohaba tadi.

Mendapatkan jawaban positif, Ina Ju Deo

menghadiahi si gembala dengan perangkap

ikan kena‟a dan holo kodo.

Kelompok itu pun melanjutkan perjalanan

ke Liurae, dan Ina Ju Deo mengulangi

pertanyaannya. Di sana ia diberitahu bahwa

orang yang sedang ia cari sedang disalibkan di

Nada Roju‘u di Raenadega. Sebelum

memasuki Raenadega, Ina Ju Deo memerah

payudara kirinya dan mengumpulkan air

susunya dalam botol. Kemudian Ina Ju Deo

memercikkan air susunya ke arah orang-orang

yang berkumpul di desa dan semua yang

terpercik air susunya meninggal. Sejak saat itu

ada sebuah batu yang disebut wowadu lakati di

sana. Ina Ju Deo kemudian memasuki desa,

dan pergi ke rumah Deo Rai dan melihat

putranya yang meninggal diikat di balok rumah

yang berbentuk salib; Ina Ju Deo

menurunkannya dari balok tersebut dan pergi

sesegeranya.

Ina Ju Deo, Maja, Apu Lod‘o, Kenuhe dan

Jèka Wai kembali ke Sabu (melintasi selat

dengan perahu Maja). Di Lederaga, Ina Ju Deo

memperoleh kain untuk membungkus tubuh

anaknya. Ina Ju Deo pergi ke mata air

Èimadakebo ketika kelompoknya disambut

oleh orang-orang setempat yang menari ledo

dan pedo‟a. Mereka melanjutkan perjalanan ke

D‘ara Raepumanu di desa Ledeae, dan

kemudian ke D‘ara Raekewowo. Di setiap

tempat yang mereka singgahi, mereka

disambut tarian dan sedikit demi sedikit Ju

Deo mulai menunjukkan tanda-tanda

kehidupan. Mereka kemudian pergi ke

Koloteriwu, perkampungan yang paling

ditakzimkan di Sabu, yang dikenal dalam syair

Rae Pulu Pa Lobo Pulu Ewa Ana Deo Pulu

Kati. Di Koloteriwu Ina Ju Deo, Ju Deo dan

bayi yang jatuh ke laut menjadi nyale (cacing

laut yang biasanya dikonsumsi masyarakat

Sabu). Wenynyi Ri dan ibunya tinggal di

pohon pinang sampai kemudian diturunkan

dan dibawa oleh kapal Liru Bèla. Tanda dari

bintang berekor membuat muatan kapal yang

diturunkan Liru Bèla mudah untuk diarahkan,

karena bintang berekor adalah juga bintang

penunjuk tempat. Setelah menemukan tempat,

mereka mencari puncak gunung (kolo lede)

yang menyembul dari laut. Ujung tersebut

adalah penanda daratan. Di daratan, ada

rumah kosong, dengan kandang hewan.

Setelah menemukan itu, anak yang baru lahir

tersebut kemudian dimandikan di tempat

hewan dengan air yang ada di darat.

Wènynyi Ri pun tumbuh besar, dan

menjadi perbincangan karena kejatmikaannya.

Orang-orang takut karena Wènynyi Ri dapat

diangkat menjadi raja (duae) ketika sudah

cukup usia. Perbincangan dari mulut ke mulut

ini sampailah ke sebuah tempat bernama

Wonga ‗Dai ‗Dara ‗Dai. Agar mencegah hal

itu terjadi, Wènynyi Ri pun dibunuh. Setelah

ia mati, orang-orang di tempat itu pun tetap

saja takut. ―Jangan biarkan jenazahnya tetap

berada di sini,‖ kata mereka satu kepada yang

lain. Jenazahnya pun dipindahkan ke berbagai

tempat, disembunyikan dengan segala macam

jenis asap, tetapi masih saja terlihat.

Jenazahnya kemudian dipindahkan ke Dana,

tetapi tetap saja tak bisa disembunyikan.

Akhirnya, jenazahnya dipindahkan ke tempat

tinggal Hemège di ‗Jawa Wawa, sebuah

tempat di pulau Raijua.

Hemège pun menyembunyikan jenazah

Wènynyi Ri di dalam rumahnya,

menggantungnya di ketanga rohe (balok

rumah yang berbentuk salib). Ketika kejadian

menimpa Wènynyi Ri, Ri D‘ara pun berusaha

mencari anaknya. Kagetlah ia ketika ia tak

menemukan anaknya di tempat anaknya

dikabarkan seharusnya berada. Ri D‘ara pun

mencari anaknya hingga ke ‗Jawa Wawa.

Diajaklah Maja dan Kenuhe, karena mereka

berdualah yang sama sekali tak gentar

berhadapan dengan wango (iblis). (Tugas-

tugas Kenuhe saya emban, sedangkan tugas

Maja sekarang dilaksanakan Tudu Gili dari

suku Nabelu). Karena tugas-tugas itulah, kami

yang mengemban tugas sejak awal mula tidak

sekolah. Orang-orang kami ada yang

bersekolah, tetapi tidak ada yang berhasil.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

82

para pengikutnya naik ke langit karena pada

masa lalu langit dan bumi berdekatan. Bersama

putranya, Ina Ju Deo naik ke langit. Orang-

orang melihat mereka diselubungi awan.

Jèka Wai tidak tinggal di langit tetapi

kembali ke bumi dan menggunakan perahu

Maja, mengeklaim perahu tersebut sebagai

miliknya sendiri, yang membuat Maja marah.

Sejak saat itu, kehidupan di bumi tak lagi aman

karena ke mana pun Jèka pergi, akan terus-

menerus ada petir dan kilat. Suatu kali, Jèka

berteduh di bawah pohon kepaka (Sterculia

foetida), tempat tinggal seorang bernama

Denga. Denga mengatakan kepada Jèka bahwa

mengambil perahu Maja adalah hal yang salah.

Karena itu, ia akan terus-menerus diteror oleh

kilat dan petir hingga ia meminta maaf. Jèka

pun kembali ke langit dan meminta maaf

kepada Maja yang kemudian memutuskan

bahwa semua orang dan keturunan mereka

mesti mengorbankan seekor babi kepada Maja

setahun sekali, dan tradisi ini bertahan hingga

sekarang. Jèka merawat perahu yang diberi

nama Ama Dèki Lomi itu. Untuk hal ini,

keturunannya mesti meluncurkan sebuah

perahu upacara yang diisi oleh bahan-bahan

persembahan yang diberi nama kowa Jèka

setahun sekali dari bagian paling Barat Mesara.

Setelah itu, mereka pun pergi ke ‗Jawa

Wawa untuk menurunkan jenazah Wènynyi

Ri. Hari telah malam di sana. Di jalan, mereka

bertemu Jèka Wai yang sedang mengerjakan

kebunnya. ―Ini kebun siapa?‖ tanya Kenuhe

dan Maja. Kenuhe bertanya jawab sebanyak

sembilan kali dengan Jèka Wai. Dengan Maja,

Jèka Wai bertanya jawab sebanyak tujuh kali.

Karena kalah dalam tanya jawab tersebut,

kebun Jèka Wai („doka Jèka) menjadi milik

Kenuhe dan Maja, sedangkan Jèka Wai

ditugaskan menjaga kebun tersebut selama

Kenuhe dan Maja tidak membutuhkan apa-apa

dari kebun tersebut. Dari kebun tersebut,

Kenuhe dan Maja memperoleh sirih dan

pinang hingga penuh „beka (tempat

menampung sirih pinang dari anyaman

lontar). Mendekati ‗Jawa Wawa, mereka

bertemu dengan seorang anak gembala (ana

mata b‟ada) bernama Pu Tèdo, anak dari

Tèdo Lede, dan menanyakan tempat Hemège.

Berdasarkan keterangan Pu Tèdo, mereka

bertiga menemukan tempat Hemège. Pu Tèdo

berasal dari ‗Jawa Wawa, tempat tinggal

Hemège.

Hemège adalah raja iblis (duae wango), dan

bisa memerintahkan iblis-iblis lain. Pada saat

itu, ia membuat jalan ke rumahnya seolah-olah

sedang terjadi pesta, dan riuh dengan musik

dan tari-tarian. Untuk melapangkan jalan ke

tempat Hemège dan menurunkan jenazah

Wènynyi Ri dari ketanga rohe, Ri D‘ara

memerah payudara kirinya. Orang-orang yang

sedang berpesta tersebut mati terkena air susu

dari payudara kiri Ri D‘ara. Agar ada orang

yang bisa diperintah, Hemège meminta Ri

D‘ara pun menghidupkan 40 orang dengan air

susu dari payudara kanannya. Setelah itu,

Wènynyi Ri pun diturunkan dari ketanga rohe.

Ketika jenazah Wènynyi Ri dibawa oleh Ri

D‘ara, Kenuhe dan Maja bertugas melawan

iblis-iblis dari segala tempat yang

diperintahkan oleh Hemège.

Wènynyi Ri kemudian dibawa ke kubur.

Orang-orang masih tak ingin Wènynyi Ri

hidup karena ia akan menjadi raja dan

memerintah mereka. Kubur Wènynyi Ri

berbentuk bundar, ia didudukkan di atas batu

di dalam kubur, dan dari lubang kubur bagian

atas Ri D‘ara memerah air susu dari payudara

kanannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

83

Dalam kesimpulannya, Duggan dan Hägerdal menganggap kisah Ju Deo memiliki

banyak kesamaan dengan teks-teks biblis: Ju Deo, dan ibunya, ―Perempuan Kehidupan‖,

penyaliban, kebangkitan dan kenaikan ke surga adalah bagian-bagian penting dari kisah

tersebut, baik yang dikisahkan di Sabu maupun di Raijua. Duggan dan Hägerdal juga

menduga bahwa kisah tersebut memiliki hubungan dengan ajaran-ajaran misionaris

Portugis pada abad ke-16 hingga abad ke-17, atau justru kisah-kisah biblis justru

dikisahkan oleh para pelaut dan pedagang. Kemungkinan tersebut masih terbuka sebab,

menurut Duggan dan Hägerdal, setelah kontak singkat dengan Portugis pada abad ke-16,

agama Kristen tak memiliki dampak di Raijua hingga abad ke-20 (2018: 146).

Duggan dan Hägerdal menambahkan bahwa langit dan bumi yang dekat satu sama

lain, seperti dalam kisah Ju Deo, menempatkan kisah Ju Deo dalam waktu mitos, bukan

waktu historis. Kisah kebangkitan melalui cerita tersebut, dengan demikian, bukan

merupakan hal yang baru bagi orang-orang Sabu ketika Kristen tiba di Sabu (ibid.).

Duggan dan Hägerdal juga menyinggung bahwa narasi tersebut juga berhubungan

dengan sejumlah ritual spesifik di Raijua dan Sabu: misalnya tarian ledo dan pedoa, babi

korban kepada Maja, dan perahu upacara kowe Jèka (2018: 147).

Jika dugaan Duggan dan Hägerdal bahwa beberapa bagian dari cerita tersebut,

seperti yang telah disebutkan, berkaitan dengan pengaruh Portugis, maka dalam narasi

yang dikutip keduanya kita temukan bentuk penyerapan yang menampakkan resistensi

sekaligus apropriasi terhadap narasi biblikal. Resistensi tersebut tampak justru karena

cerita itu dipindahkan seluruh nama tokoh dan asosiasi tempat dan wilayah, menjadi

bukan lagi milik orang-orang yang pernah menyampaikannya. Resistensi, karena melalui

cerita hibrida di atas, kisah-kisah biblis dapat hidup di luar tradisi Kristen.

Mirip dengan cerita dari Deo Rai, kisah Wènynyi Ri yang disampaikan Pa Lede

bisa juga kita kaitkan dengan dimensi kehidupan orang-orang Jingitiu:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

84

Pelepah pinang yang lebar (Keru‟ba wènynyi), tempat lahir Wènynyi Ri, juga

digunakan untuk pertama kali menerima bayi Jingitiu yang baru dilahirkan. Ari-ari si

bayi, yang menjadi organnya menyerap makanan selama berada di dalam kandungan,

jatuh ke laut menjadi nyale, jenis makanan lain yang dikonsumsi oleh orang-orang

dewasa. Narasi tersebut menggambarkan sebuah siklus: dari sumber makanan kembali

menjadi sumber makanan.

Wènynyi Ri dan Hemège sebagai pasangan baik-jahat juga secara simbolik

ditampilkan melalui payudara kiri dan kanan Ri D‘ara yang masing-masing

melambangkan kehidupan dan kematian. Kelahiran Wènynyi Ri sebagai anak tanpa ayah

menjadi rujukan bagi anak-anak Jingitiu yang lahir tanpa ayah diterima sama baiknya

dengan anak-anak dengan ayah dan ibu, dengan istilah ana pa kepue (anak di dalam

rumah). Posisi Wènynyi Ri ketika dikuburkan setelah diturunkan dari tiang ketanga rohe

rumah Hemège sama seperti posisi orang-orang Jingitiu ketika dikuburkan. Orang-orang

Jingitiu yang meninggal akan dikuburkan duduk, biasanya didudukkan di atas kerang,

lalu dialasi dengan gong agar kepala jenazah tidak terkena tanah, lalu ditimbun dengan

tanah. Penguburan ini tidak dialami oleh orang-orang Jingitiu yang dibaptis Kristen.

Resistensi melalui cerita Ju Deo turut menghadirkan ambivalensi. Dengan

mengubah nama Wènynyi Ri menjadi Ju Deo dan Ri D‘ara menjadi Ina Ju Deo, peran

perempuan dalam narasi kepahlawanan tersamarkan, dan disubordinatkan menjadi ibu

dari Ju Deo. Identitas Ina Ju Deo hanya akan menjadi berarti jika kita mengetahui Ju

Deo. Ina Ju Deo bisa memiliki nama siapa saja, karena dalam bahasa Indonesia nama

tersebut berarti ―Ibu dari Ju Deo‖, sedangkan dalam pola penamaan Wènynyi Ri dan Ri

D‘ara, nama satu tokoh tidak perlu dijelaskan melalui nama tokoh lain. Pola penamaan

Wènynyi Ri dan Ri D‘ara membuat kita bisa mengetahui nama sang ibu melalui nama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

85

sang anak. Di dalam ―Ri D‘ara‖ ada ―Ri‖, seorang anak adalah sebagian dari orang

tuanya.

Kisah Ju Deo dan Wènynyi Ri adalah kisah yang tersebar luas di Mesara secara

lisan. Dengan demikian, ia tidak hanya menjadi milik orang-orang Jingitiu. Melalui kisah

ini pula orang-orang Katolik Sabu mengidentifikasi diri mereka. Dengan demikian, kisah

yang pada awalnya bertujuan sebagai resistensi, oleh orang-orang Katolik Sabu justru

diapropriasi sebagai kisah mereka. Bagi sebagian orang Katolik Sabu, kisah Ju Deo lebih

familiar ketimbang Wènynyi Ri. Ju Deo adalah sosok yang mereka temui sebagai Yesus

Kristus melalui pembaptisan, tokoh yang hidup dalam kisah-kisah orang tua dan leluhur

mereka yang tidak dibaptis. Melalui kisah Wènynyi Ri, orang-orang Jingitiu seperti Pa

Lede mengafirmasi semesta mereka dalam cerita tersebut. Sampai sekarang, mereka

masih mengalami hal-hal yang diwariskan Wènynyi Ri atau Ju Deo, sebagai buah

kebaikan Ri D‘ara. Melalui kisah yang sama, orang-orang Katolik Sabu mengafirmasi

iman Katolik mereka melalui cerita yang pernah mereka dengar ketika kecil. Kisah

Wènynyi Ri, yang dipelihara dalam satu tradisi, dapat diidentifikasi oleh komunitas

Katolik Sabu dan komunitas Jingitiu sebagai kisah mereka.

Narasi Kika Ga, juga narasi Ju Deo dan Wènynyi Ri, membelah sekaligus

memperkaya identitas orang-orang Katolik Sabu. Orang-orang Katolik Sabu adalah

orang-orang yang berasal dari Kika Ga, tetapi juga bertemu dengan dua manusia pertama

bernama Adam dan Hawa. Seperti kisah Wènynyi Ri dan Ju Deo, kisah Kika Ga adalah

metafora bagi identitas, yakni identitas Jingitiu, dan Sabu pada umumnya. Anak-anak

Kika Ga merujuk kepada orang-orang Sabu yang dibaptis maupun tidak, karena Kika

Ga-lah pulau Sabu, rumah untuk semua orang yang hidup di sana, dibentuk/ditemukan.

Jika Kika Ga adalah metafora bagi identitas orang-orang Sabu, identifikasi mengerucut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

86

tampak pada kisah Adam dan Hawa. Kisah Adam dan Hawa, yang sejak sekolah dasar

diajarkan kepada anak-anak Sabu, adalah identitas bagi kekristenan orang-orang Sabu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

87

BAB V

PENUTUP

Katolik pertama kali diperkenalkan secara sistematis kepada orang-orang Jingitiu

oleh Franz Lackner, SVD. Kedua sekolah yang didirikan sebagai lembaga pendidikan

Katolik berperan penting dalam memperkenalkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Katolik ke

orang-orang Jingitiu. Transmisi pertama melalui para pengajar kepada anak-anak yang

bersekolah di sana. Transmisi kedua melalui anak-anak tersebut kepada orang tua mereka

di rumah. Kedua sekolah juga berfungsi sebagai tempat berkumpul dan beribadah pada

hari Minggu. Sebelum ada gedung gereja, kedua sekolah adalah gereja perdana di

Mehona dan Perema.

Melalui kedua sekolah, anak-anak Jingitiu mengenal nilai-nilai dan ajaran-ajaran

Katolik yang diajarkan oleh para guru mereka. Pengenalan ini menyebabkan resistensi

dan apropriasi. Apropriasi berupa penerimaan nilai-nilai dan ajaran-ajaran Katolik sambil

tetap mengikuti dan berperan dalam ritual-ritual Jingitiu, seperti yang ditunjukkan oleh

guru agama di Perema dan orang-orang di Mesara. Resistensi ditunjukkan oleh orang

Jingitiu seperti Pa Lede, dalam lakunya yang tetap menjaga tradisi leluhur dalam segala

manifestasinya, termasuk penanggalan-penanggalan tradisional dan ritual-ritual

berdasarkan musimnya. Tetapi yang hadir dari Pa Lede adalah juga apropriasi. Ia

menerima realitas bahwa dunia di sekelilingnya berubah, bahwa orang tua dan

keluarganya memilih menganut Kristen. Dari sisi sebaliknya, orang-orang Kristen di

Perema dan Mesara tetap berperan aktif dalam setiap ritual tradisi, termasuk menjaga

pantang ketika musim menanam.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

88

Komunitas Katolik Sabu, orang-orang yang mengalami berbagai lintasan khazanah

kultural dan agama, memelihara ingatan terhadap nama daba mereka sebagai bagian

yang mempererat mereka dengan kampung halaman, tetapi juga tetap menerima nama

baptis mereka sebagai bagian dari kekatolikan mereka.

Apropriasi dan resistensi lain ditunjukkan oleh orang-orang Jingitiu dan orang-

orang Katolik Sabu lewat Wenynyi Ri dan Ju Deo. Melalui cerita yang berasal dan

dipelihara tradisi yang sama, orang-orang Katolik Sabu melihat kekatolikan mereka, dan

orang-orang Jingitiu mengidentifikasi kejingitiuan mereka. Resistensi terhadap narasi

asing ditunjukkan dalam cerita Ju Deo dengan menyerap dimensi nama menjadi

menyerupai nama-nama Jingitiu, dan mengontekskan kisahnya dengan khazanah yang

familiar dengan orang-orang Sabu. Apropriasi terhadap cerita diberikan oleh orang-orang

Jingitiu yang dibaptis. Dalam kisah Ju Deo, mereka menemukan kemiripan dengan

narasi Yesus Kristus. Narasi lain yang juga menjadi kisah identifikasi diri adalah cerita

tentang Kika Ga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

89

DAFTAR PUSTAKA

Ansow, J. 2008. Legitimasi Pendidikan Agama Katolik di Sekolah Katolik. Jakarta: Cahaya

Pineleng.

Aritonang, J.S. & Karl Steenbrink (editor). 2008. A History of Christianity in Indonesia.

Leiden & Boston: Brill.

Bara Pa, P. & Dorkas Nyake Wiwi. 2012. ―Penghancuran Perempuan Guru Sabu-Raijua oleh

Negara‖ dalam Kolimon & Wetangterah (editor). Memori-Memori Terlarang: Perempuan

Korban & Penyintas Tragedi ‟65 di Nusa Tenggara Timur. Kupang: Yayasan Bonet

Pingupir.

Bara Pa, P. 2013. ―Amu Hawu: Bangunan Berperspektif Gender (Pada Masyarakat Sabu)‖

dalam Neonbasu, G. (editor). Kebudayaan: Sebuah Agenda dalam Bingkai Pulau Timor

dan Sekitarnya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bara Pa, P. 2017. Tradisi Ru-Kétu: Suatu Kajian Budaya dan Refleksi Theologis. Bandung:

Majelis Sinode Gereja Kristen Pasundan.

Bhabha, H. 2004. The Location of Culture. London: Routledge.

Cook, J. 1893. Captain Cook‟s Journal During His First Voyage Round the World. London:

Eliot Stock 62 Pater Noster Row.

Da Silva, J.A. 1996. ―Inkulturasi sebagai Suatu Dialog‖ dalam Kirchberger & Prior (editor)

Iman dan Transformasi Budaya. Ende: Nusa Indah.

Detaq, Y.Y. 1973. Memperkenalkan Kebudayaan Suku Bangsa Sawu. Ende: Nusa Indah.

Duggan, G. 2009. ―The Genealogical Model of Savu, Eastern Indonesia‖ dalam Journal of

Indonesian Social Sciences and Humanities. Vol. 2, 2009, pp. 163–177

Duggan, G. & Hans Hägerdal. 2018. Savu: History and Oral Tradition on an Island of

Indonesia. Singapore: NUS Press.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

90

Fox. J. 1977. Harvest of the Palm: Ecological Change in Eastern Indonesia. Cambridge &

London: Harvard University Press.

Hägerdal, H. 2012. Lord of the Land, Lord of the Sea: Conflict and Adaptation in Early

Colonial Timor, 1600-1800. Leiden: KITLV Press.

Huddart, D. 2013. Homi K. Bhabha. Oxon & New York: Routledge.

Huki, T.A. 2010. Nilai Upacara Daba di Kalangan Masyarakat Jingitiu bagi Karya Pastoral

Gereja Katolik di Kelompok Umat Basis di Desa Pedarro Stasi Santo Gregorius Perema

Paroki Santo Paulus Seba Keuskupan Agung Kupang. (skripsi). Kupang: Sekolah Tinggi

Pastoral Keuskupan Agung Kupang.

Kagiya, A. 2010. Female Culture in Raijua: Ikats and Everlasting Witch-Worship in Eastern

Indonesia. Tokyo: Japan Publication.

Kana, N.L. 1983. Dunia Orang Sawu. Jakarta: Sinar Harapan.

Koro Magga. 1997. Studi Empiris tentang Upacara Tao Leo di Kalangan Masyarakat

Jingitiu di Raijua dalam Perbandingan dengan Liturgi Pemakaman Menurut P. Alexander

Bedinig, SVD. Madiun: STKIP Widya Yuwana.

Lamprecht, G. 2014. Misionar am Ende der Welt: Franz von Sabu. (film dokumenter dalam

Orientierung, 7 menit 11 detik), diakses 10 Januari 2017 pukul 03.45.

Lembaga Alkitab Indonesia. 1976. Lii Haga Dara do Hure ri Markus. Jakarta: Lembaga

Alkitab Indonesia.

___________. 2000. Lipedara Wowiu. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

Madinier, R. 2011. ―The Catholic politics of inclusiveness: A Jesuit epic in Central Java in

early twentieth century and its memory‖ dalam Picard & Madinier (editor) The Politics of

Religion in Indonesia: Syncretism, orthodoxy, and religious contention in Java and Bali.

London & New York: Routledge.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

91

Maier, H. M. J. 1993. ―From Heteroglossia to Polyglossia: The Creation of Malay and Dutch

in the Indies‖ dalam Indonesia No. 56 (Oct., 1993), pp. 37-65. New York: Cornell

University Press.

Manteiro, G. 1997. Memori Uskup Keuskupan Agung Kupang. Masa Bakti Karya Pelayanan

Pastoral 1967-1997. Kupang: tanpa penerbit.

Neonbasu, G & Moses Lebao. 1993. Kupang dari Diaspora Menuju Keuskupan Agung

(dalam Karya dan Sejarah untuk Menghadap Masa Depan). Kupang: Seksi Publikasi

Panitia Perayaan Perak Keuskupan Agung Kupang & Jabatan Uskup YM. Mgr. Gregorius

Manteiro, SVD.

Nge Djo, M.M. 2000. Pendampingan Kaum Muda Katolik dalam Upaya Menciptakan Kader

Pastoral di Sabu Paroki Rote-Sabu-Raijua. (Skripsi). Kupang: Institut Pastoral Indonesia

Malang.

Ong, W.J. 2012. Orality and Literacy. London: Routledge.

Picard, M. 2011. ―Introduction: ‗Agama‟, „adat‟, and Pancasila‖ dalam Picard & Madinier

(editor) The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, orthodoxy, and religious

contention in Java and Bali. London & New York: Routledge.

Rafael, V.L. 1988. Contracting Colonialism: Translation and Christian Conversion in

Tagalog Society under Early Spanish Rule. Manila: Ateneo de Manila University

Press.

Riwu Kaho, R. 2005 [2000]. Orang Sabu dan Budayanya. Yogyakarta: Jogja Global Media.

Saukko, P. 2003. Doing Research in Cultural Studies: an Introduction to Classical and New

Methodological Approaches. London, Thousand Oaks & New Delhi: Sage Publications.

Sitompul, M. 2017. ―Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS‖ dalam historia.id,

Kamis, 26 Oktober 2017. (http://historia.id/modern/penumpasan-pki-di-ntt-dalam-

dokumen-rahasia-as diakses Rabu, 1 November 2017 pukul 15.35).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

92

Steenbrink, K. 2007. Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History volume 2,

The spectacular growth of a self-confident minority, 1903-1942. Leiden: KITLV Press.

Turner, V. 1979. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Ithaca: Cornell University

Press.

Unit Budaya dan Bahasa GMIT. 2006. Lii Hag‟a D‟ara J‟ara lua Yesus Pedutu nga do Hure

do B‟uke ri Ma‟u. Kupang: UBB-GMIT.

Van den End, Th. & J. Weitjens. 1980. Ragi Carita 1: Sejarah Gereja di Indonesia 1500 –

1860. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

___________. 1989. Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia 1986-an – Sekarang.

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

93

LAMPIRAN 1

PETA

Peta NTT (Sumber: ppid.ntt.prov.go.id)

Peta Kabupaten Sabu-Raijua (Sumber: petatematikindo.wordpress.com)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

94

LAMPIRAN 2

FOTO-FOTO

Foto 1: Ketanga rohe, seperti yang muncul dalam kisah Ju Deo (dok. pribadi)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

95

Foto 2: SDK Mehona dan pohon nitas yang dulu dipakai sebagai tempat berkumpul ibadah

dan misa hari Minggu sebelum kapel dibangun (dok. pribadi).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

96

Foto 3: SDK Perema dan pohon ketapang yang dulu digunakan sebagai tempat berkumpul

ibadah dan misa sebelum kapel dibangun (dok. pribadi).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

97

Foto 5: Halaman pertama Buku Induk Perkawinan Paroki Sabu (foto: Franz Lackner, SVD)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

98

Foto 5: Halaman pertama Buku Induk Permandian Paroki Sabu (foto: Franz Lackner, SVD)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: TESIS AMBIVALENSI MANUSIA SABU: IDENTITAS DAN …

99

LAMPIRAN 3

PEDOMAN WAWANCARA

Tentang Katolik:

Sejak kapan sekolah didirikan? Apa tanggapan warga sekitar pada saat itu? Bagaimana proses

pembangunannya?

Kapan mulai mengajar di sekolah? Bagaimana Pendidikan Agama Katolik diajarkan di

sekolah?

Apa peran Alkitab terjemahan bagi katekese, ibadah hari Minggu dan doa lingkungan, bagi

umat Katolik?

Tentang Jingitiu:

Mengapa menerima pilihan menjadi Kenuhe?

Bagaimana keadaan orang-orang Jingitiu hari ini?

Adakah legenda tentang orang Jingitiu dari zaman dahulu yang bisa disampaikan sekarang,

dan memiliki kaitan dengan jabatan Kenuhe?

Berapa anggota keluarga yang beragama Kristen?

Mengapa tidak mengikuti jejak anggota keluarga?

Tentang Pertemuan:

Kapan Anda menerima Da‘ba?

Kapan Anda menerima pembaptisan?

Mengapa ritual-ritual Jingitiu atau kewajiban adat lain bermanfaat bagi Anda? Seberapa

penting?

Seberapa banyak warga di sini yang masih menjalankan kalender adat, misalnya, saat musim

tanam?

Pernahkah mendengar cerita Wènynyi Ri atau Ju Deo?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI